Ni Nyoman Karmini 90 Mangku menekankan kembali kepada istrinya supaya mengikuti jejak Dewi Saci. Dan berpesan pula kepada istrinya (para perempuan) untuk selalu berbakti kepada tiga guru (guru rupaka, guru laki/suami dan guru pengajian) mengikuti jejak Dewi Saci dalam menjaga dan melindungi suami. Dalam Geguritan Saci jelas sekali terlihat bahwa pengarangnya mengajari pembacanya lewat nasihat-nasihat, baik nasihat yang ditempatkan pada bagian awal cerita maupun pada bagian akhir cerita. Dengan kata lain, peristiwa dalam Geguritan Saci diawali dan diakhiri dengan penyelesaian cerita (dalam hal ini berupa nasihat-nasihat). Gerak alur Geguritan Saci diawali dengan pernyataan rendah hati pengarang dan pemujaan terhadap Hyang Widhi serta nasihat-nasihat yang ditujukan kepada pembaca. Pernyataan ini dilukiskan pada bait 1–11 pupuh Pangkur. Berikut ini kutipan bait 5 dan 6 pupuh Pangkur. Resep teken kapatutan/ menyewaka ring kadang braya sami/ mangdene tresna setuju/ tekening kapatutan/ malar sudi/ sedeke mamanggih lacur/ sakit katiben sangsara/ ada teka mangolasin (bait 5 pupuh Pangkur). Terjemahannya: Memahami tentang kebenaran/ berhubungan baik dengan keluarga dan tetangga/ supaya semua kasih/ dan percaya kepada kebenaran/ supaya turut perihatin/ ketika mendapatkan kesusahan/ sakit ataupun kena kesusahan yang lain/ ada yang iklas membantu. Mangda sampun kadi titiang/ tulus lacur dening tan mawak kerti/ prisasat i kakul ika/ ngulintik singsing jalan/ oros semut/ enyen sih pacang manglingu/ dening daging twara ada/ dija kadange manolih (bait 6 pupuh Pangkur). Terjemahannya: Supaya jangan seperti saya/ menjadi menderita karena tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain/ seumpama keong/ tergeletak di jalan-jalan/ diseret semut/ siapa yang akan memperhatikan/ sebab isi tidak ada/ mana sanak saudara mau menoleh. Kemudian dipaparkan perkelahian yang dilihatnya yang terjadi antara Gusti Gede Mangku dengan Wayan Rijek. Akibat perkelahian itu, Gusti Gede Mangku terluka parah. Istrinya sangat sedih dan sesambatan. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 12–38 pupuh Pangkur. Berikut kutipan bait 13 dan bait 38. Mara nincap bungas jebag/ kaget ningeh munyi uyut makoci/ tur manjerit nagih tulung/ ditu lantas manjagjag/ satekane/ medasang munyine uyut/ sagetan anak miyegan/ musungan mukur ban keris (bait 13). Terjemahannya: Baru sampai diperbatasan/ lalu mendengar suara ribut-ribut/ dan menjerit minta tolong/ lalu lari mendekat/ setibanya/ memastikan suara rebut/ ternyata orang berkelahi/ sambil menghunus keris. Tadtad tengteng Ratu titiang/ mangden sida titiang kari mahurip/ yen kari jumah
Perempuan dalam Geguritan Bali 91 tan urung/ mamangih kaduhkitan/ twara mati/ janten jengahe mangebug/ kalih twara nyandang titiang/ kaliput kasmaran kingking (bait 38). Terjemahannya: Tuntunlah saya Ratu/ supaya masih Pada saat itulah, Gusti Gede Mangku membujuk dan menasihati istrinya dengan memberi contoh usaha yang dilakukan Dewi Saci dalam menolong Dewa Indra yang kena kutuk.bisa hidup/ jika masih di rumah pasti akan/ menemukan kesengsaraan/ tidak meninggal/ pastilah rasa malu yang menyerang/ dan tidaklah pantas saya/ diliputi asmara. Mendengarkan sesambatan istrinya, Gusti Gede Mangku tersentuh hatinya. Pada saat itulah, Gusti Gede Mangku membujuk dan menasihati istrinya dengan memberi contoh usaha yang dilakukan Dewi Saci dalam menolong Dewa Indra yang kena kutuk. Peristiwa ini dikisahkan pada bait 1–4 pupuh Semarandana. Berikut dikutip bait 2 dan bait 4. Kaling kene buka beli/ manusa nista katunan/ kirti duk tonden njanmane/ to ida Bhatara Indra/ masih bisa kasasar/ manyangid di sarin tunjung/ tunjunge batan samudra (bait 2). Terjemahannya: Apalagi seperti kakak/ sebagai manusia banyak kurang/ berbuat baik saat lalu/ Ida Bhatara Indra saja/ masih dapat berbuat salah/ sembunyi di sari bunga tunjung (padma)/ tunjung (padma) di dasar samudra. Tulah wasana pati/ keto dane Sang Korawa/ nanging ta Sang Hyang Indrane/ tulah twara Ida seda/ kewala mangkin sasar/ yen akudang-kudang tahun/ mengkeb di tengah sagara (bait 4). Terjemahannya: Terkutuk mati karena perbuatan buruk/ begitulah Sang Korawa/ tetapi Ida Sang Hyang Indra/ terkutuk tetapi tidak mati/ melainkan tersesat/ entah beberapa tahun/ sembunyi di tengah laut. Peristiwa selanjutnya adalah pengisahan secara kronologis kisah Dewi Saci. Peristiwa kronologis pertama adalah situation yang diawali dengan kisah perbuatan Dewa Indra membunuh sahabatnya Si Wreta (putra Hyang Prajapati). Kemudian diciptakan kembali Raksasa Iranyakasipu oleh Sang Hyang Prajapati. Kesaktiannya luar biasa dan jauh melebihi Si Wreta. Raksasa ini tidak dapat dibunuh dengan senjata apapun dan tidak bisa mati di siang maupun malam hari. Dengan segala cara, Sang Hyang Indra berusaha menjadi sahabatnya dan sekaligus memohon jalan untuk membunuh Iranyakasipu. Akhirnya, raksasa itu pun mati. Betapa sedihnya Sang Hyang Prajapati sehingga selanjutnya diciptakan kembali detya tenggek tiga. Singkat cerita raksasa itupun mati. Namun, Sang Hyang Indra pikirannya bingung. Beliau pergi ke taman lalu menghilang. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 5–34 pupuh Semarandana. Berikut hanya dikutip bait 5 dan bait 34.
Ni Nyoman Karmini 92 Sisip idane to adi/ tulah nyingse kakantenan/ okan Hyang Prajapatine/ ento ne madan Si Wreta/ kasub dane wisesa/ pararatu pada nungkul/ swargane wus kawinaya (bait 5). Terjemahannya: Kesalahan Beliau adik/ terkutuk karena menyiksa sahabat/ anak Hyang Prajapati/ itu yang bernama Si Wreta/ terkenal dia sangat sakti/ para raja semua menghormatinya/ Sorga juga dikuasainya. Sasubane keto jani/ Sang Hyang Indra buwin ucapang/ wetu byapara kayune/ inguh cacingake sumbrah/ kataman upadrawa/ rajapanulahe ngebug/ musna twara bani ngenah (bait 34). Terjemahannya: Setelah itu sekarang/ Sang Hyang Indra lagi dibicarakan/ muncul pemikiran yang bukan-bukan/ bingung penglihatannya seperti kerasukan roh jahat/ lalu pergi ke taman upadrawa/ diserang rasa bersalah yang amat sangat/ akhirnya menghilang tidak berani menampakkan diri. Peristiwa kronologis kedua yakni generating circumstances, dengan pengisahan bahwa di Sorga terjadi keperihatinan dengan menghilangnya Sang Hyang Indra, sehingga dilakukan pencarian ke mana namun tetap juga tidak ditemukan. Lalu diadakanlah sidang untuk memilih raja. Terpilihlah Raja Nahusa sebagai raja di Indraloka. Namun, lama kelamaan kelihatan perilaku Nahusa tidak baik. Bidadari banyak dijamahnya. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 35 –38. Berikut ini kutipan bait 38. Kaswen dane ngagungin/ Dadarine akeh kalap/ rabine ne jegeg-jegeg/ sakayune kahuluran/ waluya Sang Hyang Indra/ kagungan danene ditu/ di Swargan wirya wibawa. Terjemahannya: Terlalu lama ia menjadi raja/ para bidadari banyak diambil dijadikan istri/ istrinya yang cantik-cantik/ sekehendak hatinya terpenuhi/ persis seperti Sang Hyang Indra/ kemuliaannya di sana/ di Sorga sangat berkuasa. Peristiwa kronologis ketiga adalah rising action dijelaskan dengan uraian bahwa telah beberapa tahun Nahusa menjadi raja di Indraloka, muncul keinginannya memiliki Dewi Saci setelah ia melihatnya. Dewi Saci hendak diperkosa, namun Dewi Saci segera melaporkan kejadian itu kepada Bhagawan Wrehaspati. Ia lebih memilih mati dibanding dijamah oleh Nahusa. Oleh karena itulah, Bhagawan Wrehaspati bersemedi untuk mengetahui keberadaan Sang Hyang Indra. Kemudian, Bhagawan Wrehaspati dibantu oleh Sang Hyang Uma untuk menemukan Sang Hyang Indra yang berada di dasar lautan. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 39 – 52 pupuh Semarandana. Berikut ini dikutip bait 39 dan bait 52 pupuh Semarandana. Yen akudang tahun mbukti/ Sang Nahusa di Swargan/ mawetu ranca kayune/ dening dane polih nyingak/ rabinda Hyang Indra/ mawastu dane
Perempuan dalam Geguritan Bali 93 ulangun/ kalemesin sabran dina (bait 39) Terjemahannya: Entah beberapa tahun berkuasa/ Sang Nahusa di Sorga/ muncul pikirannya bercabang/ sebab ia dapat melihat/ Dewi Saci istri Hyang indra/ menyebabkan ia terpesona/ sehingga Dewi Saci dirayu setiap hari. Saget Sang Hyang Umasruti/ rawuh ngadeg di arepan/ Bhagawan Wrehaspatine/ macebur matur sembrama/ ngaturang wangsuh pada/ saha maduluran atur/ nunas kanti ring Bhatara (bait 52). Terjemahannya: Seketika Sang Hyang Umasruti/ datang dan berdiri di hadapan/ Bhagawan Wrehaspati/ turun dari tempat duduk dan menghormat/ mempersembahkan air suci/ disertai permohonan/ mohon perlindungan dari Hyang Bhatara. Peristiwa kronologis keempat adalah climax dengan pemaparan bahwa setelah mohon perlindungan kepada Hyang Uma, maka diketahuilah tempat sembunyi Hyang Indra. Lalu mereka (Bhagawan Wrehaspati, Hyang Uma dan Dewi Saci) berangkat menemui Hyang Indra dan menyampaikan permasalahannya. Diaturlah siasat, yakni Dewi Saci harus menerima pinangan itu dengan syarat pada saat pernikahan, supaya diusung oleh para Rsi. Permintaan itu diterima oleh Nahusa. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1–46 pupuh Ginanti. Berikut ini kutipan bait 2 dan bait 46. Kantinin ja titiang Ratu/ sumangdene nyidayang panggih/ linggih Idane Hyang Indra/ musna tan pakanten linggih/ I Ratu aturin titiang/ mangruruh mangda kapanggih (bait 2). Terjemahannya: Jadikan saya sahabat Ratu/ supaya bisa menemukan/ tempat Ida Hyang Indra/ yang hilang tanpa diketahui tempatnya/ Ratu yang dimintai pertolongan/ mencari supaya ketemu. Watek Resine mabriyuk/ sawure twara mangiring/ Sang Nahusa ditu Kroda/ manyambak Sang watek Resi/ katigtig ada kahingsak/ katanjung ebah mapugling (bait 46). Terjemahannya: Semua para Resi serentak berkata/ jawabannya tidak setuju/ Sang Nahusa sangat marah/ menjambak para Resi/ dipukuli dan ada yang diinjak-injak/ dan ada pula yang disepak hingga terjatuh ke tanah. Peristiwa kronologis kelima yaitu denoument dengan pemaparan bahwa setelah para Resi disiksa, mereka lalu mengutuk Nahusa supaya menjadi ular yang kecil dan kurus di bumi dan sengsara selama seribu tahun. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 47 yang dikutip berikut ini. Sang Resi ida memastu/ prajani tulah manyuprit/ tiba di gumine panas/ dadi ula kurus aking/ kasayan panes ngentak/ siyu tahun sedih kingking.
Ni Nyoman Karmini 94 Terjemahannya: Para Resi mengutuk/ seketika kutuk terjadi dan jatuh/ sampai di bumi yang panas/ menjadi ular kurus sekali atau kecil sekali/ lama-kelamaan panas membara/ seribu tahun menderita kesedihan. Setelah cerita tentang Dewi Saci selesai, dilanjutkan dengan penegasan dan nasihat Gusti Made Mangku kepada istrinya supaya meniru perbuatan Dewi Saci yang setia dan dapat menyelamatkan suaminya dari penderitaan atau hukuman. Perbuatan baik yang dilakukan dapat sebagai bekal pada nantinya setelah menghadap Beliau. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 48–63. Berikut ini dikutip bait 48 dan 61. Keto adi apang tau/ nene kaucap di aji/ tingkah sang istri utama/ patibratane ring laki/ buka gununge upama/ne katempuh bahan angin (bait 48) Terjemahannya: Begitulah supaya adik mengetahui/ yang tertulis dalam sastra (agama)/ perilaku seorang istri yang utama/ melakukan patibrata untuk suami/ seumpama sebuah gunung/ yang kena angin kencang. Keto sang mangardi ayu/ mamunggelin demen ati/ dening twara mati byah/ mangulurin demen ati/ yoga tapane ginengang/ di niskala kapuponin (bait 61). Terjemahannya: Begitulah orang yang berbuat untuk kebaikan/ menahan kesenangan di hati/ sebab tidak hanya sekadar mati/ mengikuti kesenangan hati/ yoga tapa selalu dilaksanakan/ di alam lain akan mendapatkan hasilnya. Gerak alur atau plot Geguritan Saci digambarkan pada diagram 3.6 berikut ini. Diagram 3.6 Alur Geguritan Saci Keterangan: = alur berdasarkan pengelompokan = alur sorot balik (cerita dimulai dan diakhiri dengan nasihat) = gerak alur kronologis PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Perempuan dalam Geguritan Bali 95 Alur Geguritan Dyah Arini Geguritan Dyah Arini menggunakan alur kronologis. Peristiwa kronologis pertama adalah situation yang diawali dengan pemaparan bahwa ada seorang pertapa bernama Trenawindu. Tapa-nya berhasil dan terkenal hingga ke Indraloka. Sang Hyang Surapati was-was kewibawaannya tertandingi. Oleh karena itu, dicari cara untuk menggagalkan tapa Trenawindu. Ditugaskanlah bidadari Dyah Arini untuk menggagalkan tapa Trenawindu. Dyah Arini menyetujui tugas tersebut. Hal ini dikisahkan pada bait 1–11 pupuh Demung. Berikut ini dikutip bait 11. Ajrih makadi subakti kakawula/ sangkan ing sapra lalu/ cendek pesu atur/ sapranitah tityang ngiring/ pilih katahuran/ utang tityang wekas ing wibuh/ ring Ida Bhatara/ awanan kadi mangkin/ manah tityang mbuwatang pisan/ twah sumengka asing pituduh. Terjemahannya: Merasa takut karena berbakti sebagai hamba/ karena itu sambil lalu/ pokoknya ke luar perkataan/ sesuai perintah saya menerima tugas/ berharap terbayar/ utang budinya kepada junjungan/ Ida Bhatara/ itu sebabnya sekarang/ keinginan saya memenuhi sekali/ hanya taat pada perintah. Peristiwa kronologis kedua adalah generating circumstances. Pada peristiwa ini dilukiskan bahwa setelah Arini menerima tugas lalu pulang. Sebenarnya, ia menerima tugas tidak sepenuh hati sebab ia selalu berusaha melaksanakan yang terbaik untuk hidupnya. Ia menyadari bahwa tugas itu berat dan tidak baik. Ia pasti kena kutuk. Sia-sialah perilaku baiknya selama hidupnya. Mungkin ini takdir. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 12–44 pupuh Demung dan bait 1–18 pupuh Sinom. Brikut ini hanya disajikan kutipan bait 44 pupuh Demung dan bait 18 pupuh Sinom. Mengpeng bengong Dyah Arini makenehan/ bangun ngantyang macelup/ matindakan aluh/ dasdasan manampek kori/ makenyet sandeha/ ndingeh sipta tan rahayu/ cekcek mabyayuhan/ mamunyi uli duri/ yen tekane pacang duwak/ tuwara buhung manggih pakewuh (bait 44 pupuh Demung). Terjemahannya: Pada saat terbengong-bengong Dyah Arini berpikir/ bangun menunggu masuk/ jalannya ringan/ hampir mendekati gapura/ terkejut hati kecilnya/ mendengar firasat tidak baik/ cicak rame berbunyi/ berbunyi dari belakang/ bila kedatangannya kentara/ pastilah mendapat kesusahan. Keto pataken sang tapa/ sogol ta matabuh pangid/ pasaja mawedar tarka/ sang katakeh katakenin/ maliyat sawang jengis/ nyarere nguntul masawur/ ature megat-megat/ bun pasakit pesu munyi/ ndudut kahyun/ yeh matane patambuwas (bait 18 pupuh Sinom).
Ni Nyoman Karmini 96 Terjemahannya: Begitu pertanyaan sang tapa/ bicaranya apa adanya/ berkata dengan sebenarnya/ orang yang dihadapinya ditanya/ melihat seperti mau menangis/ melirik menunduk dan menjawab/ kata-katanya putus-putus/ kata-katanya ke luar seperti orang sakit/ menyentuh hati/ air matanya mengalir deras. Peristiwa kronologis ketiga yaitu rising action. Pada peristiwa ini dikisahkan bahwa dengan pertanyaan sang tapa, Arini menjawab dengan mengatakan mau manghamba dan menyerahkan diri kepada sang tapa. Namun akhirnya, sang tapa marah setelah mengetahui bahwa Arini ditugaskan oleh Hyang Indra untuk menggoda tapanya. Ia lalu mengutuk Arini. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1– 25 pupuh Pangkur. Berikut ini disajikan kutipan hanya bait 25. Ngentuk di arep sang tapa/ ngusap pada lantas manunas urip/ panteg tangkahe manduwuh/ madekesan ngurasap/ klik-klik di katigane mangawuk/ suwe sakit kapanesan/ satmakanya Dyah Arini. Terjemahannya: Seperti tidak berharga di hadapan sang tapa/ mengambil kaki sambil mohon diampuni/ dipukul dadanya sakit/ menahan sambil meraba-raba/ rebut-ribut suara burung klik-klik pada saat sasih katiga/ terlalu lama sakit karena kepanasan/ itu perumpamaan untuk Dyah Arini. Peristiwa kronologis keempat yakni climax. Pada peristiwa ini dilukiskan bahwa setelah mengetahui tujuan Dyah Arini mendatanginya, Bhagawan Trenawindu marah luar biasa dan mengutuk Arini supaya turun ke bumi menjadi manusia. Mendengarkan kutuk tersebut, Dyah Arini sangat sedih. Ia menyesalkan Dewa Indra dan menyayangkan perilaku baiknya selama ini yang sia-sia karena tugas berat yang dibebankan kepadanya oleh Dewa Indra. Ia mohon dengan sangat kepada Bhagawan Trenawindu supaya membatalkan kutuknya. Ia mau menebus nyawanya dengan emas permata. Ia terus sesambatan. Ia merasa sebagai pengabdi yang baik kepada Ida Bhatara tetapi tetap menemukan hal yang jelek. Ia juga berpesan kepada Bhagawan Trenawindu supaya memenuhi permintaannya setelah ia mati. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1–16 pupuh Gagak Amanis. Berikut ini disajikan kutipan bait 1 dan 16. Sedih kangen muwug ngasih-asih/ nunas ica/ pilih kasansata/ sangkan mamunyi ndulame/ muhug patijalamut/ sasambatate ngolasang ati/ nyelsel Bathara Indra/ lalise kalahut/ buka nggumanayang pisan/ manyeburang/ di kawahe angkik-angkik/ nandangin kebus manah(bait 1). Terjemahannya: Sedih sekali dan memelas hati/ mohon kebaikan/ untuk boleh memilih/ itu sebabnya berkata-kata memanggil-manggil/ tidak keruan/ sesambatan mengharukan hati/ menyesalkan Bhatara Indra/ ikhlasnya kelewatan/ sepertinya memang disengaja/ menjatuhkan/ di kawah menderita/
Perempuan dalam Geguritan Bali 97 menahan pikiran panas. Eling-elingang punika gusti/ sampun lipya/ eda nambarayang/ pabesen atur tityange/ padalem tityang lacur/ sangsara di sawange sepi/ ne mangkin kudyang tityang/ titah wastan ipun/ Dewa suksma manuduhang/ manah tityang/ teleb tan patut pangesti/ pang eda mungpang laksana (bait 16). Terjemahannya: Ingat-ingatlah itu gusti/ jangan lupa/ jangan menganggap enteng/ pesan yang saya sampaikan/ kasihanlah pada saya yang menderita/ menderita di tempat yang sepi/ sekarang bagaimana cara saya/ takdir namanya ini/ Tuhan yang mentakdirkan/ keinginan saya/ sangat taat dan tidak mengharap yang tidak baik/ supaya tidak salah dalam berperilaku. Peristiwa kronologis kelima adalah denoument. Pada peristiwa ini dilukiskan bahwa mendengarkan sesambatan Dyah arini yang sangat menyentuh hati, maka Bhagawan Trenawindu hatinya luluh, pandangannya manis kepada Dyah Arini. Lalu berkata, kamu akan menjadi manusia, kamu menjadi sanak saudaraku dan lahir di keluarga terhormat yaitu keluarga Ragu dan akan segera kembali ke tempat asalmu. Lalu Dyah Arini di-pralina.Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1–11 pupuh Demung. Berikut ini disajikan kutipan bait 4 dan 5. Sang tapa macelos kayune mirengan/ masawang murub/ katistisan banyu/ ahep mari dumilah ngendih/ swabawane egar/ cacingake manis nyunyur/ kadi jambe nguda/ matimpal sedah gading/ komoh jahen yen kecapang/ wacana sang tapa alus (bait 4). Terjemahannya: Sang Tapa mendengarkan dan hatinya sangat tersentuh/ wajahnya ceria/ seperti kena air/ wajahnya berseri-seri/ dan sangat senang/ pandangan manis sekali/ seperti buah pinang muda/ serta sirih yang muda kekuningkuningan/ seumpama kaldu yang enak dicicipi/ perkataan sang tapa lembut. Ih dikapan bapa dadi tan paliyat/ tuwara mangelah semu/ reh utama nulus/ i dewa kajaten lwih/ yadin ngamanusa/ i dewa mawak tumurun/ anggon bapa kadang/ nah palila di ati/ srestin Bhatara adanya/ larapan bagiane katepuk (bait 5). Terjemahannya: Ih bagaimana mungkin aku tidak melihat/ tidak mempunyai rasa/ sebab utama sekali/ kamu ternyata sangat baik/ walaupun menjadi manusia/ kamu akan turun ke dunia/ dijadikan keluarga/ nah terimalah dengan senang hati/ perintah Bhatara namanya/ nanti pasti bahagia. Gerak alur Geguritan Dyah Arini digambarkan pada diagram 3.7 berikut ini.
Ni Nyoman Karmini 98 Diagram 3.7 Alur Geguritan Dyah Arini Keterangan: = pengelompokan alur = gerak alur kronologis Alur Geguritan Cilinaya Rangkaian peristiwa dalam Geguritan Cilinaya dipaparkan secara kronologis. Peristiwa kronologis pertama yang disebut situation diawali dengan pemaparan bahwa Raja Daha adalah raja yang berkuasa dan mempunyai patih yang bernama Kudaniryasa. Kudaniryasa mempunyai anak bernama I Liku. I Liku menjadi istri raja. Berkat guna-guna yang dipakainya, ia menjadi berkuasa. Oleh karena itu, permaisuri raja dan putrinya dapat disingkirkannya dan dibuang ke hutan. Peristiwa ini dilukiskan pada bagian I bait 1–20 pupuh Sinom. Berikut disajikan kutipan bait 5 dan bait 20. Makejang rabine kalah, wenten rabi satus diri, I Liku ngrangsuk busana, ngangge guna luih-luih, di mata I Rangkesari, di awak I Bangkung buduh, di lima I Jaringsutra, di bibih I Tungtungtangis, ne di rambut, guna Ajar Jaran Guyang (bait 5). Terjemahannya: Semua para istri raja kalah, istri raja ada seratus orang, I Liku memakai perlengkapan diri, menggunakan guna-guna yang hebat kekuatan gaibnya, di mata guna I Rangkesari, di badan I Bangkung buduh, di tangan I Jaringsutra, di bibir I Tungtungtangis, yang di rambut, guna Ajar Jaran Guyang. Ngangen Ida Pameswari, wireh Raden Dewi alit, kakutang tengahing alas, liu pada kangen sedih, lalisan ida bupati, maputra ring Raden Galuh, miwah Ida Prameswarya, tan meling ida ring rabi, ya I Liku, liu pada manyelselang (bait 20). PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Perempuan dalam Geguritan Bali 99 Terjemahannya: Sedih Ida Prameswari, sebab Raden Dewi masih kecil, dibuang di tengah hutan, banyak orang kasihan dan sedih, kelewatan sekali ida bupati, kepada Raden Dewi putrinya, dan juga kepada Prameswari, tidak ingat ia kepada istrinya, I Liku, banyak sekali yang menyesalkan. Peristiwa kronologis kedua yaitu generating circumstances. Pada peristiwa ini, dilukiskan bahwa prameswari berada di tengah hutan jauh dari tetangga. Mereka hanya makan buah-buahan. Setelah lama di hutan, prameswari sakit lalu meninggal. Raden Dewi (I Cilinaya) tinggal sendirian tanpa makan sebab masih kecil sehingga ia kurus sekali dan hampir meninggal. Pada suatu saat ada orang datang ke tempat Raden Dewi. Ia lalu ditolong oleh I Dukuh. Sejak itu, I Dukuh hidupnya serba kecukupan. Pada suatu saat, putra Raja Jenggala (Jayasemara) berburu ke hutan diantar banyak pengawal. Setelah sore hari, Beliau istirahat di rumah I Dukuh. Bertemulah ia dengan I Cilinaya. I Cilinaya dijadikan istri oleh Jayasemara. Singkat cerita mereka telah mempunyai anak laki-laki. Peristiwa ini dilukiskan pada bagian II bait 1–57 pupuh Ginada. Berikut ini disajikan kutipan bait 55 dan bait 56. I Cilinaya lintang suka, sayange tan sipi-sipi, parekan wang jero katah, lanang istri ngayahin ditu, sakita karepe reko, Raden Mantri, tuwara taen ida tulak (bait 55). Terjemahannya: I Cilinaya sangat bahagia, karena sangat disayangi, dayang-dayang banyak sekali, laki perempuan melayani, segala kehendaknya, Raden Mantri, tidak pernah menolak. Raden Mantri lintang suka, tur maputra lanang apekik, mula tuah stri utama, wicaksana kawia mulus, asin magenah ring pura, mangedanin, jegege tuara da pada (bait 56). Terjemahannya: Raden Mantri amat bahagia, serta mempunyai anak laki-laki tampan, karena memang istri utama, bijaksana pandai dan cerdik, cocok tinggal di keraton, mengagumkan, cantiknya tidak ada bandingannya. Peristiwa kronologis selanjutnya adalah rising action. Pada bagian ini dilukiskan bahwa Raden Jasemara dan I Cilinaya sangat bahagia. Kemudian Jayasemara ditugaskan ke hutan mencari kijang kencana. Kepergian Jayasemara hanyalah akal-akalan Raja supaya dapat dengan mudah membunuh I Cilinaya. I Cilinaya dibunuh di hutan Pandan Sekar. Namun, anaknya tetap hidup dan tetap menyusu di mayat ibunya. Keajaiban alam pun terjadi, seperti alam ini terang benderang tetapi ada kilat, suara gemuruh guntur di langit, dan darah I Cilinaya harum sekali
Ni Nyoman Karmini 100 serta para binatang dan burung berdatangan membawa bunga, buahbuahan untuk menjaga mayat I Cilinaya. Peristiwa ini dilukiskan pada bagian II bait 58–120 pupuh Ginada. Berikut disajikan kutipan bait 72 dan bait 109. I Cilinaya ngandika, mawecana asih-asih, mula ida ngawe wenang, dadi ngematiang ne patut, patut mati dadi uripa, keto bibi, lamun pakayun Sang Nata (bait 72). Terjemahannya: I Cilinaya berkata, kata-katanya menyedihkan, memang Raja yang memiliki wewenang, boleh membunuh orang yang benar, dan yang seharusnya mati menjadi tetap hidup, demikianlah adanya, kalau sudah menjadi kehendak Sang Nata. Raris ngrangsuk aji kamoksan, mamusti praline urip, ngregep Sang Hyang Kalepasan, matitis telenging kayun, mangregep mangerana sika, tuhu luih, mangungsi ka Indra Buana (bait 109). Terjemahannya: Lalu Ia menjalankan aji kamoksan, memuja dan memohon pencabutan jiwa (mati), memuja Sang Hyang Kalepasan (Dewa Pencabut nyawa), terpusat di dalam pikiran, semadi ngerana sika, benar-benar utama, lalu jiwanya malesat ke Indra Buana. Peristiwa kronologis keempat adalah climax. Pada peristiwa ini dinyatakan bahwa Setelah I Cilinaya meninggal, dan setelah sampai sore hari, Jayasemara tidak mendapatkan buruan. Lalu ia istirahat dan tertidur di rumah I Dukuh. Jayasemara bermimpi buruk lalu seketika terbangun dan menceritakan mimpinya. Kemudian Jayasemara pulang. Diketahuilah anak dan istri tidak ada di rumah dan menemukan sepucuk surat yang isinya menyatakan identitas I Cilinaya dan menyatakan dirinya dibunuh. Jayasemara mencari istri dan anaknya ke hutan. Ia tidak sadarkan diri begitu melihat mayat istrinya dan anaknya masih menyusu. Peristiwa ini dilukiskan pada bagian II bait 121–142 pupuh Ginada. Berikut disajikan kutipan bait 121 dan bait 142. Sampun surup Sang Hyang Surya, kocap Ida Raden Mantri, tan polih maburu reko, kaleson jumah I Dukuh, raris Ida leplep nidra, Raden Mantri, nyumpena kagiat matangi (bait 121). Terjemahannya: Setelah sore hari, diceritakan Raden Mantri, tidak mendapatkan buruan, kelelahan lalu di rumah I Dukuh, ia tidur lelap, Raden Mantri, bermimpi lalu bangun seketika. Ajak beli sareng pejah, sarengan alih i cening, jaga napi juwa kariang, raris ida gelisan kantu, tan meling ida ring raga, kecud kuning, macepol tiba ring tanah (bait 142). Terjemahannya:
Perempuan dalam Geguritan Bali 101 Ajaklah kakak mati, juga anak kita, untuk apa masih hidup, lalu ida seketika seperti orang ngantuk, tidak ingat kepada dirinya, wajahnya pucat pasi, jatuh pingsan di tanah. Peristiwa yang kelima adalah denoument. Pada bagian ini dikisahkan bahwa Sang Hyang Giri Putri diperintahkan oleh Hyang Çiwa untuk menghidupakn kembali I Cilinaya. Beliau terkejut melihat Raden Mantri tidak sadarkan diri di dekat mayat istrinya. Lalu diberikan kehidupan sehingga Raden Mantri sadar dari pingsannya dan I Cilinaya juga dihidupkan kembali. Lalu mereka kembali ke rumah. Raden Mantri kembali ditugaskan oleh Raja pergi ke hutan untuk mencari Perkutut Putih. I Cilinaya sangat sedih lalu mau bunuh diri. Tetapi karena nasihat Raden Mantri supaya I Cilinaya menjaga anaknya, maka ia tidak jadi bunuh diri. Peristiwa ini dilukiskan pada bagian II bait 143–156 pupuh Ginada dan pada bagian III bait 1 pupuh Sinom. Berikut ini dikutip bait 148 pupuh Ginada dan bait 1 pupuh Sinom. Jaga napi malih uripa, depang suba titiang mati, kemad menandang sengsara, Raden Mantri manyaup, nguda adi buka keto, suud sedih, jalan mulih ne ka taman (bait 148 pupuh Ginada). Terjemahannya: Untuk apa dihidupkan kembali, biarlah saya mati, malu menahan sangsara, Raden Mantri mengambil dan memeluk, mengapa adik seperti itu, berhentilah sedih, mari bersama-sama pulang ke taman. Duh dewa ratu masmirah, atur titiange rengenin, jumah adi apang melah, i cening puponin, astiti apang becik, yan sida sadia rahayu, keto adi ja ingetang, I Cilinaya mangeling, raris matur, Raden Mantri mengaras (bait 1 pupuh Sinom). Terjemahannya: Duhai istriku tercinta, perkataan saya tolong didengarkan, di rumah adik baik-baik, anak kita dipelihara, doakan supaya baik dan selamat, supaya selamat dan bahagia, begitulah tolong selalu diingat, I Cilinaya menangis, lalu berkata, Raden Mantri menciumnya dengan penuh kasih. Gerak alur Geguritan Cilinaya digambarkan pada diagram 3.8 berikut ini.
Ni Nyoman Karmini 102 Diagram 3.8 Alur Geguritan Cilinaya Keterangan: = pengelompokan alur = gerak alur kronologis Alur Geguritan Dewi Sakuntala Dalam pengisahan Geguritan Dewi Sakuntala digunakan alur kronologis. Rangkaian peristiwa pertama yaitu situation dimulai dengan pemaparan penulis yang isinya pernyataan rendah hati penulis dan minta maaf atas keberaniannya menulis. Selanjutnya, dikisahkan tentang Raja Hastinapura bernama Raja Duswanta. Beliau memerintah dengan sangat baik sehingga negara menjadi aman dan sentosa. Suatu saat Beliau berburu ke hutan dan tanpa disadari Beliau terus masuk ke tengah hutan. Sampailah pada sebuah pasraman dan bertemu dengan Sakuntala. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1–13 pupuh Sinom. Berikut ini disajikan kutipan bait 13. Sarauhe jroning pasraman/ maharesi tan kapanggih/ asepi kang pasraman/ kacingakin wenten papanti/ tumuli ida malinggih/ ring luhur panti punika/ sinambi macecingak/ nyingak natar lintang asri/ kancit rauh/ istri ayu paripurna. Terjemahannya: Sesampainya di pasraman/ maharesi tidak ada/ pasraman sepi sekali/ dilihat ada sejenis tempat duduk/ lalu Beliau duduk/ di atas tempat itu/ sambil melihat-lihat/ melihat halaman sangat indah/ seketika datang/ perempuan sangat cantik. Peristiwa kronologis kedua yaitu generating circumstances. Pada peristiwa ini dikisahkan bahwa terjadi pembicaraan antara Duswanta dengan Sakuntala. Tentang identitas Sakuntala dijelaskan oleh seorang pertapa kepada Raja Duswanta. Dengan penjelasan itu, Raja menganggap PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Perempuan dalam Geguritan Bali 103 Sakuntala pantas menjadi permaisurinya. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 14–22 pupuh Sinom; bait 1–15 pupuh Pangkur; bait 1–10 pupuh Semarandana. Berikut ini disajkan kutipan bait 9 dan 10 pupuh Semarandana. Sapunika atur sang resi/ sang tamiu brahmana/ metu sayaga kayune/ Sang Prabhu Duswanta/ baos ida jroning manah/ pantes mula istri luhur/ putran sang meraga tapasa (bait 9). Terjemahannya: Begitulah penyampaian sang resi/ seorang tamu brahmana/ sehingga pasti dalam pikiran/ Sang Prabhu Duswanta/ katanya dalam hati/ cocoklah sebagai perempuan terhormat/ karena putri seorang pretapa. Kaembasang olih apsari/ nyandang anggen prameswaria/ sapunika kayun idane/ irika Sang Duswanta/ nampekin Sang Sakuntala/ tumuli ida ngarumrum/ antuk baos manis nyapnyap (bait 10) Terjemahannya: Dilahirkan oleh bidadari/ sangat pantas dijadikan permaisuri/ begitulah pikiran Sang Duswanta/ mendekati Sang Sakuntala/ lalu Raja merayu/ dengan kata-kata sangat manis. Peristiwa kronologis berikutnya adalah rising action. Pada bagian ini dilukiskan bahwa Sakuntala yang dirayu tidak berani menerima sebab ia ingin menunggu Bhagawan Kanua. Tetapi, Raja Duswanta terus mendesak karena kena panah asmara. Sakuntala tidak dapat menolak lagi. Oleh karena itu, raja disuruh berjanji jika ia mempunyai seorang anak, maka anaknyalah yang akan menjadi raja sebagai pengganti Duswanta. Perjanjian pun disetujui. Mereka menikah secara gadarwa. Setelah itu, Duswanta kembali ke kerajaan dan berjanji segera menjemput Sakuntala. Singkat cerita, Sakuntala telah melahirkan Sarwadamana dan telah berumur 6 tahun. Sampai saat itu, Raja Duswanta tidak pernah datang. Sakuntala sangat sedih, lalu ia pergi ke Hastinapura. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 11–20 pupuh Semarandana; bait 1–14 pupuh Misalangit. Berikut ini disajikan kutipan bait 17 dan bait 18 pupuh Semarandana. Nah ne nira mejanji/ lakar nyerahin kagungan/ marep putra i dwane/ apang ia manyengcengang/ mungguwing jagat Hastina/ kasungsung manadi ratu/ tur nguwasayang makejang (bait17). Terjemahannya: Nah, saya berjanji/ akan menyerahkan kekuasaan/ kepada putramu/ supaya ia berkuasa/ di Negara Hastina/ dijunjung sebagai raja/ dan menguasai semuanya. Sapunika baos nrapati/ raris Dewi Sakuntala/ nuli ngaturang raga/ ring Ida Sang Duswanta/ ngelantur gandarwa wiwaha/ di sampune mangkin puput/ pamargan sang masangyoga (bait 18).
Ni Nyoman Karmini 104 Terjemahannya: Begitulah janji Raja/ lalu Dewi Sakuntala/ menyerahkan diri/ kepada Raja Duswanta/ selanjutnya terjadilah perkawinan gandarwa/ sesudah selesai/ perjalanan sang masangyoga. Peristiwa kronologis keempat adalah climax. Pada peristiwa ini dilukiskan bahwa Sakuntala berangkat ke Hastinapura bersama anaknya dan disertai seorang pertapa. Di istana terjadi perdebatan antara Sakuntala dengan Raja Duswanta. Raja Duswanta sangat marah dan tidak mengakui Sakuntala istrinya dan Sarwadamana anaknya lalu raja mengusir Sakuntala. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1–32 pupuh Durma. Berikut kutipan bait 32 sebagai contoh. Mapan keto kemo nyai age makaad/ magedi uli dini/ koja pati gadab/ ngangkenin dewek gelah/ pongah ngangkenin suami/ apan gelah / tuara kurang istri lewih. Terjemahannya: Karena begitu segeralah kamu pergi/ pergi dari sini/ janganlah sembarangan/ mengakui saya/ terlalu berani mengatakan saya sebagai suami/ karena saya/ tidak kekurangan perempuan cantik dan baik. Peristiwa selanjutnya adalah denoument. Pada peristiwa ini dikisahkan bahwa setelah diusir, Sakuntala sangat sedih. Pada saat itu ada sabda di awang-awang yang menyatakan kebenaran perkataan Sakuntala. Karena itu, raja mengakui Sakuntala istrinya dan Sarwadamana anaknya. Pengakuan tersebut disaksikan banyak orang. Lalu Raja menepati janji dan Sarwadamana dijadikan raja dengan nama Bharata. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 33–44 pupuh Durma. Berikut ini hanya dikutip bait 34. Yan munguing daging sabdakasa punika/ uduh nanak sri nrepati/ Sang Sarwadamana/ pituhu putran i dewa/ atur Sakuntala sami/ maka jatya/ patut dewa mangeganin. Terjemahannya: Isi dari suara-suara dari angkasa tersebut/ wahai sri nrepati/ Sang Sarwadamana/ memang sebenarnya putramu/ perkataan Sakuntala semuanya/ memang sebenarnya/ kamu harus menerimanya. Alur Geguritan Dewi Sakuntala digambarkan pada diagram 3.9 berikut ini.
Perempuan dalam Geguritan Bali 105 Diagram 3.9 Alur Geguritan Dewi Sakuntala Keterangan: = pengelompokan alur = gerak alur kronologis Tokoh dan Penokohan dalam Geguritan Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Dalam pembicaraan sebuah fiksi sering digunakan istilah tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, karakter dan karakterisasi. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan para pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Karakterisasi sering disamakan dengan karakter dan perwatakan yaitu menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Menurut Abrams (1981) (dalam Nurgiyantoro, 1995:165–166), tokoh cerita adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Istilah penokohan pengertiannya lebih luas daripada tokoh dan perwatakan, sebab istilah penokohan sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh cerita merupakan tokoh ciptaan pengarang. Walaupun demikian, tokoh tetap merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Selain ‘kewajaran’, seorang tokoh PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Ni Nyoman Karmini 106 harus memiliki sifat ’kesepertihidupan’, yakni sesuai dengan kenyataan kehidupan manusia sehari-hari. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 1995:167–168). Tokoh-tokoh dalam suatu cerita sangat penting artinya karena tokoh saling bertemu, bereaksi, membentuk konflik sehingga terwujud klimaks cerita. Konflik terjadi karena tokoh-tokoh dalam cerita mengalami benturan akibat perubahan situasi yang dihadapinya. Setiap tokoh dalam cerita memiliki fungsi sebagai pendukung keutuhan cerita (Weda Kusuma, 2005:190). Tokoh-tokoh dalam setiap cerita saling berhubungan dan bereaksi satu sama lainnya sesuai dengan peran dan fungsinya dalam keseluruhan cerita. Tokoh-tokoh cerita inilah yang berfungsi untuk mengungkapkan tema dan amanat yang disampaikan penulisnya (Cika, 2006:347). Dari segi fungsi penampilannya, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang diberi simpati dan empati, tokoh yang dikagumi, tokoh yang mengejawantahkan norma-norma, nilai-nilai yang ideal, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang dapat dikatakan beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin (Nurgiyantoro, 1995:178–179). Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak harus hanya disebabkan oleh tokoh antagonis. Konflik dapat disebabkan oleh hal-hal di luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, lingkungan sosial dan alam, nilainilai moral, kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya. Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang tokoh disebut kekuatan antagonistis, atau antagonistic force (Altenbernd dan Lewis, 1966: 59; Nurgiyantoro, 1995: 179). Penentuan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan antagonis kadang-kadang tidak mudah, dan kadang-kadang orang bisa berbeda pendapat. Tokoh yang mencerminkan harapan atau norma-norma ideal kita, dapat dianggap sebagai tokoh protagonis. Tetapi, tidak jarang ada tokoh yang tidak membawakan nilai-nilai moral kita atau yang berada di pihak “sana”, justru diberi simpati dan empati oleh pembaca. Hal ini terjadi, jika terdapat dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar memperoleh simpati, dan empati dari pembaca (Luxemburg, dkk., 1992:145).
Perempuan dalam Geguritan Bali 107 Berkaitan uraian tentang tokoh dan penokohan, maka berikut dipaparkan mengenai tokoh dan penokohan dalam sembilan geguritan yang dijadikan objek penelitian ini. Hal ini dilakukan sebab tokohlah yang membawa pesan dan pikiran pengarang kepada pembaca. Dalam mewujudkan penokohan, pengarang selalu mengaitkan dengan unsur lain dalam sebuah karya sastra, seperti plot, latar, sudut pandang dan tema. Tokoh dan Penokohan Geguritan Dreman Geguritan Dreman menampilkan tokoh protagonis bernama I Sunggadarmi. Tokoh I Suanggadarmi digambarkan secara dramatik, baik penggambaran melalui pemilihan nama; penggambaran fisik, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain dan lingkungannya; maupun penggambaran melalui dialog. Dari ketiga cara tersebut, yang cukup penting dan dominan adalah cara dialog sebab watak seseorang dan cara berpikirnya mudah diamati lewat kata-katanya. Tokoh I Suanggadarmi, dilihat dari pemilihan nama dapat dikatakan bahwa su berarti ‘baik’, angga berarti ‘diri’ dan darmi sama dengan darma berarti ‘kebenaran’, ‘kebajikan’. Dengan demikian, suanggadarmi berarti orang yang menjalankan kebenaran/kebajikan atau orang yang taat pada kebenaran. Dari segi penampilan fisik, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain dan lingkungannya; tokoh ditampilkan sesuai dengan namanya, sedangkan secara dialogis dapat diketahui bahwa tokoh memang memerankan peran yang sesuai dengan harapan pembaca, yaitu menyampaikan norma-norma ideal. Sebagai contoh dikutip bait 10, 18 pupuh Adri 1. I Tanporat mangkin masih luwung, nyandat pamulune, arane I Suanggadarmi, romane panjang lecut, langsing lanjar solah alus, sebet wicaksana ring karya, darmaning tastra muuang tutur, rapet bakti ring lakine, sadina-dina manyumbah (bait 10). I Suanggadarmi jani masemu, bakti ring lakine, idepang sih bapa aji, twara langgah teken kakung, apang anut pamunyin tutur, kanggo uduhe manjadma, bin apalih ya tumuwuh, apang da manemu papa, ring laki sai manyumbah (bait 18). Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa I Suanggadarmi adalah seorang perempuan yang cantik, tinggi semampai, lemah lembut, rajin dan pandai bekerja, juga sangat memahami sastra dan nasihat-nasihat berharga, sangat berbakti kepada suami, dan selalu menghormati suami. Namun, suami I Suanggadarmi yaitu I Jatiraga menikah lagi. Walaupun demikian, I Suanggadarmi tetap mencintai madunya, seperti ia mencintai seorang adik. Hal itu dapat dilakukannya karena ia sangat
Ni Nyoman Karmini 108 memahami bahwa hidup ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membenahi diri sebagai bekal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik pada kehidupan mendatang, seperti yang terkandung dalam bait 18 yang telah dikutip di atas. Pengarang menyampaikan kisah ini dengan mengarahkan pembaca untuk bersimpati kepada I Suanggadarmi dan membenci sikap serta tindakan I Wijasantun (sebagai madu). Dalam hal ini, I Wijasantun sebagai tokoh antagonis karena ia beroposisi dengan tokoh protagonis. Sebagai contoh dapat dikutip bait 20 dan 24 pupuh Adri 1. I Dreman ya mingkah-mingkuh, nyurere ulate, lakine delo-delo, baane mangrumrum madu, gila gedeg ya mandulu, somahe ya keek-keek, pesu gila sumbung-sumbung, Tanporat takut matangah, apan ipun kajosbrana (bait 20). I Dreman keni pasumbung, gila ring madune, ban ditu ngayahin rabi, paliate nyarap kayun, dela-delo kecah-kecuh, I Jatiraga mangucap, rain Beli Wijansantun, eda Gusti ulah manah, anak patut ala darma (bait 24). Tokoh lain yang termasuk ke dalam tokoh antagonis adalah I Jatiraga. Sebenarnya, I Jatiraga sangat mencintai istri pertama. Ia juga termasuk tokoh yang mengejawantahkan norma-norma, mencerminkan nilai-nilai yang ideal, tetapi karena ia tidak ingin sering terjadi keributan, maka ia sering membela dan membujuk istri kedua dengan harapan kemarahan istri kedua reda. Memang kadang-kadang I Jatiraga menyalahkan perilaku istri kedua, namun akibatnya ia sendiri kena sasaran kemarahan istrinya. Hal itu terjadi karena adanya kekuatan di luar kemampuan manusia mempengaruhinya yang disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force) sehingga ia lebih memilih dan memihak istri kedua. I Jatiraga dimasukkan ke dalam tokoh antagonis, dilihat dari konflik yang sering terjadi antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis. Dalam setiap ada keributan yang disebabkan oleh istri kedua, maka I Jatiraga selalu membujuk dan merayu istri kedua. Sebagai contoh dikutip bait 26 pupuh Adri 1. I Jatiraga sumaur alus, patute ujare, sareng beli mangemasin, musuh tekening patut, dadi Gusti nyalit kayun, beli ngiring pakayunan, yadian papa siu tahun, kasakitan maring kawah, Sang Cikrabala midanda. Dalam Geguritan Dreman tidak ada tokoh perempuan tertindas atau ditindas oleh tokoh lainnya apalagi ditindas oleh tokoh laki-laki. Tokoh protagonis (I Suanggadarmi), walaupun sering diperlakukan tidak baik oleh madunya (tokoh antagonis), hal itu tidak berpengaruh pada hidup dan kehidupannya. Hal itu terjadi, karena ia berperilaku subha karma, yakni melaksanakan ajaran tat twam asi (ajaran cinta kasih, bakti dan
Perempuan dalam Geguritan Bali 109 rela berkorban); tri kaya parisuda (kayika/berbuat yang baik, wacika/ berkata yang baik dan manacika/berpikir yang baik); dasa niyama brata (dana, ijya, tapa, dyana, swadhyaya, upasthanigraha, brata, upawasa, mona, dan snana); dan dasa yama brata (anresangsya/arimbawa, ksama, satya, ahimsa, dama, ardjawa, priti, prasada, madurya, mardawa). Dalam Geguritan Dreman, penulis menggiring pembaca untuk mengikuti jejak dan perilaku tokoh protagonis (I Suanggadarmi) dengan bayangan yang berdampak pada kehidupan yang “bahagia” pada kehidupan yang lain. Dalam cerita ini pengarang menampilkan pula gambaran kehidupan sebagai “bandingan” dengan menampilkan tokoh antagonis (I Wijasantun) dengan bayangan yang berdampak pada “penderitaan” di kehidupan yang lain. Tokoh antagonis ini justru menjadi perempuan tertindas yang ditindas oleh sifatnya sendiri, yang merupakan kekuatan di luar diri manusia, yang berupa nilai-nilai moral (antagonistic force). Ia selalu berperilaku asubha karma (tingkah laku yang tidak baik) sebab ia dikuasai sad ripu (kama, kroda/murka, lobha, moha, mada, matsarya); dikuasai sapta timira (surupa, dana, guna, kulina, yowana, sura, kasuran); dan sad tatayi (agnida, wisada, atharwa, sastraghna, dratikarama, rajapisuna). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tokoh perempuan yang tertindas adalah tokoh antagonis (I Wijasantun). Ia ditindas atau diperbudak oleh nafsu buruk (moralnya yang buruk) yang tidak dapat dikendalikannya, yang berdampak pada kehidupannya sendiri. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam Geguritan Dreman tercermin perempuan yang memiliki prinsip yang kuat dan pasti (I Suanggadarmi). I Suanggadarmi tidak mudah terpancing emosinya oleh segala perlakuan buruk madunya sebab ia telah terbentengi oleh perilaku subhakarma, yakni ia telah menerapkan dengan benar dan tepat ajaran tat twam asi, trikaya parisuda, dasa niyama brata, dan dasa yama brata. Perilakunya tersebut mampu meluluhkan hati Hyang Yama dan Dewa Indra sehingga I Suanggadarmi memperoleh Surga dan tinggal di Meru Emas. Dengan kata lain, dengan kemampuannya mengendalikan segala emosi atau keinginan-keinginannya, maka I Suanggadarmi mencapai tujuan dari hidupnya, yaitu moksa. Di pihak lain, tercermin perempuan yang tidak “percaya” pada kemampuan dirinya sendiri (I Wijasantun), sehingga ia lebih percaya kepada kekuatan di luar dirinya seperti alat berupa guna-guna. I Wijasantun adalah perempuan yang tidak mampu mengendalikan dirinya dari segala emosi-emosi atau keinginan-keinginan yang menguasainya sehingga ia terseret dalam arus perilaku asubha karma dengan mengikuti pengaruh sad ripu, sapta timira dan sad tatayi. Akibatnya, ia gagal mencapai moksa sebagai tujuan akhir dari hidup
Ni Nyoman Karmini 110 ini. Ia disiksa di Neraka selama seribu tahun. Dari pernyataan tersebut tercermin adanya suatu konsep bahwa untuk berhasil mencapai tujuan atau cita-cita dalam hidup haruslah berperilaku subha karma disertai pengendalian diri. Tokoh dan Penokohan Geguritan Diah Sawitri Dalam Geguritan Diah Sawitri semua tokoh ditampilkan sebagai tokoh protagonis. Tokoh digambarkan secara dramatik dengan penggunaan cara dialog paling dominan sebab watak seseorang dan cara berpikirnya mudah diamati lewat kata-katanya. Dari penggambaran secara dialog dapat diketahui bahwa tokoh memang memerankan peran yang sesuai dengan harapan pembaca yaitu mengejawantahkan normanorma dan menyampaikan nilai-nilai ideal. Sebagai contoh dikutip bait 22, 24, 25, 32, dan 35 pupuh Ginada 1. Prabhu Aswapati nabda, singgih Hiyang Mahamuni, napike Satyawan kokot, prajnyan miwah welas hiyun, puniawan bhakti ring Brahmana, napi pekik, punika tunasang titiang (bait 22). Jroning manibakan dana, putran Sankriti sumaih, ne maparab Rantidewa, satya wacana bhaktiku, maring ida Sang Brahmana, Siwa patis, putran Prabhu Usinara (bait 24). Sajeroning kalewihan, tan pendah prabhu Yayati, jroning rupa yan bawosang, Sang Hyang Aswino manurun, jitendria lan mardawa, sayeng sampriti, anresangsia ksama kelan (bait 25). Napi ida Sang Satyawan, cendek yusa dirgha nawi, napi becik napi kawon, durus dados swamin ingsun, sane sampun pilih titiang, tan midowin, pacang niwakang pilihan (bait 32). Maring ida Sang Satyawan, mogi rahayune panggih, santikane nenten pasah, rehning putrin cening agung, ngamanggehang trikaya, bapa mulih, mawali ka swargaloka (bait 35). Dalam Geguritan Diah Sawitri konflik ditimbulkan bukan oleh tokoh antagonis, melainkan oleh kekuatan antagonistik (antagonistic force), yakni kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, yakni berupa “takdir” kematian Satyawan. Satyawan yang usianya hanya masih satu tahun, menyebabkan Dia Sawitri berjuang keras untuk “menghapus” takdir tersebut. Karena itu, ia melakukan tapa brata selama tiga hari tiga malam. Tapa bratanya berhasil dan ia dapat melihat dan mendapat restu untuk berbicara dengan Dewa Yama. Pembicaraan yang dilakukan Sawitri semuanya menyenangkan Dewa Yama. Oleh karena itu, Sawitri menerima lima anugrah dari Dewa Yama. Keluarganya pun sangat
Perempuan dalam Geguritan Bali 111 berbahagia. Berikut hanya dikutip bait 27 pupuh Ginada 1; bait 80 pupuh Sinom 3; bait 104 pupuh Ginada 3. Hyang Narada nimbal nabda, munggwing Sang Satyawan cening, wantah asiki cacadnya, sane sida ngardi lebur, saluwir kelewihannya, awarsa malih, Sang Satyawan nandang pejah (bait 27 pupuh Ginada 1). Sang Hyang Yama mangandika, pragatang amonto cening, Bapa suka mamirengan, atur cening dahat lewih, matiti luhuring budhi, durusang cening ngalungsur, waranugraha maring Bapa, wantah asiki ya dadi, len ring iku, jiwatmannya Sang Satyawan (bait 80 pupuh Sinom 3). Sang Hyang Yama mangandika, Bapa ngalugrahin cening, atman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata (bait 104 pupuh Ginada 3). Dalam Geguritan Diah Sawitri tidak ada tokoh perempuan yang tertindas. Justru pengarang mengarahkan perhatian pembaca untuk mengagumi dan memedomani tindakan dan perilaku subha karma Diah Sawitri. Di sini, tokoh perempuan justru diberikan ruang gerak yang bebas sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, tokoh perempuan dapat “menentukan” sikap dan “mampu” mengambil keputusan sendiri yang diterapkannya dalam kehidupan ini sehingga seluruh keluarga atau orang-orang yang dicintainya dapat hidup berbahagia. Dengan adanya peluang untuk melakukan tindakan-tindakan positif dalam kehidupan, maka tokoh perempuan mampu menunjukkan “harga dirinya” dan “jati dirinya” sebagai manusia. Diah Sawitri dapat menampilkan eksistensi dirinya dengan baik sehingga tujuan hidupnya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya tercapai. Tujuan hidupnya tercapai karena ia mampu mengendalikan diri disertai kebulatan tekad. Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa untuk mencapai tujuan dalam hidup harus mampu mengendalikan diri disertai tekad yang kuat. Tokoh dan Penokohan Geguritan Damayanti Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam Geguritan Damayanti digambarkan atau dilukiskan secara dramatik dengan penggunaan cara dialog paling dominan sebab watak seseorang dan cara berpikirnya mudah diamati lewat kata-katanya. Dari penggambaran secara dialog dapat diketahui bahwa tokoh memang memerankan peran yang sesuai dengan harapan pembaca, yaitu mengejawantahkan norma-norma dan menyampaikan nilai-nilai ideal. Tokoh protagonisnya adalah Damayanti dan Prabhu Nala, sedangkan tokoh antagonisnya adalah Sang Hyang Kali dan Sang Hyang Dwapara.
Ni Nyoman Karmini 112 Karena tokoh antagonis bukan merupakan tokoh manusia, kedua tokoh tersebut dikategorikan sebagai pelaksana “takdir” Tuhan terhadap jalan kehidupan manusia. Dengan demikian, konflik kehidupan yang dialami oleh kedua tokoh protagonis itu disebabkan oleh kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi di luar diri manusia. Kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi itu disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force) yang berupa “takdir” Tuhan yang tercermin dalam jalan hidup kedua tokoh protagonis dan takdir itu sendiri diakhiri pula oleh kekuatan antagonistik dimaksud. Sebagai contoh dikutip bait 1, 2, 3 pupuh Sinom 2; bait 1 pupuh Pangkur 3; bait 1 dan 3 pupuh Smarandana; bait 26, 27, 28 pupuh Ginada 5. Carita sampun roras warsa, suwen Sang Hyang Kali nganti, ngatujuang Prabhu Nala, nembe pisan ida lali, masuh cokor ida kalih, sadurung ida puniku, ngamargiang puja-stawa, Sang Hyang Kali gelis ngranjing, maring tanu, ngodag anggan Prabhu Nala (bait 1 pupuh Sinom 2). Sang Hyang Dwapara kocap, sesampune Sang Hyang Kali, ngodag anggan Prabhu Nala, nuli ida lunga gelis, tetujonne ngilis ngatih, rawuh ring Puskara Prabhu, mangesengin Sang Puskara, mangda ida matangtangin, Nala Prabhu, siniyang jag amanita (bait 2 pupuh Sinom 2). Uduh cening Sang Puskara, Bapa manywecanin cening, lawutang cening mamarga, pedek ring Nala Nrepati, sesampune cening prapti, tangtang ida Nala Prabhu, ledang iring macukiya, janten cening nglilir molih, Bapa nulung, sampun cening sumangsaya (bait 3 pupuh Sinom 2). Macukine tan rerenan, lantur nerus yan jantos akudang sasih, Prabhu Nala kawon nerus, Damayanti biyapara, mikayunin, mangdannya ida Sang Prabhu, ledang wusan macukiya, cihnan bhaya ageng prapti (bait 1 pupuh Pangkur 3). Crita malih sang macuki, Prabhu Nala borong kalah, panegara lan kadaton, sami sampun telas kalah, sang Puskara nabda girang, uduh Beli Nala Prabhu, gumin Beli sampun telas (bait 1 pupuh Smarandana). Prabhu Nala bag biying, miring bawos Sang Puskara, meneng nenten nabda reko, busanane linukaran, kasukserah ring Puskara, nuli maninggal nagantun, sareng prameswarin ida (bait 3 pupuh Smarandana). Sang Hyang Kali ngutah-utah, keni upas naga mandi, upas Naga Karkotaka, Prabhu Nala lintang bendu, pacang mastu Kali Hyang, Sang Hyang Kali, gelis muhun kantisraya (bait 26 pupuh Ginada 5). Uduh Cening Prabhu Nala, sampun Cening mastu mami, Bapa suba keweh dahat, keni pastun nrepa wadhu, keweh Bapanne kalintang, muwuh malih, borbor upas Karkotaka (bait 27 pupuh Ginada 5).
Perempuan dalam Geguritan Bali 113 Ento ane mangawinang, Bapa ngidih srayakanti, sampun Cening mastu Bapa, lantur ipun Bapa sanggup, ngawaliyang kawibuhan, kadi nguni, sampun Cening sumangsaya (bait 28 pupuh Ginada 5). Dalam Geguritan Damayanti tidak ada tokoh perempuan yang tertindas. Justru pengarang mengarahkan perhatian pembaca untuk mengagumi dan memedomani tindakan dan perilaku tokoh perempuan. Di sini, tokoh perempuan berjuang dan berusaha untuk meraih kembali keutuhan dan kebahagiaan keluarganya. Dengan berpegang pada prinsip hidup dan keyakinan yang kuat, tokoh perempuan dapat “menentukan” sikap dan “mampu” mengambil keputusan sendiri yang diterapkannya dalam kehidupan ini sehingga seluruh keluarga atau orang-orang yang dicintainya dapat hidup berbahagia. Dengan adanya peluang untuk melakukan tindakan-tindakan positif dalam kehidupan, tokoh perempuan mampu menunjukkan “harga dirinya” dan “jati dirinya” sebagai manusia. Uraian di atas menyatakan bahwa Damayanti berhasil menyatukan kembali keluarganya yang cerai-berai akibat penderitaan yang disebabkan oleh Hyang Kali. Ia berhasil meraih kembali kebahagiaan keluarganya. Tujuannya tercapai karena perilaku subha karma, ketabahan serta kekuatan imannya, disertai siasat yang dijalankannya, Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa hidup ini harus diperjuangkan. Supaya perjuangan hidup berhasil harus dilandasi ketabahan, kekuatan iman dan disiasati. Tokoh dan Penokohan Geguritan Ni Candrawati Dalam Geguritan Ni Candrawati tokoh perempuan (Ni Candrawati) ditampilkan sebagai tokoh protagonis. Tokoh digambarkan secara dramatik dengan penggunaan cara dialog paling dominan sebab watak seseorang dan cara berpikirnya mudah diamati lewat kata-katanya. Dari penggambaran secara dialog dapat diketahui bahwa tokoh memang memerankan peran yang sesuai dengan harapan pembaca yaitu mengejawantahkan norma-norma dan menyampaikan nilai-nilai ideal. Tokoh I Wiranata juga mengejawantahkan norma-norma dan nilainilai ideal. Sebenarnya ia termasuk tokoh protagonis. Ia menghadapi kenyataan hidup yang menimpa keluarganya, yakni adiknya Ni Candrawati hamil tanpa menikah, maka ia menjadi penentang alasan-alasan terkait dengan kehamilan Ni Candrawati. Itu sebabnya Ni Candrawati dibuang ke hutan. Oleh karena itu, ia dapat dikategorikan tokoh antagonis. Tokoh antagonis sebagai penyebab utama konflik dalam kehidupan Ni Candrawati adalah Sang Hyang Semara yang menghamilinya. Karena tokoh antagonis bukan merupakan tokoh manusia, maka tokoh
Ni Nyoman Karmini 114 tersebut dikategorikan sebagai pelaksana “takdir” Tuhan terhadap jalan kehidupan manusia. Dengan demikian, konflik kehidupan yang dialami oleh tokoh protagonis itu disebabkan oleh kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi di luar diri manusia. Kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi itu disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force) yang berupa “takdir” Tuhan yang tercermin dalam jalan hidup tokoh protagonis. Sebagai contoh dikutip bait 6, 8, 26, 58 pupuh Ginada. Sadina mangulik sastra, astiti ring Saraswati, miwah ring tutur utama, yoga bratane rinangsuk, paican sang muniwara, resi sidi, haran Bagawan Utatya (bait 6). Raris munggah ring pasucian, malinggih ring bale gading, mayoga ngarcana Dewa, astiti eninging kayun, tedun Ida Sang Hyang Smara, anuronin, kajamah Ni Candrawati (bait 8). Puniki ne tulad titiang, Ni Candrawati puniki, manah titiang pacing ngutang, ring alas Prambange agung, apan ala ngamatiang, anak beling, kenten kojare ring sastra (bait 26). Sareng kalih di pamereman, masesambatan manangis, kene saja dadi janma, sangsara titian gnu idug, yaning wenten Betara ica, pisan ambil, urip titiange gelisang (bait 58). Geguritan Ni Candrawati mencerminkan tokoh perempuan yang tertindas. Namun, pengarang mengarahkan perhatian pembaca untuk mengagumi dan memedomani tindakan dan perilaku tokoh perempuan yang tertindas. Di sini, tokoh perempuan berjuang dan berusaha memberikan alasan-alasan yang sebenar-benarnya tetapi tidak bisa diterima justru oleh kakaknya sendiri. Ia dianggap membawa aib keluarga. Dengan berpegang pada prinsip hidup dan keyakinan yang kuat, tokoh perempuan menjadi “tabah” dan “pasrah” menerima keputusan tersebut. Dengan demikian, ia dapat “menentukan” sikap dan “mampu” mengambil keputusan sendiri untuk mempertanggungjawabkan kejadian yang terjadi pada dirinya. Karena kenyataan yang diterimanya justru bertolak belakang dengan prinsip hidup yang dijalankannya. Hal ini juga menunjukkan bahwa ia mempunyai “harga diri” dan “jati diri” sebagai manusia yang mampu menanggung risiko kehidupan. Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa Ni Candrawati tidak menimpakan kesalahan kepada orang lain, tidak juga memanfaatkan posisinya sebagai seorang putri raja dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Dengan berbekal ketabahan dan kebulatan tekad, ia berhasil mengatasi permasalahannya sendiri. Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa karma hidup di masa lalu hasilnya masih dinikmati dalam kehidupan saat ini.
Perempuan dalam Geguritan Bali 115 Tokoh dan Penokohan Geguritan Brayut Tokoh dan penokohan yang digambarkan dalam Geguritan Brayut adalah tokoh dan penokohan yang telah biasa dapat dilihat dalam kenyaataan hidup ini. Tokoh yang telah berkeluarga dan mempunyai anak itu hal biasa. Namun, dalam geguritan ini yang tidak biasa adalah karena mempunyai anak sampai berjumlah delapan belas termasuk yang masih dalam kandungan. Hal ini terjadi karena tokoh cerita memuja smara (memuja smara gama). Penokohan di sini digambarkan secara dramatik dengan penggunaan cara dialog paling dominan. Melalui dialog, watak seseorang dan cara berpikirnya mudah diamati lewat kata-katanya. Dari penggambaran secara dialog dapat diketahui bahwa tokoh dalam Geguritan Brayut adalah tokoh sederhana. Dikatakan tokoh sederhana karena sifat dan tingkah laku tokoh sederhana, bersifat datar dan monoton. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan kejutan pada pembaca (Nurgiyantoro, 1995:181–182). Di sini tokoh dapat dikatakan mengejawantahkan norma-norma dan menyampaikan nilai-nilai ideal. Karena itu, tokoh Brayut adalah tokoh protagonis, sedangkan tokoh antagonis tidak ada. Konflik yang terjadi dalam geguritan ini disebabkan oleh kekuatan antagonistik (antagonistic force) yang muncul dari luar individualitas tokoh, yakni berupa nilai-nilai moral yang dianut tokoh. Dalam Geguritan Brayut, peran gender berjalan dan diaktualisasikan sesuai dengan maknanya. Karena Men Brayut selalu sibuk mengurusi anak-anaknya, maka urusan rumah tangga dan upakara untuk upacara, seperti hari raya Galungan dilakukan oleh Pan Brayut. Jika dikaitkan dengan teori feminis, tokoh Men Brayut adalah tokoh yang tertindas, tokoh yang menjadi objek seks laki-laki, tokoh yang mengalami ketidakadilan dan tokoh yang kebebasannya terkungkung. Namun, jika dilihat dari prinsip tokoh yang menjalankan ajaran samhita, maka si tokoh perempuan dapat dikatakan tidak mengalami penindasan. Tokoh adalah manusia biasa, karena itu tokoh bisa marah, bisa kesal. Pada saat marah, tokoh mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengarkan atau katakata yang menyakitkan hati. Namun, setelah mereka saling menyadari mereka saling tersenyum dan merasakan hidup berbahagia walau dalam kemiskinan. Dengan kesederhanaan tokoh, dan keyakinannya dalam menjalankan kehidupan, maka mereka mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan sesuai dengan namanya “Brayut”. Sebagai contoh dikutip beberapa bait, yakni bait 37, 48, 92, dan 141 pupuh Sinom Tikus Kabanting. Mapa magawe dibenang, yen tong ngidem manakan beling, buka tong taen karuron, lekad hidup pakelicik, greget atine pedih, makita nyadat manguut, mangalihang balian epot, Pan Brayut mituturin, siu taun, neraka nyen
Ni Nyoman Karmini 116 temokang (bait 37). Len pisagane nggaokang, makeengan luh muani, baan bagiannyane kento, ngamah jukut pesu nasi, ne odah luh muani, buka tong maji tetelu, baya mangonyang brata, memuja smara di jani, sangkan ayu, pianake mangayangngayang (bait 48). Sami nurut pada negak, teken ipah luh muani, ada manunas matakon, jero Wayan sapunapi, yen kerasan jerone mangkin, anak jerone sami nurut, De Brayut mangorahang, buka suarga prajani, ngenot mantu, teken pianake makejang (bait 92). Pianak mantune makejang, maluaran luh muani, nene odah lanang wadon, atine bas pada kalis, legannyane tan sipi, manahnyane pada tuut, tong ada kene kento, sok samhitane gisi, suba puput, sadiannyane tan kocapan (bait 141). Uraian di atas menunjukkan bahwa tokoh Brayut berhasil mencapai kebahagiaan hidup dikarenakan kesabaran dan kesederhanaannya menjalankan kehidupan ini. Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa dalam menjalankan kehidupan ini harus sabar dan penuh kesederhanaan dalam arti ada keseimbangan jiwa saat menghadapi suka maupun duka. Tokoh dan Penokohan Geguritan Saci Geguritan Saci dapat dikatakan sebagai cerita berbingkai. Dalam kehidupan sebuah keluarga, yakni keluarga Gusti Gede Mangku terjadi sebuah tragedi. Tragedi dimaksud adalah luka parahnya Gusti Gede Mangku akibat berkelahi dengan Wayan Rijek. Di sini terjadi konflik antartokoh. Menerima musibah seperti itu, sang istri sangat sedih dan sesambatan. Mendengarkan kesedihan dan sesambatan istrinya, Gusti Gede Mangku menasihati istrinya lewat sebuah cerita tentang kisah Dewi Saci. Tokoh protagonis dalam Geguritan Saci adalah Dewi Saci, Dewa Indra, Bhagawan Wrehaspati, sedangkan tokoh antagonisnya adalah raksasa Si Wreta, Iranyakasipu, raksasa Tenggek Tiga, dan Nahusa. Ketiga raksasa itu merupakan sahabat sekaligus tokoh antagonis yang mengancam kedudukan Dewa Indra sebagai raja diraja di Indraloka. Akibat membunuh sahabat, Dewa Indra bingung dan akhirnya menghilang karena kena kutukan. Kerajaan Indraloka diperintah oleh Nahusa. Di sini terjadi konflik antartokoh, yakni Dewi Saci hendak diperistri oleh Nahusa. Dewi Saci melaporkan kesewenang-wenangan Nahusa kepada Bhagawan Wrehaspati sebagai pejabat tinggi kerajaan, mencari bantuan untuk menemukan suaminya, menggunakan saksi dalam melaporkan kejadian yang terjadi, menggunakan siasat untuk
Perempuan dalam Geguritan Bali 117 mengatasi permasalahannya, karena ia lebih memilih mati daripada menjadi istri Nahusa. Usaha keras yang dilakukan Dewi Saci berhasil dan si lalim dikutuk menjadi ular kurus dan kecil yang tinggal di bumi selama seribu tahun. Tokoh perempuan dalam Saci adalah tokoh yang kuat, tegar, tabah dan mampu melaksanakan siasat. Pelecehan-pelecehan yang dilakukan oleh Nahusa dapat diatasinya yang berakibat kehancuran Nahusa. Dalam cerita ini tercermin “harga diri” dan “jati diri” seorang perempuan yang mampu berbuat dan bertindak sesuai kemampuannya. Sebagai contoh dikutip beberapa bait, yakni bait 39 pupuh Smarandana; bait 47 dan 48 pupuh Ginanti. Yen kudang tahun mbukti/ Sang Nahusa di Swargan/ mawetu rancah kayune/ dening dane polih nyingak/ rabinda Hyang Indra/ mawastu dane ulangun/ kalemesin sabran dina (bait 39 Pupuh Smarandana). Sang Resi Ida memastu/ prajani tulah manyumprit/ tiba di gumine panes/ dadi ula kurus aking/ kasayan panes ngentak/ siyu tahun sedih kingking (bait 47 pupuh Ginanti). Keto adi apang tahu/ nene kaucap di aji/ tingkah sang istri utama/ patibratane ring laki/ buka gununge upama/ ne katempuh baan angin (bait 48 pupuh Ginanti). Uraian di atas menunjukkan bahwa Dewi Saci berhasil mengembalikan kekuasaan suaminya, berhasil membuat kehidupan para Dewa menjadi tentram, berhasil mengatasi permasalahannya dikarenakan ia kuat, tabah, dan menggunakan akal sehat dan mengikuti prosedur dalam bertindak. Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa dalam menghadapi permasalahan hidup harus tabah, kuat dan untuk mengatasi permasalahan harus menggunakan akal sehat dan sesuai prosedur. Tokoh dan Penokohan Geguritan Dyah Arini Tokoh Dyah Arini dan tokoh Trenawindu adalah tokoh protagonis. Kedua tokoh ini mengejawantahkan norma-norma dan nilai-nilai ideal sesuai harapan pembaca. Dyah Arini menjadi penggoda Trenawindu karena ia mengemban tugas atasan (Hyang Indra). Karena tugas, ia tidak bisa mempertimbangkan baik/buruk dampak dari tugas tersebut. Tokoh antagonisnya adalah bukan tokoh manusia melainkan kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi yang disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force). Hal ini dapat dikatakan sebagai takdir, karena tugas yang diterimanya itu berakibat pada derajat dirinya turun, yakni dari bidadari menjadi manusia karena dikutuk oleh Trenawindu. Tokoh perempuan adalah tokoh tertindas karena ia tidak berani
Ni Nyoman Karmini 118 menolak tugas yang nyata-nyata berbahaya. Walaupun demikian, ia tokoh yang luar biasa, yang sanggup bertugas tanpa pernah menimbang akibatnya. Di sini juga tercermin “harga diri” dan “jati diri” seorang perempuan. Sebagai contoh dikutip bait 11 pupuh Demung 1 dan bait 5 pupuh Demung 2. Ajrih makadi subakti kakawula/ sangkan ing sapralalu/ cendek pesu atur/ sapranitah titiang ngiring/ pilih katawuran/ utang titiang wekas ing wibuh/ ring Ida Batara/ awanan kadi mangkin/ manah titiang mbuatang pisan/ twah sumengka asing pituduh (bait 11 pupuh Demung 1). Ih dikapan Bapa dadi tan paliyat/ tuwara mangelah semu/ reh utma nulus/ I Dewa kajaten lwih/ yadin ngamanusa/ I Dewa mawak tumurun/ anggon Bapa kadang/ nah palila di ati/ srestin Batara adannya/ larapan bagnane katepuk (bait 5 pupuh Demung 2). Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa Dyah Arini berhasil mengatasi kedukaan hatinya akibat tugas yang diembannya. Ia mampu mengendalikan emosi dirinya dan siap menerima risiko sebuah tugas. Ia pun mampu meyakinkan tokoh Trenawindu supaya melaksanakan pesan terakhirnya. Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa siap menerima tugas berarti siap menerima segala risikonya. Tokoh dan Penokohan Geguritan Cilinaya Tokoh protagonis dalam Geguritan Cilinaya adalah Cilinaya dan Jayasemara, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh I Liku. Tokoh protagonis dalam cerita ini memang mengejawantahkan normanorma dan nilai-nilai ideal. Dalam mengisahkan cerita ini, pengarang mengarahkan perhatian pembaca supaya “bersimpati” kepada tokoh perempuan (I Cilinaya) dan membenci sikap dan perilaku I Liku. Dalam Geguritan Cilinaya tokoh perempuan adalah tokoh yang tertindas, yang ditindas oleh tokoh antagonis dan kekuatan antagonistik (antagonistic force) yang berupa kekuasaan dan kekuatan tertinggi. Sejak kecil Cilinaya telah mengalami ketidakadilan perlakukan ayahnya karena pengaruh guna-guna I Liku. Ia dibuang ke hutan bersama ibunya sehingga ibunya meninggal, sedangkan ia sendiri dipungut oleh I Dukuh. Dalam pernikahannya pun ia masih mendapatkan perlakuan tidak adil dari mertuanya sampai ia dibunuh, hanya karena dianggap status sosialnya rendah. Namun, takdir berkata lain. Ia hidup kembali berkat anugrah Hyang Giri Putri. Akhirnya, ia tabah dan pasrah demi cintanya kepada suami dan kasihnya kepada putranya. Berikut ini kutipan beberapa bait sebagai contoh, yakni bait 14, bait 116, 148 pupuh Ginada. I Gukuh raris angucap, nyai nyak duduk bibi, anake cerik amnggutan, ngenjuhang lima managih bangun I Dukuh ngnjuhan lima, mangedetin,
Perempuan dalam Geguritan Bali 119 anake cerik bangun bah (bait 14). Kasuduk I Cilinaya, cening bagus meme mati, dadi rudirane muncrat, tiba ring rare asusu, ebah ida manungkayak, mula kangin, rarene tansah masusua (bait 116). Jaga napi malih uripa, depang suba titiang mati, emad menandang sengsara, Raden Mantri manyaup, nguda adi buka keto, suud sedih, jalan mulih ne ka taman (bait 148). Sejak kecil I Cilinaya selalu mengalami penderitaan hidup akibat ulah orang lain. Dengan ketabahan dan kepasrahannya, Cilinaya selamat dalam menjalankan kehidupan ini. Di sini tercermin adanya konsep bahwa dalam menjalani hidup ini perlu dan sangat penting berserah diri dan pasrah kepada Tuhan. Tokoh dan Penokohan Geguritan Dewi Sakuntala Dalam Geguritan Sakuntala semua tokoh dilukiskan sebagai tokoh protagonis sebab semua tokoh mengejawantahkan norma-norma dan nilai-nilai ideal. Pengarang menggiring pembaca untuk “bersimpati” kepada tokoh protagonis perempuan (Sakuntala). Konflik terjadi disebabkan oleh adanya kekuatan di luar individualitas, yang disebabkan oleh lingkungan sosial, nilai-nilai moral, dan kekuasaan, yang disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force). Tokoh Sakuntala sebagai tokoh protagonis menuntut haknya sebagai istri raja Duswanta. Semula konflik terjadi karena Duswanta mengingkari janji sebab penampilan Sakuntala tidak pantas menjadi istri raja dan saat itu raja sedang dihadap oleh para petinggi kerajaan. Namun, permasalahan terpecahkan dengan munculnya sabda di awangawang yang menyatakan kebenaran kata-kata Sakuntala. Dalam geguritan itu tokoh protagonis perempuan sempat mengalami ketidakadilan. Oleh karena itu, tokoh perempuan memperjuangkannya demi terwujudnya “janji” yang pernah disepakati. Sebagai contoh dikutip bait 15 pupuh Smarandana; bait 38 dan bait 40 pupuh Durma. Sakewala minab suba nawang/ apan beli ngenca gumi/ madeg bhupalaka/ menadi pengayom jagat/ ento ane mana beli/ makawinan/ tan ngakuin adi rabi (bait 38). Krian patih tanda mantri lan punggawa/ makejang pada miragi/ daging sabdakasa/ ento minaka saksya/ beli merabi ring adi/ tur misadya/ nagingin sengketane nguni (bait 40). Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa Sakuntala menuntut sebuah janji dengan terlebih dahulu mengungkapkan terjadinya sebuah
Ni Nyoman Karmini 120 perjanjian di hadapan beberapa orang sebagai saksi disertai bukti dari perjanjian dimaksud. Dalam hal menuntut sebuah janji memang harus disertai dengan kesiapan menerima risikonya. Di sini tercermin adanya suatu konsep bahwa janji harus ditepati, karena janji adalah utang. Berpijak pada uraian mengenai tokoh dan penokohan dari semua teks geguritan yang dijadikan objek penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan yang dilukiskan dalam teks geguritan yang dijadikan objek adalah dominan tokoh perempuan yang memiliki kemampuan luar biasa, tokoh yang berperilaku subhakarma didasari ajaran agama Hindu yang dianutnya. Tema Geguritan Setiap karya sastra tentulah mempunyai makna. Mempertanyakan makna sebuah karya sastra sama dengan mempertanyakan tema sebuah karya sastra. Untuk dapat menetapkan tema sebuah karya sastra dengan tepat tentulah disimpulkan dari keseluruhan cerita, yakni dengan: “memahami ceritanya, mencari kejelasan ide-ide, perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar” (Nurgiyantoro, 1995:85). Tema biasanya dibawakan oleh tokoh utama cerita. Oleh karena itu, tema dapat dipertanyakan kepada tokoh utama cerita. Pertanyaan yang dapat diajukan, di antaranya: apa motivasi tokoh; permasalahan apa yang di hadapinya; bagaimana perwatakannya; bagaimana sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu; apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukannya; bagaimana keputusan yang diambilnya. Dengan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, berikut ini dipaparkan tema dari setiap geguritan yang dijadikan objek penelitian. Tema Geguritan Dreman Geguritan Dreman mengisahkan kehidupan rumah tangga yang dimadu. Dalam kisah ini, ada saran untuk mengikuti jejak istri yang utama, yakni istri pertama. Istri pertama selalu berbuat baik, baik kepada suami maupun kepada madunya, walau madunya sering menyakiti hatinya. Karena perbuatan baik, istri pertama (I Suanggadarmi) memperoleh surga setelah meninggal dan mampu mengangkat suami dari neraka untuk bersama-sama tinggal di surga, sedangkan istri kedua (I Wijasantun) tetap disiksa di neraka selama seribu tahun. Tokoh Geguritan Dreman adalah I Suanggadarmi, I Jatiraga, I Wijasantun. Tokoh sebagai suami bernama I Jatiraga. Orangnya pandai, baik budi, selalu sabar dan sayang pada istri. Ia mempunyai dua orang istri. Ia selalu berusaha adil kepada kedua istrinya, tetapi tetap tidak bisa
Perempuan dalam Geguritan Bali 121 adil sebab ia telah dikuasai istri kedua dan ia selalu memihak istri yang kedua. Oleh karena itu, ia ditempatkan di neraka setelah meninggal. Hal ini tersurat pada bait ke-8, 23, 26, 30, 36, 40, 44, 63, 73, 86, 87, 100, 101, 102. Berikut ini dicontohkan hanya bait ke-8 pupuh Adri. I Jatiraga nene kakung, kawipradnyan reke, ngulah sadu krete budi, satata rahayu, rabine di pungkur, I Dreman I Jatiraga, bangga bonggan sumbungsumbung, lagute dreman kaeman, somahe sahi arepang. Tokoh istri kedua bernama I Wijasantun. Orangnya cantik, semampai, sangat manja, sombong, dengki, pemarah, suka memfitnah, tidak mendengarkan nasihat. Ia terlalu membanggakan diri dan menginginkan suaminya menjadi miliknya sendiri, karena itu ia memakai guna-guna, seperti guna tangis duyung, penangkeb jagat, yang menyebabkan suaminya tunduk kepadanya. Untuk menarik seluruh perhatian suaminya, madunya diperlakukan sangat buruk, suka berkatakata kasar, suka marah, suka memfitnah, dan masih banyak perbuatan buruk lainnya. Akibat perbuatannya itu, ia disiksa di neraka setelah meninggal selama seribu tahun. Hal ini tersurat pada bait ke-8, 9, 14, 20, 21, 24, 31, 32, 33, 34, 35, 45, 52, 55, 61, 72, 92, 93,102, 118 pupuh Adri 1, bait ke-3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 pupuh Adri 2. Berikut ini, hanya dicontohkan bait ke-9 pupuh Adri 1. Arane I Wijasantun, alus pamulune, langsing lanjar kenyung manis, pantesnia marengu-rengu, manying kasil teken kakung, tan sah mapulut laki, ne nganggo guna tangis duyung, tekening panangkeb jagat, somahe buka tekepang. Tokoh istri pertama bernama I Suanggadarmi. Orangnya cantik, semampai, lemah lembut, rajin, bijaksana, taat ajaran agama dan mendengarkan nasihat-nasihat, tabah, sabar sangat menghormati suami, selalu mendoakan suami. I Suanggadarmi teguh pada prinsip untuk menjalankan darma-nya, yakni melayani suami dan selalu mendoakan, bakti serta satia kepada suami. Ia sangat memahami bahwa dirinya bagian dari suami dan selalu berbuat baik selama hidupnya untuk bekal kemudian jika telah meninggal dunia. Ia juga sangat menyadari bahwa madunya adalah sebagai adiknya yang juga merupakan bagian dari suaminya. Karena prinsipnya seperti itulah, ia selalu dapat menerima perlakuan buruk madunya. Ia tidak pernah mempunyai rasa dendam dan tidak pernah ingin membalas perbuatan buruk madunya, bahkan ia selalu mengalah supaya tidak terjadi keributan dan selalu ingin mengarahkan madunya ke arah atau ke jalan yang benar. Ia tetap mencintai madunya seperti ia mencintai seorang adik. Karena itu pula, maka tokoh-tokoh lain, seperti mertua perempuannya, perempuan tetangganya menyatakan I Suanggadarmi sangat dharma, seperti air
Ni Nyoman Karmini 122 (sekadi toya) yang sangat menyejukkan, menyenangkan, membuat damai hati orang lain (dalam hal ini suaminya). Semua yang dilakukannya itu menyebabkan ia memperoleh Sorga setelah meninggal. Apa yang diuraikan di atas tersurat dan tersirat pada bait ke- 11, 12, 13, 17,18, 19, 27,28, 41, 42, 43, 56, 64, 66, 67, 68, 69, 77, pupuh Adri 1. Berikut ini dicontohkan hanyalah bait ke-11 dan ke-18. I Suanggadarmi bangkit satuwuk, tanporat awake, idepang jua masih bangkit, twara lali teken tutur, astiti baktine malu, sayangan masih rabine, diati masih magantung, yan luas satibapara, rabine hestiyang jumah. I Suanggadarmi jani masemu bakti ring lakine, idepang sih bapa aji, twara lengah teken kakung, apang anut pamunyin tutur, kanggo uduhe manjadma, bin apalih ya tumuuh, apang da manemu papa, ring laki sai manyumbah. Tokoh I Suanggadarmi dinyatakan lemah lembut. Walau disakiti hatinya oleh madunya (I Wijasantun), ia tetap dapat berkata-kata lembut dan manis kepada madunya. Hal ini tersurat pada bait ke-15 yang dikutip berikut ini. Lagute Tanporat takut matukup, sahi anggon gawe, lemah-lemeng jwa piranti, Tanporat tuara kudu, masih ja masabda alus, mekeneh ja di atine, tau teken awak tumbuh lacur, tumbuhe dadi jalma, sangkan kene temahannya. Saat madunya sakit, I Suanggadarmi sendiri yang sibuk melayani. Saat madunya meninggal, ia sangat sedih, begitu pula pada saat suaminya meninggal. Ia sangat sedih ketika orang-orang yang dicintai meninggal. Hal tersebut tersurat dan tersirat pada bait ke-84, 85, 90. Berikut ini hanya dicontohkan bait ke-90. Tanporat ngeling ngalup-alup, tresna ring madune, sasambatane mangeling, aduh Gusti Dewa Ratu, mati saja Gusti malu, ne ipwan kerep emboke, apang embok mati malu, saying san Gusti matinggal, yen sekar sedeng miike. Telah tiba waktunya I Suanggadarmi meninggal. Sesuai perbuatannya selama hidup, maka rohnya mencapai surga. Hal ini dilukiskan pada bait ke-103 – 118 pupuh Adri 1. Namun, setelah mengetahui suaminya di neraka ia menolak tinggal di Sorga tanpa suaminya. Karena ia bersikeras, maka suaminya diizinkan tinggal di Sorga berkat perbuatan baik selama hidupnya. Hal ini dilukiskan pada bait ke-1 – 7 pupuh Cecangkriman dan bait ke-1 dan 2 pupuh Adri 2. Berikut ini hanya dicontohkan bait ke-7 pupuh Cecangkriman dan bait ke-2 pupuh Adri 2. Sampun kahancut, atman somahe kagelut, siratin panglukatan, Widiadarine ngetisin, ya malungguh, munggah sareng majampana (pupuh Cecangkriman, bait ke-7) Hyang Indra Ida jani tumurun, ngungsi swargane, atmane raris mabakti, manyumabh jrijine rurus, Hyang Indra ngandika alus, kema iba ring meru
Perempuan dalam Geguritan Bali 123 emase, atmane umatur alus, “Ratu Agung Hyang sinembah, buk cokor ngiring Batara (pupuh Adri 2, bait ke-2). Dengan membeberkan selintas kisah Geguritan Dreman dapat ditetapkan temanya, yakni “kesabaran, kesetiaan disertai iman yang kuat akhirnya memperoleh kebahagiaan”. Jika di bawa ke dalam keyakinan yang disebut dengan panca çrada, dalam hal ini percaya adanya hukum karma phala, maka tepat sekali dikatakan bahwa “perbuatan baik berpahala baik, sedangkan perbuatan buruk berpahala buruk”. Tema Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri tetap kuat keinginannya untuk menikah dengan Satyawan walaupun ia mengetahui usia Satyawan hanya masih setahun saja. Setelah pernikahan, Sawitri selalu mengingat hari kematian Satyawan yang telah ditentukan. Menjelang tiga hari kematian Satyawan, Sawitri melakukan tapa brata selama tiga hari. Walaupun dilarang oleh suami dan mertua, ia tetap melakukan tapa brata karena Sawitri menginginkan suaminya panjang umur. Berkat kesabaran, kesetiaan, iman yang kuat, kebijaksanaan dan tapa brata yang dilakukannya, maka Dewa Yama pun mengabulkan semua permintaan Sawitri, yakni mertuanya tidak masih buta, negara suaminya dapat direbut kembali, orang tua Sawitri dianugrahi putra, Satyawan panjang umur dan dianugrahi putra. Tokoh Sawitri adalah tokoh yang sangat cantik, pandai, arif dan bijaksana, dermawan, melakukan ajaran tri kaya parisudha, tapa brata, sabar, satia, kuat iman, berbakti kepada orang tua dan suami, berkeinginan keras. Hal ini tersurat pada bait ke-8 pupuh Sinom, bait ke13 pupuh Durma, bait ke-30, 31, 32, 33, 34, 35 pupuh Ginada, bait ke-48, 49, 50, 51, 52, 53, 54 pupuh Sinom, bait ke-68 – 75 pupuh Ginada, bait 76 – 87 pupuh Sinom, bait ke-88 – 95 pupuh Smarandana, bait ke-96 – 104 pupuh Ginada. Berikut ini hanya dicontohkan dua bait saja. Maring ida Sang Satyawan, mogi rahayune panggih, santikane nenten pasha, rehning putrin cening agung, ngamanggehang tri kaya, Bapa mulih, mawali ke Swargaloka (pupuh Ginada, bait ke-35). Dinan ida Sang Satyawan, pacang ninggal jagat iki, nenten mari kaelingang, kapetek jeroning ati, crita petang dina malih, Sang Satyawan pacang lampus, Diyah Sawitri syaga, nangun brata dahat siddhi, wastan ipun, brata triratra tan liyan (pupuh Sinom, bait ke-48). Tokoh Satyawan adalah tokoh yang sangat tampan, bakti kepada orang tua, bakti kepada para pendeta, rajin, dan sangat memahami ajaran agama, arif bijaksana, rendah hati, tahan uji dan tidak mementingkan diri sendiri tetapi berusia pendek, yakni hanya tinggal setahun lagi, tetapi
Ni Nyoman Karmini 124 berkat kekuatan iman dan perbuatan baik istrinya (Sawitri), maka ia mendapat anugrah panjang umur. Hal ini tersurat pada bait ke-22 – 27 pupuh Ginada. Berikut ini dicontohkan bait ke-25 saja. Sajeroning kalewihan, tan pendah Prabhu Yayati, jroning rupa yan bawosang, Sang Hyang Aswino manurun, jitendriya lan mardawa, sayeng sampriti, anresangsia ksama kelan. Dengan pembeberan selintas kisah Geguritan Diah Sawitri, maka dapat ditetapkan temanya, yakni “tekad, iman dan tapa brata yang kuat, mampu meluluhkan hati Dewa Maut sehingga tercapai kebahagiaan hidup”. Tema Geguritan Damayanti Perkawinan antara Damayanti dan Prabhu Nala sangat membahagiakan mereka. Selama duabelas tahun kebahagiaan memenuhi kehidupan mereka. Pada suatu saat Prabhu Nala lupa membasuh kaki sebelum melakukan pemujaan. Saat itu pula, Sang Hyang Kali memasuki tubuh Prabhu Nala, sedangkan Hyang Dwapara mengasut Raja Puskara supaya berjudi dengan Prabhu Nala dengan janji kemenangan di pihak Puskara. Perjudian terjadi, kekalahan ada di pihak Prabhu Nala sehingga ia diusir dari kerajaannya, dan siapa yang berani menolong hukumannya adalah mati. Damayanti dan Nala terlunta-lunta di hutan. Nala meninggalkan Damayanti pada saat tertidur. Mereka terpisah. Damayanti sangat sedih dan mengutuk “penyebab” penderitaan mereka. Damayanti terlunta-lunta hingga sampai di Negara Cedi sebagai hamba, sedangkan Nala sampai di Ayodhya atas petunjuk dan bantuan Naga Karkotaka. Prabhu Bima, orang tua Damayanti, mencari anak dan menantu. Akhirnya, Damayanti ditemukan di Negara Cedi dan diajak pulang ke Widharba. Sayembara kembali diadakan untuk Damayanti. Sayembara ini hanyalah alasan untuk memancing Prabhu Nala supaya bertemu dengan Damayanti. Singkat cerita, mereka bersatu kembali, setelah Hyang Kali ke luar dari tubuh Nala, sedangkan kerajaan kembali setelah Puskara kalah berjudi. Tokoh Damayanti adalah tokoh yang sangat cantik, satia, bijaksana disertai iman kuat dan melaksanakan satyeng laki. Ia rela menerima penderitaan hidup bersama suaminya. Segala cobaan kehidupan ia jalani dengan tabah namun selalu berharap bersatu kembali dengan suaminya. Segala cara ia lakukan, termasuk membuat sayembara (hanya siasat) untuk memancing kedatangan Prabhu Nala. Akhirnya, mereka pun hidup bahagia setelah menjalani banyak penderitaan. Hal ini tersurat pada bait 9 pupuh Durma 1, bait 1, 2, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 13, 14 pupuh Sinom 1, bait 1 – 5 pupuh Ginanti 1, bait 1, 2, 3, 4, 12 pupuh Sinom 3, bait 3, 4, 5, 6
Perempuan dalam Geguritan Bali 125 pupuh Durma 2, bait 2,3 pupuh Ginada 3, bait 2, 3 pupuh Pangkur 4, bait 4 – 9 pupuh Ginada 4, bait 10, 11 pupuh Durma 3, bait 1, 2 pupuh Sinom 7, bait 1 – 17 pupuh Ginada 6, bait 1, 2, 3 pupuh Durma 4, bait 1 – 9 pupuh Ginada 7, bait 1 – 11 pupuh Durma 5. Di bawah ini hanya dicontohkan bait 9 pupuh Sinom 1. Nenten keni antuk ida, ngelingin ida sang kapti, Prabhu Nala wenten panca, adeg warni sami patis, Dewi Damayanti sedih, antuk bingunge kalangkung, raris ida nunas ica, maring Ida Sang Hyang Widhi, tur matimpuh, ngastawa Hyang Widhi Wasa. Tokoh Prabhu Nala adalah tokoh yang sangat tampan, sakti, arif bijaksana, satia tetapi suka berjudi. Karena lupa membasuh kaki pada saat akan sembahyang, Dewa Kali merasuki dirinya, yang memang telah lama ingin menghancurkan kebahagiaan mereka. Karena itulah terjadilah cobaan hidup sehingga kebahagiaan berumah tangga yang telah dijalaninya selama dua belas tahun hancur. Namun berkat kesetiaan masing-masing, setelah cobaan berlalu, mereka pun hidup berbahagia. Hal ini tersurat pada bait 3, 4, 9 pupuh Durma 1, bait 6, 7, 8 pupuh Pangkur 1, bait 8, 9, 10, 16, 17, 18, 19 pupuh Ginada 1, bait 3, 6, 13, 14, 15 pupuh Sinom 1. Berikut ini dicontohkan hanya bait 15 pupuh Sinom 1. Ne mangkin durus pirengang, salamin beline urip, wantah adi manrewenang, sampun sumangsayeng ati, rehning adi satia laki, beli patut satia wadhu, nenten wenten wadhu liyan, sida ngoda beli malih, wantah ratu, rabin beli sawijiya. Dengan pemaparan kisah Damayanti, dapat ditetapkan temanya, yakni “kesabaran, kesetiaan, cinta sejati disertai iman kuat, dapat mengalahkan segala cobaan hingga akhirnya bahagia”. Tema Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati adalah seorang gadis putri raja Kretanegari. Ia mempunyai kakak bernama I Wiranata. Ni Candrawati hamil karena dijamah oleh Hyang Smara pada saat memuja. Alasan kehamilannya tidak dapat diterima oleh I Wiranata, karena itu ia dibuang ke hutan oleh kakaknya. Tokoh I Wiranata sangat tampan, berbudi baik, bijaksana, katakatanya sangat berpengaruh dan sangat memahami ajaran agama. Hal ini tersurat pada bait 3 pupuh Ginada yang dikutip berikut ini. Kawuwus putrane lanang, warnane tuhu apekik, maharani I Wiranata, budi alus kadi Wisnu, wicaksana sidi ngucap, darma jati, weruh ring sastra utama. Tokoh Ni Candrawati sangat cantik seperti Hyang Ratih, perempuan sangat utama, berkeinginan nyukla brahmacari, setiap hari belajar sastra
Ni Nyoman Karmini 126 (baca agama) dan mendalami yoga brata anugrah seorang Rsi bernama Bagawan Utatya serta selalu memuja Hyang Saraswati, tetapi hamil oleh Hyang Smara akibat memuja, yang berakibat ia dibuang ke hutan. Hal ini tersurat pada bait 4 – 9 pupuh Ginada. Berikut ini adalah contoh bait 6. Sadina mangulik sastra, astiti ring Saraswati, miwah ring tutur utama, yoga bratane rinangsuk, paican sang muniwara, resi sidi, haran Bagawan Utatya. Ni Candrawati memiliki keinginan untuk nyukla brahmacari, tetapi mengalami kehamilan di luar kehendaknya. Oleh karena itu, ia dibuang ke hutan. Ia menerima kenyataan itu dengan tabah dan pasrah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tema Geguritan Ni Candrawati adalah “takdir tidak dapat dihindari”. Tema Geguritan Brayut Men Brayut dengan Pan Brayut menikah. Kebahagiaan mereka tidak dapat dibendung. Dengan demikian, dalam beberapa tahun pernikahannya, mereka telah mempunyai anak 18 orang termasuk yang masih dalam kandungan. Jarak usia mereka tidak terlalu jauh sehingga sangat merepotkan Men Brayut. Hal itu menyebabkan Men Brayut tidak sempat melakukan pekerjaan lain, selain mengurus anak. Apalagi saat hari raya Galungan, dari persiapan upakara dan pelaksanaan upacara Galungan, Pan Brayutlah yang melaksanakannya. Kehidupan mereka sangat berat apalagi mereka memang miskin. Setelah anak-anak mereka dewasa, semua memiliki keahlian masing-masing dalam mencari nafkah hidup. Kehidupan keluarga Brayut menjadi damai dan sejahtera. Selanjutnya, Pan Brayut dan Men Brayut menjadi seorang pertapa. Semua anaknya disarankan melaksanakan ajaran samhita. Tokoh Pan Brayut adalah tokoh yang malas, penjudi, tidak mendengarkan nasihat, miskin, nafsu birahinya kuat, kadang-kadang suka marah, namun akhirnya ia belajar ilmu kediatmikan. Tentang sifat malas, penjudi, tidak mendengarkan nasihat, miskin tersurat pada bait 1 dan 2, tentang sifat marah tersurat pada bait 24, 25, 26, tentang nafsu birahi kuat tersurat pada bait 38 dan 39, tentang belajar kediatmikan tersurat pada bait 56, 58–77 pupuh Sinom Tikus Kabanting. Di bawah ini hanya dicontohkan bait 1 saja. Ada kidung geguritan, matembang tikus kabanting, ne kocap jelema boda, betah tani ngidep munyi, bebotoh uli cenik, mayus ludin tani mampuh, pianak makurambean, ne ibukang luh muani, aplekutus, tekaning ne nu di basang. Tokoh Men Brayut sebenarnya adalah tokoh yang cantik, yang sangat ahli menenun tetapi keahliannya ditinggalkan dan kecantikannya
Perempuan dalam Geguritan Bali 127 tidak terurus karena disibukkan oleh urusan anak. Ia tokoh yang sabar tetapi kadang-kadang juga marah. Ia termasuk tokoh yang tidak berani menggugurkan kandungan (brunaha) sebab ia yakin hukuman yang akan diterima di neraka selama seribu tahun. Tentang kesibukkannya mengurus anak tersurat pada bait 3 – 5, 11 – 21, tentang keahliannya menenun tersurat pada bait 30 – 35, tentang ketakutan melakukan brunaha tersurat pada bait 37. Berikut ini dicontohkan bait 11 saja. Nene eluh tuara uninga, ia nu medem engkis-engkis, manyrepapang gerakgerok, pianake bek pagelanting, ada medem manyamping, len nungkayak manyrengkukut, ada madep ka teben, ne paling ketut ngakebin, ngelut bau, tunggal ngendusin kocokang. Dari kisah selintas Geguritan Brayut kemudian dapat ditetapkan temanya, yakni “kesabaran menjalani penderitaan, akhirnya mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup”. Tema Geguritan Saci Istri Gusti Gede Mangku sangat sedih melihat suaminya terluka parah akibat berkelahi dengan preman dari Jasi. Untuk menghibur istrinya, Gusti Mangku menyatakan bahwa Bhatara Indra saja bisa salah apalagi kakak manusia biasa yang banyak kekurangan. Gusti Mangku mengisahkan tentang Bhatara Indra yang bersembunyi di dalam bunga tunjung di dasar samudra akibat dari kesalahannya membunuh sahabat. Oleh karena itu, diangkatlah Nahusa sebagai Raja di Indraloka. Pemerintahan menjadi kacau, banyak bidadari dijamah bahkan Nahusa ingin memperistri Dewi Saci, istri Bhatara Indra. Dewi Saci mengadu kepada Bhagawan Wrehaspati. Mereka berusaha menemui Bhatara Indra. Berkat bantuan Dewi Uma tujuan mereka tercapai. Dewi Saci menyampaikan permasalahannya. Bhatara Indra memerintahkan Dewi Saci untuk menerima tawaran Nahusa dengan syarat saat pernikahan harus di-sunggi oleh para brahmana. Persyaratan diterima oleh Nahusa, yang menyebabkan para brahmana marah dan mengutuk Nahusa menjadi ular kecil yang kurus kering dan menderita selama 1000 tahun di bumi. Gusti Mangku menyarankan istrinya supaya taat pada ajaran agama, berbakti kepada guru (catur guru), dan meniru perbuatan Dewi Saci. Itu semua sebagai bekal untuk menghadap Beliau sebab sebagai manusia mati tidak dapat dihindari. Tokoh Dewi Saci dalam Geguritan Saci adalah tokoh yang sangat cantik, setia (satia) kepada suami (Bhatara Indra), patibrata lebih memilih mati daripada diperistri oleh Nahusa. Hal ini tersurat pada bait 40 – 45 pupuh Smarandana, bait 18, 19, 22 pupuh Ginanti. Berikut ini
Ni Nyoman Karmini 128 dicontohkan bait 19 pupuh Ginanti. Suka mati yen matemu, ring Ratu Nahusa bacin, kalih yen manggeh ring Swargan, ipun mangadeg Bupati, titiang manunas puputang, ring ajeng I Ratu mangkin. Berdasarkan paparan selintas tentang Geguritan Saci, kemudian dapat ditetapkan temanya, yakni “kesetiaan dan cinta yang tulus dapat menyebabkan kehancuran kekuasaan yang sewenang-wenang”. Tema Geguritan Dyah Arini Bidadari Dyah Arini ditugaskan untuk menggoda pertapa Trenawindu oleh Hyang Indra. Dyah Arini merasa berat dan sedih mendapat tugas itu karena ia selalu berbuat baik. Ia pun pasrah dan menerima tugas dari penguasa. Tugas yang diemban Dyah Arini diketahui oleh Trenawindu. Akibatnya, Dyah Arini dikutuk menjadi manusia oleh Trenawindu. Lewat kekuatan mata batin Trenawindu diketahui bahwa Dyah Arini pada dasarnya baik. Oleh karena itu, ia dikutuk menjadi manusia di bumi dan lahir kembali (punarbhawa) di keluarga Raghu, yang masih termasuk keluarga Trenawindu. Tokoh Dyah Arini adalah bidadari yang sangat cantik, selalu mengusahakan kebaikan. Karena tugas, ia menggoda tapa Trenawindu. Pemberian tugas tersurat pada bait 4, 5,10, 11, 12, 13, 14, 15 pupuh Demung 1, dan perjalanan melaksanakan tugas tersurat pada bait 16 – 44 pupuh Demung 1, bait 1 – 11 pupuh Pangkur. Tentang kesedihan dan pesan Arini saat menerima kutukan tersurat pada bait 1 – 16 pupuh Gagak Amanis. Berikut ini dicontohkan hanya bait 5 pupuh Demung 1. Tan lyan Dyah Arini kapabuwatin pisan, mangawara Sang Wiku, mangde rusak luntur, tapa bratane kapandi, irika ring taman, singid kalintang ing suhung, genah Sang Hyang Indra, ngesengin Dyah Arini, mababawos pakalihan, ngulih-ulih Sang Trenawindu. Dari uraian tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa tema Geguritan Dyah Arini adalah “setiap tugas pasti disertai risiko”. Tema Geguritan Cilinaya Raja Daha mempunyai istri lebih dari 100 orang. Salah satu istrinya adalah bernama I Liku. I Liku berambisi menguasai raja, karena itu ia menggunakan bermacam-macam guna-guna. Akibatnya, permaisuri difitnah sehingga dibuang ke hutan bersama bayinya yang masih kecil. Penderitaan yang lama menyebabkan permaisuri meninggal dan bayinya dipungut oleh Ki Dukuh. Setelah dewasa, Cilinaya menikah dengan Raden Jayasemara (sepupu) dan mempunyai seorang putra. Cobaan hidup
Perempuan dalam Geguritan Bali 129 pun tetap dialami oleh Cilinaya karena raja Daha masih dikuasai oleh I Liku, tetapi dengan kesabaran dan kasih sayang, Jayasemara berhasil menenangkan Cilinaya. Dari uraian cerita tersebut dapat dinyatakan bahwa temanya Geguritan Cilinaya adalah “Dalam hidup ini diperlukan kesabaran dan kepasrahan”. Tema Geguritan Dewi Sakuntala Raja Duswanta (Raja Hastina) berburu ke hutan. Pada perburuan kali ini beliau tidak mendapatkan binatang buruan, sehingga tanpa disadari Beliau terus memasuki hutan. Sampailah beliau di sebuah pasraman yang pemandangannya sangat indah. Pada saat itu di pasraman sangat sepi. Beliau duduk beristirahat sambil memandangi indahnya alam. Tidak beberapa lama, muncullah seorang gadis sangat cantik bernama Sakuntala. Melihat Sakuntala, raja jatuh cinta pada pandangan pertama. Raja pun merayu Sakuntala. Atas desakan raja, Sakuntala tidak dapat mengelak tetapi sebelum perkawinan terjadi Sakuntala mengajukan syarat, yakni bila ia mempunyai seorang putra, maka putranyalah yang menjadi raja. Raja Duswanta berjanji memenuhi syarat tersebut, maka terjadilah perkawinan itu. Raja kemudian kembali ke kerajaan dengan janji segera menjemput Sakuntala dengan upacara semestinya. Akan tetapi karena kesibukan seorang raja, maka beliau lupa menjemput Sakuntala sampai putra Sakuntala berusia 6 tahun, yang diberi nama Sarwadamana. Sakuntala sedih mengingat Raja ingkar janji. Kesedihannya diketahui oleh Sang Mpu sehingga Sakuntala disuruh menghadap Raja Hastina. Sakuntala pun menghadap Raja disertai oleh Sarwadamana dan seorang pertapa. Sakuntala menyampaikan kepada Raja bahwa ia adalah istrinya dan Sarwadamana adalah putranya. Awalnya Raja Hastina sangat marah mendengarkan pengakuan Sakuntala. Terjadilah perdebatan antara Sakuntala dan Raja Duswanta. Karena itu, Raja sangat marah dan mengusir Sakuntala. Pada saat Raja berada pada puncak kemarahannya, terdengar sabda dari langit yang membenarkan kata-kata Sakuntala. Raja pun tidak dapat berbuat apa-apa dan menerima Sakuntala sebagai istrinya dan mengangkat Sarwadamana menjadi raja di Hastinapura dengan nama Sang Bharata. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa tema Geguritan Sakuntala adalah “janji harus ditepati dan harus diperjuangkan”. Berpijak pada uraian mengenai tema teks geguritan yang dijadikan objek, maka dapat ditarik simpulan bahwa tema teks geguritan yang dijadikan objek mencerminkan penerapan lima kepercayaan atau
Ni Nyoman Karmini 130 lima keyakinan dalam agama Hindu yang disebut dengan panca çrada. Panca çrada adalah lima kepercayaan, yang meliputi percaya adanya Sang Hyang Widhi/Tuhan, percaya adanya Atma, percaya adanya hukum karma phala, percaya adanya samsara (punarbhawa), percaya adanya moksa.
131 BAB IV PERANAN PEREMPUAN BALI DALAM KELUARGA DAN BERMASYARAKAT Pengantar Untuk dapat memahami sosok perempuan yang digambarkan dalam teks geguritan yang dijadikan objek, perlu adanya pemahaman terhadap peranan perempuan Bali Hindu dalam keluarga dan kehidupan bermasyarakat di Bali. Oleh karena itu, di sini sangat perlu dipaparkan tentang norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Norma-norma dimaksud, mengacu pada Weda sebagai kitab suci agama Hindu dan Kitab Manawa Dharmasastra. Dengan memahami norma-norma yang diyakini dan diterapkan dalam kehidupan seharihari masyarakat Bali Hindu sesuai ajaran agama Hindu, maka dapat dengan mudah memahami gambaran sosok perempuan yang dilukiskan dalam teks geguritan. Dengan demikian, dapat pula dengan mudah menarik benang merah antara konsep Feminisme Radikal-Kultural dengan gambaran sosok perempuan dalam teks yang dijadikan objek penelitian ini. Berksaitan dengan hal itu, penulis berpendapat bahwa materi ini sangat penting dipaparkan di sini sebagai dasar menganalisis teks geguritan dari sudut feminisme. Hakikat Hidup Bermasyarakat di Bali Menurut kodratnya, manusia merupakan makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tidak dapat hidup sendirian. Setiap manusia baru dapat hidup dengan baik jika ia berhubungan dengan manusia lainnya. Sehubungan dengan itu, manusia harus hidup bermasyarakat sebab dengan bermasyarakat manusia dapat menjumpai kehidupan yang damai. Kehidupan masyarakat Bali yang didukung oleh adat istiadat yang kuat dalam hal hubungan antara warga yang satu dan warga yang lain didasarkan atas asas moral yang telah melembaga dalam diri individu. Asas dasar itu adalah tat twam asi. Secara harfiah tat artinya itu (ia), twam artinya kamu dan asi artinya adalah. Secara keseluruhan asas dasar itu berarti ‘itu (ia) adalah kamu’. Saya adalah kamu dan segala makhluk adalah sama. Hal ini berarti menolong orang lain sama dengan menolong diri sendiri, menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri (Parisada Hindu Dharma, 1968:51). Berkaitan dengan ajaran tat twam asi, maka ada kata-kata mutiara yang menjadi pegangan umat
Ni Nyoman Karmini 132 Hindu, yakni “Bila engkau dilukai seseorang, lalu engkau kembali melukai dia, luka pertama dan luka kedua tidak bakal sembuh, melainkan akan menambah luka, dan pada gilirannya menambah kebatilan di dunia ini” (Pendit, 1995:96). Istilah tat twam asi sebenarnya mengandung arti yang sangat luas dan dalam. Di dalamnya terkandung suatu anjuran dan dasar kesusilaan untuk selalu dikembangkan dalam pergaulan hidup antarsesama makhluk, seperti sifat-sifat kebijaksanaan, kebajikan, keluhuran dan lain-lain, sebab manusia berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Seperti dinyatakan dalam “Brahman Atman Aikyam”, yang artinya “Brahman dan Atman pada hakikatnya adalah tunggal” (Adia Wiratmadja, 1988:57). Pernyataan ini menunjukkan bahwa sumber hidup dan kehidupan manusia berasal dari Tuhan (Brahman). Tuhan menciptakan alam semesta dan manusia karena cinta kasihnya. Tuhan mencintai segala ciptaan-Nya, karena itu manusia juga harus mencintai Tuhan dan segala ciptaannya. Dalam Bhagawadgita XII.2 hal tersebut dinyatakan sebagai berikut. Srībhagavān uvācha: Mayy āvesya mano ye mām Nityayuktā upāsate Sraddhayā parayo ‘petās Te me yuktatamā matāh Artinya: Sri Bagawan berkata: Yang menyatukan pikiran berbakti pada-Ku Menyembah Aku, dan tawakal selalu Memiliki kepercayaan yang sempurna Merekalah Ku-pandang terbaik dalam yoga (Pendit, 1989:255) Dalam cinta kasih itu akan terwujud rasa persaudaraan yang mendalam. Manusia hanya dapat hidup sebaik-baiknya dan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama manusia lainnya dalam masyarakat. Tanpa hidup bermasyarakat, seseorang tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam mempertahankan hidup dan dalam usaha mengejar kehidupan yang lebih baik, tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri tanpa bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Prinsip dasar tat twam asi mengajarkan kita supaya selalu hidup rukun dan damai, mengembangkan sikap tenggang rasa serta setiap saat mawas diri. Prinsip dasar tat twam asi dalam kehidupan masyarakat di Bali diberi pengertian atau dikonsepsikan ke dalam asas-asas manyamaberaya, seperti (1) asas suka duka, artinya dalam suka dan duka dirasakan bersama-sama; (2) asas paras paros, artinya orang lain
Perempuan dalam Geguritan Bali 133 adalah bagian dari diri sendiri dan diri sendiri adalah bagian dari orang lain; (3) asas salunglung sabayantaka, artinya baik buruk, mati hidup ditanggung bersama; (4) asas saling asih, saling asah, saling asuh, artinya saling menyayangi/mencintai, saling memberitahu/mengoreksi, saling membantu/tolong-menolong antarsesama hidup. Dalam hukum adat, asas-asas tersebut populer dengan sebutan asas kekeluargaan, asas kebersamaan/komunal (Dharmayudha, 1996:24). Perwujudan nyata dari asas-asas ini, dapat disaksikan dalam lembaga adat, seperti sekaa-sekaa, banjar, desa adat, dan subak. Dalam aktivitas sehari-hari misanya ada perbuatan-perbuatan, seperti adat matetulung, yaitu menyediakan diri untuk datang ke rumah atau ke tempat warga masyarakat yang mengadakan suatu kegiatan upacara, selamatan, dan lain-lain; adat mejotan/ngejot/mejejotan, yaitu memberi sesuatu kepada orang lain ketika telah selesai melaksanakan selamatan atau upacara; adat madelokan, yaitu datang menjenguk pada saat ada warga meninggal dunia sebagai ungkapan rasa berbela sungkawa atas musibah yang menimpanya (Dharmayudha, 1996:25). Asas kekeluargaan di samping mengandung aspek horisontal juga mengandung aspek vertikal. Dalam aspek vertikal, tampak antara yang lebih besar dengan yang lebih kecil, orang tua dengan anak-anak, kakak dengan adik, dan sebagainya. Dalam perbedaan ini dikembangkan asas sasana manut linggih, linggih manut sasana, artinya peranan atau sikap harus sesuai dengan kedudukan dan kedudukan harus membawa peranan yang sesuai. Dalam lingkungan keluarga dikenal bapak dan ibu sebagai orang tua. Dalam lingkungan masyarakat Bali ada orang yang dituakan, yang dikelompokkan menjadi tiga yang disebut tri sinanggeh werda (matuha), yang artinya tiga yang dituakan, yaitu (1) wahya werda, mereka yang disebut tua karena usia; (2) jnana werda, mereka yang disebut tua karena ketinggian ilmu pengetahuannya, baik ilmu pengetahuan keduniawian maupun kerohanian; dan (3) tapo werda, mereka mendapat julukan tua karena telah banyak menimba pengalaman hidup (Dharmayudha, 1996:26). Namun, dalam kehidupan bermasyarakat dan usaha untuk mencapai kemajuan, manusia acapkali bergulat dengan alam sekitarnya atau manusia lainnya dalam bersaing bebas yang kadang-kadang kejam, yang tidak jarang menimbulkan penindasan dan pemborosan hak orang lain. Kesadaran untuk mengatasi penderitaan yang ditimbulkan oleh kekejaman itu melahirkan sikap dasar untuk mewujudkan kesadaran dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial, antara manusia pribadi dan masyarakat. Pandangan sosial yang berdiri
Ni Nyoman Karmini 134 di atas paham keseimbangan tidak mengingkari bahwa masyarakat itu senantiasa bergerak, berubah, dan berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesatnya mempercepat perubahan dalam masyarakat. Di samping itu, diperlukan kesadaran dari masing-masing pribadi untuk mau mengendalikan diri. Kemauan dan kemampuan mengendalikan diri dan kepentingan pribadi adalah suatu sifat yang mempunyai arti sangat penting, bahkan merupakan suatu yang sangat diharapkan untuk menimbulkan dan membina keseimbangan dan stabilitas kehidupan masyarakat, seperti dinyatakan pada Baghawadgita XII.4 berikut ini. Samniyamye ‘ndriyagrāmam Sarvatra samabuddhayah Te prāpnuvanti mām eva Sarvabhūtahite ratāh Artinya: Dengan menahan pancaindria hawa nafsu Selalu seimbang dalam segala situasi Berusaha guna kesejahteraan semua insani Mereka juga datang kepada-Ku (Pendit, 1989:255–256) Pernyataan di atas juga menyiratkan ajaran tat twam asi, yakni mengasihi sesama manusia dan segala makhluk ciptaan Tuhan. Kehidupan masyarakat yang damai terdapat dalam lingkungan orangorang yang mengamalkan cinta kasih, seperti dinyatakan dalam Rgweda X.191.4, yakni untuk dapat hidup rukun bersama-sama, hendaknya samakanlah tujuanmu, hatimu, dan pikiranmu (Adia Wiratmadja, 1988:60). Demikian juga dalam Kakawin Ramayana I, Sronca, Sarga I.3 dinyatakan bahwa “Gumananta sang Dasarata, wruh sira ring weda bhakti ring dewa, tar malupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh” artinya “ Gunawanlah Sang Dasarata, pandai Baginda dalam Weda, bakti kepada para dewa, tidak lupa akan pemujaan kepada leluhur, Baginda pun kasih sayang kepada keluarganya semua” (dalam Departemen Agama RI, 2001:2). Hidup damai dalam masyarakat sebenarnya merupakan cita-cita setiap manusia, tetapi cita-cita itu sulit dicapai, sukar diwujudkan karena ulah manusia sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat hidup damai dapat dilakukan dengan menjauhkan rasa: dengki, iri hati (matsarya), pemarah (kroda), mementingkan diri sendiri, egois (nresangsya), madat, madon, dan sebagainya. Dengan kata lain, untuk dapat hidup damai di dunia ini, hendaknya kita semua mampu mengendalikan diri dan menerapkan ajaran tat twam asi.
Perempuan dalam Geguritan Bali 135 Hakikat Perempuan Hindu (Wadhu Tattwa) Supaya pemikiran terfokus pada persamaan makna bagi sebuah istilah, kiranya sangat perlu terlebih dahulu memaknai istilah wadhu tattwa. Makna kata wadhu dan tattwa sangat perlu dipahami, baik secara leksikal maupun gramatikal. Secara leksikal kata wadhu berarti pengantin perempuan, istri muda, sembarang istri atau perempuan, sanak perempuan yang lebih muda, perempuan atau istri (Zoetmulder, 2000:1364). Kata tattwa artinya: kesejatian, yang membuat sesuatu ada, hakikat, jadinya, nyatanya. Deskripsi kata tattwa itu dapat diperluas menjadi: (1) jadinya sesuatu dalam kenyataan; (2) hakikat yang sebenarnya; (3) yang hakiki; (4) berbagai kategori dari yang nyata ada dalam ajaran Samkya; (5) ajaran tentang kenyataan; dan (6) benar-benar, sungguh-sungguh (Zoetmulder, 2000: 1223). Dari uraian tersebut dapat dinyatakan bahwa secara leksikal wadhu tattwa berarti hakikat perempuan, sedangkan secara gramatikal wadhu tattwa berarti seluruh usaha perempuan untuk menampilkan kesempurnaan diri dan jendernya. Secara normatif, peranan perempuan Hindu sangat tinggi. Hal ini diungkap dalam Weda, seperti Rgveda, Atharvaveda dan Yayurveda. Paparan tentang peranan perempuan Hindu dalam Weda dikutip dari tulisan Somvir dalam Mutiara Veda: Untuk Kehidupan Sehari-hari cetakan pertama. Menurut Somvir (2001:166), pada Rgveda: 3.53.4, dinyatakan bahwa “Jāyed astam maghavan sed u yonih…” yang artinya ibu rumah tangga atau perempuanlah sebenarnya rumah itu sendiri, dan dialah yang terpenting bagi kemakmuran keluarga. Dalam Atharvaveda: 14.2.26, juga dinyatakan bahwa “Sumangalī prataranī grhānām…” yang artinya “Wahai perempuan! Masuklah di rumah ini dengan memakai busana dan keluarkanlah suamimu dari segala penderitaan”. Dijelaskan pula bahwa posisi perempuan dalam rumah tangga paling tinggi. Untuk itu, perempuan disebut mūrdhā dhruvā, sebagai penyeimbang (dhruva bintang), pemegang tanggung jawab rumah tangga, serta perempuan seperti perawat yang menolong pasien (dhārtri dan dharani). Oleh karena itu, Tuhan memberikan panjang umur kepada perempuan. Dalam Rgveda dinyatakan pula bahwa perempuanlah yang harus memilih suaminya sendiri jika ia ingin bahagia dalam hidup ini (… svayam sā mitram vanute jane cit) (Somvir, 2001:167). Menurutnya pula, Yayurveda:19.94, memaparkan bahwa “…patni sukrtam bibharti…” artinya tanpa kehadiran perempuan, yadnya tidak sempurna. Pernyataan itu ditegaskan lagi dengan adanya pemaparan dalam Atharvaveda: 14.2.24, yakni dinyatakan bahwa perempuanlah yang selalu melaksanakan yadnya, karena itulah Dewa Agni akan mengusir bhūta (ā roha carmopa sīda agnim). Berkaitan dengan perempuan sebagai pelaksana yadnya,
Ni Nyoman Karmini 136 dalam Manawa Dharmasastra, Buku III sloka 56 dinyatakan bahwa “Di mana wanita dihormati, di sanalah para Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala”. Dan dalam Atharvaveda: 20.126.10 juga dijelaskan dan ditegaskan bahwa perempuan selain mengikuti ritual keagamaan, selalu ikut dalam medan perang (Samhotram sma purā nārī samanam vāva gacchati…). Demikian juga pandangan Rsi Manu, bila di rumah itu para perempuan dihormati di sana pulalah para dewa tinggal, dan bila para perempuan tidak dihormati, rumah itu akan seperti neraka (Somvir, 2001:164). Pada uraian di atas ditekankan bahwa perempuan berperanan sangat penting. Dalam rumah tangga, perempuan bagian terpenting bagi kemakmuran rumah tangga dengan posisinya paling tinggi (mūrdhā dhruvā); sebagai penyeimbang (dhruva bintang); sebagai penanggung jawab dan perawat (dhārtri dan dharani) dalam rumah tangga, dan perempuan sebagai pelaksana yadnya. Oleh karena itu, Dewa Agni membantu mengusir para butha yang mengganggu kehidupan manusia. Selain pelaksana ritual keagamaan, perempuan juga turut dalam medan perang. Hal ini juga menjelaskan bahwa perempuan dapat dan sanggup melakukan banyak hal dalam hidup ini. Oleh karena itu, pandangan Rsi Manu sangat tepat dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Hakikat perempuan yang telah diuraikan di atas tersurat dalam Yajurveda: 14.21 yang berbunyi sebagai berikut. Mūrdhā asi rād dhruvā asi dharunā dhārtryasi dharanī, Āyuse tvā varcase tvā krsyai tvā ksemāya tvā Artinya: Wahai para perempuan, yang berumah tangga, engkaulah yang tertua di rumah ini, engkaulah yang cerdas dan seimbang di rumah ini, dan engkau pendorong dan sebagai perawat yang memberikan ketenangan. Engkau yang menetapkan peraturan seperti ibu pertiwi yang melindungi dunia. Oleh karena itu, Aku memberimu umur panjang dan cahaya keberhasilan dalam pertanian (usaha) dan untuk kemakmuran di rumah ini. (Somvir, 2001:165) Hal itu tersurat pula dalam bagian “Stri Sakti”, Rgveda:10.159.2, yang bunyinya sebagai berikut. Aham keturaham mūrdhāhamugrā vivācanī Mamedanu kratum patih sehānāyā upācaret Artinya: Saya adalah seorang perempuan pemimpin, sarjana utama, dan penceramah dengan tegas. Suami saya dengan sungguh-sungguh menerima keinginan saya dan saya tidak mempunyai seorang musuh pun di dunia ini. (Somvir, 2001: 162)
Perempuan dalam Geguritan Bali 137 Mantra tersebut berasal dari Rgveda yang diterima oleh seorang rsi perempuan bernama Paulomī Śacī. Bagian Rgveda tersebut merupakan sūkta yang membicarakan tentang perempuan. Dalam Rgveda perempuan sangat dihormati bahkan diberikan kehormatan yang lebih besar daripada laki-laki. Di dalamnya tercermin adanya konsep ardhanareśvara, dan perempuan dianggap sebagai ardhāngani. Konsep ardhanareśvara adalah wujud setengah laki-laki dan setengah perempuan yang dikenal berkaitan dengan Dewa Çiwa. Tanpa perempuan, laki-laki tidak sempurna, demikian pula sebaliknya, tanpa laki-laki perempuan tidak sempurna. Tanpa kehadiran perempuan dalam rumah tangga, sebuah rumah tidak dapat dikatakan sebagai rumah yang utuh. Perempuan sebenarnya seorang sarjana dan pembimbing. Perempuan berkedudukan sebagai guru pertama bagi anaknya, guru kedua adalah ayahnya, dan guru ketiga adalah guru spiritualnya (Somvir, 2001:163). Dan dalam Rgveda: 10.159.3 dinyatakan bahwa “Anakku adalah penghancur musuh dan putriku cerdas, dan saya selalu mendapatkan kemenangan”, utāham asmi samjayā…(Somvir, 2001: 164). Berkaitan pula dengan wadhu tattwa (hakikat perempuan), maka kedudukan kitab Manawa Dharmasastra sangat penting artinya. Kitab tersebut merupakan sasana atau aturan-aturan yang bersifat terapan dan dapat langsung diikuti nilainya oleh perempuan Hindu. Manawa Dharmasastra merupakan kitab hukum dan ketatanegaraan pada zamannya. Perempuan menurut kitab Manawa Dharmasastra sangat dihormati dan dimuliakan. Pernyataan tentang eksistensi perempuan sebagai makhluk terhormat merupakan bukti nyata bahwa Hindu adalah agama yang mengusung kesetaraan gender berdasarkan kewajiban (swadharma). Dalam epos Mahabharata, perempuan juga dikatakan sebagai suatu “kekuatan” (sakti). Hal ini dapat disimak pada saat Wasudewa diminta pendapatnya terkait dengan Drupadi bersuamikan lima orang (Panca Pandawa). Wasudewa menyatakan bahwa laki-laki itu lemah, mereka takut dosa, karena itu Wasudewa membuat dan menetapkan aturan-aturannya. Saat itu pula, di hadapan kelima putranya, di hadapan Wasudewa dan Drupadi, Kunti menyatakan bahwa perempuan adalah kekuatan laki-laki bukan kelemahan laki-laki. Selanjutnya, kepada Drupadi, Kunti menyatakan bahwa perempuan adalah penyelamat suami dari penderitaan dan dosa. Uraian yang dikutip dari Mahabharata, dapat pula dijadikan bukti bahwa agama Hindu memang mengusung kesetaraan jender berdasarkan swadharma. Dalam Manawa Dharmasastra buku II sloka 67 dinyatakan bahwa bagi perempuan, upacara perkawinan adalah kewajiban menurut Weda yang kemuliaannya sama dengan upacara inisiasi (pada brahmana),
Ni Nyoman Karmini 138 melayani suami sama utamanya dengan melayani guru (bagi brahmacari) dan kewajiban sehari-hari di rumah tangga sama dengan melakukan pemujaan setiap hari pada api suci. Lebih lanjut, pada buku II sloka 145 dinyatakan bahwa seorang acarya sepuluh kali lebih terhormat dari upadyaya, seorang ayah seratus kali lebih terhormat dari seorang guru, tetapi seorang ibu seribu kali lebih terhormat daripada ayah. Hal ini membuktikan bahwa kedudukan seorang ibu dalam agama Hindu sangat dimuliakan. Seorang ibu adalah simbol dari kasih sayang dan wujud kasih sayang itu sendiri. Ibu adalah sumber yang menyebabkan surga menjadi nyata. Kelahiran seorang perempuan adalah kesempatan yang paling mulia, karena kasih sayang terwujud dan menjadi nyata. Dengan demikian, perempuan Hindu yang menjadi ibu dari anakanaknya tidak perlu takut pada diskriminasi jender, sebab Hindu adalah agama kesetaraan berdasarkan kewajiban (swadharma). Untuk dapat menjadi penyeimbang dalam kehidupan dan dapat menjadi setara dengan laki-laki berdasarkan kewajiban (swadharma), Putra Manik Aryana dalam Taboid Baliaga Edisi 15 – 21 Maret 2007, memaparkan bahwa ada tiga elemen mendasar yang secara pasti mampu memunculkan dharma (kebaikan). Tiga elemen dimaksud dalam wadhu tattwa menjadi faktor yang paling menentukan munculnya kecantikan rohani atau kecantikan “hati” (inner beauty). Ketiga elemen itu adalah (1) pikiran yang benar (manacika), (2) perkataan yang benar (wacika), dan (3) perbuatan/ tindakan yang benar (kayika), yang disebut trikaya. Lebih lanjut dinyatakan pula dalam Baliaga Edisi 22–28 Maret 2007, seorang perempuan dalam memunculkan kecantikan rohani (inner beauty) harus mampu mengejawantahkan pikiran yang benar, berlanjut pada perkataan yang benar serta melakukan tindakan yang benar dalam berbagai aspek kehidupannya. Perempuan trikaya tetap teguh dengan keyakinan bahwa kebenaran universal pasti diterima oleh “hati” siapa pun bahkan di kalangan orang-orang yang secara fisik menolaknya, sebab “suara hati” adalah suara kebenaran. Perempuan trikaya harus berpegang teguh pada dharma dengan merealisasikan konsepsi trikaya. Ketiga elemen dasar dari dharma ini harus dilaksanakan dalam satu kesatuan secara seimbang, tidak boleh satu-satu atau berat sebelah. Oleh karena itu, pikiran yang benar (manacika), perkataan yang benar (wacika), dan perbuatan/tindakan yang benar (kayika) secara bersamasama dapat diaktualisasikan dalam berbagai dimensi kehidupan. Ia dapat dimaknai secara sederhana sebagai benih dharma, yang dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas kehidupan yang kompleks pada zaman ini. Oleh karena itu, perempuan yang cantik rohani atau perempuan trikaya pasti memilih kebaikan atau kebenaran (shreya),
Perempuan dalam Geguritan Bali 139 sedangkan perempuan yang cantik fisik pasti lebih memilih kesenangan (preya). Kesenangan (preya) kerap menipu mereka yang kurang memiliki budhi dan wiweka (kecerdasan dan kebijaksanaan), sebab kesenangan (preya) menawarkan Surga di depan dan neraka di belakangnya. Preya mampu menunjukkan dengan transparan surganya di depan dengan menutup rapat neraka di belakangnya. Berbeda halnya dengan kebaikan atau kebenaran (shreya), sepertinya menampilkan “neraka” di depan dengan hanya janji perolehan “surga” di belakangnya. Dalam Baliaga Edisi 29 Maret – 4 April 2007 dipaparkan pula, untuk dapat menjadi perempuan yang cantik rohani, menurut Hindu, sangat diperlukan landasan yang disebut dasa niyama brata. Konsepsi dasa niyama brata merupakan wujud universal dari pengejawantahan tattwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (wujud realisasi) yang benar dalam masyarakat. Dasa niyama brata adalah sepuluh macam tindakan, yakni (1) dana (kemurahan hati), (2) ijya (ketakwaan), (3) tapa (pengendalian indra), (4) dhyana (meditasi), (5) swadyaya (belajar dari pengalaman), (6) upasthanigraha (pengendalian nafsu birahi), (7) rata (cara hidup), (8) upawasa (puasa), (9) mona (pengendalian kata-kata), dan (10) snana (pembersihan diri). Kesepuluh bagian dasa niyama brata tersebut dikaitkan dengan etika perempuan dapat dijelaskan seperti berikut. (1) Dana (kemurahan hati) Seorang perempuan hendaknya memaknai dana atau kemurahan hati secara luas. Dana tidak hanya berarti uang. Uang salah satu bagian terkecil dari konsepsi dana yang sebenarnya. Dana bisa diwujudkan dalam pemberian materi seluas-luasnya dan dapat juga diwujudkan dalam pengertian pemberian selain materi seluas-luasnya. Menurut Wangsa (1998: 11), pemberian dana dapat diwujudkan ke dalam tiga macam pemberian, yang meliputi: (1) untuk abhaya dana, yaitu pemberian perlindungan dari mara bahaya; (2) brahmana dana, yaitu pemberian berupa ilmu pengetahuan; dan (3) artha dana, yaitu pemberian berupa harta benda. Lebih lanjut Wangsa (1998: 37), menyatakan bahwa kualitas dan cara pemberian dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yang meliputi: (1) sattwic dana, yaitu pemberian yang berkualitas putih, artinya pemberian itu diberikan pada waktu, tempat dan orang yang tepat dan tanpa maksud di balik pemberian itu; (2) rajasic dana, yaitu pemberian berkualitas merah, artinya pemberian itu diberikan pada waktu, tempat dan orang yang wajar tetapi ada maksud tertentu di balik pemberian itu; dan (3) tamasic dana, yaitu pemberian yang berkualitas hitam, artinya pemberian itu diberikan pada waktu, tempat dan orang yang tidak tepat apalagi ada maksud tertentu di balik pemberian itu. Namun, ada hal