The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

Sasuke membalikkan tubuh ke arah makam ibunya. Dia melakukan
hal yang sama seperti sebelumnya, mengusap batu nisan hingga bersih dan
nama yang terukir di sana terbaca lebih jelas. Uchiha Mikoto. Sasuke
bergeming seperti tadi, sementara Sakura ingin mengatakan sesuatu.
Namun, apa yang bisa diucapnya terasa sudah habis dikatakan pada ayah
Sasuke.

“Okaasan,” bisik Sasuke lirih. “Okaasan tidak perlu khawatir apabila
aku terluka dan tak ada yang mengobatiku, karena Sakura ada bersamaku.
Dia ninja medis yang hebat dan calon istriku.”

Sakura tak bisa menahan lelehan air matanya. Dia memalingkan
wajah dan menyekanya menggunakan jari tengah sebelum Sasuke
menyadari gelagatnya. Matanya dikerjap-kerjapkan hingga tetesan lainnya
tertahan.

“Aku harap Okaasan bisa bertemu dengannya, berbicara dengannya.
Aku tahu Okaasan akan menyukai Sakura. Aku harap Okaasan masih a—”

Sasuke menarik napas melalui mulut, seolah-olah tenggorokannya
tersekat. Dia menunduk dan menutup wajah menggunakan tangannya.
Bahunya gemetar, Sakura dapat melihat kerapuhan Sasuke sekarang.
“Sasuke-kun,” bisiknya sebelum melingkari tangan pada tubuh lelaki itu.
Dahi Sasuke menempel pada bahu Sakura.

Dalam dekapannya, Sakura merasakan gemetar pada tubuh Sasuke
lebih keras. Baru pertama kali Sakura melihat Sasuke serapuh ini.
Mungkin orang-orang yang tak mengenal Sasuke sama sekali tak
menduga bahwa dia memiliki sisi ini. Namun, bagi orang terdekat seperti
Sakura, dia tahu dan mengerti. Dia tak bisa membayangkan seberat apa
beban Sasuke selama ini, tapi dia memahaminya. Sakura ingin selalu
berada di sisi Sasuke dan membuatnya bahagia, setidaknya sedikit saja
mengurangi beban hati yang melimpah dalam diri lelaki itu—kesedihan
yang tak bisa Sakura bayangkan betapa sesaknya. Namun, yang bisa

293

ditawarkannya sekarang hanyalah sebuah pelukan, serta telinga yang siap
mendengar apa saja. Dia melonggarkan lingkaran tangannya saat getaran
pada tubuh Sasuke berangsur-angsur menghilang.

Sasuke mengusap nisan kedua orang tuanya bergantian kemudian
berdiri. Sakura turut berdiri dan masih memegang setangkai bunga
kamboja dan bunga bakung. Sasuke mengisyaratkan bahwa sudah
waktunya mereka pergi dari sini, tapi Sakura masih terpaku di pijakannya.

“Di mana makam kakakmu?”
“Makam kakakku tidak di sini,” jawab Sasuke. “Aku tidak tahu di
mana makam kakakku.”
Sakura mengecap kegetiran dalam kalimat itu. Dia menunduk dan
menaruh bunga kamboja di makam ayah Sasuke, serta menaruh bunga
bakung di makam ibunya—sebelumnya kedua bunga tersebut hendak
Sakura simpan di makam kakak Sasuke yang dia duga berada di sini juga
setelah perang berakhir. Tubuhnya tegak kembali dan mengangguk ke
arah Sasuke. Mereka meninggalkan tempat itu tanpa bicara apa-apa lagi.

294

27
Pertemuan Kembali

Sakura menemui Ino beberapa jam setelah pulang dari pemakaman.
Awalnya, Sakura ragu pergi karena merasa tidak enak meninggalkan
Sasuke setelah tadi. Namun, lelaki itu meyakinkannya bahwa dia tak
keberatan, dan Sasuke sendiri pun memiliki urusan yang hendak
dilakukannya. Saat Sakura bertanya, jawaban yang dia berikan adalah
Sakura akan tahu setelah Sasuke kembali nanti.

Dia menceritakan segala hal yang perlu diceritakan pada Ino. Apa
yang disampaikan pada Ino adalah hal-hal yang Kakashi dan orang tuanya
tidak ketahui. Sakura merasa lebih bebas mengekspresikan dirinya di
depan Ino, dan Ino sulit menahan dirinya untuk menahan komentar
sampai cerita Sakura selesai. Sakura beberapa kali jengkel karena ceritanya
terpotong, tapi dia tetap bersabar.

Ino pun turut menceritakan segala hal yang dilewatkan Sakura
selama gadis itu tak ada di Konoha. Tentang hidup keluarganya, tentang
hidup teman-teman seangkatannya, tentang Chouji yang tiba-tiba dekat
dengan gadis dari Kumo dan menikahinya, tentang Kiba yang tiba-tiba
didapati tengah menggendong seekor kucing, dan banyak lagi.

295

Saat hendak pulang, Sakura berpapasan dengan Sai di pintu masuk.
Sai terkejut melihat kehadiran Sakura di rumahnya meskipun sudah tahu
bahwa gadis itu sudah kembali saat melaporkan misi pada hokage. Mereka
berbicara sejenak dalam kondisi berdiri. Dari pembicaraan itu, dia
mengetahui bahwa lelaki itu baru saja pulang dari misi yang dilaksanakan
bersama dengan Naruto. Sakura berjalan pulang sambil mengantongi
kabar yang menurutnya baik.

Sasuke tengah duduk di sofa sambil membaca sebuah gulungan saat
Sakura masuk ke dalam apartemennya. Lelaki itu sungguh-sungguh
tampak baik-baik saja, seolah-olah kunjungannya ke makam orangtuanya
tidak pernah terjadi. Sakura sudah yakin inilah yang akan didapatinya;
Sasuke memang masih jarang mengekspresikan perasaannya.

“Jadi kau tadi mengambil gulungan-gulungan ini? Peninggalan
klanmu?” tanya Sakura setelah turut duduk di sofa.

“Hn,” sahut Sasuke. “Elemenmu apa?”
Sakura berkedip cepat karena pertanyaan Sasuke yang tiba-tiba.
“Elemenku?” beonya. “Hmm, tanah, air, yin dan yang. Ada apa?”
“Bukan apa-apa.”
Sakura merasa tidak puas akan jawaban Sasuke. Dia yakin ada
tujuan di balik pertanyaan lelaki itu. Namun, dia memutuskan untuk tak
bertanya lebih lanjut.
“Tadi aku bertemu Sai. Dia baru saja pulang dari misi yang
dijalankannya bersama Naruto.”
Sasuke diam. Tanggapannya hanyalah tatapan yang ditujukan pada
Sakura selagi gadis itu berbicara.
“Naruto sudah ada di Konoha sekarang. Sebaiknya kita
mengunjunginya. Entah mengapa, aku punya firasat dia akan mendobrak
pintu apartemenku bila kita tak mengunjunginya lebih dulu,” kata Sakura
sambil terkikik.

296

“Aku bisa membayangkan hal itu sungguh-sungguh terjadi.”
“Bagaimana kalau kita mengunjunginya besok? Sekarang dia pasti
masih membutuhkan istirahat setelah—”
Suara ketukan pintu yang ceroboh membuat Sasuke dan Sakura
saling pandang. Mereka jelas tahu siapa pelakunya.
Sakura mendesah. “Setidaknya dia tidak mendobraknya,”
komentarnya. “Sebentar, Naruto!”
Pintu terbuka dan menampilkan sosok Naruto yang masih dibalut
pakaian misi, beberapa bekas luka melintangi bagian-bagian tubuhnya.
Benar juga, Sakura lupa bahwa Naruto adalah lelaki yang tak kenal lelah.
“Kau sudah pulang, Sakura-chan! Mengapa kau tidak mengabariku
sebelumnya?”
Sakura memegang tengkuknya. “Aku tidak merasa itu perlu karena
sudah berniat akan mengunjungimu setelah kembali ke sini.” Mata Sakura
terpaku pada sobekan di pakaian yang melapisi lengan Naruto. Kulitnya
tersayat di sana. “Naruto, kau tidak sempat pulang ke rumahmu?”
“Tentu saja sudah! Aku kemari hanya untuk mengundangmu
makan malam bersamaku dan istriku.” Sakura tidak bisa menahan senyum
mendengar kata ganti yang digunakan Naruto untuk Hinata. “Di mana
Sasuke? Hokage bilang dia kembali bersamamu.”
Entah mengapa, pipi Sakura merona mendengar pertanyaan Naruto.
“Dia—”
“Naruto.” Suara Sasuke memotong kata-kata Sakura. Tatapan
Naruto langsung tertuju pada Sasuke yang kini tengah berdiri di depan
sofa Sakura. Dia tampak terkejut, kemudian mimik mukanya berubah
setelah matanya menyipit.
“Apa yang sedang kaulakukan di apartemen Sakura-chan?”

297

Sasuke dan Sakura saling pandang mendengarnya. Sakura memelas
dan meminta Sasuke untuk menjawab pertanyaannya. Wajah gadis itu
sudah semerah tomat kesukaan Sasuke sekarang.

“Tunggu, tunggu, tunggu! Jangan-jangan kalian ...?” Mata Naruto
membelalak setelah menyadari sesuatu. “Sakura-chan, siapa namamu?”

Sakura mengernyit. “Apa maksudmu?”
“Nama lengkapmu?”
“Haruno Sakura,” jawab Sakura setengah kesal. “Bodoh, kau lupa
namaku?!”
Alih-alih takut akan emosi Sakura yang mulai naik, Naruto justru
terkejut akan jawaban gadis itu. “Kalian belum menikah?! Aku baru saja
mau marah karena tidak tahu apa-apa soal itu!” Volume suaranya
mengencang.
Sasuke mendecak. “Usuratonkachi.”
“Hei!” Naruto menyalang kesal ke arah Sasuke.
“Kau berisik sekali, Naruto! Jangan berteriak-teriak di depan
apartemenku!” Sakura menarik pakaian Naruto hingga lelaki itu memasuki
ambang pintu apartemennya. “Duduklah, bicara yang tenang! Sekalian
kuobati lukamu.” Tangan Sakura yang bebas sudah menyala-nyala
karena cakra hijau.
“Tidak, aku hanya mau mengundang makan malam bersama.
Hinata pasti sudah menungguku.”
“Diamlah sebentar,” kata Sakura. Dia mengarahkan tangannya pada
luka di lengan Naruto. Sayatan itu berangsur-angsur tertutup. “Selesai.”
“Terima kasih, Sakura-chan.” Dia menyengir. Tangannya menepuk-
nepuk lokasi bekas luka yang kini yang hanya ditandai oleh sobekan baju
saja. Padahal dia berniat menyembuhkannya sendiri menggunakan cakra
Kyuubi saat pulang nanti. Syukurlah Sakura berbaik hati.

298

“Aku pulang kalau begitu,” katanya. Dia menatap Sakura dan
Sasuke satu per satu. “Kutunggu kalian di rumahku. Awas saja kalau tidak
datang!”

Apartemen itu terasa jauh lebih sepi setelah Naruto pergi. Padahal,
kehadiran Naruto hanyalah beberapa menit di sini. Sakura memandang
Sasuke dan terkikik geli.

“Dia sama sekali tidak berubah,” kata Sakura.
Sasuke hanya menanggapi dengan gumaman.
Saat mendekati jam-jam makan malam, mereka segera bersiap-siap
dan langsung menuju rumah keluarga Uzumaki.



Makan malam itu dilalui sambil bercengkrama. Sasuke lebih banyak
mendengarkan dan menyimak daripada berbicara. Lagi pula, beberapa
topik pembicaraan tiga orang lain di meja itu sama sekali tak dia pahami.
Dia tak merasa memiliki celah untuk bergabung. Satu-satunya yang dia
sampaikan adalah salam yang dititipkan oleh Shigeru dari Negara Teh
untuk Naruto. Hal tersebut berlaku sampai kebersamaannya dengan
Sakura diungkit oleh Naruto.

“Kalian ‘kan sudah bersama-sama selama berbulan-bulan. Apakah
kau sudah mengalami rasanya ditonjok Sakura-chan?”

Sakura tertawa sampai bahunya terguncang.
Sasuke berdeham, lantas membersut. “Sudah.”
Naruto membelalak, diikuti oleh bahakan. “Benarkah itu, Sakura-
chan?”
Sakura mengangguk. “Ternyata Sasuke-kun bisa usil.” Kekehan
lepas lagi dari bibirnya.

299

Naruto terbahak lagi. “Aku sungguh-sungguh ingin melihat
bagaimana itu terjadi!”

Sasuke mendecak. Seharusnya dia tak perlu mengungkapkan itu
pada Naruto.

“Kudengar kalian sudah bertunangan?” tanya Hinata tiba-tiba.
Pipi Sakura memerah. “Ya,” jawabnya sambil tersenyum. Dalam hati,
dia terheran-heran dari mana Hinata mendengar kabar itu. Namun,
mengingat dia sudah memberi tahu Ino, semuanya terasa masuk akal.
“Apa?” Naruto menganga tak percaya.
Sasuke mengangguk untuk menegaskan jawaban Sakura. Dia tak
mengerti akan tanggapan Naruto. Beberapa saat yang lalu, lelaki itu
menduga bahwa dia dan Sakura sudah menikah. Bagaimana mungkin
pertunangan masih mengejutkannya juga?
“Kapan pernikahannya?” tanya Hinata lagi.
Sasuke dan Sakura menatap satu sama lain. “Kami belum
menentukannya,” jawab Sakura. “Sasuke-kun baru meminta restu ayahku
kemarin, jadi kami belum sempat membicarakannya lagi.”
“Kuharap secepatnya,” kata Naruto. Dia menggenggam tangan
Hinata dan menatap matanya. “Menikah itu ... melengkapi hidupmu.”
Sakura mengangguk dan tersenyum. Sudah tak ada lagi yang dia
dan Sasuke tunggu. Sudah tak ada lagi yang menunda pernikahan mereka.
Mungkin memang bisa dilaksanakan secepatnya.
Pembicaraan mereka lama-kelamaan beralih pada pembicaraan
seputar perempuan yang hanya diusung oleh Sakura dan Hinata. Sadar
akan hal tersebut, mereka memisahkan diri dan meninggalkan Sasuke dan
Naruto di meja makan.
Naruto mengembuskan napas panjang. Ada sebuah pertanyaan yang
tersemat di kerongkongannya semenjak dia tahu bahwa Sasuke dan Sakura
kini bersama. Sekelumit prasangka menggelitiknya. Dia menyipit.

300

“Kau tidak mengambil keuntungan apa pun dari Sakura-chan,
'kan?”

“Keuntungan apa yang kau maksud?” Sasuke mengernyit.
Naruto berdeham. “Maksudku—kau tidak menggunakannya untuk
kepentinganmu, ‘kan? Kau tahu dia mencintaimu. Aku tak akan suka jika
kau hanya memanfaatkannya atau hal semacam itu.”
Sasuke merasa terganggu atas kata-kata Naruto. Bukan hanya
karena dirinya yang dituding seenaknya, juga karena penuturan itu yang
mengindikasikan sesuatu. “Kenapa kau peduli? Kau masih menyukainya?”
katanya sengit.
Naruto memandang Sasuke tak percaya. “Aku menyayangi Sakura-
chan seperti saudariku sendiri. Aku sudah menikah, Sasuke! Aku hanya
tak mau kau menyakitinya.”
“Aku berusaha untuk tak akan melakukan itu.”
Lagi, Naruto memandang Sasuke tak percaya. Namun, kali ini
dengan aura yang berbeda. Sasuke berucap dengan tulus meskipun
intonasinya masih datar seperti biasa. Bila Naruto tidak mengenalnya
dengan baik, dia pasti tak akan memahaminya. Cara Sasuke bertutur persis
seperti saat lelaki itu meminta maaf pada Sakura setelah mereka bertarung
hingga kehilangan satu tangan. Satu kesimpulan muncul di benaknya.
Empasan ombak rasa lega membanjiri hatinya.
“Kau mencintainya.”
Benar atau tidaknya konklusi Naruto, dia punya firasat Sasuke akan
tetap menyangkalnya.
“Ya.”
Yang nyatanya salah. Naruto terkejut akan itu.
“Sejak kapan?”
“Aku tidak tahu.”

301

Naruto terdiam. Dia ingat Sakura adalah satu-satunya gadis yang
pernah Sasuke pedulikan. Meskipun ada masa dia nyaris membunuh gadis
itu, saat Sasuke tidak sedang dikendalikan oleh akal sehat, tapi Sakura
tetaplah satu-satunya gadis yang pernah—nyaris selalu—Sasuke pedulikan
dan perhatikan. Semuanya terdengar masuk akal sekarang.

“Jangan menyakitinya,” peringat Naruto. “Kau sahabatku, tapi aku
akan selalu ada di pihaknya.”

“Aku tahu.”
Percakapan mereka berlanjut hingga malam melarut dan nyaris
melampaui waktu orang-orang memulai istirahat. Naruto sempat
mengajak Sasuke latihan bersama saat ada waktu luang dan disetujui
sebelum Sasuke dan Sakura berpamitan dan pulang.
Saat tiba di apartemen Sakura, gadis itu duduk di sofanya. Raut
wajahnya tampak rileks dan senang. Pancaran rasa senang di wajah Sakura
bertahan cukup lama hingga memias sedikit demi sedikit. Ekspresinya tak
bisa lagi Sasuke baca. Kemudian Sakura terdiam. Dalam gemingannya, dia
tampak tengah memikirkan sesuatu. Dia mengambil segelas air mineral
dan meminumnya, dan setelah habis, dia berkata, “Aku tidak ingin
menikah di sini.”
“Apa?” Sasuke sontak menoleh ke arah Sakura. Keterkejutan
melingkupinya. “Kenapa?”
“Karena itu lebih terasa seperti ... kita.” Sakura baru menoleh ke
arah Sasuke lagi. “Dan, entahlah, aku merasa jika kita menikah di luar
desa, aku tak memiliki apa pun untuk dicemaskan.”
Sasuke mengembuskan napas panjang. “Kalau yang kaucemaskan itu
adalah aku, lupakan saja. Tak masalah bila kita menikah di sini.”
“Tidak. Aku hanya ingin merasa tenang, Sasuke-kun. Di sini ... di
sini masih banyak orang yang merasa berhak untuk menghakimiku.” Dan

302

kau jelas-jelas tidak tampak senyaman saat berada di luar desa. Aku tidak
ingin menyiksamu.

“Menghakimimu atas aku?” Entah mengapa seringai sinis muncul di
wajahnya. “Mereka memang tidak salah menilai.”

“Hentikan.” Sakura melempar tatapan terganggu. “Aku tak ingin
mendengar itu. Aku akan benci sekali kalau kau menjadi satu di antara
mereka yang menghakimiku.” Dia mengembuskan napas panjang ketika
sadar bahwa Sasuke enggan memperpanjang pembahasan yang sudah
melenceng dari apa yang ingin Sakura bicarakan. “Bagaimana denganmu?
Apa gagasanmu soal pernikahan kita nanti?”

“Aku tidak yakin dengan apa yang aku inginkan. Tapi aku
membayangkan kau mengenakan shiromuku.”

“Kau pernah membayangkan pernikahan kita?”
Sasuke mengalihkan pandangan dari Sakura. Dia membersihkan
tenggorokannya. “Itu bukan sesuatu yang bisa kucegah.”
“Aku pun selalu ingin mengenakan shiromuku milik ibuku saat aku
menikah nanti.” Sakura tersenyum.
“Aku akan memakai montsuki haori hakama milik ayahku. Aku
sudah menemukannya.”
Kedua mata Sakura membelalak. Ingatannya berlabuh pada saat
Pain menghancurkan Konoha sampai rata dengan tanah. Distrik Uchiha
tak lagi dibangun berbarengan dengan bagian desa lainnya walaupun dia
tahu dari Sasuke bahwa barang-barang yang utuh masih disimpan di
tempat khusus. Dia jelas terkejut mendengar barang serapuh kain masih
utuh setelah kejadian itu. “Sungguh? Masih utuh?”
“Hn. Aku menemukannya di dalam peti yang juga
berisi shiromuku milik ibuku.”

303

“Oh,” sahut Sakura. Mungkin kedua barang itu memang disimpan
di dalam peti sejak awal sehingga bisa tahan hancur saat penyerangan Pain
ke Konoha.

“Untuk tanggalnya, sebaiknya kita lihat almanak saja.”
Sasuke menyetujuinya. Sakura meraih almanak dari rak bukunya.
Dia mencocokkan tanggal lahirnya dan tanggal lahir Sasuke. Tahun lahir
mereka yang sama sedikit memudahkannya. Ada beberapa tanggal
menguntungkan bagi Sakura, tetapi bagi Sasuke adalah kontradiksinya dan
begitu pula sebaliknya. Dia mencari lagi sampai menemukan satu tanggal
yang netral bagi keduanya serta tak ada pantangan dalam bentuk apa pun.
Karena sangat sulit mencari tanggal yang sama-sama menguntungkan bagi
keduanya di waktu dekat, dia memutuskan bahwa yang netral saja sudah
cukup. Minggu keempat di bulan Juni—tepatnya tanggal dua puluh enam.
“Kurang lebih tiga minggu dari sekarang,” kata Sasuke. “Tidak
terlalu cepat?”
Sakura menggeleng. “Tidak jika kita tidak mengadakan resepsi.
Kurasa kita tidak membutuhkannya.”
“Aku tidak,” ujar Sasuke. “Tapi kau iya.”
“Tidak. Aku tidak mau dihakimi, dalam bentuk apa pun, di hari
pernikahanku.”
“Sakura—”
Sakura tersenyum lembut untuk meyakinkan Sasuke. “Aku hanya
ingin bahagia di hari pernikahanku, Sasuke-kun. Pernikahan kita. Aku
tidak ingin salah satu di antara kita terbebani oleh penilaian orang lain
yang bisa dilihat secara langsung.”
“Aku mengerti. Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu.”
“Ini yang terbaik untuk kita.”
Sasuke mengangguk dan menepuk puncak kepala Sakura.
“Apa yang akan kaulakukan setelah kita menikah?”

304

“Aku tetap ikut denganmu,” kata Sakura tegas. Matanya menyorot
keyakinan penuh. “Aku mengerti sesuatu akhir-akhir ini, dari
percakapanmu dengan ayahku, bahwa kau bepergian bukan hanya sesuatu
yang kauinginkan, tetapi adalah yang kaubutuhkan. Sementara aku
membutuhkanmu.”

“Aku bisa menghentikannya atau melakukannya tidak terlalu sering.
Aku bisa membiasakan diri.”

Sakura menggeleng. “Tapi menetap di sini pasti berat untukmu.
Soal klanmu …” Kata-kata yang melengkapi kalimat yang diucapnya terasa
pahit di lidah. Dia menggantungkan kata-katanya di udara.

Sasuke mengembuskan napas panjang.
“Itu bukan hanya tak mudah untukmu, dan kesulitanmu menjadi
kesulitanku juga.” Sakura tampak murung. Dia tak ingin membicarakan
topik pahit ini lagi. Benaknya buru-buru memproduksi topik lain. “Dan
aku akan membicarakan soal pekerjaanku dengan Tsunade-sama besok.”
Sasuke tertegun. Perihal pekerjaan Sakura sama sekali luput dari
benaknya. Dia nyaris lupa bahwa bagaimanapun hidup Sakura tetap
berpusat di Konoha. “Sakura, aku tak yakin tentang ini. Dan orang
tuamu—”
“Tapi aku yakin, Sasuke-kun. Aku akan membicarakan ini dengan
orang tuaku.”
“Aku tidak ingin merusak hidupmu.” Melihat Sakura hendak
mendebatnya, Sasuke buru-buru menambahkan, “Atau menjadi alasan kau
merusak hidupmu sendiri.”
“Tak satu pun dari dua hal yang tidak kauinginkan itu terjadi
ataupun akan terjadi. Inilah jalan keluar yang paling tepat. Kau
mendapatkan apa yang kaubutuhkan, dan aku juga. Seperti yang kubilang
tadi, ini yang terbaik untuk kita,” tutur Sakura. “Ya?”

305

“Kau meminta persetujuanku seolah-olah aku punya pilihan lain.”
Sasuke mendengus.

Sakura tertawa. “Dan aku tahu kau tidak menginginkan pilihan lain.”
Sasuke tidak menyangkalnya.

306

28
Konflik

“Aku turut menyetujui pernikahan kalian bukan untuk ini!”
Mebuki berdiri dari duduknya dengan tergesa-gesa. Suara kursi yang
menggeret lantai menyayat telinga.

“Kaasan!” Sakura membelalak tak percaya. Dia melirik khawatir ke
arah Sasuke. Bahu lelaki itu menegang. Raut wajahnya lebih kaku
daripada biasanya.

Sakura baru saja menyampaikan segala hal yang sudah
direncanakannya dengan Sasuke kemarin. Suasananya masih damai saat
rencana pernikahan disebutkan seluruhnya, dan ketenangan itu pecah
berkeping-keping saat rencana pascapernikahan diutarakan.

“Aku sudah berusaha memahami perasaan Sakura. Aku mencoba
menoleransi pasangannya yang merupakan mantan ninja pelarian, kriminal,
dan narapidana, tapi tidak soal ini. Tidak soal ini!” Sorot mata Mebuki
mengarah ke Sasuke yang menarik dagu dan tak menatapnya balik. “Aku
sebelumnya memercayaimu, Uchiha, karena Sakura bilang bahwa kau
sudah berubah, kau adalah lelaki baik-baik, tapi lelaki baik-baik jelas tak
akan melakukan ini pada calon istrinya! Pada anakku!”

307

Sasuke meneguk ludahnya. Kata-kata Mebuki yang membawa-bawa
keburukannya di masa lalu sama sekali tak asing baginya. Tak bisa
dipungkiri ada sekelumit penyesalan dan dia tersinggung setiap kali
mendengarnya—demi Kami-sama, dia sudah berusaha untuk berubah dan
membayar kesalahannya di masa lalu!—dan dia mulai terbiasa dengan itu.
Namun, saat mendengar ibu Sakura yang menyatakannya kekebalan
Sasuke atas cercaan orang-orang seolah-olah tidak pernah ada, sudah
runtuh dan hancur menjadi debu. Tenggorokannya terasa disumbat
hingga dia sulit bernapas.

Kizashi tak percaya Mebuki bisa berkata sefrontal itu. Sebenarnya
dia pun tak setuju dengan keputusan Sakura dan calon menantunya. Dia
pun hendak menyatakan ketidaksetujuannya, tetapi sama sekali bukan
seperti cara Mebuki. Dia berencana untuk membicarakannya baik-baik
agar kedua belah pihak tak terbawa emosi; sama sekali tidak seperti
keadaan yang menjebaknya saat ini.

Dia bisa melihat seberapa terlukanya Sakura, tetapi dia tak bisa
membaca apa yang Sasuke rasakan. Tak lama, kilatan yang sama dengan
yang muncul di mata istrinya turut timbul di mata Sakura. Membaca itu,
Kizashi lekas berkata, “Sakura, masuklah ke kamarmu atau kembalilah ke
apartemenmu. Bawa Sasuke bersamamu.”

Kedua tangan Mebuki mengepal di kedua sisi tubuh. Raut geram
terpancar dari wajahnya. “Kau merusak hidup Sakura!”

“Mebuki, cukup.” Kizashi segera berdiri dan menarik lengan istrinya
untuk menjauh dari putri dan calon menantunya. Dia yakin kondisi bisa
lebih parah dari ini.

“Kaasan! Akulah yang memutuskan semua itu!” Air mata mengaliri
pipi Sakura, atas rasa sakit atau kemarahan, tak ada yang tahu. “Aku
bahkan yang membujuk Sasuke-kun untuk menyetujuinya. Dia tidak
merusak hidupku!”

308

Mebuki menyentak lengannya, berusaha lepas dari pegangan Kizashi.
“Kau tidak akan berkeputusan seperti itu jika kekasihmu bukanlah dia.
Dia memang tak punya hidup di sini, tapi kau harus sadar bahwa kau
masih memilikinya!” Matanya menyalang ke arah Sakura yang tampak
menantangnya dengan turut berdiri. “Kau seharusnya memilih lelaki yang
tidak bermasalah!”

Seluruh pembelaan dan perlawanan yang bermuara di tenggorokan
Sakura melenyap dalam sekejap. Dia mematung. Rasa sakit melintang di
wajahnya. Tangannya membekap mulut yang mulai menuai isakan.
Pandangannya kosong, dia sama sekali tak berani melihat ke arah Sasuke.
Dia saja merasa sangat, sangat sakit atas segala ucapan ibunya, dan dia tak
bisa membayangkan bagaimana perasaan Sasuke. Dia bahkan takut untuk
membayangkannya.

“Kembalilah ke apartemenmu,” samar-samar Sakura mendengar
ayahnya berucap. Dia mengerjapkan mata dan menatap wajah ayahnya.
Pandangannya memburam. “Sakura.”

Sakura mengusap wajahnya agar pandangannya menjelas. Air mata
muncul lagi dan kembali memburamkan penglihatannya. Dia memegang
lengan Sasuke tanpa keberanian untuk menatapnya. Dengan langkah
buru-buru tapi tak pasti, Sakura meninggalkan rumah orang tuanya.

Dalam perjalanan, Sakura melepas genggamannya dan melangkah
lebih cepat daripada Sasuke. Sasuke tak menyusulnya. Dia tak punya
alasan untuk itu. Dadanya masih terasa nyeri, bahunya masih berat,
napasnya masih sesak. Dia tak bisa membayangkan apa yang terjadi setelah
ini. Dia tak tahu bagaimana menyelesaikan semua ini.

Mereka tak saling bicara setelahnya. Tidur dilalui dengan posisi
punggung menghadap punggung dan saling berjauhan walaupun mereka
sama sekali tidak bertengkar. Ini bahkan jauh lebih buruk daripada
bertengkar.

309

Hal tersebut terulang terus setiap hari dan malam. Seharusnya
mereka rutin makan malam di rumah orang tua Sakura, itulah yang ibu
Sakura pinta sebelum ini terjadi, tetapi malam itu menjadi yang terakhir
kali. Paginya Sasuke akan berlatih bersama Naruto, ditanyai, ‘Ada apa?’
karena beberapa kali kedapatan melamun. Sasuke menolak bercerita apa
pun lantas kembali lagi ke apartemen Sakura untuk menyambut
kehampaan. Ada atau tidaknya gadis itu sama sekali tak memberi
perbedaan. Bangunan itu masih sama hampanya baik dengan hadirnya
Sakura atau tidak. Bahkan terasa lebih menyesakkan saat Sakura berada di
sana.

Sakura beberapa kali keluar lama dan Sasuke sama sekali tak tahu ke
mana tujuannya—dia pun tak mencari tahu. Sampai satu hari dia
mengetahui bahwa Sakura menerima misi ke luar desa hingga bermalam,
dan dia tak tahu apa-apa soal itu, Sasuke tak bisa memungkiri kemarahan
yang membuncah di tubuhnya. Namun, dia tak mengatakan dan tak
melakukan apa-apa selain tidur di sofa yang biasanya di kamar Sakura
walaupun mereka tak saling bicara dan saling membelakangi.

Mereka berusaha untuk tak berada di dalam ruangan yang sama
setelahnya.

Sasuke ingin Sakura bicara padanya, menangis, berteriak, marah
atau apa pun, apa pun selain diam seperti ini. Dia tak tahu betapa Sakura
merasakan hal yang sama. Namun, mereka tetap diam. Membahas tentang
yang terjadi malam itu terasa begitu menyakitkan. Mereka diam karena
tak ada satu hal lain pun yang mengisi benak mereka selain kemarahan ibu
Sakura. Hal itu membuat tak adanya gagasan topik pembicaraan yang tak
akan menyakiti satu sama lain. Betapa kejadian itu melekat di benak
mereka dan sama sekali tak bisa dihapus barang satu detik pun.

Di malam yang mereka rencanakan akan menjadi malam terakhir
berada di Konoha, Sakura keluar dari kamarnya saat Sasuke berada di

310

ruang tengah. Sasuke baru saja hendak berdiri, keluar dari apartemen itu,
kemudian pergi ke mana saja—taman, hutan, lapangan latihan, puing-
puing kuil Naka—ke mana saja asal tidak dalam ruangan yang sama
dengan Sakura. Dia tak bisa lagi menoleransi rasa sesaknya.

Namun, niatnya untuk beranjak terhenti saat Sakura menaruh dua
buah gelas berisi teh di atas meja. Salah satunya didorong ke arah Sasuke,
dan satunya lagi diangkat oleh dirinya sendiri untuk disesap isinya. Sasuke
menatap Sakura dalam diam. Gadis itu menaruh gelasnya di meja,
menyandarkan punggung pada sofa, kemudian memeluk lututnya. Tiba-
tiba tangisnya pecah.

Sasuke beringsut ke arah Sakura dengan ragu. Tangannya perlahan-
lahan melingkari tubuh kecil gadis itu sembari menilai tanggapannya. Tak
ada penolakan apa pun sampai Sasuke sepenuhnya mendekap Sakura.
Kepala gadis itu menyandar pada dadanya. Suara tangisnya semakin keras
dan getaran di tubuhnya semakin kencang. Sasuke mendekapnya semakin
erat.

“Maafkan aku,” isaknya. “Aku minta maaf, Sasuke-kun. Ini
salahku. Ini salahku.”

Sasuke memejamkan mata dan menggeleng. “Ini bukan salahmu.”
“D-dan bukan salahmu juga,” kata Sakura. Suaranya teredam karena
wajahnya masih tenggelam di dada Sasuke. “Kau h-harus mengerti bahwa
ini bukan salahmu.”
Sasuke bergeming.
“Sasuke-kun.”
Tak ada jawaban.
“Sasuke-kun.” Sakura mengisak. Tangannya meremas kaus Sasuke.
“Kumohon.”
Sasuke mengembuskan napas panjang. “Aku layak mendapatkannya.
Dan apa yang …” dia meneguk ludah, “apa yang ibumu katakan tentang

311

aku memang tak salah. Tapi aku tak ingin melepasmu apa pun yang
terjadi. Apa pun.” Dia jelas terdengar egois dan menekankan hal tersebut
dalam kalimat tersebut, tetapi dia tak peduli.

Sakura menggeleng. “Tapi ibuku bisa memilih untuk tidak
menyampaikannya sekasar itu,” bisiknya. “Aku bahkan sakit saat
mendengarnya.”

Mereka tak berbicara lagi dalam beberapa saat. Isakan Sakura
berangsur-angsur berhenti.

“Kita ... kita lari saja,” cetus Sakura. “Aku tidak peduli lagi.”
Kau peduli, Sakura. Kalau tidak peduli kau tidak akan seperti ini.
Sakura menarik diri dari dekapan Sasuke. Dia menengadah dan
langsung menatap wajahnya. “Tidak,” dia tertawa kecil. Tawa itu
terdengar menyakitkan baik bagi Sasuke maupun Sakura. Air matanya
mengalir lagi. “Kalaupun kita pergi sekarang, kita tidak kawin lari. Ayahku
tidak menarik restunya.”
Sasuke masih diam.
“Semuanya akan tetap berjalan sesuai rencana. Semua ...
kecuali ... shiromuku yang kupakai nanti.” Sakura meneguk ludah dan
menghapus jejak air matanya lagi.
Sasuke menarik napas panjang. “Kau,” ucapnya ragu, “kau bisa
memakai shiromuku milik ibuku.”
Senyum kecil mengembang di bibir Sakura. Aliran air mata baru
Sasuke hapus secepatnya. “Ya,” katanya. “Itu akan sempurna.” Napasnya
tersekat di tenggorokan.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi …,” Sakura berucap
dengan nada lirih.
Kita berdua tahu itu tidak benar.

312

Sakura mendekap Sasuke lagi dan menenggelamkan wajah ke
dadanya. Tangisnya pecah lagi. Sasuke tak melakukan apa pun selain
melingkari tangannya di tubuh Sakura.

Beberapa saat setelah tangis Sakura berhenti, apartemen ini berubah
sepi. Dua orang pengisi bangunan itu telah memutuskan untuk pergi.

313

29
Ancang-ancang

Sasuke dan Sakura sudah sepakat pernikahan mereka akan
dilaksanakan di Negara Api, dalam sebuah desa kecil dengan seluruh
penduduknya merupakan warga sipil tanpa adanya shinobi. Desa itu adalah
desa dengan kepercayaan spiritual yang kuat. Terdapat kuil yang berdiri di
setiap sisinya. Spiritualitas yang kuat itu entah mengapa memikat Sakura
dan membawa rasa damai bagi Sasuke. Maka dari itu, keputusan tidak
sulit mencapai mufakat.

Kuil yang mereka pilih adalah kuil yang paling direkomendasikan
oleh beberapa orang yang ditanyai oleh Sakura saat mereka ada di sana.
Kata mereka, kuil tersebut adalah kuil yang indah, suasananya paling
damai karena jauh dari hiruk-pikuk, serta memang sering dipilih sebagai
tempat untuk prosesi pernikahan. Sasuke hanya mengikuti apa kata
Sakura karena yang terpenting baginya adalah pernikahan mereka. Namun,
dia turut andil dalam segala persiapan pernikahan ini.

Di dekat kuil tersebut terdapat salon yang memang berspeliasasi
mendandani mempelai. Benar saja yang orang-orang katakan tentang kuil
ini sering dijadikan lokasi pernikahan, penduduk di sini pun
memanfaatkan situasi tersebut dengan membangun salon. Sakura sudah

314

memesan jasa mereka untuk hari pernikahan mereka. Dia ditawari pakaian
untuk pernikahan, tetapi jelas ditolak karena dirinya dan Sasuke sudah
memilikinya.

Mereka kembali ke penginapan dengan kepala yang terasa pusing
karena tidak menduga persiapan pernikahan sesederhana yang mereka
inginkan ternyata lebih rumit daripada yang diduga. Keduanya langsung
istirahat dalam bentuk apa pun yang mereka pilih.

Satu hari sebelum pernikahan mereka, Sasuke dan Sakura
menikmati teh sore di balkon kamar sewa mereka. Detak-detak gugup
sudah timbul, tetapi mereka tidak membicarakannya. Sasuke dapat
membaca bahwa teh adalah upaya yang Sakura pilih untuk merilekskan
dirinya, yang juga diam-diam menenangkan Sasuke juga.

Di tengah-tengah kondisi rileks dan santai itu, Sasuke tiba-tiba
teringat akan kejadian pahit yang baru-baru ini terjadi pada hubungan
mereka saat di Konoha. Ini sudah sehari sebelum pernikahan mereka, dan
mereka tidak pernah membahasnya. Hati Sasuke terasa berat. Dia tidak
bisa seperti ini terus.

“Tentang orang tuamu …,” kata Sasuke tiba-tiba.
“Aku tidak ingin membicarakan ini,” potong Sakura. Wajahnya
memasam. Dia menggeleng-geleng berkali-kali. “Tidak sekarang.”
“Tapi aku ingin membicarakannya.”
Dahi Sakura mengerut. “Sasuke-kun.”
“Kau—kita—tetap harus berbicara dengan mereka.”
“Tidakkah kau ingat kata-kata ibuku? Aku tidak mau kau
mengalami hal seperti itu lagi. Dan mereka jelas-jelas tidak akan bisa
diajak bernegosiasi.”
Sasuke memejamkan matanya. Dia pribadi pun tak ingin mengalami
penolakan dengan cara seperti itu lagi. Dia menarik dan mengembuskan
napas panjang untuk mencoba melupakannya. Tidak bisa. Bahkan hinaan

315

ibu Sakura masih terngiang di telinganya yang tak ayal membuat hatinya
sakit. Namun, dia tahu dia tidak bisa hanya lari.

“Kau juga tidak bisa diajak bernegosiasi.”
“Kita juga,” koreksi Sakura.
“Aku bisa,” kata Sasuke. “Orang tuamu hanya tidak setuju dengan
rencanamu setelah kita menikah. Aku bisa menuruti apa yang orang
tuamu inginkan.”
Sakura menggeleng. “Tidak.” Dia menegakkan tubuhnya. Napasnya
diatur hingga dia merasa lebih tenang. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan
padamu.”
“Hn?”
“Tsunade-sama tidak mengizinkan aku memperpanjang cuti.”
Sakura meneguk ludah. Dia tak berani menatap wajah Sasuke. “Aku
masih harus bekerja, tapi tidak di Konoha. Tsunade-sama menugaskanku
untuk berdiplomasi dengan banyak rumah sakit atau klinik di luar
Konoha.”
“Sebagai dokter?”
Sakura mengangguk. “Sebagai dokter.”
“Itu kabar bagus,” kata Sasuke. “Mengapa tidak memberi tahu lebih
awal?”
“Benarkah?” Sakura berkedip tak percaya. Dia tak menduga ini akan
menjadi kabar bagus bagi Sasuke. “Aku ... aku tidak ingin membahasnya
karena topik ini pasti berkaitan dengan ... ketidaksetujuan orang tuaku—
tepatnya ibuku.”
“Kabar ini mungkin bisa mengubah itu.”
“Hmm, mungkin.” Sakura terdengar tidak yakin.
Sasuke sendiri pun sebenarnya tidak yakin. Malam itu, pendapat
buruk dari ibu Sakura tentangnya seolah-olah tumpah semua. Sasuke
merasa bahwa opini itu sudah ada sejak lama, tetapi ditelan habis karena

316

putrinya memilihnya. Dia ingat beberapa wajah yang melempar tatapan
kebencian atau tidak suka padanya setelah perang selesai, dan orang tua
Sakura ada di antaranya. Mereka—lebih tepatnya ibu Sakura saja—
mungkin hanya menyembunyikan rasa tidak sukanya. Menyimpannya
rapat-rapat dalam hati, dilapisi selubung yang sangat rapuh, dan akan
muncul ke permukaan kembali setelah disenggol picuan. Sasuke sudah
memicunya. Untuk membangun lapisan itu kembali, menelan rasa
sukanya lagi, pasti akan menjadi proses yang sulit.

Membayangkan seberapa sulitnya, Sasuke berkesimpulan sesuatu.
Dia bisa membayangkan seberapa besar kasih sayang orang tua Sakura
terhadap putrinya karena rela menanggung kesulitan itu. Walaupun
terkadang mereka memperlakukan Sakura dengan buruk. Walaupun pada
akhirnya menjadi seperti ini.

Lalu, akan seperti apa respons orang tuanya terhadap Sakura?
Fragmen-fragmen bayangan berputar di dalam benaknya. Sakura tidak
terlahir dari garis keturunan Uchiha. Gadis itu pun berasal dari keluarga
yang biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol darinya. Ayah Sakura tidak
dikenal sebagai ninja yang hebat, sementara ibunya adalah ibu rumah
tangga biasa. Tak ada jutsu spesial yang mengaliri garis keturunannya. Apa
yang Sakura kuasai sekarang adalah murni dari usahanya, bukanlah
warisan dari kemampuan pendahulunya.

Ibunya mungkin akan menerima Sakura selama gadis itu sopan dan
berperangai baik. Namun, bagaimana dengan ayahnya?

Sasuke memejamkan matanya. Dia mencoba melenyapkan pikiran
itu dari otaknya. Jangan sampai Sakura menanyakan apa yang tengah dia
pikirkan. Sakura pasti akan terluka karenanya.

“Kau harus berbicara dengan orang tuamu.” Sakura terdiam. “Selagi
mereka masih ada.” Bahunya menegang. Dia menenggelamkan wajah pada
tangannya.

317

Dia mengangguk samar. “Ya, aku akan melakukannya.”
“Aku pun akan bertanggung jawab.”
“Hm, aku berharap nanti bisa dibicarakan baik-baik ...,” ucap
Sakura lirih. Dia menyandarkan kepala pada bahu Sasuke lagi. “Tapi kita
sudah tidak punya waktu lagi. Mungkin kita akan bertemu dengan mereka
setelah kita menikah.”
“Hn.”
Sakura membasahi kerongkongannya. “Kurasa ini tidak apa-apa,
'kan? Restu orang tuaku tidak ditarik, bukan? Orang tuaku, ibuku, hanya
tidak menyetujui rencana kita setelah menikah. Pernikahannya tidak
ditentang.”
Sasuke terdiam. “Kuharap dua hal itu memang berbeda dan bisa
dipisahkan.”
Sakura menenggelamkan wajah pada bahu Sasuke. “Aku ... aku
tidak tahu.”
Tak ada yang berbicara lagi. Keheningan di antara mereka
dipecahkan oleh gelak tawa yang bersumber dari bawah balkon mereka.
Sasuke mengedikkan bahunya perlahan, Sakura langsung menegakkan
tubuh. Dia menunduk dan melihat ke bawah balkon. Dia mendapati
sepasang remaja tengah bercengkerama di taman yang berada di sana. Rasa
tidak nyaman sontak memenuhi sekujur tubuh Sasuke.
Dia berdiri begitu saja, tanpa mengatakan apa pun. Sakura
mengedipkan mata, tatapannya menyiratkan pertanyaan. Sasuke
menggelengkan kepala dan menjauh dari bangku di balkon. Dengan raut
yang dipenuhi kebingungan, Sakura berdiri dan menyusul Sasuke.
“Sasuke-kun, mau ke mana?”
“Makan.”
“Tapi aku masih ingin di sini!”
“Ya, tinggal saja di situ.”

318

Mata Sakura sontak membelalak merasakan perutnya bersuara. Dia
menepuk dahinya untuk menyembunyikan sebagian wajah yang memerah.

Sasuke menyeringai. “Ternyata perutmu tidak.”
“Tapi tehku belum habis!”
“Aku pergi.” Sasuke mengabaikan Sakura.
“Sasuke-kun!” Sakura buru-buru mengejar Sasuke. Sebelum
pengejarannya, dia mendapati sepasang remaja tengah bercengkerama di
taman yang berada di bawah balkon. Sakura menggerutu. Dia tahu apa
alasan Sasuke ingin pergi. Dasar asosial menyebalkan!
“Sasuke-kun! Alasanmu jelek sekali!”
Sasuke mendengus geli. Dia tahu Sakura akan merajuk, tapi dia tak
berniat untuk menghindari hal tersebut. Hal itu akan menjadi hiburan
baginya.

319

30
Hari Utama

Hujan baru saja berhenti ketika waktu menunjukkan saatnya Sasuke
dan Sakura berangkat ke kuil. Suara percikan air mengiringi setiap
langkah kaki mereka. Tak ada satu orang pun yang bicara. Keduanya
sama-sama tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Namun, ada
perbedaan yang kentara—Sasuke tampak tenang seperti biasanya,
sementara Sakura membiarkan dunia tahu atas kegugupan yang
dirasakannya dengan menggigit bibirnya.

Kelembapan teruar di lingkungan sekitar kuil tersebut. Basah
terpampang di mana-mana, tapi kedamaian dan kesakralan dari tempat itu
sama sekali tak terusik. Usapan angin hangat menyentuh wajah Sakura di
setiap langkahnya memasuki bangunan kuil. Embusan itu terhenti ketika
dia sudah masuk ke dalam dan menaiki tangga. Dua orang yang hendak
mengurusi penampilannya hari ini menunggu di depan salah satu pintu.
Dia berpisah dengan Sasuke di sana. Lelaki itu memasuki pintu yang tepat
berada di seberang pintu ruangan tempat Sakura akan dipersiapkan untuk
pernikahannya.

Sakura duduk di salah satu kursi pendek yang membuatnya paha
terangkat. Berbagai macam emosi berkecamuk di dalam dirinya. Gugup,

320

senang, sedih, takut, dan lain sebagainya. Sakura sama sekali tak yakin
mana yang mendominasi di antara emosi-emosi tersebut. Dia
memejamkan matanya erat-erat.

“Sakura-san, saya akan memasang riasan di wajah Anda terlebih
dahulu,” kata perempuan yang Sakura ketahui bernama Kimiko.

Sakura meneguk ludah. Perasaan tak keruan masih menggelutinya.
Dia menggeleng. “Bisa beri aku waktu sebentar?”

Kimiko dan Chinatsu—perempuan yang satunya lagi—mengangguk
mengerti dan menjauh beberapa langkah dari Sakura.

Pikiran Sakura berlabuh pada kejadian satu minggu yang lalu, saat
ibunya jelas-jelas menentang rencana pascapernikahannya dengan Sasuke.
Hatinya berdenyut sesakit-sakitnya. Hari itu, ibu Sakura sama sekali tak
menyembunyikan dirinya yang tak menerima Sasuke. Sekelumit rasa
bersalah menyiksa dirinya. Dengan kenyataan itu, seharusnya dia tak akan
di sini. Dia tak seharusnya menikah dengan Sasuke.

Namun, dia tak bisa. Inilah yang diinginkannya. Apabila dipikir-
pikir lagi, dengan mencari celah bahkan yang paling kecil sekalipun,
Sakura ingat bahwa tak ada ucapan orang tuanya yang menarik restu
mereka secara langsung; bahkan yang mengindikasikannya pun tak ada.
Hal tersebutlah yang menguatkan Sakura untuk tetap melakukan ini.
Meskipun dia tahu orang tuanya tak akan hadir hari ini, hal itu akan tetap
menghancurkan hati Sakura kendatipun gadis itu sudah mengantisipasinya.

Sakura membuka matanya. Dia melirik shiromuku yang akan dia
kenakan hari ini. Uchikake-nya bermotif bunga anggrek, tidak seperti
impiannya, mengenakan shiromuku bermotif burung bangau milik ibunya.
Nyatanya, yang bisa dia gunakan hari ini adalah milik ibu Sasuke. Sakura
mengusap kainnya perlahan. Kain dan motif yang digunakan untuk
shiromuku itu begitu indah dan Sakura sangat terpesona. Dia pun merasa

321

bahwa sebuah kehormatan dia bisa mengenakan shiromuku ini di
pernikahannya. Namun, gumpalan pahit terasa di tenggorokannya.

“Aku siap,” kata Sakura.
Kimiko buru-buru mendekati Sakura dan membungkuk,
menyejajarkan tinggi badannya dengan gadis itu yang tengah duduk. Dia
menyentuh wajah Sakura yang sudah dicuci dan mengaplikasikan
pelembap. Setelah selesai, dia memulas alas bedak di wajahnya. Perona
pipi ditambahkan dan celak mata menyusulnya. Ketika bedak tabur mulai
disapukan pada wajahnya, hidung Sakura membersut karena aromanya
yang asing.
Wajah Sakura sudah selesai dirias, kecuali polesan di bibirnya.
Chinatsu segera menata rambutnya. Panjang rambutnya yang kini sudah
mencapai dada cukup untuk ditata membentuk sanggulan tanpa tambahan
rambut palsu. Lagi pula, bila rambutnya pendek pun dia tak akan
memakai rambut palsu. Tak ada rambut palsu yang memiliki warna sama
persis dengan rambutnya.
“Bagaimana perasaan Anda?” tanya Chinatsu berbasa-basi selagi
menata rambutnya.
“Hm?”
“Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang istri.” Senyum yang
serupa terbit di bibir Chinatsu dan Kimiko yang masih mengurusi
shiromuku.
Sakura bergeming. Perasaannya masih sama—bercampur aduk
seperti tadi. Dia tak mengerti apa yang dirasakannya saat ini. “Aku tidak
bisa menjelaskannya dengan kata-kata,” jawab Sakura. Dia tersenyum.
“Mungkin bisa disimpulkan dari ekspresi wajahku.”
Ucapan Sakura dibalas oleh senyum maklum yang berseri-seri.
“Anda terlihat sangat bahagia, Sakura-san,” kata Chinatsu sambil
melanjutkan merapikan rambut Sakura.

322

Sakura tertegun, kemudian tersenyum lebih lebar. Dia bersyukur
apabila itulah yang orang lain lihat darinya hari ini.

Setelah selesai menata rambut, Chinatsu menarik dari dan
mengamati penampilan Sakura. Dia merasa puas dengan hasil kerjanya.
Sakura tampak cantik dengan riasan sederhana meskipun gincu belum
dipoles di bibirnya. Poninya miring seperti biasa, terdapat helai-helai yang
menggantung di sebelah pipi, sisa-sisa dari sanggulan di belakang
kepalanya. Sanggulan itu tampak renggang, sengaja dibuat seperti itu dan
nyatanya memang cocok untuk Sakura.

Kemudian shiromuku dipakaikan pada Sakura secara bertahap.
Diawali dari pemakaian bantalan, pembalutan tubuhnya,
pemasangan kakeshita, obi, dan uchikake. Ikatan demi ikatan disimpulkan
dalam prosesnya. Bahu Sakura terasa berat setelah seluruh pakaian
pernikahannya sudah terpasang. Pakaiannya berlapis-lapis hingga tubuh
kurusnya tak terlihat sama sekali, dan uchikake sebagai lapisan terakhir
pun memang sangat tebal. Namun, dia pernah—cenderung sering—
menanggung beban yang lebih berat daripada ini, sehingga dia bisa
melaluinya. Hanya saja, dia sama sekali tak menduga bahwa perangkat
shiromuku akan terasa seberat ini.

Chinatsu memulas gincu di bibirnya sebelum wataboshi dipakaikan
di kepalanya. Sakura sudah siap sepenuhnya sekarang. Dia keluar dari
ruangan tersebut dan mendapati Sasuke sudah berdiri di sana. Dia tampak
gagah dengan montsuki haori hakama yang membalut tubuhnya. Lelaki itu
menahan pandangan padanya cukup lama. Tatapannya yang mendamba
sama sekali tidak bisa disembunyikan. Tak ada kata yang bisa Sakura ucap
padanya, hanya senyum refleks dan pipi merona yang bisa ditampilkannya.
Dia pun mengarahkan tatapan mendamba yang sama pada calon suaminya.

Mereka melangkah beriringan keluar hingga menginjak tanah di
luar empat dinding. Sasuke memejamkan mata dan mengatur napasnya.

323

Ada rasa sesak karena benaknya tak bisa dicegah untuk membayangkan
bagaimana jika orang tua dan kakaknya hadir hari ini. Namun, dia masih
diselubungi oleh rasa tegang bercampur bahagia karena ini adalah hari
besar yang akan mengubah hidupnya dan menyatukan nasibnya dengan
Sakura.

Mereka duduk berdampingan setelah tiba di dalam paviliun. Dia
melirik Sakura dan mendapati raut wajahnya jauh lebih cerah daripada saat
mereka berangkat kemari. Gadis itu sempat mengungkapkan shiromuku-
nya yang berat, tapi dia tak terlihat sedang menanggung beban apa pun
sama sekali.

Pendeta mengumumkan pernikahan mereka pada dewa. Jantung
Sasuke berdebar keras. Ada rasa cemas dia akan mengacaukan ini.
Matanya melirik ke arah Sakura, ketegangan jelas terpancar di wajah gadis
itu. Setelahnya, Sasuke meminum sake dari cawan sebanyak tiga kali teguk,
lantas diikuti oleh Sakura. Prosesi tersebut diulang sampai tiga kali hingga
masing-masing menelan sembilan tegukan sake. Kemudian janji
pernikahan diungkapkan. Pernikahan telah disahkan.

Tepat setelah seluruh rangkaian acara selesai, Sakura tak bisa
berhenti menyunggingkan senyum. Namun, masih ada kegelisahan yang
bergelut di dalam hatinya. Dia melirik Sasuke yang berdiri di sampingnya,
lelaki itu mengangguk. Dengan haori panjangnya yang menjuntai sampai
ke tangan, Sasuke menggenggam tangan Sakura untuk menenangkan.

Seolah-olah kekuatan telah ditransfer padanya, kerisauannya
tentang orang tuanya mulai menguap sedikit demi sedikit. Pegangan
tangannya pada Sasuke yang semakin erat hingga dia takut akan
meremukkan tulang lelaki itu menggenapkan kebahagiannya. Sasuke yang
mengeratkan genggaman balik menandakan bahwa tangan lelaki itu masih
berfungsi dengan baik.

324

Mereka tidak mengadakan resepsi dan tak mengundang siapa pun.
Tidak ada kegiatan yang menanti mereka setelah prosesi pernikahan
selesai. Keduanya berganti pakaian dan saling membantu melepas pakaian
pernikahan satu sama lain yang memang sulit dilepas sendiri karena
banyaknya simpul di mana-mana. Sakura merasa malu saat melepas ikatan
demi ikatan di pakaian Sasuke, tetapi merasa lebih malu lagi saat Sasuke
melepas ikatan di pakaiannya. Meskipun dia sudah pernah melihat Sasuke
bertelanjang dada dan dirinya pun pernah memakai bikini saja di hadapan
Sasuke, situasi yang dihadapi saat ini sangat berbeda dan masih tetap
mengentalkan rasa malunya.

Selanjutnya, mereka makan bersama. Kegiatan ini sudah dilakukan
berkali-kali, tetapi ini adalah pertama kali mereka makan bersama dengan
status suami-istri. Hal tersebut memberikan kesan yang berbeda bagi
keduanya dalam artian baik. Entah bagaimana, dengan kegiatan trivial
seperti ini pun mereka paham mengapa pernikahan disebut sebagai
menjalani kehidupan baru.

325

31
Malam Pertama

Sasuke keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya
menggunakan handuk. Tetes-tetes air menciprati sekitarnya. Dia
merapikan rambutnya sebelum duduk di samping Sakura yang tengah
sibuk sendiri. Kasur dari tempat tidur tertarik ke arahnya sedikit. Matanya
memperhatikan Sakura yang tampak serius. Tangan Sakura berurusan
dengan berlembar-lembar kertas dan pena.

“Sedang apa?” tanya Sasuke.
Sakura menghentikan kegiatannya sejenak. Dia menegok ke arah
Sasuke. “Menulis kabar soal pernikahan kita,” kata Sakura, lantas kembali
mengguratkan tinta pada kertas. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan
langsung menatap Sasuke. “Kau mau menitipkan pesan?”
Sasuke menggeleng. Dia yakin surat yang ditulis Sakura sudah
mencakup segalanya.
“Kau mengabarkan pada siapa saja?”
“Teman-teman kita, Kakashi-sensei …” Sakura menjeda cukup lama,
“dan orang tuaku.” Dia menggigit bibir. “Mereka tetap berhak tahu ‘kan,
Sasuke-kun …? Aku tetap putri mereka.”

326

Sasuke menggenggam tangan Sakura yang bebas dan mengusapnya
untuk menenangkan. “Ya. Kau tetap putri mereka.”

“Aku belum menulis yang akan ditujukan pada orang tuaku.
Rasanya masih … um, kau pasti mengerti maksudku.”

“Lakukan saja saat kau sudah siap.”
Sakura mengerjapkan matanya yang berkaca-kaca. Tidak ingin
menumpahkan tangis di malam setelah pernikahannya, dia lekas berdiri
dan meninggalkan lembar-lembar kertas serta pena yang sempat
disibukinya. “Aku mau mandi dulu,” katanya sebelum menghilang ke
dalam kamar mandi.
Mandinya berlangsung lebih lama daripada biasanya karena dia ingin
menunda bertemu dengan Sasuke lagi. Perasaan malu yang tak dipahami
menghantam dadanya dengan takaran yang jauh lebih besar daripada saat
mengganti pakaian tadi. Ketika Sakura merasa bahwa dia sudah terlalu
lama berada di kamar mandi, dia menyelesaikan kegiatan mandinya.
Tubuhnya dilap menggunakan handuk hingga kering. Matanya
melirik pakaian tidur yang digantung di belakang pintu. Dia belum
pernah mengenakannya sejak membelinya beberapa hari yang lalu. Pakaian
tidur itu berwarna merah marun, berbahan satin, berbentuk terusan yang
hanya akan menutupi dada sampai setengah pahanya. Bahunya hanya
tertutupi sepasang tali spageti jika luaran tak dia kenakan. Pipinya
memanas saat mengenakannya. Ini adalah pertama kali dia akan
mengenakan pakaian tidur feminin di depan Sasuke. Biasanya, dia
memakai kaus dan celana pendek biasa.
Sakura pikir luaran berbentuk jubah yang sama panjang dengan
gaun tidurnya itu akan membuat rasa malunya menghilang. Nyatanya
tidak. Pakaian tidur itu masih membuatnya merasa terlalu terbuka.
Padahal pakaian misinya saja mengekspos lengannya, sementara jubah ini

327

menutupi seluruh lengannya sampai siku. Gaun ini bahkan menjuntai
lebih panjang daripada pakaian misinya. Lantas, apa yang berbeda?

Dia menunduk dan memperhatikan tubuhnya sendiri. Ketemu.
Gaun ini jauh lebih terbuka daripada pakaian misinya yang menutupi
setengah lehernya. Gaun tidur ini mengekspos kulitnya seluas lima jari di
bawah tulang selangka. Wajahnya memerah lagi. Apa yang dia pikirkan
hingga memutuskan untuk mengenakan pakaian tidur seperti ini?!

Rasanya Sakura ingin mengganti pakaiannya. Namun, yang tengah
dikenakannya adalah satu-satunya pakaian ganti yang dibawa ke dalam
kamar mandi. Dia teringat akan pakaian yang dikenakan sebelum mandi.
Jejak-jejak basah terpeta di banyak tempat. Dia mengerang. Tak ada
pilihan selain pakaian tidur yang dikenakannya saat ini.

Sakura menyugesti diri bahwa penampilannya saat ini tidak macam-
macam. Sebuah ide melintas di benaknya. Dia merapatkan luaran gaun
hingga bagian terbukanya tertutupi. Rasa percaya diri mengiringinya saat
melewati pintu dan masuk ke dalam kamar tidur. Namun, kepercayaan
diri itu melenyap saat dia bertatapan dengan Sasuke yang tengah duduk di
sisi tempat tidur.

Sakura sontak mengalihkan pandangan dan lekas merapikan
rambutnya yang dibiarkan kering. Saat menoleh ke arah Sasuke lagi, lelaki
itu tengah sibuk dengan suatu bungkusan berbentuk kain yang diikat.
Kepercayaan diri Sakura kembali lagi. Dia duduk di samping Sasuke.

“Sedang apa?” tanyanya, tanpa sadar mengulang pertanyaan Sasuke
beberapa saat sebelumnya.

Sasuke menoleh ke arah Sakura. Bungkusan dari kain itu diulurkan
pada istrinya. Sakura menerimanya dan lekas membuka ikatan talinya.
Bordir simbol klan Uchiha mengisi penglihatannya saat simpulnya terbuka.
Jumlahnya ada banyak, hingga sulit diketahui kuantitasnya hanya dengan
melihat sekilas. Sakura mengangkat dagu dan menatap Sasuke.

328

“Jahitlah ini di pakaianmu,” kata Sasuke. “Agar semua orang tahu
bahwa kau …” istriku, “bagian dari Uchiha.” Sasuke membasahi bibirnya.
“Uchiha Sakura.” Dia menyukai bagaimana nama itu meluncur di lidahnya.

Sakura menekan dua belah bibirnya pada satu sama lain. Senyumnya
tertahan, nyaris mengembang, tapi ditunda oleh rasa malu yang bermuara
di tubuhnya. Dia mengangkat wajah dan menatap Sasuke. Tiba-tiba
sekelumit rasa tak nyaman hinggap di dadanya. Dia menggigit bibirnya.
Tangannya terulur untuk menaruh barang yang diberikan Sasuke padanya
di atas meja.

“Apakah ini tidak apa-apa?” tanya Sakura. Dia menangkap heran di
wajah Sasuke. “Maksudku, aku bukan keturunan Uchiha. Dan klanmu itu
hebat. Sementara aku—”

“Aku menikahimu dan otomatis mengganti nama keluargamu.
Bukankah itu sudah sangat jelas?” potong Sasuke dengan nada geram.
“Jangan berkata seperti itu, Sakura. Itu membuatku kesal.”

“Maaf,” kata Sakura sambil menunduk.
Sasuke mengangkat dagu Sakura agar gadis itu langsung
menatapnya. “Aku tidak memedulikan klan asalmu, bahkan bila Haruno
bukan klan sekalipun.”
“Memang bukan.”
Sasuke tampak kesal karena kalimatnya dipotong. Dia melanjutkan,
“Aku tidak memahami rasa tidak percaya dirimu. Kita sudah menikah,
seharusnya kau paham bahwa aku tidak mempermasalahkan hal itu.”
“Aku minta maaf sudah membuatmu kesal, Sasuke-kun. Tapi …”
Dia menggantungkan suaranya di udara. Matanya terpejam sejenak dan
mengingat kata-kata yang baru diucap Sasuke. Rasa tak nyaman itu sudah
hilang entah ke mana. Senyum timbul lagi di bibirnya.
“Tapi?”

329

“Tidak.” Sakura menggeleng. “Memakai lambang klan Uchiha di
punggungku adalah suatu kehormatan bagiku.”

“Kau harus ingat bahwa kau tidak memakainya sembarangan. Kau
memakainya karena kau adalah istriku.”

Kau adalah istriku. Kata-kata itu menggetarkan hati Sakura.
Senyumnya mengembang lagi. “Aku akan menjahitnya besok.”

Sasuke tersenyum tipis dan menepuk kepala Sakura. Setelahnya,
keheningan merajai mereka. Kedua tangan Sakura masih setia merapatkan
pakaiannya. Tempat tidur berguncang. Tanpa menoleh, Sakura tahu
Sasuke sudah menaikkan seluruh tubuhnya ke atas ranjang. Tiba-tiba dia
merasakan tarikan lembut di bahunya. Hangat sentuhan Sasuke terasa
menembus pakaian tipisnya. Sakura memundurkan tubuh, mengikuti ke
mana tangan itu menariknya.

Sakura merasakan tangan Sasuke merambat ke pinggangnya,
kemudian menetap di perutnya setelah kepalanya menyandar pada dada
lelaki itu. Jantung Sakura berdebar kencang. Ini adalah pertama kali
Sasuke memeluknya dari belakang dan meletakkan tangan di atas perutnya.
Detakan itu nyaris membuat Sakura tak merasakan ketidaknyaman dari
posisinya. Tubuhnya masih miring dan tidak menyandar pada Sasuke
sepenuhnya. Dia bergerak perlahan sampai Sasuke melepas dekapannya.
Sakura menyandarkan kepala pada sebelah paha Sasuke yang tengah
bersila.

Tangan Sasuke berpindah ke rambutnya. Lelaki itu mengusapnya
perlahan dan menyisirkan jemari pada kulit kepalanya. Mata Sakura
terpejam begitu saja.

“Bahumu masih pegal?” tanya Sasuke tiba-tiba.
“Pegal apa?”
“Kau bilang shiromuku berat hingga bahumu pegal tadi.”
“Oh. Tidak.”

330

Sentuhan Sasuke di kepala Sakura tiba-tiba berhenti. Sakura
berkedip. Tubuhnya dibuat telentang hingga tatapan mereka saling
mengunci. Entah mengapa, Sasuke sontak memejamkan matanya dan
menarik napas panjang. Sakura dapat mendengar detak jantung Sasuke
yang lebih cepat. Dahi Sakura mengernyit.

Sakura terbangun dan menatap wajah Sasuke. “Memikirkan apa?”
Sasuke membuka matanya. “Tidak ada,” dustanya.
Sakura menangkup pipi Sasuke. “Kau bisa berbagi denganku,
Sasuke-kun.”
“Tidak. Aku hanya …” Dia mengatup bibirnya ketika menatap
Sakura. Sorot matanya hangat dan tulus. Bibir gadis itu melengkungkan
kekhawatiran. Sasuke ingin melihatnya tersenyum. Dikecupnya puncak
hidung Sakura. Senyumnya timbul. Wajahnya merona tipis. Matanya
berbinar-binar, membuat iris hijaunya tampak lebih menarik. Mata
Sasuke memperhatikan sekujur tubuh Sakura. Warna pakaian tidur
femininnya semakin menegaskan warna mata Sakura, juga tampak kontras
dengan warna kulitnya yang terang dan membuatnya semakin menawan.
Rambutnya jatuh menutupi mata, lantas Sasuke lekas menyelipkannya ke
belakang telinga. “Kau sangat cantik.” Tanpa sadar dia menyuarakan
pikirannya.
Merah di wajah Sakura mendadak memekat, sorot matanya
melembut. Senyumnya melebar lagi dan Sasuke tak tahu bahwa Sakura
bisa lebih cantik lagi. Itu adalah pujian verbal pertama Sasuke terhadap
fisik Sakura setelah beberapa lama mereka bersama. Ritme jantung Sakura
bertambah. Tangannya menggantung di kedua sisi tubuh, melupakan
gaun tidurnya yang terbuka.
Sakura merasa darahnya bergejolak ketika Sasuke menyentuh
pipinya. Ibu jarinya mengusap lembut, menyusuri struktur wajah; dari
dahi, kelopak mata, hidung, ke pipi lagi, lantas Sasuke menyelipkan

331

rambut yang menempel pada wajah Sakura ke belakang telinga. Tubuh
Sakura mendadak menggigil sejenak saat ibu jari Sasuke mengusap kedua
belah bibirnya secara perlahan. Sakura memejamkan mata saat ibu jari
Sasuke digantikan oleh bibirnya.

Sakura dapat merasakan bibir Sasuke bergerak di atas bibirnya.
Kecupan-kecupan menghujani dari sudut ke sudut. Ketika kecupan-
kecupan itu berubah menjadi lumatan pada bibir bawahnya, tangan Sakura
refleks meremas kaus Sasuke. Dia merintih lirih sebelum memutuskan
untuk membalas lumatan bibir Sasuke.

Tubuhnya gemetar ketika Sasuke menekan batas bibirnya
menggunakan lidah. Sakura membuka mulutnya ragu-ragu. Dia merintih
saat lidah Sasuke menyentuh isi mulutnya. Tangan pria itu merambat ke
tengkuk, membelai kulit yang sontak terasa bergidik. Sakura dapat
merasakan bahwa darahnya mengalir lebih banyak pada wajah hingga
terasa memanas. Sebelah tangannya menyentuh wajah Sasuke. Panas
merambat pada telapak tangannya.

Ciuman panjang itu terputus. Sakura berusaha sekeras mungkin
untuk mengalahkan perasaan malu yang bermuara di tubuhnya. Matanya
mencoba untuk tetap menatap Sasuke tanpa perlu mengalihkannya.
Sasuke terengah, wajahnya memerah. Sakura sama sekali tak mampu
menahan senyum.

Jantung Sasuke berdebar kencang sampai terdengar telinganya
sendiri. Dia memandang Sakura. Bahu gadis itu naik turun dalam jarak
pendek. Warna pipinya senada dengan helaian rambutnya. Bibirnya basah,
ukurannya membengkak jika dibandingan dengan sebelumnya. Leher dan
keningnya tampak mengilap karena keringat. Kedua mata hijaunya
memandang Sasuke dengan ketulusan tak terperi.

Dia ingin mendekap Sakura. Dia ingin mengecup, mencium,
melumat bibir Sakura sekali lagi, dan tak yakin akan merasa cukup dengan

332

itu. Dia ingin berada sedekat mungkin dengan Sakura, seintim seorang
pria dan wanita dapat terikat, dan sadar bahwa jarak kurang dari tiga
puluh sentimeter yang membatasi dirinya dan Sakura masih terlalu jauh.
Dia menginginkan Sakura. Dia menginginkan istrinya.

Sasuke mencium bibir Sakura sekali lagi. Ciumannya semakin dalam.
Tangannya memegangi punggung Sakura. Jarak mereka semakin merapat.
Dia merasakan kerasnya debaran jantung Sakura saling bersahutan dengan
detak jantungnya. Halusnya kain satin terasa di telapak tangannya. Dia
mengusap punggung Sakura terus-menerus hingga ciumannya terlepas.

Sasuke menarik diri saat sisa oksigen dalam paru-parunya terlalu
sedikit hingga membuat kepalanya pening. Dia mengecup dahi, kedua
kelopak mata, ujung hidung, pipi, dan dagu Sakura. Bibirnya menyapu
rahangnya sekilas, lantas dia menarik diri kembali. Ditatapnya mata
Sakura dalam-dalam sembari tangannya perlahan melepas jubah tidur
Sakura dari salah satu bahunya. Darahnya berdesir saat berkontak dengan
Sakura dari kulit ke kulit.

“Tidak apa-apa?” bisiknya. Suaranya parau.
Sakura menyentuh wajah, lantas berpindah pada bahu Sasuke dan
mengusapnya dengan tekanan. Dia bergidik saat mendengar desisan
Sasuke dan mendapati mata hitamnya berubah menjadi semerah darah—
representasi dari efek kejut dari sentuhan Sakura. Lelaki itu memejamkan
matanya lama hingga saat terbuka kembali ke kondisi sebelumnya. Kedua
tangannya mengalung di leher lelaki yang kini telah menjadi suaminya.
Bohong jika Sakura mengatakan jika dirinya tidak gugup, malu atau
bahkan takut. Namun, dia percayakan dirinya pada Sasuke sepenuhnya.
Sakura menatap mata Sasuke dan memantapkan hatinya. Dia tersenyum
kikuk dan menggeleng. Dikecupnya bibir Sasuke sebagai jawaban yang
terlalu malu diungkapkan dengan kata-kata.

333

Sasuke mengusap bahu Sakura yang kini terbuka. Tangannya
melepas jubah itu dari bahu Sakura yang lainnya. Sakura menahan
napasnya saat merasakan kain satin itu perlahan-lahan turun dari
lengannya hingga menyentuh tempat tidur. Yang dia kenakan saat ini
hanyalah gaun tidurnya. Sakura melipat tangannya di depan dada untuk
menutupi diri sebisanya.

“Kau tidak takut?” tanya Sasuke sembari menarik tangannya ke sisi
tubuh.

“Aku tidak seharusnya takut,” kata Sakura. Dia tersenyum. “Kau
suamiku.”

Sasuke balas tersenyum tipis. Dia mengecup rahang istrinya sekali,
berhenti sejenak untuk mempelajari respons tubuh Sakura. Gadis itu
sempat terkesiap. Sasuke menarik diri dan menatap mata Sakura. Dari
pancaran emosinya, dia mengetahui bahwa terkesiapnya tadi bukanlah
representasi dari sebuah penolakan. Area kecupannya semakin meluas
hingga merambat ke leher. Gadis itu terkesiap lagi. Dia tak perlu menarik
diri untuk memahami perasaan Sakura karena tangan gadis itu menariknya
mendekat. Sasuke mengulangi tindakannya di bagian leher yang lain.
Aroma menyenangkan masuk ke dalam hidungnya.

Sasuke melakukan apa pun yang dia inginkan, sembari mempelajari
dan mempertimbangkan respons Sakura. Wawasannya soal ini hanya
datang dari mimpi-mimpi samar—benar-benar samar hingga dia tak tahu
apa yang seharusnya dia lakukan untuk memanja Sakura—yang datang
mengganggu tidurnya.

Dia ingin merasakan hangat kulit Sakura dengan jemari dan
bibirnya. Dia ingin mengecap aroma manis yang terhidu hidungnya
menggunakan indra lain. Dia ingin menandai Sakura sebagai miliknya
dengan sebuah tanda yang kasatmata. Keinginannya diwujudkan dengan
hati-hati dan lembut, sembari memastikan bahwa Sakura menyukainya

334

seperti dirinya menyukai hal tersebut. Dia tak yakin apa yang tengah
dirasakan Sakura, tapi dia merasa bahwa Sakura memang menyukainya.

Sasuke kembali mencium bibir Sakura sembari menurunkan
sepasang tali yang menahan gaun di bahu Sakura. Tubuh Sakura gemetar
saat merasakan gaun itu merosot dengan sendirinya hingga hawa dingin
membelai perutnya. Jantung Sasuke berdebar kencang ketika tak
menemukan tali gaun Sakura di sepanjang lengan gadis itu. Bayangan
seberapa jauh gaun itu sudah jatuh tak bisa ditunda untuk memasuki
benaknya. Sasuke terdorong untuk memastikannya sendiri.

Dia menarik diri dan membuka matanya. Mata Sakura masih
terpejam erat-erat. Dia sudah memastikan kebenaran sekelebat bayangan
di benaknya. Gairah semakin menjalarkan panas pada seluruh saraf-
sarafnya.

“Sakura,” ucap Sasuke lirih.
Sakura membuka matanya dan langsung menatap mata Sasuke.
Telinga lelaki itu memerah. Tangannya memegang ujung kausnya sendiri
dan melepasnya. Lelaki itu tampak begitu rupawan meski dengan
ketidaksempurnaan fisiknya.
Sakura mengulurkan tangannya dan menyentuh dada Sasuke.
Jemarinya mengusap bagian yang Sasuke ingat merupakan bekas lukanya.
Napas pria itu memendek. Wajah Sakura semakin memerah lagi. Kikuk
masih menempel di wajahnya. Tangannya masih belum berhenti
mengusap. Salah satunya merambat ke bahu Sasuke, kemudian ke
lengannya. Sentuhan Sakura mengalir ke punggung Sasuke. Dia dapat
merasakan bekas luka yang sejajar dengan bekas luka yang berada di dada
Sasuke. Mata Sakura melebar.
“Sebuah keajaiban kau masih bisa hidup setelah mengalami luka
ini.”
“Aku tertolong.”

335

Sakura memeluk Sasuke atas rasa syukurnya karena lelaki itu masih
bisa ada di sini bersamanya setelah luka yang merusak bagian vital tersebut.
Matanya terpejam ketika merasakan sengatan listrik atas pertemuan kulit
ke kulit. Dia mengecup bahu Sasuke, kemudian lehernya, dan menarik
diri hingga cukup untuk mengecup bekas lukanya.

“Aku bersyukur kau selamat dari ini,” ucap Sakura tulus.
Sakura semakin mundur dan menutupi tubuhnya sendiri
menggunakan kedua tangannya. Selain karena malu, ada sepintas rasa
tidak percaya diri akan bentuk tubuhnya. Dia sadar dirinya terlalu kurus
dan tidak seksi. Hal yang membuatnya sedikit percaya diri adalah
pinggangnya yang cenderung berukuran bagus—setidaknya itulah
menurutnya. Namun, pinggang yang membuatnya percaya diri tersebut
masih disamarkan oleh gundukan pakaian yang belum sepenuhnya lepas
dari tubuhnya.
Sasuke membuka silangan tangan gadis itu pelan-pelan. Dia
mengusap kulit Sakura lembut. Matanya menatap Sakura dengan tatapan
mendamba dan memuja, membuat seluruh rasa tidak percaya diri Sakura
melenyap seketika. Sakura menggigit bibir; merasakan jejak panas dari
setiap sentuhan lembut Sasuke. Sentuhan yang memanjakannya itu
berhenti di perutnya karena merasakan tektur yang berbeda. Ada sebuah
bekas luka yang dalam.
Tatapan Sasuke beralih pada lengan kanan Sakura. Dia mengusap
tiga bilur yang tampak muncul di saat yang sama.
Sasuke tertegun. Dia tahu Sakura adalah gadis yang kuat dan semua
itu terbukti dari bekas lukanya. Luka-luka parah yang pernah dialami
Sakura tak cukup untuk membunuhnya. Dia masih hidup dan tampak
baik-baik saja. Sasuke mengecup bekas luka itu. Dia menarik diri dan
menatap mata Sakura. “Kau adalah gadis yang kuat.”

336

Sakura terenyuh. Dia tersenyum lembut. “Kau adalah salah satu
alasan mengapa aku ingin menjadi lebih kuat.”

Sasuke mencium bibir Sakura lagi. Ciumannya itu membuatnya
semakin haus dari kecup ke kecup yang entah bagaimana menimbulkan
dorongan untuk membaringkan Sakura di atas tempat tidur. Dia
memutus ciumannya saat sadar bahwa Sakura sudah terbaring di bawahnya.
Tangannya membelai bahu Sakura lagi.

“Katakan apa yang kaubutuhkan.”
Wajah Sakura memerah hebat hingga merambat ke leher dan
telinganya. Saat ini, Sakura tidak sanggup mengungkapkan apa yang
tubuhnya butuhkan dari Sasuke. Mendengar permintaannya saja sudah
membuatnya teramat sangat malu. Dia menggeleng. “Lakukan apa pun
yang kauinginkan. Aku akan memberitahumu ji-jika aku ... tidak me-
menyukainya.”
Sentuhan Sasuke merambat ke payudaranya. Napas Sakura tersengal.
“Bagaimana aku bisa tahu jika kau menyukainya?”
Sakura menggigit bibir. “Kau—kau akan tahu sendiri.”
Kecupan ditujukan pada kening Sakura. Dia lantas kembali
membelai tubuh Sakura dan memberi tekanan tertentu pada bagian-
bagian yang diinginkannya—penasaran bagaimana respons yang akan
ditunjukan istrinya. Sakura terkesiap di setiap sentuhannya. Namanya
disebut dengan intonasi yang membuatnya kecanduan untuk
mendengarnya lagi dan lagi.
Sakura tak tampak tersakiti, tapi Sasuke masih takut melukainya.
“Katakan padaku jika aku menyakitimu.”
Sakura mengangguk. Sasuke menyentuhnya lagi menggunakan
tangannya, bibirnya, lidahnya, dan sentuhan lain yang terjadi dari kulit ke
kulit. Buncahan euforia meledak di dadanya saat Sasuke menerima apa
yang selama ini sudah dia jaga hanya untuk suaminya—untuk Sasuke-nya.

337

Dia berupaya untuk tetap membuka matanya sampai malam panjang itu
ditutup dengan dekapan hangat dari Sasuke serta kecupan di keningnya.

Sebelum Sakura menutup matanya, dia tersadar bahwa malam ini
adalah malam paling indah dalam hidupnya. Malam yang tak akan pernah
tanggal dari ingatannya sampai kapan pun.



Di antara keduanya, Sakura adalah orang pertama yang membuka
mata. Dia merasakan pagi ini hampir sama dengan pagi-pagi biasa; Sasuke
ada di sisinya dan dia terbangun di dalam pelukan hangatnya. Kepalanya
tepat berada di bawah dagu Sasuke. Tatapan mata Sakura lurus pada leher
Sasuke.

Yang membuatnya tersadar akan perbedaan pagi ini adalah ketika
matanya yang masih diiringi kantuk bergerak ke bawah hingga
menemukan bahu polos Sasuke. Wajahnya mendadak memerah ketika
kesadaran tersebut menghidupkan kesadaran lain: tubuhnya dan tubuh
Sasuke saling bersentuhan antara kulit ke kulit.

Sakura memejamkan matanya lagi erat-erat sembari mengatur napas.
Jantungnya berdetak terlalu kencang bagi seseorang yang baru saja bangun
tidur. Saat mulai merasa berhasil menguasai diri dari rasa malu, dia
memundurkan tubuhnya perlahan-lahan hingga wajahnya menghadap
wajah Sasuke. Dadanya dilanda kehangatan secara tiba-tiba. Satu
kesadaran kembali menghantamnya: Sasuke adalah suaminya.

Tangan yang sedari tadi menetap di punggung Sasuke kini
merambat naik. Sakura membersihkan wajah Sasuke dari rambut hitam
yang menutupinya. Dia tak akan pernah menyangkal bahwa suaminya
memang tampan. Senyum tak bisa ditahan untuk timbul di wajahnya.
Setelah tangannya menyusuri wajah Sasuke dengan lembut, dia

338

memajukan kepala untuk mengecup dagunya. Kecupannya meleset ke
bibir karena Sasuke yang bergerak tiba-tiba. Merah di wajah Sakura
semakin pekat ketika mengingat bibir yang dikecupnya barusan adalah
bibir yang mencium sekujur tubuhnya semalam.

Sakura menutup wajahnya sendiri. Dia memutar tubuhnya
perlahan-lahan karena tetap menatap Sasuke terasa terlalu berlebihan
untuk detak jantungnya saat ini. Dia hendak turun dari kasur dan segera
membersihkan diri. Saat tubuhnya nyaris beranjak dari ranjang, tangan
Sasuke yang sedari tadi melingkar pada tubuhnya tiba-tiba mengetatkan
pelukan disertai bibir yang menempel di tengkuknya. Sakura mendadak
menggigil.

“Kau mencuri ciuman dariku,” bisik Sasuke parau.
Sakura menjawab dengan tawa kecil yang diliputi rasa gugup.
“Selamat pagi, Sasuke-kun.”
Sasuke tidak menjawab. Embusan napasnya menerpa tengkuk
Sakura dan ibu jarinya mengusap perut Sakura. Tangannya merambat
menuju bahu Sakura tanpa melepas kontak kulit sedikit pun dalam
perjalanannya. Dia menekan bahu wanita itu perlahan-lahan sebagai
isyarat untuk memutar tubuh. Sakura membalik tubuhnya lagi setelah
melepaskan sebuah napas panjang.
Mata Sakura tertutup saat wajahnya sudah menghadap Sasuke lagi.
Sasuke diam, menunggu sampai wanita itu balas menatapnya. Saat
kelopaknya terbuka sedikit demi sedikit, gelombang perasaan membuncah
di dada Sasuke. Mendadak wajahnya memanas dan dia merasa kikuk. Mata
Sasuke terpejam lagi sebelum dia memajukan tubuh dan mencium bibir
Sakura dengan lembut. Ciuman itu baru berhenti saat Sakura mendorong
dadanya agar bisa menarik napas lagi.
Tatapan mereka saling terkunci. Kikuk yang sempat Sasuke rasakan
dilawan dengan sentuhan pada wajah Sakura. Warna merah muda masih

339

mewarnai parasnya walaupun setiap helai rambutnya sudah disibak ke
belakang. Dari panas di wajahnya yang masih terasa, Sasuke yakin kondisi
wajahnya tak jauh beda dari wajah istrinya.

Ibu jari Sasuke mengusap pipi Sakura. Usapannya merambat ke
bibirnya yang penuh, rahangnya, dan lehernya. Sorot matanya tertuju pada
ke mana ibu jarinya bergerak. Saat usapan Sasuke bergerak semakin ke
bawah lagi, Sakura buru-buru membenahi selimut hingga menutupi
dadanya.

“A-apa yang kau lihat, Sasuke-kun?”
Sasuke tersenyum tipis karena geli. Tangannya memegang tangan
Sakura yang mencengkeram ujung selimut. “Apa yang kau sembunyikan?”
Sakura menggeleng kecil. Dia menyembunyikan wajah di bawah
dagu Sasuke, kembali ke posisi saat dia baru terbangun tadi. Tangan
Sasuke kembali ke punggung Sakura dan menarik wanita itu merapat.
Sakura menarik napas dengan tajam.
“Bukankah tadi kau hendak beranjak?” tanya Sasuke.
Sakura mendengus. “Kita berdua tahu kau yang menahanku.”
Kalimat itu akan terdengar seperti keluhan jika Sakura tidak balas
melingkarkan tangannya pada tubuh Sasuke.

340

32
Keluarga

“Aku ingat kau pernah bilang ingin merestorasi klan Uchiha.”
Sakura berdeham ketika membuka percakapan di tengah-tengah kegiatan
sarapan mereka. “Apakah itu artinya kau mau punya anak?” Pipi Sakura
memerah dan gerakan menyendoknya menjadi kikuk.

Sasuke menunda melanjutkan makannya dan meminum segelas air.
Tatapannya sama sekali tidak terputus dari Sakura. “Yang aku inginkan
sekarang adalah sebuah keluarga. Bagaimana denganmu?”

Masih dilanda rasa terenyuh mendengar kata-kata Sasuke, Sakura
merasa tidak fokus. “Huh? Aku apa?”

Sasuke terkekeh. “Apakah kau ingin punya anak?”
“Oh.” Sakura meneguk ludah dan menegakkan tubuh karena yakin
atas jawaban yang akan diucapkannya. “Aku mau. Aku terbiasa mengurus
anak-anak selama ini dan aku menginginkan anakku sendiri untuk kuurus
dan kusayangi setulus hati.”
Sasuke mengangguk. Dia tersenyum tipis.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” tuntut Sakura.
“Pertanyaan apa?”
“Kau mau punya anak atau tidak. Ini ‘kan hal yang perlu kita
sepakati bersama.”

341

Dahi Sasuke mengernyit. “Aku sudah menjawabnya.”
“Keluarga bisa hanya terdiri dari kau dan aku saja, Sasuke-kun.”
“Oh,” tanggap Sasuke yang baru menyadari ketaksaan jawabannya.
“Aku mau. Tapi aku tidak ingin anakku semata-mata menjadi alat untuk
restorasi klanku. Itulah sebabnya aku menjawab aku hanya menginginkan
keluarga, Sakura.”
Wajah Sakura dipenuhi oleh ekspresi berangan-angan. Dia
menopang dagunya di atas meja setelah sarapannya selesai. “Aku harap
kita bisa menjadi orang tua yang baik.”
Sasuke sontak teringat akan bagaimana kedua orang tuanya
memperlakukannya. Dia sudah memilah mana yang terasa baik olehnya
dan mana yang membuatnya tidak nyaman. Pelajaran itu sudah mulai
dipegang sejak saat ini.
Dia pun memikirkan bagaimana Sakura memperlakukan orang-
orang di sekitarnya dan anak-anak. Meskipun terkadang sikapnya galak,
hati Sakura adalah hati yang baik. Dia lembut terhadap orang-orang yang
dia pedulikan dan baik hati pada siapa pun selama tidak diganggu.
Sakura melakukan hal yang sama dalam pikirannya. Dia tahu betapa
tidak nyamannya orang tuanya memperlakukan dirinya dan dia berjanji
pada diri sendiri tidak akan mengulang kesalahan itu. Mengingat
bagaimana Sasuke menghargai kemampuannya dalam bentuk apa pun, dia
pun sadar suaminya tidak akan pernah mempermalukan anaknya sendiri di
hadapan umum dan jelas akan mengakui serta menghargai kemampuan
anaknya. Pada Sakura yang waktu itu hanya teman satu timnya saja sudah
begitu, apalagi pada anaknya sendiri.
“Kau akan menjadi ibu yang baik.”
“Aku akan berusaha untuk begitu.” Sakura tersenyum. “Kau akan
menjadi ayah yang baik.”
“Aku pun akan berusaha untuk begitu.”

342


Click to View FlipBook Version