The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by mega.parura, 2022-04-10 07:39:10

Dua Pasang Sepatu

Dua Pasang Sepatu

termasuk sudut terujung tempat mereka duduk. Cahaya yang disebarnya
dalam bentuk jingga dan remang-remang. Suasana yang teruar terasa
seperti mereka mengunjungi kafe malam-malam.

Sudah nyaris empat bulan mereka meninggalkan Konoha. Sasuke
memikirkan tentang kehidupan Sakura. Untuk dirinya sendiri, dia tak
punya komitmen dalam bentuk profesi yang mengikatnya dengan Konoha.
Berbeda dengan Sakura. Sakura termasuk ke dalam orang penting di
Konoha, apalagi dengan jabatannya sebagai direktur poliklinik psikiatri
anak.

Masih pekat dalam ingatan Sasuke seberapa sibuk Sakura selama
berada di Konoha. Kini, gadis itu hanya menikmati hidup dengan
berkelana dengannya, mengunjungi tempat-tempat tertentu, bersantai di
pantai, rumah teh, kafe kopi, bar, dan lain-lain. Dia bisa membayangkan
seberapa terjungkirbaliknya kehidupan Sakura. Dia tidak pernah
mendengarkan gadis mengeluhkan atau membicarakannya sama sekali.
Namun, hal itu tetap menjadi cabang dalam pikiran Sasuke.

“Bagaimana dengan hidupmu di Konoha?” tanya Sasuke tiba-tiba.
Bibirnya ditempelkan pada ujung gelas kertas, menyeruput kopi secara
perlahan agar lidahnya tak terbakar. “Sudah nyaris empat bulan kau
melewatkannya.”

Otak Sakura menyusun sebuah jawaban. “Sebelum aku pergi
semuanya masih baik-baik saja.”

Sasuke mengernyit. Maksud dari pertanyaannya adalah sekarang,
bukan sebelum Sakura pergi. “Kau jounin, bukan? Bagaimana dengan
pekerjaanmu?”

“Oh, Sasuke-kun. Asal kau tahu, hampir semua orang bilang aku ini
gila kerja.” Sakura terkekeh pelan. Nyaris tersedak karena ternyata masih
ada sisa kopi yang belum tertelan di mulutnya. “Karena setiap diberi jatah

143

cuti atau diminta untuk mengambil cuti aku menolak, saat aku
memintanya, aku bisa mendapatkannya dengan mudah.”

Sasuke mengangguk. Dia sudah tahu betapa mudahnya Sakura
diizinkan untuk mengambil cuti yang batas waktunya bahkan belum
diketahui.

“Murid-muridmu seperti apa? Apakah mereka keberatan kau cuti
dari mengajari mereka?”

Sakura terdiam sejenak. Dia heran bagaimana bisa topik ini baru
dibahas sekarang. Perihal dirinya yang juga menjadi mentor medis di
rumah sakit adalah salah satu hal yang pernah Sakura ceritakan melalui
surat sebelum Sasuke kembali ke Konoha. Namun, dia hanya
menceritakannya sekilas tanpa detail-detail yang mungkin akan
merepotkan jika dituangkan ke dalam surat.

“Yang jelas aku tidak serepot Kakashi-sensei saat mengurus kita
bertiga,” jawabnya sembari mengeratkan pegangan pada gelas untuk
menghangatkan telapak. “Kalau soal keberatan, mungkin ya, mungkin
tidak. Kebanyakan dari mereka takut padaku.” Sakura mengabaikan
Sasuke yang mendengus. “Yah, sekarang mereka ditangani oleh Ino. Ino
lebih bawel daripada aku. Tapi Shizune-senpai turun tangan juga, dan
beliau baik. Ngomong-ngomong soal murid, sebenarnya aku
dipromosikan menjadi guru dari tim untuk tahun depan.”

“Tahun depan,” ulang Sasuke dengan nada datar. Tinggi air yang
hanya tinggal satu sentimeter dari dasar gelas itu bergoyang-goyang
seiring dengan tangan pemegangnya. “Bagaimana jika kau harus cuti
selamanya?”

Sakura sontak menoleh ke arah Sasuke di tengah-tengah posisinya
yang sedang menunduk memainkan gelas. Wajah lelaki itu tak setenang
sebelumnya. “Apakah itu berarti kau akan berkelana selamanya? Tidak
akan pernah pulang?”

144

“Kau satu-satunya tempatku pulang, Sakura. Lagi pula aku tak punya
hidup lagi di sana.”

Kata-kata Sasuke mengulas sebuah senyum di bibir Sakura, tapi
tergantikan oleh ekspresi muram setelahnya. “Hmm ... boleh jujur?”

Salah satu alis Sasuke tertarik ke atas. “Tentu.”
“Tsunade-sama senang aku akhirnya meminta cuti, tapi beliau tidak
menyukai alasanku. Meskipun tetap saja keputusannya untuk memberiku
izin tak ditarik lagi. Beliau mengharuskan aku untuk kembali ke Konoha.
Katanya aku adalah murid terbaiknya, yang suatu hari akan mengganti
posisinya.”
Sakura tak berani menatap Sasuke untuk melanjutkan kata-katanya.
Dia menarik napas panjang. “Sasuke-kun, meski kau separuh hidupku,
tapi aku masih punya separuh lagi di Konoha. Aku mau menemanimu
berkelana selamanya, tapi aku yakin akan datang hari di mana aku harus
kembali ke Konoha.”
Sasuke sama sekali tak menanggapi. Selama ini topik mengenai
kehidupan Sakura di Konoha selalu dia hindari karena adanya rasa gamang
akan kata-kata yang justru sudah Sakura perdengarkan padanya.
Jika keadaan dibalik dengan posisi dia yang mengikuti Sakura, dirinya
tak yakin dia siap untuk menetap di Konoha—desa yang bahkan pernah
masuk daftar hal-hal yang ingin dia hancurkan. Apalagi masih ada rasa tak
terdefinisi mengingat alasan di balik kini Konoha berada dalam kondisi
aman dan nyaman.
Konoha yang melepasnya di tengah-tengah hukuman adalah
kesempatan yang Sasuke ambil untuk menghukum diri sendiri, menebus
dosa, dan sungguh-sungguh menjauh dari desa itu sementara. Hidupnya
jelas tidak dilalui dengan mudah; mengembara tanpa tujuan hanya dengan
satu tangan. Kini dia memikirkan mengapa dia bisa-bisanya melibatkan
Sakura dalam kesulitan ini. Kemudian dia berpikir kembali, selain karena

145

gadis itu memang pernah meminta ikut dengannya, dia pun ingin
menebus rasa sakit yang sudah dia torehkan pada Sakura; meskipun di sisi
lain dia memang ingin Sakura berada di sisinya dan mengetahui
bagaimana gadis itu akan melihat segalanya.

“Sasuke-kun.”
Sasuke terusik dari lamunannya. Dia mengangkat wajah dan menatap
Sakura. Senyum tulus yang gadis itu berikan padanya membuat dia
terenyuh.
“Jika aku adalah tempatmu pulang, kau hanya tinggal ke Konoha
untuk pulang. Aku ada di sana kalau memang suatu hari kita harus
terpisah lagi.”
Sasuke tersenyum tipis. Dia menarik tangan Sakura yang ditaruh di
atas pahanya dari bawah meja. Tangan itu digenggamnya erat-erat dan ibu
jarinya mengusapnya. Mimik mukanya melembut.
“Terima kasih, Sakura.”
Sakura menanggapi ucapan Sasuke dengan senyum yang sama dan
balasan remasan tangan. Tarikan bibir itu masih sama, tetapi efek yang
sampai ke dada Sasuke terasa meningkat dibandingkan dengan
sebelumnya.

146

13
Uchiwa

Permukiman dalam bentuk desa ataupun kota sudah terlampaui
dengan jauh. Posisi Sasuke dan Sakura saat ini berada di sisi sungai yang
menjadi jalur transportasi utama di Negara Air. Perahu dan dayung yang
mereka sewa sudah dinaikkan ke daratan karena mereka membutuhkan
istirahat dari mengarungi sungai untuk melakukan makan siang di tempat
yang stagnan.

Siang ini, meskipun matahari masih belum juga muncul selama
berhari-hari karena tertutupi awan, cukup terang dan tidak dilanda hujan.
Sasuke mengumpulkan kayu untuk dibakar sementara Sakura
menyingsingkan pakaian dan memijak sungai untuk menangkap ikan.
Ikan yang sudah tertangkap ada dua. Namun, mengingat sudah nyaris tiga
hari makanan yang mereka konsumsi begitu terbatas dan kurang
bermanfaat bagi tubuh selain untuk mengisi perut, Sakura merasa mereka
membutuhkan ikan lebih dari itu.

Saat enam ikan sudah tertangkap, Sakura membawanya ke tempat
mereka bersauh. Dia membersihkan ikan menggunakan kunai dan
menanti Sasuke kembali.

147

Kumpulan kayu yang cukup banyak sudah ditumpuk untuk dibakar.
Api dinyalakan dan ikan digantungkan tepat di atasnya. Aroma ikan yang
matang mulai mengudara. Meskipun tidak ada bumbu yang masih tersisa,
harumnya tetap nikmat. Lidah mereka berdua mengonfirmasi aroma dari
ikan bakar tersebut.

Di dekat tempat mereka singgah, terdapat susunan kayu-kayu yang
membentuk ruangan dalam bentuk kotak kecil. Saat melewati kotak
tersebut melalui perahu, Sakura langsung tahu bahwa tempat itu dapat
digunakan untuk membersihkan diri. Merasakan tubuhnya yang sudah
lengket karena keringat, dia bersyukur atas hadirnya tempat tersebut.
Setelah makanan sudah habis dan perutnya sudah terasa nyaman baginya
untuk bergerak banyak, Sakura beranjak untuk mandi sembari membawa
tasnya.

Tempat pemandian tersebut memiliki balok terbuka yang dibangun
menggunakan semen. Tingginya sampai setengah pada Sakura. Air yang
berada di sana hanya memenuhi setengahnya, dengan lumut-lumut yang
menempeli bagian dalam balok. Ini memang bukan fasilitas terbaik untuk
mandi, tetapi ini hanya satu-satunya yang ada.

Pada bagian luar tempat pemandian yang mengarah ke sungai,
terdapat ember yang menggantung pada tali yang melilit katrol. Katrol
tersebut tepat mengarah ke sungai untuk menyauk air. Sakura mulai
menimba sampai balok yang merupakan bak tersebut nyaris penuh.

Selesai dengan kegiatan pertamanya, dia mulai melepas tas dari
punggung dan akan meneruskan membuka pakaian. Dia berputar di sana,
mencari satu sisi yang dapat digunakan untuk menggantung pakaian dan
tas. Sebuah kayu yang menonjol ditemukan setengah meter di atas bak.
Dia menggantungkannya di sana. Belum sampai satu menit barang-
barangnya digantung, kayu tersebut patah dan menyebabkan semua barang

148

bawaan Sakura tercebur. Seluruhnya sudah dalam kondisi basah saat
ditarik. Sakura mengerang dan mengumpat.

Dengan pasrah, dia mulai membersihkan diri. Pakaian yang
dipakainya keluar adalah pakaian basah karena dia tidak punya pilihan lain.
Seluruh isi tasnya basah kuyup tanpa bisa diselamatkan. Meskipun tidak
nyaman, dia pikir duduk cukup lama di sekitar api dapat membantu
mengeringkan pakaiannya.

Mendengar langkah yang mendekat, Sasuke mengangkat kepala dan
mendapati Sakura dalam pakaian yang sepenuhnya basah. Seluruh kain di
tubuhnya menempel ketat dan Sasuke merasa perlu mengalihkan
pandangan untuk menghormati Sakura. Dia mengernyit heran atas
tindakan Sakura yang mengenakan pakaian yang basah keseluruhannya.

“Kau mandi atau berenang?” tanya Sasuke.
Sakura mendesah sebelum duduk dekat dengan api. “Mandi. Tas dan
pakaianku yang sebelumnya tercebur ke dalam bak. Tidak ada yang
selamat.”
“Kau mau pakai itu terus?”
“Bagaimana lagi,” keluh Sakura pasrah. Dia mengedikkan bahu.
Sasuke mengembuskan napas panjang. Dia merogoh tasnya dan
menarik sepotong kaus. Saat sudah ditemukan, dia melemparkannya ke
arah Sakura yang langsung ditangkap dengan tangkas.
“Pakai kausku dulu sampai pakaianmu kering.”
Alis Sakura naik sebelah. “Eh? Apakah tidak apa-apa?”
“Kalau aku memiliki masalah dengan itu, aku tidak akan
menyerahkan pakaianku padamu dari awal.”
Sakura membeliak mendengar ucapan Sasuke yang ketus. Namun,
dia masih mengulaskan senyum saat mengucap terima kasih. Dia kembali
ke tempat pemandian dan segera melucuti atasannya. Kaus Sasuke
dibentangkan di hadapannya sebelum dipakai. Semu merah timbul di

149

pipinya saat menyadari gambar uchiwa menempel di bagian punggung kaus
itu. Bibirnya tak kuasa menahan senyum memikirkan Sasuke mengizinkan
lambang klannya yang begitu berharga menempel di punggungnya. Dia
segera mengganti pakaiannya dan tetap memakai bawahannya yang basah
karena baik dirinya maupun Sasuke sama-sama sadar bahwa celana Sasuke
tidak mungkin sesuai dengan ukuran Sakura.

Tempat di dekat api masih menjadi pilihan Sakura untuk kembali
duduk. Dia mengeluarkan semua pakaian di dalam tasnya dan
dihamparkan agar turut kering. Meskipun cuaca di bulan Januari
membuatnya membutuhkan waktu lama untuk mengeringkan pakaian, dia
yakin api bisa membantunya. Dia mengerutkan hidung saat melihat
dalamannya di dalam tas. Seperti apa yang sudah dilewati selama ini,
bagian pakaiannya yang itu selalu membuatnya bingung ketika harus
diatasi di hadapan Sasuke. Dia tetap menyimpannya di dalam tas dan
berharap api cukup panas untuk menembusnya.

Sasuke terdiam selama Sakura sibuk dengan urusannya sendiri.
Matanya tak terlepas dari uchiwa di punggung Sakura ketika gadis itu
memutar tubuhnya. Ada sekelumit desiran aneh yang melanda sistem
peredaran darahnya. Sebuah perasaan yang membuat napasnya bergetar
karena rasa nyaman. Ini adalah pertama kali sejak bertahun-tahun dia
melihat lambang klannya menempel di punggung orang lain, dan
mengingat orang lain itu adalah Sakura sungguh membuatnya tenang.
Segalanya terasa benar.

“Kau tidak mandi?” tanya Sakura setelah membentangkan semua
pakaiannya.

“Mau.”
Sakura mengibas-ngibaskan tangannya ke arah Sasuke. “Sana cepat.”
Dia menjepit hidungnya sendiri main-main. “Bau, tahu.”

150

Sasuke memutar mata. Padahal Sakura sendiri baru selesai mandi.
Dia tidak menanggapi Sakura. Langkahnya langsung ditujukan pada
tempat pemandian. Tatapannya terus tertuju pada punggung Sakura selagi
dia bisa.

151

14
Hilang

Satu-satunya tempat yang memungkinkan untuk menjadi lokasi
peristirahatan di tengah-tengah aliran sungai yang dinaungi oleh bebatuan
adalah gua. Mereka sudah melewati beberapanya, tetapi tidak ada satu pun
yang berada dalam kondisi kering. Kebanyakan dari gua yang sudah
mereka lewati tersambung langsung dengan sungai dan mengalirkan air ke
dalamnya.

Setelah matahari sepenuhnya turun, mereka baru menemukan satu
gua kering yang berjarak kurang lebih enam meter dari sisi sungai.
Tempat itu segera diputuskan untuk menjadi tempat mereka beristirahat.
Mereka bersauh dan menaikkan perahu ke daratan.

Senter diarahkan ke dalam gua untuk memastikan kelayakan melalui
jarak yang lebih dekat. Tempat itu cukup layak meskipun dalam kondisi
lembap. Tidak ada kelelawar yang bergelantungan di langit-langit gua.
Sasuke terus melangkah dan mendadak berhenti saat tidak lagi mendengar
gema dari derap kaki selain darinya. Dia menengok ke belakang dan
Sakura menghilang.

“Sakura?”
Tidak ada jawaban.

152

“Sakura!”
Masih tidak ada respons dari Sakura dan gadis itu masih menghilang.
Sasuke lekas berlari ke luar gua dan mengedarkan pandangan pada
sekitar mereka. Hanya ada bebatuan, perahu yang mereka sewa, dan
Sakura tidak ada di mana-mana. Dengan panik yang mulai merambati
tubuhnya, Sasuke mengaktifkan sharingan-nya. Dia mendeteksi sekitarnya
dan jejak Sakura tidak tertangkap di mana-mana. Bahkan jejak sepatunya
tidak ada.
Langkah yang Sasuke ambil berubah menjadi lari kencang dan
lompatan yang dia lakukan ke atas bebatuan. Apa yang terjadi? Kenapa
Sakura tiba-tiba meninggalkannya? Kenapa gadis itu menghilang tanpa
kabar? Dengan segala pertanyaan tak terjawab yang menghantui kepalanya,
Sasuke melompati batu demi batu dan terus menjauhi bantaran sungai.
Matanya terus difungsikan dengan maksimal agar dapat menangkap
gerakan sekecil apa pun yang dia harap datang dari Sakura.
Detak jantung Sasuke menggila bukan main. Pencariannya sudah
berjalan selama berjam-jam, bahkan matahari mulai terbit, dan jejak gadis
itu masih belum ditemukan di mana-mana. Sasuke begitu frustrasi.
Pikirannya sulit dibuat jernih, sudah didominasi rasa panik dan
kegamangan.
Sakura bukanlah tipikal gadis yang akan pergi tanpa kabar, terlebih
meninggalkannya begitu saja. Apalagi, yang terjadi kali ini tidak tertinggal
jejak. Sasuke berasumsi apa yang menimpa gadis itu pastilah serius,
bahkan bisa dikatakan sangat serius. Dia sudah kehilangan kedua orang
tua, kakaknya, dan selama ini dia lupa bahwa Sakura pasti akan ada di
daftar selanjutnya, meski entah kapan. Namun, dia tak tahu bahwa akan
secepat ini.
Kepalan tangan Sasuke mengerat, napasnya terembus keras
bersamaan dengan dibuangnya jauh-jauh kemungkinan terburuk yang

153

baru saja melesat di otaknya. Semoga Sakura masih baik-baik saja, kata-
kata itu terus diucap dalam hati sebagai sugesti untuk menenangkan diri.
Usaha tersebut tidak berjalan lancar. Sudah lebih dari dua puluh empat
jam terlewati dengan otaknya yang kusut, pergerakan yang dia lakukan
menjadi terkesan tanpa perhitungan.

Ini adalah malam kedua semenjak Sasuke kehilangan jejak Sakura.
Kepanikan membuatnya enggan mengambil waktu untuk sekadar
menelaah keadaan. Kalau sebelumnya dia geram pada Sakura karena pergi
meninggalkannya begitu saja, seharusnya dia geram pada diri sendiri
sekarang. Mengingat hal tersebut, Sasuke mencoba tenang sejenak.
Merenggangkan otot di sekujur tubuhnya agar pikirannya bisa sejernih
biasanya.

Otak Sasuke terus menyusun akar kejadian yang membuatnya panik
belakangan ini. Di mana kira-kira lokasi Sakura, apa yang terjadi pada
Sakura sampai menghilang tiba-tiba, dan hal lainnya. Dugaan bahwa
Sakura diculik muncul di dalam benaknya mengingat hal tersebut pernah
terjadi pada gadis itu sebagai pancingannya agar mau datang. Apakah yang
melakukan ini mengincarnya lagi dan menggunakan Sakura sebagai
umpan? Dia terus berpikir dan mencari solusi. Namun, yang paling
mendominasi pikirannya saat ini adalah ketika dia berhasil menemukan
Sakura, gadis itu ada di dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Sharingan Sasuke menangkap gerakan kecil dari arah barat. Dengan
sigap, dia berlari ke sana. Tubuhnya melemas saat mendapati samar-samar
rambut merah muda yang tercampur darah kering. Larinya semakin cepat
sampai dia benar-benar berhenti dan terduduk tanpa terkendali karena
gerakan yang tertangkap oleh sharingan-nya tadi adalah gerakan yang bisa
Sakura lakukan untuk yang terakhir kali.

Leher Sakura terluka dan darah yang sudah mengering tampak
mengalir dari sana hingga menggenang. Matanya terbuka dalam kondisi

154

kaku. Dadanya tidak bergerak naik-turun karena tak adanya pergerakan
paru-paru. Dengan tangan yang bergetar, Sasuke mengecek denyut nadi
Sakura. Sudah tidak ada.

“Sakura …,” panggil Sasuke dengan suara serak. “Sakura … Sakura!”
Sasuke memegang bahu Sakura dan mengguncangnya. Sekujur
tubuhnya bergetar. Giginya saling bergemeletuk. Dia menunduk.
Sasuke memejamkan mata dan membiarkan tetesan air mata jatuh ke
tubuh Sakura yang sudah kaku. Giginya saling menggertak. Kepalanya
tertunduk.
Terjadi lagi.
Dia kehilangan seseorang yang dia sayangi lagi.



Sakura berjalan dengan hati-hati ke dalam gua. Sasuke berdiri
dengan jarak satu meter di hadapannya. Langkah yang mereka ambil ke
dalam gua baru sampai enam langkah. Saat mengambil beberapa langkah
lagi dengan posisi Sasuke yang berjalan lebih dulu, tiba-tiba lelaki itu
terpental jauh seolah-olah tengah ditabrak oleh sesuatu dan mengalami
momentum besar-besaran.

Sakura berteriak. Dia berlari ke posisi Sasuke yang tengah terbaring
tak sadarkan diri di luar gua dan nyaris tercebur ke dalam sungai.

“Sasuke-kun!” Sakura memanggil Sasuke dengan suara keras hingga
tenggorokannya sakit.

Jantung Sakura berdebar-debar keras karena rasa takut. Namun, dia
buru-buru menenangkan diri agar bisa mengobservasi apa yang terjadi
pada Sasuke kemudian mencari cara untuk mengatasinya. Napasnya masih
terputus-putus meskipun dia terus menyugestikan pada diri sendiri agar
tenang.

155

Dia menepuk-nepuk pipi Sasuke untuk memastikan seberapa parah
lelaki itu tengah kehilangan kesadaran. Tepukan yang cukup keras masih
tidak membangunkannya. Dia membuka kelopak mata Sasuke dan
mengarahkan senter ke sana. Tidak respons dari matanya. Sakura
mendekatkan telinganya pada hidung Sasuke. Lelaki itu masih bernapas,
tetapi embusannya sangat lemah. Telinga Sakura diarahkan pada jantung
Sasuke. Denyutannya selemah tarikan napasnya.

Jawaban mengenai apa yang terjadi pada Sasuke masih belum ada di
dalam otaknya. Di ujung tangis, dia mengaktifkan cakra dan
mengarahkannya pada dada Sasuke dan membesarkan aliran cakranya saat
tangannya sudah terletak tepat di atas jantung. Tidak ada reaksi apa pun
dari Sasuke. Cepat detak jantung Sasuke masih konsisten lambat seperti
tadi.

Dengan keyakinan bahwa detak jantung Sasuke tidak akan berhenti
sepenuhnya, Sakura memutuskan untuk beranjak dan mencari tahu
mengenai lokasi yang membuat tubuh Sasuke terpental. Dia masih
mengingat betul di mana Sasuke tiba-tiba terlempar jauh karena adanya
momentum yang tak kasatmata. Dia melempar batu ke sana. Batu
tersebut menembus apa pun yang tak kasatmata di sana, berbeda dengan
Sasuke yang terpental. Sakura tidak bisa merisikokan diri sendiri dengan
cara mengecek menggunakan tubuhnya sendiri. Jika sesuatu terjadi
padanya, dia tidak akan bisa menyelamatkan Sasuke.

Sakura segera kembali ke tempat Sasuke berbaring tak sadarkan diri.
Dia mencoba upaya yang sudah dia lakukan, berulang-ulang, terus-
menerus, dan reaksi yang diberikan Sasuke masih tak ada. Sakura frustrasi
dan mulai putus asa. Napasnya bergetar dan air mata terus mengalir dari
matanya. Dia mengisak.

Selama dalam prosesnya mencoba menyadarkan Sasuke, Sakura
masih terus memutar otak dan mencari jawaban mengenai apa yang terjadi

156

pada Sasuke. Dia baru sadar bahwa di gua itu tidak ada makhluk hidup
apa pun. Kelelawar, nyamuk, laba-laba, bahkan lumut pun tidak ada di
sana. Semestinya itu memberi petunjuk mengenai sesuatu. Gua itu bukan
untuk makhluk hidup. Dia terus berpikir apa alasan gua itu bukan untuk
makhluk hidup.

Di tengah-tengah tangannya yang terus mengalirkan cakra, detak
jantung Sasuke mencapai tekanan yang normal. Sakura menangis semakin
hebat karena sadar mungkin sebentar lagi Sasuke akan sadar. Kepalanya
didekatkan pada hidung Sasuke lagi. Napas lelaki itu pun mulai stabil.
Sakura buru-buru mengecilkan aliran cakranya karena khawatir jika terlalu
besar akan berpengaruh buruk pada tubuh Sasuke. Semakin kecil aliran
cakranya, semakin lemah tekanan darah Sasuke. Isakan Sakura semakin
keras karena sadar bahwa normalnya detak jantung dan aliran napas
Sasuke bukan disebabkan oleh kondisi Sasuke yang membaik, tetapi
karena aliran cakranya yang kuat. Dia harus terus-menerus mengalirkan
cakra sekuat itu pada Sasuke agar jantung dan paru-parunya bisa bekerja
dengan normal, tetapi kesadaran tetap tidak datang padanya.

Masih membutuhkan jawaban mengenai gua itu, Sakura memanggil
Katsuyu-sama untuk membantunya mengalirkan cakra pada Sasuke
sementara dia mengidentifikasi gua. Dia menyeka air mata yang
mengabutkan pandangannya dan berusaha tenang demi Sasuke. Dia
kembali ke dalam gua dengan jarak yang sama seperti sebelumnya.
Tangannya memegang erat senter dan mengarahkan cahayanya pada
sekitar gua. Mata Sakura menyipit dan terus meneliti lokasi sebelum
Sasuke terpental yang tercetak dengan jejak sepatunya.

Satu kilauan muncul ketika cahaya dari senter diarahkan pada jejak
sepatu Sasuke yang terakhir. Tidak, itu bukan kilauan. Bentuknya
bergelombang, seperti permukaan air yang bening. Sakura mundur dan

157

meluaskan sudut pandangnya. Gelombang itu menutupi seluruh gua tepat
di ujung jejak sepatu Sasuke yang terakhir.

Sekali lagi, Sakura melempar kerikil ke arah sana. Kerikil tersebut
menembus permukaan bergelombang tersebut. Dia berasumsi bahwa
permukaan itu merupakan portal menuju dimensi lain. Dengan menabrak
permukaan itu, jiwa dan raga akan terpisah tetapi raga masih dalam
kondisi hidup. Tubuh Sakura merosot hingga dia terduduk.

Ini bukanlah sesuatu yang bisa dia atasi. Dia tidak pernah diajari
ataupun menghadapi situasi seperti ini sebelumnya. Sasuke-lah yang bisa
menggunakan jurus perpindahan dimensi. Namun, jika Sasuke tidak sadar
bahwa hal itu terjadi padanya, semua ini tidak akan ada ujungnya.

Satu minggu berlalu dan Sakura masih terus mengalirkan cakra pada
Sasuke dengan bantuan Katsuyu-sama. Dia takut jika dihentikan, seluruh
sistem di tubuh Sasuke akan berhenti juga dan dia kehilangan lelaki itu
selamanya. Selama satu minggu ini dia bahkan tidak bisa makan ataupun
minum. Dia terlalu takut. Dia terlalu hancur. Dia tidak mau kehilangan
Sasuke.

Sakura mengusap wajah Sasuke yang terasa hangat. Dia bahkan
sudah tidak bisa menangis lagi karena air matanya sudah habis. Dia
mengecup bibir Sasuke. Napas lelaki itu terasa di mulutnya. Namun, itu
tidak berarti apa-apa jika Sasuke masih tidak bisa sadar. Sakura tidak tahu
harus meminta bantuan pada siapa. Dia begitu jauh dari orang-orang yang
dia kenali. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu sampai Sasuke sadar
bahwa lelaki itu terjebak di dimensi lain.

Dengan keputusasaan yang sudah mendominasi otaknya, sekali lagi
Sakura mencoba untuk melepaskan genjutsu dari Sasuke. Dia harap itu bisa
berpengaruh, entah bagaimana caranya. Dia terus-menerus mengulangnya
sembari masih mengalirkan cakra.

158

“Sakura, jantung Sasuke berdetak terlalu cepat,” ucap Katsuyu-sama
yang sontak menghentikan kegiatan Sakura.

Sakura melotot dan gemetaran. Dia menempelkan kedua jari pada
nadi Sasuke yang berada di leher. Katsuyu-sama benar.

“Tolong lemahkan aliran cakranya, Katsuyu-sama.”
“Baik.”
Dengan aliran cakra yang melemah dan terus mengecil, detak
jantung Sasuke sampai ke tekanan darah yang normal. Dada Sakura
dipenuhi dengan harapan.
“Katsuyu-sama, tolong hentikan sepenuhnya.”
Katsuyu segera menghentikan teknik pengaliran cakra pada Sasuke.
Sakura mendekatkan telinganya pada hidung Sasuke lagi. Aliran napas
lelaki itu pun lancar.
“Katsuyu-sama, apakah Sasuke-kun sudah sadar?”
“Aku tidak tahu, Sakura.”
Sakura mengangguk dan mencoba tenang. Air mata yang sudah habis
tiba-tiba muncul di kantong matanya.
“Tolong pindah dari tubuh Sasuke-kun, Katsuyu-sama.” Katsuyu
mengikuti apa yang dikatakan Sakura. “Tolong bertahan di sini. Aku
masih belum mengetahui kondisi Sasuke-kun.”
Mendengar Katsuyu mengiyakan permintaannya, fokusnya kembali
penuh pada Sasuke. Dia menepuk pipi Sasuke berulang-ulang sembari
memanggil namanya. Gerakan tangan Sakura membeku saat mendapati
kelopak mata Sasuke bergerak.
“Sasuke-kun?” ucap Sakura lirih.
Mendengar erangan Sasuke, air mata Sakura semakin tumpah karena
rasa lega. Mata Sasuke perlahan-lahan terbuka. Lelaki itu tampak sangat
kelelahan, mungkin lebih daripada dirinya. Sasuke bangun pelan-pelan
dan tampak belum fokus dengan sekitarnya. Sakura langsung memeluk

159

tubuh Sasuke erat-erat. Dia menoleh ke arah Katsuyu-sama dan
mengangguk serta mengucapkan terima kasih, lantas siput itu pun
menghilang.

Samar-samar, Sasuke mendengar suara Sakura yang memanggil
namanya berulang kali. Suaranya muncul dari volume terkecil hingga
terdengar begitu dekat. Dia merasakan kehangatan yang menyelubungi
tubuhnya. Matanya melirik dan mendapati kepala dengan rambut merah
muda. Sakura.

Sasuke tersentak. Dia memegang bahu Sakura dan mendorong
tubuhnya untuk melihat gadis itu lebih jelas. Sakura masih hidup, tidak
ada luka di lehernya, dia bisa mendengar suaranya, dan Sakura tidak
meninggalkannya.

“Sakura …,” panggil Sasuke dengan suara lemah. “Sakura … kau …
di … sini.”

Sakura memeluk Sasuke lagi sembari menangis keras. Sasuke
membalas pelukan itu tengah keputusasaan yang sama. Dia
menenggelamkan wajahnya pada bahu dan rambut Sakura serta
membiarkan air matanya turun. Mereka menangis dan memeluk satu
sama lain erat-erat karena baru saja dihadapi kenyataan bahwa yang
mereka pikir telah hilang kini berada di hadapan mereka dalam kondisi
hidup dan sadar.

Saat mereka sudah jauh lebih tenang, Sasuke menceritakan apa yang
terjadi padanya sejak kehilangan Sakura di gua itu. Dia memberi tahu
Sakura tentang dirinya yang melihat dengan mata kepala sendiri bahwa
gadis itu sudah tidak bernapas dan darah menggenang di sekitar kepalanya.
Lehernya terluka parah. Sasuke sadar itu adalah genjutsu atau hal
semacamnya ketika setelah berhari-hari dia tidak beranjak dari sana, tubuh
Sakura tidak membusuk. Setelah mencoba segala macam cara untuk
keluar dari genjutsu dan gagal, dia menyadari bahwa tempat itu adalah

160

sebuah dimensi yang memproyeksi ketakutan terbesar dalam hidupnya.
Dia segera menggunakan jurus berpindah dimensi setelah menyadari hal
tersebut dan di sinilah dia sekarang.

Sakura menceritakan apa yang terjadi padanya di sini selama Sasuke
tidak sadar. Mereka saling mendekap lagi dengan sangat erat, seakan-akan
benar-benar takut akan sungguh-sungguh kehilangan satu sama lain di
detik selanjutnya.

Sasuke menggelamkan wajah pada perpotongan bahu Sakura.
“Jangan meninggalkanku, Sakura. Aku tidak mau kehilangan orang yang
kusayangi lagi,” bisiknya.

Sakura mengangguk dan mengeratkan pelukannya. Air matanya
turun lagi. “Aku juga tidak ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu,
Sasuke-kun.”

161

15
Mengetes Air

Hal terakhir yang dilakukan di Negara Air adalah Sakura yang
menulis surat untuk kedua orang tuanya. Saat itu, dia mengutuk diri
karena membiarkan hal sepenting ini terlepas dari otaknya. Isi dari surat
tersebut adalah mengabari tentang bagaimana kondisinya dan dengan siapa
dia sekarang.

Kurang lebih satu bulan sudah terlewati semenjak hari itu. Kini,
Sasuke dan Sakura sudah menyeberangi lautan, berpijak di atas Negara
Petir. Mereka sempat melewati lokasi akhir Perang Dunia Shinobi
Keempat yang membawa kenangan pahit mengenai luka dan kematian
yang disebabkan oleh itu. Tempat itu kini sudah diisi bangunan-bangunan
dan tampak sangat berbeda dengan masa-masa menjadi medan perang.
Meskipun begitu, mereka sadar topik terkait perang adalah hal berat dan
membawa atmosfer getir, maka mereka sama-sama sepakat dalam diam
untuk tidak membahasnya.

Butuh beberapa waktu sampai mereka tiba di permukiman besar
yang memiliki toko-toko dan penginapan. Hal pertama yang ingin Sakura
lakukan adalah belanja pakaian, dia bahkan tak ingat kapan terakhir kali
dia belanja bahan sandang. Mencoba menjadi sosok yang pengertian, dia

162

tak memaksa Sasuke untuk menemaninya, karena pasti akan teramat
sangat membosankan bagi lelaki itu. Maka, dia dan Sasuke mengambil
jalan yang berbeda ketika sudah memasuki daerah pertokoan. Setelah
keduanya selesai, mereka mencari penginapan yang untungnya tak sulit
ditemukan.

Karena daratan di Negara Petir didominasi oleh pegunungan,
permukiman yang berdiri pun rata-rata berada di kaki gunung. Suhu
bulan Februari terasa lebih dingin di sini; atau mungkin bagi penduduk
yang menetap terasa sama saja, tetapi berbeda bagi mereka. Kaki gunung
sudah terkenal dengan suhu lebih dingin baik berada di musim apa pun.

Sasuke meminta Sakura untuk masuk ke kamar sewa mereka lebih
dulu karena ada sesuatu yang perlu dia beli. Sakura menuruti perkataan
Sasuke. Dia menaruh barang-barangnya di lemari agar tetap terlihat rapi.
Tubuhnya segera dibaringkan di atas kasur yang empuk.

Tidak biasa sendiri terlalu lama, kejenuhan mulai merambat di
hatinya. Dia beranjak dan menyibak tirai jendela. Tatapannya tertuju ke
sana tanpa menghapus embun yang menempel pada kaca. Hiruk-pikuk
dan kegiatan penduduk yang berada di sekitar penginapan menjadi sumber
pengamatannya.

Kaca yang berembun di depannya membuat Sakura teringat akan
kebiasaannya dulu yang suka menulis abstrak menggunakan jari. Tugas
menopang dagu mengalami transisi, dari tangan kanan ke tangan kiri.
Kini jemari telunjuk di tangan kanannya menyentuh kaca dan mengukir
tulisan-tulisan. Seketika tubuhnya membeku saat mendengar suara pintu
yang dibuka.

Melihat bahu Sakura yang tiba-tiba menegang tampak mencurigakan
bagi Sasuke. Matanya menyipit melihat Sakura yang langsung menutup
jendela dengan tirai. Dia duduk di sisi tempat tidur. Sakura masih
membelakangi tubuhnya.

163

“Kau kelihatan kaget,” ujar Sasuke. “Apa yang kaulakukan?”
Sakura memutar tubuh dan menahan tirai dengan tangannya.
Tatapan matanya kaku. Diselipkannya rambut ke belakang telinga karena
merasa gugup. “Tidak ada.”
Dahi Sasuke mengernyit. Dia melempar tatapan bertanya pada
Sakura. Lalu, dia beringsut mendekati jendela dan berusaha membuka
tirai, tetapi ditahan oleh Sakura.
“Jangan dibuka!” larang Sakura.
Sasuke mendecak. “Ini masih siang.”
Sakura melarangnya lagi. Namun, Sasuke bersikukuh untuk
membukanya. Keduanya melakukan kegiatan tarik-menarik pada tirai
sebagai pemaksaan kehendak masing-masing.
“Kalau sobek kita harus ganti rugi!”
“Makanya kubilang jangan dibuka!”
Sasuke diam, lalu mendecak keras. Dia melepas pegangannya pada
tirai. Matanya melempar sebuah sorot mata tajam yang tampak curiga,
hingga sekilas dia melihat Sakura merinding di bawah tatapannya.
“Kau memperhatikan sesuatu yang aneh di balik jendela,” tuduhnya.
“Aneh? Aneh apa? Tidak ada yang bisa kulihat selain kegiatan
penduduk!” Sakura menyilangkan kedua tangan di depan dada. Dia
membuang muka.
Melihat posisi Sakura yang tampak lengah, dia menyeringai tipis.
Bagaimanapun dia masih penasaran apa yang gadis itu tutup-tutupi di
balik jendela. Suara sibakan tirai yang menggema membuat Sakura
melebarkan kedua matanya. Sontak dia teriak dan menutupi wajahnya.
Dia baru sadar bahwa tangannya tak lagi menjaga tirai dari Sasuke.
Sementara Sasuke hanya mendengus menahan tawa melihat apa yang
Sakura tutupi sedari tadi. Di jendela berembun tersebut terdapat gambar
sebuah payung dengan nama Sasuke dan Sakura di masing-masing sisinya.

164

“Ini yang kaututupi sedari tadi? Dasar anak kecil,” ejeknya dengan
seringai di bibir.

Sakura memekik dan langsung menghapus tulisan tersebut dengan
tangannya. Dia tahu Sasuke akan mengejeknya setelah melihat hasil
tangannya. Lagi pula, dia malu. Dia tahu Sasuke bukanlah seseorang yang
memamerkan afeksi dengan sesuatu yang picisan seperti ini. Selain itu,
Sasuke benar. Ini bukanlah hal yang dilakukan oleh seseorang yang
berusia sembilan belas tahun. Sakura merengut karena baru diejek anak
kecil oleh Sasuke yang notabene berumur beberapa bulan lebih muda
daripada dirinya.

“Ini salahmu karena pergi ketika aku sedang bosan! Yang tadi adalah
satu-satunya hal yang bisa kulakukan,” elak Sakura dengan pipi merona.
Panas di wajahnya bertambah ketika melihat Sasuke masih saja
menyeringai.

“Aku tidak mendengarmu protes tadi,” balas Sasuke. Lalu dia
mengangkat bahu. “Lagi pula tidak ada yang perlu dipersalahkan.”

“Terserah.”
Sakura menyilangkan tangan di depan dada lagi. Dia membuang
muka ke arah jendela yang bekas-bekas kondensasinya telah hilang
setengah. Mengingat Sasuke bilang tak ada yang perlu dipersalahkan,
perasaan malunya tadi sudah menguap entah ke mana, meskipun dia sok
menanggapi dengan gestur tak acuh.
“Aku bosan. Pokoknya nanti sore kita harus keluar!” katanya mutlak.
“Hn.” Sasuke menanggapi sekenanya.
“Karena dingin, aku mau pergi ke—”
“Tidak ada ke bar dan minum sake!” potong Sasuke dengan nada
tegas dan mutlak. Matanya menatap mata Sakura yang memancarkan rasa
heran.

165

Dengan dahi yang mengernyit, Sakura berujar, “Aku mau bilang
mata air panas. Di sini ‘kan banyak mata air panas. Lagi pula, kenapa, sih,
kau sentimen sekali mengenai aku yang minum sake? Hei, upacara
pernikahan ada ritual minum sake, tahu!” Sakura tersentak mendengar
kalimat terakhirnya. Seandainya kata-kata bisa ditarik, dia akan
menariknya. Pernikahan adalah sesuatu yang belum pernah mereka bahas.
Wajah Sakura sudah penuh dengan warna merah. Dia tidak berani
menatap Sasuke.

“Itu beda perkara,” tanggap Sasuke. “Itu tak akan membuatmu
sampai mabuk.”

Mendengar Sasuke tidak bereaksi apa pun atas kalimat terakhirnya,
Sakura mencoba untuk melupakannya saja. Dia segera memikirkan
bahasan lain.

“Kau terus menerus menekanku untuk tidak mabuk, tetapi tak
pernah mengatakan alasannya.”

“Aku yakin kau tak mau mendengar alasannya.”
“Coba saja.”
“Tidak.”
“Beri tahu aku, Sasuke-kun!”
“Tidak mau.”
“Sasuke-kun!”
“Tidak, Sakura.”
Sakura benar-benar penasaran sekarang. Dia yakin memang terjadi
sesuatu saat dia mabuk karena tanggapan Sasuke sekarang dan
tanggapannya dulu mengenai ini berbeda. Sebelumnya Sasuke menjawab
dengan “Tidak ada” bukan “Tidak mau” atau “Kau tidak mau
mendengarnya.” Dia tak punya ide apa yang membuat Sasuke menutupi
ini. Apakah begitu memalukan bagi dirinya atau bahkan untuk Sasuke
sendiri? Entahlah, pikiran Sakura benar-benar kosong tentang ini.

166

“Kalau kau menolak memberi tahu, tidak apa-apa.” Sakura
tersenyum simpul. Entah kenapa senyum itu diterima sebagai ekspresi
yang menyebalkan bagi Sasuke. “Aku bisa mencari tahu ... dengan cara ...
mabuk.”

“Tidak boleh!” Sesuai dengan dugaan Sasuke, senyum itu adalah
senyum menyebalkan.

“Makanya katakan atau aku cari tahu sendiri!”
Sasuke mendengus kesal. Dia melempar tatapan terganggu, seperti
apa yang sering dia lakukan pada Sakura saat keduanya masih genin dulu.
“Jangan salahkan aku kalau kau menyesal mendengarnya.”
“Oke.”
Menarik napas panjang ternyata tak cukup untuk meyakinkan Sasuke
membocorkan apa yang sudah dia tutupi selama ini. Dia yakin ini akan
memalukan untuk Sakura, juga untuk dirinya. Itulah yang membuatnya
menetap pada skeptisme. Namun, mengingat Sakura yang tak pernah
bermain-main dalam kata-katanya memaksanya untuk membuka rahasia.
“Kau menggodaku.” Sasuke mengalihkan pandangan dari mata
Sakura. Dia berdeham untuk menetralisasi kecanggungan. Di dalam
benaknya berputar kembali masa-masa yang selama ini sangat Sasuke
hindari, dan dia mengerang karenanya.
“Huh?” Sakura terperangah. “Ma-maksudmu? Katakan secara
spesifik!”
“Sudah kubilang, kau akan menyesal.” Diam-diam Sasuke berharap
Sakura mau mengubah pikirannya.
“Tidak, tidak. Kumohon katakan saja,” ucap Sakura dengan nada
penasaran sekaligus gugup di saat yang sama. Dia khawatir kata-kata
Sasuke tadi mengacu pada hal yang tidak-tidak. “Kalau aku tahu,
setidaknya hal ini akan membuatku benar-benar menuruti kata-katamu,
bukan? Yah, kalau benar sampai membuatku menyesal bertanya.”

167

Lagi-lagi Sasuke berdeham. Dia yakin seseorang seperti Sakura pasti
akan malu setengah mati setelah mendengar apa yang berputar-putar di
dalam kepala Sasuke. Bahkan dia saja merasa malu untuk menceritakannya.
Namun, kata-kata Sakura ada benarnya. Setidaknya ini akan membuat
Sakura benar-benar menjauhi sebuah kondisi berbahaya yang dikatakan
mabuk.

“Kau menciumku …” Sasuke menangkap tatapan heran yang
dilempar Sakura setelah mendengar kata-katanya, “... dengan kasar.” Kini
tatapan heran itu berubah menjadi tatapan horor. Sasuke merasa wajahnya
memanas, entah sampai memerah atau tidak. “Kau bahkan mengecupi
telingaku saat aku menggendongmu ke penginapan dan mende—”

“Kyaa!” Sakura menutup wajahnya menggunakan kedua telapak
tangan. Seluruh mukanya memanas dan memerah, bahkan sampai
merambat ke telinga dan leher ketika membayangkan dia ada di posisi
yang Sasuke ceritakan. “Cukup, cukup! Jangan diteruskan!”

Sasuke mendengus. “Apa kubilang.”
Sakura masih tenggelam ke dalam rasa malunya. Butuh waktu cukup
lama hingga dia berhenti memekik. Dia menatap Sasuke melalui celah-
celah jari yang menempel di wajahnya. Sorot matanya curiga. “Apa yang
kaulakukan setelah itu?” tanyanya takut-takut.
Menangkap kecurigaan di mata Sakura, Sasuke mendecak kesal.
“Seharusnya kau ingat bahwa kita sama-sama masih berpakaian lengkap
saat bangun.”
Sebuah bantal mendarat di wajah Sasuke dengan pukulan yang cukup
keras. “Jangan jawab begitu, Sasuke-kun!” Sakura benar-benar malu
sekarang. Apalagi otaknya sempat membayangkan kondisi yang 180
derajat berbeda dengan yang Sasuke katakan.
Benar apa katanya, dia akan menyesal karena sudah bertanya, dengan
bersikukuh pula. Sekarang dia membuat catatan mental untuk tak akan

168

mabuk lagi, tanpa ada keraguan sama sekali. Sakura mengerti sekarang
mengapa Sasuke menghindari pemberian informasi mengenai ini.

Sasuke mengerutkan hidung merasakan bekas pukulan bantal yang
masih terasa di wajahnya, disertai tenaga Sakura pula. Bukankah tadi gadis
itu mengiyakan untuk tidak menyalahkan dirinya jika dia menyesal
bertanya? Yang sudah terjadi justru lebih-lebih dari kesepakatan itu.

Setelah segala pernyataan yang sudah Sasuke berikan padanya, Sakura
jadi sadar akan sesuatu. Dia pernah dengar orang-orang yang seusia
dengan dirinya, atau bahkan yang lebih muda, melepas keperawanannya
sebelum menikah karena kekasihnya yang meminta atau memulai.
Sementara Sasuke sungguh-sungguh berbeda. Ketika memiliki
kesempatan besar pun, lelaki itu justru menghindarinya. Dia sama sekali
tak pernah mengambil kesempatan. Entah kenapa kenyataan tersebut
membuat Sakura merasa rikuh setelah mulai melupakan rasa malunya.

“Sasuke-kun ... kau tidak pernah meminta lebih dariku.” Kata-kata
tersebut meluncur begitu saja dari bibirnya. Sontak dia terkejut dengan
perkataannya.

“Meminta lebih? Maksudmu?”
“Mmm ... ya ... itu.” Sakura menyesali pengendalian lidahnya yang
buruk. Dia menatap Sasuke dengan pipi yang merona. “Hei, aku yakin kau
pasti mengerti maksudku!”
Sasuke memasang ekspresi datar. Tangannya tergerak untuk
mengusap pipi Sakura dan menyelipkan helai-helai merah muda ke balik
cuping telinganya. Dia memajukan tubuh, mengikis jarak yang terbentang
di antara dirinya dan Sakura. Jarak tersebut dihapus oleh bibir yang saling
menempel erat dan lumatan pertama yang dilakukan Sasuke.
Tubuh Sakura mendadak bergetar. Dia gugup, gugup, dan gugup.
Memang, ini bukan ciuman pertama, seharusnya dia tidak gugup seperti
ini. Namun, rasanya kelewat lain jika terjadi setelah Sakura berbicara

169

seperti tadi. Dia memang membahas, tetapi bukan berarti hal tersebut
merupakan undangan terbuka bagi Sasuke. Matanya terpejam erat-erat
ketika tangan yang menempel di pipinya merambat ke bawah, membelai
rahang, dan menyelinap ke balik kerah tingginya. Sakura bergidik.

Napasnya tertahan ketika bibirnya yang terkatup rapat dan kaku
merasakan kontak dengan lidah Sasuke. Organ tak bertulang itu menyapu
bibirnya, dan menekan-nekan batas bibirnya. Sesekali dia merasa Sasuke
menggigit bibir bawahnya, meski tak sampai sakit. Tak cukup sampai di
situ, ujung jari-jari Sasuke mengusap lehernya, menekan-nekan
tengkuknya, dan melakukan gerakan memutar di tulang selangkanya.
Sakura nyaris memekik kencang membayangkan tangan itu akan
merambat semakin ke bawah, bawah, dan bawah, tetapi tertahan karena
pagutan sepihak tersebut terlepas begitu saja.

Perlahan-lahan dia membuka matanya, tetapi masih tak punya nyali
untuk menatap wajah Sasuke setelah apa yang terjadi. Gemetar masih
menghantui tubuhnya. Dia yakin wajahnya sudah merona lebih parah
dibandingkan dirinya setelah terlepas dari ciuman-ciuman yang
sebelumnya. Namun, gemetar itu berhenti sedikit demi sedikit setelah
Sasuke mengetuk dahinya menggunakan kedua ujung jari. Matanya
langsung mencari-cari mata Sasuke untuk melemparkan pertanyaan
tersirat.

Yang didapatinya adalah Sasuke yang menggeleng, lantas berbisik,
“Nanti.”

Tubuh Sakura merosot ke bawah karena gemetar dan tegangnya
sudah hilang, meskipun dia tak tahu secara spesifik kapan yang dimaksud
dari kata-kata Sasuke. Setidaknya bukan sekarang. Dia masih kikuk dan
jauh dari kata siap. Namun, ada sebuah pertanyaan sensitif yang muncul di
kepalanya. Yang jawabannya mungkin akan membuatnya lega luar biasa,
atau justru membuatnya sangat kecewa.

170

“Ka-kau berhenti karena merasakan aku ... mmm ... tegang?”
“Kau takut atau tidak aku akan berhenti sampai di situ.” Wajah datar
itu meneduh. Kemudian Sasuke menggenggam tangan Sakura yang masih
gemetar. “Sakura, dengarkan aku. Di dalam pikiran pria hanya ada satu hal,
kebanyakannya. Kau pasti mengerti maksudku. Tapi aku bukanlah satu
dari kebanyakan itu.”
“Tapi tadi kau—”
“Sudah kubilang …” Sasuke mengetuk dahi Sakura lagi, “nanti.”
Dia mendesah mendapati Sakura yang tampaknya sempat berpikir
macam-macam atas apa yang dia lakukan. Awalnya dia tak mengerti
maksud dari kata-kata Sakura. Apakah itu mengajak, meminta, atau
sekadar mengomentari. Dia ingat betul dirinya masih harus memutar otak
untuk memahami Sakura dan segala tindakan-tindakan yang dilakukannya.
Maka, dia memastikan sendiri dengan cara tadi. Dari tubuh Sakura yang
gemetar tanpa henti, dia tahu bahwa pernyataan Sakura sama sekali tak
bersifat persuasif, melainkan hanya sebuah komentar.
Pipi Sakura bersemu merah. Dia berdeham. Tatapannya tertuju pada
Sasuke dengan posisi menunduk, melalui bulu matanya. “A-aku juga
berpikir kita tidak perlu terburu-buru.”
Sasuke tersenyum tipis. Dia mengacak-acak rambut Sakura karena
gemas. Tiba-tiba Sakura menciumnya. Dia tersentak karena ketiba-
tibaannya. Wajahnya terasa panas dan Sakura tampak santai, tidak sadar
akan efek yang diberikan padanya.
“Tadi aku tidak membalas ciumanmu.” Sebelah matanya dikedipkan
dan jantung Sasuke semakin berguncang.



171

Mata air panas yang mereka kunjungi adalah mata air panas yang
disarankan oleh pria pemilik penginapan yang mereka tempati. Katanya,
itu adalah mata air panas paling bersih dan memiliki sudut pandang paling
indah untuk melihat pemandangan pegunungan. Sasuke dan Sakura tentu
saja terpisah ketika sudah tiba di sana berdasarkan jenis kelamin mereka.
Walaupun hanya bisa menikmati mata air panas masing-masing, Sakura
tetap menikmati waktu rileksnya. Saat menanyakannya pada Sasuke, lelaki
itu pun merasakan hal yang sama.

Mereka melanjutkan perjalanan sampai tiba di ujung lain dari daratan
terbesar di Negara Petir. Ujung lain itu merupakan pantai di sisi laut yang
membatasi pulau terbesar dengan kepulauan-kepulauan kecil tempat
berwisata. Pulau-pulau yang terletak di sana memiliki karakteristik yang
sama dengan pulau terbesar, yaitu banyaknya gunung yang berdiri di sana.
Gunung-gunung itu memiliki mata air yang mengalir langsung ke laut,
membentuk lekukan garis pantai yang menawarkan pemandangan yang
sangat indah.

Tujuan wisata yang paling populer adalah pulau yang kini tengah
menjadi destinasi Sasuke dan Sakura. Mereka menyeberangi lautan diantar
menggunakan fasilitas kapal kecil yang tersedia. Sudah sejak pagi mereka
menaiki kapal, dan mereka tiba di pulau tersebut pada tengah hari.

Seperti apa yang mereka lakukan setiap kali tiba di destinasi baru,
mereka mencari penginapan terlebih dahulu untuk istirahat atas
perjalanan yang mereka tempuh. Dalam setiap tindakan yang mereka
lakukan bersama, Sakura selalu melirik ke arah Sasuke dengan tatapan
penuh harap yang tidak dia ucap.

Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang kedua puluh. Dia tidak
tahu apakah Sasuke mengingatnya atau tidak, apalagi sejak melakukan
perjalanan, mereka kehilangan hitungan soal hari dan tanggal. Apabila

172

Sasuke mengingatnya, dia pun tak yakin lelaki itu akan melakukan sesuatu
yang spesial atau bahkan mengucapkan ulang tahun sama sekali.

Sakura tidak menuntut apa-apa karena dia mengerti. Dia selalu
berusaha memahami Sasuke dan belajar menyesuaikan diri dari hari-hari
bersama yang mereka bagi. Meskipun hatinya masih membumbungkan
harapan, dia tak masalah jika Sasuke tidak melakukan sesuatu yang
istimewa untuknya.

Karena kelelahan, dia tertidur tidak lama setelah mereka singgah di
penginapan. Cuaca di sini begitu hangat dan pas, seperti berada di pulau
tropis. Apalagi, kini sudah memasuki musim semi. Ketibaan mereka di
sini seolah-olah menjadi nina bobo bagi Sakura, terutama suara deburan
ombak yang memecah karang dan menyapu pesisir.

Sasuke membangunkannya ketika dari jendela penginapan langit
terlihat teduh. Ini sudah sore. Sakura mengeluh dan hanya ingin
meneruskan untuk tidur, tetapi tekanan dari Sasuke membuatnya bangun
dan keluar dengan wajah yang ditekuk.

Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian yang biasa digunakan
saat di pantai. Sasuke memakai celana pendek hitam dan tidak
mengenakan atas sama sekali, sementara Sakura mengenakan bikini merah
marun. Rambut Sakura diikat membentuk ekor kuda. Saat sudah melihat
pemandangan yang tersaji di hadapannya, tekukan di wajah Sakura
berubah menjadi ekspresi terkesima.

Pantai ini membentuk lekukan ke dalam pulau dan mereka berada
tepat di tengah-tengah kurva tersebut. Panorama yang tersaji dari sana
adalah lekukan pulau di kanan dan kiri. Pasirnya putih. Bunga sakura
sudah bermekaran dan pohon-pohonnya berdiri berjejeran di sepanjang
pesisir. Kelopaknya berguguran dan menari bersama angin. Angin yang
bertiup terasa sepoi-sepoi dan menyeimbangkan panas matahari yang
tercurah dengan cerah karena eksistensi awan yang sedikit.

173

Sasuke tersenyum tipis melihat raut muka Sakura. Gadis itu kini
menengok ke arahnya, memamerkan deretan giginya dengan mata
tertutup sambil menggaruk-garuk tengkuk dengan gerakan canggung. Dia
menarik tangan Sasuke dan berlari ke arah pasir basah. Kakinya terus
berderap sampai bertemu dengan air dan gelombang.

“Kau bertindak seolah-olah ini adalah pertama kali melihat pantai,”
komentar Sasuke ketika mereka menunggu ombak untuk menerjang kaki
mereka.

Sakura berseri-seri. “Ini pertama kali aku melihat pantai seindah ini
bersamamu.”

“Pantai di Negara Teh juga bagus.”
“Kondisinya berbeda.”
“Hm?”
Sakura mengembuskan napas panjang. Sebelum menjawab, ombak
sampai di kaki mereka. Dia refleks memekik. Jika mereka tidak
mengalirkan cakra pada kaki, keduanya pasti sudah terbawa ombak ke
belakang. “Waktu itu aku sedang pusing memikirkan kau yang pura-pura
lupa pernah menciumku.”
“Huh?”
Sakura merengut. “Sekarang kau malah pura-pura lupa soal itu!”
Sasuke tidak menjawab. Sakura menariknya lebih jauh dari pantai
dan menuju kedalaman laut yang menutupi dada mereka. Masih dengan
wajahnya yang masam, Sakura mencipratkan air ke wajah Sasuke
kemudian tertawa ketika Sasuke refleks memejamkan mata. Sasuke tidak
bisa membalasnya karena tangannya masih dipegang oleh Sakura. Lelaki
itu menyentak tangan Sakura sampai melepaskan tautan tangan mereka
dan mencipratkan air balik pada Sakura. Sakura mengusap wajah dan
tertawa.

174

Matahari sudah mulai turun dan langit mulai mengeluarkan
spektrum jingga. Sasuke menarik lengan Sakura sebagai isyarat bahwa dia
ingin kembali ke pesisir saja. Mereka duduk di sana dengan tatapan yang
tertuju pada cakrawala. Sekali lagi, Sakura terkesima. Saat baru sampai di
sini pertama kali, dia tidak begitu mengamati sekitarnya karena berada
dalam kondisi mengantuk. Dia bahkan tertidur saat masih di kapal
berbantalkan bahu Sasuke. Kini langit jingga yang mewarnainya
menggandakan keindahan pantai yang memang sudah sangat cantik.
Pantai, pohon sakura, kelopaknya yang berguguran, langit jingga, angin
sepoi-sepoi, dan keberadaan Sasuke di sisinya merupakan definisi
keindahan yang paripurna bagi Sakura. Dia menikmati segalanya.

Terbenamnya matahari melewati cakrawala mulai terjadi. Mereka
sama-sama diam menikmati fenomena alam yang rutin tetapi memiliki
makna yang berbeda untuk sekarang. Saat matahari sudah hilang dan
langit sudah menggelap, Sakura mendengar Sasuke memanggil namanya.
Dia bersiul. Dahi Sakura mengernyit.

Sasuke menekuk tangannya saat muncul seekor elang dari langit.
Tatapan Sakura refleks tertuju pada gerakan elang itu sampai bertengger
di tangan Sasuke. Itu adalah elang yang sama dengan yang mengiriminya
surat dari Sasuke selama ini. Elang tersebut terbang kembali dan
menjatuhkan sesuatu pada telapak tangan Sasuke yang sudah diposisikan
menadah. Dia menyodorkan tangannya pada Sakura. Dua buah gelang
besar berwarna putih berada di sana.

“Selamat ulang tahun, Sakura,” ucap Sasuke dengan suara lembut.
Sakura menganga. Tatapannya berpindah-pindah dari wajah Sasuke
pada sesuatu yang berada di telapak tangannya. Dia mengambilnya. “Ini …
untukku?”

175

Sasuke mengangguk. Dia memakaikannya satu per satu pada masing-
masing tangan Sakura. Sakura masih terdiam dan memperhatikan
tindakannya.

“Aku tidak ingat kau pernah membeli ini.”
“Aku membelinya di Negara Petir. Saat aku memintamu untuk ke
penginapan duluan.”
Sakura berkedip dua kali. Dia masih kehilangan kata-kata. Dadanya
menghangat, euforia membanjiri setiap sel di tubuhnya. Saking
bahagianya, dia masih tak tahu harus berbicara apa. Wajahnya masih
dalam kondisi tercengang saat mengedarkan pandangan pada sekitar
pantai. Hanya tinggal mereka berdua. Sakura langsung memajukan
wajahnya dan mencium bibir Sasuke. Dia mengecup pipinya dan
mengucapkan terima kasih.
“Aku pikir kau lupa. Atau kalau ingat pun kau tidak akan melakukan
apa-apa.” Dia menangkup wajah Sasuke di tengah kedua tangannya.
Wajahnya masih berseri-seri. “Kau memaksaku dan membangunkan aku
dari tidur pun untuk ini?”
“Ya.”
Sakura tersenyum dan setengah tertawa. Dia mencubit kedua pipi
Sasuke dengan gemas sampai lelaki itu menyipit.
“Sakit, kau gadis menyebalkan,” desis Sasuke.
Tawa Sakura benar-benar lepas sekarang. “Aku tahu, aku tahu. Aku
juga mencintaimu.”
Sasuke menanggapinya dengan putaran bola mata dan seringai.

176

16
Mala

Kabar bahwa salah satu kota di Negara Petir menjadi pusat gempa
yang cukup besar sampai ke telinga Sakura tepat dua hari setelah ulang
tahunnya. Pusat gempa itu terletak di kota yang pernah mereka singgahi
dan dia bertemu dengan orang-orang yang ramah di sana. Jumlah korban
jiwa serta korban terluka sudah dilaporkan dan totalnya sangat banyak.
Panik menyerang sekujur tubuhnya. Dia buru-buru kembali ke
penginapan setelah mendengar kabar itu tersebar di pertokoan tempat dia
berbelanja makanan.

“Sasuke-kun!” seru Sakura setelah membuka pintu kamar sewa
mereka.

“Aku tahu.”
Sakura buru-buru membuka lemari dan memasukkan pakaian yang
terlipat rapi di sana ke dalam tasnya. “Aku harus ke sana.”
“Aku tahu.”
Segmen tempat pakaian Sasuke sudah kosong. Dia baru sadar bahwa
tas Sasuke sudah penuh dan berada di atas tempat tidur. Dia tahu Sasuke
pun tidak akan diam saja.

177

Mereka lekas keluar dari penginapan. Melihat Sakura yang tampak
panik dan ingin segera tiba di lokasi untuk mengerahkan tenaga yang bisa
dia sumbangkan, Sasuke memeluk tubuh Sakura. Dia berbisik,
“Tenanglah. Tidak akan berakhir baik kalau kau panik begini.”

Tubuh Sakura melemas. Dia mengatur napas dan menyandar pada
dada Sasuke. Matanya terpejam erat-erat. Dia merasakan Sasuke
mengusap-usap bahunya.

“Aku akan memakai amenotejikara agar bisa langsung tiba di sana.”
Sakura mengangguk. Dia lebih tenang sekarang.
“Pegangan padaku erat-erat.”
Sakura lekas memeluk Sasuke dan memejamkan mata. Dia
merasakan tubuhnya ditarik kuat oleh suatu tenaga yang tidak bisa dia
pahami. Saat dia membuka mata, yang masuk ke dalam pandangannya
adalah reruntuhan bangunan yang sudah rata dengan tanah. Ada beberapa
bangunan yang masih berdiri, tetapi kondisinya rusak. Napas Sakura
tertahan di dada. Dia merasa ini adalah jalan tempat penginapan yang
pernah dia tempati berdiri.
“Aku akan ke tempat pengungsian dan tenda medis,” ucap Sakura.
“Aku akan membantu tim pencarian dan penolongan,” kata Sasuke.
Mereka mengangguk pada satu sama lain dan berpisah ke jalan yang
berlawanan.



Melihat kalang-kabut yang berada di bawah tenda medis, Sakura
lekas membuka sarung tangannya dan mencari seseorang yang memegang
komando atas tenaga medis. dia mendapat informasi bahwa komando
dipegang oleh seseorang bernama Kazuo, dan bukanlah hal sulit untuk
menemukannya.

178

Sakura melaporkan bahwa dirinya adalah ninja medis dan bersedia
menjadi sukarelawan di sini. Kabar itu diterima dengan baik karena ninja
medis dari Kumo masih berada di dalam perjalanan. Sakura segera
menyingsingkan pakaian yang menutupi tangannya dan mengobati korban
dengan luka parah terlebih dahulu. Beberapa yang dihadapinya mengalami
patah tulang karena tertimpa reruntuhan. Ada yang tulangnya sudah
hancur hingga kakinya harus diamputasi. Dada Sakura teriris ketika
mendengar teriakan istri dari lelaki itu. Namun, ini adalah hal yang mesti
dilakukan dan tak ada pilihan lain.

Matanya bertemu dengan Sasuke ketika lelaki itu menggotong
seorang pria tua dengan luka di kepalanya dan dalam kondisi tak sadarkan
diri. Mereka tidak bertukar kata, dan Sasuke lekas keluar dari tenda medis
untuk kembali mengerahkan tenaganya. Pria tua itu segera masuk ke
dalam daftar orang-orang dalam kondisi darurat dan membutuhkan
pertolongan sesegera mungkin. Sakura dengan sigap mengatasi wanita
yang berada dalam kondisi lebih parah daripada pria itu sementara pria itu
ditangani oleh dokter umum dari kota sebelah.

Beberapa jam setelah itu, ninja dari Kumo sudah datang dan Sakura
merasa lega. Beberapa ninja medis dari sana mengenali Sakura dan mereka
tidak punya waktu basa-basi selain untuk membantu orang-orang yang
terluka. Mendengar rekam jejak Sakura di dunia medis, Kazuo meminta
Sakura untuk memimpin tenaga medis dari ninja sementara lelaki itu
memegang kendali atas tenaga medis tanpa kekuatan ninja.

Dengan bantuan para shinobi, dalam waktu tiga hari daftar orang
hilang dan korban luka-luka sudah kosong. Suasana sudah mulai kondusif
karena bantuan berupa pangan dan sandang dari pemerintah sudah tiba.
Namun, suasana duka masih kental mengudara. Ada banyak anak yang
kehilangan orang tua, orang tua yang kehilangan anak, istri yang

179

kehilangan suami, suami yang kehilangan istri, dan ikatan kekerabatan
atau pertemenan yang harus terputus oleh kematian.

Anak-anak yang kehilangan kerabat mereka dikumpulkan dalam
suatu tempat. Suasananya kacau. Mental mereka terguncang. Sakura turun
tangan berdasarkan ilmu yang dimilikinya saat menjadi direktur poliklinik
psikiatri anak. Anak-anak ini butuh sokongan dan bantuan secara psikis,
hampir sama seperti anak-anak korban perang. Kilasan-kilasan kenangan
ketika dia melakukan semua ini di Konoha melintas di kepalanya.

Sementara Sakura sibuk mengurusi anak-anak yang menjadi korban,
Sasuke membantu pembangunan kembali yang mulai dilakukan. Shinobi
dari Iwa dimintai pertolongan atas kemampuan mereka yang mampu
memanipulasi tanah. Sasuke pun mampu melakukannya, tetapi jelas
tenaga dari satu atau dua orang untuk hal seperti ini tidaklah cukup.
Sasuke sempat melakukannya bersama beberapa shinobi dari Kumo yang
memiliki elemen tanah sebelum shinobi dari Iwa tiba karena terbentang
jarak yang amat sangat jauh.

Kondisi di kota tersebut mulai terkendali dalam waktu satu minggu
setalah daftar orang hilang dan korban luka-luka kosong. Para korban
sudah bisa kembali ke rumah mereka yang sudah diperbaiki bahkan
dibangun kembali meskipun kondisinya seadanya. Kota ini pun memiliki
beberapa ahli psikiatri yang sering bertukar pikiran dengan Sakura
mengenai kondisi psikis para korban, terutama anak-anak. Mereka banyak
belajar dari Sakura dan begitu pula sebaliknya.

Sasuke dan Sakura baru bisa berinteraksi normal lagi setelah
segalanya usai. Setelah beristirahat selama satu malam, mereka
melanjutkan perjalanan yang tertunda menuju Pulau Beku. Mereka
berpamitan dan daimyou Negara Petir mengatakan akan melaporkan jasa
mereka pada hokage. Mereka menolaknya karena itu bukanlah sesuatu

180

yang terlalu penting. Namun, daimyou tetap menyampaikannya pada
Kakashi melalui surat.

Setelah segala yang mereka lewati selama sepuluh hari, Sakura merasa
ingin langsung sampai ke tempat tujuan tanpa harus kelelahan di
perjalanan. Dia mengungkapkannya pada Sasuke, dan ternyata lelaki itu
pun memiliki pemikiran yang sama. Mereka mengenakan pakaian musim
dingin sebelum Sasuke menggunakan amenotejikara untuk membawa
mereka berdua ke Pulau Beku dalam satu kedipan mata.

181

17
Bekas Jelaga

Tidak ada permukiman di lokasi yang Sasuke pilih untuk berpindah
tempat. Mereka hanya bisa bermukim di tengah-tengah daratan yang
diselimuti salju tebal. Sasuke menawarkan untuk berpindah tempat lagi ke
permukiman terdekat agar mereka bisa segera beristirahat, tetapi
mengetahui seberapa besar cakra yang diperlukan Sasuke untuk itu
membuat Sakura urung. Dia menolaknya dan mengatakan bahwa
meskipun sudah melewati musim dingin, mereka belum pernah berada di
daratan bersalju.

Gua yang ditemukan paling dekat menjadi tempat yang mereka pilih
untuk beristirahat. Mengingat insiden yang menimpa Sasuke di Negara
Air, mereka mengawasi dan meneliti gua tersebut sebelum benar-benar
bersinggah. Saat kondisi aman, mereka baru melepaskan barang bawaan
mereka dan mulai menyalakan api.

Sakura menambahkan kayu pada api unggun yang intensitasnya
mulai mengecil. Di Pulau Beku, nyala api tak hanya dibutuhkan di malam
hari, melainkan di siang hari juga, sekalipun ada di dalam gua yang
notabene tidak sedingin di ruangan terbuka. Dia mengangkat dagu ketika
mendengar suara benturan berkali-kali dengan tanah. Sumber suaranya

182

adalah Sasuke yang sengaja menjatuhkan persediaan kayu untuk dibakar
lagi jika yang menyala-nyala sekarang sudah mengubah tumpukan benda
tersebut menjadi jelaga.

Ketika api mulai membesar kembali, Sakura merentangkan
tangannya ke depan. Dia tak meniup telapak tangan untuk
menghangatkan diri seperti yang biasa dilakukan karena situasi sekarang
membuat hal tersebut menjadi jauh dari kata cukup. Matanya melirik
pada jubah krem miliknya dan jubah hitam milik Sasuke yang masih
tampak basah karena sempat terhujani salju yang mencair. Kalau api
membantu kain-kain tersebut mengering dan menghasilkan hal bagus,
untuk tetesan es yang sebelumnya beku di langit-langit gua justru
sebaliknya. Saat awal-awal menyalakan api, mereka sempat mengalami apa
yang namanya hujan lokal dari es mencair di atas kepala. Keduanya sempat
tak memperhitungkan hal tersebut, hingga nyaris seluruh barang bawaan
yang sudah dikeluarkan menjadi basah.

Semenjak peristiwa tersebut, Sakura terus berdiam diri sampai
Sasuke keheranan karenanya. Biasanya Sakura akan cerewet, berbicara apa
saja untuk memecah keheningan. Kalaupun tak bicara, dia akan
melakukan sesuatu yang akan membuat mereka berdebat atau interaksi
lainnya, bukan membisu dan pasif seperti ini. Sasuke sempat bertanya ada
apa, tetapi dijawab dengan pernyataan bahwa dia baik-baik dengan senyum
yang entah mengapa tampak getir di matanya.

Sebenarnya Sakura tidak baik-baik saja. Kondisi seperti ini seolah-
olah tengah menamparnya. Dinding-dinding gua dan segala yang ada di
dalamnya seakan berbisik secara berkala, “Ini bukan rumah. Ini bukan
rumah. Ini bukan rumah.” Hal tersebut membuat tumpukan rindu di
dalam dadanya semakin meninggi dan saking tingginya nyaris tumpah.
Apalagi, kegiatan sukarela yang dia lakukan di Negara Petir

183

memperkuatnya. Dia memikirkan bagaimana kabar anak-anak yang
menjadi pasien di polikliniknya.

Sejak rasa rindu itu terus dirangsang, Sakura diam-diam selalu
mengharapkan surat balasan dari kedua orang tuanya segera datang sebagai
pelepas kecil rasa rindunya. Dia bisa saja bilang bahwa dia rindu rumah,
rindu Konoha, dan meminta Sasuke untuk membawanya pulang. Akan
tetapi, hatinya tak sampai. Dia takut Sasuke merasa bersalah. Dia takut
Sasuke merasa tertekan. Dia takut kalau-kalau Sasuke keberatan. Dia
berpikir bahwa meminta pulang akan terasa salah.

Sasuke duduk bersila di sampingnya. Keheningan masih
menyelubungi keduanya. Tiba-tiba Sakura menoleh ke arah Sasuke dan
bertanya, “Sasuke-kun, sekarang tanggal berapa, ya?”

Sasuke mencoba mengingat sekarang tanggal berapa. Namun, dia tak
memiliki jawaban. Berkelana seperti ini membuatnya buta tanggal—selain
ulang tahun Sakura yang terus-menerus berusaha tidak dia lewati—
bahkan sekarang hari apa pun dia tidak tahu. Hal-hal tersebut tak bisa
dinalar dari alam. Paling-paling hanya dari kondisi bulan. Jika sudah
purnama, berarti menunjukkan tengah bulan dan tak menunjukkannya
secara spesifik.

“Aku tidak tahu. Kenapa?”
“Hmm ... tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan berapa lama
suratku untuk orang tuaku belum dibalas.” Sakura menggigit bibir
bawahnya. Kemudian dia memeluk dirinya sendiri. Dia mencoba
mengingat kapan dia mengirimkan surat. Bulan Februari. Jarak yang
terbentang dari Februari ke April merupakan waktu yang lama. Terlepas
dari rasa rindunya terhadap rumah, dia tak punya ide kenapa orang tuanya
belum membalas hingga saat ini juga. Apakah mereka tidak menyukai
keputusannya yang pergi meninggalkan desa bersama Sasuke? Ini

184

merupakan spekulasi berdasar. Menggunakan burung, surat tidak
mungkin sampai selama itu.

Ketiadaan balasan surat membuat Sakura merasa diabaikan, bahkan
tak diinginkan. Jika orang tuanya memang tak membalas surat, bukankah
berarti kasusnya bisa sama dengan mereka tidak mengkhawatirkan dirinya?
Hati Sakura terasa sangat pedih memikirkannya.

Sasuke tertegun. Rasanya dia mulai memahami latar belakang Sakura
yang tampak galau sedari tadi. Gadis itu merindukan kedua orang tuanya.
Dia tak tahu harus menanggapi apa selain dengan keheningan. Dia tak
akan menyamakan apa yang Sakura rasakan sekarang dengan rindu yang
dia rasakan semenjak kehilangan kedua orang tuanya. Dia yakin yang
melanda Sakura tidak sekompleks itu. Maka, dia menyamakan apa yang
Sakura rasakan sekarang dengan saat-saat dia harus tinggal berdua dengan
sang kakak karena kedua orangtuanya memiliki keperluan di luar desa
dalam jangka waktu panjang. Sasuke pikir dia memahami perasaan Sakura.
Padahal, apa yang Sakura alami sekarang lebih dari sekadar rindu.

Mata Sakura terasa gatal. Dia menguceknya sebelum penyebab gatal
itu memunculkan diri. Dalam hati, dia berharap dinginnya temperatur di
udara cukup untuk membekukan air matanya. Dia sama sekali tak mau
menangis di hadapan Sasuke ketika masalah yang melandanya sama sekali
tak mau dia bagi.

Sementara Sasuke masih kehabisan kata-katanya. Dia sadar betul
Sakura tengah menahan diri untuk tak menangis. Kemudian dia
membayangkan seberapa banyak tangis yang Sakura tumpahkan selagi
rindu padanya, mengingat sikap gadis ini masihlah cengeng hingga
sekarang.

“Omong-omong, aku sudah lama juga tidak kontak dengan Naruto,
Ino, Sai, Hinata, dan yang lain.” Dia mengekeh. “Aku juga memikirkan
kabar anak-anak. Aku harap keadaan mereka sudah membaik.”

185

Mendengar kekehan yang terasa janggal di telinga, Sasuke menoleh
dan menatap wajah Sakura. Yang diduganya merupakan ekspresi ceria
yang tidak tulus. Namun, yang dia dapati adalah wajah yang tampak
sedang bermimpi dan membayangkan sesuatu. Akan tetapi, Sasuke tak
melewatkan mata Sakura yang berkaca-kaca dari pantulan jingganya api.
Kemudian Sasuke memiliki sebuah kesimpulan baru.

“Kau merindukan Konoha.”
Sesuatu seperti itu luput dari benak Sasuke selama ini. Dia tak
pernah mengalami apa yang namanya merindukan kampung halaman.
Selama berkelana, yang dirasakannya hanyalah merindukan Sakura secara
spesifik. Sekarang pun dia tak merindukan apa-apa kecuali persaingannya
dengan Naruto, barangkali?
Sakura diam. Air matanya nyaris tumpah begitu saja. Dia sama sekali
tak sadar bahwa kata-katanya tadi mengindikasikan apa yang dia rasakan.
Tangisnya pecah saat merasakan Sasuke merangkul tubuhnya, hingga
wajahnya tenggelam ke dalam dada lelaki itu. Sasuke melakukannya
karena tahu bahwa Sakura membutuhkannya. Jauh di lubuk hatinya,
Sasuke pun merasa bahwa dia membutuhkan hal ini juga.
Isakan-isakan yang menabuh gendang telinga Sasuke mulai menusuk
dadanya. Air mata gadis itu merembesi pakaiannya. Meski tak diucap
secara verbal, dia tahu bahwa Sakura ingin pulang, dan yakin ini bukanlah
sebuah emosi temporer. Yang membuatnya mengutuk diri adalah dirinya
yang sama sekali belum siap mengantar Sakura pulang. Dia tak yakin
sanggup menetap lama di Konoha. Kalaupun dia berhasil mengantar
Sakura pulang kemudian diizinkan untuk pergi lagi, Sasuke sendiri tak
yakin bisa hidup berjauhan dari Sakura setelah segala hal yang terjadi.
Sekarang, dia tak tahu harus membuahkan solusi macam apa untuk
persoalan yang tengah dihadapi.

186



Sasuke tak ingat sejak kapan Sakura sudah berhenti menangis. Yang
dia ketahui adalah gadis itu tak beranjak dari dekapannya sama sekali
sampai kantuk merajai. Sebelah tangan yang tadinya mencengkeram erat
kain yang melapisi dadanya melemah, berubah menjadi sentuhan ringan
telapak tangan pada dada. Isakan yang sebelumnya dibantu gema oleh gua
kini menjelma menjadi hela dan embus napas ringan. Sakura tertidur di
dalam tangannya seperti tak terjadi apa pun sebelumnya.

Sakura adalah seseorang yang penuh dengan kasih sayang secara
alami, sementara Sasuke justru adalah seseorang yang dipaksa melupakan
hal tersebut karena memang terenggut begitu saja. Sasuke banyak belajar
dari Sakura mengenai ini. Dia tahu betapa nyamannya ketika Sakura
menyentuh pipinya, maka kini dia melakukan hal yang sama, sembari
menghapus jejak-jejak air mata yang justru menjadi kotor karena
sentuhannya. Dia lupa bahwa jemarinya baru saja menyentuh jelaga
sebelumnya.

Apa yang terjadi barusan seolah-olah menekankan sesuatu. Tangan
Sasuke adalah tangan yang merusak, bahkan cocok jika dianalogikan
dengan apa yang baru saja dia lakukan terhadap pipi Sakura. Sementara
tangan Sakura merupakan tangan-tangan penyembuh, tangan-tangan yang
mengobati luka. Kentara sekali bahwa keduanya berbeda 180 derajat. Akan
tetapi, dengan tangan yang merusaknya, Sasuke masih ingin merengkuh
Sakura untuk tetap bersamanya. Meski dia tahu jelas akan ada hati yang
terluka di sini karena rasa rindu yang tak bisa diobati. Tangan
itu merusak lagi.

Dia tahu dirinya berkeputusan egois. Dia belum mau melawan
egonya untuk menguatkan diri menetap di Konoha meski dia tahu jelas
bahwa Sakura akan menemaninya dan membimbingnya kapan pun dia

187

mau. Yang dia inginkan adalah Sakura menemaninya dalam
pengelanaannya, bukan di Konoha, untuk sekarang. Konoha memang
tanah kelahirannya, tetapi bukanlah rumahnya. Rumahnya adalah Sakura,
dan Sakura ada tepat di sisinya sekarang. Maka, dia tak perlu pulang.

Dalam keadaan seperti ini, hal-hal yang sudah berusaha dia kubur
dalam-dalam seakan-akan merangkak keluar lagi. Dia ingat betul pernah
mengunjungi salah satu desa ninja tersembunyi di pengelanaan
pertamanya. Di sana, dia tidak diperlakukan baik-baik. Kesinisan sering
kali dia terima, apalagi ketika kabar bahwa adanya eksistensi seorang
mantan kriminal kelas internasional sampai ke pemimpin daerah. Meski
status ‘mantan’ masih disebut-sebut, tetapi Sasuke sama sekali tak
merasakan keringanan. Dia ingat pahitnya dicemooh, disudutkan, dan
diusir.

Hukum negara bisa memaafkannya hanya dengan modal hitam di
atas putih, tetapi hukum masyarakat bertaraf jauh lebih rumit daripada itu.
Sasuke sangat memahaminya, bahkan mengalaminya dengan fisik dan
batinnya sendiri.

Ketika dia menapakkan kaki di Konoha untuk menemui Sakura
sesuai dengan janjinya, awalnya segalanya terasa begitu mudah. Dia merasa
segalanya baik-baik saja dan benar. Namun, setelah berminggu-minggu
terlewati, Sasuke sadar bahwa dia belum menemukan maupun merasakan
penebusan yang menjadi tujuannya sebelum ini. Belum saatnya dia pulang,
belum saatnya dia menetap dan merasa nyaman. Dia perlu pergi lagi lebih
lama, entah sampai kapan, hingga dia merasa kesalahannya bertahun-
tahun terbalaskan oleh tubuhnya sendiri yang telah merasa lelah
mengembara atau rasa sakit atas apa yang Konoha lakukan pada klannya
sudah kebas.

Sasuke memperbaiki posisi tidur Sakura hingga kepala gadis itu
menyandar di atas pangkuannya. Dengan segala pikiran yang berputar di

188

otaknya, dia tahu dirinya tak akan bisa tidur malam ini. Dia menepuk
telapaknya pada sisi tubuh hingga jejak jelaga menghilang, kemudian
menyentuh rambut Sakura dengan hati-hati. Rontok. Barangkali efek dari
terlalu sering terkena sinar matahari, hujan, atau perubahan cuaca yang
tak tentu. Di Konoha pun itu sering terjadi. Namun, di sana Sakura bisa
merawat rambutnya, berbeda dengan di sini. Satu hal lagi yang
menyudutkan Sasuke untuk membawa Sakura kembali ke Konoha. Akan
tetapi, dia belum bisa.

Dengan embusan napas berat, tatapan mata yang tak terlepas dari
wajah Sakura, Sasuke bergumam pelan sekali, “Sakura, beri aku waktu
lebih lama lagi.”



Api masih menyala dan tidak ada yang menjaganya. Sakura nyaris
terperanjat panik karena takut gua ini telah terbakar akibat dirinya dan
Sasuke yang lalai tak mematikan api sebelum tidur. Namun, satu-satunya
hal yang terbakar adalah kayu-kayu di perapian. Sedikit aneh, kecuali jika
Sasuke memang terjaga semalaman. Itulah yang menjadi satu-satunya
kesimpulan saat ini. Kesimpulan yang membuatnya khawatir karena
memikirkan apa penyebab Sasuke sampai terjaga.

Kedua mata Sakura terbuka sepenuhnya. Dia melirik ke mulut gua,
langit cenderung masih gelap. Jika diterka dari betapa lebih dinginnya
udara, Sakura menebak saat ini adalah pukul tiga atau empat pagi. Setelah
pandangan memindai, dia tak menemukan Sasuke di mana pun. Dia
menggigit bibirnya dengan cemas. Tiba-tiba matanya terasa berat, dan hal
tersebut membuatnya tersadar bahwa dia menangis semalaman. Dia
mendesis membayangkan alasan tangisnya yang membentuk pikiran-

189

pikiran di kepala Sasuke hingga lelaki itu sama sekali tak bisa
memejamkan mata.

Sakura menyalakan senter ketika mendapati jejak seukuran kaki
Sasuke mengarah ke luar. Dia mengikuti langkah kaki tersebut setelah
mematikan perapian. Jejak yang terbentuk di hamparan salju mengarah ke
bidang miring menuju atas gua.

Setelah melangkahkan kakinya cukup jauh, Sakura menemukan
Sasuke yang duduk membelakangi tubuhnya. Dia tampak tengah
berkontemplasi. Pandangannya terfokus pada punggung Sasuke. Gadis itu
berjalan perlahan hingga akhirnya memutuskan untuk duduk di samping
Sasuke yang kelihatan sama sekali tak terkejut.

“Kenapa tidak tidur?” tanya Sakura langsung ke inti. Matanya
meneliti ekspresi Sasuke. Datar. Dia tahu lelaki itu tengah
menyembunyikan emosinya.

Sasuke bergeming, sama sekali tak menjawab pertanyaan Sakura dan
tak memiliki niat untuk menjawabnya. Kepalan tangannya mengerat di sisi
tubuh. Dia tahu seharusnya api dimatikan agar Sakura tak sadar ataupun
curiga bahwa dirinya tidak tidur sama sekali. Sesungguhnya ini bukanlah
masalah. Hanya saja, Sasuke enggan menjawab pertanyaan yang pasti akan
ditanyakan Sakura setelah menyadari kondisinya. Kalaupun terpaksa harus
menjawab, dia pun tak tahu harus menjawab apa.

“Sasuke-kun,” kesah Sakura setelah menerima keheningan panjang
atas pertanyaannya. “Apa yang kaulakukan di sini?”

“Aku tidak tahu.” Sasuke menanggapi dengan suara dingin.
Sakura memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Dia masih menahan
pandangan pada wajah Sasuke dari samping. Mimik muka lelaki itu begitu
tak terbaca, tampak kosong sekaligus rapuh. Sakura ingin merengkuhnya
seperti Sasuke yang mendekapnya untuk menenangkan semalam. Namun,
entah kenapa dia ragu. Dalam diam, dia merapatkan tubuhnya ke arah

190

Sasuke dan menyandarkan kepalanya pada bahu. Hanya itulah yang bisa
dia lakukan saat ini.

“Kau keberatan jika aku begini?” Mengingat ini bukan pertama
kalinya, seharusnya Sakura tidak perlu bertanya. Namun, melihat kondisi
Sasuke saat ini—yang sama sekali tak terbaca olehnya—membuat lidahnya
mendesak untuk melakukan itu.

Pertanyaannya ditanggapi oleh sebuah gelengan. Sakura merasakan
lengan kiri atas Sasuke menyangga punggungnya. Dia memejamkan mata
dan menyamankan diri. “Mau cerita sesuatu?” tanya Sakura dengan hati-
hati.

Sasuke masih membisu. Ujung-ujung kuku tangannya menggertak
sisi celana sembari melakukan pertimbangan untuk mengatakan sesuatu
pada Sakura atau tidak. Dalam hati dia merutuki Sakura yang bangun
lebih cepat daripada biasanya. Dia sedang membutuhkan waktu sendiri
untuk merenung sejenak. Meski begitu, bukan berarti dia tak menyukai
kehadiran Sakura di sisinya.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Sasuke memutuskan untuk
berujar, “Ini hal yang biasa kulakukan ketika aku tiba-tiba ingin kembali
ke Konoha—padamu.” Jeda sejenak untuk menelan ludah. Dia melirik
Sakura yang tampak memejamkan matanya. “Buka matamu.”

Sakura mengikuti instruksi dari Sasuke. Kedua matanya berbinar
terang dan menatap takjub pada apa yang dilihatnya. Dia sama sekali tak
menyadari ini sedari tadi karena fokus pada keberadaan Sasuke. Gradasi
langit yang berwarna kebirumudaan di paling bawah, semakin ke atas
semakin menggelap, keunguan, nila, biru tua, dan hitam. Gradasi warna
tersebut diselingi titik-titik sinar yang bersumber dari kumpulan bintang
yang terletak sangat, sangat jauh di atas bumi. Pemandangan ini membuat
tenggorokan Sakura mengering. Dia kehilangan kata-katanya.

191

Keduanya terpusatkan ke dalam pikiran masing-masing. Sasuke
yang masih berusaha membuka otak dan menyusun jawaban untuk
masalah yang dihadapinya, dan Sakura yang terbuai dengan apa yang
dilihatnya. Tebakan Sakura mengenai pukul berapa ketika dia terbangun
tampaknya nyaris tepat; terbukti dari beberapa saat dia menikmati apa
yang terekam retinanya, bulatan jingga yang muncul malu-malu dari balik
awan terdapat di sisi kiri. Campuran warna semakin bertambah kembali.
Kini, jingga yang menenangkan hati turut mengontaminasikan diri.

“Ini ... matahari terbit paling cantik yang pernah aku lihat,”
komentar Sakura tanpa harus berpikir dua kali. Selama berbulan-bulan
berkelana bersama, dia sudah melihat fenomena matahari terbit ataupun
tenggelam yang cantik, letusan-letusan kembang api indah yang dia lihat
dari ketinggian karena memang tengah berdiri jauh di atas permukaan laut,
gerhana, dan lain-lainnya.

Bagi Sakura, inilah yang paling indah. Jika dikaitkan dengan kondisi
geografis tempatnya berpijak, dia memang dekat dengan langit hingga
bintang seolah bisa diraihnya dalam sekali lompat. Sementara gradasi
warna memukau itu bisa dilihat dengan jelas karena lokasi yang memang
sangat, sangat jauh dari permukiman, sehingga tak terkena polusi dari
cahaya lampu.

Hal-hal cantik biasanya memang sulit untuk ditemui, dan inilah
salah satunya. Membutuhkan perjalanan yang begitu panjang jika diambil
dari permukiman terdekat untuk mencapai tempat ini. Akan tetapi, apa
yang menunggu di ujung akan membayar rasa lelah yang dirasakan selama
perjalanan.

“Terima kasih sudah menunjukkan ini, Sasuke-kun.”
Tanggapan Sasuke bukanlah suara, melainkan tarikan bibir tipis
yang miring. Dia yakin bahwa Sakura tak bisa melihat ekspresinya.

192


Click to View FlipBook Version