Walking With Inigo
Komentar Autobiografi St. Ignasius Loyola
Gerald Coleman, S.J.
Provinsi Indonesia Serikat Yesus
2019
Walking with Inigo
Komentar Autobiografi St. Ignasius Loyola
Cetakan ke-2
diterbitkan oleh
Provinsi Indonesia Serikat Yesus
Jl. Argopuro 24, Semarang 50231
Tel 62-24-8315004 Fax 62-24-8414838
Surel [email protected]; [email protected]
Website www.provindo.org
Diterbitkan dalam rangka Tahun Dokumentasi Provinsi Indonesia Serikat Yesus dari buku Walking
With Inigo, Gerald Coleman, S.J., Anand: Gujarat Sahitya Prakash, 2001.
Izin terjemahan dalam Bahasa Indonesia diberikan oleh Provinsi Australia Serikat Yesus.
Penerjemah : H. Angga Indraswara, S.J.
Penyunting : Th. Surya Awangga B., S.J.
Sketsa-sketsa direproduksi dari St. Ignatius Loyola and The Early Jesuits, Stewart Rose, New York:
Burns and Oates, 1891. Kutipan Autobiografi diambil dari terjemahan Tom Jacobs, S.J., Wasiat &
Petuah St. Ignasius, Kanisius, Yogyakarta, 1996. Kutipan Latihan Rohani diambil dari terjemahan J.
Darminta, SJ, Latihan Rohani St. Ignasius Loyola, Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Nihil Obstat Imprimatur
T. Krispurwana Cahyadi, SJ R.B. Riyo Mursanto, SJ
3 Januari 2013 1 Januari 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk
fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit
Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta
Terima kasih
Kepada semua tersiaris dan novis yang memberi inspirasi ide-ide di buku ini,
kepada semua yang mendorong saya untuk menulis buku ini,
dan kepada Ruth Morgan yang banyak membantu penyempurnaan buku ini
Pengantar Panitia Tahun Dokumentasi Provindo
Autobiografi merupakan karya terakhir Ignasius Loyola. Sembilan bulan setelah
selesai mendiktekannya pada Goncalves da Camara, Ignasius wafat. Teks ini sangat
penting untuk memahami tulisan-tulisan Ignasius lainnya. Ganss menegaskan
“[Autobiografi] menyediakan informasi yang luas dan sangat diperlukan untuk
memahami karya Ignasius lainnya secara akurat dan mendalam.”1 Walaupun begitu
penting, selama ini studi tentang Autobiografi tidaklah banyak jika dibandingkan dengan
Latihan Rohani. Sepengetahuan kami, dalam Bahasa Inggris hanya ada dua atau buku
komentar tentang Autobiografi ini, salah satunya adalah karya Gerald Coleman ini yang
berjudul Walking with Inigo: A Commentary on the Autobiography of St. Ignasius2. Tentu saja,
selain ituada juga buku komentar dalam bahasa-bahasa lain, misalnya Spanyol.
Menurut kesan kami, dalam komentar dan catatannya Gerald Coleman cukup
banyak memanfaatkan tambahan informasi historis3 yang relevan. Selanjutnya dari sana
pembaca dibantu untuk mengenal peristiwa-peristiwa di seputar hidup Ignasius
sekaligus makna rohaninya. Secara tidak langsung paparan dan penafsiran demikian itu
merupakan ajakan untuk selalu menimba inspirasi rohani dari riwayat rohani Ignasius
sekaligus belajar memaknai peristiwa-peristiwa hidup kita sendiri.
1 George E. Ganss, (ed.) Ignatius of Loyola: The Spiritual Exercises and Selected Works (New York:
PaulistPress, 1991), hlm. 57.
2 Misalnya Joseph N. Tylenda dalam bentuk catatan kaki dalam bukunya: A Pilgrim’s Journey: The
Autobiography of Ignatius of Loyola (San Francisco: Inigo Press, 2001) dan Peter Du Brul, Ignatius:
Sharing the Pilgrim Story: A Reading of the Autobiography of St. Ignatius of Loyola. (Herefordshire:
Gracewing, 2003).
3 Sayang sekali penulis tidak mencantumkan sumbernya. Mungkin sekali ini terjadi karena kondisi
kesehatannya yang makin buruk pada saat itu.
Mempertimbangkan penting dan perlunya edisi Bahasa Indonesia untuk
membantu mendalami riwayat rohani St. Ignasius, kami Panitia Tahun Dokumentasi
Provindo ini menerjemahkan buku tersebut. Dalam buku aslinya, pengarang tidak
mencantumkan teks Autobiografi. Tetapi, dalam edisi Bahasa Indonesia ini, untuk
memudahkan pembaca, kami menyelipkan teks Autobiografi sebelum komentar dari
Gerald Coleman. Dalam terbitan ini, teks Autobiografi dicetak miring untuk
membedakannya dari komentarnya. Selain itu, kami juga melampirkan daftar korelasi
antara Autobiografi dan Latihan Rohani.4 Pada lampiran tersebut, Anda bisa menemukan
pokok-pokok penting Latihan Rohani dan bisa menatapkannya dengan pengalaman
Ignasius dalam Autobiografi. Secara kiasan, Latihan Rohani, yang merupakan
rumusan/abstraksi pengalaman rohani Ignasius, adalah sebuah kerangka. Sedangkan
Autobiografi, yang merupakan pengalaman rohani Ignasius, adalah daging atau ototnya.
Menggabungkan keduanya, dengan bantuan daftar korelasi tersebut, diharapkan kita
bisa mendapatkan gambaran pengalaman rohani Ignasius yang lebih utuh dan hidup.
Semoga.
Akhir kata, kami sangat berterima kasih pada Fr. Angga Indraswara, S.J. yang
dengan tekun selama dua tahun masa novisiatnya untuk menerjemahkan buku ini. Juga
tak lupa kami sampaikan banyak terimakasih untuk Fr. Surya Awangga, S.J. yang sudah
menyunting dan menambahkan gambar-gambar yang inspiratif. Semoga usaha kami ini
dapat membantu para pembaca untuk lebih dalam mengenal Ignasius Loyola dan
menyerap warisan rohaninya.
Girisonta, 24 November 2012
Panitia Dokumentasi Provinsi Indonesia Serikat Jesus
4The Spiritual Exercises and The Autobiography: A Correlation, compiled by André Thiry, S.J., translated
and augmented by Dominic Maruca S.J., Program to Adapt the Spiritual Exercises, New York.
Pengantar Pengarang
Buku Autobiografi St. Ignasius Loyola (bdk. Wasiat & Petuah St. Ignasius; Suka Duka
Seorang Peziarah) tidak bisa diartikan sebagai sebuah Autobiografi yang mencakup
keseluruhan hidup St. Ignasius karena tulisan ini hanya mencakup sekitar 17 tahun dari
65 tahun hidup St. Ignasius. Akan tetapi, dokumen ini tetaplah merupakan sebuah
dokumen yang sangat penting.
Menurut tradisi, pendiri ordo-ordo religius lainnya meninggalkan sebuah pesan
terakhir yang memberi peneguhan kepada pengikutnya. Oleh karena itu, sahabat-
sahabat pertama Inigo memintanya untuk melakukan hal yang sama sebelum ia
meninggal. Awalnya, ia tidak ingin melakukannya, tetapi ia akhirnya mendiktekan
kisahnya dari Pamplona hingga Roma kepada seorang Yesuit bernama Luis Goncalves
da Camara.
Apa yang ia tinggalkan adalah sebuah refleksi atas bagian-bagian penting dari
perjalanan hidupnya. Ini kemudian memberi kita sebuah pemahaman yang mendalam
tentang cara Tuhan bekerja dalam hidup Inigo. Ia melakukan ini tidak hanya untuk
memenuhi permintaan sahabat-sahabatnya, tetapi untuk mendorong kita turut
merenungkan karya Tuhan dalam hidup kita. Ini semata-mata karena ia percaya bahwa
apabila Tuhan telah memperlakukannya seperti ini, Ia akan melakukan hal yang sama
kepada siapa pun yang ingin mengikutinya di jalan seorang peziarah.
Bahan penyusunan buku ini muncul dari percakapan dengan para tersiaris dan
novis Yesuit serta dari bacaan dan refleksi pribadi saya.
Oleh karena itu, buku ini tidak dimaksudkan sebagai studi yang mendetail dan
referensi yang digunakan pun amatlah terbatas.
Sepanjang buku ini saya memanggil St. Ignasius dengan nama Inigo, yang
merupakan nama baptisnya. Ia lalu menggantinya dengan nama Ignasius ketika berada
di Paris. Akan tetapi, dalam surat-suratnya kepada beberapa sahabat, ia terkadang
masih menggunakan nama “Inigo.”
Referensi dalam buku ini hanya meliputi buku Autobiografi itu sendiri atau Latihan
Rohani. Mereka dibedakan dengan cara seperti ini:
• Nomor dalam kurung siku merujuk pada nomor di dalam teks Autobiografi, misalnya
[47].
• Nomor dalam kurung siku dalam kurung lengkung merujuk pada sebuah komentar
tentang paragraf tertentu (bdk. [47]).
• Nomor dalam kurung lengkung merujuk pada nomor dalam Latihan Rohani (LR 47).
Bagan waktu yang ada di halaman selanjutnya memperlihatkan tanggal untuk
peristiwa-peristiwa dan perjalanan-perjalanan dalam hidup Inigo. Beberapa di antaranya
hanya didasarkan oleh perkiraan.
Gerald Coleman, S.J.
Daftar Isi
Pengantar Panitia Tahun Dokumentasi Provindo i
Pengantar Pengarang iii
Daftar Isi v
Kronologi Autobiobrafi St. Ignasius Loyola vi
Sekilas tentang P. Luis Goncalves da Camara, S.J. xi
Bab 1 Penyembuhan dan Pertobatan [1-12] 1
Bab 2 Si peziaran Memulai Perjalanannya [13 – 18]
Bab 3 Manresa [19 – 37]
Bab 4 Ziarah ke Yerusalem [38 – 48]
Bab 5 Kembali ke Spanyol [49 – 53]
Bab 6 Studi di Barcelona dan Alcala [54 – 63]
Bab 7 Masalah di Salamanca [64 – 72]
Bab 8 Di Universitas Paris [73 – 86]
Bab 9 Kembali ke Spanyol [87 – 91]
Bab 10 Venesia dan Vicenza [92 – 97]
Lampiran 1:
Diskresi dan Pengambilan Keputusaan dalam Autobiografi St. Ignatius
Lampiran 2:
Korelasi Nomor-nomor Latihan Rohani dengan Autobiografi
Kronologi Autobiografi St. Ignasius Loyola
Sekitar Lahir di Loyola
1491
Oktober (?)
Bab 1 20 Mei Terluka di pertempuran Pamplona [1]
1521 Awal Juni Dibawa kembali ke Loyola [2]
Pertengahan [2]
Juni Tiba di Loyola
24 Juni [3]
Menerima Sakramen Minyak Suci di
28 Juni Loyola [3]
Agustus s.d. Vigili Pesta St. Petrus; mulai sembuh [5 -11]
Desember Membaca buku-buku yang akhirnya
mengubah gaya hidupnya
Bab 2 Akhir Februari Meninggalkan Loyola untuk memulai [12]
1522 22-24 Maret peziarahannya. [17]
24-25 Maret Melakukan pengakuan dosa selama tiga [18]
26 Maret hari [18]
Vigili di hadapan Bunda Maria di
Montserrat
Meninggalkan Montserrat
Bab 3 Akhir Maret Manresa [19-34]
1522 s.d.
1523 Februari 1523 Meninggalkan Manresa menuju Barcelona [35]
18 Februari
Bab 4 20 Maret Tiba di Gaeta dalam perjalanannya [38]
1523 menuju Roma
29 Maret Tiba di Roma untuk memohon izin dari [39-40]
14 April Paus untuk peziarahannya ke Yerusalem [40]
Pertengahan Ia meninggalkan Roma menuju Venesia [43]
Mei Ia tiba di Venesia dan dibantu oleh
seseorang dari Spanyol
24 Juli Ia berangkat menuju Tanah Suci [43]
19 s.d. 31 Tiba di Siprus dan berangkat dengan [44]
Agustus “Kapal Peziarah” [44]
31 Agustus Tiba di Jaffa [45]
4 September Memasuki Yerusalem [45-48]
5 s.d. 22
September Mengunjungi tempat-tempat suci
Bab 5 1523 23 September Meninggalkan Yerusalem menuju Jaffa [49]
3 Oktober Berlayar dari Jaffa menuju Siprus [49]
1524 14 Oktober Tiba di Siprus [49]
1 November Meninggalkan Siprus menuju Venesia [49]
Pertengahan [50]
Januari Tiba di Venesia
Awal Februari [51-53]
Meninggalkan Venesia menuju Barcelona
Awal s.d. Tiba di Barcelona untuk studi [54]
pertengahan
Maret (Masa
Prapaskah)
1525 Studi di Barcelona [54-56]
Meninggalkan Barcelona (setelah 2 tahun
Akhir Maret berada di sana) untuk memulai kuliah di [56]
Universitas Alcala
Bab 6 Maret Tiba di Alcala [56]
1526 19 November Pengadilan/Penyelidikan I di Alcala [58]
Pertengahan Diperintahkan untuk mengenakan [58]
1527 Desember pakaian yang berbeda [59]
Awal Maret Pengadilan/Penyelidikan II di Alcala [60]
Ditangkap saat ia sedang tinggal di sebuah [61]
19 April gubuk kecil di luar rumah sakit [62]
Pengadilan/Penyelidikan III [63]
Awal Mei Dibebaskan dari penjara [63]
1 Juni Pergi mengunjungi Fonseca
21 Juni Meninggalkan Alcala (setelah berada di
sana selama 1 tahun dan 3 bulan)
Akhir Juni
Bab 7 Akhir Juli Tiba di Salamanca [64]
1527 Agustus Dipenjara lagi [67]
Akhir Agustus Vonis diumumkan [70]
Pertengahan Meninggalkan Salamanca (setelah berada
September di sana selama 2 ½ bulan) [72]
3 bulan (?) Di Barcelona
[72]
1528 2 Februari Tiba di Paris [73]
Pertengahan [74]
1529 April Pindah ke Rumah Sakit St. Jacques
Masa [76]
Prapaskah Pergi ke Vlaanderen untuk pertama [77]
Mei s.d. Juni kalinya [79]
Akhir Memberikan Retret 30 hari [82]
September [82-84]
1 Oktober Perjalanan ke Rouen
Bab 8 Agustus s.d. Memulai kelas humaniora
1531 1530 September Tinggal di Sainte Barbe; studi
Agustus s.d. Pergi ke Vlaanderen untuk kedua kalinya
September
Studi
15 Agustus Pergi ke Vlaanderen untuk ketiga kalinya;
[sic!] pergi ke Inggris
14 Maret
1532 Akhir Maret Studi dan mengikuti ujian-ujian
s/d
1533 Kaul di Montmartre [85]
1534 [86]
Lulus M.A. (Magister Artium)
1535 Membela diri dari tuduhan
Bab 9 April Meninggalkan Paris menuju Azpeitia [87]
Mei s.d. Juli Berkarya di Azpeitia [88-89]
Akhir Juli Meninggalkan Azpeitianuju Valencia
Akhir Oktober Berlayar dari Valencia menuju Genoa [90]
[91]
Pertengahan Studi di Bologna [91]
Desember Bepergian ke Venesia [91]
Akhir
Desember
1536 Setahun penuh Belajar Teologi dan memberikan Latihan [92]
8 Januari Rohani [93]
Bab 10 Sahabat-sahabat Inigo tiba di Venesia
1537 16 Maret Sahabat-sahabat Inigo pergi ke Roma [93]
untuk mendapatkan izin berziarah ke
Awal Mei Tanah Suci [93]
24 Juni Sahabat-sahabat Inigo kembali dari Roma [93]
25 Juli Inigo menerima tahbisan imamat [94]
Akhir Juli Sahabat-sahabat Inigo berpencar sambil
Oktober menunggu kapal [95]
Awal Inigo pergi mengunjungi Rodrigues [95]
November Mereka berkumpul di Vicenza dan semua,
November kecuali Inigo, merayakan Misa Perdana [96]
Inigo, Faber, dan Lainez berangkat menuju
Roma [96]
Penampakan La Storta
Bab 11 Masa Memberikan Latihan Rohani [98]
1538 Prapaskah [97]
Semua sahabat-sahabat Inigo berkumpul [98]
Mei di Roma [98]
Juni s.d. Dianiaya di Roma [98]
Agustus
Vonis yang dijatuhkan berpihak pada Inigo
18 November dan sahabat-sahabatnya
Inigo dan sahabat-sahabatnya
Akhir mempersembahkan diri kepada Paus
November Membantu orang-orang miskin dan
kelaparan
Musim Dingin Inigo merayakan misa perdananya
25 Desember
Sekilas tentang P. Luis Goncalves da Camara, S.J.
St. Ignasius mendiktekan Autobiografi-nya (dalam terbitan Bahasa Indonesia: Wasiat
dan Petuah St. Ignasius Loyola dan Suka Duka Seorang Peziarah) kepada P. Luis Goncalves
da Camara, S.J. mulai September 1553 sampai dengan Desember 1555. Ada banyak
gangguan yang muncul selama kurun waktu itu karena Inigo sangat sibuk dan
kesehatannya juga kurang baik. Gangguan ini menyebabkan proses penulisan terhenti
sampai lebih dari satu tahun. Namun, Autobiografi tetaplah sebuah hasil karya Inigo yang
sudah mencapai taraf kematangan (Inigo wafat pada 1556).
Dari pengantar yang ditulis oleh da Camara, kita menemukan beberapa hal penting,
yaitu:
• da Camara dapat mengingat secara pasti hari, tanggal, peringatan gerejawi, dan
tempat pembicaraannya dengan Inigo yang akhirnya berujung pada penulisan
Autobiografi. Ia pasti telah menyadari bahwa Autobiografi itu adalah sebuah dokumen
yang sangat penting.
• Inigo sebelumnya telah diminta untuk mendiktekan kisah hidupnya oleh Polanco dan
Nadal. Namun, yang akhirnya mendorong Inigo untuk mulai menuturkan kisahnya
ialah percakapannya dengan da Camara tentang “kemuliaan fana” (vanagloria). Inigo
dahulu sering tergoda oleh hal tersebut sebagaimana dapat dilihat dalam
Autobiografi-nya.
• Inigo secara rendah hati mengakui keinginan dalam dirinya untuk mengejar
“kemuliaan fana.” Pengakuan ini membuat da Camara sangat tersentuh sampai
menangis. Cara yang dianjurkan oleh Inigo kepada da Camara untuk melawan godaan
seperti itu adalah dengan menyadari bahwa segala kebaikan yang dapat kita lihat
dalam diri kita adalah hasil karya Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Inilah
pokok utama dalam cara berpikir dan beriman Inigo.
• Tampaknya, saat Inigo merenungkan pembicaraannya dengan da Camara, ia melihat
tanda dari Tuhan bahwa ini adalah saat baginya untuk melakukan apa yang diminta
darinya.
• Tuhan menunjukkan secara jelas kepada Inigo (“menunjukkan bahwa seakan-akan
adalah tugasnya”) bahwa ia harus menceritakan kisahnya. Kejelasan yang
dirasakannya hampir serupa dengan pengalamannya di Manresa ketika ia
dibebaskan dari kebimbangan batin dan di Cardoner ketika ia mengalami pencerahan
budi. Dari keduanya ini, ia merasakan sebuah “keinginan dan kecenderungan besar”
untuk menceritakan kisahnya.
• Autobiografi adalah sebuah penuturan tentang bagaimana Tuhan berkarya dalam diri
Inigo dengan memberinya pelajaran dan bimbingan. Kisah yang ia berikan diilhami
oleh Roh Kudus. Dengan kata lain, Autobiografi adalah sebuah catatan sejarah penuh
diskresi tentang perbuatan Tuhan dalam jiwa Ignasius. Dia secara hati-hati
menyelidiki peristiwa-peristiwa hidupnya dan kemudian memberikan refleksinya atas
semua itu kepada kita. Banyak hal yang tidak dicantumkan dan yang tertulis bukanlah
kebetulan semata. Semua yang ada dalam Autobiografi adalah hal-hal yang penting
karena Autobiografi bukanlah kisah hidup Ignasius secara penuh, melainkan narasi
tentang bagaimana Tuhan mengubah dirinya.
• Inigo mempunyai ingatan yang sangat tajam. Di dalam tulisan lain, da Camara
menyatakan bahwa “Inigo dapat mengingat secara jelas tentang berbagai hal dan
bahkan kata-kata yang penting sehingga ia dapat menceritakan sebuah peristiwa
sepuluh, lima belas kali atau lebih sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi,
seakan-akan kejadian itu ada di depan matanya (“seakan-akan ia sedang melihatnya
kembali”).
• “Manakala ia sedang berbicara tentang hal-hal penting, ia menuturkannya kata demi
kata.” Inigo menuturkan kisahnya secara sangat jelas dan akurat dan da Camara
menjamin bahwa ia merekam dengan seksama kata-kata yang digunakan oleh Inigo,
walaupun ada saat-saat di mana ia kurang dapat menangkap artinya.
• Cerita Inigo sebenarnya mencakup “petualangan masa mudanya”. Sayangnya, kita
tidak mendapatkannya. Mungkin, kisah ini tidak dicatat oleh da Camara atau telah
dihapus.
• Banyak orang lain melihat Autobiografi ini sebagai bagian penting dari pendirian
Serikat Yesus karena memberikan pedoman untuk memahami bagaimana Tuhan
berkarya dalam diri semua yang ingin mengikuti Inigo dan memeluk semangat
hidupnya.
Bab I
Penyembuhan dan Pertobatan [1-12]
Inigo de Loyola berkata kepada da Camara bahwa Autobiografi-nya mengungkapkan
“apa yang telah terjadi di dalam jiwanya sampai dengan saat itu.” Hal ini memang benar.
Akan tetapi, di dalam paragraf-paragraf awal Autobiografi, kita juga dapat menemukan
kualitas-kualitas manusiawi yang mengagumkan dari seseorang yang amat bertalenta.
Orang inilah yang nantinya akan dibentuk oleh Tuhan menjadi St. Ignasius Loyola.
Secara harfiah, kata “Loyola” berarti tempat yang berlumpur. Layaknya seorang
tukang periuk, Tuhan mengambil dalam tangan-Nya segenggam tanah liat – yaitu Inigo
– dan membentuknya menjadi sebuah bejana baru. Tanah liat itu akan
mempertahankan kandungan aslinya. Namun, dengan bentuk barunya ia dapat
digunakan untuk suatu tujuan yang sangat berbeda. Inigo akan digunakan untuk
membawa penghormatan dan kemuliaan bagi Tuhan, daripada hanya sekadar
mempertahankan kehormatan keluarga Loyola.
1. seorang manusia penuh lagak – pertempuran Pamplona – terluka
Sampai umur 26 tahun dia seorang yang hanya memikirkan permainan duniawi, dan
kesenangan pokoknya adalah latihan senjata dengan keinginan besar mau memperoleh
kehormatan. Pada suatu ketika ia berada dalam sebuah benteng yang dikepung oleh orang
Perancis. Semua tampaknya sudah mau menyerah, asal selamat sebab mereka melihat
dengan jelas bahwa tidak mungkin mempertahankan benteng itu. Ia mengajukan bermacam-
macam alasan kepada komandan, yang akhirnya dapat meyakinkannya. Mereka akan tetap
bertahan, walaupun itu bertentangan dengan pendapat semua tentara yang lain. Ia terus
mendorong mereka dengan semangat dan keberaniannya. Pada hari di mana serangan
artileri dinantikan, ia mengaku dosa pada salah seorang teman tentara. Setelah serangan
berjalan beberapa waktu, kakinya terkena peluru yang mematahkannya; dan karena peluru
lewat di kedua kakinya, maka kaki yang lain pun luka parah.
Sampai sekitar umur 30 tahun, tujuan
utama hidup Inigo de Loyola adalah
mendapatkan ketenaran, entah itu melalui
aksi-aksi berani sebagai seorang pemuda
atau melalui kemenangan yang diraih secara
heroik dalam sebuah pertempuran yang
hampir mustahil untuk dimenangkan.
Tidak seperti kakak-kakaknya yang
telah mengabdikan hidup mereka untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan
Raja di luar Spanyol, Inigo tampaknya sudah
puas jika ia mendapatkan kemuliaan di
tanah kelahirannya. Sebagai pengganti
pertempuran di luar negeri, Inigo selalu siap
untuk berduel dengan saingan-saingannya
di dalam istana. Ia ingin meniru pahlawan-
pahlawan yang dikisahkan dalam buku-buku
roman kepahlawanan. Secara khusus, kisah Amadis de Gaula memberi Inigo sebuah
model keberanian, keperkasaan, dan romantisme.
Inigo memang amat dipengaruhi oleh kisah-kisah ksatria yang dibacanya,
khususnya Amadis de Gaul, yang diceritakan sebagai berikut:
“Hanya ada satu harapan yang tersisa,
yaitu mengejar ketenaran yang gilang gemilang,
dan melalui perbuatan-perbuatan yang gagah perkasa
membangun nama yang tak kan sirna.
Gusar hatinya, rindu membela kedaulatan dewata
Memburu petualangan bak ksatria pengelana.”
2
Saat masih remaja, Inigo digambarkan sebagai berikut:
“Walaupun ia terikat pada imannya, cara hidupnya sama sekali tidak sesuai
dengan imannya. Ia sama sekali tidak peduli soal dosa. Sebaliknya, ia malah
sangat menggemari permainan dan menjalin cinta dengan perempuan,
kegilaan-kegilaan yang meluap-luap, dan adu senjata.”
Inigo memang sangat memperhatikan penampilannya. Caranya berpakaian
menunjukkan karakternya yang flamboyan dan hasratnya untuk memikat wanita. Ia
mengenakan mantel lebar pada bahunya untuk menonjolkan warna-warna bajunya. Ia
juga selalu membawa pedang yang terikat rapi pada sabuknya. Rambutnya yang
sepanjang bahu ditata dengan rapi dan dihias dengan sebuah topi merah.
Sebagai pemuda usia dua puluh tahunan di istana Pangeran Najera, Inigo pun tidak
banyak berubah:
“… selama waktu itu hidupnya begitu jauh dari hal-hal rohani. Sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh orang muda yang mencurahkan perhatiannya
pada hal-hal yang terkait dengan pendidikan istana dan militer, ia cukup
permisif dalam berhubungan dengan wanita, berjudi, dan berduel untuk
merengkuh kehormatan.”
Lainez, salah seorang sahabat pertama Inigo dalam Serikat Yesus, menambahkan bahwa
Inigo saat itu “digoda dan dikuasai oleh nafsu-nafsu kedagingan.”
Keluarga Loyola mempunyai sejarah yang membanggakan dan mereka
membuktikan keberadaannya melalui pengabdian setia kepada raja-raja Castilla. Ayah
Inigo pernah mendapat pujian dari raja sebagai berikut:
“Dengan mempertimbangkan pengabdian setia yang engkau berikan ketika
kami mengepung Kota Toro … dan juga dalam mempertahankan
Fuenterrabia ketika sudah dikepung oleh Perancis, tatkala engkau bertahan
dengan gigih bersama anak buahmu tanpa menghiraukan keselamatanmu
sendiri dan menempatkan anak buahmu dalam bahaya dan kegentingan …”
3
Ayah dan kakaknya yang tertua sering menceritakan kepada Inigo kisah-kisah
pengabdian keluarga Loyola kepada raja dan penghargaan-penghargaan yang telah
diterima oleh karenanya.
Inigo adalah seorang putra sejati keluarga Loyola dan di dalam darahnya mengalir
rasa bangga, hormat, serta kesetiaan pengabdian. Hal-hal ini terus melekat di dalam
dirinya. Polanco, sekretaris pada saat Inigo menjadi Jenderal Serikat Yesus,
menggambarkan dia sebagai seorang pribadi yang “kuat dan pemberani, serta bergairah
dalam melaksanakan karya-karya besar.” Hasrat keluarga Loyola untuk melakukan hal-
hal besar mengalir dalam darah Inigo. Bertahun-tahun kemudian, ketika menulis kepada
keponakannya Beltran yang saat itu telah menjadi Pangeran Puri Loyola, Inigo
membesarkan hatinya untuk mengikuti kemurahan hati leluhurnya dan mengingatkan
dia tentang reputasi keluarganya:
“… dan seperti halnya leluhur kita berusaha untuk menandai diri mereka
melalui pengabdian pada dalam hal-hal lain – yang semoga tidak dipandang
sia-sia di hadapan Tuhan– kamu hendaknya unggul dalam pengabdian
kepada hal-hal yang kekal abadi.”
Dalam Latihan Rohani, Inigo akan menggunakan gagasan “unggul dalam
pengabdian” untuk mendorong kita mengikuti dan mengabdi Kristus dalam “Meditasi
Panggilan Raja.” Akan tetapi, pada waktu ini, Inigo masih lebih tertarik untuk mengejar
ketenaran duniawi melalui setiap petualangan yang dapat dilakukannya. Dia siap untuk
menghadapi apa pun dan berani mempertaruhkan segalanya untuk mencapai
ketenaran.
Meskipun bukanlah seorang tentara karier, Inigo disiapkan untuk menggunakan
keahliannya bermain pedang dan belati untuk melayani rajanya. Dalam pertempuran di
Kota Pamplona, Inigo lantas mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelihaiannya
dan mencapai ketenaran. Ketika melihat kembali semuanya itu sebagai seorang Jenderal
Serikat Yesus yang sudah matang dan amat dihormati, Inigo mengakui betapa hampa
dan tak bergunalah ketenaran yang ia cari sewaktu muda.
Bagi mereka yang berada di Kota Pamplona sangatlah jelas bahwa mereka tidak
akan dapat menahan kekuatan tentara Perancis yang jauh lebih unggul. Akan tetapi, bagi
seseorang yang sedang mencari kemuliaan diri, sikap menyerah bukanlah sebuah
pilihan. Pada 1548, Polanco menceritakan bahwa ketika Inigo dimintai pendapat, ia
4
menjawab, “Mereka harus mempertahankan benteng kota atau mati!” Bagi Inigo,
meninggalkan kota berarti melarikan diri dan seorang laki-laki pemberani tidak akan
pernah melarikan diri dari bahaya.
Melalui alasan-alasan yang diberikan Inigo kepada komandannya, kita bisa
mendapat gambaran mengenai karakternya:
• Ia adalah seseorang yang persuasif. Ia mampu menghimpun berbagai alasan
untuk mendukung pendapatnya. Sepanjang Autobiografi, kita dapat menemukan
banyak bukti yang menunjukkan kemampuan Inigo dalam menggunakan akal
budinya.
• Ia adalah seseorang yang ambisius dan memiliki idealisme kehormatan dan
kemuliaan yang amat tinggi. Di Pamplona, Inigo melihat sebuah peluang besar
untuk mewujudkan mimpinya menggapai ketenaran dengan melakukan
perbuatan-perbuatan luar biasa. Ada sesuatu yang tidak realistis ketika ia
menggambarkan teman-temannya sebagai “ksatria”, seakan-akan ia sedang
melihat dirinya sendiri sebagai seorang Amadis de Gaul.
• Ia memiliki kehendak yang sangat kuat, kegigihan dan sifat keras kepala.
Bertahun-tahun kemudian, seseorang akan membuat sebuah komentar: “Inigo
sudah memakunya.” Artinya, apabila Inigo sudah membuat keputusan, sangatlah
sulit untuk mengubah pendapatnya. Di Pamplona, tidak ada satu orang pun yang
ingin berperang, tetapi Inigo tidak takut akan rasa sakit ataupun kematian. Ia
bersedia mempertaruhkan nyawa dirinya sendiri dan orang lain demi meraih
ketenaran.
• Ia sangat percaya kepada diri sendiri dan kemampuannya. Nantinya
kepercayaan ini akan berubah menjadi kepercayaan kepada Tuhan.
• Ia memiliki keberanian dan kekuatan yang dapat memengaruhi orang lain
sehingga mereka yang sudah putus asa dan kehilangan harapan menjadi
bersemangat lagi untuk mengikuti dia. Kemampuannya untuk menantang orang
lain dan mempertahankan idealisme ini nantinya akan digunakan oleh Inigo
untuk mengumpulkan sahabat-sahabat akan bekerja bersama dia untuk
menyelamatkan jiwa-jiwa. Dalam Latihan Rohani, keberanian dan kekuatan akan
menjadi bagian dari ajakan dalam “Meditasi Panggilan Raja.”
• Ia memiliki iman Kristiani yang diwariskan oleh keluarganya. Dalam riwayat
hidup yang dibacakan saat kematiannya, ibu Inigo diceritakan sebagai seseorang
yang “… teguh dalam iman dan taat kepada Gereja.” Iman ibunya ini pasti
berpengaruh pada seluruh anggota keluarga yang lain. Di ambang kematian,
5
Inigo berpaling pada Gereja dan menggunakan cara pengakuan dosa yang
umum dan diizinkan pada masa itu. Di Montserrat, ia membutuhkan waktu tiga
hari untuk mempersiapkan pengakuannya.
• Dalam pertempuran Pamplona, Inigo membutuhkan sahabat-sahabat yang
dapat diandalkan.
• Ia adalah seorang yang gemar bertindak dan energik. Inigo adalah seorang
pemimpin yang dapat menumbuhkan semangat kesetiaan dalam diri anak
buahnya.
Setelah enam jam, tentara Perancis berhasil menghancurkan tembok dan
menerobos pintu gerbang Pamplona. Dengan pedang terhunus dan penuh
kesombongan, Inigo lalu melangkah maju menghadapi musuh yang juga telah banyak
menderita. Pada saat inilah, sebuah peluru meriam menghantam kaki kanannya dan kaki
kirinya terluka oleh sebuah batu yang melayang. Perjuangan tentara Spanyol pun
berakhir sudah.
Ada sebuah tradisi yang mengatakan bahwa Maria de Guevara, ketika
mengomentari perbuatan-perbuatan Inigo di rumah keluarga Velazquez, berkata
kepadanya, “Inigo, kamu tidak akan memberi kami ketenangan kecuali jika kakimu
patah.” Akhir pertempuran ini menjadi saat terpenuhinya ramalan Maria dan awal dari
sebuah peziarahan yang luar biasa bagi Inigo.
2. pengakuan kekalahan – perhatian Tuhan kepadanya – kembali ke Loyola –
kakinya patah lagi
Dengan demikian, karena dia telah jatuh, semua orang di benteng pun langsung
menyerahkan diri kepada orang Perancis, yang kemudian menguasai benteng. Namun
mereka memperlakukan dia yang terluka dengan baik sekali, penuh hormat, dan ramah. Dua
belas atau lima belas hari ia tinggal di Pamplona, baru kemudian dibawa dengan brankar ke
daerah asalnya. Karena keadaannya buruk sekali, mereka memanggil semua dokter dan ahli
bedah dari mana-mana. Para dokter berpendapat bahwa kaki harus dipatahkan lagi dan
tulang-tulangnya harus dipasang kembali. Tulang kaki pertama kalinya dipasang secara
salah katanya, atau mungkin berubah posisinya waktu perjalanan. Pokoknya, tulang tidak
pada tempatnya dan dengan demikian ia tidak dapat sembuh. Maka "pembantaian" diulangi
lagi. Selama operasi itu, sama seperti dalam semua operasi lain yang telah dialami
sebelumnya dan yang masih akan diderita sesudahnya, ia tidak mengatakan apa-apa. Ia
6
tidak memberi tanda kesakitan selain mengepalkan tangannya keras-keras.
Walaupun para serdadu begitu bersemangat saat didesak oleh Inigo, mereka sontak
kehilangan gairah untuk melanjutkan pertempuran begitu Inigo jatuh. Sayangnya,
loyalitas mereka kepada Inigo tidak dihargai. Mungkin, nasib mereka malah akan lebih
baik seandainya mereka tidak menghiraukan Inigo dan menyerah terlebih dahulu tanpa
perlawanan karena setelah Inigo terluka, mereka tetap diserbu oleh tentara Perancis dan
banyak dari mereka yang terluka dan terbunuh.
Akan tetapi, Inigo sendiri justru mendapat perlakuan istimewa dari para tentara
Perancis, dan selanjutnya, oleh keluarganya. Dari beberapa fakta, seperti kekaguman
tentara Perancis akan keberanian Inigo, kehendaknya untuk bertarung dan perlakuan
‘anak emas’ yang ia terima dari keluarganya, kita bisa mendapat gambaran lebih jauh
tentang kualitas Inigo sebagai seorang manusia. Sebagai ungkapan terima kasihnya, Ia
memberikan perisai, belati, dan pelindung dadanya kepada tentara Perancis yang telah
memperlakukannya dengan begitu baik. Tanpa diketahuinya saat itu, Inigo tidak akan
memerlukan semuanya itu lagi. Dengan menceritakan secara khusus tentang bagaimana
tentara Perancis merawat dia dan bagaimana keluarganya memanggil dokter dan ahli
bedah dari berbagai tempat, Inigo sebenarnya ingin menunjukkan perhatian Tuhan
kepadanya. Polanco menulis, ‘…di dalam pribadinya masih akan terlihat apa yang
sesungguhnya telah diciptakan oleh Tuhan untuk sebuah masa depan yang besar.’
Reaksi inigo terhadap pengobatan kakinya yang terluka parah memberikan kita
gambaran tentang siapa Inigo sesungguhnya. Ia adalah orang yang kuat. Ia kuat tidak
hanya secara fisik, karena ia dapat menanggung rasa sakit yang begitu besar dan lalu
sembuh, tetapi juga secara mental, karena ia dapat menentukan prioritasnya dan
menggunakan sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Kesanggupan Inigo
untuk menanggung pengobatanyang disebutnya sebagai “pembantaian” ini adalah
tanda keteguhannya dalam meraih cita-citanya. Hal ini disetujui oleh kakak laki-lakinya
yang mengatakan bahwa ia tidak akan mau menjalani operasi seperti itu.
7
3. berada di ambang kematian – disembuhkan oleh Tuhan
Keadaannya semakin buruk: ia tidak dapat makan, dan ada gejala-gejala yang biasanya
merupakan tanda orang akan mati. Menjelang Hari Raya St. Yohanes para dokter tidak punya
banyak harapan lagi bahwa ia dapat selamat. Maka dianjurkan kepadanya supaya
menerima sakramen tobat. Setelah menerima sakramen orang sakit, pada vigili St. Petrus dan
Paulus, para dokter berkata bahwa, kalau sampai tengah malam belum ada kemajuan, dia
pasti akan mati. Si Penderita selalu punya devosi besar kepada St. Petrus, maka Tuhan
menghendaki malam itu juga ia mulai merasa lebih baik. Kesembuhannya begitu cepat,
bahwa beberapa hari kemudian ia dianggap sudah di luar bahaya maut.
Kesakitan yang hebat itu merupakan pengalaman pertama Inigo menghadapi
kematian. Ia menyikapinya dengan sangat dingin dan menerimanya sebagai akibat dari
luka-lukanya. Selain menerima sakramen pengurapan orang sakit, tidak ada tanda-tanda
8
lain yang menunjukkan bahwa ia membuat sebuah refleksi rohani saat melewati momen
kritis ini. Di kemudian hari, ia akan kembali berada di ambang kematian pada beberapa
peristiwa dan setiap kali reaksi dan refleksinya atas perisitiwa tersebut berubah (bdk. [32
& 33]).
Secara umum, kematian jasmani tidak tampak sebagai sesuatu yang
mengkhawatirkan bagi Inigo. Dia jauh lebih peduli soal bagaimana menghayati
hidupnya. Bagi Inigo, hidup haruslah didasarkan pada sebuah tujuan yang patut
diperjuangkan, entah itu raja duniawi atau raja surgawi. Bahaya, rasa sakit dan
kemungkinan mati adalah bagian dari caranya menghayati sebuah jalan hidup yang
memberinya kepuasan. Kalau ia tidak bisa hidup seperti ini, ia lebih memilih untuk mati.
Sikap seperti ini akan direfleksikannya secara lebih mendalam di dalam “Asas dan
Dasar” yang ia tuangkan di awal Latihan Rohani. Kita telah diciptakan untuk sebuah
tujuan yaitu, ‘memuji, menghormati dan mengabdi Allah Tuhan kita’. Kalau kita tidak
melakukan ini, kita belum sepenuhnya “hidup.”
Ia berada di ambang kematian dan menerima sakramen-sakramen pada Hari Raya
Kelahiran St. Yohanes Pembaptis. Lima belas tahun kemudian, pada hari yang sama, ia
akan menerima sakramen yang lain, yaitu imamat.
Akan tetapi, pada 1521, St. Petrus juga ikut merawat dia dan pada Hari Raya St.
Petrus Inigo mulai membaik. Di daerah Azpeitia tempat Inigo dibesarkan, St. Petrus amat
dihormati. Ia juga dijadikan santo pelindung sebuah tempat ziarah di daerah Loyola.
Keluarga Loyola sendiri mengungkapkan iman mereka dengan berdevosi kepada para
kudus, mengunjungi tempat-tempat ziarah dan melaksanakan praktik-praktik
keagamaan dengan setia. Namun, iman mereka yang tulus dan dalam ini masih disertai
dengan sikap acuh tak acuh dalam hal moral seksual.
Inigo sendiri memiliki devosi pribadi yang mendalam kepada St. Petrus dan ketika
di Arevalo ia pernah menulis sebuah puisi sebagai wujud penghormatannya kepada St.
Petrus. Sebagai seorang pemimpin yang tegas dan penuh gairah, St. Petrus pastilah
merupakan figur yang menarik bagi Inigo muda. Mungkin, devosinya kepada Pemimpin
Pertama Gereja inilah yang juga menjadi cara Tuhan untuk mempersiapkan Inigo untuk
berdevosi secara khusus kepada Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik. Adalah sebuah
ciri khas Inigo untuk menyadari asal-usul pemahaman serta cara berpikirnya di
kemudian hari dengan menelusuri kembali peristiwa-peristiwa hidupnya di masa lalu.
9
Walaupun penyembuhannya berlangsung cepat, Inigo tidak menyebutnya sebagai
sebuah mukjizat. Namun, saat melihat ke belakang, ia yakin bahwa Tuhan hadir dan
berkarya di tengah-tengah kekacauan hidup duniawinya.
Sepanjang Autobiografi-nya, Inigo beberapa kali merujuk pada penyakit-penyakit
dan kesehatannya. Sukar untuk memahami mengapa ia melakukan ini. Di dalam
Konstitusi ia menyatakan bahwa menjadi sakit dapat dilihat juga sebagai sebuah rahmat
sama besarnya dengan menjadi sehat. Dalam suratnya kepada Isabel Roser pada
Februari 1542, Inigo berdoa supaya Tuhan ‘dihormati, dimuliakan dan disanjung
sehingga pada sakit pun Ia tetap mengunjungi kita’. Dalam pemahaman seperti ini,
penyakit adalah sebuah rahmat kalau kita dapat menerimanya dan ia belajar bahwa sakit
dapat memberi dampak yang luar biasa bagi hidupnya. Karena kakinya yang patah, Inigo
terpaksa menghabiskan waktu berbulan-bulan di Loyola tanpa pekerjaan lain selain
membaca dan berefleksi. Pada saat ia sedang merenungkan tujuan hidupnya inilah ia
bisa memperoleh sebuah perubahan tujuan hidup yang radikal. Pada kesempatan ini,
sakit menjadi sebuah rahmat yang luar biasa besar. Pada saat-saat tertentu, sepertinya
ada hubungan antara sakitnya dengan kehidupan rohaninya atau sakitnya dapat
membantu diskresinya untuk menemukan kehendak Tuhan. Kita akan membahas
tentang kesehatan secara lebih jauh dalam nomor [32, 34, 55, 84, dan lain-lain].
4. memotong tulang yang menonjol keluar – menjadi ‘martir’ bagi kepuasan
pribadinya
Tulang-tulangnya segera mulai menyambung satu dengan yang lain. Akan tetapi di
bawah lutut ada satu tulang yang letaknya di atas yang lain. Karenanya kaki itu menjadi lebih
pendek dan tulang itu sendiri amat menonjol, sesuatu yang sangat jelek. Ia tidak dapat
menerima itu. Sebab ia mencari karier di dunia, dan berpendapat bahwa tulang itu
membuatnya kurang tampan. Maka ia bertanya kepada para ahli bedah apakah tulang itu
dapat dipotong. Mereka berkata bahwa memang dapat, namun penderitaan akan lebih besar
daripada segala yang sudah dialaminya. Sebab tulang itu sudah sehat, dan dibutuhkan waktu
cukup lama untuk memotongnya. Biarpun demikian, ia mengambil keputusan membiarkan
diri disiksa lagi menurut keinginannya sendiri. Kakaknya merasa ngeri dan berkata bahwa ia
sendiri tidak berani menanggung penderitaan semacam itu. Akan tetapi si sakit
menanggungnya dengan ketabahannya yang selalu diperlihatkan.
10
Inigo dengan tegar dapat menghadapi ancaman kematian di Pamplona dan ia dapat
menahan rasa sakit saat dioperasi di Loyola, tetapi ia tidak dapat menerima bentuk
lututnya yang telah berubah menjadi jelek. Bagaimana ia dapat melanjutkan
romantismenya dengan para wanita jika ia telah kehilangan penampilannya yang elegan
dan atraktif? Pedro Ribadeneira, penulis biografi pertama Ignasius, menceritakan bahwa
potongan tulang yang menonjol keluar ini membuatnya tidak bisa lagi memakai ‘sepatu
bot ketat’. Penampilan seperti ini adalah sesuatu yang ‘tidak dapat diterima oleh pemuda
yang modis ini’.
Keputusannya untuk meminta tulang yang menonjol keluar ini dipotong adalah
perwujudan prioritas dan nilai hidup Inigo. Ia lebih memilih menanggung “sebuah
kemartiran model baru” semacam ini daripada harus berjalan dengan pincang di
hadapan para wanita. Hidup dan pikiran Inigo masih berpusat pada kesenangan
pribadinya daripada hasrat untuk menyenangkan Tuhan.
Pada saat ini, Inigo adalah orang yang digambarkan dalam Latihan Rohani (LR 314)
jatuh dari satu dosa besar ke dosa besar lainnya, terbawa oleh rasa perasaannya sendiri,
dan digoda oleh “musuh” dengan “kenikmatan-kenikmatan duniawi” yang menjeratnya
dalam belenggu dosa. Baru pada saat ia mulai membaca dan merenung, ia menyadari
bahwa roh baik dapat menegurnya melalui “akal budinya.” Selain luka di kakinya, ia juga
“terluka” mengenai bagaimana memahami tujuan hidup dan ini membutuhkan
perawatan selama berbulan-bulan dari Tuhan sebelum akhirnya ia sembuh. Namun,
untuk saat ini, ia siap untuk menjadi seorang martir bagi kepuasan pribadinya. Di dalam
diri Inigo ada ketetapan hati dan kehendak sekeras baja, seperti baja di pegunungan
yang mengitari Puri Loyola.
Saat kita membaca paragraf-paragraf awal Autobiografi, kita tidak bisa mengingkari
kalau kita terkesan dengan keterbukaan, kejujuran, dan kerendahan hati yang
ditunjukkan oleh Inigo yang telah dewasa saat menceritakan hidupnya sebagai seorang
hidalgo (bangsawan di daerahnya) Loyola. Dengan menunjukkan kerapuhan dirinya, ia
mengundang para pembaca untuk merenungkan dan memaknai hidupnya,
sebagaimana yang telah dilakukannya.
11
5. Tuhan kita memulihkan kesehatannya – Inigo diberi buku-buku bacaan rohani
Setelah kakinya dibuka dan tulang yang menonjol dipotong, mereka berusaha dengan
bermacam-macam cara untuk memperbaiki kaki yang lebih pendek itu. Diberi minyak, dan
ditarik dengan alat-alat, yang berhari-hari menyiksanya. Namun, secara berangsur-angsur
Tuhan memberikan kesembuhan kepadanya. Ia mulai membaik. Segera, ia sebenarnya sudah
sehat sungguh, hanya belum dapat berdiri. Karena itu terpaksa ia berbaring di tempat tidur.
Ia selalu ingin sekali membaca buku fantasi profan, yang biasanya disebut novel ksatria.
Karena ia sudah mulai merasa baik maka ia minta diberi beberapa buku semacam itu untuk
mengisi waktu. Akan tetapi di rumah itu tidak ada satu buku pun yang biasanya dia baca.
Oleh karena itu, diberikan kepadanya buku "Riwayat hidup Kristus" dan sebuah buku lain
tentang hidup para santo, dalam bahasa daerah.
Penderitaan jasmaninya tak kunjung berakhir. Agar satu kakinya tidak menjadi lebih
pendek daripada yang satunya, tim dokter menggunakan sebuah alat untuk
merentangkan kakinya. Tindakan ini melahirkan rasa sakit yang luar biasa dan
membuatnya tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Metode ini ternyata amat sukses
karena dengan hanya memakai sepatu yang sedikit lebih tinggi, perbedaan kakinya tidak
akan terlihat. Tim dokter juga membalut kakinya dengan berbagai macam salep
sehingga dapat sembuh lebih cepat. Pada 1532 kenangan Inigo tentang salep-salep ini
muncul dalam suratnya kepada saudaranya, Martin, untuk menjelaskan mengapa baru
setelah sepuluh tahun ia memutuskan untuk menulis surat kepada saudaranya ini.
‘Seseorang yang terluka parah akan memulai dengan mengoleskan satu
jenis salep, dan dalam proses penyembuhannya, lalu salep jenis yang lain,
dan pada saat terakhir, sejenis salep yang lain lagi. Oleh karena itu, pada
permulaan peziarahan saya, ada satu jenis salep yang dibutuhkan dan
setelah itu salep yang lain tidak menyakiti saya’.
Inigo telah membuat sebuah perbandingan antara kesembuhan jasmaninya
dengan kesembuhan rohaninya yang secara perlahan-lahan dikerjakan oleh Tuhan di
dalam hatinya sejak ia meninggalkan keluarganya.
Sebenarnya cara Inigo menggambarkan dirinya sebagai seorang martir adalah
sesuatu yang sangat ironis. Dalam pemahaman religius, seorang martir adalah
seseorang yang disiksa oleh orang lain dan menderita karena imannya kepada Tuhan.
12
Dalam kasus Inigo, ia sendirilah yang menyebabkan sakit dan penderitaan bagi dirinya
dan ia melakukannya untuk kesenangan pribadi dan citra dirinya yang fana.
Lebih jauh lagi, penjelasan Inigo tentang bagaimana ‘Tuhan sedang memulihkan
kesehatannya’ memiliki dua makna. Tuhan tidak hanya berkehendak bahwa Inigo tidak
mati dan secara lembut memulihkan kesehatan dan kekuatannya. Tuhan juga sedang
memulai sebuah jenis penyembuhan lain dalam batin Inigo. Tuhan menggunakan waktu
selama berbulan-bulan pada saat Inigo terpaksa beristirahat untuk membangunkannya
dari mimpinya tentang kemuliaan duniawi dan membawanya ke dalam dunia
pengabdian yang nyata.
Sarana digunakan oleh Tuhan ialah buku. Karena terpaksa beristirahat di atas
tempat tidur, Inigo meminta beberapa buku untuk dibaca. Buku-buku yang
diinginkannya adalah buku-buku tentang dunia fantasi yang sebelumnya begitu
merasuki imajinasinya dan membawanya ke dunia dosa; yang dipenuhi percintaan,
pertengkaran dan ilusi kemuliaan semu. Buku-buku ini bercerita tentang raksasa, naga,
penyihir, dan aneka musuh lain. Melalui cerita-cerita seperti ini ia ditipu dan dibuat
percaya bahwa semua itu akan memuaskan hatinya. Saat berada di antara tembok-
tembok Benteng Pamplona, ia pastinya melihat dirinya sendiri sebagai salah seorang
pahlawan romantis seperti yang diceritakan dalam buku-buku ini.
Namun, buku-buku yang ada di rumah itu hanyalah buku-buku yang dibawa oleh
kakak iparnya ke Puri Loyola. Buku yang pertama adalah Riwayat Hidup Kristus dan yang
kedua adalah buku Riwayat Para Kudus. Buku-buku ini tidaklah menarik bagi Inigo,
tetapi, ketika itu, ia sungguh sedang bosan.
Magdalena telah berperan seperti seorang ibu sejak Inigo masih kecil. Sekarang, ia,
bersama kedua anak perempuannya, kembali merawat Inigo selama masa-masa sulit
dalam proses penyembuhannya. Kasih sayangnya kepada adik iparnya, saat Inigo masih
kecil dan sekarang ketika sudah menjadi orang dewasa yang sedang sakit, amat
mengesan di hati Inigo. Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa setelah beberapa
tahun berlalu, Inigo memiliki sebuah buku doa yang memuat gambar Bunda Maria dan
ini mengingatkannya pada Magdalena. Ini lalu menjadi lanturan serius dalam doa-
doanya sehingga ia harus menutupinya dengan selembar kertas. Magdalena jugalah
yang membawa lukisan Kabar Sukacita ke Puri Loyola (yang saat ini masih ada hingga di
Puri Loyola). Saat masih kanak-kanak, Inigo sering berdoa di hadapan lukisan ini. Inilah
13
awal devosinya kepada Bunda Maria. Inigo memang sungguh berhutang budi kepada
kakak iparnya ini.
Buku Riwayat Hidup Kristus yang dibaca oleh Inigo adalah terjemahan Bahasa
Spanyol dari buku karangan Ludolphus de Saxony, yang aslinya berbahasa Latin (pada
waktu ini Inigo belum bisa berbahasa Latin). Buku ini terdiri dari empat volume dan
sepertinya tidak mungkin Inigo menghabiskan semuanya selama lima bulan ia berbaring
sakit. Seorang komentator dengan penuh canda menanggapi bahwa Inigo pasti akan
kesulitan memegang keempat buku-buku besar tersebut di atas tempat tidurnya.
Akan tetapi, bagian-bagian yang ia baca mempunyai pengaruh sangat besar bagi
dirinya dan ia secara serius menghayati saran Ludolphus untuk berhenti sejenak,
merasa-rasakan dan mencecap-cecap apa yang ia baca. Inilah yang dilakukan oleh Inigo.
Lebih jauh lagi, Ludolphus juga mengajurkan pembacanya untuk menghadirkan diri
mereka di dalam cerita Injil yang sedang dibacanya, seakan-akan ia sungguh sedang
berada di dalam kisah itu untuk mendengarkan dan melihat apa yang sedang terjadi.
Dengan melakukan ini, para pembaca akan merasakan penghiburan yang besar. Berkat
membaca buku karya Ludolphus ini, Inigo tidak hanya mempelajari sebuah cara berdoa
yang baru, tetapi ia juga belajar bahwa kesetiaan pada meditasi harian adalah sarana
untuk membangun hubungan dengan Kristus. Pemahaman ini kemudian memberi
sebuah orientasi baru bagi hidup Inigo, yaitu hidup berdasarkan Injil.
Buku Latihan Rohani yang ditulis oleh Inigo di kemudian hari akan sangat
dipengaruhi oleh pengalaman Inigo membaca Riwayat Hidup Kristus karangan Ludolphus
de Saxony (1300-1378). Inigo percaya bahwa apa yang menurutnya berguna bagi dirinya
pasti akan berguna pula untuk orang lain. Maka, seperti yang dilakukan oleh Ludolphus
de Saxony, Inigo juga memberi kita sebuah metode berdoa, yaitu metode di mana kita
mengontemplasikan kisah-kisah Injil dan membawa diri kita masuk ke dalamnya. Tidak
hanya itu, runtutan misteri hidup Kristus dan bahkan kerangka umum Latihan Rohani
sebenarnya sangat dipengaruhi oleh karya Ludolphus.
Satu saran Ludolphus yang juga dihayati oleh Inigo adalah memusatkan pandangan
kita pada luka-luka Kristus yang tersalib. Kalau kita melakukan ini, kita akan masuk ke
dalam pertempuran melawan kekuatan jahat dan diberikan kerelaan untuk
menanggung kesukaran dan penderitaan yang muncul dalam pertempuran tersebut
sebagaimana yang diperbuat oleh Kristus. Di dalam Latihan Rohani Inigo juga
14
menganjurkan kita untuk berlutut di hadapan Kristus yang tersalib dan bergabung
dengannya dalam perjuangan melawan kekuatan jahat.
Buku Riwayat Para Kudus kemungkinan besar adalah buku Flos Sanctorum yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol oleh seorang Dominikan bernama Jacobo de
Vorágine (1230-1298). Inigo menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca
buku ini.
Di dalam buku ini termuat kisah-kisah seru tentang bentuk-bentuk kepahlawanan
dan kesetiaan yang berbeda-beda. Kesalahan data-data sejarah dalam buku ini tidak
merisaukan Inigo karena ia terinspirasi oleh kesiapan para kudus untuk menderita bagi
Kristus.
Sebagai contoh, di awal masa hidupnya, Fransiskus Asisi hidup dalam kesia-siaan
sampai ia akhirnya jatuh sakit dan diubah menjadi seorang manusia baru. Dia tidak lagi
mengenakan pakaian mewah karena ia lebih memilih mengenakan pakaian seorang
pengemis. Ide ini nantinya akan ditiru oleh Inigo.
Dia juga membaca cara Kristus menggambarkan Dominikus, “Sesungguhnya, orang
ini adalah seorang ksatria baik yang gagah berani.” Mungkin, suatu hari nanti Kristus
akan mengatakan hal yang sama tentang Inigo.
St. Agustinus juga memberinya sebuah pemahaman baru ketika ia berbicara
tentang Kota Yerusalem dan Babilon serta kedua rajanya, yaitu Kristus dan Setan. Di
kemudian hari, ini akan membantunya merumuskan doa “Meditasi Dua Panji.” Melalui
cara yang khas, kata-kata St. Agustinus pastinya akan bergema dalam batin Inigo:
‘Dua jenis cinta, katanya, membangun dua kota. Kota setan dibangun atas
dasar cinta diri yang mengarah pada kebencian akan Tuhan dan kota Tuhan
dibangun atas dasar cinta kasih Tuhan yang mengarah pada kebencian akan
diri sendiri’.
Iman Inigo, yang masih pemula dalam bidang rohani, membuatnya mudah untuk
menangkap kehidupan seperti ini. Kristus menampakkan dirinya sebagai seorang
pahlawan dan pemimpin seperti laki-laki hebat dalam kisah-kisah kepahlawanan yang ia
baca di masa lalu. Para kudus terlihat bak ksatria-ksatria yang melayani Kristus dan
masuk ke dalam kekudusan untuk meraih kemenangan.
15
Demikianlah cara Inigo membaca buku-buku tersebut.
6. ia membaca – ia berpikir – ia terbuai oleh bayangan tentang perempuan
impiannya
Ia membaca buku-buku itu berulang kali dan mulai tertarik sedikit pada apa yang tertulis
di situ. Selesai membaca, kadang-kadang ia berhenti untuk memikirkan kembali apa yang
telah dibacanya. Lain kali ia berpikir lagi mengenai hal-hal duniawi, yang biasanya
dipikirkannya. Di antara sekian hal duniawi yang muncul di benaknya, ada satu yang sangat
memikat perhatiannya. Ia dapat melamunkan selama dua atau tiga atau bahkan empat jam
mengenai hal itu, tanpa merasakannya. Ia mengkhayalkan apa yang akan dilakukan dalam
pengabdian kepada seorang putri: Bagaimana ia akan sampai pada negeri di mana putri itu
tinggal; sebutan dan kata-kata mana yang akan dipakainya; tindakan-tindakan besar apa
yang akan dilakukan untuknya. Ia begitu tenggelam dalam khayalan itu, ia sama sekali tidak
berpikir betapa mustahil melakukan itu; sebab putri itu bukan dari kalangan bangsawan
biasa, bukan condesa, bukan duquesa/pangeran, tetapi jauh lebih tinggi daripada semua
itu.
Tuhan nantinya akan menggunakan bacaan-bacaan ini untuk membawa perubahan
besar dalam hati Inigo. Buku ini tidaklah seperti buku-buku roman kepahlawanan yang
biasanya ia baca untuk hiburan semata. Apa yang sedang ia baca sekarang merupakan
suatu jenis bacaan khusus yang menyentuhnya secara amat mendalam dan menantang
dirinya. Akibatnya, ia dapat membaca hal yang sama berulang-ulang dan kemudian ia
merasa bahwa bacaan ini memberikan dampak yang berbeda bagi hidupnya. Bacaan
seperti ini mempunyai dampak afektif, dan ini sangat penting bagi Inigo, yang pada saat
itu sedang mulai belajar berdiskresi (pembedaan roh).
Imajinasinya begitu berkembang hingga ia seakan terserap oleh apa yang
dibacanya. Selain itu, kemampuan Inigo untuk mencermati bagaimana orang lain hidup
membuatnya sadar akan suatu cara hidup yang baru. Ia pun mulai membayangkan
tentang sebuah masa depan yang berbeda dengan masa lalunya dan ini menarik
perhatiannya. Meskipun ia tidak sadar akan hal ini, dengan “melatih dirinya” dengan cara
demikian, ia memberi ruang bagi Tuhan untuk berkarya dalam dirinya. Dalam perjalanan
hidupnya, Ia akan semakin menyadari betapa pentingnya upaya manusiawi untuk
16
menimbang dan merasa-rasakan. Cara ini akan dijadikan Inigo sebagai
landasanpenyusunan Latihan Rohani. Pelajaran lain yang ia dapatkan ialah tentang
betapa pentingnya pengulangan atau repetisi. Walaupun sebenarnya Inigo melakukan
pengulangan karena terpaksa akibat kurang tersedianya bahan bacaan di Loyola, ia lalu
menyadari bahwa pada akhirnya pengulangan berdampak positif bagi dirinya, terutama
manakala ia menggabungkannya dengan refleksi.
Inigo sebenarnya tidak hanya sedang membaca, tetapi juga sedang berpikir.
Penekanan pada proses ‘berpikir’ dalam bagian ini dan dalam paragraf-paragraf
berikutnya cukup mencengangkan. Sekurang-kurangnya Inigo menyebutkannya selama
enam belas kali di dalam empat paragraf. Fakta ini bukanlah sesuatu yang biasa karena
dia sedemikian terserap oleh hal ini. Lewat kisah ini kita diingatkan bahwa dalam proses
diskresi kita harus setia dengan permasalahan yang ada dan merenungkannya untuk
jangka waktu yang lama sehingga dapat melahirkan perasaan-perasaan afektif dalam
batin kita. Kisah-kisah dalam Autobiografi bercerita tentang proses Inigo mengambil
keputusan melalui proses refleksi dan permenungan yang terjadi secara perlahan-lahan.
Pada saat ini, pikiran Inigo terpusat pada dua alternatif.
Salah satu pilihan Inigo ialah untuk melanjutkan hidup masa lalunya di istana. Ia
mengingat-ingat waktu yang telah ia habiskan di sana, bagaimana ia mengalami
kebahagiaan ketika hidup di dalam istana, dan bagaimana ia bermimpi melakukan hal-
hal berani yang mengesankan para wanita. Ribadeneira menggambarkan bahwa pada
masa itu Inigo adalah “seorang laki-laki yang perlente, penuh gelak tawa, menjunjung
tata krama dan kesopanan.” Ia amat bangga akan rambut pirangnya yang panjang,
kukunya yang terawat rapi, pakaiannya yang menarik, dan caranya bergaya di hadapan
orang lain. Ia adalah seorang hidalgo yang sombong sekaligus manja. Dengan segala
yang dimilikinya, siapa yang dapat menampik Inigo!? Ia pun mulai membayangkan
bagaimana ia akan memenangkan hati seorang putri.
Kita tidak mengetahui secara pasti siapakah sebenarnya perempuan ini, tetapi ia
mungkin adalah Putri Katarina dari Castilla yang menjadi suami Raja Portugal, João III.
Masa awal hidupnya sangat sulit karena sebagai seorang gadis muda ia dipenjarakan
oleh ibunya, Joanna, yang sakit jiwa, di istana Tordesillas yang kelam. Pada 1518 ia
melarikan diri ke Valladolid untuk beberapa waktu. Tampaknya, di Valladolid dan
Tordesillas Inigo melihatnya. Mungkin Inigo bermimpi untuk menyelamatkan
‘perempuan dengan keberanian hebat, kesalehan tak bercela dan kebijaksanaan luar
biasa’ (sebagaimana tertulis pada batu nisannya) ini dari penjara. Nantinya, Putri
17
Katarina akan menikah dengan Raja João III dari Portugal. Ketika sudah menjadi Superior
Jenderal Serikat Yesus, Inigo akan sangat berterima kasih kepadanya dan Raja João III
atas dukungan mereka pada Serikat.
Namun untuk saat ini, hubungan mereka hanya berada dalam angan-angan dan
“hal-hal yang fana.” Energi besar dalam Inigo lebih terarah kepadanya daripada kepada
rajanya. Tak lama lagi, hasrat Inigo ini akan terarah pada Kristus dan “keselamatan jiwa-
jiwa.” Dalam imajinasinya saat ini, Inigo membayangkan kata-kata yang akan ia ucapkan
kepadanya dan perbuatan-perbuatan yang akan ia lakukan untuknya. Sebenarnya, ini
sama dengan hal-hal yang diajarkannya kepada kita saat mengkontemplasikan kisah
Injil.
Ketika membayangkan hal-hal ini, hati Inigo dipenuhi oleh rasa bangga. Tanpa ia
sadari, ia masih ditipu oleh harapan-harapan semu. Bertahun-tahun kemudian, ketika ia
menulis “Pedoman Pembedaan Roh”, ia memeringatkan kita untuk memeriksa dengan
teliti arah dan hasil akhir dari pikiran-pikiran yang muncul dalam diri kita. Di Loyola,
kemurahan hatinya untuk mengabdi masih salah arah dan penuh kesombongan
sehingga ia tidak menyadari betapa mustahilnya mewujudkan rencana-rencananya itu.
Seperti yang pernah dituliskan oleh Polanco, ia membiarkan dirinya dihanyutkan oleh
“gagasan-gagasan fana.”
Inigo akan menuangkan pengalaman tipuan roh jahat ini dalam Latihan Rohani
melalui “Meditasi Dua Panji.” Di dalamnya kita akan ditunjukkan bagaimana Lucifer, raja
segala kebohongan menipu kita dengan membuat janji-janji palsu dan membawa kita
pada “kemuliaan duniawi yang sia-sia.” Inigo menyadari bahwa sebagai orang muda ia
pernah tertipu dan melangkah di jalan yang membawanya ke arah kematian daripada
“hidup sejati” yang ditawarkan oleh Kristus kepada kita.
7. Tuhan memberinya mimpi-mimpi lain – manakah yang harus dipilih?
Bagaimana pun, Tuhan membantunya, dengan mendatangkan pikiran lain sesudah itu,
yang timbal dari apa yang dibacanya. Apabila membaca tentang kehidupan Tuhan kita dan
para santo, ia mulai berefleksi dan berpikir begini: Bagaimana, kalau aku melakukan apa
yang dilakukan St. Fransiskus, atau yang dilakukan St. Dominikus? Begitulah ia berefleksi
mengenai banyak hal yang dirasa baik. Ia selalu membayangkan hal-hal yang sulit dan berat,
tetapi bila dibayangkan ia selalu merasa mudah untuk melaksanakannya. Seluruh pikirannya
18
yang selalu dikatakan pada dirinya sendiri tidak lain daripada St. Dominikus melakukan itu,
jadi aku harus melakukannya juga; St. Fransiskus melakukan itu, jadi aku harus
melakukannya juga. Pikiran seperti itu bertahan cukup lama. Lalu ia sibuk dengan hal-hal
lain. Kemudian muncul lagi pikiran duniawi seperti yang disebut di atas, dan hal itu pun
berlangsung lama. Pikiran yang begitu berbeda datang silih berganti, dan itu berjalan terus
cukup lama. Ia selalu dikuasai oleh pikiran yang muncul, entah pikiran mengenai tindakan
duniawi yang ingin dilakukannya, entah pikiran lain mengenai Allah yang muncul di
benaknya. Sampai pikiran-pikiran itu ditinggalkannya karena capai, lalu ia mencari sesuatu
yang lain.
Akan tetapi, ada sebuah kemungkinan lain yang mencuri perhatiannya dan yang ini
berasal dari Tuhan dan bukan dirinya sendiri. Tuhan sedang berkarya secara langsung
dalam dirinya, seperti yang sedang terjadi pada seseorang yang sedang melakukan
latihan rohani.
Kisah hidup para kudus, khususnya St. Fransiskus Asisi dan St. Dominikus,
memberikan contoh bagaimana dia dapat menjadi sempurna dan memperoleh sebuah
kemegahan model baru, yang berbeda dengan bayangan dia sebelumnya.
Ketika membaca kisah hidup St. Fransiskus, ia tentu akan dikejutkan oleh kemiripan
antara dirinya dengan St. Fransiskus. Seperti apakah reaksi yang muncul dalam dirinya
ketika ia membaca dalam Flos Sanctorum bahwa Tuhan “menghukum” St. Fransiskus
dengan kelemahan karena ia telah menghabiskan dua puluh tahun pertama hidupnya
dalam “kesombongan”, dan Tuhan “… mengubah dia seketika itu juga menjadi manusia
yang berbeda?” Inigo kemudian merenungkan bahwa ia telah hidup selama tiga puluh
tahun mengejar kemuliaan duniawi dan sekarang ia juga sedang kesakitan. Mungkinkah
bahwa Tuhan sedang memintanya untuk mengubah gaya hidupnya?
Akan tetapi, saat ia memikirkan dan merenungkan masalah ini, hasratnya untuk
berkompetisi muncul. Walaupun motivasinya lebih dipengaruhi oleh hasrat tak teratur
untuk memenangi sebuah adu kesucian daripada hal-hal lain yang sifatnya lebih rohani;
ia tak ingin dikalahkan oleh St. Fransiskus dan St. Dominikus. Ia tidak hanya ingin
melakukan hal-hal yang telah dilakukan oleh mereka tetapi ingin melakukannya dengan
lebih baik. Di dalam dirinya ada sebuah dorongan kompetitif yang kuat. Dorongan ini
akan sangat tampak ketika ia berada di Manresa, meskipun kemudian motivasinya
diubah dan dimurnikan. Sangat mungkin juga bahwa ia melihat dirinya sebagai orang
19
yang dosa-dosanya melebihi St. Fransiskus dan oleh karena itu merasa bahwa ia juga
harus melebihinya dalam hal lakutapa. Ia masih sangat terpusat pada dirinya sendiri dan
hal-hal besar yang ingin ia perbuat sehingga lakutapa dan tindakan-tindakan semacam
itu tampak mudah baginya. Jiwa ambisius Inigo di Pamplona belumlah hilang. Di benteng
ini, Inigo menampakkan keberanian, menanggung sakit dan siap menghadapi kematian.
Sekarang, ia dapat menggunakannya untuk menjadi seperti para kudus, seakan-akan
kemahsyuran masih dapat diraihnya dengan cara ini.
Ketika ia nanti merenungkan pengalamannya meniru St. Fransiskus dan St.
Dominikus dan dampaknya bagi dirinya, Inigo akan mengajukan sebuah pertanyaan.
Kalau Tuhan telah menggunakan kisah mereka untuk mengubah diri saya, mengapa
Tuhan tidak dapat menggunakan kisah saya untuk mengubah orang lain. Cara ini akan
menjadi bagian dari metode yang ia gunakan di kemudian hari. Dengan membagikan
pengalaman hidupnya kepada orang lain, ia dapat membesarkan hati orang lain untuk
membuka hati mereka kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan mengubah mereka.
Namun, untuk saat ini, pikirannya masih terombang-ambing antara perbuatan-
perbuatan duniawi dan ilahi. Di dalam dirinya ada sebuah pergulatan yang meletihkan
dirinya. Ini terlihat dari banyaknya waktu yang dihabiskannya untuk memikirkan perkara
ini dan banyaknya upaya serta konsentrasi yang ia curahkan untuk merenungkannya. Ia
baru berhenti ketika ia sudah merasa sungguh letih. Banyak yang menduga bahwa
kemampuan dan kekuatannya untuk berkonsentrasi, serta semangat reflektifnya
berasal dari darah Bask yang mengalir dalam dirinya. Akan tetapi, terlepas dari mana
pun asalnya, kita tahu bahwa ia menggunakannya saat berada di Loyola dan ini
digabungkannya dengan kehendak kuat yang tidak dapat digoyahkan.
Ketika melihat kembali bulan-bulan pertobatannya di Loyola sewaktu sudah
menjadi pribadi yang matang, Inigo dapat melihat dengan jelas kehadiran tangan Tuhan
dalam semua peristiwa ini. Luka dramatis yang dialaminya di Pamplona adalah awal dari
semuanya [1]. Ini diikuti oleh kesembuhan tidak terduga melalui rangkaian operasi yang
dijalaninya [3], pemulihan kesehatannya [5], terbatasnya buku di Puri Loyola [5] dan
dampak dari kegiatan membaca dan merenung yang dilakukan olehnya [7].
20
Ada dua hal yang patut untuk diperhatikan selama kurun waktu di Loyola ini:
Pertama adalah bagaimana ide, motivasi dan hasrat Inigo berubah dan
berkembang sepanjang penuturannya. Dari sini kita dapat melihat bagaimana ia sudah
mulai terpengaruh oleh dorongan-dorongan lembut dari Tuhan.
Kedua ialah proses yang ia gunakan. Sembari membaca, Inigo menyempatkan diri
untuk:
• Merenung,
• menggunakan imajinasinya untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan
yang ada,
• berpikir dan berefleksi,
• menyempatkan diri untuk merasakannya di dalam hatinya.
Seraya ia menggunakan kemampuan panca indranya, Inigo sebenarnya sedang
menemukan dasar-dasar pembedaan roh.
8. menemukan perbedaan antara roh baik dan roh jahat
Ia mengalami perbedaan ini: Bila berpikir mengenai hal-hal duniawi, ia memang senang
sekali, tetapi kalau berhenti, karena capai, ia merasa kering dan tidak puas. Sebaliknya, bila
berpikir mau pergi ke Yerusalem tanpa sepatu, dan hanya makan sayuran, dan menjalankan
semua hal lain yang berat, yang dilihatnya pernah dilakukan oleh para santo, ia merasa
terhibur. Bahkan tidak hanya pada saat ia sedang dalam pikiran itu, tetapi juga saat-saat
kemudian, bila pikiran itu telah ditinggalkannya, ia tetap merasa puas dan gembira. Akan
tetapi ia tidak memperhatikan hal itu dan juga tidak menyempatkan diri untuk
mempertimbangkan perbedaan itu. Pada suatu saat matanya dibuka sedikit, dan ia mulai
merasa heran akan perbedaan itu dan mengadakan refleksi tentang hal itu. Berdasarkan
pengalaman ia mulai menyadari bahwa dari pikiran yang satu ia menjadi murung, dan dari
yang lain gembira. Sedikit demi sedikit ia mulai menyadari perbedaan roh-roh yang
menggerakkannya: satu dari setan, yang lain dari Allah.
Saat ini, semua upaya dan waktu yang ia pergunakan untuk hal ini mulai
memperlihatkan buahnya. Ia menyadari adanya dua dampak yang bertolak belakang,
21
yaitu kekeringan dan ketidakbahagian serta kebahagiaan dan penghiburan. Walaupun
ia sudah mulai mengamati perbedaan-perbedaan ini untuk beberapa waktu, ia tidak
begitu memperhatikannya sampai suatu hari hal ini menjadi jelas baginya. Bagi Inigo,
pemahaman ini adalah tindakan Tuhan yang membuka matanya.
Dari paragraf ini, beberapa komentator cenderung untuk menyimpulkan bahwa
Inigo telah menemukan proses penegasan rohani dan metode pengambilan keputusan.
Komentar semacam ini perlu diragukan karena Inigo sendiri dengan amat hati-hati
mengungkapkan bahwa meskipun ia amat terpesona oleh pemahaman barunya ini,
matanya baru terbuka sedikit saja. Selain itu, pergulatan dia yang akan datang dengan
proses pembedaan roh seperti saat ia bertemu dengan orang Moor dan lalu ketika ia
digoda di Manresa menunjukkan bahwa ia masih perlu banyak belajar.
Pada kesempatan ini, ia sepertinya hanya bercerita mengenai apa yang telah ia
lakukan dan bagaimana ia secara perlahan-lahan memperoleh pengertian mengenai apa
yang sedang terjadi di dalam dirinya.
Ia telah berpikir dan berefleksi mengenai dua skenario yang amat berbeda dan
telah menyadari perasaan-perasaan yang muncul dari pikiran-pikiran dan refleksi-
refleksinya.
Dia membiarkan hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama untuk
memperhatikan perasaan-perasaan spontan dan perasaan-perasaan jangka panjangnya
tanpa mengetahui bahwa perbedaan di antara keduanya itu amat penting. Seperti yang
akan ditegaskan kembali sewaktu Inigo berada di Manresa (dan nantinya ditulis dalam
“Pedoman Pembedaan Roh”), konsolasi jangka pendek tidak selalu menjadi tanda dari
roh baik. Pentingnya refleksi secara perlahan-lahan mengenai pengalaman-pengalaman
rohani kita ini akan ditekankan oleh Inigo dalam “Anotasi Kedua” Latihan Rohani, yang
menyatakan “… karena bukan berlimpahnya pengetahuan, melainkan mencecap dalam-
dalam kebenarannya, itulah yang mengenyangkan dan memuaskan jiwa.”
Apa yang sekarang sedang terjadi pada dirinya adalah kesadaran bahwa ada
perbedaan antara pengalaman-pengalamannya. Ia pertama-tama dikejutkan oleh hal
ini kemudian berefleksi lebih jauh. Refleksi berkesinambungan tentang sebuah
pengalaman sebagai sebuah cara mencapai kejelasan di kemudian hari akan menjadi
pokok penting dalam ajaran Inigo.
22
Secara perlahan-lahan ia mulai menyadari bahwa ia sedang digerakkan oleh roh-
roh yang berlawanan. Satu Roh berasal dari Tuhan dan satunya dari setan. Menerima
bahwa ada dua jenis roh yang bertolak belakang yang bekerja di dalam hati kita adalah
langkah pertama dalam proses pembedaan roh.
Bagi Inigo, kesadaran bahwa ada sesuatu di luar dirinya yang dapat
memengaruhinya serta mengubah pikiran dan perasaannya adalah suatu penemuan
penting. Ia sekarang sadar bahwa ia tidak sepenuhnya memegang kendali. Inigo mulai
belajar bahwa Tuhan menyentuh manusia pada bagian terdalamnya dan manusia
menyadari hal ini melalui pikiran-pikiran, serta rasa-perasaannya. Penyadaran akan
gerak-gerak roh di dalam batin ini, disertai dengan kemampuan untuk membedakan
satu dan yang lainnya akan menjadi landasan untuk menemukan panggilan terdalam
Tuhan bagi diri Inigo.
Mungkin, membaca cerita Ludolphus tentang peristiwa Pentakosta dan kehadiran
Roh Kudus dalam perjalanan Gereja membantu Inigo untuk menyadari keberadaan Roh
Kudus dalam dirinya dan kenyataan hidup di dalam Roh.
Apa yang dibaca Inigo di Loyola secara perlahan-lahan menumbuhkan tiga
keinginan baru di dalam diri Inigo, yaitu:
• keyakinan bahwa Yesus memiliki peranan yang semakin penting di dalam
kehidupannya,
• berziarah ke Yerusalem, dan
• melaksanakan lakutapa dan matiraga lainnya seperti yang telah dilakukan oleh
para kudus.
Dalam buku Riwayat Hidup Kristus, Ludolphus mendorong pembacanya untuk
membayangkan bahwa ia berada di Yerusalem, atau bahkan pergi ke sana. Dalam buku
Riwayat Hidup Kristus, Inigo membaca bahwa ada banyak orang kudus yang berziarah ke
kota ini. Bagi Inigo, keinginan untuk pergi dan bahkan tinggal di Yerusalem ini sepertinya
telah menjadi sebuah ambisi seumur hidup karena panggilan ini terus hidup di dalam
batinnya selama masa studinya sebelum akhirnya kembali mengemuka saat ia sudah
bersama sahabat-sahabatnya yang pertama, yang juga memiliki keinginan yang sama
[85].
23
Ide untuk berjalan tanpa alas kaki dan tidak makan apa-apa selain sayuran
sepertinya diinspirasi oleh St. Onufrius (St. Humfrey), yang disebut sebagai “santo yang
liar” karena ia tinggal sendirian dan melakukan matiraga yang keras. Walaupun St.
Onufrius tidak diceritakan di dalam “Riwayat Para Kudus”, Inigo amat mengaguminya.
Namanya akan kembali muncul ketika Inigo berada di Manresa [20]. Inigo ingin
melakukan lakutapa keras dan berziarah. Ia akan melakukannya dengan sangat baik.
Sekarang, latihan senjata yang disebutkannya di awal Autobiografi-nya telah diganti
dengan latihan matiraga. Hanya dengan memikirkan hal-hal ini saja hati Inigo sudah
dipenuhi konsolasi dan penghiburan yang mendalam. Di dalam buku Autobiografi, inilah
pertama kalinya kata “konsolasi” dipergunakan.
9. apa yang ingin diperbuat oleh Inigo – jiwa besar dan hati rela berkorban yang
dikobarkan oleh Tuhan
Ia memperoleh terang tidak sedikit dari pelajaran itu. Ia mulai berpikir lebih serius
mengenai hidupnya yang lampau, dan merasa sangat perlu membuat lakutapa untuk itu.
Waktu itu muncul keinginan untuk meniru para santo. Ia tidak begitu berpikir mengenai
keadaan dirinya. Ia hanya berjanji bahwa, dengan pertolongan rahmat Allah, ia akan
melakukan apa yang dilakukan para santo. Yang paling ingin dilakukannya, segera bila
sembuh, ialah pergi ke Yerusalem, seperti telah dikatakan di atas, dengan segala macam
penitensi dan puasa. Hal semacam itu biasanya ingin dilakukan oleh orang yang besar hati,
yang berapi-api karena Allah.
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, buku-buku yang dibaca oleh Inigo
adalah sejenis bacaan yang khusus. Sekarang, Inigo telah menyadari bahwa ia tidak
hanya sekedar membaca. Apa yang telah terjadi adalah sebuah “pelajaran” yang
diberikan oleh Tuhan. Ia mungkin adalah seorang murid yang tidak dapat menangkap
dengan cepat, tetapi sekarang ia dapat melihat beberapa hal dengan terang baru.
Pemahaman baru yang ia dapatkan ini lebih dari sekedar pengetahuan semata. Apa yang
telah ia dapatkan telah menggerakkan dirinya ke sebuah arah hidup yang baru. Ia kini
tidak lagi tertarik untuk mengejar perempuan impiannya karena ia ingin mengikuti jejak
para kudus. Ia telah begitu terpesona oleh teladan para kudus dalam matiraga dan
berziarah sehingga ia berkeinginan untuk melakukan hal yang sama.
24
Ketika merenungkan pengalaman-pengalamannya di Pamplona, ia dapat melihat
tanda-tanda kehadiran tangan Tuhan di dalamnya (bdk. [7]). Sekarang ia menyadari
bahwa Tuhan telah berkarya melalui beberapa hal, yaitu:
• Tuhan telah menumbuhkan pikiran-pikiran baru yang amat berbeda dengan
impian-impian duniawinya [7].
• Tuhan telah membuka matanya untuk mulai memahami pembedaan roh [8].
• Tuhan telah mengajarinya dan memberinya pemahaman-pemahaman baru
[9].
Melalui bacaan, Tuhan telah mulai menyiapkan dan mengarahkan diri Inigo pada pilihan-
pilihan masa depannya.
Refleksi Inigo mulai membawanya pada hal-hal yang sifatnya lebih suram. Ketika
memikirkan masa depannya, Inigo terdorong untuk mulai melihat kembali hidupnya di
masa lalu. Pada waktu ini, ia sadar bahwa “hidupnya” telah salah arah dan
disalahgunakan karena apa yang dicarinya hanyalah kemasyhuran duniawi. Ia pun
bertanya kepada dirinya sendiri sebuah pertanyaan yang nantinya akan ia ajukan kepada
St. Fransiskus Xaverius, “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia?” Ia tidak
mendapatkan jawaban yang meyakinkan. Sebaliknya, ia malah teringat akan dosa-dosa
yang ia perbuat agar dapat mencapai kemuliaan duniawi. Ia lalu mengingat kembali
penitensi yang diperbuat oleh para kudus untuk menebus dosa mereka dan ia terdorong
untuk melakukan hal yang sama. Jiwa Inigo telah digoncangkan secara amat mendalam.
Keinginan untuk mengubah arah hidupnya ini berasal dari Tuhan sendiri. Meskipun
tidak langsung sepenuhnya memahami apa yang sedang dialaminya, ia tahu bahwa ini
adalah sebuah kesadaran yang begitu berharga. Bulan-bulan melelahkan yang dilaluinya
dengan bermimpi dan berimajinasi, serta memikirkan dan merenungkan tentang apa
yang akan ia lakukan di masa depan telah mengubah keinginannya. Dari pengalaman ini,
ia akan mengerti bahwa keinginan kitalah yang menentukan bagaimana kita akan
bertindak. Oleh karena itu, kunci dari cara yang digunakan oleh Inigo untuk membantu
sesama adalah dengan membawa mereka pada sebuah perubahan hati, yang
menjadikan mereka terdorong untuk menginginkan hal-hal yang berbeda.
Di dalam Latihan Rohani, ia menerapkan metode ini dalam rangkaian doa orang
yang menjalankannya. Awalnya, apa yang kita inginkan tidak mempunyai satu fokus
khusus, atau bahkan mungkin salah arah. Ketika kita mulai mendoakan Injil, kita
25
memohon rahmat untuk semakin mengenal, mencintai dan mengikuti Yesus. Dalam
proses permenungan ini, kita memberi ruang bagi Injil untuk menerangi hidup kita
sehingga kita menjadi sadar akan arah dari reaksi-reaksi afektif yang muncul dalam hati
kita. Secara perlahan-lahan keinginan-keinginan kita menjadi semakin terarah pada
sebuah panggilan khusus dari Tuhan bagi diri kita. Kita lalu memohon rahmat jiwa besar
dan hati rela berkorban untuk menanggapi panggilan tersebut dengan “…memohon
menurut apa yang kurasa dalam hatiku untuk dapat lebih baik mengikuti dan meneladan
Tuhan kita …” (LR 109). Kita akan mempunyai daya untuk melakukan sesuatu yang
berbeda hanya apabila hati kita telah disentuh dan keinginan kita diubah oleh Tuhan.
Inilah yang persis sedang terjadi dalam diri Inigo.
Di dalam Autobiografi-nya, Inigo jarang sekali secara eksplisit menyebut “rahmat
Tuhan.” Namun, keseluruhan cerita hidupnya adalah sebuah kisah bagaimana rahmat
Tuhan bekerja di dalam hidupnya. Hatinya disentuh secara amat mendalam oleh Tuhan
dengan keinginan-keinginan yang begitu berbeda dari sebelumnya sehingga ia
merasakan dorongan yang begitu kuat untuk menyanggupinya. Nantinya, ia akan
mengungkapkan sebuah penyesalan karena ia tidak mempergunakan secara baik segala
rahmat yang telah diterimanya [33].
Sejak saat ini, tanggapan Inigo sudah jelas. Apa yang sebelumnya hanya berada
pada tataran pemikiran kini telah menjadi sebuah keputusan bulat:
• untuk mengikuti jejak para kudus dengan menghayati hidup dengan matiraga
yang keras
• untuk melaksanakan ziarah ke Yerusalem.
Ia tidak berencana untuk menjadikan penitensinya sebagai sebuah tontonan publik.
Maka, ia berupaya untuk menyembunyikannya. Bagi seseorang yang baru saja bertobat,
ikut-ikutan matiraga orang lain adalah langkah pertama. Ia masih harus melewati banyak
tahapan dan pelajaran untuk memahami jalan panggilannya. Akan tetapi, sebuah
perubahan besar telah terjadi dalam jiwanya. Meskipun hakikatnya masih kurang jelas,
intensitas perubahannya inilah yang akan mendorong Inigo untuk terus maju.
Deskripsi yang ia berikan tentang dirinya, “jiwa besar dan hati rela berkorban
yang dikobarkan oleh Tuhan”, amatlah mengagumkan. Inigo ingin menekankan bahwa
inisiatif atas apa yang sedang terjadi dalam dirinya ada di tangan Tuhan. Tuhanlah yang
sedang berkarya di dalam dirinya dan bukan sebaliknya. Pokok ini nantinya akan menjadi
26
salah satu prinsip utama ajaran rohani Inigo, yaitu bahwa Tuhan berkarya secara
langsung dengan setiap dari kita dengan mencurahkan rahmat-Nya dan meminta cinta
dan pengabdian kita sebagai balasannya. Kemurahan hati ialah disposisi dasar yang ia
cari dari setiap orang yang akan melaksanakan latihan rohani. Di dalam diri sahabat-
sahabat yang nantinya akan mengikuti dia, ini akan menjadi apa yang kita kenal sebagai
semangat untuk “mencari yang lebih” atau “magis.”
10. penampakan dari St. Perawan Maria dan Kanak-Kanak Yesus – peneguhan
niat-niatnya
Akhirnya pikiran pertama, yaitu mengenai hal-hal duniawi, mulai ditinggal-kannya. Hal-
hal duniawi itu dikalahkan oleh keinginan suci yang ada padanya, yang diteguhkan dengan
suatu visiun. Pada suatu malam ia tidak tidur. Lalu ia melihat dengan jelas gambaran Santa
Perawan dengan Kanak-Kanak Yesus. Dari penglihatan itu ia mengalami penghiburan amat
mendalam dalam waktu yang cukup lama. Ia merasa sangat muak terhadap hidupnya yang
lampau, khususnya mengenai kehidupan seksnya. Tampaknya semua bayangan yang dahulu
tergambar di dalamnya diambil dari hatinya. Sejak saat itu sampai Agustus 1553, waktu saya
menulis hal ini, ia tidak pernah mengalah lagi, pada godaan seks biarpun dalam hal kecil.
Karena telah terbebaskan dari godaan seks itu, ia berani berkata bahwa hal itu datang dari
Allah, walaupun ia tidak berani mengatakannya dengan pasti, dan juga tidak mengatakan
lebih daripada itu. Sementara itu kakaknya dan semua orang lain di rumah dari luar mengerti
bahwa terjadi suatu perubahan dalam hatinya.
Inigo membaca, berpikir, dan merasakan munculnya keinginan-keinginan baru di
dalam batinnya. Akan tetapi, apakah keinginan-keinginan ini sungguh lebih sejati
daripada keinginan-keinginan tentang kemuliaan duniawi yang sebelumnya memenuhi
pikirannya? Sekarang, ia ingin menunjukkan kepada kita betapa pentingnya
penegasan/konfirmasi atas keputusan-keputusan kita. Dalam kasusnya ini, ia cukup
cermat untuk menunjukkan penegasan yang didapatkannya.
Inigo memperoleh penampakan dari St. Maria dan Kanak-Kanak Yesus.
Penampakan ini memberinya penghiburan rohani untuk jangka waktu yang lama. Dalam
tahap awal, penampakan dan penghiburan rohani yang ia dapatkan ini mungkin cukup
untuk membuktikan kebenaran arah baru dalam hidupnya. Akan tetapi, Inigo tetap
mencari sebuah tanda yang lebih konkret dan praktis. Melalui penampakan ini, Inigo
27
disembuhkan dari pergulatannya dengan “hal-hal kedagingan.” Fantasi-fantasi serta
perbuatan-perbuatan yang muncul darinya hilang dan ini bukan karena usahanya
sendiri. Ia dibebaskan secara penuh dari hal-hal tersebut sehingga ia tidak pernah lagi
memberi ruang bagi godaan-godaan semacam ini. Hal ini sangat mengagumkan apabila
kita mengingat kelakuannya di masa lalu. Melalui hal ini pula ia menemukan peneguhan
atas keinginan barunya yang begitu suci ini dan juga atas penampakan yang diterimanya.
Tahap terakhir dalam pengambilan keputusan adalah tahap yang paling penting
dan Inigo secara hati-hati memastikan kesejatian penampakan yang ia terima kalau-
kalau ini adalah sebuah tipuan model baru. Rahmat kemurnian inilah yang meyakinkan
dia bahwa penampakan itu sejati dan ia dapat menerimanya sebagai peneguhan atas
keputusannya untuk memulai hidup baru.
Pada kesempatan lain, ia akan merujuk pada “penampakan” yang diterimanya dan
menerimanya sebagai peneguhan atas keputusan-keputusan yang telah ia buat.
Caranya menjelaskan kepada kita tentang bagaimana ia menguji kesejatian
penampakan yang didapatnya pada waktu ini membuat kita yakin bahwa ia melakukan
hal serupa dengan penampakan-penampakan yang ia terima di kemudian hari,
meskipun ia tidak selalu mengatakannya.
St. Maria datang bersama Putranya pada saat Inigo sedang mengambil keputusan
untuk mengubah orientasi hidupnya. Bertahun-tahun kemudian, ketika Inigo berada di
La Storta, St. Maria akan menempatkannya bersama Sang Putra untuk meneguhkan
keinginan Inigo menyediakan dirinya dan sahabat-sahabatnya bagi perutusan Paus [96].
Dia sering berpaling kepada St. Maria untuk memohon bantuannya. Maka, tidaklah
mengherankan jika kita menemukan St. Maria pada bagian awal dan akhir perjalanan
Inigo dari Loyola ke Roma.
Dari masa mudanya, Inigo sudah mempunyai devosi kepada St. Maria. Mungkin,
pada saat ia sedang membutuhkan bantuan St. Maria, ia akan teringat akan salah satu
lagu rohani yang populer pada zaman itu:
“Perawan Bunda Tuhan,
Oh Bintang, bimbinglah kami
tuntunlah kami ke tempat Ia ditinggikan
dan ke salib tempat Dia wafat
dari tempat Dia turun ke neraka demi kita.”
28
Dalam syair ini, St. Maria ditampilkan sebagai bunda dan penunjuk jalan.
Penampakannya kepada Inigo dengan Kanak-Kanak Yesus menghapus segala bayangan
sensual yang mungkin muncul. Di Montserrat, St. Maria akan menjadi “wanita dambaan
si ksatria” dan menggantikan perempuan idamannya di Loyola. Apakah di sini sudah
dapat terlihat bahwa Inigo akan memeluk kemurnian sebagai salah satu karakter
seorang peziarah?
Sampai saat ini, Inigo telah hidup dalam sebuah dunia semu yang dipenuhi mimpi-
mimpi kemuliaan yang khayali. Ketika ia mulai merasakan realitas yang sebenarnya,
fantasi-fantasinya muncul dalam wajah aslinya yang penuh tipu daya dan tidak
bermakna apa-apa. Ada perbedaan-perbedaan yang begitu mendasar dalam pemikiran
Inigo tentang kedua jenis realitas ini:
Di satu sisi adalah pikiran tentang seorang wanita bangsawan,
yang timbul dari imajinasinya
dan hanyalah khayalan semata
Di sisi lain adalah pikiran tentang matiraga dan ziarah
yang berasal dari Tuhan
dan telah menjadi sebuah kenyataan
melalui perantaraan St. Maria
Meskipun Inigo tidak sepenuhnya memahami perubahan yang telah terjadi di dalam
jiwanya, semua itu terjadi sedemikian kuat sampai berdampak pada penampilan
luarnya. Perubahan yang begitu mengkhawatirkan kakaknya ini adalah sebuah bentuk
penegasan lebih jauh bahwa ia sedang dibimbing oleh Tuhan.
11. kedamaian dan penghiburan rohani – disertai dengan kegelisahan untuk
berangkat
Tenang-tenang saja ia meneruskan bacaannya dan berpegang pada niatnya yang baik.
Bila ia berbicara dengan orang serumah, ia hanya membicarakan hal-hal yang menyangkut
Allah. Dengan demikian ia membangun hidup rohani mereka. Ia senang sekali dengan buku
rohani yang dibacanya. Maka ia mulai berpikir untuk membuat beberapa catatan singkat
mengenai hal-hal pokok dari hidup Kristus dan para santo. Ia sudah bisa bangun dan sedikit
29
keliling di rumah, maka ia mulai menulis dalam sebuah buku, dengan teliti sekali. Sabda
Kristus ditulis dengan tinta merah, sabda Maria dengan biru. Kertasnya halus dan bergaris,
dan tulisannya bagus, sebab ia memang pandai menulis.
Sebagian waktunya untuk menulis, sebagian untuk berdoa. Ia mendapat penghiburan
paling besar bila memandang ke langit dan bintang-bintang. Hal itu sesing dilakukannya dan
juga lama sekali. Dengan demikian ia merasakan suatu dorongan yang kuat untuk mengabdi
kepada Tuhan. Sering ia berpikir mengenai niatnya untuk pergi berziarah. Oleh karena itu ia
ingin lekas sembuh total supaya dapat pergi dari situ.
Setelah semua gemuruh yang terjadi selama beberapa bulan sebelumnya, Inigo kini
diselimuti oleh rasa damai dan ia melanjutkan membaca dengan sebuah keputusan yang
begitu kuat untuk pergi berziarah. Ia sungguh dipenuhi oleh apa yang telah terjadi di
dalam jiwanya sehingga ia secara spontan membicarakannya dengan keluarganya.
Melalui momen ini, Inigo lantas menemukan sebuah hal baru, yaitu kemungkinan
menjadikan percakapan sebagai sebuah aktivitas rasuli dengan berbicara mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan Tuhan. Nantinya, Inigo akan dengan sengaja menggunakan
pembicaraan rohani seperti ini untuk menyelamatkan jiwa-jiwa [26].
Inigo menyadari bahwa dengan menceritakan kisah hidupnya ia dapat memberikan
pengaruh positif bagi orang-orang lain. Mungkin, dari sinilah benih keinginan untuk
“menyelamatkan jiwa-jiwa” muncul untuk pertama kalinya. Menjelang akhir hidupnya,
Inigo dibujuk untuk menceritakan kisah hidupnya dengan harapan bahwa orang lain
akan terbantu dengan merenungkan keberadaan Tuhan dalam hidup mereka.
Pengaruh dari bacaannya telah berubah. Bacaannya kini tidak lagi menyebabkan
gerakan-gerakan kuat dari berbagai macam roh. Bacaannya kini lebih seperti sebuah
doa. Ini mirip dengan apa yang diajarkannya di dalam Latihan Rohani, di mana kita diajari
untuk merenungkan pokok-pokok dan kisah dari bahan yang akan didoakan karena
inilah “yang memperkenyang dan memuaskan jiwa” (LR 2). Penghiburan yang ia
dapatkan ini amat berbeda dengan apa yang ia dapatkan sebelumnya dari
kegemarannya bermain senjata dan menjalin asmara.
Di dalam pengantar Riwayat Hidup Kristus, Ludolphus menganjurkan agar para
pembacanya membuat catatan. Sekarang, karena ia sudah dapat duduk dan berjalan,
Inigo memutuskan untuk mengikuti nasihat ini. Dia telah diajari membaca dan menulis
oleh keluarganya dan sebagai seorang pelayan istana di Arevalo pada 1504, Inigo
30
mengembangkan kemampuan menulisnya sehingga ia telah menjadikan dirinya seorang
penulis yang amat mahir. Di Arevalo ia juga belajar untuk mengendarai kuda, bermain
pedang, berdansa, dan bernyanyi, seperti yang diharapkan dari seorang pendamping
raja di istana. Seperti yang tampak dalam surat-suratnya dan juga dalam Konstitusi dan
kemampuannya untuk membuat perencanaan dan menjalankan roda pemerintahan
Serikat Yesus, Inigo memang mempunyai bakat alam dalam hal kerapian dan
keteraturan. Catatan-catatan yang sekarang sedang ia mulai tulis adalah bagian awal dari
sebuah catatan, yang ditulisnya di atas kertas terbaik dan akhirnya menjadi sebuah buku
yang tebalnya lebih dari 300 halaman. Ia mungkin telah melihat dalam buku-buku lain
bahwa Sabda Kristus ditulis dengan tinta merah, tetapi adalah inisiatif Inigo sendirilah
untuk menulis kata-kata St. Maria dengan tinta biru sebagai bentuk perhatian khusus
dan devosinya kepada Bunda Allah. Beberapa bagian dari buku ini ikut membentuk buku
Latihan Rohani dan mungkin ada hubungannya antara menyalin buku seperti ini dengan
metode “Repetisi” di dalam Latihan Rohani. Di dalam “Doa Repetisi” kita menyelami lebih
dalam apa yang telah menyentuh kita pada doa sebelumnya dengan mengulangi apa
yang telah kita catat sebagai bagian-bagian penting doa tersebut.
Karena Inigo juga sudah cukup sehat untuk berjalan-jalan di sekitar rumah, ia juga
dapat mengunjungi kapel keluarganya dan sembari ia berdoa di hadapan lukisan “Kabar
Sukacita”, ia mempersembahkan diri secara utuh kepada Tuhan.
Sedikit banyak, Inigo adalah seorang dari daerah pedesaan. Ia tumbuh besar di
daerah pertanian, kebun buah-buahan apel, anggur, dengan pohon kastanye, dan
taman-taman yang indah. Lembah yang mengelilingi Puri Loyola pada waktu itu
digambarkan sebagai “lahan tanam-tanaman hijau yang keindahannya sukar dilampaui
dan begitu menyegarkan mata.” Sekarang ia sudah cukup sehat untuk berjalan-jalan di
luar puri dan menikmati pemandangan yang dilihatnya sewaktu ia masih kecil. Hal ini
tentu amat menyenangkan hatinya. Menurut tradisi ada cerita yang menyebutkan
bahwa tidak lama sesudah ia dapat bergerak, ia berjalan dengan kaki pincangnya ke
lahan-lahan di mana ia sewaktu masih kecil sering berlari-lari. Inigo memang seringkali
disentuh oleh hal-hal sederhana yang ada di alam, seperti saat ia duduk di tepian sungai,
berjalan-jalan atau melihat bintang di langit malam. Tuhan yang akan dipahami Inigo
nanti adalah Tuhan yang mencipta; Tuhan yang hadir dan berkarya dalam segala ciptaan.
Mungkin, seperti Inigo, kita dapat menyadari bahwa Tuhan yang sama hadir di dalam
ciptaan-ciptaan yang begitu penting bagi hidup kita.
31
Pada hari-hari terakhirnya di Loyola, Inigo mendapatkan penghiburan rohani yang
begitu mendalam disertai keinginan yang begitu kuat untuk mengabdi Tuhan saat
melihat bintang-bintang di langit. Di sini kita menemukan kesamaan antara Inigo dengan
St. Fransiskus, yaitu kecintaan mereka terhadap alam. Inilah pertama kalinya Inigo
mengutarakan keinginan untuk mengabdi Tuhan. Apakah ini merupakan sebuah
keinginan yang “suci”? Apakah fakta bahwa ia merasakan konsolasi pertanda keinginan
ini berasal dari Tuhan. Dari pengalaman sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa
keinginan ini berasal dari Tuhan karena konsolasinya berlangsung lama dan membawa
hasil positif, seperti yang terjadi sewaktu penampakan St. Maria bersama Kanak-Kanak
Yesus. Akan tetapi, untuk saat ini, keinginan ini masih berwujud sebuah hasrat untuk
mengabdi dengan meniru para kudus dan melakukan matiraga. Ia masih harus belajar
banyak. Lainez menjelaskan bahwa Tuhan telah memberikan:
‘sebuah kehendak baik, dan bukan terang untuk mengerti hal-hal rohani,
yang saat itu belum dipahami. Oleh karena itu, ia berpikir bahwa kesucian
diukur dari matiraga sehingga orang yang melakukan banyak matiraga
menjadi semakin suci di mata Tuhan Allah kita’.
Di dalam dirinya ia merasa tidak sabar ingin segera berangkat. Dia telah membuat
keputusan dan ia sangat yakin akan hal itu. Sekarang, ia ingin secepatnya melaksanakan
keputusannya ini.
12. apa yang harus dilakukan sekembalinya dari Yerusalem? – bergabung dengan
Ordo Kartusian? – mengucapkan selamat tinggal pada kakak laki-lakinya
Bahkan ia sudah mulai membuat rencana, apa yang akan dilakukannya bila kembali
dari Yerusalem. Cita-citanya adalah supaya selalu dapat menjalankan laku-tapa. Maka
timbul gagasan ingin masuk biara Kartusian di Sevilla. Di sana ia tidak akan mengatakan
siapa dia, supaya tidak diberi perhatian. Di situ ia akan makan sayuran saja. Akan tetapi di
lain waktu ia berpikir lagi mengenai laku-tapa yang ingin dilakukannya sambil mengembara.
Lalu surutlah keinginannya untuk masuk Kartusian, sebab ia khawatir di situ ia tidak dapat
melampiaskan kebencian terhadap dirinya . Namun, ia minta seorang pegawai di rumahnya,
yang akan pergi ke Burgos, supaya mencari informasi mengenai regula para Kartusian.
Informasi yang diperolehnya rasanya baik. Akan tetapi, karena alasan yang disebut di atas,
dan karena ia dikuasai oleh ide mau segera pergi ziarah, dan juga karena baru dapat
membicarakan mengenai hal masuk Kartusian bila sudah kembali dari Yerusalem maka hal
32
itu tidak terlalu. Diperhatikannya. Sebaliknya, karena ia merasa sudah lebih kuat ia
berpendapat bahwa sudah tiba waktunya untuk berangkat. Maka ia mengatakan kepada
kakaknya, "Kak, Pangeran dari Najera sudah tahu bahwa saya sudah baik, maka sebaiknya
saya pergi ke Navarete.”
Kakaknya lalu membawanya masuk ke kamar dan kemudian ke kamar yang lain, dan
dengan kata-kata yang sangat tegas ia mohon kepadanya janganlah membinasakan diri,
betapa banyak yang diharapkan orang darinya, dan betapa ia dapat berguna bagi mereka,
dan banyak kata lain semacam itu. Semua itu dengan maksud mau menarik dia dari niat baik
yang telah diputuskannya. Akan tetapi ia menjawab sedemikian rupa sehingga - tanpa
berbohong, sebab itu sangat ditakutinya - ia dapat melepaskan diri dari kakaknya.
Saat Inigo memikirkan tentang ziarah yang akan dilakukannya, ia tidak mempunyai
niat yang teguh untuk tinggal di Yerusalem. Hal ini baru akan timbul di kemudian hari.
Inigo, Si Perencana, lalu mulai membayangkan apa yang akan ia lakukan sekembalinya
dari Yerusalem. Bayangkan, ia masih percaya bahwa dirinyalah yang menentukan arah
hidupnya. Inilah yang menjadi kepercayaannya di Pamplona dan pada saat ini, meskipun
tujuan hidupnya sudah diubah, ia masih berpikir bahwa dirinyalah yang memegang
kendali. Inigo memang masih harus banyak belajar.
Keinginan untuk dikenal dan dikagumi karena kemampuannya bermain senjata
memang sudah hilang. Namun, Inigo sadar bahwa godaan untuk mencari kemuliaan
duniawi masih melekat di dalam dirinya. Hal yang sama ini masih akan terus
mengganggunya selama tahun-tahun mendatang. Untuk saat ini, cita-cita Inigo adalah
mengalahkan keinginan ini dengan hidup sebagai seseorang yang sedang melakukan
pertobatan dan makan sayuran saja. Ia berharap bahwa dengan melakukan ini orang
akan merendahkan dirinya. Ini jugalah yang membuatnya lalu berpaling pada Ordo
Kartusian daripada para pengikut St. Fransiskus dari Asisi atau St. Dominikus.
Motivasinya untuk melakukan hal-hal ini berasal dari penolakannya terhadap hidupnya
di masa lalu, yang ia habiskan untuk mencari kemuliaan duniawi yang sia-sia, daripada
mengikuti jejak Kristus yang direndahkan. Keinginan ini baru akan diberikan kepadanya
di kemudian hari dan lalu akan menjadi ciri khas spiritualitas Ignasian.
Namun, setelah menimbang-nimbang keinginannya untuk bergabung dengan Ordo
Kartusian, ia menyadari bahwa ini tidak akan mendukung keinginannya untuk
melakukan matiraga keras. Seperti yang sudah kita ketahui [7], Inigo adalah orang yang
33
penuh gairah. Hal ini dapat terlihat dalam perasaan negatif dan kebencian yang ia
rasakan terhadap dirinya sendiri.
Masalah yang ia temukan saat merenungkan keinginannya untuk bergabung
dengan Ordo Kartusian membawanya pada sebuah permasalahan lain yang akan
menjadi perhatiannya selama tujuh belas tahun ke depan. Apakah ia akan mengabdi
Tuhan dalam struktur baku hidup religius dalam ikatan kaul ketaatan kepada
pembesar atau dia akan tetap hidup bebas sehingga dapat mengabdi Tuhan dengan
cara yang lebih fleksibel? Kita akan kembali membahas masalah ini pada paragraf [71].
Walaupun keinginannya untuk bergabung dengan Ordo Kartusian berangsur-
angsur surut, ia tetap berupaya mencari informasi tentang regula mereka dan ia puas
dengan apa yang telah ia pelajari. Di kemudian hari, Ordo Kartusian menjadi satu-
satunya Ordo ke mana seorang Yesuit dapat dengan mudah mengajukan permohonan
untuk pindah. Untuk saat ini, ia akan mengesampingkan pertanyaan ini dan sejenak
melupakan tentang hidup membiara. Ia melanjutkan kegiatannya merencanakan
sebuah perjalanan yang telah menangkap imajinasinya selama waktu-waktu ini.
Kepada Inigo telah diberikan sebuah “keinginan yang begitu besar untuk mengabdi
Tuhan Allah kita.” Akan tetapi, bagaimanakah ia akan melakukannya? Pilihannya untuk
mengikuti teladan para kudus dengan melakukan ziarah yang penuh matiraga masih
berpusat pada dirinya sendiri. Ia sangat terobsesi dengan hal ini sebagaimana ia
sebelumnya begitu terobsesi dengan “seorang wanita” [6]. Sementara ia sibuk seorang
diri merencanakan ziarahnya ini, ia tidak tahu bahwa Tuhan sedang membimbingnya
pada sebuah bentuk ziarah yang jauh lebih panjang dan kompleks. Ziarah ini nantinya
akan berakhir bersama sahabat-sahabatnya di Kota Roma.
Waktu untuk melakukan perjalanan akhirnya tiba. Ketakutan kakaknya bahwa telah
terjadi sebuah perubahan yang tidak dapat diterima dalam diri Inigo dan bahwa ia akan
melakukan sesuatu yang bodoh akhirnya terbukti ketika Inigo mengatakan bahwa ia
akan pergi ke Navarette dan mendapatkan sesuatu yang baik di sana. Kakaknya tahu
bahwa Pangeran Najera tidak lagi berkenan di mata raja dan sudah tidak lagi menjabat
sebagai Wakil Raja di Navarre. Apa manfaatnya bagi Inigo jika ia bergabung dengannya?
Kakak Inigo yang disebutkan di sini bernama Martin dan ia telah mewarisi Puri
Loyola setelah kematian kakak-kakaknya. Juan, kakak Inigo yang tertua, meninggal dalam
sebuah ekspedisi ke Napoli pada 1498. Hernandi telah pergi ke India pada 1510 dan
34