The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Mengenal adat dan budaya Melayu Tamiang

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by wdmuntasirwd, 2023-06-15 23:00:39

TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH

Mengenal adat dan budaya Melayu Tamiang

Keywords: sejarah

34 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 34 makamnya tidak diketahui benar. Setelah wafatnya diganti oleh anaknya yang bernama “Raja Po Kandis” yaitu raja Islam Temiang Ke Lima, memerintah dari tahun 1454-1490 M, setelah mangkat kemudian diganti oleh anaknya yaitu “Raja Po Garang”, raja Islam ke Enam memerintah dari tahun 1490- 1528 M. Pada masa pemerin-tahan Raja Po Garang ibukota kerajaan dipindahkan ke Pante Tinjo (dekat Kualasimpang), yang kemudian dimakamkan ditempat itu (Pante Tinjo). Dalam pemerintahan Raja Po Garang terjadilah perebutan keraja-an dikalangan keluarga raja-raja Tamiang antar sesamanya dan menimbul kan huru hara yang sangat menegangkan, ketika kerajaan ini dalam konf-lik datanglah rombongan orang alas yang dikepalai oleh Raja Pendekar. Situasi konflik ini benar-benar dimanfaatkan oleh Raja Pendekar, sehingga beliau mampu untuk menyelesaikan perselisihan tersebut yang kemudian ± tahun 1528 M diangkatlah “Raja Pendekar Sri Mengkuta” menjadi raja Islam Tamiang ke Tujuh, dan merupakan pengganti dari turunan Suloh. Raja ini kemudian kawin dengan puteri Raja Po Kandis yaitu adik dari Raja Po Garang, dan ibukota kerajaan berpindah ke Menang Gini yang artinya “menang disini” sekarang lewat Tanjung Karang (dekat kualasimpang). Pada awal periode pemerintahannya ia pernah pergi ke Pusat Pemerintah-an Kerajaan Aceh yang waktu itu memerintah sulthan Ali Muqayat Syah (1511–1530 M.) dan kepadanya oleh Sri Baginda Sulthan diberi pengaku-an Kerajaan Tamiang. Kota Benua yang ditinggalkan oleh Raja Muda Sedia dan Raja Muda Sedinu karena dibakar oleh tentera Mojopahit yang telah menjadi hutan itu, dibangun kembali oleh raja Pendekar, maka banyaklah rakyat yang kembali lagi kekota Benua dan namanya berubah menjadi “Benua Tunu” artinya “Benua Terbakar” sebagai lambang seja- rah untuk mengenang tentera mojopahit yang telah membakar Kota Benua tersebut. Dalam


35 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 35 periode pemerintahan Raja Pendekar Kerajaan Tamiang dijadikan dua negeri Kerajaan Kecil yaitu Negeri Karang dan Benua Tunu (Sekarang yang disebut dengan Benua Raja) yang kedua negeri ini dibawah kekuasaannya. Raja Pendekar memerintah mulai tahun 1528-1558 M. Raja Pendekar Sri Mengkuta mempunyai dua orang Puteri yaitu Puteri “Mayang Mengurai” yang dikawinkan dengan Proom dan seorang lagi “Puteri Seri Merun” yang kemudian dikawinkan dengan Raja Po Gempa Alamsyah. Setelah raja Pendekar mangkat ia digantikan oleh anak angkat yang juga merupakan menantunya yaitu “Raja Proom Syah” seba-gai Raja Islam Temiang ke Delapan (1558–1590 M), memerintah negeri Karang yang berpusat di Menang Gini dan Raja Gempa Alamsyah (menantu raja Pendekar) yang merupakan turunan Muda Sedia dan Muda Sedinu memerintah negeri Benua Tunu (1558 – 1588 M), namun masih tetap tunduk kepada negeri Karang. Konon cerita Raja Proom Syah ini yaitu ketika Raja Pendekar berpiknik kekuala Besar dan pergi memukat kelaut ditemukan sebuah kapal pecah sedang terapung, lalu raja beserta rombongan menolongnya diantaranya ada anak kecil yang masih dibawah umur. Kapal tersebut milik orang Hin-dustan yang berniaga dari India menuju ke Timur Nusantara. Karena raja tidak memiliki anak laki-laki yang bakal menggantikannya, maka anak kecil (Hindustan) tersebut diangkat menjadi anak angkat raja dan diberi nama “Prom”. tetapi beliau memiliki seorang puteri yang kemudian setelah besar dikawinkannya dengan Proom tersebut dan diangkat menjadi raja muda dengan nama Raja Prom Syah, (Peristiwa ini terjadi disebabkan karena prom pernah memakan telur ikan tuna milik raja, yang menurut kepercaya-an barang siapa yang memakan telur ikan tuna adalah bertuah). Dengan demikian berdasarkan


36 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 36 urutan sejarah kerajaan Tamiang pernah diperintah oleh Orang Alas dan Orang Hindustan. Dalam pemerintahan raja Prom syah negeri dalam keadaan mak-mur dan aman. Kemudian setelah Raja Prom Syah mangkat diganti oleh anaknya (cucu raja Pendekar) yaitu “Raja Pesinah” Raja Islam Temiang Ke Sembilan dengan Ibukota kerajaan Pante Tinjo. Akibat keturunan Prom berkuasa terus menerus sehingga keturunan Keluarga Suluh merasa tidak dipakai lagi, merekapun pindah meninggalkan tempat asalnya semula, kebagian hilir negeri tersebut dan mendirikan perkampungan dengan nama “Ranto Johar” Medang Ara (dekat Upah) Raja pesinah berkuasa dalam kurun tahun 1590– 1624 M, kemudian diganti oleh puteranya yang bergelar “Raja Tan Muddin Syari” (Tan Syaifuddin), yang menjadi raja Islam Temiang ke Sepuluh, setelah mangkat dikuburkan di Pante Tinjo memerintah (1624 -1662 M) 2. Kerajaan Tamiang dijadikan dua Kerajaan Otonom. Dimasa pemerintahan Raja Proomsyah yang kawin dengan Puteri Mayang Mengurai anak raja Pendekar Sri Mengkuta pada tahun 1558 M, menjadi raja Islam ke delapan dengan pusat pemerintahan di Menanggini, Raja Po Geumpa Alamsjah yang kawin dengan Puteri Seri Merun yang juga anak Raja Pendekar Sri Mengkuta padat tahun 1558 M, memerintah dinegeri Benua sebagai Raja Muda Negeri Simpang Kiri Raja Benua Tunu I, dengan demikian kerajaan Tamiang menjadi dua namun kekuasaan masih tunduk pada negeri Karang. a. Kerajaan Karang. Setelah Tan Mudin Syari (Raja Islam Temiang ke 10) mangkat ia diganti oleh kemanakannya yang bergelar “Tan Kuala” (Raja Kejuruan Ka-rang I) yaitu putera dari Raja Kejuruan Tamiang Raja Nanjo (Banta Raja Temiang). Banta Raja ini adalah Putera dari Raja Pesinah juga Kuburan-nya di


37 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 37 Gigieng Pidie. Pemerintahannya berpusat di Tanjong Karang (dekat Kuala Simpang), Tan Kuala memerintah mulai tahun 1662 – 1699 M, dan merupakan pengganti dari turunan Suloh. Setelah Raja Kejuruan Kuala di Karang (Raja Tan Kuala) mangkat, beliau diganti oleh Raja Mercu yang bergelar Raja Kejuruan Mercu, dan merupakan raja Kejeruan Karang ke II, Pusat pemerintahan di Pante Tinjo. Selama kekuasaan Raja Kejuruan Mercu (1699–1753 M) Negeri karang aman. Kemudian setelah beliau mangkat diganti oleh Raja Kejuruan Banta Muda Tan Segia (tahun 1753-1800 M), adalah raja Kejeruan Karang ke III, Mangkat raja ini diganti oleh Raja Sua yang bergelar Raja Kejuruan Sua, sebagai Raja Kejeruan Karang ke IV memerintah tahun 1800-1845 M. Kemudian mangkat raja Sua diganti oleh Raja Achmad Banta dengan gelar Raja Ben Raja Tuanku diKarang sebagai raja Kejeruan Karang ke V memerintah tahun 1845-1896 M, raja ini merupakan anak dari raja Tan Segia dan juga adalah adik dari raja Tan Sua yang kemudian terjadi peperangan Aceh dengan Belan-da sampai pada tahun 1896 M, beliau mangkat dalam tawanan Belanda dan diganti oleh anaknya raja Muhammad yang bergelar Raja Silang seba gai Raja Kejeruan Karang ke VI, dan beliau memerintah setelah lepas dari tawanan Belanda sejak tahun 1901–1925 M. Setelah Raja Silang mangkat dimakamkan di belakan Mesjid desa Tanjung Karang ia diganti oleh Pute-ranya yang bernama Tengku Muhammad Arifin menjadi raja Kejeruan Karang ke VII yang merupakan raja karang yang terakhir memerintah dari tahun 1925–1946 M. Di masa pemerintahan Tengku Muhammad Arifin, beliau membangun Istana Karang di Tanjung Karang. Dan setelah Tengku Muhammad Arifin wafat pada tahun 1962 M yang kuburannya juga berada dibelakang mesjid desa Tanjung Karang, istana Karang tersebut oleh keluarga dijual kepada seorang pengusaha besar ketika itu yaitu Muham-mad Aziz.


38 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 38 Pada peralihan ini istana Karang tersebut terlantar tidak dirawat lagi sehingga pada tahun 1999 terjadi walk out gas Pertamina ketika melakukan pengeboran didesa Dalam, yang mengakibatkan halaman istana longsor dan bangunannya mengalami keretakan, maka istana tersebut mendapat ganti rugi dari Pertamina dan beralih menjadi milik Pertamina. Sekarang Istana Karang tersebut dijadikan Kampus Universitas Islam Tamiang (UNITA) dengan status pinjam pakai kepada Yayasan Pendidikan Ulil Albab sebagai pengelola Unita. b. Kerajaan Benua Tunu Pada saat raja pendekar mangkat kota benua dipegang kembali oleh keturunan sedia yang kelima dari anak Po Mala Jadi yaitu “Raja Muda Po Gempa Alamsyah” yang merupakan raja benua tunu pertama pada silsilah kedua keturunan Sedia ini dengan gelar “Raja Muda Negeri Sungai Kiri Benua Tunu I” memerintah tahun 1558–1588 M. Setelah mang kat raja Po Gempa Alamsyah maka kerajaan Benua Tunu diperintah oleh “Raja Muda Po Banda” yang merupakan Raja Muda Benua Tunu II pada tahun 1588–1629 M. Kemudian setelah raja ini meninggal diganti oleh “Raja Muda Po Perum” yang merupakan Raja Muda Benua Tunu III mulai tahun 1629 – 1669 M. Setelah Raja Muda Po Perum mangkat kerajaan Benua Tunu dikuasai oleh Raja Tan kuala kembali, karena pada saat itu terputus turun an sedia, yang berarti Kerajaan Tamiang menjadi Satu lagi, namun tidak begitu lama, konon ceritanya pada saat itu kota Benua Tunu ini menjadi pusat perdagangan sebagai tempat tangkahan (dermaga atau bandar) dari negeri Kerajaan-kerajaan Kecil yang ada dipegunungan seperti kerajaan Patiambang (Gayo Luas), Kerajaan Lingga (Isaq) yang melakukan da-gangan dengan Negara-negara luar (Asing). Hasil-hasil hutan yang di bawa dari pegunungan seperti; Gading Gajah, Jernang, Rotan, Damar, Lilin Lebah,


39 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 39 Getah Perca (getah mayang), Sumbu Badak dan lain-lain hasil hutan. Dan dari Tamiang ada Lada Putih, Lada Hitam yang baik kwalitet-nya, Pala dan getah rambung merah pucuk. Saudagarsaudagar asing yang datang ke Tamiang tersebut juga membawa barang-barang dagang-annya untuk dijual kepada orang-orang Tamiang dan orang-orang Gayo seperti; benang tenun, emas, perak, besi, waja, kain-kain buatan asing dan lainlain sebagainya. Baru beberapa bulan kota Benua Tunu ini dikuasai oleh Raja Tan Kuala, sekitar tahun 1669 M itu juga, datanglah “Raja Po Nita” bersama rombongannya dengan membawa suratsurat lengkap tentang silsilah, bahwa beliau adalah keturunan dari Raja Muda Sedia (Raja Islam Temi-ang yang pertama pada silsilah pertama), yaitu turunan dari Raja Muda Po Perun (Raja Muda Benua III). Mendengar hal tersebut sebagian dari orang-orang benua dahulu merasa bangga dan mengangkatnya menjadi Raja Tamiang dan mereka ingkar (tidak mengakui) kepemerintahan Raja Tan Kuala di Tanjong Karang. Kedatangan Raja Penita Tersebut telah menyebabkan terjadinya sengketa (perpecahan) yaitu perang saudara bagi Rakyat Tamiang antara rakyat Tanjong Karang yang mengakui Raja Tan Kuala sebagai Raja Tamiang dan orang-orang yang berada di Benua Tunu yang mengakui dan mendukung Raja Penita sebagai Raja Tamiang sehingga menimbulkan banyak korban. Melihat kejadian ini Raja Tan Kuala akhirnya melaporkan hal tersebut kepada Ratu Kemalat Syah, yaitu Sulthanah Aceh Darussalam ke 27 Ratu ke IV (memerintah tahun 1688-1699 M). Ratu Kemalat Syah adalah isteri dari Badrul Alam Sayid Ibrahim Sulthan Aceh Darussalam ke 29 (1701-1709 M). Memiliki anak yang bernama Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir Sayid Ali Zainal Abidin Syarif Hasyim Syah Sulthan Aceh Darus-salam ke 28 (1699-1701 M) dan Sulthan


40 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 40 Perkasa Alam Sayid Jafar Bhadiq Syarif Alam Toi Sulthan Darussalam ke 30 (1709-1711 M). Setelah mendengar pengaduan Raja Tan Kuala maka Ratu Kema-lat Syah mengirim utusan ke Benua Tunu untuk menjemput Raja Penita, datanglah raja Penita menghadap ratu di Kuta Raja, sebelum dilakukan sidang untuk mengambil keputusan terhadap kedua raja Tamiang terse-but, Ratu mengadakan jamuan di istana, dimana dihalaman istana terdapat dua ekor anak gajah yang sedang bermain-main dengan kakinya bergelang emas, dijaga oleh dua orang gembala keturunan Sindi Heydera-bad (India), selesai menyantap makanan kemudian pelayan istana mengangkat hidangan buah-buahan untuk para tamu istana, tiba-tiba Gajah tersebut mengangkat belalainya untuk meminta buah-buahan yang sedang dibawa pelayan, namun pelayan tidak memberikan dan mengelak dari belalai gajah tersebut, sehingga gajah menjadi marah lalu mengejar pelayan tersebut. Melihat kejadian ini Raja Penita tidak tinggal diam segera melompat dari tempat duduknya di Balai Agung mengejar gajah yang akan menyerang pelayan istana, hal ini mendapat reaksi dari gajah sehingga ia berbalik menyerang Raja Penita. Dengan kekuatan yang luar biasa raja Penita segera menyentak ekor gajah yang mengakibatkan gajah tersebut terjerembab roboh dan tidak berkutik lagi. Melihat kejadian tersebut Ratu Kemalat Syah merasa heran dan ternyata membawa penga-ruh terhadap keputusan yang akan diambil, maka keesokan harinya sidang Dewan Sulthanaat Istimewa mendadak segera dilakukan. Dari hasil sidang keputusan Dewan memberi kepuasan dari kedua belah pihak dimana Negeri Tamiang di pecah menjadi dua daerah lagi yaitu: 1. Raja Tan Kuala diakui sebagai raja yang berkuasa di daerah Wilayah Sungai Simpang Kanan dengan ketentuan, dari puncak gunung hijau yang tertinggi hingga kelaut


41 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 41 ombak memecah Sungai Tamiang yang menjadi perbatasan dibagi pula dua. Segala air-air yang mengalir turun mengikut sungai-sungai kecil (alur-alur) kedalam Sungai Sim-pang Kanan yang termasuk dalam wilayah Daerah Karang. Ratu Kemalat Syah memberi gelar kepada Raja Tan Kuala yaitu Raja Keujruёn Kuala di Kareuёng, pengesahan dengan sarakata Cap Sikureueng serta mendapat hak tumpang gantung (hak Otonomi) dan wilayahnya disebut Keurajeuёn Kareuёng, orang Tamiang menyebut-nya “Raja Kejruan Kuala di Karang”. 2. Raja Penita diakui sebagai raja yang berkuasa dalam wilayah Sungai Simpang Kiri, dengan wilayah kekuasaan dari Puncak Gunung Hijau yang tertinggi tektek damar hingga menuju kelaut ombak memecah dari Sungai Tamiang menjadi perbatasan dibagi dua bagian. Segala air yang turun mengikut sungai-sungai kecil (alur-alur) yang mengalir kedalam sungai Simpang Kiri (kiri dan kanan sungai Simpang Kiri) mulai dari Pucuk masuk dalam kekuasaan daerah Tamiang Hulu. Ratu Kemalat Syah memberi gelar Raja ini dengan “Raja Keujreuёn Muda Penita Po Segajah dan pemerintahannya disebut “Kerajeuёn Temiёng Tunong”. Orang Tamiang menyebut sesuai dengan logatnya “Raja Kejuruan Muda Po Segajah” dan daerah pemerintahannya dise-but “Kerajaan Tamiang Hulu”. Daerah ini juga mendapat Sarakata pengesahan yang resmi Cap sikureuёng dan hak Tumpang gantong (Hak otonomi mengurus wilayah sendiri). Selesai sidang Dewan Sulthanaat Istimewa membuat keputusan yang tidak merugikan kedua belah pihak, kedua raja tersebut bersumpah dihadapan Ratu : “Kelangit tide bepucok ke bumi tide berakar


42 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 42 Ditengah-tengah dikurok Kumbang Selame Gagak, hitam bulunye Antare perbatasan Negeri Kami Keduwe Barang siape mungkir dikutok sumpah”. Artinya ; “Kelangit tidak berpucuk, kedalam bumi tidak berakar, Dtitengah-tengah dikorek Kumbang, Selama Burung Gagak masih hitam bulunya, Antara p[erbatasan Negeri kami berdua, Barang siapa yang mengingkarinya dikutuk sumpah.19 Setelah bersumpah Ratu Kemalat Syah memberikan amanat kepada kedua raja tersebut, kemudian merekapun berangkat pulang ke negeri Tamiang. Dari sinilah asal mulanya keturunan suku Po Nita memiliki tena ga yang kuat secara turun temurun dan turunan Po Nita ini juga disebut keturunan Muda Sedia. Setelah Raja Po Nita yang merupakan raja Kejeruan Muda perta-ma mangkat, maka ia digantikan oleh puteranya yaitu Raja Po Agam (raja Kejeruan Muda ke II), memerintah tahun 1700–1737 M, Dalam pemerintah annya ia giat membangun kerajaan peninggalan Po Nita sehingga terus berkembang pesat. setelah mangkat ia diganti oleh adiknya yang bernama Raja Po Kecik sebagai raja Kejeruan Muda ke III memerintah tahun 1737–1770 M. setelah beliau mangkat diganti oleh puteranya yaitu Raja Po Penoh yaitu raja Kejeruan Muda ke IV tahun 1770–1800 M. Kemudian ia diganti oleh Adiknya yang bernama Raja Po Bahna sebagai raja Kejeruan Muda ke V tahun 1800 – 1836 M. setelah mangkat ia diganti oleh Raja Po Rum, sebagai raja Kejeruan Muda ke VI, tahun 1836 – 1860 M. Kemudian setelah mangkat diganti lagi oleh 19. H.M. Zainuddin, Op Cit halaman 138.


43 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 43 Putera Raja Po Penoh (raja Kejeruan Muda IV) yaitu Raja Po Gading, sebagai raja Kejeruan Tamiang keVII, tahun 1860– 1866 M. Mangkat raja ini diganti lagi oleh Raja Po Gondan sebagai raja Kejeruan Muda ke VIII memerintah tahun 1866– 1872 M, yaitu adik dari raja Po Rum yang juga anak dari raja Po Bahna. Selain kedua putera tersebut, Raja Po Bahna juga memiliki seorang putera yang hanya sebagai raja Muda dan tidak menjabat sebagai raja yaitu Raja Muda Po Seupot. Ketika Raja Po Gondan wafat ia diganti oleh peuteranya yaitu Raja Po Nyak Cut (tahun 1872–1887 M) sebagai raja Kejeruan Muda ke IX. Dan kemudian wafat ia diganti oleh putera dari raja Muda Po Seupot yaitu Raja Ma’an (tahun1887 –1893 M) sebagai raja Kejeruan Muda ke X. Pada saat pemerintahannya raja ma’an bersekutu dengan Belanda, menja di kaki tangan Belanda ketika Belanda akan menyerang Raja Ben Raja dan Raja Silang sebagai raja Karang, namun dalam perjalanan untuk mensiasati raja silang ke Kampung Air Tenang ketika melewati sungai air Tenang ia ditembak oleh pengawal raja Silang dan tewas. Kejadian ini membuat pihak Belanda sangat marah dan berusaha keras untuk menak-lukan raja Silang. Atas kematian Raja Ma’an, Belanda mengangkat Raja Husein (Mangku Raja) yaitu adik dari raja Ma’an sebagai Mangku Raja karena anak dari Raja Ma’an waktu itu masih kecil. Namun ketika terjadi penyerangan terhadap Belanda sehingga Belanda menjadi marah dan menangkap Raja Husein di Marlempang pada tahun 1895 dan membuang nya ke Batu Bara dengan hukuman penjara selama 6 tahun, dengan demikian Raja Husein juga telah di khianati oleh Belanda yang telah memanfaatkannya. Dalam peristiwa perlawanan terhadap Belanda sampailah kepada pemerintahan sipilnya maka yang melanjutkan raja Kejeruan Muda adalah Raja Habsjah (anak dari Raja Ma’an) yaitu Raja Kejuruan Muda XI mulai tahun 1895, setelah wafat ia digantikan oleh puteranya yang tertua


44 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 44 yaitu Raja sulong yang merupakan Raja Kejuruan muda ke XII (yang terakhir sampai dengan tahun1946), wafat dalam suatu insiden di daerah Blang Jruen Lhok Sukon dan dimakamkan disana, pada tahun 1982 atas inisiatif keluarga zenazahnya dipindahkan dan dimakamkan didesa Bukit Tempu-rung Kualasimpang. Selain Raja Sulong Raja Habsjah memiliki anak lain yaitu “Tengku Maimon Habsyah” dan “Tengku Syahrul Amany”, namun keduanya belum sempat menjabat sebagai raja hingga akhirnya kerajaan lebur, Indonesia Merdeka. Dari dua kerajaan tersebut diatas dengan pengaruh kekuasaan dan penyerangan Belanda, menjadi pecah lagi dan lahirlah tambahan yang baru yaitu Negeri Bendahara dibawah pemerintahan Po Cut Achmad gelar raja Bendahara I (1837 – 1871 M.) Po Cut Achmad atau Teuku Raja Achmad adalah anak Panglima Deli yang juga mendapat Cap Sikureung dari Sulthan Aceh dengan Daerah Perwalian bawahannya Yaitu :- Seruway - Sungei Iyu, - Telaga Meuku. Daerah Perwalian Kejuruan Muda ialah Negeri Kaluy. Disamping pusat-pusat kerajaan ada juga Kampung-kampung yang ham-pir sama peranannya dengan pusat-pusat kerajaan tersebut yaitu : Negeri Kejuruan Karang terdiri dari : Batu Bedulang, -Lubuk Tanggal Subang, -Kampung Segeredok, -Lubuk Pika, -Pantai Tinjau,-Menanggini, -Sekumur,-Rantau Panjang, -Alur Bemban, -Perupok, -Serba, -Air Tenang. Negeri Kejuruan Muda ; -Kampung Rongoh, -Kalui, -Lubuk Mandah, - Seumadam, - Minuran, - Tanjung Mancang, - Benua Tunu, Paya Perang, -Kuta Lintang, -Bukit Culim, -Alur Manis,- Bukit Selamat dan Lain-lain. Negeri Bendahara; Paya Kelubi, -U p a h, -Lubuk Batil, -Rantau Pakam, -Telaga Meuku, Sungai Iyu, Tanjung Mulia,Tanjung,


45 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 45 Kampung Raja dan Mesjid, Sungai Kuruk, Arung Gajah dan lain-lain. 3. Tamiang Menentang Belanda20 Pada tahun 1788 terjadilah huru hara di daerah Tamiang Hilir yaitu di Pantai Beringin dan Bukit Selamat yang dilakukan oleh Orang-orang Barat (Belanda) yang datang hendak menguasai daerah tersebut, Kampung-kampung di Bakar rakyat banyak terbunuh dan harta-harta benda banyak yang musnah dan dirampok, melihat kejadian ini Raja Kejuruan Karang yaitu Raja Banta Tan Segia dan Raja Kejuruan Muda IV yaitu Raja Pengoh mengambil inisiatif dengan hasil musyawarah untuk melaporkan kejadian ini kepada Panglima Deli (Pocut Panglima Deli Syamsuddin) sebagai wakil Sulthan Aceh di Teluk Haru. Atas laporan itu Panglima Deli mengambil sikap dengan memerintahkan kedua adiknya Po Cut Tengoh (Po CutTeungoh Zainal Abidin) dan Po Cut Gat memimpin mengamankan dari mulai Bukit Selamat menuju ke hilir dan Panglima Deli sendiri mengambil wilayah pengamanan mulai dari Pantai Beringin (Upak) ke Hilir. Dalam pertempuran ini Po Cut Gat Tewas didekat seberang Upak. Setelah Kekacauan tersebut aman karena bantuan Panglima Deli, maka sebagai balas jasanya Raja-raja Kejuruan Muda dan Kejuruan Karang sepakat, Tamiang hilir daerah Utara mulai dari Pantai Beringin ke Selat Melaka dijadikan perwalian Karang dan wilayah Tamiang hilir bagian Sela-tan mulai dari Bukit Selamat ke Selat Melaka menjadi daerah perwalian Kejuruan Muda. Dengan pembagian tersebut maka Panglima Deli mendiri-kan ibu Negeri Perwalian di Tanjung Mulia dan adiknya Teuku Tengoh di seruway. 20 . O.K. Mahmunarrasjid, Tamiang dalam Cukilan Sejarah Tanah air (dalam Monografi Aceh Timur 1973). lampiran halaman 17.


46 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 46 Setelah Panglima Deli Mangkat maka ia diganti oleh anaknya Teuku Achmad (1837-1871), dan Teuku Tengoh mangkat digantikan oleh anak-nya Teuku Usman (1858 - 1864). Teuku Achmad atas anjuran orang-orang besarnya tanpa sepengetahuan Teuku Usman lalu menghadap Sulthan Aceh pada masa Sulthan Alaidin Mansursyah, dan Sulthan mengakui Teuku Raja Achmad sebagai Raja Bendahara dengan mendapat cap Sikureung dan memerintah seluruh daerah Tamiang Hilir yang meliputi : a. Sebelah Selatan mulai dari Bukit Selamat sampai ke Selat Melaka, sebelah Timurnya berbatas dengan Besitang. b. Sebelah utara sungai Tamiang mulai pantai Beringin (Upak) sampai ke Selat Melaka, kesebelah Baratnya termasuk Sungai Iyu, Tualang Cut, Manyak Payed hingga sungai Raja Tua. Setelah Teuku Achmad merasa telah berkuasa penuh atas Kerajaan Bendahara (Tamiang Hilir) maka ia menetapkan susunan daerah bawahannya sebagai berikut : I. Kedatukan IV Suku terdiri atas ; a. Kedatukan IV Suku di Lubuk Batil. b. Kedatukan IV Suku di Tanjung. c. Kedatukan IV Suku di Paya Petan. d. Kedatukan IV Suku di Tumpok Tengah. II. Daerah Perwalian; a. Daerah Perwalian Pantai Beringin (Datok Panglima Raja). b. Daerah Perwalian telaga Meuku termasuk Manyak Payed. III. Daerah Istimewa. a. Daerah Negeri Istimewa Sungai Iyu. b. Daerah Negeri IStimewa Seruway.


47 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 47 Dengan berdirinya Kerajaan Bendahara maka Seruway dibawah pimpinan Teuku Usman harus tunduk kepada Teuku Achmad sebagai Raja Bendahara I, hal ini tidak dapat diterima oleh Teuku Usman. Meski-pun mereka adalah bersaudara (adik sepupu), namun hal ini telah menim-bulkan dendam dihati Teuku Usman. Melihat gelagat ini dan untuk menghindari segala kemungkinan yang bisa terjadi maka Teuku Achmad mengadakan musyawarah di Sungai Kuruk dengan di sertai oleh Datok Imum Balai, Datok Setia Sri Maharaja, Datok Lela Perkasa dan Datok Panglima Besar. Sedang dipihak Teuku Usman turut serta Datok Temeng gung, Datok Bendahara Sungai Kurok, Datok Bandar Setia Raja dan Da-tok Hakim Air Tawar. Namun musyawarah tersebut tidak mendapat suatu keputusan karena Teuku Usman tetap tidak mau tunduk kepada Teuku Achmad sebagai Raja Bendahara, untuk memuaskan hatinya meskipun Teuku Achmad telah mendapat pengakuan Sulthan Aceh namun Teuku Usman menggabungkan wilayahnya ke Siak, maka terjadilah perang saudara yang mengakibatkan Teuku Usman tewas pada tahun 1864, isteri dan puteranya Teuku Sulung Laut lari ke Langkat untuk meminta perlin-dungan kepada Tengku Musa Pangeran Langkat, yang kemudian isteri Teuku Usman dikawini oleh Tengku Musa Pangeran Langkat (menjadi Isterinya). Pada tahun 1857 Kerajaan Siak Sri Indrapura dibawah kekuasaan Raja Ismail menanda tangani perjanjian dengan Belanda yang dikenal dengan perjanjian SIAK. Isi perjanjian Siak tersebut adalah Belanda mengakui seluruh daerah Sumatera Timur meliputi kerajaan Siak Sri Indrapura dan seluruh rajarajanya harus tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Siak sampai batas Sungai Tamiang, sehingga kerajaankerajaan kecil Tamiang Hilir dan Tamiang Hulu harus tunduk dibawah kekuasaan Siak.


48 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 48 Perjanjian ini tidak langsung diterima oleh Raja-raja Tamiang namun setelah terjadi penyerangan Belanda dan Siak akhirnya Tamiang (Tamiang Hilir dan Bendahara) terpaksa takluk kepada Siak. Kejadian ini membuat Sulthan Aceh Darussalam ke 41 (Sulthan Alaiddin Ibrahim Mansyursyah (1838-1870 M) murka dan selalu menyerang negeri Bendahara sehingga meskipun T.R. Achmad sebagai Raja Bendahara telah menanda Tangani perjanjian Siak dan Belanda, ia tidak berani tinggal di Tamiang dan lari ke Melaka. Setelah Tamiang dirampas oleh Belanda keseluruhan-nya (1893) barulah Raja Achmad kembali ke Seruway. Pada bulan Oktober 1865 T.Sulung Laut menyerahkan Seruway (Tamiang Hilir Selatan) kepada Belanda yang pada waktu itu telah menguasai Sumatera Timur (Khususnya Deli) bergabung dengan Langkat dan menjadi bawahan Sulthan Langkat, yang kemudian Belanda mengetahui Seruway ingin memisahkan diri dengan Bendahara maka diputuskannyalah hubungan dan Belanda menetapkan Pangeran Langkat menjadi kesulthanan, dengan demikian Belanda mulai mencampuri segala urusan Tamiang lewat sulthan Langkat. Agaknya Teuku sulung Laut telah dijadikan umpan oleh Sulthan Langkat untuk kepentingan ekspansi Belanda. Hal ini telah mengecewakan rakyat Tamiang dan membuat Raja-raja Tamiang marah dan membeikot T. sulung Laut, sementara itu kapal-kapal Belanda telah banyak diperaian Tamiang serta menangkap pedagang-pedagang Tamiang yang melakukan perdagangan dengan Malaya (Malaka dan Penang), maka Raja-raja Tamiang melakukan musyawarah dengan Teuku Itam wakil Sulthan Aceh yang ada di Pulau Kampai untuk mengatasi Belanda yang sewenang-wenang tersebut. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan tersebut Belanda tidak gegabah dengan penuh kesabaran ia mengundang Raja-raja Tamiang lewat sulthan Langkat dan


49 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 49 mengadakan pertemuan diatas kapal perangnya, dalam pertemuan tersebut Belanda memberi solusi terhadap kecemasan Raja-raja Tamiang yaitu Belanda tidak akan mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan Karang, Kerajaan Kejuruan Muda dan Kerajaan Bendahara dengan persyaratan bahwa : ▪ Raja-raja Tamiang harus mengakui T. Sulung Laut sebagai raja Seruway yang bergabung ke Langkat lepas dari Bendahara. ▪ Bendahara harus bertanggung jawab tentang kematian T. Usman (ayah T.Sulung Laut) yang terbunuh dalam perang saudara dengan Raja Achmad. ▪ Raja-raja Tamiang harus membayar pajak perdagangan yang di perdagangkan dengan luar negeri (cukai barang-barang keluar/ masuk). Pertemuan tersebut gagal semua persyaratan ditolak oleh Raja Tamiang bahkan Raja T. R. Achmad bekerja sama dengan Raja Muda Cik (Ampon Cik/Teuku Keujerun Chiek Ismail Siddik) Perwalian Sungai Iyu (ke4) untuk meningkatkan intensitas perdagangan ke luar negeri. Istana Ampon Cik Perwalian Sungai Iyu terletak didesa Suka Mulia Bandar Sungai Iyu, sejak masa D.I. bergejolak (kira-kira tahun 1953) Istana ini dijual kepada Rakyat dan dirubah menjadi mesjid Kecamatan, gardu Upas (Pos Penjagaan) yang terletak didepan pintu gerbang istana sejak Sungai Iyu menjadi Keca matan Bendahara (1961) dijadikan kantor Polisi Sektor Bendahara sampai tahun 1975. Kerjasama Raja T. Acmad dengan Raja Muda Cik ini tidak membuat Belanda tinggal diam mereka tetap melakukan negosiasi lewat sulthan langkat dengan mengadakan pertemuan untuk yang kedua yaitu di Pulau Kampai dengan dihadiri oleh :Raja Ben Raja (Raja Achmad Banta) dari Karang,


50 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 50 Raja Nyak Cut dari Kejuruan Muda, sedangkan dari Bendahara hanya mengirimkan utusannya. Dari hasil pertemuan itu didapatilah kepu-tusan bahwa : 1. Raja-raja Tamiang Hulu dan Raja-raja Karang mengakui T. Sulung Laut dengan gelar Sutan Muda Indera Kesuma II sebagai raja Tamiang Hilir/Seruway (dari bukit Selamat ke Selat Melaka meliputi sebelah Selatan Sungai Tamiang ke Timur adalah merupakan daerah kesatuan kerajaan Langkat). 2. Raja-raja Tamiang telah bersedia bekerja sama dengan Belanda hanya dalam urusan dagang saja. 3. Hanya raja Bendahara yang tetap menolak pengakuan terhadap Sulung Laut. Pada tahun 1874 Perang Aceh berkecamuk, akibat dari Bendaha-ra menolak pengakuan terhadap T. Sulung Laut sebagai Raja Seruway yang tunduk ke Langkat maka Belanda memutuskan untuk menyerang Tamiang daerah Karang, Kejuruan Muda dan Bendahara dengan mengharap bantuan dari Sultan muda Seruway. Penyerangan dilakukan melalui darat dan laut. Sementara itu Tengku Muda Cik juga sebagai kepala Perwalian Sungai Iyu mendesak raja Bendahara agar melepaskan daerah Perwalian sungai Iyu berdiri sendiri tanpa pengaruh Bendahara. Pada bulan januari 1878 dengan ditempatkannya Controleur yang mewakili Belanda di Seruway (Negeri Sulung Laut) yaitu “NEUVEN” dibawah pengawasan Asistent Resident Van Deli (Sekarang setingkat Camat), maka dinyatakanlah daerah tersebut dimasukkan ke Sumatera Timur (Deli). Sementara itu benteng-benteng pertahanan di Puntipun (Ibu negeri kerajaan Seruway) diperkuat kemudian raja Karang dan Raja Bendahara meminta bantuan kepada Nyak Makam dari Lam Age dan las-kar dari Perelak untuk membuat pertahanan di Seruway jika sewaktu-waktu ada serangan Belanda.


51 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 51 Pada bulan Desember 1878 laskar Tamiang melakukan penyerangan terhadap pos penjagaan Belanda di Bukit Selamat secara tiba-tiba dan mendadak sehingga Belanda merasa kewalahan, 14 orang serdadu Belanda mati dan 5 orang luka parah. Sejak kejadian itu perairan Sungai Tamiang dijaga ketat sehingga kapal patroli Belanda tidak berani untuk melintas menuju keutara untuk mendarat. Berselang tujuh tahun kemudian setelah berbagai upaya yang dilakukan oleh Raja-raja Tamiang untuk menyusun siasat melawan Belanda, pada 8 Agustus 1885 laskar-laskar Tamiang kembali menyerang kota dan tangsi-tangsi Belanda di Seruway, kantor Pabean di Pulau Kampai, seterusnya menyerang rumah penjara di Seruway dan pos Belanda di Salahaji. Awal tahun 1886 Belanda mendatangkan bantuan 1 Opsier 42 serdadu ke Seruway dan pasukan Mobile Brigade (MobBrig) sekarang Brigade Mobile (Brigmob) terdiri dari 3 Opsier dan 121 serdadu Bumi putera karena benteng Seruway (Kampung Punti) diserang oleh Laskar Tamiang selama tiga hari tiga malam. Akibat bantuan yang besar dikirim oleh Belanda maka sistem serangan pihak Tamiang dirubah dari sistem frontal dijadikan sistem pencegatan dengan tetap melihat peluang untuk melakukan serangan. Hal ini membuat Belanda berang sehingga ia menambah lagi bantuan dengan mengirim 200 tentara dan berpuluh-puluh meriam gunung, kemudian laskar-laskar Tamiang membangun markas dikampung Mesjid Bendahara sebelah kanan mudik Sungai Tamiang (sekarang kantor PDAM Bendahara) berhadapan dengan markas Belanda diseberang sungai disebelah kiri mudik Sungai Tamiang daerah Kampung Punti (sekarang dekat dengan kantor PDAM/Kantor Koramil Seruway) dan Belanda membuat benteng dekat kerajaan Seruway, sedangkan laskar Tamiang membangun benteng menyusuri kanan mudik Sungai Tamiang mulai dari Rantau Pakam ke


52 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 52 Lubuk Batil didaerah Kerajaan Bendahara. Laskar-laskar Tamiang terus mengganas dengan membakar rumah-rumah penduduk di Seruway yang membantu Belanda, 3 sekoci dari kapal H.M. Sindoro yang hendak mendarat di Rantau Pakam di Tenggelamkan sehingga anak buahnya mati tenggelam, tidak cukup sampai disitu rumah Kapten Lie Sen Sie (Kapten Cina) pun di Bakar. Belanda menambah lagi kekuatan dengan mengirim 1 Opsier dengan 25 orang serdadu dan 1 Opsier dengan 28 orang serdadu dan 1 meriam Gunung 8 C.M. dan kapal – kapal kecil guna untuk membuang ranjau-ranjau yang ada di daerah Sungai Rantau Pakam. Ketika kapal Sindoro pulang ke Belawan pada malam hari diserang oleh laskar Tamiang sebanyak 3 pon peluru menembus kamar mesin. Melihat laskar Tamiang terus melakukan perlawanan dan penyerangan yang dahsyat maka Belanda mendatangkan bantuan lagi ke Seruway 1 pasukan Mobile Brigade (MobBrig) dari Medan bergabung dengan angkatan laut dan darat, tentera-tentera di Kualasimpang yang didatangkan dari Pangkalan Berandan via Sala Haji. Karena sikap Belanda yang semakin melampaui batas memasukkan pasukannya, maka pada tanggal 16 Nopember 1889 Raja silang mengam-bil sikap untuk membatalkan perjanjiannya dengan memutuskan hubung-an perdagangan serta menyatakan akan angkat senjata untuk melawan Belanda. Sikap ini didukung oleh adiknya yaitu Raja Umar (yang berasal dari ibu keturunan Gayo), Raja Umar membawa bantuan orang-orang Gayo dari Pinding dan Lokop untuk membantu Raja silang menyerang Belanda. Berselang empat tahun kemudian Belanda telah merencanakan ingin melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Tamiang, maka pada tanggal 13 Februari 1893 dimasukkanlah berpuluh-puluh sekoci dan kapal kecil yang


53 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 53 membawa 2 kompi Infantri dan 2 buah meriam gunung dan para tenaga medis ke pelabuhan (boom) Sungai Seruway. Pada tanggal 14 -15 Februari 1893 masuklah pasukan Belanda seiring dengan air pa-sang besar menuju Seruway, tepat pada hari Sabtu tanggal 16 Februari 1893 subuh hari, Belanda menyerang secara beruntun Tanjung Mulia (Pangkal Timbang) yang terletak berseberangan dengan Seruway secara membabi buta memakai senapan dan meriam gunung, kemudian dengan memakai sekoci tentera-tentera diseberangkan mendarat di Bendahara dan pada sore hari penyerangan selesai setelah Belanda menaklukan benteng Rakyat di Tanjung Jabi dibawah pimpinan Datok Tanjung, rumah rakyat disekitarnya dibakar dan tempat kediaman Raja Bendahara telah mereka kuasai. Jalan-jalan yang menutup menuju benteng Lubuk Batil mereka tembaki hingga menjelang malam barulah pasukan-pasukan yang ada di Bendahara kembali menyeberang ke Seruway, namun ketika posisi mereka dipertengahan sungai terjadilah penembakan dari arah sayap kiri pertahanan Bendahara sehingga 5 orang mati dan 3 orang luka-luka, Mereka yang mati dan mayat-mayat korban dari bendahara dikuburkan di perkuburan Arung Gajah Seruway, selang beberapa hari kemudian mere-ka kembali ke Labuhan via Salahaji. Pada hari Senin tanggal 18 maret 1893 rakyat memasang ranjau di sungai Pasir Putih, padahal kapal penyapu ranjau Belanda terus meronda diperairan sungai Tamiang, Pada tanggal 29 maret 1893 Belanda mendatangkan kembali ekspedisi baru dari Medan ke Seruway dibawah pimpinan Kolonel A.H.V.D. Pol dengan kekuatan 8 opsir, 200 orang serdadu dan 2 meriam gunung ditambah lagi kapal perang kecil yang membawa serdadu angkat-an laut Berbangsa Belanda dan 1 Divisi pendaratan terdiri dari 120 orang. Ketika mereka mendarat di sungai Pasir Putih dimana 500 meter kehilir sungai


54 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 54 tersebut terdapat benteng pertahanan rakyat Tamiang, terjadilah penyerangan hebat oleh rakyat dan mengakibatkan serdadu tewas 30 orang dan 9 orang luka-luka sedangkan dipihak lasykar Tamiang 9 orang tewas dan 12 luka-luka. Ketika Belanda telah merencanakan ingin menyerang benteng-benteng di Lubuk batil yang terdiri dari 7 buah benteng, raja-raja Tamiang yang terdiri dari pimpinan Panglima Dasa dan Panglima Asa dari Kaloi Tamiang Hulu mempertahankan 2 benteng, Pimpinan Tengku Panglima Ibrahim dari Tanjung Mancang (Kejuruan Muda) mempertahankan 1 benteng, Pimpinan Poeg Jaring dari Kejuruan Karang mempertahankan 1 benteng, dibawah pimpinan Datok Lela Perkasa 1 benteng, Datok Setia Sri Maharaja mempertahankan 1 benteng dan tengku Banta Achmad mempertahankan 1 benteng, masing-masing dari Sungai Iyu. Tengku Banta Achmad merupakan panglima perang yang masih muda dan perkasa, berdasarkan silsilahnya berasal dari keturunan Raja-raja Turki. Maka pada hari selasa tanggal 2 April 1893 sekitar jam 5ºº pagi terjadilah penyerangan besar-besaran tersebut dibawah pimpinan Kolonel Van Der pol. Lasykar dari raja-raja Tamiang tak ada satupun yang mundur karena hanya satu sumpah mereka “syahid untuk agama dan bangsa mereka”. Serangan Belandapun semakin Gencarnya berapapun banyaknya pasu-kan yang mati bantuan terus didatangkan oleh Van Der Pol, Kapal-kapal perang kecil dan sekoci dengan pengawalan ketat terus mendaratkan serdadunya hingga sore hari jam 17ºº, namun lasykar di masingmasing Panglima Tamiang tetap gigih mempertahankan bentengnya. Sekitar jam 15ºº petang benteng terdepan dibawah pimpinan Tengku Banta Achmad kehabisan peluru, sementara serdadu Belanda terus merapat kebenteng tersebut dan akhirnya mereka memanjat benteng de-ngan tangga masuk kedalam,


55 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 55 sehingga terjadilah perang pedang yang sangat hebat didalam benteng tersebut sementara Belanda terus menye-rang masuk kedalam benteng, dipihak T. Banta Achmad sebanyak 60 Orang lasykar telah syahid (gugur) dalam peperangan itu, melihat kejadian ini Raja T. Banta Achmad langsung melompat keluar benteng untuk menyerang musuh yang ada diluar, namun malang bagi T.Banta Achmad ia ditembak oleh serdadu Belanda mengenai bahunya dan iapun rubuh, dalam keadaan kebingungan pengawalnya Datok Panglima Musa, Nyak Mud, Nyak Amin dan Datok Panglima Nyak Cut sempat membawa Raja T. Banta Achmad menyelinap disembunyikan didalam sebuah paya kering yang ditumbuhi pohon kumbuh (menerong) di Lambung Blang (dekat Lubuk Batil), seketika itu pula serangan Belanda terhadap benteng ini menjadi reda, kemudian Belanda mengarahkan sasarannya untuk menyer-bu benteng Tempok Tengah dibawah pimpinan Datok Lela Perkasa sehingga benteng tersebut musnah dan korbanpun jatuh dikedua belah pihak sangat banyaknya, setelah menjelang magrib tentera Belanda menyeberang lagi ke Seruway. Pada malam itu juga Selasa tanggal 2 april 1893 yang bertepatan dengan 16 Ramadhan 1311 H. ketika situasi sudah agak tenang Raja Tengku Banta Achmad dibawa pulang ke Tengku Tinggi ke rumah Po Cut Sanan, setiba di sana pada malam itu juga raja Tengku Banta Achmad menghembuskan nafas yang terakhir, syahid sebagai panglima perang yang masih lajang, ia dimakamkan di Tanah Tinggi Kam-pung Hilir (sekarang Desa Bandar Baru) Sungai Iyu. Sampai sekarang kuburan tersebut masih terawat dan menjadi lambang kebesaran sejarah bagi masyarakat sungai Iyu dan nama Raja Tengku Banta Achmad telah dijadikan nama Gedung Pertemuan Kecamatan Bendahara di Sungai Iyu semasa Drs. Mohd. Iljas Wan Diman Menjabat Camat di sana.


56 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 56 Makam T Banta Achmad panjang ± 5 meter dan Pada Nisannya ditulis : DALAM PERINGATAN ; TEUKOE AMPON RADJA BANTA ACHMAD. PANGLIMA PERANG NEGERI SOENGAI IJOE (1890 – 1893 M) LAHIR TAHUN 1870 M. SYAHID : 16 RAMADHAN 1311 H. 2 APRIL 1893 M. DI FRONT PERANG TEMIANG DI LOEBOEK BATIL (BENDAHARA) POETRA DARI SRI PADOEKA TEUKOE AMPON MOEDA TJIHIK RAJA ATAS ATTAHASHI OELE BALANG TJIHIK (AGUNG) NEGERI SOENGAI IJOE IBNOE TEUKOE AMPON MAHARADJA MOEDA HOESIN ATTAHASHI GOEGOER MELAWAN TENTERA AGRESOR BELANDA PIMPINAN BRIGADIR GENERAL A.H. POLL. “KELOEARGA ATTAHASHI” RADJA-RADJA DARI KETOEROENAN BANGSA TOERKI. Dari segala peperangan kolonial di Tamiang dalam sejarah perang di Lubuk Batil dan Tempok Tengahlah yang merupakan peperangan ter-dahsyat yang memakan banyak korban jiwa dikedua belah pihak. Tercacat dipihak tentera belanda mati : Komandan Pos Seruway Let Van Der Schroeff. Let. Pelaut Mensert. Let. Pelaut Zelman. Let. Pelaut Enggelen.


57 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 57 dan 128 orang serdadu, yang kesemuanya dikuburkan di perkuburan militer Arung Gajah Seruway, sedangkan para Officieren dibawa ke Medan dan dibangunlah tugu peringatannya di depan Stasion Medan (depan La-pangan merdeka sekarang). Pada Sabtu 20 April 1893 sekoci Belanda di Sungai Iyu di serang oleh Lasykar Tamiang mengakibatkan 3 orang tentera laut Belanda tewas dan 2 orang luka parah. Pada hari Senin 6 mei 1893 Sieberg mengganti-kan Cotreleur Muda karena melihat penderitaan rakyat yang telah berke-panjangan sejak tahun 1874, kekuatan Belanda di Tamiang semakin bertambah terus sementara sejak panglima dari Aceh yaitu ; Panglima Nyak Makam menghilang maka kekuatan dan bantuan bagi Tamiang semakin menipis dan Raja Ma’an dari Kejuruan Mudapun datang langsung ke Seruway melalui T. Sulung Laut menyerah kepada Contreleur Sieberg, maka perlawanan Bendahara dan Kejuruan Muda pada Bulan Juni 1893 itu sudah tidak berarti lagi. Meskipun Bendahara dan Kejuruan Muda telah ditaklukkan namun Raja Ben Raja bersama dengan puteri Raja Silang (cucunya) dari Kejuruan Karang sangat marah dan tetap tidak mau menyerah serta terus melakukan perlawanan, akibatnya pada hari jumat tanggal 19 Juli 1893 Belanda menyerang Tanjong Semantok hingga musnah berantakan. Kemudian Contreleur Sieberg mengirim utusan kepada Raja Ben Raja (Kejuruan Karang) agar mau memenuhi undangan ke Seruway untuk berunding. Setelah mendapat undangan dari Belanda itu pada tanggal 12 Agustus 1893 Raja Ben Raja mengadakan musyawarah dengan Datok-datok dan Panglima-panglimanya untuk membicarakan masalah undang-an Contreleur Sieberg tersebut, hasil musyawarah menyepakati untuk menolak undangan itu dan menempatkan para panglima–panglimanya mulai dari Alur Bemban menyusuri kanan mudik Sungai


58 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 58 Tamiang hingga Air Tenang dan memerintahkan menembak setiap sekoci Belanda yang lewat. Menyikapi terhadap reaksi Belanda yang terus ingin berkuasa di Tamiang, Raja Silang mengadakan musyawarah dengan Panglima Cut Mamat dan pembesar-pembesar kerajaan pada tanggal 23 Agustus 1893 di Alur Bemban dengan mengambil sikap : 1. Perang Tamiang melawan Belanda akan terus dilaksanakan dibawah pimpinan Raja Silang. 2. Akan menghukum Raja Ma’an yang telah menyerah kepada Belanda di Seruway. 3. Mulai dari Alur Bemban menyusuri kanan mudik sungai Tamiang di tempatkan panglima-panglima sebagai benteng pertahanan. 4. Setiap sekoci milik Belanda yang melintasi perairan Sungai Tamiang tersebut harus ditembak Melihat perilaku dari Raja Silang dan Raja Ben Raja Contreleur Siberg menanggapi dengan penuh kesabaran dan pada tanggal 27 Agustus 1893 ia mengutuskan kembali Raja Ma’an ke Air Tenang dengan ditemani oleh Dt. Hakim, Dt. Tandil (O.K. Ajad) dan Raja Hitam adik kandung Raj Ma’an untuk menemui Raja Ben Raja Dan Raja Silang guna mengadakan perundingan berikutnya, namun ketika Raja Ma’an menyeberangi Sungai didaerah Kampung Air Tenang tepat pada jam 13ºº wib ia ditembak oleh anak buah Pang Badal atas perintahnya, yaitu salah seorang panglima dari T. Nyak Mamat karena didorong oleh rasa sentimennya terhadap Raja Ma’an, perahu yang ditumpangi oleh Raja Ma’anpun bocor dan tenggelam. Raja Ma’an dan Dt. Hakim kena sasaran peluru dan akhirnya tewas. Sedangkan O.K. Ajad terkena peluru namun tidak begitu parah dan dapat menyelamatkan diri, sementara Raja Hitam terus berenang ketepian namun tidak diberi kesempatan oleh lasykar Tamiang yang berada ditepian, setiap raja Hitam merapat ia mendapat pukulan


59 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 59 dikepalanya dengan popor senapan kemudian akhirnya raja Hitam mati tenggelam karena lemas kehabisan tenaga didalam air. Meskipun kejadian ini me-mang sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, namun T. Raja Silang merasa kecewa dan marah akibat tindakan Pang Badal dan anak buahnya yang tidak kesatria, Raja Silang memerintahkan agar T. Nyak Mamat beserta anak buahnya segera meninggalkan Tamiang. Setelah peristiwa air tenang itu terjadi, T. Raja Silang mengundang T. Nyak Mud dari Tanjung Mancang untuk datang ke Paya Awe guna membi-carakan penyerangan Belanda seterusnya dan menjelaskan tentang ke-matian Raja Ma’an yang dianggapnya sebagai suatu yang lumrah dalam masa perjuangan, raja Nyak Mud menerima tawaran tersebut, kemudian T. Raja Silang memberi pangkat kepada T. Nyak Mud sebagai Raja Muda Negeri Tamiang Hulu (Kejuruan Muda) meneruskan pemerintahan Raja Ma’an dengan pusat pemerintahan di Tanjung Mancang. Atas kejadian itu, pemerintah Belanda sangat marah dan pada tang-gal 10 Oktober 1893 menyatakan dengan tegas bahwa Raja Silang dan seluruh keluarga dan kerabatnya telah gugur haknya atas Kerajaan Ka-rang. Untuk membalas kematian raja Ma’an Belanda mempersenjatai rakyat Seruway negeri Sutan Muda Indera Kesuma (T. Sulung Laut) dan sebagian rakyat Tanjung Mancang yang dipimpin oleh O.K. Keling Dt. Temenggung untuk menyerang pertahanan Raja Silang di Alur Bemban, maka terjadilah perang saudara yang sangat hebatnya di Alur Bemban tersebut sehingga banyak korban berjatuhan dikedua belah pihak. Politik adu domba Belanda berhasil sehingga kejadian ini oleh Komandan Militer Belanda Letnan Kolonel J.W. Stemfoort dijadikannya alasan untuk bertin-dak terhadap Raja Silang, maka dikirimlah 100 orang tentara dengan menumpangi kapal “de Dreak”, – “de Anne”, - “de Langkat” menuju Karang dan dilakukan operasi


60 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 60 darat terus menerus, sehingga Raja Ben Raja dan Raja Silang beserta rombongan mengungsi ke Pedalaman bergabung dengan pejuang-pejuang dari Gayo. Dengan kematian Raja Ma’an maka atas persetujuan keluarganya Belanda Mengangkat Raja Husin sebagai Mangku Raja (karena putra Raja Ma’an yaitu Raja Adil masih kecil). Ternyata komitment Raja Nyak Mud dengan Raja Silang untuk memerangi Belanda hanya tipu muslihatnya saja, dimana sebenarnya Nyak Mud juga merasa tidak senang kepada Raja Silang atas kematiaan Raja Ma’an, maka secara diam-diam Raja Nyak Mud Tanjung Mancang melakukan hubungan ke Seruway dengan Raja Husein (Mangku Raja) untuk meminta bantuan guna menyerang Raja Silang (Raja Karang). Apa yang dilakukan oleh Nyak Mud ternyata dapat dipantau oleh T. Raja Silang, lalu pada tanggal 13 Oktober 1893 Raja Silang mengutus Datuk Perak menemui Raja Nyak Mud di Tanjung Mancang guna membicarakan hal tersebut, ternyata pertemuan itu menim-bulkan perdebatan yang hebat sehingga sampai pada klimaknya Datuk Perak mati dibunuh oleh Raja Nyak Mud. Raja Husein dan Tengku Sulung Laut membawa bantuan Belanda dari Seruway menemui Nyak Mud yang dikabarkan mendapat ancaman keras dari Raja Silang akibat kematian Datuk Perak. Kejadian ini menimbul-kan kemarahan T.Raja Umar (adik T.Raja Silang), lalu beliau mengajak anak buahnya untuk menyerang Tan-jung Mancang, namun serangan balasan dari lasykar Nyak Mud membuat Raja Umar dan kawan-kawan terpaksa mundur Karena telah terjadi kekosongan di negeri Kejuruan Karang, maka pada tanggal 9 November 1893 Resident Deli menetapkan Tengku Kejuruan Tandil seorang saudagar asal Bangsawan Serdang untuk mengurus Negeri Karang. Pengejaran terhadap Raja Silang dan Raja Ben Raja beserta ± 400 anak buahnya terus dilakukan, namun perlawanan terus


61 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 61 terjadi, sampai pada tanggal 6 Desember 1893 peperangan itu terus berlanjut sehingga anak perempuan raja silang ditembak oleh Belanda ketika tentera Belanda menyerang benteng raja Silang di Bukit Paya dekat Manyak Payed,akan tetapi tentera Belandapun merasa kewalahan setelah dipihaknya mendapat korban sebanyak 20 orang sehingga sebagian banyak yang melarikan diri. Pada tanggal 24 April 1894 terjadi lagi pertempuran didaerah Paya Awe 1 Opsir terdiri dari 20 orang bawahan dan 19 orang lainnya tewas dan lasykar Raja silang juga mendapat korban 10 orang tewas. Pada tanggal 17 November 1894 terjadi lagi penyerangan oleh Belanda di Paya Kulbi, dalam peperangan ini Raja Ben Raja ayahanda Raja Silang yang sudah Tua dan lemah ini tertangkap dan raja Umarpun terpaksa menyerah juga. Mereka dibawa menghadap Controleur di Seru-way. Kejadian ini membuat Raja Silang gundah, hal mana tercium oleh Belanda maka dimanfaatkanlah untuk menipu Raja Silang, dikirim utusan yang dipimpin oleh Tengku muda Ciq Kejuruan Sungai Iyu beserta rom-bongan pada tanggal 12 Desember 1894 tiba diBukit Mangga untuk me-ngadakan pertemuan dengan Raja Silang. Atas jaminan T. Raja Ciq maka Raja Silang di Bawa menghadap Contreleur untuk mengadakan perunding an dan setelah itu dijanjikan akan dipulangkan kembali. Setibanya di Seruway menghadap Cotreleur Sieberg dan pembesarpembesar, ditawar-kan kepada Raja Silang untuk melakukan kerjasama dengan Belanda, dan akan diangkat kembali menjadi Raja Karang serta ayahandanya Raja Ben Raja akan dibebaskan. Sikap yang tegar dan kukuh tetap dipegang oleh Raja Silang, dengan melirik penuh rasa curiga kepada T. Muda Ciq ia menjawab Kami orang-orang Tamiang adalah merdeka seperti burung-burung di udara, dan tidak akan bisa bekerja sama dengan Pemerintahan Belanda. Contreleur Sieberg merasa kecewa dengan sikap Raja Silang sehingga jaminan


62 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 62 tengku Ciq untuk mengembalikan Raja Silang menjadi tipuan belaka akhirnya T. Raja Silang beserta rombongan dan isteri juga anaknya yaitu Haji Sutan, Raja Madi, raja Tanjong dan H. Ibrahim di inter-nir (ditawan) oleh Belanda. Untuk melunakan hati Raja Silang, Belanda kembali menyerang Paya Kelubi pada Tanggal 7 Pebruari 1895 dengan kekuatan yang cukup besar, Benteng Raja Silang yang dijaga oleh Dt. Laksemana dan Datok Pang Jaring dengan kekuatan 20 Lasykar. Dalam peperangan ini Datok Pang Jaring Tewas dipihak Belanda 15 orang tewas 7 orang luka-luka dan 3 senjata dapat dirampas. Melihat situasi dan kekuatan yang tidak mengun-tungkan maka Datok Laksemana mundur dan bergabung ke Lokop dengan Panglima Tengku Tapa dari Gayo. Kejadian ini dimanfaatkan Belanda lagi untuk merayu Raja Silang agar mau bekerja sama, namun jawaban yang sama setiap kali berunding itu yang diucapkan Raja Silang, mereka tetap memerangi dan memusuhi Kafir (Kafir istilah buat Belanda karena non Islam). Sikap Raja Silang membuat Belanda dibawah Contreleur Sieberg hilang kesabaran, maka Raja Silang bersama dengan ayahnya Raja Ben Raja dibuang ke Bengka-lis dengan dasar keputusan Belanda No. 2. dasar art. 42 R.R. tanggal 12 Oktober 1895. Dalam pembuangan ini T. Raja Ben Raja meninggal dunia. Meskipun Raja Silang telah dibuang namun titik-titik pertahanan Tamiang yang masih tersisa tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda, seperti apa yang pernah dilakukan oleh Dt. Mamat di Marlempang pada tanggal 22 Oktober 1895, terjadi perlawanan dan kapal-kapal Belanda yang lewat ditembak sehingga banyak yang mati. Keesokan harinya akibat penyerang tersebut Belanda menyerang Marlempang dan menangkap Raja Husein dan Imam Sa’ad,


63 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 63 mereka di hukum di Batu Bara masing-masing 6 dan 7 tahun penjara. Semenjak Kerajaan Karang ditinggalkan oleh Raja silang dan Tengku Kejuruan Tandilpun berkuasa atas perintah Belanda, namun hal ini menimbulkan luka yang mendalam bagi pengikut-pengikut dan keturunan Raja Silang, maka berselang setahun kemudian tepatnya pada tanggal 16 dan 17 Juni 1896 Pang Kadhi dan Pang Ujud dengan 60 orang anggotanya membakar istana Kuta Tengku Kejuruan Tandil tersebut yang terletak berhadapan dengan benteng Belanda diseberang Kualasimpang. akibat-nya 6 orang mati pihak Kejuruan Tandil dan beliau sendiri mengalami luka-luka. Dipihak lain beberapa hari kemudian Dt. Pang Nyak Bardan dan Dt. Panglima Bakar melakukan penyerangan dan penghadangan terhadap patroli militer Belanda di Menirang, dalam peristiwa itu Pang Nyak Bardan tewas. Kejadian ini berlanjut untuk membalas kekejaman Belanda, pada tahun 1897 Lasykar Tamiang dengan 20 orang Gayo dan 20 Orang Aceh dengan jumlah keseluruhannya 120 orang bergabung menyusun kekuatan di Menirang dibawah pimpinan Tengku Tapa dari Gayo. Hal ini diketahui Belanda maka pada tanggal 27 September 1897 dikirimlah tentera yang terdiri dari 2 orang Opsir dan 100 orang tentera bersama Contreleur Van Tamiang dari Seruway berangkat menuju Menirang dan terjadilah pepe-rangan. Kekuatan Belanda lebih kuat,maka Tengku Tapa terpaksa mundur ke Lubuk Sidup kemudian terus lari ke Batang Ara dan akhirnya menuju benteng terakhir Raja Silang yang terletak di Batu Bedulang dibawah pimpinan Datok Penghulu Ragai dengan anak buahnya berasal dari Sera-wak (Kalimantan Utara). Untuk memperkuat pertahannya Belanda terus melakukan pengawalan ketat di Peraian Tamiang secara kontinu dengan sebuah kapal yang bernama “WILHELMINA”.


64 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 64 Sejak akhir tahun 1897 karena kekuatan Belanda sangat besar dan Tamiang telah dikuasainya maka lasykar Tamiang tidak pernah lagi mela-kukan penyerangan terhadap Belanda, sehingga tercatatlah dalam sejarah peperangan Tamiang melawan Belanda dimulai dari tanggal 27Januari 1874 s/d 27 September 1897 (± 23 tahun, kemudian Belanda barulah menyusun pemerintahan civilnya. Politik adu domba yang dilakukan Belanda terhadap Tamiang telah berhasil memecahkan persatuan antara negeri Karang dengan negeri Kejuruan Muda yaitu antara Raja silang dengan raja Ma’an yang diman-faatkan oleh Belanda serta diikuti oleh negeri bendahara dengan Ampon Chik Sungai Iyu juga dimanfaatkan oleh Belanda untuk bermusuhan de-ngan raja bendahara dan Raja Silang. Sebagai bukti sejarah dari pertem-puran itu dapat dilihat perkuburan militer Belanda di Arung Gajah Seruway dengan luas ± 2 Ha. (sekarang diatasnya telah dibangun perumahan dinas guru SD). 4. Tamiang Dibawah Pemerintahan Civil Belanda. Dengan berakhirnya peperangan Tamiang dan Belanda pada tang-gal 27 September 1897 berarti merupakan awal terbentuknya pemerintah-an sipil bagi Belanda di Tamiang, yang berarti seluruh Tamiang telah dikuasai oleh Belanda dengan politik pecah belahnya (devide at impera). Dalam Pemerintahan sipil Belanda, sistem Pemerintahannya berbentuk Onder Afdelling yang dipimpin oleh seorang Contreleur yang membawahi landschap-landschap yang dikepalai oleh Zelfbestuurder. Sejarah membuktikan bahwa daerah Tamiang pertama yang dikuasai Belanda adalah Seruway, hal ini terjadi akibat konflik antara T. Usman dengan abang sewalinya T. Raja Achmad (Raja Bendahara I) yang telah dimanfaatkan oleh Belanda maka tahun 1865 ditempatkanlah seorang Contreleur B.B. (Neuman) kemudian


65 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 65 diganti oleh Sieberg dan pada tahun 1878 Seruway tunduk dalam kekuasaan Van Deli. Pada tahun1908 atas desakan Raja-Raja Tamiang agar Tamiang keluar dari Residentie Sumatera Timur dan masuk kedalam Gouverment Aceh en Onderhoorigheden dan disatukan dengan Afdelling Aceh Timur maka keluarlah surat Stosteblad (Stbl) tahun 1908 No. 112. dan ditetapkanlah Tamiang menjadi bentuk status hukum Onderafdelling dibawah pimpinan seorang Controleur B.B. dibantu oleh seorang Adspirant Controleur, semula di Seruway kemudian tahun 1908 dipindahkan ke Kualasimpang. Sejak 1 April 1908 Onderafdelling Tamiang keluar dari Afdelling Deli, seluruh kerajaan yang ada di Tamiang dijadikan Landschaps. Dalam Pemerintahan sipil Belanda seluruh raja-raja yang masih ada di Tamiang di wajibkan menanda tangani Karte Verklaring masing-masing antara lain: - T.M. Muda Tjik Zelfbestuur Landschaps Sungai Iyu menanda tangani Karte Verklaring pada tanggal 23 Februari 1898 yang disahkan dengan Bezluit Nomor 31, dilanjutkan oleh puteranya T. Ismail menanda tangani pada tanggal 25 Juni 1909 dan disahkan pada tanggal 3 Oktober 1910 de-ngan Bezluit Nomor 26. - Raja Abdul Madjid Zelfbestuur Landschaps Seruway, Sultan Muda menanda tanganinya tanggal 11 April 1903 disahkan oleh Gouvernement Gauver-neur tanggal 25 Januari 1903 dan diperbaharui tanggal 3 Oktober 1910 Bezluit No. 26. - T.R. Ibrahim Zelfbestuur Landschaps Bendahara menanda tanganinya tanggal 27 Februari 1904 disahkan oleh Gouvernement Gauverneur tanggal 16 April 1904 No. 20. - Raja Habsjah menanda tanganinya tanggal 6 Juli 1911 disahkan pada tanggal 23 Januari 1912 no. 12.


66 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 66 - T.M. Arifin Zelfbestuur Van Het Landschaps Karang menanda tangani pada tanggal 15 Agustus 1927 dengan pengesahan pada tanggal 21 desember 1927 nomor 44. Kesatuan pemerintahan dibawahnya berbentuk Landschap yaitu dari dae-rah bekas kerajaan-kerajaan dimasa perang seperti : I. Landschaps K a r a n g. II. Landschaps Kejuruan Muda. III. Landschap Seruway/Sutan Muda. IV. Landschaps Bendahara. V. Daerah pemerintahan langsung Gouvernementsgebied Vierkante paal kota Kualasimpang. Tiap-tiap Landschaps dikepalai oleh seorang Zelfbestuurder (Kepala pemerintahan Daerah) yang berasal dari keturunan bekas raja Landschap bersangkutan yang seterusnya berhak turun temurun atas jabatan tersebut dengan persyaratan harus menanda tangani Korte Verklaring (Perjanjian kerja sama). Pemerintahan Zelfbestuurder adalah suatu pemerintah yang diselaraskan dengan peradatan, pengadilan peradatan (Landschaps recht), Agama dan pendidikan. Struktur pemerintahan Landschaps masih didasarkan pada tradisi/adat kerajaan yaitu: dibawah Landschaps adalah daerah Empat Suku yang dikepalai oleh Datuk Empat Suku, kemudian dibawahnya daerah Delapan Suku dan dibawahnya lagi terdiri dari daerah-daerah Penghulu/Petua dan pendamping Datuk Empat Suku dan Datuk Delapan Suku yang mengurus masalah agama adalah Kadhi, Imam dan Mudim. Zelfbestuurder (Kepala Pemerintahan daerah) memiliki hak otonomi dalam bidang keuangan, mereka dapat memungut seluruh cukai hasil bumi dan dapat dipergunakan langsung setelah menyerahkan bagian berdasarkan prosentase kepada Gouvernement via Controleur.


67 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 67 Pada 10 Juli tahun 1909, Governement Acehen Onderafdeeling mengeluarkan Ketetapan dengan Nomor 39, tentang perubahan Politik keuangan dimana seluruh keuangan landschap-landshap dipusatkan seca ra sentralistik dalam satu kas yaitu Onder-afdeeling Van Tamiang bertem-pat dikantor Cotroleur. Kemudian Controleur menyusun anggaran belanja (Begrooting) sehingga biaya dan pemasukan setiap Landschaps di tentukan berdasarkan Onderafdeeling Begrooting. Ketika masa penjajahan Belanda banyak dibangun Onderneming-onderneming (Perusahaan-perusahaan) asing, Tambang Minyak, jalan-jalan dan setelah pasca perang seluruh bangunan tersebut diperbesar lagi sehingga sampai pada tahun 1928 seluruh jalan sampai kepelosok-pelosok setiap Landschaps sudah dapat dilalui kenderaan bermotor. Kala itu terdapat 19 bidang perusahaan (Onderneming) yang terdiri atas karet dan Kelapa sawit yang pengutipan Blasting serta pancang alas lainnya (Kalau seka-rang sejenis SAKO=Surat Angkutan Kayu Olah) sebagian besar dikutip oleh Landschaps. Dalam bidang pendidikan waktu itu di Kualasimpang telah berdiri antara lain : 1. Gouv. HIS. 2. HIS Muhammadiyah. 3. Ivoorlo Instituut Voor lager onderwijs, berbahasa Belanda. 4. Jamiatul Khairiah. 5. Gouv. Vervolkschool. Selain itu Jamiatul Khairiyah Kualasimpang membuka cabangnya di desa-desa. 5. Tamiang Dibawah Pemerintahan Jepang.


68 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 68 Setelah Belanda Menyerang dan Bekuasa di Tamiang mulai ta-hun 1874 sampai dengan 1942, Jepangpun mulai mendarat di Tamiang dan daerah Aceh lainnya seperti Krueng Raya (Aceh Besar), Sabang (Pulau Weh), dan Peurelak (Aceh Timur). Dengan leluasa tanpa ada rintangan yang berarti dari pihak manapun Jepang mulai menguasai daerah Tamiang. Dalam masa penjajahan Jepang struktur pemerintahan tidak ada yang berubah kecuali fungsi-fungsi tertentu yang selama ini dipegang oleh Belanda diganti oleh orang Indonesia dan Jepang. Terjadi perubahan nama terhadap status daerah Hukum Tamiang yaitu: Landschaps nama-nya menjadi S U N, Daerah Empat Suku dengan nama KU dan Kampung dengan nama KUMI. Disetiap Sun ada penambahan terhadap bidang kehakiman dan Jawatan-jawatan yang mengatur urusan agama disetiap Sun. Setiap Zelfbeestur dizaman Belanda diteruskan menjadi Suntyo dimasa Jepang. Disamping itu terjadi juga perubahan pada struktur pemerintahan, namun tidak bersifat mendasar, akan tetapi hanya terjadi perubahan pada penyebutan nama diganti kedalam bahasa Jepang seperti; - Resident diganti dengan nama Syuu dan kepalanya bernama Syuu Tyukau, dijabat oleh seorang pembesar Jepang. - Afdelling/Asisten resident, diganti dengan Bunsyuu, dikepalai oleh Bunsyutyo juga dijabat oleh seorang pembesar Jepang. - Onderafdelling/Controleur diganti dengan Gun dengan kepalanya Gunt yo, dijabat oleh seorang Bangsa Indonesia, kecuali ditempat terpencil barulah ditempatkan seorang Tyuzaikikau yaitu dari bangsa Jepang sendiri. - Uleebalang/Zelfbestuurder dan Lelfetandigs Imeum Schaps di ganti dengan nama Sun dan kepalanya Suntyo. - Mukim menjadi nama Ku yang dikepalai oleh Kutyo.


69 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 69 - Kampung/Desa diganti dengan nama Kumi yang dikepalai oleh seorang Kumityo. - Kekuasaan Kepolisian pada masa Jepang berdiri sendiri, yang terpisah dengan Pamong Praja. Kepala kepolisian pada tingkat Buntsyuu adalah Kai Satsuyuu. Wilayah bekas Onderafdelling Tamiang termasuk Busyutyo mengalami pemekaran dengan penggantian nama menjadi Gun Tamiang yang terdiri atas : a. Son Karang. b. Son Sutan Muda Seruway. c. Son Kejuruan Muda. d. Son Bendahara. e. Son Sungai Iyu Setelah ± 1 tahun Jepang berkuasa tepatnya pada tanggal 8 November 1943 Jepang mengeluarkan peraturan tentang pembentukan badan-badan perwakilan di Sumatera (Sumatera – Seije - Sonyo). Pemerintahan dimasa Jepang perkembangannya lebih lambat di banding-kan dimasa pemerintahan Belanda, mencakup Guygun, Chuo Sangi In pada tahun 1945. Jepang tidak melakukan politik adu domba seperti Belan da, serta tidak menganak emaskan antara golongan Islam dengan golong-an adat diusahakan tetap sama, tidak seperti pada zaman Belanda yang lebih menganak emaskan golongan Adat.21 6. Tamiang Menyambut Proklamasi Kemerdekaan. Penyerahan dan pengunduran tentera Jepang dari Indonesia telah melahirkan proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Hal ini terjadi merupakan dampak dari peristiwa peledakan bom Atom di Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan di Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat dan Sekutunya, hal ini memberi perubahan terhadap 21 Drs. R.Z. Leirissa, MA. “Sejarah Masyarakat Indonesia” tahun 1979, halaman 70.


70 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 70 situasi Perang Dunia ke II dan bangsa-bangsa yang sedang dilanda peperangan. Peristiwa yang memporak porandakan negara Jepang itu membuat Kaisar Hiroshito mengambil sikap untuk menghentikan peperang an di Indonesia dan menyerahkannya kepada sekutu. Akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan R.I. 17 Agustus 1945 terdengar juga ke Tamiang, yaitu pada tanggal tanggal 3 September 1945, dibawa oleh saudara Kasimin seorang pedagang yang sore itu pulang dari Medan (belakangan beliau menjadi pengurus perkebunan Simpang Kiri), maka pada tanggal 20 September 1945 Tengku Raja Sulung melakukan perundingan dengan Gun Seibu dan T.M. Daudsyah (ketika itu wakil Bunsyutyu Aceh Timur) dalam menyikapi berita tentang Proklamasi tersebut. Karena tidak ada suatu ketegasan dalam perundingan itu maka pada hari Jumat tanggal 21 September 1945 atas anjuran H. Boerhan Jamil dan disetujui oleh T.R. Sulung dengan dukungan Barisan Pemuda Indonesia (BPI), menjelang jam 15ºº Wib dilakukanlah upacara pengibaran sangsaka Merah Putih secara resmi di Lapangan bola kaki Kualasimpang dengan ukuran bendera 1½ x 1 meter yang dibawa oleh Syamsoeddin berkibar ketempat upacara. Susunan acara dalam Upacara Bendera tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pidato Pembukaan oleh H. Boerhan Jamil. 2. Pengumuman Kemerdekaan R.I. oleh T. Raja Sulung. 3. Pembacaan Teks Proklamasi oleh Sjamsoeddin. 4. Komandan Upacara oleh H. Nurdin Saleh. 5. Pengibaran Sang Saka Merah Putih oleh Sofjan Tanor 6. Iringan Dram Band oleh Buyong Berlin. Ketika berita Proklamasi itu terdengar di Tamiang para Tokoh Politik di Tamiang diantaranya H. Boerhan Jamil, Alibasyah Nst, Bahroemsyah, Ismail Arief, T.R. Raja Sulung telah aktif menggalang perjuangan rakyat dan melakukan


71 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 71 hubungan dengan tokoh-tokoh kemerdekaan di Medan dan hasil penggalangan tersebut terbentuklah Pemuda Badan Pekerja dari bekas Hei ho, Gyu Gun, Kenzi Gyu Gun, Sei Nen dan lain-lain, kemudian berubah menjadi Perjuangan Rakyat Indonesia (PRI), Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dan akhirnya lebur kembali menjadi PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Mujahiddin. Hari-hari berikutnya para tokoh-tokoh di Tamiang terus sibuk mem-persiapkan diri dalam rangka pembenahan atau peralihan kekuasaan dari penjajah kepada negara kesatuan R.I. maka pada hari minggu tanggal 23 September 1945 atas inisiatif H. Boerhan Jamil dan T.R. Sulung dibentuk-lah Komite Nasional Indonesia (KNI) Wilayah Tamiang dengan ketua H. Boerhan Jamil. Maka dengan komando KNI disusunlah program - program untuk mengisi proklamasi kemerdekaan di Tamiang dengan sasaran utama merebut semua aset jepang yang ada di Tamiang, terutama dalam perlengkapan persenjataan. Pada bulan Oktober 1945 Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang dipimpin oleh Baduralin dan O.K. Kolok cs merebut sebuah Mobil sedan baru milik Jepang Naga Saki di Tanjong Semantok, kemudian perampasan Truck Jepang oleh Buyong Berlin di Kualasim-pang, mobil ini di serahkan kepada Gubernur Mr. T.M. Hasan di Medan. Komite Nasional Indonesia (KNI) Melalui 3 orang utusannya berangkat ke Langsa mendesak pengalihan jabatan Gunsebu kepada T.M. Daudsyah pada tanggal 17 Oktober 1945, Kemudian beliau menjadi Asistent Resi-dent Aceh Timur. Selanjutnya pada bulan Nopember 1945 T. Zainuddin Bachtiar (mantan Sui Tyo) dan Abusamah (Mantan Sui Tay Tyo) atas anjuran Sjamaun Gaharu membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Kualasimpang, Organisasi ini merupakan cikal bakal dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Tamiang.


72 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 72 Pada bulan desember 1945 dikirim utusan dari Jawa dibawah pimpinan AS. Sumadi untuk menjelaskan tentang proklamsi dan kemerdekaan R.I. bagi masyarakat Tamiang serta memberi ketegasan tentang pelucutan seluruh senjata jepang, dan PRI dilebur menjadi Pesindo. Atas dasar ketegasan tersebut secara keseluruhan rakyat Tamiang mengadakan pelucutan senjata Jepang di Rantau Pertamina pada tanggal 11 Desember 1945, dan pada tanggal 12 s/d 13 desember 1945 dibentuklah Tentera Keamanan Rakyat (TKR) Tamiang yang merupakan peleburan dari API. Setelah TKR terbentuk penyerangan-penyerangan sebagai upaya pelucut-an senjata Jepang terus dilakukan, pada tanggal 17 desember 1945 terjadi di Besitang, dalam penyerangan tersebut 11 orang korban dipihak Jepang, dan pejuang Tamiang yang gugur saat itu adalah Nyak Umar dan Dt. Besitang. Dahlan gugur di Medan Timur ketika menyerang Tank Nica. Pada tanggal 24 dan 25 Desember 1945, atas siasat sekutu/Nica untuk meletakkan pos terdepan sebagai antisipasi terhadap berbagai kemungkin an dari Aceh karena kedudukan Belanda sudah lemah dimedan, dikirimlah Jepang dari medan memasuki Kualasimpang dan akan menuju Langsa Aceh Timur, namun mendapat perlawanan di sepanjang jalan yang telah diletakkan pos-pos penjagaan; 7 orang dikampung Johar, 13 orang di Medang Ara, 2 orang di Upah dan sepanjang jalan menuju Langsa. setelah Agresi I Tamiang dijadikan basis pos penerobos Blokade Belanda yang telah memprovokasi sebagai uji coba pendaratan di Pusung Tengah, antaranya Speadboat 58 dipimpin oleh Mayor P. Jon Lie yang pertama membuat pelabuhan di Pekan Seruway, berikutnya Rantau Pakam, Kuala Raja Ulak, Kuala Brango dan Pulau Sekai. Speadboat 32 pimpinan Kapten P. Kasno membuat pangkalan di Kuala Tamiang dan dekat Rantau, Spead boat 62 pimpinan Kapt. P.


73 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 73 Ngah pangkalan Limau Mungkur, Speadboat 63 pimpinan Kapt. P. Bungsu, Speadboat 66 pimipin-an Mayor Simon. Setelah pos-pos penjagaan sebagai terobosan blokade disepanjang pesi-sir Sungai Tamiang Pemasukan senjata ke Tamiangpun berjalan dan arus perdaganganpun jadi lancar yaitu pengeluaran hasil-hasil karet dari perke-bunan Tamiang dan dari Langsa, kesemuanya ini merupakan modal penggalang Proklamasi Kemerdekaan, bahkan dalam upaya pembelian Kapal Udara R.I. Seulawah I Di Kualasimpang dan Tamiang aktif melaku-kan pengumpulan perhiasan-perhiasan dari emas, serta membantu dana Jogyakarta kembali menjadi pusat pemerintahan R.I. setelah Rum–Royen Statement Tamiang menyumbang berbagai perhiasan yang telah dikumpul. Dengan demikian sebagai catatan sejarah bahwa Tamiang yang merupakan bagian dari Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga mempu-nyai peranan penting dalam upaya mengisi proklamasi kemerdekaan R.I. di pusat. Setelah diumumkannya Proklamasi kemerdekaan Indonesia maka tatanan struktur pemerintahanpun perlahanlahan mulai disusun sesuai dengan UUD R.I. 1945 yang telah disahkan oleh BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, perubahan mana juga diikuti oleh daerah-daerah lain dalam kesatuan R.I. Pada hari Kamis tanggal 21 Maret 1946 di Kualasimpang oleh Komite Nasional Indonesia Wilayah Tamiang bertempat digedung bioskop Stara diputuskan peleburan Suntyo-Suntyo sebagai penerus Zelfbestuurder dimasa Jepang dengan bentuk Bestuur Komisi (daerah komisi) antara lain ialah : 1. Bestuur Komisi Kejuruan Muda : T. Sjahroel Amani. 2. Bestuur Komisi Negeri Karang Baru : U s m a n. 3. Bestuur Komisi Seruway : Tgk. Abd. Rachman. 4. Bestuur Komisi Bendahara : T.R. Achmad. 5. Bestuur Komisi Sungai Iyu : O.K. Amir Hoesin.


74 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 74 tiap-tiap Bestuur Komisi beranggotakan 3 (tiga) orang. Setelah terjadinya peralihan struktur pemerintan dimana wilayah Tamiang telah dibagi menjadi 5 Beestuur Komisi maka masyarakt Tamiang berhasrat memilih seorang Wedana yang untuk mengkoordinir ke 5 Beestuur tersebut. Dalam hasil Musyawarah pemuda Tamiang pada awal bulan Mei 1946 terpilihlah untuk pertama kalinya T. Maimoen Habsjah sebagai Wedana Tamiang pertama dan Joebahar Dt. Nan Labih sebagai Asistent Wedana. Setelah terbentuknya Wedana maka terjadilah perubahan Stelsel Beestuur Komisi (daerah Komisi), dimana 3 Beestuur Komisi yaitu Bendahara, Sungai Iyu dan seruway digabung menjadi satu daerah dengan status daerah hukum menjadi Kecamatan/Negeri Seruway Gabungan, maka setelah terjadinya perubahan daerah Tamiang hanya terdiri dari 3 (tiga) daerah Administratif Kecamatan yaitu; 1. Kecamatan Karang Baru Pusat pemerintahan di Karang Baru. 2. Kecamatan Kejuruan Muda Pusat pemerintahan di Benua raja. 3. Kecamatan Seruway Gabungan Pusat pemerintahan di Seruway (Tangsi desa Punti). Struktur pemerintahan dibawah Kecamatan terdiri dari Kemukiman yang dikepalai Oleh Kepala Mukim, dan setiap kemukiman terdiri dari beberapa desa/Kampung yang dikepalai oleh Gecik/Kepala Kampung. Dalam perkembangannya struktur pemerintahan inipun dirasa kurang efisien, namun situasi politik ketika itu tidak mengizinkan. a. Lahirnya IKMAT.


75 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 75 Dalam bulan September 1956 sejalan dengan santernya ide perom-bakan struktur pemerintahan maka beberapa tokoh pemuda Tamiang di Langsa mengadakan pertemuan untuk merespon situasi politik di Aceh umumnya pada saat itu terutama yang menyangkut pendidikan, agama dan ekonomi. Hasil pertemuan tersebut muncullah ide untuk membentuk suatu lembaga yang permanen yang mampu menjawab semua problem serta mampu mengejar semua aspek yang tetringgal di Tamiang khusus-nya. Ide tersebut dikembangkan oleh tokoh-tokoh Tamiang yaitu T.Amir Hasan, Ismail Arief dan O.K. Amir Husin kepada tokoh-tokoh Tamiang lainnya, kemudian pada hari Minggu tanggal 28 Oktober 1956 diadakan pertemuan di ruangan Jamiatul Khairiyah Kualasimpang yang dihadiri ± 50 orang wakil-wakil masyarakat dari seluruh Tamiang dan Langsa. Setelah beberapa orang masing-masing – T. Amir Hasan, - Ismail Arief, -Tajuddin, -O.K.Mahmoenarrasyid menyampaikan pandangan-pandangan serta usul-usul menanggapi situasi saat itu, Ternyata seperti gayung bersambut seluruh ide tersebut diterima secara aklamasi dan telah melahir kan keputusan bersama dalam suatu badan yang permanen yang diberi nama “IKATAN KESATUAN MASYARAKAT TAMIANG” disingkat dengan “IKMAT”. Kemudian untuk penyempurnaan organisasi tersebut ditunjuklah 9 orang formatur yang bertugas untuk menyusun Anggaran Dasar dan Ru-mah angga serta menyusun Pengurus Besar dan naskah ikrar bersama. Pada hari Minggu tanggal 16 Desember 1956 diadakanlah rapat besar bertempat di Gedung Jamiatul Khairiyah Kualasimpang, yang dihadiri ± 200 orang wakil-wakil masyarakat dari seluruh pelosok Tamiang dan dari Langsa yang diikutsertakan juga oleh seluruh kepala Mukim di Tamiang, Seluruh Gecik/Kepala Kampung, Imam Mesjid dan Imam Menasah. Hasil Musyawarah telah mengesahkan


76 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 76 AD/ART dan naskah Ikrar Bersama serta memilih dan mengesahkan susunan pengurusnya. Susunan Pengurus IKMAT periode Permulaan disahkan di kuala-simpang pada hari MingguTanggal 16 Desember 1956. sebagai berikut : Dewan Organisasi Pusat (DOP) 1. O.K. Dahlan (K e t u a). 2. T. Amir Hasan (Wakil Ketua). 3. Ismail Arief (Anggota) 4. O.K. Amir Hoesin (Anggota). 5. H i d j a u (Anggota). 6. T. Bin Uroy (Anggota). 7. T.M. Amin (Anggota) Pengurus Besar (PB) 1. O.K. Amir Hoesin (Ketua Umum) 2. O.K. Mahmunarrasjid (Ketua I ) 3. Tadjuddin (Ketua II ) 4. T. Abdul Aziz (Ketua III ) Sekretaris Umum : Matsjah Manaf. Sekretaris I : Idris S. Thaeb. Sekretaris II : Abdul Munir Bendahara I : T. Amir Hasan. Bendahara II : Wan Ismail. “PERNYATAAN BERSAMA” 22 Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang demi yang mengarunia kebesaran dan kemegahan Tamiang pada masa yang lalu dan masa yang akan datang. “Bahwa dengan rasa insyaf, seraya unsur suka dan duka suatu masyarakat dan bangsa, Bahwa setelah memperoleh kata mufakat dari para pemimpin dan orang terkemuka didalam masyarakat 22 O.K. Mahmoenarrasjid opcit. halaman 47


77 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 77 Tamiang yang membuat pertemuan pada tanggal 28 Oktober 1956 digedung Jamiatul Khairi-yah Kualasimpang. Bahwa perlu adanya aparat permanen dalam masyarakat Tamiang yang tidak akan mengurangi insiatif organisasiorganisasi yang telah ada, serta tidak sedikitpun akan memperkosa hak keleluasannya bertindak mencapai tujuannya masing-masing. Bahwa untuk menghargai niat baik dari pada warga Tamiang sendiri, maka layaklah pimpinan organisasi yang telah menda-hului berjasa dalam masyarakat Tamiang menyambut cita-cita terbentuknya sebu-ah organisasi yang bersifat kesatuan putera puteri Tamiang, sebagai pernyataan cinta setia kepada masyarakat Tamiang adanya”. Untuk menindaklanjuti hasil pembentukan IKMAT tersebut maka berselang satu bulan kemudian Pengurus Besar melakukan pertemuan untuk menetapkan suatu konsep sebagai landasan program perjuangan, yang kemudian konsep tersebut disahkan oleh Dewan Organisasi Pusat (DOP) pada tanggal 13 maret 1957. Diantaranya usul yang sangat urgen untuk diajukan kepada pemerintah adalah: I. Mengusulkan atas perubahan status Kecamatan yang hanya ter-diri dari 3 Kecamatan dimekarkan menjadi 7 Kecamatan Yaitu: 1. Kecamatan Kota Kualasimpang. 2. Kecamatan Kejuruan Muda. 3. Kecamatan Karang Baru. 4. Kecamatan Seruway (Tamiang Hilir). 5. Kecamatan Bendahara. 6. Kecamatan Sungai Iyu. 7. Kecamatan Tamiang Hulu (Kaloy). II. Rencana Anggaran Biaya (RAB) Kabupaten Aceh Timur yang diusulkan kepada pemerintah pusat, agar


78 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 78 sebagian milik Tamiang dialokasikan kepada Pembangunan kembali bangunan-banguan yang telah runtuh seperti : a. Sekolah-sekolah. b. Jalan-jalan. c. Balai pengobatan desa. d. Balairung (pasar lods) e. Rumah-rumah pegawai. III.Program 5 tahun yang direncanakan oleh pemerintah pusat agar disalurkan kepada obyek-obyek yang ada di Wilayah Kewedanaan Tamiang, terutama obyek-obyek yang terbengkalai sejak zaman Belanda yaitu: a. Persawahan Blang Sekerak 50 Ha. b. Duku Dasih Komplek 120 Ha. c. Alur Tani Rantau Manyang 1.500 Ha. d. Tenggulon 2.000 Ha. e. Lubuk Batil/Tanjung Mulia 750 Ha. f. Alur Itam 150 Ha g. Lubuk Gayo/Telaga Meuku 120 Ha. h. Paya Seruway/Bendungan Air Masin ½ Ha. Pada bulan Mei 1957 delegasi dari pengurus Besar IKMAT yang terdiri dari; O.K. Dahlan, O.K.Mahmoenarrasjid dan Abd.Munir pergi meng-hadap Pemerintah Daerah Aceh Timur di Langsa untuk menyerahkan konsep tersebut dan diterima langsung oleh Bupati Kepala Daerah didam-pingi oleh Patih dan sekretaris. Selanjutnya atas dasar Surat pengantar Bupati delegasi melanjutkan usulan konsep tersebut menghadap Guber-nur dan DPRD Propinsi Aceh di Kuta Raja (Sekarang Banda Aceh). Delegasi diterima dipihak Gubernur oleh wakil ketua Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) (Latief Rousjdy) dan ditempat lain diterima oleh ketua DPRD Aceh (Abdoehsjam).


79 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 79 Setelah mempelajari konsep dari IKMAT tersebut selang dua hari berikutnya maka delegasi secara resmi diundang oleh Gubernur selaku Ketua Dewan Pemerintah Daerah (DPD) Propinsi Aceh dipendopo untuk memberikan penjelasan dihadapan rapat dewan pemerintah daerah. Dalam rapat mana para anggota DPD diberi kesempatan untuk menanya-kan tentang konsep yang diusulkan tersebut, namun sebelum bertanya para anggota DPD tersebut memberikan pengarahan diantaranya ialah : Usman Ali, Teuku ALi Keureukon dan Ismail Arief. Selanjutnya atas anjuran Gubernur Ali Hasjimi delegasi menghadap Panglima KDMA (Komando Daerah Militer Aceh) yang sebelumnya ajudan gubernur telah menghubung staf komando bahwa delegasi dari Tamiang datang mengha-dap Panglima. Namun ketika itu Panglima keluar daerah yaitu ke Aceh Barat, maka jadwal pertemuan ditunda besok dan diterima oleh kepala staf komando Mayor Teuku Hamzah (kemudian menjadi Brigjen). Hasil pertemuan ditingkat Propinsi mendapat respon yang positif dari semua pihak yang ditemui dan usulan tersebut akan ditindak lanjuti sesuai dengan proses yang akan berlaku, hal ini merupakan suatu kesuksesan awal yang semula diluar dugaan para delegasi IKMAT. b. Peninjauan DPRD Aceh Ke Tamiang. Hasil kunjungan Delegasi IKMAT ternyata mendapat respon positif dari pemerintah daerah Propinsi Aceh, usulan IKMAT tersebut ditindak lanjuti dengan menurunkan team peninjau pada bulan juni 1958 berdasarkan keputusan DPRD Propinsi Aceh No. 6/DPRD/57 tanggal 10 September 1957. Team DPRD yaitu Panitia Istimewa peninjauan Status Daerah yang diketuai oleh; Tgk.Sulaiman Efendi dengan anggotanya; Tgk. Nyakna Hamzah, Tgk. H. Abdullah Adiq, Teuku Ramli Nagorsyah dan lain-lain.


80 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 80 Peninjauan ini hanya berkenaan dengan usulan IKMAT yang menyangkut perombakan Kecamatan di Tamiang. Hasil peninjauan Team DPRD Aceh meliputi antara lain : 1. Dasar–dasar Tuntutan Rakyat Tamiang Hasil Peninjauan dibahas dalam rapat anggota dengan pejabat Daerah Tingkat II Aceh Timur, Anggota DPD Propinsi, Ketua DPRD Propinsi bertempat dipendopo Kabupaten Aceh Timur, silang pendapatpun terjadi ada pihak yang mengemukakan bahwa pemekaran Kecamatan itu memang perlu dan dipihak lain mengemukakan pemekaran Kecamatan dalam Kewedanaan Tamiang lebih baik menunggu otonomi Tingkat III (Kecamatan), agar diselaraskan dengan daerah yang akan ditentukan untuk menjadi daerah otonomi Tk. III itu. Selanjutnya pertemuan dilanjutkan dengan komandan sektor IV (Mayoor Tgk. Mohd. Noerdin) dikamar kerjanya dan mendapat tanggapan bahwa setuju jika memang tuntutan itu baik, Kecamatannya dimekarkan saja dan paling banyak 5 Kecamatan. Kemudian pertemuan dilanjutkan dengan Asistent-Asistent Wedana, Partai -partai Politik/organisasi dan Kepala-kepala Jawatan dalam Kewedanaan Tamiang bertempat di Kantor Wedana Tamiang, Para Asistent Wedana setuju bila Kecamatan yang ada tersebut dimekarkan menjadi 5 Kecamatan usulan ini mendapat banyak dukungan dari peserta rapat dan adalah orang-orang yang capable serta dapat dipercaya. Namun ada juga pihak yang mengusulkan agar dimekarkan menjadi 8 Kecamatan, setelah ditelusuri ternyata usulan tersebut mempunyai tendendsi politik yang tidak diingini. Kesan dari beberapa partai dan organisasi bahwa pihak IKMAT memiliki maksud-maksud tertentu terhadap tuntutan tersebut dimana sebagian dari Pengurus IKMAT menginginkan


81 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 81 kedudukan menjadi Asistent Wedana bila Kecamatan telah diperbanyak, namun Panitia Istimewa tidak memiliki keyakinan kearah tersebut akan tetapi lebih cenderung melihat bahwa tuntutan IKMAT bukan semata untuk kepentingan mereka melainkan untuk kepentingan masyarakat banyak dan kesejahteraan daerah itu sendiri. Tamiang merupakan perbatasan Antara Sumatera Timur (Sumate-ra Utara), sama halnya seperti Daerah Singkil di Aceh Selatan, hendaknya mendapat perioritas utama dalam segala hal, sebab akan memudahkan infiltrasi berbagai pengaruh dari luar yang memungkinkan efek buruk bagi daerah itu sendiri, dimana Pengaruh Sumatera Timur yang dalam segala hal lebih sempurna dari wilayah Tamiang, dikhawatirkan bahwa akan timbul sikap apatisme bagi masyarakat Tamiang terhadap pembangunan di daerahnya. 2. Bidang Ekonomi dan kekayaan Daerah. Wilayah Tamiang lebih banyak memiliki hasil perkebunan yang setiap bulan dikeluarkan masing-masing banyaknya sebagai berikut : • Karet Rakyat ............................................... 300 ton. • Karet Perkebunan......................................... 1.000 ton. • Minyak Kelapa Sawit................................... 1.200 ton. • Biji Kelapa Sawit.......................................... 400 ton. (Sumber Memorandum Aceh Timur 1970). Meskipun didaerah ini terdapat pabrik sheet yaitu pabrik pengolahan getah susu menjadi getah sheet dan pabrik kelapa sawit namun hasil-hasil perkebunan ini juga ada yang dibawa keluar Negeri dengan sistim perdagangan luas, namun demikian 60 % sistem perdagangan tetap dido-minasi oleh orang Tionghoa dan 40 % ditangani oleh bangsa Indonesia sendiri.


82 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 82 Selain hasil perkebunan hasil hutan juga menentukan bagi pendapatan wilayah Tamiang seperti kayu, rotan, damar dan lain-lainnya dan satu hal yang menjadi kebanggaan bagi wilayah Tamiang sampai sekarang adalah Perusahaan pertambangan minyak di Rantau sekarang Pertamina. Lahan subur juga merupakan areal cadangan yang memungkinkan bagi pengembangan perluasan perkebunan dan percetakan sawah baru, kesemuanya merupakan in come bagi pendapatan Wilayah Tamiang. 3. Tinjauan Historis Dan Geografis Wilayah Tamiang. Ditinjau dari sudut historisnya, Tamiang dimasa pemerintahan Belanda berbentuk onderafdelling yang terdiri dari 5 landschaps yaitu : • Landschaps Karang. • Landschaps Seruway. • Landschaps Sungai Iyu. • Landschaps Bendahara. • Landschaps Kejuruan Muda. Ketika pemerintahan Belanda akan berakhir, Bendahara digabung keda lam Landschaps Karang, yang berarti Tamiang hanya tinggal 3 Landschaps. Namun setelah Masuknya pemerintahan Jepang atas tuntutan putera Tamiang Bendahara dikembalikan lagi menjadi Landschaps tersendiri (dalam pemerintahan Jepang menjadi Bendahara Son). Dengan demikian Tamiang Gun kembali terdiri dari 5 son. Dalam penyusunan pemerintahan setelah zaman kemerdekaan Landschaps yang dijaman Jepang berubah menjadi Son kemudian berubah menjadi Kecamatan dan 3 Kecamatan digabung menjadi satu yaitu Kecamatan Seruway Bendahara dan Sungai Iyu menjadi Kecamatan Seruway Gabungan dengan pusat pemerintahannya di Simpang Tiga


83 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 83 desa Punti, maka Kewedanaan Tamiang ketika itu menjadi 3 Kecamatan yaitu; 1. Kecamatan Karang Baru. 2. Kecamatan Kejuruan Muda dan. 3. Kecamatan Seruway Gabungan. Secara Geografis Wilayah Tamiang terletak dipesisir Timur Aceh, berbatas dengan daerah Hukum Propinsi Sumatera Utara yang pada saat itu (tahun 1946) luas daerahnya 1.810 Km² dan penduduknya berjumlah ± 62.844 jiwa. Tanah wilayah Tamiang dikenal sangat subur dan sangat luas belum di usahakan yang terletak dibeberapa Kecamatan seperti di desa Cinta Raja (Seruway Gabungan), Tenggulon (Kejuruan Muda), Paya Tampah Karang Baru dan lain-lain yang mampu menampung transmigrasi sejumlah 20.000 s/d 30.000 jiwa. 4. Pendidikan Dan Politik. Dalam bidang pendidikan wilayah Tamiang memiliki beberapa sarana pendidikan yaitu : • 16 buah S.R. Negeri iv tahun, 10 buah aktif dan 6 buah lagi karena gangguan keamanan tidak dapat aktif bahkan ada yang dibakar. • 10 buah S.R.Partikulir (Swasta), yang terdiri dari;1 buah S.R. Muhammadiyah dan selebihnya S.R. Perkebunan, beberapa buah Madrasah. Sedangkan untuk tingkat lanjutan pertama ada juga terdapat, SMP. Negeri, SMP Muhammadiyah dan SMIP (Sekolah Menengah Islam Perta-ma). dan untuk Perusahaan minyak menyediakan sendiri sarana pendidik-an untuk anakanak buruh dan karyawannya yaitu SMP Nirwana, Bilama-na tidak terdapatnya sekolah lanjutan didaerah tersebut maka banyak anak-anak Tamiang yang melanjut kan sekolah keluar


Click to View FlipBook Version