The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

Dua
Pasang
Sepatu



Dua
Pasang
Sepatu

daffodeela

Seri Naruto dan seluruh tokohnya adalah ciptaan Masashi Kishimoto
Fanbook Dua Pasang Sepatu merupakan karya transformatif dari seri
Naruto yang terfokus pada hubungan Uchiha Sasuke dan Haruno Sakura

ditulis oleh daffodeela
Cover, ilustrasi, dan stiker dibuat oleh Erurichu
Pindai barcode berikut untuk menuju ke akun penulis dan ilustrator :

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan mengunggah seluruh isi fanbook
tanpa izin dari penulis
Dicetak tahun 2020

— Tercipta atas dasar rasa sayangku untuk SasuSaku,
Teruntuk siapa pun yang mau membaca imajinasiku tentang

kisah mereka.





1
Untuk Ditemani

Poliklinik psikiatri anak adalah salah satu poliklinik yang paling
mencolok dibandingkan dengan poliklinik lain di dalam Rumah Sakit
Konoha. Sasuke menyusuri lorong demi lorong, gedung demi gedung (dia
tak tahu sejak kapan Rumah Sakit Konoha jadi sebesar ini), sembari
memperhatikan setiap penanda keterangan ruangan. Di lorong yang kini
dia susuri, dia langsung tahu bahwa ruangan dengan cat warna-warni
dengan palet pastel yang lembut adalah tempat yang ingin dia tuju tanpa
melirik keterangan sama sekali. Dia berjalan ke sana dengan langkah pasti.
Dia perlu menemui Sakura saat ini juga—atau setidaknya saat dia sudah
bebas tugas.

Besutan Sakura mengenai poliklinik psikiatri anak ini adalah salah
satu hal yang Sasuke baru ketahui semenjak dia kembali ke Konoha. Di
surat-surat yang mereka tukar dalam periode abstrak, gadis itu tak pernah
menceritakannya. Sasuke pikir Sakura memang bukan tipikal orang yang
menunjukkan potensinya dengan kata-kata, tetapi langsung melalui aksi-
aksinya. Salah satu yang dia ingat adalah saat mereka menghadapi ujian
chuunin bersama, dia tahu Sakura sadar bahwa mereka berada di bawah
genjutsu yang membuat peserta ujian bingung soal lantai ruangan. Sakura

1

tak mengatakan apa-apa sampai Sasuke yang mengutarakannya sendiri
bahwa Sakura pasti sadar.

Sasuke membayangkan jika poliklinik seperti ini sudah ada
semenjak hal tragis terjadi pada klannya bertahun-tahun yang lalu.
Mungkin, mungkin psikisnya bisa terbantu. Mungkin dendamnya pada
Itachi akan tersalurkan pada sesuatu yang positif. Mungkin dia tak akan
meninggalkan Konoha saat itu dan dicap sebagai ninja pelarian untuk
memupuk kekuatan dari Orochimaru. Mungkin mimpi buruk tidak akan
menghantuinya sampai saat ini atau setidaknya berkurang. Mungkin
tekanan traumatis yang dia alami selama ini bisa diatasi. Mungkin,
mungkin, mungkin lainnya muncul di kepalanya.

Opini bahwa salah satu dasar Sakura mencetuskan poliklinik ini
adalah gadis itu teringat pada kondisinya dulu tak bisa ditahan untuk
terbentuk di kepalanya. Sasuke menyangkalnya. Dunia tidak berputar di
sekitarnya. Sakura pernah bercerita secara langsung mengenai pasien-
pasien dewasa lebih mudah pulih dari trauma perang dibandingkan anak-
anak kecil. Ada banyak sekali anak kecil yang psikisnya terganggu akibat
efek horor dari peperangan. Perasaan khawatir karenanya memenuhi
kepala gadis itu. Cerita itu jelas-jelas melontarkan alasan utama Sakura
membangun semua ini.

Tangan Sasuke sudah siap untuk mendorong pintu. Gerakannya
terhenti saat melihat eksistensi Naruto dari balik pintu kaca tersebut.
Sasuke mengumpat dalam hati. Jika Naruto tahu dia ada di sini, lelaki itu
akan langsung tahu siapa yang ingin dia temui. Akhir-akhir ini pun
Naruto sering menggodanya terkait kisah romansa di antara dirinya dan
Sakura padahal mereka tidak menjalin hubungan khusus sama sekali.

Sasuke memutar tubuh, mengurungkan niatnya untuk menemui
Sakura. Langkahnya terhenti saat mendengar Naruto memanggil namanya.
Dengusan kesal lepas dari hidungnya. Dia tetap berjalan menjauh sampai

2

Naruto menyusulnya dan memegang bahunya keras-keras untuk menahan
langkah baru.

“Kau mau menemui Sakura-chan, ya?” tanya Naruto tanpa basa-basi
dalam bentuk sapaan.

Sasuke mendecih. Dia menyentak bahunya agar lepas dari pegangan
Naruto. Entah mengapa, mendadak kerongkongannya terasa gatal. Dia
hanya menanggapi Naruto dengan gumaman.

“Ada urusan apa?”
Sasuke masih dalam posisi membelakangi Naruto saat menjawab,
“Yang jelas bukan urusanmu.”
“Tentu saja itu yang akan jadi jawabanmu.” Naruto terkekeh dan
menatap Sasuke dengan sebelah alis yang terangkat. “Kalau kau
sembunyikan, pasti ada apa-apa, nih.”
“Berisik.”
Naruto masih memamerkan deretan giginya di hadapan Sasuke
dengan raut mengejek. Sasuke mendelik dan kembali melanjutkan
perjalanannya menjauhi poliklinik psikiatri anak. Dia tidak berjalan
dengan cepat, enggan tampak kentara melarikan diri, melainkan
mengambil langkah selebar yang dia bisa. Dia mendecak lagi saat
mendengar derap langkah Naruto yang dengan cepat mengejarnya.
“Katanya mau menemui Sakura-chan?”
“Nanti saja,” tanggap Sasuke dingin. Langkah kakinya masih lebar-
lebar hingga Naruto berusaha agar mereka tetap berjalan bersisian dengan
berlari.
“Ya sudah. Sakura-chan juga sedang sibuk. Katanya dia selesai
sekitar setengah jam lagi, sih. Aku sempat mengajaknya makan ramen
bersama dan dia setuju.”
Sasuke mendengarkan kata-kata Naruto dengan baik, tetapi enggan
menanggapinya.

3

“Kalau kau memang memiliki kepentingan dengan Sakura-chan,
sekalian saja kau ikut makan dengan kami. Bagaimana?”

Langkah Sasuke nyaris berhenti karena otaknya berkontemplasi.
Namun, dia lekas kembali ke derap kaki yang konstan karena tersadar jika
dia setuju, mau tidak mau dia harus menyatakan keperluannya dengan
Sakura di depan Naruto. Hal itu jelas-jelas akan membuat dirinya menjadi
bulan-bulanan Naruto soal hubungannya dengan Sakura. Bahkan hal
seperti Sakura adalah orang pertama yang dia temui setelah dia kembali ke
Konoha—lebih dulu daripada melapor pada hokage—sudah menjadi bahan
ejek dari Naruto dan sang hokage. Apalagi urusannya saat ini.

Baru saja Sasuke membuka mulut untuk menolak, dia merasakan
tepukan di bahunya dari belakang. Sebelum dia sempat menoleh dengan
tujuan mencari tahu itu siapa, telinganya sudah menangkap sapaan yang
akrab dengannya.

“Sasuke-kun?”
“Hei, aku juga di sini, tahu!” keluh Naruto. “Memang, ya, kalian ini
kalau sudah bertemu pasti lupa akan keberadaanku. Dasar pasangan—”
Sasuke memutar tubuh dan mendapati Sakura menonjok lengan
Naruto. Pukulannya tidak cukup kuat untuk membuatnya terpental,
tetapi cukup keras untuk membuat tubuh Naruto limbung. “Aduh!”
“Aku ‘kan sudah bertemu denganmu dari tadi!” hardik Sakura.
Wajahnya memerah sampai ke telinga.
Naruto mengusap-usap lengannya yang sakit. “Iya, iya.”
Sakura menyilang tangannya dan memalingkan wajah dari Naruto.
Pipinya mengembung. Sasuke mendengus geli melihat reaksi Sakura.
Dadanya terasa tergelitik oleh sesuatu yang tidak dia pahami. Mendadak
aura kikuk menyelubunginya yang membuat dia memegang tengkuk dan
mengalihkan pandangan dari Sakura. Atmosfer yang terasa aneh itu

4

dipecahkan oleh Naruto yang tiba-tiba merangkul mereka berdua. Kening
Sasuke mengerut.

“Ayo berangkat ke Kedai Ramen Ichiraku!” Naruto sudah
cengengesan seolah-olah tidak bisa merasakan suasana yang melingkupi
Sasuke dan Sakura serta lengannya tidak habis ditonjok Sakura.

Dengan tubuhnya yang turut diseret Naruto, Sasuke mau tidak mau
menyetujui ajakan Naruto meskipun dia belum memenuhinya secara
verbal. Matanya melirik ke arah Sakura yang posisi kepalanya sedikit
tertunduk karena dirangkul Naruto. Gadis itu sedang tersenyum lembut
ke arahnya. Desiran menggelitik pada dadanya terasa semakin kuat. Sasuke
mengangguk untuk merespons senyum Sakura.



Kursi-kursi yang disediakan di Kedai Ramen Ichiraku memiliki
tempat kosong untuk tiga orang dengan posisi bersisian. Naruto semakin
semangat karena spasi itu seolah-olah memang sedang menanti mereka
bertiga. Posisi duduk mereka sama persis dengan posisi saat mereka
berjalan dengan Naruto merangkul Sasuke dan Sakura meskipun sejak
keluar dari rumah sakit, rangkulan itu sudah dilepas. Setelah membalas
sapaan dari Teuchi-jisan, Naruto langsung memesan ramen pilihannya
yang kemudian disusul oleh Sakura dan Sasuke.

Naruto banyak bicara selama makan, kebanyakan mengajak Sakura
bicara karena memang memiliki urusan dengannya sejak dia datang ke
poliklinik. Sakura menjawab dengan permintaan untuk menunda
percakapan karena tidak nyaman berbicara terputus-putus oleh suapan
dari sumpit mereka. Sementara di sisi lain, Sasuke hanya diam dan
menyimak obrolan Naruto dan Sakura yang kebanyakan berupa teguran
dari Sakura.

5

Saat ramen di mangkuk Sakura sudah tandas, dia mengelap bibirnya
dan meneguk teh yang sudah tersedia. Dia menarik napas panjang-
panjang.

“Jadi, untuk perbekalanmu sebagai hokage nanti, salah satu hal yang
perlu kaupahami adalah materi tentang medis?” tanya Sakura yang pada
akhirnya bersedia membahas topik yang Naruto buka sejak tadi.

“Ya. Aku tidak perlu mengerti praktiknya, tapi aku setidaknya harus
paham teori medis sedikit dan birokrasi di rumah sakit. Kau bisa
membantuku ‘kan, Sakura-chan?”

“Tentu saja. Aku bisa meminjamkanmu buku-buku dasar tentang
medis yang juga bagian terpentingnya sudah kutandai. Aku yakin itu bisa
memudahkanmu. Kau baca saja dulu, kalau ada pertanyaan, kau bisa
tanyakan padaku.”

Naruto berseri-seri. “Terima kasih, Sakura-chan! Tapi bisa ‘kan saat
kau senggang, kau menjelaskannya secara langsung?”

“Ya, bisa. Aku akan membantumu meraih mimpimu, Naruto.”
“Ah, kau memang yang terbaik!” Naruto tersenyum dan
mengangkat jempolnya pada Sakura, lantas melirik jengkel ke sebelah kiri.
“Tidak seperti orang yang duduk di sisi kiriku, ke pernikahanku saja tidak
datang, malah kembali ke Konoha lima bulan setelahnya.” Dia mencebik.
Sadar bahwa yang Naruto maksud adalah dirinya, Sasuke tetap
bersikap tenang dan meminum tehnya seolah-olah tidak ada usikan. Dia
mendengus mendapati raut terganggu semakin kentara terlintang di wajah
Naruto.
Sakura mendesah panjang dan memijat pangkal hidungnya. Dia
menggeleng-geleng. “Sudahlah, Naruto. Sasuke-kun ‘kan tetap
mengucapkan selamat.”
Ekspresi kesal di wajah Naruto berubah menjadi raut tengil. Tahu
ke mana Naruto akan mengarah, Sakura memejamkan matanya erat-erat.

6

Pipinya memanas. Tangannya refleks menutup setengah wajahnya. Dia
langsung sadar dirinya baru saja salah bicara.

“Ah, soal itu!” seru Naruto. Dia cengengesan. Tangannya menyiku
tulang rusuk Sasuke. Alisnya naik turun. “Dari sekian banyak cara yang
dapat kaulakukan untuk mengucapkan selamat padaku, kenapa kau
memilih untuk menitipkan pesanmu pada Sakura-chan?”

Pegangan Sasuke pada gelas teh mengerat. Dia berdeham. “Itu tidak
penting buatmu.”

“Itulah jawaban yang sudah diduga akan datang dari Uchiha Sasuke,
saudara-saudara!” Naruto mencibir. “Tapi rasanya aku bisa menebak. Kalau
kau bisa hadir, kau pasti akan jadi teman kencan Sakura-chan, bukan?”

Merah di wajah Sakura semakin memekat. “Naruto—”
“Tapi karena tidak bisa, kau jadi menitipkan ucapan selamat
untukku pada Sakura-chan. Jadi, secara tidak langsung kau tetap bersama
Sakura-chan di pesta pernikahanku melalui surat itu.” Naruto
menyenggol-nyenggol lengan Sasuke yang menoleh ke sebelah kiri.
Wajahnya tertutupi rambut. “Iya, ‘kan, Teme?”
Tawa mulai lepas dari bibir Naruto tanpa ditahan-tahan lagi. “Aku
tidak menduga seseorang sepertimu bisa memikirkan hal seperti itu,
Sasuke.” Dia mendecak kagum. “Sakura-chan berseri-seri sekali waktu—”
“Naruto!” Sakura menonjok lengan Naruto lagi. Naruto nyaris jatuh
dari tempat duduknya. Sakura menoleh ke kanan dengan wajah yang
panas sepenuhnya. “Bisa ‘kan tidak usil? Aku masih bisa membatalkan
persetujuanku untuk membantumu, tahu!”
Walaupun sakit masih menjalar di lengannya, dia terkekeh sembari
mengusap-usap bagian yang nyeri. “Iya, Sakura-chan. Maaf.” Dia
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Matanya melirik ke arah Sasuke
yang tidak bergeming sejak tadi. “Beruntung sekali kau, Teme! Kurasa kau
tidak akan pernah ditonjok Sakura-chan.”
Sakura mendecak. “Itu karena Sasuke-kun tidak usil!”

7

“Kalau Sasuke usil, kau juga akan melakukan itu padanya?” Kening
Naruto mengerut.

“Hanya jika Sasuke-kun usil. Hal yang kupikir tidak akan terjadi.”
“Oh, ya? Kupikir bebas dari tonjokanmu adalah hak istimewa bagi
Sasuke.”
“Berisik, Naruto,” desis Sasuke. Dia merogoh sakunya dan
mengambil dompet. “Kalau kau diam, aku yang bayar tagihanmu.”
Naruto menyegel bibirnya menggunakan isyarat tangan yang sedang
menarik resleting. Dia duduk dengan tenang, kemudian beranjak sedikit
untuk menyampaikan pesanannya yang lain. Sasuke memutar bola
matanya. Dia sudah menduga Naruto akan menambah porsi makan, tetapi
sadar bahwa ini adalah salah satu cara agar Naruto berhenti menguar
suasana tidak nyaman yang terjalin di antara dirinya dan Sakura.
Saat mangkuk ramen Naruto yang ketiga kosong, dia melirik ke
arah Sakura dan Sasuke secara bergantian. Dia menahan pandangannya
lebih lama pada Sasuke. Sasuke mendecak.
“Apa? Kau mau tambah lagi?” ucapnya sinis.
Naruto menggeleng. “Bukan.” Matanya bergerak ke arah Sakura lagi.
“Bukankah tadi kau mau menemui Sakura-chan? Kenapa saat sudah
bertemu malah saling diam?”
Sasuke otomatis memutar bola mata. Jelas-jelas keberadaan Naruto
yang membuat dia tidak bisa mengungkapkan urusannya dengan Sakura.
Hal yang mau dia sampaikan tidak mungkin diutarakan pada Naruto tanpa
mengundang ejekan lebih lanjut. Dia melirik ke arah Sakura diam-diam,
dan tersentak saat mendapati gadis itu sudah menatapnya dengan matanya
yang lebar. Rona merah di wajah gadis itu sempat dia lihat sebelum
keduanya sama-sama mengalihkan pandangan.
“Nanti saja,” jawab Sasuke. Dia meraih gelas tehnya lagi. Isinya
nyaris habis, tetapi cukup untuk menjadi pelarian dari rasa canggung.

8

Matanya melirik ke arah tumpukan mangkuk kosong dari Naruto. Lelaki
pirang itu menepuk-nepuk perutnya karena kenyang. Sasuke bersyukur
karena dia sempat menduga Naruto akan mempertanyakannya lebih lanjut,
tetapi dia meninggalkan topik yang dia buka sendiri begitu saja.

“Kalian sudah selesai, ‘kan?” tanya Naruto.
Sasuke menanggapi dengan mengangguk dan Sakura menjawab
dengan, “Ya.”
Naruto meregangkan tangannya ke atas sembari berdiri. “Kalau
begitu, ayo pulang.” Wajahnya ditekuk dan tampak masam. “Masih ada
banyak hal yang perlu aku pelajari. Dan aku juga perlu mengambil materi
medis dari Sakura-chan.”
Sasuke sontak menoleh ke arah Naruto. Apabila Naruto masih
harus mengikuti Sakura untuk kembali ke apartemennya, dia tidak akan
punya kesempatan untuk menyampaikan urusannya pada Sakura.
Kepalanya berputar untuk mencari solusi. Selama itu, tatapannya bertemu
dengan Sakura lagi. Tanpa bicara apa-apa, Sakura mengangguk padanya.
Bahu Sasuke yang sedikit menegang otomatis melemas karena menangkap
isyarat Sakura.
“Sebenarnya, buku-buku itu masih harus dicari, Naruto,” kata
Sakura. “Pasti butuh waktu yang lama untuk mencarinya. Kalau besok
bagaimana? Aku pastikan besok sudah tersedia semua. Dan sejujurnya aku
butuh istirahat, kalau harus mencari semuanya sekarang, takutnya
terlewat.”
Naruto mengacungkan jempolnya pada Sakura. “Oke! Tidak apa-apa,
kok. Istirahat dulu saja, Sakura-chan. Pasti melelahkan menjadi direktur
poliklinik, ‘kan?”
Sakura terkekeh. “Jangan bawa-bawa itu. Semua pekerjaan pasti
melelahkan, tahu!”
“Hehehe. Ya sudah, kita berpisah di sini, ya?”

9

Sakura mengangguk. Mereka bertiga kini sudah dalam posisi berdiri
dan berada di luar kedai. Sakura melambaikan tangannya. Sasuke
menepuk pundak Naruto untuk menyampaikan ucapan perpisahan dalam
diam.

Saat sadar bahwa dia sendiri yang berbeda arah, Naruto tersenyum
mengejek melihat Sasuke dan Sakura yang mesti berjalan bersama. Dia
hendak mengatakan sesuatu, tetapi mengingat Sasuke yang sudah
membayar tagihannya, bibirnya langsung terkatup rapat. Dia melambaikan
tangan pada kedua teman satu timnya.

“Sampai jumpa lagi!”
Sasuke mengangguk dan Sakura membalas dengan ucapan yang
sama.
Baru lima langkah diambil oleh Sasuke dan Sakura secara bersamaan,
Sakura langsung bertanya, “Jadi, ada apa, Sasuke-kun?”
Sasuke berdeham. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku
celana. “Kunci kamar sewaku tertinggal di apartemenmu.”
“Oh. Di mana? Sebelum berangkat ke rumah sakit, aku belum
sempat membereskan apartemenku. Jadi aku tidak melihatnya.”
“Di meja.”
Sakura mengangguk. “Kalau begitu, kau ke apartemenku dulu
sebelum kembali ke penginapan?”
“Hn.”
“Oke.”
Mereka berjalan dalam keheningan yang nyaman. Entah mengapa
wajah Sakura memerah. Selalu saja begitu setiap kali dia berada di dekat
Sasuke. Debaran jantungnya pun terasa berlompatan di dalam dada.
Mungkin ini karena mereka sempat terpisah selama kurang lebih dua
tahun, dan kini segala waktu bersama terasa sangat berarti. Walaupun

10

status yang terjalin di antara mereka hanyalah rekan satu tim, Sakura tetap
merasa senang akan kehadiran Sasuke di sisinya, apa pun artinya.

Bibir Sakura membentuk senyum yang refleks muncul atas tindakan
Sasuke yang begitu natural saat melepas sepatunya sebelum memasuki
apartemennya. Entah mengapa hal tersebut membuat Sakura merasa
begitu dekat dengan Sasuke, apalagi jika mengingat dia adalah orang
pertama yang Sasuke temui ketika lelaki itu kembali lagi ke Konoha
setelah perjalanan menebus dosanya. Mereka masuk ke dalam apartemen
Sakura secara berurutan. Sakura mempersilakan Sasuke untuk duduk.

“Kau mau teh?” tanya Sakura sembari berlalu menuju batasan antara
ruang utama dengan dapur yang berbentuk meja tinggi.

“Boleh.”
Sakura tersenyum lagi. Dengan adanya teh, Sasuke akan lebih lama
berada di sini. Karena terbentang jarak yang jauh dengan jangka waktu
yang lama, setiap detik bersama Sasuke adalah saat-saat yang begitu
bermakna bagi Sakura. Sasuke sudah berada di Konoha nyaris satu bulan,
tetapi mereka tidak dapat terus berjumpa setiap hari.
Nampan yang menjadi alas dari dua gelas teh sudah berada di
tangan Sakura. Dia membawanya ke sofa dan menaruh dua gelas itu di
meja. Sebelum duduk, dia menaruh nampan ke dalam kabinet di atas
kompor. Setelah selesai, dia segera bergabung dengan Sasuke di sofa.
“Kuncinya sudah ketemu?”
Sasuke menjawab dengan memperlihatkan kunci dan gantungan
bertuliskan angka di atasnya. Sakura mengangguk menanggapinya.
“Kira-kira berapa lama yang kau butuhkan untuk mengajari
Naruto?”
Sakura menoleh cepat atas pertanyaan yang Sasuke sampaikan secara
tiba-tiba. Dia bergumam sesaat. “Kurasa satu minggu. Kenapa?”
“Bukan apa-apa.”

11

Kening Sakura mengerut setelah mendengar jawaban Sasuke. Dia
tahu betul Sasuke bukanlah orang yang suka berbasa-basi. Pertanyaan tadi
pasti memiliki dasar jika sampai dilontarkan. Namun, dia tidak mau
menekan Sasuke jika memang lelaki itu tidak mau menyatakan alasan dari
pertanyaannya. Dia kembali meneguk tehnya sedikit demi sedikit karena
suhunya yang masih panas.

Saat teh milik Sasuke sudah habis, dia segera menaruh gelasnya di
atas meja. Dia menoleh ke arah Sakura.

“Sakura.”
“Hm?”
Sasuke langsung berdiri. “Aku langsung pulang saja. Kau butuh
banyak istirahat.”
“Eh?” Sakura tampak bengong, tetapi langsung mengerjapkan mata
dan mengangguk. Jelas-jelas itu yang dikatakannya sendiri pada Naruto
tadi dan Sasuke pasti mendengarnya. Meskipun salah satu alasan Sakura
mengatakan itu pada Naruto adalah tahu bahwa Sasuke memiliki urusan
dengannya yang tidak bisa diungkapkan di depan Naruto, ucapannya
bukanlah kebohongan. Dia memang lelah dan membutuhkan istirahat,
meskipun hatinya masih ingin bersama Sasuke. Namun, dia tidak akan
memaksakan kehendak hatinya. “Baik. Kalau kau butuh apa-apa, kau bisa
datang padaku, ya, Sasuke-kun.”
Sasuke mengangguk. “Terima kasih atas tehnya.”
Sakura tertawa kecil. “Itu bukan apa-apa. Tehnya juga ‘kan
merupakan pemberian darimu.”
“Kau yang membuatnya.”
“Iya, iya. Sama-sama.” Sakura memamerkan deretan giginya. Dia
mengantarkan Sasuke sampai turun dari lantai apartemennya.
Saat sudah melewati pagar, Sasuke berkata, “Sampai jumpa lagi.”

12

Sakura membalas ucapan itu sembari melambaikan tangan. Dia
menetap di sana sampai Sasuke menghilang karena berbelok dari sudut
pandangnya. Napasnya terembus panjang. Kepalanya tidak bisa berhenti
memutar pemikiran mengenai alasan dari pertanyaan Sasuke mengenai
berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk mengejari Naruto soal medis
dan birokrasi rumah sakit.



Butuh waktu yang cukup lama dalam sehari untuk mengajari
Naruto mengenai teori dasar tentang medis. Sakura cukup kelelahan
dengan itu, tetapi dia tetap sabar dan menetap di tempatnya. Seperti yang
sudah dia bilang, dia akan membantu Naruto untuk menggapai impiannya.
Dia tidak akan pernah membiarkannya pupus begitu saja setelah apa yang
Naruto lewati selama ini.

Hari ini adalah hari terakhir berdasarkan perhitungan Sakura, dan
materi yang tersisa pun semestinya cukup untuk disampaikan dalam satu
kali pertemuan. Walaupun membutuhkan waktu yang lebih lama daripada
biasanya, akhirnya mereka selesai. Naruto menawarkan untuk mentraktir
Sakura apa pun makanan yang dia inginkan atas ucapan terima kasihnya,
dan Sakura menyetujuinya dengan semangat. Pilihan yang dia berikan
hanyalah anmitsu dan mereka memakannya bersama.

Bulan sudah tampak di langit saat dia hendak pulang. Beberapa
toko sudah tutup yang menyebabkan jalanan terasa sepi. Sakura
melangkah ke rumahnya meskipun suasana terasa sedikit mencekam. Lagi
pula, dia punya kekuatan yang besar apabila menghadapi suatu bahaya. Dia
berjalan dengan santai tanpa ada beban apa pun.

Saat sudah menaiki tangga menuju lantai dua letak unit
apartemennya berada, Sakura menghentikan langkahnya seketika. Sasuke

13

berdiri dengan posisi menyandar tepat di samping pintunya. Sakura
berjalan perlahan-lahan untuk mengikis jarak di antara mereka.

Mendengar derap langkah yang mendekat, Sasuke mengangkat
kepala dan menoleh. Tatapannya langsung bertemu dengan Sakura.

“Sasuke-kun,” sapa Sakura. “Sudah berapa lama di sini? Um, kau
menungguku?”

“Tidak lama. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Ah, oke.”
Detak jantung Sakura mendadak terpompa lebih cepat. Dia
membuka kunci apartemennya dan mempersilakan Sasuke masuk. Sama
seperti kebiasaannya setiap kali Sasuke kemari, dia akan menawarkan teh
untuk lelaki itu setelah mempersilakannya duduk. Saat sudah bergabung
dengan Sasuke di sofa, Sakura menanti Sasuke untuk menyampaikan
maksudnya tanpa berkata apa-apa.
“Bagaimana urusanmu hari ini? Kau sibuk?”
Kening Sakura mengerut sejenak. Dia buru-buru meratakannya
untuk menutupi rasa heran. “Sama saja seperti biasa, kok.”
“Tapi kau pulang terlambat.”
“Oh, itu karena Naruto butuh waktu agak lama untuk memahami
penjelasanku hari ini dan dia mentraktirku setelahnya.” Sakura langsung
terdiam. Dia menoleh dan mengangkat dagunya ke arah Sasuke. “Kau
benar-benar menunggu lama, ya? Kau menunggu sejak sekitar satu
setengah jam yang lalu?”
Sasuke terdiam.
“Astaga, Sasuke-kun. Kau mestinya bilang jika ingin menemuiku
supaya aku bisa mengabari kapan aku pulang. Maaf kau jadi menunggu
lama.”
“Bukan salahmu.”
“Tapi aku tetap merasa tidak enak.”

14

“Tidak usah kaupikirkan. Tidak apa-apa. Aku juga semestinya
mengabarimu dulu.”

“Iya. Lain kali kabari saja, ya?”
“Hn.”
Sakura mengembuskan napas panjang meskipun rasa bersalah masih
bergelut di dalam hatinya. Pegangan pada gelasnya mengerat dan dia
sedikit menunduk. Menimbulkan rasa tidak nyaman bagi Sasuke dalam
bentuk apa pun merupakan hal benar-benar tidak ingin dia lakukan dalam
seumur hidup.
Tangan Sasuke refleks tertuju ke tengkuknya. Dia menggaruknya
walaupun tidak gatal. Tenggorokannya dibersihkan. Dia menoleh ke arah
Sakura perlahan-lahan.
“Sakura …,” dia memanggil dengan ragu dan jantung yang berdetak
cepat, “kapan kau libur lama?”
Sakura tertawa. “Kurasa tidak ada libur lama untukku. Kenapa?”
Sasuke meneguk ludahnya yang terasa padat. “Kau terdengar sangat
sibuk.”
“Tidak sesibuk yang kaupikirkan, kok.”
“Oh.”
Kening Sakura mengernyit lagi. Di kepalanya berputar pertanyaan:
Ada apa dengan Sasuke-kun? Dia hendak menanti seperti tadi, tetapi
kejanggalan yang dia rasakan membuat dia memutuskan untuk langsung
bertanya saja. Baru saja dia hendak membuka mulut, Sasuke menoleh ke
arahnya dan langsung menatap matanya. Panas menjalar pada wajah
Sakura dalam waktu singkat. Dia mendadak merasa kikuk.
“Aku …”
“Ya? Ada apa, Sasuke-kun?” Tangan Sakura mengepal karena rasa
gugup. Entah mengapa, dia merasa apa yang akan Sasuke katakan
merupakan hal yang sulit untuk disampaikan.
“Aku akan berkelana lagi mulai dua hari ke depan.”

15

Bahu Sakura mendadak merosot. Denyutan nyeri timbul di dadanya.
Tangannya yang dikepal terasa kebas dan dia segera membukanya.

“Tapi kau baru—” Sakura meneguk ludahnya dan menggeleng, “ah,
tidak, jika memang itu yang kauinginkan, Sasuke-kun. Terima kasih
sudah memberitahuku.” Dia mengulas sebuah senyum palsu. Apa pun
alasan Sasuke, perasaan sedih tetap tertambat di hatinya. Dia menunduk
dan mengatur napas.

Sasuke menatap wajah Sakura lama. Dia memperhatikan dari
ekspresi wajah Sakura yang tampak menanti apa pun yang hendak dia
sampaikan, bingung, hingga kening yang mengerut. Mulutnya terbuka
sedikit, tetapi gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Sasuke masih
mempertimbangkan apa yang ada di dalam pikirannya.

Ada banyak pandangannya yang berubah tentang dunia dan pola
pikirnya terhadap hidup setelah berkelana, dan—

“Sakura, ikutlah denganku.”
—dia pun ingin mengetahui bagaimana cara Sakura akan
memandang segalanya. Gadis itu begitu murni, dan kebaikan berputar di
sekitarnya. Apa yang Sakura pikirkan dan apa yang dirinya pikirkan
mungkin bisa dibagi bersama, membentuk suatu paradigma baru, yang
Sasuke yakin merupakan hal positif.
Mata Sakura mendadak melebar. Dia mengangkat dagu dan
menatap Sasuke lurus-lurus. Dia menyingkirkan rambut yang menutupi
telinganya untuk memastikan yang baru didengarnya barusan adalah
kenyataan. “Apa?”
Sasuke menatap Sakura dengan serius. “Kau mendengarku.”
Tangan Sakura membekap mulutnya yang menganga. Dia menatap
Sasuke dalam-dalam untuk mencari ekspresi bercanda. Upayanya sia-sia.
Lagi pula, Sasuke bukanlah orang yang suka bercanda. Dada Sakura yang

16

sebelumnya berdenyut dengan rasa nyeri kini berubah didenyutkan oleh
detak jantung yang tak terkendali. Tangannya mendadak terasa dingin.

Banyak hal berkecamuk di dalam otaknya. Apakah ini nyata?
Apakah dia baru saja salah dengar? Jika dia tidak salah dengar, apa alasan
Sasuke mengajaknya? Apakah ini untuk memenuhi permintaannya kurang
lebih dua atau tiga tahun yang lalu? Apakah ini cara Sasuke untuk
menebus rasa bersalahnya? Atau apakah ini yang benar-benar Sasuke
inginkan?

Dia terdiam lama sampai Sasuke memanggil namanya lagi. Sakura
berkedip dua kali dan tersenyum lebar. Dia belum mengetahui apa tujuan
Sasuke memintanya ikut dengannya. Namun, dia sungguh-sungguh
berharap ini tidak ada kaitannya dengan rasa bersalah. Dia harap ajakan
Sasuke berdasarkan keinginannya yang menginginkan Sakura ikut.

Mata Sakura berkaca-kaca memikirkan harapannya yang terakhir.
Belum pasti apakah memang itu alasan di balik ajakan ini, tetapi dia tidak
punya jawaban lain.

“Ya,” ucapnya. Suaranya terdengar seperti koakan. “Ya, Sasuke-kun.
Aku mau ikut denganmu.”

Sasuke terkejut keputusan Sakura lepas dalam jangka waktu singkat
tanpa memikirkan kehidupannya di Konoha. Namun, Sasuke tidak
mengeluhkan hal itu. Mungkin ini adalah sesuatu yang sudah Sakura
inginkan dan pikirkan berulang kali selama ini. Maka, saat kesempatannya
tiba, dia langsung menerima permintaannya.

Buncahan rasa yang membuat senyum tipis timbul di wajahnya
memenuhi dada. Kemudian kesadaran menimpa Sasuke. Dia tidak
sendirian lagi.

17

2
Jalan Nostalgia

Belum pernah satu kali pun Sasuke dan Sakura menjalani misi
berdua saja, meskipun mereka beberapa kali hanya terjebak berdua karena
terpisah dengan Naruto dan Kakashi-sensei dalam situasi tertentu. Sakura
merasa perjalanan ini merupakan lonjakan tinggi dari segala interaksinya
dengan Sasuke. Misi berdua saja tidak pernah, apalagi bepergian untuk
menghampiri tempat-tempat tertentu tanpa ada dasar yang jelas seperti
sekarang; yang mereka lakukan hanyalah berkelana dan menikmati
perjalanan.

Langkah pertama yang membawanya keluar Konoha membuat dada
Sakura diketuk-ketuk keras oleh detak jantungnya. Dia berjalan bersisian
dengan Sasuke secara santai, tetapi dia merasakan atmosfer canggung
terhirup sampai ke paru-parunya. Semenjak perang berakhir,
hubungannya dengan Sasuke membaik dari waktu ke waktu, apalagi
mereka sering saling bertukar surat selama Sasuke tidak ada di Konoha.
Namun, ini tetaplah hal baru, dan Sakura entah mengapa merasa malu.

Sasuke pun belum mengatakan apa pun setelah langkah mereka
lepas dari Konoha. Yang terakhir lelaki itu katakan adalah pemastian
mengenai rasa yakin Sakura untuk setuju ikut dengannya. Sasuke

18

memanglah orang yang tak banyak bicara, Sakura tidak yakin diamnya
Sasuke didasari rasa canggung atau hanya sikap naturalnya yang biasa.

Muncul dorongan untuk membuka pembicaraan dengan Sasuke.
Sakura biasanya merasa bisa bercakap-cakap tentang apa saja dengan
Sasuke, tetapi kali ini dia perlu berpikir keras untuk melakukannya. Saat
suatu ide melintas, butuh dehaman beberapa kali sampai dia yakin untuk
menyampaikannya.

“Sasuke-kun,” panggil Sakura. “Ini mengarah ke selatan, bukan?”
Sasuke melirik ke arah Sakura sembari melanjutkan jalannya. “Ya,
ke selatan. Di perjalanan sebelumnya aku mengambil arah ke utara.”
“Aku mengerti. Kau mau mencari jalur lain.”
“Hn.”
Senyum timbul di bibir Sakura karena merasa geli pada diri sendiri.
Nyatanya membuka pembicaraan tidak sesulit itu; dia saja yang terlalu
banyak berpikir sebelum melakukannya. Canggung yang menempel di
sekujur tubuhnya menguap sedikit demi sedikit.
Sakura mendongak dan merentangkan salah satu tangannya.
Tatapannya terarah pada jemarinya yang terbuka. Berkas-berkas cahaya
menelusup di ruas jemarinya, membentuk bayangan yang jatuh pada
wajahnya. Tangannya diturunkan dan arah pandangnya tertuju pada
pepohonan di sekitar mereka. Embusan nostalgia menerpanya seketika.
Sakura membelalak dan berhenti melangkah secara mendadak.
Alis Sasuke bertaut. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi turut
mengurungkan langkahnya.
“Di sini!” seru Sakura. “Apakah kau ingat, Sasuke-kun?”
Sasuke mendongak dan menelusuri posisi mereka. Dia menunduk
dan menatap tanah yang mereka pijak. Dia mengangguk.
“Misi serius pertama Tim Tujuh.”

19

“Tepat!” ucap Sakura. Dia berjalan ke posisi tertentu, sedikit ke
kanan dari tengah jalan. Sebelah kakinya menginjak-injak tanah sebanyak
tiga kali. “Saat aku sedang melindungi Tazuna-jisan ketika musuh datang,
kau langsung menghadang musuh di depanku.”

Sasuke menyeringai. “Ingatanmu kuat sekali.”
Sakura tersenyum bangga dengan merah menyala di pipinya. “Tentu
saja. Kalau sharingan-mu aktif waktu itu, kau mungkin mengingat lebih
detail daripada aku.”
“Aku tidak mengaktifkan sharingan saat itu.”
“Aku tahu. Aku ingat itu.”
Sasuke menanggapi dengan gumaman. Sakura kembali melanjutkan
langkahnya karena dia merasa bertanggung jawab atas pemberhentiannya
yang tiba-tiba. Tanpa menoleh, dia dapat melihat Sasuke mengikuti
tingkah lakunya melalui ekor mata. Mereka berjalan lagi tanpa bicara apa-
apa.
Ingatan Sasuke disibukkan oleh kenangan di masa lalu mengenai
misi itu sejak Sakura membahasnya. Isi kepalanya melanglang pada
perkembangan Sakura dari berbagai sisi. Masih sangat kental dalam kotak
memorinya bagaimana kemampuan Sakura di misi itu dahulu, dan sadar
tidak sadar, dia membandingkan dengan kemampuan Sakura yang
sekarang. Pesat dan drastis adalah kata-kata yang mampu menjelaskan
perkembangan kemampuan Sakura dengan telak. Apalagi setelah
mengingat Sakura pernah diculik oleh seseorang yang mengincarnya dan
menjadikan gadis itu umpan agar dia mau datang. Saat dia datang untuk
menyelamatkan Sakura, gadis itu sudah menyelamatkan dirinya dengan
cara mengatasi semuanya sendiri. Seringai bangga tidak dapat ditahan
untuk timbul di sudut bibir Sasuke.
“Dulu aku lemah sekali,” kata Sakura memecahkan keheningan
secara tiba-tiba. Kakinya menendang-nendang kerikil kecil yang selalu

20

bergulir terlalu jauh dibandingkan dengan tendangan normal. “Aku hanya
bisa mengandalkan Kakashi-sensei, Naruto, dan Sasuke-kun untuk
melawan musuh.”

Kening Sasuke mengerut. Dia tidak sepenuhnya setuju dengan
pernyataan Sakura. “Tapi sejak dulu kau sudah punya keberanian untuk
bertarung.”

Sakura terkekeh. “Bukankah itu hal yang diperlukan untuk menjadi
shinobi? Jika aku tidak punya keberanian, mungkin aku tidak akan lulus
akademi. Atau malah aku tidak akan mendaftar ke akademi ninja sama
sekali. Apalagi orang tuaku bukan shinobi.”

“Tekad untuk bertarung saja sudah termasuk hal yang baik.”
Sakura menunduk dan tersenyum. Dia tidak menjawab kata-kata
Sasuke karena yang dikatakannya sudah tidak bisa dibantah, serta
menghangatkan hatinya. Walaupun dingin dan cuek, lelaki itu selalu bisa
membuatnya merasa lebih baik saat merasa tidak percaya diri atas
kemampuannya, meski itu terjadi di masa lalu sekalipun.
Mereka masuk ke dalam zona keheningan lagi selama terus
melangkah santai. Karena perjalanan yang mereka lakukan tidak dikejar
garis mati, gerakan kaki mereka lebih lambat daripada saat misi serius
pertama mereka dulu yang jelas-jelas dituntut untuk sigap meskipun
Tazuna ada di antara mereka untuk diantar.
Saat sesuatu dilalui tanpa adanya tekanan, biasanya akan ada detail-
detail kecil yang muncul lebih kentara. Sakura diam-diam melirik ke arah
Sasuke melalui ekor matanya. Rasa haru menerpa dadanya. Sasuke tampak
begitu rileks dengan apa pun yang sedang dijalaninya atau apa pun yang
berada di dalam pikirannya. Dulu, sorot mata Sasuke selalu setajam elang
yang hendak menangkap mangsanya. Kini, mata hitam pekatnya tampak
teduh, menatap tanpa beban ke depan.

21

Ketenangan jiwa Sasuke sudah Sakura rasakan sejak Sasuke kembali
ke Konoha setelah perjalanan yang dilakukannya sendiri. Sakura benar-
benar ingin tahu apa yang mengubah Sasuke, apa yang menggeser
pandangan lelaki itu, apa yang membawa ketenangan pada hatinya, tetapi
dia menyimpan semua pertanyaan itu sendiri di dalam hatinya. Dia merasa
sungkan untuk bertanya karena pertanyaan-pertanyaan itu termasuk ke
dalam ranah privasi di matanya. Dia menengadah ke langit dengan
pandangan penuh damba ketika sadar bahwa sekarang adalah
kemungkinan dia bisa menyaksikannya sendiri.



Tanpa bertanya, Sakura dapat menebak bahwa jalan yang Sasuke
ambil mengarah pada Negara Ombak. Masih pekat dalam ingatan Sakura
berapa lama waktu yang ditempuh untuk menuju Negara tersebut di misi
mereka dulu, dan perjalanan mereka kali ini menghabiskan waktu yang
lebih lama. Malam sudah jatuh dan mereka bahkan belum menempuh
seperempat jalan.

Angin musim gugur yang bertiup menusuk ke balik jubah Sakura
dan dia mendesis singkat karenanya. Tangannya mempererat bungkusan
jubah kremnya pada tubuhnya. Sakura melirik Sasuke untuk memastikan
apakah lelaki itu mengalami hal yang sama. Dia sempat menduga Sasuke
tidak akan merasakannya karena elemen yang dimilikinya adalah api, tetapi
dugaannya salah. Lelaki itu sama-sama merapatkan jubah hitamnya.
Matanya turut melirik ke arah Sakura dan pandangan mereka bertemu.
Wajah Sakura otomatis bersemu.

“Sudah waktunya makan malam,” ujar Sasuke dengan santai. Sakura
membayangkan jika dia yang berbicara setelah kejadian barusan,
pengutaraannya akan terbata-bata karena canggung dan malu.

22

“Kau benar,” tanggap Sakura setelah berdeham.
“Sebaiknya kita cari tanah yang cukup lapang untuk beristirahat.”
Sakura mengangguk. Mereka berjalan sampai menemukan tanah
lapang sekitar lima puluh meter dari awal ucapan Sasuke terlontar. Barang
bawaan mereka disandarkan pada pohon terdekat. Sakura membuka tasnya
untuk mengeluarkan kotak bekal yang sudah dia siapkan untuk mereka
berdua. Makanan yang mengisinya masih makanan basah karena Sakura
yakin makanan ini akan habis dalam sehari. Isinya adalah onigiri yang
belum dilapisi rumput laut kering.
Terdapat bekas pembakaran kayu di tengah-tengah tanah lapang
tersebut. Mungkin tempat ini memang tempat umum yang biasa
digunakan untuk beristirahat dan bermalam. Sasuke dan Sakura
mengumpulkan ranting-ranting yang secara beruntung banyak tergeletak
di sekitar mereka. Saat kayu-kayu itu sudah membentuk kerucut
berantakan, Sakura memutar salah satu ranting pada kayu besar dengan
kekuatannya saat Sasuke tengah mengambil ranting karena menduga
tumpukan yang sudah ada belum cukup. Lelaki itu kembali dengan
kondisi lidah api sudah bergoyang-goyang karena tiupan angin.
Sasuke meletakkan ranting yang baru dia bawa ke atas kobaran api.
Suara letupan-letupan kecil bermunculan, menemani derikan jangkrik
yang samar-samar dibawa oleh angin malam yang menusuk tulang. Dia
melirik Sakura yang tengah membuka kotak bekal, lantas membungkus
kepalan nasi menggunakan rumput laut kering. Dia menyodorkan kotak
bekalnya pada Sasuke. Sasuke langsung duduk di samping gadis itu
kemudian mencomot satu kepalan nasi dan selembar rumput laut kering.
Mereka makan bersama dalam diam.
Kotak bekal yang Sakura bawa sudah bersih dari isi. Sakura
menutupnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sisa makanan yang
mereka miliki hanyalah makanan instan, makanan kering, dan makanan

23

kaleng. Malam ini adalah malam terakhir mereka memakan masakan
rumahan sampai mereka dapat menemukan dapur untuk menciptakannya
lagi—yang tidak dapat diduga kapan akan terjadi.

Sakura memutar leher dan merentangkan kedua tangannya ke atas
kepala. Dia menyelonjorkan kakinya yang sudah digunakan untuk berjalan
dalam jangka waktu lama. Tubuhnya bergidik karena angin tepat
berembus pada tangan dan lengannya yang terbuka saat dia
merentangkannya. Dia memeluk tubuhnya sendiri.

Lensa mata Sasuke tepat tertuju pada Sakura selama gadis itu
merenggangkan tubuhnya dan bergidik. Bahunya menegang saat Sakura
menurunkan tangannya dan meletakkannya tepat di atas tangannya yang
tertutupi jubah. Dingin yang mengudara sedikit teratasi dengan sentuhan
hangat yang tidak sengaja mereka bagi. Sakura tampak kebingungan,
lantas melirik ke arah tangan kirinya mendarat. Matanya membelalak.
Cahaya dari api yang berkobar memantulkan warna merah yang mengisi
pipi Sakura dengan penuh.

Sasuke mendengus geli. Dia bertindak seolah-olah tidak ada yang
terjadi.

“Kau kedinginan?” tanyanya.
“Um.” Sakura meneguk ludah. “Sedikit.”
Sasuke menggenggam dan menarik tangan Sakura. Sakura memekik
terkejut. Tangan gadis itu dibawa untuk direntangkan ke depan ke arah
api yang bergoyang. Tepat di saat itu, angin berembus pada mereka,
membawa hawa hangat dari api ke permukaan tubuh mereka. Sakura
berhenti mendesis karena dingin. Sasuke langsung melepaskan tangan
Sakura setelah tangan gadis itu mematung dalam posisi direntangkan ke
depan.
“Lakukan hal yang sama pada tangan kananmu.”

24

Sakura mengangguk dan mengikuti apa kata Sasuke. Wajahnya
masih merona. Dia tahu hangat yang kini menyelubunginya bukan hanya
datang dari api saja, tetapi berkat gejolak darahnya yang disebabkan oleh
Sasuke juga.

“Kau istirahatlah duluan, aku yang akan berjaga.”
Sakura menoleh ke arah Sasuke. Masih dengan wajahnya yang
merah, keningnya mengerut. “Biasanya selama kau sendiri, yang berjaga
siapa?”
“Aku memanggil elang.”
“Kenapa sekarang tidak melakukan itu saja? Kau pasti lelah juga.
Kita sama-sama butuh istirahat yang cukup.” Sakura terdiam. Kepalanya
menganalisis apa yang baru saja dia ucap. Dia mengembuskan napas
panjang. “Maksudku, ini bukan karena aku malas bergantian untuk
berjaga, ya!”
“Aku mengerti, Sakura.”
“Jadi, kenapa?” Sebelah alis Sakura masih naik karena rasa penasaran.
Sasuke menoleh dan memandang tepat lurus ke depan. Matanya
mengamati percikan-percikan api yang membumbung ke langit.
Tangannya dikepal dan dibuka secara berulang. Dia melirik Sakura melalui
ekor matanya. Tatapan gadis itu belum bergeser darinya.
“Karena …” Sasuke menjeda sejenak, “kau butuh dijaga lebih ketat
daripada sekadar oleh seekor elang, meskipun elang terlatih sekalipun.”
Sakura tersedak air liurnya sendiri. Dia terbatuk-batuk, tetapi tidak
cukup lama untuk membuat Sasuke khawatir. Dia menutup hidung dan
mulutnya menggunakan punggung tangan untuk menyembunyikan akibat
dari panas yang membakar pipinya.
“A-aku rasa aku bisa melindungi diriku sendiri,” ucap Sakura.
“Aku tahu. Tapi kau tentu sadar perempuan memiliki risiko yang
lebih tinggi.”

25

“Tapi aku tidak ingin merepotkanmu, Sasuke-kun.”
Sasuke menggeleng. “Aku tidak merasa direpotkan. Aku yang
menawarkanmu untuk ikut, berarti keselamatanmu adalah tanggung
jawabku.” Bahunya mendadak menegang. Lehernya terasa panas dari
dalam setelah sadar akan ucapannya. Suasana mendadak terasa canggung
ketika dia mendapati wajah Sakura yang sempat kembali ke warna
normalnya kini memerah lagi. Keduanya memalsukan sebuah batuk di
waktu yang sama.
Posisi mereka yang saling menatap diputus oleh Sakura. Dia
menunduk, menyembunyikan sebagian wajahnya di balik keras tinggi
jubahnya. Dehaman lepas dari tenggorokannya. Kedua tangannya saling
memijat satu sama lain.
“Aku tetap merasa merepotkan. Dan aku, um, merasa diragukan,
kau tahu?”
Ucapan Sakura mengganggu Sasuke dengan serius. Bahkan sejak
mereka masih berusia dua belas tahun, dia tidak pernah meragukan Sakura.
Semua perlindungan yang dia lakukan pada gadis itu didasarkan oleh sisi
protektif yang selalu menyala setiap kali Sakura dalam bahaya. Sisi itu
seperti insting yang bisa muncul kapan saja tanpa bisa diatur. Baik kepada
Sakura yang sudah sekuat sekarang maupun yang dulu, sisi protektif itu
tetap masih ada.
“Aku tidak meragukanmu,” ucap Sasuke mutlak. Intonasinya keras,
tidak menerima bantahan dari Sakura.
“Kalau begitu, berperilakulah sama seperti saat kau berkelana sendiri.
Ya?”
Sasuke mengembuskan napas panjang. Masih ada sesuatu yang
memberati hatinya. Dia memejamkan mata untuk mempertimbangkan
sampai tiba pada suatu keputusan.
“Baik, kalau memang tindakanku membuatmu merasa begitu.”

26

“Selain itu, kita butuh istirahat yang sama banyak, Sasuke-kun.”
“Hn.”
Sakura mengangguk puas. Dia langsung mencari tanah yang tidak
terlalu lembap untuk menjadi tempatnya berbaring. Tempat yang
dicarinya berjarak dua meter di sebelah dari api unggun, posisinya nyaman
dengan hangat yang menyelubungi. Kepalanya diganjal oleh tas yang
dibawa untuk perbekalan.
Sasuke berbaring tepat di sisi lain setelah dia memanggil dua ekor
elang untuk mengawasi keadaan serta menjaga api agar tidak menjalar ke
mana-mana. Dia mendengar ucapan selamat malam dari Sakura yang
diiringi letupan-letupan dari kayu yang terbakar. Dia menoleh ke arah
Sakura, mendapati gadis itu tengah menatapnya sembari tersenyum.
Sasuke mengangguk.
“Selamat malam, Sakura.”

...

Perjalanan yang dilalui mereka sudah berdurasi selama sembilan hari.
Mereka beberapa kali melewati pedesaan kecil yang didominasi oleh kios-
kios makanan instan atau toko oleh-oleh. Jalan yang mereka ambil
merupakan salah satu jalur utama bagian selatan di Negara Api, sehingga
wajar jika warga sekitar memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan.

Sakura hafal jelas bahwa hanya tinggal beberapa jam lagi mereka
akan tiba di Negara Ombak. Perjalanan yang mereka ambil masih sama
persis dengan yang dilewati delapan tahun yang lalu, meskipun banyak
perubahan menuju modern. Terpaan nostalgia masih terus mendatangi
Sakura di setiap langkah yang mereka ambil. Nostalgia itu dia nikmati
dengan sepenuh hati, terlebih ditemani Sasuke yang tampak tenang tanpa

27

dibakar rasa dendam atas pembantaian klannya dulu. Dadanya terasa
membuncah dalam bentuk yang menyenangkan.

Kecanggungan yang terasa sejak melangkah dari gerbang utama
Konoha telah terkikis habis dalam sembilan hari, kecuali jika datang
pemicu baru. Sasuke dan Sakura bisa sama-sama diam dan sibuk dengan
pikiran masing-masing tanpa merasa canggung. Perasaan itu adalah
sesuatu yang datang ketika seseorang merasa nyaman dengan orang lain
yang ada di sekitarnya; seperti keheningan yang tercipta di dalam rumah
bersama keluarga. Tidak ada anggota keluarga yang merasa salah akan
keheningan itu. Kesadaran itu menyentak dada Sakura dengan guncangan
hebat hingga terkadang dia tersenyum-senyum sendiri setiap kali
mengingatnya.

Perjalanan mereka dipotong makan siang yang dilakukan di salah
satu restoran dalam deretan toko, kios, dan restoran dalam sepanjang jalan
mendekati Negara Ombak. Itu adalah pertama kali dalam sembilan hari
mereka mengonsumsi makanan yang bukan merupakan makanan instan
atau makanan kaleng. Selama makan, Sakura menangkap Sasuke yang
menyisakan potongan-potongan tomat untuk dimakan terakhir. Bibirnya
mengulas senyum karena mau seperti apa pun Sasuke pernah berubah,
beberapa hal tetaplah sama. Itu adalah kebiasaan Sasuke saat mereka
masih sama-sama berstatus genin.

Kunjungan ke restoran itu pun dilakukan sekaligus dengan istirahat
yang mereka butuhkan. Saat makanan sudah benar-benar turun, mereka
mengambil waktu beberapa saat untuk merenggangkan kaki dan
menyandarkan punggung pada kursi yang empuk. Setelah selesai, mereka
melanjutkan perjalanan mereka.

Kekuningan yang cerah mewarnai langit ketika Sasuke
menghentikan langkahnya. Sakura otomatis mengikuti apa yang lelaki itu

28

lakukan. Mereka sama-sama menengadah dan menatap tulisan besar yang
terbentang beberapa meter di atas mereka.

Jembatan Besar Naruto.
Kilasan-kilasan masa lalu dalam bentuk fragmen kenangan
memenuhi kepala mereka berdua. Keduanya memandang satu sama lain
setelah membaca tulisan besar tersebut. Sakura tersenyum dan Sasuke
mengangguk. Mereka sama-sama memahami apa yang dirasakan oleh satu
sama lain dan membaginya melalui satu tatapan.

29

3
Dua Setengah Menit

Keputusan untuk melanjutkan perjalanan telah ditarik karena
mempertimbangkan kencang dan dinginnya angin musim semi yang akan
bertiup melalui jembatan, apalagi angin yang bertiup merupakan angin
laut. Selain itu, menyeberangi jembatan mungkin membutuhkan waktu
semalaman, yang akan membuat mereka kesulitan untuk mencari tempat
beristirahat. Berbaring di atas jembatan luas tentu saja bukanlah suatu
opsi yang tepat.

Suara deburan ombak yang menabrak tebing terdengar dengan
kentara. Matahari yang bersinar dengan terik terasa membakar kulit yang
terbuka meskipun temperatur cenderung hangat. Sakura masih ingat dia
merasa kedinginan beberapa malam yang lalu hingga memiliki keperluan
untuk merapatkan jubahnya. Kini, hangat yang berputar di atmosfer
sekitarnya malah membuat dia ingin menyingsingkan jubahnya agar angin
dapat mengeringkan keringat di tubuhnya.

Sakura membuka jubahnya dan menggantungkannya pada tangan kiri
dengan posisi terlipat menjadi dua. Lehernya terasa lebih dingin ketika
angin bersiul dan membuat sejuk menerpa tubuhnya. Tawa riang anak-
anak kecil terdengar dari sekitarnya selagi Sasuke dan dirinya

30

mengunjungi permukiman kecil untuk mencari penginapan. Layang-
layang terbentang warna-warni bersama awan, memberi kesan ceria yang
lebih kental daripada sebelumnya.

Di perbatasan antarnegara seperti ini, tentu saja tidak sulit untuk
menemukan penginapan. Baru beberapa langkah memasuki permukiman,
plang yang bertuliskan iklan tersedianya kamar sudah terpampang di
depan banyak tempat. Sasuke dan Sakura sepakat mencari penginapan
yang biasa-biasa saja, tidak terlalu mewah, tetapi masih layak. Yang
mereka butuhkan saat ini pun hanyalah tempat untuk beristirahat dan
bukan hal lain.

Penginapan yang memenuhi kualifikasi mereka ditemukan pada
penginapan keempat yang mereka lewati. Penginapan tersebut memiliki
tiga lantai, posisinya tepat membelakangi laut. Resepsionis memberikan
dua buah kunci dengan nomor yang berurutan; 203 dan 204. Sasuke
meminta Sakura memilih kamar mana yang ingin dia tempati. Karena
yakin tidak ada bedanya atas penawaran harga yang sama persis, Sakura
mengambilnya secara acak dan mendapatkan kunci dengan gantungan
angka 204.

Tanpa basa-basi, keduanya segera memasuki kamar yang disewa
masing-masing. Sakura lekas membersihkan diri dan mendesah lega saat
merasakan tetesan air hangat dari shower menyentuh tubuhnya. Dia
mencuci rambutnya yang selama sepuluh hari ke belakang belum
dibersihkan secara optimal. Ini bukanlah hal baru bagi Sakura mengingat
misi-misi panjang yang pernah dia alami dengan darah di rambutnya.
Namun, setiap kali dia memiliki kesempatan untuk membersihkan diri
secara maksimal, dia tetap menikmatinya seperti pertama kalinya.

Usai berpakaian, Sakura menggosok-gosok rambutnya menggunakan
handuk. Tangannya masih terus bergerak selagi dia berjalan menuju
balkon kecil yang dapat digunakan untuk memandangi cakrawala yang

31

dihiasi langit sore. Dia melepas handuk dan melemparkannya ke kursi
terdekat sebelum membuka pintu dan menapak pada balkon.

Angin dari laut bertiup ke wajahnya dan mengibarkan rambutnya
yang masih basah dan belum disisir. Dia memejamkan mata dan
menikmati sejuknya suhu dari sisi laut di sore hari. Tidak ada pantai di
daerah sini; permukiman ini berada di atas tebing. Saat membuka mata,
laut tampak begitu jauh di bawah, tetapi masih terbentang indah dengan
sisi kanan yang terbatasi oleh jembatan.

Ingin melihat pemandangan laut dan burung yang begitu bebas
terbang dengan kelompokya tanpa terblokir jembatan, Sakura menengok
ke sisi kiri. Tepat di saat itu, dia melihat Sasuke baru keluar menuju
balkon dan langsung menoleh ke arahnya. Mata Sakura melotot. Dia
memekik. Rambutnya bahkan belum disisir! Kedua tangannya langsung
memegangi kepala agar kondisi rambutnya tertutupi.

Sasuke menoleh ke belakang, menduga penyebab pekikan Sakura
adalah eksistensi sesuatu yang mengerikan di sana. Tidak ada apa pun
selain deretan balkon kosong dan bentangan biru laut dan gemerlapnya
yang luas. Sasuke mengernyit.

“Ada apa?”
Pipi Sakura memerah. Dia tersenyum lebar sampai deretan giginya
terlihat. Tarikan bibirnya canggung. “Ha-ha. Tidak apa-apa!” tanggapnya
dengan nada melengking yang terdengar aneh. “Sasuke-kun sedang apa?”
“Hanya melihat-lihat.”
“Oh.” Sakura berdiri dengan kikuk. Dia ingin kembali masuk ke
dalam kamar sewanya, menyisir rambut, kemudian kembali lagi, tetapi
takut Sasuke menduga keberadaan lelaki itu di sana membuatnya tidak
nyaman. Dia menggigit bibirnya sendiri. Dengan kedua tangan masih
menutupi rambut, Sakura menoleh ke arah laut yang lurus dengan pintu

32

kamarnya lagi. Dia memejamkan mata erat-erat dan memikirkan suatu
solusi.

“Kau?”
“Eh?” Sakura tersentak mendengar suara Sasuke bersamaan dengan
desau angin. Dia menoleh ke arah Sasuke lagi. “Um, aku juga sedang
melihat-lihat. Pemandangan di sini bagus.”
“Oh.”
Tidak ada satu kata pun yang ditukar di antara mereka lagi. Sasuke
memutar tubuhnya dan kini berposisi membelakangi Sakura. Matanya
tertuju pada kilauan yang dipantulkan oleh lautan. Tatapannya terus
bergeser ke arah kanan dan menemukan dataran yang menjulang ke
laut—sebuah tanjung. Terdapat mercusuar yang berdiri dengan tinggi
beberapa meter dari ujungnya. Pandangannya bergeser pada Sakura yang
tengah menyugar rambutnya yang basah. Meskipun tangannya sibuk,
matanya terfokus pada laut dan tampak terkesima dengan sepenuh hatinya.
Sasuke tersenyum kecil.
“Sakura.”
Fokus Sakura pada laut terputus seketika. Dia menoleh ke arah
Sasuke dengan rasa percaya diri yang membaik karena yakin rambutnya
sudah tidak terlalu kusut.
Detak jantung Sasuke mendadak berdebar lebih kencang. Ada
sebersit rasa menyesal karena telah memanggil Sakura ketika dia sendiri
tidak menduga akan dihampiri keraguan. Namun, karena telanjur,
akhirnya dia menarik napas panjang mencoba mengikis rasa sangsinya.
“Kau …” Sasuke berdeham, “kau bisa melihat laut lebih dekat.”
Sakura tertegun. Dia meneliti wajah dan perangai Sasuke. Lelaki itu
enggan menatap langsung ke wajahnya dan tangannya memegangi pagar
balkon dengan erat. Sakura meneguk ludah dan menyelipkan rambut ke
belakang telinga. Dia memahami maksud kata-kata Sasuke. Dia

33

menggosok hidung dan pipinya yang terasa didesirkan oleh geli karena
panas. Matanya dipalingkan dari Sasuke.

“Aku bisa membawamu ke suatu tempat, kalau kau mau,” ucap
Sasuke lagi.

Masih dengan posisi menunduk dan menyembunyikan wajah di balik
tirai rambut merah mudanya, dia mencuri pandang pada Sasuke melalui
ekor matanya. Bibirnya tidak bisa ditahan untuk menerbitkan senyum.
Butuh pengumpulan keberanian selama beberapa detik bagi Sakura hingga
dia mampu menjawab, “Aku butuh sekitar lima belas menit untuk
bersiap-siap. Tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sakura menghilang dari balkon. Dia
menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya ke sana. Kedua tangannya
diletakkan di depan dada dan terasa detak jantungnya yang menggila.
Sadar akan waktu yang dia janjikan tidak banyak, Sakura buru-buru
mengendalikan diri dan segera bersiap-siap. Kaus dan celana pendek yang
sempat dia pakai diganti dengan kaus hijau muda berlengan panjang
dengan potongan V di lehernya. Celana yang dikenakannya adalah celana
kanvas berwarna putih yang pas membentuk kakinya. Rambutnya segera
dirapikan menggunakan sisir yang sebenarnya. Karena rambutnya masih
basah, dia menolak untuk mengenakan bandonya meskipun itu
merupakan aksesoris khasnya.
Sasuke sudah menanti Sakura sembari menyandar ke dinding sebelah
pintu kamar Sakura. Saat suara pintu yang kenopnya diputar terdengar,
dia langsung menegakkan tubuh dan menoleh. Sakura sudah berdiri di
sana dengan pakaian yang sudah diganti. Sasuke tidak mengganti apa-apa.
Dia masih mengenakan kaus dan celana hitamnya seperti tadi, hanya saja
kini dia kembali memakai jubahnya.

34

Tanpa bertukar kata, Sasuke segera memimpin jalan. Meskipun
hanya Sasuke yang tahu ke mana mereka akan menuju, mereka tetap
berjalan bersisian. Ini bukan pertama kali mereka berjalan bersisian, tetapi
setiap langkah yang dia ambil sekarang terasa kikuk. Jantungnya diserang
pompaan yang begitu kencang hingga dia khawatir Sakura dapat
mendengarnya. Mengingat status Sakura sebagai ninja medis, gadis itu
mungkin saja akan lebih peka. Namun, Sasuke masih berharap tidak.

Tangan Sakura berkali-kali digunakan untuk menangkup wajahnya
sendiri yang terasa panas. Di kepalanya terus-menerus berputar pertanyaan
yang sama: Bolehkah aku menganggap ini sebuah kencan karena Sasuke-kun
mengajakku keluar? Dia ingin menanyakannya langsung kepada Sasuke,
tetapi enggan menjadi gadis agresif seperti dirinya saat masih kecil.
Berkali-kali dia menerapkan pada diri sendiri bahwa dia sudah dewasa, dia
tahu mana yang lebih baik dan mana yang tidak, mana yang akan
sekiranya membuat risi atau tidak, dan semua pengetahuan itu
mengerucut pada suatu kesimpulan; dia memutuskan untuk menyimpan
pertanyaannya pada diri sendiri. Namun, dia ingin mengucapkan sesuatu
untuk mengalihkannya dari debar-debar dan rasa kikuk yang terasa.

“Kita akan ke mana, Sasuke-kun?”
Sasuke menoleh ke arah Sakura sejenak sebelum langsung menatap
lurus lagi. “Lihat saja.”
Sakura mengangguk. Dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk
dikatakan lagi. Yang dilakukannya hanya sibuk dengan pikirannya sendiri,
mencari-cari jawaban dari pertanyaan yang baru dia lempar. Dugaannya
jatuh pada atas jembatan. Selain karena melihat laut dari sana tentu saja
lebih jelas dan lebih dekat, arah yang Sasuke ambil pun tertuju pada
jembatan.
Langkah kaki Sasuke melambat ketika mata Sakura menangkap
sebuah mercusuar yang menjulang tinggi di tengah-tengah sebuah

35

tanjung yang diapit dua buah teluk kecil. Kobaran api bergoyang-goyang
di atasnya. Dugaan Sakura terbukti salah saat Sasuke berjalan lebih dulu
dan berbelok ke arah tanjung tersebut.

Mata Sakura melebar karena pada setiap langkah yang dia ambil di
atas tanjung, pemandangan tampak semakin indah. Jingga di langit yang
semakin pekat terpantul pada permukaan laut yang bergelombang.
Embusan angin meniup rambutnya semakin liar. Sakura menyelipkannya
ke belakang telinga berkali-kali, tapi lepas dan lepas lagi sampai dia
memutuskan untuk mengabaikannya saja.

“Di sini,” ucap Sasuke setelah mereka terus berjalan ke ujung tanjung
dan mendekati mercusuar.

Langkah Sakura otomatis bergerak lebih cepat dan mendahului
Sasuke. Ada sebuah bangku panjang berbahan dasar kayu yang berada
kurang lebih dua meter dari perbatasan daratan dan lautan. Sakura
merentangkan tangan dan menarik napas panjang-panjang. Matanya
tertutup, kepalanya mendongak. Setiap tiupan angin yang lewat
dinikmatinya dengan sepenuh hati. Dia membuka matanya lagi untuk
kembali menyerap pemandangan secara visual yang terpampang di
hadapannya. Perbatasan daratan dan lautan itu dipagari oleh kayu yang
disambung tali dalam jarak setiap satu meter. Tangannya mengusap
punggung bangku sebelum lekas mendudukinya. Senyum Sakura
mengembang lebar saat Sasuke menyusul duduk di sampingnya.

Suara koakan burung dan deburan air laut memecah keheningan di
antara mereka. Permukaan air laut sama sekali tak tenang, sebagaimana
lumrahnya, bergoyang-goyang karena tiupan angin. Hati Sakura
menghangat setelah memproses segala hal yang dialaminya saat ini.
Uchiha Sasuke, lelaki yang dicintainya sejak kecil, baru saja membawanya
untuk menikmati salah satu pemandangan paling indah yang pernah dia
lihat seumur hidup. Jika diizinkan, dia benar-benar akan menganggap ini

36

sebagai kencan. Tanpa adanya instruksi untuk otak, Sakura yakin saat ini
adalah kenangan yang akan dia ingat selamanya.

“Terima kasih sudah mengajakku ke sini. Aku suka sekali.”
“Hn.”
Wajah Sakura berseri-seri. Sasuke merasakan gelitikan di sudut
bibirnya.
“Dari mana kau tahu tempat ini? Apakah kau masih ingat soal
tempat ini karena sharingan?”
“Tidak. Aku melihatnya saat di balkon tadi.”
Deretan gigi Sakura terpamerkan dalam bentuk senyum. Dia terkikik
geli karena rasa senang.
“Tempat ini menakjubkan,” kata Sakura sungguh-sungguh.
“Seberapa sering kau menemukan pemandangan indah seperti ini, Sasuke-
kun? Atau bahkan ini belum apa-apa?”
Sasuke menyeringai. “Ini belum apa-apa.”
Sakura merentangkan tangannya ke atas. “Aku harap aku bisa
melihat apa yang kaulihat.”
“Tapi kita mengambil jalur yang berbeda.”
“Ah, kau benar.” Sakura menoleh ke arah Sasuke. Raut kekecewaan
tidak ada di wajahnya. Dia tetap ceria. “Tapi aku yakin masih ada hal yang
lebih bagus daripada yang sudah kau lihat. Iya ‘kan, Sasuke-kun?”
“Aa.”
Sakura menengadah saat mendengar koakan burung yang begitu
dekat. Kelompok burung yang membentuk formasi terbang tepat di
atasnya. Tiba-tiba angin bertiup begitu kencang dari belakang. Dia refleks
menoleh ke sumber angin berembus sembari menyipitkan mata agar tidak
kelilipan. Keningnya mengernyit saat melihat gumpalan awan hitam yang
bergerak mendekati langit yang berada di atas kepala mereka.

37

Melihat Sakura, Sasuke mengikuti arah pandang Sakura. Dia
mendesah pelan.

Tidak sampai satu menit, hujan mulai mengguyur daratan di
belakang mereka. Angin membawa awan dan tetesan air ke arah mereka.
Sakura menekuk wajahnya.

“Tidak mungkin,” keluhnya. “Kita baru di sini berapa lama? Dua
setengah menit?!”

Sasuke tidak menjawab. Dia buru-buru berdiri dan menaungi mereka
berdua di bawah jubahnya yang lebar.

Dengan wajah yang masih masam, Sakura berjalan mengikuti Sasuke
dalam diam. Langkah mereka sedikit terburu-buru. Mereka berhenti saat
menemukan sebuah toko dengan kanopi panjang di luarnya. Tempat itu
menjadi lokasi yang dipilih untuk berteduh.

Sakura masih cemberut, dan Sasuke menyadarinya. Setelah jubahnya
diturunkan dari atas kepala Sakura, dia menyenggol lengan gadis itu
menggunakan siku. Murung di wajahnya memias sedikit saat menatapnya
karena senyum kecil yang dipamerkan untuknya. Ekspresi wajah Sasuke
melembut.

“Masih ada lain kali.”
Senyum lebar terbentuk di wajah Sakura. Hidungnya mengeluarkan
dengusan bahagia. Dia mengangguk meskipun rasa jengkel masih
bermuara di dadanya.
“Ya. Masih ada lain kali.”

38

4
Berkembang

Perubahan drastis adalah deskripsi singkat yang paling tepat untuk
menjelaskan kondisi Negara Ombak saat ini jika dibandingkan dengan
delapan tahun yang lalu. Bangunan-bangunan berbentuk lebih modern
terutama bagi bangunan yang digunakan sebagai bisnis. Memang pada
umumnya perkembangannya tidak jauh berbeda dengan kondisi
bangunan-bangunan di Konoha setelah serangan Pain usai, tetapi kesan
asing tetap melanda Sasuke dan Sakura yang terakhir datang ke sini
bertahun-tahun yang lalu.

Mereka selesai menjejaki jembatan dan tiba di daratan tepat di sore
hari ketika udara begitu sejuk untuk menjadi atmosfer anak-anak bermain.
Kemudahan mobilisasi yang ingin dicapai warga Negara Ombak terbukti
telah tercapai melihat arus perdagangan yang begitu ramai terpampang di
hadapan mereka. Para pekerja yang sibuk beberapa kali meneriaki kegiatan
anak-anak yang mengusik pekerjaan mereka dan meminta anak-anak
tersebut untuk bermain di tempat yang tidak sibuk.

Satu anak berambut cokelat menjulurkan lidah pada paman yang
baru saja memarahinya dan melempar bola di tangannya dengan
sembarangan. Bola itu meluncur ke kepala Sasuke, dan lelaki itu

39

menangkapnya dengan tangkas. Berbeda dengan sikapnya pada paman
pekerja, anak kecil tersebut melebarkan mata dan setiap langkah yang
diambilnya diiringi dengan getaran tubuh.

Sakura menetap di tempatnya berdiri sementara Sasuke berjalan
mengikis jarak dengan anak yang melempar bola tadi. Anak itu masih
tampak takut dan mukanya kecut menahan tangis. Sakura baru saja mau
maju untuk menenangkan anak itu, tetapi Sasuke sudah berlutut
menyamai tinggi badannya dengan anak itu. Dia menjulurkan tangannya.

“Bolamu,” ucap Sasuke. Tidak ada nada dingin menusuk yang biasa
lepas ketika Sasuke merasa terganggu.

Anak yang Sakura perkirakan berumur sekitar delapan tahun itu
mengulurkan tangannya ragu-ragu dan akhirnya mengambil bolanya.
Tangan Sasuke tertuju pada bahu bocah itu dan menepuknya. Sakura
tidak dapat melihat bagaimana ekspresi wajah Sasuke, tetapi dia bisa
mendengar apa yang lelaki itu katakan.

“Lain kali hati-hati. Mainlah di tempat yang aman.”
Ada satu hal yang benar-benar Sakura yakini semenjak angkat kaki
dari Konoha. Dia tahu Sasuke sudah menjadi pribadi yang lebih baik
ketika pulang ke Konoha. Lelaki itu bukan lagi sosok yang sepenuhnya
egois dan tidak peduli pada lingkungan sekitar. Sifat angkuh yang Sakura
pikir sudah mendarah daging ternyata mulai berkurang seiring waktu. Dia
semakin terasa seperti manusia yang benar-benar memijak bumi; bukan
lagi sosok yang tak tahu apa yang diinjak kakinya karena terlalu gelap
untuk melihat.
Tepat di detik ini, dia melihat lebih jauh lagi seberapa besar Sasuke
sudah berubah. Sakura tak akan pernah lupa betapa terkesimanya dia saat
ini. Hangat di dadanya yang membara saat melihat mimik muka yang
teduh ketika Sasuke membalikkan tubuh ke arahnya dan berjalan dengan

40

santai tanpa beban karena gangguan. Dia tak pernah merasa Sasuke begitu
dekat, lebih mudah diraih, sampai hari ini.

Bahkan pada Sasuke yang berdarah dingin dan seakan-akan tak
memiliki emosi selain kebencian pun Sakura tak pernah bisa
mengenyahkan cintanya. Kemudian kini, tanpa disadari, Sakura semakin
jatuh hati pada lelaki yang kini berdiri bersebelahan dengannya dan
memintanya untuk berjalan beriringan dengan sebuah tatapan. Hal
tersebut membuat dadanya berdebar-debar bukan dengan tempo yang
menyakitkan, melainkan dengan tempo yang mendorongnya untuk
tersenyum dan memerahkan wajahnya.

Sakura tersentak saat Sasuke tiba-tiba menempelkan telapak tangan
pada keningnya. Sasuke langsung menarik tangannya ke sisi tubuh dan
berdeham.

“Wajahmu merah. Kupikir kau demam.”
Mendengar perkataan Sasuke, panas yang membakar wajahnya
semakin tinggi, bahkan terasa sampai ke telinganya. Sakura ingin
memejamkan mata karena malu, tetapi perangai itu justru akan
menunjukkan dengan jelas pada Sasuke bahwa dia malu. Dia tidak ingin
hal itu terjadi.
Sebisa mungkin bertindak tampak tenang, Sakura menyelipkan
rambutnya ke belakang telinga. Kerongkongannya dibersihkan. Tubuhnya
tegak. “Uhm. Kurasa karena udaranya dingin, jadi darahku mengalir ke
wajah dan membuatnya tampak merah.” Wajah Sakura serius seolah-olah
sedang menyampaikan materi pada seseorang yang menjadi tanggung
jawabnya. Di balik itu, dadanya diganggu oleh detak jantung yang keras.
Sakura tahu Sasuke genius, tetapi dia harap itu tidak berlaku di
pengetahuannya soal medis. Apalagi jika mengingat lelaki itu memang
tidak pernah menenggelamkan dirinya pada materi medis. Sakura terus

41

meneliti wajah Sasuke dan menilai ekspresinya. Tidak ada raut
kebingungan atau apa pun yang menunjukkan bahwa dia merasa dibodohi.

“Oh.”
Jika dia tidak sedang bersandiwara, Sakura akan mengembuskan
napas lega sepanjang-panjangnya.
“Kita perlu mencari penginapan lagi di sini.”
“Oke!” Tanggapan Sakura lepas dengan semangat yang berlebihan
karena masih dipacu oleh rasa lega.
Perjalanan yang ditunda oleh tindakan mengejutkan Sasuke tadi kini
berlanjut. Di jalan utama, beberapa orang yang memanggul tumpukan
kayu di pundak berlalu-lalang. Mengingat pembangunan Konoha yang
sempat dibantu oleh warga Negara Ombak termasuk Tazuna-jisan dan
Inari, ini adalah hal yang lazim. Banyak pekerja bangunan yang berada di
sini dan jembatan yang berhasil dibangun mempermudah mobilisasi
mereka menuju Negara Api.
Di tengah-tengah langkah yang santai, Sasuke tiba-tiba
merangkulnya dan mendorongnya ke bawah untuk menunduk. Sakura
membelalak. Saat dia melirik ke atas kepalanya, Sasuke tengah menahan
tumpukan kayu yang nyaris membentur kepalanya. Sakura lekas
memajukan tubuhnya agar terbebas dari posisi tidak nyaman yang nyaris
mencelakainya. Dia semakin terkejut ketika sadar sharingan Sasuke sudah
aktif.
“Hei, hati-hati!” seru Sasuke sengit. Dia melepas tumpukan kayu itu
ketika sang pemanggul menggerakkannya menjauh.
Tumpukan kayu itu diletakkan di atas tanah sebelum orang itu
membalik tubuh dan membungkuk. “Maaf. Maafkan aku. Aku tidak
sengaja,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Sasuke mengembuskan napas panjang. Dia melirik ke arah Sakura
karena gadis itulah yang berhak menerima permintaan maaf itu atau tidak.

42


Click to View FlipBook Version