The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

“Aku merasa licik menunjukkan ini padamu.” Sasuke berbisik
perlahan, tetapi cukup keras hingga bisa sampai ke telinga Sakura.
Sebenarnya dia sama sekali tak menargetkan hal ini. Dia tak tahu bahwa
puncak tebing dari tempat mereka beristirahat akan memberikan
panorama yang begitu indah. Ini merupakan sebuah kebetulan yang
menguntungkan. Seperti panorama-panorama cantik yang mereka temui
sebelumnya, semuanya murni ditemui secara kebetulan.

Ketakjuban Sakura terhadap apa yang tengah memanja matanya
runtuh seketika. Meski dia tak memahami maksud dari kata-kata Sasuke,
tetapi entah apa alasannya kalimat tersebut begitu menohok dadanya.
Sakura tak bertanya maksudnya. Dia hanya menatap Sasuke dan
melemparkan tatapan bertanya.

“Aku melakukan ini setiap kali aku merasa harus menahan diri
untuk pulang.” Kepalan tangan Sasuke mengerat. Napasnya tersekat.

Mulai memahami maksud dari kata-kata Sasuke, Sakura membeku.
“Sasuke-kun, kau—”

“Hn.”
“Tapi—”
“Sakura, beri aku waktu lebih lama lagi.”
Sakura tertegun. Dia tahu Sasuke berusaha membuat suaranya
terdengar normal. Akan tetapi, telinga Sakura tetap menangkapnya
sebagai intonasi yang begitu pedih. Dia sadar bahwa dirinya baru saja
membebani Sasuke dengan kerinduannya yang mendalam terhadap
kampung halaman dan segala isinya. Hal tersebut membuatnya tak enak
hati. Tenggorokannya semakin mengering hingga meneguk ludah pun
terasa sulit.
“A-aku—Sasuke-kun …” Sakura menggigit bibirnya kuat-kuat,
“maaf, aku—”

193

“Aku hanya meminta waktu, bukan kata maaf.” Sasuke merasakan
Sakura menarik diri dari tubuhnya. Gadis itu kembali menelaah mimik
mukanya. Masih datar. “Itu lebih pantas untuk kuucapkan.”

Sakura memeluk Sasuke erat-erat tanpa suara. Dia tak mengujar
apa-apa. Sasuke bisa merasakan betapa tegang tubuh yang memeluknya
saat ini. Maka, dia menyentuh punggungnya, membantunya rileks.
Namun, tak begitu berpengaruh banyak. Dia merasa tubuhnya memberat
karena Sakura menumpu bobotnya pada tubuh Sasuke. Hal tersebut
membuat Sasuke paham bahwa sesuatu di dalam diri Sakura sedang
melemah dan merapuh, hingga menopang tubuh pun rasanya begitu berat.

“Sakura.”
Gadis itu menenggelamkan wajah ke dalam bahu. Dia menggeleng
lemah. Lalu, diteguknya ludah sepelan mungkin, agar suara mengalirnya
cairan di kerongkongannya tak mencapai daun telinga Sasuke. “Tidak apa-
apa. Kau bisa melupakan kata-kataku semalam. Anggap saja itu tidak
terjadi sama sekali,” ucap Sakura dengan napas gemetar.
“Aku tidak akan melupakannya. Aku hanya butuh waktu.”
“Kalau begitu aku akan memberikanmu waktu.” Sakura
memejamkan kedua matanya erat-erat. Dia sengaja meredam suaranya ke
dalam bahu Sasuke agar lelaki itu tak mendapati getaran pada suaranya.
“Ambillah sebanyak yang kauperlukan.”
“Kau ... yakin?”
Pelukan di leher Sasuke semakin mengerat. “Memangnya aku
terdengar tidak yakin?”
Sasuke mendorong pelan bahu Sakura hingga gadis itu melepas
dekapannya. Ditahannya posisi yang cukup untuk dirinya mendapati
ekspresi wajah gadis di hadapannya. Waktu yang dimintanya tidaklah
bersifat memaksa. Jika Sakura tak memenuhi permintaannya, Sasuke akan
berusaha menerimanya dengan tangan terbuka. Meski dia masih

194

menginginkan Sakura untuk berada di sisinya, tetapi dia tak bisa
mendorong keadaan seenaknya.

“Katakan lagi.”
“Mmm ... aku …” Mata Sakura melirik ke arah kiri secara refleks,
melakukan gerak-gerik yang menandakan seseorang tengah berbohong.
Menyadari hal tersebut, Sakura langsung menatap mata Sasuke lurus-
lurus kembali. Dia tahu dirinya bukanlah seseorang yang pandai
berbohong. Dia tak sanggup mengucap sesuatu yang tak sesuai dengan
kenyataan sembari menatap mata Sasuke seperti ini. “Kenapa?
Memangnya yang tadi kurang jelas?”
Sesuai dugaannya, kata-kata Sakura tadi memanglah tidak
berdasarkan hatinya yang mendalam. Dia akan mencoba mengujinya sekali
lagi. “Katakan saja, Sakura.”
“A-aku …”
Sakura masih kelihatan tidak yakin, sebesar apa pun gadis itu
berusaha untuk tidak terlihat begitu. Sasuke mendesah. Dia tak akan
memaksakan keadaan jika begini. Demi kenyamanan Sakura, dia akan
mengalah pada keinginan besarnya mengenai Sakura yang tetap berada di
sisinya. Matanya terpejam membayangkan hari-hari ke depan dia akan
melalui segalanya sendiri lagi, seperti apa yang sudah terjadi sebelum-
sebelumnya. Masalah sanggup atau tidak, Sasuke harus sanggup. Dia
adalah satu satu shinobi terkuat. Seharusnya hal-hal seperti ini tak perlu
mengusiknya.
“Hari ini kita kembali ke Konoha,” putus Sasuke secara sepihak.
“Apa? Tadi kau bilang—”
“Aku akan mengantarmu pulang.”
“Jadi maksudmu hanya mengantar? Kau akan pergi lagi setelahnya?”
“Hn.”

195

Seolah-olah tulang punggungnya terkena sengatan listrik mendadak,
Sakura menegakkan tubuhnya seketika. Kedua kelopak matanya melebar
dan melempar tatapan tak setuju pada Sasuke. “Apa?! Tidak. Tidak!”

“Sakura,” bisik Sasuke sebagai upayanya untuk membuat gadis yang
namanya disebut tenang.

Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya secara berulang. Kedua
tangannya saling meremas untuk menenangkan diri dari keterkejutan.
“Pilihannya hanya dua. Kita sama-sama menetap di Konoha atau aku tetap
bersamamu selama bepergian!”

“Keputusanku tidak ada di pilihan itu.”
“Aku tidak peduli. Di luar itu aku tidak mau menurutimu!” Sakura
menggigit bibirnya setelah mengalihkan pandangan. Kedua tangannya
disilang di depan dada. Dia marah pada Sasuke karena memutuskan
sesuatu seenaknya. Apalagi, yang diputuskan adalah langkah kaki Sakura,
tanpa keputusan orang yang terkait pula.
Sasuke menarik dagu Sakura dan memaksa gadis itu untuk menatap
matanya. Sakura yang masih berang terus memberontak. Sekalipun Sasuke
berhasil membuat wajahnya menghadap wajah lelaki itu, Sakura tetap
mengalihkan pandangan pada hal lain.
Sebelum dia memutuskan hal ini, Sasuke sudah tahu akan seperti
apa respons Sakura. Gadis itu pasti akan menentangnya. Namun, Sasuke
tak akan menyerah dengan hal itu. Ini adalah hal yang adil bagi kedua-
duanya. Sakura yang rindu kampung halaman bisa pulang, dirinya yang
belum mau menetap di mana pun bisa tetap mengelana. Meski separuh
hatinya tak mau ini terjadi, tetapi inilah satu-satunya jalan yang seimbang.
Tidak memberi condong ke sisi mana pun. Bahkan rasa sakit mengenai
akan kehilangan satu sama lain di sisi masing-masing pun seimbang.
Apalagi, dia tahu inilah yang terbaik untuk Sakura, secara mental maupun
fisiknya.

196

“Sakura, kau semakin kurus. Bahkan rambutmu rontok. Kalau kau
menetap di Konoha, ini tak akan terjadi.” Sasuke mengulurkan tangan
untuk menyentuh ujung rambut Sakura, tetapi Sakura menepisnya. “Kau
harus dan perlu pulang. Jangan membantahku.”

Bagi Sakura, kata-kata Sasuke terdengar sangat konyol. Yang
disebut barusan bukanlah masalah-masalah yang tidak memiliki solusi.
Barangkali, Sasuke hanya mencari-cari alasan kecil maupun besar agar
Sakura bisa menuruti keputusannya. Hal ini membuat dada Sakura terasa
perih. Apakah Sasuke tidak menginginkannya lagi?

Mengabaikan pemikiran terakhirnya dengan cara berperangai tegar,
Sakura meneguk ludah sebelum berkata, “Aku akan makan lebih banyak
kalau begitu. Dan rambutku yang rontok tak akan membuatku sampai
botak, sialan!”

“Aku serius,” desis Sasuke ketika mendengar tanggapan Sakura yang
berkesan sedang bercanda. Namun, sorot mata beriris hijau yang dipenuhi
emosi tersebut justru menunjukkan sebaliknya, dan membuat Sasuke
menyesal telah menyatakan keseriusan di kondisi yang memang sudah
terbangun seperti itu.

“Kau pikir aku bercanda? Aku juga serius, Sasuke-kun!”
Sasuke ingat ini bukanlah pertengkaran pertama mereka. Akan
tetapi, ini adalah pertengkaran pertama yang nyata, bukan mendebatkan
hal-hal sepele yang bisa dilupakan kapan saja seperti biasanya. Sangat
serius, sampai-sampai gejolak batin di antara kedua-duanya seolah-olah
turut memercik udara yang dingin menjadi panas. Di pertengkaran sepele
sebelumnya, Sasuke masih ingat apa yang membuat Sakura bungkam dan
tak melawannya lagi. Dalam diam, dia berharap bahwa hal itu akan
berlaku juga untuk sekarang.
Dengan tangan yang masih menempel di dagu Sakura untuk tetap
membuat gadis itu menghadap wajahnya, kedua matanya dipertahankan

197

untuk tetap terbuka dan dipicingkan ke arah Sakura. Dia memberi isyarat
bahwa kata-katanya mutlak dan tak bisa dibantah. “Sakura, jangan seperti
ini terus!”

“Seperti ini apa?”
“Kau terlalu memikirkan kenyamananku tanpa memikirkan dirimu
sendiri.”
Meski Sasuke tak meninggikan nada suaranya, tetapi suara yang
lebih dingin, tegas, dan tajam cukup untuk membuat Sakura menggigil.
Mencoba menutupi rasa takut, dia balas memicingkan mata tanpa sorot
gentar.
“Aku bisa mengatakan hal yang sama padamu!”
“Jangan munafik. Aku tahu kau memberiku waktu secara terpaksa
sampai kau menyembunyikan wajahmu ketika mengatakannya.” Mimik
mukanya masih bertahan dengan sorot berang karena terus-menerus
dilawan.
Mencoba mengabaikan jantungnya yang terasa dihunjam keras
karena dikatai munafik, oleh Sasuke, Sakura memutar kedua bola matanya
dan tertawa sinis. “Munafik? Yang munafik itu siapa, Sasuke-kun?
Bukankah kau juga sesungguhnya menginginkan aku tetap bersamamu
tetapi kau malah memaksaku pulang?”
Sasuke mendecih keras. Dia tak menanggapi apa-apa lagi.
Tangannya yang memegang dagu Sakura dilepas dengan kasar.
“Aku tidak mau pulang jika kau harus pergi lagi. Titik.”
Sasuke masih diam. Dia tahu Sakura mengorbankan perasaan demi
dirinya. Gadis itu berlagak kuat, dan membohongi perasaannya sendiri.
Sasuke sadar dia tak layak menerima hal tersebut. Apa yang Sakura
berikan padanya sudah lebih dari cukup. Bahkan apabila Sasuke berusaha
menekan perasaannya sendiri terhadap Sakura, dia sangat sadar bahwa
Sakura layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik daripada dirinya.

198

Seseorang yang bukan mantan kriminal dan nyaris membunuhnya jika saja
tak ada yang menolong.

Dia benar-benar tak mau mengalah pada kekeraskepalaan Sakura
kali ini. Tidak lagi. Terlepas dari Sakura yang rindu orang tuanya, teman-
temannya, dan pekerjaannya; Konoha merupakan tempat teraman. Tak
akan ada yang namanya kekurangan makanan dan minuman. Tak perlu
kedinginan karena Sasuke tahu rumah maupun apartemen Sakura
memiliki pemanas ruangan. Tak perlu kesulitan mencari tempat
berlindung dari panas dan hujan. Tak akan ada pintu dimensi tak
kasatmata yang bertujuan untuk memunculkan ketakutan terbesar.
Meskipun dia tahu mungkin misi-misi yang diberikan untuk Sakura pun
akan membahayakan nyawanya, tetapi tak akan separah di sini. Maka,
Sasuke akan melakukan apa saja, mengatakan apa saja, asalkan Sakura tak
akan lagi melawannya. Barangkali Sakura akan merasa sakit sekali, tetapi
bagi Sasuke hal itu lebih baik daripada Sakura yang mengorbankan
perasaannya sendiri dan hidup di bawah bayang-bayang ketidakamanan.

“Kau tahu, sekarang kau bertindak sok kuat seperti ini,
membohongi dirimu sendiri atas apa yang sebenarnya kaurasakan, ini sama
sekali tak ada bedanya dengan saat kau menyatakan cinta pada Naruto!”

Hening.
Kali ini, Sakura tak melawan. Dia merasa tersentak. Keduanya tahu
betapa ini merupakan topik paling sensitif yang tak mau Sakura bahas
lebih dari satu kali. Sebuah masalah yang membuat Sakura ingat bahwa
dia pernah menyakiti seseorang separah itu, membohongi diri sendiri
sebesar itu, hal-hal yang membuatnya mengerang keras karena sangat
menyesal setiap kali mengingatnya.
Sakura tahu bahwa Sasuke sadar mengenai hal tersebut. Yang
membuatnya terkejut adalah Sasuke mengatakannya dengan sengaja,

199

seolah-olah memang berniat menyakitinya. Kesengajaan tersebut
membuat rasa sakitnya semakin mendalam.

Kepala Sakura tertunduk hingga poninya menutupi wajah. Sasuke
tahu usahanya berhasil ketika mendapati Sakura yang tak melawannya lagi.
Bukannya merasa lega atau merasa menang, Sasuke justru semakin merasa
tak enak hati. Perasaan tak enak tersebut berlipat menjadi berkali-kali
ketika Sakura menampar wajahnya menggunakan tangannya sendiri,
kemudian pergi begitu saja tanpa sepatah pun kata.

Sasuke langsung tersadar bahwa dia benar-benar menyakiti Sakura
kali ini. Ini bukan pengalaman pertamanya dalam menerima serangan yang
Sakura lancarkan. Akan tetapi, rasa sakitnya berbeda. Sengatan yang terasa
di pipinya seolah-olah merepresentasikan sakitnya hati Sakura, hingga
perih itu merambat ke dadanya. Dia melirik Sakura yang berjalan menjauh
melalui ujung matanya. Tubuhnya masih membeku. Hatinya berteriak
untuk menyusul dan mengatakan maaf, tetapi tak satu pun saraf di
tubuhnya yang mau merespons.

Dengan langkah tertatih, Sakura membentuk tangan yang baru saja
menampar Sasuke menjadi kepalan erat. Bekas kontak kerasnya masih
terasa. Dia mengigit bibirnya yang dingin. Matanya yang masih bengkak
bekas semalam justru membuatnya jadi lebih mudah menangis. Dia tahu
Sasuke sengaja menyakitinya dengan kata-kata agar dirinya mau pulang ke
Konoha dan berpisah dengan lelaki itu secara lokasi, atau bahkan lebih
dari itu.

Inilah yang paling menyakiti Sakura. Bagaimana bisa tidak sakit dan
merasa dicampakkan apabila dia sadar bahwa Sasuke berusaha keras untuk
membuatnya mau pulang—secara tidak langsung mendorongnya menjauh?
Kali ini dia tak punya alasan untuk mengabaikan pikiran bahwa Sasuke tak
menginginkannya lagi. Meski tebakan menyakitkan tersebut masih bisa

200

dipatahkan oleh pelukan hangat Sasuke semalam, atau cara lelaki itu
berbisik lirih mengenai permintaannya akan waktu yang lebih lama.

Namun, hati Sakura terlalu sakit hingga menumpulkan jalan otak
untuk memutar memori-memori yang masih hangat itu. Apa yang
berkelebat di dalam benaknya saat ini adalah Sasuke yang mengatainya
munafik, menyama-nyamakan apa yang terjadi saat ini dengan salah satu
hal yang dia sesali dengan sungguh-sungguh, mencoba mendorongnya
menjauh, dan segala hal tersebut mencabik hatinya sedalam-dalamnya.
Apalagi jika mengingat dugaan adanya unsur kesengajaan di dalam segala
aksi Sasuke.

Dia tahu dirinya terlalu naif jika masih mengharapkan Sasuke
menyusulnya dan mengatakan kata maaf. Akan tetapi, dia memang senaif
itu. Meski sesungguhnya dia pun tak yakin bisa memaafkan Sasuke
dengan mudah apabila itu terjadi. Namun, hati kecil Sakura masih ingin
memberikan kesempatan. Jika dalam hitungan sepuluh Sasuke melakukan
pergerakan untuk mendekatinya kembali dan mengucap maaf, Sakura
akan memaafkannya. Lebih dari itu urusannya lain.

Sampai kalkulasi kesepuluh, Sakura tak menalar pergerakan apa-apa.
Dengan secercah asa, dia menghentikan langkah dan melirik ke belakang
untuk memastikan apakah Sasuke melakukan sebuah usaha, yang nyatanya
tidak. Lelaki itu masih duduk di tempat yang sama dengan posisi tubuh
yang membelakanginya.

Tiba-tiba Sakura merasa jantungnya merosot ke perut. Dadanya
ditekan oleh sebuah beban terberat hingga napasnya sesak. Air matanya
tumpah jauh lebih banyak setelah mendapati Sasuke yang tampak tak
menyesali apa-apa. Hal tersebut cukup untuk membuat langkah tertatih
Sakura berubah menjadi langkah-langkah besar dalam bentuk pelarian.

Sakura sudah berkali-kali merasa sakit karena Sasuke, entah akibat
dari yang sengaja lelaki itu lakukan ataupun tidak. Namun, kali ini rasanya

201

jauh lebih sakit daripada apa pun. Sebelumnya dia sudah memegang
kepercayaan besar terhadap Sasuke dan yakin bahwa lelaki itu tak akan
menyakitinya lagi. Namun, nyatanya Sasuke mengkhianati kepercayaan
Sakura tentang itu. Yang dia rasakan sekarang adalah tekanan berlapis,
disakiti dan dikhianati. Itulah yang menyebabkan dirinya merasa rapuh
serapuh-rapuhnya.

202

18
Alasan dan Resolusi

Barang-barang milik Sakura berceceran di mana-mana. Sasuke
menatap Sakura yang membelakangi tubuhnya dan sempat menangkap
bahu gadis itu yang menegang ketika dia secara terang-terangan
menunjukkan eksistensinya di dalam gua. Langkah kakinya masih dibuat
keras agar Sakura benar-benar paham bahwa dia ada di sana. Namun,
Sakura masih tampak tak acuh dan terus membelakangi tubuhnya.

“Aku bisa lihat kau benar-benar tidak mau pulang,” komentar
Sasuke mengenai barang-barang yang berantakan. Bukan hanya pulang,
bahkan berpindah tempat, tambahnya dalam hati.

Sakura tak menanggapi sama sekali. Gadis itu masih bertingkah
layaknya Sasuke sama sekali tak ada di sini ataupun mengajaknya bicara.

Merasa diabaikan, Sasuke mengembuskan napas keras. Dia tahu
jelas bahwa Sakura masih marah atau bahkan benar-benar sakit hati
karenanya. Maka dari itu, dia ingin menyelesaikan masalah ini sekarang
juga. Setelah berdiam diri lama hingga mentari semakin naik ke atas,
Sasuke menyimpulkan sesuatu. Pasti ada alasan lain yang membuat Sakura
sekukuh itu untuk tidak mau ditinggal di Konoha sendiri. Gadis itu

203

memiliki kehidupan yang nyaris sempurna di Konoha; jelas butuh
pertimbangan yang sangat besar untuk pergi.

“Kita perlu bicara.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan,” sahut Sakura dingin.
Sasuke sudah menyangka seperti itulah tanggapan Sakura. Maka,
dia tak terkejut ataupun merasa jengkel. Dengan langkah yang dibuat
santai, dia berjalan mendekati Sakura dan duduk di sisinya. Sesuai
dugaannya lagi, gadis itu langsung beringsut menjauh.
“Kau tidak mau kutinggal sendiri di desa, bukan?” Sasuke berkata
tanpa memutus pandangan dari Sakura yang masih saja memalingkan
wajahnya. “Katakan padaku apa alasannya. Buat aku yakin.”
Sakura akhirnya mau menatap wajah Sasuke meskipun disoroti
mimik marah. Bibirnya bergetar keras. Rasa sakit yang dialaminya
beberapa jam lalu masih membekas seperti pertama kali dia merasakannya.
“Maksudmu kau memintaku untuk membujukmu!?”
“Tidak. Bukan itu.” Dia menarik napas dalam-dalam yang sempat
terasa sulit karena merasa bersalah. “Aku punya alasan mengapa aku tidak
mau memaksamu tetap bersamaku ataupun menetap di Konoha dalam
waktu dekat. Aku yakin kau juga pasti memiliki alasan.”
Sakura enggan menanggapi kembali. Dia beringsut semakin
menjauh lagi sembari menutupi wajah menggunakan satu tangan. Sasuke
tak akan langsung menyerah. Mereka perlu membicarakan masalah ini
baik-baik. Maka, dia menarik salah satu lengan Sakura sampai gadis itu
menyentak tangan dan berteriak, “Jangan sentuh aku!”
“Sakura, kita selesaikan masalah ini baik-baik,” bujuk Sasuke.
“Jangan seperti anak kecil.”
“Munafik, anak kecil, apa lagi, Sasuke-kun? Aku apa lagi?”
Sasuke mengembuskan napas panjang. Dadanya terus-menerus
dihunjam perasaan bersalah yang mendalam. Dia tahu rasa sakit Sakura

204

jauh lebih mendalam daripada perasaan bersalahnya. Hal tersebut
membuatnya menyesal sesungguh-sungguhnya. Seharusnya dari awal dia
berpikir untuk menyelesaikan masalah ini baik-baik tanpa membawa
emosi ataupun mencampurinya dengan kata-kata yang membuat Sakura
sakit hati.

“Maafkan aku, Sakura. Tidak semua yang kukatakan tadi itu
sungguh-sungguh. Aku benar-benar menyesal.”

“Aku tahu kau membohongi dirimu sendiri untuk mendorongku
menjauh. Aku tahu kau sengaja menyakitiku agar aku mau kau tinggalkan.
Bukankah semua itu terdengar familier? Apa ... apa bedanya dengan ...
aku?”

Sasuke kehilangan kata-katanya. Sakura benar. Dia menghujat
Sakura tentang hal yang dia lakukan sendiri. Itu membuat pahit di
kerongkongannya semakin memekat. Matanya menatap Sakura penuh
penyesalan. Setidaknya, Sakura paham bahwa dia tak bersungguh-sungguh
dalam semua kata-katanya.

“Baik, aku akan mengatakan apa alasanku,” Sakura berujar setelah
menenangkan diri dengan cara mengatur napas. Dia perlu tenang. Jika
pembicaraan ini dilanjutkan dengan campuran emosi, maka akhirnya tak
akan jauh seperti fajar tadi. Setidaknya, dengan mengatakan alasannya,
barangkali itu bisa meyakinkan Sasuke untuk tidak membawanya pulang
ketika lelaki itu masih enggan menetap. “Aku tidak akan bertindak seperti
anak kecil,” imbuhnya sembari menyindir.

Sakura mengatur napas lagi. Apa yang dia katakan sekarang adalah
sesuatu yang dia sembunyikan dari Sasuke selama ini. Entah kenapa,
rasanya dia tak mau menceritakannya sama sekali. Apalagi, Sasuke tak
bertanya sebelumnya. Dia mencoba memberanikan diri menatap mata
Sasuke. Kedua mata berbeda warna itu masih sama dengan yang
membentaknya fajar tadi. Dia meringis merasakan dadanya berdenyut

205

nyeri kembali. Namun, Sakura berusaha menguatkan diri mengingat
Sasuke yang hampir mengibarkan bendera putih di dalam masalah ini.

“Memangnya sesulit apa memahami bahwa aku ingin menghabiskan
waktuku bersama seseorang yang kucintai?” Sakura terdiam sejenak.
Tenggorokannya terasa tersekat ketika dia menyadari bahwa air matanya
meluncur lagi. Yang disebutnya barusan hanyalah kulit terluar dari seluruh
lapisan alasan yang dia miliki. Melihat Sasuke hendak membuka mulut,
Sakura lekas menambahkan, “Dan kau! Sejak awal kaulah yang
mengajakku! Kau pernah menolakku untuk ikut, dan aku tidak menuntut
apa-apa lagi. Kemudian kau tiba-tiba mengajakku ikut bersamamu. Lantas
kau hendak membuangku begitu saja? Apakah kau tidak sadar betapa
menyakitkannya hal itu?”

Sakura menggigit bibir. “Ketika aku tahu bahwa kau juga
mencintaiku, aku pikir kau pasti memahami mengapa betapa mudahnya
dulu aku memintamu untuk membiarkan aku ikut atau saat menerima
ajakanmu. Bukankah kau juga ingin menghabiskan waktumu bersama
seseorang yang kaucintai? Awalnya kupikir begitu. Tapi setelah ini …
sepertinya aku salah. Mungkin kau hanya merasa bersalah. Mungkin
membawaku bersamamu hanyalah caramu menebus rasa bersalahmu
padaku. Seperti kata maaf yang kauucapkan, aku memikirkan apakah kau
benar-benar tulus mengatakannya atau kau hanya ingin mengurangi rasa
bersalahmu? Kau pasti tidak mengerti … jika melihat caramu yang begitu
mudah memutuskan untuk meninggalkanku lagi … kau pasti tidak
mengerti perasaanku.

“Dan kehidupanku di Konoha tidak sebaik yang kaupikir. Kau lihat
‘kan orang tuaku tidak membalas suratku hingga sekarang? Aku sering
bertengkar dengan ibuku. Ayahku tidak pernah ada di pihakku. Ibuku
beberapa kali mempermalukan aku di depan umum, bahkan ketika aku
dipromosikan menjadi chuunin, ibuku membeberkan semua kejelekanku

206

di rumah di depan semua orang. Ibuku bilang mungkin aku hanya akan
menjadi beban.” Sakura mulai mengisak. “Kadang-kadang aku hanya ingin
pergi, kau tahu? Aku butuh jeda dan istirahat dari masalahku dengan
orang tuaku. Ternyata memiliki tempat tinggal sendiri yang terpisah dari
mereka tidak cukup. Saat berpapasan di jalan, ibuku akan menceramahiku
lagi, di depan semua orang, mengatakan kata-kata tentang betapa dia
berharap aparetemenku tidak kotor dan bau karena ibuku pikir aku terlalu
malas untuk membereskannya. Ayahku tidak membelaku. Ayahku malah
membuat lelucon di tengah-tengah semua itu. Aku tahu tindakanku yang
terkadang malas beres-beres di rumah karena terlalu lelah di luar adalah
tindakan yang salah, tapi apakah perlu membeberkan semua itu di depan
semua orang? Apakah perlu mempermalukanku seperti itu?”

Melihat Sasuke yang diam dan terus mendengarkan tanpa
memandang rendah, air mata Sakura mengalir semakin parah. Dia
sesenggukan semakin keras hingga bahunya terguncang-guncang.
Hidungnya sudah terasa penuh.

“Aku butuh istirahat dari semua itu, Sasuke-kun. Kadang-kadang
saat berjalan di desa saja aku khawatir akan berpapasan dengan orang
tuaku karena takut dipermalukan lagi. Aku pikir … jika aku pergi …
mereka akan merindukanku dan akan lebih menghargai pencapaianku
daripada mempermalukanku. Tapi sekarang … buktinya … mereka bahkan
tidak membalas suratku ….”

Kepala Sakura diangkat dan dia menatap mata Sasuke lurus-lurus.
“Tapi jika ada kau di sisiku, entah mengapa aku tidak setakut itu. Kau
selalu menghargai pencapaianku. Aku masih ingat saat ujian chuunin dulu,
aku merasa cemas memikirkan apakah aku akan bisa lulus. Di tengah-
tengah kecemasanku, kau menaikkan rasa percaya diriku soal aku yang
sadar bahwa lantai itu bukanlah lantai yang semestinya dan kita berada di
bawah pengaruh genjutsu.”

207

Melihat Sasuke hendak memotong pembicaraannya lagi, Sakura
menggeleng untuk menahan Sasuke dan lekas melanjutkan. “Ada banyak
orang yang menghargai pencapaianku. Tsunade-sama bahkan bangga
padaku. Kakashi-sensei cukup percaya padaku untuk memberiku gelar
jounin. Tapi … apakah kau pernah dengar bahwa mencintai seseorang itu
memberimu keberanian? Itulah sebabnya aku tidak takut apa pun ketika
bersamamu.”

Sasuke diam, menanti apakah Sakura hendak melanjutkan kata-
katanya lagi. Namun, bibir gadis itu bergetar dan tangisnya sekali lagi
tumpah. Dia membekap mulutnya sendiri dan tersedu-sedu. Sasuke
mengerutkan keningnya karena khawatir.

“Kenapa tidak beri tahu aku lebih awal?” ucapnya pelan.
Dia menggeser tubuhnya mendekati Sakura. Tangannya terulur
untuk menghapus air mata yang tak henti-hentinya mengalir dari sudut
mata Sakura. Ketika Sakura menyandarkan kepala pada dadanya, dia tahu
gadis itu sudah memaafkannya.
Alasan Sakura enggan pulang ke Konoha nyatanya mirip dengannya.
Mereka sama-sama butuh istirahat dari sana. Sasuke amat sangat
memahami hal itu, dan dia tidak menghakimi Sakura atas apa pun. Dulu,
hubungannya dengan ayahnya pun kurang baik. Dia sudah merasa cukup
tersiksa ketika ayahnya tidak pernah tampak bangga padanya. Tak bisa
dibayangkan apabila ayahnya mempermalukan dirinya di depan orang lain
saat kakaknya merupakan seorang prodigi yang gemilang.
Namun, rasa bersalah masih tertumpuk di dalam dadanya. Sakura
pernah bilang sesuatu tentang bekas luka yang akan sulit hilang sekalipun
sumber rasa sakit itu sudah tidak ada. Gadis itu pasti akan mengalami itu.
Apalagi, pernyataan Sakura tadi menunjukkan bahwa semua ini adalah
salah Sasuke dari awal. Dia tak ada di sisi Sakura ketika gadis itu
membutuhkannya. Padahal seharusnya dia melindunginya.

208

“Sakura, aku—maafkan aku. Aku tidak akan memaksamu pulang
tanpa aku lagi.” Sasuke merengkuh Sakura perlahan. Tak adanya
pemberontakan membuat Sasuke semakin yakin bahwa Sakura sudah tak
marah lagi. Akan tetapi, itu hanya mampu membuatnya merasa lebih baik
sedikit.

“Terima kasih sudah mengerti.” Sakura mencoba menghentikan
isakannya. Dia mengutuk diri mengingat betapa seringnya dia menangis
selama dua hari ke belakang. “Bisa kita melupakan masalah ini sekarang?”

“Ya. Tentu saja.”
Sasuke melepas dekapan ketika merasa Sakura memundurkan
tubuhnya. Tangannya mengusap jejak air mata di pipi Sakura. Dia merasa
lega akhirnya Sakura kembali mengizinkan untuk menyentuhnya.
“Aku benar-benar menyesal.”
“Tidak apa-apa.” Sakura menggeleng dan tersenyum kecil.
Kemudian senyumnya menghilang ketika memikirkan alasan-alasan atas
pernyataan Sasuke yang disebut sebelum membahas alasannya. “Sasuke-
kun, apa alasanmu tidak bisa menetap di Konoha?”
Sasuke terdiam sejenak. Sakura baru saja menumpahkan seluruh isi
hatinya padanya. Dia bisa saja melakukan hal yang sama, tetapi dia belum
siap. Apalagi, dengan bercerita akan membuatnya mencoba mengingat
detail-detail yang menyakitkan baginya. Dia memikirkan sesuatu untuk
menjawab pertanyaan Sakura. Bagaimanapun, dia akan memberikan gadis
itu jawaban.
“Tidak jauh berbeda darimu, aku butuh istirahat dari Konoha.”
Sasuke mengembuskan napas panjang. “Untuk lebih lengkapnya akan
kuberi tahu lain kali.”
“Kau bisa memberitahuku kapan pun kau siap.”
Sasuke mengangguk. Dia lega Sakura tidak menekannya.

209

“Jadi ... bagaimana?” tanya Sakura ketika sadar bahwa mereka belum
menentukan solusi tentang masalah pulang atau tidak.

“Aku belum bisa menetap di Konoha dan kau tak bisa kutinggal
sendiri di sana,” simpul Sasuke. “Kau tidak masalah jika memberi aku
waktu?”

“Tidak masalah. Meski, yah, sejujurnya aku benar-benar rindu
Konoha. Tetapi ... aku lebih takut jika harus menetap di Konoha
tanpamu.”

Sasuke mengangguk paham. Segalanya jelas sekarang. Dia meringis
memikirkan jika saja mereka membuka segalanya seperti ini di
pembicaraan awal, pasti tak akan ada pertengkaran yang membentuk rasa
sakit.

“Oh, iya. Bisakah kita menetap di sini semalam lagi? Kau tahu,
matahari terbitnya cantik sekali. Aku ingin melihatnya sekali lagi.”

Sasuke tersenyum tipis. Ternyata alam memberi efek yang sama
bagi Sakura. “Kenapa tidak?”

210

211

19
Tak Terdefinisi

Kereta yang membawa muatan dari Pulau Beku ke Negara Salju—
yang sekarang merupakan Negara Musim Semi—melaju sangat cepat.
Berada di dalam kereta tersebut, Sakura memikirkan betapa fluktuatifnya
teknologi yang mereka gunakan selama dalam perjalanan. Dari menetap di
gua seperti manusia purba, kini mereka menaiki kereta yang merupakan
fasilitas paling modern yang pernah mereka gunakan sejauh ini.

Dari jendela, dapat terlihat bahwa kereta sebentar lagi akan
menyeberangi jembatan yang memisahkan Pulau Beku dengan Negara
Musim Semi. Jembatan itu terbentang dengan kedua ujung berada di atas
tebing. Saat kereta sudah berada di atas jembatan, Sakura berdiri agar
sudut pandangnya bisa sampai ke bawah tebing. Di sana terdapat sungai
yang mengalir dengan deras, serta beberapa kilometer dari jembatan itu
terdapat sebuah air terjun.

Sakura terkesima melihat perubahan pemandangan yang tadinya
hanya didominasi dengan selimut salju, kini berubah menjadi hijau dan
warna-warni dari bunga. Yang dikatakan oleh Koyuki-hime ternyata benar,
pada akhirnya musim semi bisa menetap di negeri yang awalnya hanya
diselimuti oleh salju dan badainya. Pengembangan alat yang dibuat oleh

212

ayahnya telah berhasil dan Sakura tak menduga dia bisa melihat buktinya
secara langsung, bukan hanya mendengar dari berita saja.

Sekitar tiga jam setelah melewati jembatan itu, kereta berhenti di
stasiun utama Negara Musim Semi. Sasuke dan Sakura segera turun,
melepaskan pakaian musim dingin mereka dan menggantinya menjadi
pakaian biasa, serta mencari makanan di sekitar sana untuk dikonsumsi
langsung serta berbelanja untuk perbekalan.

Alih-alih melewati jalan utama menuju Kastil Kazahana, mereka
mengambil jalan memutar melalui tempat yang familier dengan mereka.
Tempat tiga generator panas yang terus mencairkan salju agar negeri ini
tetap bermusim semi menjulang tinggi di sekitar danau. Tidak butuh
waktu yang terlalu lama untuk sampai di sana. Matahari bahkan masih
bersinar ketika destinasi sudah di depan mata.

Sakura mengoceh soal masa lalu mereka di sini. Dia pun
membicarakan Koyuki-hime yang sangat ingin dia ketahui bagaimana
kabarnya dengan statusnya yang kini sudah bertahun-tahun menjadi
daimyou. Namun, dia sadar bahwa daimyou sekaligus aktris itu pasti tidak
punya waktu untuk menemui turis seperti mereka.

“Ngomong-ngomong, Sasuke-kun,” ucap Sakura setelah membahas
Koyuki-hime.

“Hn.”
“Apakah menurutmu aku cocok jadi aktris? Aku cukup cantik
untuk itu, ‘kan?”
Sasuke memutar bola matanya. Dia hanya mendengus menanggapi
pertanyaan Sakura.
“Sesulit itu, ya, memujiku cantik, huh?” Sakura mendelik. Dia
menyilangkan tangan di depan dada sembari berjalan.
Tempat yang memiliki kenangan itu kini sudah begitu dekat
dengan mereka. Tanpa ada petunjuk apa pun, Sakura tiba-tiba duduk di

213

atas rerumputan. Dia menengadahkan kepalanya dan menatap ke arah
pelangi yang terbentuk di dekat generator panas. Sasuke yang sempat
berjalan mendahului langsung berputar arah dan duduk di sisinya.

“Kau ingat percakapan Koyuki-hime dengan ayahnya yang diputar
di sini seperti film?” tanya Sakura.

“Ingat.”
Sakura menepuk-nepuk pahanya. “Sini.” Dia menarik tubuh Sasuke
dengan tenaga yang kuat sampai lelaki itu berbaring di atas pahanya.
Napas Sasuke tertahan karena terkejut.
“Dulu kau menontonnya sambil berbaring seperti ini.”
Sasuke merasa rikuh. Dia menggosok hidungnya untuk menutupi
wajahnya yang memanas.
“Tahu tidak, dulu aku memikirkan soal itu berhari-hari. Kau
memang terluka waktu itu, tapi kau masih bisa bergerak untuk tidak
berbaring di atas pangkuanku.”
Sasuke diam, pura-pura tidak mendengar kata-kata Sakura
sementara leher dan wajahnya memanas.
“Kau masih bisa bergerak untuk pergi, tapi kau memilih untuk
tidak melakukannya. Itu sekitar delapan tahun yang lalu, ‘kan?” Sakura
menarik tangan Sasuke yang menutupi wajahnya. Dia menunduk sampai
wajah mereka berada dalam satu garis lurus. “Beri tahu aku, Sasuke-kun.
Apakah kau sudah suka padaku sejak dulu?” Sakura terkikik sembari
menyelipkan jemarinya di ruas jemari Sasuke.
“Kenapa kau suka sekali membahas masa lalu?” Sasuke mengalihkan
pandangan dan mendecih.
“Kenapa kau suka sekali mengalihkan pembicaraan?” Sakura
menatap Sasuke dengan sorot mata galak. “Ayo jawab pertanyaanku!”
Sasuke berdeham. Dia menarik napas panjang. Tangannya meremas
tangan Sakura yang sudah berada di dalam genggamannya.

214

“Sejak dulu aku sudah berpikir kau adalah salah satu orang yang
berharga untukku, tapi aku tidak memperhitungkanmu sebagai teman.”

Kedua alis Sakura menukik. “Tidak dianggap sebagai teman?
Maksudmu? Lantas kau menganggap aku apa?”

“Entahlah.”
Melihat sorot mata Sasuke yang tulus, Sakura yakin bahwa lelaki itu
benar-benar tidak tahu. Dia melepas genggamannya dan mengusap wajah
Sasuke. Sasuke balas menyentuh pipinya.
“Tapi aku bisa merasakan kau sudah peduli padaku sejak dulu.”
“Ya.”
Sakura tersenyum. Usapannya merambat pada rambut hitam Sasuke
dan memelintirnya. Mereka menikmati keheningan dan suasana hangat
yang menguar di sekitar mereka.
Di dalam keheningan itu, Sasuke memikirkan pertanyaan Sakura
berkali-kali di dalam kepalanya. Perasaan yang dia rasakan dulu pada
Sakura memang serupa dengan yang dia rasakan sekarang, tetapi tidak
sama. Dia tidak tahu mendefinisikannya seperti apa. Namun, satu hal yang
dia sadari adalah cinta Sakura untuknya terkadang mengenyahkan rasa
kesepian yang dia rasakan. Dia tidak menyuarakannya dan hanya
menyimpan pikiran itu di dalam kepala. Dengan senyuman yang timbul
setelah dia mengonfirmasi bahwa dirinya memang peduli pada Sakura
sejak dulu, dia yakin gadis itu sudah memiliki jawabannya.
Sakura membaringkan tubuhnya dengan posisi Sasuke masih
berbantalkan pahanya. Sasuke menggeser tubuhnya hingga mereka
berbaring bersebelahan. Tatapan mereka sama-sama terarah pada pelangi.
“Jika suatu hari aku hilang ingatan, aku yakin ada dua hal yang
tidak aku lupakan,” ucap Sakura tiba-tiba.
“Apa?”
“Rasa cintaku padamu … dan semua perjalanan ini.”

215

Sasuke menoleh ke arah Sakura. Dia memainkan rambut yang
menjadi pigura wajah gadis itu. Ekspresi wajahnya teduh.

“Aku bahkan tidak menyayangi diriku sendiri sebesar apa yang
kaurasakan padaku.”

Sakura mengecup bibir Sasuke. “Kau berhak dicintai.”
Sasuke tersenyum. “Terima kasih.”

216

20
Koneksi Baru

“Apakah kita akan ke Negara Tanah setelah ini?” tanya Sakura
sembari meneliti peta yang dibentangkan di atas meja restoran.
Telunjuknya berputar di sekitar lautan yang membatasi Negara Musim
Semi dengan Negara Tanah. Daratan itulah yang paling dekat dengan
lokasi mereka saat ini.

Sasuke menarik peta itu sedikit ke arahnya. Telunjuknya menarik
garis yang menyambungkan Negara Musim Semi dengan Negara Air
Terjun. “Kita ke sini.”

Sakura tertegun. Negara Air Terjun adalah negara yang bertetangga
dengan Negara Api. Dia menatap Sasuke dan menyiratkan sebuah
pertanyaan yang dia yakin akan langsung dipahami.

Sasuke menggeleng. “Belum, Sakura. Maaf.”
“Apakah waktu yang kaupinta waktu itu tidak lama lagi makanya
kita mengarah ke dekat Negara Api?”
Sasuke hanya mengangguk menanggapinya. Hati Sakura
menghangat. Dia sama sekali tidak bisa menahan senyum.
“Ngomong-ngomong, Sasuke-kun …” Sakura menggantungkan
kata-katanya sampai mendengar sahutan berupa gumaman dari Sasuke,

217

“sepertinya sisa uang kita tidak banyak. Kita harus berhemat. Jadi,
mungkin kita harus mengurangi menginap di penginapan.”

“Aku punya solusi.”
“Benarkah? Apa?”
“Kita bisa bermalam di markas Orochimaru. Negara Air Terjun
dekat dengan Negara Bunyi.”
Udara hangat di Negara Musim Semi terasa tidak berguna karena
tubuh Sakura membeku. Meskipun dia mendengar bahwa Orochimaru
berperan penting di pihak aliansi shinobi dalam perang yang terjadi
beberapa tahun lalu atas bantuannya menyembuhkan kondisi lima kage,
tetapi Sakura masih menganggap pria itu sedikit ... menyeramkan dan
eksentrik. Dia melirik Sasuke dengan sedikit ragu-ragu.
“Kau masih berkomunikasi dengannya?” tanyanya sembari
menggigit bibir.
“Semacam itu. Di pengelanaanku sebelum ini, aku beberapa kali
bermalam di sana.”
Napas yang tertahan di dalam perut Sakura terembus begitu saja.
Pelepasan udara dari hidung Sakura membuat Sasuke mengangkat sebelah
alisnya. Dia menoleh dan mendapati wajah gadis itu sedikit diliputi rasa
takut. “Ada apa?”
Air liur membasahi kerongkongan Sakura sesuai dengan instruksi
pemilik tubuhnya. “Hmm, jangan tersinggung, ya, Sasuke-kun. Aku tahu
Orochimaru itu gurumu, tapi ... aku sama sekali tidak bisa menganggap
dia biasa-biasa saja. Kau pasti mengerti maksudku.”
Sasuke mendengus. “Aku mengerti maksudmu. Namun, kurasa tak
ada hal yang perlu kau khawatirkan.”
“Iya, tapi mengingat dia yang terobsesi pada tubuhmu rasanya masih
membuatku sedikit takut.”

218

“Kau takut, Sakura?” tanya Sasuke dengan nada terkejut yang
tersirat. Mendapati wajah Sakura yang mengecut, dia menarik sudut
bibirnya. “Lagi pula, dia sudah tidak punya obsesi semacam itu. Dan bila
ada gerak-gerik yang mencurigakan, aku bisa melawannya. Bahkan kau
juga bisa.”

Sakura menggumam kecil tanpa membuka mulut sebagai tanggapan.
Dia menatap jarinya yang diketukkan pada meja. Dia menimbang-
nimbang apa yang Sasuke katakan. Lelaki itu memang benar, Sakura akui
itu. Sasuke bahkan pernah membunuh pria tua itu sebelumnya. Namun,
terlepas dari itu, rasanya masih ada sesuatu yang tidak pas di hati Sakura
jika dia menyetujui gagasan Sasuke soal bermalam di markas itu
sebelumnya. Dia sendiri tak begitu yakin apa dasarnya.

“Jadi?” Sasuke meminta kepastian dari Sakura.
Sakura menghela napas panjang sebelum memutuskan. “Baiklah.
Sepertinya gagasanmu lebih baik daripada kita harus bermalam di alam
terbuka lebih sering.”
Sasuke mengangguk. Setelah urusan mereka di restoran selesai,
perjalanan dilanjutkan dengan Negara Air Terjun sebagai destinasi.



Perlu melintasi lautan lagi untuk mencapai Negara Air Terjun.
Setelah mencapai daratan, Sasuke memutuskan untuk mengaktifkan
jurus kuchiyose dan memanggil Garuda. Dia meminta bantuan elang
tersebut untuk membawanya dan Sakura ke markas Orochimaru lebih
cepat, agar tidak perlu bermalam di mana-mana lagi. Bila ditempuh
dengan kaki, mungkin bisa sampai tiga hari. Dengan bantuan Garuda,
waktu tempuhnya hanya sekitar tiga sampai empat jam.

219

Sakura tahu Orochimaru memiliki banyak markas. Namun, dia tak
mengerti mengapa Sasuke memutuskan untuk bermalam di markas
yang ini. Dirinya memahami mengapa dia merasa tak yakin ketika Sasuke
bersolusi bermalam di tempat ini sebagai upaya berhemat. Dia masih ingat
tempat ini.

Entah bagaimana tiba-tiba kakinya terasa tengah berlari bersama
Naruto dan Yamato. Mereka mendobrak pintu yang ada satu per satu
untuk mendapati eksistensi Sasuke yang tak kunjung ditemukan. Ukiran
di temboknya masih serupa dengan yang Sakura ingat. Pencahayaan
berupa lilin yang menempel di dinding pun masih sama. Suara derap
langkah yang timbul ketika kakinya memijak lantai—meski kali ini
langkah yang dilakukannya jauh lebih santai daripada waktu itu—seolah-
olah berputar ulang di telinganya, dan segala hal-hal yang bersifat deja
vu lainnya.

Semua itu membuat lutut Sakura bergetar dan melemas.
Jantungnya terasa terhimpit erat oleh beban imajiner yang menumpuk di
atas dadanya. Reka ulang yang dia alami bukan hanya dalam bentuk
penglihatan, pendengaran, dan kepekaan saraf. Namun, perasaan perih di
hatinya juga. Kesadarannya mengatakan bahwa dia tidak sedang berlari
mencari Sasuke, karena lelaki itu sudah kelewat jelas tengah berjalan
santai di sisinya. Akan tetapi, hatinya tak menerima kenyataan itu hingga
napas yang sebelumnya teratur tiba-tiba berubah menjadi memburu dan
pandangan yang fokus menjadi bergerak-gerak penuh kepanikan.

“... ra.”
“... kura.”
“Sakura!”
Sakura nyaris terjatuh apabila Sasuke tak menahannya. Panggilan
Sasuke tadi kembali menariknya ke dunia nyata sekaligus membuatnya
terkejut hingga kehilangan keseimbangan. Hangat yang menjalar melalui

220

telapak tangan Sasuke pada lengannya sudah cukup untuk meyakinkan
hati Sakura bahwa lelaki itu ada di sisinya. Secara refleks Sakura
melingkari bahu Sasuke untuk memperkuat keseimbangan tubuhnya dan
meyakinkan diri dengan apa yang dilihatnya. Dia ada di masa sekarang,
Sasuke ada di sisinya, bukan di masa lalu ketika Sasuke bahkan tak
ditemukan batang hidungnya.

“Sakura,” bisik Sasuke saat gadis itu mendekapnya semakin erat. Dia
merasa kurang nyaman karena siapa saja bisa lewat dan mendapati
keduanya dengan posisi seperti ini. Akan tetapi, dia tak melakukan upaya
apa pun untuk mendorong Sakura menjauh. “Kau kelihatan tidak sehat.
Ada apa?”

“Aku …” suara Sakura teredam tubuh yang tengah didekapnya,
“tidak apa-apa.” Dia menggelengkan kepala karena tak yakin untuk
menceritakan apa yang dirinya rasakan sebelum ini.

“Katakan padaku.”
“Tidak, Sasuke-kun. Aku tidak apa-apa.”
“Sakura .…”
Suara dehaman seorang perempuan membuat perasaan nyaman
Sakura selama memeluk Sasuke menghilang seketika. Dia buru-buru
menarik mundur tubuhnya dan melepas lingkaran tangannya. Kepalanya
mendongak dan menatap Sasuke yang juga menyiratkan ketidaknyamanan
di wajahnya. Arah pandang Sakura mengikuti apa yang Sasuke tatap tepat
di tempat sumber suara.
“Sudah kuduga. Itu kau, Sasuke. Meski cakramu sedikit berbeda
sekarang.” Suara Karin menggema pada setiap sisi ruangan. Salah satu
tangan yang sebelumnya disilang di depan dada bergerak untuk menaikkan
kacamata yang merosot dari pangkal hidungnya. “Dan ternyata
penampilanmu juga.”
“Karin.”

221

Sakura masih terdiam sedari tadi. Dia menatap Karin tanpa
berkedip. Otaknya tak mungkin melupakan gadis berambut merah pekat
itu. Gadis yang disembuhkannya setelah terkena serangan dari Sasuke,
setidaknya itulah opininya. Dia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya
karena belum tiba di sana. Ingatan mengenai apa yang terjadi sebelum dia
merawat Karin semakin membuat lututnya melemas. Dilepaskannya napas
panjang sembari menutup mata. Kenapa yang diingat sedari tadi selalu
kenangan menyakitkan mengenai Sasuke-kun?

“Dan ... aku ingat kau,” Karin tiba-tiba berucap lagi. Sakura segera
membuka mata menyadari bahwa kata-kata itu ditujukan padanya. Entah
mengapa ada sekelumit perasaan tidak enak ketika matanya berpapasan
dengan mata Karin melalui lensa kacamatanya. “Kalau tidak salah ...
namamu Sakura, bukan?”

Senyum terulas di bibir Sakura dengan tulus. “Benar, Karin. Boleh
aku memanggilmu begitu?”

“Tentu saja.” Kedua sudut bibir Karin ikut tertarik setelah
mendapati senyum di wajah Sakura. Kemudian gadis itu buru-buru
mengalihkan pandangannya kembali pada Sasuke. Sakura merasa bahwa
Karin memang tak mau menatapnya lama-lama, entah apa latar
belakangnya.

“Apa yang mau kaulakukan di sini, Sasuke?”
“Aku hanya membutuhkan tempat istirahat selama beberapa hari.”
Sasuke teringat di pengelanaan pertamanya, setiap kali dia bermalam di
sini, dia tak pernah bertemu dengan Karin dan dua rekan satu Tim Taka
sisanya. Maka, dia tahu bahwa keberadaan Karin di sini pasti memiliki
alasan, sama seperti dirinya. “Kau?”
Sakura mendapati keterkejutan yang kentara di wajah Karin. Dia
berasumsi bahwa raut wajah tersebut timbul karena Sasuke yang bertanya
balik, meskipun kata-kata yang digunakannya begitu irit.

222

“Biasanya aku menjaga markas lain,” tanggap Karin. “Tetapi saat ini
ada hal yang hanya bisa kulakukan di sini. Bisa dikatakan sebuah
penelitian. Isi laboratorium di sini lebih lengkap, kau tahu?”

“Hn.”
“Baiklah, Sasuke. Kurasa kau memang mau istirahat sekarang.”
Karin menegakkan tubuhnya setelah menjauh dari dinding sebagai
sandaran. “Dan Sakura, kau kelihatan sedikit tidak sehat.”
Sakura menggeleng. Benarkah wajahnya sepucat itu hingga
seseorang yang sesungguhnya masih asing untuknya dapat berpendapat
begitu? Padahal dia tahu dirinya tidak sakit. Hanya saja, pikirannya sedikit
terganggu hal-hal yang melukai hatinya di masa lalu. “Aku tidak apa-apa.”
Karin mengangguk meskipun ketidakyakinan tersirat di wajahnya.
“Kau pernah membantuku dulu,” katanya perlahan.
Sakura terdiam sejenak untuk mencerna kapan dia membantu Karin.
Otaknya menyambungkan kata-kata Karin dengan kejadian yang dia
pikirkan sedari tadi. Sakura mengerti, barangkali Karin sengaja
menghaluskan kata-katanya karena ada Sasuke yang dapat mendengar
pembicaraan keduanya.
“Kalau kau butuh bantuanku, maksudku, aku juga ninja medis,
tanya saja pada Sasuke jalan menuju laboratorium.”
“Terima kasih, Karin. Kau baik sekali.”
Senyum melengkung di bibir Karin. Dia menanggapi kata-kata
Sakura kemudian undur diri dari keduanya untuk melanjutkan penelitian
yang tertunda. Sasuke melanjutkan langkahnya lagi, diikuti oleh Sakura
dari sampingnya.
Sakura tahu jelas bahwa ini adalah markas Orochimaru. Maka,
seharusnya dia tidak terkejut berpapasan dengan Orochimaru. Walaupun
pria itu tidak sedang memakai ekspresi menyeramkan, tapi seringai ular

223

itu tetap saja membuat Sakura bergidik. Dia pun melirik ke arah Sasuke
yang tampak tenang.

“Sungguh mengejutkan menerima kedatanganmu di sini, Sasuke-
kun,” kata Orochimaru. Rambut hitam panjangnya menutupi sebagian
wajahnya, semakin memperkeruh aura kelam yang menusuk tengkuk
Sakura.

“Hn.”
“Ah, dan kau membawa Sakura kemari.”
Mendengar namanya disebut tak membuat Sakura ingin
menanggapi. Kehadiran Orochimaru di dekatnya benar-benar bukanlah
hal biasa.
“Kau pasti datang kemari bukan tanpa alasan, bukan?” Orochimaru
terkekeh yang menurut Sakura terdengar menyeramkan. Wajah Sakura
semakin mengerut. “Tipikal dirimu sekali.”
“Aku hanya membutuhkan tempat istirahat selama beberapa hari.”
“Hm? Jadi kalian butuh dua kamar? Kurasa ada—”
“Tidak,” potong Sasuke.
Seketika bahu Sakura menegang. Dia menatap Sasuke dengan
waspada. Kemudian perhatiannya berpindah pada Karin yang
menghampiri Orochimaru untuk menanyakan hal-hal seputar
laboratorium. Ketegangan ototnya menghilang dengan mudahnya.
Kemudian dia mendapati Orochimaru mengalihkan perhatian pada Sasuke
lagi.
“Jadi kau hanya butuh kamar lamamu?”
“Hn.”
“Bagaimana dengan Sakura?”
Sakura mengangkat kepalanya. “I-itu—”
“Dia bersamaku.”

224

Secara refleks Sakura menyiku tulang rusuk Sasuke keras-keras
hingga lelaki itu kehilangan keseimbangan. Sebelum dia menenggelamkan
wajah ke dalam kedua tangan, dia sempat menangkap keterkejutan di
wajah Karin dan Orochimaru. Dia jelas tahu apa sebab di balik
keterkejutan itu. Sebenarnya ada dua kemungkinan: karena pernyataan
terakhir Sasuke, atau karena Sakura yang berani menyiku Sasuke keras-
keras.

Yang mana pun alasannya, tetap saja tak cukup untuk menghapus
rasa malu Sakura.

...

“Kau terlalu berlebihan.”
Sasuke mendengus keras melihat Sakura yang masih belum santai.
Sedari tadi dia tak berhenti mondar-mandir di lantai kamar lama Sasuke
yang baru selesai dibersihkan. Selama membersihkan ruangan ini pun
telinga Sasuke harus kebal menerima omelan demi omelan yang terlontar
dari bibir Sakura akibat pernyataannya mengenai Sakura yang tidak
membutuhkan kamar lain.
Sakura menoleh dan memelototi Sasuke. “Aku tidak berlebihan!”
Sasuke mengerang kesal. “Sebelumnya kau tidak pernah
mempermasalahkan hal ini.”
Kedua tangan Sakura ditaruh di pinggangnya. Matanya menyipit
kesal. Dia sempat berpikir bahwa Sasuke tak serius dalam kata-katanya,
tetapi setelah menatap matanya, dia tahu bahwa lelaki itu serius. “Itu
karena yang dihadapi bukanlah orang yang kita kenali sebelumnya. Apa
kau lupa bahwa tadi kau bilang bahwa aku akan tidur satu kamar
denganmu di depan gurumu dan mantan rekan satu timmu?”

225

“Kenapa kau harus memikirkan hal itu? Ini bukan urusan mereka.”
Sasuke mengangkat bahunya tak acuh.

“Aku malu, tahu!”
“Kau tidur di sini, aku akan tidur di luar, kalau begitu.”
Sakura menepuk dahinya. “Tidak ada bedanya. Mereka pasti sudah
berpikir macam-macam. Aaaah, Sasuke-kun, kenapa kau benar-benar
tidak peka, sih!?”
“Sudah kubilang, itu bukan urusan mereka.”
“Coba saja bayangkan sendiri apabila para cowokku tahu bahwa aku
tidur sekamar denganmu. Karena mereka tidak tahu apa-apa soal kita
benar-benar hanya tidur, mungkin kau sudah dihabisi.” Kedua mata
Sakura menyalang menantang. Kedua tangan yang sebelumnya melakukan
kacak pinggang, kini disilang di depan dada.
“Para cowokmu?” Tersirat dengan jelas ada nada ketidaksukaan di
sana.
“Naruto dan Sai. Kau juga termasuk, sih, sebelumnya.” Sakura
berdeham. Rona merah tipis merambat di pipinya. “Tapi sekarang
keadaannya berbeda.”
“Kenapa kau bilang mereka para cowokmu?” Sekarang bergantian
Sasuke yang mengintimidasi Sakura menggunakan sorot matanya. Namun,
dia tahu Sakura sudah punya imunitas akan hal itu dan itu membuat
Sasuke sedikit kesal.
“Itu normal. Mereka teman satu timku, dan kau juga. Mereka laki-
laki, dan kadang masih bertindak kekanakan, bahkan Kakashi-sensei juga.
Astaga!”
“Aku tidak menemukan apa korelasinya.” Sasuke menatap mata
Sakura semakin tajam. Langkah mundur yang Sakura ambil membuat
Sasuke merasa di atas angin karena dia sudah membobol imunitas gadis
itu. “Sejak kapan kau menganggap mereka ‘para cowokmu,’ huh?”

226

“K-kau ini tidak mengerti atau bagaimana, sih!? Kadang-kadang
keadaan di Tim Tujuh memaksaku untuk mengisi posisi ibu.” Sakura
meneguk ludahnya mendapati Sasuke mulai berdiri dan melangkah ke
depan, membuatnya otomatis mundur semakin jauh. “Kau mengerti se-
sekarang?”

“Aku yakin itu tidak akan berlaku sama jika rekan satu timku
perempuan semua, dan aku menganggap mereka ‘para cewekku.’”

“Apa-apaan itu?” Keberanian Sakura mendadak terkumpul lagi. Dia
buru-buru menahan dada Sasuke dengan telapak tangannya agar tidak bisa
mendesaknya lagi setelah punggungnya membentur dinding. Berhasil.
Bagaimanapun tenaga yang dia miliki melampaui tenaga Sasuke.

“Kau tidak suka, bukan?”
Kini keduanya saling melempar tatapan tajam, menunggu satu sama
lain untuk takluk di bawah sorot mata tersebut yang sepertinya akan
berakhir seri.
“Jangan bilang kau cemburu.”
“Tidak.”
“Bohong.”
“Aku hanya merasa terganggu dengan caramu memanggil mereka.”
“Itu cemburu!”
Sasuke membersut. “Tidak.”
“Terserah. Pokoknya aku akan tetap memanggil mereka begitu
karena itu sudah kebiasaan dari sebelum aku bersamamu.”
Sasuke mendecak tidak suka. “Mereka sudah bersama perempuan
lain.”
“Hmmm.” Sakura melempar senyuman menantang. Dia terhibur
dengan kecemburuan Sasuke meskipun lelaki itu terus menyangkal.
Padahal, emosi itu sudah tergambar jelas di kedua mata berbeda warnanya.

227

Sasuke mengerutkan dahi sebagai representasi rasa kesal melihat
raut yang terlukis di wajah Sakura. Dia kembali mendesak Sakura lagi
hingga gadis itu melepas sebuah engah. Disentuhnya kerah tinggi Sakura
dan menyibaknya sedikit. Wajahnya dimiringkan hingga berada di dalam
satu garis lurus dengan perpotongan leher Sakura. Kemudian, dia
mengecup satu titik di sana, sedikit menghisap, dan menggigitnya,
mengabaikan Sakura yang merintih kegelian. Dia menyeringai tipis ketika
tanda kemerahan di leher Sakura dia sentuh sendiri. Kerah tinggi gadis itu
diperbaiki kembali. “Dan kau sudah bersamaku, Sakura.”

Sakura mendorong dada Sasuke hingga jaraknya cukup untuk
menatap wajah Sasuke tanpa perlu mendongak terlalu jauh. Kali ini
Sakura benar-benar mendorong dada Sasuke. Detak jantungnya masih
tidak beraturan dan dia kesulitan meneguk ludahnya. Dia memalingkan
wajah dan melangkah mendekati cermin. Otaknya memikirkan apa pun
untuk mengalihkannya dari adrenalin, dan jawabannya ditemukan di
cermin.

“Hei, cermin ini rusak karena kau tonjok, ya?”
Sasuke mengangkat wajahnya dan melirik ke arah cermin. Dia
mengangkat alis kebingungan sebab Sakura seolah-olah mengalihkan
pembicaraannya sendiri. Mata mereka bertemu di salah satu potongan
cermin, lalu Sasuke lekas mengalihkan pandangan. “Aku tidak mau
membicarakan hal itu.”
“Baiklah,” kata Sakura sembari mengusap wajahnya.
Di bawah cahaya temaram yang memantulkan bayangan di cermin,
Sakura mengernyit mendapati kejanggalan di lehernya. Merah. Lantas dia
mencari mata Sasuke untuk meminta penjelasan. Yang dia dapati adalah
Sasuke yang memalingkan wajah dan menggaruk pipinya canggung.
Kemerahan di pipi Sakura merambat ke pipi hingga ujung telinganya.
“Ini ... apa-apaan?”

228

Sasuke mengangkat bahunya, pura-pura tak acuh. Hal tersebut
membuat Sakura geram. Namun, rasa malunya sudah mengubur niat
untuk marah-marah pada Sasuke. Lagi pula, dia pun terlalu malu untuk
bertanya lebih lanjut.

Dengan tergesa-gesa, dia menyalakan cakra pada tangannya dan
menempelkannya pada titik merah yang Sasuke tinggalkan. Dia harap
bekas ciuman Sasuke di sana akan hilang sesegera mungkin.

Berbeda dengan sikapnya ketika melepas kecupan di leher Sakura,
kini Sasuke justru malah tak berani menoleh ke arah gadis itu. Dia merasa
ujung telinganya memanas. Bila pencahayaan di sini memadai, dia yakin
mungkin Sakura sudah tertawa mendapati kemerahan di sana.

Rasa dari kulit Sakura masih terkecap lidahnya. Aroma tubuh gadis
itu pun seolah-olah masih menari-nari di sekitar cuping hidungnya. Ada
sebuah desakan di dalam diri Sasuke yang membuatnya ingin
mengecapnya lagi, menghirupkanya lagi. Tanpa sadar dia melangkah
mendekati Sakura yang tengah duduk di sisi tempat tidur. Gadis itu sudah
berhenti berusaha menghapus kemerahan di lehernya.

Sasuke menyentuh bahu Sakura dan mendorongnya sedikit hingga
punggung gadis itu perlahan-lahan semakin menempel pada tempat tidur.
Seketika napas Sakura menajam. Dia sama sekali tak mengalihkan
pandangan dari wajah Sasuke untuk terus meneliti perubahan ekspresi dari
lelaki itu. Cara Sasuke memandangnya masih dengan sorot yang sama.
Dengan tatapan intens, begitu pekat akan emosi yang tak Sakura mengerti,
dan membuatnya bergidik sendiri. Keningnya dan kening Sasuke masih
saling bersentuhan, begitu pula ujung hidungnya.

Sakura mulai panik ketika tubuh Sasuke mulai menghimpit
tubuhnya meskipun kedua telapak kaki lelaki itu masih menempel di
lantai. Ditambah lagi, Sasuke menenggelamkan wajah ke leher Sakura.
Sakura lekas menahan dada Sasuke menggunakan kedua telapak tangannya,

229

dan menatap mata lelaki itu lurus-lurus. “Sasuke-kun. Um. Kupikir kita
tidak perlu buru-buru?”

Desakan dari Sasuke tak terasa lagi. Kedua mata lelaki itu terpejam.
Hangat napas halusnya membelai pipi Sakura. “Ya,” bisiknya. Sasuke
mengerang dalam hati menyadari dia sudah membuat Sakura berpikir
macam-macam atau memang berlaku macam-macam bila diukur dari
sejauh apa kontak yang pernah terjadi di antara mereka. Sebuah kecupan
lembut mendarat di dahi Sakura untuk menenangkan gadis itu sekaligus
dirinya sendiri.

“Istirahatlah.”
Sasuke menarik diri dari tubuh Sakura. Dia duduk di sisi tempat
tidur, kemudian segera berdiri. Dia mendapati Sakura masih menatapnya.
Kemerahan di wajahnya belum hilang sedari tadi.
“Aku bukannya tidak mau.” Sakura menggigit bibirnya.
Diselipkannya rambut ke belakang telinga. Meskipun dia membenahi
posisinya agar lebih mudah menatap Sasuke, kedua matanya tetap lebih
memilih melirik ke samping. “Hanya saja …”
“Aku tidak bermaksud—ini sudah pernah kita bicarakan. Kita tidak
perlu terburu-buru,” potong Sasuke.
Sakura mengangguk, menelan kembali kata-kata yang sudah siap
dia ucapkan untuk menjelaskan. Tiba-tiba dia mendesis, merasakan nyeri
di perutnya. Sakura kenal rasa sakit ini. Sakit yang selalu dia alami setiap
kali datang bulan, terutama semenjak berkelana bersama Sasuke karena
selama itu air minum yang dikonsumsinya lebih sedikit daripada biasanya.
Dia buru-buru turun dari tempat tidur dan merogoh tas untuk mencari
sebuah benda yang dibutuhkan pada masa-masa ini. Nihil.
“Sasuke-kun, di mana laboratoriumnya?”
“Kenapa? Kau benar-benar sakit?”
“Tidak. Uh ... ini urusan perempuan. Aku perlu menemui Karin.”

230

Sasuke menarik sebelah alisnya. Dia yakin Sakura memang sedang
menahan sakit. Namun, setelah Sakura bilang ini urusan perempuan,
rasanya Sasuke memang tak mau tahu lebih lanjut. Karenanya, Sasuke
memberi tahu lokasi laboratorium di mana Karin berada.

Sakura sudah memutuskan untuk tidak duduk di mana pun setelah
sadar akan kondisinya. Dia tak mau mengotori apa pun, apalagi di depan
Sasuke. Pasti akan canggung sekali. Dia berjalan mendekati pintu.
Sebelum membukanya, dia menoleh ke belakang dan berkata, “Sasuke-
kun, kau juga butuh istirahat. Jangan menungguku.”

Sebelum Sasuke sempat menyahut, Sakura sudah menutup pintu
terlebih dahulu. Suara derapan langkah Sakura semakin mengecil. Sasuke
mengusap wajah dan mendengus karena Sakura sama sekali tak memberi
kesempatan untuk menanggapi.

Tak butuh waktu lama sampai Sakura menemukan letak
laboratorium. Dia menjulurkan kepala ke dalam, memastikan bahwa Karin
masih ada di sana. Perempuan berambut merah tersebut memang masih
ada di sana. Sakura berdeham pelan, kemudian berkata, “Karin, apakah
aku mengganggumu?”

Karin menoleh ke belakang setelah meletakkan sebuah gelas ukur.
“Tidak. Aku baru saja selesai. Ada apa?”

“Hmm.” Sakura diam sejenak sebelum melangkah masuk. Entah
mengapa dia urung mengungkapkan maksud kedatangannya kemari keras-
keras, walau di tempat ini hanya ada mereka berdua. Bibirnya mendekati
telinga Karin dan membisikkan maksudnya.

“Oh,” gumam Karin. “Jadi kau kelihatan pucat karena ini, ya?”
Sakura mengulum bibirnya. “Hm, sepertinya.”
“Tunggu sebentar.”

231

Karin kembali dengan benda yang Sakura butuhkan. Sakura buru-
buru masuk ke dalam toilet. Setelah urusannya selesai, dia kembali lagi
dan mendapati Karin masih membereskan sisa-sisa penelitiannya.

“Kalau aku boleh tahu, kau habis melakukan penelitian apa?” Sakura
berjalan ke samping Karin yang nyaris menyelesaikan kegiatan terakhirnya.

Tanpa menoleh ke arah Sakura dan lebih milih fokus pada rak
tabung reaksi di tangannya, Karin menanggapi, “Sampel darah dari
seseorang yang dianggap terkena penyakit aneh di markas lain. Ternyata
penyakitnya tidak ‘aneh’ dan baru, tetapi tifus. Meski tetap saja ini bukan
sesuatu yang bisa disyukuri.”

“Menganalisis antigen O dan H, ya.”
“Kau benar.”
Sakura mengembuskan napas panjang. “Sayang sekali tifus tidak
bisa langsung sembuh dengan cakra.”
“Makanya kubilang ini bukan sesuatu yang bisa kusyukuri. Bahkan
makanannya pun harus diatur.”
“Jadi kau akan kembali ke markas lain itu untuk mengurus ini?”
Karin menggeleng. “Tidak. Aku hanya menganalisis saja. Hasilnya
sudah kukirim dengan burung pengantar pesan. Di sana ada orang lain
yang bisa mengurus lebih cepat.”
“Syukurlah kalau bisa ditangani lebih cepat.”
Karin mengangguk setuju. Kegiatan beres-beresnya sudah selesai.
Dia akhirnya menoleh ke arah Sakura sepenuhnya dan mendapati gadis itu
memegangi perut bagian bawahnya dengan wajah sedikit kecut.
“Sakura, perutmu sakit?”
“Mm-hm. Biasa,” keluh Sakura. “Sebentar lagi juga hilang.”
“Mau paracetamol? Setidaknya agar sakitnya tidak lebih lama lagi.”
“Tidak. Tidak perlu. Terima kasih, Karin.”

232

Suasana menjadi hening. Sakura ataupun Karin sama-sama tak
beranjak dari sana, seolah-olah ada yang mau dibicarakan, tetapi terlalu
enggan untuk memulai. Keduanya sama-sama menyadari hal tersebut, dan
malah menunggu satu sama lain untuk membukanya. Sakura pun berpikir
dia tak masalah berlama-lama di sini. Dia sudah bilang pada Sasuke untuk
tidak menunggunya.

“Mm, Sakura,” kata Karin ragu-ragu. “Kalau aku boleh tahu, sejak
kapan kau bersama Sasuke? Maksudku, kalian bepergian bersama, bukan?”

Sakura terdiam sebentar. Dia mencoba mengingat-ingat sudah
berapa lama dia dan Sasuke berkelana bersama. “Delapan bulan, kurasa.
Aku tidak begitu ingat.”

“Sudah cukup lama, ya, ternyata.”
Perubahan ekspresi di wajah Karin tertangkap oleh Sakura.
Walaupun Sakura tahu bahwa Karin berusaha menutupinya, yang nyatanya
gagal. Seketika dia merasa tak enak hati, karena rasanya dia mulai
mengerti kondisi ini. Dia dan Karin sama-sama perempuan, dan
sepertinya Sakura memahami apa yang Karin rasakan.
“Karin, boleh kutanya sesuatu?”
“Tentu saja. Apa?”
Sakura meneguk ludahnya. Dia mempertimbangkan apakah
pertanyaan yang sudah menempel di ujung lidahnya pantas ditanyakan
atau tidak. Bila memang pantas, dia pun tak yakin akan siap mendengar
jawabannya. Namun, dorongan-dorongan untuk bertanya terus terasa.
“Kau ... menyukai Sasuke-kun?”
“Aku tidak tahu.” Karin lekas membekap mulutnya, merasa salah
bicara. Dia yakin sekali relasi yang terjalin di antara Sasuke dan Sakura
bukan lagi sekadar teman satu tim ataupun teman berkelana. Pasti lebih
dari itu. Apalagi mengingat Sasuke yang tampak santai ketika bersama
Sakura dan tak tampak risi tatkala gadis itu memeluknya.

233

Sakura menggeleng dan tersenyum. “Tidak apa-apa, Karin. Katakan
saja. Sejujurnya.”

Karin mengembuskan napas panjang. “Aku tidak tahu ... sekarang.
Melihat Sasuke datang bersamamu ... memang sedikit membuatku
tercubit. Tapi rasanya tidak sesakit dulu.” Ada jeda yang cukup panjang
sampai Sakura menduga bahwa ucapan Karin telah selesai. “Kau tahu,
kadang-kadang kita akan berpikir bahwa kita sudah melupakan seseorang,
tetapi saat bertemu dengan orang itu, rasanya akan berbeda.”

“Dulu?”
“Ya ... saat sadar bahwa aku kalah. Maksudku, aku bisa merasakan
dengan jelas bahwa ... cintamu lebih tulus daripada aku. Saat di
jembatan.”
“O-oh.” Sakura membersihkan tenggorokannya. Pipinya seketika
memanas. Rasanya tetap saja memalukan jika mengingat hampir semua
orang tahu hatinya berlabuh pada siapa, bahkan di mata orang asing
sekalipun. Apakah perasaannya setransparan itu? Selain itu, dia merasa
hatinya tercubit karena Karin mengingatkan pada memori di mana dirinya
dan Sasuke nyaris saling membunuh.
“Tapi tidak perlu kaupikirkan, Sakura. Sasuke memang ingin
bersamamu, bukan? Jadi ... yah …” Karin mengangkat kedua bahunya. Dia
menoleh ke arah Sakura dan tersenyum tipis. Lagi pula, sudah lama sekali
semenjak dia berhenti mengharapkan Sasuke, meskipun perasaan di
hatinya berkata lain. Maka, ketika datang saat dia harus merelakan
perasaannya seperti sekarang, rasanya tidak seberat itu lagi.
Wajah Sakura menampilkan ekspresi gelisah. Dia tidak bisa
menatap Karin lama-lama. Perasaan tidak enak terus menghantuinya.
Dulu saat dia bersaing dengan Ino untuk mendapatkan Sasuke, dan
Sakura selalu memiliki kesempatan yang bagus, bahkan sampai bisa
menjadi satu tim, dia merasa sangat puas dan di atas angin. Namun, kali

234

ini dia jauh lebih dewasa dari masa-masa itu. Sakura sempat
menempatkan diri di posisi Karin, yang jelas merasa tidak enak.

“Hei, Sakura, kau ini memang terlalu baik atau bagaimana, sih?”
tanya Karin saat mendapati raut di wajah Sakura. “Kita ini bisa dikatakan
baru saling kenal. Kenapa sepertinya kau memikirkan soal perasaanku
terhadap Sasuke segala? Kelihatan merasa bersalah pula. Yah, aku sudah
menduga bahwa kau memang orang yang seperti itu. Kau bahkan
menangis di depan musuhmu.”

Sakura masih tak mau menatap Karin. Namun, dia sempat terkekeh
geli mengingat dirinya menangis di depan musuh, bahkan menjatuhkan
air mata pada tubuh musuh itu sendiri. Dia mengibaskan salah satu
tangannya.

“Dan ... itu membuatku berpikir bahwa akan sangat menyenangkan
jika memiliki teman sepertimu.” Karin tersenyum lembut. Menunggu
sampai Sakura akhirnya menoleh ke arahnya. Kata-kata itu cukup untuk
membuat Sakura menggeser pandangannya.

Sakura tersenyum tulus, tersentuh oleh kata-kata Karin sebelumnya.
“Yah, kita bisa jadi teman yang baik.”

“Aku serius. Kau tahu, orang-orang di markas ini ataupun
markasku itu aneh-aneh, apalagi Suigetsu. Hiiih, untung saja dia tak ada
di sini sekarang!” Karin memeluk tubuhnya sendiri dan bergidik.
“Makanya aku senang bisa bertemu orang normal sepertimu.”

Sakura menyipitkan matanya, merasa terhibur. “Jadi, pernyataanmu
tadi itu hanya berdasarkan aku-satu-satunya-orang-yang-normal, begitu?”

“Eeeh!” Karin tampak terkejut. Dia mengibaskan kedua tangannya.
“Sakura, kau mengerti maksudku bukan itu.”

“Memang.”
“Hei!”

235

Tawa kencang terlepas dari bibir Sakura. Suasana tak mengenakan
tadi telah menguap entah ke mana.

“Aku juga rindu teman perempuan. Selama kurang lebih delapan
bulan terakhir, teman bicaraku benar-benar hanya Sasuke-kun. Aku
berinteraksi dengan orang lain paling-paling hanya saat membeli sesuatu
atau semacam itu. Dan kau tahu sendiri, kan, bahwa Sasuke-kun itu—”

“Aku apa?”
Sakura menoleh ke sumber suara dan membersut. “Hei, sana pergi!
Dasar tukang menguping!”
Sasuke mendecak dan menajamkan sorot matanya. “Seharusnya aku
tahu bahwa urusan perempuan itu selalu lama.”
“Sudah kubilang jangan menungguku.”
“Hn.” Sasuke kemudian berjalan menjauh dari ambang pintu hingga
Sakura dan Karin tak bisa melihatnya lagi. Sakura kembali menoleh ke
arah Karin, lantas mengangkat bahu.
“Kurasa kita sama-sama butuh istirahat, Sakura,” kata Karin.
Penuturannya didukung punggungnya yang mulai terasa pegal akibat
kegiatannya sedari tadi.
“Kau benar.” Sakura mengangguk setuju. Dia melangkah ke luar
bersamaan dengan perempuan berkacamata tersebut. Ketika sudah ada di
pintu dan jalan yang mereka ambil berseberangan, Sakura berkata,
“Sampai jumpa besok.”
“Ya.”
Ketika mendapati Sasuke sudah menghilang di lorong panjang,
Sakura semakin sadar bahwa langkah kaki Sasuke cepat sekali bila tengah
berjalan sendiri. Tak butuh waktu lama sampai Sakura kembali lagi ke
kamar Sasuke. Pintu terbuka dan aroma debu masih menyeruak ke dalam
hidungnya. Dia membersihkan tenggorokan sekejap untuk
menghilangkan rasa gatal. Padahal tadi keduanya sudah membersihkan

236

tempat ini sampai debu tak tertangkap lagi oleh mata. Mungkin aromanya
masih membaur karena minimnya udara menuju alam terbuka.

“Ada apa?” tanya Sakura langsung ke inti.
“Apa?”
“Kau tahu apa. Kau tidak pernah menyusulku begitu. Pasti ada yang
penting, 'kan?” Sakura duduk di sisi ranjang, tepat di samping Sasuke.
“Nanti saja,” tanggap Sasuke. “Kau terlalu lama tadi. Sekarang
istirahat.”
Sakura mendecak. Namun, dia tak ingin menekan Sasuke sekarang.
Terlepas dari lelah, nyeri di perutnya pun membuat dirinya ingin segera
berbaring. Dia memutuskan untuk menyimpan cakranya saja ketimbang
menyembuhkan diri dari perih yang selalu dia anggap kecil ini. “Terserah
padamu.”
Sasuke menepuk tempat tidur di belakangnya. Dia berdiri dan
membiarkan Sakura menjadi satu-satunya orang yang duduk di atas
tempat tidur. “Tempat tidur ini sempit. Kau saja yang tidur di sini.”
“Bagaimana denganmu?”
“Di bawah.” Mata Sasuke melirik ke lantai.
“Tapi—”
“Jangan melawan, Sakura. Aku tahu perutmu sakit.”
Sakura mendesah pasrah. “Baiklah.”
Setelah melihat Sasuke membuka alas tidur yang selama ini selalu
mereka gunakan di atas tanah, Sakura segera menempelkan punggungnya
pada kasur. Alas tidurnya bukanlah sesuatu yang empuk seperti yang ada
di apartemennya ataupun kamar-kamar penginapan, tetapi Sakura tidak
terlalu memikirkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanyalah tidur agar
perih di perut dan nyeri di pinggangnya tak terasa lagi.

237

Sakura tidur dengan posisi meringkuk menghadap ke arah letak
Sasuke berbaring di atas lantai. Dia menjulurkan tangannya ke ujung
tempat tidur, kemudian menggumamkan nama Sasuke.

“Hn?”
Sakura mendorong tangan kirinya semakin jauh hingga
menggantung di sisi ranjang.
“Pinjam tanganmu.”
“Kenapa?”
Wajah Sakura ditenggelamkan ke dalam bantal. “Agar setidaknya
aku masih bisa merasakan kehadiranmu selama tidur.”
Sasuke diam. Dia tak menanggapi dengan suara, tetapi langsung
membungkus tangan Sakura ke dalam genggamannya yang hangat. Dia
memejamkan sebelah mata yang berada di sisi tumpuan.
“Kalau kau belum mengantuk, katakanlah apa yang mau kau bilang
tadi,” pinta Sakura dengan suara halus. Suara yang dengan kentara
menunjukkan bahwa gadis itu memang sudah mengantuk, tetapi masih
memutuskan untuk menahannya.
“Orochimaru bilang tahanannya dulu sedang mengincarku. Mataku,
tepatnya,” kata Sasuke datar. Sama sekali tak tersirat nada khawatir atau
apa pun. Pada dasarnya Sasuke memanglah seorang lelaki yang tak
mengenal rasa takut.
“Astaga,” desah Sakura. “Rasanya shinobi tidak pernah berhenti
memiliki musuh.” Suara embusan napas panjang membumbung ke langit-
langit ruangan.
Sasuke menggumam setuju. Dalam hati, dia ingin tahu apakah
Sakura memiliki musuh juga atau tidak. Namun, dia memutuskan untuk
tidak bertanya. Dari kalimat Sakura, mungkin gadis itu memang
memilikinya, tetapi tak terlalu dia ambil pusing.

238

“Mungkin setelah ini perjalanan akan sedikit berbahaya.” Sasuke
mulai menutup kedua matanya. Ibu jarinya mengusap pergelangan tangan
Sakura dengan lembut.

“Mungkin. Tapi kau cukup kuat untuk membuat mereka tak
berkutik. Lebih dari cukup malah.” Suara Sakura semakin mengecil. Kini
bagian matanya yang tertutup.

“Hn. Aku tak akan menempatkanmu ke dalam bahaya.”
“Aku juga tak akan membiarkan hal itu terjadi pada diriku sendiri.”
Sakura menggeliatkan lehernya untuk menyamankan diri. Tangan yang
menggantung di sisi ranjang sudah benar-benar melemas, seolah-olah tak
ada lagi tenaga yang mengalir ke sana. “Aku belum …” kuapan terlepas
dari bibir Sakura, “mengecup pipi-mu, Sa-su-ke-kun.”
Mendengar suara Sakura yang terputus-putus, Sasuke tak
menanggapi apa-apa lagi. Dia menunggu sampai gadis itu menuturkan
sesuatu setelahnya, tetapi yang tertangkap oleh telinganya hanyalah
keheningan. Tanpa perlu melihat dengan mata, dia tahu bahwa Sakura
sudah jatuh tertidur. Sudut-sudut bibir Sasuke tertarik sedikit, lalu dia
berbisik, “Selamat malam, Sakura.”
Tak adanya tanggapan selain suara tarikan dan embusan napas
dalam interval panjang membuat Sasuke semakin yakin akan asumsinya.
Dia sedikit mengeratkan genggamannya, kemudian menuruti perasaan
kantuknya.

239

21
Sejarah Krusial

Meskipun Konoha masih jauh dari jangkauan, berada di tanah
Negara Api sudah terasa seperti pulang bagi Sakura. Musim semi yang
mengudara terasa begitu kental dengan berseminya bunga-bunga dan
hangatnya cuaca. Kicauan burung terdengar dan saling bersahutan,
membentuk melodi indah untuk ditangkap telinga.

Sakura merasa sangat akrab dengan suasana ini. Setelah berbulan-
bulan berkelana, akhirnya dia kembali menginjak tanah kelahirannya tepat
di musim kelahirannya juga. Perasaan nyaman ini membuatnya terlalu
terfokus pada diri sendiri dan lingkungan sekitar, melewatkan kondisi
Sasuke yang tiba-tiba bernapas dengan berat dan langkahnya melambat.
Keringat terus-menerus mengalir di keningnya dan berbelok karena alis.

Saat menyadari Sasuke yang tampak tidak baik-baik saja, Sakura
langsung memegang lengan lelaki itu dan menahannya dari melangkah
lebih jauh. Dia menggerakkan tubuh Sasuke agar berhadapan dengannya.
Wajahnya pucat.

“Ada apa, Sasuke-kun?”

240

Sasuke menggeleng. Rasa nyaman Sakura empas seketika. Dia
menyentuh kening Sasuke dan mengecek suhu tubuhnya. Normal. Sasuke
memegang tangannya dan menariknya ke bawah.

“Aku tidak apa-apa. Perjalanan ini bisa dilanjutkan.”
“Tapi—”
“Tidak apa-apa. Kau pasti sadar sendiri apabila aku memang sakit
secara fisik.”
Sakit secara fisik.
Kata-kata itu terngiang di dalam kepala Sakura. Sasuke memang
tidak sakit, dia tidak mendeteksi disfungsi atau luka apa pun pada fisiknya.
Namun, dia jelas tahu Sasuke tidak baik-baik saja. Jika bukan secara fisik,
sesuatu dalam diri Sasuke pasti sedang dalam kondisi tidak stabil atau
terganggu.
Sakura menarik lengan Sasuke lagi dan menghentikan langkah
lelaki itu.
“Kau tahu kau bisa bercerita padaku, ‘kan?”
“Ya. Aku tahu.”
Kening Sakura mengernyit. “Ada apa?”
Sasuke menggeleng. Dia kembali meneruskan jalan dan
meninggalkan Sakura yang tengah dalam kondisi kebingungan.
Sakura lekas menyusul Sasuke dan tidak bertanya apa-apa lagi. Jika
ada yang ingin Sasuke katakan padanya, lelaki itu pasti menyampaikannya.
Mereka sudah belajar dari pertengkaran mereka sebelumnya bahwa
komunikasi adalah kunci. Kalau Sasuke memilih untuk diam, mungkin
itu bukanlah hal yang siap untuk dia katakan dan disimpan untuk nanti.
Ujung pepohonan rindang sudah terlihat di depan mata. Dari jauh,
Sakura dapat melihat reruntuhan yang abstrak di sana. Kemudian langkah
Sakura melambat karena sesuatu melintas di kepalanya. Dia mengenal ke

241

mana jalan ini mengarah. Dia pernah berlari sampai ke ujung pepohonan
itu. Dia pernah berdiri di atas puing-puing itu.

Sekali lagi, Sakura menahan langkah Sasuke. Pegangannya pada
lengan Sasuke lebih kuat daripada sebelumnya. Sakura menggigit bibirnya.
“Sasuke-kun, apa yang akan kaulakukan?”

Sasuke menyentak lengannya dan mulai melompat ke atas pohon
untuk terus melaju tanpa bisa ditahan Sakura. Sakura lekas menyusulnya.
Sesuai dengan tebakannya, Sasuke berhenti di atas puing-puing itu dan
terdiam menatap satu dinding yang masih berdiri dengan lambang klan
Uchiha menempel di sana.

Sakura berjalan ragu-ragu ke arah Sasuke. Sasuke meliriknya dari
ujung mata dengan posisi masih menghadap dinding. Kepalanya bergerak
sedikit yang Sakura tangkap sebagai isyarat baginya untuk dipersilakan
mendekat. Dia melompati reruntuhan sampai berdiri tepat di samping
Sasuke. Sakura tahu Sasuke akan mengatakan sesuatu dan dia menunggu
dalam diam.

“Dulu ini adalah persembunyian Uchiha,” kata Sasuke. Ekspresi
wajahnya berubah getir. “Aku dan Itachi bertarung di sini dan
menghancurkan segalanya.”

Sasuke memejamkan matanya. Dia menengadah. Tangannya
terangkat dan mengetuk keningnya sendiri.

Sakura membelalak.
“Itu yang dilakukan Itachi sebelum dia mati.” Sasuke terkekeh,
tetapi wajahnya masih dipenuhi kesedihan yang kentara. “Dia selalu
melakukan itu saat aku masih kecil. Jika aku meminta sesuatu darinya dan
dia tidak bisa melakukannya saat itu, dia akan mengetuk keningku dan
mengatakan, ‘Mungkin lain kali.’ Dan dia menepati janjinya saat sudah
senggang.” Sasuke meraba dinding yang masih berdiri itu dengan sapuan
perlahan. “Waktu itu, yang dia katakan adalah, ‘Maaf, Sasuke. Tidak ada

242


Click to View FlipBook Version