191 menjadi ketentuan konstitusional kewajiban negara menjaga keamanan dan ketertiban, serta menciptakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif (pelaksanaan undang-undang), juga merupakan organ pemerintahan dalam pengertian administrasi negara. Pemerintahan administratif sebagai pelaksana konkrit pelayanan kepada masyarakat, dan kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Cara efektif kewajiban pemerintah dalam rangka menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan salah satunya dapat ditempuh melalui keterlibatannya dalam pergaulan sosial ekonomi kemasyarakatan. Hukum merupakan instrumen yang merefleksikan keinginankeinginan masyarakat yang diaturnya. Menerjemahkan keseluruhan keberlakuan pergaulan sosial yang ada di dalam masyarakat. Negara dalam hal ini melakukan institusionalisasi atas hukum-hukum yang merupakan cerminan dari masyarakat yang diaturnya. Abstraksi tentang negara adalah suatu badan hukum (persona moralis) memiliki tujuan tertentu, teori negara kesejahteraan dikaitkan dengan tujuan kesejahteraan bagi warganya. Bahasa yang digunakan oleh Paul Scholten adalah hukum merupakan sesuatu hal yang berbeda dari kemauan negara. Negara dan hukum walaupun demikian terkait erat satu sama lainnya, hubungannya dengan bentuk masyarakat yang merupakan atau sebagai negara. Keberlakuan hukum oleh yang berhak melaksanakannya berada di bawah aturan hukum tersebut. Aturan hukum lebih jauh lagi oleh Paul Scholten bahwa mungkin saja merupakan hasil dari jiwanya, sehingga dengan keberlakuannya maka ia memiliki realitas kejiwaan. Aturan hukum berlaku juga terhadap diri pembentuknya, dengan demikian negara tunduk kepada hukum yang diberlakukan olehnya.
192 Terminologi kaitan antara hukum dan negara yang merupakan dua pengertian yang berbeda ini dapat disatukan sebagai arti dari negara hukum. Negara hukum melakukan segala tindakannya berdasarkan hukum, dan dapat mempertanggung- jawabkannya secara hukum. Krabbe membahasakan negara seharusnya adalah negara hukum yang segala tindakannya didasarkan pada hukum, selain itu, negara harus dapat mempertanggungjawabkannya di depan hukum. Negara mentaati tertib hukum yang dalam ungkapan Krabbe oleh karena hukum berada di atas negara. Negara seringkali digugat di depan hakim karena tindakannya merugikan warga negara, hal ini membuktikan, bahwa negara tunduk pada hukum yang lebih tinggi derajatnya dari negara. Awal munculnya pemikiran para ahli tentang negara dan hukum dimulai antara abad ke 17 sampai dengan 18. Pokok ajaran tentang negara hukum adalah mengubah sistem monarkhi absolut menjadi monarkhi konstitusional. Ahli pikir hukum dan negara pada abad ke 17 mulai mempertanyakan hak absolut raja, dan tanggungjawab pemerintah. Hak mutlak dalam pengertian yang dikemukakan oleh Spinoza merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Pandangan Locke dalam hal ini adalah hak ketuhanan dari raja untuk bersalah dalam memerintah yang seharusnya dipertanggungjawabkan. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat untuk memerintah seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban oleh karena untuk kebaikan dan atas persetujuan rakyat. Pemerintah mendapat hak untuk memerintah dari rakyat. Pufendorf melihatnya sebagai sisi perbedaan antara rakyat dan negara, intisari negara terletak pada pembentukan, dan pemeliharaan hukum yang rasional. Kewajiban ini merupakan penentu yang sebenarnya dari kekuasaan, serta batas kemungkinannya.
193 Melacak pemikiran negara dan hukum secara historis dapat juga ditemukan dalam pemikiran Aristoteles dalam hal ini, walaupun pengertian negara hukum berdasarkan pandangannya ini masih dikaitkan dengan arti negara dalam perumusannya sebagai suatu polis. Negara hukum yang muncul dari polis yang memiliki wilayah kecil, kota dan penduduknya sedikit. Urusan negara dilaksanakan melalui musyawarah (ecclesia) yang seluruh warga negaranya terlibat langsung dalam urusan dan penyelenggaraan negara. Bahasa konstitusional dalam undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia secara tersurat menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Dasar yuridis konstitusional kedaulatan rakyat ini berubah menjadi kewenangan negara melalui pemerintahannya melaksanakan kepentingan rakyat, misalnya dapat ditemukan dalam ketentuan tentang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.Lembaga perwakilan rakyat di Indonesia juga merupakan pemegang kedaulatan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum secara langsung, termasuk perwakilan rakyat yang merepresentasikan atau mewakili kepentingan daerah-daerah yang ada di Indonesia yang juga dipilih melalui pemilihan umum. Jhon Locke (1632-1704) dalam bukunya Two Treatises on Civil Goverment (1690) mengada-kan pembagian kekuasaan dalam negara (distribution of power, machten scheiding), yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan federatif (federative power of commonwealth). Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat peraturan, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan mempertahankan dan melaksanakan peraturan, serta mengadili perkara. Jhon Locke mengatakan, meng-adili merupakan pelaksanaan undang-undang (uit-voering), sedangkan kekuasaan federatif adalah men-cakup segala sesuatunya yang tidak termasuk lapang-an legislatif dan
194 eksekutif, hubungan luar negeri termasuk dalam kekuasaan federatif. Montesqiueu menyempurnakan ajaran Jhon locke yang kemudian dikenal dengan trias politica. Trias politica ini merupakan istilah yang berasal dari Immanuel Kant. Kant dalam makna ini menjelaskan bahwa manusia dilahirkan sederajat, dan segala kehendak termasuk kemauan masyarakat negara harus berdasarkan atau melalui undang-undang. Setiap orang harus berhadap-hadapan satu sama lainnya dalam mempergunakan haknya masing-masing. Peraturan hukum harus jelas dirumuskan yang menjadi dasar dari pelaksanaan pemerintahan, dan diperlukan pemisahan kekuasaan. Teori negara hukum oleh Kant bertujuan agar negara menegakkan hak, dan kebebasan warganya. Rakyat tidak boleh ditundukkan terhadap undangundang yang tidak mendapat persetujuannya. Pemerintah dan rakyat merupakan subyek hukum. Kehidupan rakyat sebagai manusia dalam negara bukanlah atas kemurahan hati pemerintah, namun berdasar pada hak-hak kekuatan sendiri. Pendapat Montesqiueu atas kewenangan absolut raja adalah memerlukan pembatasan. Negara dipisahkan kekuasaannya (pemisahan fungsi), masing- masing memiliki lapangan pekerjaan sendiri yang dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pemisahan atas kekuasaan legislatif (lapussancelegislative), kekuasaan eksekutif (lapuissanceexecutive), dan kekuasaan yudikatif (lapuissancedejudger). Fungsi legislatif dijalankan oleh dewan perwakilan rakyat, fungsi eksekutif oleh raja, dan fungsi yudikatif oleh badan pengadilan. Trias politica ini bersesuaian dengan aliran-aliran yang membawa jaman aufklarungdi eropa barat. Jaman aufklarung yang di dalamnya terdapat jaminan kemerdekaan individu dari tindakan penguasa negara, kemerdekaan ini hanya dapat dijamin melalui desentralisasi kekuasaan raja.
195 Pemisahan fungsi negara ini dimaksudkan sebagai pembatasan terhadap kekuasaan, dan menghindari kekuasaan yang sewenang-wenang dari raja. Negara hukum dalam terminologi Montesqiueu ini dikenal dengan nama Negara hukum klasik (klassickerechtsstaat). Tugas dan fungsi negara terbatas pada pekerjaan mempertahankan keamanan semata. Pekerja-an administrasi negara sendiri hanya terbatas pada membuat dan mempertahankan hukum semata (menjaga keamanan yang terbatas pada keamanan senjata). Tipe negara ini menurut Muchsan tidak ikut terlibat mencampuri kehidupan sosial kemasyarakatan, baik ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Upaya untuk menjaga kemerdekaan individu dengaan semboyan biarkanlah berbuat biarkanlah lewat (laissez faire laissez passer), membatasi agar negar tidak campur tangan di dalamnya. Negara hukum sebelum lahirnya pemikiran Kant dan Fichte merupakan negara polisi (polizei staat). Tipe negara hukum seperti ini banyak dipengaruhi oleh aliran mercantilisme yang mendasarkan pada neraca perdagangan positif (active handelsbalance). Muncul di Perancis di masa pemerintahan Lodewijke XIV. Lalu lintas perdagangan Perancis di era itu membutuhkan emas dan perak sebagai alat tukar. Emas dan perak diperoleh melalui neraca perdagangan aktif atau positif dengan cara politik ekspor yang melebihi impor. Industri dalam negeri ditingkatkan untuk diekspor sebanyak mungkin. Spanyol dan Portugal berbanding terbalik keadaannya dengan Perancis yang mendapatkan emas dan perak dari negara jajahannya. Aliran yang bertentangan dengan marcantilisme ini adalah liberalisme. Fahamnya menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah terhadap penyelenggaraan kepentingan rakyat, negara menjadi pasif (staatsonthouding) saja.
196 Perkembangan hukum administrasi negara yang modern pada dasarnya muncul dan diawali dengan adanya pemisahan fungsi kekuasaan di antara tiga kelembagaan negara. Lembaga negara yang memiliki fungsi pembuatan undang-undang, lembaga negara yang memiliki fungsi pelaksanaan terhadap undang-undang, dan lembaga negara yang memiliki fungsi melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan undang-undang. Munculnya tesis baru dalam perkembangan konsep negara hukum menuju negara hukum modern ditandai dengan perkembangan tugas lembaga negara yang hanya terbatas melaksanakan undang-undang menjadi lebih dari itu. Tugas lembaga negara yang melaksanakan undangundang tidak hanya melaksanakan fungsi melaksanakan undang-undang, namun dalam perkembangannya juga menjadi lembaga negara yang membuat undangundang. Konsep negara hukum modern ini juga memberikan beban baru kepada lembaga negara pelaksana undang-undang dengan kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan (bestuurszorg) kepada rakyat. Dua hal antara kewenangan selain hanya terbatas melaksanakan undang- undang juga membuat undangundang (baca: peraturan perundang-undangan), dan kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Negara hukum klasik sendiri tidak menyediakan instrumen hukum pemerintahan dalam rangka membuat undang-undang, dan kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Konsekuensi logis keterbatasan tugas dan fungsi negara dalam konsep negara hukum klasik menjadikan negara hukum modern diberikan kewenangan tambahan atas dua hal ini. Ikut sertanya lembaga yang pada mulanya hanya terbatas pada pelaksanaan undang-undang berkembang menjadi lembaga negara yang turut serta membuat
197 peraturan perundang-undangan dan tuntutan (kewajiban) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Pemerintah dalam hal ini menjadi terbelah dalam dua pengertian yang berbeda sama sekali dalam negara hukum modern. Pemerintah dalam terminologi lembaga eksekutif sebagai lembaga pelaksana undang-undang (trias politica), dan pemerintah dalam pengertian lembaga administrasi negara yang mempunyai kewajiban menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan (bestuurszorg) dan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan. Triaspolitica menjadi tidak memiliki relevansi yang memadai menjawab tantangan yang dihadapi lembaga negara dalam makna pemerintah selaku lembaga administrasi negara dalam konsep negara hukum modern. Lembaga administrasi negara ditandai dengan tugas dan fungsi membuat perencanaan (plan), pembuatan peraturan perundang-undangan (wet geving), membuat peraturan kebijakan (beleid regels), dan keputusan administrasi negara (beschikking). Tugas dan fungsi ini merupakan konse-kuensi logis atas kewajiban negara melalui pemerin-tahannya yang dituntut menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Lembaga administrasi negara berdasarkan hukum administrasi negara dalam negara hukum modern dengan perkembangan ini tetap tunduk dan terikat pada aturan hukum. Hukum administrasi negara rumusannya adalah keseluruhan aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara (organ atau alat perlengkapan negara), dengan rakyat. Hukum administrasi negara dalam hal ini merupakan pengertian sempit sebagai keseluruhan aturan hukum yang abstrak, umum, universal, dan impersonal yang memuat pendelegasian (pelimpahan wewenang) kepada alat administrasi membentuk aturan hukum dalam hal konkrit (inconcreto). Analoginya dapat dikemukakan sebagaimana yang berlaku dalam hukum perdata sebagai kompleks aturan hukum, mengatur hubungan hukum
198 antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lainnya yang sederajat. Pejabat administrasi negara dalam kelembagaan administrasi negara selalu didasarkan pada undangundang formal sebagai wujud dari pengakuan, dan penghargaan kedaulatan rakyat. Kedaulatan dalam Bahasa Arab diartikan sebagai daulah yang bermakna rejim politik atau kekuasaan. Dasar katanya adalah daulat yang terkait dengan kekuasaan dalam bidang politik dan ekonomi. Jimly Asshiddiqie mengidentikkannya dengan kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kegiatan negara. Negara hukum modern selalu terkait dengan konsep demokrasi yang selalu mensyaratkan setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum (asas legalitas, asas rechtmatigheid vanbestuur). Bekerjanya lembaga administrasi negara dalam negara hukum modern berlandaskan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851) secara eksplisit memuat ketentuan normatif asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas yang berisi kepastian hukum, mengutamakan landasan peraturan perundangundangan, manfaat dan segi keadilan penyelenggaraan negara, keterbukaan, hak masyarakat dalam mendapatkan informasi tanpa diskriminasi dalam penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan hak. Perlindungan hak di atas berupa hak pribadi, golongan dan rahasia negara, proporsionalitas, keseim-
199 bangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara, professionalitas, keahlian yang berdasarkan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan, akuntabilitas, setiap kegiatan dan hasilnya kegiatan penyelenggaraan negara dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara. Kedaulatan dalam negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, tertib penyelenggaraan negara, landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam penyelenggaraan negara, kesejahteraan umum, serta mendahulukan kesejahteraan masyarakat dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan efektif. Indonesia berdasarkan gambaran yang dikemukakan di atas masuk dalam kategori negara yang berdasarkan pada kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat yang direpresentasikan oleh negara, dijalankan berdasarkan hukum. Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis, mensyaratkan penyelenggaraan pemerintahan negara oleh administrasi negara berdasarkan atas prinsip kedaulatan, prinsip negara hukum, dan demi tercapainya kesejahteraan rakyat (bestuurszorg).19 Kedaulatan ada di tangan rakyat yang direpresentasikan melalui lembaga perwakilan rakyat. Pasal 1 Ayat (3) UUD ’45 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum (rechtsstaat) secara formal oleh Frederich Julius Stahl mengandung empat unsur pokok, yaitu pertama,pengakuan hak-hak dasar manusia, ke dua, pembagian kekuasaan (scheiding van macht), ke tiga, pemerintahan berdasarkan peraturan hukum dan perundang-undangan (wetmatigheid van het bestuur), dan keempat, peradilan administrasi negara. R. Zippelius melihat bahwa prinsip negara berdasarkan hukum merupakan instrumen pembatasan perluasan dan penggunaan kekuasaan negara secara totaliter, dan tidak terkontrol, berupa jaminan hak-hak asasi, pem-bagian
200 kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan pengawasan yustisial terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Lembaga perwakilan rakyat secara konstitusional mempunyai fungsi sebagai lembaga pembuat undangundang. Undang-undang sebagai hasil pelaksanaan kewenangan lembaga perwakilan rakyat merupakan peraturan pelaksanaan (organik) dari UUD ’45. Lembaga eksekutif melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Konsep negara hukum modern lebih luas lagi memberikan kewenangan kepada pemerintahan, selain pelaksanaan undang-undang (lembaga eksekutif dalam triaspolitica), juga memberikan kewenangan membuat peraturan perundangundangan secara mandiri (selfregulatorybody). Pemerintah diberikan kewenangan dalam Negara Hukum Indonesia mengatur dan membuat secara mandiri peraturan perundang-undangan. Ketentuan konstitusionalnya memberikan kekuasaan pemerintahan kepada presiden, selain itu, presiden juga memiliki kewenangan konstitusional untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang. Pemerintahan merupakan pelaksanaan tugas dan fungsi organ atau alat administrasi negara dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Kewajiban pemerintahan berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi publiknya diarahkan sebesar-besarnya untuk mencapai (kewajiban) kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dalam negara hukum modern Indonesia. Tindakan pemerintahan dalam menjalankan tugas dan fungsi publiknya melayani kepentingan masyarakat yang selalu terikat dan didasarkan pada hukum yang ada. Tindakan ini diarahkan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
201 Nurus Zaman dalam artikel yang terbit di Rechtldee Jurnal Hukum, Vol. 10. No. 2, Desember 2015 menyebutkan, Politik hukum di maknai apa yang seharusnya dinormakan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pandangan demikian, karena hukum tidak hanya dipandang sebagai norma-norma yang tertuang dalam peraturan perundangundangan saja, melainkan hukum juga dipandang sebagai kumpulan dari kehendak-ke- hendak masyarakat yang sudah terorganisir melalui wakil-wakilnya di parlemen. Kehendakkehendak tersebut mewakili seluruh unsur ma- syarakat dalam mencapai apa yang menjadi tujuannya. Namun tujuan tersebut tetap mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi tujuannya, dalam hal ini adalah tujuanNegara. Setiap Negara memiliki tujuan yang ingin di capai oleh Negara itu. Tujuan Negara di atur dalam peraturan dasarnya yaitu UUD 1945. Tujuan Negara menjadi ukuran utama dalam setiap pembentukan peraturan perun- dang-undangan karena politik hu- kum dimaknai apa yang seharusnya di normakan, maka legal policy(kebijakan hukum) yang dikeluarkan oleh pihak berwenang yang harus mengedepankan kepentingan bangsa, negara, dan warga negara, bukan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu mapun kepentingan siapa yang merumuskan peraturan tersebut.Model politik hukum yang demikian, yang dinamakan bahwa politik hukum sebagai kepentingan bersama, yaitu kepentingan seluruh bangsa. Salah satu yang dikaji dalam penelitian ini adalah politik hukum administrasi pemerintaha pada Undang - undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan. Tujuan administrasi pemerintahan sangat tergantung pada
202 tujuan dari negara itu sendiri. Bahkan kemajuan, keberhasilan dan bahkan kehancuran suatu negaradi tentukan oleh sejauhmana pola administrasi pemerintahan yang ada di negaraitu bekerja dan melaksanakan aktifitas pemerintahannnya. Untuk dapat menjalankan administrasi pemerintahan yang benar dan tepat, memerlukan parameter/ ukuran, baik ukuran dalam melakukan tindakan dan/atau perbuatan maupun parameter tersebut sebagai sarana evaluasi, di samping memerlukan pihak-pihak sebagai pengawas dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan administrasi pemerintahan tidak terlepas dari konsep negara hukum. Dalam Negara hukum setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara dan penyelenggara pemerintahan berdasarkan atas hukum. Di sini hukum sebagai ukuran setiap penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyakatan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Dengan demikian, terdapat hubungan korelatif antara penyelenggaraan pemerintahan yang harus berdasarkan atas hukum dengan negara yang berdasarkan atas hukum. Kedua konsep tersebut tidak dapat dipisahkan karena berbicara tentang pemerintahan pada saat yang bersamaan membicarakan tentang negara, begitu sebaliknya. Bila dikaji lebih mendalam, sebenarnya Indonesia bukan sekedar negara yang berdasarkan atas hukum yang pengertiannya masih umum, melainkan Indonesia berdasarkan atas hukum Pancasila. Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, selayaknya pula bahwa tujuan dari administrasi negaranya berdasar dan bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dimana dalam pembukaannya dise- butkan bahwa Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan keadilan sosial, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta dalam usaha perdamaian dunia.
203 Berbagai tujuan Negara sebagaimana diuraikan di atas, yang kemudian tujuan tersebut dilaksanakan oleh pihak pemerintahan sebagai unsur Negara, maka tugas administrasi pemerintahan/negara adalah memberikan pelayanan yang baik kepada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, serta mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Bukan sebaliknya yang seringkali terjadi masyarakat yang harus melayani pihak yang berkuasa. Untuk itu agar penyelenggaraan administrasi negara ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa, maka dituntut peran serta masyarakat. Dukungan dari masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan melalui pengawasan dari masyarakat terhadap kinerja yang dilakukan serta harus ada pertanggung jawaban dari kegiatan yang dilakukan tersebut. Pertanggungjawaban dari setiap aktifitas dan tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan harus dapat dipartanggungjawabkan baik secara norma hukum dan etika dalam penyelenggaraan pemerintahan karena pertanggung jawaban sebagainilai hakiki dari semua aktifitas pemerintahan. Prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sebagai parameter dalam penyelenggaraan pemerintahan, kadangkala tetap tidak mampu menggugah hati nurani dan pola pikirdari penyelenggara pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang menimpa penyelenggara negara/pemerintahan sampai pada akhirnya berujung di meja hijau. Keberadaan politik hukum administrasi pemerintahan dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan perlindungan hukum, baik warga negara masyarakat maupun pejabat pemerintahan. Dalam rangka men- ciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan efektif, maka diperlukan berbagai pola pendekatan dan rumusan yang jelas, terutama bagi penyelenggara peme-
204 rintahan, maka diperlukan sebuah legal policy di bidang administrasi pemerintahan yang mengaturnya. Setiap pembagunan hukum harus memiliki landasan dan dasar hukum yang jelas dan tepat, landasan dan dasar hukum yang tepat dapat menentukan akan dibawa ke mana hukum itu setelah diberlakukan. Pada awalnya landasan pembangunan hukum mengacu pada pancasila sebagai landasan falsafahnya, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, Garais-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan operasional. dalam Negara yang berdasarkan atas hukum sudah semestinya semua aktifitas penyelenggaraan pemerintahan dan Negara berdasarkan atas hukum, baik hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwaNegara Indonesia adalah negara hukum. Memaknai Negara Indonesia sebagai negara hukum berarti segala tindakan dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan maupun warga Negara harus berdasarkan atas hukum, bukan berdasarkan selain hukum.Dalam ketentuan rumusan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak menjelaskan apa yang dimaksud hukum, pemaknaan berdasarkan atas hukum berarti tidak hanya terbatas pada hukum yang tertulis saja, melainkan juga berdasarkan atas hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum yang diakui, dihormati oleh masyarakat dimana hukum yang tidak tertulis itu hidup(living law). Dengan demikian, keterikatan baik sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai warga masyarakat pada prinsipnya tidak hanya terikat pada peraturan perundang-undangan yang tertulis saja, melainkan juga terikat pada hukum yang ada dan tumbuh di tengahtengah masyarakat. Selama ini, keterikatan penyelenggara pemerintahan hanya karena adanya hukum yang tertulis. Ketika hukum
205 yang tertulis tidak memerin- tahkan atau melarang, maka penyelenggara pemerintahan sampai disitu, artinya ketika hukum tertulis tidak memberi ruang untuk melakukan aktifitas, maka penyelenggara pemerintahan cenderung diam sehingga terkesan bahwa aktifitas penyelenggaraan pemerintahan itu mengalami kebuntuhan. Padahal manajemen pemerintahan dituntut selalu bergerak sesuai dengan kebu- tuhan masyarakat dan dinamika negara-negara dunia. Menjawab persoalan tersebut di atas, memerlukan pondasi pembangunan hukum yang tepat dan utuh. Pembangunan hukum Indonesia harus berlandaskan dan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum. Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber politik hukum nasional didasarkan oleh dua alasan yaitu Pertama, Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 memuat tujuan, dasar, dan cita hukum. Kedua, Pembukaan dan pasal UUD 1945 mengandung nilai yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa (Faisal: 2014: 87). Disini Pancasila dipandang sebagai cerminan yang ada dalam pembukaan UUD 1945 khususnya aline ke-4. Sila yang ada di Pancasila merupakan salinan dari alinea ke-4 UUD 1945, dengan menambahkan simbol ‚Bhineka Tunggal Ika‛. Pemberlakuan UU Administrasi Pemerintahan untuk melihat lebih jelas, seperti apa dan bagaimana seharusnya pola kerja dari penyelenggaraan pemerintahan itu dilaksanakan karena sebelum UU Administrasi Pemerintahan tersebut di undangkan, model penyelenggaraan pemerintahan kurang terarah dan bahkan banyak yang dinilai kurang baik. Hal demikian masih rasional karena ukuran-ukuran pengambilan keputusan dari penyelenggara pemerintahan belum di atur secara rinci. Dalam ketentuan konsideran UU Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan
206 berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keberadaan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam UU tersebut diuraikan secara luas, yaitu meliputi penyelenggaraan fungsi pemerintahan dalam lingkungan eksekutif, legislatif, yudisiil dan badan lainnya yang memiliki fungsi pemerintahan yang disebutkan dalam UUD dan/atau UU. Di samping itu, untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan peme-rintahan, pengaturan mengenai administrasi pemerintahan diharapkan menjadi solusi dalam memberikan perlindu- ngan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, memberi pemahaman bahwa lahirnya UU tersebut memformulasikan dua kepentingan antara kepentingan penyelenggara pemerintahan (pejabat) dan kepentingan warga masyarakat, yang secara garis besar kepentingan tersebut adalah pemberian perlindungan hukum bagi keduanya. Pada sisi yang lain UU Administrasi Pemerintahan mengklasifikasi bentuk tindakan yang dapat dikategorikan tindakan diskresi dari pejabat pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 sampai 32. Dalam Pasal 1 angka 9 UU Administrasi Pemerintahan dijabarkan yag dimaksud dengan diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya kebuntuan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembangunan kinerja pemerintahan yang baik, membutuhkan pola administrasi pemerintahan yang menghendaki adanya ketertiban dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keberadaan politik hukum administrasi pemerintahan dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang tidak hanya
207 sekedar mengacu pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU Administrasi Pemerintahan tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan Penyelenggaraan administrasi peme- rintahan berdasarkan: (a) Asas legali- tas; (b). Asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan (c) AUPB (asas-asas umum pemerintahan yang baik). Dalam penjelasan Pasal 5 UU Administrasi Pemerintahan tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan asas legalitas adalah bahwa penyelenggaraan adiministrasi pemerintahan mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Haldemikian menunjukkan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak dibenarkan melakukan tindakan dan/atau mengeluarkan keputusan tanpa terlebih dahulu di dasari oleh hukum yang mengatur terkait dengan tindakan dan/atau keputusan yang dikeluarkan itu. Prinsip ini menggambarkan bahwa tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban. Disini pertanggungjawaban atas segala tindakan yang dilakukan oleh pejabat dan/atau badan penyelenggara pemerintahan menjadi rule dalam melaksanakan tugas, dan kewenangannya. Namun demikian, prinsip tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan dengan ukuran dan kapasitas dari isi kewenangan yang diberikan artinya tanggungjawab itu harus sesuai dengan berat kecilnya kewenangan yang ada. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 5UU Administrasi Pemerintahan menjelaskan tentang pengertian asas perlindungan terhadap hak asasi manusia yaitu penyelenggaraan administrasi pemerintahan badan/ atau pejabat pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar warga masyarakat sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa penyelenggara pemerintahan tidak boleh bertindak secara sewenang- wenang kepada warga masyarakat, apalagi terkait dengan hak-hak warga masyarakat, pada sisi yang lain,perlindungan terhadap hak-
208 hak asasi manusia menjadi tanggung- jawab negara untuk dilindungi dan ditegakkan. Namun demikian, hak-hak asasi manusia yang harus dilindungi dan ditegakkan itu bukan berarti dapat menafikkan faktor kewajiban sebagai warga masyarakat. Hak dan kewajiban memiliki korelasi satu dengan lainnya. Bahkan hak asasi manusia itu sendiri memiliki batasanbatasan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan dan keterti- ban umumdalam suatu masyarakat demokratis. Berdasarkan rumusan tersebut, memberi pemahaman bahwa meski hak asasi manusia itu merupakan hak mendasar yang dimi- liki oleh setiap warga masyarakat, tetapi hak tersebut tidak dapat digu- nakan sekehendaknya sendiri, tanpa memperhatikan hak asasi orang lain, bahkan penilaian penggunaan hak oleh seseorang bukan hanya memperhatikan keberadaan hukum positif saja, melainkan juga memperhatikan aspek moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Living law Bentuk Karakter Hukum Positif Pada setiap negara tidak akan sama ideologi yang dianutnya, sesuai dengan masing-masing negara itu termasuk bagaimana formulasi ideologi yang dikehendakinya karena suatu ideologi suatu bangsa pada hakekatnya memiliki ciri khas serta karakteristik masing-masing sesuai dengan sifat dan ciri khas bangsa itu sendiri, tetapi dapat juga terjadi bahwa ideologi pada suatu bangsa datang dari luar dan dipaksakan keberlakuannya pada bangsa tersebut sehingga tidak
209 mencermin- kan kepribadian dan karakteristik bangsa tersebut. Perjalanan suatu bangsa dan negara tidak terlepas dari keberadaan dan perkembangan nilai-nilai yang ada dan hidup di tengah masyarakat bangsa. Nilai-nilai itu senantiasa mengilhami dan memberi inspirasi bagi setiap pembangunan hukum yang akan dibentuk oleh sang penguasa. Eksistensi nilai-nilai selalu mengalami perubahan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat itu sendiri. Negara tidak boleh intervensi terhadap keberadaan nilai-nilai tersebut karena itulah pada dasarnya hakekat karakter yang dimiliki suatu bangsa. Suatu bangsa memiliki karakter yang bervarian dengan bangsa yang lain, karakter itu akan eksis dan berkembang manaka- la masyarakat masih menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, karakter itu akan menghilang dengan sendi- rinya, bila masyarakat sudah tidak lagi menghendaki kembali nilai-nilai yang selama itu ada. Nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang notabene sebagai bentuk abstrak kemudian diwujudkan melalui ber- bagai kegiatan dan aktifitas oleh masyarakat itu sendirisehingga pada akhirnya nilai yang pada mulanya abstrak dengan sendirinya mengikat golongan masyarakat itu. Ketika sebuah nilai sudah mengikat pada subyek hukum tertentu, maka saat itu pula nilai-nilai itu berubah bukan sekedar nilai yang sifatnya abstrak dimana dianggap hanya sebuah nilai yang biasa, melainkan nilai itu sudah di cetuskan sebagai bentuk hukum yang mengikat pada masyarakat itu. Akan tetapi, perubahan yang dialami oleh masing-masing masyarakat tidaklah sama, ada yang cepat dan menolak dan ada pula yang lambat tersendat-sendat. Kapan masyarakat dapat berubah atau tidak bergantung pada sejauh- mana masyarakat itu menerima peru- bahan itu, di samping faktor apa yang mendorong atau mempengaruhi terjadinya potensi perubahan tersebut. Terdapat dua pandangan yang sangat dominan terkait dengan terjadinya perkembangan atau peru- bahan hukum
210 yang berlaku di suatu negara. Kedua pandangan tersebut saling tarik menarik untuk mengkul- tuskan yang benar satu sama lainnya, dan masing-masing mempunyai alasan pembenar. Kedua pandangan tersebut dikenal dengan pandangan tradisional dan pandangan mo- dern.Pandangan tradisional dalam rangka perubahan hukum mengatakan bahwa ma- syarakat perlu berubah dahulu, baru hukum datang untuk mengaturnya. Biasanya teknologi masuk dalam kehidupan masyarakat itu, kemudian disusul dengan timbulnya kegiatan ekonomi dan setelah kedua kegiatan itu berjalan, baru hukum masuk untuk mengesahkan kondisi yang telah ada. Di sini kedudukan hukum sebagai pembenar apa yang telah terjadi, fungsi hukum disini adalah sebagai fungsi pengabdian (dienende funtie). Hukum berkembang mengi- kuti kejadian-kejadian yang terjadi dalam suatu tempat dan selalu berada dibelakang peristiwa yang terjadi itu (het recht hinkt acther de feiten aan). Pandangan yang kedua yaitu pandangan modern, yang menga- takan bahwa hukum diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru karena hukum itu harus selalu berada bersamaan dengan peristiwa yang terjadi. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai pembenar atau mengesahkan segala hal-hal yang terjadi setelah masyarakat beru- bah, tetapi hokum harus tampil secara bersamaan dengan peristiwa yang terjadi bahkan kalau perlu hukum harus tampil dahulu bar peristiwa mengikutinya. Pada dasarnya kebaradaan hukum yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat secara konstitusional sudah mendapat pengaturan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prin- sip Negara kesatuan Republik Indo- nesia yang diatur dalam Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, harus dimaknai dan dipahami Negara saja mengakui dan
211 menghomati kesatuan masyarakat hukum adat, apalagi hanya penye- lenggara pemerintahan, yang notabe- ne penyelenggara pemerintahan itu petugas negara. Pengakuan negara atas keberadaan hukum tidak tertulis beserta hak-hak yang mengiringi meskipun dipandang hanya setengah hati, tetapi itu sudah cukup memiliki legitimasi yuridis. Dikatakan negara mengakui setengah hati atas penga- kuan kebedaan hukum tidak tertulis karena dalam rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 keberadaan hukum tidak tertulis itu bersyarat yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatu- an Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. Namun semua itu tidak akan mengurangi nilai keberadaan hukum tidak tertulis karena pada prinsipnya bukan hanya hukum yang tidak tertulis saja yang harus sesuai dengan ketentuan Pasal 18B UUD 1945. Peraturan perun- dang-undangan juga bila sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sistem ketatanegaraan dan bentuk negara kesatuan juga akan dilakukan perubahan. Oleh karena itu, pembangunan paradigma hukum administrasi tidak hanya bersandarkan pada hukum tertulis belaka, melainkan harus pula menggali dari nilai-nilai kemasya- rakatan yang dianggap sebuah tatanan hukum yang ada. Setiap pemba- ngunan hukum tidak terlepas dari apa yang melatarbelakangi hukum itu dibentukdan bahkan kapan harus dibentuk. Hal ini mengingat setiap pembangunan hukum tidak boleh bila hanya sekedar keinginan penguasa, melainkan harus dipan- dang sebagai kebutuhan dari negara,- di lain pihak harus searah dengan kebutuhan masyarakat. Pembangunan politik hukum yang disandarkan pada keinginan penguasa, maka menghasilkan pemerintahan yang otoriter. Begitu juga ketika pembangunan hukum dibangun hanya sekedar keinginan masyarakat bangsa semata, maka output dari pembangunan hukum itu lebih cenderung sebagai
212 bentuk menghindari protes- protes dari warga Negara terhadap penguasa. Jadi, politik hukum dibangun harus diantara kebutuhan dan kewajiban, di sisi yang lain negara membutuhkan mengeluarkan legal policy, dan memiliki tanggungjawab untuk mempercepat tujuannya. Dua arah yang bersamaan menyatu antara kebutuhan negara dan kewajiban negarauntuk mewujudkan tujuannya akan menghasilkan sebuah kebijakan hukum yang baik dan besar kemungkinan sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi hukum administrasi negara secara umum untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keterti- ban umum sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup bersama. Fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masya- rakat yaitu berfungsi sebagai direktif, stabilitatif, integratif, perfektif (penyempurna) dan korektif untuk mendapatkan keadilan.Semua itu harus dipandang sebagai hubungan korelatif satu dengan yang lainnya. Keadilan adalah kepentingan manusia, yang paling tinggi, bagaimanapun juga keadilan itulah yang dicari orang tiada hentinya diperjuangkan oleh orang dengan segala macam bentuk dan cara yang mereka mampu lakukan. Keadilan itu lazimnya datang dan diberikan oleh penguasa, bukan antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya karena kecenderu- ngan problematika ketidak adilan berawal dari sikap dan tindakan penguasa. Warga masyarakat akan menentang manakala keadilan itu tidak diberikan atau apabila keadilan itu tidak ada. Awal mulanya ada ma- syarakat yang teratur, lembaga-lem- baga untuk memelihara dan menga- tur keadilan telah merupakan masa- lah yang terutama diperhatikan, tetapi perkataan keadilan itu mempunyai lebih dari satu arti. Didalam etika dapat menganggapnya sebagai suatu budi pekerti perseorangan atau sebagai suatu keadaan dimana terpenuhnya
213 kebutuhan-kebutuhan atau tuntutan-tuntutan manusia secara adil dan layak. Didalam ilmu ekonomi dan ilmu politik kita dapat berbicara tentang keadilan sosial sebagai suatu sistem yang menjamin kepentingan-kepentingan atau ke- hendakkehendak manusia yang selaras dengan cita-cita kemasyarakatan. Didalam ilmu hukum kita berbicara tentang pelaksanaan keadilan (administration of justice) yang berarti mengatur hubungan hubungan dan menertibkan kelakuan manusia didalam dan melalui pengadilan-pengadilan, dari masyarakat yang berorganisasi politik, sedang oleh para penulis filsafat hukum keadilan itu diartikan sebagai hubungan yang ideal atara manusia . 1. Hukum Adminitrasi Pemerintahan dari Nilai-nilai Pancasila Para ahli filsafat dan ahli hukum memandang Pancasila sebagai pandangan hidup, falsafah bangsa dan ideologi berbangsa dan bernega- ra. Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Kata idea berasal dari kata bahasa Yunani eidos yang artinya bentuk. Di samping itu ada kata idein yang artinya melihat. Secara harfiah ideologi adalah ilmu pengertian-pengertian dasar. Secara umum ideologi dapat diartikan sebagai kumpulan gagasan-gagasan, ideide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis yang menyangkut : (1) Bidang politik (termasuk di dalamnya bidang pertahanan dan keamanan), (2) Bidang sosial. (3) Bidang kebudayaan, dan (4) Bidang keagamaan. Keputusan Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD sebagai hukum dasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan Republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945 menggaris- kan dasar negara yaitu Pancasila. Secara yuridis Pancasila adalah sah menjadi dasar negara Republik Indo- nesia. Akibat
214 hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari Pancasila. Landasan hukum Pancasi- la sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan filosofis, yaitu kehidupan negara dari bangsa Indo- nesia harus berpedoman kepada Pancasila. Pada hakekatnya secara hierarki dalam perundangundangan yang berlaku di Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam sistem hukum positif Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka di dalamnya mengandung nilainilai filosofis yang menaungi setiap pera- turan perundang-undangan yang ada. Nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam Pancasila diwujudkan melalui silasila yang termaktub dalam Pancasila. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum berfungsi sebagai cita-cita atau ide, sebagai cita-cita semestinya pancasila selalu diusahakan untuk dicapai oleh tiap-tiap manusia Indonesia sehingga cita-cita itu terwujud menjadi suatu kenyataan. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudu- kan yang tinggi, yaitu sebagai cita-cita dan pandangan hidup bangsa dan negara. Dilihat dari fung- sinya Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai dasar negara. Di lihat dari segi materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indo- nesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila dapat dikatakan bahwa Pancasila dibuat dari materi atau bahan dalam negeri, bahan asli murni dan merupakan kebanggaan bagi suatu bangsa patriotik. Pada sisi yang lain Pancasila sebagai dasar negara sering disebut dasar falsafah negara (philosofische grondslosg) dari negara, ideologi negara, staatsidee. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara seperti yang di maksud di atas sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945, yang dengan jelas menetapkan:
215 Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melin- dungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut nelaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka dari itu disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indo- nesia itu dalam suatu UUD negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengenai Pancasila sebagai dasar negara Notonogoro menyatakan diantara unsur-unsur pokok kaidah negara yang fundemental, asas kero- hanian Pancasila adalah mempunyai kedudukan istemewa dalam hidup kenegaraan dan bangsa Indonesia. Selanjutnya dikatakan, norma hukum yang pokok dan disebut pokok kaidah fundemental daripada negara itu dalam hukum mempunyai hakekat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara yang dibentuk, dengan perkataan lain dengan jalan hukum tidak dapat dirubah. Landasan ideal yang terformulasi sebagai dasar negara dan terumus dalam lima sila pada hakikatnya mengandung ajaran moral bangsa, ajaran tentang akhlak, bagaimana seseorang bertingkah laku yang baik, yang beretika, bersusila. Ajaran moral bangsa Indonesia berjumlah lima, yaitu (1) Ajaran yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, (2) Ajaran agar manusia dalam bertingkah laku memperlakukan orang sebagai manusia yang adil dan beradab, (3) Ajaran yang menghen- daki kehidupan dalam persatuan dalam wadah kehidupan berbangsa, bangsa Indonesia, (4) Ajaran yang
216 mengajarkan kehidupan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijak- sanaan, dan (5) Ajaran yang menghendaki kehidupan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Ali,2012: 156). Nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila yang ada dalam pancasila di implementasikan pada pembentukan peraturaan perun- dang-undangan utamanya di bidang hukum adminitrasi pemerintahan. Menurut Bagir Manan, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia karena sudah semestinya demokrasi di Indonesia didasarkan pada Pancasila, maka lahirlah nama baru demokrasi Pancasila yang secara konseptual keseluruhan nilai-nilai Pancasila akan menjadi landasan mekanisme dan sekaligus tujuan demokrasi Indonesia. Dengan demikian nilai- nilai sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijak- sanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, meru- pakan arahan demokrasi Indonesia (Manan, 2004: 150-151). Setelah kemerdekaan landasan penyelenggaraan negara Indonesia terdiri atas landasan ideal yaitu Pancasila, landasan konstitusional yaitu UUD 1945 yang telah me- ngalami 4 (empat) tahap amande- men. Landasan operasional tidak dikenal lagi sejak Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihapuskan dalam amandemen UUD 1945. Akan tetapi, untuk operasionalisasi dalam mencapai tujuan negara mengacu pada program legislasi nasional yang disepakati bersama oleh Presiden dan DPR. Tujuan penyelenggaraanpemerintahan negara Indonesia adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indone- sia dan seluruh tumpah darah Indo- nesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
217 ikut melak- sanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perda- maian abadi dan keadilan sosial. 2. Tujuan nasional dan internasional Hukum administrasi negara mencakup tiga fungsi, yaitu: fungsi normatif, instrumental dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan pemerintah, fungsi instrumental untuk mene- tapkan instumen yang digunakan pemerintah dalam melakukan pemerintahan dan fungsi jaminan untuk menjamin adanya perlindungan hukum bagi warga masyarakat. Fungsi normatif hukum administrasi negaradilakukan dengan menelaah serangkaian peraturan perundangundangan. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada asas legalitas, yang berarti terlebih dahulu mencari dasar hukum tindakan dalam UU. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perun- dang-undangan yang terkait. Apabila tidak ditemukan legalitasnya dan harus dilakukan tindakan segera, maka pemerintah dapat menggunakan kewenangan bebas yang disebut freies ermessen. Pelaksanaan freies ermessen harus memperhati- kan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas legalitas meski menjadi tumpuan utama dalam negara hukum, tetapi dalam hal-hal tertentu asas tersebut dapat disimpangi misal- nya asas legalitas dalam hal pidana wajib dijadikan sebagai dasar, karena menyangkut perlindungan hak asasi manusia. Sedangkan asas legalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dipandang sebagai bentuk meng- hindari dari sikap sewenang-wenang dari penguasa, tetapi bukan menjadi terpentingkarena esensi dari penyelenggaraan pemerintahan adalah mewujudkan kesejahteraan bagi warga masyarakat. Kemudian fungsi instrumen hukum administrasi negara dimaksudkan untuk mencip- takan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Akhirnya fungsi jaminan hukum administrasi negara harus dapat
218 memberikan perlindungan warga masyarakat sehingga tercapai keadilan dan kesejahteraan secara merata. Penggunaan kekuasaan negara terhadap warga masyarakat bukanlah tanpa persyaratan. Warga masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai obyek. Keputusan dan/atau tindakan terhadap warga masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap keputusan dan/atau tindakan merupakan pengu- jian terhadap perlakuan kepada warga masyarakat yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga negara dan paradilan tata usaha negara yang bebas dan mandiri. Oleh karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undang-undang, dengan tidak menutup mata, bahwa legalitas tidak selalu mampu memberi jawaban dari persoalan warga masyarakat. Dengan kata lain, legalitas dalam hukum administrasi pemerintahan tidak selalu mampu memberi jawa- ban terhadap berbagai persoalan bangsa dalam mempercepat dan menciptakan kesejahteraan bagi warga masyarakat. Tugas pemerintahan untuk mewu- judkan tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat luas. Begitu luasnya cakupan tugas administrasi pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan men- jadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat guna mem- berikan landasan dan pedoman bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas penyeleng- garaan pemerintahan.
219 UU Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan warga masyarakat. Pengaturan administrasi pemerintahan merupa- kan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis dimana keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembagalembaga eksekutif, yudisiil dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang dimungkinkan di uji melalui pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum Pancasila. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada warga masya- rakat dan bukan sebaliknya. UU Administrasi Pemerintahan harus mengatur paradigma yang dapat menguntungkan bagi warga negara. Kesan bahwa warga masyarakat cenderung dijadikan sebagai obyek saat ini harus dibalik bahwa warga masyarakat menjadi subyek. Hubungan yang seimbang antara warga masyarakat dengan Negara harus dijadikan sebagai ukuran awal dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.Dengan demikian, posisi antara dua elemen antara Negara dan warga negaranya menjadi seimbang dan setara. Kedudukan yang seimbang antara warga masyarakat dengan Negara bukan berarti warga negara dapat melakukan tindakan diluar ketentuan peraturan perundang-undangan,tetapi itu dimaksudkan bahwa hakhak dari warga negara yang sudah dirinci dan diatur dalam UUD 1945 segera diimpelementasikan dan diwujudkan oleh Negara. Dengan demikian, tanggungjawab negara dan/atau pemerin- tahan menjadi nyata.
220 3. Menciptakan Birokrasi Bersih, Kompeten Dan Melayani Hendro Witjaksono menyebutkan, perlunya transformasi organisasi pemerintahan, sudah tidak dapat disangkal lagi, merupakan sarana mendukung perubahan yang diperlukan untuk peningkatan kinerja pemerintahan. Perlunya transformasi organisasi pemerintahan sudah dinyatakan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025: ‚Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2015 merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun ke depan (kini tinggal 10 tahun), sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dan mempunyai posisi sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat International.‛ Pada saat ini kondisi birokrasi di Indonesia belum mengalami perubahan mendasar yang besar. Masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan. Angkaangka statistik dan hasil survei menunjukkan masih rendahnya daya saing kita, masih rendahnya indeks persepsi korupsi, masih tinggi tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Permasalahan itu makin meningkat kompleksitasnya dengan desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi. Proses demokratisasi sepuluh tahun terakhir, telah membuat rakyat makin sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk dalam pengawasan terhadap birokrasi perlu terus dibangun dalam rangka
221 mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Kesiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi perlu dicermati agar mampu memberikan pelayanan yang dapat memenuhi aspek-aspek transparansi, akuntabilitas, dan kualitas yang prima dari kinerja organisasi pemerintahan. Globalisasi juga membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemerintahan. Revolusi teknologi informasi (TI) akan mempengaruhi terjadinya perubahan manajemen penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pemanfaatan TI dalam bentuk e-government, eprocurement, e-learning, e-commerce, dan cyber law juga akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, dan juga lebih transparan. Dalam rangka mewujudkan bangsa yang berdaya saing, seperti diamanatkan oleh RPJP Nasional (UU NO.17/2007), bahwa ‚pembangunan di bidang aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya.‛ Label reformasi birokrasi ini juga berarti reformasi administrasi pemerintahan secara keseluruhan termasuk di dalamnya mentransform atau mengubah institusiinstitusi pemerintahan menjadi institusi-institusi birokrasi pemerintahan yang efektif, akuntabel, dan efisien dalam menggunakan sumber daya. Dan kini kita telah mencapai waktu pelaksanaan RPJM ke-3 (2015 - 2019) yang berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-2, RPJM ke-3 ini ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya
222 alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Kehidupan demokrasi bangsa yang makin mengakar dalam kehidupan bangsa sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, nondiskriminasi dan kemitraan dan semakin mantapnya pelaksanan desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi itu mendorong tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai dalam berbagai aspek kehidupan. Bersamaan dengan itu kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin diharapkan mampu mendukung pembangunan nasional. Memperhatikan apa yang diamanatkan oleh RPJP nasional di atas dan terkait kondisi saat ini, masih banyak pembangunan di bidang aparatur negara yang harus dilaksanakan. Dan pembangunan sumber daya manusia memang merupakan fokus utama disamping sumber daya alam yang ada. Oleh karena itu, gerakan pembangunan yang melibatkan masyarakat yang dipicu oleh inisiatif masyarakat sendiri maupun inisiatif pemerintah dalam hal pembangunan sumber daya manusia Indonesia perlu terus menerus diupayakan. 4. Mempelajari Struktur dan Proses Bisnis Saat Ini Mempelajari proses bisnis saat ini untuk melakukan perubahan harus dilakukan agar perubahan selalu mengarah ke perbaikan, walaupun belum tercapai semuanya. Dari segi kesisteman dan metode kerja yang menggunakan cara berfikir kesisteman, mempelajari proses bisnis saat ini adalah untuk mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan demikian, keputusan untuk mengubah
223 haruslah dilakukan atas dasar hasil penelitian, hasil riview, hasil evaluasi, hasil audit, atau hasil penelaahan yang memadai. Sehingga boleh dikatakan keputusan yang diambil berdasarkan bukti yang cukup diyakini (evidence based policy). Dalam mempelajari proses bisnis ini semakin rinci semakin jelas, semakin mudah, akan tetapi sebaliknya semakin besar, semakin ke arah makro semakin kurang jelas, dan semakin sulit. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah pengetahuan dan pengalaman praktik jika tidak dapat ditemukan inovasi baru yang logis dan meyakinkan. Demikian pula dalam mengidentifikasi rumpun atau kelompok-kelompok dan jenis-jenis /macam prosesnya haruslah dikenali secara hati-hati dan seksama. Dokumentasi pada tahapan identifikasi proses ini harus cermat sehingga, kita dapat menetapkan struktur organisasi yang sesuai kebutuhan dan tepat fungsi, tidak terjadi kontradiksi, tidak berlebihan (redundant) dan tidak bercerai berai (terfragmentasi) atau kurang terintegrasi. Dalam mempelajari proses bisnis yang penting dapat dicapai tujuan-tujuan seperti yang dipercaya oleh para Weberian (penganut Max Weber) dengan pemikiran yang klasik, yaitu adanya: a. Pembagian tugas yang baik. b. Pembagian kewenangan dan pemisahan fungsi yang memadai. c. Memperhatikan span of control dari manajemen. d. Memperhatikan kesatuan komando (unity of command). Namun demikian, perkembangan dalam pengembangan tata kelola yang baik (good governance) bisa saja diadaptasi untuk menyusun organisasi pemerintahan. Misalnya, diperlukan cara pengorganisasian yang lebih fleksibel, dibentuk tatanan yang memberikan check and
224 balances, selalu dibuka kemungkinan mekanisme umpan balik yang efektif, dan sebagainya. Berbagai perkembangan yang terjadi pada dasawarsa terakhir ini menyebabkan sebuah organisasi haruslah bersifat lebih dinamis dalam lingkungan strategisnya. Sebuah instansi pemerintahan semestinya juga berubah lebih dinamis, walaupun tidak se-dinamis di sektor korporasi, dalam melakukan fungsi pelayanan. Dan karena semua negara pada saat ini berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lain yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi, maka lingkungan strategis sebuah negara juga cepat berubah. Demikian pula organisasi korporasi dan bahkan organisasi yang nirlaba-pun lingkungan strategisnya cepat berubah. Dalam melaksanakan pembangunan Indonesia masih berfokus pada pembangunan di bidang ekonomi, karena pada kenyataannya tingkat kesejahteraan masih rendah, yang ditandai dengan tingginya tingkat kemiskinan. Oleh karena itu, di tingkat makro dan meso haruslah dianalisis misalnya dengan menggunakan model ‚structure conduct performance‛ (SCP) dari Joe Bain dalam buku Pepall, Lynnw, et al (2004), ‚Industrial Organization‛, maka roda perekonomian yang berjalan, sangat dipengaruhi oleh struktur pasar (structure) dan bagaimana para pebisnis dan korporat berperilaku (conduct), yang pada gilirannya sangat menentukan kinerja perekonomian (performance). Dengan memahami struktur yang ada, kita dapat mengetahui mengapa para pelaku usaha dan perusahan-perusahaan berperilaku seperti yang mereka lakukan dan kita juga dapat memahami sebagian dari mereka sukses dan sebagian lainnya gagal. Dan jikapun dari hasil analisis, struktur ekonomi kurang baik maka harus dilakukan reformasi ekonomi, yang juga menyangkut kelembagaan dan unsur-unsur pelaku ekonomi yang terkait. Karena itu, analisis SCP ini
225 akan dapat membantu para pengambil kebijakan agar dapat menghasilkan kebijakan publik yang baik dan meningkatkan kinerja perekonomian. Sekali lagi, tentu saja hal ini pada skala makro tidaklah mudah, karena berbagai faktor eksternal dan lebih khusus keterpengaruhan suatu negara pada era globalisasi ini sangat tinggi. Di tingkat meso, yaitu pada tingkat koordinasi antar sektoral, antar kementerian/lembaga, atau antar wilayah, diperlukan analisis yang bersifat ‚helicopter view‛ agar dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh tentang struktur yang ada. Pada tingkat ini, juga diperlukan telaahan mengenai struktur yang ada dan proses yang berlangsung. Pelaksanaan program-program pembangunan ekonomi yang besar tentulah memerlukan analisis klasik seperti SCP itu dan ditambah dengan berbagai analisis lainnya yang dapat mendukung efektivitas implementasinya nanti. Analisis-analisis itu terutama yang terkait dengan sosial dan kultural, dan masalah-masalah yang terkait dengan kemasyarakatan lainnya, baik dalam lingkup sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya. Di tingkat mikro, yaitu pada tingkat Kementerian, Lembaga atau Instansi, mempelajari struktur pengelolaan dan proses bisnis mereka mungkin agak lebih jelas karena lingkupnya terbatas, mandatnya lebih spesifik dan tugasnya di bidang tertentu. Akan tetapi, sekali lagi bahwa negara ini merupakan sebuah sistem yang besar, jadi suatu institusi tentu ada kaitannya dengan institusi lainnya. Suatu instansi boleh jadi merupakan satu sub sistem yang kecil dari sebuah sistem negara. Karenanya, subsistem ini strukturnya dan kedudukkannya dalam sistem yang besar haruslah terkait dan berkesesuaian (cocok) agar menghasilkan kinerja yang baik. Sub-sub sistem itu haruslah tidak terfragmentasi, tidak kontradiksi atau saling meniadakan hasil kegiatan, dan tidak
226 berlebihan atau tidak redundant sehingga terintegrasi menjalankan misi guna mencapai tujuan yang sama. Analisis di tingkat mikro harus mempertimbangkan teori perilaku (organisasi), kepemimpinan (leadership), dan juga budaya yang saat ini ada dan berkembang. Karena organisasi merupakan kumpulan orang-orang dan sumber daya lainnya, sudah tentu yang menjadi fokus dalam analisis adalah sumber daya manusia. Bagaimana membagi tugas dan tanggung jawab di antara berbagai anggota organisasi, kompetensi orang-orang yang ditugaskan pada job/ posisi tertentu, dan berbagai aturan tata kelola dan penata laksanaan program dan kegiatan yang mereka laksanakan, itulah yang menjadi fokus analisis. Penyusunan struktur manajemen pada organisasi pemerintah seringkali berfokus pada mandat atau tugas yang diberikan peraturan perundangan, dan kurang melihat organisasi instansi pemerintah itu sebagai sebuah subsistem dari sistem yang besar. Sehingga ada kecenderungan membangun ‚istana‛ baru di sebuah kompleks permukiman. Pemikiran yang mementingkan sektor-nya sendiri, atau berpikir dalam kotak-kotak kepentingannya sendiri haruslah ditinggalkan. Yang penting bukanlah mendapatkan mandat sebesar dan seluas-luasnya, akan tetapi hasil yang besar, keberhasilan yang gemilang dan ketepatan memerankan diri dalam melaksanakan mandat itulah yang lebih penting. Menyusun lembaga yang besar biasanya oleh para perancangnya dimaksudkan untuk memperoleh sumber daya yang besar pula. Pandangan ini tentu harus diubah. Yang penting sekali lagi bukan sumber daya yang besar, akan tetapi hasil yang besar, efisiensi yang tinggi, dan sesuai kebutuhan. Organisasi yang kecil dan ramping mungkin saja lebih efisien dan lebih mudah untuk
227 ‚bergerak‛ mencapai tujuan-tujuan besar dengan lebih efisien. Penggunaan sumber daya yang besar dari negara juga harus diserta dengan pertanggung jawaban yang memadai dan bisa dipercaya (akuntabel). Lalu logikanya buat apa sumber daya yang besar jika membuat sulit untuk mempertanggun jawabkan? Jadi mindset pihak yang merancang organisasi harus diubah, bukannya mengutamakan pemerolehan sumber daya yang besar, akan tetapi harus berubah menjadi dapat secara efektif dan efisien mencapai tujuan seperti misi yang diemban. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka melaksanakan reformasi organisasi, biasanya disebut sebagai penataan organisasi. Hal ini dapat berupa restrukturisasi, reframing, regrouping, revitalisasi dan rekayasa bentuk/tatanan lainnya. Pada dasarnya mengubah struktur agar dapat beroperasi lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuan. Kemudian setelah ditata strukturnya, biasanya diikuti dengan penetapan aturan main dalam bentuk tugas, fungsi, berikut kewenangan dan tanggung jawab masingmasing unit atau jabatan. Menurut literatur, organisasi dapat diartikan seperti penjelasan berikut ini. Pertama, secara umum arti organisasi pada kamus bahasa Indonesia adalah ‚Kelompok orang yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan‛, atau kelompok kerja sama antara orang-orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama. Kedua, menurut Prof. Dr. Mr Pradjudi Armosudiro, mengatakan organisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikatakan proses pengorganisasian adalah proses identifikasi dan pembentukan serta pengelompokan kerja, mendefinisikan dan mendelegasi-
228 kan wewenang maupun tanggung jawab dan menetapkan hubungan-hubungan dengan maksud untuk memungkinkan orang-orang bekerjasama secara efektif dalam menuju tujuan yang ditetapkan. Sehingga sebuah organisasi tidak lepas dengan struktur organisasi. Karena struktur organisasi adalah cara suatu aktivitas organisasi dibagi, di organisir, dan dikoordinasikan. Menurut Ernes Dale, yang mengarang text book yang banyak dipakai di perguruan tinggi yang berjudul ''Management: Theory and Practice'' (1993), sebuah struktur organisasi harus memuat tentang 5 hal sebagai berikut: a. Daftar pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi b. Membagi jumlah beban kerja dalam tugas-tugas atau biasa disebut pembagian kerja (devision of work) c. Menggabungkan tugas-tugas dalam keadaan yang logis dan efisien atau departementalisasi (departmentalization) d. Menetapkan mekanisme untuk koordinasi e. Memonitor efektivitas struktur organisasi dan melakukan penyesuaian apabila diperlukan Maka berdasarkan pandangan-pandangan di atas, banyak para perancang organisasi terjebak pada short cut langsung menuju membuat bagan organisasi (organisation chart), dan membahasnya dengan berbagai pihak. Karena seringkali bagan organisasi inilah wahana penggambaran cara pengorganisasian untuk mencapai tujuan bersama. Namun, agaknya penelitian terkini menunjukkan, tidak hanya itu, soal visi, misi, dan nilainilai yang dianut organisasi, kepemimpinan, dan budaya organisasi, juga ternyata penting untuk keberhasilan pencapaian tujuan bersama. Tak pelak lagi penataan organisasi ini sering kali diwujudkan dalam bentuk reorganisasi, yaitu membuat
229 tatanan pengorganisasian yang baru. Jadi yang perlu diutamakan adalah pengorganisasi dan bukan hanya struktur organisasinya (organization chart). Pengorganisian ini tentulah salah satu strategi penting dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Struktur organisasi hanya alat berupa gambar yang menjelaskan struktur manajemen yang dikehendaki bisa berjalan secara efektif. Selebihnya, efektivitas organisasi masih bergantung lagi pada para anggotanya, para pemimpinnya, dan budaya yang dipraktikkan/ dikembangkan. Yulius E. Agung Seputra (2014) merangkum pandangan umum yang berkembang, bahwa organisasi bisa diartikan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: a. Sebagai wadah: tempat dimana kegiatan manajemen dijalankan. b. Sebagai proses: memperhatikan interaksi/ kerja sama antar orang-orang yang menjadi anggota organisasi, baik formal maupun informasi. c. Sebagai sistem: (1) sistem sosial, (2) sistem fungsional, (3) sistem komunikasi. Oleh karena itu, dalam mempelajari sebuah organisasi kita haruslah mencermati ketiga-tiga hal tersebut agar memperoleh gambaran yang benar tentang kondisi saat ini. Pada saat ini trend yang sedang terjadi dalam mempelajari suatu organisasi di tingkat mikro adalah justru mempelajari proses bisnis yang saat ini dijalankan. Jadi struktur organisasi tidak dipandang sebagai barang mati, akan tetapi lebih dilihat sebagai cara orang untuk membagi pekerjaan, mengkoordinasikan pekerjaan dan mengarahkan segala aktivitas untuk mencapai tujuan organisasi. Karena suatu organisasi terkadang melaksanakan banyak misi, maka program dan kegiatannyapun cukup banyak. Sehingga proses bisnis yang dipelajari juga cukup banyak. Oleh karena itu,
230 mempelajari bisnis proses dibagi ke dalam tingkatantingkatan (layer) makro-meso-makro, misalnya, sehingga dapat diketahui konteksnya. Hubungan-hubungan vertikal dan horizontal juga diidentifikasi agar dapat dipahami bagaimana proses bisnis yang sekarang ini dijalankan. Hubungan vertikal antara proses bisnis di tingkatan mikro dengan pada tingkatan meso, dan hubungan vertikal antara tingkatan meso dan makro harus dirancang secara logis. Demikian pula hubungan horizontal, terutama terkait dengan pembagian tugas, departementalisasi, dan hubungan kerja sama juga harus masuk akal. Di lingkungan organisasi pemerintahan (sektor publik) hubungan vertikal dan horizontal ini sering sulit didapat informasinya dari hanya sekedar bagan struktur organisasi saja. Di samping gambar struktur organisasi harus dibaca secara rinci tugas dan fungsi setiap jabatan, hubungan kerja, dan dokumen laiannya tentang organisasi dan tata kerja, sehingga diperoleh informasi tentang kondisi proses saat ini. Pada tingkatan mikro, di dalam organisasi pemerintahan yang telah banyak menggunakan apa yang disebut e-government, yaitu tata kelola pemerintahan yang menggunakan teknologi informasi dan jaringan komunikasi, dapat digunakan analisi Structured Analysis and Design Method (dari Peter P. Chen, 1977). Metode ini secara teliti mempelajari dan mendokumentasikan proses, dengan tahapan sebagai berikut: a. Identifikasi proses sistem yang ada saat ini (existing system) dan mendokumentasikan dalam process chart; b. Menarik gambaran logical design sistem yang ada saat ini; c. Membuat logical design sistem baru yang diinginkan; d. Menentukan physical design sistem yang baru.
231 Dari langkah-langkah tersebut dapat diperoleh desain sistem yang baru. Walaupun mungkin tidak baru sama sekali, akan tetapi dari langkah pertama kemudian langkah kedua dan ketiga, maka kita telah berhasil menemukan gambaran proses dan sistem baru yang logis untuk diterapkan. Dalam lingkup mikro, analisisnya semakin rinci. Dan rincian penjelasan juga harus cermat didokumentasikan, agar dapat dibaca oleh banyak pihak. Pihak-pihak itu antara lain pengembang sistem, analisis system, programmer, dan teknisi komputer dan jaringan. Mempelajari struktur manajemen dan juga proses bisnis yang ada, ternyata tidak bisa berdiri sendiri dalam silo yang tak terpengaruh dunia luar. Output dari suatu divisi mungkin digunakan sebagai input oleh divisi lainnya (horizontal). Demikian pula output pada kegiatan di suatu unit kerja instansi pemerintahan mungkin saja untuk mendorong tercapainya hasil program instansinya (hubungan vertikal). Pendeknya, saling keterkaitan harus menjadi perhatian para perancang organisasi, walaupun fokusnya masih tetap pada organisasi yang dievaluasi. 5. Membangun Institusi Membangun suatu lembaga atau institusi tidak hanya aktivitas menetapkan struktur organisasinya saja, namun juga secara terus menerus meningkatkan kapasitas untuk menjalankan perannya. Menitik beratkan pembangunan kelembagaan pada kapasitas dalam menjalankan peran ini penting dari pada berorientasi pada pelaksanaan tugas. Jika berorientasi pada pelaksanaan tugas, seringkali sebuah lembaga minta kewenangan yang cukup untuk menjalankan tugasnya, dan pada banyak kasus kewenangan ini yang disalahgunakan oleh oknum yang ada dalam organisasi. Jika berorientasi pada peningkatan kapasitas agar dapat berperan lebih baik, biasanya lebih cenderung terbuka untuk berbagai inovasi dan bukan hanya task oriented atau tidak hanya sekedar melaksanakan tugas.
232 Membangun institusi disamping struktur organisasi, tata kerja, dan tata kelola, juga membangun kemampuan tim atau unit organisasi atau divisi-divisi atau bagianbagiannya dalam mencapai sasaran yang diinginkan dan pada gilirannya mencapai tujuan organisasi. Dalam membangun kemampuan tim atau unit kerja, diperlukan pembagunan kapasitas sumber daya manusianya (SDM), budaya kerja dan budaya organisasinya. Meningkatkan kapasitas SDM , membangun tim, membangun budaya kerja, dan selanjutnya mengembangkan budaya organisasi ini merupakan rangkaian kegiatan yang sebaiknya dilakukan secara simultan atau secara bersama-sama secara sistematis dan terintegrasi. Secara empiris banyak dijumpai bahwa budaya organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi yang baru masuk. Sebaliknya anggota organisasi yang baru masuk juga dapat mempengaruhi budaya organisasi yang sudah ada, terutama jika yang baru masuk ke dalam organisasi itu di tingkat pimpinan atau bahkan pimpinan tertinggi. Namun demikian pembentukan budaya organisasi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga perubahannya, tentu perubahan ke arah yang baik, juga memakan waktu. Tentang seberapa lama seseorang pemimpin atau anggota organisasi baru yang bisa mengubah budaya organisasi menjadi lebih baik lagi akan sangat bergantung pada seberapa kuat pengaruh personil baru itu terhadap organisasi. Yang sudah agak jelas ialah bahwa orang-orang yang unggul atau para manajer yang baik, atau para pemimpin yang baik dihasilkan oleh organisasi yang baik. Jadi sebetulnya sebuah organisasi sama halnya dengan sebuah sekolah, jika sekolahnya baik, maka akan menghasilkan murid-murid yang baik dan unggul. Organisasi yang baik akan menghasilkan orang-orang yang baik dan berhasil dan jika orang itu keluar dari organisasi akan terlihat keberhasilannya di tempat lain. Apakah semua kasus terjadi seperti itu? Tentu
233 jawabannya tidak. Ada orang yang berhasil di suatu unit kerja atau organisasi tetapi tidak berhasil di unit kerja atau organisasi lain. Yang jelas, organisasi yang baik di dalamnya ada orang-orang yang baik. Dan organisasi yang baik menghasilkan orang yang baik. Oleh karena itu, inilah pentingnya pembangunan kelembagaan (organisasi), karena membangun organisasi tidak hanya sekedar menulis struktur manajemennya akan tetapi juga diperlukan pengembangan budayanya. Di dalam organisasi pemerintahan, para pengamat sering sekali mengutarakan bahwa di dalam organisasi pemerintahan yang baik di dalamnya juga akan terbina calon-calon pemimpin yang baik. Oleh karena itu, membangun institusi pemerintahan yang baik, yang bertata kelola yang baik, berbudaya yang baik dan unggul sangatlah penting menjadi program pemerintah yang berkesinambungan. Sebaiknya institusi pemerintahan tidak mudah untuk di bongkar pasang secara ‚terlalu sering‛ dan terlalu cepat sebelum dilakukan penguatan kelembagaan atau pembangunan institusional yang terprogram. Tak cukup agaknya suatu institusi pemerintahan diganti, diubah secara signifikan, dimerjer, atau dibubarkan, tetapai keputusan itu dilakukan dengan berdasarkan telahaan sekilas. Keputusan perubahan organisasi harus berdasarkan evaluasi yang mendalam atau bahkan suatu audit yang menyeluruh terhadap suatu instansi berikut instansi terkait terdekat dan pengumpulan bukti-bukti yang cukup. Hal ini tentu guna pengambilan keputusan yang hati-hati, untuk misalnya : dimodifikasi sedikit, digabungkan (merger), dirampingkan atau sebaliknya ditambah/ dikembangkan, dan dibubarkan. Jika mungkin, perubahan organisasi itu dilakukan dengan evaluasi yang mendalam, ditambah audit terinci terhadap intansi yang menjadi fokus evaluasi. Tentu kendalanya adalah masalah biaya dan mekanisme penyelenggaraan evaluasi dan audit itu
234 sendiri. Di samping audit organisasi memerlukan biaya yang besar, masalah lainnya adalah mencari pihak konsultan yang berintegritas tinggi, neutral dan independen tidaklah mudah dengan biaya yang terbatas. 6. Mengubah Mindset dan Budaya Kerja Organisasi pemerintahan yang efektif, efisien, dan akuntabel dapat terwujud jika di dalamnya terdapat budaya kerja yang baik dan mendukung dalam pencapaian tujuan. Budaya kerja yang baik ini terutama ditujukan untuk meningkatkan etos kerja semua pegawai dan pejabat suatu organisasi. Dan dalam membangun budaya kerja yang baik dan pada akhirnya membangun budaya organisasi yang unggul, pada dasarnya berupaya untuk mengubah 2 (dua) hal yaitu: (1) Sikap, cara merasa, cara memahami; dan (2) Mindset, cara pandang atau cara berfikir; sehingga dapat mengakibatkan perubahan perilaku dan tindakan ke arah perbaikan. Cara yang ditempuh dalam mengubah sikap dapat dilakukan dengan melalui pendidikan, pelatihan, pemagangan, dan supervisi yang mendidik. Hasil dari upaya ini dapat berakibat berubahnya perilaku pegawai. Disini diperlukan adanya upaya pendidikan dan pelatihan agar pegawai mengerti apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dan kemudian pengetahuan yang sudah diperoleh dipraktikkan sehari-hari di tempat kerja. Implementasi pengetahuan ini dapat berupa pembiasaan hal-hal yang baik di setiap kesempatan di tempat kerja. Sudah tentu hal ini adalah pembiasaan hal-hal yang benar dan baik untuk organisasi dan semua orang. Dan sebaliknya juga perlu dilakukan penghentian kebiasaan buruk yang sering dilakukan yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi. Pembiasaan hal-hal yang baik dan benar serta penghentian kebiasaan yang buruk ini akan sedikit demi sedikit mengubah kinerja organisasi menjadi lebih baik.
235 Cara lain yang perlu ditempuh dan dicoba adalah mengubah cara pandang atau mindset para pegawai dan pejabat dengan melalui sejumlah rekayasa pelatihan ataupun pendidikan dan pelatihan biasa. Rekayasa ini dapat lebih cepat untuk mengubah karakter dan kebiasaan buruk orang dewasa, dibanding pendidikan. Mengubah mindset ini diyakini oleh Steven Covey lebih akan berhasil membuat perubahan besar atau bahkan lompatan besar, dibanding mendorong perubahan sikap yang hasilnya mungkin secara bertahap mengubah dan menghentikan kebiasaan buruk atau membiasakan halhal yang baik yang dipandang lebih produktif, lebih efektif, atau mungkin lebih efisien. Perubahan mindset dan budaya kerja di lingkungan instansi pemerintah pada saat ini terus menerus dilakukan melalui pelaksanaan reformasi birokrasi di instansi pusat maupun daerah. Jika reform atau perbaikan yang dilakukan diarahkan kepada delapan area perubahan, maka salah satunya adalah perubahan mindset dan budaya kerja ini. Kini instansi pemerintah diajurkan untuk membangun budaya kerjanya untuk menjadi budaya organisasi yang unggul melalui petunjuk Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor 30 Tahun 2012 (tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja) dan PermenPARB nomor 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen Perubahan di Instansi Pemerintah. PerMenPANRB nomor 39/2012 pada dasarnya memberikan keleluasaan kepada instansi pemerintah untuk mengembangkan budaya kerjanya dengan menggali nilai-nilai organisasinya masing-masing. Budaya kerja yang dimaksud ini berkaitan erat dengan perilaku dalam menyelesaikan pekerjaan. Perilaku ini merupakan cerminan sikap kerja yang didasari oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki setiap individu. Dan ketika individu-individu ini masuk ke dalam sebuah organisasi, maka mereka diharapkan menyesuaikan diri dengan
236 nilai-nilai, norma-norma, sikap dan perilaku yang dikehendaki organisasi untuk mencapai tujuannya. Hasil penerapan dan pengembangan budaya kerja ini dapat diamati dalam hal-hal berikut: a. Pemahaman terhadap makna bekerja. b. Sikap terhadap pekerjaan atau apa yang dikerjakan; c. Sikap terhadap lingkungan tempat kerja. d. Sikap terhadap waktu. e. Sikap terhadap peralatan yang digunakan dalam bekerja; f. Etos kerja, dan g. Perilaku saat bekerja atau mengambil keputusan. Kemudian, dalam pelaksanaan reformasi biro-krasi untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan melayani, instansi pemerintah dianjurkan untuk secara sistematis merencanakan dan melaksanakan pem-bangunan agen perubahan. Hal ini dimaksudkan agar reformasi dapat berlangsung lebih cepat dan berhasil berubah menjadi lebih baik. Pada intinya pembangunan agen perubahan ini, ingin menciptakan tunas-tunas atau kader-kader pegawai yang berintegritas tinggi, profesional dan lebih bertanggung jawab, yang dapat dijadikan ‚role model‛ atau contoh/ tauladan bagi pejabat atau pegawai lainnya. Dengan mengacu pada Visi Pemerintah saat itu (Presiden Jokowi-JK) yaitu ‚Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.‛. Dan visi tersebut tertuang pada cita-cita politik Nawacita yaitu antara lain ‚membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya‛. Hal ini tentu pengembangan budaya kerja di lingkungan intansi pemerintah diarahkan pada visi dan tujuan tersebut. Visi ini juga sesuai dengan Visi besar Reformasi Birokrasi yaitu ‚Terwujudnya Pemerintahan
237 Berkelas Dunia Tahun 2019‛. Karena itu, dengan pembangunan agen perubahan, diharapkan dapat terjadi perubahan yang lebih besar dan lebih cepat sehingga birokrasi pemerintah dapat mencapai predikat berkelas dunia. Dalam upaya menciptakan birokrasi yang bersih, kompeten, dan melayani, Pemerintah dan kita semua yakin bahwa dengan birokrasi pemerintahan yang demikian dapat mendorong keberahasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Adapun ciri-ciri birokrasi bersih, kompeten dan melayani seperti berikut: Birokrasi bersih: a. Berintegritas tinggi, Berdaya tahan tinggi, Anti korupsi b. Bebas penyalahgunaan wewenang c. Kepemimpinan yang kolaboratif, demokratis, dan partisipatif. b. Birokrasi kompeten: a. Profesional, Berkompetensi yang dibutuhkan, Ahli, Terampil; b. Mengerti, paham, dan berwawasan luas. c. Belajar terus, pengelola pengetahuan utk organisasi. c. Birokrasi yang melayani: a. Senang melayani, beremphati tinggi; b. Bekerja sama, jaringan yang luas; c. Berorientasi kepada pelanggan; d. Mendahulukan kepentingan umum. e. Tidak itungan, atau mengejar bonus. f. Sopan, hati-hati, melayani dengan hati dan sepenuh hati. Melihat tujuan yang hendak dicapai dalam reformasi birokrasi tadi, perubahan mindset dan budaya kerja (culture set) menjadi sangat penting dan mendesak untuk diwujudkan. Dan dengan perubahan mindset dan budaya kerja diharapkan kinerja birokrasi pemerintahan kita
238 akan membaik. Dalam arti secara nyata terwujud perbaikan pelayanan publik dan peningkatan mutu kebijaan publik yang ditetapkan oleh aparat pemerintahan. 7. Revolusi Mental Seiring dengan datangnya pemerintahan baru Presiden Jokowi-JK, upaya pelaksanaan perubahan ini difokuskan kepada perubahan mentalitas aparatur negara dan masyarakat. Mentalitas birokrat di pemerintahan terutama menjadi target perubahan oleh pemerintah saat ini. Gerakan Revolusi Mental sejauh mungkin digemakan dan digelorakan agar terjadi perubahan yang cukup besar baik pada aparat pemerintahan negara maupun masyarakat luas. Didorong oleh keinginan untuk bisa melakukan perubahan itulah sebenarnya revolusi mental hendak dilaksanakan. Kata kunci perubahan ini, menjadi perhatian banyak orang baik di dalam dan di luar negeri, baik orang Indonesia sendiri, ataupun orang asing. Harapan adanya perubahan ini pada awalnya, memang agak redup, akan tetapi setelah revolusi mental ini dihembuskan, maka harapan perubahan itu kemudian timbul kembali. Perubahan-perubahan yang dikehendaki yaitu berubah dari memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk atau kurang baik atau kurang tepat menjadi memiliki kebiasaan-baik yang mendorong tercapainya kehidupan yang lebih baik. Kita perlu memahami apa yang dimaksud revolusi mental yang menjadi prioritas perubahan yang diinginkan dalam melakukan reformasi birokrasi. Berdasarkan wacana publik dan berbagai tulisan pakar mengatakan bahwa, pertama, yang dimaksud dengan mental ini adalah mengait ke mentalitas atau sifat mental yang dipunyai atau yang melekat atau yang sementara ini ada dalam diri orang-orang dan masyarakat Indonesia. Misalnya, mentalitas bangsa yang terjajah, mentalitas
239 penguasa feodal, mentalitas priyayi, mentalitas yang inferior (minder), mentalitas yang superior (mendominasi), dan mentalitas lainya yang nyata-nyata ada dalam masyarakat dan untuk tujuan analisis sudah banyak dibahas oleh para pemikir. Kedua, kita juga harus mendudukkan pengertian mental ini dengan yang sebenarnya ada dan bisa diamati. Mental tidak hanya berkaitan dengan moral, hati nurani, dan hal-hal yang bersifat tidak tampak (rohani yang intangible ), tetapi juga bersifat ragawi (tangible) yang oleh mata bisa diamati. Hal ini penting agar, kita dapat memikirkan dan memberi tempat agar revolusi mental menyangkut baik hal-hal yang bersifat tidak tampak maupun yang tampak mata wujud nyatanya. Sehingga perubahan mentalitas dalam revolusi mental dapat diarahkan untuk mengubah baik cara pandang, cara pikir, cara merasakan, pola pikir, paradigma berfikir, maupun perilaku, tingkah laku nyata, gaya, tabiat, perbuatan, kebiasaan, akhlak, dan budaya. Jadi sekali lagi, yang dimaksud dengan perubahan mental ini tidak hanya menyangkut perubahan moral atau hal yang bersifat tidak tampak, tetapi juga yang tampak. Jadi lebih tepat jika perubahan mentalitas atau perubahan ahlak yang dicerminkan pada perilaku, tingkah laku, adab, gaya, tabiat, cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak. Lalu apa yang dimaksud dengan revolusi dalam revolusi mental? Ini tentu bukan hanya dimaksudkan untuk menekankan perlunya perubahaan yang ala kadarnya, akan tetapi perubahan total, perubahan yang mendasar, perubahan yang lebih cepat, perubahan yang lebih besar dari keadaan sebelumnya. Istilah revolusi memang diakui agak bombastis, akan tetapi mengingat pentingnya perubahan terhadap mentalitas itu maka digunakan istilah revolusi, seperti halnya revolusi industri, revolusi sain, revolusi penggunaan teknologi
240 informasi dan komunikasi yang sekarang ini sedang berjalan. Pelaksanaan perubahan yang mengarah pada revolusi mental pada saat ini dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui: pendidikan, pelatihan, pemagangan, workshop, sosialisasi peraturan dan kode etik, rekayasa-rekayasa psikologis, kampanye dan penyuluhan, serta edukasi terhadap masyarakat melalui berbagai media/ instrumen dan saluran komunikasi. Revolusi mental yang menitik beratkan pada perubahan mentalitas ini sangat berkaitan dengan perubahan sikap dan cara pandang /cara berfikir (mindset). Oleh karena itu, berbagai jalan haruslah ditempuh agar terjadi perubahan mentalitas yang besar di berbagai instansi pemerintah, dan pada gilirannya di dalam masyarakat juga terjadi perubahan mentalitas yang akan memperbaiki keadaan negara dan bangsa Indonesia secara keseluruhan Jadi disini aparat negara atau para pejabat yang ada pada birokrasi pemerintahan dan para pegawai diharapkan menjadi contoh di lingkungannya masingmasing dan dalam masyarakat untuk berlaku profesional, bersih dan melayani, serta dapat bersinergi (gotong royong) saling membantu untuk mensukseskan pembangunan di berbagai bidang. Pengalaman penerapan kiat-kiat untuk memberantas korupsi, bersikap adil, dan transparan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan yang baik, telah mengajarkan pada kita bahwa perubahan mentalitas ini sungguh sangat lambat. Dalam lima tahun terakhir pelaksanaan reformasi birokrasi mengalami berbagai kendala. Kendala itu antara lain, kendala biaya, kurangnya keahlian (expertis), dan kurangnya contoh nyata yang bisa ditularkan ke entitas lain. Untuk kendala biaya, sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa untuk melakukan reform dibutuhkan biaya yang