The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-Book Perempuan dalam Geguritan Bali

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by E-Library IKIP Saraswati, 2024-01-22 22:02:33

Perempuan dalam Geguritan Bali

E-Book Perempuan dalam Geguritan Bali

Ni Nyoman Karmini 290 dari siksaan neraka untuk tinggal bersama-sama di Meru Emas atas anugerah Hyang Indra. 2) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri sebagai tokoh perempuan mampu melakukan tugas yang berat. Ia melakukan tapa brata selama tiga hari tiga malam, mampu melaksanakan perjalanan jauh bersama-sama dengan Dewa Yama sambil menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran sejati lewat dialognya dengan Dewa Yama sehingga Sawitri mendapat lima anugrah termasuk suaminya dihidupkan kembali. 3) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Damayanti Damayanti adalah tokoh perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat sebagai seorang istri satia (satyeng laki) pada saat keluarganya cerai berai. Damayanti mampu melakukan segala cara untuk dapat bertemu lagi dengan suaminya (Prabhu Nala). Damayanti siap menjadi jaminan dalam perjudian merebut kembali kerajaan suaminya. Setelah kerajaan diperoleh kembali, ia turut serta melakukan tugas kerajaan untuk membuat rakyatnya damai dan sejahtera. 4) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati sebagai tokoh perempuan mampu melaksanakan tugas berat. Ia menerima putusan dibuang ke hutan oleh kakaknya untuk mempertanggungjawabkan musibah yang menimpa dirinya (hamil karena dijamah oleh Hyang Semara saat memuja) tanpa mau melibatkan orang lain. 5) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Brayut Men Brayut sebagai tokoh perempuan mampu melaksanakan tugas berat sebagai seorang ibu yang dikerumuni oleh tujuh belas anak dan satu lagi masih dalam kandungannya. Men Brayut mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu dalam mengasuh anaknya, mampu melewati masa-masa berat dan memusingkan, seperti saat anak-anaknya rewel, menangis, minta ini minta itu, dan lain-lain hingga anak-anaknya dewasa dan berkeluarga. 6) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Saci Dewi Saci sebagai tokoh perempuan mampu melaksanakan tugas berat demi kedamaian Suralaya dan para Dewa serta demi kembalinya


Perempuan dalam Geguritan Bali 291 Dewa Indra (suaminya) untuk menjadi raja di Suralaya. Dewi Saci mampu melepaskan diri dari Nahusa yang ingin memperkosanya. Dewi Saci berhasil meminta bantuan kepada Bhagawan Wrehaspati dan Hyang Umasruti sehingga dapat bertemu dengan Dewa Indra. Dewi Saci berhasil membuat Nahusa dikutuk menjadi ular oleh para Resi sehingga kesewenang-wenangannya dapat diatasi. 7) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Dyah Arini Dyah Arini adalah tokoh perempuan yang mampu menerima tugas atasan yang dibebankan kepada dirinya untuk menggoda tapa Bhagawan Trenawindhu walaupun gagal dalam pelaksanaannya sehingga ia tidak dapat kembali lagi ke Suralaya sebagai bidadari. Dyah Arini juga mampu menerima kutukan untuk menjadi manusia dan kutukan akan berakhir jika telah bersuami dan mempunyai satu anak. 8) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Cilinaya Cilinaya sebagai tokoh perempuan mampu melaksanakan tugasnya sebagai seorang anak yang dipungut oleh I Dukuh. Cilinaya mampu melaksanakan tugasnya dalam mensejahterakan kehidupan I Dukuh. Cilinaya juga mampu tugasnya sebagai ibu dan sebagai istri demi cinta kasihnya kepada suami dan anaknya. 9) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Dewi Sakuntala Dewi Sakuntala adalah tokoh perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat sebagai seorang ibu yang single parent walau hanya sampai usia sang anak enam tahun. Dewi Sakuntala juga mampu melakukan tugas berat, yakni melakukan perjalanan jauh menuju istana Hastina. Dewi Sakuntala juga mampu melaksanakan tugas berat dalam hal menuntut janji Duswanta di hadapan para petinggi kerajaan Hastina. Sakuntala juga mampu menerima hinaan-hinaan Duswanta kepada dirinya hingga ia dan anaknya diakui oleh Duswanta dan anaknya menjadi raja bernama Bharata. Sosok Perempuan yang Mampu Mempertahankan Citra Diri Kata citra dipaparkan dalam KBBI (Depdikbud, 1996:192), adalah kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Berkaitan dengan hal itu, berikut ini dipaparkan mengenai sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri yang terdapat dalam teks yang dikaji.


Ni Nyoman Karmini 292 1) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Dreman I Suanggadarmi sebagai tokoh perempuan mampu mempertahankan citra diri dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan terhormat, perempuan yang taat pada ajaran, perempuan yang mempunyai kesabaran sangat tinggi, perempuan yang punya harga diri. Dengan kemampuan dalam mempertahankan citra dirinya itulah, I Suanggadarmi memperoleh surga dan mampu menolong suaminya dari neraka setelah ia meninggal. Sebaliknya, I Wijasantun merupakan perempuan yang tidak mampu atau perempuan yang sangat lemah. I Wijasantun sangat tergantung pada benda-benda yang disebut gunaguna untuk dapat menarik perhatian dan kasih sayang suaminya. Dengan diperalat oleh benda-benda tersebut, I Wijasantun menjadi perempuan sombong, pendengki, iri hati sehingga orang-orang sekitarnya menjadi tidak senang melihat perilakunya. Dengan perilaku seperti itu, I Wijasantun memperoleh siksaan selama seribu tahun di neraka. Suaminya pun tidak mampu menolongnya dari siksaan neraka. 2) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra dirinya dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan terhormat yang tercermin melalui jalan hidup yang ditempuhnya. Sawitri adalah perempuan yang melaksanakann dharma dalam hidupnya sehingga Hyang Yama pun merasa senang dan menghormatinya sebagai perempuan satia, patibrata. Dengan demikian, Hyang Yama menganugrahinya lima macam anugrah termasuk suaminya dihidupkan kembali. 3) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Damayanti Damayanti adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra dirinya dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan terhormat, sebagai perempuan satia, yang tercermin dalam kehidupannya. Dalam penderitaan yang dialaminya, Damayanti tetap mampu menunjukkan kesetiaannya dan selalu memikirkan keadaan suaminya yang berada hentah di mana. Damayanti mampu melakukan segala cara untuk mengetahui keberadaan suaminya sehingga suaminya ditemukan kembali. Hidup mereka pun berbahagia lagi setelah sekian lama menderita dan cerai berai akibat ulah Hyang Kali. 4) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Ni Candrawati


Perempuan dalam Geguritan Bali 293 Ni Candrawati adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra dirinya dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan yang terhormat dan melaksanakan dharma. Candrawati mampu menerima keputusan dibuang ke hutan dan mampu bertanggung jawab atas musibah yang terjadi di luar kemauannya tanpa mau melibatkan orang lain. 5) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Brayut Men Brayut adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra diri dan jati dirinya. Ia perempuan yang kuat, perempuan yang sabar, perempuan yang tahan uji selama membesarkan ke delapan belas anaknya, sehingga akhirnya kehidupan mereka sejahtera dan bahagia. 6) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Saci Dewi Saci adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra dirinya dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan yang terhormat; sebagai pelaksana dharma; sebagai perempuan satia, patibrata, dan perempuan yang punya harga diri. Untuk mengatasi masalah yang terjadi di Suralaya dan terjadi pada dirinya, Dewi Saci melaporkan permasalahan yang dihadapinya kepada Bhagawan Wrehaspati sebagai petinggi kerajaan di Suralaya dan juga memohon bantuan untuk menemukan suaminya (Dewa Indra). Kemudian, ia menolong para Dewa yang terancam oleh kesewenang-wenangan Nahusa serta menjalankan siasat sehingga kekuasaan Nahusa menjadi hancur. 7) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Dyah Arini Dyah Arini adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra diri, mempunyai harga diri, dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan terhormat. Dyah Arini melaksanakan tugas sesuai kemampuannya walaupun gagal tetapi ia mampu meninggalkan pesan yang harus dilaksanakan oleh Bhagawan Trenawindhu dan mampu mempertanggungjawabkan kegagalannya. Dyah Arini harus menjelma menjadi manusia karena dikutuk oleh Bhagawan Trenawindhu akibat dari tugas diembannya. Dyah Arini dapat kembali sebagai bidadari setelah ia bersuami dan mempunyai anak satu. 8) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Cilinaya Cilinaya sebagai tokoh perempuan mampu mempertahankan citra diri, mempunyai harga diri, dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan terhormat. Sebagai anak pungut, Cilinaya berusaha


Ni Nyoman Karmini 294 keras untuk mensejahteraan kehidupan I Dukuh. Sebagai istri Raden Jayasemara, ia juga berusaha untuk mempertahankan citra dirinya sehingga Cilinaya sangat disayang dan dihormati oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Akan tetapi situasi seperti itu tidak disukai oleh mertuanya. Karena itu, Cilinaya dibunuh oleh Patih atas perintah mertuanya, tetapi Cilinaya dihidupkan kembali oleh Hyang Giri Putri karena ia tidak berdosa. Akhirnya, Cilinaya sanggup menjalankan kehidupan ini dengan kesabaran dan ketabahan hati disertai kasih sayang suami dan anaknya. 9) Sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri terdapat dalam Geguritan Dewi Sakuntala Sakuntala adalah tokoh perempuan yang mampu mempertahankan citra diri, mempunyai harga diri, dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan yang kuat dan terhormat. Sakuntala yang didesak oleh Duswanta menerima perkawinan tanpa saksi, namun Sakuntala mampu mengikat Duswanta dengan janji bahwa anak mereka yang akan menjadi pengganti Duswanta sebagai raja. Sakuntala menjadi orang tua tunggal sampai usia sang anak enam tahun sebab Duswanta tidak pernah datang sesuai janjinya. Oleh karena itu, Sakuntala memutuskan untuk datang ke Hastina menuntut janji dimaksud. Sakuntala berusaha sekuat kemampuannya menuntut janji raja walaupun ia dihina di hadapan orang banyak. Akhirnya, perjuangan Sakuntala berhasil, ia dan anaknya diakui oleh raja dan Sarwadamana pun menjadi raja dengan nama Bharata. Sosok Perempuan yang Tahan Uji Dalam KBBI (Depdikbud, 1996:989), tahan uji diartikan sudah terbukti kebaikannya (mutunya, kekuatannya); berani diuji; sanggup diuji. Berkaitan dengan pengertian tersebut, berikut ini dipaparkan mengenai sosok perempuan yang tahan uji yang terdapat dalam teks yang dikaji. 1) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Dreman I Suanggadarmi adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Suanggadarmi telah membuktikan dirinya sebagai perempuan terhormat. Dengan prinsip meguru laki, Suanggadarmi telah membuktikan dirinya sebagai istri dari suami. Dengan prinsip seperti itu, Suanggadarmi telah melakukan segala hal untuk suaminya sesuai dharma-nya sebagai seorang istri. Suanggadarmi juga menganggap bahwa madunya adalah adiknya. Oleh karena itu, ia selalu mengalah walaupun diperlakukan tidak baik oleh madunya. Suanggadarmi telah membuktikan bahwa dirinya tahan uji, sebab ia mampu mengangkat roh suaminya dari neraka dan diajak


Perempuan dalam Geguritan Bali 295 bersama-sama tinggal di Meru Emas. 2) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Hal ini terbukti dari keberhasilannya melakukan tapa brata untuk menghindarkan kematian suaminya. Keberhasilan tapa brata Sawitri, menyebabkan ia dapat melihat dan mendapat izin untuk bercakap-cakap dengan Hyang Yama. Berkali-kali Sawitri disuruh membakar mayat suaminya, ia tetap menolak dan memilih mengikuti perjalanan Hyang Yama. Demikian seterusnya, sehingga Sawitri mendapat lima macam anugerah dari Hyang Yama termasuk suaminya dihidupkan kembali. 3) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Damayanti Damayanti adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Damayanti mampu menderita bersama suaminya terlunta-lunta di hutan tanpa makan dan minum. Setelah Prabhu Nala pergi, Damayanti tidak pulang ke Widarbha, melainkan melanjutkan terus pencaharian terhadap suaminya. Pada saat dililit ular, Damayanti ditolong oleh pemburu, lalu ia hendak diperkosa oleh pemburu tersebut. Damayanti adalah perempuan satyeng laki dan patibrata, ia hanya menyerahkan kepada Tuhan. Damayanti mohon supaya Tuhan menghukum pendosa yang hendak menjamahnya. Permohonannya berhasil, pemburu tersebut mati sebelum menyentuh Damayanti. Damayanti terus melanjutkan perjalanan pencaharian suaminya. Ia pun hendak dibunuh oleh para pedagang tetapi ia dapat menyelamatkan diri dan mangajap tawang Hyang Catur Lokapala. Damayanti membuat siasat berupa sayembara untuk memancing kedatangan Prabhu Nala. Damayanti berhasil menyatukan kembali keluarganya dan negaranya pun dapat diperolehnya kembali. 4) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Sebagai putri raja, Ni Candrawati tidak mau menggunakan posisinya itu untuk mencari laki-laki sebagai penanggungjawab kehamilannya, tetapi ia juga tidak dapat membawa Hyang Semara ke hadapan keluarganya sebagai penanggungjawab kehamilannya. Candrawati siap menerima dibuang ke hutan sebagai hukuman atas musibah yang terjadi pada dirinya, tanpa melibatkan orang lain. 5) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Brayut Men Brayut adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Men Brayut mampu menjalankan kehidupan keluarganya yang sangat miskin dan dikerumuni oleh 18 orang anaknya. Men Brayut dapat menahan diri sehingga ia tidak menggugurkan kandungannya (brunaha). Selanjutnya, Men Brayut dan Pan Brayut membuat pedukuhan, kehidupannya damai


Ni Nyoman Karmini 296 dan sentosa. 6) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Saci Dewi Saci adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Dewi Saci menolak rayuan Nahusa, dan dapat melarikan diri ketika hendak diperkosa oleh Nahusa. Dewi Saci dapat datang ke dasar samudera atas bantuan Bhagawan Wrehaspati dan Hyang Umasruti. Dewi Saci berhasil menolong para Dewa yang gelisah dan menyelamatkan Suralaya dari kesewenang-wenangan Nahusa. Dewi Saci juga berhasil mengembalikan kekuasaan Dewa Indra (suaminya). 7) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Dyah Arini Dyah Arini adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Dyah Arini siap melaksanakan tugas yang diberikan oleh Hyang Indra walau ia tahu tugas itu berisiko tinggi. Tugasnya menggoda tapa Bhagawan Trenawindhu gagal. Dyah Arini dikutuk dan dibunuh. Dyah Arini siap dibunuh dan lahir ke dunia menjadi manusia. Sebelum dibunuh, ia berpesan dan pesannya harus dilaksanakan oleh Bhagawan Trenawindhu. 8) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Cilinaya Cilinaya adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Cilinaya sanggup menyejahterakan kehidupan I Dukuh. Setelah menikah, Cilinaya sanggup membuat orang-orang di sekitarnya senang dan menyayangi dirinya. Pada saat hendak dibunuh oleh Patih atas perintah orang tuanya, Cilinaya tidak menolak. Setelah dibunuh, Cilinaya dihidupkan kembali oleh Hyang Giri Putri atas perintah Hyang Çiwa sebab terbukti ia tidak berdosa. Cilinaya sanggup menjalankan kehidupannya dengan tabah dan pasrah demi membuktikan cintanya kepada suami dan anaknya. 9) Sosok perempuan yang tahan uji dalam Geguritan Dewi Sakuntala Dewi Sakuntala adalah tokoh perempuan yang tahan uji. Sakuntala berani menuntut janji seorang raja besar dan berkuasa bernama Duswanta. Walaupun dihina, diusir, Sakuntala tetap melaksanakan tuntutannya sehingga janji Duswanta terhadap dirinya dan anaknya terpenuhi, yakni Sarwadamana menjadi raja di Hastina dengan nama Bharata. Sosok Perempuan yang Sabar Dalam KBBI (Depdikbud, 1996: 857), sabar diartikan tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), sedangkan kesabaran diartikan ketenangan hati dalam menghadapi cobaan. Berkaitan dengan pengertian tersebut, di bawah ini dipaparkan mengenai sosok perempuan yang sabar yang terdapat dalam


Perempuan dalam Geguritan Bali 297 teks yang dikaji. 1) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Dreman I Suanggadarmi adalah tokoh perempuan yang sabar. Dengan prinsip meguru laki, I Suanggadarmi dapat dengan sabar menghadapi suaminya walaupun ia dicarikan madu. Suanggadarmi juga sabar sekali pada saat dihina, disindir, dimarahi, dijelek-jelekkan oleh madunya. Suanggadarmi tetap sabar melayani madunya pada saat sakit, sebab madunya dianggapnya sebagai adik. Suanggadarmi tetap sabar memohon supaya diizinkan bersama-sama suaminya tinggal di Meru Emas setelah mereka meninggal. Kesabaran Suanggadarmi memberikan kehidupan yang bahagia dan kekal di alam lain. 2) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri adalah tokoh perempuan yang sabar. Dengan prinsip melaksanakan ajaran trikaya parisuda, Sawitri sabar menghadapi penolakan orang tuanya saat Sawitri memilih Satyawan sebagai calon suaminya, dikarenakan Satyawan usianya hanya masih setahun. Sawitri juga sabar menghadapi penolakan orang tua Satyawan saat Sawitri hendak menikahi Satyawan, yang hanya karena merasa malu, sebab keluarga Satyawan tidak masih berkuasa sebagai seorang raja dan menjadi pertapa di hutan. Sawitri tetap sabar walau mertuanya meragukan kemampuannya dalam melakukan tapa brata selama tiga hari tiga malam demi keselamatan suaminya. Sawitri juga tetap sabar walau suaminya menolak ia untuk turut ke hutan hanya dengan alasan Sawitri tidak biasa berjalan di jalan yang sulit. Walaupun dengan bermacam-macam alasan dan berkali-kali disuruh kembali ke tempat mayat suaminya untuk membakar mayat suaminya, Sawitri tetap sabar dan tetap mengikuti perjalanan Hyang Yama, yang sedang membawa roh suaminya hingga Sawitri memperoleh lima anugrah termasuk suaminya dihidupkan kembali oleh Hyang Yama. Kesabarannya itu membuahkan kebahagiaan bagi seluruh orang yang dicintai Sawitri termasuk juga keturunannya berkat anugrah Hyang Yama karena keberhasilannya menjalankan subha karma dan melakukan tapa brata. 3) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Damayanti Damayanti adalah tokoh perempuan yang sabar. Damayanti sabar menghadapi penderitaan hidup bersama Prabhu Nala. Damayanti tetap sabar walaupun ditinggal oleh Prabhu Nala saat tertidur pulas di hutan. Damayanti tetap sabar melanjutkan perjalanan dalam pencaharian suaminya. Damayanti juga tetap sabar melakukan pembuktianpembuktian terhadap keberadaan Prabhu Nala yang diperkirakan menyamar menjadi Wahuka. Damayanti juga sabar saat dijadikan jaminan


Ni Nyoman Karmini 298 dalam perjudian untuk merebut kembali negaranya dari kekuasaan Puskara. Kesabarannya itu akhirnya berbuah kebahagiaan bagi keluarga dan seluruh rakyat Nisadha. 4) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati adalah tokoh perempuan yang sabar. Candrawati sabar menerima kehamilannya. Ia tidak berusaha berdalih dan tidak menggunakan statusnya sebagai putri seorang raja untuk menunjuk laki-laki sebagai penanggung jawab kehamilannya. Candrawati juga tidak berusaha melakukan brunaha sebab ia sangat memahami ajaran. Candrawati tidak takut dibuang ke hutan dan tidak mau melibatkan orang lain atas peristiwa yang dialaminya. Kesabarannya itulah menyebabkan Ni Candrawati dapat menerima pembuangannya dan tetap menjalankan kehidupan ini di hutan. 5) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Brayut Men Brayut adalah tokoh perempuan yang sabar. Men Brayut tidak pernah mengeluh atas kemiskinan keluarganya, tidak pernah mengeluh atas ketidaksempatannya merawat kecantikan dirinya, tidak pernah mengeluh atas kesibukannya mengurus anak-anaknya serta tidak melakukan brunaha untuk menghindari kepayahan dan kesusahannya memelihara anak-anaknya. Kesabarannya itu berbuah kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya. 6) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Saci Dewi Saci adalah tokoh yang sabar. Dewi Saci sabar menghadapi hilangnya Dewa Indra, sabar menghadapi godaan Nahusa, sabar dalam mengusahakan upaya menemukan Dewa Indra, sabar melakukan usaha dalam menghadapi Nahusa seorang raja lalim. Kesabaran Dewi Saci itu menyebabkan jatuhnya kesewenang-wenangan Nahusa dan Suralaya menjadi damai kembali setelah Dewa Indra bertahta lagi. 7) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Dyah Arini Dyah Arini adalah tokoh perempuan yang sabar. Dyah Arini sebagai bidadari yang berusaha menjalankan kebaikan dalam hidupnya tetapi ternyata takdirnya berbeda dari harapannya, yakni ia harus lahir ke dunia menjadi manusia. Dyah Arini sabar menerima takdir itu, yang bermula dari tugas yang diterimanya untuk menggoda tapa Bhagawan Trenawindu, kemudian mendapat kutukannya, lalu dibunuh oleh Sang Bhagawan. Kesabarannya itu akan membuat kutukannya sirna dan ia kembali menjadi bidadari setelah bersuami dan mempunyai satu anak. 8) Sosok perempuan yang sabar terdapat dalam Geguritan Cilinaya Cilinaya adalah tokoh perempuan yang sabar. Dalam tubuhnya


Perempuan dalam Geguritan Bali 299 yang masih sangat kecil, kesabaran telah ada pada diri Cilinaya karena ia telah mengalami penderitaan bersama ibunya saat dibuang ke hutan oleh ayahnya sendiri. Setelah menikah, Cilinaya juga sabar menghadapi duka kehidupan, yakni dibunuh oleh Patih atas perintah mertuanya sendiri. Setelah dihidupkan kembali oleh Hyang Giri Putri atas perintah Hyang Çiwa, Cilinaya tetap sabar menghadapi ancaman-ancaman yang mungkin terjadi pada dirinya maupun keluarganya. Kesabaran Cilinaya membuat ia menjadi tabah menghadapi kehidupan. 9) Sosok perempuan yang sabar dalam Geguritan Dewi Sakuntala Sakuntala adalah tokoh perempuan yang sabar. Sejak menikah secara gandarwa dengan Duswanta, Sakuntala dengan penuh kesabaran merawat kehamilannya sampai melahirkan. Sampai sang anak berusia enam tahun, Sakuntala tetap sabar merawat dan memelihara anaknya sendirian tanpa kehadiran Duswanta. Kesabaran Sakuntala telah sampai ke puncak, yang menyebabkan Sakuntala menuntut janji Duswanta. Sakuntala menggugah dan mengingatkan Duswanta akan janjinya kepada dirinya dan anaknya. Tuntutan atas janji dimaksud menyebabkan Sakuntala menerima penghinaan dan diusir, namun Sakuntala tetap sabar menghadapinya walau hatinya sangat sedih. Kesabaran Sakuntala menerima penghinaan dan diusir dengan kasar oleh Duswanta membuahkan hasil setelah raja mendengar sabda dari angkasa. Kesabaran itu pula membuat Sakuntala diterima sebagai istri oleh Duswanta dan anaknya Sarwadamana diangkat menjadi raja Hastina dengan nama Bharata. Sosok Perempuan yang Setia Dalam KBBI (Depdikbud, 1996: 932), setia diartikan berpegang teguh (dalam pendirian, janji, dan sebagainya), sedangkan kesetiaan berarti keteguhan hati. Berkaitan dengan pengertian tersebut, di bawah ini dipaparkan mengenai Sosok perempuan yang setia yang terdapat dalam teks yang dikaji. 1) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Dreman Suanggadarmi adalah tokoh perempuan yang setia. Suanggadarmi setia pada janji sebuah pernikahan. Suanggadarmi setia pada prinsip hidup yang dijalankannya, yakni mau memperbaiki kehidupan saat ini demi kehidupan mendatang. Suanggadarmi setia pada prinsipnya yakni meguru laki setelah menikah dengan suaminya. Kesetiaannya itu menyebabkan Suanggadarmi memperoleh tempat di surga dan tinggal di Meru Emas atas anugerah Hyang Indra. 2) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri


Ni Nyoman Karmini 300 Diah Sawitri adalah tokoh perempuan yang setia. Diah Sawitri setia pada bicaranya, pada tindakan, dan pada cara berpikirnya (trikaya parisuda). Diah Sawitri setia pada janjinya untuk menghindarkan suaminya dari kematian dengan cara melakukan tapa brata tiga hari tiga malam, dan pada hari keempat, Sawitri mengikuti suaminya pergi ke hutan sebab hari itu adalah hari kematian suaminya. Diah Sawitri setia pada janji dengan mengikuti terus perjalanan Hyang Yama yang membawa roh suaminya sambil mempercakapkan tentang kebenaran sejati di hadapan Hyang Yama hingga memperoleh lima anugrah termasuk suaminya dihidupkan kembali oleh Hyang Yama. Kesetiaan Diah Sawitri menyebabkan semua orang yang dicintainya hidup bahagia termasuk keturunannya akibat perilaku Diah Sawitri. 3) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Damayanti Damayanti adalah tokoh perempuan yang setia. Dengan prinsip satyeng laki, patibrata, Damayanti dapat menjalani dan melewati penderitaan hidup yang diterimanya akibat ulah Hyang Kali. Damayanti dapat berkumpul kembali dengan Prabhu Nala dan dapat memiliki keajaannya kembali lewat segala usaha yang dilakukannya. Kesetiaan Damayanti membuahkan kebahagiaan bagi keluarganya. 4) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati adalah tokoh yang setia. Ni Candrawati setia dan sangat paham pada ajaran agama. Candrawati setia pada keyakinan dirinya bahwa ia hamil karena dijamah oleh Hyang Semara. Oleh karena itu, ia tidak perlu berdalih dan mencari-cari laki-laki untuk mempertanggungjawabkan kehamilannya. Candrawati setia pada kata hatinya untuk menerima keputusan dibuang ke hutan oleh kakaknya. Candrawati setia pada pendiriannya bahwa takdirnya ia tanggung sendirian tanpa melibatkan orang lain. Kesetiaan yang dimiliki Ni Candrawati menyebabkan ia sabar dan tabah menghadapi penderitaan hidup dan takdirnya. 5) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Brayut Men Brayut adalah tokoh perempuan yang setia. Kesetiaan Men Brayut pada keyakinannya terhadap dosa melakukan brunaha menyebabkan Men Brayut tidak menggugurkan kandungannya hingga ia mempunyai anak sampai delapan belas orang. Kesetiaannya terhadap keyakinan itu pula menyebabkan keluarga Men Brayut mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. 6) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Saci Dewi Saci adalah tokoh perempuan yang setia. Dengan prinsip satyeng laki dan patibrata, Dewi Saci sanggup melaporkan kebejatan


Perempuan dalam Geguritan Bali 301 Nahusa sebagai raja. Dengan prinsip itu pula, Dewi Saci melaksanakan siasat untuk menjatuhkan kesewenang-wenangan Nahusa sehingga Suralaya damai kembali dan Dewa Indra kembali menduduki tahta. Kesetiaan Dewi Saci terhadap suaminya (Dewa Indra) menyebabkan para Dewa penghuni Suralaya aman dan Dewa Indra bertahta lagi. 7) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Dyah Arini Dyah Arini adalah tokoh perempuan yang setia. Dyah Arini setia kepada atasan. Oleh karena itu, ia menerima tugas yang bertentangan dengan jalan hidup yang dijalaninya demi terbayarnya utang budi kepada atasan. Dyah Arini menyadari dosa yang diperbuatnya kepada Trenawindhu. Ia menerima takdir lahir kembali ke dunia sebagai manusia. 8) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Cilinaya Cilinaya adalah tokoh perempuan yang setia. Dengan kesetiaan Cilinaya pada keyakinannya bahwa ia dapat hidup atas bantuan I Dukuh, maka Cilinaya berusaha membuat hidup I Dukuh sejahtera. Dengan kesetiaan Cilinaya pada keyakinannya bahwa ia tidak berdosa, ia menerima dibunuh oleh Patih atas perintah mertuanya. Setelah dihidupkan kembali oleh Hyang Giri Putri, Cilinaya tetap setia pada jalan kehidupan yang harus ditempuhnya yang menyebabkan ia sabar dan tabah menjalaninya. 9) Sosok perempuan yang setia terdapat dalam Geguritan Dewi Sakuntala Sakuntala adalah tokoh perempuan yang setia. Sakuntala setia pada janji Duswanta sehingga ia sabar merawat dan memelihara anaknya sendirian sampai berusia enam tahun. Karena kesetiaan Sakuntala terhadap janji bersama Duswanta, Sakuntala menggugah ingatan Duswanta atas janjinya dahulu. Untuk mempertahankan kesetiaannya terhadap janji dimaksud, Sakuntala rela dihina, diusir dengan kasar oleh Duswanta. Dengan kesetiaannya disertai usaha yang penuh perjuangan dan kesabaran terhadap sebuah janji yang harus dipenuhi oleh Duswanta, akhirnya Sakuntala mencapai pemenuhan sebuah janji sehingga Sarwadamana menjadi raja Hastina dengan nama Bharata. Sosok Keibuan pada Perempuan Dalam KBBI (Depdikbud, 1996:365), keibuan diartikan sifat-sifat ibu (lemah lembut, penuh kasih sayang). Ibu adalah orang perempuan yang telah melahirkan seseorang anak (Depdikbud, 1996:364) . Terkait dengan pengertian tersebut, di bawah ini dipaparkan mengenai Sosok perempuan keibuan yang terdapat dalam teks yang dikaji.


Ni Nyoman Karmini 302 1) Sosok keibuan pada perempuan terdapat dalam Geguritan Damayanti Damayanti sebagai tokoh perempuan juga seorang ibu dari dua orang anak, yakni Indrasena dan Dewi Indraseni. Damayanti sebagai seorang ibu berusaha melindungi sang anak dari penderitaan yang berkepanjangan karena semua harta dan negara habis akibat Prabhu Nala kalah berjudi dengan Puskara. Usaha yang dilakukan seorang ibu dalam melindungi putra putrinya sebagai wujud kasih sayangnya adalah dengan mengirim putra putrinya ke rumah orang tua Damayanti di Widarbha. Sebagai seorang ibu yang mencintai keluarganya, Damayanti berusaha dan berjuang keras untuk menyatukan kembali keluarganya. 2) Sosok keibuan pada perempuan dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati sebagai tokoh perempuan juga calon seorang ibu. Candrawati tidak mau melakukan brunaha. Hal ini dapat diartikan bahwa sifat keibuan telah ada pada dirinya. 3) Sosok keibuan pada perempuan terdapat dalam Geguritan Brayut Men Brayut sebagai tokoh perempuan sekaligus sebagai seorang ibu. Men Brayut tidak pernah mengeluh atas susah yang dialaminya dalam memelihara dan membesarkan anak-anaknya. Men Brayut tetap menjalani kehidupan ini bersama anak-anaknya dengan sederhana sesuai kemampuannya. Akhirnya, keluarganya dapat juga hidup sejahtera dan bahagia setelah anak-anaknya dewasa. 4) Sosok keibuan pada perempuan terdapat dalam Geguritan Cilinaya Cilinaya adalah tokoh perempuan yang sekaligus sebagai seorang ibu. Saat-saat mengalami kebahagiaan dalam rumah tangganya, Cilinaya harus mati dibunuh oleh Patih atas perintah mertuanya. Karena cinta seorang ibu kepada sang anak, Cilinaya meminta kepada Patih supaya tidak membunuh anaknya sebab dosa ibunya tidak perlu ditanggung oleh anaknya yang tidak berdosa. Selain itu, Cilinaya juga meminta supaya anaknya dibiarkan tetap menyusu setelah ia mati. 5) Sosok keibuan pada perempuan terdapat dalam Geguritan Sakuntala Sakuntala adalah tokoh perempuan yang juga seorang ibu. Penderitaan yang dialami Sakuntala selama mengandung, melahirkan, dan membesarkan anaknya sendirian, itu dapat dipandang sebuah cinta dari seorang ibu kepada anaknya. Cinta seorang ibu sangat besar pada anaknya. Karena cinta, Sakuntala berusaha dan berjuang keras menuntut janji Duswanta untuk mendudukkan anaknya di tahta kerajaan. Karena cinta pula, Sakuntala rela berkorban perasaan, dihina, diusir oleh Duswanta demi memperoleh status anaknya. Karena cinta pula, Sakuntala segera menghapus sakit hatinya untuk memaafkan Duswanta, yang hanya karena gengsi dan nama baiknya pada awalnya


Perempuan dalam Geguritan Bali 303 tidak mau mengakui Sakuntala sebagai istrinya dan Sarwadamana sebagai anaknya. Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa dalam teks geguritan yang dikaji dilukiskan tentang sosok perempuan yang kuat, yang berpendidikan, yang mampu menentukan sikap, yang mampu mengambil putusan, yang mampu melaksanakan tugas berat, yang mampu mempertahankan citra diri, yang tahan uji, yang sabar, yang setia, dan sosok sebagai ibu. Penggambaran tentang sosok perempuan tersebut di atas, sebagai cermin bahwa perempuan dapat pula melakukan sesuatu yang sangat berharga, sangat menentukan dan dapat menjadi pusat kekuatan dalam menentukan jalannya roda kehidupan dalam sebuah rumah tangga. Gambaran tentang perempuan tersebut di atas, walaupun hanya dalam teks dapat dijadikan sebuah cermin kehidupan perempuan secara umum dan perempuan Hindu di Bali secara khusus, sebab sastra mencerminkan kehidupan sosial dan budaya sekitarnya. Dari penggambaran tentang perempuan seperti telah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa penggambaran tersebut bertolak belakang dengan kesan stereotip yang bergema selama ini bahwa perempuan lemah, tidak berdaya, hanya nerimo, hanya bergantung kepada laki-laki, hanya diam atau tidak berani angkat bicara dan masih banyak lagi stereotip yang senada dengan itu, yang meminggirkan dan memarginalkan posisi perempuan. Tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan di atas adalah tokohtokoh perempuan yang luar biasa, yang dapat menjadi pusat atau subjek dalam peristiwa kehidupan yang dialaminya. Mereka sanggup melakukan hal-hal yang digambarkan dalam teks, sebab mereka menyadari bahwa menjalani kelahiran ini (reinkarnasi) merupakan kesempatan yang baik untuk memperbaiki kehidupan di masa datang. Kesadaran seperti itu timbul, karena tokoh perempuan dalam teks telah dilandasi oleh suatu ajaran agama yang mengarahkan mereka ke jalan yang baik untuk mencapai tujuan dari hidup ini, yaitu moksa. Mereka berperilaku subha karma, dengan dilandasi ajaran tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata dan dasa yama brata, baik dilukiskan secara tersurat maupun hanya tersirat dalam perilaku para tokoh perempuan. Ajaran agama dimaksud membentuk moral yang telah melembaga pada dirinya sehingga mereka mampu mengendalikan diri untuk menghindari keinginan-keinginan buruk yang dapat menjauhkan mereka dari tujuan hidup yang dicita-citakannya. Penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam teks dapat dijadikan cermin kehidupan dalam realita kehidupan oleh para perempuan Bali yang meyakini ajaran agama Hindu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perempuan harus mendapatkan


Ni Nyoman Karmini 304 pendidikan sesuai porsi kemampuannya, baik pendidikan secara formal maupun non-formal sebagai bekal dalam menjalankan kehidupannya untuk mencapai kehidupan yang lebih berkualitas. Penggambaran tokoh perempuan dalam teks, jika dikaitkan dengan cita-cita feminis, dapat ditarik benang merah yang menghubungkannya. Cita-cita perjuangan feminis adalah seorang perempuan harus menjadi lebih perempuan dan dapat menunjukkan keperempuanannya (personhood). Pada saat-saat tertentu, perempuan harus dapat menjadi pusat, bukan hanya sekadar berada di posisi non-pusat, dan harus dapat menjadi subjek bukan hanya menjadi objek. Untuk dapat menjadi lebih perempuan dan dapat menunjukkan keperempuanannya, perempuan harus dilatarbelakangi oleh pendidikan yang tepat dan diberikan peluang yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak lagi dipandang remeh, dipandang lemah, dimarginalkan oleh laki-laki. Sosok perempuan yang dilukiskan dalam teks, digambarkan dalam bentuk tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1 Sosok Perempuan dalam Teks No. Perempuan dalam Teks Judul Teks 1 2 3 G. Dr G. DS G. Dy G. Cw G. By G. Sc G. DA G. Cn G. St 1. Sosok perempuan yang kuat √ √ √ √ √ √ √ √ √ 2. Sosok perempuan yang berpendidikan √ √ √ √ - √ √ - √ 3. Sosok perempuan yang mampu me-nentukan sikap √ √ √ √ √ √ √ √ √ 4. Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan √ √ √ √ √ √ √ √ √ 5. Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat √ √ √ √ √ √ √ √ √ 6. Sosok perempuan yang mampu mem-pertahankan citra diri √ √ √ √ √ √ √ √ √ 7. Sosok Perempuan yang tahan uji √ √ √ √ √ √ √ √ √ 8. Sosok Perempuan yang sabar √ √ √ √ √ √ √ √ √ 9. Sosok Perempuan yang setia √ √ √ √ √ √ √ √ √ 10. Sosok perempuan sebagai ibu - - √ √ √ - - √ √ Keterangan: G. Dr= Geguritan Dreman G. DS= Geguritan Diah Sawitri G. Dy= Geguritan Damayanti G. Cw= Geguritan Ni Candrawati G. By= Geguritan Brayut G. Sc = Geguritan Saci G. DA= Geguritan Dyah Arini G. Cn= Geguritan Cilinaya G. St = Geguritan Dewi Sakuntala


Perempuan dalam Geguritan Bali 305 Relevansi Antara Sosok Perempuan dalam Teks dengan Kehidupan Nyata Perempuan Bali Kini Sebuah karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat (realitas-objektif), yang di dalamnya juga diungkapkan nilai-nilai. Karya sastra bukan semata-mata tiruan dari alam (imitation of nature) atau tiruan dari hidup (imitation of life), tetapi karya sastra merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of life). Sebuah karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan serta tentang makna hidup dan kehidupan lewat penampilan penderitaan-penderitaan manusia, perjuanganya, kasih sayangnya, nafsunya, dan segala sesuatu yang dialaminya. Menurut Aristoteles, karya sastra dapat menyucikan jiwa manusia lewat proses yang disebut katharsis. Karya sastra memungkinkan pembebasan diri dari nafsu yang rendah, mempunyai dampak lewat pemuasan estetik dan keadaan jiwa serta budi manusia justru ditingkatkan menjadi lebih budiman. Dengan demikian, lewat karya sastra pula dapat ditafsirkan tentang makna hidup dan hakikat hidup. Terkait dengan judul subbab ini, yakni relevansi sosok perempuan dalam teks dengan kehidupan nyata perempuan Bali kini, maka makna relevansi diartikan hubungan atau kaitan. Dengan demikian, pembicaraan pada bagian ini adalah pembicaraan mengenai hubungan atau kaitan sosok perempuan yang dilukiskan dalam teks dengan kehidupan nyata perempuan Bali kini. Perempuan Bali yang dimaksudkan di sini adalah perempuan Bali yang beragama Hindu sebab teks yang dianalisis adalah teks yang dominan bernuansa Hindu walaupun ada satu teks yaitu Brayut yang bernuansa Budha. Sehubungan dengan hal itu, di sini dibahas: (1) perempuan Bali masa lalu; (2) perempuan Bali masa kini; dan (3) perempuan Bali yang diidealkan. Perempuan Bali Masa Lalu Sulit dibantah bahwa perempuan Bali masa lalu dinyatakan masih terbelakang dibandingkan laki-laki di bidang pendidikan, karier perkerjaan, apalagi di bidang dunia politik, sebab banyak fakta dan data mendukung kebenaran pernyataan itu. Namun, kalau ada yang menyatakan perempuan Bali bersifat pasif dan hanya nerimo atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial tentulah pendapat yang sangat keliru. Dalam tulisan Darma Putra (2003), yakni Wanita Bali Tempo Doeloe yang meliputi rentang waktu antara 1920-an sampai dengan 1950-an, dipaparkan bahwa sejak zaman kolonial, perempuan Bali telah aktif


Ni Nyoman Karmini 306 berbicara untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya. Buktibukti tertulis dalam publikasi-publikasi dari tahun 1920-an dan 1930- an banyak memuat artikel-artikel yang ditulis oleh kaum perempuan lewat media, seperti Surya Kanta, Djatayoe, Bhakti dan Damai. Lewat tulisan itu, mereka menyuarakan masalah-masalah yang dihadapi perempuan dan juga memprotes ketidakadilan jender yang menimpa kaumnya. Bersamaan dengan itu, mereka mendorong kaum perempuan Bali supaya mau belajar meningkatkan kecerdasan diri sehingga tidak diremehkan dalam kehidupan sosial. Mereka tidak hanya bersuara tetapi mereka terjun langsung dengan melaksanakan pemberantasan buta huruf sehingga kaumnya bisa baca dan tulis dan juga melaksanakan kursus keterampilan rumah tangga. Sekitar tahun 1950-an, di antara banyak masalah tentang perempuan, masalah jender telah hangat dibicarakan, terutama isu modernitas dan masalah pergaulan bebas yang terkait dengan citra dan kehidupan perempuan Bali. Pada masa awal kemerdekaan, nilainilai Barat semakin terasa pengaruhnya di Bali, yang tampak dalam gaya hidup, gaya pakaian, dan pergaulan di kalangan anak muda terutama kaum pelajar. Dan dalam pergaulan bebas tentu melibatkan laki-laki dan perempuan. Namun, jika sang perempuan hamil di luar nikah akibat pergaulan bebas, maka kesalahan hanya ditujukan kepada perempuan bukan kepada laki-laki yang ikut andil melakukan. Marginal dan negatifnya citra perempuan Bali dalam media sekitar tahun 1950- an tentu tidak dapat dianggap sebagai gambaran menyeluruh terhadap kenyataan perempuan Bali waktu itu. Memang pergaulan bebas sempat menimbulkan kekhawatiran yang dalam di kalangan masyarakat terutama terhadap nasib kaum perempuan Bali. Jika kita mau menoleh pada masa lampau, maka kita akan tahu dari Sejarah Bali bahwa pemerintahan di Bali pernah beberapa kali dijalankan oleh raja-raja perempuan (sejak 905 Ç – 1023 Ç dan beberapa lagi raja perempuan yang masih dalam penelitian). Pada saat itu, telah dibuat undang-undang perlindungan yang melindungi kaum perempuan yang dimuat dalam kitab Purwa Agama. Sanksi hukum dimaksud jauh lebih berat dari UU KDRT kini. Hal ini sebagai bukti bahwa perempuan Bali telah sejak lampau mendapat perhatian dalam pemerintahan dan diperlakukan setara dengan laki-laki. Perempuan Bali Masa Kini Agama Hindu yang dianut orang Bali bukan hanya berupa pandangan filosofis, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan keunikan budaya Bali. Orang Bali Hindu sangat percaya


Perempuan dalam Geguritan Bali 307 kepada ajaran yang disebut panca çrada (lima kepercayaan). Disadari atau tidak dalam setiap mereka melakukan sesuatu tercermin kepercayaan dimaksud, sebab orang Bali Hindu meyakini bahwa kelahiran ini adalah menjalani karma masa lalu. Oleh karena itu, orang Bali Hindu selalu berusaha ke arah yang lebih baik demi kehidupan yang akan datang, demi dirinya dan juga keturunannya. Setiap musibah yang dialami oleh orang Bali Hindu selalu dianggap sebagai musibah yang harus terjadi, yang tidak bisa dihindari dan selanjutnya akan berpikir untuk membenahi diri, baik dalam hubungan dengan masyarakat sekitarnya, dengan alam dan juga dengan Tuhan. Masyarakat Bali banyak mendapat pengaruh dari luar, di antaranya kemajuan teknologi, globalisasi informasi, budaya asing dan domestik, yang sudah pasti membawa perubahan. Suryani (2003), dalam bukunya Perempuan Bali Kini bicara tentang perempuan Bali dari banyak sisi. Di dalamnya dipaparkan bahwa perempuan Bali Hindu yang telah terbiasa melakukan peran ganda dalam hidupnya mempunyai peluang yang lebih besar untuk memperoleh lapangan kerja yang lebih baik sesuai dengan pendidikannya. Perempuan Bali Hindu dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa santai, gembira dan sering sambil berbincangbincang dalam mengerjakan pekerjaannya. Masyarakat Bali Hindu tidak memandang bahwa perempuan lemah sehingga harus dilindungi. Sebaliknya, justru perempuan dianggap mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk menciptakan keindahan, tetapi dapat pula membahayakan kehidupan di dunia ini. Belakangan ini, keluarga Bali Hindu memberikan kesempatan yang sama pada anak-anak perempuan dan laki-laki untuk mengenyam pendidikan formal. Perempuan Bali Hindu bekerja di luar rumah bukan karena dipaksa suami, melainkan karena harga diri, martabat keluarga dan pengabdian pada keluarga. Emansipasi perempuan Bali Hindu berjalan tanpa menimbulkan benturan yang meresahkan masyarakat, sebab perempuan Hindu tidak meninggalkan tugas pokoknya menjadi seorang istri, sebagai ibu dari anak-anaknya serta tetap mampu melaksanakan tugas sosialnya di masyarakat. Dengan kata lain, perempuan Bali Hindu menyadari segenap hak dan kewajibannya, baik dalam lingkungan keluarga, banjar, desa serta komunitas yang lebih luas, yakni bermasyarakat dan bernegara. Demikianlah kehidupan yang terjadi dalam masyarakat Bali Hindu, dan bila dikaitkan dengan tulisan Ketut Sudhana Astika, Ni Luh Arjani, Gde Made Swardana dalam Jurnal Studi Jender Srikandi yang dipaparkan dalam tinjauan pustaka memang fakta adanya.


Ni Nyoman Karmini 308 Perempuan Bali Hindu yang Diidealkan Dalam Weda dinyatakan bahwa perempuan menempati posisi paling strategis dan pondasi awal sebuah rumah tangga. Perempuan adalah tiang dharma. Tanpa perempuan hidup laki-laki tidak lengkap (Aripta Wibawa, 2006:1). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perempuan adalah sakti dari laki-laki (2006:48). Berkaitan dengan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa perempuan Bali Hindu yang diidealkan oleh masyarakat Bali Hindu adalah perempuan yang mampu menjaga harga diri, menjaga martabat keluarga, mengabdi pada keluarga. Perempuan Bali Hindu harus mampu menjadi pemimpin dalam keluarganya, mampu menjadi pendidik pertama untuk anak-anaknya, sebagai istri harus mampu menjaga hubungan kerja sama dengan suami, mampu menjaga keseimbangan dalam keluarga demi kedamaian, kesejahteraan dan ketentraman hidup keluarga. Tugas dan kewajiban sebagai istri dan menjadi ibu memang berat, tetapi peran ganda yang telah terbiasa dilakukannya menyebabkan tugas dan kewajiban itu tidak menjadi penghambat perempuan untuk bekerja di luar rumah sesuai pendidikannya. Dengan kata lain, perempuan Bali Hindu yang diidealkan adalah perempuan yang kreatif, perempuan yang mandiri, mandiri dalam segala hal sesuai esensial perempuan. Pandangan Masyarakat Bali Terhadap Perempuan dalam Teks Geguritan Pada pembahasan ini ditampilkan masukan dari beberapa informan yang ditetapkan secara purposive. Informan yang ditetapkan sebagai pemberi informasi adalah informan perempuan yang berstatus janda sejak anaknya masih kecil, berstatus dipoligami, dan ada perempuan yang suaminya sakit parah. Para informan ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian ini. Namun, penelitian ini juga memberikan peluang kepada beberapa laki-laki yang juga ditunjuk secara purposive, untuk memberikan komentar terhadap sosok perempuan yang terdapat dalam teks. Masukan-masukan para informan bermanfaat sebagai penunjang penelitian ini. Informasi-informasi dimaksud dipaparkan berikut ini. Menjadi seorang istri dan dimadu memang sangat menyakitkan, merasa disisihkan, merasa tidak dihargai, merasa tercampakkan, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa kecuali hanya menerima dan pasrah diri kepada Tuhan. Kepedihan hati hanya dihibur dengan menyatakan bahwa mungkin hal ini adalah buah dari karma pada masa lalu dan masih banyak hal berharga yang dapat dilakukan dalam hidup ini. Kata hati seperti itu memberikan kekuatan, kesabaran, ketabahan, keputusan tentang hal yang harus dilakukan untuk melanjutkan kehidupan ini. Perasaan serta pikiran lebih difokuskan pada anak-anak dan pekerjaan-pekerjaan yang


Perempuan dalam Geguritan Bali 309 dapat memberikan kesibukan. Tidak ada niat untuk bercerai apalagi menuntut perlakuan buruk yang dilakukan suami dengan yang disebut Undang-Undang, seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tahun 2004 dan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974. Hal ini tidak dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan rumah tangga, sebab tidak akan menyelesaikan permasalahan ke arah yang lebih baik dikarenakan Undang-Undang dibuat oleh laki-laki dan hasilnya akan selalu berat sebelah serta selalu memenangkan lakilaki. Yang perlu dilakukan adalah kompromi dengan diri sendiri secara terus menerus, hingga pada titik tertentu dapat memutuskan apa yang harus dilakukan. Untuk dapat melakukannya memang tidak serta merta tetapi butuh waktu dan perjuangan yang cukup berat. Lama-kelamaan ketenangan hati dapat diperoleh dan justru dalam keadaan seperti itu, situasi menjadi terbalik, yakni sang suami sepertinya menjadi serba salah di hadapan sang istri. Uraian tersebut di atas, merupakan pendapat beberapa perempuan yang mengalami rumah tangga yang dimadu, seperti Ibu Puri, Ibu Arsa, Ibu Bita, Ibu Sukri, Ibu Suranaya. Pendapat para perempuan yang mengalami rumah tangga dimadu tersebut di atas, mirip tetapi tidak persis sekali dengan yang dialami I Suanggadarmi dalam Geguritan Dreman. Hal ini wajar saja sebab karya sastra adalah tafsiran dari alam dan kehidupan manusia. Gambaran tentang sosok perempuan dalam teks tetap ada relevansinya dengan kehidupan nyata perempuan Bali yang mengalami rumah tangga yang dimadu. Kemiripan tersebut terletak pada usaha untuk tetap melaksanakan kewajiban sebagai istri disertai kesabaran, ketabahan untuk melanjutkan kehidupan ini, karena masih ada yang jauh lebih penting dari sekadar suami, yakni tujuan dari hidup dan kehidupan ini. Menjadi seorang istri dan sebagai seorang istri yang memahami arti sebuah perkawinan dengan seorang suami yang dinikahi secara sah lewat upacara perkawinan serta disaksikan oleh para saksi dan juga dilakukan di hadapan Tuhan, maka suka duka yang terjadi dalam keluarganya semestinya dihadapi bersama. Jika suami mengalami musibah (sakit atau pergi dari rumah), sang istri sudah tentu melakukan upaya-upaya untuk mengatasi musibah dimaksud, betapapun beratnya upaya yang harus dilakukan. Sebagai seorang istri dan manusia biasa, istri hanya dapat berusaha sekuat daya dan berdoa, sedangkan keputusan terhadap usaha yang dilakukan tetap menjadi rahasia Tuhan. Pendapat-pendapat di atas dikemukakan oleh beberapa ibu yang suaminya mengalami musibah (sakit atau pergi dari rumah), seperti dikemukakan oleh Ibu Panderi, Ibu Saprug, Ibu Wayan Cantra, Ibu Menuh, Ibu Sunarti, Ibu Muna, Ibu Rening, Ibu Sudarmi, dan Ibu-ibu yang telah disebutkan di atas.


Ni Nyoman Karmini 310 Pendapat para perempuan yang suaminya mengalami musibah (sakit atau pergi dari rumah) tersebut di atas mirip tetapi tidak persis sekali dengan yang dialami Diah Sawitri dalam Geguritan Diah Sawitri, Damayanti dalam Geguritan Damayanti dan Dewi Saci dalam Geguritan Saci. Hal ini wajar saja sebab karya sastra adalah tafsiran dari alam dan kehidupan manusia. Gambaran tentang sosok perempuan dalam teks tetap ada relevansinya dengan kehidupan nyata perempuan Bali Hindu yang suaminya mengalami musibah (sakit atau pergi dari rumah). Kemiripan tersebut terletak pada perjuangan dan usaha sekuat daya yang dilakukan oleh perempuan Hindu untuk mempertahankan kehidupan suaminya atau keutuhan rumah tangganya, sedangkan hasil dari perjuangan dan usahanya itu dipasrahkan kepada Tuhan. Ibu-ibu yang telah disebutkan di atas berpendapat pula bahwa pada saat-saat mempunyai anak yang masih kecil apalagi banyak, seperti saat sebelum adanya Keluarga Berencana, memang mirip tetapi tidak persis seperti yang dilukiskan dalam Geguritan Brayut. Sang ibu lebih terfokus perhatiannya pada anak-anak dibandingkan kepada masalah kecantikan dirinya. Mereka juga tidak terlalu mengeluh dengan keberadaannya, sedangkan sang suami juga melakukan tugas yang biasanya dikerjakan oleh perempuan tanpa mengeluh pula. Mereka sangat menyadari bahwa sebagai suami-istri, tugas rumah tangga adalah tugas bersama. Yang dimaksud tugas bersama dalam rumah tangga adalah adanya kerja sama dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga dalam situasi dan kondisi tertentu. Misalnya, sang istri sedang sibuk melayani kebutuhan bayi atau balitanya, maka sang suami mau melakukan tugas lainnya yang tidak sempat dikerjakan oleh sang istri. Mereka sangat menyadari bahwa peristiwa yang dialami pada saat-saat itu, diyakini segera berlalu sebab kehidupan ini terus berjalan seperti jalannya sebuah roda. Menjadi seorang istri yang dibawa ke rumah suami, kemungkinan ada yang tidak diterima atau tidak disenangi oleh mertua terlepas dari apa pun alasan-alasannya. Jika hal seperti itu terjadi, was-was dalam menjalankan kehidupan rumah tangga pasti ada. Namun, kembali lagi pada keputusan dari suami-istri bersangkutan. Jika sama-sama kuat dan sabar serta taat pada janji sebuah pernikahan untuk mempertahankan rumah tangga pastilah sandungan-sandungan yang datangnya dari luar bisa diatasi. Hal seperti itu, dalam kehidupan nyata ada kemiripannya namun tidak persis sama seperti yang dilukiskan dalam Geguritan Cilinaya. Hal ini dapat diartikan bahwa hal-hal yang dilukiskan dalam teks ada relevansinya dengan kehidupan nyata. Musibah bisa terjadi pada siapa saja dalam keluarga, tidak mem-


Perempuan dalam Geguritan Bali 311 perhitungkan berpendidikan atau tidak. Musibah seperti hamil sebelum menikah misalnya dapat saja terjadi pada orang yang berpendidikan atau tidak, pada orang kaya atau miskin, pada orang terpandang atau tidak. Jika musibah seperti itu dipandang “aib”, diusir dari rumah maupun tidak diusir tetap saja namanya aib. Oleh karena itu, para ibu yang dijadikan informan memberikan informasi dengan lebih memilih musibah yang terjadi sebagai musibah, artinya tidak perlu adanya usir-mengusir. Jika hal itu masih dapat dicari solusinya, sebaiknya hal itu dilakukan, tetapi jika tidak, sebaiknya musibah tetap diterima. Menurut mereka, tidak perlu melangkah jauh misalnya melakukan tuntutan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam hal penelantaran rumah tangga, sebab akan menambah melebar dan meluasnya aib dimaksud, seperti mencemplungkan batu ke dalam air, gerakan air semakin meluas dan semakin melebar. Pikiran dan perasaan dihibur dengan bahwa “yang terjadi adalah buah dari karma masa lalu”. Hal ini tidak dapat diartikan sebagai sikap lemah, justru sikap semacam itu menunjukkan suatu kekuatan untuk menerima sesuatu, sebab baik maupun buruk pasti berdampingan dan tidak dapat dihindari dalam hidup, sebab hidup ini seperti roda yang berputar. Musibah yang dilukiskan dalam Geguritan Ni Candrawati maupun Geguritan Dewi Sakuntala banyak terjadi dalam kehidupan nyata, tetapi tidak persis sama seperti dalam teks. Pelukisan dalam teks tetap ada relevasinya dengan kehidupan nyata, hanya saja cara pemecahan permasalahannya berbeda dengan pemecahan permasalahan dalam Geguritan Ni Candrawati maupun Geguritan Dewi Sakuntala. Perempuan penggoda seperti dilukiskan dalam Geguritan Dyah Arini ada dan terjadi dalam kehidupan nyata, terlepas dari perempuan sebagai bidadari maupun sebagai pelaksana tugas dari seseorang, namun tidak persis seperti yang dilukiskan dalam teks. Pada titik tertentu, pasti ada penyesalan setelah melakukan perbuatan menggoda seseorang, dan pasti pula ada kesadaran untuk menerima ganjarannya, terlepas dari penyesalan itu diungkapkan atau tidak, seperti dialami oleh Dyah Arini, yakni ia menyesal, mohon ampun dan siap menerima ganjarannya. Pendapat para informan seperti itu memberikan arti bahwa apa yang dilukiskan dalam teks ada relevansinya dengan kehidupan nyata. Para informan laki-laki, seperti I Gusti Ngurah Bagus, I Wayan Mudarsa, I Gusti Made Dwiguna, I Wayan Wirata juga turut menyumbangkan pendapatnya berkaitan dengan sosok perempuan yang dilukiskan dalam teks. Pendapat mereka hampir senada tentang perempuan yang dipaparkan dalam teks. Sehubungan dengan itu, pendapatmereka diramu kemudian diambil simpulannya, seperti yang dipaparkan berikut ini. Posisi perempuan sangat terhormat dalam Weda dan perempuan


Ni Nyoman Karmini 312 yang cantik rohani mampu menjadi penyeimbang kehidupan di dunia ini karena perempuan adalah kekuatan yang disebut dengan Sakti. Kekuatan tersebut diperlukan oleh setiap orang terutama para laki-laki. Namun, dalam kenyataan masih terjadi ketimpangan, masih banyak laki-laki hanya memanfaatkan perempuan demi mengukuhkan kelakilakiannya. Hal ini perlu dibenahi dan disadari sebab laki-laki akan menjadi lengkap hidupnya dan menjadi penuh arti jika telah menyatu dengan perempuan sebagai pasangan suami-istri yang sah sesuai agama masing-masing. Manusia tidak dapat menjalankan kehidupan ini dengan lebih baik tanpa bantuan orang lain, karena setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, sedangkan laki-laki maupun perempuan dalam menjalankan kehidupan ini dapat saling melengkapi. Berkaitan dengan itu, bila laki-laki suka melakukan kekerasan, suka melakukan penghinaan terhadap perempuan, suka memperkosa perempuan adalah laki-laki yang tidak mampu menunjukkan jati dirinya sebagai laki-laki jantan, seperti yang digemakan dalam kesan stereotip selama ini. Lakilaki hendaknya perlu menyadari peran penting perempuan, karena perempuan mampunyai kemampuan dan kekuatan yang luar biasa untuk mengarahkan kehidupan ini ke arah yang baik maupun ke arah yang buruk, seperti diungkapkan dalam geguritan yang diteliti di sini. Kemampuan dan kekuatan perempuan yang mengarahkan kehidupan ini ke arah yang baik terdapat dalam Geguritan Dreman (tokoh I Suanggadarmi), Geguritan Diah Sawitri, Geguritan Damayanti, Geguritan Saci, Geguritan Cilinaya (tokoh I Cilinaya), dan Geguritan Dewi Sakuntala. Kemampuan dan kekuatan perempuan yang mengarahkan kehidupan ini ke arah yang buruk terdapat dalam Geguritan Dreman (tokoh I Wijasantun), Geguritan Dyah Arini, dan Geguritan Cilinaya (tokoh I Liku). Berkaitan dengan sosok perempuan yang dilukiskan dalam buku ini, sesuai teks yang dianalisis, maka dapat dikatakan bahwa masih ada relevansinya dengan kehidupan nyata. Banyak perempuan yang berhasil membesarkan dan memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya tanpa didampingi laki-laki sebagai suaminya. Banyak perempuan yang kuat dan mampu mengendalikan diri dalam menjalani kehidupan ini tanpa suami atau dengan suami yang berpoligami. Banyak perempuan mampu menolong suaminya dari penderitaan-penderitaan hidup dan kehidupan ini. Banyak perempuan yang mempunyai prinsip hidup dan menjalani hidup ini sesuai dengan prinsipnya. Dengan kata lain, sosok perempuan dalam teks masih ada relevansinya dengan kehidupan nyata, hanya saja cara penerapan kemampuan dan kekuatan perempuan berbeda-beda sesuai situasi, kondisi serta zamannya.


313 BAB VI PENUTUP Renungan Setelah diadakan pencermatan terhadap isi teks geguritan yang dianalisis, ada tujuh hal yang dapat dikategorikan sebagai temuan baru. (1) Dalam teks diungkap secara jelas bahwa perempuan berpendidikan dapat menentukan sikap, dapat membuat putusan yang harus dijalaninya dalam hidup ini, dapat menunjukkan harga diri dan menjaga martabatnya sebagai perempuan; (2) Dalam teks diungkap secara jelas bahwa perempuan dinyatakan memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mengarahkan kehidupan ini ke arah yang baik atau ke arah kehancuran. Ini berarti perempuan tidak lemah dan berarti pula stereotip yang menyatakan bahwa perempuan lemah dan harus dilindungi ditolak; (3) Perempuan berpendidikan, berperilaku subha karma dan dilandasi oleh ajaran agama Hindu, seperti tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata dan dasa yama brata mampu menjadi penyeimbang kehidupan di dunia ini dan menjadi kekuatan laki-laki yang disebut sakti; (4) Perempuan sebagai sakti dan penyeimbang mampu menjadi pusat/ subjek/diri pada peristiwa-peristiwa yang dialami dalam hidupnya; (5) Sosok perempuan yang digambarkan dalam teks adalah perempuan yang mampu menunjukkan diri bahwa kemampuan perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan mampu menunjukkan esensi keperempuanannya; (6) Gambaran sosok perempuan dalam teks mendukung perjuangan Feminis Radikal-Kultural, sebab sesuai dengan hakikat perempuan atau wadhu tatwa; (7) Teori Feminis ternyata dapat digunakan dalam analisis sastra tradisional yang selama ini dipandang hanya dapat digunakan untuk sastra modern. Simpulan Analisis Feminisme terhadap teks geguritan dalam penelitian ini menghasilkan hasil penelitian sebagai berikut. Dari analisis struktur formal teks geguritan dapat diketahui bahwa teks geguritan menggunakan bermacam-macam pupuh, walaupun masih ada teks geguritan yang menggunakan satu macam pupuh, seperti Geguritan Ni Candrawati (pupuh Ginada) dan Geguritan Brayut (pupuh Sinom Tikus Kabanting). Penyimpangan padalingsa terjadi dalam penggunaan pupuh pada teks geguritan yang dijadikan objek. Akan tetapi penyimpangan dimaksud tidak dipermasalahkan dalam penelitian ini, sebab penyimpangan yang terjadi tidak mempengaruhi dan tidak mengubah makna bait. Dari


Ni Nyoman Karmini 314 penggunaan pupuh dapat diketahui bahwa teks geguritan yang dijadikan objek menerapkan fungsi pupuh dengan tepat, kecuali satu pupuh yakni pupuh Sinom 1 dalam Geguritan Cilinaya tidak tepat penggunaannya sehingga tidak sesuai dengan fungsinya. Gaya bahasa yang dominan digunakan dalam teks geguritan yang dijadikan objek adalah gaya bahasa persamaan (simile), hiperbola dan personifikasi. Dari analisis terhadap fungsi isi geguritan dapat diketahui bahwa teks geguritan yang dijadikan objek merupakan hasil karya sastra yang mempunyai fungsi dulce et utile (menyenangkan dan berguna), karena di dalamnya sarat dengan makna sekaligus memberi hiburan. Berkaitan dengan hal itu, dapat dinyatakan bahwa teks geguritan yang dijadikan objek memuat fungsi hiburan dan fungsi keagamaan. Dari fungsi hiburan dapat dinyatakan bahwa geguritan dapat memberikan hiburan sebab geguritan biasanya dinyanyikan. Keindahan dalam melantunkan geguritan menyebabkan pendengarnya terpesona dan terhibur sekaligus mendapatkan manfaat bagi peningkatan kehidupannya. Oleh karena itu, pembacaan teks geguritan dengan dinyanyikan sangat relevan dengan konsep malajah sambilang magending, magending sambilang malajah. Dari fungsi keagamaan, teks geguritan memuat banyak hal yang berkaitan dengan ajaran agama Hindu dan sangat bermanfaat untuk memperkaya rohani setiap penikmatnya. Teks geguritan yang dijadikan objek memuat ketiga kerangka dasar agama Hindu, yakni tattwa, etika dan ritual. Pada bagian tattwa (filsafat agama Hindu), teks dimaksud memuat filsafat tri hita karana, yakni ajaran pola hidup seimbang antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia. Selain itu, teks geguritan juga memuat lima kepercayaan dalam agama Hindu yang disebut panca çradha, yakni percaya adanya Sang Hyang Widhi, percaya adanya atma, percaya adanya karma phala, percaya adanya samsara, dan percaya adanya moksa. Pada bagian etika, teks dimaksud menampilkan tingkah laku yang termasuk subha karma, yang dilandasi ajaran agama Hindu, seperti ajaran tatwam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata, dan dasa yama brata, serta menampilkan tingkah laku yang asubha karma, seperti sad ripu, sapta timira, sad tatayi. Pada bagian ritual, teks dimaksud menampilkan panca yadnya, seperti dewa yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, dan manusa yadnya. Analisis dilakukan pula terhadap struktur naratif teks geguritan. Struktur naratif yang dianalisis dibatasi hanya mengenai struktur intrinsiknya, yang meliputi: plot, tokoh dan penokohan, serta tema. Analisis terhadap plot, menghasilkan hasil analisis bahwa teks geguritan yang dijadikan objek menggunakan dua macam plot, yakni plot tradisional dan plot sorot balik. Dari analisis terhadap tokoh dan penokohan


Perempuan dalam Geguritan Bali 315 dapat diketahui bahwa teks geguritan dominan menampilkan tokoh perempuan yang memiliki kemampuan luar biasa, tokoh perempuan yang berperilaku subhakarma didasari ajaran agama Hindu yang dianutnya sehingga mampu menjadi pusat atau subjek dalam peristiwa hidup yang dialaminya. Dari analisis terhadap tema, dapat diketahui bahwa teks geguritan mencerminkan penerapan lima keyakinan dalam agama Hindu yang disebut dengan panca çrada. Penelitian ini menggunakan teori feminis sebagai teori utama, yang digunakan sebagai alat untuk menjelaskan objek. Untuk dapat memahami perempuan yang digambarkan dalam teks geguritan yang dijadikan objek, perlu adanya pemahaman terhadap peranan perempuan Bali Hindu dalam keluarga dan kehidupan bermasyarakat di Bali. Hakikat hidup bermasyarakat Bali Hindu di Bali dikenal dengan sebutan asas kekeluargaan yang didasarkan pada ajaran tat twam asi. Ajaran tat twam asi dalam agama Hindu di Bali dikonsepsikan ke dalam asas-asas menyamabraya, seperti asas suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, asas saling asih, saling asah, saling asuh. Secara normatif, perempuan mempunyai posisi terhormat yang dinyatakan dalam Weda dan juga dalam Kitab Manawa Dharmasastra. Untuk menjadi terhormat, perempuan hendaknya berperilaku subha karma dengan dilandasi ajaran agama Hindu, seperti ajaran tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata dan dasa yama brata. Perempuan Hindu memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan yang dinyatakan dalam Weda dan pernyataan agama Hindu sebagai agama kesetaraan berdasarkan swadharma. Oleh karena itu, perempuan Hindu dapat pula bertindak di medan perang. Sehubungan dengan itu, perempuan Bali Hindu dalam kehidupan di Bali mempunyai peranan sangat penting dan telah terealisasikan sejak zaman Bali Kuna. Bali mengikuti sistem patrilinial. Perkawinan dalam sistem patrilinial, mengharuskan perempuan tinggal di rumah laki-laki, tetapi secara adat dibenarkan pula bahwa dalam perkawinan mengharuskan laki-laki tinggal di rumah perempuan, yang disebut dengan istilah perkawinan nyeburin atau nyentana. Dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, perempuan Hindu menjadi tokoh sentral dan mempunyai posisi sentral, yang peranannya tampak dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Demikian juga peranan dan kedudukan perempuan Bali Hindu dewasa ini. Kebiasaan melakukan segala pekerjaan dapat menunjukkan kemandiriannya yang menyebabkan perempuan Bali Hindu mampu melaksanakan tiga peran sekaligus, yakni peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Bali Hindu mampu menunjukkan esensi keperempuanannya. Berdasarkan analisis feminisme terhadap teks geguritan yang


Ni Nyoman Karmini 316 dijadikan objek, dapat dipaparkan sosok perempuan dalam teks. Sosok perempuan yang dilukiskan dalam teks geguritan yang dijadikan objek adalah sosok perempuan yang kuat, sosok perempuan berpendidikan, sosok perempuan yang mampu menentukan sikap, sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan, sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat, sosok perempuan yang mampu mempertahankan citra diri, sosok perempuan yang tahan uji, sosok perempuan yang sabar, sosok perempuan yang setia, dan sosok keibuan pada perempuan. Tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan dalam teks geguritan yang dijadikan objek, adalah tokoh-tokoh perempuan yang luar biasa, yang dapat menjadi pusat atau subjek dalam peristiwa kehidupan yang dialaminya. Hal seperti itu dapat dilakukannya, sebab adanya kesadaran pada diri tokoh perempuan yang dilukiskan dalam teks geguritan yang dijadikan objek, bahwa kelahiran ini (reinkarnasi) merupakan kesempatan yang baik untuk memperbaiki kehidupan di masa datang. Kesadaran terjadi akibat adanya landasan berpijak, yakni berupa ajaran agama yang mengarahkan mereka ke jalan yang baik untuk mencapai tujuan dari hidup ini, yaitu moksa. Mereka berperilaku subha karma, dengan dilandasi ajaran agama Hindu, seperti ajaran tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata dan dasa yama brata, baik dilukiskan secara tersurat maupun hanya tersirat dalam perilaku para tokoh perempuan. Ajaran agama dimaksud membentuk moral yang telah melembaga pada dirinya sehingga tokoh perempuan mampu mengendalikan diri untuk menghindari keinginan-keinginan buruk yang dapat menjauhkan mereka dari tujuan hidup yang dicita-citakannya. Ini berarti bahwa dengan pengendalian diri seseorang dapat mencapai citacita dalam hidupnya. Penggambaran tokoh-tokoh perempuan dalam teks, dapat dijadikan cermin kehidupan dalam realita kehidupan oleh para perempuan Bali yang meyakini ajaran agama Hindu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perempuan harus mendapatkan pendidikan sesuai hak dan kemampuannya, baik pendidikan secara formal maupun nonformal yang dapat dijadikan bekal dalam menjalankan kehidupannya untuk mencapai kehidupan yang lebih berkualitas. Penggambaran tokoh perempuan dalam teks, jika dikaitkan dengan cita-cita feminis dapat ditarik benang merah yang menghubungkannya. Cita-cita perjuangan feminis terutama konsep Feminis Radikal-Kultural, adalah perempuan harus menjadi lebih perempuan, dapat menunjukkan keperempuanannya dan personhood. Pada saat-saat tertentu, perempuan harus dapat menjadi pusat, bukan hanya sekadar berada di posisi nonpusat, dan harus dapat menjadi subjek bukan hanya menjadi objek. Untuk dapat menunjukkan keperempuanannya, perempuan hendaknya


Perempuan dalam Geguritan Bali 317 dilatarbelakangi oleh pendidikan yang tepat dan diberikan peluang yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak lagi dipandang remeh, lemah, dimarginalkan oleh laki-laki. Kehidupan perempuan yang digambarkan dalam teks geguritan yang dijadikan objek masih relevan dengan kehidupan perempuan Bali Hindu dalam kenyataan. Dalam kenyataan, perempuan Bali Hindu tidak pernah dipandang lemah, melainkan dipandang memiliki kekuatan yang luar biasa. Perempuan Bali Hindu bekerja dan melakukan peran ganda bukan karena dipaksa dan terpaksa, tetapi karena telah terbiasa. Perempuan Bali Hindu selalu melakukan pembenahan diri ke arah yang lebih baik, demi harga diri, jati diri dan martabat keluarga, namun tetap berdasarkan swadharma. Perempuan yang ideal menurut masyarakat Bali Hindu adalah perempuan yang kreatif dan mandiri dalam banyak hal. Hal itu dilandasi oleh adanya lima kepercayaan (panca çrada) yang sangat diyakini masyarakat Bali Hindu. Dalam menempuh perjalanan kehidupan ini, lima kepercayaan (panca çrada) dijadikan landasan berpijak oleh perempuan Bali Hindu. Hal itu tertuang pada pendapat-pendapat para informan, baik informan perempuan maupun laki-laki. Para informan menyatakan bahwa sosok perempuan yang dilukiskan dalam teks masih relevan dengan sosok perempuan dalam kehidupan nyata. Artinya, segala tindakan yang dilakukan perempuan dalam teks dalam menghadapi permasalahan kehidupannya ada relevansinya dengan tindakan yang dilakukan para perempuan dalam kehidupan nyata, hanya saja tindakan yang dilakukan tidak persis sama seperti dalam teks. Yang relevan adalah adanya suatu “usaha” dan “tekad” untuk mengatasi permasalahan kehidupan. Karena sebagai manusia biasa, masalah “hasil” dari sebuah usaha, sepenuhnya dipasrahkan kepada Tuhan, sebab manusia hanya bisa merencanakan, sedangkan keputusan akhir ada pada Tuhan. Penerapan teori feminis terhadap teks geguritan yang dijadikan objek memunculkan tujuh temuan baru, yakni (1) dalam teks diungkap secara jelas bahwa perempuan berpendidikan dapat menentukan sikap, dapat membuat keputusan yang harus dijalaninya dalam hidup ini, dapat menunjukkan harga diri dan menjaga martabatnya sebagai perempuan; (2) dalam teks diungkap secara jelas bahwa perempuan dinyatakan memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mengarahkan kehidupan ini ke arah yang baik atau ke arah kehancuran. Ini berarti perempuan tidak lemah dan berarti pula stereotip yang menyatakan bahwa perempuan lemah ditolak; (3) dalam teks diungkap bahwa perempuan berpendidikan, berperilaku subha karma dan dilandasi oleh ajaran tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata dan dasa yama brata mampu menjadi


Ni Nyoman Karmini 318 penyeimbang kehidupan di dunia ini dan menjadi kekuatan laki-laki yang disebut sakti; (4) perempuan sebagai sakti dan penyeimbang yang diungkap dalam teks mampu menjadi pusat/subjek/diri pada peristiwaperistiwa yang dialami dalam hidupnya; (5) sosok perempuan yang digambarkan dalam teks adalah perempuan yang mampu menunjukkan diri bahwa kemampuan perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan mampu menunjukkan esensial perempuan (keperempuanannya); (6) gambaran sosok perempuan dalam teks mendukung perjuangan Feminis Radikal-Kultural, sebab sesuai dengan hakikat perempuan atau wadhu tatwa; (7) teori Feminis ternyata dapat digunakan dalam analisis sastra tradisional yang selama ini dipandang hanya dapat digunakan untuk sastra modern. Saran Sebagai karya sastra, teks yang dianalisis dalam penulisan buku ini masih sangat terbuka untuk penelitian-penelitian di bidang sastra dilihat dari perkembangan teori sastra modern. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut terutama dari segi sastra oleh peneliti lain yang berminat terhadap teks dimaksud. Bertitik tolak dari pengalaman dan kemampuan berbeda, sangat memungkinkan memberikan hasil kajian yang berbeda bahkan mungkin jauh lebih mendalam. Semakin banyak penelitian dilakukan terhadap teks yang dianalisis dalam penelitian ini dengan teori-teori sastra modern lainnya, tentu memberikan peluang lebih besar terhadap kelengkapan pengungkapan maknanya. Dengan demikian, akan berdampak terhadap kelangsungan dan stabilitas kebudayaan Bali sebagai pendukung karya sastra.


319 GLOSARIUM Abot : Kewajiban terhadap pemeliharaan dan keberlang-sungan tempat suci atau kewajiban dalam pelaksanaan upacaraupacara dalam agama Hindu. Acarya : Seorang guru. Agni : Api. Api memegang peranan penting dalam ritual agama Hindu. Ia ditampilkan sebagai dupa, api takep, pasepan, padamaran, dll. Dalam Weda dan sastra agama Hindu, Agni adalah Dewa Api. Dewa Api mengantarkan persembahan dan menghubungkan manusia kepada para Dewa. Ardhanareswari : Sifat setengah laki-laki setengah perempuan yang menyatu. Biasanya dihubungkan dengan Dewa Çiwa. Asubhakarma : A = tidak, subha = baik, karma = perbuatan. Asubhakarma adalah perbuatan yang tidak baik. Bhatara : Dewa, Dewata. Dari bhartr yang artinya pelindung. Brahmana : Golongan pertama dari catur warna. Brunaha : Menggugurkan kandungan. Dasa niyama brata: Sepuluh jalan atau tindakan pengendalian diri yang mengantarkan ke arah ketentraman, kedamaian, kebaikan. Dasa niyama brata, meliputi: dana (kemurahan hati); ijya (ketakwaan);tapa (pengendalian indera); dhyana (meditasi); swadyaya (belajar dari pengalaman); upasthanigraha (pengendalian nafsu brahi); brata (cara hidup); upawasa (puasa); mona (pengendalian kata-kata); snana (pembersihan diri). Dasa yama brata : Sepuluh cara pengekangan hawa nafsu, yaitu anresangsya/ arimbawa: tidak mementingkan diri sendiri; ksama : suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan; satya: setia; ahimsa: tidak membunuh; dama: dapat menasihati diri sendiri; ardjawa: jujur mempertahankan kebenaran; priti: cinta kasih kepada sesama makhluk; prasada: berpikir dan berhati suci tanpa pamrih; madurya: ramah tamah, lemah lembut; mardawa: rendah hati. Dharma : 1. Kebajikan, kesucian, kebenaran; 2 kewajiban, hukum. Galungan : Hari raya terbesar untuk agama Hindu di Bali yang jatuh pada Budha Kliwon Dungulan, dilakukan oleh semua umat Hindu memuja Tuhan dengan segala aspeknya. Geguritan : karya sastra Bali tradisional berbentuk puisi (tembang), yang sekaligus merupakan teks naratif. Geguritan menggunakan tembang macepat (sekar alit) yang dibentuk oleh pupuh dan terikat padalingsa.


Ni Nyoman Karmini 320 Hyang Indra : Nama Dewa. Dewa Indra sangat terkenal dalam Weda. Dewa Indra dilukiskan sebagai pemimpin para Dewa, menjadi raja dan penanggunjawab ketenteraman Surga. Kediamannya disebut Indraloka. Hyang Çiwa : Nama Dewa. Dewa Çiwa sangat dihormati dan mendapat penghormatan tertinggi dalam agama Hindu. Tugasnya sebagai pemeralina (penghancur dunia). Sakti (kekuatan) Dewa Çiwa dalam fungsinya sebagai dewa yang penuh cinta kasih adalah Dewi Parwati, sedangkan pada saat Dewa Çiwa berfungsi sebagai penghancur dunia saktinya adalah Dewi Durga. Hyang Yama : Nama Dewa yang bertugas sebagai pencabut nyawa manusia dan mengadilinya sesuai karma atau perbuatannya pada masa hidup. Karma : Perbuatan. Karma phala : Hasil perbuatan, buah perbuatan. Kawi : Pujangga. Linggih manut sasana: Kedudukan harus membawa peranan yang sesuai. Manawa Dharmasastra: Kitab hukum dalam agama Hindu. Majangkepan atau kapakardiang: Perkawinan berlangsung karena dijodohkan. Memadik : Meminang. Meminang adalah proses yang ditempuh dalam perkawinan di Bali. Keluarga pihak laki-laki meminta calon istrinya sesuai adat dengan mendatangi keluarga si perempuan. Sarana pokok dalam memadik adalah seperangkat sirih-pinang yang disebut dengan pecanangan. Hal yang sama juga dilakukan dalam perkawinan nyeburin/ nyentana, yakni pihak perempuan meminta calon suaminya dengan mendatangi keluarga si laki-laki dengan sarana yang sama. Menyamabraya : Adanya ikatan batin atau adanya ikatan rasa persaudaraan atau kekeluargaan antara sesama manusia di sekitar lingkungannya. Misalnya: rasa suka dan rasa duka dirasakan bersama (asas suka duka); orang lain adalah bagian diri sendiri dan diri sendiri adalah bagian orang lain (asas paras paros); baik buruk, mati hidup ditanggung bersama (asas salunglung sabayantaka); saling menyayangi, saling mengoreksi, saling menolong antarasesama (asas saling asih, saling asah, saling asuh). Mengkeb : Sembunyi. Sembunyi minimal 3 hari dilakukan oleh pasangan calon pengantin yang kawin ngrangkat (kawin lari). Persembunyian dimaksud harus dilakukan di tempat lain (di rumah pihak ke-3) dan yang punya rumah harus segera melapor kepada prajuru desa untuk diperiksa dan kemudian diberikan perlindungan. Selanjutnya, pihak lakilaki harus mengirim utusan kepada orang tua si perempuan


Perempuan dalam Geguritan Bali 321 untuk memberitahukan pengrangkatan tersebut. Moksa : Kelepasan, lepas dari lingkaran kelahiran. Moksa merupakan tujuan akhir dari hidup pemeluk agama Hindu. Ngrangkat/ngrorod: Kawin lari (umumnya terjadi karena tidak mendapat persetujuan orang tua) Nyentana/nyeburin : Perkawinan yang boleh dilakukan di Bali, di mana laki-laki (suami) tinggal di rumah perempuan (istri). Perkawinan ini umumnya terjadi karena sang istri tidak mempunyai saudara laki-laki. Namun, dalam kasus tertentu bisa juga perkawinan ini berlangsung walau sang istri mempunyai saudara laki-laki. Niyama : Pengekangan diri. Dasa niyama brata adalah sepuluh cara untuk mengendalikan diri. Padalingsa : aturan yang diterapkan dalam geguritan, yang meliputi jumlah baris dalam setiap bait (pada); jumlah suku kata dalam setiap baris (carik); dan bunyi akhir tiap-tiap baris. Panca çrada : Panca = lima, çrada = keyakinan/kepercayaan. Panca çrada adalah lima kepercayaan dalam agama Hindu (percaya adanya Tuhan, percaya adanya atma, percaya adanya karma phala, percaya adanya punarbawa, percaya adanya moksa. Perempuan : Dari kata empu berarti tuan. Mengempu artinya menghormati, memuliakan, mengasuh, membimbing. Perempuan di sini ditekankan pada arti memangku tugas mulia, yakni mengasuh, membimbing anggota keluarganya. Sad ripu : Sad = enam, ripu = musuh. Sad ripu adalah enam musuh, yaitu kama: hawa nafsu; loba: serakah; mada: kemabukan; moha: kebingungan; matsarya: iri hati; kroda: kemarahan. Sad tatayi : Enam perbuatan kejam, yaitu agnida: membakar milik orang lain; wisada: meracuni orang lain; atharwa: melakukan ilmu hitam atau guna-guna; sastraghna: mengamuk; dratikarama: memperkosa kehormatan orang lain; rajapisuna: memfitnah. Sang Hyang Widhi : Tuhan Sapta timira : Sapta = tujuh, timira = gelap. Sapta timira adalah tujuh kegelapan, yaitu surupa: mabuk karena tampan/cantik; dana: mabuk karena kekayaan; guna: mabuk karena kepandaian; kulina: mabuk karena kebangsawanan; yowana: sifat sombong karena merasa muda atau kuat; sura: mabuk karena minuman keras; kasuran: mabuk karena kemenangan. Sasana manut linggih: Peranan atau sikap harus disesuaikan dengan kedudukan. Satia : Kebenaran, kejujuran, setia. Sosok : Tokoh, pribadi. Sosok perempuan artinya tokoh atau pribadi


Ni Nyoman Karmini 322 tokoh perempuan. Subhakarma : Subha = baik, karma = perbuatan. Subhakarma adalah perbuatan yang baik. Swadharma : Kewajiban masing-masing. Tat twam asi : Konsep ajaran cinta kasih dalam ajaran agama Hindu yang diterapkan terhadap sesama makhluk hidup. Tat twam asi berarti saya adalah kamu, kamu adalah saya. Trikaya parisuda : Tiga hal yang dapat menimbulkan kebaikan sesuai ajaran agama Hindu, yaitu pikiran yang benar (manacika); perkataan yang benar (wacika); perbuatan/tindakan yang benar (kayika). Ketiga hal itu perlu disucikan. Tri hita karana : Tri = tiga; hita = baik, senang, gembira, lestari; karana = penyebab atau sumbernya sebab. Tri hita karana adalah tiga penyebab kebaikan atau kebahagiaan, yakni Sang Hyang Widhi (Tuhan), bhuwana/alam (macrocosmos), manusia (microcosmos). Tri hita karana mengajarkan pola hidup seimbang di antara ketiga penyebab kebahagiaan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia. Upadyaya : Siswa. Wadhu tatwa : Wadhu adalah perempuan, tatwa adalah hakikat sebenarnya. Wadhu tatwa adalah perempuan yang mampu menunjukkan keperempuanannya (esensial perempuan). Weda : Kitab suci agama Hindu, yang terdiri atas empat macam yang disebut catur weda, yaitu Rg Weda; Sama Weda; Yayur Weda; Atharwa Weda. Werda : Tua. Tua dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tua karena usia disebut wahya werda; dituakan karena berilmu tinggi, baik ilmu pengetahuan keduniawian maupun kerohanian disebut jnana werda; tua karena banyak pengalaman hidup disebut tapo werda.


323 DAFTAR PUSTAKA Adia-Wiratmaja, G.K. 1988. Etika Tata Susila Hindu Dharma. Agastia. I.B.G. 1987. Sagara Giri:Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyasa Sanggraha. Agastia, I.B.G. 1995. “Dewi Saraswati: Simbol Penyadaran dan Pencerahan dalam Hindu”. Warta Hindu Dharma. No.343 November 1995. Denpasar: Parisada Hindu Dharma. Altenbernd , Lynn dan Leslie L. Lewis. 1966. A Handbook for the Study of Fiction. London: The Macmillan Company. Alsa, Asmadi. 2004. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif serta Kombnasinya dalam Penelitian Psikologi: Suatu uraian singkat dan contoh berbagai tipe penelitian. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Aripta-Wibawa, M. 2006. Wanita Hindu: Sebuah Emansipasi Kebablasan. Denpasar: Empat Warna Komunikasi. Arjani, N.L. 2002.”Perempuan Pemimpin di Masa Depan (peluang dan Tantangannya)”. Jurnal Studi Jender Srikandi. Volume 2, No.1, Tahun 2002. Denpasar: Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Arnita, N.W. 1996. “Kondisi dan Masa Depan Pernaskahan Bali”. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali. Artadi, I.K. 1981. Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: Sumber Mas Bali dan FH Unud. Arikunto, S. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bagus, I.G.N. dan I Ketut Ginarsa. 1978. Kembang Rampe Kesusastraan Bali Purwa. Buku I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa. Balibuddy. 2007. “Perempuan Bali: Sebuah Pengabdian”. bali 4u.wordpress. com/2007/05/18 Baried, S.B. dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Bleicher, J. 2003. Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai metode, Filsafat, dan Kritik. Alih bahasa oleh Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Buda-Gautama, W. 2007. Penuntun Pelajaran Gending Bali. Denpasar: Kayu Mas Agung. Budianta, M. 2002. Analisis Wacana: dari Linguistik sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. Cika, I.W. 2006. Kakawin Sabha Parwa: Analisis Filologis. Kuta-Bali: Pustaka Larasan. Cook, G. 1994. Discourse and Literature: The Interplay of Form and Mind. Oxford New York: Oxford University Press.


Ni Nyoman Karmini 324 Creese, H. 2004. Women of the Kakawin Marriage and Sexuality in the Indic Courts of Jawa and Bali. Armont, New York London, England: An East Gate Book M.E. Sharpe. Darma-Putra, I.N. 2003. Wanita Bali Tempo Doeloe:Perspektif Masa Kini. Denpasar: Yayasan Bali Jani. Debroy, B. dan Dipavali Debroy. 2001a. Brahmavaivarta Purana. Terjemahan Oka Sanjaya. Surabaya: Paramita. Debroy, B. dan Dipavali Debroy. 2001b. Vayu Purana. Terjemahan Oka Sanjaya. Surabaya: Paramita. Departemen Agama RI. 2001. Kakawin Ramayana I. Denpasar: Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali. Depdikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Dharmayuda, I.M.S. dan I Wayan Koti Çantika. 1991. Filsafat Adat Bali. Denpasar: Upada Sastra. Eagleton, T. 1983. Literary Theory: An Introduction. Oxford:Basil Blackwell. Faisal, S. 2003. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Terjemahan J. Praptadiharja dan Kepler Silaban dari Theories of Literature in the Twentieth Century. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Geertz, C. 1992. Tafsir Budaya. Terjemahan dari The Interpretation of Cultures: Selected Essays. Penerjemah Fransisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Goris, R. 1976. Sejarah Bali Kuna. Denpasar: Diperbanyak oleh Lembaga Research – Institut Hindu Dharma. Hadi, S. 1983. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hadiz, L. Ed.. 2004. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan dari Language, Contex, and Text: Aspects of Language in a Social-semiotik Perspective. Penerjemah Drs. Asrudin Barori Tou, M.A. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hayati, Y. 2007. “Perempuan dalam Kumpulan cerpen Dunia Perempuan: Kajian Feminisme. Tesis. Denpasar: Program Pasca Sarjana Lingustik Universitas Udayana. Handayani, dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah. Harjani, N.L.P. 2005. “Pasti Mampu jika Diberi Kesempatan”. Artikel Ajeg Bali dalam Bali Post Rabu Wage, 1 Juni 2005. Hikari. R. 1999. Mengenal Diri Sendiri. Denpasar: BP. Djapa. I.W. 1999. “Geguritan”. Tabanan.


Perempuan dalam Geguritan Bali 325 Djajanegara, S. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Djajasudarma, T.F. 1994. Wacana Pemahaman Hubungan Antarunsur. Bandung: Eresco. Djamaris, E. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi”. Majalah Bahasa dan Sastra, Nomor 1 Tahun III. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djamaris, E. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Manasco. Djelantik, A.A.M. Estetika: Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni Pertujukan Indonesia. Jendra, I.W. dan I Ketut Nuarca. 1982. Pustaka Lontar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. Kaleran, A.A. dan I Gusti Agung Oka. 1968. Hukum Perkawinan Secara Adat dan Agama Hindu di Bali. Denpasar: tanpa pernerbit. Kaler, I.G.K. 1994a. Pewiwahan/Perkawinan dalam Masyarakat Hindu di Bali. Kaler, I.G.K. 1994b. Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali. Denpasar: Kayu Mas Agung. Karmini, N.N. 2000. “Teori dan Pengkajian Prosa Fiksi” Tabanan: IKIP Saraswati. Keraf, G. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende-Flores: Nusa Indah. Kowaveri. 2002. Wanita Bali Berjuang. Seri Pertama. Markas Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia, Korps Wanita Veteran Republik Indonsia, Provinsi Bali. Kutha-Ratna, I.N. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kutha-Ratna, I.N. 2005. Sastra dan Cultural Studies:Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kutha-Ratna, I.N. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Luxemburg, J.v., Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Magnis-Suseno, F.SJ. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Maswirnawa, I.W. 2000. Mandukya Upanisad. Surabaya: Paramita. Medra, N. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra. Mirsha, I.G.N.R. t.t. “Mengenal UPD Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali”. Denpasar: Unit Pelaksana Daerah (UPD) Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Mufidah. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. Muhadjir, H.N. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif: Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik, Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin. Moleong, L. J. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.


Ni Nyoman Karmini 326 Nasir, M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta Ghalia Indonesia. Norris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Diterjemahkan dari Deconstruction: Teory and Practice oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Ar-Ruzz. Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Palmer, R.E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Judul Asli: Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Penerjemah Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Panetja. G. 1989. Aneka Catatan tentang Hukum Adat Bali. Denpasar: Guna Agung. Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadeça. Pudja, G. 1999. Theologi Hindu. Surabaya: Paramita. Pudja, G. dan Tjokorda Rai Sudharta. 1973. Manawa Dharmaçastra (Manu Dharmaçastra). Putra-Manik-Aryana, I.B. 2007. “Trikaya dan Kecantikan Rohani”. Wadhu Tattwa (03) Tabloid Bali Aga. Edisi 15 – 21 Maret 2007. Putra-Manik-Aryana, I.B. 2007. “Kesenangan dan Kebaikan Perspektif Etika Wanita”. Wadhu Tattwa (04) Tabloid Bali Aga. Edisi 22 – 28 Maret 2007. Putra-Manik-Aryana, I.B. 2007. “Dasa Niyama Brata Landasan Menuju Kecantikan Rohani”. Wadhu Tattwa (05) Tabloid Bali Aga. Edisi 29 Maret – 4 April 2007. Pradopo, R. D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pradopo, R.D. 1997. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra: Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ritzer, G. 2004. Teori Sosial Posmodern. Terjemahan dari The Postmodern Social Theory. Penerjemah Muhammad Taufik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ritzer, G. dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Terjemahan dari Modern Sociological Theory oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Ruma, I.K. t.t. Geguritan Putra Sesana. Karangasem: Jasri. Sandhi dan Pudja. 1980. Bramanda Purana. Sarup, M. 2003. Postrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta: Jendela. Pendit, N.S. 1989. Bhagavadgita. Yayasan Dharma Sarathi. Pendit, N.S. 1995. Hindu dalam Tafsir Modern. Yayasan Dharma Naradha. Sofia, A. dan Sugihastuti. 2003. Feminisme dan Sastra. Bandung: Katarsis. Somvir. 2001. 108 Mutiara Veda: untuk Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Paramita. Suarka, I.N. t.t. “Kesusastraan Bali Purwa”. Materi Penataran Guru Mata Pelajaran


Perempuan dalam Geguritan Bali 327 Bahasa Daerah Bali Tingkat SD, SMP, dan SMA/SMK Negeri/ Swasta seBali di Denpasar. Suastika, I. M. 2006. Estetika Kreativitas Penulisan Sastra dan Nilai Budaya Bali. Fakultas Sastra Universitas Udayana: Program Studi Magister S2 dan S3 Kajian Budaya dan Jurusan Sastra Daerah. Sudana-Astika, K. 2002. “Status dan Peran Perempuan Bali: Sebuah Proses Pemahaman tentang Peran Perempuan dalam Masyarakat yang sedang Berubah”. Jurnal Studi Jender Srikandi. Volume 2, No.1, tahun 2002. Denpasar: Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Sudiarga, I.M. dkk. 2000. Nilai Budaya dalam geguritan Sudhamala. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Sudjarwo, H. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Mandar Maju. Sura, I.G. 1977. Sekitar Peraturan Tingkah Laku. Denpasar. Suryani, L.K. 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: BP. Suwija, I.K. 1979. “Mengenal Prasi”. Singaraja: Gedong Kirtya. Synnot, A. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra. Soetarno, 1967. Dasar Seni Sastra Indonesia. Surakarta: Widya Duta. Strauss, A. dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoretisasi Data. Terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, dari judul asli Basics of Qualitative Research Grounded Theory Procedures and Techniques. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Swardana, G.M. 2002. “Kejahatan yang Dilakukan oleh Wanita”. Jurnal Studi Jender Srikandi. Volume 2, No.2, Tahun 2002. Denpasar: Pusat Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Udayana. Swarsi, Si.L. dkk. 2002. Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Kebudayaan Bali. Laporan Penelitian. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. Tarigan, H.G. 1993. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tinggen, I.N. 1994. Aneka sari Gending-gending Bali. Denpasar: Rhika Dewata. Todorov, T. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan. Tong, R.P. 1998. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition. Terjemahan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra. Undang-Undang No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Jakarta: Sinar Grafika. Vimalananda, S. 1997. Mahanarayana Upanisad. Terjemahan I Wayan Maswirnawa. Surabaya: Paramita. Vivekananda, S. 1993. Suara Vivekananda. Dikumpulkan oleh Swami


Ni Nyoman Karmini 328 Ranganathananda. Lembaga Kebudayaan Ramakhrisna, Calcuta. Diterjemahkan oleh Yogamurti Souw Tjiang Poh. Bandung: Hanuman Sakti. Wangsa, I. 1998. “Mencari Harta dan Mengelola Dana”. Warta Hindu Dharma, No.380 November 1998. Denpasar: Parisada Hindu Dharma Pusat. Warna, I.W. 1990. Kamus Bali-Indonesia. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Provinsi. Weda-Kusuma, I N. 2005. Kakawin Usana Bali. Kuta-Bali: Pustaka Larasan. Windhu-Sancaya, I.D.G. 1996. “Citra Wanita dalam Sastra Tradisional dan Modern: Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra Feminis”. Laporan Penelitian. Denpasar: Universitas Udayana. Yudha-Triguna, I.B.G. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Cetakan Ketiga. Terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pustaka Teks Geguritan Budha Gautama, Wayan. Penyalin. Geguritan Ni Candrawati. Depdikbud. 1981. Dreman. Alih Aksara oleh I Made Suastika. Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Disimpan di Perpustakaan S1 Fakultas Sastra Unud dengan nomor 899.2108 Sua-k,c.3. Jakarta: Depdikbud Djapa, I Wayan. 1998. “Geguritan Diah Sawitri”. Djapa, I Wayan. 1998. “Geguritan Damayanti”. Depdikbud. 1980. Geguritan Brayut. Alih Aksara oleh I Nengah Ardika. Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Disimpan di Perpustakaan S1 Fakultas Sastra Unud dengan nomor 899.2108 Ard-g, c. Jakarta: Depdikbud. Pusdok. Geguritan Saci. Turunan rontal druwen Mekele Trena, Puri Kawan Singaraja. No. 585. Pusdok. Geguritan Dyah Arini. Buku Aksara Bali druwen Griya Jegu, Penebel, Tabanan. No. 979. Depdikbud. 1980. Geguritan Cilinaya. Alih Aksara oleh Cok Istri Oka. Diterbitkan oleh Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Disimpan di Perpustakaan S1 Fakultas Sastra Unud dengan nomor 899.2108 Ard-g, c. Jakarta: Depdikbud. Pusdok. Geguritan Dewi Sakuntala. Turunan Aksara Bali druwen Pusdok Bali Denpasar. No. 960.


329 INDEKS A Abrams 105 Acintya 148 Adia Wiratmadja 58, 59, 61, 62, 132, 134, 141, 153, 154, 155, 200, 224, 231, 241, 267 agnihotra 64, 75, 76 ahimsa 59, 60, 109, 270, 319 Anak Agung Ayu Oka 144 Ancer-ancer padalingsa 16 Apsara 50 Aquinas 159 ardhanareswari 148 Aristoteles 69, 158, 305 arja 2 Aryana 138, 149, 326 Atharvaveda 135, 136 Ayodhyapuri 25, 236 B Bali Adnyana 147 Baliaga 138, 139 Bali Anyar 1 Bali Purwa 1, 323, 326 Baumgarten 11 Belanda 144, 146, 147 Bertalanffy 12 Bhagawadgita 47, 50, 132, 153 Bhagawan Narada 27, 182, 183 Bharata 7, 36, 104, 129, 218, 266, 276, 289, 291, 294, 296, 299, 301 Bharati 47. Lihat juga Dewi Saraswati Bhatari Prtiwi 50, 51 Bhima 82, 83, 184, 186, 237, 240 bhuana agung 51, 52 bhuana alit 51 bhuh loka 63 Brahmanda Purana 50 Brahmi. Lihat juga Dewi Saraswati Brata 141, 169, 189, 221, 225, 244, 274, 287, 326 Budha 15, 19, 31, 86, 190, 305, 319, 328 Buleleng 144, 146 C Calon Arang 38 candi ning bhasa 46, 48 Candra Angin 30 Catur Lokapala 24, 27, 54, 80, 181, 235, 277, 295 Cedi 26, 27, 28, 80, 81, 124, 181, 182, 184, 186, 235, 236, 237, 286 Cedi Negara 26 Cilinaya ix, x, 6, 7, 10, 18, 34, 35, 39, 41, 43, 55, 57, 59, 60, 61, 62, 65, 98102, 118, 119, 128, 129, 203, 205-213, 260, 261, 262, 263, 275, 276, 283, 284, 289, 291, 293, 294, 296, 298, 299, 301, 302, 304, 310, 312, 314, 328 D Daha 6, 34, 39, 65, 98, 128, 129, 205, 206, 209, 262 Damayanti ix, x, 5, 10, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 38, 40, 42, 49, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 64, 65, 79, 80, 81, 82, 83, 111, 112, 113, 124, 125, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 184, 185, 186, 187, 231-241, 273, 274, 277, 281, 286, 287, 290, 292, 295, 297, 300, 302, 304, 310, 312, 328 Dangdang Gula 15, 16 Denpasar ii, iii, vi, 2, 144, 147, 323, 324, 325, 326, 327, 328, 334 Desa Berembeng 2 Desa Pekraman Cekik 2 Dewa Agung Istri Kania 144, 146 Dewa Indra 6, 32, 38, 58, 89, 91, 96, 109, 116, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 252, 253, 254, 255, 274, 282, 283, 288, 291, 293, 296, 298, 301, 320 Dewa Yama 20, 110, 123, 226, 231, 290 Dewi Durga 145, 148, 320 Dewi Ganga 47 Dewi Parwati 2, 320 Dewi Saci 6, 32, 39, 41, 58, 60, 61, 65, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 116, 117, 127, 196, 197, 198, 199, 200, 241, 242, 252, 253, 254, 255, 256, 274, 275, 278, 282, 283,


Ni Nyoman Karmini 330 288, 290, 291, 293, 296, 298, 300, 301, 310 Dewi Sakuntala ix, x, 7, 10, 14, 35, 43, 102, 103, 104, 105, 119, 129, 213, 216, 218, 263, 264, 266, 276, 279, 284, 289, 291, 296, 299, 301, 304, 311, 312, 328 Dewi Saraswati 22, 23, 45, 46, 47, 48, 75, 79, 83, 145, 148, 323 Dharma Udayana Warmadewa 144, 146 Dhyana 140 Diah Sawitri ix, x, 5, 10, 17, 18, 22, 38, 40, 42, 46, 49, 54, 56-61, 64, 75, 76, 78, 110, 111, 123, 124, 169, 170, 171, 172, 174, 175, 224, 225, 226, 227, 228, 229, 230, 269, 270-273, 277, 281, 285, 290, 292, 295, 297, 299, 300, 304, 310, 312, 328 Djapa 16, 324, 328 Djatajoe 3 Djelantik 11, 325 drama gong 2 Durma 14, 15, 16, 17, 18, 20, 23, 24, 26, 28, 29, 30, 36, 49, 55, 56, 64, 76, 78, 79, 80, 81, 82, 104, 119, 123- 125, 175, 180, 185, 186, 216- 218, 234, 237, 240, 265, 266, 273, 274, 276, 279, 281, 284 Duswanta 7, 15, 35, 36, 43, 65, 102- 104, 119, 129, 213-219, 263, 264, 265, 266, 279, 284, 289, 291, 294, 296, 299, 301, 302 Dyah Arini ix, x, 6, 10, 17, 18, 33, 34, 39, 41, 42, 43, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 65, 95, 96, 97, 98, 117, 118, 128, 200, 201, 202, 203, 256, 257, 258, 259, 260, 275, 278, 283, 288, 291, 293, 296, 298, 301, 304, 311, 312, 328 Dyah Sunanda 27 G Gandharwa 50 Geguritan Brayut x, 10, 17, 18, 31, 38, 40, 42, 55, 57-61, 65, 86, 89, 115, 126, 127, 190, 194, 245, 251, 252, 274, 282, 287, 290, 293, 295, 298, 300, 302, 304, 310, 313, 328 Geguritan Dreman x, 5, 10, 17, 21, 37, 40, 41, 53, 56-62, 64, 70, 74, 107, 108, 109, 120, 123, 165, 168, 220, 223, 267, 276, 279, 284, 289, 292, 294, 297, 299, 304, 309, 312 Geguritan Japatuan 2 Geguritan Jayaprana 2 Geguritan Pakangraras 2 Geguritan Saci x, 10, 14, 18, 31, 39, 41, 42, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 65, 89, 90, 116, 127, 128, 195, 200, 252, 255, 256, 274, 278, 282, 288, 290, 293, 296, 298, 300, 304, 310, 312, 328 Geguritan Tam Tam 2 Ginada 15-19, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 34, 35, 38, 40, 42, 49, 54, 55, 56, 64, 65, 76- 83, 99, 100, 101, 110-114, 118, 123, 124, 125, 126, 169, 171, 172, 178, 180, 182, 185, 187, 188, 189, 205- 212, 224, 226, 227, 230, 233, 234, 236, 238, 239, 240, 242, 26-263, 270, 271, 273- 278, 282, 284, 287, 313 Ginanti 14, 15, 16, 18, 19, 25, 28, 32, 39, 41, 55, 80, 82, 93, 117, 124, 127, 128, 178, 185, 197, 198, 199, 233, 237, 254, 255, 273, 275, 278, 283 Gita Santhi 2 Gria Banjar Memedi 249 Guna Priya Darma Patni 144, 146 Gunung Himawan 35 Gupta 47 Gusti Gde Mangku 32 Gusti Gede Mangku 6, 33, 89, 90, 91, 116, 127, 195, 196, 199, 252, 255, 256 Gusti Rai Adnyana 4 H Handayani 10, 158, 164, 324 Hastinapura 35, 36, 65, 102, 103, 104, 129, 216, 217, 219, 264, 265 Hayati 4, 324 Hindu iii, iv, v, vii, 2, 7, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 120, 130, 131, 132, 135, 137, 138, 139, 141, 142, 143, 145, 147, 148, 152, 155, 159, 188, 203, 206, 219, 224, 303, 305, 306, 307, 308, 310, 313, 314, 315, 316, 317,


Perempuan dalam Geguritan Bali 331 319-326, 328 Holleman 152 Horatius 49 Hyang Dwapara 25, 80, 111, 112, 124, 176, 178, 232, 241 Hyang Giri Putri 35, 101, 118, 212, 213, 263, 284, 294, 296, 299, 301 Hyang Nara Narayana 22, 23, 75, 79 Hyang Suranatha 24 I iccha-sakti 141, 143 Ida Bagus Geredeg 144 Ida I Dewa Agung Muter 144 Ida I Dewa Agung Putra 144 I Dukuh 6, 35, 99, 100, 118, 206, 207, 209, 210, 260, 261, 262, 263, 275, 283, 289, 291, 294, 296, 301 I Goesti Ajoe Rapeg 3, 144 I Gusti Ketut Jelantik 144, 146 I Gusti Ketut Kaler 51 I Gusti Made Dwiguna 311 I Gusti Ngurah Bagus 311 I Jatiraga 5, 21, 38, 56, 57, 59, 70, 71, 72, 73, 107, 108, 120, 121, 165, 166, 167, 168, 220, 221, 222, 268 Ijya 140 I Liku 34, 39, 61, 62, 98, 99, 118, 128, 129, 203, 204, 205, 209, 210, 213, 260, 262, 312 Indonesia ix, 2, 3, 4, 11, 13, 46, 149, 152, 324, 325, 326, 327, 328, 334 Indraloka 33, 36, 38, 39, 40, 41, 92, 95, 116, 127, 197, 199, 200, 202, 215, 320 I Nengah Sudharma 51 Inggris 11 Istri Kania 144, 146 I Suanggadarmi 5, 21, 22, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 70, 71, 73, 74, 107, 108, 109, 120, 121, 122, 165, 166, 167, 168, 169, 220, 221, 222, 223, 224, 267, 268, 269, 276, 277, 279, 280, 284, 285, 289, 292, 294, 297, 309, 312 I Wayan Mudarsa 311 I Wayan Rijek 61 I Wayan Wirata 311 I Wijasantun 5, 21, 57, 61, 62, 64, 70, 71, 72, 73, 108, 109, 120, 121, 122, 165, 166, 167, 168, 220, 221, 222, 223, 224, 267, 268, 269, 277, 279, 280, 285, 292, 312 J Jagaraga 144, 146 Jawa 1, 44, 323, 324, 325, 328 Jayasemara 34, 35, 43, 99, 100, 118, 128, 129, 207, 209, 211, 212, 261, 262, 263, 294 jenana-sakti 141, 143 Jenggala 6, 34, 99, 207 Jero Jempiring 144 K kalangwan 46, 48 Kayika 59 Keraf 37, 40, 41, 325 Ketut Setiari 147 Klungkung 144, 146 Kretanegari 58, 83, 125 kriyamana 56, 57 krya-sakti 141, 143 Kudaniryasa 98, 203 L labuh suara 15, 16 Luh Putu Haryani 3 M macapat 1, 15, 16, 19, 49 Made Tjatri 3 Madra 22, 64, 75, 76 Mahabharata 50, 137, 287 Mahendradattha 144, 146. Lihat juga Guna Priya Darma Patni Manawa Dharmasastra 48, 62, 63, 131, 136, 137, 143, 154, 155, 200, 224, 231, 242, 267, 315, 320 manusa yadnya 63, 64, 65, 157, 314 Maskumambang 15, 16, 19 matembang iii, v, 1, 86, 126, 190, 245 Megatruh 15, 16, 20 Mely G. Tan 3 Men Brayut 6, 86, 87, 88, 115, 126, 190, 191, 192, 193, 195, 245, 246, 247, 248, 249, 251, 252, 274, 282, 287, 288, 290, 293, 295, 298, 300, 302 Meru Emas 5, 73, 109, 168, 224, 285, 290, 295, 297, 299


Ni Nyoman Karmini 332 Mexico 3 Mijil 15, 16, 19 Mona 141 Mukarovsky 12 N Nahusa 6, 32, 39, 41, 61, 92, 93, 116, 117, 127, 128, 196, 197, 198, 199, 252-256, 274, 275, 278, 282, 283, 288, 291, 293, 296, 298, 301 ngrangkat 155, 156, 320 Ni Candrawati ix, x, 5, 10, 18, 31, 38, 40, 42, 49, 54, 55, 58-61, 65, 83, 84, 85, 113, 114, 125, 126, 187, 188, 189, 190, 242, 243, 244, 245, 274, 277, 278, 281, 282, 287, 290, 292, 293, 295, 298, 300, 302, 304, 311, 313, 328 Ni Gusti Ayu Rai 147 Ni Kesini 29, 82, 239, 277, 287 Nisada 30, 65, 79, 82, 186 niskala 45, 48, 52, 53, 94, 141 Niti Sastra 46 Ni Wayan Sami 3, 144 O Orde Baru 3, 324 P padalingsa 1, 13, 15, 16, 17, 313, 319 palawakia 1 Pan Brayut 86, 87, 88, 115, 126, 190, 191, 192, 193, 194, 247, 248, 249, 250, 251, 282, 288, 295 panca çradha 50, 53, 314 Panca mahabhuta 52 Panca Pandawa 137 Pandan Sekar 35, 99, 208, 209, 210, 211, 212, 262 Pangeran Jembong 88, 194, 249, 250, 251 Pangkur 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 54, 55, 64, 76, 79, 80, 82, 90, 96, 103, 112, 125, 128, 176, 177, 181, 184, 195, 201, 214, 232, 234, 235, 237, 239, 252, 257, 258, 275 Paramasastra 47 Paramatman 51, 52, 56, 63 patriarki 159 Pemecutan 144 Perempuan Santhi 147 pitrayadnya 151 Plato 159 Prabu Nala 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 240 prakerti 51, 52 prarabda 56 Provinsi Bali 2, 324, 325 Pucung 15, 16, 19, 20 Pukari 47. Lihat juga Dewi Saraswati Punta Kartala 35 pupuh Cecangkriman 17, 21, 22, 56, 122, 168 Pupuh Gagak Amanis 21, 34 Puputan Badung 144 Puputan Klungkung 144 purusa 51, 52, 78, 151, 155 Puskara 25, 30, 61, 80, 82, 112, 124, 176, 177, 178, 186, 232, 240, 286, 298, 302 Putri Bali Sadar 144, 147 R Raghunath Airi 47 Rangda Jirah 38 Rgveda 135, 136, 137, 154 Rituparna 25, 27, 28, 29, 30, 31, 81, 82, 183, 184, 185, 236, 237, 238, 239, 274 Romawi 158 Rsi Markandeya 75 S Sagung Wah 4 Sakalindu Kirana 149 Sakuntala ix, x, 7, 10, 14, 15, 17, 18, 35, 36, 39, 41, 43, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 65, 102, 103, 104, 105, 119, 129, 213-220, 263-267, 276, 279, 284, 289, 291, 294, 296, 299, 301-304, 311, 312, 328 samhita 31, 88, 89, 115, 126 samsara 53, 57, 130, 203, 314 sancita 56, 57, 220 Sang Citrabala 72, 73, 221, 269 Sanggah Kemulan 151 Sang Hyang Dwapara 111, 112, 176, 232, 241 Sang Jogormanik 72, 73 Santi Adnyana 147 Sarada 47. Lihat juga Dewi Saraswati Sarwadamana 7, 36, 103, 104, 129, 216,


Perempuan dalam Geguritan Bali 333 217, 218, 219, 264, 266, 276, 284, 294, 296, 299, 301, 303 Satyawan 22, 23, 38, 40, 54, 56, 64, 76, 77, 78, 110, 111, 123, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 224- 231, 269, 270, 271, 272, 273, 281, 286, 297 sekar alit 1, 15, 16, 319 Selemadeg 2 Singaraja 2, 144, 146, 323, 327, 328, 334 Sinom 13-18, 20, 22, 24-31, 33, 34, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 46, 49, 54, 55, 56, 58, 64, 65, 75, 77-82, 86, 95, 98, 101, 102, 103, 111, 112, 115, 123, 124, 125, 126, 169, 170, 173, 175, 176, 178, 179, 182, 183, 184, 185, 186, 190, 203, 204, 205, 212-215, 225, 227, 228, 230, 232, 233, 235- 239, 240, 245, 260, 263, 270, 271, 272, 274, 277, 313, 314 Si Wreta 91, 92, 116, 196 Smarandhana 14, 15, 16, 18, 32 Snana 141 Soetarno 37, 327 Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi 143, 146 Sri Sang Adnya Dewi 149 Sri Sang Ajnyadewi 144, 146 Stri Sakti 136 Sugiarti 10, 158, 164, 324 Sunanda 27, 28, 80, 182, 186, 236 Sungai Bhagirathi 47 Suralaya 6, 38, 55, 58, 198, 202, 214, 258, 275, 282, 283, 288, 290, 291, 293, 296, 298, 301 Surya Kanta 3, 306 Suryani 145, 162, 307, 327 swadharma 137, 138, 272, 315, 317 Swadyaya 140 swah loka 52, 63 T Tabanan 2, 155, 324, 325, 328, 334 Tapa 33, 95, 97, 110, 140, 170 tapa brata 5, 22, 46, 64, 75, 76, 77, 110, 123, 124, 169, 170, 171, 175, 201, 225, 226, 230, 258, 270, 271, 281, 283, 285, 286, 288, 290, 295, 297, 300 Tasrif 68 tatwa 50, 53, 313, 318, 322 Teeuw 12, 36, 37, 43, 49, 69, 327 Tembang macapat 1 Tikus Kabanting 17, 18, 31, 38, 40, 42, 55, 86, 115, 126, 190, 245, 274, 313 Trenawindu 6, 33, 34, 58, 59, 60, 61, 95, 96, 97, 117, 118, 128, 200, 201, 202, 256, 257, 258, 259, 275, 283, 298 Tri hita karana 50, 51, 322 Tri kaya parisudha 59 tri sakti 141, 143 U Universitas Udayana 2, 323, 324, 325, 327, 328, 334 Upasthanigraha 140 Upawasa 141 V Vayu Purana 47, 50, 324 W Wacika 59 Wagiswari 47. Lihat juga Dewi Saraswati Warsneya 25, 27, 29, 177, 232, 238, 239 Weda 47, 48, 106, 131, 134, 135, 137, 141, 143, 154, 308, 311, 315, 319, 320, 322, 328 Widarbha 24, 25, 26, 28, 29, 30, 79, 80, 81, 82, 83, 177, 178, 179, 184, 185, 186, 232, 233, 236, 237, 238, 239, 240, 273, 274, 281, 286, 295, 302 Windhu Sancaya 4, 147 Wiratmadja 58, 59, 61, 62, 132, 134, 141, 153, 154, 155, 200, 224, 231, 241, 267 Wiswamitra 36, 214, 215 Wrehadaswa 30, 82 Y Yayurveda 135 yoga sastra 45, 48 yoga semadi 45, 48 Yudhisthira 30 Yunani 11, 158 Z Zoetmulder 45, 47, 48, 135, 328


334 TENTANG PENULIS Dr. Dra. Ni Nyoman Karmini, M.Hum., dilahirkan di Wanasari Tabanan pada tanggal 23 Agustus 1959. Pernah mengajar di SMA Saraswati 1 dan 2 Tabanan, TGA Saraswati Tabanan, PGAH Saraswati, dan SMA Harapan Tabanan. Kini tetap sebagai Dosen Kopertis Wilayah VIII dipekerjakan di IKIP Saraswati Tabanan sejak tahun 1987. Meraih gelar kesarjanaan (Sarjana Muda dan Sarjana) di FKIP Unud Singaraja. Meraih Magister Humaniora (M.Hum.) tahun 2002 dan Doktor (Dr.) Linguistik (Wacana) di Program Doktor Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar tahun 2008. Selama menjadi Dosen, pernah sebagai Ketua Jurusan, Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, dan kini (tahun 2010) bertugas juga di Pusat Penelitian (Puslit) IKIP Saraswati Tabanan. Buku yang pernah diterbitkan, antara lain Assesmen Penilaian Bahasa Indonesia (2010) dan Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama (2011). Selain aktif sebagai pembicara dalam forum ilmiah, tulisan ilmiahnya juga telah diterbitkan dalam berbagai jurnal yang terakrediatasi.


si teks geguritan yang dianalisis dalam buku ini, ada tujuh hal yang dapat dikategorikan sebagai temuan baru. (1) IDalam teks diungkap secara jelas bahwa perempuan berpendidikan dapat menentukan sikap, dapat membuat putusan yang harus dijalaninya dalam hidup ini, dapat menunjukkan harga diri dan menjaga martabatnya sebagai perempuan; (2) Dalam teks diungkap secara jelas bahwa perempuan dinyatakan memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mengarahkan kehidupan ini ke arah yang baik atau ke arah kehancuran. Ini berarti perempuan tidak lemah dan berarti pula stereotip yang menyatakan bahwa perempuan lemah dan harus dilindungi ditolak; (3) Perempuan berpendidikan, berperilaku subha karma dan dilandasi oleh ajaran agama Hindu, seperti tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata dan dasa yama brata mampu menjadi penyeimbang kehidupan di dunia ini dan menjadi kekuatan laki-laki yang disebut sakti; (4) Perempuan sebagai sakti dan penyeimbang mampu menjadi pusat/subjek/diri pada peristiwa-peristiwa yang dialami dalam hidupnya; (5) Sosok perempuan yang digambarkan dalam teks adalah perempuan yang mampu menunjukkan diri bahwa kemampuan perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan mampu menunjukkan esensi keperempuanannya; (6) Gambaran sosok perempuan dalam teks mendukung perjuangan Feminis Radikal-Kultural, sebab sesuai dengan hakikat perempuan atau wadhu tatwa; (7) Teori Feminis ternyata dapat digunakan dalam analisis sastra tradisional yang selama ini dipandang hanya dapat digunakan untuk sastra modern.


Click to View FlipBook Version