Ni Nyoman Karmini 40 (sira apsari) yang turun dari Indraloka (turun maring Indraloka). (2) Gaya Hiperbola Gaya hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal (Keraf, 1981: 127). Gaya ini terdapat dalam teks yang disebutkan di bawah ini. 1) Geguritan Dreman …, genit uyang mabiluluk, tuara jenek di padunung,… (bait 55 pupuh Adri 1). Kutipan di atas menyatakan sesuatu yang dibesar-besarkan, yakni gatal (genit) luar biasa yang menyebabkan sangat gelisah (uyang). Kegelisahan yang luar biasa seolah-olah sampai berguling-guling (mabiluluk). 2) Geguritan Diah Sawitri ..., peluh pidit, ... (bait 62 pupuh Ginada). Kutipan di atas menyatakan sesuatu dengan berlebihan, yakni berkeringat sampai basah sekujur badan. Kutipan tersebut merupakan bagian dari pelukisan saat Satyawan mencari kayu bakar di hutan, yakni sesaat sebelum meninggal. 3) Geguritan Damayanti ..., wibhawane dahat agung, ..., para agung, uyang pusang jroning arsa (bait 7 pupuh Sinom 1). Kutipan di atas melukiskan secara berlebih-lebihan wibawa (wibhawane dahat agung) Damayanti dalam sayembara, sehingga para raja yang mengikuti sayembara gelisah luar biasa dalam pikirannya (uyang pusang jroning arsa). 4) Geguritan Ni Candrawati Wereg rawose ring pura, saisin purine sedih, menangis masesambatan, …, (bait 42 pupuh Ginada). Kutipan di atas digunakan oleh pengarang untuk melukiskan tentang pembicaraan-pembicaraan, kesedihan-kesedihan serta tangisantangisan orang-orang yang sangat mengetahui pribadi Ni Candawati dan sangat menyayanginya dengan cara dibesar-besarkan (gaya hiperbola). 5) Geguritan Brayut …, ngamah jukut pesu nasi, …, buka tong maji tetelu, … (bait 48 pupuh Sinom Tikus Kabanting). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan betapa
Perempuan dalam Geguritan Bali 41 miskinnya keluarga Brayut (ngamah jukut pesu nasi), dan betapa tidak berharganya (buka tong maji tetelu), tetapi melahirkan anak-anak yang cantik dan tampan yang terlihat setelah mereka remaja-remaja. 6) Geguritan Saci …/ pisah berag kurus aking/ … (bait 35 pupuh Ginanti). Kutipan tersebut di atas digunakan pengarang untuk melukiskan secara berlebih-lebihan (gaya Hiperbola), yakni jika Nahusa ditolak oleh Dewi Saci, ia akan menjadi sangat kurus sekali. 7) Geguritan Dyah Arini …/ duh Dewa Sang Arini/ sarin Swarga-loka/ bangkit pamupulan ayu/ manik astagina/ … (bait 6 pupuh Demung 1). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan kecantikan Dyah Arini dengan melebih-lebihkan (gaya Hiperbola) sehingga terbayang kecantikan yang sangat sempurna dan luar biasa. 8) Geguritan Cilinaya …, kadi sekar nedeng kembang, mangedanin, jegege mangayang-ayang (bait 23 pupuh Sinom 1). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan kecantikan dan keremajaan I Cilinaya, yang dinyatakan dengan gaya melebih-lebihkan (Hiperbola), yakni kecantikan dan keremajaan I Cilinaya membuat setiap orang yang melihat tergila-gila (mangedanin) sebab kecantikannya luar biasa dan sempurna (jegege mangayang-ayang). 9) Geguritan Sakuntala Ayune tan patandingan/ tan pendah sira apsari/ turun maring Indraloka/ ... (bait 14 pupuh Sinom). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan kecantikan Sakuntala dengan cara berlebihan (gaya Hiperbola), yakni dengan menyatakan kecantikannya tiada banding, kecantikananya luar biasa (Ayune tan patandingan). (3) Gaya Personifikasi Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Benda-benda tersebut dapat bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 1981:125). Gaya ini terdapat dalam teks-teks di bawah ini. 1) Geguritan Dreman …, “Kadung titiang labuh ujar, baktin titiange masomah” (bait 114 pupuh Adri 1).
Ni Nyoman Karmini 42 Kutipan di atas, yakni yang menyatakan bahwa kata-kata telah ke luar, yang berarti sebagai sebuah janji yang harus ditepati (labuh ujar). Labuh ujar (secara harfiah berarti jatuh kata) dikategorikan gaya personifikasi sebab ujar bisa bertindak seperti manusia, yakni labuh. 2) Geguritan Diah Sawitri …, maka ciri, titiang nuluh tata krama (bait, 75 pupuh Ginada). Kutipan di atas melukiskan bahwa Sawitri terus mengikuti roh suaminya yang dibawa oleh Hyang Yama. Sebagai seorang istri, Sawitri mengikuti (nuluh) aturan bertindak atau berbuat (tata krama). Di sini ada pelukisan dengan cara personifikasi sebab tata krama seolah-olah dapat bergerak dan berbuat seperti manusia sehingga perlu diikuti (nuluh). 3) Geguritan Damayanti …, kantun wastrane abidang, sareng ledis, saparan uber duhkita (bait 1 pupuh Ginada 2). Kutipan di atas melukiskan bahwa penderitaan yang dialami Damayanti Nala terus-menerus terjadi, tanpa henti-hentinya. Hal ini dilukiskan dengan cara personifikasi, yakni dengan memberi sifat manusia yang dapat melakukan perbuatan mengejar (uber) kepada penderitaan (duhkita). 4) Geguritan Ni Candrawati …, manik purine matinggal, …, anggrek linjongnyane ilang (bait 42, pupuh Ginada). Kutipan di atas digunakan oleh pengarang untuk melukiskan bahwa orang yang disayanginya (Ni Candrawati) pergi meninggalkannya, yang dilukiskan secara personifikasi, yakni dengan benda sejenis batu-batuan (permata) (manik) dikatakan dapat pergi (matinggal) serta bunga anggrek linjong dikatakan dapat menghilang. 5) Geguritan Brayut …, atin emboke sedih kingking, … (bait 111 pupuh Sinom Tikus Kabanting). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan seseorang yang sangat sedih, yang dilukiskan dengan cara personifikasi, yakni hati (atin emboke) dikatakan bisa bersedih. 6) Geguritan Saci (tidak ada gaya personifikasi) 7) Geguritan Dyah Arini Sangkan Dyah Arini pakebure banban/ turahang kadi santul/ ban i punyan kayu/ mapinda nyapa mangrewadin /matatas-tatasan/ duh jaga kija i ratu/ eman tan parowang/ nunas titiang ngiring/ rarisang anggen parekan/ ulat
Perempuan dalam Geguritan Bali 43 keto kayune atur (bait 30 pupuh Demung 1). Kutipan di atas digunakan oleh pengarang untuk melukiskan bahwa pohon kayu dapat berbicara seperti manusia (gaya personifikasi). Pohon kayu dilukiskan menyapa (mapinda nyapa mangrewadin/ matatas-tatasan/ duh jaga kija i ratu) Dyah Arini dan pohon kayu juga menyampaikan keinginannya untuk mengikuti perjalanan Dyah Arini yang berjalan sendirian karena pohon kayu merasa sayang kepadanya (eman tan parowang/ nunas titiang ngiring/ rarisang anggen parekan). 8) Geguritan Cilinaya Sarauhe maring alas, ditu klangene luih, maseriok kayu cemara, matur ring sang bau rauh (bait 35 pupuh Sinom 1). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan bahwa Jayasemara telah tiba di tengah hutan dengan menggunakan gaya personifikasi, yakni kedatangannya disambut dan disapa oleh pohon cemara (maseriok kayu cemara, matur ring sang bau rauh). 9) Geguritan Dewi Sakuntala …/ mawastu ida sang prabhu/ karangsukan kamarasa/ …/ ngantenang sang ayu diah (bait 17 pupuh Sinom). Kutipan di atas digunakan pengarang untuk melukiskan bahwa sesuatu dapat berbuat seperti manusia (gaya Personifikasi), yakni dengan menyatakan bahwa rasa dan keinginan-keinginan (kamarasa) dapat memasuki (karangsukan) manusia dalam hal ini sang Prabhu Duswanta sehingga jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Sakuntala. Fungsi Isi Geguritan Sebuah karya sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, makna hidup dan kehidupan. Masalah-masalah tersebut diolah secara khusus berdasarkan imajinasi dan kreativitas pengarangnya. Sesuatu yang disampaikan dalam karya sastra tetap ada kaitannya dengan dunia nyata yang dapat dipahami dan diterima oleh pembaca (Luxemburg, 1992:20–21). Seorang pengarang menyampaikan nilai-nilai kehidupan melalui karya sastra. Itu sebabnya karya sastra melukiskan penderitaanpenderitaan, perjuangan, kasih sayang, nafsu, dan segala sesuatu yang dialami oleh manusia. Dengan memahami karya sastra, maka makna hidup dan hakikat hidup dapat ditafsirkan. Karya sastra dapat memberi kesenangan, manfaat tak langsung, dan memperluas wawasan pembacanya, baik masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual (Teeuw, 1984:219–230 dan Luxemburg, 1992:21–22).
Ni Nyoman Karmini 44 Energi yang dimiliki oleh karya sastra memberikan sumbangan dalam membangun aspek-aspek rohniah, membangkitkan energienergi yang stagnasi sehingga keseluruhan komponen masyarakat ikut berperan serta. Peranan utama karya sastra adalah penertiban sekaligus pemberdayaan aspek-aspek rohaniah dengan cara menampilkan kualitas etis dan estetis, isi dan bentuk, sarana dan pesan. Sesuai hakikatnya, karya sastra memberikan intensitas pada estetis, bentuk dan pesan untuk mencapai tujuannya. Namun pada umumnya, pembaca tertarik dengan aspek pertama, yakni etis, isi dan sarana, karena lebih bersifat kongkret, lebih langsung, dan lebih dekat dengan sasaran (Kutha Ratna, 2005:502–503). Manusia pada dasar eksistensinya yang paling dalam adalah berkodrat Ilahi. Bila manusia mampu memasuki batinnya sendiri, ia dikatakan mampu menyatu dengan Ilahi, yang disebut kaweruh sangkan paraning dumadi. Paham sangkan-paran adalah inti spekulasi Jawa yang mendapat pengaruh Hindu (Magnis-Suseno, 1993:114–117). Masyarakat Bali yang beragama Hindu adalah masyarakat religius. Masyarakat Bali beragama Hindu mempunyai sikap tertentu terhadap dunia, kehidupan, dan manusia itu sendiri. Sikapnya berpusat pada fundamental kehidupan manusia, yakni dari mana dan mau ke mana mereka nantinya (sangkan paran dumadi). Sikap dimaksud dilandasi oleh suatu keyakinan yang tertuang dalam kitab Brahma Sutra I.1.2, bahwa Tuhan adalah asal dari segala yang ada (janmadyasya yatah), Tuhan sebagai sumber yang memelihara dan mem-pralaya segala sesuatu pada saatnya (dalam Puja, 1999:10–11). Dalam kitab Mahanirvana Tantra dinyatakan bahwa sifat Tuhan adalah ‘Kebenaran-Pengetahuan-Tak Terbatas’ yang diucapkan dalam satu kerangka mantera kepada Brahman, yakni Sat Cit Ananda Brahman. Dalam ilmu mantera ditambahkan pranawa Ongkara (OM atau Ong) di depannya sehingga diucapkan ‘Om, Tat Sat Cit Ananda Brahma’ (dalam Pudja, 1999:11). Dalam Mandukya Upanisad dinyatakan bahwa ‘OM’ sesungguhnya adalah Brahman yang lebih rendah dan sekaligus Brahman tertinggi. Brahman lebih rendah menjadi Saguna Brahman (imanen) dalam bahasa Vedanta Modern. Pranawa (AUM) adalah tanpa pendahuluan, tanpa manifestasi berikutnya, tanpa suatu pun di luarnya, tidak terkait pada akibat apa pun dan tanpa perubahan. AUM sesungguhnya merupakan awal, pertengahan, dan akhir dari semuanya (Maswinara, 2000:100–106). Dalam kitab Mahanarayana Upanisad dan Theologi Hindu dinyatakan Tuhan dapat diketahui dalam batas lingkaran pikir manusia (imanen), dan tidak dapat diketahui karena di luar lingkaran kemampuan
Perempuan dalam Geguritan Bali 45 pikir manusia (sunya atau transcendental). Segala yang ada dalam batas imanen dapat diketahui dan dapat dibedakan melalui sifat-sifat yang ada (Vimalananda, 1997:3, dan Pudja, 1999:16). Dengan mengenal sifatsifat Tuhan yang imanen, masyarakat Bali Hindu memiliki sikap tertentu terhadap alam semesta ini, yakni meyakini sifat Tuhan sebagai pencipta alam semesta (utphati), pemelihara (sthiti), dan pelebur (pralina). Semua ini diyakini sebagai fungsi Trimurti. Sikap tersebut telah melahirkan konsep dasar yang membangun dan melandasi struktur budaya Hindu di Bali (Pudja, 1999:17). Pandangan masyarakat Bali Hindu terhadap kehidupan dan alam semesta ini membentuk kesatuan organis yang dicirikan dengan pengungkapan pikiran-pikiran dalam bentuk simbol-simbol. Masyarakat Bali Hindu menggunakan simbol-simbol karena mereka percaya bahwa ada sesuatu yang sebenarnya mengatasi segala realitas duniawi yang disebut dengan Sang Hyang Widhi atau Sang Hyang Tunggal. Menyadari keterbatasannya sebagai manusia, maka digunakan simbol-simbol untuk mengenal Tuhan (Yudha Triguna, 2000:50–51). Dengan kesadaran seperti itu, masyarakat Bali Hindu selalu ingat, berdoa dan memohon keselamatan dalam setiap melakukan kegiatan. Hal yang sama juga dilakukan oleh seorang kawi dalam menciptakan karyanya. Dalam mengarang, seorang kawi atau pengarang selalu memuja Dewi Saraswati. Saat memuja, para kawi memohon kepada Dewi Saraswati agar memberikan berkat-Nya berupa keselamatan, kemuliaan, dan hadir dengan cahaya cemerlang supaya karya yang dihasilkannya dapat dipergunakan sebagai pelita (sesuluh) untuk menerangi kegelapan pikiran. Hal yang dilakukan oleh seorang kawi dalam penulisan kakawin, diistilahkan oleh Zoetmulder, penyair kakawin adalah para praktisi ”yoga sastra”. Melalui cara itu, para penyair bisa mencari pengalaman religius dengan melakukan meditasi pada tujuantujuan estetik. Sebagai stanza pendahuluan dalam kebanyakan kakawin, para penyair berusaha mengungkapkan rasa kegembiraanya dalam bentuk syair dan mempersembahkan karyanya sebagai penghormatan kepada dewa dengan untaian doa terhadap istatadewata. Berbagai dewa dipuja termasuk para dewa agung dalam pura-pura Hindu, seperti Siwa dan Wisnu dan yang paling terkenal Kama (Smara), yakni Dewa Asmara dan Dewa Keindahan. Dalam karya-karya kakawin Bali, Dewi Saraswati yang disebut juga Dewi Ilmu Pengetahuan juga sangat menonjol. Dewi ini dipuja dengan khusuk dalam manifestasinya sebagai yang hadir dalam setiap keindahan (langö). Dengan melakukan yoga semadi bersujud kepada dewata sang penyair mencoba bersatu dengan para dewa dengan memanggilnya secara niskala dan kemudian mengharap beralih wujud
Ni Nyoman Karmini 46 secara skala dengan memasuki objek material, dalam hal ini puisinya. Dengan demikian penulisan kakawin merupakan sarana (sadana) untuk bersatu dengan dewata. Alas tulis di mana puisi tersebut digoreskan disebut yantra, yakni wadah di mana para dewa menjelma dalam bentuk material, dan kakawin itu sendiri, dalam wujud kata-kata sang penyair, menjadi candi ning bhasa, tempat para penyair memuja dan setia pada kalangwan (keindahan) (Creese, 2004: 19). Lebih lanjut dinyatakan bahwa praktik-praktik keagamaan yang berhubungan dengan penulisan kakawin menganugrahi teks dengan kekuatan spiritual dan kemampuan untuk membuat ketakjuban dan rasa hormat di kalangan mereka yang berhubungan dengannya. Kekuatan magis sastra adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh banyak budaya sastra pramodern sepanjang kepulauan Indonesia dan merupakan salah satu kepercayaan yang masih tetap relevan dengan praktik pernaskahan dalam Bali tradisional. Di Bali, penulisan kakawin berputar mengelilingi suatu inti kepercayaan terhadap aksara. Aksara yang digoreskan di atas lembaran dipercaya berasal dari dewa dan ditanamkan dengan kekuatan supranatural yang bisa dimanipulasi untuk mempengaruhi jalannya kejadian. Aksara yang dikaruniai dengan kekuatan magis yang suci dan berbahaya, mampu melepaskan kekuatan-kekuatan merugikan dan dapat menjadi malapetaka jika ditangani secara tidak benar. Oleh karena itu, penulisan kakawin bukanlah sekadar bercerita, melainkan wahana mistik berkomunikasi dengan dewata, di mana kaedah-kaedah tapa brata kesusastraan yang ketat diterapkan. Kekuatan supranatural aksara juga merengkuh teks pisik, yakni naskah daun lontar. Menyalin naskah untuk melestarikannya bagi generasi mendatang merupakan bagian dari proses ritual tersebut dan kebiasaan ini sampai saat ini masih hidup. Karya kakawin dapat mengungkapkan bahwa para penyair mencoba mencari kesejahteraan spiritual bagi dirinya, bagi pelindungnya, dan bagi mereka yang mendengarkan karya-karyanya dilantunkan. Oleh karena itu, karya kakawin dapat memberikan manfaat positif, baik bagi sang penyair, bagi pelindungnya maupun pembacanya (Creese, 2004:19–20). Dalam kakawin Niti Sastra (Agastia, 1987:105), dinyatakan bahwa seseorang yang menghayati sastra dapat diukur dari kata-katanya. Katakata seorang sastrajna bagaikan amreta yang menyenangkan, sedangkan seorang alpaka sastra kata-katanya keras, kasar, tidak bermakna dan tanpa amerta. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa sastra itu menempati peranan penting dalam usaha memanusiakan manusia. Dengan kesadaran seperti itu, seorang kawi selalu memuja Dewi Saraswati dalam menciptakan karya sastranya. Salah satu contohnya, dikutip dari Geguritan Diah Sawitri yang menggunakan pupuh Sinom (I:
Perempuan dalam Geguritan Bali 47 1). Penulisan kutipan disesuaikan dengan ejaan yang berlaku. Om Hyang Narayana, Miwah Dewi Saraswati, jaya namostu manggala, mogi Ratu manglugrahin, nuli sida nganggit gurit, tur sida kanggen panuntun, jroning nyanggra suka duhka, maring jagate puniki, kang pinupuh, Dewi Sawitri carita. Siapakah Dewi Saraswati? Dalam Brahmavaivarta Purana (Debroy dan Debroy, 2001:5, 24), dinyatakan Saraswati adalah Dewi Kebijaksanaan, juga disebut Prakrti atau Dewi Pencipta karena memiliki kekuatan istimewa dalam mencipta. Beliau sebenarnya istri Narayana, tetapi karena bertengkar dengan Dewi Ganga (istri Narayana), maka mereka saling kutuk, Ganga menjadi Sungai Bhagirathi dan Saraswati menjadi sungai Saraswati. Kemudian Narayana mengutus Saraswati kepada Brahma (2001:26–27). Menurut Vayu Purana (Debroy dan Debroy, 2001:6), Saraswati adalah Dewi Kebajikan. Dewi Saraswati disebut Dewi Ilmu Pengetahuan atau Dewi Kata-kata, sakti Brahma (Zoetmulder, 2000:1040). Pada artikel yang berjudul “Dewi Saraswati: Simbol Penyadaran dan Pencerahan dalam Hindu” dalam majalah Warta Hindu Dharma No. 343, dinyatakan bahwa nama lain Dewi Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Pukari, Sarada, dan Wagiswari (Devane (1968), John Dawson, 1979:285, dalam Agastia, 1995:4). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Raghunath Airi telah melakukan studi kasus terhadap Saraswati dalam kitab Weda yang dipaparkan pada tulisannya berjudul Concept of Saraswati in Vedic Literature (1977). Dalam tulisannya itu dinyatakan bahwa Saraswati dipuja sebagai Dewa Sungai karena keinginan untuk mendapatkan kemakmuran, kesejahteraan, dan vitalitas hidup. Demikian juga dalam tulisan Ananda Swarup Gupta yang berjudul Conception of Saraswati in The Puranas (1962), dinyatakan bahwa pemujaan terhadap Saraswati dilakukan karena Saraswati diyakini memiliki kekuatan yang dapat menyucikan (Agastia, 1995: 5). Dewi Saraswati bagaikan pembawa obor penerang bagi umat Hindu, dan membebaskannya dari kegelapan pikiran, kedukaan, dan kemarahan, yang menyebabkan adanya kesengsaraan. Beliau membawa umatnya pada renungan tentang samyajnana dan stitaprajna.Samyajnana artinya ‘mempunyai ilmu pengetahuan yang benar (nyata)’ (Zoetmulder, 2000:1010). Dengan demikian, samyajnana maksudnya memiliki pengetahuan sejati. Sthitaprajna, adalah memiliki keseimbangan jiwa (suka dan duka dirasakan sama) yang merupakan tingkat kesadaran tertinggi (Bhagawadgita, II:56–57). Selain itu, juga membawa umat Hindu kepada kesadaran paramatattwa (menurut para filsof), paramasastra (menurut para sastrawan). Paramatattwa artinya ‘hakikat tertinggi’ (Zoetmulder, 2000:768). Paramasastra maksudnya, Dewi Saraswati
Ni Nyoman Karmini 48 merupakan sumber pengetahuan yang tidak pernah kering dan tidak berubah. Dengan demikian, Dewi Saraswati adalah sinar Tuhan, dan bagi umat Hindu Dewi Saraswati sebagai simbol penyadaran dan pencerahan yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas keagamaan (Agastia, 1995: 13). Saraswati disimbolkan berstana dalam aksara suci “OM”. Menurut Manawa Dharmasastra, aksara suci “OM” diperah Prajapati dari ketiga Weda suara “A”, “U”, “M”. Aksara tunggal “OM” adalah Brahman tertinggi (Pudja, Sudharta, 1973:84–86). Karya sastra Bali tradisional sarat dengan ajaran tentang hidup dan kehidupan. Demikian juga halnya dengan karya sastra Bali tradisional dalam bentuk geguritan khususnya geguritan-geguritan yang dikaji. Di dalamnya tercermin beberapa fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat Bali Hindu. Fungsi geguritan tidak jauh berbeda dengan fungsi kakawin, sebab kakawin memiliki fungsi religius, fungsi menghibur di samping fungsi-fungsi lainnya. Geguritan diciptakan umumnya dengan menggunakan bahasa Bali lumrah, isinya yang sarat dengan ajaran agama diungkapkan dengan cara lebih sederhana dengan tujuan supaya para penikmat lebih mudah memahaminya. Penulisan geguritan merupakan wujud bakti terhadap agama. Demikian juga halnya dengan penulisan kakawin, sehingga diistilahkan oleh Zoetmulder, penyair kakawin adalah para praktisi ”yoga sastra”. Melalui cara itu, para penyair bisa mencari pengalaman religius dengan melakukan meditasi pada tujuan-tujuan estetik. Sebagai stanza pendahuluan dalam kebanyakan kakawin, para penyair berusaha mengungkapkan rasa kegembiraanya dalam bentuk syair dan mempersembahkan karyanya sebagai penghormatan kepada dewa dengan untaian doa terhadap istatadewata. Berbagai dewa dipuja termasuk para dewa agung dalam pura-pura Hindu, seperti Siwa dan Wisnu dan yang paling terkenal Kama (Smara), yakni Dewa Asmara dan Dewa Keindahan. Dalam karya-karya kakawin Bali, Dewi Saraswati yang disebut juga Dewi Ilmu Pengetahuan juga sangat menonjol. Dewi ini dipuja dengan khusuk dalam manifestasinya sebagai yang hadir dalam setiap keindahan (langö). Dengan melakukan yoga semadi bersujud kepada dewata sang penyair mencoba bersatu dengan para dewa dengan memanggilnya secara niskala dan kemudian mengharap beralih wujud secara skala dengan memasuki objek material, dalam hal ini puisinya. Dengan demikian penulisan kakawin merupakan sarana (sadana) untuk bersatu dengan dewata. Alas tulis di mana puisi tersebut digoreskan disebut yantra, yakni wadah di mana para dewa menjelma dalam bentuk material, dan kakawin itu sendiri, dalam wujud kata-kata sang penyair, menjadi candi ning bhasa, tempat para penyair yang setia pada kalangwan (keindahan) bisa memuja. Fungsi dimaksud, antara lain: (1)
Perempuan dalam Geguritan Bali 49 fungsi hiburan dan (2) fungsi keagamaan. Fungsi Hiburan Sastra geguritan merupakan sastra tembang karena pembacaannya disampaikan lewat alunan irama yang indah yang disebut macapat. Irama dimaksud dapat menggugah penghayatan seseorang terhadap isi geguritan yang sarat dengan makna dan sekaligus memberi hiburan. Hal ini sesuai dengan konsep malajah sambilang magending, magending sambilang malajah. Pernyataan yang terkait dengan “hiburan” sering ditemukan dalam teks geguritan yang mengungkapkan bahwa menggubah geguritan merupakan “kegiatan iseng”. Misalnya, dalam Geguritan Diah Sawitri dinyatakan bahwa menggubah geguritan dengan tujuan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menghadapi suka duka hidup di dunia ini, yang dinyatakan dengan … tur sida kanggen panuntun, jroning nyanggra suka duhka, maring jagate puniki (bait 1, pupuh Sinom). Dalam Geguritan Damayanti dinyatakan bahwa menggubah geguritan dengan tujuan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menjalani hidup ini, yang dinyatakan dengan … mogi kasidan, ‘nggen sesuluh jroning urip (bait 1, pupuh Durma). Dalam Geguritan Ni Candrawati dinyatakan bahwa menggubah geguritan tujuannya untuk menghibur hati yang sedih, yang dinyatakan dengan … I rika ngawe cerita, manah sedih, kidung anggen mamurnayang (bait 1, pupuh Ginada). Pada pernyataan penyair tersebut di atas, tersirat makna indah dan bermanfaat atau berguna sehingga pembaca terpengaruh atau digerakkan untuk bertindak. Pernyataan tersebut senada atau sejalan dengan istilah Horatius, yakni seniman bertugas untuk docere dan delectare, serta movere yakni memberi ajaran dan kenikmatan serta menggerakkan pembaca ke kegiatan yang bertanggungjawab. Sastra yang mampu menggerakkan dan mampu mempengaruhi pembaca sangat sesuai dengan pernyataan Horace tentang fungsi sastra sebagai dulce et utile (menyenangkan dan berguna) (Pradopo, 1997: 6). Karena itu, seni harus menggabungkan sifat utile dan dulce, yakni yang bermanfaat dan yang manis atau yang enak (Teeuw, 1984:51). Berdasarkan uraian di atas, bahwa geguritan merupakan suatu Karya sastra tradisional yang sanggup memberikan hiburan sekaligus besar manfaatnya serta sangat berharga bagi kehidupan penikmatnya. Fungsi Keagamaan Fungsi keagamaan yang dimaksud di sini adalah fungsi keagamaan yang sesuai dengan ketiga kerangka dasar agama Hindu, yang terdiri atas:
Ni Nyoman Karmini 50 (1) tatwa (filsafat), (2) etika (susila), dan (3) ritual (upacara) (Parisada Hindu Dharma, 1967: 8). Selain itu, berdasarkan tatwa-nya agama Hindu mempunyai lima kepercayaan yang disebut dengan istilah panca çradha. Ketiga kerangka dasar agama Hindu dan lima kepercayaannya (panca çradha) tercermin dalam geguritan yang dianalisis. 1. Tatwa (filsafat) 1) Filsafat Tri hita karana Dalam rangka filsafat atau tatwa, geguritan diyakini mencerminkan filsafat tri hita karana. Ajaran tri hita karana mendapat inspirasi dari Bhagawadgita percakapan III dalam ajaran Karma yoga. Dalam hidup ini, ilmu pengetahuan lebih mulia daripada tindakan (kerja) sebab kerja merupakan hukum-alam. Bekerja telah diwajibkan dengan kebaktian dan pengabdian kepada brahman, tanpa mengharap keuntungan pribadi demi kesejahteraan dan kebahagiaan sesama umat manusia. Berikut dikutip percakapan III.10 (Pendit, 1989:69), yang slokanya berbunyi sebagai berikut. Sahayajnah prajah srishtva puro ‘vacha prajapatih anena prasavishya dhvam esha vo ‘stv istha kamadhuk Artinya: Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia bersama bakti persembahannya dan berkata, “dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah ini jadi sapi perahanmu”. Mitologinya adalah bahwa pada waktu Brahman mencipta manusia, manusia dibekali seekor sapi milik Indra untuk diperas susunya. Bersamaan dengan lahirnya manusia, lahir pula tugas pekerjaannya untuk berbakti kepada-Nya. Menurut kitab Mahabharata edisi Bombay dan Sudharta (dalam Dharmayudha, 1996:8), yang dimaksud dengan sapi perahan yang bisa memenuhi segala keinginan itu (kamadhuk) adalah bumi, pertiwi, dan alam ini. Pernyataan yang sama termuat juga dalam kitab Brahmanda Purana (Sandhi dan Pudja, 1980:85–86), Padma Purana (Debroy, dan Dipavali Debroy, 2001:19–21), dan Vayu Purana (Debroy dan Dipavali Debroy, 2001:61–65), yang menyatakan bahwa bumi disebut Prtiwi atau Basundhari yang berwujud lembu. Wujud lembu tersebut disebabkan oleh raja Prthu, ksatria pertama di Bharatawarsa yang membuat korban (yadnya) kepada leluhurnya. Raja Prthu memaksa Prtiwi untuk memenuhi segala keinginannya karena harta bendanya habis untuk yadnya. Bhatari Prtiwi diperah oleh raja Prthu, maka ke luarlah padi. Selanjutnya, Dewa, Rsi, Pitara, Gandharwa, Apsara, orangorang budiman, binatang ular, pohon-pohon, dan yang lainnya ikut
Perempuan dalam Geguritan Bali 51 memerah Bhatari Prtiwi. Yang menjadi ember penampungannya adalah dataran bumi ini. Muncullah segala hasil tanaman yang akhirnya menjadi makanan makhluk hidup di dunia. Menurut I Gusti Ketut Kaler (dalam Dharmayudha, 1996:6), tri hita karana terdiri atas kata tri yang artinya ‘tiga’, hita artinya ‘baik, senang, gembira, lestari’, dan karana artinya ‘sebab-musabab’ atau ‘sumbernya sebab’. Dengan demikian, tri hita karana berarti ‘tiga buah unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan’. Unsur-unsur tri hita karana menurut I Nengah Sudharma (dalam Dharmayudha, 1996:7), adalah (1) Sang Hyang Widhi, yang merupakan super natural power, (2) bhuwana, yang merupakan macrocosmos, (3) manusia, yang merupakan microcosmos. Ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam tata hidup masyarakat Hindu di Bali. Ketiga unsur tersebut senantiasa diterapkan dan dilaksanakan pada setiap aspek kehidupan secara harmonis dan dinamis. Tri hita karana (Dharmayudha, 1996:8), mengajarkan pola hidup seimbang di antara ketiga sumber kesejahteraan dan kedamaian hidup. Manusia selalu berusaha untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara ketiga unsur dimaksud, yaitu (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) hubungan manusia dengan alam, (3) hubungan manusia dengan manusia. Dalam pandangan masyarakat Hindu, hubungan manusia dengan Tuhan dikonsepsikan sebagai kaula (yang dikuasai) dan gusti (yang menguasai). Hubungan ini melahirkan paham ‘Tuhan sebagai Sang sangkan paraning dumadi’ atau ‘Tuhan sebagai asal dan tujuan hidup manusia’. Dari hubungan tersebut muncul kesadaran untuk bhakti yang menumbuhkan loyalitas untuk mengabdi. Rasa bhakti masyarakat Hindu diwujudkan dalam bentuk yadnya yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam hubungan manusia dengan alam, manusia membedakan alam menjadi dua, yakni alam nyata dan alam tidak nyata/alam gaib. Paham subjektif masyarakat Hindu tampak dari konsepsi bhuana agung dan bhuana alit. Konsepsi ini didasari oleh ide dasar, yaitu ‘ide kesatuan’. Manusia harus melakukan penyatuan terhadap alam secara serasi, selaras, dan seimbang. Karena itu muncul kesadaran identifikasi terhadap alam. Manusia identik dengan alam sehingga manusia adalah alam juga. Karena itu pula , alam semesta disebut bhuana agung dan diri manusia disebut bhuana alit. Sifat identik tersebut terlihat pada dikotomis, yaitu pada manusia ada unsur purusa (Atman) yang merupakan unsur aktif dan unsur prakerti (pradana), yaitu badan wadah yang merupakan unsur pasif. Pada alam semesta ada unsur Paramatman (Tuhan) sebagai
Ni Nyoman Karmini 52 purusa, yaitu unsur aktif dan bumi sebagai unsur prakerti, yaitu unsur pasif. Atman dan Paramatman kualitasnya sama yang ditunjukkan dengan ucapan ‘Brahman Atman Aikyam’ (Dharmayudha, 1996:12). Tubuh manusia dan bumi berakikat sama yang disebut dengan panca mahabhuta. Panca mahabhuta meliputi lima unsur pokok, yaitu (1) unsur padat (prtiwi), (2) unsur cair (apah), (3) unsur panas (teja), (4) unsur udara (bayu), dan (5) unsur ether (akasa). Unsur panca mahabhuta pada manusia, meliputi: (1) tulang, kulit, daging kuku, dan bagian keras lainnya termasuk unsur prtiwi, (2) darah, lemak, enzim, dan cairan lainya termasuk unsur apah, (3) panas badan, cahaya, dan warna badan termasuk unsur teja, (4) napas, hawa, dan bau badan termasuk unsur bayu, (5) rambut dan bulu-bulu badan termasuk unsur akasa. Unsur panca mahabhuta pada alam semesta atau bhuana agung, meliputi: (1) tanah dan zat padat lainnya termasuk unsur prtiwi, (2) air tawar, air laut, zat cair lainnya termasuk unsur apah, (3) panas, api, dan sinar termasuk unsur teja, (4) udara, hawa dan gas termasuk unsur bayu, dan (5) unsur ether (akasa) (Dharmayudha, 1996:12). Penyatuan dengan alam juga terjadi pada saat manusia mati. Unsur purusa/Atman kembali kepada Brahman/Paramatman dan unsur prakerti/pradana atau badan kemabli menyatu pada bumi yang pada akhirnya akan kembali kepada Brahman. Ide penyataun ini sering disebut dengan istilah ‘mulihing sangkan paran’ (Dharmayudha, 1996:13). Gusti Agung Gede Putra dan Gusti Ketut Kaler menyatakan bahwa keserasian hubungan manusia dengan alam diumpamakan ‘kadi manik ring cecupu’ (seperti janin dan rahim ibu), yang maksudnya adalah manusia hidup dilingkupi oleh alam dan dari alam manusia memperoleh sarana untuk hidup. Dari perumpamaan tersebut, tampaknya manusia bebas mengambil apa saja dari alam, tetapi manusia terikat oleh kewajiban untuk tidak merusak alam, sebab alam rusak berarti dirinya pun akan rusak. Pola ikatan ‘manik ring cecupu’ ini selanjutnya dipakai sebagai anutan dalam hidup bermasyarakat umat Hindu di Bali (Dharmayudha, 1996:14). Alam semesta keadaannya bertingkat. Alam atas disebut swah loka yang mempunyai sifat utama sebagai tempat para Dewa. Alam tengah disebut buah loka yang mempunyai sifat madya sebagai tempat manusia. Alam bawah disebut bhur loka yang mempunyai sifat nista sebagai tempat makhluk rendahan. Dari keadaan demikian, maka lahirlah konsep: nista-madya-utama, yang merupakan nilai dasar tata susila masyarakat Hindu yang berlaku secara vertikal dan horizontal (konsepsi bah-bangun) (Dharmayudha, 1996:14–15). Masyarakat Hindu mengenal istilah ‘sekala niskala’ atau ‘nyata tidak
Perempuan dalam Geguritan Bali 53 nyata’ dalam hubungannya dengan alam gaib/alam tidak nyata. Konsepsi sekala-niskala ini merupakan refleksi dari penghayatan dua sifat alam yang berbeda yang disebut ‘rwa bineda’. Sifat rwa bineda bagi orang Bali Hindu tidak harus dipertentangkan melainkan harus diharmoniskan (Dharmayudha, 1996:17). Dalam hubungan antara manusia dengan manusia, kehidupan masyarakat Hindu di Bali didasarkan atas asas yang disebut tat twam asi. Secara harfiah tat artinya ‘itu’ (ia), twam artinya ‘kamu’ dan asi artinya ‘adalah’. Jadi, tat twam asi artinya ‘itu (ia) adalah kamu’. Tat twam asi mengandung makna yang luas dan dalam. Di dalamnya terkandung suatu ajaran dan dasar kesusilaan untuk dikembangkan dalam pergaulan hidup antarsesama makhluk. Prinsip dasar tat twam asi dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali dikonsepsikan ke dalam asas: suka duka, paras paros, salunglung sabayantaka, dan asas saling asih, saling asuh, saling asah (Dharmayudha, 1996:24). Setelah dicermati, maka geguritan yang dijadikan objek penelitian dapat dikatakan memuat makna dari konsep tri hita karana, yakni menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam (lingkungan), dan hubungan manusia dengan manusia. Sebenarnya, secara tersurat konsep tri hita karana tidak ada, tetapi secara tersirat konsep tersebut ada dalam geguritan. Hal ini tercermin dalam tujuan hidup para tokoh cerita, yakni moksartham jagathitaya ca iti dharmah, maksudnya adalah tujuan dharma adalah untuk mencapai kesejahteraan di dunia ini dan di dunia lain. 2) Panca çrada Di atas telah disinggung bahwa berdasarkan tatwa-nya, agama Hindu juga mempunyai lima keyakinan yang disebut panca çradha. Panca çradha meliputi: (1) percaya adanya Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa), (2) percaya adanya Atma, (3) percaya adanya hukum karma phala, (4) percaya adanya samsara (punarbhawa), (5) percaya adanya moksa (Parisada Hindu Dharma, 1967:9). Kepercayaan yang diyakini oleh umat Hindu (panca çradha) tercermin dalam geguritan yang diteliti, seperti yang dijelaskan berikut ini. (1) Percaya adanya Sang Hyang Widhi Percaya pada Sang Hyang Widhi tercermin dalam Geguritan Dreman. Dalam Geguritan Dreman tersirat keyakinan bahwa manusia mati karena rohnya diambil oleh Kala Mretiu yang merupakan manifestasi Tuhan. Hal itu dinyatakan pada pupuh Adri bait ke-78 dan 79. I dreman suwe jani mamungkul, kanggo sakalane, jani gantin ipun mati, kadanda dera Hyang Tuduh, apan ipun ambek dudu, agung mangke jua larane, kapati-pati jwa katemu, dosane angkara manah, kasakitan papa roga.
Ni Nyoman Karmini 54 Kaget rauh Dewa Kala Mretiu, mangalap uripe, rauhnyane tan pajati, I Dreman twara da tau, pesu girang kenyung-kenyung, mengkah-mengkuh di palinggihan, aturan teka matulu, who-wohan sasanganan, rupanyane malegendah. Hal yang sama tersirat dalam Geguritan Diah Sawitri di mana roh Satyawan diambil oleh Sang Hyang Yama yang juga merupakan manifestasi Tuhan dalam tugasnya mengambil roh manusia. Hal ini tersurat pada bait 69 – 104. Berikut hanya dicontohkan bait 69 dan 72. Bapa wantah Sang Hyang Yama, Sang Satyawan swamin cening, sangkukalannya wus prapta, awanan ya Bapa rawuh, ngambil atman Sang Satyawan, kal talinin, keto dewa apang tatas. Puput nabda sapunika, Sang Hyang Yama nuli gelis, nyabud jiwatman Satyawan, kasidan sampun kategul, angga stulan Sang Satyawan, pramangkin, nenten pateja mamantang. Keyakinan tersebut juga tercermin dalam Geguritan Damayanti. Pada saat Damayanti melaksanakan sayembara, Sang Hyang Catur Lokapala (Hyang Agni, Hyang Indra, Hyang Yama, dan Hyang Baruna) turut serta dalam sayembara. Sang Hyang Catur Lokapala merupakan manifestasi Tuhan. Demikian juga Sang Hyang Kali ingin mengikuti sayembara tetapi terlambat karena sayembara telah selesai yang dimenangkan oleh Prabhu Nala. Sang Hyang Catur Lokapala menganugrahi perkawinan Damayanti dengan Nala tetapi Hyang Kali dendam dan selalu ingin menghancurkan perkawinan Damayanti dengan Nala. Hyang Kali juga merupakan manifestasi Tuhan dalam tugas sebagai penghancur. Terkait dengan Sang Hyang Catur Lokapala tersurat pada bait ke-5–15, 19, 20 pupuh Ginada 1, bait 3,4,5,9,10,11,14,16,17,18 pupuh Sinom 1, sedangkan tentang Hyang Kali tersurat pada bait 1,2,4,,5,6,7,8 pupuh Pangkur 1 dan bait 1,2,3,4 pupuh Sinom 2. Setelah Hyang Kali merasuki tubuh Prabhu Nala, kisah tentang kehancuran termuat dalam sebagian besar cerita (lihat bagian II tulisan ini). Berikut ini hanya dikutip satu bait, yakni bait 10 pupuh Ginada 1. Sapa sira ke Bhatara, mawinan titiang kasengin, napi wenten prayojana, durusang I Ratu muwus, nuli Ida Sang Hyang Indra, nabda haris, Bapa Catur Lokapala. Percaya terhadap Sang Hyang Widhi tercermin pula dalam Geguritan Ni Candrawati. Hyang Ratih dan Hyang Smara sebagai manifestasi Tuhan diyakini sebagai Dewa Cinta. Hal ini tersurat pada bait 4 dan 8 pupuh Ginada dan di bawah ini dipaparkan bait 8 sebagai contoh. Raris munggah ring pasucian, malinggih ring balegading, mayoga ngarcana Dewa, Astiti eninging kayun, tedun Ida Sang Hyang Smara, anuronin,
Perempuan dalam Geguritan Bali 55 kajamah Ni Candrawati. Dalam Geguritan Brayut juga ada keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi. Dalam Geguritan Brayut tersurat keyakinan memuja Smara, yakni manifestasi Tuhan dalam wujud Hyang Smara (Dewa Asmara). Hal ini terdapat pada bait 48 pupuh Sinom Tikus Kabanting, yakni. Len pisagane nggaokang, makeengan luh muani, baan bagian nyane kento, ngamah jukut pesu nasi, ne odah luh muani, buka tong maji tetelu, baya mangonyang brata, memuja smara di jani, sangkan ayu, pianake mengayang-ngayang. Dalam Geguritan Saci tercermin keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi. Hal ini tersurat pada bait 23 pupuh Pangkur, bait 2, 4, 5, 8, 9, 16, 18, 19, 20, 23, 29, 32, 33, 34, 44, 45, 52 pupuh Smarandana, bait 3, 21, 24, 41, 43 pupuh Ginanti. Berikut ini contoh bait 23 pupuh Pangkur, yang menyebut … Ratu Ida Hyang Bhatara…, di mana Bhatara adalah manifestasi Tuhan dalam tugasnya memberikan ‘perlindungan’. Satekede jani jumah, endeh muhug kapapag bahan eling, somahe njerit mangelur, maguyang mamulisah, mangaduhang, nyelsel titah duwuhduwuh, Ratu Ida Hyang Bhatara, nguda bas banget misisip. Dalam Geguritan Dyah Arini tercermin keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi. Hal ini tersurat pada bait 4, 5, 6, 7, 10 pupuh Demung, bait 1, 17 pupuh Sinom, bait 3, 5, 14 pupuh Pangkur, bait 8 pupuh Gagak Amanis. Berikut ini contoh bait 4 pupuh Demung, yang menyebut … Bhatara Indra…di mana Bhatara Indra diyakini merupakan manifestasi Tuhan dalam tugas melindungi surga. Wenten dadari lwih ring Suralaya, pradnyan wekas ing ayu, raspati annulus, kapesengin Dyah Arini, tos treh utama, masawang kadi papucuk, erun Bhatara Indra, kajegegane mingid, anging Sang Hyang Indra yogya, mamratingkah sahala-ayu. Dalam Geguritan Cilinaya tercermin keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi. Hal ini tersurat pada bait 99, 110, 115, 121, 143, 146 pupuh Ginada. Berikut contoh bait 110 yang menyebut … Sang Hyang Tuduh, meraga Guru Wisesa… di mana sebutan tersebut diyakini sebagai sebutan lain dari Sang Hyang Widhi (Tuhan). Sawusan maralina raga, matur bakti saupti, mider buana matur sembah, cingakin titiang Sang Hyang Tuduh, meraga Guru Wisesa, menyaksinin, ala ayune ring jagat. Dalam Geguritan Sakuntala tercermin keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi. Hal ini tersurat pada bait 3, 4, 5, 10, 12 pupuh Pangkur, bait 1, 15, 16, 17, 18, 19 pupuh Durma yang menyebut … Ida Hyang Tuduh….
Ni Nyoman Karmini 56 … Hyang Bhatara…. …Hyang Indra…. Hyang Bayu…. … Hyang Atma…. … Dewata…. … Hyang Candra, Hyang Angin, Hyang Agni, Hyang Yama, di mana sebutan tersebut diyakini sebagai Hyang Widhi dan manifestasinya. Berikut ini contoh bait 18 pupuh Durma. Minakadi Hyang Surya Hyang Candra, Hyang Angin Hyang Agni, pretiwi akasa teja, miwah Ida Hyang Atma, Hyang Yama nira iki, ida magenah, maring rat dahat sakti. Contoh-contoh yang dikutip di atas, dapat dikatakan merupakan hal yang menyatakan bahwa dalam geguritan tercermin keyakinan agama Hindu yang pertama, yakni ‘percaya adanya Sang Hyang Widhi’. (2) Percaya adanya Atma Atma adalah merupakan percikan-percikan dari Paramatman yaitu Sang Hyang Widhi. Manusia dihidupkan oleh Atma. Atma dan badan ini ibarat kusir dengan kereta (Parisada Hindu Dharma, 1967:19). Percaya pada adanya Atma tersurat dan tersirat dalam Geguritan Dreman, Geguritan Diah Sawitri, Geguritan Dyah Arini, dan Geguritan Sakuntala. Pada bait 89 Geguritan Dreman diungkap tentang kematian Wijasantun, bait 100 tentang kematian I Jatiraga, bait 103 sampai 118 pupuh Adri 1, bait 1 sampai 7 pupuh Cecangkriman, dan bait 1 sampai 18 pupuh Adri 2 tentang kematian dan perjalanan Atma I Suanggadarmi. Pada Geguritan Diah Sawitri tersurat dan tersirat pada bait 69 sampai bait 75 pupuh Ginada, bait 76 sampai 87 pupuh Sinom, bait 88 sampai bait 95 pupuh Smarandana, bait 96 sampai 104 pupuh Ginada tentang Atma Satyawan yang diambil oleh Hyang Yama. Pada Geguritan Dyah Arini tercermin pada bait ke-9 pupuh Demung, yakni tentang kematian Dyah Arini, sedangkan dalam Geguritan Sakuntala diungkap pada bait 18 pupuh Durma (lihat kutipan di atas). (3) Percaya adanya hukum karma phala Karma phala artinya hasil perbuatan. Karma phala dibedakan menjadi tiga macam, yaitu (1) sancita, (2) prarabda, dan (3) kriyamana. Sancita ialah phala dari perbuatan dalam kehidupan dahulu yang belum habis dinikmati dan merupakan benih yang menentukan kehidupan sekarang. Prarabda, ialah phala dari perbuatan pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi. Kriyamana, ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang (Parisada Hindu Dharma, 1967:21). Keyakinan ini tercermin dalam Geguritan Dreman dan Geguritan Dyah Arini. Dalam Geguritan Dyah Arini, yakni bait ke-6 pupuh Demung 2 tentang prarabda karma phala, sedangkan dalam Geguritan Dreman jelas tersurat dan tersirat bahwa perbuatan baik berpahala baik, sedangkan perbuatan buruk berpahala buruk. Karma phala yang tercermin dalam
Perempuan dalam Geguritan Bali 57 geguritan ini adalah sancita kriyamana. Hal ini tersurat pada bait ke-16 dan bait-bait yang menyatakan perjalanan roh I Wijasantun, I Jatiraga dan I Suanggadarmi setelah mereka meninggal. Berikut ini dikutip hanya bait ke-16 pupuh Adri. Pakretine aba uli malu, sangkan nemu jele, apane jua rasaning, pangrasane awak Eluh, tau teken tumbuh eluh,sok becik jani gawenang, tau awak tumbuh lacur, sampun mangiwangin somah, istri kawawa ajadnya. (4) Percaya adanya samsara (punarbhawa) Punarbhawa atau samsara ialah kelahiran berulang-ulang, yang disebut juga dengan penitisan. Penitisan ini membawa akibat suka duka. Punarbhawa terjadi karena atma masih dipengaruhi oleh kenikmatan dunia (Parisada Hindu Dharma, 1967:23). Keyakinan ini (punarbhawa) tercermin dalam Geguritan Dreman. Pada geguritan ini disinggung bahwa jika lahir kembali banyak hal yang dialami sesuai perbuatan yang dilakukan. Hal ini dinyatakan pada baitbait akhir cerita, yakni bait 14, 15, 16, 17, 18 pupuh Adri. Keyakinan ini juga tercermin pada Geguritan Dyah Arini. Bait-bait yang menyatakan hal itu adalah bait-bait akhir cerita, yakni bait 5, 6, 7, 8, 9 pupuh Demung. (5) Percaya adanya moksa Moksa menjadi tujuan agama (dharma). Moksa berarti kebebasan dari ikatan keduniawian, bebas dari karma phala, bebas dari samsara. Moksa tidak hanya dicapai setelah meninggal tetapi dapat pula dicapai di dunia ini. Moksa di dunia hanya dapat dicapai jika sudah bebas dari ikatan-ikatan duniawi yang disebut dengan jiwan mukti (moksa semasih hidup). Cara mencapai moksa di dunia adalah dengan jalan berbakti kepada dharma dalam arti seluas-luasnya (Parisada Hindu Dharma, 1967:25). Moksa di dunia tersirat dalam Geguritan Dreman, Geguritan Diah Sawitri, Geguritan Damayanti, Geguritan Brayut, Geguritan Saci, Geguritan Dyah Arini, Geguritan Cilinaya, dan Geguritan Sakuntala. 2. Etika Etika atau susila adalah ajaran tentang tingkah laku. Tingkah laku dapat dikategorikan ke dalam tingkah laku yang baik (subha karma) dan tingkah laku yang tidak baik (ashuba karma). Tingkah laku yang baik (subha karma), meliputi: tat twam asi, tri kaya parisuda, dasa nyama brata, dan dasa yama brata, sedangkan tingkah laku yang tidak baik (asubha karma/asusila), meliputi: sad ripu, sapta timira, sad tatayi. 1) Tingkah laku baik atau subha karma (1) Tat twam asi Tat twam asi sebagai salah satu ajaran subha karma berarti “aku adalah engkau, engkau adalah aku”. Kalimat ini berarti bahwa kita wajib mengasihi orang lain seperti kita mengasihi diri sendiri. Hal ini sebagai
Ni Nyoman Karmini 58 dasar utama untuk mewujudkan masyarakat yang santi (damai) dan kerta (makmur). Karena itu, tat twam asi harus dilaksanakan dengan cinta kasih, bakti dan rela berkorban (Adia Wiratmadja, 1988:19). Ajaran tat twam asi yang dilaksanakan dengan cinta kasih, bakti dan rela berkorban dapat dilihat pada Geguritan Dreman bait ke- 11, 12, 13, 27, 28, 30, 38, 40, 42, 43, 54, 55, 56, 64, 68, 69, 77, 84, 90 pupuh Adri. Di bawah ini dikutip bait 11 sebagai contoh. I Suanggadarmi bangkit satuwuk, tanporat awake, idepang jua masih bangkit, twara lali teken tutur, astiti baktine malu, sayangan masih rabine, diati masih magantung, yan luas satibapara, rabine hestiyang jumah. Ajaran tat twam asi tersurat dan tersirat pada seluruh cerita Geguritan Diah Sawitri. Sebagai contoh dikutip bait 49 pupuh Sinom. Uning ring indik punika, Dyumatsena nabda aris, uduh cening mantun bapa, bratan cening berat yukti, sajeroning tigang wengi, upawasane linaku, mireng bawos matuan ida, Sawitri mahatur aris keni sampun, Ratu sangsaya ring arsa. Ajaran tat twam asi tersurat dan tersirat dalam Geguritan Damayanti. Ajaran ini tersurat dan tersirat pada kisah cinta Damayanti kepada Prabhu Nala, demikian juga kisah cinta Prabhu Nala kepada Damayanti. Juga tercermin pada perilaku Prabhu Nala sebagai seorang raja besar dan bijaksana. Perilaku dimaksud tetap tercermin pada saat Damayanti dan Prabhu Nala sedang hidup sengsara akibat perbuatan Hyang Kali. Ini berarti ajaran tat twam asi tercermin pada sebagian besar kisah Damayanti (lihat bagian II tulisan ini). Ajaran tat twam asi tercermin pula dalam Geguritan Ni Candrawati. Ajaran tat twam asi tercermin pada sebagian besar jalan cerita. Perilaku cinta kasih dan bakti tercermin pada perilaku raja Kretanegari kepada semua rakyatnya, dan perilaku Ni Candrawati dan rakyat kepada kerajaan, sedangkan perilaku rela berkorban tercermin pada perilaku Ni Candrawati. Ajaran tat twam asi tersirat pula dalam Geguritan Brayut. Ajaran ini tersirat pada sebagian besar jalan cerita yang tercermin pula pada akhir cerita, yakni keluarga Brayut hidup bahagia. Ajaran tat twam asi juga tersirat dalam Geguritan Saci. Ajaran ini disampaikan melalui nasihat-nasihat yang sangat berharga yang diambil dari perilaku Dewi Saci untuk mengembalikan kedamaian di Suralaya. Nasihat-nasihat itu disampaikan kepada pelaku lain demi tercapainya kedamaian hidup. Ajaran tat twam asi tercermin pula dalam Geguritan Dyah Arini. Trenawindu sangat memahami perilaku Dyah Arini karena menyandang tugas dari Dewa Indra. Kemarahan Trenawindu pun sirna setelah
Perempuan dalam Geguritan Bali 59 mendengarkan sesambatan Dyah Arini, namun kesalahan harus tetap mendapatkan hukuman. Ajaran cinta kasih tercermin pada perilaku Trenawindu, sedangkan ajaran bakti dan rela berkorban tercermin pada perilaku Dyah Arini. Dalam Geguritan Cilinaya tersirat ajaran tat twam asi. Ajaran ini tercermin pada perilaku Cilinaya dan Jaya Semara. Ajaran ini tersirat pada sebagian besar jalan cerita. Ajaran tat twam asi tercermin pula dalam Geguritan Sakuntala. Ajaran ini tercermin pada semua pelaku cerita. (2) Tri kaya parisuda Tri kaya parisudha merupakan tiga laksana baik, yang meliputi kayika (tingkah laku yang baik), wacika (perkataan yang baik), dan manacika (pikiran yang baik). Kayika merupakan tiga macam pengendalian diri dalam bertingkah laku, yakni tidak membunuh (ahimsa), tidak mencuri, tidak berzina. Wacika merupakan empat macam pengendalian melalui perkataan, yakni tidak mencaci maki orang lain, tidak berkata kasar walaupun benar atau sebaliknya tidak berkata lembut tetapi dusta, tidak memfitnah, dan tidak ingkar janji. Manacika merupakan tiga macam pengendalian diri melalui pikiran, yakni tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikir buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari hukum karma phala (Parisada Hindu Dharma, 1967:50-51, Adia Wiratmadja, 1988: 21-23). Tri kaya parisudha tersirat pada perilaku I Suanggadarmi dalam Geguritan Dreman. Perilakunya itu tersurat pada bait-bait yang berkisah tentang I Suanggadarmi. Karena perilaku I Suanggadarmi seperti itu, ia memperoleh Sorga setelah meninggal dan mampu menolong atau mengangkat I Jatiraga (suaminya) dari neraka. Ajaran tri kaya parisudha tersurat dan tersirat pada Geguritan Diah Sawitri. Ajaran ini tercermin pada perilaku semua tokoh atau pelaku cerita. Ajaran tri kaya parisudha tersirat pula dalam Geguritan Damayanti. Ajaran ini tercermin dalam perilaku Damayanti dan Prabhu Nala. Ajaran tri kaya parisudha tercermin dalam Geguritan Ni Candrawati. Walaupun dalam geguritan ini dikisahkan bahwa Ni Candrawati hamil karena mayoga ngarcana Dewa (melakukan yoga memuja Dewa) sehingga turunlah Sang Hyang Smara menjamah Ni Candrawati yang berakibat Ni Candrawati hamil. Ini bukanlah suatu kesalahan yang dibuat oleh pelaku, melainkan sesuatu terjadi di luar kehendaknya. Tri kaya parisudha tercermin juga dalam Geguritan Brayut. Walaupun ada kata-kata kasar yang diucapkan pada saat marah, baik oleh suami maupun oleh istri, namun setelah mereka sama-sama menyadari, mereka rukun kembali. Dalam Geguritan Saci tersirat pula ajaran tri kaya parisudha yang tercermin pada saat pelaku
Ni Nyoman Karmini 60 (suami) menasihati pelaku lain (istri) dengan memberikan contoh perbuatan Dewi Saci. Geguritan Dyah Arini juga menyiratkan ajaran tri kaya parsudha yang tercermin pada perilaku Trenawindu dan Dyah Arini pada seluruh jalan cerita. Geguritan Cilinaya juga memuat ajaran tri kaya parisudha yang tercermin pada perilaku Cilinaya dan Jaya Semara. Demikian juga pada Geguritan Sakuntala. Ajaran tri kaya parisudha tercermin pada semua perilaku pelaku cerita. (3) Dasa niyama brata Dasa niyama brata adalah sepuluh pengendalian diri atau sikap mental. Dasa niyama brata, meliputi: dana yaitu pemberian sedekah, ijya artinya hormat atau memuja kepada leluhur dan Hyang Widhi, tapa artinya melatih diri untuk mencapai ketenangan hati, dyana artinya memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi, swadhyaya artinya tekun mempelajari ajaran-ajaran suci, upasthanigraha artinya mengendalikan hawa nafsu, brata artinya taat kepada sumpah atau janji, upawasa artinya berpuasa, mona artinya membatasi perkataan, snana artinya melakukan pensucian diri (Parisada Hindu Dharma, 1967:52). Dalam Geguritan Dreman tercermin ajaran dasa niyama brata. Ajaran ini dilaksanakan oleh pelaku I Suanggadarmi. Dalam Geguritan Diah Sawitri, ajaran dasa niyama brata dilaksanakan oleh semua pelaku cerita pada keseluruhan jalan cerita. Dalam Geguritan Damayanti, ajaran dasa niyama brata dilaksanakan oleh Damayanti dan Prabhu Nala. Dalam Geguritan Ni Candrawati, ajaran dasa niyama brata dilaksanakan oleh Ni Candrawati. Dalam Geguritan Brayut, ajaran dasa niyama brata tidak semua dilaksanakan oleh pelaku. Ajaran ini dilaksanakan oleh tokoh, kecuali upasthanigraha (pengendalian hawa nafsu kelamin). Dalam Geguritan Saci, ajaran ini dilaksanakan oleh pelaku. Dalam Geguritan Dyah Arini, ajaran dasa niyama brata dilaksanakan sepenuhnya oleh tokoh Trenawindu. Dalam Geguritan Cilinaya, ajaran dasa niyama brata secara tersurat tidak ada tetapi tersirat dalam perilaku tokoh Cilinaya dan Jaya Semara. Dalam Geguritan Sakuntala, ajaran dasa niyama brata juga tersirat dalam perilaku tokoh-tokohnya. (4) Dasa yama brata Dasa yama brata adalah sepuluh pengendalian atau pengekangan hawa nafsu. Dasa yama brata, meliputi: anresangsya atau arimbawa artinya tidak mementingkan diri sendiri, ksama artinya suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan, satya artinya setia, ahimsa artinya tidak membunuh, dama artinya dapat menasihati diri sendiri, ardjawa artinya jujur mempertahankan kebenaran, priti artinya cinta kasih kepada sesama makhluk, prasada artinya berpikir dan berhati suci tanpa pamerih, madurya artinya ramah tamah, lemah lembut, mardawa
Perempuan dalam Geguritan Bali 61 artinya rendah hati (Parisada Hindu Dharma, 1967:51–52). Dalam Geguritan Dreman, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh tokoh I Suanggadarmi. Dalam Geguritan Diah Sawitri, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh semua tokoh cerita. Dalam Geguritan Damayanti, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh tokoh Damayanti dan Prabhu Nala. Dalam Geguritan Ni Candrawati dilaksanakan oleh tokoh Ni Candrawati sendiri. Dalam Geguritan Brayut, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh tokoh Brayut. Dalam Geguritan Saci, ajaran dasa yama brata disampaikan oleh tokoh melalui kisah Dewi Saci. Dalam Geguritan Dyah Arini, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh tokoh Trenawindu. Dalam Geguritan Cilinaya, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh tokoh Cilinaya dan Jaya Semara. Dalam Geguritan Sakuntala, ajaran dasa yama brata dilaksanakan oleh semua tokoh. 2) Tingkah laku yang tidak baik (asubha karma) (1) Sad ripu Sad ripu termasuk tingkah laku yang tidak baik (asubha karma/ asusila). Sad ripu adalah enam perbuatan yang tidak layak dilakukan, yang meliputi: kama ialah perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu, kroda/murka adalah sifat pemarah, lobha adalah sifat rakus, moha adalah sifat kebingungan dan angkuh, mada adalah sifat suka mabuk, matsarya adalah sifat iri hati (Adia Wiratmadja, 1988:28–29). Perbuatan tidak baik karena pengaruh sad ripu dilakukan oleh tokoh I Wijasantun dalam Geguritan Dreman. Perbuatan karena sad ripu tidak tercermin dalam Geguritan Diah Sawitri. Perbuatan karena sad ripu tercermin dalam Geguritan Damayanti yang dilakukan oleh Puskara. Dalam Geguritan Ni Candrawati hanya tersurat sifat kroda (marah) yang dilakukan oleh tokoh Wiranata kepada tokoh Ni Candrawati. Perbuatan karena sad ripu tidak tercermin dalam Geguritan Brayut. Dalam Geguritan Saci tercermin perbuatan yang dipengaruhi sad ripu yang dilakukan oleh tokoh I Wayan Rijek dan Nahusa. Perbuatan karena sad ripu tidak tercermin dalam Geguritan Dyah Arini. Perbuatan karena sad ripu tercermin dalam Geguritan Cilinaya, yang dilakukan oleh I Liku yang menyebabkan kesengsaraan Cilinaya dan ibunya. Perbuatan karena sad ripu tidak tercermin dalam Geguritan Sakuntala. (2) Sapta timira Sapta timira adalah tujuh macam perbuatan yang disebabkan oleh kegelapan pikiran/mabuk, yang termasuk juga ke dalam tingkah laku yang tidak baik (asubha karma/asusila). Sapta timira meliputi: surupa artinya mabuk karena rupa tampan atau cantik, dana artinya mabuk karena kekayaan, guna artinya mabuk karena kepandaian, kulina artinya mabuk karena kebangsawanan/keturunan, yowana artinya sifat
Ni Nyoman Karmini 62 sombong karena merasa muda dan kuat, sura artinya mabuk karena minuman keras, kasuran artinya mabuk kemenangan (Parisada Hindu Dharma, 1967:50). Tingkah laku yang tidak baik karena dipengaruhi sapta timira tidak ada tercermin dalam geguritan-geguritan yang dianalisis. (3) Sad tatayi Sad tatayi adalah enam perbuatan kejam. Ini juga merupakan bagian dari tingkah laku yang tidak baik (asubha karma/asusila). Sad tatayi meliputi: agnida artinya membakar milik orang lain, wisada artinya meracuni orang lain, atharwa artinya melakukan ilmu hitam atau gunaguna, sastraghna artinya mengamuk, dratikarama artinya memperkosa kehormatan orang lain, rajapisuna artinya memfitnah (Parisada Hindu Dharma, 1967:50, Adia Wiratmadja, 1988:30–31). Perbuatan kejam atau sad tatayi tersurat dalam Geguritan Dreman dan Geguritan Cilinaya. Perbuatan kejam yang dilakukan adalah melakukan ilmu hitam atau guna-guna (atharwa) dan memfitnah (rajapisuna). Perbuatan ini dilakukan oleh tokoh I Wijasantun dalam Geguritan Dreman dan oleh I Liku dalam Geguritan Cilinaya. Geguritangeguritan lainnya tidak ada mencerminkan sad tatayi. Contoh-contoh ajaran subha karma yang disebutkan di atas, patut dipedomani dan dijadikan alat sebagai pengendalian diri, apalagi pada zaman ini, yakni zaman Kali. Dalam Manawa Dharmasastra (Pudja dan Sudharta, 1973:52), dinyatakan bahwa … pada zaman Kali banyak bermunculan pikiran-pikiran libral. Pernyataan senada juga ditemukan dalam Brahmavaivarta Purana (Debroy dan Debroy, 2001: 27), dengan pernyataan bahwa dewasa ini termasuk zaman Kali sehingga banyak orang mengesampingkan moralitas dalam pergaulan. Banyak manusia yang tidak mampu lagi membeda-bedakan dan tidak bisa menimbangnimbang antara yang baik dan buruk. Manusia dikuasai keinginankeinginan yang berlebihan sehingga muncul keserakahan yang tidak terkendalikan. Keinginan dan keserakahan yang berlebihan itulah dapat menjatuhkan martabat siapa saja. Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak dapat lepas hubungan dengan orang lain. Karena itu, kata-kata (wacika) yang merupakan salah satu bagian dari ajaran tri kaya parisudha memegang peranan sangat penting dalam menentukan selamat dan celakanya kehidupan seseorang di dunia ini. Seperti dinyatakan dalam Niti sastra (V.3) sebagai berikut. Waçita nimittanta manēmu laksmi Waçita nimittanta manēmu duhka Waçita nimittanta pati kapangguh Waçita nimittanta manēmu mitra
Perempuan dalam Geguritan Bali 63 Artinya: Karena perkataan engkau akan mendapatkan kebahagiaan Karena perkataan engkau akan mendapat kesusahan Karena perkataan engkau akan menemui ajal Karena perkataan engkau akan mendapat sahabat (Sura, 1977:33) Kehidupan merupakan sesuatu yang sangat berharga dan setiap orang mempunyai kehidupan sendiri-sendiri. Menurut Hikari (1999), kehidupan adalah “keberhusahaan” (hlm.15), kehidupan adalah “perjuangan” (hlm.16), kehidupan adalah “suatu perjalanan, baik atau buruk kita yang menentukan” (hlm.45), dalam kehidupan yang terbaik adalah “keseimbangan” (hlm.52), “keseimbangan dalam kehidupan terletak pada kepribadian dalam penguasaan pikiran, perbuatan, dan ucapan” (hlm.202), sepanjang masih hidup senantiasa ada kesempatan untuk memperbaiki kehidupan, tidak ada kata terlambat dalam kehidupan sepanjang jiwa dan raga (hlm. 164 dan 165). Dalam Manawa Dharmasastra (Pudja dan Sudharta, 1973:718–720), dinyatakan bahwa karma yang lahir dari pikiran, perkataan, dan badan berakibat baik atau buruk. Karma menyebabkan bermacam-macam keadaan pada diri manusia. Perbuatan baik atau buruk dari tingkah laku badan berakibat pada tingkah laku perbuatan badan, perbuatan pikiran berakibat pada pikiran, dan perbuatan perkataan berakibat pada perkataan. Dosa akibat perbuatan badan akan menjadi benda mati kelak, dosa akibat perkataan akan menjadi burung atau binatang buas kelak, dan dosa akibat pikiran akan lahir ke kelahiran yang rendah kelak. 3. Ritual (Upacara) Ritual adalah cara-cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi serta semua manifestasi-Nya dengan jalan yadnya untuk mencapai kesucian jiwa. Dalam upacara digunakanlah upakara sebagai alat penolong untuk memudahkan manusia menghubungkan diri dengan Hyang Widhi dan manifestasi-Nya (Parisada Hindu Dharma, 1967:5). Upacara keagamaan yang terbesar dalam agama Hindu dapat dibedakan menjadi lima, yang disebut dengan panca yadnya. Panca Yadnya, meliputi: (1) Dewa yadnya, yaitu upacara yang ditujukan kepada Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya; (2) pitra yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk mengembalikan Atman dari bhuh loka (bumi) dan buah loka (alam pitara) ke swah loka (Sorga atau alam Hyang Widhi); (3) Rsi yadnya, yaitu pengorbanan suci untuk Rsi-rsi atau orang suci; (4) Bhuta yadnya, yaitu pengorbanan suci kepada semua makhluk dan kepada alam semesta untuk memperkuat keharmonisan hidup; (5) manusa yadnya, yaitu pengorbanan suci yang ditujukan untuk kesempurnaan
Ni Nyoman Karmini 64 hidup manusia. Upacara manusa yadnya dilakukan sejak bayi dalam kandungan, bayi baru lahir, bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan), bayi berumur 3 bulan, bayi berumur 6 bulan (oton), anak meningkat dewasa (rajasewala), potong gigi, dan menikah (Parisada Hindu Dharma, 1967:55–59). Masalah upacara (ritual) ini hanya disinggung sepintas. Dalam geguritan yang dianalisis, upacara-upacara yang tercermin adalah upacara Dewa yadnya, Pitra yadnya, Rsi yadnya, dan manusa yadnya. Di bawah ini dipaparkan lebih lanjut. Dalam Geguritan Dreman tersurat dan tersirat adanya upacara Dewa yadnya dan Pitra yadnya. Upacara Dewa yadnya dapat dilihat pada bait 66 – 69. Pada bait 89 dikisahkan kematian I Wijasantun. Secara tersurat upacara Pitra yadnya memang tidak ada, tetapi ada tersirat pelaksanaan upacara dimaksud karena setiap ada kematian sudah tentu ada upacara Pitra yadnya. Dalam Geguritan Diah Sawitri tercermin upacara Dewa yadnya, Rsi yadnya dan Manusa yadnya. Upacara Dewa yadnya tersurat pada bait 2 – 6 pupuh Sinom, yakni saat-saat Prabhu Madra (Sang Aswapati) melakukan tapa brata dan agnihotra dalam rangka supaya memperoleh keturunan. Upacara Dewa yadnya juga dilakukan oleh Sawitri pada saat menjelang kematian suaminya (Satyawan) yang tersurat pada bait 48 sampai bait 54 pupuh Sinom. Upacara Manusa yadnya, yakni saat dilaksanakannya perkawinan antara Sawitri dengan Satyawan. Hal ini dinyatakan pada bait 36 – 39 pupuh Ginada yang menyangkut proses pernikahan, dan bait 40 – 46 pupuh Pangkur tentang pelaksanaan pernikahan. Upacara Rsi yadnya dilaksanakan pula oleh Sawitri pada saat ia mencari calon suami. Ia pergi sangat jauh sampai masuk ke pasraman-pasraman di hutan. Setiap masuk pasraman, Sawitri memberikan punia tanpa pamrih. Menurut Wangsa (1998:11 dan 37), punia seperti itu termasuk sadhana ri kasiddhaning dharma (dharmarthah), artinya dana itu untuk menjalankan dharma, yang kualitasnya termasuk sattwic dana, yaitu pemberian berkualitas putih. Maksudnya adalah pemberian itu diberikan pada waktu, tempat, dan orang yang tepat dan tanpa maksud di balik pemberian itu. Pemberian punia itu tersurat pada bait 13 pupuh Durma. Berikut ini kutipannya. Pamarginnya nyusup alas adoh pisan, pasramane kaparanin, sinambi mapunia, sapupute raris lunga, pasraman liyan paranin, kudang dina, pamargine mrika-mriki. Dalam Geguritan Damayanti tercermin adanya upacara manusa yadnya, yakni upacara perkawinan antara Damayanti dan Prabhu Nala. Bait yang menyatakan hal itu adalah bait ke-19 pupuh Sinom 1, yang
Perempuan dalam Geguritan Bali 65 dikutip berikut ini. Prabhu Nala kabuncingang, sareng Dewi Damayanti, antuk Ida Prabhu Bima, maring Widharba negari, yan maletan kudang ratri, Prabhu Nala raris mantuk, sareng ida nrepa duhita, prapti maring Nisada puri, lanang wadhu, guluk ngardi jagaddhita. Dalam Geguritan Ni Candrawati tercermin adanya upacara Dewa yadnya, yang tersurat pada bait ke-7 dan 8 pupuh Ginada. Berikut ini dikutip bait ke-8. Raris munggah ring pasucian, malinggih ring balegading, mayoga ngarcana Dewa, Astiti eninging kayun, tedun Ida Sang Hyang Smara, anuronin, kajamah Ni Candrawati. Dalam Geguritan Brayut tersirat adanya upacara manusa yadnya. Manusa yadnya hanya tersirat, yakni ada pada perkawinan-perkawinan anak-anak Brayut. Dalam Geguritan Saci tercermin upacara Dewa yadnya. Hal ini tersurat pada bait 47,48 pupuh Smarandana, yang dikutip hanya bait 47 berikut ini. Yen mangde aturang jani, Dewi Saci twara suka, suka pati yen kajodo, keto jani Hyang Bagawan, papineh suba pragat, raris prajani Sang Empu, mangwangunang karya homa. Dalam Geguritan Dyah Arini tercermin upacara Dewa yadnya. Hal ini tersurat pada bait ke-1 pupuh Sinom, yang dikutip berikut ini. Sang kesti pacang bancana, sedek ngastuti, ring Batara Siwaditya, pageh manggineng samadi, tan mari kapatitis, suda nirmala ing kayun, raris mapahitungan, saksat Sang Hyang Wisnu Murti, bahu nurun, nangun tapa saking Swargan. Dalam Geguritan Cilinaya dan Geguirtan Sakuntala secara tersurat memang tidak ada membicarakan upacara panca yadnya. Tetapi menurut peneliti, tersirat adanya upacara manusa yadnya, yakni berupa upacara perkawinan. Perkawinan dimaksud adalah perkawinan antara raja dan permaisuri raja Daha dan perkawinan antara Jaya Smara dengan Cilinaya. Demikian juga perkawinan antara Sakuntala dengan Duswanta, raja Hastinapura. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa geguritangeguritan yang dikaji mengandung tiga kerangka dasar agama Hindu dan lima keyakinan (panca çrada) yang diyakini oleh umat Hindu. Namun, dari tiga kerangka dasar agama Hindu, yakni tattwa (filsafat), etika (susila), dan ritual, yang dominan dipermasalahkan dalam geguritan adalah etika (susila) karena etika yang paling dekat dan paling terkait dengan cara hidup manusia. Dengan demikian, geguritan-geguritan dapat berfungsi
Ni Nyoman Karmini 66 sebagai alat pembelajaran tentang etika hidup dan kehidupan sehingga seseorang yang mampu menghayatinya dapat memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri.
67 BAB III STRUKTUR NARATIF GEGURITAN Pengantar I stilah struktur secara etimologis berasal dari kata structura (bahasa Latin), yang berarti bentuk atau bangunan (Kutha Ratna, 2004:88–91). Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antarhubungannya. Yang dimaksud antarhubungan di sini adalah di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak lain hubungan antara unsur-unsur dengan totalitasnya. Namun, hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga hubungan yang bersifat negatif, seperti konflik dan pertentangan. Strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsurunsur karya sastra. Setiap karya sastra, baik berbentuk prosa, puisi, maupun drama mempunyai unsur-unsur pokok. Unsur-unsur pokok prosa, di antaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting, penokohan atau perwatakan, alur atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa; Unsur-unsur pokok puisi, di antaranya: tema, stilistika (gaya bahasa), imajinasi (daya bayang), ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi, simbol, nada, dan enjambemen; sedangkan unsur-unsur drama (drama teks), di antaranya: tema, dialog, peristiwa (kejadian), latar, penokohan, alur, dan gaya bahasa. Atas dasar hakikat otonomi karya sastra, maka tidak ada aturan yang baku terhadap suatu kegiatan analisis. Artinya, unsurunsur yang dibicarakan tergantung dari dominasi unsur-unsur karya di satu pihak, dan tujuan analisis di pihak lainnya. Dalam analisis selalu terjadi tarik-menarik antara struktur global, yaitu totalitas karya sastra itu sendiri dengan unsur-unsur yang diadopsi ke dalam wilayah penelitian. Teori tidak harus dipahami secara kaku, karena teori adalah alat yang kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami objek secara maksimal. Oleh karena itu, teori dapat ditafsirkan sesuai dengan kemampuan peneliti. Teori memiliki fungsi statis sekaligus dinamis. Aspek statisnya adalah konsep-konsep dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori lainnya, misalnya konsep dasar strukturalisme adalah unsurunsur, antarhubungan, dan totalitas, sedangkan aspek-aspek dinamisnya berupa kaitan antara konsep-konsep dasar dengan hakikat objeknya.
Ni Nyoman Karmini 68 Konsep inilah yang berubah terus-menerus sesuai dengan kemampuan peneliti dalam menafsirkan hubungan konsep dasar dengan hakikat objek sehingga menyebabkan penelitian satu dengan lainnya berbeda. Pembicaraan mengenai struktur intrinsik di sini tidaklah terlalu menukik dan dibatasi hanya mengenai alur, penokohan dan tema, sebab hal dimaksud hanyalah merupakan jalan untuk menuju permasalahan pokok pembahasan. Dengan kata lain, struktur intrinsik bukanlah menjadi masalah pokok dalam penelitian ini. Alur/Plot Geguritan Alur atau plot adalah rangkaian kejadian atau peristiwa dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Karmini, 2000:18). Alur merupakan kerangka utama cerita karena alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita. Alur mengatur tindakan-tindakan tokoh dalam cerita sehingga bertalian antara tindakan yang satu dengan yang lainnya. Pertalian atau hubungan antara bagian alur menimbulkan proporsi. Artinya, bagian yang satu diceritakan dalam porsi yang berbeda dengan bagian yang lainnya. Selain itu, antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya ada yang diikat dengan kuat dan ada pula yang longgar. Pada umumnya alur cerita rekaan terdiri atas: (1) alur buka, yaitu situasi mulai terbuka/terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya; (2) alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang mulai memuncak; (3) alur puncak, yaitu kondisi mencapai puncak sebagai klimaks peristiwa; dan (4) alur tutup, yaitu kondisi yang memuncak tadi mulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian. Pembagian jenis alur tersebut berdasarkan urutan kelompok kejadian/peristiwa. Namun dalam penelitian ini, digunakan gerak alur menurut S. Tasrif (dalam Karmini, 2000:19), yang meliputi: (1) situation, yaitu dimulai dengan pelukisan suatu keadaan; (2) generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak; (3) rising action, yaitu keadaan/peristiwa mulai memuncak; (4) climax, yaitu peristiwa-peristiwa mencapai puncak; dan (5) denoument, yaitu pengarang memberikan pemecahan dari semua peristiwa. Gerak alur ada yang diurut seperti urutan di atas sehingga sering dikatakan sebagai alur tradisional dan sering juga disebut alur kronologis, sedangkan jika gerak alur dari puncak kemudian ke bagian yang lainnya disebut alur sorot balik (flash back). Dari segi fungsinya, alur dibedakan menjadi alur utama, yaitu alur yang berisi cerita utama/ pokok; dan alur sampingan, yaitu alur yang merupakan bingkai cerita,
Perempuan dalam Geguritan Bali 69 seperti peristiwa-peristiwa kecil yang melingkari peristiwa-peristiwa pokok yang membangun cerita. Unsur alur yang terpenting adalah konflik dan klimaks. Konflik dibedakan menjadi dua, yaitu konflik internal (batin) dan konflik eksternal. Konflik internal adalah pertentangan dua keinginan di dalam diri sang tokoh, sedangkan konflik eksternal adalah konflik antara tokoh dengan tokoh lainnya, atau antara tokoh dengan lingkungannya. Di antara konflik-konflik kecil itu, terdapat pula konflik sentral. Konflik sentral dapat berupa konflik internal maupun konflik eksternal, yang merupakan pertentangan antara dua hal. Konflik sentral merupakan sentral pertumbuhan alur sehingga dalam penceritaan banyak mengambil tempat dan waktu, bahkan tema cerita terkait langsung dengan konflik sentral. Selanjutnya, klimaks cerita adalah saat-saat konflik menjadi sangat hebat dan jalan ke luar harus ditemukan. Klimaks utama kadangkadang merupakan kejadian yang mengherankan, namun kadangkadang sulit diidentifikasi disebabkan oleh bagian-bagian konflik dalam cerita mempunyai klimaks tersendiri. Hal seperti ini menuntut kejelian untuk dapat menemukan kejelasan struktur cerita. Alur yang mampu menggiring pembaca untuk menyelami cerita secara keseluruhan merupakan alur yang berhasil. Alur atau plot yang baik harus mempunyai “keseluruhan” (wholeness). Oleh karena itu, untuk menimbulkan efek yang baik, alur atau plot menurut Aristoteles harus memenuhi empat syarat utama, yaitu order, amplitude atau complexity, unity dan connection atau coherence (Teeuw, 1984:121). Order berarti urutan atau aturan, yakni urutan aksi harus teratur, menunjukkan konskuensi dan konsistensi yang masuk akal, terutama harus ada awal, pertengahan, dan akhir yang tidak sembarangan. Amplitude (complexity), yaitu luasnya ruang lingkup dan kekompleksan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal atau harus ada untuk menghasilkan peredaran dari nasib baik ke nasib buruk, atau sebaliknya. Unity, yaitu semua unsur dalam plot harus ada, tidak mungkin tiada, dan tidak bisa bertukar tempat tanpa mengacaukan ataupun membinasakan keseluruhannya. Connection (coherence) yaitu pengarang tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi (seperti yang dilakukan oleh sejarawan), tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot itu. Setelah dilakukan analisis terhadap struktur alur/plot teks geguritan yang dijadikan objek, yang didasarkan atas uraian tentang gerak alur yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa teks geguritan yang dijadikan objek menggunakan dua macam alur,
Ni Nyoman Karmini 70 yakni alur tradisional dan alur sorot balik. Untuk mendukung kebenaran pernyataan tersebut, maka berikut ini dibahas alur masing-masing geguritan yang dijadikan objek penelitian ini. Alur Geguritan Dreman Alur cerita dalam Geguritan Dreman adalah mengikuti gerak alur sorot balik (flash back). Hal itu disebabkan oleh cerita diawali dengan nasihat pengarang terhadap pembaca tentang hidup berumah tangga, yakni tentang kehidupan antara suami-istri yang harus saling mendukung, saling menghormati. Setelah itu, pengarang menceritakan sebuah cerita tentang rumah tangga yang mempunyai dua istri (dimadu). Pengarang menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami dalam rumah tangga dimaksud bergerak dari situation ke generating circumstances, lalu ke rising action kemudian ke climax dan terakhir ke denoument. Setelah cerita tentang rumah tangga dimaksud berakhir, pengarang kembali memberikan nasihat-nasihat tentang pelaksanaan kehidupan serta akibat dari pelaksanaan kehidupan itu sendiri. Dalam Geguritan Dreman jelas sekali terlihat bahwa pengarangnya mengajari pembacanya lewat nasihat-nasihat, baik nasihat yang ditempatkan pada bagian awal cerita maupun pada bagian akhir cerita. Dengan kata lain, peristiwa dalam Geguritan Dreman diawali dan diakhiri dengan penyelesaian cerita (dalam hal ini berupa simpulan). Gerak alur Geguritan Dreman diawali dengan penyelesaian cerita yang berisi tentang nasihat-nasihat dalam berumah tangga. Hal ini dilukiskan pada bait 1 sampai bait 7 pupuh Adri 1. Bait-bait dimaksud dimulai dengan penyampaian tentang hari pembuatan atau penulisan cerita, yakni pada saat Sukra Pon Kurantil, dan pada saat itu pula panglong ping pitu. Pada bagian awal cerita berisi nasihat (kepada pembaca) supaya dalam hidup ini mengikuti perilaku istri pertama (istri utama). Setelah itu, cerita dilanjutkan dengan contoh kehidupan dalam sebuah rumah tangga, yang gerak alurnya kronologis. Peristiwaperistiwa kronologis pertama, yang tergolong ke dalam situation dalam Geguritan Dreman mulai bait 7 bagian akhir – bait 13 pupuh Adri 1, yakni dengan pemaparan kehidupan sebuah rumah tangga yang mempunyai dua orang istri, disertai pembeberan perilaku masing-masing tokoh dan penokohan, yakni tokoh suami (I Jatiraga), tokoh istri kedua (I Wijasantun) dan tokoh istri pertama (I Suanggadarmi ) Berikut ini kutipan contoh bait 1 dan bait 13. Ada kidung anyar bau rauh, ring dina kagawe, sedek sukra pon kurantil, nuju pangelong ping pitu, sangkannya mungguh ring kidung, tingkahe dadi jalema, linging sastra jua tutut, anggon sepate ring raga, tingkahe mapaumahan (bait 1).
Perempuan dalam Geguritan Bali 71 Terjemahannya: Ada sebuah kidung baru muncul, hari penulisannya atau penciptaannya, ketika hari Jumat Pon wuku Kurantil, bertepatan dengan hari ketujuh sebelum tilem (bulan mati), sebabnya diangkat ke dalam kidung, perilaku menjadi manusia, yang disebutkan dalam sastra perlu ditiru, dipakai pedoman diri, berperilaku dalam berumah tangga. Wus nyumbah raris umatur, Gustin titiange Dewa, rawuh Gusti mintar Gusti, I Jatiraga masaur alus, “Beli ngiring sang aulun, rawuh maring taman sekar, sareng ida raden galuh, sarwi Ida ngalap sekar, budal raris ngapuriyang (bait 13). Terjemahannya: Setelah menyembah lalu berkata, ya tuanku, tuanku telah datang, I Jatiraga menjawab lembut, “Kakak mengantar junjungan, sampai di kebun bunga, bersama Ida Raden Galuh, sambil memetik bunga lalu ia pulang ke istana. Peristiwa kronologis kedua, yang tergolong ke dalam generating circumstances mulai bait 14–28 pupuh Adri 1 . Pada bait-bait dimaksud dikisahkan tentang perilaku buruk I Wijasantun kepada I Suanggadarmi yang memicu terjadinya keributan-keributan, sehingga I Jatiraga sebagai suami sering menasihati istrinya dan I Suanggadarmi pun turut menasihati suaminya. Walaupun keributan sering dipicu oleh I Wijasantun, Suanggadarmi tetap setia dan selalu menunjukkan wajah berseri saat melayani suaminya. Peristiwa itu, digambarkan dalam kutipan bait 14 dan 28 sebagai berikut ini. I Dreman keek-keek matimpuh, di tengah balene, masakit-sakit diati, munyine alpakang binlos, mengkeh-mengkeh tujuh, lagute dreman kaeman, manginggilang awak mampuh, tur bisa ngulanin somah, madune sahi olekang (bait 14). Terjemahannya: I Dreman berdehem-dehem sambil duduk bersimpuh, di dalam rumah, merasa sakit di hati, perkataannya tidak menentu dan tidak henti-hentinya, mengaku-aku lurus atau benar, terlalu bangga karena merasa disayang, menyatakan diri mampu, dan dapat bermanis-manis dengan suami, madunya sering dijelek-jelekan. Keto Tanporat jani umatur, bakti marabine, apang suci maring laki, mamanjakin satia tuhu, apang anut munyin tutur, tutugang astiti brata, sajelen somahe salud, tatakin ban sadu darma, migran watek Dewata (bait 18). Terjemahannya: Tanporat kini menyembah, bakti berumah tangga, supaya tetap suci di hadapan suami, mengabdi dan selalu setia, supaya sesuai dengan petunjuk sastra, lanjutkan astiti brata, seburuk-buruk suami tetap diterima, didasari dengan sadu darma, para Dewata akan mendekat. Peristiwa kronologis ketiga, yang tergolong ke dalam rising action
Ni Nyoman Karmini 72 bergerak mulai bait 29–78 pupuh Adri 1. Pada bagian ini dikisahkan tentang keributan-keributan yang semakin sering terjadi. Keributan selalu disebabkan oleh I Wijasantun. Kemarahan-kemarahan I Wijasantun tidak saja ditujukan kepada madunya, tetapi juga kepada suaminya. Namun pada akhirnya, suami selalu mengalah, membela, menyayangi istri kedua dengan tujuan keributan berhenti. Selain itu, ia telah dikuasai kekuatan gaib di luar kemampuan manusia akibat pemakaian guna-guna I Wijasantun. Namun, dalam hatinya ia tidak henti-hentinya menyayangi istri pertama dan selalu kagum dengan perilakunya. Sebagai contoh, berikut ini disajikan kutipan bait 29 dan 78. I Wijasantun jani malungguh, di undag pasarene, mapayas ya nabdab weni, raris ya mengajum gelung, maodak kasturi cantu, masumpang sekar prijata, sampun puput payasipun, I Jatiraga tumingal, buka suduk tan pajiwa (bait 29). Terjemahannya: I Wijasantun sekarang sedang duduk, di undak tempat tidurnya, ia berhias dan memperbaiki sanggul, menggunakan lulur kasturi cantu, menghias rambut dengan kembang prijata, setelah selesai berhias, I Jatiraga melihatnya, dirinya seperti ditusuk tanpa jiwa. I Dreman suwe jani mamungkul, kanggo sekalane, jani gantin ipun mati, kadanda dera Hyang Tuduh, apan ipun ambek dudu, agung mangke jua larane, kapati-pati jwa katemu, dosane angkara manah, kesakitan papa roga (bait 78). Terjemahannya: I Dreman lama sekali dapat menguasai atau memiliki suaminya, di dunia ini ia diakui atau diterima, sekarang tiba saatnya ia meninggal, didenda oleh Hyang Tuduh, karena ia ingin menguasai semuanya, besar sekali dosanya, matilah yang didapatnya, dosa pikiran, berakibat sakit-sakitan dan sengsara. Peristiwa kronologis keempat, yang digolongkan ke dalam peristiwa climax, yakni bergerak dari bait 79 sampai bait 118 pupuh Adri 1, bait 1 sampai bait 7 pupuh Cacangkriman. Pada bait-bait ini dikisahkan tentang kematian para tokoh cerita. Setelah I Wijasantun meninggal, dikisahkan rohnya disiksa oleh Sang Citrabala dan dijadikan bahan rebutan oleh buta gegeteng, burung gagak, dan anjing. Kemudian, Sang Jogormanik memberikan hukuman gantung pada roh I Wijasantun, yang di bawahnya api berkobar-kobar, buta kadompol menubruk-nubruk rohnya, anjing selalu berjaga-jaga di bawahnya menunggu jatuhnya roh yang tergantung. Sang roh sangat takut dan selalu memanggil-manggil suaminya, tetapi disahuti oleh buta ireng, “inilah hasil perbuatan akibat berani kepada madu (istri pertama) dan akibat penggunaan guna-guna hukumannya seribu tahun”.
Perempuan dalam Geguritan Bali 73 Dikisahkan sang suami pun meninggal akibat sakit mengenang kematian istrinya. Rohnya direbut oleh Sang Citrabala, Sang Jogormanik memerintahkan supaya dimasukkan ke dalam jambangan besar. Lalu apinya selalu dihidupkan oleh buta bang, buta biru, buta ireng buta marengut, buta rente, buta antut-antut, dan buta jembrak. I Suanggadarmi pun akhirnya meninggal. Rohnya berubah menjadi sangat cantik dan dijemput oleh para bidadari dengan membawa singgasana untuk dibawa ke Sorga. Namun, roh I Suanggadarmi tidak mau sebab ia harus bersama-sama dengan roh suaminya. Ia tetap bersikeras dan lebih baik disiksa bersama suami daripada tinggal di surga sendirian. Hal ini dilakukannya sebab ia tidak mau mengingkari janji suci perkawinannya, yang disaksikan para Dewa supaya ia tidak kena kutuk. Karena kesetiaannya, akhirnya roh suaminya diizinkan tinggal di surga berkat perilaku istri utama. Berikut ini, dikutipkan bait 114 pupuh Adri 1 dan bait 7 pupuh Cacangkriman. Widiadarane jani mawuwus, tan wenang ya singgah, nyai Mirah ngalih laki, apan ipun rahayu, dosane tinut ring dudu, sangkan lebok ring jambangan, Tanporat malih umatur, “Kadung titiang labuh ujar, baktin titiange masomah” (bait 114 pupuh Adri 1). Terjemahannya: Para bidadari kini berkata, tidak boleh kamu mampir, Si Mirah mencari roh suami, sebab ia senang, menurut pada orang berdosa, itulah sebabnya ia direndam di jambangan, Tanporat berkata lagi, “Saya telah berjanji, bakti kepada suami”. Sampun kahancut, atman somahe kagelut, siratin panglukatan, Widiadarine ngetisin, ya malungguh, munggah sareng majampana (bait 7 pupuh Cacangkriman). Terjemahannya: Setelah diangkat, roh suami dirangkul, diperciki air suci (panglukatan), oleh bidadari, lalu ia duduk, bersama-sama dalam singgasana. Peristiwa kronologis yang terakhir adalah peristiwa denoument. Pada bagian ini dikisahkan bahwa setelah roh I Jatiraga disucikan lalu mereka bersama-sama berangkat ke Sorga. Mereka dianugrahi tempat di Meru Emas oleh Hyang Indra. Mereka menerima anugrah dengan senang dan bahagia. Roh I Wijasantun tetap menderita, disiksa akibat perbuatan buruknya (asubha karma) selama masih hidup di dunia ini. Hukuman diterimanya selama seribu tahun, dan rohnya dikutuk yang akan diterimanya pada saat lahir kembali ke dunia. Hal ini dilukiskan pada bait 1– 9 pupuh Adri 2. Berikut ini hanya dsajikan kutipan bait 4. Panes titiang embok Dewa Ratu, twara manulunge, tan kwasa ke rasane, lali embok pegat kayun, wantah titiang lintang dudu, mamadu teken I Dewa, sangkan titiang nemu bubur, larlar enyag ring jambangan, embok Ratu olih
Ni Nyoman Karmini 74 swarga (bait 4 pupuh Adri 2). Terjamahannya: Panas sekali saya embok Dewa Ratu (I Suanggadarmi), tidak menolong, tidak tahan rasanya, lupa embok putus hubungan, memang sebenarnya saya kelewatan, menjadi madu I Dewa, akibatnya saya menjadi bubur, hancur lebur di jambangan, embok Ratu mendapatkan surga. Kisah dalam Geguritan Dreman diakhiri dengan nasihat-nasihat lagi disertai akibat dari perbuatan asubha karma. Kisah ini dikisahkan pada bait 9 sampai bait 18 pupuh Adri 2. Berikut ini hanya disajikan bait 18. “Atmane anake kereng ngleyak ratu, namidanda nyane, muang atma kereng ngentutin, patikacuh munyin ipun, munyine ngambahang tuun, gigian pesu munyine, doyan koreng amah berung, parang bedug sakit mokan, keto Dewa temahannya (bait 18 pupuh Adri 2). Terjmahannya: “Atma orang yang melaksanakan ilmu hitam, menerima atau mendapatkan hukuman, serta atma yang suka dengan sengaja kentut di depan orang lain, perkataannya tidak menentu, perkataannya selalu kasar dan tidak sesuai dengan sebenanya, menderita luka borok, sakit bungkuk, sakit tahunan, demikianlah akibatnya. Gerak alur Geguritan Dreman digambarkan pada diagram 3.1 berikut ini. Diagram 3.1 Alur Geguritan Dreman Keterangan: = alur berdasarkan pengelompokan = alur sorot balik (cerita dimulai dan diakhiri dengan nasihat) = gerak alur kronologis PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Perempuan dalam Geguritan Bali 75 Alur Geguritan Diah Sawitri Alur cerita dalam Geguritan Diah Sawitri adalah mengikuti gerak alur sorot balik atau flash back. Hal ini disebabkan oleh cerita yang diawali oleh pengarang dengan tokoh Rsi Markandeya yang sedang memberi nasihat kepada Prabu Yudistira. Dalam pemberian nasihat dimaksud, Rsi Markandeya memakai contoh cerita tentang keluarga raja Madra, yang sangat pandai dan bijaksana, berbudi luhur serta suka berkorban (meyadnya). Selanjutnya, barulah diceritakan tentang keluarga Raja Madra dengan putrinya yang sangat cantik bernama Diah Sawitri. Pengarang menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami Sang Putri, yang bergerak dari situation ke generating circumstances, lalu ke rising action kemudian ke climax dan terakhir ke denoument. Setelah cerita dimaksud berakhir, Rsi Markandeya menekankan kembali kepada Dharmawangsa supaya tidak ragu-ragu lagi. Dan, pengarang berpesan pula kepada para perempuan untuk mengikuti jejak Diah Sawitri dalam menjaga dan melindungi suami. Dalam Geguritan Diah Sawitri jelas sekali terlihat bahwa pengarangnya mengajari pembacanya lewat nasihatnasihat, baik nasihat yang ditempatkan pada bagian awal cerita maupun pada bagian akhir cerita. Dengan kata lain, peristiwa dalam Geguritan Diah Sawitri diawali dan diakhiri dengan penyelesaian cerita (dalam hal ini berupa simpulan). Gerak alur Geguritan Diah Sawitri diawali dengan pemujaan terhadap Hyang Nara Narayana dan Dewi Saraswati (bait 1 pupuh Sinom 1), kemudian Rsi Markandeya bercerita tentang keluarga Raja Madra, yang didengarkan oleh Yudhistira (bait 2 pupuh Sinom 1). Berikut ini hanya disajikan kutipan bait 1 pupuh Sinom 1. Om Nara Narayana, miwah Dewi Saraswati, jaya namostu manggala, mogi Ratu manglugrahin, nuli sida nganggit gurit, tur sida kanggen panuntun, jroning nyanggra suka duhka, maring jagate puniki, kang pinupuh, Dewi Sawitri carita. Terjemahannya: Ya Tuhan dalam sebutan Nara Narayana, dan Dewi Saraswati, semoga berhasil dan memperoleh kebahagiaan, mudah-mudahan Tuhan memberkati, semoga berhasil dalam menggubah cerita ini, dan dapat dijadikan pedoman/penuntun, dalam menghadapi suka duka, dalam kehidupan di dunia ini, nyanyian dimaksud adalah cerita tentang Dewi Sawitri. Setelah itu, dilanjutkan dengan peristiwa-peristiwa kronologis pertama yaitu situation, yang mulai bait 2 – 10 pupuh Sinom 1. Pada bait-bait tersebut dikisahkan bahwa raja dari kerajaan Madra bernama Sang Aswapati. Beliau lama tidak mempunyai keturunan. Oleh karena itu, Beliau melakukan tapa brata, agnihotra dengan memuja Hyang Sawitri. Akhirnya, Beliau dianugrahi mempunyai keturunan, dan lahirlah
Ni Nyoman Karmini 76 seorang putri yang cantik sekali diberi nama Diah Sawitri. Singkat cerita Diah Sawitri telah dewasa, cantik lahir batin, pandai dan bijaksana. Lalu diadakanlah sayembara, namun tidak ada satu pun raja yang mengikuti sayembara. Oleh karena itu, Diah Sawitri diperkenankan mencari pasangan hidupnya sendiri. Berikut ini disajikan hanya kutipan bait 8 sebagai contoh. Putrin ida naranatha, Diah Sawitri pepasih, warnine hayu kalintang, setanding ring Dewi Seri, sampun reko duhur mangkin, raris yadnyane winangun, jaga ngerereh jatu karma, nenten wenten mangrawuhin, dahat sungsut, kayun ida Prabhu Madra. Terjemahannya: Putri Sang Raja, dikenal dengan nama Diah Sawitri, wajahnya sangat cantik, sebanding dengan kecantikan Dewi Seri, diceritakan kini telah dewasa, lalu dilakukan upacara, untuk mencari jodoh, tetapi tidak ada yang datang, sangat sedih, Ida Prabhu Madra. Peristiwa kronologis kedua, yaitu generating circumstances. Pada bagian ini dikisahkan Diah Sawitri mengembara mencari calon suaminya sampai masuk ke pasraman-pasraman sambil menyumbangkan dana. Setelah menemukan yang dicari, Sawitri kembali ke kerajaan. Pada saat itu, Raja (ayahnya) sedang menerima tamu, yaitu Hyang Narada. Setelah pembicaraan dilakukan, maka Hyang Narada menasihati Sawitri supaya tidak menikah dengan Satyawan sebab usia Satyawan hanya masih setahun lagi. Walaupun Satyawan tidak panjang umur, Sawitri tetap memilihnya sebagai calon suaminya. Pernikahan pun dilakukan dan hidup mereka bahagia. Hal ini dikisahkan pada bait 11 – 21 pupuh Durma 1; bait 22 – 39 pupuh Ginada; bait 40– 47 pupuh Pangkur. Berikut ini hanya disajikan kutipan bait 46 pupuh Pangkur. Sang Satyawan ledang pisan, polih rabi sane cumponin ring ati, sesampun sang Prabhu mantuk, Sawitri nglukar busana, kagentosin antuk wesa kulit taru, natia ngaturang ayah, maring swami matua kalih. Terjemahannya: Sang Satyawan sangat bahagia, mendapatkan istri yang sesuai dengan pilihan hati, setelah Raja Madra pulang, Sawitri berganti pakaian, diganti dengan pakaian dari kulit kayu, lalu melayani kebutuhan suami serta kedua mertuanya. Peristiwa kronologis ketiga, yaitu rising action. Pada bagian ini dikisahkan bahwa setelah pernikahan dilangsungkan, Sawitri tidak pernah melupakan hari kematian suaminya yang telah diketahuinya dari Hyang Narada. Empat hari lagi Satyawan akan meninggal, Sawitri melakukan tapa brata selama tiga hari tiga malam. Walaupun ia dilarang oleh suami dan mertuanya, ia tetap melakukannya. Setelah itu, sehari sebelum hari kematian Satyawan, Sawitri telah melakukan agnihotra.
Perempuan dalam Geguritan Bali 77 Pada hari yang telah ditunggu, Satyawan mau pergi ke hutan mengambil kayu bakar. Sawitri yang telah menghitung dengan tepat lalu ikut suami pergi ke hutan. Saat di hutan, Satyawan sakit kepala lalu tidur di pangkuan Sawitri. Lalu datanglah Sang Hyang Yama mengambil nyawa Satyawan. Kisah tersebut dilukiskan pada bait 48–57 pupuh Sinom 2; bait 58 – 73 pupuh Ginada 2. Contohkan hanya bait 72 pupuh Ginada 2. Puput nabda sapunika, Sang Hyang Yama nuli gelis, nyabud jiwatman Satyawan, kasidan sampun kategul, angga stulan Sang Satyawan, pramangkin, nenten pateja mamantang. Terjemahannya: Selesai menyatakan hal itu, Sang Hyang Yama dengan cepat, mencabut jiwa Sang Satyawan, sudah selesai diikat, jiwa raga Sang Satyawan, seketika, tidak bersinar dan kaku. Peristiwa kronologis keempat, yaitu climax. Pada bagian climax, peristiwa dimulai sejak meninggalnya Satyawan dan rohnya dibawa ke Selatan oleh Sang Hyang Yama. Sejak itu pula, Sawitri terus mengikuti perjalanan Sang Hyang Yama. Sawitri dapat melakukan hal itu, karena ia berhasil melakukan tapa brata dan mendapat anugrah dari Sang Hyang Yama sehingga dapat melihat dan berbicara dengan Sang Hyang Yama. Dengan kepandaian dan kebijaksaan yang dimiliki Sawitri, ia mampu meluluhkan hati Sang Hyang Yama. Karena itu, ia dianugrahi anugrah pertama yaitu sakit buta mertuanya sembuh. Sawitri disuruh pulang tetapi ia menolak dan selalu mengikuti suaminya. Ia ingin sekali berbincangbincang dengan Sang Hyang Yama dan dengan harapan tentu banyak manfaatnya. Karena perkataan itu, Sang Hyang Yama sangat senang dan menganugrahkan negara mertuanya kembali. Lalu Sawitri disuruh kembali dan membakar tubuh suaminya tetapi Sawitri tetap memilih mengikuti perjalanan Sang Hyang Yama yang membawa roh suaminya. Dengan menyampaikan banyak hal tentang kebenaran sesuai ajaran sastra, maka Sawitri tidak henti-hentinya berbicara yang membuat Sang Hyang Yama sangat senang sehingga anugrah demi anugrah diterimanya. Dan, anugrah terakhir adalah suaminya dihidupkan kembali. Kisah ini dilukiskan pada bait 73 – 75 pupuh Ginada 2; bait 76 – 87 pupuh Sinom 3; bait 88 – 95 pupuh Smarandana; bait 96 – 104 pupuh Ginada 3. Berikut ini hanya dicontohkan bait 104 pupuh Ginada 3. Sang Hyang Yama mangandika, Bapa ngalugrahin cening, atman Satyawan linepas, sinambi malih mawuwus, mogi cening manggih sadia, istri lewih, sadhu budhi patibrata. Terjemahannya: Sang Hyang Yama berkata, Bapa menganugrahi kamu (Sawitri), atman Satyawan dikembalikan, sambil berkata lagi, semoga kamu berbahagia, istri utama, baik budi patibrata.
Ni Nyoman Karmini 78 Peristiwa kronologis terakhir adalah denoument. Setelah Satyawan sadar kembali, mereka pulang. Mereka sangat bahagia sebab orang tua Satyawan telah sembuh; negaranya dapat direbut kembali; orang tua Sawitri dapat berputra lagi; Sawitri dianugrahi putra serta suaminya hidup kembali serta panjang umur. Hal tersebut dilukiskan pada bait 105 – 114 pupuh Sinom 4; bait 115 – 121 pupuh Durma 2. Berikut ini disajikan hanya kutipan bait 121 pupuh Durma 2. Diah Sawitri yening sampun kudang warsa, maputra ya satus diri, sami sadhu purusa, ngamanggehang Salwa wangsa, mungguing Prabhu Aswapati, taler maputra, satus diri sura sakti. Terjemahannya: Diah Sawitri entah beberapa tahun, mempunyai anakseratus orang, semua putra-putra yang baik, yang melahirkan wangsa Salwa, sedangkan Prabhu Aswapati, juga memiliki putra, sebanyak seratus orang semua kuat dan perkasa. Cerita diakhiri dengan dengan nasihat supaya Yudistira tidak ragu-ragu dalam menjalankan tugas. Dan, pengarang menasihati para perempuan supaya mengikuti jejak Sawitri sehingga dapat menjaga suami dan menghindarkannya dari bahaya. Dari uraian tentang alur atau plot Geguritan Diah Sawitri, maka dapat digambarkan gerak alurnya seperti diagram 3.2 di bawah ini. Diagram 3.2 Alur Geguritan Diah Sawitri Keterangan: = alur berdasarkan pengelompokan = alur sorot balik (cerita dimulai dan diakhiri dengan nasihat) = gerak alur kronologis PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Perempuan dalam Geguritan Bali 79 Alur Geguritan Damayanti Geguritan Damayanti memiliki gerak alur kronologis. Cerita Geguritan Damayanti bergerak dari situation ke generating circumstances, lalu ke rising action kemudian ke climax dan terakhir ke denoument. Peristiwa kronologis pertama, yaitu situation diawali dengan pemujaan penulis terhadap Hyang Nara Narayana dan Dewi Saraswati supaya dalam penulisan cerita dimaksud mendapat anugrah-Nya dan hasil tulisannya dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan ini. Hal ini dilukiskan pada bait 1 dan 2 pupuh Durma 1. Selanjutnya, dipaparkan tentang tokoh Prabhu Nala putra Raja Wirasena dari kerajaan Nisadha, dan pemaparan tentang Damayanti putri Raja Bima dari kerajaan Widarbha. Prabhu Nala dan Damayanti telah saling jatuh cinta walau hanya mendengarkan cerita dari seekor burung angsa tentang tokoh masing-masing. Hal ini dikisahkan pada bait 2 – 11 pupuh Durma 1; bait 1 – 8 pupuh Pangkur 1. Di bawah ini hanya disajikan kutipan bait 9 pupuh Durma 1. Ida miring kottaman Sang Prabhu Nala, sakti wagmi lwihing warni, taler Prabhu Nala, miring kottaman ida, Damayanti lwihing warni, pada arsa, dyastu during ya mapanggih. Terjemahannya: Beliau mendengar keutamaan Prabhu Nala, sangat perkasa dan sangat tampan, Prabhu Nala juga mendengar cerita tentang keutamaan Damayanti, yang cantik sekali, sama-sama menginginkan (mencintai), walaupun belum pernah bertemu. Peristiwa kronologis kedua, yaitu generating circumstances dilukiskan oleh pengarang bahwa sejak mendengarkan kisah Prabhu Nala dari seekor burung angsa, maka Damayanti tidak dapat lagi membendung asmaranya kepada Prabhu Nala. Itu sebabnya ia sakit. Karena sangat memahami putrinya, maka Raja Bima mengadakan sayembara untuk mencari jodoh putrinya. Banyak sekali pesertanya dan sayembara dimenangkan oleh Prabhu Nala. Mereka pun dinikahkan dan menjadi raja di Nisada. Hal ini dilukiskan pada bait 1 – 21 pupuh Ginada 1; bait 1– 19 pupuh Sinom 1. Berikut ini hanya dikutip bait 19 pupuh Sinom 1. Prabhu Nala Kabuncingang, sareng Dewi Damayanti, antuk ida Prabhu Bima, maring Widarbha negari, yan maletan kudang ratri, Prabhu Nala raris mantuk, sareng ida nrepa duhita, prapti maring Nisada puri, lanang wadhu, guluk ngardi jagaddhita. Terjemahannya: Prabhu Nala dinikahkan, dengan Dewi Damayanti, oleh ida Prabhu Bima, di Kerajaan Widarbha, entah beberapa hari beberapa malam di Widarbha, Prabhu Nala lalu kembali/pulang, bersama sang istri, setelah sampai di kerajaan Nisada, suami-istri, bulat tekad untuk menjadikan negaranya tentram, damai dan makmur.
Ni Nyoman Karmini 80 Peristiwa kronologis ketiga adalah rising action. Rangkaian peristiwa ini bergerak dari setelah sayembara selesai, Hyang Catur Lokapala kembali dan diperjalanan bertemu dengan Hyang Kali. Hyang Kali menyatakan kekeinginannya mengikuti sayembara tetapi telah terlambat. Oleh karena itu, Beliau selalu menunggu kesempatan untuk menghancurkan kebahagiaan Damayanti dan Nala. Sekitar dua belas tahun kebahagiaan Damayanti Nala, hingga suatu saat Nala lupa membasuh kakinya pada saat akan memuja. Saat itu pula, Hyang Kali merasuki tubuh Nala. Hyang Kali menugaskan Hyang Dwapara memberitahukan Raja Puskara supaya menantang Nala berjudi dengan janji kemenangan di pihak Puskara karena Hyang Dwapara yang akan menjadi batu cuki. Perjudian terjadi, Puskara di pihak menang dan Nala kehabisan harta dan kehilangan kerajaannya. Oleh karena itu, Nala dan Damayanti diusir tanpa ada yang boleh menolongnya. Dalam perjalanan terlunta-lunta itu, bencana datang lagi, yakni mereka menginginkan menangkap burung yang bulunya indah. Tetapi, kain yang digunakan menangkap burung diterbangkan oleh burung itu, karena burung itu penjelmaan Hyang Puskara. Tinggallah satu lembar kain lagi yang akhirnya dibagi berdua. Nala merasa sangat kasihan kepada istrinya, karena itu ia selalu menyarankan istrinya supaya pulang ke Widarbha. Tetapi Damayanti selalu menolak dan bahkan menyarankan supaya mereka ke Widarbha berdua. Saran itu ditolak Nala karena merasa malu atas perbuatannya. Perjalanan dilanjutkan tanpa tujuan. Saat beristirahat, Damayanti tertidur pulas. Saat itulah ia ditinggalkan oleh Nala. Mereka pun berpisah dan menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Damayanti terluntalunta sendirian menghadapi kehidupan. Saat terjadi cobaan hidup, ia hanya bisa pasrah dan “mengutuk” penyebab terjadi bencana dalam hidup mereka. Sampailah ia di Negara Cedi yang rajanya bernama Sang Subahu dengan permaisuri Diah Sunanda. Nala juga terlunta-lunta di hutan. Ia menemukan api besar dan mendengar perintah ia disuruh masuk ke dalam api besar itu dan ternyata di dalam api itu ada seekor naga bernama Naga Karkotaka, yang selanjutnya menolong Nala untuk memperoleh kebahagiaannya kembali. Atas petunjuk Naga Karkotaka, Nala berubah wujud menjadi jelek dengan nama Wahuka dan harus mengabdi di kerajaan Ayodhya. Peristiwa yang dipaparkan di atas, dilukiskan pada bait 1 – 8 pupuh Pangkur 2; bait 1 – 6 pupuh Sinom 2; bait 1– 9 pupuh Pangkur 3; bait 1 – 8 pupuh Smarandana; bait 1–5 pupuh Ginada 2; bait 1–5 pupuh Ginanti 1; bait 1–14 pupuh Sinom 3; bait 1–11 pupuh Durma 2; bait 1–3 pupuh Ginada 3; bait 1–8 pupuh Pangkur 4; bait 1–10 pupuh Sinom 4; bait 1–10
Perempuan dalam Geguritan Bali 81 pupuh Ginada 4; bait 1–12 pupuh Sinom 5; bait 1–7 pupuh Dangdang Gendis. Berikut ini disajikan hanya kutipan bait 6 pupuh Durma 2. Sayan lami Damayanti sayan rahat, ngejer lesu tan sinipi, raris manapatha, sang nyengsaren Prabhu Nala, mogi kita manggih sedih, nemu sengsara, nikel teken keweh mami. Terjemahannya: Semakin lama Damayanti merasakan semakin berat dan semakin tidak tahan, gemetar lesu letih tidak tertahankan, lalu mengutuk, yang membuat Nala sengsara, supaya ia (penyebab sengsara) memperoleh kesedihan, menemukan kesengsaraan, berlipat ganda dari kesedihan dan kesengsaraan yang diterima oleh Nala Damayanti. Rangkaian peristiwa keempat adalah climax yang dikisahkan mulai dari Prabhu Bima memerintahkan rakyatnya untuk mencari anak dan menantunya (Damayanti dan Nala) dengan upah yang sangat besar. Ditemukanlah Damayanti di negara Cedi lalu diajak kembali ke Widarbha. Pencarian Nala terus dilakukan. Si pencari dibekali sebuah nyanyian tentang kisah Damayanti yang ditinggal di hutan sendirian. Siapa yang menjawab nyanyian itu, dicurigai dialah Nala. Karena Nala berubah wujud menjadi jelek, ia sulit dikenali. Akan tetapi dari perilaku sehari-hari dan seringnya ia menyanyikan kisah Damayanti yang ditinggalkannya di hutan sendirian dan setelah menyanyi ia menangis tersedu-sedu, maka ada orang mencurigai bahwa Wahuka adalah Nala, tetapi tidak berani mengungkap karena sulit dibuktikan. Karena keberadaan Nala sulit dibuktikan, Damayanti melakukan siasat untuk mengungkap keberadaan Nala dengan mengadakan sayembara lagi. Sayembara hanya akal-akalan dan yang diundang hanya raja Ayodhya. Karena sayembara hanya sehari, raja Ayodhya memerintahkan Wahuka sebagai pengendara kereta. Kepandaian Wahuka melarikan kereta persis sama seperti Nala. Dalam perjalanan ke Widarbha, ditemukan ada pohon wibhitaka yang daun dan buahnya dapat ditebak dengan benar oleh Raja Rituparna. Tebakan itu dibuktikan kebenarannya oleh Wahuka (Nala). Di sana terjadi pertukaran ilmu kepandaian antara Wahuka (Nala) dengan Rituparna, yakni ilmu aswa aji dimiliki oleh Wahuka (Nala) ditukar dengan ilmu aji nita milik Rituparna. Setelah Wahuka (Nala) memiliki aji nita, Hyang Kali yang merasuk di dalam dirinya keluar dan muntah-muntah akibat racun dari naga Karkotaka. Di sanalah Hyang Kali dikutuk oleh Nala. Hyang Kali mohon kepada Prabhu Nala supaya tidak mengutuknya sebab Hyang Kali telah merasakan kesakitan dan kesengaraan akibat kutuk Damayanti dan racun naga Karkotaka. Pada saat itu pula Hyang Kali berjanji mengembalikan negara, kekayaan dan kebahagiaan Prabhu Nala dan memberikan anugrah kepada mereka yang mau menceritakan kisah Damayanti Nala
Ni Nyoman Karmini 82 sehingga mereka tidak akan kena bahaya dalam kehidupannya. Wahuka (Prabhu Nala) senang sekali menerima aji nita dan tidak lagi dikuasai Hyang Kali. Perjalanan pun dilanjutkan sehingga dalam sehari Ritupara (raja Ayodhya) sampai di Widarbha dan terheran-heran karena tidak ada tanda-tanda ada sayembara. Peristiwa-peristiwa ini dilukiskan pada bait 1– 10 pupuh Pangkur 5; bait 1– 12 pupuh Sinom 6; bait 1–11 pupuh Durma 3; bait 1–6 pupuh Ginanti 2; bait 1–31 pupuh Ginada 5. Di bawah ini dikutipkan hanya bait 31 pupuh Ginada 5. Prabhu Nala ledang pisan, wusan kodag Sang Hyang Kali, turing molih aji nita, pamargine mangalantur, ngiring Prabhu Rituparna, Sang Hyang Kali, mawali ka swargaloka. Terjemahannya: Prabhu Nala sangat senang, telah berakhir dikuasai Sang Hyang Kali, dan memperoleh aji nita, perjalanan pun dilanjutkan, mengantar Prabhu Rituparna, Sang Hyang Kali kembali ke Sorgaloka. Gerak alur bagian yang kelima adalah denoument. Pada bagian ini dikisahkan bahwa setelah Prabhu Rituparna sampai di Widarbha, Damayanti sangat sedih sebab tidak ada Prabhu Nala menyertai Rituparna. Lalu ditugaskanlah Ni Kesini untuk menyelidiki pakatik kuda yaitu Wahuka. Hasil-hasil penyelidikan itu menambah yakin Damayanti bahwa Wahuka adalah Prabhu Nala. Damayanti mengadakan pertemuan dengan Wahuka. Pada saat itu dilakukan tanya jawab termasuk menanyakan kesetiaan masing-masing. Pada saat itu pula ada sabda dari Hyang Pawana yang menyatakan tentang kesucian Damayanti. Rasa sangsi pun sirna. Akhirnya, Prabhu Nala menyebut Naga Karkotaka dan ia pun kembali pada wujud Prabhu Nala sebenarnya. Semua orang-orang di Widarbha bahagia. Raja Rituparna kembali ke Ayodhya dan selang beberapa saat Prabhu Nala, Damayanti dan putra-putrinya kembali ke Nisada untuk berjudi melawan Puskara. Puskara pun kalah tetapi tetap diampuni oleh Prabhu Nala. Prabhu Nala Damayanti memerintah dengan baik sehingga Negara damai, makmur, sejahtera. Cerita diakhiri dengan nasihat dan pesan Resi Wrehadaswa kepada Yudhistira supaya meniru Prabhu Nala, melaksanakan isi sruti, sad angga dan upaweda, sering mendengarkan cerita Nala Damayanti sebab merupakan panglukatan. Kisah tersebut dilukiskan pada bait 1–10 pupuh Pangkur 6; bait 1–13 pupuh Sinom 7; bait 1–17 pupuh Ginada 6; bait 1–3 pupuh Durma 4; bait 1–9 pupuh Ginada 7; bait 1–11 pupuh Durma 5; bait 1–6 pupuh Pangkur 7; bait 1–9 pupuh Sinom 8; bait 1–9 pupuh Ginada 8. Berikut ini dikutip bait 11 pupuh Durma 5. Prabhu Nala mawali ya jatimula, dahat ledang Damayanti, Prabhu Nala ledang, rawuhing putra karuwa, Prabhu Bhima ledang tan sipi, sareng
Perempuan dalam Geguritan Bali 83 girang, sadaging Widarbha puri. Terjemahannya: Prabhu Nala kembali seperti wajah semula, sangatlah girang Damayanti, Prabhu Nala juga senang, serta putra-putri keduanya, Prabhu Bhima bukan main senangnya, turut bergembira, seisi kerajaan Widarbha. Gerak alur Geguritan Damayanti digambarkan pada diagram 3.3 berikut ini. Diagram 3.3 Alur Geguritan Damayanti Keterangan: = pengelompokan alur = gerak alur kronologis Alur Geguritan Ni Candrawati Geguritan Ni Candrawati menggunakan alur/plot kronologis. Geguritan Ni Candrawati menggunakan satu pupuh yaitu pupuh Ginada. Peristiwa kronologis pertama yaitu situation, dimulai dengan pengisahan tentang saat penulisan geguritan dimaksud yang dimuat pada bait 1, kemudian dipaparkan tentang Raja di Kretanegari yang berputra dua orang. Yang pertama bernama I Wiranata, pemuda tampan, berbudi baik, bijaksana, dan pandai. Adiknya bernama Ni Candrawati, seorang gadis cantik, suka belajar sastra (agama), dan melaksanakan yoga brata. Lukisan ini terdapat pada bait 2–7. Berikut ini disajikan kutipan bait 6 sebagai contoh. Sadina mangulik sastra, astiti ring Saraswati, miwah ring tutur utama, yoga bratane rinangsuk, paican sang muniwara, resi sidi, haran Begawan Utatya. Terjemahannya: Setiap hari belajar sastra (agama), sangat berbakti kepada Dewi Saraswati, dan nasihat-nasihat utama, melaksanakan yoga brata, anugrah sang muniwara, resi yang pandai dan terkenal, bernama Begawan Utatya. PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Ni Nyoman Karmini 84 Peristiwa kronologis kedua, yaitu generating circumstances dimulai dengan mengisahkan bahwa Ni Candrawati melakukan upacara mayoga ngarcana Dewa, memuja dengan menyucikan pikiran. Pada saat itu turunlah Sang Hyang Smara menjamah Ni Candrawati. Beberapa hari berikutnya, Ni Candrawati mengandung. Banyak orang telah tahu termasuk orang tuanya. Lalu ia diusut oleh orang tuanya. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 8 sampai bait 17. Di bawah ini dikutip bait 8 sebagai contoh gambaran peristiwa. Raris munggah ring pasucian, malinggih ring bale gading, mayoga ngarcana Dewa, astiti eninging kayun, tedun Ida Sang Hyang Smara, anuronin, kajamah Ni Candrawati. Terjemahannya: Lalu naik di tempat pasucian, duduk di bale gading, beryoga memuja Dewa, memuja dengan menyucikan pikiran, turun Ida Sang Hyang Smara menjamah Ni Candrawati. Peristiwa kronologis ketiga, yaitu rising action. Penggambaran peristiwa ini dimulai dengan mengisahkan pengusutan orang tua Ni Candrawati. Setiap pertanyaan orang tuanya dijawab dengan sebenarnya oleh Ni Candrawati. Orang tuanya sangat senang mendengarkan hal itu. Namun, I Wiranata kakak Ni Candrawati tidak percaya, karena menurutnya menyampaikan sesuatu harus disertai dengan bukti. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 17 sampai 24. Dicontohkan hanya bait 24. Sang Prabu raris ngandika, Candrawati ayua malih, nyai masatsat ring Dewa, tuhu saja nyai sadu, I Wiranata angucap, titiang kari, sumangsaya maring manah. Terjemahannya: Sang Prabu lalu berkata, Candrawati jangan lagi, kamu bersumpah kepada Dewa, sebenarnya benar kamu orang bijak, I Wiranata berkata, tetapi saya masih meragukannya di hati. Rangkaian pristiwa kronologis keempat adalah climax, yakni dikisahkan dalam pengusutan tersebut I Wiranata tidak percaya kepada pengakuan adiknya. Justru I Wiranata sangat marah dan mengambil keputusan membuang adiknya ke hutan sebab tidak boleh membunuh orang yang sedang mengandung. Dalam pengambilan keputusan tersebut, Candrawati sempat menolak dan meminta supaya dibunuh saja dan berpesan jika ia telah mati dan darahnya harum, matahari bersinar terang, itu pertanda bahwa ia tidak bersalah dan memang benar orang bijak. Pernyataan adiknya tidak dihiraukan oleh kakaknya lalu ia pergi dan menugaskan sang patih untuk membuang adiknya ke hutan. Peristiwa ini digambarkan pada bait 25 sampai bait 35. Berikut ini
Perempuan dalam Geguritan Bali 85 disajikan kutipan hanya bait 35. Inggih titiang manguningayang, I Ratu katuran mangkin, mamarga kalase wayah, titiang mangiring I Ratu, Ni Candrawati angucap, Paman Patih, gelah tuara lakar tulak. Terjemahannya: Ya saya menyampaikan, I Ratu dipersilakan sekarang, berangkat ke hutan yang masih angker, saya mengantarkan I Ratu, Ni Candrawati berkata, Paman Patih, saya tidak akan menolak. Peristiwa kronologis kelima adalah denoument yang dimulai dengan pengisahan keberangkatan Ni Candrawati ke hutan. Ia mohon pamit kepada kedua orang tuanya. Suasana sangat menyedihkan, seisi kerajaan sedih, yang mengantar menangis. Setelah tiba di hutan dan selesai pembuatan rumah istirahat Ni Candrawati, pengantar pulang semua atas permintaan Ni Candrawati. Tinggallah Ni Candrawati bersama Ni Pranacitra (dayang) di hutan menangis sedih sambil sesambatan. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 36 – 58. Berikut ini disajikan kutipan bait 58. Sareng kalih di pamereman, masesambatan manangis, kene saja dadi janma, sangsara titiang nu idup, yaning wenten Batara ica, pisan ambil, urip titiange gelisang. Terjemahannya: Berdua di tempat tidur, sesambatan sambil menangis, beginilah sebenarnya menjadi manusia, sengsara semasih hidup, kalau ada Batara berkenan, sekalian diambil, jiwa saya supaya segera mati. Gerak alur Geguritan Ni Candrawati digambarkan pada diagram 3.4 berikut ini. Diagram 3.4 Alur Geguritan Ni Candrawati Keterangan: = pengelompokan alur = gerak alur kronologis PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH
Ni Nyoman Karmini 86 Alur Geguritan Brayut Geguritan Brayut menggunakan alur kronologis, yakni alur cerita dimulai dengan situation. Pada bagian ini dipaparkan tentang sebuah keluarga yang mempunyai anak 18 orang termasuk yang masih dalam kandungan. Di dalamnya dipaparkan kesibukan keluarga ini terutama si ibu yang sangat sibuk mengurus anak-anaknya, yang perilakunya bermacam-macam sehingga tidak sempat mengurus diri apalagi mengambil pekerjaan lain yang dapat meringankan beban keluarga. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 1 – 11 pupuh Sinom Tikus Kabanting. Berikut ini dikutip bait 1 dan 5 sebagai contoh. Ada kidung geguritan, matembang tikus kabanting, ne kocap jelema boda, betah tani ngidep munyi, bebotoh uli cenik, mayus ludin tani mampuh, pianak makurambean, ne ibukang luh muani, aplekutus, tekening ne nu di basang (bait 1). Terjemahannya: Ada nyanyian yang menggunakan tembang (geguritan), menggunakan pupuh Sinom Tikus Kabanting, dikisahkan seseorang yang beragama Budha, yang tidak mendengarkan atau mengindahkan nasihat, penjudi sejak kecil, malas dan tidak berdaya, anaknya sangat banyak, yang disibukkan oleh suami-istri, delapan belas orang, dengan yang masih dalam kandungan. Tuah katuduh kento enyahan, arang yen tong tani beling, sepanan mabelas malendong, basange suba maisi, tong kober angan ngantih, ye ke manglikas manunun, jani tulus mangebong, pianake bek pagelanting, medem bangun, awake ludin limuhan (bait 5) Terjemahannya: Ditakdirkan mempunyai anak banyak, jarang ia tidak mengandung, belum menghentikan menyusui telah mengandung, perutnya sudah berisi (mengandung), tidak sempat mengatur benang dan menenun, sekarang ia hanya diam di rumah, anaknya banyak bergelantingan, tidur bangun, badannya sangat payah. Peristiwa kronologis yang kedua adalah generating circumstances. Pelukisan peristiwa ini dimulai saat anaknya bangun tidur, ada yang menangis menjerit-jerit, memelas, berteriak-teriak, minta makan dan lain-lain. Lalu Men Brayut ke dapur mengambil makanan. Akan tetapi belum semua anaknya mendapatkan makanan karena enambelas anaknya masih menangis di luar dapur datanglah Pan Brayut marahmarah kepada Men Brayut. Peristiwa ini dlukiskan pada bait 12–21. Berikut ini adalah contoh bait 12 dan bait 13. I Ketut bangun ngalepat, gutgut tuma mangetekih, mangeling tong dadi kocok, mangulalang-manguliling, ne lenan pada mangeling, ada ngerak kauk-kauk, lenne mendohong-dohong, nene serak sengi-sengi, nene bareng gereng-gereng di tebenan (bait 12).
Perempuan dalam Geguritan Bali 87 Terjemahannya: I Ketut bangun seketika, digigit kutu (tuma) menangis kaget, menangis tidak bisa dihibur, berguling-guling, yang lain ikut menangis, ada menangis keras sambil teriak-teriak, ada lagi yang merangkak, yang suaranya serak merintih-rintih, yang lainnya sekadar ikut menangis di bagian tempat kaki (di tebenan). Ada ne mamecuk soksokan, maguyang nagih be guling, nene manying kelar magandong, ngusud bau mangurinyi, tani mandingeh munyi, mangeling mangulun-ulun, managih sesate calon, ne bengkeng koat memendil, penah bekut, nagih balung gegorengan (bait 13) Terjemahannya: Ada yang mengambil bakul nasi, berguling-guling di tanah minta babi guling, yang manja telah digendong, memegang bau sambil menangis merintihrintih, tidak mendengarkan nasihat, menangis keras-keras, meminta sate calon, yang kuat makan (loba) perutnya kenyang hingga berlebihan, hingga nafasnya terhengah-hengah, minta tulang yang digoreng. Peristiwa kronologis ketiga yaitu rising action. Pelukisan peristiwa ini mulai pada saat enambelas anaknya menangis di luar dapur, Pan Brayut datang tanpa diketahui oleh Men Brayut. Pan Brayut marahmarah. Mereka bertengkar. Dalam pertengkaran ke luar kata-kata Pan Brayut yang tidak enak didengar oleh Men Brayut bahkan sampai mengusir, Men Brayut disuruh pulang ke rumah orang tuanya. Men Brayut menjadi marah pula sehingga ke luar juga kata-kata yang tidak enak. Ia mengatakan Pan Brayut tidak bisa menahan nafsu berahi yang menyebabkan ia sering mengandung hingga ia tidak dapat mengurus diri, tidak dapat melakukan kerja lain sebab disibukkan oleh pekerjaan mengurusi anak. Terjadilah saling menyalahkan. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 22–40. Berikut ini, dicontohkan bait 24 dan 39. Bas tuara memahud iba, goban ba buka memedi, ambeke cara segaon, tuara nawang olas ati, pianake paberengik, buka tong inget mangempu, yeke mangupa pira, tuah dongkang ken dumadi, iba tumbuh, kewala nyak manakan (bait 24) Terjemahannya: Kamu benar-benar jelek, rupamu seperti memedi, tingkah lakumu seperti anjing, tidak mempunyai rasa belas kasih, anakmu sangat banyak, tidak ingat mengasuh anak, apalagi membuatkan makanan, kodok darat (dongkang) mungkin menjelma, kamu lahir, hanya untuk melahirkan atau mempunyai anak. Bas magawe san tuturan, koat tuara mandingeh munyi, wangki dina pisan pindo, yen kapisaga malali, teka tuah ngembusin tamper, yen dapetang manunun, yen katepuk di paon, ira mangendihang api, tuah ada rurung, dong tusing buung manyakan (bait 39).
Ni Nyoman Karmini 88 Terjemahannya: Bekerja memadu asmara (bercinta) dibicarakan, sangat kuat dan tidak mendengarkan kata-kata istri, tiap hari satu sampai dua kali, bila berkunjung ke rumah tetangga, pulang ke rumah lalu membuka kainku, bila aku sedang menunun, bila aku sedang di dapur, aku sedang memasak, tidak bisa tidak harus dituruti berahimu, hingga lupa memasak. Peristiwa keempat adalah climax. Pada bagian ini dilukiskan bahwa setelah saling menyalahkan dan mendengarkan kata-kata Men Brayut, mereka akhirnya saling menyadari dan saling membuat senang di hati. Singkat cerita, anak-anak mereka telah dewasa. Yang pria tampantampan dan yang perempuan cantik-cantik. Semua rajin bekerja dan saling menyayangi. Keluarga Brayut menjadi sejahtera. Pan Brayut belajar kediatmikan sebagai bekal setelah ia meninggal. Saat ujian tiba, ia lulus dengan baik sebab ia dapat mengatasi semua cobaan saat bertapa di pohon randu yang angker. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 41–70. Berikut ini hanya dikutip bait 66. Pan Brayut mangloyokang, memegeng masih memusti, mangesti sadiane kaot, sangkannya tong ada imbih, gegodane tan sipi, kedahatan bane puguh, idep magrebong meyong, ne tuara kaden maisi, suba puput, sadiannyane tan kocapan. Terjemahannya: Pan Brayut duduk tenang, berdiam dan menyatukan pikiran kepada Tuhan, memuja dengan harapan sangat kuat, sebabnya tidak ada yang menghiraukan, godaan atau rintangan sangat berat, karena sangat teguh imannya, pikiran itu tidak dapat diduga, yang kosong disangka berisi, sudah selesai, kebahagiaannya tiada tara. Peristiwa kronologis kelima adalah denoument. Pada peristiwa ini dilukiskan bahwa setelah Pan Brayut berhasil melakukan tugasnya atau ujiannya, ia menghadap gurunya. Karena keberhasilan tersebut Pan Brayut ditugaskan untuk membuat pedukuhan serta melaksanakan ajaran samhita. Kehidupan keluarganya bahagia. Peristiwa ini dilukiskan pada bait 71–141. Berikut ini kutipan bait 74 dan 141. Bane tong ada kagiwang, gegodane buka mati, ngaraos Pangeran Jembong, manyayange tan sipi, kenyus laut memunyi, yen diparab suba anut, nanak isuradnyana, kasuran buka mati, tuah tan urung, katepuk ne sadiayang (bait 74). Terjemahannya: Tidak ada yang menyaingimu, penggodamu tidak bisa berbuat apa-apa, berkata Pangeran Jembong, sayangnya atau rasa kasihnya tiada tara, tersenyum lalu berkata, namamu sudah sesuai, nanak orang mulia, sangat pemberani, memang sudah pasti, tercapai yang diharapkan.
Perempuan dalam Geguritan Bali 89 Pianak mantune makejang, maluaran luh muani, nene odah lanang wadon, atine bas pada kalis, legannyane tan sipi, manahnyane pada tuut, tong ada kene kento, sok samhita ne gisi, suba puput, sadiannyane tan kocapan (bait 141). Terjemahannya: Anak mantu semua, pulang semuanya, yang tua laki perempuan, hatinya sangat senang, bahagianya tiada tara, semuanya patuh, tidak ada begini begitu atau macam-macam, ajaran samhita yang dijadikan pedoman hidup, sudah selesai, kebahagiaan mereka tiada tara. Gerak alur Geguritan Brayut digambarkan pada diagram 3.5 berikut. Diagram 3.5 Alur Geguritan Brayut Keterangan: = pengelompokan alur = gerak alur kronologis Alur Geguritan Saci Alur cerita dalam Geguritan Saci mengikuti gerak alur sorot balik atau flash back. Cerita diawali dengan pernyataan rendah hati pengarang dengan menyatakan bahwa dirinya sangat bodoh dan bukan seorang penulis yang pandai. Ia berharap kepada pembaca supaya selalu belajar dan melaksanakan kebenaran dalam kehidupan ini. Ia tidak lupa pula memohon perlindungan kepada Tuhan supaya selalu mendapat perlindungan dari-Nya. Selanjutnya, pengarang mengisahkan peristiwa pertengkaran tokoh Gusti Gede Mangku dengan Wayan Rijek seorang preman dari Jasi. Akibat pertengkaran itu, Gusti Gede Mangku terluka parah, istrinya sangat sedih dan sesambatan. Pada saat itu, Gusti Gede Mangku menasihati istrinya dengan memberi contoh kisah Dewi Saci dalam usaha menolong Dewa Indra yang menerima kutukan akibat kesalahannya membunuh sahabat. Kisah tentang Dewi Saci ini, dikisahkan secara kronologis, yang bergerak dari situation ke generating circumstances, lalu ke rising action kemudian ke climax dan terakhir ke denoument. Setelah cerita dimaksud berakhir, Gusti Gede PUNCAK Climax Rising action Generating circumstance s Situation AWAL Denoument AKHIR TENGAH