The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

lain kali.’ Itu kata-kata terakhirnya sebelum dia dihidupkan lagi
menggunakan edo tensei dan mengucapkan kata-kata terakhirnya yang
kedua padaku. ‘Apa pun keputusanmu, aku akan selalu menyayangimu.
Kau tidak perlu memaafkanku.’” Dia menoleh ke arah Sakura dan
tersenyum tipis. Lara masih hidup di matanya. “Itu artinya, Sakura.”

Lutut Sakura melemas. Air mata sudah mengalir di pipinya tanpa
bisa ditahan. Dia menarik Sasuke ke dalam pelukannya dan lelaki itu
langsung balas mendekapnya dengan erat. Kepalanya ditempelkan pada
bahu Sakura. Dia dapat merasakan embusan napas Sasuke yang memberat.
Sakura memejamkan matanya dengan erat. Air mata masih terus turun.

Perlahan-lahan, posisi mereka berubah menjadi duduk. Pelukan di
antara mereka belum lepas. Kabut di mata Sakura belum hilang. Dia tidak
tahu harus mengatakan apa selain memberikan kenyamanan bagi Sasuke
dalam bentuk pelukan. Dia tidak menghentikannya sampai Sasuke yang
menarik dirinya sendiri.

Tangan Sasuke memegang pipinya dan menghapus air matanya.
Sasuke menatapnya dalam-dalam; dia sudah tampak lebih baik sekarang.
Walaupun masih tampak sedih, Sasuke sudah tidak pucat dan napasnya
tampak normal. Dia menarik tangannya dan mengepalnya di atas paha.

“Dan jawaban untuk pertanyaan yang belum kutanggapi dengan
lengkap,” Sasuke membuka suara saat tangis Sakura sudah sepenuhnya
berhenti. “Itachi membantai klanku demi kedamaian Konoha. Uchiha
memiliki rencana untuk melakukan kudeta karena merasa didiskriminasi
oleh Konoha. Konoha curiga serangan Kyuubi sekitar dua puluh tahun
lalu itu didalangi oleh Uchiha yang berada di Konoha, itulah sebabnya
kami dikucilkan dan disudutkan dalam satu tempat. Konoha tidak adil
pada klanku. Kedamaian Konoha sekarang terjadi di atas tumpah darah
seluruh klanku yang dilakukan oleh Itachi yang ingin menghindari perang
saudara atas perintah dari petinggi Konoha.”

243

Tubuh Sakura gemetar. Dia memegangi kepalanya sendiri karena
kewalahan. Segala emosi bercampur aduk di dalam dadanya. Napasnya
sesak. Kerongkongannya terasa tersumbat. Membayangkan rasa sakit yang
dialami Sasuke adalah yang menyebabkan semua itu terjadi. Apalagi bagi
Sasuke yang mengelami semuanya sendiri? Matanya sudah basah lagi.
“Kenapa dunia begitu keji …. Kenapa untuk mencapai suatu kedamaian
harus ada pengorbanan dalam bentuk tumpah darah …. Aku tidak
mengerti ….”

“Aku juga tidak mengerti,” tanggap Sasuke. Dia dapat mendengar
kegetiran di ucapannya sendiri. “Itachi memilih kedamaian Konoha, maka
aku tidak akan membuat pengorbanannya menjadi sia-sia. Namun, itu
tidak menghilangkan rasa sakitku yang kehilangan klanku, keluargaku.
Sampai saat ini masih sulit bagiku untuk merasa nyaman saat menetap di
Konoha. Aku butuh waktu.”

Sakura mengangguk. Dia kembali memeluk Sasuke lagi. “Semua ini
pasti sulit dan berat untukmu, Sasuke-kun.” Matanya terpejam erat-erat.
“Terima kasih sudah bertahan sampai saat ini. Kau harus ingat bahwa kau
pun berhak bahagia.”

“Aku sudah merasa lebih baik, tapi aku butuh waktu.”
“Ambillah sebanyak yang kaubutuhkan. Dan aku akan selalu ada
untukmu. Kau tidak sendiri.”
“Aku tahu.” Sasuke menarik diri dan menghapus air mata Sakura
lagi. “Kau tidak perlu menangis.”
Sakura lekas menghapus basah yang baru muncul lagi. Dia
menggeleng.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras tanpa ada aba-aba. Mereka
menetap di sana. Sasuke menunduk lama lantas mengangkat dagunya.

244

Di balik buyarnya pandangan Sakura karena air hujan, dia melihat
air mengalir dari sudut mata Sasuke. Dia tak tahu itu adalah air hujan atau
air matanya sendiri.

245

22
Permintaan Seumur Hidup

Sakura baru saja selesai mengumpulkan pakaian kotornya yang
direncanakan akan dicuci besok pagi. Dia bergabung dengan Sasuke di
atas tempat tidur setelah mematikan lampu kamar yang disewa mereka.
Lampu tidur dengan cahaya kuning dari atas nakas masih menyala. Sakura
menyandarkan kepalanya pada dada Sasuke dan menyamankan dirinya di
tengah-tengah situasi yang sudah menyokong ketenteraman ini.

Dalam sepi, satu pertanyaan yang belum pernah dia suarakan
kembali melintas di kepalanya. Langkah mereka sudah sejauh ini, tetapi
dia masih belum tahu apa alasan Sasuke mengajak. Dia memanggil nama
Sasuke dan menarik diri sampai wajah mereka bertatapan. Sasuke
menatapnya dengan pandangan menanti.

“Sebenarnya kenapa kau mengajakku ikut denganmu?”
Sasuke terdiam. Pegangannya pada bahu Sakura sempat lepas.
Tangannya kembali memegangi bahu Sakura lagi dalam waktu dekat.
“Aku merasa masih sering salah dalam memandang dan menilai sesuatu,
sementara kemampuan analisismu sangatlah baik.”
Kening Sakura mengerut. “Hm?”

246

“Aku ingin tahu cara kau melihat apa yang aku lihat. Aku ingin
tahu bagaimana pandanganmu, terlepas dari pola pikirku sendiri.” Sasuke
menjeda cukup lama. “Dan aku ingin kau ada di sisiku.”

Senyum terbentuk di bibir Sakura. “Apakah ada alasan semacam
karena kau merasa bersalah?”

“Ada.”
“Sekarang kau masih merasa begitu?”
“Tidak.”
“Bagus. Karena itu adalah hal terakhir yang aku harapkan dari
alasanmu mengajakku ikut bersamamu.” Sakura mengembuskan napas
panjang. Wajahnya sungguh-sungguh menampilkan kelegaan. “Dan
apakah kau mendapatkannya dariku?”
“Ya. Kau memandang segalanya dengan cara yang lebih murni.”
Sasuke menyeringai kecil. “Tapi kadang-kadang lebih emosi.”
Sakura mendengus geli. “Lebih emosi. Baik.”
“Bersamamu, perjalanan ini terasa lebih berfaedah.”
“Hm?”
“Aku rasa aku tidak perlu menjelaskan yang satu itu. Kau pintar,
bukan?”
Kali ini tawa Sakura benar-benar lepas, bukan hanya tertahan oleh
dengusan. Tiba-tiba wajahnya tampak masam. Dia menggigit bibirnya.
“Apakah kau pernah menyesal mengajakku ikut?”
“Tidak.”
Embusan napas lega terlepas dari hidung Sakura. Dia
menenggelamkan wajah ke dada Sasuke. Sebelah tangannya bergerak
untuk memeluk Sasuke erat-erat. “Aku senang bisa selalu ada di sisimu.”
“Hn.” Sasuke sama-sama mengeratkan pegangannya pada bahu
Sakura untuk mendekapnya. “Tidurlah.”

247

Sakura mengecup pipi Sasuke. “Selamat malam.” Kemudian dia
menyandar kembali pada dada kekasihnya, dan memejamkan kedua
matanya.

Sasuke mengusap rambut Sakura perlahan. “Selamat malam,
Sakura.” Kedua matanya masih terbuka lebar, menerawang ke arah langit-
langit. Helaian rambut Sakura menempel di bibirnya, tapi dia tak
keberatan.

Sasuke sadar bahwa hidupnya terasa lebih baik dengan adanya
Sakura di sisinya.

Dia pernah hidup hanya dalam hitam dan putih, dalam gejolak
emosi negatif, dalam sebuah pencarian tanpa arti, dalam sebuah pelayaran
panjang, dalam putaran-putaran tanpa ujung, dan dalam segala
keabstrakan serta kenelangsaan. Semua itu bergaris akhir pada Sakura.
Sakura memberi warna, kebahagiaan, arti, dan tujuan dalam hidupnya,
serta hal-hal yang ingin dia rasakan sampai napasnya yang terakhir.

Ada perasaan lega yang tidak bisa dia pahami setelah menceritakan
problema klannya pada Sakura. Ada desiran hangat ketika dia membagi
tanda afeksinya dari Itachi kepada Sakura dan memaparkan artinya. Ada
kesepian yang terusir dan rasa betapa benarnya apa yang dia lihat ketika
Sakura mengenakan kaus bersimbol klan Uchiha miliknya. Garis-garis itu
terbentang dan bertemu di satu titik yang membuat Sasuke
menyimpulkan satu hal: dia ingin bersama Sakura sampai akhir hayatnya.

Sakura adalah satu-satunya gadis yang paling memahami dirinya dan
yang bisa menyeimbangkan sikapnya. Entah sejak kapan dia menganggap
bahwa Sakura begitu berharga baginya. Lebih dari sekadar berharga,
bahkan merupakan rumahnya. Satu-satunya tempatnya pulang.

Tanpa tempat menetap, tanpa atap dan dinding-dinding yang
menjulang, dia sudah beranggapan bahwa dirinya punya rumah sekarang.
Rumah yang memiliki definisi yang jauh lebih berarti dari sekadar tempat

248

tinggal. Namun, hal ini dapat dikatakan masih bersifat interem. Yang
harus dia lakukan agar rumah itu selalu ada untuknya adalah dengan cara
membuatnya menjadi permanen.

Sasuke menggeser tubuhnya ke bawah hingga wajahnya dan wajah
Sakura berada di dalam satu garis lurus. Kedua mata Sakura sudah
terpejam. Sasuke mengusap pipi Sakura dengan lembut, mengenyahkan
rambut-rambut yang menempel di wajah, kemudian menyapu dahi Sakura
menggunakan ibu jari. Sentuhan yang dia lakukan selalu lembut dan
penuh dengan kasih sayang.

Sasuke hanya mencintai gadis ini dengan begitu besar, sampai tak
satu detik pun dia lewati untuk terus berusaha tak menyakitinya lagi.
Penyesalan atas bekas luka yang dia tinggalkan pada Sakura pun masih
terus ada. Gadis ini terlalu berharga baginya. Dia tak punya siapa-siapa lagi
selain Sakura.

Dikecupnya pipi, dahi, ujung hidung, dan kening Sakura. Kecupan
terakhir di kedua kelopak mata membuat gadis itu membuka matanya
secara perlahan. Kemudian Sakura tersenyum manis. “Sasuke-kun, kenapa
belum tidur?” Senyuman berubah menjadi raut khawatir. “Apakah kau
bermimpi buruk?” tanyanya dengan suara lembut.

Tak menjawab, Sasuke justru menekan bibirnya pada bibir Sakura.
Dia menciumnya dalam, dengan tangan yang mengusap tengkuk dan jari
telunjuk yang memelintir rambut yang tumbuh di sana. Ciumannya
lembut, penuh kasih sayang, mesra, dan bukan semata-mata pelampiasan
nafsu. Dari setiap lumatan bibir yang Sasuke berikan berarti setiap
perasaan cinta yang jarang diungkap dengan kata.

Sakura meleleh dalam ciumannya. Dia tak ingat kapan terakhir
Sasuke menciumnya sedalam ini karena lelaki itu bukanlah seseorang yang
melakukan sesuatu dengan sembarangan. Dia bisa merasakan apa yang
Sasuke rasakan saat ini jika dilihat dari kelembutannya. Ini memang

249

bukanlah ciuman pertamanya dengan Sasuke, tapi setiap sentuhan yang
terjadi selalu terasa spesial dan berbeda. Bukan yang pertama, tapi
perasaan yang membuncah di perutnya pastilah sebuah emosi baru yang
menjadi fondasi dari euforia.

Sasuke melepas tautan bibir keduanya dan menarik diri. Tatapannya
bertumbukkan dengan sorot mata Sakura. Pandangan gadis itu kuyu,
menampakkan seseorang yang tengah mengantuk. “Aku
membangunkanmu?”

Sakura menggeleng. “Aku belum benar-benar tidur sedari tadi.”
Telapak tangannya ditempelkan ke pipi Sasuke. Dia mengerti, ada yang
mau lelaki itu katakan padanya jika dilihat dari sorot mata yang terpantul
oleh cahaya temaram dari lampu tidur. “Ada apa?”

Helaan napas panjang dilakukan oleh Sasuke. Sangat kentara hingga
Sakura menyadarinya. Sasuke tampak seperti tengah mencari keberanian
untuk mengucap sesuatu. “Aku akan menyusul Naruto,” ungkapnya.
Tangannya memegang tangan kiri Sakura yang menempel di pipinya.

“Hm? Menyusul apa?” Rasa heran meliputi Sakura. Dia
memejamkan mata sejenak dan membayangkan apa yang Sasuke maksud.
Jawaban yang diberikan otaknya adalah nihil. Rasa-rasanya kedua rekan
satu timnya itu sudah setara sekarang. “Kalian sudah sama-sama kuat.”

Sasuke terdiam sejenak. Otot yang melekat di tulang rusuknya naik
dan turun, menampung detakan jantung yang begitu cepat serta tarikan
dan embusan napas yang sebisa mungkin masih dibuat teratur. “Dia sudah
menikah.”

Mulut Sakura menganga. “Apa maksudmu ...?” Dia
menggantungkan suaranya di udara, terlalu gugup untuk melanjutkan
asumsinya. Darah di balik kulitnya mengalir dengan deras hingga dia
yakin jika di sini tak ada suara lain sama sekali, dia akan bisa mendengar
desirannya.

250

Sasuke menarik tangan Sakura dan mengecup buku-buku jarinya
dengan lembut. Sakura terdiam, terbuai oleh sentuhan-sentuhan lembut
dari Sasuke sekaligus berdebar-debar ketika berhipotesis mengenai
maksud dari kata-katanya tadi.

“Sakura, menikahlah denganku.”
Debaran jantung Sasuke meningkat dengan begitu pesat. Dia tidak
tahu yang dirinya lakukan sekarang merupakan hal benar atau justru
sebaliknya. Tak ada pertimbangan atas apa yang dikatakannya sama sekali.
Sasuke memang ingin menikahi Sakura. Niatan ini sudah ada sejak lama
dan sudah dia pikirkan secara baik-baik. Namun, yang dilakukannya
sekarang sama sekali terlepas dari apa yang disebut rencana. Ini merupakan
sebuah spontanitas yang terbentuk dari rasa nyaman akan keberadaan
Sakura di sisinya—yang telah mengembalikan definisi rumah yang sudah
sangat lama hilang dari benaknya—akhirnya mencapai titik paling
maksimal.
Kegugupan menjalari sekujur tubuh Sasuke. Meski dia tahu Sakura
mencintainya, tapi dia tak yakin bahwa gadis itu mau menjalin komitmen
seserius pernikahan dengannya. Sasuke ragu Sakura mau turut
menyandang nama Uchiha yang sesungguhnya dia banggakan tetapi
memiliki banyak kutukan. Sasuke takut Sakura berpikir ini merupakan
sebuah kesalahan, karena terlalu cepat atau apa pun. Sasuke khawatir
Sakura tak cukup percaya padanya untuk dijadikan seorang suami.
Sakura merasa jantungnya berhenti berdetak dan waktu berhenti
berputar. Ucapan terakhir Sasuke terus terulang di dalam kepalanya. Dia
masih tercengang. Mulutnya terbuka, tetapi tak ada sepatah kata pun yang
menjadi suara.
Sakura menatap Sasuke tepat di mata, dan menyibak rambut
hitamnya ke belakang agar penglihatannya lebih jelas. Dalam hati, dia
bersyukur Sasuke belum mematikan lampu tidur sehingga dia masih bisa

251

melihat raut wajah Sasuke dari pantulan cahaya minim berwarna kuning
dan Sasuke pun bisa melihat mimik mukanya dengan jelas. Bibir Sakura
melengkungkan sebuah senyum lebar.

“Sasuke-kun …” Ujung jemari Sakura mengusap pipi Sasuke
perlahan. “Kau melamarku.” Kesadaran itu semakin menimbulkan gejolak
di dalam dirinya setelah dia mengucapnya secara verbal. Tawa terselip dari
celah bibirnya. “Kau melamarku!” Tawanya semakin keras dan dibersamai
oleh mata yang membasah. “Aku ... aku tidak tahu apakah ada kata lain
yang bisa mendeskripsikan perasaanku saat ini selain bahagia. Jika ada kata
yang mewakilkan perasaan lebih dari bahagia, maka aku merasakan hal
tersebut saat ini juga.”

Tubuh Sasuke condong ke belakang ketika Sakura menerjang dan
memeluknya erat. Hangat dari karbon dioksida yang melesat dari mulut
Sakura ketika gadis itu tertawa masih terus menguapi lehernya. Samar-
samar Sasuke mendengar isakan-isakan, kemudian disusul oleh kulitnya
yang merasakan tetesan air tak wajar. Sasuke tak yakin Sakura sedang
menangis atau tertawa saat ini, atau malah keduanya.

Sakura tahu Sasuke tidak main-main. Kurang lebih delapan bulan
hidup beriringan dengannya membuat Sakura paham bahwa Sasuke adalah
seseorang yang sering memberi tanda afeksi padanya ketika ada sebuah
perasaan emosional yang menekan batinnya. Terlepas dari itu, Sasuke
paling-paling hanya memeluknya di malam hari. Lelaki itu bukanlah
seseorang yang asal sosor. Maka, ciuman-ciuman lembut yang dihujani ke
wajahnya dan diakhiri oleh pagutan mesra di bibirnya pasti didasari
buncahan emosi yang bergelembung dalam perutnya. Sakura sangat ingin
tahu emosi seperti apa yang Sasuke rasakan saat itu. Kalaupun dia tak bisa
tahu, untuk membayangkannya saja sudah cukup untuk mengalirkan air
mata bahagia di pipinya.

252

Kebahagiaan Sakura sama sekali tak bisa dideskripsikan dalam kata-
kata. Segala energi positif seolah-olah teraduk di dalam perutnya hingga
melebur bersamaan. Hal tersebut membuatnya bingung harus
mengekspresikan perasaannya seperti apa, sampai-sampai tawa dan
tangisnya terkontaminasi menjadi satu.

“Kau melamarku, Sasuke-kun.” Sakura membekap mulutnya,
berusaha agar tidak terdengar kekanakan. Dia memejamkan matanya erat-
erat. “Kau melamarku.”

Sasuke masih kehilangan kata-katanya. Debaran kencang dari
jantung Sakura terasa begitu pekat di dadanya. Bahunya semakin
membasah dihujani air mata yang meluncur mengikuti gravitasi
bersamaan dengan tawa Sakura. Kebahagiaan gadis itu seakan-akan
menyerap melalui pori-pori di sekujur tubuhnya.

Kini dia semakin yakin bahwa cinta Sakura merupakan cinta yang
begitu tulus, terbukti dari caranya menerima segala hal yang Sasuke
berikan dengan tangan terbuka, tanpa adanya keluhan atau penolakan.

Tangan Sasuke merambat ke punggung Sakura dan menarik gadis
itu merapat. Senyum tipis terlukis di wajahnya. Butuh segenap kekuatan
untuk saling memisahkan diri dari pelukan. Telapak tangan Sasuke
memegangi pipi Sakura.

Sakura bisa merasakan gemetar dari tangan yang ada di pipinya. Dia
membayangkan seberapa besar pertarungan Sasuke dengan kegugupannya
hingga akhirnya berhasil melamarnya, tetapi ternyata kegugupan itu masih
ada jika dirasa dari sentuhannya.

Kedua pasang mata itu saling bersirobok. Sakura sudah sering
menatap kedua netra berbeda warna tersebut melembut ketika
bertumbukkan dengan miliknya. Namun, kelembutan kali ini adalah level
baru yang pernah dia lihat. Apalagi tukikan bibir yang jauh lebih dalam
dari segala senyum yang terekam di dalam benaknya. Segala hal tersebut

253

membuat Sakura semakin yakin bahwa tak ada permainan dari permintaan
Sasuke, dan lelaki itu bersungguh-sungguh, serta memintanya dengan
sepenuh hati.

“Apakah kau menyetujuinya?” tutur Sasuke dengan napas tertahan.
Sakura menggigit bibir untuk menahan tawa lain. “Kau serius
bertanya lagi? Apa kau tidak lihat sebahagia apa aku sekarang?”
Sasuke mengangguk. Dia perlu mendengar jawaban Sakura.
Jawaban yang suatu hari nanti akan menjadi pengingatnya akan malam ini,
malam di saat dia melamarnya. Hal itu akan mengingatkan tentang ikatan
mereka yang lebih erat daripada sebelumnya, serta agar otaknya bisa
memutar memori berupa audiovisual, sebagai sebuah ingatan yang paling
utuh. Bagaimana ekspresi Sakura saat dia melamarnya, bagaimana suara
dan kata-kata Sakura saat menjawabnya. Dia butuh hal-hal tersebut di
dalam kotak memorinya.
“Jawablah secara verbal,” pinta Sasuke. Ibu jarinya mengusap bagian
wajah di bawah mata Sakura.
Sakura terkikik, sisa-sisa dari tawa kencangnya tadi. Dia memegang
tangan Sasuke dan menariknya ke bawah, kemudian menggenggamnya
erat-erat. Kehangatan menggumpal di dada Sakura ketika genggaman itu
terasa begitu utuh. Dia sudah beberapa kali merasakan bahwa tautan
tangan Sasuke dan miliknya begitu pas, layaknya memang diciptakan
untuk satu sama lain. Dalam keadaan seperti ini, saat Sasuke meminta
jawaban atas lamaran terhadap dirinya, jemari-jemari lelaki itu yang terkait
di ruas-ruas milik Sakura seolah ditegaskan memang telah diciptakan
untuk satu sama lain.
“Menjadi istri dari seseorang yang kucintai selalu ada di dalam
angan-anganku.” Air mata masih tak henti-hentinya menetes dari sudut
matanya, tetapi tawa kecil tak pernah lupa untuk menemani. “Uchiha
Sasuke, aku mau menikah denganmu,” ujar Sakura sembari menahan

254

pekikan, intonasi yang mengingatkan Sasuke pada cara gadis itu bicara
saat masih berusia dua belas.

Sakura tak punya jawaban lain. Terlepas dari rasa cintanya yang
begitu mendalam pada lelaki ini, dia pun memercayai Sasuke. Percaya
untuk dijadikan pendamping hidup untuk selamanya, percaya akan selalu
menjaga hatinya, percaya tak akan pernah mengulangi apa yang terjadi di
masa lampau, segalanya. Meski Sasuke tak pernah mengucap semua itu
dengan bibirnya, tetapi Sakura paham. Sakura mengerti.

“Terima kasih,” bisik Sasuke sembari mengecup dahi Sakura tepat
di tanda wajiknya. Gadis itu bisa merasakan senyuman dari bibir yang
menempel di keningnya.

255

23
Dua Keluarga

Sakura selalu menikmati setiap detik yang dilaluinya ketika
memperhatikan Sasuke melakukan latihan. Dari banyak aspek yang ada
pada diri Sasuke setiap kali lelaki itu melatih diri, kegigihannyalah yang
paling Sakura kagumi, terutama saat ini. Saat kegigihannya tidak didasari
balas dendam. Saat kegigihannya tidak didasari persaingan. Saat
kegigihannya hanya didasari oleh rasa ingin menjadi pribadi yang lebih
baik daripada sebelumnya—dari sisi kemampuan.

Meskipun Sasuke tidak mengatakan apa pun, Sakura paham tujuan
utama dari latihan Sasuke saat ini. Dari langkah demi langkah yang
Sasuke lakukan saja sudah membuat segalanya jadi transparan. Lelaki itu
berkali-kali mengulang segel jurus bola api tanpa meminta uluran tangan
Sakura sama sekali. Perkembangan latihannya tampak lebih lambat
daripada saat Sasuke masih berumur dua belas, dan Sakura menggigit
lidahnya sendiri karena sadar betul apa penyebabnya.

Sasuke baru berhenti latihan ketika hasil latihannya sudah sesuai
harapan. Bola api terakhir yang lepas dari mulutnya sudah cukup besar
untuk nyaris membakar ujung-ujung dedaunan dari pohon yang
mengelilingi danau. Sasuke bisa saja membakarnya jika mau. Namun, dia

256

mengendalikan jurusnya untuk tidak melakukan hal tersebut. Berhasilnya
pengendalian itu adalah salah satu bukti konkret bahwa keterbatasannya
untuk membentuk segel sebagaimana semestinya sudah tidak menjadi
kendala dalam melepas salah satu jurus andalan klannya.

“Sejak dulu kau memang selalu berkembang dengan cepat. Keren
sekali!” ucap Sakura ketika Sasuke sudah duduk di dekatnya. Matanya
sama sekali tak lepas dari sosok Sasuke. Keringat yang masih membanjiri
wajahnya menyatakan dengan telak bahwa latihan tadi pasti sangat
menguras tenaga. “Jangan latihan lagi setidaknya sampai satu jam ke
depan. Istirahat dulu.”

Sakura sudah menduga Sasuke akan menoleh dan melempar tatapan
protes padanya. Mata Sakura langsung menyipit. “Ini hanya latihan.
Bukan perang, oke? Kau tidak perlu memaksakan diri. Kita masih punya
banyak waktu.”

Sasuke mendengus. Dia mengalihkan pamdangan dari Sakura.
“Hn,” Sasuke menanggapi sekenanya. Samar-samar dia mendengar Sakura
mendecak di sisinya.

“Hei, apakah itu ... luka bakar?”
Sasuke refleks menyentuh sudut bibirnya dan mendesis rendah.
“Tidak apa-apa,” katanya. “Ini biasa terjadi.”
Dia terpaksa menoleh karena Sakura mendorong pipinya
menggunakan jemarinya. Mata gadis itu memperhatikan luka bakar yang
melintang di bibir Sasuke dengan intens.
“Tapi ini parah, Sasuke-kun!” pekiknya. “Kalau aku tahu bahwa
tubuhmu tidak memiliki resistansi absolut terhadap jurus yang
kaulakukan, aku pasti sudah membatasimu dari awal. Ah, tentu saja,
bahkan chidori pun bisa membuat tanganmu lecet, 'kan? Aku ini bodoh
sekali!”
Sasuke mendecak. “Itulah mengapa kau lebih baik tidak tahu.”

257

“Sehingga kau bisa melukai dirimu sesukamu?” ucap Sakura
sarkastis.

“Jangan berkata seolah-olah jurus-jurusmu tidak memiliki risiko
apa pun.” Sasuke melempar tatapan tajam.

Bibir Sakura mengatup rapat. Pikirannya langsung berlabuh pada
salah satu jurus yang bahkan dapat memperpendek usianya. Dia tak
mampu mendebat lagi karena sadar bahwa dirinya pun tetap melakukan
jurus itu saat perang dulu meskipun tahu apa risikonya. Sakura pun
mengakui dalam hati bahwa dia setuju dengan Sasuke. Lebih baik Sasuke
tidak tahu.

Kedua telapak tangan Sakura menangkup pipi Sasuke. “Jangan
bergerak,” bisiknya. “Biarkan aku mengobati lukamu.”

Ibu jari Sakura mengusap luka bakar yang melintang di sekitar bibir
Sasuke. Tiba-tiba perih yang berdenyut di wajahnya tak terasa lagi. Sorot
matanya melembut, arahnya tertuju pada kedua mata Sakura yang
menyiratkan senyuman. Gadis itu melepas tangannya dari wajah Sasuke.

“Selesai,” katanya. “Istirahat dulu, ya? Aku paham bahwa semua
jurus pasti memiliki risiko, tapi jangan memaksakan dirimu saat latihan.”

Sasuke tak menjawab dengan kata, tetapi dia menetap di sana.
Tatapannya masih tertuju pada Sakura meskipun tidak langsung terarah
ke bola matanya. Sakura menoleh lagi, mata mereka bertemu lagi. Sebelah
alis Sakura tertarik ke atas.

“Apa?” kata Sakura.
Sasuke menggeleng. “Tidak,” ujarnya. “Yang kaulakukan tadi
mengingatkanku pada ... ibuku.”
Sorot mata Sakura tampak diliputi kekhawatiran. Sasuke mendesah.
Menurutnya, Sakura tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sekarang.
“Apa yang kulakukan?”

258

“Kau mengobati luka bakarku setelah aku latihan,” Sasuke
menjawab dengan tenang. “Yang pernah melakukan itu padaku hanya
ibuku dan kau.”

“Ibumu ninja medis?”
“Bukan. Ibu mengobatiku menggunakan obat, tidak menggunakan
ninjutsu sepertimu.”
Wajah Sakura diliputi raut penuh pertimbangan. “Apakah itu hal
bagus?” Dia menggigit bibirnya. “Maksudku, tentang apa yang kulakukan
mengingatkanmu pada ibumu. Apakah itu hal bagus? Atau ... atau
sebaliknya?”
“Ini bukan soal bagus atau tidak, tapi aku tidak terganggu dengan
itu.”
Sakura masih mengamati raut wajah Sasuke meskipun lelaki itu
sudah memalingkan wajah. Mimik mukanya setenang biasanya, tetapi
sorot matanya tidak. Ada emosi kuat yang terpancar di sana. Rasanya
Sakura dapat memahami apa yang tengah Sasuke rasakan.
“Sasuke-kun, kau merindukan ibumu?”
Sasuke meneguk ludahnya. “Selalu.” Dia menarik napas panjang.
“Yang samar-samar kuingat dari orang tuaku adalah wajah mereka saat
aku berumur tujuh tahun.”
“Dan kau membayangkan bagaimana rupa mereka bila kau masih
dapat bertemu dengan mereka saat ini.”
Sasuke sontak menoleh ke arah Sakura. Kedua kelopak matanya
melebar.
“Itu yang kurasakan setiap kali aku terpisah lama denganmu,”
ungkap Sakura. Pipinya memerah, tetapi raut masam mewarnai wajahnya.
“Aku merasa beruntung masih bisa mengetahui apa yang aku tanyakan
sendiri. Sementara kau—” mata Sakura sontak melebar, dia buru-buru
mengatup mulutnya, “oh, tidak, lupakan saja.”

259

“Aku tidak akan pernah memiliki kesempatan itu,” timpal Sasuke.
Napas berat terlepas setelahnya. Matanya terpejam sejenak. Bayang-bayang
mimpi yang diisi eksistensi orang tuanya berkelebat di dalam benaknya.
Semuanya sama; rupa orang tuanya masih sama saat terakhir kali dia
melihatnya. Warna gelap pada rambut mereka tak tampak diselipi uban.
Gurat-gurat bekas ekspresi di wajah mereka kembali seperti sebelumnya,
tidak membekas dan meninggalkan kerutan tanda menua. Tubuh mereka
masih berdiri tegap.

Kata orang, hati seorang anak pasti dihinggapi kesedihan setiap kali
menyadari bahwa setiap hari orang tuanya semakin menua. Bagi Sasuke,
tak melihatnya sama sekali jauh lebih menyedihkan daripada itu.

Sakura meneguk ludah karena merasa bersalah. “Sasuke-kun ...,”
bisiknya.

Sasuke tak menampakkan kesedihan di wajah ataupun melalui
perangai lainnya. Dia memang tak suka menampilkan sisi lemahnya di
hadapan siapa pun. Akan tetapi, Sakura tahu apa yang tengah lelaki itu
rasakan.

Tangan Sakura terulur hingga menyentuh punggung Sasuke. Dia
memeluk lelaki itu dengan gerakan penuh sangsi. Saat tak sedikit pun
terasa penolakan, Sakura baru mengeratkan dekapannya. Sasuke tak balas
memeluknya; tangan lelaki itu menetap di sisi tubuhnya. Namun, Sakura
merasakan Sasuke menyandarkan sebagian beban kepalanya di bahunya.
Napasnya tak terasa natural, seolah-olah embus dan engahnya diatur
secara manual. Ketegangan di tubuhnya berangsur-angsur berkurang.

“Aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, Sasuke-
kun.”

“Aku tahu.”

260

Entah bagaimana, Sakura dapat merasakan betapa besar rasa percaya
Sasuke padanya. Sasuke tak menunjukkan sisi lemahnya, tetapi
membiarkan Sakura untuk merasakannya.

Pelukan itu terlepas ketika Sakura merasakan Sasuke menarik
tubuhnya mundur. Tangan lelaki itu menyentuh wajahnya. Ibu jarinya
mengusap pipinya. Sorot matanya lembut menatap Sakura. Sudah berkali-
kali menerima perilaku seperti ini, Sakura masih saja merona seperti
merasakannya untuk yang pertama kali.

“Kurasa ibuku akan menyukaimu, Sakura.”
“Oh, ya?” Sakura tersenyum lepas. Dia pernah dengar, entah dari
mana, bahwa ibu Sasuke sangat cantik. Tiba-tiba dia penasaran mengenai
hal tersebut setelah Sasuke membahas ibunya seperti ini meskipun rasa
penasaran tersebut merupakan hal yang sia-sia. Maka, dia simpan sendiri
saja. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”
“Ibuku tidak pernah membentak atau memukul orang,” Sasuke
menahan dengusan tawa dan menatap Sakura yang tampak merengut
sejenak, “tapi terlepas dari sikapmu yang itu, kau tidak jauh berbeda
dengan ibuku. Entahlah, tapi jika kubayangkan ibuku dan kau berbincang,
kurasa pembicaraan yang diangkat akan saling melengkapi satu sama lain.
Lagi pula, ibuku adalah seseorang yang ramah. Ibuku pasti akan
menerimamu dengan tangan yang terbuka lebar-lebar.”
Entah kenapa Sakura merasa lega. Namun, masih ada satu yang
mengganjal. Kenapa Sasuke tidak langsung menerka-nerka mengenai
pendapat ayahnya? Mengapa sedari awal Sasuke hanya membahas ibunya?
Sasuke pun membahas mengenai penerimaan ibunya terhadap dirinya. Dia
pernah dengar bahwa ayah Sasuke adalah kepala klan Uchiha. Status itu
merupakan sesuatu yang amat bergengsi yang mungkin akan
memengaruhi pendapatnya soal Sakura yang datang dari keluarga biasa.
Dengan sedikit gugup, Sakura bertanya, “Bagaimana dengan ayahmu?”

261

Pernikahan bukan hanya menyatukan sepasang lelaki dan
perempuan, tetapi menyatukan keluarga dari kedua pihak juga. Meskipun
dia tahu keluarga Sasuke sudah tiada, entah kenapa dia merasa perlu
menanyakan hal tersebut. Dia memerlukan pegangan dan bayangan bahwa
keluarga mereka bisa bersatu dengan utuh, apalagi mereka sudah serius
dan siap menerima satu sama lain dalam hubungan pernikahan.

Sasuke sedikit tersentak, tetapi tak lama. Telapak tangannya ditutup
dan dibuka secara berulang, entah dengan tujuan apa. Dia menatap mata
Sakura dan mengulas sebuah senyum tipis yang tampak getir. “Aku tidak
begitu memahami ayahku. Bahkan aku tahu pendapat ayah mengenai aku
dari mulut ibu. Jadi ... aku tidak tahu.”

“Begitu,” ucap Sakura sembari mengangguk. Entah harus
menanggapi seperti apa. Dia mengerti dan tak akan mendesak Sasuke
untuk berbicara lebih banyak.

“Kau mungkin akan lebih menyukai kakakku jika dibandingkan
dengan aku,” Sasuke berbicara secara sekonyong-konyong. Matanya tak
lagi menatap Sakura.

Sakura mengernyitkan dahi tak suka. Ini bukan pertama kalinya
Sasuke bilang: ‘Kau mungkin akan lebih menyukai dia dibanding aku,’ dan
hal tersebut benar-benar mengusiknya. Hal tersebut meninggalkan kesan
bahwa Sasuke meragukannya meskipun mungkin Sasuke tak bermaksud
begitu. Dia menggelengkan kepalanya, tak peduli bahwa Sasuke tak
sedang melihatnya. “Sasuke-kun, jangan katakan hal seperti itu.” Sakura
murung. “Kupikir sudah sangat jelas seberapa besar aku mencintaimu.”

“Orang tuamu mungkin tidak menyukaiku.” Kini tangan Sasuke
terkepal erat. Ludahnya terteguk dengan sulit. Sasuke menebak-nebak
apakah kedua orang tua Sakura tahu mengenai siapa yang menambat hati
putrinya selama ini, dan orang itu justru adalah penyebab terbesar

262

putrinya selalu menangis. Jika memang tahu, maka ketidaksukaan itu
benar-benar wajar.

Kedua mata Sakura melebar. Tremor melanda tangannya. Dia
menunduk, memikirkan tentang hubungannya sendiri saja tidak baik
dengan orang tuanya. Dia tidak bisa mengatakan sesuatu yang sama
seperti apa yang Sasuke katakan padanya tentang pendapat ibunya
terhadap dirinya. Dia menggigit bibirnya.

“Mungkin itulah alasan mereka belum membalas suratmu, Sakura.
Masalahnya bukan berada padamu.”

Sakura mendengus getir. Dia menggeleng. Matanya terasa perih.
“Ayahku bahkan pernah bilang aku sudah gila ketika tiba-tiba memeluk
mereka.”

Tatapan heran yang dibersamai keterkejutan dilempar pada Sakura.
Ada rasa geram yang timbul di dalam dada Sasuke karena merasa Sakura
layak mendapatkan yang lebih baik daripada itu. Gadis itu begitu murni,
begitu baik, cerdas, kuat, dan dikelilingi oleh sifat positif lainnya. Dia
tidak mengerti bagaimana bisa orang tuanya memandang Sakura seperti
itu ketika orang-orang di luar keluarganya memuji dan sangat
menghargainya. Namun, dia menyimpan opininya. Dia hanya orang luar
dalam keluarga Sakura. Dia tidak tahu jelasnya seperti apa.

“Aku tidak akan berpikir kau gila jika tiba-tiba memelukku.”
Sakura tertawa kecil. Murung di wajahnya memias. “Tapi kau bilang
aku menyebalkan dulu.”
“Aku tidak pernah bilang kau menyebalkan karena memelukku. Kau
saja yang menginterpretasikan itu sendiri.”
“Oh.” Sakura tiba-tiba tersadar bahwa dia dikatai menyebalkan tidak
pernah karena memeluk Sasuke. “Sekarang yang jadi pertanyaan adalah
apakah kau menganggapku menyebalkan ketika tiba-tiba memelukmu
dulu?”

263

Sasuke mendecak. “Aku bahkan pernah diam dan menyandarkan
kepalaku di pangkuanmu dulu dan kau masih menanyakan hal itu?”

Sakura mengedikkan bahu. “Habisnya, kau ‘kan kadang sulit
dibaca.”

“Kau sedang bertingkah menyebalkan sekarang, kau tahu?”
Sakura menyeringai, kemudian melepaskan tawa. Dia kembali
teringat soal topik yang sempat teralihkan dan murung kembali ke
wajahnya. Tatapannya tertuju pada Sasuke lurus-lurus.
“Aku pikir mustahil orang tuaku tidak suka padamu mengingat kau
datang dari klan hebat. Mereka warga sipil juga, bukan ninja. Ayahku
pernah menjadi shinobi dan hanya sampai genin. Mereka tidak akan terlalu
memikirkan politik soal desa dan Uchiha atau semacamnya. Mendengar
kau dari klan Uchiha saja pasti sudah keren bagi mereka.” Sakura
meneguk ludah. “Aku tahu orang tuaku tipikal yang menilai dari hal-hal
seperti itu dibandingkan dari pencapaian yang didapat seseorang.”
“Aku yang merupakan ninja pelarian dan pernah menjadi seorang
kriminal adalah pengetahuan umum.”
“Aku yakin yang berarti bagi mereka adalah kau juga turut
menyelamatkan dunia. Tanpa adanya kehadiranmu, tsukoyomi tidak akan
bisa diakhiri. Aku tahu itulah yang penting bagi mereka. Kau tidak perlu
khawatir.”
“Kalau begitu …” Sasuke mengatakan dengan hati-hati, “kau juga
semestinya tidak perlu mengecilkan diri sendiri di hadapan orang tuamu.
Kau yang menonjok kepala Kaguya dan membuatku dan Naruto bisa
menyegelnya. Kau juga menyelamatkan dunia.”
Sakura tersenyum. Ketidakpercayaan diri di dadanya mulai menguap.
“Kuharap begitu.”



264

Dua minggu setelah pembicaraan tentang kedua orang tua mereka,
mereka kehabisan perbekalan makanan dan berada di posisi yang jauh dari
permukiman. Berburu menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan
pangan mereka. Ada beberapa buah dan tanaman yang Sakura cek
mengandung racun atau tidak. Sasuke menangkap seekor kelinci yang bisa
mereka makan bersama setelah dimatangkan menggunakan api.

Potongan daging itu ditaruh di tengah-tengah mereka. Aroma dari
pembakarannya masih mengudara. Ada sedikit bau amis dari daging itu.
Fokus pada makanan tidak membuat indra mereka sebagai ninja tumpul.
Telinga mereka menangkap suara gemerisik yang datang dari arah selatan.

Sakura sontak memegang kunainya dan siap melemparnya kapan saja.
Namun, kewaspadaan itu nyatanya merupakan sesuatu yang berlebihan.
Yang muncul dari semak-semak adalah seekor kucing hutan kecil. Kucing
itu menghampiri mereka dan di antara keduanya tidak melakukan upaya
apa pun untuk mengusirnya. Kucing itu mengeong, pandangannya tak
lepas dari daging yang ditempatkan di tengah-tengah mereka.

Mereka menyisihkan daging untuk kucing tersebut. Tangan Sasuke
mengelus bulu kucing itu setelah makanannya habis. Bulunya terasa kasar.
Kucing itu menggigit tangannya setelah beberapa usapan, lantas
menggerung dan menjauh secara perlahan.

Sakura tidak bisa menahan diri dari tertawa. Uchiha Sasuke yang
hebat baru saja membiarkan tangannya digigit oleh seekor kucing hutan.

Sasuke mengernyit. Dia menelaah sekitar dan mencari-cari penyebab
dari perubahan drastis perangai kucing itu. Pencariannya terjawab oleh
elang panggilannya yang baru saja bertengger di lengan. Kucing itu
menggerung semakin keras dan mundur semakin jauh.

Fokus mereka tertuju pada elang tersebut sebelum keduanya
membagi pandangan. Sasuke tak tahu bagaimana elang itu tiba-tiba

265

datang. Tak terlintas sedikit pun di benaknya bahwa dia memanggilnya
dalam waktu dekat. Tak ingin bergelut lebih lama dengan pertanyaan,
Sasuke lekas meraih sesuatu yang terikat di cakar elang. Sebuah surat. Dia
masih tak punya ide bagaimana surat ini bisa datang.

Elang tersebut segera terbang setelah surat sudah Sasuke lepas. Dia
membuka surat itu perlahan. Hal pertama yang terasa setelah membaca
huruf demi huruf yang tertulis di sana adalah seolah-olah jantungnya
jatuh ke perut. Ini adalah surat balasan dari orang tua Sakura. Surat yang
sudah berbulan-bulan gadis itu tunggu kedatangannya.

Sasuke segera menyerahkannya kepada Sakura setelah sempat
membacanya sekilas. Sakura menatap Sasuke sejenak sebelum membuka
suratnya. Sasuke mengamati raut wajah Sakura lagi. Mimik muka yang
awalnya tampak serius itu tiba-tiba berubah. Sebelah tangannya yang
bebas membekap mulut, matanya menyipit dan terpejam erat beberapa
kali. Raut haru mendominasi wajahnya.

“Kupikir ... kupikir mereka membenciku karena sudah pergi,”
katanya parau. Air mata menetes dari sudut matanya dan langsung dia
seka. “Sasuke-kun, kupikir surat ini tak akan pernah datang.”

Pembuka surat itu adalah penyampaian bahwa kondisi mereka baik-
baik saja, alasan mengapa butuh waktu lama untuk membalasnya, yaitu
mereka tidak sadar bahwa elang yang menetap di depan rumah selama ini
ternyata membawa surat, disertai harapan bahwa Sakura pun sama.

Mata Sakura sudah membasah ketika dia berkata, “Ada pesan
untukmu, Sasuke-kun.”

Sasuke mengangkat wajah dan menanti Sakura untuk
menyampaikannya.

“‘Kami turut senang kau sudah bersama Sasuke dan merasa bahagia
di setiap detik yang kalian lewati bersama. Pulanglah, Sakura. Bawa
Sasuke-kun bersamamu.’” Wajah Sakura sedikit memasam saat

266

melanjutkan, “‘Jangan permalukan dirimu sendiri dan ibumu di depan
Sasuke. Jangan menjadi beban.’” Dia menatap wajah Sasuke dengan
ekspresi pasrah. “Apa kubilang?” ucapnya, mengindikasikan bahwa
ceritanya selama ini nyata terkait orang tuanya yang sering mengatakan
sesuatu untuk mempermalukannya. Namun, Sasuke masih melihat binar
di mata Sakura karena surat ini benar-benar ditunggunya.

“Ini bagian yang diminta untuk dibacakan langsung padamu. ‘Kami
tahu seberapa besar Sakura mencintaimu. Kami titipkan Sakura padamu,
jangan sampai kau menyakiti putri kami satu-satunya. Kami
memercayakan Sakura padamu.’” Semua itu disampaikan secara tersurat,
bahkan bila tak yakin pun Sasuke masih bisa membacanya secara berulang.
“‘Kami tak peduli siapa kau dan bagaimana masa lalumu selama kau
menghargai dan mencintai Sakura setulus hatimu, terus menjaganya, dan
bisa membuatnya bahagia apa pun yang terjadi.’” Sakura tersenyum dan air
mata turun di pipinya. Dia mendengus kecil, tetapi Sasuke tidak
menangkapnya sebagai rasa kecewa. “Mereka lebih menganggapmu
daripada aku. Kadang-kadang orang tua seperti itu, ya?”

Melihat khawatir yang muncul di mata Sasuke, Sakura buru-buru
menggeleng. “Aku tidak apa-apa. Surat ini sangat berarti untukku
walaupun isinya agak menyebalkan.” Dia tertawa kecil. “Rasanya waktu
istirahat yang kubutuhkan sudah terpenuhi. Aku merasa sangat
merindukan mereka.”

Sasuke mengangguk. Sakura menyerahkan surat itu padanya dan
memintanya untuk membaca semuanya sendiri. Dia tidak bisa berkata-
kata apa, tetapi hatinya terasa lapang karena lega.

Sakura beringsut mendekatinya. Tangan gadis itu yang melingkarinya
tubuhnya. Getaran di tubuh Sakura membuatnya meletakkan tangannya
sendiri di punggung gadis itu.

“Sakura,” kata Sasuke. “Kau mau pulang ke Konoha?”

267

Anggukan terasa di bahunya. Sasuke memegang bahu Sakura dan
mendorong tubuh gadis itu agar dapat bertatapan dengan wajahnya. Air
mata yang Sasuke yakini mengalir karena kerinduan itu disekanya
menggunakan ibu jari. “Ayo pulang,” kata Sasuke.

Kedua mata Sakura melebar. “Sungguh?”
“Tentu saja.”
Sakura memeluk tubuh Sasuke lagi dengan dekapan yang lebih erat.
Sasuke bahkan nyaris terjengkang dari duduknya karena terjangan Sakura
yang terlalu dipenuhi semangat. Dagunya menempel pada bahu Sasuke.
Kedua matanya terpejam, wajahnya mengumbar senyuman. Hatinya
dipenuhi buncahan rasa senang dan rindu yang mendalam.
“Terima kasih, Sasuke-kun,” ucap Sakura tulus. “Terima kasih.”
“Itu bukan sesuatu yang perlu kau beri ucapan terima kasih.”
Sakura tampaknya tak menghiraukan ucapan Sasuke. Gadis itu tetap
memperlihatkan rasa terima kasihnya.
Setelah segera perbekalan mereka sudah dibereskan, arah langkah
yang mereka ambil langsung tertuju ke Konoha.

268

24
Penghambat

Sasuke sudah menguasai pengendalian seluruh jurus yang
dimilikinya meskipun hanya menggunakan satu tangan. Dia mengalami
beberapa kali kesulitan, tetapi mampu melampauinya. Latihan ini
sebenarnya sudah dimulai sejak pengelanaannya yang pertama, tetapi
waktunya terbatas. Kadang-kadang dia merasa perlu menyembunyikan
identitasnya sebagai Uchiha Sasuke, dan apabila dia menggunakan jurus-
jurus yang dia kuasai di depan umum, orang-orang mungkin akan
langsung mengenalinya.

Keberadaan Sakura yang menyemangatinya membuat dia
melanjutkan kegiatan yang selama ini terputus-putus meskipun terkadang
gadis itu pula yang bawel membatasinya. Keberadaan gadis itu di
sekitarnya pun mampu membantunya untuk mengawasi keadaan dan
dapat memberinya petunjuk apabila ada orang asing yang mendekat.
Semuanya terasa lebih mudah ketika bersama Sakura dan Sasuke
mensyukurinya.

Persediaan air mereka yang habis membuat Sakura beranjak untuk
mencari mata air. Dia mengatakan Sasuke dapat melanjutkan
penyempurnaan jurusnya selagi dia mengambil air untuk mereka
konsumsi. Sasuke sudah merasa segalanya cukup sebelum Sakura kembali.

269

Tangannya diletakkan di atas tanah setelahnya. Tiba-tiba dia merasakan
getaran dari bumi. Sasuke mengernyit. Otaknya bersimpul bahwa getaran
ini terjadi karena pukulan Sakura. Ingatan mengenai desas-desus terkait
orang-orang yang mengincarnya melengkapi asumsi Sasuke.

Sasuke lekas berdiri dan berlari ke arah mata air. Dari jauh, Sakura
tampak terengah-engah dengan kepalan tangan yang mengerat. Tanah di
sekitarnya retak dan menghambur tak keruan. Dugaan Sasuke benar, dan
hal tersebut membuat Sasuke mempercepat langkah kakinya. Dia belum
bisa tenang sekalipun tiga orang lelaki yang terkapar tak berdaya di sekitar
Sakura menunjukkan bahwa gadis itu sudah mengalahkan mereka.

“Sakura!” seru Sasuke.
Gadis itu menoleh, wajahnya tidak diselimuti rasa panik ataupun
rasa takut. Kini Sasuke bisa menyimpulkan bahwa Sakura baik-baik saja.
“Apa yang terjadi?”
“Mereka berusaha membawaku,” tutur Sakura. Napas lega lepas dari
hidungnya. “Tapi kau tidak perlu khawatir, aku berhasil menghentikan
mereka.”
Perangai Sakura sama sekali tidak memperlihatkan seseorang yang
nyaris dibawa oleh tiga orang asing. Sasuke merasa lega dan semakin yakin
bahwa gadis itu memanglah gadis kuat yang bisa menjaga dirinya sendiri.
Meskipun begitu, sisi protektif Sasuke terhadap Sakura masih eksis.
Kenyataan soal kata-kata Orochimaru sudah terbukti. Serangan dan
gangguan terhadap perjalanan mereka sudah muncul. Sasuke adalah objek
yang mereka tuju, tetapi seperti yang pernah terjadi dulu, Sakura mereka
jadikan sebagai umpan. Ada rasa khawatir yang melintas dalam kepala
Sasuke soal itu, tetapi dia merasa orang-orang itu tidak sadar akan
kekuatan yang ada di dalam Sakura. Sasuke yakin Sakura pasti mampu
mengatasi mereka sendiri.

270

Terkadang, Sasuke berharap keadaan bisa berbeda bagi mereka.
Seandainya saja dia bukan shinobi dan Sakura bukan kunoichi. Seandainya
tak ada satu orang pun yang mengincarnya dan tahu bahwa Sakura-lah
kelemahannya. Namun, dia sendiri sadar bahwa Sakura adalah titik
kelemahan yang tetap sulit untuk ditaklukkan dan dikalahkan. Sakura
adalah kelemahannya, tetapi gadis itu merupakan kunoichi terkuat di
matanya.



Jarak mereka dengan Konoha diperkirakan hanya satu minggu lagi.
Dengan waktu sedekat itu, lagi-lagi perjalanan mereka terhambat oleh
musuh yang mengincar Sasuke lagi. Serangan mereka begitu tiba-tiba
hingga Sakura tidak sempat mengelak ketika salah satu dari lima orang itu
menangkapnya. Dia mengancam Sasuke akan menggorok leher Sakura
apabila Sasuke tidak menyerahkan diri.

Sasuke menatap Sakura dan berkedip. Sakura mengangguk kecil.
Tatapan yang Sasuke tujukan terhadap musuh yang memegangi Sakura
saat ini tenang tetapi menantang.

“Lakukan saja,” ucap Sasuke dingin.
“Ha! Gadis ini tidak berarti apa pun untukmu?” tantang musuh
tersebut.
Sasuke tidak menjawab. Musuh yang tampaknya pemimpin dari
kelompok berjumlah lima orang tersebut memberi aba-aba agar empat
orang lain untuk bersiap. Sasuke tidak tampak goyah ketika kunai sudah
begitu dekat dengan leher Sakura. Ketika ujung kunai itu sudah diarahkan
untuk menusuk, Sakura langsung membanting lelaki itu ke tanah sampai
berhamburan dan menenggelamkan orang itu pada tanah. Sakura
langsung melompat ke sebelah Sasuke setelahnya. Empat musuh lainnya

271

turut terkena efek serangan Sakura pada pemimpin mereka. Tubuh
mereka ditimpa bebatuan.

Tiga orang bangkit dan mulai menyerang dengan gerakan yang
ceroboh. Tidak ingin berlarut-larut dan semakin memperlama perjalanan
mereka, Sasuke mengaktifkan amaterasu. Setelah yakin musuh sudah
tidak berkutik, mereka melanjutkan perjalanan yang terputus.

Hal tersebut terus terjadi beberapa kali dan pertarungan yang
terlaksana tidak pernah berkepanjangan. Kebanyakan musuh yang mereka
hadapi tidak sadar atas ketangguhan dan kekuatan lawan yang mereka
incar, ditambah lagi keberadaan Sakura di sisinya.

Setelah satu minggu yang terasa lebih panjang daripada semestinya
karena berkali-kali terhambat, gerbang Konoha sudah berada di hadapan
mereka. Sasuke dan Sakura tiba di sana dalam kondisi kelelahan.

272

25
Kampung Halaman

Tak banyak sosok familier yang ditemui selama perjalanan dari
gerbang Konoha sampai ke menara hokage, baik bagi Sakura maupun bagi
Sasuke. Mereka tetap menjadi pusat perhatian saat melewati tempat-
tempat ramai karena memang belum sempat membersihkan diri serta
masih dalam kondisi berantakan setelah bertarung terus-menerus. Namun,
hal tersebut tak mengurangi langkah Sakura yang terasa jauh lebih ringan
karena ikut melayang oleh rasa senang dan semangat.

Yang mengetuk pintu ruang kerja hokage adalah Sasuke. Suara
Kakashi yang mempersilakan masuk diredam masker dan pintu yang
tertutup terdengar. Sasuke memutar kenop pintu dan membiarkan Sakura
masuk lebih dulu. Entah mengapa, dia enggan melihat perubahan ekspresi
Kakashi saat melihat merekalah tamunya. Biar saja Sakura yang
melihatnya.

“Oh, Sakura! Kau sudah kembali,” komentar Kakashi setelah
menangkap eksistensi Sakura. “Bagaimana dengan …” Sasuke masuk ke
dalam ruangan tersebut sepenuhnya, “... Sasuke?”

“Hn.”

273

“Lihat betapa akurnya murid-muridku sekarang.” Kakashi
mengenyampingkan tumpukan dokumen yang perlu dibaca dan
ditandatangani kemudian berdiri. Lekukan di maskernya membentuk
senyum.

Sasuke mendecak. Dia sudah menduga pertemuan ini akan diisi
dengan basa-basi.

“Jadi selama ini kalian benar-benar bersama?” tanya Kakashi.
Sakura mengangguk. Pipinya merona. Dagunya ditarik sehingga dia
setengah menunduk. “Benar, Hokage-sama.”
Kakashi terkekeh melihat Sakura yang tampak malu. Tiba-tiba dia
membayangkan jika Naruto ada di sini, lelaki itu pasti sudah melayang
karena tonjokan dalam bentuk representasi rasa malu Sakura.
“Apa saja yang sudah kalian lakukan bersama, hm?” Intonasi
pertanyaannya terdengar provokatif, seolah-olah memang sengaja
menggoda dua mantan murid di depannya. Dia tersenyum kecil di balik
maskernya.
Entah mengapa, bayangan Sasuke saat menciumnya muncul sebagai
jawaban dari pertanyaan itu. Wajah Sakura yang semakin memerah
dipalingkan ke arah lain. “Ka-kami berkelana bersama, mengunjungi
tempat-tempat tertentu, dan kadang-kadang menetap,” jawab Sakura.
Suaranya diusahakan terdengar setenang mungkin.
“Dan?”
Sasuke mendengus kesal. Pertemuan ini terasa semakin
menyebalkan. “Diamlah, Kakashi. Apakah itu urusanmu? Kami datang
kemari hanya untuk melaporkan bahwa kami kembali ke Konoha, bukan
untuk ditanyai hal-hal yang bukan urusanmu seperti ini.”
“Oi, Sasuke!” Tiba-tiba Kakashi sudah berdiri di hadapan Sasuke.
Kepalan tangan pria itu memukul ubun-ubun Sasuke pelan, seperti yang

274

biasa dia lakukan pada murid-muridnya saat masih berumur dua belas
tahun dan bertindak bodoh. “Aku hokage sekarang. Sopanlah sedikit.”

Tanggapan yang Sasuke berikan hanyalah embusan napas kesal dan
wajah yang dipalingkan.

“Tapi kuakui kau benar. Aku tidak punya banyak waktu karena
masih banyak pekerjaan,” kata Kakashi. “Tapi aku mendengar kabar dari
daimyou Negara Petir bahwa kalian membantu saat ada bencana di sana.
Terima kasih. Aku sangat mengapresiasi tindakan kalian.”

Sasuke dan Sakura mengangguk sigap bersama-sama.
“Baiklah, tak ada basa-basi lagi. Kalian akan menetap di sini?”
Sakura sontak melirik Sasuke dan mendapati lelaki itu melakukan
hal yang sama. Dari sorot matanya, Sakura yakin Sasuke menyerahkan
jawaban pertanyaan itu padanya. Mereka memang belum membicarakan
tentang ini sebelumnya.
“Untuk sekarang, kami hanya menetap sementara. Mungkin hanya
beberapa minggu saja,” jawab Sakura tanpa ragu. Sasuke tak meralat kata-
katanya sama sekali.
Kakashi tersenyum lagi. Dari Sasuke yang merasa bahwa kata-
katanya sudah diwakili Sakura, dia yakin ada sesuatu yang terjadi di antara
mereka selama absensi keduanya dari Konoha. Apalagi, Sakura berbicara
seolah-olah mereka adalah suatu substansi yang tak terpisahkan. Sekali
lagi, Sasuke sama sekali tak menyangkalnya. Kakashi tak bisa menahan diri
untuk turut senang atas hal tersebut.
“Aku mengerti,” ucap Kakashi selagi melangkah kembali ke
kursinya. “Jangan lupa melapor lagi saat kalian akan meninggalkan
Konoha.”
Sakura mengangguk. “Tentu, Hokage-sama.”
“Ada lagi, Sakura?” Sakura menggeleng.
“Sasuke?” Dijawab dengan tidak.

275

“Baiklah kalau begitu. Aku harus kembali menyelesaikan
pekerjaanku. Kalian dibubarkan.”

Sasuke dan Sakura sama-sama mengangguk dan langsung
membalikkan tubuh. Kakashi menelusuri punggung Sakura. Sebelumnya,
dia menduga simbol yang terpeta di punggungnya adalah lambang klan
Uchiha. Namun, nyatanya masih simbol bulatan putih yang sama. Dia
bahkan sempat berpikir mungkin Sakura sudah berbadan dua seperti
teman-temannya. Kesimpulan bahwa mereka sudah menikah ternyata
salah. Namun, jika melihat dinamika hubungan di antara keduanya—
mereka yang tampak saling nyaman atas kehadiran satu sama lain di sisi
mereka—Kakashi yakin itu akan terjadi sebentar lagi. Bahkan dia berani
taruhan untuk hal ini.



Sakura nyaris mendobrak pintu apartemennya karena tak kunjung
menemukan kunci. Sasuke ada di sana untuk menunda terjadinya hal
tersebut dan meminta Sakura untuk mencari lebih teliti. Kuncinya
ditemukan, terselip di tengah-tengah lipatan salah satu celana di dalam
tasnya. Sakura sungguh-sungguh merasa bersyukur atas kehadiran Sasuke
di sisinya.

Sasuke menatap retakan di kusen pintu yang paling dekat dengan
engsel lekat-lekat. “Aku yakin hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya,”
kata Sasuke.

Sakura berdeham. Pipinya memerah. “Hm. Dan waktu itu tak ada
yang menahanku.”

Sasuke mendengus. “Bersabarlah sedikit. Tak biasanya kau ceroboh
seperti itu.”

“Tapi waktu itu kuncinya memang hilang! Sungguh!”

276

Sasuke memutuskan untuk tak menanggapi lagi.
Debu lebih dulu merasuk ke dalam hidung sebelum organ
pernapasan itu ditutupi telapak tangan. Sakura terbatuk-batuk kecil
sementara Sasuke mengembuskan napas berkali-kali hingga debu yang
masuk ke dalam hidungnya sudah tak membuat tenggorokannya gatal.
Sakura langsung mengambil dua buah masker dan menyerahkan salah
satunya pada Sasuke. Hal pertama yang dia bersihkan adalah sofa dengan
cara memukulinya hingga debu-debu melayang.
“Maaf, Sasuke-kun. Aku tidak menduga akan sekotor ini.”
Sasuke memaklumi. Lagi pula, apartemen ini kotor jelas-jelas
bukan karena kemalasan Sakura. Sakura mempersilakannya duduk di sofa
yang sudah bersih, kemudian gadis itu lanjut membersihkan
apartemennya. Sasuke merasa tidak nyaman hanya berdiam diri saat
Sakura sedang bersih-bersih, maka dia beranjak dan membantu Sakura.
Gadis itu menerima bantuan Sasuke dengan senang hati. Dengan
bantuan lelaki itu, apartemennya bisa lebih cepat rapi dan bersih sehingga
mereka bisa melanjutkan agenda yang sudah disepakati. Mereka setuju
untuk istirahat terlebih dahulu setelah satu minggu penuh yang dilalui
dengan rasa lelah. Agenda selanjutnya adalah mengunjungi rumah orang
tua Sakura dalam kondisi rapi.
Semuanya selesai dalam waktu kurang lebih dua jam. Mereka
beristirahat selama satu hari satu malam. Setelahnya, agenda dilanjutkan.
Dalam perjalanan ke rumah orang tua Sakura, Sasuke mencoba
menetralisasi debaran jantungnya, dan hal tersebut tidak semudah yang
dia kira. Ini adalah jenis detakan yang baru dia rasakan seumur hidupnya.
Dia melirik Sakura, mencoba mencari penetral. Nyatanya raut wajah gadis
itu pun memperlihatkan ketegangan.
Sakura memutar kenop pintu dengan gerakan perlahan. Dia
mendorongnya ragu-ragu, kemudian mengucap, “Tadaima.” Keheningan

277

menyambut salamnya. Sakura mengernyit. Biasanya orang tuanya sudah
berada di rumah bila jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Samar-samar suara langkah kaki tertuju ke arahnya. Sakura
menangkap sosok ibunya tengah memangkas jarak di antara mereka.
Langkah terhenti sesaat. Dia berbisik, “Sakura?”

Sakura mengangguk. Dia tersenyum lepas dan segera memeluk
ibunya. Haru membuncah di dadanya. Dekapannya benar-benar erat,
melampiaskan kerinduan Sakura selama ini. Matanya dipejam. “Tadaima,
Kaasan.”

“Siapa itu?” Sakura mendengar suara ayahnya yang membahana.
“Kemarilah, Kizashi! Sakura sudah pulang!”
Suara derapan kaki yang terburu-buru terdengar. Saat melihat
ayahnya, Sakura bergantian memeluk ayahnya. Sepasang orang tua itu
menjawab salam Sakura berbarengan. Setelahnya, pandangan mereka
berlabuh pada Sasuke.
“Kaasan, Tousan, ini Sasuke. Uchiha Sasuke.” Sakura menoleh ke
arah Sasuke. Bahu lelaki itu tampak menegang sejenak. Wajahnya kaku.
Sasuke menunduk singkat. “Konbanwa, Haruno-san.”
Samar-samar dia mendengar ibu Sakura berbisik, “Dia lebih tampan
dari yang kuingat.” Telinganya terasa tergelitik.
“Kalian sudah makan?” tanya Mebuki.
“Belum,” jawab Sakura.
“Ayo kita makan malam bersama. Kebetulan kami pun baru saja
mau mulai makan.” Tatapannya beralih pada Sasuke. “Maaf, ya, Sasuke.
Makanannya seadanya. Aku tidak menduga kalian akan kemari.”
Sasuke menggeleng maklum. “Tidak apa-apa, Haruno-san.”
Sakura menggenggam tangannya saat berjalan menuju meja makan.
Dia duduk berseberangan dengan Sakura dan bersebelahan dengan Kizashi.
Nyaris seluruh kegiatan makan diisi oleh percakapan Sakura dengan kedua

278

orang tuanya. Sasuke sama sekali tak memiliki celah untuk menyela ke
dalam pembicaraan meskipun ada sepintas niat dalam hatinya. Itu terus
bertahan sampai Mebuki berkata, “Aku harap Sakura tidak
menyusahkanmu, Sasuke. Dia sudah besar, tapi kadang-kadang masih saja
manja.”

Wajah Sasuke menegang melihat raut wajah Sakura yang mendadak
canggung. Mata mereka sempat bersirobok sejenak sebelum Sakura
langsung menunduk. Sasuke meneguk ludahnya karena merasa atmosfer
mulai tidak nyaman.

“Sakura adalah perempuan yang mandiri. Dia justru sering
membantu dan memudahkanku.”

Sasuke tak melewatkan senyum di bibir Sakura sebelum gadis itu
memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

“Jadi, apa yang membuatmu senang bepergian, Sasuke?” tanya
Kizashi.

Sakura tidak bisa menahan diri dari kecewa karena ucapan Sasuke
tidak ditanggapi apa-apa. Namun, dia masih menikmati waktu yang bisa
dia lewati lagi bersama orang tuanya setelah terpisah begitu lama.

Sasuke mengunyah makanan di dalam mulutnya hingga cukup halus
untuk ditelan tanpa rasa sakit. Sakura menatapnya. “Kalau tidak nyaman,
tidak usah dijawab,” kurang lebih itulah yang Sasuke tangkap dari gerak
mulutnya. Sasuke menggeleng kecil untuk memastikan pada Sakura
bahwa gadis itu tak perlu khawatir.

“Kurasa ‘senang’ bukanlah kata yang tepat untuk
mendeskripsikannya,” jawab Sasuke. “Aku hanya nyaman melakukannya.
Awalnya, memang ada beberapa hal yang memicu kebiasaan itu, tapi
seiring waktu alasan itu tak sama lagi. Sebelumnya aku merasa belum
menemukan siapa aku, dan bepergian membantuku menemukannya.”

279

“Begitu.” Kizashi mengangguk-angguk paham. Tatapannya beralih
pada Sakura. “Bagaimana denganmu, Sakura? Selama ini kau sibuk sekali.
Bepergian pasti menjadi perubahan besar bagimu.”

“Tousan benar. Tapi aku tidak menyesal melakukannya.”
Kizashi terkekeh. “Tentu saja, kau melakukannya bersama lelaki
yang kausukai sejak kecil!”
Mebuki turut menggemakan tawanya. Kedua telapak tangan Sakura
memegang pipinya yang memerah. Meskipun Sasuke sudah jelas tahu
perasaannya, tetapi digoda seperti ini tetap terasa sangat memalukan.
Sementara Sasuke hanya berdeham walaupun tak ada makanan yang
menyangkut di kerongkongannya.
“Bu-bukan hanya itu!” tandas Sakura. “Aku—”
“Kau dengar, Sasuke?” sela Kizashi. “Bukan hanya itu, katanya!
Berarti dia tidak menyangkal kata-kataku!” Tawanya menggema lagi.
Sasuke menaruh atensinya pada wajah Sakura yang lebih merona
daripada sebelumnya. Salah satu sudut bibirnya tertarik, membentuk
seringai tipis. Saat pandangan mereka bersirobok, Sakura sontak
terperanjat dan langsung mengalihkan wajah. Sebenarnya Sasuke pun
dilanda segelintir rasa malu, tapi dia jauh lebih baik dalam mengendalikan
ekspresinya daripada Sakura.
“Tousan, berhenti menggodaku!” Sakura menoleh ke arah ibunya
dan melemparkan tatapan memelas. “Kaasan, tolong. Kumohon.”
“Kizashi, berhenti menggoda putrimu,” ucap Mebuki. Sakura
merasakan usaha ibunya yang setengah-setengah dan dia mengerang
dalam hati. Jelas sudah bahwa ibunya pun menikmati keadaan ini.
“Lihatlah, wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Kasihanilah dia.”
Ucapan itu ditutup dengan kekehan ringan.
Sakura menempelkan dahinya pada spasi meja yang tak diisi
peralatan makan.

280

Percakapan di meja makan itu berlanjut cukup lama bahkan setelah
makanan habis. Keempat orang yang duduk di sana terlibat secara
keseluruhan. Makan malam ini jelas berbeda dengan keluarganya dulu,
mereka jauh lebih tenang daripada ini, bahkan Sasuke-lah pihak yang
paling berisik. Bersama keluarga Sakura, Sasuke jelas menjadi pihak yang
tak banyak bicara tapi tetap melibatkan diri di setiap kesempatan. Dalam
hati, dia berterima kasih pada Sakura sudah membawanya kemari, juga
pada orang tuanya yang sudah menerima dirinya dengan tangan terbuka.

Sasuke merasakan atmosfer hangat menyelimuti hatinya.
Kehangatan itu sudah lama sekali tak dirasakannya lagi. Kehangatan yang
berbeda dengan yang dia rasakan saat bergaul dengan Tim Tujuh atau saat
hanya dengan Sakura. Kehangatan ini sungguh-sungguh terasa seperti
keluarga utuh.

Saat Mebuki dan Sakura beranjak dari meja makan dan membawa
peralatan makan ke dapur sekaligus mencucinya, niat Sasuke yang sudah
terbentuk dalam kata-kata sudah berada di ujung lidahnya. Niat dan
rencana yang tak dia bahas dengan Sakura sama sekali tentang
kedatangannya kemari dan Sasuke pastikan Sakura tak tahu sama sekali.
Sasuke berdeham untuk mengendalikan diri.

“Kau masih haus, Sasuke?”
Sasuke menjawab tidak. Dia tak menduga dehamannya akan
dianggap seperti itu oleh ayah Sakura.
“Sebenarnya …” Kizashi menoleh ke arah Sasuke, “ada yang ingin
saya bicarakan dengan Anda, Haruno-san.”
“Ada apa?”
Detak jantung Sasuke mendadak menggila. Dia bahkan khawatir
Kizashi dapat mendengarnya.
“Ini tentang putri Anda.”

281

Kizashi menatap Sasuke dan menunggu lelaki itu untuk
melanjutkan.

“Saya harap Anda tidak keberatan melepas putri Anda.” Sasuke
menarik napasnya banyak-banyak. Salivanya ditelan untuk membasahi
kerongkongannya yang mendadak kering. “Saya ingin menikahi Sakura.”

Kizashi tertegun. “Aku lebih siap mendengar cerita tentang hal gila
yang dilakukan Sakura di depan umum dan kau merasa sangat malu
karenanya. Atau ... atau berita bahwa Sakura dipecat dari pekerjaannya.”

Sasuke semakin tegang karena tak bisa membayangkan ke arah
mana Kizashi berbicara. Jantungnya berdetak sangat keras hingga
terdengar telinganya sendiri. Tangannya mengepal dan merenggang
berkali-kali. Tatapan lekat-lekat yang ditujukan Kizashi padanya sama
sekali tidak membuat keadaan lebih baik.

“Apa yang kau punya untuk putriku?” Terdengar intonasi yang
ditekan pada kata ‘putriku.’

Sasuke mengatur napasnya. Saat ini, hanya ada satu hal yang dapat
Sasuke berikan sebagai jawaban. Otaknya lambat untuk memproduksi
jawaban lain. Dia tahu ini sulit untuk diungkapkan, tetapi dia harus
mengusahakannya.

“Saya,” kata Sasuke, “mencintainya.”
“Kau tahu itu saja tidak akan cukup.”
Sasuke meremas celana yang melapisi pahanya. Keringat bercucuran
dari pelipis dan tubuhnya, terasa bergulir tertarik gravitasi di balik
pakaiannya. Entah mengapa ini terasa lebih menegangkan daripada saat
dirinya diinterogasi ANBU, padahal senjata tertodong ke arahnya dulu.
Kali ini otaknya terasa mati.
“Saya ingin membuatnya bahagia.” Kata-kata itu bergulir begitu saja
dari bibirnya. “Saya tak punya apa-apa selain warisan kedua orang tua saya
yang tersisa.” Karena Sasuke tidak menyentuh harta peninggalan klannya

282

yang bukan dari keluarganya sendiri. “Bahkan bila saya kembali menerima
misi, mungkin penghasilan saya tidak akan sebesar penghasilan Sakura.
Tapi saya akan selalu setia padanya. Saya tahu betapa sakitnya kehilangan
dan saya tak akan membiarkannya merasakan hal itu lagi, setidaknya saya
tak akan pernah membiarkan diri saya menjadi alasannya merasakan itu.
Saya akan selalu menjaganya dan ada di sisinya semampu saya. Saya ingin
membuatnya bahagia. Saya akan berusaha untuk membuat putri Anda
bahagia.”

Kizashi tak langsung menanggapi. Terbentang jeda yang cukup lama
untuk menyiksa Sasuke dalam ketidakpastian. Tatapan pria di hadapannya
semakin serius dari detik ke detik.

“Bisakah kau berjanji kau tak akan menyakitinya?”
Sasuke tertegun. Pertanyaan itu telak menohok dadanya. Dia
meneguk ludah dan menggeleng kecil. “Saya tidak bisa ... menjanjikan hal
seperti itu,” jawabnya penuh sesal. Karena Sasuke sendiri tak yakin pada
dirinya sendiri soal itu. Apabila dia tak pernah menyakiti Sakura secara
sengaja, mungkin saja dia melakukannya tanpa sadar. “Tapi saya akan
berusaha semampu saya, sekeras mungkin, untuk tak melakukan apa pun
yang akan menyakiti Sakura.”
Ada jeda yang terbentang lebih panjang daripada sebelumnya.
Sasuke merasa Kizashi tengah menilainya. Dia tak akan pernah bisa
bernapas lega sampai mendengar ayah Sakura menerima lamarannya atas
putrinya.
“Baiklah, aku memercayakan Sakura padamu.” Bagi Kizashi, kata-
kata Sasuke terdengar tulus dan apa adanya, bukan semata-mata rayuan
gombal untuk menjerat izinnya. Dia tak menjanjikan hal yang nyaris
mustahil untuk ditepati, tetapi mau berusaha untuk itu. Baginya itu sudah
cukup. Dia yakin Sakura bisa bahagia bila bersama lelaki yang berada di
hadapannya. Siapa Sasuke di masa lalu tak menjadi pertimbangannya, yang

283

terpenting adalah siapa lelaki itu sekarang—tepat saat duduk di
hadapannya dan meminta izin untuk menikahi putrinya. “Kau boleh
menikahi putriku.”

Kelopak mata Sasuke melebar setelah mendengar izin dari ayah
Sakura. Napas leganya terlepas seiring dengan tubuhnya yang
membungkuk ke arah pria itu dan mengucap ‘terima kasih’ dengan suara
lirih. Saat dia menegakkan tubuhnya, dia tersadar bahwa dia tak ingat
kapan terakhir kali dia membungkukkan tubuh di hadapan seseorang
seperti ini.

“Jangan mengecewakanku, Sasuke.”
“Dalam hal apa Sasuke-kun tidak boleh mengecewakan Tousan?”
Sakura melangkah menuju meja makan dan kembali bergabung di sana.
Ibunya menyusul beberapa langkah di belakangnya.
Kizashi melirik Sasuke. Sasuke sontak memegangi tengkuknya
sendiri. “Dalam hal menjadi suamimu,” jawabnya ringan.
“Apa?” Sakura menganga tak percaya. Dia melirik Sasuke. “Sasuke-
kun, kau—oh! Astaga!” Dia membekap mulutnya. “Ini sulit untuk
dipercaya!” Tawa kecil bergelembung dalam bekapannya.
Mebuki yang tak keberatan dengan keputusan suaminya ikut
tersenyum bahagia. Dia tak keberatan menyerahkan Sakura pada Sasuke
karena tahu betul betapa besar putrinya mencintai lelaki itu, serta Sasuke
sendiri yang memang layak. Sejujurnya Mebuki tak bisa melihat
bagaimana perasaan Sasuke pada Sakura, tetapi dia yakin bahwa lelaki itu
pun mencintai putrinya.
Sakura merangkul ayah dan ibunya meskipun meja mengganjal
rangkulannya. Dia membisikkan ucapan terima kasih pada ayahnya dan
mengecup pipi ayah dan ibunya bergantian. Rangkulan itu lepas dan dia
menatap Sasuke. Senyum dilempar ke arahnya untuk memberi tahu
sebahagia apa dirinya sekarang.

284

Sakura tak menduga ini sama sekali. Mereka tidak membahas ini
ketika merencanakan untuk mengunjungi orang tuanya, dan sekarang
sekonyong-konyong Sasuke telah meminta izin untuk menikahinya
kepada orang tuanya. Terlebih diterima. Sakura tak yakin apakah dia bisa
lebih bahagia daripada sekarang.



Sasuke dan Sakura kembali ke apartemen Sakura setelah
kunjungannya ke rumah orang tua gadis itu. Mereka tak mengucapkan
sepatah kata pun mengenai kelelahan yang melanda tubuh masing-masing,
tetapi sudah saling memahami. Sakura lebih dulu berbaring di tempat
tidurnya, kemudian merentangkan tangannya ke depan unruk membujuk
Sasuke mengisi spasi kosong di sisinya. Saat tempat tidur itu memantul
ringan, Sakura menoleh ke arah Sasuke di sebelahnya.

Tak ada kata yang terucap. Mereka membeku di sana dengan
tatapan yang saling tertaut. Sakura menyunggingkan senyum. Tangannya
membelai pipi Sasuke.

“Kau mengejutkanku,” kata Sakura.
Sasuke menyeringai tipis. Dia tahu apa yang Sakura maksud.
Bahunya berkedik. “Kejutan.”
“Tapi itu pertama kali kau bertemu dengan ayahku. Oh, astaga! Aku
sama sekali tak bisa melihat gelagatmu untuk itu.”
“Kau senang?”
Sakura menggeleng. “Aku bahagia.” Tangan Sakura merambat ke
dahi Sasuke. Dia menyelipkan rambut hitam lelaki itu ke sela-sela
jemarinya, kemudian menyisirnya ke atas. Wajahnya sama sekali tak
tertutupi rambut sekarang. Hening terbentang cukup lama. Suara napas
mereka adalah satu-satunya yang bersuara.

285

“Sakura,” ucap Sasuke lirih. “Apakah kau menyetujui keputusan
ayahmu?”

Sakura mendengus dan mengernyitkan dahi. “Kau serius masih
menanyakan hal itu?”

Sasuke memberengut. “Jawab saja.”
“Tentu saja aku setuju. Aku ... aku mau menikah denganmu.” Rona
merah menjalari pipi Sakura. Dia menyelipkan rambut yang jatuh
menutupi wajahnya ke belakang telinga. Sakura tersenyum. Tiba-tiba
benaknya bergulir pada makan malam bersama keluarganya tadi.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?”
Sasuke sudah menduga pertanyaan itu akan datang cepat atau
lambat. “Aku tidak percaya orang tuamu bisa menerimaku sebaik itu.” Dia
terdiam sejenak. “Walaupun ibumu mengatakan hal seperti itu
tentangmu.”
“Kau harus. Kenyataannya memang begitu.” Wajah Sakura
memasam. “Ah, soal itu …. Aku tidak apa-apa. Sudah pernah kubilang,
bukan? Berada di sisimu membuatku merasa lebih berani. Kau pun
menyangkal ucapannya.”
“Kau terlalu baik untukku.” Sasuke berkesah. “Aku tidak pantas
mendapatkanmu.”
Raut kesedihan mewarnai wajah Sakura. Dia menggeleng keras.
“Tidak. Jangan katakan itu.”
“Tapi aku egois, Sakura. Aku tahu itu dan aku tetap ingin
bersamamu.”
Sakura memejamkan matanya erat-erat, berusaha menahan
tangisnya. Ada sedikit yang menyelinap dari kelopak matanya yang
tertutup, air mata itu hanya cukup untuk membasahi bulu matanya yang
panjang.

286

“Kau tidak egois karena aku mencintaimu. Kau tidak egois karena
aku juga ingin bersamamu.” Sakura beringsut ke arah Sasuke dan
menunduk hingga merasakan dagu lelaki itu di ubun-ubunnya. Kata-kata
Sakura menjadi kalimat terakhir yang terucap sebelum keduanya terlelap
dilahap kantuk dan rasa lelah yang timbul akibat belum istirahat sejak
ketibaan mereka di Konoha.

287

26
Kamboja dan Bakung

Sakura terbangun dengan spasi kosong di sisinya. Dia menyisir
rambutnya menggunakan jemari sebelum keluar dari kamar. Dia
mendapati Sasuke di dapur, di depan kompornya. Lelaki itu membalik
tubuhnya dengan sepiring telur dadar di tangannya.

“Selamat pagi, Sasuke-kun,” sapa Sakura dengan senyum di
wajahnya. Dia segera bergabung dengan Sasuke untuk menyantap sarapan
yang dibuatkan lelaki itu untuknya.

Setelah sarapan selesai, Sakura mengungkapkan gagasan yang sudah
muncul di benaknya sejak kemarin: “Bagaimana kalau kau mengunjungi
makam orang tuamu?”

Sasuke membatu mendengarnya. Bibirnya terkatup rapat, sorot
matanya tampak kaku.

Sakura yang langsung membaca perubahan Sasuke tampak cemas.
“Ada apa, Sasuke-kun?” tanyanya cemas. “Apakah aku ... salah bicara?”

Terjadi jeda beberapa detik sebelum Sasuke menjawab, “Tidak. Aku
hanya—aku tak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya.”

Sakura mendadak merasa tidak enak. “Jadi, bagaimana?” tanyanya
kikuk.

288

“Aku akan ke sana.”
“Kalau begitu aku akan pergi ke tempat lain hari ini.”
“Ikutlah denganku.” Wajah Sasuke sudah tidak sekaku sebelumnya.
Sakura menyetujuinya. Dia mencoba menarik kesimpulan di balik
Sasuke yang memintanya untuk ikut, tetapi tak ditemukan satu pun yang
tepat. Dia berhak bertanya, tetapi lebih memilih untuk bersikukuh
mengajak Sasuke untuk membeli karangan bunga terlebih dahulu. Butuh
sedikit usaha untuk membuat Sasuke menyetujuinya, dan Sakura yakin
Sasuke belum sepenuhnya setuju karena tampak enggan memasuki Toko
Bunga Yamanaka.
Besar harapan Sakura bisa bertemu dengan Ino di sini. Namun,
semenjak dia masuk, dia belum menemukan sosok gadis berambut pirang
itu sama sekali, sampai tiba-tiba ada seseorang menepuk bahunya dari
belakang. Dia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya.
“Ino!” pekiknya tak tertahan. Dia mendekap tubuh Ino dan
merasakan sesuatu yang janggal. Perempuan itu terasa gemuk dalam
pelukannya.
“Sakura! Sejak kapan kau pulang?”
Dekapan itu terlepas. Sakura baru sadar bahwa Ino sedang
mengandung setelah melihat langsung bentuk tubuhnya. Dia menganga.
“Kau … hamil?”
Ino menyilangkan tangan di depan dada. Dia menggeleng-geleng
dan mendecak. “Kau adalah sahabat terburuk di dunia!”
“Kau tidak mengabariku!”
“Aku tidak tahu bagaimana cara mengabarimu!”
“Kalau begitu jangan katakan aku adalah sahabat terburuk di dunia!”
“Baik. Aku menarik kata-kataku. Kau adalah sahabat terbaik di
dunia.”

289

“Ha-ha. Kalau tidak ikhlas lebih baik tidak usah,” Sakura mendesis.
Kemudian mereka tertawa bersama dan saling memeluk lagi.

“Aku bahkan tidak bisa mengabarimu soal pernikahanku, Sakura.
Astaga! Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu.”

“Kau menikah dengan siapa?” tanya Sakura dengan raut penasaran
sekaligus antusias. Dia mengaduh saat Ino menjewernya.

“Berani-beraninya masih menanyakan hal itu! Jelas dengan Sai!”
“Baik, Nyonya Yamanaka,” desis Sakura. “Tidak usah sampai
menjewer segala!” Dia memeluk Ino lagi. “Selamat atas pernikahanmu dan
kehamilanmu, Ino. Aku ikut bahagia.”
“Kau adalah orang paling terlambat yang mengucapkan itu!” kata
Ino, pura-pura kesal tapi senyum masih ada di wajahnya. “Sejak kapan kau
pulang? Apakah kau datang ke sini hanya untuk mencariku?”
“Baru dua hari yang lalu,” jawab Sakura. Dia terkekeh. “Sayangnya
tidak. Aku memang berharap bisa bertemu denganmu di sini tapi itu
bukan satu-satunya tujuanku.”
Ino tersenyum. “Setidaknya aku masih dicari,” katanya. “Kau mau
beli bunga apa, Sakura? Oh, ya, tadi aku rasanya melihat Sasuke-kun, atau
hanya perasaanku saja? Apakah dia memang datang ke sini bersamamu?”
Sakura mendengus. “Ino, tanya satu-satu,” keluhnya. Disahuti oleh
tawa Ino. “Aku mau membeli bunga kamboja dan bunga bakung. Ya,
Sasuke-kun memang ada di sini. Tapi dia hanya duduk di sana,” Sakura
mengedikkan bahu ke arah Sasuke duduk, “dia datang ke sini bersamaku.”
“Kau mau melayat siapa?” tanya Ino. Dia menatap wajah Sakura
dengan raut khawatir.
“Orang tua Sasuke-kun. Itulah sebabnya dia ada di sini bersamaku.”
Setelah mengangguk paham, mata Ino menyipit curiga. Sakura
rasanya tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Mata biru perempuan itu

290

menatap lekat-lekat ke arah tubuh Sakura dari ujung kaki hingga ke
ujung kepala. Sakura berdiri dengan kikuk.

“Kau berutang banyak cerita padaku, Sakura,” tuntut Ino. “Apa saja
yang sudah kalian lakukan, hm? Kalian hanya berdua saja 'kan selama ini?”

“Sasuke-kun menungguku. Aku tidak bisa lama-lama di sini.”
Sakura gelisah dengan wajah memerah. Sipitan mata Ino yang curiga
semakin dalam. “Cepatlah berikan bunganya padaku dan aku akan
menceritakan semuanya setelah ini, oke?”

Sakura bisa membaca ada pertanyaan bertubi-tubi yang hendak Ino
lontarkan padanya, dan tak diduga, wanita itu masih bisa menahannya
untuk nanti. Dia langsung menyelesaikan transaksi. Sebelum Sakura
meninggalkan toko bunga, dia menentukan waktu dan tempat mereka
akan bertemu serta menyempatkan diri untuk menyapa Sasuke.



Pemakaman tidak didatangi oleh siapa pun ketika Sasuke dan
Sakura tiba di sana. Sasuke berjalan lebih dulu dengan Sakura mengikuti
di belakangnya. Dia membimbing jalan yang hanya diketahui oleh Sasuke.
Sakura bahkan tidak tahu nama orang tua Sasuke.

Sasuke berhenti melangkah dan menatap dua batu nisan di sebelah
kanan dan kirinya secara bergantian. Dia berjongkok. Sakura langsung
sadar bahwa mereka berdiri di antara makam ayah dan ibu Sasuke. Dia
turut berjongkok dan menaruh bunga kamboja dan bunga bakung di atas
masing-masing makam ayah dan ibu Sasuke. Kedua makam itu tepat
ditempatkan bersebelahan, entah disengaja atau tidak. Ada rasa ingin tahu
yang menyusup di benaknya, tapi dia masih tahu kondisi untuk tidak
bertanya.

291

Telapak tangan Sasuke mengusap batu nisan yang menuliskan nama
ayahnya dan menatap lurus-lurus ke sana. Raut wajahnya sama sekali tak
bisa Sakura baca. Namun, embusan napas berat yang dilepas lelaki itu
membuat Sakura yakin bahwa perasaan Sasuke pasti tidak sedang stabil.

Hening merajai suasana. Sakura menatap Sasuke lagi. Ekspresi
wajah lelaki itu masih tak terbaca. Sementara tangannya masih mengusap
ukiran nama ayahnya berulang-ulang, bahkan debu yang menempel di
sana Sakura yakini sudah hilang. Dia memegang bahu Sasuke, berusaha
menguatkannya meskipun lelaki itu tak menunjukkan kerapuhan. Namun,
Sakura paham bahwa apa yang ditampilkan tak selalu merepresentasikan
isinya.

“Uchiha Fugaku,” Sakura menyuarakan apa yang dibacanya di batu
nisan. “Ya?” tanyanya memastikan.

Sasuke mengangguk.
Sakura menatap batu nisan itu sekali lagi. Dia membenarkan posisi
bunga kamboja yang merosot. “Fugaku-san,” Sasuke tampak berjengit
mendengarnya, “putramu, Uchiha Sasuke, dia telah menjadi ninja yang
sangat hebat dan kuat. Dia turut andil dalam menyelamatkan dunia.
Bahkan saat masih di akademi, dia menjadi murid terbaik di angkatan
kami. Dia adalah seseorang yang membanggakan, dan aku yakin kau pun
merasa begitu.”
Sasuke meringis. Dia memejamkan matanya erat-erat dan bernapas
semakin berat. “Aku sudah berusaha keras, Otousan, dan aku belum
berhenti.” Napas Sasuke bergetar. “Aku tak akan mempermalukan klan
Uchiha meskipun aku adalah satu-satunya yang tersisa.”
Sakura tertegun. Sebelumnya dia yakin Sasuke tak akan
menyuarakan apa pun yang ingin dia katakan pada orang tuanya bila
dilihat dari gelagatnya. Entah mengapa, ucapan Sasuke pada ayahnya turut
menyentuh hatinya.

292


Click to View FlipBook Version