"Aku akan mencari kamu, Ain." Gumannya, lalu bergegas
ke kamarnya untuk bersiap-siap mengejar Aini sebelum
pesawat tinggal landas.
"Aku akan memohon pada Ayahnya, pun harus
mengemis akan kulakukan." Dari balik kaca Victor
berbicara setelah itu ia meraih kunci mobilnya berlari ke
garasi dengan kecepatan kilat mengendrai mobil
memecah kepadatan kota Medan menuju kos kosan Aini.
Namun, setiba di sana kos-kosan itu sepi tanpa penghuni.
Victor memutar arah mengambil rute kampus. Ia
berharap, Aini sedang di kampus mengurus keperluan
untuk wisudanya nanti.
Victor melirik arloji mewah di tangannya sudah
menunjukkan angka 10 pagi dan ia menekan pedal gas
mengencangkan lari mobilnya hingga mencapai
kecepatan di atas rata-rata. Pria itu bagai kesetanan tak
memperdulikan resiko di jalan saking kepanikan
menguasai alam sadarnya menembus kemacetan.
Sementara itu, langit mulai hitam di selimuti kabut
pertanda hujan akan segera turun mengguyur kota
Medan. Aini menatap kawanan awan yang bergulung
dengan separuh jiwanya telah hancur berkeping-keping.
Tak ada yang bersisa selain kekosongan dan kehampaan
yang senantiasa akan menemani sepanjang hidupnya
nanti. Gadis itu menarik itu nafas dengan sisa tenaga
ketika sebuah sentuhan di bahunya.
"Kamu harus yakin. Pria yang baik itu ada di kalangan
kita, Ain. Papa janji kamu akan mendapatkan itu," kata
Rafli setelah beberapa saat beliau memperhatikan
keterdiaman Aini semenjak mereka berangkat dari kota
ke Kuala namu tujuan Banda Aceh.
Lagi-lagi Aini menarik nafas berat lalu menyungging
senyum tipis sambil menatap papanya sekilas.
"Maafin papa, Ain. Mungkin menurut kamu papa egois.
Tapi, maksud papa baik untuk kamu, sayang, emm.."
tambah Rafli lagi. Beliau memiringkan kepalanya
menatap Aini yang duduk di sebelahnya.
"Iya, Pa?" singkat gadis itu lalu menundukkan wajahnya
menormalkan detak jantung yang sudah tidak beraturan.
Maafkan aku, pa. Aku sudah tidak suci lagi. Batin gadis itu
merintih tak seorang pun yang tau. Keputusan
menyerahkan mahkota kegadisannya untuk Victor telah
merengut masa depan bahkan kebahagiaannya kelak
nanti. Ia pasrah, bila suatu saat nanti tak ada laki-laki
yang mau menerima keadaannya. Kendatipun itu terjadi,
Aini sudah mempersiapkan mental dan psikisnya, karena
ia menyakini Rafli akan membuangnya saat tau dirinya
mungkin akan mengandung buah cintanya dengan Victor.
Mengingat kisah semalam, Aini mengelus perutnya
sambil berpikir apa yang akan ia lakukan seandainya ia
benar-benar akan hamil nanti.
"Apa kamu akan melamun terus!" ketus Rafli melihat
sekilas kesenduan di wajah putrinya. Pria tua itu mulai
kesal dengan sikap Aini yang seolah mengabaikannya.
"Ya, pa?" jawabnya lirih. Gadis itu meraih koper dan tas
slempangnya lalu mengikuti papanya menujuk pesawat.
Setelah melewati pemeriksaan keduanya menaiki tangga
masuk ke dalam dan beberapa waktu kemudian, pesawat
lepas landas terbang membelah angkasa raya
meninggalkan sejuta kenangan dan seonggok hati yang
kini tersesat terombang ambing tak tentu arah.
Pemuda itu bergerak ke sana ke mari mencari sosok
wanita yang di tidurinya semalaman. Namun ketika pagi
tiba, sang pujaan tidak ada lagi di samping sampai
kepanikan membawanya ke hadapan Sonya saat ini.
"Kau pasti tau ke mana Aini pergi, Son! kali ini aku
mohon tolong jangan main-mani katakan di mana
Anggraini!" Victor mengetatkan barisan giginya memaksa
Sonya untuk buka mulut di mana Aini sekarang.
Sonya melongo tak percaya dengan situasi saat ini. Victor
datang dengan nafas ngos-ngosan masuk ke ruang kuliah
di mana gadis itu sedang mengukuti materi kuliahnya.
Tanpa perduli keadaan pria itu menyeretnya keluar untuk
memintai gadis itu keterangan tentang keberadaan Aini.
"Oh, jadi gara-gara kau kehilangan Aini, terus kau datang-
datang nyeret aku kek gini! kau pake otak gak sih. Aku
sedang kuliah, Vic?" balas Sonya kesal namun ia
berusaha mengontrol emosinya.
"Persetan dengan kuliahmu itu. Sekarang kau ikut aku,
kita cari Aini." Bantah Victor menarik tangan Aini
menyeret gadis berambut ikal itu yang kemudian ditolak
olehnya, "kau gila! aku gak tau di mana Aini, Vic. Kau
sinting! Aku gak mau." Bentak Sonya dengan mimik
wajah memerah. Ia benar-benar kesal dengan sikap
Victor yang memaksanya, padahal dia sendiri tidak tau ke
mana Aini pergi.
"Son. Kau sahabatnya? gak mungkin kau gak tau di mana
Aini. Aku tau, dia pasti menemuimu sebelum Aini pergi--"
"What! pergi? kata Sonya cepat memicing pada pria yang
berprofesi dosen itu.
"Iya! Dia pergi ninggalin aku!! padahal aku sudah
berusahan menahannya, dan dia rela menyerahkan
segalanya, kupikir itu cukup membuktikan kalau Aini
tidak akan meninggalkan aku." Lemah Victor setelah
suaranya sedikit meninggi seolah melampiaskan
kekecewaannya di depan Sonya. Gadis itu semakin
bingung. Ia mencoba menyaring ucapan Victor barusan,
namun sepertinya, Sonya belum paham apa maksud
menyerahkan segalanya.
"Tapi, dia pergi ke mana, Vic? kau yang jelas dong
ngomongnya...." tanya Sonya penasaran. Gadis itu
menatap wajah tampan itu dengan hati iba.
Victor menarik nafas panjang lalu menceritakan sekilas
tentang kisah semalam bersama Aini kekasihnya. Sonya
mengangga sulit ia percaya kalau ternyata Aini telah
melakukan hal yang terberat menurutnya. Yang ia tau,
Aini sangat menjaga kesuciannya apapun yang terjadi.
"Jadi, kalian melakukan hal terlarang itu? kau sadar gak
sih, Vic. Kalau Aini hamil gimana! bisa-bisa, Syahbandar
akan membakarnya hidup-hidup, Vic!" Terang Sonya
khawatir. Ia tidak menyangka Aini bakal menyerah pada
keadaan dengan cara mengorbankan kesuciannya untuk
Victor.
"Apa coba. Maksud Aini melakukan itu semua, Vic. Aku
tau Aini sangat menjaga itu? atau jangan-jangan kau
memperkosa dia!" Tebak Sonya menatap curiga muka
Victor. Victor mendatarkan wajahnya membalas tatapan
Sonya tajam
"Aku tidak punya waktu berdebat denganmu, Son. Aku
harus pergi mencari Aini. Terserah, kau menuduh aku
seperti itu." Sangkal Victor lalu membalikkan badannya
melangkah pergi dari hadapan Sonya tanpa memaksa
gadis itu untuk ikut dengannya lagi.
"Vic." Panggil Sonya sebelum pria itu jauh kemudian ia
berhenti dan menoleh ke belakang.
"Aku ikut, aku ambil tas dulu," seru Sonya berlari ke
dalam ruang kuliah mengambil tas segera pergi bersama
Victor. Namun, sebelum pria itu tancap gas. Sonya
menghentikannya membuat Victor bingung.
"Gimana, kalau kita temui Farida dulu. Siapa tau, Aini
pamitan ama si butet."
Victor diam berpikir sejenak lalu mengeluarkan
hanphone tanpa merespon gadis di sampingnya ia men-
dial nomor Farida di kontaknya. Tak lama, Telepon itu
tersambung, "ya, Vic. Ada apa?" jawab Farida dari
sebrang.
"Aku butuh info tentang kepergian Aini. Katakan, kau di
mana," kata Victor menodong Farida dengan kata-
katanya.
"Pergi? emang, Aini pergi ke mana, Vic?" balas Farida
lembut mencoba mendamaikan suasana meskipun ia tau
tekanan suara Victor memaksanya.
"Aku gak butuh ocehanmu, Tet! Yang aku butuh info
tentang Aini," hentak Victor menekan nada suaranya.
"Tap, aku gak tau, Vic... "
"Farida!! jangan coba-coba kau membohongi aku!!"
"Sabar, Vic? kau gak boleh marah-marah... "
"Diam!!" Suara Victor menggelegar memotong cepat
ucapan Sonya yang mencoba menenangkannya. Sonya
diam mengatub bibirnya menatap sahabat laki-lakinya
sedang dikuasai amarah dan kepanikan.
Debat antara Victor dan Farida berakhir setelah Farida
menyerah dan bersedia menjelaskan semuanya.
"Sori, Son. Aku ... aku gak... "
"Gak papa kok, Vic. Aku ngerti perasaanmu saat ini," saut
Sonya menyungging senyum pasrah. Pasrah dengan sikap
Victor saat ini.
Bab 39
"Pagi-pagi, Aini datang ke rumah aku, Vic. Aku terkejut
dan mengajaknya masuk. Namun, Aini menolak katanya
dia gak bisa lama,"
Flasback On
"Aini..? lu, ngapain pagi-pagi, joging?" tanya Farida
dengan mimik wajah bingung. Ia meneliti Aini dari bawah
sampai ke atas nampak wanita itu pucat dan kelelahan.
"Bed, sori. Aku boleh ngomong sebentar?" balas Aini
memohon dengan kedua tangannya. Farida menaut alis
dan sedetik krmudian ia membawa Aini di taman
perkarangan rumahnya ada sebuah bangku panjang di
bawah pohon jambu keduanya duduk berhadapan.
"Hey, lu kenapa?" kata farida serius sambil menatap raut
wajah Aini yang pucat.
Gadis malang itu menarik panjang lalu menghembus
dengan menahan nafas yang menyesakkan rongga dada
"Gua, mau pamit, Far. pesawat jam 11 aku take off ke
Aceh... "
"Apa! lu serius? tapi, kenapa buru-buru, kan kuliah lu
belum kelar semua, Ain? lu belum... "
"Gua tau Far. Gua juga mau minta tolong sama kalian.
Tolong urus semua persyaratan untuk WISUDA nanti.
Gua gak bisa menunggu lagi--"
"Ya, tapi kenapa, Ain? lu bilang dong?" sangkal Farida
bernada kesal. Ia harus tau sebab musabab Aini
mendadak kembali ke Aceh, padahal urusan kuliahnya
aja belum selesai
"Papa memaksa untuk cepat-cepat pulang, Far. Gua juga
gak tau kenapa, yang jelas, papa tidak menginginkan gua
berlama-lama lagi di sini--"
"Terus. Victor gimana? lu ngabarin dia kan. Ntar dia
kecariaan, gimana? pasti gua lagi ama si Sonya yang
kenna," cerocos Farida meluapkan kekesalannya atas
keputusan yang dibuat Aini saat ini. Farida menatap iba
wajah sahabatnya yang mulai redup. Farida mengerti
posisi sahabatnya saat ini. Pastinya, Aini sudah membuat
keputusan dengan mengutamakan bakti pada kedua
orang tuanya, atau dengan kata lain, demi birullwalidin.
Seberapapun kuat ia memperjuagkan hubungannya
dengan Victor, namun ini jalan yang terbaik yang harus
iantempuh. Dan, bukan berarti, Aini selempang itu
meninggalkan Victor? Menurut Farida, keputusan Aini
adalah yang terbaik sebagai anak. Memang sih? terkesan
egois, tapi mau gimana lagi? tidak mungkin juga, Aini
memilih Victor. Kecuali Aini mau mwnjadi anak durhaka.
"Aku gak punya pilihan lain, Far. Papa terus mendesakku,
untuk pulang. Dan, lu pernah bilang, orangtua adalah
segala-galanya. Semenjak mendengar itu aku harus siap
menjadi wanita penghianat bagi Victor." Farida terdiam,
ia mengerja menatap kagum pada sosok wanita yang kini
terlihat teramat rapuh di hadapannya. Andai saja, ia bisa
melakukan sesuatu yang mungkin bisa membebaskan
Aini dari kemelut itu, pasti Farida tidak tinggal diam saat
ini. Namun, masalah yang dihadapi Aini terlalu rumit
untuk sebuah jalan keluar.
"Ain. Lu yang sabar ya? lu harus yakin, bila Victor
takdirmu, maka kalian pasti akan bersatu kembali."
Aini mengulas senyum tipis menatap sayu Farida sedang
mengelus bahu dan menguatkannya.
"Thanks," ucap Aini pelan lalu ia mengeluarkan sebuah
amplop berwarna putih selanjutnya ia berikan pada
Farida.
"Ini," kata Farida menerima amplop itu dengan rasa
gundah.
"Gua titip untuk Victor ya? gua gak bisa lama, papa gua
uda nungguin," jelas Aini seraya bangkit dari bangku itu
merapikan kerudungnya sejenak hendak melangkah.
Namun, baru gadis itu bergerak, tiba-tiba ia meringis
ksakitan. Rasa perih bagian intinya masih sangat terasa
setelah semalam ia menbiarkan Victor menembus
selaput daranya. Farida memicing menatap Aini aneh.
"Ain, kenapa? lu sakit? eh, lu istirahat aja dulu di kamar
gua, ntar kabarin papamu tunda aja dulu! pulangnya,"
cemas Farida meraih tangan Aini. Akan tetapi, Aini
menolak tidak mengindahkan kebaikan Farida. Alhasil,
gadis itu berjalan dengan menahan rasa sakit dan nyeri di
selangkangannya.
"Far, gua pamit ya?" kata Aini terakhir kali setelah sampai
di gerbang rumah Farida. Mereka berpelukan dan saling
menitikkan air mata perpisahan. Farida tak kuasa
membendung air matanya yang terus mengalir
menangisi kepergian Aini sahabatnya. Hampir 4 tahun
mereka beriringan menempuh kuliah bersama dalam
suka dan duka. Aini yang datang sebagai perantau selalu
mendapat perlakuan yang baik dari kedua sahabatnya.
Bahkan, Sonya dan Farida senantiasa membantu apapun
yang diinginkan Aini.
Aini berjalan menyusuri trotoar jalan dengan deraian air
mata yang terus mengalir meratapi kisah cintanya yang
akan segera berakhir dengan tragis. Sekilas memori
bersama sahabat-sahabatnya berputar menari dalam
otaknya, dan itu semakin membuat Aini sesugukan. Ia
terus melangkah dengan sisa kekuatan juga
keseimbangan dalam dirinya
Flasback Of
Gerahang kokoh milik pria yang berprofesi sebagai dosen
itu mengeras setelah mendengar semua penjelasan dari
Farida.
"Aku harus menyusul Aini, Son. Aku tidak akan pernah
melepaskannya sampai kapan pun!!" Teriak Victor
membanting sebuah gelas di atas meja milik warung
tempat mereka bertemu. Farida sengaja memilih warung
dekat rumahnya agar tidak terjadi keributan di rumahnya
dikarenakan, orang tua gadis itu menderita penyakit
stroke. Farida juga sudah menduga, bahwa Victor akan
bertindak arogan bila menyangkut Aini tanpa perduli
tempat dan sekelilingnya.
"Vic. Apa-apan sih! kau sadar gak, ini warung orang
bodoh! lagian buat apa kamu menyusul Aini. Percuma!"
Sergah Sonya menatap sengit pada Victor. Gadis itu kesal
dengan sikap Victor yang selalu mengedepankan amarah
bila menghadapi masalah.
"Benar kata Sonya, Vic. Percuma kau menyusul Aini. Jam
segini, Aini pasti sudah sampai di Aceh. Mungkin, untuk
saat ini kau bersabar aja dulu sambil menunggu khabar
dari Aini," timpal Farida menyadarkan Victor. Walaupun,
amarah masih meletup di dada pria itu, ia berpikir, Farida
ada benarnya juga. Tapi, masalahnya, ia tidak bisa
menerima keputusan Aini yang seolah-olah sengaja
merencanakan semuanya dari awal. Sekarang Victor jadi
tau, kenapa Aini sampai rela memberikan sesuatu yang
berharga untuknya. Ternyata, Aini akan pergi dan
menjadikan kegadisannya sebagai bukti ketulusan
cintanya.
Dua gadis manis itu menatap iba pada pria yang hatinya
kini sedang hancur. Pria itu menunduk menyembunyikan
kesedihan agar tidak terlihat oleh pengunjung warung
itu. Ia menjambak rambutnya kasar dalam hati menjerit
sekuat tenaga. Sonya dan Farida saling menatap
kemudian mereka mengidik bahu tidak tau harus
bagaimana.
"Vic. Kita pulang ya? gak enak di lihat orang-orang," kata
Sonya menyentuh bahu kekar Victor. Laki-laki itu
mengangkat kepalanya tanpa melihat kedua gadis itu lalu
melangkah dengan gontai kemudian diikuti oleh Sonya
dan Farida.
Bab 40
Victor.
Aku minta maaf, karena pada saat kamu bangun, aku
sudah menjadi wanita penghianat. Bahkan lebih buruk
dari itu. Seandainya, bulan semalam bisa menjawab
isyarat hatiku, mungkin aku tidak sekerdil sekarang.
Meninggalkanmu dan itu hal terberat yang harus
kujalani.
Vic.
Cintamu bersamaku, dan buah cinta kita akan tumbuh.
Kuharap, kamu tetap semangat demi itu. Bersamaku ada
kamu, dan aku pun, ada bersama kedua orang tuaku.
Mereka, pelindungku di akhirat nanti. Aku tidak
menyesal apa yang sudah kita lakukan, sebaliknya, aku
bangga meskipun harus berlumur dosa.
Vic. Jangan patah, atau terpuruk. Aku mencintaimu
sampai kapan pun.
Aini.
Pria itu meremas sekuat tenaga secarik kertas putih yang
baru dibacanya dengan air mata terus menetes. Ia luruh
ke sofa di kamarnya, dan menjambak kepalanya
merasakan kehancuran atas kepergian Aini beberapa jam
yang lalu.
Setelah menerima surat itu dari Farida. Victor
memutuskan untuk pulang walaupun tujuannya adalah
bandara. Ia berpikir akan sia-sia, karena pesawat yang
ditumpangi Aini pasti telah lepas landas. Dan, akhirnya,
dengan kekecewaan yang teramat dalam, Victor kembali
ke ke rumahnya di jalan Bunga Rampe, salah satu
komplek perumahan termewah di kota Medan.
"Ain, hiks.. hiks.. hiks.." dengan meremas sepucuk surat
yang tidak pernah diharapkan, Victor meledakkan
tangisan sederas derasnya hingga tak ada lagi ruang
untuk menenangkan diri. Pria itu tampak sangat putus
asa, dan terpukul karena di tinggal Aini kekasihnya.
Bagaimana tidak? disaat dirinya sudah siap menerobos
benteng pertahanan yang di bangun Rafli untuk
melamarnya, Eh! malah Aini sendiri yang mengambil
langkah tanpa kesepakatan dengannya. Itu jelas,
membuat Victor hancur sehancur-hancurnya. Apalagi,
mereka lagi pada sayang-sayangnya. Terus, apa jadinya,
tiba-tiba Aini membangun jurang pemisah yang dapat
menghancurkan hati lelaki yang baru saja menemukan
cangkang untuk dirinya berteduh setelah deretan luka
dan penderitaan hidup dilewatinya selama ini
Pun, semua sudah terjadi. Namun, Victor tidak akan
menyerah begitu saja. Ia akan mencari cara apapun
untuk bisa mendapatkan gadis itu, bahkan ke ujung dunia
sekalipun ia akan mengejar gadisnya.
"Bagaimana kalau kamu hamil, Ain? aku gak mau kamu
menderita, hiks..hiks." Lirihnya semakin tersedu
memikirkan kemungkinan besar akan terjadi, membuat
Victor semakin hancur. Ia tidak mau Aini menanggung
sendiri akibat dari perbuatannya setelah menanam benih
dalam rahim wanita bangsawan itu. Membayangkan Aini
hamil nanti, Victor menyusun sebuah rencana. Pria itu
bangkit lalu keluar dari kamarnya menuju ruang TKP
semalam. Ia berbaring seraya menghirup aroma farvum
Aini yang masih menempel di bantal dan selimut.
Bersamaan dengan itu, Victor memperhatikan bercak
merah yang sudah kering menempel di seprai berwarna
putih ranjang ibunya dengan desiran yang menyesakkan
dada. Ia menyentuh noda dan kembali air mata
mengambang dipelupuk mata elangnya. kilasan
percintaan semalam menari di otaknya, bagaimana Aini
memejam mata menahan kesakitan akibat selaput
daranya robek dan mengeluarkan darah segar yang
sebelumnya tidak disadari oleh Victor. Pria itu baru
paham bercak darah itu adalah milik Aini tadi malam.
Perlahan gelombang kebersalahan menguap
kepermukaan. Ketakutan mulai mendera batinnya, kalau
sampai Aini mengandung benihnya nanti. Ia takut, Aini
akan dibuang oleh keluarganya bila itu benar-benar
terjadi.
Tidak cukup akal untuk berpikir bagaimana caranya
menemukan Aini kembali, Victor berniat menyusul
kekasihnya, pun ke ujung dunia. Ia merogoh saku
celananya mengeluarkan ponsel lalu mendial nama Aini
berulang-ulang namun jawabannya masih sama seperti
seharian ini yaitu di luar jangkauan. Pria itu memggeram
prustasi sampai melempar ponselnya ke dingding hingga
hancur berkeping-keping. Berteriak sekuat tenaga
memanggil nama Aini. Suaranya menggema ke penjuru
ruangan akan tetapi, itu hanyalah pelampiasan atas apa
yang dialaminya saat ini. Semua telah terjadi, dan itu
realita.
******
"Gua gak habis pikir, tet sama Aini. Bisa-bisanya dia tidur
sama Victor dan merelakan diri," Sonya mendengus kesal
setelah tau apa yang dilakukan sahabatnya semalaman
dengan Victor. Kini keduanya duduk di sebuah kafe yang
biasanya mereka kunjungi bersama Aini. Ketidak
percayaan akan tindakan yang dilakukan Aini sungguh
membuat kedua wanita cantik itu dilanda gelisah.
"Gua juga mikir gitu kali, Son. Harusnya Aini gak gegabah
kayak gini. Apa dia gak mikir gimana kalau dia hamil,
terus keluarga mengusir dia dari rumah. Gak menutup
kemungkinan kan, Son?" ucap Farida menahan nafas.
Mereka sangat menyanyangkan kondisi Aini saat ini.
Belum lagi hp-nya gak bisa dihubungi.
"Kita berdoa sajalah, Tet. Moga aja dia gak hamil. Gua
gak nyangka, hidup Aini setragis ini. Coba aja dulu gua
ngelarang dia deket sama Victor, mungkin keadaannya
gak seperti ini." Sonya sedikit merasa bersalah dengan
problem Aini sekarang. Masalahnya dia juga pernah
mendesak Aini untuk menerima Victor, padahal Aini
sudah menjelaskan sedikit banyak tentang peraturan
keluarganya, namun menurut Sonya itu bisa saja berubah
seiring waktu berjalan. Dan, sekarang nyatanya?
"Kadang, manusia sulit ditebak, Son," Farida merapatkan
badannya dikursi menatap jauh ke depan. Peristiwa Aini
cukup memberinya pelajaran agar lebih hati-hati dalam
melangkah. Pun, masalahnya jelas berbeda. Tapi, setiap
pengalaman yang terjadi tidak ada salahnya lebih mawas
diri.
"Maksudnya?" kata Sonya memicing untuk kemudian
gadis itu memperhatikan wajah Farida heran.
Farida menghela nafas panjang, "kita kenal Aini bukanlah
wanita gampangan, Son. Bahkan, lu tau kan. Dia pernah
mati-matian menjaga harga dirinya. Gak, nyangka aja sih.
keadaan berubah secepat ini. Dan, kebutaan cinta
mengubah segalanya."
Rintik hujan mulai menetes membasahi bumi. Perlahan
hati keduanya menghangat merindukan senyum
Anggraini. Mereka sama-sama menunduk menyela waktu
membuat duka dalam benak masing-masing. Keakraban
yang telah dibagun Aini cs sungguh membuat Farida dan
Sonya kehilangan sosok gadis lembut si penyayang
Anggraini. Ibarat salah satu anggota tubuh lepas dari
badan, begitulah yang dirasakan dua gadis berdarah
batak jawa itu.
"Tidak buta juga sih, Far menurut gua. Karena tidak
semua orang mengalami hal yang sama. Mungkin kita
terlalu sempit mengenal lingkungan, yang dialami Aini
bisa jadi hal yang lumrah. Ya, mungkin dia punya maksud
tersendiri kan--"
"Maksud untuk mempermalukan keluarganya, Son. Ini
berlebihan, bukan lumrah! kita ini muslim? jelas ini salah
donk?" tandas farida memotong cepat pernyataan
Sonya. Mereka berada pada posisi yang serba salah. Satu
sisi ingin menempatkan di posisi positif, namun di lain sisi
justru keadaan jelas menyeretnya ke sisi negatif, dan itu
mutlak.
"Far, hidup selalu berurusan dengan yang namanya plus
mines. Tapi, kembali lagi bagaimana kita mensikapinya?
yang udah terjadi, apa mungkin bisa dicansel! gak, kan?"
Sonya mengidik bahu, karena hanyanitu yang bisa ia
lakukan terlepas dirinya sebagai manusia biasa.
Di ufuk barat, langit semakin kelam akibat curah hujan
mengguyur kota Medan. Berkubik air membasahi bumi
hingga tergenang dimana-mana.
Cuaca yang semenjak pagi menampakkan kerudupannya,
hingga susah didiskripsikan. Jawaban dari sebuah dilema
hidup anak manusia seakan blur apa dibalik
keputusan wanita berkulit putih, tinggi semampai dan
berdarah bangsawan bernama Anggraini Syahbandar
putri sulung seorang pewaris ketahtaan raja Syahbandar
pada masa kolonial belanda dulu yang telah kembali ke
pangkuan kedua orang tuanya
Menghirup udara sedalam mungkin mengharap
kelegaan, Sonya dan Farida saling meneguk jus segar
yang sedari tadi dibiarkan begitu saja.
"Tet, kita balik yuk. Gua ada kelas sore nih." Gadis yang
akrab dipanggil Butet itu mengangguk lalu mereka pergi
ke kasir sama-sama untuk menembus bill kemudian pergi
dari tempat itu. Sonya melajukan mobilnya menembus
derasnya hujan menuju kampusnya.
Bab 41
***Aku meratapi cinta yang telah sirna bersama puing-
puingnya. Begitu banyak lara yang hinggap setelah benih
tertanam dalam raga ini***
Angin bertiup kencang menerpa dedaunan di
perkarangan sebuah rumah megah peninggalan raja
Syahbandar. Rumah yang di desain bergaya kolonial
Belanda dulu nampak sejuk dan damai karena
pepohonan yang rindang. Salah satunya, pohon kelapa
gading yang buahnya sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Pohon yang berupa palem-paleman itu tumbuh berjejer
di samping pagar rumah Syahbandar sejak dulu hingga
kini telah banyak buah yang dinikmati oleh keluarga dan
sanat saudara mereka.
Dari balkon lantai 2 tampak seorang gadis bertubuh
langsing berkulit putih berdiri termenung menatap
hampa jalan hitam yang basah karena guyuran air hujan.
Sejak ia tiba di kediamannya, di salah satu kota kecil
daerah Nanggroe langit terus menurunkan air hijan
hingga sore hari belum juga berhenti. Suasana itupula
membuat Aini lebih banyak termenung dan berdiam diri
dalam kamarnya. Keadaan semakin menyeret gadis itu
dalam keterpurukan dan prustasi hingga ia malas
melakukan apapun. Padahal, sejak kemaren Kartini
memintanya untuk membantu menyiap acara tedak siten
(turun tanah) keponakannya. Dia adalah putra pertama
dari pasangan Meylani-Halim yang akan berlangsung
esok hari.
Aini tidak menggubrish setiap titah mama dan papanya
melainkan diam dan terus diam tanpa bertanya atau
menjawab. Sikap Aini mulai membuat Kartini heran
sampai pernah beliau bertanya pada Aini, ada apa? tapi,
Aini hanya mendatarkan sang ibu lalu pergi begitu saja.
Sekarang, Aini duduk membungkus diri di atas kursi
balkon dengan penampilan kacau. Rambut diikat asal,
baju piama dari pagi sampai malam menunjukkan Aini
benar-benar larut dalam kekecewaannya.
Entah apa yang dipikirkan gadis itu tidak satu pun
dimengerti oleh anggota keluarganya. Duduk berdiam
diri dan memikirkan kisah cintanya yang telah kandas
begitu saja.
Aini terkejut, seseorang datang menyapanya.
"Ekhem!"
"Aku tau, kakak bukan orang heboh. Tapi, diam seperti
ini juga tidak menunjukkan sifat kakak yang asli." Kata-
kata itu terdengar jelas oleh Aini. Namun, gadis itu
bergeming tidak mengubah pandangannya untuk
sekedar melirik sang adik yang datang menyapanya
"Kakak putus cinta?" katanya lagi. Ia mendaratkan
bokongnya di kursi depan Anggraini. Sosok bertubuh
jangkung bermata hazel itu memandang Aini dengan hati
meringis. Ia berusaha meraih tangan lembut kakaknya
dan meremas lembut.
"Kak? apa kakak akan seperti ini terus? sementara masa
depan kakak masih panjang? banyak yang harus kakak
lakukan selain termenung seperti ini." Tiba-tiba hati Aini
berdesir sakit mendengar ucapan Asril adik—bungsu. Aini
mulai mengerjab menatap wajah tampan beralis besar
dan berbulu mata lentik milik adiknya
"Uruslah diri kamu sendiri. Kakak gak butuh dinasehati!"
ketus Aini menyentil hati Asril. Perlahan senyum di
wajahnya pun surut. Pria yang akrab dipanggil Apon itu
diam sejenak dan menegakkan tubuhnya. Ia bingung,
sudah dua hari pasca kepulangan Aini, pria itu tidak
melihat keceriaan di wajah kakaknya, sampai ia nekat
menemui Aini untuk sekedar berbicara. Namun, di luar
dugaan, justru tidak mendapat sambutan hangat apalagi
mau berbicara.
"Oke, aku tidak akan menasehati kakak lagi. Gimana?
kalau kita pergi ke suatu tempat, dan aku yakin kakak
pasti suka," tawarnya tak menyerah. Sepertinya, Asril
benar-benr penasaran dengan sikap kakaknya yang tiba-
tiba jadi pendiam.
Aini menghela nafas panjang, lalu menatap tajam
membidik bola mata Asril.
"Enyahlah dari hadapanku, Pon. Aku gak butuh perhatian
kamu!" Sergah Aini merapatkan kedua giginya membuat
Asril melongo. Ia bersumpah tidak pernah mendapat
perlakuan seperti ini dari Anggraini bahkan, Aini selalu
mengajaknya jalan-jalan setiap kali pulang ke kampung.
Gak menutup kemungkinan kalau kak Aini bersikap
seperti ini gara-gara papa dipaksa papa balik ke rumah.
Terus! kenapa kak Aini jadi jutek gini ya? emang salah
apa! Batin Asril.
Akhirnya, Asri menyerah. Ia bangkit dan pergi dari balkon
itu dengan sejuta pertanyaan, setelah ini, ia akan
mencari tau sebab musabab perubahan pada kakaknya.
Sementara itu, Anggraini masih betah dengan posisinya
duduk bersandar sambil memandang jauh ke depan.
Pikiran gadis itu tidak terlepas dari Victor dan kejadian
malam panjang yang terus membayangi benaknya.
Meskipun, gadis itu terlihat santai, namun jauh dalam
relung hati, hadir rasa takut yang terus melilit hingga
susah untuk disingkirkan. Ketakutan akan benih yang
telah ditanam oleh sang kekasih dalam rahimnya malam
itu. Tak dapat ia pungkiri rasa itu kian menyiksa hari-
harinya sampai ia enggan berada dimana-mana selain
kamar dan balkon. Sekarang, tempat itu menjadi
persandarannya.
****
"Pa, mama perhatikan, Aini banyak melamun. Ada apa
dengan dia." Kartini mendaratkan tubuhnya di samping
Rafli suaminya sedang membaca sebuh buku dengan
kaca mata bertenggeng di hidungnya.
Paruh baya itu menyorot istrinya dari celah kaca bulat
memperhtikan sang istri. Ia melihat ada kekhawatiran di
wajah Kartini. Rafli mengulas senyum lalu menegakkan
badannya yang sedari tadi bersender di dingding tempat
tidur.
"Mama jangan khawatir ya? Aini cuma kelelahan. Kan,
anak kita baru selesai kuliah? mungkin Aini butuh
kesendirian, emm?" balas Rafli mengelus bahu istrinya.
Kartini tersenyum tipis menanggapi jawaban Rafli yang
tidak masuk akal.
"Gitu, pa ya?" kata Kartini mencoba percaya. Seketika
senyum lebar mengembang di wajah Rafli. Beliau merasa
tenang dan mengangguk pasti.
"Ya sudah. Mama istirhat dulu ya? papa juga, jangan
bergadang lagi, ntar tensi papa naik lagi." Lagi-lagi tuan
Rafli melebarkan senyumnya hingga menampakkan
deretan gigi putihnya. Sebongkah hati miliknya selalu
menghangat setiap kali mendapat perhatian dari istri
tercinta. Walaupun terkadang, beliau suka kasar pada
keluarganya, namun jauh dalam lubuk hati, keluarga
adalah segala-galanya bagi beliau.
Malam kian pekat menjemput kesunyian. Kabut
kerinduan mulai menyelimuti penghuni rumah Rafli
Syahbandar khususnya di kamar lantai dua. Di sana
seorang wanita meringkuk dalam selimut tebal melawan
kedinginan karena suhu tubuh yang terasa panas. Ia
menggigil sendiri memeluk tubuhnya erat-erat, namun
tak kuasa ia menahan hawa yang menusuk tubuh
ringkihnya. Sebenarnya, sejak sore Aini sudah merasakan
badanya panas dingin. Terlalu mengabaikan kesehatan
sendiri, akhirnya ia pun drop di tengah malam buta yang
tidak akan ada seorang pun tau, terlebih kamar Anggraini
jauh dari saudara-saudaranya, bahkan ia memilih lantai
dua sebagai tempat ternyaman di antara yang nyaman.
Dan, sekarang? Aini kesulitan menjangkau keluarganya.
"Vic.." Nama itu yang terucap dari bibirnya. Ia menyela
tentang pria itu, meskipun kondisi saat ini sudah sangat
lemah. Mata gadis itu semakin samar untuk menyamai
pencahayaan akibat terlalu panas dan mengeluarkan air
mata. Anehnya, Aini tidak sekalipun memanggil salah
satu anggota rumah itu, karena yang terlintas hanyalah
nama Victor dan bayangan pria itu terus menari di
pelupuk mata indahnya.
Bab 42
"Anak bodoh! dia pikir dengan melakukan ini bisa
mengubah semuanya." Mata tajam bak silet menatap
seonggok tubuh yang terkulai lemas di atas branrkar.
Selang lentur transparan menancap di hidup bekerja dua
kali lebih cepat mengirimnya oksigen pernafasan.
Tubuhnya teebaring lemas tak berdaya.
Sosok jangkung berdiri bersedekap di samping branrkar
dan terus menatapi wajah sang putri yang kini telah
pucat memutih bak mayat hidup. Mata terpejam, yang
terdengar hanyalah buih oksigen menderu setiap kali
nafas berhembus.
"Apa maksud, papa. Papa ... bukan bilang untuk kak, Aini
kan?" tanya Asril memicing papanya dari samping. Rafli
bergeming tak mengubah posisi dan tatapan pada putri
sulungnya yang terbaring tak berdaya. Pria paruh baya
itu diam tidak pernah berniat untuk menjawab
pertanyaan Asril. Selain gak perlu, Rafli juga tidak pernah
suka diintrogasi oleh siapapun, termasuk anak-anaknya.
"Jaga, kakak kamu. Pastikan dia baik-baik saja," titahnya
tanpa melihat Asril. Berbalik arah lalu pergi begitu saja
membuat semua orang yang ada di ruangan itu
menggeleng kepala. Mereka saling menatap sementara
Asril hanya mengidik bahu masa bodoh. Bisa dikatakan,
sifat Rafli barusan bukan yang pertama kali mereka lihat.
Justru? sudah mendarah daging dalam diri Rafli. Sok
bertindak diktator pada keluarganya sendiri.
"Apa yang terjadi dengan Aini, Pon. Sampai gak ada yang
tau dia pingsan kek gini," tanya salah satu kerabat Rafli
bernama Annuar. Beliau adik sepupuan sekaligus ipar
Rafli sendiri yang baru tiba tadi malam memenuhi
undangan perayaan turun tanah hari ini. Namun, semua
terhenti ketika Meylani menyadari kakaknya Anggraini
tidak ada di tengah- tengah mereka.
Sejam sebelum Anggraini di bawa ke rumah sakit
"Ma.. kak Aini mana sih. Dari tadi pagi gak nampak deh,"
kata Meylan melirik sana sini di antara keramaian,
namun ia tidak melihati gadis itu
"Masih di kamarnya kali, Mey? ntar juga dia turun?"
jawab Kartini lempang. Tidak terlintas sedikit pun di
benaknya kalau Aini sedang tak baik-baik saja.
"Iya, tapi ini udah jam 10, ma? gak mungkin kak Aini
masih di kamar!" Entah kenapa, wanita yang sedang
bersiap-siap untuk dipersungting itu gelisah. Firasatnya
mengatakan; pasti terjadi apa-apa dengan Anggraini.
"Ya, sudah. Ntar mama suruh Asril ke kamarnya. Udah,
sekarang kamu siap-siap ya?" ucap Kartini lalu
menggendong bayi mungil dalam ayunan keranjang dan
segera diberikan pada sesepuh, atau kepala adat hulu
balang untuk diritualkan.
Sudah menjadi adat istiada bagi mereka, di mana setiap
ada bayi dari keturunannya akan di buat acara khusus
semacam ritual dan doa bersama untuk keberkahan
hidupnya kelak nanti
Duh!! kak Aini mana ya? apa jangan-jangan. Gak. Gak
mungkin, tadi malam kan, kak Aini ngobrol sama Asril?
terus! kenapa kakak tak nongol-nongol. Meylan mondar
mandir berbicara sendiri. Rautnya berubah khawtir takut
terjadi apa-apa dengan Anggraini. Tanpa menunggu lagi,
wanita itu bergegas keluar dari kamarnya hendak naik ke
atas tangga. Namun, sebelum itu terjadi, langkahnya
dicekat oleh Asril.
"Ke mana, kak. Tuh, dicariin mama juga. Cepat sono!"
"Iya, bentar! kakak mau panggil kak Aini dulu, pon?"
bantah Meylan mengangkat sebelah kaki di tangga.
"Kak, Aini?" pikir Asril bingung lalu segera menyusul
Meylan ke atas. Mereka mendobrak pintu kamar itu
setelah beberapa kali di panggil, tapi tidak mendapat
sautan dari dalam.
Hanya beberapa kali dobrak, pintu terbuka. Keduanya
langsung masuk dan mendapati Aini pingsan dengan
mulut berbuih. Meylan menjerit diiringi tangis histeris
hingga terdengar ke lantai bawah. Tak lama kemudian,
separuh dari kerabat mereka ikut menyaksikan kondisi
Aini yang tidak sadarkan diri.
-
-
-
-
-
Waktu terus berputar, beranjak keperaduan. Siluet senja
mulai memudar menutupi sang surya dari sinarnya. Hari
pun, berganti malam menyapa kegelapan, dan seonggok
tubuh yang terbaring tak berdaya. Setiap kali jam
berdetak, serasa mengoyak luka dalam hatiny. Seberapa
pasrah dan terpuruknya jiwa Anggraini hingga sampai
detik ini ia masih terlelap menenanangkan kehancuran
diri. Tak perduli perjalanan masih panjang, atau
kesempatan masih terbentang nyata selagi ia tidak
berputus asa.
Namun, seberapa pun ikhtiarnya untuk itu, tetap saja
luka itu semakin mengangga membuatnya tak mampu
menumpu lagi kehidupan. Kesalahan, atau sebuah
keputusan yang telah ia lalui, sekarang menjadi fana,
bahkan berujung pada kematian. Sedetik saja, keluarga
tidak segera membawanya ke rumah sakit? mungkin,
Anggraini telah meninggalkan nama dan noda hitam di
atasnya. Demi apa? seseorang yang sudah ia tinggalkan
demi pengabdian, juga bakti terhadap kedua orang tua.
"Aku yakin sesuatu terjadi dengan kak Aini. Kalau tidak,
mana mungkin dia mengurung diri di kamarnya." Nada
itu begitu menekan di sela tatapan datar yang sulit di
artikan oleh orang lain.
"Apa maksud kamu," tanya salah Annuar bingung. Laki-
laki bertubuh bongsor itu menatap Asril tak berkedip
pun, sesekali berpindah pada Aini. Mungkin, beliau mulai
mencurigai sesuatu tentang apa yang menyebabkan Aini
sekarang. Sebagai paman, Annuar berhak tau kenapa Aini
sampai mengurung diri di kamar padahal, baru dua hari
gadis itu tiba di kampung.
"Semenjak pulang, kak Aini tidak berbicara panjang lebar.
Apon sempat bertanya, tapi kak Aini malah marah. Apon
curiga kak Aini di paksa papa--"
"Dipaksa gimana maksud kamu! bukan kah Aini ... belum
selesai?" Annuar bergerak lebih dekat di samping Aini.
Beliau meletakkan tangannya di atas kepala dan
mengelus ubun-ubun Anggraini lembut. Ada kesedihan
jauh dalam lubuk hatinya. Karena Annuar selalu
menyangi Aini sejak dulu.
"Apon gak ngerti, om. Kita harus cari tau yang
sebenarnya." Apon beranjak dari sisi branrkar menuju
pintu keluar. Namun, belum ia meraih gagang pintu,
Annuar memanggilnya, "Apon." Pria itu berhenti, segera
menoleh ke belakang di mana sang paman menatapnya
datar.
"Mau ke mana kamu!"
"Kopi," balas Apon santai, setelah itu hilang di balik
pintu. Annuar menggeleng kepala, dalam hati, beliau
mengupat dengan sikap keponakan yang tidak pernah
berubah, selalu saja sesuka hati.
Annuar kembali memperhatikan raut Aini dengan
perasaan iba. Sudah hampir 24 jam, namun Anggraini
belum juga siuman. Annuar semakin gelisah memikirkan
kondisi Aini meskipun, dokter sudah menjelaskan bahwa
Aini hanya dehidrasi karena kurang cairan dan glukosa
dalam tubuhnya, tapi tetap saja laki-laki itu khawatir.
Mana Rafli belum balik-balik lagi? masa acara turun
tanah sampai jam 10 malam. Kadang, Annuar berpikir.
Anngraini anak kandung apa anak pungut sih? selalu saja
Rafli mementingkan Meylan. Annuar mendengus kasar
merasa kesal atas sifat abangnya sendiri karena terlalu
bersikap egois terhadap keluarganya. Entah demi apa?
Annuar juga tidak tau. Yang jelas, apa yang menimpa Aini
saat ini pasti ada hubungannya dengan keegoisan Rafli
sang abang.
Timbul tanda tanya yang besar. Kendati pun, Rafli
berusaha diam, dan terkesan menutupi seolah-olah itu
semua karena Aini sendiri. tapi, bagaimana? seandainya,
keluarga besar Syahbandar mengetahui fakta yang
sebenarnya? atau bahkan peristiwa besar yang mungkin
akan segera terkuak hingga membuat seluruh keturunan
Syahbandar syock?
Bab 43
"Heehh ... heehhh..." suara desah kesusahan itu
terdengar berat dan serak. Berulang kali nafas terongos
sampai dadanya terangkat membusung lalu rapat
kembali di tempat tidur. Beberapa kali itu terjadi namun,
tidak disadari oleh orang sekelilingnya. Asril yang tertidur
dengan memangku di samping Anggraini pun, tak
menyadari kalau kakaknya sedang kesusahan dalam
mengatur pernafasan. Conon lagi, Annuar yang terbaring
pasrah di atas sofa jauh dari Aini.
Namun, setelah beberapa kali gadis itu menarik nafas
secara teratur, akhirnya sirkulasi air oksigen itu berjalan
bergerak normal. Perlahan, kelopak mata lentik itu
mengerjab memaksa retina menyamai pencahayaan
lampu led yang bersinar terang tepat di bagian atasnya.
Ketika dirasa nyaman, ia mulai mengedar pandangan,
dan orang yang pertama kali dilihatnya adalah, Asril.
Sang adik laki-laki tertidur lelap dengan memangku
kepala di bagian pinggir ranjang. Asril yang senantiasa
setia menjaga, juga menunggu kakak tercinta, tak ingin
jauh sebentar pun.
Aini menarik tangannya dari genggaman Asril lalu
diletakkan di atas kepalanya. Ia memandang sejenak
wajah tampan itu dengan perasaan haru dan tertegun.
"Pon, maafkan kakak." Batin Anggraini. Tak terasa, dua
bulir bening jatuh dari ujung mata Aini. Ia sedih, karena
telah membuat semua orang khawatir dengan
keadaannya. Tanpa ia sadari, tangannya bergerak
membelai lembut rambut Asril membuat pria itu
terbangun dan reflek menegakkan badan langsung
memeluk sang kakak.
"Kak, kakak udah bangun? syukurlah, akhirnya bangun
juga." Suara Asril parau namun bahagia. Ia terus
memeluk tubuh ringkih itu sembari membenam kepala di
dada Aini tanpa perduli gadis itu baru saja bangun
setelah dua hari dua malam tidur, bahkan bisa dikatakan
Anggraini sadar dari koma. Saking bahagianya, Asril
meneteskan air mata. Kehawatiran terhadap Aini hampir
membuat Asril prustasi dan berniat mengintrogasi Rafli
papanya, guna memintai penjelasan atas perkara itu.
Aini mengulas senyum tipis setelah Asril puas
memeluknya.
"Pon, mama mana? kamu sendiri," ucap Aini dengan
nada lirih. Ia masih merasakan, tubuhnya lemas serasa
otot sudah tidak berfungsi lagi. Asril tersenyum,
menyorot sang kakak lembut dengan mata hazlenya.
"Mama di rumah kak. Tapi, tadi sore mama di sini kok.
Kasian mama, kalau ikut nemanin. Kan, tensinya suka
naik? makanya, Apon gak kasih mama nginep," Jawab
Apon menjelaskan. Terpaksa ia berbohong, padahal,
Kartini sama sekali tidak datang menjenguk Anggraini.
Apon gak mau, melihat kak Aininya sedih, kalau
sebenarnya, sang mama lebih mementingkan Meylani
kakak kedua dari pada kakak pertama. Apon juga
bingung, juga baru menyadari ada ketidak adilan dalam
keluarganya. Bagaimana bisa? orang tuanya memilih
kasih antara Aini dan maylan, juga dirinya sendiri.
Memang usia Apon baru belasan tahun menginjak
remaja. Tapi, lelaki semata wayang itu sudah memahami
secara kasat mata bagaimana perlakuan satu sama lain.
Hanya saja? Apon tidak suka mempermasalahkan,
terlebih ia adalah anak laki-laki. Selain cuek, Apon juga
sibuk dengan kawan-kawannya mengurus geng motor.
"Kakak tenang ya? ada Apon kok. Tuh, paman Annuar
juga, lagi bobok. Paman lo ... yang jagain kakak?" tambah
Apon sembari mengelus kening Aini dengan tangan
kekarnya. Aini melebarkan senyum memamerkan gigi
putihnya. Apon memicing, terkesima dengan senyum
indah itu. Meskipun tampak pucat, namun kecantikan
akibat senyum itu membuat Apon kagum pada Aini.
Dalam hati, "Ternyata, kak Aini cantik banget."
*********
Di sisi lain.
Sebuah kafe klasik nan berkelas di pinggir kota Andalas,
terlihat dua insan bersahabat sedang menikmati
secangkir kopi dan sepiring stick lezat masing-masing.
Mereka tampak serius seperti sedang mendiskusi
sesuatu.
"Kau serius! Tapi—"
"Kapan aku pernah main-main." Nada itu terucap tegas
membuat sosok gadis berambut ikal tebal terurai itu
meruncingkan bibirnya. Apa yang terjadi malam ini, sulit
ia telaah, sekalipun itu mengandung arti lumrah. Namun,
tetap saja gelombang kebimbangan menghantamnya
malam ini
"Kau tau tempatnya? Aceh itu luas, Vic? kau bisa tersesat
kalau tidak ada kenalan di sana! kau jamet, apa-apa sih."
"Son. Supaya aku tidak tersesat, makanya kau harus
menemani aku pergi." Kata-kata itu terkesan mengajak
tapi tampa bertanya terlebih dahulu. Sonya melongo tak
percaya. Selain ia terkejut dengan undangan makan
malam yang tidak diiginkannya, Sonya juga baru tau
semua karena sebuah misi. Yah, misi pergi ke Aceh guna
mencari keberadaan Anggraini. Benar-benar jamet tu
orang.
"Hey, kau maksa aku? kenapa pulak aku yang dilibatkan.
Kan, kau bisa pergi sendiri! ogah ah. Aku gak ma-u. Pergi
sendiri sono!" balas Sonya menyipitkan kedua belah
matanya. Gadis itu sungguh lelah dan jenuh menghadapi
pria yang sedang prustasi itu. Kepergian Aini telah
membuat Victor Walidin terombang-ambing tak tentu
arah. Setiap saat, dan waktu hanya memikirkan Aini
sampai-sampai ia nekat berhenti menjadi dosen, dengan
mengundurkan diri secara paksa. Semua ia lakukan
karena ketidak fokusannya terhadap materi yang akan
diberikan pada mahasiswa dan mahasiswinya. Dan
sekarang! Laki-laki itu hendak memaksa Sonya untuk
menemaninya mencari Anggraini. Ini gila menurut Sonya.
Harus ke mana? kan itu pertanyaannya.
"Oke. Ga apa-apa, aku akan pergi sendiri. Cuma ingat.
Aku, kau end." Sonya segera membola melihat sikap
konyol seorang Victor. Sejauh ini, pria itu tak ubahnya
anak remaja yang meminta jatah pada kekasihnya, kalau
tidak diberikan maka hubungan berakhir.
"Eh, kau gila ya? apa hubungannya, Vic. Ya udah, kalau
end, ya end aja..., emang gua pikirin." Kini giliran Victor
yang membulatkan tatapannya. Bila tadi ia cuek
mengeluarkan kata-kata seenak hati? sekarang, Victor
menatap Sonya datar tanpa berkedip. Yang ditatap diam
malah sibuk memotong stick untuk di masukkan dalam
mulutnya.
keduanya diam sesaat, mungkin mereka sama-sama
sedang berpikir. Yang satu sedang kesal karena
mendapat paksaan hampir setiap hari, yang satunya lagi
berpikir keras bagaimana caranya membujuk Sonya agar
bersedia menemaninya pergi. Heran! bukan tidak tau?
Bahwa Sonya itu anak gadis semata wayang di
keluarganya. Artinya? jangan kan bepergian jauh!
menginap di rumah teman saja sulit mendapat izin dari
papanya. Tapi kenapa Victor malah mengajaknya?
begitulah Victor. Yang terjadi sekarang adalah
kebuntuan, karena rindu yang mencengkram seluruh
jiwanya. Pria itu hampir kehilangan keseimbangan dalam
memikirkan Aini. Namun, selalu saja Sonya menguatkan,
dan menyadarkannya agar tidak terlalu larut hingga
berujung gila. Walaupun, ketika diperhatikan. Vase itu
sedang terjadi tanpa disadari oleh Victor
Demi apa? setiap malam ia berkunjug ke kosan Aini,
berharap Aini sudah kembali ke rumah itu. Namun,
hingga ayam berkokok, Aini tidak kunjung muncul
menyapanya. Pernah juga, Victor pergi ke bandara guna
menunggu dan menjemput Aini yang datang dari
kampungnya. Hal yang sama juga terjadi, sampai azan
magrib berkumandang. Anggraini tidak ada. Akhirnya, ia
pulang dengan keputus asaan. Kehampaan jiwa, serta
kekosongan dilewati oleh pria itu seakan tubuh itu
sedang mengalami vase yang namanya, mati suri.
"Aku gak tau harus minta tolong ke siapa lagi, Son. Tapi,
aku harus melakukan ini. Aku gak mau Aini hamil di luar
nikah? kau mengerti kan!" setelah diam beberapa saat,
Victor melirihkan ucapannya dengan intonasi menekan
akibat menahan sesak dalam dada. Suaranya sering kali
tercekat setiap harus mengatakan kata 'hamil'
Raut Sonya pun jatuh. Ia melambatkan kunyahannya
tampa melepas pandangan pada sebingkai wajah tampan
yang kini kacau. Di mana Semua bulu di sana dibiarkan
tumbuh liar bahkan tidak pernah terawat sama sekali.
Pasca ditinggal Aini. Victor berubah menjadi layaknya
mayat hidup. Saban hari kerjanya hanya mencari Aini dan
Aini.
"Vic."
Sonya memberanikan diri menyentuh tangan Victor,
padahal selama ini ia tidak pernah sampai pada titik itu.
Victor diam menunggu kelanjutan setelah Sonya
memanggilnya
"Maaf. Aku hanya bisa bilang, bersabar lebih baik dari
pada rencanamu sia-sia! coba kau bayangkan, pergi ke
sana tampa alamat, dan yang paling aku khawatirkan."
Sonya menghentikan ucapannya, dan ia mendapati
Victor sedang memicingnya datar.
"Apa yang kau khawatirkan belum tentu terjadi, Son. Aku
bukan laki-laki bodoh! Apalagi awam. Aku bisa
menggunakan jasa taksi online untuk mencari Aini,
asalkan kau mau membantu," jelas Victor begitu gigih.
Sepertinya, ia tidak gentar dengan tekad yang ia
kobarkan. Cinta dan kerinduan telah membutakan dua
insan. Sulit dijelaskan, perasaan keduanya telah terlilit
tali kasih sayang yang mungkin tak bisa diputuskan.
Meskipun, dua raga kini terpisah, namun jiwa, hati
setelah penyatuan malam itu benar-benar telah
mengikat keduanya. Mungkin, tidak perlu heran. Akan
tetapi, yang dihadapi Victor tidak sesederhana itu. Butuh
energi, pertaruhan, pengorbanan itu juga belum cukup.
"Yang kukhawatirkan, kau akan sia-sia. Cobalah
berpegang pada tali hakikat, Vic! jodoh itu rahasia Allah.
Bahkan, seribu benua pun kau arungi, bila Aini bukan
milikmu, maka usaha itu menjadi percuma!" Sonya
menegaskan dengan Argumen dari sudut pandang
agama. Ia tidak bermaksud mengajari, ataupun mendikte
mantan seorang dosen cerdas. Tapi, titik balik dari itu
semua, Sonya berharap, Victor membuka lebar-lebar
nalarisasi yang sehat dengan berpikir logika.
"Okey? yang terjadi biarlah terjadi! toh, kau sudah
berusaha mempertahankan hubungan kalian, tapi apa
yang diinginkan Aini, biarkan saja? tidak ada riak yang tak
bergelombang, Vic!? semua sudah keputusan takdir!
Emangnya, kau bisa melawan takdir—"
"Aku tidak percaya takdir, selama takdir itu
mempermainkan aku, Son!" Secepat kilat Victor
membantah argumen gadis di depannya.
"Kau tidak pernah ada di posisi orang lain. Aini akan
hamil, dan yang terjadi dia akan dibuang oleh tuan
Syabandar yang kejam itu. Apa kau bisa rasakan itu, Son.
Dia sahabatmu?!" jelas Victor berapi-api. Sonya
mengerjab, otaknya buntu. Bahkan lebih lempang
mengajari anak-anak TK dari pada laki-laki di depannya.
Ia sengaja menyeret pikiran sahabatnya ke kanan, eh,
malah mendapat balasan alot yang menjelaskan, seolah-
olah dirinya tidak sedikitpun berempati pada apa yang
menimpa sahabatnya. Apakah, sesulit ini menyadarkan
jiwa-jiwa yang ternodai oleh cinta?
Sonya mendengkus kasar. Seandainya, ia berani
bersumpah di depan Victor? maka ia akan mengucapkan
sumpah itu dengan tujuan 'Menyerah, dan terserah.'
"Baiklah. Up to you, oke? sekarang sudah larut. Aku
harus pulang, Vic. Kuharap, otak kau masih bisa berfungsi
untuk menimbang sesuatu sebelum terjadi." Sonya
berucap pasrah dengan mengidik bahu sebagai tanda
menyerah. Setelah meneguk sisa minuman, gadis itu
bangkit dan pergi meninggalkan Victor dalam
kebimbangan. Sungguh, ucapan Sonya barusan menohok
perasaannya. Bagaimana tidak? Sonya berani
mengingatkan, agar mengfungsikan otaknya sebaik
mungkin. Asumsinya apa? Maksud Sonya gak lebih baik
dari orang yang sedang sakit jiwa. Otak dibutukan di saat
seseorang drop. Di saat buntu sekalipun, tetap gunakan
otak. Karena hanya otak yang sanggup mengeluarkan kita
dari masalah besar, atau sekecil apapun. Apa pun.
Bab 45
Keputusan telah di tetapkan, dan itu tidak dapat di ubah
meskipun dunia ini runtuh. Memang sepatutnya,
manusia harus mempunyai prinsip, safat dan watak yang
mencerminkan bagaimana sikap dalam kesehariannya.
Cerminan itu juga tidak luput dari respon alam sadar juga
alam bawah sadar. Dimana setiap bertindak tentunya
pasti ada arah dan ujung dari tindakan itu sendiri.
Sama halnya yang dilakukan oleh Victor Walidin saat ini.
Pria jenius itu telah memutuskan untuk pergi ke
Nanggroe guna mencari kekasihnya yang telah pergi
meninggalkannya begitu saja setelah malam panas itu
adalah malam terakhir bagi mereka. Bahkan Aini tidak
mengucapkan kata pamit sebaitpun. Dan, Victor tidak
bisa menerima begitu saja perlakuan Aini terhadapnya.
Apapun, jalan siap ditempuh sekalipun nyawa
taruhannya. Ia siap terbang membelah langit biru demi
sang pujaan hati.
Sejam yang lalu, Victor tiba di bandara kuala namu tanpa
di temani siapapun. Ia nekat, karena menurutnya itu
harus! Ia mengutuk penuh pada Sonya yang tidak
sedikitpun beretikad menemaninya mencari Aini.
Menurutnya, Sonya tega membuat Victor menjengkal
ikatan persahabatan yang terjalin selama ini. Kalaupun,
dipikir secara logika? gak mungkin juga Sonya ikut
terlibat kan? selain gadis itu tidak dibolehin kemana-
mana! Sonya juga engga mau gila mendadak! Sesampai
di sana terlunta-lunta mencari alamat tapi tidak punya
alamat.
Berdiri menatap awan biru sebelum kaki panjang itu
melangkah ke dalam pesawat yang akan membawanya
ke tempat tujuan. Langit bergulung menonjolkan
kecerahan dengan setiap gerakan berusaha mengusir
kabut hitam nan kelam. Meskipun, kawanan awan
tersebut terus meng-arakkan kabut, akan tetapi, konsep
biru cerah semakin menang membuat Victor
menggigihkan keyakinan dalam hati bahwa ia akan
menemukan Aini dengan segala ikhtiarnya.
Berada di antara penumpang lain, bahkan duduk
berseblahan dengan seorang laki-laki paruh baya, tidak
membuat seorang Victor beramah tamah. Padahal, pria
di sampingnya sedang menaut alis, apakah dirinya duduk
dengan seorang mayat hidup? pikiran paruh baya itu.
Mungkin, benar? pemuda berambut halus itu mayat yang
hidup kembali demi seorang gadis. Paruh baya makin
heran, dan beliau menggeleng kepala lalu membukakan
sebuah majalah kemudian fokus pada tulisan dan gambar
di dalamnya.
Satu jam 45 menit. Pesawat bebas hambatan mendarat
selamat di bandara Sultan Iskandar Muda. Victor menarik
nafas sembari memejam mata. Dadanya bergemuruh
ketika terdengar suara pemberitahuan bahwa pesawat
sudah tiba dan para penumpang diminta turun dengan
tertitip. Sejenak ia berpikir, harus kemanakah kakinya
melangkah! ia harus singgah dimana? naik apa? jurusan
mana? sungguh, ia seperti buronan yang melarikan diri
tapi tidak tau harus lari ke mana. Andai saja, dia seorang
ditektif yang di tugaskan mencari seseorang, dan orang
itu adalah Anggraini? mungkin ia gak sesembraut seperti
itu kan?
"Hey, anak muda? kita sudah sampai, apa kau masih
hidup." Suara serak milik paruh baya itu membuyarkan
konsentrasi berpikirnya tentang kemana dan bagaimana.
Ia menatap datar, tapi tidak berlangsung lama saat
sebuah ide muncul di otaknya
"Bapak, asli orang sini?" kata Victor mencoba basa-basi
supaya ia bisa melancarkan perjalanannya.
"Ha ha ha.., apa wajah ini mirip dengan Leonardo? kau
mengejek saya, anak muda?" Victor mengkerut kening. Ia
bingung maksud bapak tua tapi, tidak terlihat tua.
Gayanya unik. Bayangkan saja, kemeja hijau toska beliau
selipkan ke dalam celana terkesan seorang salesman. Di
tambah lagi topi senada menutupi bagian kepalanya.
Victor menyungging senyum meskipun keanehan si
bapak membuatnya heran.
"Ya, bapak masih sangat gagah. Percayalah," tambah
Victor mengidik bahu lalu meraih tas ranselnya, tidak
langsung pergi melainkan menunggu si bapak berjalan di
depan.
"Demi Tuhan, saya percaya. Kau mudik, atau bertamu?"
Paruh baya menoleh sekejap, memastikan Victor masih
di belakangnya. Mereka menuruni anak tangga
melangkah menuju lobi. Victor sendiri bingung harus ke
mana. Seumur hidup baru kali ini ia menginjak kaki di
Nanggroe. Selain, tidak punya keluarga, ia juga tidak
terlalu berani datang ke daerah itu. Bukan karena apa-
apa? mungkin siapapun berpikir seperti itu, mengingat
Nanggroe adalah terkenal dengan daerah konflik sejak
dulu. Biarpun, sekarang sudah ada perjanjian damai?
namun setiap wisatawan yang berkunjung masih saja
was-was. Tapi kenapa ya? mungkin, aura yang masih
terlihat mencekam sehingga membuat segelintir orang
berhalusinasi tentang masa lampau yang kelam itu.
"Jadi, kau kemari mencari seseorang, tapi tidak
membawa alamat, gitu?" pak tua menggeleng kepala.
Bingung, itu yang terlihat dari wajahnya. Mendengar
pengakuan Victor sebagai tamu? si bapak mengajaknya
istirahat sambil menikmati secangkir kopi. Ia juga tidak
tau harus menjawab apa selain menatap si bapak yang
belum ia kenal itu.
"Baiklah. Saya akan mengantar kau ke hotel, dan besok!
saya akan menjemput untuk mencari teman yang kau
maksud."
Perlahan, hati Victor menjadi lega. Rautnya berubah
terang kalau sebelumnya bak jeruk diperas asem bin
kecut.
"Bapak yakin? mau membantu saya—"
"Memangnya, kau punya siapa di sini?" balas si bapak
cepat setelah menyeruput kopi panas dalam gelas
bertungkai. Victor mengerjab beberapa kali mencoba
menelaah pribahasa lelaki di depannya. Seandainya ia
menjawab, apa si bapak akan marah? pikirnya,
dengan sikap sedikit aneh. Mungkin, diam lebih
baik menjunjung etitude di wilayah orang karena sebagai
pendatang itu harus!
Victor mengedar pandangan sekelilingnya terlihat
persawahan lepas nan sejuk. Lahan ribuan hektar itu
tampak sedang dalam proses penggarapan. Hawa sejuk
menyelinap masuk serasa menenangkan hati pria itu. Ia
membayangkan, sepetak bibit padi sedang mengeluarkan
tunasnya dan butuh waktu selama dua pekan untuk bisa
di tanam lagi. Mungkin, begitulah yang terjadi dengan
Aini. Entah kenapa ia merasa yakin, kalau bibit yang telah
ia tabur dalam rahim kekasihnya akan segera tumbuh
menjadi embrio hasil dari buah cinta mereka . Victor
tidak sanggup membayangkan lagi, bila itu benar terjadi
maka, Aini akan menderita seumur hidupnya. Meskipun,
Victor tidak mengenal seluk beluk keluarga Anggraini,
namun ia bisa memprediksi bagaimana respon Rafli
terhadap masalah ini. Victor sendiri bingung, antara
berharap atau tidak. Kalau Tuhan mengizinkan, ia ingin
menikah, punya anak bersama Aini dan hidup bahagia.
Tapi, jikalau Tuhan tidak mengizinkan, ia memohon
dalam hati, semoga Aini tidak hamil.
Victor mengusap wajah pasrah, hati kian tersayat.
Sampai di titik sekarang ia bingung melangkah ke mana.
Ada sasaran, akan tetapi tidak tepat. Apalagi! tempat
yang ia kunjungi luas, alamat tidak punya? apa ia akan
mencari ke rumah rumah door to door gitu?
"Jangan gelisah anak muda. Sekarang katakan nama
orang yang kau cari. Mungkin, sedikit tentang orang
tuanya." Lagi-lagi hati Victor menghangat mendengar
kebaikan si bapak. Victor memajukan tubuhnya
menghadap pria legend itu dan mulai menceritakan siapa
dan apa tujuannya datang ke Nanggroe.
"Wah, kau luar biasa, pejuang tangguh. Jauh-jauh datang
ke mari hanya untuk seorang gadis. Apa Medan
kehabisan stok wanita cantik?" Puji sekaligus
meledeknya. Victor diam mengabaikan pribahasa bapak
tua itu. Mungkin kedengarannya berlebihan. Nyatanya
itu memang benar. Ya, mau gimana lagi? bukankah yang
namanya cinta harus diperjuangkan!