The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hukum2023, 2022-09-25 12:15:14

2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

266

tekanan ekonomi yang kemudian terakomodir.180 Jadilah undang-
undang hak cipta nasional dengan menggerus sebagian dari nilai-nilai
Pancasila.

Produk legislatif yang berbentuk undang-undang isinya bisa
melulu nuansa kekuasaan. Isinya bisa menjastifikasi kekuasaan dan
sebaliknya mengkriminalisasi masyarakat. Itulah sebabnya negeri ini
dengan mudah terjerembab dalam jerat kekuasaan. Ketika seseorang
ingin mendapatkan sesuatu yang tadinya perbuatan itu dilarang secara
moral dan etika, akan tetapi menjadi boleh ketika dibuatkan terlebih
dahulu undang-undangnya. 181

Proses kelahiran undang-undang hak cipta nasional, tidak
semata-mata karena Indonesia memang membutuhkan undang-undang
hak cipta. Pada tahun-tahun awal kemerdekaan bahkan tidak ada
satupun lembaga negara baik lembaga pemerintah, eksekutif maupun
lembaga-lembaga tinggi (maupun tertinggi) negara lainnya yang peduli
dengan keadaan itu. Padahal pada waktu itu negeri ini sangat
membutuhkan ilmu pengetahuan, guna memajukan peradaban yang
dilindungi dengan instrumen hak cipta. Bidang sinematografi yang di
dalamnya sarat dengan pesan peradaban juga luput dari perhatian
penyelenggara negara ketika itu. Padahal sejarah mencatat Indonesia,
India dan Amerika memulai industri perfilmannya tidak terpaut dalam
rentang waktu yang jauh.182 Jika Indonesia memulai industri
perfilmannya tidak terpaut jauh dengan kedua negara tersebut, mengapa
perfilman Indonesia jauh tertinggal dibandingkan kedua negara
tersebut?.

180 Lebih lanjut lihat Robert Gilpin, Global Political Economy Understanding
The International Economic Order, Princeton University Press, New Jersey, 2001 dan
Lynn H. Miller, Agenda Politik Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

181 Tanah-tanah dan hutan di pinggir laut, di kaki gunung begitu mudah diaih
fungsi, yang semula adalah hutan atau tanah ulayat, kemudian berubah menjadi hak-hak
atas tanah menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 untuk dan atas nama pengusaha. Modusnya
adalah dengan membuat terlebih dahulu peraturan perundang-undangannya. Sebaliknya
tanah-tanahyang semula diterbitkan dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan menurut
UUPA dengan diikuti berbagai kewajiban seperti pembyaran pajak berupa PBB dan
BPHTB, justeru ketika akan dimanfaatkan sesuai hak yang diberikan undang-undang
justeru tak bisa dimanfaatkan, karena oleh pejabat Pemkab atau pejabat Pemko
dinyatakan sebagai jalur hijau. Anehnya jalur hijau itu boleh dan dapat dirobah jika
diusulkan perubahannya kepada pemerintah kota atau pemerinta kabupaten. Untuk dan
atas nama peraturan perundang-undangan “kekuasaan absolut” para eksekutif dibungkus
dengan rapi.

182 Indonesia memulai Industri filmnya pada tahun 1926, India memulai
industri filmnya pada tahun 1913 dan Amerika memulai industri filmnya pada tahun
1894.

267

Undang-undang yang dilahirkan itu haruslah mewakili
kehendak rakyat bukan kehendak pemerintah semata. Jika dalam
sebuah undang-undang yang dilahirkan itu masih saja menunjuk pada
kewenangan pemerintah yang begitu besar, maka undang-undang yang
dilahirkan itupun bisa menjelma menjadi undang-undang yang
menjustifikasi “negara kekuasaan”. Dalam undang-undang Hak Cipta
Nasional dapat diukur seberapa banyak pasal-pasal dalam undang-
undang tersebut yang masih menunjuk pada pemerintah untuk
pelaksanaan undang-undang tersebut.

Matrik di bawah ini menjelaskan tentang masih diberikannya
peranan eksekutif oleh Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.

Matrik 30
Kewenangan Eksekutif Untuk Membuat Peraturan Pelaksana

Undang-undang No. 19 Tahun 2002

No Pasal Materi Yang Diatur

1. Pasal 10 ayat Ketentuan mengenai hak cipta yang dipegang

(4) oleh Negara

2. Pasal 25 Informasi tentang manajemen hak pencipta

3. Pasal 28 ayat Tentang produksi yang menggunakan cakram

(2) optik

4. Pasal 47 ayat Tentang pencatatan perjanjian lisensi

(4)

5. Pasal 48 ayat Tentang anggaran biaya dewan hak cipta

(4)

6. Pasal 54 Biaya pencatatan lisensi

Sumber : Diolah dari Undang-undang No. 19 Tahun 2002

Matrik di atas memperlihatkan bahwa undang-undang ini
memberi kewenangan untuk membuat peraturan kepada pihak
eksekutif. Peraturan yang baik dalam konsep negara hukum, mestilah
dilahirkan oleh lembaga yudikatif bukan oleh lembaga eksekutif.
Eksekutif adalah pelaksana undang-undang (baca : peraturan) bukan
pembuat peraturan, sekalipun peraturan itu merupakan peraturan
organik sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang, akan tetapi
jika peraturan yang dibuat oleh eksekutif terlalu banyak maka
kekuasaan legislatif akan bergeser kepada pihak eksekutif, yang pada
gilirannya akan menciptakan negara kekuasaan bukan negara hukum.

268

Jika dibandingkan dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 yang
hanya menunjuk satu pasal saja yang memberikan kewenangan kepada
eksekutif untuk membuat peraturan pelaksana yakni mengenai dewan
hak cipta yang diatur dalam Pasal 39 ayat (3).

Menguatnya kekuasaan eksekutif dapat juga dilihat dari
ketentuan Pasal 10 jo. Pasal 31 Undang-undang No. 19 Tahun 2002.
Pasal ini menegaskan bahwa : negara memegang hak cipta atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya.
Negara juga memegang hak cipta atas foklor dan hasil kebudayaan
yang menjadi milik bersama, seperti cerita hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya
seni lainnya. Negara dalam konteks ini diposisikan sebagai owner atau
pemilik. Jika dihubungkan dengan konsep negara, maka sesungguhnya
negara hanya berfungsi sebagai badan penyelenggara administrasi
pemerintahan. Mengacu kepada konsep ini, seyogyanya negara tidak
hanya tidak diperkenankan membuat hak baru (negara hanya
mengesahkan hak yang ada) tapi juga lebih jauh negara tidak boleh
mengambil alih hak dan bahkan menjadi owner dalam setiap hak yang
ada dan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Indonesia baik hak
itu lebih dulu ada sebelum negara ini didirikan maupun setelah negara
ini berdiri. Ketentuan Pasal 10 yang menyatakan bahwa negara menjadi
pemegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan
budaya nasional lainnya serta pemegang hak cipta atas foklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, menunjukkan betapa
negara ini tampil sebagai subyek penguasa yang mengambil alih hak
yang sesungguhnya dilahirkan bukan untuk dan atas nama negara.
Bahwa hak tersebut belum diketahui siapa pemiliknya, itu adalah
persoalan lain. Akan tetapi seyogyanya negara hanya boleh
menjalankan fungsi sebagai alat atau badan yang memposisikannya
sebagai subyek hak menguasai bukan sebagai pemegang hak yang
dalam terminologi undang-undang hak cipta sebagai pemilik.
Menguatnya hak negara untuk obyek hak cipta sebagaimana
dimaksudkan di atas dikukuhkan lagi dengan norma yang mengatakan
bahwa untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut,
khusus bagi orang asing terlebih dahulu harus mendapat izin dari
instansi yang berhubungan dengan masalah itu. Kata instansi
menyebabkan perizinan itu kembali kepada kekuasaan negara bukan

269

kepada rakyat yang melahirkan kebudayaan yang menghasilkan karya
cipta milik bersama tersebut.183

Kewenangan negara menjadi lebih besar lagi atas obyek karya
cipta sebagaimana dimaksudkan di atas ketika Pasal 31 ayat (1)
menegaskan dan memperkuat tentang tidak adanya batas waktu
penguasaan hak cipta semacam itu. Ini adalah situasi normatif yang
buruk ketika negara diposisikan sebagai owner bukan sebagai subyek
hak menguasai negara.

Undang-undang Hak Cipta Nasional yang berpangkal pada
Undang-undang No. 6 Tahun 1982 sebagai undang-undang yang
menggantikan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 peninggalan Kolonial
Belanda, adalah undang-undang yang dapat dikatakan menyahuti
aspirasi masyarakat Indonesia. Sejarah penyusunannyapun melalui
tahapan akademik dengan didahului dari berbagai masukan dari pihak
pencipta, penerbit, komponis, penyanyi, produser serta kalangan
seniman dan asosiasi-asosiasi yang menghimpun aktivitas mereka.
Catatan sejarah kelahiran Undang-undang No. 6 Tahun 1982 cukup
memberikan penguatan secara akademik bahwa Undang-undang No. 6
Tahun 1982 meskipun dilahirkan di bawah rezim orde baru, undang-
undang ini dapat dikatakan cukup aspiratif.

Secara ketatanegaraan, undang-undang inipun memuat tiga
landasan pokok yang diperlukan dalam penyusunan undang-undang
yakni landasan ideologis-filosofis, landasan yuridis-normatif dan
landasan politis-operasional. Dalam konsiderans Undang-undang No. 6
Tahun 1982 dapat dibaca bahwa sebagai landasan filosofis, penyusunan
undang-undang ini adalah Pancasila. Landasan yuridis normatif adalah
Undang-undang Dasar 1945 serta landasan politis adalah TAP MPR
No. IV Tahun 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. 184

Undang-undang inipun menegaskan bahwa pengaturan tentang
hak cipta yang diatur dalam Auteurswet 1912 Stb No. 600 sudah tidak

183 Misalnya sebuah tarian koreografi yang banyak dilahirkan oleh Kesultanan
Negeri Serdang namun tarian itu dibuat dan dilahirkan dengan kerja sama dengan
berbagai elemen masyarakat yang mempunyai apresiasi terhadap dunia seni. Jika tarian
koreografi itu akan diperbanyak atau diproduksi oleh orang yang bukan warga negara
Indonesia maka izinnya tidak diberikan oleh Kesultanan Negeri Serdang bersama
masyarakat adatnya, akan tetapi diberikan oleh instansi terkait dalam masalah itu. Tidak
dapat dibayangkan jika kemudian tanpa sepengetahuan Kesultanan Negeri Serdang dan
masyarakat hukum adatnya karya koreografi tersebut kemudian diperbanyak oleh warga
negara asing hanya karena yang bersangkutan mendapat izin dari instansi yang terkait.

184 Lihat lebih lanjut bahagian menimbang huruf a Undang-undang Republik
Indonesia No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1982 Nomor 15 tanggal 12 April 1982.

270

sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita nasional dan karenanya harus
dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Hak Cipta Nasional
sesuai dengan politik pembangunan hukum nasional negara Republik
Indonesia. Sisi humanis atau sisi kemanusiaan lebih banyak tergambar
dalam undang-undang ini, misalnya saja agar hasil karya cipta itu dapat
dinikmati juga oleh orang lain pembatasan jangka waktu kepemilikan
hak cipta dibatasi sampai selama hidup pencipta ditambah dengan 25
(dua puluh lima) tahun setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Ini
berbeda sekali dengan Auterurswet Stb 1912 No. 600 yang
memberikan hak sampai dengan 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta
meninggal dunia sehingga aspek sosial dari pemanfaatan hak cipta itu
baru dapat terealisasi setelah 50 (lima puluh) tahun pencipta meninggal
dunia.

Sisi kemanusiaan undang-undang ini masih tergambar dalam
undang-undang hak cipta yang terakhir yakni Undang-undang No. 19
Tahun 2002. Nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang tergambar dalam
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 adalah Pasal 15, 16 dan 23.185
Intinya adalah untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan serta
kegiatan penelitian dan pengembangan, hak cipta boleh digunakan
tanpa harus meminta ijin dari pencipta, namun dengan syarat
sumbernya harus disebut dan tidak merugikan kepentingan yang wajar
terhadap pencipta atau pemegang hak cipta.

Sebagai suatu bangsa yang hari ini sedang mengalami situasi
politik dan penegakan hukum yang belum menggambarkan cita-cita
negara hukum, agaknya sudah saatnya untuk mencermati kembali
komitmen bernegara sebagai negara hukum. Era globalisasi, patut
untuk dicermati sebagai titik awal untuk memulai penegakan hukum
yang berkeadilan sarat dengan landasan etis dan moral. Penegasan ini
bukanlah tidak beralasan, selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa

185 Pasal 15 berisikan ketentuan tentang kebolehan untuk menggunakan hak
cipta orang lain guna kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, keperluan pembelaan
didalam atau diluar pengadilan, ceramah yang semata-mata digunakan untuk tujuan
pendidikan dan ilmu pengetahuan, pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut
bayaran, untuk keperluan para tunanetra yang tidak bersifat komersial dengan catatan
harus menyebutkan sumbernya dan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
pencipta. Pasal 16 berisikan tentang lisensi wajib guna kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan serta kegiatan penelitian dan pengembangan. Pasal 23 memberikan
kewenangan kepada pemilik hak cipta atas ciptaan fotografi, seni lukis, gambar,
arsitektur, seni pahat dan atau hasil seni lain tanpa persetujuan pemegang hak cipta untuk
mempertunjukkan ciptaan didalam suatu pameran untuk umum atau memperbanyak
dalam satu katalog.

271

bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidak pastian hukum dan hidup
dalam intimitas (suasana keakraban) yang tidak sempurna antara
sesama warga masyaraka, sebuah solidaritas sosial yang semu. Di sisi
lain perjuangan serta kemampuan bangsa ini untuk menciptakan iklim
penegakan hukum yang berkeadilan sering kandas di tangan anak
bangsa - yang berkuasa - sendiri. Apa yang sesungguhnya yang dialami
tidak lain adalah pencabikan moral bangsa sebagai akibat dari
kegagalan bangsa ini dalam menata manajemen pemerintahannya yang
berlandaskan hukum. Tidak ada negara didunia ini yang begitu luas
dampak pelanggaran hukumnya dalam struktur pemerintahannya ;
mulai dari tingkat pemerintahan pusat sampai tingkat pemerintahan
desa dan merambah jauh ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
lokal yang dikenal taat dalam menegakkan adat istiadat, etika religius
yang ditandai dengan runtuhnya rasa kebersamaan dan hilangnya rasa
saling menghormati dan saling menghargai antara sesama warga.186

Dalam konteks undang-undang hak cipta nasional bila
dihubungkan dengan penjelasan Pasal 12 huruf k Undang-undang No.
19 Tahun 2002 mengisyaratkan bahwa karya sinematografi yang
merupakan media komunikasi gambar gerak (moving images) tidak
hanya merupakan karya film layar lebar dengan skenario atau karya
sinematografi elektronik yang ditayangkan di televisi atau media
lainnya, tetapi juga meliputi karya berupa film iklan dan reportase yang
dibuat tanpa skenario. Karya-karya ini ditonton oleh ribuan bahkan
jutaan warga di tanah air dan pesan yang disampaikan oleh karya
sinematografi ini beragam makna. Sebagai sebuah karya peradaban,
karya sinematografi ini juga berdampak pada pembentukan karakter
bangsa. Tidak jauh berbeda dengan karya sinematografi yang berasal
dari negara asing, yang dalam berbagai pesannya melukiskan peristiwa
kekerasan, seks bebas, peperangan, politik yang curang, perampokan,
pemerkosaan, pembunuhan, horor dan sedikit sekali menampilkan

186 Mulai dari kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi negara di
Republik ini sampai dengan kasus narkoba dan geng motor yang melibatkan kelompok -
kelompok miskin di perkotaan. Mulai dari penjarahan uang bank yang melibatkan para
politisi, pengusaha, pejabat negara sampai pada penjarahan satu atau dua janjang kelapa
sawit yang melibatkan rakyat kecil yang tinggal di pinggiran kebun-kebun milik
Perkebunan Negara dan Swasta Asing. Khusus mengenai pelanggaran hak cipta, bidang
karya sinematografi tak pelak lagi kita dapat menyaksikan di pasar-pasar tradisional dan
di pinggiran jalan bahkan di depan kantor polisi secara terang-terangan dipasarkan DVD
dan VCD hasil pelanggaran hak cipta yang melibatkan banyak pihak, mulai dari para
pengganda sampai pada konsumen yang membeli hasil karya cipta yang diproduksi
dengan cara melawan hukum tersebut. Ungkapan ini menggambarkan betapa buruknya
situasi pelanggaran hukum di negeri ini.

272

nuansa drama rumah tangga yang mendidik, cerita tentang keindahan
alam sebagai ciptaan Sang Maha Kuasa yang kesemua ini berujung
pada pembentukan karakter anak-anak bangsa yang jauh dari cita-cita
pembangunan kebudayaan nasional. Film-film cerita, bahkan iklan
serta hasil reportase yang ditayangkan lewat media elektronik di
Indonesia telah juga turut mempengaruhi pembentukan karakter
masyarakat Indonesia. Cerita-cerita film, sinematografi elektronik
(sinetron) reportase, iklan, yang mempertontonkan rumah mewah,
mobil mewah, jabatan tinggi, pengusaha sukses, perselingkuhan dan
sederetan pesan-pesan yang menegasikan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia saat ini tidak lagi bisa dan dapat dihempang.

Terdapat banyak ketidak jelasan dalam format pembangunan
kebudayaan (sebagai politik kebudayaan yang didalamnya termasuk
bidang hukum sebagai sub sistem politik) nasional, sejak awal
Republik ini didirikan sampai saat ini.

Di sisi lain Undang-undang No. 19 Tahun 2002 justru
mengisyaratkan sengketa perdata dalam hak cipta telah digiring untuk
diadili di Pengadilan Niaga (vide Pasal 58 Undang-undang No. 19
Tahun 2002) dan sekalipun telah diberi ruang untuk diadili di Lembaga
Arbitrase yang memungkinkan untuk dimasukkannya unsur-unsur adat
dan yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai filsafat Pancasila yang
merupakan abstraksi dari the original paradigmatic value of Indonesian
culture and society, namun tradisi peneyelesaian sengketa melalui
lembaga Peradilan Formal, tetap menjadi pilihan.

Pada bahagian lain tidak arif ketika Undang-undang No. 19
Tahun 2002 memasukkan klausule normatif yang memberikan
kewenangan kepemilikan atau owner kepada negara terhadap hak cipta
peninggalan sejarah-sejarah dan budaya nasional serta hak cipta hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Tidak arif juga ketika
ada pihak lain (yang bukan Warga Negara Indonesia) yang akan
memperbanyak atau mengumumkan ciptaan tersebut harus mendapat
izin dari instansi pemerintah tetapi justru bukan pada kelompok
masyarakat yang melahirkan karya cipta tersebut. Adalah lebih baik
dan lebih arif ketika hak semacam itu kepemilikannya (pemegang hak
cipta) diserahkan kepada masyarakat hukum adat yang memahami
seluk beluk hak-hak tradisional dan hak-hak kolektif.

Memang sandungan budaya dan intervensi politik dalam
praktek penegakan hukum adalah sesuatu yang tak terelakkan
sepanjang sejarah Negara Indonesia merdeka dan terus berlangsung
sampai hari ini. Namun, kearifan para aparat penegak hukum senantiasa
dituntut agar dapat menyahuti hati nurani rakyat sebagai pencerminan

273

dari ideologi Pancasila sebagai landasan moral bangsa, sekalipun belum
diwujudkan dalam bentuk aturan hukum normatif.

Ada perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai suatu
kesadaran baru saat ini yakni ; kaum lemah dan tak berkuasa tidak lagi
bersedia menerima kemiskinan dan ketidak adilan secara pasif ; dan
suara amarah mereka mengganggu serta mengancam pihak-pihak yang
bermaksud mempertahankan status quo. Pada saat ketidak adilan
menjadi tak tertanggungkan lagi oleh masyarakat, yang apda akhirnya
membuahkan tindakan kekerasan di mana-mana.

Keadilan menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bangsa ini
ke depan. Ada asumsi yang kuat bahwa kelangsungan negara ini ke
depan bukan semata-mata karena keberhasilan pembangunan dalam
bidang ekonomi. Kehancuran dan sejarah jatuhnya negara-negara besar
di dunia termasuk runtuhnya kepemimpinan Orde Baru adalah dipicu
oleh ketidak adilan bukan oleh faktor kegagalan dalam pembangunan
ekonomi. 187

Faktor utama ketidak adilan itu muncul adalah karena materi
hukum yang dirumuskan oleh lembaga legislatif tidak aspiratif atau
tidak dapat menyahuti tuntutan masyarakat atau dalam rumusan lain
hukumnya tidak responsif.188 Jika hukum tidak responsif, maka ia akan
kehilangan "rohnya". Rohnya hukum itu adalah moral dan keadilan.
Moral dan keadilan begitu mudah ditemui dalam hati nurani rakyat,
maka undang-undang hak cipta nasional harus disesuaikan dengan
tuntutan hati nurani rakyat tersebut, tidak semata-mata disesuaikan
dengan TRIPs Agreement. Penyesuaian undang-undang hak cipta
nasional yang terakhir adalah Undang-undang No. 19 Tahun 2002,
haruslah melihat kembali pada tatanan moralitas yang hidup dan
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Era dimana hukum

187 Selama kurun waktu pemerintahan Orde Baru, telah berhasil meningkatkan
PDB domestik dengan laju pertumbuhan ekonomi 5 s/d 7 % per tahun, dan pada akhir
Repelita VI secara mengejutkan berhasil menekan angka rakyat miskin sampai dengan
20% dari 200 juta penduduk Indonesia. Namun oleh karena ketiadaan pemerataan
(instrumen hukum, gagal mencapai keadilan) kesenjangan ekonomi dengan dikotori kaya
miskin membuat keadaan semakin buruk yang akhirnya mendadak sontak ketika George
Soros dengan "Money Business"-nya di awal kejatuhan Orde Baru mengantarkan
penduduk Indonesia jatuh miskin menjadi lebih dari 60% dipenghujung tahun 1998.
Lemahnya fondasi ekonomi Indonesia tak pelak lagi karena instrumen hukum perbankan
tidak mendukung kearah terciptanya lembaga keuangan yang kuat.

188 Lebih lanjut lihat Philippe Nonet, Philip Selznick, Toward Responsive Law
& Society in Transition, Transaction Publishers, USA & London, 2009. Lihat juga
Satjipto Rahardjo, Hukum Progrresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta
Publishing, Jakarta, 2009, Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum
Indonesia Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

274

dibangun atas kehendak penguasa (top down) sudah berakhir. Suara-
suara rakyat yang tumbuh dari bawah (buttom up) sudah tiba waktunya
untuk disahuti, dengan merumuskannya dalam berbagai kebijakan atau
wawasan politik hukum yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan
Nasional, baik itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Pendek,
Menengah ataupun Jangka Panjang, selaku dokumen politik hukum.
Kesemua ini dimaksudkan, agar hukum tidak kering dari nilai-nilai
kultural bangsa Indonesia yakni nilai kemanusiaan dan pada gilirannya
menumbuhkan sikap bahwa semua warga negara berhak untuk
mendapat penghormatan atas marwah kemanusiaannya yang kesemua
itu akan berujung pada kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum
sekaligus kepatuhan pada pemimpin (protogonis) yang menjadi
karakter anak bangsa.

D. Perubahan dan Pergeseran Nilai Kebangsaan
Semangat yang melahirkan faham kebangsaan atau semula

dirumuskan sebagai spirit Nasionalisme, berpangkal pada pergolakan
kebangkitan Dunia Timur pada penghujung abad XIX dan awal abad
XX di panggung politik Internasional. Diawali dari perjuangan Yose
Rizal di Philipina (1898), demikian tulis Kaelan189 dan kemenangan
Jepang atas Rusia di Tsunia (1905), Sun Yat Sen di Cina (1911), dan
diikuti dengan pergerakan nasionalisme di India olek Tilak dan
Mahatma Gandhi denganPartai Kongresnya dan menyusul Indonesia
pada tahun 1908 yang dipelopori oleh Wahidin Soedirohoesodo dengan
Budi Utomonya. Gerakan inilah yang memelopori gerakan nasionalis
untuk menumbuhkan kesadaran berbangsa. Bangsa yang bermarwah,
bermartabat dan berdiri di atas kekuatan sendiri tanpa intervensi Asing.

Semangat kebangsaan itu terus berkobar dalam jiwa dan
sanubari rakyat Indonesia hingga sampai ke fase kemerdekaan dan
kemudian dituangkan dalam ideologi negara yakni Pancasila dengan
menempatkannya dalam sila ke tiga yakni Persatuan Indonesia, yang
sebelumnya diusulkan Bung Karno dengan nama Naionalisme. Inti
dari kata “persatuan Indonesia” dimaknai secara dinamis, yakni suatu
proses atau dinamika yang melahirkan bangsa dan negara Indonesia
yakni proses untuk menyatukan wilayah, bahasa, agama, suku, adat
istiadat dan segala macam perbedaan dalam masyarakat Indonesia
yang pelural. Hanya dengan persatuan itulah masyarakat Indonesia,
dapat menjadi kokoh, kuat dan mampu berdiri di atas kaki sendiri.

189 Kaelan, Op.Cit, hal. 16-17.

275

Adagium “bersatu kita teguh bercerai kita rubuh” adalah sebuah
adagium yang mengisyaratkan betapa pentingnya arti persatuan.

Sila-sila dalam Pancasila itu harus di tempatkan secara
hirarkhis dalam satu piramidal, sehingga sila pertama menjiwai sila-
silai yang lain yang ada di bawahnya. Sedangkan sila kedua dijiwai
oleh sila pertama, menkjiwai sila ketiga dan seterusnya. Sehingga sila
ketiga dijiwai oleh sila pertama dan menjiwai sila ke empat dan kelima.
Dalam kontes ini maka Perstauan Indonesia dijiwai oleh Sila
Ketuhanan dan sila Kemanusiaan dan menjiwai sila Kerakyatan dan
sila Keadilan sosial. Sehingga kedudukan sila ketiga ini menjadi sangat
penting sebab djiwai oleh dua sila di atasnya dan menjiwai dua sila di
bawahnya. Tidak ada artinya persatuan Indonesia, jika persatuan itu
tidak membawa makna Ketuhanan dan Kemanusiaan. Tidak juga
menjadi bermakna sila Kerakyatan dan Keadilan Sosial jika tidak
ditempatkan dalam Persatuan Indonesia.

Negara akan berada pada posisi yang kuat jika , nilai
Persatuan itu dijadikan dasar kebijakan penyelenggaraan negara,
termasuk dalam menetukan pilihan politik hukum. Khusus dalam
pilihan kebijakan politik hukum justeru jangan sampai pada titik
tertentu, hukum yang dilahirkan justeru menimbulkan perpecahan di
kalangan anak bangsa. Misalnya hukum yang dilahirkan itu justeru
diskriminatif, misalnya hak untuk orang kaya berbeda dengan hak
untuk orang miskin dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan. Atau
hukum yang dilahirkan menyamakan semua kewajiban, misalnya
perlakuan untuk nilai ujian negara atau masuk perguruan tinggi untuk
seorang anak yang bersekolah di desa dengan fasilitas sederhana
disamakan nilainya dengan seorang anak yang bersekolah di kota besar
dengan fasilitas yang lengkap. Hukum semacam ini akan menimbulkan
perpecahan, kering dari rasa keadilan, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan
dan ini akan mengancam Persatuan Bangsa dan melemahkan semangat
nasionalisme.

Bung Karno sendiri ingin menempatkan sila Persatuan
Indonesia itgu pada sila pertama, yang kala itu dirumuskannya sebagai
sila Kebangsaan, karena pentingnya arti persatuanitu dalam konsep
pemikirannya. Hal itu dapat dimaklumi karena perjalanan untuk
memerdekakan bangsa itu sering kandas karena banyaknya perpecahan
di kalangan anak bangsa sendiri. Oleh karena itu dengan sangat etis dan
sangat hati-hati Bung Karno 190 mengumandangkan maksud itu dalam
pidatonya :

190 Kaelan, Op.Cit, hal. 262-263.

276

Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia. Saya minta saudara Ki
Bagoes Hadikoesoemo (dari golongan Islam) dan saudara-saudara Islam lain,
maafkanlah saya memakai perkataan “Kebangsaan” ini. Sayapun orang Islam,
tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah
faham jikalau saya katakana bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar
kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi
saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakana dalam
rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat
Indonesia bukan berarti staat yang sempit.

Kehati-hatian Bung Karno itu, karena golongan Islam, ingin
menjadikan Islam sebagai Dasar Negara atau paling tidak bagai jumat
islam berlaku syari’at Islam. Akan tetapi Bung Karno melihat, adalah
suatu klenyataan bahwa masyarakat Indonesia tidak semuanya
beragama Islam, untuk menghindari perpecahan, Bung Karno
menawarkan sila Kebangsaan atau Persatuan sebagai sila yang
diletakkan sebagai dasar pertama. Persatuan Indonesia itu sebenarnya
lebih dimaksudkan dalam konstelasi kedaulatan negara, ketimbang
unsur negara, begitu analisis M.Yamin terhadap pidato Bung Karno
itu. Yamin 191 menguraikan soal persatuan nasional ini dalam
kaitannya dengan apa yang disebutnya sebagai E’tat nation, nationale
state, negara kebangsaan’, yang mensyaratkan ‘kedaulatan ke dalam
dan kedaulatan ke luar’. ‘Kedaulatan ke dalam, memberikan
perlindungan dan pengawasan pada putra negeri. kedaulatan ke luar,
kesempatan luas mengatur pertaliannya dengan negara lain.

Dalam konteks hubungan dengan negara lain, kedaulatan ke
luar itulah yang menjadi inti penting faham kebangsaan. Apakah di
kemudian hari dengan mengikat hubungan atau kerja sama dengan
negara lain, kedudukan negara semakin menguat atau semakin
melemah di mata dunia Internasional. Atau justeru hubungan ke luar
dengan negara lain justeru menciptakan model emperilais baru,
emperialis modern yang terselubung. Hal itu dapat terjadi bila
ketergantungan negara semakin besar dengan negara lain, apakah itu
karena disebabkan bantuan atau pinjaman luar negari, atau karena
bantuan militer dan keamanan. Ketergantungan dan kemandirian suatu
bangsa kerap kali berhubungan dengan menguat atau melemahnya
nilai-nilai kebangsaan yang melekat dalam jiwa rakyatnya. Mereka
yang sadar akan arti berbangsa akan terus melakukan aktivitasnya demi
negara dan bangsanya. Selalu meletakkan kepentingan bangsa di atas
kepentingan individunya sendiri. Ketika rakyatnya memiliki peluang
untuk melakukan korupsi, ia tidak akan melakukan itu, karena itu akan

191 Ibid, hal. 63.

277

merugikan bangsanya sendiri. Ketika ada fasilitas umum yang
berpeluang untuk dikuasai atau dimanfaatkannya untuk kepentingan
dirinya sendiri, ia tidak akan melakukan itu karena tindakan itu akan
merugikan bangsanya sendiri. Demikian juga ketika akan melakukan
hubungan dagang dengan bangsa lain dengan mengorbankan sumber
daya alam yang ada di negaranya, hubungan dagang itu tidak
diteruskan karena akan merugikan bangsanya sendiri. Mengikat
kerjasama dengan negara lain dalam bentuk instrumen hukum
Internasional seperti Konvensi atau perjanjian bilateral (traktat) negara
tidak melakukannya, jika kesepakatan Internasional itu merugikan
bangsanya sendiri. Itulah hakekat faham kebangsaan.

Jika faham kebangsaan ini dihubungkan dengan konsep
negara hukum, maka hukum harus bersumber pada asas kebangsan.
Politik hukumlah yang kemudian mengarahkan bagaimana nilai-nilai
kebangsaan itu diturunkan dalam bentuk asas-asas hukum (tata nilai).
Dalam proses selanjutnya hukum menjadi produk politik yang
menyahuti nilai-nilai kebangsaan itu. Akan tetapi dalam negara hukum,
hukum harus determinan terhadap politik, artinya hukum harus menjadi
variabel yang mempengaruhi (independent variabel) terhadap politik,
tidak boleh sebaliknya justeru politik yang determinan terhadap hukum,
sehingga politik menjadi variabel mempengruhi (independent variabel)
dan hukum menjadi variabel terpengaruh (dependent variabel). Jika
yang terakhir ini terjadi maka negara yang bersangkutan bukan negara
hukum, tetapi negara kekuasaan. Sekalipun hukum adalah produk
politik, akan tetapi sebelum nenjadi hukum, kekuasaan politik itu
diberikan oleh hukum, sehingga aktivitas legislasi dilakukan benar-
benar menurut hukum dan hukum tertinggi (grund norm) dijadikan
dasar dalam aktivitas legislasi. Dengan demikian supremasi hukum
akan dapat ditegakkan sesuai dengan konsepsi negara hukum.

Menghubungkan nilai kebangsaan dengan politik, menggiring
pemikiran bahwa dalam kebangsaan terdapat kehendak rakyat dan
rakyat diwakili oleh elit politik yang kemudian duduk di kursi legislatif
melahirkan hukum dalam arti formal antara lain dalam nemtuk undang-
undang. Akan tetapi benarkan undang-undang itu mewakili suara
rakyat ? Dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan yang
demokratis, badan legislatif yang diwakili oleh elit politik adalah
representatif dari suara rakyat. Sehingga persepsi yang selama ini
terbangun adalah dalam sebuah negara demokratis, pemerintahan
diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akan tetapi

278

merujuk pada studi yang dilakukan oleh Mahfud MD 192 ternyata
tereduksinya arti demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat menjadi
pemerintahan dari rakyat, oleh elit dan untuk elit. Itulah sistuasi yang
terjadi selama kurun waktu pembentukan dan pemberlakuan undang-
undang hak cipta nasional. Sehingga Lev,193 menyarankan lebih
seringlah menggunakan istilah Republik daripada istilah Demokrasi.
Istilah republik lebih berkonotasi pada kepentingan rakyat, sedangkan
istilah demokrasi lebih mengedepankan pada simbol absolutisme
kekuasaan rakyat dalam menetukan sesuatu namun selalu dikontrol
oleh kepentingan politik tertentu.

Setelah ratifikasi GATT 1994/WTO yang di dalamnya
memuat TRIPs Agreement Indonesia sudah melangkahkan kakinya ke
dalam ikatan negara-negara industri maju yang ekonominya bertumpuh
pada kekuatan HKI. Bidang industeri manufactor dan jasa adalah sektor
terbesar yang menyumbang ekonomi Amerika di luar sektor pertanian.
Industeri senjata menempati peringkat pertama sedangkan industeri
perfilman (sinematografi) menempati urutan kedua, menyusul industeri
otomotif, tekstil dan industeri dalam bidang elektronik. Mulai dari Hak
Cipta, Paten, Merek, Desain Industri sampai pada sirkuit terpadu.
Industri-industri itu kesemuanya bertumpu pada HKI. Itulah sebabnya
Amerika begitu bersikukuh memperjuangkan HKI nya agar mendapat
perlindungan yang kuat di luar negaranya, melalui organisasi
perdagangan dunia.

Ketergantungan Indonesia dengan negara-negara ekonomi
maju yang diikuti dengan pasokan pinjaman atau hutang luar negeri
tidak terlepas dari keinginan awal negara-negara di dunia untuk
mendirikan organisasi perdagangan internasional (international trade
organization) yang telah diprakarsai sejak tahun 1947 yang kemudian
berubah menjadi World Trade Organization (WTO). Padahal sejak
awal negara-negara yang diajak untuk bergabung dalam WTO itu tidak
memiliki kesetaraan dalam sumber ekonomi, yang meliputi aspek
permodalan, keahlian, dan ketersediaan sumber daya alam. Ketika
negara-negara ini diajak untuk bergabung dalam WTO masing-masing
pihak dengan berbagai perbedaan itu tidak dapat menyampaikan
keinginannya secara utuh. Hal ini disebabkan karena masih terdapat
kualitas ketidak mandirian dari masing-masing negara merdeka dan
berdaulat yang akan bergabung dalam WTO. Ini yang oleh Justice

192 Mahfud MD dalam kata pengantarnya Daniel S. Lev., Hukum dan Politik
di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta, 1990, hal xiii.

193 Ibid, hal. xii

279

Jackson disinyalirnya sebagai sebuah kerjasama yang sulit untuk
mencapai sukses kecuali kesepakatan hukum yang dibuat itu dapat
melawan apa yang lebih memberikan keuntungan. Negara yang
merdeka dan berdaulat dan benar-benar independen yang dapat
melepaskan diri dari ketergantungan. Hukum yang memuat
kesepakatan internasional sebaiknya menghormati doktrin kesetaraan.
Akan tetapi kesetaraan itu sulit untuk diwujudkan jika sejak awal telah
didesain agar negara-negara berdaulat itu menjadi tergantung baik
secara ekonomi maupun secara politis.194

Dengan meminjam pandangan Gunder Frank, Sritua Arif dan
Adisasono menegaskan bahwa : “Hubungan ekonomi diantara negara
maju dengan negara berkembang dibangun dengan sistem kapitalis
dalam skala internasional”. 195 Hubungan yang tidak sehat itu dijadikan
dasar untuk membangun tatanan ekonomi dunia di bawah sistem
GATT/WTO.

The funding fathers bangsa ini sejak awal berdirinya Republik
Indonesia telah memikirkan dan berusaha agar negara ini berdiri
sebagai negara yang kokoh. Berdikari, kata Bung Karno. 196 Bangsa ini
mesti bisa berdiri di atas kaki sendiri. Negara harus kuat tak boleh
lemah, jika tidak ingin didikte atau diombang-ambingkan oleh bangsa
lain. 197

194 Philip C. Jessup , A Modern Law Nations (Pengantar Hukum Modern
Antar Bangsa), Terjemahan Fitria Mayasari, Nuansa, Bandung, 2012, hal. 49.

195 Lebih lanjut lihat Sritua Arief & Adi Sasono, Indonesia Ketergantungan
dan Keterbelakangan, Mizan, Jakarta, 2013, hal. 20. Pandangan Gunder Frank
sebagaimana dikutip oleh Sritua Arief dan Adi Sasono menegaskan bahwa Gunder Frank
menolak pandangan bahwa perkembangan ekonomi negara-negara miskin akan terjadi
sebagai akibat hubungan ekonomi yang menimbulkan difusi modal, teknologi, nilai-nilai
institusi dan lain-lain faktor dinamis. Berdasarkan penemuan-penemuan historis Gunder
Frank di Amerika Latin, perkembangan yang sehat dan otonom justru terjadi pada saat
tidak adanya hubungan antara negara maju atau menurut istilahnya metropolis dengan
negara miskin atau negara satelit. Hubungan yang dibangun setelahnya justru membuat
negara-negara maju menjadi penguasa ekonomi di negara-negara miskin tersebut yang
berujung pada ketidak mandirian negara miskin tersebut.

196 Iman Toto K. Rahardjo, Herdianto WK, Bung Karno dan Ekonomi
Berdikari, Grasindo, Jakarta, 2001.

197 Suatu kali, Malaysia pernah mencoba untuk mengusik kedaulatan
Indonesia, Bung Karno langsung memberikan reaksi, dengan selogan ,”Ganyang
Malaysia”. Berkali-kali Bung Karno dalam pidatonya yang mengisyaratkan agar bangsa
ini melepaskan ketergantungan dengan bangsa lain. Go to hell with your aid. Apakah
retorika politik Bung Karno itu kemudian menjadikan posisi Indonesia semakin buruk,
Bung Karno tidak peduli. Pilihan keluar dari keanggotaan PBB pun Bung Karno sudah
siap. Dengan segudang julukan yang ia miliki, seperti Pemimpin Besar Revolusi,
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, pemerintahannya nyaris otoriter. Lupa
membuat standarisasi kinerja birokrasi yang terukur, menciptakan perangkat hukum agar

280

Dalam pertarungan politik dan ekonomi global, saat ini
penjelajahan pemahaman tentang berbagai faktor yang mengendalikan
jalannya arus politik global itu tak dapat hanya ditelusuri melalui garis
linier. Akan tetapi harus ditelusuri pula melalui garis non linier melalui
bantuan berbagai disiplin ilmu. Dengan cara itu akan dapat diketahui
mengapa suatu negara tampil menjadi negara yang sangat kuat, namun
di sisi lain muncul negara yang sangat lemah, di bahagaian bumi di
tempat lain muncul negara yang sangat kaya dan pada saat bersamaan
di tempat lain muncul negara yang sangat miskin. Demikian pula di
negara-negara di Eropa, di Asia Tenggara, di Timur Tengah dan di
Indocina, muncul negara yang relatif bersih dari korupsi, tapi di negara
lain muncul negara yang sangat tinggi angka korupsinya. Di berbagai
negara dalam kawasan itu muncul negara yang sangat patuh terhadap
penegakan bidang HKI nya, akan tetapi pada saat yang sama di negara
lain yang masih bersama-sama berada dalam kawasan itu muncul
negara dengan pelanggaran HKI yang tinggi.

Setiap bangsa sebenarnya mempunyai harapan yang sama
untuk mendapat posisi yang berharga di mata dunia dalam kehidupan
bersama dengan bangsa lain. Pesan nilai “kebangsaan” diyakini
sebagai pesan yang lahir dari bibit yang sama oleh tiap-tiap bangsa
yang ada di dunia, sehingga sebenarnya tidak ada keunggulan suatu
bangsa atas bangsa lain yang didasarkan pada pesan yang berharga dari
nilai kebangsaan itu. Bangsa-bangsa di dunia seharusnya tumbuh
bersama dengan bangsa lain dengan memanfaat potensi yang dimiliki
bangsanya sendiri. Bahwa kemudian perbedaan dalam keberhasilannya
mengelola potensi yang ada yang berpengaruh terhadap kesejahteraan
di dalam negaranya itu adalah resultan dari pemahaman anak
bangsanya dalam pengelolaan kehidupan nasionalnya. Garis batas yang
telah disepakati oleh dunia Internasional adalah suatu bangsa tidak
boleh mengintervensi kedaulatan negara lain. Penjajahan atas suatu
bangsa terhadap bangsa lain tidak mungkin dapat lagi dilakukan seperti
terjadi di masa lampau dan larangan itu telah dimuat dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-bangsa.198

kinerja lembaga negara menjadi teratur dan birokrasi pemerintahan menjadi berkualitas.
Dengan menciptakan hukum demokrasi dapat dikawal. Mengawal hak-hak politik warga
negara, melindungi hak milik individu, melindungi kehormatan warga negara kesemua
itu itu dapat diukur dengan standar peraturan yang telah disepakati, tapi itu tidak
dilakukan oleh Bung Karno. Bung Bung Karno larut dalam keasyikannya menjadikan
politik sebagai panglima.

198 Lihat lebih lanjut, Hikmahanto Juwono, Op.Cit, hal. 5. Pasal 2 ayat (7)
Piagam PBB, berbunyi, “Nothing contained in the present charter shall authorize the
United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic

281

Meskipun demikian bagi negara seperti Indonesia, tantangan
yang dihadapi adalah tidak semata-mata datang dari luar, akan tetapi
datang dari dalam (negeri) sendiri. Harus ada penguatan secara internal
di dalam negeri, mulai dari penguatan birokrasi, sistem politik yang
lebih menyuarakan republik, sistem penegakan hukum yang merujuk
pada nilai-nilai atau grundnorm Pancasila, sistem pengelolaan ekonomi
yang memihak pada kepentingan rakyat, sistem pendidikan yang
membuka peluang kesempatan yang luas bagi rakyat untuk dapat
mengecapnya sampai pada sistem pertahanan keamanan dan
pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang berkeadilan. Secara
simultan hubungan Internasional dibangun dengan pemahaman bahwa
kebijakan lintas batas negara yang menjangkau jauh ke masa depan
dapat dilaksanakan dengan meletakkannya dalam koordinasi manajmen
internasional. Memang sangat sulit untuk dapat menjangkau itu tanpa
kepiawaian berdiplomasi. Sangat sedikit lembaga yang berwenang di
negeri ini yang mampu mengkoordinasikan masalah-masalah lintas
batas yang menjangkau jauh ke depan itu dengan kebijakan dalam
negeri. Kekeliruan dalam menyikapi ini, akan dapat berakibat fatal
bagai suatu negara, karena sekalipun imperialism tidak lagi
diperkenankan tapi karena kesalahan dalam mengambil langkah
hasilnya tidak menutup kemungkinan terjadi imperialism tersembunyi.
Imperialis yang halus yang lebih modern yakni melalui kebijakan
hutang dan pinjaman luar negeri yang menciptakan ketergantungan
atau melalui instrumen hukum internasional, seperti dalam kasus
transplantasi UU hak cipta nasional yang mewajibkan Indonesia
menyesuaikan peraturan perundang-undangan HKI nya dengan TRIPs
Agreement.
Kemajuan dalam teknologi komunikasi telah membuka pemahaman
yang luas terhadap apa yang terjadi di satu negara begitu mudah untuk
diketahui oleh belahan negara lain dalam hitungan detik. Sehingga
dunia semakin terasa dekat namun disisi lain keadaan ini juga
menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit, seperti semakin
kompleksnya pertarungan akan sumber-sumber daya kehidupan. Semua
ini akan berpengaruh pula pada pilihan-pilihan kebijakan yang
ditempuh oleh satu negara sebagaimana diungkapkan oleh Koko 199
berikut ini :

jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement
under the present Charter, but this principle shall not prejudice the application of
enforcement measures under Chapter VII”.

199 Ibid.

282

Peningkatan dalam produksi guna memenuhi berbagai kebutuhan dan
keinginan manusia menimbulkan masalah sampah, polusi dan penyalahgunaan
sumber daya pada skala global. Perluasan kemampuan manusia untuk
menyusup ke wilayah yang sebelum ini tidak terjangkau – lautan dalam,
angkasa luar, gurun pasir yang terganas, pegunungan dan wilayah-wilayah es
yang tak terjamah – telah menggeser daerah-daerah penyangga dan daerah-
daerah netral yang dulu berfungsi sebagai pelunak dan peredam permusuhan.
Pertumbuhan kekuatan destruktif yang berlipat ganda memperbesar kesulitan
dalam pemeliharaan perdamaian – khususnya perkembangan sistem
persenjataan yang semakin ringkas, dahsyat, mudah dibawa dan mudah
didapatkan. Pembentukan dua gudang senjata nuklir besar, tidak hanya
memberikan kemampuan pada negara-negara adidaya untuk melenyapkan
peradaban manusia, tetapi juga mengubah hakikat politik internasional secara
mendasar. Pemilikan persenjataan nuklir dipandang sebagai kartu masuk ke
status adidaya.

Bentuk-bentuk imperialisme modern sekalipun ditegaskan dalam
piagam PBB tidak dibenarkan untuk dilakukan akan tetapi “unjuk
pamer kekuatan senjata” negara-negara adidaya membuat negara-
negara dunia ketiga seakan-akan tak mampu untuk mempertahankan
kedaulatannya. Doktrin kedaulatan internasional yang dikembangkan
pada abad pertengahan sebagaimana dikemukakan oleh Suhaidi200
didasarkan pada dua hal yang mendasar yaitu :

(1) Pada satu segi kedaulatan timbul karena adanya kekhawatiran
dari negara-negara nasional yang baru merdeka untuk
menegaskan kemerdekaan total, termasuk pengembanan
perekonomiannya, dan menghilangkan intervensi bangsa-
bangsa feodal atau intervensi negara-negara besar.

(2) Pada segi lain merupakan akumulasi dari negara-negara baru
merdeka untuk membentuk hukum baru bagi pengaturan
wilayahnya.

Oleh karena itu, doktrin-doktrin kedaulatan negara itu memiliki
relevansi dengan penelitian ini bahwa hukum-hukum baru yang
dibentuk oleh negara yang berdaulat sebaiknya tidak mencerminkan
intervensi kedaulatan negara asing terhadap kedaulatan negara lain.
Negara-negara adidaya seringkali memanfaatkan situasi konflik dalam
negeri untuk dan atas nama demokrasi turut melakukan penyerangan
dan mengintervensi kedaulatan suatu negara. Contoh terakhir adalah
bagaimana Amerika turut membantu melakukan serangan terhadap
kediktatoran pemimpin Lybia. Meskipun ini tidak sepenuhnya untuk

200 Suhaidi, Perlindungan Lingkungan Laut : Upaya Pencegahan Pencemaran
Lingkungan Laut Dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional, pada
Falultas Hukum USU, tanggal 1 April 2006, hal.3.

283

menegakkan masyarakat yang demokratis karena dalam satu negara
belum teruji juga bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang paling
tepat untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan keamanan
dalam negaranya. Untuk kasus Indonesia, Soedjatmoko 201
mengingatkan

Laju perubahan demografi, ekonomi dan teknologi yang berlaku saat ini
sedemikian rupa, sehingga empat puluh tahun yang akan datang akan
menjanjikan tingkat ketidak stabilan yang sama, jika tidak lebih lagi
dibanding empat puluh tahun sebelumnya. Lembaga-lembaga atau
pengaturan-pengaturan baru manapun yang dibentuk saat ini bagi manajemen
internasional kiranya juga dapat dianggap kadaluwarsa empat puluh tahun
yang akan datang – atau bahkan pada saat lembaga-lembaga atau pengaturan-
pengaturan tersebut mulai berdiri atau diberlakukan. Tak satu kelompok
pembuat keputusan pun yang memiliki kemampuan untuk menyusun semua
fakta, memahami semua alternatif, memperkirakan semua reaksi atau
mengantisipasi semua interpretasi dari suatu aksi. Kenyataan ini menuntut
keluwesan yang maksimum, konsultasi yang seluas mungkin dan kerendahan
hati yang besar dalam merancang sarana-sarana baru bagi manajemen sistem
internasional.

Koko mengajak, komponen-komponen bangsa ini harus
dengan sikap rendah hati yang besar dengan kesadaran yang penuh
bahwa, lembaga-lembaga negara dan sistem pemerintahan serta bentuk
negara kesatuan yang dirancang pada tahun 1945 itu sudah daluwarsa
untuk menghadapi arus globalisasi yang melanda peradaban dunia saat
ini. Tantangan berikutnya harus ada keberanian untuk memberi makna
pada nilai kebangsaan yang tidak hanya bersikukuh dengan faham
negara kesatuan, akan tetapi membuka wacana lalu menggantikannya
dengan bentuk negara federasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi
ketidak stabilan dan kompleksitas yang merupakan ciri dari sistem
internasional. Dengan Federasi faham kebangsaan akan tetap
terpelihara ke dalam, dan keluar hubungan Internasional di bangun oleh
pimpinan negara serikat yang juga dalam bentuk Republik. Keputusan-
keputusan politik untuk mengantisipasi perubahan atau sistem politik
yang ditawarkan oleh manajemen internasional ditangani oleh
pemerintah negara serikat, sehingga proses pembangunan dalam negeri
tidak disibukkan dengan “urusan-urusan” internasional yang selalu
bermuara pada ketidak pastian. Sistem pemerintahan dan bentuk negara
kesatuan yang ada pada hari ini dengan sistem otonomi daerah, telah
terkontaminasi dengan sistem manajemen internasioal yang kompleks
dan penuh ketidak pastian itu. Akibatnya membawa dampak pada
pilihan politik nasional yang cenderung tidak pasti juga. Dengan

201 Ibid, hal. 176-177.

284

federasi diharapkan dapat memberikan penguatan terhadap basis-basis
lokal. Sistem otonomi daerah yang diturunkan dari bentuk negara
kesatuan telah membuahkan rasa ketidak adilan di kalangan
masyarakat, dan jika ini dibiarkan terus berlanjut akan menimbulkan
konflik yang berkepanjangan. Belajar dari kasus Srilanka dan India,
pemberontakan Tamil adalah berpangkal pada ketidak adilan tersebut
karena setiap kelompok masyarakat yang ada dalam satu negara selalu
tidak puas atas pelayanan yang diberikan oleh negerinya. Kasus Aceh
misalnya, berakhir pada pemberian otonomi khusus. Akan tetapi bukan
tidak mungkin bagi Indonesia ke depan, kondisi ketidak adilan itu akan
memicu konflik-konflik baru yang dapat menghancurkan nilai-nilai
kebangsaan. Satu-satunya alternatif yang dapat dilakukan adalah
bangsa ini harus dengan rendah hati dan sungguh-sungguh
mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal di daerah-
daerah. Hal ini jelas lebih mudah untuk dilakukan dan sesungguhnya
dapat dicapai sebelum pecah konflik bersenjata dan kekerasan-
kekerasan yang memuncak akibat terpolarisasikannya berbagai
sentimen yang melemahkan solidaritas kebangsaan untuk
mengusahakan kompromi. Disinilah perlunya inovasi politik yakni
dengan penuh kesantunan menggantikan badan-badan negara serta
struktur pengelolaan birokrasi yang baru meninggalkan lembaga-
lembaga lama yang dibentuk pada tahun 1945. Kekacauaan birokrasi,
yang terjadi hari ini adalah karena kecenderungan memberi reaksi ke
arah reduksionisme terhadap manajemen internasional.

Salah satu perwujudan yang paling serius dari reduksionisme
itu adalah ilusi bahwa satu-satunya pelaku yang berarti dalam sistem
internasional adalah pemerintah dari negara kebangsaan, padahal
banyak pelaku individu yang mampu membuat kehadiran mereka lebih
terasa dalam hubungan-hubungan internasional. Hubungan-hubungan
itu sebenarnya dapat dilakukan dengan melahirkan undang-undang
yang berpihak pada kepentingan nasional. Paling tidak Cina dapat
dijadikan contoh, demikian menurut Candra Irawan 202 telah
menyesuaikan peraturan HKI-nya dengan memaksimalkan ketentuan
UU HKI-nya Kata ”kepentingan nasional” menjadi kata kunci dalam
penyusunan UU HKI di Negeri yang selama bertahun-tahun berseteru
dengan Amerika. Ada lima kebijakan politik (hukum dan ekonomi)
yang ditempuh Cina dalam menghadapi TRIPS Agreement :

202 Candra Irawan, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, 2011, hal. 156-157.

285

Pertama, dalam undang-undang HKI-nya Cina membuat ketentuan-ketentuan
Kedua, pasal yang melindungi kepentingan nasionalnya.
memberikan syarat kepada perusahaan Penanaman Modal Asing
Ketiga, untuk melakukan investasi di Cina agar melakukan alih teknologi
Keempat, kepada perusahaan lokal, sebaliknya jika ternyata praktek PMA itu
Kelima, hanya semata-mata melakukan impor teknologi asing bukan alih
teknologi maka perusahaan itu dimasukkan dalam daftar terlarang.
memberikan toleransi terhadap tindakan pelanggaran HKI sepanjang
dianggap mampu mendorong warga negara atau perusahaan lokal
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dari praktek pelanggaran
HKI tersebut.
tidak terburu-buru mengabsesi konvensi WTO/TRIPs Agreement.
Cina baru resmi masuk anggota yang ke-143 pada bulan Desember
2001.
Cina tidak pernah gentar terhadap tekanan asing. 203

Demikian pula India menjalankan politik hukum HKI-nya
untuk kepentingan nasional negaranya dengan memuat ketentuan-
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan HKI-nya berupa
klausule-klausule normatif yang secara tegas melindungi kepentingan
negaranya. Misalnya saja ketentuan mengenai lisensi wajib dapat
diterapkan terhadap paten yang tidak tersedia dalam masyarakat dengan
harga yang wajar. Demikian pula dalam lapangan hukum hak cipta,
apabila pemilik atau pemegang hak cipta menolak menerbitkan ulang
suatu karya padahal kepentingan umum membutuhkan karya tersebut,
lisensi wajib dapat dilaksanakan. Dengan alasan kepentingan nasional,
Pemerintah India dapat memanfaatkan hak cipta atau pemegang hak
cipta dengan membayar royalty yang wajar. Tentu saja batas kewajaran
itu menurut perhitungan-perhitungan pemerintah India sendiri. Dalam
bidang merek misalnya, apabila merek tersebut berpotensi untuk
menyesatkan masyarakat atau menyinggung keyakinan agama, atau
mengandung unsur pornografi merek tersebut tidak boleh didaftarkan.
Dalam bidang desain industri, Pemerintah India dapat menolak
pendaftaran apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau
moralitas. Demikian juga dalam bidang desain tata letak sirkuit
terpadu, apabila mengganggu kepentingan pertahanan dan keamanan
India hak tersebut ditolak untuk didaftarkan. Demikian seterusnya,
Pemerintah Hindia-pun memanfaatkan waktu tenggang yang diberikan
oleh WTO untuk mempersiapkan diri memperkuat sistem
pengembangan HKI-nya sebelum tanggal 1 Januari 2005. India juga
terus memperkuat negosiasi dan kritis terhadap negara-negara maju
yang melakukan tekanan terhadap negerinya. India sangat terkenal dan

203 Ibid, hal. 159-162.

286

ketat dalam mengamankan asset dan hak kekayaan intelektual
nasionalnya. Bagi India, negara majulah yang selama ini memanfaatkan
sumber daya genetik (hayati) yang banyak dihasilkan oleh negara-
negara berkembang.

Dapat difahami bahwa, setelah mencermati politik Hukum
HKI Cina dan India, mengapa masyarakat Indonesia kemudian menjadi
tidak patuh terhadap undang-undang Hak Cipta Nasionalnya sendiri, itu
dikarenakan undang-undang Hak Cipta Nasional yang disusun tidak
aspiratif, tidak direncanakan sedemikian rupa dengan baik guna
melindungi kepentingan nasional serta tidak mengacu pada konsep
wawasan politik Pembangunan Hukum Nasional yang dituangakan
dalam dokumen resmi negara sebagai dokumen Politik Pembangunam
Hukum Nasional. Namun demikian tidaklah berarti Undang-undang
hak cipta Indonesia hari ini kering sama sekali dari nilai kebangsaan.
Paling tidak terdapat 7 pasal dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002
yang secara normatif berpangkal pada nilai-nilai kebangsaan. 204 Akan
tetapi sekalipun nilai-nilai kebangsaan itu telah diadopsi dengan baik
dalam Undang-undang Hak Cipta Nasional, masih juga terdapat
penolakan masyarakat terhadap ketentuan normatif yang termuat dalam
undang-undang itu. Sikap penolakan atau perlawanan terhadap norma
hukum haruslah dipahami dari berbagai aspek. Faktor-faktor yang
menyebabkan ketidak patuhan masyarakat terhadap hukum selalu
diawali dari norma hukumnya sendiri yang tidak memberikan suasana
nyaman kepada anggota masyarakat. Ketidak patuhan terhadap norma
hukum juga dipicu oleh suatu keadaan yang memaksa atau keadaan
yang membuat anggota masyarakat tidak mempunyai pilihan. Membeli
hasil karya sinematografi bajakan yang harganya lebih murah atau
membeli hasil karya sinematografi yang original yang harganya lebih
mahal adalah sebuah pilihan keputusan yang tidak hanya didasarkan
kepada pertimbangan moral tetapi juga pertimbangan ekonomi. Dalam
masyarakat yang semakin hari semakin sarat dengan pandangan hidup

204 Pasal 10, Negara pemegang hak cipta atas ciptaan atau karya atas karya
peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional, hak cipta atas folklor dan
hasil kebudayaan rakyat, pasal 11 atas ciptaan yang tidak diketahui siapa penciptanya.
Pasal 17, pengumuman ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, Pasal
18, pengumuman suatu ciptaan yang diselenggaraan oleh Pemerintah untuk kepentingan
nasional, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak
cipta dan kepadanya diberikan imbalan yang layak (lisesnsi wajib), Pasal 22 untuk
kepentingan keamanan dan untuk keperluan proses peradilan pidana, hak cipta atas potret
dapat diumumkan atau diperbanyak. Pasal 31, Batas waktu ciptaan atas hak cipta yang
dipegang atau dilaksanakan oleh negara.Pasal 47, perjanjian lisensi dilarang memuat
ketentuan yang menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia.

287

materialis atau kebendaan dengan hitungan-hitungan ekonomis pastilah
akan memilih langkah-langkah yang pragmatis, menguntungkan, yang
akhirnya menjatuhkan pilihannya dengan membeli karya sinematografi
hasil bajakan. Terjadi sebuah pergeseran dari sikap patuh atau
protogonis menjadi sikap antagonis yang dalam banyak kasus di
Republik ini menjadi pilihan perilaku dalam menyikapi berbagai
keadaan yang tercipta sebagai akibat pengelolaan pemerintah yang
tidak konsisten dengan pilihan politik hukumnya yang bersumber dari
nilai-nilai Ketuhanan yang terpatri dalam ideologi Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. 205

Sikap ketidak patuhan, pelanggaran terhadap hak-hak orang
lain. Pilihan pragmatis, substansi hukum yang jauh dari nilai religius,
penegakan hukum hak cipta yang tidak konsisten adalah merupakan
sederetan gambaran dari kegagalan undang-undang hak cipta nasional
dalam meresepsi nilai-nilai Ketuhanan dalam undang-undang hak cipta
nasinalnya namun disisi lain memperlihatkan keberhasilannya dalam
praktek transplantasi hukum asing yang bersumber dari pandangan-
pandangan sekuler, kapitalis dan liberal.

Banyak catatan yang terjadi yang dapat diungkap beberapa
tahun belakangan ini tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi baik pada
tingkat regional maupun tingkal global yang dilakukan oleh kelompok-

205 Perilaku antagonis itu tidak hanya terjadi karena penolakan terhadap norma
hukum, tetapi juga terjadi karena sikap aparat penegak hukum. Masih jelas diingatan kita
tentang pertikaian berdarah antara Satpol PP dengan warga di daerah Jakarta Utara.
Kekerasan yang memakan korban aparat dan warga kembali jadi pilihan saat sekitar
2.000 polisi pamong praja mencoba menggusur kompleks makam Mbah Priok, di Jakarta
Utara. Permasalahan ini seharusnya bisa diselesaikan dengan “kepala dingin”. Tetapi
yang terjadi justru sebaliknya Tindakan represif ditunjukan oleh kedua belah pihak ini
mengakibatkan jatuhnya tiga orang korban jiwa di pihak Satpol PP. Sehari sebelumnya
kerusuhan juga pecah saat Satpol PP Kota Tangerang menggusur pemukiman warga Cina
Benteng, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari. Tindak kekerasan yang dilakukan
oleh Satpol PP merupakan sebuah tragedi yang patut kita sayangkan. Bagaimana tidak,
tragedi tersebut dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa, yaitu negara. Inilah yang
menghasilkan apa yang disebut sebagai kekerasan struktural, yaitu kekerasan yang
digunakan oleh struktur kekuasaan yang dapat berupa aparat, tentara, pemerintah, dan
atau birokrasi. Peradaban moderen memang secara de jure dan de facto memberi
wewenang kepada negara sebagai satu-satunya institusi yang memiliki legitimasi
melakukan kekerasan. Padahal kekerasan adalah tetap kekerasan yang memiliki unsur
pemaksaan, destruksi, dan pengingkaran sebagian atau seluruh kebebasan, dan tidak
menjadi soal siapa pelakunya. Bentuk-bentuk kekerasan ini antara lain, beating,
(arbritrarily) killing, illegal detention, robbing, (systematic) raping, assaults on civilian,
forced relocation, torturing, indiscriminate use of weapon, isolation, stigmatization,
blocking acces, dan election fraud. Apa yang dilakukan oleh Satpol PP di dua contoh
kasus diatas bisa dikategorikan penggunaan kekerasan kepada masyarakat sipil (assaults
on civilian), dan relokasi secara paksa (forced relocation).

288

kelompok kecil yang tidak bertanggungjawab kepada siapapun kecuali
pada diri mereka sendiri. Kasus-kasus terorisme penyeludupan senjata,
obat-obatan terlarang yang beroperasi di pinggir sistem kenegaraan
adalah wujud dari reaksi terhadap kompleksitas yang direduksi dari
sistem internasional yang bias. Massa yang tak terorganisir yang tanpa
sadar bertindak secara serentak juga memberikan dampak yang sama
besarnya pada gangguan terhadap stabilitas dan keamanan dalam satu
negara yang berujung pada ketidak stabilan politik dan kegoncangan
pada ekonomi. Keadaan ini pada gilirannya akan melemahkan posisi
negara yang mengundang kekuatan imperialisme terselubung. Untuk
mengantisipasi itu, meminjam gagasan Galtung negara-negara dunia
ketiga harus membangun “kekuatan dari dalam” sebagai pengakuan
bahwa ketidak stabilan, konflik, kemiskinan hanya membuka peluang
kepada negara-negara maju untuk melakukan intervensi untuk tidak
dikatakan sebagai penjajahan dalam bentuk imperalisme terselubung.

206

E. Perubahan dan Pergeseran Nilai Musyawarah dan Mufakat
Tak mudah memang mewujudkan cita-cita negara yang selalu

dirumuskan secara garis lurus (linear) dan berkepastian (deterministic)
yang berlandaskan pada satu idealisme. Apalagi dengan menggunakan
satu sudut pandang tunggal dengan satu disiplin tertentu, yang didorong
oleh keinginan kuat untuk menghasilkan sebuah “universal model”.207

206 Johan Galtung, There Art Alternatif Four Road to Peace and Security,
Spokesman Press, Nothingham, 1984 dalam Soedjatmoko, Ibid, hal. 155.

207 Inilah sumber dari kemunculan macam-macam proyeksi dewasa ini :
proyeksi pertumbuhan ekonomi (economic development), bahkan prognose tentang
transformasi kebudayaan, proyeksi pertumbuhan masyarakat (social change ; social
transformation), proyeksi perkembangan politik (political development) dan lainnya.
Semua itu kemudian menghasilkan semacam gambaran-gambaran “unilinear
deterministic continuous change” yang bersifat “stylistic” atau “idealistic” dan yang
diangkat dari kenyataan-kenyataan yang serba tidak rapi itu. Yang hebat : semua
prakiraan-prakiraan tampak seperti membawa kita semua ke “sebuah tujuan” atau “end -
situation”, yang dinyatakan sebagai misalnya “masyarakat modern”, ekonomi
industrialisasi” atau “open-market democracy”, yang juga anehnya semua seperti menuju
ke sebuah gambaran situasi yang homogeny serupa yang kita jumpai di masyarakat
Peradaban Barat. Hegemoni global dari peradaban tersebut yang berlangsung sejak
Revolusi industri pada abad ke-18 di Inggris memang telah mencuatkan masyarakat
peradaban itu tak ubahnya sebagai sebuah “utopia” – sebuah situasi yang diidam-
idamkan oleh masyarakat Barat dan elite di masyarakat negara-negara berkembang
sebagai yang akan dituju oleh semua masyarakat di dunia, apapun latar belakang
kebudayaannya, agamanya, sistem politiknya ataupun ideologinya, dan berapa lamanya
pun proses yang mesti dijalani. Lebih lanjut lihat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti,

289

Model pembangunan hukumpun dirumuskan secara universal
dan berlaku dalam satu kesatuan negara, hukum tunggal yang berlaku
secara unifikasi di negeri yang sangat plural. Undang-undang hak cipta
nasional untuk pertama kalinya disahkan, yakni Undang-undang No. 6
Tahun 1982 menggantikan wet produk Kolonial Belanda yakni
Auteurswet 1912 Stb. No. 600, undang-undang ini dimaksudkan
berlaku secara unifikasi.

Secara filosofis-ideologis, undang-undang yang baik haruslah
dapat menampung semua aspirasi masyarakat. Oleh karena itu politik
hukum legislasi nasional harus diarahkan untuk mencapai tujuan yakni
menyahuti cita-cita negara antara lain mewujudkan masyarakat adil dan
makmur. Dalam sebuah negara yang luas dengan penduduk yang relatif
besar, undang-undang sebaiknya dirumuskan secara fleksibel sehingga
diharapkan mampu mengikuti dan menyahuti aspirasi rakyat pada saat
ia diterapkan. Cita-cita negara yang digagas oleh para pendiri bangsa
yang secara abstrak telah dirumuskan dalam Pancasila sebagai landasan
ideologi negara. Namun dalam perjalannnya sering kali para pemimpin
lalai dalam mengejawantahkan landasan ideologi itu dalam produk
peraturan perundang-undangan.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, misalnya (yang dulu dalam
terminologi UUD 1945 sebelum diamandemen keanggotaannya adalah
terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan golongan) yang
memiliki kedudukan tertinggi dalam kebijakan legislasi, dari waktu ke
waktu memperlihatkan kinerja yang tidak mengacu pada cita-cita
negara Indonesia merdeka, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan
Bung Karno. Kepemimpinan Bung Karno lebih memprioritaskan pada
pembangunan dalam bidang politik. 208

Menerawang Indonesia Pada Dasawarsa Ketiga Abad ke-21, Alvabet, Jakarta, 2012, hal.
6-7.

208 Pembangunan dalam lapangan kebudayaan-pun diarahkan kepada
kebutuhan politik meskipun secara tegas dalam TAP MPRS No. II Tahun 1960
ditegaskan agar warga negara Indonesia mengukuhkan jati dirinya sebagai bangsa
Indonesia dengan menolak pengaruh-pengaruh buruk dari kebudayaan asing. Pancasila
masih dijadikan landasan manifesto politik Republik Indonesia. Perekonomian-pun masih
didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik. Singkat kata, Bung Karno ingin
mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin politik bangsa Indonesia sampai akhir
kejatuhannya di penghujung tahun 1966. Padahal periode 1945-1966 itu adalah
periodesasi yang didalam babakan sejarah keberlakuan undang-undang hak cipta nasional
yang berasal dari hukum Kolonial. Bung Karno dalam orasinya selalu
mengumandangkan dan memperlihatkan kebenciannya terhadap kapitalis. Tetapi ia tetap
saja membiarkan berlakunya undang-undang yang bernuansa kapitalis. Bung Karno juga
dalam berbagai orasinya menentang ideologi Barat tapi ia tetap saja membiarkan
berlakunya hukum-hukum di wilayah Indonesia merdeka berasal dari hukum Barat.

290

Kebijakan legislasi nasional dalam bidang perlindungan hak
cipta (tentu saja tidak terkecuali di bidang-bidang lainnya) tidak pernah
direspon dengan baik oleh kalangan legislatif sampai berakhirnya masa
kepemimpinan Bung Karno. Era kepemimpinan Soeharto, politik
legislasi nasional juga menjadi retorika yang sulit untuk dipahami
dalam perspektif negara hukum. Produk legislatif memanglah mulai
terlihat lebih banyak dilahirkan pada masa kepemimpinan Soeharto.
Akan tetapi produk legislatif lebih banyak menyahuti keinginan-
keinginan pemerintah (eksekutif).

Sejak dikukuhkannya Soeharto menjadi presiden di awal tahun
1967, baru pada tahun 1982 atau tepatnya 15 tahun kemudian barulah
undang-undang hak cipta peninggalan Kolonial Belanda digantikan
dengan undang-undang hak cipta nasional meskipun Undang-undang
No. 6 Tahun 1982 ini menyisakan banyak perdebatan karena undang-
undang ini masih sebagian besar mengacu pada roh atau spirit atau
ideologi kapitalis yang bersumber dari hukum Barat. 209

Memang hukum peninggalan Kolonial Belanda tidaklah
terlalu buruk untuk diteruskan di dalam negeri Indonesia merdeka, asal
saja politik legislasi atau kebijakan pembangunan hukum nasional
dapat menyaring norma-norma konkrit yang ada dalam undang-undang
peninggalan Kolonial Belanda itu dengan ideologi Pancasila. Disaring
dengan menggunakan ukuran-ukuran nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat Indonesia. Disaring dengan menggunakan The Original
Paradicmatic Values of Indonesia Culture and Society, tentu saja
pekerjaan demikian itu bukanlah pekerjaan yang mudah untuk
dilakukan.

Meskipun pada periode pemerintahan Soeharto telah terjadi
perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 dengan Undang-
undang No. 7 Tahun 1987 itupun tidak bermakna bahwa Undang-
undang No. 7 Tahun 1987 itu telah menyahuti aspirasi rakyat. Adalah
desakan pemerintah Amerika agar Indonesia segera merobah Undang-
undang No. 6 Tahun 1982 yang tidak aspiratif dengan keinginan
Amerika dan negara-negara maju. Kehadiran Presiden Amerika di Bali
bertemu dengan Presiden Soeharto menimbulkan spekulasi di kalangan
akademis khususnya akademisi bidang hukum bahwa pembicaraan

209 Auteurswet 1912 Stb. No. 600 adalah undang-undang hak cipta yang
diberlakukan di Negeri Belanda. Wet ini disempurnakan oleh Kerajaan Belanda dalam
rangka menyahuti keinginan masyarakat Eropa yang ketika itu sebahagian besar telah
meratifikasi dan menjadi anggota Konvensi Bern tahun 1881. Auteurswet 1912 ini
menggantikan Undang-undang Hak Cipta Kerajaan Belanda sebelumnya.

291

empat mata antara Presiden Amerika dengan Presiden Soeharto tidak
lebih dari menancapkan keinginan Amerika untuk memproteksi hak
cipta warga negara mereka. 210 Segera setelah kembali Presiden
Amerika ke negerinya, Soeharto memerintahkan Menteri/Sekretaris
Kabinet yang pada waktu itu dijabat oleh Moerdiono, dan Soeharto
kemudian menerbitkan Keppres yang dikenal dengan Keppres 38 A
yang isinya membentuk tim untuk menyusun penyempurnaan Undang-
undang No. 6 Tahun 1982. Sekali lagi, eksekutiflah yang lebih
dominan dalam penyempurnaan Undang-undang No. 6 Tahun 1982.
Setelah tim Keppres 38 A menyelesaikan tugas-tugasnya, maka hasil
tim itu kemudian dirumuskan dan terbentuklah rancangan undang-
undang untuk perubahan Undang-undang No. 6 Tahun 1982. Legislatif
kemudian bersidang dan tanpa pembahasan yang berlarut-larut karena
memang demikianlah kehendak atau keinginan pemerintah (tentu saja
dengan menyahuti keinginan pihak Amerika) akhirnya disahkanlah
Undang-undang No. 7 Tahun 1987 yang isinya adalah
menyempurnakan dari bahagian-bahagian pasal-pasal Undang-undang
No. 6 Tahun 1982. Legislatif hanya bekerja di penghujung menjelang
kelahiran Undang-undang No. 7 Tahun 1987. Selebihnya yang bekerja
lebih awal adalah para eksekutif di bawah komando menteri Seketaris
Kabinet pada masa pemerintahan Soeharto.

Masih dalam orde Pemerintahan Soeharto, pada tahun 1997
hal yang sama seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya
terulang kembali. Pasca ratifikasi GATT 1994/WTO, Indonesia
dihadapkan pada satu keharusan untuk menyesuaikan peraturan
perundang-undangan bidang hak kekayaan intelektualnya dengan
tuntutan GATT 1994/WTO yang salah satu instrumen di dalamnya
memuat TRIPs Agreement. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak, akhirnya rezim Soeharto dihadapkan kembali pada
penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 melalui Undang-
undang No. 12 Tahun 1997. Terkesan bahwa Undang-undang No. 12
Tahun 1997 ini dibuat secara terburu-buru. Ini adalah kebiasaan
legislatif di negeri ini yakni membuat undang-undang sebagai

210 Terlepas dari Indonesia harus melindungi kepentingan warga negara asing
terlebih-lebih melindungi kepentingan hak-hak kekayaan intelektual mereka akan tetapi
kehadiran Ronald Reagen di Bali diawali dari banyaknya pelanggaran hak cipta yang
dilakukan oleh masyarakat Indonsia khususnya dalam bidang software komputer dan
pelanggaran karya cipta lagu milik warga negara Amerika. Adalah lagu karya Bob
Geldof yang khusus diciptakan untuk menghimpun dana bantuan kemanusiaan life aid
atas bencana yang dihadapi masyarakat Afrika ketika itu akan tetapi lagu-lagu itu dibajak
di Cina dan di Indonesia sehingga dana bantuan kemanusiaan itu menjadi tidak optimal.

292

pekerjaan borongan. Target pembuatan undang-undang telah disusun
pada tiap-tiap tahun anggaran. Sinyalemen-sinyalemen pembuatan
undang-undang ini dilakukan secara terburu-buru karena pada akhirnya
Undang-undang No. 12 Tahun 1997 ini tidak juga dapat menyahuti
secara keseluruhan keinginan-keinginan yang dikehendaki oleh TRIPs
Agreement hasil Putaran GATT 1994/WTO, karena pada akhirnya
undang-undang yang dibuat terakhir inipun harus juga mengalami
penyempurnaan kembali melalui Undang-undang No. 19 Tahun 2002.

Dominankah peranan legislatif pada penyusunan undang-
undang hak cipta nasional tersebut ? Uraian di atas memperlihatkan
bahwa legislatif hampir dapat dipastikan tidak dominan dalam
menyuarakan aspirasi dan kehendak rakyat dalam penyusunan undang-
undang hak cipta nasional tersebut. Situasi politik pada masa
pemerintahan Bung Karno, dilanjutkan dengan pemerintahan Soeharto
hampir tidak memberi ruang terhadap aspirasi dan suara rakyat yang
disalurkan melalui lembaga legislatif. Karena pasca pemerintahan
Soeharto, hiruk pikuk politik di negeri ini berkecambuk melebihi
situasi politik pada pemerintahan sebelumnya. Kebebasan pers yang
diikuti dengan keterbukaan di segala bidang yang juga didukung oleh
kemajuan teknologi informasi secara bersamaan telah membuat
pemerintah Indonesia pasca pemerintahan Presiden Soeharto menjadi
lebih dinamis dan lebih banyak menimbulkan persoalan-persoalan baru
yang sulit untuk ditemukan pada masa-masa pemerintahan sebelumnya.
Namun di celah-celah kondisi politik dalam negeri yang demikian
keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan GATT 1994/WTO tidak
dapat diabaikan. Di celah-celah situasi itu tepatnya pada masa
pemerintahan Megawati, Indonesia kembali dihadapkan pada
penyempurnaan undang-undang hak cipta nasionalnya untuk
disetarakan atau diselaraskan dengan TRIPs Agreement. Peranan
lembaga legislatif juga hadir di saat-saat akhir pengesahan undang-
undang itu, karena pesan sesungguhnya telah lama diisyaratkan oleh
TRIPs Agreement yakni pada saat ratifikasi GATT 1994/WTO pada
tahun 1994. Dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif tidak lebih
dari sebagai institusi untuk menjustifikasi agar undang-undang itu
dapat diberlakukan secara sah di seluruh wilayah Republik Indonesia
dan dapat pula diperlihatkan kepada dunia internasional bahwa
Indonesia telah memiliki undang-undang hak cipta dengan standard
internasional.

Peranan legislatif lagi-lagi telah bergeser dari yang seharusnya
mempertahankan ideologi Pancasila kemudian memuat roh dari spirit
yang terkandung dalam The Original Paradicmatic Values of Indonesia

293

Culture and Society untuk dijadikan penyaring dalam penyusunan
undang-undang hak cipta nasional tak dapat lagi diwujudkan. Anggota
legislatif sulit untuk dijadikan gantungan harapan masyarakat Indonesia
dalam meluruskan ide, gagasan dan cita-cita pembangunan hukum
nasional sebagai motor dalam roda kebijakan politik pembangunan
hukum nasional.

Tidak itu saja, dalam satu unit pekerjaanpun banyak
ditemukan ketidak-kompakan. Sebagai contoh dalam Undang-undang
Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, ditemukan hal-hal yang tidak perlu.
(lihat pasal aturan peralihan dan rentang pendaftaran). Seharusnya
pasal-pasal itu tidak diperlukan lagi, jika semua komponen yang ada
pada saat undang-undang itu disusun berpikir secara sistemik. Jika
sistem pendaftaran Hak Cipta menganut sistem dekleratif negatif, maka
tidak perlu pasal yang memuat aturan tentang penghapusan
pendaftaran hak cipta oleh suatu sebab atau oleh suatu keadaan. (vide
pasal 44). Hapus atau tidak sebuah karya cipta dengan sistem
pendaftaran dekleratif negatif tidak memberi dampak apa-apa kepada
pencipta atau pemegang hak cipta dengan keberadaan pasal 44 Undang-
undang No. 19 Tahun 2002 itu. Demikian juga dengan ketentuan pasal
74 dan pasal 77. Pasal yang satu mengisyaratkan berlakunya ketentuan
yang lama atau ketentuan yang ada sebelum undang-undang ini
dilahirkan, pasal yang satunya lagi menegaskan tidak berlaku undang-
undang yang telah dibuat sebelumnya. Jika yang dimaksudkan oleh
pasal 77 yang tidak berlaku adalah UU No.6 Tahun 1982, UU No.7
Tahun 1987 dan UU No.12 tahun 1997, maka itu berarti yang tidak
berlaku adalah uu hak cipta yang pernah dibuat pada masa
kemerdekaan. Bagaimana dengan nasib undang-undang hak cipta yang
dibuat sebelum kemerdekaan yakni Auteurswet 1912 stb.No.600,
apakah masih berlaku juga? Jika dirujuk pasal 74 Undang-undang
No.19 Tahun 2002, jawabnya tetap masih berlaku. Sekuens nya sebagai
berikut. Auteurswet 1912 stb.No.600 di bumi Indonesia diberlakukan
dan mendapat tempat dalam wadah hukum di bumi Indonesia selama
70 tahun. Pemeberlakukan ini mengacu pada Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Pada waktu Undang-undang No. 6 Tahun 1982 disyahkan
berlakunya di Indonesia, Auteurswet 1912 Stb. No.600 dicabut, dengan
demikian tak ada tempat bagi Auteurswet 1912 Stb.No.,600 di bumi
Indonesia. Selanjutnya Undang-undang No.6 Tahun 1982 diubah
dengan Undang-undang No.7 Tahun 1987 dan Undang-undang No 12
tahun 1997. Ketiga undang-undang ini kemudian dicabut dan
digantikan dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1997. Ketika ketiga
undang-undang itu dicabut di dalamnya ikut dicabut ketentuan yang

294

menyatakan mencabut Auteurswet Stb. 1912 No. 600, yang bermakna
bahwa Auteurswet Stb. 1912 No.600 akan hidup dan berlaku kembali
berdasarkan Pasal peralihan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan dikuatkan oleh pasal 74 Undang-undang
No.19 Tahun 2002.

Pertanyaan adalah apakah memang begitu maksud pembuat
undang-undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002. Jika demikian halnya
wawasan politik hukum apa yang menjadi dadar pilihan politik hukum
semacam itu. Di negeri asalnya Belanda saja pun, wet itu sudah tidak
diberlakukan lagi, tapi justeru di Indonesia yang telah berkali-kali
merubah, merevisi, mengganti dan bahkan menyesuaikan undang-
undang hak cipta nasiona nya dengan TRIPs Agreement dan pada satu
masa pernah menegaskan telah mencabut wet itu, justeru dalam
undang-undangnya yang terakhir menghidupkan dan
memberlakukannya kembali.

Ini adalah sebuah pandangan kritis, dari bahayanya menyusun
undang-undang tidak berpikir secara sistemik. Seorang yang ahli
hukum pidana merasa tak perlu memahami tentang hukum perdata.
Seorang yang telah mengukuhkan keahliannya di bidang hukum Tata
negara merasa tak perlu memahami hukum Acara Perdata atau Hukum
Acara Pidana. Seorang yang merasa ahli hukum perdata, mengajukan
banyak garis dan batasan dengan hukum dagang, hukum pasar modal,
hukum perburuhan, hukum agraria dan lain sebagainya. Pandangan dan
anggapan semacam ini, tidak saja membuat kering atau mengkerdilkan
studi ilmu hukum tapi justeru menimbulkan kesenjangan dalam
merumuskan wawasan politik hukum nasional. Memang dalam
pengajaran keilmuan dalam bidang hukum, diharuskan untuk menjurus
kepada spesialisasi pembidangan secara linier, agar publik dapat
mengetahui bidang keahlian masing-masing, namun itu tidak berarti
bahwa para ilmuwan hukum boleh melepaskan pandangan dan
kajiannya secara sistemik. Ini yang oleh Mariam Darus, Mahadi dan
terakhir M.Solly Lubis kukuhkan sebagai pendekatan sistem dalam
kajian Ilmu hukum. Sistem hukum yang memuat asas-asas hukum dan
norma hukum. Sistem hukum yang berisikan substasi, struktur dan
kultur hukum, menurut pandangan Friedman. Kritik tajam yang mesti
diungkapkan dalam disertasi ini adalah tidak ditempatkannya dengan
baik, hukum (Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002) hak cipta
nasional dalam sistem hukum Perdata. Pemahaman terhadap hukum
perdata mengacu pada dua konsep hukum. Pertama menurut konsep
atau pandangan ilmu pengetahuan. Bahwa hukum perdata menurut
pandangan ilmu pengetahuan terdiri dari dari hukum orang

295

(personenrecht), hukum keluarga (familierecht), hukum harta kekayaan
(vermogensrecht) dan hukum kewarisan (erfecht). 211 Kosep kedua,
mengacu pada pandangan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
perdata, yaitu Hukum Tentang orang, Hukum Tentang benda, hukum
tentang Perikatan dan Hukum Tentang Daluwarsa. Hukum tentang
Daluwarsa kemudian tak dapat dimasukkan dalam cakupan hukum
perdata materil, karena daluwarsa itu adalah lebih tepat diposisikan
sebagai hukum acara atau hukum formil sebab mengandung isi tentang
tatacara mendapatkan hak dengan lampaunya waktu. Pemusatan
pemikiran yang utama untuk menempatkan Hak Cipta sebagai bahagian
dari sistem hukum perdata haruslah dilihat terlebihg dahulu
karakteristik atau ciri-ciri hak cipta itu. Berikut ini dapat dinukilkan
tentang ciri-ciri hak cipta sebagai berikut:

1. Hak cipta itu dihasilkan oleh daya cipta, rasa dan karsa
manusia, perorangan atau kelompok.

2. Mempunyai nilai ekonomis.
3. Tidak terlihat dalam arti tidak berwujud (immateril)
4. Boleh dialihkan melalui, pewarisan., hibah,

wasiat,perjanjian tertulis atau sebab lain yang dibenarkan
oleh unang-undang (termasuk jual beli, penyewaan,
lisensi,dan lain-lain, vide pasal 3).
5. Dianggap sebagai benda bergerak (ditentukan oleh
undang-undang bukan karena sifatnya, vide pasal 3).
6. Hak untuk mengumumkan atau memperbanyak karya
cipta
7. Adanya hak moral
8. Mengenalsistem pendaftaran meskipun dekleratif negatif
9. Dapat dipertahankan terhadap siapa saja yang melanggar
hak tersebut, baik secara perdata,pidana maupun secara
administrasi
10. Jangka waktu kepemilikan selama hidup pencipta sampai
50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, untuk jenis
karya cipta lain dibatasi secara bervariasi.
Berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik hak cipta tersebut,
dapat disimpulkan bahwa hak cipta itu adalah benda, yakni benda
immateril, benda tidak berwujud, dapat menjadi obyek harta kekayaan
dan dapat dijadikan obyek jual beli, obyek pewarisan, hibah, wasiat,
jual beli, lisensi atau sewa menyewa. Sama dengan perolehan atau

211 Lebih lanjut lihat Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum
Benda Nasional, Alumni, Bandung, 2010, hal. 4.

296

penguasaan terhadap benda materil, maka untuk mendapatkan karya
ciptapun seseorang harus mengeluarkan, biaya, tenaga dan bahkan
waktu yang tidak sedikit. Itulah sebabnya hak pencipta dalam kerangka
hukum disebutkan sebagai pihak yang paling berhak atau disebut
sebagai pemegang hak eksklusif atau hak khusus, karena ia diciptakan
atas kemampuan yang bersifat khusus pula. Tak dapat dillakukan oleh
semua orang yang tidak memiliki keahlian atau talenta yang khusus
melekat pada dirinya. Para pelukis, komposer, penyanyi, para aktor
(pelakon), para penari, para pengarang, peneliti dan penulis mestilah
dibekali keahlian dan talenta khusus untuk itu. Eksklusif itulah frase
yang tepat untuk menyebutkan hak yang dimiliki oleh para pencipta.
Karena itu pula pada hasil karya cipta, meskipun hakya telah berakhir,
hak moral tetap harus dilekatkan. Nama pencipta harus tetap dilekatkan
pada hasil karya cipta itu.

Kembali kepada perlunya pemahaman sistemik dengan
menempatkan hak cipta sebagai hukum benda dan bahagian dari hukum
perdata, membawa konsekuensi logis, bahwa asas-asas hukum perdata
atau prinsip-prinsip pokok hukum benda akan melekat dan tak menjadi
rujukan dalam poenyusunan undang-undang hak cipta nasional. Secara
makro (dalam kerangka sistem nasional yang luas, meliputi
ipoleksosbud) langkah-langkah yang harus dipenuhi dalam penyusunan
undang undang adalah didahului oleh pemahaman ideologis, kemudian
juridis terakhir pemahaman politis,sebagai tiga landasan ketatanegaraan
dengan pendekatan sistem. Kebijakan strategis (politik hukum)
penyusunan uu hak cipta nasional haruslah mengacu pada tiga landasan
ketatata negaraan, sebagaimana secara terus menerus dikumandangkan
oleh M.Solly Lubis dalam berbagai ruang seminar dan ruang kuliah
kemudian dituangkan dalam berbagai buku yang dapat dijadikan
rujukan ilmiah akademik.212. Secara mikro (dalam kerangka sistem
nasional yang sempit yakni sistem hukum) pendekatan Mahadi dan

212 Lebih lanjut lihat M. Solly Lubis, Serba-Serbi Politik & Hukum, PT.
Sofmedia, Jakarta, 2011, lihat juga M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-
undangan, Mandar Maju, Bandung, 1995, Lihat juga M. Solly Lubis, Pembahasan UUD
1945, Alumni, Bandung, 1997, lihat juga M. Solly Lubis, SH, Prof. DR, Reformasi
Politik Hukum : Syarat Mutlak Penegakan Hukum Yang Paradigmatik, Orasi Ilmiah
Dalam Rangka Ulang Tahun ke-80 Prof. DR. M. Solly Lubis, SH, Guru Besar Emeritus,
Februari 2010, juga lihat M. Solly Lubis, SH, Prof. DR. Hukum Tatanegara, Mandar
Maju, Bandung, 2008 , lihat juga M. Solly Lubis, SH, Prof. DR., Ilmu Pengetahuan
Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 2009, Lihat juga M. Solly Lubis, SH,
Prof. DR, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, Dalam Rangka Ultah ke-80
Prof. Solly Lubis, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010. Lihat juga M. Solly Lubis, SH, Prof. DR,
Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002.

297

Mariam Darus, dapat dirujuk untuk memposisikan Hak Cipta dalam
kerangka sistem hukum perdata bidang hukum benda. Dengan
menemukan karakteristik dan asas-asas yang tersembunyi dalam hak
cipta tersebut dan ini akan memperjelas kedudukan hak cipta dalam
lapangan hukum perdata yakni merupakan sub sistem hukum benda.

Meminjam kerangka analisis sistem yang dikembangkan oleh
tiga begawan hukum asal Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara
tersebut maka, kritik yang dapat diajukan dalam undang-undang hasil
produk terakhir lembaga legislatif nasional yang membuahkan Undang-
undang No. 19 Tahun 2002 hasil transplantasi hukum asing ini adalah :
1. Pasal 3 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yang memuat

ketentuan tentang hak cipta sebagai benda bergerak sebaiknya
dihapus saja, tidak ada juga guna atau fungsinya, lebih baik
menyebutkan bahwa hak cipta adalah benda immateril, atau haka
kekayaan intelektual sebagai benda tidak berwujud. Pembuat
undang-undang sebaiknya memahami konsekkuensi hukum dari
klasifikasi benda bergerak dengan benda tidak bergerak.
Klasifikasi itu berhubungan erat dengan pengalihan, levering, atau
pada saat ia dijadikan obyek jaminan. Pada peristiwa penempatan
hak cipta sebagai benda bergerak dalam undang-undang hak cipta
nasional hampir tidak ditemukan kegunaan atau kemanfaatannya.

213

213 Pengelompokan benda ke dalam kelompok benda bergerak dan benda tidak
bergerak menurut Sri Soedewi, mempunyai arti penting dalam hal bezit levering dan
beswaring. Lebih lanjut lihat, Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum
Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 22. Dalam konteks ini jika pandangan Sri
Soedewi dihubungkan dengan pandangan Volmar yang menyatakan bahwa untuk
penyerahan benda bergerak dapat dilakukan secara nyata sedangkan untuk benda tidak
bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pendaftaran dengan menggunakan akte
autentik. Lebih lanjut lihat H.F.A., Volmar, terjemahan IS. Adiwimarta, Pengantar Studi
Hukum Perdata (I), Rajawali Pers, Jakarta, 1983, hal. 195. Hak cipta tidak dapat
dilakukan dengan penyerahan nyata karena ia mempunyai sifat yang manunggal dengan
penciptanya dan bersifat tidak berwujud. Hak ciptapun tidak dapat digadaikan karena jika
digadaikan itu berarti si pencipta harus ikut pula beralih ke tangan si kreditur. Oleh
karena pengalihan hak cipta hanya dapat dilakukan dengan sebuah akte dan dapat juga
didaftarkan agar ia bersifat autentik, maka sebenarnya lebih tepat jika hak cipta ini
digolongkan sebagai benda terdaftar. Jika hari ini sistem pendaftaran hak cipta masih
menganut sistem pendaftaran deklaratif negatif, maka sebaiknya tak perlulah diberi
ketegasan didalam satu pasal undang-undang bahwa hak cipta ini termasuk dalam
kelompok benda bergerak oleh karena dari segi kegunaannya hampir tidak
memperlihatkan manfaat sama sekali. Lebih lanjut lihat OK. Saidin, Aspek Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hal. 66.

298

2. Ketentuan pasal 74 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 sebaiknya
dihapuskan, karena sudah tidak relevan lagi dan itu membuka
ruang untuk diberlakukannya Auteurswet Stb 1912 No.600 yang
menimbulkan konflik hukum dalam penerapannya.

3. Pemerintah tidak mengambil porsi yang berlebihan dalam undang-
undang ini untuk memposisikan diri sebagai institusi pemebuat
peraturan (meskipun peraturan oreganik).

4. Negara tidak diperkenankan memposisikan dirinya sebagai owner,
cukup sebagai subyek yang memgang hak menguasai oleh negara.
Kritik semacam ini seharusnya tidak lagi muncul jika

penyelenggara negara dan pemerintahan di republik ini berfikir dengan
paradigma sistem yang dapat menghilangkan kecongkakan sektoral.
Kritik terakhir yang juga harus dikemukakan dalam disertasi ini adalah
penempatan hukum, bidang hak cipta menurut versi Suyud Margono.
Dalam tulisannya halaman 83 membuat skema tentang perkembangan
sistematika hak cipta dalam sistem hukum perdata sebagai berikut :

Skema : 8
Perkembangan Sistematika Hak Cipta Dalam Sistem Hukum Perdata

HUKUM PERDATA

Hukum Hukum Harta Hukum Hukum
Harta Pribadi Kekayaan Keluarga Waris

Hukum Hukum Hukum Hak
Benda Perikatan Kekayaan Intelektual (HKI) :
1. Hak Cipta
2. Hak Milik Industri

a. Merek
b. Paten
c. Desain Industri
d. Rahasia Dagang
e. Sirkuit Terpadu
f. Varietas Tanaman

Dalam skema di atas, Suyud Margono menempatkan hukum benda
sejajar dengan hukum hak kekayaan intelektual yang merupakan sub
sistem dari hukum harta kekayaan yang berada dalam sistem hukum

299
perdata. Kritik yang diajukan adalah mensejajarkan hukum benda
dengan hukum hak kekayaan intelektual bersama-sama dengan hukum
perikatan adalah penempatan yang tidak mengacu pada pola pikir
sistem hukum. Jika mengacu pada pembahagian hukum perdata
menurut ilmu pengetahuan hukum 214 maka hukum harta kekayaan itu
terdiri dari dua bahagian yaitu hukum benda dan hukum perikatan.
Itulah sebabnya kemudian Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menempatkan hukum benda pada bab sendiri dan hukum perikatan
pada bab yang tersendiri pula. Tapi keduanya termasuk dalam lapangan
hukum harta kekayaan. Bagaimana dengan kedudukan hukum hak
kekayaan intelektual ? Hukum hak kekayaan intelektual sebenarnya
bahagian dari hukum benda atau sub sistem hukum benda yang
merupakan bagian hukum harta kekayaan yang berada di dalam sistem
hukum perdata. Sehingga tidak tepat jika hukum benda disejajarkan
dengan hukum hak kekayaan intelektual sebagaimana dikemukakan
oleh Suyud Margono dalam tulisannya tersebut di atas. Jika hendak
disempurnakan maka skemanya adalah sebagai berikut :

214 Lihat lebih lanjut Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia Teori dan
Analisis Harmonisasi Ketentuan World Trade Organization (WTO)-TRIPs Agreement,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.

300

Skema : 9
Kedudukan Hak Cipta Dalam Sistem Hukum Perdata

HUKUM PERDATA

Hukum Hukum Harta Hukum Hukum
Harta Pribadi Kekayaan Keluarga Waris

Hukum Hukum
Benda Perikatan

Benda Materil Benda Immateril

Hukum Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) :
1. Hak Cipta
2. Hak Milik Industri

a. Merek
b. Paten
c. Desain Industri
d. Sirkuit Terpadu
e. Varietas Tanaman

Dalam skema di atas, menjadi terang dan jelas kedudukan hak cipta
sebagai hak atas benda immateril. Karena itu juga harus dihapuskan
atau dihilangkan rahasia dagang sebagai bahagian dari hak kekayaan
intelektual. Alasannya adalah karena tidak ada hak kebendaan yang
dihasilkan dalam rahasia dagang tersebut. Rahasia dagang dalam
prakteknya adalah sebuah temuan atau invensi yang dirahasiakan oleh
penemunya. Jadi rahasia dagang adalah merupakan paten yang
dirahasiakan. Bisa saja yang dirahasiakan itu tentang komposisi obat-
obatan, teknik dan cara pembuatannya. Bisa juga yang dirahasiakan itu
komposisi dari jenis makanan yang dirahasiakan cara memasak dan
mengolahnya. Jadi rahasia dagang bukan suatu benda immateril

301

melainkan sebuah temuan benda imateril yang dirahasiakan. Itulah
sebabnya menurut pandangan kami rahasia dagang (termasuk juga
unfair competition atau persaingan curang) tidak semestinya
ditempatkan kedalam sub sistem hukum benda immateril yang
bersama-sama berada dalam sistem hukum perdata nasional.

Kekeliruan di atas perlu dikritik karena ini terjadi atas suatu
pandangan yang tidak sistemik dalam melihat obyek hukum (benda)
dalam satu sistem hukum yang menaunginya. Kekeliruan ini terjadi
lebih dikarenakan karena pandangan yang sempit dan linier yang
membatasi analisis dengan dinding-dinding keahlian tertentu dengan
ego disiplin ilmu tertentu. Sudah saatnya dibuka pandangan yang
seluas-luasnya untuk memposisikan hukum nasional melalui perspektif
sejarah hukum dan politik hukum.

Menempatkan hukum hak cipta dalam bahagian hukum harta
kekayaan yang merupakan sub sistem dari hukum benda bukan tidak
beralasan, sebab manakala norma-norma hukum konkrit yang
dituangkan dalam undang-undang tidak cukup mampu memberikan
jawaban dalam praktek penegakan hukum maka tugas untuk melakukan
penemuan hukum harus dibuka seluas-luasnya. 215 Aktivitas penemuan
hukum memang dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi hakim
yang menjadi ujung tombak penemuan hukum jika norma hukum tidak
cukup lengkap memberikan jawaban atas permasalahan hukum yang
dihadapi maka hakim harus kembali kepada asas hukum. Asas hukum
menurut Mariam Darus dapat ditemukan dengan cara mengabstraksi
norma hukum. Dengan metode abstraksi itu, maka ditemukanlah asas-
asas hukum yang tersembunyi di balik norma hukum. Mariam Darus
menyebutkan bahwa asas hukum adalah merupakan sub sistem dalam
sistem hukum.216

215 Lihat lebih lanjut Sudikno Mertokusumo Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2009, Lihat juga Bambang Sutiyoso, Metode
Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press,
Yogyakarta, 2006.

216 Asas-asas hukum ini diperoleh melalui konstruksi yuridis yaitu dengan
menganalisa (mengolah) data-data yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian
mengambil sifat-sifatnya yang umum (kolektif) atau abstrak. Proses pencarian asas
hukum ini disebut dengan mengabstraksi. Aturan-aturan hukum membentuk dirinya
dalam suatu hukum itu dapat pula digolongkan dalam sub-sub sistem seperti hukum
perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum ekonomi dan sebagainya. 216 Dengan
demikian suatu sistem hukum didalam suatu negara dapat dibagi-bagi dalam bagian-
bagian (sub sistem hukum, sehingga antara hukum yang satu dengan hukum yang lain
seharusnya saling berkaitan dan tidak boleh saling bertentangan oleh karena memiliki
asas-asas dan sendi-sendi yang terpadu. Meskipun demikian, apabila terjadi pertentangan
antara sub sistem hukum dapat diselesaikan melalui penggunaan asas-asas hukum. Lihat

302

Menempatkan hukum hak kekayaan intelektual dalam hukum
benda konsekuensinya adalah jika norma hukum yang mengatur hak
kekayaan intelektual tidak cukup lengkap memberikan jawaban atas
persoalan hukum yang diperlukan maka asas-asas hukum benda dapat
dipergunakan untuk memberikan penyelesaian dalam sengketa hukum
yang sedang dihadapi oleh para pihak. Mahadi217 menulis dengan
mengutip C.W. Paton memberi batasan tentang asas hukum, yaitu :

“A principle is the broad reason which lies at the base of a
rule of law”. (Asas ialah suatu pikiran yang dirumuskan secara luas
yang mendasari adanya suatu norma hukum). Mahadi selanjutnya
menguraikan unsur-unsur menurut defenisi Paton sebagai berikut :

1. Alam pikiran
2. Rumusan luas
3. Dasar pembentukan norma hukum
Jika suatu norma hukum telah terbentuk, dapat dipahami
bahwa di balik pembentukan norma hukum itu terdapat dasar, dasarnya
itulah yang dirumuskan sebagai asas yang dilator belakangi oleh alam
pikiran pembuat undang-undang. Di Indonesia alam pikiran itu harus
diuji dengan Pancasila sebagai landasan filosofis pembuatan undang-
undang. Pancasila itu adalah hasil abstraksi dari the original
paradigmatic value of Indonesian culture and society 218 yang

lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Nasional
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,
2010.

217 Mahadi, Falsafah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal. 122.
218 Secara khusus, asas-asas yang terkandung dalam hukum benda dapat
dilihat dari ciri-ciri hak kebendaan. Sri Soedewi menuliskan tentang cirri-ciri hak
kebendaan dengan hak perorangan sebagai berikut : 1. Merupakan hak yang mutlak,
dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2. Mempunyai zaaksgevolg atau droit de
suite (hak yang mengikuti). Artinya hak it uterus mengikuti bendanya dimanapun juga
(dalam tangan siapa pun juga) benda itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang
mempunyainya. 3. Sistem yang dianut dalam hak kebendaan di mana terhadap yang lebih
dahulu terjadi mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi dari pada yang terjadi
kemudian. Misalnya, seorang eigenar menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah tersebut
juga diberikan kepada orang lain dengan hak memungut hasil, maka di sini hak hipotik
itu masih ada pada tanah yang dibebani hak memungut hasil itu. Dan mempunyai derajat
dan tingkat yang lebih tinggi dari pada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian.
4. Mempunyai sifat droit de preference (hak yang didahulukan) 5. Adanya apa yang
dinamakan gugat kebendaan. 6. Kemungkinan untuk dapat memindahkan hak kebendaan
itu dapat secara sepenuhnya dilakukan. Berdasarkan karakteristik atau ciri-ciri hukum
benda tersebut di atas, dapat ditarik asas-asas hukum sebagai berikut : 1. Asas
absolutisme 2. Asas zaaksgevolg atau droit de suite 3. Asas prioritas kedudukan 4. Asas
droit de preference 5. Asas perlindungan hak 6. Asas kesatuan atau keutuhan. Lihat lebih
lanjut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hal. 24. Disamping itu asas-asas umum
yang berlaku dalam bidang hukum benda secara lebih rinci dikemukakan oleh Mariam

303

merupakan kumpulan dari tata nilai atau asas-asas hukum sebagai
produk budaya yang abstrak.

Asas-asas hukum benda tersebut dapat dirujuk baik dalam
pembuatan norma hukum undang-undang hak cipta nasional maupun
dalam penerapan. Asas hukum haruslah ditempatkan dalam sub sistem
hukum.

Dengan pendekatan sistem, semua persoalan hukum baik pada
saat pembuatannya maupun pada saat penerapannya akan dapat
dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Hukum kemudian dapat
dirasakan sebagai sarana untuk mencapai keadilan, menciptakan
kepastian hukum dan memberikan kemanfaatan. Hanya saja dalam
proses perumusan kaedah hukum hak cipta nasional kelihatannya
meninggalkan atau keluar dari sistem nasional sebagaimana
dimaksudkan oleh M. Solly Lubis, dan mengingkari pendekatan sistem
hukum sebagaimana pandangan Mahadi dan Mariam Darus. Keadaan
ini berlangsung tidak terlepas dari suatu sebab yakni karena adanya
pergeseran cara pandang yang seharusnya mengacu kepada cara
pandang sistemik bergeser menjadi ego sektoral. Para anggota legislatif
dalam banyak hal telah meninggalkan konsep demokrasi Pancasila
yang meletakkan dasar musyawarah mufakat dan telah digantikan
dengan konsep demokrasi liberal sehingga nilai-nilai musyawarah dan
mufakat terutama dalam menentukan pasal yang berkaitan dengan
sengketa perdata tidak sepenuhnya mengacu pada penyelesaian
berdasarkan musyawarah dan mufakat akan tetapi diserahkan kepada
lembaga peradilan formal seperti peradilan niaga, meskipun peluang
untuk musyawarah dan mufakat itu telah dibuka juga melalui lembaga
peradilan arbitrase seperti yang tertuang dalam Pasal 65 Undang-
undang No. 19 Tahun 2002. Akan tetapi untuk pelanggaran pidana
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 menetapkannya sebagai delik biasa
sehingga peluang untuk penyelesaian melalui musyawarah dan mufakat
itu menjadi tertutup. Oleh karena itu sudah seyogyanyalah sifat atau
jenis delik pidana Undang-undang Hak Cipta ini harus dirobah menjadi
delik aduan, bukan delik biasa.

Darus : 1. Asas sistem tertutup 2. Asas hak mengikuti benda (zaaksgevolg, droit de suite)
3. Asas publisitas 4. Asas spesialitas 5. Asas totalitas 6. Asas accessie 7. Asas pemisahan
horizontal 8. Asas dapat diserahkan 9. Asas perlindungan 10. Asas absolute (hukum
pemaksa) Lebih lanjut lihat Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda
Nasional, Op.Cit, hal. 36-42.

304

F. Perubahan dan Pergeseran Nilai Ekonomi Pancasila
Landasan filosofis pembentukan undang-undang hak cipta

nasional mengacu pada landasan ideologi Pancasila sebagai
grundnorm. Sebagai konsekuensinya maka, seharusnya undang-
undang hak cipta nasional akan mencerminkan muatan tata nilai
sebagai asas-asas yang dituangkan dalam norma hukum (pasal demi
pasal) undang-undang hak cipta nasional. Khusus dalam kaitannya
dengan dasar-dasar pembentukan sistem ekonomi Nasional, yang
menjadi rujukan adalah sila ke lima dari Pancasila. Nilai filosofis
dalam sila kelima antara lain didalamnya tersirat nilai keadilan dan
nilai kesejahteraan yang dikenal dengan sistem ekonomi kerakyatan.219
Kesejahteraan yang dicapai oleh masyarakat Indonesia hendaklah
didistribusikan secara adil dan merata bagi kemakmuran rakyat.
Sumber-sumber kehidupan ekonomi harus ditata dengan baik secara
berkeadilan. Pengaturan sumber-sumber ekonomi itu dapat dituangkan
dalam undang-undang yang menyerap dan merespon nilai-nilai
keadilan. Seluruh undang-undang yang bersentuhan dengan praktek-
praktek ekonomi seperti kepemilikan tanah, penanaman modal asing,
pemanfaat hasil tambang, pemanfaatan sumber daya hutan dan kelautan
dan sumber-sumber bahan tambang dan lain sebagainya yang
melahirkan hak-hak ekonomi harus bermuara pada nilai keadilan tidak
terkecuali undang-undang hak cipta nasional yang menyangkut hak
kekayaan intelektual.

Di sisi lain sejarah perjalanan Undang-undang Hak Cipta
Nasional sejak awal telah diwarnai oleh nilai filosofis peradaban dunia
Barat yakni individualis, kapitalis dan liberal. 220 Hasilnya adalah
undang-undang hak cipta nasional terakhir ini adalah merupakan
kompromi politik nasional dengan masyarakat internasional. Inilah
yang menurut Christopher May 221 sebagai politik ekonomi global
dalam bidang intellectual property rights.

219 Lebih lanjut lihat Djoko Dwiyanto dan Ignas G. Saksono, Ekonomi
(Sosialis) Pancasila Vs Kapitalisme Nilai-nilai Tradisional dan Non Tradisional Dalam
Pancasila, Keluarga Besar Marhenisme, Yogyakarta, 2011.

220 Auteurswet 1912 Stb. No. 600 berasal dari hukum Kolonial Belanda
dengan latar belakang filsafat yang demikian. Dalam perjalanan selanjutnya, undang-
undang hak cipta nasional pasca ratifikasi GATT 1994/WTO yang didalamnya memuat
TRIPs Agreement mengharuskan pula Indonesia untuk menyesuaikan undang-undang
hak cipta nasionalnya dengan instrument hukum yang berlatar belakang ideologi kapitalis
liberal.

221 Christopher May, The Global Political Economy of Intellectual Property
Rights, The new enclosures Second Edition, Routledge, London, 2010.

305

Negara Indonesia pada saat menyusun Undang-undang Hak
Cipta No. 7 Tahun 1987 merevisi Undang-undang Hak Cipta No. 6
Tahun 1982 bukanlah berada pada posisi negara produsen yang maju
dalam penciptaan program komputer. Perusahaan-perusahaan dalam
bidang Information Technology dan perusahaan yang memproduksi soft
were komputer belum ada di Indonesia akan tetapi pada tahun itu
Indonesia harus memasukkan satu klausul tentang itu (perlindungan
program komputer) dalam undang-undang hak ciptanya. Ini
menimbulkan sebuah pertanyaan yang besar : Apakah masuknya
klausul itu semata-mata karena perlindungan karya cipta ini sudah
merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia ketika itu ? Atau justru
masuknya bidang ini karena adanya tekanan atau pesanan dari negara
lain yang mempunyai kepentingan atas perlindungan karya ciptanya di
bidang ini. Tidak diperoleh keterangan yang jelas latar belakang
masuknya ketentuan ini dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1987,
tetapi yang pasti sebelum undang-undang ini lahir, Presiden Soeharto
mengadakan pembicaraan empat mata dengan Presiden Ronald Reagen
di Bali. Inti pembicaraannya adalah Indonesia harus merobah undang-
undang hak cipta nasionalnya yang berlaku pada waktu itu. Hasil
pertemuan itu kemudian disikapi oleh Pemerintah Soeharto dengan
membentuk satu tim yang diberi tugas untuk menyusun Undang-
undang Hak Cipta Indonesia yang memiliki standard internasional.
Selepas pertemuan itu terbentuklah Tim Kerja Khusus yang diketuai
oleh : Moerdiono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris
Kabinet berdasarkan Keputusan Presiden tangal 30 Juli 1986. Tim ini
kemudian melakukan berbagai aktivitas untuk mengumpulkan
informasi bekerjasama dengan berbagai universitas menyelenggarakan
seminar dan berujung pada penyusunan rancangan undang-undang
perubahan atas Undang-undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982.
Rancangan undang-undang itu disampaikan kepada DPR pada bulan
Juni dan ditetapkan menjadi undang-undang pada tanggal 9 September
1987 dan mulai berlaku pada tanggal 19 September 1987. 222

Dalam penjelasan Undang-undang No. 7 Tahun 1987 hanya
dikatakan, program komputer atau computer program yang merupakan
bahagian dari perangkat lunak dalam sistem komputer pada dasarnya
merupakan karya cipta ilmu pengetahuan dan itu perlu ditegaskan
sebagai ciptaan yang layak diberi perlindungan sebagai hak cipta.
Lebih lanjut penjelasan pasal demi pasal hanya menegaskan pengertian

222 Lebih lanjut lihat, OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual
(Intellectual Property Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 153.

306

program komputer sebagai peralatan elektronik yang memiliki
kemampuan mengolah data dan informasi. Oleh karena itu dapat
diyakini bahwa masuknya ketentuan pasal ini bukanlah karena
kemajuan teknologi masyarakat Indonesia pada waktu itu sudah
mencapai pada titik di mana karya cipta program komputer ini harus
dilindungi oleh undang-undang, melainkan karena adanya permintaan
negara-negara dimana warganya sebagai pemegang (pemilik) program
komputer yang saat itu sudah dipasarkan di berbagai belahan dunia.
Negara seperti Amerika, sudah barang tentu memiliki kekhawatiran
terhadap Indonesia terlebih-lebih Cina yang mereka akui sendiri
sebagai negara peringkat atas melakukan pembajakan hak cipta.

Budaya untuk berbagi ilmu pengetahuan dan berbagi
kenikmatan atas hasil yang telah dicapai oleh seseorang adalah budaya
yang sudah terpatri dalam kultur masyarakat Indonesia. Dalam cerita
hikayat lama, banyak dikisahkan tentang para saudagar yang pemurah.
Demikian pula kisah-kisah tentang para guru yang berbagi ilmu dengan
murid-muridnya. Para tabib yang mengobati pasien dari kalangan
masyarakat yang sakit tanpa dipungut bayaran. Pendek kata, aspek nilai
kekeluargaan dan nilai kebersamaan selalu diletakkan di atas
kepentingan individual. 223

Masuknya paham individualis yang merasuk sendi-sendi
masyarakat Indonesia pada kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini
tidak terlepas dari peranan negara-negara kapitalis liberal melalui
kemajuan teknologi informasi dan teknologi transportasi yang
membuat sekatan dinding antar negara semakin sempit dan
terbangunnya tatanan ekonomi kapitalis dengan sistem merkantilisme.

Ahli ekonomi politik Skotlandia Adam Smith224 (1723-1790)
menciptakan istilah “sistem merkantil” yang dia definisikan sebagai
“mendorong ekspor dan tidak mendorong impor”. Asumsi normatif
merkantilisme ialah bahwa kebijakan ekonomi hendaknya
meningkatkan kekuatan negara, khususnya kekuatan militer. Di
sini,kebijakan ekonomi kaum merkantilis berubah menjadi realitas
politik. Kaum merkantilis percaya bahwa akumulasi emas dan perak
sangat bermanfaat bagi persiapan cadangan devisa, namun tidak
banyak manfaat yang didapat dari perdagangan logam mulia itu.
Alasannya adalah karena logam mulia hanya digunakan untuk

223 Lihat lebih lanjut Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila Kultural,
Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, hal. 397.
WTO adalah mesin hukum penggerak menuju tatanan dimana liberal kapitalis.

224 Adam Smith, Lectures on Jurisprudence, Oxford University Press, New
York, 1978.

307

menyeimbangkan pembayaran impor dengan nilai barang yang
diekspor sebagai cadangan devisa agar tidak terjadi devisit anggaran.
Karena setiap negara menerima logam mulia sebagai pembayaran
untuk impor, logam mulia semacam itu menjadi dasar kekayaan.
Kenyataannya, penumpukan logam mulia dengan tidak memproduksi
barang sambil meningkatkan persediaan uang suatu negara sangat
berbahaya bagi perekonomian suatu negara, karena tindakan itu akan
berujung pada inflasi. Itulah sebabnya kaum merkantilis lebih
mengarahkan kebijakannya pada penguatan politik ekonomi dan
penguatan politik pertahanan negara.

Memacu ekspor berarti menggiatkan produksi dan itu akan
dapat diwujudkan melalui kebijakan industrialisasi. Semua kegiatan
produksi digiring ke sektor industri. Mulai dari industri pertanian,
perikanan, makanan, obat-obatan, kimia, kedirgantaraan, persenjataan,
otomotif sampai pada industri hiburan antara lain dalam wujud industri
perfilman. Semua ini menyangkut Hak kekayaan Intellektual. Sasaran
ekspor adalah negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga,
yang relatif minim dalam kepemilikan dan penguasaan Hak Kekayaan
Intelektual. Keadaan inilah yang memaksa kaum merkantilis kemudian
melancarkan gerakan “pengamanan HKI” mereka melalui politik
perdagangan dengan mendesain dan memanfaatkan instrumen Hukum
Internasional. Karena hanya dengan cara ini menurut Hikmahanto225
negara-negara maju dapat terhindar dari tuduhan mengintervensi
kedaulatan suatu negara yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
hukum Internasional. Kesepakatan perdagangan yang tertuang dalam
GATT1994/WTO dengan instrumen ikutannya antara lain TRIPs
Agreement adalah satu contoh saja, bagaimana kaum merkantilis
memainkan peranan politik ekonomi dan politik pertahanan negara-
negara yang tergabung dalam negara Industeri maju di bawah
rancangan Amerika. Tidak hanya membatasi tentang pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual melalui kewajiban untuk menyesuaikan undang-
undang HKI di negaranya dengan TRIPs Agreement dan seluruh
Konvensi Internasional terkait, tetapi juga membuat klausule tentang
larangan import paralel226 yang berujung pada perlindungan negara
produsen sebagai pemilik HKI.

225 Lebih lanjut lihat Hikmahanto Juwono, Orasi Ilmiah Hukum Sebagai
Instrumen Politik : Intervensi atas Kedaulatan Dalam Proses Legislasi di Indonesia,
Disampaikan pada Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Ke-50, 12
Januari 2004.

226 Lebih lanjut lihat M.Hawin, Intellectual Property Law on Parallel
Importation, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2010.

308

Sejarah merkantilis demikian 227 tak terlepas dari sejarah
peperangan yang diawali dari persaingan kolonial di antara sesama
negara-negara di Eropa. Penaklukan Spanyol atas Amerika Selatan dan
Tengah pada abad ke-16 dan akses negara itu pada logam mulia
menjadikan negara itu sebagai adidaya pada abad itu, dan koloni-koloni
dunia barunya menjadi bagian dari blok perdagangan kerajaan-kerajaan
besar yang berkuasa pada waktu itu. Pada tahun 1600, “Kerajaan
Amerika – Spanyol “ yang terdiri atas Spanyol Baru (daratan utama di
utara Genting Tanah Panama, West Indies dan Venezuela) dan Peru
(Amerika Selatan di selatan Spanyol Baru kecuali Brazil), masing-
masing diperintah oleh salah satu wakil pribadi raja atau raja muda.
Merkantisme Spanyol melarang negara-negara asal non Spanyol
mengunjungi koloni-koloni Spanyol, melarang ekspor asing dari
koloni-koloninya dan menuntut agar ekpor ke koloni-koloninya
diekspor kembali melalui Spanyol. Disamping itu, koloni-koloni
Spanyol tidak diizinkan membuat berbagai produk. Dan sampai tahun
1720 semua perdagangan koloni harus diekspor kembali melalui Kota
Seville.

Di bawah merkantilisme, hubungan ekonomi dan politik
terjalin dengan baik. Kaum merkantilisme menganggap bahwa tarif
terhadap impor merupakan sumber utama pendapatan pemerintah untuk
membayar senjata dan tentara. Untuk tujuan ini, raja-raja Eropa selalu
campur tangan dalam perekonomian negara-negara mereka, dengan
mengatur produksi barang yang berhubungan dengan keamanan dan
membangun monopoli negara, korporasi-korporasi dan perusahaan-
perusahaan dagang. Kaum merkantilisme juga mendukung ekspansi
kerajaan dan pendirian koloni-koloni di luar negeri untuk memperoleh
pasar yang lebih besar bagi produk mereka dan akses eksklusif pada
sumber-sumber bahan-bahan mentah yang penting bagi kegiatan
industeri negara mereka. Di samping itu, indusetri manufaktur yang
menghasilkan produk terbaru diberi monopoli di luar negeri, sedangkan
pesaing-pesaing potensial dilarang masuk ke pasar dalam negeri dan
pasar kolonial melalui kuota, tarif, dan larangan import.228

Inilah awal sejarah ekonomi kaum merkantilis yang menjadi
cikal bakal era perdagangan bebas yang diusung oleh WTO ketika

227 Lebih lanjut lihat Eamonn Kelly, Agenda Dunia Powerful Times Abad 21,
Bangkit Menghadapi Tantangan Dunia Yang Penuh Ketidakpastian, Index, Jakarta,
2010.

228 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global
Introduction to Global Politics, Terjemahan Amat Asnawi, Nusamedia, Bandung, 2012,
hal. 606-608.

309

imperialis dan kolonialis tidak lagi menjadi pilihan politik di era pasca
Perang Dunia II, namun bentuk dan model penjajahan ekonomi dan
penjajahan politik belum berubah dan masih terus berlanjut hingga hari
ini. Yang berubah adalah cara negara-negara maju itu melancarkan
politik imperialis-nya, misalnya dengan memanfaatkan instrumen
hukum internasional. Negara-negara yang menjadi sasarannya harus
terus menerus menyesuaikan diri dengan tuntutan mereka, melalui
adaptasi atau dengan cara-cara “politik balas budi” misalnya melalui
pinjaman hutang luar negeri yang sumber keuangannya berasal dari
negara-negara maju tersebut. Bagian dari proses adaptasi pasti akan
mencakup urgensi yang lebih besar untuk memperbaiki modal-modal
pasar untuk menguntungkan mereka yang bertarung. Kadang-kadang,
langkah adaptasi itu menggiring negara yang bersangkutan ke dalam
kapitalisme yang baru. Ahli ekonomi Peruvian, mengemukakan bahwa
Hernando de Soto 229 memperdebatkan dalam The Mystery of Capital
bahwa negara Barat telah mengembangkan jaringan hukum,
pengharapan, gelar, serta hubungan tak terencana dan tak terlihat yang
mendukung kepemilikan properti, dan ini mendorong terbentuknya
sistem ekonomi kapitalis. Namun, di banyak negara berkembang,
elemen vital dari sistem itu tidak muncul – hal ini bukanlah fakta yang
mengejutkan, karena sebagian besar orang di Barat memahami secara
terbuka cara sistem mereka bekerja. Sebagai hasilnya, de Soto
mengklaim bahwa usaha dengan niat baik yang dilakukan dana moneter
internasional IMF, bank dunia dan agen-agen lain yang menyebarkan
model kapasitas modern benar-benar gagal atau sukses yang tertunda.

De Soto mengacu pada rezim Hak Kekayaan Intelektual yang
memaksakan sebagai salah satu faktor pencetus sistem kapitalisme. Dia
memperkirakan bahwa dalam dunia berkembang sekarang ini 8 milyar
dolar tersia-sia kan tak tereksploitasi, dalam bentuk harta informal –
kapital yang potensial, yang bisa untuk menghasilkan kesejahteraan
baru dan kesempatan. Dia telah menyarankan pemikiran konkrit,
kebijakan dan tindakan untuk melepaskan kemungkinan laten
(tersembunyi) yang sangat besar. Argumennya menarik sebuah
perhatian yang besar, dan mantan presiden Amerika Bill Clinton
menyebut pandangannya sebagai pengembangan ekonomi sistematik
yang paling signifikan selama bertahun-tahun. Ide-ide ini
menginformasikan secara pasti perdebatan dan pengaruh kebijakan
pada dekade globalisasi berikutnya.

Negara maju telah sangat diuntungkan dari perdagangan
global selama lebih dari seabad. Tetapi hal ini tidak dapat dihentikan
dan akan terus berlanjut, hanya dengan pengenalan aspirasi legitimasi
dari seluruh dunia untuk menjadi mitra sejati dan peserta dalam
ekonomi global yang sedang berkembang. Hal ini pasti mengharuskan
negara maju, untuk memberikan pijakan dasar bagi dukungan terhadap
sektor-sektor ekonomi negara berkembang seperti sektor pertanian,
kelautan dan lain sebagainya. Hal ini juga mengharuskan negara maju
memberikan kontribusi berupa bantuan modal, tenaga ahli dan
teknologi yang dibutuhkan negara berkembang, Bantuan itu di

229 Hernando De Soto, The Mystery of Capital Why Capitalism Triumphs in

the West and Fails Everywhere Else, Basic Books, New York, 2000, hal. 35-36.

310

semestinya diberikan ke seluruh sektor ekonomi termasuk transfer
teknologi termasuk teknologi tinggi, akan tetapi hal itu untuk kasus
Indonesia tidak terjadi yang ada hanyalah pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya manusia Indonesia yang relatif belum
“terjamah” dan dapat t menyediakan buruh murah dan pasar konsumen
yang besar.230

Dekade berikutnya seharusnya menghasilkan pencapaian
positif sehingga kemakmuran si kaya sama dengan si miskin sama rata.
Namun, akan ada tantangan serius untuk ke depannya dan dunia maju
harus memulai proses yang menyakitkan untuk melepaskan
pemahaman tentang apa yang diyakininya sebagai langkah politik
ekonomi yang benar. Hasilnya adalah, sementara jutaan orang
diuntungkan dari penyebaran kemakmuran, jutaan lainnya akan
mengalami sebaliknya : kemerosotan standar hidup. Bagi orang
banyak, hal ini akan menjadi mutlak – kemerosotan yang begitu
memilukan dari apa yang mereka ketahui sebelumnya. Bagi orang lain,
hal ini relatif ; hal ini akan datang dalam bentuk rasa sakit untuk tetap
bertahan atau hanya bergerak maju sedikit sementara yang lain berpacu
di depan.

Menurut PBB, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan
(yaitu orang-orang yang hidup dengan uang kurang dari 1 dolar sehari)
menurun. Tetapi, masih terdapat 1,3 milyar orang miskin – kasarnya,
seperempat dari populasi dunia. Tujuan pengembangan milenium PBB
berjanji untuk mengurangi jumlah tersebut pada tahun 2015 dan
kemajuan sedang diusahakan untuk tujuan ini. Namun, data lain
menyatakan bahwa kondisi orang miskin sebenarnya semakin
memburuk. Selain usaha-usaha institusi internasional seperti Bank
Dunia, IMF, dan PBB, dan usaha peningkatan beberapa perusahaan
global, 21 negara di seluruh dunia meninggakan tahun 1990-an dengan
menurunnya tingkat perkembangan. Sedangkan selama tahun 1980-an
hanya 4 negara diketahui oleh program pengembangan PBB yang
menunjukkan kemerosotan dekade jangka panjang yang serupa.231

Grafik di bawah ini, menunjukkan ketimpangan ekonomi di
berbagai negara di dunia.

230 Lihat Andi Makmur Makka, Jejak Pemikiran B.J. Habibie Peradaban
Teknologi Untuk Kemandirian Bangsa, Mizan, Yogyakarta, 2010. Bagaimana kemudian
IMF dalam LoI nya membatasi penggunaan dana bantuan IMF untuk pengembangan
industrei strategis yang dibangun oleh Habibie yang akhirnya kandas dan Indonesia
mundur 30 tahun dalam sektor ini.

231 Eamonn Kelly, Agenda Dunia Powerful Times Abad 21, Bangkit
Menghadapi Tantangan Dunia Yang Penuh Ketidakpastian, Index, Jakarta, 2010, hal.
171-173

311

Grafik 1
Ketimpangan Ekonomi di Berbagai Dunia

GNP Populasi GNP per kapita
5,9%

2,8% 3,8% 2,1%

1,8% 2,6%
1,4% 1,9% 1,7%

0,7%

-0,9% -0,4%

Negara dengan pendapatan rendah

Negara dengan pendapatan rendah termasuk Cina dan India

Negara dengan pendapatan menengah

Negara dengan pendapatan tinggi

Terjadinya ketimpangan ekonomi ini tidak terlepas dari
pilihan negara maju dalam melancarkan politik ekonomi globalnya.
Amerika dengan kebijakan politik ekonominya yang tertuang dalam
“Konsensus Washington” justru telah menciptakan ketidak stabilan
ekonomi dan membangkitkan rasa ketidak adilan di beberapa negara.
Banyak tuduhan yang diarahkan kepada IMF dan Bank Dunia yang
menganggap bahwa kedua lembaga keuangan internasional ini telah
merekayasa aturan main hanya untuk melayani kepentingan negara
kaya daripada negara miskin. Tidak kurang dari mantan Kepala
Ekonomi Dunia yang juga peraih Nobel dalam bidang ekonomi Joe
Stiglitz, mengatakan dengan jelas : “Globalisasi telah menciptakan
banyak negara miskin di dunia yang kemudian tumbuh menjadi lebih

312

miskin. Bahkan ketika keadaan mereka membaik justru pada saat yang
sama mereka merasa lebih lemah. 232

Itulah pilihan kapitalis, yang membawa konsekuensi yang
sesungguhnya tidak terlihat secara kasat mata akan tetapi menimbulkan
kerumitan, ketidak adilan dan sesungguhnya berbahaya juga bagi
kelangsungan kehidupan umat manusia. 233

Kapitalis mungkin hanya dapat memacu pertumbuhan
ekonomi tapi tidak dapat memacu pemerataan. Moises Naim 234
menunjuk dalam pilihan ekonomi kapitalis menghadapi globalisasi
yang harus dilawan oleh otoritas nasional adalah perdagangan narkoba,
perdagangan illegal persenjataan, pembajakan hak kekayaan
intelektual, penyeludupan antar negara dan pencucian uang.
Globalisasi, demikian Naim mencatat membuat dunia semakin saling
berhubungan dan jaringan kriminal juga memasuki aliansi strategi
melintasi budaya dan melintasi benua. Kapitalis dan globalisasi telah
berjalan beriringan. Kapitalis menekankan pada strategi dan kebijakan
menanamkan faham ekonomi, sementara globalisasi adalah kenderaan
yang digunakan untuk menyebarkan faham itu.

Karena keberhasilan kapitalis dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain kegagalannya dalam
menciptakan pemerataan serta memelihara moral dan peradaban, maka
tawaran ideologi “penyeimbang” haruslah dijadikan sebagai alternatif.
Indonesia dengan ideologi Pancasila telah menawarkan sebuah gagasan
besar dalam konsep ideologi pembangunan dalam bidang ekonomi
yakni ekonomi kerakyatan yang berkeadilan. Kesejahteraan dalam
bidang ekonomi harus diimbangi dengan pemerataan. Pemerataan
adalah wujud dari nilai keadilan. Sila kelima Pancasila memuat nilai-
nilai filosofis yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam pilihan
politik ekonomi.

232 Ibid, hal. 174.
233 Pilihan terhadap kapitalis memang sebahagian telah menciptakan negara-
negara miskin meraih kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi keadaan itu hanya
dinikmati oleh segelintir orang. Warga miskin semakin hari semakin meningkat. Ada
sejumlah orang tua yang kaya raya tapi ditemukan sejumlah anak muda lainnya yang
hidup dalam kemiskinan. Negara-negara maju yang bertumpu pada pilihan kapitalis ini
juga terlihat maju secara ekonomis akan tetapi dalam kualitas kehidupannya justru
memperlihatkan kemunduran. Sebaran virus HIV telah menggerogoti kehidupan
sejumlah anak-anak muda di negara-negara maju. Kecanduan alkohol dan obat-obatan
terlarang telah mewabah di seluruh dunia sebagai akibat dari pilihan kapitalis yang
didorong oleh arus globalisasi. Lebih lanjut lihat Ibid, hal. 175-176.
234 Lebih lanjut lihat Ibid, hal. 93

313

Begitupun pilihan semacam itu tidak ditemui manakala
dirujuk Undang-undang Hak Cipta Nasional yang sejak awal telah
dipenuhi oleh muatan-muatan kapitalis. Gagasan-gagasan yang tertuang
dalam Undang-undang Hak Cipta Nasional yang kemudian dijelmakan
kedalam pasal demi pasal telah memperlihatkan, betapa faham kapitalis
itu telah tertanam. Sebagai contoh : Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 menguatkan anggapan bahwa
pesan-pesan negara maju yang memenangkan pertarungan Uruguay
Round untuk kemudian dituangkan dalam kesepakatan GATT
1994/WTO yang melahirkan TRIPs Agreement telah ditransplantasikan
secara sempurna. Meskipun dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002
terdapat pasal-pasal yang masih mengacu kepada tatanan nilai keadilan
dan ekonomi kerakyatan seperti Pasal 16 yang mengatur tentang
pemberian imbalan terhadap pencipta sekalipun ciptaan itu digunakan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan serta kegiatan
penelitian dan pengembangan. Pasal 18 juga memperhatikan segi-segi
dari nilai ekonomi kerakyatan yakni tetap memberikan imbalan yang
layak atas ciptaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Nilai
keadilan juga tercantum dalam Pasal 26 yang meletakkan
keseimbangan hak atas penjual dan pembeli atas hak cipta dalam
hubungan jual beli. Demikian juga Pasal 45 menegaskan tentang
pemberian royalty kepada pemegang hak cipta dalam hal lisensi.

Namun di sisi lain lisensi telah menjadi alat atau instrumen
ekonomi kapitalis yang menyebabkan ketergantungan para pelaku
ekonomi dengan pemegang hak cipta. Tentu saja jika hal ini terjadi
menyebabkan hanya mereka-mereka yang memiliki posisi sebagai
pemegang hak cipta yang dapat menikmati secara leluasa tentang
ciptaan yang dihasilkannya sedangkan masyarakat luas baru dapat
menikmatinya melalui mekanisme lisensi. Tampaknya jurang pemisah
yang melebar antara masyarakat kaya dan miskin telah disumbangkan
dengan baik oleh pilihan ekonomi kapitalis. Penegasan tentang hal itu
dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2 yang menegaskan pihak lain tidak
boleh memanfaatkan hak cipta tanpa ijin pemegangnya dan itu tidak
hanya meliputi tentang penyewaan tetapi seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan pemanfaatan hak cipta meliputi pengumuman dan
perbanyakan termasuk kegiatan penterjemahan mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewa,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada
publik, menyiarkan dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik
melalui sarana apapun padahal syarat semacam ini tidak diharuskan
oleh TRIPs Agreement.

314

Terlihat nyata bahwa Undang-undang No. 19 Tahun 2002
semakin bergeser ke arah kapitalis yang membawa dampak semakin
menurunnya kualitas kehidupan di banyak negara yang masih terdapat
penduduk miskin seperti Indonesia. Kemerosotan moral dan
pelanggaran hukum akhirnya menjadi bahagian yang tak terhindarkan.
Jika dari waktu ke waktu undang-undang hak cipta nasional
disempurnakan dan dari waktu ke waktu pula ancaman pemidanaan
terhadap pelanggaran hak cipta semakin diperberat, akan tetapi dari
waktu ke waktu pula pelanggaran atau pembajakan hak cipta tidak
pernah berhenti dan dari waktu ke waktu memperlihatkan peningkatan
secara kuantitatif.

G. Analisis dan Temuan
Nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila sebagai

abstraksi dari nilai-nilai the original paradigmatic value of Indonesian
culture and society yang dijadikan sebagai dasar kebijakan politik
hukum nasional (sebagai landasan filosofis), yang merupakan
grundnorm sebahagian besar terabaikan dalam proses pembentukan
Undang-undang Hak Cipta Nasional mulai masa Kolonial Belanda
dengan politik hukum Eropanisasi hukum ke wilayah jajahan melalui
kebijakan penerapan azas konkordansi (Persamaan hak, pernyataan
berlaku dan tunduk sukarela) dan diteruskan pada masa kemerdekaan,
dengan politik hukum transplantasi hukum asing.

Nilai-nilai filsafati Pancasila yang sebagian terabaikan adalah
Nilai Ketuhanan yang Maha Esa bergeser dan berubah ke nilai
sekularisme, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab digantikan
dengan nilai faham individualis, nilai Persatuan atau nilai kebangsaan
digantikan dengan nilai imperalisme tersembunyi, nilai Kerakyatan dan
nilai musyawarah mufakat digantikan dengan nilai demokrasi liberal,
nilai Keadilan Sosial dan nilai kesejahteraan dalam bidang ekonomi
digantikan dengan nilai kapitalis.

Perubahan dan pergeseran nilai-nilai ini terjadi karena
kebijakan Politik Hukum Indonesia (tidak hanya dalam lapangan hak
cipta) yang dipilih dipengaruhi oleh perjalanan sejarah bangsa ini yang
selama tiga setengah abad berada di bawah koloni Kerajaan Belanda
yang dalam berbagai kesempatan menanamkan missi Politik Hukum
yang telah dirancang secara sistematis sejak awal, akan tetapi juga
pasca kemerdekaan Indonesia lebih memilih pada kebijakan politik
hukum pragmatis, sehingga nilai-nilai filsafati Pancasila itu nyaris
(menjadi) terabaikan.

315

Jika dibandingkan dengan teori negara hukum modern yang
dianut oleh Indonesia, maka Undang-undang Hak Cipta Nasional yang
akan menjadi rujukan dalam perilaku penegakan hukum mestinya sejak
awal harus didesain dalam politik hukum nasional untuk dapat
menampung aspirasi masyarakat Indonesia yang mengacu pada
landasan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Secara
substantif isi undang-undang hak cipta nasional itu seharusnya
menampung gagasan ideal cita-cita negara yang dirumuskan sebagai
tujuan negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur atau negara
sejahtera (welfare state). Undang-undang Hak Cipta Nasional yang
sesuai dengan tujuan negara itu diturunkan menjadi policy (kebijakan)
yang dijadikan sebagai wawasan politik hukum nasional yang
dituangkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) sebagai garis
politik pembangunan hukum nasional di bidang hak cipta.

Dalam tataran praktek undang-undang ini dijadikan sebagai
rujukan dalam aktivitas penegakan hukum (law enforcement). Tulisan
ini telah membuktikan bahwa baik pada tahapan pembentukan undang-
undang sampai pada tahapan penerapannya menyimpang dari teori
negara hukum. Sehingga untuk kasus pelaksanaan undang-undang hak
cipta dalam bidang perlindungan karya sinematografi tidak lagi
memperlihatkan adanya nuansa-nuansa negara hukum akan tetapi lebih
banyak memunculkan pada konsep negara kekuasaan.

Pada tataran middle range theory, Seidman mengatakan
bahwa the law of non transferability of law bahwa auteurswet 1912 Stb.
No. 600 dan TRIPs Agreement beserta konvensi-konvensi internasional
yang menjadi ikutannya tidaklah tumbuh dari peradaban bangsa
Indonesia. Sehingga ketika transplantasi hukum itu dilakukan (transfer
of law) ternyata banyak nilai-nilai (the original paradigmatic value of
Indonesian culture and society) yang hilang yang tidak tertampung
dalam undang-undang hak cipta nasional ini. Saat undang-undang hak
cipta nasional hasil transplantasi itu diterapkan ternyata tertolak dalam
masyarakat. Proses penolakan itu berjalan secara masif dengan proses
pembiaran struktural. Tidak ada penegakan hukum yang berarti yang
dilakukan guna menegakkan norma-norma undang-undang hak cipta
nasional khususnya dalam bidang karya sinematografi. Budaya
penegakan hukum sama sekali tidak mencerminkan gagasan-gagasan
negara hukum. Hal itu terjadi karena transplantasi norma hukum tidak
diikuti dengan transplantasi struktur dan kultur. Normanya berasal dari
peradaban Barat, tapi struktur dan kultur masih kental dengan warna
Indonesia dengan peradaban Timur.


Click to View FlipBook Version