341 kemudahan segi pembuktiannya. Persyaratan bentuk tertulis ini juga sesuai dengan pengertian keputusan menurut pasal 2 Wet AROB (Belanda) yang berbunyi: a. Keputusan menurut undang-undang ini diartikan keputusan tertulis dari suatu organ administratif yang ditujukan pada suatu akibat hukum. b. Bukan termasuk keputusan dalam arti undangundang ini adalah: 1) Suatu keputusan yang mempunyai tujuan umum 2) Suatu tindakan hukum menurut hukum perdata Sehingga suatu keputusan tertulis dilihat adalah bukan dalam bentuk tetapi adalah untuk pembuktian bahwa memang ada keputusan yang dimaksud dan paling penting adalah keputusan itu dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sehingga suatu keputusan tertulis dalam kertas bekas atau karton bekas dianggap sebagai keputusan tertulis bilamana dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang ditujukan kepada pihak tertentu dan berisi wewenang tertentu. 3. Keputusan Fiktif Berdasarkan pasal 3 UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atasa UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan bahwa: a. Apabila badan atau pejabat tata usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara b. Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negar tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang- undangan dimaksud telah lewat maka badan atau pejabat tata usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
342 c. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaiaman dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat pada dasarnya setiap badan atau pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan padanya itu melalaikan kewajiban itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa terhadap per-mohonan yang diterimanya itu, undang-undang menganggap ia telah berbuat menolak permohonan tersebut. Sikap diam atau tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang diajukan disamakan dengan suatu keputusan tata usaha Negara. Bentuk keputusan ini yang disebut dengan suatu keputusan fiktif negatif. Hal yang perlu diingat adalah bahwa jangka waktu yang ditentukan dalam pengajuan permohonan tersebut. Ketentuan yang diatur dalam pasal 1 (3) UU No. 9 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, karenanya dapat dijadikan objek gugatan TUN. Gugatan terhadap keputusan TUN tersebut baru dapat diajukan setelah lewat tenggang waktu yang menjadi dasar diterbitkannya putusan itu atau dalam hal tenggang waktu penerbitannya tidak diatur sama sekali maka gugatan baru dapat diajukan setelah tenggang waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan yang dimaksud. Sehingga suatu keputusan selain sebagaimana disebutkan dalam pasal 1(3) UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga dapat dijadikan objek gugatan dengan ketentuan bahwa: a. Badan atau pejabat TUN bersikap diam terhadap permohonan yang diajukan.
343 b. Badan atau pejabat TUN memang berwenang mengeluarkan keputusan tersebut berdasarkan perundang-undangan. c. Jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya telah lewat untuk mengajukan permohonan tersebut. d. Apabila tidak ditentukan jangka waktunya maka keputusan penolakan dainggap ada apabila telah lewat jangka waktu empat bulan sejak diajukan permohonan tersebut. 4. Keputusan Tidak Sah Suatu ketetapan dapat menjadi tidak sah apabila dalam pembuatannya tidak diperhatikan ketentuanketentuan tertentu yang terdapat dalam Hukum Tata Negara maupun dalan Hukum Administrasi Negara. Ketentuan-ketentuan yang tidak diperhatikan tersebut akan membuat ketetapan tersebut mengandung kekurangan. Keputusan yang tidak sah tersebut dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: a. Keputusan yang Batal Karena Hukum (Niettig van rechtswege) Adalah bahwa suatu perbuatan untuk sebagiannya atau untuk seluruhnya bagi hokum dianggap tidak ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan lain yang berkompeten untuk menyatakan batalnya sebagian atau seluruh akibat itu. b. Keputusan yang Batal (Nietig) Adalah bagi hukum akibat suatu perbuatan yang dilakukan dianggap tidak ada. Pembatalan oleh hakim karena adanya kekurangan esensiil. Pembatalan bersifat extunc. c. Keputusan yang Dapat Di Batalkan (vernietig baar) Adalah bagi hukum perbuatan yang dilakukan akibatnya dianggap sah sampai waktu pembatalan oleh hakim atau badan pemerintahan yang kompeten.
344 Pembatalan karena suatu kekurangan dan bersifat exnunc. Contohnya pembatalan penetapan pengangkatan seorang pegawai negeri. Pengangkatan dilakukan pada tanggal 4 Maret 2001, sedangkan pembatalan penetapan dilakukan pada tanggal 30 Agustus 2001. Gaji yang telah diterima oleh pegawai bersangkutan antara tanggal 4 Maret s/d 4 Agustus tidak dapat diminta kembali. Pembuatan keputusan tata usaha negara harus memerhatikan bebrapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum dan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus di perhatikan dalam pembuatan keputusan ini mencakup syarat materil dan syarat formal. 1. Syarat-sayarat materil terdiri atas: a. Organ pemerintahan yang membuat keputusan harus berwenang. b. Karena keputusan suatu pernyataan kehendak, maka keputusan tidak boleh mengandung kekurangankekurangan yuridis, seperti penipuan, paksaan, atau suap, kesesatan. c. Keputusan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu. d. Keputusan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya. 2. Syarat-syarat formal terdiri atas: a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi. b. Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu,
345 c. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan keputusan itu harus dipenuhi. d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal–hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan. Apabila syarat materil dan syarat formal ini telah terpenuhi maka keputusan itu sah menurut hukum (rechtgeldig ), artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara prosedural/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekurangan dan menjadi tidak sah. F.H van den Burg seorang profesor hukum konstitusi dari Italia4menyebutkan bahwa keputusan dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang, mengandung cacat bentuk, cacat isi, dan cacat kehendak. A.M Donner seorang tokoh ahli hukum dari belanda mengemukakan akibat-akibat dari keputusan yang tidak sah yaitu sebagai berikut : a. Keputusan itu harus dianggap batal sama sekali. b. Berlakunya keputusan itu dapat digugat: 1) Dalam banding (beroep) 2) Dalam pembatalan oleh jabatan (amtshalve vernietiging) karena bertentangan dengan undang-undang. 3) Dalam penarikan kembali ( interekking ) oleh kekuasaan yang berhak (competent) mengeluarkan keputusan itu. c. Dalam hal keputusan tersebut, sebelum dapat berlaku, memerlukan persetujuan (penuguhan) suatu badan kenegaraan yang lebih tinggi, maka persetujuan itu tidak diberi. d. Keputusan itu diberi tujuan lain daripada tujuan permulaannya (conversie). Meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
346 hukum perdata, akan tetapi keputusan yang sah itu tidak dengan sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu keputusan harus memerhatikan dua hal berikut ini; pertama, jika berdasarkan peraturan dasarnya terhadap keputusan itu tidak memberi kemungkinan untuk mengajukan permohonan banding bagi yang dikenai keputusan, maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan. Kedua, jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan untuk mengajukan banding terhadap keputusan yang bersangkutan, maka keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu. Keputusan yang sah sudah dinyatakan berlaku, disamping mempunyai kekuatan hukum hukum formal dan materiil, juga akan melahirkan prinsip praduga rechtmatig ( praesumtio iustae causa ). Prinsip ini mengandung arti bahwa ‚setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah atau administrasi negara itu dianggap sah menurut hukum‛. Asas praduga rechtmatig ini membawa konsekuensi bahwa setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali,kecuali setelah ada pembatalan (vernietiging) dari pengadilan. Lebih lanjut, konsekuensi praduga rechtmatig ini adalah bahwa pada dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah itu tidak dapat ditunda pelaksanaannya meskipun terdapat keberatan, banding, perlawanan, atau gugatan terhadap sesuatu keputusan oleh pihak yang dikenai keputusan tersebut. Asas ini dianut pula oleh UU No. 5 Tahun1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 ayat (1); ‚Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang di gugat‛. Dalam penjelasannya antara lain disebutkan, ‚ akan tetapi selama hal itu belum diputus oleh pengadilan, makan Keputusan Tata Usaha Negara memang dimaksudkan untuk menguji aapakah dugaan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu melawan hukum beralasan atau tidak. Itulah dasar hukum acara Tata Usaha Negara yang
347 bertolak dari anggapan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu selalu menurut hukum. Dari segi perlindungan hukum, maka Hukum Acara Tata Usaha Negara yang merupakan sarana hukum untuk dalam keadaan konkret meniadakan anggapan tersebut. Oleh karena itu, pada asasnya selama hal tersebut belum diputuskan oleh pengadilan, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dianggap menurut hukum dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, penggugat dapat mengajukan permohonan agar selama proses berjalan, Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu diperintahkan ditunda pelaksanaanya‛. Asas praduga rechtmatig (Praesumtio iustae causa) tersebut berkaitan dengan asas kepastian hukum (rechtszekersheid) yang terdapat dalam asas–asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Meskipun diasumsikan bahwa setiap keputusan yang telah dikeluarkan dianggap sah menurut hukum, akan tetapi didalam praktik administrasi Indonesia terdapat klausula pengaman ( veiligheidsclausule ) yang pada umumnya berbunyi; ‚Apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan atau kekurangan, maka surat keputusan ini akan ditinjau kembali‛. Rumus seperti itu disatu sisi bertentangan dengan asas kepastian hukum dan disisi lain bertentangan dengan asas praduga rechtmatig. Dengan kata lain, klausula pengaman itu merupakan suatu hal yang keliru, tidak bermanfaat dan mubajir, sebab dapat menggoyahkan sendi-sendi kepastian hukum. Meskipun asas praduga rechtmatig (Praesumtio Iustae Causa) ini demikian penting dalam melandasi setiap keputusan dengan beberapa konsekuensi yang lahir darinya, namun asas ini tidak berarti meniadakan sama sekali kemungkinan perubahan, pencabutan, atau penundaan keputusan tata usaha negar. Pencabutan (intrekking), perubahan (wijziging), dan penundaan (schorsing) keputusan tata usaha negara dapat dilakukan dengan beberapa alasan, sebagaimana akan
348 dijelaskan pada saat membicarakan tentang sanksi-sanksi dalam hukum Administrasi Negara. Dalam keputusan TUN tersebut layaknya memiliki syarat-syarat sahnya suatu keputusan yakni 1. Syarat Materil, yaitu syarat yang berkaitan dengan isi, syarat materiil tersebut di bagi menjadi 3 bagian yaitu : a. Harus di buat oleh aparat yang berwenang; b. Keputusan tata usaha negara tidak mengalami kekurangan yuridis yang artinya tidak memiliki unsur-unsur paksaan, kekhilafan (unsur kesengajaan) dan penipuan; Dalam kehendak alat administrasi negara yang berkuasa tidak boleh ada kekurangan yuridis Kekurangan yuridis di dalam pembuatan keputusan/ ketetapan bisa terjadi kerena: a. Dwaling = salah kira b. Dwang = paksaan c. Bedrog = tipuan Kekurangan yuridis ini dianalogikan dari lapangan hukum privat (perdata). Di dalam hukum perdata perbuatan yang dibuat berdasarkan dwaling, dwang dan bedrog dapat dibatalkan dan tidak menjadi batal secara mutlak, artinya perbuatan itu dianggap ada sampai ada pembatalan oleh hakim atau oleh pejabat yang berwenang. Akan tetapi di dalam HAN kekurangan yuridis berdasarkan salah kira (dwaling) hanya akan mempengaruhi berlakunya suatu keputusan AN dalam hal salah kira tersebut bertentengan dengan UU atau bertentangan keadaan nyata, misalnya pada umumnya dapat dimintakan agar ditinjau kembali atau dapat dibatalkan. Keputusan yang dibuat berdasarkan paksaan dapat dibatalkan bahkan paksaan keras dapat menjadi sebab keputusan tadi batal demi hukum. Keputusan/ketetapan yang dibuat dengan menggunakan tipuan, sebagai contoh: seorang pengusaha HPH meminta ijin untuk menebang hutan yang di
349 dalamnya terdapat lebih kurang 20000 pohon jati dan oleh instansi pemberi ijin HPH dikabulkan. Ternyata sebenarnya di dalam hutan tersebut terdapat lebih kurang 200000 pohon jati. Di sini bayangkan palsu bagi instansi yang mengeluarkan HPH tentang suatu hal yang akan dimuat dalam keputusan. Tipuan ini dapat mempengaruhi berlakunya keputusan apabila bertentangan dengan keadaan/kejadian nyata. Tujuan ketetapan sama dengan tujuan yang mendasari-nya. 2. Syarat Formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan bentuk. Syarat formil di bagi menjadi 3 bagian yaitu : a. Bentuk ketetapan harus sama dengan bentuk yang di kehendaki oleh peraturan yang mendasarinya; b. Prosedur harus sama dengan bentuk yang di atur dalam peraturan yang mendasarinya; c. Syarat khusus yang di kehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan. Apabila suatu KTUN tidak memiliki atau tidak memenuhi persyaratan yang tercantum pada bagian (B) dapat dinyatakan batal. Batal menurut Prof. Muchsan ada 3 yaitu : a. Batal mutlak, artinya semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Aparat yang berhak untuk menyatakan adalah hakim berdasarkan putusannya. Hal ini dapat di lihat pada akibat hapusnya hak pakai pada tanah yang bisakembalikepadanegara b. Batal demi Hukum, dimana semua perbuatan yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada dan sebagian perbuatan dianggap sah yang batal hanya sebagian saja dan aparat yang berhak untuk menyatakannya adalah yudikatif dan eksekutif. c. Dapat di batalkan, artinya semua perbuatan yang dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal. Hal ini dapat terjadi karena adanya gugatan Tata Usaha Negara dengan nietrechtgeldigs ertifikat tanah. Pada prinsipnya sama dengan gugatan objek sengketa Keputusan Tata
350 Usaha Negara lainnya. Alasan menggugat (beropsgronden), berdasarkan alasan-alasan yang di tentukan secara alternative dalampasal 53 ayat 2 huruf (a), (b) dan (c) dan UU No. 5 Tahun 1986 yang kini di amandemenmenjadi UU No. 9 Tahun 2004. Dari sisi kekuatan hukum yang dimilikinya, keputusan Tata Usaha Negara dapat di golongkan menjadi 2 (dua), yaitu : 1. Keputusan tata usaha negara yang memiliki kekuatan hukum yang kekal dan abadi (mutlak). Hal ini berarti apabila telah dikeluarkan suatu keputusan tata usaha negara, maka kekuatan hukum tetap berlaku terus. tetapi ada juga yang bersifat relatif yaitu keputusan tata usaha negara yang digunakan hanya sekali dalam satu tahapan tertentu saja, misalnya surat izin mendirikan bangunan (IMB). 2. Keputusan tata usaha negara yang memiliki kekuatan hukum sementara. KTUN ini menunjukkan tenggang waktu dari keputusan tersebut misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Surat Izin Mengemudi (SIM). Ada juga keputusan tata usaha negara yang jangka waktunya sementara tetapi samar-samar misalnya Surat Keterangan (SK) Pengangkatan pegawai. KTUN ini tidak ditentukan waktunya tetapi dapat dipercepat atau diperlambat berakhirnya. Apabila suatu keputusan sudah sah atau dianggap sah, maka keputusan tadi mempunyai kekuatan hukum, artinya keputusan itu dapat mempengaruhi pergaulan hukum. Kekuatan hukum suatu keputusan dapat berwujud kekuatan hukum formil dan kekuatan hukum materiil. Suatu keputusan dikatakan mempunyai kekuatan hukum formil, apabila keputusan tadi sudah tidak bisa dibantah lagi oleh suatu alat hukum biasa. Alat hukum biasa yaitu suatu alat
351 hukum yang hanya dapat digunakan dalam suatu jangka waktu tertentu untuk mengadakan banding terhadap suatu keputusan. Sebagai contoh : 1. Suatu keputusan harus disetujui atau dimintakan banding pada atasan sebelum mulai diberlakukan. Maka sejak keputusan itu dikuatkan atau disetujui oleh atasan,keputusan itu mempunyai kekuatan hukum formil; 2. Apabila ditentukan banding dalam jangka waktu tertentu, tetapi jangka waktu untuk banding tidak digunakan dan waktu banding sudah terlampaui, maka sejak lampau waktu banding itu keputusan mempunyai kekuatan hukum formil; 3. Apabila tidak memerlukan persetujuan dari atasan, maka sejak dikeluarkan keputusan itu telah mempunyai kekuatan hukum formil; 4. Apabila harus banding dan permohonan banding ditolak, maka sejak penolakan banding keputusan tadi mempunyai kekuatan hukum formil. Kekuatan hukum formil dapat dibantah dengan alat hukum luar biasa, karena alat hukum luar biasa tidak terikat oleh jangka waktu tertentu untuk memohon banding, yaitu apabila dalam hal nyata-nyata keputusan tadi mengandung kekurangan yuridis yang dapat membahayakan ketertiban umum atau keputusan tadi tidak lagi sesuai dengan keadaan nyata. Di dalam hal ini instansi tertinggi yang berhak membatalkannya. Alat administrasi negara atau instansi pembuat keputusan juga dapat membantah dengan kekuatan hukum formil, dalam hal dikemudian hari ternyata diketahui bahwa keputusan itu mengandung kekurangan yang esensial. Akan tetapi apabila keputusan/ketetapan tidak mengandung kekurangan yang esensial alat administrasi yang membuatnya tidak dapat membantah/menarik kembali. Hal ini untuk menjaga kepastian hukum dari keputusan/ ketetapan tadi.
352 Dengan demikian perbedaan antara alat hukum biasa dan alat hukum luar biasa, yakni alat hukum biasa terikat oleh jangka waktu tertentu untuk membantah berlakunya suatu keputusan/ketetapan. Sedangkan alat hukum luar biasa tidak terikat oleh jangka waktu tertentu dalam membantah berlakunya suatu keputusan/ketetapan. Ketentuan hukum materiil yakni pengaruh yang dapat ditimbulkan karena isi atau materi keputusan tersebut. Suatu keputusan dikatakan mempunyai kekuatan hukum materiil, apabila keputusan tadi sudah tidak dapat dibantah lagi oleh alat administrasi negara yang membuatnya, sehingga suatu keputusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum materiil dapat mempengaruhi pergaulan hukum, oleh karenanya dapat diterima pula sebagai bagian dari ketertiban hukum. Pada dasarnya, karena keputusan/ketetapan itu adalah merupakan perbuatan hukum sepihak (bersegi satu) maka keputusan itu dapat ditarik kembali oleh alat administrasi yang membuatnya tanpa memerlukan persetujuan dari pihak yang dikenai keputusan. Akan tetapi untuk menjaga kepastian hukum, apabila tidak sangat perlu dan tidak mengandung kekurangan maka keputusan/ketetapan tidak dapat ditarik kembali. Prins mengemukakan ada enam (6) asas yang harus diperhatikan oleh alat administrasi egara dalam menarik kembali suatu keputusan/ketetapan yang telah dikeluarkan, yakni : 1. Suatu keputusan/ketetapan yang dibuat karena yang berkepentingan menggunakan tipuan, dapat ditiadakan sejak semula 2. Keputusan yang isinya belum di beritahukan pada yang bersangkutan maksudnya pihak administrable atau pihak yang dikenai keputusan; 3. Suatu keputusan yang diberikan kepada pihak administrable dengan syarat-syarat tertentu tapi administrable tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan;
353 4. Suatu keputusan yang bermanfaat bagi administrable tidak boleh ditarik kembali setelah jangka waktu tertentu terlewati; 5. Tidak diperbolehkan kembali menarik keputusan yang akan membawa kerugian yang lebih besar bagi administrable dibandingkan dengan kerugian yang dideritan egara; 6. Menarik kembali/mengubah suatu keputusan harus diadakan menurut acara/formalitei seperti yang ditentukan dalam peraturan dasar dari pembuatan keputusan tersebut. Adapun kekuatan hukum dari keputusan Tata usaha Negara ada 2 macam : 1. Kekuatan hukum Formil (formeel rechtskracth) Yakni merupakan ketetapan yang mempunyai pengaruh yang dapat diadakan oleh karena adanya ketetapan itu. Maksudnya ketetapan tersebut tidak dapat lagi dibantah oleh suatu alat hukum (rechtsmiddel). Adapun ketetapan memiliki hukum formil dibagi lagi menjadi dua yakni pertama, ketetapan yang telah mendapat persetujuan untuk berlaku dari alat negara yang lebih tertinggi yang berhak memberikan persetujuan tersebut. Kedua, suatu ketetapan dimana permohonan untuk banding terhadap ketetapan itu ditolak atau karena tidak menggunakan hak bandingnya dalam jangka waktu yang di tentukan oleh undangundang. 2. Kekuatan hukum materiil (Materiele Rechtskracht) Yakni merupakan ketetapan yang mempunyai pengaruh yang dapat diadakan oleh karena isi ketetapannya tersebut. Maksudnya, ketetapan tersebut tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara yang membuatnya.7 Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab IX Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2)dinyatakan bahwa: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
354 badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Kalimat yang sama, dinyatakan dalam Pasal 2 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman. Dalam Undang- Undang ini juga dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. PTUN sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung, diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Alasan perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dikarenakan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan demi penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam menegakan hukum dan keadilan. Pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah: 1. Pasal 2 tentang batasan ruang lingkup Keputusan TUN 2. Pasal 4, Pasal 6 tentang kedudukan dan tempat PTUN 3. Pasal 12, Pasal 13 tentang tentang pembinaan dan pengawasan hakim
355 4. Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 tentang syarat pengangkatan dan pemberhentian hakim 5. Pasal 17, Pasal 18 tentang sumpah dan larangan hakim 6. Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 tentang pemberhentian hakim 7. Pasal 26 tentang penahanan hakim 8. Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38 tentang Panitera 9. Pasal 42, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 tentang Wakil Sekretaris PTUN 10. Pasal 53 tentang alasan pengajuan gugatan 11. Pasal 116 tentang salinan putusan PTUN Selain itu, terdapat Pasal yang dinyatakan dihapus, yaitu pasal 118 tentang pengajuan gugatan pihak ketiga. Penambahan Pasal 9A tentang pengkhususan di lingkungan PTUN, Pasal 39A-39E tentang Juru Sita, dan 143A tentang masih berlakunya sebagian pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU. Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 ayat 10 mengatur bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 tersebut, maka konstruksi Sengketa Administrasi/tata usaha negara setidaknya memiliki 3 elemen: 1. Adanya seseorang/orang atau Badan Hukum Perdata 2. Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di daerah
356 3. Adanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundangundanganan. Di dalam UU Peratun (Pasal 2 huruf a) bentuk hukum peraturan ini dikenal dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. Di samping membuat keputusan dan peraturan Alat Administrasi Negara juga mengeluarkan produk hukum yang dikenal dengan sebutan pseudo wetgeving atau peraturanperaturan kebijakan yang sering juga dikenal dengan nama peraturan perundang-undangan semu. Hal ini dilakukan oleh Alat Tata Usaha Negara untuk menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu. Produk ini tidak terlepas dari kaitan penggunaan asas freies ermessen. Bentuknya bisa berujud Pedoman, Surat Edaran yang mengumumkan kebijakan tertentu. Suatu peraturan kebijakan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan Alat Tata Usaha Negara yang bertujuan menampakkan kebijaksanaan/kebebasan bertindak (freies ermessen) secara tertulis, namun tanpa disertai kewenangan untuk membuat peraturan dari si pembuat kebijakan tersebut. Sebetulnya Alat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan pseudo wetgeving tersebut tidak berhak membuat peraturan, akan tetapi karena ada hal-hal konkrit yang mendesak untuk segera diselesaikan maka lalu dibuat suatu kebijaksanaan. Perbedaan antara pseudo wetgeving, yaitu : 1. Pseudo wetgeiving tidak mengikat secara langsung namun mempunyai relevansi hukum, sedangkan peraturan mengikat secara hukum; 2. Pseudo wetgeiving tidak mempunyai sansi yang tegas hanya mempunyai sanksi moral, sedangkan peraturan umumnya mempunyai sanksi tegas; 3. Pseudo wetgeiving apabila ada keadaan-keadaan khusus yang mendesak umumnya bisa disimpangi;
357 sedangkan peraturan umumnya tidak bisa disimpangi. Selain itu Alat Administrasi Negara juga sering mengeluarkan produk yang namanya het plan (rencana) yang dijumpai pada pelbagai bidang kegiatan pemerintahan. Misalnya pengaturan rencana tata ruang kota, rencana peruntukan tanah, RAPBN, RAPBD dan lain sebagainya. Rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling berkaitan dari Alat Administrasi Negara untuk mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib/teratur. Suatu rencana menunjukkan kebijaksanaan apa yang akan dijalankan oleh Alat Administrasi Negara pada suatu lapangan tertentu. Di dalam HAN, yang penting hanya rencana-rencana yang mempunyai kekuatan hukum. Rencana ini dapat dikaitkan dengan stelsel perajinan. Ada beberapa rencana pembangunan yang secara langsung berakibat hukumbagi warga negara atau badan hukum perdata. Sebagai contoh : rencana tata rung kota, rencana-rencana detail perkotaan yang dibuat berdasarkan SVO dan SVV mengikat warga kota untuk membangun secara tidak menyimpang dari pola gambar petunjuk peta-peta pengukuran dan petunjuk rencana-rencana detail perkotaan mengingat tiap penyimpangan daripadanya dapat mengakibatkan bangunan yang bersangkutan dibongkar. Perencanaan sebagai tindakan administrasi negara harus memperhatikan hal-hal yang dikemukakan oleh Bimtoro Tjokroamidjojo, sebagai berikut : 1. Berorentasikan untuk mencapai tujuan. Tujuan itu dapat bersifat ekonomi, politik, sosial budaya, idiologis dan bahkan kombinasi dari berbagai hal tersebut; 2. Berorientasi pada pelaksanaannya; 3. Perspektif waktu. Untuk mencapai tujuan tertentu bisa saja dilakukan secara bertahap;
358 4. Perencanaan harus merupakan suatu kegiatan kontinyu dan terus menerus.
359 BAB VII ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN
360 1. Pengertian Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Menurut W. J. S. Poerwadarminta, pengertian asas adalah: (1) Dasar, alas, pondamen; misalnya: batu yang baik untuk asas rumah; (2) Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya); misalnya: bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, pada asasnya saya setuju dengan usul saudara; (3) Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya); misalnya; membicarakan asas tujuan perserikatan. imembicarakan asas tujuan perserikatan. Rumusan lain dari asas itu sendiri, menurut C.W. Paton adalah: ‚A principle is the broad reason, which lies at the base of a rule of law‛ (Asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum).79Dalam kepustakaan hukum Belanda, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dikenal dengan sebutan Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur (ABBB). Di Perancis disebut dengan Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique. Di Belgia disebut dengan Aglemene Rechtsbeginselen.80 Di Inggris dikenal dengan The Principal of Natural Justice. Di Jerman dikenal sebagai Verfassung Prinzipien. Di Indonesia dikenal dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Dalam perkembangan selanjutnya kita juga mendengar sebutan the general principles of good administration. Olden Bidara mengutip pandangan dari F.H. Van der Burg dan G.J.M. Cartigny, mengemukakan bahwa AAUPB adalah ‚asasasas hukum tidak tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat administrasi negara dalam melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh hakim administrasi‛.
361 Ridwan HR memberikan penjelasan tentang AsasAsas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai berikut bahwa Pemahaman mengenai AAUPB tidak hanya dapat dilihat dari segi kebahasaan saja namun juga dari segi sejarahnya, karena asas ini timbul dari sejarah juga. Dengan bersandar pada kedua konteks ini, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dapat dipahami sebagai asas-asas umum yang dijadikan dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan menjadi baik, sopan, adil,terhormat, bebas dari kedzaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan sewenang-wenang. Berbeda dari pemahaman sebelumnya, Jazim Hamidi memberi pengertian tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), antara lain: a. AAUPB merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum Administrasi Negara; b. AAUPB berfungsi sebagai pegangan bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan administrasi negara (yang berwujud penetapan atau beschikking) dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat; c. Sebagian besar dari AAUPB masih merupakan asasasas yang tidak tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktik kehidupan di masyarakat; d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Berbeda dengan Jazim Hamidi, SF Marbun mengemukakan bahwa AAUPB sebagai hukum tidak tertulis bukanlah etika atau moral, akan tetapi lebih merupakan hukum tidak tertulis yang mempunyai
362 kekuata mengikat dan sanksi yang dapat dipaksakan.84 Pendapat yang serupa juga dikuatkan oleh Ridwan HR, yang mengemukakan bahwa AAUPB bukanlah keenderungan etik atau moral tapi hukum yang tidak tertulis. Istilah Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur (ABBB) dilihat dari kelahirannya adalah dalam rangka meningkatkan perlindungan hukum (verhoogde rechtsbescherming) rakyat dari tindakan pemerintah, yang selanjutnya berkembangan dan diterapkan dilingkunga peradilan untuk menguji (toetsingsground) tidakan pemerintah yang bersifat keputusan (beschikkking) namun kemudian AAUPB diakui sebagai prinsip yang dijadikan pedoman bagi pememerintah dalam menjalan tugas pemerintahan, yang diakui dan ditempatkan sebagai hukum tidak tertulis.85 Dalam berbagai undang-undang yang mengatur mengenai peradilan administrasi di Nederland, AAUPB disebut sebagai dasar banding atau pengujian Pasal 8 ayat(1) dibawah wet AROB/Administrative Rechtspraak Overheidsbeschikkingen). Dalam perkembangan selanjutnya di negeri Belanda AAUPB kemudian mendapatkan tempat dan diakui sebagai hukum tidak tertulis, yang senantiasa ditaati oleh pemerintah. Selain itu AAUPB dapat juga disebut sebagai asas-asas hukum tidak tertulis, dimana dalam keadaan-keadaan tertentu dapat dijadikan sebagai acuan untuk menggali hukum-hukum tertentu. Jazim Hamidi mengemuakakan bahwa sebagian besar AAUPB masih merupakan hukum yang tidak tertulis.88 Para pakar Hukum Administrasi negara seperti H.D van Wijk/Willem Koninjnenbelt dan J.B.J.M TEN Berge menyatakan bahwa kedudukan AAUPB adalah sebagai hukum yang tidak tertulis.89 Philipus M. Hajon berpendapat bahwa AAUPB harus dipandang sebagai norma hukum yang tidak tertulis.
363 2. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai Asas Hukum SF Marbun yang mengutip pendapat H.D. Van Wijk, mengemukakan bahwa AAUPB mengandung dua unsur penting, yaitu: pertama, asas-asas tersebut mengandung asas-asas yang sifatnya etis normatif. Kedua, asas-asas tersebut mengandung asas-asas yang sifatnya menjelaskan. AAUPB bersifat etis normatif maksudnya adalah AAUPB tersebut dapat digunakan sebagai petunujuk untuk melengkapi suatu sifat penting yang mengandung berbagai pengertian hukum seperti asas persamaan, asas kepastian hukum dan lain-lain. Asas etis normatif adalah asas yang memandu kadar etis dalam tindakan hukum adminitrasi. AAUPB bersifat menjelaskan yaitu, AAUPB tersebut bersifat memberi penjelasan terhadap sejumlah peraturan perundangundangan. Dikemukakan oleh S.F.Marbun bahwa sebenarnya AAUPB dengan norma hukum tidak tertulis dapat menimbulkan salah paham sebab dalam konteks ilmu hukum telah dikenal bahwa antara ‚asas‛ dengan ‚norma‛ itu terdapat perbedaan. Asas atau prinsip merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, ide atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang konkret, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi. Sejalan dengan pendapat tersebut diatas, ternyata baik Jue maupun Van Wijk juga memiliki pendapat yang sama bahwa AAUPB sebagai asas hukum, menurut sifatnya dapat diterima sebagai norma hukum umum yang berlaku atau samar-samar dengan dengan fungsi yang luar biasa yang bersikan keterangan dan keadilan dari norma-norma hukum yang lebih konkrit. Meskipun demikian diantara keseluruhan norma hukum tersebut masih dapat dibedakan antara norma dengan ciri-ciri asas dan norma dengan ciri-ciri peraturan hukum. Akan
364 tetapi perbedaan atau kualifikasi AAUPB sebagai asas hukum atau peraturan hukum ataukah bersifat etis, hanya penting dari segi akademis, sedangkan dari segi praktek peneyelenggaraan pemerintahan, adanya perbedaan atau kualifikasi asas tersebut tidaklah penting. AAUPB seolah-seolah sering tidak tertulis, karena norma-norma hukum yang diimplikasikan oleh asas tersebut juga muncul sebagai norma yang tertulis, misalnya dengan adanya tuntutan formal dari AAUPB, seperti kewajiban mendengar, motivasi dan sebagainya. Demikian juga tuntutan material seperti, larangan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvair), sehingga sejumlah asas telah dimuat menjadi norma hukum dalam berbagai peraturan perundangundangan, bahkan dalam hukum administrasi semakin kuat tuntutan agar sejumlah norma hukum dari asas tersebut dilakukan kodifikasi.Sementara itu Hirsch Ballin mengemukakan bahwa AAUPB tidak hanya sebagai asasasas tetapi juga merupakan peraturan hukum. 3. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik bukan Kecenderungan Etis Atau Moral AAUPB bukan merupakan kecenderungan etis dan bukan pula merupakan kecenderungan moral bagi pejabat administrasi yang menjalankan roda pemerintahan. Untuk menguatkan pendapatnya tentang itu, S.F Marbun, yang merujuk pada pendapat H.L.A. Hart yang membedakan antara peraturan hukum dan peraturan moral sebagai berikut: 1) peraturan hukum mewajibkan seseorang untuk mengikutinya dan 2) pelanggaran terhadap peraturan hukum dapat diperkirakan bilamana orang tersebut telah bertindak dengan iktikad baik, serta peraturan hukum merupakan bagian dari suatu kompleks peraturan moral tidak membutuhkan hubungan yang dapat menimbulkan akibat karena mereka dengan sendirinya akan patuh.98
365 Disamping H.L.A Hart, SF Marbun juga mengutip pendapat P. Nicolai, yaitu: a. Peradilan dan hukum adminitrasi belanda telah membuktikan adanya pencarian dan perumusan yang harus diperhatikan oleh administrasi negara untuk memerintah dengan layak; b. Badan pembentuk undang-undang belanda telah menyatakan hakim berwenang membatalkan suatu keputusan apabila bertentangan dengan AAUPB; c. Centrale Raad van beroep sebagai hakim pegawai negeri bahkan telah pula menyarankan agar AAUPB dapat diterapkan sebagai peraturan; d. AAUPB akan lebih baik lagi jika badan pemerintahan mengorientasikan dirinya pada norma-norma yang terdapat dalam AAUPB. Ridwan HR, mengemukakan fungsi dan arti penting AAUPB sebagai berikut: 1. Bagi Administrasi Negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang bersifat suamir, samar atau tidak jelas; 2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPB dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986; 3. Bagi hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat TUN; 4. Kecuali itu, AAUPB tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang. Hampir serupa dengan Ridwan HR, SF Marbun mengemukakan empat fungsi AAUPB, yaitu: 1. Fungsi AAUPB dalam pembuatan Undang-Undang;
366 2. Disini AAUPB berfungsi sebagai stimulus bagi pembentukan undang-undang yang mempunyai arti yang sangat penting dan strategis, sebab dengan dicantumkannya AAUPB akan mengalir wewenang yang dapat menjadi arahan bagi pejabat TUN dalam melaksanakan wewenangnya, utamanya dalam menggunakan kewenangan bebasnya (vrij berstuur). 3. Fungsi AAUPB bagi kriteria gugatan 4. Fungsi ini berkaitan dengan penjabaran atau penurunan AAUPB dalam Undang-Undang. Artinya hanya dengan dicantumkan dalam UU AAUPB selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar pembanding pada setiap tingkatan termaksud peradilan. 5. Fungsi AAUPB bagi hakim peradilan adminitrasi 6. Disini AAUPB dapat menjadi patokan bagi hakim PTUN untuk membatalkan suatu ketetapan yang dikeluarkan pejabat adminitrasi. 7. Fungsi AAUPB bagi pelaksanaan wewenang pejabat administrasi Dengan AAUPB pejabat adminitrasi dapat mengotrol penggunaan wewenang sehingga dapat pula memberikan perlindungan hukum. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan vrij berstur yang dimiliki oleh pejabat adminitrasi, maka melalui AAUPB itulah dapat diukur penggunaan kewenangan tersebut. Paling sedikit ada 7 AAUPB yang sudah memiliki tempat yang jelas di Belanda, yang diatur dalam wet AROB, antara lain: 1. Asas persamaan, yaitu hal-hal yang sama harus diperlakukan sama; 2. Asas kepercayaan yaitu legal expectation, (harapanharapan yang ditimbulkan janji-janji, keteranganketerangan, aturan-aturan, kebijaksaanaan, dan rencanarencana) sebisa mungkin harus dipenuhi;
367 3. Asas kepastian hukum, artinya secara materiil menghalangi badan pemerintah untuk menarik kembali suatu ketetapan dan mengubahnya yang menyebabkan kerugian yang berkepentingan, kecuali karena 4 hal, yakni dipaksa oleh keadaan, ketetapan didasarkan atas kekeliruan, ketetapan didasarkan atas keterangan yang tidak benar, dan syarat ketetapan tidak ditaati. Secara formil ketetapan yang memberatkan dan menguntungkan harus disusun dengan kata-kata yang jelas; 4. Asas kecermatan, bahwa suatu ketetapan harus diambil dan disusun dengan cermat; 5. Asas pemberian alasan, yakni ketetapan harus memberikan alasan, harus ada dasar fakta yang teguh dan alasannya harus mendukung; 6. Larangan penyalahgunaan wewenang atau detournement depouvoir, maksudnya tidak diperkenankan menggunakan wewenang untuk tujuan yang lain; 7. Larangan bertindak sewenang-wenang atau larangan willekeur, yakni tindakan sewenang-wenang, kurang memperhatikan kepentingan umum, dan secara kongkrit merugikan. Sebagaiman telah penulis singgung diatas, bahwa AAUPB di Indonesia pertama kali muncul saat pembahasan RUU PTUN No. 5 Tahun 1986. Hanya saja pada saat itu, belum diterima dengan anggapan bahwa tradisi adminitrasi Indonesia belum sebaik belanda, akhirnya usulan yang dikemukakan oleh fraksi ABRI tersebut ditolak. Ridwan HR, mengemukakan bahwa tidak dicantumkannya AAUPB dalam UU PTUN bukan berarti eksistensinya tidak diakui sama sekali, karena ternyata praktik peradilan khususnya PTUN juga menerapkan AAUPB.103 Lebih lanjut dikemukakan bahwa AAUPB dapat dilaksanakan oleh peradilan di Indonesia karena memiliki sandaran dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman
368 yang pada intinya menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas. Selain itu pada Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dengan adanya ketentuan ditegaskan bahwa hakim dapat menggali, mengikuti, pasal-pasal diatas, maka AAUPB mempunyai peluang digunakan dalam proses peradilan administrasi di Indonesia.104 AAUPB dalam kepustakaan berbahasa Indonesia masih terbilang cukup minim, sehingga ketika membahasan AAUPB yang sering rujukan yang sering digunakan adalah AAUPB yang coba dikelompokkan oleh Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya yang berjudul ‚Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara‛ mengetengahkan 13 asas yaitu:105 1. Asas kepastian hukum (principle of legal security) Asas kepastian hukum, memiliki dua aspek yaitu aspek hukum material dan aspek hukum formal. Dalam aspek hukum material terkait dengan asas kepercayaan. asas kepastian hukum menghalangi penarikan kembali/ perubahan ketetapan. Asas ini menghormati hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah sedangkan aspek hukum formal, memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dng tepat apa yang dikehendaki suatu ketetapan 2. Asas keseimbangan (principle of proportionality) Asas Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan.
369 3. Asas kesamaan (principle of equality) Asas Kesamaan dalam mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama. Asas ini memaksa pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan. Aturan kebijaksanaan, memberi arah pada pelaksanaan wewenang bebas. 4. Asas bertindak cermat (principle of carefuleness) Asas Bertindak Cermat, asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas penyelenggaraan tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dalam menerbitkan ketetapan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor yang terkait dengan materi ketetapan, mendengar dan mempertimbangkan alasan- alasan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, mempertimbangkan akibat hukum yang timbul dari ketetapan. 5. Asas motivasi untuk setiap putusan (principle of motivation) Asas Motiasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan. 6. Asas jangan mencampurkan adukan wewenang (principle of non misuse of competence) Asas tidak mencampuradukkan kewenangan, di mana pejabat tata usaha negara memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-undangan (baik dari segi materi, wilayah, waktu) untuk melakukan
370 tindakan hukum dalam rangka melayani/mengatur warga negara. Asas ini menghendaki agar pejabat tata usaha negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. 7. Asas permainan yang layak (principle of fair play) Asas Permainan yang layak (fair play), asas ini menghendaki agar warga negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan administrasi. Asas ini menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa Tata usaha negara. 8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibion of arbitrariness) Asas keadilan dan kewajaran, asas keadilan menuntut tindakan secara proposional, sesuai, seimbang, selaras dengan hak setiap orang. Asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan moral, adat istiadat. 9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation) Asas kepercayaan dan menanggapi Penghargaan yang Wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 10. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision)
371 Asas kepercayaan dan menanggapi penghargaan yang wajar, asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan pemerintah harus menimbulkan harapan-harapan bagi warga negara. Jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah. 11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (principle of protecting the personal way of life) Asas perlindungan atas Pandangan atau cara hidup pribadi, asas ini menghendaki pemerintah melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap pegawai negeri dan warga negara. Penerapan asas ini dikaitkan dengan sistem keyakinan, kesusilaan, dan norma-norma yang dijunjung tinggi masyarakat. Pandangan hidup seseorang tidak dapat digunakan ketika bertentangan dengan norma-norma suatu bangsa. 12. Asas kebijaksanaan (sepientia) Asas kebijaksanaan, asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada perat perundang-undangan formal. 13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (the principle of public servis) Penyelenggaraan kepentingan umum, asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Mengingat kelemahan asas legalitas, pemerintah dapat bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Seiring dengan perkembangan waktu maka AAUPB ini akhirnya dimuat dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
372 Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Selanjutnya, dengan adanya Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN maka berdasarkan Pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa: ‚Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik‛, dan dalam penjelasannya disebutkan ‚Yang dimaksudkan dengan AAUPB adalah meliputi atas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN Pasal 1 (6) yaitu Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, dijelaskan tentang asas umum penyelenggaraan negara yaitu sebagai berikut: a. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara. Maksudnya asas ini menhendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara; b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keselarasan, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara; c. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Maksudnya asas ini menghendaki pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu;
373 d. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskrirninatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara; e. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara; f. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; g. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut setelah lahirnya Undang-Undamg No. 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan akhirnya AAUPB resmi dinormatifkan. Berdasar Pasal 10 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan AUPB terdiri dari 8 (delapan) asas sebagai berikut. 1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan; 2. Asas Kemanfaatan adalah manfaat yang harus diperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yang satu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individu dengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakat asing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingan kelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah dengan warga masyarakat; (6)
374 kepentingan generasi yang sekarang dan kepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia dan ekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita; 3. Asas Ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif; 4. Asas Kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu keputusan dan/atau tindakan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan keputusan dan/atau tindakan sehingga keputusan dan/atau tindakan yang bersangkutan dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan dan/atau tindakan tersebut ditetapkan dan/atau dilakukan; 5. Asas Tidak Menyalahgunakan Kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan. 6. Asas Keterbukaan adalah asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses dan memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara; 7. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif; 8. Asas Pelayanan yang Baik adalah asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan biaya yang
375 jelas, sesuai dengan standar pelayanan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana telah dikemuakan diatas, bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, secara resmi memuat AAUPB. Ada bebrapa implikasi dengan dipositivisasikannya AAUPB. 1. AAUPB diturunkan dari yang semula sebagai asas yang sifatnya abstrak dan diakui sebagai hukum tidak tertulis menjadi norma hukum konkrit; Sebagaiman telah diuairkan diatas AAUPB merupakan asas hukum, yang darinya norma hukum konkrit dapat ditarik, disamping itu AAUPB sebagai asas dapat juga menjadi petunjuk untuk menjelaskan suatu norma hukum. Jue maupun Van Wijk mengemukakan bahwa AAUPB sebagai asas hukum menurut sifatnya dapat diterima sebagai norma hukum umum yang berlaku atau samar-samar dengan fungsi yang luar biasa, yang berisikan keterangan dan keadilan dari normanorma hukum yang lebih konkrit. Dengan munculnya AAUPB dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administasi pemerintahan, khusunya AAUPB yang secara konkrit disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) maka secara resmi dapat digunakan oleh pejabat adminitrasi sebagai pedoman dalam melakukan tindakan administrasi, meskipun demikian AAUPB tetap tidak dapat menjadi dasar kewenangan bagi pejabat administrasi, melainkan hanya sebatas sebagai ramburambu yang bersifat mengikat, ketentuan tersebut juga dipertegas dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan
376 administrasi pemerintahan berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Lebih jauh Pasal 10 ayat (2) juga memberi ruang pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) yang belum diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, sepanjang dijadikan pertimbangan dalam putusan PTUN dan telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian yurisprudensi PTUN juga diakui dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014. 2. Memudahkan pejabat administrasi dalam mengontrol tindakan administrasinya Pergeseran AAUPB dari hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis, akan memudahkan bagi pejabat administrasi dalam melacak menggunakan AAUPB sebagai pedoman dalam tindakan administrasi. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, AsasAsas Umum Pemrintahan yang Baik (AAUPB) tersebar dalam berbagai pendapat dan buku-buku akademik, putusan PTUN termaksud juga sebagaian telah masuk dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dari KKN. Persebaran tersebut juga menjadi salah satu kesulitan bagi pejabat adminitrasi negara untuk memilah-milah mana yang akan digunakan sebagai pedoman dalam malakukan tindakan administrasi. Ketiadaan norma yang mewajibkan pejabat administrasi untuk merujuk pada Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) juga menjadi salah satu alasan mengapa pejabat jarang yang menjadikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai pedoman dalam mengambil keputusan. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, maka pejabat administrasi wajib memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dalam melakukan tindakan. Kewajiban memperhatikan AAUPB tersebut dapat pula memudahkan pejabat melakukan kontrol atas
377 tindakan adminitasi pejabat dibawahnya (internal check) khusunya jika berkaitan dengan penggunaan kewenangan bebas. 3. Pengadilan TUN lebih mudah untuk menilai apakah suatu tindakan pejabat administrasi bertentangan dengan AAUPB atau tidak. Meskipun sebelum terbitnya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, PTUN tetap tidak memiliki kendala dalam menilai suatu keputusan yang bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) tetapi dengan dimasukannya AAUPB dalam UndangUndang No, 30 Tahun 2014, semakin mempertegas keberadaan AAUPB dalam hukum positif Indonesia; 4. Memudahkan Kontrol Atas Tindakan Pemerintah Bagi masyarakat, positivisasi AAUPB juga dapat memudahkan untuk melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan pejabat administrasi yang merugikan masyarakat. Dengan demikian maka, tujuan awal AAUPB sebagai instrument untuk melindungi masyarakat dari kekuasaan pemerintah yang sangat besar dapat mudah untuk diwujudkan. Secara umum positiviasi AAUPB dalam UU 30 Tahun 2014 adalah suatu kemajuan, karena di Belanda sendiri AAUPB juga telah dimasukan dalam wet AROB, meskipun dalam praktik dipengadilan TUN sudah sejak lama diakui dan dijadikan dasar untuk menilai keputusan pemerintah. Artinya UU 30 Tahun 2014 lebih menguatkan atau menegaskan (stressing) kedudukan AAUPB dalam hukum positif Indonesia. 5. Menegaskan Perlunya Pengawasan atas Tindakan Pejabat TUN Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), maka tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan hanya semata-mata menjaga keamanan, melainkan juga secara aktif turut
378 serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut, dalam melakukan tindakannya, pemerintah memerlukan keleluasaan (freies ermessen, discretionair) dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, dimana salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Akan tetapi dalam suatu negara hukum adalah menjadi suatu syarat bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, artinya sikap tindak pemerintah tersebut haruslah dapat dipertanggung jawabkan baik secara moral maupun secara hukum. Oleh karena sendi-sendi negara hukum tetap harus dipertahankan, dan agar pada satu sisi tindakan pemerintah itu, dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak keluar dari jalur negara hukum dan pada sisi lain warga negara atau masyarakat tetap dijamin perlindungan hak-hak asasinya, maka diperlukan sistem pengawasan. Dari beberapa pihak dan cara pengawasan tersebut di atas maka dapat dirinci dalam beberapa segi sebagai berikut: a. Ditinjau dari segi kedudukan suatu badan atau organ yang melaksanakan pengawasan: 1) Pengawasan intern, 2) Pengawasan ekstern. b. Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya: 1) Pengawasan preventif (a-priori), 2) Pengawasan represif (a posteriori). c. Pengawasan dari segi hukum Di negara kita, dengan terbentuknya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai implementasi dari pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 (jo. UU No. 35 tahun 1999 jo. UU No. 4 tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman, terlihat adanya peradilan administrasi sebagai bahagian dari kekuasaan kehakiman, dengan nama Peradilan Tata Usaha Negara, yang merupakan peradilan khusus. Dibentuknya
379 lembaga ini dimaksudkan unutk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan- tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah memberikan perlindungan terhadap hakhak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu, memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Demikian yang tersirat dalam Penjelasan Umum angka ke-1 Undang-undang tersebut. Dengan demikian, dari spesifikasi tersebut, terdapat ciriciri khusus didalam memberikan penilaian atau melakukan kontrol bagi Peradilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan hukum Pemerintah dalam bidang hukum publik, yaitu: 1. Sifat atau karakteristik dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang selalu mengandung asas ‚prasumtio iustae causa‛, yaitu bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan. 2. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu, 3. Asas self respect dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita, seperti halnya dalam prosedur perkara perdata. Seperti telah dikemukakan diatas, kelahiran AAUPB dilatar belakangi oleh meluasnya kewenangan negara yang turut serta dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan meluasnya kewenangan tersebut,
380 maka akhirnya muncul respon dari publik yang mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya pelanggaraan terhadap hak-hak sipil melalui kebijakan intervensi pemerintahan, khususnya di bidang ekonomi dan sosial. Kelahiran AAUPB menegaskan bahwa tindakan-tindakan pemerintah tersebut haruslah dilaksanakan berdasar parameter-parameter yang terukur dan dapat dikontrol oleh publik. Walau demikian, rincian mengenai AAUPB tidaklah tunggal, alias jamak, dan beragam menurut pendapat para ahli. Sifat jamak terebut dapat juga menimbulkan ketidakpastian hukum jika ditinjau dari aspek legalitas. Sebaliknya dengan di normakannya AAUPB maka dengan demikian AAUPB dapat lebih jelas dan memberi kepastian jika dilihat dari sudut legalitas hukum. Dengan demikian, pengadilan maupun aparatur sipil negara, terikat oleh ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik sekarang ini harus mencerminkan asas ketaatan pada hukum atau yang lebih populer dengan istilah taat hukum. Hal ini wajar karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum sehingga akan berdampak pada pelaksanaan penyelenggaraan dan pemerintahan, yang tertuju pada para birokrat. Untuk mencegah penyalahgunaan jabatan dan wewenang, atau lebih tepat ‚untuk mencapai dan memelihara adanya pemerintahan dan adminstrasi yang baik, yang bersih (behoorlijk bestuur)‛, maka ada beberapa asas pemerintahan/administrasi negara, yang dapat dibagi menjadi dua golongan atau kategori, yakni: 1. Asas-asas yang mengenai prosedur dan atau proses pengambilan keputusan, yang bilamana dilanggar secara otomatis membuat keputusan yang bersangkutan batal karena hukum tanpa memeriksa lagi kasusnya;
381 a. Asas yang menyatakan, bahwa orang-orang yang ikut menentukan atau dapat mempengaruhi terjadinya keputusan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi (vested interest) di dalam keputusan tersebut, baik secara langsung mupun tidak langsung. b. Asas, bahwa keputusan-keputusan yang merugikan atau mengurangi hak-hak seorang warga masyarakat atau warga negara tidak boleh diambil sebelum memberi kesempatan kepada warga tersebut untuk membela kepentingannya. c. Asas yang menyatakan, bahwa konsiderans (pertimbangan motivering) dari keputusan wajib cocok dengan atau dapat membenarkan dictum (penetapan) dari keputusan tersebut, dan bahwa konsiderans tersebut mempergunakan fakta-fakta yang benar. 2. Asas-asas yang mengenai kebenaran dari fakta-faktanya yang dipakai sebagai dasar untuk pembuatan keputusannya; a. Asas larangan kesewenang-wenangan Adalah suatu perbuatan atau keputusan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar, sehingga tampak atau terasa oleh orang-orang yang berpikir sehat (normal) adanya ketimpangan. b. Sikap ini akan terjadi apabila pejabat administrasi negara yang bersangkutan menolak untuk meninjau kembali keputusannya yang oleh masyarakat dianggap tidak wajar. c. Asas larangan penyalahgunaan jabatan atau wewenang. d. Asas kepastian hukum, bahwa sikap atau keputusan pejabat administrasi negara tidak boleh menimbulkan keguncangan hukum atau status hukum.
382 e. Asas larangan melakukan diskriminasi hukum, bahwa sikap atau putusan berlaku kepada semua pihak baik individu maupun golongan sehingga tidak akan menimbulkan pendapat bahwa negara adalah milik dari golongan rakyat tertentu saja. f. Asas batal karena kecerobohan pejabat yang bersangkutan, dalam hal ini bilamana seorang pejabat administrasi negara telah mengambil keputusan dengan ceroboh, kurang teliti di dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan oleh seorang warga masyarakat yang menguntungkan baginya, sehingga warga masyarakat yang bersangkutan dirugikan. Bilamana asas-asas hukum tersebut tidak dijunjung tinggi, maka bonafiditas dan kebersihan daripada pemerintahan/administrasi tidak akan tercapai, dan keputusankeputusannya serta tindakan-tindakannya tidak akan mempunyai wibawa serta efek yang diharapkan. Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk. Karena masalah etika negara merupakan standar penilaian etika administrasi negara mengenai tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan faktor yang
383 menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya. Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokratbirokrat dapat terlihat dan dipertanggungjawabkan dengan jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi. Pada kepemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait dengan law enforcement dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal administration) yang akan mengabaikan law Enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan law Enforcement terdapat : 1. Birokrat–birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya aparaturnya. 2. Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan. 3. Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokratbirokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya. 4. Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berahlak, berwawasan (visionary), demokratis dan responsif terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (reinventing government). Etika birokrasi (administrasi negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi
384 negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness. Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik (agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan dari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap harapanharapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi. Masalah etika ini terutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwa meskipun kekuasaan ada di tangan mereka yang memegang kekuasaan politik (political masters), ternyata administrasi juga memiliki kewenangan yang secara umum disebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalah apa jaminan dan bagaimana menjamin bahwa kewenangan itu digunakan secara ‚benar‛ dan tidak secara ‚salah‛ atau secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasan dalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etika administrasi yang merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan itu. Etika tentunya bukan hanya masalahnya administrasi negara. Ia masalah manusia dan kemanusiaan, dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi dari ilmu filsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmu sosial.
385 Di bidang administrasi, perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar ke percayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat (yang dibiayainya dan seharusnya mengabdi kepada kepentingannya) bertindak menurut suatu standar etika yang selaras dengan kedudukannya. Selain itu, telah tumbuh pula keprihatinan bukan saja terhadap individu-individu para birokrat, tetapi terhadap organisasi sebagai sebuah sistem yang memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan nilai-nilai. Apalagi biokrasi modern yang cenderung bertambah besar dan bertambah luas kewenangannya. Pemerintahan dalam suatu negara, memiliki peran yang sangat besar dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawab negara dalam mencapai tujuan utamanya, yakni kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negaranya yang tertuang di dalam pembukaan UUDNRI Tahun 1945. Muchsan, menyatakan fungsi itu adalah tugas, fungsi itu berkaitan dengan hak dan kewajiban Secara garis besar, aparat pemerintah memiliki 2 (dua) fungsi utama dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, yaitu: 1. Fungsi memerintah (besturen functie) Fungsi memerintah merupakan fungsi pokok yang melekat pada organisasi pemerintah yang menjadi tanggung jawab utama untuk dijalankan. Fungsi pokok ini harus dilaksanakan oleh aparatur pemerintah sendiri berdasarkan fungsi masing-masing. Dalam fungsi pokok ini aparat pemerintah harus tampil sendiri atau melaksanakan sendiri. 2. Fungsi pelayanan (verzorgen functie) Fungsi pelayanan merupakan fungsi penunjang yang bersifat relatif. Fungsi ini ditujukan bagi terlaksananya
386 tujuan negara dalam melayani warga negaranya melalui organ pemerintah dan aparat pemrintah. Di dalam fungsi pelayanan ini aparat melaksanakan amanah undangundang yang bertujuan agar negara Indonesia sejahtera dan makmur. Dalam konteks pelaksanaan fungsi pemerintah, pelayanan dapat dikategorikan sebagai upaya untuk menyiapkan, menyediakan, atau mengurus keperluan warga masyarakatnya. Pelayanan pada dasarnya adalah tindakan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain dengan mengharapkan sesuatu atau tidak mengharapkan sesuatu. Kebijakan reformasi birokrasi yang telah dan akan dijalankan pemerintah Indonesia selama ini perlu lebih diarahkan pada upaya-upaya pembentukan profil birokrasi yang efisien, mampu, tanggap dan dinamis terhadap tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepada birokrasi itu sendiri, baik yang berasal dari lingkup nasional, regional dan internasional yang berjalan ke arah good governance. Sasaran reformasi birokrasi adalah mewujudkan/membentuk: a. Birokrasi yang bersih; b. Birokrasi yang efektif dan efisien; c. Birokrasi yang produktif; d. Birokrasi yang transparan; e. Birokrasi yang terdesentralisasi. Hukum administrasi negara merupakan seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administri yaitu: administrasi dalam arti sempit dan administrasi dalam arti luas. Dalam pengertian sempit administrasi berarti tata usaha. Administrasi dalam arti,luas dapat ditinjau dari tiga sudut, yakni: a. Administrasi sabagai proses dalam masyarakat.
387 b. Administrasi sebagai suatu jenis kegiatan manusia. c. Administrasi sebagai sekelompok orang yang secara bersama sama sedang menggerakan kegiatan di atasnya. Kesejahteraan umum (bestuurszorg) adalah meliputi segala lapangan kemasyarakatan dimana turut serta Pemerintah secara aktif dalam pergaulan manusia. Diberinya tugas bestuurszorg itu membawa bagi administrasi negara suatu konsekuensi khusus. Untuk dapat melaksanakan tugas bestuurzorg tersebut, seperti misalnya menyelanggarakan kesehatan rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi seluruh warga, menyelanggarakan perumahan yang baik, dan sebagainya, maka administrasi negara memerlukan kebebasan, yaitu kebebasan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persolanan penting. Sebagai konsekuensi dari melekatnya fungsi servis publik (bestuuszorg), maka administrasi negara makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif dalam hal menciptakan dan mendistribusikan tingkat pendapatan maupun kekayaan, serta menyediakan program kesejahteraan rakyat. Hal tersebut khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, perlakuan hukum yang sama, jaminan sosial. Melalui upaya-upaya itu eksistensi pemerintah hampir diseluruh dunia, tumbuh menjadi suatu pemerintah yang besar dan kuat, baik itu didalam runag lingkup fungsi maupun jumlah personal yang dibutuhkannya untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Setidak-tidaknya ada dua masalah penting akibat terjadinya perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara. Pertama, dengan makin pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi pelayanan publik, maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat penekanan rejim pemerintah. Hubungan asumsi seperti itu, mungkin, cukup tercermin dari
388 kecenderungan semakin tingginya penyelewengan tindakan yang merugikan rakyat dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, yakni masalah yang jauh lebih mengkhawatirkan, adalah kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan diberikannya suatu ‚kebebasan‛ untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen; pouvoir discretionnaire) guna menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan perlu segera diselesaikan.
389 BAB VIII UPAYA ADMINISTRASI DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
390 Dalam pelaksanaan tugas administrasi pemerintahan yang baik yang menyangkut urusan eksternal (pelayanan umum) maupun yang berkaitan dengan urusan internal (seperti urusan kepegawaian), suatu instansi pemerintah (Badan/Pejabat TUN) tidak dapat dilepaskandari tugas pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan semakin kompleksnya urusan pemerintahan serta semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat, tidak tertutup kemungkinan timbulnya benturan kepentingan (Conflict of Interest) antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan seseorang/Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, sehingga menimbulkan suatu sengketa Tata Usaha Negara. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan seseorang/ Badan Hulum Perdata tersebut, ada kalanya dapat diselesaikan secara damai melalui musyawarah dan mufakat, akan tetapi ada kalanya pula berkembang menjadi sengketa hukum yang memerlukan penyelsaian lewat pengadilan. Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka timbulnya suatu sengketa Tata Usaha Negara tersebut, bukanlah hal yang harus dianggap sebagai hambatan pmerintah (Badan/Pejabat TUN) dalam melaksanakan tugas dibidang urusan pemerintah, melainkan harus dipandang sebagai : 1. Dari sudut pandang warga masyarakat, adalah merupakan pengejawantahan asas Negara hukum bahwa setiap warga Negara dijamin hak-haknya menurut hukum, dan segala penyelesaian sengketa harus dapat diselesaikan secara hukum pula; 2. Dari sudut pandang Badan/Pejabat TUN, adalah sarana atau forum untuk menguji apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkannya telah memenuhi asas-asas hukum dan keadilan melalui