184 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 184 mengerjakan pekerjaan yang menghendaki pertanggung jawaban. Dalam mengerjakan huma dan belang ibu bapa telah mengungguk-kan (menunjuk) sebagian bidang tanah itu kepada anaknya. Dan pada waktu senggang, sianak mengerjakan tanah itu dengan sempurna menurut yang dicita-citakannya sendiri. Hal ini antara beradik abang tidak sama keinginannya kadang-kadang ada yang menanaminya de-ngan pinang dan sebagainya. Pada prinsipnya kebun ini nanti yang menjadi dasar hidupnya setelah ia bersuami/beristeri. Harta yang sifatnya begini tidak lagi menjadi sebagai harta yang diwariskan apabila orang tuanya meninggal dunia. Adapun kerja atau usaha orang tuanya yang terjadi pada kebun di maksud, adalah merupakan bantuan yang di berikan saja. Ketentuan ini adat turut menguatkannya. 2. Masa bersama Mertua; Seorang menantu menurut adat kebiasa-an baru boleh memisahkan diri dari orang tua (ibu bapak isteri) ialah setelah beroleh seorang anak, inipun terkadang sukar dilaksanakan kalau pihak mertua tadi hanya mempunyai satu-satunya anak perem-puan. Keadaan yang begini biasa membuat berlarut-larut sampai bo-leh empat, lima orang anak, baru mendirikan rumah lain dan memisah untuk hidup sendiri. Akan tetapi jika hal seperti ini terjadi, simenantu laki-laki tadi telah mengambil alih beban rumah tangga kepada dirinya. Hasil usaha yang diperolehnya dibawa pulang kerumah mertuanya. Menyimpang dari hal kecuali ini, lazimnya tidak ditahan malah dibantu sepatutnya, apalagi dalam hal membangun rumah anak menantunya. 3. Berdiri sendiri; Pemuda yag cerdik sejak ia masih lajang, sudah mempersiapkan sesuatu untuk masa tuanya, selain dari pada tanah yang digunakan kepadanya ia juga
185 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 185 sudah menambah yang lain, sam-pai pada bahan bakal perumahanya. Seketika hidup lain telah mengi-zinkan, dengan tidak menempuh kesulitan ia telah bisa hidup sendiri. Rumah biasanya didirikan secara gotong royong, tambah pula masing -masing orang tua baik ibu Bapak maupun mertua membekali anak menantunya yang telah mulai menghidupi diri dengan alat keperluan rumah tangga menurut patut dan kemampuan. Semenjak saat ini mereka dua suami isteri sudah bertanggung jawab terhadap rumah tangganya dan pula bertanggung jawab terhadap kampung dan ma-syarakat sebagai seorang kepala keluarga. Namun demikian pada hari Raya Idul fitri atau Idul Adha sekalipun mereka telah berumah lain, maka pada hari tersebut mereka harus menggabungkan diri kerumah orang tuanya. Kalau orang tua mereka kedua belah pihak masih ada, biasanya berbagi dua atau setidaknya anak-anak mereka pergi menggabungkan diri kerumah neneknya sebelah pihak, suami dan isteri kepihak yang lain. Sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun mandi hari raya itu turut bersama-sama se-rentak segala sanak keluarga bersama Imam dan Datok. Dan setelah tangkoh mandi, masing-masing mengenakan pakaian yang serba baik, maka mulailah mereka diantara seisi rumah tersebut melakukan upacara minta izin (berma’af-ma’afan) dan ampun sesama mereka, dimulai dengan mencium tangan dan lutut. Setelah itu mereka pergi kerumah Imam dan dari sana beramai-ramai pergi kemesjid untuk mengerjakan sembah yang Hari Raya. Dan sete-lah selesai sembahyang, maka semua jema’ah menuju rumah Datok untuk sama-sama berhari raya. Demikianlah resam dan qanun peradatan perkawinan suku perkaum-an Tamiang tempo doeloe, bahkan sebagian
186 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 186 besar anggota masyara-katnya masih menghayati dan melestarikannya sampai sekarang ini, namun disana sini juga ada telah mengalami pengurangan (dihilang-kan) disesuaikan dengan tingkatan hidup dan kemampuan masyara-kat. 2.5. Pelaminan Jadi Suku Perkauman Tamiang. Sifat/bentuk : Punca Persada Tuha. Bahan pokok: K a y u. Bentuk : Segi lima, berpuncak bentuk atap tudung lengkung payung ber-pucuk rebung dipuncaknya, berlantai diatas ampuan 3, 5, 7 atau 9 tengkah tangga. dengan ketentuan: - Raja .....................pelaminannya bertangga (bertingkat) 9 - Anak Raja ... ........Pelaminannya bertangga (bertingkat) 7. - Keturunan Datok...Pelaminannya bertangga (bertingkat) 5. - Orang kebanyakan (biasa) Pelaminannya bertingkat 3. Seluruh kerangka kayu dihiasi dengan kain sutera indah (dalam bentuk genting gelembung) ditambah dengan hiasan gantungan ukiran kertas persada, motif burung-burungan, ikan, diselang-selingi hiasan terawang bertekat awan berarak. Kelengkapan Dan Jenis Hiasan : 1. Tempat duduk bedimbar, beralaskan tikar cia belapis dan bertera-wang bertekat atau kelice bersampul dengan hiasan sulaman/ kerawang bertekat berpucok rebung atau buga telepuk. Gegunung betekat, betampok, berpucuk (bersusun bertekat dan betampok). 2. Serage dinding. 3. Serage.
187 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 187 4. Bantal kalang betampok. 5. Lelangit. 6. Tabing. 7. Balai pulut kuning lengkap (untuk upacara sunting resam). 8. Bale sirih. 9. Tepak berisi sirih selengkapnya. 10.Dalung lengkap dengan sange (bersahab dengan bersengora) tempat ramuan tepung tawar. 11.Peniman berisi air sejuk dengan batil perak atau gebuk berisi air bunga rampai (khusus untuk pembasuh kaki pengantin). 12.Corong sirih mak pengampe. PELAMINAN ADAT TAMIANG
188 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 188 2.6. Pakaian Pengantin.
189 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 189 Warna dasar pakaian adalah merah saga, hijau daun atau kuning, bahan dasar bagi orang yang mampu adalah beledru. Pakaian pengantin ini dapat dirincikan : 2.6.1. Pakaian pengantin laki-laki (mempelè laki). 1. Detar. 2. Tengkulok. 3. Cuping, lingkar, renda, umbai (kelengkapan hiasan detar dan tengkulok). 4. Baju teluk belanga leher timban/kecak musang. 5. Serati (hiasan umbai dada). 6. Pending (ikat pinggang dari emas atau perak). 7. Kelat bahu. 8. Tepak (scelepe sirih sombul pengantin). 9. Terapang. 10.Kain sesamping betekat. 11.Selempang. 12.Capal jepit betekat. 13.Bawar/tumbok lada. 2.6.2. Pakaian Pengantin wanita (mempelei Perempuan). 1. Hiasan sanggul tegang lintang. 2. Bunga gerak rempa. 3. Gunjai. 4. Jejak murai. 5. Kerabu (subang). 6. Kelat bahu. 7. Kebaya panjang betekat (besulam benang emas). 8. Sarung betekat. 9. Rantai serati. 10.Selendang kain betekat. 11.Gelang tangan dan kaki. 12.C i n c i n. 13.Tunggul pengikat hiasan sanggul.
190 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 190 14.Selop kerucut bertekat. 15.Kipas tudung muka (wajah). 2.7. Mempersiapkan Kelahiran Bayi. Untuk menunggu kelahiran anak pertama biasanya pengantin baru tetap tinggal dirumah mertua (orang tua pihak perempuan), sampai me-nunggu kelahiran, karena untuk anak pertama ini adalah tanggung jawab dari emak si perempuan mengurus, menjaga dan merawatnya, orang tua pihak laki-laki hanya menjenguk pada saat-saat tertentu saja. Sudah menjadi kebiasaan bagi suku perkauman Tamiang dimana pada saat usia kehamilan 5 atau 7 bulan maka emak dari pihak laki-laki beserta sanak keluarga datang menjenguk menantu yang sedang mengan dung (hamil) dengan membawa nasi beserta lauk pauknya. Nasi biasanya nasi minyak yang dibungkus dengan daun pisang yang sudah layu (karena dipanasi = dilayo) yang terdiri dari lauk pauk, ayam panggang, daging dan berbagai macam ikan yang dipisahkan antara nasi dan lauk pauk tersebut. Selain itu juga dibawa pulut kuning, rasidah beserta intinya (kelapa yang dimasak dengan gula merah). Pada saat ini juga dilakukan pesejok (tepung tawar) oleh keluarga ibu pihak laki-laki. Selain bahan-bahan diatas mertua (ibu pihak laki) menyediakan juga sirih (setepak lengkap dengan bahannya), pakaian sesalin, dan uang ala kadarnya yang akan diserahkan kepada mak bidan (Dukun beranak) sebagai tanda penyerahan tanggung jawab untuk merawat kelahiran bayi, semua bahan di isi dalam talam, (disebut dengan nempah bidan). Upacara ini dilakukan sebagai penghormatan mertua terhadap me-nantunya yang sedang hamil untuk menghadapi kehaliran anak pertama-nya yang belum pernah merasakan susah payahnya melahirkan sehingga dihiburlah dengan memberi makan yang enak-enak, dengan kata lain pe-ngantin
191 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 191 perempuan mendapat perlakuan yang manja dari sanak keluarga. Dalam upacara ini yang datang menjenguk dari pihak ibu laki-laki adalah kaum kerabat dan tetangga yang perempuan saja sedangkan yang laki-laki tidak ikut. Kunjungan ini juga diberi tahukan terlebih dahulu kepada pihak keluarga perempuan sehingga mereka juga menunggu dengan kaom keluarga dan beberapa orang patut-patut dalam keluarga mereka. Setelah selesai makan dilakukan pesejok (Tepung tawar) oleh keluarga dari pihak silaki, kemudian selesai pesejok pengantin bersalaman dengan semua rombongan untuk memohon maaf dan do’a restu sambil bersujud pada mertua dan ibu kandungnya. Selanjutnya mertua menyerahkan menantunya kepada mak bidan (dukun beranak) dengan mengatakan: “ne idup mati anak ambe, entah siang en-tah ke malam har, ambe serah ke kak mak bidan untuk ngurusnye sampe selesei”, lalu mak bidanpun menerimanya dengan ucapan “kite ne kan berusahe umor kak Tuhan”. Selesai serah terima diberikanlah bahan-bahan tersebut kepada mak bidan. Sejak itu mak bidanpun secara berkala datang mengontrol, biasanya juga sekaligus sebagai tukang urut (kusuk) sampai selesai melahirkan dan turun tanah. Beberapa hari kemudian datanglah kunjungan balasan dari si ibu pengantin perempuan kerumah besan (orang tua si laki) beserta pengantin nya, sekaligus sambil mengembalikan peralatan tempat nasi sewaktu ber-kunjung kerumah pengantin perempuan dengan membawa berbagai ma-cam makanan seperti; wajek, rasidah dan lain-lain. Selama menjalani masa hamil banyak hal-hal yang pantang atau tabu bagi pengantin karena dikhawatirkan akan membawa pengaruh buruk baik terhadap janin yang sedang dikandung maupun terhadap orang yang sedang mengandung
192 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 192 tersebut, misalnya dilarang duduk diujung tangga (dianggap dapat menyulitkan sewaktu melahirkan), berada diluar rumah pada senja (waktu magrib) dan malam hari, karena pada saat seperti itu banyak makhluk-mkhluk halus yang bergentayangan yang dikhawatirkan mudah saja mengganggu, melangkahi kuburan, membicarakan hal-hal yang tidak senonoh atau membenci terhadap sesuatu baik manusia, hewan dan bendabenda lain, karena dianggap dapat mempengaruhi ke-pada wajah ataupun bentuk tubuh dari bayi yang akan dilahirkan dan juga memukul binatang. Oleh sebab itulah pada wanita hamil biasanya diberi-kan “tangkal” (Sesuatu benda yang dibuat sebagai penangkal terhadap sesuatu akibat buruk) yaitu berupa benang beberapa lilitan yang sudah di rajah (dijampi) oleh orang tua yang telah mengerti tentang seluk beluk tersebut (orang pintar atau orang alim) dan di ikatkan dipinggang yang ber guna sebagai protektor terhadap berbagai gangguan makhluk halus. Ternyata pantangan ini bukan saja berlaku pada orang yang sedang mengandung (hamil) tetapi juga berlaku pada suami orang yang sedang mengandung tersebut misalnya; tidak boleh menyembelih segala macam hewan, memukul hewan atau binatang karena dikhawatirkan akan ber-pengaruh perlakuan tersebut dengan kondisi bayi yang akan dilahirkan, melilitkan handuk dileher sewaktu mau pergi mandi dapat mengakibatkan uri (placenta) dapat meliliti leher dan lain sebagainya. Setelah tahapan-tahapan diatas selesai dilalui ada satu tahapan lagi yang dilakukan pada saat pengantin hamil, yaitu pada saat ada waktu luang keluarga kedua belah pihak sepakat untuk pergi rekreasi kepantai dengan membawa berbagai makanan dari mulai buah-buahan baik dalam bentuk rujak sampai kepada nasi dengan berbagai macam lauk pauk un-tuk disantap bersama-sama. Dalam acara ini hanya terbatas pada
193 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 193 kedua belah pihak keluarga yaitu keluarga pihak laki dan pihak perempuan saja. 2.8. Melahirkan Bayi. Untuk anak pertama biasanya segala biaya yang diperlukan untuk persalinan ditanggung oleh orang tua siperempuan, sedangkan mertua (orang tua silaki) hanya memberi sumbangan berupa uang dan kebutuhan sehari-hari pada masa hari-hari pertama kelahiran bayi. Pada hari bersalin seluruh sanak keluarga dan tetangga datang berkumpul, bersama-sama membantu pekerjaan dirumah tersebut, dan ada juga yang menghibur yang akan melahirkan akan terhindar dari rasa takut dan was-was terha-dap apa yang tengah dihadapinya. Setelah proses melahirkan selesai, bayi dibersihkan oleh mak bidan yang tali pusatnya telah dipotong dengan menggunakan sepotong buluh (bam-bu) tipis yang telah diraut untuk memisahkan bayi dari placenta (uri = adi). Placenta ini disebut dengan adi karena lahirnya setelah bayi lahir duluan sehingga ia bermakna seperti adik dari bayi yang baru dilahirkan tersebut. Cara memotong pusat ialah dengan mengikat dengan tali benang yang telah disediakan yaitu benang 7 warna jika yang lahir adalah anak laki-laki dan benang 5 warna jika yang lahir adalah anak perempuan lalu dipotong dengan bambu (sembilu), pusat yang sudah dipotong dibubuhi kunyit. Benang 7 warna melambangkan kekuatan seorang laki-laki dan benang 5 warna melambangkan kekuatan seorang wanita yang tidak sama degan laki-laki. Kunyit yang berwarna kuning sebagai sumber kemuliaan, dahulu merupakan lambang kebangsawanan. Kemudian bayi yang telah bersih tersebut dibedung (digunggum) dan diletakkan dalam tempat yang telah di sediakan yaitu dalong yang telah diberi alas, sebagai perlambang kebe-saran dan kemuliaan. Selanjutnya mak bidan menyerahkan bayi kepada orang yang terpandang atau orang
194 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 194 alim untuk diazankan bila bayi laki-laki dan di Qamat bila bayi yang lahir adalah perempuan. Setelah selesai di Azankan atau di Qamatkan bayi tersebut diserahkan kembali kepada mak bidan, yang kemudian diletakan disamping ibunya yang telah bersih. Orang pilihan yang membaca azan atau qamat mempunyai makna yang sangat berarti bagi perkembangan si bayi, agar anak itu kelak akan meniru sifat baik dari orang yang membaca azan atau qamat tersebut. Bila orang yang terpandang ini tidak ada maka sibayi diserahkan kepada kakek atau ayahnya untuk membacakan azan tersebut. Setelah selesai mengurus sibayi maka tugas mak bidan selanjut-nya adalah untuk menanam placenta (adi), placenta yang akan ditanam di-cuci bersih dan dimasukkan kedalam periuk tanah (periuk yang terbuat dari tanah liat) dicampur dengan abu dapur agar placenta dapat menge-ring dan tidak membusuk. Placenta biasanya ditanam dibawah cucuran atap bagi anak laki-laki, dan dibawah tangga bagi anak perempuan. Tempat penanaman ini memberi arti yang dihubungkan dengan kedu-dukan anak laki-laki sebagai orang yang mencari nafkah dan perempuan sebagai penjaga rumah tangga. Penanaman placenta tidak boleh terlalu dalam dan setiap malam dipasang bara api diatasnya, hal ini menyangkut hubungannya dengan bayi yaitu untuk menghindari bayi dari sakit perut. Dilain pihak ada juga perlakukan tehadap uri ini, uri yang ditanam tersebut diatasnya ditanamkan bibit kelapa. Penanaman uri dan kelapa ini dilakukan disekitar pekarangan rumah, uri dan kelapa digendong ketempat penanaman dan membawa dua kapur sirih, sekapur dibawa pulang dan di-kunyah lalu dipiliskan pada si ibu sedangkan sekapur lagi ditingalkan. Ketika mak bidan sampai dirumah dari tempat penanaman uri harus ber-tanya kepada yang tinggal dirumah dengan sapaan
195 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 195 “Apa Khabar” dan yang dirumah harus menjawab “Penuh tiada kurang”. Hal ini untuk meng-hindar agar sibayi tidak merasa kehilangan dan dapat menghindar si bayi menangis pada malam hari. Masa persalinan ini dalam bahasa tamiang disebut dengan “bediang” atau “bedapor”, selama masa bediang tidak boleh bergerak, segala sesuatu kegiatan dilakukan ditempat tidur ini gunanya untuk menjaga kesehatan simamak, karena sehabis melahirkan terlalu banyak tenaga yang keluar, maka segala ramuan dan jamu disediakan untuk mengembalikan tenaga yang telah hilang tersebut. Setelah 7 hari selesai bersalin (melahirkan) maka dilakukan perawatan-perawatan rutin terhadap siibu, mak bidan melakukan kusuk (urut) pada perut untuk meletakkan perut pada posisi-nya, bediang ini lamanya selama empat puluh hari atau empat puluh empat hari. Selesai bersalin keesokan harinya dilakukan bediang yaitu dengan memanaskan batu besar sepereti batu koral yang bentuknya agak ceper agar mudah meletakkannya diatas perut, batu yang panas tersebut dilapisi dengan kain diletakan diatas perut dengan posisi berbaring terlen-tang dan setelah dingin diganti dengan batu yang lain, sementara batu yang dingin tersebut dipanaskan lagi. Demikian selanjutnya dilakukan selama dua atau tiga kali pemanasan. Hal ini dilakukan untuk menghancurkan kotoran-kototan yang tersisa didalam dan juga gunanya untuk membuat bentuk perut seperti sedia kala. Kemudian dilakukan berserekup (berselimut tebal-tebal dalam posisi duduk) yang didalam serkupan tadi terdapat batu yang panas dimana batu panas ini nantinya disiram dengan air sehingga terjadi penguapan, pada proses ini maka tubuh orang terse-but akan mengeluarkan keringat dengan suhu badan yang tinggi. Hal ini berguna untuk mengeluarkan segala penyakit dan mengencangkan otot-otot yang sudah mengendur. Demikianlah dilakukan terus menerus pada saat bediang. Pada
196 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 196 7 hari keatas setiap selesai dikusuk (biasanya selama tiga hari) selesai mandi dipakaikan setagen (bengkong) yaitu kain yang lebarnya 10 cm dan panjangnya mencapai 10 meter di ikat dan dililitkan pada perut sehingga perut tampak tetap kecil, ini dilakukan gunanya untuk mempertahankan posisi perut agar tetap mengecil. Karena apabila hal ini diabaikan maka kondisi perut setelah melahirkan hampir sama dengan kondisi sewaktu hamil. Beberapa upacara setelah habis melahirkan bayi : a. Cukur Rambut. Setelah bayi berumur 1 minggu atau menurut kondisi rambut yang dibawa oleh bayi sejak lahir bila rambut ini lebat dan tebal dilakukan mencukur rambut dan terkadang dilakukan sekaligus pada saat menurunkan tanah, dmana usia bayi mencapai 44 hari, Namun kebiasaan bagi masyarakat Tamiang selalu mengambil hari-hari ganjil seperti usia bayi 41 hari, 43 hari atau 45 hari. Mencukur rambut ini bertujuan untuk membuang rambut yang kotor dan akan berganti dengan tumbuh rambut lain yang bersih. Pada saat cukur rambut Ini juga dilakukan kenduri menurut kemampuan kadang kala juga disekalikan dengan memotong hakikah. Ibu dari pihak laki-laki datang bersama dengan sanak keluarga dengan membawa berbagai peralatan untuk keperluan mencukur tersebut dan sekaligus melakukan cecap bibir (mencicipi bibir sibayi dengan madu lebah), bahan yang diperlukan antara lain telur ayam kampong, madu lebah, kelapa muda yang belum ada dagingnya (bahasa tamiang = kelambe geroh), dan bahan-bahan lain untuk te-pung tawar serta pulut kuning yang kesemuanya diletakkan diatas dalong. Kelapa muda dilubangi tampuknya dengan bentuk zigzag melingkar sehingga membentuk sebuah tutup. Mak bidan mencukur rambut
197 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 197 bayi dengan megusap air pada rambut bayi memakai sabun dan rambut yang dicukur dimasukkan kedalam kelapa muda yang telah dilubangi tersebut lalu ditutup kemudian ditanam kedalam ta-nah (dikubur). Hal ini dilakukan sebagai suatu syarat agar rambut si bayi cepat tumbuh dan subur. Sebelum cukur rambut dimulai dilakukan tepung tawar terhadap sibayi oleh mak bidan. Selanjutnya bayi dimandikan dan dibedung (digunggum) dengan kain bedung lalu diserah kepada kakeknya dari pihak prempuan lalu sinenek melakukan penyecap dengan mengoleskan madu lebah kebibir bayi, kemudian bayi berpindah kepangkuan kakek dari pihak laki-laki dan sinenek (mamak dari pihak laki-laki) yang melakukan penyecap, kemudian bayi dipindahkan ketempat tidurnya. Kadang-kadang nyecap bayi ini dilakukan oleh Imam atau orang yang ter-pandang dan alim dengan maksud agar kelak sibayi bila telah dewa-sa akan menjadi orang alim, terpandang dan baik budi pekertinya. Upacara nyecap ini dimulai dengan mengucapkan “Bismillahirrah-manirrahim, biar manih lidah, panjang umor, mudah rejeki, bergune kak masyarakat, biar taat beribadah”. Lalu dioleslah madu kebibir ba yi. Penyecap ini bertujuan untuk memberi rasa kepada bayi agar nan ti tidak canggung hidup dalam masyarakat dan tidak malas bekerja. Pada usia kelahiran bayi 7 hari keatas, pihak ibu dan keluarga dari pihak laki-laki datang berkunjung dengan membawa pulut dalam balai (wadah yang berbentuk empat segi memakai empat kaki ter-buat dari papan/kayu yang digunakan untuk tempat pulut atau ke-tan), dan melakukan tepung tawar terhadap si bayi, hal ini dilakukan bergantian oleh sanak keluarga dan teman dekat dengan membawa pulut balai, dan biasanya setiap membawa
198 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 198 balai mereka akan mela-kukan tepung tawar terhadap bayi dan terkadang juga terhadap ibunya. Perlakuan ini terkadang sampai saat turun tanah, tergantung banyaknya kaom kerabat dan sahabat. Kelaziman ini hanya berlaku pada anak pertama, dengan kata lain untuk anak pertama akan men dapat perlakuan yang istimewa dari sanak keluarga dan kaom kerabat. b. H a k i k a h. Upacara hakikah ini merupakan adat yang bertautan dengan agama, bagi yang mampu harus melaksanakannya dengan keten-tuan; bagi anak laki-laki disembelih 2 ekor kambing bandot (jantan) dan bagi anak perempuan cukup 1 ekor kambing saja. Syarat-syarat untuk hakikah ini adalah; Kambing harus bandot (jantan) yang sudah cukup umur yaitu 1 tahun, dan tidak cacat. Dan nenek dari pihak perempuan juga menyediakan bahan-bahan yaitu; cermin, bedak, payung, sisir, dan kain putih. Sebelum disembelih kambing tersebut ditepung tawari terlebih dahulu dan dihiasi dengan bedak, sisir kemu dian ditunjukkan pada cermin. Pekerjaan ini dilakukan oleh imam yang sebelumnya telah dilakukan penyerahan oleh ayah si bayai kepada imam tersebut. Penyembelihan dilakukan dengan cara me-mayungi kambing yang telah dibaringkan, kemudian kain putih tersebut dibentang diatasnya dengan dipegang keempat sudutnya oleh empat orang yang akan mengerjakan hasil penyembelihan tersebut. Keempat sudut kain putih tersebut disimpulkan dengan uang yang jumlahnya berdasarkan kemampuan dimana uang tersebut diserahkan kepada yang memegang sudut kain sebagai ongkos untuk me-ngerjakan kambing yang telah disembelih. Bahan-bahan yang lain, kain putih, cermin, sisir dan
199 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 199 payung diserahkan kepada imam untuk menjadi miliknya. Hewan yang telah disembelih dimakan bersama-sama dengan pihak keluarga dan para tetangga yang diundang dan biasanya dalam upacara hakikah ini disertai dengan acara pemba-caan do’a. Hewan sembelihan tersebut harus dihabiskan pada hari itu juga, dan apabila hewan sembelihan hakikah tersebut tidak habis dimakan pada hari itu, maka harus dibagi-bagikan kepada keluarga lain atau tetangga dan tidak boleh dimakan oleh pihak keluarga yang melakukan hakikah tersebut c. Menurun tanahkan Anak (turun dapogh). Dalam kebiasaan adat suku perkauman Tamiang, anak (bayi) yang baru dilahirkan sampai pada usia 41 hari, 43 hari, atau 45 hari dilakukan turun tanah, dan bayi tidak boleh dibawa keluar rumah sebelum dilakukan turun tanah. Turun tanah ini artinya melakukan upacara untuk memulai anak agar dapat dibawa keluar rumah sehingga dapat dibawa kemana-mana tanpa ada halangan apapun. Turun tanah memberi sempene kepada keselamatan bayi atau bayi dapat terlindung dari segala gangguan yang menyebabkan kese-hatan bayi akan sering terganggu. Dalam upacara turun tanah ini diadakan kenduri baik ter-kadang sekaligus dengan penyembelihan hakikah (bila belum dilaksanakan) maupun secara tersendiri berdasarkan kemampuan. Upacara ini dari yang sederhana dengan menyembelih ayam dan ikan, atau menyembelih kambing sampai kepada kenduri besarbesaran dengan menyembelih lembu, dan mengundang terutama kaom kerabat baik dari keluarga laki-laki maupun keluarga perem-puan, Karena mengumpulkan sanak keluarga dari kedua belah pihak adalah yang diutamakan dan selebihnya bila kenduri tersebut diadakan
200 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 200 besar-besaran barulah diundang pihak-pihak lainnya. Pada upacara ini sanak keluarga dan puak kaom biak selingkagh membawa kado sebagai hadiah atau tanda mata bagi sibayi. Suatu hal yang pantang (tabu) bagi masyarakat Tamiang sebesar apapun perhelatan pesta turun tanah ini tidak dibenarkan menerima cemetok (Salam amplop) dari para tetamu yang datang, kecuali para tamu memberi uang atau cendera mata langsung kepada sibayi atau di-masukkan kedalam ayunan bayi. Pelaksanaan turun tanah dimulai dari mempersiapkan bayi dengan meriasnya dan memakaikan pakaian yang baru dan bagus (dalam hal ini bayi sudah memakai pakaian biasa), kemudian bayi digendong oleh orang yang alim dan terpandang yang memberi sem pena agar sibayi kelak menjadi orang alim dan bijaksana serta ter-pandang dalam masyarakat, untuk bayi laki-laki digendong oleh laki-laki dan bayi perempuan digendong oleh perempuan dan dipayungi dengan payung yang berwarna kuning yang melambangkan turunan dari orang baik. Pada zaman dahulu tidak sembarang orang yang dibenarkan untuk memakai payung berwarna kuning, karena warna ini adalah milik raja, namun pada saat sekarang semua telah beru-bah. Bayi yang digendong dibawa turun dari rumah, dan setelah me-langkah anak tangga yang pertama serta didampingi dengan orang yang memegang payung kemudian ada seseorang yang membe-lahkan kelapa diatas payung yang memayungi anak tersebut. Belahan kelapa tersebut, sebahagian dilemparkan kesebelah kiri halaman dan sebahagian lagi dilemparkan kesebelah kanan hala-man. Perlakuan ini bermakna agar anak kelak tidak mudah terkejut mendengar sesuatu yang mengerikan dan juga mendengar petir. Selesai kelapa dibelah bayi tersebut
201 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 201 terus digendong dibawa turun kehalaman rumah dengan cepatnya dan dengan memegang pedang lalu menebas dan mencencang pohon pisang yang terlebih dahulu sudah ditanam dihalaman rumah, untuk anak perempuan acara menebas pohon pisang tidak dilakuakan. Perlakuan ini memberi sempena, sebagai anak laki-laki yang bakal menjadi kepala keluarga kelak, dalam perjuangan hidup baik sewaktu mencari nafkah dan lain sebagainya tidak akan mendapat rintangan dan jalan selalu ter-buka. Dilain pihak juga memberi sempena kepada penanaman jiwa kepahlawanan, sehingga kelak bila telah dewasa jadi seorang pem-berani dalam menghadapi segala rintangan dan menghadap musuh dalam peperangan serta dalam upaya melindungi keluarga. Selasai menebas/mencencang batang pisang sibayi diturunkan untuk memijakkan tanah (ditegakkan diatas tanah) sambil mengu-capkan; “se, due, tige, empat, lime, enam, tuuujoh, macam mane bumi ne tetap, begian juge tetapnye pendirian engko isok”, kemu-dian digendong lagi dan menuju kemenasah atau langgar (mushalla) dan ada juga yang membawa kepinggir sungai dan ada juga yang hanya disekitar halaman rumah saja tergantung pada daerah tempat tinggal seseorang. Yang tujuannya sama yaitu hanya untuk memba-suh muka sibayi dengan air, baik air sungai maupun air telaga (su-mur) menasah yang mempunyai sempena agar kelak sibayi rajin kemenasah menunaikan kewajiban agama dan ikut serta dalam masalah-masalah sosial. Setelah selesai upacara maka bayi dise-rahkan kepada mak bidan yang kemudian dibawa masuk kerumah, setibanya didepan pintu mak bidan mengucapkan “Assalamualai-kum” lalu disahut beramai-ramai “Alaikum salam” oleh orang-orang yang berada didalam rumah.
202 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 202 Upacara berikutnya bayi dimasukkan kedalam ayunan yang telah dihias dan telah tertera nama bayi tersebut sementara para peserta marhaban telah mengelilingi ayunan tersebut untuk melaku-kan marhaban serta nyanyian-nyanyian pujaan dan do’a untuk si bayi, disamping ayunan sudah terletak balai yang telah diisi pulut, dimana pulut tersebut akan di bungkus-bungkus untuk dibawa pulang oleh peserta marhaban. Bagi ibu si bayi pada hari turun tanah ini melakukan mandi nifas, turun tanah bagi ibu si bayi dinama kan “lepeh dapogh”. 3. Adat Turun Kesawah (Belang). Dalam suku perkauman Tamiang bertani merupakan mata pen-caharian yang utama yaitu dengan bercocok tanam padi, namun sebagai pertanian sampingan juga diusahakan menanam tanaman palawija dan hortikultura (tanaman sayursayuran). Tanaman padi yang dilakukan ada-lah padi sawah (belang) dan padi ladang (padang atau hume), dalam usaha pertanian ini juga harus mengikuti berbagai persyaratan dan tahapan-tahapan. Padang (hume) merupakan ladang dikaki bukit ataupun dikaki gunung, yang dikerjakan melalui penebangan hutan (membuka hutan). Tahap awal dilakukan musyawarah dengan tetuhe yang lebih mengetahui seluk beluk tentang hal yang akan dihadapi dan untuk mene-tapkan jadwal memulai kegiatan dan menentukan tempat mana yang akan dibuka. Setelah hasil musyawarah sepakat maka dilakukan kenduri untuk merintis areal dan membuka hutan yang tujuannya agar terhindar dari segala hambatan dan mara bahaya baik dengan binatang buas ataupun dengan makhluk halus sebagai penunggu hutan sewaktu mengerjakan lahan. Kenduri di lakukan berdasarkan kondisi hutan, bila hutan besar dan anggota yang ingin membukanya ramai, maka
203 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 203 kenduri dilakukan dengan menyembelih kambing. Pekerjaan awal yaitu mengimas atau mem babat dan memotong kayukayu kecil yang berdiameter dibawah 5 inchi (< 5”), dan pada tahapan ini alat yang digunakan hanya parang panjang (parang lempang). Tahapan berikutnya melangkah pada penumbangan kayu yang berdiameter diatas 5 inchi (> 5”), pada tahapan ini peralatan yang digunakan selain parang juga digunakan kampak, namun pada saat sekarang orang tidak lagi menggunakan kampak, tetapi menggunakan mesin chain saw (sinso). Pada tahapan penumbangan inipun dilakukan kenduri, yang gunanya selain seperti yang telah diuraikan diatas juga ber-guna untuk menghindari dari kecelakaan kerja seperti tertimpa pohon, terkena kampak atau chain saw dan lain sebagainya. Selesai pekerjaan imas dan tumbang setelah menunggu beberapa lama sampai kondisi kayu tumbangan benar-benar kering maka dilanjutkan dengan perun yaitu mengumpulkan kayu-kayu yang kering dengan memotong bagian-bagian-nya untuk mudah ditumpuk kemudian dilakukan pembakaran sampai men-jadi abu. Pada kondisi seperti ini lahan sudah siap untuk dipergunakan (ditanam dengan berbagai jenis tanaman). Areal yang baru dibuka seperti ini mempunyai tingkat kesuburan yang sangat tinggi sehingga tidak pernah digunakan pupuk kimia dan sangat cocok untuk berbagai jenis tanaman palawija dan hortikultura. Pembukaan areal seperti ini biasanya antar waktu pengerjaan areal sampai pada waktu musim tanam diatur sede-mikian rupa sehingga dapat tepat waktu. 3.1. Menyemai benih (Ngerendok). Selain bepadang (hume) kelaziman masyarakat Tamiang mena-nam padi di sawah (di belang). Selain tahapantahapan diatas pada saat penanaman ketua atau tetuhe belang akan menentukan pada saat kapan dilakukan penyemaian
204 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 204 benih (menabur benih = nukal benih) dalam bahasa tamiang disebut “ngerendok”, Perlakuan inipun tetap dimulai dengan ken-duri (ditetapkan oleh ketua atau tetuhe belang) yaitu kenduri belang terdiri dari kenduri nasi dengan lauknya ayam, kenduri ini untuk menentukan waktu mulai menabur benih yang didasarkan pada perhitungan hari bulan, biasanya pada bulan naik yaitu hari Rabu terakhir pada bulan tersebut atau dengan istilah “rabu habis” (untuk padi lokal biasanya pada bulan Feb ruari). Pekerjaan nukal benih ini dilakukan dengan gotong royong (nye-raye), yang sifatnya bergantian berpindah dari satu tempat pemilik ketem-pat pemilik yang lain. Hal seperti ini bagi suku perkauman tamiang telah menjadi suatu ikatan kekerabatan, dalam melakukan suatu pekerjaan didesa bukan saja dalam kegiatan turun kesawah akan tetapi sampai pada membuat rumah tempat tinggalpun sering dilakukan dengan cara gotong royong, sehingga tak ada kegiatan yang diongkos melalui uang, namun sekarang kebiasaan ini sudah mulai ada yang berubah. Pekerjaan nyeraye (gotong royong) dalam menukal benih dibuat dalam beberapa kelompok tergantung berapa luas areal yang akan ditukal (disemai). Dalam pekerjaan nyeraye ini yang punya pekerjaan (tempat pemilik yang akan dikerja-kan) menyediakan makanan. Dalam pekerjaan menukal (membuat lobang untuk menyemai bibit) dilakukan oleh pemuda, masing-masing membawa dua buah tongkat kayu yang telah diruncingkan ujungnya dan secara ber-baris berbanjar menancapkan (menyucukkan) tongkat kayu tersebut ketanah untuk membuat lubang ganti berganti sambil melangkah kedepan. Tiap-tiap pemuda diiringi seorang dara (gadis) yang membawa benih padi dan memasukkannya kedalam lubang (menabur benih) yang telah dibuat oleh para pemuda tersebut sebanyak beberapa butir padi. Pada saat nyeraye seperti inilah para pemuda dan dara melaku-kan pertemuan yang saling ajuk mengajuk dan
205 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 205 sindir menyindir, sebagai maksud untuk berkenalan atau mengakrabkan perkenalan, sigadispun mulailah memilih siapa yang berkenan dihatinya maka iapun berusaha untuk mengambil posisi di belakang pemuda itu. Pada saat inilah sering mulai bersemi benih asmara diantara mereka. 3.2. Mempersiapkan lahan. Pekerjaan berikutnya setelah selesai ngerendok (nukal benih) dila-kukan persiapan lahan tanam yaitu menajak sawah, hal ini juga sering dilakukan dengan gotong royong sehingga memulai penanamanpun akan serentak, hal inipun sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan per-kembangan tanaman padi, dimana dengan perlakuan seperti ini dapat menghindari tanaman dari segala serangan hama dan penyakit. Persiapan lahan pada tahap awal adalah menajak rumput, yaitu membabat rumput dengan memakai alat tajak (parang babat besar dan panjang, bentuknya ada yang setengah lingkaran dan ada yang hanya melengkung sedikit saja). Setelah rumput selesai ditajak, dilakukan pembu angan rumput yaitu menumpukan rumput diatas pematang (dalam bahasa Tamiang bateh), hal ini berfungsi untuk mengokohkan pematang dimana rumput yang bercampur dengan tanah lumpur tersebut akan membusuk dan akan terjadi pemadatan diatas pematang sehingga pematang terhin-dar dari pengikisan dan longsor. Pada tahap berikutnya dilakukan pembajakan atau membajak dengan me-makai kerbau atau sapi (dalam bahasa tamiang “nengale”), namun pada saat sekarang dengan tekhnologi yang canggih mereka tidak lagi memakai bajak akan tetapi telah memakai mesin traktor untuk membajak sawah mereka. Namun pekerjaan membajak ini ada juga dilakukan orang lang-
206 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 206 sung tanpa ditajak dahulu rumput sawah tersebut, akan tetapi hal ini akan menyulitkan si petani pada saat menanam karena rumput-rumput tersebut hanya dibalik kebawah dengan maksud dapat membusuk dan dapat dijadikan sebagai pupuk,namun pekerjaan seperti ini terkadang akan mem persulit pekerjaan berikutnya karena tidak semua rumput yang dibalik ter-sebut akan mati sehingga akan mempercepat pertumbuhan gulma (rumput pengganggu). Setelah semua persiapan selesai maka dianggap persiapan lahan telah selesai yang berarti lahan telah siap untuk ditanam. 3.3. M e n a n a m. Umur bibit 60 hari (dua bulan) berarti bibit telah siap untuk di tanam disawah, untuk itu bibit segera dicabut dari tempat persemaian da-lam bahasa Tamiang disebut “nyabut rendok” yang kemudian dibawa kesa wah, biasanya tempat persemaian benih tidak jauh dengan lahan persawahan agar memudahkan pengangkutan bibit. Untuk padi ladang (padang) yaitu padi darat biasanya benih langsung ditugal dilahan ladang bukan dalam bentuk persemaian bibit. Pada padi ladang pengairan hanya mengharap turunnya hujan, makanya penanaman harus tepat waktu dekat musim penghujan, sedangkan padi sawah merupakan sawah tadah hujan, artinya sawah itu sendiri mampu menampung dan menyimpan air untuk beberapa waktu. Dan pada saat sekarang sudah banyak dibangun irigasi diareal-areal persawahan, yang mampu menyediakan air kapanpun diper-lukan, makanya untuk jenisjenis padi tertentu dapat ditanam lebih dari satu kali dalam setahun. Disamping itu juga ada sawah pasang surut, yang baru akhir-akhir ini saja dilakukan dengan percetakan sawah yang pengairannya diatur berdasarkan pasang surutnya air sungai, perlakuan-nya tetap sama dengan sawah tadah hujan
207 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 207 hanya pengairannya saja yang bisa diatur, yaitu bila kurang bisa ditambah dan bila berlebihan dapat di kurangi. Selesai penanaman masih ada lagi tugas yang harus dijaga oleh petani, yaitu melakukan penyiangan terhadap gulma. Seperti telah dijelas-kan terdahulu berbagai faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pertum-buhan gulma dan hal ini juga jarang dapat dihindari namun tetap dapat dikendalikan yaitu dengan penyiangan. Penyiangan ini juga meliputi penyiangan rumput diatas pematang (dengan istilah nebas bulu batas), agar terhindar dari hama tikus, sebab bila sawah kotor dengan gulma memudah kan tikus untuk membuat sarang. Semua pekerjaan diatas dari mulai me-nabur benih, membuka lahan, menanam sampai pada penyiangan gulma tetap biasanya dilakukan dengan gotong royong (nyeraye) kecuali pekerja-an membajak (nengale) yang tidak dilakukan dengan gotong royong. 3.4. Kenduri Ulat. Pada saat padi bunting yaitu telah hampir mengeluarkan bulir kira-kira pada umur 4 bulan setelah tanam (yang merupakan jenis padi lokal), oleh ketua belang atau tetuhe belang menganjurkan untuk melakukan kenduri ulat. Kenduri ini dilakukan digubuk (bahasa Tamiang=Suro), de-ngan bahan yang dikendurikan berupa bubur beras dan kadang-kadang juga dicampur dengan jagung. Sisa makanan dari kenduri tersebut dikum-pul jadi satu dan diaduk kemudian dipercikkan kesetiap sudut petak sawah Makna dari kenduri ini adalah untuk menjauhkan tanaman padi dari hama dan penyakit, terutama hama ulat maka disebut “kenduri ulat”, dan untuk memberi makan padi yang lagi bunting (menurut legenda bahwa padi bera sal dari manusia, sehingga pada saat bunting ia menginginkan sesuatu ma kanan atau mengidam seperti manusia juga).
208 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 208 Pada masa seperti ini dimana padi sudah mulai mengeluarkan bulirnya dan pada saat padi sudah mulai menguning maka petani biasa-nya pindah kesawah untuk beberapa waktu sampai pelaksanaan panen, karena hal ini dalakukan pada saat seperti ini terkadang sering ada hama babi yang mengganggu dan untuk menjaga keaman padi dari segala pencurian. 3.5. M e n g e t a m. Mengetam adalah suatu proses pemanenan padi dengan cara memotong tangkai padi jenis lokal dengan memakai alat yang diberi nama “gelim” (ani-ani), alat ini terbuat dari papan tipis dengan ketebalan 0,7 cm, panjang bagian atas10 cm, panjang bagian bawah 5 cm dan lebar 7 cm. Pada bagian tengah sebelah atas diberi lobang dengan diameter 1 cm yang kemudian dimasukkan kayu bulat sebagai gagangnya dengan panjang 15 cm, dan pada bagian bawah dipasang plat yang tajam sebagai alat untuk memotong (kadang kala orang membuatnya dengan pisau silet yang dibagi menjadi dua bahagian, satu bahagian saja yang dipasang diujung gelim tersebut). Namun pada masa sekarang orang telah banyak mengusahakan/menanam jenis padi unggul. Untuk padi jenis unggul ini pemotongan padi dilakukan dengan memakai arit (sabit), pada jenis ini orang tidak menyebutkan ngetam akan tetapi dengan sebutan “menyabit atau mengarit padi”. Pekerjaan ngetam ataupun ngarit ini dikerjakan oleh laki-laki bersama-sama dengan perempuan dan sering dilakukan dengan cara bergotong royong atau nyeraye. Pada saat ini muda mudi yang sudah berkenalan dan akrab terus melanjutkan hubungan mereka, karena hanya pada saat-saat seperti inilah pertemuan dapat dilakukan. Padi yang telah dipotong diikat tangkainya menjadi kecakan yang disebut dengan “gemal” dan hasil dari pemotongan padi tadi ditumpuk di sawah, pada fase ini sudah
209 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 209 dimulai musim kemarau sehingga sawah tidak lagi digenangi oleh air, tumpukan padi tersebut dibuat seperti bubungan rumah yang gunanya jika sewaktu-waktu turun hujan maka air akan mu-dah turun sehingga tidak merembes kedalam tumpukan padi, tumpukan padi ini sering disebut dengan “Rungku”, dan rungku ini pula yang dijadi-kan sebagai indikator berhasil tidaknya seseorang menyawah, artinya dari besar dan jumlahnya rungku tersebut sudah dapat dipastikan apakah hasil panen tersebut mencapai pada ukuran nisab zakat. Pekerjaan mengang-kut padi dan membuat rungku ini dilakukan oleh laki-laki, karena sangat sulit dilakukan perempuan meskipun ada juga yang dikerjakan oleh perem puan sebagai melanjutkannya. 3.6. Mengirik padi. Mengirik padi dapat diartikan sebagai upaya untuk merontokkan bulir padi dari tangkainya secara manual yaitu dengan cara menggilasnya dengan kaki (untuk padi lokal), sedangkan untuk padi unggul yang tangkai padinya berukuran panjang dilakukan dengan cara memukul. Namun pada masa sekarang dengan tehnologi canggih telah memakai alat mesin peron tok yang langsung mengeluarkan hasil yang bersih. Pekerjaan ini biasa dilakukan pada malam hari dengan bergotong royong, orang yang akan melakukan ngirik mengundang seluruh pemuda pemudi dan orang tua kampung (tergantung banyak atau sedikitnya rung-ku padi), dengan memasang lampu petromak mencapai 5 sampai 7 buah seperti orang akan pesta. Sebelum pelaksanaan mengirik padi dimulai para tamu diberi makan pulut ketan (sebagai mencoba beras baru yang sudah duluan diirik oleh yang punya sebagai persiapan untuk acara mengi rik) beserta minuman teh ataupun kopi, selesai acara makan pulut barulah mengirik dimulai dan
210 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 210 pekerjaan ini harus diselesaikan pada malam itu juga, jam berapa selesainya tergantung banyak atau sedikitnya jumlah padi yang akan diirik, bahkan terkadang bisa sampai pagi hari bila padi yang diirik mencapai jumlah yang banyak, bila seluruh pekerjaan sampai kepada menumpuk padi tersebut selesai biasanya mereka diberi minum dan makan pulut atau dicampur dengan kolak kembali baru mereka pulang kerumah masingmasing. Para tetangga atau kerabat yang perempuan datang juga untuk membantu menyediakan makanan bagi mereka yang bekerja. Proses mengirik ini dilakukan dengan menginjak dan menggilas padi dengan kaki, para pemuda berdiri berbaris memanjang dimulai dari dekat rungku padi tersebut. Padi yang bertangkai diatas rungku diturunkan kemudian dimulai oleh orang yang paling depan, terus bergilir sampai kepada yang paling belakang untuk membersihkannya. Sambil bergerak mengirik padi ini yang gayanya dapat merupakan gerak tari, secara ber-ganti pemuda itu berpantun bersahut-sahutan mengeluarkan ungkapan asmara yang telah lama terpendam yang ditujukan kepada seorang dara. Beberapa bait pantun yang sering dilantunkan : Kalo cadek kerene bulan Manelah bintang meninggi ari Kalo cadek karene tuan Manelah dagang datang kehini. Disambut oleh kawan beramai-ramai: “Ahoi……ahoi…….aaa……..ahoooiiii” kemudian pemuda yang disebelahnya berpantun pula Kalo ade kace nang mendё Kace lame kami pecahke Kalo memang katenye begiё Badan ngan nyawe kami serahke.
211 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 211 Seperti semula disambut beramai-ramai kemudian disambut lagi, Tige petak tige penjuru Tige ekor kumbang diapit Panton bukan pademu kutuju Untok dare belesong pipit. Maka riuhlah gelak tawa para pemuda dan orang-orang tua. Gadis-gadis yang didalampun cubit mencubit dan yang menahankannya sudah pastilah gadis yang berlesung pipit dengan tersipu-sipu. Pada peristiwa seperti ini sering jalinan asmara tersebut berlanjut ke-pelaminan. Maka oleh sebab itu setiap habis ngetam (panen) pasti sering ada yang melangsungkan pesta perkawinan. 3.7. Menyuroi padi. Bila malam harinya dilakukan mengirik padi otomatis pada siang harinya dilakukan menyuroi padi yaitu proses memisahkan gabah padi yang bernas dengan ampa padi (kulit padi yang tidak berisi) dengan ban-tuan tiupan angin maka sering juga disebut dengan mengangini padi. Pekerjaan ini dilakukan oleh perempuan baik gadis maupun kaum ibu yang tidak perlu diundang lagi, karena sudah menjadi kebiasaan bila malam hari dilakukan mengirik maka pada siang harinya akan datang segerombolan ibu-ibu dan gadis dengan membawa nyiru (tampah) untuk melakukan nyuroi. Proses nyuroi ini dilakukan pada tahap awalnya pemilik rumah sudah menyediakan tempat yaitu seperti anjungan dalam bahasa tamiang disebut “pelanta” yang terdiri dari 4 atau 6 buah tiang yang berbentuk empat persegi dengan ketinggian 2 meter, luas tiang bawah kira-kira 3 x 3 meter dan luas lantai atas kira-
212 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 212 kira 2 x 2 meter, bentuk ini dibuat sedemikian rupa untuk menjaga kekokohan pelanta tersebut sehing ga tidak bergoyang. Padi sebelum disuroi pada pagi harinya dijemur terlebih dahulu dan pada siang hari jam 12 Wib baru dimana angin mulai bertiup, sebagian melakukan penganginan dibawah pelanta dan sekitar 3 orang melakukannya dari atas pelanta. Dalam proses menyuroi ini juga dibantu oleh beberapa orang laki-laki untuk mengangkat padi keatas pelanta. Selesai disuroi apabila padi dianggap telah benar-benar kering baru disukat (ditakar) biasanya dengan memakai gantang (yang isinya 4 liter) atau kaleng (yang isinya 12 kg) guna untuk mengetahui apakah sampai hisab zakat (sebanyak 100 kaleng), barulah dimasukkan kedalam goni yang langsung diangkut pulang kerumah, kemudian dimasukkan kedalam tempat yang telah disediakan terbuat dari papan dengan bentuk empat persegi panjang yang ukurannya antara 4 x 3 meter atau 3 x 2 meter (disebut berandang padi) ataupun terbuat dari bambu yang telah dianyam seperti dinding (ketepas) berbentuk bulat dengan diameter 2 atau 3 meter dan tingginya mencapai 2 meter yang disebut dengan Kepok padi. 3.8. Kenduri Pulang belang. Setelah selesai semua pekerjaan bersawah (berbelang = berhu-me) dan berladang (berpadang), tetuhe belang atau ketua belang mengin-struksikan kembali untuk melaksanakan kenduri pulang belang artinya kenduri sebagai pertanda selesai melakukan kegiatan menanam padi, un-tuk mengambil berkat atas segala rezeki yang telah diberikan Allah seba-gai rasa bersyukur terhadap limpahan rahmat tersebut dengan harapan pada musim yang akan datang Allah memberi lagi rezeki, dan dalam ber-belang dapat terhindar dari segala serangan hama dan penyakit.
213 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 213 Kenduri pulang belang ini juga sebagai upacara untuk menikmati beras baru dengan berbagai lauk pauk dari mulai ikan asin sampai pada gulai ayam. 3.9. Z a k a t. Merupakan kewajiban agama bila sesuatu usaha sampai pada nisab yang telah ditentukan syara’ harus dikelurkan zakatnya dari sebagian har-ta yang diusahakan tersebut. Dalam suku perkauman Tamiang ukuran dari hasil pertanian sawah (padi) tersebut disukat dengan kaleng, untuk sampai pada ketentuan zakat biasanya bila hasil mencapai 100 kaleng, maka harus dikeluarkan 2,5 % dari hasil tersebut. Zakat ini diserahkan ke-pada Imam (orang yang mengurus agama didesa) untuk dibagi-bagikan kepada orang–orang yang berhak menerimanya menurut ketentuan syara’ Pemberian zakat dilakukan dengan mengundang tok Imam, Datok 8 suku (gechik), dan perangkat desa serta orangorang tua lainnya kerumah dimana telah disediakan kenduri yang akan dilanjutkan dengan berdo’a, sebelum penyerahan zakat padi yang telah disukat sebagai bagian dari zakat tersebut ditepung tawar untuk mengambil berkat dari hasil yang di-kerjakan telah mencapai ketentuan syara’. Kemudian barulah dilakukan penyerahan zakat dengan melakukan ijab qabul dengan Imam sambil bersalaman yang disaksikan para undangan dengan mengucapkan “Ne zakat ambe tahun ne menurut sukatnye sesuai dengan rezeki yang udah dibagi Tuhan, ambe serah ke kak tok imam untok dibagi-bagi ke kak yang berhak nerime nye sesuai dengan ketentuan hukom syara’. Lalu tok Imam menjawab dengan posisi tangan tetap masih bersalaman “Alhamdulillah zakat ne sudah ambe terime dan akan ambe sempe ke kak yang berhak nerime nye sesuai dengan ketentuan hukom”. Selesai kenduri tok imam beserta rombongan pulang dan padi zakat tersebutpun diangkut oleh
214 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 214 petugas kerumah tok Imam untuk dikumpulkan dan akan dibagi-bagikan setelah selesai seluruh masyarakat yang cukup sukat ukurannya memberi zakat didesa itu. Hasil dari panen mereka biasanya mereka simpan sampai pada musim panen tahun berikutnya dan bila hasil panen tersebut dianggap melebihi kebutuhan dalam setahun, terkadang mereka jual sebagian untuk menda-patkan uang sebagai uang belanja baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk belanja keperluan lainnya. Selesai pekerjaan kesawah dan keladang untuk mengusahakan padi, para petani biasanya melakukan istirahat untuk menikmati hasil panen padi mereka, namun hal ini tidak lama mereka lakukan rata-rata pa-ling lama 1 bulan, kemudian mereka memulai dengan usaha yang baru yaitu menanam berbagai komoditi tanaman palawija dan hortikultura (sayursayuran), seperti; Jagung, kacang tanah, kedelai, kacang hijau dan lain sebagainya. Dan jenis hotikultura (sayur-sayuran) seperti; Cabai, men-timun, bayam, sawi, terong, kacang panjang, dan lain-lain sebagainya, di mana semua jenis komoditi yang di tanam rata-rata berumur pendek ha-nya mencapai 3 bulan, sehingga selesai mereka bercocok tanam sayur-sayuran ini tiba saat untuk turun kesawah menanam padi kembali. Peker-jaan bertani menanam jenis palawija dan hortikultura hanya merupakan pekerjaan selingan untuk mengisi kekosongan waktu sampai kepada musim tanam padi berikutnya, sedangkan tanaman padi merupakan usaha pertanian yang utama. Hal ini tercermin dengan ungkapan “Kemane lalu kite bebelang, perot kenyang anak pe ade” (dimanapun kita tinggal me-ngerjakan sawah pasti mencukupi kehidupan dan anakpun bertambah). Dalam bersawah ini bila ada orang yang ingin menyawah lebar atau bagi pendatang yang ingin menyawah tapi tidak punya sawah, mere-ka sering memakai sawah orang
215 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 215 lain, apakah orang ini karena memiliki sawah yang lebar sehingga tak sempat dikerjakan atau mereka tidak mengerjakan sawahnya, sistem ini disebut “berawah”. Dalam hukom adat-nya berawah ini ada beberapa cara atau aturan yaitu; Bila bibit dan biaya hidup penggarap ditanggung oleh pemilik sawah maka hasilnya dibagi tiga, dua bagian (⅔) untuk pemilik dan satu bagian (⅓) untuk penggarap. Tetapi bila semuanya ditanggung oleh sipenggarap maka hasilnya dibagi rata yaitu dua bagian, satu bagian untu pemilik sawah dan satu bagian lagi untuk penggarap. Bila terjadi penjualan terhadap sawah hanya dapat dilakukan bila sawah itu belum ditanami (belum ada tanamannya), dan sawah yang mau dijual harus ditawarkan dahulu kepada keluarga atau kaum kerabat, tetang ga tanah sawah tersebut,warga sedesa, Gechik atau pemimpin masyara-kat desa dimana sawah itu berada. Bila orang-orang dalam urutan ini tidak bersedia membelinya barulah boleh ditawarkan kepada orang lain Selain pertanian tersebut diatas suku perkauman tamiang yang memiliki areal pekarangan yang luas ataupun memiliki tanah kebun yang luas mereka menanam dengan tanaman keras atau tanaman tahunan seperti; kelapa, karet, durian, rambutan, pisang dan lain-lain. Tanaman ini sering dikerjakan pada saat waktu-waktu luang sedikit demi sedikit namun hasilnya dinikmati dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini dilakukan sebagai persiapan untuk anak-anak cucu mereka kelak. 3.10. Pembagian Harta Warisan. Pembagian harta warisan bagi suku perkauman Tamiang tetap dilakukan berdasarkan hukum Islam, artinya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan oleh Agama Islam. Namun secara adat ada sesuatu yang telah menjadi suatu kebiasaan bagi suku perkauman Tamiang,
216 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 216 dimana setelah harta warisan tersebut di farait (dibagi) secara hukum Agama, terkadang dilakukan kesepakatan menurut adat oleh keluarga bersama-sama, yaitu seluruh harta dibagi rata baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan, hal ini sering dilakukan bila keluarga yang laki-laki lebih berkecukupan atau mampu. Disisi lain sering juga terjadi bagi suku perkauman Tamiang bila anak laki-lakinya telah berkeluarga, orang tua segera menghibahkan tanah kepada sianak, baik tanah pekarangan untuk membuat rumah maupun tanah sawah untuk menghidupi diri. Hal ini biasa dilakukan sebagai tradisi agar sanak keluarga tetap berada dilingkungan desanya dan selalu be-kumpul dengan kaum kerabat. 4. Pekerjaan Nelayan. Bagi masyarakat suku perkauman Tamiang yang tinggal ditepian-tepian sungai, selain bercocok tanam padi mereka juga sebagai nelayan, sistem nelayan yang mereka lakukan masih sangat tradisional. Pada zaman dahulu masyarakat Tamiang masih sangat terikat kepada kekuatan -kekuatan gaib yang kemudian setelah ditelusuri bertentangan dengan ajaran agama Islam maka kebiasaan itu ditinggalkan seperti kenduri dibulan syafar, kenduri ini bagi masyarakat Tamiang disebut “kenduri tulak bale” dimana pelaksanaannya setelah memasuki bulan syafar dan dilaksa-nakan dipinggir-pinggir sungai yang disebut “tebing” yaitu alur atau pinggir sungai dimana tempat mereka menambatkan perahu (sampan). Kenduri dilakukan dengan membawa nasi yang dibungkus dengan daun pisang yang telah layu karena diasapi dengan api, dengan berbagai lauk pauk menurut kemampuan orang tersebut, setelah berkumpul dipinggir sungai yang telah ditentukan kemudian tok Imam memimpin do’a untuk memohon kepada Tuhan agar dijauhi dari segala bala baik bagi yang mencari naf-kah didarat
217 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 217 maupuk di sungai, selesai berdo’a makanpun dimulai dan selesai makan semua sisa dari makanan tersebut harus dibuang kesungai, sebagai makanan bagi penghuni sungai agar tidak mengganggu bagi ma-syarakat yang mencari rezeki disungai tersebut. Namun sekarang hal ini tidak pernah dilakukan lagi karena telah dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Pekerjaan nelayan ini mereka lakukan berpariasi dari sistem dan jenis yang mereka pakai diantaranya terdiri dari : 4.1. Memancing (ngail). Bagi nelayan yang khusus memancing (ngail) ikan atau udang mereka hanya menggunakan alat pancing sistem ini meraka lakukan de-ngan berlabuh dipinggir atau ditengah sungai, biasanya mereka membawa sebatang kayu yang berdiameter sekitar 2 inchi sebagai tonggak yang disebut “pancang” kayu ini ditancapkan kedasar sungai dan sampan yang berlabuh diikat pada tonggak tersebut, kemudian baru mereka melempar pancing dari dalam sampan mereka. Memancing ini biasa dilakukan pada malam hari dan pulang pada pagi hari. Bila kegiatan ini dilakukan pada malam hari dan pulang pagi maka mereka akan menyebutnya bahwa mereka pergi “iler ngedom” pekerjaan memancing dapat dilakukan tanpa berteman artinya satu sampan cukup satu orang. 4. 2. Menombak (tumbak). Bagi mereka yang menombak alat yang dipakai adalah tombak, pekerjaan ini juga dilakukan pada malam hari dengan memakai lampu karbit yang dipasang dikepala dan untuk menombak baik udang maupun ikan tidak bisa dilakukan sendirian dalam satu sampan, karena harus ada yang mendayung sampan tersebut untuk mengemudinya dan orang yang mendayung sampan inipun harus benar-benar ahli
218 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 218 sehingga tidak menim-bulkan riak pada air yang dapat menyebabkan sasaran lari dan penglihat-an terganggu, dalam sistem menombak ini sinelayan terlebih dahulu mena burkan umpan disepanjang rute yang akan dilalui, pekerjaan ini dilakukan dipinggir-pinggir sungai dan didalam alur yang agak dangkal dan sinelayan terus berjalan mengikuti rute yang telah ditaburi umpan tersebut, apabila ada sasaran barulah sipengemudi mengerem dan mengendalikan sampan nya. Alat ini terdiri dari bambu yang panjangnya 2 meter yang diujungnya dipasang tiga mata tombak yang berbentuk garpu, dimana kedua mata pada posisi kiri dan kanan bentuknya runcing dan diujung mata tombak tersebut agak berlekuk yang disebut dengan “isang” yang berguna bila sewaktu-waktu tombak mengenai sasaran maka tidak akan mudah lepas lagi karena telah tersangkut oleh isang tersebut, sedangkan mata tombak yang ditengah hanya berbentuk runcing polos saja. 4.3. Menjala. Pekerjaan ini sistemnya hampir sama dengan pekerjaan me-nombak, yaitu tidak dapat dilakukan sendirian akan tetapi harus ada ka-wan lain untuk mengendalikan kemudi sampan dengan menggunakan dayung sampan dan pekerjaan ini harus dilakukan dengan cara berdiri. Menjala dapat dilakukan ditengah sungai dan dapat juga dilakukan ditem-pat yang dangkal. Pekerjaan ini mempunyai resiko bila yang menebar jala kurang teliti dan berhati-hati, sebab bila jala tersangkut sesuatu benda maka sipenjala terpaksa turun keair untuk melepaskan jala yang sangkut tersebut, andaikata jala yang tersangkut ini ditarik terus dengan paksaan dapat mengakibatkan jala menjadi koyak. Jala ini berbentuk kerucut, pan-jangnya berpariasi antara 1,5–2 meter, sewaktu menjala bentuknya akan menjadi bulat lingkaran dimana panjang dari jala tersebut bila dikem-bangkan berarti merupakan jari-jari
219 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 219 lingkaran. Dengan demikian besar kecilnya jala ini tergantung berapa panjang dari jala tersebut. Diujung jala ini digantung batu (pemberat) pada ujung disekelilingnya mengikuti pinggir an dari jala tersebut yang terbuat dari timah, bentuknya seperti rantai, gunanya agar sewatu dikembangkan diair jala akan cepat menguncup sehingga ikan atau udang akan terkurung dan tidak akan keluar lagi. Diu-jung kerucutnya atau dititik tengah bila jala dalam keadaan terkembang diikat tali yang panjangnya juga relatif antara 2 – 3 meter sebagai tempat memegang jala ketika mau ditebar (dikembangkang). 4.4. N g e j a n g. Pekerjaan nelayan ini biasanya dikerjakan oleh orang-orang yang sudah tua, karena pekerjaan ini hanya merupakan sambilan. Alatnya adalah seperti krey yang terbuat dari rotan dipasang membentang dimuara sungai atau alur dimana ditengahnya belobang yang dipasang alat perang kap ikan namanya “bubu” yaitu alat yang berbentuk bulat panjang dengan diameter 50 cm dan panjang 1 meter pada pintu masuk bubu tersebut dipasang jeruji berbentuk kerucut yang menjorok kesebelah dalam, fungsi-nya sebagai penahan bila ikan atau benda lainnya yang masuk tidak akan berani keluar lagi karena ujung cerocok tersebut bentuknya runcing. Bubu ini dipasang pada saat air sudah pasang, dan kemudian setelah air surut baru diangkat kembali. Jadi ikan-ikan ini masuk pada saat air surut yang mengalir keluar alur tersebut. Sistem kerja ini tidak pernah ditunggui, arti-nya setelah dipasang sinelayan tersebut boleh pulang atau melakukan kegiatan lain sementara menunggu air surut. Demikianlah kegiatan Nelayan bagi suku perkauman Tamiang, dan masih banyak kegiatan dan sistem nelayan lainnya yang tidak kami urai-kan disini seperti; mengangkol (menangkap kepiting), ngambe, jaring, rawe dan lain-lain sebagainya yang prinsipnya hampir sama bahkan ada yang
220 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 220 sama dengan sistem kegiatan diatas. Merupakan suatu kebiasaan bila pada petani sawah ada hari larangan yang tidak boleh turun kesawah yaitu pada hari rabu terakhir pada setiap bulan, demikian juga bagi para nelayan untuk kamis malam dan hari jumat tidak melakukan iler (pergi mencari ikan) baik kelaut maupun disungai, karena pada hari ini mereka melakukan kegiatan agama didesanya. Disamping pekerjaan bertani dan nelayan Sebagian Suku perka-uman Tamiang juga melakukan pekerjaan dagang. Dagang ini terdiri dari dua tingkatan, ada yang dagang sebagi agen besar yang hanya mengum-pulkan hasil-hasil seperti karet, kelapa, kopi dan lain-lain dari agen-agen kecil kemudian baru dikirim keluar daerah. Sedangkan usaha dagang kecikecilan sering disebut “muge”, yaitu usaha dagang yang terbatas hanya dengan menggunakan sepeda (kereta angin) atau disebut juga “leren”, ada yang menjual barang dagangannya kepada agen yang ada didesa atau daerah tersebut dan ada juga yang membawanya kekota dengan harapan mendapat keuntungan yang lebih besar. Usaha muge ini hanya terbatas pada komoditi-komoditi tertentu sperti; Kelapa, pisang, kopi, pinang dan ada juga yang membawa atap dari daun rumbia atau daun nipah. Sikap hidup hemat tercermin pada suku perkauman Tamiang, karena dengan usaha yang sedikit ini mereka menabung dan membeli ternak untuk mereka pelihara sendiri, seperti ayam, kambing, lembu dan kerbau. De-ngan hasil tabungan yang memakan waktu yang sangat lama inilah mereka membangun rumah dan pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.
221 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 221 III. UPACARA TEPUNG TAWAR (NYEJOK). A. PENGERTIANKANDUNGAN SEMPENA TEPAK SIRIH SUSUN. Tepak adalah tempat sirih susun/sirih sombul dengan segala ke-lengkapan tertentu. Sirih susun ataupun sirih sombul menjadi sempena resam pengiring sembah pembuka madah, merupakan pelambang rukun damai mencakup seluruh ruang lingkup tata kerama penghidupan. Sirih susun/sirih sombul ini bersusun berangkai dengan ramuannya pengisi tepak adalah sempena wadah ampuan kaom sepangku resam peradatan,
222 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 222 subur kembang meresapi rasa cinta dan setia dalam setiap peri hidup dan kehidupan. Seluruh ramuannya adalah mengandung artian tabi’at hidup: sirih pedar, kapur lecup, pinang kelat, kacu pahit, bunga lawang hangat yang seluruh-nya dijadikan satu, menjadi kunyahan yang menagih dan bermanfaat bagi tubuh. Dengan demikian peranan tepak dengan berisi sirih susun mau-pun sirih sombul bersusun berangkai, dikalangan masyarakt suku perka-uman Tamiang merupakan kelengakapan peradatan dari resam kanun yang tersimpul dalam peribahasa adat (kate tetuhe): “Mulie kaom besireh tepak, kembang kerabat manih base (bahase)”.31 1. Hiasan Tepak. 1.1. Tepak jemput resam. Menurut resam adat, harus dihiasi dengan bungkusan beberapa lapis kain, sekurang-kurangnya 3 lapis : 1. Lapisan pertama dengan kain bertekat atau bersulam. 2. Lapisan ke dua dengan kain lepas dari sutera. 3. Lapisan ke tiga dengan kain panjang atau kain sabe. Cara membungkus tepak ini, mempunyai ciri-ciri tersendiri. 1.2. Tepak Songsong. Tepak ini tidak dibungkus, tetapi harus ditutup dengan sahab tekat. Dalam menyerahkan dan menerima tepak satu sama lain mempunyai tata cara tertentu pula, haruslah sesuai dengan resam peradatannya. Kalau keliru atau salah dalam menyerahkannya (menyurong tepak),yang menerima akan tidak menyambut tepak tersebut apalagi untuk membuka dan mencicipi sirihnya, kecuali 31 Dokumentasi IKMAT. T.t.
223 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 223 sipenyurong tepak meminta ma’af dan memperbaiki caranya. Tepak merupakan tempat sirih, baik dalam acara resami maupun dalam kehidupan sehari-hari dirumah. Tepak berbentuk peti kecil empat persegi panjang yang bidang (permukaan) atas lebih kecil dari bidang bawah, sedangkan yang berbentuk bulat serta berkaki namanya “Cerana”. Didalam tepak atau cerana ini berisi sirih yang tersusun rapi dan empat buah cembul kecil yang terbuat dari perak berisikan masing-masing; - Segumpal kapur basah sebesar guli. - 2 tukah kacu (2 potong gambir). - Beberapa kacip pinang (pinang yang sudah dibelah). - Sedikit tembakau yang telah diiris. Makan sirih merupakan kebiasaan bagi masyarakat suku perkauman Tamiang, dalam suatu hal yang penting dan dalam suatu upacara, sirih merupakan suatu keharusan dan bahkan merupakan suatu syarat dalam upacara yang dilakukan tersebut. Mengenai makan sirih dan kenapa harus lima macam yang sempurnanya (Sirih, kapur, gambir (kacu), pinang dan tembakau) masih sulit untuk ditelusuri dan belum dapat dipastikan. Menurut faham animisme, tumbuh-tumbuhan itu selain mempunyai sifat-sifat yang tertentu, juga mempunyai “daya hidup” yang serupa dengan yang di miliki oleh manusia. Pohon sirih, pohon pinang dan pohon gambir adalah pohon-pohon yang telah ada kian di Indonesia sebelum bangsa Hindu datang kemari. Tentang tehnik membuat kapur juga diduga telah di-ketahui dari bangsa Kamboja. Sedangkan tembakau adalah kemudian datangnya, setelah kedatangan bangsa Hindu.
224 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 224 Bagi suku perkauman Tamiang sirih juga digunakan sebagai bahasa isyarat sehingga telah menjadikan suatu adat terutama dalam upa-cara perkawinan. Atas dasar tersebut sirih yang disorongkan oleh tuan rumah memiliki arti tersendiri menurut sifat-sifatnya antara lain: 1. Sirih, pohon yang memanjat yang perlu akan sandaran tapi tidak merusak tempatnya menyandar. Rasa daunnya pedas berarti berani, yang dapat diartikan “Dengan sadar merendahkan diri dan sengaja memuliakan orang lain, sedangkan dia sendiri adalah pemberani dan penawar”. 2. Kapur, didapat setelah kerang/batu kapur dibakar dan diairi, rupanya putih dan bersih. Sifatnya hangat dan melecupkan (membakar), rasanya payau. Dapatlah diartikan “menyatakan hati putih bersih terhadap sesuatu yang dihadapi, tapi jika perlu dapatlah marah dan melukai, tahan lebur untuk tujuan yang baik”. 3. Gambir, atau kacu diperoleh setelah melalui beberapa usaha dalam perebusan dan penyaringan daun gambir. Rupanya agak kekuning-kuningan, sifatnya penyamak, rasanya sepat (kelat) dan agak kepahit-pahitan. Dapatlah diartikan “menyatakan keuletan (keliatan) dan penguatkan sesuatu” 4. Pinang, tumbuhnya lurus keatas dan berbuah banyak dalam setandan, setelah dikupas bentuknya agak bulat, sifatnya keras dan penyamak, rasanya kelat, jika dibelah nampak pulurnya (hatinya) yang agak keputih-putihan. Dapatlah diartikan “menyatakan turunan orang baik-baik (tinggi dan lurus) yang bersedia berbuah, membersihkan sesuatu dengan hati yang terbuka dan dengan kesungguhan”.
225 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 225 5. Tembakau, Daunnya telah diiris-iris dan telah dikeringkan untuk tahan lama disimpan dan setiap waktu dapat dipergunakan, rasanya pahit dan sifatnya memabukkan. Dapatlah diartikan menyatakan tahan segala-galanya dan jikaperlu bersedia berkorban. Dengan kata lain serba jadi, buruk atau baik, guna membuang yang jahat”. Arti keseluruhannya bila sirih disorongkan: ”Dengan kesungguhan dan kerendahan hati menghormati orang lain semoga membawa kebaikan”. Makan sirih sekapur yang disorongkan orang berarti perdamaian dan persahabatan. Selain yang tersebut diatas sirih juga mempengaruhi suatu kepercayaan bagi masyarakat suku perkauman Tamiang dalam kehidupannya antara lain: • Sekapur sirih penetap, Yaitu sirih yang dibuat oleh seorang guru, dijampi dan di do’ainya bila dimakan oleh seseorang hati serta perasaan orang tersebut akan menjadi aman dan tente-ram, tidak gentar dan takut lagi menghadapi sesuatu, baik menghadapi makhlauk ataupun senjata-senjata dalam pertandingan lainnya. • Sekapur sirih upah, Sirih yang diberikan kepada sesuatu penung gu gaib misalnya, dilubuk sungai, Paya, Pohon-pohon, kayu besar, rumah-rumah tua dan lain-lain sebagainya. Dengan kata lain memberi upah kepada hantu yang menunggui tempat terten tu agar tidak mengganggu kita dalam melakukan aktivitas ditem-pat tersebut. • Sekapur sirih pemanis, sekapur sirih yang diberikan dan dima-kan seseorang agar dilihat oleh orang lain ia serba manis, baik kelakuannya dan rupa yang manis dan indah dipandang orang lain. Sirih ini juga telah
226 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 226 dijampi oleh seorang guru atau dukun dan dimakan ketika hendak melakukan aktivitas tersebut. • Sekapur sirih tangkal setan, sekapur sirih yang dimanterai, bahan-bahan seperti, lada, jerangau, rojok daun nipah. Sirih ini dimasukkan kedalam kantong sebagai tangkal sewaktu melin-tasi sesuatu tempat yang dianggap ditunggui oleh hantu agar tidak menggangu. Kekuatan sirih ini sampai ia menjadi layu. • Sirih semburan, yaitu 3 kapur sirih untuk mengobati orang yang sakit, karena perbuatan hantu (gaib). Bahan-bahan dari sekapur sirih ini ialah; sirih, kapur, pinang, kacu (gambir), tambah jera-ngau, cekur (kencur), bawang putih, kunyit bunglai, lada temu kunci dan kunyit, masing-masing selayang (se iris). Ketiga kapur sirih ini dijampi seperti berikut: “Auzubullahi minasysyaithanirrajim. Hai pinang bebulu, nak ngeraut pinang bebulu. Mae gunenye pinang bebulu, ndak ngeluta hantu bebulu. Hei anjing, kuning name anjingmu. Anjing hitam name anjingmu. Hei nek ketapang, jen tujoh meale seribu. Bawe ke hati nang puteh kepade aku. Hei datok gunong ledang sambar liman. Turon ke bisemu, naek ke tawaku. Aku menawa sipolan, syah tawaku, aku menawa ubatku. Tawa Allah, tawa Muhammad, tawa Baginde Rasulullah. Sirih tiga kapur ini dibagi tiga yaitu; - Sekapur sirih untuk dimakan guru (dukon) sebagai penawar untuk dirinya sendiri terlebih dahulu.
227 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 227 - Sekapur dikunyah guru (dukun), bila telah halus, disembur layang dari ubun-ubun sisakit terus kearah kaki 3 x sambil dalam hatinya membacakan do’a tersebut diatas. Selebih sirih tersebut disemburkan dibadan yang sakit sambil memegang bagian yang sakit tersebut. - Sekapur terakhir ini disimpan untuk persediaan yang akan dsembur layangkan oleh keluarga sisakit kepada yang sakit bila dukun tersebut tidak datang. 2. Balai Ampuan Pengertian Kandungan makna Sempena Balai Ampuan Sepanjang Adat Resam Suku Perkauman Tamiang. 32 2.1. Fungsi Balai. Sepanjang Kate tetuhe; “Adat dipangku, Syara’ dijunjong” yang turun temurun dipusakai dan masih hidup subur berkembang di Tamiang, maka dalam setiap majlis upacara peradatan, Balai (balai berisi pulut kuning, rasidah dan inti) tradisional memegang peranan penting dan dimuliakan. Dalam fungsinya mengandung arti sempena, pelambang dukungan suku sakat dan kaum biak serta kerabat selingkar, atas sesuatu perhelatan baik dalam lingkungan sendiri maupun antar suku perkauman. 2.2. Sempena Balai. a. Balai berbentuk empat segi dan bertingkat empat (setiap tingkat bersegi empat pula), adalah pelambang dukungan dan ampuan seluruh puak pancar persukuan kaum dan kerabat selingkar. 32 - Dokumentasi Bagian Peradatan IKMAT “Adat Suku Perkauman Tamiang”.
228 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 228 b. Tata warna (kuning, putih dan hijau) adalah pelambang sempena kerukunan, kesucian dan kesejahteraan dalam dukungan kesetiaan dan kasih sayang yang tercermin dalam “Kaseh pape setie mati”. c. Sesamping balai (dari kain, kertas atau pucuk daun kelapa beranyam jejari lipan) pelambang kesopanan sepanjang pencerminan adat dan syara’. d. Merawal (sejenis bendera, berbentuk berukir tirus kebawah), bunga telepuk bertangkai dan bersusun, dikerjakan oleh gadis-gadis sedangkan wadah balai dikerjakan oleh laki-laki / pemuda, mengisi balai oleh wanita-wanita yang telah berumah tangga, adalah pelambang sempena keagungan hikmah nyeraye (kegotong royongan) kaum. e. Telur ayam rebus berbungkus dalam hiasan kulit durian atau lain sebagainya tergantung pada bilah, mengandung arti sem-pena pelambang kesabaran dalam usaha membina dan mem-pertahankan ketinggian martabat kaum dan atau pribadi. f. Pulut kuning, inti dan rasidah adalah sempena pelambang hidup rukun bersatu padu, mulia budi dan indah bahasa. Dengan meresapi sejauh dan sedalam arti hikmah sempena yang dikandung ruang lingkup fungsi balai tersebut diatas, sepanjang tertib majelis dan tata peradatan, adalah untuk jura kebesaran, kemuliaan dan kesetiaan ampuan perkauman. B. ARTI KANDUNGAN SEMPENA TEPUNG TAWAR. 1. Perangkat dan bahan tepung tawar.
229 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 229 Perangkat tepung tawar terdiri atas ramuan-ramuan yang mengan dung arti sempena yang harus diresapi oleh setiap masyarakat suku Perkauman Tamiang: a Beras kuning dan Bereteh (dari padi yang digongseng) adalah sempena lambang kesungguhan dan kemuliaan pertanian “Jangan tahu diberahnye saje, tapi cubelah dari padi benehnye”. Berteh juga adalah lambang perkembangan dan kekuatan batin, karena zaman dahulu orang-orang bertapa (mengasingkan diri dihutan atau di gunung untuk menuntut suatu ilmu) hanya membawa berteh untuk bekalnya. b Disuntingkan pulut kuning ketelinga, semoga melekatlah hatinya mendengar nasehat pelajaran yang mulia dan baik. c. Dipalit bedak putih keujung tangan dan kaki sempena pergunakanlah tangan dan kaki pada pekerjaan dan jalan yang baik. Bedak putih inipun sebagai perlambang kebersihan hati. d. Dilengkapi pula tepung tawar tersebut dengan memercikkan air dari batil yang berisi keratan-keratan limau purut dan isi telur ayam adalah sempena lambang pengobatan dan kepercayaan diri, karena ayam menetas tidak pernah dibantu memecahkan kelongsongnya. Keseluruhan bahan diatas disebut “Ramuan penabur”, yang memiliki arti keseluruhan sebagai “Kebahagiaan”. e. Dipercikkan air dari batil dengan beberapa jenis dedaunan dan akar yang diikat jadi satu (sekurangkurangnmya 5 macam) dengan arti pelambang masingmasing yaitu: 1. Rumput Sambo, sempena keuletan hidup, dimanapun ia hidup tahan menderita bahkan tak tumbang karena badai, tak pula bongkar karena banjir
230 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 230 2. Rumput Jejeron, rumput kecil berbunga kuning, walaupun kecil hidup melata tetapi sanggup menyerahkan suntingan yang mulia (jangan mapas diorang kecil). 3. Rumput Pepulut, sempena lambang kesetiaan. Kalau sudah me-lekat payah untuk dilepaskan. 4. Sepenoh, Tanaman kuncup kebatang, menadah kelangit, berum-bi keakar sempena mengharap kepada rahmat dan karunia. Bentuk daunnya seolaholah bertampung do’a, tanda kepercaya an kepada Tuhan yang maha esa. 5. Daun sedingin, adalah sempena lambang sejuk rasi. Diwaktu memercikkan air setawar sedingin inilah sipelaku ka-dang kala mencucurkan air mata karena terharu dalam hati ia merenungkan arti sempena ramuan tersebut, disertai dengan do’a semoga yang ditepung tawari berkat rahmat Tuhan menda-pat limpahan dengan arti-arti sempena tersebut dan menjadi sejuk rasi dalam penghidupannya 2. Berbagai macam yang ditepung tawar (nyejok) Sudah menjadi adat dan kebiasaan bagi suku perkauman Tamiang dalam setiap melakukan upaca baik upacara kecil maupun upacara besar tetap melakukan tepung tawar (nyejok). Khidmat dan meriahnya suatu acara tepung tawar tersebut tergantung kepada besar atau kecilnya upacara yang dilaksanakan. Beberapa Upacara tepung tawar (nyejok) yang lazim dilakukan oleh masyarakat suku perkauman Tamiang : a. Nyejok malam berinai, Sejak dahulu sampai sekarang setiap akan melakukan pesta perkawinan, pada malam berinai yaitu pada esok harinya akan dilaksanakan pesta perkawinan bagi pengantin perempuan dan dirumah
231 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 231 mempelai laki-laki dimana esok harinya akan mengantar mempelai laki-laki tersebut kerumah pengantin perempuan, dilakukanlah acara tepung tawar (nyejok) terlebih dahulu. Acara nyejok pada malam berinai ini dilakukan dengan sempurna sebagaimana yang telah diuraikan dalam sempena tepung tawar diatas. b. Nyejok ngantagh linto (mempelai laki-laki), Pada acara ini hanya dilakukan tebar (siram) beras padi atau bereteh. Dimana pada saat mempelai akan menurunkan kaki tangga ataupun akan melangkah meninggalkan rumah maka tok telangke menyiram beras padi dengan diringi selawat nabi sambil berjalan meninggalkan /menuruni tangga rumah. c. Nyejok nerime mempelai laki-laki, Acara ini dilakukan ketika mempelai laki-laki tiba dirumah pengantin perempuan yaitu saat mem-pelai berada dikaki tangga atau didepan pintu rumah pengantin perempuan yang duduk diatas anjungan (kursi yang di hias) dan dipikul oleh para pemuda. Oleh salah seorang keluarga pengantin perempuan mengadakan siram beras padi atau bereteh, Pada acara ini kadang di sertai dengan pantun-pantun. Beberapa bait lain dari pantun nyiram beras padi; Assalamualaikum penganten datang Dengan rombongan sanak sodare Biar peh ari sudah nak jelang Tabor bereh padi haruslah juge Kumule i kate sebagei pengikat Untuk dapat jadi cerite Kate ku ucap sebagei pengingat Kak tuan mempelai yang mantang mude
232 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 232 Kuale penage pante nye besar Kenangan tempat tuhe ngan mude Idup didunie banyaklah sadar Bale dengan nikmat betukar take Didalam saket kadang ade nikmat Didalam Rahmat kadang ade bale Begi mane care biar selamat Make nye ingat lime pekare Yang pertame haruslah ingat Jangan ko lupe nang punye duniye Allahurabi nang bagi selamat Kerje ke ban pelin perintahNye Ingat ke due Nabi Muhammad Pembawe syariat penghulu manusie Jangan dilupe ucapke selawat Sebagei tande umat nang bahagie Udah ye yang ketige harus dijabat Jangan lupeke ayah ngan me Bagike baktimu setiap saat Biar betuah hidup bahagie Terus yang keempat harus ditaat Jabat makrifat lampu agame Hame guru tetap ko ingat Disie tempat ngambel penawa Akhirnye yang ke lime habih riwayat Cube diingat fatwe urang tuhe
233 TAMIANG DALAM LINTASAN SEJARAH 233 Sebab maken lame hidup ne dilewat Saket dengan sedap sudah bise dibede Dahan rapoh kuat dijabat Kalo te diingat bise celake Biarpeh udah kaye, kuat lagi hebat Jangan dilupe sêmpê saat nak pape Mempelei laki bawe judumu Lalu ko tuju dekat ulame Disie tempat ko tuntut ilmu Supaye betol hukom agame Kalo cadek begian kaom kerabat Hidup ne sesat cadek tau dimane Carilah bekal untok akhirat Janganlah mabok daki duniye Betiup angin padang, rebah batang padi betiup angin kali rebah batang bunge penyaket lua mudah kite cari barah dalam hati bise nyabut nyawe Sampe disini siket wasiat Dilaen tempat kite cerite Ambel yang mende sebagei hikmat Nang cadek cocok tinggalke saje Nangke mude banyak getahnye Tapi cade gatal macam birah Banyak cerite pasti ade salahnye Walo begie harap maaflah. Allahuma shali’ala Muhammad Allahuma shali’ala wassalam Allahuma shali’ala Muhammad