The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hukum2023, 2022-09-25 12:15:14

2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

66

Sinkronis
Ilmu hukum

Diakronis
sejarah

Sumber : Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hal
37).

Kajian (ilmu) hukum normatif selama ini hanya melihat
hukum melalui model sinkronis, dengan menawarkan sturuktur dan
fungsinya disertai dengan gambaran tentang latar belakang mengapa
hukum itu diperlukan (biasanya dimuat dalam konsiderans ketika
peraturan itu dilahirkan). Model diakronis tidak saja menawarkan
struktur dan fungsinya akan tetapi juga menawarkan sebuah model
dinamis sehingga hukum dilihat dalam arus gerak pada peristiwa demi
peristiwaatau kejadian yang kongkret. Itulah tujuan penulisan sejarah
hukum.Penulisan sejarah hukum harus menggunakan model diakronis
dengan meklihat pada bahan-bahan hukum dan aktualitasnya. Jadi,
lebih dari sekedar model-model yang kemudian diterapkan dengan
paksa pada lukisan sejarahnya. Oleh karena pertumbuhan sejarah
hukum suatu bangsa mempunyai jalannya sendiri (memang tidak
tertutup kemungkinan adanya kesamaan) maka untuk setiap masyarakat
perlu adanya model hukum yang dikembangkan sendiri. Menarik
untuk dijadikan bahan pisau analisis sejarah berkaitan dengan

67

ungkapan ini, yakni pandangan Chambliss dan Seidman yang menurut
hemat kami menjadi sangat relevan untuk dikutip:

Robert B. Seidman 36 dalam studinya melahirkan teori yang
sangat terkenal tentang pengadopsian atau transplantasi hukum asing
ini yakni “Theory The Law of Nontransferability of Law”. Kegagalan
sebuah negeri di Afrika (bekas jajahan Inggeris) untuk menerapkan
hukum Inggris di bekas negara jajahannya itu segera setelah Inggris
meninggalkan Afrika, adalah suatu bukti bahwa transplantasi atau
adopsi itu gagal.

Tapi tidak jarang pula, transplantasi hukum asing itu
memperlihatkan hasil yang baik, walau pada awalnya kurang dapat
diterima oleh masyarakatnya. Di Turki dan di beberapa negara bekas
koloni Inggeris, seperti Malaysia, Singapura, transplantasi hukum asing
itu dipandang cukup berhasil.

Dalam sejarah pengambilalihan hukum asing untuk dijadikan
hukum di negeri sendiri, untuk kasus di Indonesia memperlihatkan sisi
keberhasilan dan kegagalannya untuk bidang-bidang hukum pidana,
sejarah mencatat KUH Pidana Indonesia hari ini dapat diberlakukan di
wilayah Republik Indonesia secara unifikasi. Demikian juga hukum
formilnya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Akan
tetapi, transformasi hukum perdata khususnya yang diatur dalam Buku
II KUH Perdata yang mengatur tentang tanah yang kemudian diadopsi
dan dimodifikasi kedalam UUPA ternyata mengalami kegagalan.
Persoalan agrarian dari waktu ke waktu di Indonesia belum dapat
diselesaikan dengan instrument hukum yang didasarkan pada hukum
peninggalan Kolonial dengan kombinasi hukum adat.

36 Lihat Seidman, Ann, Robert B. Seidman, State and Law in The
Development Process Problem-Solving and Institutional Change in the Third World, St.
Martin’s Press, 1994, hal. 69. Lihat juga Seidman, Robert B., The State, Law and
Development, St. Martin's Press, New York, 1978, hal. 125.Indonesia sendiri dalam
sejarah pemberlakuan KUH Perdata yang berasal dari Kolonial Belanda juga gagal. KUH
Perdata oleh Mahkamah Agung hanya diposisikan sebagai pedoman saja bagi hukum
untuk memutus, tapi bukan sebagai hukum formal yang ketat untuk diikuti. Begitupun
setelah Buku II KUH Perdata dicabut selalu dibukukan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960
tentang Hukum Agraria, dengan mengambil sebagian besar norma hukum KUH Perdata.
Lihatlah konsep hak milik (eigendom). Konsep HGU (erfacht), Hak Pakai, Hak Guna
Bangunan yang diambil dari BW gagal diimplementasi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Tak ada HGU Asing Sacfindo, Lonsum yang tidak diperpanjang akibatnya
hak-hak atas tanah itu tak pernah dapat didistribusikan ke rakyat. HGU sama maknanya
dengan hak milik, terkuat, terpenuh dan hilang fungsi sosialnya. Rakyat kehilangan
sumber pekerjaan, akhirnya menjadi TKW di negara asing. Demikian juga tentang
Hukum Lingkungan, Hukum Perlindungan Konsumen, gagal diterapkan di Indonesia.

68

Bagan berikut ini memperlihatkan bagaimana pengaruh
berbagai komponen dalam ruang sosial pada tataran basic policy dan
enachment policy dalam pembentukan hukum di Indonesia. Meminjam
model yang dikembangkan oleh Chambliss dan disesuaikan dengan
kondisi hukum Indonesia bagan berikut ini dapat membantu untuk
sekedar memberikan penjelasan.

Scema Legal Policy Process (Basic Policy and Enactment Policy)
Indonesian Law

Pressure Power Arena of Pressure Power
Person choice Institusional
- International
Legislatif
(Parlement/ Convention
Legislative) - the interests of

Basic Policy developed
countries
Secondary Roles Primary Roles - political parties

Feedback Feedback

Pressure Yudikatif Law enforcement Person and social Pressure Power
Power (Judiciary) (Enactment Policy) group/steakholders Person

Institusional Feedback Arena of
choice
Arena of Pressure
choice Power Person Pressure
Power

Institusional

Source : OK. Saidin, 2013, Transplantasi Hukum Asing ke Dalam Undang-undang Hak
Cipta Nasional dan Penerapannya Terhadap Perlindungan Karya
Sinematografi (Studi Kasus Tentang Dinamika Politik Hukum dari
Auteurswet 1912 ke TRIPs Agreement 1994), Disertasi, Pascasarjana USU,
Medan, p.17, dimodifikasi.

69

Sejarah hukum suatu bangsa akan selalu membawa warna
hukum sendiri bagi bangsa itu. Masuknya peradaban Hindu, kemudian
Islam telah membawa perubahan besar meskipun secara evolusi dalam
perubahan tata hukum Indonesia. Demikian pula masuknya Koloni
Portugis, Belanda dan Jepang telah juga membawa perubahan baru
pada sistem hukum Indonesia. Alam kemerdekaan dan diikuti dengan
tranformasi peradaban global tak sedikit pula membawa perubahan
pada pilihan politik pembentukan hukum nasional Indonesia.

Dengan meminjam pandangan sejarawan terkemuka Jan
Vansia, dapatlah disimpulkan bahwa model diakronis akan
menunjukkan bagaimana evolusi dari sebuah bentuk hukum dan
menghilang+kan rekaan waktu nol. Model diakronis inilah
sesungguhnya yang akan membuahkan kematangan dalam mengambil
keputusan untuk melengkapi studi-studi dengan model singkronis.
Dalam kajian sejarah hukum, hukum bukanlah suatu gejala pada waktu
nol yang tidak berubah, tetapi sesuatu yang mengalami transformasi
sepanjang waktu. Oleh karena itu menjadi sah penafsiran sosiologis,
penafsiran antropologis untuk menjelaskan fenomena perubahan yang
hukum “statis” tak mampu memberikan jawaban. Lebih dari itu
penafsiran historis akan jauh lebih penting karena ia akan berbicara dan
mengungkapkan penggalan-penggalan peristiwa (kejadian) yang tak
terputus, yang dapat diurut dan dirunut dari waktu ke waktu untuk
sampai pada penggalan terakhir yang juga akan bergerak maju secara
dinamis. Rangkaian kejadian yang susul menyusul tidak saja menjawab
mengenai apa yang ada akan tetapi akan menjawab mengapa sesuatu
itu ada dan bagaimana terjadinya. Hubungan kausal antara satu
peristiwa hukum dengan peristiwa hukum lainnya, pilihan politik
hukum dengan pertarungan kekuasaan politik di badan legislatif,
prilaku hukum penguasa dan rakyat berupa perbuatan-perbuatan
dengan kesengajaan adalah merupakan esensi dari penulisan sejarah
hukum.Sejarah hukum bukanlah suatu susunan sinkronis dari peristiwa
hukum atau korelasi antar variabel hukum yang merupakan urutan
sebuah situasi, tetapi sejarah hukum adalah urutan dinamis atau
dialektis dengan waktu yang jelas.

70

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan pertama yang akan diketengahkan dalam penelitian

ini adalah persoalan dinamika politik hukum37 pembentukan Undang-
undang Hak Cipta Nasional, yang diwarnai dengan dominasi hukum
asing. Transplantasi hukum telah menjadi pilihan dalam kebijakan
pembangunan hukum di banyak negara di dunia. Khusus Indonesia,
dalam dinamika sejarah proses pembentukan peraturan perundang-
undangannya, transplantasi hukum telah menjadi pilihan politik hukum
negeri ini. Dinamika sejarah politik hukum kelahiran Undang-undang
Hak Cipta Nasional Indonesia mengalami sejarah yang panjang. Mulai
zaman kolonial diawali dari Auteurswet 1912 Stb No. 600 hingga
zaman pasca kemerdekaan. Selama kurun waktu pasca kemerdekaan
hingga hari ini, telah berlangsung 5 (lima) kali perubahan Undang-
undang Hak Cipta Nasional Indonesia. Perubahan-perubahan itu
semuanya memiliki nuansa dan latar belakang sosio-politik tertentu
pada zamannya.

Pada zaman sebelum masuk Kolonial Asing, terminologi hak
cipta38 tidak dikenal dalam perbendaharaan kata-kata dalam hukum asli

37 Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-undang Bidang Hukum
Ekonomi di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Vol. 01 No. 1 Tahun 2005, Sekolah
Pascasarjana USU, hal. 28-47. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu
peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Mengacu
pada pendapat Hikmahanto Juwana bahwa Undang-undang Hak Cipta yang pernah
berlaku di Indonesia adalah undang-undang yang dibuat secara sengaja oleh institusi
negara dengan tujuan dan alasan tertentu. Terdapat banyak alasan ketika Undang-undang
Hak Cipta Indonesia dibuat yang semula berasal dari Auteurswet 1912 Stb. 600 harus
diubah dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1982, kemudian disempurnakan melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1987 kemudian dirubah lagi dengan Undang-undang No.
12 Tahun 1997, terakhir diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002.

38 Mengenai terminologi hukum hak cipta, lihat D David Bainbridge,
Intellectual Property, Pearson Education Limited, England, 2002, hal. 16. Hak cipta
adalah bahagian dari Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Hak
kekayaan intelektual terdiri dari hak cipta dan hak kekayaan perindustrian. Hak cipta
terdiri dari hak cipta original dan hak yang berhubungan dengan hak cipta (neighboring
rights). Hak kekayaan industri terdiri dari hak paten, hak merek, hak desain industri,
perlindungan varietas baru tanaman dan perlindungan elektronika terpadu. Lihat juga
Catherine Colston, Principles of Intellectual Property Law, Cavendish Publishing
Limited, London, Sydney, 1999, hal. 23. Bandingkan juga Cornish & Llewelyn,
Intellectual Property : Patents, Copyright, Trade Marks and Allied Rights, Thomson,
Sweet & Maxwell, 2003, hal. 18. Lihat lebih lanjut Andrew Christie & Stephen Gare,

71

Indonesia. Entah itu dalam terminologi hukum adat maupun dalam
terminologi hukum kebiasaan. 39

Terminologi hukum hak cipta diambil dari terminologi hukum
asing auteursrechts dalam terminologi hukum Belanda atau copy rights

Blackstone’s Statutes on Intellectual Property, Oxford University Press, New York, 2004,
hal. 35. Lihat juga Deborah E. Bouchoux, Protecting Your Company’s Intellectual
Property, Broadway, New York, 2001, hal.42. Lihat juga Christopher May, The Global
Political Economy of Intellectual Property Rights, The new enclosures Second Edition,
Routledge, London, 2010, hal. 41. Lihat juga Jill McKeough, Kathy Bowrey & Philip
Griffith, Intellectual Property Commentary and Materials, Lawbook Co, Australia, 2002.
Lihat juga Thomas A. Stewart, Intellectual Capital The New Wealth of Organizations,
Broadway, New York, 1997, hal. 19. Lihat juga Kenny K.S. Wong and Alice, A Practical
Approach To Intellectual Property Law In Hong Kong, Sweet & Maxwell Asia,
Hongkong, 2002, hal. 56. Lihat juga Xue Hong & Zheng Chengsi, Chinese Intellectual
Property Law in The 21 st Century, Sweet & Maxwell Asia, Hong Kong, 2002, hal. 38.
Lihat juga Peter J. Groves, Source Book on Intellectual Property Law, Cavendish
Publishing Limited, London, 1997, hal. 11. Lihat juga Peter Tobias Stoll, Jan Busche and
Katrin Arend, WTO – Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Martinus
Nijhoff Publishers, Leiden – Boston, 2009, hal. 44. Bandingkan juga Paul Torremans,
Jon Holyoak, Holyoak and Torremans, Intellectual Property Law, Butterworths, London,
1998, hal. 71. Lihat juga Corynne Mc Sherry, Who Owns Academic Work ? Battling for
Control of Intellectual Property, Harvard University Press, London, 2001, hal. 19.
Bandingkan juga Mr. E.J. Arkenbout, Mr. P.G.F.A. Geerts, Mr. P.A.C.E. van der Kooij,
Rechtspraak Intellectuele Eigendom, koninklijke vermande, Den Haag, 1997, hal. 44.

39 Di Inggris, hak cipta baru masuk dalam ranah hukum berdasarkan
Keputusan Kerajaan pada tahun 1556, lihat lebih lanjut, Tomi Suryo Utomo, Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah Kajian Kontemporer, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2010, hal. 5 Walaupun sebelumnya yakni pada tahun 1476 cikal bakal
perlindungan hak cipta itu telah muncul di Inggris pada saat perusahaan penerbit William
Caxton memproduksi penerbitan buku untuk pertama kali kemudian diikuti pada tahun
1534 dimunculkan pembicaraan-pembicaraan tentang royalty atas pemanfaatan hak cipta
oleh pihak ketiga. Terakhir mengenai perlindungan copyrights dimunculkan dalam The
Statute of Anne, 8 Anne, C.19, tahun 1710. Lebih lanjut lihat Craig Joyce, et.all,
Copyright Law, Second Edition, Matthew Bender, America, 1991, hal. 6. Istilah hak
cipta, di Indonesia tidak dijumpai dalam literature Hukum Adat. Akan tetapi, bentuk -
bentuk karya cipta memang telah dikenal seperti seni tari, pencak silat, seni batik, lagu
tradisional, senandung, seni lukis, seni drama, ludruk, wayang, sudah dikenal baik dalam
tradisi masyarakat Indonesia. Karya-karya cipta semacam itu, belum dilindungi
berdasarkan konsep dan sistem hukum seperti sekarang ini. Sehingga bentuk
perlindungannya pun tidak sepenuhnya didasarkan pada norma atau sistem hukum yang
baku. Masing-masing daerah ditemukan bentuk-bentuk perlindungan yang berbeda-beda.
Misalnya saja jika hendak melantunkan senandung (sebuah karya seni di pesisir pantai
Sumatera Timur, yang dikenal dengan Senandung Asahan) si pelantun senandung
diberikan semacam kompensasi yang bernuansa religius, uang yang mirip dengan royalty
itu disebut sebagai “penajam”. Jadi, instrument hukum tentang itu terjadi tanpa disengaja.
Ia lahir tidak seperti lahirnya undang-undang yang memang sejak awal telah didisain
dengan tujuan, kepentingan serta alasan politis tertentu. Wawancara dengan Usman,
Pelantun Senandung Asahan pada tanggal 12 Juni 2013 di Desa Lubuk Besar Kabupaten
Batubara.

72

dalam terminologi hukum Inggris atau Amerika. Oleh karena itu dapat
dipahami (sebagai konsekuensi logis) jika di kemudian hari Indonesia
memiliki peraturan perundang-undangan hak cipta, pastilah itu bukan
bersumber dari hukum Indonesia asli. Undang-undang itu pastilah
diambil alih dari hukum asing. Mengapa Indonesia harus memiliki
Undang-undang Hak Cipta sendiri ? Bagaimana jika Indonesia tidak
memiliki Undang-undang Hak Cipta sendiri? Atau jika Undang-undang
Hak Cipta itu sebuah keharusan, dikarenakan tuntutan kemajuan
peradaban umat manusia, mengapa Indonesia tidak membuat saja
Undang-undang Hak Cipta sendiri menurut model hukum Indonesia?.
Model hukum yang disusun berdasarkan the original paradigmatic
values of Indonesian culture and society,40 tanpa harus merujuk pada
model hukum atau Undang-undang Hak Cipta asing ?. Sederet
pertanyaan itu, adalah merupakan pertanyaan awal yang melatar
belakangi pilihan politik hukum pembentukan Undang-undang Hak
Cipta Nasional.

Perlindungan terhadap hak cipta adalah perlindungan hak yang
mengacu pada model yang pertama kali dikenal di belahan dunia Barat
(Amerika dan Eropa Barat). Negara yang lebih dahulu maju
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti dengan
kemajuan dalam dunia industeri dan perdagangan yang kesemua itu
memunculkan hak-hak ekonomi (property right) mengupayakan agar
hak-hak tersebut dilindungi sejarah hukum dan kemudian muncullah

40 Istilah ini diperkenalkan oleh M. Solly Lubis pada bimbingan pertama
proposal (usulan disertasi ini) tanggal 12 Januari 2012. Istilah the original paradigmatic
values of Indonesian culture and society kandungan dari nilai-nilai khas yang bersumber
dari pandangan budaya dan bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang
Bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Nilai-nilai budaya ini yang membedakan
sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum yang dikenal di berbagai belahan dunia.
Terdapat kombinasi dari berbagai nilai-nilai sosial dan budaya yang menurut Fred. W.
Riggs, sebagai pilihan nilai prismatik. Lebih lanjut lihat Fred W. Riggs, Administration in
Developing Countries : The Theory of Prismatic Society, Boston, Houghton Mifflin
Company, 1964, hal. 17. Riggs, mencoba untuk mencari jalan tengah ketika
mengidentifikasi pilihan kombinatif atau nilai-nilai sosial budaya yang bervariatif.
Kerangka acuan yang digunakan Riggs adalah pembangunan hukum diletakkan di atas
nilai-nilai sesuai dengan tahap perkembangan sosial kultur dan sosial ekonomi
masyarakat yang bersangkutan. Layaknya sebagai prisma, masuknya satu nilai
(paradigma tunggal) akan memancarkan banyak variasi (multi paradigma). Nilai-nilai
yang multi paradigma itulah untuk kasus Indonesia dipandang sebagai nilai-nilai khas
atau nilai-nilai asli (the original paradigmatic values) yang bersumber dari kehidupan
sosial budaya Indonesia (Indonesian culture and society) yang kemudian mengkristalkan
tujuan, dasar dan cita hukum serta norma dasar negara Indonesia yang dimuat dalam
Pembukaan (staatsfundamentalnorm) dan batang tubuh Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

73

proteksi itu dalam bentuk perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang
diwujudkan dalam bentuk aturan normatif. Barat adalah belahan dunia
yang pertama kali memperkenalkan model-model proteksi hukum
terhadap hasil karya ciptanya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra, yang dikenal dengan copy rights. Kemudian setelah dunia
industeri dan perdagangan berkembang muncullah hak kekayaan
perindusterian (industrial property rights) meliputi; paten, merk, desain
industeri, perlindungan varietas baru tanamanm perlindungan
elektronik sirkuit terpadu, dan lain sebagainya. Sekalipun karya cipta
atau ciptaan yang sama dikenal juga dibelahan dunia Timur, namun
Timur lebih arif dalam memaknai hasil karya ciptanya, lebih bernuansa
humanis dan komunal tidak berdasarkan pertimbangan prinsip
individualis dan pertimbangan ekonomi semata-mata, karena itu model
proteksi haknya tidak dirumuskan dalam kaedah-kaedah hukum formal
yang bernuansa individualis dan kapitalis.41

Prinsip individualis dan prinsip ekonomi kapitalisme 42 telah
mengantarkan Barat pada proteksi hasil karya dalam bidang ilmu

41 Erman Rajagukguk, dalam kuliahnya selama semester B pada Program
Pasca Sarjana USU, dalam mata kuliah Budaya Hukum, pernah menceritakan, bagaimana
seorang pembatik, lalu batiknya itu ditiru oleh orang lain, ia merasa puas jika karya
ciptanya itu ditiru oleh orang lain. Sebagai pencipta ia merasa beruntung menciptakan
sesuatu yang berguna bagi orang lain dan menurutnya juga ia mendapat pahala. Demikian
budaya hukum yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Budaya hukum Timur
memang berbeda dengan budaya hukum Barat. Nilai-nilai individualis selalu
dikesampingkan ketika berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

42 Lihat Stanislav Andreski, Max Weber : Kapitalisme, Birokrasi dan Agama,
PT. Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, hal. 52. Lihat juga Revrisond Baswir, Dilema
Kapitalisme Perkoncoan, IDEA Kerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999,
hal. 29. Lihat juga Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Pustaka
Promethea, Surabaya, 2000, hal. 54. Bandingkan juga Francis Fukuyama, The End of
History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Qalam,
Jakarta, 2003, hal. 22. Lihat juga Hernando De Soto, The Mystery of Capital Rahasia
Kejayaan Kapitalisme Barat, (Terjemahan Pandu Aditya K dkk), Qalam, Jakarta, 2000,
hal. 62. Bandingkan juga William J. Baumol, Robert E. Litan, Carld J. Schramm, Good
Capitalism Kapitalisme Baik, Kapitalisme Buruk dan Ekonomi Pertumbuhan dan
Kemakmuran, (Terjemahan Rahmi Yossinilayanti), Gramedia, Jakarta, 2010, hal. 60.
Bandingkan juga Johan Norberg, Membela Kapitalisme Global, (Terjemahan Arpani),
The Freedom Institute, Jakarta, 2001, hal. 84. Lihat juga David Harvey, Imperialisme
Baru Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer, Resist Book, Yogyakarta, 2010,
hal. 43. Lihat juga Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan
Sumatra, 1870-1979, KARSA, Yogyakarta, 2005, hal. 55. Lihat juga Djoko Dwiyanto
dan Ignas G. Saksono, Ekonomi (Sosialis) Pancasila Vs Kapitalisme Nilai-nilai
Tradisional dan Non Tradisional Dalam Pancasila, Keluarga Besar Marhenisme,
Yogyakarta, 2011, hal. 72. Bandingkan juga Muhammad Yunus, Bisnis Sosial Sistem
Kapitalisme Baru Yang Memihak Kaum Miskin, (Terjemahan Alex Tri Kantjono),
Gramedia, Jakarta, 2011, hal. 63. Lihat lebih lanjut Subcomandante Marcos, Atas dan

74

pengetahuan seni dan sastra yang dirumuskan sebagai hak cipta yang
merupakan hak eksklusif atau hak khusus yang yang dilekatkan kepada
pencipta atau penerima hak. Orang lain di luar pencipta tidak
diperkenankan menikmati hak cipta tersebut tanpa izin penciptanya.
Inilah kemudian dikembangkan di dunia Timur, setelah Barat
mengalami kemajuan peradaban dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi dan memenangkan berbagai peperangan dan dominasi politik
global yang mengalahkan Timur. Barat kemudian dikenal sebagai
belahan dunia yang maju dalam peradaban ilmu pengetahuan dan
teknologi yang kemudian dikenal sebagai penggagas peradaban
modern. Hukum yang dikembangkan di Barat, dipandang pula sebagai
hukum modern, hukum yang lebih rasional, lebih demokratis dan
berkeadilan serta lebih terbuka terhadap semua lapisan masyarakat
yang tidak membeda-bedakan manusia dari segi ras atau suku bangsa,
serta agama dan perbedaan-perbedaan lainnya.

Ketika arus gelombang modernisasi yang membawa
peradaban Barat (termasuk lmu pengetahuan dan teknologi) termasuk
sistem hukum itu menyeruak ke seluruh penjuru dunia termasuk ke
belahan bumi Timur – tentu Indonesia berada di dalamnya - maka
keharusan untuk mengikuti aturan-aturan yang dipandang modern itu,
mau tidak mau harus pula diikuti. Dalam konteks ini menjadi keharusan
bagi Indonesia untuk turut serta dalam keanggotaan organisasi
Internasional, dan keanggotaan dalam berbagai perjanjian bilateral
(dalam bentuk traktat) atau perjanjian yang bersifat regional atau
internasional (dalam bentuk konvensi). Sekalipun tidak ada keterikatan
secara mutlak menurut sistem hukum Indonesia terhadap perjanjian
Internasional itu – meskipun Idonesia menganut teori Primat Hukum
Internasional menurut faham Moechtar Koesoemaatmadja yang berarti
tanpa transformasi hukum Internasional ke hukum Nasional hukum itu
tetap mengikat- akan tetapi menurut Hikmahanto43 kewajiban untuk

Bawah : Topeng dan Keheningan Komunike-komunike Zapatista Melawan
Neoliberalisme, Resist Book, Yogyakarta, 2005, hal. 33. Lihat juga M. Daniel Nafis,
Indonesia Terjajah Kuasa Neoliberalisme Atas Daulat Rakyat, Inside Press, Jakarta,
2009, hal. 46. Bandingkan juga Syafaruddin Usman & Isnawita, Neoliberalisme
Mengguncang Indonesia, Narasi, Yogyakarta, 2009, hal. 58. Bandingkan juga Budi
Winarno, Melawan Gurita Neoliberalisme, Erlangga, Jakarta, 2010, hal. 39. Lihat juga
M. Daniel Nafis, Indonesia Terjajah Kuasa Neoliberalisme Atas Daulat Rakyat, Inside
Press, Jakarta, 2009, hal. 68. Lihat juga Wim Dierckxsens, The Limits of Capitalism an
Approach to Globalization Without Neoliberalism, Zed Books, New York, 2000, hal. 70.

43 Kewajiban untuk melakukan transformasi dalam perjanjian internasional
yang berkatagori law making kerap diamanatkan secara tertulis. Sebagai contoh dalam
Pasal XVI ayat (4) WTO Agreement disebutkan, “Each member shall ensure the

75

mentransformasikan hukum internasional ke dalam hukum nasional
(untuk perjanjian Internasional yang berkatagori law making) tetap
diharuskan.

Jika tidak, negara-negara itu akan tertinggal. Tertinggal dalam
mendapat akses ekonomi termasuk alih teknologi yang bersumber dari
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di dunia Barat,
terkucil dalam pergaulan Internasional, tersisih dalam percaturan
perdagangan Internasional atau terabaikan dalam proses perkembangan
peradaban dunia. Oleh karena itu menurut Ningrum Natasya Sirait44
bagi Indonesia, globalisasi yang ditawarkan oleh peradaban Barat yang
sebagian besar dimotori dari - capaian Uruguay Round yang
menghasilkan sistem perdagangan internasional yang tertuang dalam
GATT dan WTO lebih dari sekedar keharusan untuk diikuti. Sistem
perdagangan yang ditawarkan oleh GATT dan WTO hasil Putaran
Uruguay tahun 1994 itu tidak hanya menyangkut perdagangan
Internasional semata-mata, akan tetapi menyangkut aspek politik tata
ekonomi Internasional yang baru sama sekali dan dalam
implementasinya menurut Hatta melibatkan pula faktor-faktor non

conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as
provided in the annexed Agreements”.
Demikian pula dalam Pasal 4 ayat (1) Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment disebutkan bahwa, Each State Party
shall ensure that all acts of torture are offences under its criminal law”.
Mencermati ketentuan tersebut tidak bisa lain demikian menurut Hikmahanto, selain
ditafsirkan adanya keharusan suatu negara untuk menterjemahkan ke dalam peraturan
perundang-undangan nasional suatu perjanjian internasional yang telah diikuti.
Dalam uraiannya Hikmahanto mengkaji perdebatan yang sering mengemuka di
Indonesia, yaitu apakah pasca keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional
yang berkatagori law-making harus diikuti dengan transformasi ke dalam peraturan
perundang-undangan ? Beliau berpendapat bahwa untuk perjanjian internasional yang
bersifat law-making maka negara memiliki kewajiban untuk menterjemahkan ke dalam
peraturan perundang-undangan.
Hikmahanto mengambil studi kasus atas ratifikasi dari Convention on International
Interests in Mobile Equipment (Konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam
Peralatan Bergerak) beserta Prtocol to the Convention on International Interests in
Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment (Protokol pada Konvensi
tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak mengenai masalah-masalah
khusus pada peralatan pesawat udara). Untuk memperluas masalah ini Indonesia
meratifikasi Capetown Convention dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2007 yang
telah diikuti, lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam
Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang, PT. Yarsif Watampone, Jakarta,
2010, hal. 85-92.

44 Lebih lanjut lihat Ningrum Natasya Sirait, Indonesia Dalam Menghadapi
Persaingan Internasional, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu
Hukum Internasional, pada Falultas Hukum USU , tanggal 2 September 2006.

76

hukum.45 Sistem GATT/WTO dan perjanjian ikutannya berupa TRIPs
Agreement (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)
berkaitan pula dengan aspek investasi yang dimuat dalam persetujuan
TRIMs (The Agreement on Trade-Related Investment Measures).
Investasi asing yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu
pun menjadi terhambat, jika hak atas ciptaan (atau dalam konteks Paten
merupakan temuan) mereka tidak dilindungi menurut standar
perlindungan yang berlaku di negaranya. Belum lagi ancaman negara-
negara maju yang tidak mau berinvestasi dan bahkan menolak izin
ekspor barang-barang produksi dari negara yang masuk dalam kategori
negara pelanggar hak cipta atau pembajak. 46 Itulah sebabnya kemudian
mengapa Indonesia harus memiliki Undang-undang Hak Cipta yang
disesuaikan dengan standar perlindungan internasional, sekalipun pada
waktu itu kebutuhan undang-undang semacam itu bagi kepentingan
hukum dalam negeri Indonesia bukanlah merupakan kebutuhan hukum
yang mendesak.

Pada mulanya, ketika Indonesia harus memiliki Undang-
undang Hak Cipta sendiri, pilihan politik hukum Indonesia ketika itu
sangat pragmatis, dari pada membuat hukum Hak Cipta dengan model
Indonesia sendiri, adalah lebih baik jika memodifikasi saja undang-
undang yang sudah ada yakni Auteurswet Stb No. 600 Tahun 1912.47
Undang-undang ini memang produk Kolonial Belanda, akan tetapi

45 Lihat lebih lanjut Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT
dan WTO Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hal
36

46 Kasus menarik adalah ketika eksport garmen Indonesia ditolak untuk masuk
ke Amerika disekitar tahun 1990-an, karena Indonesia masuk dalam kategori negara
pembajak karya hak kekayaan intelektual. Demikian juga hal yang sama diberlakukan
oleh Amerika terhadap Cina, karena Cina masuk dalam kategori negara pembajak karya
cipta (HKI) atau pelanggaran HKI terbesar di dunia.

47 Ini terlihat mulai dari sistematika undang-undangnya sampai pada
substansinya yang tidak jauh berbeda untuk tidak dikatakan memfotocopy saja wet
peninggalan Kolonial Belanda itu. Auterurswet 1912 ini diberlakukan di wilayah Hindia
Belanda berdasarkan azas konkordansi. Wet ini di Negara asalnya Belanda, diperbaharui
tanggal 1 November 1912 yang merupakan pembaharuan dari undang-undang hak
ciptanya yang pertama yang dibuat pada tahun 1881. Pembaharuan undang-undang ini
dilakukan karena Kerajaan Belanda sama dengan Negara-negara di kawasan Eropa Barat
lainnya, telah mengikatkan dirinya dalam Konvensi Bern 1886. Setelah Kerajaan Belanda
memperbaharui Undang-undang Hak Cipta tahun 1881 dengan Auteurswet 1912
Kerajaan Belanda kemudian mengikatkan dirinya pada tanggal 1 April 1913 dalam
keanggotaan Konvensi Bern 1886. Tentu saja sebagai daerah jajahan, keikutsertaan
Belanda dalam konvensi ini menyebabkan Indonesia diikutsertakan pada konvensi
tersebut dengan didaftarkannya dalam Staatblad 1914 No. 797. Lebih lanjut lihat, Suyud
Margono, Op.Cit, hal. 53-54.

77

pilihan kebijakan legislasi Indonesia – karena sejak awal belum
dianggap sebagai kebutuhan mendesak – membiarkan begitu saja
berlaku “wet” ini di negara Indonesia Merdeka sampai dengan kurun
waktu 70 tahun. Baru pada tahun 1982 ada gagasan untuk merobah
undang-undang ini menjadi undang-undang yang lebih bernuansa
Indonesia, atau mengacu pada prinsip hukum yang original
paradicmatic values of Indonesian culture and society. 48 Terjadinya
perubahan itu adalah karena tuntutan perkembangan zaman yang di
dalamnya berisi muatan politik, ekonomi dan muatan sosio-kultural
lainnya yang terus berubah sebagai akibat dari capaian kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. 49 Pada zaman Hindia Belanda, Kolonial
Belanda memandang perlu diadakannya instrumen hukum yang
memberikan perlindungan kepada pencipta terhadap hasil karyanya.
Seperti telah diungkapkan di atas, diundangkanlah dalam Stb. 1912 No.
600 instrumen hukum yang melindungi karya cipta tersebut yang
dikenal dengan Auteurswet. Sampai masa kemerdekaan “wet” itu terus
berlaku – tentu saja berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketika itu –
hingga Tahun 1982 diundangkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia No. 15 Tahun 1982 tanggal 12 April 1982 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3217 mencabut Staatblad
1912 No. 600 tersebut tentang Auteurswet.50

Persoalan kedua, adalah persoalan pergeseran nilai-nilai
filosofis dalam pembentukan Undang-undang Hak Cipta Nasional yang
menggunakan pilihan politik pragmatis dengan model transplantasi
hukum. Isi dari undang-undang seyogyanya (das Sollen) harus mampu
menangkap semua harapan, ide, cita-cita hukum masyarakat Indonesia
yang berisikan the original paradicmatic value of Indonesian culture
and society (das Wollen), yang dirumuskan dalam ideologi negara
sebagai dasar falsafah negara yakni Pancasila sebagai grundnorm yang
kemudian diturunkan sebagai tata nilai atau asas-asas hukum untuk
kemudian dijelmakan ke dalam norma hukum konkrit.

48 Lihat BPHN, Seminar Hak Cipta, Binacipta, Jakarta, 1976 , hal. 82.
49 Perubahan pada cara pandang tentang kehidupan (philosophy of life, akan
merubah sistem hukum yang dipilih, lihat Jack M. Balkin, The Laws of Change, Sybil
Creek Press, Toronto-Canada, 2009 , hal. 72. Lihat juga lebih lanjut, Michael B. Gerrard
(ed), Global Climate Change and US Law, ABA Publishing, Chicago, 2007, hal. 105,
Bagaimana perubahan iklim global yang sebenarnya adalah perubahan fisik iklim bumi,
turut mempengaruhi perubahan hukum di Amerika Serikat.
50 Walaupun substansinya hampir dapat dipastikan masih sama dan senada
dengan Auteurswet Stb. 600 Tahun 1912.

78

Keharusan untuk melakukan perubahan perangkat hukum hak
cipta itu terjadi tidak terlepas dari tuntutan dan pengaruh internal yang
sesungguhnya tidak begitu dominan jika dibandingkan dengan tuntutan
eksternal yang berasal dari negara luar sebagai tuntutan arus perubahan
zaman dan kemajuan peradaban umat manusia yang dikenal dengan
globalisasi. Bagi Indonesia, selaku negara yang berdaulat, yang masuk
dalam kelompok negara-negara berkembang yang posisinya tidak sama
dengan 8 negara ekonomi maju atau disingkat G-8 (Kanada, Perancis,
Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Britania Raya dan Amerika Serikat)
sejatinya harus mampu “menyaring” kepentingan asing yang dominan
(dominasi politik dan ekonomi asing) yang dimasukkan dalam
peraturan Undang-undang Hak Cipta Nasional. Harapan, ide-ide,
gagasan yang berisikan dan bercirikan Indonesia atau the original
paradicmatic values of Indonesian culture and society, adalah bahagian
penting yang harus dituangkan dalam pilihan kebijakan transplantasi
hukum hak cipta.

Legal transplants 51 atau legal borrowing, atau legal adoption
demikian istilah yang diperkenalkan oleh Alan Watson, 52 untuk

51 Pilihan terminologi legal transplants bermula dari mengikuti perkuliahan
Ningrum Natasya Sirait selama kurun waktu Semester Ganjil TA 2011-2012 dalam mata
kuliah Perbandingan Sistem Hukum. Beliau memperkenalkan buku yang ditulis oleh
Alan Watson yang berjudul “Legal Transplants An Approach to Comparative Law”
terbitan Scohish Academic Press, Amerika, Tahun 1974. Membaca naskah ini,
menyebabkan judul disertasi yang semula “Pengadopsian Hukum Asing” berubah
pilihannya menjadi Transplantasi Hukum. Terminologi hukum (rechts terminologie)
tentang transplantasi hukum digunakan oleh para ilmuwan hukum untuk menyebutkan
sebuah kebijakan negara yakni, pengambilalihan hukum asing untuk dijadikan hukum di
negara sendiri. Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebutkan peristiwa itu,
mulai dari istilah meminjam hukum asing, mengadopsi, migrasi hukum, translokasi
sampai pada istilah kolonisasi hukum asing dan ada lagi yang menggunakan istilah
okulasi. Sebut saja istilah legal receptions yang dikemukakan oleh Loukas A. Mistelis
dan Moh. Koesnoe, legal borrowing atau legal adoption yang dikemukakan oleh Alan
Watson sebelum ia sampai pada istilah legal transplants, legal migration istilah ini
digunakan oleh Katharina Pistor, legal colonization ini adalah istilah yang digunakan
Galanter, translocation of law ini adalah istilah yang diperkenalkan oleh Antony Allott,
legal surgery sebuah istilah yang dikemukakan oleh Loukas A. Mistelis, legal
transposition dikemukakan oleh Esin Orucu, legal change yang dikemukakan oleh Haim
H. Cohn, Lihat Julius Stone, Legal Change Essays in Honour of Julius Stone,
Blackshield, Butterworths Pty Limited, Australia, 1983, hal. 56. Bahkan Roscoe Pound
pernah menggunakan istilah “assimilation of materials from outside of the law”, untuk
menyebutkan rangkaian proses transplantasi hukum itu. Lebih lanjut lihat Tri Budiyoni,
Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi Transplantasi Doktrin
Yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya Media, Salatiga,
2009 , hal. 124, hal. 4. Guru besar ilmu hukum dari Delf Universiteit yang bernama : Mr.
W. C. Van Den Berg yang juga penasehat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada

79

menyebutkan suatu proses meminjam atau mengambil alih atau
memindahkan hukum dari satu tempat atau dari satu negara atau dari
satu bangsa ke tempat, negara atau bangsa lain kemudian hukum itu
diterapkan di tempat yang baru bersama-sama dengan hukum yang
sudah ada sebelumnya. Transplantasi hukum itu dapat juga terjadi
karena keharusan untuk mentransfromasikan perjanjian Internasional
(perjanjian dalam bentuk law making), karena Indonesia turut serta
sebagai anggota konvensi Internasional itu. 53 Kasus semacam ini dapat
dilihat pada kasus tranformasi ketentuan GATT/WTO dan perjanjian
ikutannya seperti TRIPs Agreement yang menjadi dasar transplantasi
peraturan perundang-undangan HKI Indonesia, dan Kesepakatan
TRIMs yang menjadi dasar transplantasi peraturan perundang-
undangan tentang Penanaman Modal Asing, demikian juga beberapa
konvensi Internasional tentang lingkungan hidup dijadikan dasar bagi
penyusuanan peraturanperundang-undangan tentang Lingkungan Hidup
di Indonesia. Di samping itu transplantasi hukum dapat juga terjadi
karena adanya koloni atau aneksasi atau imperialis oleh satu negara
atas negara lain. Untuk kasus Indonesia, koloni yang dilakukan oleh
Pemerintah Belanda telah “memaksa” Indonesia untuk melakukan
penyesuaian hukum peninggalan Kolonial Belanda ke dalam hukum
Nasional Indonesia yang merupakan cikal bakal transplantasi.

Dalam keadaan damai tanpa peperanganpun transplantasi
hukum itu terus berlangsung, mengikuti kemajuan peradaban umat
manusia, karena kemajuan peradaban akan menimbulkan hubungan-

pemerintahan Hindia Belanda, pernah meneliti hukum adat di Indonesia dan melahirkan
teori yang sangat terkenal yaitu teori ”Receptio in Complexu”. Inipun sebenarnya masih
bercerita tentang terma transplantasi hukum Islam (hukum agama) ke dalam hukum adat,
bahkan kata Berg, seluruh hukum Islam diresepsi oleh hukum adat. Selama bukan
sebaliknya kata Berg menurut ajaran ini hukum pribumi ikut hukum agamanya sekalipun
jika ia berpindah agama ia-pun juga harus mengikuti hukum agamanya dengan setia.
Lihat Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai Kedudukan dan Peranan Hukum
Islam Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Jakarta, 1987, hal. 51. Namun
pendapat ini ditentang oleh Hazairin, dia mengatakan tidak semua hukum adat itu
diresepsi dari hukum Islam, lihat lebih lanjut Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum,
Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 44. Intinya Berg mempergunakan istilah receptio untuk
term transplantasi.

52 Alan Watson, Legal Transplants An Approach to Comparative Law,
Scottish Academic Press, America, 1974, hal. 22. Dengan meminjam pandangan Roscoe
Pound Watson menulis “… and Roscoe Pound could write : “History of a system of law
is largely a history of borrowings of legal materials from other legal systems and of
assimilation of materials from outside of the law”, bandingkan Tri Budiyoni, Ibid, hal.
25; Gunawan Widjaja, Transplantasi Trusts dalam KUH Perdata, KUHD dan Undang-
undang Pasar Modal Indonesia, Rajawali, Jakarta, 2008, hal. 35 s/d 38.

53 Lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwono, Op.Cit, hal 85.

80

hubungan hukum yang baru yang tidak dikenal sebelumnya. Negara
yang menemukan hasil peradaban baru tersebut akan menyediakan pula
instrumen hukum baru guna mengatur hubungan atau peristiwa hukum
yang baru atas temuan hasil peradaban yang baru itu. Tentu saja
hukum yang baru itu akan ikut masuk ke negara lain bersamaan dengan
hasil temuan dari peradaban tersebut. Sebagai contoh, ketika transaksi
keuangan dapat dilakukan secara on-line sebagai akibat kemajuan
peradaban dalam bidang teknologi informasi, maka hukum yang
mengatur tentang itu harus ditransplantasikan dari negara yang pertama
sekali menggunakan transaksi keuangan secara on-line itu. Dampaknya
tidak hanya terhadap hukum perbankan, akan tetapi juga terhadap
hukum pidana yang berkaitan dengan pencucian uang. Demikian
seterusnya transplantasi hukum itu akan terus berlangsung tanpa henti
seperti yang dikatakan oleh Watson dengan mengutip Esin Orucu,54 ia
sampai pada satu kesimpulan : “Transplantasi hukum itu masih ada dan
akan terus hidup dengan baik sebagaimana juga halnya pada masa
Hammurabi.55 Lebih lanjut Esin Orucu mengatakan :

What is regarded today as the theory of ‘competing legal
systems’, albeit used mainly in the rhetoric of ‘law and
economics’ analysis, was the basis of the reception of laws that
formed the Turkish legal system in the years 1924 - 1930. The
various Codes were chosen from what were seen to be ‘the best’
in their field for various reasons. No single legal system served as
the model. The choice was driven in some cases by the perceived
prestige of the model, in some by efficiency and in others by
chance. 56

Orucu berkesimpulan, tidak ada satu sistem hukum yang
tunggal yang dijadikan model pembangunan hukum di berbagai negara.
Dengan mengambil contoh pada masyarakat Turki, Orucu menjelaskan
bahwa Turki pasca runtuhnya dinasti Osmania telah mengambil banyak
sistem hukum yang dijadikan model bagi pembangunan hukum di
negerinya. Hukum pidana dan hukum perdata diambil dari Swiss,
sedangkan hukum administrasi negara diambil dari model hukum
Prancis. Dengan memilih berbagai model hukum, melalui kebijakan

54 Alan Watson, Loc.Cit , hal. 5.
55 M.E.J. Richardson, Hammurabi’s Laws Text, Translation and Glossary, T
& T International, New York, 2004.
56 Alan Watson, Legal Transplants and European Private Law, University of
Belgrade School of Law, Pravni Fakultet, Belgrade, 2006, hal. 6-7. Lihat juga Esin
Orucu, The Enigma of Comparative Law, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden/Boston,
2004, hal. 26.

81

transplantasi kata Orucu Turki di bawah rezim Mustafa Kemal Al-
Taturk, berhasil meletakkan politik hukum transplantasi menjadi alat
legitimasi budaya, karena pada akhirnya model hukum yang dipilih
tidak terikat pada salah satu budaya yang dominan.

Itulah yang oleh Orucu disebutnya sebagai sistem campuran
dan itu tumbuh karena adanya mobilitas sosial dalam masyarakat yang
dapat terjadi karena ekspansi oleh satu negara ke negara lain, karena
pendudukan (aneksasi), penjajahan atau dalam bentuk suatu upaya
modernisasi yang dipaksakan. Bentuk lain dari sistem campuran itu
terjadi karena penyerapan norma hukum asing secara sukarela (untuk
kasus Indonesia misalnya penyerapan norma hukum Islam), infiltrasi
atau inspirasi dan imitasi sebagai wujud dari perubahan dalam struktur
sosial sebagaimana diuraikan oleh Orucu 57 berikut ini :

Mixed and mixing systems and the migration of legal institutions
are two inseparable fields of study. The fact that law is not static
lies at the bottom of all mixed systems. Moving populations add
another dimension to this phenomenon. The coming into being of
mixed jurisdictions is one of the outcomes of mobility of law and
mobility of peoples. Law moved across boundaries. The simplest,
most easily defined and understood forces behind these
movements are expansion, occupation, colonization and efforts of
modernization, and the ensuing impositions, imposed receptions,
voluntary receptions, infiltrations, inspirations and imitations and
concerted or co-ordinated parallel developments. Legal ideas,
concepts, structures and rules move from legal order to legal
order along these paths. In such movement there is interference
with the horizontal logic (internal symmetry) and the vertical
logic (the typical pattern of unfolding) of legal systems or legal
orders, sometimes creating confusion, after which the legal
systems settle into mixed jurisdictions or hybrid systems.

Untuk kasus Indonesia, mengambil sistem hukum yang
berasal dari negara lain yang dikembangkan menjadi model hukum di
negeri sendiri, bukanlah sesuatu yang baru. Asas konkordansi yang
dipilih sebagai politik hukum Indonesia pada masa Hindia Belanda dan
terus dikembangkan pada masa kemerdekaan adalah salah satu contoh
saja untuk menggambarkan keadaan itu, bahwa sesungguhnya
mengambil model hukum asing untuk dijadikan model hukum di negeri
sendiri adalah suatu yang lumrah dan tidak terlalu buruk untuk

57 Esin Orucu, Elspeth Attwooll & Sean Coyle, Studies in Legal Systems :
Mixed and Mixing, Kluwer Law International, London/Boston, 1996 , hal. 341.

82

dilakukan. Transplantasi hukum terus berlangsung berawal dari zaman
pra Kolonial Belanda, hingga sekarang,58 mulai dari menggantikan
posisi hukum Indonesia asli (hukum adat dan kebiasaan yang original)
sampai pada masuknya kaedah hukum yang baru sama sekali, yang
belum dikenal dalam peradaban (hukum) Indonesia.

Demikian pula halnya dengan keberhasilan Indonesia dalam
melahirkan Undang-undang Hak Cipta, mulai dari Undang-Undang
No.6 tahun 1982 sampai dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002,
melalui kebijakan transplantasi undang-undang peninggalan Kolonial
Belanda sampai dengan TRIPs Agreement hasil Putaran Uruguay
Dengan politik transplantasi itu hasilnya adalah, paling tidak saat ini
Indonesia telah mempunyai perangkat hukum hak cipta yang
memenuhi standar internasional, standar yang diisyaratkan
GATT/WTO 1994 seperti yang termaktub dalam TRIPs Agreement,
walaupun ternyata dikemudian hari pelaksanaan undang-undang ini
banyak menuai kritik. Kebijakan dalam bidang legislasi melahirkan
undang-undang hak cipta nasional hampir tak pernah bebas dari kritik,
terutama dalam hal substansi dan penegakan hukum (law enforcement)-
nya. Kenyataan sesungguhnya, bahwa undang-undang itu, gagal
mencapai tujuannya. Gagal dalam merumuskan ide-ide dan cita-cita
negara, gagal dalam menciptakan kepastian hukum dan bahkan gagal
dalam pencapaian cita-cita kesejahteraan melalui perlindungan optimal
atas hasil karya cipta. Dalam bahasa yang sederhana undang-undang ini
gagal mentransformasikan landasan ideologis/filosofis Pancasila ke
dalam Undang-undang Hak Cipta Nasional. Pengaruh
ideologis/filosofis asing masuk mewarnai undang-undang ini. Para
legal (ahli hukum) gagal menjadikan Pancasila sebagai ideologi
“penyaring” ketika kebijakan transplantasi hukum dilangsungkan
dalam pembentukan Undang-undang Hak Cipta Nasional. Kejadian ini
tidak satu kali, tapi beberapa kali terulang di sepanjang sejarah
perubahan Undang-undang Hak Cipta. Apakah ini pertanda bahwa
bangsa ini tak pernah memiliki sikap kehati-hatian dalam menerapkan
kebijakan transplantasi hukum ? Kehati-hatian dalam melakukan
transplantasi hukum asing ke dalam hukum Indonesia khususnya dalam
bidang Hak Kekayaan Intelektual diingatkan oleh Candra Irawan dan

58 Pada masa Hindu, hukum Hindu turut mewarnai hubungan-hubungan
hukum yang berlangsung dalam masyarakat di wilayah nusantara ketika itu, demikian
juga ketika Islam masuk ke Indonesia, Hukum Islam turut pula mewarnai perkembangan
hukum ketika itu. Dengan begitu benarlah ungkapan Roscoe Pound, sejarah sistem
hukum adalah sejarah meminjam dan assimilasi materi hukum dari sistem hukum lain.

83

Budi Agus Riswandi.59 Beberapa hal yang dapat dipetik dari pandangan
mereka berdua, adalah :
1. Indonesia harus hati-hati mengadopsi The Agreement on Trade

Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) ke Undang-
undang Hak Kekayaan Intelektual.
2. Dalam transplantasi harus diperhatikan kepentingan nasional.
3. Ada kesan dipaksakan upaya penyesuaian pembentukan Undang-
undang Hak Kekayaan Intelektual dengan The Agreement on Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights.
4. Aspek kepentingan nasional tak terlihat dalam proses transplantasi
itu meskipun kepentingan nasional itu dimasukkan dalam
konsiderans tapi dalam normanya tak mencerminkan jiwa
(landasan filosofis/ideologis) ke Indonesiaan.
5. Kepentingan asing terlalu dikedepankan sehingga perangkat
hukum Hak Kekayaan Intelektual menjadi tidak bermakna bagi
kepentingan nasional.
6. Secara kultural tata kehidupan bangsa Indonesia bersifat komunal
bukan individualistik, The Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights mengedepankan kultur individualistik,
yang sudah barang tentu tak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia

Kebijakan pembangunan suatu bangsa dapat saja mengacu
atau meniru pada format pembangunan yang dilakukan oleh bangsa
lain. Pembangunan ekonomi, pendidikan, infrastruktur, pembangunan
industeri strategis, industeri manufactur, industeri kelautan, industeri
otomotif, industeri transpostasi , industri informasi dan lain sebagainya
dapat dicontoh dari model-model yang dikembangkan oleh bangsa lain,
namun itu tidak berlaku sepenuhnya untuk pembangunan hukum. Teori
yang dikemukakan Robert B. Seidman 60 yaitu The Law of Non
Transferability of Law menyimpulkan bahwa, hukum suatu bangsa
tidak dapat diambil alih begitu saja, tanpa harus mengambil alih aspek-
aspek yang mengitari (aspek sosial budaya) tempat di mana hukum itu
berpijak (diberlakukan).

Teori ini justeru lahir dari hasil penelitian Seidman bersama
rekannya William J. Chambliss disebuah negara di Afrika Selatan
bekas jajahan Inggeris. Segera setelah Inggeris meninggalkan negara
jajahannya, hukum Inggeris yang ditinggalkan, tidak mampu
menjalankan fungsinya, sebab faktor sosial budaya masyarakat Afrika

59 Lihat lebih lanjut Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 14 s/d 22.

60 Robert B. Seidman, The State, Law and Development, St. Martin's Press,
New York, 1978, hal. 29.

84

Selatan berbeda dengan socio-cultural bangsa Inggeris. Demikian juga
di tempat-tempat lain seperti di Turki, Etiopia dan koloni-koloni
Perancis di Afrika dan juga di Indonesia, hukum asing itu berhasil
ditransplantasikan dalam hal substansinya tapi gagal dalam
penerapannya karena faktor-faktor perbedaan pada kultur dan struktur
sosialnya seperti; hubungan sosial, ekonomi, politik, birokrasi
pemerintahan dan birokrasi lembaga penegakan hukum dan faktor-
faktor fisik dan faktor subyektif lainnya seperti kebiasaan masyarakat
setempat dan lain sebagainya. Di berbagai negara faktor-faktor seperti :
geografi, histori, kemajuan teknologi-pun cukup signifikan juga
mempengaruhi kegagalan penerapan hukum yang normanya berasal
dari transplantasi hukum asing seperti yang diungkapkan oleh Robert
B. Seidman dan Ann Seidman :

Turkey copied French law, Ethiopia copied Swiss law, the
French speaking African colonies, French law, Indonesia,
Dutch law. Universally, these laws failed to induce behavior
in their new habitats anything like that in their birtplaces.
Inevitably, people chose how to behave, not only in response
to the law, but also to social, economic, political, physical and
subjective factors arising in their own countries from custom,
geography, history, technology and other, non-legal
circumstances.61

Mengacu pada pandangan di atas, sudah saatnya Indonesia
dalam kebijakan pembangunan hukumnya, memperhatikan dan
mempertimbangkan faktor sosio-kultural, sebab meminjam istilah
Satjipto Rahardjo, hukum tidak berada pada ruang hampa, tapi ia
berada bersama-sama sub sistem sosial lainnya, dalam sistem sosial
yang lebih luas. M. Solly Lubis, juga menegaskan hukum itu hanya
merupakan salah satu sub sistem saja dalam sistem nasional. Masa
depan hukum itu ditentukan oleh pilihan kebijakan politik hukum. 62

61 Lihat Ann Seidman dan Robert B. Seidman, State and Law in The
Development Process Problem-Solving and Institutional Change in the Third World, St.
Martin’s Press, 1994, hal. 44.

62 Lihat Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya,
Genta Publishing, Jakarta, 2009, hal. 45. Lihat lebih lanjut ; Satjipto Raharjo, Hukum
Progrresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jakarta, 2009, hal. 58.
Bandingan juga Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesia Sebuah
Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. 62 dan M. Solly
Lubis, SH, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 71. Bandingkan dengan
pandangan M. Solly Lubis yang menempatkan hukum dalam sistem politik bersama-
sama dengan sub sistem nasional lainnya dalam satu sistem yang disebutnya sebagai
SISNAS. M. Solly Lubis, Serba-Serbi Politik & Hukum, Edisi 2, PT. Sofmedia, Jakarta,

85

Penyusunan materi hukum (aspek substantif menurut
Friedman) oleh lembaga legislatif, bukanlah bebas dari pengaruh
eksternal. Legislatif dalam menjalankan fungsi legislasinya, pastilah
mendapat pengaruh dari luar, baik secara kelembagaan maupun secara
individual. Demikianlah pula dalam hal proses ”law enforcement”
aparat judikatifpun tidak bebas dari pengaruh-pengaruh seperti yang
dialami oleh legislatif. Akhirnya hukum yang dihasilkan selalu
dirumuskan sebagai resultant dari kekuatan tarik menarik tersebut.
Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh Harold J. Laski, bahwa
pada akhirnya hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat itu
adalah hukum yang merupakan hasil kekuatan tarik menarik berbagai
kepentingan politis, baik pada saat pembuatannya maupun pada saat
penerapannya. Laski menyebut hasil akhir itu sebagai resultan, mirip
bekerjanya perkalian dua vektor dalam ilmu mate-matika, seperti
skema perkalian dua vektor di bawah ini : 63

Skema 1
Resultan Kekuatan Tarik Menarik Dalam Politik Hukum

R
a

b
a = vektor a
b = vektor b
R = Resultant (hasil perkalian vektor a x vektor b)

2011, hal. 65. Demikian juga uraian-uraian kuliah dalam M. Solly Lubis, sepanjang
Semester Ganjil TA 2011-2012 dalam mata kuliah SISNAS pada Program Pasca Sarjana
USU.

63 Robert B. Seidman, Op.Cit, hal. 75, lihat lebih lanjut Harold J. Laski,
Reflections on The Revolution of Our Time, Transaction Publishers, New Brunswick
(USA) and London (UK), 2012, hal. 65. Harold J. Laski mengatakan hasil akhir dari
hukum adalah resultant dari kekuatan tarik-menarik itu. Lihat juga Harold J. Laski,
Studies in Law and Politics, Transaction Publisher, New Jersey, 2010, hal. 63.

86

Khusus dalam bidang hak cipta, Undang-undang No. 19
Tahun 2002 adalah hasil (resultant) dari berbagai faktor atau kekuatan
tarik menarik baik secara internal maupun eksternal dalam institusi
negara (tekanan dalam negeri dan internasional) maupun pengaruh
internal dan eksternal institusi legislatif dan judikatif dalam negara
Indonesia sendiri baik bersifat kelembagaan maupun perorangan.

Meminjam skema yang dikembangkan oleh Seidman,
bekerjanya berbagai faktor non hukum sebagai kekuatan tarik menarik
itu dapat disederhanakan dalam skema sebagai berikut :

87

88

Dengan meminjam kerangka analisis Robert B. Seidman dan
Laski, maka keberadaan hukum Indonesia hari ini, adalah merupakan
hasil akhir dari hukum yang berlaku dan diterima oleh masyarakat
Indonesia atau hasil (resultant) dari kekuatan tarik-menarik (antar
vektor) dari tiap-tiap faktor (politik dan non politik) yang
mempengaruhinya. 64

Faktor tekanan (politik-ekonomi) internasional adalah faktor
yang menjadi kekuatan politik dalam pembentukan Undang-undang
Hak Cipta Nasional. Keberadaan Indonesia dalam keanggotaan
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994/World Trade
Organization (WTO), telah mewajibkan Indonesia untuk meratifikasi
hasil putaran General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
1994/World Trade Organization (WTO) tersebut, yang salah satu
capaian kesepakatan itu adalah instrumen (figur) hukum TRIPs (The
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).
Dalam tulisannya, Ganguli menyebutkan :

”The TRIPs agreement provides considerable room for its
Members to implement the provisions and achieve a proper
balance of various domestic/national interests”. 65
Konsekuensinya dalam bidang perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights Convention sebagai salah satu capaian dari Putaran
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994/World Trade
Organization (WTO) tersebut, beserta konvensi-konvensi ikutannya
seperti Bern Convention dan Rome Convention (1961) wajib juga
diratifikasi. Setelah Indonesia meratifikasi GATT/WTO 1994, melalui
Undang-undang No. 7 Tahun 1994, Indonesia menjadi terikat secara
hukum (tentu juga secara moral) dengan kesepakatan internasional itu.
Sebagai konsekuensinya Indonesia harus menyesuaikan peraturan
perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual-nya dengan Konvensi
Internasional tersebut. Inilah yang kemudian mengantarkan Indonesia
harus mengalami beberapa kali merubah peraturan perundang-
undangan Hak Kekayaan Intelektual-nya, termasuk Hak Cipta.

64 Bandingkan dengan pendapat Harold J. Laski, Studies in Law and Politic,
Transaction Publisher, New Jersey, 2009, hal. 68, bahwa kekuatan tarik menarik antara
secara politik hukum, akan mempengaruhi hasil akhir pembentukan hukum. Lihat juga
(economic dan hukum) Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law And Economics, Wesley
Educational Publishers Inc., California, 1997 dan Eric A. Posner, Law and Economics,
Foundation Press, New York, 2000 , hal.125.

65 Lebih lanjut lihat, Prabuddha Ganguli, Intellectual Property Rights
Unleashing the Knowledge Economy, Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited,
New Delhi, 2001, hal. 59.

89

Persoalan ketiga adalah, ketika undang-undang hasil
transplantasi itu diterapkan, ternyata mendapat penolakan. Dalam
bidang perlindungan karya sinematografi, undang-undang itu tak cukup
mampu atau tidak efektif untuk melindungi hak-hak para pencipta.
Seyogyanya (das Sollen) ketika undang-undang selesai disusun dan
siap untuk diterapkan, semestinya dapat diterapkan dan mampu
mencapai tujuannya. Karya sinematografi adalah salah satu ciptaan
(dari 12 ciptaan) yang dilindungi menurut Undang-undang Hak Cipta
Indonesia. Karya sinematografi didalamnya tidak hanya menyangkut
karya dalam bidang seni dan sastra tetapi juga mencakup bidang ilmu
pengetahuan. Karya sinematografi dalam film dokumenter dan liputan
tentang fenomena alam, kegiatan makhluk hidup dan aktivitas bumi
dan planet-planet lain, tidak sedikit memperlihatkan banyaknya pesan
keilmuan yang ditampilkannya secara visual. Demikianlah karya
sinematografi memadukan unsur seni dan sastra baik alur cerita yang
dipetik dari novel, lagu-lagu dan musik yang ditampilkan, sampai pada
penataan artistik, semua terhimpun dalam karya sinematografi. Pendek
kata, karya sinematografi mencakup keseluruhan dari obyek hukum
yang dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta, yakni karya ilmu
pengetahuan, kesenian dan kesusasteraan. 66

Transplantasi hukum yang bersumber dari hukum asing itu
telah berwujud dalam bentuk Undang-undang Hak Cipta Nasional,
undang-undang yang terakhir adalah Undang-undang No. 19 Tahun
2002. Undang-undang itupun telah diterapkan di seantero jagad
Indonesia, mulai dari Aceh sampai ke Papua. Banyak peristiwa yang
tercatat dan tak tercatat dalam penegakan hukum Hak Cipta, dalam
bidang karya sinematografi.

Segera setelah Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002
diberlakukan, Indonesia diperkirakan akan memiliki instrumen hukum
yang setara dengan negara maju. Dengan kata lain, jika suatu saat
investasi asing masuk ke Indonesia mensyaratkan adanya proteksi
terhadap karya cipta asing, maka secara juridis Indonesia tidak lagi
harus mengalami kesulitan. Standar perlindungan Hak Cipta di
Indonesia telah sama dan setara dengan negara maju di dunia. Sebab,
demikian menurut Candra Irawan,67 Indonesia tidak hanya memenuhi

66 Ini adalah salah satu alasan penting mengapa kami memilih karya
sinematografi menjadi obyek penelitian dalam disertasi ini disamping karena belum
banyak disertasi yang memilih tema ini sebagai obyek penelitian.

67 Lihat Candra Irawan, Op.Cit, hal. 316. Beliau mengatakan pengadopsian
TRIPs ke dalam HKI Indonesia, tidak melalui harmonisasi hukum yang baik. Aspirasi
Pancasila, kesesuaian dengan prinsip-prinsip hukum Pancasila dan UUD ’45 dan realitas

90

persyaratan minimal sebagaimana diisyaratkan oleh General
Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994/World Trade
Organization (WTO), akan tetapi telah memberikan syarat yang
optimal.

Capaian lembaga legislasi untuk melahirkan Undang-undang
Hak Cipta Nasional patut dihargai, karena betapapun juga dengan
segala keterbatasannya lembaga itu telah bekerja untuk menghasilkan
instrumen hukum perlindungan Hak Cipta, meskipun dalam kenyataan
empirik memperlihatkan instrumen hukum itu tidak efektif daya
lakunya. Sebut saja pembajakan karya sinematografi melalui Video
Compact Disc. Di mana-mana tempat penjualan Video Compact Disc di
Kota Medan satu keping Video Compact Disc dijual dengan harga Rp.
3.000 s/d Rp. 5.000,- per keping. Padahal barang yang sama jika dibeli
di toko Video Compact Disc di Singapura dijual dengan harga 7 s/d 10
dollar Singapura atau setara dengan Rp. 60.000,- s/d Rp. 70.000,- per
keping. Ini memperlihatkan betapa kepingan Video Compact Disc itu
dijual dengan harga yang relatif murah di pasar-pasar modern dan
tradisional di Kota Medan. Hal ini terjadi karena kepingan Video
Compact Disc itu diproduksi tidak dengan membayar royalty kepada
produser dan pencipta atau pemegang hak cipta atas karya
sinematografi.

Masyarakat konsumen sendiri bukannya tidak pernah
memahami aturan itu. Kepingan Video Compact Disc dijual dan
dipasarkan melalui ”hukum permintaan” pasar. Di mana harga murah
ke sanalah mereka akan berbelanja. Budaya hukum Indonesia belum
terbiasa dengan model proteksi hukum hak cipta berdasarkan Undang-
undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Jika diukur tingkat efektivitas
keberlakuan Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 di tengah-
tengah masyarakat, khususnya dalam hal perlindungan karya
sinematografi, dapat diasumsikan efektivitas keberlakuan Undang-
undang Hak Cipta dalam hal perlindungan karya sinematografi masih
rendah.

Menyangkut dampak globalisasi terhadap keberadaan
Undang-undang Hak Cipta. Globalisasi telah mempengaruhi banyak
negara di dunia melakukan pilihan kebijakan transplantasi hukum
sebagai pilihan politik hukumnya. Meratifikasi TRIPs Agreement
sebagai salah satu hasil dari Putaran Uruguay Round yang
menghasilkan General Agreement on Tariff and Trade (GATT)

sosial bangsa Indonesia juga belum terakomodasi dengan baik, padahal ada peluang yang
dibuka oleh TRIPs untuk itu.

91

1994/World Trade Organization (WTO) adalah pilihan politik hukum
yang ditempuh Indonesia sebagai dampak dari globalisasi ekonomi
tersebut. Pilihan politik hukum ini membawa dampak pula terhadap
eksistensi hukum (Undang-undang Hak Cipta Nasional).

Hak Cipta yang meliputi ilmu pengetahuan, seni sastra
termasuk sinematografi tidak tumbuh secara linier dari Barat mengalir
ke Timur, tetapi tumbuh secara sporadis di berbagai belahan bumi.
Tumbuh seperti jamur di hutan belantara, tidak hanya putih, tapi juga
merah, kuning, jingga bahkan ada yang hitam. Ilmu pengetahuan, seni
dan sastra tumbuh penuh dengan warna-warni. Akan tetapi hukum yang
mengaturnya tumbuh secara linier, tumbuh menurut alam pikiran
”Barat” yang – materialis – liberal - mengalir masuk ke belahan bumi
Timur. The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPs) sebagai produk hukum yang penuh dengan
warna Barat – yang liberal – individualis – materialis masuk ke belahan
bumi Timur lewat ratifikasi, lalu kemudian Timur yang turut dalam
anggota konvensi, harus menyesuaikan peraturan perundang-undangan
HKI-nya (termasuk Hak Cipta) dengan tuntutan The Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai
produk hukum yang lahir dari dan atau dominasi peradaban Barat yang
dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT)
1994/World Trade Organization (WTO). 68
Inilah salah satu dampak globalisasi ekonomi. Globalisasi ekonomi
yang membawa dampak pada kebijakan politik hukum Indonesia, yang
pada gilirannya berdampak pula terhadap substansi hukum peraturan
perundang-undangan Hak Cipta Indonesia yang salah satu diantaranya
adalah perlindungan karya sinematografi.

Tradisi wayang, yang ditayangkan dari satu pesta ke pesta
lain, dari dalang yang satu ke dalang yang lain, dari sinden satu ke
sinden lain dalam satu cerita wayang yang sama, telah membentuk
budaya hukum, bahwa tak ada pelanggaran hak yang dilakukan dalam
peristiwa itu. Akan tetapi dengan adanya Rome Convention Tahun 1961
yang memperkenalkan adanya ”Neighbouring Rights” hak siaran atau

68 Kita tidak hendak mempersalahkan “Barat” dalam usahanya untuk
menyatukan visi dan misi perekonomian dunia lewat peraturan hukum globalisasi
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994/World Trade Organization
(WTO) akan tetapi, kenyataan ini menjadi pembelajaran sejarah, pembelajaran politik,
bagi Indonesia yang belum “cair” pemahamannya tentang perlunya mempertahankan jati
diri bangsa. Tentang perlunya mempertahankan the original paradicmatic of Indonesian
values cultural and society, perlunya mempertahankan ideologi bangsa, ideologi negara
yakni Pancasila yang sudah dipilih oleh pendiri bangsa dan negara ini sebagai sumber-
sumber nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, sumber-sumber hukum.

92

menggunakan tampilan orang lain, tanpa izin adalah sebuah perbuatan
hukum pelanggaran hak yang juga dapat dikenakan pembayaran royalty
dan penyiaranya harus mendapat izin dari pemegang hakya. Faktor
budaya hukum kelihatannya masih harus mendapat perhatian khusus
dalam studi-studi lanjutan. Memposisikan Pancasila dan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melihat
pada The Original Paradicmatif Values of Indonesian Cultural and
Society adalah menjadi dasar dan arah bagi pilihan politik hukum
Indonesia ke depan, agar hukum Indonesia yang dilahirkan melalui
proses transplantasi dapat menghasilkan kaedah hukum yang think
globally, commit nationally dan act locally. Dengan kondisi yang
demikian, transplantasi hukum Hak Cipta Indonesia yang berasal dari
hukum asing (apakah pada awalnya berasal dari hukum Kolonial
Belanda dan terakhir disesuaikan dengan TRIPs Agreement) semuanya
bermuara pada kekuatan tarik-menarik secara politis dengan berbagai
kekuatan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dinamika sejarah
politik hukum pembentukan Undang-undang Hak Cipta Nasional
sekalipun tidak terekam dan tidak terdokumentasi secara ilmiah,
hasilnya dapat dirasakan dalam babakan sejarah penerapan hukumnya
di Republik Indonesia tercinta ini. Menjadi harapan bagi negara ini ke
depan menyelaraskan hukum yang dilahirkan itu dengan kepentingan
Indonesia tanpa harus menghambat Indonesia untuk turut dalam
percaturan (ekonomi dan politik) global dimana hukum sebagai salah
satu instrumentnya.

Merajut kepentingan hukum nasional dan dipertautkan dengan
tuntutan globalisasi (pasca ratifikasi TRIPs Agreement), diharapkan
dapat melahirkan konsep hukum hak cipta yang commit nationally,
think globally dan act locally. Meninjau kembali, menguak jalannya
sejarah transplantasi hukum asing ke Undang-undang Hak Cipta
Indonesia, menguak substansi ideologis-filosofisnya, membuka
kembali latar belakang politik hukum yang mewarnai gagasan proses
transplantasi yang dilakukan ketika undang-undang itu dibuat,
menjelaskan berbagai kegagalan yang pernah terjadi dalam
penerapannya (law enforcement-nya) guna memperbaiki kegagalan-
kegagalan itu, sehingga semuanya menjadi jelas, terang dan dapat
mengantarkan studi ini menjadi model pembangunan hukum Indonesia
ke depan jika negeri ini akan menggunakan proses transplantasi hukum
asing dalam kebijakan politik hukumnya di kemudian hari, kesemua itu
adalah merupakan alasan penting, mengapa penelitian ini perlu
dilakukan. Selain penting artinya bagi melahirkan konsep
pembangunan hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan roh filsafati

93

hukum Indonesia dalam arti politis, penelitian ini juga penting artinya
bagi pengembangan akademis dan kepentingan praktis pada tataran
basic policy, guna menemukan hukum yang sesuai dengan tata nilai
dan jati diri bangsa Indonesia yakni Pancasila yang merupakan
abstraksi the original paradicmatic value of Indonesian culture and
society, sebagai groundnorm tanpa harus mengabaikan posisi dan
keberadaan Indonesia ditengah-tengah pergaulan internasional,
sehingga pada gilirannya pada tataran anactment policy, pemberlakuan
undang-undang ini dapat berterima di hati masyarakat.

B. Teori, Konsep dan Metode
1. Teori

Disertasi ini berpijak pada lima teori hukum. Teori yang
pertama adalah teori negara hukum modern (welfare state) yang dalam
disertasi ini kami posisikan sebagai grand theory yang digunakan untuk
mengkaji peran negara dalam menciptakan hukum dan penerapannya
dalam kehidupan bernegara untuk mewujudkan tujuan negara
sebagaimana yang tertera di dalam konstitusi Negara Republik
Indonesia (Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 alinea ke empat). Teori yang kedua adalah, teori
sosiologi hukum dengan mengacu pada teori Robert B. Seidman (the
law of non transferability of law) yang memiliki keterkaitan dengan
konsep yang berhubungan dengan transplantasi hukum. Dalam disertasi
ini teori ini diposisikan sebagai middle range theory, digunakan untuk
mengkaji secara kritis penerapan ketentuan The Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) ke dalam
Undang-undang Hak Cipta Nasional dan merumuskan konsep politik
hukum Hak Cipta Nasional di masa depan dalam rangka melindungi
kepentingan nasional. Yang ketiga adalah teori politik hukum dengan
menempatkan hukum dalam kerangka sistem nasional yang
dikembangkan oleh M. Solly Lubis. Bahwa keberlakuan hukum harus
diukur pada skala tingkat keselarasannya dengan sub sistem nasional
lainnya dalam satu sistem yang disebutnya sebagai sistem nasional.
Teori keempat adalah teori politik hukum dari Hikmahanto Juwana
dengan menempatkan hukum pada tataran basic policy, hukum
dipandang sebagai instrumen politik dan pada tataran anactment policy
hukum diposisikan sebagai komoditas politik. Yang kelima teori
nuances yang pertama kali dikemukakan oleh Mahadi yakni
mempertemukan kedua sisi hukum yang berbeda dalam proses
perjumpaan (interaksi) masing-masing sistem hukum yang didorong

94

oleh tuntutan peradaban. Tiga teori yang disebut terakhir ini dalam
disertasi ini digunakan sebagai applied theory.

Kelima kerangka dasar teori hukum yang dikemukakan di
atas, akan digunakan dalam menganalisis fungsi dan peranan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan Hak Cipta dalam
proses transplantasi hukum asing sepanjang perjalanan Undang-undang
Hak Cipta Indonesia mulai dari Auteruswet 1912 Stb. 600 yang
bersumber dari hukum kolonial sampai dengan Undang-undang No. 19
Tahun 2002 yang mengacu pada TRIPs Agreement Tahun 1994,
dengan uraian sebagai berikut :

1.1. Grand Theory
Teori negara hukum yang menjadi grand theory dalam

disertasi ini adalah sebuah pilihan yang didasarkan pada sebuah
pertimbangan bahwa, penelitian ini berpangkal pada landasan dasar
negara Indonesia yang menegaskan dalam konstitusinya bahwa negara
ini adalah negara hukum (rechtstaat) bukan negara kekuasaan
(machtsstaat). Dengan begitu semua rangkaian pengelolaan manajemen
negara harus berlandaskan hukum. 69

69 Prinsip negara hukum secara tersurat dan tersirat dalam Pasal 1 ayat (2)
UUD ’45 yang berbunyi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar. Jadi UUD negaralah yang menjadi acuan bekerja lembaga-
lembaga negara. Lihat Jimly Asshiddiqie, (ed) Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indoensia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 292. Dalam
sejarah modern, gagasan Negara Hukum itu sendiri dibangun dengan mengembangkan
perangkat hukum sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan, dengan menata supra
dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta
membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum perlu
dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai
dengan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu
sebagai hukum dasar, dibentuk pula Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai the
guardian dan sekaligus the ultimate interpreter of the constitution. Gagasan, cita atau ide
negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan rule of law, juga berkaitan
dengan nomocracy yang berasal dari kata nomos dan crotos. Perkataan nomokrasi itu
dapat dibandingkan dengan demos dan cretos atau kretion dalam demokrasi. Nomos
berarti norma sedangkan crotos adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah
nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai
kekuasaan tertinggi. Namun, prinsip kedaulatan hukum atau the rule of law itu sendiri
tidak selalu baik, karena hukum itu sendiri dapat dibuat dan ditetapkan secara semena-
mena oleh penguasa. Jerman di bawah pemerintahan Hitler juga menganut prinsip
rechtsstaat atau negara hukum, tetapi hukum yang diakui berdaulat itu ditetapkan secara
sewenang-wenang oleh Hitler sebagai dictator dan “demagog”. Karena itu, berkembang

95

Kelahiran teori negara hukum mengalami perjalanan sejarah
yang panjang. Absolutism kekuasaan raja-raja di benua Eropa pada
abad 10-17 mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan yang
puncaknya melahirkan negara konstitusional.70 Ide negara hukum tidak
hanya terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of law, melainkan
juga dengan konsep nomocrasy. Konsep yang disebut terakhir ini
berkait erat dengan pemikiran kedaulatan hukum atau norma (nomos).
Nama-nama seperti : Ibnu Khaldun, Immanuel Kant, Friedrich Julius
Stahl dan Albert Venn Dicey adalah sederetan nama-nama yang
mengetengahkan tentang gagasan negara hukum.

Negara hukum menurut Dicey, harus mencerminkan tiga
kriteria dari the rule of law. Menurut Dicey :

“…in the first place, the absolute supremacy or predominance
of regular law as opposed to the influence of arbitrary power,
and excludes the existence of arbitrariness, of prerogative, or
even of wide discretionary authority on the part of the
government. It means, again, equality before the law, or equal
subjection of all classes to the ordinary law of the land
administered by the ordinary law courts ; lastly, may be used
as a formula for expressing the fact that with us the law of the
constitution, the rules which in foreign countries naturally
form part of constitutional code, are not the source but the
consequence of the rights of individual, as defined and
enforced by the courts. 71
Tiga unsur rule of law, menurut Dicey pertama, keharusan
adanya supremasi absolute atau keunggulan hukum untuk membatasi
kekuasaan pemerintah (penguasa) dan tindakan-tindakan negatif yang
mungkin dilakukan oleh pemerintah (penguasa). Kedua, adanya prinsip
persamaan dihadapan hukum yang berlaku bagi semua anggota
masyarakat, tidak terkecuali orang-orang yang sedang memegang
kekuasaan pemerintahan. Ketiga, konstitusi bukanlah sumber terhadap
perlindungan hak asasi manusia tetapi merupakan konsekuensi dari
hak-hak individu yang sudah ada sejak manusia dilahirkan.

pula istilah democratic rule of law dalam bahasa Inggris atau democratische rechtsstaat
dalam bahasa Belanda.

70 Pergulatan perlawanan rakyat terhadap absolutism kekuasaan raja di Eropa
tak kurang dari sepuluh abad. Perlawanan yang dilakukan mulai dari feodalisme
kekuasaan raja yang absolute sampai pada pengebirian terhadap hak asasi manusia.

71 A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law the Constitution,
Macmillan Press, London, 1971, hal. 202-203.

96

Tujuan negara dirumuskan dalam konstitusi antara lain
memajukan kesejahteraan sosial, dengan demikian jika dihubungkan
dengan negara hukum Indonesia maka Indonesia adalah negara rechts
staat yang welfare staats yang dikategorikan sebagai negara hukum
modern. Negara hukum modern yang bertujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat (negara kesejahteraan). Produk-produk hukum
yang dilahirkan haruslah bermuara pada kesejahteraan rakyat, jika ada
produk hukum yang bertentangan dengan konsep negara kesejahteraan,
produk hukum semacam itu harus ditolak (mekanismenya dapat
melalui hak uji materil). Kerangka teori inilah yang diletakkan sebagai
grand theory dalam penulisan disertasi ini.

1.2. Middle Range Theory
Dalam upaya untuk mewujudkan negara hukum yang

sejahtera, maka semua produk hukum yang dilahirkan harus diarahkan
secara substantif pada upaya perwujudan kesejahteraan rakyat. Hukum
yang akan dibuat atau yang dicita-citakan (ius constituendum) harus
dirumuskan ke arah mensejahterakan rakyat, demikian juga hukum
yang diberlakukan saat ini (ius constitutum) harus diuji secara
substantif apakah benar-benar berisikan materi hukum yang menjamin
untuk terwujudnya masyarakat sejahtera.

Hukum yang diproduk itu dapat saja hukum yang bersumber
dari legal culture atau berdasarkan living law masyarakat Indonesia
sendiri. Akan tetapi tidak sedikit hukum Indonesia seperti yang kami
telah sebutkan diawal tulisan ini – yang ada sekarang ini adalah hasil
adopsi, hasil konkordansi, hasil resepsi, dengan kebijakan politik
hukum negara – adalah hukum yang bersumber dari hukum asing. 72

Pengadopsian ataupun pencangkokan hukum asing, akan terus
berlangsung dan ini jika dilakukan tidak dengan penuh perhitungan,
akan dapat berujung pada “tergadainya” bangsa dan negara ini kepada
bangsa lain. Hukum yang dilahirkan akan menjadi asing bagi
rakyatnya, akan bersifat represif, keberlakuannya tertolak dan yang
paling fatal hukumnya bisa mengkriminalkan rakyatnya (kriminalisasi

72 Hukum perkawinan bagi umat Islam, hukum waris, hukum zakat yang
dikenal menjadi kompilasi hukum Islam adalah bersumber dari hukum Islam yang bukan
hukum Indonesia asli. Begitu juga Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum
Perdata, Hukum Dagang, Hukum Acara Perdata adalah hukum yang diadopsi dari hukum
Belanda. Hukum Indonesia yang tersusun dalam kodifikasi parsial seperti UU PT, UU
Pasar Modal dan Peraturan Perundang-undangan HKI (Hak Cipta, Merek, Paten dan lain-
lain) adalah hukum yang bersumber dari berbagai sistem hukum asing (mixed) Belanda,
Amerika dan berbagai Konvensi Internasional.

97

hukum). Sebaliknya jika dilakukan dengan penuh kearifan hukum yang
dilahirkan itu dapat memacu kreatifitas masyarakat, memacu
hukumnya menjadi responsif, keberlakuannya dapat diterima
masyarakat pada akhirnya dapat mendorong percepatan untuk
perwujudan kesejahteraan rakyat.

Robert B. Seidman dalam studinya melahirkan teori yang
sangat terkenal tentang pengadopsian atau transplantasi hukum asing
ini yakni “Theory The Law of Nontransferability of Law”. Kegagalan
sebuah negeri di Afrika (bekas jajahan Inggeris) untuk menerapkan
hukum Inggris di bekas negara jajahannya itu segera setelah Inggris
meninggalkan Afrika, adalah suatu bukti bahwa transplantasi atau
adopsi itu gagal. 73

Tapi tidak jarang pula, transplantasi hukum asing itu
memperlihatkan hasil yang baik, walau pada awalnya kurang dapat
diterima oleh masyarakatnya. Di Turki dan di beberapa negara bekas
koloni Inggeris, seperti Malaysia, Singapura, transplantasi hukum asing
itu dipandang cukup berhasil.

Teori Seidman ini, kami jadikan sebagai middle range theory
dalam disertasi ini.

1.3. Applied Theory
Ada tiga teori yang digunakan sebagai applied theory dalam

disertasi ini yang pertama adalah theory Politik Hukum dari Hikmahato
Juwana, kedua theory politik hukum dari M. Solly Lubis dan ketiga
theory nuances dari Mahadi.

73 Lihat Seidman, Ann, Robert B. Seidman, State and Law in The
Development Process Problem-Solving and Institutional Change in the Third World, St.
Martin’s Press, 1994, hal. 69. Lihat juga Seidman, Robert B., The State, Law and
Development, St. Martin's Press, New York, 1978, hal. 125.Indonesia sendiri dalam
sejarah pemberlakuan KUH Perdata yang berasal dari Kolonial Belanda juga gagal. KUH
Perdata oleh Mahkamah Agung hanya diposisikan sebagai pedoman saja bagi hukum
untuk memutus, tapi bukan sebagai hukum formal yang ketat untuk diikuti. Begitupun
setelah Buku II KUH Perdata dicabut selalu dibukukan dalam UUPA No. 5 Tahun 1960
tentang Hukum Agraria, dengan mengambil sebagian besar norma hukum KUH Perdata.
Lihatlah konsep hak milik (eigendom). Konsep HGU (erfacht), Hak Pakai, Hak Guna
Bangunan yang diambil dari BW gagal diimplementasi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Tak ada HGU Asing Sacfindo, Lonsum yang tidak diperpanjang akibatnya
hak-hak atas tanah itu tak pernah dapat didistribusikan ke rakyat. HGU sama maknanya
dengan hak milik, terkuat, terpenuh dan hilang fungsi sosialnya. Rakyat kehilangan
sumber
pekerjaan, akhirnya menjadi TKW di negara asing. Demikian juga tentang Hukum
Lingkungan, Hukum Perlindungan Konsumen, gagal diterapkan di Indonesia.

98

1.3.1. Teori Politik Hukum dari Hikmahanto Juwana
Hikmanto Juwana, memaknai politik hukum yakni berbagai

tujuan dan alasan yang menjadi dasar dibentuknya perundang-
undangan. Tujuan hukum, apakah untuk mewujudkan keadilan,
kepastian hukum atau kemanfaatan yang ingin dicapai adalah langkah-
langkah politik hukum. Mengapa peraturan perundang-undangan itu
dibentuk, mengapa isinya demikian, untuk tujuan apa peraturan
perundang-undangan itu dibuat, adalah merupakan politik hukum,
demikian Hikmahanto Juwana. 74 Oleh karena itu menurut beliau,
politik hukum tidak berhenti pada saat pembuatannya sebagai
kebijakan dasar (basic policy) akan tetapi juga pada saat penerapannya
sebagai kebijakan pemberlakuan (anactment policy). Terdapat
“jembatan” penghubung antara keduanya dan keduanya juga harus ada
konsistensi dan korelasi yang erat, agar tercapainya ikhtiar tujuan
politik hukum yang telah ditetapkan (turthering policy goals). Dalam
tulisannya yang lain Hikmahanto Juwana menyebutkan bahwa hukum
adalah sebagai instrumen politik dan jika tidak dimaknai secara tepat
dalam skala Internasional dapat berubah menjadi alat intervensi atas
kedaulatan negara dalam proses legislasi di Indonesia, karena melalui
langkah itu tindakan intervensi politik mendapat justifikasi atau tidak
dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum Internasional. 75

Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, Hikmahanto
Juwana juga sampai pada satu kesimpulan bahwa penegakan hukum di
Indonesia telah menjadi komoditas politik, dalam berbagai
intensitasnya. Hal itu disebabkan karena penegakan hukum itu bisa
“diatur” jika kekuasaan menghendaki. Aparat penegak hukum didikte
oleh kekuasaan bahkan diintervensi dalam penegakan hukum. Lebih
lanjut Hikmahanto menegaskan :

Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas karena
penguasa memerlukan alasan sah untuk melawan kekuatan
pro-demokrasi atau pihak-pihak yang membela kepentingan
rakyat. Tetapi penegakan hukum akan dibuat lemah oleh

74 Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-undang Bidang Ekonomi di
Indonesia, Op.Cit, hal. 28. Paling tidak, menurut uraian Hikmahanto Juwana, ada dua hal
penting sebagai alasan mengapa diperlukan politik hukum ; pertama, untuk alasan
mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan ; kedua untuk
menentuan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dalam rumusan
pasal-pasal dalam perundang-undangan tersebut.

75 Lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwana, Hukum Sebagai Instrumen Politik :
Intervensi Atas Kedaulatan Dalam Proses Legislasi di Indonesia, dalam Tim Pakar
Hukum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Gagasan dan Pemikiran
Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, Volume III, Jakarta, 2004, hal 55.

99

kekuasaan bila pemerintah atau elit-elit politik yang menjadi
pesakitan.
Penegakan hukum sebagai komoditas politik ini menjadi
sumber tidak dipercayanya penegakan hukum di Indonesia.
……. Problem lain dari lemahnya penegakan hukum adalah
penegakan hukum yang dilakukan secara diskriminatif.
Tersangka yang mempunyai status sosial yang tinggi di
tengah-tengah masyarakat akan diperlakukan secara istimewa.
Penegakan hukum seolah-olah hanya berpihak pada si kaya
tapi tidak pada si miskin. Bahkan hukum berpihak pada
mereka yang memiliki jabatan dan koneksi dari para pejabat
hukum atau akses terhadap keadilan. 76

Demikian juga dalam tataran basic policy hukum dapat
menjadi alat intervensi negara maju terhadap negara berkembang. Hal
ini sesuai dengan fungsi hukum dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan. Selain sebagai alat pengubah dan alat kontrol masyarakat,
hukum juga dapat berfungsi sebagai instrumen politik. Sebagai
instrumen politik, hukum dapat digunakan untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Dalam uraiannya Hikmahanto Juwana menegaskan
bahwa :

Keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian internasional
berarti negara tersebut dengan sengaja membebankan dirinya
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam
perjanjian internasional. Salah satu kewajiban tersebut adalah
transformasikan ketentuan yang ada dalam perjanjian
internasional dalam hukum nasionalnya.
Ini berlaku pula bagi Indonesia. Keikutsertaan Indonesia
dalam berbagai perjanjian internasional akan menimbulkan
kewajiban bagi Indonesia untuk melakukan sejumlah
amandemen terhadap peraturan perundang-undangannya. Bila
ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan maka
harus diselaraskan dengan perjanjian internasional yang
diikuti. Sebagai contoh dibidang Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) sejak tahun 2000 hingga 2002, sebagai kewajian
keikutsertaan Indonesia dalam Trade-Related aspects of
Intellectual Property rights (TRIPs), pemerintah telah

76 Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum Dalam Kajian Law and
Development : Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indoensia, Pidato Ilmiah,
Disampaikan pada Acara Dies Natalis Ke-56 Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 4
Februari 2006, hal.16.

100

mengamandemen UU Paten, UU Merek, UU Hak Cipta,
bahkan mengintrodusir UU Rahasia Dagang, UU Desain
Industri dan UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. 77

Dengan bertolak dari pendekatan sejarah Pasca Perang Dunia
II bahwa proses dekolonisasi telah menyebabkan munculnya banyak
negara baru dan diikuti dengan pertarungan bisnis dengan sistem pasar
bebas yang terbuka, Hikmahanto sampai pada puncak pemikirannya
bahwa, pada tataran basic policy, hukum adalah merupakan instrumen
politik dan pada tataran anactment policy penegakan hukum sebagai
komoditas politik.

Pandangan inilah yang kemudian dijadikan sebagai kerangka
teori dalam penelitian ini.

1.3.2. Teori Sisnas M. Solly Lubis
Harold J. Laski, menegaskan kebijakan dasar negara yang

dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan adalah
merupakan politik hukum. 78 Isi hukum (meminjam istilah Lawrence
Friedman, substansi hukum) yang dibentuk oleh lembaga legislatif
adalah sesungguhnya hasil dari politik hukum. Kemana hukum itu
diarahkan, demikian Padmo Wahyono berpendapat, adalah merupakan
politik hukum.79

Untuk itulah hukum harus dilihat keberadaannya dalam satu
sistem. Hukum tak dapat dilihat secara parsial dalam sistem sosial atau
sistem nasional. Pandangan terakhir ini, dikembangkan oleh M. Solly
Lubis dalam aktivitas perkuliahan di Universitas Sumatera Utara dan
difahami sebagai teori politik hukum sebagai teori sisnas. Hukum yang
dilahirkan dan diterapkan tidak boleh keluar dari kerangka sistem
nasional, tidak boleh keluar dari jati diri bangsa, tidak boleh keluar dari
landasan ideologis-filosofis bangsa dan negara dan sudah semestinya
semua produk hukum yang lahir mengacu pada the original
paradicmatic value of Indonesian culture and society. Karena itulah
hukum dalam teori M. Solly Lubis harus ditempat sebagai bahagian
dari sub sistem politik dalam sistem nasional. Menurut beliau, semua

77 Lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwana, Hukum Sebagai Instrumen Politik :
Intervensi Atas Kedaulatan Dalam Proses Legislasi di Indonesia, Op.Cit, hal 58-59.

78 Harold J. Laski, Studies in Law and Politics, Transaction Publisher,
London, 2010, hal.125.

79 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 160.

101
hukum, apakah pada waktu pembuatannya (basic policy), maupun pada
waktu penerapannya (anactment policy) dipengaruhi oleh faktor non
hukum (sebagai sub sistem) dalam sistem nasional. Hukum adalah
produk politik. Hasil dari kekuatan politik, demikian uraian M. Solly
Lubis. 80

Secara sederhana M. Solly Lubis menggambarkan tentang
kedudukan hukum sebagai sub sistem dalam sistem politik Indonesia
dalam skema berikut :

80 Materi kuliah M. Solly Lubis, selama kurun waktu semester Ganjil pada
Program Pendidikan S3 Ilmu Hukum TA 2011-2012.

102

103

Politik hukum sesungguhnya adalah keseluruhan proses
tentang hukum, baik pada waktu pembuatannya maupun pada waktu
penerapannya. Bahkan ketika hukum itu diterapkan dievaluasi capaian-
capaiannya, yang dapat dijadikan umpan balik bagi penyempurnaan
kembali norma hukum itu untuk masa-masa yang akan datang.
Ditemukan strateginya, apakah itu strategi dalam merumuskan norma
hukum (basic policy) baru atau strategi penerapannya (anactment
policy).

Sebagai hasil dari kekuatan politik, maka hukum berisikan
kemauan politik penguasa. Kerangka teori inilah sebagai teori terapan
kedua yang digunakan sebagai pisau analisis dalam disertasi ini.
Mengapa peraturan perundang-undangan Hak Cipta Nasional (basic
policy) dalam pasal-pasalnya berbunyi demikian ? Jika ditempatkan
dalam kerangka sistem nasional, menurut teori sisnas M. Solly Lubis,
pada saat Undang-undang Hak Cipta itu dibuat (basic policy) suasana
internal dan eksternal apa yang sedang dihadapi Indonesia ? Suasana
itu diuji berdasarkan faktor ideologi, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan. Efek-efek konstruktif dan destruktif apa yang
kemudian muncul setelah kebijakan (policy) itu diambil. Pada tataran
penerapannya (anactment policy), akan dapat diuji dengan teori sisnas
ini, tingkat kualitas ketahanan nasional Republik Indonesia dengan
mengukur efektifitas penegakan Undang-undang Hak Cipta Nasional
dengan mengambil kasus perlindungan karya sinematografi. Uraian di
atas, jika dihubungkan dengan skema hasil olah pikir M. Solly Lubis
dalam bukunya “Manajemen Strategis Pembangunan Hukum” 81
semakin menguatkan teori sisnas yang beliau perkenalkan. Skemanya
sebagai berikut :

81 M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2011, hal. 127. Bandingkan dengan pendapat Moh. Mahfud MD, bahwa politik
hukum adalah sebagai keseluruhan proses pembuatan dan pelaksanaan hukum, ke arah
mana hukum akan dibangun atau ditegakkan, Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 , hal. 54.

104

105

Skema di atas menggambarkan tentang keharusan untuk
menempatkan Sistem Pembangunan Hukum Nasional (Sisbangkumnas)
dalam kerangka sistem nasional, dengan mengacu pada kerangka
kebijakan politis yang mempergunakan pendekatan sistem berdasarkan
pandangan konseptual strategis.

Setelah ditemukan tingkat efektivitas penerapan Undang-
undang Hak Cipta Nasional, maka hasil temuan itu menjadi umpan
balik bagi penyusunan konsep (politik hukum) Undang-undang Hak
Cipta Nasional yang baru dengan mempertimbangkan seluruh aspek
non hukum yang mengitari kebijakan (policy) itu dengan
menempatkannya dalam sistem nasional. Politik hukum seperti apa
yang harus ditempuh dan dikembangkan ke depan inilah yang
dirumuskan sebagai something new. Siklus ini akan terus bergerak
melingkar selama negeri ini terbentang dan hukum yang dilahirkan
tidak keluar dari “rel” kerangka sistem nasional. Inilah pemaknaan
yang dalam dari teori Sisnas M. Solly Lubis yang digunakan sebagai
pisau analisis dalam disertasi ini.

Selanjutnya guna mempertajam analisis ke-sistem-an
berdasarkan teori Sisnas ini, diturunkan satu lagi bagan (skema)
korelasi antara teoritisi dan praktisi dalam upaya pembinaan hukum
sebagai berikut :

106

107

Menurut pandangan M. Solly Lubis, diperlukan kerjasama
antara kalangan teoretisi dengan kalangan praktisi. Hal ini
dimaksudkan untuk menjembatani konsep teori yang dituangkan di atas
kertas dengan pengalaman empiris kalangan praktisi ketika peraturan
perundang-undangan itu diterapkan di lapangan. Pandangan-pandangan
teoretis dan pengalaman praktis kesemuanya bermuara pada melahirkan
konsep pemikiran baru yang dapat disumbangkan guna pembinaan
hukum nasional kepada institusi negara (prolegnas dan relegnas) yang
melakukan aktivitas persiapan penyusunan undang-undang yang
dirumuskan sebagai politik hukum (legal policy). Hasil capaian institusi
legislasi nasional ini melahirkan peraturan perundang-undangan yang
kemudian diterapkan (diberlakukan) di tengah-tengah masyarakat.
Pelaksanaannya kemudian dipantau dan dinilai (monitoring) kembali
oleh kalangan teoretisi (akademis) setelah mendengar pengalaman
empirik dari kalangan praktisi. Hasil monitoring ini di kemudian hari
kembali dijadikan umpan balik (feedback) untuk melahirkan kebijakan
politik hukum yang baru lagi.

1.3.3. Teori Nuances Mahadi
Mahadi mengawali uraian teori nuances dengan mengatakan,

manusia adalah makhluk sosial (human being). Hubungan manusia
dengan manusia agar kepentingan tidak saling bertubrukan, harus diatur
oleh hukum. Mulanya bisa berupa norma-norma kebiasaan, norma
agama, adat istiadat dan lain sebagainya. Kemudian meningkat menjadi
norma hukum.

Tiap-tiap manusia mungkin mempunyai kebiasaan, adat
istiadat, norma agama dan norma hukum. Bahkan norma hukumnya
sendiri berbeda dengan norma hukum yang digunakan orang lain,
berbeda dari bangsa lain, karena berbeda sistem hukumnya. Akan tetapi
karena ada hubungan, ada relasi antara kelompok masyarakat yang satu
dengan masyarakat lain yang berbeda pada norma hukum yang
dianutnya, berbeda sistem hukumnya, maka kemungkinan akan terjadi
ketidak sesuaian. Mungkin akan terjadi perbenturan. Perbenturan itu
bila dibiarkan dapat menimbulkan stagnasi. Terhenti pada satu titik
buntu. Kebuntuan itu tidak boleh dibiarkan. Tidak boleh didiamkan.
Jalan buntu itu harus dibuka, harus ditetas satu demi satu. Mulai dari
celah kecil sampai ada ruang besar untuk dapat dimasuki dan
ditemukan jalan baru guna penyelesaiannya. Dicarikan titik temunya.
Dibuang titik-titik perbedaan, dicari titik-titik persamaan. Ditemukan
nuansanya (nuances). Nuansa bermakna suatu titik temu yang samar-
samar akan perbedaan dan samar-samar akan persamaan. Tidak benar-

108

benar berbeda dan tidak benar-benar sama. Kedua kutub yang berbeda,

masing-masing bergerak, kemudian bertemu ditengah. Titik tengah
itulah yang oleh Mahadi disebutnya sebagai “Nuances”.82 Teori

Mahadi ini mirip dengan teori harmonisasi hukum.

Jika digambarkan dalam bentuk garis grafis, teori nuances dari

Mahadi ini dapat dilukiskan dalam skema sebagai berikut :

Skema 6
Teori Nuances Mahadi

A1 C B1

A A2 B2 B

A3 B3

Nuances

A = Sistem hukum A (Varian A1, A2, A3)
B = Sistem hukum B (Varian B1, B2, B3)
C = Nuances (pertemuan berbagai sistem hukum)

Alur pemikiran teori yang kami gunakan dalam disertasi ini dapat kami
tuangkan dalam skema sebagai berikut :

82 Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989, hal. 24. Lihat juga Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau
Dengan Sistem Metode Penelitian Dewasa Ini Dalam Menemukan Asas-Asas Hukum,
Makalah, Kuliah pada Pembinaan Tenaga Peneliti Hukum, BPHN, Jakarta, 1980, hal. 52.

109

110

2. Konsep
Konsep dimaknai sebagai, definisi khusus yang diberikan atas

sesuatu yang diintegrasikan melalui proses abstraksi yakni
menghilangkan atau memisahkan aspek realitas tertentu dari unit-unit
mental yang beragam kemudian menjadi entitas mental baru yang
dipakai sebagai unit tunggal pemikiran. 83

Istilah transplantasi atau pencangkokan yang digunakan dalam
disertasi ini adalah istilah yang lazim digunakan dalam ilmu kedokteran
atau pertanian. Istilah transplantasi jantung, pencangkokan tanaman
durian atau rambutan adalah istilah yang kerap kali kita jumpai dalam
literatur ilmu kedokteran dan pertanian. Konsep transplantasi hukum
sebenarnya tidak jauh berbeda pemaknaannya dengan transplantasi
jantung atau pencangkokan rambutan, yaitu mengambil jantung dari
tubuh seseorang (dari luar) untuk dipasangkan pada tubuh orang lain
yang memerlukan jantung tersebut. Tingkat keperluannya sesuai
analisis dan diagnosis dokter menurut ilmu kedokteran. Begitulah
konsep transplantasi hukum ini jika dihubungkan dengan obyek studi
ilmu hukum. Konsep transplantasi hukum dimaknai sebagai kebijakan
suatu negara untuk mengambil hukum asing yang berasal dari negara
lain untuk dijadikan sebagai hukum di negara sendiri. Sama halnya
dengan pencangkokan jantung, tubuhnya sudah ada, maka dalam
transplantasi hukum, struktur dan kulturnya sudah ada, substansi
hukumnya yang akan dicangkokkan.

Transplantasi dilakukan dengan berbagai cara ; dengan sadar
atau tanpa disadari, bergulir dalam jarum jam sejarah yang panjang
pada kasus transplantasi Undang-undang Hak Cipta diawali dari
Auteurswet 1912 sampai dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002,

83 Terminologi konsep berasal dari bahasa Inggris “concept”. Istilah konsep
dapat diurutkan dari bahasa Latin “conceptus” dari akar kata “consipere” yang berarti
memahami, menerima, menangkap, merupakan gabungan dari kata “con” artinya
bersama dan “capere” artinya menangkap atau menjinakkan. Oleh karena itu kata
“konsep” memiliki banyak makna. Akan tetapi secara umum dapat difahami bahwa
konsep adalah pemaknaan yang dirumuskan secara abstrak atas suatu fenomena yang
mewakili dari entitas-entitas tertentu yang kemudian menjadi pemahaman yang dapat
diterima secara universal. Dalam terminologi ilmu hukum, konsep tentang “mati”
berbeda dengan konsep “mati” menurut terminologi ilmu kedokteran. Concept an idea or
a principle that is connected with sth abstract, the concept of social class, concepts such
as civilization and government. He cant grosp the basic, concepts of mathematics the
concept that everyone should have equality of opportunity. Lebih lanjut lihat A.S.
Hornby, Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, University Press
Oxford, New York, 2000, hal. 265. Lihat juga Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hal. 387.

111

undang-undang disebut terakhir ini disusun merujuk pada persetujuan
TRIPs 1994.

Dalam konteks tranplantasi hukum Internasional ke dalam
hukum nasional, konsep transplantasi dimaknai sama dengan konsep
transformasi hukum Internasional ke dalam hukum nasional khususnya
dalam perjanjian internasional yang termasuk dalam katagori law
making, yakni keharusan suatu negara untuk menterjemahkan ke dalam
peraturan perundang-undangan nasionalnya, terhadap perjanjian
Interrnasional yang telah diikutinya.

Keharusannya semacam ini akan membawa dampak terhadap
penyusunan Undang-undang Hak Cipta Nasional. Dampak yang sangat
mendasar adalah terjadi pergeseran nilai-nilai ideologis-filosofis
Pancasila sebagai grundnorm, nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia yang merupakan the original paradicmatic values of
Indonesian cultural and society yang di dalamnya memuat tata nilai
atau sekumpulan asas-asas hukum. Konsep tentang pergeseran nilai,
dimaknai sebagai bergesernya pilihan-pilihan tata nilai dalam
penyusuan norma hukum hak cipta nasional yang semula bertolak dari
ideologi-filosofis Pancasila sebagai grundnorm, akan tetapi dalam
proses legislasi berujung pada norma konkrit yang tercerabut dari
landasan ideologis-filosofis Pancasila dan lepas dari sosio-kultural
masyarakat Indonesia. Bergeser dari nilai ideologi Pancasila ke nilai
ideologi liberal-kapitalis. Bergeser dari nilai sosial-kultural masyarakat
Indonesia ke nilai-nilai masyarakat Barat. Bergeser dari nilai komunal
ke nilai individualis dan seterusnya. Bergeser dalam arti meninggalkan
nilai-nilai yang sudah lama dianut atau nilai yang seharusnya dianut
digantikan nilai baru, jadi dibedakan dengan perubahan. Kalau
perubahan, langkah-langkah perubahan itu bertolak dari nilai lama atau
nilai yang ada, secara perlahan-lahan mengadopsi nilai yang baru tanpa
mengenyampingkan nilai yang lama.

Oleh karena terjadi pergeseran-pergeseran nilai seperti
diuraikan di atas, ketika Undang-undang Hak Cipta itu diterapkan
terjadi penolakan, baik penolakan secara aktif maupun pasif. Kesemua
itu berujung pada tingkat efektivitas penegakan hukum yang lemah.
Konsep efektivitas penegakan hukum dimaknai sebagai tingkatan tinggi
rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat
dapat diukur dari tingkat pengetahuan masyarakat terhadap norma
hukum itu sendiri dan tingkat kepatuhannya terhadap norma hukum
itu, sedangkan tingkat kepatuhan hukum dapat diukur dari tingkat
keberterimaan dan penolakan masyarakat terhadap norma hukum itu.

112

Pilihan terhadap transplantasi hukum sebagai pilihan politik
negara dalam penyusunan hukum nasional, bukanlah pilihan yang
bebas. Pilihan itu didasari pada pengaruh eksternal dan internal. Secara
eksternal pengaruh globalisasi telah membawa dampak pada pilihan
politik hukum. Hukum yang telah selesai untuk dioperasionalkan, juga
membawa dampak terhadap masyarakat sebagai pihak yang terkena
dari pemberlakuan norma hukum itu.

Perlindungan hak cipta karya sinematografi misalnya, tidak
hanya dilindungi di Indonesia atau dibatasi pada tempat hak cipta itu
dilahirkan, akan tetapi di seluruh jagat raya.

Konsep hukum asing dalam disertasi ini tidak merujuk pada
pendefinisian menurut hukum perdata internasional ataupun hukum
internasional publik. Hukum asing yang dimaksudkan dalam disertasi
ini adalah hukum yang bersumber dari kebudayaan asing, peradaban
asing, dasar filosofis dan ideologi asing, sebaliknya yang dimaksud
dengan hukum nasional adalah hukum yang dalam proses
pembuatannya bersumber dari kebudayaan nasional, peradaban
masyarakat Indonesia, dasar filosofis dan ideologi Negara Republik
Indonesia atau dalam istilah lain adalah hukum yang bersumber dari the
original paradigmatic values of Indonesian culture and society.

3. Metode
1. Pendekatan

Sulit untuk mengatakan bahwa hukum itu hanya merupakan
gejala normatif yang hanya dapat dilihat dari satu sudut pandang
saja,yakni sudut pandang juridis. Jika hukum hanya dipandang sebagai
gejala nromatif saja, maka akan terjadi kesulitan untuk merangkum
keaneka ragaman yang ada dalam berbagai bidang kajian hukum. Di
samping itu juga akan memperkuat kecenderungan konservatif atau
menuju pada mitos pendewaan ilmu hukum normatif yang pada
gilirannya akan menolak kajian sosiologi hukum, politik hukum,
antropologi hukum, sejarah hukum bahkan filsafat hukum. Pada hal
untuk melihat realitas sosial hukum yang sesungguhnya haruslah
melihat hukum dari berbagai-bagai segi. Hukum menjadi ilmu yang
multi paradigma. Deangn cara pandang demikian hukum tidak dilihat
sebagai sebuah kebetulan yang dituangkan dalam kitab undang-undang,
tetapi sebuah pilihan yang secara sadar dilakukan oleh masyarakat
untuk mengatur hubungan kemasyarakatan dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu jika hendak melihat atau mengkaji hukum secara

113

mendalam (kedalaman substansi bukan keluasan) mau tidak mau kajian
yang harus dilakukan mestilah menggunakan multi paradigma. 84

Jika hukum dilihat sebagai sekumpulan norma dan asas,
maka paradigma yang dipakai adalah paradigma normatif, namun
apabila hukum hendak dilihat sebagai sekumpulan perilaku, resultan
dari kekuatan politik, kristalisasi dari nilai-nilai budaya, penerapannya
dipengaruhi oleh faktor sosiologis dan kultural, keberlakuannya
dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pilihan kesadaran hukumnya
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, maka paradigma kajian yang
dipakai adalah paradigma sosiologis. Di sisi lain jika studinya
menghendaki kajian masa lampau guna merumuskan masa depan maka
pilihan metode kajian sejarah menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
Begitu juga kalau kemudian kajiannya melihat bagaimana sistem
hukum yang sama diterapkan di negara-negara yang berbeda waktu dan
tempatnya, yang kemudian melahirkan ”nuansa hukum” yang berbeda,
maka metode perbandingan menjadi pilihan yang tepat. Dengan begitu,
tidak ada dominasi tunggal dalam pilihan metode dalam penelitian
hukum.

Pilihan metode tunggal dalam penelitian hukum, tidak akan
mampu memecahkan masalah hukum yang multi paradigma itu. Oleh
karena itu keluar dari tradisi yang selama ini telah mendominasi model
pilihan metode dalam kajian ilmu hukum, maka dalam penelitian ini,
pilihan metode yang dilakukan adalah, metode campuran (mixed
methods) yang sebenarnya telah diperkenalkan sejak lama oleh para
pakar di bidang penelitian. Pilihan metode ini untuk menghilangkan
dikotomi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif, untuk
menghilangkan dikotomi antara penelitian juridis normatif dengan
sosiologi empiris dan seterusnya. Pilihan kuantitatif dapat digunakan
untuk memverifikasi norma, asas hukum dan doktrin hukum,
sedangkan pilihan kualitatif dapat digunakan untuk menciptakan
norma, asas hukum dan melahirkan teori baru. Demikian pula pilihan
terhadap metode juridis normatif, dapat digunakan untuk memverifikasi
norma hukum, asas hukum dan doktrin hukum, dan hasilnya hanya
memverifikasi teori hukum, sedangkan pilihan terhadap metode
sosiologis dapat digunakan untuk memverifikasi perilaku hukum. Jika
keduanya digabungkan dengan memberikan defenisi menurut metode

84 Catatan Kuliah Solly Loebis, Soetandyo Wignyosoebroto, Lili Rasyidi,
Herman Rajagukguk dan Tan Kamello, Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011
Program Studi S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU

114

campuran tidak hanya menampilkan verifikasi norma, asas dan teori,
tapi dapat melahirkan teori baru.

Judul penelitian ini menghendaki adanya studi sejarah 85
dengan dicantumkannya kata ”Dari Auteurswet 1912 ke TRIPs
Agreement 1994. Studi sejarah hukum menjadi satu bahagian saja
dalam pendekatan ini, hal ini untuk menghindarkan disertasi ini dari
potensi untuk menjadi kajian sejarah hukum. Penggunaan metodologi
sejarah dimaksudkan untuk melihat perjalanan Undang-undang Hak
Cipta Indonesia, yang semula berpangkal pada hukum kolonial
(Auteurswet 1912 Stb. 600) dan berakhir pada TRIPs Agreement 1994.
Sisi sejarah yang akan dilihat adalah aspek kebijakan/politik legislasi
yang bersumber pada hukum asing atau transplantasi hukum asing ke
hukum nasional. Di balik peristiwa pilihan politik hukum
pembentukan undang-undang hak cipta nasional, pasti ada hal-hal yang
tak terungkap, jika hanya dilihat dari redaksi norma hukumnya. Akan
tetapi tiap-tiap peristiwa pasti ada yang melatar belakanginya. Serupa
dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki asbabun nuzul,
maka studi sejarah hukum dalam penelitian tak pelak lagi adalah untuk
mengungkapkan “asbabun nuzul” pada tiap-tiap priode perubahan
undang-undang hak cipta nasional.

Penelitian ini tidak hendak menyalahkan pilihan politik
hukum ( yang juga berjalan secara simetris dengan pilihan politik
politik ekonomi dan politik kebudayaan ) yang pernah dilakukan oleh
negeri ini pada masa lalu , melainkan hendak mencari
akar/filosofis/ideologis yang mendasari politik hukum yang dijalankan
secara sedemikian dalam kurun waktu antara Auteurswet 1912 sampai
pada Undang-undang No. 19 Tahun 2002.

Ketepatan dalam merumuskan kebijakan hukum terhadap
subyek yang bertanggungjawab merumuskan (pemerintah dan

85 Metode penelitian sejarah dapat digunakan untuk melihat sejarah
perkembangan hukum di satu negara seperti yang dilakukan oleh Soetandyo
Wignosoebroto dalam tulisannya Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional. Dengan
studi sejarah ini kita dapat melihat perjalanan masa lalu arus gerak perkembangan hukum
Indonesia dalam lintasan sejarah untuk melihat sisi-sisi lemah dari substansi dan
penerapan hukumnya untuk kemudian dijadikan refleksi guna membangun hukum masa
depan. Lihat lebih lanjut John Gilissen dan Frits Gorgle, Sejarah Hukum Suatu
Pengantar, (Terjemahan Drs. Freddy Tengker, SH, CN), PT. Refika Aditama, Bandung,
2005, hal.124, Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni,
Bandung, 1979. Bagaimana pendekatan sejarah digunakan lihat lebih lanjut Sartono
Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1993, hal. 12. Lihat juga Rifyal Ka’bah, Indonesian Legal History,
Program Pascasarjana FH-UI, Jakarta, 2001, hal. 54. Karena bagaimanapun juga hukum
adalah kristalisasi dari peradaban umat manusia yang bergulir dalam lintasan sejarah.

115

legislatif) dan menjalankannya (pemerintah dan judikatif), juga
menjadi issue penting yang hendak ”disemai” dalam penelitian ini.
Apakah ”panennya” menghasilkan bulir padi jernih atau hampa,
disinilah diskusi pergulatan pemikiran akan diurai, tentu saja
didasarkan pada data sejarah dan informasi yang akurat. Harapan akhir
adalah, anak negeri ini dapat menyebar benih padi baru dan menuai
hasil panen yang lebih baik. Sejarah yang menguak kebijakan politik
hukum yang keliru, belum terbuka lebar, sedikit sekali orang yang
menguaknya. Adalah Sudikno Mertokusumo, dari aspek lembaga
peradilan (struktur) dan Soetandyo Wignjosoebroto dari aspek
substantif. Selebihnya, apakah studi sejarah hukum tidak menarik, atau
para ilmuwan dan calon ilmuwan hukum telah terkoptasi dalam pilihan
metodologi penelitian hukum normatif, memang menjadi pertanyaan
tersendiri. Bagaimanapun juga, studi terhadap hukum harus dibebaskan
dari prasangka pro dan kontra terhadap masing-masing pilihan metode
penelitiannya. Jika hendak sampai pada ke dalam akar pohon, dengan
cangkul saja mungkin tak cukup, perlu tembilang atau walang kekek
(beko), untuk menggalinya dengan memadukan pola-pola pendekatan
tradisional dan modern.

Pilihan metodologi tertentu memang tidak bisa tidak, akan
mengundang pendekatan baru, dan tak jarang pula mengundang
perdebatan, mungkin tentang cara mencari data atau tentang
penafsirannya, tapi apapun yang akan dihasilkan nantinya, harapan
akhir dari studi ini adalah, agar dapat sesuatu yang baru, landasan teori
baru atau perdebatan baru mengenai bagian terpenting dari perjalanan
sejarah pembangunan hukum di negeri ini. Tentu saja ini bukanlah
pekerjaan yang mudah, yakni untuk menarik generalisai terhadap
semua produk hukum nasional yang meggunakan pilihan politik hukum
trasplatasi dengan hanya meneliti pada perjalanan Undang-undang Hak
Cipta Nasional. Akan tetapi dengan dipadukan dengan studi normatif
yang berujung pada pengabstraksian nilai-nilai yang bersumber dari
norma-norma hukum hak cipta nasional yang ditranplantasikan dari
norma hukum asing (Auteurswet stb.1912 No.600) lalu kemudian diuji
dalam praktek penegakan hukumnya (lawenforcement-nya) melalui
data empirik, akan ditemukan prilaku-prilaku politik penyelenggara
negara, prilaku lembaga pembentuk undang-undang dan prilaku aparat
penegak hukum serta prilaku masyarakat yang pada gilirannya
diharapkan dapat ditarik generalisasi.

Transplantasi hukum asing ke hukum nasional sarat dengan
nuansa politik, ekonomis, sosiologis dan kultural. Situasi ini akan
membawa tulisan ini pada pilihan metode campuran yang dikenal


Click to View FlipBook Version