The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Mengenal adat dan budaya Melayu Tamiang

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by wdmuntasirwd, 2023-06-15 23:00:39

TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH

Mengenal adat dan budaya Melayu Tamiang

Keywords: sejarah

• Sejarah adalah perjalanan waktu yang memiliki keterikatan-keterikatan terhadap ruang dan waktu yang berbeda serta terhadap perilaku-perilaku pelakunya yang berbeda pula. Perilaku mana telah melahirkan perbedaan pandang dan nilai dari para pengamatnya namun bukan sesuatu yang mutlak (nisbi). • Adat adalah merupakan hasil interaksi dari suatu kelompok masyarakat yang telah menghasilkan perilaku, perilaku mana mendapat tatanan yang baik dari kelompok masyarakat tersebut sehingga menjadi sesuatu yang normatif yang dijadikan tuntunan dalam menjalani hidup keseharian yang berdampingan dengan syara’ • Tidak banyak orang mengenal sejarah, Adat dan Budaya Tamiang Buku ini mengingatkan anda kembali dan memberi pengetahuan tentang sosio kultural masyarakat Tamiang yang terbentuk dari perjalanan sejarahnya. Dengan demikian perlu penelaahan yang cermat sehingga adat akan mendapat tempat terdepan dalam peradaban manusia yang berbudaya. • Setelah terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang telah memberi peluang yang cukup berarti dalam penggalian sejarah dan Adat Istiadat Tamiang dan diharapkan akan memberikan warna tersendiri dalam gaya dan perilaku kehidupan bermasyarakat yang dapat diadopsi kedalam gaya /model Birokrasi Aceh Tamiang untuk menjadikan Tamiang yang maju dan bermartabat. Buku Tamiang Dalam Lintasan Sejarah yang ditulis Ir. Muntasir Wan Diman adalah karya “Anak Tamiang” patut kita banggakan. (Drs. Abdul Latief. Bupati Aceh Tamiang). • Penulis lahir di Kecamatan Bendahara (Sungai Iyu) desa Tanjung Lipat pada tanggal 21 Februari 1963, anak ke Tujuh dari Sembilan bersaudara. Pendidikan terakhir Fakultas Pertanian Universitas Samudra Langsa lulus tahun 1990. Dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota HMI, pernah menjadi kader dan pengurus PDI Aceh Timur 1992-1997, sebagai ketua Penelitian dan Pengembangan Forum Kerjasama Komunikasi dan Informasi Masyarakat Tamiang tahun 2000-2002. sekarang bekerja sebagai staf Perkebunan Swasta. Ir. Muntasir Wan Diman Yayasan Sri Ratu Syafiyatuddin TAMIANG DALAM LINTASA SEJARAH


2 Ir. Muntasir Wan Diman DALAM LINTASAN SEJARAH (Mengenal Adat dan Budaya Melayu Tamiang) Diterbitkan Oleh Yayasan Sri Ratu Syafiyatuddin 2003 TAMIANG


Ir. Muntasir Wan Diman TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH (MENGENAL ADAT DAN BUDAYA MELAYU TAMIANG)


TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 1 PEMBUKE KATE Kuale Penage dekat Sungai Iyu Tempat Gajah made ngelarike diri Buku kutuleh baru ne satu bukan maksud nak mencaci maki Tentang Sejarah cerite buku ne ditambah dengan adat budaye kalo peh salah bukan disengaje memang begian ade jalannye Kite ne Temiang pelin Kerabat kuat diikat jadi sedare tuntunan hidup biar jangan sesat ikutilah syara’ serte adat budaye Idup api pasang kelembu maksud untok jaohke nyamok engkat ne dulu kutuleh buku Insya Allah kusambong isok Buah melake didalam pinggan untuk dimakan buke puase Adat budaye sebagei pegangan Dalam menjalanke tutjuan hidup kite


i TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH i SEKAPUR SIRIH Segala puji bagi Allah,Tuhan seru sekalian Alam. Hanya kepadaNya kita menyembah, memohon pertolongan dan petunjuk. Sesungguhnya barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya Semoga keberkahan dan keselamatan senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, pembawa rahmat dan petunjuk serta pelita yang menerangi dan menuntun umat manusia ke jalan yang benar dan diridhoi Allah SWT. Buku Tamiang Dalam Lintasan Sejarah ini, mencakup tentang Adat dan Budaya suku perkauman Tamiang serta menguraikan secara singkat proses dari terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang yang sejak tahun 1957 telah didambakan hingga tahun 2002 dapat terwujud dalam bentuk yang nyata, dan ini hanya merupakan sekelumit dari sejarah,adat istiadat dan seni budaya suku perkauman Tamiang serta proses terbentuknya Kabupaten Aceh Tamiang. Buku ini disusun dengan harapan dapat menumbuh kembangkan serta memberdayakan kembali adat istiadat dan seni budaya suku perkauman Tamiang yang menjelma dari perjalanan sejarahnya, dimana dalam kenyataannya sudah tidak lagi menyentuh sisi kehidupan bermasyarakat dan dirasakan telah mengalami pergeseran yang disebabkan oleh berbagai faktor baik akibat infiltrasi dari adat dan budaya luar maupun disebabkan karena kurang pedulinya antara generasi muda dan generasi tua yang disatu pihak sebagai pewaris dan dipihak lain sebagai yang mewarisi, sehingga perkembangan antara satu generasi kegenerasi lain terjadi pergeseran secara rutinitas dan berkesinambungan yang menyebabkan lam-


ii TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH ii bat laun adat dan seni budaya suku perkauman Tamiang tersebut menjadi kabur dan kemudian menjadi hilang. Dalam kemajemukan adat dan budaya Daerah Nangroe Aceh Darussalam dimana Suku perkauman Tamiang merupakan bagian didalamnya, maka penulis ingin mencoba mengembalikan identitas diri dari suku perkauman Tamiang yang merupakan rumpun dari Suku Melayu yang ada di Nusantara ini berdasarkan sejarah yang telah terbentuk. Harus kita akui dan disadari bahwa adat dan budaya dari suku perkauman Tamiang ini bukanlah sesuatu yang utuh dari produk nenek moyang dahulu (datu nini) melainkan telah mengalami modifikasi dan metamorfosa dari adat dan budaya tersebut. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi soisal antar kelompok masyarakat yang menghasilkan berbagai perilaku-perilaku yang bersifat dinamis. Perilaku mana terasa indah dan baik sehingga menjadi suatu kebiasaan yang mengikat, karena kedinamisannya tersebut yang seiring dengan perubahan zaman maka terjadi modifikasi yang disebabkan interaksi sosial yang berkesinambungan tersebut, namun tetap tidak akan menyeberangi wilayah acuan dan bentuk dasar yang telah diwarisi dari datu nini dahulu. Dengan kata lain meskipun terjadi modifikasi namun tetap berada dalam koridor adat budaya Tamiang dengan ciri yang khas dan spesifik. Penulisan tentang adat dan budaya suatu suku bangsa tidaklah semudah seperti penulisan karya tulis lainnya. Seperti telah disinggung di atas bahwa adat dan budaya suatu suku bangsa bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan (baik terdapat penambahan atau pengurangan yang tidak menghilangkan ciri khasnya) sejalan dengan perubahan zaman “ Sekali Aer bah, sekali tepian beraleh” “Sekali zaman beredar, sekali adat bertukar”


iii TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH iii dan perkembangan masyarakatnya, oleh karenanya diperlukan berbagai penelitian lapangan. Demikian juga dengan adat dan budaya suku perkauman Tamiang yang sangat sedikit ditulis oleh para pakar maupun peneliti dan inipun masih terbatas untuk kalangan sendiri, atas dasar pemikiran demikian dirasa perlu untuk memperbanyak dan memperdalam tentang pengetahuan adat dan budaya suku perkauman Tamiang demi kelestarian adat dan budaya tersebut. dalam bahasa Aceh disebutkan : “Gadoh Aneuk Muphat Jrat, Gadoh Adat hana Muphat Ta mita” (Hilang anak ada kuburannya, hilang adat tidak tahu cari dimana) Suku perkauman Tamiang yang terdiri dari 3 wilayah tempat tinggalnya yaitu, hulu, tengah dan hiler sudah tentu memiliki banyak perbedaan baik dari segi bahasa maupun sikap dan perlakuan hidup keseharian, akan tetapi perbedaan ini tidaklah membawa suatu perbedaan uniform ataupun bentuk dari pada suku perkauman Tamiang tersebut, karena bila terjadi pembauran antar sesamanya, tetap mampu beradaptasi dalam segala hal sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang mencolok. Perbedaan ini memang sulit ditelusuri faktor penyebabnya karena antara ketiga wila- yah tempat tinggal suku Perkauman Tamiang ini belum ditemui sejarah asal usul yang jelas dari puak dan daerah mana nenek moyang mereka dahulu datang, karena sebagian ada yang dari suku melayu Riau, Perlis Malaysia dan kemudian dalam kehidupannya berasimilasi dengan suku Gayo, Aceh dan Melayu Deli. Hanya didasarkan atas keberanianlah, penulis mencoba untuk menulis tentang adat istiadat dan senibudaya dengan keterbatasan berbagai sumber, dan penulis yakin dalam buku ini akan ditemui berbagai kesalahan, namun merupakan suatu konsekwensi logis bagi seseorang yang


iv berbuat, “orang yang salah adalah orang yang berbuat dan orang tidak akan pernah salah bila tidak pernah berbuat”, untuk itu kritik dan saran memang sangat diperlukan demi kesempurnaan buku ini sehingga menemui sasaran yang diharapkan, serta menjadikannya “Penuh tak melimpah, berisi tak berkurang”, dan Insya Allah ada penyempurnaan pada tulisan berikutnya. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Emak yang tercinta Hj.Siti Habsyah, Pakcik Datuk ulong, Bapak Drs. Syarifuddin Ismail, kakanda Drs. Syahrul Amri yang telah memberi bahan dan masukan serta motivasi untuk melakukan penulisan ini. Selanjutnya kepada isteriku yang tercinta dr. Zuheini Syahril yang telah mendorong dan menyediakan fasilitas sehingga buku ini dapat diselesaikan. Dan terima kasihku juga ke-pada seluruh rekan-rekan dan semua fihak yang tak mungkin disebutkan satu persatu yang telah memberi dukungan dan masukan dalam penulisan buku ini, mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya bagi setiap yang memerlukan. Kualasimpang, Januari 2003.- Penulis, Muntasir Wan Diman


v TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH v DAFTAR ISI halaman SAMBUTAN BUPATI ACEH TAMIANG KATA PENGANTAR i SEKAPUR SIRIH ii Daftar Isi vi Daftar Lampiran ix I. SEJARAH SUKU PERKAUMAN TAMIANG. 1 A LATAR BELAKANG DAN LINGKUNGAN ALAM 1 B. KERAJAAN MELAYU 4 C. KERAJAAN TAMIANG 11 1. Kerajaan Islam Tamiang 12 2. Kerajaan Tamiang di Jadikan dua Kerajaan Otonom 36 a. Kerajaan Karang 37 b. Kerajaan Benua Tunu 38 3. Tamiang Menentang Belanda 45 4. Tamiang dibawah Pemerintahan Civil Belanda 65 5. Tamiang di Bawah Pemerintahan Jepang 68 6. Tamiang Menyambut Kemerdekaan 70 a. Lahirnya IKMAT 76 b. Peninjauan DPRD Aceh ke Tamiang 81 c. Peninjauan Perintah Daerah Aceh Timur 86 II. KEBUDAYAAN TAMIANG 91 a. Bahasa dan Tulisan 94 b. Bentuk Desa 95 c. Mata Pencaharian Hidup 100 d. Sistem Kekerabatan 102 e. Sistem Kemasyarakatan 102 A. SENIBUDAYA MASYARAKAT TAMIANG 108 1. Senibudaya Dengan Menggunakan Bahasa 109 1.1. Kate Tetuhe 110 1.2. P u j a a n 112 2. Senibuya menggunakan gerak Tari dan Nyanyian 121 2.1. B i n i h 122 2.2. Dondang Sayanng 124


vi 2.3. S i l a t. 125 2.4. Ula – Ula Lembing 126 2.5. Aye Ulak (Ngelaboh Lancang) 130 3. Seni Budaya Yang Berkenaan dengan Pakaian 132 3.1. Pakaian Kerja 132 3.2. Pakaian sewaktu menghadiri acara pertemuan atau Upacara Adat 133 4. Senibudaya yang berkenaan dengan seni Ukiran dan Anyaman. 134 4.1. Senibudaya Ukir 135 4.2. Seni Anyaman Dasar 136 B. ADAT SUKU PERKAUMAN TAMIANG. 1. Ternbentuknya Adat 137 2. Adat Perkawinan (Nempatke Anak) 141 2.1. Beberapa tahapan menempatke Anak 145 2.2. Mencari Jodoh (Mencari Judu) 146 2.3. Peminangan 149 2.4. Pelaksanaan Pesta Perkawinan 161 2.5. Pelaminan Jadi Suku Perkauman Tamiang 181 2.6. Pakaian Pengantin 184 2.7. Mempersiapkan Kelahiran Bayi 185 2.8. Melahirkan Bayi 188 Beberapa Upacara Setelah Melahirkan Bayi a. Cukur Rambut 191 b. H a k i k a h 193 c. Menurun Tanahkan Anak (Lepas Dapogh) 194 3. Adat Turun ke Sawah (Belang) 197 3.1. Menyemai Benih (Ngerendok) 199 3.2. Mempersiapkan Lahan. 200 3.3. M e n a n a m 201 3.4. Kenduri Ulat 202 3.5. M e n g e t a m 203 3.6. Mengirik Padi 204 3.7. Menyuroi Padi 206 3.8. Kenduri Pulang Belang 207 3.9. Z a k a t 208 3.10.Pembagian Harta Warisan. 211 4. Pekerjaan Nelayan 211 4.1. Memancing (Ngail) 212


vii TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH vii 4.2. Menombak 213 4.3. Menjala 213 4.4 Ngejang 214 III. UPACARA TEPUNG TAWAR (NYEJOK) 217 A. PENGERTIAN KANDUNGAN SEMPENA TEPAK SIRIH SUSUN 217 1. Hiasan Tepak. 217 1.1. Tepak Jemput Resam 217 1.2. Tepak Songsong 218 2. Balai Ampuan 222 2.1. Fungsi Balai 222 2.2. Sempena Balai 223 B. ARTI KANDUNGAN SEMPENA TEPUNG TAWAR 224 1. Perangkat dan Bahan Tepung TAwar 224 2. Berbagai Macam yang di Tepunga TAwar (Nyejok) 226 a. Nyejok Malam Berinai 226 b. Nyejok Ngantagh Linto 226 c. Nyejok Nerime Mempelai Laki-laki 226 d. Nyejok kedua Mempelai di Pelaminan 229 e. Nyejok Sunat Rasul (Khitan) 229 f. Nyejok dalam menyelesaikan Persengketaan (Sayam) 230 g. Nyejok Padi Beneh 231 h. Nyejok Mendirikan Rumah Baru 231 i. Nyejok memasuki Rumah Baru 231 j. Nyejok hewan qurban/Hakikah 232 k. Nyejok Kenderaan baru 232 IV. GELAR DAN PANGGILAN KEHORMATAN 234 A. PENGARUH ADAT 234 1. R a j a 234 2. Mangku Raja 234 3. Datok Mangkubumi 236 4. Datok Panglima Perang Besar 236 5. Datok Empat Suku 235 6. Datok Delapan Suku 239 B. PENGARUH AGAMA ISLAM 245


viii V. TUNTUTAN TAMIANG MENJADI KABUPATEN 247 A. TUNTUTAN KABUPATEN TAMIANG OLEH IKMAT 247 B. PROSES TERBENTUKNYA KABUPATEN TAMIANG 250 C. TERBENTUKNYA FORUM KERJASAMA KOMUNIKASI DAN INFORMASI MASYARAKAT TAMIANG (FKKI-MT) 258 D. PEMBENTUKAN PANITIA PEKAN BUDAYA TAMIANG 272 E. PERESMIAN KABUPATEN YANG DI MEKARKAN DI JAKARTA 292 F. PELAKSANAAN PEKAN BUDAYA TAMIANG DAN PERESMIAN PLT BUPATI TAMIANG. 297 G. KECAMAN DARI BERBAGAI PIHAK TERHADAP PELAKSANAAN PBT 305 H. MEMBANGUN TAMIANG KE DEPAN 307 1. Tamiang dalam Otonomi Daerah 307 2. Tamiang dalam peranan Komponen Masyarakat 317 3. Tamiang Dalam Potensi Daerahnya 318 Daftar Pustaka 325 Daftar Nara Sumber 327 Lampiran. 328


1 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 1 I. SEJARAH SUKU PERKAUMAN TAMIANG. A. LATAR BELAKANG DAN LINGKUNGAN ALAM. Wilayah Tamiang merupakan salah satu bagian dari Kabupaten Aceh Timur yang terletak diujung paling timur dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perjalanan sejarahnya telah menduduki status sebagai “Kewedanaan Tamiang”, sampai berlakunya U.U. no. 5 tahun 1974, yang kemudian berubah status menjadi “Pembantu Bupati Wilayah III” yang pusat pemerintahannya berturut-turut di Kualasimpang, sejak berlakunya UU no 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah status pembantu Bupati dihapuskan. Dan atas dasar UU No 22 tahun 1999 tersebut maka Pembantu Bupati Wilayah III Kualasimpang ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten, dan disyahkan Pada tanggal 11 Maret 2002 oleh DPR R.I. menjadi “Kabupaten Aceh Tamiang” melalui U.U. No. 4 tahun 2002 tentang pemekaran Kabupaten Aceh Tamiang. Wilayah Tamiang juga merupakan perbatasan antara Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Propinsi Sumatera Utara luas Kabupaten Tamiang 1672,61 Km² (± 20 % dari luas Kabupaten Aceh Timur (8242,73 Km²), dan jumlah penduduk pada tahun 2000, berjumlah 205.971 jiwa (± 30,5 % dari jumlah penduduk Aceh Timur (675.450 jiwa). Dari segi Geografisnya Wilayah Tamiang terletak pada posisi 03º53’ 18,81” - 04º 14’ 51,89 “ LU dan 97º43’ 41,51” - 98º 14’ 45,41” BT dengan batas-batas wilayahnya sebagai berikut: - Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Langsa Timur. - Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. - Sebelah utara berbatas dengan selat malaka / selat Sumatera. - Sebelah selatan berbatas dengan Kecamatan Serba Jadi.


2 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 2 Wilayah Tamiang berada pada ketinggian 0–25 meter dari permukaan laut, Pada kondisi normal musim kemarau berlangsung dari bulan Maret – Agustus dengan suhu berkisar 28 C, dan musim hujan berlangsung pada bulan September – Februari dengan suhu 25C–29C, kelembaban udara rata-rata 55 % -70 %.1 Ketika dimekarkan Wilayah Tamiang terbagi atas tujuh Kecamatan yaitu : 1. Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulau Tiga. 2. Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di Sungai Liput. 3. Kecamatan Kota Kualasimpang dengan pusat Pemerintahan di Kota Kualasimpang. 4. Kecamatan Seruway dengan pusat pemerintahan di Seruway. 5. Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu. 6. Kecamatan Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru. 7. Kecamatan Rantau dengan pusat Pemerintahan di Rantau. (Kecamatan ini merupakan kecamatan termuda hasil pemekaran dari Kecamatan Kejuruan Muda, diresmikan pada Tanggal 9 September 2000). Setelah Tamiang disahkan menjadi Kabupaten pada tanggal 11 maret 2002, Kecamatan Manyak Payed yang pusat pemerintahannya di Tualang Cut bergabung kedalam wilayah Tamiang, dan berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur, dengan demikian Kabupaten Aceh Tamiang menjadi 8 Kecamatan. Nama Tamiang berdasarkan sumber informasi legenda data sejarah berasal dari kata “Te–Miyang“ yang berarti tidak 1 - Dalam proposal Kabupaten Aceh Tamiang, tahun 2000.-


3 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 3 kena gatal atau kebal gatal dari miyang bambu, hal ini berdasarkan cerita sejarah (legenda) tentang raja Tamiang yang bernama Pucok Sulooh, ketika masih bayi di temui dalam rumpun bambu (dalam bahasa Tamiang bambu = buloh) betong dan oleh raja ketika itu bernama Tan penoK mengambil bayi tersebut dan setelah dewasa dinobatkan menjadi raja Tamiang dengan gelar “Pucok Sulooh Raja Te-Miyang” yang berarti raja yang berada dalam rumpun rebong bambu tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal, hal ini hanya merupakan legenda yang turun temurun, namun tidaklah dapat diyakini sebagai suatu kebenaran yang dapat merendahkan martabat suku perkauman Tamiang. Bukti sejarah lain tentang asal Tamiang yang ditulis oleh Mohammad Said yaitu data kerajaan Tamiang didapat Prasasti Sriwilaya yang diterjemah oleh Prof. Nilkanta Sastri dalam buku “The Great Tamaralingga (Capable of) Strong action in dangerus battle2 . Dalam buku “Wee pei sih” yang ditatar oleh I.V. Mills (1937:24) terdapat data kuno Tiongkok Negeri Kan Pei Chiang (Tamiang), data yang lain yaitu Kerajaan Islam Tamiang tercatat dalam buku Geografical Notices oleh Rushiduddin’s (1310 M), Nama Tamiang (Tumihang) dalam buku Negara Kartagama oleh M.Yamin,1946:51,Penemuan T.Yacob, Meer Muhr yaitu data benda-benda Budaya yang terdapat pada situs Tamiang dalam buku Sejarah Nusantara oleh Sartono K.3 Sampai sekarang nama Te-Miyang lebih dipercayai oleh masyarakat Tamiang sebagai asal mulanya kata Tamiang. Namun masih diperlukan penelitian sejarah kembali terhadap asal mula nama Tamiang, karena masih banyak daerah-daerah lain yang tersebar di wilayah Indonesia seperti di Kalimantan, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan lain-lain juga ada yang 2 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, 1961 halaman 36 3 Dalam Proposal Kabupaten Aceh Tamiang, tahun 2000 halaman 3.


4 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 4 memakai nama Tamiang, apakah hanya sekedar nama yang sama atau memang satu rumpun yang sama, karena ketika pada saat kerajaan Melayu hancur rakyatnya berpencar kemana-mana. Suku perkauman Tamiang merupakan salah satu suku yang ada di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang hidup berdampingan dengan suku-suku yang ada di Propinsi Aceh seperti, Gayo, Aceh dan Aneuk Jame, dimana masingmasing suku mempunyai Adat dan budaya yang berbeda. Keberadaan adat dan budaya masing-masing suku di Aceh diakui dan dihargai, yang merupakan salah satu keistimewaan bagi propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan berlandaskan kepada Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/MISSI/1959 yang mulai berlaku pada tanggal 26 Mei 1959, maka Daerah Swatantra Tingkat I (Daswati I) Aceh disebut sebagai “Daerah Istimewa Aceh”. Keistimewaan tersebut terdapat dalam lapangan Keagamaan, Peradatan dan Pendidikan. Dan kemudian berlaku U.U. R.I. Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disahkan pada tanggal 9 Agustus 2001 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. B. KERAJAAN MELAYU. Bangsa Melayu berdasarkan sejarahnya bukanlah merupakan penduduk asli Tanah Melayu melainkan para ahli sejarah berpendapat berasal dari Hindia belakang, Prof.H.Kern dalam T.M. Lah Husny mengatakan bahwa ± 2000 tahun sebelum Masehi jenis bangsa Melayu Polinesia datang dari Hindia Belakang, dari daerah Campa (Kochin, Cina dan Kamboja) inilah Negeri asal dari jenis bangsa Melayu Polinesia. Penduduk inilah yang terus mengembara memenuhi seluruh


5 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 5 Kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara, maka oleh A. Bastian seorang sarjana Jerman mula-mula sekali merubah nama Nusantara menjadi Indonesia tahun 1884, yang berarti pulau-pulau yang kebudayaannya bercampur dengan kebudayaan asing.4 Menurut data sejarah yang pernah ditelusuri, bahwa pada abad ke VII telah berdiri beberapa kerajaan di Sumatera seperti : Kerajaan Tulang Bawang di Lampung, kerajaan Melayu di Riau dan Kerajaan Sriwijaya di Palembang, di Malaya berdiri kerajaan Mahasin dan kerajaan Kalingga (Mataram) di Jawa. Kerajaan Melayu yang pertama adalah Kerajaan Melayu Raya berdiri pada tahun 670 Masehi yang terletak di Bandar Pirus Pulau Bintan (di Kepulauan Riau) dengan rajanya bergelar “Raja Diraja Mambang Sepenoh Tun Dewa Ditasek”, berasal dari keturunan Raja-raja Mambang (Dewa Laut). Kerajaan Melayu raya ini terdiri dari kerajaankerajaan kecil yang diperintah oleh Raja-rajanya tersendiri dimulai dari tanah Semenanjung Kra, Pulau Riau, Pesisir Tanah Kuantan. Ketika Kerajaan Melayu raya ini mencapai puncak kejayaannya berbagai kemajuan telah berkembang dinegeri tersebut, hal ini telah mengundang kecemburuan dari kerajaan Sriwijaya (Palembang), Menurut sebagian sejarah, yang mendirikan kerajaan Sriwijaya di Palembang adalah keluarga Syailandera 5 , kemudian Sriwijaya mengirimkan bala tentaranya untuk merebut dan menaklukkan Kerajaan Melayu Raya dengan maksud ingin menguasai segala harta kekayaan kerajaan tersebut. Dalam sebuah pertempuran, karena kekuatan yang dimiliki oleh pasukan Sriwijaya lebih kuat sehingga kerjaan Melayu Raya kalah dan takluk dibawah kekuasaan raja Sirwijaya dan dalam pertempuran itu Raja 4 T.M. Lah Husny, “Butir-butir Adat Budaya Melayu”, tahun 1968, halaman 9-10. 5 Ibid. halaman 24.-


6 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 6 Diraja Mambang Sepenoh Tun Dewa Ditasek Tewas, akibatnya seluruh negeri Melayu Raya porak poranda dan rakyatnyapun menjadi kucar kacir. Memang pada masa itu kerajaan Sriwijaya berkembang sangat pesat dan megahnya, bukan saja kerajaan Melayu yang ia Taklukan, akan tetapi Kerajaan Tulang Bawang diLampung, Kerajaan Mahasim di Malaya dan Kerajaan Kalingga yang kemudian berganti nama menjadi Karajaan Mataram di Pulau Jawa. Kira-kira tahun 686 M. terdapat peninggalan batu-batu bersurat di Pulau Bangka, Kota Kapur dengan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno, yang artinya ialah ancaman terhadap orang-orang yang ingkar terha-dap Raja Sriwijaya. Selain itu juga terdapat batu-batu bertuliskan dengan bahasa Melayu Kuno juga, di Karang Brabi (daerah Jambi), di Kedukan Bukit dan di Talang Tuwo (daerah Palembang). Akibat dari pertempuran tersebut bangsa Melayupun dicekam rasa ketakutan yang amat sangat sehingga mereka mulai berpindah-pindah mencari tempat yang aman untuk ditempati, mereka berlayar kemana-mana berpencar satu sama lainnya, ada yang ke Utara bersama-sama dengan kepala Suku mereka, sebagian mendirikan kerajaan baru di Daerah Kalimantan Selatan, Pulau Sulu, Pulau Palawan dan Minda nau (Philipina) dan sebagian Mereka ada yang berlayar ke utara, mengarah kebagian Timur berpencar sampai ke Kepulauan Hawai dan Pacific. Pulau Mengharungi lautan dengan beraninya tanpa ada rasa takut dengan satu tujuan agar dapat menjauh dari kekuasaan raja Sriwijaya, dan pada daerahdaerah tertentu bangsa Melayu ada yang tinggal menetap dalam perahu mereka seperti di Kepulauan Belitung dan Bangka, bangsa Melayu yang seperti ini disebut bangsa Jakun atau Orang laut.6 6 H.M. Zainuddin, Tarich Aceh dan Nusantara, 1961, Jilid I halaman 128.


7 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 7 Perlayaran tanpa ada tujuan yang pasti, selama berbulanbulan bahkan bertahun-tahun, membuat mereka terdampar dipulau-pulau yang tidak ada penghuninya, Pada tempattempat tertentu mereka tinggal berbulan-bulan lamanya, dan bila diantara mereka ada yang merasa sesu-ai (cocok) dengan tempat tersebut, maka akan terus menetap disitu seba-gai suatu pemukiman, sedang yang tidak mampu bertahan melanjutkan perlayarannya yang juga belum mempunyai tujuan yang pasti. Bangsa Melayu yang berlayar kebagian Selatan melewati selat Sunda ada yang sampai di Kepulauan Nusa Marege (Maluku) dan Birma, sebagi-an terdampar di Ternate dan Banda, dan yang berlayar kebagian Barat sampai ke Pulau Perca (Sumatera Utara), mereka yang terdampar di Jam-bi mendirikan kerajaan dengan nama kerajaan Pemelayu, dan yang lainnya terus menuju kepedalaman gunung merapi (Sumatera Barat) de-ngan kerajaan baru yaitu kerajaan “Pagaruyung” yang ibukotanya berna-ma Ulak Tanjung Bunga (Batu sangkar), Kerajaan Kuantan (Riau) pusat pemerintahan di Rengat yang kemudian Raja Kuantan mendirikan ibukota yang baru di Daik dalam Kepulauan Riau dengan nama “Kerajaan Riau”. Tidak sampai disitu saja ketakutan yang timbul akibat traumatis menye-babkan mereka gelisah untuk menetap disatu tempat yang terasa seperti masih dekat saja dengan kekuasaan Raja Sriwijaya mereka seperti dikejar bayang-bayang kekuasaan Sriwijaya, oleh sebab itu Bangsa Melayu yang ada di Pulau perca inipun terus berpencar lagi agar semakin jauh dari kekuasaan raja Sriwijaya tersebut, mereka banyak menjumpai daerah pemukiman yang telah dihuni penduduk bangsa lain seperti bangsa Manti (Mante) di Telaga Tujuh, Aramiyah (Aceh Timur), Jambo Aye (Aceh Utara), di Pidie (Poli), Kalee dan di Pulau Weh (Sabang). Ada yang terdampar disebuah pulau akibat arus laut yang deras dan


8 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 8 mereka menetap dipulau tersebut, pulau ini diberi nama “Pulo Sampai”, orang Aceh menyebutnya Pulo Sampoe (diTeluk Haru), pada tahun 1861 Belanda menaklukkannya dan diserahkan kekerajaan Siak dengan sebutan “Pulau Kampai”. Pulau kampai ini tanahnya sangat subur dan sangat baik untuk pertanian, hal ini membuat kerajaan lainnya yang juga mencari lahan subur (karena satu-satunya mata pencaharian mereka pada saat itu hanya pertanian) merebut daerah tersebut sehingga bangsa Melayu yang semula menetap disitu terpaksa berpindah lagi terus berlayar mengharungi sungai sampai ke Serang Jaya dan disini pernah berdiri bandar jaya suatu pelabuhan besar yang menghubungkan perdagangan dengan Melaya, Siam dan lain-lain. Dipuncak kejayaannya pelabuhan ini diserang oleh Rajendra cola I abad ke 11 (1024) dari kerajaan Cola Mendala (dari India Selatan) dan Bandar Jayapun hancur musnah, akibat dari kehancuran tersebut semua penduduk yang telah memiliki peradaban tersebut mengung si secara besar-besaran dikepalai oleh pemimpinpemimpin yang berasal dari Serang Jaya, dalam perjalanan pengungsiannya ditemukan muara sungai yang besar dengan tanah subur disekelilingnya maka sungai itu disebut “sungai Besar” yang kemudian berubah nama menjadi “Sungai Tamiang”. Pada penghabisan kehulu sungai itu terbelah menjadi bersimpang dua, yang kebahagian barat disebut Sungai Simpang Kanan dan kesebelah Timur disebut Sungai Simpang Kiri. Sungai Simpang Kanan dan Sungai Simpang Kiri ini bertemu kedalam sungai besar Tersebut maka disebutlah “Kualasimpang”. Mereka berpindah lagi dari Sungai Besar tersebut kedae rah Sungai Simpang Kanan yang terdapat lahan subur dan disana mereka mendirikan kerajaan yang bernama “Kerajaan Batu Karang”, dan bandar yang baru dengan nama “Bandar Bukit Karang” (sekitar pertengahan abad ke 11), daerah ini sekarang bernama Pantai Perlak yaitu


9 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 9 berseberangan dengan desa Tanjung Karang. Masih sulit ditelusuri sejarah siapa raja yang pertama mendirikan kerajaan Batu Karang ini, ada yang berpendapat bahwa kerajaan Batu Karang peralihan dari kerajaan kecil Aru atau Sarang Jaya, Keturunan Raja-raja inilah yang memerintah disana.7 Menurut Prof. DR.J.G. DE CASPARIS dalam TENGKU LUKMAN SINAR, SH8 Kerajaan Melayu yang telah ditaklukkan Sriwijaya itu sesuai dengan prasasti kutukan di Karang Berahi ditepi sungai Merangin (cabang sungai Batang hari) di hulu Jambi. Pada akhir abad ke 11 sampai tahun 1400 Masehi kerajaan Melayu itu pulih kembali. Sebagai antisipasi terhadap serangan Sriwijaya kembali, kerajaan Melayu tersebut menjalin kerja sama dengan kerajaan jawa Singosari sehingga kerajaan jawa itu mengirim balatentera yang besar untuk menghancurkan Sriwijaya disebut dengan operasi militer “PAMALAYU” (1275 M) dan dikirimnya Amoghapasa Lokeswara (1286 M) di Padang Roco sehingga Raja melayu pada saat itu yaitu Raja “SRI MATTRIBHUANARAJA MAULIWAR MADEWA” beserta rakyat-nya merasa gembira. Dibelakang arca itu kemudian ditulis prasasti raja ADITIYA WARMAN (1347 M) yang melanjutkan kerjaan Damasraya (Melayu) itu. Daerah wilayah kerajaan Melayu yang dikuasai oleh Aditiya War-man meliputi daerah Minangkabau sampai kedaerah Riau daratan, sedang kan pusat kerajaan berada di Pagaruyung dekat Batusangkar. Ketika dewasa Adytia Warman belajar ke Mojopahit sampai diangkat menjadi “Mantri Pandhatara” dimasa Raja Putri Tribuwana Tungga Dewi Jaya Wis-nu Wardhani dan maha patihnya adalah Gajah Mada sehingga terjadi hubungan yang erat antara Aditya Warman dengan Gajah Mada. Tahun 1350 M masa pemerintahan Hayam Wuruk, hubungan Aditya Warman dan Gajah Mada 7 . H.M. Zainuddin, op cit, halaman 128 dst. 8 - Tengku Lukman Sinar SH, “JATI DIRI MELAYU” tahun 2001, halaman 3.-


10 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 10 retak karena masing-masing punya kepentingan dimana Adityawarman ingin memperluas kerajaan Melayu.9 Konon ceritanya pada tahun 1286 M. itu juga Kertanegara (keturu-nan Ken Anggrok Raja Singosari) yang sangat mementingkan perluasan wilayahnya akhirnya merebut kerajaan Melayu hingga takluk dibawah kekuasaannya. Adityawarman adalah anak dari Wisywarupakumara yaitu adik dari Kertanegara yang kawin dengan seorang Puteri Melayu dan pada tahun 1347 M. menjadi Raja Melayu di Hulu Sungai Batang Hari yang kemudian berpindah ke Pagaruyung dekat Batusangkar10 . Prasasti Padang Roco merupakan usaha memupuk persahabatan Kertanegara dengan Melayu yang memuat keterangan-keterangan penting antara lain : ▪ Tahun 1208 saka = 1286 M dibawalah sebuah arca Amoghapaca dari Pulau Jawa ke Sumatera (Svarnnabhumi). Arca ini diletakan di daerah Dharmacraya yaitu daerah Delta (Sungai Kampar sekarang). ▪ yang megirim arca ini adalah Sri Vicvarupa Kumara dan petugas tinggi kerajaan Singosari. Arca ini dikirim sebagai hadiah Raja Kertanegara kepada Rakyat Melayu (Baginda Tribuwana Raya Maulawarmandewa).11 Baik kerajaan Melayu/Damasraya maupun kerajaan Sriwijaya mengguna-kan bahasa Melayu Kuno dan aksara Melayu Kuno, sebagai contoh Prasasti Boom Baru (dipinggir sungai Musi) pada akhir abad ke 7 Masehi. 9 Drs. R. Pitono Hardjo Wardojo, Adityawarman sebuah study tentang toko-tokoh Nasional dari abad XIV , tahun 1966, halaman 31.- 10 T.M. Lah Husny. “ Op cit.- halaman 25.- 11 Drs.Pitono Hardjo Wardojo, 1966, Opcit halaman 37.


11 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 11 C. KERAJAAN TAMIANG. Meskipun Berdasarkan legenda sejarah bahwa Raja Tamiang pertama adalah Tan Penok yang konon cerita legendanya memungut se orang anak dari rumpun bambu dan diberinya nama Pucok Suloh kemudi-an setelah dewasa diangkat menjadi Raja Tamiang, namun karena melihat bekasbekas (kuburan) Tamiang kuno yang telah dipercayai oleh suku perkauman Tamiang bahwa kerajaan Tamiang didirikan dan dimulai pertama kali dari Raja Pucook Sulooh mulai tahun 1190 – 1256 M, diduga raja ini merupakan keturunan Meurah dari Kerajaan Perlak keturunan Meurah Malek Syah (Sulthan Makhdum Alaiddin Abdul Maliksyah), Sultah Perlak yang keTujuh, Pucok Sulooh bernama Meurah Gajah, ditangan Raja Pucook Sulohlah Tamiang perlahan-lahan berkembang dalam segala hal dan Setelah mangkat Raja Pucook Sulooh yang makamnya terdapat di Sungai Seluman desa Rongoh (Simpang Kiri) maka diganti oleh Puteranya yang bergelar “Raja Pepala” (Po Pala tahun 1256–1278),wafat makamnya di Lubuk Pika dekat dengan desa Tanjong Gelumpang (sekarang termasuk dalam Kecamatan Karang Baru), kemudian diganti oleh puteranya yang bergelar “Raja Podewangga” memerintah dari tahun 1278–1300 M, makamnya terdapat di Aye Mati Selayang, perkembangan kerajaan dima-sa pemerintahan beberapa raja ini masih belum dapat diketahui hanya sebatas mengetahui silsilahnya saja. Raja berikutnya ia digantikan oleh puteranya yang bergelar “Raja Dinok” (1300 -1330) makamnya terdapat di Bukit Rata, selain raja dinok raja Podewangga juga memiliki anak yang bernama Raja Po Temo (Po Hiang). yang kemudian memberi turunan Muda sedia (asal mula turunan Muda Sedia). Masa Pemerintahan Raja Dinok berakhir karena diserang oleh tentera kerajaan Samudera Pasai atas perintah Sulthan Mahmud Malikuzzahir (Raja Mahmuddin atau Ahmad


12 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 12 Bahiansyah Sulthan Samudera Pasai ke tiga memerintah tahun 1326-1345 M / 725-745 H). Sejak tahun 1330 M Islam dimasukkan ke Tamiang oleh Sulthan Mahmud Malikuzzahir tersebut dari pasai12. Sebelum agama Islam masuk ke Tamiang, suku perkauman Tamiang masih memeluk agama Pagan (Heidenen), yaitu agama kepercayaan nenek moyang, dengan menyembah Sang Hiang Tunggal dan memuja arwaharwah nenek moyang mereka. Setelah Raja Dinok mangkat kemudian pada tahun 1330 M. Sulthan Pasai tersebut mengangkat seorang Raja yang bernama “Raja Muda Sedia” yaitu putera dari Raja Po Temo (PO Hiang) yang juga kemanakan Raja Dinok. Kerajaan Tamiang yang diperintah oleh Raja Muda Sedia ini ibukotanya di Benua (Kualasimpang), sekarang namanya “BENUA RAJA” Orang-orang Pasai menyebutnya dengan “Keurajeuën Teumiëng” diambil dari silsilah raja muda sedia yang ada tanda hitam pada pipinya dengan menyebut Keurajeuën Raja Itam Miëng artinya “Kerajaan Raja Hitam Pipinya” yang kemudian sebagian masyarakat beranggapan sebagai awal asal kata Tamiang. 1. Kerajaan Islam Temiang. Sebagai akibat dari penyerangan tentera Kerajaan Samudera Pasai atas perintah Sulthan Mahmud Malikuzzahir (Raja Mahmuddin Ahmad Bahiansyah) terhadap raja Dinok pada tahun 1330 M, maka berdirilah kerajaan Islam Tamiang dibawah pimpinan Raja Muda Sedia sebagai raja Islam Tamiang Pertama, yang diangkat oleh Sulthan Mahmud Malikuzzahir. Sejak pemerintahan Raja Muda sedia inilah ajaran Islam terus berkembang di Tamiang dan diperdalam oleh orang-orang Tamiang, kemudian Kerajaan Tamiang mulai 12 Silsilah Raja-raja Islam di Aceh dan hubungannya dengan Raja-raja Islam Nusantara, disusun oleh Teuku Syahbuddin Razi (T.t. tidak dipublikasikan).


13 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 13 membayar upeti kepada pemerintah kerajaan Samudera / Pasai. Dalam seminar Sejarah masuk dan bekembangnya Islam di Aceh dan Nusantara di Rantau Kualasimpang tahun 1980, sebagai penegasan hasil seminar islam di Medan tahun 1963 yang di kukuhkan dalam seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978, menjelaskan bahwa agama Islam telah masuk ke Nusantara (Aceh) sejak abad ke 1 Hijriah langsung dari tanah Arab. Berdasarkan dokumen “IzdharulHaqq” dan “Tazkirat Thabakat Jam’u Salatin”, Kerajaan Islam Perlak didirikan pada tahun 225 H (abad ke 9 M)13, dengan demikian antara masuknya Agama Islam ke Aceh dan berdirinya kerajaan Islam di Aceh haruslah dibedakan. Untuk persoalan ini masih diperlukan penelitian arkeologi kembali. Berdasarkan Silsilah Raja-raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-raja Islam di Nusantara yang disusun oleh Teuku Syahbuddin Razi bahwa : Maharaj Syahriar Salman pendatang dari Tanah Parsi sebagai pembangun Negeri Perlak, namun sebelum beliau juga telah ada raja lain yang silsilahnya belum diketahui. Raja ini kawin dengan Puteri Mayang Seludang Puteri Raja Negeri Campa di Indo Cina yang merupakan awal dari keturunan Meurah. Hasil perkawinan tersebut memberi turunan Tansyir Dewi yang kawin dengan Sayed Ali Al Muktabar (dari Malabar pindah ke Perlak yang merupakan turunan ke V dari keturunan Saiyidina Hussin Ibnu Ali Ibnu Abu Thalib), dari hasil perkawinan ini lahirlah Sulthan Alaidin Sayid Maulana Abdul Azizsyah (Sayid Abdul Aziz) Sebagai Raja Islam Pertama di Kerajaan Islam Peurelak (tahun 840-864 M / 225-249 H). Tansyir Dewi juga memiliki saudara Kandung yang bernama Syahir Nuwi atau Meurah Su (Meurah = Raja), yaitu 13 Annonymous. “ Kesimpulan Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara” halamam 9. tahun 1980.-


14 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 14 Raja Negeri Peurelak penyambut agama Islam. Dari silsilah ini telah memberi suatu gambaran bahwa antara masuknya agama Islam ke Aceh dengan berdirinya Kerajaan Islam di Aceh adalah berbeda, hal ini menunjukkan bahwa Agama Islam masuk ke Aceh jauh sebelum Kerajaan Islam Peurelak berdiri (840 M/225 H). Sulthan Syahir Nuwi memiliki seorang Puteri yang kemudian kawin dengan Sulthan Alaidin Syah (Raja Islam Pertama), dari sinilah asal turunan Sulthan Alaidin Sayid Maulana Ali Mughayatsyah yaitu Sulthan Peurelak ke Empat (915-918 M / 302-306 H). Sulthan Syahir Nuwi juga memiliki seorang Putera yaitu Meurah Bahrum yang menjabat Perdana Menteri, dari sini berlanjut sampai pada turunan Sulthan Makhdum Alaidin Abdul Maliksyah yaitu sulthan peurelak ke Tujuh (946-973 M / 334-361 H) dari sini berlanjut sampai pada turunan Raja Jeumpa (Raja Muhammad) yang memiliki anak bernama Putroe Beutong, dan Raja Samalanga (Raja Meu-rah Ahmad (Meurah Singkong)) memiliki seorang Putera bernama Meurah Makhdum Malik Abdullah (Raja Negeri Jeumpa Pertama). Kedua sepupu ini yaitu Putroe Beutong kawin dengan sepupunya Makhdum Malik Abdullah yang kemudian melahirkan Sulthan Malikussaleh dengan gelar Meurah Selu yang merupakan Raja pertama Samudera Pasai (tahun 1261- 1289 M/659-688 H, dan mangkat tahun 1291 M), setelah 434 tahun Islam berkembang di Perlak. Konon ceritanya bahwa Sulthan Malikulsaleh memeluk agama Islam yang diajarkan langsung oleh syech Ismail dan Fakir Muhammad (pertengahan abad ke 13) bekas raja dari Muktabar (Malabar) dari Mekah yang diperintahkan oleh Syarif Mekah untuk menyebarkan langsung agama Islam ke Samudera Pasai yang merupakan amanah dari Rasulullah SAW.14 14 - H.M. Zainuddin. Op cit halaman 98.


15 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 15 Sulthan Malikulsaleh ini kawin dengan Putroe Ganggang Sari (anak dari Sulthan Makhdum Alaiddin Muhammad Aminsyah raja Peurelak ke Tujuh Belas tahun 1225 -1263 M / 622-662 H) yang kemudian memberi turunan sampai kepada Sulthan Mahmud Malikuzzahir (Ahmad Bahiansyah) (Sulthan Samudera Pasai ke Tiga, tahun 1326-1345 M/725-745 H), Sulthan inilah sebagai pendiri Kerajaan Islam Tamiang pertama dibawah Pemerintahan Raja Muda Sedia (1330 M/731 H), dan dimasa pemerintahan adiknya Sulthan Ahmad Malikuzzahir (Raja Muhammad) raja Samudra Pasai ke Empat (1345-1383 M/745-783 H) Kerajaan Samudra Pasai diserang oleh Tentara Mojopahit (1350 M), dan kemudian Mojopahit kalah mundur beralih menyerang Tamiang sampai tahun 1352 M. Dalam perjalanan sejarah masuknya Islam ke Nusantara, bahwa Islam yang masuk ke Samudra Pasai pada awalnya adalah secara langsung dibawa dari Mekah oleh Syech Ismail dan Fakir Muhammad yang sengaja akan diajarkan kepada Sulthan Malikulsaleh. Dimasa pemerintahan Raja Muda Sedia Kerajaan Tamiang mulai maju dalam bentuk dan susunannya. Pemerintahan besifat kerajaan yang berbalai. Raja Muda Sedia Kawin dengan “Puteri Potuan Suri Meuru Meligai” dari Kereutoe Pasai, yaitu anak dari Sulthan Ahmad Malikuzzahir (Raja Samudra Pasai ke Empat yang telah mengangkat Raja Mudasedia menjadi raja) hasil perkawinannya dengan Puteri Zubaidah binti Sulthan Mahmudsyah dari Kedah dan juga memiliki anak yang lain yaitu “Puteri Cermin” yang ditawan oleh tentera Mojopahit ketika menyerang Samudra Pasai, dikuburkan di LEREN Jawa Timur, saudara lain dari putri Potuan Suri Meuru Meligai adalah Sulthan Zainal Abidin Malikuzzahir yaitu raja Samudera Pasai ke Lima. Hasil perkawinan Raja Muda Sedia tersebut melahirkan seorang puteri diberi nama“Potuan Putri Meuga Gema”, yang konon


16 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 16 ceritanya sangat cantik, bila bermain ditaman seolah-olah cahaya bulan purnama terlindungi oleh kecantikannya, karena kecantikan tersebut kemudian puteri ini diberi gelar “Putri Bungsu Lindung Bulan” sehingga Patih Gajah Mada berhasrat untuk mempersuntingkannya, selain tuan puteri ratu juga memiliki seorang putra yang bernama “Raja Po Mala Jadi”. Raja Muda Sedia ini memerintah mulai tahun 1330 – 1352 M. Kekuatan Islam terus melekat dalam setiap kehidupan manusia dizaman itu dengan berbagai macam bentuk pemahamannya, namun sejalan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya Islam terus berkembang meluas keseluruh wilayah Tamiang. Banyak orang-orang Tamiang yang menggali berbagai disiplin Ilmu keagamaan seperti Tasauf, Fiqh, Ilmu kalam, Tauhid dan lain sebagainya, dan kemudian orang Tamiang menganut mazhab syafi’i dalam pelaksanaan syariatnya. Dengan berkembangnya Islam di Tamiang sedikit demi sedikit secara perlahan pengaruh budaya Hindu mulai ditinggalkan sejauh pemahaman yang dipelajari. Setelah kota Benua, jaya dan makmur tentera Mojopahitpun datang untuk menaklukkannya. Pada awal mulanya (tahun 1350 M.) tentara Mojopahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada melakukan penyerangan kekerajaan Samudera /Pasai yang ketika itu dibawah pimpinan sulthan Ahmad Malikuzzahir (Raja Muhammad) Sulthan Samudra Pasai ke Empat memerintah tahun 1345-1383 M/745-783 H, namun menemui kegagalan karena tidak memiliki cukup kekuatan sehingga tentera mojopahit mundur Meskipun telah kalah dan mundur mereka tidak ingin untuk kembali ke pulau jawa dan berusaha mencari tempat yang berdekatan dengan kerajaan Tamiang karena mereka ingin menaklukkannya, dan didapatilah tempat didaerah manyak payed (nama ini berasal dari nama Mojopahit karena mereka membuat markas ditempat tersebut), Gajah mada menguasai


17 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 17 beberapa daerah sebagai taklukannya yaitu, Telaga tujuh (langsa), Aramiah, Bayeun, Damar Tutung (Rantau panjang) sehingga kekuasaannya menjadi solid. Suatu kebiasaan adat dikerajaan Jawa bahwa seluruh rakyat harus memperhambakan dirinya kepada raja sehingga setiap kali menghadap raja haruslah merangkak dan tunduk, hal ini sangat bertolak belakang dan bertentangan dengan adat dan kebiasaan di Aceh dan Tamiang yang lebih terikat dengan kekuatan Agama, perlakuan demikian merupakan suatu penghinaan terhadap kodrat manusia, hal ini menjadi kendala bagi pemerintahan sementara Mojopahit sehingga banyak rakyat yang lari mengungsi kehulu sungai Bayeun, akibatnya daerah itu menjadi sunyi, kekuasaan Mojopahit yang solid itu seperti tidak berarti bagaikan kekuasa-an tanpa rakyat. Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan dan hasrat untuk menaklukan kerajaan Tamiang semakin besar maka diutuslah pengawal-pengawal raja untuk menyiasati kerajaan Tamiang dikota Benua dengan menyamar sebagai pedagang guna untuk mengetahui kekuatan tentera Tamiang disana. Setelah segala situasi kota benua diketahui terutama tentang kecantikan Puteri Meuga Gema, semakin besarlah niat Patih Gajah Mada untuk menguasai kerajaan Tamiang agar membayar upeti kepadanya dan tidak lagi membayar kepada pemerintahan kerajaan Samudera/ Pasai serta menawan Puteri Meuga Gema untuk dipersembahkan kepada prabu Hayam Wuruk yang menjadi Raja Mojopahit pada saat itu, sebagai siasat untuk menguasai dan menaklukkan kerajaan Tamiang tersebut, maka diutuslah pengawal berlayar dengan mengibarkan bendera perdamaian menghadap Raja muda sedia membawa khabar tentang hal dimaksud dan meminang puteri Meuga Gema yang akan dibawa ke Mojopahjit dan dinikahkan disana, dalam kunjungan tersebut Patih Gajah Mada memberi bingkisan berupa tenunan-tenunan dari Jawa.


18 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 18 Pertemuan antara utusan Mojopahitpun berlangsung, namun Raja Mudasedia tidak memberi jawaban dan bertangguh selama satu hari untuk bermusyawarah dengan pembesar istana. Sesuai janji utusan Mojopahit datang kembali dengan penuh harap pinangan mereka dan permintaan lainnya dikabulkan oleh Raja Mudasedia, Semua tamu dibawa keruang makan yang telah disediakan dengan hidangan kehormatan, sesuai dengan adat kebesaran Tamiang tamu kehormatan dihidang diatas dalung, masing-masing setiap orang satu dalung, demikianlah juga perlakuan terhadap utusan dari mojopahit tersebut, raja mempersilahkan untuk menyantap hidangan, pelayan istana membuka tutup hidang an, para tamu sangat terkejut melihat isi dalung itu semua dan mereka saling berpandangan, karena dalung-dalung tersebut bukan berisi makanan melainkan berisikan permata-permata pualam terdiri dari emas, intan, berlian, zamrud, delima dan nilam, Datuk menteri (Kepala istana) mempersilakan kembali untuk disantap hidangan tersebut, dalam kebimbangan ketua utusan menjawab bahwa hal itu tidak mungkin mereka lakukan, hal yang sama juga diucapkan oleh Raja Mudasedia bahwa orang Tamiangpun tidak dapat memakan permata-permata tersebut, Hal ini dilakukan sebagai upaya memperlihatkan kemewahan Negeri Tamiang yang menjadikan indikator terhadap kesejahteraan rakyatnya yang memberi arti bahwa tidak membutuhkan bantuan dan bawaan utusan Mojopahit. Para utusan berpindah tempat kebalairung istana untuk mendengar jawaban dari raja Mudasedia tentang semua lamaran Patih Gajah Mada “ Pinangan para utusan dari Mojopahit kami tak sanggup terima karena mengingat kami adalah raja kecil, tidaklah mampu kami menerima Maharaja Mojopahit menjadi menantu kami dan lagi adat istiadat kami berlainan dengan adat dan hukum maharaja Mojopahit. Mengenai hal kami


19 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 19 hendak dimerdekakan oleh Mojopahit dan mengajak kami menyerang kerajaan Samudera bersama-sama juga kami tolak, karena walaupun kami berlindung dibawah kedaulatan kerajaan Samudera/Pasai, mem-bayar upeti kepada Samudera, tetapi kami adalah merdeka sepenuhnya tidak dijajah oleh Samudera dan adat istiadat kami sesuai. Kami mempunyai pemerintahan sendiri, Samudera tidak campur tangan dalam kerajaan kami, hanya kami membayar upeti seberapa yang kami antar Samudera menerimanya. Sampaikanlah salam kami pada Maharaja Tuan-tuan cara persaudaraan yang erat, sekian. Juga peti bingkisan yang tuan bawa, bawalah kembali. Para utusan merasa sangat tersinggung dengan perlakuan Raja Muda Sedia yang merupakan suatu pelecehan terhadap Patih Gajah Mada Khususnya dan Mojopahit umumnya Setelah berita dibawa pulang, hal yang sama juga dirasakan oleh Patih Gajah Mada, beliau sangat marah mendengarnya dan memerintahkan : “Serang Raja Tamiang jadikan abu Kota Benua”.15 Pada tahun 1352 dan Sejak perintah untuk menyerang kota Benua dikeluarkan oleh Patih Gajah Mada maka kapal-kapal perang Mojopahit memasuki kuala Besar Sungai Iyu yang pada waktu itu Admiral teritorial Tamiang (penjaga benteng) Tamiang Laksamana Kantommana (konon cerita katanya adalah orang Aceh yang bergelar Hantom manoe karena tidak pernah mandi, memiliki ilmu yang tinggi dan kuat, orang jawa dari Mojo Pahit tidak bisa menyebutkan nama tersebut hingga menjadi sebutan Kantommana) yang sedang menjaga benteng Kuta Arun Bebaju terdapat di Pulau (Kuala) Peunaga (antara Kuala Sungai Iyu dengan Kuala Besar) segera memerintahkan prajuritnya untuk menyerang. Arun berbaju adalah pohon cemara (Arun) yang kelihatannya seperti orang memamakai mantel, dan bila tumbang akan 15 . H.M. Zainuddin “ Op Cit, halaman 223.


20 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 20 tumbuh yang lainnya dengan bentuk yang sama juga. Dalam pertempuran ini semua tentera Mojopahit yang telah mengelilingi benteng Arun Bebaju tewas dan kapal-kapal mojopahit tersebutpun harus meninggalkan Kuala Besar dan Kuala Sungai Iyu tersebut. Pada pertempuran kedua berhadapan langsung kapal patih Gajahmada dengan kapal Laksamana Kantommana, dalam pertempuran ini Raja Muda Sedia dibantu oleh Sulthan Pasai, karena kekuatan Mojopahit mulai melemah maka mereka mundur dan berlayar sampai ke Teluk Haru (pangkalan Susu), yang kemudian tempat pertempuran tersebut dikenal sampai sekarang dengan nama “Kuale Raje Ulak” artinya Raja yang balik kembali (mundur). Tentara Mojo pahit menyusun kekuatan baru di Teluk Haru guna melakukan penyerangan berikutnya, karena Mojopahit benar-benar berhasrat ingin menaklukan Kerajaan Tamiang. Dalam peperangan ini pasukan kerajaan Tamiang dibawah dua kepemimpinan, yaitu tentera laut dipimpin oleh Laksamana Kantommana dan tentera darat dipimpin oleh Panglima besar Getambatu bersama dengan mangkuraja Muda Sidinu (Mangkuraja = wakil raja). Mengetahui rencana Mojopahit ingin menyerang kembali maka Raja Muda Sedia memerintahkan rakyat istana untuk membuat kapal perang (bahtera) yang besar. Dalam pencariannya ditemui sebatang pohon kayu medang ara yang besar seperti rumah adanya terdapat didaerah bukit semedam sekarang, raja memerintah untuk menebang pohon kayu tersebut dengan menyembelih seekor kerbau sebagai syaratnya, selama tujuh hari kayu tersebut ditebang tidak termakan oleh kampak dan beliung. Konon cerita pada malam jum’at seorang Datuk menteri yang berkemah ditempat itu bermimpi didatangi seorang tua yang berjenggot putih, bersorban dan berjubah mengatakan


21 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 21 “janganlah sripeduka menebang beta, beta adalah Benuang Negeri Tamiang (Tuah atau pelindung Negeri Tamiang), sampaikanlah sembah beta ini pada Doli po raja. Kalau beta ditebang juga niscaya kerajaan Tamiang akan sengsara dilanggar musuh dari luar dan membinasakan kota Benua yang jaya ini menjadi abu rata dengan Tanah” 16. Meskipun mimpi ini disampaikan kepada raja, namun raja tidak memperdulikannya dan tetap melanjutkan niat untuk menebang kayu medang ara tersebut. Ternyata mimpi Datuk menteri menjadi kenya-taan setelah sekian lama kayu tersebut belum juga putus, pada suatu malam jum’at datanglah angin sepoi-sepoi dengan diiringi rintik hujan dan menebarkan semerbak harum wewangian sehingga membuat orang yang menciumnya tertidur pulas. Dalam kesepian itu kayu medang ara tumbang perlahan-lahan, keseluruh akarnya tercabut dan turun dengan sendirinya melalui sungai simpang kiri (sungai Semadam) menuju kelaut lalu hanyut sampai ke Pulau Sisembilan (sekarang Pulau Sembilan di daerah Pangkalan Susu) dan bekas yang dilalui kayu tersebut merupakan lobang besar seperti sebuah paya (rawa-rawa) yang diberi nama “Paya Sane Ngulor” artinya “Paya Hantu Turun” terdapat didaerah bukit semedam mengarah kekampung pipa, sekarang paya sane ngulor tersebut sebagian telah menjadi sawah orang kampung. Sejak kejadian itu maka kayu raja dilarang ditebang karena merupakan perlindungan dan sampai sekarangpun kayu raja ini tidak ada yang berani menebangnya atau kalaupun ditebang harus disyarati terlebih dahulu. Kayu medang ara yang hanyut tersebut terdampar di mana Patih Gajah Mada sedang berkemah. Konon cerita Patih Gajah Madapun bermimpi hal yang sama tentang kayu Medang ara itu, dimana orang tua berjenggot dan bersorban itu memerintahkan agar Patih Gajah Mada pergi 16 - H.M. ZAINUDDIN, Op Cit. halaman 225.


22 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 22 kepantai tempat kayu medang ara tersebut terdampar dan diperintahkan agar membuat bahtera perang dari kayu itu lalu menyerang kembali raja Muda Sedia, pasti akan menang dengan satu syarat jangan melewati kuala Besar dan Kuala Sungai Iyu, karena penjagaan Raja Tamiang sangat ketat, sebagai penunjuk jalan untuk menuju kota Benua terpaksa mereka menangkap para nelayan yang lewat dipulau tersebut17. Setelah bahtera selesai dibuat, berdasarkan mimpi yang lainnya agar bahtera bisa turun kelaut harus manusia sebagai galangannya, maka ditangkaplah sembilan orang orang Tamiang untuk galangan bahtera tersebut oleh sebab itu pulau tersebut dinamakan “pulau sisembilan” yang kemudian bernama “Pulau Sembilan”. Dalam perjalanan penyerangan kembali kerajaan Tamiang dengan melalui jalan pintas sampai disebuah kuala kecil didaerah Seruway melalui Kuala Air Masin dan untuk melewatinya terpaksa dikorek lagi, daerah ini kemudian dikenal dengan nama “Sungai Kurok” (artinya sungai yang dikorek/digali) dan kampung yang terdapat diantara Sungai Tamiang dan sungai yang dikorek tersebut bernama Kampung “Muka Sungai Kurok”. Setelah sampai disungai kampung Durian kira-kira 3 kilometer lagi kekota Benua mereka melakukan penyerangan darat sampai ke Kampung Landoh yang merupakan pintu gerbang kota Benua, sewaktu patih Gajah Mada Melewati sebuah bukit dekat Rantau menyeberangi sungai terjatuhlah Pembuluh madat (Pipa rokok) yang terbuat dari emas, didalam sebuah lubuk yang dalam ditempat itu, kemudian lubuk itu bernama “Lubuk bukit batu culing”, Culing = pembuluh (pipa) dan madat = candu, dan sekarang namanya bukit suling. Panglima Lela Kaum yang berjaga disitu melapor kapada Raja Muda Sedia yang sedang bermain catur dengan ratu Po Tuan Suri Meuru Meligai dan disaksikan oleh anaknya Puteri Meuga Gema (Putri 17 - I b i d. halaman 227. dan seterusnya.


23 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 23 Bungsu Lindung Bulan), berita tersebut tidak mendapat tanggapan dari raja Muda Sedia karena dianggap sebagai suatu hal yang mustahil tentara Mojopahit dapat memasuki benteng kerajaan, maka panglima diperintah, kembali kemarkas, namun sebelum tiba dimarkas Panglima Lela sudah berhadapan langsung dengan tentara mojopahit yang telah memasuki komplek istana dengan memanjat tembok pakai sige (tangga), Wilayah kota Benua yang meliputi bekas benteng Kota Benua saat itu terdapat di Benua Raja berkelok ke Landoh memanjang ke Air Tenang mengalir sampai ke desa Banai (bekas tapak mesjid kota Benua) dan bersatu kembali ke Air Tenang dekat tepian water Lading Benua Raja yang panjang garis tengahnya ± 5 km. Konon ceritanya kerajaan Muda Sedia memiliki wilayah teritorial ke Timur termasuk Securai Kebarat sampai ke sungai Raja Tua dan ke Barat Daya sampai ke Lokop yang disebut dengan daerah Pagar Alam. Ketika pasukan Mojopahit memasuki tembok Istana, maka terjadilah peperangan yang dahsyat, Panglima Lela beserta prajurit lainnya tewas, dan tentera Mojopahit terus mendesak masuk keistana, melihat kejadian serangan tiba-tiba itu, Raja muda sedia beserta ratu dan anaknya Puteri Bungsu Lindung Bulan menjadi panik, dalam situasi yang sangat terjepit itu, lalu diambilnya anak catur yang terbuat dari emas dan papan catur yang terbuat dari suasa serta uang emas dilemparkan kehalaman istana, sementara puteri meuga gema (Lindung Bulan) naik keatas bersembunyi dibalik gong yang besar tanpa sepengetahuan raja, kemudian ketika tentera mojopahit sibuk berebut mengutip emas tersebut, Raja beserta Ratu memanfaatkan waktu luang ini lalu lari beserta beberapa orang pengawal melewati pintu belakang dan tiba di Kota Lintang, ratu sempat bertanya kepada pengawal tentang puteri Meuga Gema (Lindung Bulan) namun tak ada yang mengetahuinya, kemudian rombongan terus berangkat kehulu Sungai Simpang


24 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 24 Kanan yang kemudian tiba disebuah desa pada pagi-pagi lalu Raja berkumur-kumur pagi dan mencuci mukanya yang dikemudian hari daerah tersebut diberi nama “Kampong Sekumur” karena tempat Raja berkumur pagi. Selesai bersantap sarapan pagi dikampong sekumor raja melanjutkan perjalanannya terus kehulu sungai, tiba disebuah pantai yang mempunyai lubuk sangat dalam raja berlabuh, dan memerintahkan Datok Cendana (ahli nujum) yang ikut bersamanya untuk melihat “ketike” (Nujum), guna mengetahui keadaan putri Meuga Gema dimana beradanya dan keadaan istana dalam penyerangan tentera mojopahit, yang kemudian hari daerah tersebut diberi nama “Lubuk Tika” yang artinya lubuk tempat melihat ketike (disebut juga Lubuk Pika). Selanjutnya raja melanjutkan perjalanannya sampailah disuatu teluk diwaktu tengah malam sehingga raja terpaksa berlabuh untuk bermalam ditempat tersebut, dan tertidur nyenyak sehingga terbangun kesiangan yang dikemudian hari tempat tersebut bernama “Lubuk Siang” demikianlah seterusnya berdasarkan sejarah bahwa nama-nama suatu tempat diambil dari kejadian-kejadian yang dialami oleh rajaraja zaman dahulu. Kemudian raja melanjutkan perjalanannya dan tiba disuatu kampung yang kelihatannya seperti tidak ada penghuni. Sudah menjadi kebiasaan bagi orang Tamiang bila berpergian melewati sungai sebagai isyarat untuk memanggil orang dilakukan dengan memukul sesuatu benda agar bersuara dan didengar oleh orang yang berada disekitar itu, demikian pula pada kejadian ini raja memerintahkan kepada sipendayung untuk memukulkan dayungnya pada pinggir sampan agar bila ada penghuni kampung terse-but mereka akan mendengarnya. Setelah pinggir sampan tersebut diketok, keluarlah orangorang kampung melihatnya dan mereka berkumpul diping-gir sungai mendengarkan cerita raja dan ratu tentang


25 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 25 penyerangan tentera mojopahit di kota Benua yang telah membakar habis kota benua tersebut dan menawan puteri Meuga Gema. Dalam pengarahannya raja mengingatkan agar melakukan perlawanan bila sewaktu-waktu tentera Mojopahit datang kehulu. Atas perlakuan raja tersebut Kampung ini dikemudian hari diberi nama “Kampung Segeredok” karena bunyi dayung yang dipukulkan pada sampan. Raja terus melakukan perjalanan dengan melewati kampungkampung dan setiap kampung yang dilewati diceritakanlah tentang penyerangan Mojopahit di kota Benua dan supaya waspada terhadap kemungkinan penyerangan sampai kedaerah-daerah tersebut. Raja Mudasedia beserta rombongan melanjutkan perjalanannya yang kemudian sampai disuatu kampung yang ramai penduduknya. Raja beserta rombongan disambut dengan sangat hormatnya serta dielu-elu oleh tokoh-tokoh kampung tersebut. Berita yang sama juga diceritakan kepada penduduk kampung itu ten-tang penyerangan kota Benua. Setelah raja berserta rombongan mening-galkan Kampung itu, semua penduduk melakukan musyawarah untuk mengantisipasi kemungkinan penyerangan Mojopahit sampai kesitu, Hasil musyawarah penduduk sepakat untuk membuang seluruh karung padi (goni yang berisi padi) kedalam sungai, dikemudian hari kampung tersebut diberi namanya “Lubuk Mandah” karena teluk tersebut ditimbuni dengan karung-karung yang berisi padi sehingga menjadi dangkal dan tidak dapat dilewati oleh bahtera mojopahit yang hendak mengejar raja Mudasedia. Kemudian Raja beserta rombongan tiba di daerah Tanggal Subang, nama ini didapat setelah subang (Kerabu) ratu terjatuh kedalam sungai sewaktu menaiki rakit hendak mandi. Akhirnya raja tiba disungai Tampur yang kemudian naik kegunung yaitu gunung Segama (yang kaki gunungnya bersatu sampai ke Tenggulon) untuk berkhalwat (Bertapa)


26 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 26 guna mencari ridho Allah SWT dengan mak-sud agar kelak dapat melawan musuh kembali. Dalam pertapaan tersebut seluruh rakyat bergotong royong dengan penuh kesetiaannya terhadap Raja membendung sungai Tampur untuk menjaga raja dan keluarga dari kemungkinan serangan musuh, sedangkan ratu tidak ikut berkhalwat karena sedang mengandung (hamil). Sampai sekarang ceritanya bila ingin melewati sungai Tampur harus menyusup melalui sebuah goa (lobang) gunung Tampur disebut juga Gunung Segama yang menghubungkan sungai sebelah hilir dengan sungai sebelah hulu, Goa yang menembusi gunung yang melintangi sungai itu dinamakan “Lehong” artinya Goa yang dibuat sebagai pintu penjagaan terhadap musuh yang akan masuk. Ketika raja Muda sedia bertapa (berkhalwat) di gunung Tampur dikisahkan hilang raib entah kemana. ± 12 tahun yang lalu (awal tahun 1990 an) sebelum buku ini ditulis ada sebuat team menyelidiki letak kuburan Raja Muda sedia, ditemui petunjuk terdapat didaerah Landuh desa Rantau Pauh (disamping Komplek Pertamina Rantau Kualasimpang), Penyelidikan ini dilakukan dengan bantuan paranormal dengan cara meditasi, setelah beberapa orang para normal yang mengusahakannya gagal, satu diantaranya (M. Arifin dari Medan) dapat memberi petunjuk yaitu dengan tanda-tanda bahwa di desa landuh ada sebuah sumur tua, kira-kira 45 meter dari sumur tersebut terdapat batu hitam. Persyaratannya setelah diberi petun-juk yaitu upaya ini bukanlah untuk mencari harta karun melainkan benar-benar untuk membuktikan sejarah, kemudian setelah benda ini didapat harus dibersihkan dan dibungkus dengan kain kuning kemudian dibawa pulang kerumah baru boleh dibuka untuk mengetahui isinya, namun setelah tanda-tanda tersebut ditemui yaitu ada sebuah peti yang terangkat, ketika akan sampai kepermukaan tanah tibatiba hilang kembali disebabkan diantara anggota team


27 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 27 penyelidik ada yang menyalahi prosedur dari pada pencarian tersebut, yaitu ingin memaksa agar benda tersebut harus dibuka ditempat maka akhirnya gagal, akan tetapi yang ditemui tersebut apakah kuburan atau hanya sekedar benda sejarah belum dapat dipastikan, dan sampai saat ini karena situasi keamanan yang tidak kondusif belum ada upaya untuk melanjutkan penelitian itu kembali. Sementara itu disaat Raja Mudasedia Berkhalwat digunung Tampur (Gunung Segama) dan dinyatakan telah raib, permaisyuri yang dalam keadaan Hamil tua tidak ikut sebagian berpendapat kembali dan meninggal didaerah Sungai Simpang Kiri (dekat Desa Semadam), cerita yang lain mengatakan permaisuri kembali ke Kreuto Pasai Aceh. Pada tanggal 11 Maret 2002 Didesa Batu Bedulang Kecamatan Tamiang Hulu ditemui sebuah sampan yang panjangnya 15 meter, lebarnya 1 meter dan tebalnya 3 inchi, diduga sebagai sampan peninggalan Raja muda Sedia, namun sampai buku ini di tulis belum ada penelitian dari team archeologi (Peneliti benda-benda purba kala) untuk menyatakan tentang kebenaran dugaan tersebut. Cerita ini bermula ketika tiga orang warga desa Batu Bedulang yaitu Abdul Wahab, Oje Gempar dan Sulaiman mencari ikan dengan cara menyelam kedasar Sungai Tamiang dibagian hulu itu, mereka menemui sebuah sampan yang panjang didasar sungai tersebut bentuknya seperti ikan duyung. Hal ini diceritakan kepada warga dan Kepala desanya Mat Jais. Atas mufakat segenap warga mereka mengangkat sampan tersebut kedarat, namun upaya pertama yang dilakukan pada hari jumat tanggal 15 maret 2002 mengalami kegagalan, karena secara tiba-tiba datang angin kencang yang membuat warga menjadi ketakutan. Upaya kedua untuk mengangkat sampan tersebut dilakukan kembali setelah selang waktu seminggu kemudian yaitu hari jumat tanggal 22 Maret 2002, namun hal ini juga


28 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 28 mengalami kegagalan, karena pada saat cuaca panas terik tiba-tiba turun hujan lebat, warga kembali diliputi ketakutan dan upaya pengangkatanpun dihentikan. Kegagalan yang kedua ini membuat masyarakat semakin penasaran tentang keberadaan sampan tersebut sehinga mereka mencari alternatif lain sebagai upaya yang ketiga yaitu dengan melakukan do’a bersama dan ditempuh melalui jalan halus dengan memakai seorang para normal yaitu Banta Kaseh, setelah dilakukan berbagai meditasi didapati petunjuk bahwa sampan ini harus digunakan untuk kepentingan umum (masayarakat banyak ), bila syarat ini dipatuhi maka sampan akan dapat diangkat. Setelah selesai shalat Juma’at pada tanggal 22 Maret 2002 itu warga dengan jumlah 15 orang menyelam dan mengikatkan tali disampan tersebut untuk ditarik dengan boat (perahu bermotor), menjelang azan maghrib sampan tersebut dapat diangkat dan dibawa kemesjid desa itu lalu diletakkan disamping mesjid. (sumber Surat Kabar harian Waspada, 5 April 2002). Bila dikaitkan dengan terputusnya sejarah tentang Raja Mudasedia digunung Tampur kemungkinan itu ada bahwa sampan itu merupakan sampan peninggalan Raja Mudasedia, namun bila dikaitkan dengan rentang waktu yang ± 650 tahun lamanya, sangat sulit untuk dipercaya karena sampan tersebut masih utuh. Dilain kemungkinan bahwa pada bulan November 1893 Raja Silang dan Tengku Ben Raja (ayah Raja Silang) serta rombongan juga pergi mengungsi kehulu akibat serangan tentera Belanda yang menyerang Tamiang, beliau mengungsi untuk mencari bantuan dan bersatu dengan pejuang-pejuang Gayo guna menyerang kembali Belanda yang telah menaklukkan Tamiang, rentang waktu yang kedua ini mencapai ± 109 tahun lamanya. Mana diantara dua kemungkinan ini yang benar, Allahuwalam bissawab, namun


29 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 29 kita tunggu pakar sejarah Purbakala (Archeologi) yang akan meneliti kebenarannya. Ketika penyerangan tentera Mojopahit terjadi dikota Benua dimana Raja dan Ratu Putri Potuan Suri Meuru Meligai beserta pengawal lainnya pergi menyingkir kehulu dan Puteri Meuga Gema (Putri Bungsu Lindung Bulan) naik keatas puncak istana dengan dayang-dayang lalu bersembunyi didalam gong besar kerajaan. Setelah istana kosong tentera Mojopahit menerobos dinding istana dan masuk kedalam memeriksa seluruh isi istana maka didaptilah puteri Meuga Gema tersebut yang kemudian disandera dan dibawa bersama-sama dengan Patih Gajah Mada, setelah seluruh isi istana dan rumah-rumah disekitar istana digeledah maka kota Benua tersebut dibakar sehingga seluruh kota benua menjadi abu. sementara penduduk kota Benua yang lainnya mengungsi ke Pante Tinjo (di Sungai Simpang Kanan) dan ke Tanah Indra (Kaloi) daerah Sungai Simpang kiri, kota benua tidak lagi ada penghuninya sehingga menjadi hutan belantara kembali. Pada tahun 1352, ketika Raja Muda Sedia yang merupakan Raja Islam Tamiang yang pertama hilang ghaib (dianggap mangkat), sehingga pucuk pimpinan kerajaan menjadi kosong, kekosongan tersebut oleh “Raja Muda Sedinu” (anak dari Raja Po Temo Juga dan merupakan adik Raja Muda Sedia) yang telah menyusun pemerintahan di Batu Bedulang bersama dengan Tuanku Ampon Tuan (Perdana Menteri Kerajaan yang juga sebagai tunangan dari Putri Bungsu Lindung Bulan) mengambil alih jabatan sebagai Raja islam Tamiang ke II (Raja yang baru), berpusat di Kuala Simpang Jernih, Mangku Raja Sedinu menyusun kembali sisasisa tentara yang dapat menyelamatkan diri dari serangan kota Benua tersebut lalu melakukan pengejaran dan serangan terhadap tentera Mojopahit yang masih tinggal didarat.


30 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 30 Setelah lenyap seluruh kota Benua terbakar Patih Gajah mada beserta rombongan dan para tawanan, juga turut serta bersamanya Putri Mega Geuma yang disandera pergi berlayar meninggalkan kota benua tersebut, setelah perjalanan beberapa jam pada malam harinya kapal yang ditumpangi Patih mengalami kebocoran dan harus diperbaiki terlebih dahulu, maka merekapun berkemahlah ditempat tersebut. Penyanderaan puteri Meuga Gema kemudian diketahui oleh Tuanku Ampon Tuan yang pada saat itu berada di Batu Bedulang, Tuanku Ampon Tuan merupakan tunangan dari tuanku puteri Meuga Gema. Tuanku Ampon yang telah menyusun pemerintahan dan kekuatan bersama dengan Mangku Bumi Raja Sidinu di Batu bedulang tersebut membawa pasukannya untuk melakukan perlawanan terhadap Patih Gajah Mada guna membebaskan Puteri Meuga Gema bersama tawanan lainnya, ternyata usaha tersebut berhasil, ketika pasukan Ampon Tuan tiba ditempat perkemahan Gajah Mada dengan kekuatan batinnya sehingga membuat semua rombongan Patih Gajah Mada tertidur pulas, Tuanku Ampon Tuan berhasil membawa lari Puteri Meuga Gema. Dikemudian hari tempat perkemahan Raja Mojopahit tersebut diberi nama “Bukit Selamat” artinya karena puteri Meuga Gema (Puteri Lindung Bulan) dapat di selamatkan ditempat tersebut. Bukit ini terdapat disebelah hilir Rantau Pertamina sekarang jalan kearah Seruway. Dengan perasaan Kecewa rombongan Mojopahit berlayar terus menuju kehilir melewati Sungai Kuruk, dan terus melewati benteng Arun berbaju yang ternyata masih dijaga dengan Laksama Kantommana beserta tentera-tentera Tamiang yang masih tersisa, Laksamana Kantommana beserta pasukannya segera melakukan perlawanan terhadap tentara MojoPahit tersebut, pasukan Mojo pahit terus lari mundur, hal ini menurut sangkaan Laksamana Kantommana


31 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 31 bahwa mereka akan pulang ke Jawa, ternyata tentara Mojopahit sebagian masih bersembunyi didaratan untuk mencari Tuanku Ampon Tuan yang membawa lari putri Meuga Gema, yang dalam perkiraan mereka masih bersembunyi disekitar tempat itu. Tempat peperangan tersebut yang kemudian diberinama “SERANG JAYA”. Selang beberapa lama kemudian setelah peperangan selesai, datanglah bala tentara dari kerajaan Samudera dimasa pemerintahan Sulthan Ahmad Malikuzzahir yang telah menjadi saudara Raja Muda Sedia ini berencana hendak membantu kerajaan Tamiang pimpinan Raja Muda sedia, setiba dikuala Besar terkejutlah rombongan Samudera men-dengar bahwa kota Benua telah musnah jadi abu dan Raja Mudasedia telah menyelamatkan diri mengungsi kehulu sungai. Sebagian tentera Mojopahit mundur kelaut luas dan sebagian lagi masih bermarkas di Teluk Haru. Lalu tentera samudera membuat markas di Pulau Kampai untuk bergabung dengan tentera Tamiang yang masih tersisa. Pemerintahan Mojopajit di Teluk Harupun mendapat kendala yang sama seperti ketika memerintah di Peureulak dan Langsa, Adat Jawa yang tidak dapat diterima oleh masyarakat Haru membuat mereka lari mengungsi untuk menjauh dari tentera Mojopahit, sehingga Teluk haru menjadi sunyi. Pasukan Mojopahit mendatangkan bantuan tentera dari Jawa untuk melawan tentara Tamiang yang kekuatannya telah bertambah dengan bantuan kerajaan Samudera, mereka menggunakan pakaian berbaju besi, ketika sampai disebuah perkampungan mereka berhenti dipangkalan untuk mencari informasi dimana markas Mojopahit berada, tempat pemberhentian tersebut kemudian diberi nama “Pangkalan Susor” artinya pangkalan tempat tentera Mojopahit menyusul dan kemudian berubah menjadi nama “Pangkalan Susu”. Tentera


32 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 32 Mojopahit yang berbaju besi ini kemudian membuat markas disuatu tempat didaratan untuk bergabung dengan tentera yang telah ada disana. Tempat tersebut diberi nama “Besitang” artinya tentera besi datang. Setelah Tentera Samudera bergabung dengan tentera Tamiang maka dilakukanlah penyerangan terhadap tentera Mojo pahit, peperangan ini terjadi sangat seru dan dahsyat, banyak korban yang gugur diantara kedua belah pihak, karena banyaknya tentera yang bergu-guran sehingga tak sanggup untuk dikuburkan lagi, maka mayat-mayat tersebut ditumpuk layaknya menyusun kayu, sehingga tempat itu dinama-kan “Kampung Tambun Tulang”. Konon dalam pertempuran ini patih Gajah Mada tewas, dimana badannya dibawa kembali ke Jawa sementara kepalanya tinggal sebagai bukti bagi rakyat Tamiang yang telah dapat menaklukannya. Dalam kisah yang lain dinyatakan bahwa Gajah mada menderita sakit;.........Setelah beberapa lama menderita sakit, maka dalam tahun sengkala rasa tanwinasya(1286 Syaka=1364 M) beliau hilang......18. namun hal ini diyakini oleh masyarakat Tamiang bahwa jasadnyalah yang dibawa kembali ke Mojopahit dan hilang raib berdasarkan kepercayaan Jawa. Melihat situasi yang tidak meguntungkan dimana kekuatan Tentera Tamiang semakin besar karena telah bergabung dengan tentera Samudera dan dibantu pula oleh orang-orang Haru, maka Pasukan Mojo Pahit yang tersisa mengambil sikap untuk mundur dan kembali pulang ke Jawa dengan membawa Tawanan orang-orang Tamiang. Berdasarkan bukti sejarah, bahwa sebagian orangorang di Jawa terutama wanitanya bila memakai Subang Tanduk yang ditatahkan dengan perak, emas dan intan, dimana benda seperti ini hanya dipakai oleh orang Tamiang, sehingga orang beranggapan bahwa yang memakai benda18 Muhammad Yamin, “Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara” 1986, halaman 75.


33 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 33 benda tersebut di Jawa adalah merupakan orang-orang Tamiang yang di Tawan oleh Patih Gajah Mada sehingga disebut dengan istilah “Jawe Tamiang”. Raja Muda sedia yang telah raib digunung Tampur (senggama) meninggalkan seorang putera yaitu Raja Po Mala Jadi, namun tidak menjadi raja dan tinggal di Keureutoe Samudera, kemudian memiliki anak yang juga tidak menjadi raja yaitu Po Alam. Anak Po Alam adalah Po Midin Zainal Abidin (tidak menjadi Raja), kemudian mempunyai anak bernama Po Menan di Aceh Besar juga tidak menjadi Raja dan memiliki anak bernama Raja Muda Po Gempa Alamsyah yang kemudian menjadi Raja Temiang Hulu. Pemerintahan Raja Muda Sedinu hanya bertahan dari tahun 1352-1369 M, setelah beberapa tahun Patih Gajah Mada tewas. berikutnya di gantikan oleh puteranya yang merupakan keturunan keluarga Raja Pucok Suloh, keturunan ini kemudian disebut orang Tamiang Suku Raja-raja Karang Tua. Raja tersebut adalah “Raja Po Malat” menjadi Raja Islam Temiang ke Tiga, yang memerintah tahun 1369–1412 M. Pada pemerintah an Raja Po Malat pusat pemerintahan Kerajaan Tamiang ini ibukotanya bernama Bukit Karang dimana tempat Raja malat tersebut dimakamkan yaitu Bukit Karang Putus. Selain Raja Po Malat Raja Muda Sedinu juga memiliki seorang Puteri yaitu Puteri Bahiah yang kawin dengan Sulthan Samudera Pasai ke Enam (Sulthan Muhammad Sayid Malikuzzahir, yang tewas dibunuh Panglima Nagor Rabbat Abdul Kadir memerintah tahun 1403-1405 M / 804-806 H) kemudian digantikan oleh isterinya “Sulthanah Bahiah” merupakan Raja Wanita Islam yang menjadi Sultan Samudera Pasai ke Tujuh (806–8012 H/1405–1411 M). Setelah Raja Po Malat mangkat berikutnya kerajaan Tamiang diperintah oleh anak Raja Malat yaitu “Raja Kelabu Tunggal” yang menjadi Raja Islam Temiang ke empat (tahun 1412-1454 M), Raja ini


Click to View FlipBook Version