The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-Book Perempuan dalam Geguritan Bali

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by E-Library IKIP Saraswati, 2024-01-22 22:02:33

Perempuan dalam Geguritan Bali

E-Book Perempuan dalam Geguritan Bali

Ni Nyoman Karmini 240 ini dikutip contoh baitnya. Titiang wahu pinastika jroning manah, Wahuka Nala Nrepati, sesampun Wahuka, jumelag ring ajeng titiang, awinan lugrahin ugi, Sang Wahuka, pacang sengin titiang mangkin (bait 3 pupuh Durma 4). Begitu melihat Damayanti, Wahuka menangis tersedu-sedu. Damayanti menyampaikan pengalamannya bahwa ia ditinggal oleh Prabhu Nala di hutan yang penuh bahaya dan menyatakan pula Prabhu Nala lupa kepada janjinya saat ia menikahinya, seperti dinjyatakan dalam kutipan berikut ini. Sang weruhing suwadharma, ngemban jagat ngardi trepti, raris nyilib ya matilar, ninggal rabine maturu, sajabaning Prabu Nala, sadhu budhi, dadi ati ninggal rabia (bait 3 pupuh Ginada 7). Wahuka menyatakan bahwa ia berbuat seperti itu karena Hyang Kali penyebabnya. Dan kini Hyang Kali telah pergi. Itu sebabnya Nala datang ke hadapan Damayanti, sepert dinyatakan dalam kutipan di bawah ini. Mangrangjingin anggan ingwan, sakewanten ida rarais, taler nandang kaduhkitan, keni pemastun I Ratu, kadi borbor panes bara, muwuh malih, borbor upas Karkotaka (bait 8 pupuh Ginada 7). Perihal Damayanti mengadakan sayembara, ditanyakan oleh Prabhu Nala. Damayanti menyatakan hal itu hanyalah siasat untuk memancing kedatangan Prabhu Nala dan menyatakan pula tidak ada bukti adanya sayembara. Damayanti menyatakan dirinya tetap satyeng laki. Pernyataan Damayanti dibenarkan oleh Hyang Pawana sehingga Prabhu Nala tidak ragu lagi dan ia pun memanggil Naga Karkotaka sehingga fisiknya kembali seperti semula. Melihat hal itu semua bahagia, yang dilukiskan dalam bait berikut ini. Prabhu Nala mawali ya jatimula, dahat ledang Damayanti, Prabhu Nala ledang, rawuhing putra karuwa, Prabhu Bhima ledang tan sipi, sareng girang, sadaging Widarbha puri (bait 11 pupuh Durma 5) Setelah beberapa hari menetap di Widarbha, Damayanti Nala kembali ke Nisadha puri. Damayanti menjadi jaminan dalam perjudian dan menantang Puskara berjudi. Prabhu Nala menang sesuai janji Hyang Kali dan kembali menjadi raja di negaranya. Puskara diampuni oleh Prabhu Nala sebab kesalahan yang dilakukan Puskara dikarenakan oleh Hyang Kali. Cinarita Prabhu Nala, malih ida ngenca gumi, malinggih ring singasana, Damayanti tan sah nyanding, ngardi jagat gemuh trepti, kerta raharja tur landuh, jati ratu dahat prajnyan, nuntun panjak ngawe trepti, sandang tiru, jroning ngardi jagaddhita (bait 9 pupuh Sinom 8). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam menghadapi penderitaan hidup, Damayanti berjuang keras dan selalu


Perempuan dalam Geguritan Bali 241 berusaha untuk meraih kembali kebahagiaan hidupnya. Damayanti mampu mengambil keputusan terbaik dalam hidupnya. Dengan berpegang pada prinsip satyeng laki dan keyakinan yang kuat, ia dapat bertemu kembali dengan suaminya. Dalam penderitaan yang dialaminya, Damayanti mampu menunjukkan sikap-sikap positif dalam kehidupannya sehingga kebahagiaan hidup dapat diraihnya kembali. Perjuangan dan usaha yang dilakukan Damayanti untuk berkumpul kembali dengan suaminya, membuktikan bahwa Damayanti sebagai perempuan mampu menunjukkan harga dirinya dan jati dirinya sebagai perempuan terhormat bukan perempuan yang hanya nerimo dan lemah, seperti stereotip tentang perempuan yang bergema selama ini. Secara tersirat tokoh Damayanti adalah tokoh yang berpendidikan. Tokoh Damayanti dapat melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Damayanti seorang perempuan yang mampu menentukan sikap, mampu mengambil putusan, mampu melaksanakan tugas berat, mampu mempertahankan citra diri, kuat dan tahan uji. Hal ini juga membuktikan bahwa Damayanti merupakan perempuan yang mampu menjaga harga diri dan mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan terhormat. Dalam Geguritan Damayanti, tokoh antagonis bukan merupakan tokoh manusia. Kedua tokoh tersebut, yakni Hyang Kali dan Sang Hyang Dwapara dikategorikan sebagai pelaksana takdir Tuhan terhadap jalan kehidupan manusia. Dengan demikian, konflik kehidupan yang dialami oleh tokoh perempuan disebabkan oleh kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi di luar diri manusia. Kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi itu disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force)berupa takdir Tuhan yang tercermin dalam jalan hidup kedua tokoh protagonis dan takdir itu sendiri diakhiri pula oleh kekuatan antagonistik dimaksud. Apa yang diuraikan di atas sangat sesuai dengan perjuangan Feminis yang menekankan bahwa perempuan harus berpendidikan, menjadi pembuat keputusan yang otonom, dan mampu menunjukkan esensial keperempuanannya. Dan sesuai pula dengan pendapat Vivekananda bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka, dan dengan cara mereka sendiri. Seandainya mereka memperoleh pendidikan yang tepat, mungkin mereka akan menjadi perempuan-perempuan yang ideal di dunia, dan dengan pendidikan kaum perempuan akan memecahkan masalah-masalah mereka sendiri. Tindakan Dewi Saci juga sejalan dengan pernyataan Adia Wiratmadja (1988: 86), yakni tujuan perkawinan adalah mengadakan, mengusahakan kebahagiaan bersama dan mengadakan keturunan untuk mempertahankan umat manusia dan berlangsungnya jenis manusia.


Ni Nyoman Karmini 242 Dasar perkawinan adalah cinta sejati dan penyerahan diri secara bulat, agar perkawinan menjadi kokoh, tidak mudah goyah. Demikian juga, tindakan Dewi Saci sangat sesuai dengan pernyataan yang dikutip dari Manawa Dharmasastra III.60, yakni “Pada keluarga jika suami berbahagia dengan istrinya, demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” (Pudja dan Sudharta, 1973:150). Geguritan Ni Candrawati Permasalahan pokok yang dihadapi tokoh perempuan Ni Candrawati dalam Geguritan Ni Candrawati adalah ia hamil sebelum pernah menikah karena dijamah oleh Hyang Semara saat memuja. Ia sangat kesulitan dalam mempertanggungjawabkan kehamilannya itu, sebab ia masih kecil dan belum pernah menikah, sedangkan ia berkeinginan untuk nyukla brahmacari. Hal ini tersurat dalam bait 10 dan 11 pupuh Ginada, yang dikutip di bawah ini. Yan uning Ida Sang Nata, miwah ibu pramiswari, kenken baan manguningang, kaselek pacang umatur, dening awake nu bajang, labuan cerik, dereng manemu dikarma (bait 10). Wang jero pada uninga, ngrawos pada pakisi, kenken jani ban madaya, yan uning Ida Sang Prabhu, nyai mbo pacang rusak, mangemasin, bakal dadi caru setra (bait 11). Ni Candrwati datang menghadap dan duduk di halaman ketika dipanggil oleh orang tuanya, yang tersurat dalam bait 16 yang dikutip di bawah ini. Malinggih Ida ring natar, Sang Prabhu ngandika aris, duh mas mirah atman ingwang, anak ingsun wawu rawuh, Ni Candrawati anembah, inggih aji, anak Ratu wawu prapta. Orang tuanya menanyakan kebenaran berita yang ada. Ni Candrawati menyatakan bahwa ia hamil bukan dihamili oleh manusia jenis laki-laki, tetapi ia dijamah oleh Hyang Semara pada saat memuja. Hal ini tersurat dalam bait 20 yang dikutip di bawah ini. Uduh Ratu sesuhunan, titiang umatur sujati, krana titiang nemu kaon, Ida Hyang Smara tumurun, anuronin saking suargan, mapan luih, saksana mungguing sayang. Orang tua Ni Candrawati dapat menerima keadaan itu, tetapi kakaknya tidak dapat menerima walaupun Ni Candrawati sampai bersumpah atas nama Tuhan. Hal ini tersurat dalam bait 23 yang dikutip di bawah ini. Laut manyaksiang raga, ring Hyang Triodasa Saksi, miwah Hyang Utasana, yan titiang mrasa ring wuwus, dumadak manemu ala, baya pati, anemu barunahatia.


Perempuan dalam Geguritan Bali 243 Ni Candrawati lama tidak dapat berkata, namun akhirnya ia bisa menyatakan bahwa ia tidak mau dibuang ke hutan dan ia meminta supaya dibunuh saja, seperti diungkapkan dalam bait berikut ini. Sue tan kuasa ngucap, sang ayu umatur aris, Kaka Mantri Wiranata, sampun Beli sekel kayun, yan tan Beli kari sweca, titiang pamit, kakutang tengahing alas (bait 29). Pisan i riki puputang, suka titiang ngmasin mati, ica Beli ditu nyingak, watangan titiange Ratu, pinih wenten braya suka, mangurungin, mekelin titiang arimbag (bait 30). Lebih lanjut Candrawati menyatakan bahwa jika darahnya amis berarti ia berdosa, tetapi jika darahnya harum, matahari bersinar sangat terang dan masih ada tanda-tanda lainnya, itu berarti ia tidak berdosa. Hal ini dilukiskan dalam bait 31 dan 32 yang dikutip di bawah ini. Punika pamitan titiang, kris sane sungklit Beli, anggen mamuputang titiang, apang titiang gelis lampus, yang andih getihe medal, ala yukti, cirine ngletehin jagat (bait 31). Yan miik getihe medal, mangalub ngebekin gumi, miwah surya makalangan, wiakti titiang tuhu sadu, wiadin tanem tan patoya, ening jati, ngungsi swargan sarin buana (bait 32). I Wiranata tetap tidak dapat menerima alasan adiknya. Oleh karena itu, Ni Candrawati pun tidak menolak dibuang ke hutan, yang dipaparkan dalam bait 35 yang dikutip di bawah ini. Inggih titiang manguningang, I Ratu katuran mangkin, mamarga kalase wayah, titiang mangiring I Ratu, Ni Candrawati angucap, Paman Patih, gelah tuara lakar tulak. Ni Candrawati memohon kepada orang tuanya supaya tidak bersedih dan ia juga meminta kain putih sebagai bekal ia mati. Hal ini dilukiskan dalam bait 39 dan 40 yang dikutip di bawah ini. Pacang napi tiyang kariang, apa ne tresnain dini, payu sedih mapangenan, Ni Candrawati umatur, sampunang Ratu sampunang, sedih kingking, kari angen teken titiang (bait 39). Duh Ratu pisan puputang, titiang nunas bekel mati, wastra cerik ane petak, pacang anggen titiang kudung, kala titiang kapanesan ne ring margi, i rika ring Panangsaran (bait 40). Pada saat Ni Candrawati berangkat ke hutan, seisi kerajaan sedih. Peristiwa ini dilukiskan dalam beberapa bait dan di bawah ini dikutip hanya bait 41 dan 47. Sang Prabhu nangis sisgsigan, nyelsel raga ngasihasih, duh mas mirah atmajiwa, yan I Ratu sampun puput, alih ko titiang gelisang, ajak mati, titiang mangiring i dewa (bait 41).


Ni Nyoman Karmini 244 Wang jero sepi makejang, tong dadi sira mamunyi, ada sedih nyelsel awak, saruang tong dadi saru, ada nguntul ngurik tanah, anggon tangkis, ada sedih madekesan (bait 47). Ni Candrawati berjalan pelan-pelan. Banyak orang melihat, baik laki-laki maupun perempuan lalu mereka ikut mengantar ke hutan. Hal ini tersurat dalam bait 50 yang dikutip di bawah ini. Eluh muani pada teka, mabalih lantas mangiring, anuli raris mamarga, ring alas wayah wus rawuh, ana waringin sanunggal, sira patih, raris matur saha sembah. Setelah sampai di hutan dan hampir pagi, gubuk telah selesai dibuat. Ni Candrawati menyuruh Paman Patih kembali ke kerajaan, tetapi ia memohon untuk diizinkan ikut tinggal di hutan. Demikian juga pengantar lainnya. Ni Candrawati menasihati mereka dengan kisah Sang Ramadewa saat di buang ke hutan. Sang Brata mau ikut tinggal di hutan tetapi tidak diperbolehkan oleh Rama, sebab kesalahan itu adalah kesalahan Sang Rama sendiri. Perilaku Sang Rama ditiru oleh Ni Candrawati, sebab kesalahan itu adalah kesalahan Ni Candrawati sendiri. Oleh karena itu, ia mempertanggungjawabkan dengan menanggung akibatnya sendiri. Lukisan ini tersurat dalam bait 55 yang dikutip di bawah ini. Ne ada kojaring sastra, Sang Ramadewa ne nguni, polih ida ne kakutang, arine Sang Brata tumut, masih kayun ida tulak, keto Patih, tutur Ramane ingetang. Tinggallah Ni Candrawati berdua di hutan dengan Ni Pranacitra. Mereka sesambatan, sebab semasih hidup mereka telah sengsara. Hal ini tersurat dalam bait 58 yang dikutip di bawah ini. Sareng kalih di pamereman, masesambatan manangis, kene saja dadi janma, sengsara titiang nu idup, yaning wenten Betara ica, pisan ambil, urip titiange gelisang. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa secara tersurat tokoh Ni Candrawati adalah tokoh yang berpendidikan. Tokoh Ni Candrawati dapat melakukan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Hal ini membuktikan bahwa ia merupakan perempuan yang mampu menjaga harga diri sebab ia tidak perlu mencari dan tidak membutuhkan laki-laki sebagai penanggung jawab kehamilannya. Ni Candrawati mampu menunjukkan jati dirinya sebagai perempuan berpendidikan dan terhormat. Sebagai seorang perempuan yang punya harga diri dan jati diri, Ni Candrwati mampu menentukan sikap, mampu bertanggung jawab, mampu mengambil putusan. Oleh karena itu, Ni Candrawati mempertanggungjawabkan sendiri dan menerima dengan tabah kehidupan yang dialaminya.


Perempuan dalam Geguritan Bali 245 Dalam Geguritan Ni Candrawati, tokoh antagonis bukan merupakan tokoh manusia, melainkan tokoh Dewa yaitu Hyang Smara. Tokoh tersebut dikategorikan sebagai pelaksana takdir Tuhan terhadap jalan kehidupan manusia. Dengan demikian, konflik kehidupan yang dialami oleh tokoh protagonis itu disebabkan oleh kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi di luar diri manusia. Kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi itu disebut kekuatan antagonistik (antagonistic force) yang berupa takdir Tuhan yang tercermin dalam jalan hidup sang tokoh. Apa yang diuraikan di atas sangat sesuai dengan harapan dan citacita Feminis yang menekankan bahwa perempuan harus berpendidikan, menjadi pembuat keputusan yang otonom, dan mampu menunjukkan esensial keperempuanannya. Dan, sangat sesuai pula dengan pendapat Vivekananda, bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka, dan dengan cara mereka sendiri. Tak seorang pun dapat atau sepatutnya berbuat demikian bagi mereka. Seandainya mereka memperoleh pendidikan yang tepat, mungkin mereka akan menjadi perempuan-perempuan yang ideal di dunia, dan dengan pendidikan kaum perempuan akan memecahkan masalah-masalah mereka sendiri. Geguritan Brayut Tokoh Men Brayut dalam Geguritan Brayut mempunyai anak sebanyak delapan belas orang termasuk yang masih dalam kandungan. Hal ini tersurat dalam bait 1 pupuh Sinom Tikus Kabanting, yang dikutip berikut ini. Ada kidung geguritan, matembang tikus kabanting, ne kocap jelema boda, betah tani ngidep munyi, bebotoh uli cenik, mayus ludin tani mampuh, pianak makurambean, ne ibukang luh muani, aplekutus, tekening ne nu di basang. Permasalahan pokok yang dihadapi tokoh perempuan Men Brayut adalah betapa sibuk dan menyusahkan sekali mengurus anak yang terlalu banyak. Ia tidak sempat merawat diri. Ia pun tidak sempat menenun dan mengerjakan pekerjaan lain. Kerjanya hanyalah tidur bangun yang menyebabkan fisiknya sangat lelah. Peristiwa ini tersurat dalam bait 4 dan 5 yang dikutip di bawah ini. Bas kadurus bane pongah, buka tuara nawang imbih dakin awake manyalon, klaskasan kiskis gudig, tuara nang malaad lengis, boke barak ludin pujut, giling makabrengbrengan, nyonyone beken antengin, salang waluh, kariuwut pasulengkat (bait 4). Tuah katuduh kento enyahan, arang yen tong tani beling, sepanan mambelas malendong, basange suba maisi, tong kober angan ngantih, ye ke manglikas manunun, jani tulus mangebong, pianake bek pagelanting, medem bangun,


Ni Nyoman Karmini 246 awake ludin limuhan (bait 5). Jarak usia anak-anak Men Brayut antara yang satu dan yang lain terlalu dekat. Satu anak menangis, yang lain pun ikut menangis dan pada saat bersamaan pula, yang lain meminta ini dan itu. Betapa ramai dan gaduhnya saat situasi seperti itu. Hal ini dilukiskan dalam bait 12, 13 dan 14 yang dikutip berikut ini. I Ketut bangun ngalepat, gutgut tuma mangetekih, mangeling tong dadi kocok, mangulalang-manguliling, ne lenan pada mangeling, ada ngerak kauk-kauk, lenne mendohong-dohong, nene serak sengisengi, nene beeng gereng-gereng di tebenan (bait 12). Ada mamecuk soksokan, maguyang nagih be guling, nene manying kelar magandong, ngusud bau mangurinyi, tani mandingeh bunyi, mangeling mangulun-ulun, managih sesate calon, ne bengkeng koat memendil, penah bekut, nagih balung gegorengan (bait 13). Lenne bangun nerajang, bau kedat nagih nasi, ada mangrebutin nyonyo, magujeg pada mangeling, lenne manguring-nguring, pacara mantigang bungbung, ada ngocok kekocor, ne nyomanan ngasgas dinding, pabiayuh, elinge matrayuhan (bait 14). Tangisan anak-anaknya membuat Men Brayut terbangun dari tidurnya. Dan ia pun masih malas turun dari tempat tidurnya karena kurang tidur. Hal ini dilukiskan dalam bait 15 dan 16 yang dikutip di bawah ini. Kaget ngendusin ngaramang, mandingeh pianake ngeling, kapupungan oyong-oyong, ngusap matane nu kupit, kores mangentah genit, magasgasan gerak-gerok, tapihe bek matuma, buka tong kuang aketi, len mataluh, pianaknyane mabuyag (bait 15). Ukuh bangun tani lagas, nu matume siksik-siksik, kutune teked ka baong, mangurayang paguridip, nggureksiak patisiksik limanne menek tuun, jani mamingsed epot, pianaknyane marebutin, len mamungut, cepet bungut pemipisan (bait 16). Begitu Men Brayut turun dari tempat tidur, semua anaknya mengikuti, ada yang di depan, di samping dan di belakang seperti kecebong. Hal ini dipaparkan pada bait 17 yang dikutip berikut ini. Buka tong nawang onya, bas kaliunan mahentip, jani ya pesu mangebong, pianaknyane manututin, madandan bilang samping, di uri ada di malu, lenne manyemak nyonyo, ada ngelut niman pipi, pagerenjeng, rebed bilang atindakan. Tenaga Men Brayut terlalu banyak terkuras sehingga ia selalu lapar sekali apalagi ia masih mengandung. Oleh karena itu, pada saat makan ia makan paling dahulu dengan anaknya yang paling kecil, seperti


Perempuan dalam Geguritan Bali 247 dipaparkan pada bait berikut ini. Tong dadi jani majalan, I Ketut seneng mangwidi, ngajakin mabalih barong, ne lenan girang managih, pada ya embi-embi, nanange luas manganggur, banten anggen nungkulang, paridang pada matanding, sok I Ketut, sangkol ajak makembulan (bait 18). Paridang banten kemulan, onyang makatelung tanding, nyarigjig aba ka paon, bau teked ngineb kori, lantas ngahgah sokasi, maisi jembung parumpung, cobeke kahkah maong, ludin ilang atebih, pauyahan, cawan nu apah teluan (bait 19). Ngogo calung ngalih uyah, suba ya suud masagi, mangungkab pane pangaron, di kumarange maisi, letlet sesate gugunting, balung lan dedeleg marus, iga sesate calon, len kekuung jepit babi, ulun engkuk, songone nggon rerebetan (bait 20). Men Brayut hanya makan berdua di dapur, sedangkan yang enam belas lagi masih di luar tidak diizinkan masuk. Hal ini tersurat dalam kutipan di bawah ini. Bane nyamut kadaatan, onya nggenya mahang nasi, ajak pianake di paon, ne nembelas mangurinyi, diwangan ancak saji, mangeling pada pasegut, tong baanga ka paon, I Brayut mangwelin, siksik kusung, kento ke anake manakan (bait 21). Enam belas anak Men Brayut yang belum dapat makan menangis semua seperti dilukiskan pada bait 21 di atas. Men Brayut tidak mengetahui Pan Brayut datang dari melancong. Memennya tuara uninga, saget teka ne muani, laut manyagjag ka paon, dapetang pianake ngeling, jemak pada kasihin, ne paling nyoman masadu, tong baanga ka paon, i meme mangalih nasi, mrengat-mrengut, nanange nungka jelanan (bait 22). Men Brayut dimarahi oleh Pan Brayut dengan kata-kata kasar, seperti yang dikutip berikut ini. Manyenukin pasepolan, tuara nu nyelep malengis, tekaning sesate calon, saprekarane belasin, mangerak delak-delik, lancang gemah Men Brayut, Mangamah mangemol-emol, baan iba ke ngoopin, kai tuyuh, mangawe banten pedeman (bait 23). Bas tuara mamahud iba, goban ba buka mamedi, ambeke cara segaon, tuara nawang olas ati, pianake pabrengik, buka tong inget mangempu, yeke mangupa pira, tuah dongkang ken numadi, iba tumbuh, kewala nyak manakan (bait 24). Men Brayut diusir pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan ada nada menggugat bahwa Men Brayut tidak melakukan apa-apa kecuali makan dan melahirkan, yang lainnya semua dikerjakan oleh Pan Brayut. Pan Brayut emosi karena melihat keenam belas anaknya menangis. Peristiwa


Ni Nyoman Karmini 248 ini dilukiskan dalam bait 22 sampai 26 yang dikutip berikut ini. Ada pada lan tong ada, pang ba jani magedi, apang pisan tuara enot, setata mangrobedin, kijea iba mulih, yen kauhan ka Salumbung, yen mulih Kalimbean, sing nya ada brayan ba sudi, teken bangkung, ditu jalan masendetan (bait 25). Idong kai kecacungan, luas belasin memedi, masa bung kai abot, sama balu isesai, pagaen ka ingetin, sing nya ada kamben saput, kekasang yen kekantong, lewih sabuke abesik, sekat iku, tuah kai makejang-kejang (bait 26). Men Brayut tak kalah emosinya mendengarkan kata-kata Pan Brayut yang menyakitkan hati. Men Brayut balik menggugat Pan Brayut. Men Brayut tidak pernah menyuruh Pan Brayut meminangnya dahulu, yang tersurat pada bait 28 yang dikutip berikut ini. Manyorong pabresihan, paso belah suba dekil, manyemut base aporos, masaut tong ada imbih, nanange nguda jani, ulah mabasa ngaduhung, nyen jua membesenang, mangundang ngonkon mapadik, nira ilu, duke nu jumah i bapa. Men Brayut terus menggugat. Kalau ia pulang sekarang, siapa yang menerimanya, jangankan orang lain, Pan Brayut sendiri sehari-hari bagaimana? Hal ini dinyatakan pada bait 29 yang dikutip di bawah ini. Yen sih tundung jani nira, luas malipetan mulih, enyen alih ira kawan, ibapa suba melasin, i meme suba mati, i dadong tong ada enu, nyen to jalan nira, kalingan anake sudi, Pan Brayut, disesai ambul apa. Men Brayut membanggakan diri bahwa ia ahli menenun. Hasil pekerjaannya tidak ada yang mengalahkan pada saat ia masih muda. Hal ini dipaparkan dalam bait 30 – 35. Di bawah ini dikutip bait 30 dan 35 sebagai contoh. Tong mampuh nira ne batbat, ulat saja ko di jani, dugan nirane nu anom, jumah i bapa ne di jani, buka tong ira imbih, sing pagawen anak luh, maebat ke di paon, mangamsumba ke mangantih, gelis nunun, ne bulus suba ladina (bait 30). Luih gunane manyulam, banyu mas anggon nerapin, tutubnyane sutra ijo, sutra barak ya ke tangi, terapang patra sari, karang simbar kabentulu, yen ganggong rerentengan, dabdab alus buka tulis, gedah remuk, yen pepelok kumeranyab (bait 35). Men Brayut semakin panas hatinya dengan menyatakan bahwa I Brayut masih kecil, adik-adiknya telah banyak. Bagaimana mungkin mengambil pekerjaan lain, kalau tidak ngidam, melahirkan atau hamil. Mau digugurkan tidak boleh, katanya dosanya seribu tahun. Hal ini tersurut dalam bait 37 yang dikutip di bawah ini. Mapa magawe di benang, yen tong ngidam manakan beling, buka tong taen


Perempuan dalam Geguritan Bali 249 karuron, lekad idup pakelicik, greget atine pedih, makita nyadat manguut, mangalihang balian epot, Pan Brayut mituturin, siu taun, neraka ya temokang. Men Brayut terus membela diri, begini salah begitu salah. Jika dilanggar dikatakan tidak mendengarkan kata-kata. Siapa disalahkan. Pan Brayut dari sejak menikah sampai saat ini terlalu besar nafsu birahinya. Hal ini tersurat dalam bait 38 dan 39 yang dikutip di bawah ini. Jani ketidong nira, kene salah keto pelih, yen nira paksa narobos, katon tani ngidep munyi, ne buka kali jani, kanononan tani mampuh, nyen jua ne salahang, Pan Brayut kayang jani, bas kadurus, ulih bau pengantenan (bait 38). Bas magawe san tuturan, koat tuara mandingeh munyi, wangki dina pisan pindo, yen kapisaga malali, teka tuah ngembusin tamper, yen dapetang manunun, yen katepuk di paon, ira mangendihang api, tuah nda rurung, dong dusin buung manyakan (39). Mendengarkan gugatan Men Brayut, Pan Brayut berusaha menangkis dan kembali menyalahkan Men Brayut yang saat mengidam menginginkan kepiting. Pelukisan ini tersurat dalam bait 40 yang dikutip di bawah ini. Kento munyinnyane pongah, ne muani mengalih tangkis, ya manguda siga kento, yen kola salahang nani, tuah siga ko dijani, mangidam ngamah kayuyu, ye ne manakan kento, sinya ia manglalahin, sangkan liu, pianake makrenyedan. Setelah saling menyalahkan, mereka saling menyadari dan saling menyayangi (Dadi enduh makadadua, pada manglegayang ati, tan kocap suba makelo, pianaknyane suba kelih…) (bait 41). Kehidupan Men Brayut dan Pan Brayut menjadi bahagia setelah anak-anak mereka berkeluarga. Semua anak dan menantu bekerja sehingga hidup mereka menjadi senang dan kaya. Men Brayut dan Pan Brayut mematuhi nasihat dan ajaran, lalu mereka menyucikan diri (medwijati). Hal ini tersurat dalam bait 55 yang dikutip di bawah ini. Suba tutug mapumahan, ang kuhang eluh muani, baan bagiannyane kento, sangkalnya tong ada imbih, manemu suka sugih, mas mirah selaka liu, len to ne amah anggo, De Brayut luh muani, nganggo tutur, suba memalikin lampah. De Brayut memutuskan untuk menjalankan kehidupan baru (suba memalikin lampah) sebagai bekal pada saat meninggal. Ia berguru pada Pangeran Jembong di Gria Banjar Memedi, yang dilukiskan pada bait 56 yang dikutip di bawah ini. Suba suud ngupadesa, manyuang ka Desa Kangin, kocap ring Pangeran Jembong, ka Gria Banjar Memedi, tuah to Bodane sidi, prakannyane liu, tur


Ni Nyoman Karmini 250 malimpad-limpadan, nanging tong ada nandingin, tuah ya ewer, jam-jam endong paitungan. Ia melakukan tapa semadi di kuburan besar dan di pohon randu (kepuh) yang berlubang. Tempat itu menyeramkan, banyak roh-roh halus berkumpul di sana dan menggodanya, tetapi De Brayut telah bulat tekadnya dan Pan Brayut berhasil melaksanakan tugas berat itu, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Anging katuduh ngayang-ngayang, bratane tong dadi gipih, samahitane anggo, buat Buda paksane luih, suba luas mapamit, anakti di sema agung, sig kepuhe magook, kocap ya umah memedi, pabiayuh, goake masliweran (bait 59). Pan Brayut mangloyokang, memegeng masih mamusti, mangesti sadiane kaot, sangkannya tong ada imbih, gegodane tan sipi, kedahatan bane puguh, idep magrebong meyong, ne tuara kaden maisi, suba puput, sadiannyane tan kocapan (bait 66). Suba tutug galang tanah, cumarancang manadarin, surgane katon ngancorong, De Brayut ngagen mulih, suba suus mabresih, sukan atine katepuk, jani mangrasa sadia, buka di banjaran sari, lantas mantuk, majalan adeng-adengan (bait 70). Menurut Pangeran Jembong, keberhasilan Pan Brayut sesuai sekali dengan namanya, yakni Pan Brayut. Hal ini tersurat dalam bait 73 dan 74 yang dikutip di bawah ini. Lantas bangun nunas toya, usane malih ngabakti, ngandika Pangeran Jembong, makempiang suarane manis, dini nanak malinggih, suba ngayap Pan Brayut, ngaliyer katakonan, saprakarane anakti, sampun katur, bikase makejang-kejang (bait 73). Bane tong ada kagiwang, gegodane buka mati, ngaraos Pangeran Jembong, manyayange tan sipi, kenyus laut mamunyi, yen diparab suba anut, nanak isuradnyana, kasuran buka mati, tuah tan urung, katepuk nene sadiyang (bait 74). Pan Brayut bukan orang pandai (tidak berpendidikan). Oleh karena itu, ia sering lupa pada ajaran. Berkaitan dengan hal itu, Pangeran Jembong menasihati Pan Brayut supaya tidak memperhitungkan baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan dalam kehidupan ini. Semua itu digunakan sebagai pelebur perbuatan buruk atau tidak baik semasa masih hidup. Hal ini dipaparkan dalam bait 76 yang dikutip di bawah ini. Baane tuara masastra, dadi tuara inget jati, ngandika Pangeran Jembong, yen rerasan tuah akikit, suba teka memusti, jele melah da mangitung, to anggo paleburan, De Brayut mengebakti, telas nuhun, ature sapangandika.


Perempuan dalam Geguritan Bali 251 Selanjutnya, Pan Brayut menjalankan kehidupan di Padukuhan dengan tenang dan damai. Hal ini tergambar dalam bait 77 dan 123 yang dikutip di bawah ini. Tur katuduh ngalih umah, apang luas mandukuhin, saprakarane anggo, suba tutug kandikain, jani ngayap mapamit, memusti laut manyentud, ica Pangeran Jembong, ngabakti apisan ugi, laut bangun, asa miring ya majalan (bait 77). Brayut kaenengan, sukan atine tan sipi, ngenot patapane kaot, siug kenehang suba pasti, kekantenane luih, buka kadi banjaran santun, menper tuah Pacangkrama, widia dara widia dari, upamane, goban pianake makejnag (bait 123). Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa secara tersurat tokoh Men Brayut adalah tokoh perempuan yang tidak berpendidikan, tetapi ia memiliki keahlian dalam menunun. Karena memiliki “bakat”, hasil kerjanya tiada banding pada saat ia masih muda. Akan tetapi sayang, bakat tersebut tidak dapat dikembangkan lagi karena disibukkan oleh urusan anak. Hatinya sebenarnya pedih, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka sangat takut pada dosa jika brunaha dilakukan. Dengan tidak beraninya melakukan brunaha, maka dapat dinyatakan bahwa keluarga Brayut adalah keluarga yang menjunjung hak asasi manusia, dan itu berarti pula nilai-nilai kemanusiaan dihargai sangat tinggi di keluarga ini walaupun mereka melakukannya tanpa disertai kesadaran tentang arti hak asasi manusia. Mereka menjalani hidup ini dengan sangat sederhana, yakni apa adanya. Namun, pada akhir kisah dilukiskan kehidupan keluarga Brayut bahagia dan sejahtera. Konflik terjadi pada diri tokoh dalam Geguritan Brayut disebabkan oleh kekuatan antagonistik (antagonistic force) di luar diri manusia, yakni yang berupa nilai-nilai moral yang dianut sang tokoh serta kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, yang disebut takdir Tuhan yang tercermin dalam kehidupan sang tokoh, seperti yang diungkapkan dalam bait 5 (Tuah katuduh kento enyahan, arang yen tong tani beling, sepanan mambelas malendong, basange suba maisi....). Dalam Geguritan Brayut dilukiskan adanya keseimbangan kerja. Dalam istilah sekarang, peran jender terealisasikan dengan jelas dalam geguritan ini. Men Brayut disibukkan oleh urusan anak, sedangkan pekerjaan lain diambil oleh Pan Brayut, seperti urusan dapur dan saat hari raya Galungan dari menyiapkan upakara dan upacara Galungan dilaksanakan oleh Pan Brayut. Men Brayut mampu menjadi pembuat putusan, yakni tidak menggugurkan kandungannya walau hanya diimingimingi dosa akibat perbuatan itu. Hal ini terjadi tidak terlepas dari kesederhanaan berpikir dan mengingat nilai-nilai moral yang diyakini.


Ni Nyoman Karmini 252 Hal ini dapat diartikan bahwa Men Brayut perempuan kuat dan luar biasa dan sanggup melaksanakan esensial keperempuanannya. Apa yang diuraikan dalam Geguritan Brayut sangat sesuai pula dengan pendapat Vivekananda, bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka, dan dengan cara mereka sendiri. Geguritan Saci Permasalahan yang dihadapi tokoh perempuan istri Gusti Gede Mangku adalah menyesali nasib yang dialami oleh suaminya. Ia sangat sedih dan sesambatan. Peristiwa ini dipaparkan dalam bait 23 – 38 pupuh Pangkur. Sebagai contoh hanya dikutip bait 23, 26, 27. Satekede jani jumah/ endeh muhug kapapag bahan eling/ somahe njerit mangelur/ maguyang mamulisah/ mangaduhung/ nyelsel titah duwuhduwuh/ Ratu Ida Hyang Bhatara/ nguda bas banget misisip (bait 23). Sapunapi antuk titiang/ mamegatang pitresnane magusti/ dening swecane kadurus/ samanah kadagingan/ yadin iwang/ Ida mangledangag ring kayun/ mapitutur twara pegat/ ngardyang wasana becik (bait 26). Sapunika dwaning titiang / ngaduhungang panitah Sang Hyang Widhi/ twara da mamilih ukum/ reh Ida Gustin titiang/ twara pisan/ nahan ngardi tan rahayu/ tetep ngisti karahaywan/ mangupawasa makerti (bait 27). Istri Gusti Gede Mangku tidak diberikan menyesali musibah yang terjadi oleh Gusti Gede Mangku. Itu semua takdir dalam kehidupan, yang dipaparkan dalam bait 1 pupuh Smarandana. Adi ayu adin beli/ mas mirah penyambung jiwa/ sangu pati ring besuke/ eda manyelselang pisan/ ngaduhung pati sambat/ reh beli mula katuduh/ manepukin kanarakan. Kesedihan istri Gusti Gede Mangku dihibur oleh Gusti Gede Mangku dengan kisah Dewi Saci yang satia kepadaDewa Indra. Permasalahan yang dihadapi Dewi Saci adalah menghilangnya Dewa Indra dan Sorgaloka dikuasai Nahusa. Nahusa sering menggoda dirinya yang tersurat dalam bait 39 pupuh Smarandana yang dikutip di bawah ini. Yen akudang tahun mbukti/ sang Nahusa di Swargan/ mawetu ranca kayune/ dening dane polih nyingak/ rabinda Hyang Indra/ mawastu dane ulangun/ kalemesin sabran dina. Dewi Saci juga hampir diperkosa oleh Nahusa, tetapi tidak berhasil. Dan Dewi Saci melaporkan peristiwa itu kepada Bhagawan Wrehaspati. Peristiwa ini dilukiskan dalam baik 40 dan 41 pupuh Smarandana di bawah ini. Ngareseh nagih nuronin/ ngumandalang kahagungan/ mangadu akas lengene/ Dewi Saci kaprakosa/ nanging twara da sida/ manangis manguhut entud/ malaib sadia ngaturang (bait 40).


Perempuan dalam Geguritan Bali 253 Ring Bhagawan Wrehaspati/ mangaturang tatingkahan/ Sang Ratu Nahusa jele/ matinggalang kapatutan/ titiang tan wenten suka/ ring Sang Ratu nista rumpuh/ pikun uli ring sasana (bait 41). Dewi Saci lebih memilih mati daripada dijamah oleh Nahusa. Hal tersebut tersurat dalam bait 43 pupuh Smarandana yang dikutip di bawah ini sebagai contoh. Boya surud satya bakti/ mangastiti peteng lemah/ mangden sida kapanggiha/ suka mati yen kajamah/ antuk Ratu Nahusa/ titiang twara suka Ratu/ kawinayeng Ratu Dura. Dewi Saci meminta tolong kepada Bhagawan Wrehaspati untuk menemukan suaminya. Dewi Saci terus memanggil-manggil Dewa Indra sambil menangis, menyebabkan Bhagawan Wrehaspati sangat kasihan, yang dilukiskan dalam bait 44 dan 45 pupuh Smarandana yang dikutip di bawah ini. Ature madulur tangis/ mulisah nelasang sang manah/ mangasih-asih ature/ nunas kanti ring Bhagawan/ sumngde makantenan/ linggih Sang Hyang Sakaratu/ yen dija Ida magenah (bait 44). Puput ature mapamit/ Dewi Saci ring Bhagawan/ mantuk masangu tangise/ mandulame Sang Hyang Indra/ Bhagawan Wrehaspatya/ kalintang welas ring kayun/ ngaksi Ida Dewi Sacya. Karena itu, Bhagawan Wrehaspati bersemedi untuk mengetahui keberadaan Hyang Indra. Keberadaan Hyang Indra diketahui tetapi hanya kelihatan sebentar, yang dilukiskan dalam bait 49 dan 50 pupuh Smarandana yang dikutip berikut ini. Ida Bhagawan Wrehaspati/ manginengang yogastawa/ manuhur watek Hyange/ kalih apang sida ngenah/ Buta-butine sami/ ditu ya lantas memesu/ Buta-butine mangenah (bait 49). Kalih Sang Hyang Indra jani/ rawuh Ida ditu ngenah/ nanging te twara da suwe/ dening nyingak Sang Nahusa/ erang ring pakayunan/ suba kagentosin agung/ento ne ngawinang musna (bait 50). Bhagawan Wrehaspati mengulangi lagi semadinya. Kemudian turun Hyang Umasruti. Dewi Saci dan Bhagawan Wrehaspati menyembrama kepada Beliau dan mohon bantuan beliau, seperti yang dlukiskan dalam bait 52 pupuh Smarandana yang dikutip berikut ini. Saget Sang Hyang Umasruti/ rawuh ngadeg di arepan/ Bhagawan wrehaspatine/ macebur matur sambrama/ ngaturang wasuh pada/ saha maduluran atur/ nunas kanti ring Bhatara. Dewi Saci sambil menangis sangat sedih menyampaikan permasalahannya dan dengan sangat memohon bantuan Hyang Indra.


Ni Nyoman Karmini 254 Keberadaan Hyang Indra diketahui atas bantuan Hyang Umasruti. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 1 – 7 pupuh Ginanti. Berikut ini hanya dikutip bait 5. Dibatan pasihe ditu/ di sarin tunjunge nyangid/ awinan meme tan sida/ mangalih di batan pasih/ meme nuturin I Dewa/ apang pada tatas uning. Hyang Umasruti menyatakan pantangannya. Oleh karena itu, Bhagawan Wrehaspati dan Dewi Saci turut mencari Dewa Indra bersama Hyang Umasruti, yang dilukiskan dalam bait 8 – 12 pupuh Ginanti. Berikut hanya dikutip bait 11 dan 12. Awus Idane manengkung/ nyalolong makanten margi/ damper alus buka sipat/ Sang Tiga sampun mamargi/ twara da kocap di jalan/ ucapang ne jani prapti (bait 11). Kagawok Ida ditu/ Sang Hyang saci manyingakin/ asri tunjunge manunggal/ mabunga kembang akatih/ sarinnyane manguranyab/ ngenyugang niyike ati (bait 12). Ketiganya lalu duduk manghadap bunga tunjung. Dewi Saci dan Bhagawan Wrehaspati menyampaikan permasalahan kepada Hyang Indra. Para bidadari telah habis dijamah Nahusa dan Dewi Saci lebih memilih mati daripada dijamahnya, dan kalau Nahusa tetap menjadi raja di Sorgaloka, maka sebaiknya Dewi Saci dibunuh saja di hadapan Hyang Indra. Kejadian ini dipaparkan dalam bait 13 – 20 pupuh Ginanti. Berikut hanya dikutip bait 17 dan 19 sebagai contoh. Sang Widiadari ne sampun/ telasan kahalap rabi/ antuk Sang Ratu Nahusa/ Ratu nista ina culig/ drowaka loba angkara/ tindak tan anut ring aji (bait 17). Suka mati yen matemu/ ring Ratu Nahusa bacin/ kalih yen manggeh ring Swargan/ ipun mangadeg Bupati/ titiang manunas puputang/ ring ajeng I Ratu mangkin (bait 19). Mendengarkan pengaduan Dewi Saci, Hyang Indra sedih sekali. Lalu disusunlah siasat untuk mengatasi permasalahan Dewi Saci dengan Nahusa, yang dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Sang Hyang Indra ditu ngun-ngun/ mireng ature sang kalih/ ditu Ida mangrencana/ upaya kalintang sangid/ papinehe suba pragat/ raris mangandika aris (bait 21). Siasat itu adalah Dewi Saci harus menerima Nahusa sebagai suaminya. Namun dengan syarat bahwa saat pernikahan Dewi Saci harus dibopong oleh para Resi. Hal ini terlukiskan dalam bait 21, 22 dan 23 pupuh Ginanti yang dikutip di bawah ini. Adi Saci eda kengguh/ patibratane ring Beli/ samunyin Beli idepang/ sanggupin adi sanggupin/ sapangidih I Nahusa/ eda adi mamiwalin (bait


Perempuan dalam Geguritan Bali 255 22). Nanging te lamunya sanggup/ managingin sapangidih/ adine yen pacing pragat/ mawidi-weda mabuncing/ dinyangkole mategakan/ masunggi ban watek Resi (bait 23). Setelah siasat disepakati, mereka kembali ke Surgaloka. Dewi Saci menyanggupi keinginan Nahusa dengan bersyarat. Persayaratan dipenuhi tanpa berpikir panjang. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 24 – 43 pupuh Ginanti. Berikut hanya dikutip bait 24, 40, 41 sebagai contoh. Aketo ne jani puput/ piteket Beli ring adi/ I Dewi Saci mangrasa/ wiweka tur kasungkemin/ Ida Bhagawan Wrehaspatya/ dikayun suba katampi (bait 24). Ring titiange pacang puput/ mawidi-weda mabuncing/ titiang ratu maplinggihan/ kasunggi ban watek Resi/ punika jumun bawesang/ yen kasidan titiang ngiring (bait 40). Egar Sang Nahusa sawur/ sambil ica ungkal-angkil/ adi tegakanne gampang/ kaling ke Sang Watek Resi/ Brahma Wisnu Hyang Iswara/ ento yen budiyang adi (bait 41). Nahusa lalu mengumpulkan para Resi. Begitu keinginan Nahusa disampaikan, para Resi menolak. Para Resi disiksa oleh Nahusa. Kemudian para Resi mengutuk Nahusa turun ke bumi selama seribu tahun menjadi ular kecil dan kurus dan sangat menderita. Peristiwa ini digambarkan dalam bait 44–47 pupuh Ginanti dan sebagai contoh dikutip hanya bait 47. Sang Resi Ida memastu/ prajani tulah manyumprit/ tiba di gumine panes/ dadi ula kurus aking/ kasayahan panes ngentak/ siyu tahun sedih kingking. Begitulah Gusti Gede Mangku menenangkan istrinya supaya tidak bersedih saat menerima musibah. Dan ia memberikan nasihat-nasihat kepada istrinya untuk ditaati sebagai bekal nanti setelah tiba saatnya menghadapi kematian. Nasihatnya adalah supaya mengikuti langkah yang dilakukan oleh tokoh perempuan Dewi Saci dalam Geguritan Saci. Tokoh Dewi Saci menghadapi dua permasalahan besar, yakni pertama, Dewa Indra (suaminya) menghilang yang tidak diketahui rimbanya akibat kutukan. Yang kedua, Nahusa ingin memperistrinya. Permasalahan pertama dihadapi dengan melaporkan perbuatan Nahusa sekaligus meminta bantuan kepada Bhagawan Wrehaspati dan Hyang Umasruti untuk menemukan Dewa Indra. Permasalahan kedua diatasi dengan siasat seizin Dewa Indra suaminya. Perjuangan dan usaha keras yang dilakukan Dewi Saci didasari ketulusan cinta dan satia menyebabkan sirnanya kutukan yang menimpa Dewa Indra dan


Ni Nyoman Karmini 256 kehancuran bagi kekuasaan Nahusa yang sewenang-wenang. Perilaku Dewi Saci dalam Geguritan Saci dijadikan contoh oleh Gusti Gede Mangku dalam mengatasi kesedihan istrinya karena musibah yang terjadi pada Gusti Gede Mangku dan menasihati istrinya supaya meniru perilaku Dewi Saci sebagai bekal nanti setelah meninggal. Apa yang diuraikan di atas sesuai dengan cita-cita dan perjuangan feminisme yang menekankan bahwa perempuan harus berpendidikan, harus menjadi pembuat keputusan yang otonom dan personhood. Dan, sesuai pula dengan pendapat Vivekananda, bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka, dan dengan cara mereka sendiri. Seandainya, mereka memperoleh pendidikan yang tepat, mungkin mereka akan menjadi perempuan-perempuan yang ideal di dunia, dan dengan pendidikan kaum perempuan akan memecahkan masalah-masalah mereka sendiri. Geguritan Dyah Arini Permasalahan yang dihadapi tokoh perempuan dalam Geguritan Dyah Arini adalah tugas menggoda tapa semedi Bhagawan Trenawindu. Tugas tersebut dilakukan sendirian dengan tujuan menguji kuat tidaknya tapa Bhagawan Trenawindu. Pemberian tugas dilukiskan dalam bait 4–9 yang disampaikan lewat pupuh Demung 1. Sebagai contoh dikutip hanya bait 5 dan 8 di bawah ini. Tan lyan Dyah Arini kapebuwatin pisan/ mangawara Sang Wiku/ mangde rusak luntur/ tapa bratane kapandi/ irika ring taman/ singid kalintanging suhung/ genah Sang Hyang Indra/ ngesengin Dyah Arini/ mababawos pakalihan/ ngulh-ulih Sang Trenawindu (bait 5). Pageh tan pageh pangaptin sang matapa/ mariksa sakeng saru/ pang ada anak tahu/ I Dewa kema maranin/ mani palimunan/ majalan eda enu santul/ ndihi tan paruwang/ ambarane ambahin/ bancana bratan sang tapa/ da buwin jangka apanga buhut (bait 8). Dyah Arini menyanggupi tugas tersebut karena bakti sebagai bawahan dan berharap hutang budinya kepada Hyang Indra sebagai penguasa terbayar. Pernyataan tersebut didukung oleh bait 10 dan 11 pupuh Demung 1, dan sebagai contoh hanya bait 11 seperti di bawah ini. Ajrih makadi subakti kakawula/ sangkan ing sapralalu/ cendek pesu atur/ sapranitah titiang ngiring/ pilih katahuran/ utang titiang wekas ing wibuh/ ring Ida Batara/ awanan kadi mangkin/ manah titiang mbuwatang pisan/ twah sumengka asing pituduh. Tugas itu sangat berat, demikian juga risikonya. Setelah menyatakan kesediaannya menerima tugas, Dyah Arini pulang sambil menangis karena sebenarnya ia tidak sepenuh hati menerima tugas yang diberikan


Perempuan dalam Geguritan Bali 257 oleh Hyang Indra. Pelukisan ini termuat dalam bait 12 dan 13 pupuh Demung 1 dan hanya bait 13 dijadikan contoh. Ibi duke bu mapamit matur suka/ ngiringang sapakahyun/ nging tan sakeng tuhu/ mangunteng teked ka ati/ sangkan ngeret manah/ ibuke kasawusawu/ apan di arepan/ jani mangonyang eling/ dening suba ejoh sawat/ pajalane mangamu-amu. Ia sangat menyayangkan perbuatan baik yang telah ia lakukan selama hidupnya hancur akibat kutuk, sebab kesaktian Trenawindu telah terkenal. Pelukisan ini termuat dalam bait 14, 15 pupuh Demung 1 yang dikutip di bawah ini. Pangenanga tuwah pakertinyane liwat/ satata ngulah ayu/ dadyanya manemu/ kapapan-papan tan sipi/ ngaletehin tapa/ solahe patut kalebu/ bahan kacorahan/ nah patitah ing widhi/ kapo prah ing kawisesan/ enyen bani miwalin kahyun (bait 14). Anging tan buhungan pedas kena sapa/ apan Sang Trenawindu/ kasidyane kasub/ kenken to pwarane panggih/ duh depang palilayang/ ne jani palar ahukud/ singnya sida sadya/ rahayu tulak malih/ katekan mancana tapa/ ican Sang Indrane puput (bait 15). Setelah Dyah Arini menghibur hatinya, lalu melanjutkan perjalanan untuk menjalankan tugas. Lama dan jauh sekali perjalanannya. Setelah diketahui tempat Trenawindu bertapa, ia berhenti sejenak lalu mandi di sebuah danau. Setelah selesai berhias, ia melanjutkan perjalanan menuju tempat pertapaan. Ia telah mendengarkan firasat buruk berupa suara cicak ramai sekali. Perjalanannya dilukiskan dalm bait 16 – 44 pupuh Demung 1, dan yang dikutip hanya bait 42 dan 44 sebagai contoh. Dyah Arini meh teka nampak patapan/ suwe mandarat tuyuh/ majalan mangruntun/ buluh gadinge manganti/ nongos samping jalan/ mirip cocapin ditu/ managih tungkedang/ ntikan gadung kasturi/ ngempet marga buka nyadang/ saha mamunyi “nunas mantuk” (bait 42). Mengpeng bengong Dyah Arini makenehan/ bangun ngantyang macelup/ matindakan aluh/ dasdasan manampek kori/ makenyet sandeha/ ndingeh sipta tan rahayu/ cekcek mabyayuhan/ mamunyi uli duri/ yen tekane pacang duwak/ tuwara buhung manggih pakewuh (bait 44). Dyah Arini disambut dengan baik seperti keluarga dan ditanyai bermacam-macam dengan lembut oleh Trenawindu. Dyah Arini menangis, lalu menyatakan ingin menyerahkan diri dan mengabdi dengan sepenuh hati. Ia bukan utusan Hyang Indra melainkan utusan Sang Hyang Dharma. Dyah Arini menyampaikan maksudnya dengan kata-kata yang terputusputus disertai tangisan. Peristiwa ini digambarkan dalam bait 1 – 6 pupuh Pangkur, dan sebagai contoh hanya dikutip bait 6. Yan panda lesu ngarcana/ sang tapa mrem di paturone sepi/ titiang tan sah


Ni Nyoman Karmini 258 matatunggu/ matek-matekin pada/ ngukut-ukut mangdane enak maturu/ duwaning titiang kasreng pisan/ antuk Batara pramangkin. Dyah Arini diam dan menunduk pada saat Trenawindu marah sekali, karena Trenawindu telah mengetahui tujuan kedatangannya. Lalu Dyah Arini dikutuk mati dan menjelma menjadi manusia di bumi serta tidak dapat kembali ke Suralaya kecuali atas keinginannya. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 7 – 25 pupuh Pangkur. Sebagai contoh dikutip hanya bait 17 dan 20 di bawah ini. Lawut manibakin sapa/ tuwara buhung ne jani iba mati/ gedeg khine kadurus/ bahan iba mapeta/ mapi sadu ngamanis-manisang bungut/ kahi suba tatas nawang/ pambekan ibane jahil (bait 17). Demen ngusak tapa brata/ rerengeten pasaja suba kahi/ iba tuwara nawang patut/ sedeng pacang pidanda/ salahe bas teleb ngarusak kawikun/ wastu iba kamanusan/ ka Mrecapada numadi (bait 20). Dyah Arini sesambatan menyesalkan Batara Indra sebab sampai hati menceburkannya ke neraka. Lalu ia memohon kepada Trenawindu supaya memahafkannya dan kesalahannya kalau bisa ia tebus dengan harta benda, seperti emas permata. Pelukisan peristiwa ini tersurat dalam bait 1 dan 2 pupuh Gagak Amanis yang dikutip di bawah ini. Sedih kangen muwug ngasih-asih/ nunas ica/ pilih kasansata/ sangkan mamunyi ndulame/ muhug patijalamut/ sasambate ngolasang ati/ nyelsel Batara Indra/ lalise kalahut/ buka nggumanayang pisan/ manyeburang/ di kawahe angkik-angkik/ nandangin kebus manah (bait 1). Dyah Arini nglalu matur aris/ sahasembah/ duh Dewa Sang tapa/ ampura sisip titiang/ lintang prasangga lucu/ palilayang nugrahin urip/ emas manik sasocan/ anggen titiang nawur/ kewanten icen matulak/ ajlapjapan/ ka Suraloka mangambil/ maka panebas jiwa (bait 2). Dyah Arini terus sesambatan dan menyesalkan tugas yang diberikan oleh Hyang Indra. Dan, kepada Trenawindu, ia berpesan dan pesannya harus diingat dan dilaksanakan. Pesannya adalah segala yang ada dalam dan melekat di tubuhnya supaya disatukan kembali dengan isi alam ini. Misalnya, manis penglihatan Dyah Arini supaya dibuang ke segara madu dikirim dengan srigading; giginya yang berkilat dibawa ke bunga Gadung; lemas tangannya melengkung sangat menawan (bait 11); betisnya yang indah disimpan di daun Pudak (pandan yang harum); kedatangannya sembunyi-sembunyi (… eling titiang nyaru….), suaranya terputus-putus dan berbicara sangat sedih, tidak ada yang memperhatikan kembalikan kepada I Cucur; jalannya yang pelan-pelan dikembalikan kepada jalannya gajah (bait 12); susunya yang subur disatukan dengan kelapa gading; kain dalamnya songket supaya disatukan dengan kumpulan


Perempuan dalam Geguritan Bali 259 bunga yang harum; kain luarnya yang baru supaya disatukan dengan gemericik jatuhnya air; alisnya disatukan dengan daun intaran (bait 13); wajahnya yang lembut disamakan dengan bulan; pinggangnya yang ramping, sanggulnya yang terurai seperti galuh, tubuhnya yang kurus dibuat dalam bentuk gambar (bait 14); air matanya yang deras mengalir dicampur dengan air embun pagi, jerijinya yang lurus diberikan kepada kuncup bunga bakung; kukunya diberikan kepada Sekar Taji (bait 15). Pesan-pesan Dyah Arini ini termuat dalam bait 3 – 16 pupuh Gagak Amanis dan sebagai contoh hanya dikutip bait 13 dan 14 di bawah ini. Nyonyon titiange gemuh tur rupit/ pasikiyang/ ring woh nyuh danta/ tapih titiange masongket/ adukang mangde kurup/ dipagumpluk bungane mihik/ kamben titiange anyar/ krebetane anyut/ di pakecoran yehe ngarecek/ kapecukang/ alis titiange ne jengis/ bahan i don intaran (bait 13). Muwan titiange ne kecud kuning/ ring i bulan/ katawengan mega/ susupang kamelahane/ dipedapane layu/ awug bangkiang titiange ramping/ pusung titiange buyar/ i manguneng-galuh/ pantes laku mangirimang/ kamerosan/ dewek titiange mangeris/ reka ungguh ing kagambar (bait 14). Dyah Arini sangat sedih dan memohon kepada Bhagawan Trenawindu supaya tidak ragu-ragu membunuhnya karena ia tidak menolak untuk lahir menjadi manusia ke dunia. Mendengarkan hal itu, Trenawindu sangat terharu hatinya. Akhirnya, Dyah Arini diberikan tempat untuk lahir kembali di keluarga Sang Ragu, keluarga Raja yang sangat terhormat. Dan bisa kembali seperti semula (bidadari) kalau ia telah menikah dan mempunyai seorang anak. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 1– 11 pupuh Demung 2. Yang dikutip berikut ini hanya bait 5, 6 dan 7 sebagai contoh. Ih dikapan Bapa dadi tan paliyat/ tuwara mangelah semu/ reh utama nulus/ i dewa kajaten lwih/ yadin ngamanusa/ I Dewa mawak tumurun/ anggon Bapa kadang/ nah palila di ati/ srestin Batara adanya/ larapan bagnane katepuk (bait 5). Ene Bapa mitatasin tatuwiyan/ ada madan Sang Ragu/ Prabhu lintang wibuh/ surya-wangsa tan patanding/ bahala kalewihan/ karman I Dewane ditu/ malu dadi janma/ bajang bagus prajurit/ madan Sang Jakaloka/ sarin jrone di desa Ragu (bait 6). Nto tuwara suwud sahi ngajap-ajap/ I Dewa alah dudut/ sangkan jani luntur/ kadewatane masalin/ mahawak manusa/ bahan inget Bapane muput/ wastu apang enggal/ I Dewa buwin mulih/ jati mula lengkere/ mahenyah ahukud (bait 7). Tokoh Arini adalah tokoh perempuan yang luar biasa. Ia sanggup menerima tugas berat yang dibebankan atasan kepadanya walaupun bertentangan dengan perilakunya sehari-harinya. Ia telah mengetahui


Ni Nyoman Karmini 260 risiko dalam tugas tersebut, tetapi tetap menjalankannya sebagai tanggung jawabnya terhadap tugas tersebut. Tindakan yang dilakukan Dyah Arini sebagai cerminan bahwa ia tokoh perempuan yang mampu membuat keputusan dalam hidupnya, yang punya harga diri dan mampu menunjukkan jati dirinya. Tindakan Dyah Arini sesuai pula dengan pendapat Vivekananda, bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka, dan dengan cara mereka sendiri. Geguritan Cilinaya Permasalahan yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam Geguritan Cilinaya adalah dampak poligami. Penderitaan dialami oleh tokoh perempuan disebabkan oleh tokoh antagonis. Tokoh ibu Suri dibuang ke hutan beserta putrinya Raden Galuh karena fitnah I Liku madunya. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 18–20 pupuh Sinom 1. Sebagai contoh hanya dikutip bait 18 di bawah ini. Sang Nata Ida ngandika, johang ya ngejang jani, di tengah alase kutang, da ya baanga mulih, sarengang pianakne cenik, ditu ya gaenang kubu, amonto Ida ngandika, Sang nata Ida nilarin, ngalih I Liku, di pamereman nyaup ngaras. Permaisuri berserta putrinya Raden Galuh telah lama di hutan, tanpa ada yang menjenguknya dan tanpa persediaan makanan. Supaya dapat bertahan hidup, mereka hanya makan buah-buahan yang ada. Hal ini dilukiskan dalam bait 1 – 7 pupuh Ginada. Di bawah ini dikutipkan bait 7 sebagai contoh. Kocap Ida Raden Dewiya, ada mereta lamun nasi, putih abuh prameswari, putrane kalintang lanus, sampun lami Ida ring alas, ne ring puri di jabaan pada lipia. Raden Galuh yang masih sangat kecil tidak bisa berbuat apa-apa, kadang-kadang pinsan, kadang-kadang sadarkan diri, sebab tidak makan dan minum sejak ibunya meninggal karena sakit. Raden Galuh hampirhampir meninggal. Namun, Tuhan belum menghendaki Raden Galuh meninggal, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Putrane kocap ring ngalas, malih lipia malih eling, kubu suba berek nyag, peteng lemah ditu aturu, tong dadi ida matangia, kari alit, tuara bisa ngalih ajengan (bait 11 pupuh Ginada). Berag Ida Raden Dewi, makenta masih nu urip, ada kudang bulan reko, katinggalin baan ibu, tambis mangemasin pejah, ica Widhi, dadi ada anak kema (bait 12 pupuh Ginada). Memang takdir mengharuskan Raden Galuh hidup, lewat tangan I Dukuh perempuan, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. I Dukuh istri kocapan, makesiab bangke nu cenik, I Dukuh ya nelektekang,


Perempuan dalam Geguritan Bali 261 anak cerik nu idup, keto rasa-rasa ring manah, pisan olasin, singya saget nu uripa (bait 13 pupuh Ginada). Anake cerik bangun bingar, lemah modak peteng murud, pirang warsa Raden Dewia, ditu di umah I Dukuh, jani Ida suba waras, Raden Dewi, I Dukuh nganggon pianak (bait 17 pupuh Ginada). Raden Galuh semakin sehat dan cepat besar dirawat oleh I Dukuh dengan penuh kasih sayang. Cilinaya sangat rajin dan pintar bekerja. Karena kecekatannya membuat dagangan, I Dukuh menjadi hidup sejahtera. Setelah kaya, mereka berhenti berjualan. Hal ini dipaparkan dalam bait 18 – 21 pupuh Ginada dan yang dikutip sebagai contoh hanyalah bait 20 dan 21. I Dukuh kalintang liang, ngajak Ida Raden Dewi, penter mangawe dagangan, ningkahang jumah lebih maju, kencak becat mangitungang sai-sai, I Dukuh ngadep ke pasar (bait 20). I Dukuh manemu sadia, jani suba ya sugih, pacing ngamah yadin nganggo, sareng Ida Raden Galuh, tuara kuang mas selaka, yadin pipis, suba suud ya madagang (bait 21). Pada suatu saat, Raden Galuh menyampaikan jati dirinya karena didesak oleh I Dukuh. I Dukuh sangat sedih mendengarkan kisah Raden Galuh, yang dilukiskan dalam bait 22 – 27 pupuh Ginada. Berikut ini dikutip hanya bait 26. Nira suba I Galuh Deha, nguni sareng Prameswari, kakutang tengahing alas, pagawen I Bibi Liku, meling ring I Biyang seda, raris nangis, yeh panone deres membah (bait 26). Raden Galuh (I Cilinaya) berusaha menolak cinta Raden Jayasemara dengan banyak alasan. Mereka bertemu ketika Jayasemara beristirahat di rumah I Dukuh setelah berburu binatang. Hal ini dilukiskan dalam bait 37 – 44 pupuh Ginada, dan yang dikutip hanyalah bait 40 dan 44. Raaden Mantri ngandika, lega nyai beli nampi, tumuli mangambil roko, Raden Mantri gaok manulu, manyingak I Cilinaya kadi ratih, Raden Mantri Ida bungsang (bait 40). Raris Ida ngandika, tui saja keto nyai, Cilinaya matur nembah, wiakti sapunia Ratu, jaga napi ngarsayang titiang, titiang pamit, salit ngiring pakayunan (bait 44). I Cilinaya tidak dapat menolak lagi, lalu dinikahi oleh Raden Jayasemara. Hidup mereka bahagia dan telah dikaruniai anak laki-laki. Kutipan berikut menyatakan hal itu. I Cilinaya lintang suka, sayange tan sipi-sipi, parekan wang jero katah, lanang istri ngayahin ditu, sakita karepe reko, Rabden Mantri, mara taen ida tulak (bait 55 pupuh Ginada).


Ni Nyoman Karmini 262 Raden Mantri lintang suka, tur maputra lanang apekik, mula tuah stri utama, wicaksana kawia mulus, asin magenah ring pura, mangdanin, jegege tuara da pada (bait 56 pupuh Ginada). Kebahagiaan I Cilinaya tidak berlangsung lama dan berganti menjadi sebuah penderitaan, yakni ia harus mati. Namun, sebelum berangkat ke hutan Pandan Sekar, I Cilinaya sempat menulis surat untuk suaminya. Isi suratnya menyatakan bahwa ia adalah I Galuh Daha sepupunya dan mohon pamit untuk mati, seperti dikutip berikut ini. Tumuli raris manyurat, yeh panonen deres mijil, mangkin Beli sauninga, titiang putra Ida Sang Prabu, Nata Ratune ring Deha, kari cerik, kakutang tengahing alas (bait 90). Sareng Ida Prameswarya, kakutang apanga mati, pakayunan Ida I Bapa, saking patuduh I Liku, sue titiang nandang lara, kasih-asih, I Biang ngalahin seda (bait 91 pupuh Ginada). Lami san titiang ring alas, naan lara sedih kingking, suka san ngemasin pejah, prapta ya i rangda Dukuh, olas nuduk nganggon pianak, buung mati, jani masih payu pejah (bait 92 pupuh Ginada). Kesalahan I Cilinaya adalah karena menjadi menantu raja, sedangkan status sosialnya dipandang tidak jelas. I Cilinaya dibunuh oleh I Patih atas perintah Raja di hutan Pandan Sekar, sedangkan putranya masih menyusu, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Kasuduk I Cilinaya, cening bagus meme mati, dadi rudirane muncrat, tiba ring rare asusu, ebah ida manungkayak, mula kangin, rarene tan sah masusua (bait 116 pupuh Ginada). Penderitaan I Cilinaya, juga dirasakan oleh Jayasemara suaminya. Jayasemara sesambatan begitu melihat mayat istrinya dan lalu ia tidak sadarkan diri. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 138 – 142 pupuh Ginada. Sebagai contoh hanya dikutip bait 142. Ajak Beli sareng pejah, sarengang alih i cening, jaga napi juwa kariang, raris ida gelisan kantu, tan meling ida ring raga, kecud kuning, macepol tiba ring tanah. Penderitaan yang dialami seseorang belum tentu berakhir dengan kematian. Hidup mati seseorang itu adalah rahasia Tuhan. Jika beliau menghendaki orang itu mati, maka matilah ia dan jika tidak, maka ada tangan-tangan ajaib yang menolong untuk lepas dari kematian. Hal seperti itu dialami oleh tokoh perempuan I Cilinaya (I Galuh Daha). Pada masa kecil, ia hampir mati karena kekurangan makan dan minum sebab ditinggal mati oleh ibunya, lalu datang I Dukuh sebagai penolongnya. Kemudian setelah berkeluarga, I Cilinaya dibunuh oleh I Patih atas perintah Raja karena dipandang status sosialnya tidak jelas. Tuhan


Perempuan dalam Geguritan Bali 263 belum menghendaki I Cilinaya mati, maka ia dihidupkan kembali oleh Hyang Giri Putri atas perintah Hyang Çiwa. Lalu mereka kembali ke rumah. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 143 – 148 pupuh Ginada. Berikut ini hanya dikutip bait 148. Jaga napi malih uripa, depang suba titiang mati, emad menandang sengsara, Raaden Mantri manyaup, nguda adi buka keto, suud sedih, jalan mulih ne ka taman. I Cilinaya merasa didera hatinya oleh rasa ragunya tentang keselamatan dirinya, karena Jayasemara ditugaskan kembali ke hutan untuk mencari perkutut putih oleh Raja. I Cilinaya hanya bisa menangis mengingat penderitaan yang dialaminya, lalu ia bangkit karena nasihat suaminya dan kasih sayang kepada anaknya serta mengingat kuasa Tuhan. Hal ini dilukiskan dalam bait 153 – 156 pupuh Ginada; dan bait 1 pupuh Sinom 2. Berikut ini hanya dikutip bait 1 pupuh Sinom 2. Duh Dewa Ratu masmirah, atur titiange rengenin, jumah adi apang melah, i cening dini puponin, astiti apang becik, yan sida sadia rahayu, keto adi ja ingetang, I Cilinaya mangeling, raris matur, Raaden Mantri mangaras. Cilinaya adalah tokoh perempuan yang sejak kecil mengalami penderitaan. Cilinaya kecil hampir meninggal karena tidak makan dan minum sejak ibunya meninggal, lalu dipungut oleh I Dukuh. Cilinaya yang ditolong oleh I Dukuh, berusaha keras mensejahterakan kehidupan I Dukuh dengan rajin bekerja dan memang ia perempuan yang terampil, sehingga kehidupan I Dukuh menjadi sejahtera. Setelah dewasa, Cilinaya menikah dengan Jayasemara. Cilinaya pun juga mengalami penderitan yang disebabkan oleh kekuatan antagonistik yang berupa kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, yakni ia dibunuh oleh Ki Patih atas perintah raja karena status sosialnya tidak jelas. Namun, kebenaran tetap benar, Cilinaya dihidupkan kembali karena ia tidak berdosa. Ia pun tabah dan pasrah dalam menjalani kehidupan ini demi cinta kasihnya kepada anak dan suaminya. Apa yang diuraikan di atas sangat sesuai dengan cita-cita dan perjuangan Feminis yang menekankan bahwa perempuan harus bekerja dan mampu menjadi pembuat keputusan yang otonom. Dan sangat sesuai pula dengan pendapat Vivekananda, bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka dengan cara mereka sendiri. Geguritan Dewi Sakuntala Permasalahan yang dialami oleh tokoh perempuan dalam Geguritan Sakuntala adalah Sakuntala menjadi istri Raja Duswanta (perkawinan gandarwa) tanpa saksi pernikahan dan janji Duswata hanya diketahui


Ni Nyoman Karmini 264 oleh mereka berdua saja. Penggambaran peristiwa ini tersurat dalam bait 12 – 18 pupuh Smaranmdana dan yang dikutip sebagai contoh hanya bait 14 dan 18. Ngawetuang anak alit/ sangkaning titiang ngiringang/ munggwing kayun I Ratune/ sakewanten sadurungnya/ titiang ngaturang raga/ kayunke kadi I Ratu/ ngawentenang pasengketan (bait 14). Sapunika baos Nrepati/ raris Dewi Sakuntala/ nuli ngaturang ragane/ ring Ida Sang Duswanta/ ngelantur gandarwiwaha/ disampune mangkin puput/ pamargan sang masangyoga (bait 18). Setelah perkawinan, Duswanta kembali ke kerajaan dengan janji akan menjemput Sakuntala, yang dilukiskan dalam bait 19 dan 20 pupuh Smarandana di bawah ini. Sang Duswanta mamuit/ maring Dewi Sakuntala/ apti umantuk reke/ mawali ka Hastinapura/ nanging wenten baos ida/ tiba maring sang ahayu/ benjangan rauh ida muah (bait 19). Jaga mendakin Sang Dewi/ sareng mantuk ka Hastinapura/ sapunika baos idane/ tumuli raris mamarga/ ninggal Dewi Sakuntala/ tan kawuwus Sang Prabhu/ misalangit nimbal muah (bait 20). Sakuntala mempunyai putra laki-laki bernama Sarwadamana. Sarwadamana telah berusia enam tahun, tetapi Raja Duswanta belum juga menjemput Sakuntala dan putranya. Peristiwa ini dilukiskan dalam bait 8 – 12 pupuh Misalangit. Sebagai contoh peristiwa ini hanya dikutip bait 8 dan 12. Pirang dina lawas ipun/ Sakuntala kacrita mangkin/ mangembasang putra lanang/ rupane lintang apekik/ sampun reke sinangaskara/ olih Ida Sang Maharesi (bait 8). Nanging Duswanta Prabhu/ keantos rahina wengi/ rauh idane ka pasraman/ sakewanten jantos mangkin/ durung pisan ida mangundang/ nitah i putra ka puri (bait 12). Sakuntala sangat sedih, namun ia memendamnya. Sang Mpu mengetahui kesedihan Sakuntala. Oleh karena itu, Sang Mpu menyuruh seorang pertapa mengantar Sakuntala ke Hastinapura. Hal ini tersurat dalam bait 13 dan 14 pupuh Misalangit yang dikutip di bawah ini. Makawinan Sang ahayu/ Sakuntala dahat sedih/ sering nangisin i putra/ indike punika sami/ kauningin Sang Bhagawan/ ne ngawe sang diah sedih (bait 13). Irika raris Sang Mpu/ manitah sisiane mangkin/ mangiringang Sakunatal/ ngaturang putrane ka puri/ majeng Ida Sang Duswanta/ pupuh durma manyarengin (bait 14). Sakuntala dan Sarwadamana serta seorang pertapa telah sampai


Perempuan dalam Geguritan Bali 265 di Hastinapura. Pada saat itu, Raja Duswanta sedang dihadap oleh patih, para punggawa, para mantri. Mereka bertiga menyembah Raja, lalu Sakuntala menyampaikan perjanjian raja dahulu. Hal ini dilukiskan dalam bait 1 – 6 pupuh Durma, yang dikutip berikut ini hanya bait 1 dan 4 sebagai contoh. Memargi Sang Sakuntala lan i putra/ kairing antuk sisia adiri/ tan kocapan ring jalan/ digelis sampun prapta/ ring Hastinapura mangkin/ duk punika/ Sang Nata sedek katangkil (bait 1). Ngenca jagat iriki ring Hastinapura/ sira madeg nrepati/ ngelinggihin singgasana/ nika daging pasengketan/ makawinan duke nguni/ kadi titiang/ ngaturang raga ring i gusti (bait 4). Mendengarkan hal itu raja sangat marah dan menyuruh Sakuntala pergi. Peristiwa ini dipaparkan dalam bait 7 – 10 pupuh Durma. Sebagai contoh hanya dikutip bait 9. Nganggon kurnan tapa tapi liwat nista/ buina apang tawang nyai/ dini di Hastina/ minab tuara kuangan/ ratna ayu istri luwih/ dija nyandang/ buka gelah ngalih nyai. Sakuntala menjadi sangat sedih karena jengah. Lalu kembali ia berkata bahwa setiap orang yang berjanji harus menepatinya, seperti dinyatakan berikut ini. Naweg pisan duh Ratu Duswanta/ becikang Ratu miarsi/ asing sang masengketa/ yogya ika katetesang/ mangda natan ngalempasin/ tur nyejerang tan kadi manah I Gusti (bait 12 pupuh Durma). Kini jelaslah bagi Sakuntala bahwa Duswanta ingin mengingkari janji sebab tidak ada saksi satu pun tentang pernikahannya. Akan tetapi, bagaimanapun saksi yang berupa sang meraga atma yang berada di dalam raga tetap sebagai saksi. Oleh karena itu, Sakuntala menegaskan kepada raja jangan sekali-kali mengingkari janji sebab itu berarti mendustai Tuhan. Dan, masih banyak kata-kata yang disampaikan oleh Sakuntala. Hal ini tersurat dalam bait yang dikutip di bawah ini. Tan wenten jadma yadin tan wenten parekan/ sang jaga marupa saksi/ sira jaga nawang/ indik nyamah Sakuntala/ sapunika yun nrepati/ dong sampunang/ i ratu salit pemargi (bait 14 pupuh Durma). Pemargan ratu sane kadi sapunika/ nyelap amuta sang malinggih/ sang mraga atma/ sane malingga ring raga/ ngalingganin ragan I Gusti/ mapan ida/ sang maga brahma sakti (bait 15 pupuh Durma). Sakuntala berkata lagi. Baginda pantas marah sebab saya perempuan hina, kurang pikiran, kurang sastra karena saya orang kecil, dari hutan, anak pertapa sangat miskin. Namun, tolong diingat hanya anak yang dapat membuat orang tuanya bahagia. Putra Baginda berwibawa seperti


Ni Nyoman Karmini 266 Baginda. Lukisan peristiwa ini dimuat dalam bait 20– 27 pupuh Durma, dan yang dikutip sebagai contoh hanya bait 20. Nanging patut i ratu asapunika/ dening titiang mawak istri/ kalih lintang nista/ tuna manah tuna sastra/ mapan jadmi tapi bengil/ wong alasan/ panak tapa liwat miskin. Mendengar perkataan Sakuntala, Raja Duswanta bertambah marah dan mengusir Sakuntala kembali. Hal ini dilukiskan dalam bait 28 – 32 pupuh Durma dan yang dikutip hanya bait 32. Mapan keto kemo nyai age makaad/ magedi uli dini/ koja pati gadab/ ngankenin dewek gelah/ pongah ngangkenin suami/ apan gelah/ tuara kurang istri lewih. Sakuntala semakin sedih hatinya. Lalu ada suara dari awang-awang, yang menyatakan kebenaran kata-kata Sakuntala. Semua yang hadir di sana mendengarkan suara itu. Setelah itu, barulah Raja Duswanta menerima Sarwadamana putranya dan Sakuntala istrinya. Peristiwa ini diungkapan dalam bait 33 – 40 pupuh Durma. Berikut ini hanya dikutip bait 34 sebagai contoh. Yen munggwing daging sabdakasa punika/ uduh nanak sri nrepati/ Sang Sarwadamana/ pituhu putra I Dewa/ atur Sakuntala sami/ maka jatya/ patut Dewa mangeganin. Sakuntala memohon maaf kepada semua hadirin. Duswanta pun menyerahkan singgasana kepada Sarwadamana dengan nama Bharata. Hal ini dilukiskan dalam bait 41 – 44 dan yang dikutip sebagai contoh hanya bait 42. Bebaos sabda Barswa Putran Duswanta/ sapunika ling Sri Nrepati/ Dewi Sakuntala/ taler nunas pengampura/ majeng patih tanda mantri/ ring punggawa/ daging bebaose i tuni. Tokoh perempuan Sakuntala adalah tokoh yang mempunyai kemampuan luar biasa. Tokoh perempuan yang berpendidikan, berani berbicara kebenaran dan berani menuntut janji seorang raja besar dan berkuasa. Sakuntala perempuan kuat. Ia sanggup dan mampu menahan diri sampai putranya berusia enam tahun. Mengingat hak dan kepentingan sang anak, Sakuntala pun sanggup menghadap dan mengungkap kebenaran di hadapan Raja Duswanta walaupun ia mengalami hinaan dan diusir oleh raja. Berkali-kali Sakuntala menggugah hati raja, berkalikali juga Sakuntala diusir dengan berang oleh raja. Sakuntala terus memperjuangkan harga dirinya dan hak putranya, walaupun hatinya pedih. Perjuangan Sakuntala akhirnya berhasil. Ia diakui istri dan anaknya dijadikan Raja dengan nama Bharata. Apa yang diuraikan di atas sesuai dengan cita-cita dan perjuangan


Perempuan dalam Geguritan Bali 267 Feminis yang menekankan bahwa perempuan harus berpendidikan sebab dengan pendidikan perempuan dapat menjadi pembuat keputusan yang otonom, dan mampu menunjukkan esensial keperempuanannya. Dan, sesuai pula dengan pendapat Vivekananda bahwa perempuan harus diberi tempat untuk memecahkan sendiri persoalan mereka dengan cara mereka sendiri. Tindakan Sakuntala juga sejalan dengan pernyataan Adia Wiratmadja (1988:86), yakni tujuan perkawinan adalah mengadakan, mengusahakan kebahagiaan bersama dan mengadakan keturunan untuk mempertahankan umat manusia dan berlangsungnya jenis manusia. Dasar perkawinan adalah cinta sejati dan penyerahan diri secara bulat, agar perkawinan menjadi kokoh, tidak mudah goyah. Demikian juga, tindakan Sakuntala sangat sesuai dengan pernyataan yang dikutip dari Manawa Dharmasastra III.60, yakni “Pada keluarga jika suami berbahagia dengan istrinya demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal” (Pudja dan Sudharta, 1973:150). Sosok Perempuan dalam Teks Geguritan yang Dijadikan Objek Setelah dipaparkan situasi, permasalahan dan cara pemecahan masalah yang dilakukan oleh tokoh perempuan, maka selanjutnya dapat digambarkan tentang perempuan dalam teks geguritan Bali. Penggambaran perempuan yang dimaksudkan di sini adalah penggambaran tokoh dan pribadi tokoh perempuan yang mampu menghormati keperempuanannya dan mampu memangku tugas perempuan. Penggambaran perempuan yang ditemukan dalam teks dapat dipaparkan berikut ini. Perempuan yang Kuat Sebelum digambarkan mengenai perempuan yang kuat, dipandang perlu penjelasan kata “kuat” di sini. Arti kata kuat dalam KBBI (1996:534) banyak sekali, yakni sampai sebelas arti. Penelitian ini menggunakan arti kata kuat yang nomor tiga, yakni “Tidak mudah goyah (terpengaruh), kukuh, teguh (tentang iman, pendirian, kemauan)”. Penggambaran perempuan yang kuat, baik melalui kalimat, maupun bait terdapat pada semua geguritan yang diteliti. Penggambaran perempuan yang kuat dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. 1) Sosok perempuan yang kuat terdapat dalam Geguritan Dreman Penggambaran perempuan yang kuat dalam Geguritan Dreman tercermin pada tokoh perempuan I Suanggadarmi. Tokoh I Suanggadarmi tetap melayani keperluan suaminya walaupun madunya (I Wijasantun) marah, matanya mendelik, kadang berludah di depannya, menghina, menyindir, mengumpat dengan kata kasar, dan lain-lain. I Suanggadarmi


Ni Nyoman Karmini 268 tetap pada prinsipnya yakni menjalankan tugas sebagai seorang istri, seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut ini. ... I Dreman delo ulate, ne kakung takut tuminggal (Dreman, bait 19 pupuh Adri 1). I Dreman ya mingkah-mingkuh, nyurere ulate, lakine delo-delo, bane ngarumrum madu, gila gedeg ya mandulu, somahe ya keek-keek, pesu gila sumbung-sumbung, Tanporat takut matangah, apan ipun kajosbrana (Dreman, bait 20 pupuh Adri 1). … Dreman menggot-menggotan, makecuh nguncab basehan (Dreman, bait 22 pupuh Adri 1). I Dreman keni pasumbung, gila ring madune, ban ditu ngayahin rabi, paliate nyarap kayun, dela-delo kecah-kecuh, … (Dreman, bait 24 pupuh Adri 1). Titiang nguda ajak beli masulub, tuara udayane, mamanjakin cicing bengil,… (Dreman, bait 32 pupuh Adri 1). I Dreman jani ya sendu-sendu, nyimbingin madune, seler-seler medek laki, genit uyang mabiluluk, tuara jenek di padunung, liu bahan manyangkeyang,… (Dreman, bait 55 pupuh Adri 1). I Wijasantun jani sumaur, saurin madune, bangun mara ring palinggih, manuding munyi banglus, manyingcingang sinjang ipun, gede san ambek ibane, lami iba jwa mamungkul, twara taen nguluh gondang, maturu iba I Bulah (Dreman, bait 57 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi selalu siap menjadi tempat penumpahan kemarahan dan penghinaan madunya sebab ia berprinsip meguru laki, satia, dan memperbaiki kehidupannya supaya di kehidupan mendatang dapat lebih baik dari sekarang. Tujuan I Suanggadarmi adalah supaya suaminya terhindar dari kemarahan dan caci maki madunya. Sehubungan dengan itu, I Suanggadarmi selalu berusaha menasihati suaminya supaya tidak menegur atau menyalahkan I Wijasantun. Contoh I Jatiraga menegur istri keduanya dapat dilihat pada kutipan berikut. … I Jatiraga mangucap, rain beli Wijasantun, eda Gusti ulah manah, anak patut ala darma (Dreman, bait 24 pupuh Adri 1). I Jatiraga sumaur alus, patute ujare, sareng beli mangemasin, musuh tekening patut, dadi Gusti nyalit kayun,… (Dreman, bait 26 pupuh Adri 1). … ariningsun Wijasari, iwang kayun pakulun, eda Gusti ngambek dudu, manyama Gusti pang melah, ajak dane rakan ayu…(Dreman, bait 30 pupuh Adri 1). Contoh kemarahan I Wijasantun saat ditegur oleh suaminya. I Wijasantun mangke sumaur, bangras ta ujare, rabine care-carian, kema Gusti jwa manyungsul, medem kula ja manyintud, kubunang jwa sinjange, rabi sayang lintang ajum, uli sue tuara tangeh, singja saget pongpong semal (Dreman, bait 25 pupuh Adri 1).


Perempuan dalam Geguritan Bali 269 I Wijasantun jani umatur, apa ta ujare, kenken sira kang alaki, beneh ujare bane luung, beli nyandang twah manyulsul, mangulah awet ragane, titiang sing nyak jua manyulsul,… (Dreman, bait 31 pupuh Adri 1). Munyine tan pakelatu, langgah tur langgana, nora ipun papakering… (Dreman, bait 34 pupuh Adri 1). Kutipan berikut memaparkan nasihat I Suanggadarmi kepada suaminya agar tidak menegur I Wijasantun dan ia siap disalahkan. I Swanggadarmi jani amuwus, tuturin lakine, sampun Gusti nyebet ati, Beli titiang bakti Ratu, mangaryanang Beli lungguh, titiang nasarin I Dewa, sakalan beline ratu, Sang Citrabala miroga, mantuk ring Betara Yama (Dreman, bait 27 pupuh Adri 1). Keto Tanporat jani umatur, bakti marabine, apang suci maring laki, mamanjakin satia tuhu, apang anut munyin tutur, tutugang astiti brata, sajelen somahe salud, tatakin ban sadu darma, migran watek Dewata (Dreman, bait 28 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi jani ya rawuh, ngarungu lakine, matukar mangajak rabi… (Dreman, bait 33 pupuh Adri 1). … embok ngiring pacang salah, yadian embok umbahayun, kewala da rakan I Mirah, sayangan sih bareng sumbah (Dreman, bait 34 pupuh Adri 1). I Suanggadarmi jani umatur, tuturin lakine, sampun Gusti nyalah arsi, manah titiange rahayu, twara ngutang munyin tutur, bakti mantuk ring I Dewa, twara titiang nganti madu, sadian titiang buat mamanjak, manyokor sahi manyumbah (bait 64 pupuh Adri 1). 2) Sosok perempuan yang kuat terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri Tokoh Sawitri adalah tokoh yang satia wacana karena melaksanakan ajaran trikaya parisuda. Walaupun pilihannya (calon suaminya) dinyatakan usianya hanya masih setahun, ia tidak mengubah pilihannya. Hal ini dinyatakan oleh tokoh sendiri dan juga oleh tokoh lain, seperti yang dikutip berikut ini. Taler ya wantah apisan, bebawose kengin mijil, pacang manyerahang angga, maring onengin ring kayun, maka tetiga punika, tan mindowin, wantah apisan punika (bait 31). Maring ida Sang Satyawan, mogi rahayune panggih, santikane nenten pasha, rehning putrin cening agung, ngemanggehang terikaya, Bapa mulih, mawali ke swargaloka (bait 35). Hari kematian suaminya pun selalu diingat oleh Diah Sawitri. Menjelang kematian tersebut datang, Diah Sawitri melakukan brata semedi selama tiga hari tiga malam walaupun ia dilarang oleh mertua dan suaminya. Ia tetap melakukan dengan harapan kematian suaminya dapat terhindarkan. Hal ini dipaparkan dalam bait berikut ini.


Ni Nyoman Karmini 270 … crita petang dina malih, Sang Satyawan pacang lampus, Diah Sawitri sayaga, nangun brata dahat siddhi, wastan ipun, brata triratra tan liyan (Diah Sawitri, bait 48 pupuh Sinom). Karena Diah Sawitri taat pada pelaksanaan ajaran tat twam asi yang dilaksanakan dengan cinta kasih, bakti dan rela berkorban, trikaya parisuda yang dilaksanakan lewat kayika (tingkah laku yang baik), manacika (pikiran yang baik), wacika (perkataan yang baik); dasa niyama brata yakni berupa sepuluh pengendalian diri atau sikap mental, yaitu dana, ijya, tapa, dyana, swadhyaya, upasthanigraha, brata, upawasa, mona, dan snana; dasa yama brata, yakni berupa sepuluh pengendalian hawa nafsu, yang meliputi: anresangsya atau arimbawa, ksama, satya, ahimsa, dama, ardjawa, priti, prasada, madurya, dan mardawa yang tersurat dan tersirat dalam sebagian besar cerita, tapa brata yang dilakukannya berhasil. Keberhasilan Diah Sawitri dalam melakukan tapa brata tersebut, ia dapat melihat kedatangan Hyang Yama pada saat mengambil nyawa suaminya dan mendapat izin untuk berbicara dengan beliau, yang dilukiskan dalam kutipan berikut ini. … eling bawos Hyang Narada, maring dinane mangkeku, Sang Satyawan nandang pejah, nuli kaksi, wenten anak wahu prapta (Diah Sawitri, bait 64 pupuh Ginada). Busanane sarwa barak, makutane sarwa manik, angga ageng medal teja, kadi tejan surya murub, carma selem aksi barak, makta tali, yukti dahat kabinawa (Diah Sawitri, bait 65 pupuh Ginada). Ngadeg samping Sang Satyawan, nuli mandreng mangresresin, Diyah Sawitri manyingak, jejeh kayune kalangkung, prabhun swami kagenahang, ring prethiwi, raris digelis jumelag (Diah Sawitri, bait 66 pupuh Ginada). Naweg Ratu wahu prapta, rupa agung tan patanding, yan tan iwang titiang marna, janten ya Dewa I Ratu, sapasira kang puspata, makta tali, napi wenten prayojana (Diah Sawitri, bait 67 pupuh Ginada). Sang Hyang Yama mangandika, uduh cening Diah Sawitri, sang pagehing patibrata, upawasa wus linaku, ento ne mangawanang, cening dadi, mabawosan ngiring Bapa (Diah Sawitri, bait 68 pupuh Ginada). Bapa wantah Sang Hyang Yama, Sang Satyawan swamin cening, sangkukalanya wus prapta, awanan ya Bapa rawuh, ngambil atman Sang Satyawan, kal talinin, keto dewa apang tatas (Diah Sawitri, bait 69 pupuh Ginada). Diah Sawitri matur banban, titiang sampun wus miragi, munggwing swadharman Bhatara, ngambil jiwatman sang lampus, napi sane mangawinang, munggwing warni, manusa kreti kang rupa (Diah Sawitri, bait 70 pupuh Ginada). Sang Hyang Yama mangandika, Sang Satyawan nara lewih, nenten simpang maring dharma, punia karma pekik sadhu, awanan Bapa ngaraga, rawuh ngambil, jiwatmannya Sang Satyawan (Diah Sawitri, bait 71 pupuh Ginada).


Perempuan dalam Geguritan Bali 271 Setelah jiwa Sang Satyawan diambil oleh Hyang Yama lalu dibawa berangkat mengarah ke selatan. Diah Sawitri terus mengikuti sehingga Hyang Yama menyuruhya kembali untuk mengupacarai mayat Sang Satyawan dan menyatakan jodohnya hanya sampai di situ. Namun, Sawitri tidak mau kembali sebab ia hanya mengikuti tata susila sebagai istri. Sawitri terus berbicara dengan menyatakan bahwa tapa brata telah dilakukan, berbakti kepada leluhur, melaksanakan patibrata, berbakti dan menghormati Hyang Yama serta seizin beliau, ia akan terus mengikuti perjalanan beliau. Sawitri juga menyatakan bahwa sang berjalan bersama-sama di awan sepanjang tujuh langkah, mereka menjadi sahabat dan sebagai sahabat harus saling setia. Untuk mencapai paramartha harus melaksanakan catur asrama (brahmacari, grehastha, wanaprastha, dan bhiksuka) seperti yang dilukiskan dalam bait berikut. Hyang Yama raris mamarga, mangidul punang pamargi, Diah Sawitri nenten pasha, nutug pamargin sang lampus, Sang Hyang Yama mangandika, duh Sawitri, yogia cening tulak budal (Diah Sawitri, bait 73 pupuh Ginada). Durus geseng punang sawa, amonto patemun cening, pamargine adoh pisan, tan pinaran manuseku, arang wenten manyidayang, rawuh mriki, yening tan anak utama (Diah Sawitri, bait 74 pupuh Ginada). Diah Sawitri matur sembah, kija ugi sang siniwi, napike pakarsan ida, napi saking liyan iku, titiang nutug saparana, maka ciri, titiang nuluh tata krama (Diah Sawitri, bait 75 pupuh Ginada). Majalaran tapa brata, bhakti ring sang lingsir malih, teleb ngamong patibrata, bhakti asih ring siniwi, antuk swecan Ratu malih, pamargin titiang manutug, nenten sida kaandegang, antuk sapasira ugi, liyan iku, wenten malih panggih titiang (Diah Sawitri, bait 76 pupuh Sinom). Kabawos olih sang prajnyan, sang uning ring patut jati, sang marerod maring hawan, pitung dungkangan mamargi, sang kalih ya masampriti, titiang mamargi doh langkung, ngiring Paduka Bhatara, patut wantah masampriti, Ratu patut, tuhu satya ring sawitra (Diah Sawitri, bait 77 pupuh Sinom). Sang tan sida mitet dirya, nenten sida mituwasi, ngelarang catur asrama, Brahmacari kaping siki, Grehasthane kaping kalih, Wanaprastha kaping telu, Bhiksukane kaping empat, pikolih gama linewih, sida mangguh, sujatining kapatutan (Diah Sawitri, bait 78 pupuh Sinom). Mendengarkan perkataan Sawitri Sang Hyang Yama sangat senang. Oleh karena itu, Sawitri boleh memohon anugrah kecuali roh Satyawan, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut. Sang Hyang Yama mangandika, pragatang amonto cening, Bapa suka mamirengang, atur cening dahat lewih, matiti luhuring budhi, durusang cening ngalungsur, waranugraha maring Bapa, wantah asiki ya dadi, len ring iku, jiwatmannya Sang Satyawan (Diah Sawitri, bait 80 pupuh Sinom).


Ni Nyoman Karmini 272 Setelah Sawitri mendapat anugrah pertama, ia disuruh kembali ke mayat suaminya. Sawitri tetap menolak sebab ia tidak merasa lelah jika telah bersama suaminya. Kesedihan Satyawan adalah kesedihan Sawitri. Ke mana pun dibawa, Sawitri tetap mengikuti sambil berbincang-bincang dengan Bhatara yang pasti berpahala baik. Mendengar perkataan Sawitri seperti itu, Hyang Yama kembali memberi anugerah kecuali roh Satyawan, seperti dikutip berikut ini. Duhkitannya Sang Satyawan, dados pakewuhing diri, kija pacang bwat Bhatara, belin titiang sang kinasih, mrika titiang nutug pasti, mabawos ngiring I Ratu, sang maraga wicaksana, janten pikolihnya lewih, muwuh luhung, masampriti ring sang prajnyan (Diah Sawitri, bait 83 pupuh Sinom). Setelah mendapat anugerah kedua, Sawitri disuruh kembali ke mayat suaminya dan disuruh berhenti menyiksa diri. Namun, ia terus berbicara dengan menyatakan bahwa sang dharmika mempunyai swadharma, yakni tidak menyakiti berdasarkan trikaya, welas asih, sadhu budhi, senang menolong, walaupun kepada musuhnya asal minta tolong pastilah ditolong. Dengan perkataannya itu, Sawitri memperoleh anugrah ketiga, kecuali roh Satyawan, seperti dikutip berikut ini. Swadharmaning sang dharmika, tan nyengsaren sira ugi, malantaran terikaya, prama tulung welas-asih, sang mangamong sadhu budhi, suka girang matetulung, yadyastu maring masehnya, pade nunas sraya kanti, jeg katulung, sapunika swabhawannya (Diah Sawitri, bait 87 pupuh Sinom). Sawitri dipersilakan kembali sebab perjalanan semakin jauh. Namun, Sawitri menyatakan dirinya kuat, mengantar suaminya dengan tidak memperhitungkan kejauhannya. Dan Sawitri menyatakan bahwa manusia sangat percaya kepada sang dharmika lalu bersahabat dan tali persahabatan adalah welas-asih. Dari pernyataan itu, Sawitri mendapat anugrah keempat, kecuali roh Satyawan. Sawitri mohon supaya memiliki anak, seperti kutipan berikut ini. Kancan manusane sami, percaya ring sang dharmika, nuli masampriti reko, welas-asihe punika, manggeh talin pasawitran, asih maring sabhuteku, margi dahat mahottama (Diah Sawitri, bait 92 pupuh Smarandana). Diah Sawitri awot sari, inggih Ratu Panembahan, mogi ngelah putra kawot, satus diri wilangannya, panglantur sentanan titiang, nika lungsur titiang Ratu, mogi asung waranugra (Diah Sawitri, bait 94 pupuh Smarandana). Diah Sawitri disuruh pulang sebab perjalanan masih sangat jauh. Namun, ia berbicara lagi dengan menyatakan bahwa sang sadhu budhi teguh memegang kebenaran. Kehidupan di dunia ini bergantung pada budhi sadhu untuk membuat persahabatan sehingga manusia menjadi senang (mudita) berdasarkan keikhlasan, tidak berharap keributan, tidak mementingkan diri sendiri (anresangsia), serta tidak berharap dipuji-


Perempuan dalam Geguritan Bali 273 puji. Perilaku sang budhi sadhu tidak pernah merusak dunia melainkan menjadi sahabat dunia. Hyang Yama semakin senang mendengarkan perkataan Sawitri, karena itu ia memperoleh anugerah lagi, yakni roh Satyawan dikembalikan sehingga Satyawan hidup kembali, seperti dikutip berikut ini. Rehning ida wikan pisan, sang mangamong sadhu budhi, setata ngawe mudita, matiti lascaryan kayun, tan ngacep pratyupakara, tan nresangsi, nenten edot kaajumang (Diah Sawitri, bait 99 pupuh Ginada). Sang Hyang Yama mangandika, sayan akeh atur cening, lewih tan pendah amreta, sane patut ya pituhu, duh dewa sang patibrata, durus cening, malih nunas waranugra (Diah Sawitri, bait 101 pupuh Ginada). Sang Hyang Yama mangandika, Bapa ngalugrahin cening, atman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata (Diah Sawitri, bait 104 pupuh Ginada). 3) Sosok perempuan yang kuat tercermin dalam Geguritan Damayanti Tokoh perempuan Damayanti adalah tokoh satia (satyeng laki), patibrata. Berkali-kali Damayanti disarankan untuk kembali Widarbha, tetapi ditolak. Damayanti hatinya sangat hancur melihat suami tanpa kekuasaan, tanpa kekayaan, tanpa negara. Menurutnya, istri adalah pendamping suami, teman sejati pada saat suami mengalami penderitaan. Damayanti tidak mengasihi dirinya, justru ia sangat kasihan kepada Prabhu Nala, seperti dilukiskan pada kutipan berikut ini. Nenten kantun nyeneng agung, artha jagat telas ledis, lara lapa tan busanan, sapunapi titiang raris, sida ninggal naranatha, maring alas kasih-asih (Damayanti, bait 2 pupuh Ginanti 1). Janten Ratu muwuh sungsut, nenten wenten prakanti, rehning jeroning duhkita, wantah rabine pinasti, dados kanti mahottama, amongan sang satya laki (Damayanti, bait 3 pupuh Ginanti 1). Titiang tuhu nenten angen ring sikian, wantah anggan Sri Nrepati, sane padalem titiang, nandang duhka lara lapa, sira pacang dados kanti, rehning titiang, tinggal Ratu yan iriki (Damayanti, bait 5 pupuh Durma 2). Damayanti perempuan satyeng laki, patibrata. Saat ia dililit ular, ia ditolong oleh seorang pemburu lalu ia hendak diperkosa. Damayanti mohon kepada Tuhan supaya orang yang mau menyentuhnya mati seketika karena ia satyeng laki, patibrata, seperti dlukiskan dalam kutipan berikut ini. Yening manggeh patibrat, durus tulung titiang mangkin, sang marikosa titiang, nenten pakarana lampus, Damayanti sihin Hiyang, sang duskreti, mgelebug nuli pejah (Damayanti, bait 3 pupuh Ginada 3). Damayanti sangat yakin bertemu kembali dengan Prabhu Nala.


Ni Nyoman Karmini 274 Setelah ia pulang ke Widarbha, keinginannya untuk bertemu dengan Nala sangat kuat. Oleh karena itu, dibuat siasat untuk memancing kedatangan Nala, yakni dengan membuat sayembara dan dengan hanya mengundang Raja Rituparna. Kemudian dengan segala cara, maka diketahuilah bahwa Wahuka adalah Prabhu Nala. Usaha keras Damayanti berhasil dan mereka kembali hidup berbahagia, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Makawinan malih ngardi swayambara, wantah pangupaya ugi, mangda Ratu prapta, rehning titiang polih gatra, maring Ayodhya negari, wenten anak, nyawis gending titiang pasti (Damayanti, bait 3 pupuh Durma 5). 4) Sosok perempuan yang kuat Tercermin dalam Geguritan Ni Candrawati Tokoh perempuan Ni Candrawati adalah tokoh yang kuat. Ia menerima takdir, yakni hamil karena dijamah Hyang Smara saat memuja. Ia tidak takut menjalani hukuman dibuang ke hutan untuk mempertanggungjawabkan kehamilan yang terjadi pada dirinya walaupun hal itu di luar kehendaknya. Ia juga tidak mau ditemani oleh Ki Patih dan rakyatnya di hutan sebab hal itu tanggung jawabnya sendiri, seperti saat Sang Ramadewa dibuang ke hutan yang tidak mau ditemani oleh adiknya Brata. Hal ini dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Inggih titiang manguningan, I Ratu katuran mangkin, mamarga kalase wayah, titiang mangiring I Ratu, Ni Candrawati angucap, Paman Patih, gelah tuara lakar tulak (Ni Candrawati, bait 35 pupuh Ginada). Ne ada kojaring sastra, Sang Ramadewa ne nguni, polih Ida ne kakutang, arine sang Brata tumut, masih kayun Ida tulak, keto Patih, tutur Ramane ingetang (Ni Candrawati, bait 55 pupuh Ginada). 5) Sosok Perempuan yang Kuat Terlukiskan dalam Geguritan Brayut Tokoh Men Brayut adalah tokoh perempuan yang kuat. Ia tidak pernah mengeluh bahwa dirinya menjadi jelek karena tidak sempat mengurus diri, ia juga tidak pernah mengeluh bahwa dirinya sangat payah mengurus anak-anaknya. Ia adalah tokoh sederhana. Mereka tetap menjalankan kehidupan ini sesuai nilai-nilai yang diyakininya. Dalam pertengkaran yang terjadi sempat memancing emosi Men Brayut. Namun, akhirnya mereka sama-sama menyadari keberadaannya, seperti kutipan berikut ini. Dadi enduh makadadua, pada manglegayang ati... (Brayut, bait 41 pupuh Sinom Tikus Kabanting). 6) Sosok perempuan kuat tercermin dalam Geguritan Saci Tokoh perempuan Dewi Saci adalah tokoh satia, patibrata. Ia perempuan kuat, tidak goyah oleh godaan Nahusa dan tidak mau dinikahi Nahusa. Ia berusaha meminta bantuan orang lain untuk menemukan suaminya, Dewa Indra. Ia menjalankan siasat Dewa Indra untuk melawan


Perempuan dalam Geguritan Bali 275 kesewenang-wenangan Nahusa. Ia berhasil, Nahusa dikutuk oleh para Resi menjadi ular selama seribu tahun. Suralaya tenteram kembali, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Ngareseh nagih nuronin/ ngumandalang kahagungan/ mangadu akas lengene/ Dewi Saci kaprakosa/ nanging twara da sida/ manangis manguhut entud/ malahib sadya ngaturang (Saci, bait 40 pupuh Smarandana). Ring Bhagawan Wrehaspati/ mangaturang tatingkahan/ Sang Ratu Nahusa jele/ matinggalan kapatutan/ titiang tan wenten suka/ ring Sang Ratu nista rumpuh/ pikun uli ring sasana (Saci, bait 41 pupuh Smarandana). Adi Saci eda kengguh/ patibratane ring beli/ samunyin beli idepang/ sanggupin adi sanggupin/ sapangidih I Nahusa/ eda adi mamiwalin (Saci, bait 22 pupuh Ginanti). Aketo ne jani puput/ piteket beli ring adi/ I Dewi Saci mangrasa/ wiweka tur kasungkemin/ Ida Bhagawan Wrehastya/ dikayun suba katampi (Saci, bait 24 pupuh Ginanti). Sang Resi Ida mamastu/ prajani tulak manyumprit/ tiba di gumine panes/ dadi ula kurus aking/ kasayahan panes ngentak/ siyu tahun sedih kingking (Saci, bait 47 pupuh Ginanti). 7) Sosok perempuan kuat tercermin dalam Geguritan Dyah Arini Tokoh perempuan Dyah Arini menerima tugas berat dari Hyang Indra. Tugasnya menggoda pertapa bernama Trenawindu. Arini meyakini tugas yang diembannya akan gagal dan risikonya berat sekali, tetapi ia tetap melaksanakan tugas tersebut dengan harapan hutang budi kepada atasan terbayar, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut. Anging tan buhungan pedas kena sapa/ apan sang Trenawindu/ kasidyane kasub/ kenken to pwarane panggih/ duh depang palilayang/ ne jani palar ahukud/ singnya sida sadya/ rahayu tulak mulih/ katekan mancana tapa/ ican Sang Indrane puput (Dyah Arini, bait 15 pupuh Demung 1). Lawut manibakin sapa/ tuwara buhung ne jani iba mati/ gedeg kahine kadurus/ bahan iba mapeta/ mapi sadu ngamanis-manisang bungut/ kahi suba tatas nawang/ pambekan ibane jahil (Dyah Arini, bait 17 pupuh Pangkur). 8) Sosok perempuan kuat tercermin dalam Geguritan Cilinaya Tokoh perempuan Cilinaya adalah tokoh yang kuat. Ia berusaha keras untuk mensejahterakan kehidupan I Dukuh, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. I Dukuh kalintang liang, ngajak Ida Raden Dewi, penter magawe dagangan, ningkahang jumah lebih maju, kencak becat mangitungang, sai-sai, I Dukuh ngadep ka pasar (bait 20 pupuh Ginada). Setelah sang tokoh menikah, ia berusaha keras supaya orang-orang yang ada di sekitarnya mencintainya serta menghormatinya, seperti


Ni Nyoman Karmini 276 dikutip berikut ini. I Cilinaya lintang suka, sayange tan sipi-sipi, parekan wang jero katah, lanang istri ngayahin ditu, sakita karepe reko, Raden Mantri, tuara taen ida tulak (bait 55 pupuh Ginada). Sang tokoh pun tetap kuat pada saat dibunuh, karena Sang tokoh dipandang tidak pantas menikah dengan putra seorang raja, sebab status sosialnya tidak jelas. Namun, Tuhan menghidupkannya kembali. Sebagai contoh, hal itu dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Keto reke tuturannya, suka san nira ne jani, mula tuah ganti nira, ne jani ngemasin lampus, eda bibi sareng pejah, nu i cening, mani puan nyen mangemban (bait 73 pupuh Ginada). Sampun suud saperetingkah, anuli ngandika aris, nyen jani muputang titiang, mriki mangkin titiang suduk, apang gelis titiang pejah, nene mangkin, meriki tampekin titiang (bait 111 pupuh Ginada). 9) Sosok perempuan kuat tercermin dalam Geguritan Dewi Sakuntala Tokoh perempuan Sakuntala adalah tokoh yang kuat. berusaha keras untuk memperjuangkan hak anaknya. Walaupun diusir berkalikali, ia tetap berusaha. Akhirnya, hak anaknya tercapai, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut. Krian Patih tanda mantri lan punggawa/ makejang pada miragi/ daging sabdakasa/ ento minaka saksya/ beli marabi ring adi/ tur misadya/ nagingin sengketane nguni (Dewi Sakuntala, bait 40 pupuh Durma). Manyerahang singasana lan kagungan/ marep teken ya i cening/ nanging bisekania/ usan Sang Sarwadamana/ manut sabdan hyang suci/ Sang Bharata/ mungguing bisekan i cening (Dewi Sakuntala, bait 41 pupuh Durma). Perempuan Berpendidikan Sebelum menetapkan perempuan berpendidikan dalam teks-teks yang dikaji, terlebih dahulu perlu ditegaskan pengertian “berpendidikan”. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Depdikbud, 1996:232). Berdasarkan pengertian tersebut, yang dimaksud berpendidikan di sini adalah kemampuan seseorang dalam mengubah sikap ke arah yang lebih dewasa dan bertanggungjawab. Untuk itu, selanjutnya ditetapkan perempuan yang berpendidikan yang terdapat dalam teks yang dikaji. 1) Sosok perempuan berpendidikan terdapat dalam Geguritan Dreman I Suanggadarmi sebagai tokoh perempuan adalah tokoh yang berpendidikan, yang dilukiskan dalam sebagian besar cerita. Kutipan berikut ini hanya salah satu contohnya.


Perempuan dalam Geguritan Bali 277 I Tanporat mangkin masih luwung, nyandat pamulune, arane I Suanggadarmi, romane panjang lecut, langsing lanjar solah alus, sebet wicaksana ring karya, darmaning tastra muuang tutur, rapet bakti ring lakine, sadina-dina manyumbah (bait 10 pupuh Adri 1). Berbeda halnya dengan I Wijasantun, tokoh ini adalah tokoh yang kurang berpendidikan yang tercermin dari ucapannya sendiri. Ia tidak mau belajar sastra (belajar agama) karena belajar sastra menurutnya tidak akan memberikan makanan. Ia tidak mendengarkan nasihatnasihat, hatinya dipenuhi dengki dan iri hati sehingga ia dikuasai dan diperbudak oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, perilakunya tergolong ke dalam asubha karma, seperti dikuasai sad ripu (kama, kroda/murka, lobha, moha, mada, matsarya); dikuasai sapta timira (surupa, dana, guna, kulina, yowana, sura, kasuran); dan sad tatayi (agnida, wisada, atharwa, sastraghna, dratikarama, rajapisuna). 2) Sosok perempuan berpendidikan dalam Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri sebagai tokoh perempuan adalah tokoh yang berpendidikan, yang dilukiskan dalam sebagian besar cerita. Hasil pendidikan dimaksud sangat jelas diungkapkan pada bagian percakapan antara Sawitri dengan Hyang Yama. Kutipan berikut ini hanya salah satu contohnya. Swadharmaning sang dharmika, tan nyengsaren sira ugi, malantaran terikaya, prama tulung welas-asih, sang mangamong sadhu budhi, suka girang matetulung, yadyastu maring mesehnya, pade nunas sraya kanti, jeg katulung, sapunika swabhawanya (bait 87 pupuh Sinom). 3) Sosok perempuan berpendidikan dalam Geguritan Damayanti Damayanti sebagai tokoh perempuan adalah tokoh yang berpendidikan, yang dilukiskan dalam sebagian besar cerita. Hasil pendidikan dimaksud sangat jelas terlihat pada saat Damayanti membedakan Prabhu Nala dengan Hyang Catur Lokapala, saat menciptakan lagu, saat melakukan siasat memancing kedatangan Prabhu Nala, saat-saat melakukan penyelidikan terhadap Wahuka. Kutipan berikut ini hanya salah satu contohnya. Nuli gelis ngandikayang, pariwara Ni Kesini, ngater putra-putrin ida, maring Sang Wahuka lungguh, Ni Kesini lumaksana, sampun prapti maring linggih Sang Wahuka (bait 15 pupuh Ginada 6). Gelis kagelut i putra, tumuli raris kaabin, kangene tan ambat-ambat, manangis sigsigan lawut, nuli malih kawaliyang, ring Kesini, sinambi manabda banban (bait 16 pupuh Ginada 6). 4) Sosok perempuan berpendidikan dalam Geguritan Ni Candrawati Candrawati sebagai tokoh perempuan adalah tokoh yang ber-


Ni Nyoman Karmini 278 pendidikan, yang dilukiskan dalam sebagian besar cerita. Hasil pendidikan dimaksud sangat jelas dilukiskan pada saat ia memutuskan tidak mau ditemani oleh banyak orang pada saat pembuangannya di hutan, sebab kesalahannya harus ditanggungnya sendiri, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Sadina mangulik sastra astiti ring Saraswati, miwah ring tutur utama, yoga bratane rinangsuk, paican sang muniwara, resi sidi, haran Begawan Utatya (bait 6 pupuh Ginada). Sampun lemah galang tanah, pamremane puput sami, Ni Candrawati angucap, ujare amelas kayun, ngasih-asih kapiwelasan, Paman Patih, kema tulak ke Negara (bait 52 pupuh Ginada). 5) Sosok perempuan berpendidikan terdapat dalam Geguritan Saci Dewi Saci adalah tokoh perempuan yang berpendidikan, yang dilukiskan dalam sebagian besar kisahnya. Hasil pendidikan dimaksud sangat jelas digambarkan pada saat Dewi Saci mengalami masalah. Tindakan Dewi Saci melaporkan perbuatan buruk Nahusa terhadap dirinya kepada Bhagawan Wrehaspati, lalu meminta bantuan Bhagawan Wrehaspati untuk menemukan suaminya yang hilang, menemui sang suami di dasar samudra, menyampaikan masalah yang dialami Dewi Saci disertai saksi, menjalankan siasat untuk menjebak Nahusa, sehingga kesewenang-wenangan Nahusa dapat diatasi, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Suka mati yen matemu/ ring Ratu Nahusa bacin/ kalih yen manggeh ring Swargan/ ipun mangadeg Bupati/ titiang manunas puputang/ ring ajeng I Ratu mangkin (bait 19 pupuh Ginanti). Kabriyukin bahan atur/ Ida Bhagawan Wrehaspati/ mamatut saha ndawegang/ ring Sang Hyang Indra ne mangkin/ wali mali ka Swargan/ keto ature mangremih (bait 20 pupuh Ginanti). 6) Sosok perempuan berpendidikan dalam Geguritan Dyah Arini Dyah Arini sebagai tokoh perempuan berpendidikan, sangat jelas terlihat pada tanggungjawabnya dalam menerima tugas. Tugas yang diembannya ia anggap sebagai balas budi terhadap atasannya. Pada saat tugasnya tidak berhasil, ia dapat menerima risikonya atau hukumannya, namun ia memiliki permintaan berupa pesan yang harus dilaksanakan oleh Bhagawan Trenawindhu. Pesan-pesannya itu menyebabkan Bhagawan Trenawindhu meringankan hukumannya., seperti dlukiskan pada kutipan di bawah ini. Bangken titiange sampunang malih/ ngupakara/ kewanten elingang/ manis paliyat titiange/ pulang ka pasih madu/ pakirimang ring srigading/ gigin titiange nyalang/ i embutan gadung/ kema laku manibakang/ kelemetan/ liman titiange ne lurus/ malengkung lemuh membat (bait 11 pupuh Gagak


Perempuan dalam Geguritan Bali 279 Amanis). Eling-elingan punika gusti/ sampun lipya/ eda nambarayang/ pabesen atur titiange/ padalem titiang lacur/ sangsara di sawange sepi/ ne mangkin kudiyang titiang/ titah wastan ipun/ Dewa Suksma manuduhang/ manah titiang/ teleb tan patut pangesti/ pang eda mungpang laksana (bait 16 pupuh Gagak Amanis). 7) Sosok perempuan berpendidikan dalam Geguritan Dewi Sakuntala Sakuntala sebagai tokoh perempuan berpendidikan, sangat jelas dipaparkan dalam sebagian besar kisahnya. Sakuntala sebagai murid Bhagawan Kanua sekaligus anak angkatnya, dapat mengikat janji dengan seorang raja besar dan berkuasa bernama Duswanta. Selanjutnya, Sakuntala berani menuntut janji dimaksud disaksikan oleh banyak orang, sehingga hak dirinya dan hak anaknya dapat dimilikinya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Pasengketan asapuniki/ putra I Ratu punika/ embas sakeng dewek titiange/ mangda ngentosin kagungan/ tur I Ratu mangda ledang/ kagentosin nyeneng agung/ maicayang singgasana (bait 15 pupuh Smarandana). Naweg pisan duh Ratu Duswanta/ becikang Ratu miarsi/ asing sang masengketa/ yogya ika katetesang/ mangda natan ngalempasin/ tur nyejerang tan kadi manah I Gusti (bait 12 pupuh Durma). Perempuan yang Mampu Menentukan Sikap Penulis memandang sangat perlu dijelaskan atau ditetapkan pengertian “sikap” yang dimaksud di sini. Dalam KBBI (Depdikbud, 1996:938), arti sikap dijelaskan ke dalam empat macam arti. Berkaitan dengan hal yang diacu dalam penelitian ini, maka digunakan pengertian sikap yang nomor tiga, yakni sikap diartikan perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian (pendapat atau keyakinan). Berdasarkan pengertian tersebut, selanjutnya ditetapkan sosok perempuan yang mampu menentukan sikap, yang terdapat dalam teks yang dikaji. 1) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Dreman I Suanggadarmi dapat bersikap selalu meladeni kebutuhan suaminya dengan sabar, sebab ia mempunyai keyakinan bahwa sebagai istri ia harus selalu berbakti kepada suami (maguru laki) supaya tidak menyimpang dari ajaran. Suanggadarmi selalu bersikap mengalah kepada I Wijasantun (madunya) supaya suaminya tidak selalu dimarahi oleh madunya. Selain itu, Suanggadarmi menganggap madunya sebagai adik. Oleh karena itu, perlakuan buruk madunya kepada dirinya, ia bawa kepada keyakinannya, yakni apa yang diterimanya saat hidup ini


Ni Nyoman Karmini 280 merupakan hasil dari perbuatan masa lalu yang disebut karma pahala. Ia tidak mau melawan madunya, sebab ia ingin memperbaiki kehidupannya padd masa yang akan datang, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Pakretine aba uli malu, sangkan nemu jele, apane jua rasaning, pangrasane awak luh, tau teken tumbuh eluh, sok becik jani gawenang, tau awak tumbuh lacur, sampun mangiwangin somah, istri kawawa ayadnya (bait 16 pupuh Adri 1). Yen pangpang ring somah tekening guru, gede dandanyane, awak sih maguru laki, akuda jlene salud, ambulne ja suba liu, apan sih awak kasereh, kumah Gusti teken madu, mangiwang somah samunyinnya, awak sabikas manyama (bait 16 pupuh Adri 1). Berbanding terbalik dengan I Suanggadarmi, I Wijasantun sebagai tokoh perempuan tidak mempunyai prinsip seperti I Suanggadarmi. Oleh karena itu, ia gampang marah jika keinginannya tidak terpenuhi, suka iri kepada madunya, suka memfitnah, juga menggunakan bermacam-macam guna-guna supaya suaminya tunduk kepadanya. Dengan demikian, suaminya dapat diatur-atur olehnya serta takut kepadanya. I Wijasantun tidak pernah berpikir tentang masa depan kehidupannya, ia hanya memikirkan kesenangan selama hidupnya. Ia kurang berpendidikan dan beranggapan pendidikan tidak dapat memberikannya makanan. Oleh karena itu, ia menjadi orang yang tidak menghormati suaminya dan juga madunya, bahkan orang-orang di sekitarnya, misalnya mertuanya dan tetangganya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. I Wijasantun jani sumaur, kanggo ja kitane, nyaka melah nyaka tusing, tuara benya nawang tutur, tuara sastra nyuken sangu, anake mengaduh sastra, depin ngojog anggur-anggur, masih ngolet maganjalan, bungah sastra nyuken wastra (bait 35 pupuh Adri 1). I Wijasantun jani sumaur, “data jua ujare, bibi nguda pentes munyi, kanggo anake mamadu, bibi icang data rungu, tuara bibi ngelah karya, icang nyandang jwa marebut, bibi tuara ngelah timpal, lagas mangentungan satua” (bait 61 pupuh Adri 1). Dalam geguritan ini tercermin adanya sikap yang bertolak belakang antara sikap yang satu dengan sikap yang lainnya. Suanggadarmi memilih bersikap sesuai dengan keyakinannya terhadap ajaran agama, sehingga dikategorikan bersikap positif atau baik (subha karma), sedangkan I Wijasantun dikategorikan bersikap buruk (asubha karma) sebab bertentangan dengan ajaran agama. Kemampuannya dalam menentukan sikap untuk menyikapi kehidupan ini berdampak pada kehidupan mendatang dari sang tokoh perempuan, yang tercermin dalam geguritan ini.


Perempuan dalam Geguritan Bali 281 2) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri Tokoh Sawitri adalah tokoh berpendidikan. Hasil pendidikannya tercermin dalam caranya bersikap. Sawitri dapat menentukan sikap yang tepat untuk menghindarkan kematian suaminya dalam usia pendek. Ia menghindarkan kematian suaminya dengan cara melakukan tapa brata selama tiga hari tiga malam dan disertai upacara agni hotra pada hari keempat Sawitri. kukuh pendiriannya untuk tetap mengikuti perjalanan Hyang Yama, yang sedang membawa atma suaminya ke alam lain. Saat perjalanan itulah, Sawitri terus menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran saat bercakap-cakap dengan Hyang Yama sehingga akhirnya suaminya diizinkan hidup kembali, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Sang Hyang Yama mangandika, Bapa ngalugrahin cening, ataman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata (bait 104 pupuh Smarandana). 3) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Damayanti Tokoh perempuan Damayanti adalah tokoh berpendidikan, tokoh satia yang tercermin dalam sikapnya saat menghadapi masalah yang menimpa rumah tangganya. Damayanti meyakini bahwa akan terjadi bencana saat suaminya tidak dapat dihentikan berjudi. Oleh karena itu, ia telah menentukan sikap untuk mengirim putra putrinya ke Widarbha. Setelah suaminya kalah total, ia mengikuti sang suami mengembara tanpa tujuan, sebab ia berkeyakinan bahwa hanya istri sebagai teman sejati saat suami menderita. Pada saat Damayanti ditinggalkan oleh suaminya sendirian di hutan, Damayanti tidak pulang ke Widarbha, tetapi terus melakukan pencaharian suaminya. Dalam penderitaannya selama terlunta-lunta di hutan, Damayanti justru memikirkan suaminya dan berkeyakinan akan bertemu kembali. Setelah Damayanti kembali ke Widarbha, ia segera meminta kepada orang tuanya untuk mencari suaminya. Kemudian, Damayanti membuat siasat berupa sayembara untuk memancing kedatangan suaminya, Prabhu Nala. Segala usaha yang dilakukan Damayanti membuahkan hasil sehingga mereka berkumpul lagi dan hidup berbahagia, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Makawinan malih ngardi swayambara, wantah pangupaya ugi, mangda Ratu prapta, rehning titiang polih gatra, maring Ayodhya negari, wenten anak, nyawis gending titiang pasti (bait 3 pupuh Durma 5). 4) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati sebagai tokoh perempuan berpendidikan dapat menentukan sikapnya dengan tegas saat mengalami musibah, yakni hamil


Ni Nyoman Karmini 282 di luar kehendaknya, karena dijamah oleh Hyang Semara saat ia sedang memuja. Kehamilannya itu ditolak oleh kakaknya dan Ni Candrawati di buang ke hutan. Pada saat menjalani pembuangan ini, Patih dan pengantar lainnya ingin turut menetap di hutan. Namun, Candrawati menolak dengan tegas, sebab musibah yang menipa dirinya dipandang dosa oleh kakaknya. Oleh karena itu, Candrawati mempertanggungjawabkannya sendiri tanpa mau melibatkan orang lain, seperti diungkapkan dalam kutipan berikut ini. Duh titiang manunas ica, pisan ngawula i riki, manatakin suka duka, wiadin titiang pacang puput, N Candrawati angucap, mituturin, saking aris manulakang (bait 54 pupuh Ginada). 5) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Brayut Tokoh Men Brayut adalah tokoh sederhana, tokoh yang tidak sempat menikmati pendidikan tetapi mempunyai keahlian menenun. Hasil kerjanya sangat bagus dan indah, tetapi sayang sejak menikah dengan Pan Brayut keahliannya menenun tidak dapat dilaksanakan lagi karena sibuk mengurus anak sebanyak 18 orang termasuk yang masih dalam kandungan. Keluarga ini sangat miskin dan Men Brayut tidak terlalu banyak menuntut. Keluarga Brayut menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan sangat meyakini bahwa dosa amat berat akan diterima, jika melakukan brunaha (menggugurkan kandungan). Oleh karena itu, ia tidak berani menggugurkan kandungannya. Ia menerima setiap kehadiran anak-anaknya. Dalam keluarga Brayut peran jender teraktualisasikan dengan jelas. Pekerjaan dapur, membuat upakara dan melaksanakan upacara Galungan dikerjakan oleh Pan Brayut, sementara Men Brayut mengurus anak-anaknya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Mapa magawe di benang, yen tong ngidam manakan beling, buka tong taen karuron, lekad idup pakelicik, greget atine pedih, makita nyadat manguut, mangalihang balian epot, Pan Brayut mituturin, siu taun, neraka ya temokang. 6) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Saci Tokoh perempuan Dewi Saci dapat menentukan sikap yang tepat ketika Suralaya mengalami masalah. Dewa Indra menghilang karena kena kutuk setelah membunuh sahabatnya, sehingga Nahusa menjadi raja di Suralaya. Nahusa sewenang-wenang dan hendak memperkosa Dewi Saci, tetapi keinginannya tidak tercapai. Dewi Saci mengambil tindakan melaporkan dan meminta bantuan kepada Bhagawan Wrehaspati untuk menemukan Dewa Indra, menemui Dewa Indra dan menyampaikan permasalahan yang dialami disertai saksi. Kemudian,


Perempuan dalam Geguritan Bali 283 Dewi Saci melakukan siasat, seizin Dewa Indra, untuk menjebak Nahusa dengan berpura-pura mau menjadi istrinya, dengan syarat saat upacara pernikahan harus dibopong oleh para Resi. Sikap Dewi Saci seperti tersebut di atas demi menyelamatkan Suralaya, para Dewa dan mengembalikan kekuasaan Dewa Indra (suaminya) sebagai raja di Suralaya, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut ini. Nanging te lamunya sanggup/ managingin sapangidih/ adine yen pacang pragat/ mawidi-weda mabuncing/ dinyangkole mategakan/ masunggi ban watek Resi (bait 23 pupuh Ginanti). 7) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Dyah Arini Tokoh perempuan Dyah Arini bersedia menerima tugas berat untuk membatalkan tapa brata seorang pertapa bernama Trenawindhu. Tugas tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan jalan kehidupan yang ditempuhnya. Dyah Arini menerima tugas tersebut untuk dapat balas budi kepada atasannya, yaitu Dewa Indra. Tugasnya gagal, Dyah Arini tidak dapat kembali ke Suralaya. Ia dikutuk menjelma menjadi manusia oleh Bhagawan Trenawindhu. Kutukan itu ia terima sebab ia memang bersalah. Namun, dalam penyesalan dan sesambatannya, Dyah Arini berpesan kepada Sang Bhagawan dan pesannya harus dilaksanakan. Mendengarkan penyesalan dan sesambatan Dyah Arini, Bhagawan Trenawindu tersentuh hatinya sehingga Dyah Arini dikutuk menjelma menjadi manusia yang terlahir di keluarga yang masih kerabat Sang Bhagawan. Kutukan tersebut akan habis dan dapat kembali ke Suralaya sebagai bidadari apabila Dyah Arini telah menikah dan mempunyai anak satu, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut ini. Nto tuwara suwud sahi ngajap-ajap/ I Dewa alah dudut/ sangkan jani luntur/ kadewatane masalin/ mahawak manusa/ bahan inget Bapane muput/ wastu apang enggal/ I Dewa buwin mulih/ jati mula lengkere/ mahenyah ahukud (bait 7). 8) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Cilinaya Tokoh Cilinaya adalah tokoh yang mampu menentukan sikap, yang tercermin dalam sebagian besar kisahnya. Sejak ia dipungut oleh I Dukuh, ia telah melakukan tindakan positif, yakni dengan jalan rajin bekerja membuat bahan dagangan untuk dijual ke pasar demi mensejahterakan kehidupan I Dukuh. Setelah menikah, Cilinaya berusaha menjaga hubungan dengan orang-orang di sekitarnya sehingga ia sangat disayangi, tetapi ia tidak dapat diterima oleh mertuanya sebab status sosialnya diragukan dan dipandang memalukan keluarga raja (mertuanya). Oleh karena itu, Cilinaya dibunuh oleh I Patih atas perintah raja (mertuanya)


Ni Nyoman Karmini 284 pada saat suaminya ditugaskan ke hutan. Ia menerima keputusan raja, sebab ia sangat paham bahwa raja dapat melakukan apa saja sesuai kewenangannya, termasuk menentukan hidup mati seseorang. Namun, Cilinaya dihidupkan kembali oleh Hyang Giri Putri atas perintah Hyang Çiwa karena ia tidak berdosa, seperti dilukiskan dalam kutipan berikut . Kasuduk I Cilinaya, cening bagus meme mati, dadi rudirane muncrat, tiba ring rare asusu, ebah ida manungkayak, mula kangin, rarene tan sah masusua (bait 116 pupuh Ginada). 9) Sosok perempuan yang mampu menentukan sikap terdapat dalam Geguritan Sakuntala Tokoh Dewi Sakuntala adalah tokoh yang mampu menentukan sikap, yang tercermin dalam kisahnya. Pada saat didesak oleh Duswanta, Sakuntala menolak sebab ia ingin menunggu Bhagawan Kanua. Karena terus didesak, Dewi Sakuntala menerima Duswanta dengan syarat kalau ia mempunyai anak, maka anaknyalah yang akan menjadi raja menggantikan Duswanta. Syarat diterima, mereka pun kawin gandarwa. Sampai Sarwadamana berusia enam tahun, Duswanta tidak pernah menjemput mereka. Duswanta ingkar janji, lalu Sakuntala menuntut janji dimaksud. Tuntutan Sakuntala merupakan sikap tegas dan berani sang tokoh demi pemenuhan janji serta hak anaknya, walaupun dalam perjuangannya itu, Sakuntala dimarahi, dihina dan diusir oleh Duswanta, seperti kutipan berikut ini. Nanging patut i ratu asapunika/ dening titiang mawak istri/ kalih lintang nista/ tuna manah tuna sastra/ mapan jadmi tapi bengil/ wong alasan/ panak tapa liwat miskin (bait 20 pupuh Durma). Sosok Perempuan yang Mampu Mengambil Keputusan Mengambil putusan merupakan suatu tindakan yang sangat sulit karena memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Dalam KBBI (Depdikbud, 1996:804), dipaparkan ada enam macam pengertian kata putusan. Dalam penelitian ini digunakan pengertian putusan, yakni ketetapan; sikap terakhir (langkah yang harus dijalankan) dan simpulan (tentang pendapat). Berdasarkan pengertian di atas, selanjutnya diterapkan ke dalam teks yang dikaji untuk memaparkan sosok perempuan yang mampu mengambil putusan. 1) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Dreman Tokoh perempuan I Suanggadarmi adalah tokoh yang mampu mengambil putusan dalam menentukan kehidupannya. Suanggadarmi memiliki keyakinan bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami dalam kehidupan ini merupakan hasil perbuatan di masa lalu (karma pahala).


Perempuan dalam Geguritan Bali 285 Dengan keyakinan yang dimilikinya, Suanggadarmi selalu berusaha menjalankan kehidupannya sesuai ajaran agama dan selalu berusaha membelajarkan diri demi memperbaiki kehidupannya di masa datang. Hal ini terlukiskan dalam sebagian besar kisahnya, seperti ia dimadu. Jauh di lubuk hatinya, pastilah ia menderita, ia sakit hati. Akan tetapi semua itu ia redam dengan selalu tetap meladeni keperluan suaminya dan selalu menghormatinya. Suanggadarmi menganggap madunya sebagai adik yang patut pula ia sayangi. Oleh karena itu, ia selalu mengalah walau sering disakiti hatinya oleh madunya. Ia selalu berusaha menghindarkan suaminya dari sasaran kemarahan madunya. Pada saat madunya sakit kemudian meninggal, ia juga yang merawatnya dan merasa sangat sedih ditinggalkan. Setelah Suanggadarmi meninggal, rohnya menjadi sangat cantik dan memperoleh fasilitas tinggal di surga yakni di Meru Emas atas anugerah Hyang Indra. Namun, setelah mengetahui suaminya disiksa di dalam jambangan, Suanggadarmi lebih memilih bersama suaminya, dan menolak tinggal di surga jika tidak bersama suaminya. Karena tekadnya kuat, ia mendapat izin untuk mengangkat suaminya dari dalam jambangan penyiksaan dan tinggal bersama di Meru Emas. Berbeda halnya dengan I Suanggadarmi, I Wijasantun sebagai madu, tidak percaya bahwa sastra (ajaran agama) dapat membawanya ke arah kebaikan. Kesenangannya semasa hidup itulah yang terpenting baginya. Oleh karena itu, sebagai istri kedua, ia berusaha menyedot seluruh perhatian dan kasih sayang suaminya terhadap dirinya. Demi tujuannya, I Wijasantun tidak segan-segan menggunakan bermacammacam guna-guna supaya suaminya sepenuhnya ia miliki. Hatinya selalu diliputi rasa marah, dengki, iri hati, selalu berkata-kata kasar terutama kepada madunya I Suanggadarmi. Semua perbuatannya selama hidup berdampak sangat negatif pada kehidupannya di tempat lain setelah ia meninggal, yakni ia disiksa di neraka selama seribu tahun. Dan, dalam teks dinyatakan bahwa dalam kelahirannya mendatang, secara fisik ia akan banyak cacat sebagai akibat dari siksaan yang diterimanya selama di Neraka. 2) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Diah Sawitri Diah Sawitri dapat mengambil putusan yang sangat tepat untuk membantu sang suami terhindar dari kematian dalam usianya yang sangat muda. Untuk dapat menolong sang suami, Sawitri selalu melakukan hal-hal sesuai ajaran. Empat hari sebelum hari kematian suaminya, ia melakukan tapa brata tiga hari tiga malam. Hari keempat, pagipagi sekali telah selesai melakukan upacara agni hotra dengan mohon pujastuti kepada para Brahmana. Setelah itu, Sawitri mengikuti suaminya


Ni Nyoman Karmini 286 ke hutan, karena ia mengetahui hari itu suaminya akan meninggal sesuai pemberitahuan Hyang Narada. Begitu suaminya merasakan sakit kepala teramat sangat, lalu ditidurkan di atas pangkuannya. Sawitri dapat melihat sesosok yang berwajah sangat menakutkan datang menghampiri suaminya. Dalam ketakutan Sawitri meletakkan kepala suaminya di tanah dan bertanya maksud kedatangan sesosok tersebut. Dari jawabannya yang ramah, yang hormat, yang lembut kepadanya bertolak belakang dengan wajahnya yang menakutkan, sehingga Sawitri mengetahui bahwa yang datang adalah Sang Hyang Yama yang akan mengambil jiwa Satyawan. Sawitri dapat melihat dan bercakap-cakap dengan Hyang Yama karena keberhasilannya melakukan tapa brata. Roh Satyawan dibawa oleh Hyang Yama. Sawitri mengikuti terus perjalanan Hyang Yama yang membawa roh Satyawan. Walaupun berkali-kali disuruh kembali untuk membakar mayat suaminya, Sawitri tetap pada pendirinya mengikuti perjalanan Hyang Yama. Dalam perjalanan itu, Sawitri banyak menyampaikan kebenaran sejati di hadapan Hyang Yama, sehingga ia diberikan lima macam anugrah, yakni mertuanya sembuh dari sakit buta; kerajaan mertuanya dapat direbut kembali; orang tua Sawitri dapat berputra lagi; Sawitri juga memperoleh anugerah untuk memiliki putra; karena itu suaminya dihidupkan kembali. 3) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Damayanti Tokoh perempuan Damayanti dapat mengambil putusan yang tepat untuk menyatukan kembali keluarganya yang cerai berai akibat perbuatan Hyang Kali yang memperalat Puskara lewat sebuah perjudian. Damayanti mengikuti suaminya (Prabhu Nala) mengembara tanpa tujuan sebab kalah dalam perjudian. Pada saat sedang tertidur karena sangat lelah, Damayanti ditinggalkan oleh suaminya sendirian di hutan. Dalam kesendirian di hutan, Damayanti tidak berusaha pulang ke Widarbha, melainkan terus melakukan pencaharian suaminya. Damayanti menahan lapar dan haus, banyak bahaya menghadangnya, tetapi suaminya tidak dijumpainya. Lalu Damayanti mengutuk penyebab penderitaan Prabhu Nala dan ia hanya pasrahkan diri kepada Tuhan sambil terus berusaha mencari dan mencari. Akhirnya, Damayanti di antar oleh seorang brahmana ke negara Cedi dan diterima dengan baik di sana. Damayanti dikenali oleh seorang brahmana yang bertugas melakukan pencaharian terhadap Damayanti-Nala atas perintah orang tua Damayanti, lalu diantar pulang ke Widarbha. Damayanti meminta kepada orang tuanya supaya pencaharian terhadap Nala segera dilakukan. Akhirnya, diduga Nala ada di negara Ayodhya dengan alasan bahwa di sana ada seseorang bernama Wahuka yang menjawab lagu ciptaaan Damayanti yang dinyanyikan


Perempuan dalam Geguritan Bali 287 oleh setiap pencahari Prabhu Nala. Damayanti membuat siasat berupa sayembara untuk memancing kedatangan Prabhu Nala. Wahuka yang diduga Prabhu Nala diselidiki dengan berbagai cara oleh Damayanti lewat Ni Kesini. Akhirnya, Wahuka berubah wujud menjadi Prabhu Nala, negaranya diperoleh kembali, mereka hidup berbahagia sesuai janji Naga Karkotaka kepada Prabhu Nala. 4) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Ni Candrawati Ni Candrawati sebagai tokoh perempuan mampu mengambil putusan tepat dan terbaik dalam menghadapi musibah yang menimpa dirinya. Candrawati hamil sebelum pernah menikah. Ia dihamili oleh Hyang Smara pada saat sedang memuja. Ni Candrawati, tokoh perempuan yang sadu budhi dan tidak mau memanfaatkan posisinya sebagai putri seorang raja dengan menunjuk seorang laki-laki sebagai penanggungjawab kehamilannya, sebab ia memang tidak dihamili oleh laki-laki sebagai manusia, serta ia memang tidak membutuhkan lakilaki dalam hidupnya (…, akweh pada para ratu, nglamar Ida nenten arsa, pacang suami, kayun nyukla brahmacarya) (bait 5 pupuh Ginada). Peristiwa yang dialami Ni Candrawati memiliki hubungan persamaan sekaligus hubungan pertentangan dengan peristiwa yang dialami oleh Dewi Kunti dalam cerita Mahabharata, yakni Dewi Kunti hamil sebelum pernah menikah. Dewi Kunti dihamili oleh Hyang Surya pada saat sedang memuja. Aib yang disebabkan oleh Ni Candrawati tidak dapat diterima oleh kakak (I Wiranata) sehingga Ni Candrawati dibuang ke hutan. Setelah sampai di hutan, Paman Patih dan pengantar lainnya tidak mau kembali ke kerajaan dan ingin menetap di hutan bersama Ni Candrawati. Ni Candrawati menolak mereka untuk menyertainya di hutan, karena dosa itu adalah dosanya sendiri. Oleh karena itu, ia sendiri yang menanggung akibatnya tanpa mau melibatkan orang lain. Ni Candrawati meniru perbuatan Sang Rama saat dibuang ke hutan yang menolak pula adiknya Brata yang ingin menyertainya. Dari tindakan yang dilakukan oleh Ni Candrawati dapat dinyatakan bahwa Geguritan Ni Candrawati juga memiliki hubungan persamaan dan sekaligus hubungan pertentangan dengan cerita Ramayana, yakni pada bagian saat Rama dibuang ke hutan. 5) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Brayut Tokoh Men Brayut adalah tokoh sederhana. Keluarganya sangat miskin dan Men Brayut tidak terlalu banyak menuntut. Keluarga Brayut menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan sangat meyakini bahwa dosa


Ni Nyoman Karmini 288 amat berat akan diterima, jika melakukan brunaha (menggugurkan kandungan). Oleh karena itu, ia tidak berani menggugurkan kandungannya. Ia menerima setiap kehadiran anak-anaknya dengan sabar. Setelah anakanaknya dewasa dan berkeluarga, semua rajin bekerja dan semua patuh kepada orang tuanya. Kehidupan mereka menjadi sejahtera. Pan Brayut belajar kediatmikan dan telah dinyatakan berhasil. Men Brayut dan Pan Brayut membuat pedukuhan. Hidup mereka sangat sejahtera, damai dan bahagia. 6) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Saci Dewi Saci sebagai tokoh perempuan mampu mengambil putusan dengan tepat pada saat Suralaya mengalami masalah sejak pemerintahan Nahusa. Sebagai raja di Suralaya, Nahusa memerintah sewenang-wenang, ia melempas dari jalan kebenaran, seperti semua bidadari telah dijamahnya, para Dewa tidak nyaman, termasuk Dewi Saci hendak diperkosa dan diperistrinya. Tindakan Nahusa yang sewenangwenang itu dilaporkan kepada Bhagawan Wrehaspati sekaligus Dewi Saci meminta bantuannya untuk menemukan keberadaan suaminya (Dewa Indra) lewat mata batin Sang Bhagawan. Mereka juga meminta bantuan kepada Hyang Umasruti. Setelah Dewa Indra ditemukan, Dewi Saci melaporkan perlakuan Nahusa kepada dirinya disertai pembenaran dari Sang Bhagawan. Selanjutnya, Dewi Saci melaksanakan siasat sebagai syarat pernikahannya dengan Nahusa. Lewat siasat itu, Nahusa mengalami kehancuran karena dikutuk oleh para Resi. 7) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Dyah Arini Tokoh Dyah Arini sebagai tokoh perempuan mampu mengambil putusan pada saat menjalankan tugas dari atasan (Dewa Indra) untuk menghancurkan tapa brata Bhagawan Trenawindhu. Sebenarnya, Dyah Arini menerima tugas tersebut dengan berat hati sebab tugas itu dikategorikan tidak sesuai dengan jalan hidup yang ditempuhnya. Namun, Dyah Arini memutuskan menerima tugas itu demi terbayarnya hutang budi kepada atasan. Dyah Arini juga mampu memutuskan pada saat menerima hukuman dari Bhagawan Trenawindhu. Dyah Arini menerima hukuman mati dan kutukan lahir menjadi manusia atas kesalahannya berbohong di hadapan Sang Bhagawan. Atas penyesalan-penyesalan yang dilakukan dan pesan-pesan Dyah Arini menyebabkan kutukan Bhagawan Trenawindhu diringankan, yakni Dyah Arini dilahirkan di keluarga yang masih sanak saudara Sang Bhagawan, dan kutukannya akan sirna dan ia dapat kembali sebagai bidadari setelah bersuami dan


Perempuan dalam Geguritan Bali 289 mempunyai satu anak. 8) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Cilinaya Tokoh Cilinaya sebagai tokoh perempuan adalah tokoh yang mampu membuat putusan dalam hidupnya. Ia memutuskan membuat kehidupan I Dukuh menjadi sejahtera dengan jalan rajin bekerja membuat bahan dagangan yang dijual oleh I Dukuh di pasar. Cilinaya juga mampu memutuskan untuk menerima kematiannya yang dikehendaki oleh raja (mertuanya sendiri) hanya karena status sosialnya dipandang tidak jelas. Kemudian, Cilinaya juga mampu memutuskan untuk menerima dan menjalani kehidupannya walau penuh ancaman demi cintanya kepada suami dan anaknya. 9) Sosok perempuan yang mampu mengambil keputusan terdapat dalam Geguritan Dewi Sakuntala Dewi Sakuntala sebagai tokoh perempuan mampu memutuskan dengan tepat yang harus ia lakukan dalam menghadapi desakan Duswanta. Sakuntala menerima kawin Gandarwa dengan syarat jika mempunyai anak, maka anaknyalah yang akan menggantikan kedudukan Duswanta sebagai raja. Setelah anaknya berusia enam tahun, Sakuntala memutuskan pergi ke Hastina dan menuntut janji Duswanta. Hinaanhinaan ia terima, namun ia tetap bertahan pada tuntutannya hingga akhirnya ia diakui sebagai istri dan anaknya menjadi raja Hastina dengan nama Bharata. Sosok Perempuan yang Mampu Melaksanakan Tugas Berat Untuk memfokuskan perhatian dengan tepat dipandang perlu dibeberkan pengertian dari kata tugas yang dimaksud di sini. Dalam KBBI (Depdikbud, 1996:1076) dipaparkan bahwa tugas adalah sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang; pekerjaan yang dibebankan. Terkait dengan pengertian tugas di atas, maka selanjutnya dijelaskan tugas dari masing-masing tokoh perempuan yang terdapat dalam teks yang dikaji. 1) Sosok perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat terdapat dalam Geguritan Dreman I Suanggadarmi adalah tokoh perempuan yang mampu melaksanakan tugas berat sebagai seorang istri yang taat pada ajaran dan ketentuan dalam bersikap sebagai seorang istri. Suanggadarmi mampu melaksanakan tugasnya dalam meladeni kebutuhan suami setiap saat karena ia berprinsip meguru laki. Ia juga mampu mengangkat suaminya


Click to View FlipBook Version