The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hukum2023, 2022-09-25 12:15:14

2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta

- OK. Saidin, 2016, Sejarah Dan Politik Hukum Hak Cipta, Jakarta, Rajagrafindo Persada

416

diabaikan. Padahal dampak yang ditimbulkannya juga sama, yaitu
penghancuran peradaban.

Pelanggaran terhadap hak cipta yang berlangsung selama ini,
tidak hanya berpangkal pada ketidak tahuan aparat tentang arti penting
perlindungan hak para pencipta, akan tetapi juga karena adanya
“kesengajaan” para aparat untuk membiarkan pelanggaran itu terus
berlangsung. Sebuah pembiaran struktural yang sangat sempurna.
Ketidak pedulian aparat penegak hukum atas terjadinya pelanggaran
hukum dalam bidang karya sinematografi, menyebabkan tidak ada
satupun kasus pelanggaran hak cipta bidang karya sinematografi ini
sampai ke Pengadilan. 339

Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang aparat
Kepolisian340 terungkap bahwa :

Sebenarnya banyak anggota Polri yang mengetahui bahwa pembajakan hak
cipta adalah merupakan perbuatan pidana. Akan tetapi kami selalu bekerja di
bawah perintah atasan kami. Sekalipun delik pelanggaran terhadap hak cipta
itu adalah delik biasa, artinya tidak perlu menunggu pihak yang dirugikan
untuk membuat laporan pengaduan, kami bisa langsung melakukan tindakan
penyidikan. Akan tetapi persoalan pelanggaran hukum di negeri ini sangat
banyak. Dikumpulkan seluruh personil Kepolisian untuk melakukan
penyidikan berbagai kasus pelanggaran hukum, jumlah personil itu tidak akan
cukup. Apalagi untuk melakukan penyidikan diperlukan keahlian tertentu.
Khusus untuk bidang Hak Cipta, tak semua juga personil kepolisian
memahami seluk beluk undang-undangnya. Sementara di sisi lain kasus-kasus
yang lebih prioritas untuk ditangani sudah menunggu, sehingga jarang sekali
kami mendapat perintah dari atasan kami untuk melakukan penyidikan di
bidang pelanggaran hak cipta.

Berangkat dari wawancara di atas semakin jelaslah alasan
mengapa kasus pelanggaran hak cipta bidang karya sinematografi tak
pernah sampai ke Pengadilan. Teriakan para seniman tentang terjadinya
pelanggaran atas hak cipta mereka adalah sebuah keluhan jiwa yang

339 Pembiaran ini sangat berbahaya secara kultural. Sebagai contoh ketika
seekor kambing melahirkan, yang dapat dilihat adalah anak kambing yang lahir itu
dilumuri oleh lendir. Jika lendir itu dibiarkan lengket ditubuh anak kambing itu dan
induknya tidak segera mengambil inisiatif (boleh juga disebut instink) untuk
membersihkannya, anak kambing itu dikhawatirkan tidak bisa berdiri dan hampir dapat
dipastikan anak kambing itu akan mati. Manusiapun begitu juga. Jika seorang ibu hamil
dibiarkan bersalin sendiri tanpa bantuan bidan, perawat atau dokter dikhawatirkan akan
mengalami nasib yang sama dengan anak kambing. Bedanya induk kambing tak perlu
bantuan paramedis atau “dukun melahirkan” atau tabib. Dokter hewanpun tak pernah
dipanggil untuk persalinan seekor kambing. Apa yang ingin dijelaskan dari cerita itu
ialah, itulah bahayanya sebuah “pembiaran” bagi kelangsungan alam dan makhluk
hidup. Hewan dan manusia bisa punah, jika pembiaran terus berlangsung

340 Wawancara, tanggal 9 Oktober 2012, pukul 13.40 di Medan.

417

sia-sia. Pelanggaran terhadap hak cipta bidang karya sinematografi
belum mendapat prioritas untuk ditangani, sekalipun kerugian yang
diderita para seniman dan kerugian negara (akibat tidak masuknya
pajak ke kas negara) mencapai ratusan milyar rupiah. Hal ini berkaitan
dengan budaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum.

Dalam sebuah sistem sosial yang “sakit” hampir dapat
dipastikan seluruh komponen sub sistem terkontaminasi atau dalam
bahasa ilmu kedokteran penyakit yang diderita sudah komplikasi.
Ketika sub sistem legislatif terganggu, maka sub sistem eksekutif ikut
juga terganggu dan pada gilirannya berpengaruh pula pada sub sistem
lembaga dan aparat penegak hukum. Sulit untuk memisahkan rangkaian
komponen dalam sub sistem yang saling berkait itu.

Ketika penyidikan atas pelanggaran terhadap hak cipta tak
pernah memasuki ranah hukum, maka tuntutan yang dilakukan oleh
jaksa juga tak pernah ada, apalagi pemeriksaan pada tingkat
Pengadilan. Dalam sebuah wawancara dengan pihak kejaksaan 341
terungkap bahwa ;

Ada perbedaan kami dengan aparat kepolisian. Bahwa kami semuanya
berlatar belakang pendidikan hukum. Sehingga seluk beluk pelanggaran
hukum termasuk hak cipta sedikit banyak kami ketahui juga. Akan tetapi kami
buklan penyidik untuk kasus pelanggaran hak cipta, karena itu tidak termasuk
dalam tindak pidana khusus. Sehingga kami hanya bersifat pasif, menunggu
dari hasil penyidikan pihak Kepolisian.

Pihak kepolisian sulit juga untuk untuk dipersalahkan, karena
ternyata untuk tiap kali melakukan penyidikan diperlukan biaya ekstra.
Bahkan menurut pengakuan salah seorang penyidik 342dalam sebuah
wawancara terungkap bahwa ;

Untuk melakukan pemeriksaan kami harus mencari biaya sendiri. Abang pikir
ada dana dari kantor kan? Tak ada sama sekali bang. Untuk kertas saja kami
harus beli sendiri. Kadang-kadang penyidikan berlangsung hingga larut
malam, untuk uang makan malampun harus biaya sendiri. Kalau untuk
perkara yang ada uangnya, biasanya pihak yang diperiksa mau membiayai,
tapi kalau perkara yang tak ada uangnya, itu hanya menjadi beban saja kepada
kami. Jadi kadang-kadang ada perkara yang bisa diselesaikan secara damai,
kami mendapatkan uang terlepas dari legal atau tidak legal. Uang itulah yang
kami pergunakan. Tapi kalau kami harus memeriksa penjual CD dan DVD
bajakan atau menangkap para pembelinya, itu namanya kurang kerjaan bang.
Capek saja yang ada bang.

Semakin jelas bahwa penegakan hukum hak cipta bidang
karya sinematografi tak dapat disandarkan pada aspek pemidanaan,

341 Wawancara tanggal 6 Pebruari 2013, di Medan, pukul 16.15
342Wawancara dengan PS, tanggal 9 Pebruari 2013 di Medan, pukul 17.15

418

sebab ujung tombak dari penyidikan yakni aparat kepolisian telah
membuka “dapur” nya bahwa tak ada biaya ekstra untuk tiap-tiap
penyidikan yang mereka lakukan. Sehingga mereka lebih memilih
menyelesaikan delik aduan untuk kasus-kasus yang bernilai ekonomi.
Sebab jika dapat diselesaikan dengan cara perdamaian mereka
mendapatkan imbalan. Jadi semakin jauh dari harapan bahwa
penegakan hukum hak cipta karya sinematografi akan sampai pada
keinginan pencipta atau pemegang hak cipta. Alasan itu jugalah yang
menyebabkan pelanggaran hukum terhadap hak cipta bidang karya
sinematografi seolah-olah tidak tersentuh hukum atau lebih tepatnya
terjadi semacam proses pembiaran. Apakah aparat kepolisian tidak
mengetahui hal ini. Dari seluruh responden sebanyak 22 orang yang
memberikan jawabannya melalui kuessioner 91,67 % mengetahui
bahwa perbuatan mendagangkan atau membeli hasil VCD dan DVD
bajakan adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan
pidana, seperti terungkap dari tabel berikut ini.

Tabel 1
Tingkat Pengetahuan Aparat kepolisian Terhadap
Peristiwa Pidana Pembajakan Hak Cipta Karya Sinematografi.

No Keterangan Frekwensi Persentase
1. Mengetahui 22 91,67 %
2. Tidak Mengetahui
2 8,33 %
Total 24 100 %
Sumber : Data Primer

Akan tetapi dari seluruh responden juga mengatakan, mereka
tak pernah melakukan penyidikan, sekalipun mereka mengetahui
peristiwa pidana pelanggaran hak cipta karya sinematografi itu adalah
delik biasa, bukan delik aduan, seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 2
Langkah Tindakan Yang Diambil Oleh Pihak Kepolisian

Atas Pembajakan Hak Cipta Karya Sinematografi.

No Keterangan Frekwensi Persentase
24 100 %
1. Melakukan penyidikan
0 0%
2. Tidak melakukan
24 100 %
penyidikan

Total

Sumber : Data Primer

419

Salah seorang jaksa343 yang berhasil diwawancarai, justeru
berkomentar lain lagi.

Persoalan pelanggaran hak cipta, bidang karya sinematografi selama saya
menjadi Kajari di 2 tempat tak pernah ada kasus yang sampai ke meja kami.
Memang persoalan hak cipta ini persoalan hukum yang menarik, sekalipun
masa saya kuliah dulu belum ada mata kuliah tentang hak cipta (maksudnya
HKI, pen). Persoalannya mungkin persoalan besar, tapi itu bukan kasus yang
menarik perhatian publik. Karena itu saya dapat memaklumi jika polisi tidak
mengangkat kasus itu, karena tak ada pihak yang menyoroti kinerja mereka
jika tak melakukan tindakan atas pelanggaran hak cipta itu. Berbeda jika
perkara itu menyangkut pembunuhan atau kejahatan terhadap kehormatan
yang bolak balik muncul di media atau adanya desakan LSM. Khusus untuk
kasus pelanggaran hak cipta, media dan LSM pun tak tertarik untuk
menyorotnya. Itu adalah salah satu faktor juga, mengapa persoalan ini tak
pernah sampai ke ranah Pengadilan.

Agaknya penjelasan T ini menjadi bahan kajian yang menarik,
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum baru benar-benar
menjadi serius, jika banyak pihak yang “meribut”-kannya. Akan tetapi
siap juga yang akan meributkannya untuk kasus pelanggaran hak cipta
karya sinematografi ini ? Hampir semua anggota masyarakat, menjadi
konsumen DVD dan VCD hasil produk illegal. Mungkin barangkali
tidak hanya para wartawan atau anggota LSM para aparat penegak
hukumpun menjadi konsumen DVD dan VCD illegal itu.

Oleh karena itu begitu mudah untuk dipahami, mengapa aparat
kepolisian sebagai ujung tombak penegakan hukum hak cipta tak
mampu berbuat apapun atas tindakan pelanggaran hak cipta karya
sinematografi. Jika diumpamakan aparat kepolisian seekor singa yang
mengawasi gerak-gerik hewan-hewan yang melakukan kecurangan di
wilayah kerajaan hutan, ketika seekor srigala memangsa, singa hanya
duduk terdiam. Tak mampu berbuat apa-apa, karena sistem
pengendalian keamanan di hutan itu sedang mengalami gangguan.

Penelitian ini tidak menemukan perkara-perkara perdata dan
perkara-perkara pidana dalam bidang karya cipta sinematografi yang
sampai ke Pengadilan Negeri Medan dan di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat juga. Tidak ditemukannya data tentang adanya kasus-kasus
pelanggaran atau pembajakan karya sinematografi yang sampai ke
ranah pengadilan, justeru menimbuklkan banyak prasangka. Ketika
hukumnya ada (delik biasa), orang yang melakukan tindak pidana
nyata-nyata ada (penjual dan pembeli karya sinematografi bajakan),
aparat penegak hukum pun ada (aparat kepolisian), akan tetapi tidak
ada satupun perkara pidana yang dilimpahkan ke pengadilan. Begitu

343 Wawancara, dengan T tanggal 19 Desember 2012, pukul 15.40 di Medan.

420

juga pihak pencipta dan produser yang dirugikan atas peristiwa
pembajakan itu juga ada akan tetapi tidak pernah ada gugatan yang
disampaikan ke Pengadilan Niaga. Sebuah fenomena hukum yang
sangat menarik untuk dikaji secara akademis.

Aparat penegak hukum terutama pihak kepolisian bukannnya
tidak mengetahui pelanggaran hukum terhadap karya sinematografi itu
telah terjadi dan terus berlangsung speanjang hari. Akan tetapi mereka
“tak kuasa” untuk mencegahnya. Selain faktor anggaran juga faktor
“struktural dan kultural” penegakan hukum dalam bidang ini sangat
tidak mendukung. Proses pembiaran secara struktural atas pelanggaran
hukum telah terjadi dan di mata aparat penegak hukum pembajakan hak
cipta diposisikan sebagai perbuatan yang belum saatnya dikategorikan
sebagai tindak pidana. Kesimpulan ini didasarkan pada wawancara
dengan salah seorang aparat kepolisian :

Selaku aparat kepolisian bukan kami tidak tahu bahwa perbuatan pembajakan
hak cipta itu adalah suatu tindak pidana. Akan tetapi, kami juga memahami
para penjual VCD dan DVD bajakan itu adalah pedagang kaki lima yang
tergolong dalam kelompok ekonomi lemah. Para konsumen juga adalah rata-
rata mahasiswa dan anak-anak muda yang juga masuk dalam kategori orang-
orang yang sebenarnya tidak ingin memperkaya dirinya sendiri atau mendapat
keuntungan yang besar dari tindakannya itu. Kalangan konsumen lain di luar
mahasiswa dan anak-anak muda juga dari golongan masyarakat klas bawah,
kalau mereka ada uang justeru mereka akan berbelanja di plaza di konter yang
menjual VCD dan DVD original. Keuntungan penjual VCD dan DVD pun
rata-rata Rp. 500,- s/d Rp. 1.000,- per keping, sehingga penghasilan mereka
hanya cukup untuk makan sehari-hari. Terlalu berat juga bagi kami jika
tindakan mereka ini harus dikategorikan sebagai sebuah kejahatan. Apalagi
untuk menyidik perkara ini memerlukan waktu dan keahlian yang tidak semua
aparat kami dapat melakukannya, ini belum lagi jika dihubungkan denagn
anggaran biaya untuk melakukan penyidikan. Jika dibandingkan dengan
prestasi yang akan diperoleh dari aktivitas penyidikan ini penanganan
terhadap perkara ini tidak juga dianggap sebagai sebuah prestasi besar.
Berbeda dengan penanganan terhadap perkara pidana yang lain seperti : tindak
pidana narkoba atau kejahatan-kejahatan lain yang membahayakan keamanan
dalam masyarakat.344

Wawancara di atas, mengantarkan tulisan ini pada sebuah
pertanyaan : Apakah sebuah kejahatan diukur dari faktor subyektifitas
pelakunya ? Jika pelakunya adalah kalangan ekonomi lemah hukum
menjadi tumpul ketika dihadapkan kepadanya. Sebuah tesis yang
terbalik dari anggapan selama ini hukum akan tumpul ke atas akan
tetapi menjadi tajam ke bawah atau dalam pepatah Melayu ”Jika jaring
bocor, yang tertangkap adalah ikan besar dan ikan-ikan kecil akan

344 Wawancara dengan A pada tanggal 18 Juli 2012, pukul 11.00 Wib di
Polresta Medan.

421

lolos, sebaliknya jika hukum ”bocor” maka yang tertangkap adalah
orang-orang kecil dan orang-orang besar akan lolos”.

Persoalan yang pelik saat ini yang dihadapi oleh para
pemegang hak karya sinematografi adalah menghadapi pembajakan
yang menggunakan teknologi cakram optik dan didukung oleh
kemajuan teknologi informasi yang dapat mendownload karya
sinematografi melalui jaringan internet. Itulah sebabnya kemudian
Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 memasukkan satu
norma tentang perlindungan hukum terhadap perbanyakan karya
sinematografi melalui teknologi yang memanfaatkan kecanggihan
informasi dan teknologi cakram optik tersebut.

Hampir dapat dipastikan hari ini, pemanfaatan teknologi
tersebut telah dilakukan secara besar-besaran oleh produser rekaman
illegal di Indonesia. Jika ditelusuri di seluruh gerai-gerai pedagang kaki
lima, penjualan VCD dan DVD hasil karya sinematografi dapat
dipastikan 90% bersumber dari produser-produser illegal.

Dari 188 responden kalangan gerai pedagang kaki lima dan
pedagang outlet di plaza-plaza yang diteliti, 169 responden menjawab
menjual VCD dan DVD non original (istilah lain untuk menyebutkan
VCD dan DVD hasil bajakan), sedangkan 19 responden lainnya
menjawab menjual VCD dan DVD original seperti tertera pada tabel di
bawah ini.

Tabel 3
Legalitas Barang-barang yang Dijual

No Keterangan Frekwensi Persentase
1. Original/legal 19 10,10 %
2. Non Original/illegal 169 89,90 %
188 100 %
Total
Sumber : Data Primer

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa hanya 10,10 % saja para
pedagang yang menjual VCD dan DVD karya sinematografi yang
original. Selebihnya sebanyak 89,90 % dari para pedagang menjual
VCD non original.

Data tersebut di atas mengungkapkan betapa kecaunya dan
lemahnya penegakan hukum hak cipta Nasional untuk karya
sinematografi. Mulai dari substansi hukumnya, struktur sampai pada
kultur hukumnya tidak mendukung untuk terwujudnya upaya
menumbuhkan kreativitas pencipta, khususnya di lapangan karya

422

sinematografi. Sekalipun delik yang diancamkan merupkana delik
pidana biasa, tak ada tindakan hukum langsung yang dilakukan oleh
aparat kepolisian.

Dalam serangkaian wawancara dengan salah seorang
pedagang345 terungkap bahwa;

Pernah diadakan semacam razia, tapi bukan fokus pada VCD dan DVD
bajakan, tapi yang berhubungan dengan pornografi. Apakah kami ada menjual
VCD dan DVD dalam istilahnya Blue Film. Kami tak pernah dipersoalkan
tentang VCD dan DVD bajakan, walaupun kami mengetahui perbuatan itu
salah. Tapi sepertinya aparat yang melakukan razia spertinya “mengerti’
keadaan itu. Sehingga kamipun harus memberikan “sesuatu” juga. Pada saat
razia kami memang tidak menampilkan barang dagangan kami secara
keseluruhan, hanya sebahagian saja. Kami khawatir juga bila ada penyitaan.
Selepas itu kami kami kembali kembali menggelar barang dagangan kami.

Signal yang digambarkan oleh pedagang ini, memang
sampailah pada uraian akhir tuluisan ini. Faktor prilaku budaya
hukumlah yang sangat berpengaruh pada penegakan hukum di samping
dua faktor yang lainnya, substansi dan struktur. Ketika aparat
kepokisian melakukan razia, pedagang-pedagang terlihat tertib dan
patuh, tapi selepas itu mereka kembali melakukan aksi bisnisnya.
Seperti kata pepatah, Anjing menggonggong kafilah pun berlalu. Tak
ada kesan yang tinggal untuk memeprbaiki kesalahan atau sekedar
mengingat bahwa dalam aktivitas mereka ada hak-hak orang lain yang
dilanggar. Kelihatannya mengambil hak orang lain untuk memperoleh
keuntungan sendiri sebenarnya dilarang oleh agama apapun dan secara
moral dianggap sebuah pelanggaran moral serta secara etika perbuatan
itu sangat tidak etis sekalipun si pemiliknya tidak mengetahuinya.
Pesan Al-Qur’an mengingatkan, Allah berfirman, janganlah kamu
mengira ketika kamu berbuat kesalahan yang tidak diketahui orang lain
kamu mengira hanya kamu sendiri yang tahu, sesungguhnya kamu
berdua, yang satu lagi adalah Aku. Pada ayat lain Allah mengatakan:
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang nyata dan apa yang
tersembunyi di hati manusia. Inilah asas “pengawasan melekat” yang
seharusnya ditanamkan di setiap hati sanubari manusia, hati sanubari
anak bangsa yang meletakkan dasar Ketuhanan pada sila pertama
Pancasila sebagai Asas Pembangunan Nasional termasuk azas Politik
Pembangunan Hukum Nasional.

345 Wawancara dengan SM di Medan, tanggal 10 November 2012, di Medan,
Pukul 11.20.

423

4. Budaya Hukum Masyarakat
Ada apa dengan prilaku hukum (budaya hukum) masyarakat

?Masyarakat produsen dan masyarakat konsumen sama-sama
melakukan tindakan pelanggaran atas karya sinematografi. Apakah
sudah sedemikian burukkah prilaku hukum masyarakat yang
berlangsung selama ini, sehingga tak satupun lagi anggota masyarakat
dapat memberikan apresiasi atau penghargaan atas karya cipta orang
lain?

Sebuah fenomena yang menarik yang sedang berlangsung di
tengah-tengah masyarakat Indonesia dalam hal bertransaksi adalah, jika
ada yang lebih murah buat apa beli yang lebih mahal, persis seperti
iklan racun serangga. Sekalipun harga yang murah itu, dibelakangnya
terdapat hak orang lain. Memang di berbagai kasus pelanggaran HKI,
jika suatu produk dapat meniadakan pembayaran royalty dari
pemegang hak, produk itu dapat dijual dengan harga yang lebih murah
jika dibandingkan dengan produk yang sama, tapi dikenakan
pembayaran royalti. Buku-buku hasil bajakan-pun banyak dijual
dengan harga murah jika dibandingkan dengan buku yang original yang
dicetak oleh penerbit yang resmi mendapatkan izin untuk
memperbanyak atau penggandaan dari pencipta. Begitu juga untuk
kasus DVD dan VCD hasil bajakan, akan dijual lebih murah, sehingga
para konsumen cenderung untuk membeli hasil bajakan atau produk
illegal. Semua responden yang diteliti, menjawab lebih suka membeli
barang hasil bajakan seperti tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 4
Kecenderungan Konsumen membeli VCD dan DVD Hasil Bajakan.

No Keterangan Frekwensi Persentase
0 0%
1. VCD/DVD original 100 %
188
2. VCD/DVD non 100 %
188
original

Total

Sumber : Data Primer

Tabel di atas memperlihatkan dari total 188 responden,
semuanya atau 100% memilih lebih suka berbelanja atau membeli
VCD dab DVD non original (barang illegal). Alasannya adalah karena
VCD dan DVD itu hanya ditonton untuk masa putar satu kali saja.

424

Kualitasnya juga ternyata tidak jauh berbeda dengan yang original,
sementara harga yang original jauh lebih mahal.

Ketika ditanyakan apakah mereka pernah membeli VCD dan
DVD yang original? Sebanyak 48 responden atau 26,67% menyatakan
pernah membeli barang yang original, sedangkan selebihnya sebanyak
140 responden atau sekitar 73,33% menyatakan tidak pernah membeli
barang yang original, seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 5
Pilihan Konsumen Untuk Membeli Barang Legal dan Illegal

No Keterangan Frekwensi Persentase
1. VCD/DVD original 48 25,53

2. VCD/DVD non 140 %
original 74,47
Total 188
%
Sumber : Data Primer 100 %

Alasan mereka membeli barang yang original adalah karena,
film ceritanya masih baru belum ada bajakannya (maksudnya film
cerita serupa belum ada yang diproduksi dalam bentuk illegal,pen).
Sementara itu mereka yang tak pernah membeli barang yang original
mengatakan, harganya terlalu mahal, sampai 20 kali lipat. Artinya 1
keping VCD atau DVD original harganya sama dengan 20 keping yang
non original.

Tingkat pengetahuan masyarakat konsumen terhadap aspek
hukum perlindungan karya sinematografi, ternyata hanya sebahagian
saja yang mengetahui. Bahwa hasil bajakan itu adalah tindakan illegal
dan dapat diancam hukuman pidana. Dari 188 responden, ternyata 68
responden atau sekitar 36,17 % mengatakan mengetahui bahwa
penjualan barang-barang berupa VCD dan DVD bajakan itu adalah
perbuatan illegal, melanggar hukum dan dapat diancam dengan
hukuman pidana, akan tetapi 112 responden atau sekitar 63,83 %
mengatakan tidak mengetahui sama sekali, seperti tertera pada tabel di
bawah ini :

425

Tabel 6
Tingkat Pengetahuan Konsumen
Terhadap Aspek Hukum Pembajakan Karya Sinematografi

No Keterangan Frekwensi Persentase
1. Mengetahui 68 36,17

2. Tidak mengetahui 120 %
63,83
Total 188
Sumber : Data Primer %
100 %

Ketika ditanyakan, (khusus bagi mereka yang mengetahui
bahwa perbuatan itu adalah perbuatan illegal) apakah mereka tidak
takut dengan ancaman hukuman ? Ternyata dari 68 responden yang
menyatakan mengetahui bahwa perbuatan itu adalah illegal diluar
dugaan mereka memberi jawaban; tak pernah ada tindakan hukum
untuk perbuatan membeli barang VCD dan DVD bajakan. Seluruh
responden yang mengetahui tentang itu yakni 68 responden atau 100 %
menyatakan tak pernah ada tindakan hukum dari aparat penegak
hukum, seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 7
Tindakan Hukum Yang Dilakukan Oleh Aparat
Terhadap Konsumen Yang membeli Produk VCD dan DVD Illegal

No Keterangan Frekwensi Persentase
0 0%
1. Melakukan tindakan
68 100 %
hukum
68 100 %
2. Tidak melakukan

tindakan hukum

Total

Sumber : Data Primer

Tak ada tindakan hukum dari aparat penegak hukum yang
dilakukan untuk konsumen yang membeli barang berupa VCD atau
DVD bajakan. Jangankan untuk kalangan konsumen untuk kalangan
pedagang atau penjualpun tindakan yang sama juga tidak pernah ada
dilakukan selama 1 tahun terakhir. Padahal lebih dari 80 % barang

426

yang dijual adalah barang illegal hasil perbuatan melanggar hukum,
sebagaimana diberitakan oleh banyak media massa.

Dalam wawancara dengan seorang hakim di Pengadilan
Negeri Medan 346 diperoleh tanggapan tentang pelanggaran VCD dan
DVD illegal marak dimana-mana, beliau mengatakan :

Ini salah satu bentuk lemahnya penegakan hukum kita, kita selalu saja lambat
mengantisipasi terjadi pelanggaran hukum, nanti kalau sudah heboh dan
banyak desakan, baru semua kelabakan. Semestinya pelanggaran hak cipta ini
bisa diantisipasi, bisa dimulai dengan razia di tingkat pengecer, kemudian
dilakukan pengembangan terhadap pelaku-pelaku yang terlibat dalam
pelanggaran terhadap karya cipta ini. Kita punya Undang-undang No. 19
Tahun 2002 tentang hak cipta, mestinya ini bisa diimplementasi oleh orang-
orang yang terlibat didalam undang-undang ini, kedepannya kalaulah ini tak
bisa diselesaikan maka dikhawatirkan karya-karya anak-anak bangsa ini
semakin menurun.

Selanjutnya dalam wawancara dengan seorang hakim di
Pengadilan Negeri Medan 347 juga diperoleh keterangan bahwa :

Faktor dominan kenapa kaset bajakan ini masih banyak beredar karena faktor
masih lemahnya penegakan hukum kita dalam memberantas peredaran kaset
VCD dan DVD bajakan. Selain itu juga faktor ekonomi yang masih mahalnya
harga VCD dan DVD original juga merupakan faktor yang dominan terhadap
munculnya pembajakan kaset disamping juga faktor sosial budaya dan
pendidikan, sehingga upaya penanggulangan pembajakan kaset belum
dilaksanakan secara maksimal karena masih banyak ditemukan adanya
produk-produk kaset bajakan yang dijual di masyarakat. Penegakan hukum
kita dalam upaya memberantas kaset bajakan masih bersifat parsial, belum
komprehensif.

Hakim348 tersebut menjelaskan pula bahwa :

Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam memberikan
perlindungan hak cipta ini, karena penegakan hukum hanya bagian dari
sebuah proses perlindungan. Penegakan hukum hanya merupakan sub-sistem
yang bersifat represif dari sebuah sistem perlindungan. Sub sistem lain yang
sama pentingnya adalah sub sistem pre-emtif dengan meningkatkan kesadaran
dan pengetahuan masyarakat termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum,
ketersediaan dan kemampuan daya beli masyarakat. Di samping itu juga
upaya preventif menjadi bagian dari upaya pencegahan dalam rangka
mempersempit peluang terjadinya proses pelanggaran, seperti tidak
memberikan ijin kepada took atau kaki lima yang telah melanggar atau
mencabut ijin pabrik yang pernah melanggar.

346 Wawancara dengan salah seorang hakim di PN Medan, Surya Pardamaian,
SH, tgl 5 September 2013, pukul 10.00 di Medan.

347 Wawancara dengan salah seorang hakim di PN Medan, Indra Cahya, SH,
MH, tgl 5 September 2013, pukul 11.00 di Medan.

348 Ibid.

427

Masih wawancara dengan salah seorang hakim di Pengadilan
Negeri Medan 349 dinyatakan bahwa :

Permasalahan pembajakan terhadap karya cipta baik itu dalam bentuk VCD
maupun DVD harus ditangani secara serius dan komprehensip, kalaulah ini
dibiarkan bisa menjadi bom waktu. Kita sebenarnya sudah ada undang-undang
hak cipta yang pada intinya melindungi hasil karya pengiat seniman kita dan
ini sebenarnya bisa menjadi paying hukum untuk melindungi karya cipta
ketika terjadi pelanggaran dari undang-undang tersebut. Memang dalam
implementasi dilapangan tidaklah semua harus mesti sampai ke ranah
pengadilan, harus ada upaya persuasif sebelum masuk ke ranah hukum,
misalnya diperlukan sosialisasi, razia VCD bajakan dan lain-lain.

Pelanggaran terhadap hak cipta seperti VCD dan DVD
bajakan itu dalam undang-undang No. 19 Tahun 2002 dikategorikan
sebagai delik biasa. Dalam wawancara dengan salah seorang hakim di
Pengadilan Negeri Medan350 diperoleh tanggapan bahwa :

Ini bukan masalah perbuatan delik biasa atau tidak, jika memang amanah
undang-undang mengatur bahwa jika ada pelanggaran terhadap hak cipta,
maka pelakunya harus diproses. Pihak polisi harus lebih proaktif, jangan mesti
menunggu bola, harus ke lapangan melakukan sosialisasi dan merazia bagi
pedagang-pedagang sebagai upaya pembelajaran bagi mereka. Kalaulah ini
sudah dilakukan dan tidak berdampak, maka pihak polisi harus melakukan
upaya hukum. Tetapi juga sangat semuanya diserahkan kepada polisi, pihak-
pihak terkait harus mensuport atas kerja-kerja polisi dan menangani perkara
ini.
Semua elemen harus ikut terlibat dalam mencegah pelanggaran-pelanggaran
hak cipta, tidak semuanya permasalahan ini ditumpukkan hanya kepada aparat
penegak hukum saja terutama polisi. Penggiat-penggiat seni juga harus
memberikan kontribusi, jangan asal bicara saja, perlu juga ada upaya
tindakan-tindakan untuk mencegah terjadi pelanggaran ini. Masyarakat harus
diberi pemahaman yang lebih dalam tentang undang-undang No. 19 Tahun
2002.

Para pedagang baik di gerai-gerai kaki lima atau gerai di
plaza-plaza sebagaian besar menjual VCD dan DVD karya
sinematografi illegal. Anggapan yang selama ini muncul dalam
pemberitaan pada berbagai media yang dirilis dari penjelasan berbagai
asosiasi produser rekaman dan kalangan dunia perfilman ternyata
benar. Dapat dipastikan VCD dan DVD yang beredar di kalangan
pedagang adalah lebih dari 80% hasil bajakan atau hasil pelanggaran
hak cipta. Data di atas, selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Suyud Margono yang mengatakan, “bahwa lebih dari 80% hasil

349 Wawancara dengan salah seorang hakim di PN Medan, Baslin Sinaga, SH,
tgl 5 September 2013, pukul 12.00 di Medan.

350 Ibid.

428

karya sinematografi yang beredar di pasar lokal Indonesia adalah
merupakan hasil bajakan atau hasil pelanggaran hak cipta”. 351

Ancaman hukuman atas pembajakan hak cipta pada setiap kali
perubahan undang-undang hak cipta dari waktu ke waktu mengalami
kenaikan, layaknya seperti inflasi dalam dunia usaha. Kenaikan
ancaman hukuman itu karena banyaknya rekomendasi dari berbagai
pihak yang mengatakan pembajakan hak cipta itu berlangsung karena
ancaman hukuman pidananya terlalu rendah. Anggapan seperti itu
justeru muncul dari kalangan negara-negara industri maju yang
dimotori oleh Amerika yang diikuti oleh negara-negara Eropa dengan
menyampaikan pandangan yang sama. Karena alasan itulah kemudian
ancaman hukuman pidana terhadap pelanggaran hak cipta terus-
menerus mengalami perubahan dan semakin diperberat,dari waktu ke
waktu dalam empat kali kurun waktu perubahan undang-undang hak
cipta nasional, akan tetapi itu tidak juga membuat jera pelaku
pembajakan di Indonesia namun justru sebaliknya praktek pembajakan
terus berlangsung.

Tak ada juga pihak-pihak yang merasa takut atau dalam
bahasa hukum pidana merasa tercegah (preventif) dengan tingginya
ancaman hukuman itu. Pihak produsen karya sinematografi illegal
terus-menerus memproduksi karya cipta itu dalam bentuk kepingan
VCD dan DVD bahkan sekarang dikenal ada produksi dalam bentuk
blue ray. Hasil observasi yang dilakukan di gerai penjualan VCD dan
DVD di Jalan Dr. Mansyur, Jalan Setia Budi dan Jalan Titi Papan
membuktikan bahwa produser illegal setiap sore memasok hasil-hasil
produksinya ke gerai-gerai tersebut. 352 Para konsumen juga datang
berbelanja silih berganti, dan paling sedikit berbelanja 3-10 keping.
Tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa takut bahwa tindakan mereka
adalah merupakan perbuatan pidana yang dapat diancam dengan
hukuman pidana. Pihak pemilik karya sinematografi pun tak
mempunyai kuasa yang cukup untuk menghentikan aktivitas
pembajakan tersebut, tidak juga pihak Amerika atau negara-negara
maju yang secara terus menerus bersikeras untuk penegakan hukum
hak cipta di Indonesia. Justru karya sinematografi yang terbanyak
dibajak itu adalah karya sinematografi milik asing. Berdasarkan

351 Maraknya pembajakan hak cipta di Indonesia ternyata berimplikasi
panjang. Setelah keluar dari Priority Watch List oleh Amerika Serikat atas pelanggaran
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tahun 2000, sejak April 2001, Indonesia masuk kembali
daftar hitam pelanggaran hak cipta ini. Disamping pembajakan karya musik lagu, film
dalam bentuk CD dan VCD, program komputer juga salah satu yang paling terbesar
dibajak. Lebih lanjut lihat Suyud Margono, Op.Cit, hal. 146.

352 Pada setiap sore sekitar pukul 16.00 Wib, pada bulan Juni 2012 kami
menyaksikan VCD dan DVC bajakan itu dipasok melalui kurir mengendarai kendaraan
bermotor dan dingkus dalam plastic yang diperkirakan tidak kurang dari 100 keping
dengan berbagai judul film.

429

kuisioner yang diedarkan tercatat bahwa pada 188 gerai yang menjual
karya sinematografi hasil bajakan, tercatat film Amerika dijual di 112
gerai, film Korea dijual di 75 gerai, film India dijual di 67 gerai
sebagaimana tertera pada grafik di bawah ini.

Grafik : 2
Karya Sinematografi Bajakan Yang Diperdagangkan

di Gerai Tradisional di Kota Medan

112

75
67

62

49 40
45

17 15 16 20
7

1 2 34 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Amerika 7. Jepang
2. Amerika Latin 8. Pilipina
3. Eropa 9. Prancis
4. Hongkong/Cina 10. Malaysia
5. India 11. Indonesia
6. Korea 12. Mandarin

Sumber : Data Primer

430

Pembajakan karya sinematografi menurut Tim Nasional
Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang berasal dari industri rumahan dan ini sangat
berbahaya sekaligus merupakan ancaman industri kreatif perfilman
nasional. 353 Saat ini semakin sulit untuk dicegah aktivitas industri
pembajakan karya sinematografi karena kemajuan teknologi
pemindaian yang dapat diakses dari jaringan internet dan didukung oleh
teknologi rekaman yang menggunakan serat optik. 354

Kalangan konsumen juga tidak pernah merasa bersalah atau
ada pihak-pihak yang mempersalahkannya jika menikmati hasil karya
sinematografi dengan cara membeli dengan harga murah. Tidak pernah
terlintas dalam pikiran para konsumen bahwa di atas kenikmatan yang
ia peroleh terdapat hak-hak orang lain yang ia langgar. Pihak aparat
kepolisian pun sekalipun telah mengetahui delik pelanggaran hak cipta
itu adalah delik biasa akan tetapi tidak pernah melakukan tindakan
penyidikan dalam arti menerapkan pasal-pasal Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana sebagai perbuatan pidana tertangkap tangan.
Perlakuan ini berbeda ketika seseorang diketahui mengedarkan obat-
obat terlarang, tindakan cepat langsung dilakukan oleh aparat penyidik.
Tidak menarik memang jika kasus pelanggaran hak cipta segera
ditangani melalui upaya penegakan hukum pidana. Aparat penyidik

353 Penjelasan Wihadi Wianto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Rekaman
Video Indonesia (Asirevi), dalam Kompas, Pembajakan Film Nasional Ditengarai
Industri Rumahan, Jumat, 23 Oktober 2009. Menurut Ketua Lembaga Koordinasi
Gerakan Anti Pembajakan, Togar Sianipar, pada Februari 2013 di Jakarta terdapat 2,1
juta keping cakram film dan musik hasil bajakan dengan kerugian triliunan rupiah di
pihak pencipta, Lebih lanjut lihat indosiar.com, Negara Dirugikan Triliunan Rupiah
Pembajakan Hak Intelektual, Februari 2013.

354 Cakram optik ini adalah sarana yang diciptakan untuk dapat menyimpan
dan/atau memperbanyak ciptaan atau karya cipta dalam bentuk cakram plastik atau
piringan terhadap gambar, suara dan teks. Cakram tersebut merupakan format sinar laser.
Penemuan yang ini berkaitan dengan cakram video rekaman yang memiliki kemampuan
memperbanyak atau menggandakan rekaman secara massal dengan menggunakan sebuah
cakram master. Cakram yang terbuat dari plastik transparan tersebut mampu menyimpan
informasi gambar dalam bentuk sinyal-sinyal video yang direkam pada salah satu atau
kedua sisi cakram. Informasi gambar yang telah direkam dimaksudkan untuk ditampilkan
ulang, misalnya melalui pesawat televisi dengan menggunakan alat pemutar cakram dan
dengan ”menembakkan” pancaran sinar elektron melalui cakram tersebut. Pancaran sinar
ini disesuaikan dengan rekaman video yang telah tersimpan dalam cakram dan head alat
pemutar mengubah sinyal-sinyal sinar tersebut menjadi sinyal-sinyal video atau sinyal-
sinyal gambar agar dapat ditayangkan ulang pada layar monitor. Lebih lanjut lihat Kenny
Wiston dan Toto S. Mondong, Optical Disc-Sarana Mempermudah Perbanyakan Karya
Cipta Tantangan Bagi Pelaksanaan Perlindungan Hak Cipta, Buletin HKI Volume 4 No.
1 Juli 2003, hal. 8.

431

sebagian besar enggan untuk melakukan penyidikan karena tindak
pidana semacam itu adalah tindak pidana yang tidak mengangkat
popularitas mereka sebagai aparat penyidik. Akibatnya secara terang-
terangan karya sinematografi bajakan itu beredar di pasaran. Karya-
karya sinematografi yang paling banyak terjual masih didominasi oleh
film Amerika dan diikuti film Korea, film India dan Eropa.

Grafik : 3
Karya Sinematografi Bajakan Yang Paling Banyak Terjual

di Gerai Tradisional di Kota Medan

99

63

42 40
27 37
23 7 11 6
10 5

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Amerika 7. Jepang
2. Amerika Latin 8. Pilipina
3. Eropa 9. Prancis
4. Hongkong/Cina 10. Malaysia
5. India 11. Indonesia
6. Korea 12. Mandarin

Sumber : Data Primer

432

Grafik di atas mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa
produksi film Amerika-lah yang paling banyak dibajak di Indonesia,
karena itu wajar saja jika kemudian pihak Amerika mendesak agar
Indonesia serius dalam penegakan hukum hak cipta. Keseriusan itu
oleh lembaga pembuat Undang-undang disikapi secara keliru yakni
dengan menaikkan ancaman pidana dan menempatkan delik
pelanggaran hak cipta sebagai delik biasa. Sudah saatnya delik
pelanggaran hak cipta itu diubah kembali menjadi delik aduan, dengan
demikian pihak yang diruigikan dapat mengadukan perbuatan itu
kepada lembaga kepolisian untuk segera dilakukan penyidikan, lalu
kemudian pihak pengadu dapat mengontrol jalannya perkara. Dengan
katagori delik aduan di samping dapat mengatasi proses pembiaran
yang dilakukan oleh aparat penyidik selama ini, juga perkara ini dapat
diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat (pemenuhan nilai-nilai
asas sila ke- 4 Pancasila) antara pihak yang melakukan pelanggaran
dengan pihak yang dirugikan, karena perkara ini dapat diakhiri dengan
pencabutan pengaduan oleh pihak yang dirugikan atau pihak pengadu.

Film-film box office yang banyak diminati oleh konsumen
sekaligus yang banyak diproduksi secara illegal masih didominasi
oleh film-film Amerika. Bahkan film-film yang dijual di konter illegal
itu film-film terbaru dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan
pedagang yang menjual di konter-konter yang legal. Untuk alasan
itulah kemudian salah seorang dari responden itu mengatakan dalam
sebuah wawancara. 355

Saya sudah lebih dari 5 tahun berbelanja VCD dan DVD ini, kebanyakan
yang saya beli barang-barang non original.Ada juga barang yang original,
akan tetapi kualitasnya tidak jauh berbeda, sehingga sekarang saya tak pernah
lagi membeli barang yang original. Saya mengetahui barang-barang
nonoriginal itu adalah hasil perbuatan illegal, sebab sayapun lulusan Fakultas
hukum.
Tapi mengapa saya justeru membeli barang yang illegal, alasan lebih dari
pada sekedar murah dan kualitas bagus. Konter-konter yang menjual VCD
dan DVD bajakan itu menjual film cerita yang lebih lengkap. Di konter-konter
yang menjual barang original, terutama-terutama di plaza-plaza ternyata
barang-barang yang dijual sangat terbatas, dan film “jadul” lagi (maksudnya,
film cerita yang sudah usang, ketinggalan zaman), sementara di konter-konter
yang menjual barang illegal, banyak ditawarkan film-film terbaru.
Saya sendiri sekarang punya langganan konter khusus di Jalan Dokter
Mansyur simpang Setia Budi. Kalau DVD yang saya beli “nyangkut” dalam
arti tampilan gambar tidak bagus atau “macet” dapat ditukar.

355 Wawancara dengan SS, tanggal 14 September, pukul 16.15, di Medan.

433

Wawancara di atas memperlihatkan betapa kompleksitasnya
sudah hubungan antara pedagang DVD bajakan dengan konsumen.
Bahkan ada semacam pelayanan “purna jual”. Tentu saja kenyataan
empirik semacam itu telah menjadi prilaku yang lazim dalam hubungan
hukum sehari-hari saat ini dan di kemudian hari kelak. Budaya (hukum)
permisif kelihatannya telah masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan.
Oleh karena terjadi proses “pembiaran” secara struktural, maka simbol-
simbol pelanggaran hukum itu berubah menjadi kebiasaan yang lazim
dan tidak lagi dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hukum,
meskipun norma hukum yang mengancam perbuatan itu masih berlaku.
Di satu sisi undang-undang hak cipta nasional telah
mengkriminalisasikan masyarakat, namun di sisi lain struktur dan
kultur telah “membatalkan” norma hukum itu secara diam-diam. Akhir
dari sebuah perjalanan penegakan hukum dalam lapangan karya cipta
sinematografi adalah, berpangkal pada pilihan politik hukum
pragmatis dengan cara transplantasi dan model kodifikasi parsial dan
berujung pada penegakan hukum yang terhenti.

E. Penegakan Hukum Hak Cipta Dalam Bidang Sinematografi
Kekacauan sistem hukum hak cipta nasional terlihat nyata

dalam urai-uraian terdahulu. Secara substansi norma hukum undang-
undang hak cipta Nasional sebahagian jauh dari nilai-nilai filosofis
Pancasila. Dalam tatanan struktur, ditandai dengan birokrasi lembaga
pembuat undang-undang dan birokrasi lembaga peradilan yang korup.
Dalam tataran budaya hukum, tidak adanya faktor-faktor budaya
hukum yang mendukung bagi terciptanya iklim penegakan hukum
dalam satu tatanan (sistem) yang kompak. Kesemua ini akan membawa
dampak bagi pertumbuhan industeri perfilman nasional sebagai wujud
dari karya cipta sinematografi. 356

Karya cipta sinematografi adalah pencerminan sebuah
peradaban. Dalam melahirkan karya sinematogri tidak hanya
melibatkan sutradara, aktor dan juru kamera, akan tetapi diawali dari
ide atau gagasan sebuah cerita yang dituangkan dalam bentuk
visualisasi yakni dalam bentuk gambar dua dimensi yang bergerak.
Sebuah ide atau gagasan adalah sebuah hasil karya dalam bidang
kesusasteraan, bisa dalam bentuk kisah nyata, atau sebuah sejarah yang
didokumentasikan. Tak jarang pula karya sinematografi itu berupa

356 Istilah karya sinematografi, ditemukan dalam berbagai-bagai frase seperti,
karya film atau bioskop. Kata film lebih dimaknai pada jenis atau bahan yang digunakan
untuk menangkap gambar, sedang frase “bioskop” berasal dari kata “bio” yang berarti
hidup, “scope” yang berarti gambar.

434

sebuah film cerita semi dokumenter. Dalam karya sinematografi ide
atau gagasan cerita penghianatan, mafia hukum, peperangan, drama
rumah tangga, sejarah dan lain-lain yang menggambarkan peradaban
umat manusia. Gambaran karya sinematografi yang dihasilkan sebagai
sebuah karya akan tampak tercermin dari peradaban bangsa itu. Pada
masa di mana hak azasi manusia tidak dilindungi dengan baik, produk
karya sinematografi tidak akan memunculkan issu atau tema cerita
tentang itu. Banyak karya sastra dan karya sinematografi yang dicekal
oleh pemerintah hanya karena karya itu tidak sejalan dengan keinginan
penguasa. Banyak juga karya sinematografi yang diproduksi
bertentangan dengan fakta sejarah, hingga akhirnya ketika penggantian
rezim kekuasaan karya itu tidak dimunculkan lagi. 357 Dalam penjelasan
Pasal 12 huruf (k) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta menyebutkan bahwa sinematografi merupakan media komunikasi
massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi : film
dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dalam
pita seluloid, piringan video, pita video, cakram optik dan/atau media
lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar
lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.

Karya sinematografi sendiri berasal dari Bahasa Inggris
”cinematography” yang asal katanya bersumber dari Bahasa Latin
yaitu ”cinema” yang artinya gambar. Dalam pengertian umum
sinematografi adalah segala hal mengenai sinema (perfilman) baik dari
estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun
penontonnya. Dunia sinematografi dalam hal ini menyangkut
pemahaman estetik melalui paduan seni akting, fotografi, teknologi
optik, komunikasi visual, industri perfilman, ide, cita-cita dan imajinasi
yang sangat kompleks. Pemahaman estetika dalam seni (secara luas),
bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi seni merupakan
proses sadar yang dilakukan penghayatan dalam menghadapi karya seni
(termasuk film). Sinema (perfilman) merupakan sebuah proses kreatif,
ada ekspresi/ide, ada simulasi peristiwa dan menimbulkan apresiasi.
Sedangkan obyek dalam film terdapat aspek material yang harus
dipahami seperti medium celluloid, serat optik dalam compact disk
(audio), video compact disc (audio dan visual) dan lain-lain. Aspek
formal berbentuk gambar, gambaran ruang dan waktu secara virtual

357 Film G30S PKI misalnya tidak lagi ditampailkan di media elektronik pada
setiap tanggal 30 September, karena dianggap film itu penuh dengan kebohongan dan
hanya untuk menampilkan kepahlawanan Soeharto.

435

dan film dibuat berdasarkan penyusunan skenario yang didasarkan atas
ide kehidupan manusia secara virtual. 358

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan
direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan
hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan
ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya,
dengan atau tapa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik dan/atau
lainnya. 359

Karya sinematografi sering diidentikkan dengan kata ”film”,
terkait sejarahnya di mana pertama sekali media penyimpanan dari
karya sinematografi tersebut adalah memakai pita film (pita seluloid)
yaitu sejenis bahan plastik tipis yang dilapisi zat peka cahaya. Alat
inilah yang dipakai sebagai media penyimpan di awal pertumbuhan
industri sinematografi tersebut. Media penyimpanan (perekaman) itu
sendiri kemudian berkembang mengikuti perkembangan teknologi
seperti antara lain memakai cakram optik dalam compact disk (audio),
video compact disc (audio dan visual). 360

Terkait dengan penelitian ini maka yang menjadi obyek
pembahasan adalah karya sinematografi dengan medium penyimpanan
cakram optik padat video yang dikenal dengan Video Compact Disc
(DVD dan VCD) atau dalam penelitian ini disebut karya sinematografi
dalam bentuk DVD dan VCD. Rekaman video yang dikenal di
Indonesia pada awalnya adalah video kaset yang beredar di tahun 1980-
an hingga awal tahun 1990-an. Keberadaan video kaset ini kemudian
menghilang seiring dengan munculnya teknologi Laser Disc di awal
tahun 1990-an. Pada perkembangan selanjutnya, keberadaan laser disc
ini juga tidak bertahan lama, ketika pada tahun 1995 mulai masuk
format baru, yaitu DVD dan VCD yang sebenarnya secara kualitas jauh
di bawah laser disc. Namun demikian dengan harga yang relatif lebih
murah, keberadaan DVD dan VCD ini secara perlahan hingga
kemudian pada tahun 1997 berhasil menggeser format Laser Disc dari
peredaran rekaman video di Indonesia.

Karya sinematografi tidak bisa dimaknai hanya sebagai sebuah
karya untuk semata-mata dijadikan sebagai kepentingan hiburan. Akan
tetapi karya sinematografi sarat dengan pesan-pesan sejarah dan pesan-
pesan budaya. Ada kalanya karya sinematografi mungkin tidak

358 Pengertian ini sebagaimana dijelaskan dalam http://dunia-
sinematografi.blogspot.com, diakses tanggal 12 Februari 2013.

359 Sebagaimana rumusan di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 8
Tahun 1992 tentang Perfilman.

360 Ibid.

436

memiliki makna pada hari ini, akan tetapi karya itu menjadi sangat
berharga untuk masa-masa yang akan datang. Bagaimana kita
mengenal budaya Betawi pada masa lalu, film Si Doel Anak Sekolahan
dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di atas. Begitulah ketika
suatu masa untuk dapat memahami situasi menjelang kemerdekaan,
film-film dokumenter dapat memberikan gambaran tentang keadaan
itu. Kemajuan peradaban suatu bangsa pun dan pilihan-pilihan budaya
yang dilakukan oleh masyarakatnya juga dapat direkam dengan baik
dari cerita-cerita karya sinematografi yang dilahirkan pada zamannya.
Ketika masyarakat Indonesia tumbuh dalam peradaban hedonisme,
karya-karya sinematografi yang muncul menampilkan cermin
peradaban masyarakat hedonis itu. Sehingga dari jalan cerita film itu
sangat mudah untuk dikenali, pada priode atau zaman apa karya
sinematografi itu diproduksi. Semakin maju peradaban bangsa itu
semakin tampak dengan jelas kemajuan itu terekam dalam karya
sinematografi. 361

Karya sinematografi pertama kali diproduksi pada tahun 1926,
sebuah film bisu yang tertinggal secara teknologi, sebab di belahan
dunia yang lain telah diproduksi film-film yang bersuara terutama di
Eropa, Amerika dan Cina pada periode yang sama. 362 Film lokal
pertama yang berjudul ”Loetoeng Kasarung” itu dimainkan oleh artis-
artis pribumi. Produksi film perdana itu adalah awal dari tonggak
sejarah munculnya industri perfilman nasional, karena itu
bermunculanlah produser-produser film lokal di wilayah nusantara.

Produksi film Indonesia mengalami masa jaya pada tahun
1941 yang menghasilkan 41 judul film, serta melahirkan pemain-
pemain terkenal seperti Roekiah, Rd Mochtar dan Fifi Young. 363 Akan
tetapi surut kembali pada masa-masa awal penjajahan Jepang yang
disusul dengan penurunan secara drastis produksi film lokal secara
kuantitatif. Hal tersebut terjadi karena film-film yang boleh diputar
hanyalah film dokumenter yang menampilkan kegagahan Jepang dan
sekutunya. Intervensi politik dalam kebudayaan pun terasa kental

361 Dahulu ketika teknologi sinematografi ditemukan di Amerika dan Prancis
pada akhir abad 19, Indonesia masih merupakan koloni Belanda. dan belum mengenal
karya sinematografi. Baru pada tahun 1900, ada karya sinematografi yang
dipertontonkan di wilayah Hindia Belanda berupa film impor dan film dokumentasi dari
Eropa. Tahun 1905 baru muncul film cerita diimpor dari Amerika dan Cina, itupun masih
dalam wujud film bisu sampai dengan tahun 1923. Lebih lanjut lihat Misbach Yusa
Biran, Perkenalan Selintas Mengenai Perkembangan Film di Indonesia Asia University,
Tokyo, 1990, hal. 1. Industri karya sinematografi terus berkembang berkat penemuan
teknologi itu dan film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum, berlangsung di
Paris, Perancis pada tanggal 28 Desember 1895 yang sekaligus menandai lahirnya film
(bioskop) di dunia. Lebih lanjut lihat Viktor C. Mambor, “satu abad” “Gambar Idoep” di
Indonesia, diakses dari http://kunci.or.id/victorI.htm, pada tanggal 5 Februari 2013.

362 Victor C. Mambor, Loc.Cit.
363 Misbach Yusa Biran, Opcit, hal. 11.

437

ketika Jepang melarang diedarkannya film yang diproduksi oleh negara
pemenang perang seperti Amerika dan sekutu-sekutunya. 364
Pertumbuhan film Indonesia sejak tahun-tahun pertama industri

perfilman lokal dimulai yakni pada tahun 1926 hingga tahun 1932

dapat dilihat pada matrik di bawah ini.

Matrik 40
Film Produksi Tahun 1926-1932

Tahun Judul Film Sutradara Dukungan Dana
1926 Loetoeng Kasaroeng L. Heuveldorp
1927 Pemerintah Kota
1928 Bandung
1929
1930 Eulis Atjih L. Heuveldorp Pinjaman obligasi
Lily van Java Nelson Wong
1931 Resia Boroboedoer Nelson Wong Taipan Surabaya
Berloemoer Darah Tidak tercatat
1932 Njai Dasima (I) Lie Tek Swie Batavia Motion Picture
Rampok Preanger Nelson Wong
Si Tjomat Nelson Wong Tan Boe Soan
Njai Siti / Des Stem das Ph. Carli Tan’s Film
Bloed
Karnadi Anemer Bangkok G. Krugers Halimoen Film
Lari Ka Arab Wong Bersaudara
Melati van Agam I, II Lie Tek Swie Batavia Motion Picture
Njai Dasima II, III Lie Tek Swie
Si Ronda Lie Tek Swie Cosmos Film Corps
Atma De Vischer G. Krugers
(bersuara) Krugers Film Bedrijf
Bung Roos van The Teng Chun
Tjikembang Halimoen Film
Indonesia Melaise Wong Bersaudara Tan’s Film
Sam Pek Eng Tay The Teng Chun Tan’s Film
Si Pitoeng Wong Bersaudara Tan’s Film
Sinjo Tjo Main di Film M.H. Schiling
Karina’s Zelfopoffering Ph. Carli Krugers Film Bedrijf
Njai Dasima (bicara) Bachtiar Effendy
Raonah G. Krugers Cino Motion Pictures
Terpaksa Menika (bicara- G. Krugers
musik) Halimoen Film
Zuster Therisia M.H. Schilling Cino Motion Film
Halimoen Film
Halimoen Film
Cinowerk Carli
Tan’s Film
Krugers Film-Bedrijf
Krugers Film-Bedrijf

Halimoen Film

Sumber : HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Megindo,
Jakarta, 2008.

364 Victor C. Mambor, Loc.Cit.

438

Pada periode berikutnya yakni periode 1933 – 1936 industri perfilman
lokal juga memperlihatkan angka yang cukup menggembirakan seperti
yang terlihat pada matrik di bawah ini.

Matrik 41
Film Produksi 1933-1936

Tahun Judul Film Sutradara Pendukung
1933 The Teng Chun Cino Motion Pictures
Delapan Djago Pedang The Teng Chun Cino Motion Pictures
1934
1935 Delapan Wanita The Teng Chun Cino Motion Pictures
The Teng Chun Java Industrial Film
1936 Tjantik Albert Balink Java Pacific Film
The Teng Chun Java Industrial Film
Doea Siloeman Oeler Tidak tercatat Yo Kim Tjan

Ang Hai Djie The Teng Chun Jaya Industrial Film

Pareh The Teng Chun Jaya Industrial Film
The Teng Chun Jaya Industrial Film
Tie Pat Kai Kawin

Poei Sie Giok Pa Loei

Tay

Anak Siloeman Oeler

Poeti

Lima Siloeman Tikoes

Pembakaran Bio

Sumber : HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Megindo,
Jakarta, 2008.

Mulai tahun 1937 hingga masuknya penjajahan Jepang,
industri perfilman lokal semakin tumbuh dengan baik. Dalam kurun
waktu 5 tahun yakni selama periode 1937-1942 produksi film lokal
memperlihatkan pertumbuhan yang cukup menggembiran seperti
tergambar pada matrik berikut ini.

Matrik 42
Film Produksi Tahun 1937-1942

Tahun Judul Film Sutradara Pendukung
1937 Gadis yang Terdjoeal The Teng Chun
1938 Terang Boelan Albert Balink Java Industrial Film
Fatima Joshua Wong
1940 Oh lhoe The Teng Chun ANF
Tjiandjoer The Teng Chun Tan’s Film
Alang-alang The Teng Chun
Gagak hitam Joshua Wong Java Industrial Film
Impian di Bali Tidak tercatat
Resia si Pengkor The Teng Chun Java Industrial Film
Siti Akbari Joshua Wong
Bajar Dengan Djiwa R. Hu Java Industrial Film
Dasima The Teng Tjun Tan’s Film

Djawa Film

Java Industrial Film
Tan’s Film

Djawa Film
Java Industrial Film

439

1940 Harta Berdarah R. Hu Union Film Co
1941 Kartinah Andjar Asmara New Industrial Film
1941 Kedok Tertawa Jo An Djan Union Film Co
Kris Mataram Njoo Cheong Oriental Film Coy
Seng
Matjan Berbisik Tan Tjoei Hock Java Industrial Film
Melati van Agam Tan Tjoei Hock Java Industrial Film
Pah Wongso Pendekar Tidak tercatat Star Film
Boediman
Rentjong Atjech The Teng Chun Java Industrial Film
Roekihati Joshua Wong Tan’s Film
Sorga Ka Toejoe Joshua Wong Tan’s Film
Sorga Palsoe The Teng Tjoen Java Industrial Film
Zoebaedah Njoe Cheong Oriental Film Coy
Seng
Air Mata Iboe Njoe Cheong Majestic Film Coy
Seng
Ayah Berdosa Wu Tzun Star Film
Aladin Dengan Lampoe Wong Bersaudara Tan’s Film
Wasiat
Asmara Moerni Rd. Arifien Union Film Coy
Boedjoekan Iblis Jo An Dijien Populer Film Coy
Djantoeng Hati Njoo Cheong Majestic Film Coy
Seng
Elang Darat Inoe Perbatasari Jacatra Picture
Garoeda Mas Jo An Djan Populer Film Coy
Ikan Doejoeng Lie Tek Swie Standard Film
Koeda Sembrani Wong Bersaudara Tan’s Film
Lintah Darat Wu Tzu Star Film
Matula Tan Tjoei Hock Action Film
Mega Mendoeng Boen Kim Nam Union Film Coy
Moestika Dari Djenar Jo An Djan Populer Film
Noesa Panida Anjar Asmara New Java Industrial
Film
Pah Wongso Tersangka Wu Tzun Star Film
Panggilan Darah Suska Oriental Film
Pantjawarna Njoo Cheong Oriental Film
Seng
Poestaka Terpendam Tidak tercatat Tan’s Film
Poetri Rimba Inoe Perbatasari Jacatra Film Coy
Ratna Moetoe Manikam
(Djoela Djoeli Bintang Suska New Java Industrial
3) Film
Selendang Delima Henry L. Duarte Standard Film
Si Gomar Tan Tjoei Hock Action Film
Singa Laoet Tan Tjoei Hock Action Film
Siti Noerbaja Lie Tek Swie Standard Film
Soeara Berbisa Wu Tzun Star Film
Srigala Item Tan Tjoei Hock Action Film

440

1942 Tengkorak Hidoep Tan Tjoei Hock Action Film
Tjioengwanara Yo Eng Sek Star Film
Wanita Satria Rd. Arifien Union Film
Boenga Sembodja Moh. Said HJ Populer Film Coy
Poelo Inten Tidak tercatat Populer Film Coy
1001 Malam Wu Tzun Star Film

Sumber : HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Megindo,
Jakarta, 2008.

Sejak masuknya penjajahan Jepang pada tahun 1942 – 1944
produksi film lokal mulai memperlihatkan penurunannya secara
kuantitatif seperti tergambar pada matrik di bawah ini.

Matrik 43
Film Produksi Tahun 1942-1944

Tahun Judul Film Sutradara Pendukung
1943 Berjoang Nippon Eiga Sha
Di desa Raden Arifin Nippon Eiga Sha
1944
Di menara Rustam St Nippon Eiga Sha

Djatoeh berkait Panindih Nippon Eiga Sha
Gelombang Nippon Eiga Sha
Hoedjan Rustam St Nippon Eiga Sha
Keris Poesaka Nippon Eiga Sha
Keseberang Panindih Nippon Eiga Sha

B. Koesoema

Tidak tercatat

Inoe Perbatasari

Tidak tercatat

Raden Arifin

Sumber : HM Johan Tjasmadi, 100 Tahun Bioskop di Indonesia (1900-2000), Megindo,
Jakarta, 2008.

Pasca Kemerdekaan industri perfilman nasional mulai
berbenah kembali dan tumbuh sangat lamban. Usaha pembangunan
perfilman tersebut misalnya dengan kembali mengimpor film-film
asing, pendirian perusahaan Film Nasional Indonesia (Parfini) dan
Perseroan Artis Republik Indonesia, lahirnya Festival Film Indonesia
dan sebagainya, tetapi usaha-usaha itu belum cukup menggairahkan
produksi film lokal. 365

Baru pada tahun 1970, industri film menunjukkan gairahnya
kembali. Dalam kurun waktu 1970-1980 terjadi tingkat produksi
tertinggi 366 yakni pada tahun 1977, alasannya tak lain karena peraturan
pemerintah yang mengharuskan para importer film untuk memproduksi

365 Ibid.
366 Ibid.

441

film lokal. 367 Selanjutnya di era tahun 80-an produksi film nasional
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penonton dan
bioskop baik di kota-kota besar, daerah-daerah pinggiran kota.
Bioskop-bioskop tersebut telah mengakibatkan tersegmentasinya kelas
tontonan dan penontonnya. 368 Namun demikian, keadaan ini selama
beberapa tahun justru menjadikan perhatian bioskop-bioskop besar
kepada film-film Hollywood yang lebih menjanjikan profit, sedangkan
film lokal dengan tema semakin monoton, mulai tergeser peredarannya
di bioskop-bioskop kecil dan pinggiran, itupun masih harus bersaing
dengan film-film India yang sejak awal menjadi konsumsi pasar kelas
menengah ke bawah, apalagi di akhir era 80-an minat kondisi film
nasional semakin parah dengan hadirnya stasion televisi swasta yang
menyajikan film-film impor, sinema elektronik dan telenovela.369

Pada dekade 90-an kondisi film Indonesia belum juga bangkit
dari keterpurukannya. 370 Dalam masa ini harus diakui terdapat
beberapa film yang dianggap berkualitas dan sukses bersaing dengan
film-film impor seperti ”cinta dalam sepotong roti”, ”daun di atas
bantal” yang disutradarai oleh Garin Nugroho, namun demikian
kesuksesan tersebut tidak diikuti dengan lahirnya kreativitas film
berkualitas dari sineas lainnya sehingga industeri perfilman nasional
mengalami kemunduran. Keadaan tersebut diperberat lagi dengan
kekalahan film-film nasional dalam menghadapi persaingan dengan
film-film asing yang ditayangkan melalui televisi swasta dan televisi
kabel 371 Puncaknya semakin diperburuk oleh suatu keadaan, ketika
masyarakat yang mulai mengenal teknologi digital lebih senang
menikmati film-film impor melalui teknologi laser disc, VCD, namun
terdapat terdapat juga sisi baik dari hadirnya teknologi digital bagi
dunia perfilman Indonesia, yakni terbangunnya komunitas film-film
independen. 372

Mulai akhir dekade 90-an hingga saat ini, produser-produser
film nasional sudah mulai memperlihatkan kegairahannya untuk
kembali membangun industri perfilman nasional. Tidak sedikit karya
film dalam beberapa tahun terakhir bahkan mendapat minat di hati para
konsumen lokal. Namun demikian, hal tersebut oleh banyak kalangan
masih disangsikan sebagai kebangkitan perfilman nasional, mengingat

367 Ibid.
368 Ibid.
369 Ibid.
370 Misbach Yusa Bira, Op.Cit, hal. 60.
371 Victor C. Mambor, Loc.Cit.
372 Ibid.

442

dalam catatan sejarah film Indonesia dari waktu ke waktu terus timbul
dan tenggelam.

Sektor industri hiburan konvensional (mekanik sinematografi)
mulai digantikan peranannya oleh industri hiburan modern (elektronik
videografi). Disusul oleh krisis moneter yang mulai terasa pada tahun
1996 berlanjut menjadi krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1998
merupakan pukulan terakhir yang membuat perekonomian Indonesia
porak-poranda yang dampaknya secara langsung terasa benar oleh
dunia perfilman di Indonesia, dimana produksi film tersebut merosot.
Namun pada 10 tahun terakhir, produksi film tersebut telah
menunjukkan peningkatan sebagaimana terlihat pada matrik di bawah.

Matrik 44

Data Statistik Produksi Film Indonesia
2002 – 2012

No Tahun Jumlah Produksi Film

1. 2002 9

2. 2003 4

3. 2005-2006 23

4. 2005 -

5. 2006 -

6. 2007 53

7. 2008 75

8. 2009 -

9. 2010 100

10. 2011 102

11. 2012 90

Sumber : diolah dari berbagai sumber, OK. Saidin, 2013.

Matrik di atas menunjukkan bahawa dalam kurun 10 tahun
terakhir industri perfilman nasional tumbuh secara fluktuatif dalam arti
tidak konstan. Jika pada tahun 2002, industri film nasional hanya
mampu memproduksi 9 judul film, tapi kemudian pada tahun 2003,
turun menjadi 4 judul film, artinya terjadi penurunan lebih dari 55%.
Akan tetapi dalam priode 2 tahun berikutnya (priode 2004-2005),
industri film nasional mampu memproduksi 23 judul film atau
mengalami pertumbuhan rata-rata 105 %, pada tahun 2004, jika ditarik
angka rata-rata 12 judul film untuk tiap tahunnya selama kurun waktu
priode 2004-2005.

Pada tahun-tahun berikutnya, setelah tahun 2005 angka
produksi industri perfilman nasional mulai bergerak menunjukkan
peningkatan, jika pada priode 3 tahun terakhir yakni tahun 2003
sampai 2005 jumlah produksi industri film nasional tumbuh secara

443

fluktuatif, maka pada tahun-tahuan berikutnya sudah menunjukan
angka pertumbuhan yang konstan, yakni 53 judul film diproduksi
selama tahun 2007 dan mengalami pertumbuhan sebanyak rata-rata 50
% sepanjang tahun 2008 yakni sebanyak 75 judul film. Akan tetapi data
produksi film nasional pada tahun 2009 sangat mengejutkan .
Pertumbuhan industeri film nasional mengalami stagnasi yakni tidak
ada karya sinematografi dalam bentuk film bioskop yang diproduksi
pada tahun itu. Keadaan ini tidak berlangsung lama, sebab pada tahun-
tahun berikutnya yakni sepanjang tahun 2010 sampai 2012 produksi
film nasional kembali bergerak dan tumbuh secara konstan yakni 100
judul film diproduksi tahun tahun 2009 dan 102 judul film diproduksi
sepanjang tahun 2011, meskipun selama priode tahun 2012 kembali
mengalami penurunan yakni hanya memproduksi sebanyak 90 judul
film saja.

Angka-angka ini menunjukkan bahwa, industri perfilman
nasional, tidak mampu menjadi industri unggulan sebagai industri
kreatif jika dibandingkan dengan Amerika dan India. Amerika
(holywood) mampu memproduksi film rata-rata 600 -800 judul setiap
tahunnya, atau rata-rata 2 judul film untuk tiap hari, sedangkan India
rata-rata memproduksi di atas 1000 judul film pertahun atau lebih
kurang 3 judul film rata-rata dapat diselesaikan dalam tiap-tiap hari di
sepanjang tahun. Sehingga industri perfilman menjadi industri kreatif
yang diunggulkan di kedua negara itu. Seperti yang telah diuraikan
pada pembahasan sebelumnya, di pasar lokal Indonesia, film-film
Amerika dan India mendominasi pasar kemudian menyusul film Korea.

Beberapa faktor penghambat pertumbuhan industri perfilman
nasional, sebenarnya tidak terlepas dari iklim penegakan hukum dalam
bidang karya sinematografi, di samping semakin menyeruaknya
industri film yang ditayangkan di media elektronik (film sinetron),
sehingga hal ini menggusur industri film layar lebar (film bioskop). Di
tambah lagi kemajuan pada teknologi siaran yang menyebabkan film-
film yang selama ini diputar di bioskop sudah dapat masuk ke rumah-
rumah melalui jaringan TV kabel. Dampaknya kemudian banyak
studio-studio atau panggung-panggung bioskop yang dahulu dikenal
sebagai PHR (panggung hiburan rakyat) di pedesaan atau studio film di
kota-kota besar yang ditutup. PHR nyaris tak terdengar lagi dalam kosa
kata perfilman nasional. Jika di kota-kota besar, karya sinematografi
masuk ker rumah-rumah penduduk melalui TV kabel, maka di rumah-
rumah penduduk di pedesaan, karya sinematografi masuk ke rumah
melalui VCD dan DVD. Kondisi yang demikian didukung dengan

444

iklim penegakan hukum yang sangat tidak memihak pada kepentingan
pemegang hak cipta.

Kepingan VCD dan DVD illegal yang dijual dengan harga
rata-rata Rp. 3.000,- perkeping pada akhirnya membunuh kreativitas
pencipta yang pada gilirannya berpengaruh pada produksi film
nasional. Rata-rata biaya produksi untuk satu unit film layar lebar,
mencapai Rp. 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) dan
kadang-kadang investasi sebesar itu tidak dapat dikembalikan dalam
waktu yang singkat. Film terakhir yang diproduksi yang termasuk
dalam kategori Box Office adalah film Habibie & Ainun yang
diproduksi dengan biaya sebesar Rp. 13.000.000.000,- (tiga belas
milyar rupiah) dan penghasilan selama 1 bulan lebih masa
penayangannya, di bioskop-bioskop di Indonesia jumlah penonton film
Habibie & Ainun mencapai 4.200.000 penonton atau sebanyak Rp.
29.400.000.000. Akan tetapi penghasilan ini tidak dapat berlanjut
seperti investasi di sektor perkebunan atau investasi pada sektor
industri manufactor lainnya misalnya, yang dapat memberi keuntungan
di sepanjang tahun, sebab segera film tersebut di putar di bioskop
beberapa hari kemudian kepingan VCD dan DVD illegal beredar di
pasaran. Itulah faktor kendala terbesar dalam mendongkrak
pertumbuhan industri perfilman nasional.

Akibatnya, para produser setingkat Ram Punjabi misalnya,
harus memilih investasi di sektor film sinetron yang dibuat dalam cerita
bersambung, dan ini praktis mengurangi animo para pembajak, sebab
film itu dirancang dibuat secara bersambung dibuat dalam ratusan
bahkan ribuan episode berjilid-jilid. Sebut saja Sinetron dengan judul
Cinta Fitri yang sudah menghiasi layar kaca hampir 3 tahun, demikian
juga sinetron dengan judul “Tukang Bubur Naik Haji” sudah memasuki
tahun ke 2 dalam kancah hiburan layar kaca.

Pilihan untuk film-film bioskop menjadi tidak menarik lagi
secara bisnis. Hitungan-hitungan keuntungannya sulit diprediksi dan
jika pembajakan terus berlangsung, bisa jadi para produser akan
mengalami kerugian besar. Akibatnya dunia perfilman nasional tak
mengenal lagi sosok aktor seperti Slamet Rahardjo, Christina Hakim,
Sofan Sofian, Widya Wati, Benyamin S, Rano Karno, Dedi Mizwar
yang pada zamannya meraih “Citra” yakni penghargaan tertinggi di
dunia perfilman nasional. Sosok sutradara seperti Wim Umboh, Chairul
Umam dan Teguh Karya-pun sudah sulit untuk ditemukan pada masa-
masa sekarang ini.

Bahkan tidak jarang kemudian para aktor yang berjaya pada
zamannya, justru beralih profesi sebagai politisi, sebut saja, Rano

445

Karno, Dede Yusuf, Sopan Sofyan dan Nurul Arifin, terakhir Dedy
Mizwar. Belum lagi sejumlah artis film komedi seperti Miing, Komar
dan Eko Patrio, semua mereka terjun ramai-ramai ke dunia politik,
mumpung iklim politik Indonesia masih memerlukan tokoh-tokoh
populer yang dikenal masyarakat sebagai dampak arus demokrasi
liberal yang kerannya baru terbuka pada priode pemerintahan setelah
kejatuhan priode kepemimpinan Orde Baru di bawah Rezim Soeharto.

Di sisi lain para artis senior hidup dalam suasana
memprihatinkan, sebut saja penyakit yang mendera artis antara lain
Aminah Cendrakasih yang telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk
mengabdi kepada dunia perfilman nasional akan tetapi pilihannya itu
bukanlah pilihan yang menjanjikan. Keadaan ini jauh berbeda dengan
artis-artis Hollywood dan Bollywood, mereka tidak hanya terjamin hari
tuanya, tapi lebih dari sekedar itu para artis itu menempati peringkat
orang-orang yang berpenghasilan tinggi di negaranya. Sebut saja 10
aktor Hollywood terkaya di dunia (berdasarkan peringkat) yaitu :
Leonardo DiCaprio ($77 million), Johnny Depp ( $50 million), Adam
Sandler ($40 million), Will Smith ($36 million), Tom Hanks ($35
million), Ben Stiller ($34 million), Robert Downey, Jr. ($31 million),
Mark Wahlberg ($28 million), Tim Allen ($22 million) dan Tom
Cruise ($22 million). Artis-artis Bollywood dengan bayaran termahal
(berdasarkan peringkat), adalah Aamir Khan (75,6 miliar rupiah per
film), Shah Rukh Khan (37,8 – 47,3 miliar rupiah per film), Salman
Khan (43,5 – 51 miliar rupiah per film), Akhsay Kumar (34-41 miliar
rupiah per film) dan Rithik Roshan (28,3 – 37,8 miliar rupiah per film).
Untuk peringkat artis Indonesia, saat ini yang terkaya adalah
Anjasmara dengan total kekayaan sebesar Rp. 20.000.000.000,- (dua
puluh milyar rupiah) dan itu tidak melampaui dari honor satu judul film
yang dibintangi oleh Rithik Roshan. Urutan harta kekayaan 10 artis
Indonesia (berdasarkan peringkat) adalah sebagai berikut : Anjasmara
(20 milyar), Tukul Arwana (15 milyar), Bunga Citra Lestari( 12,7
milyar), Titi Kamal (10 milyar), Luna Maya (6 milyar), Tora Sudiro
(3,66 milyar), Dian Sastro Wardoyo (3,24 milyar), Nicholas Saputra
(2,5 milyar), Evan Sanders (2,25 milyar) dan Julia Estelle (1,65
milyar). 373

Dalam skala internasional selain India menempati peringkat
pertama dalam industri perfilman, ternyata Amerika menempati
peringkat kedua sebagaimana tertera pada grafik di bawah ini.

373 http://www.google.com/artis_terkaya_2013, diakses tanggal 2 Agustus

2013.

Grafik : 4 446
Produksi Film Dunia 1288

Tahun 2012

694

475
448

102 84 46 253
126

12 3 4 5 6 78 9

Catatan :
1. Republik Indonesia
2. Brazil
3. Australia
4. Amerika Serikat
5. China
6. Jepang
7. Rusia
8. Inggris
9. India

Sumber : PBB, Unesco, 2012

447

Indonesia hanya menempati peringkat ke-7 dari 9 negara
dalam produksi industri perfilman di dunia. Sinematografi menjadi
industri andalan di Amerika. Sebagai industri kreatif, industri perfilman
di Amerika menempati peringkat ke dua setelah industri persenjataan
pada saat ini. Dengan peringkat yang demikian, maka industri
perfilman di Amerika menjadi sebuah industri tempat bergantung
sebahagian rakyat Amerika karena industri perfilman Amerika tidak
hanya dalam bentuk movie box office akan tetapi juga dalam bentuk
home video, basic cable dan pay cable dan industri ini mengalami
pertumbuhan yang cukup baik walaupun pada 30 tahun sebelumnya
industri perfilman Amerika menempati urutan keempat sebagai
penyumbang pendapatan domestic bruto Amerika seperti terlihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel 8
Peringkat Industri Film Amerika Dalam Memberikan
Sumbangan Pendapatan Domestik Dibandingkan dengan Industri Yang

Lain

Sektor industri Pendapatan domestik bruto
(US)
Industri kedirgantaraan
134.000.000.000
Industri kimia 300.000.000.000
287.000.000.000
Elektronik dan
480.000.000
komputer

Industri film

Sumber : Janet Wasko, Hollywood in the Information Age,
University of Texas Press, UK, 1995, hal. 2

Akan tetapi, setelah 30 tahun justru industri perfilman
Amerika mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Data yang
dikemukakan oleh Janet Wasko, yang mengacu pada survei Standard &
Poor Industry pada kurun waktu 1986-1991 sumbangan industri
perfilman Amerika ke dalam pendapatan domestik negaranya
mengalami pertumbuhan 7,9% seperti dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.

448

Tabel 9
Domestic filmed entertainment revenues, 1986 and 1991

Revenues Annual
1986 1991 growth
rate (%)

Consumer spending 3,778 4,803 4.9
Moving box office 5,015 10,995 17.0
Home video 5,225 11,080 16.2
Basic cable 3,325 7.2
Pay cable 17,343 4,715 12.7
Consumer total 31,593

Advertising 8,342 9,435 2.5
Broadcast TV networks 13,085 14,675 2.3
TV stations 16.3
Barter 600 1,275 2.9
Subtotal 22,027 25,385 17.7
National cable 20.5
Local cable 676 1,530 18.3
Subtotal 179 455 3.6
Advertising total 855
22,882 1,985
27,370

Total spending 40,225 58,963 7.9

Source : Veronis, Suhler & Associates, Motion Picture Association of
Amerika, McCann-Erickson, Wilkofsky Gruen Asociates.
From : Standard & Poor’s Industry Surveys, 11 March
1993, p. L17

Dengan demikian, jika dalam kurun waktu 1980-an sampai
saat ini Amerika secara gencar memerangi pembajakan karya cipta
sinematografi asal negaranya, dapat lah dimaklumi, karena sektor
industri perfilman Amerika telah menjadi penyumbang dalam
pendapatan domestik negaranya. Tidaklah berlebihan jika kemudian
Amerika juga menerapkan sanksi-sanksi ekonomi terhadap negara-

449

negara ”pembangkang” yang tidak patuh dengan penegakan hukum hak
cipta khususnya hak kekayaan intelektual pada umumnya. 374

Penghargaan-penghargaan yang sifatnya permanen tak pernah
diberikan kepada mereka yang menghabiskan waktunya sebagai
pekerja seni dalam dunia sinematografi. Itu sangat berbeda jika kita
rujuk negara tetangga Malaysia misalnya, aktor setingkat P. Ramlie
diberi gelar tertinggi sebagai seniman kerajaan dengan gelar Tan Sri.
Bahkan saat ini rumah kediaman beliau dijadikan sebagai museum seni
yang merupakan bahagian dari museum kerajaan.

Agaknya Indonesia harus bersabar menunggu iklim
pemerintahan (birokrasi) dan iklim penegakan hukum yang memberi
penghargaan dan perlindungan yang lebih baik pada hasil-hasil karya
sinematografi. Jika pada masa pemerintahan Orde Lama, industri
perfilman tidak tumbuh lebih dikarenakan suasana politik dan ekonomi
bangsa yang belum menempatkan media hiburan sebagai kebutuhan,
maka pada masa pemerintahan Orde Baru industri perfilman Indonesia
tidak tumbuh dipengaruhi oleh faktor politik. Pada masa itu kreativitas
tidak tumbuh dengan baik, karena iklim politik yang menjadikan
produksi film nasional yang berkualitas sulit dihasilkan, karena adanya
Badan Sensor Film yang mengebiri kreativitas, jika jalan cerita film itu
menampilkan kritik terhadap rezim pemerintah yang berkuasa pada
waktu itu. Film yang diangkat dari peradaban budaya bangsa antara lain
yang bertemakan kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat
tidak mendapat tempat dalam industeri film nasional sehingga pada
tahun-tahun itu industri film nasional lebih banyak banyak
memproduksi film cerita yang menampilkan eksploitasi dan eksplorasi
seksual. Artis-artis yang berani beradegan “panas” sebut saja Yatty
Octavia, Nurul Arifin, Yurike dan Inneke Kusherawaty adalah nama-
nama artis yang diberi julukan Bom Sex. Hampir semua film-film yang
mereka bintangi merupakan film-film cerita yang berkualitas rendah
dan jauh dari pesan-pesan moral, etika apalagi diharapkan mampu
memberikan sumbangan bagi kemajuan peradaban bangsa. Meskipun
pada waktu itu lahir juga film-film yang berkualitas yang dibintangi
oleh Cristine Hakim seperti Tjut Nya’ Dien dan Yenny Rahman dengan
judul film Gadis Meraton”, namun intensitas produksinya tidak

374 Seperti pada paruh awal tahun 1980-an, penolakan eksport garmen
Indonesia karena banyaknya pelanggaran terhadap karya cipta warga negara Indonesia
yang dibajak di Indonesia yang berujung pada perubahan Undang-undang Hak Cipta
Indonesia tahun 1982 ke Undang-undang hak Cipta No.7 Tahun 1987. Lihat lebih lanjut
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

450

sebanding dengan film-film yang bertemakan eksplorasi seksual dan
sensual.

Saat ini iklim keterbukaan menjanjikan tumbuhnya kreativitas,
akan tetapi kendala berikutnya, adalah film-film cerita yang berkualitas
selalu menghabiskan biaya produksi yang besar, di sisi lain
perlindungan hukum terlalu lemah untuk melindungi hak-hak mereka.
Alhasil industri perfilman nasional bak kata pepatah “seperti kerakap
tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau”.

F. Gagasan Ideal Pilihan Politik Hukum ke Depan
Tulisan ini harus diakhiri dengan sebuah gagasan hukum

Indonesia masa depan. Sebuah hukum yang konsisten dalam
melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mewujudkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
menciptakan perdamaian dunia yang abadi. Bukan hukum yang melulu
melindungi kepentingan asing, hukum yang hanya mampu
menyejahterakan segelintir orang dan menciptakan semakin banyak
rakyat miskin atau hukum yang menimbulkan kesenjangan sosial,
hukum yang mewujudkan semakin hari semakin banyak rakyat
terjerumus dalam kepicikan, kebodohan, kehilangan kecerdasan
intellektual dan kehilangan kecerdasan nurani serta hukum yang
membuka eksploitasi sebesar-besarnya terhadap kekayaan alam yang
kemudian dinikmati oleh negara industeri maju yang berujung pada
kesenjangan ekonomi di berbagai belahan dunia yang memicu
peperangan.

Pilihan politik hukum transplantasi sebenarnya bukanlah
pilihan politik hukum yang salah. Hampir sebagian besar hukum
perdata (code civil) negara-negara penganut eropa continental hukum
yang terbentuk di negaranya hari ini adalah hasil transplantasi hukum
yang berasal dari Code Civil Prancis atau Napoleon Code. Code Civil
sendiri berasal dari hukum Romawi dan hukum Romawi itu bersumber
dari Corpus Juris Civil dari Kaisar Justian pada masa dinasti Byzantium
(Kekaisaran Romawi).

Dalam tulisannya berjudul The Evolution of Western Private
Law (2001), Watson mengatakan bahwa hukum perdata Eropa
berevolusi dari Corpus Juris Sipilis yang berpangkal pada konstitusi
atau Codex Justinian yang diprakarsai oleh Kaisar Justinian pada
tanggal 13 Februari 528. Watson 375 menulis :

451

Justinian became coemporer of the Byzantine Empire with his
uncle Justin in 527. Later that year, when his uncle died, he became sole
emporer. Probably even while Justin had been sole ruler, Justinian was
contemplating a legal codification of same kind. He issued a constitution
dated 13 February 528, establishing a commission to prepare a new
collection, a Codex, of imperial constitutions.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Justian untuk
membentuk sebuah komisi untuk menyelesaikan codex yang kemudian
diterbitkan pada tanggal 7 April 528. Codex yang disusun terakhir ini
belum begitu sempurna sehingga harus ditata kembali dalam bentuk
kampulan teks dan berhasil dirumuskan pada tanggal 15 Desember 530.
Kumpulan teks hukum itu dijadikan bahan pelajaran untuk mahasiswa
tahun-tahun pertama di Institut Gayus, yakni sebuah istitut yang
mengajarkan hukum atau ilmu perundang-undangan. Pada institute itu
juga sedang didalami codex yang bersumber dari hukum Kristiani pada
tahun 160. Akhinya tersusunlah codex dalam 50 buku pada tanggal 30
Desember 533, seperti yang diungkapkan oleh Watson. 376

The Code, which was published on 7 April 528, has not survived,
but it was replaced by a second revised code, which came into effect on 29
December 534. The revised code, which has survived and is one of the four
constituent elements of what came to be called the Corpus Juris Civilis, is
divided into twelve books, subdivided into titles in which the constitutions
appear chronologically. The constitutions range in date from Hadrian in the
early second century to Justinian himself. A considerable proportion of the
texts – 2, 019 as against 2,664 - come from the time after the empire became
Christian ; in fact, the bulk of the Christian rescripts is much greater.

On 15 December 530, Justinian ordered the compilation of a
collection of juristic texts, the Digest, and the work came into force on 30
December 533. This massive work, twice the size of the Code, is in fifty books,
virtually all of which are subdivided into titles.

Dengan politik tambal sulam, akhirnya pada tanggal 7 April
528, codex itu dipublikasikan dan pada tanggal 29 Desember 534
tersusunlah sebuah kodifikasi hukum perdata yang disebut kodifikasi
justianus yang dikenal juga sebagai kodifikasi hukum Romawi yang
dikemudian hari disebut sebagai Corpus Juris Civilis. Sampai saat ini
codex itu masih ada dan tersimpan di Yunani dalam bahasa Yunani dan
bahasa Latin.

Corpus Juris Civilis ini kemudian menjadi model atau contoh
pembentukan hukum perdata di sebahagian besar Benua Eropa,
terutama setelah Perancis di bawah penaklukan Napoleon Bonaparte

375 Lihat lebih lanjut Alan Watson, The Evolution of Western Private Law, The
Johns Hopkins University Press, Baltimore and London, 2001, hal 2.

376 Ibid.

452

menebar benih-benih hukum Romawi ini ke seluruh wilayah
taklukannya. Negara pertama yang ditaklukkan oleh Napoleon adalah
Belgia pada tahun 1797 dan diberlakukanlah Code Civil Perancis pada
tahun 1804. Belanda yang letaknya bersebelahan dengan Belgia pada
waktu itu bersikap netral, akan tetapi pada tahun 1806 Napoleon
memaksa Belanda untuk menerima Code Civil Perancis meskipun pada
waktu itu keberlakuannya tetap memperhitungkan praktek hukum
Belanda yang telah berlangsung sebelumnya. Pada tahun 1810
Napoleon menganeksasi Belanda dan diterapkanlah Code Civil
Perancis di wilayah itu. Akan tetapi setelah Napoleon jatuh, Belgia dan
Belanda bersatu dan di wilayah tersebut tetap berlaku Code Civil
Perancis. Tahun 1830 Belgia dan Belanda memisahkan diri, Belanda
membentuk sebuah komisi negara yang bertugas untuk menyusun
undang-undang dan tersusunlah Code Civil yang disebut Burgerlijk
Wetboek, dan mulai berlaku tahun 1838, seperti yang ditulis oleh
Watson. 377

The first steps in the reception of the French Code civil were the
direct result of Napoleon’s conquests. Belgium was incorporated into France
in 1797, and the Code civil automatically came into force in 1804, and
remained in force despite Napoleon’s fall. The Natherlands, despite its
neutrality, was forced more and more into the French sphere of influence, and
in 1806 Napoleon compelled them to accept a version of the Code civil that
was slightly altered to take account of some Dutch legal practices. In 1810
Napoleon annexed the Netherlands, and the original Code civil was
introduced. After Napoleon’s fall, Belgium and the Netherlands were united.
The Code civil was to remain in force until a fresh code could be issued, but
Belgium separated in 1830, and a new Dutch commissions was appointed,
whose proposed code, the Burgerlijk Wetboek, came into force in 1838.

Ada yang menarik dari transplantasi Code Civil Perancis ke
dalam KUH Perdata Belanda, yakni sekalipun Perancis tidak lagi
memiliki kekuasaan di wilayah Belanda karena kekalahan Napoleon,
akan tetapi Belanda tetap memberlakukan Code Civil Perancis itu.
Bahkan pada tahun 1947 Belanda merevisi Code Civilnya akan tetapi
tidak meninggalkan Original Basic (basis asli) dalam praktek
pembentukan undang-undangnya yang baru itu. Code Civil Perancis
tetap dijadikan sebagai model dan secara substantif materi yang diatur
dalam Kitab Undang-undangnya masih sebahagian besar bersumber
dari Code Civil Perancis tersebut hanya pada bahagian-bahagian
tertentu yang disempurnakan sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman pada waktu itu. Hingga akhirnya didalam Kitab Undang-undang

377 Ibid, hal. 223.

453

tersebut telah dimasukkan pula tentang hukum dagang yang juga
bersumber dari Code Commerce Perancis. 378

Di kemudian hari Burgerlijk Wetboek Belanda itu berdasarkan
asas konkordansi diberlakukan di wilayah Hindia Belanda melalui
Staatsblaad No. 23 Tahun 1847 tentang Burgerlijk Wetboek voor
Indonesie dan dinyatakan berlaku pada tahun 1848 bersamaan dengan
diberlakukannya Wetboek Van Koophandel pada tanggal 1 Mei 1848.

Sama seperti Belanda yang hukumnya ditransplantasi dari
hukum Perancis, dan hukum itu dapat diberlakukan dan diterima oleh
masyarakat Belanda, maka di Indonesia hukum perdata dan hukum
dagangnya di transplantasi dari hukum Belanda. Akan tetapi
perbedaannya hukum perdata Belanda tidak semuanya dapat diterima
oleh masyarakat Indonesia. Ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak
atas tanah misalnya harus dikeluarkan dari Buku ke II KUH Perdata
karena dipandang tidak sesuai dengan “cita rasa” masyarakat Indonesia,
untuk selanjutnya dalam rangka menyahuti kebutuhan hukum nasional
yang bercorak Indonesia, diterbitkanlah Undang-undang No. 5 Tahun
1960. Demikian juga ketentuan mengenai perkawinan harus
dikeluarkan dari Buku I KUH Perdata untuk selanjutnya Indonesia
membuat undang-undang tentang perkawinan yang bercorak Indonesia
yang dituangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Ketentuan-
ketentuan lain yang juga dikeluarkan dari wet yang bersumber dari
pemerintah Kolonial Belanda secara evolusi terus dilakukan. Hukum
tentang perusahaan misalnya, telah dikeluarkan dari Kitab Undang-
undang Hukum Dagang yang sesungguhnya bersumber dari Wetboek
van Koophandel yang berakar pada tradisi Code de Commerce Perancis
yang berpangkal pada Corpus Juris Civilis buatan Kaisar Justinian yang
disusun secara sistematis pada masa Kekaisaran Romawi.

Peristiwa-peristiwa sejarah di atas, telah cukup memberi
gambaran bahwa proses transplantasi hukum telah berjalan selama
berabad-abad di dunia dan itu adalah sebuah proses peradaban
(kebudayaan). Dalam konteks ini, hukum tidak lagi semata-mata dilihat
sebagai gejala normatif akan tetapi hukum adalah gejala sosial.
Perubahan sosial dalam masyarakat adalah sebuah keharusan yang
tidak dapat ditolak, sejalan dengan itu perubahan peradabanpun akan

378 Di Belanda, Kitab Undang-undang Hukum Dagang disusun pada tahun
1838 Code Civil dan Code de Commerce dinyatakan berlaku di negeri Belanda,
Burgerlijk Wetboek diadopsi dari Code Civil Perancis, Wetboek Van Koophandel
diadopsi dari Code de Commerce. Wetboek Van Koophandel ini kemudian diberlakukan
pada tanggal 1 Oktober 1838 dan berdasarkan asas konkordansi WvK ini diberlakukan di
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848.

454

berjalan secara simetris yang didalamnya mau tidak mau perubahan
hukum (legal change) akan ikut terbawa karena hukum meresap ke
setiap sel kehidupan sosial sebagaimana diungkapkan oleh Gary
Slapper & David Kelly ketika menulis sistem hukum Inggris. Slapper
dan Kelly mengungkapkan 379 :

Law permeates into every cell of social life. It governs everything
from the embryo to exhumation. It governs the air we breathe, the food and
drink that we consume, our travel, sexuality, family relationships, our
property, the world of sport, science, employment, business, education, health,
everything from neighbor disputes to war. Taken together, the set of
institutions, processes, law and personnel that provide the apparatus through
which law works, and the matrix of rules that control them, are known as the
legal system.

This system has evolved over a long time. Today it contains
elements that are very old, such as the coroner’s courts, which have an 800 -
year history, and elements that are very new, such as electronic law reports
and judges using laptops.

A good comprehension of the English legal system requires
knowledge and skill in a number of disciplines. The system itself is the result
of developments in law, economy, politics, sociological change and the
theories that feed all these bodies of knowledge. This book aims to assist
students of the English legal system in the achievement of a good
understanding of the law and its institutions and processes. We aim to set the
legal system in a social context, and to present a range of relevant critical
views.

379 Lebih lanjut lihat Gary Slapper & David Kelly, The English Legal
System, Routgedge, Belanda, 2011, hal. ix.

455

456

Di kemudian hari Code Civil dan code commers Prancis yang
berasal dari hukum Romawi (Justinian Code, Corpus Juris Civilis)
berlangsung di berbagai belahan dunia. Di Spanyol demikian tulis
Watson dibuat hukum dagang yang berbasis pada Napeleon’s Code
pada tahun 1829, kemudian dibuat versi modern pada tahun 1885.
Kemudian pada tahun 1889 dibuat hukum perdata yang disebut dengan
The Spanish Codigo Civil. Portugal juga mengadopsi hukum dagang
Prancis pada tahun 1833 kemudian diperbaharui pada tahun 1888
demikian dalam lapangan hukum perdata portugal mengadopsi hukum
Prancis dan dimuat dalam Portuguise Civil Code pada tahun 1867.
Khusus untuk negara-negara Afrika sub sahara, perjalanan transplantasi
hukum Perancis persis sama dengan Indonesia. Prancis menjajah
negara-negara itu yang sesungguhnya dalam negara itu sdudah ada
hukum kebiasaan dan hukum Islama. Akan tetapi setelah kolonial
Perancis berakhri, negara-negara itu kemudian memodifikasi
hukumnya dengan melihat model hukum Prancis. Itu terjadi di Algeria
(1834), Tunisia (1906) dan Maroko (1913) kemudian menyebar dan
membawa pengaruh ke negara Egipt dan Lebanon.
Di Amerika Utara tepatnya di negara bagian Louisiana ketika Prancis
menyerahkan wilayah itu kepada United State pada tahun 1803, juga
mengadopsi hukum perdata Prancis dan itu terjadi pada tahun 1808,
pada waktu hukum dagang tidak ikut di adopsi, baru kemudian itu
terjadi pada tahun 1825 dan dilanjutkan pada tahun 1870.380

Untuk kasus Indonesia, sebenarnya apa yang sudah
berlangsung pada masa Hindia Belanda tidak terlalu buruk untuk
diteruskan pada hari ini, asal saja transplantasi itu benar-benar
dilakukan setelah memasukkan unsur Ke-Indonesiaan, atau hukum
yang berkepribadian bangsa. Hukum dengan jati diri bangsa yakni
hukum yang bersumber dari landasan ideologi Pancasila.

Indonesia ke depan harus mampu melahirkan undang-undang
nasional yang konsisten dengan nilai-nilai kultural masyarakatnya,
nilai-nilai yang disebutkan sebagai nilai-nilai dengan paradigma
budaya dan sosial Indon esia yang asli (The original paradigmatic
values of Indonesian culture and society) yang terabstraksi dalam
Pancasila. Pancasila yang telah terima sebagai landasan ideologi bangsa
dan negara haruslah ditegakkan meminjam istilah orde baru secara
murni dan konsekuen. Muri bermakna original, tidak bercampur baur
antara yang haq (benar) dengan yang bathil (salah). Konsekuen berarti

380 Ibid, hal. 225-226.

457

bertanggung jawab dengan kesungguhan hati nurani, tidak munafik
(hipokrit) dan tidakk pula larut dalam hayalan (apologi).

Harus diakui bahwa, belajar dari pengalaman politik
transplantasi hukum asing ke dalam undang-undang hak cipta nasional,
banyak peristiwa yang dapat direkam. Selama kurun waktu satu abad
pemberlakuan undang-undang hak cipta di negeri ini mulai zaman
kolonial hingga era globalisasi, semangat untuk melindungi karya cipta
anak bangsa, semangat untuk menumbuhkan kreativitas penciptaan
yang memihak pada faham kebangsaan atau kepentingan bangsa,
kelihatannya kandas di tangan anak bangsa sendiri.

Penyebabnya sepanjang yang dapat dicerna antara lain
adalah :

1. Sejak masa kolonial belanda bangsa ini terjebak dalam arus
pikir kapitalis dan liberal, hukum adat yang semula telah
diperjuangkan oleh Van Vollenhoven dan Ter Haar dapat
dijadikan cikal bakal pembentukan hukum nasional, justeru
tak berhasil diperjuangkan atau diteruskan pada masa setelah
negeri ini merdeka. Kaum bumi putera justeru bangga bila
suatu waktu pada zaman Kolonial ia dapat menundukkan diri
pada hukum Eropa, atau oleh pemerintah kolonial
dipersamakan dengan golongan Eropa dengan politik hukum,
pernyataan berlaku, persamaan hak dan tunduk sukarela.
Kaum “inlander” yang baru merubah pola makannya dari
“getuk” ke “keju” begitu terkesimah dengan konsep kodifikasi
dan unifikasi hukum.

2. Pilihan politik hukum pragmatis yang secara terus menrus
dilakukan pasca kemerdekaan. Kebijakan legislasi diarahkan
pada gerakan kodifikasi parsial dan di pilih sebagai politik
hukum nasional baik itu bersumber pada undang-undang
peninggalan kolonial (termasuk hak cipta) maupun yang
bersumber dari kesadaran hukum masyarakat dan Perjanjian
Internasional sebagai konsekuensi dari keberadaan Indonesia
dalam pergaulan Internasional.

3. Lemahnya pengelolaan manajemen negara dalam sistem
kehidupan nasional yang berpangkal pada ego sektoral,
lemahnya kapital, lemahnya SDM dan berujung pada
lemahnya posisi tawar (bargaining position) di mata dunia
Internasional yang pada gilirannya hilang kemandirian negara
dan muncul hukum nasional yang berhubungan dengan
kepentingan dunia internasional. Pada tataran basic policy
Indonesia tak cukup kuat “menangkis” atau menolak untuk

458

masuknya klausule-kalusule yang melindungi kepentingan
asing dalam norma undang-undang Hak Cipta Nasionalnya.
Padahal di banyak negara, sebut saja India, Singapura dan
Cina mereka sangat selektif untuk memasukkan keinginan
asing tersebut, bila bertentangan dengan kepentingan nasional
negaranya, dalam kasus penyesuaian peraturan perundang-
undangan Hak Kekayaan Intelektual negaranya dengan TRIPs
Agreement.
4. Tak adanya bekal yang cukup kuat dan tangguh kalangan
anggota legislatif yang bekerja di sektor legislasi nasional,
kalangan pemerintah yang selama ini banyak mengajukan
usulan Rancangan Undang-undang tak juga dibekali dengan
hasil-hasil riset akademik, lebih dari itu rekomendasi kalangan
perguruan tinggi tak selalu disikapi dengan arif oleh
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam penyusunan
Undang-undang (sekalipun disebut sebagai naskah akademis
tapi muatannya lebih pada kepentingan politik praktis yang
sangat pragmatis) nasional dan tidak terpola secara sistemik.
Pekerjaan legislasi dilakukan secara tambal sulam, bongkar
dan rombak seperti modifikasi yang dikenal dalam dunia
otomotif. Meski dapat berjalan, tapi selalu terseok-seok ketika
menghadapi tikungan tajam, berbukit terjal dan berliku.
Ketika terjadi “mogok” bongkar dan direvisi kembali. Itu yang
terjadi selam kurun waktu 100 tahun berlakunya UU hak cipta,
atau telah terjadi 4 kali revisi sejaka masa kemerdekaan.
Cukuplah empat alasan ini untuk membuka wawasan dan
wacana diskursus di kalangan akademis, jika negeri yang besar ini
ingin dipertahankan dengan segenap simbol dan jati dirinya. Pilihan
politik hukum pragmatis yang dipicu oleh pandangan kapitalis dan
liberal memang telah melahirkan para politisi “kutu loncat” yang lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk memikirkan diri sendiri
ketimbang kepentingan negaranya. Idealisme para politisi tempat
masyarakat menggantungkan harapannya agar dapat melahirkan hukum
dan perundang-undangan sesuai hati nurani rakyat tak lagi dapat
tertampung.
Persoalan pembenahan secara internal, agaknya menjadi
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
melangkah dalam kancah pertarungan global. Bagaimanapun juga
negar-negar maju secara simultan akan akan tetap melancarakan politik
ekonomi dan politik keamannya di berbagai belahan dunia yang
mengarah pada penaklukan negara-negara berkmbang. Mulai lewat

459

bantuan keuangan berupa pinjaman, bantuan tenaga ahli, bantuan
militer sampai pada ekspansi militer jika negara yang bersangkutan
dianggap membangkang.

Berkali-kali Indonsesia ditempatkan sebagai negara pembajak
dengan daftar hitam menurut versi Amerika dan sejalan denganitu
berkali-kali pula Indonesia mendapat sanksi ekonomi. Misalnya ketika
Indonesia memiliki unggulan eksport seperti tekstil, ancaman Amerika
untuk mengembalikan atau menolak ekspor garrmen (produk tekstil)
Indonesia akan dijalankan, jika Indonesia tidak segera mengatasi
pembajakan karya cipta anak bangsa mereka di Indonesia. Kasus
pembajakan lagu-lagu Bob Geldof adalah contoh konkrit bagaimana
kemudian Amerika menekan Indonesia untuk merobah UU hak cipta
Nasionalnya ketika itu (perubahan UU No. 6 Tahun 1982 menjadi UU
No. 7 Tahun 1987). Globalisasi memang telah menjadi sarana negara-
negara maju untuk melancarkan “imperialism” model baru.
Penjajahan dalam bidang ekonomi, politik dan keamanan dengan
bermacam-macam isu yang dikemas, mulai dari isu HAM, isu
lingkungan sampai pada isu teroris. The new imperialism demikian kata
David Harvey.381 Penjajahan untuk merebut sumber-sumber ekonomi
yang sebahagian besar dimiliki oleh negara-negara berkembang terus
berlangsung. Untuk kasus Indonesia saja, penambang emas Freeport
dalam sebahagian kecil saja contoh bagaimana the new imperialism itu
menjalankan misinya. Tentu saja semua ini tak mengharuskan
kesalahan itu dikembalikan kepada pihak investor. Hukum investasi
Indonesia tentang PMA yang lebih awal harus dipertanyakan. Apakah
peluang eksploitasi yang membuka jalan imperialism gaya baru itu
memang telah terbuka lebar dalam ketentuan undang-undang PMA
Indonesia. Jika memang begitu, maka pertanyaannya harus dijawab
kembali oleh anak bangsa ini.

Awak yang tak pandai menari janganlah dikatakan lantai
terjungkat, sepatu sempit jangan kaki diraut, begitu kata pepatah
Melayu. Peradaban Barat memang tumbuh dari budaya eksploitasi.
Falsafah hidup masyarakat Jepang, “ambillah secukupnya dari alam”,
hanya dikenal oleh bangsa-bangsa di Asia. Kondisi geografis dengan
berbagai perubahan cuaca yang terkadang ekstrim membuat Barat
(Eropa) tumbuh dalam budaya “menabung” dan persiapan bekal
makanan untuk untuk ”hari esok”. Tradisi ini tak lazim dan tak dikenal
pada masyarakat asia pada umunya, karena makanan cukup tersedia

381 Lebih lanjut lihat David Harvey, Imperialisme Baru Genealogi dan Logika
Kapitalisme Kontemporer, Resist Book, Yogyakarta, 2010.

460

dari alam setiap waktu. Munculnya keinginan untuk menguasai wilayah
yang kaya akan sumber “hari esok” itu pada akhirnya menimbulkan
budaya eksploitasi yang diiringi dengan tindakan imperialism. Itu yang
terjadi selama bertahun-tahun yang memunculkan Perang Dunia I dan
disusul dengan Perang Dunia II. Inti dari peperangan itu adalah
kerakusan manusia yang dibungkus dengan nafsu kekuasaan yang
berujung pada penguasaan sumber daya alam sebagai cadangan “hari
esok” itu.

Kekalahan Napoleon menyentakkan kesadaran Barat dan ini
adalah awal kegagalan sistem negara Eropa, seperti yang dilkukiskan
oleh Marvin Perry 382 :

Kegagalan sistem negara Eropa sejajar dengan krisis budaya. Sejumlah
intelektual Eropa menyerang tradisi rasional Pencerahan dan merayakan hal
yang primitive, naluriah dan nonrasional. Orang muda semakin banyak yang
tertarik kepada filsafat tindakan yang menertawakan nilai-nilai berjois liberal
dan memandang perang sebagai pengalaman yang memurnikan dan
memuliakan. Perang-perang colonial, yang digambarkan dengan bersemangat
dalam pers populer, membakar imajinasi para pekerja pabrik yang bosan,
lamunan mahasiswa, memperkuat rasa tanggungjawab dan keberanian di
kalangan serdadu dan aristocrat. Perang-perang colonial kecil yang “megah”
ini membantu membentuk sikap yang membuat perang dapat diterima, jika
tidak patut dipuji. Kerinduan untuk lari dari kehidupan mereka sehari-hari dan
menganut nilai-nilai hereoik, banyak orang Eropa memandang konflik
kekerasan sebagai ungkapan tertinggi kehidupan individu dan nasional. “Jika
ada perang, bahkan yang tidak adil sekalipun”, tulis George Heym, seorang
penulis muda Jerman pada 1912. “Perdamaian ini begitu busuk”. Meskipun
teknologi sedang membuat peperangan lebih brutal dan berbahaya orang
Eropa tetap menganut ilusi romantik tentang pertempuran.

Peradaban Barat yang penuh dengan kisah peperangan itu
memberi warna juga pada pilihan produk industeri mereka seperti
industeri senjata perang dan bahkan industri perfilman merekapun
didominasi oleh cerita perang. Seiring dengan perang senjata yang
masih bergolak di sebagian wilayah Timur Tengah, perang ideologipun
terus berlangsung. Kemenangan Amerika dengan ideologi kapitalis

382 Wajah peradaban Barat memang diwarnai oleh peperangan. Sebenarnya
tidak hanya Barat, sejarah Asia dan Timur Tengahpun di penuhi dengan peperangan. Ada
yang berskala lokal dan ada yang berskala dunia. Sebut saja peperangan di masa
kekhalifahan, penaklukan Eropa dan Andalusia oleh Tariq bin Ziad dan Salahuddin Al
Ayyubi, dalam perang salib atau perang suci, perang Osmania melawan kerajaan
Bizantium, penaklukan Kaisar Jengis Khan, penaklukan Kaisar Cina, penaklukan
kerajaan Goa di India sampai dengan perang teluk yang berlangsung sampai hari ini. Di
Indonesia sendiri ada juga perang Majapahit dan Sriwijaya. Pendek kata sejarah
peradaban umat manusia dipenuhi dengan peperangan. Lebih lanjut lihat Marvin Perry,
Peradaban Barat Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global, Kreasi Wacana, Bantul,
2013, hal. 249.

461

liberalnya melawan ideologi komunis yang diikuti keruntuhan
dominasi Uni Soviet, membuat posisi Amerika semakin berada di atas
angin merajai pengendalian peradaban dunia. Kini perang itu telah
berubah menjadi perang ekonomi dengan ideologinya masing-masing.
GATT/WTO adalah sarana yang dipakai oleh Amerika dan sekutunya
untuk penaklukan Asia dan negara-negara dunia ketiga. Saingan
terbesar Amerika adalah Cina, India dan Turki yang diperkirakan akan
mendominasi perekonomian dunia.

Cina dan India telah memperlihatkan pembangkangannya
dalam menyikapi TRIPs Agreement sebagai hasil capaian Uruguay
Round yang melahirkan kesepatan GATT/WTO. Bagi Indonesia
pengalaman Cina dan India patut dijadikan bahan kajian untuk pilihan
politik hukum ke depan.Untuk mengalahkan dominasi kapitalis,
Indonesia harus kembali ke khittah 18 Agustus 1945,

Bahagian ini adalah uraian dan analisis terakhir dari disertasi
ini. Jika ditelusuri dari awal sampai pada bahagian terakhir naskah
penelitian ini. Salah satu kesan yang dapat ditangkap sebagai pilihan
politik hukum dalam pembangunan hukum nasional adalah masih
banyak pekerjaan dalam tataran basic policy dan anactment policy
yang belum selesai dan belum tuntas. Pembangunan hukum masih
dilakukan secara sporadis dan pragmatis menurut kebutuhannya dengan
cara tambal sulam. Hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri
dalam kebijakan politik pembangunan hukum nasional dan berdampak
pula terhadap praktek penegakan hukum. Kebijakan politik hukum
yang hendak merumuskan hukum seperti apa yang akan dibangun di
negeri ini, bagaimana bentuk hukumnya, seberapa jauh keluasan ruang
lingkup berlakunya, bagaimana sistem hukum nasional yang
dikehendaki kesemua itu dirumuskan dalam suatu naskah sebagai garis
politik hukum atau haluan politik hukum nasional. Di Indonesia hal
semacam itu sebelum pemerintahan reformasi dirumuskan dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara, namun setelah reformasi dirumuskan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
GBHN dan RPJPN yang kesemua ini adalah merupakan dokumen
politik yang memuat garis atau haluan politik hukum. Sedangkan
konsep strategis yang memberikan arahan bagi perumusan garis politik
hukum itu sendiri oleh Solly Lubis disebutnya sebagai wawasan politik.
Itulah sebabnya Solly Lubis dalam kesimpulannya menyatakan bahwa
konsep wawasan politik hukum nasional belum tuntas. Selama konsep
wawasan politik hukum nasional belum tuntas, menurut beliau
pembangunan hukum akan terus berlarut-larut dengan praktek

462

pembentukan hukum yang tambal sulam yang belum tentu terjamin
konsistensinya dengan cita-cita penegakan hukum dan keadilan.383

Harus ada keberanian untuk melihat kenyataan bahwa hukum
bukanlah suatu benda kaku, karena hukum dibuat sengaja oleh manusia
(purposefullns) sebagai political will penguasa untuk mengatur
kepentingan rakyat dalam negaranya. Karena itu hukum tidak hanya
dirumuskan sebagai norma-norma atau doktrin-doktrin akan tetapi juga
memuat asas-asas yang secara implisit tersembunyi di belakang atau
berada di balik norma hukum itu. Dengan konstruksi yang demikian
maka hukum menjadi lebih artifisial daripada natural, seperti pohon
yang tumbuh dari biji. Keberanian untuk melihat hukum sebagai
konstruksi sosial yang berpangkal pada pilihan politik hukum atau
politik kebudayaan dan karenanya hasil konstruksi itu boleh diubah
dengan konstruksi baru. Perubahan-perubahan itu telah lazim terjadi di
tengah-tengah masyarakat dan itulah sebabnya hukum berubah dari
masa ke masa dan dari abad ke abad untuk kepentingan dari generasi ke
generasi. Perubahan-perubahan semacam itu dirumuskan dalam
dokumen negara yang dicatat sebagai haluan politik hukum negara.
Hanya dengan demikian hukum tidak lagi dilihat sebagai benda kaku
dan sekumpulan huruf-huruf yang dituangkan di atas kertas.

Studi hukum melalui pendekatan sejarah akan dapat
membantu untuk sampai pada satu harapan bahwa di depan akan dapat
dirumuskan hukum-hukum yang lebih bernuansa humanis dan
berkeadila dan menampung berbagai harapan dan cita-cita Negara.
Studi sejarah hukum menjadi sangat penting manakala hukum masa
lalu dan yang sedang berlaku hari ini belum mampu memberikan rasa
keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan.

Perlunya kajian atau studi sejarah terhadap hukum paling tidak
memiliki alasan ilmiah :
Pertama : sangat sedikit studi-studi hukum yang dilakukan

melalui pendekatan sejarah.
Kedua : terjadi keterputusan sejarah yang disebabkan oleh

ketiadaan jembatan-jembatan penghubung antara

383 Untuk mewujudkan bangunan hukum nasional yang sesuai dengan dimensi
ketatanegaraan Indonesia pembangunan hukum itu harus dilakukan melalui pendekatan
sistem. Pembangunan hukum nasional harus diliha sebagai salah satu sub sistem yakni
dimensi politik (sub sistem politik) yang secara kontekstual dan konseptual bertalian erat
dengan dimensi-dimensi (sub sistem) geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan
kratopolitik. Solly Lubis menegaskan politik hukum tidak berdiri sendiri atau lepas dari
dimensi politik lainnya apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana
rekayasa sosial. Lebih lanjut lihat M. Solly Lubis, Serba-Serbi Politik & Hukum, PT.
Sofmedia, Jakarta, 2011, hal. 54.

463

Ketiga generasi sarjana hukum sebelum kemerdekaan, generasi
Keempat pasca kemerdekaan periode kepemimpinan Bung
Karno, generasi pasca kepemimpinan Bung Karno
Kelima (periode kepemimpinan Soeharto dengan rezim orde
barunya), generasi pasca kepemimpinan Soeharto yakni
generasi orde reformasi dan generasi orde pasca
reformasi sehingga studi-studi hukum yang dilakukan
kering dari pembelajaran sejarah dan ini membawa
dampak pada terbelenggunya peradaban hukum pada
situasi yang pragmatis.
: Tidak dimasukkannya dalam kurikulum pendidikan
hukum pada strata I tentang materi pengajaran sejarah
hukum, padahal data sejarah hukum cukup banyak
tersebar di berbagai arsip dan perpustakaan.
: Harus ada yang melanjutkan jembatan yang berisikan
narasi sejarah hukum untuk menyambungkan
keterputusan sejarah guna dapat memaknai budaya
hukum Indonesia yang tepat dalam rangka pilihan-
pilihan politik hukum guna pembangunan sistem
hukum nasional di masa-masa yang akan datang.
: Tanpa disadari telah terjadi perang kepentingan atau
interes antara mereka-mereka yang berfikir pragmatis,
praktis, jalan pintas, melawan kepentingan yang
memperlihatkan kesadaran hukum yang memberi
makna bahwa jatuh bangunnya peradaban mestilah
berakhir dengan kemenangan peradaban yang adil dan
merujuk pada pilihan ideologi yang telah diletakkan
pada saat negara ini didirikan yang mengacu pada the
original paradigmatic value of Indonesian culture and
society jika kita tidak ingin sejarah hukum kita terputus
sebab pembiasan yang dalam tradisi keilmuan dinamai
proses internalisasi mengenai yang baik, yang benar,
yang indah, yang adil, yang beradab, serta suci
bersumber dari kehidupan para tokoh-tokoh yang dapat
dijadikan teladan. Beribu-ribu ajaran kognisi
pengetahuan dan hafalan tentang teks-teks normatif
akan percuma saja apabila sosok yang berjasa dalam
meletakkan dasar-dasar pembangunan hukum dalam
sejarah kita, yaitu para pendiri bangsa, guru-guru
bangsa, mereka-mereka yang secara terus
mempertahankan hukum adat dan berbagai

464

pengorbanan demi pengorbanan yang mereka lakukan
untuk meletakkan dasar pembangunan hukum bangsa
ini. Dan tokoh-tokoh semacam itu saat ini sudah sulit
untuk kita temukan. Jika disertasi ini memilih teori
yang dikembangkan oleh para akademisi yang dalam
karier dan kehidupannya telah menghabiskan masa
untuk pembangunan hukum dan pembangunan ilmu
hukum seperti, Mahadi dan M. Solly Lubis, serta
Hikmahato Juwana ini bukanlah semata-mata untuk
memperkenalkan pemikiran-pemikiran mereka - yang
satunya hendak membangun hukum Indonesia modern,
yang satunya lagi hendak meletakkan dasar
pembangunan hukum Indonesia melalui hukum adat
sebagai dasar dan terakhir kesemuanya hendaklah
diletakkan dalam satu kerangka sistem yang disebut
sebagai sistem hukum nasional - akan tetapi lebih jauh
menggiring generasi yang akan datang untuk dapat
memahami sejarah perjalanan hukum Indonesia, dan di
negeri ini ternyata banyak pandangan dan pemikiran
yang lahir dari anak bangsa sendiri, yang faham tentang
kebutuhan hukum dii negerinya,sebab membangun
hukum bukanlah semata-mata melakukan sesuatu akan
tetapi mempelajari sesuatu.
Dengan lima alasan tersebut di atas, anak bangsa di negeri ini
harus punya kemauan dan dengan rendah hati mengakui keterputusan
sejarah peradaban hukum - karena kita harus menyadari pula bahwa
ingatan kita sangat pendek - dan ketidak pedulian kita sendiri terhadap
pilihan-pilihan politik dalam pembangunan hukum nasional. Kini, mari
kita rajut kembali benang-benang sejarah yang putus dan mempelajari
kembali “situs-situs” yang saat ini memerlukan guru-guru yang dapat
memikirkan dan menterjemahkan serta menafsirkan situs-situs itu. Saat
ini diperlukan sosok intelektual hukum yang memahami sejarah karena
kita tidak ingin terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Sartono
Kartodirdjo, “jangan menjadi cendekiawan model pohon pisang yang
sekali berbuah lalu selesai”.384 Teruslah merajut benang-benang sejarah
yang terputus agar untaian-untaian sejarah hukum Indonesia dapat
dirajut dalam suatu “kain” yang bermakna lembaran sistem hukum
nasional Indonesia.

384 Lebih lanjut lihat Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam
Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

465

Salah satu kebijakan yang perlu ditempuh dalam pembangunan
hukum adalah terciptanya suatu tatanan hukum yang dapat
menjembatani kepentingan masyarakat Indonesia yang saling
berbenturan sebagai akibat dari tawaran kultur yang plural. Perbedaan
pada kultur dan berpengaruh pada budaya hukum ini berawal dari
perjalanan sejarah yang cukup panjang yang memperlihatkan adanya
pengaruh sistem hukum asing (yang sejak awal juga sudah ada
perbedaan yakni antara sistem hukum Eropa Kontinental di satu pihak
dan sistem hukum Anglo Saxon di pihak lain) terhadap hukum yang
hidup dalam masyarakat (lokal) Indonesia (hukum adat). 385

Paling tidak dengan kebijakan itu perbedaan-perbedaan pada
sistem hukum itu dapat sedikit demi sedikit (secara berangsur-angsur)
dihapuskan untuk kemudian menuju pada satu tatanan hukum yang
dapat berterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia namun tetap
pula mampu mengantisipasi gelombang globalisasi yang ditawarkan
oleh masyarakat internasional. Dengan bahasa yang sederhana harapan
dari pilihan terhadap kebijakan yang semacam ini adalah untuk
mengukuhkan kembali hukum rakyat sebagai hukum yang hidup agar
kepentingan masyarakat tetap terpelihara dengan baik, namun tetap
eksis dan mampu menangkap setiap perubahan yang ditawarkan oleh
peradaban modern.

Apa sebenarnya yang ditawarkan oleh sistem hukum Eropa
kontinental yang dalam pilihan terhadap kebijakan pembangunan
hukumnya didasarkan pada konsepsi hukum yang terkodifikasi dengan
rapi, tidaklah terlalu buruk untuk terus dikembangkan dalam strategi
pembangunan hukum di Indonesia, yang dalam banyak hal lebih
memberikan kepastian hukum. Namun begitu, apa yang sesungguhnya
yang dikembangkan oleh negara-negara penganut sistem hukum Anglo
Saxon (Amerika dan Inggris meskipun keduanya ada juga perbedaan),
yang menggantungkan pola pilihan dalam penentuan apa yang menjadi
hukum melalui putusan hakim, adalah juga sangat sesuai bagi
Indonesia. Oleh karena konsepsi hukum Adat Indonesia yang sejak
lama didasarkan pada putusan fungsionaris hukum adat (teori
Beslissingen Leer yang dikembangkan oleh Ter Haar) 386 adalah sangat

385 Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional, Rajawali Press, Jakarta, 1994.

386 Lebih lanjut lihat Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
(Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, dan Jakob
Sumarjo, Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia Pendataan Kesadaran
Keindonesiaan di Tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, AK Group,
Yogyakarta, 2003.


Click to View FlipBook Version