The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by kantor, 2022-04-13 21:40:00

Kitab Jawa Kuno

Kitab Jawa Kuno

Desa satunya lagi bemama, Karangtalun yang membuka adalah,
Ki Candranala namanya, asal kelahirannya, dari desa Kahuripan,
dan Sang Suryanala itu, keduanya bersahabat erat, sudah seperti
saudara kandung, tiada lagi ada basa basi. Mereka membuka desa
saling berjauhan, tapi masih satu jalan/jalur, pada suatu hari, Ki
Suryanala tadi, membuka hutan baru dekat, dengan ladang yang
lama, baik dan subur tanahnya,Maksud Ki Suryanala, memperluas
ladangnya dan menanam, sampai di dekat randu hutan.

Di dekat randu hutan ini, lesun batu besar hanya satu, pohon randu
hutan meliuk di jurang dalam, pada saat dia sedang mencangkul,
Suryanala sampai di tengah, jarak antara randu hutan, dan lesung
batu, cangkulnya sang Suryanala, menumbuki pada batu besar, sebesar
tempayan. Segera digalilah batu itu, maksud Ki Suryanala, batu itu hen-
dak disingkirkan, dar! tempat itu, tak lama batu itu dapat diambiL diang-
kat dar! tempatnya, pada saat bawah batu dilihatnya, berlubang ditempa-
yannya itu, Suryanala terheran-heran melihatnya, begini kata hatin~.

2016Mungkinkah ini tanaman, oleh wong zaman dulu di sini, bukti

bahwa lesung batu ini, jadi iriku ini menemukan, tempayan ini bila

erpusdakawula ambil, di dalamnya isi harta karun, uang emas banyak sekali,

kelak lcajineman akan tahu, kawula mempunyai uang emas permata
indah, dikira kawula berbuat jahat. Seumpama aku lapor menemu-
kan, tentu ditanya siapa saksinya, pada saat dirimu menemukan

Pitu, lalu bagaimana jawabku, akhimya aku akan celaka, tetftp aku
ediadikira penjahat, lebih baik aku katakan, kepada Kangmas Candranala,

dasar dia adalah saudara karib, dan mahir dalam memberi jawaban.

MItu baik kujadikan saksi, penemuanku meski diminta, bagian
Alihdari itu terserahlah, asal diriku selamat, Suryanala setelah menemu-

kan, akal segera pergi, langkahnya dipercepat, sesampai di rumahnya,
Candranala sedang duduk di rumahnya, Suryanala lalu. Menyampai-
kan salam, Candranala segera, menjawab: Wa'alaikm salam, langsung
sajalah ke sini, Suryanala segera masuk, keduanya bersalaman, lalu
duduk teratur, Candranala bertanya, Bagaimana keadaan Adinda,
Suryanala menjawab, baik Kakangmas, Candranala bertanya pelan.

Sungguh heran adik datang pagi-pagi, adakah sesuatu yang
memburu-buru, Suryanala menjawab pelan, Iya Kangmas sungguh
penting, maka kawula datang kemari, hendak memberi tahu, pagi

tadi kawula, membuka ladang barn, mencangkul di antara dua pasul

lesung, randu hutan ini. Terbentur pada batu besar setempayan,

::;I.b,"" dl ,d,batu itu hendak kawula buang, setelah terangkat bawahnya, tanah
~"g,b"y, 'do rernp,y,", '.'.p ~rnb,g'"Y"1

I

Candranala selelah bulal hatinya, dalam usahanya memperdaya
sahabal, jadi baik tutur katanya, oh, Dinda saudaraku, HarIa ini
pemberian dari, yang menjaga gunung, Semeru ini, menyayangi
dirimu, dan kepada kepada diriku karena tinggal di sini, mendapal
hata karun ini. Harta ini sesungguhnya sangal suci, tak perlu lapor
kepada berwenang, tapi ini sebaiknya, jangan dibawa pulang, seka-
rang, bila dikelahui, oleh wong lain, yang tinggal satu desa, lentu
akan lersiar ke mana-mana, lama-lama amal suci akan men-sambikDla-
kan, diriku dan dirimu.

Bila dinda berkenan di hati, sekarang kemba!ikan saja, seperti
sedia kala, nanti malam kila kembali, sepi lalu kila ambil, dibawa ke
rumah, sedangkan yang harus menunggui, sehari ini saja, kawula
tilipkan kepada lemanku, yang menunggu randu hutan ini. Suryanala
menjawab lirih, kawula serahkan kepada Kangmas saja, asal selamal
sajalah, Candranala berkala, "Itulah kebijakan yang lerbaik, Nah
sekarang kembalikanlah, lernpayan tadi ke lempal semula, Suryanala

2016" dengan segera, mengembalikan lempayan ke asalnya, ditutupi lagi
dengan batu.
Nlawasa segera berkata !irih, wahai kawanku penjaga, randu
erpusdahutan ini, kawula minla tolong, kepadamu jagalah ini, limbunan
harIa karun, jagalah servua itu, sehari ini saja, jika diambil orang
selain, Suryanala jangan berikan. Bi!a ada wong yang mau mengam-
Pbi!, ikatlah kaki langannya, jangan pergi linggalkan lempal ini,
ediaitulah pesanku, Candranala selelah berkala begitu, kepada pohon
randu hulan itu, lalu mengajak pulanglkembali, Suryanala menurul
Msaja, lalu berp'isah ke ulara dan selalan, sudah jauh mereka berjalan.

AlihSuryanala lak berpikiran apa-apa, langkahnya langsung saja,

Candranala dalam perjalanannya, selalu tertegun dan terhenli, lalu
menyelinap di balik pohon, sebenlar kemudian memanjat pohon,
hendak menengok, kepada langkah Suryanala, sudah jelas dia
pulang, turunlah Candranala. Segeralah dia melangkah, menuju
harta lerpendam itu, tak lama sarnpailah ia, ke lempal galian bertutup
batu, lekas dibukanya tutup itu, lernpayan lalu diangkatnya, tutup
batunya, dikembalikan seperti semula, tembaga dipanggul dibawa
pulang, tak lama sarnpai ke rumah.

Candranala sangat girang hatinya, lempayan itu disimpannya
di dalam rumah, 13k kinucap siang harinya, sang menlari sudah
lerbenam, digantikan lerangnya rembulan, kebelulan bulan
pumama, sekilar pukul delapan malam, Candranala segera siap,
hendak pergi ketempal saudaranya, Kiyai Suryanala.

~10-4 --)J -------

Tak kinucap perjalanannya, ia sudah sampai di rumah, di bilik
Karangsari, Suryanala dipanggil, dari luar diminta keluar, Ki Suryanala
segera, menjawab segera keluar, pelan ia menjawab, marilah duduk
Kakangmas, masuk ke dalam rumah. Candranala menjawab pelan,
nanti saja dinda masuk ke rumah, mumpung sepi manusia kini, mem-
buru kebutuhan, meng;>mbil tempayan dulu Dinda, jangan sampai
ketahuan, Suryanala menurut saja, Berjalan dengan cepat sekali,
sesampainya di ladang timbunan, Candranala berkata.

Marilah Dinda lekas ambil, tempayan itu, segeralah Suryanala,
menyingkirkan batu penutup, tempayan tak ada, Suryanala terkejut
dan berseru, Duh Kangmas Candranala, liangnya kosong, tempayan
sudah tak ada di tempat, Candranala pura-pura marah, Ah Dinda
ini main-main. Tak baik mengajak bercanda, saudara tua diajak main-
main, Kalau tak ada ke mana perginya, Suryanala menjawab, Kataku
ini betulan, tidak main-main, memang betul sudah kosong, marilah
tengok sebentar, Candranala pura-pura menengok, baru menengok-

2016kan kepalanya saja.
Lalu membuang muka dan berkata kasar, tak kukira Dinda

erpusdaSuryanala, seperti itu pikirannya, katanya sudah jelas, menganggap

diriku saudara, di dunia dan akhirat, tetap menjadi saudara, saling
merelakan dunia, kini sampai begitu saja sudah lupa, terbuai harta

Pkarun.
edia2. Hatinya Sungguh Suci

MHatinya sungguh suci, tak suka menyakiti hati, kepada sesama
lihmanusia, ditakdirkan rela di dunia, takut terkena masalah, sekarang
Atampaklah nyata, hati tidak benar-benar tulus, seperti. Mangga dari

Betawi, bila tampak dari luar, bersih kuning warnanya, menarik
hati wong, yang belum tahu sebenamya, adat mangga di situ, tentu
berani menawar mahal.

Setelah dikupasnya, terkejutlah hatinya, temyata isinya penuh
berulat, bergerak-gerak ke sana kemari, wamanya kehitam-hitaman,
pembeli mangga itu tercenung, tak mengira begitu jadinya. Begitu
pula Dinda, Suryanala aku tak mengira, bahwa maumu begitu, lebih
baik tadinya, jangan berkata kepada,tetangga, meminta nasihat
segala, lalu aku memberi nasihat berharga.

Setelah jelas lalu tertarik, berlaku curang kepadaku, merasa enggan
barangnya dibagi, tempayan diambil sendiri, dikatakan sudah hilang
nah sekarang kawula minta, separuh bagian yang untukku. Suryanala
mendengar itu, kata-kata Candranala, duduk terdiam saja, lama tak

105

mampu berkata-kata, ia merasa sangat heran, menangis dalam hati,
bingunglah hatinya.

Lama-lama mendapat akal, terbukalah hatinya, karena sangat
sedilutya, Iirih ia berkata, oh Kangmas Candrana1a, kata-kata Kangmas
tadi, setelah lama kawula resapi, Kangmas hendak membunuh, kepada
diriku ini, perihal hilangnya tempayan, pertama yang menemukan
aku, lalu memberi tahu Kakangmas, sekarang malah menemui
sengsara. Mau Kangrnas bagairnana, janganlah seperti itu Kakang
mas, kawula wongnya bermaksud baik, seandainya aku mau, me-
ngambil tempayan ini, tentu sudah sejak pagi tadi, kawula tak mem-
beri tahu Kakangmas.

Pada saat kawula menemukannya, Kangmas belum tahu, tak
mau aku mengambil sendiri, tanpa saksi tanpa teman, kawula sangat
takut, lalu Kangrnas kuberi tahu, dan sekarang sudah tahu. Kang-
mas sudah tahu lalu, kawula ambil sendiri, mau carl sakit apalagi,
celakalah diriku ini, Candranala berkata, Dinda kawula bersungguh-

2016sungguh, tak hendak bikin masalah.
Lebih lagi mau membunuh, kepada dirimu itu, tak hendak lahir
batin, hanya dinda sajalah, milikilah tenggang rasa, memberi bagian

erpusdakepadaku, karena kawula ikut melihatnya. Pada waktu menemukan,

Suryanala berkata lantang, apa yang hams kawula berikan, barang-
nya sudah hilang, Astaga Kangmas ini, janganlah seperti itu, ber-

Ppegang teguh kepada hal yang tak ada.
ediaKi Candranala berkata lirih, mengapa kawula menuduh, karena

kawula telah menitipkan, kepada sahabat kawula, yang menjaga

Mrandu hutan, barang siapa yang mengambil, selain Suryanala.
AlihKawula suruh mengikatnya, Dinda telah mendengar sendiri, pesan-

ku kepadanya, Suryanala berkata lirih, Meskipun demikian, sebenar-
nya aku tidak mengambil, lebih baik kangmas bertanya.

Kepada yang anda titipi, bagaimana jawabnya, kawula ingin
mendengamya, membuang mukalah Ki Candranala, segera bangkit
dan pergi, tanpa minta diri lagi, Sedangkan Ki Suryanala. Begini
kata hatinya, Marah Kangmas Candranala, perihal hilangnya
tempayan ini, siapakah yang telah mengambilnya, apakah diambil
oleh dew a, ataukah hil~ng dicuri, oleh penjaga gunung inL
Suryanala lalu pulang, dalam hatinya sudah terima, tidak
mengeluhkan hilangnya, tempayan; dihiburnya hatinya, sekian dulu
Suryanala, tersebutJah perjalanan, Candranala sudah sampai rumah.

Atas kehendak Tuhan, hati CandranaJa, tidal< tenteram, hatinya
selalu berdebar-debar, khawatir dan gusar, tidak enak duduk,.untuk

106 !

/
tidur pun tidak dapat. 'rerkena kutukan, dari harta yang bukan
haknya, sampai ia punya dugaan; Mungkin Suryanala, mengatakan
hal itu kepada wong lain, tetangganya banyak, ada yang memiliki
kepandaian. Lalu akan mempengaruhi, menyuruh menggugat kepa-
da negara, melapor kepada penguasa tertinggi, mengatakan yang
sebenamya, perihal hilangnya tempayan menuduh, kepada e1iriku
yang mengambilny.a, karena berlaku jahat.

Penipuan halus seperti itu, tentu diriku akan kena, perkara keja-
hatan besar, ditangkap oleh penguasa, rumah ini e1igeledah, semua
barang akan ditemukan, bagaimana aku memungkirinya. Belum me-
nikmati terpaksa menjaeli, kuli yang tak mendapat nafkah, dan dipak-
sa bekerja, lebih baik aku mendahului, menggugat Suryanala, tentu
e1irinya yang akan mendapat, perkara sebab dituduh berlaku jahat.

Jika kawula mendahului, menggugat kepada negara, menuduh
kepadanya, seumpama Si Suryanala, menggugat tentu tidak jadi,
karena kawula lebih dulu menggugat, demikian kebiasaan negara.

2016Penggugat tentu dikira, mustahil berbuat jahat, karena telah berani

menggugat, sedangkan yang menggugat kemudian, biasanya tidak

erpusdae1iterima, disangka wong yang mau mengacau, berbuat tipu muslihat.
Sedang yang kujadikan saksi, jin yang kujadikan sahabat, yang
menempati randu hutan, kawula titipi untuk menjaga, meski hanya
satu saksi, karena sebangsa makhluk halus, kawula kira akan diper-

Pcaya. Tampaknya kawula akan berhasil, menerapkan akal dusata,
ediasetelah bulat hatinya, dalam usahanya bertipu muslihat, agar tidak

diketahui, lalu memanggil saudaranya, lelaki bernama Pedutnala.

MTak lama kemudian datang, Pedutnala sampai di hadapannya, duduk
Alihsapan di balai-balai, Candranala berkata, dinda mengapa engkau,

kawula panggil tengah malam, sebab sangat perlu sekali. Dinda
engkau kuberi tahu, pagi tadi Suryanala, datang ke rumahku ini,
perlu memberi tahu, dia mengatakan kepadaku, bahwa baru saja
menemukan, tempayan terpendam eli dalam tanah.

Saya disuruh menjaeli saksi, hasil temuannya di ladang itu, lalu
kawula ke ladangnya, melihat isi tempayan, harta semua dati emas,
lalu kawula memperdayakannya, akhimya barang itu ada padaku.
Itu jangan kau katakan, kepada siapa pun juga, hanya untuk dirimu
sendiri, yang tahu rahasiaku ini, Pedutnala menjawab, Apa yang
menjadi kehendak, Kangmas saya hanya menurut saja.

CandranaIa berkata lirih, Itulah dinda maksudku, kawula hendak
menggugatnya, kepada kajineman negara, engkau yang menjaeli,
jin yang tinggal di randu, hutan yang kutitipi harta. Bila ada yang

107

bertanya, siapa yang berhak atas tempayan, katakan kawula yang
berhak, bila menanyakan siapa pencurinya, katakan: Suryanala,
sudah jangan lain katamu, Pedutnala berkata. kawula tinggal
dimana, tentu akan selalu tmapak, pohon randu hutan itu, kalaupun
ada cabangnya, tentu sangat tinggi, bila tinggal di belukar, jaraknya
agak jauh. Candranala berkata lirih, bersembunyilah di tengah
pohon, randu hutan yang besar itu, Pedutnala menyahut, kawula
tidak dapat, masuk ke dalam pohon itu, tertawalah si Candranala.
Lalu berkata lirih, Engkau ini kalah tua, dan kalah akal, maka ja-
nganlah suka membantah, kepada saudara tua; Pedutnala menjawab,
Memang betul kata Kakangmas.

Candranala berkata pelan, Mari kita mulai bekerja, perlatan semalam
ini, jangan diketahui wong lain, rahasiakan secermat-cermatnya,
Pedutnala berkata lirih, kawula menurut sekehendak Kakangmas.
Candranala menguraikan rencananya, perihal tempat untuk bersembu-
nyi, membua goa di bawah, pokok kayu randu hutan, lalu menutup

2016liangnya, dari bawah sebesar orang duduk, Pedutnala sudah paham.

Segeralah keduanya berangkat, tak kinusap perjalanan mereka, sudah

erpusdasampai ke tujuannya, yakni pohon randu hutan, pohonnya menjo-

rok ke jurang, kiri kanan banyak semak belukar, yang tampak lebat
dan gelap.

Candranala lalu menyusup, ke tengah semak belukar, dengan

Prapi mereka bekerja, menggali tanah menuju, tepat dibawah randu,
ediatak killucap caranya, kini mereka sudah selesai. Tempat untuk saksi,

diatur sangat cermat, sungguh mengherankan, akal Candranala,

Mperalatan sudah jadi, lalu berpesan kepada saudaranya, yang ber-
Alihnama Pedutnala.13egini dia berpesan, Dinda bila kawula menghadap,

menyampaikan gugatannya, Suryanala kepada yang berwenang,
engkau ikut aku, jangan berpisah denganku, di mana saja berada
dekatlah.

Supaya engkau mendengar, apa yang kawula perintahkan, bila
diperlukan, engkau ditanya sebagai saksi, segeralah mellarik diri,
segeralah masuk persembunyian, perhatikan pesanku baik-baik.
Sudah hanya itu pesanku, Pedutnala berkata, Ya, Kangmas jangan
khawatir, apa sekehendak Kakangmas, kawula sudah paham, akan
kubela sakit sampai mati, demi Kangmas seorang. Setelah semuanya
beres, Suryanala dan 'Idiknya, Ki Pedutnala menyertainya, menggu-
gat kepada yang berwenang, yang menjadi kajineman, pemimpin di
tempatnya, Candranala dan Suryanala. Berkedudukan sebagai panewu,
menguasai seribu, ada pun namanya, Ki Ageng Kartikasastra,

108 I
)

memahami segala kesulitan, jika bertanya pelan dan halus,
pemeriksaannya teliti sekali. Menguasai empat rangga kajineman,
tiap rangga menguasainya, tujuh demang panatus, Pada suatu hari,
adat rapat para rangga, dan gara demang berkumpul, di pendapa
Kartikasastra.

Ki Ageng duduk di muka, di dalam pandapa, rangga dan demang
duduk di hadapan, melaporkan perkara, yang sudah mereka sele-
saikan, tiba-tiba datanglah, Candranala ke hadapannya. Naik ke
serambi pendapa, duduk bersila di belakang, para demang kajineman,
Ki Ageng Kartikasastra, dengan Iirih bertanya, Wahai wong mana·
engkau ini, dan siapa namamu. Candranala menjawab, kawula
termasuk abdi bawahan tuan, petinggi pagedongan, di kaki gunung
Semeru, bernama Candranala, dari dukuh Karangtalun, kedatangan
kawula ini.

Hendak melaporkan, untuk diproses perdata, dahulu kawula
mempunyai, barang banyak jenisnya, semuanya dari emas, sedang-

2016kan ujudnya, akan kawula uraikan berikut. Berupa jamang model

lama, harganya tiga ratus, yang kedua kalung yang ketiga, pend-

erpusdaing dan pengikatnya, harganya enam ratus, lebih lima puluh ru-

piah penuh, lima macam gelangkana. Seharga dua ratus, yang ke-
enam kelat bahu, juga seharga dua ratus, ketujuh yakni anting-
anting, seharga seratus yang kedelapan, badong seharga tiga ratus,

Pkesembilan yaitu keroncong.
ediaSeharga juga dua ratus, yang kesepuluh berupa, cincin bulat

seharga, lima ratus rupiah, kecuali harta emas, uang emas banyak-

lih Mnya, juga seratus rupiah. Semua bila dijumlahkan, dua ribu sembilan
Aratus, lebih lima puluh rupiah, semua itu kawula, simp an di

tempayan, kawula pendam di bawah randu, besar di kaki gunung.
Dan kawula juga menitipka, kepada sahabat kawula, makhluk

halus dipohon randu, saat ini tempat itu, dibuka oleh Suryanala,
sudah kujadikan ladang, pendaman kawula tadi. Setelah kawula
lihat, tempayan sudah tidak ada, lalu kawula tanyakan, kepada
sahabat kawula Gin), yang tingggal di randu hutan, katanya telah
diambil, kawan kawula Suryanala.

Saya juga menanyai, kepada Dinda Suryanala, tetapi ia tak
mengakuinya, maka dari itu kawula, tak senang dan tidak terima,
barang kawula diambil, oleh dinda Suryanala. Kawula minta dikem-
balikan, ke tangan kawula, semuanya harus dari tangan, perintah
agung perdata, Ngabehi Kartikasastra, pada saat mendengar uraian, .
Candranala memutus persaudaraan.

109

3. Kaki Gunung Semeru
Adapun Ki Ageng Kartikasastra pada saat mendengar, laporan

gugatannya, Candranala hatinya terheran-heran, karena menggu-
nakan saksi jin, laJu katanya pelan. Npnti dulu, aku ingin bertanya
kepadamu, Di mana engkau dilahirkan, dan berapa umurmu,
Candranala menyembah, kelahiran kawula dari desa.
. Kahuripan itu asaJ leluhur, umur kawula lima puJuh dua, tahun
berjalan ini, Ki Ageng berkata lirih, kepada sekretarisnya lekas. Semua
perkataan Candranala ini, eatatlah dengan eermat, Penulis pun
menurut, segera menuliskannya, Ki Ageng bertanya lagi. Mengapa
engkau yang berasal, dari Kahuripan sampai menjadi, tinggal di
KarangtaJun, dan apa pekerjaanmu, dan apa yang kau lakukan. Kata
SuryanaJa; Maka kawula, berpindah pada waktu dulu, sepeninggalan
wong tua, saudara menggantikan, ayah, kawula berpindah desa.

Ke hutan di kaki gunung Semeru, lama-kelamaan banyak wong,
yang ikut tinggal di situ, kawula diangkat menjadi lurah, terus sam-

2016pai sekarang. Adapun yang menjadi penghidupan kawula, sejak keeil

sampai sekarang, hanya bertani pekerjaan kawula, membolak-balik
sawah ladang, menanam segaJa yang dapat ditanam.

erpusdaKi Ageng Kartikasastra bertanya halus, Pada saat engkau berpin-

dah, menuju dukuh KarangtaJun, apa saja yang engkau bawa, kata-
kan di hadapanku. Candranala sepada saat hatinya, lupa akan gu-
gatannya, mengatakan terus terang, pada saat kawula berpindah,

edia Pke desa Karangtalun. Membawa kerbau dua pasang, dan beberapa

jenis penuai padi, dan semua jenis benih, tanaman kaum tani, yang

Makan memakmurkan desa.
lihDan barang pakaian secukupnya, bagi rakyat keeil yang berke-

Aluarga, sekedar wong desa, Ki Ageng bertanya, berapa lama engkau

tinggal di desa. Dan apa barang yang yang telah kaubeli, CandranaJa
berkata lirih, sudah dua puluh tahun, yang kawula beli hanya, sapi
dan kerbau.

Masing-masing dUd pasang, serta, keris seperangkat, emas dan
subang dua pasang, untuk istri kawuJa, kecuali itu dari pakaian.
Kain pakaian wong desa, yang perlu saja tetapi, hanya itu laporan
kawula, Ki Ageng berkata tenang, KaJau begitu kamu berdusta. Kau
mengaku memiliki harta banyak, kau timbun di tengah hutan, dari
mana asaJnya, apakah dari mencuri, dan kemudian dicuri wong pula.
Candranala berdesir hatinya, sepertinya wong, yang luput diterkam
harimau, lama tak dapat berkata-kata, kemudian berkata dengan
tenang.

110 I

Barang itu tadi tak kawula jelaskan, sebab yang tuan tanyakan,
barang yang telah kawula beli, sendiri semuanya, sedangkan yang
hilang sesungguhnya. Berasal dari peninggalan leluhur, ayah
peninggalan kakek, kakek peninggalan dari piut, bukan hak kawula
sendiri, kata kawula ini tidak bohong. Ki Ageng Kartikasastra awas
melihat, dari tingkah laku, Candranala dalam hati, dalam tingkah
menunjukan, tampak kata-katanya berbohong. Wong bijaksana
pasti tahu, gelagat semu wong lain, dan solah tingkahnya, itu adalah
pantulan hati, bahwa dia bohong dan menipu.

Kartikasastra bijaksana melihat gelagat, lalu bertanya lagi, Tempat
randu hutan itu, kira-kira jauh mana, dari kedua dukuh itu. Dan sebe-
namya ikut wilayah mana, apakah ikut Karangsari, apakah ikut
Karangtalun, ataukah tugu pembatas tanah, dan dahulu dukuh.
Karangsari dan Karangtalun, dan apa batas desanya, yang dijadikan
dukuh, Candranala menyembah, bila waktu mendirikan desa. kawula
belakangan selisih dua tahun, tempat randu agak jauh, dari desa

2016Karangtalun, berjarak punggung puncak gunung, Ki Ageng berkata

pelan.

erpusdaBagaimana kamu bisa kenaI, dengan jin penunggu, pohon hutan

itu; Candranala berkata tenang, pada saat kawula hendak mendirikan
desa. Di Karangtalun kawula menyepi di situ, pada saat kawula
mendapat i1ham, untuk mendptakan desa, dan mau mengaku saudara,

Pdemikian asal mulanya. Ki Ageng Kartikasastra pelan berkata, Semua
ediakatamu, semua sudah kawula dengar, dan sudah kawula pikirkan,

sekarang pulang saja dahulu. Hari Senin lagi datanglah ke sini,

lih Mbawalah saksimu, agar lekas seJesai, bila saksi tidak datang, perkara
Adianggap batal.

Candranala berkata peJan, kawula mahan Ki Ageng, bab saksi
hams hadir, di hadapan tuan .di sini, kawula bawa tidak sanggup.
Sebab saksi makhluk halus di randu, permohonan kawula semoga,
ada kebijaksanaan tuan, memerintahkan agen kajineman, bila hendak
bertanya. Kepada saksi meminta penjelasannya, harap mengirim
utusan menuju, tempat pohon randu itu, bila tidak mau menjawab,
kawuJa rela dianggap kalah. Ki Ageng lama terdiam tak berkata, berucap
dalam hati, sungguh aneh wong ini, apa yang dikatakannya, kawuJa
tak menduga sarna sekali.

Adakah pohon randu dapat berucap, lalu berkata dengan tenang,
Balik sekarang pulanglah dahulu, Diijinkan lalu lekas pami!. Ki
Ageng Kartikasastra untuk memanggil, petinggi dari dukuh, Karangsari
yang bernama, Suryanala dengan segera. Lurah langsir lekas

111

berangkat, tal< kinucap di perjalanan, sudah sarnpai di dusun, Karangsari
di tempat, Suryanala langsir bertanya. Di manakah rumah kepala
desa, Kebetulan yang ditanya itu, Suryanala lalu menjawab, Ya
disinilah rumahnya, Lurah langsir bertanya lagi.

Adakah Suryanala di rumahnya, yang ditanya menjawab,
sayalah Suryanala, saudara persilahkan, marl kita duduk dulu. di
dalam rumah. Lurah langsir lalu turun, dari kuda lalu masuk, ke
dalam rumah dan duduk, seperti biasanya dua wong, saling bertanya
jawab. Setelah beramah tamah sekedamya, Suryanala bertanya lirih,
Tuan ini siapa, dan priyayi dari mana, dan ada perlu apa.

Lurah Langsir menjawab sopan, Kakangmas, kawula Lurah
Langsir, kawula ke sini diutus, oleh panewu kajineman, Kartikasastra
yang menyuruh. Memanggil saudara, marl berangkat bersama
kawula, Suryanala begitu mendengar, kata lurah langsir, terkejut
gemetar tubuhnya. Wajah pucat bagaikan mandi, berkeluh kesah,
Allah tobat ayah ibu, kakek nenek moyangku, lindungilah aku.

2016Setelah mengeluh dan menangis ia bertanya, Mengapa kawula

dipanggil, ada apa Mas Bagus, tolong jelaskan, lurah Langsir be.rkata.
Tuan dipanggil atas perintah agung, tuan dituduh mencuri, oleh

erpusdaCandranala lurah dukuh, Karangtalun, tempayan berisi, harta benda

serba indah.
Yang dipendam di tengah ladang, Nalsatya begitu mendengar,

Pmemukul dada dan mengaduh, Sungguh kejam sahabatku ini,
ediamengapa harus seperti ini. Apa yang akan dirasakannya, berbuat

khianat kepada, sahabat yang selamat, Lurah Langsir mendengar,

Msungguh kasihan dalam hatinya. Langsir bertanya, bagaimana
Alihsesungguhnya, Suryanala segera menjawab, Saat awal mula mene-

mukan, tempayan yang sekarang hilang, seperti yang sudah dicerl-
takan. Langsir berkata, bila begitu keterangannya, tuan jangan
khawatir, nanti akan kawula bantu, mengatakannya kepada Ki
Ageng, tuan bila ditanya. Agar tuan mengatakan seperti tadi, yang
berwenang tentu mempertiml1angkan, Suryanala : terima kasih, mari
kawula ikut, keduanya segera berangkat.

Tak kinucap perjalanan mereka, sesampai di hadapan Ki Ageng,
lurah Langsir segera melapor, dari awal sampai akhir, semua
diceritakan. Ki Ageng Kartikasastra begitu mendengar, laporan lurah
langsir, diingat dalam hatinya, sarna seperti kata hatinya, lalu berkata
tenang.

Suryanala, di mana kamu dilahirkan, dan berapa umurmu,
katakan yang sebenamya, penulis disuruh mencatatnya, Suryanala

112

~l....... _

menjawab pelan. Kawula lahir di desa Jatiraga, kawula tidak tahu
umur, karena kawula wong desa, bila punya anak, tak pemah me-
ngingat hari kelahiran. Ki Ageng berkata; Betul katamu, kawula
kira umurmu, baru sekitar lima puluh tahun, Suryanala menjawab,
Barangkali memang demikian. Tanya Ki Ageng, bagaimana awalnya,
engkau tinggal di Karangsari, Suryanala menjawab, setelah kawula
menikah, lalu memisahkan mendirikan desa.

Lama-kelamaan banyak yang ikut, mendirikan rumah di Karangsari,
kawula lalu diangkat, dijadikan petinggi/lurah, lama berdirinya desa
ini. Sudah dua puluh dua tahun, Ki Ageng bertanya tenang, Lebih
dulu mana desa, Candranala dan dirimu, Suryanala menjawab pelan.
Mulanya mendirikan kawula duluan, Ki Ageng bertanya lagi, apa
pekerjaanmu sehari-hari, yang kaujadikan sumber hasil, Suryanala
menjawab pelan.

Pekerjaan kawula sejak kecil, dan sampai sekarang hanya bertani,
menanam kapas jarak dan padi, mengolah timah sawah, Ki Ageng

2016bertanya pelan. Pada waktu engkau berpindah ke desa, apa yang

kau bawa, dan selama kau ini, di desa Karangsari, apa saja yang

erpusdasudah kaubeli. Suryanala pelan menjawab, Yang kawula bawa pada

saat berpindah, ke desa ini hanya sapi, dua pasang dan padi, dua
caenglbakul dan kerbau. Oua ekor serta biji-bijian!benih, adapun
selama ini, kawula. tinggal di desa itu, yang kawula beli hanyalah,

edia Ptombak keris, pedang, dan golok.
Ki Ageng Karlikasastra berkata tenang, Engkau kawula tanya

Msekarang, katakan yang sebenamya, betulkah engkau telah mencuri,
lihtempayan berisi barang berharga. Yang dipendam di bawah pohon
Arandu, yang baru saja tanahnya kaubuka, Suryanala menjawab,

dari awal sampai akhir, diurutkan sejak menemukan. Pada awalnya
kawula membuka hutan, untuk memperluas ladang kawula, pada
waktu mencangkul terantuk batu, kira-kira sebesar buyunglklen-
ting, batu laiu kawula gali. Oi bawah batu berlubang tampaklah,
tempayan tertutup tembaga, kawula takut untuk mengambilnya,
sebab tidak mempunyai saksi, kawula takut terkena perkara nantinya.

4. Empat Hal Milik Raja
Saya langsung saja, pergi ke Karangtalun memberi tahu, kepada

saudara saudara kawula, bernama Kangmas Candranala, yang
menjadi saksi penemuan kawula, Kangmas CandranaJa lalu, ikut
menuju ke ladang. Sesampai di tempat pendaman, batu lalu disuruh-
nya membuka, batu Ialu kawula angkat, tampaklah tempayannya,

113

lalu kawula ambil tempayan dari tempatnya, tutup tembaga dibuka,
berisi harta benda berwama warni.

Candranala Ialu berkata, menyuruh mendiamkan saja tidak lapor,
kepada penguasa negara, sebab ada empat hal, yang menjadi milik
raja, yang pertama hutan dan gunung yang kedua sungai. Besar
kecil dan samudra, yang ketiga seluruh jalan raya, lengkapnya yang
keempat, bumi rnilik raja,yang menguasai dunia, padahal saya mene-
mU,harta terpendam dalam tanah, yang kedua berada di tengah hutan.

Tentu disita negara, Kamu dan kawula tanpa hasil, barangkali
barang itu, pemberian yang kuasa, kepada dinda dan kawula, bila
diberikan wong lain, tentu akan mubazir. Demikian pendapat ka-
wula, Dinda jangan berkabar kepada wong, walau kepada sanak
saudara, jangan diberitahu, barangkali akan jadi ke mana mana,
lebih baik didiamkan saja, nanti malam kita ambil. Jika diambil
sekarang, tentu para tetangga akan tahu, mereka akan minta sebagai
hadiah, tak ayal lagi akan tersiar, kawula dan Dinda akan menemui
celaka, nah nanti malam saja, bila sepi wong kita ambil

2016Sedang yang kawula minta menunggu, bila hilang di hari itu,

kawula titipkan semua itu, kepada sahabat kawula Gin), jin yang

erpusdatinggal di pohon randhu, kawula menurut saja, Candranala lalu

berkata. Kepada pohon randhu hutan itu, kawula titip pendaman
tempayan ini, barangsiapa mengambil selain Candranala, ikatlah
j"n::;~n sampai pergi dari sini, awas perhatikan selalu, setelah titip

edia Ppesan begitu, lalu mengajak berpisah, kawula juga menu rut saja

lalu pulang, sepeninggalan kawula, kawula tak tahu, malam harinya

Mpada saat sepi wong, Candranala datang ke rumah kawula, memang-
lihgil manggil dari luar, kawula diajaknya mengambil
A Saya menurut saja, sesampai di tempat lekas lekas, kawula

disuruh mengambilnya, membuka tutup dari batu, setelah tutup
batu kawula angkat, tempayan sudah tidak ada, kawula segera
memberi tahukannya. Kepada Kangmas Candranala, perihal hilangnya'
tempayan Kangmas marah, serta katanya agak kasar, kawula disuruh
mengembalikannya, kawula bersumpah tak didengamya, mengingat
bahwa dia sudah berpesan, kepada temannya si jin itu.

Begini katanya, Siapa lagi kalau bukan Dinda, padahal sudah
kawula ingatkan, kepada si penjaga randu hutan. Jika diambil wong
lain, selain Dinda Suryanala, segeralah tangkap dan ikat. Kawula
lalu menyuruhnya bertanya, kepada yang dititipinya dahulu,
bagimana katanya, kawula hendak mendengamya, Candranala lalu
berdiri seraya marah, tanpa pamit pun pulang ke rumah.

114

Hanya itu yang dapa! kawula katakan, benar-benar muncul dari
hali sud, Wingnyasastra bertanya halus, pada saat Candranala,
menilipkan kepada jin pohon randu, bagaimana jawabnya, Suryanala
menjawab tenang. Dari yang kawula dengar, Candranala hariya
berkata sendirian, pohon randu tak menjawab, Ngabehi Wingnyasastra,
berkata, Bagaimana menurut perasanmu, apakah juga parcaya.
Kepada jin yang dititipi. Suryanala menjawab, oleh karena kawula
bodoh, ya, kawula menurut kawula apa yang dilakukan, oleh
Kangmas Candranala, karena dia telah bersumpah bersaudara, lelaki
di dunia dan akhirat maka kawula tak mencurigainya.

Bila ada yang hendak, bermaksud berbuat jahat salah satu,
barang siapa yang mendahului, tentu akan mengalami sengsara,
hanya itu yang kawula yakini, tentu lidak akan salah, Tuhan Yang
Maha Sud. Ki Ageng Karlikasastra, selama mendengar penjelasan
itu, dari Suryanala rasanya, dipikir memang masuk memang kata
Suryanala ini benar, dengan pelan ia berkata, Jadi kamu ini terkena

2016masalah.
Dianggaplah berbuat jahat, itu tentu akan dimasukkan penjara,

erpusdameskipun lidak benar benar melakukannya, juga akan dipenjarakan,

tapi engkau akan aku lindungi, kamu hanya akan kawula tahan,
jangan meninggalkan pendapa. Suryanala setuju, Tak akan kawula
membantah sampai mali, gantilah yang dikisahkan, perihal

PCandranala, setelah berbicara dengan Pedutnala, perihal dia akan
ediamenghadap, kepada kekajinemanan pemerintah.

Pada hari Senin legi, sudah rapi segala langkah rahasianya, pada

Msaat sudah liba waktunya, pada hari Senin berangkat Mas, Ngabehi
AlihKarlikasastra, dihadap pada hari Senin, oleh seluruh kajineman.

Rangga, demang duduk di muka, setiap hari kerja disuruh,
melaporkan kegiatan bawahannya, secara apa adanya, yang masih
diproses dan sudah usai, tiba liba datanglah, Candranala di
hadapannya.

Ki Ageng Karlikasastra, berkata, Candrana!a kau in!, menggugat
kepada kawanmu, yaitu Si Suryanala, sekarang ia ada di hadapan
kawula, perkaramu sudah kawula periksa, keterangannya jelas dan
terang. Tempayan itu bukan dirimu, yang berhak; sesungguhnya
hasil temuan, Suryanala penemunya, di daerah hutan yang
dibukanya, Suryanala lalu meminta kepadamu, untuk menjadi saksi
lalu kamu menasihatkan.

Banyak-banyak nasihatrnu, menyuruh mendiamkan saja jangan
lapor, dan jangan sampai diketahui oleh wong dari desa lain,

115

Suryanala menurut kepadamu, kamu lalu menitipkan kepada,
sahabatmu yang berupa jin. Candranala menjawab, sudah biasa
wong jahat mungkir, banyak akal untuk menutupi, cacat dirinya,
bila mengaku menemukan, siapa saksinya itu sebenarnya milik
kawula, yang kawula titipi. Pada saat hiIang pun tahu, yang men-
curi tempayan berisi emas, mengatakan kepada kawula, Suryanala
mengambil sahabat kawula, Suryanala petinggi di desa, Karangsari
maka, mau menegumya.

Ki Ageng Kartikasastra, bertanya pelan, Saksimu jin itu, apakah
itu, bagaimana wajahnya dan bagaimana ia dapat berucap, dan
maukah diajak bicara, dengan sembarang wong. Candranala men-
jawab, kawula tidak tahu sejenis apa, serta tak tampak wujudnya,
hanya gumamnya, sebagaimana bicara manusia, apa yang dikatakan
selalu benar, Ki Ageng berkata dengan tenang. Kalau demikian
katamu, perihal gugatanmu tak dapat diputuskan, harus dilaporkan
kepada atasan kawula, yakni pengadilan negara, sebab perkaramu

2016sungguh aneh, sekarang ikutlah aku, beserta Suryanala juga.
Ki Ageng Kartikasastra, berkemas hendak menuju kota, dukuti
empat wong pesuruh, mereka berangkat naik kuda, Candranala

erpusdaSuryanala di belakang tak kinucap perjalanannya sesampainya

dikota. Langsung menghadap wedana, yang bernama Ki Ageng,
Darmawidya yang mahir, menguasai segala ilmu, bijaksana dan baik

P-~ hati, disegani lawan lawannya, dihormati rekan rekannya. Ki Ageng
ediaDarmawidya, tiap Senin Kemis dihadap di pendapa, dilapori kegiatan

para panewu, rangga, kajineman, dan demang, menyampaikan segala

Mtugasnya, yang dibebankan kepada mereka, pada masalah besar dan
Alihkecil.

Ki Ageng Kartikasastra, sesampai di gerbang muka turun dari,
kudanya laki memerintahkan, kepada opsir untuk menunggu,
Candranala Suryanala di muka pintu, nanti jika dipanggil, di
hadapan bergantian. Setelah berpesan begitu, Ki Ageng datang
menghadap sendiri, masuk ke pendapa agung, duduk di muka,
menyampaikan surat berkas gugatan, pemeriksaan dan catatan, Ki
Ageng menerima.

Dibuka dan dibaca dalam hati, gugatan jawab dan catatannya,
sudah disimpannya dalam hati, dan sudah jelas, kepelikan masalah
sudah, selalu dipikirkannya, berkata dalam hati. Perkara ini sungguh
•. gawat, Wajarlah kakang Kartikasastra tak mampu, karena terlalu
sulitnya, tetapi dugaan kawula, tidak ada jin dapat berucap, menjalin
persahabatan dengan manusia, itu sungguJl mustahil.

116

f
Sesudah berpikir begitu; kemudian berlanya kepada Ki Ageng,
Kartikasastra kalanya kepada Ki Ageng, Karlikasaslra katanya
tenang, Kakang gugatan ini, sampaikan kepada semua panemu, dan
semua rangga, bagaimana pertimbangan mereka. Ki Ageng
Kartikasastra, seberkas gugatan dan calalan, diberikan kepada para
penemu, diperiksa bergantian, selelah semua penemu membaca, Ki
Ageng berlanya, Bagaimana rekan-rekan pemikirannya. Panewu
dan rangga menjawab, lerbagi dalam tiga golongan, yang sebagian
menjawab, yang belul Suryanala, sebab pada waktu titip itu
Suryanala tak mendengar, wujud dan suaranya.
Dan aturannya, sungguh aneh gugatannya, jauh dari desanya,
yang sebagian lagi menjawab, SuryanaJa sudah jelas kalah, sebab
sudah kalah saksi, yaitu berupa makhluk hal us. Sebagian lain
mejawab, Bagi perkara itu batal saja, sebab sungguh mustahil,
SuryanaJa qihinakan/disalahkan, karena tidak lekas lapor, kepada
pihak kekajinemanan, terdiam Raden Ngabehi. Lama tak berkata-

2016kata, laJu bertanya kepada Ki Ageng, Wingnyasastra dengan bahasa

manis, kalau Kangmas Wingnya, bagaimana pemikiran yang

erpusdasebaliknya, perihal saksi diusahakan, jadi dan setidaknya. Perkara

ini gawat, selama ini belum pemah kudengar, masalah seperti itu,
dan pada jaman dulu, belum ada yang menceritakan seperti itu, dalam
buku hukum, tidak ada yang menyebutnya.

PYang seperti perselisihan ini, apalagi dalam kilab topah, liada
ediauraian seperli itu, sungguh sulil diputuskan, akan dipuluskan

bagaimana, wahai para penemu rangga, marilah kila cari penyelesian.

MDari mana harus dialasi, keputusan masalah ini, Ki Ageng menjawab
Alihlenang, Belul perinlah tuan, sangat mencurigakan masalah ini,

kawula tidak menduga, bila alas pertirnbangan. Tampaknya memang
banar kala, Nalasatya, tempayan itu ditemukan, rnilik wong jaman
dulu, sedangkan Candranala, mengaku menilipkan kepada jin
randu, pada saal dipendam di situ, kawula poor tidak mungkin.

Jika yang menjaga, randu hulan itu dapal ditanyai, tentu dapal
menjadi jelas, bahwa Suryanala, diputus kalah, jika jin dilanyai,
tak dapal menjawab, CandranaJa dihukum sebagai penjahat/pencuri.
Pendapat kawula, berperasaan seperti itu ingal dari, kala wong tua-
tua, bahwa wong jahat hebal, dapal pula bersahabat dengan jin,
berdiaJog seperti manusia, lelapi ia tak dapat kelihatan. Kata-katanya
benar, bila ada yang hendak berbuat jahat, terhadap manusia
sahabatnya, lalu memberi peringatan, bahwa ada yang hendak
berbuat jahat, maka berhati-hatilah, dernikianlah biasanya.

117

Ki Ageng berkata, pendapat Kakang itu ya, seperti ada benarnya,
bila dilihat dari, kata bangsa Jawa ini, yang sudah berhasil mereka,
mempercayai kata yang tak benar. Banyak yang mempercayai suara,
kata wong mereka anggap benar, ada pula menyembah batu dan
kayu, hewan ikan dan ular, dihormati dan disembah-sembah,
katanya memberi sandang pangan, ada pula mempercayai setan
gondil. Ada yang akrab dengan tetekan, ilu-ilu gendruwo banaspati,
ada yang menyembah kura-kura, kodok, bengkarung dan ular,
semua disangkanya dapat memberi keluhuran, dan dapat mem-
berinya harta benda, memberi ilham daJam mimpi. Disiarkan ke
mana-mana, yang lain tertarik laJu ikut, mempercayai takhayul itu,
yang kawula pikirkan, jin yang dikatakan menunggu randu, kawula
jadikan bukti nyata, biar diketahui oleh kaum mudanya.

5. Ki Ageng Darmawidya
Ki Ageng berkata, bagi kawula sendiri, tak dapat memper-

cayainya, kepada setiap makhluk halus, karena kawula pikir,

2016sebangsa makhluk halus itu, seperti binatang air, dan binatang

hutan, sebangsa kutu belaJang lainnya. Seba:b kawula belum tahu,

erpusdawujud sebangsa jin, dan belum pemah bercakap-cakap, bagaimana

dengan Kakang Behi, apakah sudah melihatnya, wujud sebangsa
jin itu, bila sudah pemah melihat, bagaimana gambamya, Ki Ageng
tertawa lirih katanya. Kawula juga belum melihat, sendiri wujud

edia Pjin itu, dan belum pemah bercakap-cakap, bila masih selamat, akan

tahu atau, mendengar kata-katanya, nanti bila kawula, tuan utus

Mmelihat, saksi yang tinggal di randu hutan.
lihKi Ageng Darmawidya, tertawa dan berkata tenang, Besok kita
Aberkata tenang, Besok kita dengar bersama, dengan segenap polosi,

bagaimana katanya, dan bagaimana wujudnya, Nah sekarang
Kakang Kartikasastra, perintahkan kepada, Candranala dan
Suryanala.

Keduanya jangan ijinkan pergi, dari kantor kepolisian ini,
Suryanala di pendapa, CandranaJa hendak mendatangi, ke tempat
pohon randu, nanti pada hari Senin, bertanya kepada saksi, CandranaJa
dan SuryanaJa ikut.

Kakang perintahkan untuk membuat, tenda di tengah ladang,
di dekat pendaman yang hilang itu, dan Kakang sediakan, kayu
bakar yang kering, sembunyikan ternpatnya, semua panewu dan
rangga, demang datanglah pagi-pagi, hari Senin berkumpul di
tempat tenda.

118

Ki Ageng Kartikasaslra, menerima perinlah ilu lalu keluar,
~sampai di pintu gerbang, segera berkala pelan, ~andranala engkau
ini, dan Suryanalaengkau ini, menurul perinlah Raden Wedana,
kalian berdua ditahan, Suryanala dilahan di pendapa. Janganlah
engkau lari/pergi, sedangkan Ki Candranala, dilahan di pintu saja,
menurul Ki Ageng, hari senin akan dalang, menanyai kepada
saksimu, yang tinggal di randu hulan, kamu diminla ikul, Candranala
Nasastya menyanggupi.

Pada saal Pedutnala mendengar, perkalaan Ki Ageng, alas apa
yang didengamya, pada hari Senin akan melihal, saksi di lengah
hulan, Pedutnala mengundurkan diri, mempercepat langkahnya,
akan memasuki persembunyian, lak kinucap cara Pedutnala. Ki
Ageng Karlikasastra, selelah memerintahkan, kepada Candranala
lalu pulang, langkah kudanya cepal sekali, tak dikisahkan perja-
lanannya, sesampai di rumahnya, lalu membual sural, memerin-

2016tahkan kepada segenap kajineman, untuk membual kemah seperli pura.
Di lempalladangnya, Suryanala dan lagi, para kajineman diminla
berkumpul, pada hari Senin pagi, dan kajineman semuanya, diminla

erpusdamembawa kayu, dikumpulkan di hutan, simpanlah di tempal agak

dekal, dari pohon randu hulan. Selelah sural perintah jadi,
dikirimkan ke semua kajineman, tak diceritakan caranya, para

Pkajineman sudah membual, kemah yang sungguh nyaman, dengan
ediagerbang bale mangu, serambi indah dihias, dilingkungi pondok

kajineman, dan persiapan para panewu rangga,

MTepat pada hari Senin, semua kajineman, berada di ladang
lihberbangunan, banyak wong melihat, lelaki perempuan berbondong-
Abondong, dari kanan kiri desa, dan wong penjual, banyak yang

dating berjualan, kedatangan Raden Wedana. Dijemput panewu
rangga, semuanya terguncang, semuanya memerlukan untuk
menatap, kedatanganm Ki Ageng, turun dari kudanya, masuk ke
pendapa agung, lalu duduk di dalam, pendapa para kajineman,
rangga demang para panewu semua menghadap.

Ki Ageng Darmawidya,pertanya kepada Ki Ageng, Karlikasastra:
apakah, sudah lengkap semua kajineman, Ki Ageng menjawab pelan,
Semua kajineman sudah, menghadap seluruhnya, tak seorangpun
yang ketinggalan, pelan kata Ki Ageng Darmawidya. Wahai Kakang
kamu periksalah, sahabat Candranala ilu, yang menjadi saksi,
apakah, sudah dapal ditanyai, menyanggupi Ki Ageng, Karlikasastra
lalu bertanya, Wahai kamu Candranala, temanmu yang menjadi
saksi, apakah sudah dapat diperiksa.

119

CandranaIa menjawab, Silakan htan periksa, nanti bila tidak
menjawab, sayaIah yang menipu, kepada pemerintah negara,
dihukum apa saja mau, Ngabehi Kartikasastra, lalu berkata kepada
Ki Ageng, kawuIa sudah tuan ijinkan ';I'emeriksa. Kepada si
Candranala, menyampaikan jawabannya, nanti bila diperiksa,
temannya itu tak menjawab, Candranala bersedia, menerima
hukumanya, Raden Lurah berkata; Nah baiklah Kakang Ngabehi,
silahkan periksa saksi CandranaIa. Para panewu rangga, silakan
mendengarkan jawaban saksi, kawula eli beIakang sini saja, mende-
ngarkan dari jauh, Ki Ageng patuh, Ialu melangkah pergi dari ha-
dapan, beserta panewu rangga, demang penatus mengiringi,
mengitari pohon randu hutan.

Dan beberapa wong, yang melihat leIaki perempuan, mengitari
randu hutan, seperti ada adu pertandingan, karena ingin sekali
mendengar, pembicaraan makhluk haIus, Ngabehi Kartikasastra,
dengan tenang bertanya, Wahai sahabat Candranala randu hutan.

2016Kamu ditanya oIeh negara, katakan yang sebenamya, tempayan

berisi harta emas, terpendam di sini, siapa yang berhak memi\iki,

erpusdadan sekarang tempayan tadi, di mana tempatnya, jika e1iambil wong,

siapa yang mencuri katakan saja.
Yang menjeIma setan bersuara, suaranya kedI nyaring, seperti

suara wanita, begini jawabannya, "Tempayan iht milik, Si Candranala

Psahabatku, menitipkan kepadaku, sekarang dicuri oleh, SuryanaIa
ediasahabat Ki Candranala.

Terkejutlah semua yang mendengarnya, panewu rangga

Mkajineman, dan segenap yang ada di siht, karena baru saja mende-
Alihngar, jawaban sang jin, mereka sangat heran, Lama tak dapat berkata-

kata, CandranaIa laIu berkata, Coba ingkarlah adi SuryanaIa.
Tertunduk Ki SuryanaIa, dan menjawab \irih, meski ditimpa gunung,
Semeru kawuIa tak akan bergeser, sampal sakit dan mati pun, lebih
balk mati dan masuk surga, mati apa yang mau dicari, karena kawula
merasa benar, harus mati memang sudah nasibku.

Raden Wedana, seIama memeriksa, kajineman tercenung
semuanya, seIalu terpikir dalam hati, Suryanala diliriknya, laIu
berkata manis, Nah Kakang Kartikasastra, kamu sekarang mundur
dulu, nanti kawuIa sendiri yang bertanya. Ki Ageng Darmawidya,
Ialu maju ke muka, Ki Ageng Kartikasastra, berada di belakang tak
jauh, Ki Ageng bertanya lirih, Hal jin eli pohon randu, siapa pencuri
tempayan iht, siapa saja temannya, dan sekarang ditaruh eli mana.
Yang menjeima menjadi bingung, sebab dulu tidak e1ipesankan, eIeh

120

i

saudaranya Candranala, akhirnya gugup rnenjawab, Barang itu
diarnbilnya sendiri, pada saat anak-anak turun rnenggernbala,
sekarang ada di rurnah, disirnpan di dalarn karnar, Suryanala, Dengan
jelas Ki Ageng. Mendengar suara itu dari rnanusia, lalu berkata lagi,
jawabmu apakah tidak bohong, dan apakah engkau berani, rne-
nanggung sumpah kawula, yang rnenyamar jin rnenjawab,.apa
sekehendakmu, kawula tak hendak mernungut hasil, hanya bicara
apa adanya.

Candranala begitu mendengar, jawaban yang menyamar jin,
hatinya berdebar-debar, gernetar sangat khawatir, tentu akan
mendapat celaka, terbongkarlah akalnya, Pada saat itu Raden
Wed ana, berkata kepada Ngabehi, Kartikasastra, Nah Kakang
lekaslah pergi. Ajaklah ernpat wong rangga, beserta kajinemannya,
dan para langsir, geledahlah rumahnya, Suryanala dengan segera,
Lakukan sampai dapat ditemukan, Ngabehi Kartikasastra, segera
berangkat rnelaksanakan tugas, berjalan cepat akhimya sampai.

2016Di dukuh Karangsari, memasuki rumah Suryanala, digeledah

seisi rurnah, tempayan itu tidak ada, loteng pun diobrak-abrik, tetap

erpusdatidak ditemukan, kamarnya diporak porandakan, karena sangat

telitinya kajineman, jarum putuspun dapat ditemukannya.
Setelah rumah dinyatakan kosong, di gandok pun di teliti,

kebun, kolarn , dan Kakangrnasng, sernua diteliti, tetap tidak

edia Pditernukan, J<j Ageng mernerintahkan, untuk menggeledah rumah,

seluruh warga desa tanpa kecuaH, sernua digeledah tetap tidak ada.

MSesudah jelas tidak ada, J<j Ageng segera pu]ang. diikuti bawahannya,
lihtak dikisahkan perjalanannya, sudah sampai di hadapan, J<j Ageng
Asegera bertanya, bagaimana tugasmu, apakah berhasil rnenernukan, J<j

Ageng Kartikasastra rnenjawab.
Tugas yang. dibebankan kepada kawula, beserta ternan-ternan

yang tuan tunjuk, menggeledah di rumah, Suryanala tak mene-
rnukan, beserta seluruh rumah, rakyat seluruh desa, tak rnenemukan
tempayan itu, bahkan pecahan genting saja tidak, Candranala setelah
mendengar jawaban Ki Ageng Kartikasastra, hatinya berdesir
bagaikan, disambar pem luput, otot bagaikan dilepasi, hatinya sangat
khawatir, tampak dari raut wajahnya, kelihatan biru kesannya,
bagaikan sakit perut tiga bulan, Ki Ageng Darmawidya awas.

Melihat raut wajahnya, Candranala sudah jelas, akhimya Ialu
berkata, kepada J<j Ageng Kartikasastra, Kakang kembalilah, geledah
rurnah, CandranaJa apabila, ada tipu muslihat jahat, rnembuat cara
untuk mengelabui. J<j Ageng Kartikasastra, segera berangkat lagi,

121

diikuti para bawahannya, rangga demang semua ikut, tak dikasah-
kan dalam perjalanan, sesampainya di rumah, si Candranala itu lalu,
rangga demang memasuki, dalam rumah menggeledah barang.

Ada yang masuk dalam kamar, salah seorang melihat, di bawah
tempat tidur, ada tampak bungkusan, segera didekatinya, dibukanya
buhgkusan itu, kantung terlapis tiga, bungkusan tempayan itu lalu,
disampaikan Ki Ageng Kartikasastra. Tempayan bertutup tembaga,
gembiralah semua yang melihat, dan para demang rangga, tempayan
lalu dibukanya, tutup tembaga itu, tampaklah isinya, banyak sekali
jenisnya, semuanya terbuat dari emas, demang rangga dan kajineman
bersorak.

Ki Ageng Kartikasastra, beserta para pengikutnya, kembali ke
tempat perkemahan, sarnpai di hadapan Ki Ageng, Kartikasastra me-
nyembah, kawula telah tuan utus, menggeIedah rumahnya, Candranala,
Rangga menemukan, tempayan dan bertutup tembaga. Tadi sudah
kawula buka, benar berisi emas permata, inilah tempayannya, Raden

2016Wed ana berkata tenang, Coba Kakang bukalah, lalu dibukalah

tutupnya, isinya disuruh mengeluarkan, semua dilihatnya, cocok
dengan gugatan Candranala.

erpusdaRaden Wedana berkata, Hai Suryanala coba, majulah ke sini,

lihatlah barang ini, apakah engkau tahu, pemilik barang ini, Ki
Suryanala segera, maju dan menyembah, melihat barang dan

Pkatanya. Tuanku benar ini, tempayan yang kawula temukan, masih
ediautuh isinya, belum ada yang hilang, sedangkan yang memilikinya,

maaf kawula tidak tahu, Ki Ageng berkata, sudah sekarang

Mmundurlah dahulu, akan kawula Tanya jin yang berbohong.
AlihHai jin randu hutan, semua katamu tidak benar, sekarang

terimalah olehmu,_ sebagai hukuman untuk makhluk halus, Nah
Kakang Ngabehi, Kartikasastra segeralah, pohon r;tndu hutan ini,
timbunilah dengan kayu, di segenap penjuru pohon.

Sejauh tiga langkah, tebal tumpukan, sebanyak tujuh kaki, lalu,
bakarlah dari empat arah tepi, segeralah Ki Ageng, Ialu memerin-
tahkan demang, dengan cekatan para demang, diperintahkan untuk
mengangkat, kayu yang di simpan di kiri. Dengan cekatan para
pengikut, kajineman yang sudah dipesan, mengangkat kayu sirn-
panan,tak lama sudah tiba, kayu setumpuk di atas, pohon randu
bertimbun-timbun, banyak yang merasa takjub, yang tak tahu
maksudnya, menyebut, kapan kayu itu didapat.

Pohon randu hutan itu, ditimbuni kayu kering, setinggi dua
depa, dilingkup kayu tiga jengkal, Candranala melihat, k"¥U yang

122

bertumpuk-tumpuk, hatinya khawalir, begini kala halinya, bagai-
mana jadinya Pedutnala. Bila kayu dibakar, lentu saudaraku akan
mati, menjadi arang di dalam lanah, kawula lak urung juga kena,
hukuman berbual jahal, sebab barangnya dilemukan, di dalam ru-
mah ka.vula, bagaimana kawula akan mungkir, lebih baik kawula akan
menyerahkan.

Hidup mali saja, saudaraku jangan mali, meski dihukum sebagai
penjahal, dibuang ke luar daerah, lama-kelamaan tentu akan kembali,
asal selamallidak mati, dimasukkan rawa Tunlang, tersebutlah para
kajineman, yang mengangkali kayu sudah usai. Akan dibakar dari
empat arah, Candranala menyembah, kaki Raden Wed ana, lalu
menangis dengan keras, mengeluh mengiba-iba, menyerahkan hidup
malinya, memohon dibalalkan, pembakaran makhluk halus, sesung-
guhnya dia adalah saudara kawula. Candranala berlerus lerang,
berbual akal busuk seperli itu, sejak awal sampai akhir, gembiralah
Ki Ageng, Darmawidya lalu, memerinlahkan mematikan api, matilah

2016sang api, Raden Wedana berkala lenang, Candranala panggilah

saudara,

erpusdaSegeralah pergi Candranala, lak lama perjalanan menggandeng,

Pedutnala sampai di hadapan, lekas menyembah, kaki Ki Ageng,
semua kajineman heran, demang panewu rangga, lerhenyak heran
sekali, lak mengira selan jadi manusia. Dalam hati lak menyangka,

edia Pbahwa bukan jin sesungguhnya, yang berbicara di dalam pohon,

randu hulan dikalakan, gendruwo bersahabal dengan manusia, ada
juga yang heran, pandainya Candranala, membual suatu tipu

lih Mmuslihal, kerumilannya dalam berbohong. Ada juga yang heran,
Akepada Ki Ageng, Darmawidya caranya, mengumpulkan kayu

untuk, membakar jin saksi, apakah sudah sejak dulu, dianggap pura-
pura-lelapi dijadikan rahasia, lak hendak menyampaikan kepada
wong.

Herannya haliku, kecanggihan Ki Ageng, memang sungguh
bijaksana, dapal menjaring angin, seorang rangga berkala, kepada
demang kawannya, Candranala ini, ladi sebelumnya, terbongkar,
bagaimana dugaanmu. Menjawab dengan Tanya, hanya kawula
belum lahu, selidaknya mendengar kabar, ada wong mencuri
dengan, menggugal dengan wong lain. Yang dicuri barangnya, alau
wong berhulang, menggugal wong yang memberi hUlang, dan
dengan saksi makhluk halus.

Sungguh lalu mudah saja, ditelapkan kejahalanya, seperti kenek
sopir saja, kembali kawula heran, kepada Ki Lurah, Ki Ageng, perkara

123

yang sulit, berhasil menyelesaikan, rahasia yang sangat rumit, serta
halus tanpa hariIs ada gejolak. Meski begitu Raden Wedana, lalu
dapat mengatasi, gugatan Candranala, membatalkan gugatan,
bahkan diubah menjadi, fitnah jahat itu, membingungkan pemerin-
tah, penguasa besar negara. Dihukum buang, dan kerja paksa.
Selama sembilan tahun, dengan tanda kalung besi, saudaranya
Pedutnala, hanya dibuang empat tahun, tanpa tanda kalung besi,
ditempatkan dipulau Karimunjawa, melaksanakan kerja paksa,
keduanya Ialu diberangkatkan, Suryanala mendapat keputusan.

Adapun keputusannya, atas dasar peraturan negara, tempayan
dan seisinya, yang ditetapkan penemuan Suryanala, kecuali yang
berupa uang, semua dilelang, dijadikan uang, setelah menjadi uang,
dibagi untuk kesejahteraan negara.

6. Para Mantri Kajineman
Dibagi menjadi tiga, dan yang berupa uang, semua untuk negara,

yang sebagian untuk, fakir miskin wong jompo, dan semua anak

2016yatim. Adapun yang sebagian, diberikan kepada penemunya,

Suryanala anugrah raja, sudah diijinkan pulang menuju, ke rumah-

erpusdanya sendiri. Suryanala lalu mundur, beban berat dipanggulnya, tal<

kinucap perjalanannya, sesampai di rumah, bertemu dengan anak
istrinya, semua berkerumun menangis.

PDan para sahabatnya, tetangga sedesa datang, semua ikut berse-
ediadih, bertanya bergantian, dijelaskan sejak awal, tengah dan akhimya.

Semua menyesalkan, akhirnya sangat gembira, memuji kepada

Mnegara/pemerintah, atas keadilan raja, luhumya kerajaannya, tetap-
Alihlah menguasai tanah Jawa. Sampai sini dulu yang sedang gembira,

tersebutlah Ki Ageng, Darmawidya dihadap, oleh para mantri
kajineman, masih tinggal di perkemahan, Ki Ageng berkata t"!nang.
Semua rekan-rekanku, kawula bertanya sunguh-sungguh, kepada
teman-teman semua, tadi pada saat mendengar, pohon dapat
berbicara, bagaimana pemikiran kalian.

Semua kajineman menjawab, mendukung kata tuan, kami tidak
mengira, bahwa bukan jin sungguhan, sebab kabarnya manusia,
yangsudah tua-tua dahulu, Jika wong tekun berprihatin, menahan
lapar kurang tidur, lalu dapat bersahabat, dengan jin peri dan selan,
berdialog bagaikan dengan manusia, tapi tidak tampak wujudnya.

Tugasnya hanya menasihatkan, bila ada yang membicarakan,
baik buruk ataupun niat, berbuat jahat dan membunuh, sahabal
ladi lalu memberi tahu, demikianlah tugasnya.

124

!

Raden Wedana tertawa, sambil berkata tenang, kalau begitu
hanya, sendiri yang berpikiran lain, maka si Suryanala, dituduh
berbuat mencuri. Tidak akan kawula ikat, sebab sudah kawula pikir-
kan, gugatan si Candranala, dengan menggunakan saksi jin, kawula
lalu punya dugaan, ini tentu gugatan fitnah. Sebab Suryanala bodoh,
dan jujur tetapi petani, tampak dari jawabannya, pada saat ditanya,
Kakang gabehi Kartikasastra, sarna seperti laporan pesuruh.

Pada waktu menjelaskan kepada kawula, gugat jawab kawula
pertimbangkan, teranglah pertimbangan kawula, hampir saja
kawula marah, menyuruh menebang randu hutan, lalu hati ini
kawula tahan. Ya Si Candranala itu, sungguh wong pandai tapi
sesat, perumpamaan jalan kecil/sempit, tak mau didahului, terasa
risih hatinya, terkena kutukan si lurus hati.

Inilah pembalasannya, dari Tuhan Yang Maha Suci, wong jahat
harus kelihatan, wong baik juga akan nampak, keburukan lekas
atau lambat, tentu akan ketahuan. Dia membuat saksi itu, dirasakan

2016lebih baik, tak mengira akan menjadi buruk, menunjukkan kebo-

hongannya, manusia dapat diketahui, dari perbuatan dan kata-

erpusdakatanya. Candranala itu, tingkah lakunya, dapat dijadikan contoh,

sebagai peringatan kemudian hari, untuk nasihat anak-anak, dan
cucu di kelak kemudian hari.

Agar menjauhi, akal pemikiran yang celaka, jadi manusia mati

Pmurka, kurang berterima kasih, tertarik J:ati serakah, melupakan
ediasaudara baiknya. lsi hatinya, wong yang hendak hidup sendiri, _

akhirnya mati sendiri, mencari kebenaran akan sial, mencari .saksi

Myang tak baik, akhirnya membawa sial. Sedangkan Si Suryanala,
Alihberpegang teguh pada kebenaran, bersungguh-sungguh dalam

berteman, bahkan ia akan dibunuhnya, Tuhan Yang Maha Kuasa,
tidak mengijinkannya.

Maka dari itu menjadi manusia, bila mau berbuat baik, tak
hendak berbuat jahat, bila akan dijahati, akhirnya tidak sampai,
lalu kembali kepada yang menjahati. Sejalan-jalan selalu salah, sesuai
kehendak Tuhan, salah pikirannya, mana ada manusia, mempunyai
sahabat karib, setan tertekan dan makhluk halus. ltu sangat mus-
tahil, kawula tidak mengingkari, adanya bangsa setan, sejenis bangsa
iblis, karena disebutkan dalam kitab, tapi bila kawula sendiri. Semua
jenis makhluk halus, kawula samakan dengan, sejenis satwa hewan,
kutu-kutu hewan air, hewan darat nyawanya, dan sejenisnya.

Manusia tentu tidak tahu, wujudnya serba gemerlap, bagaimana
cara bercakap-cakap, dan bagaimana kebiasaannya, kecuaH hewan

125

ternak, yang bisa dipiara manusia-manusia. Meskipun hewan
piaraan manusia, juga tak tahu bahasanya, bagaimana harus ber-
cakap-cakap, maka bila ada wong, mengatakan mempunyai sahabat,
iblis kawula tak akan percaya. Nah itulah buktinya, Candranala
sahabatnya, jin menjelma manusia, terangnya wong yang
mengatakan, bersahabat dengan setan kesurupan, dirasuki iblis itu.

Kemudian banyak yang menjadi dukun, jika datang yng mera-
sukinya, berubahlah perilakunya, dan suaranya juga berubah, lalu
mengatakan sakit terkena, oleh perdaya guna-guna. Kata-katanya
seperti mengingau, mengaku dapat menjadikan kaya, kepada wong
miskin tanpa bekerja, menganggur tanpa punya pekerjaan, serta
dapat membuat wong menjadi mulia, kepada wong bodoh yang tak
mampu bekerja. Lalu diangkat menjadi tumenggung, itu adalah kata-
kata bohong belaka, tolol sebagai manusia, yang bodoh sempit
pikirannya, yang membingungkan negara, pantas jika diberi kalung
besi. Sekarang kawula nasihati, kepada semuanya saja, kajineman
negara di desa, yang memegang pemerintah besar ked!, jika

2016menyelesaikan masalah, bersihkanlah hatimu.
Serta mengabdi kepada raja, dengan sepenuh hati, jagalah dengan

erpusdahati-hati, atas kerajaan baginda, agar selalu sejahtera damai,

menyenangkan rakyat ked!. Sebagai balasan dari rakyat, kepada
gusti Sri Bupati, yang ditunjuk sebagai pejabat, mendapat pangkat
priyayi, sesuai dengan derajatmu, pertama-tama berterimakasihlah.

PKepada baginda raja, yang telah memberikan kemuliaan, menafkahi
ediaanak istri, balaslah dengan menyerahkan diri, berserah di hadapan

raja, berbakti sampai mati. Adapun yang kedua, sedapat-dapatnya,

lih Mbuatlah aturan, yang kira-kira bermanfaat, bagi rakyat seluruh desa,
Aatau kepada baginda raja.

Sedangkan yang ketiga, usahakan peningkatan, penghasilan
negara, bertambah ladang dan sawahnya, jangan berbuat yang
merugikan, pada waktu mengerjakan bumi. Bentuk perawatan iN,
menjaga jangan sampai merusak, seringlah berkeliling, di daerah
wilayah kekuasaanmu, lihatlah apa kekurangannya, tiap bulan dua
kali. Berlakulah seramah-ramahnya, bagaimana keadaan daerahmu,
selamat dan tidaknya, bila sudah bertanya perihal, lalu berilah
petunjuk, bagaimana berbuat kebaikan. Pemikiran dan perbuatan,
yang buruk singkirilah, perbuatan yang merugikan, akan merusakan
diri sendiri, atau mencelakakan, itu jangan kau lakukan,

Karena sudah menjadi kebiasaan, wong kedl sempit pikimya,
sedikit pengetahuannya, mudah heran mendengar kabar, percaya

126

kepada takhayul, seperti yang kawula katakana di muka. Perihal
nasihat mengenai, yang mustahil diyakini, itu semua ajarkanlah,
kepada semua pamongmu, sendiri-sendiri agar, rakyat keeil
menyadarinya.

Orang desa di gunung-gunung, menghilangkan pikiran-pikiran,
pereaya takhayul pereaya berita, yang semuanya mustahil, maksud
berita mustahil, setan dapat menjadikan kaya. Kedua sejenis ramalan,
memastikan yang belum te.rjadi, itu jangan di pereaya, yang ketiga
ilmu guna-guna, mengaku mengetahui segalanya dan dapat,
menjadikan priyayi. Wong tolol yang masih ingusan, itu mustahil
saratus ribu kali, begitu pula sejenisnya, itu semua jangan
kaupedu1ikan, dengan alat berupa jimat, itu akal penipuan. Dengan
jimat itu Jalu dapat, pandai menulis bahasa Sunda-Belanda, ]awa-
Melayu dan sejenisnya, berbuat bail<, mengabdi sepenUh hati.

Meski begitu tentu, akan menjadi pembesar, bila tidak sedang
mujur, apalagi bodoh dan, malas tak mau bekerja, pikirannya penuh

2016penyakit. Mustahil yang keempat, nasihatkan kepada wong, ada

tempat atau, kayu batu hewan dan, binatang air dan binatang

erpusdahutan, ada yang dianggap keramat. Sebab ada setannya, bisa

menyebabkan sakit dan mati, dapat memberikan keluhuran, dan
dapat menjadikan kaya, itu sungguh mustahil, maka janganlah

Pengkau pereaya.
ediaKeeuali itu, semua sahabatku, kelak ingatlah selalu, segala

teladan perihal, perbuatan Candranala, dan Pedutnala sebagai

Msaksinya. ltu jelas sudah, menunjukkan kesalahan kajineman, pada
lihsaat Candranala, ditanya lalu diijinkan, membawa seorang kawan,
Amendengar segala pembicaraan. Pedutnala setelah mendengar, lalu

pulang membuat persembunyian, seandainya Pedutnala, tak
mendengar pembiearaan tentu, tak dapat menentukan hari, Senin
ada pertanyaan untuk saksi.

Pada suatu saat nanti, bila menanyai segala masalah, jangan
membolehkan membawa, satu kawan yang mendekat, dan duduk
tidak boleh, berdekatan dengan saksi. Terhadap wong yang sedang
bertengkar, saling menggugat masalah, pisahkanlah duduknya, barat
timur yang berjauhan, pertanyaan pertama, bergantian satu-satu.
Perihal mengenai saksinya, seberapa jumlah saksinya, sebelum
diperiksa, sebab ia mengetahui, mengetahuai adanya masalah, harus
disumpah dahulu. Disumpah bahwa benar-benar tahu, kedua
disumpah kata-katanya, jangan sampai berkata dusta, bila berkata
tidak nyata, terkutuklah oleh sumpah. ]ika sudah disumpah, semua

127

saksi-saksi, djpisahkan duduknya, jangan sampai berbicara, untuk
menyelaraskan jawaban, begitu pula saksi.

Oi bagian musuh percekcokan, pisahkanlah salu-satu, campur-
kan dengan saksi, pihak lawan satu-satu, bila hendak memeriksa,
jawaban saksi pertama, tanyalah eli tempat terpisah, yang sekiranya
tak terdengar, jawabannya oleh kawannya, saksi yang lain, jawab-
nya tuliskan, tidak kurang tidak lebih. Saksi yang sudah ditanya,
pisahkan duduknya, tak boleh e1idekati seorang pun, dengan caranya
e1iurutkan, agar saksi takut, berkata bohong tidak nyata.

Cara bertanya sekali, jangan hanya sekali, masing-masing
ditanya, setiap pertanyaan tulislah. Begitu pun di bagian atasan,
jika menanyakan masalah, usahakan supaya, jika saksi tak tahu
betul, tentu takut bersumpah. dan berbeda jawabanya. Bila e1icampur
duduknya, dengan kawan sarna saksi, yang juga satu masalah, pada
saat e1itanya bersamaan, tentu jawabannya sarna, itu sungguh saksi
yang gelap. Yang kedua saksi itu, jika tidak e1isumpah tentu, sebelum

2016e1iperiksa, jika tak benar-benar melihat, tentu takut pula bersumpah,

tak jadi ikut bersaksi. Begitu pendapat kawula, agar saksi benar-

erpusdabenar bersih, yang dahulu tak begitu, sungguh hanya pura-pura,

tidak disumpah secara sungguh, sehingga saksi kurang bersih.
Sebabnya saksi itu, e1itanya sampai tiga kali, dan diambil tanda

tangannya, atau cap ibu jari/jempol, nanti lalu dicocokkan, lain

Pataukah sarna. Adapun kewajibanya, wong yang menjadi rangga
ediakajineman, menjaga terhadap negara, dan melindungi rakyat kecil,

agar semua sejahtera, beserta bawahannya sendiri. Jangan bosan

Mmemberi nasihat, kepada para bawahanrnu, kenalilah tatakrama, adat
Alihaturan negeri, -perbuatan baik dan buruk, atau perbuatan yang

merusak tubuh. Pertama-tama ingatlah, kepada wong yang suka
berjudi, yang mempertaruhkan uangnya, lelaki perumpuan tua
muda, semua nasihatilah, dengan perintah yang tegas. Yang kedua
-berilah peringatan, kepada yang suka madat, diisap dan ditelan, serta
diminum cegahlah, sebab itu sernua merusak, kapada diri anak ism.

Nasihat yang ketiga, main perempuan dan zina cegahlah, itu
merusak juga, dan syarak dilarang, yang keempat wong makan,
minum cegahlah. Karena empat perbuatan tadi, semuanya merusak
raga, dan anak isterinya, semua ikut rusak pula, maka dari itu
laranglah, sayanglah dirimu. Ada lagi yang memberi nasihat, kepada
para lurah bekel, dan kepada kebayan, dan kamituwa, kapung-
kapung dan desa, perintahkan untuk siap sedia. Senjata untuk
berperang, tombal< keris pedang dan bedil, untuk menjaga

128

/

barangkali, ada perampokan selalu siap membantu, menjaga diri dan
negeri. Kedua sediakan peralatan, tong kopoh dan kait besi, tonggak,
tangga dan sebagainya, yang akan digunakan, memberi pertolongan
apabila, ada rumah yang terbakar.

Peralatan yang ketiga, eangkul linggis kapak, dan sebagainya
untuk, menebang kayu dan menggali tanah, siapa tahu ada tugas,
perintah dari raja. Menebang kayu memindah lorong, atau
kawannya wong kecil, yang miskin yang berduka, pimpinan wajib
membantu, atas kesedihan, wong bawahannya yang keeil. Bab yang
keenam: lurah kampung, perintahkan memperbaiki, jalan dan selo-
ken di luar, desa wilayahnya, atau di dalam desanya, semuanya juga
diperbaiki. Setelah memperbaiki jalan, beserta selokan tepi jalan, dan
jaIan simpang, lalu perbaikilah, pagar kebun bagian luar, yang me-
ngeWingi desamu. Buatlah yang kuat, untuk menghalangi pencuri,
setelah pagar luar baik, lalu perbaikilah, pagar di sekitar rumah,
gunakan pintu pagar.

2016Tutuplah yang rapat, di dalam pagar harus bersih, agar menyu-

litkan, kepada wong yang berbuat jahat, demikianlah hendaknya

erpusdasemua, wong yang berumah tangga sendiri. Selalulah hidup rukun,

wong di seluruh desa ini, buatlah tempat yang kira-kira sepi, adakan
perondaan, mengelilingi desa empat kali semalam. Pertama jam
sembilan, jam sebelas yang kedua, jam satu, yang ketiga, jam tiga

Pronda keempat, demi keamanan desa, terhindar dari wong jahal.
ediaNasihat yang ketujuh agar para lurah bekel, menguatkan

perintah kepada, semua kaum tani, untuk memperbaiki bendungan,

lih Mdan membangun saluran air. Yang menuju sawah masing-masing,
Adan mau memperbaiki, pematang sawah, dan memberikan pupuk,

sawah ladang setiap musim, perhatikan jangan sampai terlupa. Agar
tanaman subur, dan semua kaum tani, dapat berubah sehat tegap,
dan rajin-rajinlah selalu, ketiga hams hati-hati, yang keempat rajin
dan hemal. Berhati-hati membajak sawah, yang dalam dan merata,
untuk mempersiapkan, bila nanti sudah ditanami, rajinlah pergi ke
sawah, merawat pengairannya.

langan kering jangan tergenang, jika kekeringan lekas tumbuh
rumput, b'ila terlalu banyak air akan mati, bila tanaman sudah
tumbuh, atau sudah menghijau. S'iangilah tanaman itu, seringlah
menengok sawah, bila terserang hama, lekaslah membuang, seluruh
hama itu, atau memberinya pagar. Begitulah wong tua itu, mengatur
rakyat keeil, tak bosan memeriksa, kepada seluruh bawahannya,
serta tak bosan menasehati, pada pemikiran yang baik. Pemeriksaan

129

sebaiknya dilakukan, ditentukan sebulan, sekali dan memberi
pengarahan, mengingatkan yang lalai, menyadarkan perbuatan baik,
yang kelak akan menyelamatkan.

7. Mardawaning Gita Gati
Dhandhanggula
Kang winarni sekar dhandhang gendhis, amurwani marda-

waning gita, den samaring semuning reh, pan darganireng kalbu,
jinurunga marang sasami, Surtinya weh kaharsan, ya mring weka
jalu, winor ing warah weruha, jatining reh den samya pralebdeng
westhi, ya rane kang waskitha.

lng dununge kawruh ala becik, Nadyan silih wus samya widag-
da, gegurua saranane, ribet lamun tan weruh, bebukaning janma
dumadi, tetela yen tan wikan, wigena sawegung, kudu binudi marga-
nya, wijang-wijangireng pariwara dami, tanggulen ywa pepeka.

Samangkana dennya asung wangsit, mring sanggyaning para

2016putra wayah, pinet amrih kotamane, aywa na korup tangguh, ingla-

wiyanira ngaurip, uripira pan dadya, isening donyeku, ewuh lamun

erpusdatan weruha, inkang dadya tetanggulira ing urip, marmane den

waskitha.
Dene ingkang kinarya upami, wasitaning sujalma samangkya,

kang kinarya tuladhane, ala ayuning laku, nging tan ana wujudi-

Preki, amung karya pralambang, pinatut ing tembung, sinungan
ediatembang macapat, supayane akarya renaning galih, winangun ing

sarkara.

MNaming ngambil aranireng jalmi, mrih sakeca ingkang dadya
Alihlampah, pinatut runtut urute, tetelaa den apus, nenggih ingkang

mangka purwaning, janrna duwi tetruka, neng sukuning gunung,
Semeru dhedhekahira, sri kawuryan kadulu kalangkung asri,
akathah pala kirna.

Pucang tirisanira mepeki, pinggir desa pring apus pring jawa,
sembada kathah wismane, wastanira ing dhukuh, kang sajuga ing
karangsari, ingkang murwani karya, dhedhekah ing ngriku, awasta
Ki Suryanala, klairane saking dhusun jatiragi, temen sabar narima.

Satunggalnya padhekahan nami, Karangtalun kang murwani
truka, Ki Nalawasta wastane, asal klairanipun, saking krajan Kahuri-
pan nguni, wau Ki nalawase,lan Nalasattyeku, kalihnya apawang
mitra, wus saengga kadang tungil yayah bibi, tan darbe subasita.

Dennya karya dhedekah let tebih, nanging nugH se-arga kawula,
Nuju sawiji arine, Ki Nalasaya wau, bubak wana trataban sandh¥tg,

130 1,

tegalanira lama, sae stenipun, karsanira Nalastya, nglar tegale kang
sae tanemekani, acelak randuwana.

Sandhing wiling randhuwana siki, lumpang kentheng ageng
mung sajuga, wit ranhdu ngungkang jurang jro, wau dennira
macul, Suryanala dugi madyaning, longkangan randhuwana, lawan
lumpang watu, pamacule Suryanala, ananggori watu kumalasa siji,
saklenthing agengira.

Gya ingelut salebetireki, kayunnira Kyai Suryanala, kang sela
kasingkirake, saking gennira ngriku, datan dangu kang sela keni,
kabrengkal saking gennya, gya ngandhap kadulu, garowong wonten
encehnya, Suryanala agowok dennya ningali, mangkana osikira.

lki baya pendhemanireki, janma kuna kang dhukuh neng arga,
tandha lumpang kentheng kiye, dadi ngong iki nemu, enceh iki pama
ngong ambil, ing jero isi brana, arta sesotya gung, ing bud pulisi
pirsa, aku duwe raja brana sesotya di, kadlih ngong dursila.

Pama aku matura amanggih, prentah ndhangu kang nekseni

2016sapa, awit sira nemu kuwe, nuli priye aturku, temah aku nemu bilahi,

tetep dadi durjana, becik aku tutur, mring si kakang Candranala,

erpusdadhasar prapat kapindho sudarawedi, tur bisa amicara.
lka pantes ingsun karya saksi, panemuku sinadyan jaluka,
bageyan hiya karepe, janji slamet awakku, Suryanala sawusnya
manggih, manah sigra umentar, lampahnya sineru, sapraptening

edia Pwismanira, Candranala lagya linggih aneng panti, Suryanala anulya,
Uluk salam- Candranala gipih, anauri:'Ngalaekum salam." Lah
adhi lajuwa bae, Suryanala gya mlebu, jawat asta salaman nuli, satata

lih Mlenggahira, Candranala muwus,"Pun adhi napa raharja." Suryanala
Amangsuli : "lnggih basuki" Candranala ris tanya.

"Kadingaren adhi mriki enjing, napa enten karyane kang gita?"
Suryanala Ion saure, "Inggih kalangkung perlu, sowan kula pun kakang
mriki, badhe ngaturi pirsa, enjing wau ulun, angelar tegil pagagan,
macul wonten godhangan kentheng kakalih, randhuwana punika.

Ananggori sela geng saklenthing, wau sela badhe kula bucal,
sareng kabrengkal ngandhape, garowong sitenipun, madya wonten
encehireki, mawi tutup tembaga, kawula jrih jukuk, lajeng mariki
punika, yen kapareng pun kakang kula aturi, nekseni manggih kula.

Wonten tegil kapetak ing silL" Candranala ads dennya tanya,
"isi punapa encehe, kawula ayun weruh, awrat adhi wong dadya
saksi, lamun boten uninga, ing sajektosipun." Suryanala aris nabda,
yen makaten pun kakang kula aturi, mugi kapirsanana.

Kranten kula inggih dereng uning, sampun ingkang bukak, tu-

131

tupira, anggepok kewala dereng." Candranala nabda rum," yen
makaten inggih prayogi." Sigra mangkat kalihnya, tan kawameng
ngenu, lampahira sampun prapta, patugaran anjujug ungyanireki,
pendheman tutup sela.

Suryanala sigra nabda aris, "Lah punika tutupipun sela."
Candranala a10n wuwuse, "Andhika bukak gupuh." Gya kabrengkal
kang sela keksi, enceh tutup tembaga, Candranala kadulu, tan
saranta nalanira, gya ingentas kabuka tutupireki, ing jro isi barana.

Warna-warna sadaya mas adi, duk amulat wau Candranala, asru
ngungun jro nalane, dangu tan bisa muwus, kang mangkana cipta-
nereki, "Lah iki raja brana, akeh ajinipun, upama ingsun darbea,
brana iku kabeh kadarbe ing mami, amasthi ingsun kaya.

Teka iku ingkang sinung manggih, janma bodho datan karem
bandha, teka tutur mring mitrane, suwe-suwene ingsun, kang
sinungan bekja geng yekti, si adhi Suryanala, amasthi miturut, ing
sagadarenaning wang, jer wong iku mituhu sarembug mami, dhasar

2016ngaku wong tuwa."
Duk samana Candranala gingsir, manahira kagiwang ing dunya,

erpusdasupe ing pawong mitrane, saking pambektanipun, melik ingkang

anggendhong lali, mangkana osikira, "Upamane iku, bandha sun
kon ngaturena, mring parentah nagara barange mesthi, kapundhut
ing nagara.

Pkrana iku bandha nggoni manggih, aneng wana kapendhem
ediaing kisma, bumi iku kagungane, Sang Prabu ingkang mengku, ing

rat jawa ping pindho kali, gedhe cilik samodra, ping telu marga

lih Mgung, kaping pate iku wana, wajib dadi kagungane sri bupati, apa
Akang aneng kana.

Destun muhung kewala kang manggih, pinaringan pituwasing
karya, mangka ingkang nemu dede, manira apan namung, anekseni
nggonira manggih, si adhi Suryanala, dadya raganingsun, tiwas
kangelan kewala, tanpa gawe nggon manira wira-wiri, lah iku tan sakeca.

Sun puriha nyidhem bae mesthi, tan suwala adhi Suryanala,
hiya kaparo ngamale, dadi keh kalongipun, datan bisa malak pribadi,
awadene semana, OOkmanawa ingsun, bisa gawe rekadaya, rehning
Suryanala rada cupet budi, ingong luse kewala."

Candranala wusnya mantheng pikir, dennya amrih silip marang
mitra, dadya manis wacanane, dhuh adhi kadangingsun, "Dunya
niki peparing neki, kang bau reksa arga, in Semeru niku, asih
jengandika, sarta dhaten rehning truka ngriki, sinungan raja brana.

Dunya nikii sajatine suci, ooten susah lapur ing nagara, nanging

.132 I

,

niki prayogane, sampun kabekta mantuk, sapunika: bilih udani,
dhumateng pawang kanca, kang nunggil sadhukuh, tan wande lajeng
kawarta, danu-dangu ngamal suci amejahi, dhateng kula Ian dika.

Kalamun adhi marengi galih, sapunika wangsulna kewala, kadi
duk wau-waune, dalu kewala wangsui, sidhem janma lajeng
ngambil, kabekta dhateng wisma, dene ingkang tunggu, sadinten
mangke kewala, kula titipaken dhateng mitra mami, kang tengga
randhuwana."

Suryanala amangsuli aris, "kula borong paduka kewala, janji
wilujeng lampahe, Candranala amuwus, "Niku pikir ingkang utami,
lah sumangga wangsulna, enceh gone wau, Suryanala sigra-sigra,
mangsulaken enceh dhateng gene lami, katutupan ing sela.

Candranala sigra muwus aris, "Heh mitrengsun ingkang bau-
reksa, ing randhu alas wiyose, manira minta tulung, marang sira
reksane iki, pendheman raja brana, den kareksa iku, yen kejukuk
ing jalma liyane saking, Suryanala ywa suka.

2016Lamun ana janma arsa ngambil, sarimpungen sikil tanganira,

aja lunga saka nggone, kono poma wekasku." Candranala sawusnya

erpusdaangling, marang wit randhu wana, nulya ngajak manthuk,

Suryanala tan lenggana, nulya bibar ngalor ngidil dennya mulih,
wus tebih lampahira.

Suryanala datan darbe pikir, lampahira alaju kewala, Candranala

edia Ping lampahe, tansah amandheng mangu, gya nyalimpet alingan uwit,

sempu menek saksana, ayun anguk-anguk, mring lakune Suryanala,
wus pratela danira mulih sayekti, tumurun Candranala.

lih MSigra-sigra denira lumaris, amangsuli pendhcman karsanya, tan
Adangu prapteng enggene, petakan tutup watu, gya binuka

tutupireki, enceh ingentas nulya, tutupira watu, winangsulaken lir
lama, enceh sigra pinanggul ginawa mulih, tan dangu prapteng wisma.

Candranala langkung sukeng galih, enceh nulya kasimpen jro
wisma, datan kawarna siyange, Sang Hyang Surya wus surup,
ginantyan pandhanging sasi, nuju sasi purnama, wayahnya jam
wolu, Candranala wus sanega, arsa mangkat dhumateng
wismanireki, Kiyai Suryanala.

Tan kawama lampahireng margi, sampun prapta pelenggahanira,
ing karang sari wismane, Suryanala cineluk, saking jawi kinon umijil,
Ki Suryanala gita, sumaur gya metu, alon denira nabda, "Lah
sumangga kakang lenggaha kariyin, malebet dhateng wisma."

Candranala amangsuli aris, mngke mawon dhateng griya,
mumpung sepi jalma mangke, ambujeng perlunipun, mendhet enceh

133

kariyin adhi, yen selok kawanguran. Suryanala nurut, Lampahira gegan-
cangan, sapraptane ing tegal pendheman nguni, Candranala anabda."

" Lah adhi nuli ambiJ, ponang enceh. "sigra Suryanala, mbareng-
kal watu tutupe, encehnya fan kadulu, Suryanala kagyat sarya
ngling, "Dhuh kakang Candranala, jugangane suwung, encehe wus
datan ana, Candranala rewa-rewa api runtik, Ah si adhi sembrana.

Boten ilok adhi ngguyoni, kadang tuwa ingajak sembranan.
Suwung teng pundhi lungane, Suryanala amuwus, "Atur kula
punika yekti, ooten matur sembrana, estu sampun suwung; sumang-
ga sampeyan priksa." Nalwasa api-api amirsani, lagya ngungak kewala.

Nulya mlengos saTta muwus bengis, "Sun tan ngira adhi Surya-
nala, kaya mangkana pikire, ujare uwis tuhu, dennya ngaku sadulur
mami, ing dunya prapteng kerat, manjinga sadulur, Ian padha ilia
ing dunya, mengko lagi semono bae wus lali, kasmaran raja brana.

Asmaradana

2016Jare temen tyase sud, lumuh gawe saking nala, marang janma

sapadhane, tumita ilia ing dunya, wedi keneng prakara, ing mengko

erpusdakaton satuhu, tyase tan tulus saengga.
Palem weton ing Betawi, lamun kadulu ing jaba, beresih kuning
rupane, menginake tyase janmaingkang durung uninga, adate pelem
ing ngriku, mesthi wwani tuku nyengka.

PSawuse dipun onceki, kaget ngungun nalanira, dene jero
ediabongkeng kabeh, binatange ting berangkang, ireng-ireng rupanya,

kang tuku pelem anjetung, tan dipe lamun mangkana.

MMeng1<ana uga si adhi, Suryanala ngong tan nyana, lamun
Alihmengkono karepe, angur maune kewala, aja tutur mring tangga,

anjaluk pratikel rembug, nuli ngong warah prasaja.
Dera samelok gya melik, nyalingkuhake maring wang, eman

kaparo barange, enceh kajukuk priyangga, Ketuturake musna, lah
punika kula jaluk, saparo karupakena."

Suryanala duk miyarsi, wuwusira Candranala, anjetung
sidhakep bae, dangu tan bisa anabda, dahat pengungunira, anangis
sajroning kalbu, aputeng wardayanira.

Dangu-dangu antuk pikir, kabuka ing manahira, sangking
sanget prihatine, alon wijiling wacana, "Dhuh kakang Candranala,
ngandhika sampean wau, sadungune kula rasa.

Pun kakang badhe mejahi, dhumateng badan kawula, prakawis
enceh icale, ing ngajeng kang manggih kula, lajeng ngaturi dika,
sumeja pados rahayu, temah badhe manggih lena.

134

Karsa dika kadi pundi, mbok sampun makoten kakang, kula
liang saja sae, upama kula puruna, mendhet enceh priyangga, estu
kala enjing wau, kla tan ngaturi pirsa.

Nalikane kula manggih, andhika dereng uninga, datan purun
mendhet dhewe, tanpa seksi tanpa kantha, sanget ajrih kawula,
lajeng kula asung weruh, ing mangke sampun kapirsa.

Dhateng andika tumuli, ula pendheta priyangga, pados sakit
napa bae, duraka ingkang pinanggya." Candranala wacana, adhi
kawula saestu, tan seja darnel prakara.

Agengipun damel pali, dhateng sarira andhika, tan sumeja lair
batos, naming pun adhi kewala, gadha kuma-kuma, nyukani
panduman ulun, rehning kula tumut pirsa.

Denira manggih pun adhi." Suryanala sru wuwusnya,napa sing
kula wehake, barangipun sampun murca; allah tobil si kakang, mOOk
inggih sampun kadyeku, ngunyeri wong mOOten nyata."

Ki Candranala nabda ris, "pramilane kula dakwa, jer kula ani-

2016tipake, dhateng pawong mitra kula, kang tunggu randhu wana,

sinten sintena kang jnukuk, yen liyane Suryanala.

erpusdaBanjur kula kon naleni, pun adhi mireng priyangga, weling kula

ing dheweke." Suryanala Ion wuwusnya, "Sinadyan makatena, jer
kula boten anjukuk, ewa dene dika tanya.

Dhateng kang dhika tilipi, kadi pundi tuturira, kula ajeng ngru-

Pngokake." Amegos Ki Candranala, sigra ngadeg alunga, tanpa pamit
ediakesahipun, Wau kyai Suryanala.

Mangkana osiking galih, 'Nepsu kakang Candranala, Bab ilange

lih Menceh kiye, sapa baya kang ngambila, apa kapulung dewe, apa ta
Ailang kajukuk, mring kang bau-reksa arga:

Nalaastya nulaya mulih, ing batin sampun narima, datan
garentes icale, enceh; kapupus ing nala' Kasigeg Suryanala, Kawu-
wusa lampahipun, Candranala prapteng wisma.

Dilalah karsaning Widi, manahira Candranala, datan sakeca
raose, tan pegat denya trataban, kuwatir melang-melang, datan
sakeca alungguh, karya nendra datan bisa.

Kena ing walatireki, dunya kang dudu kak-ira, teka mengkana
osike, 'Patutane Suryanala, caturan karo janrna, tangga-teparone
agung, ana ingkang rada bisa.

Nuli angojok-ojoki, akon gugat mring nagara, matur ing
parentah gedhe, prasaja paturanira, ilange enceh ndakwa, maran
ingsun ingkang jukuk, amarga laku dursila.

Jabung alus angapusi, pasti lamun ingsun kena, ing prakara

135

juti gedhe, kacekel marang nagara, ngomah kagledhahana, barang

kabeh katemu, paran nggon sun nyelakana.

Durung mangan sida dadi, kuli tan oleh balanja, tur kapeksa

nyambut gawe, angur ingsun dhinginana, anggugat Suryanala,

pasthi dheweke kang nemu, prakara sebab dursila.

Kalamun ingsun dhingini, agugat marang nagara, andakwa

marang dheweke, upama Si Suryanala, gugat mangsa dadia, jer

dhingin panggugatingsun, mangkono adate praja.

Wong gugat pasthi ginalih, mokal lamun wong dursila, wania

anggugatake, dene kang gugat ing wuntat, marmane tan katrima,

ginalih wong mbawur laku, agawe dora sembada.

Dene kang sun gawe saksi, dhemit kang ngong aku mitra, aneng

randhu alas nggone, ngong titipi kon rumeksa, nadyan saksi sajuga,

jer bangsanireng lelembut, sun watara kapercaya.

2016kenceng pikire, denirarsa ngrekadaya, amrih sandi upaya, sigra
Kaya-kaya ingsun bangkit, matrapake akal dhusta, sawusnya

ngundang kadangipun, priya: wasta Naladhustha.
erpusdagah setata neng bale, Candranala awecana, "Adhi muiane sira, Ing-
Datan dangu nuli prapti, Naladhustha mungging ngarsa, leng-

sun undang alu-dalu, luwih perlu karyanira.

Pkene, perlune asung uninga, adhi marang manira, lamun dheweke
Adhi ngong tuturi, esuk mau Suryanala, teka ing ngomahku

ediaanemu, enceh kapendhem neng Kisma.
Mmyag tegale, andulu enceh isinya, brana sarwa Kancana, nuli sun
Manira kinen nekseni, nggone nemu neng tegalan, null ingsun

lihtarekah apus, barang kena ing manira,
AIku aja jarwa adhi, marang sawijining janma, angamungna kowe,

dhewe, kang weruh wadi manira." Naladhustha atumya, "Punapa

sakarsanipun, kakang ulun tan lenggana."

Candranala muwus aris, "Iku adhi karasaningwang, ayun

ingong gugatake, marang pulisi nagara, sira ingkang dadia, lelembut

kang aneng randhu, alas sun titipi brana.

Lamun ana nakoni, enceh ingkang duwe sapa, tutura aku kang

darbe; lamun tanya ingkang dhustha, tuturna Suryanala,; wis aja

liya caturmu."

"Kawula manggen ing pundi, estu katingal kewala, kajengipun

randhu gedhe, pamiwontena paragak, nglangkungi inggilira, pami

manggena ing grumbul, kapara tebih nggenira."

Candranala muwus aris, "Manggona madyaning wreksa,

randhu alas gedhe kae, Naladhustha aturira, "Kawula tan kuwasa,-

136

pulisene, Ki Ageng Kartikasastra, aris denira tatanya, "Heh wong
ngendhi sira iku, lawan sapa aranira."

Candranala matur aris, "Kawula abdi paduka, patinggi pagodho-
ngane, sukuning semeru arga, awasta Candranala, padhekahan
Karangtalun, pisowan kula punika.

Badhe ngaturi udani, dhateng parentah pradata, ing ngajeng
kawula darbe, barang kathah warnanira, sami emas kencana,
pratelanipun ing wujud, kadya ing ngandhap punika.

Wami jamang kang rumiyin, tigang atus ingkang rega, kalih
kalung ping tigane, nem atus ingkang rega, langkung seket rupyah
wutuh, gangsal wami gelangkana.

Kalih atus kang pangaji, kelat-bau ping nemira, ugi rong atus
regane, pitu anting-anting rega, satus kaping wolunya, badhong
regi tigang atus, keroncong kang kaping sanga.

Regi kalih atus malih, kaping sadasa awama, supe seser pangaose,
gangsal atus rupyah slaka, anjawi raja brana, anggris jene kathahi-

2016pun, satus sadaya punika.
Gunggungipun ing pangaji, kalih ewu tusan sanga, langkung

erpusdaseket rupiyahe, sadaya wau kawula, wadhahi neng encehnya, kula

petak ngandhap, randhu, ageng neng sukuning arga.
Sarta kilia ugi titip, dhateng pawong mitra kula, lelembut ing

randhu gedhe, sapunuka enggenira, kabubak Suryanala, kadamel

Ppagagen sampun, wau pepetakan kula.
ediaSareng kawula tuweni, enceh sampuh tan kapanggya, lajeng

kula takekake, dhateng pawong mitra kula, kang menggen randhu

Mwana, sajangipun dipun jukuk, mitra kula Suryanala.
AlihKula ugi mitakeni, dhateng adhi Suryanala, nanging tan ngakeni

bae, ingkang punika kawula, tan suka tan katarima, barang kawula
kajukuk, dhateng adhi Suryanala.

Kula nuwun wangsul neki, dhumateng tangan kawula, medala
saking astane; parentah ageng pradata". Ngabehi Kartikasastra, duk
myarsa paturanipun, Candranala megat mitra.

Megatruh
Ki Ageng Kartikasastra duk angrungu, ing atur gugatireki,
Candranala tyasnya ngungun, dene nganggo saksi dhemit, nulya
angandika alon.
"Mangko dhingin, manira tanya sireku, kalairanira ngendi, Ian
pira umurrireku, Candranala awotsari, "Kalairan kula dhukoh.
lng kuripan punika nggening leluhur, umur kula seket kalih, taun

138



Iwnampah punika." Mas Ngabebi ngandika tis, dhateh carikira gupoh.
"Aturane Candranala kabeh iku, ugerana kang salesih." Carik

sandika turipun, sigra denira ngugeri, Ki Ageng malih takon.
"Sabab apa sira wong tik-melikipun, ing Kahuripan teka dadi, ana

dhukuh Karangtalun, Ian apa karyanireki, panggautanmu kang
manggon."

Aturira Candranala: "Mila ulun, ngalih purwanipun ngarsi,
sangajaling tiyang sepuh, sedherek kula nggentosi, bapa, Kula
mencar dhukoh.

Dhateng wana sukununing Semeru gunung, lami-Iami kathah
janmi, ingkang tumut griya ngriku, kula kaangkat patinggi, lestan-
tun saengga mangko.

Dene ingkang dados panggesangan ulun, duk lare saengga
mangkin, amung tani karya uJun, ngolak-alik tegiJ sabin, manem
sakalir tumuwoh."

2016Ki Ageng Kartikasastra tanya arum, "NaJikane sira ngaJih, ma-

rang dhukuh Karangtalun, anggawa apa sireki, tutuma ing ngar-
saningong."

erpusdaCandranala sanalika manahipun, kalimput gugatireki, prasaja

ing aturipun, "Nalikane kula ngaJih, dhateng Karangtalun dhukoh.
Mbekta kebo kaJih rakit kathahipun, asrta kawan amet pari, wiji-

Pwiji saliripun, kang badhe ngregengken dhukoh.
ediaSaha barang pangangge samurwatipun, tiyang alit jalu estri,

sakadare tiyang dhusun." Ki Ageng tanya malih, "Pira lawasmu

Mneng dhukoh.
lihSarta apa barang ingkang kowe tuku." Candranala atur aris,

A"sampun kalih dasa taun, ingkang kula tumbas naming, lembu

akaliyan kebo.
Ngalih rakit; anjawi saking punika, dhuwung sakandelaneki,

jene kaJih sangkangipun, tiyang estri kaJih rakit, anjawi sangking
panganggo.

Bangsa suwek panganggene tiyang dhusun, kang perlu kewaJa
naming, mung punika atur ulun." Ki Ageng ngandika ris, "yen
mangkono sira goroh.

Gonmu ngaku duwe raja brana agung, ko-pendhem aneng wana
dri, ing ngendi pinangkanipun, apa ta olehmu maling, nuli den
malingi uwong?"

Candranala bias gumeter tyasipun, naratapira upami, tinebak
ing sima luput, dangu datan bisa angling, wusana umatur alon.

"Mila wau barang tan kaJebet ngatur, margi kang tuan pirsani,

139

barang tetumbasan ulun, priyangga sadayaneki, wangsul kang ical
sayektos,

Titilaranipun tiyang sepih-sepuh, bapa tilaraning kaki, kaki tilara-
ning buyut, dede kak kula pribadi, atur kawula tan linyok."

Ki Ageng Kartika,sastra awas ndulu, ing ulat liringireki, Candranala

jroning kalbu, neng solah amertandhani, katara ujare linyok.
Lamun janma wicaksana pasthi, ulat liringireng jalmi, miwah

solah- tingkahipun, iku kebayaing ati, yen mukir kacora lodhoh.
Kartikasastra wicaksana ngulah semu, sigra atetanya malih,

"nggoning randhu alas iku, watarane adoh endi, sangka padhu-
kuhan karo.

Lan benere melu ngendi randhu iku, apa melu Karangsari, apa
melu Karangtalun, apa tugu wates bumi, Ian dhisik endi kang
dhukoh.

Karangsari kalawan ing Karangtalun, Ian papa watesireki, nggone

2016babad karya dhukuh." Candranala awotsari, "Bilih nggenipun

dhedhukoh.
Kula ingkang kantun elet kalih tahun, nggening randhu radi

erpusdatebih, sangking dhekah Karangtalun, elet igir punthuk ardj." Ki

Ageng ngandhika Ion.
"Lah ta apa muIane sira aweruh, marang dhemit kang ngenggoni,

witing randhu alas iku, Candranala matur aris, Duk kawula badhe

edia Pdhukoh.
Dhateng Karangtalun kula nepi ngriku, samanten kula kawangsit,
kinen nyiyosaken dhukuh, sarta ngaken mitra yekti, makaten

lih Mpurwaning kang wong."
A Ki Ageng Kartikasastra aris muw:us, "Sakehing aturireki, uwis

padha ingsun rungu, sarta wis manira pikir, muliha bae samengko.
Dina Soma Manis teka ing ngarsengsun, gawenen saksinereki,

supaya gelisa rampung, lamun saksi ora prapti, yekti prakara tan
dados."

Nalwasa alon denira umatur, 'Kawula nuwun Ki Ageng, bab
saksi pisowanipun, dhateng ngarsa tuwan griki, kawula bekta sagoh.

Sabab saksi lelembut ing kajeng randhu, panuwun kawula mugi,
wontena pamengkunipun, parentang ageng puHsi, manawa arsa
tetakon.

Dhateng saksi amindhut paturanipun, mugi utusanana maring,
enggenipun kajeng randhu, upami boten mangsuli, kawula narimah
kawon.

Ki Ageng kendel dangu datan muwus, mangkana osiking &."Hh,

140 I

1

elok temen wong puniku, kang dadi aturireki, taka datan nduga
ingong.

Dene ana kayu mdhu bisa muwus, nulya angandika aris, "Ya
wis angandika aris, "Ya wis muliha karuhun" Kalilan gya mundur
gupoh.

Ki Ageng Kartikasastra mrentah gupuh, langsir kinen animbali,
patingginira ing dhukuh, Karangsari ingkang nami, Ki Suryanala
den gupoh.

Lurah langsir sigra lengger 'sangking ngayun, datan kawarna
ing margi, wus parapta aneng ing dhukuh, Karangsari gyanireki,
Suryanala langsir takon.

"Lah ing ngendi wismane patingginipun?" Pinuju kang den
takoni, Suryanala nulya matur, "Inggih ngriki wismaneki,." Lurah
langsir malih takon,

"Apa ana ing wisrna Nalasatyeku." Kang tinakon anauri, "Suryanala
inggih ulun, andika kula aturi, sumangga sami alunggoh.

2016Dhateng griya."Lurah langsir gya tumurun, saking kuda nulya

manjing, dhateng wisma tata lungguh, mungging salu tiyang kalih,

erpusdaagenti takon-tinakon.
Wusnya bage-binage sakalihipun, Suryanala tanya aris, "Nah
angger, sinten pukulun, saha priyantun ing pundi, ing lampah
punapa gatos?"

edia PLurah langsir mangsuli tembungnya arum, "Kakang, kula lurah

langsir, lampah kawuila ingutus, dhateng panewu pulisi, Kartikasastra

Mingkang kongkon.
lihAnimbali jengandika dhawahipun, kadherekna lampah mami,

ASuryanala sareng ngrungu, ngandikaning lurah ndhrodhog.
Ulat payus karinget kadya wong adus, sesambatira dermili, "Al-
lah tobat bapa biyung, kaki nini buyut mami, padha jangkungen
ragengong."

Wusnya sambat Suryanala nangis matur, "Mas Kula den timbali,
wonten punapa mas bagus, mugi andika jateni," Lurah langsir
muwus alon.

"Milan ndika katimbalan prentah agung, andika kadakwa maling,
Candranala lurah dhukuh, Karangtalun; enceh isi, raja brana sarwa
kaot.

Dipun petak tegil, caket kajeng randhu." Suryanala duk miyarsi,
atebah dhadha angadhuh, "Kaniaya mitra mami, dene ka dadi
mangkono.

Apa baya kang tinemu akiripun, wong gawe kiyanat maring,

141

pawong mitra kang rahayu." Lurah langsir amiyarsi, dahat ngres
welas ing batos.

Langsir tanya: "Kadipundi temenipun?" Suryanala gya nuturi,
"Duk awitira anemu, enceh teka Hang neki, kadya kang sampun
kacriyos.

Langsir muwus: "Yen makoten sulangipun, andika ampun
kuwatir, mangke kula kang tatulung, matur dhateng Ki Ageng, andika
lamun tinakon.

Ing parentah dika matur kadi 'wau, layane parentah nggalih."
Suryanala: "Matur nuwun, sumangga kula umiring." Sigra pangkat
sakaroron,

Tan kawama lampahira aneng ngenu, prapta ngarsane Ki Ageng,
lurah langsir sigra matur, miwiti mawah mekasi, wus katur ingkang
lelakon.

Ki Ageng Kartikasastra duk angrungu, aturane lurah langsir,
kacathet sajroning kalbu, cocog suraosing galih, null angandika

2016alon.
"Suryanala ing ngendi klairanmu. Ian pira umurireki, sira matura

erpusdakang tuhu," carik kinon angugeri, Suryanala matur alon.
"Lair kula wonten Jatiraga dhusun, umur kawula tan uning,
rehning abdi dalem dhusun, manawi nggadahi siwi, datan mawi
manah weton.

PKi Ageng ngandika : "Bener aturmu sun watara sira lagi, umurira
ediaseket tahun." Suryanala atur neki, "Mbok manawi inggih yektos."

Ki Ageng ndangu: "Apa purwanipuo. sira omah Karangsari,

MSuryanala umatur, "Sareng kua sampun rabi, lajeng misah
Alihadhedhukoh.

Lami-lami kathah tiang sami tumut, griya wonteng Karangsari,
kawula lajeng kajungjung. kadadosaken patinggi, lamine nggenipun
dados.

Padhekahan sampun kalihlikurtahun." Ki Ageng tanya aris,
"Dhisik endi nggone dhulcuh, Candranala Ian sireki?" Nlalasatya
matur alon.

"Awitipun dhedhekah rumiyin u1on." Ki Ageng tanya malih,
"apa sing dadi karyamu. panggota !urn asil" Suryanala matur alon.

"Panggota kawula sangkaning timur, dalah samangke mung
tani, nanem kapas jarak panton. ngolak-alik tegil sabin.' Ki Ageng
aris takon.

"Nalikane sira ngalih marang dhukuh, anggawa apa sireki, sarta
salawasireku, aneng dhukuh Karangsari, apa sira tuku man&ko?"

142 t

]

I

Suryanala alon denira umatur, "Bebektan kula duk ngalih,
dhateng dhekah amung lembu, kalih root sarta pari, kalih caeng
miwah kebo.

Kalih iji sarta wiji-wiji agung, dene salaminereki, kula wonten
dhukuh ngriku, ingkang kula tumbas aming, waos dhuwung
pedhang golok,"

K.i Ageng Kartikasastra ngandika rum, "Sira manira takoni,
tutura sebeneripun, apa nyata sira ngambil, enceh isi barang kaot.

Kang Kapendhem aneng soring kayu randhu, kang ko-bubak
anyar 001" SUT}'anala aturipun, miwiti malah mekasi, kaurut saking
duk panggoh.

"Purwanipun kawula tugar pukulun, amiyaraken kang tegil,
lajeng anan'ggori watu, watawis geng saklenthing, sela lajeng kawula
gol.

Ngandhap watu garowong wopten kadulu, enceh katutup tem-
bagi, kawula ajrih andumuk, margi boten mawi saksi, mbok ing

2016pungkur manggih ewoh.
erpusdaPangkur

Kawula lajeng kewala, kesah dhateng Karangtalun sung uning,
dhateng.pawong mitra ulun, pun kakang Candranala, neksenana
wau anggen kula nemu, kakang Candranala nulya, atumut

Pdhumateng tegil.
ediaSapraptaning gen pendheman, ponang sela lajeng kula junjung,

ketinggal encehira, gya kependhet enceh saking enggenipun, tutup

Mtembaga binuka, isi bra warn-warni.
AlihCandranala lajeng nabda, aken nyindhem sampun ngaturi uning,

dhumateng parentah agung, sabab catur prakara, kagungane Gusti
Kangjeng Sang Aprabu, kang runiyin wara arga, kaping kalihipun kali.

Ageng alit mwah samodra, kaping tiga sekathaningpun m~rgi,
jangkepipun' kaping catur, burni-kagungan Nata, kang mangkurat,
mangka sira iku nemu, dunya kependem jro kisma, kapindho aneng
wana dri.

Pasthi, kapandhut nagara, dika kula tanpa tuwas ing kardi,
semune barana niku, paringe Kang Kawasa, teng si adhi kalih kula
tetepipun, pami kalong dhateng janma, ing sanesipun mubadir.

Puniki rembag kawula, adhi sampun baribin dhateng janmi,
sanadyan sanak sdulur, sampun sinungan pirsa, mbok manawi
d<><\os panjang wartosipun, sae kasidhem kewala, mangke dalu den
wangsuli.

143

Pami kapendhet samangkya, estu tangga tapalih sami uning,
sami dhateng nedha mujur, ooten wande kawentar, kula kalih pun
adhi kepanggih luput, lah mangke dalu kewala, sirep janma den
purugi.

Dene kang jogi rupleksa, icalipun ing sadinten puniki, kula litipne
puniku, dhumateng mitra kula, dhemit ingkang manggen wonten
kajeng randhu, kawula nurut kewala, Candranala lajeng angling.

Dhateng kajeng randhu wana, aku titip pendheman enceh iki,
sapa-sapa ingkang njukuk, liyene Nalatsya, talikunge aja lunga sing
gon iku, pacuhan lah pma-poma, sasampunira alitip.

Tumunten ngajak bibaran, kula inggih mituhu lajeng mulih,
kilap ing sapengker ulun, dalune sidhem janma, Candranala dhateng
ing wisma ulun, celuk-celuk saking jaba, kula kaejak murugi.

Kawula nderek kewala, sapratone wonten pangenan gipih,
saprotene wonten pangenen gipih, kula ingkang kinem njukuk,
ambukak tutup sela, ri sampuning tutup sela kula junjung, enceh

2016sampun datan ana, kawula enggal nanjangi.
Dhateng kakang Candranala, icalipun enceh pun kakang mbekis,

erpusdaserta cantenipun sendhu, kula kinen mangsuha, kula sumpah

kathah-kathah tan karungu, dupeh sampun amitungkas, dhateng
milrane dhedhemil.

Mangkana cantenanJra, Sinten malih lamun dede si adhi, jer kula

edia Pempun sung pemut, kang tunggu randhu wana, yen kajukuk UI\g

janma na liyanipun, sangking adhi Nalayatsa, kasrimpunya dipun aglis.
Kula lajeng aken tanya, dhateng ingkang dipun titipi ngarsi,

lih Mkadi pundhi sanjangipun, kula ajeng amiregna, Candranala lajeng
Angadeg kalih nepsu, kula inggih lajeng mulih.

Mung punika atur kula, temen-temen nedal ing manah sud,"
WingnyasaSlra tanya arum, "Kalane Candranala, nitipake marang
dhemit kayu randhu, kapriye wangsulanira?" Nalayatsa malur aris.

"Saking pamireng kawula, Candranala amung canten pribadi,
kajeng randhu tan samaur." Ngabehi Wingnyasastra, angandika :
"Kowe prasamu, apa ta hiya pracaya, ing dhemit kang den tilipi?"

Nalasatnya aturira, "rehning kula ceguk balilu, inggih, mung
nurut pratikelipun, pun kakang Candranala, dene sampun asumpah,
ngaken sadulur, jaler ing dunya ngakerat, mila kula tan nyigeni.

Upami wonten kang seja, gadhah, wonten ngawani salah siji,
sinten kang wiwit karuhan, saentu manggih papa, mung punika
pitasoding manah, ulun, kodes boten kekilapan, Gusli ingkang Maha
Sud.

144

Ki Ageng Wingnyasastra, sadangune miyarsa atur neki, Nalayatsa
rosipun, ginalih kaya nyata, aturane si Nalayatsa kang tuhu, Dodya
alon angandika, "sireku keneng prakawis.

Ginugat laku dursiJa, iku mesthi kalebu aneng bumi, sinadyan
ora satuhu, hiya aneng kunjara; nanging sira sun alingi ingong
tanggung, sira eres kewala, aja lunga sing pandhani.

Nalastya tur sandhika, "tan gumingsir kawula prapteng pati."
Kasigeg ganti kawuwus, Kocapa Candranala, pan gineman kalih
Naladhusta sarnpun, kait badhe parentah pulisi.

Ing ari Soma Manisnya, wus ginendhing bab lampahira sandi,
duk prapta ubayanipun, ing dina Soma mangkat; kacarika Ngabehi
Wignyasasteku, ing ara soma sineba, sakathahing pulisi.

Rangga, demang munggang ngarsa, saben ari repaten ari repatan
kinardi, nglapuraken bawahipun, sakawontenanira, ing prakara
miwah ingkang sampun rampung, katungka ing praptanira, Nala-
warsa munggeng ngarsi.

2016Ki Ageng Wingyasastra, angandika; "Candranala sireku, anggugat

marang mitraku, hiya si Suryanala, mengko uwis teka aneng ngarsa-

erpusdaningsun, prakara manira pirsa, ature cetha patitis.
Enceh iku dudu sira, kang ndabeni; temene nggone manggih,
aneng tunggananira, Nalayatsa nuli tutur ing sireku, sira kinen
neksenana nuli sing anuturi.

edia PAkeh-akeh tutoring, akon nyidhen aja katur nagari, serta aja

nganti weruh, marang wong tangga desa, Nalayatsa nurut marang
saujarmu, sira mitranira dhemit.:

lih MCandranala aturira, "sampun limpah tiyang dursiJa mungkir,
Angalangi badanira, lamun ngaken manggih, sin ten saksinipun,

saestu gadhanhan kula, wonten kang kula titipi.
Sareng ical linggih pirsa, ingkang mendhet enceh isi retna di,

asanjeng dhumateng ulun, kang mandhet mitra kula, Nalayatsa
lurah patinggi ing dukuh, Karangsari milanira, tan ·purun ngaruh-

aruhj."

Ki Ageng Wingyasastra, aris tanya; Saksimu dhemit iki, apa
bangsane puniku, kaya pan rupaniro, Ion kapriye basane lamun
celathu, Ian apa gelem caturan, kalawan samiyah janmi?"

Candranala aturira, "Bangsanipun kawula datan udani, sarta
tan katinggal wujud, amung gremeng kewala, cantenipun inggih
kadya manungseku, atemen sawiraosnya." Ki Ageng ngankdika

ris.

"Yen mangkono aturira, bab gugatrnu ingsun tan wani mutasi,

145

kudu katur prentah agung, pangadilan nagara, sabab aneh
prakaranira puniku, siki sira sun gawa, Ian si Nalayatya ugi."

Ma Ngabehi Kartikasastra, gya siyaga badhe sowan nagari,
ingkang nderek langsir catur, sami wahana kuda, Candranala
Suryanala aneng pungkur, lampahnya datan kawarna, sapratani-
reng nagari.

Anjujug wadonanira, Ingkung wasta Rahadyan Ngabehi, Darma-
widya pinunjul, putus saliring sastra, wicaksana rahayu pambe-
kanipun, keringan ing parang muka, kancanira ajrih asih.

Dyan Behi Darmawidya, Senen Kemis sineba neng pandhapi,
repotan para panewu, Rangga Pulisi Demang, sami lapur punapa
sawontenipun, gadhuhanira priyangga, Ing prakawis alit.

Ki Ageng Wignyawsatra, prapteng Jawi regol tumurun saking,
turangga lajeng adhawuh, dhateng langsir nenggaa, Candranala
Nalayatsa aneng pintu, mengko yen ora timbaJan. kaladekna ganti ganti

Sawusnya dhawah mangkona, Ki Ageng sigra manjing pribadi,

2016arninggah pandhapi agung, alenggah mungging ngarsa, ngaturaken

serat gugat jawabipun,papirsan miwah ugeran, Raden Ngabeh narnpeni.

erpusdaBinuka sinuksmeng driya, gugat-jawab miwah ngeraneki, wus

kacathet jroning kalbu, serta sampun pratela, galitane ing prakara
wus kacakup, tansah ginagas ing driya, ngunandika jroning galih.

Agawat iki prakara, layak kakang Kartikasastra tan bangkit,

Plabete sangking saking pakewuh, nagging panduganingwang, ana.
edianana bisa celethu, pawong mitra Ian manungsa, iku kamokalan yekti.

Wusnya kadriya mangkana, sigra ndangu wau dhateng Ki

M, Ageng, Kartikasastra tembungnya rum, "Kakang gugat punika,
Alihkaubegna dhateng prikanca panewu, utawi Rangga sadaya, kadi

pundi bobot neki?"
Ki Ageng Kartikasastra, gugat jawab saprabotira sami, sinung-

ken para panemu, kapirsa gantya-gantya, wusnya rata sagung kang
para panemu, Ki Ageng atanya, "Pripun kanca nggone mikir?"

Panemu rangga atumya, dadya tiga diyon kencengnya sami,
kang saduman aturipun, "Leres pun Suryanala, awit saking nalika
titip puniku, Suryanala ton miyarsa, wujud sarta swaraneki.

Kalih udanagarinya, sanget elok atur gugatireki, tebih saking
dhukuhipun." Kang saduman atuenya, "Suryanala sampun tetap
kawonipun, sabab sampun karebahan, saksi gandarwo dhedhemil."

Kang Saduman aturira, "Yen Kawula prakawis ooten dadi sabab
sanget makalipun, Suryanala kainan, dene boten enggal genira
umatur, dhateng lurah pulisinya." kendel RahaKi Ageng.

,146 ,

Adangu datan ngandika, nulya ndangu dhumateng Ki Ageng,
Kartikasastra manis arum, "Wangsul pun kakang Wignyo, kadi pundi
pamikire kang satuhu, bab saksi dipun budia, dadi Ian OOtenireki.

Prakara punika gowat, salamine kula dereng miyarsi, prakara
kadi puniku, sarta ing jaman kuna, dereng enten kang kacitra lir

puniku, Ian malih angger sadaya, ooten wonten ingkang muni.

Kang kadi udur punika, napa dene ing kitab topah sepi, bab
dakwa kadi puniku, ewuh pamutusira, mring sangka punapa
krampungani pun, lah sagung panewu rangga, sarni jengandika
budi

Katrapaken saking punapa, krampungane prakara kadi pundr
Ki Ageng aris roatur, '1eres dhawuh paduka, nyala wados prakawis

punika estu, kawula ooten anduga, yen sangking dugi prayogi.

Kados leres aturira, Suryanala; enceh punika rnanggih tiyang
kina darbekipun, wangsul pun Nalawangsa, ngaken titip dhateng

2016dhemit kajeng randhu, nalika' pametakira punika emeng ing galih.
Upami kang mOOu reksa, randhu wana kenging dipun takeni,
cetha genah aturipun, inggih pun Suryanala, kukum kawon pami

erpusdadhemit dipun dangu, tan saged umatur cedtha, Candranala kukum

maling.
Prarnila rnanah kawula, gadhah raos rnakaten enget saking,

Pcantenipun tiyang sapuh. bilih manungsa ekas, ugi saget pawong
ediamitra Jan lelembut, sapocapan kadi janma, anarning datan kaeksi.

Saha ternen sanjangira, bilih wonten tiyang badhe angawoni,

Mdhateng pawong mitranipun. Jajeng suka waninga, bilih badhe pun
lihawon sanesipu.", kapurih ingkang prayitna, makaten darnelireki."
A)(i Ageng ngandika, "Panemune si kakang niku inggih, kadi

enten emperipun, larnun kapirit sangka, ujaring wong bangsa kula
jawi niku, sing empun kalakon padha, anggugu ujar tan yekti.

Akeh kang nggugu suwara, ujar jare padha den anggep yekti
weneh nyembah kayu watu, kewan iwak loh ula, den bekteni
kapundhi pundhi satuhu, Ture paring sandhang pangan, weneh
apek setan gondhid.

Sowiyoh nyobat thetheken- ilu ilu gandarwo bonas pati, ana ingkang
nyembah bulus, kodhoIc kadJull Ian ula, iku padJul dinalih bisll web luhuT,
Ian bisll web rajabrana, asung wangsit maripmi.

Kasuhurake ing janma, niJli padha kalayu milu ngambil,
sangking gugon tuhonipun, sing dadi poor kula, niku dhemit
ingkang bau reksa randhu, llkuIa gawe tandha nyata, wong anom
padha mirsani."

147

Sinom
Ki Ageng ngandika, "kalamun kula pribadi, kudu tan ngandel
kewala, dhateng bangsaning dhedhemit, amarga kula poor, bangsa-
ning lelembut niku, saingga buron toya, sarta buron ing wanadri,
sabangsane kutu-kutu walang taga.
Sebab kula dereng pirsa, wujude bangsa dhedhemit, sarta dereng
sapocapan, ewa dene kang udani, napa empun udani, wujude
ingkang lelembut, lamun sampun uninga, kadi punapa kang wami?"
Ki Ageng gumujeng aris atumya.
"Kula inggih dereng pirsa, pribadi warnaningdhemit, saha
dereng apocapan, bilih wilujeng puniki, badhe pirsa utawi, mirenga-
ken cantenipun, benjing bilih kawula, paduka utus mirsani, saksi
ingkang manggen wonten randhu wana."
Ki Ageng Darmawidya, gumujeng ngandika aris, "Benjang sarni
kapiyarsa, dhateng sagunging pUli.si, canteen kados pundi, Ian
punapa wujudipun, lah kakang Kartikasastra, samangke dika

2016dhawuhi, Suryanala utawi pun Suryanala.
Kalihnya tan kenging lunga, saking kapulisen ngriki. Suryanala

erpusdaneng pandhapa, Candranala aneng kori, kula badhe nindaki, dha-

teng goning kayu randhu, benjang ing ari Soma, andangu dhuma-
teng saksi, Candranala Suryanala umiringa.

Andika parentah karya, pakuwon aneng ing tegil, goning pen-

Pdheman kang murca, sarta dika sendhiyani, kayu obong kang
ediagaring, kasingitna enggonipun, Sagung panewu rangga, demang

dhatenga kang enjing, dina Soma ngumpul aneng pasanggrahan."

lih MKi Ageng Kartikasastra, matur sandika gya mijil, sapraptaning
Aparegolan, sigra angandika ris, "Candranala sireki, Ian Suryanala

sireku, dhawahe Dyan Wadana, sira padha ka-res kalih, Suryanala
kares aneng ing pandhapa.

Aja sira lunga-Iunga, dene Si Nalawaseki, Ka-res ing Ki Ageng, dina
Soma nindaki, andangu marang saksimu, kang manggon ngrandhu
wana, sireku kinen umiring." Suryanala Suryanala tur sandika.

Naladhustha duk miyarsi, andikanira Ki Ageng, atas pami-
yarsanira, ing dina Senen mirsani, saksi dhateng wana dri,
Naladhusta angles mundur, gancangan lampahira, badhe malebeng
piranti, tan kawama solahira Naladhustha. .

Ki Ageng Kartikasastra, sawusira marentahi, Candranala kondur
sigra, gancangan lampahireki, datan kawameng margi, sapraptaning
dalemipun, nulya karya nawala, parentah sagung pulisi, kinon karya
pakuwon kareka pura.

148 !

J

Aneng patalunanira, Suryanala saha malih, para pulisi ngumpu-
la, Dina Soma ingkang enjing, Ian sagunging pulisi, padha anggawa
kayu, kumpulna aneng wana, kang dhelik tan pali tebih, Sangka
goning kayu randhu wana.

Wusnya srat parentah dadya, kasebar dhateng pulisi, tan
kawama solahira, para pulisi wus kardi, pakuwon langkung asri,
mawi regal bale mangu, pandhapa sri karengga, kinubeng pondhok
pulisi, amiranli sagungnya panewu rangga.

Sapraptaning ari Soma, pepak sagunging pulisi, aneng tegal
wewangunan, kathah jalma, aningali, jalu estri anggili, sangking
kanan kering dhusun, miwah liyang wadeyan, langkung kathah
wama-wami, kawuwusa rawuh nya Raden Wadana.

Pinethuk panewu rangga, oreg sagungireng janmi, jalu eslri suka
miyat, rawuhnya Raden Ngabeni, tedhak sangking luranggi, malebet
pandhapi agung, gya lenggah madyanira, pandhapi para pulisi,
rangga demang panewu aglar ing ngarsa.

2016Dyan Behi Darmawidya, tatanya dhateng Ki Ageng, Karlika-

sastra: "Lah punapa, pepak sadaya pulisi?" Ki Ageng malur aris,

erpusda"Sadaya pulisi sampun, sami sowan sadaya, salunggil tan wonten

pamit." Ion ngandika Ki Ageng Darmawidya.

"Lah kakang andika pirsa; pun Candranala mitreki, kang dadya ,

saksi punapa, sam pun kenging den takoni." Sndika Ki Ageng,

PKarlikasastra sigra ndangu, "Heh sira Nawlawasa, mitramu kang
ediadadi saksi, Apa uwis kena lamun kapariksa?"

Candranala alurira, 'Sumangga luwan pirsani, mangke bilih tan

lih Mpirsani, mangke bilih tan malura, kawula ingkang ndorani, dhateng
Aparentah nagari, sakarsanipun angukum." Ngabehi Kartikasastra,

nulya malur Ki Ageng, "Kula sampun paduka ulus mariksa.
Dhumateng pun Candranala, sumangga alurireki, mangke bilih

kapariksa, mitranipun tan nauri, Candranala kadugi, nyanggemi
ukumanipun." Raden Lurah ngandika, "Lah inggih kakang
Ngabehi, ndika pirsa mitrane pun Candranala.

Sakanca panewu rangga, mirenga aluri saksi, kula neng wuri
kewala, mirengake saking tebih, Sandika Ki Ageng, sigra lengser
saking ngayun, miwah panewu rangga, demang panalus umiring,
angubengi wiling kayu randhu wana.

Miwah sagungireng janma, kang ningali jalu estri, angubengi
randhu wana, saengga wong adu-tandhing, kumacelu miyarsi,
wicantenireng lelembut, Ngabehi Karlikasastra, aris denira nakoni,
"Heh mitrane Candranala: randhu wana.

149

"Sira kadangu nagara, matura ingkang sayekti, enceh isi raja
brana, kapendhem neng kene iki, sapa ingkangndarbeni, Ian
samengko enceh mau, aneng ngendi nggonira, lamun kaalap ing
jalmi, sapa ingkang ngalap sica pajarena."

Kang rnindha setan nyuwara, cumengkling suwara cilik, ginawe
kadi wanita, mangkana denya nauri, "Enceh duwekireki, Si
Candranala mitraku, titip marang manica, samengko kaambil
maring, Suryanala mitrane Ki Candranala."

Kaget sagung kang miyarsa, panewu rangga pulisi, miwah
sagungureng janma, atas denira miyarsi, wangsulanireng dhemit,
asanget denira ngungun, Dangu tan ngunandika, Candranala asru
angling, "Lah mungkira sira adhi Suryanala."

Tumungkul Ki Suryanala, sarta amangsuIi ririh, "Nadyan rubuhana
arga, Sameru ngong tan gurningsir, tekan ing lara pati, suwarga ginawe
ayu, nggoleki pati apa, janji ingsun bener becik, kudu kena ing pati
bekja manira."

2016Wau Rahaden wadana, sadangunira ningali, pulisi jetung sadaya,

tansah ginagas ing galih, Suryanala kalirik, nulya angandika arum,

erpusda"Lah kakangWignyasasra, andika mundur kariyin, Mangke kula

priyangga ingkang tatanya."
Ki Ageng Darmawidya, sigra majeng mungging ngarsi, Ki Ageng

Kartikasastra, mungging wurinya tan tebih, Dyan Behi ngandika

Pris, "Heh lembut kang aneng randhu, enceh kajukuk sapa, sapa .
ediarewange ngambil, Ian samengko aneng ngendi pandelehnya."

Kang mindha dhayang kemengan, margi ngajeng tan kaweling,

Mmring kadange Candranala, wusana gugup mangsuli, "Pangambile
Alihpribadi, wayahira bocah ngucul, samengko aneng wisma, kaseleh

senthongireki, Nalasastya." Ki Ageng trang mirengira.
Tan samar swaraning janma, nulya angandika malih, "Aturmu

apa tan dora, sarta sira apa wani, nyangga panyumpah mami, kang
mindha dhemit sumaur, PApa sakarsanira, ingsun ora ngarah asil,
among tutur sabalakane kewala."

Candranala duk miyarsa, ature kang mindha dhemit, nalanira
tarataban, gumeter kalangkung water, ngraos badhe bilahi, kajodheran
aka\ipun, Wau Raden Wadana, ngandika dhateng ngabehi, Kartikasastra:
"Lah kakang age mentara.

Anggawa catur rangga, sapanekare pulisi, santa langsir rumantia,
galedhahen wisma neki, Suryanala den aglis, poma den nganti
katemu." Ngabehi Kartikasastra, sandika umentar aglis, gagan-
cangan lampahnya tan dangu prapta.

150 1

Karangsari dhukuhira, Suryanala den leboni, ginaledhah jroning
wisma, kang enceh datan pinanggih, loteng den osak-asik, ameksa
datan kapangguh, senthonge binalengkrah, sangking gemeting
pulisi, dome buntung kang ilang sami kapanggya.

Sawusnya sepi kang wisma, gandhok pawon den goleki, kebon
blumbang rniwah kandhang, sadaya den osak-asik, suwung datan
pinanggih, Ki Ageng prentahipun, kinen galedhah wisma, sadhusun
aja na kari, ginaledhah sadaya sepi kewala.

Sawusnya terang tan ana, Ki Ageng sigra mulih, ingiring-
panekarira, ing marga datan kawarni, prapta ngarsanireki, Ki Ageng
gya ndangu, paran ing lampahira, panupa ta angsal kardi, Ki Ageng
Kartikasastra aturira.

"Pukulun lampah kawula, sakanca paduka tuding, nggaledhah
ing wismanira, Suryanala, tan kapanggih, dalah wismanireki, tiyang
sadhukuh sadarum, enceh malih manggiha, wingka kewala tan
manggih," Candranala sareng miring aturira

2016Ki Ageng Kartikasastra, kumesar tyasira kadi, Sinamber ing gelap

tuna, bayu kadi den lolosi, marasira tan sipi, turnus mring guwayani

erpusdapun, payus biru abiyas, kadi murus tigang sasi, Ki Ageng Darmawidya

waskitha.
Aninggali ulatira, Candranala wus kadugi, wusana lajeng ngan-

dika, dhateng wau Ki Ageng, "Kakang andika bali; galedhaha

edia Pwismanipun, Candranala Manawa, guna-gunanireng janmi, gawe

reka akarya sandi upaya."

MKi Ageng Kartikasastra, Sandika sigra lumaris, ambekta
lihpanekarira, rangga demang samya ngiring, datan kawameng margi,
Asapraptaning wismanipun, Candranala tumulya, rangga wisma

anggaledhahi barangira.
Weneh dhateng senthongira, sajuga rangga udani, Ngandhap

salu patleman, wonten buntelan kaeksi, sigra den parepeki, binuka
bebungkusipun,bagor linapis tiga, kang kabungkus enceh nuli,
ingaturken Ki Ageng Kartikasastra.

kang enceh tutup tembaga, suka saguireng janrni, tuwin para
demang-rangga, enceh nulya dan ungkab~ tutupira temba~ katinggalan
isinipun, akathah waminara, sadanya sarwa mas adi, demang rangga
pulisi surak sudaya.

Ki Ageng Kartikasastra, sapanekarira sami, wangsul dhateng
wewangunan, prapta ngarsanya Dyan Behi, Kartikasastra wotsari,
"kawula paduka utus, galedhah wismanira, Candranala. Rangga
manggih, enceh saha mawi katutup tembaga.

151

Wau sampun ulun buka, estu isi branaadi, lah punika ence-

hira."Raden Wadana nabda ris, "kakang binuka tutupipun, isi kinen

medalna, sadaya dipun tingali, cocok kalih gugatipun Candranala.

Radeng Wadana ngandika, Heh Suryanala sireki, majua kaparang

ngarsa, tinggalana barang 00, apa sira udani, kang duwe barang

puniku, Ki Suryanala sigra, majeng serta awotsari, ndulu barang

saha alon aturira.

"Pakulan inggih punika, enceh ingkang ulun panggih, awetan

ingkang ulun panggih, awetah saisenira, dereng wonten ingkang

cicir, dene ingkang ndarbeni, kawula anuwun benrndu."Ki Ageng

ngandika, "Wis mundura sira dhingin, ingsun arsa tatanya si

lelembut cidra.

"Heh lembut ing Randhu wana, kabeh aturmu tan yekti, ing mengko

sira lanpaa, paukarnanireng dhemil, Lah kakang Angabehi, Kartikasastra

dipun guguh, wite kang kayu garing, saubenge randhu urugana wreksa.
Tigang cengkal ibengira, kandeling tumpekaniki, pitung kaki

2016nuli ndika, obong maju pat sing pinggir, Sandhika Ki Ageng, Gya

parenteh demangipun, trangginas para demang, parentah kinen
ngsungi, kayu ingkang sinigidake akiwa.

erpusdaTangginas panekarira, pulisi kang wus winangsil, ngusungi

kayu simpenan, tan pantara dangu prapti, kayu katumpuk mung-
ging, wiling randhu ngundhung-undhung, eram sagung tuming-

Pgal, kang datan wuningeng wangsit, angrasani: kapan nggone aspek
ediawreksa.

Wau wiling randhu wana, ingebyukan kayu garing, inggilira

Mkalih depa, tri cengkal ubungireki, Candranala undeni, Kayu himpuk
lihngundhung-undhung, sumelang nalanira, mangkanaa osikireki,
A"paran baya solahe si Naladhusta.

Lamun kayu kaobongo, pasthi sadhulurku mati, dadi areng

aneng kisma, manira tan wurung ken;, ukuman laku jut;, sabab

barange katemu, aneng ngomah manira, paran nggoningsun

mengkiri, padha-padha ngur manira ngatuma.

Pati urip abalaka, sadhulurku aja mati, sebadyan kokum dursila,

kabuang sangka nagari, lawas-lawas ya mulih, janji selamat tan

lampus, kalebu rawa Tuntang, kocaka para Tuntang, kocapa para

pulisi, ingkang ngusung rampung denya nata.

Gya ingobong maju papat, Candranala anungkemi, padane

Radyan wadana, saha sru denya anangis, sasambut ngasih-asih,

atur pejah gasangipun, nyuwun kasandekena, pangobongipun

dhedhemit, yektosipun punika sadherek kula. •

152 !

Candranala wus balaka, katursatarekah neki, ing purwa madya
wusana, suka Rahadyan Ngabehi, Darmawidya nuli, adhawah
majehi latu, sirep Wadana ris, "Candrana!a lah undangen kadangira.

Sigra mentar Candranala, datan dangu wungsuJ ngirit, Naladhusta
prapteng ngarsa, sigra denya anungkemi, ing pada Dyan Ngabehi,
sagung pulisi agunggun, demang panewu rangga, anjenger gumun
tan sipi, datan ngira yen dhemit dadi manungsa.

Ing batin tan derbe kira, yen dudu dhemit sayekti, kang nyuwara
aneng wreksa, randhU alas den arani, gandarwo nyobot janmi, kang
saweneh ngungunipun, ban&kite Candranala, denira akarya sandi,
remitera nggone gawe aka! dhusta.

Kang saweneh ngungunira, marang RahaKi Ageng, Wigna
pradata denira, akampuJ kayu kinardi, ambesmi dhemit saksi, baya
uwis mau-mau, ginalih pepulasan, ananging kinarya wadi, datan
arsa medharake marang janma.

Gumune ati manira, Remite Ki Ageng, Nyata Jamun Wicaksana,

2016bisa anarjing angin. sajuga rangga angling, Dhateng demang kancanipun,

·Candranala punika, wau sadrengireki, kababaran, pripun pangira

erpusdaandhika?"
Anauri kang tinanya, "Rehning kula dereng uning, alitipun
miring warta, wonten tiyang nyolong mawi, anggugat dhateng
janmi, kang cinolong barangipun, utawi tiyang utang, gugat

edia Pingkang den utangi, serta mawi seksi memedi wahuwa.
Saestu nunten kawula, tetepaken awoneki, kalenet sepir kawala,

Mwangsul eram kula naming, wangsuJ eram kula naming, Kilurah,
lihI<i Ageng, prakawis gawat kalangkung, teka saget ngupaya, wiyasa
AkaJangkung rungsit, serta alus boten mawi kabrabean."

Samenten Raden Wadana, lajeng karsa angrampungi, gugatipun
Candranala, tan dados gugatireki, malah katipun dadi, dursila
pitenah iku, akamya bodjo marang, parentah ageng nagari, kokum
bueal kenging pandemelan peksa.

Laminipun sangang warsa, mawi tandha kalung wesi, kadangira
NaJadhusta, kabucal mung kawan warsi, tan mawi kalung wesi,
pinamahken pulo krimun, nyambut darnel kapeksa, nulya
ingangetken kalih, ganatya Candranala tampi karampungan.

Dene karangpunganira, kanthi pranatan nagaari, wau enceh
isinira, tetep Suryanala manggih, barang naliya ringgit, kaleJang
sadayani pun, kadadossaken arta, sawusira dados pids, pinartiga
kanthi rukuning nagara

153


Click to View FlipBook Version