The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku yang berisi tentang pengawasan pemilu ditulis oleh segenap komisioner dan staf Bawaslu Jepara

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by panwaskabjepara10, 2019-12-12 02:53:59

Sketsa Pengawasan Pemilu 2019

Buku yang berisi tentang pengawasan pemilu ditulis oleh segenap komisioner dan staf Bawaslu Jepara

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

19. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengawasan
Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.

20. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor
26 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum di Lingkungan Pengawas Pemilihan Umum.

21. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2018 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum
Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Proses Pemilihan Umum.

22. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan
Kampanye Pemilihan Umum.

23. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pengawasan
Dana Kampanye Pemilihan Umum.

24. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pengawasan
Perencanaan, Pengadaan, dan Pendistribusian
Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

25. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 tentang Sentra
Penegakan Hukum Terpadu.

26. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 28
Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan
Umum.

27. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengawasan
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan

190

Dian Fatma

Umum.
28. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pengawasan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum.
29. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pengawasan
Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan
Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan
Umum.
30. Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 4 Tahun 2019
Tentang Mekanisme Penanganan Pelanggaran Kode Etik
Panitia Pengawaa Pemilihan Umum Kecamatan, Panitia
Pengawas Pemilihan Umum Kelurahan/desa, Dan
Pengawas Tempat Pemungutan Suara.
31. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum
Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Proses Pemilihan Umum.
32. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pedoman
Pembentukan Dan Kriteria Klasifikasi Sekretariat Badan
Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Dan Sekretariat
Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.
33. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Badan Pengawas
Pemilihan Umum, Sekretariat Badan Pengawas
Pemilihan Umum Provinsi, Sekretariat Badan Pengawas
Pemilihan Umum Kabupaten/kota, Dan Sekretariat
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan.
34. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik

191

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

Indonesia Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Badan Pengawas Pemilihan
Umum Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Pembentukan,
Pemberhentian, Dan Penggantian Antar Waktu Badan
Pengawas Pemilihan Umum Provinsi, Badan Pengawas
Pemilihan Umum Kabupaten/kota, Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Kecamatan, Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Kelurahan/desa, Panitia Pengawas
Pemilihan Umum Luar Negeri, Dan Pengawas Tempat
Pemungutan Suara.
35. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor
1 Tahun 2019 Tentang Pengawasan Pemungutan Dan
Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum.
36. PKPU Nomor 37 Tahun 2018 Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2018 tentang
Penyusunan Daftar Pemilih Di Dalam Negeri Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum
37. PKPU Nomor 36 Tahun 2018 Perubahan Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun
2018 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Panitia
Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum
38. PKPU Nomor 35 Tahun 2018 Pengelolaan Perlengkapan
Pemungutan Suara dan Dukungan Perlengkapan Lainnya
Pasca Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan/atau Wali Kota
39. PKPU Nomor 34 Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 24 Tahun
2018 tentang Dana Kampanye Pemilihan Umum.
40. PKPU Nomor 33 Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas

192

Dian Fatma

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun
2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum
41. PKPU Nomor 32 Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017
tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Tahun 2019
42. PKPU Nomor 31 Tahun 2018 Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018
tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
43. PKPU Nomor 30 Tahun 2018 Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun
2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah
44. PKPU Nomor 29 Tahun 2018 Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Dana Kampanye Pemilihan Umum
45. PKPU Nomor 28 Tahun 2018 Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang
Kampanye Pemilihan Umum
46. PKPU Nomor 27 Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun
2018 tentang Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum
Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota
47. PKPU Nomor 26 Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun
2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah
48. PKPU Nomor 25 Tahun 2018 Perubahan atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota.

193

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

49. PKPU Nomor 24 Tahun 2018 Dana Kampanye Pemilihan
Umum

50. PKPU Nomor 23 Tahun 2018 Kampanye Pemilihan
Umum

51. PKPU Nomor 22 Tahun 2018 Pencalonan Peserta
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

52. PKPU Nomor 21 Tahun 2018 Perubahan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018 tentang
Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah.

53. PKPU Nomor 20 Tahun 2018 Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota

54. PKPU Nomor 15 Tahun 2018 Norma, Standar, Prosedur,
Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan
Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

55. PKPU Nomor 14 Tahun 2018 Pencalonan Perseorangan
Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Daerah

56. PKPU Nomor 12 Tahun 2018 Penyusunan Daftar Pemilih
di Luar Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Umum.

57. PKPU Nomor 11 Tahun 2018 Penyusunan Daftar Pemilih
di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Umum

58. PKPU Nomor 10 Tahun 2018 Sosialisasi, Pendidikan
Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum

59. PKPU Nomor 7 Tahun 2018 Seleksi Anggota Komisi
Pemilihan Umum Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten/Kota.

60. PKPU Nomor 6 Tahun 2018 Pendaftaran, Verifikasi,

194

Dian Fatma

dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
61. PKPU Nomor 5 Tahun 2018 Perubahan Atas Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan
Pemilihan Umum Tahun 2019
62. PKPU Nomor 4 Tahun 2018 Pembentukan dan Tata
Kerja Panitia Pemilihan Luar Negeri dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
63. PKPU Nomor 3 Tahun 2018 Pembentukan dan Tata Kerja
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan
Suara, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Ketaatan pada asas dan aturan Pemilu menjadi kewajiban
bagi semua pihak yang menggunakan haknya untuk
berpartisipasi dalam Pemilu, baik sebagai penyelenggara,
peserta Pemilu dan bagi siapa saja yang menggunakan hak
pilihnya serta semua instansi atau lembaga yang terlibat dalam
proses penyelenggaraan dan penetapan hasil Pemilu. Asas dan
aturan Pemilu adalah koridor yang akan menjadi pedoman
secara moral dan hukum untuk semua pihak untuk mendukung
pelaksanaan Pemilu yang LUBER dan JURDIL.4

4. Dr.H. Teguh Purnomo, Juhanah, Sadhu Sudiyarto, Disti Kumalandari, dan
Widiantoro, Catatan Pengawasan Pemilu di Jawa Tengah, (Semarang Jawa Tengah,
Indonesia : Jl. Papandayan Selatan No. 1 (Kompleks Wisma Pemprov. Jawa Tengah,
2017), Hal. 63.

195

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

Kritik, Evaluasi, dan Rekomendasi Antara Regulasi
dan Supremasi Hukum

Pemilihan Umum menjadi sarana strategis untuk
menyalurkan aspirasi dalam demokrasi di Indonesia. Tetapi
dalam kenyataannya, Pemilu yang diselenggarakan setiap lima
tahun sekali menyisakan beberapa catatan seperti banyaknya
money politic (politik uang) yang menjadi salah satu contoh
pelanggaran Pemilu. Politik uang juga merupakan pelanggaran
yang seringkali dilakukan partai politik agar pemilih memilih
kader yang diusungnya terutama pada masa tenang menjelang
pemilihan berlangsung. Di satu sisi kita perlu mengapresiasi
bahwa salah satu kesuksesan pelaksanaan Pemilu 2019 ini
adalah antusiasme masyarakat sebagai pemilih yang hadir ke
TPS pada hari pemungutan suara sangat tinggi.

Namun, seiring dinamika tinggi dalam masyarakat, pada
sisi lain regulasi yang ada pada Undang-Undang Nomor 7 tahun
2017 maupun Perbawaslu belum mampu mengakomodasi
dinamika tinggi tersebut. Termasuk makin “canggihnya” modus
dan bentuk pelanggaran serta kompetisi Pemilu yang mulai tidak
sehat, terutama penggunaan kampanye hitam dan “penyiasatan
aturan” pelanggaran Pemilu yang berpotensi menimbulkan
beragam pelanggaran dalam Pemilu. Dibutuhkan adanya
sinkronisasi antara hukum formil Undang-Undang Pemilu,
KUHP dan Perbawaslu agar terdapat tata cara yang kompleks,
sesuai dan tepat untuk menangani setiap pelanggaran serta
mendapatkan sanksi yang sesuai.

Misalkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 515
Ayat (1) berbunyi bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja pada
saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang
atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan
hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau

196

Dian Fatma

menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat
suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00
(tiga puluh enam juta rupiah). Sedangkan bagi penerima uang
atau materi lainnya tidak dipidana. Biasanya dalam praktek
ialah ditemukannya kandidat yang membagikan amplop berisi
uang atau bingkisan berisi sembako dalam kegiatan kampanye.
Bahkan pelanggaran tersebut tidak hanya ditemui pada saat
kampanye saja akan tetapi, praktek - praktek tersebut masih
ditemukan pada saat hari Pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa
masih lemahnya regulasi kePemiluan di Indonesia yang perlu
diperbaiki sehingga nantinya akan timbul keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Evaluasi Peraturan perundang-undangan khususnya
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum yang dilakukan
oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum tidak bisa lepas dari
analisis. Terkait evaluasi dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan
yang terencana yang menilai suatu obyek dengan menggunakan
instrumen atau metode penilaian tertentu yang menjadi tolok
ukur sehingga diperoleh hasil yang menggambarkan obyek
dimaksud.

Adapun Analisis merupakan suatu kegiatan penyelidikan,
penguraian, penelaahan, pengjabaran dan/atau pengkajian
yang merupakan tahapan yang dilakukan guna memecah
suatu persoalan. Sedangkan Peraturan Perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Kegiatan ini berguna untuk menilai apakah materi muatan dari
suatu rancangan peraturan Bawaslu sudah sesuai atau tidak
dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat

197

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

terutama untuk menegakkan supremasi hukum. Selain itu
kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya mensinkronisasi dan
mengharmonisasikan (baik secara vertikal maupun horizontal)
materi muatan terkait dengan peraturan perundang-
udangan yang telah ada. Hal ini dilakukan dengan mengkaji
sinkronisasi dan harmonisasi materi yang akan diatur dan
sinkronisasi dan harmonisasi dengan beberapa undang-undang
(termasuk mengkaji peraturan pelaksanaannya). Selain untuk
menghindari tumpang tindih pengaturan, tentu saja kebutuhan
akan konsistensi hukum dan aturan menjadi alasan mendasar
dilakukannya evaluasi dan analisis tersebut. Hal ini dilakukan
agar pengaturan dalam suatu peraturan Bawaslu lebih integratif
dan komprehensif dan menghindari konflik hukum yang
mungkin timbul.5

Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya
dimaksudkan dengan galaknya pembangunan dan pembentukan
hukum dalam arti peraturan perundang-undangan, akan
tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-benar dapat
diberlakukan dan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi
sebagai sarana (tool) penggerak aktifitas kehidupan bernegara,
pemerintahan dan kemasyarakatan. Hukum berfungsi sebagai
sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan
untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian
dari system nilai kemasyarakatan yang bermanfaat bagi warga
masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benar-benar nyata
pada rana empiris tanpa paksaan.

Supremasi hukum hanya akan berarti bila ada penegakan
hukum,dan penegakan hukum hanya akan mempunyai nilai
evaluatif jika disertai dengan pemberlakuan hukum yang
responsif. Artinya superioritas hukum akan terjelma dengan

5. Buku Laporan Kinerja Bawaslu tahun 2019 diunduh dari laman https://www.
bawaslu.go.id/id/publikasi/buku-bawaslu diunduh pada tanggal 4 September
tahun 2019 pukul 10.15

198

Dian Fatma

suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip
persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dengan
dilandasi nilai dan rasa keadilan.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Pemilu yang
demokratis di Indonesia, dimana Pemilu yang demokratis
mengandung makna Pemilu berintegritas dan adil, Surbakti
mengemukakan bahwa 7 (tujuh) kriteria Pemilu yang adil dan
berintegritas, yaitu: 6

1. Kesetaraan antar warga negara, baik dalam pemungutan
suara maupun dalam alokasi kursi DPR dan DPRD dan
pembentukan daerah pemilihan.

2. Kepastian hukum yang dirumuskan berdasarkan asas
Pemilu demokratis.

3. Persaingan bebas dan adil antar kontestan Pemilu.

4. Partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam
seluruh rangkaian penyelenggaraan tahapan Pemilu.

5. Badan penyelenggara Pemilu yang profesional,
independen dan imparsial.

6. Integritas pemungutan, penghitungan, tabulasi dan
pelaporan suara Pemilu.

7. Penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu.

Rekomendasi dan Evaluasi terhadap Pembentukan landasan
hukum Badan Pengawas Pemilu.

1. Bahwa masih perlu dilakukan pembahasan kembali
dengan tiap-tiap pemrakarsa untuk mendapatkan data
yang valid berapa jumlah Peraturan yang masih berlaku

6. Artikel dengan judul Pemilu Berintegritas dan Adil Surbakti, R. (14 Februari
2014).. Kompas. Diunduh dari https://lautanopini.wordpress.com/2014/02/14/
pemilu-berintegritas-dan-adil/ pada tanggal 4 September 2019

199

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

dan perlu dilakukan perubahan/penggantian.

2. Berdasarkan hal tersebut di atas maka Bawaslu perlu
melakukan uji publik dan sosialisasi agar masyarakat
memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap
peraturan perundang-undangan terkait pengawasan
Menegakkan Keadilan Pemilu: Memaksimalkan
Pencegahan, Menguatkan Pengawasan.

3. Bawaslu diharapkan dapat menjamin agar setiap
kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi
masyarakat. Hakekat pentingnya partisipasi masyarakat
dan stakeholder terkait dalam pembentukan regulasi
adalah dapat memberikan perbaikan atau masukan yang
lebih baik untuk menciptakan suatu landasan hukum
yang baik, memastikan adanya implementasi yang lebih
efektif dan efesien karena masyarakat dan stakeholder
terkait mengetahui dan terlibat secara langsung dalam
pembuatan kebijakan. Sehingga bisa meningkatkan
kepercayaan masyarakat.

4. Selain itu Bawaslu juga tidak memiliki kewenangan
Operasi Tangkap Tangan (OTT) ataupun memiliki
aturan mekanisme pengelolaan/penyitaan barang
bukti. Sehingga perlu adanya penambahan kewenangan
bagi Bawaslu agar memudahkan proses penanganan
pelanggaran.

Untuk menyelenggarakan Pemilu demokratis di Indonesia
pasca reformasi, telah dilakukan sejumlah perbaikan, yaitu
dengan adanya sistem perbaikan Pemilu, tata kelola Pemilu dan
penegakan hukum Pemilu. Beberapa perbaikan tersebut tidak
serta merta mampu mengatasi seluruh permasalahan yang
muncul dalam Pemilu, terutama terkait berbagai pelanggaran
Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, peserta

200

Dian Fatma

Pemilu atau partai politik maupun masyarakat sendiri. Oleh
karenanya, untuk mewujudkan Pemilu demokratis di Indonesia
perlu berbagai upaya yang harus dilakukan oleh semua pihak
dengan memperhatikan beberapa faktor yang terlibat dalam
Pemilu, yaitu regulasi atau peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya, penyelenggara Pemilu dan birokrasi, partai
politik dan/atau peserta Pemilu, serta pemahaman, kesadaran
dan tanggung jawab warga masyarakat atau partisipasi politik
masyarakat. Selain itu pemangku kepentingan (stakeholders)
pun berperan dalam memberikan solusi untuk mengatasi dan
meminimalisir permasalahan yang menghambat terwujudnya
Pemilu demokratis.

201

Regulasi dan Supremasi Hukum Pemilu 2019

Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat
(1)

Fritz Edward Siregar, Menuju Peradilan Pemilu, 2019, Jl. M. kahfi I
No. 8A Cilandak, Jakarta Selatan 12620, Themis Publishing,
cetakan kedua 2019

https://www.kitapunya.net/2016/02/pengertian-Pemilu-
tujuan-dan-asas-Pemilu.html

diunduh pada Kamis 29 Agustus 2019 pukul 10.15
Dr.H. Teguh Purnomo, Juhanah, Sadhu Sudiyarto, Disti

Kumalandari, dan Widiantoro, 2017, Catatan Pengawasan
Pemilu di Jawa Tengah, Semarang Jawa Tengah : Bawaslu
Buku Laporan Kinerja Bawaslu tahun 2019 diunduh dari laman
https://www.bawaslu.go.id/id/publikasi/buku-bawaslu
diunduh pada tanggal 4 September tahun 2019 pukul 10.15
Artikel dengan judul Pemilu Berintegritas dan Adil Surbakti,
R. (14 Februari 2014).. Kompas. Diunduh dari https://
lautanopini.wordpress.com/2014/02/14/Pemilu-
berintegritas-dan-adil/ pada tanggal 4 September 2019

202

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

Oleh: Wahidatun Khoirunnisa*

Definisi Penegakan Hukum Pemilu

Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana syarat
pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum
(pemilu) yang mampu berjalan secara jujur dan adil (free and
fair elections). Sehingga perlu adanya perangkat hukum yang
mengatur proses pelaksanaan pemilu agar dapat mencapai
hukum pemilu yang jujur dan adil.

Selain itu, partisipasi masyarakat juga menjadi salah satu
prinsip demokrasi. Pada hakikatnya masyarakat memiliki
pengaruh besar dalam perubahan sosial dengan syarat berfikir
kritis dan tumbuhnya kesadaran akan permasalahan sosial yang
terjadi.

Ketika berbicara terkait penegakan hukum pemilu, maka
yang harus dipahami terlebih dahulu adalah apa yang dimaksud
dengan pemilu, hukum, dan penegakan hukum. Dalam
konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai

* Staf Data dan Informasi Bawaslu Kabupaten Jepara.

203

Wahidatun Khoirunnisa

Wahidatun Khoirunnisa

sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering).

Pemaknaan pemilu bukan hanya sebatas pesta demokrasi
dengan datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk
memberikan hak suara, namun pemilu harus dipandang lebih
jauh untuk melakukan intervensi sosial dalam menangani
permasalahan sosial yang terjadi. Salah satu bentuk intervensi
sosial yang dapat dilakukan masyarakat adalah dengan
melakukan pengawasan terhadap proses penegakan hukum
pemilu terhadap pelanggaran yang terjadi.

“Pada hakikatnya pemilu adalah sarana yang terjadi bagi
rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan
azas yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Pemilu
itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga Demokrasi
yang memilih anggota-anggota perwakilan rakyat dalam
MPR, DPR, DPRD, yang pada gilirannya bertugas untuk
bersama-sama dengan pemerintah menetapkan politik dan
jalannya pemerintahan negara.”

Pemaknaan ini diutarakan oleh Ali Moertopo, salah seorang
yang berperan besar dalam melakukan modernisasi intelejen
Indonesia pada masa orde baru. Sedangkan menurut Ramlan
Surbakti seorang akademis sekaligus pernah menjabat sebagai
ketua KPU periode 2004-2007 mengartikan pemilu sebagai
mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan
kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.1

Menurut Kelsen (1995), Hukum adalah suatu tata yang
bersifat memaksa. Tata sosial yang menimbulkan perilaku
dari para individu sesuai dengan yang diharapkan melalui
pengunduran tindakan-tindakan paksaan yaitu menetapkan
tindakan paksaan tersebut dalam undang-undang. Hukum

1. Artikel “Pemilu: Apa Itu Pemilu? Penjelasan Terlengkap Mengenai Pemilu”
https://www.edukasinesia.com/2016/06/pemilu-apa-itu-pemilu-penjelasan-
terlengkap-mengenai-pemilu.html# diunduh pada tanggal 4 September 2019.

204

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

merupakan peraturan hidup dalam masyarakat yang dapat
memaksa orang supaya menaati tata tertib dalam masyarakat
serta memberikan sanksi tegas berupa hukuman bagi yang tidak
menaatinya. 2

Penegakan hukum sebagaimana dirumuskan oleh Satjipto
Rahardjo, pada hakikatnya merupakan suatu ide-ide atau
konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan
social, dan sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan
suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi kenyataan.3

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan
ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapkan rakyat
menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses
yang melibatkan banyak hal.4

Proses penegakan hukum dalam pandangan Soerjono
Soekanto, dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu:5

1. Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada
kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum
dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan
merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur
yang telah ditentukan secara normatif.

Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak

2. Makalah “Konsep Penegakan Hukum di Indonesia” http://tikpgmi.blogspot.
com/2015/05/konsep-penegakan-hukum-di-indonesia.html diunduh pada tanggal 5
September 2019.

3. Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
hal. 24.

4. Dellyana, Shant. Konsep Penegakan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 32.
5. Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 5, hal. 42.

205

Wahidatun Khoirunnisa

sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang
dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan
itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada
hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya
mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance,
karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya
merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan
pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.

2. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas
penegak hukum memainkan peranan penting, kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang
baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian penegak hukum.

3. Faktor Sarana ataun Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup
perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh
perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang
diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-
hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak
hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya,
diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan
komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini
masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut
karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum
mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa
tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan
banyak.

206

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

4. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam
masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,
persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum,
yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.
Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap
hukum, merupakan salah satu indicator berfungsinya
hukum yang bersangkutan.

5. Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari,
orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.
Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai
fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat,
yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok
tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang
dilarang.

Setelah penjabaran dari pemaknaan penegakan
hukum dan pemilu dapat ditarik kesimpulan bahwa
penegakan hukum pemilu adalah suatu upaya untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep berkeadilan dan
memfungsikan norma-norma hukum sebagai pedoman
dalam proses pemilihan umum (pemilu) demi
terwujudnya demokrasi.

207

Wahidatun Khoirunnisa

Pentingnya Penegakan Hukum Pemilu

Isu tentang lemahnya penegakan hukum pemilu sering
muncul setiap kali pemilu dilaksanakan. Isu tersebut muncul
dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administratif dan
tindak pidana pemilu yang ditangani. Lemahnya penegakan
hukum pemilu dapat diatasi dengan membuat materi peraturan
perundang-undangan pemilu yang harus dilengkapi, diperjelas,
dan dipertegas serta memperkuat Lembaga-lembaga penegakan
hukum pemilu agar mampu bekerja secara efktif.

Penegakan hukum di Indonesia masih belum berjalan dengan
baik dan begitu memprihatinkan. Permasalahan penegakan
hukum (low enforcement) selalu bertendesi pada ketimpangan
interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau das
sollen dengan aspek penerapan hukum dalam kenyatan das sein.6

Hal ini dapat tercermin dari berbagai penyelesaian kasus
pelanggaran pemilu yang belum tuntas, salah satunya ialah
politik uang yang menggurita. Namun ironisnya para pelaku
masih terbebas dari hukum atas pelanggaran tersebut. Melihat
kondisi demikian, nampaknya kita perlu mengingat kembali
pada tujuan akhir hukum itu sendiri yakni untuk menciptakan
keadilan.

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
berhukum memang dimulai dari teks (undang-undang), tetapi
sebaiknya kita tidak berhenti sampai di situ. Teks hukum
yang bersifat umum memerlukan akurasi/penajaman yang
kreatif saat diterapkan pada kejadian nyata di masyarakat. Pada
akhirnya apakah negara hukum dapat memberikan manfaat
bagi kemanusiaan, tidak bertumpu pada bunyi pasal-pasal
dan undang-undang, melainkan pada perilaku penegak hukum

6. Ucok, Agiyanti, Penegakan Hukum di Indonesia: Eksplorasi Konsep Keadilan
Berdimensi Ketuhanan (Universitas Muhammadiyah Ponorogo: ucukagiyantots@
gmail.com), hal. 493.

208

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

yang dapat bertindak beyond the call of duty. Meminjam kata-kata
Ronald Dworkin, kita perlu taking rights seriously dan melakukan
moral reading of the law. Berhukum dengan teks baru merupakan
awal perjalanan panjang untuk mewujudkan tujuan agar hukum
dapat mewujudkan keadilan dan bermanfaat bagi kemanusiaan.

7

Tantangan utama dalam penyelenggaraan pemilu adalah
penegakan hukum pemilu atas pelanggaran-pelanggaran
hukum pemilu. Lemahnya penegakan hukum pemilu membawa
ancaman serius atas kelangsungan demokrasi. Berkaca dari
penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dan 2009. Pelanggaran
terjadi mulai pada tahapan kampanye hingga rekapitulasi suara.
Pada tahapan kampanye rentan terhadap pelanggaran pemilu
seperti politik uang, intimidasi, penggunaan sarana publik,
dan penggunaan sarana negara. Sedangkan pada tahapan pasca
pemungutan dan rekapitulasi suara rentan terhadap adanya
perubahan suara yang dilakukan penyelenggara pemilu8.
Sehingga penting untuk memperkuat tegakknya hukum pemilu
mulai dari proses pengawasan, penyidikan, hingga tuntas pada
penuntutan agar tercapainya demokrasi konstitusional.

Ketika komisi pemilihan umum (KPU) menetapkan dan
mengumumkan hasil pemilu, kalangan masyarakat umum
menilai legitimasi suatu proses penyelenggaraan pemilu dari
2 segi. Pertama, apakah hasil pemilu bebas dari manipulasi?
Kedua, apakah pelanggrana hukum pemilu ditegakkan secara
adil? Karena itu, efektivitas penegakan hukum pemilu dan
penyelesaian sengketa pemilu merupakan dimensi yang sangat
penting untuk keabsahan suatu pemilu. Ada 3 ketentuan yang
harus ditegakkan dalam proses penyelenggaraan pemilu adalah

7. Rif ’ah. Penegakan Hukum di Indonesia: Sebuah Harapan dan Kemanusiaan, Jurnal
Justitia Islamica, Vol. 12/No. 1, (Januari-Juni. 2015), hal. 96.

8. Jurnal “Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu: Pengalaman Paralegal Pemilu
dalam Penegakan Hukum Pemilu”, hal. 1.

209

Wahidatun Khoirunnisa

ketentuan administrasi pemilu (KAP), ketentuan pidana pemilu
(KPP), dan kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). Penegakan
KEPP selama ini lebih efektif daripada penegakan KAP dan KPP.
Namun, penegakan KEPP bukan tanpa masalah karena dalam
sejumlah kasus DKPP bertindak melebihi kewenangannya.9

Penegakan hukum sangat penting dalam setiap pemilihan
umum (pemilu). Sebab dengan penegakan pemilu demokrasi
yang demokratis akan tercapai, serta pemimpin yang dipilih dapat
dipercaya dan sukses membangun bangsa dan negara. Hal ini
disampaikan oleh pakar hukum pidana Universitas Parahyangan
Bandung, Liona Nanang Supriatna. Menurut Liona, penegakan
hukum akan efekif jika aparatur hukum melaksanakan apa yang
sudah diatur dalam UU Pemilu. Jika hal tersebut dilakukan
secara konsisten diharapkan mampu memberikan efek deteren
bagi para peserta pemiu untuk berpikir ulang dalam melakukan
kapanye dengan politik uang, sebab jika dibiarkan akan merusak
sendi-sendi demokrasi, merusak budaya hukum masyarakat.10

Berbagai masalah dalam setiap penyelenggaraan pemilu
ditunjukkan dari adanya protes-protes ketidakpuasan atas
tahapan hingga hasil rekapitulasi pemilu yang dilatari oleh
banyaknya pelanggaran pemilu yang sulit diredam, serta
perasaan tidak adil oleh penyelenggara tersebut. Apabila tidak
segera diatasi, hal ini akan menimbulkan protes dari pihak
yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya, dicurangi, atau
diperlakukan tidak adil; di sisi lain protes-protes yang muncul
pada akhirnya bisa mendelegatimasi hasil pemilu. Dalam usaha
mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Serta menghindari
terjadinya delegatimasi pemilu di masa depan. Masalah-

9. Artikel “Penegakan Hukum Pemilu” http://rumahpemilu.org/penegakan-
hukum-pemilu/ diunduh pada tanggal 6 September 2019.

10. Berita “Pelaksanaan Pemilu Harus Dilandasi Penegakan Hukum yang Tegas”
https://www.beritasatu.com/nasional/516303/pelaksanaan-pemilu-harus-dilandasi-
penegakan-hukum-yang-tegas diunduh pada tanggal 7 Septemeber 2019.

210

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

masalah penegakan hukum pemilu itu harus diselesaikan
secara komprehensif. Langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah mengidentifikasi sebab-sebab munculnya masalah
penegakan hukum; selanjutnya dicarikan solusi komprehensif
untuk mengatasi masalah tersebut. Sehingga akhirnya terwujud
suatu sistem penegakan hukum pemilu yang mampu menjamin
penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.11

Praktik pemilu di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa
persoalan ketaatan hukum dan penegakan peraturan pemilu
masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu,
perlu dibangun suatu system penegakan hukum pemilu yang
lebih baik dan sesuai dengan standar pemilu demokratis. Selain
belajar dari pengalaman pengalaman sendiri, pembangunan
system itu perlu juga mengacu pada pengalaman negara-negara
lain yang menghadapi masalah yang sama. Adapun syarat
pentingnya penegakan hukum pemilu yang baik adalah : (1)
Adanya mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif; (2)
Adanya aturan mengenai hukuman untuk pelanggaran pemilu;
(3) Adanya ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi
hak pilih: (4) Adanya hak bagi pemilih, kandidat, dan parpol
untuk mengadu kepada Lembaga penyelenggara pemilu atau
Lembaga pengadalan; (5) Adanya keputusan untuk mencegah
hilangnya hak pilih dari Lembaga penyelenggara pemilu atau
Lembaga pengadilan; (6) Adanya hak untuk banding; (7)
Adanya keputusan yang sesegera mungkin; (8) Adanya aturan
mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan gugatan;
(9) Adanya kejelasan mengenai implikasi bagi pelanggaran
aturan pemilu terhadap hasil pemilu; dan ; (10) Adanya proses,
prosedur, dan penuntun yang menghargai HAM.12

11. Santoso, Topo, dkk, Penegakan Hukum Pemilu, Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu
2009-2014. (Jakarta: September 2006), hal. 3.

12. Ibid. hlm. 101-102.

211

Wahidatun Khoirunnisa

Daftar Pustaka

Pemilu: Apa Itu Pemilu? Penjelasan Terlengkap Mengenai Pemilu.
www.edukasinesia.com: https:// www.edukasinesia.com/
2016/06/pemilu-apa-itu-pemilu-penjelasan-terlengkap
mengenai-pemilu.html#. diunduh pada tanggal 4
September 2019.

Konsep Penegakan Hukum Di Indonesia. (n.d.). http://tikpgmi.
blogspot.com/2015/05/konsep-penegakan-hukum-di-
indonesia.html diunduh pada tanggal 5 September 2019.

Rahardjo, Satjipto. (1983). Masalah Penegakan Hukum. Bandung:
Sinar Baru. hal. 24.

Dellyana, S. (1998). Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty.
hal. 32.

Soerjono, S. (2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal. 42.

Agiyanto, U. (n.d.). Penegakan Hukum di Indonesia: Eksplorasi
Konsep Keadilan Berdimensi Ketuhanan. Hukum Ransedental
Pengembangan dan Penegakan Hukum di Indonesia. hal. 493.

Rif ’ah. (Januari-Juni. 2015). Penegakan Hukum di Indonesia:
Sebuah Harapan dan Kemanusiaan. Jurnal Justitia Islamica.
Vol. 12/No. 1., hal. 96.

Evaluasi Penegakan Hukum Pemilu. “Pengalaman Paralegal
Pemilu dalam Penegakan Hukum Pemilu”. (n.d.). hal. 1.

212

Urgensi Penegakan Hukum Pemilu

Penegakan Hukum Pemilu. (n.d.). Retrieved from http://
rumahpemilu.org/ penegakan-hukum-pemilu /. diunduh
pada 6 September 2019.

Pelaksanaan Pemilu Harus Dilandasi Penegakan Hukum yang Tegas.
(n.d.). Retrieved from https:// www.beritasatu.com/
nasional/516303/pelaksanaan-pemilu-harus-dilandasi-
penegakan-hukum-yang-tegas. diunduh pada 7 September
2019.

Santoso, T., & dkk. (September 2006). Penegakan Hukum Pemilu,
Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014. Jakarta. hal.3.

213

Optimalisasi dan Relevansi Penegakan Hukum Pemilu

Optimalisasi dan Relevansi
Penegakan Hukum Pemilu

Oleh: Arifin *

Kelembagaan pengawasan pemilu selalu mengalami
perubahan dan penyempurnaan baik kewenangan maupun
fungsinya embrio Bawaslu mulai terbentuk berdasarkan UU
No.12 Tahun 2003 yang mengamanatkan pembentukan
sebuah lembaga pengawas pemilihan umum yang bersifat
adhoc yang secara fungsional terlepas dari struktur KPU.
Lembaga pengawasan ini kemudian dikuatkan kembali
dengan dibentuknya lembaga pengawasan pemilu yang bersifat
tetap berdasarkan Undang Undang No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah lembaga
tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Dinamika kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih
berjalan dengan terbitnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu. Secara kelembagaan pengawas
Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya lembaga tetap
Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan
Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi) terahir dikuatkan
lagi kewenangan bawaslu di UU No 7 tahun 2017 hingga
terbentuknya Badan Pengawas Pemilu tingkat Kabupaten

* Koordinator Divisi Hukum, Data dan informasi Bawaslu Kabupaten Jepara

214

Arifin

Arifin

Urgensi Badan Pengawasan Pemilu 

Para ahli ilmu politik meyakini pemilu memiliki
beberapa fungsi. Pertama, sebagai mekanisme pemilihan
penyelenggara Negara. Kedua Pemilu memiliki fungsi sebagai
mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat
kepada peserta pemilu (calon anggota legislatif maupun
calon pejabat eksekutif). Ketiga, pemilu sebagai mekanisme
yang mampu menjamin adanya perubahan politik (sirkulasi
elit dan perubahan pola dan arah kebijakan publik) secara
periodik. Keempat, Pemilu sebagai sarana penyelesaian konflik
dengan cara memindahkan berbagai macam perbedaan dan
pertentangan kepentingan yang ada di masyarakat ke dalam
lembaga legislatif dan eksekutif untuk dimusyawarahkan,
diperdebatkan, dan diselesaikan secara terbuka dan beradab.
Pemilu yang demokratislah yang mampu menciptakan fungsi ini,
dan hal ini tidak terlepas dari argumen yang mengungkapkan
bahwa negara yang menganut sistem politik demokrasi
pasti menjamin dilaksanakannya pemilu secara periodik, akan
tetapi tidak ada jaminan yang memastikan pelaksanaan pemilu
dilakukan secara demokratis. You can have election without
democracy but you can not have democracy without election.

Absennya jaminan bahwa setiap pemilu pastilah
demokratis, mendorong kebutuhan sebuah instrumen yang
mampu memberikan jaminan legitimasi demokratis dari
pelaksanaan pemilu tersebut. Instrumen tersebut harus
mampu menjamin dan mempromosikan transparansi,
akuntabilitas, kredibilitas, dan integritas dari pelaksanaan
pemilu. Jaminan ini menjadi penting karena berimplikasi pada
kepercayaan publik terhadap proses pemilu, hasil pemilu dan
juga kepada demokrasi itu sendiri. Pengawasan pemilu yang
efektif dipercaya sebagai instrumen yang mampu menghadirkan
jaminan atas pelaksanaan pemilu yang demokratis.

215

Optimalisasi dan Relevansi Penegakan Hukum Pemilu

Praktik pengawasan Pemilu memiliki beberapa
sifat yang berbeda, tergantung dari siapa yang melakukan,
sejauh mana kewenangan yang dimiliki, dan cakupan dari
pengawasannya. Secara umum praktik pengawasan Pemilu
dibedakan menjadi tiga tipologi, pertama, Electoral Observation,
tugas dari observer sebatas mengumpulkan informasi
seputar pelaksanaan pemilu dan memberikan simpulan
atas pelaksanaan pemilu dengan memberikan penilaian (value
judgement) terhadap proses penyelenggaraan Pemilu. Seorang
observer tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi
proses Pemilu. Electoral Observation biasa dilakukan oleh para
pemantau pemilu internasional, dari PBB, koalisi penyelenggara
pemilu internasional, dsb.

Kedua, Electoral Monitoring, praktik pengawasan ini sudah
memiliki otoritas atau legitimasi untuk melakukan pengamatan
pada pelaksanaan pemilu dan memiliki kewenangan untuk
mengintervensi proses jika ada norma pemilu yang
dilanggar. Aktor yang biasa menjadi Pemantau pemilu adalah
lembaga independen yang telah mendapatkan akreditasi oleh
KPU/penyelenggara pemilu.

Ketiga, Electoral Supervisory, adalah lembaga pengawas
pemilu. Jika dibandingkan dengan observer dan pemantau
pemilu, pengawas pemilu memiliki tugas dan kewenangan
yang lebih kompleks. Karena Pengawas Pemilu merupakan
lembaga resmi yang dibentuk oleh Negara dan memiliki
tugas khusus untuk melakukan pengawasan Pemilu. Pengawas
Pemilu tidak hanya memiliki kewenangan untuk mengawasi
proses penyelenggaraan di tiap tahapan Pemilu, namun
Pengawas Pemilu juga memiliki kewenangan untuk menyatakan
kesahan dan keabsahan dari tahapan pemilu, sejak proses
persiapan sampai proses penetapan hasil.

216

Arifin

Bawaslu Penegak Hukum Pemilu

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), berdasarkan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 saat ini memiliki
kewenangan besar, tidak hanya sebagai pengawas, sekaligus
sebagai eksekutor hakim pemutus perkara. Setidaknya terdapat
5 (lima) kelompok tugas Bawaslu. Pertama, mengawasi
pelaksanaan tahapan pemilu. Kedua, melakukan penindakan
hukum administrasi, etik, dan pidana pemilu. Ketiga,
melakukan pencegahan. Empat, mengawasi putusan/keputusan
yang berkenaan dengan penyelengaaraan pemilu. Dan kelima,
mengadili sengketa proses pemilu.Salah satu fungsi Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah melakukan
pengawasan tahapan dan pencegahan pelanggaran pemilu.
Terdapat fungsi Bawaslu yang strategis dan signifikan, yakni
bagaimana menghindari potensi pelanggaran pemilu muncul
dengan menjalankan strategi pencegahan yang optimal.

Bawaslu juga diharapkan mampu melakukan penindakan
tegas, efektif, dan menjadi hakim pemilu yang adil. Agar
berperan efektif, setiap laporan pengawasan dapat lebih tajam
dan menjadi fakta hukum yang dapat ditindaklanjuti sesuai
mekanisme regulasi yang ada serta mampu memberikan efek
jera bagi upaya mengurangi potensi pelanggaran sehingga
tujuan keadilan pemilu dapat tercapai. Bawaslu harus hadir
menjadi solusi terhadap berbagai tuntutan untuk melakukan
pengawasan dan penindakan atas berbagai pelanggaran pemilu
yang dilakukan oleh siapa pun, termasuk kepada penyelenggara
pemilu karena mereka tidak luput dari potensi melakukan
pelanggaran.

UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga
memperkuat wewenang Bawaslu. Lembaga ini tak lagi sekadar
pemberi rekomendasi, tetapi sebagai eksekutor atau pemutus

217

Optimalisasi dan Relevansi Penegakan Hukum Pemilu

perkara. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 461 ayat (1) UU No 7/2017,
di mana Bawaslu, Bawaslu provinsi/kabupaten/kota memiliki
wewenang menerima, memeriksa, mengkaji, dan memutuskan
pelanggaran administrasi Pemilu. Namun, seiring dinamika
tinggi dalam masyarakat, pada sisi lain regulasi yang ada belum
mampu mengakomodasi dinamika tinggi tersebut. Termasuk
makin “canggihnya” modus dan bentuk pelanggaran serta
kompetisi pemilu yang mulai tidak sehat, terutama penggunaan
kampanye hitam, kampanye negatif dan “penyiasatan aturan”
pelanggaran pemilu yang berpotensi menimbulkan beragam
pelanggaran pemilu.

Bawaslu dalam Pemilu 2019 telah melakukan kewenangan
yang diberikan oleh UU No 7 Tahun 2017 terkait kewenanganya
menangani sengketa Pemilu maupun pelanggaran administrasi
dengan baik dan mendapat apreasi dari masyarakat walaupun
ada sebagian masyarakat yang mengangap bawaslu telah
melampaui kewenanganya dalam menangani sengketa pemilu
maupun pelanggaran administasi dalam menafsiri undang-
undang namun dalam hal Penegakan pidana pemilu Bawaslu
perlu menjadi Badan menjadi lembaga penegak hukum Pemilu
yang mandiri tanpa harus tergabung dengan lembaga lain
(kepolisian dan Kejaksaan) yang disebut Gakumdu (penegakan
hokum terpadu) sebab selama ini didalam Gakumdu dipandang
banyak tidak ada titik temu dalam menangani Pidana pemilu .

Transformasi ini mendorong Bawaslu untuk memiliki
wewenang penyidikan dan penuntutan, seperti halnya
Komisi Pemberantasan Korupsi. Posisi dan peran Bawaslu
adalah menggantikan peran kepolisisan dan kejaksaan dalam
proses penanganan pelanggaran Pemilu. Bawaslu didesain
memiliki kewenangan untuk menerima pengaduan, memiliki
kewenangan melakukan penyidikan, dan penuntutan terhadap
pelanggaran pidana Pemilu. Transformasi bawaslu ditujukan

218

Arifin

sebagai upaya untuk mengeliminasi hambatan kasus yang
berhenti di pihak kepolisian dan kejaksaan. Skema penyidikan
dan penuntutan memiliki semangat yang sama sesuai dengan
norma peradilan Pemilu, yakni sebagai peradilan cepat (speed
trial). Jadi peserta pemilu, pemilih, dan unsur masyarakat yang
tidak puas dapat langsung melapor ke Bawaslu, untuk kemudian
Bawaslu memproses lebih lanjut dengan meninjau kelayakan
kasusnya, melakukan penyelidikan, lalu mengajukan tuntutan
ke Pengadilan Khusus Pemilu

219



BAB V

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

Oleh: Kinanti Swari Kitara *

Definisi Peradilan Pemilu

Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum (Pemilu)
dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur dari demokrasi
itu sendiri. Pemilu merupakan conditio sine quanon dianutnya
prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah
setiap warga negara berdaulat dan berhak ikut aktif dalam proses
politik. Secara konkret terjewantahkan dalam pemilu yang jujur
dan adil (free and fair elections). Sistem keadilan pemilu merupakan
instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin
sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan
pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan pemilu
dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi masalah
pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk
membenahi masalah tersebut dan memberikan sanksi kepada
pelaku pelanggaran. Setiap tindakan, prosedur, atau keputusan

* Staf Analis Hukum Bawaslu kabupaten Jepara

222

Kinanti Swari Kitara

Kinanti Swari Kitara

menyangkut proses pemilu yang tidak sesuai dengan undang-
undang termasuk dalam kategori masalah. Mengingat bahwa
masalah dalam proses pemilu dapat menimbulkan sengketa.
Sistem keadilan pemilu berfungsi untuk mencegah terjadinya
masalah dan menjamin pemilu yang bebas, adil, dan jujur.
Konsep keadilan pemilu tidak hanya terbatas pada penegakan
kerangka hukum, tetapi juga merupakan salah satu faktor yang
perlu diperhatikan dalam merancang dan menjalankan seluruh
proses pemilu. Keadilan pemilu juga merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku para pemangku kepentingan dalam
proses tersebut.1

Untuk dapat mendesain dan mengimplementasikan sistem
keadilan pemilu yang komprehensif dan efektif, ketiga periode
dalam siklus Pemilu – PraPemilu, Pemilu, dan Pasca Pemilu –
harus diperhatikan. Pertimbangan ini sangat penting mengingat
hampir seluruh kegiatan dalam proses pemilu berpotensi
menimbulkan sengketa. Jika sistem keadilan pemilu tidak
memilki kewenangan, sumber daya, dan perangkat yang cukup
untuk menangani sengketa secara efisien dan efektif sepanjang
siklus pemilu, proses pemilu dapat terganggu, dan akhirnya
menyebabkan penolakan atas hasil pemilu. Sistem penyelesaian
sengketa pemilu sebagai bagian dari sistem keadilan pemilu
perlu memastikan bahwa seluruh tindakan dan keputusan yang
diambil sepanjang siklus pemilu sesuai dengan amanat undang-
undang.

Seluruh sistem penyelesaian sengketa pemilu perlu
mengadopsi prinsip bahwa gugatan pemilu harus diajukan pada
periode pemilu saat tindakan yang digugat terjadi. Oleh karena
itu, tindakan atau keputusan yang tidak digugat selama periode
tertentu bersifat final dan tidak dapat lagi dipermasalahkan.

1, https://diy.kpu.go.id/web/2019/06/24/memahami-sistem-peradilan-pemilu/
diunduh 19 September 2019

223

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

Praktik ini ditempuh untuk menjamin agar setiap tahapan
pemilu dapat berjalan tanpa hambatan sehingga proses pemilu
dapat berjalan dengan lancar. 

Untuk penyelesaian sengketa hasil pemilu, perselisihan
hasil pemilihan umum (PHPU) antara KPU dan peserta
pemilu adalah permasalahan mengenai penetapan perolehan
suara hasil pemilu secara nasional yang dapat mempengaruhi
perolehan kursi peserta pemilu. Dalam artian bahwa jika dinilai
ada kesalahan terhadap hasil perhitungan suara yang dilakukan
oleh KPU, maka peserta pemilu dapat mengajukan permohonan
kepada Makamah Konstitusi. Perselisihan hasil pemilu ini
menjadi domain MK untuk menyelesaikan berdasarkan mandat
konstitusi yang diberikan.

Sistem demokrasi tanpa ada kepastian hukum, akan
menimbulkan anarkisme demokrasi. Anarkisme demokrasi
akan mengakibatkan kesengsaraan rakyat dan berakibat
perang saudara, oleh karena itu demokrasi harus memberikan
kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses demokrasi. Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat,
dan sebagai salah satu prasyarat sebagai Negara Demokrasi,
maka rule of law harus di kedepankan. Tidak ada salahnya jika
Pengadilan Khusus Pemilu merupakan bagian terpenting dalam
mengawal proses demokrasi, disamping Mahkamah Konstitusi.2

Pengadilan khusus pemilu sebenarnya salah satu komponen
terpenting dalam azas-azas penyelengaran pemilu diantaranya
adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum,
adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu,
pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik
dari proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran
pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil

2. Jurnal Efektifitas Peradilan Khusus Pemilu Menuju Pilpres 2019. Hal. 332
https//journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ diunduh pada Senin, 09-09-2019

224

Kinanti Swari Kitara

kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai
Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di
Pengadilan Khusus Pemilu.

Adapun dampak yang dapat dilihat secara signifikan
Pengadilan Khusus Pemilu adalah memberikan ruang hukum
kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan
pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan
negara demokrasi. Memang didalam Hukum Ketatanegeraan
Republik Indonesia sekarang ini, Mahkamah Konstitusi sebagai
pengawal demokrasi lebih banyak mengemban tugas pada
perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), dimana sengketa
perolehan hasil pemilihan umum yang disengketakan oleh Partai
Politik dengan Komisi Pemilihan Umum atau Peserta Pemilu
dengan Komisi Pemilihan Umum, substansi dari Perselisihan
Hasil Suara Pemilu hanya ruang lingkup hasil perolehan suara
pemilu bukan proses tahapan, program dan jadwal waktu
penyelenggaran pemilu. Menurut pendapat penulis kurang tepat
jika proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran
pemilu dikaitkan dengan perolehan hasil suara pemilu, dimana
fatwa hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, terkadang membuat
putusan ultra petita yang akan memperburuk dinamika
kehidupan berdemokrasi.3

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, mengatur tentang pembentukan
pengadilan khusus yang kewenangannya untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tertentu. Hal tersebut
diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan
bahwa:

“Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

3. Ibid, Hal. 333

225

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
diatur dalam undang-undang.”

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, mengatur tentang pelanggaran administrasi
dan tindak pidana pemilu. Hal tersebut sebagaimana terdapat
pada ketentuan Pasal 460 ayat (1) dan (2), dan Pasal 476 ayat
(2), sebagai berikut:

Pasal 460 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Pelanggaran administrasi pemilu meliputi pelanggaran
terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan
dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu.”

Ayat (2) menyebutkan bahwa:

“Pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak termasuk tindak pidana pemilu dan pelanggaran kode etik.”

Pasal 476 ayat (2) menyebutkan bahwa:

“Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindakan
pedana pemilu dinyatakan oleh bawaslu.”

Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, mengatur pelanggaran
administrasi pada ketentuan Pasal 192 dan pelanggaran pidana
pemilu diatur dalam Pasal 195, yang menyebutkan sebagai
berikut:

Pasal 192 menyebutkan bahwa:

“Pelanggaran administrasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden
diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/
kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan
Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.”

226

Kinanti Swari Kitara

Pasal 195 menyebutkan bahwa:

“Pelanggaran pidana pemilu Presiden dan Wakil Presiden
adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana pemilu Presiden
dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang ini
yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.”

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. mengatur
tentang pelanggaran pemilu pada ketentuan Pasal 253 dan
pidana pemilu diatur pada ketentuan Pasal 260, sebagai
berikut:

Pasal 253 menyebutkan bahwa:

“Pelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran yang
meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan
dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan
penyelenggaraan pemilu di luar tindak pidana pemilu dan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.”

Pasal 260 menyebutkan bahwa:

“Tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran
dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”

Sebagaimana dari uraian diatas maka pengkhususan
dalam perkara hukum pemilu pada pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, DPR, DPD, dan DPRD, dilihat dari hukum
meteriilnya yang menjadi ruang lingkupnya meliputi tata
cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan
pelaksanaan pemilu dalam setiap penyelenggaraan pemilu,
dan tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap
ketentuan tindak pidana pemilu. Mengacu hal tersebut

227

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

maka diperlukan peradilan khusus pemilu yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkara hukum pemilu, sebagaimana peradilan khusus
lainnya yang mempunyai kewenangan menangani perkara
yang menjadi kewenangannya berdasarkan ruang lingkup
perkara hukumnya.

Peradilan khusus pemilu yang akan dibentuk nantinya
berwenang menangani perkara hukum pidana dan administrasi
pemilu, berkedudukan di tingkat pusat dan provinsi, selanjutnya
adapaun pedoman beracara pada peradilan khusus pemilu dapat
menggunakan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun
2007 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, atau bisa juga
menggunakan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Bisa juga menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor
4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran
Administratif Pemilihan Umum Mahkamah Agung.

Pengadilan khusus pemilu sebenarnya salah satu komponen
terpenting dalam asaz-asaz penyelenggara Pemilu diantaranya
adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum,
pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta pemilu
menerima secara baik dari proses tahapan, program dan
jadwal waktu penyelenggaraan pemilu. Apabila ada pihak-
pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh
Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat
mengajukan sengketanya di Pengadilan Khusus Pemilu.4

4. Jurnal Efektifitas Peradilan Khusus Pemilu Menuju Pilpres 2019. https//
journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh diunduh pada Senin, 09-09-2019 pkl 10.58
WIB.

228

Kinanti Swari Kitara

Peran Bawaslu sebagai Lembaga Peradilan Pemilu

Peran yang dilaksanakan Bawaslu beserta seluruh jajarannya
di daerah untuk menyelesaikan sengketa pemilu sudah tidak
bisa dikategorikan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa
pemilu informal karena sudah dilembagakan secara formal
dengan peraturan perundang-undangan UU Nomor 15 Tahun
2011 dikuatkan dengan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilu
Legislatif dan UU Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 8 tahun 2015. Bawaslu beserta aparatnya
di daerah sesungguhnya dapat memainkan peran sebagai
mekanisme penyelesaian sengketa pemilu maupun pemilihan
alternatif apabila membentuk dan mengembangkan sistem
menampung dan merespon pertanyaan, keluhan, ataupun
kesalah-pahaman dalam pelaksanaan tata cara setiap tahapan
pemilu atau pemilihan kepala daerah

Berbagai perkara atau sengketa pemilu atau sengketa
pemilihan kepala daerah yang timbul karena ketidaktahuan
atau kesalahpahaman dapat diselesaikan secara awal melalui
mekanisme yang dimandatkan oleh undang-undang dan disusun
oleh Bawaslu sebagai lembaga banding administrasi yang
putusannya bersifat final dan mengikat tanpa membawa kasus ini
kepada pengadilan murni. Sistem peradilan (adjudikasi) khusus
yang mampu menyelesaikan sengketa semacam ini diharapkan
semakin kuat dan dipercaya publik. Penyelesaian sengketa inilah
yang disebut sebagai penyelesaian sengketa alternatif melalui
adjudikasi (peradilan) administrasi semu sambil menunggu
adanya peradilan khusus pemilu yang defenitif pada pemilihan
umum serentak nasional yang dicanangkan.5

5. Herdu Munte, “Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemilihan Kepala Daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati dan Walikota (Studi Putusan Sengketa Administrasi Pemilihan Walikota dan
Wakil Walikota di Panwas Kota Pematangsiantar Tahun 2015), USU Law Journal,
Volume 5 Nomor 1, 2017.

229

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

Penegakan hukum pemilu adalah proses yang dilakukan
dalam upaya untuk menegakkan atau berfungsinya norma-
norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku bagi
semua elemen-elemen yang berkaitan dengan pemilu baik itu
penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu dan individu-individu
yang memiliki hubungan langsung dengan Pemilu dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika melihat pada
standar terakhir (kepatuhan dan penegakan hukum pemilu),
adalah penting untuk memastikan pelaksanaan pemilu yang
adil. Berkaitan dengan standar tersebut dikemukakan bahwa:6

”Kerangka hukum harus disediakan bagi setiap pemilih, kandidat,
dan partai politik kesempatan untuk menyampaikan keberatan
kepada lembaga penyelenggara pemilu yang diberikan wewenang
(Bawaslu) atau pengadilan yang berwenang keika pelanggaran
atas hak-hak kepemiluan jelas terjadi. Undang-Undang harus
mempersyaratkan lembaga Bawaslu atau pengadilan memberikan
keputusan segera untuk menghindari pihak yang dirugikan hilang
hak pemilunya. Undang-Undang harus memberikan kesempatan
untuk mengajukan gugatan atau profesionalitas lembaga Bawaslu
atau lembaga peradilan harus ditingkatkan dengan otoritas
mengkaji, dan membuat keputusan terkait kasus tersebut”.

Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan
merupakan salah satu lembaga yang dibentuk dengan
kewenangan yang bersifat semi atau kuasi peradilan.7 Hal ini
terlihat dari ketentuan dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang

6. Jurnal Kedudukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam Sistem Peradilan
Administrasi Pemilihan Umum https://ejournal.unri.ac.id/index.php/ML/article/
view/6239/pdf diakses pada 10/09/2019 pukul 11.50 WIB

7. Jimly Asshidiqie, “Pengadilan Khusus”, dalam ibid, hlm. 4. Ciri suatu
lembaga dapat disebut sebagai lembaga kuasi peradilan adalah ketika berdasarkan
ketentuan undang-undang, lembaga-lembaga tersebut diberikan kewenangan
untuk memeriksa dan memutus sesuatu perselisihan ataupun perkara pelanggaran
hukum, dan bahkan perkara pelanggaran etika tertentu dengan keputusan yang
bersift final dan mengikuti (final and binding) sebagaimana putusan pengadilan yang
bersifat “inkracht” pada umumnya. Lihat ibid., hlm. 13.

230

Kinanti Swari Kitara

Penyelenggaraan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut
“UU Penyelenggara Pemilu) yang memberikan kewenangan
untuk memeriksa dan memutus Pemilu dengan putusan yang
bersifat final dan mengikat bagi KPU, kecuali untuk keputusan
yang terkait dengan verifikasi partai politik dan penetapan
calon.8 Selain bertindak sebagai pengawas penyelenggaraan
Pemilu, Bawaslu juga berperan untuk memutus pelanggaran
administrasi Pemilu9 dan memutus penyelesaian sengketa
proses Pemilu.10 Namun, peran Bawaslu sebagai lembaga
kuasi peradilan nyatanya tidak menunjukkan efektifitas dalam
penyelesaian sengketa pemilu.

Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
putusan yang bersifat final dan mengikat terkait pelanggaran
administrasi dan putusan sengketa, namun nyatanya tidak ada
sifat imperatif yang menjamin pelaksanaan putusan tersebut
oleh KPU. Konstruksi hukum dan sistem ketatanegaraan
yang belum menjamin pelaksanaan putusan Bawaslu secara
sempurna, dalam rangka menegakkan keadilan dalam berbagai
kisruh permasalahan dalam Pemilu, maka dapat disimpulkan,
saat ini eksistensi Bawaslu sebagai pengawas dan lembaga
peradilan perlu kembali diperkuat agar dapat memberikan
dampak yang signifikan dalam menyelenggarakan Pemilu
yang demokratis. Oleh karena itulah, diperlukan evaluasi
dan rekonstruksi menyeluruh terhadap peran Bawaslu dalam
penyelenggaraan Pemilu yang demokratis di Indonesia.11

Gagasan mengenai peradilan khusus Pemilu menjadi hal
yang relevan untuk dipertimbangkan karena upaya hukum
dalam tahapan Pemilu yang telah terjadi selama ini seringkali

8. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Pasal 469
9. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 94 ayat (2) huruf d
10. Ibid, Pasal 94 ayat (3) huruf e
11. Fritz Edward Siregar, Menuju Peradilan Pemilu, (Jakarta: Themis Publishing,
2019), Hal. 63-64.

231

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Terlebih upaya
hukum tersebut terpisah dalam beberapa lingkungan peradilan.
Upaya hukum terhadap tahapan Pemilu menghadapi tantangan
lebih lanjut dengan pelaksanaan Pemilu serentak karena
tahapan proses pemilihan dan upaya hukum atas setiap tahapan
pemilihan tersebut akan dilaksanakan secara bersamaan.

Dalam Pasal 157 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota menjadi Undang-Undang maka dapat diketahui bahwa
kelak kedepannya sebelum pemilihan serentak secara nasional
maka akan dibentuk badan peradilan khusus perselisihan hasil
pemilihan. Namun karena hingga saat ini badan yang dimaksud
belum juga dibentuk maka Mahkamah Konstitusilah yang
bertugas memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilihan
tersebut. Sedangkan di dalam Pasal 474 Undang-Undang No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang
diperintahkan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu
tanpa adanya niat untuk menciptakan badan peradilan khusus
di luar Mahkamah Konstitusi. Hal ini tentu saja selaras dengan
kewenangan Mahkaamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.12

Secara hirarki kewenangan menangani pelanggaran
administrasi pemilu dilakukan juga oleh Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota. Bawaslu bertindak sebagai
pengadil, lembaga ini juga tidak segan dalam hal mengambil
keputusan seperti contohnya dalam hal mendiskualifikasi
pasangan calon yang melakukan pelanggaran administrasi yang
memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif.

12. Ibid Hal.87-88.

232

Kinanti Swari Kitara

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali
Kota menjadi Undang-Undang Pasal 35A ayat (2) disebutkan
bahwa: Bawaslu RI sampai tingkatan Panwas Kabupaten/Kota
memproses laporan dugaan pelanggaran administrasi Pemilu
yang dimulai dengan menerima, memeriksa, mengkaji, hingga
memutus. Dalam proses menerima, mengkaji, dan memutus itu
dilakukan oleh jajaran Panwas Pemilu dalam batas waktu 14 hari
kerja.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum Pasal 461 juga menyebutkan bahwa:

1. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/
Kota menerima, memeriksa, mengkaji dan memutus
pelanggaran administrasi pemilu;

2. Panwaslu Kecamatan menerima, memeriksa, mengkaji,
dan membuat rekomendasi atas hasil kajianya mengenai
pelanggaran administratif pemilu kepada pengawas
pemilu secara berjenjang;

3. Pemeriksaan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota harus dilakukan secara terbuka;

4. Dalam hal diperlukan sesuai dengan kebutuhan tindak
lanjut penanganan pelanggaran pemilu, Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dapat
melakukan investigasi;

5. Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota
wajib memutus pelanggaran administrasi pemilu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan
laporan diterima dan diregistrasi.

233

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

Dampak secara signifikan yang ditimbulkan dengan adanya
Pengadilan Khusus Pemilu ini adalah memberikan ruang kepada
pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu
untuk mendapat kepastian hukum dalam kehidupan negara
demokrasi.

Berbagai kewenangan pun diberikan pada Badan Pengawas
Pemilu. Para penggiat, akitivis bahkan pengamat pemilu
menyatakan kewenangan Bawaslu memerankan fungsi ganda
yang seharusnya dilaksanakan oleh dua lembaga terpisah
dalam sebuah rangkaian proses sistem hukum. Bawaslu seperti
menggunakan dua baju, yaitu sebagi pengawas dan pengadil.
Peran jaksa dan hakim dimainkan oleh aktor yang sama dalam
penegakan keadilan Pemilu yaitu Bawaslu.

Pilihan pertama adalah dibentuknya badan peradilan
khusus pemilu, yang berada di bawah Mahkamah Agung karena
desain konstitusi Indonesia menutup kemungkinan lahirnya
cabang kekuasaan kehakiman di luar Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Diharapkan dengan adanya peradilan
khusus pemilu berbagai macam bentuk pelanggaran, sengketa
maupun tindak pidana pemilu dapat diselesaikan oleh lembaga
peradilan yang tunggal.

Pilihan kedua, yaitu dengan mentransformasikan Bawaslu
untuk menjadi peradilan pemilu dan fungsi pengawasannya
diserahkan ke masyarakat sipil. Fungsi dobel saat ini meciptakan
proses adjudikasi yang ada di Bawaslu menjadi berat sebelah
karena telah keberpihakan pada fungsi pengawasan. Diperlukan
perubahan terbatas konstitusi agar mendudukkan lembaga
peradilan khusus pemilu setara atau sejajar dengan Mahkamah
Agung atau Mahkamah Konstitusi. Desain konstitusi yang
terbentuk ialah adanya tiga lembaga pelaksana, yaitu Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Pemilu (Bawaslu
yang bertransformasi menjadi peradilan khusus pemilu). Dapat

234

Kinanti Swari Kitara

ditempuh langkah untuk membuat Bawaslu menjadi pengadilan
khusu pemilu yang bersifat semi peradilan atau quasi peradilan.

13

Sejatinya konsep peradilan khusus pemilu saat ini sangat
dibutuhkan dalam sistem demokrasi di Indonesia, hal tersebut
menjadi usulan yang harus segera didorong pembentukannya.14
Melihat sistem yang saat ini berlaku belum dapat menjawab
permasalahan mengenai keadilan pemilu yang seharusnya
menjadi roh pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Maka dari itu
peradilan khusus pemilu hadir dan diharapkan menjadi embun
penyejuk di tengah kekeringan perwujudan keadilan pemilu
dalam proses demokrasi di Indonesia.

13. Ibid, Hal. 97
14. Hal tersebut termaktub dalam satu usulan dalam Konferensi Hukum Tata
Negara ke – 5 yang diadakan pada tanggal 9-12 November 2018 di Batusangkar,
Sumatera Barat.

235

Bawaslu Sebagai Peradilan Pemilu

Daftar Pustaka

https://diy.kpu.go.id/web/2019/06/24/memahami-sistem-
peradilan-pemilu/

Marpaung, J. M. (2018). Efektifitas Peradilan Khusus Pemilu
Menuju Pilpres 2019. Diambil kembali dari https//journal.
unnes.ac.id/sju/index.php/snh

Munte, H. (2015). Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemilihan
Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
(Studi Putusan Sengketa Administrasi Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota di Panwas Kota Pematang Sian. USU Law
Journal.

Siregar, F. E. (2019). Menuju Peradilan Pemilu. Jakarta: Themis
Publishing.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

236

Regulasi Penanganan Sengketa
Pemilu 2019

Oleh: M. Zarkoni*

Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat
guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai
Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menggariskan enam kriteria pemilu
demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.

Selanjutnya, Pemilihan Umum (Pemilu) menurut Undang-
undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang

* Koordinator Divisi Sengketa Bawaslu Kabupaten Jepara

237

M. Zarkoni

M. Zarkoni

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti
Pemilu adalah suatu proses untuk memilih orang-orang yang
akan menduduki kursi pemerintahan secara transparan dan
akuntabel.

Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut
menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah
dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian
yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu
yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan
kepemimpinan sebuah negara.

Bagi Negara Indonesia, yang telah menetapkan dirinya
sebagai negara demokrasi, Pemilu adalah keniscayaan. Dalam
Pemilu, aspirasi rakyat dimungkinkan berjalan secara tetap.
Pada Pemilu pula, rakyat pemilih akan bisa menilai, para
kontestan Pemilu dapat menawarkan visi, misi, dan program
kandidat, sehingga mereka akan tahu ke mana arah perjalanan
negaranya. Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga
disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta
Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada
masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang
telah ditentukan menjelang hari pemungutan suara. Setelah
pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai.
Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem
penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan
disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

Namun demikian, fenomena Pemilu tidak bisa lepas dari
berbagai pelanggaran dan kecurangan. Dalam konteks inilah,
konsep integritas Pemilu menjadi penting karena yang berperan
dalam Pemilu adalah politik, di mana politik cenderung memiliki
strategi maupun taktik sebagai sifat dasarnya untuk mencapai
tujuan dan kekuasaan menggunakan segala cara.

238

Regulasi Penanganan Sengketa Pemilu 2019

Regulasi Penanganan Sengketa Pemilu 2019

Oleh karena itu pelaksanaan Pemilu tanpa hadirnya
pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh akan
berpotensi besar menimbulkan hilangnya hak pilih warga
negara, maraknya politik uang, kampanye hitam, dan Pemilu
yang tidak sesuai aturan.

Dampak lanjutan Pemilu yang tidak berintegritas adalah
timbulnya sengketa dan gugatan hasil Pemilu. Selain itu, pesta
demokrasi yang berbiaya tinggi, tetapi hanya akan menghasilkan
pemimpin yang legalitas dan legitimasinya diragukan. Potensi
bahaya selanjutnya adalah tumbuhnya konflik politik yang tidak
berkesudahan. Pemilu sebagai suatu mekanisme demokrasi
sesungguhnya didesain untuk mentransformasikan sifat konflik
di masyarakat menjadi ajang politik yang kompetitif dan penuh
integritas melalui pemilihan umum yang berjalan lancar, tertib,
dan berkualitas.

Untuk menjamin penyelenggaraan Pemilu berjalan sesuai
amanah UUD 1945 yakni langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil maka dibutuhkan sebuah lembaga penyelenggara
pemilu sebagai alat untuk memastikan pemilu berjalan sesuai
dengan khittahnya.

Oleh karena itu adanya Bawaslu sebagai penyelenggara
Pemilu di bidang penegakan hukum Pemilu sangat penting
mengingat salah satu fungsi Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) adalah melakukan pengawasan tahapan dan
pencegahan pelanggaran pemilu. Terdapat fungsi Bawaslu yang
strategis dan signifikan, yakni bagaimana menghindari potensi
pelanggaran Pemilu yang muncul dengan menjalankan strategi
pencegahan yang optimal. Bawaslu juga dapat melakukan
penindakan tegas, efektif, dan menjadi hakim pemilu yang adil.

Bawaslu menjadi solusi terhadap berbagai tuntutan
untuk melakukan pengawasan dan penindakan atas berbagai

239


Click to View FlipBook Version