Ni Nyoman Karmini 140 yang sangat penting untuk diketahui yaitu bahwa harta yang diperoleh seseorang sesuai guna dan kama-nya mengalami perubahan fungsi, yakni dana berubah fungsi menjadi: (1) sadhana ri kasiddhaning dharma (dharmarthah), yaitu dana untuk mencapai/menjalankan dharma; (2) sadhana ri kasiddhaning kama (kamartha), yaitu dana untuk memenuhi kama; dan (3) sadhana ri kasiddhaning artha (vivirddhayet), yaitu dana untuk berusaha kembali dalam mencari artha (Wangsa, 1998: 11). Hal tersebut sangat perlu diperhatikan dan dipertimbangkan sebab “inti” dana adalah “sumbangsih” kepada yang lain. (2) Ijya atau ketakwaan Seorang perempuan ijya adalah seorang perempuan yang memiliki dasar/ pondasi keyakinan yang kuat kepada Ida Sang Hyang Widdhi atau Sang Sangkan Paraning Dumadi atau Tuhan Yang Mahaesa sesuai dengan konsep agama masing-masing. Keyakinan atau ketakwaan yang kuat kepada Tuhan secara benar mengantarkan perempuan menuju pencerahan batin. (3) Tapa atau pengendalian indra Seorang perempuan hendaknya mampu mengendalikan inderanya, laksana kusir kereta. Ia harus mampu mengendalikan kuda dan keretanya menuju tujuan. Kusir kereta cermin sang diri, sedangkan kuda-kuda penarik kereta adalah gambaran dari indera-indera itu. Mereka yang berhasil dalam tapa adalah mereka yang mampu mengendalikan inderainderanya. Mereka adalah figur kusir kereta yang baik. Dengan demikian, inti dari tapa adalah penguasaan atas indera-indera. (4) Dhyana (meditasi) Dhyana adalah suatu usaha yang bertujuan untuk menyeimbangkan sang diri dengan alam, atman dengan parama atman (roh dengan Tuhan), bhuwana alit dengan bhuwana agung (diri dengan semesta), dan menjadikan diri lebih peka terhadap alam sekitar beserta isinya. Dengan demikian, inti dari dhyana adalah keselarasan semesta. (5) Swadyaya (belajar dari pengalaman) Seorang perempuan yang memahami bahwa pengalaman adalah guru terbaik tentu menjadi lebih bijak dari sebelumnya dan pengalaman memberikan makna cerdas dari serentetan masa lalu. Dengan demikian, inti dari swadyaya adalah pembelajaran diri. (6) Upasthanigraha (pengendalian nafsu birahi) Seorang perempuan harus mampu mengendalikan nafsunya dengan baik. Sebab dengan pengendalian itu ketentraman hidup dapat dicapai.
Perempuan dalam Geguritan Bali 141 (7) Brata (cara hidup) Seorang perempuan harus taat dengan cara hidup yang telah dipilihnya. Kata kunci dari brata adalah ketaatan pada apa yang telah diyakininya. (8) Upawasa (puasa) Dalam hal ini, perempuan harus mampu mengendalikan keinginannya, mengekang keinginan agar tidak terseret ke dalam penyimpangan-penyimpangan. Pengertian puasa di sini hendaknya diartikan secara luas. (9) Mona (pengendalian ucapan atau kata) Mona harus diartikan sebagai pengendalian ucapan, baik berupa kata maupun kalimat agar selalu berada pada jalur yang benar. Mona hendaknya diartikan secara filsafati dan bukan hanya sekadar puasa yaitu tidak berbicara. (10) Snana (pembersihan diri) Snana di sini diartikan mencakup perawatan dan pembersihan diri, baik secara jasmaniah maupun rohaniah, secara sekala-niskala. Inti dari snana adalah penyucian diri dari segala kekotorannya. Pengertian sepuluh bagian dasa niyama brata tersebut hendaknya dipandang dari realisasinya (upacara). Pengertian secara terpisah dari masing-masingnya tidak menimbulkan makna mendalam dan menyeluruh. Oleh karena itu, dasa niyama brata hendaknya dilaksanakan secara seimbang dengan pemberian makna secara tattwa atau filsafat, yakni guna mendapatkan pengertian seluas-luasnya, yang dilaksanakan berdasarkan susila atau etika dan dengan menggunakan sarana-sarana pendukung pilihan sebagai wujud realisasinya yang disebut upacara. Dengan demikian, pandangan Weda sangat jelas terhadap perempuan. Perempuan mendapat posisi yang sangat terhormat dalam Weda, sebab perempuan memiliki kemampuan luar biasa. Perempuan yang cantik rohani (inner beauty) sanggup melakukan segala hal dan mampu menjadi “penyeimbang” kehidupan di dunia ini. Perempuan Hindu dalam Kehidupan di Bali Manusia diciptakan oleh Tuhan telah dilengkapi dengan akalpikiran. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial, yang pada dirinya terdapat dorongan untuk bergaul, dan hasrat untuk meniru. Manusia mempunyai tiga kemampuan yang disebut tri sakti, yaitu iccha-sakti (kemauan), krya-sakti (prana/kekuatan) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep (Adia Wiratmadja, 1988:66).
Ni Nyoman Karmini 142 Untuk dapat mengembangkan kehidupan ke arah yang lebih baik dan dapat mewujudkan kebahagiaan, manusia harus taat pada hukum dan peraturan-peraturan kehidupan. Manusia harus mencari dan membina kebahagiaannya sendiri, sebab hal itu datangnya dari dalam diri manusia sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk termulia derajat dan martabatnya dibandingkan ciptaan Tuhan lainnya. Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga mengatasi dunia. Manusia sadar akan perbuatannya dan juga sadar akan caranya berbuat. Manusia dapat menentukan dan mengatur hidupnya karena manusia menggunakan akal-pikiran untuk mengelola alam ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, manusia menggunakan akal-pikirannya untuk senantiasa menciptakan peralatan yang dapat meringankan beban hidup dan menyenangkan dirinya. Ciptaannya itu disebut kebudayaan, yang unsur-unsurnya antara lain: sawah, ladang, seni tari, seni suara. Manusia mampu membuat sawah, mampu membuat bendungan, mampu membuat alat pertanian, mampu membuat pesawat terbang, dan lain-lain, dan itu dapat diartikan manusia mampu menguasai alam. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kehidupan itu dapat mempertinggi usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Dalam kenyataan hidup ini, kehidupan mempunyai hubungan timbal balik dengan agama. Hubungan dimaksud bersifat dinamis. Manusia harus insaf terhadap panggilan dan tanggung jawabnya kepada kehidupan ini. Setiap kegiatan dalam kehidupan selalu membutuhkan anugrah Tuhan. Pada dasarnya manusia mempunyai kerinduan, kekuatan, daya/tenaga yang harus diwujudkan dan disempurnakan. Sebagai contoh, kekuatan badan dengan panca inderanya apabila diwujudkan dapat melahirkan kesenian. Misalnya, kekuatan pikiran dapat menciptakan pengetahuan, teknik, filsafat; dan kekuatan kehendak apabila disalurkan ke jalan yang benar dapat menimbulkan tata susila. Dan, manusia sendiri mempunyai kerinduan, yaitu kerinduan kepada sesama manusia dan kepada Hyang Widhi (Tuhan). Jika kerinduan terhadap sesama manusia diwujudkan dapat melahirkan kehidupan yang bahagia, adat istiadat, bangsa dan negara. Bila kerinduan terhadap Tuhan disempurnakan dapat menimbulkan sembahyang, iman (sradha) dan dharma sedana sesama manusia dan bakti kepada Hyang Widhi. Hak dan Kewajiban Perempuan Hindu Kerinduan manusia, baik kerinduan terhadap sesama manusia maupun kerinduan kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan) menimbulkan hak dan kewajiban manusia. Hak dan kewajiban berlaku pada manusia, baik
Perempuan dalam Geguritan Bali 143 laki-laki maupun perempuan supaya dapat hidup berbahagia, tentram dan damai. Sehubungan dengan itu, di sini hanya disampaikan tentang hak dan kewajiban perempuan menurut kitab Manawa Dharmasastra. Pada Manawa Dharmasastra buku V, sloka 146, baris terakhir berbunyi: … strinam dharmanibodhata, yang artinya …dengarkanlah sekarang tentang tugas dari perempuan. Selanjutnya, pada sloka 147–169 dijelaskan tentang “hak dan kewajiban” perempuan Hindu, baik perempuan seutuhnya, sebagai istri dari suami maupun sebagai ibu dari anak-anaknya. Dalam bait-bait sloka tersebut dinyatakan bahwa seorang perempuan hendaknya tidak melakukan tindakan sekehendak hatinya dalam keluarganya, baik dalam keluarga ayahnya (semasih gadis) maupun dalam keluarganya sendiri (setelah menikah). Segala tindakan yang dilakukan hendaknya dikomunikasikan dan dikoordinasikan dengan keluarga terutama menyangkut tindakan yang berisiko tinggi. Dan, pada bait-bait sloka itu juga dinyatakan bahwa seorang perempuan dari anak-anak sampai gadis menjadi tanggung jawab ayahnya, setelah menikah menjadi tanggung jawab suaminya, dan apabila suaminya meninggal hingga ia menjanda, maka anak-anaknyalah yang berkewajiban untuk itu. Pada bait-bait sloka itu juga dinyatakan bahwa seorang perempuan hendaknya tidak memisahkan diri dari ayahnya, suaminya atau anak-anaknya. Di dalamnya juga tersirat bahwa bila tidak mempunyai anak dan ditinggal mati suami, otomatis menjadi tanggungan ayahnya atau saudara laki-lakinya dan tentu boleh juga tetap tinggal bersama keluarga suaminya. Seperti telah diuraikan di atas bahwa setiap manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan yang disebut tri sakti, yaitu icchasakti (kemauan), krya-sakti (prana) dan jenana-sakti (intelek), yang biasanya disebut cipta, rasa dan karsa atau bayu-sabda-idep. Dari kemampuan yang dimilikinya menimbulkan kesadaran bahwa setiap manusia perlu bersosialisasi dengan lingkungannya. Demikian juga halnya dengan perempuan. Seperti telah pula diuraikan sebelumnya, yakni perempuan mempunyai posisi yang sangat terhormat dan dapat pula melakukan tindakan di medan perang seperti tersurat dalam Weda serta pernyataan agama Hindu adalah agama kesetaraan berdasarkan kewajiban. Semua pernyataan tersebut sebagai bukti bahwa perempuan Bali Hindu memiliki peranan yang sangat penting. Peranan penting perempuan Bali Hindu telah terealisasikan sejak masa Bali Kuna. Sebagai contoh, dari sejarah Bali, Bali pernah diperintah oleh beberapa perempuan sebagai raja. Raja pertama bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi yang memerintah pada tahun Çaka 905 atau tahun 983 Masehi. Setelah itu, pada tahun Çaka 911–923 (989–1001 Masehi)
Ni Nyoman Karmini 144 kerajaan Bali Kuna diperintah oleh Guna Priya Darma Patni atau dikenal juga dengan nama Mahendradattha. Peranan Mahendradattha lebih menonjol dari peran suaminya, yaitu Dharma Udayana Warmadewa. Selanjutnya pada tahun Çaka 938 atau tahun 1016 Masehi, kerajaan Bali kembali diperintah oleh seorang perempuan bernama Sri Sang Ajnyadewi (Goris, 1976: 5-11). Contoh lain adalah banyaknya pahlawan perempuan sejak zaman penjajahan Belanda. Pahlawan perempuan dari Bali, misalnya Jero Jempiring, dan Dewa Agung Istri Kania. Jero Jempiring adalah istri patih raja Buleleng yang bernama I Gusti Ketut Jelantik. Beliau gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 18 Mei tahun 1849 dalam pertempuran melawan Belanda di Jagaraga. Setelah menaklukkan Buleleng, Belanda langsung menyerbu Klungkung dengan menyerang Kusamba terlebih dahulu. Saat itulah, Dewa Agung Istri Kania sebagai raja perempuan di kerajaan Klungkung mengangkat senjata melawan Belanda. Pada tahun 1906, tepatnya tanggal 20 September, terjadi Puputan Badung, banyak perempuan yang gugur sebagai kusuma bangsa, yang salah satunya adalah Anak Agung Ayu Oka dari Puri Agung Pemecutan. Kemudian, tanggal 28 April 1908 terjadi Puputan Klungkung, yang menggugurkan banyak pejuang perempuan, di antaranya dua tokoh perempuan, yakni Ida I Dewa Agung Muter dan putrinya Ida I Dewa Agung Putra. Sebenarnya, perlawanan para perempuan di Bali terhadap Belanda tidak berhenti sampai di situ. Perlawanan dilanjutkan dengan tanpa senjata yakni dilakukan dengan menghimpun dana untuk menyekolahkan anak-anak Bali yang tidak mampu. Hal ini terbukti dari munculnya perkumpulan “Perempuan Shanti” di Singaraja tahun 1923, yang sebagian besar anggotanya dari “Sekehe Jongkok”. Perkumpulan ini bertahan hanya sampai tahun 1926. Kemudian muncul perkumpulan “Peroekoenan Istri” tahun 1934, yang dipelopori oleh Nyonya Ida Bagus Geredeg. Selanjutnya, muncul juga organisasi “Kemadjoean Kaoem Poetri” di bawah pimpinan Ni Wayan Sami di Klungkung, dan di Denpasar muncul organisasi “Putri Bali Sadar” tanggal 1 Oktober 1936, di bawah pimpinan I Gusti Ayu Rapeg. Dengan contoh-contoh tersebut kiranya telah dapat meruntuhkan pendapat yang menyatakan bahwa perempuan itu lemah (Kowaveri, 2002:2–4; Putra, 2003:21–28). Perempuan Bali dapat berperan seperti dicontohkan di atas dikarenakan telah terbiasa melaksanakan peran ganda dalam hidupnya. Peran ganda yang telah biasa dilakukan perempuan Bali memberikan peluang untuk lebih berkreativitas dalam mengisi hidup ini dan memberikan peluang untuk dapat menunjukkan kemampuan dan harga dirinya. Perempuan Bali dapat melakukan peran ganda tanpa merasa
Perempuan dalam Geguritan Bali 145 beban, karena telah terbiasa melakukannya. Sejak kecil, perempuan Bali telah diajarkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ringan dalam rangka membantu meringankan tugas ibunya di dapur, tugas keagamaan (dalam hal ini membantu menyiapkan perlengkapan sesajen dan membuat sesajen termasuk di dalamnya majejaitan). Walaupun anak perempuan Bali telah dipersiapkan seperti itu, ia tetap juga mendapat kesempatan bermain-main dengan kawan-kawannya sesuai dengandunia anak-anak serta kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Setelah mereka remaja, mereka tetap mendapat peluang untuk bergaul dan berkreativitas sesama remaja, baik laki-laki maupun perempuan tetap diberikan hak untuk mengikuti pendidikan, baik formal maupun nonformal; namun tetap memiliki kewajiban membantu orang tuanya, saudaranya dan keluarga lainnya. Peran ganda yang terbiasa dilakukan oleh perempuan Bali sejak kecil dan remaja merupakan modal dasar yang kuat untuk melakukan peran sebagai ibu rumah tangga dan bermasyarakat setelah menikah. Masyarakat Hindu di Bali memandang perempuan bukan sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi. Perempuan dianggap mempunyai kekuatan yang sangat besar yang dapat menciptakan keindahan dalam hidup, namun dapat pula membahayakan kehidupan di dunia ini. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat memberikan penghargaan yang sangat besar pada perempuan, yang dapat dilihat dari pemujaan kepada Dewi yang dianggap dapat membantu kehidupan manusia di dunia. Pemujaan sebagai tanda bakti dan terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) yang merupakan sumber kehidupan manusia; kepada Dewi Saraswati (Dewi Ilmu Pengetahuan); Dewi Durga yang mempunyai kekuatan magis luar biasa yang dapat memberi kekuatan dan menghancurkan kehidupan ini. Hal ini dapat diartikan bahwa masyarakat Bali yang beragama Hindu memberikan penghormatan yang sama kepada Dewi dan Dewa yang masing-masing mempunyai tugas dan kemampuan berbeda (Suryani, 2003:43). Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa masalah perempuan merupakan suatu masalah yang integeral dengan masyarakat dan masalah ini telah mendapat sorotan serta penanganan dari pemerintah. Hal ini dapat diartikan bahwa telah ada kesadaran terhadap peran dan andil perempuan pada pembangunan karena kemajuan perempuan pada hakikatnya berarti pula kemajuan suatu negara. Peranan dan Kedudukan Perempuan Bali dalam Sejarah Bali Perempuan Bali telah memiliki peranan yang sangat penting masa Bali Kuna. Sesuai dengan Sejarah Bali Kuna (Goris, 1976:5–11), Bali
Ni Nyoman Karmini 146 pernah diperintah oleh beberapa perempuan sebagai raja. Raja pertama bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi yang memerintah pada tahun Çaka 905 atau tahun 983 Masehi. Setelah itu, pada tahun Çaka 911 – 933 (989 – 1001 Masehi) kerajaan Bali Kuna diperintah oleh Guna Priya Darma Patni atau dikenal juga dengan nama Mahendradattha. Peranan Mahendradattha lebih menonjol dari peran suaminya, yaitu Dharma Udayana Warmadewa. Selanjutnya, pada tahun Çaka 938 atau tahun 1016 Masehi kerajaan Bali kembali diperintah oleh seorang perempuan bernama Sri Sang Ajnyadewi. Peranan perempuan Bali dalam perjuangan menentang kolonialisme Belanda cukup menonjol. Peran tersebut dimulai pada abad ke-19, seperti Jero Jempiring, istri pahlawan Nasional Patih I Gusti Ketut Jelantik dari Buleleng, dan Cokorde Istri Kania raja Klungkung pada awal abad ke-20. Keberanian, kepemimpinan dan kecerdikan Jro Jempiring menjadi sangat terkenal ketika berhasil membalikkan jalannya pertempuran di sektor Segara Madu, yaitu lambung kanan pertahanan Bali tahun 1848. Dalam perang penghabisan di Jagaraga (Buleleng Timur), pada tanggal 18 Mei 1849, Jero Jempiring sebagai kusuma bangsa (Kowaveri, 2002:13). Selain Jro Jempiring, seorang raja putri dari Kerajaan Klungkung bernama Dewa Agung Istri Kania juga berperang melawan Belanda. Belanda menyerang Klungkung setelah memenangkan perang Jagaraga. Sebelum penyerangan dilakukan, Raja Klungkung berkali-kali disuruh meminta maaf kepada Belanda, tetapi Raja Klungkung tetap menolak. Oleh karena itu, Belanda menyerang Kusamba pada tanggal 24 Mei 1849. Perlawanan sengit pun terjadi. Pada peperangan itu Jendral Michiels tewas, sehingga penyerangan ke istana Klungkung dibatalkan (Kowaveri, 2002:14). Tampaknya semangat kepahlawanan kedua tokoh perempuan Bali tersebut telah memberikan semangat dan inspirasi kepada kaum perempuan Bali. Berbekal semangat dan inspirasi tersebut, perempuan Bali mengikuti para pemuda Bali yang bangkit dan aktif berjuang dalam pergerakan nasional di Bali pada permulaan tahun 1920-an. Pada tahun 1924, sekelompok pelajar Bali yang telah menamatkan sekolahnya dan bekerja sebagai guru di sekolah pemerintahan kolonial Belanda mencoba memperhatikan nasib kaum perempuan Bali, khususnya di Singaraja, yang kedudukan dan peranannya masih terbelakang. Mereka merasakan betapa rendah derajat kaum perempuan Bali, sehingga muncul gagasan untuk mendirikan sekolah khusus perempuan dengan pelajaran utama membaca dan menulis huruf Bali. Tujuannya ialah agar para perempuan Bali dapat membaca dan menulis huruf Bali dalam rangka mengenal kebudayaan Bali. Dengan cara itu
Perempuan dalam Geguritan Bali 147 pula kaum perempuan diharapkan dapat membaca lontar dan bukubuku yang memuat ajaran agama Hindu sebagai sumber nilai dalam kebudayaan Bali. Mereka diharapkan dapat membandingkan kehidupan nyata yang dialami dengan nilai-nilai yang terkandung dalam lontarlontar yang dibaca (Santi Adnyana dan Bali Adnyana dalam Windhu Sancaya, 1996:60). Sekolah yang didirikan tersebut diberi nama Sekolah Perempuan Santhi. Organisasi yang menopang sekolah itu bernama Perkumpulan Santhi, yang didirikan pada tahun 1921. Sekolah Perempuan Shanti mempunyai peranan penting dalam gerakan meningkatkan kesadaran bersekolah di kalangan kaum perempuan. Sekitar tahun 1930-an kesadaran orang untuk mengenyam pendidikan semakin meningkat. Hal ini dapat diartikan bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan yang diprogramkan antara lain oleh Shanti mulai menunjukkan hal positif. Pada masa tahun 1921 inisiatif untuk memajukan pendidikan dipelopori oleh laki-laki, sedangkan tahun 1930- an inisiatif ini justru dipelopori oleh kaum perempuan yang terdidik (Putra, 2003:20). Berkembangnya sekolah-sekolah di Bali juga disebabkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Semakin banyak sekolah didirikan semakin banyak peluang bagi perempuan untuk meneruskan pendidikannya. Akibatnya, pendidikan berpengaruh sangat besar bagi dunia kaum perempuan di Bali sehingga terbentuk organisasi perempuan bernama Perukunan Istri, yang menghimpun istri pegawai negeri di Denpasar yang dipelopori oleh Nyonya Ida Bagus Gredeg. Organisasi ini bertujuan untuk menghimpun dana untuk anak-anak Bali yang tidak mampu bersekolah. Selanjutnya, organisasi Putri Bali Sadar berdiri pada tanggal 1 Oktober 1936 di Denpasar yang dipelopori oleh Ketut Setiari dan sekretaris Ni Gusti Ayu Rai. Organisasi ini pengaruhnya sangat luas dan terkenal pada masanya. Kegiatannya adalah memajukan seluruh masyarakat Bali melalui dunia pendidikan dan pengajaran. Putri Bali Sadar menyadari keterbelakangan pendidikan perempuan, maka dilakukan penanggulangan dengan pengumpulan dana serta menulis banyak artikel diberbagai media tentang perjuangan dan persamaan hak perempuan dalam batas-batas yang wajar. Putri Bali Sadar juga melaksanakan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan (Putra, 2003:26). Kemajuan pendidikan dan pengajaran memberikan dampak positif bagi keberadaan kaum perempuan dalam masyarakatnya. Bagi kaum Putri Bali Sadar, tanggung jawab bangsa tidak hanya ada pada tangan kaum laki-laki, tetapi juga ada pada kaum perempuan. Oleh karena itu, kaum perempuan sudah seharusnya bekerja sama dengan kaum laki-laki untuk generasi penerus berikutnya yang akan membawa dan
Ni Nyoman Karmini 148 menciptakan perbaikan bangsa kita. Perempuan Bali dalam Lindungan Hukum Kerajaan Bali Ketika sebagian besar agama mewujudkan seolah-olah Tuhan adalah laki-laki, maka beberapa filosof beranggapan bahwa agamalah yang menjadi sumber marginalisasi perempuan. Persepsi seperti itu ditolak oleh Hindu dengan konsep ardhanareswari, yakni sifat Tuhan diwujudkan setengah laki-laki dan setengah perempuan serta dengan manifestasi Tuhan sebagai perempuan (sakti), seperti Dewi Gayatri, Dewi Gauri, Dewi Kali, Dewi Durga, Dewi Saraswati, Dewi Gangga, dan lainlain. Dewi-Dewi tersebut memiliki tempat terhormat dalam Hinduisme. Dengan konsep tersebut, agama Hindu tidak dapat dinyatakan sebagai penyebab marginalisasi jender, dan dalam hal ini agama Hindu sebagai pengecualian. Pengelompokan jenis kelamin terjadi sejak manusia pertama kali diciptakan. Kaum laki-laki yang secara fisik kuat sengaja mengelompokkan kaum perempuan ke dalam kelompok yang kedua setelah mereka. Kaum perempuan yang secara fisik lemah pasrah menerima dominasi lakilaki pada zaman dahulu. Meskipun kaum perempuan lemah secara fisik, perempuan adalah kekuatan halus yang amat dahsyat yang tak pernah mampu ditolak sedikit pun oleh laki-laki. Dengan terciptanya asumsi dari kaum laki-laki bahwa perempuan adalah figur kehormatannya, maka muncul dominasi perempuan sebagai salah satu penyebab terjadinya peperangan dan perselisihan di kalangan laki-laki. Fenomena seperti ini telah tercatat dalam berbagai karya sastra dan sejarah. Sebagai contoh, dalam kehidupan keseharian, banyak terjadi perselisihan di kalangan laki-laki disebabkan oleh perempuan, bahkan ada yang sampai saling membunuh mempertahankan kehormatannya (perempuannya) yang diganggu oleh laki-laki lain. Menyikapi fenomena tersebut, sangat pantas kedudukan perempuan patut diperhitungkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, perjuangkanlah hak-hak kaum perempuan yang jauh lebih luas daripada sekadar urusan perbedaan alat kelamin (seks). Dalam masyarakat Bali, terjadi kemunduran atas pemaknaan Tuhan yang tadinya transenden ke bentuk imanen, hingga konsep Tuhan yang tadinya telah terbebas dari perwujudan lalu diwujudkan kembali dalam wujud Acintya walau tanpa jenis kelamin. Kemudian, pada zamanzaman berikutnya, kemerosostan semakin terjadi sehingga Acintya (simbol Tuhan) yang semula tanpa jenis kelamin berubah menjadi berkelamin laki-laki. Hal ini secara tidak langsung dianggap sebagai benih-benih dominasi laki-laki atas perempuan tumbuh kembali.
Perempuan dalam Geguritan Bali 149 Walaupun ada anggapan bahwa kesetaraan di masyarakat Bali mengalami kemunduran, jauh sebelum Indonesia merdeka, Raja-raja Bali memiliki hukum yang pasti dalam melindungi kaum perempuan. Hukum tersebut tertulis dalam kitab Purwa Agama. Bahkan jauh sebelum Majapahit menjajah Bali, terbukti secara sejarah bahwa Bali telah pernah berkali-kali mendudukkan perempuan sebagai pemimpin tertingginya, seperti Sriwijaya Mahadewi (905 Ç), Sri Sang Adnya Dewi (938 Ç), pemerintahan suami-istri Gunapriyadharmapatni-Dharmodayana Warmadewa (antara 911 Ç – 929 Ç), Sakalindu Kirana (1010 – 1023 Ç), dan beberapa orang lagi raja perempuan yang masih dalam penelitian. Menurut Aryana dalam Tabloid Bali Aga, Edisi 26 April-2 Mei 2007, dalam sejarah Bali, Bali telah memiliki hukum perlindungan bagi masyarakat dan para perempuannya yang tertulis dalam kitab Purwa Agama. Hukum Bali dimaksud melindungi para perempuan dari tindakan pelecehan laki-laki, gangguan-gangguan yang meliputi: tekanan kejiwaan-mental atau penganiayaan fisik serta sanksi hukum dari yang ringan sampai yang terberat. Bahkan hukum dimaksud jauh lebih berat daripada hukum sekarang. Sebagai contoh pada lontar Purwa Agama lembar 17a dinyatakan sebagai berikut. Janma muani ngamel tur ngelut luh larangan, luh anglawan tur nyerit, akeh janmane uning duk punika maka saksi, janma punika sane muani, wnang pademan, yan tan padem wnang danda, dwigunatama ring 40.000. Artinya: Jika ada pria memegang dan memeluk perempuan larangan (perempuan yang sudah bersuami dan perempuan yang sudah menyucikan diri), jika perempuan itu melawan dan menjerit, serta banyak yang menyaksikan waktu kejadian, pria itu hendaknya dibunuh, kalau tidak dibunuh diharuskan membayar denda dwigunatama dari 40.000 uang kepeng. Kasus yang dinyatakan sebagai bentuk penganiayaan adalah suatu kasus apabila sampai membuat si perempuan mengalami trauma fisik, dalam hal ini adanya salah satu organ tubuh perempuan mengalami memar atau luka akibat perlakuan laki-laki, ataupun hanya berupa ancaman kepada perempuan yang hendak disakiti, sedangkan kasus pelecehan seksual adalah suatu bentuk perlakuan tidak senonoh dari kaum lelaki terhadap seorang perempuan kemudian melaporkannya pada yang berwenang. Kutipan berikut ini merupakan contoh beberapa kasus pelecehan dan penganiayaan terhadap perempuan beserta dendanya yang telah diterjemahkan. Jika ada pria bertengkar dengan perempuan istri orang lain, kalau seandainya yang perempuan kena pukul maupun diumpat dengan katakata kasar, yang laki-laki dikenai denda 40. 000 uang kepeng. Jika ada laki-laki menyiksa perempuan istri orang lain, kemudian jika
Ni Nyoman Karmini 150 sampai laki-laki mengancamnya dengan cara menghunus senjata, si pengancam terkena denda sebesar 40.000 uang kepeng. Jika ada pria yang bertengkar dengan perempuan istri orang, kemudian jika sampai si pria mengejar sampai memasuki kamar yang perempuan, pria tersebut kena denda 20.000 uang kepeng. Jika ada orang menuduh seorang perempuan melakukan perselingkuhan dengan pria lain, namun tidak ada bukti dan saksi, yang menuduh diwajibkan membuat upacara sumpah cor, namun setelah diadakan sumpah itu ternyata salah satu dari mereka tidak berani minum air sumpah cor, orang tersebut dikenai sanksi denda sebesar 40.000 uang kepeng. Kalau ada pria menunjukkan rasa ketertarikan akan perempuan yang telah bersuami, lalu berusaha merayunya tetapi ia sudah beristri, pria tersebut dikenai denda 10.000 uang kepeng. Namun, jika yang digoda dengan katakata rayuan adalah perempuan lajang dan ternyata si pria telah beristri, yang pria dikenai denda 5.000 uang kepeng. Pria yang melarikan istri orang lain lalu dinikahinya dan ternyata si perempuan menyukai suaminya yang baru, pasangan itu kena denda sebesar 40.000 uang kepeng. Contoh-contoh di atas sebagai bukti bahwa pada zaman kerajaan di Bali hak perempuan untuk mendapatkan perlindungan sangat diperhatikan. Bahkan jika dibandingkan dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) (UU RI No.23 Th.2004), yang memuat “Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” (Bab III, Pasal 5), yakni tentang kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga, maka UndangUndang perlindungan terhadap perempuan pada zaman kerajaan Bali, sanksinya jauh lebih berat. Dengan adanya undang-undang tersebut dapat diartikan bahwa perempuan Bali sangat diperhatikan, dihargai hak-haknya sejak zaman lampau. Peranan dan Kedudukan Perempuan Bali dalam Hukum Adat Sistem patrilinial merupakan sistem kekeluargaan di Bali. Sistem patriarkal adalah sistem kekerabatan yang mendasarkan garis keturunan melalui hubungan ayah kepada anak laki-laki (Budianta, 2002:207). Keluarga dari pihak laki-laki (bapak) mendapat perhatian paling penting dan lebih dahulu daripada keluarga pihak perempuan (ibu). Hal ini dapat dibuktikan melalui bentuk pewarisan harta, kasta dan juga orientasi pusat persembahyangan keluarga. Namun, bukan berarti bahwa hubungan dengan pihak ibu dan keluarganya tidak mempunyai arti sama sekali. Jika keluarga pihak laki-laki sudah tidak ada lagi, keluarga dari pihak perempuan dapat juga menerima warisan atau memelihara anak
Perempuan dalam Geguritan Bali 151 mereka, asalkan hubungan dengan pihak keluarga (bapaknya) sudah benar-benar tidak ada lagi (Panetja, 1989:23). Dalam masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan patriarkal, biasanya dilakukan perkawinan di mana si perempuan harus tinggal di pihak laki-laki (suami). Ini berarti anak-anak yang lahir dari perkawinan itu termasuk golongan keluarga bapaknya. Akan tetapi di Bali terjadi juga perkawinan sebaliknya, yang dibenarkan pula secara adat, yakni setelah perkawinan si suami tinggal bersama keluarga si perempuan (istri) dan pada saat yang sama melepaskan hubungan dengan keluarga asalnya. Perkawinan secara ini disebut dengan perkawinan nyeburin atau nyentana. Anak-anak yang lahir dari perkawinan nyeburin termasuk golongan keluarga ibunya. Dalam hal ini, si perempuan memperoleh hakhak serta kedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki dianggap berkedudukan sebagai perempuan. Salah satu ciri masyarakat patrilinial adalah peran dan kedudukan laki-laki lebih dominan daripada perempuan dalam aspek-aspek kehidupan yang sangat penting. Misalnya, dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan upacara pitrayadnya. Selain itu, juga karena adanya keinginan agar kelompok-kelompok kekeluargaan mereka menjadi tambah besar, maka dibuatlah aturan adat agar, baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah tinggal di rumah asalnya yang merupakan rumah keturunan leluhurnya berdasarkan garis keturunan laki-laki serta kewajibannya memuja leluhur di Sanggah Kemulan keluarga sang ayah. Pelacakan garis keturunan hanya dilakukan melalui garis keturunan si ayah. Dengan kata lain, kehidupan perempuan merupakan subordinasi laki-laki. Laki-lakilah yang lebih banyak menentukan peran dan kedudukan perempuan dan apa yang harus dilakukannya, sedangkan dalam sistem sosial, peran lakilakilah yang tampak lebih menonjol. Dengan menganut sistem patrilinial atau garis purusa, berarti bahwa setiap orang ditentukan kedudukannya, yaitu hak dan tugasnya yang lebih terpatri kepada pihak keluarga purusa (laki-laki) atau keluarga garis ayah. Ikatan tersebut menyangkut tugas yang berkaitan dengan kesusilaan terutama tugas-tugas keagamaan. Dengan leluhur dan keluarga pihak ibu atau pradana, seseorang hanya mempunyai ikatan tugas dan hak yang agak longgar, mengikuti kewajiban norma hukum dan kesusilaan sampai batas-batas tertentu. Meskipun mengikuti sistem patrilinial, tidak berarti bahwa kedudukan perempuan Bali rendah dalam masyarakat Bali. Perempuan pada umumnya, baik yang telah menikah maupun yang belum tidaklah memperoleh kedudukan yang rendah, seperti seharusnya dalam sistem patriarkal itu. Perempuan Bali pekerja keras tidak perlu diragukan lagi, tetapi hal itu bukan karena perempuan dipandang sebagai kuda
Ni Nyoman Karmini 152 beban milik suaminya. Pergaulan yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari memberikan kepadanya kedudukan-kedudukan terkemuka dalam keluarga dan tidak jarang juga dalam kehidupan di masyarakat. Perempuan Bali senantiasa turut serta aktif mengambil bagian dalam setiap kegiatan, baik dalam masyarakat maupun dalam kehidupan kekeluargaan, baik dalam kegiatan ekonomi maupun dalam kegiatan keagamaan serta bidang-bidang lainnya. Kini, telah banyak perempuan menjabat sebagai pendeta, pemangku (pemimpin agama), guru-guru agama, yang sebelumnya jarang terjadi. Menurut Holleman (dalam Sancaya, 1996:51-52), pengaruh hukum Hindu terhadap kedudukan perempuan di Bali negatif. Kebudayaan Bali pada lahirnya memang masih banyak memperlihatkan bekas-bekas yang berasal dari sumber-sumber Hindu, tetapi dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan hukum adat yang khas Indonesia, Bali telah berkembang demikian kuatnya sehingga segala unsur hukum Hindu telah dicerna dan menjadi miliknya. Selanjutnya, dikatakan bahwa kekhususankekhususan, seperti sifat yang kuat berdasarkan keturunan ayah dalam hubungan-hubungan kekeluargaan, larangan keras bagi perempuan bangsawan menikah dengan orang yang di bawah tingkat sosialnya serta beristri lebih dari satu, dikatakan sebagai pengaruh Hindu tidak dapat dijadikan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan, karena hal seperti itu juga terdapat di daerah-daerah lain yang tidak kena pengaruh Hindu. Kedudukan perempuan yang kuat dalam kehidupan keluarga, dalam hak atas harta benda perkawinan dan dalam kehidupan umum, berlawanan dengan asas hukum menurut garis keturunan ayah. Perkawinan masa kanak-kanak jarang terjadi dan jarang terdapat di Bali, bahkan lebih jarang daripada kebanyakan daerah-daerah lain. Pembakaran si janda (masatya) pun jarang terjadi di lingkungan keluarga raja, sekarang sama sekali tidak dilakukan. Perkawinan kembali dari janda-janda di Bali merupakan kejadian yang biasa sekali, sebagaimana halnya di tempat lain di Indonesia. Menurut Kaleran dan Oka (dalam Sancaya, 1996:52), kemajuan telah banyak dialami oleh perempuan Bali dalam kedudukannya di masyarakat. Perempuan Bali kini dapat bertindak sendiri di depan pengadilan tanpa memerlukan bantuan suaminya. Ia dapat menghadap sendiri baik sebagai orang yang menggugat maupun tergugat. Dalam kehidupan rumah tangga, si istri dapat menguasai sepenuhnya benda milik pribadinya, ia bisa menuntut perceraian kepada suaminya. Kalau suami meninggal si istrilah yang berhak mengurus harta peninggalan mereka (suami-istri).
Perempuan dalam Geguritan Bali 153 1) Model Perkawinan Setelah alam semesta ini diciptakan oleh Sang Hyang Widhi (Tuhan), kemudian diciptakan Purusha, Pradana untuk mengelola alam ini dan mengembangkan keturunan, yang dalam Bhagawadgita III. 10 dinyatakan sebagai berikut. Sahayajnah prajahsrishtva Puro ‘vācha prajāpatih Anena prasavishya dhvam Esha vo ‘stv ishta kāmadhuk Artinya: Dahulukala Prajapati menciptakan manusia Bersama bakti-persembahannya dan berkata: ‘dengan ini engkau akan berkembang-biak dan biarlah ini jadi sapi-perahanmu’ (Pendit, 1989:69) Alam semesta ini harus dikelola dengan rta (tertib) berdasarkan hukum. Oleh karena itu, kebenaran dan hukum tidak boleh dilalaikan. Kebenaran dan hukum inilah yang dijadikan fondasi keluarga yang bahagia, tenteram, damai (Adia Wiratmadja, 1988:84). Pengembangan keturunan yang benar adalah pengembangan keturunan dalam ikatan suami-istri yang sah. Menurut ajaran agama, kedudukan pokok tertinggi adalah kedudukan sebagai “pemangku keturunan”, yang berarti pula pemangku hari depan nusa dan bangsa. Perempuan dikatakan sebagai “pemangku keturunan”, sedangkan lakilaki adalah “pangkal keturunan”. Dalam hubungan ini, hukum menentukan hak dan kewajiban suami-istri, kewajiban ayah-ibu, kewajiban anakanaknya. Oleh karena itu, perkawinan disahkan menurut hukum agama agar perkawinan itu langgeng, terjamin hak dan kewajiban suami-istri, orang tua dan anaknya (Adia Wiratmadja, 1988:85). Berkaitan dengan istilah “pemangku keturunan”, yang berarti pula pemangku hari depan nusa dan bangsa, maka Geguritan Putra Sasana, pupuh Kumambang, bait 5,6,7,8, dan 9 dapat dijadikan bahan renungan. Yan ipyanak, tan urukang uling cenik, indik kerahayon, ban sayangē tidong gigis, tong tahēn nglēmēkin pyanak. Mapuara, ipyanak tan manut indik, melaksana corah, sinah bapannya kadalih, belog tan ngērtyang pyanak Awinannya, pyanakē patut tuturin, tutur karahayon, sakancan laksana becik, tri kaya wak kaya manah. Yēn ipyanak, enyak jemet melajahin, kakecap agama, dharma sadana kanutin, jagatē ngalem nyungjungang Yan akēto, tingkah pyanakē cenik, sinah ngawē lēdang, pakayunan byang aji, mawuwuh tresna ring weka.
Ni Nyoman Karmini 154 (Ruma, t.t. : 3-4) Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974, Pasal 1, perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”. Ini dapat diartikan bahwa perkawinan tidak saja dikehendaki oleh laki-laki dan perempuan, tetapi juga oleh Tuhan, seperti dinyatakan dalam Rgveda:10.65.36) sebagai berikut. Gŗbhņāmi te saubhagatvāya hastam mayā patyā jaradastir yathāsah, Bhago aryamā savitā puramdir mahyam tvādurgārhapatyāya devāh. Artinya: Oh istriku, aku telah memegang tanganmu demi kebahagiaan dan saya berjanji tidak akan melakukan sesuatu perbuatan yang tidak menyenangkanmu. Bersamaku engkau akan hidup selamanya karena Tuhan yang Mahakaya memberikan pahala sesuai dengan karma kita dan Dewa Savitā sebagai pelindung seluruh dunia adalah saksi dalam pernikahan kita. Untuk itu saya menyuntingmu demi menjalankan tugas grhastha. Demikian pula, para pemuka menjadi saksi dalam pernikahan kami ini. (Somvir, 2001:60) Dalam Manawa Dharmasastra IX.96 dinyatakan bahwa “Untuk menjadi seorang ibu, perempuan itu diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Oleh karena itu, dalam Weda ditetapkan bahwa upacara keagamaan dilaksanakan oleh suami bersama istrinya” (Pudja dan Sudharta, 1973:553). Tuhan menggunakan perkawinan untuk menciptakan manusia baru yang bakti kepada Tuhan, yang mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan lahir batin (Moksharhtam jagaddita). Oleh karena itu, perkawinan harus disahkan menurut hukum agama.Bila tidak disahkan menurut hukum agama suatu perkawinan menjadi terhina, yaitu anaknya tidak menjadi pewaris sah. Seperti dinyatakan dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 63 bahwa “Dengan perkawinan secara rendah, dengan mengabaikan upacara pemujaan, dengan mengabaikan pelajaran Weda dan dengan tingkah laku yang tidak hormat kepada Brahmana, keluarga-keluarga besar pun akan berantakan” (Pudja dan Sudharta, 1973:151). Tujuan perkawinan adalah mengadakan, mengusahakan kebahagiaan bersama dan mengadakan keturunan untuk mempertahankan umat manusia dan berlangsungnya jenis manusia, sedangkan dasar perkawinan adalah cinta sejati dan penyerahan diri secara bulat, agar perkawinan menjadi kokoh, tidak mudah goyah (Adia Wiratmadja, 1988:86).
Perempuan dalam Geguritan Bali 155 Ikatan suami-istri akan menjadi kuat apabila didasari rasa kebersamaan, saling pengertian dan tenggang rasa dalam melaksanakan kewajiban keluarga. Dalam Manawa Dharmasastra III.60 dinyatakan bahwa “Pada keluarga di mana suami berbahagia dengan istrinya demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” (Pudja dan Sudharta, 1973:150). Kebahagiaan perkawinan tidak saja meliputi kebahagiaan duniawi, tetapi juga kebahagiaan abadi, suka tan pawali duka dan hal ini dapat diraih dalam hubungannya dengan Tuhan. Perkawinan yang dibenarkan menurut agama Hindu adalah perkawinan monogami, yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Suami- istri adalah suatu perpaduan, yang harus setia sepanjang masa, bersama dalam suka dan duka. Istri sejati adalah tidak hanya ibu yang baik bagi putra-putrinya, tetapi juga “ibu kedua” bagi suaminya, yang mendidik dan mengembangkan kepribadian serta menjadi pendengar yang baik ketika suami mencurahkan isi hatinya. Istri sejati juga sahabat suaminya (Adia Wiratmadja, 1988:89). Namun, dalam kenyataan perkawinan pernah menjadi masalah yang rumit dalam masyarakat Bali Hindu, apalagi yang menyangkut perkawinan antargolongan atau antarkasta. Dalam beberapa hal, model perkawinan dalam masyarakat Bali juga cukup unik. Model perkawinan dalam masyarakat Bali ada dua jenis. Jenis pertama, perkawinan yang berkaitan dengan sistem patrilinial. Jenis kedua, perkawinan yang “menyimpang” dari sistem patrilinial. Jenis perkawinan pertama (patrilinial) meliputi tiga cara: (1) memadik (meminang); (2) majangkepang atau kapakardiang (dijodohkan); dan (3) marangkat/ngrangkat, ngrorod (kawin lari). Pada ketiga jenis perkawinan itu pihak laki-laki lebih berperanan, sedangkan pada model kedua disebut dengan istilah nyeburin atau nyentana. Pada perkawinan nyeburin atau nyentana, perempuan lebih berperanan karena si perempuan berstatus sebagai purusa (laki-laki) dan pihak laki sebagai pihak perempuan. Dalam perkawinan model ini, si perempuan menarik laki-laki untuk masuk ke dalam kelompok warganya dan si perempuan sebagai ahli waris dari keluarga asalnya, sedangkan si lakilaki yang kawin ke luar tidak berhak atas waris di rumah asalnya. Perkawinan nyeburin diakui secara sah dalam hukum adat di Bali. Hal ini merupakan hal yang unik sebab Bali mengikuti sistem kekeluargaan patrilinial. Namun, dalam pelaksanaan perkawinan nyeburin, masingmasing wilayah di Bali memiliki perbedaan terutama terkait dengan perkawinan jenis itu telah “biasa/umum” dilakukan atau “belum umum” dilakukan. Di antara wilayah yang ada di Bali, kuantitas perkawinan model ini pelaksanaannya di wilayah Tabanan termasuk paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya di Bali.
Ni Nyoman Karmini 156 Dari semua model perkawinan yang telah disebutkan, pada jenis perkawinan ngrangkat (kawin lari) tampak dengan jelas kemerdekaan para perempuan Bali dalam memilih jodohnya yang sesuai dengan keinginan mereka, bebas dari rintangan dan hambatan yang disebabkan oleh berbagai perbedaan, seperti perbedaan kedudukan, sosial, ekonomi, dan lain-lain (Kaleran dan Oka, 1968:21). Kawin ngrangkat harus pula memenuhi persyaratan perkawinan. Persyaratannya meliputi: cukup usia, yang perempuan tidak ada dalam ikatan perkawinan, tidak berhubungan keluarga yang terlarang untuk kawin dan sebagainya, benar-benar dikehendaki oleh kedua pihak (lakilaki dan perempuan) dalam arti suka sama suka atau cinta-mencintai (Kaler, 1994:49). Sekitar 30 atau 40 tahun yang lalu, cara perkawinan ngrangkat harus dilakukan pada malam hari, dengan tujuan untuk membuktikan tekad si perempuan. Jika hal itu berani dilakukan oleh perempuan, maka akan ada perlindungan hukum. Namun, kini ngrangkat pada siang hari tetap juga disahkan dan tetap mendapat perlindungan hukum. Cara berikutnya, dalam perkawinan ngrangkat pasangan tidak boleh langsung tinggal di rumah laki-laki minimal tiga hari, yang disebut dengan istilah mengkeb (sembunyi). Pasangan harus tinggal di rumah pihak ke-3, dan tuan rumah harus melapor kepada prajuru Desanya (minimal Kelihan Banjar) untuk diperiksa dan kemudian diberi perlindungan hukum. Cara selanjutnya, pihak laki-laki haruslah mengirim utusan kepada orang tua si perempuan untuk memberitahukan pengrangkatan tersebut. Pemberitahuan tersebut ada yang menyebut dengan istilah pajati, atau pangelukuan, atau tudtudan. Dalam hal ini hanya istilah saja berbeda namun maknanya sama (Kaler, 1994: 50). 2) Hukum Pewarisan Masyarakat Bali menganut sistem patrilinial. Oleh karena itu, anak laki-laki saja yang berhak mendapatkan warisan. Anak perempuan hanya boleh menikmati harta warisan itu selama belum dibagi oleh para ahli waris (Artadi, 1981:126). Jika anak perempuan tidak menikah selama hidupnya, sementara harta warisan telah terbagi, maka atas kebijaksanaan masing-masing keluarga laki-laki, anak perempuan diberikan juga bagian warisan tetapi tidak menjamin kelangsungan hidup seterusnya. Dalam pelaksanaannya, hukum pewarisan ada berbagai versi, tetapi pada umumnya anak perempuan memiliki hak waris yang terbatas. Seorang perempuan yang tidak menikah hanya berhak atas hasil yang diperoleh dari waris yang diterimanya. Ia tidak mempunyai hak untuk menjual, menggadaikan, atau membebankan atas utang
Perempuan dalam Geguritan Bali 157 atau mengalihkannya, tanpa persetujuan ahli waris lelaki lainnya, ahli waris pengawas (saudara laki-laki ayahnya). Bila ia menikah ia harus melepaskan hak atas warisan orang tuanya untuk keuntungan ahli waris lainnya (Panetja, 1989:112). Setelah perempuan menikah, ia harus mengikuti suaminya dan tinggal di rumah suami. Jika seandainya perkawinannya tidak dapat dilanjutkan, dengan kata lain terjadi perceraian, maka akan terjadi pembagian harta gono-gini. Dalam teks Purwa Agama, bahwa kalau ada perceraian (janma palas makurenan) yang berasal dari keinginan suami/laki-laki, maka semua kekayaan dibagi empat. Kekayaan yang dimaksud adalah kekayaan yang didapat selama menjadi suami-istri. Satu bagian dari kekayaan itu menjadi hak milik istri/perempuan dan bagian lainnya menjadi hak milik suaminya, namun yang perempuan tidak dikenai kewajiban adat apapun. Apabila perceraian dikehendaki oleh si perempuan/si istri, ia tidak berhak mendapatkan bagian apapun dari kekayaan yang telah dikumpulkan. Pewarisan di Bali tidak hanya berupa harta benda, tetapi juga berbentuk abot. Abot adalah kewajiban akan pemeliharaan dan keberlangsungan tempat suci ataupun kewajiban dalam pelaksanaan upacara-upacara lainnya. Misalnya, kewajiban melakukan upacara ngaben untuk orang tuanya, upacara manusa yadnya untuk anak-anaknya (menikah, potong gigi). Berdasarkan pembagian waris berupa harta benda dan abot inilah, maka pembagian hak suami-istri yang bercerai dianggap adil. Peranan Jender dalam Masyarakat Bali Jender sejak dua dasa warsa terakhir telah memasuki setiap analisis sosial. Secara umum jender dapat didefinisikan sebagai pembedaanpembedaan yang bersifat sosial yang dikenakan atas perbedaanperbedaan biologis yang ada antara jenis-jenis kelamin. Dalam konsep ini jelas dibedakan antara yang bersifat alami, yakni perbedaan biologis, dan yang bersifat sosial budaya. Suatu kenyataan biologis bahwa perempuan mempunyai rahim dan laki-laki mempunyai penis, tetapi perempuan dianggap lemah, suka berdandan, dan lebih sesuai untuk menghabiskan waktu di rumah, sedangkan pria dianggap cocok melakukan aktivitas fisik dan intelektual, adalah norma-norma yang dibentuk oleh kondisi budaya dan masyarakat tertentu (Budianta, 2002:203–204). Perdebatan mengenai perubahan sosial menjadi topik penting akhir-akhir ini dan selalu dikaitkan dengan usaha emansipasi kaum perempuan. Untuk dapat memahami kaitan antara konsep jender dengan kaum perempuan dan sistem ketidakadilan sosial dengan lebih
Ni Nyoman Karmini 158 jelas, kiranya sangat perlu dipaparkan pengertian jender dan seks atau jenis kelamin menurut pendapat yang lain. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, memproduksi sperma, sedangkan perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi, seperti rahim, saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki alat vagina, mempunyai alat menyusui, dan lain-lain. Dengan demikian, seks berarti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan secara biologis yang bersifat kodrati, memiliki ciri-ciri khas tersendiri serta memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan hanya terpisah secara biologis. Alat-alat biologis tersebut melekat pada laki-laki maupun perempuan selamanya dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen alat-alat tersebut tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi (ketentuan Tuhan atau kodrat) (Handayani dan Sugiarti, 2002: 4-5). Jender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya. Itu sebabnya lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Jender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran lakilaki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan (Handayani dan Sugiarti, 2002:5–6). Jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Jender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Jender sebagai harapan budaya antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan lakilaki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki lemah lembut, ada perempuan kuat, rasional dan perkasa. Perubahan itu dapat terjadi dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat yang lain (Mufidah, 2003:3). Perempuan dan laki-laki dipolarisasi dalam budaya sebagai sesuatu yang berlawanan dan tidak sama. Dualisme ini merupakan sebuah teori purba, yang berakar pada budaya Yunani-Romawi dan Yudeo-Kristen, yang dirumuskan dengan jelas oleh Aristoteles dan dirumuskan kembali
Perempuan dalam Geguritan Bali 159 oleh Aquinas. Meskipun demikian, Plato berpendapat bahwa “Kedua kelamin ini berbeda namun saling melengkapi, dan (relatif) sederajat” (Synnott, 2003:76). Perdebatan-perdebatan mengenai teorisasi jender telah menajam akhir-akhir ini. Misalnya, feminis libral berpendapat bahwa perempuan sejajar dengan pria, memiliki hak-hak yang sama, dan tidak bertentangan melainkan identik, karena keduanya berasal dari satu kromosom yang sama”. Feminisme libral menolak dualisme. Namun, di sisi lain, feminisme radikal kadang-kadang menekankan dualisme. Mereka menegaskan bahwa perempuan lebih unggul daripada pria, dengan bemacam-macam kriteria. Artinya, dualisme tradisional dijungkirbalikkan dan digunakan untuk melakukan serangan terhadap patriarki (Synnott, 2003:77). Secara biologis, masing-masing sel tubuh manusia terdiri atas 46 kromosom dalam 23 pasangan. Satu kromosom dari masing-masing pasangan berasal dari ibu dan yang lain dari ayah. Perempuan memiliki sepasang kromosom XX, dan laki-laki XY. Ibu menyumbangkan kromosom X, ayah menyumbangkan kromosom X atau Y. Karena itu, hanya satu kromosom dari 46 kromosom yang menentukan jender, dengan jumlah persentase kromosom pembeda maksimal hanya 2,17 persen saja (Qakley dan Miles dalam Synnott, 2003:77). Dengan kata lain, secara biologis 98 persen kromosom perempuan dan pria identik. Dari sini dapat dilihat bahwa laki-laki dan perempuan sesungguhnya berasal dari satu kromosom, dan sama sekali bukan kelamin “berlawanan” (Synnott, 2003:77). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jender adalah konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran tersebut tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrati, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Dengan kata lain, jender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku, merupakan suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara lakilaki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Perubahan ciri-ciri dari sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu atau dari tempat ke tempat yang lain. Berkaitan dengan peranan jender dalam masyarakat, perempuan Hindu Bali mempunyai kedudukan yang sentral dalam kehidupan masyarakat di Bali. Peranan perempuan tampak dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Persoalannya adalah bahwa peran itu
Ni Nyoman Karmini 160 memang tidak selalu menonjol. Ada kalanya peran perempuan tampak di depan, ada kalanya surut di belakang. Oleh karena itu, balibuddy menyatakan bahwa perempuan Bali harus pintar membagi waktu antara arus perubahan zaman, sebab perempuan tidak saja menjadi ibu rumah tangga, tetapi terbuka untuk peran lainnya yang tak terbatas. Di balik itu, perempuan Bali balik ke dapur, untuk menyiapkan makanan bagi keluarganya dan yang utama menyiapkan yadnya (sesajen). Demikian juga dalam hal kegiatan adat di lingkungan sosialnya. Tentu hal ini bisa berbagi tugas dengan sang suami tetapi perempuan Bali tetap menjadi tokoh sentral (Balibuddy, 2007). Perempuan dalam sistem kemasyarakatan di Bali memegang peranan sangat penting. Dalam komunitas banjar, misalnya, ada istilah banjar luh dan banjar muani. Pengelompokkan ini didasarkan atas jenis kelamin yang berkaitan erat dengan pembagian kerja, tugas, dan wewenang warga suatu banjar. Dalam kaitan dalam pembagian tugas dan pekerjaan, para anggota banjar muani (banjar pria) bertugas mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik yang besar, sedangkan anggota banjar luh (banjar perempuan) dibebankan tugas-tugas yang dari ukuran kerja fisik dinilai lebih ringan. Misalnya, dalam membangun balai banjar. Para anggota banjar muani bertugas mengerjakan pembangunan fisik bangunan, seperti membuat tembok dan bertindak sebagai tukang kayu, sementara anggota banjar luh bertindak menyiapkan makanan atau membantu mengangkut pasir atau batu bata sesuai dengan kemampuan fisiknya. Dalam persiapan upacara di tempat persembahyangan atau pura, pembagian kerja itu pun tampak jelas antara tugas laki-laki dan tugas perempuan. Para anggota banjar muani akan mengerjakan tugas yang berkaitan dengan persiapan fisik, misalnya membuat suatu bangunan untuk upacara, membuat hiasan, dan bahkan juga menyiapkan masakan. Sementara itu anggota banjar luh menyiapkan sajen untuk keperluan upacara. Meskipun demikian, sesungguhnya dalam masyarakat Bali tidak ada pembagian kerja yang terlalu ketat antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Bila tidak ada tenaga laki-laki yang dapat mengerjakan, perempuan siap melakukan tugas dalam pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai tugas laki-laki. Demikian pula sebaliknya. Misalnya, bila tidak ada tenaga laki-laki yang siap mengerjakan pekerjaan di sawah, perempuan pun siap melakukannya. Bila dalam suatu kegiatan di masyarakat seorang suami berhalangan hadir, istrinya dapat menggantikan kehadiran suaminya. Selain itu, perempuan dalam masyarakat dan budaya Bali dapat berfungsi sebagai kepala rumah tangga bila suaminya sudah meninggal. Bahkan, dalam
Perempuan dalam Geguritan Bali 161 kasus-kasus tertentu yang biasa disebut perkawinan nyeburin (nyentana), justru perempuanlah yang bertindak atau dianggap sebagai laki-laki. Hal itu berkaitan erat dengan etos nilai yang dianut oleh perempuan Bali pada umumnya, yaitu bahwa perempuan itu harus membangun harga dirinya sendiri dengan jalan bekerja keras dan tidak menyimpang dari ajaran agama. Banyak perempuan dalam rumah tangga tidak hanya sebagai ibu yang mendidik anak-anaknya, tetapi ia juga pemimpin di rumahnya, yakni mengatur seluruh kehidupan rumah tangga, baik mengatur suaminya, mengatur pekerjaan di rumahnya maupun mengatur keuangan, dan lain-lainnya. Peranan perempuan sangat besar di rumah. Dahulu, perempuan Bali yang telah berkeluarga sama-sama mencari nafkah untuk keluarga dan saling mendampingi. Tidak ada yang paling dominan karena suami atau istri adalah partner dalam keluarga. Secara kodrati, perempuan memang mempunyai peran reproduktif, sehingga erat kaitannya dengan pekerjaan domestik tanpa campur tangan laki-laki. Jika dalam rumah tangga terjadi komunikasi yang baik yang menimbulkan keseimbangan, tidak mustahil perempuan dapat juga berperan produktif seperti peran laki-laki. Perempuan dapat juga menghasilkan uang atau yang setara dengan uang sesuai dengan kemampuannya atau keahliannya. Jika suami dapat menjadi motivator yang baik dan istri mampu menggunakan kesempatan dengan baik, maka peran produksi pasti dapat dilakukannya dengan baik dan penuh tanggung jawab sebab perempuan telah terbiasa melakukan tugas berat, tanpa memandang tugas itu sebagai beban. Bagi mereka jauh lebih baik mengambil pekerjaan kasar daripada mengambil pekerjaan yang tampaknya halus, tetapi tidak lebih daripada bentuk pelacuran diri, misalnya dengan menjadi pelacur. Kedudukan sebagai nomor dua setelah laki-laki justru memacu perempuan Bali untuk secara terusmenerus memperjuangkan harga dirinya agar tidak selalu bergantung pada laki-laki. Apa yang telah diuraikan di atas, juga praktik dalam kehidupan perempuan dalam masyarakat dan kebudayaan Bali tidak lain adalah suatu kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai atau sistem jender. Perbedaan-perbedaan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat disebabkan oleh proses pembudayaan yang panjang, bukan karena suatu kodrat yang telah ditetapkan sedemikian rupa, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Perbedaan jender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan jender. Namun, menjadi persoalan karena perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki
Ni Nyoman Karmini 162 maupun perempuan. Peranan dan Kedudukan Perempuan Bali kini Usaha yang dilakukan oleh para pemuda pelajar Bali pada tahun 1920-an berdampak sangat positif bagi perempuan Bali sampai saat ini, bahkan sudah tentu juga ke depan. Hal ini dapat dilihat pada pendidikan pada masa dewasa ini, yakni pelajar dan mahasiswa perempuan sangat banyak. Mereka bebas mengenyam pendidikan, bahkan banyak perempuan meraih prestasi terbaik di sekolahnya. Dengan kata lain, saat ini banyak lahir perempuan-perempuan pandai, terampil dan berprestasi. Dalam dunia bisnis, perempuan Bali sejak dahulu telah mengambil posisi penting dalam dunia ini. Dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, mereka menggabungkan naluri yang dimiliki dengan logika yang diperoleh sehingga mereka berhasil dalam usahanya. Perempuan dapat melakukan apa saja. Menyetir mobil, misalnya. Perkejaan tersebut, dahulu adalah pekerjaan laki-laki tetapi kini pekerjaan itu bagi perempuan bukan masalah. Kini, kerja sebagai sopir taksi, sopir angkot, sopir traktor dapat dilakukan oleh perempuan. Namun, hal itu tidak menyebabkan perempuan lupa kepada peranannya sebagai ibu dari anak-anaknya dan istri dari suaminya. Hal itu sangat disadari, sebab kebebasan tidak ada yang mutlak. Yang ada adalah kebebasan untuk mengekspresikan sesuatu yang dimiliki dengan dibatasi oleh nilai-nilai yang melingkari sekitar hidup dan kehidupannya. Untuk dapat dihargai dan dihormati, sebagai manusia, baik lakilaki maupun Perempuan, hendaknya memiliki “kecantikan” lahir dan rohani. Sebab, dari manusia seperti itu akan terlahir manusia berkualitas yang berguna dan bertanggung jawab bagi keluarga dan bangsanya. Berkaitan dengan hal itu, pendidikan terhadap anak-anaknya dilakukan oleh seorang ibu dan seorang ayah secara bersama-sama. Untuk dapat seperti itu harus ada sikap saling membantu, saling menghargai, saling menghormati, bukan saling menjegal. Seperti yang tersurat dan tersirat dalam tulisan Suryani (2003:176–180), yakni jangan mencoba mengubah suami atau istri. Perlihatkan diri dalam warna masing-masing. Usahakan memandang suami dari sudut suami dan memandang istri dari sudut perempuan. Setelah berumah tangga, istri adalah partner suami, suami sebagai partner istri. Dalam berumah tangga, hubungan kerja sama yang baik sangat diperlukan. Kerja sama dimaksud bukan kerja sama antara majikan dengan pembantu melainkan kerja sama yang saling membutuhkan dan saling menghargai. Dalam hidup ini, perempuan harus berjuang, kata Suryani (2003:70).
Perempuan dalam Geguritan Bali 163 Perjuangan bukan hanya untuk persamaan hak, tetapi juga untuk bebas dari penindasan dan kekejaman, serta untuk mempertahankan harga diri sebagai perempuan, yang sebenarnya memang kuat dan tegar. Perjuangan perempuan memang berat, di samping tugas perempuan sudah berat. Orang-orang dahulu berkata, “Di tangan perempuanlah terletak masa depan bangsa”. Oleh karena itu, setiap sesuatu yang negatif terjadi pada anak atau suami, kesalahan selalu dilemparkan kepada perempuan. Kesalahan itu sebenarnya bukan kesalahan perempuan sebab kehidupan ini dijalankan bersama laki-laki, hanya saja dapat dilihat siapa yang paling dominan dalam kehidupannya. Dalam pendidikan informal, perempuan lebih banyak dituntut untuk menyapu, memasak dan mengerjakan tugas lain di rumah. Perempuan telah dilatih untuk memimpin, mengatur rumah, mendidik adik-adiknya, bahkan melakukan tugas-tugas orang tuanya. Pekerjaan ini kelihatan berat tetapi ia telah ditempa sejak kecil dan sangat menguntungkan bagi fungsinya nanti setelah dewasa, yakni sebagai ibu, seorang pemimpin, dan seorang yang aktif di masyarakat. Perempuan dapat menunjukkan jati dirinya yang mempunyai kemampuan, baik dalam pendidikan, dalam peranan, dan dalam aktivitas. Dengan demikian, laki-laki akan menyatakan “dia orang yang mampu bukan orang yang lemah”. Masyarakat Bali tidak pernah memandang perempuan itu lemah. Perempuan dan laki-laki dididik sama untuk mampu melakukan sesuatu dalam hidup ini. Banyak perempuan dalam rumah tangga tidak hanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya, tetapi ia juga pemimpin di rumahnya, yakni mengatur seluruh kehidupan rumah tangga, baik mengatur suaminya, mengatur pekerjaan di rumah, maupun mengatur keuangan, dan lain-lainnya. Peranan perempuan di rumah sangat besar. Dahulu, perempuan Bali yang telah berkeluarga sama-sama mencari nafkah untuk keluarga dan saling mendampingi. Tidak ada yang paling dominan karena suami atau istri adalah partner dalam keluarga. Secara kodrati, perempuan memang mempunyai peran reproduktif, sehingga erat kaitannya dengan pekerjaan domestik tanpa campur tangan laki-laki. Namun, perempuan juga dapat menghasilkan uang atau yang setara nilainya dengan uang sesuai dengan kemampuan atau keahlian yang dimilikinya. Perempuan juga dapat melaksanakan peran produksi dengan baik dan penuh tanggung jawab sebab perempuan telah terbiasa melakukan tugas berat, tanpa memandang tugas itu sebagai beban. Selain tugas tersebut, perempuan juga dapat melakukan tugas sosial sebab ia merupakan anggota komunitas sosial di masyarakatnya. Di masyarakat, perempuan Bali terikat sebagai anggota banjar, yang adat istiadatnya
Ni Nyoman Karmini 164 unik. Namun, peran tersebut tidak menjadi beban, bahkan kesempatan sosial tersebut digunakan sebagai ajang untuk membelajarkan dirinya sebagai perempuan Bali. Perempuan Bali telah terbiasa melakukan tugas berat, bahkan telah terbiasa melaksanakan peran ganda. Peran ganda tersebut bukan berupa teori lagi melainkan telah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sejak perempuan Bali mengenal kehidupan ini. Misalnya, sejak anak-anak perempuan Bali telah terbiasa diajarkan bekerja membantu orang tuanya atau kakaknya. Demikian juga pada masa remajanya sehingga menjadi terbiasa. Kebiasaan melakukan pekerjaan dapat mencerminkan kemandiriannya sebagai perempuan (Swarsi, dkk., 2002:30–42). Kenyataan kehidupan yang dijalankan perempuan Bali dalam masyarakatnya sesuai dengan pernyataan Handayani dan Sugiarti (2002:14), bahwa “Peran perempuan dalam kehidupan berumah tangga maupun bermasyarakat dan berbangsa menjalankan tiga peran sekaligus, baik peran reproduktif, peran produktif maupun peran sosial”.
165 BAB V PEREMPUAN DALAM TEKS GEGURITAN Penelitian tentang perempuan dari sudut analisis feminisme tentu menghasilkan penelitian yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan dari analisis sastra biasa. Kritik sastra feminis yang muncul setelah tahun 1960-an dan menjadi amat penting di antara aliran-aliran kritik sastra yang lain, jelas bersumber dari suatu gerakan politik, yaitu feminisme. Gerakan ini kemudian berfokus pada karya sastra dalam hubungannya dengan perempuan. Dalam kritik sastra biasa tidak ada sudut pandang yang dikemukakan, sehingga cara pandang terhadap tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam karya sastra dilakukan dengan cara yang sama dengan tokoh-tokoh yang lain. Umumnya, keberadaan tokoh-tokoh hanya dilihat dari aspek fisik, psikologis, maupun sosial, tanpa ada penafsiran dari nilai-nilai tertentu, sedangkan penelitian dengan analisis feminisme ini memberikan sorotan dari sudut perempuan dan keperempuanan. Dalam melakukan analisis feminisme terhadap teks geguritan. Situasi dan Permasalahan yang Dihadapi Perempuan dalam Teks Geguritan Dreman Pada Geguritan Dreman dikisahkan situasi kehidupan rumah tangga yang berpoligami. Tokoh utama bernama I Suanggadarmi sebagai istri I Jatiraga. I Suanggadarmi dikecewakan oleh I Jatiraga. Suaminya menduakan hatinya karena menikah lagi dengan I Wijasantun. I Jatiraga berbahagia sebab Wijasantun sangat manja sehingga sangat disayang, dan selalu didahulukan oleh suaminya, seperti dipaparkan berikut ini. ... rabine rauh dipungkur, I Dreman I Jatiraga, bangga bonggan sumbungsumbung, lagute dreman kaeman, somahe sahi arepang (bait 8 pupuh Adri 1). Arane I Wijasantun, alus pamulune, langsing lanjar kenyung manis, patesnia marengu-rengu, manying kasil teken kakung, tan sah mapulut laki, ne nganggo guna tangis duyung, tekening penangkeb jagat, somahe buka tekepang (bait 9 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi setia meladeni keperluan I Jatiraga, setelah itu lalu permisi untuk kembali ke tempatnya. Begitu seterusnya. Namun, I Jatiraga tidak setia dan tidak pernah menyadari perasaan dan kebutuhan I Suanggadarmi karena takut pada I Wijasantun yang selalu marah dengan
Ni Nyoman Karmini 166 mata mendelik ke arahnya, seperti dipaparkan pada kutipan berikut. ... I Jatiraga sumaur, uduh Gusti ariningsun, utama san Gusti Mirah, masomah twah satia tuhu, I Dreman delo ulate, ne kakung takut tuminggal (bait 19 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi tidak menuntut apa-apa pada suaminya. Ia kuat menghadapi kehidupan. Berbeda halnya dengan I Wijasantun yang setiap keinginannya dipenuhi oleh I Jatiraga sehingga ia menjadi sangat sombong. Di sini dapat dikatakan bahwa I Jatiraga tidak dapat berlaku adil pada istrinya terutama istri pertama (I Suanggadarmi) dan sangat lemah dihadapan istri kedua (I Wijasantun), seperti yang dipaparkan pada kutipan berikut ini. Keto bikas I Dreman masumbung, kasukan somahe, panganggone suba luih, ne kakung, suba kabungkul, suba paling ya matukup, sabahan-bahan ngerehang, sakita karep ingulun, kendel banggi kakak-kakak, aturane palagendah (bait 21 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi sangat sibuk meladeni suaminya, sedangkan I Jatiraga bersama I Wijasantun hanya bersenang-senang dan hanya tinggal duduk menghadapi makanan, seperti dikutip berikut ini. I Dreman dane jani matimpuh, di tengah balene, amukti ngarepin sagi, I Dreman kendel malungguh, makaronan teken I Kakung, demen atine madaar, Tanporat ngayahin gupuh, I Dreman menggot-menggotan, makecuh nguncab basehan (bait 22 pupuh Adri 1). Tanporat mapamit mantuk, alon pamargine, kumah meten ya mangraris, tuyuh mangayahin kakung, selid sanja pati kepug… (bait 41 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi menolak tawaran I Jatiraga supaya ia mengambil dan ikut makan bersama, yang menyebabkan I Jatiraga sedih hatinya, seperti kesedihan dan kepedihan hati I Suanggadarmi yang tidak penah diketahui oleh I Jatiraga. Hal ini dipaparkan dalam kutipan berikut ini. I Jatiraga jani mawuwus, “Ratu arin ingsun, ambilang ragane Gusti, sasanganan asing kayun,” Tanporat saur alus, “sampun Gusti titiang nunas, mapan titiang bakti nulus, ngayahin Gusti majengan”, I Jatiraga mangenang (bait 23 pupuh Adri 1). Kutipan yang dicetak tebal di atas menggambarkan bahwa I Sunggadarmi mampu menutupi kegalauan hatinya dengan ikhlas berbakti kepada suaminya. Hal ini tidak mengindikasikan bahwa I Suanggadarmi tidak berdaya, melainkan ia mampu menunjukkan suatu kekuatan yang dimilikinya dalam menutupi kesedihan dan kepedihan hatinya. I Suanggadarmi dibela oleh I Jatiraga dengan menasihati I Wijasantun supaya tidak berpikir buruk terhadap I Suanggadarmi. I Wijasantun justru sangat marah pada I Jatiraga. Kemarahan yang ditunjukkan
Perempuan dalam Geguritan Bali 167 oleh I Wijasantun kepada I Jatiraga menunjukkan dengan jelas bahwa I Wijasantun memiliki keberanian menentang suaminya, sedangkan suaminya tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan I Wijasantun, seperti yang dipaparkan berikut ini. I Wijasantun mangke sumaur, bangras ta ujare, rabine care-carian, kema Gusti jwa manyungsul, medem kula ja manyintud, kubunang jwa sinjangne, rabi sayang lintang ajum, uli sue tuara tangeh, singja saget pongpong semal (bait 25 pupuh Adri 1). I Jatiraga sangat lemah di hadapan I Wijasantun sehingga ia siap menerima penderitaan atau siksaan di neraka, seperti kutipan berikut ini. I Jatiraga sumaur alus, patute ujare, sareng beli mangemasin, musuh tekening patut, dadi Gusti nyalit kayun, beli ngiring pakayunan, yadian papa siu tahun, kasakitan maring kawah, Sang Cikrabala midanda (bait 26 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi menghormati I Jatiraga, tetapi tidak demikian halnya dengan I Wijasantun. Namun, I Jatiraga tidak dapat berbuat apa-apa terhadap I Wijasantun, seperti dipaparkan dalam kutipan berikut ini. I Wijasantun jani umatur, apa ta ujare, kenken sira kang alaki, beneh ujar bane luung, beli nyandang twah manyulsul, mangulah awet ragane, titiang sing nyak jua manyulsul, ngidalem kasereh timpal, beli nyandang nyulub langkang (bait 31 pupuh Adri 1). Titiang nguda ajak beli masulub, tuara udayane, mamanjakin cicing bengil, beli nyandang jua manyungsung, anak melah lintang ayu, tidong basehin rabine, jalan payuke di bucu, apan utama ban Mirah, titiang beli jua nyekolang (bait 32 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi hidupnya tertekan dan I Jatiraga melakukan penekanan terhadap I Suanggadarmi tanpa disadarinya sebab I Jatiraga memanfaatkan kebaikan I Suanggadarmi dan sangat takut kepada I Wijasantun, seperti tertera dalam kutipan berikut ini. Tanporat mapamit jani mantuk, nyumbah ring lakine, I Jatiraga nyaurin, margi Gusti kapadunung, saabang Dewa lumaku, I Dreman nyureng tingale, Tanporat sada manyulub, tong bani ipun matangah, buka mangiwasin sita (bait 38 pupuh Adri 1). I Jatiraga sangat tergantung kepada I Wijasantun, tetapi tidak demikian halnya dengan I Suanggadarmi. Dengan meninggalnya I Wijasantun menyebabkan I Jatiraga meninggal pula karena sakit. Roh mereka disiksa di neraka, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut. I Dreman sareng ne kakung, ring jambangane, butane pada mumpun, buta abang biru, buta ireng buta mrengut, buta rentegagak sora, lawan buta antut-antut, rare timpang anja-anja, kelawan lan buta jembrak (bait 102 pupuh Adri 1).
Ni Nyoman Karmini 168 Tidak lama kemudian, I Suanggadarmi pun sudah waktunya meninggal. Rohnya masuk surga dan mendapat tempat di Meru Emas atas anugrah Hyang Indra. Namun, I Suanggadarmi tidak mau menerima anugrah itu kalau tidak bersama suaminya (I Jatiraga). Atas izin Hyang Yama, I Suanggadarmi menolong roh I Jatiraga dan mengangkatnya dari neraka. I Suanggadarmi mampu menolong roh I Jatiraga, sedangkan I Jatiraga tidak mampu menolong dirinya sendiri apalagi menolong roh I Wijasantun dari neraka. Karena pertolongan I Suanggadarmi, akhirnya I Jatiraga pun dapat berbahagia dan bersama-sama tinggal di Meru Emas, seperti dipaparkan dalam kutipan berikut ini. Sampun rawuh, ring jambangan ngalih kakung, mati Ratu titiang, penekang ja titiang Gusti, kaget turun, Tanporat nyemak ne lanang (bait 6 pupuh Cecangkriman). Sampun kahancut, atman somahe kagelut, siratin panglukatan, Widiadarie ngetisin, ya malungguh, munggah sareng majampana (bait 7 pupuh Cecangkriman). Hyang Indra Ida jani tumurun, ngungsi swargane, atmane raris mabakti, manyumbah jrijine rurus, Hyang Indra ngandika alus, kema iba ring meru emase, atmane umtur alus, “Ratu Agung Hyang sinembah, buk cokor ngiring Batara” (bait 2 pupuh Adri 2). Demikianlah situasi dan permasalahan yang dihadapi tokoh perempuan I Suanggadarmi dalam sebuah rumah tangga yang berpoligami. Permasalahan muncul pada tokoh akibat adanya perseteruan dalam rumah tangganya. Poligami maupun polihandri tidak sepenuhnya menimbulkan permasalahan jika di antara mereka terjadi kesadaran, kesepahaman dan keadilan sehingga timbul keharmonisan. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa dalam Geguritan Dreman tersirat adanya konsep tidak setia laki-laki terhadap perempuan yang dalam hal ini ketidaksetiaan suami terhadap istri yang dinikahi secara sah (suami tidak satyeng wadhu). I Jatiraga (suami) menduakan hatinya. I Jatiraga mampu berpoligami, tetapi tidak mampu melakukan keadilan. I Jatiraga tidak setia kepada I Suanggadarmi (istri pertama) dalam kehidupan di dunia ini, juga tidak setia kepada I Wijasantun (istri kedua) dalam kehidupan di dunia lain. I Jatiraga sangat tidak adil dalam segala hal terhadap I Suanggadarmi (istri pertama) dan juga terhadap I Wijasantun (istri kedua). I Jatiraga tidak memiliki kepekaan terhadap perasaan I Suanggadarmi. Secara psikis, I Jatiraga mempunyai andil sangat besar dalam melakukan tekanan terhadap I Suanggadarmi sehingga I Suanggadarmi merasa takut dan tidak berdaya semasih mereka hidup. I Suanggadarmi diperlakukan tidak adil oleh suaminya dan suaminya juga tidak setia, tetapi I Suanggadarmi tetap melaksanakan subha karma dan
Perempuan dalam Geguritan Bali 169 satyeng laki. I Suanggadarmi tetap melaksanakan dharma-nya sebagai seorang istri sehingga berbuah kebahagiaan abadi bagi dirinya dalam kehidupan di dunia lain. Geguritan Diah Sawitri Penyebab konflik pada tokoh utama perempuan adalah kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi (antagonistic force), yakni berupa “takdir” kehidupan manusia, yang dalam cerita ini adalah takdir kematian Satyawan. Usia Satyawan hanya tinggal setahun sesuai pesan Hyang Narada, sedangkan Sawitri tidak mau mengingkari kata hatinya yang tetap memilih Satyawan sebagai suaminya. Hal inilah yang menjadi permasalahan utama yang dihadapi tokoh perempuan (Diah Sawitri) dalam teks ini. Hal ini dinyatakan lewat dialog sang tokoh sendiri dan diungkapkan juga oleh tokoh lain. Berikut ini kutipan bait 27, bait 31 dan bait 35 pupuh Ginada sebagai contoh. Hyang Narada nimbal nabda, munggwing Sang Satyawan cening, wantah asiki cacadnya, sane sida ngardi lebur, saluwiring kelewihannya, awarsa malih, Sang Satyawan nandang pejah (bait 27). Taler ya wantah apisan, bebawose kengin mijil, pacang manyerahang angga, maring onengin ring kayun, maka tetiga punika, tan mindowin, wantah apisan punika (bait 31). Maring ida Sang Satyawan, mogi rahayune panggih, santikane nenten pasha, rehning putrin cening agung, ngemanggehang terikaya, Bapa mulih, mawali ke swargaloka (bait 35). Tokoh Sawitri adalah tokoh yang dilukiskan sangat cantik. Kecantikannya dilukiskan sebanding dengan kecantikan Dewi Sri (Sakti Dewa Wisnu), yang diungkap pada bait 8 pupuh Sinom (... Diyah Sawitri pepasih, warnine hayu kalintang, satanding ring Dewi Seri...). Sawitri adalah tokoh yang satia (satia wacana, satiyeng laki). Ia selalu mengingat hari yang telah ditetapkan sebagai hari kematian suaminya. Oleh karena itu, empat hari menjelang kematian Satyawan, Sawitri melakukan tapa brata siang dan malam selama tiga hari dengan penuh harapan bahwa “takdir” kematian bagi suaminya dapat terhindarkan. Hal ini dinyatakan pada bait berikut ini. Dinan ida Sang Satyawan, pacang ninggal jagat iki, nenten mari kaelingang, kapetek jeroning ati, crita petang dina malih, Sang Satyawan pacang lampus, Diyah Sawitri sayaga, nangun brata dahat siddhi, wastan ipun, Brata Triratra tan liyan (bait 48 pupuh Sinom) Mertua Sawitri menyangsikan keberhasilan tapa brata yang dilakukan Sawitri, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Uning ring indik punika, Dyumatsena nabda aris, uduh cening mantun bapa,
Ni Nyoman Karmini 170 bratan cening berat yukti, sajeroning tigang wengi, upawasane linaku, mireng bawos matuan ida, Sawitri mahatur aris, keni sampun, Ratu sangsaya ring arsa (bait 49 pupuh Sinom). Oleh karena itu, Sawitri menjelaskan bahwa tujuan tapa brata dilaksanakan adalah untuk menghindarkan bahaya yang akan menimpa suaminya, sedangkan suaminya sama sekali tidak melakukan apa-apa untuk menolong dirinya sendiri. Tapa brata tersebut dijadikan sahabat, dijadikan alat oleh Sawitri untuk menolak bahaya supaya hidup selamat seterusnya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Munggwing bratane punika, kinarya de patik haji, nyadia wantah linaksanan, mahabhaya tan nibenin, anggen titiang sraya kanti, panulak bhaya puniku, mogi sida mangawinang, tetibak brata puniki, siddhi nerus, labda karya sida jaya (bait 50 pupuh Sinom). Selama ini, secara stereotip perempuan dianggap lemah, perempuan perlu dilindungi. Dalam kutipan di atas tercermin adanya penyangsian terhadap kemampuan seorang perempuan seperti Sawitri oleh Dyumatsena (mertua Sawitri, seorang mantan raja). Dalam hal ini, mertua Sawitri meragukan keberhasilan tindakan Sawitri. Setelah dijelaskan dengan tegas oleh Sawitri tentang tindakan yang dilakukannya, maka mertuanya dapat menerima. Setelah melakukan tapa brata, pada hari keempat, Sawitri melakukan upacara untuk Hyang Ageni. Setelah selesai, Sawitri disuruh makan dan minum oleh mertuanya tetapi ia menolak sebab keinginannya untuk makan dan minum dilakukan pada sore hari, seperti terungkap dalam kutipan berikut ini. Diah Sawitri alon nabda, bratane sampun puput kinardi, inggian kadi sapunika, titiang wahu nunas jagi, sesampuning sore lingsir, kadi iku aptining hyun, keni sampun salit arsa, ring laksanan titiang haji, sok ne tuju, wantah rahayu punika (bait 54 pupuh Sinom). Kutipan di atas mencerminkan bahwa Sawitri memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dalam hal mengendalikan keinginan-keinginan yang dapat merugikan tapa brata yang dilakukannya. Setelah mengetahui Satyawan akan ke hutan, Sawitri mengikutinya. Walaupun Sawitri dilarang, ia tetap mengikuti Satyawan ke hutan, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Sang Satyawan nabda nimbal, uduh adi Diah Sawitri, adi nurung nanin ngalas, margi rungka jurang trebis, samaliha anggan adi, sujati ya dahat kuru, rehning nglarang upawasa, Diah Sawitri gelis nyawis, daging ipun, titiang nutug beli luas (bait 56 pupuh Sinom). Keraguan terhadap kemampuan perempuan juga tercermin dalam
Perempuan dalam Geguritan Bali 171 kutipan di atas. Keraguan terhadap kemampuan perempuan, seperti Sawitri juga terjadi pada diri Satyawan. Satyawan meragukan kemampuan Sawitri untuk dapat berjalan di jalan yang sulit untuk menuju ke hutan sebab jalannya naik turun. Satyawan juga meragukan kemampuannya sebab Sawitri masih lemah karena baru saja selesai melakukan tapa brata. Penyangsian kemampuan perempuan (Sawitri) seperti dinyatakan pada bait 54 dan 56 di atas justru mencerminkan bahwa sang tokoh perempuan adalah orang yang satia, tokoh yang imannya kuat sebab dalam kondisi seperti itu ia tetap mengikuti suaminya pergi ke hutan. Setelah sampai di hutan, Satyawan mencari kayu bakar. Lalu, Satyawan menyatakan bahwa kepalanya pusing, sakit seperti ditusuk panah dan merasa tidak bertenaga. Satyawan ditidurkan oleh Sawitri di atas pangkuannya. Sawitri ingat pesan Hyang Narada bahwa hari itu adalah hari kematian Satyawan. Sawitri melihat seseorang mendatangi Satyawan, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Diah Sawitri gegelisan, ngabin sirahnya sang swami, eling bawos Hyang Narada, maring dinane mangkeku, Sang Satyawan nandang pejah, nuli kaksi, wenten anak wahu prapta (bait 64 pupuh Ginada). Busanane sarwa barak, makutane sarwa manik, angga ageng medal teja, kadi tejan surya murub, carma selem aksi barak, makta tali, yukti dahat kabinawa (bait 65 pupuh Ginada). Melihat yang datang wajahnya sangat menakutkan, Sawitri menjadi ketakutan. Dalam ketakutannya, Sawitri justru segera bangun dengan menaruh kepala suaminya di tanah terlebih dahulu, lalu menanyakan nama dan tujuan seseorang yang mendatanginya. Pertanyaan Sawitri dijawab dengan lembut oleh Hyang Yama, yang justru bertolak belakang dengan wajahnya yang menakutkan dan menyebut Sawitri sang pagehing patibrata. Pada bagian ini tampak adanya saling menghormati yang terjadi antara Sawitri dan Hyang Yama. Hal itu terjadi berkat keberhasilan Sawitri melakukan puasa sehingga mendapat izin berbicara dengan Hyang Yama, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Sang Hyang Yama mangandika, uduh cening Diah Sawitri, sang pagehing patibrata, upawasa wus linaku, ento ane mangawanang, cening dadi, mabawosan ngiring Bapa (bait 68 pupuh Ginada). Hyang Yama menyatakan bahwa kematian Satyawan telah tiba, karena itu beliau datang mengambil rohnya. Sawitri dengan hormat menyatakan bahwa ia telah mengetahui tugas Hyang Yama yakni mengambil roh orang yang meninggal, tetapi Sawitri menanyakan sebab-sebab kematian suaminya. Pertanyaan itu dijawab oleh Hyang Yama dengan menyatakan bahwa Satyawan manusia utama, berjalan di
Ni Nyoman Karmini 172 atas kebenaran (dharma), karena itulah Hyang Yama datang sendirian mengambil rohnya, seperti kutipan berikut ini. Sang Hyang Yama mangandika, Sang Satyawan nara lewih, nenten simpang maring dharma, punika karma pekik sadhu, awanan Bapa ngaraga, rawuh ngambil, jiwatmannya Sang Satyawan (bait 71 pupuh Ginada). Kutipan di atas mencerminkan bahwa teka-teki alam itu merupakan rahasia Tuhan. Hal ini disebabkan oleh Hyang Yama yang tidak menjawab pertanyaan Sawitri tentang sebab-sebab kematian suaminya, Hyang Yama hanya menyatakan bahwa jati diri Satyawan sebagai manusia utama yang menjalankan dharma. Itulah sebabnya Hyang Yama sendiri yang datang mengambil roh Satyawan, bukan petugas lainnya. Jadi, penyebab usia pendek Satyawan itulah yang dimaksud di sini sebagai teka-teki alam dan rahasia Tuhan. Selanjutnya, Hyang Yama mencabut jiwa Sang Satyawan dan membawanya pergi. Diah Sawitri mengikuti perjalanan Hyang Yama, tetapi ia dilarang karena jodoh Sawitri hanya sampai di situ dan ia disuruh pulang untuk membakar mayat suaminya. Hal itu dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Puput nabda sapunika, Sang Hyang Yama nuli gelis, nyabud jiwatman Satyawan, kasidan sampun kategul, angga stulan Sang Satyawan, pramangkin, nenten pateja mamantang (bait 72 pupuh Ginada). Hyang Yama raris mamarga, mangidul punang pamargi, DiahSawitri nenten pasah, nutug pamargin sang lampus, Sang Hyang Yama mangandika, duh Sawitri, yogia cening tulak budal (bait 73 pupuh Ginada). Durus geseng punang sawa, amonto patemun cening, pamargine adoh pisan, tan pinaran manuseku, arang wenten manyidayang, rawuh mriki, yening tan anak utama (bait 74 pupuh Ginada). Sawitri menolak perintah Hyang Yama untuk pulang membakar mayat suaminya. Ia tetap pada pendiriannya untuk mengikuti Beliau dan suaminya sebagai tanda ia melaksanakan tata krama, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Diah Sawitri matur sembah, kija ugi sang siniwi, napike pakarsan ida, napi saking liyang iku, titiang nutug saparana, maka ciri, titiang nuluh tata karma (bait 75 pupuh Ginada). Sawitri dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak dapat dihentikan oleh siapapun untuk mengikuti suaminya termasuk beliau. Sawitri terus berbicara dengan menyatakan bahwa menurut orang pandai dan bijaksana, kebenaran sejati adalah jika mereka telah jauh berjalan bersama-sama, maka seharusnya mereka bersahabat. Oleh karena itu, Sawitri bernada menuntut kepada Hyang Yama supaya beliau mau
Perempuan dalam Geguritan Bali 173 bersahabat dengan dirinya dan beliau harus setia sebagai sahabat, sebab Sawitri telah jauh berjalan bersama-sama Hyang Yama, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut. … pamargin titiang manutug, nenten sida kaandegang, antuk sapasira ugi… (bait 76 pupuh Sinom). Kabawos antuk sang prajnyan, sang uning ring patut jati, sang marerod maring hawan, pitung dungkangan mamargi, sang kalih ya masampriti, titiang mamargi doh langkung, ngiring Paduka Bhatara, patut wantah masampriti, Ratu patut, tuhu satya ring sawitra (bait 77 pupuh Sinom). Sawitri lebih lanjut menyatakan untuk mencapai paramartha atau kebenaran sejati, seseorang dapat menempuh catur asrama dalam hidupnya, yakni yang pertama adalah brahmacari, yang kedua adalah grehastha, yang ketiga adalah wanaprastha dan keempat adalah bhiksuka. Mendengarkan hal itu, Hyang Yama tidak dapat mengelak dan membenarkan kata Sawitri. Oleh karena itu, Sawitri dianugrahi satu anugrah kecuali roh Satyawan, seperti yang dikutip berikut ini. Sang Hyang Yama mangandika, pragatang amonto cening, Bapa suka mamirengan, atur cening dahat lewih, matiti luhuring budhi, durusang cening ngalungsur, waranugraha maring Bapa, wantah asiki ya dadi, len ring iku, jiwatmannya Sang Satyawan (bait 80 pupuh Sinom). Sawitri disuruh pulang oleh Hyang Yama setelah diberikan anugrah, tetapi Sawitri tetap menolak, sebab Sawitri tidak merasakan susah kalau tetap bersama Satyawan suaminya. Dukanya Satyawan adalah kesusahan Sawitri. Apalagi berbicara dan bersahabat dengan Hyang Yama yang sangat pandai dan bijaksana tentulah sangat baik hasilnya, kata Sawitri. Ucapan-ucapan Sawitri menyebabkan luluh hati Hyang Yama sehingga Sawitri diberi anugrah yang kedua, kecuali roh Satyawan. Sang Hyang Yama mangandika, atur cening dahat lewih, ebeking dharma wacana, mapikenoh ngardi tusti, ngarngar jenyanan sang wagmi, durus cening malih nglungsur, lenan ring atman Satyawan, Bapa nyadia manglugrahin,durus matur, duh cening sang patibrata (bait 84 pupuh Sinom). Setelah itu, Sawitri disuruh pulang dan berhenti menyiksa diri, tetapi Sawitri berkata lagi dengan menyatakan bahwa seseorang yang sadhu budhi pasti mau menolong siapa saja, tidak mempertimbangkan kawan atau lawan. Perkataannya itu sangat menyenangkan Hyang Yama sehingga Sawitri diberi anugrah lagi, kecuali roh Satyawan, seperti dikutip berikut ini. Sang Hyang Yama nabda aris, tan pendah sekadi toya, marep ring kasatan reko, sapunika upaminnya, bawos cening lewih pisan, waranugrane ya lungsur, liyan ring atman Satyawan (bait 88 pupuh Smarandana).
Ni Nyoman Karmini 174 Sawitri adalah perempuan yang kuat. Setelah diberi anugerah ketiga, ia disuruh pulang, tetapi ia tetap menolak. Sawitri tetap mengantarkan suaminya dengan tidak menghitung jauhnya perjalanan. Sawitri menyatakan bahwa tali pengikat persahabatan adalah welas asih. Cinta kasih terhadap semua makhluk merupakan hal yang utama. Mendengarkan hal itu, Hyang Yama kembali luluh hatinya karena belum pernah ada orang lain yang menyatakan hal itu. Oleh karena itu, Sawitri diberikan anugrah lagi, kecuali roh Satyawan. Anugrah yang diminta Sawitri adalah supaya ia mempunyai anak sebagai pelanjut keturunannya. Hal ini dinyatakan dalam kutipan berikut. Diah Sawitri awot sari, inggih Ratu panembahan, mogi ngelah putra kawot, satus diri wilangannya, panglantur sentanan titiang, nika lungsur titiang Ratu, mogi asung waranugra (bait 94 pupuh Smarandana). Diah Sawitri melanjutkan lagi perkataannya bahwa bersahabat dengan orang baik hasilnya kebaikan, karena orang yang baik memegang kebenaran. Orang yang baik selalu menyenangkan hati orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, juga tidak ingin dipuji-puji. Orang seperti itu menjadi sahabat dunia. Hyang Yama kembali luluh hatinya dan menyatakan kata-kata Sawitri patut dijadikan pedoman hidup. Oleh karena itu, Sawitri diberikan anugrah lagi. Sawitri memohon anugrah supaya suaminya dihidupkan kembali sebab kalau suaminya mati ia sangat sedih dan tidak dapat mempunyai anak sebagai pelanjut keturunannya. Jika permintaannya tidak terpenuhi, berarti janji Hyang Yama untuk menganugrahkan keturunan tidak terpenuhi pula. Permohonan Sawitri terpenuhi sehingga Satyawan dihidupkan kembali, seperti kutipan berikut ini. Sang Hyang Yama mangandika, Bapa ngalugrahin cening, ataman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata (bait 104 pupuh Smarandana). Kerja keras Sawitri membuahkan hasil. Ia mendapat lima macam anugrah, yakni suaminya dihidupkan kembali, ia akan mempunyai anak, orang tuanya mempunyai putra lagi, mertuanya sembuh dari sakit buta dan negaranya dapat direbut kembali. Sawitri kembali ke tempat mayat Satyawan dan kepalanya dipangku. Satyawan terbangun dari tidur yang panjang. Satyawan merasa sehat dan bertanya tentang peristiwa yang terjadi, tetapi tidak dijawab oleh Sawitri. Sawitri berjanji akan bercerita keesokan harinya lalu mereka pulang. Hal ini dilukiskan dalam bait yang dikutip berikut ini. Diah Sawitri raris tulak, maring genah layon swami, sarawuhe ring pinaran, prabhun swamine kaabin, Sang Satyawan murip malih, cecingake sedih bekut, kadi anak wahu prapta, saking luwas dohan gumi, diah hayu, beli
Perempuan dalam Geguritan Bali 175 sirep suwe pisan (bait 107 pupuh Sinom). Sungkan beli sampun ical, seger oger kraseng ati, saking kottaman i mirah, beli meled pisan ngaksi, biyang hajin beli adi, janten ida banget sungsut, rehning beli kasep budal, Sang Satyawan dahat sedih, mangu-mangu, nuli nangis kawelas-arsan (bait 112 pupuh Sinom). Setelah sampai di pasraman, Sawitri menceritakan peristiwa yang terjadi. Ia juga menceritakan lima anugrah yang diperolehnya dari Hyang Yama. Akhirnya, mereka hidup berbahagia, seperti dikutip berikut ini. Crita mangkin sang kalih prapteng asrama, tinarima biyang haji, watek resi matanya, Diah Sawitri nguningayang, daging indie pinanggih, Narada wakya, atman swami keni malih (bait 117 pupuh Durma). Maka miwah ngeniyang panca nugraha, saking Ida Yamapati, Dyumatsena labda etra, panegara malih bakat, ida prabhu Aswapati pacang maputra, satus diri lewih-lewih (bait 118 pupuh Durma). Diah Sawitri, taler ya pacang maputra, satus diri sadhu lewih, miwah Sang Satyawan, samas warsa punang yusa, crita puput matur uning, watek Brahmana, mawali ka sowang linggih (bait 119 pupuh Durma). Demikianlah situasi dan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam Geguritan Diah Sawitri. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa dalam Geguritan Diah Sawitri tercermin adanya konsep satia dan adanya aktualisasi peran gender. Peran jender sangat jelas diaktualisasikan dalam geguritan ini. Peran itu tercermin dalam tindakan yang dilakukan Sawitri untuk menghindarkan kematian suaminya, yang tidak dapat dilepaskan dari pengejawantahan konsep satia, sedangkan Satyawan sendiri tidak pernah melakukan apa-apa untuk menjaga kehidupan dirinya sendiri. Sawitri sangat mampu melaksanakan tugas berat, seperti tapa brata selama tiga hari tiga malam yang umumnya dilakukan oleh laki-laki, Maksudnya, Sawitri kuat imannya dan tidak tergoda oleh kata-kata mertuanya yang dapat membatalkan tapa brata-nya. Sawitri juga tidak terbujuk oleh kata-kata Hyang Yama yang selalu melarangnya ikut serta dan menyuruhnya kembali untuk membakar mayat suaminya. Tekad dan usaha keras Sawitri membuahkan hasil yang berupa lima anugrah dari Hyang Yama. Ini berarti bahwa Sawitri perempuan yang kuat, perempuan superior, perempuan yang mampu melindungi suaminya dari bahaya besar yang menimpanya, sedangkan sang suami tidak melakukan apaapa untuk melindungi dirinya. Semua tindakan yang dilakukan Sawitri sangat bertolak belakang dengan stereotip bahwa perempuan lemah, perempuan harus dilindungi, hanya bergantung pada laki-laki, nerimo. Keberhasilan Sawitri sebagai cermin bahwa Sawitri adalah perempuan
Ni Nyoman Karmini 176 yang mempunyai harga diri dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang mempunyai kelebihan dan perempuan terhormat. Hal itu dilakukan oleh Sawitri sebagai perempuan karena didasari rasa kebersamaan, saling pengertian dan tenggang rasa dalam melaksanakan kewajiban keluarga sehingga ikatan suami-istri menjadi kuat. Geguritan Damayanti Damayanti-Nala dalam dua belas tahun usia perkawinannya adalah sebuah keluarga yang bahagia. Keluarga yang bahagia ini menjadi menderita karena kesalahan kecil Nala, yakni tidak membasuh kaki pada saat akan sembahyang sehingga Hyang Kali merasuki tubuhnya, seperti kutipan berikut ini. Crita sampun roras warsa, suwen Sang Hyang Kali nganti, ngatujuang Prabhu Nala, nembe pisan ida lali, masuh cokor ida kalih, sadurung ida puniku, ngamargiang puja-stawa, Sang Hyang Kali gelis ngranjing, maring tanu, ngodag anggan Prabhu Nala (bait 1 pupuh Sinom 2). Lalu Sang Hyang Dwapara menghasut Puskara supaya menantang Nala berjudi dengan janji kemenangan ada di pihak Puskara Uduh cening Sang Puskara, Bapa manywecanin cening, lawutang cening mamarga, pedek ring Nala Nrepati, sesampune cening prapti, tantang ida Nala Prabhu, ledang iring macukiya, janten cening nglilir molih, Bapa nulung, sampun cening sumangsaya (bait 3 pupuh Sinom 2). Kutipan di atas mencerminkan bahwa dalam kehidupan manusia banyak ada cobaan, baik cobaan yang datang dari dalam diri sendiri maupun cobaan yang datangnya dari luar diri. Cobaan yang dihadapi Damayanti dan Prabhu Nala akibat dari kelengahan kecil Prabhu Nala yang berdampak luar biasa pada kehidupan mereka. Tantangan judi diterima oleh Prahu Nala. Perjudian dilakukan di depan Damayanti. Damayanti bingung sebab Prabhu Nala selalu mengalami kekalahan (Raris ida macukiya, maring ajeng Damayanti, Prabhu Nala borong kalah …, osek kayun Damayanti, iku tuhu, cihna hala mahabhaya (bait 5 pupuh Sinom 2). Peringatan-peringatan orang lain (rakyat Nisadha) tidak diperdulikan oleh Nala. Damayanti sangat kebingungan dan merasakan bencana besar akan terjadi. Lalu Damayanti menugaskan Patih tertua untuk mengingatkan Raja, tetapi tetap tidak mempan (… nanging lacur, patih wredha nenten mampuh, mungu ida naranatha, mangda wusan ya macuki (bait 2 pupuh Pangkur 3). Damayanti sangat kebingungan, kembali mengingatkan Prabhu Nala supaya berhenti berjudi, tetapi tidak didengarkan, tidak dihiraukan (Damayanti kerang-erang, ngamalihin mungu ida Sri Nrepati, mangda
Perempuan dalam Geguritan Bali 177 wusan majejuluk, taler nenten kalinguwang, … (bait 3 pupuh Pangkur 3). Oleh karena itu, Damayanti cepat menugaskan Warsneya untuk mengantar putranya Indrasena dan putrinya Dewi Indraseni ke Widarbha sebab Prabhu Nala terlena dan kalah dalam perjudian (… uduh Paman Warsneya, ane jani, age kita ya lumaku, maring Negara Widarbha, … (bait 4 pupuh Pangkur 3), (Putran nira maka ruwa, Indrasena muwah Dewi Indraseni, ater maring ajung ingsun, maring negara Widarbha, …(bait 5 pupuh Pangkur 3). Damayanti membebaskan Warsneya untuk memilih tempat tinggalnya setelah menyerahkan putra-putranya (... Paman dadi jenek ditu, nawi malih ya matinggal, sara Paman, salampah paraning laku, nira tusing mamialang, sara Paman maminehin …(bait 6 pupuh Pangkur 3). Kutipan di atas mencerminkan bahwa Damayanti adalah perempuan cerdas. Damayanti melakukan beberapa usaha untuk menghentikan Prabhu Nala berjudi, tetapi tidak berhasil. Damayanti telah menyadari bencana besar akan terjadi menimpa keluarganya. Oleh karena itu, Damayanti segera mengirim putra-putrinya ke Widarbha supaya mendapat perlindungan. Di sini juga tercermin bahwa dalam kehidupan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Damayanti dihina dan dilecehkan oleh Puskara dengan menyatakan kepada Nala bahwa Damayanti dapat dijadikan jaminan dalam berjudi (… Damayanti ratna diyah, durus punika etohang… (bait 2 pupuh Smarandana). Nala merah wajahnya tetapi tidak meladeni penghinaan itu. Nala melepaskan busana kebesarannya diserahkan kepada Puskara. Damayanti dan Nala meninggalkan kerajaan dan hidup menderita terlunta-lunta di hutan akibat Prabhu Nala kalah dalam berjudi. Hal itu dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Prabhu Nala baag biying, mireng bawos Sang Puskara, meneng nenten nabda reko, busanane linukaran, kasukserah ring Puskara, nuli maninggal nagantun, sareng prameswarin ida (bait 3 pupuh Smarandana). Rakyat tidak berani menolong Prabhu Nala, sebab jika ada yang berani menolong hukumannya mati (... sira nulung Nala Prabu, baong ipun pacang pegat (bait 4 pupuh Smarandana). Kutipan di atas mencerminkan bahwa seseorang dapat menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan mengancam bawahan demi kenyamanan kekuasaannya. Damayanti dan Nala melanjutkan perjalanan tanpa makan dan berusaha mencari buah-buahan. Malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih kata pepatah. Pada saat Prabhu Nala mencari buahbuahan datang seekor burung. Burung ditangkap dengan kain yang
Ni Nyoman Karmini 178 dipakai di tubuh, tetapi burung menerbangkan kain tersebut dan burung itu menyatakan dirinya adalah Hyang Dwapara yang juga menjadi batu judi saat perjudian dilakukan. Tujuannya adalah membuat Prabhu Nala lebih sengsara, seperti kutipan berikut ini. Ingsun dadi batun cuki, nutug pamargin sang natha, nora liyang pisarate, ngrampas busanan sang natha, mangda telas makejang. Uduh kita Nala Prabhu, mangke sandang ya laranta (bait 8 pupuh Smarandana). Damayanti disuruh kembali ke Widarbha sebab Nala telah menjadi miskin, rakyat tidak berani menolongnya sebab sangat takut pada Puskara (..., uduh adi nrepa duhita, lacur beline kalangkung, lara lapa tan busanan, panjak ngili, kewehe buka dugdugang (bait 2 pupuh Ginada 2); (Irika ya wenten tukad, wastannya tukad Payosni, ..., margine macanggah rwa, ngamaranin, Widarbha Kosalapura (bait 4 pupuh Ginada 2). Damayanti memahami maksud perkataan Prabhu Nala. Damayanti menolak untuk pulang dan tetap mendampingi Nala karena hanya istri menjadi teman dalam penderitaan sang suami. Seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Inggih ratu Nala Prabhu, pireng atur titiang mangkin, yening ya manahmanahang, napi luwir sane kapti, dekdek remuk manah titiang, ngamanahin Sang Bhupati (bait 1 pupuh Ginanti 1). Nenten kantun nyeneng agung, artha jagat telas ledis, lara lapa tan busana, sapunapi titiang raris, sida ninggal Naranatha, maring alas kasih-asih (bait 2 pupuh Ginanti 1). Janten Ratu muwuh sungsut, nenten wenten prakanti, rehning jeroning duhkita, wantah rabine pinasti, dados kanti mahottama, amongan sang satya laki (bait 3 pupuh Ginanti 1). Kata-kata Damayanti dibenarkan oleh Prabhu Nala (…, sajeroning grehastha, kanti tamba tan patanding, wantah rabi patibrata, manut kecap Sang Hyang Aji (bait 4 pupuh Ginanti 1), dan Nala menyatakan dirinya tidak mungkin meninggalkan istrinya (…, doh para ngutang adi, … ngutang adi beli ajrih (bait 5 pupuh Ginanti 1), tetapi Damayanti sangat meragukan kata-kata Prabhu Nala, sebab Nala dalam keadaan kebingungan. Prabhu Nala dapat saja meninggalkan dirinya, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Mawali-wali mawosang, margi ka Widarbha puri, dyastu titiang andel pisan, titiang nenten kutang beli, reh beli mawali-wali, matudingang punang rurung, margi ka Widarbha pura, wetu selang jroning ati, Ratu bingung, janten pacang ninggal titiang (bait 1 pupuh Sinom 3). Kutipan di atas mencerminkan bahwa dalam situasi kebingungan, dan dalam kesusahan pasangan hidup yang saling mencintai pun dapat
Perempuan dalam Geguritan Bali 179 memikirkan suatu perpisahan. Damayanti mengajak Prabhu Nala pulang ke Widarbha sebab Prabhu Nala berkali-kali menyuruh Damayanti pulang (Yening wantah beli ledang, ngiring sareng kalih tangkil, maring ida hajin titiang, natha Widarbha negari, janten ida ledang nampi, … (bait 2 pupuh Sinom 3). Namun, Prabhu Nala menolak sebab malu dengan kondisinya yang sangat miskin dan Prabhu Nala sebagai penyebab Damayanti menderita, seperti dinyatakan dalam kutip berikut ini. Daweg beli ka Widarbha, nywayambara adi nguni, beli ngangge sarwa bungah, kinatwangan kabaktinin, para agung sami muji, lawut jani beli lacur, sangsarane tan gigisan, adi sareng nandang sedih, dahat kimud, beli mantuk ka Widarbha (bait 4 pupuh Sinom 3). Damayanti-Nala sambil berbicara melanjutkan perjalanan. Sampai di suatu tempat mereka beristirahat. Karena lelah, Damayanti tertidur pulas di atas tanah, sedangkan Nala tidak dapat tidur sebab kebingungan memikirkan nasibnya yang buruk, semua harta dan negaranya habis, seperti dikutip berikut ini. Antuk kurune kalintang, Damayanti sirep etis, munggwing ida Prabhu Nala, tan kasidan sirep yukti, bingung osek jroning ati, keweh lacure matumpuk, panegara artha telas, masusupan nandang sedih, dewa ratu, sapunapi panggih titiang (bait 6 pupuh Sinom 3). Damayanti sangat setia dan Nala sangat mencintai istrinya. Namun, Nala penyebab penderitaan istrinya karena berjudi. Kalau selalu bersama Nala tentulah Damayanti sangat menderita. Oleh karena itu, Nala meninggalkan istri dengan harapan istrinya pulang ke Widarbha dan berkumpul dengan orang tuanya. Nala menangis sedih, ia pergi tetapi balik lagi, begitu beberapa kali. Akhirnya, diputuskan untuk meninggalkan istrinya, seperti dilukiskan dalam bait yang dikutip berikut ini. Yening kantun masarengan, ngiring titiang kadi mangkin, janten ida kaduhkitan, rehning ida satyeng laki, yening pade tinggal driki, janten ida pacang mantuk, mawaliya ka Widarbha, mapupul ring biyang haji, cutet ipun, ida pacang tinggal titiang (bait 8 pupuh Sinom 3). Raris ida Prabhu Nala, ninggal Dewi Damayanti, titah Kaline ngawinang, bulak-balik ya mawali, kadi ayunan upami, ping kuda ipun katempuh, janten malipetan muwah, titah Kaline ngawinin, puput nyrucut, ngalantur ida mamarga (bait 14 pupuh Sinom 3). Damayanti menangis sangat sedih dan semakin menderita karena Nala meninggalkannya. Damayanti sesambatan menyatakan Nala tidak setia pada janjinya waktu menikah, padahal Nala mengetahui Damayanti satyeng laki, seperti kutipan berikut ini. Nenten lami Damayanti mawunguwa, tengkejute tan sinipi, Prabhu Nala ical, osek sungsut jroning arsa, Damayanti raris nangis, masesambatan,
Ni Nyoman Karmini 180 maring alas kasih-asih (bait 1 pupuh Durma 2). Daweg Ratu iring titiang mawiwaha, I Ratu sampun majanji, nenten ninggal titiang, pradene ngelong subaya, buktin ipun kadi mangkin, ninggal titiang, dyastun manggeh satyeng laki (bait 3 pupuh Durma 2). Damayanti tidak memikirkan keadaan dirinya, tetapi justru memikirkan Nala suaminya (..., wantah anggan Sri Nrepati, sane pdalem titiang, nandang duhka lara lapa, sira pacing dados kanti, … (bait 5 pupuh Durma 2). Damayanti tidak tahan menderita, lalu mengutuk penyebab penderitaan Nala dan supaya penderitaan yang diterimanya lebih berat dari penderitaan Damayanti dan Nala, yang dinyatakan dalam kutipan berikut. Sayan lami Damayanti sayan rahat, ngejer lesu tan sinipi, raris manapatha, sang nyengsaren Prabhu Nala, mogi kita manggih sedih, nemu sangsara, nikel teken keweh mami (bait 6 pupuh Durma 2). Damayanti melanjutkan perjalanan sendirian, masuk ke tengah hutan mencari Prabhu Nala. Tanpa disadarinya, Damayanti sampai di tempat seekor ular besar yang kemudian melilit dirinya. Damayanti tidak dapat melawan. Pada saat kritis, Damayanti masih sempat mengasihani Nala yang tinggal sendirian, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Damayanti nenten sida maplawanan, digelis raris kalilit, kabrigu tan maklisikan, Damayanti asesambat, uduh Ratu Sri Nrepati, ngangenin pisan, napi raris pwaran beli (bait 8 pupuh Durma 2). Saat Damayanti menghadapi bahaya, ada pemburu yang lewat lalu menolongnya (Ngatujuang wenten juru boros lintang, ..., raris munggal i lelipi (bait 10 pupuh Durma 2). Akan tetapi bahaya belum lewat ternyata pemburu hendak memperkosa Damayanti (..., Damayanti kagisiang (bait 1 pupuh Ginada 3). Damayanti pasrah, hanya memohon kepada Tuhan supaya orang yang ingin memperkosanya mati seketika sebab dirinya hanya milik Prabhu Nala. Ia satyeng laki dan patibrata walaupun Nala ingkar janji. Permohonannya terkabul, pemburu itu mati sebelum menyentuhnya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut. Yening manggeh patibrata, durus tulung titiang mangkin, sang mamarikosa titiang, nenten pakarana lampus, Damayanti sihin Hiyang, sang duskreti, magelebug nuli pejah (bait 3 pupuh Ginada 3). Kutipan di atas mencerminkan bahwa pada situasi tertentu manusia memerlukan bantuan orang lain. Namun, sangat perlu disadari bahwa bantuan tersebut dapat dibedakan sebab ada bantuan ikhlas dan ada bantuan karena pamrih. Seperti bantuan yang diterima oleh Damayanti dari seorang pemburu adalah bantuan dengan pamrih. Bantuan yang
Perempuan dalam Geguritan Bali 181 ada pamrihnya dalam pengertian dana (kemurahan hati) yang seluasluasnya adalah pemberian bantuan untuk abhaya dana (perlindungan dari mara bahaya) yang termasuk ke dalam golongan rajasic dana, yaitu pemberian berkualitas merah, karena pemberian itu diberikan pada waktu, tempat dan orang yang wajar tetapi ada maksud tertentu di balik pemberian itu. Selain itu, pada kutipan di atas tercermin adanya konsep bahwa perempuan dijadikan objek seks sehingga terjadi pelecehan terhadap perempuan, seperti yang dialami oleh Damayanti. Pada saat ketidakberdayaannya karena dililit seekor ular besar dan saat kesendiriannya karena ditinggalkan oleh suaminya, pemburu memandang Damayanti adalah sebuah objek yang patut dinikmati keindahannya, walaupun maksudnya tidak tercapai sebab Damayanti mendapat pertolongan dari kemahakuasaan Tuhan sehingga pemburu mati seketika. Damayanti melanjutkan perjalanan sambil menyebut-nyebut Prabhu Nala dan berharap Prabhu Nala satia wacana (Ratu patut meseh solah, tumus tuwon maring wacanane rihin,... (bait 3 pupuh Pangkur 4). Damayanti sampai pada sebuah pasraman. Damayanti ditanyai permasalahannya. Damayanti menyatakan bahwa ia ditinggal oleh suaminya sendirian di hutan dan bila tidak bertemu suaminya, Damayanti memilih mati sebab tidak ada gunanya hidup. Sang Sadhaka menyatakan bahwa berdasarkan teropongan lewat mata batinnya, Damayanti akan bertemu dengan Prabhu Nala, lalu Sang Sadhaka hilang (..., Ratu pacang mapanggiha, maring ida rakan Ratu Nala Prabhu, wus ngandika sapunika, para resi musna sami (bait 5 pupuh Pangkur 4). Damayanti sangat heran melihat peristiwa yang baru saja dialaminya, lalu melanjutkan perjalanan. Damayanti sampai di jalan besar dan melihat banyak orang. Damayanti mendekati orang-orang itu, namun mereka lari ketakutan (..., janmane tampekin ida, nuli pablesat malaib (bait 7 pupuh Pangkur 4). Damayanti dihina, ditertawakan oleh banyak orang, dan ada yang jijik melihatnya, namun masih ada yang merasa kasihan (wenten sane kedek ngakak, wenten geting taler wenten sane nyerit, wenten sane welas hiyun, ... (bait 8 pupuh Pangkur 4). Damayanti mengikuti mereka pergi ke negara Cedi. Sampai di sebuah danau mereka istirahat. Pada malam harinya ada gajah mengamuk. Banyak orang meninggal. Yang masih hidup mengira peristiwa itu disebabkan oleh Damayanti. Oleh karena itu, mereka mau membunuh Damayanti. Damayanti menyelamatkan diri dengan cara masuk ke tengah hutan. Damayanti menyangka kesusahan yang dialaminya adalah karena kemarahan Hyang Catur Lokapala, yang keinginannya ditolak Damayanti
Ni Nyoman Karmini 182 saat sayembara (..., drika ida ngajap tawang, catur Lokapala nawi, ngicen kewuh, banget menggah pamiduka (bait 8 pupuh Sinom 4). Namun, akhirnya Damayanti ditolong oleh seorang Brahmana dan diantar ke negara Cedi, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Crita wenten Berahmana, ne nibakang puja stuti, maring pangalune pejah, ida ledang nuntun mangkin, ngater ka Negara Cedi, sarawuhe akeh ngrunyung, rehning ida keris pisan, mawastra wantah akebis, muruh rambut, sumbrangsambring magambahan (bait 10 pupuh Sinom 4). Damayanti diterima dengan baik di negara Cedi dan disayang oleh Diah Sunanda, permaisuri Raja Sang Subahu (..., Damayanti taler ledang, maring Cedi jenek lungguh, putri Cedi Diah Sunanda, kaserahin, mangda manyayangang ida (bait 10 pupuh Ginada 4). Kutipan di atas juga menggambarkan bahwa manusia selalu memerlukan bantuan orang lain dalam hidup ini. Seperti bantuan yang diterima oleh Damayanti dari seorang Brahmana dan Diah Sunanda permaisuri Raja Cedi. Pemberian bantuan tersebut dalam pengertian dana (kemurahan hati) seluas-luasnya yakni berupa bantuan untuk abhaya dana (perlindungan dari mara bahaya) yang tergolong sattwic dana (pemberian berkualitas putih, yakni pemberian yang diberikan pada waktu, tempat dan orang yang tepat dan tanpa maksud di balik pemberian itu. Selanjutnya adalah situasi dan permasalahan yang dihadapi Prabhu Nala. Setelah meninggalkan Damayanti, di tengah hutan Prabhu Nala menemukan api besar sekali dan mendengar ada suara dari dalam api tersebut. Nala masuk ke dalam api dan ditemukan ada seekor naga bernama Naga Karkotaka. Naga keadaannya seperti itu karena dikutuk oleh Bhagawan Narada (..., kocap maring tengah alas, ngaksi geni ageng ngendih, nuli raris katampekin, wenten sabda karungu, ... (bait 1 pupuh Sinom 5); (..., ngranjing maring tengah geni, saget wenten naga cingak, malingkehan tengah geni, …, titiang Naga Karkotaka, rihin titiang polih sisip, nguluk-uluk, Ida Bhagawan Narada (bait 1 pupuh Sinom 5). Naga Karkotaka meminta tolong kepada Prabhu Nala untuk membebaskannya sebab Bhagawan Narada menyatakan bahwa hanya Prabhu Nala yang dapat menghilangkan kutuk itu dan si Naga bersedia menolong Prabhu Nala untuk meraih kebahagiaannya kembali serta bersahabat dengan Nala (..., wantah Ratu Nala Prabhu, sida ngruwat dewek titiang, saking pamastune mandi, naweg Ratu, durus tulung dewek titiang (bait 3 pupuh Sinom 5); (..., titiang manggeh prakanti, pacang nulung Narapati, nuli sida manggih hayu, sesampune nulung titiang, lanturang malih mamargi, janten Ratu, manggih sadia labda karya (bait 4 pupuh Sinom 5).
Perempuan dalam Geguritan Bali 183 Nala digigit oleh Karkotaka sehingga wajahnya berubah lalu menyatakan bahwa Nala akan selalu menang dalam menghadapi musuh dan musuh yang menyebabkan Nala menderita akan keluar karena tidak tahan berada dalam dirinya. Peristiwa ini dilukiskan dalam beberapa bait, dan berikut ini yang dikutip hanya bait 6 dan 8 pupuh Sinom 5 sebagai contoh. Sinambi metek dungkangan, sampun Ratu walang ati, Prabhu Nala mangarepang, dungkangane kapetekin, jangkep ia adasa sami, Karkotaka gelis nyegut, angga ida Prabhu Nala, meseh warni pramangkin, naga agung, mawali ya jati mula (bait 6). Dyastu maring peperangan, sampunang Ratu makirig, janten Ratu ya digjaya, asing satru ngayuh lilih, sang nyengkalen Ratu malih, ne manjing jeroning tanu, kebus beeng tan gigisan, upas titiange misakit, janten pesu, tan sida magutin wisia (bait 8). Kutipan di atas juga mencerminkan bahwa dalam kehidupan manusia memerlukan bantuan dan hidup saling menolong sebab setiap manusia mempunyai kelebihan dan kekurangan. Seperti bantuan yang diterima oleh Naga Karkotaka dan Prabhu Nala. Masing-masing tokoh mendapat bantuan dengan imbalan tertentu. Naga Karkotaka mendapat bantuan dari Prabhu Nala berupa pembebasan kutukan Bhagawan Narada, sedangkan Prabhu Nala mendapat bantuan dari Naga Karkotaka berupa kesaktian (kekuatan) sehingga tidak terkalahkan oleh musuh dan musuh yang merasuk ke dalam diri yang menyebabkan Prabhu Nala sengsara akan keluar dengan sendirinya. Pemberian bantuan tersebut berupa pemberian untuk abhaya dana (perlindungan dari mara bahaya) yang tergolong rajasic dana (pemberian berkualitas merah, yakni pemberian yang diberikan pada waktu, tempat dan orang yang wajar tetapi ada maksud tertentu di balik pemberian itu. Setelah itu, Nala disuruh pergi mengabdi di Ayodhya dengan keahlian menjadi kusir kereta dengan nama Wahuka, seperti kutipan berikut ini. Ne mangkin Ratu rarisang, lunga ring Ayodhya puri, Rituparna punang natha, ida patut andap sorin, janten I Ratu katampi, pacang manyaraka ditu, aturin ida Sang Natha, Ratu waged dados kusir, anggan Ratu, Sang wahuka munggwing parab (bait 9 pupuh Sinom 5). Keahliannya sebagai kusir kereta, yakni aji siksa aswa yang dimilikinya harus ditukar dengan aji manita milik Raja Rituparna. Raja Rituparna akan menjadi sahabat dan bila Prabhu Nala berjudi lagi pasti menang dan kerajaannya akan kembali. Demikian juga halnya dengan anak dan istri pasti berjumpa lagi. Hal ini dipaparkan pada kutipan di bawah ini.
Ni Nyoman Karmini 184 Naranatha Rituparna, janten pacang manglugrahin, aji manita wastannya, silur Ratu mangaturin, aji siksa aswa lewih, munggwing Ida Sang Prabhu, manggeh prakanti uttama, yan Ratu macuki malih, janten ngunggul, jagat drewene keniyang (bait 10 pupuh Sinom 5). Setelah Prabhu Nala mengabdi di Ayodhya, hidupnya menjadi nyaman, tetapi setiap malam Prabhu Nala selalu bersedih, menangis dan selalu menyesal serta menyalahkan dirinya karena teringat pada Damayanti istrinya yang ditinggalkannya di hutan. Kesedihannya itu, dituangkan ke dalam lagu ciptaannya, seperti dikutip berikut ini. Uduh Ratu sang manandang sedih, dija minab, I Ratu magenah, tan sinipi ya kewehe, sira sane ruruh Ratu, janma nenten satya wadhi, ngardi I Ratu sangsara, nandang kewuh siyang dalu, sira pacing weh tulungan, nungganunggal, nenten ngetangbhaya pati, mangururuh ipun i corah (bait 4 pupuh Dangdang Gendis). Uraian di atas yang berkaitan dengan kepergian Prabhu Nala yang meninggalkan Damayanti (istrinya) sendirian di hutan mencerminkan adanya konsep tidak setia laki-laki terhadap istrinya. Apa pun alasan kepergian Prabhu Nala, perilaku seperti itu merupakan tindakan yang tidak terpuji. Damayanti mengalami perlakuan yang tidak adil, padahal penderitaan yang dialami Damayanti bersumber pada Prabhu Nala yang terlalu mengikuti indria. Setelah mendengar kekalahan Prabhu Nala dalam berjudi dan meninggalkan kerajaan, Prabhu Bhima (ayah Damayanti) melakukan pencaharian untuk menemukan anak dan menantunya dengan janji upah yang sangat besar bagi penemunya, seperti kutipan berikut ini. Sira ugi mangeniyang, Prabhu Nala maka miwah Damayanti, turing sida kiring mantuk, maring Negara Widarbha, polih upah, akeh ipun lembu siyu, tegal katekaning desa, sane asri lir negari (bait 2 pupuh Pangkur 5). Dalam pencaharian itu Damayanti ditemukan di negara Cedi oleh brahmana bernama Sang Sudewa. Damayanti diantar pulang ke Widarbha. Damayanti berkumpul dengan orang tua dan putra-putrinya, seperti dipaparkan dalam kutipan berikut ini. Biyang Agung nrepa-duhita, titiang sampun saking lami, rumasa sepi ring manah, mogi Biyang manglugrahin, titiang pacang ya mawali, maring Widarbha nagantun, cumunduk ring suwaputra, maka miwah biyang haji, lami sampun, titiang mangumbara desa (bait 4 pupuh Sinom 6). Setelah berkumpul dengan orang tuanya, Damayanti mohon supaya segera dilakukan pencaharian suaminya. Atas perintah Raja Bhima, pencaharian terhadap Prabhu Nala dilakukan. Brahmana-brahmana
Perempuan dalam Geguritan Bali 185 yang ditugaskan dibekali lagu ciptaan Damayanti yang berkisah tentang penderitaannya selama ditinggalkan oleh suami, dan berisi tuntutan Damayanti terhadap kesetiaan Prabhu Nala. Barangsiapa yang membalas lagu tersebut, brahmana yang menemukan harus mencari identitas lengkapnya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut. Swadharmaning anak lanang, patut ngemit rabi trepti, napi raris ne ngawinang, teka lalis ninggal rabi, Ratu kasub sakti wagmi, mamurug dharmaning kakung, kadi kicalan kaprajnyan, kadi nenten tuhu sakti, reh mamurug, swadharmaning grehastha (bait 10 pupuh Sinom 6). Beberapa bulan kemudian datang utusan bernama Parnada yang menyatakan bahwa di Ayodhya ada seorang sarathi yang bernama Wahuka menjawab lagu yang diciptakan Damayanti. Orangnya jelek, kedua lengannya pendek tetapi sangat pandai sebagai kusir kereta, dan sangat pandai memasak. Berikut ini kutipan salah satu lagunya. Daging ipun tan kaworan manastapa, nora wenten sadia malih, sang wara duhita, degdeg landuh nenten krodha, ring sang sarat manulungin, gantin sangsara, wastrane keberang kedis (bait 7 pupuh Durma 3). Mendengarkan hal itu, Damayanti cepat membuat siasat untuk memancing kedatangan Nala dengan mengutus Sang Sudewa ke Ayodhya untuk menyampaikan berita sayembara sehari yang dilakukan oleh Damayanti dalam memilih suami, seperti dipaparkan dalam kutipan berikut ini. Munggwing yajnyane puniku, swayambara Damayanti, malih milih anak lanang, swamin ida Nala Prabhu, rawuh mangkin durung tinas, pati urip tan kuningin (bait 2 pupuh Ginanti 2). Siasat Damayanti mengena. Prabhu Nala dalam samaran sebagai Wahuka datang ke Widarbha bersama Raja Rituparna. Dalam perjalanan ke Widarbha terjadi pertukaran ilmu antara Raja Rituparna dan Wahuka. Oleh karena itu, Sang Hyang Kali ke luar dari tubuh Wahuka (Prabhu Nala) sebab tidak tahan atas kutukan Damayanti dan panasnya racun Naga Karkotaka (Sang Hyang Kali wus malecat, awinannya Beli prapti,... (bait 9 pupuh Ginada 7). Wahuka datang ke Widarbha bersama Raja Rituparna hanya dalam sehari. Wahuka diselidiki dengan segala cara oleh Damayanti sehingga akhirnya diketahui bahwa Wahuka adalah Prabhu Nala, seperti dikutip berikut ini. Sang Wahuka nenten liyan, wantah Sang Nala Nrepati, uduh Bibi pariwara, jumunin buwin lumaku, parek maring Sang Wahuka, tur tilikin, parisolahnya pedasang (bait 2 pupuh Ginada 6). Nala menanyakan kesetiaan Damayanti. Damayanti menjawab
Ni Nyoman Karmini 186 bahwa ia tetap satyeng laki. Sayembara yang diadakan hanya siasat memancing kedatangan Prabhu Nala. Bukti-bukti adanya sayembara tidak ada. Damayanti tetap satyeng laki dibenarkan oleh Hyang Pawana lewat sabda ngambara, sehingga Nala menyakininya. Hal itu dipaparkan dalam kutipan berikut. Mangda Ida sane nyabud jiwan titiang, pade nenten satya laki, wahu rawuh drika, bebawos nrepa duhita, sabda ngambara piragi, saking Ida, Hyang Pawana maka saksi (bait 6 pupuh Durma 5). Setelah meyakini kesetiaan Damayanti, Wahuka berubah wujud menjadi Prabhu Nala, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Prabhu Nala mawali ya jatimula, dahat ledang Damayanti, Prabhu Nala ledang, rawuhing putra karuwa, Prabhu Bhima ledang tan sipi, sareng girang, sadaging Widarbha puri (bait 11 pupuh Durma 5). Damayanti-Nala, putra-putrinya, orang tuanya serta seluruh rakyatnya bahagia. Setelah beberapa saat di Widarbha, mereka kembali ke negara Nisada. Nala berjudi lagi dengan Puskara untuk merebut kembali miliknya dengan Damayanti sebagai jaminan dalam berjudi. Nala menang dan negara diperoleh kembali, sedangkan Puskara diampuni. Hal itu dilukiskan dalam bait yang dikutip berikut ini. Ento ane dadi krana, kita tan patut manampi, dosan Sang Hyang Kali pecak, gumine atenga jani, urip kita muwuh malih, pacang ya waliyang ingsun, mogi kita dirghayusa, kita mula wandawan mami, preman ingsun, maring kita tan suruda (bait 7 pupuh Sinom 8). Sang Puskara matur sembah, Beli jati prabhu lewih, mogi rawuh pungkur wekas, kasumbung ya maring gumi, dados tatuladan janmi, mogi Ratu dirghayusa, tan mari ya labda karya, manggih suka landuh trepti, naweg Ratu, titiang pacang pamit budal (bait 8 pupuh Sinom 8). Demikianlah situasi dan permasalahan yang dihadapi tokoh perempuan dalam Geguritan Damayanti. Banyak cobaan dihadapi oleh tokoh selama terlunta-lunta di hutan sendirian, sampai akhirnya diterima di negara Cedi oleh Putri Sunanda. Kisah pun bergulir, Damayanti kembali ke Widarbha berkumpul dengan anak-anaknya dan kedua orang tuanya. Damayanti pun melakukan siasat untuk menemukan Nala kembali. Akhirnya, mereka bahagia. Dalam Geguritan Damayanti ditemukan konsep satia, yakni satyeng laki dan satyeng wadhu, konsep saling menolong dan tersirat pula adanya konsep judi. Dalam Geguritan Damayanti tersurat dan tersirat bahwa judi menyebabkan seorang penjudi mengalami penderitaan dan judi dapat menyebabkan kehancuran. Namun, tidak menutup kemungkinan juga penderitaan bagi seluruh keluarganya. Judi, kecenderungannya
Perempuan dalam Geguritan Bali 187 membuat orang menderita bukan membuat orang bahagia. Dalam Geguritan Damayanti tercermin bahwa sang tokoh perempuan adalah tokoh terdidik, cerdik dan tokoh yang kuat iman. Dalam menghadapi penderitaan hidup, Damayanti berjuang keras untuk meraih kembali kebahagiaan hidupnya dengan berpegang pada prinsip dan keyakinan yang kuat sehingga ia mampu mengambil keputusan dalam hidupnya. Dalam penderitaan yang dialaminya, Damayanti mampu menunjukkan sikap-sikap positif dalam kehidupannya. Tindakan yang dilakukan sang tokoh untuk menyatukan keluarganya, untuk meraih kembali kebahagiaannya, merupakan tindakan yang mencerminkan kekuatan yang luar biasa pada diri sang tokoh perempuan sehingga dapat mencerminkan harga diri serta jati dirinya sebagai perempuan yang kuat dan terhormat, yang bertolak belakang dengan kesan stereotip yang menyatakan bahwa perempuan lemah, perlu dilindungi dan hanya nerimo. Geguritan Candrawati Tokoh Ni Candrawati mengalami masalah, yakni hamil sebelum pernah menikah. Ni Candrawati dihamili oleh Hyang Smara pada saat ia memuja. Kehamilan Ni Candrawati menjadi bahan pembicaraan di seluruh kerajaannya, yang dipaparkan dalam kutipan berikut ini. Raris munggah ring pasucian, malinggih ring bale gading, mayoga ngarcana Dewa, astiti eninging kayun, tedun Ida Sang Hyang Smara, anuronin, kajamah Ni Candrawati (bait 8 pupuh Ginada). Pirang dina lawasira, Ni Candrawati ngrempini, dadi matemahan mobot, sampun macihna ring susu, Ni Candrawati kosekan, tur manangis, kudiang jani manyaruang (bait 9 pupuh Ginada). Yan uning Ida Sang Nata, miwah ibu pramiswari, kenken baan manguningang, kaselek pacang matur, dening awake nu bajang, labuan cerik, dereng manemu dikarma (bait 10 pupuh Ginada). Wang jero pada uninga, ngrawos pada pakisi, kenken janiban madaya, yan uning Ida Sang Prabu, nyai mbo pacang rusak, mangemasin, bakal dadi carun setra (bait 11 pupuh Ginada). Ni Candrawati dipanggil menghadap orang tuanya lalu diusut. Pengusutan kehamilannya dijawab Ni Candrawati dengan sejujurnya bahwa Hyang Smara yang menjamahnya, yang dikutip berikut ini. Uduh Ratu sesuhunan, titiang umatur sujati, krana titiang nemu kaon, Ida Hyang Smara tumurun, anuronin saking suargan, mapan luih, saksana mungguing sayang (bait 20 pupuh Ginada ). Penjelasan Ni Candrawati diterima dengan senang hati oleh orang tuanya, tetapi tidak diterima oleh kakaknya, I Wiranata. Sang Prabhu suka miarsa, lawan ibu prameswari, I Wiranata angucap, beli
Ni Nyoman Karmini 188 tuara ‘da mangugu, data Dewane rawosang, anuronin, masa kurang maring swargan (bait 21 pupuh Ginada). Yania nyai nawang Dewa, kema Dewane jani alih, apang beli nawang Dewa, Ni Candrawati umatur, Kaka Mantri Wiranata, kari beli, sumangsaya maring titiang (bait 22 pupuh Ginada). Ni Candrawati bersumpah dan berani menerima risikonya, namun kakaknya tetap tidak percaya, seperti yang dikutip berikut ini. Laut manyaksiang raga, ring Hyang Triodasa Saksi, miwah Hyang Utasana, yan titiang mrasa ring wuwus, dumadak manemu ala, baya pati, anemu barunahatia (bait 23 pupuh Ginada). Sang Prabu raris ngandika, Candrawati ayua malih, nyai masatsat ring Dewa, tuhu saja nyai sadu, I Wiranata angucap, titiang kari, sumangsaya maring manah (bait 24 pupuh Ginada). Dalam ajaran Hindu sangat diyakini bahwa sumpah sangat keramat, dan bukanlah hal main-main. Dampak sumpah sangat luar biasa. Oleh karena itu, tidak sembarangan orang berani bersumpah. Hanya orangorang yang tidak bersalah berani melakukan sumpah dan itu pun kalau terdesak dan tertekan (dinyatakan dalam bait 23). Ni Candrawati menderita karena kehamilannya dan juga menderita karena diperlakukan tidak adil, tidak dipercaya dan tidak diterima oleh lingkungannya terutama oleh kakaknya. Kakaknya sebenarnya sangat mengetahui eksistensi adiknya, tetapi tetap juga menyangsikan sang adik, seperti dinyatakan dalam bait 24. Atas keputusan kakaknya, ia dibuang ke hutan. Ni Candrawati sempat menolak dibuang sebab ia memilih mati dibunuh oleh kakaknya. Walaupun dengan berbagai alasan, Wiranata tetap tidak dapat menerima, melainkan justru semakin marah dan tidak mengubah putusannya, yang dilukiskan berikut ini. Punika pamitan titiang, kris sane sungklit Beli, anggen mamuputang titiang, apang titiang gelis lampus, yan andih getihe medal, ala yukti, cirine ngletehin jagat (bait 31 pupuh Ginada). Yan miik getihe medal, mangalub ngebekin gumi, miwah surya makalangan, wiakti titiang tuhu sadu, wiadin tanem tan patoya, ening jati, ngungsi swargan sarin buana (bait 32 pupuh Ginada). Wiranata semu wirang, pedih anggon manyaurin, Beli tuara liu rawos, jani majalan ka temelung, Raden Mantri raris budal, kaget prapti, Ki Patih praya mamwatang (bait 33 pupuh Ginada). Mendengar keputusan kakaknya sudah bulat, Ni Candrawati tidak menolak. Ni Candrawati menerima hukuman tersebut dengan tekad bulat pula, yang dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Inggih titiang manguningang, I Ratu katuran mangkin, mamarga kalase
Perempuan dalam Geguritan Bali 189 wayah, titiang mangiring I Ratu, Ni Candrawati angucap, Paman Patih, gelah tuara lakar tulak (bait 35 pupuh Ginada). Ni Candrawati anembah, ring sang ibu prameswari, wantah gantin titiang kaon, matilar saking yayah ibu, sampun mreta titiang pejah, titiang pamit, sapisan ring ibu yayah (bait 36 pupuh Ginada). Ri wekas titiang nutugang, yan pinih titiang mawalik, tumitis manadi janma, i rika titiang menahur, ne mangkin kocapang titiang, mangletehin, mati makutang ring alas (bait 37 pupuh Ginada). Dengan kebulatan tekad Ni Candrawati menerima putusan dibuang ke hutan oleh kakaknya. Ni Candrawati juga bulat hatinya menolak rakyatnya untuk turut tinggal di hutan. Ni Candrawati mengikuti jejak Sang Rama ketika dibuang ke hutan dan menolak Sang Brata, adiknya untuk turut tinggal di hutan. Hal ini berarti bahwa Ni Candrawati mampu mempertanggungjawabkan sendiri musibah yang menimpanya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Ne ada kojaring sastra, Sang Ramadewa ne nguni, polih Ida ne kakutang, arine Sang Brata tumut, masih kayun Ida tulak, keto Patih, tutur Ramane ingetang (bait 55 pupuh Ginada). Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa dalam Geguritan Ni Candrawati tercermin adanya konsep kejujuran dan tanggung jawab sebagai perempuan terhormat. Namun, dalam geguritan ini juga tersirat adanya konsep pemerkosaan dan adanya pandangan bahwa perempuan sebagai objek seks. Pemerkosaan terjadi dalam situasi tidak sadarkan diri (Ni Candrawati sedang semedi, yang dipaparkan dalam bait 8 pupuh Ginada). Pemerkosa sangat sulit dibuktikan karena situasinya seperti itu. Seperti dipaparkan pada bait 8, Ni Candrawati tidak dapat membuktikan dengan membawa Hyang Semara ke hadapan orang tuanya, kakaknya dan juga rakyatnya, tetapi ia tidak perlu mencari-cari lelaki sebagai penanggungjawab kehamilannya, sebab ia memang tidak dihamili oleh lelaki sebagai manusia. Ni Candrawati tidak mau menggunakan statusnya sebagai putri raja yang menghalalkan segala cara untuk menjaga nama baiknya. Ia pun tidak melakukan brunaha (menggugurkan kandungannya). Ni Candrawati dapat mempertanggungjawabkan sendiri musibah yang terjadi pada dirinya dan tidak membutuhkan lakilaki untuk melindungi dirinya dan kehamilannya. Ni Candrawati adalah seorang tokoh perempuan yang berpendidikan, tokoh yang ingin nyukla brahmacari, tetapi mendapat musibah di luar kehendaknya, yang dalam ajaran agama disebut takdir. Takdir Ni Candrawati diterimanya sendiri dan ia tidak mau menerima fasilitas yang melibatkan orang banyak untuk menjaganya di hutan pada saat dibuang. Hal ini membuktikan bahwa Ni