The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Masuknya administrasi negara dalam kehidupan privat warga bertujuan untuk menjalankan fungsi bestuurzorg. Hal ini tentu membutuhkan satu instrumen yang memberikan dasar legalitas bagi negara untuk melaksanakannya. Instrumen ini berfungsi sebagai dasał pembenaran atas aktivitas negara yang berusaha mengatur hal-hal yang sifatnya privat tersebut. Hal tersebut tentu berbentuk suatu sistem hukum administrasi negara (HAN). Hukum administrasi negara merupakan suatu aturan hukum yang mengatur alat-alat pemerintahan agar melakukan apa yang seharusnya menjadi tugas mereka, dan juga aturan- aturan hukum tersebut mengatur hubungan hukum antara alat-alat pemerintah dengan masyarakat. Administrasi negara tidak dapat dibatasi secara ketat dengan suatu Undang-Undang karena fungsi administrasi negara adalah mensejahterahkan masyarakatnya. Tidak hanya itu, administrasi negara juga memiliki fungsi lain diantaranya
sbb:
1.Menjamin Keadilan Hukum:
2. Sebagai pedoman dan Ukuran:
3. Menjamin Kepastian Hukum

Fungsi ataupun peranan Hukum Administrasi Negara dalam melakukan kontrol terhadap jalannya setiap badan-badan negara maupun pejabat-pejabat pemerintahan yang menjalankan setiap tugasnya maupun melakukan pelanggaran baik itu pencurian ataupun penyalahgunaan wewenang yang mana dapat merugikan banyak pihak baik itu dalam pemerintahan maupun individu yang mewakili negara dan perlindungan hukum dalam HAN Hukum Administrasi Negara merupakan suatu aturan dalam pemerintah yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan negara dan kemakmuran yang adil bagi masyarakat Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan itu, maka pemerintah harus menjalankan administrasi yang baik dengan melakukan berbagai macom cara yang benar, baik itu dalam rangka pengawasan, pengusutan, dan sanksi administratif Penegakan hukum sangat diperlukan agar semua aktivitas administrasi dapat dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Disamping itu pula peran HAN dalam pemerintahan yang ada saat ini sangatlah mempengaruhi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan suatu negara. Di lain sisi fungsi hukum administrasi negara dalam menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa Agenda tersebut merupakan

upaya untuk mewujudkan tota pemerintahan yang baik, antara lain, keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiens menjunjung tinggi supremau hukum dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Untuk itu diperlukan

Langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan, kualitas sumber daya manusia aparatur, dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-01-26 10:43:46

Hukum Administrasi Negara

Masuknya administrasi negara dalam kehidupan privat warga bertujuan untuk menjalankan fungsi bestuurzorg. Hal ini tentu membutuhkan satu instrumen yang memberikan dasar legalitas bagi negara untuk melaksanakannya. Instrumen ini berfungsi sebagai dasał pembenaran atas aktivitas negara yang berusaha mengatur hal-hal yang sifatnya privat tersebut. Hal tersebut tentu berbentuk suatu sistem hukum administrasi negara (HAN). Hukum administrasi negara merupakan suatu aturan hukum yang mengatur alat-alat pemerintahan agar melakukan apa yang seharusnya menjadi tugas mereka, dan juga aturan- aturan hukum tersebut mengatur hubungan hukum antara alat-alat pemerintah dengan masyarakat. Administrasi negara tidak dapat dibatasi secara ketat dengan suatu Undang-Undang karena fungsi administrasi negara adalah mensejahterahkan masyarakatnya. Tidak hanya itu, administrasi negara juga memiliki fungsi lain diantaranya
sbb:
1.Menjamin Keadilan Hukum:
2. Sebagai pedoman dan Ukuran:
3. Menjamin Kepastian Hukum

Fungsi ataupun peranan Hukum Administrasi Negara dalam melakukan kontrol terhadap jalannya setiap badan-badan negara maupun pejabat-pejabat pemerintahan yang menjalankan setiap tugasnya maupun melakukan pelanggaran baik itu pencurian ataupun penyalahgunaan wewenang yang mana dapat merugikan banyak pihak baik itu dalam pemerintahan maupun individu yang mewakili negara dan perlindungan hukum dalam HAN Hukum Administrasi Negara merupakan suatu aturan dalam pemerintah yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan negara dan kemakmuran yang adil bagi masyarakat Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan itu, maka pemerintah harus menjalankan administrasi yang baik dengan melakukan berbagai macom cara yang benar, baik itu dalam rangka pengawasan, pengusutan, dan sanksi administratif Penegakan hukum sangat diperlukan agar semua aktivitas administrasi dapat dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Disamping itu pula peran HAN dalam pemerintahan yang ada saat ini sangatlah mempengaruhi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan suatu negara. Di lain sisi fungsi hukum administrasi negara dalam menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa Agenda tersebut merupakan

upaya untuk mewujudkan tota pemerintahan yang baik, antara lain, keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiens menjunjung tinggi supremau hukum dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Untuk itu diperlukan

Langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan, kualitas sumber daya manusia aparatur, dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

391 sarana hukum menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh karena itu lahirnya suatu senketa Tata Usaha Negara bukanlah suatu hal yang luar biasa, melainkan suatu hal yang harus diselesaikan dan dicari jalan penyelesaiannya melalui sarana yang disediakan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 jo UndangUndang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang timbul sebagai akibat diterbitkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking) dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu antara lain : 1. Melalui upaya administrasi (Vide Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3); 2. Melalui gugatan (Vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53). Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai upaya administrasi, terlebih dahulu akan dibahas apa yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha Negara dan hal-hal yang berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sengketa TUN adalah sengketa yang timbul antara orang atau Badan Hukum perdata baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Keputusan Tata Usaha Negara menurut ketentuan pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang


392 dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari rumusan pasal tersebut, ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan dasar lahirnya sengketa Tata Usaha Negara mempunyai cirri-ciri sebagai berikut : 1. Penetapan tertulis; 2. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara; 3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara; 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5. Bersifat konkrit, individual dan final; 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Ke-6 (enam) elemen tersebut bersifat komulatif, artinya untuk dapat disebut Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara harus memenuhi keseluruhan elemen tersebut. Jenis-jenis Keputusan Tata Usaha Negara/ KTUN (Beschikking) menurut doktrin (pendapat/ teori para pakar administrasi Negara) terdapat berbagai rumusan, antara lain menurut P. De Haan (Belanda), dalam bukunya : ‚Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat‛, (Philipus M. Hadjon; 2002) dikelompokkan sebagai berikut : 1. KTUN Perorangan dan Kebendaan (Persoonlijk en Zakelijk); KTUN perorangan adalah keputusan yang diterbitkan kepada seseorang berdasarkan kualitas pribadi tertentu, dimana hak yang timbul tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : SK PNS, SIM dan sebagainya. KTUN kebendaan adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas kebendaan atau status suatu benda


393 sebagai obyek hak, dimana hak yang timbul dapat dialihkan kepada orang lain. Contoh : Sertipikat Hak atas Tanah, BPKP/STNK kendaraan bermotor, dsb. 2. KTUN Deklaratif dan Konstitutif (Rechtsvastellend en Rechtsscheppend); KTUN deklaratif adalah keputusan yang sifatnya menyatakan atau menegaskan adanya hubungan hukum yang secara riil sudah ada. Contoh : Akta Kelahiran, Akta Kematian, dsb. KTUN konstitutif adalah keputusan yang menciptakan hubungan hukum baru yang sebelumnya tidak ada, atau sebaliknya memutuskan hubungan hukum yang ada. Contoh : Akta Perkawinan, Akta Perceraian, dsb 3. KTUN Bebas dan Terikat (Vrij en Gebonden); KTUN bebas adalah keputusan yang didasarkan atas kebebasan bertindak (Freis Ermessen/ Discretionary Power) dan memberikan kebebasan bagi pelaksananya untuk melakukan penafsiran atau kebijaksanaan. Contoh : SK Pemberhentian PNS yang didasarkan hukuman disiplin yang telah diatur secara jelas dan rinci di dalam perundang-undangan. 4. KTUN yang memberi beban dan yang menguntungkan (Belastend en Begunstigend); KTUN yang member beban adalah keputusan yang memberikan kewajiban. Contoh : SK tentang Pajak, Restribusi, dll KTUN yang menguntungkan adalah keputusan yang memberikan keuntungan bagi pihak yang dituju. Contoh : SK pemutihan pembayaran pajak yang telah kadaluwarsa. 5. KTUN Seketika dan Permanen (Einmaligh en Voortdurend).


394 KTUN seketika adalah keputusan yang masa berlakunya hanya sekali pakai. Contoh : Surat ijin pertunjkan hiburan, music, olahraga, dll ¾ KTUN pemanen adalah keputusan yang masa berlakunya untuk selama-lamanya, kecuali ada perubahan atau peraturan baru. Contoh : Sertipikat Hak Miik Sedangkan menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara: 1. Keputusan Tata Usaha Negara Positif (Pasal 1 angka (3)); Yaitu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. 2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif (Pasal 3 angka (1)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnyadikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara menurut kewajibannya tetapi ternyata tidak diterbitkan, sehingga menimbulkan kerugian bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata. Contoh : Dalam kasus kepegawaian, seorang atasan berkewajiban membuat DP3 atau mengusulkan kenaikan pangkat bawahannya, tetapi atasannya tidak melakukan. 1) Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif (Pasal 3 ayat (2)) Yaitu keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan seseorang atau Badan Hukum Perdata, tetapi tidak ditanggapi atau tidak diterbitkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Sehingga dianggap bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara telah mengeluarkan keputusan penolakan (negatif).


395 Contoh : Pemohon IMB, KTP, Sertipikat, dsb apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tidak dijawab/ diterbitkan, maka dianggap jelas-jelas menerbitkan keputusan Tata Usaha Negara yang menolak. Dalam praktek administrasi pemerintahan terdapat beberapa KTUN yang berpotensi menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu antara lain : 1. Keputusan tentang perijinan; Secara yuridis suatu ijin adalah merupakan persetujuan yang diberikan pemerintah (Badan/Pejabat TUN) kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk melakukan aktivitas tertentu. Menurut Philipus M. Hadjon tujuan diadakannya perijinan pada pokoknya adalah untuk : a. Mengarahkan atau mengendalikan aktivitas tertentu (missal : ijin prinsip, IMB, ijin pertambangan, ijin pengusahaan hutan, ijin berburu, dsb); b. Mencegah bahaya atau gangguan (missal : gangguan/ Hinder Ordanatie, amdal, dsb); c. Melindungi obyek tertentu (missal : ijin masuk obyek wisata, cagar budaya, dsb); d. Distribusi benda atau barang langka (missal : ijin trayek, ijin perdagangan satwa langka, dsb); e. Seleksi orang atau aktivitas tertentu (missal : SIM, ijin memiliki senjata api, ijin penelitian, dsb). 2. Keputusan tentang status hukum, hak dan kewajiban; a. Status hukum perorangan atau badan hukum, misalnya akta kelahiran, akta kematian, akta pendirian/pembubaran badan hukum, KTP, Ijasah, sertipikat (Tanda Lulus Ujian), dll. b. Hak/ kewajiban perorangan atau badan hukum terhadap suatu barang atau jasa, misalnya pemberian/pencabutan hak atas tanah, hak untuk melakukan pekerjaan, dsb.


396 3. Keputusan tentang kepegawaian. a. Keputusan tentang mutasi PNS, dimana pegawai yang dimutasi keberatan karena merasa dirugikan, menghambat karier atau karena mutasi itu dianggap sebagai hukuman disiplin terselubung; b. Keputusan tentang hukuman disiplin PNS, dimana pegawai yang bersangkutan menganggap hukuman itu tidak sesuai dengan prosedur atau tidak adil; c. Keputusan tentang pemberhentian PNS, misalnya dalam rangka perampingan pegawai atau likuidasi suatu instansi, dsb. Menurut ketentuan pasal 35 Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian: a. Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara; b. Sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin PNS diselesaikan melalui upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEG). Menurut Penjelasan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, upaya administratif adalah merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan dilingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh badan peradilan yang bebas), yang terdiri dari : 1. Prosedur keberatan; 2. Prosedur banding administratif; Berdasarkan rumusan penjelasan pasal 48 tersebut maka upaya administratif merupakan sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat (orang perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara


397 (Beschikking) yang merugikannya melalui Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilingkungan pemerintah itu sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan. Dalam pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan sebagai berikut : 1. Dalam hal suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundangundangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia; 2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. 3. BENTUK UPAYA ADMINISTRASI DAN CARA PENGUJIANNYA Berdasarkan penjelasan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bentuk upaya administrasi ada 2 (dua) yaitu : a. Banding administrasi; b. Keberatan Ada : 1) Banding administrasi; Apabila penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersbut dilakukan oleh instasi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keptusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Contoh : • Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) berdasarkan No. 30 Tahun 1980 tentang Disiplin PNS;


398 • Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) berdasar Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta; • Keputusan Gubernur, berdasar pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Gangguan, Staasblad 1926 No. 226; • Keputusan Panitia Tenaga Kerja Migas di lingkungan Departemen Pertambangan bagi perusahaan minyak dan gas bumi (PERTAMINA); • Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten; • Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek; • Majelis Pertimbangan Pajak sebagai banding administrasi perpajakan; • Dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan milik Negara dari PERJAN dan PERUM menjadi PERSERO (BUMN) tersebut membuat ketentuan sendiri tentang operasional, kepegawaian, dll. 2) Keberatan ; Apabila penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. C ontoh : • Pasal 27 Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang ketentuan-Ketentuan Umum Perpajakan; • Pemberian hukuman disiplin sedang dan berat (selain pemberhentian dengan hormat dan tidak dengan hormat bagi (PNS).


399 Pengujian (Toetsing) dalam upaya administrasi berbeda dengan pengujian di Peradilan Tata Usaha Negara. Di Peradilan Tata Usaha Negara pengujiannya hanya dari segi penerapan hukum sebagaimana ditentukan pasal 53 ayat (2) huruf (a) dan (b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu apakah keputusan Tata Usaha Negara tersebut diterbitkan dengan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintah Yang Baik (AAUPB), sedangkan pada prosedur upaya administrasi, pengujiannya dilakukan baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus, sehingga pengujiannya dilakukan secara lengkap. Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti halnya di lembaga peradilan, tapi denganpendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat terjadi pada tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya ditempuh. Tidak semua peraturan dasar penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara mengatur mengenai upaya administrasi, oleh karena itu adanya ketentuan pasal 48 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan aspek prosedural yang sangat penting yang berkaitan dengan kompetensi atau wewenang untuk mengadii sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 2 tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Dalam


400 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan : Yang dimaksud Upaya Adiministratif adalah : 1. Pengajuan surat keberatan (Bezwaarscriff Beroep) yang diajukan kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan (Penetapan/ Beschikking) semula; b. Pengajuan banding administratif (administratif Beroep) yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. 2. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan Tata Usaha Negara; 3. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya adiministratif berupa surat keberatan dan atau mewajibkan surat banding administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang. Ketentuan tersebut sesuai pula dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 48 ayat (2) yang menyatakan ‚pengadilan baru berwenang memeriksa, menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan ‚ jo ketentuan pasal 51 ayat (3) ditentukan bahwa dalam hal suatu sengketa dimungkinkan adanya administratif maka gugatan langsung ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara apabila keputusannya merupakan keputusan banding administratif. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dibuat bagan ‚Proses Penyelesaian Upaya Administrasi‛ sebagai berikut :


401 Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Apakah suatu sengketa Tata Usaha Negara harus diselesaikan melalui upaya administrasi atau tidak, adalah tergantung pada peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut 2. Istilah upaya administratif hanya ada dalam UndangUndang No. 5 tahun 1986 jo Undang-Undang No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan peraturan perundang-undangan memakai istilan yang bermacam-macam; 3. Untuk membedakan apakah sengketa harus diselesaikan melalui banding administratif atau keberatan dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelasaikannya; a. Apabila diselesaikan oleh instansi atasan Pejabat yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut atau instansi yang lainnya dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, maka penyelesaiannya tersebut disebut dengan ‚BANDING ADMINISTRATIF‛; a. Apabila diselesaikan instansi atau Pejabat yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara tersebut, penyelesaian tersebut disebut dengan ‚KEBERATAN‛. 4. Cara pengujian penyelesaian melalui upaya administratif adalah dilakukan secara lengkap dalam arti dari segi hukum dan kebijaksanaan, sedangkan pengujian di Pengadilan hanya dari segi hukumnya saja; 5. Dalam hal masih tidak puas terhadap penyelesaian melalui upaya administratif, maka dapat ditempuh upaya antara lain : a. Setelah melalui upaya administratif maka dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama;


402 b. Setelah melalui upaya keberatan, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.


403 BAB IX PENEGAKAN HUKUM


404 Jimly Asshiddiqie mengemukakan pengertian penegakan hukum sebagai berikut: ‚Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.‛ Penegakan hukum tidak hanya mencakup proses di pengadilan, namun secara lebih luas, dilaksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai sanksi, misalnya sanksi administrasi, sanksi perdata, maupun sanksi pidana. Penegakan hukum bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, namun merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat.Masyarakat harus aktif berperan dalam melakukan penegakan hukum, dan dengan demikian, masyarakat harus memahami hak dan kewajiban. Sementara penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep (keadilan, kebenaran dan kemanfaatan) yang abstrak menjadi kenyataan. Oleh karena hakikat penegakan hukum itu adalah mewujudkan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, maka penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari pada penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional. Akan tetapi menjadi tugas setiap orang.Dalam kaitannya dengan hukum publik, J.B. ten Merge mengatakan bahwa pihak pemerintahlah yang paling bertanggung jawab melakukan penegakan hukum. Proses penegakan hukum tentu melibatkan banyak hal dan keberhasilannya ditentukan oleh hal-hal tersebut. Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yang dikemukan oleh Soerjono Sukanto, adalah:


405 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasiltas yang mendukung penegakan hukum 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau ditetapkan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dalam rangka penegakan hukum, J.B. ten Merge menyebutkan beberapa aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan, yaitu: 1. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang bagi perbedaan interpretasi 2. Ketentuan pengencualian harus dibatasi secara maksimal 3. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan 4. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang terkena aturan itu dan mereka yang dibebani dengan tugas penegakan hukum Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Menurut Soerjono Soekanto, dalam bukunya yang berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, ada lima faktor yang mempengaruhi dan menentukan efektivitas penegakan hukum, antara lain: Pertama, faktor hukumnya sendiri. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, antara lain: tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan, dan adanya ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan suatu aturan dapat ditafsirkan secara luas


406 sekali dan kurang tepat. Kedua, faktor penegak hukumnya. Penegak hukum dapat mempengaruhi penegakan hukum apabila terdapat kesenjangan antara peranan yang seharusnya dilakukan (sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan) dengan peranan yang sebenarnya dilakukan (perilaku nyata penegak hukum). Dalam kenyataannya, sangat sulit untuk menerapkan peranan yang seharusnya dalam perilaku nyata, karena penegak hukum juga dipengaruhi hal-hal lain, seperti interest group atau public opinion yang dapat mempunyai dampak negatif atau positif. Ketiga, faktor sarana dan fasilitas. Penegakan hukum dalam hal ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor sarana dan fasilitas. Keberadaan sanksi, keseluruhan proses penanganan perkara, beserta teknologi deteksi kriminalitas termasuk dalam faktor ini. Selain itu, masukan sumber daya dalam berbagai bentuk yang diberikan dalam program-program pencegahan dan pemberantasan pelanggaran hukum juga sangat menentukan kepastian dan kecepatan dalam penegakan hukum, sehingga diharapkan dapat secara efektif dan efisien mengurangi pelanggaran hukum. Keempat, faktor masyarakat. Kompetensi hukum harus dimiliki oleh masyarakat agar masyarakat mengetahui hakhak dan kewajiban- kewajiban mereka menurut hukum, serta dapat mengetahui upaya-upaya hukum apa yang dapat mereka lakukan untuk melindungi kepentingan- kepentingan mereka. Kelima, faktor kebudayaan. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku. Hukum pada dasarnya harus mencerminkan nilainilai yang hidup dalam masyarakat, agar hukum tersebut dapat berlaku secara efektif. 3.Penegakan Hukum Dalam Hukum Administrasi Negara Menurut ten Berge, instrumen penegakan hukum administrasi negara meliputi pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk


407 memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif untuk memaksakan kepatuhan. Menurut Paulus E. Lotulung, pengawasan dalam Hukum Administrasi Negara ada beberapa macam, yaitu jika ditinjau dari segi kedudukan badan organ yang mengadakan kontrol itu terhadap badan organ yang dikontrol, ada kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh badan yang secara struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. Sedangkan kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara struktural berada di luar pemerintah. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakannya, pengawasan atau control dibedakan menjadi menjadi kontol a-priori dan kontrol a-posteriori. Kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah, sedangkan kontrol a-posterioriadalah bilamana pengawasan itu baru dilaksanakan sesudah dikeluarkannya keputusan pemerintah. Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah menjalankan pemerintahan berdasarkan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran norma-norma hukum, sebagai upaya represif.Di samping itu, yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan bagi rakyat. Sarana penegakan hukum selain pengawasan adalah sanksi. Sanksi merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan, bahkan ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari penegakan Hukum Administrasi Negara. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan Hukum Administrasi Negara. Menurut Philipus Hadjon, pada umumnya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan


408 bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha negara, manakala aturan-atauran tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha negara. Salah satu instrumen untuk memaksakan tingkah laku masyarakat ini adalah dengan sanksi. Oleh karena itu, sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada norma hukum tertentu.Dalam Hukum Administrasi Negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, dimana kewenangan ini berasal dari aturan Hukum Administrasi Negara tertulis dan tidak tertulis. Ada empat unsur sanksi dalam Hukum Administrasi Negara, yaitu alat kekuasaan, bersifat hukum publik, digunakan oleh pemerintah, dan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan. Ditinjau dari segi sasarannya, dalam Hukum Administrasi Negara dikenal ada dua jenis sanksi, yaitu sanksi reparatoir dan sanksi punitif. Sanksi reparatoir adalah sanksi yang diberikan sebagai reaksiatas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula sebelum terjadi pelanggaran. Sedangkan sanksi punitif adalah sanksi yang semata-mata ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang. Selain itu ada juga yang disebut sebagai sanksi regresif, yaitu sanksi yang diterapkan/1sebagai reaksi atas ketidakpatuhan. 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yaitu liability (the state of being liable) dan responbility (the state of fact being responsible). Liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko dan tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin.Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Sementara


409 responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan. Pertanggungjawaban menurut undang-undang yaitu kewajiban mengganti kerugian yang timbul karena perbuatan melanggar hukum. 2. Aspek Teoritik Pertanggungjawaban Hukum Pemerintah a. Pergeseran konsep dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan hukum Ajaran kedaulatan negara mengasumsikan bahwa negara ituberada di atas hukum dan semua aktivitas negara tidak dapat dijangkau hukum. Implikasi lebih lanjuthukum adalah buatan negara atau dengan merujuk pada John Austin yang menyebutkan law is a command of the lawgiver, karena itu tidak logis buatan itu/1menghakimi pembuatnya. Dalam perspektif ilmu hukum, negara atau pemerintah telah diakui sebagai subyek hukum. Negara atau pemerintah adalah subyek hukum yang memiliki kedudukan istimewa dibandingkan subyek hukum lain, akan tetapi negara tidak bebas dari tanggung jawab hukum dalam semua tindakannya. Secara universal telah diakui bahwa setiap subyek hukum apapun bentuknya tidak dapat melepasakan diri konsekuensi tindakan hukumnya. 1) Ajaran tentang pemisahan (lembaga) kekuasaan negara Ajaran ini menghendaki agar masing-masing lembaga negara itu berdiri sendiri dengan peranan dan kekuasaannya sendiri-sendiri sesuai yang ditentukan oleh konstitusi. Masing-masing lembaga kekuasaan negara tidak boleh saling mempengaruhi atau intervensi, tetapi harus saling menghormati. Akan tetapi, konsep negara hukum menghendaki agar setiap subyek hukum melakukan


410 perbuatannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Setiap badan hukum, apakah seseorang, badan hukum ataupun pemerintah jika melanggar hukum dan menimbulkan kerugian, maka subyek hukum itu harus mengembalikan pada keadaan semula. Jadi, ketika lembaga yudisial menyelesaikan masalah pelanggaran hukum yang dibuat oleh pemerintah (lembaga eksekutif), itu tidak dapat disebut sedang melakukan intervensi pada kegiatan pemerintahan. 2) Perluasan makna hukum dari sekadar hukum tertulis kemudian menjadi dan termasuk hukum hukum tidak tertulis. Hukum tertulis (undang-undang) adalah produk lemabaga negara (legislatif) yang dianggap sebagai barang sakral yang menuntut kepatuhan dan ketaatan dari siapa pun. Dalam praktik, rumusan undang-undang itu tidak lebih dari formulasi kepentingan sekelompok orang dan tidak mencerminkan kesamaan kedudukan apalagi keadilan. Di luar undang-undang ternyata ada nilainilai kebenaran, keadilan, kepatuhan dan nilai-nilai etik lainnya yang dipegangi dan dipedomani oleh anggota masyarakat yang dikategorikan atau disebut hukum tidak tertulis. Dalam perkembangannya, hukum tidak tertulis dapat diterima untuk diterapkan kepada siapa saja yang melanggar hukum, termasuk pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah juga harus bertindak hati-hati, harus memperhatikan pula kaidah-kaidah kecermatan. Jadi bukan saja jika pemerintah melanggar undang-undang ia dapat dipersalahkan, tetapi juga apabila bertindak bertentangan dengan kecermatan yang pantas. Perluasan peranan dan aktivitas negara pemerintah dari konsepsi nachtwachtersstaat ke welvaarsstaat


411 Sejak ditinggalkannya negara ‘penjaga malam’, yang menempatkan pemerintah hanya selaku penjaga ketertiban keamanan serta tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan masyarakat, negara melalui pemerintah beserta perangkatnya terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat yang menyebabkan kaburnya batas antara bidang privat dan publik. Dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan umum, intervensi negara atau pemerintah menjadi tak terelakan, bahkan semakin besar dengan freies ermessen yang dilekatkan kepadanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya memerlukan kebebasan bertindak. Sebagai subyek hukum, pemerintah dapat melakukan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibatakibat hukum baik bersifat positif maupun akibat bersifat negatif. Akibat hukum yang negatif memiliki relevansi dengan pertanggungjawaban karena dapat memunculkan tuntutan dari pihak yang terkena akibat hukum yang negatif. Dalam penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan, yang secara yuridis dilekati kewenangan. Dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum there is no authority without responsibility. Namun, ukuran untuk menuntut pemerintah itu bukan berdasarkan ada tidaknya kerugian, tetapi apakah pemerintah itu dalam melaksanakan kegiatannya berdasar-kan hukum (rechtmatig) atau melanggar hukum (onrechtmatig) dan apakah perbuatanitu dilakukan untuk kepentingan umum atau bukan. Seiring dengan dianutnya konsepsi welfare state, kepada pemerintah dibebani tugas melayani kepentingan umum dan kewajiban mewujudkan kesejahteraan umum


412 (bestuurszorg) yang dalam implementasinya pemerintah banyak melakukan intervensi terhadap kehidupan warga negara. Intervensi ini sering menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu, apalagi dengan diberikannya kewenangan yang luas melalui freies ermessen. 3. Pertanggungjawaban Pemerintah dalam HAN Dalam melakukan berbagai tindakan (termasuk tindakan hukum) pemerintah harus bersandar pada asas legalitas. Tindakan hukum mengandung makna penggunaan kewenangan dan di dalamnya tersirat adanya kewajiban pertanggungjawaban. Tanggung jawab negara terhadap warga negara atau pihak ketiga dianut oleh hampir semua negara. Dalam perspektif hukum publik, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan. Di samping itu, pemerintah juga sering menggunakan instrumen hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Setiap penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum oleh pejabat pemerintahn pasti menimbulkan akibat hukum, karena memang dimaksudkan untuk menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum. Telah jelas bahwa setiap penggunaan kewenangan itu di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun demikian harus pula dikemukakan tentang caracara memperoleh dan menjalankan kewenangan. Di samping penentuan kewajiban tanggung jawab itu didasarkan pada cara-cara memperoleh kewenangan, juga harus ada kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan pejabat dan kapan atau pada saat bagaimana seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat. Yang dimaksud dengan pejabat adalah seorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan


413 perbuatan untuk dan atas nama jabatan. Sementara seseorang itu disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk atau atas nama jabatan.Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa tindakan hukum yang dijalankan oleh pejabat dalam rangka menjalankan kewenangan jabatan atau melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama jabatan, maka tindakannya itu dikategorikan sebagai tindakan hukum jabatan. Mengenai pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang dikemukakan oleh Kraenburg dan Vegting, yaitu; pertama, fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian, kedua, fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Mengutip pendapat Logemann, hak dan kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan penggantian pejabat. Berdasarkan keterangan tersebut jelaslah bahwa pemikul tanggung jawab itu adalah jabatan. Oleh karena itu, ganti rugi juga dibebankan kepada instansi jabatan, bukan kepada pejabat selaku pribadi. Sebagaimana dikatakan Kranenburg dan Vegting bahwa pertanggungjawaban dibebankan kepada korporasi (instansi, jabatan) jika suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat itu bersifat objektif, dan pejabat yang bersangkutan tidak dibebani tanggungjawab jika tidak ada kesalahan subjektif. Sebaliknya pejabat atau pegawai itu dibebani tanggung jawab ketika ia melakukan kesalahan subjektif. Untuk perbuatan melanggar hukum lainnya, hanya wakil yang bertanggungjawab sepenuhnya; ia telah menyalahgunakan situasi, dimana ia berada selaku wakil, dengan melakukan tindakan amoralnya sendiri


414 terhadap kepentingan pihak ketiga. Dalam hal demikian, pejabat tersebut telah melakukan kesalahan subjektif atau melakukan maladministrasi. Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang menimbulkan kerugian materil dan immateril bagi masyarakat. Sanksi adalah sebuah hukuman atau tindakan paksaan yang diberikan karena yang bersangkutan gagal mematuhi hukum, aturan, atau perintah, sebagaimana didefinisikan oleh Black's Law Dictionary Seventh Edition sebagai berikut: A penalty or coercive measure that results from failure to comply with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse). Dalam hal ini, istilah umum yang dipergunakan untuk menyebut semua jenis sanksi, baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin, maupun pidana adalah hukuman, sebagaimana diterangkan oleh Rocky Marbun, dkk. dalam buku Kamus Hukum Lengkap: Mencakup Istilah Hukum & Perundang-undangan Terbaru . 4. Jenis-Jenis Sanksi di Indonesia Di Indonesia dikenal sekurang-kurangnya 3 jenis sanksi hukum yaitu: a.Sanksi pidana; b.Sanksi perdata; c.Sanksi administratif.


415 a. Sanksi Pidana Soesilo mendefinisikan hukuman/sanksi dalam ranah hukum pidana sebagai: Suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana. Dalam konteks ini, Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (‚KUHP‛) membedakan hukuman menjadi: 1) Hukuman (pidana) pokok, yang terbagi menjadi: a) hukuman mati; b) hukuman penjara; c) hukuman kurungan; d) hukuman denda; e) hukuman tutupan. 2) Hukuman (pidana) tambahan, yang terdiri atas: a) pencabutan beberapa hak yang tertentu; b) perampasan barang yang tertentu; c) pengumuman putusan hakim. Secara hukum, sanksi pidana hanya dapat dicantumkan dalam undang-undang dan peraturan daerah, sebagaimana disarikan dari Apakah UndangUndang Harus Memuat Sanksi?. Sehingga, selain diatur dalam KUHP, hukuman tambahan juga diatur dalam undang-undang atau peraturan daerah yang memuat sanksi pidana. Sebagai contoh, dalam Pasal 81 ayat (6) dan (7) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (‚Perppu 1/2016‛) yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-


416 Undang (‚UU 17/2016‛) mengatur adanya pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dapat dikenakan terhadap pelaku yang memenuhi persyaratan tertentu. b. Sanksi Perdata Disarikan dari Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator, dalam ranah hukum perdata, ditinjau dari sifatnya, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa: 1) Putusan kondemnator (condemnatoir), yakni putusan yang memuat amar yang menghukum salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, majelis hakim menghukum salah satu pihak untuk membayar ganti kerugian dan biaya perkara. 2) Putusan deklarator atau deklaratif (declaratoir vonnis), yakni pernyataan hakim tentang suatu tentang sesuatu hak atau titel maupun status yang dicantumkan dalam amar atau diktum putusan. Misalnya, putusan yang menyatakan bahwa hak pemilikan atas benda yang disengketakan tidak sah sebagai milik penggugat, atau penggugat tidak sah sebagai ahli waris. 3) Putusan konstitutif (constitutief vonnis) yakni putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan/menghilangkan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya, putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan antara suami-istri, sekaligus menimbulkan keadaan hukum baru kepada suami dan istri sebagai janda dan duda. Jadi, dalam ranah hukum perdata, bentuk sanksi hukumnya dapat berupa:


417 1) Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang diperintahkan oleh hakim; 2) Hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru. c. Sanksi Administratif Sanksi administratif dapat diartikan sebagai sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Sanksi administratif dapat berupa denda, peringatan tertulis, pencabutan izin tertentu, dan lain-lain. Sebagai contoh, sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 18 angka 28 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (‚UU Cipta Kerja‛) yang memuat baru Pasal 71A ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (‚UU 27/2007‛) yaitu: a. Peringatan tertulis; b. Penghentian sementara kegiatan; c. Penutupan lokasi; d. Pencabutan perizinan berusaha; e. Pembatalan perizinan berusaha; dan/atau f. Denda administratif Sanksi kumulatif merupakan pemberian dua sanksi yang setara dengan sifat menambahkan atau menumpuk, artinya suatu sanksi tersebut dibebankan dan harus dujalankan oleh terdakwa tanpa terkecuali, biasanya sanksi yang sifatnya kumulatif yang dijatuhkan didalam persidangan yaitu sanksi penjara dan denda, orang yang ... Perkembangan pemberantasan korupsi saat ini telah difokuskan pada tiga isu pokok, yaitu pencegahan korupsi, pemberantasan korupsi, dan pengembalian aset hasil korupsi. Pengembalian kerugian atau pengembalian aset hasil dari korupsi yang dilakukan oleh seseorang akan membantu memulihkan kerugian yang dialami negara


418 disamping itu juga akan membuat pelaku tidak bisa menikmati hasil perbuatan korupsi tersebut. Hal ini juga dapat dilakukan dengan menyita atau mengambil secara paksa barang- barang tertentu yang didapatkan dan dihasilkan dari suatu perbuatan pidana, sebagai suatu hukuman tambahan disamping hukuman pokok seperti penjara atau denda yang terdapat dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Dalam tindak pidana korupsi dua sanksi pokok dapat dijatuhkan oleh hakim dalam amar putusannya yang dikenal dengan perumusan sanksi secara kumulatif. Denda adalah sanksi yang terdapat dalam kasus tindak pidana korupsi yang merupakan sanksi pidana pokok yang dapat dikenakan terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Denda merupakan suatu bentuk hukuman berupa kewajiban dari terdakwa untuk membayarankan sejumlah uang sebagai tebusan atas perbuatan yang telah ia lakukan. Ada dua jenis sanksi pidana denda dalam hukum yaitu, sanksi denda yang menjadi sanksi pidana dan denda yang menjadi sanksi administratif. Tujuannya sama yaitu sama-sama untuk membuat jera orang yang melakukan perbuatan jahat seperti melakukan korupsi, yang membedakan yaitu proses atau cara sehingga denda itu dijatuhkan kepada seseorang, dan terhadap siapa sanksi denda tersebut harus dibayarkan, serta bagaimana akibatnya jika denda tersebut tidak dibayarkan oleh pelaku atau terpidana . Dalam tindak pidana korupsi khususnya, didalam amar putusan hakim yang sempat penulis baca, apabila sanksi denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan. Kurungan pengganti adalah hukuman pokok dalam hukum pidana yang dimana kurungan pengganti hukumannya lebih ringan dari pada hukuman penjara, sanksi kurungan pengganti yaitu sanksi yang bisa dijatuhkan jika pelaku tindak pidana tidak mampu membayar denda yang dijatukan. Lama kurungan pengganti ditentukan oleh seberapa banyak denda yang harus dibayarkan oleh terpidana dalam suatu perkara.


419 Pengaturan Sanksi Kumulatif Dalam Tindak Pidana Korupsi Sanksi dapat diartikan sebagai suatu sarana untuk memperkuat suatu aturan atau norma oleh sebab itu harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Dengan menggunakan sanksi dalam sebuah peraturan maka diharapkan dapat terciptanya perarturan hukum yang baik yang memiliki ketegasan, sehingga apa yang termuat didalam aturan atau norma tersebut bisa mendorong seorang untuk tidak melakukan pelanggaran dan menjalani kehidupan sesuai dengan aturan atau norma yang diatur tersebut. Dengan menggunakan sanksi dalam setiap peraturan maka diharapkan sanksi bisa menjadi penguat atau penegas suatu aturan hukum. Dalam perbincangan tentang sanksi, maka biasanya suatu sanksi diberikan kepada orang yang melanggar suatu norma, dengan mempertimbangkan perbuatan yang telah orang terebut lakukan. Kekuatan dalam suatu sanksi diukur dengan seberapa banyak pidana yang diancamkan terhadap orang atau pelanggar. Dengan diterapkannya sanksi bertujuan sebagai alat dalam hal mempertahankan atau membuat jera pelaku dengan ancaman sanksi secara real agar tidak kehilangan kekuatanya untuk mewujudkan suatu keadilan yang hendak ditegakkan. Sanksi merupakan konsekuensi logis dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sanksi mempunyai pengertian yang sangat luas. Banyak bentuk sanksi dalam hukum, misalnya sanksi moral, sanksi hukum. Sanksi dapat memiliki pengertian yang sama dengan hukuman. Pidana (straf) adalah sanksi yang hanya diberlakukan dalam lapangan hukum pidana. Pengertian sanksi pidana mencangkup seluruh jenis pidana dan tindakan yang sebagaimana diatur dalam hukum pidana, baik sanksi yang diatur didalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau KUHP maupun yang diatur diluar KUHP. Berkaitan dengan penjatuhan sanksi pidana dalam hukum pidana, maka hanya satu jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan. Dalam KUHP dikenal dengan sistem alternative berbagai jenis pidana


420 pokok yang diancamkan atau didakwakan, namun hanya satu yang bisa dijatuhkan), namun dalam tindak pidana tertentu di luar KUHP di kenal pula sistem kumulatif kumulasi (pelaku kejahatan dapat dibebankan 2 sanksi pokok sekaligus). Sanksi kumulatif dalam tindak pidana korupsi merupakan dua sanksi pokok yang dijatuhkan secara serentak dan mutlak, artinya hakim harus menjatuhkan dua pidana pokok terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Dua pidana pokok yang bisa dijatuhkan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara dan pidana denda. Teori kumulatif adalah teori yang disandarkan pada aktivitas pembentukan undang- undang dan aktivitas tersebut memiliki alasan-alasan historis, sosiologis, yuridis dan politis. Kumulatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bersangkutan dengan kumulasi yang artinya bersifat menambah; terjadi dari bagian yang makin bertambah; bertumpuk-tumpuk. Definisi kumulatif adalah segala sesuatu yang sifatnya terus bertambah atau menumpuk dari berbagai sisi atau bagian, yang Bahasa latinnya berasal dari kata ‚Cumulare‛ . Pengertian kumulatif adalah sesuatu yang terus bertambah dari berbagai sisi atau bagian. Sanksi kumulatif merupakan pemberian dua sanksi yang setara dengan sifat menambahkan atau menumpuk, artinya suatu sanksi tersebut dibebankan dan harus dijalankan oleh terdakwa tanpa terkecuali, biasanya sanksi yang sifatnya kumulatif yang dijatuhkan didalam persidangan yaitu sanksi penjara dan denda, orang yang melakukan korupsi misalnya dalam suatu peradilan maka orang itu biasanya dijatuhkan dua sanksi pokok sekaligus yaitu penjara dan denda. Pemberian dua sanksi ini bertujuan untuk membuat orang yang melakukan korupsi jera dan tidak lagi melakukan perbuatan seperti itu. Kumulatif dapat dijumpai dalam tindak pidana khusus saja seperti korupsi dan narkotika, dalam KUHP memang tidak dikenal dengan adanya perumusan kumulasi


421 atau penggabungan dua sanksi pokok, karena sistem atau sifat perumusan sanksi dalam KUHP yaitu dengan sifat alternative bukan kumulatif. Sistem sanksi kumulatif dalam undang-undang ditandai dengan ciri khas, yaitu dalam peraturannya terdapat kata hubung ‚dan‛ didalam perumusan aturannya. Kata ‚dan‛ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online adalah kata hubung satuan Bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, yang termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda. Sesuai dengan arti kata kumulatif, yakni bersifat menambah, maka kata ‚dan‛ adalah kumulatif. Namun berbeda dengan Aryadi & Pudyatmoko, menyatakan dalam penelitiannya bahwa penerapan sanksi kumulatif eksternal berlawanan dengan asas ultimum remedium, karena pengenaan sanksi administrasi bagi terpidana dikenakan setelah yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana Undang-undang tindak pidana korupsi (UU No. 31Tahun1999 sebagaimana telah diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yaitu suatu contoh Undang-undang yang memuat suatu sistem kumulatif. Dengan ciri kata hubung ‚dan‛ dalam perumusan beberapa pasalnya, jadi hakim harus memberikan pidana dua sekaligus kepada terdakwa tindak pidana korupsi. Sistem perumusan kumulatif ini tidak dijumpai di dalam KUHP atau dengan kata lain KUHP tidak mengenal adanya kumulasi pidana pokok. Pengaturan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan sistem perumusan kumulatif terdapat dalam beberapa pasal yaitu, pasal 2, pasal 6, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 12 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dikatakan sebagai sanksi yang bersifat kumulatif, pasal-pasal tersebut diatas karena dalam bunyi setiap pasal tersebut terdapat kata penghubung ‚dan‛ yang merupakan sifat dari kumulatif itu sendiri. Pasal-pasal tersebut diatas


422 dalam pengaturannya setiap ancaman pidananya menggunakan kata penghubung ‚dan‛ seperti misalnya dijatuhkan pidana penjara dan pidana denda, artinya kedua pidana tersebut harus dijatuhkan dan dilaksanakan oleh terdakwa. Sistem imperative kumulatif yaitu penjatuhan dua pidana pokok yang merupakan suatu keharusan yang mutlak. Selain penjatuhan sanksi yang bersifat kumulatif dengan ciri kata hubung ‚dan‛, dalam tindak pidana korupsi sistem dua jalur pemidanaan (double track system) hampir sama dengan perumusan kumulatif yaitu sama-sama merupakan sebuah penggabungan pidana atau penimbunan atau pemberatan pidana. Sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum. Hal ini merupakan suatu bentuk pemaksaan dari administrasi negara (pemerintah) terhadap warganegara dalam hal adanya perintah-perintah, kewajiban- kewajiban, atau larangan-larangan yang diatur dalam peraturan perundang- undangan yang dikeluarkan oleh administrasi negara (pemerintah). Dalam konteks sosiologis, sanksi merupakan bentuk upaya penegakan hukum. Penegakan hukum merupakan proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan tersebut adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.1 Sanksi itu sendiri dapat berupa sanksi pidana, sanksi perdata, dan juga sanksi administrasi. Dalam/1struktur ketatanegaraan modern,tugas negara (pemerintah)dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional membawa konsekuensi terhadap campur tangan pemerintah dalamberbagaiaspek kehidupan masyarakat. Bentuk campur tangan ini adalah adanya peraturan perundang- undangan diberbagai bidang yang


423 dikeluarkan oleh pemerintahdalam rangka menjalankan tugasnya. Pihak eksekutif dengan birokrasinya merupakan bagian dari mata rantai untuk mewujudkan rencana yang tercantum dalam (peraturan) hukumyangmenanganibidangbidang tersebut. Sejak negara (pemerintah) mencampuri banyak bidang kegiatan dan pelayanan dalam masyarakat, maka campur tangan hukum juga semakin intensif, yang salah satunya adalah memberikan pelayanan publik bidang perizinan. Dari sudut hukum administrasi negara, izin merupakan sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh organ pemerintah, didalamnya terkandung suatu muatan hal yang bersifat konkret, individual, dan final. Sebagai keputusan tata usaha negara maka izin ini harus memenuhi unsur-unsur keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51Tahun2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sehingga izin sebagai bentuk keputusan tata usaha negara merupakan salah satu dimensi relasi yuridis antara pemerintah dan warganya. Di sisi lain, perizinan merupakan salah satu kewenangan pemerintah yang perwujudannya dalam bentuk pengaturan. Pengaturan perizinan dapat berupapemenuhan persyaratan, kewajiban,maupun larangan. Impliksasinya adalah apabila persyaratan, kewajiban maupun larangan yang dimintakan dalam izin tidak terpenuhi maka akan berdampak terhadap izin itu sendiri. Salah satu bentuk ketidak terpenuhinya persyaratan, kewajiban maupun larangan itu adalah Terjadinya pelanggaran yang akan berujung pada sanksi hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata yang melakukan pelanggaran. Terjadinya pelanggaran tersebut dalam masyarakat sangatlah mungkin terjadi mengingat dalam masyarakat tersebut terdapat individu-individu dengan sikap beragam dalam hal kepatuhan terhadap hukum.


424 Sehingga pelaksanaan aturan tersebut dapat selalu dalam koridor hukum maka dalam implementasi peraturan bidang perizinan tersebut diperlukan sanksi demi menjamin kepastian hukum,konsistensi pelaksanaan hukum, dan juga penegakan hukum bidang perizinan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa sanksi itudapat berupa sanksi administrasi, sanksi pidana, ataupun sanksi perdata. Dalam konteks pelanggaran di bidangperizinan, mengingat pengaturan perizinan merupakan tindakan hukum sepihak dari pemerintah dan sebagai wujud perbuatan pemerintah yang bersegi satu dimana kedekatan aspek administratifnya lebihbesar,maka penelitian ini ingin lebih menfokuskan pada/1 sanksi administrasidalamhal terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum perdata di bidang perizinan. Sanksi Hukum Administrasi, menurut J.B.J.M. ten Berge, ‛sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi‛. Menurut P de Haan dkk, ‛dalam HAN, penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan, di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi tertulis dan tidak tertulis‛ . JJ. Oosternbrink berpendapat ‛sanksi administrasiinistratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah–warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantara pihak ketiga (kekuasaan peradilan), tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri‛. Jenis Sanksi Administrasi dapat dilihat dari segi sasarannya yaitu: 1. Sanksi reparatoir artinya sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang ditujukan untuk memngembalikan pada kondisi semula sebelum terjadinya pelanggaran, misalnya bestuursdwang, dwangsom),


425 2. Sanksi punitif artinya sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman pada seseorang, misalnya adalah berupa denda administratif, 3. Sanksi regresif adalah sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidak patuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan, Perbedaan Sanksi Administrasi dan sanksi Pidana adalah, jika Sanksi Administrasi ditujukan pada perbuatan, sifat repatoircondemnatoir, prosedurnya dilakukan secara langsung oleh pejabat Tata Usaha Negara tanpa melalui peradilan. Sedangkan Sanksi Pidana ditujukan pada si pelaku, sifat condemnatoir, harus melalui proses peradilan. Macam-macam Sanksi dalam Hukum Administrasi seperti berikut, Bestuursdwang (paksaan pemerintahan), penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, pengenaan denda administratif, dan pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). 1. Paksaan Pemerintahan (Bestuursdwang) Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan/1perundang-undangan. Contoh Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa ijin yang Berhak atau Kuasanya. Bestuursdwang merupakan Kewenangan Bebas, artinya pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan bestuursdwang atau tidak atau bahkan menerapkan sanksi yang lainnya. Paksaan pemerintahan harus memperhatikan ketentuan Hukum yang berlaku baik Hukum tertulis maupun tidak tertulis, yaitu asas-asas pemerintahan yang layak seperti asas kecermatan, asas keseimbangan, asas


426 kepastian hukum dan lain-lain.. Contoh Pelanggaran yang tidak bersifat substansial seorang mendirikan rumah tinggal di daerah pemukiman, tanpa IMB. Pemerintah tidak sepatutnya langsung menggunakan paksaan pemerintahan, dengan membongkar rumah tersebut, karena masih dapat dilakukan legalisasi, dengan cara memerintahkan kepada pemilik rumah untuk mengurus IMB. Jika perintah mengurus IMB tidak dilaksanakan maka pemerintah dapat menerapkan bestuursdwang, yaitu pembongkaran. Contoh Pelanggaran yang bersifat substansial, misalkan pada pengusaha yang membangun industri di daerah pemukiman penduduk, yang berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan RTRW yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dapat langsung menerapkan bestuursdwang. Peringatan yang mendahului Bestuursdwang, hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan bestuursdwang di mana wajib didahului dengan suatu peringatan tertulis, yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan Tata Usaha Negara. Isi peringatan tertulis ini biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut, Peringatan harus definitif, Organ yang berwenang harus disebut, Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat, Ketentuan yang dilanggar jelas, Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas, Memuat penentuan jangka waktu, Pemberian beban jelas dan seimbang, Pemberian beban tanpa syarat, Beban mengandung pemberian alasannya, Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya. 2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan Penarikan kembali Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan dilakukan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali


427 dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Ini diterapkan dalam hal jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan atau syarat-syarat yang dilekatkan pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga dapat terjadi pelanggaran undang-undang yang berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, karena di dalam HAN terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yaitu bahwa pada asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar menurut hukum. Oleh karena itu, Ketetapan Tata Usaha Negara yang sudah dikeluarkan itu pada dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh hakim di pengadilan. Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut Ketetapan Tata Usaha Negara yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima Ketetapan Tata Usaha Negara sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya. Sebab-sebab Pencabutan Ketetapan Tata Usaha Negara sebagai Sanksi ini terjadi melingkupi jika, yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundangundangan yang dikaitkan pada izin, subsidi, atau pembayaran. Jika yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan untuk mendapat izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap, maka keputusan akan berlainan misalnya penolakan izin. 3. Pengenaan Uang Paksa (Dwangsom) Menurut pendapat N.E. Algra, tentang pengenaan uang paksa ini, menurutnya, bahwa uang paksa sebagai


428 hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalam perjanjian, yang harus dibayar karena tidak menunaikan, tidak sempurna melaksanakan atau tidak sesuai waktu yang ditentukan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan, dan pembayaran bunga. Menurut hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintahan 4. Pengenaan Denda Administratif Menurut pendapat P de Haan DKK menyatakan bahwa, terdapat perbedaan dalam hal pengenaan denda administratif ini, yaitu bahwa berbeda dengan pengenaan uang paksa yang ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari sekedar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti. Dalam pengenaan sanksi ini pemerintah harus tetap memperhatikan asas- asas hukum administrasi, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pelanggaran di bidang perizinan bentuknya bermacammacam yang pada umumnya sudah secara definitif tercantum dalam peraturan perundang- undangan yang menjadidasarnya. Sanksi administrasi yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran perizinan ada beberapa macam yaitu Paksaan Pemerintaha (bestuurdwang), PenarikanKembaliKeputusan yang menguntungkan, Pengenaan Uang Paksa oleh Pemerintah (dwangsom), Pengenaan Denda Administratif (administratif boete).


429 Terkait dengan sanks ini ada beberapa criteria yang perlu untuk diperhatikan, yaitu: a. Unsur-unsur yang dijadikan dasar sanksi tersebut diterapkan; b. Jenis sanksi yang dikenakan; c. Jangka waktu pengenaan sanksi; d. Tata cara penetapan sanksi; e. Mekanisme pengguguran sanksi. Mengingat masing-masing perizinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri maka dalam proses penetapannya harus memperhatikan peraturan perundangan yang menjadi dasarnya. Kewenangan untuk melaksanakan paksaan pemerintahan (bestuurdwang) adalah kewenanganbebas.Hal ini mengandung makna bahwa kewenangan tersebut merupakan hak dankewajiban dalam melakukan tindakan hukum tertentu. Kebebasan kewenangan tersebut berarti bahwa pemerintah diberi kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri apakah menggunakan paksaan pemerintahan (bestuurdwang) atau tidak bahkan menerapkan sanksi lainnya. Dalam haltelahterjadi pelanggaranperizinan,maka organ pemerintah sebelum menjatuhkan sanksi berupapaksaan pemerintahan (bestuurdwang) harus mengkaji secara cermat fakta pelanggaran hukumnya. Pada dasarnya (fakta) pelanggaran tersebut dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: 1. Pelanggaran yang tidak bersifat substansial 2. Pelanggaran yang bersifat substansial Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran yang bersifat substansial dan pelanggaran yang bersifat tidak substansial dapat menjadi tidak sama. Berpijak pada sifat pelanggarannya maka dalam penetapan pemberian sanksi paksaan pemerintahan maka : 1. Terhadap pelangggaran yang tidak bersifat substansial, Pemerintah tidak sepatutnya langsung menggunakan


430 paksaan pemerintahan (bestuurdwang). Maka organ pemerintah masih dapat melakukan legalisasi. Dalamhal iniPemerintahmemerintahkan kepadawarga negara yang melakukanpelanggaran perizinan tersebut untuk segera mengurus perizinannya. Jika warga negara tersebutsudahdiperintahkanuntukmengurus perizinannya tetapi tidak juga mengurus perizinan maka Pemerintah dapat menerapkan sanksi paksaan pemerintahan (bestuurdwang). 2. Terhadap pelanggaran yang bersifat substansial, Pemerintah dapat langsung menerapkan paksaan pemerintahan (bestuurdwang) Baik pelanggaran yang bersifat substansial maupun yang tidak bersifat substansial, dalam penetapannya harus memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum yang sifatnya tertulis maupun yang tidak tertulis terkait dengan perizinan yang dimaksud. Termasuk didalamnya yaitu asas-asas umumpemerintahan yang baik, antaralain asas kepastianhukum, asas kepentingan umum, asas proposionalitas, asas bertindak cermat, asas motivasi dalam pengambilan keputusan, serta asas keadilan dan kewajaran. Proses penetapan sanksi administrasi berupa bestuurdwang harus didahului dengan surat peringatan tertulis yang dituangkan dalam surat keputusan tata usaha negara (KTUN). Surat peringatan tersebut harus memuat halhal sebagai berikut: 1. Peringatan harus definitif Pada surat peringatan harus secara jelas dan tegas tertulis tindakan Pemerintah. 2. Organ yang berwenang harus disebut Surat peringatan harus memberikan informasi yang jelas tentang organ/instansi yang berwenang menerapkan sanksi.


431 3. Peringatan harus ditujukan kepada orang yang tepat Peringatan harus ditujukan kepada orang/badan hukum yang memang telah atau sedang melakukan pelangggaran terhadap ketentuan peraturan perundangundanganyang berlaku. Orang/badan hukum yang telah atau sedang melakukan pelangggaran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku harus mempunyai kemampuan untuk mengakhiri keadaan yang terlarang tersebut. 4. Ketentuan yang dilanggar jelas Ketentuan peraturan perundang-undangan yang sedang atau telah dilangggar harus tercantum secara jelas dalam surat peringatan. 5. Pelanggaran nyata harus digambarkan dengan jelas. Fakta keadaan yang sedang atau telah dilangggar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diungkapkan atau diuraikan secarajelas. 6. Peringatan harus memuat penentuan jangka waktu Pemberian beban harus ternyata dengan jelas jangka waktu yang diberikan kepadaorang/badan hukum yang sedang atau telah melangggar peraturan perundangundangan yang berlaku untuk melaksanakan beban (sanksi) tersebut. Jangka waktu tersebut harus jelas waktu kapan mulainya dan tidak boleh digantungkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang belum/1pasti diwaktu yang akan datang. 7. Pemberian beban jelas dan seimbang Pada dasarnyasanksiyang dibebankan kepadapihak yang dikenai sanksi selayaknya seimbang dengan berat ringannya pelanggaran yang telah dilakukan.Demikian pula dalam hal terjadi pelanggaran dibidang perizinan, maka sanksi yang merupakan bentuk beban/1tersebut juga harus seimbang dengan keadaan atau perbuatan


432 terlarang yang telah dilakukan oleh seseorang/badan hukum disamping itu sanksi juga harus jelas kriterianya. 8. Pemberian beban tanpa syarat Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sanksi tidak boleh digantungkanpada suatu peristiwa atau kejadian yang belumjelas kejadiannyadi kemudian hari, maka terkait dengan hal tersebut pemberian beban harustanpa syarat. a. Beban mengandung pemberian alasannya Sebagai produk hukum Pemerintah (KTUN), maka surat peringatanharusdiberialasan yang baik dan jelas. b. Peringatan memuat berita tentang pembebanan biaya. Apabila sanksi diterapkan memberikan paksaan beban biaya, maka beban biaya paksaan pemerintah itu harus dimuat dalam surat peringatan. Dalam menjatuhkan sanksi paksaan pemerintahan (bestuurdwang),organ pemerintah harus menggunakan asas kecermatan, asas kepastian hukum, atau asas kebijaksanaan dengan mengkaji secara cermat. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan dilakukan bila: 1. Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasanpembatasan, syarat- syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada izin. 2. Yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan izin telah memberikan data yang sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, hingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap maka keputusan yang timbulakan berlainan. Penetapan penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan telah dibuat oleh Pemerintah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:


433 1. Suatu keputusan tersebut dibuat dan ditetapkan karena warga negara yang berkepentingan dalam mengajukan izin menggunakan tipuan, senantiasa dapat ditiadakan (dari permulaan tidak ada) 2. Suatu keputusan yang isinya belum diberitahukan kepada yangbersangkutan, jadi keputusan yang belum menjadi suatu perbuatan yang sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum dapat ditiadakan 3. Suatu keputusan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dan yang diberi kepada yang dikenainya itu dengan beberapa syarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu yang dikenai tersebut tidakmemenuhi syaratsyarat yang ditentukan. 4. Suatu keputusan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh ditarik kembali setelah sesuatu jangka tertentu sudah lewat, karena menarik kembali tersebut, suatu keadaan yang layak di bawahkekuasaankeputusan yang bermanfaat itu (setelah adanya menarik kembali keputusan tersebut) menjadi keadaan yang tidak layak. 5. Oleh karena suatu keputusan yang tidak benar, diadakan suatukeadaan yang tidak layak.Keadaan ini tidak boleh ditiadakan, bilamana menarik kembali keputusan yang bersangkutan membawa kepada/1yang dikenainya untuk kerugian yang sangat lebih besar daripada kerugian yang oleh negara di derita karena keadaan tidak layak tersebut. 6. Menarik kembali atau merubahsuatu keputusan, harus diadakanmenurut acara (formalitas) yang sama sebagaimana yang ditentukan dalam pembuatan ketetapan itu. Penarikan kembali keputusan sebagai sanksi ini berkaitan erat dengan sifat keputusan itu sendiri.Bila keputusan bersifat terikat, maka keputusan tersebut harus ditarik sendiri oleh organ atau instansi yang mengeluarkan keputusan. Penarikan ini hanya mungkin dilakukan apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan telah mengaturnya sebelum keputusan itu dikeluarkan. Sedangkan keputusan yang


434 bersifat bebas, maka penarikannya kadangkadangditentukan dalam peraturan perundang-undangan, kadang-kadang tidak. Perlu dipahami bahwa pada dasarnya keputusantata usaha negara yangtelahdikeluarkantidakuntuk dicabut kembali. Ketika pencabutan kembali ini lebihmenjamin asas kepastian hukum baik itu untuk pihak yang mengeluarkan keputusan maupun pihakyang menerimakeputusan. Namun bukan bermakna bahwa keputusan tersebut bersifat mutlak dan tidak mungkin/dapat dicabut. Kaidah HukumAdministasi Negara memberikan kemungkinan untuk mencabut keputusan tata usaha negara yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima keputusan tata usaha negara, sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya. Hal-hal yang dapat menjadikan sebab suatu keputusan tata usaha negara yang berupa perizinan dicabut sebagai bentuk sanksi adalah : 1. Pihak yang berkepentingan (penerima izin) tidak mematuhi pembatasan- pembatasan,syarat-syaratatau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan padaizin tersebut; 2. Pihak yang berkepentingan (penerimaizin) pada waktu mengajukanpermohonan untukmendapatkan izin telah memberikandata yangtidak benar atautidak lengkap. Hal ini bermakna bahwa apabila datayang diberikan saat mengajukan permohonan izin benar, lengkap, dan tidak dipalsukan maka pemberian izin mungkin tidak akan diberikan (permohonan izin ditolak). Selain dari aspek penerima izin, pencabutan izin dapat pula terjadi bilamana terdapat kesalahan dari pihak pemerintah (dalam hal ini organ atau instansi yang mengeluarkan izin), artinya keputusan yang dikeluarkan tersebut ternyata keliru atau mengandung cacat lainnya dan diketahui dengan jelas. Jika demikian maka keputusan(izin) tersebut dapat di cabut dengan memperhatikan ketentuan dalam Hukum


435 Administrasi Negara, baik tertulis maupun berupa asas-asas hukum. Suatu keputusan yang secara jelas dan diketahui mengandung kesalahan atau kekeliruan sudah barang tentu tidak akan dibiarkan,tanpa dilakukan perubahan atau pencabutan, hanya karena keinginan untuk mengedepankan asas kepastian hukum Pengenaan uang paksa oleh Pemerintah(dwangsom) dianggap sebagai sanksi yang reparatoir.Sanksi ini diterapkan jika warga negara melakukan pelanggaran.Dalam kaitannya dengan diterbitkannya keputusan tata usaha negara yang menguntungkan, biasanya pemohon izin disyaratkanuntuk memberikanuang jaminan. Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar (pemegang izin) tidak segera mengakhirinya, maka uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom. Jadi uang jaminan tersebutlebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuurdwang sulit dilakukan. Organ pemerintah dalam menetapkan uang paksa, menentukan apakah uang paksa itu dibayar dengan cara mengangsur ataupun harus sekali bayar berdasarkan waktu tertentu. Organ pemerintah juga harus menetapkan jumlah maksimal uang paksa serta memperhatikan kesesuaian dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan (sesuai)dengan tujuan ditetapkannya penetapan uang paksa. Pengenaan denda administratif (administratieve boete)dapat dilihat contohnya pada denda fiskal yang ditarik oleh inspektur pajak dengan cara meninggikan pembayaran dari ketentuan semula sebagai akibat dari kesalahan yang telah dilakukan. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terhutang kurang atau tidak dibayar maka selain jumlah kekurangan pajak yang terhutang itu dibebankan kepada wajib pajak, maka dikenakan pula sanksi administrasi berupa bunga dalam prosentase tertentu sesuai peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku dalam jangka waktu tertentu yang juga harus ditentukan. Terhadap wajib pajak yang dikenai


436 denda administrasi kepadanya dikeluarkan Surat Tagihan Pajak.


437 DAFTAR PUSTAKA A.D. Belinfande et. al. 1983. Beginselen van Nederlandse Staatsrecht, Alphen Amitai Etzioni. 2003. Organisasi-organisasi Modern. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Amrullah Salim. 1995. Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Bahan Kuliah Orientasi PTUN. Basah, Sjachran 1992 Perlindungan Hukum terhadap SikapTindak Administrasikan Negara, Alumni Bandung, Diana, Hakim Koentjoro. 2004, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia. Bogor. Gofar, Abdullah., 2014, Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Tunggal Mandiri, cet 1, Malang. ----------------- . 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.Bandung: Alumni. -------------------- . 1995. Sistem dan Teknik Pembuatan Perundangundangan Tingkat Daerah. Bandung: LPM UNISBA. --------------. 2004. Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII. Bagir Manan. 2003. Konvensi Ketatanegaraan. Bandung: Armico. ------------------ . 1990. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Desen- tralisasi Menurut UUD 1945. Disertasi. Bandung: UNPAD. --------------. 2004. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill. Bahsan Mustafa. 1990. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Bandung: Citra Aditya Bakti.


438 aan den Rijn. Samson Uitgeverij 2001. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: A.S. Moenir. 1992. Pendekatan Manusiawi dan Organisasi terhadap Pembinaan Pegawai. Jakarta: Gunung Agung. Abdul G. Nusantara Hakim. 2001. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI. Abdul Wahab Solichin. 2005. Pengantar Analisis Kebijakan Negara. Jakarta:Rineka Cipta. --------------- . 2006. Analisis Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara. Albert Lepawsky. 1999. Administration. New York: Alfed A. Knopt. Ali Ridho. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan. Bandung: Perkumpulan Koperasi Yayasan Wakaf.Cipta Aditya Bakti. Bintoro Tjokroamidjojo. 2000. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Amir Santoso. 1993. Politik Kebijakan dan Pembangunan. Jakarta: Dian . 1996. Pengantar Kebijakan Publik. David Osborne dan Peter Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM. Dimock dan Dimock. 2002. Administrasi Negara. Jakarta: Rineka Cipta. Djenal Hoesen. 2002. Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara. Bandung:Alumni. Dwight Waldo. 1996. Pengantar Studi Public Administration. Jakarta: Bumi Aksara. Bagir Manan, Kustana Magnar. 1987. Peranan Peraturan Perundang-. 1978. The Administrative State: a Study of Political Theory of undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Armico. J. Wajong. 2000. Fungsi Administrasi Negara. Jakarta: Jambatan. J.B. Kristiadi. 1994. Administrasi/Manajemen Pembangunan. Jakarta: LAN-RI.


439 H. George Frederickson, Al-Ghozei Usman. 2001. Administrasi Negara Baru.Jakarta: LP3ES. H.R. Ridwan. 2008. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hans Kelsen. 2004. Teori Hukum Murni. Terjemahan Somardi. Jakarta: Rindi Press. Harun Alrasid. 1993. Masalah Pengisian Jabatan Presiden. Disertasi. Jakarta: UI. Indiharto. 1993. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. ------------------. 1993. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. J.M. Papasi. 1994. Ilmu Administrasi Pembangunan. Bandung: Pionir Grup. John M. Gaus. 1989. University Alabama Press. Janedjri, Gaffar M. 2006, Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis: Catalan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, Universities Indonesia Liberary, Jakarta. -----------. 2005. Kapita Selekta Administrasi Negara. Bandung: Puspaga. Kano Ano Latief. 2001. Studi Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Sinar Baru. Karhi Nisjar, Winardi. 1997. Teori Sistem dan Pendekatan Sistem dalam Bidang Manajemen. Bandung: Mandar Maju. Koenjoro Diana Halim. 2004. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Haji Masagung. Kontjoro Purbopranoto. 1975. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Bandung: Alumni. Kosasih Taruna Sepandji. 1999. Manajemen Pemerintahan dalam Sistem dan Struktur Administrasi Negara Baru. Bandung: Idola Remaja Doa Ibu.


440 Muhsan. 2002. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Yogya- karta: Liberty. Nata Saputra. 2000. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali. Nicholass Henry. 2001. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Kenegaraan. Jakarta: Rajawali. Philipus M. Hadjon dkk. 2005. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.Yogyakarta: Gajah Mada Press. --------------- . 2005. Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung. Sondang Siagian. 2002. Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. Prajudi Atmosudirdjo. 1994. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Robert T. Golembiewski. 1989. Public Administration as a Developing Discripline. New York: Marcel Dekker. S.F. Marbun dan Moh. Mahfud. 2005. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty. Sahya Anggara, 2018, Hukum Administrasi Negara, CV Pustaka Setia, Cet. Ke-1 -- Bandung Sjachran Basah. 2001. Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradil- an Administrasi (HALPA). Jakarta: Rajawali. ----------------- . 2002. Perlindungan Hukum Atas Sikap Administrasi Negara.Bandung: Alumni. Soehardjo. 2001. Hukum Administrasi Negara, Pokok-pokok Pengertian serta Perkembangannya di Indonesia. Semarang: UNDIP. Soehino. 2001. Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan. Yogyakarta: Liberty. Soerjono Soekanto. 2003. Penegakan Hukum. Bandung: Bina Cipta. Soewarno Handayaningrat. 2004. Pengantar Ilmu Administrasi dan Mana- jemen. Jakarta: Haji Masagung.Jakarta: Ghalia Indonesia.


Click to View FlipBook Version