The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Masuknya administrasi negara dalam kehidupan privat warga bertujuan untuk menjalankan fungsi bestuurzorg. Hal ini tentu membutuhkan satu instrumen yang memberikan dasar legalitas bagi negara untuk melaksanakannya. Instrumen ini berfungsi sebagai dasał pembenaran atas aktivitas negara yang berusaha mengatur hal-hal yang sifatnya privat tersebut. Hal tersebut tentu berbentuk suatu sistem hukum administrasi negara (HAN). Hukum administrasi negara merupakan suatu aturan hukum yang mengatur alat-alat pemerintahan agar melakukan apa yang seharusnya menjadi tugas mereka, dan juga aturan- aturan hukum tersebut mengatur hubungan hukum antara alat-alat pemerintah dengan masyarakat. Administrasi negara tidak dapat dibatasi secara ketat dengan suatu Undang-Undang karena fungsi administrasi negara adalah mensejahterahkan masyarakatnya. Tidak hanya itu, administrasi negara juga memiliki fungsi lain diantaranya
sbb:
1.Menjamin Keadilan Hukum:
2. Sebagai pedoman dan Ukuran:
3. Menjamin Kepastian Hukum

Fungsi ataupun peranan Hukum Administrasi Negara dalam melakukan kontrol terhadap jalannya setiap badan-badan negara maupun pejabat-pejabat pemerintahan yang menjalankan setiap tugasnya maupun melakukan pelanggaran baik itu pencurian ataupun penyalahgunaan wewenang yang mana dapat merugikan banyak pihak baik itu dalam pemerintahan maupun individu yang mewakili negara dan perlindungan hukum dalam HAN Hukum Administrasi Negara merupakan suatu aturan dalam pemerintah yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan negara dan kemakmuran yang adil bagi masyarakat Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan itu, maka pemerintah harus menjalankan administrasi yang baik dengan melakukan berbagai macom cara yang benar, baik itu dalam rangka pengawasan, pengusutan, dan sanksi administratif Penegakan hukum sangat diperlukan agar semua aktivitas administrasi dapat dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Disamping itu pula peran HAN dalam pemerintahan yang ada saat ini sangatlah mempengaruhi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan suatu negara. Di lain sisi fungsi hukum administrasi negara dalam menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa Agenda tersebut merupakan

upaya untuk mewujudkan tota pemerintahan yang baik, antara lain, keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiens menjunjung tinggi supremau hukum dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Untuk itu diperlukan

Langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan, kualitas sumber daya manusia aparatur, dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-01-26 10:43:46

Hukum Administrasi Negara

Masuknya administrasi negara dalam kehidupan privat warga bertujuan untuk menjalankan fungsi bestuurzorg. Hal ini tentu membutuhkan satu instrumen yang memberikan dasar legalitas bagi negara untuk melaksanakannya. Instrumen ini berfungsi sebagai dasał pembenaran atas aktivitas negara yang berusaha mengatur hal-hal yang sifatnya privat tersebut. Hal tersebut tentu berbentuk suatu sistem hukum administrasi negara (HAN). Hukum administrasi negara merupakan suatu aturan hukum yang mengatur alat-alat pemerintahan agar melakukan apa yang seharusnya menjadi tugas mereka, dan juga aturan- aturan hukum tersebut mengatur hubungan hukum antara alat-alat pemerintah dengan masyarakat. Administrasi negara tidak dapat dibatasi secara ketat dengan suatu Undang-Undang karena fungsi administrasi negara adalah mensejahterahkan masyarakatnya. Tidak hanya itu, administrasi negara juga memiliki fungsi lain diantaranya
sbb:
1.Menjamin Keadilan Hukum:
2. Sebagai pedoman dan Ukuran:
3. Menjamin Kepastian Hukum

Fungsi ataupun peranan Hukum Administrasi Negara dalam melakukan kontrol terhadap jalannya setiap badan-badan negara maupun pejabat-pejabat pemerintahan yang menjalankan setiap tugasnya maupun melakukan pelanggaran baik itu pencurian ataupun penyalahgunaan wewenang yang mana dapat merugikan banyak pihak baik itu dalam pemerintahan maupun individu yang mewakili negara dan perlindungan hukum dalam HAN Hukum Administrasi Negara merupakan suatu aturan dalam pemerintah yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan negara dan kemakmuran yang adil bagi masyarakat Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan itu, maka pemerintah harus menjalankan administrasi yang baik dengan melakukan berbagai macom cara yang benar, baik itu dalam rangka pengawasan, pengusutan, dan sanksi administratif Penegakan hukum sangat diperlukan agar semua aktivitas administrasi dapat dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Disamping itu pula peran HAN dalam pemerintahan yang ada saat ini sangatlah mempengaruhi terhadap kegiatan yang dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dari suatu negara dalam usaha mencapai tujuan suatu negara. Di lain sisi fungsi hukum administrasi negara dalam menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berwibawa memang sangat dibutuhkan. Salah satu agenda pembangunan nasional adalah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa Agenda tersebut merupakan

upaya untuk mewujudkan tota pemerintahan yang baik, antara lain, keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiens menjunjung tinggi supremau hukum dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Untuk itu diperlukan

Langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan, kualitas sumber daya manusia aparatur, dan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

91 manusia adalah salah satu aspek yang menentukan dari setiap aturan masyarakat hukum dan fungsi dasar negara. Kekerasan tidak hanya menimbulkan luka pada masyarakat, namun juga mencegah pencapaian tujuan lain, seperti pelaksanaan kebebasan dan akses terhadap keadilan. Dalam situasi ekstrim, kekerasan bisa menjadi norma karena peraturan hukum tidak ditegakkan. Unsur ini mencakup tiga dimensi: tidak adanya kejahatan terutama kejahatan konvensional; tidak adanya kekerasan politik, termasuk terorisme, konflik bersenjata, dan kerusuhan politik; dan tidak adanya kekerasan sebagai cara yang dapat diterima secara sosial untuk memperbaiki keluhan pribadi; untuk mempertanggungjawabkan fakta bahwa kekerasan mungkin merupakan manifestasi orang yang mengambil alih keadilan dengan tangannya sendiri. d. Hak Dasar Ukuran keempat mengukur perlindungan hak asasi manusia. Ini mengakui bahwa peraturan hukum harus lebih dari sekedar sistem peraturan, sistem hukum positif yang gagal menghormati hak asasi manusia yang dijamin dan ditetapkan berdasarkan hukum internasional adalah "peraturan perundang-undangan" terbaik, dan tidak layak disebut aturan sistem hukum. Secara umum, hak asasi manusia dapat dibagi menjadi tiga kategori: hak sipil dan politik; hak sosial, ekonomi, dan budaya; dan hak-hak lingkungan dan pembangunan.Meskipun tidak ada konsensus universal mengenai apa yang dilindungi oleh undang-undang hak asasi manusia, enam puluh tahun setelah diadopsi, Deklarasi Universal tetap menjadi batu ujian untuk menentukan hak mana yang dapat dianggap mendasar, walaupun hak yang lebih baru terus muncul dan diterima. Dengan demikian, ukuran keempat mencakup kepatuhan terhadap hak berikut: perlakuan yang sama dan tidak adanya diskriminasi; hak untuk hidup dan


92 keamanan individu; kebebasan berpikir, beragama, dan berekspresi, termasuk kebebasan media; kebebasan berserikat, termasuk hak untuk melakukan perundingan bersama; larangan pekerja paksa dan pekerja anak; hak untuk privasi; hak terdakwa; dan penerapan undangundang pidana yang berlaku surut. e. Pemerintahan Terbuka Pemerintahan terbuka memungkinkan akses, partisipasi, dan kolaborasi yang lebih luas antara pemerintah dan warganya, dan memainkan peran penting dalam mempromosikan akuntabilitas. Meminta informasi dari otoritas publik merupakan alat penting untuk memberdayakan warga negara dengan memberi mereka jalan untuk menyuarakan keprihatinan mereka dan menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah mereka. Dalam menjalankan pemerintahan terbuka ada 5 unsur yang perlu jadi pertimbangan dan empat unsur dasar di antaranya: undang-undang yang jelas, dipublikasikan dan stabil; proses administrasi yang terbuka untuk partisipasi publik; rancangan undangundang dan peraturan resmi yang tersedia untuk umum; dan tersedianya informasi resmi. Yang pertama dari unsur-unsur ini berhubungan dengan kejelasan, publisitas dan stabilitas yang dibutuhkan publik untuk mengetahui apa hukum dan tindakan yang diizinkan dan dilarang. Hukum harus dapat dipahami dan maknanya cukup jelas, dipublikasikan, dan dijelaskan kepada masyarakat umum dalam bahasa sederhana agar mereka dapat menaatinya. Jika undang-undang tidak dapat diakses, orang cenderung tidak mengetahui hak mereka, menggunakan cara hukum untuk memperbaiki keluhan mereka, dan menyadari dan memahami kewajiban mereka. Hal ini terutama terjadi pada sektor masyarakat yang kurang beruntung atau terpinggirkan, termasuk orang


93 miskin dan perempuan. Inilah beberapa prasyarat paling dasar untuk mencapai dan mempertahankan peraturan masyarakat hukum yang mampu menjamin ketertiban umum, keamanan pribadi, dan hak-hak fundamental. Unsur-unsur lain dalam faktor ini menyangkut pula proses dimana undang-undang tersebut diberlakukan, diatur dan diterapkan; dan sejauh mana undang-undang tersebut dapat diakses, adil dan efisien. Diantara indikasi akses adalah: apakah persidangan dilakukan dengan pemberitahuan tepat waktu dan terbuka untuk umum; apakah proses pembuatan undang-undang memberi kesempatan pada sudut pandang yang beragam untuk dipertimbangkan; dan apakah catatan proses legislatif dan administratif dan keputusan pengadilan tersedia untuk umum. f. Penegakan Peraturan yang Efektif Unsur keenam mengukur keadilan dan efektivitas dalam menegakkan peraturan pemerintah. Penegakan publik terhadap peraturan pemerintah meresap dalam masyarakat modern sebagai metode untuk mendorong perilaku 'baik'. Fitur kritis dari rule of law adalah peraturan tersebut ditegakkan dan diterapkan dengan benar oleh pihak berwenang, terutama karena penegakan hukum publik dapat meningkatkan kelalaian dan perlakuan sewenangwenang oleh pejabat yang mengejar kepentingan mereka sendiri. Kerangka kerja ini tidak melihat adanya bentuk peraturan tertentu, juga tidak memeriksa berapa banyak peraturan aktivitas tertentu yang sesuai. Sebagai gantinya, fokusnya pada seberapa baik peraturan diterapkan dan diberlakukan. Seberapa baik peraturan diterapkan dan diberlakukan terdiri dari unsur-unsur seperti penegakan peraturan pemerintah yang efektif, tidak adanya pengaruh yang tidak benar oleh pejabat publik atau kepentingan pribadi, kepatuhan terhadap


94 proses hukum dalam prosedur administratif, dan tidak adanya pengambilalihan kepemilikan pribadi oleh pemerintah tanpa kompensasi yang memadai. g. Akses terhadap Keadilan Sipil Akses terhadap keadilan sangat penting bagi penegakan hukum. Dalam aturan hukum masyarakat, semua orang harus bisa mendapatkan pemulihan sesuai dengan hak- hak dasar. Akses terhadap keadilan memiliki makna "tipis" dan "tebal". Dalam kerangka ini, antara menyukai konsepsi dan menangani akses terhadap keadilan maka akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan, terutama dalam hal akses terhadap nasihat dan akses ke pengadilan. Ini berbeda dengan kerangka kerja lain yang mengkonseptualisasikan akses terhadap keadilan dalam arti 'lebih tebal', di mana akses terhadap keadilan mencakup aspek lain seperti legitimasi pengadilan atau elemen yang berkontribusi untuk meningkatkan pemberdayaan hukum bagi orang miskin. Penilaian di bidang akses terhadap keadilan terdiri dari sistem peradilan perdata dan sistem peradilan pidana. Akses terhadap keadilan sipil, berfokus pada keadilan sipil dan mengukur apakah orang biasa dapat menyelesaikan keluhan mereka melalui institusi formal keadilan secara damai dan efektif, serta sesuai dengan norma sosial yang berlaku umum dan bukan menggunakan kekerasan atau swadaya. Akses terhadap keadilan sipil mensyaratkan agar sistem dapat diakses, terjangkau, efektif, tidak memihak, dan berkompeten secara budaya. Aksesibilitas mencakup kesadaran umum dengan perlakuan yang sewajarnya; ketersediaan dan keterjangkauan nasihat dan representasi hukum; dan tidak adanya biaya yang berlebihan atau tidak masuk akal, rintangan prosedural, hambatan linguistik, lokasi fisik gedung pengadilan, dan hambatan lain untuk mengakses sistem resolusi perselisihan formal. Ketidak-


95 berpihakan mencakup tidak adanya perbedaan sewenang-wenang atau irasional berdasarkan status sosial atau ekonomi dan bentuk bias lainnya, serta keputusan yang bebas dari pengaruh yang tidak benar oleh pejabat publik atau kepentingan pribadi. h. Peradilan Pidana yang Efektif Sistem peradilan pidana yang efektif merupakan aspek kunci dari rule of law karena hal ini merupakan mekanisme alami untuk memperbaiki keluhan dan membawa tindakan terhadap individu atas pelanggaran yang terjadi dalam masyarakat. Sistem peradilan pidana yang efektif mampu menyelidiki dan mengadili tindak pidana secara efektif dan tidak memihak, sambil memastikan bahwa hak-hak tersangka dan korban dilindungi. Namun, penilaian terhadap sistem semacam itu harus mempertimbangkan keseluruhan sistem; termasuk polisi, pengacara, jaksa, hakim, dan petugas lapas. i. Keadilan Informal Keadilan informal menyangkut peran yang dimainkan di banyak negara oleh sistem hukum tradisional, atau 'informal' termasuk pengadilan tradisional, kesukuan, dan agama serta sistem berbasis masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan. Sistem ini sering memainkan peran besar dalam budaya di mana lembaga hukum formal gagal memberikan pemulihan yang efektif untuk segmen populasi yang besar atau ketika institusi formal dianggap asing, korup, dan tidak efektif. Faktor ini mencakup dua konsep: 1. apakah mekanisme penyelesaian sengketa tradisional, komunal dan religius terbukti tidak memihak dan efektif; dan 2. sejauh mana sistem peradilan informal menghormati dan melindungi hak-hak dasar. Dari perspektif ilmu politik, 2 unsur ini mengacu pada empat gagasan dasar yang terkait dengan hubungan antara negara dan masyarakat sipil, yaitu checks and


96 balances mengenai kekuasaan pemerintah; Keefektifan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya; partisipasi dan kolaborasi antara negara dan warganya; dan tidak adanya penyalahgunaan sewenang-wenang oleh otoritas. Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau Nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. Eksistensi Negara Indonesia sebagai negara hukum ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Namun, tentunya ada prinsip-prinsip yang mencerminkan bahwa negara kita adalah negara hukum oleh karena itu, prinsip-prinsip ini harus ditegakkan dalam praktiknya demi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia tersebut bukan hanya diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, 1. Adanya Penegakan Hukum Melalui Pengujian Peraturan Perundang- undangan Salah satu konsekuensi dari suatu hirarki peraturan perundang-undangan bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah kedudukannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya. Apabila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya, maka dapat diawasi dengan mekanisme pengujian


97 (review), baik melalui Lembaga Eksekutif (executive review) maupun Lembaga Yudikatif (judicial review). Bentuk pengujian terbagi dua, yaitu: 1) pengujian formal (formale toetstingrecht), dan 2) pengujian material (materiale toetstingrecht). Pengujian formal berkaitan dengan apakah sudah tepat suatu lembaga negara berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, sedangkan, pengujian material berkaitan dengan apakah materi (isi) suatu peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya. Di Negara Republik Indonesia sendiri di mana UUD NRI Tahun 1945 memberikan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan kepada Lembaga Yudikatif, baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Ditegaskan juga dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Begitu pula, dalam UU No. 12 Tahun 2011 disebutkan dalam Pasal 9 yang berbunyi sebagai berikut: a. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.


98 b. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. 2. Adanya Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) Negara memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). UUD NRI Tahun 1945 Setelah Perubahan mengatur lebih kompleks tentang substansi perlindungan HAM meliputi: a. Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: 1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan 3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara b. Pasal 28A berbunyi bahwa Setiap orang berhakuntuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya c. Pasal 28B berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah 2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi d. Pasal 28C berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,


99 seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia 2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya e. Pasal 28D berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum 2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja 3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan 4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan f. Pasal 28E berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya 3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat g. Pasal 28F berbunyi bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia h. Pasal 28G berbunyi sebagai berikut:


100 1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi 2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain i. Pasal 28H berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan 2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan 3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat 4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun j. Pasal 28I berbunyi sebagai berikut: 1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun 2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan


101 berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu 3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban 4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah 5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan k. Pasal 28J berbunyi sebagai berikut: 1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara 2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis l. Pasal 29 ayat (2) berbunyi bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu m. Pasal 30 ayat (1) berbunyi bahwa Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara n. Pasal 31 ayat (1) berbunyi bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan o. Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:


102 1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara 2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan 3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak 3. Adanya Pemisahan Kekuasaan Melalui Sistem Check and Balance Menurut John Locke, berdasarkan sejarah perkembangan ketatanegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam bukunya ‚Two Treaties of Civil Government‛, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislatif power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan membentuk undang- undang, eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undangundang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain. Namun, terdapat perbedaan teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan antara John Locke dan Montesquieu. John Locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan ke dalam dan keluar dengan negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif, sedangkan


103 fungsi yudisial bagi John Locke cukup dimasukkan ke dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu terkait dengan fungsi pelaksanaan hukum. Namun bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negeri (diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif sehingga tidak perlu dibuat tersendiri. Justru dianggap penting oleh Montesquieu adalah fungsi yudisial atau fungsi kekuasaan kehakiman. Sementara Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan dalam empat fungsi, yang kemudian disebut dengan ‚catur praja‛, yaitu : a. Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif menurut Montesquieu; b. Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif; c. Rechtspraak (peradilan); dan d. Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (social order) dan perikehidupan bernegara. Di Negara Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, maka cabang- cabang kekuasaan negara meliputi: a. Lembaga Legislatif yang terdiri dari: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). b. Lembaga Eksekutif yang terdiri dari: Presiden, Wakil Presiden, Kementerian-kementerian Negara, Pemerintah Daerah (Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah). c. Lembaga Yudikatif yang terdiri dari: Mahkamah Agung (MA) beserta badan-badan peradilan yang berada dibawahnya seperti: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer, serta sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).


104 4. Adanya Pembatasan Kekuasaan Dalam Negara Salah satu prinsip Negara Hukum Eropa Kontinental (rechtsstaat) yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl pada abad ke-19, yaitu adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin Hak-Hak Asasi Manusia. Begitu pula, salah satu prinsip Negara Hukum Anglo Saxon (the rule of law) yang dikemukakan oleh Albert Venn Dicey pada tahun 1885, yaitu adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin Hak-Hak Asasi Manusia. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu : a. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). b. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). c. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut


105 falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah the rule of law yang dipelopori oleh A. V. Dicey, seorang sarjana Inggris kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon, yaitu ‚The Rule of Law, and not of Man‛ untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang. Istilah The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekadar bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang dipuncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Oleh karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting, sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekadar berfungsi


106 sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Kesepakatan ketiga adalah berkenaan dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (c) hubungan antar organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegara-an dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan Undang-Undang Dasar tidak boleh menyebabkan Undang-Undang Dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru. Salah satu contoh bentuk pembatasan kekuasaan adalah pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya maksimal dua periode dalam memegang masa jabatan (10 tahun). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun,


107 dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. 5. Adanya Persamaan Dihadapan Hukum dan Pemerintahan (equality before the law) Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakantindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui affirmative actions yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adat tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar. Di Negara Republik Indonesia, prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan dijamin pada beberapa dalam UUD NRI Tahun 1945: a. Pasal 27 ayat (1) berbunyi bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya b. Pasal 28D ayat (1) berbunyi bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang


108 sama di hadapan hukum. Ayat (3) berbunyi bahwa Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan 6. Adanya Peradilan Administrasi Karakteristik negara hukum rechtsstaat adanya peradilan administrasi untuk menyelesaikan perselisihan sebagaimana yang dikemukakan pertama kali oleh Friedrich Julius Stahl pada abad ke-19. Adanya suatu peradilan administrasi untuk mengontrol perilaku sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Peradilan administrasi dipandang sebagai peradilan khusus, dalam arti peradilan yang hanya diberi kewenangan menyelesaikan sengketa yang muncul di bidang administrasi dan kepegawaian atau sengketa yang terjadi antara pejabat administrasi dengan seseorang atau badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya keputusan. Di Negara Indonesia, keberadaan Peradilan Administrasi sering dikenal dengan sebutan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut SF. Marbun, bahwa tujuan pembentukan PTUN adalah untuk memberikan perlindungan terhadap semua warga negara yang merasa haknya dirugikan, sekalipun hal itu dilakukan oleh alat negara sendiri. Di samping itu, untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan umum dengan kepentingan perseorangan agar berjalan selaras dan rasa keadilan dalam masyarakat terpelihara serta dapat ditingkatkan yang sekaligus merupakan public service negara terhadap warganya. Pembentukan PTUN di negara kita dilandasi dengan seperangkat peraturan perundang- undangan antara lain: a. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada


109 di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi b. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara c. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara d. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Kekuasaan sering disamakan dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Kewenangan bahkan sering juga disamakan dengan wewenang. Kekuasaan bisanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ‚ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah‛ (the rule and the ruled). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai ‚blote match‛, sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara. Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum karena kekuasaan bukan hanya merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tapi juga instrumen penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan masyarakat. Pembentukan hukum, khususnya undang-undang, dilakukan melalui mekanisme kekuasaan politik dalam lembaga


110 legislatif dimana kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat yang saling bertentangan diupayakan untuk di kompromikan guna menghasilkan satu rumusan kaidahkaidah hukum yang dapat diterima semua pihak. Hukum juga mempunyai arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintahan, pejabat negara serta pemerintahan. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan-aturan hukum. Hukum disamping itu dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaan dapat dipertanggung jawabkan secara legal dan etis. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan juga merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan. Obyek hukum administrasi adalah kekuasaan pemerintahan (bestuur; Verwaltung). Konsep pemerintahan (bestuur; Verwaltung) dibedakan dalam dua makna, yaitu materiil dan formil. Pemerintahan dalam makna materiil, berarti konsep pemerintahan dirumuskan secara negatif, yaitu kekuasaan negara yang tidak termasuk kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudusial (Tatigkeit des states die nich Gesetzgebung oder Justiz ist). Selanjutnya dalam makna formil pemerintahan diartikan sebagai bentuk tertentu tindak pemerintahan (een bepalde vorm van overheidsoptreden). Pemaknaan demikian mengandung suatu pengertian fungsional tertentu, bahwa kekuasaan pemerintahan dalam praktik tidak pernah murni sebagai kekuasaan eksekutif sebagaimana teori yang diajarkan Montesquieu melalui Trias Politica nya (dalam praktik pemerintah melakukan aktivitas rule making, tidak sebatas rule executing belaka). Kekuasaan


111 pemerintahan tersebut juga bersifat aktif, tidak hanya kekuasaan terikat, tetapi juga kekuasaan tidak terikat (bebas). Kekuasaan pemerintahan dengan demikian lebih luas maknanya di bandingkan dengan kekuasaan eksekutif. Konsep kekuasaan pemerintahan dengan formulasi yang negatif dan pola residu (lingkungan kekuasaan negara di luar kekuasaan legislatif dan yudisial) tersebut, menun- jukkan keluasan bidang atau lapangan dari kekuasaan pemerintahan yang tidak dapat dirumuskan secara positif-enumeratif. Minus bidang kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif, maka lingkup kekuasaan tersebut adalah bidang kekuasaan pemerintahan yang dijalankan melalui tindakan pemerintahan (bestuurshandelingen) oleh badan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan tersebut dapat digambarkan melalui ragaan sebagai berikut : KEKUASAAN PEMERINTAHAN = Kekuasaan Negara – (Kekuasaan Legislatif + Kekuasaan Yudisial) Kekuasaan pemerintahan yang sangat luas bidang cakupannya, menimbulkan peluang yang sangat besar untuk terjadinya tindakan diskresi oleh pemerintah melalui kekuasaan regulasi (delegated regulation), dengan keputusan pemerintah (Keputusan Tata Usaha Negara)/KTUN), dengan tindakan faktual, tindakan polisionil dan penegakan hukum, pengenaan sanksi administrasi, dan lain-lain. Pemerintah yang dimaksudkan di sini adalah alat perlengkapan negara (tingkat pusat dan daerah) yang menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan.Pemerintah tingkat pusat dan daerah tersebut dapat merupakan petugas/pejabat (fungsionaris) ataupun badan (lembaga) pemerintahan. Mengacu pada konsep Rechtsstaat (secara harfiah berarti ‚State of Rights"; "Rights State") yang merupakan doktrin dalam pemikiran hukum Eropa, yang berasal dari yurisprudensi Jerman dan dapat diterjemahkan ke dalam


112 bahasa Inggris sebagai "Rule of Law", atau ‚Juridische Staat" , ‚Staat van de Wet" , "Staat van Rechtvaardigheid‛ atau " Staat Gebaseerd op Rechtvaardigheid en Integriteit, maka Rechtsstaat (negara hukum) adalah "negara konstitusi" di mana pelaksanaan kekuasaan pemerintahan dibatasi oleh Undang-undang. Hal ini terkait erat dengan ‚konstitusionalisme‛ meskipun sering dikaitkan dengan konsep negara hukum Anglo-Amerika, tetapi berbeda meskipun juga menekankan tentang apa yang adil (yaitu, konsep kebenaran moral berdasarkan etika, rasionalitas, hukum, hukum kodrat, agama atau keadilan). Hal ini kebalikan dari Obrigkeitsstaat atau Nichtrechtsstaat (negara yang didasarkan pada penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang) dan Unrechtsstaat (non-Rule of Law). Di dalam Negara Hukum, kekuasaan negara terbatas untuk melindungi warga negara dari penggunaan wewenang yang sewenang-wenang. Prinsip utama Negara Hukum pada dasarnya melingkupi : 1. De staat is gebaseerd op de suprematie van de nationale grondwet en garandeert de veiligheid en grondwettelijke rechten van zijn burgers (Negara didasarkan pada supremasi konstitusi nasional dan menjamin keamanan dan hak konstitusional warganya); 2. Het maatschappelijk middenveld is een gelijkwaardige partner van de staat (Masyarakat sipil adalah mitra yang setara dengan negara) 3. Scheiding van bevoegdheden , waarbij de uitvoerende, wetgevende en gerechtelijke takken van de overheid elkaars macht beperken en zorgen voor checks and balances De rechter en de uitvoerende macht zijn gebonden aan de wet (niet handelen tegen de wet), en de wetgever is gebonden aan grondwettelijke principes ( Pemisahan kekuasaan, di mana badan eksekutif, legislatif dan yudikatif saling membatasi kekuasaan satu sama lain dan memberikan pengawasan dan keseimbang-an. Hakim dan eksekutif terikat oleh hukum (tidak bertindak melawan hukum), dan badan legislatif terikat oleh prinsip konstitusional)


113 4. Zowel de wetgevende macht als de democratie zelf zijn gebonden aan elementaire grondwettelijke rechten en principes (Baik badan legislatif maupun demokrasi itu sendiri terikat oleh hak dan prinsip dasar konstitusional) 5. Transparantie van staatshandelingen en de vereiste om een reden te geven voor alle staatshandelingen (Transparansi tindakan negara dan kebutuhan untuk memberikan alasan bagi semua tindakan negara) 6. Beoordeling van staatsbesluiten en staatshandelingen door onafhankelijke organen, inclusief een beroepsprocedure (Review atas keputusan negara dan tindakan oleh badan independen, termasuk prosedur banding) 7. Hiërarchie van wetten en de eis van duidelijkheid en vastheid (Hirarki hukum dan tuntutan kejelasan dan kepastian) 8. Betrouwbaarheid van acties van de staat, bescherming van eerdere beschikkingen die te goeder trouw zijn genomen tegen latere acties van de staat, verbod op terugwerkende kracht (Kehandalan tindakan Negara, perlindungan keputusan sebelumnya yang dibuat dengan itikad baik terhadap tindakan negara, larangan efek retroaktif). 9. Principe van de evenredigheid van overheidsoptreden (Prinsip proporsionalitas tindakan pemerintah). Konsep pemerintahan yang baik dalam konsep hukum administrasi sering dianalogikan sejajar dengan konsep rechtmatig bestuur atau rechtmatigheid van bestuur. Di Indonesia konsep ini belum terdapat istilah baku untuk menyebut rechtmatig bestuur atau rechtmatigheid van bestuur. Penelusuran dari literatur ilmu hukum dikenal beberapa konsep yang berkenaan dengan asas rechtmatigheid seperti onrechtmatigheid yang diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum dan sebagian masyarakat mengartikannya dengan pengertian melawan hukum. Konsep onrechtmatigheid dalam Hukum Administrasi diartikan sebagai tindakan tidak sah. Pengertian ini dapat


114 dilihat dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), sedangkan rechtmatigheid diartikan sebagai menurut hukum ditemukan dalam penjelasan Pasal 67 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kekuasaan pemerintahan (bestuur) yang menjadi objek hukum administrasi memiliki makna sturing (sturen). Konsep sturen pada dasarnya mengandung unsur-unsur: 1. Sturen merupakan kegiatan kontinyu; kekuasaan pemerintah dalam menerbitkan izin mendirikan bangunan, misalnya, tidak hanya berhenti setelah diterbitkannya izin tersebut, tetapi kekuasaan pemerintahan senantiasa mengawasi agar izin dimaksud digunakan dan ditaati. 2. Sturen berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah konsep hukum publik. Sebagai konsep hukum publik, penggunaan kekuasaan harus dilandasi pada asas negara hukum, asas demokrasi, dan asas instrumental. Berkaitan dengan asas negara hukum adalah asas wet en rechtmatigheid van bestuur, asas demokrasi berkenaan dengan asas keterbukaan, sedangkan asas instrumental berkaitan dengan asas efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pemerintahan. 3. Sturen meliputi bidang di luar lapangan legislatif dan lapangan yudisiil. Lapangan ini lebih luas dari sekedar lapangan eksekutif. 4. Sturen senantiasa diarahkan kepada suatu tujuan (doelgericht). Di dalam Hukum Administrasi persoalan legalitas tindak pemerintahan berkaitan dengan pendekatan terhadap kekuasaan pemerintahan. Pendekatan kekuasaan berkaitan dengan wewenang yang diberikan menurut undang-undang


115 berdasarkan asas legalitas atau asas rechtmatigheid. Pendekatan demikian menentukan kontrol atau pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan pemerintahan. Apabila terdapat penyimpangan atau pelanggaran terhadap penggunaan kekuasaan oleh pemerintah, maka tanggungjawab negara dilakukan atas dasar asas legalitas atau asas rechtmatigheid, baik secara formal yang berkaitan dengan wewenang dan prosedur, maupun secara substansial /material yang berkaita dengan tujuan. Menurut Frans Magnis Suseno, bila menyebut negara hukum, maka paling tidak di dalamnya akan terkandung ciriciri sebagai berikut : 1. kekuasaannya dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku; 2. kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif; 3. berdasarkan sebuah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak asasi manusia; 4. adanya pembagian kekuasaan. Ciri-ciri di atas pada prinsipnya sejalan dengan adanya prinsip/asas legalitas sebagai batasan penggunaan kekuasaan pemerintahan, artinya penggunaan wewenang pemerintahan harus dapat ditunjukkan dasar pemberian wewenang tersebut (legalitas formal). Pemberian wewenang yang merupakan dasar legalitas formal dari kekuasaan pemerintahan, secara paralel juga disyaratkan dasar legalitas material (tujuan) dari pemberian wewenang. Legalitas material (tujuan) merupakan asas khusus (specialiteit beginsel) yang oleh Prajudi Atmosudirdjo diistilahkan sebagai asas yuridikitas. Legalitas material (tujuan) yang merupakan suatu ‚specialiteit beginsel‛, dalam pengujiannya tidak mendasarkan pada peraturan perundang-undangan (legalitas formal) tetapi mendasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene begin-selen van behoorlijk bestuur).


116 Setiap badan/pejabat pemerintahan selaku fungsionaris, dalam menggunakan kekuasaan pemerintahannya, senantiasa dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkannya. Sjachran Basah dalam hubungan ini mengemukakan bahwa pelaksaaan pemerintahan dengan freies Ermessen harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Pendekatan hukum administrasi terhadap batasan penggunaan kekuasaan pemerintahan di Inggris yang bersandar pada ‚Rule of Law‛ yang berarti penggunaan wewenang (untuk pelayanan publik) tidak diperbolehkan keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. Paul Craig dalam hubungan ini mengemukakan bahwa batasan kekuasaan pemerintahan difokuskan pada Ultra Vires. Unsur-unsur Ultra Vires merupakan unsur-unsur yang berisi aspek substansial dan aspek prosedural. E.I Sykes BA17 membagi unsur Ultra Vires ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu : 1. Substantive express Ultra Vires, terjadi dalam hal tindakan dilakukan di luar wewenang yang diberikan; 2. Substantive implied Ultra Vires, tindakan yang masih dalam wewenang, tetapi cacat karena adanya pembatasan yang diterapkan terhadap instrumen tersebut berdasarkan prinsip-prinsip umum tentang interpretasi peraturan perundang-undangan; 3. Procedural Ultra Vires, berkaitan dengan persyaratan prosedur yang membuat tindakan yang diambil menjadi cacat (tidak sah). Hukum Administrasi Belanda sebagaimana dikemukakan oleh J.van der Hoeven 18 sangat menekankan segi-segi rechtmatigheid (keabsahan) yang pada dasarnya berkaitan dengan rechtmatigheids-controle (pengujian keabsahan), juga menunjukkan fokus pada batasan penggunaan kekuasaan oleh pemerintah. Pengujian keabsahan dilakukan atas dasar legalitas (rechtmatigheid), baik bersifat legalitas


117 formal (wewenang dan prosedur) maupun legalitas material (tujuan). Apabila penggunaan kekuasaan pemerintahan tidak memenuhi dasar legalitas tersebut akan menyebabkan cacat dalam tindakan pemerintahan. Cacat wewenang mengakibatkan tindakan atau keputusan pemerintah menjadi batal demi hukum (van rechtwege nietig). Cacat prosedur tidak menyebabkan tindakan atau keputusan pemerintah menjadi batal, namun kekurangan yang ada harus dilengkapi. Cacat prosedur dapat dimohonkan pembatalan (vernietigbaar), tetapi bukan batal demi hukum. Tindakan atau keputusan pemerintah batal demi hukum jika dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah yang nyata-nyata tidak berwenang untuk itu. Kekuasaan pemerintahan yang dalam penggunaannya dapat menimbulkan konsekuensi hukum dapat dianalisis dengan menggunakan konsep kesalahan pribadi dan kesalahan jabatan. Konsep tersebut menjadi dasar untuk menentukan apakah kesalahan itu menjadi tanggung jawab pribadi atau tanggung jawab jabatan. Konsep kesalahan pribadi dan kesalahan jabatan, awalnya berkembang di Negara Prancis berkaitan dengan penggunaan wewenang. Penggunaan wewenang oleh pemerintah menurut konsep hukum Prancis beranjak dari dua prinsip utama yang telah ditetapkan oleh Conseil d’ètat sebagai dasar dalam pelayanan publik (public service). Pertama adalah ‚Legalitè‛ dan yang kedua adalah ‚Responsibilitè‛. Legalitè (legalitas) berarti bahwa pemerintah harus bertindak sesuai dengan hukum, oleh karenanya keputusankeputusannya berisiko untuk dibatalkan oleh pengadilan administrasi. Responsibilitè mengidentifikasi bahwa pemerintah akan bertanggung gugat untuk ganti kerugian


118 bagi warga yang mengalami krugian oleh keputusan atau tindakan pemerintahan. Conseil d’ètat dan pertimbangan dari Tribunal de Conflicts selanjutnya mengembangkan ukuran kesalahan untuk tanggung gugat atas kerugian menjadi : 1. Faute Personelle (Kesalahan Pribadi), yaitu kesalahan pribadi seseorang yang merupakan bagian dari pemerintahan. Kesalahan yang dilakukan tidak berkaitan dengan pelayanan publik, tetapi menunjukkan kelemahan orang tersebut, keinginan-keinginan atau nafsunya dan kurang hati-hati atau kelalaiannya. Faute Personelle dalam kaitannya dengan tanggung gugat Negara, maka pegawai dapat digugat oleh sesorang yang dirugikan di Ordinary Court (Pengadilan Umum) selaku pribadi dan bertanggung gugat atas kesalahan sendiri. 2. Faute de Service (Kesalahan Jabatan), yaitu kesalahan dalam penggunaan wewenang dan hanya berkaitan dengan pelayanan publik. Pejabat publik akan melindungi diri dengan alasan adanya prinsip ‚separation of power‛ yang melarang Ordinary Court untuk menerima aduan atas tindakan pemerintahan yang menyimpang. Apabila terdapat pihak yang dirugikan maka gugatan harus diajukan ke Peradilan Administrasi (Tribunal de Conflict), yang berpegang pada prinsip dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan yang disebut Les Principes Generaux Du Droi, yang meliputi : Violation de la loi, Incompetence, Vice de forme, L’inexistence, Detournement de pouvoir. Pelanggaran terhadap kelima prinsip tersebut dikategorikan bertentangan dengan prinsip legalitè. Konsep kesalahan pribadi dan kesalahan jabatan di atas menjadi dasar untuk menentukan apakah kesalahan itu menjadi tanggung jawab pribadi atau tanggung jawab jabatan.


119 Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan perilaku, yang dalam konteks hukum administrasi berkenaan dengan Maladministrasi yaitu penggunaan wewenang dalam pelayanan publik. Penggunaan wewenang yang dimaksud di sini meliputi tindakan pemerintahan menurut ketentuan peraturan perundangundangan dan tindakan dalam menetapkan suatu kebijakan atau diskresi. Berkaitan dengan anggung jawab pribadi tidak dikenal asas ‚Superior Respondeat‛ atau asas ‚Vicarious Liability‛ (atasan bertanggung jawab atas per- buatan bawahan). Parameter yang dipergunakan dalam pengujian, di samping norma pemerintahan yang baik (sebagai parameter fungsi pemerintahan), juga norma perilaku aparat. Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan prinsip keabsahan (legalitas) tindak pemerintahan. Legalitas dalam konteks hukum administrasi berkaitan dengan pendekatan kekuasaan pemerintahan. Pendekatan kekuasaan berkaitan dengan wewenang yang diberikan menurut undang-undang berdasarkan asas legalitas atau asas rechtmatigheid. Pendekatan kekuasaan menentukan kontrol atau pengawasan terhadap peng- gunaan kekuasaan.yang apabila terdapat penyimpangan atau pelanggaran terhadap penggunaan kekuasaan pemerintahan, maka tanggung jawab negara dilakukan atas dasar asas legalitas atau asas rechtmatigheid. Perbedaan antara tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab jabatan atas tindakan pemerintahan membawa konsekuensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata, dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN). Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi, yang dalam kaitan dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan adanya maladministrasi. Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan melanggar hokum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat unsur


120 maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah tanggung gugat jabatan 1. Prinsip-Prinsip Demokrasi Demokrasi merupakan salah satu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang, dan didalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama didalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencitacitakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti feodalisme dan antiinterialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sosialis. Maka dari itu dalam makalah ini Penyusun akan memaparkan tentang perkembangan dan penerapan demokrasi di Indonesia. Bangsa Indonesia dengan segala keanekaragamannya merupakan suatu ciri khas yang tidak dimiliki oleh negara lain. Kita memiliki ideologi dan dasar hukum yang sama, tujuannya sama, dan jiwa yang sama, semuanya terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. 2. Pengertian Demokrasi Secara etimologis demokrasi berasal dari kata Yunani yaitu ‚Demokratia‛ yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat, kratos atau cratein yang berati kedaulatan atau pemerintahan. Secara harfiah, demokrasi berarti suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan atau kedaulatan ada ditangan rakyat. Dengan kata lain, rakyat dilibatkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


121 Muntoha menyebutkan, demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum. Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Sedangkan dalam negara yang berdasarkan atas hukum, dalam hal ini hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam suatu negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi, di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Berdasarkan teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia, tidak mungkin dicapai masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama- sama. Maka, dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara.


122 Oleh karena itu, hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi, karena hukum tidak dimaksudkan hanya untuk menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang sehingga negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, tetapi demcratische rechtsstaat. 3. Konsepsi Demokrasi Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Karena berbagai varian implementasi demokrasi tersebut, maka di dalam literatur kenegaraan dikenal beberapa istilah demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti ‚rakyat berkuasa‛ atau government or rule by the people (kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/ kratein berarti kekuasaan/ berkuasa). Sementara itu, Sidney Hook memberikan definisi tentang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan secara langsung didasarkan pada keputusan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Hal ini berarti bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupan mereka, termasuk dalam menilai kebijaksanaan negara yang turut menentukan kehidupan mereka tersebut.


123 Oleh karena itu, demokrasi sebagai suatu gagasan politik di dalamnya terkandung 5 (lima) kriteria, yaitu: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyarakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Secara komprehensif kriteria demokrasi juga diajukan oleh Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo. Carter dan Herz mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dan dijalankannya melalui prinsip-prinsip: (1) pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif; (2) adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan; (3) persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik; (4) adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif; (5) diberinya kebebasan partisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa; (6) adanya penghormatan terhadap hak rakyat


124 untuk menyatakan pandangannya betapa pun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu; dan (7) dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasif dan diskusi daripada koersif dan represif. Sedangkan Henry B. Mayo menyatakan bahwa nilainilai yang harus dipenuhi untuk kriteria demokrasi adalah: (1) menyelesaikan pertikaian- pertikaian secara damai dan sukarela; (2) menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah; (3) pergantian penguasa dengan teratur; (4) pengunaan pemaksaan seminimal mungkin;(5) pengakuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai keanekaragaman; (6)menegakkan keadilan; (7) memajukan ilmu pengetahuan; dan (8) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan. Dalam pandangan lain, demokrasi sebagai suatu gagasan politik merupakan paham yang universal sehingga di dalamnya terkandung beberapa elemen sebagai berikut: a. Penyelenggara kekuasaan berasal dari rakyat; b. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya; c. Diwujudkan secara langsung maupun tidak langsung; d. Rotasi kekuasaan dari seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok yang lainnya, dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai; e. Adanya proses pemilu, dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara teratur dalam menjamin hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih; dan


125 f. Adanya kebebasan sebagai HAM, menikmati hakhak dasar, dalam demokrasi setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasarnya secara bebas, seperti hak untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat dan lain-lain. Dalam rangka mengimplementasikan semua kriteria, prinsip, nilai, dan elemen-elemen demokrasi tersebut di atas, perlu disediakan beberapa lembaga sebagai berikut: a. Pemerintahan yang bertanggung jawab; b. Suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang- kurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan/perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol) memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah secara kontinyu; c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik. Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinyu antara masyarakat umum dan pemimpin-pemimpinnya; d. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; dan e. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hakhak asasi dan mempertahankan keadilan. Itulah landasan mekanisme kekuasaan yang diberikan oleh konsepsi demokrasi, yang mendasarkan pada prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Pada hakikatnya, kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religious, legitimasi ideologis eliter, atau legitimasi pragmatis. Namun, kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut, dengan sendirinya, mengingkari kesamaan dan


126 kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi tersebut akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter. Dengan demikian, kekuasaan yang diperoleh melalui mekanisme demokrasi, karena konsepsi demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang demokratis karena kehendak rakyatlah sebagai landasan legitimasinya. 4. Konsepsi Negara Hukum Secara historis, gagasan tentang konsepsi negara hukum terus bergulir sejalan dengan arus perkembangan sejarah. Mulai dari konsepsi negara hukum liberal (nachwachter staat/negara sebagai penjaga malam) ke negara hukum formal (formele rechtsstaat) kemudian menjadi negara hukum materiil (materiele rechtsstaat) hingga pada ide negara kemakmuran (welvarstaat) atau negara yang mengabdi kepada kepentingan umum (social service state atau sociale verzorgingsstaat). Negara hukum liberal atau yang sering disebut sebagai negara hukum dalam arti sempit adalah konsepsi yang diberikan oleh Immanuel Kant (1724 – 1804 SM), yang kemunculannya bersamaan dengan lahirnya faham liberalisme yang menentang kekuasaan absolut dari para raja pada masa itu.( 16Faham liberalism terlahir sebagai antithesis dari faham mercantilisme yang ketika itu tumbuh subur di Perancis pada masa pemerintahan Lodewijk XIV, Spanyol, Portugal, sementara di Jerman


127 dan Austria faham mercantilisme tersebut bernama kamerwissenchaft. Faham ini menghendaki suatu neraca perdagangan yang positif (activehandelbalance), maka hal ini berpengaruh kepada bentuk negara dan bentuk pemerintahan yaitu monarchi absolut, di mana raja lah yang menentukan segala- galanya untuk rakyatnya sendiri. Artinya, walaupun raja mau menyelenggarakan kepentingan rakyat, tetapi rakyat tidak boleh ikut campur tangan). Menurut faham liberalisme negara justeru harus melepaskan dirinya dari campur tangan urusan kepentingan rakyatnya, yang berarti sikap negara harus pasif (staatsonthouding). Hal ini berpengaruh pada bentuk negara dan bentuk pemerintahan yang kemudian menjadi monarchi konstitusional, yaitu adanya pembatasan kekuasaan raja oleh konstitusi sebagai akibat dari perjanjian yang dilakukan dengan rakyatnya yang menentukan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama. Oleh karena itu, tipe negaranya pada masa itu adalah negara hukum liberal(nachwachterstaat). Dalam negara hukum liberal ini terdapat jaminan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan hukum yang sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Maka, untuk mencapai tujuan ini, negara harus mengadakan pemisahan kekuasaan yang masing-masing mempunyai kedudukan yang sama tinggi dan sama rendah, tidak boleh saling mempengaruhi dan tidak boleh campur tangan satu sama lain sehingga untuk dapat disebut sebagai negara hukum dalam tipe ini harus memiliki 2 (dua) unsur pokok, yaitu:(1) Perlindungan terhadap hakhak asasi manusia; dan (2) Pemisahan kekuasaan dalam negara. Namun dalam perkembangan tuntutan masyarakat tidak lagi menghendaki faham liberalisme ini dipertahankan, (Faham liberalisme ini telah mengakibatkan


128 negara hukum liberal itu hanya mementingkan individualisme, sedangkan kemampuan masing-masing individu tidaklah sama sehingga orang yang mempunyai kemampuan tinggi akan selalu menang dalam persaingan dengan orang yang tidak mampu yang dapat menimbulkan perbedaan yang sangat menonjol sehingga menimbulkan gejolak social), sehingga negara terpaksa turut campur tangan dalam urusan kepentingan rakyat, hanya saja masih dalam koridor saluran-saluran hukum yang telah ditentukan. Sejak itulah lahir negara hukum formil,Pada negara hukum formil ini sebagaimana dikemukakan oleh F. J. Stahl unsur- unsurnya bertambah menjadi 4 (empat) unsur dari yang semula hanya 2 (dua) unsur pada konsepsi negara hukum liberal yang telah dikemukakan oleh Immanuel Kant tersebut di atas. Keempat unsur negara hukum formil tersebut adalah: (1) Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; (2) Pemisahan/pembagian kekuasaan; (3) Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundangundangan yang telah ada; dan (4) Adanya Peradilan Administrasi yang berdiri sendiri), yang dalam perspektif ini negara hanya dipandang sebagai instrument of power, akibatnya telah menimbulkan reaksi-reaksi dalam wujud pemikiran-pemikiran baru tentang suatu sistem yang baru, yaitu aliran-aliran yang tidak hanya memandang negara sebagai instrument of power saja, tetapi negara justeru dipandang sebagai agency of service. Maka timbullah konsep Welfare State (negara kesejahteraan/kemakmuran). Dalam literatur ilmu kenegaraan istilah lain untuk menyebut tipe negara ini lazim dikenal dengan istilah negara hukum materiil, yang sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsepsi negara hukum formil. Dalam konsepsi negara hukum materiil ini tindakan dari penguasa dalam keadaan mendesak demi kepentingan warga negaranya dibenarkan bertindak


129 menyimpang dari undang- undang atau berlaku asas opportunitas. Sedangkan pada negara hukum formil, tindakan dari penguasa mutlak harus berdasarkan undang-undang atau berlaku asas legalitas. Tipe negara welfare state (negara hukum materiil) ini sering disebut sebagai negara hukum dalam arti yang luas atau juga disebut sebagai Negara Hukum Modern), yang terutama memandang manusia tidak hanya sebagai individu, akan tetapi juga sebagai anggota atau warga dari suatu kolektivitas dan juga untuk tujuan diri sendiri. Dalam konsepsi negara kesejahteraan/kemakmuran ini, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh rakyat banyak, peran personal untuk menguasai hajat hidup rakyat banyak dihilangkan. Perkembangan inilah yang memberikan legislasi bagi negara intervensionis pada abad ke-20. Negara justeru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Adapun yang menjadi ciri- ciri pokok dari suatu welfare state (negara kesejahteraan/kemakmuran) adalah sebagai berikut: a. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dipandang tidak prinspiil lagi. Pertimbanganpertimbangan efisiensi kerja lebih penting daripada pertimbangan-pertimbangan dari sudut politis, sehingga peranan dari organ-organ eksekutif lebih penting daripada organ legislatif; b. Peranan negara tidak terbatas pada penjaga keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi negara secara aktif berperanan dalam penyelenggaraan kepentingan rakyat di bidang-bidang sosial, ekonomi dan budaya, sehingga perencanaan (planning) merupakan alat yang penting dalam welfare state;


130 c. Welfare state merupakan negara hukum materiil yang mementingkan keadilan sosial dan bukan persamaan formil; d. Hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak yang mutlak, akan tetapi dipandang mempunyai fungsi sosial, yang berarti ada batas-batas dalam kebebasan penggunaannya; dan e. Adanya kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan karena semakin luasnya peranan negara dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Welfare State (negara hukum materiil) telah menjadi trends negara- negara di dunia pada abad ke-20 (modern) ini. Akan tetapi, perlu disadari sebesar-besarnya bahwa dalam tipe negara hukum ini mudah sekali untuk timbulnya penyalahgunaan kekuasaan karena freis ermessen memegang peranan yang sangat banyak. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk menghindari penyalahgunaan ini, baik penyalahgunaan wewenang sendiri maupun penyalahgunaan wewenang yang bukan wewenangnya oleh alat perlengkapan negara lainnya, terutama sekali guna melindungi kepentingan rakyatnya, maka setiap alat perlengkapan negara harus berada di bawah suatu kontrol yang kuat serta sistematis melalui suatu sistem pertanggungjawaban tertentu. Apabila ternyata tidak dapat memberikan pertanggungjawaban yang telah ditentukan harus dikenakan sanksisanksi hukum sebagaimana mestinya. Untuk kepentingan ini adanya suatu peradilan administrasi menjadi urgen. 5. Negara Hukum Demokratis; Sintesisme Demokrasi dan Negara Hukum Sebagaimana telah dikatakan pada bagian pengantar dari tulisan ini bahwa demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi yang saling berkaitan yang satu


131 sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Pada konsepsi demokrasi, di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie) sedangkan di dalam konsepsi negara hukum terkandung prinsip-prinsip negara hukum (nomocratie), yang masing-masing prinsip dari kedua konsepsi tersebut dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Paham negara hukum yang demikian dikenal dengan sebutan ‚negara hukum yang demokratis‛ (democratische rechtsstaat) atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy. Disebut sebagai ‚negara hukum yang demokratis‛, karena di dalamnya mengakomodasikan prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip- prinsip demokrasi, yaitu: a. Prinsip-prinsip Negara Hukum : 1) Asas legalitas, pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan peraturan umum. Kemauan undang-undang itu harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar, pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintah harus dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal; 2) Perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM); 3) Keterikatan pemerintah pada hukum; 4) Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum; dan 5) Pengawasan oleh hakim yang merdeka dalam hal organ-organ pemerintah melaksanakan dan menegakkan aturan-aturan hukum. b. Prinsip-prinsip Demokrasi : 1) Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu Negara dan dalam masyarakat


132 hokum yang lebih rendah diputuskan oleh badan perwakilan, yang diisi melalui pemilihan umum; 2) Pertanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga perwakilan; 3) Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, kewenangan badan-badan publik itu harus dipencarkan pada organ-organ yang berbeda; 4) Pengawasan dan kontrol (penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat dikontrol; 5) Kejujuran dan terbuka untuk umum; dan 6) Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan. Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie, menegaskan bahwa negara hukum yang bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat horizontal gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy) mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu: 1) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; 2) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas; 3) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan


133 yang bersifat vertikal antar institusi negara dengan warga negara. Dalam pandangannya, keempat prinsip-prinsip pokok dari demokrasi tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi), yaitu: 1) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia; 2) Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme kekuasaan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal; 3) Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; 4) Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara); 5) Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif; 6) Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundangundangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksana prinsip-prinsip tersebut; dan 7) Pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan


134 kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Frans Magnis Suseno, demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. Dengan demikian dalam negara hukum yang demokratis, hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan ‚tangan besi‛ berdasarkan kekuasaan semata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum (rechtsstaat) karena perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya mobokrasi, yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri. 6. Negara Hukum ‚Indonesia‛ Yang Demokratis Indonesia, sebagai negara yang terlahir pada abad modern melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 juga ‚mengklaim‛ dirinya sebagai negara hukum. Hal ini terindikasikan dari adanya suatu ciri negara hukum yang prinsip-prinsipnya dapat dilihat pada Konstitusi Negara R. I. (sebelum dilakukan perubahan), yaitu dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (non Pasal-pasal tentang HAM), dan Penjelasan UUD 1945 dengan rincian sebagai berikut: a. Pembukaan UUD 1945, memuat dalam alinea pertama kata ‚peri- keadilan‛, dalam alinea kedua ‚adil‛, serta dalam alinea keempat terdapat perkataan ‚keadilan sosial‛, dan ‚kemanusiaan yang adil‛. Semua istilah itu berindikasi kepada pengertian negara hukum, karena bukankah suatu tujuan hukum itu untuk mencapai negara keadilan. Kemudian dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat juga ditegaskan ‚maka disusunlah


135 kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia‛. b. Batang Tubuh UUD 1945, menyatakan bahwa ‚Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- undang Dasar (Pasal 14). Ketentuan ini menunjukkan bahwa presiden dalam menjalankan tugasnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang Dasar. Pasal 9 mengenai sumpah Presiden dan Wakil Presiden ‚memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya seluruslurusnya‛. Melarang Presiden dan Wakil Presiden menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya suatu sumpah yang harus dihormati oleh Presiden dan Wakil Presiden dalam mempertahankan asas negara hukum. Ketentuan ini dipertegas lagi oleh Pasal 27 UUD 1945 yang menetapkan bahwa ‚segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya‛. Pasal ini selain menjamin prinsip equality before the law, suatu hak demokrasi yang fundamental, juga menegaskan kewajiban warga negara untuk menjunjung tinggi hukum suatu prasyarat langgengnya negara hukum; dan c. Penjelasan UUD 1945, merupakan penjelasan autentik dan menurut Hukum Tata Negara Indonesia, Penjelasan UUD 1945 itu mempunyai nilai yuridis, dengan huruf besar menyatakan: ‚Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat)‛. Ketentuan yang terakhir ini menjelaskan apa yang tersirat dan tersurat telah dinyatakan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dari ketiga ketentuan di atas, penegasan secara eksplisit Indonesia sebagai negara hukum dapat dijumpai


136 dalam Penjelasan UUD 1945. Lain halnya dengan dua konstitusi (Konstitusi RIS dan UUDS 1950) yang pernah berlaku di Indonesia, terdapat penegasan secara eksplisit rumusan Indonesia sebagai negara hukum. Dalam Mukaddimah Konstitusi RIS misalnya disebutkan pada alinea ke-4; ‚untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna‛. Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS juga disebutkan; ‚Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi‛. Demikian pula halnya, di dalam Mukaddimah UUDS 1950 pada alinea keempat menyebutkan: Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan, berdasar pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna. Kemudian di dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 disebutkan; Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, rumusan negara hukum Indonesia yang semula hanya dimuat secara implisit baik di dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945 dan secara eksplisit dimuat di dalam Penjelasan UUD 1945, penempatan rumusan negara hukum Indonesia telah bergeser kedalam Batang Tubuh UUD 1945 yang secara tegas dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Jika dikaitkan dengan unsurunsur negara hukum sebagaimana uraian pada


137 pembahasan di atas, maka dapat ditemukan pengaturan unsur-unsur negara hukum dalam Batang Tubuh UUD 1945 sebagai berikut: a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM); Perlindungan terhadap HAM di dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) selain telah dijamin pengaturannya pada Pembukaan UUD 1945, juga telah diatur dalam Batang Tubuh UUD 1945 yaitu dalam Pasal-pasal 27, 28, 29, 30, 31, dan Pasal 34. Kemudian setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, perlindungan terhadap HAM telah dijamin pengaturannya lebih komprehensif lagi jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan yang dituangkan dalam pasal-pasal HAM pada bab tersendiri yaitu Bab X A dengan judul ‚Hak Asasi Manusia‛, dan di dalamnya terdapat 10 pasal tentang HAM ditambah 1 pasal (pasal 28) dari bab sebelumnya (Bab X) tentang ‚Warga Negara dan Penduduk‛, sehingga ada 11 pasal tentang HAM mulai dari Pasal 28, 28 A sampai dengan Pasal 28 J. 34 UUD 1945 sebelum perubahan menganut paham pembagian kekuasaan secara vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Dalam hal ini kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya. Akan tetapi, dalam Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal jelas mulai dianut oleh para perumus Perubahan UUD 1945 seperti tercermin dalam Perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) sampai ayat (5). 35Sebagai suatu negara hukum berdasarkan UUD 1945, Presiden RI


138 memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Semua ketentuan UUD 1945 itu merupakan hukum positif yang menjadi dasar konstitusional (Constitutionale atau Grondwettelyke Grondslag) dari adanya sifat wetmatigheid van het bestuur, seperti yang telah termuat di dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Meskipun keberadaan peradilan administrasi (administrative court) merupakan ciri khas negara hukum liberal yang lebih mengutamakan perlindungan terhadap hak asasi individu, namun dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan cita Negara Pancasila peradilan administrasi negara bukanlah unsur utama, melainkan unsur turunannya yang diturunkan dari unsur utama karena dalam cita Negara b. Pemisahan / pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan d. Peradilan administrasi yang berdiri sendiri. Dengan demikian, dalam sistem konstitusi Negara Indonesia cita negara hukum itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam pasalpasal UUD 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasannya ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Sementara dalam Konstitusi RIS Tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan, demikian pula dalam UUDS 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah negara hukum dicantumkan dengan tegas. Bahkan dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001 terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, ketentuan mengenai negara hukum ini kembali dicantumkan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3)


139 yang berbunyi: ‚Negara Indonesia adalah Negara Hukum‛. Oleh karena itu, secara teoritis gagasan kenegaraan Indonesia telah memenuhi persyaratan sebagai negara hukum modern, yaitu negara hukum yang demokratis dan bahkan menganut pula paham negara kesejahteraan (welfare-state). Dikalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat tindakan hukum pemerintahan ini. Sebagian menyatakan bahwa perbuatan hukum yang terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat sepihak atau hubungan hukum bersegi satu (eenzidige). Bagi mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang bersegi dua, tidak ada perjanjian yang diatur partikelir diadakan suatu perjanjian, maka hukum yang mengatur perjanjian itu senantiasa hukum privat. Perjanjian itu suatu perbuatan hukum yang bersegi dua karena diadakan oleh dua kehendak (yang ditentukan dengan sukarela, yang suatu persesuaian kehendak antara dua pihak. Sementara disebutkan, ada perbuatan hukum pemerintahan bersegi dua. Mereka mengakui adanya perjanjian yang diatur oleh hukum publik seperti kortverband contract atau perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek. Meskipun dikenal adanya tindakan pemerintah yang bersegi dua, namun dari argumentasi masing-masing penulis tampak bahwa pada prinsipnya semua tindakan pemerintah yang bersegi dua, namun dari argumentasi masing-masing penulis tampak bahwa pada peinsipnya semua tindakan pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugas public lebih merupakan tindakan sepihak atau bersegi satu. Indroharto bahkan menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha Negara itu selalu bersifat sepihak. Tindakan hukum tata usaha Negara itu dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum


140 tata usaha Negara yang memiliki kukuatan hukum itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak dari badan atau jabatan tata usaha Negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian. Pada perjanjian kerja jangka pendek (kortverband contract), yang dijadikan contoh hubungan hukum dua pihak dalam hukum public, harus dianggap sebagai cara pelaksanaan tindakan pemerintahan bukan esensi dari tindakan hukum pemerintahan itu sendiri. Di dalam praktek, urusan pemerintahan yang sangat luas dan kompleks itu tidak selalu dijalankan oleh pemerintah atau tata usaha Negara seperti Presiden sebagai kepala pemerintahan beserta perangkatnya atau Kepala Daerah beserta perangkatnya, namun dijalankan pula oleh pihakpihak lain bahkan pihak swasta yang mendapatkan wewenang untuk menjalankan sebagian urusan pemerintahan. E. Utrecht menyebutkan beberapa cara pelaksanaan urusan pemerintahan, yaitu sebagai berikut: 1. Yang bertindak ialah administrasi Negara sendiri; 2. Yang bertindak ialah subyek hukum (badan hukum) lain yang tidak termasuk administrasi Negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah; 3. Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara dan yang menjalankan pekerjaannya berdasarkan suatu konsesi atau berdasarkan izin (vergunning) yang diberikan oleh pemerintah; 4. Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara dan yang diberi subsidi pemerintah; 5. Yang bertindak ialah pemerintah bersama-bersama dengan subyek hukum lain yang bukan administrasi Negara dan kedua belah pihak itu tergabung dalam bentuk kerjasama (vorm van samenwerking) yang diatur oleh hukum privat;


Click to View FlipBook Version