141 6. Yang bertindak ialah yayasan yang didirikan oleh pemerintah yang diawasi pemerintah; 7. Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang bukan administrasi Negara tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi perundang-undangan). 1. Hak dan Kewajiban Warga Negara Hak yang dimiliki warga negara: a. Hak untuk mendapatkan informasi tentang syaratsyarat apa yg hrs dipenuhi/dilengkapi oleh warga negara sebagai pemohon; b. Hak untuk mendapatkan informasi tentang jangka waktu penyelesaian izin atau surat keputusan berapa lama dalam prosesnya tersebut; c. Hak untuk mendapatkan gambaran tentang alur atau proses penyelesaian atau SOP; d. Hak untuk mendapatkan informasi berapa besarnya biaya yang dibayar oleh Pemohon untuk biaya administrasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. Izin atau Surat Keputusan/KTUN; f. Adapun kewajibannya adalah pemohon melengkapi persyaratan yang telah ditentukan oleh peraturan per-UU-an yang berlaku dan Pemohon membayar biaya yang telah ditentukan dalam peraturan perUU-an yang berlaku. 2. Hak dan Kewajiban Pejabat Pemerintahan Pasal 6 UU No. 30/2015 tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan: ayat (1). Pejabat pemerintahan memiliki hak utk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan; Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
142 Hak Pejabat Pemerintahan: a. Melaksanakan kewenangan yg dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangn dan AUPB; b. Menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan kewenangan yg dimiliki; c. Menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan tindakan. d. Menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan; e. Menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya; f. Mendelegasikan dan memberikan Mandat kpd Pejabat Pem lainnya sesuai dg ketentuan perat perUU-an; g. Menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas utk melaksanakan tugas apbl pejabat definitif berhalangan; h. Menerbitkan izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dg ketentuan perat per-UU-an; i. Memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dlm menjalankan tugasnya; j. Memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya; k. Menyelesaikan sengketa kewenangan di lingkungan atau wilayah kewenangannya; l. Menyelesaikan upaya administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya; dan m. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada bawahan yang melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dlm UU ini.
143 3. Hak-hak Pejabat Pemerintah yang lain: a. Pejabat pemerintah berhak untuk meminta persyaratan yang sesuai dengan peraturan per-UUan; b. Pejabata pemerintah berhak meminta kelengkapan persyaratan yang ditentukan peraturan per-UU-an; c. Pejabat pemerintah berhak memperoleh sebagian Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dg peraturan per-UU-an. 4. Kewajiban Pejabat Pemerintahan: Pasal 7 UU No. 30/2015 tentang Administrasi Pemerintahan, ayat (1) menyatakan: ‚Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB; Ayat (2) menyatakan Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban: a. Membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan kewenangannya; b. Mematuhi AUPB dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; c. Mematuhi prosedur pembuatan persyaratan dan/atau keputusan tindakan; d. Mematuhi UU ini dalam menggunakan Diskresi. e. Memberi bantuan kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yg meminta bantuan untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan; f. Memberi kesempatan kepada warga masyarakat utk didengar pendapatnya sebelum membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an. g. Memberikan kepada warga masyarakat yg berkaitan dg keputusan dan/atau tindakan yg menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan;
144 h. Menyusun standar operasional prosedur pembuatan keputusan dan/atau tindakan. i. Memeriksa dan meneliti dokumen administrasi pemerintahan, serta membuka akses dokumen administrasi pemerintahan kpd warga masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh UU; j. Menerbitkan keputusan thd permohonan warga masyarakat sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding. 1. Pengertian Wewenang Agussalim Andi Gadjong menyebutkan kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga F.A.M. Stroik dan J.G. Steenbeek menyatakan: ‚Het begrip bevoegdheid is dan ook een kembergrip in het staats-en administratief recht‛.Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan ‚authority‛ dalam bahasa Inggris dan ‚bevoegdheid‛ dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai Legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their public duties.(Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik). ‚Bevoegdheid‛ dalam istilah Hukum Belanda, Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah ‚wewenang‛ dan ‚bevoegdheid‛. Istilah ‚bevoegdheid‛
145 digunakan dalam konsep hukum privat dan hukum publik, sedangkan ‚wewenang‛ selalu digunakan dalam konsep hukum publik. Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurangkurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu). Setiap Penyelenggara Negara, Pejabat Negara, dan Pejabat Pemerintahan memiliki legitimasi, yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, maka aparat pemerintah diakui dan dipatuhi oleh rakyatnya sehingga kewenangan atau wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada aparat pemerintah harus memiliki legitimasi dari rakyat supaya rakyat tertib. ‚Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenangwewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.‛ Produk hukum dapat dibuat oleh Pejabat Publik yang memiliki kewenangan yang diperoleh dari kewenangan non-atributif untuk melaksanakan pemerintahan
146 Dalam Hukum Administrasi Negara tentu kita tidak asing mendengar istilah wewenang, karena sebenarnya wewenang sekaligus menjadi batasan kekuasaan untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Secara umum Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara adalah Kekuasaan menggunakan sumberdaya untuk mencapai tujuan organisasi dan secara umum tugas di definisikan sebagai kewajiban atau suatu pekerjaan yg harus dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain. Menurut Frans Magnis Suseno kewenangan adalah kekuasaan yang dilembagakan. Menurut H.D Stoud kewewenangan adalah keseluruhan aturan-aturan yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenangwewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik. Sedangkan dalam Black Law Dictionary kewenangan diartikan lebih luas, tidak hanya melakukan praktek kekuasaan, tetapi kewenangan juga diartikan dalam konteks menerapkan dan menegakan hukum, adanya ketaatan yang pasti, mengandung perintah, memutuskan, adanya pengawasan yuridiksi bahkan kewenangan dikaitkan dengan kewibawaan, kharisma bahkan kekuatan fisik. Wewenang merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara. sebab didalam wewenang tersebut mengandung hak dan kewajiban, bahkan di dalam hukum tata negara wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtskracht). Artinya hanya tindakan yang sah (berdasarkan wewenang) yang mendapat kekuasaan
147 hukum (rechtskracht). Sementara itu menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR mengatakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Sedangkan menurut G.R.Terry Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang itu, Menurut R.C.Davis dalam bukunya, Fundamentals of Management: Authority/Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara adalah hak yang cukup, yang memungkinkan seseorang dapat menyelesaikan suatu tugas/kewajiban tertentu. Jadi, wewenang adalah dasar untuk bertindak, berbuat dan melakukan kegiatan/aktivitas perusahaan. Tanpa wewenang orang-orang tidak dapat berbuat apa-apa. Sejauh ini tugas hanya diartikan menjadi sesuatu yg sudah sewajibnya dan harus dilakukan bagi seorang individu dalam suatu pekerjaannya, mungkin saja dalam aktifitas nya juga. Kesimpulan akhir bahwa tugas dan wewenang memang memiliki perbedaan tetapi tetap dalam suatu hubungan seperti yg dikatakan oleh R.C Davis bahwa tanpa wewenang orang-orang di dalam perusahaan tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan kata lain penyertaan tugas juga berhubungan dengan wewenang., Tugas pemerintah Indonesia itu cukup luas, salah satunya adalah pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada masyarakat baik dibidang politik maupun dalam sosial ekonominya dan untuk itu pemerintah mendapat freies Ermessen atau kewenangan untuk turut campur dalam berbagai kegiatan sosial, seperti melakukan pengaturan dalam kegiatan-kegiatan dimasyarakat dengan memberi izin, lisensi, dispensasi dan lain-lain atau melakukan
148 pencabutan atas hak-hak warga negara tertentu karena diperlukan oleh umum. Kewenangan dalam bahasa hukum tidaklah sama dengan kekuasaan hal tersebut dikarenakan bahwa kekuasaan hanya menggambarkan suatu hak untuk berbuat ataupun tidak berbuat, dan kalau wewenang dalam hukum sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dan dalam otonomi daerah hak mengandung arti kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri Asas Legalitas HAN Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas dalam wujudnya ‚nullum delictum sine lege‛ dewasa ini masih diperdebatkan asas berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya ‚wetmatigheid van bestuur‛ sudah lama dirasakan tidak memadai. Tidak memadainya asas ‚wetmatighid van bestuur‛ pada dasarnya berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir pendapatnya N.E. Algra bahwa : ‚pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan istilah ‚uitvoerende macht‛, melainkan menggunakan istilah yang populer ‚betuur‛ yang dikaitkan dengan ‚sturen‛ dan ‚sturing‛. ‚Bestuur‛ dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial‛. Konsep ‚bestuur‛ membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij
149 bestuur, Freies Ermessen, discretionary power).Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian.Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syaratsyarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi. Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi; kewenangan untuk memutus sendiri, dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen). Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas ‚wetmatigheid‛ tidaklah memadai. Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum. Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen, pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara. Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum. Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara
150 atau organ dan negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dan warga negara berkaitan dengan hak-hak dalam (grondrechten). Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: bentuk negara, bentuk pemerintahan,dan pembagian kekuasaan dalam negara. Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atau pembagian horizontal yang meliputi : kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara horizontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun horizontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstribusi. Untuk Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang Pembagian Kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemberian wewenang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 17, Pasal 18 dengan amandir Pasal 18 A dan Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 yang diamandar dengan Pasal 20 A, dan Pasal 24 yang diamandar dengan Pasal 24 A, Pasal 24 B, dan Pasal 24 C. Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan (‚administratiefrecht‛ atau ‚bestuursrecht‛) berisikan norma-norma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum (‚improper legal‛ or ‚improper illegal‛), sehingga apabila terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara ‚improper illegal‛ maka badan pemerintah yang
151 berwenang tersebut harus mempertanggung jawabkan. Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya, juga hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut. Azas legalitas dalam HAN, bahwa semua perbuatan dan keputusan pejabat administrasi harus didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak adanya norma dan atau norma tersamar, azas kewenangan tersebut harus menggunakan azas-azas umum pemerintahan yang baik (Principle of Proper Administration). Dalam menentukan suatu tindakan maka harus mencakup 2 hal utama, yakni pertama adanya kewenangan sebagai sumber munculnya suatu tindakan, dan yang kedua adalah adanya norma atau subtansi norma, apakah norma yang sudah jelas ataupun masih merupakan norma tersamar. Prinsip Dasar Kewenangan: Pertama, Pejabat administrasi bertindak dan mengambil keputusan atas dasar kewenangan yang dimilikinya. Kedua, kewenangan yang dipergunakan harus dapat dipertanggungjawabkan dan diuji baik oleh norma hukum atau pun azas hukum. Kewenangan (authority) adalah kekuasaan formal yang dimiliki oleh Badan dan atau pejabat administrasi atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam laporan hukum publik yang meliputi beberapa wewenang. Kewenangan menurut Prof. Prajudi Atmosudirjo merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Menurut Prof. Eko Prasojo, kewenangan selalu melakat terhadap orang, terhadap urusan, dan pemberi kewenangan. Wewenang sendiri merupakan hak yang dimiliki oleh Badan atau pejabat atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di
152 dalam kewenangan terdapat beberapa wewenang yang di dalam wewenang itu sendiri ada hak-hak tertentu yang terkandung. Sumber Kewenangan, Kewenangan pejabat administrasi berasal dari undang-undang yang dibuat oleh legislatif melalui suatu legitimasi yang demokratis. Pemikiran negara hukum menyebabkan bahwa apabila penguasa ingin memberikan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat, maka kewenangan itu harus diatur dalam undang-undang. Sengketa Kewenangan: klaim penggunaan kewenangan wewenang yang dilakukan oleh dua pejabat pemerintahan atau lebih yang disebabkan oleh tumpang tindih atau tidak jelasnya pejabat pemerintahan yang berwenang menangani suatu urusan pemerintahan. Sengketa itu sendiri mencakup 3 hal, yakni Lokus (tempat), Tempus (waktu), dan materi. 2. Sumber dan Lahirnya Wewenang Sejalan dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundangundangan. Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan yaitu atribusi dan delegasi; kadang-kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. Suatu atribusi menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undangundang dalam arti materiil. Rumusan lain mengatakan bahwa atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang
153 berwenang berdasarkan peraturan perundangundangan. Indroharto mengatakan bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Lebih lanjut disebutkan bahwa legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan itu dibedakan antara: a. Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk kontribusi dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undangundang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah. b. Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah di mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. Pada delegasi menegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain. Dalam Hukum Administrasi Belanda telah merumuskan pengertian delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB (Algemene Wet Bestuursrecht). Dalam Pasal 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat ‚besluit‛) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut delegataris. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu :
154 a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan perundang-undangan. c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi. d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut. e. Peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Jika konsep delegasi seperti itu, maka tidak ada delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan ke bawahan. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Cara Diperolehnya Kewenangan : Pertama, melalui atribusi, yaitu pemberian kewenangan yang baru berasal dari konstitusi dan atau undang-undang. Kedua, melalui delegasi, yaitu pemindahan atau pengalihan suatu kewenangan yang ada. Ketiga, melalui pemberian mandat, yaitu kewenangan yang diberikan oleh suatu organisasi pemerintahan kepada orang lain untuk mengambil keputusan atas nama pemberi mandat.
155 Sumber-sumber kewenangan Kewenangan yang diberikan karena adanya pelimpahan/peralihan wewenang. Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dalam hukum Administrasi, dikenal 3 (tiga) sumber kewenangan, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. a. Atribusi Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang. Atribusi juga bisa dikatakan sebagai bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan oleh UUD atau UndangUndang kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila: 1) Diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang- undang; 2) Merupakan Wewenang baru atau sebelumnya tidak ada; dan 3) Atribusi diberikan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Tanggung jawab Kewenangan berada pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bersangkutan. Adapun contoh dari adanya delegasi adalah sebagai berikut:
156 OJK Resmi Ambil Alih Tugas BI Awasi Perbankan Setelah melalui proses panjang, akhirnya pengalihan pengawasan perbankan dan non perbankan resmi dilimpahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai 1 Januari 2014. Sebelumnya, tugas tersebut selama ini berada di tangan Bank Indonesia (BI). Berlangsung di kantor Bank Indonesia (BI), transisi pengawasan ini ditandai dengan serah terima fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudensial oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo kepada Ketua OJK Muliaman D Hadad. Dalam acara pengalihan fungsi ini, turut hadir seluruh jajaran BI dan OJK. Kedua lembaga ini berbaur menjadi satu demi tujuan bersama untuk meningkatkan pengawasan sistem perbankan, non perbankan dan pasar modal di Tanah Air. Menurut Agus Martowardojo, pengalihan fungsi ini merupakan pondasi untuk menghadapi tantangan global untuk membangun sistem keuangan dan pengawasan di industri perbankan, non bank dan pasar modal. "Pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari BI ke OJK menjadi tonggak bersejarah untuk menghadapi sistem keuangan yang kuat. Sehingga kita akan semakin kuat dalam menghadapi shock global," terang dia saat memberi sambutan di acara Transisi Pengawasan Bank di kantornya, Jakarta, Selasa (31/12/2013). Penyerahan tugas tersebut merupakan langkah pelaksanaan amanah Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2012 tentang OJK. Selama ini, tambah Agus, kekuatan sistem keuangan Indonesia mampu menyerap shock global dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan stabilnya kinerja sektor perbankan. "Kemampuan modal, likuiditas dan profitabilitas sektor perbankan di Indonesia sangat kuat dan stabil. Semua ini dihasilkan dari perilaku manajemen perbankan yang menerapkan budaya risiko yang baik
157 dan menjalankan aspek kepatuhan," tandasnya. Dia optimistis, masa transisi dapat berjalan dengan baik. Tidak ada perubahan pengaturan, perizinan dan lainnya. Ini adalah permulaan bagi OJK untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Dalam hal ini, OJK tidak akan berjalan sendiri karena didukung oleh pemerintah, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan lembaga lain serta putra putri terbaik dari BI. "Kami mendukung penuh putra putri BI untuk mengawal masa transisi ini supaya dapat tercipta sistem keuangan yang terintegrasi dengan OJK. Integritas dan kompetensi akan tetap melekat di mana putra putri ini bertugas serta terus menjunjung tinggi etos kerja," pungkas Agus. b. Delegasi Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui Delegasi apabila: 1) Diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; 2) Ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan/atau Peraturan Daerah; dan 3) Merupakan Wewenang pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
158 Tanggung jawab Kewenangan berada pada penerima Delegasi. Adapun contoh dari adanya manndat adalah sebagai berikut: Surat Perintah Sebelas Maret Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor. c. Mandat Mandat terjadi jika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, mandat adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: 1) Ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan
159 2) Merupakan pelaksanaan tugas rutin. Tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat. Adapun contoh dari adanya mandat adalah sebagai berikut: Cegah Tim Gadungan, SBY Minta Jokowi Berikan Mandat pada Tim Untuk mencegah adanya tim gadungan yang meminta berkomunikasi dan berkonsultasi dengan pemerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta presiden terpilih, Joko Widodo memberikan mandat kepada tim transisi atau orang-orang yang ditunjuk melakukan koordinasi. "Supaya tertib, dari pihak Pak Jokowi akan memberikan mandat kepada siapa yang akan berkomunikasi dengan kita secara tertulis, disebutkan si a, si b, si c, si d, dan ditandatangani oleh beliau," katanya, Jumat (5/9). Ia mengatakan ketika bertemu dengan Jokowi di Bali, sudah ada permintaan untuk koordinasi dengan para menteri. Ia melihat materi yang diajukan lebih banyak materi bidang perekonomian, polhukam, serta hal-hal yang bersifat umum. Karena itu, tiga menko dan Mensesneg akan menjadi pintu masuk bagi tim transisi Jokowi untuk melakukan komunikasi. "Berarti saya mandatkan kepada tiga Menteri Koordinator, untuk siapa bertemu dengan siapa. Sedangkan yang umum, soal-soal kelembagaan, house keeping lembaga Kepresidenan, urusan Pengamanan Presiden misalnya Danpaspamres dengan tim, sudah diterima oleh Presiden terpilih menjelaskan a, b, c, d, dan yang lain-lain. Kalau itu biar Menteri Sekretaris Negara yang mengkoordinasikan. Sedangkan saya dan Wapres memberikan supervisi agar semuanya berlangsung dengan baik," katanya.
160 Konsekuensi yuridis wewenang yang dimiliki seorang pejabat akan berbeda apabila wewenang tersebut bersumber dari pelimpahan wewenang (delegasi) maupun penugasan (mandat). 3. Prinsip Dasar Kewenangan Pejabat administrasi bertindak dan mengambil keputusan atas dasar kewenangan yang dimilikinya. Kedua, kewenangan yang dipergunakan harus dapat dipertanggungjawabkan dan diuji baik oleh norma hukum atau pun azas hukum. Kewenangan (authority) adalah kekuasaan formal yang dimiliki oleh Badan dan atau pejabat administrasi atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam laporan hukum publik yang meliputi beberapa wewenang. Kewenangan menurut Prof. Prajudi Atmosudirjo merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Menurut Prof. Eko Prasojo, kewenangan selalu melakat terhadap orang, terhadap urusan, dan pemberi kewenangan. Wewenang sendiri merupakan hak yang dimiliki oleh Badan atau pejabat atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di dalam kewenangan terdapat beberapa wewenang yang di dalam wewenang itu sendiri ada hak-hak tertentu yang terkandung. 4. Penggunaan Wewenang Menurut Hukum dan Praktik Di dalam praktik acap kali terjadi penggunaan wewenang berupa penyelundupan hukum, yakni mandat dialihkan menjadi delegasi semu. Misalnya di Kota Makassar, untuk urusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dikeluarkan surat yang berkepala kop ‚Dinas Pengawasan Bangunan Daerah‛, tidak lagi menggunakan surat dengan kop Walikota Makassar. Dengan perubahan tersebut seolah-olah wewenang telah dialihkan kepada
161 Dinas Pengawasan Bangunan Daerah, tidak lagi menjadi wewenang Walikota. Kedudukan Dinas sebagai bawahan Kepala Daerah, konsep pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak memungkinkan karena Kepala Dinas merupakan bawahan Kepala Daerah.Hal ini berimplikasi hukum pada tanggung jawab, yakni bisa jadi tanggung jawab ada pada Kepala Dinas berdasarkan wewenang delegasian. Dan juga, tanggung jawab pada Walikota berdasarkan wewenang mandat. Delegasi semu dijumpai juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Pasal 5 dinyatakan : a. Kepala Daerah selaku Kepala Pemerintah Daerah adalah pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. b. Dalam pelaksanaan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah bertindak selaku koordinator pengelolaan keuangan daerah. c. Pelimpahan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan keputusan kepala daerah berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 58 Tahun 2005 dinyatakan: ‚Kewenangan yang didelegasikan minimal adalah kewenangan yang berkaitan dengan tugas sebagai Bendahara Umum Daerah‛. Dilihat dari tugas dan kewajiban dari Sekretaris Daerah yang tercantum dalam Pasal 121 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan : Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan kewajiban kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengoordikasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dari ketentuan tersebut, delegasi yang dilakukan oleh Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau
162 Perangkat Pengelola Keuangan Negara tidak dapat diklasifikasikan sebagai delegasi karena Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah adalah bawahan/pembantu Kepala Daerah. Pada delegasi semu menimbulkan permasalahan dari segi hukum administrasi berkaitan dengan KTUN kepada siapa tuntutan diajukan, karena di dalam hukum administrasi Kepala Daerah sebagai pejabat yang mewakili pemerintah daerah baik eksternal maupun internal. Hal tersebut berbeda dari aspek pidana, dalam hal terjadi mandat atau delegasi menurut hukum pidana yang bertanggung jawab adalah mandatoris atau delegatoris, karena dalam hukum pidana pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Misalnya dalam pengelolaan keuangan daerah, Kepala Dinas melakukan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi tindak pidana korupsi maka Kepala Dinas tersebut yang harus bertanggung jawab secara pribadi, meskipun dilihat dari segi konsep delegasi wewenang hal tersebut keliru. Dalam hal pertanggungjawaban terhadap si pelaku perlu dibedakan pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility) sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana. Adapun mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenangan, pejabat yang diberi mandat (mandataris) bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat, pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, mandat itu oleh J.G. Brouwer berpendapat pada ‚atribusi‛, kewenangan diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan legilatif yang independen.
163 Kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumnya dan memberikannya kepada yang berkompeten. Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya. Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan yang mendasar dengan yang lain antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi. 5. Pertanggungjawaban Wewenang Untuk mengetahui kepada siapa yang harus bertanggungjawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum ‚geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responslibility‛. Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi
164 wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandans (pemberi wewenang). Pada atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada di penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/ penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris. Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris. Dalam pengelolaan keuangan daerah (PP Nomor 58 Tahun 2005), Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran. Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Sekretaris Daerah atau Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, apakah dalam delegasi? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak delegasi karena dalam konsep
165 pelimpahan wewenang dengan cara delegasi tidak diperuntukkan pelimpahan wewenang dari atas ke bawahan. Sekretaris Daerah dan Perangkat Pengelola Keuangan Daerah secara hirarkhi sebagai bawahan dari Kepala Daerah. Tidak dalam konsep delegasi pelimpahan wewenang Kepala Daerah kepada Perangkat Pengelola Keuangan Daerah, pertanyaan yang muncul berkaitan dengan siapa yang bertanggung jawab secara hukum dalam hal terjadi perbuatan melanggar hukum (‚melawan hukum‛ dan ‚penyalahgunaan wewenang‛) yang berakibat kerugian pada keuangan daerah atau perekonomian daerah (korupsi)? Contoh kasus yang dapat dikemukakan sebagai berikut: Pengguna Anggaran (Kepala Dinas) pada Dinas Kebersihan akan melakukan pembelian alat pengolahan sampah. Kepala Dinas (Kadis) tersebut menunjuk salah satu Kepala Seksi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Atas dasar pelimpahan wewenang, selanjutnya Kepala Seksi membentuk Panitia Lelang (Panitia Tender), Panitia lelang dan Kepala Seksi yang telah ditunjuk tersebut tidak melaksanakan lelang sesuai wewenang yang telah dilimpahkan kepadanya melainkan dengan cara melakukan penunjukan langsung (PL) dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan tujuan untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan cara seperti yang berakibat merugikan keuangan negara. In casu siap saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban? Pelimpahan wewenang dari Kepala Daerah kepada Kepala Dinas, Kepala Dinas kepada Kepala Seksi, Kepala Seksi kepada Panitia Lelang tidak pelimpahan wewenang dalam konsep delegasi, lebih menyerupai dekonsentrasi (pelimpahan wewenang pusat kepada daerah). Terkait dengan kasus posisi tersebut untuk menjawab siapa yang dapat dimintai pertanggung- jawaban menurut hukum
166 pidana adalah delegatoris (penerima pelimpahan wewenang), meskipun konsep delegasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut keliru. Pendapat tersebut didasarkan pada suatu argumen legalistic formal, seperti yang tertuang dalam Pasal 5 PP Nomor 58 Tahun 2005 dengan dinyatakan ‚delegasi‛, dan juga tidak kalah pentingnya ditelaah secara teliti atas Surat Keputusan Kepala Daerah sebagai Sumber pelimpahan wewenang tersebut. Di samping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip ‚personal responsibilitiy‛, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personalresponsibility). Dari paparan di atas, dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang itu di dalamnya terkandung pertanggung-jawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang melaksanakan tugas dan atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum. Selain itu tak kalah pentingnya dalam penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis yang didasarkan pada cara memperoleh wewenang/ kewenangan, perlu juga ada kejelasan tentang siapa ‚pejabat‛ tersebut dan yang kedua, bagaimana seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat? Dalam perspektif hukum publik, yang berkedudukan sebagai subyek hukum
167 adalah jabatan (ambt) yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Selanjutnya jawaban atau pertanyaan kedua, seseorang disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan ‚beleid‛, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Berbeda halnya dalam pembuatan ‚beleid‛ tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana. Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: ‚Gubernur Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan ‚dana talangan‛ untuk menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau ‚Beleid‛ yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Peraturan BI, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh Gubernur BI tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi obyek pemeriksaan. Dan apabila terbukti, dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan wewenang diskresinya. 6. Penyalahgunaan Wewenang Dalam ‚Diskresi‛ Konsep bestuur (besturen), kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (discretionary power atau Feies Ermessen). Di samping wewenang bebas dan
168 wewenang terikat, Indroharto menambahkan wewenang yang sifatnya fakultatif. Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya. Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi Kewenangan untuk memutus sendiri dan Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen). Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dalam kasus Ir. AT telah keliru dalam memahami pengertian penyalahgunaan wewenang dengan menyamakan pengertian perbuatan sewenang-wenang (abus de droit/willekeur). Padahal dalam hukum administrasi kedua asas tersebut memiliki perbedaan pengertian dan makna yang signifikan. Pengertian perbuatan sewenangwenang adalah jika saja suatu tindakan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan itu tidak sampai pada tindakan sewenang-wenang. Pendapat Indiyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai berikut: a. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif.
169 b. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya. Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian. Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi. Indriyanto Seno Adji,memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dengan mengutip pendapatnya Jean Rivero dan Waline dalam kaitannya ‚detournement de pouvoir‛ dengan ‚Freis Ermessen‛, penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu: a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undangundang atau peraturan-peraturan lainnya;
170 c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana. Pendapat Jean Rivero dan Waline sebagaimana dikutif oleh Indriyanto Seno Adji di atas pada point ke-3 mencampur adukan antara penyalahgunaan wewenang dengan cacat prosedur, padahal antara konsep penyalahgunaan wewenang dengan konsep cacat prosedur merupakan dua hal yang berbeda konsep. Kesalahan prosedur terjai tidak selalu in haeren dengan penyalahgunaan wewenang. Cacat prosedur yang in hearen dengan penyalahgunaan wewenang jika pelaksanaan wewenang tersebut menyimpang dari tujuan yang telah ditentukan. Sjachran Basah mengartikan penyalahgunaan wewenang atau ‚detournement de pouvoir‛ adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan tetapi masih dalam lingkungan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tindakan sewenangwenang ‚abus de droit‛ yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.Pendapat dari Sjachran Basah terkandung pengertian yang sama untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas). Tolok Uukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat menggunakan peraturan perundangundangan (written rules), atau menggunakan parameter asas legalitas; sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) parameter penyalahgunaan wewenang menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas ‚wetmatigheid‛ tidaklah memadai.
171 7. Penyalahgunaan Wewenang dan ‚Cacat Prosedur‛ Di dalam hukum administrasi asas legalitas/keabsahan (legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek yaitu: wewenang, prosedur dan substansi. Artinya wewenang, prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundangundangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya. Di atas telah dikemukakan bahwa penyalahgunaan wewenang dapat terjadi pada jenis wewenang terikat dan juga bisa terjadi pada jenis wewenang bebas (diskresi). Indikator atau tolok ukur penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangundangan); sedangkan pada jenis wewenang bebas (diskresi) mempergunakan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena asas ‚wetmatigheid‛ tidaklah memadai. Di dalam praktek peradilan sering dipertukarkan/dicampuradukan antara penyalahgunaan wewenang dan cacat prosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in heren dengan penyalahgunaan wewenang. Sebagai illustrasinya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan pengadaan barang atau jasa oleh pemerintah. Berdasarkan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa oleh Instansi Pemerintah, yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir adalah Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, mensyaratkan bahwa pada prinsipnya pengadaan barang atau jasa tidak melalui tender, melainkan penunjukan langsung? Dalam kasus posisi itu jelas ada cacat prosedur dikarenakan menurut aturan hukum harus melalui ternder.
172 Adakah dalam kasus posisi tersebut ada unsur penyalahgunaan wewenang? Adanya cacat prosedur tidak secara mutatis mutandis penyalahgunaan wewenang terjadi, dengan kata lain terbuktinya cacat prosedur tidak serta merta penyalahgunaan wewenang terbukti. Cacat prosedur mempunyai implikasi pada penyalahgunaan wewenang jika penggunaan wewenang tersebut menyimpang atau bertentangan dengan suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Ilustrasi lainnya adalah: pejabat administrasi tersebut melakukan penunjukan langsung (tidak tender) dikarenakan bertujuan untuk memenangkan salah satu rekanan tertentu, maka di situ sudah ada penyalahgunaan wewenang di samping terjadinya cacat prosedur. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas perlu dikemukakan contoh lain sebagai berikut: Walikota/ Bupati telah menerbitkan IMB tetapi dalam permohonan IMB tersebut baru diketahui setelah adanya tuntutan oleh tetangga sekitar bahwa persyaratan pengajuan IMB tidak lengkap karena tidak disertai dengan persetujuan tetangga dekatnya (ijin H.O). Kasus posisi tersebut terjadi cacat prosedur, sehingga implikasi IMB yang telah diterbitkan/dikeluarkan dapat dicabut kembali atau dibatalkan. Berbeda halnya diterbitkannya IMB dengan sudah mengetahui sebelumnya ada persyaratan yang tidak lengkap tetapi karena pejabat administrasi tersebut telah menerima suap, maka perbuatan tersebut sudah dapat diklasifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang yang mempunyai implikasi korupsi. Terbuktinya penyalahgunaan wewenang membawa implikasi lebih luas dibandingkan dengan adanya cacat prosedur, yaitu di samping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschikking) bisa berimplikasi pidana jika dengan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara.
173 BAB III SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA
174 Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Kata Perintah dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti : Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatu Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara Pemerintahan adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah Memahami dari kata pemerintahan dapat diartikan sebagai berikut : Pengertian pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara, sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dengan demikian Pengertian Sistem Pemerintahan adalah sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan mempengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Menurut Anton Praptono, istilah sistem pemerintahan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu: ‚sistem‛ dan ‚pemerintahan‛. Sistem berarti berarti keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan
175 tersebut menimbulkan suatu ketergantungan antara bagianbagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhnya itu. Dan pemerintahan dalam arti luas mempunyai pengertian segala urusan yang dilakukan negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan negara itu sendiri. Dari pengertian itu, maka secara harfiah sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antar lembaga negara dalam menyelenggarakan kekuasaankekuasaan negara untuk kepentingan negara itu sendiri dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Sistem pemerintahan diartikan (Menurut Konsep Trias Politika dalam Suatu Negara) sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan mempengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undangundang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berarti kekuasaan membentuk undang-undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berarti kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undangundang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jadi, sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar-lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Sedangkan tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
176 Sehingga lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia. Menurut Moh. Mahfud MD, sistem pemerintahan negara adalah mekanisme kerja dan koordinasi atau hubungan antara ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar lembaga-lembaga negara dalam rangka penyelenggaraan negara. 1. Model Sistem Pemerintah Sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu: a. sistem pemerintahan presidensial; b. sistem pemerintahan parlementer. Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas. Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen. Bhakan, Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen), sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena menerapkan ciri- ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga sebagai pelopor dalam system pemerintahan presidensial. Kedua negara tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip dari system pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem peme-
177 rintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia. Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan parlementer. 2. Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut : Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas
178 anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebagai simbol kedaulatan dan keutuhan negara. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru. 3. Komparasi Penerapan Model Sistem Pemerintahan Sistem Pemerintahan Indonesia Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen. Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). 4. Sistem Konstitusional Kekuasaan negara yan tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
179 Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas. Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut system pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya. Memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif, jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi
180 konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintaha Indonesia sekarang ini. Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Pasca Diamandemen Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004. Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
181 (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsureunsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan megawasi presiden meskipun secara tidak langsung. Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran) Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Transformasi Organisasi Pemerintahan melalui Penataan Struktur dan Pengembangan Budaya Kerja Tugas-Tugas Pemerintah dalam Negara Hukum Modern (Welvaartsstaat)
182 Negara modern atau Negara demokrasi kedaulatan atas Negara berada dalam rakyat. Jadi, pelaku Negara adalah kebalikan dari Negara penguasa, yaitu pelaku Negara adalah rakyat sebagai pemegang kedaulatan atas Negara. Tipe negara hukum ini sering disebut negara hukum dalam arti yang luas atau disebut pula Negara Hukum Modern. Negara dalam pengertian ini bukan saja menjaga keamanan semata-mata tetapi secara aktif turut serta dalam urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu arti negara hukum dalam arti luas sangat erat hubungannya dengan pengertian Negara Kesejahteraan atau ‚welfare state‛. Oleh karena itu, dalam konsep Negara modern demokrasi yang berdaulat adalah rakyat. Rakyat adalah subyek pemegang kedaulatan .Dalam hubungan ini, secara teoritik setidak-tidaknya ada 90 model atau tipe dasar demokrasi. Ada beberapa pendapat para sarjana berkenaan dengan pembagian tugas-tugas negara dan pemerintahan. Pendapat para sarjana mengenai pembagian tugastugas negara ini diilhami oleh kenyataan historis bahwa pemusatan kekuasaan negara pada satu tangan atau satu lembaga telah membawa bencana bagi kehidupan demokrasi dan kemasyarakatan, serta terlanggarnya hakhak asasi warga negara. Oleh karena itu, kekuasaan negara perlu dipencarkan dan dipisahkan dalam berbagai lembaga negara, sehingga terjadi saling kontrol (checks and balances) kemudian melahirkan teori pemencaran kekuasaan atau pemisahae kekuasaan (spreiding van machten of machtensscheiding). John Locke yang dianggap pertama kali mengintrodusir ajaran pemisahan kekuasaan negara, dengan membaginya menjadi kekuasaan legislative (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif
183 (melaksanakan undang-undang), dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri). Ajaran pemisahan kekuasaan ini menjadi kian populer segera setelah seorang ahli hukum berkebangsaan Prancis Montesquieu, menerbitkan buku "L'Esprit des Lois" (The Spirit of the Law), yang mengemukakan bahwa dalam suatu negara ada tiga organ dan fungsi utama pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial. Masing-masing organ ini harus dipisahkan, karena memusatkan lebih dari satu fungsi pada satu orang atau organ pemerintahan merupakan ancaman kebebasan individu (a threat to individual liberty). Meskipun dalam perkembangannya ajaran pemisahan kekuasaan ini mendapat berbagai modifikasi terutama melalui ajaran pembagian kekuasaan (machtsverdeling atau distribution of power), yang menekankan pentingnya pembagian fungsi bukan pembagian lembaga, dan ajaran checks and balances yang menekankan pentingnya hubungan saling mengawasi dan mengendalikan antar berbagai lembaga negara, akan tetapi esensi bahwa kekuasaan kini negara itu harus dibagi atau dipisah masih tetap relevan hingga sekarang. Di samping pembagian tersebut di atas, terdapat pula pembagian lain yang dikemukakan oleh para sarjana. Berikut ini akan disajikan beberapa pendapat para sarjana tentang pembagian tugas negara tersebut. Menurut Presthus tugas negara itu meliputi dua hal, yaitu: a. policy making, ialah penentuan haluan negara, dan b. task executing, yaitu pelaksanaan tugas menurut haluan yang telah ditetapkan oleh negara. Pembagian ini sama dengan yang dilakukan oleh E. Utrecht, yang mengikuti AM. Donner, yaitu pertama berupa lapangan yang menentukan tujuan atau tugas, dan yang kedua lapangan merealisasi tujuan atau tugas yang telah ditentukan itu.
184 Pembagian tugas negara menjadi dua bagian ini dikemukakan pula oleh Hans Kelsen, yaitu: a. politik sebagai etik, yakni memilih tujuan-tujuan kemasyarakatan b. politik sebagai teknik, yakni bagaimana merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Hal senada dikemukakan pula oleh Logemann, yang membagi tugas negara menjadi dua, yaitu: a. menentukan tujuan yang tepat (juiste doeleinden, doelstelling/taakstelling), b. melaksanakan tujuan tersebut secara tepat pula (nastreven op de juiste wijze, verwerlijking). Berbeda dengan pembagian Negara menjadi dua tersebut Van Vollenhouven membagi empat yaitu : a. Membuat peraturan dalam bentuk undang-undang b. Pemeliharaan kepentingan umum c. Penyelesaian sengketa dalam peradilan perdata yang disebut Yustitusi d. Mempertahankan ketertiban umum baik secara preventif maupun represif Sementara Lemaire membagi tugas negara dalam lima jenis, yaitu: a. perundang-undangan; b. pelaksanaan yaitu pembuatan aturan-aturan hukum oleh penguasa sendiri; c. pemerintahan; b. kepolisian, dan c. pengadilan. Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah Perang Dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsep legal state terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peranan negara dan
185 pemerintah dalam bidang politik yang bertumpu pada dalil "The least government is the best goverrunent", dan terdapat prinsip "laissez faire, laissez aller" dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatsbemoeienis). Pendeknya, "The state should intervene as little as possible in people's lives and businesses". Akibat perbatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi pasif, dan oleh karenanya sering disebut negara penjaga malam (nachtwakerstaat atau nachtwachtersstaat). Adanya perbatasan negara dan pemerintah ini dalam praktiknya ternyata berakibat menyengsarakan kehidupan warga negara, yang kemudian memunculkan reaksi dan Kerusuhan sosial. Dengan kata lain, konsepsi negara penjaga malam telah gagal dalam implementasi-nya. Kegagalan implementasi nachtwachterstaat tersebut kemudian muncul gagasan yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, yaitu welfare state. Ciri utama negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran welfare state merupakan bentuk konkret dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang membatasi peran negara dan penderintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde). Menurut E. Utrecht, sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas. Administrasi negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg).
186 Diberinya tugas "bestuurszorg" itu membawa bagi administrasi negara suatu konsekuensi yang khusus. Agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga negara, dan sebagainya secara baik, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul dengan sekonyong-konyong dan yang peraturan penyelenggaraannya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. Pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri itu lazim dikenal dengan istilah freies Ermessen atau discretionary power, suatu istilah yang di dalamnya mengandung kewajiban dan kekuasaan yang luas. Kewajiban adalah tindakan yang harus dilakukan, sedangkan kekuasaan yang luas itu menyiratkan adanya kebebasan memilih; melakukan atau tidak melakukan tindakan. Dalam praktik antara kewajiban dan kekuasaan berkaitan erat. Nata Saputra mengartikan freies Ermessen sebagai suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum, atau kewenangan untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas untuk mewujudkan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial atau warga negara. Pemberian freies Ermessen kepada pemerintah atau administrasi negara mempunyai konsekuensi tertentu dalam bidang legislasi. Dengan bersandar pada freies Ermessen, administrasi negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau
187 mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya. Menurut E. Utrecht, kekuasaan administrasi negara dalam bidang legislasi ini meliputi; pertama, kewenangan untuk membuat peraturan atas inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat; kedua, kekuasaan administrasi negara untuk membuat peraturan atas dasar delegasi. Karena pembuat undang-undang pusat tidak mampu memerhatikan tiap-tiap soal yang timbul dan karena pembuat undang-undang hanya dapat menyelesaikan soal-soal yang bersangkutan dalam garis besarnya saja dan tidak dapat menyelesaikan tiap detail pergaulan sehari-hari, maka pemerintah diberi tugas menyesuaikan peraturan-peraturan yang diadakan pembuat undang-undang pusat dengan keadaan yang sungguh- sungguh terjadi di masyarakat; ketiga, droit function, yaitu kekuasaan administrasi negara untuk menafsirkan sendiri berbagai peraturan, yang berarti administrasi negara berwenang mengoreksi (corrigeren) hasil pekerjaan pembuat undang-undang. Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan berkaitan pula dengan bentuk negara tertentu. Dalam negara yang berbentuk kesatuan, ada dua kemungkinan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yaitu sentralisasi atau desentralisasi. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi berarti seluruh bidangbidang pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat, sedangkan dengan desentralisasi berarti penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan tidak hanya dijalankan oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh satuan pemerintahan daerah, yang umumnya bertumpu pada prinsip otonomi, yaitu "vrijheid en zelfstandigheid"
188 kebebasan dan kemandirian daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah (huishouding). 5. Negara Hukum, Bestuurszorg,Kemakmuran dan Kesejahteraan Kewajiban pemerintahan dalam negara hukum merupakan konsekuensi logis pilihan atas kedaulatan rakyat di satu sisi dan hukum di sisi lainnya. Negara menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan kewenangan yang diperoleh dari kedaulatan yang diberikan kepadanya oleh rakyat. Hukum menjadi sarana atau instrumen untuk menjalankan isi dari kedaulatan itu oleh negara. Analoginya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sisi satunya walaupun bertolak belakang dengan sisi lainnya, namun saling eksis dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Terminologi hukum atas hal ini dikenal dengan istilah antinomi yang merupakan bagian-bagian yang berbeda dan bahkan bertentangan, namun saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pemerintahan dalam negara hukum merupakan salah satu pilar berdiri tegaknya suatu negara, selain pilar legislatif (lembaga pembuat undang-undang), dan yudikatif (lembaga pengawas pelaksanaan undangundang, atau fungsi kekuasaan kehakiman). Tugas dan fungsi pemerintah adalah membawa ke dalam kegiatan pemerintahannya pelaksanaan kepentingan rakyat. Pemerintah mengurus segala kepentingan rakyat berdasarkan kedaulatan rakyat yang telah diberikan kepada negara. Tugas pemerintah memberikan rasa aman dan tertib di dalam masyarakat menjalankan kehidupan sosial, ekonomi, pengembangan kebudayaan, dan lain sebagainya. Pemerintah pada intinya adalah bertugas untuk menciptakan suasana ketertiban dan kemanan dalam rangka memberikan ruang bagi masyarakat mencapai kemakmuran dan kesejahteraan-
189 nya, selain itu turut serta di dalam pergaulan sosial ekonomi kemasyarakatan. Perkembangan dinamika kenegaraan dan pemerintahan membawa konsekuensi kewenangan pemerintahan selain menjaga ketertiban dan keamanan di dalam masyarakat juga secara aktif ikut aktif dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Dinamika ini merupakan bagian dari perkembangan konsep negara dari negara hukum klasik ke negara hukum modern. Negara hukum klasik pada mulanya memiliki keterbatasan kewenangan. Kewenangannya terbatas pada tugas dan fungsi negara sebagai penjaga keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Anggapan yang muncul dalam suasana negara hukum dalam pengertian klasik adalah ketertiban dan keamanan akan dengan sendirinya membawa masyarakat kepada jalan menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Fakta yang muncul justeru berbanding terbalik dengan keinginan yang dikonseptualisasi dalam negara hukum klasik. Segelintir orang anggota masyarakat yang memiliki sumber daya yang kuat justeru semakin kuat memegang sumber- sumber ekonomi di dalam masyarakat. Orang-orang yang pada umumnya atau kebanyakan yang tidak memiliki sumber daya yang cukup dan bahkan tidak sama sekali menjadi terpinggirkan dalam suasana perkembangan dinamisasi ekonomi. Sumbersumber ekonomi bagi kemakmuran dan kesejahteraan hanya dipegang oleh segelintir orang, sedangkan masyarakat pada umumnya cenderung terabaikan untuk mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraannya. Hipotesis baru muncul atas tesis negara hukum klasik berdasarkan realitas kenegaraan dan kemasyarakatan yang ada ini. Negara dalam hipotesis baru ini selain memiliki tugas dan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban, seharusnya ikut terlibat dalam pergaulan sosial ekonomi
190 kemasyarakatan. Negara melalui pemerintahannya memiliki kewajiban tambahan, yaitu kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Tugas dan fungsi kembar pemerintahan adalah menciptakan kemanan dan ketertiban, serta wajib menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Lahirnya negara hukum modern ini merupakan konsekuensi atas kondisi faktual kegagalan negara hukum klasik. Pemerintah tidak hanya terbatas pada menjalankan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif dalam rangka keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat. Tugas dan fungsi pemerintahan dibebankan juga kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pada umum. Alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI ’45) merupakan hasil pergulatan pemikiran dari para pendiri Negara Republik Indonesia. Kewajiban pemerintahan di dalam Pembukaan UUD NRI ’45 adalah menciptakan kemanan dan ketertiban di dalam masyarakat, selain itu, pemerintahan juga wajib menciptakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Searah dengan pembukaan undang-undang dasar ini, Pasal 1 Ayat (2) batang tubuh UUD NRI ’45 dipilih diksi negara hukum. Negara Hukum Indonesia dalam pengertian ini merupakan negara hukum modern (moderne rechtsstaat). Negara mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kedaulatan rakyat melalui pemerintahannya, dan kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Kedaulatan rakyat yang diberikan kepada Negara Hukum Indonesia melalui undang-undang dasar ini untuk dalam rangka melayani segala kepentingan rakyat Indonesia. Pelayanan kepada masyarakat yang terutama diarahkan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kedaulatan rakyat dan instrumen hukum merupakan dua sisi konseptual yang diubah