The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Catatan Pinggir 8 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by warsinisuharnowo, 2021-11-04 03:25:12

Catatan Pinggir 8 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

Catatan Pinggir 8 by Goenawan Mohamad (z-lib.org)

http://facebook.com/indonesiapustaka MAAF

jalankan prinsip ”satu mata harus­ dibalas dengan satu mata”,
maka ”seluruh dunia akan buta”. Ada perhitungan untung rugi di
sini, meskipun harus dicacat bahwa ”buta” tak dengan sendirinya
punya arti harfiah.

Buta bisa berarti juga sebuah kemalangan, ketika hanya­kege­
lapan yang datang kepada kita. Kegelapan itu tak ada hu­bung­
annya dengan misteri, melainkan dengan satu warna­dan satu
corak di jalan buntu: bahwa manusia seutuhnya adalah makhluk
yang satu dimensi: hanya bisa menaklukkan dan ditaklukkan.

Tempo, 7 Desember 2003

92 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka DHANU

DUNIA tak ingat lagi siapa Dhanu. 21 Mei 1991, pukul
10.20 malam, perempuan berkulit gelap dengan bibir
tebal itu mendekat ke pusat upacara. Ia membawa ka-
rangan daun cendana. Di lapangan Kota Sriperumbudur (48 ki-
lometer dari Madras) itu, hadir Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Ia
sedang mendengarkan seorang gadis membacakan sajak.

Dhanu mendekat terus. Tiba-tiba ledakan terdengar. Rajiv
Gan­dhi tewas seketika. Juga sekitar 14 orang lain. Di antaranya­
adalah Haribabu, seorang juru potret setempat. Tubuhnya han­
cur­tapi kameranya masih utuh.

Dari sinilah polisi dapat menemukan 10 buah foto. Empat
di antaranya merekam kejadian hari itu: Dhanu yang mem­bawa­
daun cendana, Gandhi yang sedang mendengarkan sajak,­dan
saat ledakan. Di samping itu, ada wajah-wajah lain yang kemu-
dian diketahui sebagai anggota tim pembunuhan. Menurut kete­
rangan polisi, sebelumnya Haribabu telah dihubungi oleh Tamil
Eelam—gerakan bersenjata yang menginginkan negeri tersendi­
ri di Sri Lanka—untuk merekam kejadian bersejarah yang mere­
ka rencanakan itu. Ia berhasil. Seperti Dhanu sendiri: pengebom
bunuh diri pertama pada abad ke-20.

Dunia kini tak ingat lagi siapa Dhanu, dengan atau tanpa re­
kaman. Tapi agaknya tindakannya bergema terus, dengan atau
tanpa memakai namanya. Dua tahun kemudian, dalam upacara
1 Mei, seorang lain meledakkan dirinya dan membunuh Presiden
Sri Lanka, Premadasa, di sebuah jalan di Kota Kolombo.

Sejak itu, berpuluh ledakan sudah terjadi, berapa ratus orang­
mati di pelbagai negeri. Seakan-akan sebuah kekerasan rutin. Ke-
tika pukul 7.42 pagi, 5 Desember pekan lalu, sebuah kereta api
yang baru meninggalkan Stasiun Yessentuki, di kaki perbukitan

Catatan Pinggir 7 93

http://facebook.com/indonesiapustaka DHANU

Kau­kasus, tak jauh dari Chechnya, meledak, kita masih tersentak
sebentar, tapi tak limbung. Meskipun lebih dari 40 orang tewas,
meskipun sebagian besar mereka pelajar yang akan berlibur. Se­
telah gelegar itu, hanya ada suara geram resmi. ”Bumi akan terba-
kar di bawah kaki mereka,” kutuk Menteri Dalam Negeri Gryz­
lov kepada para teroris yang sejak Juni 2000 sudah membunuh
hampir 300 orang itu.

Tapi bumi terbakar di bawah kaki siapa saja. Dan tak semua
orang mengutuk. Pada awal Juni 2001, Hassan Hotary, seorang
ayah Palestina, mengatakan kepada wartawan AP ia bangga bah-
wa anaknya yang berumur 22 tahun, Said, telah meledakkan diri
sendiri di sebuah diskotek di Tel Aviv dan membunuh 20 anak
muda Israel. Dua tahun kemudian seorang perempuan Palestina
me­lakukan hal yang sama dan membunuh 19 orang di sebuah
res­toran di Israel Utara. Hanadi Tayssir Jaradat, 29 tahun, dari
Kota Jenin, pernah menyaksikan saudara kandung dan sepupu-
nya dibunuh pasukan Israel. Hari itu ia menuntut balas. Ibunya­
menangis, tapi berkata, ”Saya bahagia ia membunuh mereka yang
membunuh anak saya.”

Dendam dan pembalasan selalu punya alasan dan membuat
hidup tak gampang. Lebih rumit lagi: tiap alasan tak selamanya­
dapat dibandingkan. Maka bisakah kita sepakat tentang patut
dan tak patut, untuk menilai tindakan Dhanu dan Hanadi? Keti-
ka seorang manusia berniat melakukan sesuatu yang mengerikan,­
dengan korban yang tewas, tapi dilakukannya karena keyakinan
yang kukuh untuk tujuan yang luhur, dengan apakah kita akan
menghukumnya?

Tentang korban dan keyakinan, contoh yang besar ada dalam
khazanah agama. Bagaimana kita menghakimi Ibrahim yang
ber­sedia membunuh seorang anak yang tak bersalah untuk sesu­
atu yang luhur—yakni untuk Tuhan?

Tiap penghakiman bertolak dari sesuatu yang universal, yang­

94 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka DHANU

sebenarnya bersua dengan yang partikular. Di situlah dilemanya,­
di situlah tampak ada yang kurang dalam kemampuan manusia­
wi kita. Antara aturan yang berlaku di mana saja (dan kapan saja)
dan kejadian pada seseorang dalam situasi khusus, kita sering
hanya termangu.

Kini kita memang dengan ringan mengikuti kisah Ibrahim,
sebab kita tahu akhirnya adalah sebuah happy-ending. Kita tak
lagi ingat horor yang berkecamuk dalam dirinya, ketika ia bersua
dengan mysterium tremendum. Derrida, dalam Donner la mort,
sebuah naskah yang terbit pada awal 1990, menggambark­ an Ibra-
him pada saat itu mengalami Ia yang ”seluruhnya­beda”, tout au­
tre, Yang Maha Lain, yang tak memberikan alasan­­sebagaimana
manusia memberikan argumen. Pada saat yang sama, Ia meng-
gerakkan Ibrahim untuk melakukan sesuatu di mana ”ethika ha-
rus dikorbankan atas nama kewajiban”.

Maka, sejak ia mendapat perintah itu, Ibrahim pun diam. Ra­
sa gentar dan gementar Ibrahim memang tak terucapkan. Baha-
sa, seperti halnya hukum, seperti halnya moralitas ala Kant dan
komunitas kasih sayang ala Hegel, adalah sesuatu yang ”sosial”.
Padahal apa yang hendak dilakukannya di Gunung Moriah itu,
dengan pisau yang siap menyembelih putran­ ya sendiri, tak akan
bisa dimengerti dan dimufakati orang pada umumnya. Di sini
aturan tentang baik buruk yang berlaku secara universal tak bisa
diterapkan. Tapi itulah yang menurut Derrida terjadi tiap kali:
ada selalu korban, yang tiap saat harus diakui. ”Siang dan malam,
di tiap saat, di atas semua Gunung Moriah di dunia, aku melaku-
kan ini, mengangkat pisauku di atas apa yang kucintai dan seha-
rusnya kucintai....” Kita tiap kali, sadar atau tak sadar, sebenar­
nya mengorbankan mereka, tempat kita berutang kesetiaan yang
dalam: manusia atau makhluk yang lain.

Tapi benarkah tiap kali yang ”ethis” harus diabaikan? Atau-
kah sebenarnya peristiwa terpenting dalam cerita Ibrahim ber-

Catatan Pinggir 7 95

http://facebook.com/indonesiapustaka DHANU

langsung pada saat lain, yakni, seperti diungkapkan Emannuel
Lévinas, ketika Ibrahim mendengarkan suara malaikat, agar pi­
sau­tak jadi dihunjamkan, dan ia merasa Tuhan telah melepas-
kannya dari beban tugas yang absurd itu, dan ia merasa lega: di
hadapannya tergeletak seekor domba? Jika demikian, agaknya
ada sebuah momen ketika titah tak mutlak dan Ibrahim tak se­
utuhn­ ya tegar.

Saya tak tahu haruskah kita dengan demikian mengatakan
Ibrahim lemah. Dhanu dan orang yang serupa akan menganggap­
nya begitu—dan itu sebabnya kita hidup dengan keyakin­an,
bom, dan kematian.

Tempo, 14 Desember 2003

96 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka TSO WANG

TUHAN dan TV, iman dan Internet, khotbah yang tak
henti-henti melintasi tempat yang beragam, barangkali­
itul­ah yang membuat agama kini menjangkau ke pelba­
gai penjuru, mengatasi ruang dan waktu. Barangkali itu juga
yang membuat agama tak menemukan bumi. Tempat telah jadi
se­sua­tu yang virtual.

Rasanya ada yang hilang di sini. Tempat bertaut dengan tu-
buh. ”Tubuh” berarti tubuh yang dilahirkan dan melahirkan, jas­
mani yang berbahasa dan yang bersanggama, badan yang dewa-
sa dan mati. Dalam riwayat tubuh itulah ritus perjalanan hid­ up­
dilembagakan dan dirayakan, dan dengan demikian tersusunl­ah
tradisi. Sejarah pun mendapatkan unsurnya yang khas. Tapi yang
khas itu bisa diabaikan, ketika TV dan Internet membuat do-
rongan komunikatif begitu penting untuk melintasi perbatasan,
menjangkau segala pelosok. Tempat pun dengan mudah diabai-
kan, dan tubuh tak mendapatkan peran.

Pada saat itu fundamentalisme pun tersiar.
Ada yang berpendapat bahwa fundamentalisme adalah ke-
inginan untuk kembali menemukan tempat asal, ke fundamen,­
untuk tak melupakan tradisi dan sejarah. Derrida, misalnya,
menganggap kekerasan fundamentalis sebagai reaksi­ terhadap­
sejenis globalisasi yang disebutnya sebagai ”mondialatinisation”,
proses pe-Latin-an dunia. Dalam proses ini, yang lain, yang bu-
kan-Latin, yang tak bertaut dengan sejarah yang ”Lat­in”,­terde-
sak. ”Latin” di sini mungkin juga berarti sesuat­u­yang­berhubung­
an dengan dunia Kristen di Eropa. Tapi ”Latin”­bisa juga bentuk
pemahaman tentang dunia yang menyamakan ”mengetahui” de-
ngan ”menguasai”.
Maka reaksi pun bangkit. Yang ”bukan-Latin” tak hendak

Catatan Pinggir 7 97

http://facebook.com/indonesiapustaka TSO WANG

ditelan oleh ”latinisasi”, yang-”sini” tak hendak dicengkeram da­
lam kuasa yang-”sana”. Bila darah tumpah, pembantaian dan
penc­ incangan terjadi, dan tubuh dipotong dan dirusak (seperti
ko­non dalam kekerasan di Aljazair antara kaum ”Islamis” dan
musuh mereka), itu semua menurut Derrida adalah ”pembalas-
an” terhadap tendensi ilmu-teknologi untuk membuat orang lain
sekadar sebagai hal ihwal yang diletakkan di layar kaca dalam
bentuk yang kering dan gepeng, tanpa tubuh, seperti makhluk
virtual dalam mainan komputer. Fundamentalisme, yang sering
dikatakan sebagai anti-modernitas, menampik itu.

Tapi saya kira dalam hal ini Derrida keliru. Saya kira funda-
mentalisme justru punya kesejajaran dengan teknologi digital:
seperti segala hal yang berlalu lintas dalam alam virtual, sikap
ke­agamaan ini tidak berbicara kepada orang lain sebagai sosok-
dalam-tempat-dan-tubuh. Fundamentalisme menganggap diri­
nya­paling murni, dan itu berarti tak tersentuh tanah, tak bertaut
dengan geografi dan sejarah apa pun, tak terbentuk oleh bumi
dan jasmani yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari masa
ke masa. Ia bahkan memandang bahasa, yang dipakai kitab suci,
seakan-akan bukan sesuatu yang dibentuk oleh tubuh tertentu
dan hubungan sosial tertentu pula. Ia melihat dirinya pembawa­
kata yang kekal dan universal, dan dengan keyakinan itu ia berge-
gas.

Beragama seperti itu—apalagi bila ia ikut berlalu lintas dalam
teknologi komunikasi yang menjangkau tanpa garis perbatas­
an—adalah beragama yang akhirnya tak punya lagi keinginan
dan kesempatan untuk berdiam.

”Berdiam” berarti menemukan tempat, tapi ”berdiam” juga
ber­arti tak gaduh dan tak resah. Dalam menemukan tempat,
dalam tiada gaduh dan tiada resah itu, beragama akan men­ emu­
kan kembali rasa bersyukur. Sebab dalam berdiam, berpikir
adalah tafakur dan tafakur adalah berterima kasih. Das Denken

98 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka TSO WANG

dankt, kata Heidegger.
Dalam berterima kasih yang diam itulah, dalam keadaan

yang oleh sebuah puisi mistik Jawa abad ke-10 disebut ”sepi, sepah,
samun”, sebuah sikap pasif adalah sebuah sikap yang justru terbu-
ka kepada keakraban dengan yang lain, dengan pesona dan mis-
teri dari yang lain—apalagi Yang Maha-Lain.

Sebab itu agaknya tema berdiam merupakan sebuah tema
yang terdapat di mana-mana, ketika iman belum kehilangan ta­
fakur dan belum sibuk ke luar, ketika kesalihan belum mema­
mer­kan diri, ketika agama belum didera oleh hasrat komunikatif,­
dan tentu saja ketika teknologi digital belum berkecamuk. Pada
abad ke-14, Meister Eckhart, mistikus yang wafat di Cologne
pada tahun 1327, pernah mengatakan bahwa bersikap pasif ”le­
bih­sempurna” ketimbang bersikap aktif. Sikap pasif adalah ke-
tika kita tak berambisi dan tak menjadi agresif menjangkau, me-
rengkuh, mengambil alih Yang Maha-Lain. Sikap pasif adalah
ketika ”mengetahui” dalam artinya yang terdalam adalah ”tidak-
mengetahui”.

Jauh sebelum Eckhart, pada abad ke-4 sebelum Masehi,
Zhuangzi, pemikir Cina dari aliran Daoisme yang termasyhur,­
juga telah berbicara tentang berdiam dan ”mengetahui”. Ting­
kat­tertinggi pengetahuan, katanya, adalah diam tak bergerak­di
dalam apa yang secara mutlak tak dapat diketahui dengan akal.
Di dalam diam itu, yang bekerja adalah sikap intuitif, dalam po-
sisi tso wang.

Tso wang berarti, kurang-lebih, ”duduk-lupa”. Seseorang
”duduk-lupa” ketika semua anggota tubuhnya diluruhkan, keti-
ka kegiatan kuping dan matanya ditiadakan, ketika ia membebas­
kan diri dari ego yang mengeras dalam identitas, dan bersatu de-
ngan Yang Ada Di Mana-Mana. ”Pandanglah ke dalam kamar
yang tertutup itu,” ujar sang Guru kepada Yen Hui, ”dan lihat
bah­wa interior yang kosong itu membawa warna putih yang te­

Catatan Pinggir 7 99

http://facebook.com/indonesiapustaka TSO WANG

rang.”
”Semua berkah dari dunia,” kata sang Guru pula, ”datang un-

tuk berdiam dalam keheningan itu.”
Tapi zaman tampaknya tak memberi tempat bagi keheninga­ n

lagi. Kini agama cenderung bergerak, bergegas, sering gad­ uh dan
meluas. Khotbah di TV, sandek atau SMS, Internet, dan pamflet
telah membentuk bahasa baru: bukan bahasa yang mengucapkan
pedihnya kegagalan di hadapan misteri,­melainkan bahasa yang
menjanjikan hal yang serba jelas untuk­semua orang. Dan bersa-
ma bahasa baru, datang sebuah key­­ akina­ n baru—sebuah keya­
kina­ n yang tak peduli bahwa ”mengetahui” sebenarnya adalah
”tak mengetahui”.

Tempo, 21 Desember 2003

100 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SADDAM

BISAKAH kita bayangkan Saddam Hussein seperti San­
tia­go, si nelayan tua dalam The Old Man and the Sea, no­
vel­Hemingway yang konon disukainya itu? Orang tua
itu kalah. Telah 85 hari ia di laut, dan tak memperoleh ikan seekor
pun, maka ia pun menempuh laut yang lebih jauh, lebih dalam,
ketika akhirnya kailnya menyangkut mulut seekor marlin besar.
Sebuah pergulatan sengit pun terjadi, sebuah adu kekuatan, dan
akhirnya manusia juga yang menang. Tapi Santiago tahu, begitu
ia mengalahkan ikan itu, keberuntungannya tak akan lama.

Ia benar. Tak lama setelah ia arahkan jukungnya kembali ke­­
darat untuk membawa pulang perolehan kailnya, seekor hiu­da­
tang menyerang. Santiago melawan. Dibunuhnya he­wan­­ laut
buas itu, tapi harpunnya lenyap ke laut. Ia tahu ia belum lepas
da­ri bahaya. Diikatkannya pisaunya ke sebatang kayu, dan ia
menunggu. Dua ekor hiu lain muncul, menyerbu, hendak­me-
renggutkan marlin itu dari perahunya.

Kali ini ia kalah, ia luka-luka, dan marlin yang diperolehnya
dengan susah payah itu hanya tinggal tulang-belulang ketika pe­
ra­hunya tiba di pantai.

Tapi benarkah ia kalah? Pak tua orang Kuba itu sejenak ham-
pir tak bisa bernapas, dan ada rasa ganjil di mulutnya. Ia takut,
tapi hanya sejurus. Lalu ia meludah ke laut, ke arah hiu yang me-
nyerangnya, dan berkata: ”Kalian makanlah itu, galanos. Dan
coba bermimpi kalian telah membunuh seorang manusia.”

Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago? Saddam
beberapa bulan yang lampau hidup dengan sejumlah istana dan
ribuan senjata dan dengan gagah berbicara tentang perlawanan
dan kemenangan, kini tertangkap, tak melawan, di sebuah liang
perlindungan di bawah tanah. Melalui televisi kita lihat wajahnya

Catatan Pinggir 7 101

http://facebook.com/indonesiapustaka SADDAM

yang nestapa: rambutnya gondrong berantakan, janggutnya tak
tercukur, kantong matanya lembek melipat, pandangnya lelah,
dan ia tak berdaya ketika seseorang menyuruhnya membuka mu-
lut, dan sebuah senter pun menerangi mulut tua itu, mengecek li-
dah dan giginya seakan-akan ia seekor hewan yang perlu diperik-
sa sebelum dijual ke pasar....

Bisakah kita bayangkan Saddam seperti Santiago, yang dalam
novel pendek Hemingway itu mengatakan: ”Orang bisa dihan-
curkan, tapi tak dikalahkan”? Bisakah kita bayangkan ia seperti
penyu—makhluk dengan jantung yang berdegup terus berjam-
jam setelah disembelih?

Mark Bowden, dalam bulanan The Atlantic (Mei 2002), yang
menyebut betapa suka Saddam kepada The Old Man and the
Sea (berdasarkan cerita Saad al-Bazzaz, direktur televisi dan ra-
dio Irak yang kemudian lari dari Bagdad), melihat kemungkin­
an lain: siapa tahu Saddam, yang hampir tiap hari berenang di
setiap istana yang disinggahinya, membayangkan diri seperti si
ikan marlin, yang muncul dari laut, gemerlap, agung, ajaib, se-
buah kekuatan yang tak disangka-sangka.

Bahkan Santiago tua memberi hormat. ”Kau mematikan
aku, ikan, katanya. Tapi kau berhak. Tak pernah aku lihat sesu­
atu yang lebih agung, lebih cantik, lebih kalem dan lebih luhur
ketimbang kau, Bung. Ayo, bunuh aku. Aku tak peduli siapa me-
matikan siapa.”

Tapi tak seperti Santiago, ikan itu kalah dan habis. Maka
mungkin terlampau berlebihan untuk mencari perumpamaan
tentang Saddam dari The Old Man and the Sea, dan mungkin ter-
lampau mudah kita percaya bahwa ia memang menyukai­ He­
mingway. Said K. Aburish, orang Palestina yang menulis­buku
Saddam Hussein: The Politics of Revenge, menga­ta­kan bahwa Sad-
dam, anak dari dusun Al-Awja di dekat Tikrit,­sebenar­n­ ya baru
bisa baca-tulis setelah ia berumur 10 tahun. Pe­ngalama­ n politik­

102 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SADDAM

nya tak ditempuh melalui buku-buku; Saddam adalah seorang
tokoh preman (”a gunman, a thug,” kata Aburish dalam sebuah in­
terview dengan Frontline) dalam Partai Baath. Menurut Aburish­
pula, yang dikagumi Saddam bukan Hemingway, melainkan
Stalin.

Dengan kumis tebal seperti diktator Uni Soviet itu, Saddam­
ju­ga seorang organisator. Caranya membersihkan lawan politik­
nya dalam partai juga mirip yang terjadi dalam ”Peradilan Mos-
kow” yang mengerikan di antara tahun 1936-38, ketika Stalin
men­ uduh dan menangkap, memaksa mengaku, dan menembak
mati sejumlah anggota politburo PKUS; orang-orang Lenin itu
dituduh sebagai mata-mata musuh.

Di bulan Juli 1979, Saddam mengundang para anggota De-
wan Komando Revolusi serta ratusan pemimpin Partai Baath ke
sebuah ruang konferensi di Bagdad. Saddam muncul dengan pa­
kai­an militer. Wajahnya sedih. Ia pun berbicara tentang komplot­
an yang katanya diatur oleh Suriah untuk menggulingkan pim­
pin­an. Tak lama kemudian, Muhyi Abd al-Hussein Mashhadi,
Sekretaris Jenderal Dewan, muncul dari balik layar. Ia, yang telah
ditangkap dan disiksa sebelumnya, mengaku adanya rencana ja-
hat itu, dan menyebut nama yang terlibat. Mereka hadir di sana.
Tiap kali sebuah nama disebut, pasukan bersenjata pun menyeret
orangnya keluar. Kemudian mereka, 60 orang banyaknya, ditem-
bak mati. Di panggung, Saddam menitikkan air mata....

Saddam, Stalin dan Santiago: bukankah pada dasarnya mere-
ka manusia yang dibayangkan Hemingway: di lautan yang­penuh
pergulatan itu, kemauan untuk menang adalah segala-galanya?
Dalam gambaran itu, hidup ditentukan oleh dunia subyektif—
yakni kehendak untuk membuktikan bahwa, seperti ujar Santia-
go, ”manusia tak dibuat untuk kalah”.

Di dalam posisi itu, kesendirian adalah sesuatu yang tak ter­
elakkan: sang subyek seakan-akan berada di lautan tak bertepi.

Catatan Pinggir 7 103

http://facebook.com/indonesiapustaka SADDAM

Sebab, apa pun yang hadir di luar dirinya bukanlah sesuatu un-
tuk berteman, melainkan sebuah medan untuk ditempuh dan di-
taklukkan.

Kesendirian: di liang perlindungannya yang terakhir, Saddam
tak punya siapa pun, kecuali sebuah pistol, sejumlah­uang—dua
penanda kekuatan zaman ini. Tapi saya kira bahkan­di istananya
yang megah pun, ia, seperti tiap penguasa yang mutlak, selalu se-
perti itu: tak ada percakapan yang tulus, yang ada hanya tembok
dan ketakutan.

Tempo, 28 Desember 2003

104 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka

2004

Catatan Pinggir 7 105

http://facebook.com/indonesiapustaka

106 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

SETIAP Desember adalah menunggu. Malam akan habis,
kalender dirobek, dan dini hari dicegat pertanyaan yang
set­engah tertelan: ”Apa yang akan datang? Siapa yang ba­
kal datang?”

Mungkin sebab itu setiap Desember berada di ambang ad­
vent. Orang Kristen membatasinya sebagai masa empat pekan
menjelang Natal. Pengertian ini konon datang dari abad ke-12,
dari bahasa Latin adventus, yang berasal dari kata kerja advenire,
yang secara harfiah berarti ”datang ke”. Advent: kedatangan sesu­
atu yang penting dan ditunggu.

Sesuatu yang penting dan ditunggu, sesuatu yang belum je­
las apa, mungkin sesuatu yang mustahil, sebuah mukjizat, tapi
mungkin juga sebuah bencana.... Setiap Desember adalah awal
orang meniti buih di selat yang gelap yang terkadang rusuh. Di
seberang, hanya beberapa langkah lagi, terbentang kurun waktu
di mana harapan bisa memukau tapi juga bisa lancung. Kini kita
gamang. Terutama karena kita telah sering harus bersandar pada
kepercayaan yang patah. Yang kita punyai hanya beberapa bekas
kekerasan, rasa terkecoh oleh impian, rasa cemas.

The evil and armed draw near...
And the houses smell of our fear.
Saya ingat kalimat itu: ”Makin dekat juga yang keji dan bersen­
jata.../Dan rumah-rumah mengendus ketakutan kita.” W.H. Au­
den menuliskannya melalui sebuah Desember yang juga waswas,
di antara akhir 1941 dan pertengahan 1942, sebagai baris-baris
dalam For the Time Being: A Christmas Oratorio, puisi Natal yang
panjang yang dibuka dengan ”Advent,” bagian pertama.

Catatan Pinggir 7 107

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

Waktu itu perang masih membelah bumi. Tak seorang pun
yang tahu dapatkah Hitler (dan ”yang keji dan bersenjata”) akhir­
nya dikalahkan. Tapi puisi itu tak hanya berpusar pada titik yang
kelam. Oratorio itu digubah setelah Auden kembali memeluk
iman yang pernah ditinggalkannya. For the Time Being mengan­
dung harapan Nasrani: ada kabar baik bahwa mukjizat bisa ter-
jadi. Yesus dilahirkan dan malam itu terbit bintang yang jernih di
atas Bethlehem.

Bintang di kejauhan itu seakan-akan menggamit, ketika, da­­
lam kata-kata Auden, kita ”hanya samar-samar tahu, apa gera­
ngan kita dan kenapa kita di sini.” Dan ”untuk menemukan ba­
gai­mana jadi manusia saat ini,” itulah alasan kita mengikutinya.
”To discover to be human now/Is the reason we follow this star.”

Tapi justru di situlah terasa bahwa kita berjalan di lorong seng­
sara: untuk tahu bagaimana ”jadi manusia,” kita ternyata harus
menunggu sesuatu yang praktis mustahil—bintang yang jernih
itu, benda langit yang menandai saat ketika Yang Suci masuk
merasuk ke dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal menjelma­ke
dalam yang temporal.

Lorong sengsara itu—mungkin Buddhisme berbicara lebih
jelas tentang hal ini—tak kunjung berakhir. Juga setelah berpu-
luh-puluh Desember lewat. Tiap kali kita harus menempuh lagi
suasana seperti yang terpantul dari pelbagai puisi Auden: sebuah
suasana ”Audenesque”, seperti disebut oleh Graham Greene pada
tahun 1930-an: kemurungan yang makin akrab.

Kemurungan ”Audenesque” adalah warna dunia yang diting-
galkan sesuatu—dan ”sesuatu” itu sangat berarti. Sebuah sajak
Auden yang terkenal, bagian dari Twelve Songs, bergumam de-
ngan nada getir yang ditahan:

Stop semua jam, putuskan telepun
Bujuk anjing untuk diam, beri dia tulang yang ranum

108 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

Bisukan piano, dan dengan genderang mendesah
Kita keluarkan jenazah; silakan mereka yang bertakziah.
Mungkin selalu ada saat seperti itu, ketika kita seakan-akan
ingin berhenti dari hari, dan membiarkan datang ”mereka yang
bertakziah,” the mourners.
Takziah untuk siapa? Siapa jenazah di hari kemarin, kini, dan
esok? Kita tak perlu tahu. Sebab yang mati, yang hancur, yang hi-
lang, begitu banyak. Bahkan tak akan jadi ganjil jika kita sendiri
telah terdaftar di pemakaman. Maka biarkan di langit kapal ter-
bang membentuk huruf berita kematian dan polisi lalu-lintas me-
masang kaus-tangan hitam. Bintang-bintang kini tak dikehen-
daki—kata bait terakhir sajak itu—maka padamkan. For nothing
now can ever come to any good.
”Sebab kini tak ada yang akan bisa baik.” Putus asa itu leng-
kap, atau nyaris lengkap....
Pada bulan Desember 1939, Auden ada di sebuah bioskop di
satu bagian Manhattan, New York, di mana penduduk hampir
se­muanya berbahasa Jerman. Sebuah film berita tentang invasi
Hitler ke Polandia diputar. Sesuatu mengguncang Auden sore
itu: ketika di layar tampak deretan orang Polandia yang ditahan,
penonton berteriak, ”Bunuh mereka! Bunuh mereka!”
Tak ada yang berpura-pura. Tak ada yang malu untuk ”tak ber­
adab”. Beberapa tahun kemudian Auden mengingat pengalam­an
itu: ”Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, waktu itu, mengapa
aku bereaksi menentang sikap ingkar kepada tiap nilai humanis­
tis ini.”
Apa haknya untuk mengecam? Atas dasar apa ia bisa menuntut­
para penonton di bioskop di Manhattan itu agar mereka tak de-
ngan bengis meminta orang lain dibantai? Apa alasannya untuk
menegaskan bahwa yang membakar dunia dengan kebencian tak
boleh dianggap pahlawan dan yang dizalimi tak boleh merasa

Catatan Pinggir 7 109

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

berhak menyembelih?
Auden tak bisa menjawab. Di ambang putus asa, ketika ia

merasa ”nothing now can ever come to any good,” ia kembali ke da­
lam iman yang dikenalnya di masa kanak. Ia bersedia lari melin­
tasi­gurun panjang ke arah bintang di Bethlehem itu.

Di kandang tempat Kelahiran itu terjadi, ia ingat bahwa di
sanalah, buat pertama kali dalam hidup, tiap hal muncul sebagai
sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak disapa. Tiap hal jadi
seb­ uah ”Engkau” (You), bukan sekadar obyek (It) yang dengan
gampang dibungkam:

Remembering the stable where for once in our lives
Everything became a You and nothing was an It.
Betapa dalam dan menakjubkan momen itu, ketika Yang Suci
masuk merasuk ke dalam hidup sehari-hari dan Yang Kekal me­
nemp­ uh laku temporal, ”the Eternal do a temporal act.”
Tapi bersamaan dengan itu, momen itu sebetulnya juga bukan­
sesuatu yang sama sekali mustahil: ketika ”tiap hal” jadi ”sebuah
Engkau”, ketika itulah kita menyambut tulus yang-lain di luar
diri kita. Dan kita ingin menemaninya. Inilah sebuah epiphaneia:
ketika ”tiap hal” tampil sebagai ”Engkau”, di situlah terjadi mani­
festasi diri Yang Ilahi, Kasih, Yang Kekal, Yang Suci—hingga
kita pun tak hendak memasung dan merusaknya.
Seorang sufi seperti Ibn ’Arabi akan menyebut momen itu se-
bagai tajalli (kadang-kadang juga fayd atau ”pancaran”). Ia akan
berbicara tentang ”pancaran yang mahakudus” dan ”napas kasih
sayang” yang diembuskan Yang Mutlak, hingga dari tiada terbit-
lah ada.
Tapi dengan pandangan itu, dunia tampak berubah. Dan tak
semua orang bersenang hati. Herodes, raja yang menitahkan agar
semua bayi hari itu dibunuh—untuk menangkal Sang Bayi Yesus

110 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

turun ke dunia—punya argumen yang membenarkan tindakan
preventif itu.

Auden menggambarkan Herodes sebagai orang yang berpikir
panjang—atau lebih tepat, orang yang ingin mempertahankan
kehidupan yang rasional, sosial, dan praktis: bila tiap hal jadi ”se-
buah Engkau”, bagaimana dunia tak akan kacau? Bila Kasih tak
takut akan anarki (”Love does not fear substantial anarchy,” kata
orang-orang arif yang datang ke kandang sapi di Bethlehem itu),
apa jadinya tatanan sosial?

Herodes melihat betapa berbahayanya bila ”kehormatan Ila-
hi” diberikan kepada tiap hal: ”cerek teh dari perak, liang cetek
dalam tanah, nama-nama pada peta, hewan piaraan, kincir angin
yang runtuh....” Raja itu ingin menjaga tata yang tertib.

Ia tak mau pengetahuan jadi kalang-kabut karena, ketika ra-
sio hilang, yang ada hanya ”sebuah kekacauan pandangan-pan-
dangan subyektif.” Ia menyukai ”Hukum yang Rasional.” Dunia
subyektif merisaukannya. Apa jadinya bila kebutuhan menyem-
bah Tuhan tersalur dalam jalur yang tak dapat disosialisasi, dan
cerita pahlawan seluruhnya ”ditulis dalam bahasa yang privat”?
Kehidupan bersama yang ditopang konsensus akan runtuh.
Aturan tak akan bisa berlaku secara universal. Hukum akan jadi
sendi yang tak pasti. Ketika hidup diperlakukan sebagai ekspresi
”napas kasih sayang,” akan mampukah kita memberi keadilan,
dalam arti hukuman? ”Keadilan akan di- gantikan oleh Belas Ka-
sihan...,” kata Herodes dengan masygul, ”dan akan lenyap semua
rasa takut pada pembalasan.”

Tapi apa yang akan kita pilih? Ini Desember 2003 yang di­
ba­yangi­teror, perang, statemen-statemen keras. Juga suara galak­
yang pasti bahwa pembalasan lebih efektif ketimbang belas ka­
sih­an, lebih tertib, sebab balas-membalas membentuk simetri.
Berbareng dengan itu, benci telah jadi tugas politik. Ia tak lagi
perk­ ara pribadi, ia ada dalam barisan yang rapi, berderap. Tak

Catatan Pinggir 7 111

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

aneh, sebab bahkan menyembah Tuhan juga telah kehilangan
bahasa yang privat.

Tentu, Auden tak bisa memilih argumen Herodes. Ia telah
tahu apa artinya Kelahiran itu, ketika tiap hal jadi sebuah ”Eng-
kau”. Baginya dunia tak lagi tersusun dari ”mereka” yang seragam
yang bisa diatur sepenuhnya dari sebuah ruang kontrol. Kasih
telah turun, dan, seperti dikatakan para orang arif yang datang ke
Bethlehem, Kasih membutuhkan ”sebuah kelainan yang dapat
bilang Aku”—an Otherness that can say I.

Berarti hidup adalah bangunan subyektif yang berbeda-beda.
Kita tak akan bisa mengutamakan tata yang tertib. Kita tak akan
bisa hidup hanya dengan iman yang dibariskan dalam alur yang
siap dan aman. Tuhan justru dicari dalam the Kingdom of Anxi­
ety, ”Kerajaan Kecemasan”. Di situ, mungkin iman adalah seperti
iman Kierkegaard: sebuah lompatan yang berani, sendiri. Setelah
malam Kelahiran itu lewat, dan hari jadi siang, ”sang sukma ha-
rus menanggungkan sebuah sunyi yang tak mendukung ataupun
menentang keyakinannya bahwa kehendak Tuhan akan jadi.”

Dengan kata lain, itulah iman dalam ketidakpastian, di jalan
yang rancu. Juga ketika kita hidup dengan bekas-bekas kekerasan
dan begitu gentar hingga ”rumah-rumah mengendus ketakutan
kita.” Maka, sehabis Desember, bisa saja kita kembali gagal men-
cintai semua saudara kita. Tapi kita tahu, kita tak bisa memimpi-
kan kerajaan yang sempurna tempat kita lari mengungsi. Justru
impian itu ”sebagian hukuman kita.”

Sebaliknya, ”kuitansi yang harus dibayar, perabot yang harus
direparasi, kata-kata ganjil yang harus dihafal”—semua yang se-
pele, yang belum selesai—bisa punya arti bila kita ingat bahwa
hidup dan cinta bisa menakjubkan: ketika Yang Suci merasuk ke
dalam yang sehari-hari dan Yang Kekal di tengah yang temporal.
Seorang Herodes tak akan paham. Tapi itu dasar kita untuk ber-
syukur, untuk tak mengutuk. Dan dari sana kita pun akan bisa

112 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SETIAP DESEMBER ADALAH MENUNGGU

”mengakui kekalahan kita tapi tanpa patah harap.”
Sebab semua masyarakat dan zaman adalah detail yang akan le­

wat.
Jakarta, 22 Desember 2003

Tempo, 4 Januari 2004

Catatan Pinggir 7 113

http://facebook.com/indonesiapustaka

114 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka JARAK

DALAM waktu satu-dua jam, 50 ribu orang mati di
sudut Iran. Jumlah itu bisa lebih. Tapi kita sebaiknya
tak bicara tentang Tuhan dan manusia.
Ketika 26 Januari 2001 Gujarat dihantam gempa, dan diper­
kirakan 30 ribu orang tewas, sekelompok anggota ”Lashkar-i-
Toiba” menyimpulkan: itulah hukuman Allah atas orang­­Hindu
di negara bagian itu; mereka telah membunuh dan menga­ niaya
minoritas muslim, Kristen, dan Sikh di India.­­Seorang menteri
yang beragama Kristen di Negara­Bagian Karna­taka setuju. Bah-
kan ada orang Hindu yang mengangguk:­”Ini memang hukum­
an Shiva kepada kami.”

Benarkah? Saya ragu. Sebab saya ragu benarkah semua orang
yang tewas itu—termasuk anak-anak—berdosa kepada kaum
min­ oritas. Saya ragu bila Tuhan ceroboh dan tak adil. Dan ba­
gaim­­ ana kita akan mengaitkan bencana di Iran pekan lalu itu
dengan laknat? Di pojok itu tak pernah terdengar ada minoritas
yang dibantai, tak ada pesta mabuk, zina massal, dan pembobol­
an bank ramai-ramai.

Pada akhirnya kita harus bicara tentang manusia dengan ma­
nusia. Bahkan bukan soal manusia dengan alam. Gempa tek­
to­nik­terjadi karena struktur bumi yang apa boleh buat. Hanya
Super­man, dalam film, yang bisa membereskan lempeng-lem-
peng San Andreas Fault di bawah bumi California. Berapa kali
sudah wilayah ini terkena guncangan? Dan bukankah orang di
sana masih menunggu gempa yang lebih besar—sambil terus me-
nikmati tamasya Big Sur di tepi Pasifik, mengolah anggur, dan
menjual film porno?

Gempa seperti lotre dan kanker: ia tak bisa diantisipasi, tapi
kita tahu ia bisa sewaktu-waktu datang, dan di sini berlaku­nya­

Catatan Pinggir 7 115

http://facebook.com/indonesiapustaka JARAK

nyia­ n Rod Stewart: ”Some guys got all the luck, some guys got all the
pain.” Bencana itu memukul Iran berkali-kali, dan bukan Mo-
naco. Apa mau dikata. Sejak tahun 130, ketika­ilmuwan Cina
Chang Heng mencoba menebak gempa yang disangka­nya gelom-
bang angin di bawah tanah, sampai kini hanya sedikit yang dapat
diprediksi, dan semuanya tak bisa dicegah. Kata para pakar, tiap
tahun rata-rata terjadi 50 ribu getaran dengan skala 3 sampai 4
Richter, dan 800 kali dengan skala 5 sampai 6.

Ya, kita harus bicara tentang manusia dan manusia. Teruta­
ma­­ketika gempa menyangkut hidup yang hancur dan anak-anak
yang mati. Dalam The Theory of Moral Sentiment-nya yang agak
kurang tersohor, di tahun 1759 Adam Smith telah menyebut ben-
cana alam itu dalam perspektif itu.

Misalkan, kata Smith, Kerajaan Cina dengan jumlah pen-
duduknya yang besar itu tenggelam karena gempa. Orang di Ero­
pa mungkin akan sedih, menyatakan belasungkawa, memba­
yang­kan beratnya kemalangan di negeri jauh itu. Mereka mung­
kin akan memperkirakan akibat malapetaka itu bagi perd­ a­
gangan Eropa. Tapi setelah itu, hidup tak terguncang. Yang hen-
dak main tenis akan terus ke lapangan, yang mau meminang
akan tetap mengenakan baju terbaik dan membeli bunga.

Tapi bandingkan, kata Smith, jika [si orang di Eropa] tahu
bahwa ia akan kehilangan jari manisnya besok. ”Ia tak akan bisa
tidur malam ini.” Dan tentang malapetaka di Asia itu, ”ia akan
mendengkur dengan rasa aman yang paling dalam di atas remuk-
redamnya seratus juta jiwa saudara-saudaranya.”

Di tahun 1759 itu, Smith menggunakan kata ”saudara-sauda-
ra” (brethren) untuk jadi kata ganti ”orang Cina”. Sepatah­kata
yang mengusik, yang membuka hati: bahwa jarak—yang di za-
man itu membentuk perbedaan besar di bumi—bisa meng­
akibatkan ketakpedulian.

Smith mungkin tahu: empat tahun sebelumnya, beberapa­ha­

116 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka JARAK

ri setelah gempa besar menghajar Lisabon dan 100 ribu orang
tewas, Voltaire menulis sebuah sajak yang marah, Poème sur le dé­
sas­tre de Lisbonne: ”Lisabon dalam puing, orang berdansa di Pa­
ris.”­

Tentu saja Voltaire berlebihan. Di zamannya, malapetaka di
ibu kota Portugal itu baru diketahui orang di ibu kota Prancis 23
hari kemudian. Si pembawa berita mungkin tiba dengan kuda
yang hampir pingsan.

Kini ”jarak” mengandung paradoks. Teknologi—khususn­ ya
satelit—telah mengubah hubungan manusia dengan pe­ngertian
itu. Kini yang terjadi di Kota Bam bisa tiba tanpa­tertunda di se-
buah kamar di Kota Bon. Guncangan itu tak me­nge­nal lagi tapal
batas dan jarak—hal yang sebenarnya dapat dikatakan tentang
dolar Amerika, terorisme, Kitab Suci, dan The Lord of the Rings.

Atau ”jarak” telah jadi sesuatu yang lain, yang tak dapat di­
ukur­dengan mil. ”Jarak” kembali jadi ekspresi dunia subyektif:
hati dan pikiranku dekat dengan korban di Iran atau tidak, ima-
jinasiku akrab dengan si Frodo dalam fantasi Tolkien atau tidak.

Dengan catatan: ”jarak”, seperti disebut dalam buku Adam
Smith, sampai sekarang pun masih dipengaruhi oleh ”melihat”.
Apalagi televisi kian pegang peran penting dalam dunia subyek-
tif kita: hari ini, dunia di luar sana jadi mudah dibentuk dengan
”zoom-in” dan dijauhi dengan ”zoom-out”. Masalahnya:­ketika
sang subyek makin mampu menentukan sang obyek, ketika aku
makin mampu memandang dia dengan cara yang kupilih, tak se-
lamanya ”melihat” menimbulkan ”rasa dekat”.

Memang, televisilah yang menyentuh orang Amerika­meng-
himpun dana untuk para korban di Iran itu. Tapi di ruang­kon-
trol markas tentara Amerika Serikat, opsir-opsir yang terlatih bisa
”melihat” sasarannya yang bakal celaka nun di Bagdad, sebelum
meluncurkan ”bom cerdas”, tanpa merasa perlu menyaksikan da-
rah muncrat dan ubun-ubun hancur.

Catatan Pinggir 7 117

http://facebook.com/indonesiapustaka JARAK

Walhasil, dengan televisi dan ”bom cerdas”, dunia tak dengan
sendirinya jadi bagus. Tapi hanya itukah, warna kelam, yang kita
miliki? Pangloss, tokoh yang tak terlupakan dalam Candide, no­
vel­Voltaire, adalah seorang super-optimis. Ia percaya, ”karena­
semua diciptakan untuk satu tujuan, maka semua diciptakan
untuk tujuan yang terbaik.” Voltaire membuat kita tertawa geli
mendengar itu. Ia ingin agar kita ingat: pada suatu hari di Lisa­
bon,­”seratus ribu semut, sesama kita, mendadak tertimbun di
busut kita.”

Semut? Setidaknya hari ini kita makin tahu: mereka bukan
semut, kita bukan semut. Ada yang menangis karena seseorang
menangis.

Tempo, 11 Januari 2004

118 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka THE CLOWNS

HARI itu, di Jakarta, saya melihat sebuah pemandangan
yang tak pernah ada di bagian mana pun di dunia: di
sebuah kantor yang tak begitu luas, sederet orang tam-
pak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling
mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak
henti-henti.

Saya mendatangi mereka dan bertanya: ”Ada apa, ya, bapak-
bapak dan ibu-ibu?” Mereka menjawab, serentak: ”Kami semua
ingin jadi calon anggota DPR.”

Dan kembali mereka berdesak-desak, seperti orang yang ra­
mai berebut tiket dan tempat untuk pulang mudik di hari Leba­
ran di Stasiun Gambir.

D-P-R.... Apa gerangan arti singkatan itu bagi mereka? ”De-
wan Perwakilan Rakyat”? Sebuah jawatan dengan sekian ratus
lowongan mendadak? Sebuah tempat undian berhadiah? Sebuah
lembaga pemberi dana? Orang-orang di ruang­an itu tak pernah
bertanya.... Atau saya keliru. Sebab mereka­sebenar­nya pernah
bertanya, meskipun dalam bentuk sepotong kalimat yang itu-itu
juga: ”Adakah nama saya di dalam Daftar itu, Pak?”

Dan mereka terus berdesak, mereka terus cemas. Mereka ber­
keringat, mata mereka merah kurang tidur, tenggorokan mereka
serak.

Sementara itu, nun di sebuah gedung yang jauh, di ruang ter-
tutup, para pembuat Daftar, para pengurus partai duduk dengan
sejumlah gelas kopi dan sejumlah batang rokok yang mengedar-
kan asap. Mereka tak akan keluar dari sana walaupun sejurus un-
tuk menjawab pertanyaan orang yang berdesak­-desak itu. Diam
adalah emas, kata pepatah yang mereka pasang­di pintu. Ke­pu­
tus­an kami harus ditaati. Disiplin itu indah.

Catatan Pinggir 7 119

http://facebook.com/indonesiapustaka THE CLOWNS

Tapi ada juga yang menduga dan mengatakan bahwa mere­
ka­­sebenarnya tak tahu harus menjawab apa. Pendeknya: merek­ a­
telah membuat Daftar itu, artinya sederet nama-nama, dengan­
atau tanpa kriterium, dan menyuruh para sekretaris me­ngetik­nya
siang-malam, dan menamakan nama-nama itu ”calon legislator”.
Lalu diumumkan.

Tentu tak pernah jelas apakah yang mereka susun itu: sejum-
lah orang yang kelak akan bekerja membuat undang-undang
yang sesuai dengan cita-cita partai? Sejumlah orang yang secara
tera­ tur dan rajin datang ke rakyat pemilih dan men­dengar­kan
apa yang diinginkan dan diamanatkan? Atau sejumlah konco?
Atau sehimpun penyokong? Beberapa ratus penyetor upeti dan
kesetiaan? Yang pasti, daftar itu kelak akan disebut juga daftar
”wakil rakyat”, tapi bahkan orang-orang itu sendiri tak yakin
apakah mereka bisa dipanggil demikian.

Apa kemudian panggilan mereka yang tepat? Mungkin per-
tanyaan ini tak penting sama sekali. Berangsur-angsur saya sadar:
saya sebenarnya sedang melihat sebuah persiapan pert­unjuka­ n di
sebuah gedung komedi. Tiba-tiba ada sebuah pertanyaan terlin-
tas di pikiran saya: Badut? Mereka badut?

Seorang teman yang kalem menjawab: ”Ya, mungkin.” Lalu
ia menambahkan, dengan nada yang lebih kalem: ”Tapi tak ada
salahnya. Biarkan datang para pelawak. Keadaan sedang kacau.
Send in the clowns....”

Isn’t it bliss?
Don’t you approve?
One who keeps tearing around,
One who can’t move...
Where are the clowns?
Send in the clowns.

120 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka THE CLOWNS

Dia pun menggumamkan lagu Stephen Sondheim itu—petil­
an terkenal dari musikal A Little Night Music yang kini dilupakan.­
Sebuah senandung sayu dari New York tahun 1973, yang menu-
rut hemat saya tak sepenuhnya tepat untuk masuk ke dalam se-
buah percakapan tentang politik Indonesia di tahun 2004.

Tapi bukankah memang demikian: setiap kali di sebuah per-
tunjukan sirkus terjadi kesalahan atau kecelakaan, sang manajer
akan memberi perintah, ”Send in the clowns!”, ”Bawa masuk para
badut!” Lalu para pelawak akan muncul ke depan panggung, pu-
ra-pura berdesak, pura-pura bertengkar, jumpalit­an, menari-nari,
dan penonton tak akan tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres di
panggung itu tadi....

Teman saya punya cerita bahwa awal mula kehebohan ini se-
benarnya memang sebuah kecelakaan yang benar-benar terjadi di
balik panggung: sejumlah pemain sirkus politik yang mencoba
meloncat dari trapeze terjungkal. Ajaib: mereka tidak mati. Mere­
ka hanya berubah wujud: menjadi badak—seperti dalam lakon
Ionesco Les Rhinocéros.

Dalam lakon ini, penduduk sebuah kota kecil semua berubah
menjadi badak bercula—dan hanya Bérenger, seorang penduduk
kota yang lumrah, tapi menolak konformitas, yang tetap jadi ma-
nusia.

Kata teman saya itu, mungkin tak ada seorang Bérenger di ba-
lik panggung sirkus kita itu, tak ada seorang yang mau melawan
konformitas yang telah menyebabkan para tokoh politik menjadi
badak. Sebab itu manajer sirkus (siapa dia, tak kita ketahui) sema-
kin panik. Ia sadar sesuatu yang amat mencemaskan tengah ber-
langsung. Maka ia pun mengatur agar penonton, orang ramai itu,
tak tahu. The show must go on. Sebuah ilusi harus dibangun. Dan
badut-badut dikerahkan....

Sorry, my dear!

Catatan Pinggir 7 121

http://facebook.com/indonesiapustaka THE CLOWNS

And where are the clowns
Send in the clowns
Don’t bother, they’re here.
Penonton, orang ramai itu, memang kemudian tak menyadari
bahwa sejumlah badak baru, hasil sebuah metamorfosis yang
aneh, berbaris di balik pentas. Lalu mereka bertepuk, dan kemu-
dian pulang.
Tapi di ruangan yang saya sebut di atas, pemandangan yang
tak ada duanya di dunia itu belum juga hilang: sederet orang tam-
pak berdesak-desak, kadang saling menggebrak, mungkin saling
mendengus. Ada yang setengah menangis, ada yang berdoa tak
henti-henti. Mereka semua ingin jadi calon anggota DPR.
Isn’t it rich?
Isn’t it queer?

Tempo, 18 Januari 2004

122 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka ASRUL

KETIKA Asrul Sani meninggal, sebuah generasi yang
lain telah mendapat rumah mereka sendiri.
Ia pasti akan bersyukur. Sebab inilah yang diangan-
angank­­ annya dalam Perumahan untuk Fadjria Novari: ”Aku
akan dirikan sebuah perumahan baru.... Rumah yang akan ku-
berikan ialah sejarah kehidupan.”

Prosa itu (terbit di tahun 1951) berasal dari perjalanan pulang­
ke kampung kelahiran, ketika ayah sang penulis meninggal. Se­
akan-akan ”aku” melihat lingkungan itu buat pertama kalinya.
Sebuah momen yang menyenangkan, tapi sejurus dan tanpa nos-
talgia. Ia telah meninggalkan tempat kelahiran itu bertahun-ta-
hun yang lampau, dan ia akan meninggalkannya lagi. Sebab di
rumah si bapak yang kuno, apak dan mandek, ”segalanya... ada
pada tempatnya,” tulisnya. Tak boleh diubah. Ruang itu tertutup.
”Kain-kain pintu tebal dan jendela yang sempit menolak segala
yang hendak masuk dan yang hendak keluar.”

Maka ia pun memutuskan: ”Buat aku rumah ini tiada ada
lagi. Telah punah hubunganku dengannya.”

Itu bukan konklusi satu-satunya. Ia juga telah menyusun te­
kad bahwa kelak ia tak akan membuat rumah yang seperti itu
bagi Fadjria Novari, anaknya. Yang akan dibangunnya adalah
sesuatu yang bergerak dalam proses: sebuah ”sejarah kehidupan”.

Generasi Asrul Sani memang generasi yang menolak pulang­
dan membantah rumah. Dalam sajaknya yang terkenal, Si Anak
Hilang, Sitor Situmorang melukiskan suasana yang sama meski­
pun­ dengan lebih murung. Dalam serangkai kuatren (seakan-­
akan sang penyair sedang menyusuri kembali bentuk­lama) di­
gambarkannya kegembiraan si ibu ketika anaknya kembali ke
kampung di tepi danau itu dari perjalanan ke Eropa. Si ayah juga

Catatan Pinggir 7 123

http://facebook.com/indonesiapustaka ASRUL

rindu, meskipun mencoba menahan hati.
Tapi benarkah anak muda itu sambungan hidup mereka? Di

malam hari, diam-diam si anak pergi ke pantai. Ia tahu, gel­om­
bang dan pasir danau itu tahu: sesungguhnya ”si anak tiada pu-
lang”.

Merantau adalah menampik. Mengembara adalah membe-
rontak. Rivai Apin, penyair sebaya Asrul (mereka berdua, bersa-
ma Chairil Anwar, menulis kumpulan puisi Tiga Mengua­ k­Tak­
dir), lebih keras mencetuskannya. Aku harus ke laut, katanya, se-
bab apa yang ditemukannya di darat, ”di sini”? ”Batu semua!”
teriaknya. Chairil Anwar memilih untuk terbang. ”Mari kita le­
pas, kita lepas jiwa mencari,” serunya, untuk ”mengenali gurun,
sonder ketemu, sonder mendarat”.

Apa gerangan yang mengusik generasi itu untuk ”lepas”? As-
rul menjawab dari ruang orang tuanya. ”Dalam rumah itu,” tu-
lisnya, ”diam sebuah pendapat yang tiada mau tahu dengan pen­
dapatku. Di segala sudut ada hukum-hukum hidup yang dibung-
kus dan diberi cadar.”

Sikap itu sebenarnya tak mengejutkan. Sebuah esai yang ditu-
lisnya di tahun 1948 berjudul Orang Tak Berasal. Di sana ia me-
nyatakan, ”pusaka adalah penjajahan.”

Lalu apa yang membentuk dirinya?
Di sebuah masa ketika Indonesia, dalam kata-kata Chairil,
adalah bangsa yang ”baru bisa bilang ’aku’”, generasi Asrul me-
mang memilih ”aku” yang tak dibentuk oleh asal dan pusaka.
Mer­eka suara modernitas par excellence. Mereka memang mirip
dengan generasi pembaharu sebelumnya, generasi S. Takdir Ali­
sjah­bana. Tapi dengan beda yang mendasar.
Modernitas, bagi Takdir, ibarat penjelajahan dengan sebuah
biduk yang digalang dengan disiplin dan rasionalitas yang mam-
pu menghitung—sebuah bahtera yang cocok untuk samudra
yang menyimpan badai. Sementara itu bagi gene­rasi Asrul, yang

124 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka ASRUL

hidup dengan khaos dan ketakpastian dalam perang­untuk ke-
merdekaan tahun 1940-an, modernitas artinya pembebasan, dan
itu adalah, jika kita pakai kiasan Rivai, satu pengembaraan yang
menyambut ”taufan gila”, dengan bekal yang hampir nol: ”cukup
asal ada bintang di langit”.

Dengan kata lain, modernitas Takdir tak jauh dari yang dige­
rakkan kelas borjuis Eropa seperti dilukiskan Marx dan Engels:­
sebuah kekuatan dahsyat yang bernama kemajuan. Takdir tak
hendak bermain-main dengan agenda besar itu. Sebuah bangun­
an, sebuah bangsa, harus kuat dan disiapkan. Maka diremehkan-
nya puisi Chairil sebagai ”rujak”—segar, tapi tanpa gizi.

Sementara itu, bagi generasi yang ”menguak” Takdir, moder-
nitas adalah pertautan dengan yang oleh Baudelaire disebut seba­
gai ”yang melintas, yang sementara, yang tergantung”. Bahkan
apa yang lazimnya dianggap sebagai situs yang tetap, ”rumah”,
mereka terima dengan sikap mendua. Bagi Asrul­Sani, ”rumah”
bukanlah konstruksi jadi, tapi ”sejarah keh­ idupa­ n”. Bagi Rivai
Apin, ”rumah” adalah yang membuat dirinya setengah asing. ”Di
rumahku aku disambut oleh keakua­ nku yang belum sudah,” tu-
lisnya.

Mungkin sebab itu pada generasi Asrul tampak ”modern-
isme” yang mirip dengan yang meledak di Eropa awal abad ke-
20: sebuah gairah eksperimentasi, élan yang menjebol, yang sa-
dar bahwa tak ada batas yang pasti—sebuah élan yang berlanjut
dalam karya Putu Wijaya dan Sutardji Calzoum Bachri dan me-
nyusup sampai ke novel Ayu Utami dan Nukila Amal. Gene­rasi
Asrul seakan-akan telah membentuk satu paradigma.

Memang pernah mereka dihujat. Di pertengahan tahun 1950-
an (menjelang Bung Karno menggemakan pekik ”ga­nyang”­ke
arah ”Barat”), Ajip Rosidi bersuara: generasi Asrul-Chairil-Rivai,
kata Ajip dengan sengit, secara ”rohaniah” bertanah-air di Eropa.
Meskipun mereka, kata Ajip pula, ”masih makan nasi dan ikan

Catatan Pinggir 7 125

http://facebook.com/indonesiapustaka ASRUL

asin”. Dengan kata lain: bagi Ajip, mere­ka makhluk blasteran.
Tapi kelirukah blasteran, khususnya blasteran dengan ”Ba­

rat”? Seruan ”awas, Barat!” pernah terdengar sebelumnya—dan
membuat Penyair Sanusi Pane mendukung Fasis­me Jepang yang
memuliakan ”Timur”. Di sini Ajip hanya memamah-biak asumsi
”Orientalis”: seakan-akan ada ”bukan-Barat” yang tunggal dan
tak bercampur.

Asrul tak akan mau memamah-biak macam itu. Ia malah le­
bih­dulu ketimbang Edward Said ketika mengatakan: ”Aku tidak
lagi mau bicara tentang Barat dan Timur, karena arca-arca yang
kukenal semuanya hanya dapat dipandang dengan berpatokan
pada waktu.” Dengan kata lain, identitas kita, arca kita, tak bisa
kita sembah sebagai hal yang kekal.

Tempo, 25 Januari 2004

126 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

TUAN Hakim, seorang perempuan marah di depan maje-
lis, dan melontarkan sepatunya ke arah kolega Tuan yang
duduk bertoga di ruang itu....
Ingat? Sepatu: benda yang tiap kali bersentuhan dengan debu,
lumpur, serba-serbi tahi, sisa makanan yang dimuntahkan, air
comberan yang disiramkan ke trotoar. Sepatu: bagian dari pro-
teksi tubuh yang menempuh perjalanan.

Tuan tentu tahu, di tungkai kaki orang kebanyakan, sepatu
adalah tanda ikhtiar untuk pantas, bersih, dan aman di permu-
kaan bumi. Tapi jika Tuan lupa apa yang terjadi, inilah­ceritan­ ya:­
pada tahun 1987. Mimi, perempuan itu, kecewa dan marah kepa-
da bapak bertoga yang duduk angker dan terhormat di belakang
meja tinggi itu. Ini berlangsung di sebuah ruang­pengadilan di Ja-
karta. Sepatu itu dilontarkannya untuk menyatakan sebuah pe­
rasa­an, juga sebuah pendapat.

Mimi kemudian dihukum penjara enam bulan. Ia dianggap­
menghina mahkamah. Tapi perempuan itu sempat bercerita: ber-
minggu-minggu ia beperkara, mengadukan Nina, yang menurut­
Mimi pernah menipunya sampai Rp 76 juta. Ia ingin agar Nina
dihukum berat. Ia menyuap hakim dengan uang Rp 2,5 juta.
Tapi hakim itu, kata Mimi, tak berbuat sebagaimana­dipesan. Ia
menduga, sang hakim curang: Nina memberi sogok yang lebih
besar....

Seperti Tuan Hakim pasti akan sepaham dengan saya, Mimi
te­lah menghina mahkamah dua kali. Pertama, ia melontarkan
sebuah benda yang biasanya bersentuhan dengan najis ke arah
hakim. Kedua, ia memandang para hakim mirip pelacur yang
mengecewakan—tenaga yang bisa dipesan, dibeli, dan diharap-
kan memuaskan nafsu.

Catatan Pinggir 7 127

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

Sebuah perilaku yang mengagetkan? Tidak rupanya. ”Insiden
Mimi” tak mendorong Menteri Kehakiman atau Ketua­Parlemen
atau Majelis Ulama untuk berbuat sesuatu. Tuan juga diam saja.
Say­ a tahu kenapa demikian: di belakang insiden itu telah hadir­
sebuah penghinaan yang lebih lama dan lebih besar—penghina­
an­ kepada harapan. Juga penghinaan kepada Republik. Dan
kedua-d­ uanya bukan Mimi yang melakukannya.

Sebab inilah tema yang umum diketahui: kian hilangnya ke-
percayaan kami, orang Indonesia, kepada mahkamah Tuan. Bagi
kami sulit berharap dari proses yang harus kami tempuh untuk
mendapatkan keputusan yang adil. Pada tahun 2002, Mardjono­
Reksodiputro, seorang guru besar ilmu hukum di Universitas In-
donesia, menerbitkan hasil penelitiannya tentang­keharusan me-
nyogok yang mencegat kami, warga masyarakat, di sepanjang
per­jalanan pro justicia, sejak dari di kantor polisi sampai di kan-
tor hakim. Ia mengutip apa yang kami gerundelkan bila kami
melapor kepada yang berwajib ketika barang kami dicuri: ”Mela­
porkan ayam kita hilang, akhirnya kambing kita ikut hilang.”

Sebuah catatan Bank Dunia dan Bappenas yang kemudian di­
terbitkan pada 1999 memang menunjuk: di Indonesia, seorang
yang mencari keadilan harus membayar—dalam arti me­nyu­
ap­—jumlah uang yang memberatkan, sejak awal sekali, bahkan
ketika ia baru mendaftarkan perkaranya ke mahkamah. Dan jika
nanti vonis jatuh, dan keputusan hakim dibuat, pihak yang ber­
sengketa masih harus membayar lagi untuk mendapatkan salin­
an surat keputusan itu.

Ketika tak ada jalan lain ke arah keadilan, cerita seperti itu­
menj­adi sebuah cerita putus asa. Tepatnya, sebuah putus asa yang
dianggap sah. Di antara kami, harapan telah jadi makhluk­yang
ganjil. Kami, orang Indonesia, akan tampak ajaib bila mempu­
nyai­nya.

Saya tak tahu siapa yang mula-mula membuat Indonesia se-

128 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

buah negeri tempat rasa putus asa telah sampai ke tungkai kaki.
Bahkan telah membuat Indonesia tak layak sebagai sebuah nege­
ri. Sebuah negeri membutuhkan ”negara”. Dalam pengertian
yang sekarang lazim, ”negara” berarti kekuasaan sebagai milik
publik, bukan milik pribadi.

Tapi di mana gerangan ”negara”? Kami bingung. Seorang se­
jara­wan pernah mengatakan kepada saya, memang hanya baru
setelah administrasi VOC digantikan oleh birokrasi kolonial
Hind­ ia Belanda, kehadiran ”negara” di kepulauan ini mulai ber-
dampak. Tapi agaknya sampai kini pun ia samar.

Kalaupun tak samar, ”negara” adalah sesuatu yang amat tipis.
Untuk 220 juta penduduk, hanya ada sekitar 3.500 hakim dan
sekitar seperempat juta tentara militer dan hanya 270 ribu polisi.
Bersamaan dengan itu, bagi banyak orang, ”nega­ra”­yang tipis itu
belum merupakan sosok yang utuh. Ia belum hadir sebagai se-
buah struktur dengan seperangkat aparat yang efektif menyen-
tuh kehidupan sosial. Ketika jalan macet, KTP hilang, utang tak
dibayar, kami sering tak tahu siapa yang akan membereskan itu
sampai tuntas. Negarakah? Jika Tuan seorang Mimi, ”Negara”
adalah person-person yang bisa ia ketuk pintunya di rumah.

Dan semuanya kian rancu, ketika otoritas di balik pintu itu
ternyata bisa diperjualbelikan. Tuan tahu apa yang terjadi karena
itu? Negara, yakni kekuasaan milik publik, berubah. Pri­vatis­asi
yang serong telah berlangsung. Pada saat itu, Republik pun run-
tuh, tanpa diumumkan, tanpa jerit dan gelegar. Bahkan kejadian
itu disembunyikan. Dan runtuh pula sebuah kehidupan bersa-
ma, di mana orang bisa saling percaya, di mana konflik dikelola­
dengan damai dan tak berat sebelah. Yang ada: sebuah labirin
gelap kekuasaan-kekuasaan pribadi.

Itu sebabnya Mimi melontarkan sepatu. Benda itu tak akan
membuat kepala pak hakim benjol. Perkara itu tak akan diperiksa
lebih jauh. Mimi akan kehilangan 50 persen pelindung kakinya.

Catatan Pinggir 7 129

http://facebook.com/indonesiapustaka SEPATU

Uang Rp 76 juta itu tak akan kembali. Ia sendiri dihukum.
Tapi bukankah sepatu itu satu-satunya alat ekspresi yang ada

padanya—benda yang harus dilontarkan, seakan-akan sebagai
laku simbolik: ia semula mengenakannya agar bersih, pantas,
dan aman, tapi ia ternyata berada di gedung mahkamah yang tak
bersih, tak pantas, dan tak aman. Bukankah sepatu Mimi yang
terlontar pada hari itu bisa ditafsirkan se­bagai­penunjuk kontras
yang merisaukan itu, Tuan Hakim?

Tempo, 1 Februari 2004

130 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka HOROR

KETIKA Akbar masih menyandang nama kecilnya, Mu-
hammad, ia telah memperoleh gelar Ghazi, sang ”pe­
nyem­belih kafir”. Pada umur 14 tahun, pangeran itu
di­undang mempertunjukkan keberanian dan keterampilannya,
dan ia lulus ujian: ia tebas leher seorang tahanan Hindu dalam
sekali tetak.

Keturunan Jengis Khan, keturunan Timurleng, pengendara­
kuda jalang, pelaga senjata yang cekatan, yang bermain polo ka-
lau perlu di malam hari (untuk itu ia ciptakan bola yang bisa ber-
sinar bila cahaya tak cukup), ia sanggup berjalan kaki 60 kilome-
ter tanpa lelah. Semua disiplin dan energi itu ia gerakkan ketika
ia, di tahun 1560, pada umur 18, mulai memerintah tanpa di-
dampingi, dan menjadi maharaja ke-3 dalam dinastinya.

Ketika itu, imperium Moghal cuma seperdelapan India yang­
sekarang. Dengan semangat moyangnya, ia perluas tanah itu
hampir ke seluruh Tanah Hindustan.

Tapi luas itu datang bersama kompleksitas. Akbar tahu kena-
pa: ia, seorang muslim, pendatang keturunan asing, me­merin­
tah sebuah mayoritas yang tak seiman, di sebuah sub-kontinen
yang sejak masa purba melahirkan pelbagai kitab dan orang suci.
Bahkan agama Kristen pun mulai datang, dan para padri Katolik­
telah tiba di Delhi. Hindustan masuk ke dalam sebuah transisi
yang tegang.

Akbar tahu, tapi lebih dari itu ia berpikir, ia merenung: ada
yang merisaukan, ketika manusia berdesak-desak dengan­kesuci­
an masing-masing. Ia berusaha keras: ia menikah dengan­­putri-
putri Rajput yang Hindu, ia menyetujui anjura­ n pengikut­Jain-
isme agar berhenti berburu, ia beri kebebasan kepada­misi Yesuit
untuk menyiarkan agama, ia kenakan baju suci Zoroaster­dengan

Catatan Pinggir 7 131

http://facebook.com/indonesiapustaka HOROR

takzim.
Tapi ia tak puas. ”Pikiranku tak tenteram di tengah ke­aneka­­

ragaman sekte dan keyakinan,” katanya. ”Terlepas dari kegemi­
lang­an lahiriah ini, dengan rasa puas apa... aku dapat menjalan­
kan­kendali atas imperium ini? Aku menanti orang-orang rendah
hati yang berprinsip untuk memecahkan kesulita­ n dalam hati
nuraniku....”

Maka diundangnya para arif dan aulia dari pelbagai kaum ke
majelisnya. Di hari seperti itu, jam panjang diisi pembahas­an ten-
tang pokok ilmu, rahasia wahyu, kejadian aneh dalam sejarah,
atau keganjilan alam. Wakil dari agama-agama juga hadir. Ak-
bar berada di tengah mereka, tapi juga di luar mereka. Ia seorang
rasionalis, dan ia memandang agama dengan persp­ ektif itu.
”Keunggulan manusia,” katanya, ”terletak dalam mutiara akal.”

Tak semua tamunya tenteram mendengarnya. Terutama keti­
ka Akbar melangkah lebih jauh. Pada suatu hari, baginda meng­
undang orang-orang terpelajar dan juga komandan militer di ko-
ta-kota sekitar Agra untuk datang ke ibu kota. Di hadapan hadir­
in yang terhormat itu, ia berpidato: ”Satu hal yang buruk, bagi
sebuah imperium yang berada di bawah titah satu pemimpin,
bila anggota-anggotanya berbeda pendirian satu sama lain ....
Sebab itu kita perlu membuat mereka menjadi satu, tapi dengan
satu cara hingga mereka jadi ”satu” dan juga ”semua”—dengan
keuntungan: tak ada yang hilang di sebuah agama, sementara ia
mendapatkan yang lebih baik dari agama yang lain.”

Tampaknya, kerinduan akan perdamaian dan toleransi, juga
keyakinan akan rasionalitas—dan tentu saja politik keamanan
dan integrasi—membuat Akbar mengambil keputus­an yang luar
biasa: hari itu ia mendirikan sebuah agama baru. Ia beri nama
”Din Illahi”, yang kurang-lebih berarti ”agama Tuhan”. Ia sendiri
yang akan memimpin agama baru itu. Konon ibadah yang harus
dijalankan para pemeluknya merupakan­sebuah sintesis dari pel-

132 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka HOROR

bagai aturan—yang sedikit banyak campur-aduk.
Tapi kita tahu, Din Illahi tak berhasil menggantikan Islam,

Hindu, Buddha, Zoroaster, Kristen, atau apa pun. Hanya bebera­
pa ribu orang bergabung ke dalamnya. Umurnya tak lebih lama
ketimbang Akbar. Cuma sebuah bangunan di Fathpur-Sikri saja,
kenisah agama yang berangkat dari dan untuk impian perdamai­
an itu, yang terus tersisa sampai hari ini.

Tentu, perdamaian tak dengan sendirinya berarti pelebur­an.
Tapi lebih dari itu saya kira ada satu hal pokok kenapa Din Illa-
hi tak bertahan: Akbar tak melihat bahwa iman bukanlah mem-
percayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Jika
iman bersentuhan dengan yang kudus, maka persentuhan itu
bukan sebuah jabat tangan, sebab di sana ada juga horor—se-
perti yang dilukiskan Bhagawat Gita, ketika Arjuna menyaksi-
kan Sang Wishnu hadir di dekatnya menjelang perang besar yang
mengerikan itu: ”Masuk aku ke dalam ta­ring­mu,” katanya geme­
tar, merunduk di depan sang Dewa yang menampakkan diri.

Seolah-olah Amir Hamzah, penyair sufi itu, merupakan­
geman­ ya: ”mangsa aku dalam cakarmu”, atau seperti kata Chairil­
Anwar, ”aku hilang bentuk, remuk”, atau seperti kata Yeremiah­
kepada Tuhan, ”Kau telah gagahi aku”: Tuhan tak datang ke
dalam hati kita dengan jaminan bahwa yang akan ada hanya ke-
tenteraman, sebuah proteksi yang mutlak, dan semua hal bisa di-
mengerti.

Tapi Akbar hidup di sebuah istana yang aman dan serba terse-
dia, dan ia telah membuktikan diri bahwa ia bisa menguas­ai apa
pun—Hindustan, tubuhnya sendiri yang terlatih, perk­ ara politik
dan filsafat yang majemuk. Ia merasa beruntung memiliki mu-
tiara itu: akal. Seandainya ia lebih dekat ke kes­engs­araan, lebih
kecut menghadapi nasib, lebih rusuh hati melihat kesewenang-
wenangan dan penyaliban, atau seandainya ia ada di abad ke-20,
seperti Simone Weil, ia mungkin akan tak menawarkan iman

Catatan Pinggir 7 133

http://facebook.com/indonesiapustaka HOROR

ibarat seorang arsitek menawarkan desain bangunan yang rapi.
”Keindahan dunia terletak di ambang labirin,” kata Weil, fi-

losof perempuan yang mati muda dengan tubuh lapar itu. Sese­
orang yang tak berhati-hati dan masuk beberapa langkah ke
dalamnya, kata Weil pula, suatu saat tak mampu menemukan ja-
lan kembali. Jika ia tetap berani, ia akan tiba di pusat labirin itu.
”Dan di sana, Tuhan menunggunya, untuk mengerkah­nya,”­tu-
lis Weil. ”Lalu ia akan kembali, tapi telah berubah menjadi lain.”

Tempo, 8 Februari 2004

134 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka PILIH

NYONYA A datang ke kampung kami dan berkata, ”Pi­
lihl­ah aku!” Saya kagum. Sebab saya tak termasuk mere­
ka yang berkata, ketus, ”Kok, ambisius banget, sih.”
Seorang calon anggota parlemen, juga seorang calon presi­den,
memang tak bisa membisu, bukan? Ia harus menjajakan diri. Ia
harus membujuk, bahkan seperti meminta, orang ramai.­Ia ingin
mereka mendukungnya, bukan? Tak perlu berp­ ura­-pura. Bersi-
kap pura-pura menunjukkan seorang pemimpin ingin jadi mem-
pelai yang dilamar. Padahal dialah yang harus jadi pelamar. Dan
dengan jerih payah.

Siapa yang tak pernah merasakan jerih payah itu tak akan me­
rasakan bagaimana berartinya suara orang lain. Siapa yang tak
merasakan bagaimana pentingnya demos yang bebas­menentukan­
pilihan tak akan pernah menghormati mereka. Dalam demokra-
si, kekuasaan adalah sejenis utang. Si pemegang kuasa sadar bah-
wa kelak ia akan ditagih. Kekuasaan adalah proses dan hasil ta-
war-menawar.

Nyonya A datang dan bilang, ”Pilihlah aku!” Tidak, ia tidak­
pantas dicemooh. Soalnya bukanlah ia terlalu berambisi atau ti-
dak. Soalnya: apa yang ia tawarkan?

Ia menjawab, ”Sebuah Indonesia yang lebih baik.” Banyak­
orang memang tergugah mendengar itu. Sebab pada titik inilah
politik dan demokrasi—dan khususnya pemilihan umum—tak
lagi hanya bisa diterangkan dengan kiasan dunia perd­ aganga­ n.
Ada yang lebih dari itu. Sebab pemilihan umum, apalagi pada
2004, adalah percobaan bersama untuk merebut kembali apa
yang dikatakan oleh Nyonya A, tanpa berpikir panjang, ”sebuah
Indonesia.”

Bukan karena Republik sedang diancam keretakan teritorial.

Catatan Pinggir 7 135

http://facebook.com/indonesiapustaka PILIH

Lebih serius ketimbang pecahnya wilayah adalah Indonesia yang
sedang kehilangan ”komunitas”.

Sebuah komunitas tumbuh dari ethos bersama yang menggu­
gah hati dan membangun kepercayaan. Tapi dalam hal keperca­
yaa­ n itulah—”kepercayaan” dalam arti trust—kita kini rusak be-
rantakan. Kini saya cenderung mencurigai orang lain dan orang
lain mencurigai saya. Bukan karena semua orang saling memata-­
matai seperti dalam suasana totaliter. Kita jadi begitu karena kita
selalu waswas: benarkah ada seseorang yang tidak mengambil apa
yang jadi hak ”Indonesia” untuk dirinya sendiri? Dengan kata
lain: mencuri?

Pada tahun 1967, sepatah istilah diperkenalkan oleh Nono An-
war Makarim di Harian Kami: ”kleptokrasi”—sebuah pemerin-
tahan yang akhirnya tersusun dari sosok dan sistem para maling.
Ia berbicara tentang Indonesia, tentu. Sejak lahir­sampai dengan
mati, kita memang kepergok dengan orang-orang yang pernah
cu­rang dan mungkin akan selalu curang: orang di kantor kelu-
rahan, orang di kantor polisi, orang di kantor penghulu, petugas
administrasi sekolah, bahkan juga guru, pengacara, dan pasukan
pem­ adam kebakaran. Dan kita tahu: pada saat pasukan branwir
kota praja hanya mau mem­ adamk­ an api bila dibayar tersendiri
oleh seorang warga yang rumahnya jadi korban, pada saat itu ”ko-
munitas” kita raib, ”Indonesia” kita tenggelam.

Kini Nyonya A datang, dan kita akan berseru, seperti sajak
Taufiq Ismail itu berseru, ”Kembalikan Indonesia kepadaku!” Bi-
sakah ia melakukannya? Ia mengangguk, ”Sulit, Bung, tapi insya
Allah.”

Saya kira ia jujur. Sebab kini Indonesia juga mengalami frag-
mentasi lain. Masyarakat jadi modern, dan masalah yang berbe-
da-beda muncul ke permukaan sekaligus—terkadang secara tak
disangka-sangka, seperti ketika penyakit ayam jadi wabah flu bu-
rung dan Amrozi jadi teroris. Setiap segmen dalam masyarakat

136 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka PILIH

seakan-akan meminta perhatian untuk diperbaiki, dan kita—
termasuk Nyonya A—akan dirundung pertanyaan: dari mana
harus dimulai?

Ia menawarkan diri akan membawa ”sebuah Indonesia yang
lebih baik” bila ia dipilih. Tapi juga kata ”yang lebih baik” masih­
butuh pertimbangan lebih jauh, apa ukurannya, bagai­mana­
mengukurnya. ”Baik” dan ”lebih baik” mungkin memerlukan
sebuah teori.

Namun kita tahu pada masa ini sebuah teori sering terd­ engar­­
seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan­bahwa­
selalu ada hal kecil yang tak tercakup. Pada masa ini kita tak bisa
sepenuhnya berharap ada hal yang universal yang akan disetujui­
semua orang, sebagai dasar dan tujuan bersama­yang men­ ye­bab­
kan teori itu sah. Sebab itu ada yang men­ ganjurkan:­mari kita hi­
dup dengan ironi. Kita tak terlalu ngotot dengan­satu premis. Se-
lalu harus ada jarak dengan kesimpulan dan dugaan kita sendiri.
Kita hanya perlu berpegang prinsip, ”Jangan­kejam kepada yang
lain,” seperti resep Richard Rorty. Kita tak perlu pongah bahwa
kita tahu sebelum bekerja. Praxis harus dibebaskan, dan hasilnya
bahkan kalau bisa harus segera bisa dinikmati.

Tapi itukah yang ingin kita dengar dari Nyonya A? Ada yang
menganggap bahwa selama ”sebuah Indonesia” belum lagi ”se-
buah Indonesia”, kita tak berhak bermain-main dengan­ ironi.
Kita perlu sebuah agenda yang kukuh dan tak mudah lekang di
dalam fragmentasi dan ketidakpastian sekarang. Kita perlu pu­
nya­satu jawaban yang padu untuk segala macam pertanyaa­ n, ter-
masuk yang kelak datangnya tak terduga. Singkat­nya, kita perlu­
Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang akan memberikan jawaban
semacam itu.

Tapi bisakah Nyonya A mampu mewakili Tuhan dan ja­wab­
ann­­ ya? Ia datang dan mengatakan, ”Pilihlah aku!” Arti­nya, saya
kira, ia tak menganggap kemampuan dirinya untuk­memimpin

Catatan Pinggir 7 137

http://facebook.com/indonesiapustaka PILIH

sebuah bangsa ditopang oleh sebuah jawaban agung. Ia sadar ia
akan naik bila didukung oleh orang ramai—yang tak semuanya
dahsyat, sebab pasti ada juga yang pelupa,­tak terlalu tinggi IQ-
nya, tapi ramah meskipun terkadang dengki dan lalai bersembah­
yang.

Dan ketika ia bilang, ”Pilihlah aku!” ia tahu ia tak akan ada di
sana buat selama-lamanya. Itu sebabnya pemilihan umum me-
mang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga
kerendahan hati: ”sebuah Indonesia yang lebih baik” selamanya
akan jadi sebuah janji—tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.

Tempo, 15 Februari 2004

138 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka PARRHESIA

JIKA Indonesia datang hari ini ke pengadilan, besok ia akan
pulang dengan kaki patah. Tak ada yang akan menyelamat-
kannya. Keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan
hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang se-
buah kebersamaan. Dengan itu, di atasnya sebuah negeri akan
tumbuh sebagai sebuah negeri. Tanpa itu, hanya akan ada kemah-
kemah peperangan, sebuah situasi yang digambarkan Hobbes
den­ gan sikap dingin: di sanalah hukum dibuat oleh mereka yang
punya kekuasaan, bukan oleh mereka yang punya kebenaran. Au­
toritas, non veritas facit legem.

Kini itulah yang sedang terjadi di Indonesia: sebuah negeri­
yang sedang patah-patah. Humus yang menyuburkan kebersa-
maan itu begitu tipis dan semakin habis. Hakim-hakim tak bisa
dipercaya lagi, apalagi jaksa dan polisi. Para pengacara­hanya di-
anggap sibuk memilih warna dasi dan datang ke mahkamah se­
ba­gai makelar, mempersiapkan jual-beli tuntutan dan keputus­
an.

Orang mulai mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini,
demokrasi tak menolong. Statemen ini bukan sesuatu yang baru.
Ia sudah merupakan cemooh kaum aristokrat dan pendukung
olig­ arki di zaman Yunani kuno. Kata mereka, demos,­atau rakyat
kebanyakan (yang dalam bahasa Indonesia juga disebut ”orang
ram­ ai”), memang hanya sejumlah suara riuh ramai. Di abad ke-4
sebelum Masehi seorang bernama Isocrates telah menulis ketus
ke arah para demokrat: ”Untuk urusan pribadi, tuan datang ke-
pada mereka yang lebih cerdik pandai untuk mendapatkan nasi-
hat, tapi untuk urusan Negara, tuan mencurigai dan tak menyu-
kai orang yang punya karakter. Malah tuan lebih suka menjalin
hubungan dengan tukang pidato yang paling sakit jiwa.”

Catatan Pinggir 7 139

http://facebook.com/indonesiapustaka PARRHESIA

Tukang pidato seperti itu (katanya kini banyak di partai-
partai politik dan parlemen) tentulah tak akan bisa diharapkan
memperbaiki keadaan. Sebab politikus pun, sekarang—dengan
mobil baru, rumah baru, dan perjalanan ke luar negeri yang sarat
bekal, dan tanpa tahu dari mana mereka mendapatkan semua
itu—sudah dianggap jadi bagian dari autoritas, kekuasaan, bu-
kan veritas, kebenaran.

Tapi apa gerangan ”kebenaran”? Apa gerangan ”keadilan”?
Bagaimana mungkin itu didapat oleh orang ramai? Bagaimana­
pula itu diperoleh para orator jelek itu? Namun saya kira, di sini-
lah justru jawaban kenapa demokrasi penting—selama demokra-
si berada bersama parrhesia, sebuah kata kuno untuk menggam-
barkan ”kemerdekaan bicara”.

Menarik, bahwa kata itu datang dari dunia teater. Euri­pides­di
abad ke-4 sebelum Masehi memperkenalkannya dalam keenam
lakon yang ditulisnya. Dalam lakon Perempuan­-Perempuan
Phoe­nisia, sang ibu, Iocasta, bertanya kepada anaknya, Polynei­
ces, yang datang dari tanah buangan untuk merebut takhta dari
kakaknya: Apa yang paling menyakitkan selama hidup di ta-
nah pengasingan? Jawab Polyneices: ”Yang terburuk ini: kemer­
dekaan bicara tak ada.”

Satu segi baru dikemukakan Euripides dalam lakon Ion. De­
wa Apollo, yang memerkosa seorang perempuan, tak meng­akui
anaknya yang lahir dari perbuatan itu. Sang dewa diam. Tapi
toh manusia kemudian menyimpulkannya sendiri, ketika orang
datang bertanya kepadanya. Jawaban itu memang ternyata dusta,
tapi satu proses telah dimulai. Seperti diutarakan Michel Fou-
cault tentang parrhesia dalam Ion, yang terjadi adalah ”pencari­
an tahu dengan cara interogatif”, bukan dengan diam menunggu­
jawab sang dewa dalam bentuk orakel yang biasanya remang-
remang. Dengan melalui tanya-jawab, yang gelap pun menjadi
terang.

140 Catatan Pinggir 7

http://facebook.com/indonesiapustaka PARRHESIA

Teater adalah sebuah dunia di mana percaturan tanya dan ja-
wab menjadi alasan hidup. Dari sini suspens tumbuh, dan dari
sini gerak tampak. Tapi lebih dari itu, teater adalah sebuah arena,
tempat manusia tampil sebagai makhluk yang harus memandang
apa yang terbatas dengan sudut pandang yang terbatas. Teater­
adalah seni tentang perspektif. Tapi pada saat yang sama, dari
perspektif yang dibentuk oleh tubuh dan posisinya, ada proses ke
arah yang tak terbatas itu.

Teater juga sebuah dunia di mana bahasa menunjukkan se-
jarahnya yang tak lurus dan riwayatnya yang tak sepenuhnya te­
rang-benderang. Bila bahasa adalah sesuatu yang 100 persen­ber-
sih dan transparan, teater akan berhenti. Di sini hidup tak dapat
dibayangkan sebagai wujud matematik. Bahasa akan senantiasa
gagal, atau separuh gagal, tapi ajaib: manusia tak selamanya harus
saling menggembok mulut. Bisu bahkan sesuat­u­yang seperti ti-
tik hitam dalam geometri: di sana, semuanya berhenti.

Maka yang penting bukanlah jaminan akan datang solusi,
bukan pula garansi bahwa akan terbit kebenaran. Yang penting­
adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan un-
tuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adil—dengan sikap
ingin­tahu, ragu, juga gigih. Itu sebabnya mahkamah yudikatif
lahir. Ada pendakwa, ada pembela, ada hakim. Ketika hakim jadi
bisu karena disuap, parrhesia hilang.

Dengan demikian, memang kebenaran harus dilihat seba­gai
suatu yang hendak dicapai bukan dalam laboratorium. Mengu­
tip Foucault di sini menjadi relevan: ia membandingkan parrhe­
sia dengan pengertian yang datang kemudian, ketika modernitas­
mulai, yakni tentang evidence. Bagi pengertian ala Descartes
itu,­cocoknya keyakinan dengan kebenaran didapat dalam satu
peng­alaman dalam pikiran kita tentang evidence. Bagi orang Yu-
nani seperti dalam teater Euripides, kecocokan itu tidak di sana,
tapi dalam percakapan, dalam parrhesia.

Catatan Pinggir 7 141


Click to View FlipBook Version