The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Mengenal adat dan budaya Melayu Tamiang

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by wdmuntasirwd, 2023-06-15 23:00:39

TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH

Mengenal adat dan budaya Melayu Tamiang

Keywords: sejarah

84 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 84 Daerah, ini dapat dijadikan indikasi bahwa animo masyarakat Tamiang untuk suatu pendidik an sudah tinggi. Dalam bidang politik, dimana Kota kualasimpang yang merupakan ibukota Kewedanaan Tamiang waktu itu adalah sebagai kota perdagangan yang memungkinkan banyak pendatang yang keluar masuk dan menetap, hal ini telah menjadikan daerah tersebut memiliki kemajemukan etnis, akibatnya banyaklah berbagai macam faham yang tumbuh di daerah ini yang menjadikan berdirinya berbagai macam partai politik dan organisasi massa seperti : Masyumi, PNI, PKI, N.U., PSII, Muhammadiyah, GPII, Front Pemuda Aceh, Jamiyatul Washliyah dan lain-lain yang masing-masing berlomba untuk mencari pengaruh. Hal ini juga dapat dijadikan indikasi bahwa sejak awalnyapun kesadaran masyarakat Tamiang tentang pembangunan politik sudah maju dan ini pula yang membuat berbagai majalah dan surat kabar laku terjual didaerah Tamiang ini. Dari hasil peninjauan Panitia tentang data-data penunjang dari usulan IKMAT untuk memekarkan Kecamatan yang terdiri dari 3 Kecama-tan menjadi 7 Kecamatan, Panitia telah mengambil suatu kesimpulan bahwa Segala data dan alasan yang dikemukakna oleh IKMAT dalam usulannya adalah benar, sesuai dan tuntutan itu adalah wajar, hanya tuntutan tersebut dinilai lebih maju, karena pada masa penjajahan Belanda Tamiang terdiri dari 5 Kecamatan yang kemudian dihapuskan 1 yaitu Kecamatan Bendahara dan dimasa kemerdekaan dihilangkan satu lagi yaitu Kecamatan Sungai Iyu yang kemudian kedua Kecamatan ini diga-bung menjadi satu dengan Kecamatan Seruway dengan nama Kecamatan Seruway Gabungan. Ketika itu 5 Kecamatan dianggap tidak berfaedah dan anggaran Negara pada saat itu tidak sanggup untuk membiayainya.


85 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 85 Berdasarkan pertimbangan historis dan pertimbanganpertimbangan diatas maka Panitia menganggap bahwa tuntutan IKMAT dapat dipenuhi hanya 5 Kecamatan sesuai dengan jumlah yang pernah ada yaitu : 1. Kecamatan Kejuruan Muda dengan ibu negerinya di Benua Raja. 2. Kecamatan Karang Baru Ibu Negerinya di Karang. 3. Kecamatan Seruway Ibu Negerinya Simpang tiga Punti. 4. Kecamatan Sungai Iyu Ibu Negerinya Sungai Iyu. 5. Kecamatan Bendahara Ibu Negerinya Tanjung Mulia. Dalam peninjauannya Panitia istimewa yang dibentuk oleh DPRD Aceh ini menolak pembentukan Kecamatan Tamiang Hulu (Kaluy) dan Kecamatan Kota Kualasimpang. C. Peninjauan Pemerintah Daerah Aceh Timur. Hasil tinjauan Team DPRD Aceh ke Tamiang dibawa kesidang pleno DPRD Daerah Swatentara tingakat I (Daswati I) Aceh, namun belum ada tanda-tanda dari realisasinya, melihat kenyataan ini IKMAT terus berusaha meyakinkan Pemerintah Daerah Aceh Timur (ketika itu Bupati T. Djohan-sjah) dan kemudian Pemerintah Aceh Timur mengeluarkan Surat Keputus-an untuk pembentukan panitia Peninjauan Status Kecamatan Daerah Tingkat II Aceh Timur dengan NomoR 92/1961/Ketj. tanggal 12 Agustus 1961 yang diketuai oleh Patih T.M. Daoed, Anggota yang merangkap wakil Ketua Abd. Rasjid (anggota BPH dan pernah menjabat Asisten Wedana Karang Baru setingkat Camat). Hasil peninjauan panitia ini disampaikan kepada Pemerintah Aceh Timur (bagian Pemerintahan umum) pada tang-gal 25 Oktober1961. Panitia mengambil suatu keputusan bahwa diantara Kecamatan yang akan dimekarkan, khusus untuk Tamiang dari 3 Kecama-tan ditambah menjadi 6 Kecamatan yaitu:


86 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 86 1. Kecamatan Karang Baru dengan penduduk ...10.678 jiwa. 2. Kecamatan Benua/Kejuruan Muda dengan penduduk ....18.374 jiwa. 3. Kecamatan Kaluy Tamiang Hulu dengan penduduk ......9.435 jiwa. 4. Kecamatan Kota Kualasimpang dengan penduduk. ......9.449 jiwa. 5. Kecamatan Seruway dengan penduduk.... ........6.790 jiwa. 6. Kecamatan Bendahara dengan penduduk .........8.651 jiwa. ------------------------------------------------------- Jumlah.............................................63.377 jiwa. Dimasukannya Kecamatan Kota Kualasimpang dan Kaluy Tamiang hulu selain jumlah penduduk, luas wilayah dan hasil daerahnya, juga didasarkan atas pertimbangan historisnya. Kota Kualasimpang yang merupakan ibu negeri Kewedanaan Tamiang dan juga merupakan pusat perdagangan selain itu Kecamatan Kaluy Tamiang Hulu Usianya telah tua dan terpelihara oleh rakyat-rakyatnya.Daerah Kaluy yang terletak dipedalaman Tamiang ± 32 Km dari Kualasimpang dan berdasarkan cacah jiwa tahun 1966 jumlah penduduk 16.857 jiwa termasuk Buruh perkebunan PNP I Kebun Pulau Tiga (sekarang PTP I), mengalami perkembangan yang men colok bila dibandingkan pada tahun 1961 yang jumlah penduduknya hanya 9.435 jiwa. Kaluy yang memiliki penduduk asli suku perkauman Gayo yang berasal dari Keturunan Raja Singeda dari Lingga Aceh tengah datang dan berkembang sejak abad ke XVII dibawa oleh raja Talep. Pertimbangan yang diambil oleh panitia peninjau status Kecamatan tingkat II Aceh Timur didukung sepenuhnya oleh IKMAT, yang kemudian pengu-rus besar IKMAT membuat suatu pernyataan dengan Nomor 63/Pol/V/ IKMAT/61 tanggal 25 Nopember 1961 yang isinya mendukung keputusan usul


87 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 87 Panitia Peninjau Tingkat II tersebut dan surat pernyataan ini disam-paikan kepada Bupati Aceh Timur. Kemudian Pemereintah Daerah Aceh Timur (bagian Pemerin tahan Umum) menyampaikan hasil keputusan Panitia kepada Gubernur Aceh untuk ditindak lanjuti. Melihat kenyataan ini IKMAT membentuk Panitia penampungan realisasi Kecamatan di Sungai Iyu dan Bendahara yang dipimpin oleh O.K. DJamaluddin (Kepala Mukim Bendahara Hilir), Tamiang Hulu dan Kota Kualasimpang. O.K. Djamaluddin sebagai pimpinan Panitia Kecamatan membawa delegasi menghadap Gubernur yang kemudian pada tahun 1964 direalisasilah Kecamatan Bendahara dengan ketetapan Gubernur Aceh (T. Nyak Adam Kamil). Karena Kecamatan Kota Kualasimpang dan Kecamatan Kaluy Tamiang Hulu belum mendapat persetujuan maka pada tanggal 29 Juli 1966 berangkatlah Delegasi PB IKMAT dengan mandat Pengurus Besar No: 2/Ist/7/66 tanggal 26 Juli 1966 dengan membawa surat pengantar dari Bupati Aceh Timur No 3805/I/1966 tanggal 26-7-1966 dipimpin oleh O.K. Mahmoenarrasjid dan anggotanya T.M. Amin dan Bakar Hasibuan (guru SD Negeri) menghadap Gubernur Aceh (Brigjen Nyak Adam Kamil), membicarakan pemekaran Kecamatan Kaluy (Tamiang Hulu) dan Kota Kualasimpang, setelah mempelajari berbagai dasar fikiran dari delegasi Gubernur Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada Bupati Aceh Timur No. 7825/I tanggal 3 Agustus 1966 yang isinya menyetujui Pembentukan Kecamatan Administratif Kota Kualasimpang dan Kecamatan Tamiang Hulu (Kaluy). T.Bin Uroy (sejak tahun 1971 menjabat Kepala Mukim) yang merupakan cucu dari Raja Meda (Datu Janggut) adalah juga pelopor dalam pembentukan Kecamatan Tamiang Hulu (Kaluy), dimana Daerah ini terkenal


88 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 88 sangat luas yang memi- liki hutan lebat dengan berbagai macam jenis kayu merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan daerah dan ada juga damar rotan didalamnya serta perkebunan karet baik milik negara maupun swasta seluas ± 2500 Ha, karet rakyat ± 1.200 Ha, kopi dan lain-lain. Disamping itu terdapat juga terdapat 3 buah kilang papan, 2 pabrik pengolahan getah karet (Sheet dan RBC). Kualasimpang juga didukung oleh faktor status hukum dimana dimasa Belanda status hukum kualasimpang sebagai Vierkantepaal dalam bentuk Haminte klas III selaku daerah Gouvernement langsung atas dasar ketetapan pemerintah Belanda Byblad No 7330 dan Gouvernements besluit 5 juli 1911 No. 11/PZ. Berkenaan dengan telah terbentuknya Kedua Kecamatan tersebut yang akan diresmikan oleh Gubernur Aceh, maka IKMAT atas persetujuan T. Djohansjah Bupati Aceh Timur membentuk panitia peresmian kedua Kecamatan tersebut. Dalam rapat pembentukan panitia yang dipimpin oleh T.M. Bahroem BA. Asistent Wedana (asistem Wedana = sekarang Camat) Kejuruan Muda bertempat dirumahnya di Kualasimpang dengan susunan Panitia Peresmian Kecamatan sebagai berikut : O.K. Amir HUsin .............................................. Ketua Umum. O.K. Mahmoenarrasjid..................................... Ketua I. T.R. Achmad.....................................................Ketua II. dan anggota-angota seksi lainnya. Pada hari jumat tanggal 9 September 1966 maka diresmikanlah Kecamatan Tamiang Hulu Oleh Gubernur Aceh Brigjen Nyak Adam Kamil dengan Upacara adat yang meriah, kemudian hari berikutnya Sabtu tang-gal 10 September 1966 dengan upacara yang sama di Kualasimpang Gubernur meresmikan status Kecamatan Kualasimpang. Berselang bebe-rapa hari kemudian Bupati Aceh Timur T. Djohansjah


89 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 89 melantik care taker Asisitent Wedana masing-masing T.M. Bahroem BA untuk Kecamatan Kota kualasimpang yang merangkap dengan Kecamatan Kejuruan Muda. Dan Umar Alamsjah untuk Kecamatan Tamiang Hulu. Dengan demikian resmilah Kewedanaan Tamiang menjadi 6 Kecamatan.


90 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 90


91 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 91 II. KEBUDAYAAN TAMIANG. Manusia merupakan makhluk budaya yang hidup berkelompok dalam suatu golongan manusia (suku bangsa) yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan “kesatuan kebudayaan”, dimana kesadaran dan identitas tersebut ada kalanya dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Kesatuan kebudayaan itu ditentukan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri, bukan dipaksakan oleh pihak tertentu, melainkan kesatuan kesadaran tersebutlah yang telah dapat melahirkan suatu kebudayaan. Begitu pula kebudayaan suku perkauman Tamiang merupakan suatu kesatuan, bukan karena ada orang lain atau peneliti-peneliti yang menentukan atau memaksakan sesuatu kebudayaan kepada orang-orang Tamiang, tetapi karena orang-orang Tamiang sendiri sadar bahwa diantara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka yaitu kebudayaan Tamiang. Menurut E.B. Tylor (1871) seorang Antropolog dalam Soerjono Soekanto,23 menjelaskan bahwa “Kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan rasa yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan–kemampuan dan kebiasaan– kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Manusia dalam kehidupannya untuk menguasai alam sekitar memerlukan suatu tehnologi yang merupakan hasil dari budaya serta didapat dari Karya manusia itu sendiri, yang hasil karya ini merupakan suatu kemampu an manusia dalam menciptakan berbagai benda atau yang berwujud benda, dimana kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. 23 . Soerjono Soekanto “Sosiologi Suatu Pengantar” tahun 1990 halaman 188.-dst.


92 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 92 Upaya Manusia yang telah dapat menghasilkan karya budayanya akan dinikmati melalui rasa dengan penghayatan kejiwaan yang dalam, yang merupakan perwujudan spirituil, meliputi jiwa manusia, yang dapat mewujudkan segala kaidah –kaidah dan nilai–nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas, dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial inilah akan dihasilkan suatu keindahan, yang didalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia, dimana hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat tersebut telah da-pat memberi kepuasan dalam hidupnya. Dari perilaku ini, melalui karsa akan dapat dihasilkan kaidah kepercayaan kesusilaan, kesopanan dan hukum yang dapat dijadikan sebagai proteksi terhadap berbagai kemung-kinan buruk yang timbul dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat. Sedangkan Cipta, merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orangorang yang hidup bermasyarakat dan menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan yang dapat dikembangkan dan berguna bagi kehidupan bermasyarakat lainnya. Filsafat dan ilmu pengetahuan tersebut didapati melalui tuntunan logika, dari perilaku ilmu pengetahuan inilah lahir suatu Etika yang diselaraskan terhadap kaidah – kaidah dan seterusnya akan melahirkan suatu keindahan melalui estetika. Dari wujud kebudayaan tersebut yang menjadi landasan kehidupan dan penghidupan dari manusia baik secara individu maupun dalam kelompok masyarakat diperoleh melalui kaidah spiritual dan kaidah matreriel. Tatanan kehidupan yang berlandaskan kepada kaidah-kaidah tersebutlah yang mampu membawa manusia kearah norma-norma dan perilaku-perilaku yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan syara’. Didalam setiap kehidupan manusia, baik secara individu maupun kelompok masyarakat selalu menemui


93 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 93 berbagai persoalan dan permasalahan, hal mana kadangkadang merupakan sesuatu yang baru yang belum pernah ditemui solusinya, sehingga apabila tatanan kaidah spiritual dan materiel diabaikan salah satunya maka sudah menjadi suatu keniscayaan dalam kehidupan tersebut akan selalu terjadi berbagai benturan dan konflik baik dalam individu maupun masyarakat. Kebudayaan Tamiang bukanlah merupakan suatu hasil ciptaan yang utuh dari suku perkauman Tamiang, terutama yang menyangkut hasil ekspresi jiwa yaitu senibudaya, akan tetapi banyak terjadi pembauran dengan suku-suku yang ada disekitar suku perkauman Tamiang tersebut, sehingga terjadi asimilasi terutama dengan suku bangsa Gayo, Aceh, dan Melayu Deli yang memiliki banyak kemiripan dari berbagai segi budaya, Hal ini sulit dihindarkan secara mutlak disebabkan kebudayaan ini besifat dinamis karena : - Senibudaya dapat disesuaikan. - Senibudaya merupakan integrasi. - Senibudaya selalu berubah dan berkembang. Namun demikian pengaruh ketiga proses diatas tidaklah dapat mengaburkan dan menghilangkan ciri–ciri yang khas terhadap senibudaya suku perkauman Tamiang (metamorfosa budaya). Hal ini juga mampu bertahan apabila mata rantai dari satu generasi kegenerasi berikutnya tidak terputus, artinya ada suatu pewarisan adat dan budaya meskipun penerapan dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu terasa dan bersifat insidental. Bila keadaan ini terputus maka akan terjadi interaksi sosial yang baru dari generasi berikutnya yang menghasilkan adat dan budaya baru pula yang sama sekali tidak menyentuh dan mewarisi ciri khas dari adat dan budaya warisan datu nini (orang-orang tua terdahulu).


94 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 94 Sesuatu hal yang biasa dan lazim bila antar satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lainnya memandang aneh terhadap senibudaya dan adat suatu suku bangsa tersebut, misalnya; suku bangsa Aceh akan merasa aneh bila melihat senibudaya dan peradatan suku bangsa Jawa, Padang, Batak dan lain–lain, demikian juga sebaliknya. Sikap dan nilai se-perti ini dapat terjadi karena disebabkan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lainnya tidak memahami dan menghayati senibudaya dan adat sesamanya, andaikata hal ini dapat difahami dan dihayati maka mereka akan dapat merasakan keunikan dan kenikmatan setiap senibu-daya dan peradatan antar suku bangsa sehingga akan dapat dihargai maka akan timbul sikap nilai dan perilaku seperti mereka merasakan budaya dan peradatan suku bangsanya sendiri. Perilaku seperti ini akan dapat kita rasakan bila kita mampu menerapkan prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. a. Bahasa dan Tulisan. Bahasa Tamiang seperti bahasa–bahasa lainnya di Indonesia termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia. Namun yang menjadi keunikan bagi suku perkauman Tamiang adalah selain bahasanya bahasa Tamiang, suku dan daerahnya juga bernama Tamiang, masih sulit untuk ditelusuri dan ditentukan mana diantara ketiga komponen tersebut (Suku, wilayah atau bahasa) yang lebih dahulu menyandang nama Tamiang. Dalam menggunakan bahasa didaerah Tamiang ini dikenal dengan nama bahasa “Kampong” (bahasa Tamiang) yang mempunyai tiga dialek, tetapi bagi suku perkauman Tamiang dapat dipahami walaupun dalam beberapa istilah terdapat perbedaan pengertian. Meskipun dialek bahasa Tamiang terdiri dari tiga dialek yaitu; dialek iler, dialek tengah, dan dialek hulu,


95 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 95 na-mun warganya saling memahami dan berpadu kuat sesuai dengan pesan raja Muda Sedia, “Iler boleh pecah, Ulu boleh pecah, Tamiang tetap ber-satu”. Seperti yang diterangkan diatas bahwa dialek bahasapun dipenga-ruhi oleh perbauran antara suku Gayo, Aceh dan Melayu Deli. Tulisan, Sistem huruf yang khas kepunyaan suku perkaum-anTamiang asli zaman dahulu tidak ada. Tulisantulisan Tamiang menggu-nakan huruf Arab Melayu. Huruf ini dikenal setelah datangnya agama islam di Aceh merupakan huruf–huruf yang banyak dijumpai pada batu nisan raja–raja. Sampai saat ini tulisan inilah yang digunakan dikalangan sebagian orang–orang tua. Bagi kalangan muda yang sebagian besar me-ngikuti pendidikan modern maka huruf ini hampir tidak dikenal lagi, mereka mengenal huruf–huruf yang digunakan di sekolah yaitu tulisan latin. b. Bentuk desa. Desa bagi masyarakat Tamiang disebut “Kampong”. Setiap Kam-pong terdiri dari sekelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lainnya dengan jumlah antara 50–200 buah rumah. Kampong disini meru-pakan pusat kehidupan masyarakat, yang termasuk kedalam masyarakat hukum teritorial terkecil. Bentuk desa sangat dipengaruhi oleh pola kehidupan masyarakat-nya, dimana ciri khas masyarakat suku perkauman Tamiang dalam kehi-dupannya lebih cenderung penuh dengan sikap kegotong royongan, saling tolong menolong (Nyeraye). Hal ini disebabkan karena pada awalnya dalam suatu kelompok masyarakat dihuni oleh satu kaum kerabat, oleh sebab itu rumah bagi suku perkauman Tamiang rata-rata berdekatan (tidak boleh berjauhan) dengan sanak kaum kerabat. Sikap tolong meno-long yang erat dan kuat ini tercermin dari falsafah “Kaseh Pape, Setie Mati” (kehidupan


96 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 96 yang rela berkorban dan saling bersetolongan/tolong menolong (nyeraye) sesama kerabat dengan penuh tanggung jawab dan kesetiaan yang kekal tanpa pamrih), yang juga dikuatkan oleh falsafah hidup masyarakat terdahulu yaitu “Tepukat di ikan same dipileh, tepukat di batang same dijelas” yang memberi arti terhadap kebersama-an baik dalam kesenangan maupun dalam kesusahan. Kebersamaan dan kesetiaan ini telah dibuktikan pula oleh kate tetuhe “Hilang becari, mati betanam” dimana satu sama lainnya tidak mengabaikan. Rumah suku Perkauman Tamiang didirikan diatas tanah dengan tiang kayu atau bambu yang mencapai ketinggian lantai 2–3 meter dari permukaan tanah, hal ini terjadi pada awal dibentuknya suatu perkampungan biasanya merupakan pembukaan hutan-hutan dan dipinggir sungai yang banyak dihuni oleh binatang buas, maka dibuatlah rumah yang berlantai tinggi gunanya untuk menghindar dari binatang buas dan banjir. Sama seperti suku bangsa lainnya, suku perkauman Tamiang juga sangat terikat dan menghargai adat istiadat, maka struktur bangunan didaerah Tamiang mempunyai arsitektur khusus dalam pembangunannya antara lain: 1. Rumah berbentuk rumah panggung, bertiang empat persegi banyaknya tiang rumah induk 9 atau 12 buah, bubungan panjang agak meleng-kung ditengah, bubungan dapur terpisah dan agak rendah sedikit da-ri bubungan rumah induk 2. Tinggi rumah induk sekerunjong (sepernjangkauan orang dewasa) atau bertangga 7 tengkah (7 buah anak tangga=2- 3 meter). Manju, serambi muka, dan dapur tingginya separas, tapi lebih rendah dari ru mah induk kira-kira 30 cm dari rumah induk. 3. Atap rumah dibuat dari daun Rumbia atau daun Nipah dengan daya tahan mencapai 20 tahun. Rumah diusahakan menghadap kebarat, atau kalau rumah berada


97 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 97 dipinggir sungai maka rumah harus meng-hadap kesungai karena adalah pemali (tabu) bagi warga suku Perka-uman Tamiang kalau bubungan rumahnya melintang sungai. 4. Pemberian ukiran (relief) ataupun lukisan hanya dibuat pada pemiping (penahan angin) dan papan yang membatasi tinggi antara serambi dengan rumah induk. Jenis ukiran atau lukisan hanyalah berbentuk daun kayu, bunga ataupun sejenis akar-akaran yang merambat. Jenis lainnya hanya berupa ukiran simetris yang saling sambung yang dinamakan “awan Berarak”. 5. Dibawah rumah selalu ada lesung (lesung kaki maupun lesung tangan) untuk para dara menumbuk padi dan menumbuk beras untuk dijadikan tepung, terutama sewaktu menyambut hari raya idul fitri dan idul adha. Bila dikampung sewaktu menyambut hari raya tidak menum buk beras maka akan mendapat istilah “akan mengayak abu”. 6. Kandang ternak ayam, kambing ataupun lembu diletakkan jauh di belakang rumah. Tata ruang rumah suku perkauman tamiang ditata sedemikian rupa, dimana kamar dara terletak didepan kamar ayah dan ibu, sedangkan disampaing (disebelah) kamar ayah dan ibu terletak kamar bujangan. Hal ini menunjukkan bahwa peranan orang tua didalam mengawasi anak–anaknya sangat menonjol. Dan bila orang tua tidak ada dirumah disedia-kan manju untuk tempat tamu menunggu bagi laki–laki, selang muka dan selang belakang bagi tamu wanita, Selang muka dan selang belakang serta manju tidak berdinding penuh, biasanya hanya didinding sebatas bahu bila kita sedang duduk. Ruang tamu dan ruang tidur sering dipasang lelangit, yaitu kain yang disambung–sambung dalam beberapa warna (sering dibuat dari kain–kain perca). Untuk ruang tamu biasanya dipasang kain penutup dinding yang disebut “tabing” yang dibuat juga dari kain berwarna–warni. Sedangkan untuk duduk


98 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 98 para tamu disediakan tikar Cio yang juga dianyam secara terawang dengan diberi warna warni dan dipinggir tikar juga dilapisi (dibing kai) dengan kain berwarna juga. Denah tata ruang rumah suku perkauman Tamiang. Telaga Guci tangga selang belakang (tidak berdinding Kamar Ayah sampai keatas) dan Ibu Kamar Bujang Kamar dara batang ruang (ruang tamu) selang muka serambi muka manju Kepok padi. Rumah bagi suku perkauman Tamiang biasanya didirikan berkelompok-kelompok dan berderet–deret yang dihuni oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan. Pekarangan rumah biasanya penuh dengan berbagai tanaman yang berguna untuk kebutuhan sehari-hari, se-perti tanaman kelapa, pisang jeruk dan lain sebagainya. Karena hubungan kekerabatan inilah maka masyarakat Kampong (desa) sangat giat dalam mengusahakan pembangunan kampongnya. Setiap penduduk kampong (desa) mempunyai kewajiban melaksanakan ibadah bersama–sama, membangun sarana ibadah seperti mesjid, menasah secara gotong royong.


99 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 99 Sebelum rumah dibuat Orang-orang pergi kehutan “meramu” kayu artinya memilih, menebang dan mempersiapkan semua bahan yang diper-lukan untuk perumahan yang dikehendaki. Rata-rata kebiasaannya pembu atan rumahpun dilakukan dengan nyeraye (gotong royong) dan ada juga dengan upahan. Bila membuat dengan nyeraye (gotong royong), maka makan dan minum selama bekerja membuat rumah ditanggung sipemilik rumah yang dibuat. Untuk membuat rumah dipilih tempat yang bagus dan menurut ramalan-ramalan serta perhitungan yang baik letaknya. Kemudian tempat yang telah ditetapkan itu dibersihkan, ditepung tawari dan terkadang ada yang membuat sesajian dan do’a-do’a yang lain untuk mengusir hantu tanah. Pada waktu menepung tawari (nyejok) ketika mendirikan rumah, di atas tiang tengah digantung setandan pisang dan sebiji kelapa tumbuh, sebiji buah kundur dan rinjisan tepung tawar (batang jejerun, pepulut, sedingin dan lain-lain yang diikat jadi satu). Benda ini terus tergantung sampai rumah selesai dibangun (dibuat). Makna dari gantungan pada tiang tengah itu adalah: • Setandan pisang emas artinya bahagia, cukup, dan tiada ke kurangan (emas = rezeki). • Sebiji kelapa tumbuh itu berarti pertumbuhan yang lemak = kehidupan yang sempurna. • Sebiji buah kundur itu berarti sejuk = ketentraman berdiam. • Ikatan rinjisan tepung tawar itu bermakna seruan atau do’a atas kesempurnaan kehidupan dirumah tersebut. Dipuncak setiap tiang dilapisi dengan kain perca (Lapek tiang) yang berwarna merah=berarti keberanian, kehidupan; putih = kebersihan; hitam = tenaga gaib. Keseluruhan lapek tiang tersebut berarti bahwa tiang-tiang itu sebagai penegak


100 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 100 dan pendukung rumah, telah diberkati dengan kekuatan gaib untuk kehidupan dan kebersihan penghuni tersebut.24 Kebanyakan Suku perkauman Tamiang biasanya rumah hanya di jadikan tempat untuk makan dan tidur saja, sedangkan kesenangan sepan jang hari dicari diluar rumah apakah diladang, dihutan atau gunung dan dilaut atau sungai, sehingga tugas mendidik anak lebih terpundak pada ibu dirumah akibatnya antara ayah dan anak selalu terjadi jurang pemisah yang membuat ayah bersifat otokratis dalam menghadapi perkembangan anaknya. Pada Tingkat Modern yang sudah berpengetahuan pergeseran peradaban sudah terasa, perubahan rumah yang disesuaikan dengan keadan zaman sekarang, sehingga rumah benar-benar dirasakan dan ditata untuk istirahat sehingga mendidik anakpun menjadi tanggungan kedua orang tua, pergeseran ini terjadi pada kalangan masyarakat Tami-ang yang telah memiliki mata pencaharian sebagai Pegawai Negeri, pengusaha, pedagang dan wiraswasta, sementara yang masih bertahan dengan kehidupan lama tetap menerapkan pola hidup lama. c. Mata pencaharian hidup. Suku perkauman Tamiang umumnya hidup dari hasil sawah me-reka, (dalam bahasa Tamiang sawah = belang atau hume). Sawah ini di bentuk berpetak–petak yang dipisahi dengan “batas” (pematang). Pengairan disawah sangat tergantung pada turunnya hujan, sehingga tanaman padi hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun. Sawah dibajak de-ngan memakai sapi atau kerbau memakan waktu sampai satu bulan (se-karang telah banyak menggunakan peralatan modern dengan tractor atau jacktor dan telah ada pengairan (irigasi), serta dengan berbagai komoditas padi yang 24 T.M. Lah Husni,”Butir-butir Adat BudayaMelayu” 1968. halaman 80.


101 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 101 dibudidayakan sehingga penanaman dapat dilakukan lebih dari satu kali setahun). Disamping berbelang (sawah), Suku perkauman Tamiang juga menge-rjakan ladang (dalam bahasa Tamiang ladang = padang). Biasanya padang mereka agak jauh dengan desa tempat tinggal mereka. Ladang dibuka (dikerjakan) dengan sistem menebang dan membakar hutan yang letaknya ada sebagian dilereng bukit. Pekerjaan berladang ini merupakan pekerjaan sambilan yang dikerjakan dengan mencangkul tanah, kemudian baru ditanam dengan berbagai macam tanaman seperti; padi darat, cabe, jagung, dan tanaman palawija serta sayur sayuran lainnya (hortikultura). Nelayan merupakan mata pencaharian bagi suku perkauman Tamiang yang bertempat tinggal dipinggiran sungai dan di muara–muara yang menjorok kelaut. Tradisi nelayan yang sering dilakukan sangat tradisonal dengan memakai perahu dayung (sampan). Cara menangkap ikan, udang, dan kepiting dilakukan dengan beberapa cara diantaranya; “Ngejang” yaitu bubu yang dibuat dari rotan dengan bentuk melingkar yang panjangnya + 1 meter dan dengan diameter 0,5 meter, salah satu ujungnya ditutup dan ujung yang lain dibuka sebagai pintu masuk dengan cerocok atau jeruji yang berbentuk kerucut dipasang menjorok kebagian dalam berfungsi agar ikan dan binatang lain yang sudah masuk tidak akan berani keluar lagi. Bubu tersebut dikelilingi (dipagar) dengan Jang yang terbuat dari rotan juga bentuknya seperti krei. Disamping itu juga alat yang biasa dipakai adalah pancing atau kail, jaring, jala, tombak, ambe (jaring berbentuk hampir seperti kerucut yang dipa-sang dekat muara sungai atau seperti tanggok yang berdiameter 3 – 4 meter dan panjang 5 – 6 meter). Khusus untuk kepiting digunakan alat yang diberi nama “angkol” yaitu jaring yang dipasang pada tangkai yang terbuat dari bambu dengan bentuk melengkung dan bersilang empat,


102 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 102 panjang sisi 30 cm. Dipersilangan tangkai inilah digantung umpan (biasanya ikan–ikan busuk atau sejenisnya). d. Sistem kekerabatan. Bagi suku perkauman Tamiang perkawinan merupakan suatu keh-arusan yang ditetapkan oleh agama, dimana perkawinan itu merupakan suatu bentuk hidup bersama antara seorang laki–laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat dalam hukum. Oleh sebab itu setiap laki–laki dan wanita yang telah aqil baligh diwajibkan mencari dan menda-patkan jodohnya. Bagi suku perkauman Tamiang untuk mencari dan mene tapkan jodoh itu membutuhkan syarat–syarat tertentu yaitu; pertama yang mencari jodoh itu adalah orang tua, Kedua jodoh yang dipilih untuk anak mereka berdasarkan keturunan, fungsi dan status sosial dari keluarga sigadis, sebaliknya orang tua sigadis menerima lamaran tersebut sesuai pula dengan ketentuan diatas. Hal ini berlaku timbal balik antara keluarga laki–laki maupun perempuan. Perkawinan juga sebagai upaya untuk melanjutkan keturunan, oleh sebab itu pasangan dari anak mereka harus benar–benar diketahui dahulu asal usulnya sehingga keturunan yang dihasilkan juga memiliki status yang jelas dalam suatu keturunan, misalnya anak keturunan raja dengan anak yang mempunyai keturunan yang sama, yang jelas setiap anak tidak akan dikawinkan dengan anak yang tida diketahui asal usul keluarganya baik anak laki–laki maupun anak perempuan. e. Sistem Kemasyarakatan. Kesatuan teritorial dari bentuk yang terkecil sampai yang terbesar dalam suku perkauman Tamiang mempunyai urutan; Kampong (desa), Kemukiman (kumpulan beberapa desa), Kecamatan (kumpulan beberapa kemukiman) dan


103 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 103 Kewedanaan yang terdiri dari beberapa Kecamatan. Status Kewedanaan kemudian berubah status menjadi Pembantu Bupati Wilayah III. Perangkat-perangkat adat di desa yang sudah ada dalam suku perkauman Tamiang berdasarkan kedudukan dan fungsinya adalah: ➢ Urang Tuhe Kampong, sebagai penasehat gechik (kepale Kampong). ➢ Imam , yang mengurus masalah agama didesa. ➢ Ketue belang (tetuhe belang),yang mengurus masalah sistem persawahan. ➢ Pawang laot, yang mengatur masalah nelayan dan peraturan-peraturan dilaut yang berkenaan dengan penangkapan ikan dan areal/tempat penangkapan ikan serta sengketa bagi hasil. ➢ Pawang Rimbe, yang mengatur masalah ketentuanketentuan yang berlaku dalam memasuki hutan, dan peraturan membuka areal hutan. ➢ Kepale Pekan, yang mengatur ketertiban, keamanan, kebersihan dan mengutip retribusi pasar (pekan). ➢ Syahbandar, yang mengurus dan mengatur lalulintas laut dan sungai serta tambatan perahu dan sampan. Pemerintahan Kampong (desa) terdiri dari beberapa pejabat yaitu; 1. Gecik atau kepala desa, dalam suku perkauman Tamiang disebut datok Penghulu berkewajiban menjaga ketertiban, keamanan dan adat dalam kampong (desanya) dan memberikan keadilan dalam setiap menyelesaikan perselisihan dengan berpegang teguh kepada langkah– langkah yang telah menjadi suatu keyakinan yang disebut dengan 16 falsafah (pusake) Tamiang. Ke 16 falsafah terse-but adalah: -Kaseh, sayang, -tilek, pandang, -alang, tolong, -berat, bantu, -salah, tegah, -benar, papah, -


104 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 104 usut, sasat, -sidek, perikse. Dalam menyelesaikan masalah langkah pertama ialah menghadapi orang yang bermasalah harus dengan penuh kaseh, tanpa ada rasa kebencian terhadap pihak manapun yang kemudian ditumbuhkan rasa sayang terhadap kedua pihak. Tilek, adalah cara melihat yang sangat mendalam, baik terhadap persoalan yang akan diselesaikan maupun terhadap individunya, kemudian Pandang yaitu melihat latar belakang baik persoalan maupun individunya, keturunannya perilakunya dan lain-lain. Alang, (menghalangi/menyulitkan), janganlah membuat suatu persoalan tersebut menjadi sulit atau menghalangi penyelesaiannya, akan tetapi bila ada sesuatu yang memungkinkan dapat menghalangi penyelesaiannya maka harus Tolong. Berat, janganlah memberatkan persoalan atau salah satu individunya, bila persoalan tersebut dirasa berat maka harus dibantu. Salah, bila ada pihak yang memang nyata-nyata berbuat salah berilah petunjuk dan nasehat atau Tegah. Benar, bila ada pihak yang benar maka tuntun atau Papah agar tidak terseret dalam emosi yang membuat semakin ruwetnya persoalan. Jangan terlalu cepat mempercayai keterangan atau pengakuan suatu pihak untuk membuktikannya haruslah diselidiki atau Sidek. Terhadap orang yang melakukan sidek juga harus ada orang lain yang menyelidiki yaitu Sasat, guna melihat kejujuran orang yang melakukan sidek. Setelah segala tahap selesai barulah ada usul yang kemudian dilanjut kan pada suatu periksa untuk mengambil keputusan. Dengan ke 16 falsfah tersebut sebesar apapun permasalahan dikampong tetap dapat diselesaikan dengan tidak ada satu pihakpun yang merasa dirugikan. Keterikatan adat jualah yang membuat masyarakat suku Perkauman Tamiang tidak pernah merasa ketidakadilan dalam suatu penye-lesaian


105 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 105 permasalahan. Jabatan gecik biasanya dipilih yang pada waktu dulu tidak terbatas berapa lama periodesasinya. 2. Imam, pejabat ini bertindak sebagai kepala agama dalam kampong (desa). Jabatan ini dipilih dan dapat dijabat oleh setiap orang yang faham tentang agama Islam sehingga Imam sebagai centrum religius didalam kampong (desa). Segala sesuatu yang bersifat ritual (keaga-maan) diurus oleh imam. Peran Imam memang sangat terasa kental dalam kehidupan masyarakat suku perkauman Tamiang, sepertinya segala urusan baik yang menyangkut keagamaan maupun sosial misalnya kenduri, pesta perkawinan dan lain sebagainya tidak afdhal dan tidak sempurna bila tidak ikut serta Imam. Oleh sebab itu Imam benar-benar sebagai panutan dalam masyarakat dan orang yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan agama islam, sehingga keluarga Imampun menjadi cerminan terhadap sikap dan perilaku dari pada imam tersebut. Dahulu imam ini dibawahi oleh Raje Imam, yaitu orang yang memberi nasehat kepada setiap imam, dan Raje Imam ini juga yang berperan untuk melakukan pernikahan kepada setiap orang yang akan melakukan perkawinan, Setiap Kecamatan hanya ada satu Raje Imam, namun sekarang jabatan ini sudah tidak ada lagi karena sudah ada lembaga pemerintah di Kecamatan yaitu Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUAKEC) yang mengkoordinir seluruh imam yang ada dalam Kecamatan Tersebut. 3. Urang Tuhe (urang Patot-patot), diKampong (desa) biasanya ada majlis yang terdiri dari beberapa orang yang biasanya sudah tua–tua dan banyak pengalaman serta faham tentang soal adat istiadat. Mereka adalah wakil–wakil rakyat yang dipilih dan ikut serta membicarakan kepentingan Kampong (desa). Sehingga Kampong (desa) menunjukkan ciri masyarakat yang demokratis dan tampak dua unsur yang


106 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 106 bergandeng sama dan sejalan yaitu agama dan adat. Urang tuhe ini merupakan komponen dari masyarakat desa yang tidak boleh ditinggalkan dalam setiap persoalan didesa dengan kata lain setiap permasalahan, persoalan dan kegiatan yang ada didesa mereka harus dilibatkan. Kemukiman adalah gabungan dari beberapa kampong (desa), merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama. Jabatan Kepala Mukim dalam suku perkauman Tamiang biasanya dijabat secara turun temurun, maka setiap yang menjadi kepala Mukim adalah orang-orang tertentu yang memiliki status sosial, keturunan dan kemampuan yang diakui. Kepala mukim ini membawahi dari beberapa kepala desa dan merupakan tempat bermusyawarah kepala desa yang ada dalam kemukiman-nya. Untuk hal-hal tertentu terutama yang menyangkut adat dan pemba-ngunan di desa meskipun telah mendapat suatu keputusan dalam musya-warah didesa namun tetap dibicarakan kembali dengan Kepala Mukim. Wilayah Tamiang merupakan bagian dari Daerah Propinsi Aceh, maka segala struktur dan Birokrasi Pemerintahan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku di Aceh Khususnya dan Indonesia pada umumnya. Aceh oleh Pemerintah Pusat diberi hak penuh untuk mengurus daerahnya sebagai daerah Istimewa, yang kemudian Aceh dinamakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Dista) sesuai dengan keputusan Perdana Menteri R.I. No. 1/Missi/1959, yang berarti istimewa dalam hal; (1) Keagamaan, (2) Peradatan, (3) Pendidikan.25 Kemudian di era Reformasi dengan berlaku-nya sistem Otonomi Daerah sesuai dengan Undang-Undang R.I. No. 18 tahun 2001 Aceh diberi Otonomi Khusus dengan nama menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini dapat terjadi karena setiap suku 25 - TEUKU SYAMSUDDIN Dalam “Manusia dan Kebudayaan di Indonesi” oleh; Prof. DR.Koentjaraningrat, tahun 1988. halaman 242.


107 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 107 perkauman di Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai Adat istiadat, demikian pulalah keberadaan suku perkauman Tamiang yang perilaku kehidupannya berketerikatan dengan adat istiadat yang sejalan dengan nilai-nilai agama sesuai dengan falsafah yang telah diyakini yaitu; Sebadi adat dengan syara’, adat dipangku, syara’ dijunjong, resam dijalin, qanun diator, duduk setikar. Dalam kaitan falsafah ini membuktikan bahwa adat dan nilai–nilai agama tak dapat dipisahkan seperti satu adanya, dalam melaksanakan adat tetap berpegang pada ajaran agama, sehingga setiap menetapkan aturan adat tetap mengacu pada ketentuan agama yaitu agama Islam karena masyarakat suku perkauman Tamiang seluruhnya beragama Islam, kebiasaan adat dijalin dan hukum diatur da-lam suatu musyawarah. Agama Islam lebih menonjol dalam segala bentuk dan manifestasi nya didalam masyarakat yang seirama dengan perlakuan adat. Sehingga kelihatanlah agama Islam telah mempengaruhi sifat kekeluargaan, seperti perkawinan, harta waris dan kematian, apalagi sejak berlakunya syariat Islam di Aceh segala sesuatu penyelesaian tetap mengacu pada ajaran Islam. Keterikatan agama ini juga mempengaruhi dalam menentukan pendidikan, banyak masyarakat suku perkauman Tamiang memasukkan anaknya pada sekolah-sekolah agama, kalaupun mereka sekolah diseko-lah umum namun pada siang atau sore hari bahkan malam hari mereka harus dididik dalam pelajaran agama. Hal ini juga yang membuat banyak-nya pesantren dan Taman Pendidikan Alquran (TPA) didirikan didaerah ini Menyangkut pembangunan dalam era modernisasi, Wilayah Tami-ang sama nasibnya dengan Propinsi Aceh secara keseluruhan yang di perlakukan oleh pemerintah pusat yang telah menimbulkan konflik akibat kecemburuan sosial dari


108 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 108 perlakuan pemerintah pusat yang tidak adil. Demi kian juga wilayah Tamiang yang telah mendapat perlakuan sama dari Pemerintah Daerah Aceh Timur, dimana Pembangunan lebih terkonsentra si ke wilayah barat (dimulai dari Langsa Ibu kota Kabupaten kearah menuju Banda Aceh sebagai Ibu kota Propinsi). Disadari atau tidak keteri-katan primordialisme telah mempengaruhi laju pembangunan di Aceh Timur, salah satu penyebabnya karena birokrasi ditingkat Kabupaten lebih didominasi oleh orang-orang wilayah barat, sehingga Bupati Aceh Timur sejak zaman orde baru tidak pernah diduduki oleh orang wilayah Timur (Tamiang). Perubahan yang dirasakan sangat lambat ini belum mampu untuk mengangkat tingkat ekonomi dari masyarakat sehingga masyarakat seperti apatis meresponsif terhadap setiap pembangunan, apalagi yang bersifat Swakarya, karena kebanyakan masyarakat lebih dibebani untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari–hari, dan banyaknya janji–janji yang diucapkan oleh pemimpin tidak pernah dijalankan secara konsekwen. Perubahan kebudayaan dalam arti materi hampir tidak kelihatan, komunikasi dan keamanan telah terakumulasi dalam bentuk ketakutan. A. SENIBUDAYA MASYARAKAT TAMIANG. Seni budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu suku bangsa selalu mempunyai pola dan corak yang khusus, pola dan corak yang khusu ini pula yang dapat membedakan antara seni budaya suatu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Suatu kelompok masyarakat dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari dalam lingkungan kebudayaannya, mereka tidak akan pernah lagi melihat corak khas kebu-dayaannya, sebaliknya terhadap kebudayaan suku bangsa lain mereka akan merasakan corak khas tersebut


109 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 109 apalagi corak khas itu sangat berbe-da dengan corak kebudayaan yang mereka miliki. Koentjaraningrat dalam buku Antropologi menyatakan bahwa “corak khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus, atau diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau dapat juga menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya corak khas tadi juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur–unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dengan kebudayaan yang lain”.26 Seni budaya yang dimiliki oleh suku perkauman Tamiang adalah salah satu dari sekian banyak senibudaya dari suku bangsa lainnya, memiliki pola dan corak yang spesifik. Seni budaya ini lahir dari suatu kebiasaan yang beradaptasi dari kelompok masyarakat yang kemudian menimbulkan suatu kesadaran identitas dan diikat pula dengan kesatuan bahasa sehingga menimbulkan rasa memiliki yang mengikat. 1. Seni Budaya Dengan Penggunaan Bahasa. Indah budi karena Bangsa, indah bangsa karena bahasa. Itulah ungkapan yang dapat menjadi suatu indikasi betapa pentingnya penggunaan bahasa didalam kehidupan bermasyarakat, tutur kata yang lembut dengan untaian kata yang indah dapat menggugah perasaan setiap manusia. Bagi suku perkauman Tamiang dalam mengungkapkan maksud tertentu ataupun dalam menyelesaikan suatu permasalahan, baik juga dalam menyampaikan nasehat, bahasa yang digunakan telah terjalin dalam bentuk-bentuk yang khusus yang merupakan hasil karya seni dari masyarakat yang terasa begitu lembut, anggun dan mampu menerobos kelubuk hati yang paling dalam. Bahasa tersebut secara rutin digunakan 26 - KOENTJARANINGRAT, “Pengantar Antropologi” tahun 1986. halaman 263.


110 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 110 terutama dalam upacara-upacara adat baik berbentuk prosa, puisi atau bentuk sast-ra lama, yang memberi responsif kepada para muda mudi untuk saling ajuk dalam menjalin persahabatan, karena sepertinya memberikan tenaga magis terhadap bahasa tersebut. Beberapa penggunaan bahasa dalam suku perkauman Tamiang yaitu: 1.1. Kate Tetuhe. Kata-kata yang diungkapkan dalam bentuk khas yang dapat mempaut eratkan suku perkauman Tamiang dalam suatu ikatan norma yang dipegang teguh dan mempunyai nilai-nilai yang luhur, faktor apa yang mempengaruhi hal tersebut belum didapati, karena setiap warga dari suku perkauman Tamiang mengatakan bahwa hal ini didapati, dihayati dan dilaksanakan sejak datu nini mereka (datu nini = keturun an awal yang kelima atau yang paling tua terdahulu). Dan kate tetuhe ini juga merupakan pegangan ampuan atas tata kerama masyarakat suku perkauman Tamiang sebagai falsafah pegangan hidup dan kehidupan. Penggunaan kate tetuhe ini dapat dibedakan antara lain : 1.1.1 Falsafah Hidup, - Siakong begumbak mirah, mati tejerat sirajewali Hidup ne begantong ku Allah, betungkek ku Nabi. Ungkapan ini menunjukkan bahwa suku perkauman Tamiang dalam kehidupannya tetap berpegang teguh kepada Wahyu Allah SWT dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagai pencer-minan hakiki insan yang taat beribadah 1.1.2. Adat Istiadat, - Sebadi Adat dengan Syara’,


111 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 111 - Adat dipangku, Syara’ dijunjong, resam dijalin, qanun diator, dudok setika. Sebagai rakyat suku Perkauman, mereka mempusakai dan berpegang teguh kepada hukum syariat dan adat istiadat. Hal ini telah berjalan sejak berdirinya kerajaan Islam Benua di Tamiang yaitu dimasa pemerintahan Dinasti Sedia (Raje mude sedia), Dinasti Pendekar Seri Mengkuta dan seterusnya. Menja lin kebiasaan adat yang turun temurun yang dilakukan secara musyawarah mufakat (dudok setikar). 1.1.3. Pemerintahan. ▪ Mangkat raje ditanam raje, Mangkat Datok di tanam Datok, Mati Imam sedie ganti. ▪ Raje sukat sifat, Datok sidek siasat, Imam fardhu sunnat, Penggawal setie taat, Rakyat genap mufakat. ▪ Syah hukom empat besar, Raje hak beputusan, Hak rakyat pusar didahi, putusan Raje dolat disembah. ▪ Ati Gajah same dilapah, Ati tungo same di cecah, ▪ Raje adil dolat dipapah, Raje dhalim raje disanggah. Bagi suku perkauman Tamiang dalam urusan pemerintahan selalu menempatkan diri mereka pada tempat yang proporsio nal, merasa senasib sepenang-gungan, sesuai dengan atoran yang telah diberlakukan, dalam bentuk hubungan kerja sama dan sama-sama bekerja.


112 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 112 1.1.4. Kehidupan Bermasyarakat. - Hilang becari,mati betanam, pengaseh pape,setie mati. Mencerminkan kesetiaan suku perkauman Tamiang, bukan saja terhadap keluarga akan tetapi terha semua kaom kerabat. - Dari Tumpah mende le senget, Dari bocor mende le tirih. Dalam kondisi yang dilematis, mampu memilih yang terbaik demi kebaikan orang banyak yang tetap mengacu kepada musyawarah mufakat untuk mencapai suatu kebulatan kata, sesuai dengan ungkapan “Bulat aer karene pembuloh, Bulat kate karene mufakat”. - Besenoh kebukan qadar bunge celake, Muang pusake bunge bangsat, Muang adat tumpang karu (begadoh), Muang suku biak kaom nak hine, Muang harte biak kaom nak pape. Mampu menempatkan diri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan tetap bertahan serta memelihara terhadap pola kondisi yang ada dan berlaku tidak malu dengan keberadaan yang telah diwarisi. - Jangan tau diberehnye saje, taulah dari padi benehnye. Untuk memilih sesuatu harus ditelusuri terlebih dahulu asal usulnya. - Rumah siap talu cadek besuare. - Utang same ditudong, malu same ditanggong.


113 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 113 Tidak menggembar gemborkan terhadap sesuatu rencana yang belum terlaksana, dan lebih mengutamakan sikap kegotong royongan dalam melaksanakan sesuatu hal. Kutipan datas hanya sekelumit dari sekian banyak kate tetuhe yang hidup lestari dan berkembang dikalangan masyarakat suku perkauman Tamiang sebagai pegangan dalam menentukan pola sikap dan norma dalam kehidupan 1.2. P u j a a n. Pujaan disini dapat diartikan kepada segala sesuatu upaya untuk menaklukkan atau membuat orang atau sesuatu yang mampu menerima menjadi takluk atau tertarik medengarnya sehingga dapat menurut. Pada awal mulanya dizaman sebelum islam masuk ke Aceh, Orang Tamiang memiliki kepercayaan Animisme, yaitu kepercayaan kepada serba sukma (segala roh yang mendiami tempat-tempat terten tu). Ada 4 pokok pandangan (anggapan) terhadap kepercayaan animis me ini, yaitu : 1. Segala yang ada dalam dunia ini baik manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda, memiliki dan terjadi dari sejenis daya (jiwa) yang serupa. 2. Manusia selain mempunyai roh, juga mempunyai semangat. 3. Roh-roh manusia yang mati, mempengaruhi keadaan hidup bagi manusia yang masih hidup, oleh sebab itu boleh dipuja. 4. Dewa-dewa, jin-jin dan keadaan alam gaib yang juga mempengaruhi keadaan manusia yang masih hidup, wajib dipuja. Untuk memupuk dan mempertebal rasa keberanian dan keyakinan pada diri sendiri dalam suku perkauman Tamiang digunakan juga beberapa rangkaian kata yang


114 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 114 merupakan mantra-mantra, baik merupakan hasil pujaan terhadap dewa-dewa dan jin-jin maupun yang merupakan kepercayaan belaka. Untaian kata-kata itu secara ilmu bahasa sukar untuk dapat di katakan apakah itu berbentuk pantun, Syair atau jenis lain, karena kadang kala dari suatu rangkaian itu dapat berbaur antara bebe-rapa jenis hasil sastra lama. Hampir disetiap kegiatan masyarakat tidak terlepas dari berbagai pujaan-pujaan, seperti; turun kesawah, menanam padi, mengetam padi, mengirik padi, mendirikan rumah, perkawinan, ke-matian, melahirkan anak dan pemujaan-pemujaan lainnya. Arwah nenek moyang yang mereka puja, berguna untuk melindungi anak cucu mereka dari segala bencana, dibuatlah berbagai syarat untuk menghindari kemurkaan dan amarah dari arwah - arwah nenek moyang yang dapat memberi bencana yang tidak baik tersebut. Pemujaan ini dapat dilakukan secara langsung mau-pun dengan perantara pawang/guru yang telah dapat berhubungan langsung dengan benda (roh-roh) yang dipuja. Nenek moyang yang mereka puja tersebut dapat sewaktu-waktu menjelma dalam berbagai rupa, seperti; Buaya, Harimau, Babi, Belut, ayam Putih dan lain-lain. Terhadap binatang -binatang terten-tu yang dipuja seperti harimau atau buaya, sebagai penghormatan maka dipanggil dengan sebutan “nenek” atau “datok”. Bila pemujaan tersebut telah menyatu sebagai satu kehidupan dalam diri sipemuja, maka binatang-binatang ini dapat menjadi penjaga terhadap sesuatu yang tidak senonoh didalam kampung atau dimana sipemuja berda. Bila hal ini terjadi tanpa perlu dipanggil binatang-binatang ini akan


115 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 115 datang sendiri untuk memporak porandakan sipelaku maksia/ kejahatan tersebut. Beberapa rangkaian kata-kata pujaan dan kegunaannya antara lain : 1.2.1. Untuk Kayu Tualang (didendang oleh Pawang Tuhe), disebut juga dendang lebah, karena berfungsi untuk memanjat kayu tualang mengambil madu lebah. Hal ini dilakukan dengan menancapkan pating pada pohon kayu tualang, berupa bambu yang telah diruncingkan ujungnya besarnya kira-kira sebesar jari telunjuk sebagai tempat memijak kaki, perlakuan ini sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat yang ditelusuri secara logika, karena suatu kemustahilan bambu yang diraut sebesar telunjuk dan panjangnya ± 10 cm mampu menahan beban antara 70-80 kg berat badan sipemanbjat. Namun itulah kenyataan keyakinan yang telah turun temurun bagi masyarakat Tamiang. Cukilan dendang tersebut antara lain adalah : ………………………… Kayu betuah lagi bebahagie Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempek le mandi si puteri ijo Batangnye puteh kulitnye ijo Cabangnye rampak gilang gemilo Kulit bename sipari-pari Kubal bename sigenggam tegoh Akarnye lampe bename sabo berendam Akar tunggal bename pasak le bumi Banir bename silengkong bulan Tereh bename pasak negeri Cogol bename sikumbol emeh Serempak bename batil sireh suase


116 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 116 Cabang jemambang bename raje unjor-unjoran Cabang jenanggo bename tungkek tuan taali Ranting bename jarom jemarom Daonnye bename sikali membang Pucok bename payong tekembang Putik bename bintang temabor Buah bename bintang berayun ……………………………… Ayun le ayun buah sentayun Selembor betarok mude Mayoh le hati bunge kuayun Dayang nak pulang, oi…… Untuk menyapu Lebah (mengusir lebah guna mengambil madunya) ……………………............ Dari le paok sampe kepematang Tetak le cengal kudado kemudi Dari jaoh sibujang pawang nan datang Dari Tamiang sampai le kemari Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri Siakong begumbak mirah Kene le jerat sirajewali Kami begantong ku Allah Serte betungkek ku Nabi Sijenjen jaek ke baju Gunting anak siraje melayu


117 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 117 Dayangku boleh ke singkek ke baju Sibujang pawang oi….ndak menyapu Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang Malamne kusapu isok ko buleh pulang Dayangku jangan bejaje bawang Bawang dijaje bawang rupie Dayangku jangan terbang te lawang-lawang Takut je marah pawang raje mude sedie Sirakup silela dandi dayangku Pande memangku sibiring kuning Jangan le takut kemane nak lalu Laot ngelambang sior kuliling Dayangku jangan bepaok padi Kalo le bidok beserempu juge Dayangku jangan bejaoh hati Dilaen musem kite ke besue juge ……………………… Pucuk adel daonnye adel Rotan pangkek dibelah due Isi manih kedalam batel Ucapke bismillah baru disedue 1.2.2. Mengobati orang sakit. Dalam tubuh manusia ini ada yang namanya semangat sebagai daya yang mempengaruhi aktifitas hidup, apabila sema-ngat ini terganggu maka orang


118 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 118 tersebut seperti tidak berse-mangat, tidak bergairah, lemah karena daya hidup dan stamina menjadi menurun bahkan dapat menjadi sakit. Semangat itu dap at membuat mata bersinar-sinar dan berkilau, gerak badan men-jadi lincah, rasa takut hilang dan berubah menjadi pemberani, hati tiada pernah gentar tubuh tiada gemetar. Untuk hal tersebut maka suku perkauman Tamiang zaman dahulu berupaya de-ngan segala cara untuk memperkuat semangatnya, sehingga semangat tubuh menjadi keras baik dengan cara memberikan kepada tubuh daya hidup baik dari manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan sehingga tampaklah orang tersebut bersema-ngat dan bergaya. Semangat inipun layaknya sebagai piaraan yang perlu diurus dan dipujuk dengan memberinya upah agar dia tetap ber-tahan dalam badan, apabila tidak dijaga maka ia akan gampang hilang, karena terkejut, karena rasa takut, atau terlalu rindu terhadap sesuatu, terlalu sedih menghadapi sesuatu, merasa menyesal terhadap suatu perbuatan dan lain-lain. Apabila hal ini terjadi maka terpaksa harus dijemput semangatnya. Jemput semangat dapat dilakukan dengan cara menjampi kunyit untuk mengetahui apa sebab dan kemana semangat ter-sebut lari, apakah masih dapat dipanggil. Kunyit yang panjangnya ± 3 cm dibelah memanjang menjadi dua dan dipoleskan sedikit kapur lalu diletakan diatas belakang tangan, setelah membaca mantera dijatuhkanlah kunyit tersebut kelantai di hadapan antara sisakit dengan tok guru, apabila kunyit yang jatuh tersebut satu kearah sisakit dan satu kearah tok guru dimana kunyit tersebut kedua-duanya terlentang atau kedua-duanya telungkup berarti semangat tersebut masih dapat di


119 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 119 panggil dan telah diketahui pula dimana dan apa penyebabnya semangat itu terkejut. Selanjutnya tok guru memegang ujung kedua tangan sisakit sambil membacakan mantera :27 - Hei rokh, aku tau asalmu jadi, ketuban asal mule ko jadi. - Hei arwah, aku tau asalmu jadi, temuni asal mule ko jadi. - Hei rehan, aku tau asalmu jadi, Uri asal mule ko jadi. - Hei insan, aku tau asalmu jadi, Tali pusat asal mule ko jadi. - Marilah, engko datang, dihini rumah tangge kampong halaman. - jangan engko begerak dari tuboh sipolan................... (sebut nama sisakit) - Kuuuurrr semangat, cup, cup, cup, (mulut dikuncup kan). Lalu kunyit dipiliskan dikening sisakit, dibelakang daun telinga, ditengkuk, didada dan diseluruh sendi yang ada. Mudah-mudah-an dalam waktu yang singkat semangatnya akan pulih kembali. Mantera yang lainnya berbunyi : - Rokh mari, rehan mari, - semangat mari, marilah engko ban pelin nye - mari jangan engko jaoh semangat - tega besi, tega semangatku. - pulang ko semangat tujuh ke tujuh. - jangan engko lalu dari aku - jangan engko singgah di rumah tangge urang - jangan engko singgah diutan - jangan engko singgah dilaot 27 . T.M. LAH HUSNY, Adat Budaya Melayu, tahun 1968, halaman 34. dst.


120 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 120 - jangan engko singgah dikayu besa - jangan engko singgah di empat penjuru - tetap engko tinggal di anggoteku. membaca mantera ini agak berirama/berlagu suaranya. Setelah selesai dipanggil nantinya sisakit harus menyediakan upah untuk semangat agar semangat tak merajok dan mau menetap. Hadiah dapat berupa, sebilah keris atau seekor ayam putih atau benda-benda lainnya. Dalam kepercayaan animisme setiap tempat itu ada penghuninya, baik darat, hutan, gunung, sungai maupun laut. Bila tempat-tempat ini dilintasi baik sengaja maupun tidak sengaja tanpa seizin penghuninya maka penghuninya akan marah dan bertindak dengan menyakiti atau mengambil semangat yang bersalah itu. Andaikata hal ini terjadi maka pemanggilan semangat tersebut juga harus dilakukan dengan dukun dan syarat-sayarat tertentu yaitu; dipinggir hutan ditancapkan sepotong bam-bu, sebagai tempat naik turunnya hantu rimba tersebut,disebelahnya di buat pelataran kecil tempat meletakkan bara api, ayam, beras, periuk tanah dan sebuah anak-anakan (boneka) dari kain, sebagai persembahan kepada hantu rimba, lalu dukun membaca mantera: - Oi... Datok, lupelah kami memuje engko - Oi....Datok, datang rupenye penyaket engko bawe - Oi....Datok, lalulah dari hini ne pulang kerimbe, ban pelin udah ade kami siapke untok bekal dijalan - Ne pat ne periok, ne pat ne beras, bare api serte ayam - Oi.....Datok, tinggal ke kami dengan aman. Banyak dendang pujaan lain dalam suku perkauman Tamiang seperti, Dendang memanggil angin untuk turun kelaut, mengambil Nira enau atau ber-gat (nira ijuk) dan sebagainya


121 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 121 yang sukar untuk dapat dituliskan karena menurut petuah Tamiang hal ini merupakan pantang pemali. Dalam seni bela diri juga terdapat untaian kata yang dapat memberikan motivasi semangat sehingga dapat memberikan pengaruh magic yang sukar ditelusuri secara ilmu dan logika. Sebagai contoh penggalan tersebut adalah :.......... Kutahu di asalmu, dari ayer jadi bueh, bueh jadi lumpor, lumpor jadi tanah, dari tanah…….. kalo kugenggam jadi abu, kalo kupilin jadi tali……... ditetak te mempan, ditunu te angus, direndam te basah......cadek nang baharu ek ngusikku peling ne berkat………………… Meskipun hanya sebagian kecil dari untaian kata yang berbentuk pujaan yang dapat disajikan ini sudah dapat dijadikan indikasi bahwa bentuk sastra lama masih tetap berkembang dan hidup secara utuh dalam masyarakat suku perkauman Tamiang hingga saat ini, dan yang berbentuk mantra sangat mudah untuk dipelajari oleh siapa saja serta boleh diturunkan kepada orang-orang yang dianggap layak oleh tok guru tersebut, hal ini memang sangat diminati oleh berbagai kalangan masyarakat, baik seba gai pagar badan maupun sebagai pemanis. Oleh sebab itu senibudaya yang menggunakan bahasa ini masih tetap lestari sampai zaman modern sekarang ini dan sangat mudah untuk dihafal oleh siapa saja. 1.2.3. Percakapan disaat pinang meminang. Kemampuan mengungkapkan perasaan hati dengan kata-kata terpilih dan penuh sopan santun secara peradatan, menuntut suatu kemampuan khusus dan menjadi senibudaya


122 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 122 yang mempunyai nilai tersendiri dikalangan suku perkauman Tamiang. Orang yang ahli dalam menyampaikan kata-kata maupun tata cara adat perkawinan disuku perkauman Tamiang dinamakan “Telangke”, oleh sebab itu pokok-pokok fikiran yang tersusun dalam bentuk seni ini dinamakan “bahasa telangke”. Pembahasan selengkapnya mengenai percakapan disaat minang meminang akan dibahas pada bab tersendiri berikutnya. 1.2.4. Menata kehidupan bermasyarakat, Dalam menata kehidupan bermasyarakat dapat diungkapkan melalui untaian kate tetuhe : Hidup dikandong adat, same rami, mati dikandong hukom. Tande belang ade bateh, tande empus berantare pagar. Muliye duit bebilang, mulie kawan besape-sape. Duit dibilang dimuke saksi, sekate sepakek semporne buek. Gerbak gerbok terserok nyadi tube, beselihat hemat kerje male-kat. Besopan santon kerje urang patot-patot, lemah lembut ye kerje urang bebangse. Langet betemikeer, bumi betemerang, salah ingek same ulah, urang nang bebangse bise nyadi hambe belian. artinya : Hidup dalam lingkungan adat, dalam masyarakat ramai, mati dalam kandungan hukum (dalam kepercayaan Agama), Tanda sawah memiliki pematang, tanda pekarangan rumah dibatasi dengan pagar.


123 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 123 Mulia uang dihitung, mulia teman bertegur sapa. Uang dihitung didepan saksi, satu kata dalam mufakat sempurna kerja. Tergesa-gesa (ceroboh) akan menjadi racun (dapat bencana), perlahan-lahan dan hemat kerja malaikat. Sopan santun kerja orang-orang mulia, lemah lembut kerja orang yang berbangsa. Langit bergaris, bumi tidak rata (bergelombang), salah mengingati tingkah (perbuatan) tetap sama., orang yang berbangsa bisa menjadi hamba belian. 2. Senibudaya Dengan Gerak Tari Dan Nyanyian. Dalam senibudaya suku Perkauman Tamiang yang tradisional sukar untuk menentukan apakah tari mengikuti nyanyi atau nyanyi pengiring tari. Karena setiap tari di daerah Tamiang selalu disertai dengan nyanyian berbentuk syair ataupun berbalas pantun. Pola dasar dari gerak tari pada senibudaya suku perkauman Tamiang adalah gerak melingkar, atau saling memotong silih berganti, dengan hentakan kaki sebagai irama dasar dan ditingkahi oleh suara gelang kaki. Setelah berkembang barulah diikuti atau diiringi dengan instrument yang sederhana seperti gendang, seruling dan biola. Namun dibeberapa tempat yang terpencil tarian ini hanya diiringi oleh irama lesung ataupun ketukan pada kayu yang disusun pada unjuran kaki (terdiri dari tiga atau lima potong kayu). Tarian tradisional yang telah digali dari masyarakat suku Perkauman Tamiang yang dianggap seni budaya tua disebut “Piasan”. Seni budaya ini dapat dipagelarkan tanpa musik, baik dalam bentuk penyajian atau penam pilan tarian maupun nyanyian.


124 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 124 Oleh sebab itulah dalam penyajian ini sekaligus diuraikan senibudaya tari dan nyanyi. Beberapa tarian dan nyanyian yang telah tergali ataupun sedang digali adalah : 2.1. B i n i h. Tarian ini khusus ditarikan oleh anak-anak perempuan (didaerah Tamiang anak dare) yang didampingi oleh seorang “Tuhe binih’. Tari ini dilaksanakan didalam ruangan rumah yang dilapisi dengan tikar kerawang dan dibawah tikaritu khusus disusunkan papan, agar diwaktu penari menghentakkan kakinya terdengar bunyi dasar sebagai pengganti gendang untuk menyamakan gerak langkah dan lenggang. Jumlah penarinya sekurangkurangnya enam orang, dengan pola dasar tarian ini adalah gerak melingkar maupu berpola angka delapan. Gerak tari terletak pada gerak kaki, tangan, badan yang meliuk dan kerlingan mata. Tarian ini selalu diiringi dengan nyanyian yang saling bersahutan. Sebahagian dari nyanyian binih ini adalah : + Binih ku binih, binih ku mule salam kuberi, salam kusape. Binih ku binih, binih ku lagu salam ku saot, sape mu dulu + Wa’alaikum salam jamu baru le dudok sile ke dudok di ateh kate sireh sesusun, pinang setampok sile ke di cecap besame-same. ……………………………….. Cade kutitin, damar ku tutok


125 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 125 Ku antek ke dalam gantang Maye be kersik maye be kersok Jamu kite ho pelennye datang Permaisuri raje, ratu pengaseh Mandi besiram si ayer bunge Mu ho lekat sayang ngan kaseh Biar le besame sekubor berdue ………………………………. Kembang ke tikar lueh-lueh Bior ke tijak ke Menanggini Keleh le kami ne bepueh-pueh Pagi isok cade lagi dihini Tekat tampor sabë tudongku Sabë kutinggal ke diserapoh Mu begini dendam hatiku Mendë le ambe betulak jaoh Telok kuale kampong nelayan Mude sibesah dudok be malam Ko kirim ke racun pë lenja kumakan Te ek kutahan nanggong dendam Reloh redam sagor di tanjong Tekelehku dari sekerak Ibir ngan dendam selelah ku tanggong Rase nye nak nangih rukong tesedak …………………………………….. Kico cico matoari nak betak Ari nak pagi ayam pe bekukok


126 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 126 Lamo le hudah kite ajok mengajok Minte ijin le kami kalo telajak Kukok ayam tande nak pagi Takut te jage dare dihini Kami peh begian harap dihati Jaoh ke bale dirumah jo dihini. Nyanyian binih ini sahut bersahut hingga pagi hari, apalagi binih yang didalam rumah ditandingi pula oleh pantun atau syair dari anak bujang yang berdondang sayang diluar rumah. Pakaian dalam bebinih ini adalah baju tumbe, besanggol tuak yang dihiasi oleh tusok konde gerak gampe, berkain sarong betekat benang emas dan berselendang yang diletakkan dibahu nyilang dari kiri kekanan (sabë selempang). 2.2. Dondang Sayang. Dondang dalam bahasa Tamiang dapat disamakan dengan bergendang dalam bahasa Indonesia. Gendang terbuat dari batang aren atau batang nangka, diututupi kulit lembu atau kulit kambing sebelah yang mempunyai panjang rata-rata 70 cm. Dalam mengiringi syair atau pantun kerap kali juga diiringi dengan gesek biola bertali empat, dan suling dari bambu. Pakaian yang dipakai dari detar, berbaju gunting cina, celana potong serong (selua suti), bertali pinggang berkepala perak dan diselipkan pula pisau tumbok lada. Pantun atau syair yang didendangkan disesuaikan dengan situasi pagelaran, disaat seperti ini anggota dondang sayang dituntut kemahiran untuk secara cepat merangkai pantun ataupun syair yang diperlukan. 2.3. S i l a t.


127 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 127 Silat adalah salah satu bagian dari seni budaya suku perkauman Tamiang yang dapat dipagelarkan sebagai hasil suatu seni budaya te-tapi dapat pula sebagai seni bela diri yang cukup tangguh dan populer didaerah Tamiang. Pada suku perkauman Tamiang yang dikenal sebagai silat seni adalah silat songsong dan silat rebas tebang, sedang silat seni bela diri adalah silat Plintau . 2.3.1. Silat songsong ; pada silat ini lebih diutamakan gerak tarinya karena digunakan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan. Silat songsong ini juga diteruskan dengan silat-silat bunga, yang dipagelarkan dihalaman rumah yang mengadakan suatu pesta (kenduri) atau pada hari raya dihalaman istana. Pakaian pesilat berwarna hitam dengan ikat kepala berwarna kuning. Didalam tarian ini juga digunakan pisau, kelewang, besi cabang atau tongkat kayu. Untuk menambah semarak tari silat bunga ini di iringi dengan gendang dan biola dan masa sekarang ditambah dengan gong 2.3.2. Silat Rebas Tebang; Hampir sama dengan silat song-song tetapi dalam silat ini khusus digunakan kelewang (pedang). Silat ini juga digunakan untuk menyambut tamu terhormat, me-nyongsong tamu laki-laki sewaktu memasuki halaman rumah pengantin perempuan, menurun tanahkan anak. Pagelarannya, sambil menarikan gerak-gerak silat,mereka maju sambil memotong batang pisang yang telah dijejerkan dikiri kanan jalan yang ditempuh. Para pesilat menunjukkan kemam-puan mereka untuk menebas atau memotong batang pisang sekurang-kurangnya menjadi tiga potongan tetapi biasanya menjadi tujuh


128 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 128 potongan, namun batang pisang tersebut tidak boleh tumbang atau rebah. Makna silat ini bagi suku perkauman Tamiang adalah untuk menunjukkan sempena menghilangkan rintangan bagi per jalanan tamu, demikian juga bagi mempelai atau anak yang ditu-run tanahkan didalam menempuh kehidupannya dimasa datang. 2.3.3. Silat Plintau; Merupakan silat seni bela diri yang mempunyai pola gerak dasar yaitu gerak salam sembah, gerak titi batang, gerak langkah tiga dan gerak salam penyudah. Gerak tari silat songsong dan rebas tebang adalah penghalus dari silat plintau. Hal ini dapat berkembang karena keunikan silat plintau ini ada-lah bagi yang telah memahami seni bela diri ini, dilarang keras untuk memulai suatu serangan. Kalaupun diserang warga aliran silat ini (satu aliran) haruslah berusaha sedapat mungkin untuk menghindar, tetapi apabila tidak mungkin lagi untuk dihindari, maka pantanglah bagi pengikut aliran silat ini untuk mundur walau setapak, karena pada mereka telah ditanamkan prinsip “Tumbok baleh tumbo, sipak baleh sipak, mae datang ye balehnye". 2.4. Ula – ula Lembing. a. Tema tari ; Tari ual-ula lembing ini untuk menggambarkan bagi tekad seorang pemuda dalam mengatasi semua halangan untuk menca-pai cita-citanya menemui dan mendapatkan kekasih idaman hati. Disampig itu digambarkan pula bahwa bila seseorang akan membangun kehidupan baru harus mampu menempuh halang rintangan serta mendapatkan restu dari orang tua dan masyarakat. Kesemuanya ini akan


129 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 129 tergambar didalam gerak tari ula-ula lembing, satu tarian tradisional suku perkauman Tamiang yang telah memperkaya khasanah kebudayaan Nasional. b. Gerak tari Pola dasar dari gerak tari ini adalah lingkar berbelit, dan di uraikan dalam beberapa tahapan gerak : 1. Gerak silat; yang diiringi oleh irama patam–patam yang dia-khiri dengan salam sembah sebagai rasa hormat dan mohon maaf untuk penampilan mereka. 2. Niti batang (enjut-enjut kedidi); merupakan penggambaran gerak yang memerlukan konsentrasi dan kelincahan, yang melambangkan tekad yang bulat, tetapi harus disertai dengan gerak dinamis di dalam menghadapi setiap masalah kehidupan. 3. Tunda-tundabeting; Melambangkan bagaimana seha rusnya tekad didalam menghadapi suatu halangan dan rintangan. Walaupun sampan telah kandas di karang yang keras dan tajam, harus dilalui dengan memanggul sam-pan. Tetapi bila telah mampu mengatasi halang rintang itu bukan berarti saat istirahat atau menunda usaha, mereka harus kembali berkayuh untuk mencapai tujuan. 4. Pungku-pungku pangka; Dalam perjuangan yang cukup melelahkan fisik maupun mental, berpapah atau mema-pah, bukan berarti tertegun dan mundur. Keberhasilan bukan menyebabkan mereka boleh berpangku tangan. Hal ini digambarkan dengan istilah pungku (berpangku tangan) dan pangka (mendekap seseorang untuk


130 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 130 mena-tih) yang ditujukan bagi orang yang telah lemah. 5. Endap-endap bincah; Penggambaran dari gerak ajuk me-ngajuk dalam mengikat idaman hati. Tergambar pula bahwa siidaman hati tidaklah menyerah begitu saja, tetapi berlagak jinak-jinak merpati walaupun hati sedang berbunga cinta. 6. Gerak silat; diutamakan gerak rebas tebang sebagai pelambang perjuangan untuk hidup mandiri, melalui menebas, menebang, merambas, menabur benih dan membangun. 7. Salam penutup; Menjora daulat sebagai tanda syukur yang diiringi dengan penaburan beras padi dan penepung tawaran yang menggambarkan bahwa segala sesuatu perjuangan mereka telah berhasil dan direstui juga mudah-mudahan direstui Allah. c. Jumlah penari. 1. Dua orang penyampai pantun yang dinyanyikan. 2. Sebaiknya terdiri dari 10 orang penari. d. Pakaian penari. Penari berpakaian adat suku perkauman Tamiang untuk wani-ta secara lengkap yang terdiri dari dua kelompok warna yang berbeda misalnya 5 penari berwarna merah dan 5 penari berwarna hijau. f. Musik Tari. 1. Musik pengiring terdiri dari gendang, biola, gong dan suling. 2. Pantun yang dinyanyikan secara berbalasan. Cuplikan pantun dasarnya sabagi berikut : Cepak dalam batel Tepak dalam dulang


131 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 131 Perak berbilang tael dinyanyikan Tuju ncari tunang semua penari Ula ula lembing Tetedong awan awan Tang mane ku patok ke Tang puteh panonye Malam bekalang mimpi Siang bekalang mate Gunong tinggi kudaki Lembah dalam diarong rate ………………………. Ranto teluk kuarongi Paloh kuale diseberangi Pante beting sakat umbak Penuju ati belom beriak ……………………….. Biar karam bade ngamok Putus temerang patah kemudi Tuju harap nak kujengok Lare dendam rindu hati ……………………… . Kayoh mak idah kayoh Kayoh rame-rame Singgah usah singgah Tepian belum sampe Kayoh mak idah kayoh Kayoh laju-laju Singgah mak idah singgah Dihini tempat betemu *)


132 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 132 *)bait ini dinyanyikan bersama-sama Rintang alang memapah payah Kurun mase silih purnama Puja tuju harapan sudah Penawar kaseh kutatang tuah. Puku-puku pangke elang betanye tanye jalan Jalan kemane jalan kemane tuan tanye ke Jalan kami jalan kami kegudang bading Bak diambil bak diambil kegudang gading. Laju buluh laju reriang kembang dijalan Nak lalu baek lalu dedayang ngempang ditengah jalan Lok bubu lok tembire Kelua jangan becere bere Padu kate kaseh beture Sepanjang mase jangan becere Kami sampe ke ucapan salam Pade hadirin hande dan tolan Silap dan salah harap maaf ke Semoge kite dilindung Tuhan. ………………… 2.5. A y e Ulak (Ngelaboh lancang). Tarian yang hanya dilakukan oleh pria, merupakan suatu tarian yang berkembang sebelum agama islam masuk dan berpengaruh disuku perkauman Tamiang.


133 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 133 a. Tema tari. Tari aye ulak adalah suatu senibudaya untuk menghanyutkan sesajen (ngelaboh lancang), lancang adalah sampan kecil, pada situasi ini dibuat dari upih mayang pinang yang diisi dengan sesajen untuk penguasa gaib. Untuk ngelaboh lancang dilaksanakan oleh datu (dukun) yang diban-tu oleh para sida (pembantu). Setelah semua peramu (perlengkapan sesajen) dibawa ketengah ruangan yang juga dilengkapi dengan perasap (dupa kemenyan) peramu ini dirajah (dimanterai) oleh datu dan para sida.Dari mulai membawa peramu, merajah, diikuti dengan gerak-gerak khusus dari datu dan sida sampai dengan membawa lancang kesungai, kekuala ataupun kelaut untuk dihanyutkan. Setelah lancang dilaboh dan datu beserta para sida tetap melakukan gerak tari sambil membaca rajahan dan tafakur untuk menanti firasat (datang amal) dari penguasa gaib. Apabila yang baik datang mereka bersyukur dan apabila yang jahat datang mereka tantang dengan tekad yang bulat dan ketangguhan yang besar. b. Gerak tari. Gerak tari ini terdiri dari : 1. Gerak–gerak mempersiapkan peramu lancang dan perasap, dimana dimulai oleh para sida membawa peramu dan perasap kepada datu. 2. Ngerajah, suatu gerak khusus yang diikuti dengan gumam dida-lam membacakan jampi-jampi. 3. Ngelaboh lancang, mulai dari gerak mengambil lancang dari datu (nyemput lancang) dan membawanya ketepian. 4. Nanti amal, sambil duduk bersemedi datu dan para sida me-nantikan hasil ngelaboh lancang,


Click to View FlipBook Version