The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hukum2023, 2022-09-25 12:15:14

2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

316

Undang-undang hak cipta nasional mengacu pada pada teori
politik hukum Hikmahanto Juwana pada tataran basic policy yang
semula diarahkan untuk menjadi sarana yang dapat menumbuhkan
kreativitas pencipta khusus dalam lapangan karya sinematografi
diarahkan untuk mewujudkan industri perfilman nasional menjadi
industri kreativitas yang dapat mendongkrak kesejahteraan ekonomi
sosial dan masyarakat Indonesia, justru tidak mencapai tujuannya. Pada
tataran basic policy dan anactment policy yang terjadi adalah undang-
undang hak cipta nasional telah melumpuhkan sendi-sendi peradaban
karena praktek pembajakan dan pelanggaran hak cipta telah membuat
industri perfilman nasional menjadi tidak tumbuh. Bahkan para
seniman banyak yang memilih untuk beralih menjadi aktor politik.
Kenyataan ini membuktikan bahwa hukum yang semula bertujuan
untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
ternyata kemudian menjadi komoditi politik dalam tataran anactment
policy sehingga hukum tidak dapat ditegakkan yang akhirnya hanya
memberi makna simbolik (symbolic meaning).

Hukum yang ditempatkan sebagai sub sistem dalam sistem
politik nasional dan sistem politik berada bersama-sama dengan sub
sistem lainnya dalam sistem nasional memberikan jawaban bahwa
ternyata hukum tidak berada pada ruang hampa. Faktor yang
mengelilingi atau mengitari tempat dimana hukum itu diciptakan dan
diberlakukan pada akhirnya akan menentukan keberadaan hukum itu
dalam sistem nasional.

Dengan meminjam kerangka skema sistem politik hukum
Indonesia menurut analisis kesisteman dari M. Solly Lubis maka dapat
dipastikan bahwa kualitas politik hukum sebagai sub sistem dalam
sistem politik nasional akan menentukan jalannya sistem politik.
Sebagai suatu sistem ini akan berpengaruh pula terhadap kualitas
ketahanan nasional. Dalam kasus transplantasi hukum asing ke dalam
undang-undang hak cipta nasional memperlihatkan bahwa pilihan
politik yang dilakukan adalah pilihan politik yang sangat pragmatis dan
itu akan mempengaruhi dimensi hukum secara internal yakni akan
menggusur nilai-nilai hukum lokal (act locally) sedangkan secara
internal dimensi hukum internasional (Auteurswet 1912 Stb. No. 600
dan TRIPs Agreement) cukup kuat berpengaruh baik secara ideologis
maupun secara normatif terhadap hasil akhir undang-undang hak cipta
nasional. Dalam dimensi internal terlihat bahwa pilihan politik hukum
transplantasi yang bersifat pragmatis itu secara meyakinkan
berpengaruh pada ideologi politik yakni bergesernya dari ideologi
Pancasila ke ideologi liberal. Pada tataran sub sistem ekonomi terjadi

317

pula pergeseran dari sistem ekonomi kerakyatan bergeser kepada
sistem ekonomi kapitalis, sedangkan pada tataran sosial budaya terjadi
kegoncangan budaya (culture shock) yang ditandai dengan penolakan
terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh sistem hukum asing
(Auteurswet 1912 Stb. No. 600 dan TRIPs Agreement) yakni
penegakan undang-undang hak cipta khususnya dalam bidang karya
sinematografi tak pernah dapat ditegakkan. Budaya legislatif, eksekutif,
yudikatif dan masyarakat tak pernah mampu menyahuti norma-norma
hukum yang nilai-nilainya (bahkan normanya) di transplantasi dari
hukum asing. Pada tataran pertahanan dan keamanan terjadi pelemahan
pada fungsi penegakan hukum yang berdampak juga terhadap
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegakan hukum. Semakin
melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak
hukum, maka semakin lemah pula sistem pertahanan dan keamanan.

Dampak konstruktif yang dihasilkannya adalah, Indonesia
mempunyai undang-undang hak cipta nasional yang memiliki
standarisasi internasional, akan tetapi dampak yang destruktif tak bisa
tidak akan muncul. Dampak destruktif yang terjadi adalah terjadi
pelemahan pada ideologi, ekonomi, sosial budaya dan hankam yang
pada gilirannya akan menghilangkan jati diri bangsa. Secara ekonomi
kesadaran akan ekonomi kerakyatan semakin kering dari nilai-nilai
yang tertuang dalam Pancasila.

Dampak konstruktif yang dihasilkannya adalah, Indonesia
mempunyai undang-undang hak cipta nasional yang memiliki
standarisasi internasional, akan tetapi dampak yang destruktif tak bisa
tidak akan muncul. Dampak destruktif yang terjadi adalah terjadi
pelemahan pada ideologi, ekonomi, sosial budaya dan hankam yang
pada gilirannya akan menghilangkan jati diri bangsa. Secara ekonomi
kesadaran akan ekonomi kerakyatan semakin kering dari nilai-nilai
yang tertuang dalam Pancasila.

Temuan berikutnya adalah dengan menggunakan skema
kerjasama teoritis dan praktisi dalam pembinaan hukum nasional maka
kerjasama antara teoritis dalam bidang politik, hukum, ekonomi,
budaya dan lain-lain dalam sistem nasional akan dapat dipadukan
dengan kalangan praktisi dalam sub bidang yang sama.

Secara ideal dalam pandangan teoritis, politik, hukum,
ekonomi dan budaya haruslah mengacu pada cita-cita negara Republik
Indonesia yang bersandar pada ideologi Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 akan tetapi dalam tataran praktek politik disimpangi karena
adanya tuntutan pragmatis yang berpengaruh terhadap kebijakan
pembentukan hukum yang tidak dapat lagi terhindar dari tuntutan

318

pragmatis itu. Kesemua ini akan membawa dampak dalam tataran
praktis terhadap komponen-komponen ekonomi dan budaya. Akan
tetapi, pandangan dari sudut teoritis tersebut hendaklah dipadukan
dengan pandangan dari sudut pengalaman praktis sehingga keduanya
dapat dipadukan guna merumuskan hukum nasional yang dapat
menyeimbangkan antara gagasan ideal (teoritis) dengan kepentingan
praktis yakni dalam konteks undang-undang hak cipta melahirkan
gagasan undang-undang hak cipta nasional yang dapat melindungi
kepentingan dan menumbuhkan kreativitas anak bangsa selaku
pencipta, akan tetapi dapat pula menyahuti kepentingan-kepentingan
yang bersifat praktis dalam suasana pergaulan antar bangsa. Pilihan
terhadap politik hukum tidak lagi semata-mata dilakukan dengan
pilihan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (pragmatis) akan tetapi
juga melihat pada kebutuhan jangka panjang dengan memperhatikan
kepentingan nasional. Kesemua ini dapat disusun dalam wawasan
politik hukum yang dijadikan sebagai dasar prolegnas dan relegnas.
Dengan demikian undang-undang hak cipta nasional yang selama
kurun waktu 4 kali masa perubahan itu diteliti ulang kembali bahagian-
bahagian mana yang perlu mendapat perhatian guna menyahuti
gagasan-gagasan ideal dan kepentingan praktis dan itu dapat diajukan
dalam rancangan undang-undang penyempurnaan undang-undang hak
cipta nasional di masa-masa yang akan datang. Rancangan undang-
undang itu untuk kemudian digodok di lembaga legislatif untuk
dijadikan undang-undang. Pada tataran praktek diberlakukan undang-
undang hak cipta nasional yang baru. Pengalaman selama ini terlihat
bahwa undang-undang hak cipta nasional yang berlaku dalam kurun
waktu + 100 tahun memperlihatkan sisi penegakan hukum yang tidak
menggembirakan. Hasil penelitian ini telah mengevaluasi
pemberlakuan undang-undang hak cipta nasional itu dan itu dapat
dijadikan sebagai umpan balik bagi penyempurnaan undang-undang
yang lebih menyahuti gagasan ideal (teoritis dan kepentingan praktis)
semua ini akan dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi kebijakan
politik hukum pada masa-masa berikutnya.

Sebahagian dari nilai ideologi Pancasila telah mati dan
terkubur di tangan anak bangsa sendiri. Mati dan terkuburnya sebagian
dari nilai-nilai ideologi Pancasila itu serta hidupnya ideologi kapitalis
di Indonesia patut dicermati dan disikapi oleh siapapun yang cinta
negeri dan bangsa ini. Undang-undang hak cipta yang menjadi obyek
studi ini adalah sebahagian kecil dan salah satu contoh saja terhadap
pilihan politik transplantasi hukum asing ke dalam undang-undang
nasional. undang-undang lingkungan hidup, undang-undang

319

perlindungan konsumen, undang-undang perbankan, undang-undang
penanaman modal, undang-undang perpajakan dan sederetan undang-
undang lainnya adalah undang-undang yang lahir dari pilihan politik
hukum transplantasi hukum asing ke dalam undang-undang nasional.

Pilihan politik yang pragmatis yang memiliki kecenderungan
mengabaikan nilai-nilai ideologi negara dan bangsa, mengorbankan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia (act locally), dan
telah mematikan serta mengubur nilai sosio-kultural the original
paradigmatic value of Indonesian culture and society. Setiap kaedah
atau norma hukum yang berlandaskan pilihan politik pragmatis tersebut
lambat laun akan ditinggalkan dan dilupakan oleh masyarakat karena
tidak ada yang perlu diingat dan dikenang dari pilihan politik yang
seperti itu.

Oleh karena itu perlu dilakukan uji materil terhadap beberapa
pasal undang-undang Hak Cipta Nasional Undang-undang No. 19
Tahun 2002, diikuti dengan uji materil terhadap beberapa undang-
undang nasional lainnya, agar bisa kembali ke dasar filosofi bangsa
yakni Pancasila sebagai grundnorm dengan mengembalikan jati diri
bangsa yang terejawantah dalam undang-undang yang memuat secara
substantif the original paradigmatic value of Indonesian culture and
society.

320

BAB IV
PILIHAN POLITIK HUKUM
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NASIONAL

A. Pengantar
Pilihan politik hukum kodifikasi parsial yang dikukuhkan

sebagai politik pembangunan hukum nasional agaknya berjalan secara
simetris dengan pilihan politik hukum transplantasi. Kodifikasi parsial
adalah sebuah policy yang dipilih untuk menjawab keinginan bahwa
Indonesia harus sebanyak mungkin membuat kaedah hukum tertulis
yang dibukukan dalam kitab undang-undang, pasca negara ini berdiri
sebagai negara yang merdeka. Kaedah hukum itupun harus berlaku
secara unifikasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
sejatinya masih berada dalam suasana pluralisme. Di sana sini
sebahagian masyarakat hidup dalam suasana alam kehidupan modern di
perkotaan dengan pola pemahaman “hukum modern” dan sebagian
lainnya hidup dalam suasana kehidupan tradisional di pedesaan dengan
pola pemahaman “hukum tradisional” di bawah payung hukum yang
sama. Perbedaan pada pola pemahaman hukum, akan berbeda pula
pada pilihan perilaku dalam menyikapi peraturan perundang-undangan
yang sama.

Kenyataan itu jugalah yang dalam perjalanan sejarah hukum
bangsa ini pada masa dan oleh Pemerintah Hindia Belanda gagal dalam
menerapkan politik hukum Eropanisasinya, karena adanya kenyataan
pluralisme dalam masyarakat. Kegagalan itu justeru datang dari anak
bangsanya sendiri, yakni seorang van Voellenhoven yang diikuti oleh
muridnya Ter Haar yang menentang kebijakan politik hukum
Eropanisasi karena menurut mereka pada masyarakat Negara Hindia
Belanda itu ada norma hukum yang hidup yang diterima dan dijalankan
sebagai hukum yang di kemudian hari oleh Snouck Hurgronje di
sebutnya sebagai Adat Rech yang terdiri, Goddienstig Wetten,
Volksinstelingen, Gubreiken. 235

235 Kenyataan inilah yang kemudian memaksa (tentu dengan didahului oleh
berbagai kritik dan perlawananan terutama oleh van Voellenhoven) Pemerintah Hindia
Belanda harus mengakui pluralisme hukum dengan mengukuhkannya dalam berbagi-
bagai peraturan di Negara Hindia Belanda ketika itu. Lebih lanjut lihat Soetandyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik
Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.

321

Sayangnya, tak semua orang yang diberi kepercayaan untuk
merumuskan hukum yang ideal menurut cita-cita pembangunan hukum
nasional memahami keadaan itu. Keringnya akan pemahaman
“mengerti sejarah” dan lunturnya semangat ke-Indonesiaan dengan
pilihan ideologi Pancasilanya dan digantikan dengan sikap (yang
kemudian menjadi pilihan politik hukum) pragmatis semakin
mempercepat terwujudnya hukum (kasus undang-undang hak cipta
nasional) yang tidak pernah berjalan secara simetris dengan
masyarakatnya. Yang dalam bahasa penelitian disebutkan, validitasnya
tertolak atau antara hukum yang dihasilkan dengan masyarakat yang
akan diatur oleh hukum itu tidak memperlihatkan hubungan yang
signifikan. Terjadi ketimpangan yang dahsyat antara das Sollen dengan
dan Sein.

Jika faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan itu
hendak diurai satu persatu, maka pilihan pendekatan dengan
menempatkan hukum sebagai satu sub sistem dalam sistem nasional,
tak bisa tidak harus dilakukan. 236

Pada bahagian awal bab ini akan diuraikan tentang substansi
hukum undang-undang hak cipta nasional. Gagasan-gagasan pembuat
undang-undang akan dapat dicerna dalam substansi undang-undang
tersebut, meliputi landasan ideal atau landasan filosofisnya, landasan
juridis normatif atau konstitusional dan landasan politis atau landasan
operasional. Apakah ketiga landasan ketatanegaraan ini cukup solid
diakomodir oleh undang-undang hak cipta nasional itu.

Uraian berikutnya adalah pada tataran struktur, apakah
struktur lembaga pembuat undang-undang, lembaga penegak hukum
dan struktur pemerintahan eksekutif berada pada koridornya masing-
masing sebagai wujud dari sparation of power untuk menunjukkan ciri-
ciri negara hukum. Atau justeru terjadi saling intervensi atau terjadi
politik transaksional dalam pembuatan hukum ataupun dalam

236 Karena hanya dengan pendekatan yang demikianlah persoalan
ketimpangan itu dapat diurai. Dengan pendekatan itu hukum tidak hanya dipandang
sebagai gejala atau fenomena normatif, akan tetapi juga sebagai gejala atau fenomena
sosial, ketika ditelusuri dari awal pembuatannya yang berpangkal pada perilaku orang-
orang yang duduk di lembaga pembuat undang-undang, ketika hukum itu diterapkan
berpangkal pada perilaku aparat penegak hukum dan perilaku masyarakat sebagai
pemegang peran yang dituju oleh kaedah hukum itu. Mau tidak mau pendekatan studi
hukum empirik (non doktrinal riset), meliputi pendekatan politik hukum, sosiologi
hukum dan antropologi hukum (untuk memahami budayai hukum) akan mewarnai urai-
urai berikut ini. Begitulah cara kerja penelitian hukum, kata Satjipto Rahardjo236 jika
ingin memahami the full fenomena social reality of law. Pada bahagian inilah digunakan
secara optimal data penelitian lapangan dengan pilihan metode non doktrinal riset.

322

penerapannya. Selanjutnya untuk menyempurnakan kajian terhadap
pilihan politik hukum dengan kodifikasi parsial yang pragmatis dan
penegakan hukumnya melalui pendekatan sistem hukum, pada
bahagian ini uraian dilengkapi kajian mengenai kultur (budaya)
hukum yang meliputi budaya; prilaku (budaya) legislatif, prilaku
(budaya) aparatur penegak hukum dan prilaku (budaya) masyarakat.

Uraian selanjutnya akan mengetengahkan pembahasan tentang
dampak penegakan hukum hak cipta karya sinematografi terhadap
industeri perfilman nasional. Entah itu pengaruh norma hukumnya atau
karena pengaruh penegakan hukumnya yang lemah atau budaya hukum
masyarakat Indonesia yang belum bisa mengapresiasi sebuah karya
seni berupa karya sinematografi, hingga akhirnya dunia perfilman
nasional bak kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau.

Untuk menyahuti cita-cita kemerdekaan, tulisan ini
diupayakan untuk merumuskan gagasan undang-undang hak cipta dan
lembaga ketatanegaraan yang ideal bagi terwujudnya impian
masyarakat adil dan makmur yang dapat merangsang pertumbuhan
kreativitas pencipta dengan norma hukum yang think globally, commit
nationally dan act locally. Selanjutnya bab ini akan ditutup dengan
analisis dan temuan.

B. Substansi Hukum
Mengacu pada pandangan Friedman substansi hukum itu

adalah materi-materi atau norma-norma yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Dengan meminjam konsep Hart, 237
materi hukum dibaginya dalam dua kelompok yaitu : primery rules dan
secondary rules. Pembagian menurut Hart adalah pembagian yang
didasarkan pada kebutuhan hukum itu sendiri, yakni norma hukum
yang mengatur masyarakat dan norma hukum tentang pelaksanaan dari
norma hukum itu sendiri (peraturan organik). Menyimpang dari
kerangka Hart, substansi hukum haruslah berisikan :

1. Pertimbangan-pertimbangan filosofis yang mengacu pada
pandangan ideologis.

2. Pertimbangan-pertimbangan juridis
3. Pertimbangan-pertimbangan yang menjadi alasan politis

237 Aturan primer adalah peraturan-peraturan pokok yang digunakan H.L.A.
Hart, Lebih lanjut lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law, Clarendon Law Series, At The
Clarendon Press, Oxford, New York, 1982.

323

Sebuah peraturan hukum yang tidak memenuhi dasar
pertimbangan tersebut menurut ilmu perundang-undangan maka
pemberlakuan hukum itu dapat ditolak atau tertolak dengan sendirinya.
238 Penolakan itu dapat dilakukan dengan menguji undang-undang yang
dilahirkan itu apakah telah sesuai dengan dasar pertimbangan filosofis,
juridis dan politis. Dalam kaitannya dengan penyusunan undang-
undang M. Solly Lubis 239 mengemukakan tiga landasan yang dapat
dijadikan sebagai parameter, rujukan, acuan, kerangka berfikir dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu yang disebutnya
sebagai paradigma yang tak boleh ditinggalkan. Tiga paradigma itu
adalah :

1. Paradigma filosofis atau landasan filosofis (filosofische
grondslag)

2. Paradigma yuridis atau landasan yuridis (juridische
grondslag)

3. Paradigma politis atau landasan politis (politische grondslag)

1. Paradigma Filosofis
Konstruksi undang-undang hak cipta nasional yang berlaku

hari ini adalah hasil rekonsfigurasi politik hukum melalui pilihan
politik hukum konkordansi dan transplantasi yang pernah dilakukan
selama kurun waktu hampir satu abad di kawasan nusantara. Dalam
proses itu ada sejumlah nilai sosial dan kultural yang tak terkira
jumlahnya yang hilang, terkikis ataupun terpendam. Dengan meminjam
konsep geologi tentang proses peremajaan (rejuvenation) akan sangat
mungkin terjadi proses penuaan terhadap nilai-nilai yang hilang itu dan
menjadi manifest (muncul), lalu berubah menjadi sikap menetang,
ketidak pedulian atau terang-terangan memberi perlawanan pada saat
kaedah hukum hasil transplantasi itu diterapkan ketika terjadi stagnasi
dalam proses penegakan hukum yang mengabaikan realitas.240

238 Lebih lanjut lihat Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1977.

239 M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Mandar Maju,
Bandung, 2009, hal. 15.

240 Perlawanan yang nyata untuk kasus di luar obyek studi ini lihatlah, ketika
nilai-nilai yang terpendam (laten) itu kemudian muncul (manifes) ketika rakyat Aceh
menentang dan melakukan gerakan perjuangan untuk keluar dari NKRI lalu dengan
sebuah kompromi politik di Helsinky ditanda tangani sebuah kesepakatan bahwa Aceh
diberi otonomi khusus untuk menjalankan Syari’at Islam, sebuah nilai yang dihilangkan
dalam sejarah perjalanan masyarakat Aceh bergabung di bawah naungan NKRI. Lebih
lanjut lihat Fikar W. Eda dan S. Satya Dharma, Sebuah Kesaksian Aceh Menggugat,

324

Para produsen karya sinematografi illegal dan para konsumen
illegal, menjadi tidak peduli dengan kenyataan bahwa negeri ini
memiliki undang-undang hak cipta, negeri ini memiliki kesepakatan
dengan dunia internasional dan negeri ini mempunyai perangkat
penegak hukum, serta negeri inipun memiliki lembaga peradilan yang
siap menjatuhkan sanksi hukum.

Memori sejarah politik hukum pembentukan undang-undang
hak cipta nasional sering direntang terlalu pendek manakala hendak
mengkonstruksikan undang-undang hak cipta yang baru, pemenggalan-
pemenggalan pengalaman masa lalu terus dilakukan dan rentang
sejarah yang utuh cenderung diabaikan dan yang kemudian
dimunculkan adalah kebutuhan sesaat dengan menimbang kenyataan
hari ini yang menguntungkan hari ini. Pilihan politik hukum
pembentukan undang-undang hak cipta nasional kemudian menjadi
sangat pragmatis padahal semua mengetahui bahwa undang-undang
hak cipta nasional dengan pilihan politik pragmatis itu tidak dapat
ditegakkan. Berkali-kali alasan rendahnya sanksi hukum pidana
dikemukakan sebagai alasan perubahan undang-undang hak cipta dari
waktu ke waktu, akan tetapi setelah sanksi hukum pidana itu dinaikkan
(diperberat) dalam undang-undang yang baru itu,perilaku pembajakan
karya cipta sinematografi tidak pernah berhenti, alasan yang sama
dikemukakan lagi (yakni ancaman hukuman masih terlalu rendah)
untuk sekedar memberi jastifikasi guna perubahan kembali undang-
undang yang baru itu.

Jika para politisi yang melibatkan diri dalam pembuatan
undang-undang hak cipta nasional mau merentang tali sejarah,
sebenarnya embrio undang-undang hak cipta nasional sudah mulai
dikonstruksi sejak tahun 1912, pada saat Auteurswet 1912 Stb. No. 600
diberlakukan di wilayah nusantara. Pada saat itu pemberlakuan wet itu
telah memperlihatkan suatu kenyataan bahwa kepatuhan masyarakat di
wilayah Hindia Belanda terhadap wet itu ketika itu hampir dapat
dikatakan tidak ada. Pada masa Kolonial Belanda itu, masyarakat di
Hindia Belanda bisa dihitung jari yang mengetahui - dan bahkan untuk
kelompok Bumi Putra tidak mengenal sama sekali – bahwa ada
instrumen hukum yang memproteksi hak cipta. Apalagi dalam bidang
karya sinematografi karena pada waktu itu film pertama sekali
diproduksi di wilayah Hindia Belanda adalah pada tahun 1926.
Teknologi pembajakan karya sinematografi pun belum dikenal pada

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999. Lihat juga Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005.

325

waktu itu. Sehingga dapat dipastikan tidak ada masyarakat Indonesia
yang peduli dengan instrumen perlindungan hukum karya
sinematografi pada waktu itu. Dalam bidang karya cipta lainnya seperti
buku, pada masa itu dan sampai pada masa awal kemerdekaan
pembajakan juga terus berlangsung. Artinya, kesadaran hukum
masyarakat untuk penegakan hukum hak cipta pada waktu itu bukan
tidak dimiliki, akan tetapi masyarakat tidak mengapresiasi undang-
undang itu karena secara sosiologis dan kultural proteksi hukum
semacam itu tidak pernah dikenal dalam sejarah kehidupan mereka.
Inilah tadi yang dikatakan bahwa pembelajaran sejarah dalam rentang
pemberlakuan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 tidak dijadikan dasar
untuk rekonstruksi penyusunan undang-undang hak cipta nasional
Indonesia pada saat dilahirkannya Undang-Undang Hak Cipta No.6
Tahun 1982, menggantikan wet itu.

Ada memori sejarah yang dilupakan ketika undang-undang
hak cipta nasional akan dilahirkan untuk menggantikan Auteurswet
1912 Stb. No. 600 dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1982. Begitu
juga ada memori sejarah yang dilupakan ketika Undang-undang No. 6
Tahun 1982 akan direvisi dengan konstruksi Undang-undang baru yang
dituangkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1987. Demikian juga
ada memori sejarah yang dilupakan ketika harus mengganti Undang-
undang No. 7 Tahun 1987 dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1997.
Memori sejarah itupun dilupakan juga ketika menyusun Undang-
undang No. 19 Tahun 2002 menggantikan Undang-undang No. 12
Tahu 1997. Yang diingat adalah kebutuhan-kebutuhan sesaat yang
mendesak untuk menjawab berbagai tekanan politik internasional
hingga akhirnya yang terjadi adalah pilihan politik hukum yang
pragmatis dan itu memberi warna dalam Undang-undang No. 19 Tahun
2002. Warna itu tidak hanya menyangkut warna normatif akan tetapi
juga menyangkut nilai-nilai filosofis yang merupakan the original
paradigmatic value of Indonesian culture and society yang terabstraksi
dalam landasan ideologi bangsa dan negara yakni Pancasila. Landasan
ideologi inilah kemudian dijadikan sebagai landasan politik hukum
pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Sebuah ideologi adalah sebuah gagasan, sebuah idea, sebuah
cita-cita, sebuah harapan yang diyakini oleh penganutnya sebagai suatu
landasan kebenaran untuk mewujudkan cita-cita atau harapan tersebut.
Berbeda dengan agama, ideologi oleh pencetusnya yakni Destutt de
Tracy seorang pemikir Perancis yang pertama kali menggunakan istilah
ideologi dalam bukunya, Elements d’ ideologie yang terbit tahun 1827
adalah sebuah kebenaran di luar otoritas agama. Konsep ini muncul

326

adalah proyek besar filsuf “Pencerahan” yang berusaha keras
mensterilkan tubuh ilmu pengetahuan dari virus-virus prasangka
agama, kepentingan pribadi dan kepercayaan mistik-metafisik dengan
mengukuhkan metode ilmiah sebagai satu-satunya epistimologi yang
sahih.

Namun, setelah lebih dari satu abad berselang pasca de Tracy, ideologi tidak
lagi bermakna tunggal. Karena tidak henti-hentinya dicermati dari pelbagai
kerangka pemikiran dan sudut pandang, ideologi menjadi satu istilah penting
dalam ranah ilmu sosial yang memiliki banyak tafsir. Muncullah kemudian
pelbagai konsep ideologi dengan pendekatan, kekhasan dan ruang lingkup
yang beragam. Tetapi, jika ideologi kita letakkan dalam kerangka umum,
Microsoft Encarta Encylopedia (2003) akan menawarkan pada kita sebuah
definisi yang tampaknya agak komprehensif, yakni suatu sistem kepercayaan
yang memuat nilai-nilai dan ide-ide yang diorganisasi secara rapi sebagai
basis filsafat, sains, program sosial ekonomi politik yang menjadi pandangan
hidup, aturan berpikir, merasa, dan bertindak individu atau kelompok. 241

Pendekatan studi hukum sangat erat kaitannya dengan
ideologi, karena hukum memuat cita-cita, harapan dan keinginan. Di
Indonesia cita-cita dan keinginan itu dituangkan dalam pembukaan
UUD 45. Itu jugalah alasannya, mengapa kemudian ideologi dijadikan
sebagai landasan filosofis pembuatan peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Undang-undang tak boleh bertentangan dengan cita-cita
negara, bermakna juga tak boleh bertentangan dengan ideologi bangsa.
Ideologi akan selalu bersembunyi di balik atau di belakang tiap-tiap
norma hukum atau undang-undang. Negara penganut ideologi komunis,
dalam undang-undangnya akan tergambar nilai-nilai komunis
(comunism values). Demikian juga negara penganut ideologi Islam,
dalam undang-undangnya akan tercermin nilai-nilai Islam (Islamic
values). Nilai-nilai hukum yang kapitalis tersembunyi di balik norma
hukumnya, pastilah negara itu penganut ideologi kapitalis. Indonesia
sebagai penganut ideologi Pancasila seyogyanya dalam undang-
undangnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

Ideologi Pancasila adalah ide dasar yang dijadikan sebagai
pandangan hidup, cita-cita (ideal), basis visi dan missi dalam praktek
kehidupan bernegara, termasuk dalam praktek perumusan cita-cita
politik hukum nasional. Pilihan ideologi ini telah meleburkan
kenyataan pluralisme hukum di Indonesia dalam tataran nilai.
Sebenarnya ini adalah merupakan modal yang paling kuat bagi
Indonesia untuk menyusun hukum nasionalnya termasuk undang-

241 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir Konsep, Ragam, Kritik dan Masa
Depannya, Qalam, Yogyakarta, 2004, hal. viii

327

undang hak cipta yang dapat diukir atau dilukiskan di atas “kain sutra”
yang disepakati sebagai negara Indonesia. Namun sayangnya
kemerdekaan yang oleh Bung Karno disebutnya sebagai “jembatan
emas” dan dapat dijadikan sebagai pintu gerbang untuk menyeberang
menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur, tapi ternyata dalam
perjalannya jembatan emas itu tidak dimaknai secara tepat. Hasilnya
adalah hukum yang semestinya dapat ditorehkan di atas kain sutra,
ternyata diberi bingkai dan landasan ideologi kapitalis. Akhirnya
terjadilah hukum seperti kata pepatah : “Kain Sutra Bersulam Belacu”
dan ideologi Pancasila tergerus dan bahkan terkikis di tangan anak
bangsa sendiri.

Pilihan politik transplantasi hukum asing ke dalam undang-
undang hak cipta nasional utamanya yang bersumber dari perjanjian
Internasional, seharusnya dilakukan dengan penuh pertimbangan yang
arif, dan perhitungan yang jauh ke depan. Pandangan ini didasarkan
pada berbagai kasus yang menunjukkan bahwa instrumen hukum
Internasional digunakan sebagai alat imperialis model baru, seperti
yang diingatkan oleh Hikmahanto Juwono242 sebagai berikut :

Hukum Internasional, utamanya perjanjian internasional, digunakan oleh
negara maju untuk ‘mengekang’ kebebasan dan kedaulatan Indonesia.
Berbagai perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia berdampak pada
terbatasnya ruang gerak pemerintah dalam mengambil kebijakan. Bahkan
kebijakan yang diambil dengan diikutinya perjanjian internasional yang
ditandatangani diharapkan selaras dengan standar internasional.

Indonesia terlalu takjub dengan tawaran-tawaran perdagangan
bebas, pasar bebas, dan janji-janji bahwa, suatu saat Indonesia akan
menjadi negara industri maju di kawasan asia, dan itu disikapi dengan
menerima tawaran IMF dan World Bank untuk membiayai berbagai-
bagai proyek di Indonesia untuk pencapaian gagasan-gagasan kapitalis-
liberal itu. Puncaknya adalah ketika Indonesia meratifikasi
GATT/WTO pada tahun 1994 dan di dalamnya memuat TRIPs
Agreement, Indonesia kemudian disyaratkan untuk tunduk pada
kesepakatan itu. Sebagai konsekuensi, Indonesia tidak hanya
diharuskan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan HKI-
nya dengan TRIPs Agreement tetapi lebih jauh juga Indonesia harus
mempersiapkan perangkat-perangkat hukum dalam negerinya untuk
menegakkan instrument-instrumen hukum sebagai ikutan dari
perjanjian internasional yang telah disepakati. Terdapat beberapa
perjanjian internasional yang berlatarbelakang ideologi kapitalis yang

242 Hikmahanto Juwono, Op.Cit, hal 37.

328

oleh Pemerintah Indonesia tanpa merujuk pada perjalanan sejarah
sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, Indonesia
kemudian mengambil sikap dengan menyetujui instrumen hukum
internasional mengenai perlindungan hak kekayaan intelektualnya.
Kesepakatan-kesepakatan yang bersifat bilateral-pun dibangun dengan
negara-negara tersebut yang antara lain dapat dikemukakan sebagai
berikut :

1. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang
Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum
Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman
Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat
Eropa;

2. Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan
Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan
Amerika Serikat;

3. Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan
Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan
Australia;

4. Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan
Inggris;

5. Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun 2004 tentang
Pengesahan WIPO Performances and Phonogram Treaty
(WPPT);
Belakangan ditambah lagi dengan pembuatan kesepakatan

multilateral tentang perlindungan Audiovisual performances yang
ditandatangani di Jenewa yang dikenal dengan Beijing Treaty on
Audivisual Performance.243

Pilihan-pilihan untuk menjalin kerjasama dalam perlindungan
karya cipta dengan berbagai negara sayangnya tidak dilakukan dengan
sebuah kesungguhan untuk melihat kembali latar belakang sejarah yang

243 Disebut sebagai Beijing Treaty karena kesepakatan itu lahir dari diplomatic
conference yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2012 di Beijing yang juga sekaligus
mengakhiri 12 tahun negosiasi multilateral di bawah WIPO. Indonesia menjadi negara
ke-53 yang menandatangani Beijing Treaty ini, namun traktat ini belum diberlakukan
menunggu ratifikasi paling sedikit 30 negara-negara anggota penandatangan. Lebih lanjut
lihat PTRI Jenewa/EDPY, Indonesia Tandatangani Beijing Treaty on Audiovisual
Performance di Jenewa, Rabu 19 Desember 2012.

329

telah mengabaikan berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam
masyarakat Indonesia. Negara Indonesia memanglah tergolong dalam
negara yang masih berusia muda. Dalam usianya yang muda itu
perjalanan sejarahnya telah mencatat bangsa ini dapat bertahan dan
dipertahankan dengan nilai-nilai tradisional (nilai-nilai ke-Indonesiaan)
yang dalam tulisan ini berkali-kali disebut sebagai the original
paradigmatic value of Indonesian culture and society.

Masuknya nilai-nilai baru meskipun pada tahap awal berjalan
secara evolusi, akan tetapi pasca dihembuskannya issu globalisasi nilai-
nilai baru itu masuk dengan gerakan yang lebih cepat. Peringatan
Wertheim ketika menulis “Masyarakat Indonesia Dalam Transisi”
menjadi relevan untuk dikutip dalam naskah ini. Wertheim menulis
sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin Ishak sebagai berikut :

Proses yang terjadi pada masa lalu harus dipelajari dengan sangat sungguh-
sungguh. Bagaimanapun, proses itu bukanlah hukum yang dapat dilepaskan
yang harus diterima secara pasif oleh umat mansia. Proses itu tidak lebih dari
regularitas yang hanya berlaku dalam suatu pola masyarakat, pada suatu
periode tertentu.
Sejarah manusia merupakan suatu interaksi konstan dari pengulangan dan
pembaruan, pengulangan yang bisa tampak dalam pakaian yang baru dan
pembaruan yang tampak untuk suatu skema pengulangan. 244

Dalam siklus sejarah semacam itu relevan juga untuk
dihubungkan dengan siklus politik hukum unifikasi dalam suasana
pluralisme hukum di wilayah negara Hindia Belanda.

244 Syamsuddin Ishak, Keindonesiaan : Persatuan yang Terhenti, Kesatuan
yang Asimetris, Prisma, Volume 30, 2011, LP3ES, Jakarta, 2011, hal. 4. Lihat lebih
lanjut dalam Willem Frederik Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi : Studi
Perubahan Sosial, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1999, hal. xii.

330

Skema : 10

Siklus Politik Unifikasi Hukum Dalam Negara Hindia Belanda

Hukum
Eropa

Hukum
Hindia
Belanda

Hukum Hukum
Pribumi Timur
Asing

Pada masa Hindia Belanda, ada keinginan agar di wilayah
negara Hindia Belanda dapat diberlakukan hukum Eropa. Akan tetapi
keinginan itu terus menerus mendapat perlawanan. Kenyataannya di
Negara Hindia Belanda terdapat pluralisme hukum karena itu melalui
Pasal 6 sampai 10 AB kemudian diteruskan dengan Pasal 75 RR lama
diikuti dengan Pasal 75 RR baru terakhir disempurnakan dengan Pasal
131 dan Pasal 163 IS maka secara hukum telah dikukuhkan terdapat 3
golongan penduduk dengan 3 golongan hukum sebagaimana dalam
gambar siklus di atas. Proses transformasi hukum Eropa agar dapat
diterima menjadi hukum di wilayah Negara Hindia Belanda dilakukan
dengan penerapan politik hukum dengan asas konkordansi yakni
menyamakan berlakunya hukum di Kerajaan Belanda dengan di

331

wilayah Hindia Belanda. Politik hukum seterusnya dilakukan adalah
setelah mendapat penolakan dari kalangan ahli hukum Bangsa Belanda
sendiri yakni Van Vollenhoven untuk menggantikan hukum bumi
putera dengan hukum Eropa kemudian dilaksanakan dengan pilihan
politik hukum pernyataan berlaku, persamaan hak dan tunduk sukarela.
Sampai akhirnya Indonesia merdeka, tak semua hukum Kerajaan
Belanda itu dapat menggantikan posisi hukum Bumi Putera. Alasan
yang sesungguhnya dapat dikemukakan adalah karena hukum bumi
putera itu mempunyai “rohnya sendiri”, mempunyai spirit sendiri,
mempunyai ideologi sendiri. Sampai setelah Indonesia merdeka-pun
hukum asli bumi putera itu tetap tumbuh, hidup di tengah-tengah
masyarakat Indonesia seperti hukum adat dan hukum agama.

Mengapa kemudian Pemerintah Hindia Belanda menempatkan
orang Jerman dan orang Jepang kedalam golongan hukum Eropa ?
Padahal orang Jepang adalah orang Asia yang dapat dikategorikan
sebagai golongan penduduk Timur Asing. Akan tetapi karena ini
berkaitan dengan kepentingan dagang dan dagang mempunyai ideologi
yang sama yakni kapitalis-liberal, maka orang Jepang pun
dikelompokkan kedalam golongan hukum Eropa. Ini adalah sebuah
pertanda bahwa ideologi begitu penting dalam pembentukan hukum.

Siklus di bawah ini akan memperlihatkan bagaimana undang-
undang hak cipta nasional terbentuk dengan latar belakang ideologi
yang berpangkal pada ideologi kapitalis.

Sebuah ideologi yang menurut ramalan Bell dan Fukuyama
sebagai ideologi akhir dari peradaban umat manusia yang oleh Ian
Adam disebutnya sebagai Ideologi Pemenang.

Dalam kaitannya dengan Undang-undang Hak Cipta,
hubungan antara ideologi itu dapat dilihat dalam skema di bawah ini.

332

Skema: 11
Siklus Ideologi Pembentukan Undang-undang Hak Cipta Nasional

Tekanan Amerika
Negara Industri

Maju
(Ideologi Kapitalis)

UU No.
7/1987

Ideologi UU No. Undang- UU No.
Pancasila 6/1982 undang Hak 12/1997

Auteurswet Cipta TRIPs
1912 Stb Nasional Agreement diikuti
No. 600 dengan beberapa
UU No.
19/2002 konvensi
internasional

(Ideologi
Kapitalis)

Bern
Convention

(Ideologi
Kapitalis

333

Ketika Berne Convention telah ditanda tangani oleh sebagaian
besar masyarakat Eropa, Belanda pada masa itu diharuskan
menyesuaikan undang-undang hak cipta dengan konvensi itu. Segera
setelah Belanda merevisi undang-undang hak ciptanya dengan
Auteurswet Stb.1912 No. 600, beberapa waktu kemudian Negeri Kincir
Angin itu meratifikasi Berne Convention. Selanjutnya dengan politik
hukum kolonial, Kerajaan Belanda memberlakukan wet itu di wilayah
jajahannya termasuk Indonesia yang kala itu menjadi bahagian dari
Hindia Belanda. Berne Convention dengan latar belakang ideologi
kapitalis itu masuk ke hukum Belanda yang juga penganut ideologi
yang sama untuk selanjutnya menjalar ke wilayah hukum Hindia
Belanda. Pasca kemerdekaan wet itu diteruskan dan menjadi acuan
politik hukum nasional dalam penyusunan undang-undang hak cipta
nasional, meskipun pada waktu itu ada keinginan murni untuk
membangun hukum Indonesia dengan latar belakang ideologi
Pancasila, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, sesuai dengan garis
politik dan haluan negara, sesuai dengan jati diri bangsa yang disebut
sebagai hukum kepribadian bangsa. Akan tetapi dalam kenyataannya,
UU No.6 Tahun 1982, undang-undang hak cipta pertama yang
menggantikan wet peninggalan Hindia Belanda tidak lebih dari
translation atau terjemahan dari Wet yang berbahasa Belanda menjadi
undang-undang yang berbahasa Indonesia. Singkatnya undang-undang
itu tak dapat “meniupkan roh” Pancasila yang terjadi justeru
sebaliknya undang-undang itu terjebak dalam lingkaran jiwa, nafas dan
roh kapitalis.

Masuk pada perjalanan berikutnya, ketika UU No.6 Tahun
1982 diberlakukan, ternyata di dunia, terutama di negara-negara
industeri maju, terjadi perubahan besar pada peradaban umat manusia,
ketika teknologi komunikasi, komputer dan teknologi serat optik
ditemukan. Karya cipta sinematografi yang berasal dari negara asing itu
menjadi industri kreatif yang tumbuh pesat yang banyak menyumbang
pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tersebut. Sementara di
negara dunia ketiga termasuk Indonesia ketika itu, masih terbelakang
dalam teknologi itu dan banyaklah kemudian terjadi pembajakan atau
pelanggaran hak cipta. Ini kemudian membuat negara seperti Amerika
menjadi berang, puncaknya negara itu kemudian meminta kepada
Indonesia untuk merubah undang-undang hak cipta nasionalnya yang
intinya dapat memberi perlindungan terhadap karya cipta mereka. Ini
fase kedua masuknya ideologi kapitalis ke dalam undang-undang hak
cipta nasional. Fase berikutnya terjadi pelembagaan secara normatif
dan terstruktur dalam dunia Internasional, ketika Uruguay Round

334

diakhiri dengan persetujuan GATT /WTO pada tahun 1994 yang
memasukkan issu Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian
terlembaga dalam TRIPs Agreement. Hasil akhir ini juga adalah
merupakan puncak kemenangan negara-negara kapitalis melawan
negara-negara dunia ketiga yang sejak awal begitu “alergi” dengan
kapitalis yang sejak awal telah menolak memasukkan issu Hak
Kekayaan Intelektual dalam GATT. Pelembagaan secara normatif ini
adalah fase ketiga masuknya faham ideologi kapitalis ke dalam undang-
undang hak cipta nasional, dengan merubah UU hak Cipta No.7 tahun
1987 menjadi UU Hak Cipta No.12 Tahun 1997. Fase keempat adalah
fase ujian, apakah undang-undang yang sudah sesuai dengan keinginan
negara-negara kapitalis itu dapat efektif diberlakukan, ternyata
jawabannya tidak. Situasi penegakan hukumnya tetap sama seperti pada
masa pemberlakuan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 pada masa Hindia
Belanda. Akan tetapi ada ketidak percayaan negara-negara maju
tersebut dengan kenyataan itu. Kenyataan hak cipta asing di lapangan
karya sinematografi terus-menerus dibajak. Tudingan pemerintah asing
tak dapat ditampik, akan tetapi Pemerintah Indonesia tidak kehilangan
akal, perjanjian bilateral untuk saling melindungi karya cipta di bidang
itupun dibuat. Entah itu untuk meyakinkkan negara-negara tersebut
agar Indonesia dianggap negara yang taat hukum di mata mereka, entah
itu sebuah basa-basi, tapi yang pasti setelah perjanjian bilateral itu
ditanda tangani pembajakan hak cipta tak pernah berhenti. Negara-
negara asing itu tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu faktor
penyebabnya, yang mereka tahu sampai hari ini masih pada alasan yang
dulu-dulu juga, yakni sanksi hukum terlalu rendah, pada hal ancaman
hukumannya sudah 5 tahun dan denda 5 milyar, jumlah uang yang tak
pernah dilihat oleh pedagang kaki lima penjual hasil karya
sinematografi bajakan.

Pembuat undang-undang di negeri inipun seolah-olah
kehabisan kamus, diturunkan razia besar-besaran, tetapi setelah razia
praktek pembajakan berjalan lagi. Anjing menggonggong kafilah lalu,
biduk lalu kiambangpun bertaut. Tak ada yang istimewa dari gerakan
razia yang dilakukan oleh aparat keamanan. Memang sulit untuk
memberikan jawaban terhadap fenomena ini. Akan tetapi mengacu
pada kerangkan Robert B.Seidman, akan diperoleh titik terang. Tidak
mudah memberlakukan hukum nasional yang ditrasplantasi dari hukum
asing. The law of nontransferability of law. Hukum suatu bangsa tak
dapat diambil alih begitu saja tanpa mengambil seluruh pernak-pernik
sosial budaya, kultur dan struktur yang mengitari tempat dimana
hukum itu diberlakukan. Kulturnya adalah nilai (ide ologi) yang

335

terkandung dalam norma hukum itu sebagai pilihan sikap budaya
(hukum) masyarakatnya. Strukturnya adalah, apakah aparat hukumnya
sudah memiliki perilaku yang sama dengan aparat hukum tempat
hukum itu berasal. Jika jawabnya tidak, maka itulah jawaban atas
kegagalan penegakan hukum hak cipta di negeri ini. Jadi tak cukup
transplantasi hukum itu, mencangkokkan norma hukumnya saja, tapi
harus diikuti dengan struktur dan budayanya. Tampaknya transplantasi
hukum Asing ke Undang-undang hak cipta Nasional masih akan
menjalani masa sulit dalam penerapannya untuk tidak dikatakan gagal,
sampai ada jawaban dari siapa pemenang Ideologi dalam pertarungan
selanjutnya.

2. Paradigma Juridis
Pekerjaan yang tersulit yang dihadapi dalam setiap kali

praktek pembuatan peraturan perundang-undang adalah mensinkronkan
peraturan yang akan dibuat itu dengan peraturan yang sudah menanti
terlebih dahulu. Pertanyaan yang selalu dimunculkan adalah apakah
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat ini selaras atau justeru
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Harapan yang selalu diimpikan adalah peraturan yang dibuat itu
haruslah selaras dengan peraturan yang sudah ada. Jika peraturan yang
akan dibuat itu bertentangan secara ideologi dan normatif dengan
peraturan yang sudah ada sebelumnya, maka ada dua alternatif yang
harus ditempuh. Pertama, peraturan itu tidak jadi diteruskan
pembuatannya, atau jika harus diteruskan peraturan yang sudah ada itu
harus dengan tegas dinyatakan dicabut dalam peraturan perundang-
undangan yang baru itu.

Bagaimana jika peraturan yang akan dibuat itu tetap
diteruskan hingga menjadi peraturan perundang-undangan yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, akan tetapi masih terdapat
pertentangan secara ideologis dan normatif dengan peraturan yang
sudah ada?

Ada berbagai kemungkinan yang terjadi. Pertama, undang-
undang itu akan tertolak dalam pelaksanaannya di masyarakat. Kedua,
undang-undang itu akan menjadi “macan kertas” alias tidak memiliki
kekuatan yang secara kultural dan sosiologis tidak mengikat. Ketiga,
jika harus dilaksanakannya, maka dalam penerapannya menjadi
represif. Keempat, undang-undang itu akan kehilangan spirit atau “roh”
sehingga terjadi pembiaran secara struktural. Kelima, akan terjadi
konflik secara normatif (conflict of law). Keenam, undang-undang itu
tak dapat mencapai tujuannya, apakah sebagai upaya untuk

336

mewujudkan keadilan atau kepastian hukum atau upaya untuk
memberikan manfaat kepada masyarakat.

Pada tahap awal yang perlu dicermati adalah sinkronisasi
secara konseptual. Apakah konsep hak cipta karya sinematografi
termasuk dalam kategori hukum benda? Jika ya, termasuk dalam
klasifikasi benda berwujud atau tidak berwujud? Apakah juga penting
untuk memberikan klasifikasi sebagai benda bergerak ? Kesamaan
persepsi dalam memaknai konsep ini, tidak semata-mata dapat
dilakukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan belaka, akan tetapi
harus dilihat dalam konteksnya dengan norma hukum lain yang sudah
ada. Tentang perlindungan hak cipta karya sinematografi misalnya, ada
dua konsep hukum yang penting yang harus dilihat dalam memaknai
norma hukum yang berkaitan dengan itu. Konsep pertama adalah
norma hukum yang berkaitan dengan perlindungan menurut hukum
pidana dan konsep kedua norma hukum perlindungan menurut hukum
perdata. Klasifikasi normatif perlindungan hukum ini menjadi penting,
manakala dihubungkan dengan pemahaman awam tentang pemaknaan
konsep hak kekayaan intelektual. Masyarakat awam bahkan kaum
intelektual tak sermuanya memahami konsep hak kekayaan intelektual,
sehingga dalam praktek masih ditemukan pemahaman yang bias dan
samar. Misalnya, kejahatan terhadap hak kekayaan intelektual itu,
kejahatan terhadap jiwa atau kehormatan manusia atau kejahatan
terhadap harta kekayaan, sebab frase “intelektual” melekat dengan
manusia sebagai subyek. Berbeda dengan frase “hak milik atas tanah”
atau “hak milik atas kenderaan bermotor” yang tidak melekatkan
subyek dengan obyeknya dalam peristilahan itu. Untuk itu menjadi
penting untuk mendudukkan kategori dan status hukum obyek yang
diberi perlindungan oleh undang-undang hak cipta.

Pemaknaan terhadap dua bentuk konsep perlindungan hukum
ini, erat pula kaitannya dengan kedudukan obyek yang akan diberi
perlindungan hukum itu, yakni karya cipta sinematografi. Sedangkan
subyek yang akan diberi perlindungan adalah pencipta atau penerima
hak. Oleh karena itu uraian berikut ini mengetengahkan pembahasan
tentang kedudukan hak karya sinematografi dalam sistem hukum
benda. Karya sinematografi adalah salah satu hasil karya yang
dilindungi sebagai hak cipta. Hak cipta itu sendiri adalah merupakan
hak kebendaan atau dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
"zakelijk recht". Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memberikan rumusan
tentang hak kebendaan yakni : hak mutlak atas suatu benda dimana

337

hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga. 245

Rumusan bahwa hak kebendaan itu adalah hak mutlak yang
juga berarti hak absolut yang dapat dipertentangkan atau dihadapkan
dengan hak relatif, hak nisbi atau biasanya disebut juga persoonlijk
atau hak perorangan. Hak yang disebut terakhir ini hanya dapat
dipertahankan terhadap orang tertentu, tidak terhadap semua orang
seperti pada hak kebendaan. 246

Dalam praktek kelihatannya perbedaan antara hak kebendaan
dengan hak perorangan kelihatannya tidak tajam lagi. Sebab dalam
kenyataannya ada hak perorangan yang mempunyai sifat hak
kebendaan. Hal ini dapat kita lihat sifat absolut terhadap hak
sewa, yang dilindungi berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata
dibandingkan dengan Auteurswet 1912 Stb. No. 600. Juga hak sewa
ini mempunyai sifat mengikuti bendanya (droit de suit). Hak sewa itu
akan terus mengikuti bendanya meskipun berpindahnya atau dijualnya
barang yang disewa, perjanjian sewa tidak akan putus. Demikian juga
halnya sifat droit de preference.

Oleh Mariam Darus Badrulzaman247, mengenai hak kebendaan
ini dibaginya atas dua bagian, yaitu :

Hak kebendaan yang sempurna dan hak kebendaan yang terbatas. Hak kebendaan
yang sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang
sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikin
dinamakannya hak kemilikan. Sedangkan hak kebendaan terbatas adalah hak yang
memberikan kenikmatan yang tidak penuh atas suatu benda. Jika dibandingkan

245 Sri Soedewi, Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda,
Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 24.

246 Membedakan hak kebendaan dengan hak perorangan dengan : 1)
Merupakan hak yang mutlak, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2).
Mempunyai zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti). Artinya hak itu terus
mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) benda itu berada. Hak
itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya. ; 3). Sistem yang dianut dalam
hak kebendaan dimana terhadap yang lebih dahulu terjadi mempunyai kedudukan
dan tingkat yang lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian. Misalnya, seorang eigenar
menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah tersebut juga diberikan kepada orang lain
dengan hak memungut hasil, maka disini hak hipotik itu masih ada pada tanah yang
dibebani hak memungut hasil itu. Dan mempunyai derajat dan tingkat yang lebih tinggi
daripada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian. 4) Mempunyai sifat droit
de preference (hak yang didahulukan). 5) Adanya apa yang dinamakan gugat
kebendaan. 6) Kemungkinan untuk dapat memindahkan hak kebendaan itu dapat secara
sepenuhnya dilakukan. Lebih lanjut lihat Sri Soedewi, Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 25-27.

247 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,
BPHN - Alumni, Bandung, 1983, hal. 43.

338

dengan hak milik. Artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang
sempurnanya jika dibandingkan dengan hak milik.

Jadi jika disimpulkan pandangan Mariam Darus Badrulzaman
di atas, maka yang dimaksudkan dengan hak kebendaan yang
sempurna itu adalah hanya hak milik, sedangkan selebihnya termasuk
dalam kategori hak kebendaan yang terbatas.

Pandangan ini dapat disimpulkan dari rumusan pasal 1 ayat (1)
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yang mengatakan bahwa Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukkan
bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si
penerima hak. Hanya nama yang disebut sebagai pemegang hak
eksklusif yang boleh menggunakan hak cipta dan selanjutnya
dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subyek lain yang
mengganggu atau yang menggunakan hak tersebut tidak dengan cara
yang diperkenankan oleh aturan hukum.

Dalam kaitannya dengan karya sinematografi, yang
merupakan salah satu obyek yang dilindungi dengan hak cipta dapat
dipastikan bahwa pencipta dan pemegang hak atas karya sinematografi
adalah pemilih hak absolut dan orang yang mendapat ijin dari pencipta
atau pemegang hak adalah pemegang hak relatif. Dalam karya
sinematografi, terdapat banyak subyek hak cipta antara lain :
1. Penulis naskah (mungkin saja karya sinematografi itu diangkat dari

novel).
2. Aktor atau para pemegang peran dalam cerita yang ditampilkan

dalam karya sinematografi tersebut.
3. Produser yang membawahi semua urusan teknis yang berkaitan

dengan pembuatan karya sinematografi tersebut (mulai dari juru
kamera, juru lampu, penyusun skenario, penata suara, penata
gambar sampai pada editor).
4. Pencipta lagu, penyanyi, arrangger musik (jika karya sinematografi
itu menggunakan soundtrack lagu).

Kesemua mereka ini adalah subyek-subyek yang sekaligus
pemilik atau pemegang hak cipta secara bersama-sama atau juga secara
sendiri-sendiri khusus untuk karya sinematografi yang menggunakan
soundtrack lagu tanpa mengurangi hak cipta mereka-mereka yang
terdapat dalam karya sinematografi tersebut.

Karya sinematografi yang dalam Undang-undang Hak Cipta
No. 19 Tahun 2002 dirumuskan sebagai : ”media komunikasi massa

339

gambar gerak (moving images) antara lain meliputi : film dokumenter,
film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan
film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita
video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang
memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau
ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat
oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan”. 248

Karya sinematografi merupakan ekspresi/bentuk lahiriah dari
sebuah ide atau gagasan awal yang bersumber dari berbagai pihak. Jika
karya sinematografi itu berupa film cerita, maka gagasan itu bisa
bermula dari karya cipta berupa novel. Selanjutnya jika karya
sinematografi itu berupa film dokumenter, gagasan awal itu bisa
berasal dari penulisan sejarah. Demikian juga jika yang ingin
ditampilkan adalah berupa karya sinematografi dalam bentuk film
iklan, gagasan itu bisa bersumber dari perusahaan yang akan
mengiklankan produk-produknya. Prinsip perlindungan hak cipta
dalam sinematografi adalah melindungi ekspresi dari ide atau gagasan
dan bukanlah memberikan perlindungan pada ide atau gagasan itu
sendiri. Ide atau gagasan itu sendiri tetap dilindungi sebagai hak cipta
tetapi tidak sebagai hak cipta karya sinematografi, mungkin saja hak
cipta dalam bidang karya novel, karya ilmu pengetahuan sejarah atau
karya musik dan lagu. Selanjutnya bentuk/perwujudan dari sebuah ide
atau gagasan itu dapat divisualisasikan dan kemudian direkam dengan
menggunakan teknologi cakram optik yang kemudian terwujud dalam
bentuk VCD ataupun DVD. Benda yang disebut terakhir ini adalah
benda berwujud dan dilindungi sebagai hak kebendaan juga.

Oleh karena itu, penempatan karya sinematografi sebagai
bahagian dari hak cipta dan merupakan hak atas benda yang tidak
berwujud dapat dilihat pada skema berikut ini :

248 Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang No. 19 Tahun 2002,
Lembaran Negara Republik Indonesia tanggal 29 Juli 2002, Nomor 85 Tahun 2002 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4220.

340

341

Dalam skema 249 di atas, kedudukan karya sinematografi
dalam sistem hukum benda adalah termasuk dalam kategori atau
kelompok benda tidak berwujud yang merupakan bahagian dari
(komponen) hak cipta. Dengan menempatkan karya sinematografi
sebagai benda tidak berwujud maka aspek perlindungan hukum
terhadap benda ini tunduk pada sistem hukum benda tidak berwujud.
Perlakuan dalam praktek penegakan hukumnya juga menjadi berbeda.
Bukan benda materilnya seperti kepingan VCD atau DVD yang
dilindungi, tetapi yang dilindungi adalah haknya yaitu : hak untuk
memperbanyak atau hak untuk mengumumkan. Seseorang yang telah
membeli VCD atau DVD, ia hanya dapat menikmati suara, gambar dan
jalan cerita yang dapat ditampilkan dalam bentuk visual, akan tetapi ia
tidak diperkenankan untuk memperbanyak kepingan VCD dan DVD
tersebut atau menjualnya. Perbuatan memperbanyak atau memproduksi
karya sinematografi tersebut itulah yang dikategorikan sebagai
pelanggaran atas hak (immateril) karya sinematografi yang dilindungi
dengan hak cipta. Skema di atas juga menjelaskan adanya hubungan
antara karya sinematografi dengan karya cipta lainnya. Termasuk juga
hubungannya dengan hak terkait (neighbouring rights).

Jika merujuk pada prinsip atau asas-asas yang dianut oleh
Buku ke-II KUH Perdata yang menganut sistem tertutup, maka
seyogyanya prinsip hukum perdata itu juga akan mengikuti tiap-tiap
benda yang diatur di luar KUH Perdata termasuk hak cipta. Karena
hukum perdata bidang hukum benda menganut prinsip tertutup maka
hanya yang disebut dalam undang-undang secara tegas yang dapat
dikategorikan sebagai benda. Di luar itu tidak dapat dikategorikan
sebagai benda termasuk hak cipta, yang hanya menyebut sebanyak 12
(dua belas) item saja yang dilindungi sebagai hak cipta. Asas atau
prinsip tertutup ini menyebabkan hak-hak yang dapat dilindungi

249 Skema di atas berbeda dengan pemahaman yang selama ini telah
dikembangkan dalam berbagai literature yang menempatkan Trade Secrets, Unfair
Competition dan Application of Origin serta Indication of Origin sebagai hak kekayaan
perindustrian (Industrial Property Rights). Hak-hak yang disebutkan terakhir ini adalah
merupakan hak yang memiliki hubungan dengan Industrial Property Rights. Obyek yang
disebutkan terakhir ini tidak memperlihatkan adanya unsur hak kebendaan. Tidak ada hak
yang perlu mendapat perlindungan dari ketiga item obyek yang disebut sebagai bahagian
dari industrial property righs. Sebut saja misalnya Trade Secrets atau rahasia dagang,
tidak begitu jelas hak apa yang akan dilindungi. Sesuatu yang dirahasiakan dalam
aktivitas perdagangan, mungkin cara pembuatannya, komposisinya, mungkin juga cara
pemasarannya dan lain-lain sebagainya yang penuh kerahasiaan. Tentu saja hal ini tidak
menggambarkan adanya hak kebendaan yang dilindungi, karena itu tidak dapat
diklasifikasikan kedalam obyek hak atas benda immateril atau obyek hak kekayaan
intelektual.

342

dengan hak cipta menjadi terbatas secara limitatif. Oleh karena itu tidak
semua kreativitas manusia yang dilahirkan dari sebuah gagasan atau ide
berupa ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusasteraan dapat dilindungi
dengan hak cipta. Itu adalah satu contoh kecil saja bagaimana cara
mencari simpul sinkronisasi dalam penyusunan sebuah undang-undang.
Singkronisasi semacam itulah yang tidak terjadi dalam penyusunan
Undang-undang hak cipta nasional,250 sehingga menimbulkan kesan
undang-undang itu disusun berdasarkan pesanan. Atau lebih dari
sekedar pesanan, mungkin saja karena tekanan.

3. Paradigma Politis
Seekor anjing kata Adam Smith, tak pernah secara sadar

berbagi tulang dengan temannya. Karena itu seekor anjingpun tak
pernah menyisihkan kelebihan tulang yang ia dapat hari ini untuk
disimpan guna keperluan esok hari. Kesadaran (budaya) seperti itu
hanya ada pada diri manusia. Akan tetapi jika “kesadaran untuk
berbagi” secara kolektif dan kesadaran “untuk hari esok” tidak lagi
dimiliki oleh manusia, maka cara pandangnya sama dengan seekor
anjing yakni “penyelamatan dirinya hari ini. Jika ini terus berlangsung
maka dengan meminjam perkataan Hobbes, manusia akan menjadi
serigala diantara sesamanya. Puncaknya berujung pada pilihan
pragmatis. Apakah pilihan ini berbahaya ? Buat bangsa yang besar
seperti Indonesia pilihan pragmatis ini sangat berbahaya. Berbahaya
bagi kelangsungan bangsa ini ke depan. Setelah lepas dari penjajahan
secara fisik, pilihan politik pragmatis, praktek penjajahan digantikan
oleh bangsa sendiri dengan sekutunya negara asing, namun bentuk
penjajahannnya berubah menjadi penjajahan peradaban, penjajahan
ideologi, penjajahan kultural, yang wujudnya adalah menerima apa
adanya tekanan negara asing. Bagi segolongan elit politik, bersekutu
dengan negara asing adalah menguntungkan. Lihatlah bagimana
Soeharto berkuasa dan bertahan lebih dari tiga dasawarsa, karena
berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Amerika. Indonesia
dijadikan Amerika sebagai boneka guna melawan ideologi dan negara
Komuis . Pasca keruntuhan komunis, Amerika kemudian menjadi
kekuatan tunggal satu-satunya di dunia. Agaknya sudah waktunya pula
untuk tidak berlama-lama melindungi kekuasaan tirani di Indonesia.

250 Penempatan redaksi Pasal 2 Undang-undang Hak Cipta Nasional, yang
membatasi hak atas benda apabila disewakan, membuktikan bahwa norma ini keluar dari
sistem hukum benda.

343

Puncaknya Soeharto harus lengser, dan Amerika berada di balik semua
peristiwa itu.251

Matrik 31
Perencanaan Pembangunan Era 1945-2025

Thn Tantangan Falsafah, Arah Paradigma Kelembagaan Sisem dan Sistem

Yang dan Tujuan Strategi Pemerintahan Proses Pelaksanaan

Dihadapi Pembangunan Kebijakan dan dan Perencana dan Hasil yang

Program Perencanaan an Dicapai

Pembangunan

1945 Peperangan, Pancasila, Membangun Pergantian Perintisan Normalisasi

- Blokade Pengakuan Demokrasi dan Pemerintahan perencana dan standarisasi

1949 Ekonomi dan Dunia atas Kelembagaan dan Perintisan an pengelolaan

Diplomasi Kedaulatan Ekonomi serta Lembaga berbasis anggaran,

Internasional Negara Memperbesar dan Perencanaan ilmu pengakuan

Republik Menyebarkan pengetahu dunia atas

Indonesia dan Kemakmuran an kemerdekaan

Pembebasan Rakyat Secara Indonesia, dan

Bangsa dari Merata membaiknya

Berbagai perekonomian

Keterbelakanga

n

1950 Ketidakstabil Pengembangan Independensi dan Cepatnya Menguatn Perubahan

- an politik dan Pancasila di antidependensi di pergantian ya sistem dan

1959 keamanan bidang bidang ekonomi, cabinet dan perencana proses

terbengkalain ekonomi, sosial dan politik inovasi an pengangaran,

ya pengembangan kelembagaan pembangu ketidakstabilan

perekonomia kelembagaan perencanaan nan ekonomi,

n ekonomi sosial - Kepanitiaa berbasis politik dan

politik bangsa n pada ilmu pemerintahan

dan Kementeri pengetahu

peningkatan an an

kesejahteraan Perdagang

rakyat an dan

Industri

- Dewan

Perancang

Negara

dan biro

perancang

negara

- Dewan

perancang

nasional

1960 Konflik Pancasila yang Manipol-Usdek, Tidak ada Perencana RPNSB I

- ideologi, dijabarkan etatisme ekonomi pemisahan an mengikuti

1965 politik, dengan pola dan kekuasaan, sentralisti tripola dan

ekonomi dan pikir Nasakom pembangunan penguatan s, melalui

sosial budaya untuk bangsa lembaga berwawas anggaran

dalam mewujudkan perencanaan an jangka pembangunan,

kegotongroyo sosialisme pembangunan panjang, pencetakan

ngan Indonesia bersifat uang serta

Nasakom dengan nasional terealisasinya

semangat dan beberapa

berdikari semesta, proyek

tidak

didukung

kemampu

an

pembiaya

an

251 Lebih lanjut lihat Horst Henry Geerken, A Magic Gecko Peran Cia Di
Balik Jatuhnya Soeharto, (Terjemahan Tingka Adiati), Kompas, Jakarta, 2011.

344

1966 Tingginya Pengamalan Konsistensi Penataan Persiapan Persiapan

- inflasi, Pancasila dan dalam kelembagaan penyusun membangun

1968 kemerosotan UUD 1945 pengamalan pemerintahan an tata kelola

ekonomi dan secara murni Pancasila dan dan rencana pembangunan

hancurnya dan konsekuen UUD 1945, perencanaan pembangu yang berdaya

prasarana dalam berbagai rasional dan pembangunan nan lima guna dan

fisik dan bidang realistis dalam berbasis ilmu tahunan berhasil guna

kelembagaan kehidupan pengelolaan pengetahuan serta dapat

kebijakan, dipertanggungj

program dan awabkan.

anggaran

1969 Pertumbuhan Pancasila Pertumbuhan, Stabilitas Keterkaita Pengelolaan

- ekonomi, dengan titik pemerataan dan politik dan n erat secara

1994 perubahan berat pada stabilitas yang pemerintahan antara terkendali,

struktur pembangunan sehat dan dinamis serta perencana berkembangnya

ekonomi, bidang serta mantapnya an jangka peran serta

pemerataan ekonomi dan berkelanjutan lembaga panjang, masyarakat,

pembangunan bidang-bidang perencanaan menengah berorientasi

dan persiapan lain bersifat dan kepada

tinggal landas menunjang dan tahunan, golongan

melengkapi keterkaita ekonomi lemah

n antara

pusat dan

daerah

serta

antara

perencana

an dan

pengangg

aran

1994 Peningkatan, Pancasila dan Kemajuan, Upaya Peningkat Upaya

- pembaruan mewujudkan kemandirian dan mewujudkan an memenuhi

2019 dan perluasan masyarakat keadilan melalui kesinambung partisipasi kebutuhan

bidang yang maju, pembangunan an dan public

pembangunan mandiri, adil manusia secara pembangunan pemberda

dan sejahtera terpadu dengan yaan

pembangunan masyarak

bidang lainnya at

yang berorientasi

pada trilogy

pembangunan

serta

pemberdayaan

masyarakat dan

pembangunan

berkelanjutan

1998 Krisis Pancasila, Reformasi total, Amandemen Propenas Penerapan

- multidimensi, masyarakat konsolidasi konstitusi, sebagai prinsip good

2004 demokratisasi madani dan demokrasi, restrukturisasi penjabara governance

, pemulihan desentralisasi, kelembagaan n GBHN dalam

desentralisasi ekonomi akuntabilitas negara dan 1999 dan manajemen

dan pemerintahan dan reposisi peran perubahan pemerintahan,

penegakan pembangunan Bappenas peran pengenalan e-

tata kelola berkualitas Bappenas procurement

pemerintahan dalam dan pulihnya

yang baik penyusun perekonomian

an

anggaran

2005 Meningkatka Pancasila dan Pro-growth, pro- Kabinet Visi dan Meningkatnya

- n kualitas pembangunan poor, pro-job dan presidensial misi transparansi

2009 pertumbuhan inklusif pro-green dalam sistem kepala dalam

dan multipartai, pemerinta pelelangan/pen

desentralisasi pelembagaan han gadaan barang

dalam bingkai Sistem terpilih dan jasa

negara Perencanaan dalam pemerintahan

kesatuan RI Pembangunan RPJMN/ dan

Nasional D dengan pertumbuhan

(SPPN) pendekata ekonomi dan

n cukup tinggi

teknokrati

s dan

partisipati

f

2010 Reformasi Pancasila, Quality growth, Cabinet Perencana Pengembangan

- birokrasi, pembangunan creative and presidensial an wilayah pulau-

345

2015 percepatan yang inclusive dengan sistem demokrati pulau besar

pertumbuhan berkualitas dan koalisi, s dan Koordinasi
meningkatnya teknokrati perencanaan
ekonomi yang inklusif aktivitas s dan
koordinasi pelaksanaan
berkualitas,
perencanaan pembangunan
penegakan pembentukan Sistem
komite pelaksanaan
hukum dan ekonomi dan hasil yang

peningkatan nasional dan dicapai
komite Hasil 100 hari
daya saing inovasi Kabinet
nasional Indonesia
nasional
Bersatu II

Sumber : Mustopadidjaja AR, Bappenas Dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025, LP3ES,
Jakarta, 2012.

Matrik di atas memperlihatkan berbagai kebijakan
pembangunan sejak masa awal kemerdekaan hingga hari ini.
Pembangunan dalam bidang hukum hanya dijadikan sebagai instrumen
atau alat pembangunan. Hukum tidak ditempatkan sebagai bidang
(sektor) pembangunan sendiri, tapi ditumpangkan dalam pembangunan
sosial budaya. Pembangunan sektor ekonomi secara terus menerus
diprioritaskan.

Keadaan ini sebenarnya tidak terlepas dari aturan yang
memberi kewenangan kepada pemerintah eksekutif (Presiden) sebagai
lembaga pemegang kekuasaan pembuat undang-undang, pada masa
penyusunan Undang-undang hak cipta nasional ketika itu. Pasal 5 ayat
(1) UUD 45 menyatakan “ Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Ketentuan itu menempatkan presiden pada posisi pemegang kekuasaan
legislasi, sedangkan DPR diposisikan sebagai pemegang kekuasaan
legislasi yang semu. Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi yang
semestinya menjalankan undang-undang, tapi justeru di tangannya
berada posisi legislasi. Tak jarang pula undang-undang yang keluar
pada masa itu, dalam berbagai pasalnya memberi peluang pula untuk
pelaksanaan pasalnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Alhasil
sempurna lah kewenangan legislatif dan kewenangan eksekutif berada
di tangan satu orang yakni, Presiden. 252

252 Ketika Presiden ditetapkan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,

tak pelak lagi presiden tampil bak penguasa Monarchi. Tampil berkuasa seperti seorang

raja. Apa jadinya sebuah negara hukum dalam bentuk republik tapi dipimpin oleh
seorang “raja”. Semua perintah adalah titah. Titah raja adalah hukum. Jika yang

dititahkan pun salah tetap saja dipandang sebagai hukum. Dalam pepatah Melayu seorang
yang bukan raja, tapi bertindak seolah-olah seorang raja, maka perilakunya akan “beraja
di mata bertahta di hati”. Semua kebijakannya harus dipandang benar dan jika salahpun

harus dibenarkan oleh para penggawa dan prajuritnya. Kenyataan ini berlangsung cukup

lama di Republik ini. Itulah sebabnya berpuluh-puluh undang-undang pasca dibentuknya

346

Undang-undang Hak Cipta Nasional disusun dan dilahirkan
pada priode UUD 45 belum diamandemen. Empat kali RRU hak cipta
nasional semuanya diusulkan oleh Presiden (pemerintah) dan ketika itu
Presiden juga memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
Dalam bahasa yang agak ekstrim, UU hak cipta nasional yang ada dan
pernah ada di Republik ini adalah undang-undang nya Presiden, karena
itu yang tertangkap dalam undang-undang itu adalah sebagian besar
aspirasi pemerintah, untuk tidak dikatakan kering dari aspirasi rakyat.

Sekalipun selama priode Indonesia merdeka banyak juga
undang-undang yang dilahirkan yang selaras dengan tujuan nasional,
sekalipun undang-undang itu dilahirkan tidak karena aspirasi rakyat.
Akan tetapi sebagian lagi undang-undang itu bertentangan dengan
semangat kemerdekaan dan tujuan nasional. Undang-undang tentang
Nasionalisasi Perusahaan Asing Belanda, UU No. 56 Tahun 1958
misalnya, adalah salah satu contoh saja untuk menyebutkan undang-
undang yang tidak aspiratif. 253

Matrik di bawah ini memperlihatkan kinerja lembaga pembuat
undang-undang selama kurun waktu 1945-2012, akan tetapi tidak
semua produk undang-undang yang dihasilkan dapat berterima di hati
rakyat sehingga dikemudian hari dilakukan pengujian, seperti
tergambar dalam matrik di bawah ini.

Mahkamah Konstitusi yang harus dikoreksi kembali di mahkamah itu. Bung Karno
pernah mengukuhkan dirinya sebagai presiden seumur hidup, Soeharto berkuasa lebih
dari tiga dasawarsa yang mengukuhkannya sebagai “sang Raja” dengan berbagai julukan.
Pasca reformasi, Habibi, Gus Dur dan Megawati, iklim demokrasi mulai terbuka, tapi
perilaku monarchi tetap mewarnai jalannya pemerintahan dan semakin kental terasa pada
era kepemimpinan Susilo Bambang Yoedoyono. Akan tetapi yang menarik adalah pasca
amandemen UUD 45, kekuasaan legislasi beralih ke tangan DPR namun presiden
memiliki hak untuk mengajukan RUU. Pasal 20 ayat (1) UUD hasil amandemen
mengatakan “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Kemudian pada
tahun 2011 keluar UU No.12 yang menegaskan bahwa dalam setiap rancangan peraturan
yang diajukan harus disertai dengan Naskah Akademik. Lebih lanjut lihat David Jenkins,
Soeharto & Barisan Jenderal Orba Rezim Militer Indonesia 1975-1983, Komunitas
Bambu, Jakarta, 2010. Lihat juga Indriyanto Seno Adji, dan Juan Felix Tampubolon,
Perkara H.M. Soeharto, Politisasi Hukum ?, Multi Media Metrie, Jakarta, 2001.

253 Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Penanaman Modal
Asing, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Kehutanan, Undang-undang
Lingkungan Hidup, dan lain-lain.

347

Matrik 32

Kinerja Lembaga Pembuat Undang-undang
(1945 – 2012)

Periodisasi Kekuasaan Pembuat Jumlah
Undang-undang Produk
Undang-
1945-1949 Presiden undang
(18 Agst 1945 – 14 Nop BP KNIP
-
1945) 133 UU
(14 Nop 1945 – 27 Des

1949)

1949-1950 Presiden, DPR dan Senat 7 UU dan 30
27 Des 1949 – 1950 UU Darurat

1950-1959

5 Juli 1959 Presiden dan DPR 113 UU

1959-1966 Presiden 10 UU

1966-1971 Presiden 85 UU

1971-1977 Presiden 43 UU

1977-1982 Presiden 55 UU

1982-1987 Presiden 46 UU

1987-1992 Presiden 55 UU

1992-1997 Presiden 70 UU

1997-1999 Presiden 103 UU

1999-2004 Presiden dan DPR 174 UU

2004-2009 Presiden dan DPR 169 UU

2009-2010 * DPR 16 UU

2010-2011 * DPR 24 UU

2011-2012 * DPR 30 UU

1163 UU

Sumber : Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-

undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press,

Jakarta, 2012

*Sumber : Harian Rakyat Merdeka, Mahfud : Pembuat UU Tidak

Profesional, Kamis, 3 Januari 2013.

Diolah kembali oleh : Saidin, 2013.

348

Matrik 33
Gugatan Uji Materil Terhadap Undang-undang

di Mahkamah Konstitusi

Tahun Jumlah Gugatan

Kurun waktu 2011 169

Kurun waktu 2012 118

Jumlah 287

Sumber : Harian Rakyat Merdeka, Mahfud : Pembuat UU Tidak

Profesional, Kamis, 3 Januari 2013.

Jika dihubungkan kedua matrik di atas dapat disimpulkan
bahwa, kinerja DPR dan Pemerintah dalam melahirkan Undang-undang
memang terlihat nyata ada, akan tetapi hasil kerjanya di kemudian hari
mendapat kecaman dari berbagai pihak hingga kemudian harus
dilakukan uji materil. Selama kurun waktu tahun 2011 terdapat 169
undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan untuk diuji dan
selama kurun waktu 2012, terdapat 118 undang-undang yang daijukan
untuk diuji secara materil. Catatan di Mahkamah Konstitusi dari 169
gugatan yang diajukan pada Tahun 2011, 97 gugatan diantaranya telah
diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Diantara gugatan yang telah
diputus itu terdapat 30 gugatan yang dikabulkan, 31 gugatan ditolak,
30 gugatan tidak dapat diterima dan 6 gugatan ditarik kembali seperti
tertera pada matrik di bawah ini.

Matrik 34
Tipologi Putusan Gugatan Uji Materil Terhadap Undang-undang

Kurun Waktu 2011

Tipologi Jumlah Gugatan Persentase (%)

Dikabulkan 30 30,93

Ditolak 31 31,95

Tidak dapat diterima 30 30,93

Ditarik kembali 6 6,19

Jumlah 97 100 %

Sumber : Harian Rakyat Merdeka, Mahfud : Pembuat UU Tidak

Profesional, Kamis, 3 Januari 2013.

Diolah kembali oleh : Saidin, 2013.

349

Pada kurun waktu 2011 terdapat 30,93 % gugatan uji materil
terhadap undang-undang yang putusannya dikabulkan dan itu berarti
bahwa undang-undang yang diproduk itu mengandung cacat atau
kekeliruan atau bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Pemerintah dan DPR tidak punya bukti yang kuat untuk
mempertahankan keberadaan undang-undang itu. Alasan lain juga
sering dijadikan sebagai dasar pertimbangan karena undang-undang itu
tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Ini terjadi menurut Mahfud
MD : “Karena kuatnya politik transaksional dalam bentuk tukar
menukar kepentingan dalam pembentukan undang-undang”. 254 Ini
memperlihatkan betapa lemahnya kader-kader politik yang duduk di
lembaga legislatif. 255

Itulah sebuah kelemahan nyata dari pilihan politik hukum
pragmatis. Undang-undang yang dihasilkan tidak dapat bertahan lama,
bahkan mendapat perlawanan baik secara terang-terangan maupun
secara diam-diam. Ada kalanya juga undang-undang semacam itu terus
dapat bertahan tapi tidak dapat mencapai tujuannya, alias “macan
kertas”. Sebuah pertimbangan politis dalam penusunan undang-undang,
bukanlah sebuah pertimbangan yang dilakukan hanya dimaksudkan
untuk memenuhi unsur-unsur ilmu perundang-undangan atau sebagai
syarat dalam legal drafting. Sebuah pertimbangan politis adalah sebuah
dasar pijakan secara operasional, agar undang-undang yang akan
dilahirkan itu adalah undang-undang yang menyahuti gagasan
berdirinya negara, untuk mencapai tujuan negara dan yang lebih
penting dapat dioperasionalkan. Undang-undang yang secara
operasional dapat berjalan secara simetris dan simultan dalam satu
bingkai negara guna menjawab seluruh ide dan cita-cita negara.
Agaknya akan menjadi relevan mengaitkan cita-cita pembangunan
hukum nasional dengan alasan politis yang dirumuskan sejak awal.
Perumusan itu tidak dihadirkan secara “dadakan” pada saat persoalan
itu tiba. Tugas pembuat undang-undang tidak hanya mengantisipasi
setiap ada persoalan dalam masyarakt yang persoalan itu muncul tapi
hukum yang mengaturnya belum ada, akan tetapi lebih dari sekedar itu
yakni mendesain ke arah mana masyarakt ini akan di bawa dan hukum

254 Harian Rakyat Merdeka, Mahfud : Pembuat UU Tidak Profesional, Kamis,
3 Januari 2013.

255 Pada kesempatan lain Akbar Tanjung mengungkapkan lemahnya sistem
pengkaderan di Parpol, melahirkan kader instan disampaikan pada acara “Dialog
Membangun Budaya Demokrasi” diselenggarakan oleh Perhimpunan Pergerakan
Indonesia, Jakarta, 8 November 2013, lihat Koran Sindu, Sabtu, 9 November 2013, hal.
9.

350

seperti apa yang akan dipersiapkan untukmengantisispasi masa depan
itu. Karena itu pembangunan bidang hukum tidak bisa dilepaskan
dengan pembangunan bidang sosial budaya, bidang pertahanan
keamanan, bidang politik, ekonomi dan lain sebagainya. Demikian juga
hukum atau undang-undang yang mengatur tentang Hak Cipta. Dalam
hak cipta banyak terdapat kepentingan publik.256 Tidak hanya
kepentingan para ilmuwan dan seniman (meliputi karya bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastera) yang terdapat dalam hak cipta, tetapi
juga terdapat berbagai kepentingan kepentingan lainnya baik secara
perorangan maupun kelembagaan. Semua itu harus mendapat tempat
dalam perencanaan pembangunan hukum nasional yang dirumuskan
sebagai wawasan politik hukum nasional yang dapat dituangkan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), seperti gagasan M. Solly
Lubis 257 sebab tanpa demikian, undang-undang yang dilahirkan akan
keluar dari cita-cita hukum nasional.

C. Struktur Hukum
Secara etimologi struktur selalu diartikan sebagai susunan

yang terdiri dari lapisan-lapisan, seumpama tulang ikan mulai dari
kepala sampai ekor. Ada tulang utama yang besar, kemudian tulang-
tulang kecil yang panjang yang semakin bergerak ke ekor semakin
kecil akan tetapi tetap tersusun secara rapi. Dalam satu organisasi
sosial, struktur selalu bermakna susunan kepengurusan yang rapi, mulai
dari jabatan yang paling tinggi sampai jabatan yang paling rendah.
Dalam satu (organisasi) negara, struktur selalu dimaknai sebagai
susunan badan-badan negara atau lembaga negara, mulai dari presiden
sampai pada kepala lingkungan, mulai dari DPR sampai pada Lembaga
Musyawarah Desa, mulai dari Mahkamah Agung sampai pada
Pengadilan Negeri, mulai dari Jaksa Agung sampai pada Kejaksaan
Negeri, mulai dari Kapolri sampai pada Kapolsek dan seterusnya. 258

Dalam struktur lapisan-lapisan itu akan bekerja secara
profesional menurut tugas dan kewenangannya masing-masing, namun
semuanya akan menyumbangkan (out put) untuk mewujudkan tujuan
organisasi. Struktur dalam sistem sosial hanyalah sebuah komponen

256 Gillian Davies, Copyright and The Public Interest, Thomson Sweet &
Maxwell, London, 2002.

257 M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2011.

258 Lebih lanjut lihat, Inu Kencana Syafiie, Manajemen Pemerintahan, Pustaka
Reka Cipta, Bandung, 2011.

351

saja dan tidak menutup kemungkinan struktur-struktur lain akan berada
dalam satu sistem sosial itu. 259

Dalam berbagai studi ilmu sosial, struktur selalu bermakna
sosiologis dan kulur selalu dimaknai secara antropologis. Teori-teori
sosiologi tentang inipun sudah banyak dikaji oleh para sosiolog, sebut
saja Durkheim, Spencer, Weber, Luhmann dan Giddens.260
Pembahasan berikut ini tidak hendak mempertentangan berbagai
pandangan dari kalangan sosiolog itu, tapi harus diakui inilah
pembahasan yang paling sulit tentang hukum , jika hukum hendak
ditempatkan dalam satu sistem yang keberadaannya didudukkan
secara bersama-sama dengan sub sistem sosial lainnya dalam satu
sistem sosial yang lebih luas.

Sulit untuk memisahkan perilaku individu yang memiliki
jabatan secara struktural dalam organisasi negara tapi kemudian
pengaruhnya sedemikian besar dalam menentukan kebijakan negara .
Lembaga kepresidenan misalnya yang dipimpin oleh presiden tidak
hanya menjalankan tugas sebagai presiden menurut ketentuan tugas dan
kewenangannya berdasarkan peraturan yang ada, tapi tindakannya bisa
berpangkal pada keinginan pribadinya atau tindakan secara individual
yang ketika diaktualisasikan dianggap sebagai tindakan kelembagaan
secara struktural kenegaraan. 261

Demikian juga dalam tatanan masyarakat dengan struktur
masyarakat tradisional, ketika masyarakat “menghakimi” pencuri
ayam dianggap sebagai tindakan yang sah karena budaya masyarakat
melakukan eugenrichting (menghakimi sendiri) adalah sebuah tindakan
yang lazim dalam struktur masyarakat (tradisional) atau ketika hukum
dalam konsep struktur masyarakat modern tak mampu menjalankan

259 Lebih lanjut lihat, Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Rajawali, Jakarta,
1987.

260 Lebih lanjut lihat Max Weber, Sosiologi, (Terjemahan Noorkholish),
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009. Lihat juga Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori
Sosial Modern Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, UI Press,
Jakarta, 2007. Lihat juga Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 163.

261 Sebagai contoh intervensi presiden terhadap kasus antara Kapolri dengan
KPK, padahal sebenarnya yang disidik adalah oknum-oknum yang kebetulan bekerja di
masing-masing institusi itu. Penyidik KPK yang bernama Novel sedang menyidik
Perwira Tinggi Polri dalam kasus simulator SIM, Joko Sosesilo, tapi kemudian Novel
pernah perkaranya dibekukan dalam kasus pembunuhan di Palembang, ketika yang
bersangkutan menjabat sebagai Kapolres di salah satu wilayah hukum di Sumatera
Selatan. Terlihat jelas intervensi “orang-orang” terhadap institusi, tapi kemudian berubah
jadi kebijakan kelembagaan).

352

fungsinya, karena adanya perbedaan pada sistem hukum.
Persinggungan antara struktur sosial pada masyarakat tradisional dan
struktur sosial pada masyarakat modern tak bisa dihindari dan itulah
yang di kemudian hari melahirkan kultur baru yang diikuti dengan
kelahiran struktur sosial yang baru pila seperti yang digambarkan
Kobben, ketika meneliti hukum pada level masyarakat desa di
Suriname. Kobben262 mengungkapkan :

In the past the Djuka formed a state within the state, and in many
respects this situation still holds. They still settle most of their disputes
without referring to the Surinam authorities. Only for the most serious matters
do they go to the police of their own accord. Usually it is the headman who
does this. This happens in cases of murder or homicide and rape of a young
girl – offenses that are rare. In the villages near the administrative centers,
Mungo and Albina, however, it has become more and more usual in the last
few years for young men who have taken a beating for seducing a woman to
go to the police and complain.

Two legal systems collide here. I try to explain that the police do
not want people to take the law into their own hands, but I have little success.
Da Jukun thinks he understands : “The police don’t think people ought to
fight at all ; whoever fights is punished. So if a man seduces your wife you
should put up with it. I suppose the wites don’t mind such things”.

Penelitian Kobben membuktikan bahwa pada masyarakat
Djuka di Suriname masih berlaku satu keadaan seperti di negaranya
sendiri meskipun telah ada suatu otoritas negara yang disebut
Suriname. Sebagian besar sengketa mereka tidak merujuk pada otoritas
pemerintahan Suriname hanya dalam hal-hal kasus serius seperti
pembunuhan, pemerkosaan atau pelanggaran-pelanggaran yang langka
(yang tak pernah mereka kenal sebelumnya) barulah mereka merujuk
polisi, itupun atas kemauan mereka sendiri. Di desa-desa dekat pusat
pemerintahan seperti Mungo dan Aldina telah pula menggunakan
lembaga kepolisian untuk menyampaikan keluhannya apabila ada
seorang laki-laki yang memukul atau merayu mereka. Karena itu di
Mungo terjadi dua sistem hukum dan itu dibiarkan hidup bahkan
kadang-kadang kedua sistem hukum itu saling bertabrakan karena di
satu sisi polisi ingin mengambil agar itu diselesaikan di tangan mereka
sendiri. Siapa saja yang melakukan kekerasan, harus dihukum, akan
tetapi Da Jukun (Lembaga Peradilan Tradisional Masyarakat Djuke)
tidak keberatan jika langkah-langkah itu diambil oleh polisi.

262 Andre J.F. Kobben Law at the Village Level : The Cottica Djuka of
Surinam, dalam Laura Nader (ed), Law in Culture and Society, University of California
Press, London, 1997, hal. 127.

353

Disini terlihat bahwa dua sistem hukum, yang satunya tunduk
pada sistem hukum lokal yang tradisional dan di lain pihak hukum
pemerintah yang lebih modern juga diberlakukan. Keduanya dapat
berjalan tanpa ada benturan yang berarti dalam aktivitas penegakan
hukum dalam masyarakat Suriname, akan tetapi struktur lembaga
penegakan hukum formal di Suriname berjalan tidak persis sama
dengan ketentuan yang termuat dalam hukum formal. Ini juga yang
terjadi di Indonesia dalam penyelesaian berbagai kasus-kasus pidana
mulai dari pidana berat sampai dengan pidana ringan. 263 Penegakan
hukum hak cipta yang tak kunjung membaik, juga dipengaruhi oleh
derajat struktur lembaga penegak hukum yang belum tuntas dari
pengaruh yang membebaskan mereka dari berbagai intervensi. Baik
intervensi secara kelembagaan maupun yang datang dari perorangan.

Derajat sistem soial itu sangat beragam, demikian Gaidens264
dan makin beragam lagi jika dihubungkan dengan masyarakat yang
plural yang dibedakan dalam ruang dan waktu. Katakanlah Indonesia
sebagai sebuah sistem, yang disebut sebagai sistem (sosial) nasional
yang luas. Tempat dan waktu yang berbeda menyebabkan
keberterimaan akan satu aturan yang telah terkonsepkan secara
struktural oleh badan negara yang memiliki kewenangan formal yang
coba untuk diberlakukan secar unifikasi, memperlihatkan sikap
(penerimaan) yang berbeda. Mungkin di Plaza atau di mall di Counter
(outlet) dijual DVD dan VCD orginal dengan harga yang relatif lebih
tinggi dan para konsumen tidak pernah ragu-ragu untuk mengeluarkan
uanganya (mungkin dia juga tidak merasa bahawa tindaknnya itu
merupakan wujud kepatuhannya terhadap UU hak Cipta) bila
dibandingkan dengan konsumen yang membeli di gerai pedagang kaki
lima oleh konsumen yang lain dengan harga relatif lebih murah (dan
iapun tak pernah menyadari dia telah melanggar kaedah hukum UU
Hak Cipta).

263 Praktek penyelesaian kasus pelanggaran lalu lintas dapat ditemukan setiap
hari di jalan raya, sedangkan praktek penyelesaian kasus pidana besar, dapat dilihat dari
peanaganan kasus pendompleng dana BLBI yang sebahagian besar tak pernah sampai ke
pengadilan, lihat juga penangan kasus Bank Century yang tak kunjung usai, kasus yang
melibatkan Andi Malarangeng dan Anan Urbaningrum yang terkesan lamban samapai
pada lihat hasil akhir penyelesaian kasus Soeharto, Lebih lanjut lihat David Jenkins,
Soeharto & Barisan Jenderal Orba Rezim Militer Indonesia 1975-1983, Komunitas
Bambu, Jakarta, 2010.

264 Anthony Giddens, The Constitution of Society Teori Strukturasi Untuk
Analisis Sosial, (Terjemahan : Drs. Adi Loka Sujono), Pedati, Pasuruan, 2003, hal. 200.

354

Kasus di atas menunjukkan sikap keberterimaan yang berbeda
untuk kaedah hukum yang sama, hanya karena berbedanya ruang
tempat, padahal di Maal itu juga dijual DVD dan VCD hasil
pelanggaran hak cipta, akan tetapi para konsumen pikirannya telah
terkoptasi bahwa di Mall akan ada jaminan bahwa barang yang dijual
itu adalah barang yang original.

Dalam kesempatan berkeliling di Eropa, guna melengkapi
studi ini, tiap kali berhenti di kota-kota di Eropa, kami menyempatkan
diri melakukan observasi di counter-counter penjualan DVD dab VCD
hasil karya sinematografi. Kami memperoleh gambaran bahwa di
ciunter-counter penjualan DVD dan VCD hasil karya sinematografi,
tidak ditemukan barang illegal atau hasil pelanggaran hak cipta. Semua
barang dijual dengan harga berkisar 7 sampai dengan 15 Euro per
keping. 265

Apakah di negara-negara Eropa itu tidak ada pembajakan hak
cipta karya sinematografi ? Sebuah wawancara non terstruktur yang
kami lakukan dengan salah seorang warga negara Belanda266
mengatakan :

Saya sudah 40 tahun lebih di Belanda dan saya penggemar film. Sampai hari
ini tidak kurang dari 500 keping VCD dan DVD di rumah saya dengan
berbagai judul cerita, mulai film Jepang, Amerika, Prancis, India sampai film
Indonesia. Film-film itu ada yang saya beli di Indonesia. Film-filmyang saya
beli di Belanda dan di negara-negara Eropa lainnya, semuanya original dan
saya beli dengan harga yang normal. Berbeda ketika saya membeli di
Indonesia, saya mendapatkan harga yang murah, tapi kualitasnya kurang
bagus, mungkin itu hasil bajakan.
Di Belanda tidak ada dijual hasil bajakan, semua yang dijual legal yang
ditandai dari lebel produksi dan lebel dari kantor pajak (cukai).

Kondisi di Perancis berbeda dengan di Belanda. Dalam sebuah
wawancara dengan seorang warga Perancis, 267 yang kebetulan selama
1 tahun tinggal di rumah kami, dalam wawancara dengan beliau, ia
katakan :

265 Harga rata-rata perkeping berkisara Rp.75.000,- sampai dengan

Rp.250.000,-Observasi ini kami lakukan di Belanda, Belgia, Itali, Spanyol, Swiss dan

Jerman. Observasi didampingi oleh Co-Promotor Tan Kamello, pada bulan April 2012.

266 Wawancara dengan ABDUL KARIM BASHEL, No. Pasport : NVK 5 J 98
F 6, Alamat : Boris Pasternak Straat No. 469, Amsterdam – Holland, tanggal 26 Juni

2013, di Medan, pukul 15.00 Wib.

267 Wawancara dengan PAULINE SALEUR No. Pasport : 11CX64404,

Kebangsaan : Perancis, Alamat 12 RUE CHARLES DE FOUCAULT 18390

SAINT GARMAIN DU PUY, FRANCE, tanggal 21 Juni 2013 di Medan, pukul 13.00

Wib.

355

Di Perancis tidak ada dijual DVD dan VCD bajakan seperti di Medan. Di
Medan di mana-mana tempat ditemukan penjual DVD dan VCD bajakan. Di
Pernacsis selain hukum tentang pelaku pembajakan itu ketat, juga orang-orang
tidak banyak membeli VCD dan DVD, hanya kalangan orang-orang tua saja.
Para anak muda lebih banyak mendownload di internet di situs-situs resmi
dan tidak resmi.
Mendownload di situs tidak resmi, juga tidak boleh itu melanggar hukum, tapi
sulit ditelusuri pelakuknya, karena situs itu berganti-ganti nama, satu minggu
sudah hilang, setelah itu ganti lagi.

Selanjutnya, dalam sebuah wawancara dengan seorang warga
Turki 268 yang kami lakukan, beliau mengatakan :

Saya adalah penggemar film. Banyak VCD dan DVD di rumah saya dengan
berbagai judul cerita, mulai film Jepang, Amerika, Prancis, India sampai film
Indonesia. Film-film itu ada yang saya beli di Indonesia. Film-film yang saya
beli di Turki dan di negara-negara Eropa lainnya, semuanya original dan saya
beli dengan harga yang normal. Berbeda ketika saya membeli di Indonesia,
saya mendapatkan harga yang murah, tapi kualitasnya tidak bagus, mungkin
itu hasil bajakan.
Di Belanda tidak ada dijual hasil bajakan, semua yang dijual legal yang
ditandai dari label produksi dan label dari kantor pajak (cukai).

Merujuk pada tiga wawancara dengan tempat yang berbeda, ternyata
ditemukan perilaku yang bervariasi. Itu menunjukkan bahwa dalam
sistem sosial, struktur mayarakat yang sama karena tempat dan waktu
yang berbeda, perilaku hukum menjadi bervariasi. Model pembajakan
bergeser ketika ditemukannya teknologi internet.
Karena itu pilihan politik hukum harus juga dan mau tidak mau harus
mengikuti trend perkembangan teknologi. Struktur sosial yang berubah
pada akhirnya memaksa hukum untuk mengikuti perubahan itu.
Pertanyaan berikutnya: apakah dengan perubahan sosial itu yang diikuti
dengan perubahan hukum secara normatif, nilai juga ikut berubah ?
Atau yang berubah normanya saja, dan nilai tidak iokut berubah ?
Kasus UU hak cipta nasional, memeperlihatkan keduanya berubah,
nilai dan norma ikut berubah.

Ternyata tujuan negara tidak dapat dicapai melalui kerja-kerja
individu. Tujuan negara sebagai suatu organisasi pemerintahan modern
tunduk pada struktur organisasi yang dibakukan dalam hukum dasar
yang dipilih sebagai dasar berpijak bangunan negara. Dalam konteks
ketatanegaraan, badan-badan negara dibentuk sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan negara tersebut dan itu ditetapkan dalam kaedah
hukum yang disebut sebagai hukum tata negara. Apa yang menjadi

268 Wawancara dengan Ali Cetin, warga negara Turki, tanggal 24 Juni 2013, di
Medan, pukul 13.00 Wib.

356

fungsi badan-badan negara, bagaimana bentuk struktur organisasinya,
bagaimana sistem pemerintahan yang dipilih dan lain sebagainya
ditetapkan dalam kaedah hukum tata negara. Selanjutnya bagaimana
badan-badan negara itu menjalankan fungsinya dalam struktur
organisasi negara itu, hal itu diatur dalam hukum administrasi negara.

Dalam praktek penegakan hukum, tidaklah cukup struktur
yang dimaksudkan adalah struktur lembaga penegak hukum tetapi juga
struktur lembaga pembuat undang-undang, struktur pemerintahan dan
bahkan struktur masyarakatnya sendiri. Mengenai struktur masyarakat
akan dibahas secara tersendiri dalam konteks budaya hukum. Organ-
organ negara seperti lembaga kepresidenan, lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, lembaga penegak hukum yang meliputi :
kepolisian, kejaksaan dan kehakiman akan membawa pengaruh pada
praktek penegakan hukum dalam kaitannya dengan struktur negara.
Praktek-praktek transaksional dalam pembuatan undang-undang antara
pihak eksekutif dengan pihak legislatif menjadikan produk undang-
undang itu gagal menyahuti aspirasi masyarakat. Demikian pula
praktek transaksional dalam proses penegakan hukum (law
enforcement) menyebabkan pula kaedah hukum itu gagal ditegakkan
atau setidak-tidaknya gagal mencapai tujuannya. Uraian berikut ini,
selain mengetengahkan tentang kinerja lembaga pembuat undang-
undang lebih jauh juga akan mengetengahkan uraian tentang lembaga
penegak hukum dan lembaga pemerintah (eksekutif) dalam kaitannya
dengan struktur dalam sistem hukum.

1. Lembaga Pembuat UU (Legislatif)
Dalam konteks negara hukum, kekuasaan legislatif dapat

dikatakan mendominasi semua proses politik. Semua kebijakan negara
yang akan dituangkan dalam undang-undang berada di tangan lembaga
legislatif. Proses politik pembentukan hukum oleh legislatif lebih
superior dari lembaga manapun dalam sebuah negara hukum.
Legislatiflah sebenarnya penentu arah dan kebijakan negara, eksekutif
hanya menjalankannya saja, sedangkan judikatif lebih pada aspek
mengawasi ; apakah sebuah undang-undang telah dijalankan dengan
baik. Bahkan dalam kasus Indonesia legislatifpun menjalankan fungsi
pengawasan. Begitu tinggi kedudukan politis lembaga legislatif.
Meskipun dalam Undang-undang Dasar 1945 (sebelum di amandemen)
kekuasaan pembentukan undang-undang pernah diberikan kepada
presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat hanya diberikan kewenangan
untuk menyetujui. Pasca amandemen UUD 1945 kewenangan itu sudah

357

dialihkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi presiden dapat
mengajukan usulan rancangan undang-undang.269

Anggota legislatif sebenarnya adalah representatif dari rakyat
Indonesia dari berbagai aliran politik, dengan segala tingkat
kemajemukan kulturnya. Sebagai lembaga perwakilan yang memegang
peranan “superior” itu, maka berbagai keinginan rakyat yang plural itu
akan dibahas di dalam satu atap yang disebut Lembaga Perwakilan
Rakyat. Di sana duduk perwakilan rakyat dari seluruh wilayah
Indonesia mulai dari yang mewakili daerah sampai dengan yang
mewakili kelompok agama (karena partai-partai juga dibentuk atas
dasar itu), mulai dari daerah Aceh, Riau, Banten, Yogayakarta, Bali,
sampai dengan Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Ketika ada
satu tema undang-undang akan dilahirkan, tak terbayangkan hukum
seperti apa yang harus dilahirkan untuk mengatur kepentingan
masyarakat yang plural itu. Entah apa juga bentuk perdebatan di
gedung legislatif itu, hingga muncul satu undang-undang yang yang
kemudian disetujui dan akhirnya diterima sebagai undang-undang
untuk mengatur masyarakat Indonesia yang plural itu. Tidak menjadi
soal juga jika di kemudian hari produk undang-undang itu tidak
“menyumbangkan” apa pun bagi tercapainya cita-cita hukum yang
dapat menyahuti cita-cita kemerdekaan. 270

Kebijakan politik legislasi nasional yang demikian tak
terelakkan lagi, karena Indonesia tidak memiliki pilihan lain
ketergantungan Indonesia secara ekonomis (berupa pinjaman) dengan
lembaga-lembaga keuangan Internasional, seperti International
Monettary Fund (IMF), World Bank dan Asian Development Bank
(ADB) dan bentuk ketergantungan lain adalah dengan perusahaan
multisional. Perusahaan multinasional dapat mengeluarkan ancaman,
akan hengkang dari Indonesia, jika negeri ini tidak merevisi atau

269 Lihat lebih lanjut Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-
undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2012.

270 Lihatlah lebih lanjut produk UU No,5 Tahun 1960 Tentang UU Pokok
Agraria, Undang-undang Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya,..Tak ada
juga yang peduli jika sebahagian masyarakat merasa mendapat perlakuan yang adil dan
sebahagian lagi merasa mendapat perlakuan tidak adil, atau sebahagian masyarakat
menjadi makmur dan sebagaian lagi menjadi miskin, atau sebahagian masyarakat
menjadi cerdas karena mendapat kesempatan pendidikan sebagian lagi menjadi bodoh
karena tak mendapat kesempatan bersekolah, karena produk undang-undang itu.Undang-
undang pada tatanan nasional, diproduk untuk menyahuti kepentingan elit politik dan elit
penguasa, karena itu undang-undang yang lahir cenderung mewakili “Senayan-Jakarta”
dan bagaimanapun juga produk hukum semacam itu tidak mapu mampu menyahuti
kepentingan seluruh masyarakat Indonesia yang plural.

358

mereformasi aturan perundang-undangannya menurut standar yang
mereka kehendaki.

Ketergantungan ini menurut Hikmahanto Juwono 271 sering
menjadi alasan intervensi Asing dalam proses legislasi Nasional,
sekalipun intervensi semacam itu tidak dilarang oleh undang-undang,
dalam arti tidak melanggar kaedah hukum Internasional. Akan tetapi
ketergantungan semacam itu membuat Indonesia “terpaksa” menyetujui
beberapa instrumen hukum Internasional, harus ikut menjadi anggota
konvensi Internasional yang memiliki keterkaitan dengan
ketergantungan itu. Atau setidak-tidaknya membuat perjanjian bilateral.
Dengan perjanjian itu negara maju menjadi leluasa untuk melakukan
intervensi dalam proses legislasi nasional di negara-negara berkembang
seperti Indonesia dengan memanfaatkan prosedur hukum yang
disepakati bersama. Meminjam istilah Hikmahanto, Instrumen hukum
(perjanjian) Internasional itu dijadikan sebagai alat intervensi negara
maju terhadap negara berkembang dalam proses legislasi. Paling tidak
ada dua sasaran yang ingin dicapai. Pertama, negara berkembang tidak
akan membuat hukum (undang-undang) yang tidak sesuai dengan
hukum dari negara maju.

Kedua, kepentingan Negara maju bisa “dipaksakan” tanpa
harus dianggap melakukan intervensi urusan dalam negeri suatu negara.
Negara maju sendiri, tidak berkepentingan untuk merubah hukum di
negaranya, sebab hukum merekalah yang sejak awal menjadi rujukan
perjanjian Internasional itu. Inilah yang terjadi untuk kasus Indonesia,
ketika Indonesia ikut meratifikasi hasil putusan WTO/GATT dan
Perjanjian Internasional ikutannya seperti TRIPs. Dampaknya
Indonesia dengan segala keterbatasannya harus mengikuti amaran
kesepakatan itu – karena itu telah menjadi kewajiban – yakni merevisi,
mereformasi, menyesuaikan atau memperbaharui peraturan perundang-
undangan HKI nya. Itu adalah sebuah intervensi politik internasional
yang nyata, intervensi politik negara-negara maju terhadap negara-
negara berkembang.

Reformasi Peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan
Intelektual setelah ratifikasi GATT/WTO janganlah dilihat sebagai
persoalan intervensi biasa, akan tetapi harus dimaknai sebagai proses
intervensi negara maju terhadap negara berkembang dan negara
berkembang “terpaksa” melakukannya melalui pilihan politik

271 Lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwono, Orasi Ilmiah, Hukum Sebagai
Instrumrn Politik : Intervensi Atas Kedaulatan Dalam Proses Legislasi di Indonesia,
Disampaikan pada Dies Natalis Fakutas Hukum USU ke-50, Medan, 12 Januari, 2004,
hal.12.

359

pragmatis dan untuk kasus Indonesia diikuti dengan kebijakan
transplantasi hukum.272

Perubahan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan
Intelektual Indonesia termasuk di dalamnya UU Hak Cipta, adalah
keharusan yang lahir dari keterikatan secara hukum dan moral negara
Indonesia atas keanggotaannya dalam organisasi perdagangan dunia
tersebut. Sekalipun kebutuhan dalam negeri atau masyarakat
Indonesia pada waktu itu memang belum mendesak untuk segera
melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan Hak
Kekayaan Intelektual tersebut. Bahwa arus globalisasi merupakan
gelombang yang tak dapat dihindari sebagai kemajuan peradaban umat
manusia yang diikuti dengan perubahan sosial hal itu sulit untuk
disangkal. Akan tetapi mengikuti saja arus perubahan itu tanpa upaya
untuk “menyaring” bahagian-bahagian perubahan yang mesti diikuti
adalah suatu tindakan atau pilihan politik yang kurang arif. Pemerintah
(Pusat) memang harus melakukan langkah-langkah politik yang
strategis untuk menghadapi tuntutan negara maju, akan tetapi rakyat
(daerah) jangan dikorbankan.

Di sinilah perlunya wacana untuk menentukan bentuk struktur
pemerintahan negara yang tepat. Hikmahanto273 dalam pidatonya
mengatakan :

Sulitnya penegakan hukum di Indonesia berawal dari peraturan perundang-
undangan itu dibuat, paling tidak itu didasarkan pada dua alasan ;
Pertama, pembuat peraturan perundang-undangan tidak memberi perhatian
yang cukup apakah aturan yang dibuat nantinya bisa dijalankan atau tidak.
Pembuat peraturan perundang-undangan sadar ataupun tidak telah mengambil
asumsi aturan yang dibuat akan dengan sendirinya dapat berjalan. Di tingkat
nasional, misalnya, UU dibuat tanpa memperhatikan adanya jurang untuk
melaksanakan UU antara satu daerah dengan daerah lain. Kerap UU dibuat
dengan merujuk pada kondisi penegakan hukum di Jakarta atau kota besar.
Konsekuensinya UU demikian tidak dapat ditegakkan di kebanyakan daerah
di Indonesia dan bahkan menjadi UU mati.
Keadaan diperparah karena dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
tidak diperhatikan infrastruktur hukum yang berbeda di berbagai wilayah di
Indonesia. Padahal infrastruktur hukum dalam penegakan hukum sangat
penting. Tanpa infrastruktur hukum yang memadai tidak mungkin peraturan

272 Pilihan pragmatis itu dilakukan, karena pihak negara maju selalu menjadi
sumber ketergantungan negara berkembang baik ketergantungan secara ekonomi, politik
maupun ketergantungan dari aspek keamanan, lebih lanjut lihat Sritua Arief & Adi
Sasono, Indonesia Ketergantungan dan Keterbelakangan, Mizan, Jakarta, 2013.

273 lihat pidato, Hikmahato Juwono, Penegakan Hukum Dalam Kajian Law
and Development: Problem dan Fundamental Bagi Solusi di Indonesia, Disampaikan
pada acara Dies Natalis ke 56 Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Februari 2006,
hal 13.

360

perundang-undangan ditegakkan seperti yang diharapkan oleh pembuat
peraturan perundang-undangan.
Kedua, peraturan perundang-undangan kerap dibuat secara tidak realistis. Ini
terjadi terhadap pembuatan peraturan perundang-undangan yang merupakan
pesanan dari elit politik, negara asing maupun lembaga keuangan
internasional. Disini peraturan perundang-undangan dianggap sebagai
komoditas.
Elit politik dapat menentukan agar suatu peraturan perundang-undangan
dibuat, bukan karena kebutuhan masyarakat melainkan agar Indonesia
memiliki peraturan perundang-undangan yang sebanding (comparable)
dengan negara industri. Sementara negara asing ataupun lembaga keuangan
internasional dapat meminta Indonesia membuat peraturan perundang-
undangan tertentu sebagai syarat Indonesia mendapatkan pinjaman atau hibah
luar negeri.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi komoditas biasanya kurang
memperhatikan isu penegakan hukum. Sepanjang trade off dari pembuatan
peraturan perundang-undangan telah didapat maka penegakan hukum bukan
hal penting. Bahkan peraturan perundang-undangan seperti ini tidak realistis
untuk ditegakkan karena dibuat dengan cara mengadopsi langsung peraturan
perundang-undangan dari negara lain yang notabene memiliki infrastruktur
hukum yang jauh berbeda dengan Indonesia.
Dua alasan di atas mengindikasikan peraturan perundang-undangan sejak awal
dilahirkan tanpa ada keinginan kuat untuk dapat ditegakkan dan karenanya
hanya memiliki makna simbolik (symbolic meaning).

Dalam pidatonya yang lain Hikmahanto274 mengisaratkan
betapa selama ini kebijakan pemerintah pusat dalam perubahan
undang-undang hanya menguntungkan pihak asing, mulai dari
perubahan UU HKI sampai dengan perubahan UU Kepailitan.
Demikian juga ratifikasi konvensi Internasional, lebih daripada
tindakan kamuflase agar Indonesia dipandang oleh negara-negara maju
sebagai negara yang turut berperan aktif dalam menyongsong
liberalisasi perdagangan dalam era globalisasi, padahal Indonesia
sangat tidak siap untuk menyongsong era itu dan ideologi
negaranyapun tak memberi peluang untuk itu, tapi “Jakarta” melakukan
juga langkah politis itu. Akibatnya undang-undang yang dilahirkan tak
memperlihatkan hubungannya dengan kepentingan masyarakat yang
hendak diatur dengan undang-undang itu. Pusat terlalu mendominasi
kebijakan legislasi nasional, terlebih-lebih pada masa pemerintahan
Orde Baru yang memberi peluang yang besar kepada presiden sebagai
pemegang kekuasaan legislasi. Pada masa itu hampir tak ada keinginan
daerah yang dapat disahuti dengan baik oleh Pemerintah Pusat bahkan
saat sekarangpun setelah keluar Undang-undang Otonomi Daerah,

274 Hikmahanto, Orasi Ilmiah Hukum Sebagai Instrumen Politik : Intervensi
atas Kedaulatan Dalam Proses Legislasi di Indonesia, Disampaikan pada Dies Natalis
Fakultas Hukum USU,.0p.Cit. 12 Januari 2004.

361

Peraturan Daerah yang secara substantif tak dapat menyimpang dari
keinginan Pemerintah Pusat.275

Selama kurun waktu pembentukan undang-undang hak cipta
nasional yakni sejak tahun 1982 sampai dengan tahun 2002 kekuasaan
pembentukan undang-undang masih berada di tangan presiden. Artinya
undang-undang hak cipta nasional belum ada yang lahir dari atas
kewenangan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini tentu
membawa sebuah konsekuensi bahwa undang-undang hak cipta
nasional yang berlaku hari ini atau yang pernah berlaku pada masa
sebelumnya adalah undang-undang yang berasal dari inisiatif
pemerintah di bawah kekuasaan pembentuk undang-undang yakni
presiden, sekalipun Dewan Perwakilan Rakyat diberikan kewenangan
untuk menyetujui. Jika dikemudian hari undang-undang ini terkesan
tidak aspiratif, tidak menyahuti aspirasi rakyat dan bahkan menjadi
“macan kertas” maka dapat dimaklumi hal itu terjadi lebih dari suatu
keadaan dimana rakyat tidak turut memberikan sumbangsih
pemikirannya dalam pembuatan undang-undang itu. Apalagi pada
waktu itu kewajiban untuk menyampaikan naskah akademik dalam
pengajuan rancangan undang-undang belum ditetapkan.

Struktur organisasi lembaga pembuat undang-undang (Dewan
Perwakilan Rakyat bersama-sama dengan presiden) negara yang rapuh
seringkali menjadi penyebab mengapa suatu undang-undang tidak
dapat menampung aspirasi rakyat yang berujung pada tidak dapat
ditegakkan ketika undang-undang itu diterapkan. 276 Kerapuhan struktur
lembaga pembuat undang-undang ini telah dirasakan sejak masa awal
berdirinya negara hingga hari ini. Sayangnya putra-putri bangsa ini
enggan mempelajari sejarah, tapi selalu terkagum-kagum dengan
kebesaran Sriwijaya, Majapahit atau Singosari. Akan tetapi tidak
pernah ada yang belajar dari keruntuhan ketiga kerajaan tersebut.
Pengalaman kepemimpinan ketiga kerajaan tersebut yang kala itu
memerintah secara monarkhi absolut yang bermakna pula bahwa tiap
titah raja adalah hukum dalam wilayah negara nusantara ketika itu. 277

275 Wawancara dengan Abdul Hakim Siagian, Mantan Ketua Badan
Kehormatan DPRD Provinsi, Wakil ketua Komisi Bidang Hukum dan Pemerintahan
DPRD Provinsi yang juga mengetuai berbagai Ketua Pansus, wawancara tanggal 10 Juli
2013, jam 11.15.00 di Medan.

276 Lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum Dalam Kajian
Law and Development : Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indoensia, Pidato Ilmiah,
Disampaikan pada Acara Dies Natalis Ke-56 Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
tanggal 4 Pebruari 2006, hal 14.

277 Lebih lanjut lihat Paul Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia Perkembangan Sejarah dan Budaya

362

Pengalaman sejarah itu akhirnya diwarisi juga oleh Indonesia
sebagai suatu negara modern pasca kemerdekaan. Kemerdekaan
memang berhasil mengusir penjajah tapi tidak berhasil membangun
struktur organisasi negara yang kuat termasuk struktur lembaga
pembuat undang-undang. Sebelum diamandemen, Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 5 dan Pasal 20 meletakkan kekuasaan pembuat
undang-undang itu ditangan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
hanya menyetujui saja.

Menurut ajaran Trias Politika,278 kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif haruslah dipisah, agar kewenangan-
kewenangan yang dimiliki oleh lembaga itu lebih bersifat otonom
dengan garis-garis batas kewenangan yang jelas. Konsep negara
hukumpun menghendaki pemisahan yang jelas antara masing-masing
lembaga itu. Akan tetapi di luar tradisi negara hukum dan menyimpang
dengan apa yang dipikirkan oleh Rosseau sungguh sangat mengejutkan,
Indonesia justru dalam undang-undangnya memberikan kewenangan
pembentuk undang-undang kepada eksekutif (presiden) padahal
seharusnya kewenangan itu berada di tangan legislatif yakni DPR.
Kondisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Empat kali
perubahan undang-undang hak cipta nasional, masih mengacu pada
ketentuan tersebut yakni Pasal 5 dan Pasal 20 Undang-undang Dasar
1945. 279

Asia Tenggara (Jaman Pra Sejarah – Abad XVI), (Terjemahan Tim Media Abadi),
Penerbit Mitra Abadi, Yogyakarta, 2009.

278 Lihat M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 2007.
279 Lembaga pembuat undang-undang adalah sebuah organ atau sub sistem
dalam sistem kenegaraan yang berada bersama-sama dengan lembaga eksekutif dan
yudikatif. Tidak mungkin dapat dicapai sebuah tujuan untuk mewujudkan cita-cita negara
jika organ-organ yang ada di dalam negara itu tidak saling bekerja sama secara kompak
atau justru satu lembaga saja yang bekerja tapi lembaga yang lainnya tanpa memiliki
kewenangan dan diposisikan sebagai atribut atau alat untuk menjustifikasi seolah-olah
produk undang-undang itu telah dilakukan benar-benar menurut konsep negara hukum.
Keruntuhan negara lebih banyak diawali karena ketidak kompakan berbagai-bagai
komponen dalam suatu negara yang berpangkal pada terpusatnya kekuasaan ditangan
satu orang. Sejarah pengelolaan negara di Republik ini mulai zaman pemerintahan
Soekarno yang dilanjutkan dengan pemerintahan Soeharto memperlihatkan terpusatnya
kekuasaan negara (termasuk kewenangan membuat undang-undang di tangan satu orang)
yakni presiden. Akibatnya undang-undang yang diproduk lebih banyak menyahuti
keinginan lembaga eksekutif itu dan meninggalkan aspirasi rakyat. Terkadang hukum
rakyat yang hidup dan dipatuhi serta dijalankan di berbagai-bagai masyarakat tradisional
di Indonesia tidak pernah dijadikan bahan rujukan dalam penyusunan undang-undang
termasuk undang-undang hak cipta. Itulah sebabnya ketika gerakan tari (koreografi)
dilindungi dalam undang-undang hak cipta asing yang kemudian ditransplantasikan
kedalam undang-undang hak cipta nasional tetapi pembuat undang-undang tidak pernah

363

Undang-undang hak cipta nasional yang ada hari ini adalah
undang-undang yang sarat dengan pesanan-pesanan negara maju
dengan muatan ideologi kapitalis-liberal. Ini dibuktikan dengan
beberapa kali perubahan Undang-undang hak cipta itu ditandai dengan
intervensi Amerika, dan dua Undang-undang hak cipta terakhir,
memuat bahagian penting yang didasarkan pada TRIPs Agreement
yang juga dimotorioleh negara-negara kapitalis. Transplantasi hukum
asing kedalam undang-undang hak cipta nasional justru menghilangkan
banyak nilai-nilai sosial kultural yang selama ini diyakini sebagai nilai-
nilai luhur Bangsa Indonesia. Hilangnya nilai-nilai sosio kultural itu
justru membunuh kreativitas bangsa sendiri yang dalam alasan
pembuatan undang-undang hak cipta nasional semula dimaksudkan
untuk menumbuhkan kreativitas masyarakat Indonesia. Kewenangan
yang dimiliki lembaga pembuat undang-undang seumpama sebilah
pisau yang tajam akan tetapi kemudian digunakan untuk memotong jari
sendiri. Lembaga pembuat undang-undang telah terkoptasi dalam arus
pikiran globalisasi dengan muatan ideologi kapitalis-liberal. 280

Ketidak-puasan masyarakat ini jika tidak disikapi akan
berdampak pada maraknya pelanggaran hukum yang jika terus
dibiarkan akan berkembang menjadi gerakan-gerakan sparatis. 281 Di

memasukkan gerakan pencak silat sebagai karya cipta yang harus dilindungi. Itu adalah
satu contoh kasus saja bagaimana peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam
masyarakat tradisional tidak menjadi menarik bagi kalangan lembaga pembuat undang-
undang untuk diadopsi kedalam undang-undang hak cipta nasional.

280 Terlalu luas wilayah negeri ini untuk dikorbankan dengan dalih
kepentingan nasional yang hanya bercermin dan tercermin dari Jakarta. Terlalu banyak
penduduk negeri ini yang akan menderita dan menjadi koban, hanya untuk dan atas nama
bangsa dan rakyat Indonesia yang hanya bercermin dan tercermin di “Senayan” . Bahkan
mereka yang duduk di “Senayan” pun adalah mereka-mereka yang punya kampung di
daerah tetapi sudah menjadi warga DKI. Kebanyakan mereka sukses mendulang
kekuasaan untuk dan atas nama “anak kampung mereka” padahal sekalipun ia tak pernah
meminum air sumur di kapung itu. Bagimana mungkin mereka dapat menyahuti aspirasi
“kampung” nya, bagaimana pula ia dapat memahami roh dan jiwa act locally yang
tumbuh di kampung itu. Inilah yang dirasakan oleh daerah dalam konteks intervensi asing
ke dalam lembaga legis lasi nasional. Lembaga pembuat undang-undang yang
tersentralisir, tidak pernah bisa memberikan kepuasan kepada semua lapisan masyarakat
atas undang-undang yang mereka produk apalagi hendak diberlakukan secara unifikasi.
Sulit untuk membuat undang-undang yang berlaku secara unifikasi untuk masyarakat
yang plural, agaknya faktor inilah yang dominan hingga sampai hari ini upaya untuk
menciptakan KUHPidana Nasional dan Hukum Agraria Nasional tak kunjung selesai
hingga hari ini.

281 Dahulu zaman Orde Baru, Soeharto memilih wakil presidennya di luar
Jawa, kemudian diikuti denga kebijakan mengangkat menteri mewakili Daerah. Aceh
dengan pergolakannya selalu mendapat jatah menteri. Belakanganpun SBY mengangkat

364

lain pihak bagi kaum intelektual keadaan semacam ini dapat tumbuh
dan disikapi menjadi gerakan moral yang berujung pada gelombang
aksi dan jika tidak ditangani secara benar dapat berubah menjadi
prahara yang membawa bencana nasional. Desentralisasi dengan sistem
otonomi daerah yang sekarang ini agaknya sudah waktunya untuk
ditinjau ulang. Secara struktural perjalanannya selama beberapa tahun
telah memberikan rekam jejak yang lebih banyak terkesan negatif,
seperti berpindahnya aktivitas korupsi dari Pusat ke daerah. 282

Amerika, sekalipun dengan kapitalis liberalnya sulit untuk
diterima dalam perspektif Indonesia, tapi hari ini pertumbuhan dan
perjalanan bangsa dan negara ini sedang bergerak ke arah sana.
Amerika-lah yang memotori gerakan liberal kapitalis itu yang
bermakna juga Amerika-lah yang memaksakan instrumen TRIPs
Agreement dan itu berarti juga hukum Amerika-lah yang
ditransplantasikan ke dalam UU HKI Nasional. Sekalipun hal itu tidak
disukai tapi bagi Amerika sesuai dengan struktur dan kultur serta
bentuk negara dan sistem pemerintahannya itu yang terbaik hari ini.
Ada yang patut ditiru dari negara “federal” itu yakni : kultur hukum
Amerika yang diikuti dengan rezim politiknya yang stabil. Kultur
politinya berakar pada hak-hak masyarakat sipil, sistem hukum telah
terdefinisi dengan baik, peradilan independen, tingkat korupsi rendah,
struktur birokrasinya sederhana dan efisien, tidak nepotisme,
penyelenggara negara lebih bersifat professional, kreativitas
masyaraktnya tumbuh dengan baik. 283

Keadaan demikian dalam banyak hal karena didukung oleh
sistem federal yang dianut oleh negaranya dan konsep pemisahan
kekuasaan – legislatif, eksekutif dan judikatif – dipegang teguh. Dalam
tataran penegakan hukum intervensi eksekutif menjadi sangat kecil,
karena kewenangan eksekutif telah dibatasi dengan baik. Demikian

menterinya dari kalangan Aceh, kini setelah Aceh jadi daerah intimewa, gejolak mulai
reda tak ada lagi orang Aceh masuk dalam kabinet menteri.

282 Sumber-sumber penghidupanpun terpusat di Jakarta. Sehingga ibu kota
diserbu pencari kerja. Uangpun lebih banyak berputar di Jakarta daripada di daerah.
Jakarta menjadi kota terpadat di dunia. Pada menjelang lebaran energi penyelenggara
negara tersita untuk urusan mudik, yang tak pernah ada di belahan dunia manapun. Harus
ada keberanian untuk meninggalkan tradisi buruk, yakni “mensakralkan” kelanggengan.
Padahal tak ada yang harus ditakuti, jika itu dapat mengantarkan bangsa ini kepada negeri
yang aman, damai, sentosa, sejahtera, adil dan makmur di ridhoi oleh Tuhan Yang maha
Esa. Pengalaman bangsa ini mentransplantasi norma hukum asing tanpa mentransplantasi
struktur dan kulturnya telah memperlihatkan kegagalannya.

283 Lebih lanjut lihat Martin Wolf, Globalisasi Jalan Menuju Kesejahteraan,
(Terjemahan : Samsudin Berlian), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 81.

365

juga campur tangan eksekutif ke dalam kerja-kerja legislatif
(parlemen) hampir tak mungkin dapat dilakukan, karena telah dibatasi
oleh koridor masing-masing. Demikian juga kalau dirujuk sistem
federasi yang dianut oleh Malaysia. Lembagai Pemerintah (executive),
Lembaga Perundang-undangan (legislative) dan Lembaga Kehakiman
(judiciciary) memegang fungsi dan peranan yang terpisah. Sekalipun
ketiganya berada di bawah Yang di-Pertuan Agong, akan tetapi
lembaga yang disebut terakhir ini hanya “simbol” Pemimpin Negara
Malaysia. Pilihan terhadap sistem federal ini didasarkan pada
kenyataan sejarah dan fakta empirik bahwa Malaysia – sama dengan
Indonesia – adalah negara yang plural, baik dari segi keberagaman
agama maupun etnik. Itulah sebabnya Pemerintah Kolonial Inggeris
untuk memperkukuh keadaan “multi ethnic” itu perlu diterapkan
sisitem federalisme dengan mencontoh pola yang ada di Kanada.
Malaysia demikian ungkap Syed Azman merupakan gabungan dari 13
negara bagian dan fungsi dan peranan, hak dan kewajiban, serta
masibng-masing kewenangan antara pemerintah pusat (Federal
Goverment) dengan pemerintah negara bagian diatur dalam
Perundang-undangan Perserikatan (Undang-Undang dasar Negara)
dengan sistem pembagian kekuasaan yang jelas. 284

Kondisi ini telah menghilangkan “beban pikiran” pemerintah
terhadap kemungkinan perjuangan separatis untuk mendirikan negara
baru yang terpisah dari Malaysia seperti yang dihadapi Indonesia
selama kurun waktu kemerdekaan hingga hari ini. Perjuangan Rakyat
Aceh, Papua dan Maluku Selatan sampai hari ini masih menjadi beban
politik yang tidak sedikit menguras energi. Sehingga konsentrasi
pembangunan pada sektor lain menjadi terganggu, tidak seperti
Malaysia pembangunan dan pemerataan tampak nyata terutama pada
masa kepemimpinan Mahathir dan dan dengan gagah berani terang-
terangan menentang kebijakan Amerika. 285

Perbandingan dengan sistem federal dengan negara kesatuan
lebih pada persoalan kecerdasan intelektual untuk memahami bahwa
dalam bangsa yang multi etnis tak mungkin kesatuan (unity) dapat
dilakukan, tapi yang mungkin bisa dilakukan adalah persatuan dalam
keragaman (uniformity). Pandangan seperti itu perlu digulirkan dalam
tulisan ini, karena secara struktural hukum sangat berpengaruh pada
pilihan bentuk negara ini. Negara sebagai sebuah sistem yang

284 Lebih lanjut lihat Syed Azman dalam Adnan Buyung Nasution et.all,
Federalisme Untuk Indonesia, Kompas, Jakarta, 1999, hal. 92.

285 Ramon V. Navaratnam, Malaysia’s Economic Recovery Policy Reforms for
Economic Sustainability, Pelanduk Publications, Malaysia, 2001.


Click to View FlipBook Version