PEREMPUAN DALAM GEGURITAN BALI NI NYOMAN KARMINI Pustaka Larasan 2013
ii Perempuan dalam Geguritan Bali Penulis Ni Nyoman Karmini Pracetak Slamat Trisila Cetakan Pertama: Januari 2013 Penerbit Pustaka Larasan Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B Denpasar, Bali 80116 HP: 0817353433 [email protected] www.pustaka-larasan.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Denpasar: Pustaka Larasan, 2013 x + 334 halaman; ukuran 23 x 15 cm ISBN 978-979-3790-98-5
iii PENGANTAR PENERBIT Geguritan sebagai karya sastra masih berkembang pada masyarakat Bali dalam arti masih dihayati, dan pembacaannya disampaikan lewat tembang. Tradisi matembang di Bali dapat dilakukan oleh perorangan dan dapat pula oleh kelompok santi (sekaa santi). Dalam pasantian, sekaa santi sering melakukan apresiasi sastra yang disebut mabebasan. Buku ini menggunakan teori feminis untuk dapat menggambarkan sosok perempuan dalam geguritan yang dipakai sebagai objek penelitian. Untuk dapat mencapai tujuan dalam penggambaran sosok perempuan dalam geguritan, maka ruang lingkup yang dibahas di dalamnya adalah penelusuran naskah dan penetapan teks yang dijadikan objek; struktur formal dan struktur naratif geguritan; peranan perempuan Bali dalam keluarga dan kehidupan bermasyarakat di Bali; perempuan dalam teks geguritan, yang pembicaraannya meliputi: situasi dan permasalahan yang dihadapi tokoh perempuan, cara memecahkan permasalahannya, sosok perempuan dalam teks geguritan serta relevansinya dengan kehidupan perempuan Bali Hindu dalam masyarakat, dan temuan-temuan penelitian. Penulis telah berupaya dengan baik dalam mengelaborasi sosok perempuan melalui penelusuran dalam naskah tradisional berupa geguritan. Di antara kelangkaan buku mengenai perempuan di Bali, buku karya Dr. Ni Nyoman Karmini ini akan menambah daftar literatur mengenai perempuan di Bali terutama dalam bidang literasi. Jadi, buku ini setidak-tidaknya telah menyumbangkan ungkapan yang ada di balik (implisit) geguritan mengenai perempuan Bali yang selama ini mempunyai peran yang masih dipandang sebelah mata ketika dibawa ke dalam perspektif tradisional. Semoga buku ini bermanfaat. Denpasar, 1 Januari 2013
iv SAMBUTAN REKTOR IKIP SARASWATI TABANAN Om Swastiastu. Saya ucapkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa atas terbitnya sebuah buku berjudul Perempuan dalam Geguritan Bali karya Dr. Ni Nyoman Karmini. Buku ini dapat dijadikan pedoman bagi perempuan secara umum dan khususnya bagi perempuan Bali beragama Hindu, dalam menjalankan hidup dan kehidupan di era global dan era Kali Yuga ini. Buku ini memuat kearifan lokal (local genius) yang pelaksanaannya dilakukan oleh para perempuan dalam teks. Perilaku baik (subhakarma) perempuan dalam teks patut dipikirkan, direnungkan dan dijadikan pedoman oleh para perempuan dalam kehidupan nyata di dunia ini. Saya berharap kehadiran buku ini dapat memotivasi para perempuan secara umum dan khususnya perempuan Hindu untuk menambah wawasan, memperdalam pengetahuan, meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama untuk meningkatkan kualitas diri, karena perempuan adalah rumah bagi keluarganya. Kearifan lokal yang tersurat dan tersirat dalam buku ini agar benar-benar dicermati dan dihayati oleh para perempuan Hindu karena kearifan lokal yang dimuat dalam buku ini bersumber dari ajaran agama Hindu. Kepada penulis saya ucapkan selamat dengan harapan di masa-masa yang akan datang dapat terus meningkatkan sarana untuk menambah wawasan dan penghayatan terhadap kearifan lokal demi ajegnya Bali. Semoga tujuan dan cita-cita perempuan mendapat anugerah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa. Om Santih Santih Santih Om. Rektor Dr. Drs Dewa Nyoman Oka. M,Pd.
v KATA PENGANTAR Om Swastiastu, Tanpa asung wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa, maka suatu keberhasilan mustahil dicapai walau betapa pun gigihnya suatu usaha dilakukan. Berpijak pada keyakinan seperti itu, maka terlebih dahulu perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya, maka buku yang berjudul “Perempuan dalam Geguritan Bali” ini dapat diselesaikan. Tradisi matembang di Bali dapat dilakukan oleh perorangan dan dapat pula oleh kelompok santi (sekaa santi). Sekaa santi sering melakukan apresiasi sastra yang disebut mabebasan. Dalam mabebasan menggunakan media pembacaan yang salah satunya berupa teks geguritan. Geguritan sebagai karya sastra masih berkembang pada masyarakat Bali dalam arti masih dihayati, dan pembacaannya disampaikan lewat tembang. Geguritan sebagai objek analisis dalam buku ini merupakan karya sastra berbentuk puisi sekaligus wacana naratif, yang di dalamnya terkandung nilainilai agama Hindu dan pedoman kehidupan. Sehubungan dengan itu, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui struktur formal dan struktur naratif teks geguritan yang dijadikan objek, (2) mengetahui dan memaparkan situasi serta masalahmasalah yang dihadapi para tokoh perempuan yang dilukiskan pada teks geguritan yang dijadikan objek, (3) menggambarkan pemecahan permasalahan yang dihadapi para tokoh perempuan yang dilukiskan pada teks geguritan yang dijadikan objek, (4) menggambarkan sosok perempuan yang dilukiskan pada teks geguritan yang dijadikan objek berdasarkan analisis feminisme serta relevansinya dengan kehidupan perempuan Bali Hindu dalam masyarakat. Penulis dalam buku ini mencoba menarik benang merah antara teks tradisional di Bali berupa geguritan dengan sosok perempuan.
vi Selesainya buku ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak, baik yang turut andil membantu secara langsung maupun secara tidak langsung berupa motivasi-motivasi yang mendorong penulis. Seberapa pun bantuan yang datangnya dari berbagai pihak, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Penulis sangat berterima kasih, teristimewa kepada Suami tercinta Drs. I Nengah Oka Tenaya, serta anak-anak tersayang: Putu Indrayoni, S.Farm., Apt., Ni Made Indrasarini, S.E., dan I Nyoman Adi Susila, yang penuh pengorbanan dan telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk lebih berkonsentrasi dalam penyelesaian buku ini. Tulisan ini belum sempurna betul karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis memohon kritik dan saran yang dapat dijadikan landasan bagi tulisan-tulisan berikutnya sehingga penulis dapat menyajikan tulisan yang lebih baik. Om Santih Santih Santih Om. Denpasar, 13 Desember 2012 Penulis
vii Pengantar Redaksi ..................................................................................... Sambutan Rektor IKIP Saraswati ........................................................ Pengantar Penulis ...................................................................................... Singkatan ....................................................................................................... Daftar Tabel dan Diagram ....................................................................... BAB I. PENDAHULUAN………………………..……………………….......... BAB II. STRUKTUR FORMAL GEGURITAN .………………...……….. Pengantar..................................………………………………………............... Struktur Formal Geguritan ……………………….................................... Fungsi Isi Geguritan……………………….................................................... BAB III. STRUKTUR NARATIF GEGURITAN ……………………….... Pengantar…………………..…………..………………………………................ Alur/Plot Geguritan……………………………………………….……........... Tokoh dan Penokohan dalam Geguritan……………………………… Tema Geguritan………………………………………………………............... BAB IV. PERANAN PEREMPUAN BALI DALAM KELUARGA DAN BERMASYARAKAT ...............................…………………….. Pengantar ………………………………………………………............……….. Hakikat Hidup Bermasyarakat di Bali…………………………………. Hakikat perempuan Hindu (Wadhu Tatwa)………………………… Perempuan Hindu dalam Kehidupan di Bali................................... Peranan Jender dalam Masyarakat Bali……………………………… Peranan dan Kedudukan Perempuan Bali kini…………................ BAB V. PEREMPUAN DALAM TEKS GEGURITAN ………………... Situasi dan Permasalahan yang Dihadapi Perempuan dalam Teks ..................................................................................................... Cara Memecahkan Permasalahan yang Dihadapi Tokoh Perempuan ....................................................................................... Perempuan dalam Teks Geguritan yang Dijadikan Objek......... Relevansi Antara Sosok Perempuan dalam Teks dengan Kehidupan Nyata Perempuan Bali Kini ................................ DAFTAR ISI iii iv v ix x 1 11 11 13 43 67 67 68 105 120 131 131 131 135 141 157 162 165 165 220 267 305
viii BAB VI. PENUTUP ..................................................................................... Renungan ..................................................................................................... Simpulan........................................................................................................ Saran................................................................................................................ GLOSARIUM……………………………………………………………….......... DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………......... INDEKS……………………………………………………………………............ TENTANG PENULIS……………………………………………………......... 313 313 313 316 319 323 329 343
ix SINGKATAN BKPP Bina Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan G. By Geguritan Brayut G. Cn Geguritan Cilinaya G. DA Geguritan Dyah Arini G. Dr Geguritan Dreman G. DS Geguritan Diah Sawitri G. Dy Geguritan Damayanti G. Cw Geguritan Ni Candrawati G. Sc Geguritan Saci G. St Geguritan Dewi Sakuntala KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia KDRT Kekerasan Dalam Rumah Tangga LP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Orba Orde Baru RRI Radio Republik Indonesia UU Undang-Undang
x DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM No. Tabel Judul Tabel 2.1 Ortenan Tembang Macepat ................................... 2.2 Ortenan Tembang Macepat ................................... 2.3 Ortenan Tembang Tengahan ................................ 5.1 Sosok Perempuan dalam Teks ............................. No. Diagram Judul Diagram 3.1 Alur Geguritan Dreman ............................................... 3.2 Alur Geguritan Diah Sawitri ...................................... 3.3 Alur Geguritan Damayanti ......................................... 3.4 Alur Geguritan Ni Candrawati ................................. 3.5 Alur Geguritan Brayut .................................................. 3.6 Alur Geguritan Saci ....................................................... 3.7 Alur Geguritan Dyah Arini ......................................... 3.8 Alur Geguritan Cilinaya .............................................. 3.9 Alur Geguritan Dewi Sakuntala ............................... 15 16 17 304 74 78 83 85 89 94 98 102 105
1 BAB I PENDAHULUAN Bali banyak memiliki dan menyimpan hasil karya sastra bermutu. Kesusastraan Bali menurut zamannya dikelompokkan menjadi dua, yakni kesusastraan Bali Purwa (tradisional), dan kesusastraan Bali Anyar (modern) (Bagus dan Ginarsa, 1978:3–7, Tinggen, 1994:15). Kesusastraan Bali Purwa (tradisional) dijadikan objek kajian pada penelitian ini. Kesusastraan Bali Purwa (tradisional) memiliki bentuk khas sebagai ciri kedaerahan, yakni berbentuk puisi (tembang), berbentuk prosa (gancaran), dan berbentuk prosa liris (palawakia) (Tinggen, 1994:14). Salah satu karya sastra Bali Purwa adalah geguritan (Bagus dan Ginarsa, 1978:6). Geguritan termasuk karya sastra yang berbentuk puisi (tembang) yang dibentuk oleh pupuh-pupuh, mengikuti persyaratan yang disebut padalingsa, dan biasanya menggunakan tembang macapat atau sekar alit dalam penyampaiannya. Tembang macapat merupakan pengaruh dari kesusastraan Jawa, yang telah digunakan sejak abad XVII sampai kini (Bagus dan Ginarsa, 1978:6). Tinggen (1994:22), juga memperkirakan munculnya macapat bersamaan dengan syair-syair Jawa Tengahan. Geguritan sebagai karya sastra masih berkembang pada masyarakat Bali dalam arti masih dihayati, dan pembacaannya disampaikan lewat tembang. Tradisi matembang di Bali dapat dilakukan oleh perorangan dan dapat pula oleh kelompok santi (sekaa santi). Dalam pasantian, sekaa santi sering melakukan apresiasi sastra yang disebut mabebasan. Setiap karya sastra memuat kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Demikian juga halnya dengan sastra geguritan, di dalamnya pun terdapat kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya, yang sesuai dengan ciri khasnya, sebagai sastra daerah Bali. Geguritan berbentuk puisi karena terikat oleh aturan-aturan, yang disebut padalingsa dan sekaligus termasuk wacana naratif karena memiliki rangkaian peristiwa yang membentuk sebuah kisah atau cerita. Geguritan sarat dengan pedoman-pedoman kehidupan, tentang etika, dan moral. Pedomanpedoman kehidupan yang termuat di dalamnya dapat dipahami oleh pembaca lewat pembacaan biasa, tetapi menjadi semakin mudah diresapi oleh pendengarnya apabila disampaikan lewat tembang (dinyanyikan). Kebiasaan matembang melahirkan konsep “malajah sambilang magending, magending sambilang malajah” (belajar sambil menyanyi, menyanyi sambil belajar).
Ni Nyoman Karmini 2 Geguritan masih tetap ditulis, diterbitkan, dibaca dan atau dinyanyikan, hingga tahun 2000-an ini, bahkan penyebarannya semakin meluas karena disiarkan melalui radio dan televisi. Geguritan dibacakan (dinyanyikan) tidak hanya untuk fungsi ritual, tetapi juga untuk hiburan, dan forum pertemuan sekaa santi untuk membahas tentang sesuatu yang tersurat dan tersirat dalam geguritan. Geguritan dapat didengarkan langsung dari seseorang yang sedang menyanyikannya, misalnya dalam kaitan upacara keagamaan, atau secara tidak langsung lewat pemutaran kaset pada tape recorder, Radio Republik Indonesia (RRI), Radio Global, dan siaran Gita Santhi di Bali TV. Dengan kemajuan teknologi, geguritan dapat pula dinyanyikan secara langsung dan interaktif, di radio-radio dan juga di televisi. Apresiasi terhadap sastra geguritan tidak hanya sebatas membacakan (menyanyikan) dan mengartikan saja, tetapi kadangkadang pula dilakukan pembahasan lebih dalam lagi, baik dalam forum pertemuan sekaa santi maupun di radio-radio dan juga di televisi. Penghayatan para seniman Bali terhadap isi beberapa geguritan memunculkan kreativitas lain, yakni rangkaian peristiwa dalam beberapa geguritan dituangkan dalam seni pertunjukan arja dan drama gong, seperti Geguritan Tam Tam, Geguritan Pakangraras, Geguritan Jayaprana, Geguritan Japatuan. Bahkan dalam contoh lain, kisah Japatuan dilukiskan dalam sebuah relief yang terdapat pada penyengker (tembok) Pura Dalem, Desa Pekraman Cekik, Desa Berembeng, Kecamatan Selemadeg Tengah, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Relief yang dimaksud mengisahkan tentang perjalanan Japatuan ke surga. Kisah tersebut dipahat pada penyengker (tembok) Pura Dalem sebab terkait dengan keyakinan umat Hindu bahwa Dewa Çiwa dan Dewi Parwati sebagai sakti Çiwa berada di Pura Dalem yang berfungsi sebagai pameralina (pelebur) isi jagat raya ini termasuk manusia. Setelah manusia mati, diyakini pula oleh umat Hindu bahwa roh tetap hidup dan roh tersebut melakukan perjalanan ke surga ataukah ke neraka tergantung pada karma yang telah dilakukan dalam kehidupan di jagat raya ini. Di antara geguritan yang ada dan telah didokumentasikan di beberapa perpustakaan, seperti Perpustakaan Lontar Fakustas Sastra Universitas Udayana Denpasar, Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali di Denpasar, dan Gedong Kirtya Singaraja, ada beberapa geguritan yang memuat tentang isu perempuan. Isu perempuan mencuat ke permukaan dalam beberapa tahun ini. Pemicunya adalah adanya “ketidakadilan” jender. Dalam realitas kehidupan masyarakat, kehidupan perempuan diinferiorkan, dimarginalisasikan. Ketidakadilan termanifestasikan dalam segala segi kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik (perempuan dipandang tidak perlu berpolitik), serta kekerasan terhadap perempuan.
Perempuan dalam Geguritan Bali 3 Dengan kata lain, kehidupan perempuan selalu dirugikan. Itu sebabnya muncul gerakan perempuan dalam upaya untuk ikut menentukan jalannya sejarah dan kebudayaan manusia, terutama hakikat perempuan, serta untuk mengangkat harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Perjuangan perempuan terus dilakukan oleh kaum feminis untuk membongkar dominasi dari hegemoni laki-laki. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan hakhak kaum laki-laki. Representasi tentang perempuan penting dan selalu diperbincangkan. Misalnya, yang dilakukan oleh majalah Prisma, yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Prisma pertama kali menerbitkan artikel tentang perempuan pada edisi Oktober 1975, empat tahun kemudian, setelah majalah itu terbit, dengan judul “Wanita Indonesia: Menuju Cakrawala Baru?” Konteks tulisan Mely G. Tan itu adalah Konferensi Perempuan Sedunia di Mexico City (World Conference of the International Women’s Year). Konferensi menegaskan bahwa seluruh persoalan ekonomi, politik, dan sosial tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kaum perempuan. Sejak itu, sampai tahun 1996, Prisma telah menurunkan tulisan-tulisan bertema perempuan. Artikel yang diterbitkan mewakili isu jender yang dominan pada masa Orde Baru (Orba), seperti dampak pembangunan terhadap perempuan, perempuan bekerja, citra perempuan dalam media dan karya sastra, serta seksualitas dan kuasa Negara. Selama ini ada anggapan bahwa perempuan lemah, tidak berdaya, hanya bergantung pada suami, dan hanya mampu mengurus urusan domestik saja. Dan, ada pernyataan yang ditujukan khusus kepada perempuan Bali, bahwa perempuan Bali hanya bersifat nerimo. Pernyataan seperti itu, tentulah keliru, dan itu hanyalah kesalahan interpretasi. Banyak bukti tertulis menunjukkan bahwa perempuan Bali bahkan sudah aktif berbicara sejak zaman kolonial untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya. Hal ini dapat dilihat dari publikasi-publikasi sejak tahun 1920-an dan 1930-an dalam media, seperti Surya Kanta, Djatajoe, Bhakti, dan Damai. Media-media tersebut banyak memuat artikel yang ditulis kaum perempuan Bali, seperti I Goesti Ajoe Rapeg, Ni Wayan Sami, dan Made Tjatri. Mereka memprotes ketidakadilan jender yang menimpa kaumnya dan mendorong perempuan Bali untuk meningkatkan kecerdasannya supaya tidak diremehkan dalam kehidupan sosial (Darma Putra, 2003:3-4). Pada Bali Post, tanggal 1 Juni 2005, Kepala Biro Bina Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan (BKPP) Setda Bali, Luh Putu Haryani, menyatakan perempuan Bali sangat mandiri, tidak tergantung pada orang lain dalam hal ekonomi, cukup ulet membantu
Ni Nyoman Karmini 4 suami; dalam sektor agraris, perempuan membantu di sawah, di rumah, memelihara ternak, membantu tetangga dalam kegiatan ritual, dan lainlain. Kemandiriannya itu akan lebih bermakna jika diberi peluang lebih luas. Dalam media itu pula, Gusti Rai Adnyana, Ketua Parisada Bali dan Ketua Listibya Bali, menyatakan bahwa berdasarkan kitab Nitisastra, dalam hal kemampuan, kekuatan perempuan jauh lebih besar daripada laki-laki bahkan dikatakan perempuan memiliki kekuatan delapan, lakilaki hanya satu. Artinya, jika kekuatan itu dikembangkan, perempuan akan jauh lebih hebat daripada laki-laki. Bahkan menurut sejarah, perempuan Bali mempunyai “jiwa berani”, yakni menjadi pahlawan memerangi kebatilan yang mengancam wilayahnya, seperti Ida Dewa Istri Kania dan Sagung Wah. Hal ini sebagai bukti bahwa perempuan Bali tidak hanya nerimo, dan tidak hanya “jago dalam urusan rumah tangga”. Karena itu pula, Ida Bagus Jelantik dalam media yang sama menyatakan bahwa dalam persaingan global, perempuan Bali dituntut lebih memekarkan potensi dirinya agar sejajar dengan laki-laki, namun tidak melupakan peran naluriahnya. Sosok perempuan tidak saja digambarkan dalam media, pemerintahan, pembangunan, tetapi digambarkan pula dalam karya sastra, baik karya sastra tradisional maupun modern. Gambaran tentang perempuan dalam karya sastra Bali tradisional maupun modern telah digambarkan dalam salah satu tulisan Windhu Sancaya (1996). Dalam tulisannya digambarkan tentang berbagai citra perempuan yang menunjukkan inferioritas perempuan, seperti perempuan dilukiskan sebagai seseorang yang tertekan, menderita, menjadi korban perilaku arogansi, kekerasan, dan objek seks laki-laki, lemah lembut, perkasa, dan perempuan cantik seperti bidadari. Gambaran tentang perempuan dalam sastra Indonesia telah banyak dibicarakan dalam berbagai tulisan. Salah satunya adalah tulisan Hayati (2006) berjudul “Perempuan dalam Kumpulan Cerpen DuniaPerempuan: Kajian Feminisme”. Citra perempuan yang digambarkan oleh pengarang perempuan dalam kumpulan cerpen Dunia Perempuan adalah citra sebagai ibu, perempuan setia, perempuan sukses, perempuan ideal, perempuan kedua, dan citra negatif perempuan. Penelitian ini pun dilakukan untuk menggambarkan sosok perempuan dalam karya sastra Bali tradisional dalam bentuk geguritan. Dari sekian banyak geguritan yang ditulis dan diterbitkan, ada beberapa geguritan yang menggambarkan “sosok perempuan”. Dalam beberapa geguritan, ada narasi yang sangat menarik dan kompleks tentang kondisi perempuan. Mereka digambarkan pekerja keras, berhati lembut, berkemauan keras, berpendidikan, pembina keluarga, dan memang ada gambaran perempuan yang didomestifikasi tetapi kisah mereka adalah
Perempuan dalam Geguritan Bali 5 untuk menunjukkan bahwa perempuan itu insan yang kuat, insan yang sanggup melakukan segala sesuatu sesuai dengan keperempuanannya, sehingga tokoh perempuan menjadi subjek bukan objek dan tokoh yang dibutuhkan oleh laki-laki bukan tokoh yang hanya membutuhkan lakilaki. Tokoh yang digambarkan seperti tersebut di atas terdapat dalam teks yang dianalisis, seperti dipaparkan di bawah ini. Tokoh perempuan I Suanggadarmi dan I Wijasantun dalam Geguritan Dreman adalah tokoh yang dibutuhkan kehadirannya dan keberadaannya oleh I Jatiraga. Tanpa mereka, I Jatiraga tidak mampu berbuat apa-apa dalam arti bahwa I Jatiraga tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, baik lahir maupun batin. Setelah mereka meninggal, ternyata tokoh I Suanggadarmi adalah tokoh yang lebih dibutuhkan oleh I Jatiraga daripada I Wijasantun. I Jatiraga adalah tokoh yang tidak mampu menolong dirinya sendiri keluar dari neraka apalagi menolong I Wijasantun. Kehadiran I Suanggadarmi yang memang dibutuhkannya semakin tampak sebab ia dapat dan mampu menolong I Jatiraga keluar dari neraka serta mendapatkan izin untuk mengajak I Jatiraga tinggal di Meru Emas atas anugrah Hyang Indra. Diah Sawitri adalah tokoh perempuan yang mampu menunjukkan bahwa ia menjadi subjek, menjadi diri, dibutuhkan, serta mampu menunjukkan keperempuanannya. Ia menjadi penyebab kebahagiaan suaminya dan mampu menghindarkan suaminya dari kematian dalam usia muda, berkat perilaku, tapa brata dan segala usahanya. Sawitri juga menjadi penyebab kebahagiaan mertuanya, kebahagiaan orang tuanya, dan keturunannya selanjutnya. Tokoh Damayanti adalah tokoh yang mampu menjadi subjek, mampu menjadi tokoh yang dibutuhkan. Ia dapat melewati segala cobaan yang menimpanya sejak ditinggalkan suami di tengah hutan. Mereka terlunta-lunta di hutan sebab semua harta bendanya termasuk kekuasaannya hilang akibat suami kalah judi. Dalam penderitaannya, Damayanti berusaha mengendalikan diri dan berserah diri kepada Tuhan. Setelah kembali ke rumah orang tuanya, Damayanti berusaha memancing kedatangan suaminya dengan pura-pura mengadakan sayembara. Segala usaha dilakukannya untuk membuka penyamaran suaminya. Damayanti berhasil menyatukan kembali keluarganya yang cerai berai dan hidup berbahagia. Ni Candrawati adalah tokoh yang mampu menjadi subjek, menjadi dirinya dan mampu menunjukkan keperempuanannya. Ia tidak mau menggunakan posisinya sebagai putri raja dan tidak membutuhkan lakilaki untuk menjaga nama baiknya serta tidak mau menerima fasilitas saat dibuang di hutan. Musibah yang terjadi pada dirinya diterima
Ni Nyoman Karmini 6 sebagai hasil karma-nya pada masa lalu. Men Brayut adalah tokoh yang mampu menjadi subjek, mampu menjadi tokoh yang dibutuhkan dan mampu menunjukkan keperempuanannya. Men Brayut selalu dikelilingi oleh anaknya yang berjumlah 18 orang termasuk yang dalam kandungan. Ia tidak pernah mengeluh walau badannya sangat payah, walau kecantikannya tidak terawat lagi, walau tidak dapat menenun lagi. Ia berpikir sangat sederhana, ia takut melakukan brunaha sebab diyakini bahwa hukuman atas dosa itu seribu tahun. Kesederhanaan berpikir membawa kebahagiaan dan kesejahteraan setelah anak-anaknya menikah dan semua rajin bekerja. Tokoh Dewi Saci menghadapi dua masalah besar, yakni suaminya menghilang dan ia dilecehkan oleh Nahusa. Dewi Saci menjadi subjek, menjadi tokoh yang sangat dibutuhkan kehadirannya. Semua tindakannya dalam usaha menemukan suaminya dan mengatasi kesewenangwenangan Nahusa hingga suaminya bertahta lagi di Suralaya dan para Dewa tenteram kembali dijadikan contoh oleh Gusti Gede Mangku dalam menasihati istrinya yang sangat sedih karena suami mendapat musibah. Dyah Arini sebagai tokoh yang dikuasai oleh penguasa (atasannya yaitu Dewa Indra) menerima tugas untuk menggoda pertapa walau bertentangan dengan perilaku baik yang telah dijalaninya. Dyah Arini mengalami penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh atasan kepada bawahan melalui sebuah tugas yang harus dilaksanakan olehnya. Dyah Arini gagal dan dikutuk menjelma menjadi manusia oleh Trenawindu. Ketidakadilan tercermin di sini, sebab hanya Dyah Arini yang mendapat hukuman, sedangkan Dewa Indra yang menugaskannya tidak tersentuh hukuman atas kesalahannya. Namun, sebelum dibunuh, Dyah Arini sempat berpesan dan pesannya diterima dan harus dilaksanakan oleh Trenawindu, yang selanjutnya menjadi beban yang harus dilaksanakan oleh Trenawindu (laki-laki). Di sini tercermin bahwa dalam situasi terdesak ternyata Dyah Arini sempat juga membuat Trenawindu sebagai laki-laki terikat pada sebuah tugas yang harus dilaksanakan selama hidupnya. Tokoh Cilinaya adalah tokoh yang menderita sejak kecil dan dibuang ke hutan bersama Ibu suri. Cilinaya kecil terlantar dan hampir mati setelah ibunya meninggal, kemudian ia dipungut dan dibesarkan oleh I Dukuh. Cilinaya bekerja dan berusaha keras untuk menyejahterakan kehidupan I Dukuh. Cilinaya adalah tokoh tertindas, tokoh yang mengalami ketidakadilan dari orang tuanya sendiri yang sekaligus menjadi penguasa (Raja Daha) sebab ia orang yang dikuasai. Cilinaya dibunuh oleh mertuanya sendiri (Raja Jenggala) hanya karena sangkaan bahwa status sosialnya tidak jelas sehingga tidak pantas menjadi istri
Perempuan dalam Geguritan Bali 7 seorang putra mahkota. Cilinaya pun dihidupkan kembali oleh Tuhan sebab ia tidak berdosa. Ia dapat menerima kehidupan ini dengan sabar, tabah, pasrah demi anak dan suaminya, demi orang-orang yang dicintainya. Dewi Sakuntala adalah tokoh perempuan yang terbebani. Ia harus merawat anaknya sejak dalam kandungan sampai berusia enam tahun sendirian tanpa suami (Raja Duswanta). Duswanta ingkar janji, yang menyebabkan Sakuntala pergi Ke Hastina untuk menagih janji. Duswanta tetap mengingkari janjinya dan tidak mengakui Sakuntala istrinya. Banyak hal disampaikan Sakuntala untuk mengingatkan Duswanta terhadap janjinya, namun justru Sakuntala dihina dan diusir. Sakuntala terus mengingatkan sampai akhirnya ada sabda dari awangawang yang menyelamatkan Sakuntala dan anaknya (Sarwadamana). Mereka akhirnya diakui sebagai istri dan anak oleh Duswanta. Kemudian Sarwadamana dijadikan Raja sebagai pengganti Duswanta dengan nama Bharata. Benang merah yang dapat ditarik dari lukisan tentang tokoh perempuan dalam teks adalah tokoh perempuan mampu menunjukkan kemampuan yang luar biasa dalam menghadapi permasalahan masingmasing; mampu melakukan tugas berat yang secara umum dilakukan oleh laki-laki; tokoh-tokoh perempuan yang dilukiskan dalam teks bukanlah perempuan lemah melainkan perempuan yang memegang peranan sentral dan pengambil keputusan dalam menghadapi setiap permasalahannya. Tokoh-tokoh perempuan yang dilukiskan dalam teks adalah tokoh perempuan yang sanggup menampilkan keperempuanannya sesuai dengan perjuangan feminisme terutama feminisme radikalkultural. Berkaitan dengan uraian di atas ada beberapa masalah pokok yang dianalisis mengenai perempuan dalam geguritan Bali ini, yakni. (1) Bagaimanakah struktur formal dan struktur naratif teks geguritan yang dijadikan objek? (2) Bagaimanakah situasi dan permasalahan yang dihadapi para tokoh perempuan yang dilukiskan pada teks geguritan? (3) Bagaimanakah cara memecahkan permasalahan yang dihadapi para tokoh perempuan dalam teks geguritan? (4)Bagaimanakah gambaran sosok perempuan pada teks geguritan berdasarkan analisis feminisme serta relevansinya dengan kehidupan perempuan Bali Hindu dalam masyarakat? Geguritan-geguritan yang telah digambarkan di atas sangat menarik perhatian penulis karena banyak hal dapat digali dari dalamnya yang bermanfaat bagi kehidupan. Ketertarikan itu diwujudkan dalam penelitian tentang sosok perempuan yang digali dari geguritan-geguritan
Ni Nyoman Karmini 8 di Bali yang dianalisis dari sudut feminisme. Teori feminis dipergunakan sebagai alat atau sebagai jalan untuk memecahkan permasalahan. Feminis adalah orang yang menganut paham feminisme. Feminisme adalah suatu gerakan kemanusiaan yang memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan dan usaha feminisme ini dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Berkaitan dengan itu, muncullah istilah equal right’s movement atau gerakan persamaan hak. Cara lainnya adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara ini dinamakan women’s liberation movement, disingkat women’s lib, atau women’s emancipation movement, yaitu gerakan pembebasan perempuan (Djajanegara, 2000:4). Pendapat yang senada tentang inti dari feminisme adalah suatu kritik idiologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin (Budianta, 2002:201). Feminisme merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan gagasan atau nilai-nilai yang bertolak dari suatu kesadaran bahwa ada ‘ketidakadilan terhadap kaum perempuan’. Mengenai subordinasi perempuan, Tong (1998:2) menyatakan bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum, yang membatasi masuknya serta keberhasilan perempuan pada dunia publik. Hal ini terjadi karena masyarakat mempunyai keyakinan yang salah bahwa perempuan tidak secerdas dan sekuat laki-laki sehingga masyarakat meminggirkan perempuan dari akademi, forum, dan pasar. Akibatnya, potensi sesungguhnya dari perempuan tidak terpenuhi. Gerakan perempuan tersebut tidak hanya berkembang di negaranegara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris (Eropa Barat) tetapi juga merambah ke negara-negara dunia ketiga, seperti Bangladesh atau Pakistan, juga termasuk negara Indonesia. Kehadiran feminisme di Indonesia sebagai suatu gerakan mendapatkan “perlawanan” dan menjadi polemik yang cukup luas dalam media massa, terutama dari kalangan mereka yang ingin mengadopsi konsep-konsep feminis Barat dengan kalangan yang mencoba mengadaptasikannya dengan nilai-nilai “jati diri” perempuan Indonesia. Selanjutnya, pengertian feminisme di Indonesia diserap ke dalam bahasa pembangunan yang kemudian memunculkan beberapa ungkapan, seperti “wanita dalam pembangunan”,
Perempuan dalam Geguritan Bali 9 “peran ganda”, “mitra sejajar”, dan lain-lain, sebuah eufemisme, tetapi dari sudut feminisme, hal itu masih sangat problematik. Hal ini mungkin disebabkan oleh pandangan bahwa feminisme lebih dianggap sebagai gerakan sosial dan politik daripada gerakan yang bersifat kemanusiaan. Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori ini terpusat pada perempuan dalam tiga hal, yakni (1) sasaran utamanya, adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat; (2) sasaran sentralnya adalah perempuan, artinya mencoba melihat dunia khusus dari sudut pandang perempuan terhadap dunia sosial; dan (3) adanya usaha para pejuang kepentingan perempuan untuk mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk perempuan (Ritzer dan Goodman, 2004:403-404). Alasan-alasan yang mendasari penulisan buku ini adalah (1) banyak geguritan melukiskan tentang perempuan yang menyangkut hidup dan kehidupannya. Perempuan dijadikan pusat, dijadikan objek penceritaan, yang menyangkut situasi, kondisi, dan pengalamannya. Permasalahan yang dihadapi masing-masing tokoh perempuan berbedabeda, namun dalam pemecahan permasalahannya peranan perempuan lebih dominan; (2) dalam geguritan ada penggambaran perempuan yang kuat, berpendidikan, mampu menentukan sikap, mampu mengambil keputusan, mampu melaksanakan tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, tahan uji, sabar, dan setia; yang bertolak belakang dengan anggapan selama ini (anggapan stereotip) bahwa perempuan sangat lemah, hanya sibuk dengan urusan domestik, dan bersifat nerimo saja; (3) selama ini, banyak geguritan yang isinya diabaikan, kurang diperhatikan publik, padahal kalau dikaji secara mendalam berisi pemikiran yang relevan dengan gerakan kesetaraan jender. Hal ini sangat menarik untuk dibahas dan diangkat ke permukaan mengingat salah satu wacana yang muncul dewasa ini adalah soal perempuan. Berbicara tentang perempuan merupakan sesuatu yang penuh problema, namun menarik karena selalu menjadi topik yang hangat di masyarakat dan tidak pernah usai-usainya diperbincangkan. Perempuan sering dikatakan bersifat positif, namun adakalanya juga dikatakan bersifat negatif. Perempuan dikatakan bersifat positif jika tetap berada pada nilai-nilai positif, seperti setia, lemah lembut, punya rasa kasih sayang, dan berkemampuan mendidik anak-anak. Bahkan perempuan dikatakan seorang dewi sebab mampu membuat persembahan menjadi sempurna di mata Tuhan. Dikatakan bersifat negatif jika perilaku perempuan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang disebutkan tadi.
Ni Nyoman Karmini 10 Penilaian tersebut sudah tentu berdasarkan nilai-nilai patriarkal. Sejak dahulu problema-problema yang dihadapi kaum perempuan merupakan sumber permasalahan untuk dibahas serta diupayakan pemecahannya. Namun, masalah tetap menjadi masalah, dan setiap permasalahan dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Bila dunia dilanda kekacauan moral, maka posisi kaum perempuan dipertanyakan. Akan tetapi, jika dilihat jauh lebih dari itu, perempuan tidak terlepas dari peran di luar tugas “keibuannya”. Dalam banyak kasus bahwa semakin banyak perempuan memberikan kontribusi ekonomi melebihi lakilaki. Dalam kenyataan, semakin banyak perempuan masuk ke wilayah publik. Perempuan tidak hanya menjadi ibu, tetapi telah masuk ke peran sosial, politik, maupun budaya. Handayani dan Sugiarti (2002:13–14), menyatakan bahwa perempuan bekerja merupakan salah satu bentuk mobilitas sosial perempuan, yang dilakukan sesuai dengan kemampuan dan potensinya, baik secara pendidikan maupun kemandiriannya. Namun, hal ini belum mencapai persentase yang sama dengan laki-laki. Dalam lingkungan ilmiah pun, telah banyak dilakukan penelitian mengenai kegiatan perempuan, seperti kegiatan perempuan pada bidang domestik, sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Penelitian-penelitian dimaksud bertujuan untuk mengungkapkan sosok perempuan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, penelitian ini dapat diperkuat dengan masukanmasukan yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti masalah-masalah sosial khususnya tentang perempuan. Berdasarkan latar belakang dan alasan-alasan untuk melakukan penulisan buku ini, maka perhatian penulis terarah pada beberapa geguritan, yang menurut hemat penulis bila dilihat dari kualitas nilai teks dapat mewakili tujuan penulisan buku ini. Sehubungan dengan itu, ditetapkan beberapa geguritan sebagai objek penelitian, yaitu Geguritan Dreman, Geguritan Diah Sawitri, Geguritan Damayanti, Geguritan Ni Candrawati, Geguritan Brayut, Geguritan Saci, Geguritan Dyah Arini, Geguritan Cilinaya, dan Geguritan Dewi Sakuntala.
11 BAB II STRUKTUR FORMAL GEGURITAN Pengantar Karya sastra merupakan karya estetis, yakni karya yang mempunyai sifat indah. Keindahan sebuah karya sastra hanya dapat dinikmati oleh pembaca apabila dibaca dengan sungguh-sungguh. Untuk dapat memahami dan menikmati keindahan dalam karya sastra diperlukan pemahaman terhadap estetika. Oleh karena itu, pada bagian pengantar ini perlu adanya uraian mengenai estetika yang semata-mata bertujuan untuk membantu mengarahkan pemikiran pembaca dalam memahami struktur teks geguritan. Secara historis, estetika merupakan bagian dari filsafat (keindahan), yang diturunkan dari pengertian persepsi indra (senseperception). Pada perkembangan awalnya, estetika disebut dengan istilah keindahan (beauty), yang merupakan bagian dari filsafat metafisika. Istilah estetika pertama kali diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1750) dan melepaskannya dari filsafat sehingga menjadi ilmu pengetahuan yang mandiri (Kutha Ratna, 2007:2–3). Hal senada ditemukan dalam tulisan Djelantik (t.t.:7), bahwa ilmu estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari yang disebut keindahan. Istilah estetika ditemukan sekitar abad ke-18. Estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu aistheta, yang diturunkan dari kata aisthe (hal-hal yang dapat ditanggapi dengan indra, tanggapan indra). Pada umumnya aisthe dioposisikan dengan noeta, dari akar kata noein, nous, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran. Dalam pengertian yang luas kata itu berarti kepekaan untuk menanggapi suatu objek, kemampuan pencerapan indera, sebagai sensitivitas. Dalam bahasa Inggris kata itu menjadi aesthetics atau esthetics (studi tentang keindahan). Orang yang sedang menikmati keindahan disebut aesthete, sedangkan ahli keindahan disebut aesthetician. Dalam bahasa Indonesia kata itu menjadi estetikus (orang yang ahli dalam bidang keindahan), estetis (bersifat indah), dan estetika (ilmu atau filsafat tentang keindahan, atau keindahan itu sendiri). Tidak dapat dibantah lagi bahwa penilaian suatu karya tergantung pada strukturnya. Namun, struktur bukan satu-satunya faktor untuk menilai. Nilai ada di dalam karya, tetapi hanya tampak sewaktu seorang pembaca mempertanyakannya. Membaca bukan sekadar suatu tindakan
Ni Nyoman Karmini 12 mewujudkan karya, tetapi juga suatu proses penilaian. Hal ini tidak dapat diartikan bahwa keindahan sebuah karya diberikan hanya oleh pembaca; tidak dapat diartikan bahwa proses penilaian hanyalah pengalaman individual; serta tidak dapat diartikan bahwa pertimbangan mengenai penilaian adalah sekadar pertimbangan yang sifatnya subjektif (Todorov, 1985:67). Karya sastra merupakan karya estetis, yakni karya yang mempunyai sifat indah. Estetika karya sastra adalah aspek-aspek keindahan yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek keindahan dalam karya sastra pada umumnya didominasi oleh gaya bahasa. Namun, bukan hal itu saja dapat menimbulkan keindahan. Keindahan dimunculkan juga oleh keseimbangan antarunsur karya sastra. Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah keseimbangan dinamis bukan keseimbangan statis. Keseimbangan dinamis adalah keseimbangan yang mengalir (fliessgleichagewicth) menurut Ludwig von Bertalanffy. Keseimbangan dinamis dicirikan dengan adanya perubahan secara terus-menerus, yang digunakan untuk mendekonstruksi keseimbangan tertutup (dalam Kutha Ratna, 2007:141–142). Terkait dengan uraian di atas, maka untuk dapat menikmati keindahan suatu objek, maka haruslah “mencintai” dan “memperhatikan” objek dimaksud (Kutha Ratna, 2007:3–4). Sebagai bagian dari keindahan, karya sastra dapat didekati dari dua segi, yakni sastra sebagai seni bahasa, dengan tekanan pada aspek kebahasaannya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain. Sastra juga merupakan bentuk seni, yang dapat didekati dari aspek keseniannya, dalam kaitan dan pertentangan dengan bentuk-bentuk seni lainnya. Dari segi inilah ilmu sastra merupakan cabang ilmu seni atau estetika (Teeuw, 1984:346). Dalam praktik penelitian sastra, tekanan lebih diberikan kepada ilmu bahasa bukan pada ilmu seni, sedangkan estetika lebih ditekankan pada seni-seni lain daripada seni bahasa, karena seni bahasa menimbulkan masalah yang khas. Bahasa sudah merupakan sistem tanda dan sistem makna, yang mendasari ciptaan pengarang. Oleh karena itu, peneliti sastra dihadapkan dengan masalah kebahasaan sebagai dasar penelitian karya sastra. Itulah yang dimaksud oleh Lotman dengan “bahasa sebagai sistem primer” yang membentuk model, dan sebagai dasar bentuk sastra, “bahasa sebagai sistem sekunder” yang membentuk model pula (Teeuw, 1984:347). Dalam visi estetika Jan Mukarovsky, nilai estetik adalah “Sesuatu yang lahir dari ketegangan antara pembaca dan karya; tergantung pada aktivitas pembaca selaku pemberi arti” (Teeuw, 1984:358). Oleh karena itu, nilai estetik adalah proses yang terus-menerus, bukan
Perempuan dalam Geguritan Bali 13 perolehan yang tetap, juga bukan sekali diperoleh tetap dimiliki. Visi ini yang menjelaskan bahwa karya sastra terus-menerus dapat memikat penikmatnya walau telah dibaca berulang-ulang. Lebih lanjut dinyatakan bahwa “Estetik, menilai seni, ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan sikap serta pengalaman seorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah”. Berkaitan dengan keindahan, geguritan termasuk salah satu bentuk karya sastra, dalam hal ini termasuk karya sastra Bali tradisional. Oleh karena itu, geguritan juga memiliki keindahan seperti layaknya karya sastra lainnya. Sehubungan dengan itu, berikut ini dipaparkan struktur formal geguritan yang memunculkan keindahan (estetika) dalam geguritan yang dijadikan objek penelitian. Struktur Formal Geguritan Sebelum pembahasan mengenai struktur formal geguritan, dipandang perlu dilakukan pembicaraan mengenai pengertian kata pupuh. Dalam Kamus Bali-Indonesia terdapat kata pupuh I dan pupuh II. Kata pupuh I berarti ‘bentuk lagu yang terikat oleh pada lingsa’, misalnya Sinom, Pangkur. Kata pupuh II artinya, ‘pukuli’ (Warna, 1990:557). Dalam Kamus Kawi-Bali terdapat kata pupuh yang artinya ‘palu’, ‘jagur’, ‘kajagur’ (Warna, 1988:233). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat kata pupuh, berpupuh v artinya (1) ‘berlaga’, ‘bersabung’ (tentang ayam), (2) ‘sedang menyabung’, (3) ‘berkelahi pukul-memukul dengan hebat’; pupuh n berarti (1) ‘lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata dalam satu bait, jumlah larik, permainan lagu’; (2) ‘bentuk lagu tradisional Sunda’ (Depdikbud, 1996:799). Jika dikaitkan dengan karya sastra berupa geguritan, arti kata pupuh yang telah disebutkan di atas tidak semuanya bisa diterima. Arti kata pupuh yang berkaitan dengan karya sastra berupa geguritan adalah arti kata pupuh I yang terdapat dalam Kamus Bali-Indonesa dan arti kata pupuh II n yang terdapat dalam KBBI. Jadi, arti kata pupuh yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ‘bentuk lagu yang terikat oleh padalingsa”, misalnya Sinom, Pangkur, atau (1) ‘lagu yang terikat oleh banyaknya suku kata dalam satu baris, jumlah baris dalam bait, permainan lagu’; (2) ‘bentuk lagu tradisional (Sunda)’. Kata Sunda ditaruh dalam tanda kurung ( ) karena menurut peneliti, kata pupuh yang artinya terkait dengan karya sastra tidak hanya digunakan di Sunda. Kata pupuh juga dikenal dalam karya sastra Bali tradisional seperti terdapat dalam karya sastra yang berbentuk geguritan. Berkaitan dengan pupuh-pupuh yang digunakan dalam geguritangeguritan yang dianalisis, perlu disinggung isyarat atau pengalihan
Ni Nyoman Karmini 14 pupuh yang disebut sasmita. Pengalihan pupuh dari satu pupuh ke pupuh lainnya ada yang dilakukan dengan menggunakan “kode bahasa” dan ada pula yang menggunakan ketentuan “kode sastra”. Setelah dicermati, pupuh-pupuh yang digunakan dalam geguritan-geguritan yang dianalisis, ternyata ada geguritan yang memakai pengalihan pupuh dengan menggunakan kode bahasa dan menggunakan kode sastra sekaligus. Sasmista yang menggunakan kode bahasa sekaligus kode sastra terdapat dalam Geguritan Saci dan Geguritan Sakuntala. Dalam Geguritan Saci terdapat pengalihan dari pupuh Pangkur ke pupuh Smarandhana, dari pupuh Smarandhana ke pupuh Ginanti. Contoh: Pupuh Pangkur ke pupuh Smarandhana Tadtad tengteng ratu titiang, mangden sida titiang kari mahurip, yen kari jumah tan urung, mamanggih kaduhkitan, twara mati, janten jengahe mangebug, kalih twara nyandang titiang, kaliput kasmaran kingking (Pangkur, bait 38) (pupuh selanjutnya adalah pupuh Smarandhana) Pupuh Smarandhana ke pupuh Ginanti Saget Sang Hyang Umasruti, rawuh ngadeg di arepan, Bhagawan Wrehaspatine, macebur matur sambrama, ngaturang wasuh pada, saha maduluran atur, nunas kanti ring Bhatara (pupuh Smarandhana, bait 52). (Pupuh selanjutnya adalah pupuh Ginanti) Dalam Geguritan Sakuntala terdapat pengalihan dari pupuh Sinom ke pupuh Pangkur, dari pupuh Pangkur ke pupuh Smarandhana, dari pupuh Smarandhana ke pupuh misalangit, dari pupuh misalangit ke pupuh Durma. Contoh: Pupuh Sinom ke pupuh Pangkur. Mawinan ratu sang nata, mangda ratu kenak ugi, nakenang panrestian titiang, ring ida sang mahamuni, manual sri nrepati, duh jero sang ahayu, gelah ada buin takenang, sira parab jerone jati, tan kahatur, jaga katur ring pungkuran (pupuh Sinom 1, bait 22). (Pupuh yang digunakan berikutnya adalah pupuh Pangkur) Pupuh Pangkur ke pupuh Semarandhana Sakeng mula titah Hyang, maka pamuput merabian ida sang kalih, sang apsari lan sang wiku, rika tengahing asrama, makekalih ngulurin rasmining kayun, nyepukang cumbuana rasa, samara dahana ngantunin (pupuh Pangkur 1, bait 15). (Pupuh berikutnya adalah pupuh Smarandhana) Pupuh Smarandhana ke pupuh Misalangit Jaga mendakin sang dewi, sareng mantuk ke Hastina, sapunika baos idane, tumuli raris memarga, ninggal Dewi Sakuntala, tan kawuwus sang prabhu, misalangit nimbal muah (pupuh Smarandhana 1, bait 20).
Perempuan dalam Geguritan Bali 15 (Pupuh berikutnya adalah pupuh Misalangit) Pupuh Misalangit ke pupuh Durma Irika raris sang Mpu, manitah sisiane mangkin, mangiringang Sakuntala, ngaturang putrane ka puri, majeng Ida Sang Duswanta, pupuh durma manyarengin (pupuh Misalangit 1, bait 14) (Pupuh berikutnya adalah pupuh Durma) Penggunaan Pupuh dalam Geguritan Geguritan merupakan karya sastra memiliki sistem konvensi sendiri. Geguritan biasanya menggunakan macapat atau sekar alit. Menurut Budha Gautama (2007:38), Sekar macapat ada 10 buah, yaitu D-D (Dangdang-Durma), G-G (Ginada-Ginanti), M-M (Mijil-Maskumambang), P-P (Pucung-Pangkur), S-S (Sinom-Semarandana), sedangkan yang tergolong Tembang Tengahan, antara lain: Adri, Jerum, Demung, Agal, Gambuh, Tikus Kapanting, dan lain-lain. Tembang-tembang macapat yang umum digunakan di Bali adalah Mijil, Pucung, Maskumambang, Ginada, Ginanti, Smarandhana, Sinom, Durma, Pangkur, Dangdang Gula dan Megatruh. Skema (ortenan) tembang macapat atau sekar alit dipaparkan dalam bentuk tabel 2.1 berikut ini. Tabel 2.1 Ortenan Tembang Macepat No. Pupuh Jml. Baris KeBaris 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1. Mijil 7 4u 6i 6o 10e 10i 6i 6u - - - 2. Pucung 6 4u 8u 6a 8i 4u 8a - - - - 3. Maskumambang 5 4a 8i 6a 8i 8a - - - - - 4. Ginada 7 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a - - - 5. Ginanti 6 8u 8i 8ª 8i 8a 8i - - - - 6. Smarandhana 7 8i 8a 8e 8a 8a 8u 8a - - - 7. Sinom 10 8ª 8i 8ª 8i 8i 8u 8a 8i 4u 8a 8. Durma 7 12a 8i 6a 7a 8i 5a 7i - - - 9. Pangkur 7 8a 10i 8u 8a 12u 8a/7a 8i - - - 10. Dangdang Gula 10 10i 10a 8i 8u 8i 8a 8u 8a 12i 8a 11. Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o - - - - - (Agastia, 1987:50–60, Tinggen, 1994:31, Medera, 1997:34) Tembang yang umum digunakan di Bali hanya 10 buah. Namun, dalam penentuan padalingsa (jumlah baris/kalimat) ada ketentuan yang berbeda di samping ketentuan yang sama. Misalnya, dalam tulisan Budha Gautama (2007:39–40), pupuh Semarandana memiliki padalingsa dalam satu pada adalah 6 baris, wanda (suku kata) dan labuh suara pada tiap kalimat: 8i, 8a, 8e/o, 8a, 8u, dan 8a, sedangkan pada ketentuan di atas
Ni Nyoman Karmini 16 pupuh Semarandana hanya 7 baris. Pupuh Mijil padalingsa-nya terdiri atas 9 baris dengan wanda dan labuh suara pada tiap kalimat: 4u, 6i, 60, 4e, 6e, 4u, 6i, 6i, dan 8/6u, sedangkan pembagian di atas hanya 7 baris. Pupuh Pangkur padalingsanya dalam satu pada adalah 9 baris dengan wanda dan labuh suara pada tiap kalimat: 8a, 4a, 8i, 8u, 8a, 4a, 8u, 8a, 8i, sedangkan pada ketentuan di atas pupuh Pangkur hanya 7 baris. Dalam kumpulan geguritan yang ditulis oleh I Wayan Djapa dapat ditemukan uraian tentang ancer-ancer penggunaan padalingsa dalam tembang macapat atau sekar alit. Ancer-ancer padalingsa yang digunakan pada setiap tembang dapat ditabelkan seperti berikut ini. Tabel 2.2 Ortenan Tembang Macepat No. Tembang Jml. Baris Baris Ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1. Maskumambang 4 12i 6a 8i 8a - - - - - - 2. Pucung 5 12u 6a 8i 4u 8a - - - - - 3. Gambuh 5 7u 10u 12i 8u 8o - - - - - 4. Mijil 6 10i 6o 10e 10i 6i 6u - - - - 5. Megatruh 5 12u 8i 8u 8i 8o - - - - - 6. Ginanti 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i - - - - 7. Ginada 7 8a 8i 8a 8u 8a 4i 8a - - - 8. Durma 7 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i - - - 9. Pangkur 7 8a 12i 8u 8a 12u 8a 8i - - - 10. Smarandhana 7 8i 8a 8e/o 8a 7a 8u 8a - - - 11. Sinom 10 8a 8i 8a 8i 8i 8u 8a 8i 4u 8a 12. Dangdang Gula 10 10i 10a 8e/i 7u 9i 7a 8u 8a 12i 7a 13. Amad 10 10i 10a 8e 7u 9i 7o/a 6u 8a 12i 7a (Djapa, 1999:iii) Djapa (1999:iii) menyatakan bahwa “bacakane sane munggah ring ajeng wantah marupa anceng kewanten, duaning sajeroning panglaksananipun, kirang langkung kecape malih asiki kekalih, sampun ketah kemargiang”. Pernyataan tersebut ditafsirkan bahwa kurang atau lebih jumlah suku kata dalam satu baris seperti yang di-ancerancer-kan di atas telah biasa terjadi dan bukanlah merupakan suatu kesalahan, sebab geguritan biasanya dinyanyikan/dilisankan. Jika terjadi penyimpangan penggunaan padalingsa, tidak ada pengaruhnya sebab secara keseluruhan tidak mengubah makna bait. Berdasarkan pernyataan Djapa di atas, maka perbedaan yang terjadi dalam penetapan ketentuan jumlah baris dan jumlah suku kata dalam setiap baris pada tembang macapat tersebut di atas tidak dipermasalahkan lebih jauh dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan sesuai dengan pendapat tersebut di atas bahwa pupuh yang digunakan dalam
Perempuan dalam Geguritan Bali 17 geguritan biasanya dinyanyikan dan penyimpangan yang terjadi tidak berpengaruh sebab tidak mengubah makna bait secara menyeluruh. Oleh karena itu, penelitian ini tidak berusaha mencari kekurangan atau kelebihan penggunaan padalingsa yang digunakan pada setiap geguritan yang dijadikan objek penelitian, sebab hal seperti itu bukan menjadi tujuan pokok penelitian ini. Berkaitan dengan geguritan yang dijadikan objek perlu dibicarakan beberapa tembang Tengahan dalam tulisan ini. Hal ini diperlukan sebab sebagai tembang Tengahan juga terikat oleh jumlah baris, seperti padalingsa pupuh Adri, pupuh Cecangkriman (terdapat dalam Geguritan Dreman), pupuh Misalangit (dalam Geguritan Sakuntala), pupuh Sinom Tikus Kabanting atau Tikus Kapanting (dalam Geguritan Brayut), pupuh Demung, dan pupuh Gagak Amanis (dalam Geguritan Dyah Arini). Sehubungan dengan itu, padalingsa pupuh dimaksud juga dapat dipaparkan dalam bentuk tabel 2.3 berikut ini. Tabel 2.3 Ortenan Tembang Tengahan No. Pupuh Jml. Baris keBaris 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1. Adri 9 10u 6e/a 8i 8u 8u 8e 8u 8a 8a - - - 2. Cecangkriman 6 4u 8u 6a 9i 4u 8a - - - - - - 3. Misalangit 6 8u 8i 8a 8i 8a 8i - - - - - - 4. Tikus Kapanting 8 8u 8i 8a 8u 8a 8i 8u 8i - - - - 5. Demung 11 8i 4a 8u 6u 8i 8a 8u 6a 8i 8a 8u - 6. Gagak Amanis 12 10i 4a 6a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 4a 8i 7a Selanjutnya, dibahas penggunaan pupuh dalam geguritan-geguritan yang dijadikan objek penelitian. (1) Geguritan Dreman Geguritan Dreman dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian I menggunakan pupuh Adri sebanyak 118 bait, bagian II menggunakan pupuh Cecangkriman sebanyak 7 bait, sedangkan bagian III menggunakan pupuh Adri sebanyak 18 bait. Dengan demikian, jumlah bait keseluruhannya adalah 143 bait. (2) Geguritan Diah Sawitri Geguritan Diah Sawitri menggunakan pupuh Sinom 1 sebanyak 10 bait, pupuh Durma 1 sebanyak 11 bait, pupuh Ginada 1 sebanyak 18 bait, pupuh Pangkur sebanyak 8 bait, pupuh Sinom 2 sebanyak 10 bait, pupuh Ginada 2 sebanyak 18 bait, pupuh Sinom 3 sebanyak 12 bait, pupuh Smarandana sebanyak 8 bait, pupuh Ginada 3 sebanyak 9 bait, pupuh Sinom 4 sebanyak 10 bait, pupuh Durma 2 sebanyak 10 bait. Jadi, jumlah
Ni Nyoman Karmini 18 keseluruhan bait dalam Geguritan Diah Sawitri adalah 124 bait. (3) Geguritan Damayanti Geguritan Damayanti menggunakan pupuh Durma sebanyak 47 bait, pupuh Pangkur sebanyak 59 bait, pupuh Ginada sebanyak 105 bait, pupuh Sinom sebanyak 95 bait, pupuh Smarandhana sebanyak 8 bait, pupuh Ginanti sebanyak 11 bait, pupuh Dangdang sebanyak 7 bait. Jadi, jumlah bait seluruhnya adalah 332 bait. (4) Geguritan Ni Candrawati Geguritan Ni Candrawati hanya menggunakan pupuh Ginada dengan jumlah bait sebanyak 58 bait. Dengan demikian, jumlah bait geguritan ini adalah 58 bait. (5) Geguritan Brayut Geguritan Brayut hanya menggunakan satu pupuh, yakni pupuh Sinom Tikus Kabanting yang berjumlah 141 bait. (6) Geguritan Saci Geguritan Saci menggunakan tiga pupuh, yakni pupuh Pangkur 38 bait, pupuh Smarandhana 52 bait, dan pupuh Ginanti 63 bait. Jumlah keseluruhannya 153 bait. (7) Geguritan Dyah Arini Geguritan Dyah Arini menggunakan pupuh Demung 1 sebanyak 44 bait, pupuh Sinom sebanyak 18 bait, pupuh Pangkur sebanyak 25 bait, pupuh Gagak Amanis sebanyak 16 bait, dan pupuh Demung 2 sebanyak 11 bait. Jadi, jumlah keseluruhannya adalah 114 bait. (8) Geguritan Cilinaya Geguritan Cilinaya menggunakan pupuh Sinom 20 bait pada bagian I, pupuh Ginada 156 pada bagian II, dan 1 bait pupuh Sinom pada bagian III. Jumlah bait seluruhnya adalah 177 bait. (9) Geguritan Sakuntala Geguritan Sakuntala menggunakan pupuh Sinom 22 bait, pupuh Pangkur 15 bait, pupuh Smarandhana 20 bait, pupuh Misalangit 14 bait, pupuh Durma 45 bait. Jumlah keseluruhan baitnya adalah 116 bait. Fungsi Pupuh dalam Geguritan Pupuh-pupuh yang digunakan dalam geguritan-geguritan yang dijadikan objek penelitian, selanjutnya dibicarakan fungsinya. Kata fungsi dalam penelitian ini diartikan sesuai dengan arti yang terdapat dalam KBBI, yakni sebagai ‘kegunaan suatu hal’ (Depdikbud, 1996:281). Dengan demikian, yang dimaksud dengan fungsi pupuh pada bagian ini
Perempuan dalam Geguritan Bali 19 adalah kegunaan sebuah pupuh yang disesuaikan dengan wataknya. Tinggen (1994:35–36) dan Budha Gautama (2007:33–35), menyatakan fungsi pupuh atau tembang macapat sebagai berikut. 1) Pupuh Mijil Kata “mijil” berarti lahir. Pupuh Mijil cocok digunakan untuk: melahirkan perasaan, untuk memberikan nasihat, tetapi tepat juga untuk melukiskan orang yang mabuk asmara. 2) Pupuh Pucung Pupuh Pucung dapat digunakan untuk menyampaikan suatu cerita dongeng (mitologi). Oleh karena itu, pupuh tersebut cocok untuk menyampaikan suatu kisah (cerita) yang mengandung falsafah agama. Pupuh Pucung dapat digunakan dalam cerita seenaknya tanpa kesungguhan atau keseriusan, namun dapat juga untuk menyampaikan ajaran-ajaran atau nasihat-nasihat tetapi dengan cara yang ringan. Pupuh Pucung digunakan untuk mengungkapkan watak yang kendor tanpa perasaan memuncak. 3) Pupuh Maskumambang Pupuh Maskumambang sering juga disebut Kumambang. Kumambang kata dasarnya “kambang” yang berarti menerawang. Pupuh Maskumambang mempunyai watak yang nelangsa, sedih dan merana. Oleh karena itu, pupuh tersebut sangat tepat digunakan untuk mengungkapkan perasaan sedih, hati yang merana atau hati yang menangis. 4) Pupuh Ginada Ginada asal katanya adalah “gada” mendapat infiks “in” sehingga menjadi ginada yang berarti terpukul dan akhirnya tertimpa oleh kekecewaan yang mendalam. Oleh karena itu, Pupuh Ginada dapat digunakan untuk melukiskan kesedihan, hati yang merana atau hati yang kecewa. 5) Pupuh Ginanti Watak Pupuh Ginanti adalah mencerminkan rasa kasih sayang atau rasa cinta. Pupuh ini digunakan untuk melukiskan perasaan senang, bahagia, cinta kasih dan dapat juga untuk menguraikan suatu filsafat. Dengan kata lain, pupuh ini tepat digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang bersuasana asmara dan keadaan yang dimabuk asmara. 6) Pupuh Semarandana Pupuh ini juga disebut dengan Pupuh Semaradahana atau Asmaradahana (api asmara) atau Semaranala. Pupuh ini digunakan untuk melukiskan suasana yang memikat hati, suasana sedih dan kesedihan karena asmara. Pupuh ini tepat pula untuk melukiskan cerita asmara
Ni Nyoman Karmini 20 atau keadaan mabuk asmara. 7) Pupuh Sinom Pupuh Sinom wataknya ramah tamah, sedap atau nyaman. Kata “sinom” singkatan dari “sinuam”, yang artinya “ pucuk”, yakni daun yang masih sangat muda, tumbuh-tumbuhan yang sedap dipandang mata. Pupuh ini digunakan untuk suasana ramah tamah yang meresap ke hati, yang sangat tepat digunakan untuk menyampaikan amanat, nasihat, atau percakapan persahabatan dan bersifat kekeluargaan. 8) Pupuh Durma Pupuh Durma mempunyai watak sangat keras, bengis dan marah. Pupuh ini digunakan untuk melukiskan perasaan marah, untuk suasana perang, untuk suasana saling menantang dan sejenisnya. 9) Pupuh Pangkur Pupuh Pangkur mempunyai watak perasaan hati yang memuncak. Pupuh ini sangat tepat digunakan untuk melukiskan peristiwa yang sungguh-sungguh atau peristiwa yang sangat serius. Misalnya, jika melukiskan tentang mabuk asmara, maka pelukisan tentang asmara sampai ke puncaknya. Jika berupa petuah atau nasihat, maka isinya sungguh-sungguh. 10) Pupuh Dandanggula Pupuh Dangdanggula mempunyai watak halus, lemas atau luwes. Oleh karena itu, umumnya untuk menyampaikan suatu ajaran, untuk berkasih-kasihan, juga digunakan untuk menutup suatu cerita. 11) Pupuh Megatruh Pupuh Megatruh mempunyai watak sedih berkepanjangan disertai keputusasaan. Pupuh ini sangat tepat untuk melukiskan kesedihan, kekecewaan, dan merana. 12) Pupuh Adri Adri artinya gunung, tempat yang sangat nyaman, sejuk, memberikan hawa segar, memberikan ketenangan, memberikan keheningan. Pupuh Adri sangat cocok untuk memberikan nasihat, ajaran-ajaran yang bersifat religi sehingga menimbulkan ketenangan, kenyamanan, kepasrahan diri dan pencerahan batin. 13) Pupuh Cecangkriman Cecangkriman merupakan syair teka-teki. Cecangkriman menggunakan pupuh Pucung yang dapat digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran, nasihat-nasihat dengan cara yang ringan. 14) Pupuh Misalangit Misalangit berasal dari kata misa atau mahisa yang artinya kerbau, lambang tunggangan Dewa Yama. Pupuh Misalangit tepat digunakan untuk menyampaikan ajaran, nasihat sehingga tepat untuk mem-
Perempuan dalam Geguritan Bali 21 berikan pencerahan batin. 15) Pupuh Demung Demung adalah sebuah jabatan di istana, atau pejabat istana. Pupuh Demung tepat juga digunakan untuk pencerahan batin. 16) Pupuh Gagak Amanis Gagak adalah nama burung. Pada saat berbunyi ia menyebut dirinya dengan apa adanya atau sesuai keadaannya. Amanis artinya manis, lembut, ramah, cantik. Pupuh Gagak Amanis sangat tepat digunakan untuk menyampaikan sesuatu apa adanya atau sebenarnya. Misalnya, menyampaikan penyesalan diri dengan sepenuh hati, dengan sejujur-jujurnya. Seseorang dalam menyampaikan sesuatu dengan tutur kata yang lemah lembut membuat orang lain yang menerima atau mendengarkannya menjadi luluh hatinya. Dengan demikian, terjadi pencerahan batin. Berdasarkan fungsi pupuh di atas, maka dapat ditetapkan fungsi pupuh atau tembang pada objek penelitian ini. 1) Geguritan Dreman Pada Geguritan Dreman digunakan dua macam pupuh, yaitu pupuh Adri dan pupuh Cecangkriman. Pupuh Adri digunakan dua kali, yakni pupuh Adri 1 terdiri atas 118 bait dan pupuh Adri 2 terdiri atas 18 bait, sedangkan pupuh Cecangkriman terdiri atas 7 bait. Jadi, total bait Geguritan Dreman adalah 143 bait. Pada Pupuh Adri 1 yakni dari bait 1 – 118 berkisah tentang kehidupan dalam rumah tangga yang dimadu. Istri pertama bernama I Suanggadarmi, sangat baik, taat pada nasihat sastra (agama), sedang istri kedua bernama I Wijasantun, perilaku kurang baik kepada madunya, menguasai suami dengan menggunakan guna-guna, sehingga suaminya sangat sayang kepadanya. Sang suami bernama I Jatiraga, orangnya baik dan bijaksana. Pada suatu hari, I Wijasantun sakit parah, madunya sangat telaten merawat dan selalu mendoakan kesembuhannya. Namun, I Wijasantun meninggal. Rohnya disiksa di neraka. Tinggallah I Jatiraga dan I Suanggadarmi dalam kesedihan. Akibat rasa sedih berlebihan, maka I Jatiraga pun meninggal dan rohnya juga disiksa di neraka. Demikian juga I Suanggadarmi pun meninggal tetapi rohnya berubah menjadi roh yang suci sehingga dijemput dan diantar ke Sorga. Namun, roh utama tidak mau berangkat ke Sorga jika tidak bersama roh suaminya. Oleh karena itu, roh I Jatiraga diangkat dari neraka dan disucikan lalu mereka berangkat ke Sorga, sedangkan roh I Wijasantun tetap di neraka akibat perbuatannya. Pada pupuh Adri 2 yakni dari bait 1 – 18 berkisah tentang gambaran-gambaran penderitaan atau siksaan yang dialami di neraka.
Ni Nyoman Karmini 22 Pada bagian ini juga disertai nasihat-nasihat bagi orang yang dimadu. Penggunaan pupuh Adri pada geguritan ini sangat tepat sebab sesuai dengan fungsinya, yakni memberikan nasihat, ajaran-ajaran yang bersifat religi sehingga menimbulkan ketenangan, kenyamanan, kepasrahan diri dan pencerahan batin. (2) Pupuh Cecangkriman Pupuh ini digunakan dari bait 1 – 7 berkisah tentang perjalanan roh suci (roh I Suanggadarmi) yang mencari roh suaminya. Setelah ditemukan lalu diangkat dari jambangan dan disucikan lalu diajak ke Sorga. Penggunaan pupuh Cecangkriman ini sangat tepat sebab berisi tentang ajaran-ajaran, nasihat-nasihat untuk menjalankan kehidupan dengan cara yang ringan. 2) Geguritan Diah Sawitri Geguritan Diah Sawitri diawali dengan pupuh Sinom. Pupuh Sinom digunakan sebanyak empat kali dalam geguritan ini. Pada pupuh Sinom 1 terdiri atas 10 bait, yang berkisah tentang permohonan penulis kepada Tuhan dalam wujud Hyang Nara Narayana dan Dewi Saraswati supaya berhasil mencipta lagu (geguritan) dan ada manfaatnya bagi masyarakat pembacanya. Dalam Geguritan Diah Sawitri, dikisahkan bahwa Resi Markandeya bercerita kepada Yudhistira tentang Raja Madra yang bernama Sang Aswapati. Raja lama tidak mempunyai putra. Setelah melakukan tapa brata dan memuja Hyang Sawitri, maka Raja dianugrahi seorang putri bernama Diah Sawitri. Setelah Sawitri dewasa terjadi percakapan yang akrab antara ayah dan anak tentang calon pendamping Sawitri. Pada pupuh Sinom 2 terdiri atas 10 bait, yang berkisah tentang hari-hari kematian Satyawan telah dekat. Sawitri melaksanakan tapa brata walaupun dinasihati oleh mertuanya bahwa hal itu tidak perlu dilakukan karena sangat berat, namun Sawitri tetap melaksanakannya. Banyak nasihat ditujukan kepada Sawitri sebagai tanda kasih orang tua kepadanya. Pada pupuh Sinom 3 terdiri atas 12 bait, yang berkisah tentang percakapan yang akrab antara Sawitri dengan Hyang Yama. Percakapan mereka berisi petuah-petuah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Pupuh Sinom 4 terdiri atas 10 bait, yang berkisah tentang nasihat Hyang Yama kepada Diah Sawitri bahwa perbuatan baik Diah Sawitri dapat menyebabkan semua keturunannya termasuk cucunya akan menjadi orang ternama dan panjang umur. Penggunaan pupuh Sinom yang telah dijelaskan di atas, sangat tepat sebab sesuai dengan fungsinya, yaitu menyampaikan amanat dan
Perempuan dalam Geguritan Bali 23 nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi kehidupan. Pupuh Durma digunakan dua kali dalam geguritan ini. Pada penggunaan pupuh Durma 1 terdiri atas 11 bait, berkisah tentang perjalanan Sawitri yang ditugaskan untuk mencari calon suami, dan ia telah menjatuhkan pilihannya kepada Satyawan yang masih hidup hanya satu tahun saja. Pupuh Durma 2 terdiri atas 10 bait, berkisah tentang akibat dari perbuatan baik Sawitri banyak orang memperoleh kebaikan. Pupuh Durma yang digunakan dalam geguritan ini tepat karena sesuai dengan fungsinya, yaitu karena watak atau kemauan keras, maka semua tantangan dapat diatasi dengan baik. Pupuh Ginada digunakan tiga kali dalam geguritan ini. Pupuh Ginada 1 terdiri atas 18 bait, berkisah tentang kesusahan akan terjadi jika Sawitri tetap memilih Satyawan sebagai suaminya sebab Satyawan usianya hanya setahun lagi. Namun, Sawitri tetap pada pilihannya. Pupuh Ginada 2 terdiri atas 18 bait, berkisah tentang kematian Satyawan. Rohnya diambil oleh Sang Hyang Yama. Sawitri terus mengikuti roh suaminya yang dibawa oleh Hyang Yama. Pupuh Ginada 3 terdiri atas 9 bait, berkisah tentang banyak hal disampaikan Sawitri kepada Hyang Yama sebagai upaya untuk terus mengikuti roh suaminya. Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa penggunaan Pupuh Ginada tersebut sangat sesuai dengan fungsinya. Hal itu disebabkan oleh Dikatakan demikian karena penggunaannya dalam geguritan dimaksud untuk menyampaikan kesedihan dan kekecewaan hati. Pupuh Pangkur terdiri atas 8 bait digunakan hanya sekali dalam geguritan ini. Bagian ini berkisah tentang perkawinan Sawitri dengan Satyawan. Penggunaan pupuh sangat tepat sebab sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menyampaikan perasaan hati yang memuncak. Pupuh Smarandana terdiri atas 8 bait digunakan hanya sekali dalam geguritan ini. Bagian ini berkisah tentang pembicaraan yang memikat hati antara Sawitri dengan Hyang Yama sehingga Sawitri dianugrahi keturunan. Penggunaan pupuh tepat sekali sebab sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menyampaikan perasaan hati yang sedih karena asmara. 3) Geguritan Damayanti (1) Pupuh Durma Bait 1 dan 2 isinya menyatakan pemujaan terhadap Hyang Nara Narayana dan Dewi Saraswati supaya penulis mendapat anugrah dalam menulis Geguritan Damayanti dan supaya dapat dijadikan pedoman kehidupan. Bait 3 dan 4 menyatakan tentang Prabu Nala dengan
Ni Nyoman Karmini 24 segala kelebihannya dan juga kebiasaan buruknya, yaitu berjudi. Bait 5 – 8 menyatakan tentang Prabu Bima dengan seorang putri bernama Damayanti dan tiga putranya. Dikisahkan Damayanti telah mendengar tentang Prabu Nala, demikian juga sebaliknya. Mereka sama-sama menyimpan rasa rindu untuk bertemu walau belum saling kenal. Prabu Nala menangkap seekor angsa di taman. Pada pemaparan di atas, dapat dinyatakan bahwa penggunaan pupuh Durma sebanyak 11 bait pada awal kisah ini sesuai dengan wataknya, yakni keras. Artinya, penulis mempunyai keinginan yang kuat untuk menggubah kisah Damayanti dengan harapan mendapat pahala pada nantinya sebagai bekal menghadap kepada Hyang Widhi. Demikian juga pelaku cerita, yakni Prabu Nala dan Damayanti mempunyai keinginan yang keras, untuk dapat saling menyatu. (2) Pupuh Pangkur Bait 1 dan 2 menyatakan bahwa angsa yang ditangkap Prabu Nala dapat berbicara dan berjanji akan menceritakan tentang Prabu Nala kepada Damayanti asalkan ia tidak dibunuh. Bait 3 – 8 menyatakan bahwa setelah angsa dilepaskan lalu angsa tersebut terbang ke taman Damayanti. Angsa juga ditangkap dan angsa pun berkisah tentang Prabu Nala kepada Damayanti. Dengan adanya cerita angsa tersebut, baik Prabu Nala maupun Damayanti cintanya semakin tumbuh. Dengan demikian, penggunaan Pupuh Pangkur di sini tepat sebab melukiskan perasaan hati pelaku yang memuncak. (3) Pupuh Ginada Sejak mendengar kisah Prabu Nala, Damayanti jatuh sakit menahan rasa rindu kepada Prabu Nala. Karena itu, diadakan sayembara untuk memperebutkan Damayanti. Banyak peserta telah datang. Catur Lokapala seperti Hyang Suranatha juga berkenan ikut sayembara. Demikian juga Prabu Nala. Saat Prabu Nala sedang diperjalanan menuju Widarbha, datang Catur Lokapala. Terjadilah perjanjian bahwa Prabu Nala harus mengutamakan Catur Lokapala. Semua itu termuat dalam bait 1– 21. Penggunaan Pupuh Ginada pada bagian ini tepat sebab melukiskan perasaankecewa yang dirasakan oleh Prabu Nala. (4) Pupuh Sinom Perjanjian itu disampaikan kepada Damayanti, namun Damayanti sangat mengharap Prabu Nala tetap hadir saat sayembara diikuti oleh Hyang Catur Lokapala. Saat itu terjadi keanehan bahwa ada lima Prabu Nala dilihat oleh Damayanti sehingga ia bingung. Lalu memuja Hyang Widhi mohon petunjuknya, karena ia telah bulat memilih Prabu Nala sebagai suaminya. Akhirnya, atas kehendak Dewa Damayanti dapat
Perempuan dalam Geguritan Bali 25 memilih Prabu Nala sebagai suaminya. Kisah itu termuat pada bait 1– 19, yang dengan tepat menggambarkan amanat, dan nasihat. (5) Pupuh Pangkur Bait 1–8 mengisahkan tentang Hyang Kali yang sangat marah kepada Prabu Nala karena memperistri Damayanti. Penggunaan pupuh ini tepat melukiskan perasaan hati yang memuncak. (6) Pupuh Sinom Telah dua belas tahun mereka menikah. Selama itu juga Hyang Kali menunggu kesempatan menguasai Prabu Nala. Suatu ketika, Prabu Nala lupa mencuci kakinya saat akan memuja. Saat itu pula Hyang Kali merasuk ke raga Prabu Nala, sedangkan Hyang Dwapara membujuk Sang Puskara supaya menantang Prabu Nala untuk berjudi dan batu judinya jelmaan dari Hyang Dwapara. Perjudian terjadi, kekalahan ada di pihak Prabu Nala dan Prabu Nala tidak dapat dihentikan oleh siapa pun termasuk istrinya. Kisah ini dinyatakan pada bait 1– 6, yang tepat melukiskan amanat dan nasihat yang ditujukan kepada pembaca atau pendengarnya. (7) Pupuh Pangkur Dengan segala cara telah dilakukan untuk menghentikan perjudian tersebut, namun tetap tidak bisa. Damayanti mengirim putra dan putrinya ke Widarbha dengan bantuan kusir bernama Warsneya. Selanjutnya, Warsneya mengabdi di Ayodhyapuri, yang saat itu rajanya bernama Rituparna. Penggunaan pupuh Pangkur pada bait 1 – 9 sangat tepat sebab melukiskan perasaan hati Damayanti yang memuncak. (8) Pupuh Smarandana Bait 1–8 menyatakan bahwa Prabu Nala kalah total yang tinggal hanya pakaian yang melekat di tubuh. Ia pergi dari kerajaannya bersama istri. Tidak seorang pun berani menolongnya karena hukumnya mati. Dalam perjalanan ada burung terbang di atas mereka. Nala hendak menjaring burung tersebut dengan pakaiannya. Namun, burung tersebut terbang membawa pakaiannya. Penggunaan pupuh ini sangat tepat melukiskan situasi dan kondisi yang menyedihkan yang dialami pelaku. (9) Pupuh Ginada Bait 1–5 isinya menyatakan bahwa Nala merasa sangat bersalah, sangat sedih sehingga berharap istrinya pulang ke Widarbha. Penggambaran dengan pupuh ini sangat tepat karena melukiskan kesedihan Prabu Nala. (10) Pupuh Ginanti Bait 1–5 menyatakan bahwa mereka tidak dapat berpisah sebab
Ni Nyoman Karmini 26 dalam situasi menderita istrilah pendamping yang sangat tepat. Pupuh ini tepat sekali melukiskan cinta kasih pasangan suami-istri. (11) Pupuh Sinom Bagian ini melukiskan keinginan Damayanti supaya mereka berdua ke Widarbha tetapi Nala merasa malu. Pakaian yang hanya satu lalu dibagi berdua. Karena lelah amat sangat, akhirnya mereka beristirahat. Damayanti tertidur pulas, sedangkan Nala tidak dapat tidur sebab pikirannya dipenuhi penyesalan. Ia memutuskan untuk meninggalkan istrinya dengan harapan istrinya akan kembali ke Widarbha. Pupuh Sinom digunakan pada bait 1–14 ini sangat tepat melukiskan nasihat dan amanat yang ditujukan kepada para istri dan suami. (12) Pupuh Durma Bait 1–11 menggambarkan bahwa Damayanti sangat terkejut setelah menyadari suaminya meninggalkannya. Ia sesambatan dengan memanggil-manggil suaminya dan mengingat-ingat apa salahnya. Akhirnya, Damayanti mengutuk “penyebab” penderitaan ini dan berharap penderitaan yang diterimanya dua kali lipat dari penderitaannya. Tanpa disadari Damayanti, seekor ular besar mendekati dan melilit dirinya. Namun, dengan pertolongan seorang pemburu ular terbunuh. Pupuh Durma yang digunakan di sini sangat tepat melukiskan kemarahan Damayanti kepada “penyebab” penderitaannnya. (13) Pupuh Ginada Pemburu yang menolong Damayanti memiliki keinginan buruk terhadap dirinya. Karena itu, Damayanti memohon kepada Hyang Widhi supaya orang yang ingin pemerkosanya terbunuh saat ingin menyentuhnya, sebab dirinya hanya untuk Nala suaminya. Dan permohonannya terkabul, pemburu pun mati. Bait 1–3 sangat tepat melukiskan kesedihan dan penderitaan Damayanti. (14) Pupuh Pangkur Damayanti melanjutkan perjalanannya selama tiga hari tiga malam. Sampailah ia pada sebuah pasraman. Ia diberitahu suatu saat akan bertemu dengan suaminya lagi. Setelah itu, para rsi menghilang. Damayanti heran, seperti mimpi, lalu ia melanjutkan perjalanan. Bait 1 – 8 ini tepat melukiskan perasaan hati Damayanti. (15) Pupuh Sinom Damayanti melanjutkan perjalanan ke Cedi Negara bersama para pengungsi. Pada suatu saat sampailah ia di pinggir danau yang sangat indah. Damayanti beristirahat. Tengah malam ada gajah bertarung dengan sesama gajah. Banyak binatang mati, demikian juga banyak pengungsi
Perempuan dalam Geguritan Bali 27 yang mati. Damayanti lari ke tengah hutan karena dituduh penyebab terjadinya bencana oleh mereka yang masih hidup. Di sana Damayanti memuja Catur Lokapala yang diperkirakan penyebab bencana. Pupuh Sinom yang digunakan pada bait 1 – 10 sangat tepat melukiskan amanat dan nasihat kepada siapa saja yang saat penderitaan terjadi jangan lupa memuja Hyang Widhi. (16) Pupuh Ginada Damayanti menceritakan kejadian yang dialami selama pengembaraannya sendirian kepada permaisuri Raja Cedi (Raja Sang Subahu). Damayanti disarankan tinggal di Cedi, tetapi ia menyampaikan beberapa syarat kepada permaisuri, yakni tidak makan nasi sisa, tidak mencuci kaki orang lain, tidak berbicara dan hanya berbicara kepada brahmana suci yang mencari suaminya, dan jika ada yang mau memperkosanya supaya dihukum mati. Permaisuri menerima syarat itu. Damayanti dijaga oleh putri Cedi, yaitu Dyah Sunanda. Pupuh Ginada pada bait 1–10 tepat melukiskan perasaan sedih dan merana dari Damayanti. (17) Pupuh Sinom Prabu Nala sejak meninggalkan Damayanti, menemukan api besar di tengah hutan. Ada sabda didengarnya dari api tersebut, lalu Nala masuk ke tengah api. Dilihatlah seekor naga di tengah api besar itu. Naga itu bernama Naga Karkotaka yang dikutuk karena mengolok-olok Bhagawan Narada. Kutuk itu selesai jika ia diselamatkan oleh Prabu Nala. Seketika Naga menjadi kecil dan dikeluarkan dari api oleh Nala. Nala disuruh berjalan sepuluh langkah ke depan lalu dipatuk. Nala berubah wajah seketika. Naga pun kembali menjadi besar. Naga berpesan: Nala akan selalu menang dalam peperangan, penyebab kesengsraan Nala akan sangat menderita dan ke luar dari tubuh Nala dengan sendirinya, silakan pergi ke Ayodhya sebagai kusir raja Rituparna dengan nama Sang Wahuka, jika kembali berjudi pasti menang dan negara kembali, demikian juga dengan anak-istri, jika ingin wajah kembali seperti semula, panggillah saya dalam hati, wajahmu pasti kembali seperti semula. Setelah memberi pesan Naga Karkotaka menghilang, Nala melanjutkan perjalanan ke Ayodhya. Pupuh Sinom pada bait 1–12 ini sangat tepat untuk menyampaikan amanat dan nasihat kepada siapa saja yang sedang menderita, jika ada kesempatan berikanlah pertolongan kepada seseorang yang memerlukan pertolongan. (18) Pupuh Dangdang Gendis Nala diterima di Ayodhya dengan nama Wahuka sebagai kusir dan pemelihara kuda bersama Warsneya dan Jiwala. Wahuka hidupnya tenang tetapi setiap malam ia menangis sangat sedih teringat kepada Damayanti.
Ni Nyoman Karmini 28 Kesedihannya dituangkan ke dalam lagu ciptaannya. Jiwala menanyakan isi lagunya yang menyebut-nyebut Damayanti kepada Wahuka. Wahuka menceritakan kisah Damayanti dengan Prabu Nala kepada Jiwala. Bait 1–7 tepat menggambarkan watak halus, lemas sehingga melahirkan suatu ajaran, dan juga hal berkasih-kasihan. (19) Pupuh Pangkur Prabu Bima, orang tua Damayanti setelah mendengar kepergian Nala-Damayanti berusaha mencari mereka dengan memberi hadiah bagi orang yang menemukannya. Brahmana Sudewa berangkat ke Cedi untuk menemui Dewi Damayanti. Sudewa menyampaikan berita tentang orang tua, putra-putri Damayanti dalam keadaan baik-baik. Damayanti ingat kepada Sudewa lalu menangis sedih sekali. Permaisuri Cedi ingin tahu juga. Bait 1–10 sangat tepat melukiskan perasaan hati yang memuncak dari Prabu Bima, Damayanti dan Permaisuri Cedi. (20) Pupuh Sinom Dewi Sunanda segera mencari kepastian tentang Damayanti. Akhirnya, diketahui bahwa memang benar Damayanti dengan ciri ada andeng-andeng di tengah alis Damayanti. Terjadilah hujan tangis antara ibu dan kemenakan. Damayanti mohon pamit untuk pulang ke Widarbha dan diantar banyak orang. Keesokannya, Damayanti mohon kepada orang tuanya supaya segera mencari Prabu Nala. Banyak brahmana mencari, tetapi sebelum berangkat, mereka dibekali lagu ciptaan Damayanti tentang kisahnya sendiri. Jika ada yang menjawab lagu tersebut, pastikan tempat tinggalnya. Bait 1 – 12 sangat tepat untuk menyampaikan amanat dan nasihat. (21) Pupuh Durma Beberapa bulan berikutnya, datanglah Parnada kepada Damayanti untuk menyampaikan ciri-ciri orang yang menjawab lagunya dengan lagu, yang isinya menyatakan bahwa walau ditinggal suami, sang istri tetap tidak marah kepada suaminya. Namanya Wahuka berada di Ayodhya sebagai kusir, wajahnya buruk, lengannya pendek. Damayanti segera menyampaikan kepada orang tuanya dan merencanakan cara supaya Nala datang ke Widarbha. Bait 1 – 11 tepat melukiskan keinginan keras Damayanti supaya suaminya kembali. (22) Pupuh Ginanti Diutuslah Sang Sudewa ke Ayodhya untuk menyampaikan kepada Rituparna bahwa ada sayembara lagi di Widarbha untuk suami Damayanti. Sayembara diadakan keesokan harinya. Oleh karena itu, Rituparna segera mengajak Wahuka ke Widarbha. Bait 1 – 6 tepat menggambarkan perasaan senang Raja Rituparna.
Perempuan dalam Geguritan Bali 29 (23) Pupuh Ginada Wahuka yang mendengar berita itu sangat terkejut. Dalam hatinya, Wahuka menyatakan Damayanti keterlaluan, memang Damayanti tidak salah, dirinyalah yang bersalah. Wahuka menyetujui perintah Rituparna ke Widarbha dan Warsneya ikut serta. Tidak diceritakan diperjalanan, sampailah mereka di depan pohon wibhitaka. Wahuka diberitahu raja bahwa buah dan daun wibhitaka yang jatuh jumlahnya seratus lebih termasuk yang masih di pohon. Cabang keduanya berbuah 2099, daunnya 50 juta. Jika tidak percaya cobalah dihitung. Wahuka menghitung dan benar kata Raja Rituparna. Wahuka memohon kepada raja antara mereka bertukar ilmu. Hal itu disetujui oleh raja. Setelah Nala mempunyai ilmu nita, Hyang Kali ke luar dari tubuhnya dan mohon kepada Nala supaya tidak mengutuknya dan berjanji memberi anugrah, yakni segala miliknya akan dikembalikan dan jika ada orang menceritakan kisah Nala Damayanti, mereka akan terbebas dari bahaya dan tidak takut kepada Hyang Kali. Wahuka melanjutkan perjalanan ke Widarbha, sedangkan Hyang Kali kembali ke Sorga. Bait 1–31 sangat tepat menggambarkan kesedihan, penderitaan, dan kekecewaan Prabu Nala juga penderitaan Hyang Kali. (24) Pupuh Pangkur Singkat cerita mereka sampai di Widarbha. Tidak ada tandatanda sayembara. Rituparna disuruh beristirahat. Damayanti kecewa karena tidak melihat Nala. Bait 1 – 10 tepat melukiskan perasaan hati Damayanti. (25) Pupuh Sinom Damayanti mengutus Ni Kesini untuk menyelidiki Wahuka. Perintah dilaksanakan oleh Ni Kesini sesuai petunjuk. Bait 1–13 tepat menggambarkan percakapan secara karib antara pelaku. (26) Pupuh Ginada Ni Kesini menceritakan kepada Damayanti apa yang dilihat dan diketahuinya. Damayanti kembali menugaskan Ni Kesini mengambil masakan Wahuka, dan yakinlah ia bahwa Wahuka adalah Nala. Damayanti memerintahkan Ni Kesini membawa putra-putrinya ke hadapan Wahuka. Wahuka memeluk dan menangis tersedu. Namun segera mengatakan bahwa ia teringat anaknya, yang mungkin tidak akan ditemuinya. Pupuh Ginada bait 1– 17 tepat menggambarkan kesedihan dan penderitaan Wahuka. (27) Pupuh Durma Damayanti sangat yakin bahwa Wahuka adalah Nala. Karena itu, Damayanti memohon kepada orang tuanya supaya Wahuka di hadapkan
Ni Nyoman Karmini 30 kepadanya. Bait 1– 3 ini tepat menggambarkan tekad keras Damayanti. (28) Pupuh Ginada Permohonan Damayanti dikabulkan. Wahuka di hadapkan kepadanya. Saat itu Damayanti bertanya kepada Wahuka. Wahuka menjawab bahwa yang menyebabkan permasalahan ini semua adalah Hyang Kali. Kini, Beliau telah ke luar dari tubuhku. Wahuka balik bertanya, mengapa Damayanti mengadakan sayembara kembali. Bait 1–9 sangat tepat menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kekecewaan hati Wahuka (Prabu Nala) dan Damayanti. (29) Pupuh Durma Selurah raja telah mengetahui sayembara ini, kata Wahuka. Ini berarti Damayanti tidak benar setia. Damayanti segera menjawab bahwa ini hanya siasat supaya Nala mau datang. Lagipula tidak ada tandatanda ada sayembara. Jika tidak setia, supaya Hyang Surya, Tripurusa Candra Angin mencabut jiwaku, kata Damayanti. Akhirnya, ada sabda dari Hyang Pawana yang menyatakan Damayanti tetap suci. Sayembara hanya ditujukan kepada Nala, yang lain tidak mungkin dapat sampai di Widarbha dalam sehari. Setelah sabda selesai, lalu ada hujan bunga. Nala tidak lagi ragu-ragu akan kesucian Damayanti, lalu ia memuja Naga Karkotaka. Wajahnya kembali seperti semula. Damayanti, putra-putrinya dan orang tuanya semua bahagia. Bait 1 – 11 ini tepat menggambarkan perasaan marah Nala dan keinginan keras Damayanti. (30) Pupuh Pangkur Semua orang di Widarbha berbahagia termasuk Rituparna. Rituparna mohon maaf kepada Prabu Nala jika ada perlakuannya yang salah selama Nala menjadi Wahuka. Prabu Nala menjadi sahabat Rituparna, dan mereka saling memberi ilmu. Akhirnya, Rituparna kembali ke Ayodhya. Bait 1–6 sangat tepat menggambarkan perasaan hati yang menggelora semua pelaku cerita. (31) Pupuh Sinom Kira-kira sebulan berada di Widarbha, maka Prabu Nala beserta keluarga kembali ke Nisada dan menantang Puskara berjudi dengan taruhan Damayanti. Kemenangan ada di pihak Nala. Puskara kalah tetapi tidak dibunuh namun tetap diberikan wilayah dan kekuasaan oleh Prabu Nala. Prabu Nala kembali menjadi raja. Bait 1– 9 ini sangat tepat melukiskan amanat dan nasihat. (32) Pupuh Ginada Setelah selesai mengisahkan kisah Damayanti Nala, Rsi Wrehadaswa berpesan pada Yudhisthira supaya segera memperoleh
Perempuan dalam Geguritan Bali 31 kebahagiaan. Prabu Nala dijadikan contoh. Jika setiap hari rajin sembahyang jelas kesengsaraan sedikit ditemui. Cerita Naga Karkotaka, Damayanti-Nala serta tentang Rituparna, baik sekali sering didengarkan sebab berupa panglukatan. Cerita Damayanti-Nala mengalahkan Hyang Kali. Barangsiapa sering menceritakan dan mendengarkan kisah ini, maka bahaya yang ditimbulkan oleh Hyang Kali dapat teratasi. Penggunaan pupuh Ginada pada bait 1–9 kurang tepat sebab isi bait-bait tersebut adalah nasihat sekaligus amanat. Oleh karena itu, untuk bait-bait ini akan sangat tepat jika digunakan pupuh Sinom. 4) Geguritan Ni Candrawati Geguritan ini menggunakan hanya satu pupuh, yaitu pupuh Ginada. Pupuh Ginada ini terdiri atas 58 bait, berkisah tentang kesedihan yang terjadi pada Ni Candrawati termasuk kesedihan kedua orang tuanya karena Ni Candrawati hamil sebelum menikah, sehingga ia dibuang ke hutan oleh kakaknya. Penggunaan pupuh ini sangat tepat sebab sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk melukiskan kesedihan. 5) Geguritan Brayut Geguritan ini hanya menggunakan satu pupuh yaitu pupuh Sinom Tikus Kabanting, yang terdiri atas 141 bait. Geguritan ini berkisah tentang kehidupan sebuah rumah tangga yang beragama Budha, yang mempunyai anak sebanyak delapan belas orang termasuk yang masih di dalam perut sang istri. Kehidupan mereka sangat susah karena terlalu banyak anak yang dihidupi. Sang istri tidak sempat mengurus diri apalagi melakukan pekerjaan, baik pekerjaan rutin sehari-hari maupun pekerjaan sambilan untuk menambah penghasilan keluarga karena selalu disibukkan oleh kesibukkan mengurus anak. Anak-anaknya sering ribut bahkan sering bertengkar yang pada akhirnya membawa pertengkaran antara sang ibu dengan sang ayah. Setelah anak-anaknya dewasa, semuanya mempunyai pekerjaan hidup mereka sangat senang. Anak serta menantu semua hidup rukun dan sangat hormat kepada orang tuanya. Keluarga mereka hidup damai, rukun, sentosa, dan sangat bahagia karena mereka menerapkan ajaran samhita. Penggunaan pupuh Sinom pada Geguritan Brayut sangat tepat sebab berisi amanat serta nasihat-nasihat tentang kehidupan. 6) Geguritan Saci (1) Pupuh Pangkur Bait 1–5 berisi ucapan “rendah hati” penulis, bait 6–11 berisi pesan bahwa baik-buruk, suka-duka itu memang telah tersurat pada saat akan menjelma menjadi manusia. Bait 12–38 berisi kisah bahwa penulis
Ni Nyoman Karmini 32 bercerita tentang kepergiannya ke Dangin Rurung untuk menengok anak di rumah neneknya, karena sejak kecil telah ditinggal oleh ibunya. Pada saat itu terdengar pertengkaran antara dua orang, yakni Gusti Gde Mangku dengan preman dari Jasi. Pertengkaran itu berlanjut dengan perang tanding. Gusti Gde Mangku luka parah. Istri dan keluarganya menangis. Istrinya sesambatan. Pupuh Pangkur yang digunakan pada bait 1–38 sangat tepat sebab menggambarkan sesuatu dengan penuh perasaan hati. (2) Pupuh Smarandhana Bait 1–52 berisi kisah bahwa Gusti Gde Mangku menenangkan istrinya dengan mengambil contoh jangankan manusia seperti dirinya, Dewa Indra saja bisa melakukan kesalahan dan terhukum lama sekali di dasar laut. Sorga tanpa pemimpin sehingga diangkatlah Nahusa sebagai raja. Nahusa lama sekali memegang pemerintahan di Sorga dan banyak bidadari menjadi jamahannya. Pada suatu saat, Nahusa melihat Dewi Saci (istri Dewa Indra) dan ia jatuh cinta serta hendak memaksa Dewi Saci menjadi istrinya. Perbuatan buruk Nahusa menyebabkan Dewi Saci mengadu dan minta pertolongan kepada Bhagawan Wrehaspati untuk mencari Bhatara Indra. Bhagawan Wrehaspati ber-yoga, maka diketahuilah keberadaan Dewa Indra atas petunjuk Dewi Uma (istri Dewa Çiwa). Pupuh Smarandhana yang digunakan dari bait 1– 52 tepat sekali melukiskan kesedihan karena asmara. (3) Pupuh Ginanti Bhagawan Wrehaspati bersama Dewi Saci (juga disebut Sang Dewi Ratih) memohon pertolongan kepada Dewi Uma. Akhirnya, diberitahukanlah tempat sembunyi Dewa Indra. Setelah bertemu disampaikanlah permasalahan yang ada. Dewa Indra membuat rencana, yakni Dewi Saci disuruh memenuhi permintaan Nahusa tetapi pada saat pernikahan, Dewi Saci harus duduk di atas (disunggi) para Rsi. Rencana pun dijalankan dan Nahusa menerima persyaratan tanpa pikir panjang. Kemudian dikumpulkanlah semua para Rsi. Setelah diketahui perintah Nahusa, maka para Rsi menolak. Nahusa mengamuk para Rsi dan para Rsi mengutuk Nahusa supaya turun ke bumi menjadi ular yang sangat kecil dan menderita selama 1000 tahun (bait 1 – 47). Begitulah kisah Dewi Saci. Itulah yang semestinya dipergunakan sebagai pedoman hidup. Hidup ini perlu banyak belajar. Jika anak selalu berbuat yang tidak baik, maka itu cermin dari orang tuanya. Berbuatlah sesuai ajaran sastra (baca agama), sebab hidup ini pada akhirnya akan mati (bait 48 – 63). Kisah yang dilukiskan pada bait 1–63 dengan menggunakan pupuh Ginanti tepat sekali melukiskan rasa senang, rasa cinta kasih dan
Perempuan dalam Geguritan Bali 33 tepat menguraikan ajaran dan filsafat. Ajaran dan filsafat hidup yang disampaikan di dalamnya ditujukan kepada istri Gusti Gede Mangku dan istri- istri pada umumnya. 7) Geguritan Dyah Arini Geguritan Dyah Arini menggunakan pupuh Demung 1 sebanyak 44 bait dan pupuh Demung 2 sebanyak 11 bait, pupuh Sinom sebanyak 18 bait, pupuh Pangkur sebanyak 25 bait, dan pupuh Gagak Amanis sebanyak 16 bait. Selanjutnya, dibahas penggunaan setiap pupuh yang digunakan pada Geguritan Dyah Arini. (1) Pupuh Demung Pada penggunaan pupuh Demung 1, yakni dari bait 1–44 berkisah tentang seorang pertapa bernama Trenawindu yang bertapa di gunung Imawan. Tapanya berhasil dan ia dapat menggunakan penglihatannya (mata batin) sekehendak hati. Ia termasyur sampai ke Indraloka. Karena itu, Sang Hyang Indra membuat upaya untuk menggoda tapa Trenawindu. Ditugaskanlah bidadari bernama Dyah Arini. Dyah Arini tidak berani menolak perintah dan ia telah merasa akan terjadi bencana pada dirinya. Pada penggunaan pupuh Demung 2, yakni dari bait 1–11 berkisah tentang kesedihan dan penyesalan Dyah Arini karena berbuat salah atas perintah Hyang Indra. Ia memohon maaf kepada Sang Padanda. Sang pertapa luluh hatinya. Ia melihat Dyah Arini sebenarnya utama, karena itu ia menasihati Dyah Arini untuk mencari keluarga Ragu, seorang raja besar bernama Sang Jakaloka untuk dijadikan tempat lahir kembali (punarbawa) sebagai manusia. Penggunaan pupuh Demung dalam Geguritan Dyah Arini sangat tepat sebab menimbulkan pencerahan batin. Pencerahan batin terjadi pada Dyah Arini sehingga ia tidak menyesal menjelma ke dunia. (2) Pupuh Sinom Pada penggunaan pupuh Sinom bait 1–18 mengisahkan tentang setibanya Dyah Arini di pertapaan Trenawindu, ia melihat Sang Tapa sedang berdoa memuja Hyang Çiwa. Kemudian dilihatnya Dyah Arini, dan ditanyai dengan ramah tamah, namun Beliau telah mengetahui Dyah Arini sebagai duta Hyang Indra. Karena itu Dyah Arini menangis sangat sedih. Penggunaan pupuh Sinom di sini sangat sesuai dengan fungsinya yaitu berwatak ramah tamah sehingga si tokoh dapat bercakap-cakap secara sahabat. (3) Pupuh Pangkur Penggunaan pupuh Pangkur bait 1–25 berkisah tentang bahwa maksud kedatangan Dyah Arini adalah untuk mengabdi kepada
Ni Nyoman Karmini 34 Trenawindu atas perintah Sang Hyang Darma. Tetapi kedatangan Dyah Arini telah diketahui oleh Trenawindu atas tugas Hyang Indra untuk menghancurkan tapanya bukan tugas dari Hyang Darma. Karena itu, Trenawindu sangat marah. Dyah Arini dikutuk tidak bisa kembali ke Suraloka tetapi menjadi manusia sehingga merasakan betapa susahnya menjalani kehidupan ini. Penggunaan pupuh Pangkur di sini sangat sesuai dengan wataknya yakni menyampaikan perasaan hati yang memuncak. Dalam hal ini perasaan sangat marah Trenawindu kepada Dyah Arini sehingga ke luar kata kutukan. (4) Pupuh Gagak Manis Pupuh ini digunakan sebanyak 16 bait, yang berkisah tentang kesedihan Dyah Arini karena kutukan yang diterimanya. Ia menyampaikan penyesalannya dengan sejujurnya dan lemah lembut sekaligus berpesan kepada Trenawindu dan pesannya tidak boleh dilupakan. Penggunaan Pupuh Gagak Amanis sangat tepat sebab dengan kejujuran Dyah Arini, Bhagawan Trenawindu menjadi luluh hatinya dan rasa marahnya hilang sama sekali. Dengan demikian, pencerahan batin pun terjadi. 8) Geguritan Cilinaya (1) Pupuh Sinom 1 Bait 1–20 berisi kisah tentang raja Daha. Raja mempunyai 100 istri. Salah satunya adalah I Liku. I Liku menggunakan guna-guna sehingga raja sangat menyayanginya. I Liku sering memfitnah permaisuri sehingga raja sering menyiksa permaisuri. Lama-kelamaan raja memerintahkan untuk membuang permaisuri beserta putrinya ke tengah hutan. Pupuh Sinom yang digunakan dari bait 1–20 kurang tepat dengan watak Sinom yang ramah tamah, meresap sedap. Bait-bait itu tidak tepat untuk menyampaikan amanat, nasihat, atau bercakap-cakap secara sahabat. (2) Pupuh Ginada Bait 1–156 mengisahkan bahwa permaisuri dan putri telah lama di hutan. Mereka kehabisan makanan. Permaisuri sangat sedih dan sang putri menangis karena lapar. Singkat cerita, permaisuri meninggal dan tinggallah sang putri sendirian. Kemudian datang Ki Dukuh memungut untuk dijadikan anak yang diberi nama I Cilinaya. Beberapa tahun kemudian, putri telah remaja dan cantik luar biasa. Ki Dukuh diberitahu keberadaan putri tetapi harus tetap disembunyikan. Pada suatu saat, putra kerajaan Jenggala yang bernama Raden Jayasemara berburu ke hutan. Bertemulah dengan I Cilinaya di pondok Ki Dukuh. Jayasemara memperistri I Cilinaya. Telah beberapa lama pernikahan mereka, Cilinaya mempunyai seorang anak laki-laki. Raja yang tidak setuju Raden Jayasemara beristrikan orang yang tidak jelas asal-asulnya, menugaskan
Perempuan dalam Geguritan Bali 35 Jayasemara ke hutan berburu kidang kencana. Pada saat itulah, I Cilinaya dan putra dibawa ke hutan Pandan Sekar untuk dibunuh. Telah senja hari, Jayasemara belum juga mendapat buruan. Ia beristirahat di rumah I Dukuh dan bermimpi buruk. Mimpinya diceritakan kepada Punta Kartala. Karena itu, mereka tergesa-gesa pulang. Istri dan anak tidak ada dan ditemui sehelai surat di bawah bantal. Kemudian Jayasemara menugaskan Inya untuk menyampaikan permohonan dirinya untuk pergi selamanya kepada Raja. Jayasemara berangkat mencari istri dan anaknya. Singkat cerita telah sampai di tempat mayat sang istri dan diketahui sang putra masih hidup. Jayasemara sesambatan dan ingin mati pula, saat itu pula ia pinsan. Hyang Giri Putri turun ke bumi untuk menghidupkan I Cilinaya atas perintah Hyang Çiwa. Melihat Jayasemara pinsan lalu disadarkan. Akhirnya, mereka kembali pulang. Namun, ada perintah lagi dari raja supaya Jayasemara ke hutan mencari burung perkutut dan tidak dapat dihalangi oleh I Cilinaya. I Cilinaya sedih dan mau bunuh diri. Pupuh Ginada yang digunakan pada bait 1–156 sangat tepat menggambarkan kesedihan, hati merana atau kecewa. (3) Pupuh Sinom 2 Bagian ini hanya memuat 1 bait, yang menyatakan bahwa Jayasemara berusaha membujuk istrinya supaya tidak bunuh diri dan supaya tetap memelihara anak serta selalu berdoa. I Cilinaya berkata sambil menangis dan Jayasemara menciumi sang istri. Pupuh Sinom yang digunakan ini sangat tepat karena berisi amanat, nasihat. 9) Geguritan Dewi Sakuntala (1) Pupuh Sinom Bait 1– 3 penulis Geguritan Sakuntala dengan kerendahan hati memohon maaf atas keberaniannya menulis geguritan ini. Bait 4–22 mengisahkan Prabu Duswanta Raja Hastinapura, raja yang memiliki kekuasaan yang besar, bijak. Negara dan rakyat sejahtera sehingga tidak ada Negara lain yang berani memusuhinya. Pada suatu saat, Beliau berburu ke hutan di kaki Gunung Himawan. Hutan sangat indah, sangat mempesona sebab banyak macam bunga dan buah-buahan tumbuh di sana serta bermacam-macam binatang, yang hidup saling menyayangi. Hal itu disebabkan oleh Sang Wiku, pertapa yang putus. Prabu Duswanta ingin mengenal Sang Wiku, karena itu Beliau masuk ke pasraman tetapi Sang Wiku pemilik per-tapa-an tidak ada. Yang ke luar seorang gadis sangat cantik. Raja bertanya banyak hal tentang sang gadis. Pupuh Sinom yang digunakan di sini sangat tepat melukiskan keramahtamahan dan bercakap-cakap secara sahabat. (2) Pupuh Pangkur Bait 1–15 mengisahkan bahwa Raja berminat sekali mengetahui
Ni Nyoman Karmini 36 keberadaan sang gadis, sehingga seorang Mpu mengisahkan tentang kelahiran Sakuntala, yakni hasil perkawinan Wiswamitra (seorang raja menjadi per-tapa, yang termasyur sampai ke Indraloka) dengan Menaka (bidadari yang bertugas menggoda Wiswamitra). Pupuh Pangkur yang digunakan pada bait-bait ini sangat tepat melukiskan perasaan hati yang memuncak karena asmara. (3) Pupuh Semarandhana Bait 1–8 masih mengisahkan kelahiran Sakuntala. Bait 9–20 Raja merayu karena jatuh cinta dan memaksa kawin. Sakuntala memenuhi keinginan Raja dengan syarat anak mereka akan menjadi putra mahkota. Perkawinan pun terjadi tanpa sepengetahuan Sang Wiku. Setelah itu, Raja pun kembali ke Hastinapura. Bait 1–20 sangat tepat melukiskan sesuatu yang memikat hati karena asmara. (4) Pupuh Misalangit Setelah Raja kembali ke Hastinapura, Sang Bhagawan datang dan Beliau telah mengetahui kebenaran yang terjadi. Beberapa lama, Sakuntala melahirkan seorang putra tampan yang diberi nama Sarwadamana. Sarwadamana telah berusia enam tahun, namun Prabu Duswanta tidak pernah kembali ke pasraman. Karena itu, Sang Bhagawan menyuruh Sakuntala dan Sarwadamana ke Hastinapura disertai seorang murid. Bait 1–14 Pupuh Misalangit tepat digunakan untuk menyampaikan ajaran, nasihat sehingga tepat untuk memberikan pencerahan batin. (5) Pupuh Durma Berangkatlah Sakuntala ke Hastinapura. Raja sedang di hadap para mentri. Sakuntala, Sarwadamana dan seorang murid menghadap Raja. Sakuntala langsung menyampaikan perjanjian yang pernah dilakukan dahulu dengan Raja Hastinapura. Raja sangat marah mendengarkan hal itu dan tidak mengakui istri serta mengusir Sakuntala. Melihat kemarahan Raja, Sakuntala sangat sedih sekaligus marah dan menggugat seorang Raja besar yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Raja pun bertambah marah dan mengusir Sakuntala dan Sarwadamana. Sakuntala semakin sedih. Saat itu pula, terdengar sabda dari langit. Semua yang hadir mendengarkan. Akhirnya, Raja mengakui Sakuntala istri dan Sarwadamana anak. Selanjutnya, kerajaan diperintah oleh Sarwadamana dengan nama Sang Bharata, yang menurunkan keluarga bharata. Bait 1–45 sangat tepat menggambarkan watak yang keras dan kemarahan sesuai watak pupuh Durma. Penggunaan Gaya Bahasa Unsur bahasa sebagai medium dalam karya sastra tidak dapat diabaikan ketika menganalisis sebuah karya sastra. Menurut Teeuw
Perempuan dalam Geguritan Bali 37 (1983:1), hal itu harus dilakukan mengingat sastra umumnya adalah penggunaan bahasa dan penjelmaan bahasa yang khas ini tidak mungkin dipahami dengan sebaik-baiknya tanpa pengertian, tanpa konsepsi bahasa yang tepat. Teeuw (1983:19) juga menyarankan agar dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra, selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, perlu juga pengetahuan mengenai kode bahasa. Dalam melakukan analisis terhadap sebuah karya sastra, perlu ada penjelasan pesan atau maksud karya dengan bentuk bahasa yang umum dipakai. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra, yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip deviasi atau penyimpangan. Efek sastra yang hendak dicapai dalam prinsip kesepadanan (ekuivalensi) ditimbulkan oleh kesepadanan antarunsur bahasa, sedangkan efek kesastraan yang hendak dicapai dalam prinsip penyimpangan (deviasi), ditimbulkan oleh penyimpangan penggunaan bahasa biasa. Perlu ditekankan di sini bahwa penelitian ini berfokus hanya pada masalah perempuan dan keperempuanan. Di sini juga dipandang perlu dibicarakan mengenai gaya bahasa, sebab gaya bahasa merupakan salah satu pembentuk keindahan dalam karya sastra. Soetarno (1967:15) dengan menyitir pendapat Slamet Mulyana, menyatakan bahwa gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang hidup dalam hati pengarang, yang menimbulkan perasaan tertentu dalam hati, sedangkan Keraf (1981:99), menyatakan gaya bahasa sebenarnya merupakan bagian dari pilihan kata yang mempersoalkan cocok-tidaknya pemakaian kata, frase atau klausa tertentu, untuk menghadapi situasisituasi tertentu. Dengan demikian, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, bukan hanya meliputi unsur-unsur kalimat saja. Berkaitan dengan itu, maka di bawah ini dipaparkan hanya beberapa gaya bahasa yang paling dominan digunakan dalam teks geguritan yang dikaji. (1) Gaya bahasa Persamaan atau Simile Gaya Persamaan atau Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu digunakan kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana (Keraf, 1981: 123). Gaya Simile ini terdapat dalam teks geguritan yang dikaji dengan menggunakan bahasa daerah sebagai mediumnya. Di bawah ini dikutip beberapa contoh gaya Simile yang digunakan dalam geguritan-geguritan yang disebutkan. 1) Geguritan Dreman …, Wijasekar mawak guna, saksat ipun Rangden Jirah (bait 45 pupuh Adri 1). Dalam kutipan tersebut, pengarang membandingkan Wijasantun
Ni Nyoman Karmini 38 (istri kedua I Jatiraga) dengan Rangda Jirah, karena Wijasantun menggunakan guna-guna untuk menundukkan suaminya supaya patuh kepada dirinya. Rangda Jirah dipergunakan sebagai perbandingan karena ia sangat menguasai ilmu hitam dalam cerita Calon Arang. Rangda Jirah disebut juga Calon Arang adalah tokoh perempuan dari Jirah yang bila marah atau tersinggung, ia dapat melakukan apa saja dengan ilmu hitamnya untuk menyakiti orang-orang termasuk membunuhnya. ..., madun Gusti Suanggadarma, saksat toya upaminya (bait 59 pupuh Adri 1). Kutipan tersebut di atas, digunakan oleh pengarang untuk membandingkan kebaikan-kebaikan I Sanggadarmi (istri pertama I Jatiraga), yang seperti air (saksat toya). Air dapat memberikan kesejukan, menghapus dahaga semua ciptaan Tuhan tanpa pilih kasih, tanpa membedakan yang baik atau pun yang buruk. 2) Geguritan Diah Sawitri ..., pradnyan lir Wrehaspatiku, sura dira kadi Indra, ... (bait 23 pupuh Ginada). Kutipan di atas digunakan oleh pengarang untuk membandingkan keahlian Satyawan dengan Bhagawan Wrehaspati (petinggi di kerajaan Suralaya) serta keteguhannya seperti Dewa Indra (Raja Indraloka). 3) Geguritan Damayanti ..., yening Ratu ratna wadhu, dados prameswarin ida, janten raris jegeg baguse matemu, yan rerehang pangupama, nenten pendah Smara Ratih (bait 7 pupuh Pangkur 1). Kutipan di atas digunakan untuk melukiskan kecantikan Damayanti dan ketampanan Prabhu Nala jika bersatu, yang dibandingkan dengan Sang Hyang Smara Ratih. 4) Geguritan Ni Candrawati Warnane luih sura sara, ayune tan pendah Ratih, ..., (bait 5 pupuh Ginada). Kutipan di atas digunakan oleh pengarang untuk melukiskan kecantikan Ni Candrawati dengan membandingkannya dengan telaga dewa (sura sara) serta Dewi Ratih pasangan hidup (sakti) Sang Hyang Smara. 5) Geguritan Brayut ..., yen nyarere maliat, maseledet buka tatit, ... (bait 42 pupuh Sinom Tikus Kabanting). …, muanyane melok lumlum, buka bulane purnama, … (bait 44 pupuh Sinom Tikus Kabanting). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan kecantikan
Perempuan dalam Geguritan Bali 39 anak-anak Brayut yang sedang menginjak remaja, yang dilukiskan dengan cara membandingkan (Simile), yakni lirikannya secepat kilat (maseledet buka tatit) serta wajahnya bulat dan bercahaya sangat lembut dan menyejukkan (buka bulane purnama). 6) Geguritan Saci …/ manglemesin Dewi Sacya/ buka i kedis kakelik/ nene di guleme sawat/ munyine ngolasang ati (bait 31 pupuh Ginanti). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan Nahusa sedang merayu Dewi Saci dengan kata-kata yang menimbulkan rasa kasihan, yang dilukiskan dengan cara membandingkan, yakni … buka i kedis kakelik/ munyine ngolasang ati 7) Geguritan Dyah Arini Sang Hyang Indra manis wijil pawacana/ buka mahembah juruh/ makretesan madu/ ... / (bait 6 pupuh Demung 1). Kutipan di atas digunakan oleh pengarang untuk melukiskan bahwa seorang pemimpin atau seorang atasan yang berusaha menjaga wibawa kekuasaannya dengan melimpahkan tugasnya kepada bawahannya demi keajegan wibawanya sebagai seorang atasan. Dalam pelimpahan tugas tersebut, kata-kata manis luar biasa sudah tentu menyertainya tanpa pertimbangan risiko yang akan ditanggung oleh si penerima tugas, yang disampaikan dengan menggunakan gaya Simile, yakni seperti (buka) dialiri (mahembah) gula cair (juruh) dan diperciki madu (makretesan madu). 8) Geguritan Cilinaya ..., batis tulen embung petung, tur kakah kacicingan... (bait 2 pupuh Sinom 1). …, kadi sekar nedeng kembang, … (bait 23 pupuh Sinom 1). Kutipan tersebut di atas digunakan pengarang untuk melukiskan bentuk kaki I Liku yang besar seperti bambo petung, kulitnya bersisik serta urat-uratnya kelihatan. Dengan menggunakan gaya Simile tersebut, pembaca dapat membayangkan betapa jelek dan tidak menariknya I Liku. Pelukisan kecantikan dan keremajaan I Cilinaya (Galuh Daha) digunakan gaya Simile oleh pengarang, yang berbunyi kadi sekar nedeng kembang (seperti bunga yang baru mekar). 9) Geguritan Sakuntala Ayune tan patandingan/ tan pendah sira apsari/ turun maring Indraloka/ ... (bait 14 pupuh Sinom). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan kecantikan Sakuntala dengan cara membandingkannya (gaya Simile) dengan bidadari