The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

Sakura buru-buru mengikis jarak yang terbentang di antara dirinya
dan orang itu. Selagi menanti orang tersebut mengangkat kepalanya,
Sakura berkata, “Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Lain kali hati-hati.”

Lelaki tersebut mengangkat wajah. Mulutnya terbuka untuk
mengatakan sesuatu, tetapi tertinggal dalam kondisi menganga.

“Lho, Sakura-nee?”
Mata Sakura melebar. Dia mengedarkan pandangannya pada sosok
yang baru saja memanggil namanya. Lelaki yang lebih tinggi beberapa
sentimeter daripadanya itu familier. Di balik topinya, terlihat rambutnya
yang hitam, matanya lebar, dan kulitnya sedikit gelap. Hanya butuh
sekitar tiga detik sampai Sakura menyadari identitasnya. “Eeh, Inari?”
“Yup, benar!” Inari membuka topinya dan dilipat di depan dada.
Sasuke lekas menonaktifkan sharingan-nya. Saat tatapannya bertemu
dengan Inari, lensa matanya sudah hitam.
“Dan kau ... oh, ya ampun, Sasuke-nii?”
“Hn.” Sasuke mengangguk menanggapi Inari. Dia masih ingat jelas
anak lelaki ini meski pertemuan terakhir mereka terjadi bertahun-tahun
yang lalu. Anak lelaki ini adalah cucu dari klien misi pertamanya keluar
desa saat genin dulu. Misi yang diakhiri dengan kematian Zabuza dan
Haku.
“Kau sudah tinggi sekali, ya. Bahkan sudah menyusulku!”
Sakura terkekeh melihat pertumbuhan tubuh Inari. Terakhir dia
melihatnya di Konoha saat anak itu membantu pembangunan di Konoha,
tingginya masih di bawahnya.
“Kalian ada urusan di sini? Di mana Naruto-nii?” tanya Inari sembari
berjinjit dan memutar leher, bergelagat mencari-cari.
“Kami hanya lewat saja,” jawab Sasuke.
“Naruto tidak ikut dengan kami. Dia di Konoha,” Sakura buru-buru
menambahkan.

43

Inari mengangguk paham. “Begitu. Apa kalian sedang terburu-buru?
Bagaimana kalau mampir sebentar ke rumahku? Tazuna-jiisan pasti
senang bertemu kalian!” Matanya melirik ke tumpukan kayu yang kini
tergeletak di tanah. “Ah, tapi sehabis aku membereskan semua ini. Atau
kalian ke rumahku duluan saja!”

Sakura melempar pandangan pada Sasuke. Mengerti pertanyaan
tersirat dari Sakura, dia mengalihkan pandangan pada Inari. “Kalau tidak
merepotkan,” jawabnya menyetujui.

“Tentu saja tidak!”
Sakura tersenyum mendengarnya. “Biar kami bantu agar kita bisa ke
rumahmu bersama-sama,” ucap Sakura. Tanpa mendengar persetujuan
Inari mengenai bantuan yang dia tawarkan, Sakura sudah berjongkok.
“Tidak usah! Hal berat seperti ini sebaiknya dilakukan oleh lelaki!”
Mendengar ucapan Inari, Sakura berusaha sekuat mungkin untuk
menahan diri dari memutar bola mata. Matanya melirik ke arah Sasuke,
dan dia mendapati lelaki itu menyeringai. Dengan gerakan sigap, Sakura
mengumpulkan tumpukan kayu panjang berjumlah empat itu dan
mengangkatnya. Tumpukan kayu itu ditaruh di bahunya tanpa setetes pun
keringat yang dihasilkan.
Inari menganga.
“Kau lupa aku ini kunoichi, ya, Inari?” tanya Sakura dengan nada
bercanda.
“Tidak! Tidak lupa, kok! Hanya saja …”
“Hm?”
Inari menggeleng. “Tidak apa-apa. Sakura-nee keren sekali!
Mengangkat tumpukan kayu seperti menjinjing selembar kertas. Melihat
cara Sakura-nee mengangkatnya, aku mungkin tidak akan percaya bahwa
tumpukan kayu itu seberat yang kurasakan tadi.” Dia memegang kayu

44

yang dipanggul Sakura. “Tapi ini pekerjaanku. Kalau diantar oleh Sakura-
nee, aku bisa dimarahi.”

“Ah, aku mengerti.” Sakura meletakkan kembali kayu-kayu itu di
tanah. “Tapi biar kami antar. Bisa ‘kan, Sasuke-kun?”

“Hn.”
Inari segera memanggulnya dengan otot-otot di tangan dan
lengannya berkontraksi. Dia berjalan menuju toko ketiga dari ujung
jalan—toko yang memesan batang-batang kayu sepanjang tiga meter
tersebut. Setelah selesai bertransaksi, Inari mengembuskan napas lega.
“Nah, kebetulan itu yang terakhir. Jadi aku bisa pulang sekarang.”
Sakura mengangguk. Mereka bertiga berjalan menuju rumah Inari
dan perlu dituntun oleh remaja itu meskipun Sasuke dan Sakura sudah
pernah ke sana. Inari bilang, rumahnya belum pindah. Hanya saja, jalanan
di desa ini telah berubah pesat sehingga walaupun Sasuke dan Sakura
mengingat lokasi rumah Inari, belum tentu mereka mampu menemukan
jalan menuju ke sana.
Langkah Inari melambat saat rumahnya sudah berada di depan mata.
Ketika dia tiba di teras, remaja itu bergegas melepas sandalnya dan masuk
ke dalam rumah dengan terburu-buru. Dari dalam rumah, terdengar suara
heboh, “Kaasan, ada tamu!”
Sakura menoleh ke arah Sasuke yang juga sedang menatap ke
arahnya. Mereka mengangguk bersamaan dan melepas sepatu, lantas
masuk ke dalam. Tsunami, ibu Inari, sudah berdiri dan bertemu pandang
dengan mereka. Wanita itu membutuhkan waktu beberapa saat untuk
sadar mereka siapa karena betapa lamanya waktu yang terbentang antara
hari ini dengan saat terakhir kali mereka bersua.
“Duduklah, Sasuke, Sakura,” kata Tsunami ramah.
Tsunami menjamu tamu Inari—yang menjadi tamunya juga—
dengan teh dan beberapa camilan. Inari dan Tsunami duduk di sana,

45

bercerita mengenai perkembangan yang terjadi setelah perang usai. Ketika
topik pembicaraan mereka mulai menyusut, Tazuna masuk ke ruang tamu
dan terperanjat mendapati kehadiran dua orang yang dia kenali. Mereka
berbincang sebentar, sesekali mengulas masa lalu. Tanggapan didominasi
oleh Sakura satu pertanyaan membuatnya bungkam.

“Ah, aku jadi ingat saat Konoha sedang rekonstruksi setelah hancur,
aku tidak bertemu dengan Sasuke. Rasanya Naruto mengatakan padaku
Sasuke ke mana saat itu, tapi aku lupa.”

Tiba-tiba keheningan berdiri di antara semuanya. Sasuke dan Sakura
jelas tahu di mana Sasuke saat itu. Dia baru saja melawan kakaknya,
dimanfaatkan Obito untuk bergabung dengan Akatsuki dan membuat
ninja-ninja di Konoha gempar. Sasuke sama sekali tak bisa menanggapi,
karena akan sama saja seperti membuka borok yang sudah mengering
hingga bau tak sedapnya mengotori udara lagi.

“Iya, Jisan.” Sakura akhirnya angkat suara setelah menarik napas
dalam-dalam. Jantung Sasuke berdebar lebih kencang menunggu kata-
kata selanjutnya. “Sasuke-kun ‘kan waktu itu sedang bertengkar dengan
Naruto, jadi keluar desa untuk menenangkan diri. Kekanakan sekali, ya?
Kau ini, Sasuke-kun, hahaha.” Sakura menyenggol tulang rusuk Sasuke
menggunakan sikunya.

Sasuke mengangguk dan tersenyum tipis. Terima kasih, Sakura.
“Sasuke-nii dan Sakura-nee pacaran, ya?”
Kali ini pertanyaan Inari membuat keduanya terdiam karena
tersentak.
“Habisnya Naruto-nii ‘kan sudah menikah. Aku dan Jiisan datang
juga ke sana waktu itu,” Inari melanjutkan kata-katanya meski mendapat
senggolan siku dari sang ibu.

46

Suasana hening sejenak. Lagi-lagi, Sasuke dan Sakura saling
berpandangan. Kali ini, Sakura langsung membuang muka dengan kondisi
semerah tomat. Tangannya meremas-remas ujung pakaiannya.

“Apa? Ah, ha-ha. Ti-tidak, kok!” Sakura menjawab dengan canggung.
Dia berdeham berulang-ulang setelahnya.

“Yang benar?” Alis Inari menukik karena penasaran dan curiga.
“Inari, berhenti menanyakan hal-hal yang tidak perlu!” tegur
Tsunami secara verbal pada akhirnya. Matanya mengarah pada dua orang
yang baru saja dituding. “Maaf, ya, Sasuke, Sakura.”
Sakura menggaruk tengkuknya dan menyengir. “Tidak apa-apa,
kok.”
Dia menunduk dan enggan melirik ke arah Sasuke karena terlalu
rikuh untuk mengetahui bagaimana ekspresi lelaki itu. Apalagi, saat ini
pikirannya otomatis berputar pada saat Sasuke menitipkan ucapan selamat
atas pernikahan Naruto melalui dirinya sebagai perantara, dan dia
menyampaikannya seolah-olah mereka adalah pasangan seperti Sai dan Ino
serta Shikamaru dan Temari. Dia tidak tahu apa artinya bagi Sasuke, dan
terlalu malu untuk mengonfirmasinya. Sasuke pun tidak bersuara apa pun
terhadap pertanyaan dan penyudutan dari Inari.
Tsunami tiba-tiba berdiri dan menepuk-nepuk pahanya untuk
merapikan rok. Bibirnya melengkungkan senyum sembari menatap ke
arah dua tamunya.
“Sebentar lagi memasuki waktunya makan malam. Kalian makan
malam di sini saja, ya?”
Sakura mengibas-ngibaskan tangannya. “Tidak perlu. Kami hanya
hendak mampir. Tidak perlu repot-repot.”
Tazuna menggeleng. “Percayalah, Sakura. Kami tidak merasa
direpotkan sama sekali. Justru suatu kehormatan kalian mampir ke sini.”

47

“Eh?” Sakura kini baru berani melirik ke arah Sasuke untuk
meminta persetujuan. Lelaki itu mengangguk. Sakura tersenyum lepas.
“Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, ya.”

“Tidak usah berterima kasih! Kalian, Tim Tujuh, berjasa sekali
untuk kami, tahu!” seru Inari dengan semangat sembari menyengir.

Rasa haru menerpa dada Sakura. Dia berdiri untuk mengajukan diri
turut memasak bersama Tsunami. Awalnya, wanita itu menolak karena
Sakura adalah tamunya. Namun, Sakura memaksa bahwa dia ingin
membantu.

Mereka makan malam bersama dengan suasana yang hangat. Saat
sudah selesai, perbincangan kembali terbangun di antara mereka. Sasuke
dan Sakura ditanyai apakah mereka sedang melakukan suatu misi tanpa
dimintai bentuk detailnya, dan dijawab oleh Sasuke dengan mereka hanya
berkelana. Inari sempat membahas hubungan khusus antara mereka
kembali, yang kemudian dipotong lagi oleh jeweran Tsunami. Sakura
terkekeh dengan wajah yang memerah.

Menyadari waktu sudah memasuki saat-saat istirahat, Sasuke dan
Sakura berpamitan untuk mencari penginapan. Tsunami menawari mereka
sarapan bersama sebelum mereka melanjutkan perjalanan nanti, yang
dengan senang hati disetujui Sakura karena menghargai ramah tamah
mereka.



Kapal adalah satu-satunya transportasi yang bisa digunakan untuk
menuju ke daratan Negara Api di sisi lain Negara Ombak yang belum
dijangkau oleh jembatan. Saat mengetahui ke mana tujuan Sasuke dan
Sakura selanjutnya, Tazuna memaksa untuk memberitahukan hal tersebut
pada salah satu pengusaha kapal pinisi yang tidak memonopoli usahanya

48

seperti Gato dahulu. Dengan tersebutnya nama Tim Tujuh, Sasuke dan
Sakura mendapatkan pelayaran gratis untuk menyeberangi lautan bersama
orang-orang yang mengeluarkan kocek serta sebagai fasilitas kargo.

Meskipun pada awalnya merasa tidak enak atas kebaikan-kebaikan
yang diberikan keluarga Tazuna dan pengusaha kapal, akhirnya mereka
menerimanya untuk menghargai mereka. Kini mereka sudah berdiri di
atas geladak kapal, menikmati tiupan angin kencang yang mendorong
layar sebagai salah satu jalan agar kapal terus melaju.

Sasuke melirik ke arah Sakura yang berpegangan pada sisi kapal.
Tatapannya melanglang jauh ke ujung lautan yang kini sudah tidak
menampakkan daratan. Angin terus-menerus meniupi rambut merah
mudanya dan terkadang menempel di bibirnya. Dirinya terpikat dengan
apa yang dilihatnya hingga merasa kehilangan kendali atas tubuhnya
sendiri. Tangannya menjulur, lantas menyusuri rambut Sakura dan
menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu.

Sakura sontak tertegun. Tubuhnya mematung sejenak, lantas
perlahan-lahan menoleh ke arah Sasuke. Wajahnya yang memerah
membuat leher Sasuke terasa panas. Dia buru-buru menarik tangannya
dan menaruhnya di sisi tubuhnya. Walaupun berusaha bertindak bahwa
tidak ada apa pun yang terjadi di antara mereka barusan, detak jantung
Sasuke terasa menyiksa dadanya dengan debaran-debaran yang luar biasa.

“Maaf,” ucap Sasuke dengan lirih. Dia berdeham karena
kerongkongannya terasa sangat gatal. Dia merasa air tidak akan cukup
untuk menandaskannya.

Tangan Sakura refleks menyelipkan rambutnya ke belakang telinga
di sisi kanan. Dia masih termegap, tak mampu berkata-kata. Telapak
tangannya yang lain menempel ke dadanya sebagai upaya untuk
menenangkan jantungnya. Dia hanya bisa menggeleng untuk menanggapi

49

Sasuke. Setelahnya, mulutnya ditutup oleh kepalan dan dia mengalihkan
pandangan pada lautan lagi.

Riak-riak air terbentuk dan tenang kembali ketika kapal membelah
permukaan air yang memantulkan sinar biru dari langit. Lautan tampak
gemerlapan dan bersih. Gelombang-gelombang yang terbentuk tampak
begitu kecil. Suara air yang bertabrakan dengan kapal begitu
menenangkan dan layak untuk dinikmati.

Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, ada tiga orang yang
tampak seperti sebuah keluarga; seorang pria, wanita, dan anak lelaki di
gendongan sang wanita. Pria tersebut bersiul keras berkali-kali. Tindakan
itu menarik perhatian Sakura karena begitu hangatnya aura yang mereka
uarkan. Ternyata siulan itu dilakukan untuk memanggil lumba-lumba,
terbukti dari munculnya tiga hewan ramah itu dari dalam laut.

Tawa senang otomatis keluar dari Sakura seperti anak kecil. Dia
melirik ke arah Sasuke yang memperhatikan lumba-lumba berlompatan.
Raut mukanya begitu tenang. Ketenangan di wajah lelaki itu membawa
rasa nyaman yang tak terperi bagi Sakura. Perasaan itu mendorongnya
untuk menggenggam tangan Sasuke dan meremasnya. Tatapan mereka
bertemu, Sakura tersenyum, dan dia nyaris meleleh saat mendapati Sasuke
membalasnya dengan tarikan sudut bibir yang tipis. Lelaki itu balas
meremas tangannya sebelum Sakura melonggarkan pegangannya dan
melepasnya sepenuhnya.

Ada beberapa misi yang mengharuskan Sakura untuk menggunakan
kapal sebagai transportasi agar dapat mencapai tujuan. Dia pun pernah
melakukannya bersama Sasuke ketika mereka masih sama-sama berstatus
genin. Namun, perjalanan kali ini, pelayaran kali ini, terasa begitu berbeda.
Sakura lagi-lagi merasa jatuh cinta.

Bagi Sasuke, ini jelas bukan pertama kalinya dia berlayar, apalagi
mengingat perjalanannya yang sebelumnya. Namun, perjalanan kali ini,

50

pelayaran kali ini, adalah pertama kali dia merasa segalanya begitu
berkesan karena desiran di dadanya serta rasa hangat yang sampai di
hatinya. Semuanya muncul semenjak dia melihat Sakura tersenyum karena
pelayaran mereka.

51

5
Unggul dalam Gelap

Kapal berlabuh di desa yang terletak di paling ujung Negara Api saat
matahari tepat berada di atas kepala. Ombak demi ombak dari laut masih
bertabrakan dengan tebing, sama dengan pangkal dari Jembatan Besar
Naruto dan pelabuhan di Negara Ombak. Sejauh perjalanan yang sudah
dilewati oleh Sasuke dan Sakura, mereka belum bertemu dengan pantai
meskipun sudah menyeberangi laut sebanyak dua kali.

Permukiman yang berada di sisi laut terdiri dari bisnis-bisnis yang
dilanjutkan dari Negara Ombak dan Negara Teh. Mereka tidak berlama-
lama berada di sana karena sudah banyak mendapatkan istirahat selama
berada di atas kapal. Perjalanan mereka kembali dilanjutkan ke selatan,
menuju Negara Teh.

Rute yang Sasuke tentukan pada awalnya adalah rute acak yang dia
tarik dari Konoha menuju ke selatan yang kemudian akan dilanjutkan ke
timur karena perjalanan sebelumnya berjalur dari utara ke barat. Namun,
di tengah-tengah perjalanan, dia tersadar bahwa jalan yang mereka ambil
memancarkan nostalgia di sekitar mereka. Negara Teh merupakan
destinasi misi Tim Tujuh untuk menjaga Morino Idate dalam
perlombaan di antara keluarga Wasabi dan keluarga Wagarashi. Sasuke

52

yakin Sakura mengingatnya dengan amat sangat baik, dan hal tersebut
terbukti ketika gadis itu mulai membahasnya.

Sudah tiga hari apa yang menjulang di kanan dan kiri hanyalah
pepohonan berbatang lebar dan berdahan banyak. Kulit yang terbuka tak
pernah terbakar matahari meski berdiri di alam bebas. Di tengah hutan,
cahaya ultraviolet perlu mencari celah melalui daun-daun yang saling
berdekatan untuk menyentuh tanah. Namun, hal itu tak cukup untuk
membuat suasana menjadi gulita.

Dalam jangka waktu setengah jam mereka melangkah, cahaya besar
terekam ke dalam indra penglihatan. Sakura tahu bahwa beberapa meter
di depan bukan lagi hutan, melainkan sebuah lapangan. Kebosanannya
selama berhari-hari karena hanya bisa berjalan di bawah hutan
membuatnya melonjak senang.

“Sasuke-kun, di sana ada lapangan!” Dia menarik lengan Sasuke dan
memeluknya secara refleks.

Sasuke menoleh atas perilaku Sakura yang terasa agresif. Lelaki itu
menatap Sakura dengan intens bercampur heran. Ditatap seperti itu
membuat Sakura melepas kontak dan memalingkan wajah yang tersipu.
Dahi Sasuke mengernyit begitu saja ketika melihat Sakura malah jadi
seperti putri malu yang tersentuh.

Akhir-akhir ini, Sakura sering bertindak seperti itu dan membuatnya
bertanya-tanya dalam hati. Sasuke berasumsi bahwa gadis itu terkadang
malu ketika tanpa sadar bertingkah agresif padanya tanpa bisa
dikendalikan. Namun, sejujurnya Sasuke tidak mempermasalahkan hal
tersebut. Dalam perjalanan berdua yang kurang lebih satu bulan mereka
lewati, Sasuke sudah terbiasa. Bahkan dirinya pun terkadang memberikan
afeksi ringan pada Sakura. Wajah Sasuke terasa panas ketika mengingatnya.

53

Asumsi dalam kepala saja tidak cukup untuk menjawab pertanyaan
Sasuke. Tak tahan dengan rasa ingin tahunya, Sasuke berniat untuk
menyuarakan pertanyaannya.

“Ada apa?”
Sakura melonjak mundur karena terkejut. Dia mengangkat dagu dan
sontak merasa terintimidasi tatapan tenang dari Sasuke. Kedua tangannya
dikibaskan dan disilang di depan dada.
“Ti-tidak ada apa-apa! Aku hanya senang akhirnya bisa keluar dari
hutan,” jawab Sakura sembari mengalihkan pandangan. Hatinya berteriak
betapa dia malu karena terkadang tidak bisa menahan diri dari
mendekatkan diri dengan Sasuke dan menyentuh lelaki itu dengan afeksi.
Sasuke menahan pandangannya sekejap. Jawaban Sakura agak aneh
jika disambungkan dengan perilakunya yang malu-malu. Namun, dia tak
mau berpikir terlalu jauh; mungkin asumsi dalam kepalanya saja sudah
cukup. Diangkatnya kedua bahu dengan tak acuh. “Oh.”
Kemudian keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Di langkahnya
yang ringan, Sakura sesekali mencuri pandang ke arah Sasuke. Lama-
kelamaan dia kesal dengan respons tubuhnya yang berlebihan setiap kali
dadanya didesak oleh cintanya untuk Sasuke. Hubungannya dengan
Sasuke jadi terasa canggung. Padahal, mereka akan melakukan perjalanan
bersama entah sampai kapan.
Kedua tangan Sakura mengepal erat karena jengkel pada diri sendiri.
Bahkan benaknya tak sanggup membayangkan akan jadi perjalanan macam
apa jika dia terus-menerus begini. Dia harus membulatkan tekad untuk
menghilangkan sifat malu-malunya yang terasa begitu lembek!
Ketika langkah pertamanya terpijak di tanah lapang, Sakura
menambah kecepatan pergerakannya. Sasuke tertinggal di belakang
punggungnya. Dia menarik napas dalam-dalam untuk meyakinkan diri.

54

Dia yakin bahwa rencananya kali ini ampuh untuk meluruhkan perasaan
malu yang sering muncul dengan tak terperi.

Sakura memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Sasuke.
Diabaikannya detak jantung yang semakin cepat ketika mata mereka saling
bersitatap. Dia memantapkan dirinya.

“Sasuke-kun, lawan aku!” tantangnya dengan suara keras. Kedua kaki
Sakura terbuka selebar bahu. Kaki kanannya dilempar ke depan. Kedua
tangannya yang terkepal diangkat di depan dada.

Langkah kaki Sasuke membeku. “Kau serius?” Kernyitan di dahinya
terbentuk lagi. “Kau benar-benar mau melawanku?”

Sakura mengangguk tanpa ragu. Dia sangat yakin kalau mereka
melakukan sparring, akan ada sesuatu dalam dirinya yang sanggup
membuang jauh-jauh sifatnya yang malu-malu. “Tentu.”

Sasuke masih bergeming dan tak berkutik. Dia menatap bahasa
tubuh Sakura yang memang menunjukkan bahwa gadis itu serius dengan
apa yang dikatakannya. Namun, dia merasa belum yakin dengan tantangan
yang Sakura lempar.

“Aku tidak lemah, kalau itu yang membuatmu ragu.”
Putri malu tadi sudah berubah menjadi seseorang yang kelihatan
begitu tangguh. Bibir Sasuke membentuk seringai karenanya. “Sombong
sekali, eh.” Kemudian dia melepas jubah dan tas dari punggungnya lantas
melemparnya sembarangan. Angin kencang yang bertiup membawa
jubahnya cukup jauh dari posisinya berdiri.
Sakura tersenyum puas melihat Sasuke yang mulai menanggapi
tantangannya. Dia pun turut melepas jubah dan tasnya. Jubahnya terbang
ke arah depan. Matanya terus mengikuti gerak jubah kremnya sampai
sepenuhnya tergeletak di atas tanah.
“Coba tebak dari mana aku mempelajari sifat sombong ini,” kata
Sakura dengan mata yang disipitkan.

55

Sasuke mengabaikan pertanyaan Sakura yang jelas-jelas meledeknya.
Dia mendecih pelan, sangat yakin Sakura tak akan dengar. Matanya
menatap batu yang Sakura pegang, kemudian dilempar. Proses jatuhnya
batu tersebut hingga menumbuk tanah terasa begitu lama bagi Sasuke.

Ketika yang ditunggu sudah terjadi, Sakura langsung mendekati
tubuhnya dengan kepalan tangan kiri diangkat di sebelah telinga. Sasuke
cukup cepat untuk menangkis tonjokan Sakura yang mengarah ke
perutnya, meskipun tubuhnya terseret cukup jauh ke belakang hingga
merusak rerumputan.

Sasuke mencengkeram kepalan tangan Sakura untuk meminta jeda.
“Di sini tidak ada garis batas yang bisa menentukan siapa yang menang
dan kalah.”

“Kalau begitu …” Sakura menahan tangan kanan yang sudah
membentuk tinju, “orang pertama yang berbaring di atas tanahlah yang
kalah. Setuju?”

“Setuju.”
Sakura kembali melempar tinjuannya, lagi-lagi ditangkis Sasuke
menggunakan lengan atas kirinya. Kaki Sasuke berusaha menakal kaki
Sakura yang kelihatan santai di belakang. Namun, gadis itu cepat tanggap
dan menarik tubuhnya menjauh sehingga Sasuke menendang udara
kosong.
Sasuke tahu Sakura bukan gadis lemah. Dia melihat sendiri
bagaimana tinjuan gadis itu cukup untuk membentuk sebuah lembah;
bahkan Sakura berani menonjok kepala seorang dewi—Kaguya. Namun,
ketika Sasuke menempatkan diri sebagai lawan Sakura, kesadaran tersebut
semakin naik drastis. Beberapa kali dia mulai kewalahan dengan tinjuan
demi tinjuan yang Sakura lakukan—meskipun sampai saat ini belum ada
yang berhasil melukainya. Apalagi kelincahan gadis itu sudah bertambah
pesat semenjak terakhir kali Sasuke melihatnya bertarung—di perang

56

dunia keempat. Dia tak tahu bahwa sparring dengan Sakura akan
membutuhkan pengaktifan mata sharingan.

Salah satu sudut bibir Sakura tertarik ketika sadar bahwa dirinya
cukup untuk membuat Sasuke mengaktifkan sharingan-nya.

Sasuke sama sekali belum punya kesempatan untuk menyerang selain
menakal kaki tadi. Yang dia lakukan sedari tadi hanyalah menangkis atau
menghindari serangan dari Sakura. Namun, dia tak akan
membuat sharingan-nya sia-sia. Dia membaca pergerakan Sakura setiap
kali menyerangnya, dan berusaha mencari celah dari kelincahannya.

Sebuah tonjokan dari Sasuke mendarat di bahu Sakura hingga gadis
itu terhuyung ke belakang. Sakura menyapu bahunya dan kembali
membentuk kuda-kuda. Untuk pertama kali dalam pertarungan ini, dia
menggunakan kakinya. Tendangannya tepat mendarat di perut Sasuke.
Namun, ternyata sosok yang ditendang tadi berubah menjadi sebuah
batang pohon.

Sakura langsung waspada. Tiba-tiba tohokan siku mengenai
punggungnya. Sasuke mendecak menyadari bahwa keseimbangan Sakura
tidak selengah yang dia kira. Gadis itu hanya tersentak ke depan sedikit
dan langsung membalik tubuhnya. Sebuah tendangan dilancarkannya lagi,
tetapi Sasuke cukup cepat untuk menghindar. Kaki Sakura yang belum
menyentuh tanah itu dicengkeramnya erat-erat, kemudian dilempar ke
bawah dan justru malah membentuk retakan di permukaan tanah. Sasuke
langsung menarik mundur tubuhnya sebelum retakan tersebut
membuatnya limbung.

Sakura merintih setiap kali terkena serangan dari Sasuke. Dia merasa
lepas karena Sasuke pun tak lagi menahan diri seperti saat awal-awal.
Sudah lama semenjak Sakura terakhir kali berlatih taijutsu seperti ini.
Selama dua tahun terakhir, dia lebih sering
memperuncing ninjutsu medisnya saja karena dirinya adalah jounin medis.

57

Awalnya, dia memang sedikit kaku melakukan pertarungan lagi seperti ini,
apalagi jika mengingat sifat malu-malunya tadi. Namun, seiring
berjalannya waktu, gerakannya semakin lincah dan terbiasa kembali. Dan
yang terpenting, dia sudah berani menatap mata Sasuke tanpa tersipu-
sipu. Pertarungan ini membuatnya memosisikan Sasuke sebagai lawan,
dan dia sama sekali tak mungkin tersipu di depan lawan.

Dalam urusan tenaga, Sakura memang jauh lebih unggul. Namun,
untuk ketangkasan, Sasuke tetaplah yang memegang nomor satu. Kedua
keunggulan tersebut membuat keduanya seimbang. Sasuke tentu saja tak
menggunakan jurus-jurus luar biasanya seperti katon, amaterasu,
susano'o, atau yang lainnya. Pertarungan ini hanyalah adu taijutsu. Itulah
sebabnya Sasuke beberapa kali nyaris jatuh di atas tanah dan dinyatakan
kalah. Sama seperti Sakura, dia sudah lama tidak berlatih taijutsu. Dia
lebih sering mengeksplor kekuatan lain yang sanggup matanya lakukan.

Sakura tidak mengalirkan cakra pada tinjuannya karena Sasuke pun
tak menggunakannya. Pukulan atau tendangannya kali ini tak cukup
untuk membuat tulang patah, tetapi cukup untuk membuat tanah retak.
Bukan karena dia menahan diri, tetapi dia hanya ingin berperilaku adil
mengingat Sasuke pun bertarung tanpa cakra. Sharingan yang aktif pun
hanya digunakan untuk membaca gerakan.

Intensitas pertarungan mereka semakin naik. Sakura menyadari hal
tersebut ketika Sasuke mulai melompat untuk menyerangnya. Meski dia
tak memiliki sharingan, mata telanjang pun cukup untuk mempelajari
bahwa Sasuke mengunggulkan kaki sebagai penyerang.

Waktu terus berputar tanpa terasa. Matahari sudah tenggelam di
ufuk barat. Kegelapan yang menyelimuti menjadi tantangan lain untuk
bertarung. Sampai saat ini, pemenang dan pecundang masih belum bisa
ditentukan, kendatipun napas keduanya sudah terengah-engah, dan

58

banyak lebam bekas pukulan atau tendangan yang terukir di permukaan
kulit mereka.

Mereka masih berusaha saling menyerang di bawah cahaya yang
sangat temaram. Sakura menahan tangan dan lengan Sasuke sebelum
lelaki itu melancarkan serangan. Sebelum kedua kakinya bisa mengambil
kesempatan, Sakura membenturkan lututnya pada perut Sasuke hingga dia
kehilangan keseimbangan di atas kedua kakinya. Sakura tak
mempersiapkan perlawanan lain karena begitu yakin beberapa detik lagi
dia akan dinyatakan menang, hanya tinggal menunggu terhuyungnya
tubuh Sasuke menempel pada tanah.

Kepercayaan diri tersebut membuatnya lengah, hingga tanpa dia
ketahui, Sasuke pun menakal kakinya dan berhasil berdiri kembali di atas
kedua kakinya. Mata Sakura melebar karena beberapa detik lagi justru dia
yang akan dinyatakan kalah. Namun, secara tiba-tiba Sasuke menangkap
pinggang Sakura sebelum punggung gadis itu membentur tanah. Kaki kiri
Sakura menumpu di atas tanah, sementara kaki lainnya melayang di udara.
Punggungnya tertekuk kebelakang.

Sakura menahan napasnya. Matanya meneliti ekspresi yang Sasuke
pasang. Hanya ada air muka ketenangan di sana. Bulir-bulir keringat
masih menetes dari dahinya dan membasahi seluruh wajahnya. Napasnya
yang terengah-engah terasa hingga ke permukaan kulitnya. Di wajah
rupawan itu sama sekali tak ada lebam, tak seperti tangan dan bagian
tubuh lainnya. Meski tertutupi pakaian, Sakura yakin ada banyak lebam di
sekujur tubuh Sasuke. Getaran dari tangan Sasuke yang memegangi
pinggangnya terasa sampai ke kulit Sakura karena tangan itu sudah
terkena tinju beberapa kali.

“Menyerahlah, Sakura,” bisik Sasuke dengan suara serak.

59

Sakura hampir menyerah. Tubuhnya sudah lelah, dan mereka pun
sudah bertarung sampai malam datang. Namun, dia memantapkan diri
untuk tak menyerah semudah itu.

“Tidak.”
“Kau akan kalah,” ejek Sasuke. “Posisimu sudah terdesak.”
Sakura mencebikkan bibir dan memutar kedua bola mata. Dalam
hati dia bertanya-tanya mengapa Sasuke mendesaknya untuk menyerah,
alih-alih membiarkannya kalah saat nyaris jatuh menyentuh tanah.
“Punggungku bahkan tidak menyentuh tanah. Kau sendiri yang tidak
mengizinkan aku kalah.”
“Aku bisa melepas peganganku kapan saja. Tak ada lagi yang bisa
kaulakukan, Sakura.”
Sakura mendengus. “Ugh, jangan congkak, Sasuke-kun.”
“Coba tebak sparring ini dimulai dari kecongkakan siapa.” Sasuke
menyeringai sambil mengikuti kata-kata Sakura sebelum adu taijutsu tadi.
Dia tak melewatkan pipi Sakura yang mengembung, tampak menahan
tawa.
“Omong-omong—” Sakura menonjok Sasuke tepat di wajah hingga
lelaki itu tersungkur dan otomatis melepas pegangannya. Samar-samar
terdengar rintihan dari bibir Sasuke. Punggung Sakura pun menumbuk
tanah, tetapi tidak menimbulkan sakit yang kentara. “—itu karena kau
usil!”
Dengan posisi tubuh masih terbaring di atas tanah, Sasuke kini
benar-benar yakin bahwa yang dikatakan Naruto adalah salah dan Sakura
mewujudkan ucapannya saat di kedai ramen. Menjadi dirinya bukan
berarti dia memiliki hak istimewa tidak akan menerima tonjokan dari
Sakura selain dalam pertarungan.
Pertarungan selesai dengan kemenangan dipegang oleh Sasuke
karena Sakura jatuh lebih dulu.

60



Luka-luka yang timbul akibat pertarungan mereka sudah sepenuhnya
disembuhkan oleh Sakura. Setelah aliran cakranya yang terakhir telah
meredup, Sakura langsung menjatuhkan punggungnya menempel pada
tanah. Matanya terpejam. Dia menarik napas dalam-dalam. Satu setengah
jam adalah waktu yang sudah terlalui semenjak pertarungan selesai.
Aturan tidak boleh langsung berbaring setelah kegiatan yang menguras
tenaga sudah tidak berlaku dalam selang waktu selama itu.

Mata Sakura terbuka saat mendengar rumput di sampingnya tengah
ditimpa sesuatu yang berat. Karena sudah tahu apa yang terjadi, dia hanya
berani melirik ke arah Sasuke diam-diam; menoleh akan terlalu kentara.
Grogi kembali menyerangnya, terlebih dengan posisi Sasuke yang berjarak
tidak lebih dari satu meter darinya. Sakura meneguk ludah, lantas arah
pandangnya dialihkan pada langit.

Mencoba mencari usikan dari emosi yang kental di dadanya, dia
menatap taburan kristal kecil pada bentangan alam. Dia menjadikan tasnya
sebagai pengganjal kepala seperti bantal. Kini kedua tangannya
direntangkan ke depan, jemarinya dibuka dan ditutup seolah-olah hendak
menangkap bintang. Dia melebarkan tangannya hingga spasi-spasi lebar
tercipta di antara jari-jarinya. Pengamatannya pada bintang dilanjutkan
melalui sela-sela jemarinya.

“Aku tidak pernah melihat langit dengan kondisi seindah ini.”
Wajahnya dilapisi ekspresi penuh angan.

“Langit tidak pernah berubah,” tanggap Sasuke.
“Tapi ‘kan ada awan yang membuat langit berubah.”
“Awan membuat pengamatan kita pada langit berubah, bukan
mengubah langit.”

61

“Baik. Kau pasti lebih ahli soal langit dan benda-benda di sana
karena rinnegan.”

Sasuke mendengus mendengar intonasi bicara Sakura yang pasrah.
Mereka lantas terdiam dan menikmati keheningan di antara mereka.

“Bintang itu …” telunjuk Sakura mengarah pada satu bulatan paling
besar dan terang selain bulan, “hampir sama besar dengan bulan.”

Sasuke menyugar rambutnya hingga tak ada sehelai pun yang
menutupi rinnegan. Dia memfokuskan tatapannya pada arah telunjuk
Sakura.

“Itu Jupiter.”
“Maksudmu planet Jupiter? Memangnya ada bintang Jupiter?”
“Planet Jupiter.”
“Wow,” Sakura mendecak kagum. “Seandainya aku bisa melihat
benda-benda langit sejelas kau tanpa bantuan teropong.”
Entah harus menanggapi seperti apa, Sasuke hanya membalas dengan
keheningan. Sakura pun tidak menuntut tanggapan apa pun.
Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing dan tak ada
keinginan untuk mengusik satu sama lain. Setelah pertarungan tadi,
tenaga mereka terkuras cukup banyak dan menatap langit dalam diam
adalah cara untuk memulihkan fisik serta menenangkan pikiran.
Bulan purnama mulai memias karena ditutupi awan. Jupiter pun
sama-sama tertelan. Merasa tak ada lagi yang bisa diperhatikan, Sasuke
memejamkan matanya erat-erat. Pikirannya mendadak kosong.
Kekosongan mendongkrak sebuah rekaman masa lalu. Rekaman yang
sanggup memengaruhi sistem di sekujur tubuhnya. Yang dilihatnya adalah
dirinya di masa lalu yang terjebak dalam kegelapan.
Dulu, tujuannya ada di kegelapan sehingga kelam tak pernah
mengusiknya. Namun, sekarang semuanya sudah berbeda. Nyaris segala

62

hal buruk yang menimpa hidupnya terjadi di kala gelap. Tujuannya dulu
pun ternyata malah menyeret keburukan lainnya.

Kini kegelapan itu sudah diterangi oleh pikirannya yang jernih dan
tanpa dendam, tetapi masih ada titik hitam besar yang tersisa. Kesadaran
bahwa kegelapan itu bisa menariknya lagi kapan pun membuat Sasuke
terbangun dari baringannya dengan satu tarikan napas yang tajam.

Sakura sontak menolehkan kepala. Dia segera beranjak dan
memandang Sasuke dengan khawatir. Tangannya memegang lengan lelaki
itu dan meremasnya untuk menenangkan.

“Ada apa, Sasuke-kun?”
Sasuke memegang keningnya dan menekannya keras-keras. Dia
memejamkan matanya erat-erat dan mengembuskan napas panjang. Saat
matanya terbuka dan dia menatap rumput di sekitar kakinya, dia
menjawab, “Bukan apa-apa.”
Sakura menunduk, merasa tidak bisa membantu apa pun.
“Tidak apa-apa kalau kau memang keberatan menyampaikannya.
Tapi apa pun yang terjadi, aku ada bersama Sasuke-kun.”
Ibu jarinya mengusap lengan Sasuke dengan lembut. Sentuhannya
merambat pada pipi lelaki itu dengan hati-hati. Sasuke menoleh ke
arahnya. Bahunya sempat tersentak sedikit ketika kedua pasang mata itu
saling bersirobok. Namun, tak ada keinginan untuk mengalihkan
pandangan sama sekali. Dia seolah tenggelam ke dalam iris hijau yang
dipantulkan sinar dari rembulan dan senyum tulus yang dipancarkan
padanya. Aliran napasnya tiba-tiba lancar.
Sasuke mengepal dan membuka tangannya berulang-ulang. Hangat
dari tangan Sakura di pipinya terasa merambat ke sekujur tubuhnya. Dia
mengembuskan napas panjang. Dia menatap mata Sakura dengan yakin
meskipun pupilnya bergetar.

63

“Sekeras apa pun aku berusaha menghilangkannya, kegelapan itu
masih ada.”

Kedua mata Sakura melebar. Tangannya melemas hingga jatuh ke
bahu Sasuke. Dia menggigit bibirnya karena dadanya terasa nyeri. Sasuke
sudah melewati begitu banyak hal, dan dia turut merasa sakit ketika tahu
bahwa apa pun yang menghantuinya di masa lalu masih menempel pada
bayangannya hingga sekarang. Dia menggigit bibirnya. Matanya terasa
perih.

“Hei,” bisik Sakura, “aku tahu ini tidak mudah, meski aku tak akan
pernah bisa mengerti bagaimana rasanya. Kau boleh membagi apa yang
kaurasakan padaku, kalau kau mau.” Dia berusaha tersenyum di tengah
emosinya yang tengah teraduk. Ujung-ujung jemarinya kembali
menempel di pipi Sasuke saat dia sudah mampu mengendalikan diri.
“Namun, kau harus tahu bahwa ada banyak hal indah yang hanya bisa
dilihat dalam kegelapan, dan banyak juga yang akan semakin indah jika
eksistensinya ada di tengah-tengah kegelapan. Aku yakin suatu hari nanti
kau akan segera menemukan satu di antara keduanya, atau bahkan dua-
duanya.”

Sasuke tak menjawab dengan suara, tapi tatapan matanya
mengatakan segalanya. Dia mengiyakan ucapan Sakura. Dia mencoba
percaya apa yang gadis itu katakan padanya. Dulu, ketika Sakura
merawatnya di rumah sakit setelah perang besar terjadi, dia selalu
menganggap bahwa kata-katanya yang bersifat menenangkan merupakan
omong kosong. Gadis itu belum pernah merasakan apa yang namanya
kehilangan secara besar-besaran dan bertubi-tubi. Meski tak diucap
melalui lisannya, tatapan terganggu yang dia pasang sudah cukup untuk
membuat Sakura mengerti bahwa Sasuke tak menyukai kata-katanya
waktu itu.

64

Namun, kali ini responsnya berbeda. Sasuke yakin Sakura sedikit
terkejut akan tanggapannya jika dilihat air mukanya yang meneduh.
Bahkan, dia tak mempermasalahkan tangan yang masih menempel di
pipinya. Tulusnya penuturan Sakura sanggup menggerakkan dagu Sasuke
hingga melakukan sebuah anggukan kecil.

Senyum masih belum terlepas dari bibir Sakura. Hatinya menghangat
mendapati Sasuke yang kelihatan jauh lebih tenang daripada sebelumnya.
Dia ingin memeluknya dengan erat. Namun, itu tak mungkin dia lakukan
karena menghargai ruang pribadi Sasuke. Tangan yang sedari tadi
menempel di pipi Sasuke ditariknya secara perlahan, tubuhnya kembali
dibaringkan hingga langit malam lurus kembali dengan pandangan.

“Bulan itu satu hal yang akan semakin indah jika dilihat di tengah-
tengah kegelapan,” tukas Sakura. “Iya, 'kan?”

Sasuke tak menjawab. Namun, lelaki itu turut membaringkan
tubuhnya lagi. Awan sudah tertiup angin jauh-jauh hingga langit tak
tertutupi lagi. Sakura melirik melalui ujung matanya. Mata Sasuke
terpejam, seakan sedang mencari kedamaian dalam diam. Kalau napasnya
teratur, Sakura pasti sudah mengira bahwa Sasuke tertidur. Dia hanya
berharap bahwa pejaman mata kali ini tak akan diikuti gerakan terbangun
tiba-tiba dan tarikan napas tajam.

Ingatan Sasuke tertuju pada Itachi. Apa yang kakaknya lakukan
dalam kegelapan pada klannya sendiri adalah sesuatu yang membuat
Konoha tetap bersinar. Dia tak akan berbohong tentang masih adanya
dendam pada Konoha atas itu, tetapi dia mencoba melihatnya dari sisi lain.
Jika dia menghancurkan Konoha pada akhirnya, apa yang Itachi
korbankan akan sia-sia.

Perjalanannya beberapa tahun yang lalu, atau bahkan sekarang, masih
berkaitan dengan kebutuhannya untuk beristirahat dari Konoha. Rasanya
masih menyakitkan melihat desa itu damai di atas penderitaan kakaknya

65

dan pembantaian klannya. Dia merasa hatinya akan mampu memaafkan
sepenuhnya, tetapi dia butuh waktu. Menjauh dari sana untuk beberapa
saat adalah cara yang dipilihnya, selain perjalanan yang dia ambil untuk
menebus dosa.

Tangan Sasuke bergerak ke depan wajahnya. Sakura menduga bahwa
Sasuke hendak menutup matanya untuk menghalau silau, atau
menyembunyikan wajahnya yang akan segera tertidur. Namun, yang dia
pikirkan sangat berbeda dengan apa yang terjadi.

Tuk.
Sasuke mengetuk dahinya sendiri menggunakan dua ujung jari.
Sakura tertegun. Secara refleks, telapak tangannya menempel pada
keningnya sendiri. Gestur itu ….
“Sasuke-kun.”
“Hn.”
“Aku mau tanya.”
“Tanya saja.”
Sakura menggigit bibirnya. Dia takut merusak perasaan damai yang
tadi tampak di wajah Sasuke. Memikirkan itu berkali-kali, dia
menggeleng. “Tidak. Tidak jadi.”
Sasuke menoleh ke arahnya dengan sebelah alis yang naik. “Apa?
Tanya saja.”
Mendengar Sasuke yang meyakinkan bahwa pembicaraan apa pun
bisa dilakukan setelah kejadian tadi, Sakura tetap masih
mempertimbangkan. Setelah merasa mantap dan melihat tidak adanya
raut terganggu di wajah Sasuke, dia bertanya, “Maksud dari ketukan di
kening yang kaulakukan padaku itu apa?” Sakura langsung menggigit
bibirnya.

66

Sasuke terdiam sesaat. Kedua kelopak matanya melebar. Dia masih
mengingatnya, batinnya. Sorot matanya seakan mengarah ke dunia lain.
Lidahnya terlalu kelu untuk menjawab yang sebenarnya.

“Kenapa kau ingin tahu?”
“Hmm ... aku hanya penasaran.” Sakura mendadak merasa bersalah.
Ketidaknyamanan hinggap di dadanya. “Kalau memang tidak bisa dijawab,
tidak apa-apa, kok!”
Sasuke menarik napas panjang. Tanpa Sakura sadari, Sasuke berada
di atas tubuhnya, mengungkung badannya dengan lutut dan telapak
tangan yang tertanam ke dalam tanah. Sakura menahan napasnya. Selain
karena terkejut, juga karena Sasuke-lah yang ada di posisi yang bisa dia
kategorikan sebagai ... intim.
Entah matanya yang salah, tetapi dia merasa wajah Sasuke semakin
mendekat pada wajahnya. Dekat, kian dekat, hingga embusan napas lelaki
itu membelai pipinya. Sakura menutup matanya rapat. Jantungnya
berdegup dengan tempo paling kencang yang pernah dipompanya. Ketika
ujung hidung mereka saling bersinggungan, Sakura memejamkan matanya
semakin erat. Kepalanya secara otomatis melesak ke belakang.
Tuk.
Mata Sakura terbuka lebar ketika merasakan gestur yang familier di
keningnya. Sekujur tubuhnya membeku, tak sanggup melakukan
pergerakan sejauh satu milimeter pun. Pandangannya masih terkunci pada
sosok Sasuke yang rambutnya tertarik gravitasi ke arahnya. Dia tidak bisa
melakukan apa pun, sedikit pun.
“Mungkin lain kali,” bisik Sasuke. Dia menyeringai tipis ketika
melihat wajah Sakura yang sudah sangat merona.
Perhatiannya tersedot pada sepasang mata hijau yang kelihatan
kontras dengan merah yang mewarnai wajah gadis itu. Netra tersebut
berbinar di dalam cahaya temaram yang nyaris tidak ada—cenderung

67

gelap—karena kungkungan tubuhnya. Detak jantung Sasuke terhenti
sesaat.

Dia baru saja menemukan sesuatu yang semakin indah jika dilihat
dalam kegelapan.

68

6
Yang Pertama

Wisata utama di Negara Teh tentu saja adalah rumah teh yang
berdiri nyaris di setiap jalan besar pada tanah negara tersebut. Meskipun
eksistensinya begitu mendominasi, setiap rumah teh yang ada selalu punya
ciri khas, resep, serta pasar pelanggannya tersendiri. Keuntungan rumah
teh yang dibangun paling dekat dengan perbatasan atau pelabuhan utama
tentu saja menjadi daya tarik pertama bagi para turis atau pengelana.

Mengingat hal klise seperti itu, Sakura mewanti-wanti Sasuke untuk
tidak mengunjungi rumah teh pertama yang mereka temui. Dia pun ingin
menghindari rumah teh yang pernah Tim Tujuh kunjungi dulu. Pada
akhirnya, rumah teh yang mereka kunjungi terletak tepat di tengah alun-
alun. Rumah teh itu tidak menjadi satu-satunya yang mereka kunjungi.
Sakura ingin mengeksplorasi satu rumah teh dalam setiap hari di
perjalanan mereka dan menandai perbedaan di antaranya, kemudian
diabadikan di dalam buku catatan yang sengaja dia beli untuk itu.

Di rumah teh kedelapan yang mereka kunjungi, Sakura menatap
gelas tehnya setelah menyesapnya sedikit. Matanya meneliti permukaan air
dalam gelas tersebut. Kepalanya terangkat dan menatap Sasuke.

69

“Rasa tehnya mirip dengan yang kauberikan padaku,” ucapnya. “Kau
membelinya di sini?”

“Tidak. Aku belum pernah ke sini sebelumnya.”
Kening Sakura mengerut. “Sepertinya mereka mengekspor ke luar
negeri dan kau menemukannya di sana. Di mana kau membelinya?”
“Di perbatasan Negara Api dan Negara Hujan.”
Sakura lekas mengaduk-aduk isi tasnya. Dia mengeluarkan selembar
peta dan membentangkannya di atas meja. “Huh.” Dia mengangkat
tatapannya pada Sasuke.
“Apa?”
Jari telunjuk Sakura melingkari daerah yang diberi tahu Sasuke. “Di
sini, ‘kan?”
“Ya.”
“Jauh juga.” Sakura melipat kembali petanya dan menyimpannya di
dalam tas. Dia mengusap-usap dagunya sebelum mencatat pengamatannya
soal teh ke dalam buku catatannya. “Tapi sejauh ini yang ini favoritku.”
Salah satu sudut bibir Sasuke terangkat. “Hm?”
Sakura membeliak. “Ini tidak ada urusannya dengan kau yang
memberikannya padaku sebelum kita kemari. Ini murni preferensiku.”
Sasuke mengangkat gelas tehnya dan mengedikkan bahu. “Aku tidak
bilang apa-apa.”
Sakura menganga. Dia mengembuskan napas panjang karena jengkel.
Seringaian Sasuke tadi jelas berarti sesuatu, dan cara lelaki itu
menyangkalnya dengan alasan dia tidak mengatakan apa-apa sungguh
membuat Sakura kesal. Namun, dia tidak membahas itu lebih dalam.
“Kau masih mau mengeksplorasi?” tanya Sasuke.
“Ya. Aku mau menggenapkan sampai sepuluh,” jawab Sakura.
Matanya menyipit. “Siapa tahu aku menemukan yang lebih kusukai
daripada ini supaya kau tidak merasa di atas angin.”

70

“Kapan aku bilang aku merasa di atas angin?”
Mata Sakura membeliak lagi. Wajahnya ditekuk. “Yang tidak
kaukatakan bukan berarti tidak kaupikirkan, ‘kan?! Mengaku saja, Sasuke-
kun!”
Sasuke hanya menanggapi Sakura dengan dengusan geli dan seringai
tipis. Sementara Sakura terdiam seketika dengan kondisi wajah yang
merona.
Kepala Sakura tertunduk dan menatap permukaan meja. Sudut-sudut
bibirnya tergelitik tanpa bisa dikendalikan. Betapa dirinya dan Sasuke bisa
merasa begitu santai bercanda di antara satu sama lain membuat hatinya
menghangat. Perjalanan ini semakin mendekatkan mereka berdua yang
sebelumnya hanya terjalin melalui carik-carik surat yang mereka tukar.
Sakura merasa dia bisa membicarakan apa saja dengan Sasuke, kecuali soal
perasaannya untuk lelaki itu. Walaupun Sakura yakin Sasuke masih ingat
ungkapan cintanya, dan mungkin cukup peka untuk merasakan bahwa dia
masih menyimpan perasaan yang sama, Sakura tetap tidak bisa
membahasnya begitu saja.
Sakura mengangkat dagu dan terperanjat saat tatapannya langsung
bertemu dengan Sasuke. Ini bukan pertama kalinya pandangan mereka
saling bersirobok seperti ini setelah Sakura menatap ke arah lain, tetapi di
setiap kejadiannya tetap membawa adrenalin sekencang yang pertama.
Sakura dapat menangkap keterkejutan yang Sasuke rasakan juga apabila
dilihat dari matanya yang melebar. Sebelum mimik muka itu muncul,
yang terpampang di wajah Sasuke adalah tatapan lembut yang terus
difokuskan padanya selama dia tidak sadar.
Apabila Sasuke mungkin saja merasakan bahwa Sakura masih
memiliki perasaan untuk lelaki itu, bolehkah Sakura menanam harapan
bahwa Sasuke pun menyimpan perasaan yang sama untuknya?

71



Di antara kebun teh demi kebun teh yang sudah Sasuke dan Sakura
lewati, tidak ada satu pun permukiman penduduk yang menyediakan
penginapan untuk pendatang. Permukiman-permukiman yang ada pada
umumnya hanya terdiri dari rumah-rumah petani teh yang sudah
disediakan oleh atasan mereka. Dengan kondisi seperti ini, satu-satunya
tempat yang bisa mereka jadikan sebagai tempat peristirahatan hanyalah
alam bebas. Ini bukanlah yang pertama kalinya sehingga itu sama sekali
tidak menjadi masalah.

Pagi itu mereka kembali melanjutkan perjalanan ke selatan melalui
kebun teh yang sangat luas. Daratannya menanjak, udaranya lebih dingin
daripada saat masih di alun-alun desa meskipun berada di negara yang
sama. Para petani teh memakai topi caping untuk menghalau sinar
matahari. Mereka begitu tekun saat memetik daun teh-daun teh terbaik.

“Hei, tunggu! Tuan! Nona berambut merah muda!”
Mendengar seruan yang sangat diyakini ditujukan pada Sasuke dan
Sakura—terutama Sakura—langkah mereka berhenti. Sakura yang
membalik ke belakang lebih dulu dan mendapati seorang lelaki dengan
caping yang dia perkirakan tidak jauh dari usianya berlari mengikis jarak
dengan mereka. Sakura turut maju agar lebih cepat mengetahui maksud
lelaki itu memanggil mereka. Saat jarak mereka cukup dekat untuk saling
berbincang, mereka sama-sama berhenti. Lelaki itu masih terengah-engah
karena berlari.
“Ada apa?” tanya Sakura. Dia memperhatikan wajah lelaki itu.
Sepenuhnya asing. Dia yakin ini adalah pertama kali mereka berjumpa.
“Ini,” kata lelaki itu sembari menjulurkan tangannya. Sakura
menunduk. Matanya melebar dan dia langsung meraba pinggangnya. Dia
menjatuhkan pelindung kepalanya dan lelaki itu telah menemukannya.

72

“Oh!” seru Sakura. “Astaga, terima kasih! Aku bahkan tidak sadar ini
jatuh.”

Lelaki itu menggeleng. “Ini bukan apa-apa.” Tatapannya bergantian
terarah ke Sasuke dan Sakura. “Melihat dari lambang di pelindung kepala
itu, kalian berdua ninja dari desa Konoha, ya?”

Sasuke mengangguk dan Sakura mengiyakan secara verbal.
Mata lelaki itu berbinar-binar. “Kalau begitu, kalian kenal Uzumaki
Naruto?”
Sakura tersenyum lepas. “Tentu saja! Dia sahabat kami, teman satu
tim kami.”
Lelaki itu mendecak kagum dan menggeleng-geleng. “Keren sekali!
Namanya terkenal di mana-mana. Kudengar pada awalnya dia diremehkan
dan dicaci di desa, ya? Tapi pada akhirnya dia bisa menyelamatkan Konoha
dari serangan musuh yang memporak-porandakan Konoha dan menjadi
salah satu dari pahlawan di perang dunia!”
“Ya! Itulah Naruto. Dia berusaha sangat keras untuk semua itu. Dia
benar-benar orang yang pantang menyerah.”
“Apakah dia sudah menjadi hokage?”
“Belum,” jawab Sakura sembari menggeleng. “Tapi mungkin sebentar
lagi. Dia sedang belajar sekarang.”
Wajah lelaki itu dipenuhi sorot kekaguman. “Keren! Saat kalian
kembali ke Konoha, bolehkah aku meminta tolong sampaikan salam
dariku, Shigeru dari Negara Teh?”
“Ya, kami akan menyampaikannya,” Sasuke angkat bicara.
“Bagus. Terima kasih banyak.” Shigeru membungkuk berkali-kali
seolah-olah Sasuke dan Sakura telah melakukan jasa yang berarti.
Sakura yang merasa canggung langsung mengibaskan tangannya. “Itu
bukan apa-apa, kok!”

73

“Itu berarti untukku. Dia inspirasi untuk banyak orang.” Shigeru
tersenyum. “Kalau begitu, silakan lanjutkan perjalanan kalian. Maaf jika
aku mengganggu.”

“Tidak! Tidak sama sekali,” ujar Sakura. “Sekali lagi, terima kasih
sudah membawakan pengikat kepalaku.”

Mereka saling membungkuk, lantas Shigeru kembali ke pekerjaannya.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Karena jalan di kebun teh begitu
sempit, mereka tidak bisa berjalanan bersisian seperti biasanya. Sasuke
memimpin di depan dan Sakura mengikuti jalan yang diambilnya. Mereka
kembali bersisian saat jalan sudah cukup luas untuk itu, dan Sakura
tersenyum karena merasakan begitu naturalnya hal tersebut terjadi di
antara mereka tanpa adanya stimulus apa pun. Kemudian dia tersadar
bahwa itu sudah terjadi sejak mereka meninggalkan Konoha. Langkah
mereka akan selalu beriringan meskipun sebelumnya sempat terpisah
karena keadaan.
“Itu bukan pertama kali aku bertemu dengan orang yang mengenal
nama Uzumaki Naruto,” kata Sasuke memecahkan keheningan di
perjalanan mereka.
“Oh, ya? Ceritakan padaku soal itu,” pinta Sakura.
“Ada anak yang pernah menduga aku adalah Naruto.”
“Huh? Tapi ‘kan kalian berbeda sekali.”
Sasuke hanya mengedikkan bahu.
“Itu saja?”
Sasuke diam. Matanya menerawang ke arah langit. Dia
mengembuskan napas panjang. “Aku tidak tahu harus menceritakan apa
lagi.”
Kekehan kecil lepas dari bibir Sakura. “Kau ini saking pendiamnya
jadi bingung bercerita, ya?”
“Hn.”

74

“Apakah kau mengoreksinya? Bahwa kau bukan Naruto?”
“Ya.”
“Dia kecewa?”
“Tidak.”
“Tidak bisa memberi respons yang lebih panjang dan detail?” keluh
Sakura.
“Hn.”
Sakura menggeleng-geleng sembari memegangi keningnya. Karena
tidak bisa berharap banyak dari cerita Sasuke, akhirnya dia menceritakan
tentang Naruto selama Sasuke tidak ada di Konoha. Dia menceritakan
betapa Naruto sudah tumbuh dan berkembang menjadi jauh lebih baik
dan keren. Naruto punya banyak penggemar wanita yang mengejar-
ngejarnya dan memberikan tumpukan hadiah. Sakura menyenggol tulang
rusuk Sasuke menggunakan sikunya. “Mengingatkan kau pada sesuatu,
eh?” Dia terkekeh dan terus menceritakan banyak hal.
Kadang-kadang, Sakura tertawa ketika menceritakan kekonyolan atau
kebodohan Naruto. Tawanya begitu lepas dan tidak ditahan-tahan. Di
saat-saat tertentu, dia bahkan tidak mampu menyelesaikan ceritanya
karena sudah tertawa duluan. Ceritanya berhenti saat topik sudah habis.
Mereka berbincang tentang hal lain atau menikmati keheningan sampai
malam menjelang.
Ketika langit sudah sepenuhnya gelap, yang ada di sekitar mereka
benar-benar hanya ada kebun teh. Karena pandangan yang mulai terbatas,
Sasuke mengaktifkan sharingan untuk mencari tempat yang bisa mereka
gunakan untuk istirahat. Di seberang kebun teh yang berada di depan
mereka, terdapat sebuah dangau dan beberapa meter tanah kosong yang
bisa digunakan untuk menyalakan api. Sasuke memutuskan tempat itu
akan menjadi destinasi istirahat mereka.

75

Mereka sama-sama mengumpulkan ranting sebelum sepenuhnya
istirahat. Seperti biasa, Sakura selalu sudah menyalakan api ketika Sasuke
masih mencari kumpulan ranting. Sakura memikirkan kondisi tangan
Sasuke. Dia tidak tahu apakah lelaki itu masih bisa mengeluarkan jurus
apinya jika membentuk segel hanya dengan satu tangan. Khawatir Sasuke
merasa inferior atas hal tersebut, Sakura mengambil tindakan lebih dulu
agar Sasuke tidak perlu mengatakan padanya tentang hal tersebut jika
memang tidak bisa.

Dangau yang kosong itu segera diduduki oleh Sakura dengan posisi
menyandar. Pegal-pegal sudah menyerang beberapa bagian tubuhnya.
Karena api sudah menyala, dia melepaskan jubahnya. Udara dingin di
dataran tinggi sudah ditangkal oleh panasnya api. Sasuke bergabung di
naungan berbahan bambu tersebut. Lelaki itu tidak menyandarkan
tubuhnya dan hanya mengangkat sebelah kaki di ujung dangau. Sebelah
kakinya dibiarkan menjuntai.

Mengingat mereka belum makan apa pun sejak siang, Sakura segera
membuka tas khusus yang berisi perbekalan mereka. Hanya ada makanan
kaleng siap lahap. Mereka memakannya bersama-sama dalam diam.
Setelah habis, kaleng bekas itu Sasuke taruh di kantong sampah yang
selalu mereka bawa karena mereka enggan mengotori alam.

Di tengah-tengah meminum air putih, Sakura tiba-tiba menyembur
dan tersedak. Dia terbatuk-batuk dan segera minum lagi untuk
meredakan tersedaknya. Sasuke menanyakan kondisi Sakura sembari
menepuk-nepuk punggungnya. Saat sudah membaik, Sakura menyeka
mulut dan hidungnya yang basah. Kemudian dia tertawa.

“Astaga,” ucap Sakura dengan suara yang masih serak. “Tiba-tiba aku
teringat lawakan Naruto yang kuceritakan tadi.” Dia tertawa lagi dengan
lepas. “Bisa-bisanya aku mengingat hal itu saat sedang minum.”

Sasuke mendesah. “Hati-hati, Sakura.”

76

“Aku tidak bisa mengendalikannya.” Sakura tertawa lagi.
Sasuke mengakui bahwa dia jarang mendengar Sakura tertawa selama
dalam perjalanan dengannya. Mungkin tawa Sakura begitu lepas karena
ingatannya soal Naruto sangat lucu, atau karena sudah berbulan-bulan dia
melakukan perjalanan dengan dirinya yang memang bukan tipe orang yang
bisa membuatnya tertawa. Kedua hal tersebut jelas-jelas membuatnya
kesal. Dapat disimpulkan bahwa latar belakang Sakura tertawa panjang
adalah kelebihan Naruto yang bersifat lucu, atau kekurangan Sasuke dalam
hal tersebut. Sasuke jelas tidak suka ini.
Kalau Naruto belum menikah saat ini, Sasuke pasti akan berpikir
lebih jauh. Namun, dia yakin sahabatnya itu lelaki yang setia.
Kemungkinan-kemungkinan terjauh itu pasti salah telak. Meskipun tetap
saja fakta bahwa Naruto pernah menaruh hati pada Sakura sanggup
membuatnya menggertakkan gigi sekarang.
Ingatan Sasuke berputar ke masa lampau. Tak pernah luput dari
benaknya terakhir kali Sakura menyatakan cinta padanya, bersamaan
dengan isak tangis dan air yang mengalir deras di pipi. Sudah tiga tahun
terlewati semenjak masa-masa itu. Tahun pertama setelah perang, dia
masih ada di sisi Sakura dan melihat sendiri bahwa senyum paling manis
itu hanya ditujukan padanya. Namun, dua tahun selanjutnya lepas dari
pengawasannya. Dia sama sekali tak tahu dan tak punya jaminan bahwa
perasaan gadis itu masih sama. Dia ingin tahu. Benar-benar ingin tahu.
“Sakura.”
Tawa Sakura berhenti seketika. Meskipun masih ada kekehan kecil
yang menyusup melalui celah bibirnya. “Ya, Sasuke-kun?”
Panggilan Sakura yang menggunakan embel-embel kesayangan itu
masih sama. Dia nyaris merasa lega jika tak mengingat Naruto pernah
menggodanya dengan cara menceritakan bahwa kini gadis itu pun
memanggil Gaara dengan sufiks yang sama. Dadanya memanas begitu saja.

77

Apalagi jika mengingat persaingannya dulu dengan lelaki
berstatus kazekage tersebut.

“Kau ... pernah menjalin hubungan dengan seseorang?” Satu detik
setelah pertanyaan itu terlepas dari lidahnya, Sasuke mengerang dalam
hati. Seandainya kata-kata bisa ditarik kembali, dia akan melakukan itu
sekarang juga. Pertanyaan itu terdengar begitu bodoh jika meluncur dari
bibirnya.

Tawa Sakura terhenti sepenuhnya. Dia menatap mata Sasuke lurus-
lurus. “Hmm ... tidak.”

Ada jeda beberapa detik yang terbentang untuk menarik napas.
Pertanyaan tadi sudah terlanjur diucapkan. Sia-sia saja kalau
pengetahuannya hanya sebatas Sakura tidak pernah menjalin hubungan
dengan siapa pun. Itu belum cukup. Maka, dia membuang gengsinya
jauh-jauh.

“Kenapa?” tanyanya dengan suara parau—antara ingin ditahan, tetapi
akhirnya terlepaskan.

Sakura mengulum senyum. “Kau mungkin tahu kenapa.”
Sasuke tidak tahu jelas alasannya. Jawaban Sakura ambigu. Jika dia
memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dia bisa saja berpikir bahwa Sakura
tak pernah berpacaran dengan siapa pun karena masih menunggunya,
karena masih cinta padanya. Sayangnya, Sasuke tidak memiliki
kepercayaan diri semacam itu. Yang dia miliki hanyalah rasa bersalah atas
rasa sakit yang sudah dia timbulkan pada gadis itu. Namun, dia masih
ingin tahu bagaimana perasaan gadis itu padanya sekarang.
Apakah kau masih mencintaiku? Pertanyaan itu menyangkut di
tenggorokannya dan siap diucap kapan saja. Namun, Sasuke masih
memiliki pengendalian diri yang cukup besar untuk tidak bertanya.
Tangannya terkepal di dalam saku celana. Giginya pun menggertak keras.
“Aku pernah berusaha untuk jatuh cinta pada orang lain.”

78

Perkataan tiba-tiba dari Sakura sukses membuat sekujur tubuh
Sasuke membeku. Dia menoleh ke arah Sakura dengan pergerakan paling
sigap untuk menyiratkan sebuah pertanyaan. Bibirnya terkatup rapat. Dia
tak punya nyali untuk bertanya dan untuk mendengar jawabannya.

Sakura memalingkan wajahnya dan melempar pandangan pada langit
yang dihiasi rembulan. Ada seulas senyum getir di garis bibirnya.

Dulu, rembulan adalah temannya berkeluh kesah. Sering kali dia
bergumam sendiri, mengatakan hal-hal yang ingin dia katakan kepada
Sasuke. Kata-kata yang disisipi isakan dan aliran air mata di pipi. Sambil
berharap, kalau memang pesannya tak mungkin sampai, dia hanya ingin
Sasuke tengah menatap bulan juga. Setidaknya arah pandang mereka sama.
Sekarang, lelaki yang selalu diucap dalam harapannya, dalam tangisnya,
tepat ada di sisinya. Hangat tubuhnya pun menguar sebagai penegasan
bahwa dia benar-benar ada.

“Naruto. Siapa lagi kalau bukan dia? Dia lelaki paling baik hati yang
kukenali. Dia berkorban banyak hanya untuk menepati janji. Ya, janjinya
padaku untuk membawamu kembali. Tak peduli seberapa tetes darah yang
harus terpaksa keluar dari tubuhnya. Tak peduli berapa banyak tulang
yang patah. Tak peduli bahwa ada kalanya hatinya sudah lelah. Dia terus
berusaha, demi aku. Bisa kau bayangkan seberapa besar rasa bersalahku
padanya setiap kali kuingat bahwa lelaki yang bisa kucintai hanya kau?
Sementara semua orang tahu, bahwa Naruto menaruh perasaannya padaku.
Setidaknya waktu itu.

“Bisik-bisik bahwa aku adalah gadis bodoh yang menyia-nyiakan
lelaki baik hati dan mengharapkan seseorang yang sangat, sangat sulit
digapai sampai ke telingaku. Selain bodoh, mereka bilang aku egois.
Bersikap sangat jahat pada Naruto karena membebaninya dengan janji.
Janji yang justru akan membuatnya tak akan pernah bisa bersamaku,

79

karena kalau kau ada, aku hanya ingin bersamamu, dan Naruto pun tak
akan tega memaksaku untuk bersamanya.

“Sampai kabar bahwa kau bergabung dengan Akatsuki kudengar, dan
Naruto masih ingin membawamu pulang, aku tak bisa lagi tenggelam ke
dalam fantasi cintaku. Naruto sudah berkorban banyak, dan kupikir waktu
itu adalah giliranku. Meski aku tidak berkorban nyawa, setidaknya aku
bisa mengorbankan perasaanku padamu. Aku tak peduli lagi akan seperti
apa rasa sakitnya. Asalkan Naruto berhenti memaksakan diri, aku akan
melakukannya. Maka, kunyatakan bahwa aku cinta padanya. Dan ... tidak
ada seorang pun yang percaya ... begitu pula aku. Bahkan Naruto melepas
tubuhku saat aku memeluknya, kemudian mengatakan bahwa dia tak suka
orang yang membohongi perasaannya sendiri. Aku menangis. Aku sadar
bahwa aku tak akan pernah bisa, sekalipun kuabaikan segalanya.”

Napas Sasuke tertahan di dalam tenggorokan. Bahunya menegang
dan sulit direnggangkan kembali. Sasuke entah harus merasa seperti apa.
Lidahnya kelu. Dia ingin bercerita pada Sakura. Mengatakan bahwa sejak
awal dia tak pernah bersikap lebih peduli kepada gadis selain dirinya.
Gadis itu sanggup menyadarkannya ketika kekuatan terkutuk dari
Orochimaru mengambil alih kendali tubuhnya. Dia pernah menyatakan
bahwa Sakura adalah sosok yang disayanginya dengan kata-kata: “Aku
tidak ingin kehilangan orang yang kusayangi lagi,” saat gadis itu terkena
serangan Gaara. Dia pernah meminta Naruto untuk melindungi Sakura
ketika dia mulai sadar bahwa dirinya tak sanggup. Dia pernah mendorong
diri hingga ke batasnya sampai jurus baru dari mata rinnegan-nya aktif
hanya untuk menyelamatkan Sakura. Setelah mengingat semua itu, dia
baru saja sadar betapa dirinya tidak seabai itu. Dan sikapnya yang satu ini
hanya tertuju pada satu perempuan: Haruno Sakura.

Semua kesadaran atas banyak hal yang berlalu membuatnya mengerti
akan perasaannya sendiri. Rasa peduli, khawatir, nyaman, rasa bersalah,

80

dan emosi sejalur lainnya, jika seluruhnya diakumulasikan, dapat disebut
dengan satu perasaan spesifik. Perasaan yang sudah sangat lama terkubur
di balik kebencian, dan muncul kembali ke permukaan semenjak dirinya
tertampar kenyataan akan adanya kesalahan besar dalam ideologinya
sendiri. Perasaan yang nyatanya sudah lama dia rasakan, tetapi baru
sanggup disadari. Perasaan cinta; yang seharusnya tidak asing jika dia ingat
bahwa klannya dipenuhi emosi macam apa.

Sasuke masih tak sanggup memandang Sakura di mata. Kata-kata
panjangnya sesekali mengiris jantungnya hingga terasa kebas. Dia sulit
percaya bahwa perasaan yang orang bilang manis itu justru malah
membuat gadis itu hancur sehancur-hancurnya. Ah, tidak. Itu bukan
salah cinta, tetapi salah dari orang yang dicintainya.

Jika Sasuke masih memiliki ego setinggi dulu, dia akan menyalahkan
Sakura karena memilih menaruh hati padanya. Namun, pemikiran itu
langsung karam ketika dia sadar bahwa dia yang jatuh cinta pada Sakura
pun terjadi sebelum dia memilih. Perasaan itu seolah-olah muncul dengan
cara paling natural, hingga Sasuke tak sadar sejak kapan, bagaimana, dan
mengapa. Mungkin bagi Sakura, semuanya pun terjadi dengan proses yang
serupa.

Sakura menggigit bibirnya kuat-kuat. Napasnya yang terputus-putus
disembunyikan di balik bekapan tangan. Tangan tersebut dikepal dan
ditaruh di atas bambu. Sekujur tubuhnya bergetar karena tak mendengar
atau mendapati respons apa pun dari Sasuke setelah dia berbicara panjang.
Apalagi, apa yang dikatakannya tadi merupakan hal yang begitu sensitif,
hingga Sakura merasa bodoh karena membiarkan semua itu terucap
semudah dia bernapas di udara terbuka.

“Ah, maaf. Aku terlalu banyak bicara, ya?”
Bohong jika Sasuke tak menangkap getaran familier di suara Sakura.
Dia cepat-cepat menoleh, dan hal yang diduga memang ada benarnya.

81

Setetes air mata mengalir di pipi kiri Sakura. Itu cukup membuat
jantungnya terasa diremas.

Tanpa keraguan, Sasuke menyentuh garis rahang Sakura hingga gadis
itu menoleh ke arahnya. Ujung jemarinya menelusuri garis tersebut,
hingga berhenti di dagu. Mata Sakura membulat karena sentuhan lembut
dari Sasuke. Jari telunjuk Sasuke memaksanya menengadah sedikit.
Kumpulan air yang nyaris jatuh dari pelupuk matanya seolah-olah
membeku.

Sasuke ingin mengatakan semuanya. Segalanya. Agar Sakura tahu
bahwa dia menyimpan sebuah perasaan asing untuknya. Agar Sakura tahu
bahwa cintanya tak lagi membuat dia seperti orang bodoh. Namun,
lidahnya kelu. Pita suaranya seakan disfungsi hingga tak ada satu frekuensi
pun suara yang keluar ketika dia membuka mulut. Kata-katanya
disalurkan melalui organ tubuh lain. Tangannya terangkat lagi dan
menyentuh pipi Sakura, menyejajarkan arah pandang keduanya.
Dikecupnya pipi Sakura yang basah, kemudian bibirnya mengeja sebuah
kalimat larangan tanpa suara. “Jangan menangis lagi.”

Dia menarik diri kembali. Tepat setelah sorot mata keduanya saling
mengunci, Sasuke menempelkan bibirnya pada bibir Sakura. Dia mencium
bibir Sakura lembut, membuncahkan semua kata yang mau dia ucapkan
serta seluruh isi hatinya melalui sebuah pengakuan sunyi.

Awalnya, ini terasa begitu asing sampai Sasuke ingin menarik diri.
Namun, dia tahu ini belum cukup. Sesuatu yang bergejolak di dadanya
sama sekali belum tersampaikan. Maka, dia memiringkan wajahnya untuk
mencari kenyamanan. Kaku masih menyelubungi apa yang tengah
dilakukannya. Ada pertentangan di batinnya untuk melakukan ini, atau
tidak melakukan itu. Dia mengabaikan segalanya. Panduan yang
diberlakukan dalam aksinya sekarang hanyalah intuisi. Dibiarkannya
ciuman ini mengalir begitu saja.

82

Intuisinya terus memberi indikasi, hingga akhirnya Sasuke sadar
bahwa dia mencium Sakura layaknya dia sedang tenggelam, sementara
Sakura adalah udara yang paling dibutuhkannya.

Kedua mata Sakura masih terbuka sepenuhnya. Apa yang dia lihat
kini adalah lentiknya rambut di setiap sisi mata Sasuke. Lelaki itu
memejamkan matanya erat sembari meninggalkan kecupan cepat secara
bertubi-tubi. Sakura masih pasif. Bibirnya masih kaku, seolah-olah organ
tubuhnya yang satu itu memiliki tulang. Dia sadar Sasuke sedang mencari
kenyamanan atas apa yang dia lakukan. Pergerakannya memberi tahu
Sakura bahwa dia sedang mencoba. Sakura mampu menerjemahkan
pesannya, ini adalah ciuman pertama—yang sesungguhnya—bagi Sasuke.

Intensitas dari ciuman Sasuke semakin naik. Sesuatu dalam dada
Sakura meleleh, meluruh, dan terjerang saat lidah mereka tanpa sengaja
saling bersentuhan. Saraf-sarafnya memberi isyarat bahwa yang tengah dia
rasakan kini merupakan hal yang baru. Perutnya bergejolak dan tergelitik,
seolah ada sesuatu yang menari-nari tanpa beban. Kelopak matanya
bahkan tak sanggup lagi terbuka untuk menerima sensasi yang tak
kunjung reda. Dalam diam, Sakura mencoba menjadi responsif. Dia
membalas ciuman Sasuke berdasarkan keamatiran yang dia punya. Ini
adalah ciuman pertama—ciuman yang sungguh-sungguh ciuman—bagi
Sakura juga.

Kalau tadi dia merasa bibirnya bertulang, kini dia justru merasa
sekujur tubuhnya tak memiliki sistem penopang sama sekali. Badannya
lumpuh, seluruh sarafnya tersita untuk menafsirkan rangsangan emosi ini.
Sebelum Sakura membiarkan tubuhnya meleleh akibat aura yang menguar
dari tubuh Sasuke, sebelum Sakura benar-benar merata dengan tanah
setelah mencair sebab sensasi yang bergerilya di sekujur tubuhnya, dia
menggerakkan tangannya untuk mencari pegangan. Pencariannya terhenti

83

ketika kedua telapak tangannya merangkum wajah lelaki yang tengah
menciumnya dengan lembut.

Kedua bibir berbeda pemilik itu saling bertaut dalam keselarasan.
Darah Sakura berdesir dengan aliran paling cepat ketika merasakan
lengkungan ke bawah pada bibir yang bertaut dengan bibirnya.

Sakura benar-benar mencintai Sasuke. Dia bertahan, masih, dan
tetap mencinta meskipun ada ratusan keburukan yang muncul akibat
perasaannya sebelum ini. Namun, cintanya memang sebuah set yang
dikirim tanpa syarat. Sakura tak pernah paham apa yang membuat dia
begitu mencintai lelaki ini. Cintanya jelaslah tak beralasan, layaknya
mentari yang membantu rembulan menyinari bumi.

Ciuman ini, afeksi ini, membuat Sakura melambung setinggi-
tingginya. Dia ingin yakin bahwa Sasuke merasakan hal yang sama dengan
bukti degupan jantung yang jauh lebih cepat daripada miliknya, yang kini
terasa di tangannya. Sakura tak ingin melepas tangannya dari dada
Sasuke—lokasi di mana jantungnya berada. Dentuman dari balik tulang
rusuk itu adalah pertanda adanya kehidupan, juga perasaan yang selama ini
terlalu takut untuk Sakura duga dan harapkan. Matanya terpejam semakin
erat dan membasah untuk mewakili kebahagiaannya.

Udara di dalam paru-parunya semakin menipis, terus-menerus
tercuri oleh Sasuke. Tanpa Sakura sadari, dia pun memberi efek yang sama
bagi Sasuke. Mereka saling melepaskan diri dalam diam. Tangan Sasuke
masih melingkari tubuh Sakura dengan posesif. Kening yang sebagiannya
tertutupi poni masih saling bertemu. Mendadak pipi Sakura diselubungi
suhu paling panas yang pernah ditoleransi tubuhnya tatkala menatap
sepasang mata berbeda warna di hadapannya. Bibirnya melengkungkan
senyum. Senyum yang muncul tanpa intruksi, yang datang sendiri
didorong nurani.

“Aku mencintaimu, Sasuke-kun.”

84

Sasuke mengeratkan pelukannya terhadap tubuh Sakura. Dia
menunduk, meletakkan kepala di lekukan lehernya. Aku juga cinta
padamu. Diciumnya nadi yang berdenyut di leher Sakura. Denyutan itu
terhenti sesaat. Sakura merasa dia meleleh seperti cokelat yang berada di
tengah genggaman ketika merasakan bibir Sasuke membentuk sebuah
senyuman di atas kulitnya.

Sakura masih mencintaiku. Sasuke memejamkan matanya erat-
erat. Sebenarnya hatinya terbuat dari apa?

Dekapan antartubuh itu melonggar. Sasuke-lah yang pertama kali
menarik diri. Namun, upayanya tidak berjalan lancar. Tekanan telapak
tangan Sakura di punggungnya semakin mengencang, seolah-olah tak
pernah mau melepasnya barang sedetik pun.

“Jangan,” bisiknya. “Jangan lepas. Tetaplah seperti ini lebih lama.”
Sasuke mengikuti permintaan Sakura. Dia tak melepas pelukannya.
Kalau tadi Sakura yang menyandar, kini Sasuke-lah yang ada di tempat
tersebut karena dia memutar posisi keduanya dengan tangan yang masih
melingkar. Sakura menjatuhkan kepalanya pada bahu Sasuke. Lelaki itu
menoleh dan menenggelamkan hidung ke dalam helaian merah muda
yang ditiupi angin malam. Tanpa sadar, mata keduanya terpejam dan
terbawa ke alam mimpi masing-masing.

85

7
Barisan Planet sebagai Saksi

Malam ketika Sasuke pertama kali menciumnya adalah malam yang
begitu istimewa bagi Sakura. Dia terlelap dalam pelukan Sasuke di malam
yang sama dan memiliki bunga tidur hidup bahagia bersama lelaki itu
selamanya. Saat matanya sudah terpejam, sebelum alam mimpi menarik
kesadarannya, Sakura memikirkan hal ini akan sepenuhnya mengubah
hubungan mereka. Mereka bukan sekadar rekan bepergian dan bisa
mengonfirmasi dengan “ya” apabila pertanyaan yang serupa dengan yang
dilontarkan Inari mengenai hubungan mereka disampaikan lagi oleh
seseorang.

Nyatanya tidak.
Tidak ada perubahan apa pun.
Pagi itu, Sakura terbangun sendiri dengan jubah yang sudah dia lepas
menyelimuti tubuhnya. Insting pertamanya mendorong untuk mencari
keberadaan Sasuke. Dia meregangkan tubuhnya yang terasa pegal karena
tertidur dengan alas yang keras. Selama melakukan itu, matanya
mendapati kepala Sasuke menyandar pada dangau. Dilihat dari sudut
pandang Sakura, lelaki itu tengah duduk di atas tanah.

86

Sakura menyapa Sasuke dengan “selamat pagi”, lantas dibalas dengan
ucapan yang sama. Tensi canggung terasa kuat terbangun di antara mereka.
Sakura merona lagi saat bayangan bibir Sasuke bergerak dalam harmoni
dengan bibirnya melintas dalam kepalanya. Dia mengalihkan pandangan
dari Sasuke, dan lelaki itu pun melakukan hal yang sama.

Kecanggungan itu sedikit demi sedikit menipis dan suasana di sekitar
mereka kembali terasa seperti biasanya. Selama berhari-hari, mereka bisa
membicarakan apa saja, tetapi tidak pernah soal ciuman itu, atau soal
pelukan di malam itu, atau soal malam itu sama sekali. Sakura belum
pernah bertanya secara langsung, tetapi dia ingat pernah membahas
kantong sampah yang tertinggal di dangau. Sasuke menanggapi dengan
pengalihan pembicaraan seolah-olah dangau itu tidak pernah
bersinggungan dengan mereka sama sekali.

Sejak dulu, Sakura sadar bahwa dirinya memang sensitif. Itulah
sebabnya dia merasa ada sesuatu yang janggal. Pikirannya yang muncul
sebelum dia terlelap di malam itu sama sekali tidak terealisasi. Semuanya
sama saja. Dia tidak masalah jika hanya semuanya sama saja. Namun, yang
membuatnya tidak nyaman dari hati yang tercubit adalah Sasuke tampak
enggan membahas apa pun, apa pun, yang terjadi di malam itu bahkan
yang tidak berkaitan dengan ciuman atau pelukan mereka sekalipun.

Rasanya sangat menyakitkan ketika sesuatu yang terjadi di antara
mereka di malam itu merupakan hal yang istimewa bagi Sakura, tetapi
tampaknya bagi Sasuke hal itu merupakan hal yang tidak ingin dibahas
atau bahkan ingin dia lupakan.

Sakura memang sempat menjadi naif. Dia tak pernah bertanya-tanya
dan terus menikmati kompilasi debaran jantung yang beralih menjadi
euforia tak berujung setiap kali menerima apa yang Sasuke lakukan atau
sekadar mengingatnya. Namun, kenyataan yang dia hadapi menghentikan
kenaifannya. Dia mendadak merasa gelisah. Sikap Sasuke padanya sebelum

87

dan dalam perjalanan ini begitu berbeda dan terasa lebih dari akrab. Dia
tak akan menjadi sesosok hipokrit yang menyangkal bahwa dirinya
memang menyukai apa yang lelaki itu lakukan padanya. Namun, dia takut
ini merupakan satu hal yang salah, atau kalaupun benar, di hari
mendatang akan membentuk sebuah kesalahan.

Sakura ingat Sasuke sangat jarang mendengar ketus dalam suara
lelaki itu semenjak perang dunia shinobi keempat berakhir. Sakura baru
saja sadar bahwa sikap ramah Sasuke tak hanya diberlakukan padanya.
Dalam perjalanan ini, dia pun menjadi saksi mata atas perubahan sikap
Sasuke yang kian baik setiap harinya.

Sakura memang tidak sepatutnya merasa dirinya memiliki tempat
spesial di dalam hati Sasuke jika mengingat hal tersebut. Mungkin
memang ada tempat untuknya, sebagai anggota Tim Tujuh, sebagai
orang-orang yang paling dekat dengan Sasuke, bahkan Sasuke sendiri yang
mengungkap bahwa dia merasakan sebuah ikatan layaknya keluarga di
Tim Tujuh. Barangkali hanya sebatas itu. Tidak lebih. Namun, sebuah
ciuman di bibir, dekapan hangat sepanjang malam, dan hidung yang
ditenggelamkan ke dalam helaian rambut jelas sekali menyatakan bahwa
tempat di hati Sasuke untuknya lebih dari itu, tetapi Sakura terlalu takut
berharap.

Kebisuan Sasuke dalam membahas hal ini adalah sebuah senyawa
yang membuat Sakura resah. Hipotesis-hipotesis merangkak ke dalam
benaknya. Semuanya nyaris membuat risau. Dia sudah tak berani
berasumsi bahwa Sasuke merasakan emosi yang sama sepertinya. Itu
merupakan kemungkinan terjauh—terlalu jauh—sampai-sampai dia
terlalu gamang untuk meraihnya apabila memikirkan setinggi apa dia
harus melompat.

Sakura mengenyahkan dan mengesampingkan segala pikiran dan rasa
sakit yang mengganggunya. Di perjalanan ini hanya ada mereka berdua,

88

tak bisa dibayangkan jika muncul masalah di tengah-tengah mereka. Dia
mengingat ucapan selamat yang Sasuke berikan pada Naruto melalui
dirinya; dia bisa saja menerima itu sebagai cara implisit dari Sasuke untuk
menunjukkan bahwa mereka berpasangan. Setelah itu terjadi, hubungan
mereka masih baik-baik saja. Mereka masih seperti rekan satu tim yang
sudah akur setelah pertengkaran hebat. Jika dia bisa bertindak seperti
biasanya setelah hal itu, dia meyakinkan diri bahwa sekarang pun pasti
akan bisa.

Perjalanan yang ditempuh sudah cukup lama untuk membuat
mereka mencapai ujung paling selatan dari Negara Teh. Pantai yang
terpampang di sejauh mata memandang adalah titik akhirnya. Sakura
melepas sepatunya agar dapat merasakan hangatnya pasir pantai di pagi
menjelang siang. Ini adalah pantai pertama yang mereka temui setelah
perjalanan menempuh dua perbatasan antarnegara.

Tidak banyak kata yang ditukar di antara Sasuke dan Sakura. Sakura
melangkah menuju pesisir begitu saja. Jubah sudah disimpan menutupi
segala perbekalannya. Dia menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang
dan memastikan apa yang tengah dilakukan Sasuke. Apabila disimpulkan
dari menit-menit yang dia lewati dengan berdiri di pesisir basah sendiri,
Sasuke menetap di belakangnya dan mungkin sedang menjaga perbekalan
mereka karena pantai ini cukup diramaikan banyak orang.

Mengambil risiko pakaiannya akan turut basah dan ditempeli oleh
pasir, Sakura duduk berselonjor. Kakinya merasakan empasan ombak yang
kian mengecil ketika semakin mendekat pada daratan. Hal itu
dilakukannya berkali-kali. Di saat itu juga, dia menyadari bahwa berdiam
dan mengosongkan pikiran sembari menikmati alam malah membawa
pikiran-pikiran yang berusaha dikuburnya.

Dada Sakura membumbung karena banyaknya udara yang dia hirup.
Kedua kakinya ditekuk dan ditempelkan pada dada. Kepalanya yang

89

mendadak berdenyut-denyut nyeri ditenggelamkan ke sana. Sapaan air
pada kakinya masih terasa dan perasaan nyaman yang timbul karena itu
sempat menjadi pengalihan sejenak baginya. Dia terus menunduk dan tak
lagi menatap ke depan sampai lehernya terasa pegal.

Tiba-tiba dia merasakan satu tangan melingkari perutnya dan
menariknya mundur dengan tenaga yang besar. Seretannya jauh. Napas
Sakura tertahan di dada selama itu terjadi sebagai respons alamiah dari
tubuhnya yang terkejut. Dia memekik.

Sebelum menoleh ke belakang dan mencari tahu apa yang terjadi,
matanya menangkap gulungan ombak yang baru mengecil di posisinya
sekarang. Apabila dia masih duduk di tempat sebelumnya, tubuhnya pasti
sudah diempas dan digulung oleh ombak yang tiba-tiba meninggi.
Sasuke-lah yang menyelamatkannya. Tangan lelaki itu masih memeluk
perutnya.

“Hati-hati, Sakura. Perhatikan kondisi sekitarmu,” ucap Sasuke.
Sakura yang masih dilanda keterkejutan hanya bisa mengangguk.
Pantai ini memiliki karang-karang kecil di antara pasir-pasir cokelat yang
terbentang. Tubuh yang tergulung ombak, paru-paru yang tersedak air
laut, dan kulit yang tergores karang pasti akan menyakitkan. Sapuan
ombak kecil menyapa kakinya lagi. Terasa perih. Dia mencari tahu kondisi
kakinya dengan cara menariknya sampai tiba di titik pandang dirinya dan
Sasuke. Tumitnya berdarah. Jika dilihat dari bentuknya, luka itu timbul
karena tergores karang. Mungkin terjadi saat Sasuke menariknya dengan
tergesa-gesa tadi.
“Kakimu terluka,” kata Sasuke sembari mengusap bagian di sekitar
lukanya. Dia mengangkat dagu dan menatap lurus ke wajah Sakura. “Kau
bisa menyembuhkannya, ‘kan?”
Lagi-lagi, Sakura hanya bisa mengangguk. Dia segera mengaktifkan
cakranya dan mengarahkan tangannya pada lukanya. Luka itu tertutup

90

dalam hitungan detik. Saking fokusnya pada proses mengobati diri sendiri,
Sakura tidak sadar bahwa tangan Sasuke masih memegangi kakinya. Saat
dia melirik ke arah lelaki itu, raut khawatir melintang di wajahnya.

Sakura memegang tengkuknya karena merasa rikuh. Dia
menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan tersenyum tipis ke arah
Sasuke.

“Terima kasih. Aku baik-baik saja.”
Sasuke mengembuskan napas panjang. “Apa yang kaupikirkan?”
“Eh?” Mata Sakura melebar. “Aku cuma mau menikmati bersantai di
pantai, kok.”
Desahan panjang lepas dari Sasuke lagi. Dia menggeleng kecil.
Maksud dari pertanyaannya bukan alasan Sakura dalam posisi tadi, tetapi
apa yang gadis itu pikirkan sampai tidak sadar ada ombak yang nyaris
menggulung dan menyeretnya. Dia tidak berniat memperpanjangnya.
“Sebaiknya kita bersiap-siap ke pelabuhan,” kata Sasuke. Nada final
dan tidak menerima bantahan.
Sakura mengangguk dan segera berdiri. Dia menepuk-nepuk bagian
tubuhnya yang ditempeli pasir basah. Tanpa mengatakan apa pun pada
Sasuke, dia berjalan menuju perbekalan mereka dan mencari pakaian ganti.
Kakinya dilangkahkan menuju tempat yang disediakan untuk mengganti
pakaian atau membersihkan diri.
Tatapan Sasuke terus tertuju pada Sakura dari pergerakan demi
pergerakan yang dilakukannya sampai gadis itu menghilang dari
pandangannya. Dia mengembuskan napas panjang untuk yang kesekian
kalinya. Sikap Sakura tampak sama seperti biasanya, tidak ada yang
berubah, tetapi Sasuke merasa berjarak secara emosional dengan gadis itu.
Dia menyadarinya, tetapi tidak bisa mengejakan apa sebabnya. Jika ingin
mempertanyakan, dia pun tidak memiliki dasarnya. Dia sadar dirinya

91

hanya bisa pasrah atau mengenyahkan sesuatu yang mungkin tidak terlalu
perlu untuk dipikirkan dan didalami.



Dengan kondisi kabin mereka yang terpisah, Sasuke semakin jarang
melihat Sakura. Kadang-kadang mereka berpapasan di geladak, kemudian
Sakura akan melanjutkan urusannya sendiri yang dia tidak ketahui apa.
Mereka hanya akan bertemu saat makan bersama, dan setelahnya Sakura
tidak akan mengikatkan diri padanya.

Kadang-kadang Sasuke bertanya-tanya, tetapi otaknya menjawab
sendiri. Mereka sudah bersama-sama dalam jangka waktu yang cukup
lama, mungkin saat ini Sakura sedang membutuhkan waktu untuk dirinya
sendiri. Meskipun sadar akan hal itu, Sasuke tidak akan menyangkal
bahwa dia merindukan kebersamaannya dengan Sakura. Dia merindukan
senyum Sakura. Dia merindukan tawa Sakura. Dia merindukan Haruno
Sakura seutuhnya.

Setelah memendamnya sejak perjalanan menuju Negara Laut, lantas
singgah di sana selama beberapa hari, dan dilanjutkan kembali dengan
pelayaran panjang menuju Negara Air, Sasuke akhirnya memutuskan
untuk menindaklanjuti rasa rindunya. Dia memikirkan satu alasan yang
tidak akan terasa dibuat-buat. Dalam kondisi terbaring di atas tempat
tidur dalam kapal, dia tidak bisa terlelap karena otaknya sibuk untuk
memproses sebuah akal. Jenuh mulai menyerangnya saat jalan yang
ditempuhnya selalu buntu. Dia butuh udara segar.

Dinginnya angin laut di bulan Oktober menusuk tulang meskipun
jubah sudah dipakainya. Tangannya membentuk segel agar tubuhnya
memproduksi api kecil dari dalam dengan tujuan menangkal dingin dari
luar. Udara yang mestinya terasa tajam saat dihirup kini bisa teratasi

92


Click to View FlipBook Version