134 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 134 kegembiraan bila berhasil dan tekad menantang bila gagal. c. Jumlah penari. 1 Orang berperan sebagai Datu 6 Orang berperan sebagai Sida. d. Pakaian Penari. - Untuk datu berpakaian baju silat lengkap dengan tengkulok dan diperlengkapipula dengan pisaudipinggang. - Untuk para sida juga berpakaian silat berikat pinggang dengan selendang kuning dan ikat kepala merah. e. Musik tari Diiringi dengan irama dedeng (nyanyian pujaan) dan suara-suara menggumam dari para penari. f. Perlengkapan tari - Perasap berupa dupa kemenyan yang telah disiap agar dapat menghasilkan asap. - Lancang yang telah diperlengkapi, berupa upih bunga pinang, bunga pinang, bertih telur dan bunga. Beberapa tari lain yang juga pernah berkembang ditengah masyara-kat suku perkauman Tamiang dan sampai saat ini terus digali antara lain : Tari lang lekak, tari ine, tari japin (gambus). Banyak lagi tari-tari tradisonal yang belum tergali dan dikembangkan yang masih membutuhkan perhatian dari lembaga adat dan kebudayaan seperti ; Tari rencah tebang, nyera-ye nukal, ngerumput ume, nguwan unggeh, pinoh gemal, ngirik pinoh, nutok emping. Disamping tari ini juga perlu digali beberapa nyanyian. 3. Senibudaya Yang Berkenaan Dengan Pakaian. Dalam pnggunaan pakaian dapat dibedakan atas keguanaan, warna, potongan serta perlengkapan yang dipakai dapat menentukan siapa pemakainya.
135 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 135 3.1. Pakaian kerja; Pakaian yang dikenakan oleh warga masyarakat suku perkauman Tamiang dalam melakukan kegiatan sehari-hari baik dilahan pertanian, pertukangan maupun nelayan. 3.1.1. Kaum laki-laki; a. Seluwa nebang, yaitu celana yang panjangnya kirakira10 cm dibawah lutut, potongan seperti celana piyama serang dan longgar b. Baju kerje, mirip telok belanga tetapi bertangan pendek, terbelah didepan, berkantong dua dibawah. c. Kain selampe, sehelai kain yang biasanya digunakan untuk pengi kat kepala, juga berfungsi untuk menyeka keringat dan basahan diwaktu mandi. 3.1.2. Kaum wanita. Pakaian kerja terdiri dari; Kain sarong, baju kurung bertangan pendek dan belabong (kain sarong atau kain lainnya yang dilipat dengan cara khusus diatas kepala untuk melindungi wajah dari sengatan matahari). 3.2. Pakaian diwaktu menghadiri pertemuan ataupun upacara adat; Potongan pakaian semuanya hampir sama, hanya ditambah variasi penghias sesuai dengan rasa seni sipenjahit dan sipemakai. Cara berpakaian dan pemakaian warna dapat dibedakan pada; a. Pakaian Raja-raja dan keluarga istana; Potongan pakaian adalah bertelok belanga atau baju gunting cina yang lehernya “berkecak musang”, warna
136 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 136 dasar kuning telur ketam (kepiting) atau kuning kunyit dan bertengkulok juga warna kuning telur ketam. Disamping itu dilengkapi dengan kain samping berikat pinggang yang tingginya dibawah lutut dan terselip pisau tumbok lada. Untuk kaum wanitanya tetap berkain sarong bertekat benang emas berbaju kurong dan berselendang yang menutupi kepala secara melingkar. b. Pakaian para Ulama dan cendekiawan. Potongan sama dengan pakaian Raja, hanya berbeda warna, yai-tu dasar warna putih atau kuning air (kuning lembut), berkain samping dan tidak berpisau dipinggang. c. Pakaian Masyarakat biasa. Potongan juga sama, berwarna dasar warna-warna lembut misalnya; biru muda, hijau muda dan sebagainya. Memakai ikat kepala (detar) dan juga berkain samping tanpa ikat pinggang. d. Pakaian Pendekar. Potongan sama tetapi agak longgar dan berwarna dasar hitam, berkain samping, bertengkulok juga warna hitam. Berikat ping-gang dan selalu terslip pisau atau kelewang yang digantungkan diikat pinggang . e. Pakaian Pengantin. Puncak dari senibudaya berpakaian pada suku perkauman Tami-ang adalah pada saat dilaksanakan
137 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 137 upacara perkawinan. Selanjut nya akan dibahas pada bab berikutnya. 4. Senibudaya Yang Berkenaan Dengan Ukiran Dan Anyaman. Senibudaya yang berkenaan dengan arsitektur telah dijelaskan pada bab terdahulu yaitu mengenai tata ruang rumah suku perkauman Tamiang, selanjutnya hanya dibahas senibudaya yang berkenaan dengan ukiran dan anyaman yang merupakan bagian dari alat-alat budaya yang dapat memperindah dan memberikan kenyaman suasana bagi kehidupan masyarakat. 4.1. Seni budaya ukir. Terutama senibudaya ukir relief disamping digunakan untuk menata keindahan rumah, juga dikembangkan untuk keperluan lain walaupun dalam bentuk sederhana tetapi terasa nilai-nilai seninya. Senibudaya ukir ini dapat ditemui pada: a. Kepala pisau (Bawar atau Tumbok lada), pedang dan persenjata-an lainnya. Ukiran yang dibentuk tidak pernah ada yang menggam-barkan makhluk hidup ataupaun hanya sekedar kapalanya. Tidak ada nama khusus untuk seni ukir ini, kecuali sundak udang dan pucok rebong, selain dari itu hanyalah imajinasi sipengukir. b. Perangkat alat-alat untuk upacara adat maupun pesta perkawinan yang berupa pelaminan, bale pulut, tepak sirih, dalung dan alat per-lengkapan lainnya. Pola dasar ukiran tetap pada bunga, daun kayu, ataupun bentukbentuk simetris lainnya. c. Pada pembuatan penganan yang khusus seperti “halue” (manis-an), terutama pada halue betik (manisan
138 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 138 pepaya), kundur, pala dan asam gelugur (asam potong). Ukiran-ukirannya juga terbatas pada pola dau, bunga atau bentuk-bentuk buah yang dianggap mengan-dung nilainilai keindahan. Pola senibudaya ukir ini juga dinyatakan dalam bentuk seni budaya sulam menyulam, ataupun menempelkan beberapa kombinasi warna-warna. Pemakaian penempelan warna ini sangat menonjol pada pembuatan langit-langit, tire, sarung bantal, sangkutan kelam-bu dan kipas. Bentuk khas lainnya akan ditampilkan pada tutup sange (tudung saji) yaitu untuk memperindah sange sebagai penu-tup dalung didalam upacara-upacara adat. 4.2. Seni anyaman dasar. Kemampuan menganyam adalah merupakan suatu persyaratan untuk dapat dianggap dewasa bagi anak gadis di Tamiang pada masa lalu. Oleh sebab itulah kemampuan menganyam ini dikem-bangkan kedalam bentuk seni menganyam yang khusus digunakan untuk berbagai keperluan. a. Tikar Cio; tikar tempat duduk yang berbentuk bujur sangkar ataupun persegi panjang dengan ukuran ratarata 50 x 50 cm (cio kecik) dan 50 x 120 (cio panjang). Tikar ini dibuat dari bahan pandan terdiri dari dua lapis, lapisan atasnya dianyam dengan pola terawang (anyaman) berlubang dalam bentuk persegi atau segitiga juga dalam pola-pola simetris. Dibawah terawang inilah disisipkan kain berwar-na ataupun kertas perda, dengan maksud agar lubang-lubang tadi (terawang menampilkan warna) yang mengandung nilai-nilai kein-dahan. Pinggiran tikar ini dibingkai dengan kain berwarna pula (da-lam bahasa Tamiang = bendol), biasanya warna merah, kuning hitam dan hijau.
139 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 139 b. Kampel atau sumpit; juga dianyam dari bahan pandan. Kampel ini berfungsi sebagai tas atau dompet, juga dianyam dalam beberapa ukuran sehingga dapat digandakan kedalam, barulah kemudian ditutup. Anyaman pola terawang ini akan dibuatkan pada bahagian atas kampel dan tutupnya. Dibawah terawang ini juga disisipkan kain berwarna ataupun kertas perda. c. Sange (tudung saji) dan tikar kerawang, adalah seni anyaman yang langsung menggunakan pandan yang telah diwarnai sebagai bahan anyamannya. Mewarnai pandan ini dalam bentuk dan cara tradisional dikenal dengan proses “jernang” (mewarnai). Bahan pewarnanya adalah campuran dari; jernang, taliaga, indong kunyit, daun dayang dan sebagainya. Campuran ini disesuaikan dengan warna apa yang akan dibuat. Untuk mengkilapkan warna ini dipakai campuran damar. Senibudaya dalam bidang arsitektur, ukir, sulam, lukis dan anyam ini akan mencapai puncak penampilannya pada waktu dikombinbasikan pada tata dekorasi ruang upacara adat terutama pada ruang pela-minan untuk pengantin. B . ADAT SUKU PERKAUMAN TAMIANG. 1. Terbentuknya Adat. Adat yang merupakan norma, pola perilaku masyarakat yang terbentuk tidak sengaja dan terjadi berulang-ulang, namun lama kelamaan diterima dan ditata dengan secara sadar dan kemudian mengikat menjadi suatu ketentuan (hukum adat). Adat istiadat awal mulanya terbentuk melalui interaksi sosial yang bersifat dinamis, yang semula dibentuk dalam suatu tindakan, perilaku atau perbuatan yang dianggap baik dan kemudian diterima oleh semua pihak, tindakan atau perbuatan ini terjadi berulang-ulang sehingga menjadi suatu
140 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 140 kebiasaan. Hal mana kebiasaan ini lama kelamaan menyatu dalam pola kehidupan masyarakat sehingga mendapat tempat yang istimewa sebagai sesuatu yang dihargai menjadilah adat. Dan apabila terjadi pe-nyimpangan terhadap sesuatu yang telah dihargai tersebut (adat istiadat) maka akan menimbulkan celaan dan cemooh dari orang lain. Dalam konteks ini apabila terputus mata rantai dari orang yang mewarisi adat istiadat tersebut (dalam bahasa Tamiang disebut “datu nini”) kepada generasi sekarang, maka akan terbentuklah interaksi sosial yang baru yang dihasilkan oleh kelompok masyarakat yang baru pula, sehingga bentuk dasar dari adat istiadat yang diwarisi oleh datu nini dahulu akan hilang. “Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar dari warga suatau masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tersebut.”28 Bagi Suku perkauman Tamiang Adat dan hukum adat merupakan salah satu “alat penunjuk arah” yang ampuh untuk menentukan sikap dan tingkah laku dalam pergaulan seharihari, sesuai dengan ungkapan “Urang cadek adat macam kapai cadek kemudi” (Orang yang tidak punya adat seperti kapal tidak punya nakhoda). Sehingga orang akan selalu bersikap dan bertingkah laku dalam batas-batas yang telah dibenarkan oleh adat dan hukum adat, seperti ungkapan “Tande belang ade batehnye, tande empus berantare pagar”. Yang berarti segala sesuatu itu mempunyai aturan dan batas-batas wewenang tertentu. 28 Koentjaraningrat. “Pengantar Antropologi” 1986, halaman 190.
141 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 141 Adat lebih menyangkut kepada suatu Hukum, “Adat yang sebenar adat adalah menurut waktu dan keadaan, jika dikurangi merusak jika dilebihi mubazir dengan landasan; Kesediaan hati nurani (budiman), kebenaran yang sungguh (ikhlas), kepatutan yang berpadan (selaras)”. Istiadat merupakan bagian adat yang lebih menyangkut kepada pelaksanaannya (upacara), seperti Adat Perkawinan, adat pemakaman adat turun tanah anak dan lain-lain. Resam adalah Adat yang diistiadatkan (tata cara pelaksanaan adat). Kanun adalah adat lembaga. Resam berlaku menurut keperluan peradatan sebagai bagian dari tata cara hubungan kemasyarakatan/peradaban dan kebudayaan, sedangkan kanun adalah sanksi hukum tentang berlakunya resam peradatan. Adat yang diadatkan, adat itu berlaku disuatu daerah tertentu, menurut mufakat dari masyarakat daerah tersebut, lalu diserahkan oleh masyarakat kepada orang yang dipercayakan. Adat yang teradat, kebiasaan yang lama-kelamaan berubah menjadi adat atas mufakat atau persetujuan masyarakat. Menurut pengertian adat istiadat di Tamiang, bahwa Raja didaulat sebagai pelambang Pemerintahan, tetapi pemegang adat resam adalah Datok-datok sebagai penghulu kaum Persukuan, seperti dalam kata-kata pengantar dalam upacara adat dalam peradatan perkawinan “Kami menyampaikan kata dari Datok Polan dengan 8 kaom, 12 pancar 36 serta dengan kerabat selingkar dan handai tolan”. Oleh karenanya sekarang adat telah merasuki kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto secara sosiologis normanorma ma-syarakat dapat dibedakan menjadi empat berdasarkan kekuatan mengikat-nya yaitu :29 • Cara (Usage). • Kebiasaan (Folkways). • Tata kelakuan (Morse). 29 - SOERJONO SOEKANTO “Sosiologi Suatu Pengantar” Tahun 1990, halaman 220 dst.
142 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 142 • Adat istiadat (Custom). Keempat norma diatas merupakan petunjuk bagi perilaku dalam kehidup-an masyarakat yang mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda. Cara (Usage); menunjuk pada suatu bentuk perbuatan yang lebih bersifat individu, kekuatan mengikatnya sangat lemah, karena norma ini lebih menonjol dalam hubungan antar individu. Bila terjadi penyimpangan hanya mendapat celaan pribadi yang lebih bersifat individual, dan bukan suatu hukuman yang berat. Kebiasaan (Folkways); kekuatan mengikatnya lebih besar dari pada cara (Usage). Kebiasaan ini merupakan perbuatan yang berulang-ulang dalam masyarakat, apabila terjadi penyelewengan atau perbuatan diluar kebiasa-an tersebut maka akan mendapat cemoohan dari masyarakat, Tata kelakuan (morse); merupakan kebiasaan yang diakui dan menjadi norma pengatur dalam kehidupan masyarakat, kekuatan mengikatnya lebih sedikit diatas kebiasaan, namun bila terjadi penyimpangan juga hanya mendapat cemoohan dari masyarakat. Adat istiadat (custom); mempunyai kekuatan mengikat yang sangat besar dari ketiga norma tersebut diatas dan ini merupakan peningkatan atau penjelmaan dari pada tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasi-nya dengan pola perilaku masyarakat. Dan bila terjadi penyimpangan terhadap adat istiadat ini bukan saja cemoohan dari masyarakat yang diterima akan tetapi berbagai sangsi juga akan dibebankan kepada sipe-langgar, sangsi inilah yang telah diatur dalam suatu hukum (qanun) yang disebut dengan “Hukum adat”. Maka kebesaran suatu suku bangsa bukan-lah ditandai dengan berapa jumlah Populasi (penduduk) dan luasnya wilayah suku bangsa tersebut akan tetapi ditandai dengan kemampuan dari suku bangsa tersebut untuk hidup berada
143 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 143 dalam lingkungan adat dan hukum dari suku bangsa bersangkutan. Bagi suku perkauman Tamiang sudah terjadi pembauran terhadap keempat norma tersebut diatas, dimana norma yang satu memasuki wilayah norma yang lain sehingga terjadi metamorfose kekuatan mengikat nya terhadap norma tersebut berdasakan kedudukannya. Namun hal ini masih tetap dapat dibedakan berdasarkan kekuatan mengikat tersebut, seperti misalnya ada kebiasaan yang berubah menjadi adat (adat yang teradat) dan demikian pula sebaliknya, maka untuk membedakan mana yang kebiasaan dan mana yang adat, sudah jelas bahwa setiap adat bila terjadi penyimpangan akan mendapat cemoohan dan sanksi-sanksi, meskipun itu semula berupa kebiasaan apabila telah disepakati bila terjadi penyimpangan mendapat sanksi berdasarkan hukum adat, maka kebiasa-an tersebut berdasarkan kekuatan mengikatnya telah menjadi adat demikian juga kejadian sebaliknya, bila adat yang bila dilanggar tidak lagi mendapat sangsi atas berbagai pertimbangan masyarakat, maka perlaku-an tersebut telah menjelma menjadi kebiasaan (tradisi). 2. Adat Perkawinan (Menempatke Anak) Mengawinkan anak (menempatke anak) merupakan kewajiban utama yang sangat pokok bagi kedua orang tua dalam perkauman suku Tamiang, semenjak dilahirkan secara garis besarnya orang tua berkewajib an untuk mendidik (mengasuh), mengkhitankan, kemudian mencarikan jo-doh dan melaksanakan upacara perkawinan terhadap anaknya. Yang menjadi penilaian bagi orang tua untuk mengawinkan anaknya (menempatke anak), adalah bila orang tua dan kaum kerabat telah semufakat menilai pemuda atau pemudi itu telah cukup dewasa, baik dalam umur (usia) maupun tingkah lakunya dan juga telah mampu berdiri sendiri
144 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 144 dalam segala hal. Menurut istilah orang tua-orang tua Tamiang; si Pemuda telah mampu mangatap, membuat ulu parang dan senduk, yang bermakna sebagai ibarat mampu berumah, mampu bekerja dan mampu menyediakan pangan. Sedangkan sigadis telah mampu menganyam tikar dan memasak, yang bermakna sebagai ibarat telah mampu menyiapkan peralatan rumah tangga dan penganan bagi keluarganya. Telah menjadi adat bagi suku Perkauman Tamiang bahwa kedua orang tuanyalah yang berkewajiban mencari jodoh buat si anak. Hal ini sangat menentukan karena berkaiatan dengan adat basa basi disuku Tamiang, karena menginginkan kawin berimpal. Ada beberapa perkawinan dalam suku perkauaman Tamiang antara lain : a. Kawin Berimpal; yaitu perkawinan antara anak abang (anaknya yang laki-laki) dengan anak adik yang perempuan (anaknya yang perempuan), karena ini merupakan kehormatan untuk kaum biak isteri maupun dari kaum biak suami. Andaikata tidak dijodohkan. Apabila ada pihak lain yang ingin melamar, maka si ibu dari gadis tersebut harus terlebih dahulu menanyakan kepada semua anak dari semua abang si ibu apakah diantara mereka ada yang ingin memepersunting anaknya, apabila tidak ada yang berkeinginan untuk kawin berimpal tersebut maka barulah boleh diterima lamaran dari pihak lain. b. kawin sewali dan kawin sesuku. Istilah suku bagi orang Tamiang sama dengan marga bagi orang tapanuli, Sukee bagi orang Aceh Besar, familienaam dalam bahasa Belanda dan she bagi orang Cina. Bagi orang Tamiang nama suku itu diambil dari nama datangnya nenek moyang mereka ke Tamiang, seperti untuk keturunan Raja Pucok Suloh maka keturunan Raja tersebut dikatakan keturunan suku Suloh, anak cucu Raja Muda Sedia keturunannya
145 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 145 disebut keturunan suku Sedia. Untuk keturunan rakyat biasa dikenal dengan suku piker, berasal dari nama orang yang datang dari Aceh yang bernama Teungku Haji Pikee, sehingga anak-anak cucunya disebut keturunan suku Pikir, maka orang Tamiang zaman dahulu dilarang kawin dengan yang sesuku karena ini adalah Sumpah Adat. Demikian juga halnya dengan perkawinan sewali, yaitu perkawinan antara anak abang dengan anak adik laki-laki atau kawin dengan anak abang Bapak atau anak adik Bapak yang laki (Om atau Pakcik), demikian seterusnya yang menyangkut dengan wali. Dalam suku perkauman Tamiang dilarang kawin sewali karena ini menyalahi adat, oleh sebab itu jarang terjadi. Kalau hal ini terjadi haruslah melaksanakan “nyelahi adat”, berupa seekor kambing leng-kap dengan rempahnya, beras tujuh are (tujuh bambu =14 liter) dan kain putih sekabung serta uang dua ringgit diserahkan kepada Raja melalui Datok kampung, dan dimasa sekarang disesuaikan dengan nilai uang yang berlaku dan diserahkan kepada pemuka adat. Perlengkapan tadi dikendurikan untuk anak yatim sedangkan kain sekabung diserahkan kepada Imam (orang yang mengurus masalah agama didesa). c. Kawin lari, yaitu cara perkawinan yang dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang hendak berumah tangga, hal ini terjadi karena jalinan kasih yang sangat mendalam dari kedua insan tersebut dan ketika hendak memasuki tahapan perkawinan, lamaran dari pihak laki-laki ditolak oleh keluarga sigadis dengan berbagai alasan. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan dalam suku perkauman Tamiang waktu-waktu tertentu merupakan suatu kebebasan bagi sigadis untuk keluar dari rumah dengan dandanan yang menarik yaitu ketika mem-bantu dirumahrumah orang yang akan mengadakan pesta atau pada saat
146 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 146 nyeraye menanam padi dan mengirik padi (merontokkan padi secara manual). Disamping itu juga kawin lari dapat terjadi pada pemuda yang sering bertandang dirumah sigadis dan sering bermalam diberandang rumah tersebut yang sengaja disediakan buat anak lajangnya bagi suku perkauman Tamiang. Suatu hal yang tabu bagi suku perkauman Tamiang, yaitu sipria tidak dibenarkan bertandang kerumah sigadis bila dirumah tersebut tidak ada orang Tua atau orang yang berkeluarga hal ini akan dianggap sumbang pandang, namun bukan tidak mustahil pertemuan secara diam-diam juga dapat dilakukan. Apabila sigadis yang turun dari rumahnya untuk menemui laki-laki, maka hal ini bila diketahui oleh saudaranya dapat terjadi pertikaian bahkan bisa menimbulkan pertum-pahan darah. d. Kawin Sumbang, Yaitu suatu perkawinan yang dipaksakan oleh adat akibat dari perbuatan pasangan tersebut yang sumbang dipandang menurut adat. Perkawinan ini terjadi pada oarang yang telah pernah bercerai, apakah ia janda yang menjalin kasih dengan lajang lain, dengan bekas suaminya ataupun dengan suami orang lain. Dan duda yang menjalin kasih dengan bekas isterinya ataupun dengan isteri orang lain, dalam hal ini jalinan kasih mereka diketahui oleh orang lain maupun pemuka adat, untuk menjaga agar tidak menjadi umpatan dan bahan cerita orang banyak maka mereka dipaksa untuk kawin dan hal ini juga tidak boleh ditolak harus diterima (kejadian ini lebih sering terjadi pada wanita janda dengan lajang). Oleh Karenanya dalam suku perkauman Tamiang perceraian merupa-kan perbuatan yang terhina (kecuali cerai meninggal dunia), wanita janda bebas tinggal dimanamana dan terlepas dari tanggungan keluar ganya, janda
147 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 147 mempunyai hak penuh untuk memilih calon suaminya, dan untuk tinggal ditempat keluarganya makanya ada istilah bagi orang Tamiang untuk janda yaitu “Perangkap Burok”. Dalam proses pemilihan jodoh bagi putra atau putri orang Tami-ang, terlebih dahulu orang tua meresapi bidal wasiat turun temurun: “Kawin ngan nang sepadan, bekawan ngan ndak nutup malu, jangan bebedak berpupor lalu kebagan, bekawan ngan situmpor tiap ari kedapatan, jangan te jelas sape kaom biak dan te tentu suku sakatnye”. (Kawin dengan orang yang sepadan (sesuai dengan keadan dan turunan kita), berkawan dengan orang yang bisa menghindari kita dari perbuatan malu, jangan bersolek pergi ke WC, berkawan dengan pemboros tiap hari ketahuan, jangan tidak jelas asal usul dan keturunanya)30 e. Kawin Berambee (perempuan minang laki) f. Kawen Berulu 2.1. beberapa tahapan dalam menempatke anak, 1. Mencari Judu/jodoh. - Ngeleh/nginte - Ngerisik - Sirih mimpi. 2. M e m i n a n g. - Sirih besagh mule/awal - Ngantar sirih besagh mule/awal. - Ikat janji - Masa tunangan. 3. Pelaksanaan pesta perkawinan. - Duduk pakat. - Beduduk kerja. - Duduk/malam berinai. 30 H.M.Zainuddin, op cit, halaman
148 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 148 - Ngisi batel. - Ngantagh Nikah. 4. Ngantagh Mempelai Laki. - Naik sirih besagh/sirih mas. - Jemput resam. - Turai telangke. - Nabogh beras padi dan mempelai naik. - Empang pintu. - Masuh kaki penganten. - Songsong titi. - Nudukke penganten/penganten bedembagh. - Buka kipas/cemetok penganten laki. - Jura puku pangka/persembahan tari. - Sejuk rasi sempena Nasihat. - Do’a. 2.2. Mencari Jodoh (Mencari Judu) a. Ngeleh/nginte; Setelah kedua orang tua sepakat kemana arah yang akan dituju, maka berangkatlah si isteri kerumah tetangga si gadis untuk mengetahui tingkah laku si gadis dan telah ada atau tidaknya orang lain yang meminangnya. Bila kenyataannya si dara berkenan di hati keluarga dan belum dipi-nang oleh orang lain, maka dikatakanlah “kerje kite mendapat sem-pene yang mende”. b. Ngerisik; Setelah ditentukan hari baek bulan baek, disampaikan pesan kepada orang tua si gadis bahwa akan datang orang yang berhajat ngerisik. Pada hari yang disepakati datanglah orang tua dari si pemuda kerumah si gadis. Hal yang harus dipenuhi pada saat pertemuan ini, adalah menyam-paikan maksud kedatangan dengan secara adat, penuh kata-kata sopan santun, Ketika hendak
149 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 149 menyampaikan kata biasanya duduk bersimpuh atau bersila dengan tepak sirih didepan, setelah me-ngangkat sembah (kedua telapak tangan disatukan dan diangkat keatas kepala) dan kemudian memegang tepak sirih barulah kata diucapkan : ………………………………. “Hajat kamine datang kemari adalah besar kali, besar gunung, besar lagi hajat kami, harap kami ku Allah, harap ku Nabi, harap kami pule ke kaom dihini ne. Kami ne ndak berume lueh, merempoh libar, rumah beruang-ruang, bantal besusun tinggi, tikar belapih tebal, berkaom rapat, besodare dekat, dihini kami dengar ade buah hati, di kami tengah nen ade pengarang jantong. Kalo le ade judu ditakdir ku Allah, besar le hajat kami ndak nyadike keduenye buah hati pengarang jantong kite sekaom. Besame idup kite dibelenye, mu mati kite ditanam ke nye. Kalo peh bodoh besame kite ajar, pande same kite megah, susah same bersetolong, mu senang same tempat kite bepayong”. artinya : Maksud kami datang kemari adalah besar sekali, besar gunung besar lagi maksud kami, mohon kami kepada Allah, mohon kami kepada Nabi, mohon kami kepada keluarga disini, kami ingin bersawah luas, berladang lebar, rumah beruang-ruang, bantal bersusun tinggi, tikar berlapis tebal, berkaum rapat bersaudara dekat, disini kami mendengar ada buah hati, kami mempunyai pengarang jantong, kalau memang ada jodoh ditakdirkan Allah, besar maksud kami ingin menjadikan keduanya sebagai buah hati pengarang jantong kita sekaum, bersama hidup kita dipeliharanya, kalau me- ninggal dunia kita
150 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 150 dikuburkannya, kalu pun bodoh sama-sama kita ajar (bimbing), kalau pintar sama-sama kita jadi bangga, susah sama-sama kita tolong menolong,kalaupun senang tem pat kita berpayung. Lalu diserahkan sireh setepak (sirih risik), setelah sirih diterima oleh ibu sigadis, pada kelazimannya dengan perla kuan yang sama akan dijawab: “Alhamdulillah, kuursemangat jamu kami,…….. kamine manye le, begian pule si Subang yan pe te tau manye pe, badannye saje nang besar tapi akalnye mantang pendek, nanak pe mantang matah lembik, maye lagi nganyam, nekad, konon pule nak nguruh diri. Tapi kalo pe begian hajat jamu, baeklah ambe pakat ke”….......... artinya : Alhamdulillah, Kuursemangat (ucapan yang berarti mem-bangkitkan semangat) tamu kami,................... Kami ini apalah, begitu pula si Subang (Panggilan untuk Gadis di Tamiang) itu apapun belum tahu, badannya saja yang besar, akalnya masih pendek, memasak nasi saja masih mentah dan lembek apa lagi menganyam tikar (sebagai ukuran dewasanya gadis di Tamiang) konon pula untuk mengurus dirinya. Namun demikiankalau memang begitu maksud tamu, baiklah kami akan musyawarah. Kelaziman bagi suku perkauman Tamiang dalam nama panggilan sehari-hari selalu digunakan nama “Subang” untuk anak perempuan dan “Kulok” untuk anak laki-laki, namun istilah untuk sepasang muda mudi bagi perkauman Tamiang adalah “Bujang, Dare”
151 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 151 kemudian dijawab setelah bermufakat sejenak (jawaban si Ayah): “Harap jamu kami mulie ke, Ambe nen maye lah, kalo indong rumah sudah sepakat kecik tangan ambe tampong hame nyiru, mu segenggam kami jadike segunong, mu setitik kami jadike laot. Tapi maye pe hajat kite , langkah rezeki petemuan maot yan adelah hak Allah. Kalo kesiè judunye, te ek lagi kemane laen. Tapi kalo pë begian pakat dulu kami dengan sedaresedare ban pelin sematenye. Make sementare nen tepak sirih nen belom lah buleh kami buke, kami sampe ke dulu kesanak sedare, tempolah kami beberape hari”. Artinya : Maksud Tamu kami muliakan, kami ini apalah, kalau seluruh keluarga sudah sepakat, kecil tangan,dengan tampah kami tam-pung, yang segenggam kami jadikan segunung , yang setitik kami jadikan selaut, tapi apapun maksud kita, langkah, rezeki, pertemu an dan maut adalah hak Allah, kalau memang itu jodohnya tidak bisa kemana lain, namun walaupun demikian kami akan musyawa rah dulu dengan kaum kerabat semuanya, maka sementara ini tepak sirih belumlah bisa kami buka, kami akan khabarkan kepada sanak keluarga, tempolah beberapa hari. c. Sirih mimpi; Proses berikutnya adalah pihak si gadis mengun-dang seluruh wali waris dan wali syara’ juga wali adat untuk membicarakan dan berunding tentang sirih ngerisik apakah diteri-ma atau ditolak. Kalo pihak keluarga si gadis menerima /menyetu-jui maka sirih dibuka tetapi bila ditolak sirih tidak diusik sama sekali.
152 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 152 Pada hari yang telah ditentukan datanglah kembali dari pihak pemuda untuk mengambil tepak sirih ngerisik, kalau tepak terse-but telah dibuka, tandanya diterima dan biasanya disertai dengan ucapan “baik mimpi kami”. Oleh sebab itu dari pihak si gadis tepak sirih ini disebut “sirih mimpi”. 2.3. Peminangan. a. Penyiapan sirih besar; setelah selesai bisik ngerisik, dan telah di terimanya sirih mimpi, maka pihak pemuda/pemudi segera menetap- kan tok TELANGKE (orang yang mewakili pihak laki-laki untuk memi nang si gadis secara resmi), sedangkan telangke dari pihak si gadis untuk mewakili penerimaan pinangan. Bagi pihak pemuda dinama-kan menurunkan sirih dan bagi pihak si gadis menerima sirih dina-makan “naik sirih”. Proses peminangan ini haruslah telah diketahui oleh kepala adat dari kedua belah pihak, oleh sebab itulah sewaktu penetapan telang ke haruslah terlebih dahulu diberi tahukan kepada datuk dengan membawa sirih secorong dan kain pinggang (kain sarung) yang nantinya akan diberikan kepada telangke. Sirih besar ini dipersiapkan oleh sanak keluarga (wali hukum, wali adat, wali karung) sebanyak tiga atau lima tepak, yang berisi leng-kap sebagai yang telah ditentukan oleh adat. Oleh sebab itu sirih ini dinamakan sirih adat (resam adat). kelima tepak tersebut adalah : - 1 Tepak sirih peminang/sirih besar (sirih pembuka kata) - 1 Tepak sirih ikat janji - 3 tepak sirih pengiring. sedangkan pihak calon pengantin juga telah menanti 3 tepak sirih yaitu : - 1 tepak sirih nanti, - 1 tepak sirih ikat janji.
153 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 153 - 1 tepak sirih tukar tanda. Bila pada saat ngantar sirih besar dibawa 5 tepak maka pada saat ngantar mempelai (dihari pesta perkawinan) dibawa sirih 2 tepak lagi sebagai sirih balai (sirih besar) dan sirih mas. Dan bila sewaktu ngan tar sirih dibawa tiga tepak maka pada saat ngantar mempelai diba-wa sirih sebanyak 4 tepak sehingga jumlahnya menjadi tujuh tepak, namun demikian tetap merupakan kesepakatan yang ditanyakan oleh pihak laki-laki pada saat peminangan, berapa jumlah yang di ucapkan oleh pihak perempuan sedemikianlah yang harus dibawa. Bila yang akan dilamar adalah keturunan datok-datok, pihak perempuan boleh meminta sirih antar penganten dalam balei, hal ini tidak boleh berlaku bagi orang-orang kebanyakan (orang Biasa). Satu Balei Sirih ini sama nilainya dengan 7 tepak sirih, maka untuk memberi balas emas haruslah sebilai 7 tepak sirih. b. Ngantar sirih besar; sirih yang telah dipersiapkan didalam tepak yang juga beserta cincin tande, sewaktu akan melakukan “nurunke sirih besar” terlebih dahulu diletakkan diatas tikar cio berkasap dan ditempatkan ditengah ruangan rumah, dimana telah hadir pemangku adat dan orang patut-patut serta kaum keluarga. Pada saat ini wali dekat dari si Ayah akan menyampaikan maksud untuk mengantar-kan sirih besar ini kerumah si gadis sesuai mufakat sewaktu bisik dan dijawab dengan sirih mimpi. Datuk dalam hal ini akan menyampaikan harapan kepada telangke agar melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga tidak tertinggal untuk memenuhi hukum adat resam dan qanun perkawinan. Setelah imam membacakan do’a selamat,telangke akan bersalaman dengan seluruh hadirin barulah ”mengepik corong
154 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 154 telangke” yang diiringi oleh beberapa pria dan wanita lainnya sebagai pengapit yang mem-bawa tepak. Setibanya dirumah si gadis, mereka diterima oleh sanak keluarga sigadis dan perangkat adat didaerah tersebut. Seluruh tepak sirih yang dibawa diletakkan ditempat yang telah disediakan. Para tamu (pihak sipemuda) pertama-tama disuguhi minuman dan makanan, brulah telangke menyerah kan “sirih corong” kepada datok pihak si gadis yang menanti yang didam-pingi oleh Imam. dalam hal menyorongkan tepak sorong ini sangat berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan yang bisa terbalik sorong yaitu ekor sirih yang tersorong lebih dahulu, bila ini terjadi maka pihak penyorong akan mendapat sindiran, pihak gadis akan berkata sesamanya tidak ditujukan langsung kepada yang menyorong yaitu “Ganjel betol juge tamu kite ne, ikogh nye duluan maju”, merahlah muka pihak laki-laki mendengarkan sindiran tersebut, untuk itu diperlukan orang yang harus pandai bersilat lidah maka ia akan menjawab dengan berpantun misalnya : Hujanlah ari rintik-rintik, Tumboh cendawan gelang kaki Kami ne seumpame telogh itik Kasih ayam make menjadi. Kemudian pihak gadis menyorong tepak sirih nanti kepada para tetamu-nya, Setelah sirih ini dicicipi barulah telangke menyampaikan maksudnya dengan percakapan secara adat yang biasanya dalam bahasa kias, pantun dan berceloka, dan kadang kala disertai debat senda gurau dan diselingi dengan istirahat sambil makan sirih. Barulah akhirnya pinangan diterima secara resmi, maka cincin yang dibawapun ditukar dengan cincin sigadis. Dan apabila dalam perjanjian peminangan ada uang mahar maka uang inipun harus
155 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 155 diberikan segera. Pemberian cincin tanda dan uang dilakukan dengan cara memasukkannya kedalam batel yang juga berisikan beras padi, lalu batel tersebut diletakkan diatas piring yang dialas dengan kain tiga warna yaitu merah, kuning dan putih. Batel yang terletak diatas piring ini dibungkus dengan sapu tangan yang diikat dengan benang tiga warna pula yaitu, merah, kuning dan putih . Ketiga warna ini memberi sempena kepada makna dari keberanian, kemuliaan dan kesuci-an yang tersimpul dalam Kaseh Pape Setie Mati. Bila perlakuan ini tidak dilakukan oleh pihak laki-laki maka pihak perempuan diberi denda untuk menyediakan tempatnya, perbuatan ini sangatlah memalukan pihak laki-laki yang dianggap menyalahi adat. Dalam proses peminangan ini Orang tua pihak laki tidak boleh hadir, demi-kian juga dengan orang tua pihak perempuan juga tidak diperkenankan untuk mencampuri urusan didalam majelis peminangan, segala urusan ditangani oleh wali dan tok telangkai. Percakapan pada saat mengantar sirih dengan memakai pantun : Tumboh kemiri didalam dulang uratnye besa sileh menyileh dudok kami dudok bebilang kerene hajat nak bagi sireh. Limo purut laboh kelembah sempe kelembah tetumbok duri Pinang menghadap sireh menyembah jari sepuluh menjunjong duli ne lah kate mule dari kami mudah-mudahan tanye bejawab, gayong besambut, pihak perempuan menyambut: Kedudok didalam dulang urat berjalor-jalor
156 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 156 dudok kite dudok bebilang adat yang mane kite keluarke Sorong papan tarek papan buah langsat dalam peti sireh sorong belum dimakan maye hajat didalam hati Pihak laki; Mahaf sedare-sedare besagh gunong lebih besagh maksud yang kami kandong tinggi gunong lebih tinggi harapan yang kami gantong ke. ye lah sebabnye kami kehini Kami dengagh sedare urang nye arif, lagi bjaksane tau dikias, tau diumpame, jabat adat dan kebiasaan, pemegang janji dan kate-kate dari dulu sempe kinine, sape salah, sape ditimbang adat dan syara’ jadi pegangan. Udah lah ye................... besaghlah sudah anak mas dirumah, sikulok name pemude umogh sudah setahon jagong, darah sudah setampok pinang, laki-laki remaje lajang menjadi hutang emak ayah, jadi tanggongan seluroh keluarge baru sebagian hutang dibayar. Pertame : kerat pusat dan berayon. Kedue : berkhitan sunat rasol Ketige : Mengaji khatam Qur’an. Keempat : diajagh sopan santon. Hanye tinggal satu lagi, hukom adat hukom negeri Wajeb disuroh berumah tangge, baru sempurne umat manusie. Datok yang kami mulieke......................................
157 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 157 kalo pemude diumpameke, seekor kumbang yang tengah terbang sudah ngelintas ngelewati taman, terpandang die pade jembangan indah letaknye ditengah ruang, berisike kembang yang tengah ngem-bang. Pulanglah kumbang nemui keluarge menceriteke bunge yang tengah mekar siang malam teringat saje, te pernah lupe barang sekejap pelin keluarge udah mupakat nyerahke tugas hame kami ne.. untok betanye secare adat, nempeke maksud dengan resmi Bulehke kami dengan cerane bagike sireh dengan setangan buleh ke kami datang betanye adeke bunge dalam jembangan pihak perempuan menjawab; Banpelin kate udah didenga rupenye kumbang tukang pesia kerene tuan datang menjengok membuat hati kami jadi sejok seluroh keluarge pe udah berembok kate ne kami sempe ke..............sebelom sireh kami makan Banyaklah bunge pade kami ne, lebih satu dalam puri takot ke kumbang datang menyeri, ngeleh ke bunge dikelilingi duri Sunggoh peh bunge belom betali, namun tetap dijage famili ye...lah kate dari kami.........
158 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 158 ucapan seperti diatas berarti pihak perempuan telah membuka harapan bagi keluarga laki-laki, maka dengan segala perasaan gembira keluarlah kata-kata sanjungan dari pihak laki-laki: Rumah mulie ade penunggu masyhor semerbak segenap ranto kehiler keseluroh tanjong, kehulu sempe kegunong bukan bunge sembarang bunge, mawar hidup suntingan utame suci berseh, penghias dan pelaksane, untok rumah tangge berulang kepade pangkal dikaji dari alif, dihitong dari mule. Hidup manusie dikandong adat, mati dikandong tanah kunci kate pade kias, sireh besuson pinang belonggok Tepak bebaris nanti ke sape, kaom wali menanti izin dari sedare keluarge dihini ne menyuroh mengabdi kepade kembang, mawar bunge suntingan yang tertuhe didalam jembangan untok dijage dan disayang lebeh dari anak kediri segale syarat jadi pikolan,cadek engkar dari janji baek yang sudah, baek yang kedian asalke lulus adat dan syara’, ringan kami jinjing, berat kami pikol bukan maksud mengade-ade, cume takot akan Ilahi begini pantonnye sedare; dari mane hendak kemane bawe bekal telor itik salahke kami kalo betanye buleh ke bunge kalo dipetik ?
159 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 159 c. Ikat janji; bila pinangan telah secara resmi diterima, maka selan jutnya adalah mengadakan mufakat mengenai ketentuan yang ha-rus dipenuhi ketika peresmian perkawinan. Telah menjadi ketentuan adat suku perkauman Tamiang, menge-nai mahar perkawinan diatur sebagi berikut : - Putri Raja 1.000 ringgit. - Putri Datuk empat suku 140 ringgit. - Putri Kadhi 100 ringgit. - Putri Imam 80 ringgit. - Putri Datu delapan suku 60 ringgit. - Putri rakyat biasa 40 ringgit. (Ketentuan ini berlaku pada zaman Raja-raja Tamiang dahulu, na-mun sekarang telah disesuaikan dan berpedoman dengan harga emas). Disamping itu seperti yang telah dilazimkan oleh adat yaitu; empang pintu kain titi, kain sesalin, sirih bale, sirih tepak, sirih mas, sirih peng hias, beras pasang dan lainlain ketetapannya diselesaikan melalui mufakat. Tetapi apabila telah disanggupi dan nantinya tidak dipenuhi sangsinya adalah menyalahi adat. Dan apabila belum disepakati karena ada sedikit perbedaan didalam memenuhi permintaan dari keluarga wanita, maka telangke harus mampu menyampaikan kebe-ratannya dengan penuh sopan santun; “…….Mu nang panjang minte le kami pandak ke, mu nang bele-beh harap dikami dikurangke,……tapi mu nang berat biar kami sapehi ampu besame. Mu dikami dari ke pecah mende retak, dari ketumpah mende ngelimbak, kalo nang banyak te ek terade ke kami, biar le hikik asal ke semporne.
160 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 160 ……...Dapat baek same baek, kalo malu same malu, karene kalo sengek kite baek i same-same, kite ne kan same, dari malu ke lebeh mende mati. ..........Kalo pelin ne sepanjang adat, baek le kami isi, tetap bene cadek pelak, janji adat kami junjong tinggi, serupe minyak ditatang penoh, serupe Raje kite dolat tinggi, kami bejanji mule dan penga-bih, memenoh adat pusake datu nini. dan percakapan lain setelah pinangan akan diterima dari pihak perempuan seperti; Periok gebang dikampong dadap buatke lidi jadike penyapu sireh pinang tengah dihadap syarat janji tentuke dulu Kami dari pangkalan, ngeleh perahu datang belayar dibawe arus pasang naik, sarat muatan bemacam ragam penoh haluan penoh buritan, sampe pade syara’ kiasan menyuroh bepiker dan berpedoman takot bencane datang kedian hidup manusie dikandong adat, hukom adat hukom negeri adat belom bertukar, sumpah Tamiang tetap setie baek keatas, baek kebawah, asal adat Tamiang lame sape nang ngubah jani, bubong rumah akan terjungker kaki tiang tengadah ke langit mangkenye.................. lembah same ditimbuni, gunong same dirateke kehulu same beraket, kehiler same berenang rotan berjalen tetap berjalen jadi satu kutok manusie ingkar janji, mawar tetap belom bertali
161 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 161 hanye berdetik didalam hati. Bunge ditaman belom tekopek, jumlahnye pe lebeh satu same tuhe same mudenye, same umor setahon jagong same darah setampok pinang, same akal tumboh keluar dunie akhirat tengah dituntut, mungkin isok jadi upatan sesal dulu pendapatan, sesal kedian cedek bergune makenye............. pelin kate udah didengar, kunci kate dengan kias mule pangkal dari kami, jadi rembukan kaom wali menentuke hajat nang baek cade’ sie-sie pasang naik, cade’ sie-sie sampan belayar cade’ sie-sie mate ari terbit, cade’ sie-sie lembu disembeleh cade’ sie-sie malem diundang, cade’ sie-sie janji dibuat gune mengikat silaturrahmi. balek kite pade pangkalnye................................ Kaom wali penggalang sampan, berbantalke adat bersendi syara’ timbol tenggelam untok kaom, segale kate cukop rukonnye manusie cukop syaratnye lajang remaje cade’ cedere, cade’ saket cade’ cacad berdaye laher baten, dapat ngikat anak tangge nggantike kayu selang, bername, bergelar macam urang` Kalo syah dapat dikate, kalo dijanji baru jadi lenja disambong soal lanjutan kalo cadek hanye bejamu, kaom kerabat dari jaoh ................
162 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 162 Setelah selesai peminangan dan telah sepakat segala sesuatu telah diterima bertukar tandapun sudah dilakukan. maka pihak laki-laki menyorong tepak janji guna membuat suatu kesepakatan dalam bentuk perjanjian tentang: a. Hari nikah. b. mengantar sirih besar. c. jumlah mas kawin (mahar). d. mengantar mas kawin. e. hari bersanding (pesta perkawinan). f. dan lain yang dianggap perlu sesuai kesepakatan. Dalam ikat janji ini adakalanya disepakati untuk mengadakan upacara nikah lebih dahulu, apabila jarak antara pernikahan dengan bersanding (pesta perkawinan) tidak bersamaan, maka dinamakan “nikah gantung”, dalam hal ini meskipun telah menikah namun pihak laki-laki tidak boleh pulang kerumah perempuan sebelum dipersandingkan (pesta diadakan). Semua pelaksanaan ini dilakukan atas dasar kesepakatan. Bila pesta ditia dakan maka biasanya selesai pernikahan mempelai diperbolehkan pulang kerumah isteri. Dalam proses ini pihak laki-laki menyatakan maksud seperti misalnya; Bukan lebah sembarang lebah lebah bersarang dibuku buloh bukan sembah sembarang sembah sembah besuson jari sepuloh Karene risikan sudah bergeme, Pinangan nyate udah diterime Gametpeh udah berbalas pule, tinggal lagi menetapke hari kerbo diikat dengan talinye, manusia dijabat dengan katenye haraplah dimaklom..............................
163 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 163 Kami urang jaoh di sungei, ndak lekas selesei beban berat minte ringani, simpol kuat minte lunggari mahaf sedare.............. Nikah dimaksud sebelom mengetam langsong mahar setengah bagian jumlah genap 64 ringget tepat pade tujoh sya’ban udah ye........................ ngantagh sireh bersatu, bersandeng seminggu kedian serentak dengan mahar nang ketinngalan, diwaktu bulan purname besagh, menerangi alam bahagie semoge berhasel banpelin pinte. pihak perempuan akan menyahut: Jamu nang mulie......................... Sudah biase nang demikian nang udah dapat pasti mendesak ke.. biagh ban pelin deras dikerjeke mungkin sebab kerjenye te seberape Laen dudoknye hame kami atap bocogh mesti diganti, lantei selang perlu ditambah kaom kerabat dibagi tau, maklomlah ndak nerime penganten baru te buleh kerje setengah hati, padi di belang dikaot dulu lembu kerbo dijerat pule. untok ye........ izinke pule kami meminte dan mengharap persetujuan, nikah pade pagi syawal tepat sepuloh hari bulan, serentak naek setengah mahar same dengan 32 ringget, ngantagh sireh dan bersanding naeke mahar setengah lagi. Adat lame jangan dibuang, hak kaom wajeb diberike
164 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 164 kaen titi dan hempang pintu, buke tabing kembang tikagh begielah adat Tamiang lame, jadi pegangan anak cucu begielah jamu.... adat dihini, waktu nikah jangan lupe peci Apabila dalam perkawinan ini yang dinikahi adalah adik dari pihak perem-puan, sementara si kakak belum bersuami, maka dikenakan lagi mahar langkahan istilahnya “Langkah Bendol” yaitu pihak laki-laki harus mem-bayar diluar maharnya kepada sikakak sesuai dengan perjanjian yang di sepakati, misalnya emas satu mayam, kain sesalin, dan lain-lainnya. d. Masa bertunang; waktu ikat janji juga ditetapkan lamanya masa antara ikat janji dengan pelaksanaan perkawinan (masa bertunangan). Lamanya masa ini tidak tertentu, karena kebiasaan di Tamiang pesta perkawinan ini dilaksanakan setelah selesai me-nuai padi (siap ngetam). Pada saat ini tok telangke memberikan pengarahan kepada pihak laki-laki, dimana dalam masa pertunang an ketempat-tempat mana saja yang tidak boleh dikunjungi, yaitu ke rumah keluarga si gadis baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Maka dengan demikian dalam tenggang waktu ini si pemuda dan si gadis tidak boleh bertamu karena ini akan menyalahi resam (benci resam) karena dalam kias Tamiang “jangan ngeleh song-kok sengek atau jangan ngeleh sanggol sengek”. Sanksi bagi siapa yang mengingkari janji adat ini dalam masa bertunangan diantara salah satu pihak, maka pihak yang ingkar didenda sesuai adat, yaitu: 1. Membawa pulut kuning beserta kelengkapan lainnya yang d-serahkan kepada tetuhe adat. 2. Tetuhe adat memberi nasehat kepada kedua belah pihak kelu-arga yang telah melanggar tersebut.
165 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 165 Apabila dalam masa bertunangan ini salah satu pihak mengingkari janji, maka pihak yang ingkar didenda sesuai adat, dengan mem-bawa pulut kuning beserta kelengkapan lainnya yang diserahkan kepada tetuhe adat, kemudian tetuhe adat memberi nasehat kepa-da kedua belah pihak keluarga yang telah melanggar tersebut. Dan apabila terjadi ingkar janji yang mengakibatkan batalnya suatu perkawinan, Kalau pihak si pemuda yang ingkar (nyalahi janji) maka segala apa yang telah diserahkannya tetap menjadi milik pihak sigadis, tetapi bila pihak si gadis yang ingkar, maka segala bawaan si pemuda sewaktu mengantar sirih besar harus dikembalikan dua kali lipat dan segala biaya kenduri dan sesuatu yang lain sewaktu menyiapkan sampai dengan turun sirih besar harus diganti oleh pihak si gadis. 2.4.Pelaksanaan Pesta Perkawinan. Apabila masa janji pelaksanaan perkawinan telah hampir waktu-nya sesuai dengan janji pada waktu ikat janji, maka telangke kembali memusyawarahkan tanggal dan hari yang pasti untuk melaksanakan pesta perkawinan. Setelah kedua belah pihak menetapkan saat pesta perkawinan itu, orang tua kedua belah pihak akan menyampaikan maksud tersebut kepa-da Datok (sekarang kepada kepala mukim atau pemangku adat) disertai dengan membawa sirih setepak untuk mendapat restu mengenai maksud tersebut. Apabila ini telah direstui oleh Datok barulah proses yang lain dapat dilaksanakan. Diantara proses-proses tersebuit adalah : a. Dudok pakat; Yang menghadiri duduk pakat ini adalah seluruh sanak keluarga, Datok, Imam dan orang patut-
166 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 166 patut kampong. Oleh yang akan melaksanakan pesta perkawinan tersebut menyerahkan pelaksanaan permufakatan dan pelaksanaan pesta perkawinan tersebut kepada Datuk sebagai tiang adat dan Imam sebagai pengampu hukum. Dalam duduk pakat ini ditentukan cara kerja pelaksanaan dan terib majlis, sesuai dengan adat resam kanun. Kerja pelaksanaan baik persiapan, pelaksanaan dan usainya pesta dilaksanakan seca-ra gotong royong (nyeraye). Sedangkan pelaksanaan mengundang jiran sekampung ataupun handai tolan menurut peradatan suku perkauman Tamiang tidak boleh dengan pesan atau surat, tapi harus diutus seorang oleh keluarga untuk naik turun rumah yang diundang dengan membawa sirih (sirih corong ataupun sirih tepak). Dalam setiap duduk kerja (baik untuk pesta perkawinan maupun penyelenggaraan kerja bersama lainnya misalnya khitan, kematian dan lain-lain), keluarga lingkungan perkauman mempunyai tanggung jawab bersama-sama. Hal ini disesuaikan dengan kata-kata adat: “Darah besuku, kaom biak bersegani, wali wareh penuntut bele, biak boleh mengambil bele, handai tolan besetolongan. Suku sakat ngan kaom biak same sepakat, wali dekat jo karong same setilik, untong ngan rugi same sepaham, sepakat sekate suku ngan biak, diatèh hak putusan empat besar nang adel”. b. Duduk kerja; Sejak mulai nyeraye sanak keluarga dari jauh maupun dari dekat baik dari pihak ibu maupun dari pihak Ayah telah sama berkerja. Oleh sebab itulah suku perkauman Tamiang dalam duduk kerja tidak boleh dipesan, tetapi harus diberi tahu langsung oleh yang akan
167 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 167 melaksanakan kerja tersebut. Bila hal itu dilalaikan bisa menyebabkan putus saudara, dan penyelesaian masalah ini tidak dapat dilakukan oleh siapapun kecuali dengan usaha duduk setikar dan kata putusnya terletak ditangan keluarga yang tertua. c. Duduk berinai; pada malam berinai resmi yang telah di setujui oleh wali karung dan isteri datuk, calon pengantin melaksanakan malam berinai dirumah masingmasing. Terhadap pengantin perem-puan diadakan mandi bersiram, berendam. Kemudian isteri kepala adat (isteri Datuk) meletakkan detagh dikepala pengantin, barulah ditepung tawari, sementara pemuda melakukan tari inai didepan pelaminan, diruang lain setelah tari inai selesai, diadakan marhaban dan berzikir (sarafal enam) sampai menjelang pagi. Pada saat inilah pula pengantin mulai diinai (nyalik inai) dan sebatil inai di kirimkan kepada pengantin pria untuk dipakai pula. d. Ngisi batel; telah diistiadatkan bahwa beberapa saat sebelum berangkat mengantarkan mempelai, diserambii depan rumah mem-pelai diadakan istiadat “ngisi batel”. Ngisi batel ini adalah kewajiban anggota keluarga suku sakat, kaom biak simempelai. Kepala adat mengumumkan ngisi batel akan dimu- lai, maka semua yang hendak mengisi batil masuk keserambi, pada saat itulah masing-masing yang bersangkutan memasukkan ceme-tok dengan menyebutkan nilainya kepada Datuk dan ditulis oleh Imam. Kemudian cemetok dan catatan nama-nama yang memberi cemetok itu diserahkan kepada ayah simempelai. Namun pada kondisi sekarang ini perlu difikirkan kembali pengisian batel dengan menyebut nilainya karena bisa saja dapat menjadi buah bibir bagi orang tentang jumlah yang dapat membuat
168 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 168 kesenjangan antara keluarga yang berada dengan yang tidak mampu, karena saudara yang tidak mampu juga berkeinginan untuk memberikan sumbangan ala kadarnya kepada saudara (kerabat) yang pesta, oleh karena jumlah yang akan diberikan diumumkan kepada khalayak ramai dapat membuat niat tersebut diurungkan dan keluarga yang seperti ini biasanya akan mengasingkan diri pada saat isi batel akan dilakukan. e. Ngantar mempelai; sebelum diantarkan kerumah pengantin, mempelai laki-laki dihias, namun kadangkadang setelah tiba ditem-pat pengantin wanita segera digantikan pakaiannya yang sesuai dengan pakaian yang tengah dipakai oleh pengantin wanita. dite-ngah ruangan telah pula disiapkan sirih tepak yang akhir, yaitu kalau waktu naik tanda dulu sirih tepak tiga, maka sirih naik mempelai dinamakan “sirih emas dan sirih balai” yang terdiri dari empat tepak. Maka dengan demikian genaplah sirih kawin itu berjumlah tujuh tepak sepanjang adat sesuai dengan perjanjian. Didalam sirih emas disediakan batil perak berisi mahar, bingkisan sesalin pakaian, dan bingkisan kain titi. Setelah pengantin laki-laki selesai dihiasi, tok telangke dari pihak mempelai laki berangkat du-luan dengan rombongan membawa sirih emas dan sirih balai (SIRIH BESAGH) menghadap tok Telangke pihak perempuan yang telah siap menanti /menerima beserta puak kaom biak selingkagh. Sireh yang dibawa oleh mempelai laki harus dibayar dengan kue-kue yang diisi dalam dalong/talam, berapa jumlah tepak yang dibawa oleh pihak pengantin maka begitu jugalah banyaknya talam/dalong kue yang diberikan ketika rombongan hendak pulang, kue-kue ini disebut dengan kue balas emas. Ketika kemudian hari
169 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 169 pihak mem-pelai laki hendak mengembalikan talam kue oleh tok telangke, kue-kue tersebut ditaksir berapa harganya lalu tok telangke sambil me-ngembalikan talam memberi uang sesuai dengan harga taksiran tersebut kepada tetuhe adat pihak perempuan, uang ini akan diserahkan kepada kaom kerabat yang telah menyediakan/ membu-at kue tersebut. ………..Turai tok telangkai kedua belah pihak dalam serah terima sirih besar………………… Dibelakang menyusul pengantin laki-laki dengan segala pengiring-nya. Sewaktu pengantin laki-laki keluar dari pintu, maka tok Imam membacakan doa dan selawat Nabi yang disambut oleh hadirin bersama-sama serentak. f. Nerime mempelai; Setelah tok telangke dengan rombongan-nya yang membawa sirih emas dan sirih balainya (sirih besagh) diterima dengan khidmat dan diletakkan ditempat yang telah disediakan. Pihak keluarga pengantin perempuan sudah pula mengerti, bahwa sebentar lagi pengantin laki-laki akan tiba, maka tuhe pengampe / bidan pengantin segera mempersiapkan pengantin perempuan un-tuk didudukkan diatas pelaminan. Apabila kedua mempelai berada didaerah yang berlainan dan jarak yang berjauhan, maka mempelai laki-laki setelah tiba didaerah pengantin perempuan, rombongan pengantar diteduhkan dahulu (diberi tempat istirahat) sejenak diru-mah kaom kerabat pengantin perempuan sementara menunggu isyarat dari pihak penerima. Ditempat inilah bidan pengantin wanita datang merias mempelai laki-laki dengan pakaian adat. Setelah mendapat isyarat mulailah rombongan mempelai laki-laki bergerak menuju rumah pangantin, Seketika itu terdengar pula Selawat ngan-tar bersahut-sahutan yang
170 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 170 didengungkan oleh pengantar mempelai. Maka tok telangke dengan rombongan orang tuha-tuha wanita dari pihak pengantin turun kehalaman menuju depan pekarangan untuk mengadakan “Jemput resam”. Tuha jemput resam bersama penjuak payung dengan sirih corong jemput resam menyongsong mempelai lelaki yang telah tiba / menanti pada tempat tertentu. Didepan pekarangan tok telangke segera mendapatkan mempelai, dimana mem-pelai telah diapit oleh tua wanita pengampe, mempelai disambut oleh tuha-tuha penyambut dari pengantin perempuan dengan saling menyerahkan sirih corong. Oleh keluarga pengantin perempuan telah disediakan “kereta” (semacam kursi) untuk menjulang (meng-gotong) mempelai beramai-ramai menuju tangga, sementara gadis-gadis menyambutnya dengan marhaban (sempena syariat) dan para pemuda pula menyambutnya dengan silat pelintau (rebas tebang) sempena mapah tuah aman tenteram. Kemudian turai madah dan seloka antara kedua tok telangkai (telangkai datang telangkai me-nanti). g. Nabor beras padi; didepan tangga naik, linto diistirahatkan sebentar, karena haruslah disambut dengan beras padi oleh sorang laki-laki tua (seharusnya perempuan dari kaom kerabat pengantin) yang bijak dan pandai mengucapkan rangkaian kata-kata bidal dan kias yang mengandung harapan dan sempena (doa) terhadap diri mempelai sembari beras padi itu ditaburkan keatas payung mempe-lai dan diucapkan kata-kata : “ Bismillahirrahmanirrahim, puja kepada Allah selawat kepa-da Nabi. Tuah pucok sulooh, patah tumboh hilang beganti, tumboh macam rebong, satu jadi due, due jadi banyak. Berempak, berimbun, ruas bebuku, buku bemate-mate be-
171 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 171 tunas, tunas bertayabang, cabang beperedu, kecik bebesar, rendah betinggi. Miskin bekaye, hine bemulie, alah bise karene sempene, alah do’e karene biase. Tabi’at tabi’i, pusake lame, dari datu nini, hidup rukon damai, laki isteri, makbul pinte, murah rezeki lenja ke tuhe, Alhamdulillah telangke”, puje kepade Allah, selawat ke Nabi sileke naik tok telangke”. Atau dengan untaian kata-kata yang lain: Assalamualaikum sodare besan Serte ban pelin wali yang ade Tuhe adat dengan hukom Ketue kaom muslim sejahtere Pimpinan pemude tiang negeri Hukom biar ade jangan dilupe Pimpinan pemudi nguruhi laki Adat dikampong mende dijage. Assalamualaikom warahmatullah Tangan due belah ateh kepale Jari sepuloh ambe angkat sembilan Pengganti pedang tampok suase Tebedik bintang dilanget biru Cahaye berambor bulan purname Ambe bagi hormat pengantin baru Dengan tuanku mempele mude belie Selamat bahagie pengantin baru Dalam perahu duniye kedue Kalo nyeberang laot nang biru
172 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 172 Bagi ya Tuhanku ramat bahagie Biar macam adek dengan abang Macam Nabi Adam dengan siti Hawe Macam Ali dengan Fatimah Sabe bergairah cinte menyinte Jadilah pemude lampu pelite Untok terang kampong waktu gerhane Umpame suro ditengah belang Tempat menumpang dihari tuhe Dari hulu hendak kehiler Menyeberangi lubok sidup Jangan engko datang kemari Hanye cume nak numpang hidup Jangan isok kalo sudah ade Hame emak engko jadi lupe Maye lagi dapat si puteh licin Me ikan masen pe lupe ko kire Hanye engkat ne yang kuingat ke Laen cerite tentang agame Waktu suboh bangket ko lenja Datangi telage junub segere Tuan puteri harus dijage ke Jangan besuci cadek sedie Udah ye lenja ambe kewudhuk Sembahyang khusu’ puji Rabbana Allahumma shalli’ala Muhammad
173 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 173 Biar selamat dan sejahtere Biar beranak sampe kecucu Macam ikan sengat dalam paye Mane ade sirih nang cadek mirah Mane ade rumah nang cadek diuker Mane ade cakap nang cadek salah Kalo cadek diawal pasti diakher Kuursemangat penganten baru Kuursemangat penganten baru Kuursemangat penganten baru Derah ko ngelaju kak judumu ne. h. Naik mempelai; Mempelai segera diapit naik dengan penuh ke-hormatan dan terus dibawa keruang yang telah disediakan dan di dudukkan diatas tempat yang tersedia diatas tilam pandak beralas-kan tikar cio berlapis. Mempelai dikelilingi oleh sanak dan famili yang turut mengantar, juga seorang tua yang memiliki keahlian untuk pagar badan agar mempelai tidak diguna-gunai sewaktu melaksana-kan aqad nikah nanti. i. Serah terima sirih emas; sebelum pengantin dinaikkan maka tok telangke mengadakan lebih dahulu serah terima “sirih emas dan sirih balai” menurut adat istiadat dan perjanjian. Disatu pihak duduk tok telangke dan dipihak yang lain duduk pula sekalian wali kaom wareh pihak pengantin perempuan yang akan menerima penyerah-an sirih emas, saling berhadapan dengan tok telangke dan rombong annya. Setelah memakan sirih penjemput dari tuan rumah, Dalam penyerahan ini telangke sekali lagi
174 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 174 bersilat lidah dengan wakil/tetuhe penerima yang dihadiri oleh Datok/kepala adat beserta imam. “Maaf tuan-tuan; pade hari baek, bulan baek datang pule kami kemari menageh dan menepati janji janji yang dimulie ke pemude remaje kami bawe ke untok diambel aqad nikah nye begian juge mahar kami antarke pembayar hutang yang diucap ke hutang adat hutang syara’ harus selesai seluroh nye begiaelah pinte dari kami. Pihak perempuan menyahut pula:.................... Tuan-tuan yang mulie Syukor kite pade Illahi segale sesuai menurot janji tande manusie tetap beradat tande kampong tetap bepenghulu tande luhak tetap beraje tande syara’ tetap dipegang tetap adat jadi pusake. Udah ye....... Sudah menanti tepak nikah sudah tekembang tikar cio sudah tegantong tabing didinding sudah terentang langit-langit sudah teridang pulut kuning sudah terbilang urang duduk sudah menanti tuan kadhi
175 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 175 sudah sekate kaom kerabat oleh karene ye..................... Usahe baek didereh ke pemude dipersile ke mengambel tempat demikianlah kate dari kami. Kemudian pihak keluarga perempuan membuka bungkusan uang ma-har secara cermat dan hati-hati serta menghitung jumlah isinya apakah sesuai dengan perjanjain. Suatu pantangan yang telah menjadi kepercayaan bahwa menghitung ringgit (pada zaman dahulu) tidak boleh bersuara atau beradu satu sama lainnya karena ini akan membawa bencana kepada kedua mem-pelai yaitu, mempelai akan selalu bertengkar dalam rumah tangganya. Selesai dihitung uang mahar tersebut dibungkus kembali yang kemudi an diberikan kepada sanak keluarga yang telah tua-tua untuk digen-dong bergantian dengan maksud agar perkawinan itu kelak tetap kekal dan mendapat keselamatan. kemudian barulah diserahkan kepada kedua orang tua si perempuan untuk diserahkan kepada pengantin. Setelah selesai serah terima sirih emas, barulah pengantin dinaikkan. j. Naik dan bersanding; Imam atau kadhi bersama-sama orang tua pengantin perempuan didampingi oleh waliwalinya, segera akan mengadakan akad nikah. Orang tuanya beserta imam lalu menanya-kan kepada pengantin perempuan atas persetujuan pernikahan yang akan dilaksanakan. Setelah ada persetujuan dari pengantin perempu-an, pernikahan segera di laksanakan. Dihadapan mempelai duduk tuan qadhi dan dua orang saksi, ayah si perempuan serta kaom kerabat lainnya. Ijab
176 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 176 qabul ada yang langsung dilaksanakan oleh ayah siperempuan dan ada yang diwakilkan kepada wali hakim yaitu tuan qadhi. Ijab qabul yang diwakili wali hakim : Tuan qadhi memegang telunjuk atau bersalaman (berpegang tangan) dengan mempelai, setelah tuan qadhi berdo’a lalu mengucapkan: “Aku nikahkan sipolan........(Nama pengantin perempuan) binti sipolan (nama ayah siperempuan) yang berwalikan hakim dengan engkau (sebut nama mempelai lengkap dengan bin nama ayahnya) dengan mahar (disebut apa dan berapa jumlah maharnya serta apakah tunai atau berhutang)”. Pada saat terakhir ucapan tuan qadhi tangan mempelai di sentak agar segera menjawab supaya tidak terputus. “Saya terima nikah sipolan (nama perempuan sesuai dengan yang diucapkan tuan qadhi diatas) dengan mahar ............ Tunai (atau hutang)”. Setelah akad nikah selesai diucapkan, wali nikah (wali hakim) mena-nyakan kepada saksi atas ijab kabul yang diucapkan apakah telah sempurna atau belum, apabila para saksi setuju maka nikah telah sah menurut hukumnya. Selanjutnya telangke memberi tahukan kepada bidan pengantin/pengampe agar “Nyandengke mempele” segera dapat dilaksanakan. Setelah pengantin perempuan duduk diatas pela-minan, maka telangke membawa mempelai yang diiringi oleh kekun-dangnya (orang yang menemani mempelai biasanya dari sahabat dekat) menuju ruangan pelamin untuk bersanding. Didepan pintu masuk ruangan pengantin oleh wanita-wanita pihak karong sipengan-tin menghadang telangke dan mempelai dengan kain panjang
177 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 177 (palang pintu). Disisni tuan telangke harus membayar “duit palang pintu” sesuai dengan perjanjian. Setelah melewati palang pintu mempelai berjalan diatas kain titi menuju kepelaminan. Setelah sampai didepan pelaminan bidan pengampai menyambut mempelai dan didudukkan sebelah kanan pengantin perempuan. k. Cemetok pengantin; Setelah mempelai selesai duduk lalu bidan pelaminan menyuruh pengantin perempuan menyembah pengantin laki-laki. Dalam sembah tersebut pengantin laki-laki menyerahkan sebentuk cincin ketangan isterinya yang dinamakan “cemetok” suami dipelaminan. Kemudian mereka duduk kembali diatas pelaminan, pengantin perempuan duduk dengan posisi menunduk agak kemalu-maluan dan tangannya diletakkan diatas kedua lututnya dengan hia-san yang gemerlapan disinari oleh cahaya lampu patromak, mempelai laki-laki dengan posisi tangan yang sama sesekali melirik kerah pengantin perempuan. Disamping kedua mempelai dikiri kanannya ber diri dua orang anak dare yang masing-masing memegang sebuah kipas untuk mengipas kedua mempelai agar tidak kepanasan. Selanjut nya dilanjutkan dengan upacara tepung tawar atas kedua pengantin oleh keluarga. Acara tepung tawar dilakukan oleh orang tua-tua yang ada hubungan keluarga baik dari pihak laki-laki maupun perempuan sebanyak 3 orang, 5 orang atau 7 orang, biasanya dalam jumlah yang ganjil. Yang pertama melaksanakannya adalah orang tua pengantin perempuan yang kemudiang dikuti oleh orang-orang tua lainnya dan setelah selesai pihak pengantin perempuan diteruskan oleh pihak mempelai laki-laki. Cara pelaksanaan pesejuk (tepung tawar) ini adalah: pertama dengan mengucap selawat atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW, dilanjutkan dengan menabur
178 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 178 bereteh (padi atau gabah yang digong-seng) kepada kedua mempelai dengan posisi mengikuti arah jarum jam, kemudian dilanjutkan dengan memercikan air dengan berbagai jenis daun yang telah disediakan yang posisinya juga sama mengikuti arah jarum jam, hal ini dilakukan sebanyak tiga kali lingkaran. Kemu-dian dilanjutkan dengan menyuntingkan pulut yaitu pulut dikepal de-ngan tangan dan diletakkan atau diselipkan ditelinga sebelah kiri dan sebelah kanan kedua mempelai. Maka selesailah pelaksanaan tepung tawar kemudian orang yang menepung tawari tersebut bersalaman dengan memberikan uang pada saat bersalaman yang disebut juga cemetok, bila yang menepung tawari adalah keluarga pihak laki-laki maka cemetoknya kepada pengantin perempuan demikian juga sebaliknya bila yang menepung tawari adalah keluarga pihak perem-puan maka cemetoknya kepada mempelai laki-laki. l. Santap adap-adapan; Setelah selesai upacara tepung tawar maka kedua pengantin diturunkan dari pelaminan dan didudukan dihalaman pelaminan dikelilingi oleh keluarga kedua belah pihak, untuk santap bersama. Untuk santapan pengantin khusus diadakan hidangan bela-pih makan bersama sedulang dan sepinggan dibawah tuntunan bidan pelaminan. Dalam acara makan adap-adapan kedua mempelai biasa-nya melakukan perebutan mencari ayam panggang yang dibenam dalam nasi yang tertumpuk, hal ini memberi arti kepada tanda untuk mengetahui siapa yang duluan menemukan dapat dimaknakan seba-gai orang yang akan lebih berperan dalam rumah tangga. Setelah selesai santapan adap-adapan, menurut resam dan kanun peradatan, maka kedua pengantin disandingkan kembali sampai menjelang subuh, sementara dimasa sanding itu
179 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 179 berlakulah puncak keramaian /kegembiraan dalam perhelatan yang diiringi makan minum, marha-ban, dondang sayang silih berganti sampai pagi. Dekat masa subuh berakhirlah masa sanding, dan kedua pe-ngantin lalu dipisahkan, karena pagi tersebut pengantin laki-laki akan pulang kembali bersama-sama kaum keluarganya yang mengantar kerumah semula. Pada sore harinya (hari itu juga) biasanya sesudah magrib mempelai laki-laki disertai dengan kekundangnya (seorang teman yang dibawa serta sebagai pengawal) pulang kembali kerumah isterinya, kemudian pagi esoknya ia lalu meninggalkan rumah isterinya dan pulang kerumahnya lagi. Hal ini berlaku sampai hari ketiga. Pada pagi hari ketiga itu simempelai tidak dibolehkan berangkat pulang, hari ini dinamakan “hari berkurong”. Namun sekarang tidak pernah lagi dilakukan pesta perkawinan pada malam hari, maka pada siang hari setelah selesai berdembagh (bersanding) sipengantin perempuan masuk kebilik (kamar) sedang-kan mempelai laki-laki duduk diatas tikar yang telah disediakan disam-ping pelaminan dimana tikar tersebut berlapis dengan tikar cio seba-nyak tujuh lapis dan disusun bantal sampai 10 buah beserta bantal guling dua buah, kemudian bidan penganten barulah merumahkan kebilik (membawa masuk kekamar) dimana didalam kamar ditepung tawari oleh bidan pengantin untuk mendapatkan keserasian didalam kamar tersebut. Apabila belum dirumahkan maka mempelai tidak bo-leh masuk kekamar, hal ini dilakukan pada malam harinya atau keesokan harinya. Selama belum dirumahkan maka mempelai tetap duduk ditempat tikar cio tersebut dengan makan dihidangkan oleh pengantin perempuan didalam dalong. Tempat tikar cio ini bertahan selama 40 hari baru boleh dibongkar.
180 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 180 m. Hari berkurong; hari ke tiga mempelai laik-laki dikurung dirumah pengantin perempuan, maka hari keempatnya wali karong dari pengan tin laki-laki dengan membawa hidangan nasi selengkapnya untuk upah (tebusan) bagi wali pengantin perempuan agar mengizinkan pengantin laki-laki tersebut dibawa pulang kembali. n. Mandi bedimbar; didalam tingkatan perkawinan pemangku adat (anak-anak kepala adat) diistiadatkan (perlakuan yang dilakukan kepa-da bukan orang sebenarnya yang harus menerima perlakuan adat tersebut, namun orang tersebut dirasa pantas untuk dilakukan seperti itu maka hal ini dinamakan diistiadatkan), juga diadakan upacara istiadat “mandi bedembar” ditempat pengantin perempuan pada hari ketiga oleh sebelah pengantin wanita. Tempat mandi tersebut berben-tuk panca pesada ditengah halaman. Waktu mempelai turun menuju panca pesada diikuti dengan bunyi-bunyian (gong, biola, gendang). Keduanya diikat dengan benang tujuh lapis pada pinggangnya, kemu-dian dijongkokkan dan diselimuti dalam satu kain panjang (kain sabe) lalu ditepung tawari dan dimandikan. Dan mereka juga diharuskan menginjak telur ayam, barulah kedua ujung dari benang tersebut diba-kar dengan mempergunakan api lilin. Dalam mandi berdimbar pengantin tersebut turut juga dimeriahkan oleh para keluarga. Sebagai bahan atau alatalat mandi bedimbar tersebut adalah: 1. Dua gebuk air bunga cencang (bunga rampai) dan irisan limau purut yang dinamakan air ukup dan leher gebuk tersebut dihi-asi dengan rangkaian daun kelapa yang dinamakan “jari lipan”.
181 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 181 2. Satu gebuk air sempena selamat. 3. Satu gebuk air untuk sempene tolak bala. 4. Dua buah kelapa muda yang telah dikupas habis kulitnya (tinggal kelongkong). 5. Dua buah telur ayam. 6. Dua buah dian dalam sebuah baki. 7. Dalong tepung tawar dan rerumput dari untaian mayang pi-nang muda yang kuning warnanya. 8. Satu pasu air yang juga dihiasi jari lipan berisi air bunga cincang (bunga rampai) 9. Dua ember air biasa. 10.Satu talam alat rias lainnya. Setelah mandi bedimbar inilah mempelai laki-laki baru dibenarkan berangkat pulang kembali bersama keluarganya yang menjemput tadi. o. Alang tujuh; pada malam tujuh harinya diadakan “malam alang tujuh” dimana pihak laki-laki harus membawa bermacam-macam ma-kanan dari buah-buahan, kue dan lain-lain, pakaian sesalin dan juga tujuh dalong kue-kue sebagai balasan dalong balas emas. p. Hari larangan; Pada hari kedelapan pengantin laki-laki tidak dibe-narkan pulang kerumah isterinya, barulah pada hari kesembilannya mempelai itu dibenarkan pulang dengan kewajiban membawa ikan basah. Pada hari kesembilan itu datanglah keluarga beserta tok telang ke untuk meminjam pengantin perempuan dibawa kerumah pengantin laki-laki. Pada hari itu juga orang tua pengantin laki-laki datang untuk menjenguk/menepung tawari pengantin perempuan, kemudian barulah diadakan meminjam. q. Minjam pengantin wanita dan Nyembah mentue; Pada hari yang telah ditentukan, maka pihak laki-laki datang
182 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 182 meminjam mempelai untuk dirayakan dirumahnya pula dengan istilah jemput pengantin. Sebelum berangkat membawa minjam, diadakan upacara menyembah mentue (mertua) dan seluruh wali keluarganya oleh pengantin lakilaki. Pada sembah menyembah itu, pengantin laki-laki diberi cemetok (salaman berupa uang) oleh keluarga yang disembah. (Sembah disini bukan berarti menyembah manusia tetapi hampir identik dengan sung-kem dalam adat jawa). Setelah selesai upacara ini berangkatlah pengantin perempuan yang diiringi oleh wali karongnya dan teman karibnya kerumah orang tua sisuami. Setibanya kedua pengantin tersebut kerumah pengantin laki-laki mereka disambut dengan upacara sebagai mana dilakukan diwaktu penyambutan ngantar mempelai kerumah pengantin perempuan tempo hari. Setelah selesai bersanding dirumah pengantin laki-laki diadakan juga acara nyembah mertua oleh pengantin perempuan dan dalam hal ini pihak laki-laki yang bercemetok. Masa minjam ini paling lama tiga hari. r. Memberi gelar; pada malam tujuh hari pada mempelai laki-laki oleh keluarga perempuan diberikan gelar (ganti nama panggilan) sedangkan untuk pengantin perempuan diberi oleh pihak laki-laki sewaktu pengantin perempuan berada dirumah pengantin laki-laki pada waktu minjam yang dilaksanakan pada malam pertamanya. Gelar biasanya diambil dari nama-nama orang terkemuka atau pah-lawan didaerah tersebut. s. Menyelesaikan kerja perkawinan; 1. Mengembalikan Pengantin perempuan;Setelah janji hari minjam pengantin wanita selesai (3 hari lamanya) dan
183 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 183 pengantin wanita terse-but diantarkan kembali oleh tok telangke kerumah orang tuanya, maka selesailah sudah kewajiban tok telangke dalam urusan perkawinan ini, sampai pada tahapan ini kewajiban orang tua pengantin laki-laki menyudahi hak tok telangke dengan meminta izin dan memberikan hadiah biasanya uang dan kain sepantasnya. Namun suatu saat atau sewaktu-waktu terjadi perselisihan ataupun pertengkaran yang melibat kan keluarga kedua belah pihak biasanya tok telangkai mengambil peran kembali untuk menyelesaikannya. 2. Tandang pengantin baru; sesudah upacara peresmian perkawin-an dirumah kedua belah pihak selesai, kedua pengantin ditandangkan kerumah famili kedua belah pihak dengan membawa buah tangan me-nurut tingkatnya. Buah tangan tersebut akan dibalas oleh yang dikun-jungi. 3. Ngadapi nak megang; pada hari raya tahun pertama sesudah per- kawinan tersebut, sewaktu menghadapi megang, pengantin laki-laki harus membawa perlengkapan hari puasa. Perlengkapan tersebut antara lain daging atau kepala lembu ataupun dadanya. Balasan nanti-nya dari pihak wanita adalah hidangan selengkapnya dan kuwekuwe. Selesai segala tata cara ini barulah acara perkawinan dianggap selesai sepanjang hukum (adat resam dan kanun) adat istiadat per-kawinan pada suku perkauman Tamiang. t. Ngidupi Diri; 1. Masa bersama orang tua; Seorang ayah merasa bertanggung jawab membela anaknya sejak kecil sampai kepada mampu menghidupi diri (berdiri sendiri). Maka oleh karena itu bagaimanapun tingkat kehidupan si ayah, untuk anak-nya tidak luput dari asuhan. Sejak anak telah mencapai dewasa, ia telah dibawa