366
menempatkan hukum sebagai sub sistem di dalamnya akan sulit untuk
dapat mengakomodir hak-hak masyarakat lokal di daerah, sulit untuk
mengakomodir nilai-nilai hukumn lokal (act locally) apalgi jika
dihadapkan dengan politik hukum negara yang harus mengakomodir
tuntutan negara asing dengan sistem hukum asing-nya. Seumpama
kesebelasan PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya) diajak
untuk bertarung di Liga Eropa, konon pula dalam perebutan Piala
Dunia, dan ini dalam pepatah Melayu disebut dengan “menggantang
asap”. Supaya pekerjaan menggantang asap ini tidak terus menerus
terjadi dalam bangsa yang besar ini, maka perlulah wacana federasi ini
digulirkan. Jika wacana ini dapat diterima publik dan dikukuhkan
dalam undang-undang, bentuk negara federal ini diharapkan dapat
menciptakan iklim birokrasi yang lebih efisien dan efektif. Penegakan
hukum dan keadilan dapat lebih menyentuh semua lapisan
masyarakat,terutama mengenai keadilan dalam bidang ekonomi dan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah ( economic equality
and regional equality ) sampai pada penghematan ongkos-ongkos
politik yang setiap 3,5 hari sekali melakukan Pilkada untuk daerah
Pemerintah Kota/Kabupaten dan Propinsi. Demikian juga pemanfaatan
sumberdaya baik itu alam maupun manusia dapat dioptimalkan untuk
kepentingan daerah, tidak seperti sekarang secara kasat mata diangkut
dan terpusat di “Jakarta”. Sehingga dengan demikian cita-cita
masyarakat adil dan makmur seperti yang diamanatkan oleh Pancasila
dapat terwujud, dan legislatif (parlemen daerah) dapat lebih
terkonsentrasi merumuskan arah dan politik hukum lokal ke depan
dengan “istiqamah” menjadikan the original paradigmatic value of
Indonesian culture and society sebagai landasan pembentukan hukum
di daerah, sedangkan pada tataran Pemerintah Pusat, Legislatif Pusat
(Parlemen Pusat) merumuskan perangkat-perangkat hukum yang lebih
mengutamakan hal-hal yang berhubungan dengan organisasi
Internasional dalam pergaulan di dunia yang serba terbuka. Sehingga
politik hukum di belah menjadi dua arah, satu untuk internal di arahkan
kepada pemerintah lokal (negara bagian) untuk urusan hukum eksternal
di rumuskan oleh pemerintah Pusat diputus melalui Parlemen Pusat.
Dengan demikian kewenangan legislatif seperti yang terjadi selama ini
tidak seperti kata pepatah,pisau tajam pemotong jari. Kekuasaan
legislatif yang begitu besar digunakan untuk membunuh kreativitas
anak bangsa sendiri. Pilihan-pilihan politik pragmatis dalam
pembentukan hukum dapat segera diakhiri.
367
2. Lembaga Penegak Hukum (Yudikatif)
Lembaga penegak hukum adalah salah satu instrument dalam
proses law enforcement yang sesungguhnya merupakan kewenangan
yudikatif. Karena itu semua tindakan lembaga penegak hukum selalu
dimaknai sebagai “projustisia”. Sulit untuk dimengerti dalam sejarah
perjalanan bangsa ini salah satu lembaga penegak hukum terdepan
yaitu kepolisian pernah ditempatkan bersama-sama dengan Angkatan
Bersenjata (ABRI, AURI dan ALRI) ke dalam institusi Pertahanan
Negara. Dikemudian hari, Kepolisian ditempatkan sebagai institusi
tersendiri padahal di banyak negara kepolisian ditempatkan dalam
lembaga atau departemen dalam negeri. Sejarah perjalanan dan
keberadaan institusi Kepolisian yang telah mengalami posisi dan
kedudukan yang berganti-ganti dalam kelembagaan negara sedikit
banyaknya telah mempengaruhi perilaku personil dan perilaku
kelembagaan dalam praktek penegakan hukum di negeri ini. Posisi
kepolisian yang ditempatkan sebagai penyidik dalam Undang-undang
No. 8 Tahun 1981 telah menjadikan institusi ini sebagai garda
penegakan hukum terdepan. Ketika dalam perjalanannya entah itu
disebabkan karena melemahnya fungsi pengawasan hukum terhadap
lembaga ini atau karena lembaga ini merasa tidak perlu lagi diawasi
oleh hukum dikemudian hari kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga ini semakin memudar. Sebagai penyidik, kepolisian telah
menyiapkan “bahan-bahan yang sudah siap untuk dimasak” dan
diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum. Pihak kejaksaan-
pun segera menggelar persidangan bersama-sama dengan hakim dan
polisi dihadirkan juga dalam persidangan untuk memberikan
keterangan-keterangan tentang apa yang telah dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan. Akan tetapi dalam banyak kasus, ketiga institusi
ini justru “menjalin kerjasama” yang berujung pada apa yang disebut
dengan mavia peradilan. Puncaknya hilang kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga peradilan dan diikuti dengan pembentukan lembaga
ekstraordinary (ad hoc) yang dikenal dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi. Dalam perjalanan selanjutnya, Komisi Pemberantasan
Korupsi ternyata lebih mampu menyahuti cita-cita penegakan hukum.
Keadaan ini justru tidak membawa lebih baik secara kelembagaan,
karena situasi ini kemudian memicu konflik antara sesama aparat
penegak hukum yang telah ada sebelumnya. Konflik internal antara
sesama institusi penegak hukumpun sering muncul. Sebut saja
misalnya konflik antara lembaga KPK dengan Polri, lembaga
Kejaksaan dengan Mahkamah Agung dan itu tidak termasuk konflik-
konflik yang dipicu dari persoalan-persoalan yang bersifat individu lalu
368
kemudian dibawa ke ranah lembaga. Yang masih terngiang dalam
ingatan adalah konflik antara KPK dengan Polri yang harus diakhiri
dengan “turun tangan” presiden untuk memberikan solusi walaupun
solusi itu pada akhirnya adalah tidak menjernihkan perseteruan antara
kedua lembaga itu. Masih ada tersembunyi “sejumlah dendam” yang
sewaktu-waktu akan dapat muncul kembali. Terminologi “cicak dan
buaya” adalah terminologi yang menggambarkan betapa situasi strutur
organisasi kelembagaan dalam pemerintahan yang disebut negara
masih penuh dengan intrik, kecurigaan yang pada akhirnya sulit untuk
menjalin suatu kerjasama yang harmonis.
Kondisi penegakan hukum hari ini telah pula terbagi-bagi
secara hirarkis. KPK hanya menangani perkara-perkara korupsi yang
besar, sementara perkara-perkara yang kecil masih ditangani oleh
aparat kepolisian. Tradisi penegakan hukum menjadi tidak lagi
bernuansa penciptaan situasi keamanan dan kenyamanan serta
memberikan rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat.
Pengklasifikasian perkara “besar” dengan perkara-perkara yang “kecil”
menimbulkan kecemburuan antara sesama aparat penegak hukum.
Besar kecilnya perkara itu diukur pula dari nilai ekonomis yang
melekat dalam kasus itu sehingga perkara-perkara yang secara kasat
mata dianggap tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi menjadi
terabaikan. Begitulah yang terjadi dalam lapangan perlindungan karya
sinematografi.
Pembajakan atau pelanggaran terhadap karya sinematografi
melalui produksi illegal berupa kepingan VCD dan DVD tidak
dianggap sebagai pelanggaran hukum yang masuk dalam kategori
kejahatan berskala besar. Tidak ada juga yang dapat menjelaskan
bagaimana kerusakan moral hukum yang ditimbulkan dari proses
pembiaran terhadap aktivitas pembajakan atau pelanggaran hak cipta
itu. Belum lagi terhadap kasus penyewaan yang secara tegas dilarang
dalam undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2002
menyatakan :
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas Karya Sinematografi dan Program
Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang
tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang
bersifat komersial.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan di atas.
Jika redaksi pasal tersebut dirumuskan dalam bahasa yang sederhana
terdapat 2 (dua) jenis karya cipta yang jika disewakan harus mendapat
persetujuan atau izin dari pencipta atau pemegang haknya yaitu :
369
1. Karya sinematografi
2. Program komputer
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka seseorang
dilarang untuk menyewakan karya cipta sinematografi (termasuk juga
program komputer) untuk tiap-tiap kepentingan yang bersifat komersial
jika tidak diberikan persetujuan atau izin oleh pencipta atau pemegang
hak cipta tersebut. Hak untuk memberikan izin atau hak untuk
melarang oleh undang-undang ini diberikan kepada pencipta atau
pemegang haknya. Pelanggaran atas ketentuan itu termasuk dalam
kategori pidana dengan sifat delik sebagai delik biasa. Akan tetapi tidak
ada reaksi apapun dari aparat Kepolisian terhadap peristiwa pidana itu.
Di samping itu ketentuan pasal ini pun masih menyimpan
konflik normatif jika dihubungkan dengan prinsip-prinsip hukum
perdata. Hak cipta dipahami sebagai hak kebendaan yang immateril
yang tunduk pada azas-azas (prinsip) hukum benda. Seseorang yang
telah mendapatkan hak menurut ketentuan KUHPerdata yakni melalui :
1. Perlekatan
2. Daluwarsa
3. Pewarisan
4. Wasiat
5. Hibah atau jual beli. 286 diposisikan sebagai pemegang hak
absolut.
Dalam konteks kepemilikan atas benda yang telah dimiliki
atau yang telah diperoleh berdasarkan ketentuan Pasal 584 KUH
Perdata tersebut, maka si pemilik boleh berbuat bebas atas benda yang
ia miliki tersebut. Si pemilik bebas untuk menikmati kegunaan atas
benda tersebut dengan leluasa dengan kedaulatan sepenuhnya asal
penggunaan itu tidak bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan umum yang ditetapkan oleh kekuasaan yang berhak untuk
menetapkannya, tidak mengganggu hak orang lain dan seterusnya. 287
Hak apa sesungguhnya yang dialihkan oleh pencipta atau oleh
si pemegang hak atas karya sinematografi ? Jawabnya adalah hak untuk
menikmati rangkaian cerita film atas karya sinematografi tersebut. Hak
untuk menikmati benda immateril yang melekat pada karya
sinematografi tersebut yang dimuat dalam kepingan VCD, DVD atau
dalam bentuk disk blue ray. Tentu saja hak untuk menikmati itu setelah
seseorang memperoleh hak kebendaan immateril itu dengan cara yang
286 Lebih lanjut lihat ketentuan Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
287 Lebih lanjut lihat Pasal 570 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
370
dibenarkan oleh undang-undang (vide Pasal 584 KUHPerdata) si
pemilik hak memiliki kewenangan yang bebas untuk menggunakan
termasuk membuat perikatan dengan pihak ketiga lainnya seperti
menjualnya, menyewakannya, menghibahkannya, mewasiatkannya dan
mewariskannya. Akan tetapi Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 19
Tahun 2002 justru memberikan batasan, apabila karya sinematografi itu
disewakan haruslah mendapat izin atau persetujuan dari pencipta atau
pemegang hak. Jika demikian halnya mengapa dia harus menciptakan
karya itu ? Jawabannya adalah agar dia dapat memperoleh kompensasi
dari hasil karya ciptanya. Akan tetapi jika setelah mendapatkan
kompenasi seseorang yang mendapatkan hak darinya kemudian dibatasi
haknya seperti untuk menyewakan kepada pihak ketiga, sudah barang
tentu hal ini bertentangan dengan asas yang terkandung dalam Pasal
570 KUH Perdata. Dalam sebuah wawancara yang kami lakukan
dengan pihak pemilik cinema club – bioskop keluarga diperoleh
keterangan sebagai berikut :
Pimpinan Cinema Club - Bioskop Keluarga menuturkan :
Kepingan DVD dan VCD serta Disc Blue Ray (DBR) kami beli dari
distributor di Jakarta, khusus untuk DBR. Untuk kepingan DVD dan VCD
kami membeli dari toko-toko resmi di Kota Medan. Harga untuk kepingan
DBR berkisar Rp. 450.000,- – Rp. 500.000,- sedangkan untuk VCD dan DVD
harga berkisar Rp. 50.000,- - Rp. 60.000,- dan mendapat potongan harga 10%
s/d 15%. Kepingan DVD, VCD maupun DBR kami beli dengan jual beli
putus, artinya setelah kami beli tidak ada ikatan apapun dengan pihak
distributor. Harga ini memang termasuk mahal jika dibandingkan dengan
kepingan VCD dan DVD yang non original. Akan tetapi kami memang harus
membeli yang original sebab kami harus menampilkan gambar yang terang
serta bersih dan tidak macet (sangkut saat diputar). 288
Merujuk pada penuturan pimpinan Cinema Club – Bioskop
Keluarga tersebut di atas, dapat dipahami bahwa kepingan VCD, DVD
dan DBR dibeli dengan jual beli putus tanpa ikatan atau klausul
tambahan setelah jual beli itu dilakukan. Jika dihubungkan dengan
ketentuan Pasal 570 KUHPerdata, maka pimpinan Cinema Club –
Bioskop Keluarga berhak untuk mengalihkan kenikmatan atas hak yang
melekat pada kepingan VCD, DVD dan DBR tersebut kepada orang
lain dalam bentuk menyewakan tanpa mendapat persetujuan atau izin
dari pencipta atau pemegang hak cipta. Seyogyanyalah pihak pencipta
atau pemegang hak cipta tidak boleh melarang pimpinan Cinema Club -
Bioskop Keluarga tersebut untuk menyewakan kepingan VCD, DVD
dan DBR tersebut kepada orang lain, karena memang itulah
288 Wawancara dengan William Hatapary, Pimpinan Cinema Club – Bioskop
Keluarga, Medan, tanggal 19 Juni 2013.
371
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Apakah tindakan
pihak Cinema Club – Bioskop Keluarga termasuk pada perbuatan
melawan hukum atau perbuatan kriminal ? Semestinya perbuatan itu
tidak termasuk pada perbuatan melawan hukum, hanya saja ketentuan
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 19 Tahunm 2002 tersebutlah yang
menjadi klausul undang-undang yang mengkriminalisasi tindakan
pimpinan Cinema Club – Bioskop Keluarga tersebut. Pimpinan Cinema
Club – Bioskop Keluarga dalam aktivitasnya tidak hanya menyediakan
film-film (baca : karya sinematografi) yang mereka sediakan sendiri.
Para konsumen ada yang membawa kepingan DVD, VCD dan DBR
yang mereka beli sendiri untuk kemudian ditonton bersama kelurga dan
para koleganya di Studio Cinema Club – Bioskop Keluarga tersebut.
Tentu saja untuk tindakan yang terakhir ini tidak dapat “dijerat” dengan
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2002. Ketentuan ini
diambil alih dari TRIPs Agreement, tapi Undang-undang Hak Cipta
Indonesia memberi syarat maksimum dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1
Undang-undang No. 19 Tahun 2002 yaitu :
Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata
diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh
memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian
“mengumumkan atau memperbanyak” termasuk kegiatan menerjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik,
menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada public
melalui sarana apapun.
Ketidak adilan tergambar dalam kasus ini. Seseorang yang membawa
kepingan DVD, VCD dan DBR dari rumahnya sendiri, lalu kemudian
ditonton di studio Cinema Club-Bioskop Keluarga, tindakan seperti ini
tidak dianggap sebagai perbuatan kriminal atau perbuatan melawan
hukum karena kepingan DVD, VCD dan DBR itu dibeli sendiri oleh
pihak yang akan menonton. Sebaliknya jika kepingan DVD, VCD dan
DBR itu disewa (tidak dibeli) justru perbuatan itu menjadi perbuatan
kriminal atau perbuatan melawan hukum. Aktivitas semacam itu
memang tidak dipahami oleh pihak pimpinan Cinema Club – Bioskop
Keluarga.
William Hatapary menuturkan :
Film-film yang kami sewakan disini adalah film-film yang termasuk dalam
kategori box office. Semuanya film-film Amerika. Dulu kami pernah
mencoba untuk menyediakan film-film Asia, akan tetapi peminatnya tidak
ada. Film-film ini semuanya film-film yang sedang menduduki peringkat atas
penonton di dunia. Tapi kami baru mendapatkan kepingan DVD, VCD dan
DBR setelah film-film itu diputar 1 sampai dengan 2 bulan di bioskop-
bioskop dunia karena pihak distributor tidak mengedarkan film-film itu dalam
372
kepingan DVD, VCD dan DBR sebelum masa putar di bioskop berakhir.
Harga untuk tiap-tiap kali satu masa putar Rp. 125.000,- (seratus dua puluh
lima ribu rupiah) per satu ruangan. Ada juga diantara tamu-tamu yang datang
membawa kepingan DVD, VCD dan DBR sendiri dan itu mereka bawa dari
rumah. Bagi kami itu tidak menjadi masalah, akan tetapi kami mengurangi
uang sewanya menjadi Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) per satu kali masa
putar untuk satu ruangan. 289
Dari penuturan pimpinan Cinema Club – Bioskop Keluarga
tersebut terungkap bahwa sebenarnya hanya Rp. 25.000,- (dua puluh
lima ribu rupiah) uang penyewaan yang riil dari tiap-tiap kepingan
DVD, VCD dan DBR tersebut. Untuk mengembalikan modal sebesar
Rp. 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu rupiah) pihak Cinema Club
– Bioskop Keluarga paling tidak harus mendapatkan pelanggan untuk
18 kali masa putar untuk satu ruangan. Jadi sebenarnya sangat minim
yang diperoleh oleh pihak Cinema Club-Bioskop Keluarga jika
diharapkan semata-mata dari hasil penyewaan DVD, VCD dan DBR
tersebut. Secara ekonomis, untuk menutupi seluruh biaya operasional
Cinema Club-Bioskop Keluarga ini tidak sepenuhnya tergantung pada
penyewaan DVD, VCD dan DBR saja akan tetapi berharap pada
penyewaan ruangan dan penjualan makanan serta minuman. Gagasan
semula untuk menghitung penghasilan dari pembukaan Cinema Club –
Bioskop Keluarga ini tidak digantungkan pada penyewaan DVD, VCD
dan DBR ini akan tetapi adalah gagasan dan ide yang timbul pada saat
akan mendirikan usaha pencucian mobil sebagaimana diungkapkan
William Hatapary sebagai berikut :
Semula saya akan mendirikan usaha doorsmeer atau usaha pencucian
kendaraan. Seringkali pelanggan yang akan melakukan pencucian kendaraan
terlalu lama menunggu dan menimbulkan kebosanan. Untuk mengantisipasi
kebosanan itu kami sediakan satu ruangan untuk menonton film-film cerita
yang diputar melalui diskplayer. Sambil menunggu kendaraan selesai dicuci,
para pelanggan terus menonton. Sayangnya, setelah kendaraan selesai dicuci
film yang mereka tonton belum berakhir, akhirnya para pelanggan kembali
menunggu film cerita habis diputar. Lalu saya berfikir bagaimana kalau dibuat
usaha yang menyediakan hiburan dalam bentuk menyewakan ruangan untuk
pemutaran film-film bioskop. Inilah awal gagasan saya mendirikan usaha
Cinema Club – Bioskop Keluarga ini. 290
Ungkapan pimpinan Cinema Club – Bioskop Keluarga di atas
menggambarkan bahwa aktivitas penyewaan DVD, VCD dan DBR
bukanlah aktivitas yang utama. Penyewaan DVD, VCD dan DBR
tersebut adalah sebagai instrument saja untuk dapat menyewakan
289 William Hatapary, Ibid.
290 William Hatapary, Ibid.
373
ruangan agar para keluarga dapat rileks sambil makan minum. Intinya
adalah terlalu jauh dari rasa keadilan jika pihak pengelola Cinema Club
– Bioskop Keluarga harus meminta persetujuan atau meminta izin dari
pencipta atau pemegang hak untuk aktivitas tersebut. Apalagi sejak
awal pihak Cinema Club – Bioskop Keluarga sendiri tidak pernah
menonton film-film yang telah mereka beli dalam bentuk kepingan
DVD, VCD dan DBR tersebut. Jadi hak kekayaan intelektual berupa
hak untuk menikmati karya sinematografi yang melekat pada kepingan
sama sekali tidak untuk dinikmatinya sendiri, akan tetapi diberikan
kenikmatannya kepada pihak ketiga dengan membayar sewa. 291
Meskipun pembuat undang-undang lalai dalam membuat
sanksi atas pelanggaran ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.
19 Tahun 2002 tersebut akan tetapi konsekuensi hukumnya tetap ada.
Jika pencipta dan pemegang hak berkeberatan, tuntutan pidana dapat
saja dilakukan dengan dalil tidak mengindahkan peraturan undang-
undang, tidak menghormati hak pencipta yang menimbulkan rasa tidak
menyenangkan atau dapat dilakukan melalui gugatan ganti rugi karena
telah merugikan pihak pencipta dan pemegang hak cipta.
Penegakan hukum tidak sama dengan penegakan undang-
undang. Undang-undang adalah sebahagian dari hukum. Dalam proses
penegakan hukum, haruslah dipahami bahwa yang ditegakkan itu
adalah sistem hukum yang berisikan substansi, struktur dan kultur
sebagaimana yang diungkapkan oleh Friedman. 292
Pandangan Friedman yang menempatkan hukum dalam satu
sistem bermakna bahwa masing-masing komponen yang terdiri dari
substansi struktur dan kultur akan saling terhubung dan saling
291 Jika seseorang memiliki benda materil yang ia beli sebelumnya da ri pihak
pemilik benda itu misalnya saja berupa tanah, rumah atau mobil. Apakah si pemilik yang
mendapatkan hak dengan cara membeli itu harus meminta izin atau mendapat persetujuan
dari pihak pemilik pertama agar ia dapat menyewakan tanah, rumah, mobil tersebut
kepada pihak ketiga ? Jawabnya : tentu tidak. Karena Pasal 570 KUHPerdata dengan
tegas menyatakan bahwa si pemilik dapat berbuat bebas atas obyek hak milik yang telah
ia peroleh dengan cara yang benar menurut hukum untuk dapat berbuat bebas terhadap
benda itu. Dalam hak cipta yang dilarang itu bukanlah hak untuk menyewakan, yang
dilarang adalah hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan.
292 Lebih lanjut lihat Lawrence M. Friedman, The Legal System A Social
Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York, 1975. Bandingkan juga
dengan Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila,
Rajawali, Jakarta, 1983. Lihat lebih lanjut Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju
Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Bandingkan juga dengan Elly
Erawaty, dkk, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011. Bandingkan juga dengan Lili Rasjidi, dan
I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remadja Rosdakarya, Bandung, 1993.
374
berkaitan. Artinya tidak cukup hanya isi hukumnya saja yang baik,
akan tetapi harus diikuti dengan struktur dan kulturnya. Demikian juga
tidak cukup strukturnya saja yang baik akan tetapi harus diikuti dengan
substansi dan kulturnya. Demikian seterusnya jika substansi dan
strukturnya saja yang baik jika tidak diikuti dengan kulturnya maka
hukum juga tidak akan dapat mencapai tujuannya. Dalam proses
penegakan hukum, tujuan hukum yang hendak dicapai simetris dengan
komponen-komponen dalam sistem hukum yaitu untuk menciptakan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan.293 Konsekuensinya hukum harus
dilihat dalam berbagai dimensi. 294
Dalam praktek penegakan hukum, khususnya dalam bidang
karya cipta sinematografi dalam sejarah perlindungan hak cipta di
Indonesia sampai hari ini memperlihatkan sisi yang tidak
menggembirakan. Praktek pelanggaran hukum bidang karya
sinemaografi ini tentu tidak terlepas dari faktor bahwa budaya
penegakan hukum hak cipta bukanlah budaya hukum yang tumbuh atau
hukum yang hidup yang berakar pada kultur Bangsa Indonesia. Bidang
hukum ini adalah termasuk bidang hukum yang ditransplantasikan dari
hukum asing.
Ditemukan banyak faktor kesulitan dalam penegakan hukum
yang sumber kulturalnya tidak berakar pada budaya lokal. Jika
seseorang melakukan tindak pidana pencurian atas benda yang nyata
atau benda berwujud, budaya hukum masyarakat setempat sejak awal
telah meyakini bahwa perbuatan itu adalah salah. Orang yang
293 Lebih lanjut lihat Gustaf Redbruch Gustav Radbruch, Rechts-Philosophie,
K.F. Koehler Verlag Stuttgart, Germany, 1956.
294 Seringkali terdengar ungkapan di masyarakat bahwa hukum tidak tegak.
Hukum yang diterapkan tidak memberikan rasa keadilan. Hukum malah bagi kalangan
pelaku ekonomi dirasakan tidak hanya tidak memberikan manfaat akan tetapi juga
menghambat kreativitas mereka. Pertanyaan yang selalu muncul kemudian adalah
bagaimana dengan praktek penegakan hukum selama ini? Aktivitas polisi, jaksa, hakim,
pengacara terus berjalan. Kantor polisi setiap hari penuh dengan jumlah manusia (apakah
semuanya untuk kepentingan projustisia atau tidak, itu persoalan lain). Begitu juga
kantor Kejaksaan dan Kantor Pengadilan tak pernah sepi dari kerumuna n manusia, tapi
mengapa selentingan bahwa hukum tidak tegak, hukum tidak berjalan masih terus
berkumandang. Ternyata hukum tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja.
Hukum memiliki paradigma ganda (multi paradigm). Hukum tidak dapat ditempatkan
dalam satu garis linier. Hukum berada pada garis nonlinier. Itulah yang menyebabkan
perspektif sosiologis-empirik menjadi kajian yang paling banyak dilakukan, yakni sebuah
kajian untuk melihat pelaksanaan hukum di tengah-tengah masyarakat untuk melihat
hukum yang hidup atau dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Sulistyowati
Irianto untuk melihat hukum yang bergerak di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut
lihat Sulistyowati Irianto, Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2009.
375
melakukan transaksi jual beli atas barang yang diketahuinya bersumber
dari perbuatan yang salah, secara sadar ia juga mengakui tindakan yang
ia lakukan itu adalah juga merupakan tindakan yang salah. Adalah
berbeda ketika seorang yang mengeluarkan uang untuk pembelian
sebuah VCD atau DVD hasil karya sinematografi, si pembeli tak
pernah menyadari bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang salah.
Jika kemudian perbuatan seperti itu harus juga dikategorikan sebagai
perbuatan yang salah atau menurut terminologi hukum pidana sebagai
suatu tindak pidana maka kesulitan pertama yang ditemukan adalah
bagaimana membangun persepsi yang sama antara pihak aparat
penegak hukum dengan pihak konsumen termasuk juga produsen
illegal itu. Di sisi lain pihak aparat penegak hukum khususnya dalam
penegakan hukum hak cipta, walaupun undang-undang telah menunjuk
penyidik Pegawai Negeri Sipil namun masyarakat tetap memandang
bahwa penyidik itu adalah polisi. Polisilah sebenarnya sebagai garda
terdepan untuk melakukan penegakan hukum dalam bidang karya
sinematografi. Sementara itu, persepsi masyarakat terhadap profesi
polisi selaku penegak hukum saat ini sedang merosot. Profesionalisme
aparat kepolisian setiap hari mendapat sorotan bernuansa negatif di
banyak media sehingga muncul opini bahwa polisi tidak dapat
diharapkan untuk melakukan penegakan hukum. Bak kata pepatah :
menyapu dengan sapu yang kotor, aparat kepolisian sulit untuk
melakukan pembersihan karena di mata masyarakat, di tubuh aparat
kepolisian terdapat sejumlah noda.
3. Lembaga Pemerintah (Eksekutif)
Kondisi pemerintahan Indonesia hari ini jauh berbeda dengan
kondisi pemerintahan pada masa-masa sebelumnya. Jika pada periode
pemerintahan Bung Karno, Indonesia disibukkan dengan berbagai
konflik internal yakni pergulatan politik dalam negeri dan secara
internal masih ada urusan-urusan dengan klaim pemerintah Hindia
Belanda terhadap Indonesia khususnya mengenai Irian Barat. Pada
masa pemerintahan Soeharto, keadaan politik dalam negeri lebih
kelihatan stabil akan tetapi persoalan birokrasi cenderung berpusat di
tangan satu orang yakni presiden. Partai-partai politik pun pada masa
itu diarahkan untuk mendukung kebijakan pemerintahan orde baru.
Nyaris tidak ada oposisi pada masa pemerintahan Soeharto. Akan tetapi
kreativitas dan kebebasan rakyat pada masa itu menjadi terhambat.
Pasca pemerintahan reformasi terbuka peluang lebar untuk tumbuhnya
alam demokrasi yang lebih berkeadilan. Akan tetapi dalam perjalannya
376
melahirkan pemimpin-pemimpin yang penuh dengan kehati-hatian
yang berujung pada sikap ragu-ragu. 295
Memang masyarakat menjadi lebih terbuka pada pasca
pemerintahan reformasi akan tetapi keterbukaan itu justru
menimbulkan musuh-musuh yang baru seperti kata Popper. 296 Diantara
musuh-musuh itu adalah masyarakat semakin berani dan terang-
terangan melakukan aksi-aksi untuk dan atas nama demokrasi dan
kebebasan. Akan tetapi bersamaan dengan itu nilai-nilai ke-Indonesiaan
memudar, ideologi Pancasila dikesampingkan. Nilai-nilai sosial,
kultural dan religi tidak lagi dijadikan sebagai pedoman dalam
melakukan berbagai aktivitas. Puncaknya lembaga pemerintahan yang
dipimpin oleh kalangan eksekutif mulai dari Presiden sampai pada
pemimpin di tingkat kelurahan memperlihatkan sikap keragu-
raguannya untuk mengambil berbagai keputusan. Keragu-raguan itu
diawali dari adanya isu pelanggaran HAM jika tindakan penegakan
hukum dilakukan secara represif. Keraguan berikutnya adalah ketidak
pastian dalam penegakan hukum. Perbedaan antara kebijakan dan
tindak pidana terlalu tipis dan begitu mudah untuk ditafsirkan, sehingga
berbagai kebijakan yang diambil oleh para eksekutif di kemudian hari
dalam proses hukum berubah menjadi tindak pidana korupsi. Demikian
juga perbedaan antara sekatan-sekatan perdata dan sekatan-sekatan
pidana semakin menipis sehingga hubungan-hubungan keperdataan
begitu mudah ditafsirkan menjadi peristiwa pidana. 297
Kedua faktor ini sangat dominan dalam mempengaruhi perilaku
eksekutif mulai dari pusat sampai ke daerah. 298
295 Lebih lanjut lihat Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia Demografi-
Politik Pasca-Soeharto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007. Lihat juga Tjipta
Lesmana, Dari Soekarno Sampai SBY, Gramedia, Jakarta, 2008.
296 Lebih lanjut lihat Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies,
Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1971.
297 Lebih lanjut lihat Sulistyowati Irianto, Antonius Cahyadi, Runtuhnya Sekat
Perdata dan Pidana Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2008.
298 Di beberapa kasus di Kota Medan banyak para kontraktor tidak bersedia
untuk mengerjakan berbagai proyek karena khawatir akan ancaman hukuman. Bahkan
para kepala dinas mengundurkan diri dari jabatannya karena khawatir suatu hari
pertanggungjawabannya sebagai pengelola keuangan akan menimbulkan unsur-unsur
peristiwa pidana yang mengancam pribadinya. Keraguan pimpinan eksekutif ini terlihat
pula selama periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak pernah
mengambil putusan yang tegas terhadap persoalan-persoalan kenegaraan. Lihat saja
bagaimana perseteruan antara lembaga-lembaga penegak hukum yang tak kunjung selesai
sampai hari ini, kalaupun dianggap selesai karena adanya “perdamaian” sesaat, mungkin
dikemudian hari perseteruan itu akan terulang kembali. Banyak pihak yang mengatakan
presiden ragu-ragu dalam mengambil keputusan seperti kata pepatah Melayu “Orang
377
Dampak yang ditimbulkannya kemudian adalah masyarakat
semakin merajalela bahkan dengan terang-terangan melakukan
perlawanan terhadap aparat penegak hukum. Sebagai reaksi terhadap
tindakan masyarakat tersebut, aparat penegak hukum justru lebih
merasa aman dan lebih merasa nyaman jika tidak melakukan reaksi
apapun terhadap tindak pidana pelanggaran hak cipta yang berlangsung
di tengah-tengah masyarakat. Secara sadar telah terjadi proses
pembiaran struktural. 299 Aparat Kepolisian misalnya, lebih baik
membiarkan saja peristiwa itu berlangsung meskipun ada rasa takut di
kalangan pedagang barang-barang illegal itu pada saat aparat
kepolisian itu melakukan razia terhadap barang-barang hasil bajakan
tersebut. Akan tetapi, setelah razia tersebut selesai dilakukan dan pada
saat para aparat kepolisian berlalu masyarakat kembali menggelar
jualannya berupa VCD dan DVD hasil pelanggaran karya
sinematografi. Kehadiran polisi seperti kata pepatah : Biduk lalu
kiambang bertaut, tak ada juga yang dapat menjadi kesan positif bagi
para penjual hasil karya sinematografi bajakan. Seberapa besarpun
razia dilakukan, pelanggaran hukum terus berlangsung.
Tingkat kesadaran hukum masyarakat seolah-olah bak air di
daun keladi, tak ada bekas yang dapat menumbuhkan kesadaran hukum
baru bahwa tindakan pembajakan dan menjual hasil bajakan terhadap
karya sinematografi adalah sebuah kejahatan. Kondisi ini tidak terlepas
dari berbagai faktor. Penegakan hukum yang selama ini dilakukan
secara selektif, tebang pilih membuat masyarakat semakin hari semakin
menipis kepercayaannya terhadap aparat penegak hukum. Bak kata
pepatah penegakan hukum yang dilakukan selama ini mengacu pada
prinsip tebang pilih seperti : Tepat di mata dipicingkan, tepat di perut
dikempiskan. Ketika terjadi “transaksi-transaksi bisnis di lapangan“
seiring dengan itu “transaksi hukumpun” berlangsung juga. Dampak
yang ditimbulkannya kemudian adalah pertumbuhan dunia perfilman
nasional (tentu saja dunia perfilman internasional) mengalami
kemunduran. Jika pada suatu masa industri perfilman nasional pernah
berkembang dengan baik akan tetapi pada beberapa tahun belakangan
ini dunia perfilman bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak
mau. Kreativitas pencipta semakin hari semakin memperlihatkan
gamang mati terjatuh”. Ketika berada di puncak ketinggian justru tidak mengambil
langkah-langkah pasti untuk orang-orang yang berada di bawah, akan tetapi justru
melihat ketinggian itu dari atas hingga akhirnya terjatuh. Simbol keragu-raguan kepala
negara ini berdampak pula pada pilihan-pilihan masyarakat.
299 Ini ditandai, semakin maraknya kegiatan premanisme, seperti geng motor,
perampokan di siang hari, pemakaian narkoba dan lain sebagainya.
378
angka penurunan secara kuantitatif dan film-film yang berkualitas pun
sulit untuk dapat diproduksi karena bagaimanapun juga untuk
melahirkan karya sinematografi yang baik memerlukan waktu, tenaga
dan biaya yang tidak sedikit. Pembajakan karya sinematografi telah
membuat banyak perusahaan-perusahaan industri perfilman nasional
yang kemudian “gulung tikar”. Hanya film-film yang diputar di media
elektronik yang dikenal dengan sinema elektronik (sinetron) yang
masih mendapat tempat dalam industri sinematografi itupun karena
didukung oleh faktor film cerita sinetron itu sengaja dibuat secara
bersambung sehingga pembajakan dapat dicegah dengan sendirinya
karena film itu dibuat tidak utuh. 300
Dalam tatanan internasionalpun keragu-raguan pihak eksekutif
menyebabkan banyak keputusan-keputusan yang diambil tidak sesuai
dengan harapan dan cita-cita negara. Berbagai pertemuan internasional
yang melahirkan berbagai-bagai kesepakatan internasional baik itu
merupakan perjanjian multilateral maupun perjanjian bilateral dalam
banyak kasus disepakati saja tanpa pertimbangan yang masak.301
Khusus dalam lapangan hak cipta, beberapa peraturan internasional
tentang hak cipta yang telah direspon oleh pemerintah pasca
penandatanganan GATT 1994/WTO yaitu :
1. TRIPs Agreement (Trade Related Aspects of Property Rights)
disahkan melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994.
2. Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works disahkan melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun
1997.
3. WIPO Copyright Treaty disahkan melalui Keputusan Presiden
No. 19 Tahun 1997.
4. Rome Convention 1961 (Rome Convention for the Protection
of Performers, Producers of Phonograms and Broadcasting
Organization (1961).
5. Geneva Convention for the Protection of Producers of
Phonograms Againts Unauthorized Deplications of their
Phonograms (1971)
6. Brussels Convention Relating to the Distribution of
Programme Carrying Signals Transmitted by Satellite (1974).
300 Wawancara dengan Teruna Indra, Pengurus Asosiasi Artis Sinetron
Cabang Sumatera Utara tanggal 21 Agustus 2013 jam 11.00 Wib, di Medan. Lihat juga
Alberthiene Endah, Panggung Hidup Raam Punjabi, Gramedia, Jakarta, 2005.
301 Dalam kasus ratifikasi GATT/WTO Indonesia telah menambahkan syarat
melebihi syarat minimal, lebih lanjut lihat Candra Irawan, Op.Cit. 2011.
379
7. Film Register Treaty (Treaty on the International Registration
of Audiovisual Works) (1989)
8. Universal Copyrights Convention 1952.
9. WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT)
disahkan melalui Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun 2004
10. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang
Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum
Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman
Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat
Eropa;
11. Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan
Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan
Amerika Serikat;
12. Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan
Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan
Australia;
13. Keputusan Presiden RI No.56 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal
Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan
Inggris;
14. Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun 2004 tentang
Pengesahan WIPO Performances and Phonogram Treaty
(WPPT);
15. Bejing Treaty on Audivisual Performance ditandatangani di
Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2012 (Indonesia negara
ke-53 yang menandatanganinya, akan tetapi Indonesia belum
meratifikasinya dalam undang-undang nasional), traktat ini
akan berlaku segera setelah 30 negara penandatangan
melakukan ratifikasi melalui Undang-undang Nasional
negaranya.
Kesepakatan-kesepakatan internasional itu menimbulkan
konsekuensi secara juridis. Disamping Indonesia diharuskan untuk
tunduk pada kesepakatan itu akan tetapi juga hubungan-hubungan
internasional yang dilakukan oleh Indonesia akan mengikat secara
kelembagaan dengan badan-badan organisasi internasional yang
mengelola perlindungan hak cipta itu. Badan-badan organisasi
internasional yang mengelola perlindungan hak cipta :
1. World Trade Organization (WTO) membawahi TRIPs
Agreement
380
2. United Nation Educational Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) membawahi Universal Copyrights
Convention
3. World Intellectual Property Organization (WIPO)
membawahi Bern Convention.
Jika ditelisik ke belakang selama kurun waktu pemerintahan di
Republik ini, kebijakan politik hukum nasional dalam melahirkan
undang-undang hak cipta, baru dimulai pada masa pemerintahan orde
baru. Pada masa pemerintahan sebelumnya undang-undang hak cipta
yang berlaku adalah Auteurswet 1912 Stb. No. 600 peninggalan
Pemerintah Kolonial Belanda. Akan tetapi selama kurun waktu
pemerintahan orde baru itu juga, undang-undang hak cipta mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan itu sejalan dengan perubahan-
perubahan politik, ekonomi internasional. Matrik di bawah ini
menggambarkan perubahan undang-undang hak cipta berdasarkan
periodesasi kepemimpinan presiden.
Matrik 35
Kebijakan Pembangunan Hukum Hak Cipta
Dalam Kurun Waktu Kepemimpinan Presiden
No Nama Presiden Periode Kepemimpinan Produk Undang-undang
Hak Cipta Nasional
1. Soekarno 18-08-1945 s/d 19-22-02- Tidak ada melahirkan
1967 Undang-undang Hak
Cipta (masih
menggunakan UU Hak
Cipta Peninggalan
Kolonial Belanda,
Auterurswet Stb. 1912
No. 600)
2. Soeharto 22-02-1967 s/d 21-05- UU No. 6 Tahun 1982
1998 UU No. 7 Tahun 1987
UU No. 12 Tahun 1997
3. Habibie 21-05-1998 s/d 20-10- -
1999
4. Abdul Rahman 20-10-1999 s/d 23-07- -
Wahid (Gusdur) 2001
5. Megawati 23-07-2001 s/d 20-10- UU No. 19 Tahun 2002
2004
6. Susilo Bambang 20-10-2004 s/d 2014 UU No. 28 Tahun 2014
Yudhoyono
7. Joko Widodo 2014 - sekarang -
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Jika dirunut periodesasi perubahan undang-undang hak cipta
itu, tampak dengan jelas bahwa pada masa-masa pemerintahan orde
baru yang didukung oleh Amerika, perubahan terhadap undang-undang
hak cipta itu mengalami percepatan. Selang 5 tahun berlakunya
381
undang-undang No. 6 Tahun 1982, pada tahun 1987, undang-undang
hak cipta itu kembali dirobah dengan Undang-undang No. 7 Tahun
1987. Pada tahun 1997 pasca ratifikasi GATT/WTO 1994 Undang-
undang No. 7 Tahun 1987 itupun kembali dirubah dengan Undang-
undang No. 12 Tahun 1997. Puncaknya setelah mengalami berbagai
tekanan internasional, Undang-undang No. 12 Tahun 1997 pun harus
dirubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002. Pada periode
pemerintahan Yudhoyono, menjelang beberapa bulan berakhir masa
jabatan kepresidenan beliau, UU No. 19 Tahun 2002 diperbaharui
kembali dengan UU No. 28 Tahun 2014 dengan alasan UU No. 19
Tahun 2002 belum mampu menyahuti tuntutan perkembangan yang
sedang berlangsung dalam masyarakat dan kami juga mencatat bahwa
UU tersebut tidak dapat dijalankan dengan baik, karena kepemimpinan
era Yudhoyono penegakan hukum tentang hak cipta tidak efektif
disebabkan juga oleh langkah-langkah dan kebijakan yang diambil oleh
Yudhoyono cenderung memperlihatkan sikap kepemimpinan yang
ragu-ragu.302 Pelanggaran-pelanggaran hukum yang mungkin akan
melibatkan rakyat dalam jumlah yang cukup besar jarang mau dijamah
oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum saat ini justru lebih
baik memilih posisi-posisi yang aman dan tidak menyibukkan diri
dalam urusan yang dapat menyulut kemarahan masyarakat. Situasi ini
justru dimanfatkan oleh masyarakat untuk mengambil langkah-langkah
yang kadang-kadang bersifat anarkhis. Hasil akhirnya adalah
penegakan hukum tenggelam dalam keinginan rakyat yang sebahagian
justru dirasuki oleh paham anarkhis. Inilah buah dari pemerintahan
eksekutif yang ragu-ragu.
Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah yang ada hari ini
(termasuk pemerintahan pada era sebelumnya) semakin hari semakin
besar keragu-raguannya ? Sehinga banyak pihak ingin melakukan
reformasi besar-besaran dan bahkan akhir-akhir ini berkumandang pula
jargon “restorasi Indonesia” oleh kalangan politisi tertentu yang
lainnya mengumandangkan jargon “Perubahan untuk Indonesia” semua
mereka ini adalah dari kalangan “oposisi” dengan pemerintahan yang
ada pada hari ini.
Tulisan inipun tidak akan memberi sumbangan apa-apa dan
mungkin hanya meberi sumbangsih sejarah saja untuk kalangan
pembaca di masa yang akan datang, jika tidak ada keinginan yang kuat
302 Keragu-raguan ini ditandai dari lambannya Presiden SBY me ngambil
keputusan yang bersifat strategis seperti kenaikan harga BBM.
382
bagi anak bangsa ini untuk merubah keadaan hari ini kepada keadaan
yang lebih baik.303
Persoalan yang penting secara kelembagaan (negara) yang
perlu dikemukakan dalam tulisan ini adalah, apakah hukum yang
ditempatkan sebagai suatu sistem dalam sistem nasional seperti
sekarang ini dapat bekerja dan menyumbangkan sesuatu yang berguna
bagi kelangsungan sistem (nasional) itu? Apakah sutu sistem yang di
dalamnya terdapat komponen (sub sistem) yang rusak, jika kemudian
ditempatkan satu komponen yang baik lalu kemudian komponen yang
baik itu bisa menyumbangkan kebaikan pada sistem itu atau justeru
ikut rusak? Jika seluruh komponen (sub sistem) sudah rusak, apakah
dilakukan metode tambal sulam, dalam arti satu komponen yang rusak
satu yang diganti atau kalau semua komponen rusak semua diganti ?
Itulah sebuah pertanyaan kegelisahan, ketika melihat keraguan
yang besar para penyelenggar negara dalam mengambil keputusan yang
sebenarnya berpangkal pada paradigma awal yang telah bermula pada
sebauah “paradigma ragu-ragu”. Lihatlah sejarah perjalanan bangsa
ini, sekali waktu Bung Karno ingin menjadi Raja dengan “presiden
seumur hidup” nya, akan tetapi sebelum ajal menjemputnya ia
kemudian diturunkan dari “tahta” sekali waktu Soeharto ingin berkuasa
sampai akhir hayatnya, tapi sekali sebelum ajal datang iapun “lengser
ke prabon” sekarang ini pun banyak para penguasa eksekutif yang ingin
mewarisi kekuasaan eksekutif kepada anak dan cucunya, tidak hanya
pada tingkat pemerintah Pusat tapi juga pada tingkat Pemerintah
daerah. 304
Inilah buah dari paradigma ragu-ragu para pemimpin dalam
pengelolaan manejemen dalam struktur pemerintahan organisasi negara
yang belum duduk betul secara sempurna, terutama mengenai bentuk
negara. Diskusi tentang pilihan bentuk negara ini telah dimulai jauh
sebelum Indonesia merdeka oleh Bung Hatta, pada pidatonya dalam
Deklarasi PNI-Baru tahun 1932. Dalam deklerasi itu Bung Hatta telah
memulai gagasan cita-cita otonomi (badan-badan daerah) yang
sempurna dan hidup serta dinamis bagi negara Indonesia Merdeka
kelak. Pilihan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara dengan
Lambang Bhinneka Tunggal Ika, ketika Indonesia berdiri sebagai
303 Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak mau
merubahnya. Sesungguhnya kerusakan di bumi dan di langit karena ulah perbuatan
manusia itu sendiri.
304 Di Sumatera Utara saja, tidak kurang dari 4 Kepala Daerah Tingkat II,
ketika jabatannya berakhir, berupaya untuk mencalonkan anak, isteri atau adiknya
menjadi penggantinya.
383
negara yang berdeka, sebenarnya sudah menyahuti cita-cita Federasi
itu. PersatuanIndonesia di alam kemerdekaan dengan pluralisme
(kebhinnekaan) itu hanya dapat disahuti dengan bentuk negara federal.
Sayangnya pada tanggal 18 Agustus ketika UUD 45 disusun justeru
norma undang-undangnya yang tidak menyahuti aspirasi itu. Akhirnya
bentuk negara terjadilah seperti sekarang ini. Ketika negara Republik
Indonesia menanda tangani Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948
(ibu kota negara masih di Yogyakarta), terbentuklah Negara Republik
Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949, Wali Negara
Sumatera Timur dipegang oleh Dr.T.Mansyur. Tapi bentuk negara
federal ini mengundang banyak kecurigaan, mengundang banyak
prasangka, ini adalah salah satu faktor gagalnya Badan Konstituante
(parlemen) untuk menyusun UUD RIS akhirnya tanggal 5 Juli 1959
keluar Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-undang
Dasar 1945. Pernah ada beberapa kali model penyelenggaraan
pemerintahan di daerah yang diundangkan dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, yaitu :
1. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945.
2. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang No. 22
Tahun 1948
3. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang Negara
Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950
4. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang No. 1
Tahun 1957.
5. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang No. 18
Tahun 1965.
6. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang No. 5
Tahun 1974
7. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang No. 22
Tahun 1999.
8. Pemerintahan di daerah berdasarkan Undang-undang No. 32
Tahun 2004.
Setelah kembali ke UUD 45, bentuk pemerintah di daerah
mulai dirancang. Tahun 1974 keluar UU Pemerintahan di Daerah,
yakni UU No. 5 Tahun 1974. Istilah-istilah seperti otonomi yang
seluas-luasnya, otonomi yang nyata dan seluas-luasnya, otonomi yang
bertanggung jawab. Belakangan muncul lagi Undang-Undang Otonomi
Daerah No. 22 Tahun 1999 karena dianggap masih belum menyahuti
aspirasi direvisi kembali dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004
dan diikuti dengan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang
384
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Sekarang ini juga sedang menyeruak tuntutan bagi hasil
terhadap hasil Perkebunan yang dikelola oleh BUMN di daerah. Semua
ini memperlihatkan kegagalan desain bentuk negara kesatuan dengan
sistem otonomi daerah. Kelemahan yang mendasar adalah otonomi
daerah seolah-olah hanya menyangkut pembagian kekuasaan Pusat dan
Daerah diikuti dengan Keseimbangan Keuangan Pusat dan Daerah,
akan tetapi kering dari perhatian terhadap penyelamatan budaya atau
kultur atau nilai-nilai kearifan lokal yang ada di daerah. Kering dari
nilai-nilai atau roh atau spirit keadilan antara Pusat dan Daerah.
Kekuasan dan keseimbangan keuangan didasarkan pada perhitungan
statistik, sedang nilai keadilan tak pernah bisa diukur oleh negeri ini.
Nilai kesejahteraan selalu diukur dari penghasilan atau income
perkapita, tapi nilai kebahagian tak pernah bisa diukur oleh
penyelenggara negara di Republik ini. Tak ada yang tahu betapa
bahagianya pencipta tari “serampang dua belas” ketika tariannya
ditarikan dan dipelajari oleh banyak orang walaupun untuk kegiatan
yang bersifat komersil. Tapi Undang-undang Hak Cipta Nasional hasil
produk legislatif menyikapinya secara berbeda. Tidak ada konsep
“amalun jariyah” atau konsep “sedhaqoh” dalam undang-undang hak
cipta nasional, apalagi dalamTRIPs Agreement, Berne Convention atau
Rome Convention.
Ada banyak nilai yang hilang, ketika pilihan pardigma bentuk
negara itu diawali dari paradigma ragu-ragu. Dampaknya yang muncul
dalam perjalanan bangsa ini adalah terjadinya ego sektoral di antara
sesama lembaga atau institusi negara yang kemudian terkotak-kotak
dalam keegoannya masing-masing. Kerap kali yang terjadi adalah
tidak terhubungnya program pembangunan antar Departemen yang satu
dengan Departemen yang lain. Kadangkala keadaan ini menimbulkan
keraguan baru di kalangan birokrasi untuk mengambil keputusan.
Padahal Islam mengajarkan hal yang lebih baik, yakni tinggalkanlah
untuk sesuatu yang di dalamnya terdapat keraguan, sebab jika
diteruskan akan lebih banyak mudharat daripada manfa’atnya. Itulah
yang kata pepatah Melayu “orang gamang mati terjatuh” .Agaknya
ketegasan dan kesabaran para pemimpin untuk untuk “menjahit”
bahagian yang koyak dan terkotak-kotak dalam struktur pemerintahan
menjadi sebuah keharusan.
Mestilah ada jalinan kerjasama yang baik antara kementerian
Pendidikan dan kebudayaan dengan Kementerian Riset dan Teknologi,
dengan Kementerian Keuangan (Bea dan Cukai), dengan Kepolri,
385
Kejagung dengan Organisasi Perfilman Nasional dan lain sebagainya
ketika mendudukkan persoalan tentang pembajakan karya
sinematografi. Jangan biarkan institusi itu berjalan sendiri-sendiri,
karena jika itu yang terjadi semua pihak akan menjadi ragu-ragu dalam
mengambil keputusan yang berujung pada hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap kepemimpinan nasional dan pada saat bersamaan
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di
negeri ini.
D. Budaya Penegakan Hukum
Pemaknaan terhadap budaya hukum selalu dicari melalui akar
katanya yakni budaya dan hukum. Budaya selalu pula dikonsepkan
secara sempit. Dalam studi-studi antropologi budaya sering juga
dirumuskan sebatas sistem lambang, sistem material dan sistem sosial
selalu dilepaskan dari konsep budaya meskipun sesungguhnya antara
sistem material dan sistem sosial selalu ada hubungan yang saling
berkaitan, berjalin, berkelindan dalam satu sistem lambang. 305 Akan
tetapi dalam pandangan yang terintegral atau holistik budaya selalu
dikonsepkan sebagai sistem makna dan sistem nilai yang diletakkan
dalam lapis dan basis mental. Lapis dan basis mental adalah bahagian
yang terdalam dari sebuah budaya karena dimensi terdalam budaya
terdapat pada nilai yang melekat di dalamnya. 306 Sebagai suatu sistem
nilai (system of value) budaya akan melahirkan ide-ide normatif
sedangkan sebagai suatu sistem makna (system of meaning) budaya
akan melahirkan ide-ide kognitif. Keduanya melekat dan saling tidak
terpisahkan (inheren) pada budaya sebagai sistem lambang dan secara
serempak membangun dunia secara berulang-ulang (the symbolic
system make and remake the world). 307
Koentjaraningrat 308 memberikan batasan bahwa hampir
seluruh aktivitas manusia adalah kebudayaan kecuali perilaku refleks
305 Lebih lanjut lihat Harsya W. Bachtiar, Sistem Budaya Indonesia, Budaya
dan Manusia di Indonesia, Hanidita, Yogyakarta, 1985, hal. 67.
306 Lebih lanjut lihat Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 17. Lihat juga Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana
Soedjatmoko, Menjelajah Cakrawala, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal.
95.
307 Lebih lanjut lihat Paul Ricour, dalam Mario J. Valdes (ed), Reflection and
Imagination : A Ricour Reader, Harvester Wheatsheaf, New York, 1991, hal. 117.
308 Koetyaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta, 1986,
hal. 180-181. Lihat juga Koetyaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan,
PT. Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 12.
386
yang didasarkan pada naluri yang tidak dikategorikannya sebagai
kebudayaan. Ia membagi 3 wujud kebudayaan :
Pertama, wujud kebudayaan berupa kompleksitas ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang
merupakan wujud ideal dan sifatnya abstrak.
Kedua, wujud yang berupa kompleksitas aktivitas perilaku
yang terpola dari manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
Ketiga, wujud yang berupa benda-benda hasil karya manusia
yang bersifat konkrit atau nyata.
Bertolak dari konsep kebudayaan yang diuraikan di atas, jika
dihubungkan dengan hukum maka sebenarnya, hukum adalah
merupakan sub sistem dari budaya karena hukum tidak hanya berisikan
gagasan, ide-ide dan nilai-nilai akan tetapi juga secara nyata (empirik)
hukum juga merupakan kompleksitas dari perilaku manusia dalam
kehidupan bermasyarakat.309 Hukum merupakan konkritisasi dari nilai-
nilai budaya yang dihasilkan dari berbagai interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat. Wujudnya dapat dalam bentuk gagasan-gagasan tentang
keadilan, tentang persamaan dapat juga dalam bentuk kitab undang-
undang, putusan hakim, dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan serta dalam
bentuk doktrin hukum. Oleh karena itu dimanapun ada masyarakat di
dunia ini didalamnya pasti ada hukum (ubi sosietes ibi ius) sebagai
hasil dari kebudayaan. Jika mau dikelompokkan hukum termasuk
dalam budaya immateril. Konsekuensi terhadap hukum yang
merupakan produk kebudayaan akan memunculkan apa yang disebut
dengan relativitas budaya. Berdasarkan konsep ini, hukumpun akan
mengikuti kenyataan jika masyarakat yang akan melahirkan
kebudayaan itu bersifat plural maka nilai-nilai normatif yang dianut
juga akan bersifat plural. Karena itu hukum sering tidak mempunyai
kekuatan berlaku secara universal. Pilihan-pilihan hukum selalu
ditentukan tempat di mana hukum itu diberlakukan. Yang oleh Donal
Black disebutnya bahwa keberlakuan hukum sangat ditentukan oleh
keadaan disekitar atau yang mengelilingi norma hukum itu
diberlakukan. 310
309 Uraian-uraian tentang ini lebih lanjut lihat T.O. Ihromi, Antropologi
Hukum Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993. Bandingkan juga
dengan Soerjono Soekanto, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Rajawali, 1988, hal.
164.
310 Lebih lanjut lihat Donald Black, Sociological Justice, Oxford University
Press, New York, 1989.
387
Oleh karena itu tiap-tiap perilaku stakeholders dalam praktek
penegakan hukum adalah merupakan budaya hukum mulai dari
perilaku legislatif ketika hukum itu dibuat, prilaku birokrasi atau budya
eksekutif yang mengintervensi lembaga legislatif dan judikatif, sampai
pada perilaku yudikatif sebagai lembaga penegak hukum dan perilaku
masyarakat sebagai pemegang peran terhadap aktivitas penegakan
hukum.
1. Budaya Hukum Legislatif
Jika dirujuk pada fungsi dan tugas serta kewenangan lembaga
legislatif dalam UUD 45 (baik sebelum atau sesudah amandemen),
sebenarnya sudah tertera secara nyata. Di samping sebagai lembaga
yang menjalankan fungsi legislasi nasional, tapi kepadanya juga
diberikan fungsi pengawasan yang disebut dengan pengawasan
legislatif. Keduukan yang demikian menyebabkan legislatif mempunyai
“kekuasaan” yang sangat besar dalam pengelolaan kehidupan nasional
sebagai peneyelenggara tugas-tugas yang diembankan kepadanya.
Jika dirujuk pada fungsi dan tugas serta kewenangan lembaga
legislatif dalam UUD 45 (baik sebelum atau sesudah amandemen),
sebenarnya sudah tertera secara nyata. Di samping sebagai lembaga
yang menjalankan fungsi legislasi nasional, tapi kepadanya juga
diberikan fungsi pengawasan yang disebut dengan pengawasan
legislatif. Keduukan yang demikian menyebabkan legislatif mempunyai
“kekuasaan” yang sangat besar dalam pengelolaan kehidupan nasional
sebagai peneyelenggara tugas-tugas –tugas yang diembankan
kepadanya.
Sebenarnya jika semuanya sudah jelas ada dalam UU tentang
semua aktivitas yang akan dilakukan oleh anggota legislatif itu, maka
pada galibnya tak ada lagi prilaku budaya yang perlu didiskusikan.
Tiap-tiap penyimpangan dalam tugas dikenakan sanksi hukum dan
lembaga itu dapat berperan sesuai dengan cita-cita penegakan hukum
ketika UU tentang Fungsi ,peranan dan kewenangan lembaga legislatif
itu disusun. Akan tetapi dalam tataran praktek tak sedikit juga kritik
terhadap lembaga ini, baik secara kelembagaan maupun secara
perorangan yakni individu yang dalam kesehariannya duduk sebagai
anggota lembaga itu.
Kritik-kritik itu mulai dari perebutan pimpinan, perlu tidaknya
menggunakan hak interpelasi untuk berbagai kasus kenegaraan, urusan
delegasi, calo anggaran sampai pada biaya rehabilitasi gedung dan
ruang rehat dan kamar mandi Gedung DPR-RI yang menghabiskan
dana ratusan miliar rupiah. Issu-issu itu semuanya terpaut dengan
388
kultur legislatif yang sudah “mendarah daging” di lembaga itu. Bekerja
dengan penghasilan yang tinggi, namun sedikit sekali hasil kerja
mereka yang memberikan manfaat bagi kepentingan negara. Waktu
mereka lebih banyak terbuang untuk kepentingan pribadi mereka,
terutama ketika melakukan studi perbandingan di luar negeri.311 Kinerja
DPR-RI sebagai lembaga negara tak ubahnya seperti kinerja Organisasi
kemasyarakatan pemuda atau mahasiswa, bahkan kadang-kadang lebih
terlihat profesional organisasi pemuda dan mahasiswa itu yang tak
pernah jelas sumber anggaran dan biaya organisasinya.
Pada saat era sekarangpun dapat dibuktikan bagaimana kinerja
anggota DPR-RI dalam berbagai rapat paripurna. Bolos atau tidak hadir
dalam berbagai kegiatan rapat itu adalah persoalan biasa. Baru
dianggap sebuah berita besar jika anggota DPR-RI terlibat korupsi atau
skandal moral. Padahal urusan wajib hadir saja tak bisa mereka
penuhi.312
Sulit untuk diharapkan pada masa-masa yang akan datang,
badan yang dipercaya untuk menjalankan misi politik hukum ke depan
mampu mempertahankan, memperjuangkan dan memasukkan ide-ide
atau gagasan-gagasan yang merupakan pencerminan dari harapan-
harapan masyarakat yang tersimpul dalam The Original Paradicmatic
Values of Indonesia Culture and Society. Anggapan ini semakin
menguat ketika sebahagian dari anggota legislatif yang tidak mampu
mengemban amanah rakyat. Bahkan secara terang-terangan telah
melakukan aktivitas pelanggaran hukum. Matrik di bawah ini telah
membuktikan, betapa perilaku para anggota DPR-RI tidak jauh berbeda
dengan perilaku anggota masyarakat biasa.
Matrik 36
Matrik Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan oleh
Anggota Legislatif DPR-RI
No Jabatan Di Inisial Nama Fraksi di Kasus yang Dilanggar
DPR-RI DPR-RI
(Asal Korupsi Pengadaan Al-
1. Anggota DPR- ZD Partai) Qur’an Depag
PPP Import daging sapi
RI
PKS
2. Anggota LH
311 Banyak kritik dari kalangan mahasiswa Indonesia di luar negeri, ketika
anggota DPR RI berkunjung ke sana. Mereka lebih banyak pelesiran, shopping dan
sedikit sekali melakukan aktivitas yang berguna bagi kepentingan bangsa
312 Lihat lebih lanjut Koran Sindu, 16 Mei 2013.
389
Komisi I DPR- Demokrat Kasus Hambalang, Suap
RI PAN Wisma Atlet
3. Anggota DPR- MN Demokrat Kasus Hambalang,
RI Kasus Suap Pembangunan
4. Anggota DPR- NAR PPP Gedung Pusdiklat Badan
RI PDIP Pengawas Tenaga Nuklir
(Bapeten)
5. Anggota DPR- AS Kasus Hambalang, Kasus
RI Suap Wisma Atlet
Alih fungsi hutan lindung
6. Ketua Komisi EF dan pengadaan SKRT
IV DPR Dephut
Alih fungsi hutan lindung
7. Anggota DPR- AC dan pengadaan SKRT
RI Dephut
Suap dalam kasus Anggoro
8. Anggota DPR- HI Wijoyo
RI Suap dalam kasus Anggoro
Wijoyo
9. Anggota DPR- FAL Tindak pidana korupsi alih
RI fungsi hutan lindung
Suap dalam pengembangan
10. Anggota DPR- AAN Pelabuhan Tanjung Api-api
RI Suap (Cek Pelawat)
11. Anggota DPR- ST Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI Golkar Suap (Cek Pelawat)
12. Anggota DPR- AC Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI
Golkar Suap (Cek Pelawat)
13. HY
14. Anggota DPR- BA Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI Golkar Suap (Cek Pelawat)
15. Anggota DPR- AZA
Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI
16. Anggota DPR- AHZ Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI Golkar Suap (Cek Pelawat)
17. Anggota DPR- BS
Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI
18. Anggota DPR- PZ Golkar Suap (Cek Pelawat)
RI Golkar Suap (Cek Pelawat)
19. Anggota DPR- HB
RI
20. Anggota DPR- RK
RI
21. Anggota DPR- ARS
RI
22. Anggota DPR- AM
RI
23. Anggota DPR- TMN
RI
24. Anggota DPR- MBS
RI
25. Anggota DPR- NDAJS 390
RI
PPP Suap (Cek Pelawat)
26. Anggota DPR- UFH PPP Suap (Cek Pelawat)
RI PPP Suap (Cek Pelawat)
PPP Suap (Cek Pelawat)
27. Anggota DPR- DT
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
PDIP Suap (Cek Pelawat)
28. Anggota DPR- SU PDIP Suap (Cek Pelawat)
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
PDIP Suap (Cek Pelawat)
29. Anggota DPR- DMM PDIP Suap (Cek Pelawat)
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
PDIP Suap (Cek Pelawat)
30. Anggota DPR- WT PDIP Suap (Cek Pelawat)
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
PDIP Suap (Cek Pelawat)
31. Anggota DPR- SP PDIP Suap (Cek Pelawat)
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
PDIP Suap (Cek Pelawat)
32. Anggota DPR- ACP PDIP Suap (Cek Pelawat)
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
PDIP Suap (Cek Pelawat)
33. Anggota DPR- MI PDIP Suap (Cek Pelawat)
RI PDIP Suap (Cek Pelawat)
TNI/Polri Suap (Cek Pelawat)
34. Anggota DPR- B
RI
35. Anggota DPR- PS
RI
36. Anggota DPR- AS
RI
37. Anggota DPR- RL
RI
38. Anggota DPR- MM
RI
39. Anggota DPR- JTL
RI
40. Anggota DPR- MP
RI
41. Anggota DPR- EP
RI
42. Anggota DPR- SHW
RI
43. Anggota DPR- NLMT
RI
44. Anggota DPR- S
RI
45. Anggota DPR- PN
RI
46. Anggota DPR- SHW
RI
47. Anggota DPR- ZEM
RI
48. Anggota DPR- UD
RI
391
49. Anggota DPR- RS TNI/Polri Suap (Cek Pelawat)
RI TNI/Polri Suap (Cek Pelawat)
TNI/Polri Suap (Cek Pelawat)
50. Anggota DPR- S PDIP Kasus Suap Wisma Atlet
RI
51. Anggota DPR- DY
RI
52. Anggota DPR- IWK
RI
53. Anggota DPR- WON PAN Kasus Korupsi Dana
RI PAN
PBR Percepatan Pembangunan
54. Anggota DPR- AHD
RI Golkar Infrastruktur Daerah
55. Anggota DPR- BR (DPPID)
RI
Kasus Suap Dermaga
56. Anggota DPR- SU
RI Kasus Suap Proses Lelang
Pengadaan Kapal Patroli
57. Anggota DPR- SD Dephub
RI Kasus Suap APBN Batam
Kasus Pengadaan Mobil
Pemadam Kebakaran
(Damkar)
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Matrik di atas memberikan keyakinan kepada siapapun bahwa
nilai-nilai sakral yang seharusnya dijaga oleh anggota legislatif tidak
lagi menjadi bahagian yang penting untuk dipelihara. Peluang untuk
melakukan tindak pidana korupsi sepanjang karir mereka sebagai
anggota legislatif dilakukan tanpa pertimbangan hati nurani.
Peranan legislatif dalam kebijakan legislasi tak sekedar
bergeser dari menjustifikasi kekuasaan eksekutif (khususnya pada masa
orde pemerintahan Soekarno dan Soeharto) tapi kemudian pada era
pemerintahan pasca Soeharto telah bergeser menjadi jabatan prestise
yang dapat dijadikan sebagai ajang untuk memperkaya diri sendiri.
Ideologi Pancasila tak mampu lagi membentengi prinsip-prinsip kerja
mereka yang telah dirasuki oleh ideologi materialis. Ideologi yang
disebut terakhir inilah kemudian yang mengantarkan mereka pada
pilihan-pilihan hedonisme yang berujung pada pelanggaran hukum.
Karya-karya akademis para intellektual di negeri ini sudah
bertumpuk-tumpuk yang isinya mengeritik berbagai kebijakan di negeri
ini yang mempertontonkan ego institusional atau ego sektoral. Antara
institusi atau departemen atau sekarang ini menggunakan istileh
392
kementerian tidak memperlihatkan kerja sama yang sistemik. Antara
institusi negara yang satu dengan yang lain, seakan-akan sedang
mengikuti perlombaan untuk berebut menjadi sang juara. Di sinilah
kemudian menjadi teramat penting gagasan yang selalu didengungkan
oleh M.Solly Lubis.313 Pembangunan apapun yang hendak dibangun di
negeri ini, politik, ekonomi, pertahanan keamanan, sosisal budaya
(termasuk hukum di dalamnya) harus mengacu pada manajemen sistem
pembangunan nasional. Semua aktivitas pembanbangunan nasional
harus dapat diukur dan diuji serta dirujuk untuk kemudian ditempatkan
dalam sistem nasional. Tidak boleh ada yang keluar dari sistem
nasional. Keluar dari sistem nasional, berarti keluar dari organ tubuh
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sesuatu yang berada di luar sistem tidak boleh ikut
menentukan bekerja dan berjalan sebuah sistem. Sebuah sistem harus
bekerja secara simultan dan menghendaki sebuah kekompakan. Semua
komponen dalam sistem harus bekerja secara bersama-sama untuk
terwujudnya tujuan sebuah sistem. Seumpama mesin kenderaan,
komponen seperti, karburator, busi, platina, sokar, peston, ring peston,
radiator dan sil (benda kecil terbuat dari bahan karet) harus bekerja
bersama-sama untuk menghasilkan energi mekanik yang dapat
menggerakkan roda setelah dihubungkan melalui geer, gardang dan
roda. Semua komponen mesin kenderaan itu (sub sistem) saling
bekerja, tidak ada klaim komponen yang satu memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari yang lainnya. Sil atau ring peston sekecil apapun
dan semurah apapun tetaplah mempunyai kedudukan yang sama
pentingnya dengan peston atau radiator. Begitulah ketika sebuah mesin
bekerja, masing-masing komponen atau subsistem tidak lagi
bergantung pada kedudukannya, tapi bekerja sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing dan saling kait mengait satu sama lain
memberikan energi dan sumbangan tenaga sesuai dengan fungsinya.
Kerjasama yang saling kait mengait adalah sebuah keharusan dalam
bekerjanya sebuah sistem.
Mengacu pada contoh bekerjanya sistem mesin tersebut, maka
dalam sebuah negarapun masing-masing susb sistem atau elemen
negara harus saling bekerjasama dalam arti menyumbangkan energi
sesuai fungsi dan kedudukannya. Tiap-tiap kementerian sebagai sub
sistem elemen negara mempunyai fungsi dan tugasnya masing-masing.
Fungsi dan tugas itu bila dijalankan akan menghasilkan energi, akan
313 Lebih lanjut lihat M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2011.
393
tetapi energi itu belum tentu akan dapat menyumbangkan sesuatu yang
terbaik dalam mencapai tujuan negara, bila tidak dihubungkan dengan
komponen sistem (baca : kementerian) yang lain. Bagaimana upaya
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dicapai kalau kemudian
untuk mendapatkan buku bacaan berkualitas yang berasal dari luar
negeri dikenakan “pajak barang mewah” hanya karena buku itu
harganya lebih dari Rp.5.000.000 (lima juta rupiah) per eksemplar (per
satu buku). Ini menunjukkan Kementerian Pendidikan Nasional tidak
bekerja bersama-sama dalam satu sistem dengan Kementerian
Perdagangan dan Kementerian Keuangan cq.Direktorat Jenderal Pajak.
Mampukah bangsa ini mengimbangi investasi asing di negeri Vietnam
atau Cina dalam menarik investor, jika hukum tentang HKI nya tak
pernah dikordinasikan pembuatannya dengan Badan Penanaman Modal
Asing atau kementerian Investasi? Terlalu jauh dari harapan untuk
mendudukkan dalam satu forum diskusi yang intensif dalam rangka
merumuskan politik hukum HKI yang melibatkan institusi legislatif
atau Balegnas, Kementerian Kehakiman, kementerian Keuangan
dengan Kementerian Penanaman Modal untuk sebuah undang-undang
Hak Cipta. Masing-masing kementerianpun masih dibebani oleh beban
tugasnya masing-masing. Yang terjadi di kemudian hari adalah,
undang-udang yang dilahirkan tidak menunjukkan komitmen yang kuat
guna mewujudkan tujuan negara.
Kecongkakan sektoral sebagai wujud pengangkangan dari ide
dan gagasan membangun negara harus berada dalam satu wadah yang
disebut sebagai sistem nasional, akhirnya membuahkan hasil di mana
capai dari pembangunan nasional itu kehilangan benang merahnya.314
Mengapa semua arus gerak pembangunan setelah lebih dari 67
tahun merdeka menjadi tidak terukur ? Mengapa lembaga institusi
legislatif dan anggota DPR RI tidak juga memperlihatkan
kedewasaannya ? Semua ini sebenarnya tidak terlepas dari pengalaman
pemerintahan masa lalu yang kurang memberi makna pada sistem
pemerintahan dan organisasi modern yang disebut negara. 315
314 Sulit untuk diukur keberhasilan PT.Telkom (Persero) membangunan
jaringan telepon dengan keberhasilan pihak Jasa Marga dalam membangun jalan. Sulit
diukur keberhasilan Dinas Pertamanan dalam memperindah dan mempercantik kota
dengan keberhasilan pihak Perusahaan Daerah Air Minum dalam pemenuhan kebutuhan
jaringan air bersih yang harus disalurkan ke pemukiman atau rumah-rumah penduduk.
315 Era pemerintahan Bung Karno dan Soeharto, tampaklah bahwa UUD 1945
itu mudah diselewengkan dengan berbagai penafsiran. Pancasila-pun begitu mudah diberi
makna untuk menjastifikasi kekuasaan. Kepemimpin Soeharto yang begitu kuat dengan
tradisi dan doktrin militernya, telah membentuk budaya legislatif yang korup, setelah
lebih dari 3 dasawarsa menyelimuti “gedung Senayan”. Siapa mereka di Senayan pada
394
2. Budaya Hukum Eksekutif
Penegakan hukum yang selektif atau penegakan hukum yang
“tebang pilih” sudah lama menjadi perbincangan di negeri ini. Sejarah
penegakan hukum di negeri ini tidak pernah luput dari pergunjingan
tentang adanya “mafia peradilan”. Intervensi pihak eksekutif dalam
penanganan kasus-kasus yang melibatkan “kaum birokrat” apalagi yang
sedang berkuasa tak pernah dapat dihilangkan sejak zaman orde baru
hingga hari ini. Dalam sebuah wawancara dengan advokad ternama di
Kota Medan316 beliau mengatakan :
Sampai hari ini saya beracara di berbagai tingkat Pengadilan tak pernah luput
dari transaksi. Transaksi itu tidak hanya menyangkut perkara perdata untuk
dapat dimenangkan, tapi juga dalam kasus pidana, terutama tindak pidana
korupsi. Khusus untuk perkara pidana transaksi mulai dari tingkat penyidikan,
penuntutan sampai tingkat pemeriksaan di Pengadilan. Itu artinya, mulai
polisi, jaksa sampai hakim dapat dibayar dan pernah menerima pembayaran
dari klien kami.
Tidak ada yang dapat ditutupi lagi. Mafia peradilan itu nyata
adanya. Tidak hanya dalam kasus yang berada dalam posisi “salah”
untuk kasus yang berada pada posisi “benar” pun diharuskan juga
untuk membayar, jika tidak , yang benarpun akan jadi salah. Itulah
sebabnya orang begitu “alergi” berurusan dengan lembaga peradilan.
Dalam banyak hal selalu muncul pertanyaan, mengapa untuk kasus
yang tertentu orang tidak memilih jalur peradilan, jawaban yang selalu
diperoleh adalah, “perkara yang diperjuangkan nilainya seekor harga
kambing, tapi kalau ditempuh jalur pengadilan, biaya yang dikeluarkan
sama nilainya dengan seekor lembu”.
Hikmahanto Juwana 317 menyebutkan penegakan hukum yang
diwarnai dengan uang merupakan satu problem yang menyebabkan
lemahnya penegakan hukum. Lebih lanjut beliau mengatakan :
Di setiap lini penegakan hukum, aparat dan pendukung aparat penegak
hukum, sangat rentan dan terbuka peluang bagi praktek korupsi atau suap.
Uang dapat berpengaruh pada saat polisi melakukan penyidikan perkara.
masa itu ? Golkar, PDI dan PPP adalah “Soeharto”. Semua tunduk pada keinginan rezim
yang berkuasa pada waktu itu. Agaknya sulit untuk melepaskan pengalaman masa lalu
yang sudah terpatri selama puluhan tahun itu. Jika hari ini terlihat sepertinya ada
perubahan, akan tetapi dalam praktek yang berubah hanya subyeknya saja, prilakunya
tetap menampilkan warna-warni legislatif masa lalu itu.
316 Wawancara dengan AHS, tanggal 12 September 2012, pukul 10.00 WIB di
Medan.
317 Lihat lebih lanjut, Hikmahanto Juwana, Penegakan Hukum Dalam Kajian
Law and Development : Problem dan Fundamen Bagi Solusi di Indoensia, Pidato Ilmiah,
Disampaikan pada Acara Dies Natalis Ke-56 Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 4
Februari 2006, Op.Cit, hal 15.
395
Dengan uang, pasal sebagai dasar sangkaan dapat diubah-ubah sesuai jumlah
uang yang ditawarkan. Pada tingkat penuntutan, uang bisa berpengaruh
terhadap diteruskan tidaknya penuntutan oleh penuntut umum. Apabila
penuntutan diteruskan, uang dapat berpengaruh pada seberapa berat tuntutan
yang akan dikenakan.
Dalam banyak kasus keterlibatan lembaga eksekutif dalam
intervensi di lembaga peradilan telah berlangsung lama, mulai dari
tingkat daerah sampai di tingkat Pusat. Proses penegakan hukum untuk
kalangan birokrasi pemerintahan kelihatannya sudah dikavling. Untuk
perkara-perkara tingkat kelurahan, disidik oleh Polsek, perkara-tingkat
kecamatan disidik oleh Polresta sedangkan perkara untuk tingkat
Pemerintah Kota atau Kabupaten dan Propinsi disidik oleh Polresta
atau Polda tergantung nilai nominal dan jenis kejahatannya. Jika nilai
korupsinya ratusan miliar, perkara ini bisa diambil alih oleh Polri. Hal
yang sama juga berjalan secara simetris dengan pihak Kejaksaan.
Sehingga tidak heran jika suatu perkara dapat diendapkan bertahun-
tahun, tergantung bagaimana kepiawaian para pemimpin birokrasi di
tataran eksekutif itu melakukan loby.
Para aparat penegak hukum itu seakan-akan mengetahui
jumlah transaksi dengan menghitung “nilai perkara” atau kekayaan
para pejabat yang korupsi itu. Ada semacam kesepakatan tidak tertulis
diantara mereka berapa jumlah yang akan ditransaksikan, sehingga
“bagi-bagi” hasil korupsi menjadi seimbang.318 Perkara-perkara yang
digelar di Pengadilan baik itu perkara pidana, perdata atau TUN
sebahagian besar sarat dengan muatan mafia hukum, akan tetapi tidak
semua demikian. Dalam sebuah wawancara dengan SY319 seorang
advokad senior yang memiliki talenta berperkara yang handal,
mengatakan ;
Selama lebih dari 24 tahun beracara, tidak semua perkara yang saya pegang
mengandung unsur mafia hukum atau transaksional. Khusus untuk kategori
klien miskin atau menengah ke bawah itu rata-rata saya menangkan tanpa
transaksional. Di samping tidak ada yang ditransaksikan, para klien itupun
biasanya datang dengan kejujuran dan kebenaranan, sehingga pihak kita selalu
berada di pihak yang benar. Tapi untuk perkara-perkara yang melibatkan
kelompok ekonomi menengah atas, dan masuk dalam perkara “besar” atau
dengan nilai ekonomi yang tinggi, perkara itu dimenangkan dengan hitungan
fifty-fifty. Artinya 50 % dengan transaksional, 50 % murni tanpa
transaksional.
318 Oksidelfa Yanto, Mafia Hukum Membongkar Konspirasi dan Manipulasi
Hukum di Indonesia, Penebar Swadaya, Jakarta, 2010.
319 Wawancara, di Medan, tanggal 18 Feberuari 2013, pukul 16.00.
396
Menurut SY, mafia hukum masih ada dan akan terus ada,
akan tetapi tidak semua perkara dilakukan secara transaksional, jika ada
keyakinan bahwa klien nya berada di pihak yang benar dan
memungkinkan untuk dapat dimenangkan, maka transaksional tuidak
dilakukan. Akan tetapi ada juga perkara yang dia yakini benar, namun
karena nilainya “besar” jika tidak ditempuh dengan cara transaksional,
dikhawatirkan bisa “kalah” maka cara transaksional juga akan
ditempuh, sebagaimana diungkapkan oleh SY. 320 Kalau kita yakin
menang, kita tidak akan lakukan cara transaksional, tapi kalu ragu bisa
meang, atas permintaan klien, praktek transaksional baru akan kita
lakukan. Ada juga perkara yang kita yakin menang, tapi karena
nilainya besar, dan jika tidak dikeluarkan dana sedikit kita bisa
dikalahkan, maka cara transaksional akan dilakukan. Itupun dilakukan
atas permintaan klien.
Faktor kekhawatiran akan dikalahkan oleh pihak peradilan,
ternyata berpengaruh pada pilihan untuk melakukan cara transaksional.
Transaksional itu dilakukan dengan menggunakan orang-orang yang
dipercaya, di lembaga penegakan hukum itu. Untuk perkara yang
realatif bernilai ekonomi rendah, transaksional dapat dilakukan dengan
menggunakan personil penyidik, tapi untuk perkara di tingkatkan
pemeriksaan tingkat pengadilan, transaksional dapat dilakukan dengan
menggunakan personil panitera di lembaga peradilan itu, sedangkan
untuk perkara yang “besar” biasanya menggunakan pihak ketiga,
seperti yang diungkapkan SY 321 dalam wawancara berikut ini :
Praktek transaksional itu biasanya kalau di pengadilan menggunakan panitera,
kalau di tingkat kepolisian menggunakan juper sama juga di kejaksaan . Kalau
untuk tingkat perkara besar, menggunakan calo, biasanya pihak ketiga.
Praktek-praktek transaksional itu ada juga yang melibatkan antar
lembaga, untuk perkara-perkara korupsi di berbagai instansi. Biasanya
praktek transaksional itu dilakukan dengan “rapi” dan penasehat hukum
atau kuasa hukum hanya digunakan sebagai pihak yang menyiapkan
prosedur formal menurut hukum acara dan melengkapi substansi
perkara sesuai persyaratan formal di lembaga peradilan, seperti yang di
ungkapkan oleh SY 322 berikut ini :
Biasanya untuk perkara antar lembaga yang melibatkan instansi pemerintah
transaksional dilakukan oleh dengan menggunakan pihak ketiga dan kami
selaku kuasa hukum hanya menyediakan saja substansi hukum yang
diperlukan dan dilaksanakan sesuai hukum acara, finalisasi untuk perkara itu
320 Ibid.
321 Ibid.
322 Ibid.
397
dapat dimenangkan atau tidak, diserahkan sepenuhnya pada pimpinan
lembaga atau antar pimpinan lembaga itu dengan lembaga peradilan.
Praktek-praktek transaksional inilah yang kemudian menjadi salah satu
faktor penyebab sehingga perkara-perkara pelanggaran hukum hak
cipta, menjadi persoalan yang tidak menarik. Dalam wawancara dengan
SY 323 terungkap bahwa setelah lebih dari 24 tahun beracara, beliau tak
pernah menangani kasus pelanggaran hak cipta, seperti ungkapannya
berikut ini :
Tak pernah ada permintaan klien tentang kasus pelanggaran hak cipta.
Menurut saya faktor penyebab mengapa persoalan hak cipta tidak menjadi
perhatian aparat penegak hukum karena hal ini menyangkut budaya. Budaya
kita belum sampai ke sana, sebab yang menjadi korban terhadap pelanggaran
hak cipta hanya segelintir orang. Belum mengganggu hajat hidup orang
banyak. Disamping pentingnya arti perlindungan hak cipta belum
tersosialisasi di tengah-tengah masyarakat. Dalam aspek penegakan hukum
kesiapan aparat penegak hukum juga berpengaruh pada pilihan terhadap
penanganan perkara hak cipta, demikian juga secara struktural aspek
kelembagaan dan pendanaan juga tidak dapat dilepaskan, pendek kata mulai
dari sikap mental aparat penegak hukum sampai pada kemauan untuk
menegakkan hukum hak cipta itu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Saat ini penanganan perkara pada tingkat penyidikan
masih menganut sistem tebang pilih. Hanya saja prinsip tebang pilihnya tidak
melihat urgensinya, tapi melihat pada besaran nilai perkaranya secara
ekonomi.
Untaian wawancara tersebut, mengantarkan tulisan ini pada
satu preposisi bahwa mafia peradilan itu memang nyata-nyata ada.
Budaya korup pada tingkat birokrasi (eksekutif) diteruskan
distribusinya kepada lembaga judikatif. Ketika para birokrat (eksekutif)
melakukan perbuatan melawan hukum atau Tindak Pidana, aparat
penegak hukum melakukan aktivitas penegakan hukum. Langkah
berikutnya para advokat atau penasehat hukum tampil sebagai mediator
dan membicarakan langkah-langkah “penyelesaian” di luar hukum.
Mengenai jumlah atau besaran transaksi akan diputus antara pimpinan
lembaga. Jika sudah ada kesepakatan, putusan yang diambil beragam-
beragam , sebagaimana diungkapkan oleh AHS. 324
Kalau sudah ada kesepakatan putusan yang diambil bermacam-macam. Jika
perkara itu masih tingkat lit (maksdunya penelitian), perkaranya tidak jadi
diteruskan. Tetapi jika perkaranya sudah masuk ketingkat Dik (penyidikan)
perkara itu bisa dihentikan (SP3). Jika perkaranya sudah disidangkan, loby
dilakukan di kedua lembaga yakni Kejaksaan dan Pengadilan. Tuntutan bisa
323 Ibid.
324 Wawancara tanggal 3 Maret 2013,dengan AHS advokat di Medan pukul
10.12.
398
diperkecil, sehingga hakim bisa membebaskan atau kalau diputus
hukumannya menjadi ringan.
Jika demikian halnya mafia peradilan itu berpotensi untuk
perkara-perkara yang bernilai ekonomis. Untuk perkara-perkara yang
tidak memiliki nilai ekonomis, praktis tak menjadi ranah mafia
peradilan. Namun sayangnya, aparat penegak hukumpun enggan untuk
menjamahnya, apalagi dalam struktur perkara itu tidak ada melibatkan
unsur pimpinan birokrasi.
Sebut saja misalnya dalanm perkara pembajakan atau
pelanggaran hak cipta, kasus ini tidak menjadi perhatian yang menarik
kalangan aparat penegak hukum. Meminjam istilah Mahadi hukumnya
ada, aparat penegak hukumnya ada, pelanggaran hukumnyapun nyata-
nyata ada,tapi hukumnya tak tegak, masih tergolek.
Seumpama batang kayu kata, Mahadi 325 hukum itu memang dapat
ditegakkan, dapat diberdirikan, akan tetapi saat ini batang kayu itu
masih tergolek, masih tertidur. Pandangan Mahadi ini melukiskan
suatu keadaan bahwa secara substansi hukumnya ada, materi
hukumnya cukup, akan tetapi masih berada di dalam Kitab Perundang-
undangan, atau kalau hukumnya tak tertulis, materi hukumnya ada
tetapi masih tersimpan di hati sanubari masyarakat. Sasaran yang
hendak dijelaskan oleh Mahadi adalah profesionalisme aparatur
penegak hukum. Kekuatan untuk mendirikan batang yang tergolek itu,
batang yang tergeletak itu berada di tangan aparatur penegak hukum.
Yang tergolek dapat ditegakkan. Hukum yang tertidur dapat
dibangunkan. Bahkan menurut Mochtar Kusumaatmadja,326 hukum
dapat merubah perilaku masyarakat, dapat dijadikan alat untuk
merubah masyarakat. Menjadi “tool” menjadi jalan, menjadi faktor
pengubah yang dominan (variabel independent) untuk merubah,
membentuk atau mengarahkan (engeneering) masyarakat (variabel
dependent) sesuai kemauan hukum yang telah di desain untuk
kepentingan perubahan itu. Mendesain hukum untuk sebuah
kepentingan itulah politik hukum. Politik yang digunakan untuk menata
sistem kehidupan nasional dalam suatu negara. Dalam sistem nasional
terdapat berbagai-bagai komponen yang merupakan sub sistem
meliputi: sub sistem politik, ekonomi, hukum dan keamanan serta
325 Materi Kuliah Mahadi pada Program Pascasarjana USU (KPK-UGM
USU), 1993-1994.
326 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Alumni, Bandung, 2002.
399
sosial-budaya seperti yang digambarkan oleh M. Solly Lubis. 327
Hukum hanya satu komponen saja (sub sistem) dalam sistem sosial
yang lebih luas (sistem nasional). Tak dapat tidak, begitu ungkapan
beliau, apa yang terjadi pada sub sistem sosial lainnya, akan
berpengaruh pada sub sistem hukum dalam sistem nasional.
Hukum tidak berada pada ruang hampa, demikian kata
Satjipto Rahardjo,328 tapi berada pada ruangan yang telah berisi dengan
berbaga-bagai pernak-pernik budaya, perilaku dan sering kali
bersitegang akibat terjadi kekuatan tarik menarik (baik karena desakan
faktor ekonomi maupun karena berisikan tekanan faktor politik) dalam
praktek penegakannya. Berpikir untuk menegakkan hukum, tidaklah
dapat dilakukan berdasarkan cara pandang linier. 329 Terdapat banyak
faktor non linier yang turut bekerja atau turut mempengaruhi
penegakan hukum.
Berpikir linier dalam praktek penegakan hukum sama artinya
menjadikan manusia dan masyarakat seperti robot dan bekerjanya
masyarakat seperti mesin. Hitungan-hitungannya tunduk pada logika
ilmu fisika dan logika matematika. Penegakan hukum dalam bidang
karya sinematografi tidak dapat didasarkan dan diukur melalui logika
linier. Undang-undang No. 19 Tahun 2002 hanya mampu menuangkan
norma-norma perlindungan hukum dalam bentuk pasal-pasal pidana.
Selanjutnya, dalam perjanjian lisensi, hanya mampu menuangkan
klausul-klausul sebagai kehendak kedua belah pihak. Akan tetapi
327 M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002.
328 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan
Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1977. Lihat juga Satjipto Rahardjo, Hukum Progrresif
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Jakarta, 2009.
329 Cara pandang linier itu adalah cara pandang yang mengacu pada satu garis
lurus atau dengan kata lain cara pandang “kacamata kuda”. Satu contoh yang sederhana
adalah ketika seorang petani menanam pisang. Pertanyaan yang diajukan adalah untuk
apa ia menanam pisang, jawabnya adalah “untuk dimakan”. Pertanyaan berikutnya adalah
untuk apa makan ? Jawabnya adalah “untuk menambah tenaga”. Pertanyaan selanjutnya :
untuk apa tenaga ? Jawabnya adalah : “untuk bisa mengayunkan cangkul”. Pertanyaan
berikutnya adalah : untuk apa mencangkol ? Jawabnya : “untuk menanam pisang”. Petani
ini dalam menjawab tiap-tiap pertanyaan menggunakan cara pandang linier. Padahal
tenaga itu tak mesti digunakan untuk mencangkol tanah dan untuk menanam pisang.
Boleh juga tenaga itu digunakan untuk pekerjaan yang lain misalnya mendirikan
bangunan, boleh juga yang ditanam itu tidak hanya pisang, tetapi juga kelapa sawit yang
tidak serta merta buahnya dapat dimakan. Jika petani ini menggunakan cara pandang
terakhir, itu berarti petani tersebut telah menggunakan cara pandang non linier. Begitulah
hukum dalam proses penegakannya tidak tunduk pada cara pandang yang linier tapi
tunduk pada cara pandang non linier. Ada banyak faktor non hukum yang bekerja dalam
proses penegakan hukum. Lebih lanjut lihat Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 3.
400
hukum tidak menjamin bahwa potret empiriknya akan sama seperti
yang dituangkan dalam undang-undang atau perjanjian itu. Sebagai
contoh : Pasal 72 ayat (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002
merumuskan :
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Akan tetapi sampai hari ini belum ada pelaku tindak pidana
pembajakan hak cipta yang dihukum seperti ketentuan Pasal 72 ayat (1)
tersebut. bahkan sampai hari ini belum ada perkara pidana pelaku
pembajakan hak cipta karya sinematografi yang diproses di Pengadilan
padahal dalam kenyataannya, pelanggaran atau pembajakan karya
sinematografi terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Jika
menggunakan sudut pandang linier maka seharusnya para pelaku
pembajakan hak cipta karya sinematografi sudah harus dihukum.
Industri illegal VCD dan DVD bajakan yang mengisi 80 % pasar di
Indonesia seharusnya sudah dapat ditutup bila di lapangan dilakukan
penyitaan sesuai amanah Undang-undang No. 19 Tahun 2002.
Gambaran yang diungkapkan terakhir ini hanya dapat terjadi jika
menggunakan cara berpikir linier, seperti ilmu fisika dan matematika.
Akan tetapi cara melihat hukum tidak dapat menggunakan optik seperti
itu. Hukum mempunyai 3 cara pandang. Pertama cara pandang
filosofis, kedua adalah cara pandang sosoliogis dan ketiga cara pandang
empiris. Karena itu hukum tidak bisa dilihat hanya menggunakan optic
linier tetapi harus menggunakan optic non linier.
Sudah terlalu lama negeri ini menempatkan hukum melalui
satu sudut pandang yakni sudut pandang normatif. 330 Sarjana Hukum
yang lahir kemudian adalah Sarjana Hukum “tukang” bukan Sarjana
Hukum yang arsitek. Akibat lebih lanjut adalah dalam praktek
330 Di berbagai Fakultas Hukum di Indonesia, muatan kurikulum pendidikan
bidang ilmu hukum masih didominasi oleh studi hukum normatif. Kajian-kajian sosiologi
hukum, politik hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum dan bahkan filsafat hukum
hanya diajarkan untuk melengkapi kajian studi hukum normatif. Tidak ada program studi
ilmu hukum yang secara khusus ditetapkan yang mengacu pada studi hukum empirik,
misalnya program studi hukum dan masyarakat atau program studi politk hukum.
Pengembangan studi ilmu hukum empirik saat ini yang dikembangkan di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas
Hukum Universitas Airlangga. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sendiri
sampai hari ini belum mengembangkan pemikiran ke arah itu.
401
penegakan hukum para sarjana hukum terlihat kaku dan berujung pada
kesan tidak profesional. Keluwasan dalam memandang obyek hukum
dalam perspektif non linier dapat dilihat dari matrik di bawah ini.
Matrik 37
Paradigma Hukum
Paradigma Konsep Tujuan Bidang Kajian
Hukum
Filosofis Hukum Sebagai Asas Keadilan
ideologi Moralitas atau asas Filsafat Hukum
keadilan yang bernilai Kepastian
Juridis/ universal Hukum Jurisprudence
normatif Hukum sebagai kai (ilmu hukum
dah/norma sebagai Kemanfaatan normatif
Sosiologis/ produk eksplisit dari
empiris sumber kekuasaan Sosiologi Hukum
politik yang sah. Antropoligi Hukum
Hukum sebagai ins- Sejarah Hukum
titusi sosial yang ril Psikologi hukum
dan fungsional dalam Law and Society
sistem kehidupan Law in Action
bermasyarakat
Ajaran tentang hukum yang memiliki multiparadigm
dikemukakan oleh Gustav Radbruch,331
a. Paradigma filosofis - ideologis, yakni memandang hukum sebagai asas
moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal, dan menjadi bagian
inheren dari sistem hukum alam, yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan ;
b. Paradigma juridis - normatif yakni : hukum sebagai kaidah-kaidah positif
yang berlaku pada suatu waktu tertentu dan tempat tertentu, dan terbit sebagai
331 Gustav Radbruch, Rechts-Philosophie, K.F. Koehler Verlag Stuttgart,
Germany, 1956. Lihat lebih lanjut F.S.C. Northrop, Cultural Values, dalam Sol Tax, ed.,
Antropological Today : Selections (Chicago, Chicago University Press, 1962), hal. 422-
435, Herbert L.A. Hart, The Concept of Law (London : Oxford University Press, 1972) :
dan Leon H. Mayhew, The Legal System serta Paul Bohannan, Law and Legal
Institutions, kedua-duanya dalam David L. Sills, ed. International Encyclopedia of the
Social Sciences (New York : Mac Millan, 1972), Jilid IX, hal. 59-66 dan 73-78. Northrop
sebenarnya menyebutkan 5 konsep, namun dua konsep yang diberikan olehnya (yaitu
konsep Legal Realism dan konsep Kesenian) khusus untuk pembicaraan kali ini bukunya
hanya mengulas konsep (a) dan (b) saja, sedangkan Mayhew dan Bohannan
memaksudkan hukum semata-mata dalam konsep tersebut (c).
402
produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi ;
yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum ;
c. Paradigma sosiologis - empiris yakni : hukum sebagai institusi sosial yang riil
dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses-
proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses-
proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru, yang
bertujuan untuk memberi kemanfaatan bagi masyarakat.
Konsep tersebut pada butir (a) di atas adalah konsep yang
berwarna moral dan filosofis, yang melahirkan cabang kajian hukum
yang amat moralistis dengan bidang kajiannya Filsafat Hukum. Konsep
tersebut pada butir (b) merupakan konsep positivistis - tidak hanya
yang Austinian melainkan juga yang pragmatik-realis dan yang Neo-
Kantian atau Kelsenian - yang melahirkan kajian-kajian ilmu hukum
positif atau dalam terminologi Inggeris disebut "jurisprudence". Dan
akhirnya, konsep-konsep tersebut pada butir (c) adalah konsep
sosiologi atau antropologik, yang kemudian melahirkan kajian-kajian
sosiologi hukum, antropologi hukum, atau juga cabang kajian yang
akhir-akhir ini banyak dikenal dengan nama "Hukum dan Masyarakat",
atau Law in Society, Law in action. 332
Harus disadari bahwa ketika Amerika dan negara-negara
industri maju “memaksa” Indonesia untuk turut serta dalam
kesepakatan GATT 1994/WTO dan konsekuensinya, Indonesia harus
tunduk pada kesepakatan itu. Khusus dalam lapangan hak kekayaan
intelektual karena dimasukkannya issu hak kekayaan intelektual dalam
kesepakatan tersebut mengharuskan Indonesia menyesuaikan peraturan
perundang-undangan HKI-nya dengan TRIPs Agreement. Langkah
yang dilakukan oleh Amerika dan negara-negara maju adalah langkah
332 Melihat hukum dengan cara pandang seperti pada bagan di atas akan
menggiring pikiran kepada sesuatu yang mendekati kebenaran. Sebaliknya jika
menggunakan cara pandang linier satu sudut pandang saja, sudut pandang kacamata
kuda, hal ini semakin menjauhkan obyek yang dipandang dari kebenaran. Lihatlah
bagaimana prediksi para ekonom di tahun 1970-an yang tak pernah memperhitungkan
Cina, India dan Turki akan sukses ke depan pasca krisis moneter tahun 1988. Hari ini
negara yang tak pernah diprediksi memperoleh pertumbuhan ekonomi yang baik pasca
krisis moneter itu ternyata akan tampil sebagai raksasa ekonomi dunia, walaupun ini
prediksi para ekonom yang terbaru lagi dengan cara pandang juga. Ilmu ekonomi pun
gagal menggunakan sudut pandang linier Lihat lebih lanjut John & Doris Naisbitt,
China’s Megatrends 8 Pilar Masyarakat Baru, (Terjemahan Hendro Prasetyo),
Gramedia, Jakarta, 2010. Lihat juga Gregory C. Chow, Interpreting China’s Economy,
Terjemahan Rahmani Astuti, Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Metagraf, Solo,
2011. Lihat juga PT. Kompas Media Utama, India Bangkitnya Raksasa Baru Asia Calon
Pemain Utama Dunia di Era Globalisasi, Kompas, Jakarta, 2007. Lihat juga Kishore
Mahbubani, Asia Hemisfer Baru Dunia Pergeseran Kekuatan Global ke Timur yang Tak
Terelakkan, Kompas, Jakarta, 2011.
403
politik (politik ekonomi dan politik hukum). Bagi Indonesia, TRIPs
Agreement mempengaruhi program legislasi nasionalnya dan itu
berdampak pada pilihan politik hukum. Sekali lagi, ternyata kajian
hukum bukan kajian “hitam-putih” tapi dipengaruhi oleh “warna-warna
lain”.
Sebagai akibat dari pilihan politik hukum semacam itu, maka
penegakan hukum dalam lapangan hak kekayaan intelektual khususnya
dalam hal perlindungan karya sinematografi menjadi terpengaruh juga.
Hal ini juga membawa dampak kepada kesiapan aparat penegak hukum
dalam praktek penegakan hukumnya.
Dalam kesepakatan GATT 1994/WTO, sesungguhnya telah
mengecilkan sudut pandang legalistik yang dianut selama ini dengan
besarnya peranan negosiasi yang dibuka oleh sistem GATT. Terdapat
19 klausul dalam perjanjian GATT yang mewajibkan para pihak untuk
bernegosiasi. Keberhasilan negosiasi bersumber dari hubungan pribadi
yang terbentuk diantara para delegasi dalam setiap perundingan untuk
menyelesaikan sengketa. Jika langkah ini yang harus ditempuh, maka
yang mengemuka adalah bukan sudut pandang legalistik tetapi sudut
pandang politik. Kepiawaian para perunding menjadi kunci utama
dalam penyelesaian sengketa. Demikian juga yang termaktub dalam
Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tentang Penyelesaian
Sengketa melalui Badan Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
seperti yang diatur dalam Pasal 65. 333 Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute
Resolution) tentu saja keluar dari perspektif hukum normatif atau
legalistik tetapi lebih mengarah pada paradigma sosiologis-empirik.
Oleh karena itu jika penegakan hukum untuk melindungi pembajakan
karya sinematografi semata-mata diharapkan dari penegakan hukum
pidana yang mengandalkan penyidik dalam hal ini pihak Kepolisian
Republik Indonesia, maka dikhawatirkan upaya untuk menuntaskan
praktek pembajakan atau pelanggaran hak cipta sulit untuk diakhiri.
Karena itu harus ada solusi-solusi alternatif yang dapat dilakukan
melalui pendekatan integratif hukum yang multiparadigma itu. Sebab
bagimana pun juga kultur birokrasi yang korup itu, tetap akan
memberikan pengaruh dalam proses penegakan hukum. Lembaga
penegak hukum beserta aparatnya, sebenarnya lebih menyukai jika
dalam kasus itu melibatkan kalangan birokrasi, sebab di sampaing
333 Tentang tatacara penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih lanjut lihat
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati
Aneska, Jakarta, 2002.
404
perkara yang ditangani itu memiliki prestise, juga berpeluang untuk
terjadi transaksional. Prilaku budaya kalangan birokrasi baik secara
kelembagaan maupun secara individu dalam peneyelesaian kasus
hukum yang menimpa mereka melalui proses “mafia hukum” telah
banyak “menyumbangkan” kultur atau budaya negatif bagi proses
pembangunan peradaban bangsa yang taat hukum. Masyarakatpun
akhirnya apatis dengan situasi semacam itu. Belum lagi para koruptor
yang mengakhiri masa pemidanaannya disambut dengan gegap gempita
oleh para pendukung dan simpatisannya. Padahal di negara-negara
yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum, pada tataran pelanggaran
moral sajapun kalangan birokrat itu sudah “diharuskan” dengan
sukarela untuk menundurkan diri dari jabatan publik. Justeru di
Indonesia menjadi terbalik, mereka yang sudah pernah dihukum, malah
bersikukuh untuk dicalonkan menjadi pejabat publik. Sebuah
perkembangan peradaban budaya hukum yang ironis, yang tak dapat
dijelaskan dengan menggunakan teori Talcott Parson, Emile Durkheim
atau Max Weber dan mungkin hanya dapat dijelaskan dengan Teori
Physico Analis-nya Sigman Frud.
Kalangan birokrat yang menduduki jabatan publik yang
melakukan pelanggaran moral dan hukum di negeri ini, tercatat mmulai
dari tingkat Presiden sampai ke tingkat pemerintahan Kabupaten/Kota.
Matrik di bawah ini memperlihatkan gambaran yang nyata tentang itu.
Matrik 38
Pejabat Eksekutif Terlibat Kasus Pelanggaran Hukum dan Etika
No Jabatan Dalam Nama Kasus Hukum/Etika yang
Pemerintah Dilanggar
1. Presiden Soekarno Penyimpangan konsep demokrasi
Pancasila yang diatur dalam
UUD ’45 dengan melahirkan
TAP MPRS yang menetapkannya
sebagai Presiden Seumur Hidup.
Soeharto Dip ersangkakan melakukan
B.J. Habibie
K.H.Abdul Rahman Wahid berbagai tindakan yang bersifat
Megawati Soekarnoputri
kolusi, korupsi dan nepotisme.
Pertanggung Jawaban akhir
jabatan sebagai presiden ditolak
MPR
Keterlibatan dalam kasus Buloq
Gate dan Brunei Gate
Tidak memperlihatkan sikap
sebagai negarawan yang mampu
menyeimb angkan b erb agai
kepentingan untuk pembangunan
nas io nal.
Susilo Bambang Yudhoyono Pelanggaran etik dan moral
405
kep emimp inan Mencamp ur
adukkan tugas politik dengan
tugas kenegaraan.
2. Menteri Andi Malarangeng Kasus Suap Hambalang, dalam
Pemuda & tahap penyidikan
Olahraga
Menteri Sis wono Kasus Import Daging Sapi
Pertanian
Menteri Sri Mulyani Bill Out Century, disidangkan
Keuangan sebagai saksi, tapi dianggap
sebagai orang yang mengetahui.
Menko Kesra Agung Laksono Kasus Korupsi PON, dalam tahap
penyid ikan
Menteri Sosial Bachtiar Chamsjah Kasus Dana Bantuan Sosial
3. Gubernur BI Syahril Sabirin Korupsi di BI
Miranda Gultom Cek Pelawat Gratifikasi
Boed io no Bill Out Century, tahap
penyid ikan
4. Gubernur 1. Fadil Muhammad Korupsi, tahap penyidikan
Kepala Daerah (Gorontalo) Sulbar
2. Syamsul Arifin (Sumut) Korupsi, telah diputus
3. Rusli Zainal, Gubernur Riau Korupsi, tersangka di KPK
4. Gatot Pujo Nugroho Korupsi, tersangka di KPK
5. Bupati/ 1.Abdillah, Walikota Medan Korupsi, sudah diputus
Waliko ta 2.Rahudman, Walikota Medan Korupsi sedang dalamproses
Kepala Daerah 3.Risuddin, Asahan penuntutan
4.RE. Siahaan, Siantar Korupsi, sudah diputus
5.Hidayat Batubara, Bupati Madina Korupsi, proses penyidikan
6. Rahmat Yasin, Bupati Bogor Korupsi, proses penuntutan
7. Agus Paturachman, Bupati Sragen Korupsi, telah diputus
8. Rina Iriani, Bupati Karanganyar Korups i
9.Bupati Kutai Korups i
10.Bupati Pelalawan Korups i
11. Bupati Banyuwangi Korups i
12. Djoko Nugroho, Bupati Blora Korups i
13. Achmat Dimiyati Natakusumo, Korups i
Bupati Barito Utara Korups i
14. Bupati Banyuwangi
15. Binahati Benedictus Baeha, Korups i
Bupati Nias Korups i
16. Fonaha Zega, Bupati Nias Utara
Korups i
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Meskipun dalam sejarah kepemimpinannya terdapat banyak kritikan
terutama dari aspek pelanggaran hukum dan etika, akan tetapi harus
diakui mereka juga memberikan sumbangsih yang sangat berarti bagi
negeri ini melalui capaian-capaian pada periode kepemimpinannya.
Presiden Soekarno, misalnya berhasil mempersatukan Indonesia dan
meletakkan sendi ideologi Pancasila. Presiden Soeharto berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membumikan Pancasila
melalui P4. Selanjutnya Presiden B.J. Habibie berhasil membuka kran
406
demokrasi. Presiden K.H. Abdul Rahman Wahid, berhasil
menghapuskan diskriminasi etnik. Kemudian Megawati Soekarnoputri
berhasil meletakkan dasar pembangunan ekonomi dengan menciptakan
iklim yang kondusif walaupun kondisi itu tidak dapat bertahan sampai
di masa akhir jabatannya sedangkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono berhasil menegakkan sendi-sendi demokrasi, transparansi,
good governance.
Dalam banyak hal kasus-kasus pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh esksekutif lebih dari sekedar persoalan rendahnya
tingkat penghasilan mereka sebagai pejabat publik, akan tetapi telah
menjadi lingkaran tak berujung yang telah membudaya di kalangan
birokrasi. Kekuasaan, demikian kata Lord Acton, cenderung untuk
korup. Kekuasaan eksekutif di Indonesia jika ditelusuri dalam tabel di
atas hampir dapat dipastikan terjerat dalam dalam lingkaran budaya
korup. Namun demikian sulit juga untuk mengawali satu kesimpulan
bahwa korup di kalangan birokrasi telah membudaya, sebab dalam
banyak hal sistem pemerintahan dan bentuk negara yang membuka
peluang para pejabat birokrasi tak terhindar dari praktek korupsi.
Dalam sebuah wawancara dengan mantan pejabat daerah334 yang
pernah terjerat kasus korupsi, beliau mengatakan :
Yang membuat orang jadi korup itu karena sistem yang ada yang membuka
atau mempersilahkan orang untuk menjadi korup. Saat dilakukan penuntutan
dan pemeriksaan di depan pengadilan saya juga mengatakan saya tidak
bersalah. Akan tetapi karena tindakan yang saya ambil itu merugikan
keuangan negara dan memperkaya orang lain, saya harus dijatuhi hukuman.
Padahal dalam kasus itu saya hanya menjalankan perintah Mendagri sebagai
atasan saya melalui telegramnya. Seharusnya saya tak dapat dipersalahkan,
karena atas perintah atasan. Hanya saja sebenarnya pada waktu itu saya dapat
saja menolak permintaan mendagri itu, akan tetapi etika dan moral
kepemimpin yang terbangun selama ini sulit untuk saya elakkan. Faktor kultur
itu sangat kuat. Ada semacam budaya yang sudah terbentuk dari leluhur yang
sulit untuk disimpangi sebagai ikatan moral tak tertulis, sebagai kultur
birokrasi yang mengikat para pejabat di daerah, ketika permintaan itu datang
dari Pusat. Di sinilah awal terbangunnya budaya birokrasi yang cenderung
menyimpang dari tuntutan profesionalisme. Jadi untuk kasus saya sistemlah
yang menggiring saya untuk masuk ke alam birokrasi yang korup.
Sebuah ungkapan yang menarik, tidak semua para koruptor
versi pengadilan itu adalah benar-benar korup, tetapi sistem
pemerintahan dan bentuk negara dan budaya birokrasi yang terbangun
selama ini yang menggiringnya menjadi koruptor. Lebih lanjut dalam
wawancara yang sama, A menegaskan ;
334 Wawancara dengan A, di Medan, tanggal 11 Agustus 2012, pukul 20.14.
407
Jika hendak ditelusuri, semua pejabat di Republik ini tidak ada yang bersih
dari prilaku korupsi. Mereka yang dulu pernah diadili atau sekarang sedang
diadili, adalah mereka-mereka yang sial atau lagi apes saja. Jika diperiksa
semuanya akan terkena jeratan hukum, sebab bukan orang atau pejabatnya
yang korup, tapi sistemnya. Ketika orang masuk ke dalam sistem itu, maka
mau tidak mau, suka atau tidak suka dia akan terbawa oleh arus sistem itu
menjadi korup. Seumpama jalan sudah berlumpur, siapapun akan melintasi
jalan itu pasti akan terkena percikan lumpur. Akan tetapi ada orang yang lebih
cerdik, ketika ia sampai keseberang jalan, ia langsung membersihkannya,
sehingga percikan lumpur tak kelihatan lagi. Celakanya di seberang jalan
sudah ada menunggu “tim pengintai” yang siap memotret setiap orang yang
melintas di jalan itu dan diantara tim pengintai itupun sudah siap berbagi air
untuk membersihkan percikan-percikan lumpur.
Khusus mengenai lembaga KPK, lebih lanjut beliau mengatakan : KPK
lembaga yang kecil tapi memiliki kewenangan besar. Kenapa orang lebih
profesional, karena kebutuhan, fasilitas untuk melaksanakan tugasnya
terpenuhi dan kewenangan yang diberikan kepada KPK secara penuh dan tak
ada pada lembaga penegak hukum yang lain.
Biaya untuk menangani perkara telah tersedia anggran yang cukup, sedangkan
pada lembaga penegak hukum yang lain, untuk beli kertas saja dananya tak
cukup tersedia.
Menarik perumpamaan yang dikemukakan oleh A di atas. Tak ada
pejabat eksekutif yang dapat mengelakkan dari jalan yang berlumpur
itu, sebab sistem yang terbangun sudah seperti itu. Ketika
dipertanyakan, apakah hal semacam itu tidak dapat dielakkan ? A
memberikan keterangan lagi :
Tidak mungkin dapat dielakkan. Karena sistem “upeti” sudah mendarah
daging. Hampir semua pejabat di Pusat menunggu “setoran” Tidak itu saja,
mulai dari kalangan Partai Politik, aparat penegak hukum, wartawan, sampai
pada LSM baik yang meminta dengan resmi maupun yang tidak meminta
menjadi sebuah keharusan dan kebiasaan tidak tertulis harus “dialokasikan
dana khusus” walaupun pemberiannya dilakukan secara santun, padahal
dalam anggaran resmi dana-dana semacam itu tidak ada dialokasikan.
Iklim birokrasi dan sistemlah yang menciptakan birokrasi yang
menggiring kalangan eksekutif dan mungkin juga kalangan legislatif
dan judikatif terjebak pada arus gelombang korupsi. Jika demikian
halnya, agaknya restorasi terhadap bentuk negara dan sistem
pemerintahan perlu segera dilakukan dan mendapat perhatian khusus
dari kalangan politisi, tehnokrat dan negarawan serta kaum intelektual
di negeri ini. Di bawah rezim negara kesatuan praktek-praktek
pelanggaran hukum, korupsi dari waktu ke waktu mengalami
peningkatan. Negara Kesatuan telah banyak menciptakan budaya
birokrasi yang korup dengan mata rantai yang sangat panjang. Ketika
pada tingkat pemerintahan daerah dan aparat penegak hukum daerah
kasus itu muncul ke permukaan, tapi kemudian “ditutup” karena
408
adanya “permintaan” Pusat atau aparat penegak hukum yang secara
kelembagaan memiliki kedudukan yang lebih tinggi yang
berkedudukan di Pusat.
Adalah tawaran atau wacana bentuk negara federal menjadi perhatian
khusus dalam studi ini, setelah melakukan analisis dengan
menggunakan pisau politik hukum terhadap pilihan politik pragmatis
dalam kasus transplantasi hukum asing ke dalam undang-undang hak
cipta nasional. Karena pilihan politik transplantasi hukum tidak cukup
hanya memusatkan aktivitasnya pada segi substansi hukumnya saja,
akan tetapi juga pada struktur dan kulturnya.
Faktor struktur dan kultur (budaya hukum) sangat dominan
dalam penegakan hukum, tak cukup hanya normanya saja yang
ditransplantasi, tapi juga struktur dan kulturnya. Karena itu menjadi
relevan tulisan ini harus mengarak persoalan pada bentuk negara dan
sistem pemerintahan yang dianut selama ini membuahkan struktur dan
kultur yang membuka peluang bagi tumbuh suburnya praktek
pelanggaran hukum, tidak terakomodirnya hak-hak rakyat serta
semakin menipisnya rasa kebangsaan, tidak tersebarnya sumber daya
ekonomi di setiap lapisan kehidupan masyarakat, timpangnya
pembangunan antara Pusat dan daerah serta sederetan ketidak adilan
yang melanda kehidupan bangsa yang melampaui setengah abad
menjadi negara yang merdeka dan berdaulat adalah juga sebagai
gelombang pemicu terciptanya sistem pemerintahan yang korup.
Betapapan juga pengalaman prilaku budaya birokrasi selama ini telah
menimbulkan banyak hambatan dalam proses penegakan hukum yang
berkeadilan. Praktek penegakan hukum yang selektif karena adanya
intervensi eksekutif, menyebabkan penegakan hukum menjadi
“pandang bulu” (menyimpang dari adagium, semua warga negara
mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum) dan bersifat
selektif dan praktek penegakan hukumnya menerapkan cara-cara
“tebang pilih” bahkan kadang-kadang dapat “dipesan”. Asas praduga
tak bersalah (presumption of innoncense) atau asas equality before the
law tidak selalu dapat diterapkan dalam praktek penegakan hukum.
Hukum menjadi alat kekuasaan, alat untuk melanggengkannya atau
untuk sekedar melengserkan kekuasaan orang lain. Bak kata pepatah
melayu, penegakan hukum yang selektif itu seumpama, tepat di mata
dipicingkan (dipejamkan) tepat diperut dikempiskan. Hukum yang
dapat menjerat penguasa atau koleganya, atau keluarganya menjadi
“tumpul” dan tidak berfungsi. Penegakan hukumnya menjadi berhenti
di tengah jalan. Inilah ironi kekuasaan eksekutif yang dalam banyak hal
409
“bersekutu” dengan “judikatif” dan menyimpang dari tradisi negara
hukum menurut pandangan Dicey.
3. Budaya Hukum Judikatif
Polisi yang selama ini dianggap sebagai garda terdepan yang
secara struktural dikukuhkan sebagai lembaga resmi negara untuk
melakukan penyidikan, ketika pelanggaran atau kejahatan terhadap
karya sinematografi yang ditempatkan sebagai delik biasa, ternyata
secara kelembagaan mereka diperlakukan “belum adil dan diskrimatif”
dalam praktek sisitem pembinaan karir. Artinya di dalam tubuh institusi
ini masih terdapat banyak persoalan-persoalan internal yang belum
terselesaiakan.
Terdapat 30 % dari total anggota Kepolisian Republik
Indonesia yang puas atas langkah pembinaan karir personil kepolisian
yang meliputi aspek :
1. Peluang untuk mendapatkan pendidikan termasuk penugasan
dan pelatihan khusus di dalam dan luar negeri dalam rangka
pengembangan karir.
2. Kebijakan mutasi dan promosi termasuk penempatan
3. Punishment dan reward. 335
Hasil penelitian ini menjadi peringatan bagi institusi Polri.
Angka 30 % yang menunjukkan kegagalan dalam penerapan kebijakan
pembinaan institusi Polri merupakan angka yang sangat kritis dan ini
berpengaruh pada sikap dan budaya penegakan hukum aparat penegak
hukum. Keadaan ini tidak hanya menyangkut personil kepolisian saja
tetapi juga sudah merambah ke institusi-institusi penegak hukum
lainnya, baik itu menyangkut moralitas maupun menyangkut
profesionalisme.
Moralitas dan profesional aparat penegak hukum berada pada
titik nadir. Mulai dari kasus Antasari (Ketua KPK terlibat kasus
335 Alantin S., Persepsi Anggota Polri Terhadap Sistem Pembinaan Karier
Personil Polri, Makalah, disampaikan pada Seminar yang dilaksanakan di Hotel Kartika
Chandra, Jakarta, 1 Agustus 2013. Seminar ini didahului dari lapora n penelitian yang
dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kopolnas) dengan memilih responden
secara acak yang ditetapkan sebanyak 1.000 orang dengan metode multistage sampling
yakni didahului dengan menetapkan lokasi penelitian di 4 kepolisian daerah ya ng
mewakili tiap-tiap kepulauan yang besar. Untuk Pulau Sumatera diwakili oleh Polda
Riau, untuk Pulau Jawa diwakili oleh Polda Jawa Timur, untuk Sulawesi diwakili oleh
Polda Sulawesi Utara, untuk Kalimantan diwakili oleh Polda Kalimantan Timur.
Penelitian ini didasarkan pada landasan teori persepsi, faktor dalam pembinaan karier
personil Polri, manfaat sistem karier terhadap organisasi Polri.
410
pembunuhan), Susno Duadji (Polisi terlibat kasus Korupsi), Joko
Soesilo (Polisi terlibat Kasus Simulator SIM), Cyrus Sinaga (jaksa
terlibat melindungi Koruptor Pajak Gayus Tambunan), Setyabudi
Tedjocahyono (hakim terlibat Korupsi, sampai pada Akil Muchtar
(tertangkap tangan kasus suap), Ketua Mahkamah Konstitusi yang
secara hirarkhis menempati posisi lembaga peradilan tertinggi yang
putusannya tak dapat diadili lagi oleh lembaga peradilan lain di
Indonesia. Matrik berikut ini mencoba untuk menyederhanakan
berbagai keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai bentuk
pelanggaran hukum mulai dari tingkat penyidikan (kepolisian, jaksa,
KPK) , penuntutan (jaksa, KPK) sampai pada tingkat pemeriksaan dan
Keputusan (Hakim PN, PT, Tipikor, TUN, MK dan MA).
Matrik 39
Pelanggaran Hukum Yang Dilakukan Oleh Aparat Penegak Hukum.
No Jabatan/Unit Nama Inisial Aparatur Kasus yang Dilanggar
Kerja 1. SD
2. DS Suap untuk memuluskan kasus PT.
1. Kepolisian
Salmah Arowana Lestari (SAL) dan
pemotongan dana pengamanan
Pilgub Jawa Barat
Korupsi Simulator SIM
2. Kejaksaan 1. UTG Suap dalam kasus BLBI
Agung 2. CS
Suap dalam kasus penggelapan
pajak tersangka Gayus Tambunan
3. Komisi 1. AA Pembunuhan
Pemberantasa 2. BSR Tuduhan kriminal
n Korupsi 3. CH Tuduhan kriminal
(KPK) 4. NB Tuduhan kriminal
4. AS Pelanggaran Etik
4. Hakim 1. KM Menerima Suap Untuk
Pengadilan 2. HK Memuluskan Perkara
Tipikor Menerima Suap Untuk
Memuluskan Perkara
5. Hakim SU Menerima Suap Untuk
Pengadilan Memuluskan Perkara
Niaga
6. Hakim ad- IDS Menerima Suap Untuk
hoc Memuluskan Perkara
pengadilan
industrial
7. Hakim 1. I Menerima Suap Untuk
Pengadilan Memuluskan Perkara
Tinggi TUN
411
2. TIP Suap tersebut berkaitan dengan
3. AF
4. DG pengajuan kewenangan
5. SY
6. MYBG Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara terkait terbitnya surat
perintah penyelidikan
(Sprinlidik) tentang dugaan
terjadinya tindak pidana
korupsi dana bantuan sosial
(bansos), bantuan daerah
bawahan (BDB), bantuan op-
erasional sekolah (BOS), dan
penahanan pencairan dana bagi
hasil (DBH) yang dilakukan
Gubernur Sumatera Utara di
PTUN, Medan.
8. Pengadilan R dan AG Tertangkap tangan menerima suap
Pajak DS
Menerima Suap Untuk
9. Hakim AS
Mahkamah Memuluskan Perkara
Agung AM
Pemalsuan surat MK
10 Hakim - HH
Mahkamah -L Penyuapan dalam kasus Pilkada
Konstitusi Lebak, Banten dan Pilkada
- OCK Kabupaten Gunung Mas, Kalteng
11. Ketua Penyuapan terhadap mantan Kabag
Mahkamah Reskrim Susno Duadji
Konstitusi Praktek Penyuapan Perkara di MA
12. Pengacara/
Advocat
Penyuapan terhadap pengajuan
kewenangan Kejaksaan Tinggi
Sumatera Utara terkait
terbitnya surat perintah
penyelidikan (Sprinlidik)
tentang dugaan terjadinya
tindak pidana korupsi dana
bantuan sosial (bansos),
bantuan daerah bawahan
(BDB), bantuan operasional
sekolah (BOS), dan penahanan
pencairan dana bagi hasil
(DBH) yang dilakukan
Gubernur Sumatera
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
412
Matrik di atas adalah gambaran kecil saja dari berbagai
pelanggaran besar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di negeri
ini, baik yang terungkap di publik maupun yang tidak terungkap.
Aparat penegak hukum yang diharapkan sebagai ujung tombak untuk
memberikan perlindungan kepada publik, justeru mereka yang
mencederainya. Aparat penegak hukum yang diharapkan sebagai wakil
Tuhan di muka bumi unutk menciptakan keadilan, justeru mereka yang
memporak porandakan dan mengoyak-ngoyak rasa keadilan. Peristiwa
ini dapat diungkapkan dalam satu adagium singkat yang
menggambarkan tentang perilaku aparat penegak hukum Indonesia hari
ini yakni, ”bak pagar makan tanaman”. Kalau hewan ternak makan
tanaman, masih ada yang dapat dilakukan, paling tidak hewan ternak
itu masih bisa dinikmati dagingnya. Kalau aparat penegak hukum yang
“mencurangi” hukum, keadaan ini akan mempercepat kehancuran
negeri ini. Pertarungan internal Indonesia ke depan bukan lagi
berkutat pada persoalan perebutan kekuasaan, atau persoalan
pendidikan dan kesehatan atau masalah sandang pangan, akan tetapi
akan bergerak pada persoalan penegakan hukum dan keadilan.
Gambaran yang dilukiskan pada matrik di atas mengantarkan pada satu
kesimpulan bahwa , profesionalisme aparat penegak hukum tak dapat
diharapkan lagi . Tak dapat lagi digantungkan harapan bangsa ini untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta melindungi
segenap tumpah darah Indonesia kepada aparat penegak hukum.
Bagaimana bisa menciptakan halaman dan lantai yang bersih, jika
disapu dengan penyapu yang kotor?
Uraian-uraian di atas adalah merupakan untaian cerita empirik
sebagai potret nyata, bukan lukisan abstrak tentang kebobrokan
penegakan hukum yang disebabkan oleh tidak profesionalnya aparat
penegak hukum. Hilangnya rasa tanggung jawab moral dan tanggung
jawab sosial aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas mulia
yang diembannya. Tak ada lagi rasa bersalah, ketika mereka makan dan
minum dari bumi Indonesia yang diberi tugas melindungi hak-hak anak
bangsa tapi justeru tampil sebagai “piranha” yang memakan anak
bangsanya sendiri. Menggerogoti sumber ekonomi negara yang
seyogyanya untuk kepentingan hidup bersama, tapi justeru dinikmati
sendiri. Tak ada lagi akal sehat, tak ada lagi hati nurani. Ini adalah
gambaran makro penegakan hukum di negeri ini.
Gambaran mikro tentang penegakan hukum dalam bidang hak
cipta khususnya dalam bidang sinematografi, tidaklah jauh berbeda
dengan gambaran makro tersebut. Aparat penegak hukumnya masih
sama, polisi, jaksa dan hakim. Hanya KPK yang tidak terlibat, karena
413
tidak ada unsur korupsinya. Akan tetapi bila ditelusuri dan dicermati
lebih lanjut efek penghancuran sendi-sendi kehidupan sosio-kultural
karena ketidak profesionalan aparat penegakan hukum dalam
memberikan perlindungan terhadap hak cipta bidang karya
sinematografi ini, tak beda jauh dengan efek penghancuran yang
diakibatkan oleh perilaku korupsi. Jika kasus Bill Out Bank Century
yang melibatkan pejabat tinggi negara dan Kasus Impor Daging Sapi
yang melibatkan Menteri dan politisi partai yang dikenal “bersih dari
korupsi dan pelanggaran moral” justeru dalam prakteknya merugikan
keuangan negara dan dampaknya merugikan ekonomi negara.
Merugikan ekonomi negara berarti mengurangi hak dan kenikmatan
warga negara. Tidak jauh berbeda dengan kasus-kasus yang kelihatan
merupakan “kasus besar” dalam kasus pelanggaran atau pembajakan
hak cipta atas karya bidang sinematografipun sebenarnya merupakan
“kasus besar”, di samping langsung merugikan keuangan negara karena
hilangnya pajak penjualan yang mencapai triliunan rupiah, juga
tindakan pembajakan itu telah membunuh kreativitas anak bangsa
untuk berkarya. Dampaknya adalah terjadi kemunduran dalam industeri
perfilman nasional, yang berujung pada hilang dan matinya kreativitas
para pencipta di bidang penulisan novel atau skenario film. Masyarakat
konsumen terbiasa menikmati karya hasil pelanggaran hukum dengan
mengeluarkan biaya murah. Terbentuk budaya dan peradaban
pragmatis dan budaya “lenggang kangkung atau easy going” tak peduli
hak siapa yang dilanggar. Inilah pembelajaran “pola tingkat dasar
korupsi”. Lama kelamaan menjadi budaya korupsi. Jika dari kecil
teranjak-anjak, sudah dewasa terbawa-bawa, maka sesudah tua
berubah tidak. Ini kata pepatah Melayu kuno. Perilaku buruk yang
dibiarkan terus berjalan tanpa ada pencegahan, lambat laun akan
diterima sebagai kebiasaan dan kata pepatah Arab, “merubah
kebiasaan akan menimbulkan musuh. ” Sulit untuk merubah perilaku
para pembajak karya cipta sinematografi dan merubah pola perilaku
para konsumen, ketika pola perilaku aparat penegak hukum tidak
berubah. Perubahan seperti apa yang diharapkan dari aparat penegak
hukum ? Melakukan penyelidikan, penyidikan atau pemeriksaan
terhadap tiap-tiap adanya indikasi pelanggaran hak cipta bidang karya
sinematografi? Apakah pekerjaan ini menantang atau dapat menaikkan
karir ? Apakah ini membuat anggota atau aparat penegak hukum
menjadi terkenal dan populer seperti Briptu Norman?
Tak ada yang menarik dari pekerjaan ini, kecuali
menimbulkan banyak musuh. Tak ada popularitas, sekalipun dengan
menangkapi seluruh pengedar karya cipta sinematografi bajakan. Tak
414
ada adrenalin yang terpacu dalam menangani para konsumen yang
membeli karya sinematografi bajakan, dibanding dengan menangkapi
para pengedar dan pemakai narkoba jenis sabu misalnya. Menggerebek
rumah yang memproduksi sabu, jauh lebih populer dari pada
menggerebek rumah yang di dalamnya memproduksi VCD atau DVD
illegal. Reward and punishment lebih jelas dalam penangan kasus-
kasus semacam itu, daripada menangani kasus pembajakan kara
sinematografi.
Terjawab sudah, mengapa bidang penegakan hukum hak cipta
untuk melindungi karya sinematografi ini tidak menarik perhatian
aparat penegak hukum.
Dalam sebuah wawancara dengan Pengurus Asosiasi Artis
Sinetron Cabang Sumatera Utara 336 mengatakan :
Tidak semua aparat penyidik Polri mengetahui tentang Undang-undang hak
cipta. Saya pernah meangkap pelaku pembajakan. Pada waktu itu saya
berpura-pura mau membuka usaha untuk pemutaran film sinema keluarga dan
karauke. Saya minta untuk dikirim judul-judul film dan lagu-lagu. Kemudian
mereka mengantarkan pesanan saya dan di antara pesanan itu ada karya
sinematografi produksi kami. Saya langsung membawa pelakunya ke Poltabes
Medan waktu itu. Kejadian itu sekitar 5 tahun yang lalu. Aparat kepolisian
memproses pengaduan kami, tapi pelakunya tidak ditahan. Keesokan harinya
saya datang untuk memanmtau perkembangan penyidikan. Ternyata
penyidikan belum diproses karena aparat penyidik tak punya undang-undang
hak cipta. Saya pergi ke toko buku untuk membeli buku undang-undang hak
cipta dan menyerahkannya kepada penyidik. Beberapa hari kemudian saya
pantau lagi perkembangannya, ternyata tak ada proses hukum. Saya kira
perkara itu hilang lenyap begitu saja, tak sampai ke pengadilan, karena saya
tak pernah dipanggil menjadi saksi.
Wawancara di atas membuktikan bahwa aparat kepolisian tak
pernah serius menangani perkara pembajakan hak cipta karya
sinematografi. Di samping itu aparat kepolisian juga tidak semuanya
memahami seluk beluk hukum pelanggaran hak cipta sebagaimana
diatur dalam undang-undang hak cipta. Terlepas dari bekerjanya faktor
non hukum, karena mungkin saja selepas pelaporan peistiwa itu
mungkin saja pihak terlapor melakukan transaksional sebagaimana
kelaziman dalam praktek penegakan hukum yang berlangsung selama
ini.
“Pernah juga selaku pengurus organisasi saya337 mengajak
Aparat Kepolisian untuk melakukan razia. Dalam razia itu sudah
336 Wawancara dengan Teruna Indra, Pengurus Asosiasi Artis Sinetron
Cabang Sumatera Utara tanggal 21 Agustus 2013 jam 11.00 Wib, di Medan.
337 Wawancara dengan Pengurus Asosiasi Artis Sinetron Cabang Sumatera
Utara tanggal 21 Agustus 2013 jam 11.00 Wib.
415
ditemukan titik terang bahwa penggandaan itu dilakukan oleh seorang
Tionghoa di jalan Thamrin di Medan. Akan tetapi juga tidak ada tindak
lanjut”, ungkap Teruna Indra.
Semakin jelas bahwa penegakan hukum hak cipta akan sulit
untuk dapat dilaksanakan dalam bebrapa tahun mendatang, jika tidak
ada keinginan dan perhatian yang serius dari lembaga penegak hukum,
khususnya lembaga kepolisian. Padahal menurut Pengurus Asosiasi
Artis Sinetron Cabang Medan tersebut, begitu mudah untuk melacak
pelaku pembajakan. Cukup diproses saja para penjual secara hukum,
lalu kemudian ditanya dari mana mereka mendapatkannya. Dalam
waktu 24 jam mata rantai pelaku tindak pidana pembajakan itu akan
teruangkap. Seperti para pengedar atau bandar narkoba, cukup ditanya
para pemakainya, kemudian akan diperoleh pengedarnya, untuk
selanjutnya akan ditemuka siapa bandarnya.
Akan tetapi hal semacam itu tidak pernah dilakukan secara
serius oleh aparat kepolisian selaku penyidik dan diberikan
kewenangan oleh undang-undang untuk membongkar jaringannya.
Apalgi delik pelanggran hak cipta ini termasuk dalam katagori delik
biasa, bukan delik aduan. Ada anggapan dari berbagai kalangan bahwa
pelanggarann terhadap karya cipta bidang sinematografi belum menarik
untuk diprioritaskan untuk ditegakkan.
Menurut Pengurus Asosiasi Artis Sinetron Cabang Sumatera
Utara : 338
Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang harus menjadi titik berat profesi
penegak hukum. Pekerjaan ini lebih sekedar pekerjaan fakultatif saja,
pekerjaan tambahan jika masyarakat sudah resah. Sepanjang masyarakat
“adem-adem” saja belum begitu mendesak untuk memberikan perlindungan
hukum bagi sebagian dari “tumpah darah Indonesia” ini, apalagi dengan
pembajakan karya cipta sinematografi ini, “tumpah darah Indonesia” yang
lain banyak mendapat kenikmatan. Seumpama cerita “Robinhood” merampok
(baca juga : korupsi) tapi hasilnya dibagi-bagikan kepada rakyat, dan ini
dianggap biasa dan boleh. Hukum telah kehilangan “roh” –nya di bumi yang
saling menghormati, saling menghargai hak orang lain.
Ungkapan “tumpah darah” yang dimaksud oleh responden di
atas adalah merujuk pada Pembukaan UUD 1945. Bahwa negara
berkewajiban untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, akan
tetapi mengapa ada perbedaan. Untuk kasus narkoba lebih
diprioritaskan, sedangkan untuk kasus pelanggaran hak cipta cenderung
338 Wawancara dengan Pengurus Asosiasi Artis Sinetron Cabang Sumatera
Utara tanggal 21 Agustus 2013 jam 11.00 Wib.