The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

berkat jurusnya. Dia menengadah ke langit, lantas tatapannya beralih ke
permukaan laut.

Sebentar lagi matahari akan terbit dan timbul dari cakrawala. Arah
pandang Sasuke tertuju pada langit lagi. Angin meniup rambutnya hingga
tak ada sehelai pun yang menutupi mata. Mata hitam dan rinnegan-nya
menangkap semua yang lurus dengan titik terjauh matanya. Sekelebat ide
memenuhi pikiran Sasuke. Tanpa mempertimbangkannya sama sekali, dia
berjalan menuju kabin Sakura dan mengetuk pintunya.

Kenop pintu yang diputar dari dalam membuat jantung Sasuke
meronta-ronta. Pintu yang terbuka menampilkan Sakura yang tengah
menyugar rambutnya. Matanya masih sayu. Gadis itu menutup mulut saat
menguap. Binar yang biasa timbul saat bertemu dengannya tidak ada di
kedua mata hijaunya.

“Ada apa, Sasuke-kun?” Sakura menguap lagi. “Ini bahkan belum
pagi.” Dia mengucek matanya. Saat tampak sudah terjaga sepenuhnya,
matanya melebar. “Apakah kau terluka?”

Sasuke mendengus. “Tidak.” Dia termenung sejenak memikirkan
Sakura yang menduga dirinya membangunkan gadis itu hanya karena
membutuhkan kemampuan medisnya.

“Lalu ada apa?”
Sasuke menggigit bagian dalam pipinya. Dia menarik napas untuk
mengumpulkan keyakinan.
“Ambil jubah atau pakaian hangatmu.”
“Huh?”
“Lakukan saja. Ada yang ingin aku perlihatkan padamu.”
Sakura tampak menimbang-nimbang. Dia menatap kakinya yang
berayun-ayun. Kedua tangannya dibuka dan dikepal secara berulang-ulang.
Sasuke mendecak.
“Cepatlah,” tuntutnya.

93

Kedua alis Sakura naik. Dia mendesah. “Baiklah. Tunggu sebentar.”
Dalam waktu kurang dari lima menit, Sakura sudah keluar dari
kabinnya mengenakan sebuah mantel berwarna merah dengan bulu di
sekitar lehernya. Dia menekuk lehernya untuk menenggelamkan telinga
ke dalam jaket agar terlindung dari dingin. Kedua tangannya masuk ke
dalam saku. Apabila tangan itu menjuntai, Sasuke akan menggenggamnya
untuk membagi kehangatan yang dia miliki.
Langkah Sasuke berhenti di pinggir kapal. Sakura sama sekali tidak
terkesan. Tidak ada yang bisa dilihat selain pemandangan langit yang
setiap malam dia temui. Kakinya diketuk-ketuk pada lantai geladak, tidak
sabar menanti Sasuke menyampaikan apa yang ingin ditunjukkan.
“Apa?” Sakura menyuarakan ketidaksabarannya pada akhirnya. Dia
menatap Sasuke dengan wajah yang ditekuk. Dia terpaksa terbangun jauh
lebih pagi daripada biasanya dan menerjang dinginnya fajar demi ini.
Sasuke menggerakkan kepalanya ke kiri saat berhadapan dengannya
seolah-olah memberi instruksi. Matahari mulai terbit dari cakrawala.
Tatapan Sakura terkunci ke sana. Dia terkesima. Sang surya terus naik
sampai tidak terpotong garis langit dengan laut lagi. Sakura meniupkan
karbon dioksida dari mulutnya yang membentuk uap. Dia merapatkan
tangannya pada tubuh karena dingin semakin membuatnya kewalahan.
Saat dia hendak berbalik dan kembali ke kabin, Sasuke memegangi
lengannya.
“Bukan itu yang mau aku tunjukan.” Sasuke melepas pegangannya
saat Sakura kembali ke posisi semula. Tangan Sasuke bergerak
membentuk garis dari satu cahaya bulat di dekat cakrawala sampai yang
berada nyaris di atas kepala. Lima bulatan besar dengan ukuran
bermacam-macam berjejer membentuk garis.
“Venus, Merkurius, Jupiter, Mars, dan Saturnus,” ucap Sasuke
sembari menunjuk bulatan-bulatan cahaya itu dari yang posisinya di

94

bawah sampai yang teratas. “Ini hanya terjadi beberapa kali dalam satu
tahun.”

Sakura terdiam. Dengan desiran darah yang deras menuju dadanya,
dia tahu dirinya telah jatuh cinta lagi pada Sasuke untuk yang kesekian
kali. Dadanya terasa penuh, nyaris membuncah, dan gumpalan air di
kelopak mata membuat matanya berkaca-kaca. Dia tidak bisa berkata-kata.
Dia mengeluarkan tangannya dari saku, mengabaikan dingin, dan
membentuk garis dari susunan planet yang berjajar. Memikirkan Sasuke
masih terbangun dan sengaja membangunkannya demi ini membuat
hatinya terenyuh dan perasaannya melambung.

Sasuke meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. Hangat.
Jauh lebih hangat daripada yang dia kira. Mereka saling bertatapan.
Ekspresi lembut di wajah Sasuke membuatnya luluh. Dia hanya bisa diam
ketika Sasuke memajukan wajahnya dan menyatukan bibir mereka berdua.

Kehangatan yang sebelumnya hanya mengalir dari tautan tangan
mereka kini terasa dari mulut Sakura dan nyaris mencapai setiap inci di
tubuhnya. Dengan hilangnya dingin yang menusuknya, dia menarik keluar
sebelah tangannya yang masih berada di dalam saku dan diletakkan di
punggung Sasuke untuk memeluknya.

Ciuman itu terputus dengan Sakura yang menarik diri. Tiba-tiba
dadanya dihantam rasa nyeri. Dengan terjadinya hal ini, dia harus
menyesuaikan diri dan semuanya mesti dimulai dari awal lagi. Sekujur
tubuhnya terasa lemas. Air mata yang tertahan di kantong matanya kini
mengalir karena membayangkan sakit yang dipendam sendiri secara
berulang-ulang kali, dan mungkin ini akan terjadi lagi suatu hari nanti.

“Apakah ini akan sama seperti sebelumnya? Kita tidak akan
membahasnya seolah-olah tidak pernah terjadi dan tidak berarti apa-apa?”
Sakura menggigit bibir. “Ciuman ini berarti bagiku. Istimewa untukku.
Tapi sepertinya bagimu … itu bukan apa-apa ….”

95

Sasuke tertegun. “Sakura …”
Sakura mengembuskan napas keras-keras. Dia memejamkan mata
dan menunduk, menghindari pandangan yang bertumbukkan dengan
Sasuke. Salah satu tangan yang terkepal di atas jahitan celananya terangkat
dan menepis tangan Sasuke yang mencengkeram bahunya.
“Apa arti diriku untukmu, Sasuke-kun?” Kedua matanya terbuka dan
menyalang penuh emosi. Dia sudah tak bisa menyimpan semua ini sendiri.
Sasuke cukup terkejut dengan tanggapan Sakura kali ini. Apalagi, dia
mendapati adanya air mata yang terus jatuh.
Sasuke membeku. Suaranya hilang entah ke mana. Bahkan jika
suaranya masih ada, rasa-rasanya akan tetap percuma karena otaknya pun
tak sanggup memberikan jawaban. Wajahnya masih tenang ketika
menatap Sakura yang berapi-api. Dari dulu sampai sekarang, dia masihlah
sosok yang pintar dalam menyembunyikan emosi, meskipun emosi
bingung sekalipun.
Melihat Sasuke yang masih datar-datar saja, Sakura jadi salah
persepsi. “Semua itu tidak ada artinya, ya? Aku sudah tahu. Seharusnya
aku memang tidak mengharapkan lebih. Aku tahu itu hanya sandiwara
untuk menghiburku, ‘kan?”
Kali ini Sasuke tak sanggup menyembunyikan emosinya lagi. Kedua
matanya melebar karena dikejutkan oleh penuturan Sakura yang terdengar
tak masuk akal di benaknya. Sandiwara, katanya? Dia kembali mencari
mata Sakura dan menatapnya lurus-lurus. Wajahnya sudah merah dengan
air mata membasahi pipi. “Sakura, apa—”
“Mungkin kau merasa bersalah atas cerita tentang aku yang berusaha
mencintai orang selain dirimu waktu itu.” Suaranya semakin bergetar. Dia
mengusap wajahnya dengan kasar untuk menghapus air mata. Tubuhnya
bergidik, tapi bukan karena embusan angin dingin.
“Sakura—”

96

“Aku tahu aku memang tak berarti apa-apa untukmu. Maaf, aku
malah membebanimu dengan cerita yang mungkin sebenarnya tak ingin
kau dengar sama sekali.” Tubuh Sakura semakin bergetar. Isakan-isakan
mulai terlepas dari bibirnya. Dia membekap mulut, mencoba menahannya,
tetapi tak mampu. Tangis yang selama ini dia simpan sendiri sudah tak
bisa ditahan lagi. Layaknya gunung yang sudah lama tidak meletus dan
ketika datang hari untuk harus meletus, letusan yang terjadi akanlah
sangat dahsyat. Sama halnya dengan tangis Sakura.

“Kau—”
“Lupakan saja soal aku bilang bahwa aku mencintaimu.” Sakura
merasakan tangan Sasuke memegangi lengannya. Namun, dia
mengabaikan Sasuke yang hendak menanggapi kata-katanya. Dia takut
mendengarnya. Dia sangat-sangat takut tersakiti lebih daripada ini.
Rasanya semuanya sudah cukup. “Aku pun akan berusaha—”
“SAKURA!” Emosi sudah mengendalikan Sasuke hingga dia
membentak Sakura untuk yang pertama kalinya. Cengkeraman tangannya
pada lengan Sakura mengerat hingga gadis itu melepas sebuah engah.
Lupakan saja, katanya? Sasuke sama sekali tak mau melupakan hal itu.
“Hentikan semua omong kosong itu!”
Tangis Sakura semakin pecah. Dia mencoba mengenyahkan tangan
Sasuke dari lengannya. Namun, tenaganya seolah-olah hilang. Bahkan
untuk hal sekecil itu pun dia tak mampu sekarang.
“Lantas apa maksudmu, Sasuke-kun! Katakan padaku agar aku
mengerti. Aku tidak bisa seperti ini terus. Ini—ini benar-benar
menyiksaku ….”
Sakura menundukkan kepalanya dalam-dalam. Wajahnya
ditenggelamkan ke dalam kedua telapak tangan. Frekuensi getaran di
tubuhnya semakin besar.

97

Sasuke kehilangan suaranya lagi. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu,
Sakura. Dua kata tersebut tersendat di tenggorokannya. Ketika dipaksa
agar terdorong kembali, kalimat penuh arti tersebut hanya sampai di
ujung lidahnya. Dia tak bisa mengatakannya, tapi sangat ingin
menyampaikannya. Maka, tangannya merambat ke punggung Sakura dan
menariknya mendekat. Ketika sudah cukup dekat, dia mengenyahkan
kedua tangan gadis itu dari wajah. Wajahnya dimajukan hingga jarak antar
ujung hidungnya dan ujung hidung Sakura semakin menipis. Namun,
ketika satu sentimeter udara kosong menjembatani bibir keduanya, Sasuke
merasakan dadanya tersentak oleh sebuah dorongan keras hingga kakinya
ikut mundur. Dorongan dari telapak tangan Sakura.

“Apa yang—”
“Jangan lakukan itu lagi!” Sakura meraung keras. Isakan membuat
suara dan napasnya tersendat. Dalam hati dia menggerutui sikapnya yang
selalu menjadi seorang gadis cengeng setiap kali berhadapan dengan
Sasuke. “Kumohon, Sasuke-kun, aku sudah tidak sanggup lagi ... aku tak
mau berspekulasi lagi dan bertanya-tanya apakah asumsiku benar atau
tidak ….”
Sasuke masih tak mampu bicara. Bibirnya masih terkatup rapat.
“Kenapa ... kenapa kau selalu diam?”
Dalam hati, Sasuke merutuki dirinya sendiri karena otak tangkasnya
selalu berjalan lambat untuk menghadapi hal-hal seperti ini.
“Lupakan saja semuanya. Yang terjadi malam ini, di malam itu,
semuanya. Agar perjalanan ini tidak tertunda karena apa pun.”
Sakura menjauhkan diri dari tangan Sasuke dan memutar tubuh. Dia
berjalan menuju kabin dan meninggalkan Sasuke di belakang.
Pergerakannya terhenti ketika merasakan genggaman di pergelangan
tangannya. Dia tak berani menoleh karena tak ingin memamerkan air
mata yang masih mengalir deras pada Sasuke.

98

Sasuke meneguk ludahnya dengan sulit. Napasnya diatur hingga
senormal mungkin. Detak jantung yang berdebar dengan keras berusaha
dinetralisasi, tetapi gagal. Dia membuka mulut dan berusaha untuk
bersuara. “Sakura, aku …”

Sasuke menggigit lidahnya dan memaksa diri untuk berbicara. Aku
mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku ... “...
mencintaimu.”

Sasuke mengembuskan napas lega. Namun, debaran jantungnya
malah semakin tidak keruan. Dia tak percaya dirinya berhasil
mengucapkan kata yang selalu tersendat di tenggorokan setiap kali
melihat Sakura. Yang pertama memang selalu yang tersulit. Sasuke merasa
dadanya telah kehilangan beban terberatnya, rasanya akan lebih mudah
jika dia mau mengatakannya lagi, dan dia memang sangat ingin
mengatakannya lagi.

“Aku mencintaimu, Sakura.”
Telinga Sasuke sanggup mendengar isakan Sakura yang semakin
mengencang. Dia mendapati lutut gadis itu bergetar hebat. Ditariknya
tubuh Sakura hingga tangannya bisa melingkari tubuh gadis itu. Air
matanya membasahi jubahnya.
Sakura masih terus menangis keras. Proklamasi cinta dari Sasuke
sama sekali tak cukup untuk menghentikan tangisnya. Hal itu malah
membuatnya jauh lebih emosional dan menangis semakin kencang.
Namun, tangis tak membuat otaknya buntu.
Ada satu hal yang membuat pengakuan cintanya pada Sasuke berbeda
dengan yang dituturkannya pada Naruto. Bagaimanapun keadaannya, saat
mengatakannya pada Sasuke, jantungnya akan berdebar dengan sangat
kencang, berbeda dengan saat mengatakannya pada Naruto yang tak
memacu adrenalin pada pompaan jantungnya. Itulah yang membedakan
pengakuan cinta yang sebenarnya dan yang tidak. Maka, dia perlu

99

mendengar detak jantung Sasuke ketika lelaki itu mengatakan bahwa dia
mencintainya. Dia ingin tahu apakah ini sandiwara atau bukan.

Sakura menyentuh dada Sasuke tepat di jantungnya. “Ka-katakan
lagi,” isaknya lirih. Dia merasakan tangan Sasuke memeluk tubuhnya
semakin erat, seolah mengerti bahwa lututnya sudah melemah dan tak
sanggup lagi menopang tubuhnya untuk berdiri.

“Aku mencintaimu.” Debaran yang terasa di tangan Sakura
mengencang dengan drastis. Air matanya mengalir dengan deras lagi tanpa
bisa ditahan. Ini nyata. Ini bukan sandiwara. Sakura memercayai Sasuke
kali ini. Dia benar-benar memercayainya. Pikirannya selama ini ternyata
salah. Buktinya sudah terasa sendiri di telapak tangannya. Kemudian, dia
merasakan Sasuke mengecup pucuk kepalanya. “Aku ingin bersamamu,
Sakura.”

Tak ada lagi yang bisa membuat Sakura ragu untuk mengangguk
menyetujui. Kecupan Sasuke di kepalanya terasa lagi. Begitu lama, dalam,
dan Sakura terlarut ke dalamnya.

Kini dia tahu bahwa mereka sama-sama saling jatuh cinta.

100

8
Dalam Dekapan

Tidak ada lagi celah untuk kerinduan pada Sakura kembali menyusup
ke dalam dada Sasuke. Sakura sudah tidak membatasi diri dan mereka
nyaris menghabiskan waktu bersama. Mereka berbagi cerita, meskipun
terkadang mengulang apa yang sudah disampaikan di surat. Sakura pernah
bilang, “Kalau diucapkan secara langsung, rasanya lebih nyaman.” Sasuke
menyetujuinya meskipun dia bukanlah lelaki yang berbekal kata.

Perlayaran menuju Negara Air begitu panjang karena melintasi
samudera. Menurut informasi dari penumpang kapal yang sudah sering
melakukan perjalanan bolak-balik dari Negara Laut ke Negara Air, waktu
tempuh yang dibutuhkan seharga kurang lebih dua bulan. Melewati
musim dingin di atas laut memang bukanlah suatu pilihan yang tepat.
Namun, mereka sama-sama merasa selama keduanya masih berada di sisi
satu lain, mereka sama-sama aman dan nyaman, setiap detik yang dilewati
dalam udara menusuk tetaplah berharga.

Nyaris setiap malam mereka tidur larut malam karena terus
menghabiskan waktu bersama. Entah dengan berbagi cerita, tetap menjaga
pembicaraan agar tetap berjalan, atau hanya berbaring dengan kepala
bersebelahan dan mengelus rambut satu sama lain. Saat kantuk sudah

101

memaksa tubuh, Sasuke akan beranjak dan kembali ke kabinnya sendiri
untuk membiarkan Sakura dan dirinya sendiri istirahat. Mereka masih
punya waktu tak terbatas untuk dilewati berdua.

Malam itu, Sakura berbaring dengan kaki menggantung di sisi kiri
ranjang, sementara Sasuke berada di arah yang sebaliknya, kakinya
menggantung di sisi lainnya. Kepala mereka saling bersebelahan. Sakura
menoleh yang dibersamai oleh pergerakan yang serupa dari Sasuke. Gadis
itu tersenyum sebelum saling menyentuhkan hidung mereka. Tawa manis
lepas dari bibirnya setelah itu terjadi. Sasuke sama sekali tidak bisa
menahan diri dari senyum.

Mereka tidak banyak berbicara. Kadang-kadang, menikmati
kebersamaan dalam diam saja sudah cukup. Sakura menyugar rambut
Sasuke hingga tak ada sehelai pun yang menutupi wajahnya. Pipinya
sontak memerah dan dadanya berdentum lebih keras. Dia terkikik,
memecahkan keheningan di antara mereka berdua.

“Apakah kau pernah melihat dirimu sendiri di cermin, kemudian
berkata, ‘Wow, kau tampan sekali!’ pada refleksimu sendiri?”

Sasuke mendengus geli mendengar pertanyaan Sakura. Dia
mengecup bibir gadis itu dengan kondisi bibirnya sendiri membentuk
tawa. Tawa Sakura yang turut timbul terasa di tautan bibir mereka.
Gelakannya semakin lepas saat ciuman mereka terputus.

“Kalau kau bertanya begitu, kau pasti pernah melakukan hal tersebut
pada dirimu sendiri tetapi menggunakan ‘cantik’ sebagai kata pengganti,”
kata Sasuke dengan nada datar, meskipun maksudnya adalah mengejek.

Sakura melotot. Dia memukul bahu Sasuke pelan-pelan. “Diam,
Sasuke-kun!”

Dengusan geli timbul dari hidung Sasuke lagi. “Sudah terjawab.”
Sakura mencebikkan bibir. Dia menonjok bahu Sasuke lagi. Sasuke
mengusap bahunya.

102

“Yang satu itu sakit,” keluh Sasuke.
“Oh,” desah Sakura. Alisnya turun. “Maaf, aku tidak bermaksud.”
Sasuke meraih tangan Sakura dan mengelus punggung tangannya
menggunakan ibu jari. “Kau harus hati-hati atau suatu hari nanti kau
menghancurkan barang milikmu sendiri.”
“Err ….” Wajah Sakura memerah. Dia mengalihkan pandangannya.
Sasuke menggeleng-geleng. “Sudah kuduga. Itu sudah pernah
terjadi.”
Tawa canggung menjadi pilihan Sakura untuk menanggapi kata-kata
Sasuke.
Mereka jatuh ke dalam keheningan lagi. Mata mereka saling
mengunci dan saling mendalami. Tangan Sakura mengusap rahang Sasuke
yang tajam, kemudian menyusuri tulang pipinya yang tegas. Sasuke masih
setia mengusapi rambut Sakura.
Sentuhan pada Sasuke dihentikan ketika Sakura harus menutup
mulutnya untuk menghalangi mulut yang terbuka karena menguap.
Kelopak matanya terasa turun, tetapi dia mencoba menahannya karena
tahu kantuk akan mengakhiri waktu bersama mereka malam ini.
Sasuke mengusap kepala Sakura untuk yang terakhir kali. Dia
beranjak dan mengacak rambut Sakura dalam posisi duduk.
“Istirahatlah,” ucapnya sembari beringsut ke ujung kasur dan hendak
berdiri.
Langkah yang diambil Sasuke begitu lambat. Hal tersebut membuat
Sakura merasa bahwa Sasuke pun menyayangkan waktu bersama mereka
yang harus berakhir. Setelah berbagai macam pertimbangan berkeliaran di
kepalanya, dia memegang lengan Sasuke dan menahan lelaki itu untuk
melangkah lebih jauh.
“Hmm ... kasur ini cukup besar untuk dibagi bersama.”
“Hn?”

103

Sakura mendecak. Apakah dia harus mengatakannya secara eksplisit
sampai Sasuke mengerti maksudnya? Seharusnya ini pun tak masalah bagi
Sakura. Sebelum ketegangan terjadi, mereka pernah tertidur di dalam
pelukan satu sama lain sepanjang malam. Namun, anehnya Sakura masih
gugup.

“Barangkali berjalan ke kabin terlalu dingin dan kau mungkin saja
bisa flu ….”

Sasuke tak perlu kata-kata lagi. Sudut bibirnya tergelitik. Dia lekas
duduk di samping tempat tidur.

Sakura menggeser tubuhnya untuk Sasuke. Dia memiringkan tubuh
ke arah Sasuke ketika kasur terguncang, menandakan ada seseorang yang
berbaring di sampingnya. Senyum manis yang dia tujukan untuk Sasuke
kembali lagi.

Sasuke menyelipkan helaian rambut yang mengotori wajah Sakura ke
belakang telinganya. Ditatapnya wajah gadis itu yang masih saja berseri-
seri saat berhadapan dengannya. Dia melingkari tangannya pada tubuh
Sakura. “Tidurlah, Sakura.”

Sakura mengangguk. Dia mengecup pipi Sasuke. Kedua tangannya
melingkari tubuh Sasuke. “Selamat malam, Sasuke-kun.”

“Selamat malam, Sakura.”
Tak butuh waktu lama hingga keduanya benar-benar terlelap.
Sejak kejadian tragis menimpa klannya, Sasuke sering dihantui
mimpi buruk, bahkan sampai tiga hari ke belakang. Namun, malam ini,
mimpi buruk tak mendatanginya lagi. Dia merasa nyaman dengan
keberadaan Sakura, dan merasa lega karena gadis itu dalam kondisi baik-
baik saja tepat di sisinya.

104

9
Jawabannya Satu

Jejak yang sebelumnya mendarat di atas lantai kayu geladak kapal
kini mengalami sebuah transisi pada pijakannya. Kedua pasang kaki
tersebut akhirnya menginjak tanah kembali setelah berbulan-bulan berada
di atas kapal.

Sakura menunduk dan membaca peta, memercayakan pandangan ke
depan pada Sasuke. Dia yakin jika kakinya tersandung karena tak menaruh
atensi pada jalanan pun, Sasuke pasti akan tetap membuatnya berdiri di
atas kedua kakinya kembali. Jari telunjuk Sakura bernavigasi pada satu
titik di peta. Dia menyenggol tulang rusuk Sasuke menggunakan sikunya.
Akhirnya dia mengangkat kepala dan menoleh ke sampingnya.

“Jadi, kita ada di sini sekarang?” tanyanya, lebih ke retoris.
“Jika petanya tidak salah, maka iya.”
Sasuke mengangkat dagunya kembali ketika peta di tangan Sakura
digulung. Dia menjawab isyarat Sakura dengan cara memiringkan tubuh,
sedikit memunggunginya untuk memberi akses pada tempat menyimpan
peta sebelumnya.
“Padahal aku sedikit mengharapkan bisa melihat pantai lagi,” ungkap
Sakura setelah melempar pandangan pada lingkungan sekitar. Panorama

105

yang terekam ke dalam retinanya hanyalah puluhan kapal yang berlabuh di
sisi perairan. Ketika melempar pandangan lebih jauh, yang dia dapati
hanyalah gulungan ombak besar yang berdebur pada kaki tebing.

“Di Negara Air pasti ada pantai, tapi tak di sini.”
“Sayang sekali,” keluh Sakura. Namun, dia tak benar-benar
mengeluh. Pemandangan di sini tidak bisa dikatakan buruk; sudah cukup
untuk membuai mata setelah dua kali purnama yang bisa dilihat dari
sejauh apa pun mata memandang hanyalah biru di lautan, ditambah jingga
di horizon kala siang dan malam mengalami transisi. Bukan berarti Sakura
tak menyukainya, dia hanya ingin menikmati hal selain itu.
“Kita bisa mengunjungi pantai nanti, kalau kau mau.”
Sasuke menanggapi kekecewaan tipis yang terlintang di wajah Sakura.
Dia akan senang hati mengunjungi pantai. Bukan hanya karena
panoramanya yang indah, dia pun ingin melihat melalui mata kepalanya
sendiri bagaimana kehidupan penduduk di sana. Dia tak mendapatkan
kesempatan itu di pantai di ujung Negara Teh karena tidak ada
permukiman terdekat. Jaraknya terlalu jauh dibatasi oleh hutan. Suasana
di permukiman dekat pantai pasti sederhana dan tentram; dia yakin akan
ada banyak hal yang bisa dipelajari dari balik dua kata tersebut.
Senyum di bibir Sakura melebar. “Aku akan senang sekali!”
Setelah beberapa langkah dijejak ke depan, Sakura menepuk ringan
perutnya. Pandangannya menerawang, seperti seorang petani yang tengah
memilih sayuran atau buah yang layak untuk dipetik.
“Sasuke-kun mau makan apa?”
Sekali lagi Sakura menengadah, memastikan bahwa hari sudah cukup
siang untuk melakukan makan siang. Kebetulan dia memang merasa lapar
saat ini.
“Apa saja.”
“Makanan laut?”

106

Sasuke mengangguk kecil. “Boleh.”
“Arah jam dua,” kata Sakura sembari menarik lengan Sasuke. “Eh,
kau tidak punya alergi apa-apa, 'kan?”
“Tidak.”
Tanpa kata-kata lagi, Sakura menyeret Sasuke ke tempat makan
pilihannya. Suara lonceng berdering ketika Sakura membuka pintu.
Dicarinya tempat duduk yang menurutnya strategis. Setelah ketemu, dia
pun mendudukkan diri dengan Sasuke yang duduk berseberangan
dengannya.
Mata Sakura tak melewatkan bagaimana pelayan wanita yang
menghampiri mejanya untuk menanyakan menu mencuri-curi pandang ke
arah Sasuke. Bahkan ketika tengah menulis pesanan mereka, pelayan
wanita itu masih melirik melalui ujung matanya. Pipi perempuan itu
merona tipis ketika pertama kali mendengar suara Sasuke. Dalam posisi
seperti ini, Sakura sebagai kekasih Sasuke seharusnya merasa cemburu,
kesal, atau emosi sejalan lainnya. Namun, yang ada di hatinya justru kesan
geli.
Sakura tak masalah dengan itu. Dia memercayai Sasuke, sebanyak apa
pun wanita lain yang menyukai kekasihnya. Di sini Sakura justru merasa
menjadi seseorang yang memegang kunci penting dalam hidup Sasuke
karena lelaki itu tak pernah tebar pesona, juga hanya bersikap benar-benar
melembut padanya. Pada orang lain hanyalah sebatas berperilaku sopan
dan relevan.
Lain halnya dengan Sasuke, dia tak bisa merasakan ketenangan dari
setiap suap dalam jepitan sumpitnya. Matanya melirik ke luar jendela, dan
berpindah lagi pada Sakura. Ada beberapa lelaki yang menahan langkah
dan menatap Sakura lebih dari dua detik dari balik jendela. Dia mendecak
dalam hati dan melempar tatapan tajam sesempat yang dia bisa, yang
sepertinya sia-sia.

107

Sasuke kembali menatap Sakura dalam diam. Gadis itu masih begitu
fokus dengan kegiatan makannya sehingga tak menyadari apa yang dia
lakukan. Ingatannya berputar pada masa lampau, dari yang terdekat
hingga yang terjauh. Dia ingat betul bagaimana kondisi di atas kapal.
Kadang-kadang, dia menangkap basah asisten nakhoda yang menatapi
Sakura sembari menopang dagu di waktu luangnya, dan lelaki itu
bukanlah satu-satunya yang melakukan itu. Jika ingatannya diputar lebih
jauh, dia pun ingat bahwa Sakura sering dirayu oleh klien-klien dari misi
Tim Tujuh saat dulu. Di Konoha sendiri pun dia tahu bahwa Sakura
adalah salah satu gadis yang banyak ditaksir.

Pikirannya berlabuh kembali pada masa kini. Dia mendapati helai-
helai rambut Sakura menempel di bibir Sakura yang basah. Gadis itu
mengangkat tangannya yang bebas dan menyelipkan rambut ke belakang
cuping telinga. Apa gunanya bandana yang dia pakai jika rambutnya masih
bisa menutupi wajah? batin Sasuke.

Ketika rambut itu sudah benar-benar tak ada lagi yang menutupi
parasnya, Sasuke menarik kembali apa yang dia ucapkan dalam hati tadi.
Dia terpesona selama beberapa saat. Sakura kelihatan lebih cantik ketika
wajahnya lebih menonjol daripada biasanya. Tatapannya fokus langsung ke
muka, tanpa ada rambut yang membingkai wajahnya.

Suara ramai dan siulan-siulan samar-samar terdengar dari luar.
Pandangan Sasuke berbelok pada kaca yang membatasi mereka dengan
dunia luar lagi. Ada sekumpulan laki-laki yang menatap ke arah Sakura
dan jelas siulan-siulan itu ditujukan untuk gadis itu.

Emosi bergejolak di dalam dada Sasuke. Dia tidak suka Sakura
diseksualisasi. Dia memegang tangan Sakura secara tiba-tiba.

Sakura terkejut dan melemparkan tatapan bertanya.
“Pindah ke sebelahku,” titah Sasuke.

108

“Huh?” Kedua alis Sakura menukik mengikuti keningnya yang
mengernyit.

“Lihat ke luar,” sahut Sasuke tanpa menjawab pertanyaan di dalam
kepala Sakura.

Sakura mengikuti apa yang Sasuke katakan. Dia mendapati tiga
orang lelaki yang berpapasan dengannya, tapi langsung mengalihkan
pandangan. Sakura mengerutkan hidungnya karena risi. Sasuke semakin
tak suka.

Mendapati raut muka Sasuke yang tampak begitu terganggu, Sakura
merasa kerisiannya didukung.

“Padahal yang aku lakukan dari tadi hanya makan.” Dia berpindah ke
samping Sasuke dan menyeret makanannya, lantas kembali menyumpit
makanannya. Dikunyahnya hingga habis, kemudian cepat-cepat bicara lagi.

Sasuke mengerang kesal karena pindahnya Sakura tidak
menghentikan tindakan lelaki-lelaki itu. “Habiskan makananmu,” titahnya
agar mereka bisa segera pergi dari sini.

“Kau juga diperhatikan dari tadi oleh pelayan-pelayan di sini.”
Lirikan mata Sakura tertuju pada kumpulan perempuan yang menatap
Sasuke penuh damba. “Tapi kurasa kau tidak merasa seterganggu aku.
Memang sulit jadi perempuan.”

Sasuke meremas tangan Sakura untuk menenangkan. Kemudian
keduanya menghabiskan makanan dalam diam. Sasuke mendengar suara
tegukan ketika Sakura menghabiskan cairan yang mengisi gelasnya. Dia
menopang dagu dan melemparkan pandangan ke luar jendela yang kini
sudah bebas dari tindakan yang membuat mereka tidak nyaman.
Keheningan cukup lama menyekap mulut keduanya. Sasuke melirik
Sakura dan mendapati gadis itu tengah melakukan hal yang sama.

“Mau tambah?” Sakura tiba-tiba bertanya setelah menoleh.
Ditanggapi oleh sebuah gelengan. “Kalau begitu, ayo!”

109

Sakura berdiri. Langkahnya terhenti ketika mendapati Sasuke
mengambil beberapa buah permen yang memang disediakan di setiap meja
untuk pelanggan. Kemudian keduanya melakukan transaksi pembayaran
atas apa yang sudah mereka makan dan meninggalkan restoran.

“Sejak kapan kau suka permen?” Sakura mengutarakan pertanyaan
yang sedari tadi menyangkut di tenggorokan. Dia melangkahkan kaki di
samping Sasuke yang sama-sama tengah membelah jalan. Hiruk-pikuk
memenuhi atmosfer di lingkungan ini. Namun, Sakura yakin Sasuke
sanggup mendengar pertanyaannya tadi.

Sasuke mengangkat kedua bahu. “Aku punya firasat akan
membutuhkan permen-permen ini.”

“Itu ... aneh.” Kedua alis Sakura bertaut. Dia ingat betul Sasuke tidak
menyukai konsumsi manis.

“Mungkin untuk membujukmu agar berhenti menangis jika kau
menangis lagi.”

Sakura menganga. “Hei!” Dia mendelik tak suka. Kedua pipinya
dikembungkan. Dia melirik ke arah Sasuke kembali dan mendapati lelaki
itu menayangkan ekspresi tak mau dibantah.

Sasuke menyeringai. Mengingat Sakura sering meledeknya tak punya
selera humor, barangkali sekali-kali dia bisa menyangkalnya, salah satunya
dengan mengejek dan menggoda Sakura seperti ini.

Sebuah tatapan tajam dilempar ke arah Sasuke. Pipi gadis itu masih
mengembung. Wajahnya berusaha menayangkan ekspresi sangar, tetapi di
mata Sasuke justru terlihat gagal. Sakura malah seperti kucing manis yang
berusaha berlagak menjadi seorang singa buas.

“Kau menjengkelkan,” cerca Sakura, masih dengan suara manis yang
dibuat tegas.

110

“Hn.” Sasuke hanya mengangkat bahu tak acuh. Yang penting dia
merasa terhibur tadi. Salah satu sudut bibirnya tertarik, menayangkan
ekspresi seseorang yang sombong tetapi sedang terhibur.

“Kau mau mematahkan pendapatku soal kau tidak punya selera
humor, ya? Kau gagal, tahu,” ujar Sakura dengan nada ketus. Entah hanya
perasaan Sasuke saja, tetapi dia mendengar suara dengusan menahan tawa
dari Sakura.

“Oh?”
“Yang tadi tidak lucu,” ucap Sakura dengan final. “Tapi jika dipikir-
pikir, yang tadi itu lucu karena saking tidak lucunya.”
Tiba-tiba kekehan terlepas dari bibir Sakura. Hanya sebentar, karena
dia segera sadar bahwa dirinya tengah berperan sebagai seseorang yang
sedang kesal pada Sasuke. Seseorang yang kesal seharusnya tidak akan
tertawa. Namun, sama dengan usaha Sasuke untuk bercanda, Sakura pun
gagal. Suara tawanya membumbung ke udara, tawa kencang yang meledak
setelah ditahan-tahan.



Tiga jam terlewati dan tak ada satu pun penginapan yang kosong.
Cahaya matahari sudah dihalau awan hingga hari mulai meneduh. Anak-
anak kecil memenuhi jalan, dengan teriakan ringan dan tawa candanya.
Apa yang tersaji di hadapan mereka merupakan sebuah atmosfer
menceriakan yang sudah lama tak Sakura rasakan semenjak berkelana
bersama Sasuke.

Sakura sama sekali tak mendapati kehadiran orang tua yang ikut
beramai-ramai di tengah jalan. Bisa dikatakan bahwa hanya Sasuke dan
Sakura-lah orang dewasa yang membelah jalan. Diasumsikan bahwa jalan
ini memang tempat anak-anak berkumpul dan bermain, karena di jalan-

111

jalan lain sebelum ini kebanyakan yang berlalu lalang adalah orang dewasa
yang membawa atau tampak sibuk dengan pekerjaannya.

“Sasuke-kun, sepertinya di jalan ini tidak mungkin ada penginapan.”
Sakura masih melempar pandangan pada bangunan di kanan dan kiri,
meneliti jalan dari ujung ke ujung. Tak ditemukannya satu pun plang
bertuliskan penginapan.

“Kau benar.” Sasuke mengangguk setuju.
Mereka baru berjarak tiga langkah dari ujung jalan. Sasuke tetap
melanjutkan langkahnya meskipun sudah membenarkan pernyataan
Sakura. Hal tersebut tak ayal membuat Sakura heran. Namun, dia tetap
mengikuti langkah kekasihnya.
“Sasuke-kun, kenapa—”
“Ikuti saja,” potong Sasuke.
Sakura mengangguk, tak peduli jika Sasuke tak dapat melihatnya.
Pandangannya tak lurus ke depan, melainkan menunduk dan tersenyum
ke arah anak kecil yang menghampirinya. Kadang-kadang dia pun
menjawab pertanyaan polos “Neesan dan Niisan namanya siapa?” yang
terlepas dari bibir beberapa anak kecil yang mereka lewati.
Setelah beberapa langkah terlampaui, Sasuke menghentikan
langkahnya dan berbisik, “Sakura, di depanmu.”
Sakura sontak mengangkat dagu. Yang lurus dengan pandangannya
adalah dua anak lelaki yang tingginya bahkan tidak melebihi pinggangnya
tengah bertengkar, berusaha saling pukul, dan ada satu anak perempuan
yang menangis sambil memeluk lutut. Sesuai dengan penglihatan Sasuke
dari ujung jalan tadi, air mata yang membasahi pipi gadis kecil itu semakin
tumpah ketika dua anak lelaki itu mengabaikannya, bahkan dorongan-
dorongan yang dilakukan kedua anak itu membuat si gadis kecil
tersungkur jatuh hingga kedua lututnya terluka.

112

“Kau meneruskan langkah ke sini karena ini? Kenapa tidak bilang
dari tadi?!” Sakura mendecak kesal. Kalau dia sudah tahu ini dari awal, dia
pasti akan melangkah lebih cepat mengingat anak-anak di sini lepas dari
pengawasan orang dewasa.

Sasuke melebarkan langkahnya dan memisahkan kedua anak kecil
yang tengah bertengkar dengan cara menarik tubuh salah satunya sampai
tak lagi menginjak tanah. Sementara Sakura menghampiri si gadis kecil
dan mengobati lukanya. Anak kecil yang Sasuke angkat memberontak,
mengucapkan kata-kata yang terkesan sangat menjengkelkan. Sasuke
mendengus kesal dan mencoba diam. Anak lelaki yang lainnya hanya
melipat kedua tangan di depan dada dan memalingkan wajah.

“Lihat, teman kalian menangis dan terluka karena kalian
bertengkar,” kata Sasuke datar. Anak lelaki yang berdiri di atas tanah
melepas lipatan tangannya dan menengok ke arah teman perempuan yang
sedang diobati Sakura. Wajah sombongnya meluntur seketika.

Tak lagi merasakan pemberontakan dari anak lelaki yang dia angkat,
Sasuke pun menurunkan tubuhnya. Dia paham bahwa anak ini tak akan
melanjutkan pertengkarannya. Dugaan Sasuke tepat, kedua anak itu
terdiam dan menghampiri anak perempuan yang hampir berhenti
menangis.

Seperti tersadar dari kesalahannya, kedua anak itu meminta maaf
karena sudah membuatnya terluka. Namun, anak perempuan itu justru
mengencangkan tangisnya. Dari suaranya yang sesenggukan, dia meminta
mereka untuk tidak pernah bertengkar lagi di kemudian hari. Setelah
kedua anak itu berjanji, tangisnya pun tetap belum sirna.

Sakura mengelus rambutnya dan berbisik, “Sudah, jangan menangis
lagi.” Namun, anak yang jika dilihat dari perawakannya berumur lima
tahun itu masih tetap menangis kencang.

113

Sasuke merogoh sakunya. Dia berjongkok, menyamai tinggi anak-
anak itu. Dia menyodorkan tangan di depan gadis kecil yang mengusap
mata basahnya. “Mau permen?” tawar Sasuke.

Sakura langsung terdiam. Si gadis kecil melepas bekapan tangannya.
Meskipun masih terisak, dia berusaha menghentikan tangisnya. Dia
mengangguk kecil dan mengambil permen dari tangan Sasuke. Sakura
tersenyum lepas, firasat Sasuke soal permen ada benarnya.

“Te-terima kasih ...,” ucapnya, masih dengan suara yang bergetar.
Sasuke merogoh sakunya lagi. Dia menoleh ke arah dua anak lelaki
secara bergantian. Dibukanya tangan yang menggengam beberapa buah
permen di depan mereka. “Kalau kalian mau.”
Salah satu anak itu bersorak dan mengambilnya, sementara yang
satunya lagi hanya menggeleng dengan pandangan tenang.
Keduanya segera melanjutkan perjalanan setelah berpamitan. Ketika
langkah mereka belum terlalu jauh, ada dua orang dewasa yang
menghampiri ketiga anak tersebut. Untung saja masalah mereka sudah
selesai, sehingga tak perlu terkena tegur dari orang dewasa yang diduga
orang tua dari dua di antara ketiganya dalam bentuk apa pun.
“Tiga anak kecil tadi mengingatkan aku pada kita,” kata Sakura tiba-
tiba.
“Kita?”
“Ya, kita.” Sakura mengangguk. “Aku, kau, dan Naruto. Merasa
seperti itu tidak?”
Sasuke mengangguk. “Hn.”
“Anak laki-laki aktif itu mengingatkanku pada Naruto, dan yang
sedikit kelihatan sombong dan pasif ... mengingatkanku pada kau.” Sakura
terkikik geli, memperoleh sebuah dengusan kesal dari Sasuke. Namun,
dalam hati dia menyetujuinya. “Sama-sama bertengkar pula. Mirip sekali.

114

Dan gadis yang mencoba melerai mereka itu aku ... yang akhirnya selalu
menangis. Aku memang lemah sekali.”

Mendengar Sakura yang menyatakan dirinya lemah, Sasuke
mengernyitkan dahi tak suka. Kalaupun dia membicarakan tentang dirinya
di masa lalu, efeknya bagi Sasuke saat ini masih sama. Mungkin dulu
secara fisik Sakura tidak begitu unggul. Namun, gadis itu bagus di hal lain,
seperti menguasai pelepasan genjutsu. Sasuke sendiri yang mengakui hal
tersebut.

“Sakura.”
Sakura menoleh. “Ya, Sasuke-kun?”
“Pernah dengar perbincanganku dengan Naruto mengenai siapa saja
yang ingin aku lawan ketika masih genin?”
“Kau masih genin sampai sekarang, tahu.” Sakura cekikikan sambil
membekap mulutnya. Kedua matanya mengerling jenaka.
Sasuke membersut. “Saat kau yang masih genin.”
Sakura segera meredam tawanya dan memutar otak. Rasanya dia
pernah mencuri dengar tentang itu saat ujian chuunin pertama. Meskipun
dia sendiri tak begitu yakin dengan ingatannya.
“Hmm, sepertinya ingat. Kau bilang kau mau bertarung dengan
Gaara, Lee, dan ... uhm ... Neji.” Dia meneguk ludah pelan ketika
menyebut nama terakhir. “Itu?”
Sasuke mengangguk. “Dan Naruto.”
“Ya, dan Naruto.”
“Kau tahu apa persamaan di antara mereka semua?”
Sakura terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan
Sasuke. “Mereka ... kuat?”
Sasuke mengangguk puas mendapati Sakura memahami arah
pembicaraannya. “Kapan-kapan aku mau bertarung lagi denganmu.”

115

Langkah Sakura terhenti. Dia sama sekali tidak memikirkan masalah
Sasuke yang mau-maunya bertarung dengan perempuan jika disamakan
dengan ideologi Shikamaru. Yang ada di otaknya sekarang hanya satu:
Sasuke baru saja mengakui bahwa dirinya kuat secara tidak langsung. Hal
tersebut tak mungkin tidak membuat hati Sakura menghangat. Dia diakui.
Oleh seorang Uchiha Sasuke. Seseorang yang dia pahami memiliki ego
tinggi dan seringnya congkak, tetapi baru saja mengakui bahwa dia kuat.

Sakura segera menyusul langkahnya yang tertinggal. Dia mengamit
tangan Sasuke ke dalam lingkaran lengannya. Kedua sudut bibirnya
tertarik ke atas, membentuk lengkungan manis yang selalu cukup untuk
membuat dada Sasuke menghangat.

“Terima kasih, Sasuke-kun.”
Sasuke hanya mengangguk untuk menanggapinya. Dia mengulum
bibir untuk menahan diri dari senyuman yang nyaris terbentuk karena
Sakura yang memeluk lengannya.
Tiba-tiba tetesan hujan membasahi bumi. Hujan ini sama sekali tak
diawali gerimis, melainkan langsung besar layaknya diguyur. Ternyata
teduh tadi adalah permulaan dari awan mendung. Anak-anak kecil tadi
segera berlarian ke dalam rumah di sepanjang jalan tadi. Pantas saja tidak
ada penginapan di sana jika melihat hal itu dari awal.
Sakura memayungi wajah menggunakan sebelah tangannya. Tempat
berteduh yang dia temukan ada di tengah-tengah sebuah taman bermain
di depannya. Taman tersebut tak memiliki atap, tetapi ada tiga ayunan
yang memiliki atap. Hanya itulah tempat yang bisa digunakan untuk
situasi mendesak ini. Dia menarik lengan Sasuke untuk mengikuti
langkahnya.
Sakura meremas ujung pakaiannya untuk mengurangi air yang
menempel di sana ketika sudah berteduh. Dia menggosok kedua tangan di
depan dada untuk mencari kehangatan.

116

“Coba saja kalau kita sudah menemukan penginapan sejak tadi,”
keluhnya pelan.

Sasuke diam, entah harus menanggapi apa.
“Selama ini aku membayangkan ketika kau berkelana, kau pasti tidur
di tengah-tengah hutan.” Sakura berkomentar sembari terus
menggosokkan kedua tangannya, berusaha melupakan kekesalannya soal
sulit mendapat penginapan.
Sasuke menoleh. “Itu terdengar primitif.”
“Aku memang berpikir kau menerapkan hidup yang primitif.” Sakura
tertawa pelan. Dia pernah membayangkan Sasuke tidur di gua, memasak
di atas api unggun, dan lainnya secara terus-menerus selama dua tahun.
Namun, jika dilihat sendiri sekarang, ternyata ada kalanya menginap di
penginapan dan makan makanan yang dijual warga juga saat memang ada
di dekat permukiman. “Ternyata pikiranku salah.”
“Memang salah.”
Tetesan air dari langit mulai mereda. Ternyata hujan besar tadi
hanyalah hujan yang terjadi dalam sekejap mata. Namun, keduanya masih
tampak enggan untuk beranjak dari sana. Sakura menarik napas dalam-
dalam. Aroma hujan yang membasahi tanah menyusup ke dalam indra
penciumannya. Sontak dia memejamkan mata, menikmati harum yang
menenangkan ini. Kekesalannya pada hujan mulai sirna mengingat tanpa
tetesan air itu, aroma ini tak akan bisa dia hirup.
Sasuke masih diam, berbeda dengan Sakura yang terlarut dalam
ketenangan. Benaknya diisi saat-saat makan siang tadi. Ada banyak lelaki
yang tampak menyukai Sakura, meskipun Sasuke yakin hanya tertarik
secara fisik. Selain yang terjadi saat makan siang, ada juga penaksir Sakura
di Konoha. Kalau Naruto belum menikah, dia bisa masuk ke dalam salah
satunya. Dari cara bersikap, Naruto jauh, jauh lebih baik daripada Sasuke.

117

Dan Sasuke yakin banyak juga yang lebih baik daripadanya jika dilihat dari
sikap.

Sikap Sasuke dingin dan pasif. Dia bahkan tak tahu bagaimana
menjalani hubungan dengan Sakura dengan benar dan menghindari
sakitnya gadis itu lagi. Dan yang membuatnya berpikir keras adalah ...
kenapa Sakura masih memilihnya? Bahkan rela ikut meskipun ada banyak
lelaki yang lebih baik daripada dirinya di desa kelahirannya? Jika alasannya
cinta, Sasuke yakin cinta bisa dipelajari. Meskipun sesungguhnya dia tak
rela apabila harus melihat Sakura bersama lelaki lain di depan matanya
sendiri.

Sasuke yang sempat tenggelam ke dalam pikirannya sendiri tiba-tiba
bertanya, “Sakura, kau benar-benar mau bersamaku?” Ludahnya diteguk,
sedikit khawatir menyinggung Sakura.

Sakura tersentak. Dia menatap Sasuke penuh selidik. Pertanyaan tadi
sedikit membuatnya tersinggung. “Kau meragukanku?” tanyanya skeptis.

“Bukan itu.” Sasuke mengembuskan napas berat. Dia menariknya
lagi sebelum melanjutkan kalimat. “Aku hanya tidak tahu bagaimana
menjalani ini dengan benar.” Dan berpikir ada banyak lelaki yang lebih baik
daripada aku.

Sakura mendesah. Ternyata Sasuke meragukan dirinya sendiri.
Padahal dengan begitu, secara tidak langsung meragukan hubungan
mereka juga. Sakura mencoba menahan sayatan lemah di dadanya atas hal
itu. Pegangan tangan pada rantai ayunan mengerat. “Lakukanlah apa yang
menurutmu benar.”

Sasuke terdiam sejenak. Sakura sempat khawatir dia salah bicara
sampai Sasuke menambahkan, “Kau harus memberi tahu jika menurutmu
yang kulakukan salah.” Dan bantu aku melepaskan pikiran kenapa kau
memilihku dibanding orang lain.

118

Sakura tertegun. Dia menoleh dan mencari-cari mata Sasuke.
Senyum diulasnya dengan penuh pengertian. Dia mengangguk mantap.
“Pasti.”

Arah pandang Sakura terangkat ketika Sasuke memutuskan untuk
berdiri. Sasuke berbisik dalam hati, berharap apa yang akan dia lakukan
sekarang bukanlah hal yang salah. Tangan lelaki itu membuka pegangan
tangan kiri Sakura terhadap ayunan. Setelah terlepas, Sasuke menyelipkan
jemarinya pada ruas jemari Sakura.

“Cari penginapan lagi?”
Samar-samar kemerahan mewarnai pipi Sakura. Sesuatu dalam
perutnya berputar dengan menyenangkan merasakan kehangatan yang
sedari tadi dia cari-cari kini sudah ditemukan di dalam genggaman Sasuke.
Dia pun berdiri dan meremas tangan lelaki itu lembut, membagi
kehangatan yang dia miliki juga. Sebuah genggaman tangan memanglah
hal yang trivial. Namun, bagi Sakura ini terasa begitu sempurna.
“Ayo.”
Sasuke tersenyum tipis. Dari ekspresi wajah Sakura, dia tahu bahwa
apa yang tengah dia lakukan sekarang tidaklah salah. Dia pun mengetahui
bahwa tangan Sakura begitu pas di dalam genggaman tangannya seperti
memang sudah dibuat untuk satu sama lain. Barangkali dia bisa belajar
mengenai ini dan hal-hal yang mengganggu pikirannya tadi perlahan-
lahan. Dia yakin Sakura cukup sabar untuk membimbing dan menghadapi
sikapnya yang relatif membuat orang kesal. Kemudian Sasuke baru saja
sadar betapa beruntungnya dia memiliki gadis pengertian seperti Sakura di
sisinya. Meski galak.
Ketika hari sudah berganti menjadi malam, barulah mereka
menemukan sebuah penginapan yang kosong. Sasuke bilang tempat ini
memang sering jadi tujuan wisata, tapi dia belum tahu apa sebabnya.
Maka, wajar saja jika penginapan kosong sulit dicari.

119

Masih dengan tangan yang saling bertautan, mereka berdiri
menghadap pemilik penginapan. Sakura harap-harap cemas, khawatir ibu
paruh baya ini akan mengomentari pakaian mereka yang masih agak basah
bekas hujan tadi. Namun, ternyata kekhawatirannya tak terbukti sama
sekali.

Tanpa basa-basi lagi, ibu paruh baya itu bertanya, “Berapa kamar?”
Hening berdiri di antara mereka. Sasuke dan Sakura secara otomatis
saling melempar pandangan pada satu sama lain, sama-sama meminta
bantuan untuk menjawab. Sakura tersenyum kecil untuk menahan
kekehan ketika sadar bahwa pergerakan mereka sama. Namun, otaknya
masih kosong dan tak sanggup untuk membidani sebuah jawaban.
Mulutnya masih bungkam.
Sasuke mengalihkan pandangan dari Sakura. Benaknya diisi kilas
balik malam-malam saat mereka terlelap bersama. Mereka—dia—sudah
terlalu terbiasa dengan ini, hingga tak yakin bahwa tenggelam ke dalam
alam mimpi sendiri-sendiri akan bisa dilewati dengan mudah, atau bahkan
bisa dijalani sama sekali. Maka, tanpa ragu dia menjawab, “Satu.”
Sontak Sakura merasa malu. Tatapan dari pemilik penginapan itu
terasa menyelidik dan menguliti sebuah jawaban dari gestur tubuhnya. Dia
merasakan remasan tangan Sasuke yang hangat. Kemudian Sakura teringat
bahwa Sasuke adalah seseorang yang tidak terlalu memikirkan pendapat
orang lain jika tidak perlu. Dia akan belajar hal itu untuk saat ini karena
dirinya takut Sasuke akan diganggu mimpi buruk jika tidur tanpanya, dan
Sakura sendiri yang akan kesulitan tertidur di awal-awalnya karena hangat
yang biasa dia rasakan hilang.
Saat harus melanjutkan perjalanan ke tempat lain lantas terpaksa
mengganti penginapan, jawaban yang diberikan Sasuke setiap kali ditanya
demikian selalu sama.

120

121

10
Dua Suhu Tinggi

“Aku sudah lama tidak minum,” adalah ucapan pertama Sakura
ketika mereka baru keluar dari penginapan di tengah-tengah kota. Ini
adalah kali pertama mereka mengunjungi kota setelah bertandang ke
beberapa desa di Negara Air.

Sasuke mengernyit keheranan. “Sejak kapan kau suka minum?”
tanyanya. Selama ini dia berpikir bahwa Sakura masihlah gadis yang
benar-benar polos. Oleh karena itu, hal ini cukup membuatnya terkejut.

“Guruku itu Tsunade-sama, meskipun aku tidak minum sebanyak
beliau.” Sakura mengedikkan kedua bahu dengan santai. Dia berpikir
bahwa ucapannya tadi sama sekali tidak aneh, apalagi jika mengingat
berapa usianya sekarang. “Dan, ya ampun, kita ini sudah berumur
sembilan belas tahun. Kenapa ekspresi yang kau tunjukan itu seakan-akan
kau sedang berbicara dengan anak sepuluh tahun?”

“Hn.”
“Jadi kau mau?” Suara Sakura meninggi. Daripada pertanyaan,
ucapannya barusan lebih terdengar seperti tuntutan. Curah hujan di
Negara Air memang tinggi, sehingga temperaturnya terhitung rendah.
Apalagi, mereka berada di tengah-tengah musim dingin. Itulah alasan

122

utama Sakura menarik hal ini sebagai topik pembicaraan; alkohol dapat
menghangatkan tubuh.

“Di antara kita tidak boleh ada yang sampai mabuk.” Sasuke
memberikan ketegasan dalam suaranya.

Sakura semringah. “Oke, Sasuke-kun!”
Meskipun sudah mengatakannya, Sasuke kembali menekankan pada
Sakura bahwa keduanya tidak boleh mabuk. Mereka minum semata-mata
hanya untuk menghalau hawa dingin dari dalam tubuh di malam hari
dengan lokasi Negara Air serta musim dingin saja. Dia memiliki firasat
jika salah satu apalagi keduanya sampai jatuh mabuk, akan ada sesuatu
yang tidak beres. Lagi pula, mabuk berlebihan sendiri memang sudah
tidak beres.
Sayangnya, Sasuke kecolongan. Tidak, Sasuke tidak sampai mabuk.
Yang mabuk justru Sakura.
Sakura berkali-kali meyakinkan Sasuke bahwa minum dalam porsi
besar tak akan membuat dirinya mabuk ketika sisa sake di botol masih
banyak. Sasuke jelas tidak percaya itu. Namun, dia kurang cepat untuk
mencegah gadis itu meminum sisa sake dalam botol secara langsung dari
mulut botolnya. Awalnya dia percaya bahwa Sakura tidak mabuk, karena
pandangan gadis itu masih fokus, pipinya pun tidak memerah.
Kenyataannya Sasuke ketahui ketika Sakura berdiri dan berjalan dengan
kondisi sempoyongan.
Hal itulah yang membuat Sasuke kini menggendong Sakura di
punggungnya. Gadis itu meracau tidak jelas dan membuat emosi Sasuke
semakin naik. Dia benar-benar kesal sekarang, dan berencana untuk
memarahi Sakura saat di penginapan nanti; sekadar untuk meluapkan
emosi, karena Sasuke yakin kata-katanya tak akan menempel sama sekali
dalam kondisi Sakura yang seperti ini.

123

Deru napas Sakura terus-menerus meniupi telinganya. Gadis itu
pun memanggil nama Sasuke dengan manja. Dia sesekali merendahkan
kepala dan mengecupi bagian di belakang telinga Sasuke, membuat lelaki
itu bergidik seketika.

Sial, sudah kesal karena apa yang dia pinta dilanggar, terpaksa harus
menggendong sampai penginapan, ditambah lagi sikap Sakura yang
membuatnya nyaris gila. Sepasif apa pun Sasuke, tindakan Sakura tetap
mengganggu sistem tubuh dan mengacaukan pengendalian hormonnya.

Sasuke melangkahkan kakinya selebar yang dia bisa. Sakura yang
mabuk ini harus segera dihentikan. Satu-satunya cara adalah membuatnya
tertidur, dan hal itu hanya bisa dilakukan jika mereka sudah tiba di
penginapan.

“Sudah kubilang kau tidak boleh mabuk!” Sasuke membentak
Sakura ketika dia menurunkan tubuh gadis itu ke atas tempat tidur.
Kedua mata berbeda warnanya menyalangkan sebuah emosi yang kentara.
Marah-marah seperti ini memang jarang dia lakukan, tetapi tak bisa
ditahan saking kesalnya. Biarlah, besok juga Sakura akan lupa soal sikap
Sasuke yang tengah dikendalikan gejolak emosi ini.

Sakura mengembungkan kedua pipinya. “Sasuke-kun jahat! Kenapa
bentak aku? Aku salah apa?” Sasuke mendapati sudut-sudut mata Sakura
mulai membasah. Tangan gadis itu memukul-mukul bantal dengan
gerakan tak beraturan.

Sasuke mendecih. Salah apa, katanya? Sudah sikapnya membuat
sekujur tubuh Sasuke menegang, ditambah lebih emosional pula. Kedua
giginya menggertak keras. “Kau yang mabuk itu merepotkan. Tidur sana!”

“Tidak mau!” Sakura memalingkan wajahnya. Ugh, kadang sikap
Sakura yang memegang kendali penuh atas tubuhnya pun sudah
menjengkelkan, apalagi yang sedang mabuk!

124

Sasuke semakin geram. Kepalan tangannya memukul pelan meja
nakas. Dia sama sekali tidak suka dibantah, apalagi dalam keadaan seperti
ini. Sakura harus menurut dan tidur. Itu mutlak. “Tidur, Sakura!”

Sakura terhenyak sejenak ketika mendengar suara pukulan pada
kayu. Dia menatap mata Sasuke dengan intens, tetapi diselipi ekspresi
takut. Kepala yang tadinya bersandar pada kepala tempat tidur kini
ditempelkan ke bantal. Selimutnya ditarik sebatas pinggang.

Rasa bersalah menyerang dada Sasuke. Dia baru saja hendak
memajukan tubuh untuk meminta maaf dan bersikap lembut, tetapi
terpotong oleh kata-kata Sakura.

“Baiklah, aku akan tidur.” Sasuke mengembuskan napas lega. “Tapi
cium dulu!”

Napas lega yang baru saja lepas langsung berubah menjadi desisan
dan decakan. Mengingat keadaannya saat ini, dia benar-benar
menghindari bersentuhan dengan Sakura. Apalagi dalam bentuk sebuah
ciuman. “Tidak. Kau mabuk.”

Sakura mendelik. Dia merajuk lagi. Kata orang, seorang wanita
sanggup memutar keadaan siapa yang marah sebenarnya dalam sebuah
pertengkaran, dan terbukti oleh Sakura saat ini. “Tidak ada ciuman maka
aku tidak akan tidur.”

Kelopak mata Sasuke berkedut. Dia masih menatap Sakura dengan
ekspresi dingin tanpa kata-kata.

“Sasuke-kun, ciuuuum.”
Sasuke mendengus menatap Sakura yang mengerucutkan bibirnya.
Mungkin jika hanya kecupan tidak akan membuatnya lepas kendali. Dia
membungkuk dan mengecup ringan permukaan bibir Sakura. Ketika dia
menarik diri, tangan gadis itu justru malah mengalung di lehernya dan
menariknya mendekat. Tangan Sakura yang bebas menarik-narik pakaian

125

yang Sasuke kenakan hingga tubuh mereka merapat. Sasuke mengerang
dan berusaha menarik diri kembali, tetapi gagal.

Sakura menciumnya dengan berantakan. Ciuman yang melibatkan
lumatan kasar, lidah yang masuk ke rongga mulut, tarikan keras di
pakaian, dan semua itu membuat tubuh Sasuke semakin memanas. Dia
menggeram ketika Sakura mulai menjambak-jambak rambutnya.
Ketegangan di tubuhnya meninggi ketika Sakura merintih di tengah-
tengah pagutan bibir keduanya.

Ini adalah pertama kali mereka berciuman kasar. Sasuke bertanya-
tanya dalam hati dari mana Sakura mempelajarinya. Pikirannya hanya
sampai pada asumsi yang terjadi sekarang hanyalah efek dari alkohol yang
membuat gadis itu tak memegang kendali penuh atas tubuhnya. Sasuke
tak tahu dan enggan bertanya. Dia tak akan membiarkan Sakura
mengingat malam ini sama sekali. Ini kacau.

Kalau dibiarkan terus seperti ini, Sasuke yakin dia akan lepas
kendali. Maka, dia mendorong bahu Sakura untuk melepas pegangan
kencang gadis itu terhadap tubuhnya. Kali ini berhasil. Napas keduanya
terengah-engah. Bibir mereka masih basah karena terkena air liur yang
banyak. Sasuke mengalihkan pandangan ketika Sakura menghapus basah
di bibirnya.

“Cepat tidur!” titah Sasuke dengan tegas. Suaranya serak. Detak
jantungnya masih benar-benar keras. Sasuke beruntung dia masih sering
memakai jubah hitamnya untuk menutupi tangannya yang hanya satu.
Sekarang jubah itu memberi keuntungan lain dan menutupi bagian yang
ingin dia sembunyikan saat ini.

Sakura melempar pandangan pada Sasuke. Matanya masih sayu, efek
dari mabuk dan mengantuk, barangkali. Tatapan yang membuat Sasuke
meneguk ludah dan mengepal tangannya kuat-kuat. Sakura menggeser
tubuh dan menepuk spasi kosong di sampingnya, seakan-akan lupa bahwa

126

Sasuke sedari tadi marah padanya—atau memang lupa. “Kenapa tidak
bergabung?”

Dengusan kesal terlepas dari hidung Sasuke. Dia kesal dengan
kepolosan Sakura saat ini. Entah memang benar-benar polos, dibuat-buat,
atau lagi-lagi mengambinghitamkan mabuk. “Aku ada urusan. Jika sudah
selesai aku akan segera kembali ke sini. Kau harus tidur sekarang juga.”

Untungnya, kali ini Sakura langsung menurut. Dia memunggungi
Sasuke dan menarik selimut. Sasuke langsung memutar tubuh dan
meninggalkan kamar penginapan. Dia perlu mencari angin dan menunggu
sampai kondisi otot di sekujur tubuhnya merenggang. Dia mengumpat
dalam hati karena telah kecolongan membiarkan Sakura minum sebanyak
itu.

Sasuke bersumpah akan membuat catatan mental untuk tidak
pernah membiarkan Sakura mabuk lagi selama dia masih harus menahan
diri. Tak ada lagi alasan di balik itu selain Sakura yang akan berubah
menjadi gadis yang berbahaya.



Pusing. Itulah hal pertama yang Sakura rasakan ketika membuka
mata. Dia segera beranjak dari tidur dan mengerang keras ketika
merasakan kepalanya semakin memberat. Tangannya memegangi
pelipisnya yang berdenyut-denyut dengan keras. Empat dinding di
sekitarnya tampak berputar-putar dan Sakura segera memejamkan mata.
Dia mengerang lagi saat pejaman mata tidak membantu sama sekali. Kini
dia baru sadar bahwa dia tidak pernah semabuk ini.

Sasuke membuka kedua matanya. Punggungnya masih menempel
pada kepala ranjang; sengaja tertidur dengan posisi siaga. Mengingat
alasan dia terbangun adalah mendengar rintihan dan erangan, Sasuke

127

langsung menoleh ke sampingnya. Matanya menangkap Sakura yang
tengah memejamkan mata sambil memegangi kepalanya menggunakan
kedua tangan.

“Sakura,” panggil Sasuke sembari menepuk bahu gadis itu pelan-
pelan.

Sakura membuka matanya dengan kondisi menyipit. Wajahnya masih
masam karena menahan pusing. “Ugh, apa yang terjadi semalam?” ujarnya
sembari masih memegangi kepalanya.

“Kau mabuk,” jawab Sasuke singkat. “Kuingatkan, Sakura, kau tidak
boleh mabuk sampai seperti ini lagi!” Suaranya digetarkan nada tegas,
seolah-olah bukan keluar dari seseorang yang baru saja bangun tidur.

“Aku tahu kalau yang itu. Apa yang terjadi ketika aku mabuk? Aku
harap aku ketiduran di kedai saja setelah minum, daripada ... err ...
bertingkah aneh.”

Sakura memejamkan matanya erat. Dia merinding sendiri mengingat
kelakuan Ino saat mabuk. Gadis pirang itu berubah menjadi manusia
paling jujur dan frontal, yang bahkan mengungkapkan ukuran dalaman.
Dia tak bisa membayangkan jika dirinya berperilaku seperti itu, atau
bahkan lebih parah.

Sasuke mencoba menahan ringisan mengingat apa yang terjadi
semalam. “Tidak ada,” tanggapnya kalem. Dia memilih untuk menutupi
segalanya daripada membuat Sakura bertanya-tanya lebih lanjut bagaimana
tanggapannya terhadap sikap gadis itu saat mabuk.

Sakura menyipit curiga dan menatap Sasuke langsung di mata.
“Bohong.”

“Kubilang tidak ada.” Sasuke masih mencoba berekspresi tenang.
Arah pandangnya lurus, berusaha tak melirik ke kiri—salah satu ciri-ciri
seseorang yang berdusta.

128

“Kalau tidak ada, kau tidak mungkin menekanku sekeras itu untuk
tidak mabuk lagi.” Sakura melempar tatapan menyelidik. Kemudian
kepalanya terasa dipukul palu godam, membuat tangannya otomatis
berpegangan pada lengan Sasuke. “Aduh!”

“Hn.” Sasuke menarik tangan Sakura ke lehernya dan membantu
gadis itu untuk menyandarkan diri pada tubuhnya saja.

“Sasuke-kun!” Sakura berdecak mendapati Sasuke yang tak
memberikan jawaban. Tiba-tiba ekspresinya menegang. “Jangan-jangan
aku menghancurkan sesuatu?” Wajahnya memerah. Hal ini akan sangat
memalukan jika tak terjadi di tengah-tengah pertempuran.

“Mabuk atau tidak kau sama-sama sanggup melakukan itu.”
Tonjokan ringan mendarat di dada Sasuke hingga tubuhnya sedikit
sedikit limbung ke kiri. Itu adalah tenaga Sakura yang tidak sedang dalam
kondisi baik-baik saja.
“Kau tahu bukan itu maksudku!”
Sasuke mendengus kesal. “Kau berat, Sakura. Sial, aku harus
menggendongmu dari kedai minum sampai sini! Dan aku hanya punya
satu tangan. Itu yang membuatku menekanmu untuk jangan pernah
mabuk lagi,” ungkapnya. Setidaknya dia mengatakan sebagian dari apa
yang benar-benar terjadi semalam.
Satu tonjokan lagi di bahu. Kali ini lebih keras. “Kau mulai seperti
Naruto, ya. Dasar tidak peka. Jangan bilang berat pada seorang wanita!”
“Tch, terserah.” Mengabaikan bahunya yang dilanda sakit, Sasuke
melepaskan rangkulan tangan Sakura di lehernya dan membiarkan gadis
itu melakukan apa pun semaunya atau sebisanya. “Tidurlah lagi. Sebelum
itu, minum yang banyak. Kau punya obat antipengar?”
“Ada.”
“Di mana?”
“Biar aku saja yang ambil.”

129

Sasuke menahan pergerakan Sakura yang hendak beranjak. “Kau
tetap di sini. Di mana?”

Sakura mendesah pasrah. Namun, senyum menggelitiki bibirnya. “Di
tasku. Di resleting paling depan.”

Sasuke segera mengambil kantong obat Sakura yang ditaruh di
bagian depan tasnya. Dia menyerahkannya pada Sakura. Selagi gadis itu
mencari obat anti pengar, Sasuke mengisi gelas dengan air putih yang
sudah disediakan dalam teko dan membuka bungkus roti yang sudah dia
persiapkan sejak semalam.

Sakura menuruti kata-kata Sasuke setelah obat pengar ditemukan.
Dia memakan roti yang dipersiapkan Sasuke. Gelas pertama digunakan
untuk menelan obat, dan lelaki itu terus-menerus menyodorkan gelas
yang dipenuhi air mineral sampai ke gelas keempat. Sakura mengerang.
Dia mendorong gelas itu agak kasar hingga beberapa tetes membasahi
celana Sasuke, membuat lelaki itu mendecak kesal. “Sudah. Perutku
kembung!”

“Terserah kalau kau memang mau dehidrasi,” Sasuke berkata dengan
nada sinis.

Sakura mendesis menyadari kebenaran dalam kata-kata Sasuke.
Alkohol yang barangkali masih bercampur dengan darahnya pasti akan
membuat cairan di dalam tubuhnya menipis dan menyebabkan dehidrasi
berat. Dengan terpaksa, dia mengabaikan kembung di perutnya, dan
meraih gelas yang belum Sasuke simpan di mana-mana sembari mendecak.

“Kau bisa tidur lagi sekarang,” kata Sasuke ketika teko yang
sebelumnya dipenuhi air mineral yang sudah dia siapkan semenjak
semalam sudah kehilangan volumenya.

Sakura mengangguk. Dia menarik selimut sampai menutupi
pinggang. Erangan tertahan di dalam tenggorokan mengingat dirinya
sudah bertingkah menjengkelkan ketika Sasuke justru mencurahkan

130

perhatian. Sebelum kepalanya menyangga ke bantal, dia memeluk Sasuke
dan mengecup pipinya.

“Terima kasih, Sasuke-kun. Maaf aku bertingkah menjengkelkan.”
Ketika Sakura menarik diri, gadis itu bersin sebanyak tiga kali
berturut-turut. Sasuke mengernyitkan dahi. Tiba-tiba dia teringat Sakura
sudah bersin-bersin begini semenjak dua hari yang lalu, meskipun
sebelumnya tidak sering, seperti hanya memberi pertanda. Punggung
tangannya ditempelkan pada kening Sakura. Panas. Pantas saja embusan
napas yang membelai pipinya saat gadis itu mengecupnya pun terasa panas.
Meskipun dia bukan seseorang yang terlalu memahami medis, tetapi
Sasuke tahu alkohol tak akan membuat peminumnya bersin-bersin dan
mengalami kenaikan suhu yang drastis pada tubuhnya.
“Oh, sial,” rutuk Sasuke.
“Apa? Kenapa?” tanya Sakura khawatir sekaligus keheranan.
“Kurasa kau terkena flu. Mungkin kau lebih memahami ini, tapi tak
merasakannya karena kau yang mengalami sendiri.”
Sakura menggeleng. “Bukan masalah. Aku bisa mengobati diriku
sendiri. Meskipun tidak bisa instan, sih. Karena flu disebabkan oleh
virus.”
“Kau bisa melakukannya sekarang? Kupikir sebaiknya kau istirahat
dulu.”
Sakura tidak menjawab. Matanya menerawang ke langit-langit kamar,
tampak mempertimbangkan.
“Tidurlah, nanti kubangunkan lagi,” ucap Sasuke memutuskan bagi
Sakura.
Sakura tidak mengeraskan kepalanya kali ini. Dia mengangguk dan
berbaring. Sasuke membenarkan posisi selimutnya, dan mengawasi sampai
napas gadis itu benar-benar teratur.

131

Beberapa jam setelahnya, Sasuke keluar dan kembali dengan
semangkuk sup ayam. Dia bilang pada Sakura bahwa itulah yang selalu
ibunya berikan setiap kali dia terkena flu, perihal mempercepat proses
sembuh atau tidaknya, dia tidak tahu. Setelah makanan habis, Sasuke
meminta Sakura untuk tidur lagi agar cepat sembuh. Namun, Sakura
menyalakan cakra di tangannya dan mengarahkannya pada dada dan
lehernya sebelum itu.

Setiap kali Sakura berhasil tidur, Sasuke akan mengecup bibirnya
diam-diam sembari berbisik, “Cepatlah sembuh.”

Hal tersebut terjadi berulang sampai Sakura sembuh di tiga hari
setelahnya.



Sasuke baru saja kembali dari luar setelah memastikan keamanan
kondisi di sekitar mereka seperti yang dia lakukan setiap kali menetap
cukup lama. Sejak di perjalanan menuju penginapan, tenggorokan Sasuke
terasa kering dan gatal. Sudah dibasahi dan dibersihkan, tetapi gatalnya
sama sekali tak mau hilang. Embusan napas yang melewati hidungnya
terasa panas. Entah kenapa persendian di tubuhnya pun jadi lebih cepat
pegal.

Sasuke bergabung dengan Sakura yang tengah duduk dengan kepala
ranjang sebagai sandaran. Di tangan gadis itu ada sebuah buku yang di
mata Sasuke sudah familier karena saking sering dibaca. Dia bahkan yakin
bahwa buku itu sudah habis sampai halaman terakhir.

“Bukankah kau sudah menyelesaikan buku itu?”
Sakura menoleh dan menurunkan bukunya sekejap. “Memang. Aku
membaca ulang beberapa bagian yang kutandai untuk dipahami kembali.

132

Aku takut lupa banyak hal karena sudah lama tidak bekerja di rumah
sakit.”

Sasuke menggumam pelan dan menyelipkan tangan ke balik
punggung Sakura. Telapaknya berhenti di pinggang. Wajahnya dimajukan
hingga hidung tenggelam ke dalam helaian rambut Sakura. Dia menarik
napas panjang secara perlahan agar yang tertarik hanyalah udara—bukan
hal lain yang mengganjal napasnya—menghirup aroma yang begitu dia
sukai. Dia pun mengangkat wajah dan menempelkan dagu ke pucuk
kepala Sakura, kemudian memejamkan mata.

Sakura melipat halaman yang sedang dibacanya, lantas buku itu
ditutup. Sikap Sasuke agak berbeda. Entah memang perasaannya saja,
tetapi dia merasa lelaki itu bersifat sedikit manja. Sasuke tak pernah
mengomentari Sakura yang membaca buku lebih dari satu kali, dan kali
ini dia melakukannya. Sakura yakin ada sesuatu di balik itu. Dari caranya
bertanya, sebuah permintaan tersirat untuk menghentikan kegiatannya,
barangkali?

“Sasuke-kun?” panggil Sakura sembari meremas jemari Sasuke yang
menempel di pinggangnya.

“Hn ...,” gumam Sasuke asal, terdengar malas-malasan. Sakura
semakin heran mendengar lelaki itu seolah kehilangan ketegasan dalam
suaranya.

“Kau ... berbeda,” simpul Sakura. “Ada apa?”
Sasuke diam, tak menjawab. Yang dia lakukan hanyalah menarik
tubuh Sakura semakin mendekat. Sakura semakin bertanya-tanya. Dia
berasumsi bahwa Sasuke tertidur karena tak menjawab pertanyaannya. Tak
bisa melihat melalui mata, tangannya diangkat untuk menyentuh pipi
Sasuke. Panas. Tangan itu menjalar ke kening dan leher, dan dua tempat
itu memancarkan suhu yang lebih tinggi.
“Sasuke-kun, kau sakit!”

133

Sasuke mengerang. “Aku baik-baik saja, Sakura.”
“Kau tidak baik-baik saja! Cepat berbaring di atas bantal!”
“Tetaplah seperti ini dulu.”
Sakura mendesah, dia bahkan hanya punya sedikit akses untuk
bergerak jika posisinya seperti ini. “Kalau begini aku tidak bisa
merawatmu.”
“Hn.”
“Bergerak sendiri atau aku yang paksa?” Sakura berkata dengan
suara mengancam. Keduanya jelas tahu apa yang akan terjadi jika Sakura
yang memaksa.
Sasuke mendecih membayangkan apa yang terjadi setelah ini jika
dia terus melawan. Sakura pasti akan bertindak agak kasar. “Baiklah,”
ucapnya pasrah.
Sakura segera beranjak dan duduk di samping tempat tidur.
Dipeganginya dahi Sasuke sembari mengalirkan cakra penyembuh. Butuh
waktu tiga menit sampai Sakura memastikan bahwa prosesnya cukup.
Kemudian dia berbalik dan mencari-cari tisu. Tisu tersebut ditempelkan
di atas hidung Sasuke dan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk.
“Buang lendirnya,” titah Sakura.
Sasuke mengerang dan memalingkan wajah sampai tisu itu tak lagi
ada di atas hidungnya. Dia pun beranjak dari tempat tidur. “Aku buang di
toilet saja.”
Bahu Sasuke ditahan dengan kuat. “Sasuke-kun, tidak apa-apa. Ini
aku, bukan orang lain.” Sakura meyakinkan Sasuke. Semakin cepat Sasuke
membuangnya, semakin cepat juga lelaki itu bisa istirahat. Akhirnya
Sasuke menuruti apa yang Sakura katakan.
Setelah membuang tisu dan yakin bahwa hidung Sasuke sudah
bersih, Sakura kembali menempelkan punggung tangan pada leher.
Panasnya masih ada, tetapi mulai berkurang. Diembuskannya napas lega.

134

Sasuke tinggal istirahat sekarang, tapi ada pertanyaan yang mengganggu
pikiran Sakura.

“Aku mau tanya, tapi kau harus menjawabnya dengan jujur.”
“Hn.” Sasuke menatap Sakura hanya dengan sebelah matanya yang
terbuka.
Sasuke sakit pasti karena tertular virus yang sebelumnya menjadi
inang di tubuh Sakura. Padahal, Sakura yakin sekali dia sudah
menghindari kontak-kontak yang sekiranya akan menyebar virus. Dia
selalu membekap mulut menggunakan lengan ketika bersin, menghindari
penggunaan alat makan yang sama, bahkan tidur pun selalu membelakangi
agar saat dia bersin secara tak sadar pun Sasuke tak akan terkena. Namun,
sepertinya usahanya sia-sia. Dia berasumsi bahwa Sasuke mencari
penyakitnya sendiri. Entah secara sadar maupun tidak.
“Berapa kali kau menciumku diam-diam selama aku sakit, hm?”
Itulah salah satu penyebab sakitnya Sasuke yang muncul di kepala Sakura.
Perkiraan ini pun didukung oleh sarafnya yang terkadang merasakan
Sasuke menempelkan bibir pada permukaan bibirnya. Awalnya dia
beranggapan bahwa itu hanyalah mimpi. Namun, jika dikaitkan dengan
kenyataan, semuanya terasa masuk akal.
Mendengar pertanyaan Sakura, Sasuke langsung menutupi wajah
menggunakan tangannya, kemudian pura-pura tidur. Dia pun
mengabaikan tangan Sakura yang sedikit mengguncang bahunya. Tanpa
sadar seringai terbentuk di balik tangannya. Decakan kesal dari Sakura tak
terlewatkan oleh indra pendengarannya.
“Hei, jawab dulu!”

135

11
Harmoni Tangan dalam Tangan

Negara Air merupakan negara dengan curah hujan paling tinggi,
setidaknya dibandingkan dengan semua negara yang sudah Sakura
kunjungi. Udaranya di mana pun sama sekali tak sehangat Negara Api,
karena tetesan air dan awan yang mengembun berandil besar dalam
menurunkan temperatur. Mengingat langit yang begitu sering berawan,
cahaya matahari pun tidak mencium tanah di negara tersebut selama di
negara lain, apalagi di tengah-tengah musim dingin.

Semak belukar yang Sasuke sibak menggunakan senjata tajam sering
mencipratkan air yang menempel di dedaunan. Tanah yang diinjak begitu
becek. Jika berdiri lama di atas satu titik, sepatu pasti akan tenggelam ke
dalam lumpur. Itulah sebabnya Sakura merasa begitu lega ketika akhirnya
menemukan pijakan yang tak menelan apa pun yang menginjaknya.

Sakura merapatkan jubah kremnya untuk menghalau dingin yang
menyusup melalui celah terbuka. Pipi dan ujung hidungnya memerah
karena darahnya berkumpul di sana untuk menangkis dingin. Dia
bergerak kelewat aktif ketika sedang memasang tenda, sengaja
memanaskan tubuhnya.

136

Tiga meter di belakang Sakura, Sasuke tengah menumpukkan kayu
yang tak basah, atau setidaknya yang tidak begitu basah. Mustahil
memang membentuk perapian dengan cairan-cairan yang melekat erat
pada kayu-kayu ini. Namun, Sasuke hanya melakukan usahanya dan akan
memikirkan jalan keluarnya nanti. Setelah tumpukan kayu-kayu tersebut
meruncing ke atas, Sasuke menatap tangan kanannya dan mendesah berat.

Sakura bergabung di sampingnya dengan tas yang dipeluk di depan
dada. Dirogohnya saku terdepan dari tas tersebut. Dahinya mengernyit
ketika tangannya berhasil menggenggam apa yang dia cari, tetapi
sepertinya tak sesuai harapan. Ketika dia menariknya ke luar, dugaannya
benar.

“Ah, korek apinya basah,” keluh Sakura sembari menggoyangkan
kotak kertas basah di tangannya. Tak ada suara yang terbentuk, barangkali
karena basah membuat korek api itu menempel satu sama lain.
“Seharusnya aku menaruh ini di bagian yang dilapisi bahan parasut.”
Wajahnya merengut.

Sasuke mengangkat bahu. “Aku tak yakin api bisa menyala
meskipun korek api tersebut tak basah.”

Pandangan Sakura dilempar pada Sasuke, meminta penjelasan dari
kata-katanya. Dia mengikuti tatapan Sasuke yang tertuju pada tumpukan
kayu. Disentuhnya kayu itu. Basah. Kali ini Sakura yang mendesah.

“Padahal di sini dingin sekali. Sungguh!” Sakura memeluk tubuhnya
sendiri di balik jubah. Telapak tangannya digosok di depan wajah, karbon
dioksida yang dilepas dari mulut membentuk uap, turut menghangatkan
kulit meski sedikit. “Jadi ... bagaimana?”

Dadanya tiba-tiba diselimuti rasa tidak nyaman, apalagi setelah
mengingat tadi dia mendapati Sasuke sempat memandangi tangan
kanannya. Dia berasumsi Sasuke memikirkan kemungkinan jika kedua
tangannya masih ada, dia akan mampu membentuk jurus katon dengan

137

sempurna. Pikiran mengenai itu selalu muncul setiap kali mereka
membutuhkan api, itulah sebabnya Sakura selalu menyalakan api terlebih
dahulu saat Sasuke sedang tidak ada di sekitarnya. Namun, sekarang dia
malah mengeluhkan hal yang selama ini dia lakukan untuk membesarkan
hati Sasuke.

Sasuke terdiam. Otaknya berputar mencari solusi. Ditatapnya lagi
telapak tangannya yang kosong. Jika tangan kirinya masih ada, dia bisa
membentuk segel dan menghasilkan api yang cukup besar bahkan untuk
mengeringkan kayu dari mulutnya. Dengan satu tangan, segel yang
dibentuknya tak akan maksimal dan hanya akan menelurkan api kecil.

Dia melempar pandangan pada Sakura. Kedua sisi tubuh gadis itu
bergerak-gerak dari balik jubah, telapak tangannya tengah menggosok
kulit di baliknya. Selain Sakura, dirinya pun kedinginan. Napas yang
ditarik ataupun yang diembuskan sesekali menusuk bagian dalam hidung
karena saking dinginnya. Dia bisa saja mengaktifkan jurus yang dapat
menghangatkan tubuhnya dari dalam, tetapi dia memikirkan kondisi
Sakura. Mereka betul-betul membutuhkan api.

Sebenarnya ada solusi yang merangkak di otak Sasuke sedari tadi.
Namun, dia belum begitu yakin. Dia mengernyit ketika benaknya seolah-
olah berbisik, “Coba saja dulu.” Pada akhirnya, dia mengikuti petunjuk
tersebut.

Sasuke berjongkok di depan tumpukan kayu. “Sakura, pinjam
tangan kirimu.”

“Hm?” Sakura menaikkan sebelah alisnya keheranan, tetapi
mengikuti apa yang Sasuke pinta. Dia turut berjongkok dan menjulurkan
tangan kirinya ke arah Sasuke.

Tangan kanan Sasuke meremas tangan Sakura sekejap, kemudian
membimbing tangan itu untuk membentuk beberapa segel. “Sesuaikan

138

tangan kirimu dengan milikku,” pinta Sasuke. Sakura mengangguk, masih
tercengang.

“Ini segel untuk jutsu katon yang dapat menghasilkan api besar. Aku
butuh bantuanmu.” Sasuke menjelaskan tanpa memerlukan pertanyaan
dari Sakura. Dia membimbing Sakura sekali lagi. “Sudah hafal?”

Lagi-lagi, Sakura hanya bisa mengangguk. Entah kenapa pita
suaranya terasa mengalami disfungsi. Dia mengikuti pergerakan Sasuke
yang lebih cepat daripada sebelumnya. Dia berasumsi bahwa ini bukanlah
percobaan lagi, melainkan pelepasan jutsu-nya. Dan ketika Sasuke melepas
tangan kirinya kemudian membentuk huruf C di depan mulutnya, Sakura
memperhatikannya dengan saksama. Sepersekian detik setelahnya, api
besar keluar dari dalam mulut Sasuke, mengeringkan kayu hingga
membakarnya.

“Berhasil!” pekik Sakura di balik bekapan tangannya. Yang
melakukannya memanglah Sasuke, dirinya hanya membantu
menyempurnakan segel. Namun, sesuatu dalam dada Sakura meletup-
letup bahagia.

“Aku sama terkejutnya denganmu,” komentar Sasuke ketika
mendapati kedua mata gadis di sampingnya melebar. Matanya kembali
menatap puas ke arah api yang mulai membesar dibantu tiupan angin.

“Tapi Sasuke-kun, ba-bagaimana ...?” Sakura menatap tangan
kirinya sendiri.

“Aku tidak tahu.” Sasuke menjawab apa adanya. Dirinya pun tak
pernah tahu bahwa penyempurnaan segel bisa dilakukan dengan cara tadi.
Dia senang menemukannya pertama kali ketika mencobanya bersama
Sakura.

Telinga Sakura mendengar suara Sasuke memundurkan tubuhnya
hingga terduduk di atas batang pohon yang sudah ditebang oleh seseorang
sebelumnya. Sakura mengikutinya. Dia menyandarkan tubuhnya pada

139

Sasuke dan menempelkan pelipis pada bahu lelaki itu. Diangkatnya tangan
kirinya, kemudian dibuka dan ditutup berulang-ulang sambil ditatap.

“Jurus yang tadi itu ... teknik yang wajib dikuasai oleh setiap
anggota klan Uchiha. Apakah aku benar?” tanya Sakura skeptis. Dia
pernah mendengar tentang Uchiha dan bola api di masa kecilnya. Terang
saja, klan Uchiha cukup eksis di Konoha, dengan api dan kepolisiannya.

Sasuke mengangguk. “Tepat.”
Kehangatan mulai berbaur di udara, tetapi Sakura punya kehangatan
spesial lain yang melekat di hatinya. Kejadian tadi begitu berkesan pada
dirinya. Sekali lagi, dia sadar bahwa Sasuke-lah yang melepas jurusnya; dia
hanya pihak yang membantu. Namun, rasanya tetap saja tak cukup
meninggalkan kesan biasa saja.
Hampir semua perlakuan Sasuke padanya akan membekas di hatinya.
Entah itu yang manis ataupun yang pahit. Namun, Sakura memiliki daftar
tersendiri untuk yang paling melekat di hatinya. Di dalam daftar hal
manis, sebelumnya hanya ada dua. Ketukan dua ujung jari di kening
(meskipun sampai saat ini Sasuke masih terus menjawab: “Mungkin lain
kali,” setiap kali dia bertanya apa artinya) dan ciuman pertama. Kali ini
bertambah satu. Sasuke yang menyempurnakan segel untuk mengaktifkan
jurus wajib bagi seluruh anggota klannya dengan bantuan tangan kirinya
dirasa cukup untuk masuk ke dalam kategori yang hanya diisi dua
kenangan itu.
Sakura tak punya alasan khusus. Hanya saja, hal ini terjadi karena
Sasuke cukup percaya padanya untuk turut andil dalam teknik spesial dari
klan Uchiha tersebut, bukan? Sakura sangat mengenal Sasuke. Kalau
Sasuke tak mau dan tak sudi akan sesuatu, dia pasti tak akan
melakukannya dan memilih mengambil risiko. Sementara yang dia
lakukan tadi merepresentasikan kesudiannya mencampurkan tangan
Sakura untuk mengaktifkan teknik khusus dari klannya, padahal dia bisa

140

saja mengambil risiko untuk menahan dingin, yang nyatanya tak dia
lakukan.

“Mau teh?” tanya Sakura setelah tertarik kembali dari pikirannya.
Sasuke hanya menanggapi dengan sebuah anggukan. Ketika Sakura
beranjak menuju tenda, dia mengulurkan tangan ke depan dada.
Kepalanya tertunduk dan menatapi telapaknya. Bibirnya mengulas senyum
tipis mengingat Sakura-lah yang menyempurnakan jutsu-nya hingga api
bisa berkobar untuk menghangatkan udara yang menyelubungi keduanya.
Perasaan bagaimana kedua tangan berbeda pemilik yang saling bertautan
dan bekerja sama untuk membentuk segel masih melekat erat di kulitnya.
Meskipun tidak secara langsung, Sakura cocok dengan teknik wajib di
klannya.
Menggantungkan pegangan cerek pada kayu yang terbentang di atas
perapian, Sakura menjerang air dan menunggu sampai mendidih. Setelah
perputaran air terlihat dengan adanya gelembung-gelembung yang
membumbung melawan gravitasi, dia segera mengangkatnya dan
menyeduh teh ke dalam dua gelas. Sakura memberikan salah satunya pada
Sasuke sebelum bergabung duduk di sampingnya.
Suara kayu yang terbakar api berbaur bersama suara jangkrik. Mata
Sakura tak terlepas dari kobaran yang menari-nari di hadapannya. Terlepas
dari betapa lebih dinginnya tempat ini dibandingkan dengan Konoha,
Sakura punya empat sumber kehangatan. Perapian, gelas berisi teh panas
di tangannya, kalor yang berkonduksi dari tubuh Sasuke, serta hangat di
hatinya yang tak kunjung hilang. Dari wajah tenang tanpa kernyitan yang
Sasuke pasang, Sakura tahu bahwa dingin pun tak lagi mengganggunya.

141

12
Urusan yang Ditinggalkan

Dalam kunjungan ke kafe kopi yang awalnya bertujuan hanya untuk
membeli dan dinikmati di jalan, hujan lebat menjebak Sasuke dan Sakura
di dalamnya. Pengemasan pesanan mereka sudah dalam sajian yang khusus
dibawa pulang. Namun, mau tidak mau mereka menikmati kopi dan
sepotong cinnamon roll yang dipesan Sakura di tempat. Sakura dengan
canggung membuka bungkusan yang mestinya tidak diperlukan jika
mereka hendak menyantapnya di sini. Rikuhnya hilang saat menyadari
bahwa para pegawai kafe pasti maklum.

Dari balik kaca yang membatasi kafe dengan dunia luar, angin
tampak bertiup dengan sangat kencang hingga jatuhnya air benar-benar
dalam bentuk miring. Sudah terbayang sedingin apa temperatur di luar
sana, itulah sebabnya Sakura tidak mengeluh harus terjebak di dalam kafe
yang memiliki penghangat ruangan. Kopi susunya segera diseruput pelan-
pelan. Lidahnya terasa terbakar sejenak, tetapi hangat yang nyaman
sampai ke dalam tubuhnya.

Sasuke baru menyesap kopi hitamnya setelah menatap ke jalanan
cukup lama. Ini masih tengah hari, tetapi di luar tampak begitu gelap
karena tebalnya awan yang membawa hujan. Lampu kafe yang semestinya
dinyalakan menjelang malam kini sudah menerangi setiap sudut kafe,

142


Click to View FlipBook Version