The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

Mereka berbagi senyuman yang sama. Udara di sekitar mereka
menghangat seketika atas harapan kehadiran anak di antara mereka.



Sasuke masih belum terbiasa melihat lambang klan Uchiha
menempel di punggung Sakura. Terakhir kali dia melihat lambang
klannya berada di tubuh orang lain sudah terjadi lama sekali, beberapa
tahun yang lalu, pada pakaian yang dikenakan Uchiha Obito. Uchiha
Madara bisa saja termasuk, tetapi seingatnya pria tua itu tak mengenakan
atasan apa pun saat dia melihatnya di perang dulu. Melihatnya berada di
punggung Sakura, meskipun terlihat setiap hari dalam waktu dua minggu
ini, menimbulkan kehangatan di dadanya secara berulang kali.

Lambang klan Uchiha di punggung Sakura menegaskan bahwa dia
tak lagi sendiri, ada keluarga yang menemani. Meskipun Sakura hanya
menanggung nama—bukan keturunan Uchiha asli—hal tersebut tetaplah
membuat Sasuke tidak menjadi satu-satunya Uchiha yang tersisa di dunia
ini. Kini ada dua: Uchiha Sasuke dan Uchiha Sakura.

Sakura jarang sekali mengenakan jubahnya lagi. Tidak aneh
mengingat saat ini sedang dilanda musim panas. Sasuke tidak memiliki
afeksi pada musim apa pun, tetapi kini dia mulai menyukai musim panas
karena musim tersebut membuatnya dapat lebih sering melihat lambang
klan Uchiha di punggung istrinya dalam perjalanan mereka.

Mereka memutuskan untuk beristirahat saat langit mulai
menggelap. Sasuke menyentuh punggung Sakura saat keduanya sudah
duduk. Dia menyusuri bordir lambang klannya dari bawah, menemukan
bagian kain yang tidak tertutupi bordir apa pun, bertemu bordir lagi,
sampai terasa ujung rambut Sakura di setengah bagian bordir atas. Dia
merasakan punggung Sakura bergerak saat wanita itu menoleh ke arahnya.

343

“Kau benar-benar menghargai lambang klanmu,” kata Sakura. Dia
tersenyum kecil. “Tapi kau bisa menyentuh punyamu sendiri yang ada di
dadamu daripada menyentuh punyaku, lho.”

“Hn,” gumam Sasuke. “Menyentuh punyamu terasa lebih berharga.”
“Hm? Kenapa?”
“Itu menandakan kau adalah Uchiha Sakura,” kata Sasuke. Dia
memajukan tubuh sembari menyibak rambut panjang Sakura ke samping.
Dikecupnya leher Sakura sekali. “Istriku.” Tangannya menyentuh
punggung Sakura lagi. “Dan aku bukan satu-satunya Uchiha di dunia ini
lagi.”
Sakura menanggapi dengan senyum yang tak bisa dilihat Sasuke.
Saat tangan Sasuke kembali ke pinggir, dia lekas menggenggamnya. “Aku
senang menemanimu,” ujarnya.
Sudut bibir Sasuke tertarik ke atas. Dia mengecup leher Sakura lagi,
sedikit menjepit kulitnya di antara dua belah bibir. Kali ini, Sakura
mengedikkan bahunya hingga lehernya tertutup. Dia pun melepas
genggamannya pada tangan Sasuke.
“Sasuke-kun,” peringat Sakura, sadar akan apa yang diimplikasikan
Sasuke.
Sasuke memegang tangannya di atas tanah. “Tidak ada siapa-siapa di
sekitar sini.”
Terbuai dalam kecupan yang Sasuke berikan lagi, Sakura jatuh ke
dalam pelukan Sasuke. Pelukan itu semakin rapat, mesra, dan menginjak
keintiman yang lain. Sakura mendesis saat kulitnya ditiup angin di tengah
desahannya. Dekapan mereka semakin erat walaupun tubuh sudah
menguarkan panas.
Lambang klan Uchiha sudah menempel lagi di punggung keduanya
ketika mereka tertidur dengan kondisi bersandar pada pohon. Sakura

344

menyamankan kepalanya pada dada Sasuke dan Sasuke merengkuhnya.
Api masih dijaga oleh elang yang dipanggil Sasuke sampai pagi menjelang.



Mereka belum tiba di permukiman tetapi sudah menemukan
sebuah penginapan. Penginapan ini berdiri di jalur lalu lintas utama yang
biasa digunakan shinobi untuk menjalankan misi karena adanya pusat
persenjataan di sekitarnya. Sudah bisa ditebak bahwa mayoritas orang-
orang yang menyewa kamar di sini adalah shinobi.

Sakura berjalan duluan dan berhadapan dengan resepsionis untuk
menyebutkan kebutuhannya. Dia menyampaikan membutuhkan satu
kamar yang akan disewa selama satu malam. Resepsionis yang merupakan
perempuan muda itu menanyakan identitas Sakura sebagai kebutuhan
administrasi.

“Atas nama Haruno—”
“Uchiha Sakura,” Sasuke meralat tepat waktu. Dia melemparkan
tatapan menghakimi pada Sakura dengan raut yang merengut.
Sakura berusaha menahan tawa. “Atas nama Uchiha Sakura.”
Terdapat beberapa orang yang mengantre di belakang mereka saat
nama itu disebutkan. Bisik-bisik dalam bentuk gosip mengenai
pernikahan mereka atau klan Uchiha samar-samar sampai ke telinga
mereka. Mereka mengabaikannya dan lekas menuju kamar sewa.
Sasuke masih menekuk wajahnya saat mereka tiba di kamar. Sakura
mencolek dagu Sasuke dan menggerak-gerakkan alisnya.
“Kenapa murung, hm?”
“Kau seolah-olah lupa kita sudah menikah.”

345

Sakura mencubit pipi Sasuke pelan-pelan dan dalam gerakan main-
main. “Maaf, Sasuke-kun. Aku masih belum terbiasa.” Dia tersenyum
meminta maklum dengan memamerkan deretan giginya.

“Biasakanlah.” Sasuke menarik tangan Sakura yang masih mencubiti
pipinya. “Mendengar kau mengenalkan dirimu sebagai Uchiha Sakura
benar-benar membuatku merasa tidak sendiri dan jelas telah memiliki
keluarga lagi.”

Sakura mengecup pipi Sasuke beberapa kali. “Iya, suamiku.” Dia
mengecup pipinya lagi. “Tapi kau juga harus ingat tanpa aku menyebutkan
nama lengkapku yang sekarang, kau tetap tidak sendiri dan sudah
memiliki keluarga lagi.”

Sasuke menanggapi dengan anggukan.
“Dan ngomong-ngomong soal keluarga …” Sakura menjeda sejenak
untuk menarik napas panjang, “kurasa aku siap untuk mengabari orang
tuaku.”
“Kalau begitu aku akan mempersiapkan elang untuk mengantarkan
pesan.”
Sakura segera mengeluarkan lembaran kertas yang selalu dia
persiapkan setiap kali hendak memulai perjalanan baru. Penanya
dikeluarkan. Kecemasan masih melandanya, tetapi kebulatan tekad dan
kesadaran bahwa dia sudah semestinya melakukan ini meyakinkannya. Dia
mengepalkan tangan sebelum mulai menulis.

Teruntuk Tousan dan Kaasan tersayang,
Aku dan Sasuke-kun sudah menikah. Aku minta maaf atas segalanya.
Aku harap Kaasan dan Tousan sehat selalu. Aku menyayangi kalian.

Salam sayang,
Sakura.

Surat pendek itu sudah selesai digulung untuk diantarkan. Tanpa
sadar, air mata sudah mengalir di wajahnya.

346

33
Hadiah Ulang Tahun

Perjalanan Sasuke dan Sakura di Negeri Hujan terasa begitu lama
karena seringnya kebutuhan untuk berteduh. Sudah lebih dari sebulan
sejak mereka meninggalkan Konoha, dan mereka baru tiba di sini. Toko-
toko di jalur lalu lintas utama pun sering tutup ketika hujan badai terjadi
karena menghindari rusaknya barang jual sehingga perbaruan perbekalan
sulit dilakukan. Sasuke dan Sakura adalah salah satu pengelana yang
terkena imbas tersebut.

Mereka sudah seminggu berada di hutan dan kini harus berteduh di
gua. Gua tersebut lembap dan jauh dari kata nyaman. Sakura banyak
mengomel, dan setelah dia melakukan itu penyesalan akan
menggerogotinya. Sasuke tidak pernah memprotes apa-apa, tetapi
kecemasan tetap melandanya.

Petir menggelegar hingga Sakura melonjak terkejut. Hasrat ingin
mengomel datang lagi pada Sakura. Namun, kali ini entah bagaimana
tersalurkan pada rasa lapar. Kepalanya pun mendadak pusing. Barangkali
karena perutnya memang kosong.

“Kita harus makan, Sasuke-kun,” kata Sakura sembari bergerak
maju menuju perbekalan mereka. Dia berbalik ke belakang dengan dua

347

buah cup ramen di tangannya. Dia sedikit memberengut. “Hanya tersisa
ini dan teh. Sepertinya kita terpaksa puasa sampai besok malam. Desa
terdekat kira-kira berjarak satu hari dari sini, 'kan?”

“Ya,” jawab Sasuke. “Tidak apa-apa?”
“Kurasa tidak apa-apa. Lagi pula ini bukan pertama kalinya.”
Mereka menyeduh ramen instan tersebut setelah menyalakan api
unggun. Sasuke menatap Sakura dengan heran ketika wajahnya mengerut
dan tangan wanita itu menjauhkan cup ramen dari wajahnya. Sebelah
tangannya yang bebas membekap mulut dan hidungnya.
“Ada apa?” tanya Sasuke.
Sakura membuka bekapannya. “Baunya buruk sekali,” dia
menjulurkan lidahnya, “kurasa ini basi.”
Dahi Sasuke mengernyit. “Kurasa baunya biasa saja.”
Sakura menggeleng keras. “Tidak sama sekali! Cium saja sendiri,”
katanya sembari merentangkan cup ramennya pada Sasuke.
Sasuke menaruh ramen miliknya ke tanah. Dia menerima ramen
milik Sakura dan mengendus aromanya. Benar-benar biasa saja. Matanya
menelusuri cup untuk mencari tanggal kedaluwarsa. Ramen tersebut baru
akan kedaluwarsa tahun depan.
“Biasa saja,” komentar Sasuke.
Sakura memandangnya dengan tatapan tidak percaya.
“Kita bertukar. Kau makan saja punyaku.”
Sakura menyetujui dengan langsung meraih cup ramen milik Sasuke.
Wajahnya merengut lagi. “Sama saja!” keluhnya.
“Kau bisa memakannya?”
Sakura mendesah. “Apa boleh buat. Daripada tidak makan sampai
lusa. Aku buang kuahnya saja, supaya baunya hilang.” Dia menatap Sasuke.
“Bisakah kau makan jauh-jauh dariku?”

348

Sasuke nyaris menganga. Apakah Sakura baru saja mengusirnya?
Rasanya sulit sekali untuk dipercaya! Enggan berdebat, dia menjauh dari
Sakura sembari mendecak. Matanya menyipit saat memandangi Sakura
yang sedang makan. Dia kembali ke samping Sakura saat makanannya
sudah habis. Sakura yang tidak mengatakan apa-apa soal pengusirannya
tadi entah mengapa membuat Sasuke sedikit jengkel.

Raut yang Sakura tayangkan selama makan tampak seperti
seseorang yang tersiksa. Saat makanan sudah habis, dia menandaskan
minumannya dengan cepat. Tangannya memegang lehernya sendiri. Dia
terus-menerus menelan ludahnya seolah ingin membersihkan sesuatu dari
kerongkongannya. Tiba-tiba dia membekap mulutnya, berdiri, dan berlari
menjauh dari Sasuke ke mulut gua. Sasuke langsung turut berdiri ketika
mendengar suara Sakura yang sedang muntah.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Sasuke.
“Tidak,” jawab Sakura dengan suara serak. Dia menendang-nendang
tanah untuk mengubur isi perutnya yang terpaksa keluar. “Jangan ke sini!”
Sasuke hendak tidak menghiraukan peringatan Sakura, tetapi
wanita itu sudah kembali terlebih dahulu. Punggung tangannya menyeka
bibirnya. Dia lekas berkumur dan minum lagi.
“Sudah kubilang, ramennya basi.”
Sasuke baru sadar bahwa dia tidak mengecek tanggal kedaluwarsa
ramen yang dimakan Sakura. Dia mengembuskan napas panjang karena
menyesal sebelum mengeceknya. Nyatanya, tanggal kedaluwarsanya sama
dengan ramen yang dimakannya.
“Tanggal kedaluwarsanya tahun depan,” kata Sasuke mengklarifikasi.
Dia menyentuh tengkuk Sakura dan memijatnya. “Kau sudah tidak apa-
apa?”
“Hm. Aku sudah baik-baik saja.” Dia menyandar pada bahu Sasuke.
“Aku mau tidur, Sasuke-kun.”

349

Sasuke mengedikkan bahunya agar Sakura beranjak sebentar. Elang
dipanggil untuk menjaga api. Dia menyandar pada dinding gua yang
kering.

“Kemarilah,” kata Sasuke.
Sakura menurutinya dan kembali menyandar pada bahu Sasuke.
Tangan pria itu melingkari pinggangnya.
“Tidak apa-apa aku tidur seperti ini?” tanya Sakura.
“Tidak apa-apa.”
“Baiklah.” Sakura mengecup pipi Sasuke. “Selamat malam, Sasuke-
kun.”
“Selamat malam, Sakura.”
Sasuke terjaga selama beberapa saat, sampai akhirnya menyandarkan
kepalanya sendiri pada kepala Sakura dan memejamkan mata. Dia
terbangun saat langit sudah mulai terang. Sakura sudah tak ada di sisinya
dan lagi-lagi terdengar suara wanita itu sedang muntah. Tanpa
memikirkan apa-apa lagi, dia beranjak dan menghampiri Sakura. Dia
menemukan Sakura di belakang semak-semak di luar gua, berjongkok
sambil mempertahankan rambutnya agar tetap di punggung.
“Sakura?”
Sakura menoleh ke belakang. Dia lekas berdiri. Wajahnya pucat dan
tampak kelelahan.
“Masih mual karena semalam?”
“Entahlah. Yang kukeluarkan hanya cairan. Aku belum makan apa-
apa lagi. Dan rasanya memang tak ingin makan apa pun.” Tangannya
memegangi lehernya sendiri. Dia mengatur napas sembari berjalan menuju
perbekalan mereka dan membersihkan mulutnya.
Sasuke menatap Sakura dengan khawatir. Dia duduk di samping
Sakura dan memijat tengkuknya lagi. Sakura tampak sakit sekarang, dan
mereka masih di tengah hutan. Perbekalan makanan sudah kandas.

350

Permukiman terdekat berjarak satu hari dari sini. Kondisi ini membuat
Sasuke kepikiran.

“Kau tahu apa yang terjadi padamu?” tanya Sasuke.
“Keracunan makanan. Mungkin.” Sakura memegangi perutnya.
“Ugh, perutku rasanya tidak enak sekali.”
Sasuke menyodorkan segelas air mineral lagi pada Sakura.
“Minumlah yang banyak,” katanya.
Sakura menerimanya dan meminumnya sampai habis. Tangannya
membekap mulutnya lagi. Matanya terpejam erat-erat. Butuh waktu
beberapa detik sampai Sakura tampak stabil. Lantas, dia mengangkat
wajah untuk menatap Sasuke.
“Bagaimana denganmu, Sasuke-kun? Kau tidak mual? Kita selalu
makan makanan yang sama.”
“Aku baik-baik saja. Seharusnya ramen yang semalam tidak perlu
ditukar,” ucap Sasuke dengan wajah murung.
Sakura menggeleng. “Itu bukan salahmu. Kalau keracunan makanan
saja, mungkin satu jam lagi pun sudah membaik. Kau tidak perlu
khawatir.”
“Kita masih sangat jauh dari permukiman. Seharusnya perutmu
tidak kosong kalau sudah begini.”
“Sementara ini air pun cukup. Aku baik-baik saja. Sungguh. Hanya
perlu istirahat sebentar sebelum kita melanjutkan perjalanan.”
“Katakan yang sejujurnya jika terjadi sesuatu padamu.”
“Tentu saja.”
Mereka melanjutkan perjalanan setelah menunggu selama dua jam.
Sasuke terus mengamati Sakura dan bersyukur wanita itu tampak baik-
baik saja, walaupun lebih mudah lelah. Sepertinya efek dari keracunan
makanan sudah hilang. Sementara itu, Sakura beberapa kali menanyakan
kondisi Sasuke karena khawatir pria itu cepat atau lambat merasakan yang

351

Sakura alami kemarin malam dan tadi pagi. Namun, Sasuke sungguh-
sungguh memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.

Toko-toko sudah tutup saat mereka tiba di permukiman. Sasuke
mengeluh dalam hati, masih memikirkan perut Sakura yang kosong sejak
pagi. Mereka lekas mencari penginapan. Sasuke harap di penginapan nanti
setidaknya ada air yang bisa diminum karena air minum mereka sudah
benar-benar habis saat ini. Apalagi, bibir Sakura sudah tampak mengering.

Harapan Sasuke terwujud saat dia menemukan galon air dalam
kamar penginapan mereka. Sebelum disuruh, Sakura sudah mengonsumsi
air cukup banyak. Sasuke turut minum karena kerongkongannya pun
kering. Setelah sama-sama membersihkan diri, keduanya segera tidur.



Sakura muntah lagi untuk yang ketiga kalinya. Dia benar-benar
heran sekarang. Ini jelas-jelas bukan keracunan makanan lagi—dia tak
memakan apa pun sejak kemarin. Apakah mungkin air yang diminumnya
mengandung bakteri? Kalaupun benar begitu, efek sampingnya tak akan
sampai muntah-muntah begini. Dia yakin akan hal itu. Atau mungkin
justru karena perutnya kosong hingga asam lambungnya bereaksi?

Suara ketukan pintu kamar mandi menggema. “Sakura, kau baik-
baik saja?” Terdengar suara Sasuke yang teredam pintu yang tertutup.

Rasanya Sakura enggan menjawab dengan mulut yang dipenuhi rasa
asam dan pahit begini. Seandainya Sasuke bisa melihatnya, dia hanya akan
menggeleng. Kemudian pertanyaan Sasuke terulang lagi.

“Tidak,” jawab Sakura dengan suara serak.
Dia menyiram toilet sebelum berdiri dan membersihkan mulutnya
sendiri. Suara kenop pintu yang berputar terdengar. Sakura otomatis

352

mengangkat wajah dan mendapati Sasuke yang menampilkan wajah yang
masih diliputi kantuk, tetapi tampak waspada di saat yang sama.

“Apa yang terjadi padamu?” tanya Sasuke.
“Aku tidak tahu.”
“Kau merasakan sesuatu?” Tangan Sasuke menyentuh dahi, pipi,
dan leher Sakura untuk mengukur suhu tubuh. “Kau tidak demam.”
“Yang kurasakan hanya mual saja.”
“Tidak pusing? Atau yang lain?”
Sakura menyentuh pelipisnya sendiri. “Hmm, sedikit pusing.”
“Kau harus istirahat.”
Sakura mengangguk. Dia berjalan menuju tempat tidur dan
mendudukinya. Sasuke menyusul dengan segelas air di tangannya. Dia
menyerahkan gelas itu pada Sakura dan wanita itu segera menghabiskan
isinya.
“Berbaringlah,” kata Sasuke.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sakura menurut. Sasuke menyelimuti
tubuhnya.
“Apakah ini karena perutmu kosong sejak kemarin?”
“Kurasa begitu.”
“Tunggu di sini. Aku akan membeli makanan.”
Sebelum Sakura menjawab, Sasuke sudah berjalan menuju kamar
mandi, keluar setelah beberapa saat, kemudian melangkah menuju pintu
keluar. Sakura mengembuskan napas lelah dan memejamkan mata erat-
erat. Dia menenggelamkan wajah pada selimut yang tadi dipakaikan
Sasuke.
Sasuke kembali lebih cepat daripada yang dia kira. Dia meletakkan
bungkusan makanan di atas meja nakas sebelum mengulurkan tangan
untuk menyentuh kening Sakura. Suhu tubuhnya masih normal.
“Masih pusing?”

353

“Tidak.”
Napas lega lepas dari hidung Sasuke. Dia meraih bungkusan
makanan dan menyodorkannya pada Sakura setelah mengambil makanan
miliknya. Sakura tampak enggan makan, tetapi dia memaksa dirinya
sendiri. Waktu makannya lebih lama tiga kali lipat dari Sasuke.
“Sakura,” panggil Sasuke. “Apakah kau akan ke rumah sakit yang
berada di desa ini hari ini?”
“Tentu saja. Aku harus laporan pada Tsunade-sama.”
Sasuke terdiam. Dia menatap Sakura dengan pandangan menelisik.
Wajahnya sudah tidak sepucat tadi walaupun bibirnya masih kering. Dia
menyentuh kening dan leher Sakura lagi. Suhu tubuhnya normal.
Makanannya pun habis. Namun, kekhawatiran Sasuke sama sekali belum
hilang.
“Kau bisa melakukannya besok. Hari ini istirahat saja.”
Sakura menggeleng. “Aku baik-baik saja. Aku yakin istirahat satu
jam sudah cukup membuatku fit kembali. Seperti kemarin. Tidak perlu
khawatir.”
“Jika dalam satu jam kau belum membaik, tundalah sampai besok.”
“Ya. Aku janji tak akan memaksakan diri.”
“Aku pegang kata-katamu.”
Sakura menggenggam tangan Sasuke dan mengecupnya. “Mana
mungkin aku melanggar janjiku pada suamiku sendiri.” Dia turut
tersenyum mendapati senyum tipis Sasuke. Ibu jarinya mengusap
punggung tangan pria itu. “Ngomong-ngomong, kau tahu hari ini hari
apa?”
“Hari Senin?”
Sakura menahan diri dari memutar bola matanya. Sepertinya Sasuke
tidak ingat ulang tahunnya sendiri. Namun, jika ingat pun pria itu bukan

354

tipikal orang yang akan menjawab, ‘Ini hari ulang tahunku.’ Benar juga.
Sakura baru sadar akan hal itu.

“Ah, ya. Tentu saja. Hari Senin.”



Hari sudah gelap saat Sakura selesai dengan kegiatannya di rumah
sakit. Di perjalanan menuju penginapan, otaknya berputar menentukan
hadiah ulang tahun untuk Sasuke. Dia tidak kreatif dalam hal-hal seperti
ini.

Tas kecilnya tiba-tiba terasa memberat. Dia baru ingat ada sesuatu
yang amat sangat istimewa di dalamnya yang bisa dia berikan kepada
Sasuke sebagai hadiah ulang tahun. Sakura tidak berhenti berseri-seri
sepanjang jalan pulang dan dia sadar itu terlihat oleh orang lain karena
beberapa orang tiba-tiba menyapa dan melembar senyuman ramah
padanya.

Sakura nyaris melompat-lompat ketika membuka pintu penginapan
karena rasa semangat. “Tadaima,” ucapnya ketika masuk ke dalam kamar.

Sasuke menjawab okaeri setelah membalik tubuh dan menghadap
Sakura.

Sakura berjalan ke tempat tidur dan duduk di samping Sasuke yang
masih memegang gulungan. Tatapannya tertuju pada tangan Sasuke yang
lecet-lecet. Tanpa berkata apa pun, dia menarik tangan Sasuke sampai
melepaskan gulungan, lantas menyembuhkannya menggunakan jurus
medisnya.

“Kau latihan lagi?”
“Hn.” Sasuke menarik tangannya saat aliran cakra hijau dari Sakura
sudah padam. “Terima kasih.”
Sakura mengangguk.

355

“Kau baik-baik saja? Tidak terjadi sesuatu selama di rumah sakit?”
tanya Sasuke.

“Iya. Aku baik-baik saja. Kau sudah makan, Sasuke-kun?”
“Belum. Tapi aku sudah membeli makan.” Bahu Sasuke mengedik
pada bungkusan makanan di atas meja.
Sakura tersenyum masam. Dia sempat berpikir untuk makan di luar,
tidak menduga Sasuke sudah membeli makanan duluan. Namun, dia tetap
menghargai Sasuke. Menyadari ekspresi wajahnya menyiratkan yang
sebaliknya, dia buru-buru membenahinya sebelum Sasuke menyadarinya.
“Aku mau mandi. Makanlah duluan,” kata Sakura.
“Aku akan menunggu.”
Sakura berniat mendebat Sasuke karena berpikir suaminya itu sudah
menunda makan malam sejak tadi. Namun, sadar perdebatannya akan
percuma, dia mengurungkan niatnya. Dia segera menuju kamar mandi
dan menuntaskan mandi secepat yang dia bisa. Mereka pun makan
setelahnya.
Saat makanan sudah habis, Sakura membersihkan sisa-sisa makanan
mereka. Dia lekas kembali duduk di samping Sasuke. Sasuke mengambil
sebuah gulungan dan memberikannya pada Sakura. Sakura melemparkan
pertanyaan dari tatapan matanya.
“Dari Kakashi.”
“Untukku?”
“Untuk kita.”
Kernyitan di dahi Sakura semakin dalam. Dia membuka gulungan
tersebut dan sadar bahwa gulungan itu berisi barang-barang yang dapat
‘dipanggil.’ Dia mengaktifkan jurus untuk mengeluarkan barang yang
berada di dalam sana. Tiga buah kotak dalam kantong keluar dari sana.
Sakura mengintip isi kantong tersebut.

356

Salah satu kotaknya berwarna ungu muda. Terdapat sebuah pita
putih yang membebatnya. Sakura menduga kado tersebut datang dari
Hinata. Dugaannya tepat setelah membaca kartu ucapan pernikahan yang
ditulis atas nama Naruto dan Hinata. Sakura tersenyum membaca
pesannya.

“Ini dari Hinata dan Naruto,” kata Sakura. Dia mengulurkan kartu
ucapan tersebut pada Sasuke. Setelah kartu tersebut berpindah tangan, dia
mengangkat isi kadonya. “Oh, ini lucu sekali!” Sebuah piama hitam untuk
wanita menggantung di depan wajah Sakura. Di dalam kotak ada piama
dengan warna yang sama tetapi untuk laki-laki. “Piama pasangan,” kata
Sakura sambil tersenyum geli.

Sakura lekas memasukkan piama tersebut ke dalam kotak. Dia
membuka kotak lain yang dibungkus kertas kado berpola. Sakura mencari
kartu ucapan sebelum melihat isi kadonya. Tanda tangan di kartu itu
adalah dari Sai dan Ino. Sakura kebingungan saat membaca, “Hadiah ini
hanya bisa dipakai Sakura. Tapi kami yakin Sasuke juga akan
menyukainya.” Dia lekas membuka kembali kotaknya dan mengangkat
isinya. Belum sampai dua detik, dia buru-buru menaruhnya kembali ke
dalam kotak. Kotak itu ditutup rapat-rapat. Wajah Sakura merona hebat.

Sasuke melirik Sakura. Dahinya mengernyit karena respons gadis
itu. “Ada apa?”

Sakura menggeleng cepat. “Ti-tidak apa-apa.”
Sasuke mengangkat sebelah alis. Dia meraih kartu ucapan yang
masih dipegang Sakura. Kesulitan dialaminya ketika hendak menarik
kartu tersebut karena Sakura menahannya, sampai akhirnya Sasuke
mendapatkannya. Dia membaca isi kartunya.
Rasa bingung mewarnai wajah Sasuke. Dia membuka kotak yang
masih berada di pangkuan Sakura. Sakura tampak sangat canggung. Kotak
itu terbuka. Ada beberapa potong kain berbahan renda. Sasuke

357

mengangkat salah satunya. Dia lekas menaruhnya lagi setelah sadar itu apa.
Pakaian dalam wanita dengan potongan seksi.

Sasuke mengalihkan wajah setelah menutup kotaknya rapat-rapat.
Wajah dan lehernya terasa memanas. Bayangan-bayangan kombinasi
antara Sakura dan dalaman itu masuk ke dalam benaknya. Sasuke
menutup wajahnya sendiri dengan tangan untuk berusaha
menghilangkannya.

Sakura buru-buru menaruh kotak tersebut di belakang tubuhnya.
Gerakannya tampak skeptis saat meraih kotak lain yang belum dibuka. Dia
mengusap kado tersebut perlahan.

“Se-sepertinya ini hadiah dari Kakashi-sensei,” kata Sakura berusaha
memecah kecanggungan.

Tangannya mengangkat sebuah kotak berlapis kertas biru polos. Dia
membukanya perlahan-lahan. Ada satu pak lilin berwarna merah muda
halus—lebih halus daripada warna rambutnya. Sakura meraihnya dan
mengendus wanginya.

“Ini lilin aromaterapi,” katanya. Sakura tersenyum. Wanginya begitu
menenangkan padahal hanya diendus dalam kondisi masih padat. Dia
memejamkan mata dan membayangkan makan malam romantis bersama
Sasuke dengan harum dari aromaterapi berterbangan di sekitarnya.
“Kakashi-sensei manis sekali memberikan kita hadiah seperti ini.”

Sasuke tak menjawab. Matanya masih terfokus pada kotak yang
tutupnya menempel, berbeda dengan dua kotak yang sudah dibuka lebih
dulu. Posisi kotak itu miring di pangkuan Sakura. “Masih ada isinya,” kata
Sasuke.

Sakura mengangkat kotak tersebut dan mengintip dari mulut kotak
yang kecil. Terdapat tumpukan buku di sana. Dia menariknya hingga
sampulnya kelihatan. Seri lengkap Icha Icha Paradise. Dia dan Sasuke
mendengus bersamaan. Mata Sakura membeliak.

358

“Entah mengapa aku tidak terkejut dengan hadiah ini,” kata Sakura.
“Kau bukan satu-satunya.”
Sakura membaca ucapan selamat yang tertulis di kartu keras-keras.
Tiba-tiba dia berhenti. Sasuke keheranan dan meraih kartu itu kemudian
membacanya sendiri. Bagian yang belum Sakura baca adalah: “Nyalakan
lilin aromaterapi untuk menemani malam panjang kalian.”
Sakura menepuk dahinya. Memahami arti dari kiasan malam
panjang, merah pekat mewarnai wajahnya. “Ugh, ada apa dengan orang-
orang ini?” keluhnya dengan suara kecil. Dia jadi tak berani menatap
Sasuke. “Hadiah yang tidak macam-macam hanya datang dari Naruto dan
Hinata. Aku yakin ini karena Hinata. Kalau Naruto saja yang berikan pasti
tidak akan senormal ini.”
Membahas hadiah yang diberikan untuk pernikahan mereka, Sakura
kembali teringat perihal ulang tahun Sasuke. Dengan gerakan tiba-tiba,
tangannya menyentuh wajah pria itu, menariknya sedikit, lantas dia
mengecup pipinya. Sasuke tampak heran dengan afeksi tiba-tiba dari
Sakura. Sakura menyengir.
“Selamat ulang tahun, Sasuke-kun!” ucap Sakura dengan ceria.
Sasuke tertegun. Dahinya mengernyit. “Hari ini tanggal 23 Juli?”
Kali ini, Sakura sama sekali tidak menahan diri dari memutar bola
matanya. Ternyata dugaannya benar. Sasuke tidak sadar hari ini adalah
ulang tahunnya.
“Iya. Ya ampun, bagaimana bisa, sih, kau lupa ulang tahunmu
sendiri?”
Sasuke mengangkat bahu. “Itu tidak terlalu penting.”
Entah mengapa, Sakura sudah menduga jawaban itu akan keluar
dari mulut Sasuke.
“Apakah kau menginginkan sesuatu untuk ulang tahunmu?”
“Tidak juga.”

359

Lagi-lagi, Sakura sudah menduga jawaban Sasuke.
“Ada … ada sesuatu yang perlu kau ketahui,” kata Sakura ragu-ragu.
Tatapan yang tadi tertuju pada tangannya sendiri kini mengarah pada
mata Sasuke.
“Hm?”
“Sebenarnya saat ke rumah sakit tadi, aku sekalian mengecek
kondisi kesehatanku.”
Wajah Sasuke menegang. Dia tampak cemas. “Bagaimana hasilnya?
Kau tidak sakit, ‘kan?”
“Tidak. Tidak sakit.” Sakura menggigit bibirnya. Dia memegang
perutnya sendiri. “Hanya saja …” satu tarikan napas panjang. Dia menjeda
lama dan Sasuke tampak tak sabar sekaligus cemas. Sakura tidak bisa
menahan senyum saat mengeluarkan testpack dari tasnya dan
memperlihatkannya pada Sasuke. “… kau akan jadi ayah.”
Sakura menatap Sasuke dengan gelisah. Jantungnya berdebar
kencang menanti respons dari Sasuke. Secara pribadi, dia amat senang
dengan kabar yang diterimanya dari hasil tes kesehatannya tadi. Dia
menduga Sasuke pun akan senang. Namun, Sakura tetap cemas.
Kedua mata Sasuke melebar. Dia menatap wajah Sakura dan testpack
secara bergantian dengan serius, mencari kebenaran di sana. Sakura tidak
tampak berbohong. Dan untuk apa juga Sakura berbohong soal ini?
“Kau hamil, Sakura?”
Sakura mengangguk. Dia tak sempat menilai mimik muka Sasuke
karena pria itu sudah maju untuk mengecup keningnya. Tangan Sasuke
yang semula memegang belakang kepalanya merambat menuju perutnya.
Dia membelai perut Sakura dengan lembut dan penuh rasa sayang. Sakura
sama sekali tidak bisa menahan air matanya. Dia memeluk tubuh Sasuke
erat-erat.

360

Pelukan mereka melonggar. Sasuke menyeka air mata yang
membasahi pipi Sakura menggunakan ibu jarinya. Bibirnya
melengkungkan senyum tulus. Detak jantung Sakura bertambah cepat
karenanya.

“Kau senang dengan ini?” tanya Sakura. Tiba-tiba dia merasa bodoh
karena masih bertanya.

“Tentu saja.”
Walaupun sudah dapat menebak jawaban Sasuke, rasa lega tetap
menerpanya. Kebahagiaannya mendadak menjadi berkali-kali lipat. “Aku
tidak menduga akan secepat ini. Kita bahkan baru menikah selama satu
bulan lebih dua hari.”
Sasuke tersenyum menanggapi Sakura serta memancarkan
kebahagiaannya.
“Sakura.” Panggilan Sasuke membuat Sakura menurunkan
tangannya. “Apakah kabar ini adalah hadiah ulang tahunku?”
“Mungkin.” Sakura menyengir. “Kenapa?”
Sasuke menatapnya dengan intens. Sakura sontak menahan
napasnya.
“Sebenarnya ada sesuatu yang kuinginkan.”
Tangan Sasuke bergerak ke belakang kepala Sakura. Dia melepas
ikat rambut Sakura yang dipasang untuk menghindari basahnya rambut
saat mandi. Ruas-ruas jemari Sasuke diisi helaian rambut merah muda
Sakura. Dia menyugarnya sampai kedua bahu Sakura tertutupi rambut.
“Apa itu?”
Kecupan yang mendarat di bibirnya membuat Sakura berpikir
bahwa keinginan Sasuke adalah sebuah ciuman. Saat tangan Sasuke
menariknya mendekat hingga dia duduk di pangkuan pria itu, ciumannya
menjalar pada rahang dan leher, dirinya sadar keinginan Sasuke bukanlah
sebatas ciuman. Wajah yang masih merona kini tambah memerah lagi.

361

Tangan Sasuke menjelajahi sisi tubuhnya. Saat menyelipkan tangan
ke balik kaus Sakura dan menyentuh perutnya, Sasuke berhenti bergerak.
Dia mencari mata Sakura. “Tidak apa-apa melakukannya saat kau hamil?”

“Tidak apa-apa.”
Tidak butuh waktu sedetik sampai Sasuke melanjutkan kegiatannya
lagi.

362

34
Pelabuhan Terakhir

Menurut Sakura, hari masih terlalu pagi untuk mulai membereskan
barang bawaan mereka yang tersebar di beberapa bagian kamar penginapan.
Yang dilakukannya hanyalah duduk di sisi tempat tidur sambil
memandangi Sasuke yang membereskan barang bawaannya. Selain itu,
mual yang melandanya pun menjadi pencegah kegiatannya meskipun baru
beberapa saat yang lalu dia mengeluarkan isi perutnya. Tangannya memijat
tengkuknya dan memegang lehernya sendiri.

Meskipun sudah terhitung sepuluh hari sejak Sakura mulai mual-
mual, dia sama sekali belum merasa terbiasa. Ditambah lagi sakit kepala
dan nyeri payudara yang dialaminya. Tubuhnya terasa benar-benar lemah
sekarang, walaupun tidak selemah tiga hari yang lalu, saat dirinya nyaris
pingsan ketika menjalankan tugasnya di rumah sakit. Untung saja dia
masih mampu mengendalikan kesadarannya. Namun, dia tak yakin dirinya
masih mampu dalam beberapa hari ke depan.

“Sasuke-kun?”
Sasuke menghentikan kegiatannya. Dia menoleh ke belakang
hingga menatap istrinya.

363

“Bisakah kita menetap di sini lebih lama?” tanya Sakura hati-hati.
Walaupun kondisinya tidak optimal, menunda perjalanan mereka masih
menjadi hal terakhir yang diinginkannya. Akan tetapi, dia benar-benar
tidak bisa membayangkan merasa kesulitan di tengah perjalanan. Itu tentu
akan turut menyulitkan Sasuke.

Tatapan Sasuke terarah pada tangan Sakura yang masih memegangi
tengkuknya. “Karena kondisimu?”

“Iya.”
Sasuke berdiri, lantas melangkah ke samping tempat tidur. Dia
mendudukkan dirinya tepat di sebelah Sakura.
“Aku baru saja mau bertanya apakah kau mau kembali ke Konoha.”
Sakura terdiam. Pulang ke Konoha sama sekali tidak terlintas di
pikirannya. Terakhir dia berada di sana adalah sekitar enam minggu yang
lalu, dan perjalanan ke sana termasuk waktu istirahat kurang lebih akan
memakan waktu yang sama. Dalam kondisinya sekarang, mungkin akan
memakan waktu lebih lama lagi. Selain itu, ada alasan lain yang
mengganjal hati Sakura.
“Tidak sekarang. Aku masih ingin bersamamu,” jawab Sakura
setelah menggeleng.
Sasuke mengembuskan napas panjang. “Kau pikir aku akan
meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini?”
Sakura terdiam. Dia menatap Sasuke dengan serius. Dia sadar
dirinya sudah salah bicara walaupun yang dia maksud sama sekali bukan
seperti yang Sasuke tangkap. Sakura memegang tangan Sasuke.
“Maksudku bukan begitu,” ujar Sakura tanpa keraguan. “Kau sadar bukan
bahwa kau tidak bisa menetap di satu tempat terlalu lama? Bukankah kau
masih diincar? Aku percaya Sasuke-kun bisa mengatasi mereka. Tapi …
mereka bisa saja membahayakan orang lain.”

364

“Kau sudah mempertimbangkan kehamilanmu?” tanya Sasuke. Dia
tidak berminat memperpanjang topik yang baru saja Sakura buka
meskipun itu adalah kebenaran. Hal tersebut masih membuatnya berpikir
bahwa keberadaan dirinya di sisi Sakura pun akan membahayakan wanita
itu.

Senyum mengembang di bibir Sakura saat memikirkan
kehamilannya. Setelah melihatnya, risau yang melanda Sasuke hilang
seketika. Tangan Sakura memegang perutnya sendiri secara refleks.
“Tentu saja. Walaupun sekarang kondisiku begini, aku yakin ke depannya
akan baik-baik saja. Dan kau tahu aku mampu melindungi diriku sendiri.”

Tangan Sasuke menyentuh lengan Sakura dan mengusapnya. Dia
bisa merasakan kencangnya otot Sakura di sana. “Aku tahu. Kau adalah
wanita paling kuat yang pernah kulihat,” ucapnya sungguh-sungguh.

Dahi Sakura mengernyit, tampak ragu. Sasuke sama sekali tak
mengerti apa yang Sakura ragukan dari dirinya sendiri ketika tangan
Sasuke sedang menyentuh salah satu buktinya.

“Tapi kau pernah melihat Tsunade-sama.”
“Kupikir kau sudah melampauinya.”
Sakura tertawa. “Tentu saja tidak! Kurasa pandanganmu bias,
Sasuke-kun. Kau pasti mengatakannya karena aku adalah istrimu dan kau
tidak pernah akrab dengan Tsunade-sama sama sekali.”
“Tidak. Aku bersungguh-sungguh.”
Sakura tersenyum lagi dengan wajah berseri-seri. Wanita itu sedikit
menunduk. Kemerahan mewarnai pipinya. Sasuke menatapnya dalam-
dalam. Ekspresi itu selalu muncul setiap kali dia memuji Sakura, sama
persis dengan yang selalu dia tampilkan sejak masih berusia sebelas sampai
dua belas tahun. Sasuke menyadari begitu banyak hal yang sudah berubah
dalam diri Sakura, tetapi ada beberapa yang tetap sama.

365

“Hm. Itu tidak penting. Yang penting kau mengakui bahwa aku
sanggup menghadapi semua ini tanpa kembali ke Konoha secepatnya, 'kan?
Jadi, kau tidak perlu memaksaku untuk itu.”

“Aku tidak pernah berniat untuk memaksamu. Aku hanya
menanyakan pendapatmu.”

Sakura mengangguk. “Kau sudah tahu apa pendapatku sekarang.”
Kali ini, Sasuke yang mengangguk. Wajahnya mendadak dipenuhi
rasa khawatir saat mendengar suara seperti seseorang yang tercekik dari
Sakura. Dia menyentuh punggung wanita itu dan mengusapnya perlahan.
Sakura membekap mulutnya sendiri menggunakan tangan.
“Ini lebih parah daripada tadi, Sasuke-kun,” ujar Sakura dari balik
bekapannya. Suaranya lirih dan lemah. “Padahal rasanya aku sudah
mengeluarkan semuanya. Tak ada lagi yang bisa kukeluarkan.”
Sasuke tak tahu harus melakukan apa. Tangan yang masih
menyentuh punggung istrinya itu bergerak menekan hingga tubuh Sakura
sedikit condong padanya. Dikecupnya pelipis Sakura. Lingkaran
tangannya mengetat hingga menjadi pelukan. Tangan Sakura turut
mendekapnya.
“Kau membutuhkan sesuatu?”
“Aku mau minum.”
“Tunggu sebentar.”
Sebelum Sasuke melepas tangannya dari tubuh Sakura, wanita itu
sudah melakukannya lebih dulu. Sasuke segera beranjak untuk mengambil
air hangat. Diberikannya gelas pada Sakura. Sakura meneguknya pelan-
pelan, tetapi keras, hingga suara setiap tegukannya terdengar jelas oleh
Sasuke. Gelasnya yang hampir kosong ditaruh di atas meja nakas sebelah
tempat tidur.
“Kau harus makan lagi,” kata Sasuke. “Apa yang kauinginkan?”

366

Sakura berpikir sambil bergumam. Alisnya tertekuk seperti orang
bingung. “Apa saja,” katanya. Kemudian dia mempertimbangkan apa yang
baru saja diucapnya. Tangannya memegang pergelangan tangan Sasuke
keras-keras. “Apa saja selain tomat.”

Dahi Sasuke mengerut. “Aku tidak tahu kau tidak suka tomat,”
ucapnya. Terdengar sekilas nada terganggu di sana.

Sakura tertawa kecil melihat dan mendengar tanggapan Sasuke.
Walaupun dia memang sungguh-sungguh tidak ingin memakan tomat
sekarang, atau olahan tomat apa pun, dia tetap menikmati ekspresi wajah
tak biasa dari Sasuke.

“Jangan tersinggung begitu,” kata Sakura. Kedua tangannya
merangkum wajah Sasuke dan menekannya. “Aku tahu kau suka tomat.
Aku juga bukannya tidak suka tomat. Tapi entahlah, aku hanya sedang
tidak ingin memakannya. Pengaruh kehamilan, mungkin?”

“Baiklah.”
Sasuke pergi keluar untuk membelikan Sakura makanan. Dia
kembali dengan makanan untuk Sakura serta sebungkus tomat untuk
dirinya sendiri.
Sakura mengernyit. “Sudah kubilang aku tidak mau tomat,”
keluhnya.
Sasuke mendengus. “Siapa bilang ini untukmu?” Dia meraih sebuah
tomat dari kantong plastik dan menggigitnya dengan mulut yang dibuka
lebar. “Asal kau tahu saja, ini enak, Sakura.”
Tawa kecil sekaligus jengkel lepas dari bibir Sakura. Dia
menggeleng-geleng sekaligus gemas atas tindakan Sasuke yang masih
tidak terima soal dia yang tidak mau makan tomat. Rasa gemas itu
membuat dia ingin mencium suaminya, tetapi mengingat rasa tomat akan
masih menempel di bibirnya membatalkan niatnya.

367



Penginapan tempat Sasuke dan Sakura menetap masih sama.
Walaupun harga sewanya cukup murah, tetapi jika dikalikan berhari-hari
terasa memberatkan ekonomi mereka. Sakura masih menghasilkan uang
di sini dengan pekerjaannya, Sasuke masih memiliki perbekalan dari
warisan keluarganya, tetapi boros tetap tidak menjadi pilihan Sakura.

Di lobi rumah sakit, Sasuke sudah menunggu untuk menjemput
Sakura pulang. Rutinitas ini baru terjadi sejak kabar kehamilan Sakura
sudah datang pada mereka.

Sebelumnya, Sasuke terkadang menanti di penginapan atau
mengurusi urusannya sendiri. Pria itu masih berkelana dan menjaga diri
dari musuh yang mengincarnya atau terkadang membantu warga desa
mengurusi sesuatu. Jadwal pulang Sakura tidak pernah tetap, dia selalu
berharap Sakura sudah menunggunya di tempat mereka bernaung, tetapi
itu tidak terjadi setiap hari. Sejak kondisi tubuh Sakura melemah, Sasuke
selalu menyempatkan diri untuk menjemput dari waktu tercepat istrinya
biasa pulang dan menanti tanpa batas.

Sakura tersenyum saat sinar di mata Sasuke menyala saat melihatnya.
Dia melambaikan tangan dan terus mengikis jarak di antara mereka
berdua.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sasuke.
Wajah Sakura memasam. Dia berdeham. “Um, aku muntah lagi tadi
siang. Tapi aku baik-baik saja.”
Rambut yang menutupi wajah Sakura segera Sasuke selipkan ke
belakang telinga. Ujung jemarinya mengusap pipi Sakura dalam
perjalanannya. Dia mengembuskan napas panjang.
“Jangan sembunyikan apa pun dariku jika sesuatu yang buruk terjadi
padamu.”

368

Sakura menyentuh tangan Sasuke yang masih berada di pipinya. “Iya.
Aku sudah bilang semuanya, kok. Aku sungguh-sungguh baik-baik saja,
Sasuke-kun.” Dia menekuk tangannya untuk memperlihatkan ototnya.
“Aku kuat.”

Sasuke menyeringai. “Tentu saja.”
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera mengambil jalan pulang. Di
perjalanan, Sakura kembali memikirkan keluar masuknya ekonomi mereka.
“Sampai kapan kita akan berada di sini?”
Langkah Sasuke tiba-tiba berhenti. Sakura mengikuti. Pria itu
menoleh ke arah istrinya dan menaikkan sebelah alis.
“Kenapa?”
“Kalau masih lama, kurasa lebih baik kita mencari tempat tinggal
yang bayar sewanya mingguan atau bulanan saja, serta mencari tempat
yang lebih seperti rumah atau apartemen? Yang ada dapur dan
sebagainya.” Sebelum Sasuke menanggapi, Sakura buru-buru
menambahkan. “Aku ingin memasak sesuatu untukmu, Sasuke-kun.”
“Kita bicarakan lagi nanti,” tanggap Sasuke. “Kau mau makan apa?”
“Kau mau makan apa?”
Sasuke mengernyit mendengar Sakura membalikkan pertanyaannya.
Kemudian dia mendengus kecil. “Tomat.”
Sakura memberengut. “Sasuke-kun,” rajuk Sakura.
Sasuke menyeringai lagi dan berjalan meninggalkan Sakura. Sakura
menyusul dengan langkah lebar.
“Tega sekali kau meninggalkan istrimu yang sedang hamil!”
Angin yang bertiup kencang membuat volume suara Sakura
bertambah. Sasuke mengedikkan bahu. “Istriku yang hamil dan juga
kuat.”
“Sasuke-kun!”

369

Dengusan menahan tawa lepas lagi dari hidung Sasuke. Dia
langsung menarik tangan Sakura dan mengaitkan jemari mereka untuk
menuntun Sakura. Sakura sontak terdiam dengan pipi memerah. Sasuke
tersenyum tipis karena sikap Sakura yang menenang.

“Kita makan di restoran keluarga saja,” putus Sasuke.
Sakura hanya diam dan mengangguk. Dia mengeratkan tautan
jemari mereka dan menikmati hangat yang suaminya bagi melalui itu.



Kamar penginapan Sasuke dan Sakura terdengar sepi selama Sakura
berada di kamar mandi. Kesunyian itu dipecahkan oleh senandung Sakura
saat selesai membersihkan diri dengan handuk masih menggulung
rambutnya yang basah dan handuk lain yang menutupi dada sampai
pahanya.

Sakura langsung berjalan menuju lemari tempat mereka menyimpan
pakaian tanpa melihat ke arah Sasuke yang sedang sibuk membaca
gulungan di atas pahanya. Dia melepas handuk yang membalut tubuhnya
dengan posisi menghadap ke lemari. Pakaian yang sudah dipilihnya sudah
dipegang bersamaan dengan pakaian dalam. Dia melepas balutan handuk
di rambutnya agar dapat memakai pakaiannya dengan lebih mudah.

Tatapan Sasuke terangkat pada Sakura yang tengah berpakaian.
Fokusnya sudah tertuju ke sana sejak Sakura melepas handuknya dan
menjatuhkannya ke lantai. Sasuke menopang dagunya, meninggalkan
atensinya pada gulungan yang dia baca. Dia tersenyum selama menatap
tubuh istrinya yang indah meskipun dilihat dari belakang. Pakaian mulai
menutupi kulitnya satu per satu dan pandangan Sasuke masih jatuh pada
Sakura selama itu. Senandung Sakura berhenti saat pakaian yang
dikenakannya sudah lengkap.

370

Handuk yang tadi dijatuhkan segera dipungut oleh Sakura. Dia
menggosok rambutnya sekali lagi dan kembali membalutnya. Tubuhnya
berputar dan matanya langsung bersirobok dengan tatapan Sasuke. Wajah
Sakura memerah melihat tatapan mendamba yang terpancar dari wajah
suaminya.

“Kau … kau memperhatikanku sejak tadi?” tanyanya dengan nada
menuduh.

Sasuke mendengus dan menyeringai. “Apa yang belum kulihat,
Sakura?”

Sakura memutar bola mata selagi mengikis jarak di antara mereka.
Dia menyingkirkan gulungan yang berada di atas paha Sasuke, kemudian
membaringkan kepalanya di atas paha suaminya. Wajahnya menghadap
perut Sasuke. Dia memeluk tubuh pria itu.

Jemari Sasuke mengusap wajah Sakura yang terasa lebih lembut
setelah wanita itu mandi. Sakura langsung memejamkan matanya.

“Kau lelah?”
Sakura mengangguk. “Mm-hm.”
Handuk yang membalut rambut Sakura dilepas oleh Sasuke secara
perlahan. Dia menyugar rambut Sakura dan memijat kulit kepalanya.
“Istirahatlah.”
Sakura menggeleng. “Nanti. Ada yang perlu kita bicarakan.”
“Hm?”
Sakura beranjak dari baringannya dan menatap Sasuke. Tangan yang
sebelumnya berada di tengah-tengah rambutnya segera Sakura genggam
menggunakan kedua tangan. Wajahnya tampak serius.
“Aku butuh waktu lama di sini, Sasuke-kun. Rumah sakit
membutuhkan banyak orang. Ninja medis di sini tidak banyak.”
“Aku belum menyampaikan padamu soal berapa lama kita menetap
di sini,” sahut Sasuke. “Ada cakra aneh yang berkeliaran di sekitar sini dan

371

sifatnya kuat. Aku perlu mengidentifikasinya karena itu hanya bisa
dirasakan dengan rinnegan. Tidak ada orang lain yang bisa melakukannya
selain aku.”

Bahu Sakura sontak menegang. Keseriusan semakin pekat di
wajahnya. “Cakra apa? Apakah berbahaya?”

“Akan kuberitahu setelah aku mendapatkan jawabannya.”
Tangan Sakura menangkup tangan Sasuke dan memegangnya erat-
erat. “Jaga dirimu baik-baik selama melakukan itu.”
Sasuke membalik tangannya hingga telapak tangan mereka saling
bertemu. “Kau tidak usah khawatir.”
“Aku tahu kau adalah shinobi paling kuat, tetapi sebagai istrimu,
rasa khawatir tetap saja akan ada. Namun, aku yakin kau mampu
mengatasi apa pun itu. Suamiku adalah orang yang hebat!”
Bibir Sasuke melengkungkan senyum tipis. Tangannya
menggenggam tangan Sakura lebih erat. Ibu jarinya mengusap punggung
tangan istrinya.
“Kita berada di situasi yang sama. Jadi …“
“Jadi?”
“Kau ingat usulanku soal menyewa apartemen atau sebagainya?
Daripada biaya tempat tinggal kita dihitung harian seperti ini.”
Sasuke mengangguk. “Boleh saja.”
“Besok aku libur,” kata Sakura. “Kau bisa menyisihkan waktu untuk
menemaniku mencari apartemen?”
“Hn.”
Kedua tangan Sakura langsung direntangkan untuk memeluk tubuh
Sasuke. Sakura mengecup pipi suaminya dan berbisik tepat di telinganya,
“Terima kasih, Sasuke-kun.”
“Hn. Sudah, 'kan? Kau beristirahatlah.”
“Iya.”

372

Sakura beranjak untuk menggantungkan handuknya di kamar
mandi. Tanpa melakukan apa pun lagi, dia membaringkan tubuh di atas
tempat tidur. Posisinya menghadap Sasuke yang masih duduk di sisi
ranjang membelakanginya. Dia kembali berkutat dengan gulungan yang
sempat dia singkirkan.

“Kapan kau tidur?” tanya Sakura.
“Sebentar lagi.”
Sakura mengangguk walaupun Sasuke tidak dapat melihatnya.
“Peluk aku saat kau tidur, ya?”
Dengusan karena tawa lepas dari hidung Sasuke. Dia membalik
tubuh dan mengacak rambut Sakura. Istrinya memang menjadi lebih
manja.
“Hn.”
Mata Sakura terpejam setelah menerima konfirmasi dari Sasuke.
Selimut membungkus tubuhnya, tetapi terasa ada kehangatan yang hilang.
Di alam bawah sadarnya, semuanya berubah dan terasa lengkap. Sasuke
sudah bergabung dengannya di atas tempat tidur dan mendekapnya erat-
erat.



Pencarian tempat tinggal yang dapat dibayar mingguan atau bulanan
dimulai pagi-pagi sekali. Hal tersebut diawali dengan Sakura yang
bertanya pada resepsionis penginapan dan meminta rekomendasi. Di
tangannya sudah terdapat catatan yang berisi daftar tempat tinggal
berjumlah enam yang bisa mereka survei.

Langkah yang mereka ambil lambat karena Sasuke yang terus-
menerus mengkhawatirkan Sakura. Sakura meyakinkan Sasuke bahwa dia
baik-baik saja, sampai mereka melewati tempat sampah terbuka dan

373

wanita itu langsung membekap mulutnya untuk menahan muntah.
Ironisnya, dia harus mengeluarkan isi perutnya di tempat sampah yang
sama.

Perjalanan mereka terhenti karena mengunjungi toko untuk
membeli minum bagi Sakura. Sakura meminumnya pelan-pelan sembari
duduk di depan toko tersebut. Mulutnya masih terasa asam dan itu
membuatnya tidak nyaman.

“Kau masih mau melanjutkannya sekarang?” tanya Sasuke. Sakura
tidak menjawab karena masih meminum air untuk menghilangkan asam
di mulutnya. “Kau istirahat saja. Biar aku yang cari.”

Sakura tampak hendak protes. Namun, kini kepalanya pun terasa
sakit. Terlebih, Sasuke menatapnya dengan pandangan mutlak yang
enggan dibantah. Dia menelan ludah dan memegangi kepalanya.
Wajahnya murung. Dia ingin sekali mencari tempat tinggal dalam jangka
waktu lama dengan Sasuke, tetapi dia mengakui bahwa keinginannya tidak
didukung kondisi.

“Baiklah,” putusnya pasrah.
Sasuke mengembuskan napas lega karena Sakura langsung menurut.
Dia mengulurkan tangan untuk membantu Sakura bangkit. Sakura
meraihnya dan berdiri dengan badan terhuyung. Sasuke lekas menyelipkan
tangannya di antara pertemuan lengan bahunya untuk membopong Sakura.
“Kau bisa berjalan?”
Rasa gengsi menerpa dada Sakura untuk menjawab.
Sebagai kunoichi yang kuat, rasanya memalukan untuk mengakui bahwa
dia akan terhuyung-huyung saat melangkah pulang. Dia hanya
menyandarkan kepalanya pada bahu Sasuke dan membekap mulutnya lagi.
“Kepalaku sakit.”
Rasa khawatir menyerang dada Sasuke. Jika saja bisa, dia akan
menarik derita yang kini dialami istrinya. Dia segera memosisikan Sakura

374

untuk duduk kembali, lantas berjongkok dengan posisi membelakangi
Sakura. Dia menoleh ke belakang.

“Naiklah.”
Sakura mengernyit. Wajahnya memerah. “Malu, Sasuke-kun.”
“Tidak apa-apa. Daripada kau jatuh dan itu lebih berisiko.”
Sakura menuruti apa kata Sasuke dengan gestur ragu-ragu. Dia
memeluk leher Sasuke dari belakang dan menempelkan keningnya pada
ubun-ubun Sasuke. Merah di wajahnya semakin memekat ketika
merasakan Sasuke memeganginya melalui bokong agar posisinya seimbang;
tangan Sasuke hanya ada satu. Wajah Sakura semakin disembunyikan di
belakang kepala Sasuke. Aroma mint dari rambut Sasuke mengurangi
mualnya sedikit demi sedikit.
Resepsionis penginapan memperhatikan mereka dan Sakura merasa
lebih malu. Dia memeluk leher Sasuke lebih erat. Didekatkannya bibirnya
pada telinga Sasuke.
“Kau tidak malu, Sasuke-kun?”
Sasuke hanya merespons dengan kedikan bahu. Dia tetap berjalan
sampai depan kamar sewaan mereka. Dia menoleh ke arah Sakura.
“Turunlah. Aku harus membuka pintu. Tidak apa-apa, ‘kan?” tanya
Sasuke.
Wajah Sakura masih merah. “Aku ‘kan sudah bilang aku malu
sedari tadi. Tentu saja tidak masalah jika aku harus turun,” katanya
sembari menapakkan kaki ke lantai.
Sasuke menuntun Sakura selama masuk ke dalam kamar. Dia
menanti sampai Sakura berbaring.
“Kau membutuhkan sesuatu lagi?”
Sakura menggeleng. “Tidak untuk sekarang,” katanya. “Tapi bisa
tidak bawakan aku dango saat kau pulang?”

375

“Ya.” Sasuke duduk di sisi ranjang. “Kau mau tempat tinggal yang
seperti apa?”

Tangan Sakura menopang dagunya. Matanya melirik ke atas untuk
berpikir. Dia bergumam panjang. “Punya akses cahaya matahari yang
bagus. Ada balkon. Bersih. Itu saja.”

Sasuke mengangguk. “Tidak apa-apa kau kutinggal sendiri?”
“Iya. Aku baik-baik saja, Sasuke-kun.”
Alis Sasuke tertarik sebelah, tampak tidak percaya.
“Sungguh! Mungkin aku hanya butuh tidur.”
Sasuke menarik diri dan membentuk segel menggunakan tangannya
setelah menggigit jari. Burung elang muncul dan langsung bertengger di
kepala ranjang. Sasuke menatapnya lurus-lurus.
“Jaga Sakura dan sampaikan pesan padaku jika terjadi sesuatu
padanya,” ujar Sasuke.
Sakura menggeleng-geleng kecil dan memijat pelipis. Dia terkekeh.
“Tidak perlu seperti ini, Sasuke-kun.”
“Cerewet. Kau istirahat saja.”
“Hei! Yang sedari tadi cerewet itu kau!”
Sasuke mendengus dan menyeringai kecil. “Berikan daftarnya
padaku.” Dia merentangkan tangan pada Sakura dan langsung
menerimanya. “Aku pergi dulu.”
Respons dari Sakura berupa anggukan dan ucapan hati-hati.



Satu hari setelah pencarian tempat tinggal bukanlah hari libur bagi
Sakura. Sasuke bilang, dia sudah menemukan satu apartemen yang
memenuhi kualifikasi Sakura dan sudah mulai bisa ditinggali hari ini. Dia
terpaksa menunda kunjungan pertamanya karena masih memiliki urusan

376

di rumah sakit. Sasuke akan mengurus semua urusan perpindahan dan
setelah Sakura pulang dari rumah sakit, dia hanya tahu jadi.

Di masa-masa Sakura mengenal Sasuke di masa kecil, dia selalu
tahu Sasuke adalah lelaki yang bertanggung jawab. Namun, dia masih
terpesona dan berdebar-debar ketika melihat tanggung jawab yang
dilakukan Sasuke sebagai seorang suami. Sakura merasa menjadi wanita
paling beruntung di dunia karena begitu pengertiannya Sasuke dan betapa
dia merasa jauh lebih nyaman serta aman ketika berada di sekitarnya.

Sasuke menjemputnya lagi ketika pulang dari rumah sakit. Mereka
membeli makanan dan dibawa pulang untuk dimakan bersama di
apartemen nanti. Langkah Sakura sedikit terburu-buru untuk melihat
pilihan apartemen Sasuke. Selama Sasuke mengatakan bahwa apartemen
ini memenuhi apa yang dia syaratkan, dia tidak akan kecewa.

Sakura menarik napas panjang ketika berada di depan pintu geser
dari apartemen yang Sasuke pilih. Dahinya sedikit mengernyit mengingat
dia meminta tempat yang memiliki balkon, sementara apartemen ini ada
di lantai satu. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa dulu.

Pintu apartemen sudah Sasuke buka dan Sakura tidak kecewa.
Seluruh ruangan itu tampak rapi dan bersih. Ukurannya tidak terlalu besar,
mungkin luas ruangan utamanya hanya sekitar 22 meter dan langsung
tersambung dengan dapur. Dindingnya bercatkan putih gading, terdapat
tanaman artificial yang menghiasi sehingga suasananya tampak
menenangkan. Ada satu kamar yang memiliki ranjang besar dan sudah
terdapat sebuah lemari. Di belakang dapur, terdapat pintu geser
transparan yang jika mereka sedang menginjak waktu siang, itulah yang
menjadi akses matahari untuk menerangi apartemen yang mereka sewa.

“Tidak ada balkon karena jika mencari balkon, kita harus tinggal di
lantai atas. Sebaiknya kau menghindari naik-turun tangga.” Sakura
tertegun karena tidak terpikir soal itu sama sekali. Sasuke menarik

377

tangannya dan menuntun menuju pintu geser transparan di paling
belakang apartemen mereka. Dia menggeser pintunya yang menyingkap
teras belakang berukuran sekitar enam meter dengan bahan kayu. “Ini bisa
mengganti balkon.”

Sakura tercengang. Dia menengadah dan menemukan bulan dalam
bentuk penuh. Kehangatan menerpa dadanya. Dia melepas tangan Sasuke
seketika.

“Aku mau duduk di sini.”
Sasuke mengangguk. Sakura mengernyit dan muncul sekilas rasa
kecewa di dadanya karena Sasuke memilih masuk ke dalam ketimbang
menemaninya. Kekecewaan itu luntur saat dia merasakan selimut
diletakkan di bahunya. Dia menengadah dan menatap Sasuke.
“Udaranya dingin,” kata Sasuke.
Sakura tersenyum lepas. “Terima kasih, Sasuke-kun.” Saat Sasuke
hendak duduk di sampingnya, Sakura memotong dengan, “Bisa sekalian
buatkan aku teh?”
Kening Sasuke mengernyit dan dia mendengus jengkel. Namun,
Sasuke tetap berdiri dan memenuhi apa yang Sakura pinta. Dia membawa
satu teko dan dua buah gelas yang diposisikan terbalik di atasnya. Saat
duduk di samping Sakura dan membiarkan Sakura menuangkan teh ke
dalam dua gelas tersebut, dia tidak sadar ketika tiba-tiba Sakura mengecup
pipinya.
“Kau suami yang baik sekali,” puji Sakura. Dia membagi selimut
yang terpasang di bahunya dengan Sasuke dan menyandarkan kepala pada
bahu Sasuke.
Tiba-tiba Sakura tertawa dan beranjak dari bahu Sasuke. “Sasuke-
kun, aku bahkan belum mandi.”
Sasuke mengedikkan bahu. “Ya sudah. Biasanya kalau di hutan saja
bisa tidak mandi berhari-hari.”

378

“Tapi ini berbeda!” Sakura menaikkan volume suaranya sembari
tertawa. Dia memukul lengan Sasuke main-main.

Sasuke menyeringai. Kemudian, mereka terdiam, menikmati
keheningan yang nyaman mengudara di sekitar mereka. Sasuke
menengadah dan menatap bulan. Dia meneguk ludah sebelum berkata,
“Sakura ….”

“Hm?”
“Bukankah bulannya indah?1”
Bulan yang penuh dan terang tanpa ditutupi sedikit pun awan itu
kembali ditatap Sakura. Bibirnya mengulas senyum lepas. “Bulannya
memang—tunggu! Apakah kau baru saja …?”
Sasuke memalingkan wajah dari Sakura dan menggaruk tengkuknya
yang tidak gatal. Dia berdeham.
Sakura menangkup wajah Sasuke di tengah kedua tangannya dan
menggerakkan kepala Sasuke agar mereka saling bertatapan. Ketulusan
terpancar dari mata Sakura. “Aku juga mencintaimu. Sangat.”
Entah siapa yang memulai, bibir mereka saling bertaut dan Sakura
merasa seperti melayang. Entah apa yang membuatnya begitu emosional,
mungkin kehamilannya, tetapi ciuman ini, situasi ini, membawa air mata
haru turun di pipinya. Tangannya masih menangkup wajah Sasuke saat
ciuman mereka terlepas. Tatapan yang Sasuke berikan padanya membuat
dia meleleh.
Rambut yang menghalangi sebagian wajah Sasuke disingkirkan oleh
Sakura dengan menariknya ke atas. Dia melengkungkan senyum.
Wajahnya memerah. Kekehan yang biasa dia lepaskan semasa dia masih
gadis keluar lagi dari bibirnya.
“Kau tampan sekali berada di bawah sinar bulan, Sasuke-kun,” puji
Sakura. Dia masih enggan berhenti menatap wajah Sasuke dan
memperhatikan setiap strukturnya. Bulu matanya panjang. Kulitnya yang

379

sedikit menggelap tampak bersih. Hidungnya mancung. Bibirnya
proporsional. Rahangnya tajam. Semua itu membawa Sakura ke dalam
kondisi jantung berdebar-debar. Tiba-tiba dia memikirkan bagaimana bisa
suaminya tampak setampan ini. “Kau mirip siapa?”

Sasuke tampak kikuk. Dia menggosok hidungnya dan mengalihkan
pandangan dari Sakura. “Orang bilang aku mirip sekali dengan ibuku.”

Sakura tersenyum. Matanya merefleksikan sebuah khayalan. “Ibumu
pasti cantik sekali.”

“Ya.” Sasuke mengulas senyum tipis. Kemudian dia menunduk,
menatap tangannya sendiri yang ditaruh di atas paha.

Atmosfer di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Sakura menangkup
tangan Sasuke dan mengusapnya. “Apakah kau masih merindukannya?
Merindukan mereka?”

“Lebih dari yang kau kira.”
Tangkupan tangan Sakura mengerat. Dia menggenggam tangan
Sasuke sepenuhnya. “Aku bisa mengira-ngiranya. Mereka keluargamu.”
Sebelah tangan Sakura yang bebas mengelus pipi Sasuke. “Tapi kau sudah
punya keluarga lagi di sini. Bersamaku.”
Senyum yang sempat hilang dari wajah Sasuke kini muncul lagi.
Matanya memancarkan kemurnian yang dirasakan dadanya. Tangannya
yang masih digenggam Sakura digerakkan untuk menyentuh perut istrinya.
Dia mempertemukan kening mereka. “Dan anak kita.”
Kecupan ringan Sakura berikan pada bibir Sasuke. Dia menarik
mundur wajahnya untuk menatap Sasuke lebih jelas. Tangannya mengelus
tangan Sasuke yang masih menyentuh perutnya.
“Apakah kau bahagia sekarang?”
Sasuke mengangguk. “Karenamu.”
Sakura memejamkan mata erat-erat untuk menahan air mata haru
lain yang hendak jatuh. Namun, upayanya gagal karena kini bulu matanya

380

tetap membasah. Saat matanya dibuka, ada satu tetes yang jatuh dan
sekarang Sasuke usap agar hilang.

“Aku senang,” ucap Sakura. Suaranya serak, nyaris terisak. “Aku
senang kau bahagia. Setelah semua ini. Setelah apa yang terjadi padamu.
Oh, Sasuke-kun. Kebahagiaanmu adalah tingkat kebahagiaanku yang
paling tinggi.”

Tangan Sasuke memutari tubuh Sakura untuk mendekap wanita itu.
Dadanya basah karena air mata istrinya. Dia mengecup pucuk kepala
Sakura. Angin yang berembus semakin kencang membuat Sasuke
mengeratkan selimut yang melapisi tubuh mereka berdua.

“Seandainya … seandainya waktu bisa berhenti saat ini juga. Aku
selalu ingin bersamamu, Sasuke-kun,” ucap Sakura. Suaranya terdengar
lebih stabil.

“Waktu tidak perlu berhenti untuk itu.”
Senyum Sakura melebar lagi. Dia menghapus jejak air matanya dan
menatap Sasuke dengan berseri-seri. “Kau benar. Kita sudah menikah.
Kita akan selalu bersama. Dan kau akan selalu ada di hatiku.”
Gelitikan menyenangkan muncul di perut Sasuke. Dia tersenyum
lagi. “Apa pun yang terjadi, perasaan kita terhubung, Sakura.”
Mereka berbagi ciuman lagi. Sasuke mengecap asin di bibir Sakura
dan mengabaikannya karena ciuman ini begitu murni dan tulus. Dia bisa
merasakan cinta yang Sakura labuhkan untuknya melalui tautan bibir
mereka. Darahnya berdesir lebih keras.
Saat ciuman terlepas, Sakura terkikik geli. Deretan giginya
terpamerkan. “Aku masih tidak percaya kau adalah suamiku dan namaku
adalah Uchiha Sakura sekarang.”
Sasuke menyelipkan rambut Sakura ke belakang telinga. “Ini nyata.”
Sakura mengangguk. “Tapi aku takut tiba-tiba terbangun dari
semua mimpi indah yang panjang ini.”

381

“Besok kau akan terbangun di sisiku dan merasa yakin bahwa ini
bukan mimpi.”

“Ya. Aku harap begitu.”
“Pasti akan begitu.”
Sakura tertawa lagi. Tiba-tiba dia tersadar akan tempat tinggal
mereka yang sudah tampak seperti rumah karena adanya dapur dan bukan
sekadar penginapan yang bayarnya dihitung per malam.
“Kau mau makan apa besok?” Dia dilanda semangat yang
menggebu-gebu karena memiliki kesempatan untuk memasak sesuatu
bagi Sasuke sebagai istrinya untuk pertama kalinya.
“Apa pun yang kau mau. Kau yang perlu menyesuaikan makanan di
sini.”
“Benar juga!”
Sasuke menarik tangan Sakura lagi dan kali ini bukan sekadar
menggenggamnya; dia menyelipkan jemarinya di antara spasi di jemari
Sakura. Muncul sekilas ekspresi khawatir di wajahnya. “Kau tidak
keberatan hidup seperti ini denganku?”
Alis Sakura terangkat. “Memangnya kenapa?”
Sasuke mengembuskan napas panjang. “Kita tidak seperti pasangan
suami istri yang lain.”
“Memangnya semuanya harus sama? Ini hidup kita, Sasuke-kun.
Dan aku akan bersamamu bahkan sampai ke ujung dunia.”
Raut khawatir hilang dari wajah Sasuke. Dia mendengus dan
terkekeh kecil. “Berlebihan sekali, Sakura.”
“Yang terpenting kita bersama sekarang, saling mencintai, menanti
anak kita lahir.” Sakura menjeda untuk tersenyum. “Sesederhana itu.”
Angin malam berembus semakin kencang dan mengecilkan suara
Sakura. Awan telah menutupi bulan yang sebelumnya bersinar penuh.
Rambut mereka terus-menerus berkibar-kibar ke arah wajah dan itu

382

terasa mengganggu. Sakura langsung meraih teko dan dua gelas yang
tergeletak di lantai.

“Kurasa sudah waktunya kita masuk,” ucap Sakura.
Sasuke menyetujui dengan langsung berdiri dan berjalan di belakang
Sakura.
Sakura langsung membersihkan diri yang sempat tertunda tadi. Saat
sudah selesai, Sasuke sudah di tempat tidur, berbaring dengan posisi
miring, menepuk-nepuk spasi di sisinya sebagai isyarat Sakura agar segera
bergabung dengannya. Sakura tidak menunda-nunda lagi untuk
membaringkan tubuhnya dan memeluk Sasuke. Posisi mereka saling
berhadapan.
“Sudah mengantuk?” tanya Sakura. Dibalas oleh anggukan.
“Sebelum kau tidur, aku ingin mengatakan ini. Apa pun yang terjadi, kita
pasti bisa menghadapinya bersama, Sasuke-kun.”
Dengan mata yang sudah sayu, Sasuke menjawab. “Aku tahu.
Selamat malam, Sakura.”
“Selamat malam, Sasuke-kun.”
Pelukan mereka erat dengan kaki yang saling berkaitan. Dada
mereka meledak-ledak oleh perasaan istimewa memikirkan mereka sudah
sampai di sini setelah segala yang terjadi. Sasuke dan Sakura sama-sama
merasa seperti jatuh cinta untuk pertama kali. Mereka terlelap dengan
kebahagiaan yang membuncah karena saling memiliki satu sama lain.

383

Catatan Penulis

Setelah wacana fanfiksi Dua Pasang Sepatu akan dibuat fanbook di
tahun 2017, akhirnya terealisasi juga tiga tahun setelahnya, di tahun 2020.
Terima kasih banyak untuk pembaca baik di FFN maupun Wattpad yang
mendukung cerita ini sampai akhir dan segala pujian, kritikan, review,
komentar, dan semua cinta yang pembaca berikan untuk fic ini :’) dan
terima kasih banyak, banyaaaak, untuk Eca alias Erurichu atas bantuan
ilustrasinya serta freebies yang cantik dan unyu-unyu. Tanpa ajakan
kolaborasi dari kamu, mungkin pembuatan fanbook dari fanfiksi ini nggak
akan pernah terealisasi. Luv u xoxo

Sejujurnya, saya agak grogi nulis cerita ini. Karena yah, saya berani
bilang ini canon compliant sementara saya takut ini gak sesuai imajinasi
pembaca, ada fakta canon yang miss, dan semacamnya. Grogi, like,
BANGET. Tapi saya udah berusaha sebisa mungkin dan namanya karya
transformatif, fanfiksi, ‘kan sesuai imajinasi, ya, hehe. Saya cuma bisa
berharap karya ini disukai dan memenuhi ekspektasi.

Terus, ini adalah fanfiksi yang proses nulisnya paliiing lama. Dari
tahun 2015! Lima tahun! Waktu akhirnya bisa selesai, rasanya lega dan
terharu banget. Walaupun waktu remake ke fanbook ini jadi banyak
pusingnya karena banyak koreksian hahaha dan saya yakin yang ini pun

384

jauh dari kata sempurna. Tapi, sekali lagi, semoga masih bisa dinikmati.
Dan sekali lagi, terima kasih atas dukungan yang diberikan dalam bentuk
apa pun! <3

385

Ilustrasi dan Freebies

Pindai barcode di bawah ini untuk mengakses soft file ilustrasi dan
freebies:

386

Interest Check untuk Fanbook Berjalan Beriringan (Dua
Pasang Sepatu Part II)

Pindai barcode di bawah ini dan silakan isi formulir apabila tertarik
dengan Fanbook Berjalan Beriringan (Dua Pasang Sepatu Part II)

387

388


Click to View FlipBook Version