The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka KOLEKSI ISTIMEWA

BIARKAN AKU MENCINTAIMU

TWO ALONE

SANDRA BROWN

www.facebook.com/indonesiapustaka

www.facebook.com/indonesiapustaka

BIARKAN AKU MENCINTAIMU

TWO ALONE

www.facebook.com/indonesiapustaka Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i un­
tuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta
atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pen­
cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf
d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta
atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial di­
pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

www.facebook.com/indonesiapustaka SANDRA BROWN

BIARKAN AKU MENCINTAIMU

TWO ALONE

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta

www.facebook.com/indonesiapustaka TWO ALONE
by Sandra brown
Copyright © 1987 by Erin St. Claire
© 2018 PT Gramedia Pustaka Utama
All rights reserved including the right of reproduction
in whole or in part any form.
his edition is published by arrangement with Harlequin Books S.A.
his is a work of iction. Names, characters, places, and incidents are
either the product of the author’s imagination or are used ictitiously,
and any resemblance to actual persons, living or dead,
business establishments, events, or locates is entirely coincidental.
Trademarks appearing on Edition are trademarks owned by Harlequin
Enterprises Limited or its corporate ailiates and used
by others under licence.
All rights reserved.

BIARKAN AKU MENCINTAIMU
oleh Sandra brown

618180032

Hak cipta terjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama

Alih bahasa: Sutanty Lesmana
Desain sampul: Marcel A.W.

Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

anggota IKAPI,
Jakarta, Januari 1999

Cetakan keenam: September 2018

www.gpu.id

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISbN: 9789792222425
IDbN DIGITAL: 9786020386386

320 hlm; 18 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan

www.facebook.com/indonesiapustaka 1

MEREKA semua tewas.
Semua, kecuali dirinya.
Ia yakin akan hal itu.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak ter­

jadinya benturan itu. Entah berapa lama pula ia tetap
duduk membungkuk dengan kepala rapat di pangkuan­
nya. Mungkin hanya sepersekian detik, atau menit, atau
tahun cahaya. Waktu seakan tidak bergerak.

Semuanya bagaikan tanpa akhir. Logam­logam yang
koyak bergeser ke sana kemari, sebelum akhirnya ber­
henti dengan bunyi deritan panjang. Pohon­pohon yang
terpotong—korban­korban tak berdosa dari kecelakaan
ini—sudah tidak lagi bergetar. Kini hampir­hampir tak
ada sehelai daun pun yang bergoyang. Segalanya begitu
diam. Tak ada suara.

Anehnya, pikirannya saat itu justru tertuju pada se­
batang pohon yang didengarnya jatuh di hutan. Apakah
pohon yang tumbang akan menimbulkan suara? Ya,
pasti. Dan ia mendengarnya. berarti ia masih hidup.

5

www.facebook.com/indonesiapustaka Ia mengangkat kepalanya. Rambut dan bahunya,
serta punggungnya, dipenuhi potongan­potongan plas­
tik yang bertebaran, sisa­sisa jendela di samping tempat
duduknya. Ia menggelengkan kepala sedikit dan serpih­
serpih plastik itu berjatuhan, menimbulkan bunyi den­
ting nyaring dalam kensunyian. Perlahan­lahan ia me­
maksakan diri membuka mata.

Ia hendak menjerit, namun tak sanggup bersuara.
Pita­pita suaranya seolah telah membeku. Ia terlalu
ngeri untuk menjerit. Malapetaka ini jauh lebih menge­
rikan daripada yang bisa dibayangkan.

Kedua laki­laki yang duduk tepat di depannya sudah
mati. Kedua sahabat yang selalu ramai bercanda itu
sekarang tidak lagi bisa tertawa. Kepala salah satu di
antara mereka sudah melayang ke luar jendela. Rusty
sadar akan hal itu, meski tidak melihat dari dekat. Di
sekitarnya menggenang lautan darah. Ia memejamkan
matanya rapat­rapat dan baru membukanya lagi setelah
memalingkan kepala.

Di seberang lorong, seorang laki­laki lain tergeletak
mati, kepalanya tersandar di bantalan, seolah­olah ia
sedang tidur ketika pesawat itu jatuh. Si Penyendiri.
begitulah julukannya untuk lelaki itu, sejak sebelum
keberangkatan. Karena pesawat yang mereka tumpangi
kecil, ada peraturan ketat mengenai berat. Sementara
para penumpang lain berikut bagasi mereka ditimbang
sebelum masuk ke pesawat, si Penyendiri berdiri memi­
sah, sikapnya angkuh dan tidak bersahabat. Para pe­
numpang lain, yang ramai saling membanggakan hasil
buruan mereka, jadi enggan mengajaknya bercakap­

6

www.facebook.com/indonesiapustaka cakap. Sikapnya yang menjaga jarak membuatnya ter­
isolasi—sama halnya dengan Rusty, meski untuk alasan
berbeda.

Rusty satu­satunya penumpang wanita di pesawat
itu.

Dan sekarang ia satu­satunya yang selamat.
Saat memandang ke bagian depan kabin, tampak
olehnya bahwa kokpit telah terputus dari badan pesa­
wat, seperti tutup botol yang dipuntir lepas. Kokpit itu
terlempar beberapa meter. Pilot dan kopilot yang masih
muda dan periang itu jelas sudah tewas bersimbah da­
rah.
Rutsy menelan rasa pahit yang memenuhi pangkal
tenggorokannya. Kopilot berjanggut dan bertubuh besar
itu telah membantunya naik ke pesawat sambil meng­
godanya. Katanya di pesawatnya jarang ada penumpang
wanita. Kalaupun ada, penampilannya tidak seperti
gadis model.
Kedua penumpang lainnya, sepasang kakak­beradik
setengah baya, masih dalam posisi duduk terikat sabuk
pengaman di bangku mereka di baris depan. Mereka
tewas terhantam batang pohon yang melesat masuk ke
dalam kabin, seperti logam pembuka kaleng. Keluarga
mereka akan sangat terpukul oleh tragedi ini.
Rusty mulai menangis. Rasa takut dan putus asa
menyelimutinya. Ia takut akan pingsan. Atau akan mati.
Tapi ia juga takut akan tetap hidup.
Para penumpang lainnya mati dengan cepat, tanpa
rasa sakit. Kemungkinan mereka langsung tewas ketika
tabrakan itu terjadi. Mereka lebih beruntung. Ia sendiri

7

www.facebook.com/indonesiapustaka akan mengalami kematian yang panjang dan lama, sebab
sejauh yang dirasakannya, ia sama sekali tidak terluka.
Sungguh ajaib! Tapi ia akan mati perlahan­lahan karena
kelaparan, kehausan, dan kedinginan.

Ia heran kenapa ia masih hidup. Satu­satunya penje­
lasan adalah karena ia duduk di baris paling belakang.
Tidak seperti para penumpang lainnya, ia meninggalkan
seseorang di pondok di Great bear Lake itu. Ia agak
berlama­lama ketika mengucapkan selamat tinggal, se­
hingga ia menjadi penumpang terakhir yang naik ke
pesawat. Semua tempat duduk sudah diisi, kecuali satu
baris di paling belakang.

Ketika kopilot membantunya naik ke pesawat, semua
percakapan berisik itu langsung terhenti. Sambil mem­
bungkuk di bawah langit­langit pesawat yang rendah,
Rusty melangkah ke satu­satunya tempat duduk yang
kosong. Ia merasa sangat tidak nyaman menjadi satu­
satunya wanita di situ. Rasanya seperti memasuki ru­
angan penuh asap rokok yang para penghuninya sedang
asyik bermain poker. Ada beberapa hal yang sangat
berkesan maskulin dan tak bisa diubah lagi dengan cara
apa pun. Sama halnya dengan beberapa hal yang memi­
liki kesan sangat feminin.

Pesawat yang meninggalkan pondok perburuan dan
pemancingan di Northwest Territories merupakan sa­
lah satu hal yang berkesan maskulin itu. Rusty sudah
berusaha membuat kehadirannya tidak mencolok. Ia
duduk diam, memandang ke luar jendela. Ketika ia
menoleh, begitu pesawatnya lepas landas, matanya ber­
adu pandang dengan mata lelaki yang duduk di sebe­

8

www.facebook.com/indonesiapustaka rang lorong. Orang itu memandanginya dengan tatapan
tak senang yang begitu kentara, hingga Rusty kembali
berpaling ke jendela dan tidak menoleh lagi.

Selain pilot dan kopilot, mungkin ia termasuk yang
pertama menyadari datangnya badai itu. Hujan deras
yang diiringi kabut pekat membuatnya takut. Tak lama
kemudian, para penumpang lainnya juga mulai merasa­
kan pesawat terguncang­guncang. Percakapan riuh me­
reka segera digantikan dengan gumaman­gumaman geli­
sah tentang keinginan cepat­cepat lolos dari badai ini, dan
rasa syukur mereka karena bukan mereka yang ada di
belakang kemudi, melainkan kedua pilot tersebut.

Namun, kedua pilot itu mengalami kesulitan. De­
ngan segera para penumpang menyadari hal ini. Lambat
laun mereka terdiam dan memusatkan pandangan pada
kedua pria di kokpit itu. Ketegangan semakin mening­
kat ketika kedua pilot kehilangan kontak radio dengan
daratan. berbagai instrumen di pesawat itu tidak lagi
bisa diandalkan, sebab apa­apa yang ditunjukkan tam­
paknya sudah tidak akurat lagi. Karena kabut begitu
tebal dan tak bisa ditembus, mereka tidak melihat da­
ratan sejak lepas landas.

Ketika pesawat meluncur jatuh berputar­putar, pilot
berseru kepada para penumpang, ”Kita jatuh. Semoga
Tuhan melindungi kita.” Semua menerima kabar itu
dengan pasrah dan dengan ketenangan menakjubkan.

Rusty segera membungkuk dan menjepit kepalanya
di antara lutut, lalu menutupinya dengna kedua lengan­
nya, sambil terus berdoa, sementara pesawat meluncur
jatuh. Waktu berlalu begitu lamban.

9

www.facebook.com/indonesiapustaka Ia takkan pernah melupakan shock yang dialaminya
ketika benturan pertama terjadi. Meski sudah bersiap­
siap, ternyata itu belum cukup. Ia tidak tahu kenapa ia
tidak langsung mati. Mungkin karena ukuran tubuhnya
lebih kecil, ia jadi bisa mengambil posisi lebih mantap
di antara dua kursi, sehingga akibat benturan itu tidak
terlalu berbahaya baginya.

Namun mengingat situasinya saat ini, rasanya bisa
tetap hidup bukan merupakan alternatif yang meng­
gembirakan. Pondok di ujung barat laut Great bear
Lake hanya bisa dicapai dengan pesawat terbang. Anta­
ra pondok itu dengan Yellowknife—tempat tujuan
mereka—terbentang berkilo­kilometer hutan belantara
yang jarang disentuh manusia. Entah sudah berapa jauh
jarak yang ditempuh pesawat mereka sebelum jatuh.
Kemungkinan baru berbulan­bulan kemudian regu pe­
nyelamat akan menemukannya. Sambil menunggu se­
andainya mereka datang, Rusty benar­benar sendirian
dan hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk berta­
han.

Pikiran itu memacunya untuk bergerak. Dengan kepa­
nikan yang mendekati histeria ia berusaha melepaskan
sabuk pengamannya. Ketika sabuk itu terbuka, ia tersu­
ruk ke depan dan kepalanya terbentur kursi di hadapan­
nya. Ia beringsut­ingsut ke lorong yang sempit, merang­
kak ke arah robekan menganga di tubuh pesawat.

Tanpa menyentuh mayat­mayat yang bergelimpang­
an, ia menengadah ke langit melalui lubang robekan
tubuh pesawat. Hujan sudah berhenti, namun awan
yang gelap dan menggantung rendah tampak begitu

10

www.facebook.com/indonesiapustaka berat, seolah siap memuntahkan isinya. berulang kali
terdengar suara petir menggelegar. Langit tampak di­
ngin, basah, dan penuh ancaman. Rusty menaikkan
kerah mantel bulu rubah merahnya tinggi­tinggi. Angin
tidak bertiup sedikit pun. Ia boleh bersyukur karena­
nya, sebab tiupan angin bisa sangat dingin. Tapi tung­
gu! Kalau tidak ada angin, dari mana asal suara itu?

Sambil menahan napas, ia menunggu.
Suara itu terdengar lagi.
Ia menoleh dan memasang telinga. Tidak mudah
mendengar apa pun di tengah debar jantungnya sendiri.
Ada gerakan.
Ia menatap lelaki yang duduk di seberang lorong.
benarkah ia hanya bayangan, atau kelopak mata laki­
laki yang dijulukinya si Penyendiri itu benar­benar
bergerak? Rusty kembali ke lorong itu, tubuhnya me­
nyapu lengan salah seorang korban yang tergantung­
gantung dan bersimbah darah, padahal tadi ia sudah
begitu hati­hati untuk menghindarinya.
”Oh, Tuhan, semoga dia masih hidup,” doanya de­
ngan penuh harapan. Tiba di lorong tersebut ia meng­
awasi wajah si laki­laki. Orang itu tampak duduk diam.
Kelopak matanya mengatup. Tidak ada gerakan. Tidak
pula ada erangan dari bibirnya yang tertutup kumis le­
bar dan tebal. Rusty memperhatikan dadanya, tapi tidak
terlihat apakah lelaki itu masih bernapas atau tidak,
sebab ia mengenakan mantel tebal.
Rusty mengulurkan jari telunjuknya ke bawah lubang
hidung si lelaki, lalu berseru tertahan ketika merasakan
embusan napas. Memang sangat lemah, tetapi ada.

11

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Terima kasih, Tuhan, terima kasih.” Ia mulai terta­
wa dan menangis bersamaan. Perlahan­lahan ditepuk­
tepuknya pipi lelaki itu. ”bangunlah, Mister. bangun­
lah!”

Lelaki itu mengerang, tapi tidak membuka mata.
Perasaan Rusty mengatakan semakin cepat orang itu
siuman, semakin baik. Lagi pula, ia perlu memastikan
bahwa lelaki itu tidak mati, atau setidaknya belum mati.
Ia tidak ingin sendirian di sini.

Ia merasa udara dingin di luar bisa membantu mem­
bangunkan lelaki itu. Maka ia berniat membawa lelaki
itu ke luar pesawat. Ini tidak akan mudah, sebab mung­
kin lelaki itu lebih berat sekian puluh kilo daripada di­
rinya.

Dengan susah payah ia membuka sabuk pengaman
lelaki itu. Si lelaki langsung jatuh tersungkur ke depan,
seperti sekarung semen. Rusty menahannya dengan
bahu kanannya dan menyangganya di situ sambil sete­
ngah mengangkat dan setengah menyeret lelaki itu di
lorong, ke arah lubang di pesawat.

Perjalanan ke luar itu memakan waktu lebih dari
setengah jam. Ia terhalang oleh lengan penuh darah
yang tergantung­gantung itu, dan dengan menahan rasa
mual, terpaksa ia menyentuh lengan itu untuk menying­
kirkannya. Kedua tangannya jadi berlumuran darah
lengket. Ia mengerang ngeri, tapi digigitnya bibir ba­
wahnya yang gemetar, dan ia terus menyeret lelaki itu
sepanjang lorong, sedikit demi sedikit.

Sekonyong­konyong ia menyadari, dengan memin­
dahkan orang ini, mungkin ia justru semakin memba­

12

www.facebook.com/indonesiapustaka hayakan keadaannya, apa pun luka yang dideritanya.
Tapi ia sudah telanjur sampai di sini. Ia tidak akan
berhenti sekarang. Ia mesti mencapai tujuannya, untuk
membuktikan bahwa ia bukannya tak berdaya. Ia telah
memutuskan untuk membawa laki­laki itu ke luar, dan
itulah yang akan dilakukannya.

Aku bisa mati karena kelelahan menyeretnya, pikir
Rusty beberapa menit kemudian. Ia sudah mengeluar­
kan lelaki itu sejauh mungkin. Sesekali orang itu meng­
erang, tapi selain itu ia tidak menunjukkan tanda­tanda
akan siuman. Rusty meninggalkannya sebentar, lalu
berjalan menerobos cabang­cabang pohon pinus. Selu­
ruh sisi kiri badan pesawat sudah terkoyak, jadi peng­
halangnya hanya cabang­cabang pohon pinus. Dipatah­
kannya sebanyak mungkin cabang­cabang dengan
tangannya. Lalu ia kembali ke tempat orang tadi diting­
galkannya.

Ia membalikkan tubuh lelaki itu, supaya bisa meme­
ganginya di bagian bawah lengannya. Ini saja memakan
waktu lima menit. Lalu ia menarik mundur orang itu
melalui jalur sempit dan penuh cabang pohon yang tadi
sudah dibersihkannya sedikit. Ranting­ranting pohon
yang kasar menggores tangannya, tapi untunglah seba­
gian besar tubuhnya terlindung oleh pakaiannya yang
tebal.

Ia terengah­engah kelelahan. Timbul keinginan un­
tuk istirahat sejenak, tapi ia khawatir tidak akan bisa
membangkitkan cukup tenaga untuk memulai lagi. Se­
karang lelaki itu terus­menerus mengerang. Lelaki itu
pasti kesakitan, tapi Rusty tak bisa berhenti. Kalau ia

13

www.facebook.com/indonesiapustaka berhenti, lelaki itu akan kembali pingsan dan keadaan­
nya akan lebih parah.

Akhirnya Rusty merasakan udara dingin menerpa
pipinya. Ia menyentakkan kepala, menghindari cabang
terakhir yang menyentuhnya, dan melangkah ke sebuah
tempat terbuka. Sambil tersandung­sandung ia menarik
lelaki itu, sampai si lelaki pun berada di tempat terbuka
tersebut. Ia merasa sangat lelah, otot­otot lengan, kaki,
dan punggungnya panas bagai terbakar. Ia pun menja­
tuhkan diri di tanah. Kepala lelaki itu terkulai di pang­
kuannya.

Rusty duduk bertopang dengan tangannya dan me­
nengadah ke langit, sampai napasnya kembali normal.
Saat menghirup udara dingin menggigit itu ke dalam
paru­parunya, untuk pertama kalinya ia bersyukur bah­
wa ia masih hidup. Ia juga bersyukur karena ada sese­
orang bersamanya di sini.

Ia memperhatikan lelaki itu dan melihat benjolan se­
besar telur angsa di pelipisnya. Pasti itulah yang membu­
atnya tak sadarkan diri. Didorongnya bahu lelaki itu se­
tinggi mungkin, untuk membebaskan kakinya yang
tertindih tubuh si lelaki. Kemudian Rusty merangkak ke
sampingnya dan mulai melepaskan kancing­kancing
mantel tebalnya. Mudah­mudahan tidak ada luka serius,
pikirnya. Ternyata memang tidak. Orang itu mengenakan
kemeja lanel dari bahwa wol yang biasa dikenakan para
pemburu. Tidak ada noda­noda darah di kemeja itu, dan
tidak ada tanda­tanda perdarahan serius mulai dari ujung
tubuh hingga ujung kaki lelaki itu.

Sambil mengembuskan napas lega, Rusty membung­

14

www.facebook.com/indonesiapustaka kuk dan menepuk­nepuk pipi lelaki itu lagi. Ia menduga
usia orang ini sekitar empat puluh tahun, dan tampak­
nya ia menjalani kehidupan keras. Rambutnya agak
panjang dan bergelombang, berwarna cokelat seperti
kumisnya. Tapi ada nuansa pirang di kumis itu, juga di
sepasang alisnya yang tebal. Kulitnya kecokelatan kare­
na terbakar matahari sepanjang tahun. Ada garis­garis
halus di sudut matanya. Mulut lebar dan tipis, dengan
bibir bawah sedikit lebih tebal daripada bibir atas.

Wajah maskulin ini bukan wajah orang yang bekerja
di kantor. Wajahnya cukup menyenangkan, meski tidak
bisa dikategorikan ketampanan yang klasik. Ada kesan
keras pada wajah itu, kesan sulit didekati yang dirasa­
kan Rusty dalam pembawaan lelaki tersebut.

Rusty agak gelisah memikirkan reaksi si lelaki kalau
nanti ia siuman dan mendapati diri berada di tengah
hutan bersamanya. Tapi Rusty tak perlu menunggu
lama. Tak lama kemudian, kelopak mata orang itu me­
ngerjap, lalu membuka.

Sepasang mata kelabu itu menatap Rusty sejenak,
lalu terpejam, dan akhirnya membuka lagi. Rusty ingin
berbicara, namun urung, karena kata pertama yang
meluncur dari bibir lelaki itu berupa makian yang sa­
ngat kasar. Rusty terperanjat, namun berusaha memak­
lumi. Mungkin rasa sakitlah yang membuat orang ini
memaki kasar. Lelaki itu kembali memejamkan mata,
dan baru membukanya lagi beberapa saat kemudian.

”Kita jatuh,” katanya. Rusty mengangguk. ”Sudah
berapa lama?”

”Aku tidak tahu pasti,” sahut Rusty dengan gigi ge­

15

www.facebook.com/indonesiapustaka meletuk. Rasanya bukan karena udara dingin, tapi ka­
rena ketakutan. Pada lelaki ini? Kenapa? ”Mungkin se­
kitar satu jam.”

Sambil mengerang kesakitan, si lelaki, memegangi
benjolan di kepalanya dengan satu tangan, sambil ber­
tumpu pada tangan satunya. Rusty mundur supaya le­
laki itu bisa duduk tegak. ”bagaimana dengan yang la­
innya?”

”Semuanya tewas.”
Lelaki itu berusaha berdiri dan dengan bertumpu
pada satu lutut, tapi tubuhnya limbung dengan hebat.
Otomatis Rusty mengulurkan tangan untuk memban­
tunya, tapi lelaki itu menepisnya. ”Kau yakin?”
”Yakin mereka sudah mati? Ya. Maksudku... kurasa
begitulah.”
Lelaki itu menoleh dan menatapnya dengan tak per­
caya. ”Kau sudah memeriksa denyut nadi mereka?”
Ternyata matanya sama sekali bukan kelabu seperti
langit di atas, pikir Rusty. Mata itu jauh lebih dingin
dan menakutkan. ”Tidak, aku tidak memeriksanya,”
Rusty mengakui dengan perasaan menyesal.
Sejenak lelaki itu memandanginya dengan sorot
mengkritik, lalu dengan susah payah ia menarik dirinya
bangkit. Sambil berpegangan pada batang pohon di
belakangnya, ia berjuang untuk berdiri tegak dan meng­
atur keseimbangan.
”Apa... apa yang kaurasakan?”
”Rasanya aku mau muntah.”
Satu hal sudah jelas. Orang ini tidak bisa berbicara
lebih halus. ”Mungkin seharusnya kau berbaring.”

16

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Sudah jelas.”
”Lalu bagaimana?”
Lelaki itu menatap Rusty, masih sambil memegangi
kepalanya. ”Jadi, kau yang mau ke sana untuk memerik­
sa denyut nadi mereka?” tanyanya. Ia mengamati pipi
Rusty yang memucat, lalu tersenyum mengejek. ”Sudah
kuduga kau tidak akan mau,” katanya.
”Tapi aku menolongmu, bukan?”
”Yeah,” sahutnya datar. ”Kau menolongku.”
Rusty tidak berharap lelaki ini mencium tangannya
karena telah diselamatkan, tapi apa salahnya mengucap­
kan terima kasih saja? ”Kau memang tidak tahu terima
ka—”
”Percuma,” sela si lelaki.
Rusty memperhatikan lelaki itu melangkah terhu­
yung­huyung ke arah bangkai pesawat. Disibakkannya
cabang­cabang pohon yang menghalangi jalannya. Te­
naganya jauh lebih kuat daripada tenaga Rusty.
Rusty menjatuhkan diri di lantai yang lunak dan
menyandarkan kepala di kedua lututnya. Ia ingin mena­
ngis rasanya. Didengarnya lelaki itu memeriksa kabin.
Ketika mengangkat kepala, ia melihat orang itu sedang
memeriksa tubuh kedua pilot di kokpit tanpa emosi.
Tak lama kemudian ia kembali, melewati pohon yang
tumbang itu. ”Kau benar. Semua sudah mati.”
Aku mesti berkata apa? pikir Rusty. Mengatakan,
”Sudah kubilang”? Lelaki itu melemparkan sebuah kotak
P3K ke tanah dan berlutut di sampingnya. Ia menge­
luarkan sebotol aspirin dan menelan tiga butir tablet itu
begitu saja. ”Kemari,” perintahnya kasar pada Rusty.

17

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty mendekat dan lelaki itu menyodorkan sebuah
lampu senter padanya. ”Sorotkan ke bola mataku, satu
per satu, dan katakan apa yang kaulihat.”

Rusty menyalakan lampu senter itu. bohlamnya su­
dah retak, tapi masih berfungsi. Ia menyoroti mata ka­
nan si lelaki, lalu mata kirinya. ”Pupil­pupilnya berkon­
traksi,” katanya.

Si lelaki mengambil lampu senter itu dan memati­
kannya. ”bagus. Tidak gegar otak. Cuma sakit kepala
setengah mati. Kau tidak apa­apa?”

”Rasanya begitu.”
Ia memandangi Rusty dengan ekspresi tak percaya,
tapi lalu mengangguk.
”Namaku Rusty Carlson,” kata Rusty dengan sopan.
Lelaki itu tertawa pendek. Matanya beralih ke ram­
but Rusty yang merah. ”Namamu Rusty, heh?”
”Ya. Rusty,” sahut Rusty kesal.
”Cocok.”
Lelaki ini benar­benar menyebalkan. ”Kau sendiri
punya nama, tidak?”
”Yeah, punya. Cooper Landry. Tapi, berhubung kita
bukan sedang berada di pesta kebun, maafkan kalau aku
tidak angkat topi dan berkata, ’Senang berkenalan de­
nganmu.’”
Sebagai sesama penumpang yang selamat dari kece­
lakaan pesawat, perkenalan mereka sudah tidak menye­
nangkan. Pada saat ini Rusty ingin sekali dihibur, diya­
kinkan bahwa ia masih hidup dan bahwa umurnya
masih panjang. Tapi yang diperolehnya dari lelaki ini
justru tawa mengejek yang tidak simpatik.
”Kau ini kenapa?” tanya Rusty dengan marah. ”Kau

18

www.facebook.com/indonesiapustaka bersikap seolah akulah yang menyebabkan kecelakaan
ini.”

”Mungkin memang begitu.”
Rusty terkesiap kaget. ”Apa? Kan bukan aku yang
menimbulkan badai itu.”
”Memang, tapi kalau kau tidak berlama­lama meng­
ucapkan selamat berpisah pada pacarmu yang tua itu,
tidak pakai menangis emosional segala, mungkin kita
bisa mendahului badai itu. Kenapa kau pulang lebih
dulu daripada dia? Apa kalian bertengkar?”
”Itu bukan urusanmu!” kata Rusty sambil mengertak­
kan giginya yang bagus, hasil perawatan seorang dokter
gigi mahal.
Lelaki itu tidak terpengaruh. ”Dan kau sama sekali
tidak cocok berada di pondok berburu itu—” Matanya
menelusuri sosok Rusty. ”bukan tempat yang sesuai
untuk perempuan semacam dirimu.”
”Perempuan semacam apa maksudmu?”
”Sudah! Pokoknya keadaanku akan lebih mudah
kalau kau tidak ada di sini!”
Setelah berkata demikian, ia menarik sebilah pisau
yang tampak menakutkan dari sarung kulit yang diikat­
nya di sabuknya. Rusty bertanya­tanya, apakah lelaki ini
akan membunuhnya dengan pisau itu, supaya tidak
terbebani lagi? Tapi lelaki itu berbalik dan membabat
cabang­cabang kecil pepohonan yang menghalangi. Ia
membuat jalan setapak yang lebih mudah ke arah pesa­
wat.
”Apa yang akan kaulakukan?”
”Aku mesti mengeluarkan yang lainnya.”

19

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Yang... yang lainnya? Kenapa?”
”Kecuali kalau kau ingin menjadi teman sekamar
mereka.”
”Kau akan menguburkan mereka?”
”begitulah tujuanku. Punya gagasan yang lebih baik?”
Tentu saja tidak punya, jadi Rusty diam saja.
Cooper Landry terus membabat cabang­cabang po­
hon itu, hingga yang tersisa tinggal cabang­cabang besar
saja yang lebih mudah dilangkahi atau dikitari.
Sambil membantu menyingkirkan cabang­cabang
yang sudah dipotong, Rusty bertanya, ”Jadi, kita tetap
di sini?”
”Untuk sementara, yeah.” Setelah selesai membuat
jalan setapak seadanya, Cooper melangkah ke pesawat
dan memberi isyarat agar Rusty mendekat. ”Pegangi
sepatunya, oke?”
Rusty memandangi sepatu bot orang yang sudah
mati itu. Ia tak sanggup melakukannya. Seumur­umur
belum pernah ia mengalami yang seperti ini. Tak mung­
kin lelaki ini menyuruhnya melakukan hal seperti ini.
Tapi ketika melihat mata lelaki itu, ia tahu bahwa ia
diharapkan melakukan apa yang diminta lelaki itu tanpa
banyak tanya.
Satu demi satu mereka mengeluarkan mayat­mayat
itu dari pesawat. Sebagian besar Cooper­lah yang beker­
ja. Rusty membantu hanya jika diminta, dan ia hanya
bisa melakukannya dengan mengalihkan pikiran dari
tugas mengerikan itu. Ibunya meninggal ketika ia masih
remaja, dan dua tahun yang lalu kakak lelakinya sudah
dibaringkan di dalam peti beralas satin, dengan cahaya

20

www.facebook.com/indonesiapustaka lampu redup, hiasan bunga, dan iringan suara organ.
Kematian jadi terasa tidak nyata. bahkan jenazah ibu
dan kakaknya pun tampak tidak nyata baginya, seakan
mereka hanyalah replika dari orang­orang yang disa­
yanginya, boneka yang diciptakan oleh perias jenazah.

Tapi mayat­mayat yang dihadapinya kini sungguh­
sungguh nyata.

Secara otomatis Rusty mematuhi perintah­perintah
tegas yang diucapkan Cooper dengan suara tanpa pera­
saan. Dia pasti robot, pikir Rusty. Lelaki itu sama seka­
li tidak menampakkan emosi apa pun ketika menyeret
mayat­mayat itu ke lubang yang digalinya dengan
menggunakan pisaunya serta sebuah kapak kecil yang
ditemukannya di kotak perkakas di bawah kursi pilot.
Selesai memasukkan semua jenazah, ia menimbun lu­
bang dangkal itu dengan batu.

”Apa kita tidak perlu mengucapkan sesuatu?” Rusty
memandangi tumpukan batu kelabu yang tampak kasar
itu. Dengan adanya batu­batu tersebut, kelima jenazah
di bawahnya akan terhindar dari gangguan binatang.

”Mengucapkan sesuatu? Mengucapkan apa?”
”Yah... berdoa?”
Cooper angkat bahu tak acuh sambil membersihkan
bilah pisaunya. ”Aku sudah lama tidak berdoa,” kata­
nya. Lalu ia berbalik dan kembali berjalan ke pesawat.
Rusty mengucapkan doa singkat, lalu mengikuti
Cooper. Ia tidak mau berada sendirian lagi. Kalau tidak
diawasi, lelaki ini mungkin akan meninggalkannya.
Tapi rasanya tak mungkin. Setidaknya untuk saat
ini. Lelaki itu tampak lemas kelelahan dan seperti akan
pingsan. ”Sebaiknya kau berbaring saja dan beristi­

21

www.facebook.com/indonesiapustaka rahat,” saran Rusty. Ia sendiri sudah kehabisan tenaga
sejak tadi. Hanya ketegangan yang membuatnya sang­
gup bertahan.

”Sebentar lagi malam tiba,” kata Cooper. ”Kita mesti
melepaskan bangku­bangku di pesawat, supaya kita le­
bih leluasa berbaring di dalam sana. Kalau tidak, ter­
paksa kau bermalam di alam terbuka, untuk pertama
kalinya dalam hidupmu.” Kalimat terakhir itu diucap­
kannya dengan nada sinis sebelum kembali masuk ke
pesawat. Tak lama kemudian terdengar ia menyumpah­
nyumpah dengan kesal. Ketika ia keluar, sepasang alis­
nya bertaut marah.

”Ada apa?”
Ia mengangkat tangannya ke depan wajah Rusty.
Tangan itu basah. ”bahan bakar.”
”bahan bakar?”
”bahan bakar yang bisa terbakar,” katanya, tak sabar
dengan ketidakmengertian Rusty. ”Kita tidak bisa ber­
malam di pesawat. Kalau ada bunga api sedikit saja,
habislah kita.”
”Kalau begitu, kita tidak usah membuat api unggun.”
Ia melotot pada Rusty. ”begitu hari sudah gelap, kita
memerlukan api,” katanya dengan nada meremehkan.
”Lagi pula, bunga api bisa muncul dari mana saja. Mi­
salnya dari gesekan antara dua logam. Kalau itu terjadi,
tamatlah riwayat kita.”
”Lalu kita mesti bagaimana?”
”Kita ambil apa yang bisa dibawa, lalu kita pergi.”
”Kupikir yang paling baik adalah tetap tinggal di
pesawat. Aku pernah mendengar atau membaca itu,

22

www.facebook.com/indonesiapustaka entah di mana. Regu pencari pasti akan mencari pesa­
wat yang jatuh. bagaimana mereka bisa menemukan
kita kalau kita meninggalkan tempat ini?”

Lelaki itu menyentakkan kepala dengan angkuh.
”Kau ingin tetap di sini? Silakan. Aku mau pergi. Tapi
kuperingatkan, di dekat sini tidak ada air. Yang pertama
akan kulakukan pagi­pagi adalah mencari air.”

Sikap sok tahunya sangat menjengkelkan. ”Dari
mana kau tahu di sini tidak ada air?”

”Sebab tidak ada bekas­bekas jejak kaki binatang di
sekitar sini. bisa saja kau bertahan dengan minum air
hujan, tapi sampai berapa lama?”

Kapan dan bagaimana ia bisa tahu tidak ada jejak
kaki binatang di sekitar sini? Hal itu sama sekali tidak
terpikir oleh Rusty. Tidak mempunyai air atau mesti
menghadapi binatang buas untuk memperoleh air? Ke­
duanya sama­sama mengerikan. Mencari air? bagaima­
na pula caranya? binatang liar? Apa yang mesti ia laku­
kan kalau diserang binatang liar?

Ia akan mati tanpa lelaki ini. begitulah kesimpulan
Rusty, setelah dipikirkan beberapa saat. Ia tak punya pi­
lihan selain mengikuti lelaki ini dan bersyukur bahwa
orang ini tahu cara­cara untuk bertahan hidup di alam
liar.

Sambil menekan harga dirinya, Rusty berkata, ”ba­
iklah, aku ikut denganmu.” Tapi lelaki itu tidak meno­
leh atau berkomentar sedikit pun. Entah ia senang atau
menyesal mendengar keputusan Rusty. Kelihatannya ia
tidak peduli. Ia sudah menumpuk barang­barang yang
bisa diambilnya dari pesawat. Rusty tidak mau diabai­

23

www.facebook.com/indonesiapustaka kan, jadi ia berlutut di samping lelaki itu dan bertanya,
”Apa yang bisa kubantu?”

Lelaki itu memberi isyarat ke arah kompartemen
bagasi. ”Periksa semua bagasi dan ambil apa­apa yang
bisa berguna.” Ia menyerahkan beberapa kunci koper
kecil yang rupanya diambilnya dari tubuh para korban
sebelum ia menguburkan mereka.

Rusty menoleh ragu­ragu ke arah bagasi­bagasi itu.
beberapa sudah terbuka karena benturan ketika pesa­
wat jatuh. barang­barang para korban berserakan di
tanah yang basah. ”Tidakkah itu... melanggar privasi
mereka? Keluarga mereka mungkin tidak suka...”

Lelaki itu berbalik dengan sangat mendadak, hingga
Rusty nyaris terjungkal ke belakang. ”bisa, tidak, kau
bersikap dewasa dan menghadapi kenyataan?” Ia men­
cengkeram bahu Rusty dan mengguncang­guncangnya.
”Coba lihat sekelilingmu! Kau tahu berapa besar ke­
mungkinan kita bisa keluar dari sini hidup­hidup? Nol!
Tapi aku akan berjuang untuk bertahan sebelum me­
nyerah. begitulah kebiasaanku.”

Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rusty. ”Ini bu­
kan acara perkemahan pramuka. Ini masalah hidup dan
mati, Nona. Persetan dengan etika dan segala tata ke­
sopanan. Kalau kau ingin ikut aku, turuti perintahku.
Mengerti? Dan tidak ada waktu untuk perasaan senti­
mental. Tak perlu menangisi mereka yang menjadi
korban. Mereka sudah mati dan kita tidak bisa berbuat
apa­apa untuk mengubahnya. Sekarang, cepat lakukan
perintahku!”

Ia memandang Rusty, lalu mulai mengumpulkan

24

www.facebook.com/indonesiapustaka bulu­bulu binatang yang hendak dibawa almarhum para
pemburu sebagai tanda keberhasilan mereka. Kebanyak­
an adalah bulu karibu, tapi ada juga bulu serigala putih,
berang­berang, dan mink kecil.

Sambil menahan air mata sedih dan kesal, Rusty
membungkuk di antara koper­koper dan mulai meme­
riksa isinya, seperti yang diperintahkan. Ingin rasanya
ia menampar lelaki itu, atau menjatuhkan diri ke tanah
sambil menangis tersedu­sedu. Tapi ia tidak mau lelaki
itu melihatnya demikian. Ia juga tidak mau memberi
alasan kecil apa pun bagi orang itu untuk meninggal­
kannya.

Setengah jam kemudian ia membawa hasil sortiran­
nya dan menambahkannya pada tumpukan barang yang
sudah dikumpulkan lelaki itu. Kelihatannya lelaki itu
puas dengan barang­barang yang dibawanya, antara lain
dua botol minuman keras. Rusty tidak bisa menebak
minuman apa itu hanya dari baunya, tapi Cooper tidak
peduli. Ia tampak menikmati minuman yang ditenggak­
nya dari salah satu botol. Rusty mengamati jakunnya
yang bergerak turun­naik saat ia menelan. Ia memiliki
leher kekar dan rahang persegi yang kuat. Khas tipe
lelaki yang keras kepala, pikir Rusty.

Cooper menutup kembali botol minuman itu, lalu
melemparkannya ke tumpukan barang yang sudah ter­
kumpul—beberapa kotak korek api, perlengkapan
menjahit praktis, dan pakaian ekstra yang diambil Rus­
ty. Ia tidak memuji hasil kerja Rusty, malah mengang­
guk ke arah koper kecil di tangan Rusty. ”Apa itu?”

”Ini koperku.”

25

www.facebook.com/indonesiapustaka ”bukan itu yang kutanyakan.”
Ia menyambar koper itu dari tangan Rusty dan
membukanya. Tangannya yang besar mengaduk­aduk
tumpukan rapi pakaian dalam hangat berwarna pastel,
gaun tidur, dan berbagai pakaian dalam berenda lain­
nya. Ia menarik sepasang legging dengan ujung jari telin­
juk dan ibu jarinya. Mata kelabunya menatap Rusty.
”Dari sutra?” Rusty balas menatapnya dengan dingin,
tanpa menjawab. Senyum lebar lelaki itu sungguh me­
nyebalkan, menyiratkan berbagai perasaan yang tak
ingin ditebak Rusty. ”bagus sekali.”
Lalu senyum lelaki itu lenyap di bawah kumisnya dan
ia melemparkan legging itu pada Rusty. ”bawa dua pasang.
Juga sepasang kaus kaki. Topi, sarung tangan, mantel ini,”
tambahnya sambil melemparkan sebuah jaket ski ke atas
tumpukan pakaian yang telah dipilihnya. ”bawa celana
ekstra. Dan beberapa sweter.” Ia membuka tas kosmetik
Rusty yang berisi perlengkapan rias.
”Aku memerlukan semua yang ada di dalamnya,”
kata Rusty cepat­cepat.
”Tidak.” Lelaki itu mengaduk­aduk isi tas itu, me­
lemparkan berbagai botol krim kecantikan dan perleng­
kapan rias mahal di dalamnya ke tanah yang tertutup
dedaunan basah dan sudah membusuk. ”Sikat rambut,
pasta gigi, sikat gigi, sabun. Itu saja. Dan karena aku
baik hati, kau kuizinkan membawa ini.” Ia mengeluar­
kan sekotak tampon.
Rusty mengambil tampon itu dengan kasar dari tangan
lelaki itu dan menjejalkannya ke dalam tas kosmetiknya,
berikut barang­barang lain yang boleh dibawanya.

26

www.facebook.com/indonesiapustaka Lagi­lagi lelaki itu tersenyum lebar. Kombinasi gigi­
giginya yang putih dan kumisnya yang lebar membuat
wajahnya tampak sangat menjengkelkan. ”Menurutmu
aku menyebalkan, bukan? Tapi kau terlalu sopan untuk
mengatakannya terus terang.”

”Tidak, aku tidak terlalu sopan.” Mata Rusty yang
kecokelatan berkilat marah. ”Menurutku kau memang
menyebalkan.”

Tapi senyum lelaki itu justru bertambah lebar. ”Nanti
aku akan lebih menyebalkan lagi.” Ia berdiri dan meman­
dang cemas ke arah langit yang semakin gelap. ”Ayo, se­
baiknya kita jalan.”

begitu lelaki itu membalikkan badan, Rusty diam­
diam memasukkan sebuah lip gloss, sebotol sampo, dan
sebuah pisau cukur ke dalam tasnya. Lelaki ini mungkin
tidak perlu bercukur sebelum mereka kembali mema­
suki peradaban, tapi yang jelas Rusty sendiri perlu.

Rusty terlompat kaget ketika lelaki itu menoleh ke
arahnya. ”Kau tahu cara menggunakan ini?” tanyanya
sambil mengacungkan sepucuk senapan berburu.

Rusty menggeleng. baru kemarin ia melihat seekor
kambing jantan yang cantik ditembak dengan senapan
itu. Kenangan yang tidak menyenangkan. Ia sama seka­
li tidak merasa gembira, tapi justru merasa simpati pada
binatang itu.

”Itulah yang kukhawatirkan,” gerutu Cooper. ”Tapi
kau bisa membawanya.” Ia menggantungkan senapan
yang berat itu di bahu Rusty, dan ia sendiri membawa
satu. Kemudian ia menyelipkan sepucuk pistol yang
menakutkan di pinggangnya. Melihat tatapan ngeri
Rusty, ia berkata, ”Ini pistol isyarat. Kutemukan di

27

www.facebook.com/indonesiapustaka kokpit. Pasang telinga untuk mendengar suara pesawat
penyelamat.”

Ia menjahit bagian leher sehelai sweter dengan tali
sepatunya hingga sweter itu berfungsi sebagai ransel.
Diikatkannya kedua lengan sweter itu ke leher Rusty.
”Oke,” katanya setelah memeriksa penampilan Rusty.
”Kita berangkat.”

Dengan sedih dan takut Rusty menoleh untuk ter­
akhir kali ke arah bangkai pesawat, lalu bergerak meng­
ikuti lelaki itu. bahu Cooper yang lebar membuatnya
mudah terlihat. Dengan menfokuskan mata pada pung­
gung lelaki itu, Rusty bisa berjalan setengah melamun,
sekaligus mengenyahkan bayangan akan mayat­mayat
yang mereka tinggalkan. Ia ingin melupakan semuanya.

Ia terus berjalan, tenaganya semakin menyusut se­
iring setiap langkah. Dengan kecepatan mengherankan
kekuatannya tersedot habis. Entah sudah berapa lama
mereka berjalan, tapi pasti belum lama. Namun men­
dadak ia tak sanggup lagi melangkah. Kakinya gemetar
kelelahan. Ia tidak lagi menepiskan cabang­cabang yang
menghalangi jalannya. Dibiarkannya saja cabang­cabang
itu menghantamnya.

Sosok Cooper di depan semakin kabur, lalu mulai
bergoyang­goyang seperti sosok hantu. Pepohonan di
depannya bagaikan memiliki sulur­sulur yang berusaha
meraih pakaiannya, menarik rambutnya, menjerat mata
kakinya, dan menghalanginya dengan berbagai cara.
Dengan tersandung­sandung ia melihat ke tanah dan
terheran­heran karena tanah itu seolah terangkat naik
untuk menyerbunya. Aneh sekali, pikirnya.

28

www.facebook.com/indonesiapustaka Secara otomatis ia meraih cabang pohon terdekat
untuk menahan tubuhnya dan berseru lemah. ”Coo...
Cooper.”

Ia terjatuh dengan keras, namun lega sekali rasanya
bisa berbaring di tanah yang dingin, lembap, dan basah.
Dedaunan busuk yang menempel di pipinya terasa ba­
gaikan kompres dingin. Dengan rasa nyaman ia meme­
jamkan mata.

Cooper menyumpah pelan seraya melepaskan ransel
dan senapannya. Dengan kasar ia menelentangkan
Rusty dan membuka kelopak mata gadis itu dengan ibu
jarinya. Rusty menatapnya, tanpa menyadari bahwa wa­
jahnya pucat pasi. bahkan bibirnya pun kelabu seperti
awan­awan di langit.

”Maaf, aku menghambatmu.” Ia agak terkejut karena
suaranya begitu pelan. Ia bisa merasakan bibirnya ber­
gerak, tapi tidak bisa memastikan apakah suaranya cu­
kup keras. Rasanya ia memang perlu minta maaf karena
telah merepotkan lelaki ini. ”Aku ingin istirahat seben­
tar saja.”

”Yeah, yeah, tidak apa, uh, Rusty. Istirahatlah.”
Cooper berusaha melepaskan kaitan mantel bulu rubah
yang dikenakan Rusty. ”Apa kau merasa sakit?”

”Sakit? Tidak. Kenapa?”
”Tidak apa­apa.” Ia menarik lepas mantel Rusty, lalu
memasukkan tangannya ke dalam, menyelipkannya ke
balik sweter Rusty dan mulai menekankan jemarinya
dengan hati­hati di perut Rusty. Apa ini perlu? pikir
Rusty samar­samar. ”Mungkin kau mengalami perda­
rahan, tapi tidak mengetahuinya.”

29

www.facebook.com/indonesiapustaka Ucapan lelaki itu membuat semuanya jelas. ”Perda­
rahan di dalam?” Rusty berusaha duduk dengan panik.

”Entahlah. Aku tidak... Diam!” Dengan gerakan
mendadak ia menyibakkan kelepak depan mantel pan­
jang Rusty. Terdengar lelaki itu mendesis. Rusty ber­
tumpu pada sikunya, untuk melihat apa yang membuat
lelaki itu tampak sangat serius.

bagian kaki kanan celana panjangnya berlumuran
darah, menembus kaus kaki wolnya, dan terus menetes
ke sepatu botnya yang terbuat dari kulit.

”Kapan ini terjadi?” Lelaki itu menatapnya tajam.
”Apa yang terjadi?”

Dengan bingung Rusty menatap Cooper dan meng­
geleng tanpa mengatakan apa­apa.

”Kenapa kau tidak bilang padaku bahwa kau terlu­
ka?”

”Aku sendiri tidak tahu,” sahut Rusty lemah.
Cooper mencabut pisaunya, lalu merobek bagian kaki
celana panjang itu dengan satu gerakan mulus, terus
hingga ke bagian bawah celana dalam Rusty. Dengan
kaget dan ketakutan Rusty menahan napas.
Cooper memandangi kaki gadis itu, lalu mengembus­
kan napas dengan putus asa. ”Sial!”

30

www.facebook.com/indonesiapustaka 2

KEPALA Rusty mulai berdengung. Ia merasa mual.
Cuping telinganya berdenyut­denyut dan tenggorokan­
nya serasa terbakar. Setiap helai rambut di kepalanya
terasa tajam menusuk dan ujung­ujung jemari tangan
dan kakinya nyeri. Ia pernah pingsan setelah mengalami
operasi gigi. Ia tahu gejala­gejalanya.

Tapi, sial, apa ia mesti pingsan di sini? Di hadapan
lelaki ini?

”Tenang, tenang.” Cooper memegang bahunya dan
membaringkannya di lantai. ”Kau tidak ingat kapan ini
terjadi?” Rusty menggeleng. ”Pasti saat pesawat jatuh
tadi.”

”Aku sama sekali tidak merasa sakit.”
”Karena kau terlalu shock untuk menyadarinya. Apa
yang kaurasakan sekarang?”
baru saat itulah ia menyadari rasa sakit itu. ”Tidak
terlalu parah.” Mata lelaki itu menatapnya menyelidik.
”Sungguh, tidak terlalu sakit. Tapi aku banyak menge­
luarkan darah, ya?”

31

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Yeah.” Dengan wajah tegang Cooper mengaduk­
aduk isi kotak P3K. ”Aku mesti membersihkan darah­
nya, supaya tahu dari mana asalnya.”

Ia mengambil sehelai pakaian dalam dari katun halus
dari ransel yang dibawa Rusty, untuk membersihkan
darah itu. Rusty bisa merasakan tekanan tangan lelaki
itu, tapi selebihnya tidak. Ia menengadah memandang
cabang­cabang pepohonan di atasnya. Mungkin ia ter­
lalu cepat bersyukur karena masih hidup. bisa saja ia
mati kehabisan darah di sini, dan ia maupun Cooper
tak bisa berbuat apa­apa untuk mencegahnya. bahkan
mungkin Cooper merasa senang kalau terbebas darinya.

Makian pelan dari mulut lelaki itu menyadarkan
Rusty dari lamunannya yang tidak­tidak. Ia mengangkat
kepala sedikit dan melihat ke arah kakinya yang luka.
Tampak luka menganga mulai dari bawah lututnya
hingga ke atas kaus kakinya. Ia dapat melihat daging
dan otot­ototnya. Sungguh mengerikan. Ia mengerang.

”berbaringlah, sialan!”
Dengan lemah Rusty mematuhi perintah kasar itu.
”Kenapa aku bisa sampai tidak merasakannya?”
”Mungkin dagingnya langsung terbelah seperti kulit
tomat saat pesawat jatuh.”
”Kau bisa menolong?”
”bisa kubersihkan dengan peroksida.” Cooper mem­
buka botol plastik cokelat yang ditemukannya di kotak
P3K dan membasahi sehelai T-shirt dengan peroksida.
”Sakit, tidak?”
”Mungkin.”
Tanpa menghiraukan tatapan Rusty yang ketakutan
dan penuh air mata, ia membersihkan luka itu dengan

32

www.facebook.com/indonesiapustaka peroksida. Rusty menggigit bibir bawah supaya tidak
menjerit, tapi wajahnya mengernyit kesakitan. Sebenar­
nya sekadar membayangkan peroksida itu berbuih­buih
di dalam lukanya pun sudah cukup menyakitkan.

”bernapaslah dengan mulut kalau kau merasa ingin
muntah,” kata Cooper dengan nada datar. ”Aku hampir
selesai.”

Rusty memejamkan matanya rapat­rapat dan baru
membukanya lagi ketika mendengar suara kain disobek.
Cooper sedang merobek­robek sehelai T-shirt lain men­
jadi helaian­helaian panjang. Satu demi satu ia membelit­
kan kain­kain itu, mengikat kaki bagian bawah Rusty
erat­erat.

”Itu cukup untuk sementara,” katanya, seperti bicara
pada dirinya sendiri. Sambil memungut pisaunya, ia
berkata, ”Angkat pinggulmu.” Rusty melakukannya,
tanpa menatap mata lelaki itu. Cooper memotong cela­
na panjang Rusty mulai dari bagian paha atas. Kedua
tangannya bergerak di bawah paha Rusty dan di an­
taranya. buku­buku tangannya yang kasar menyapu
kulit Rusty yang halus dan hangat, namun Rusty me­
rasa tidak perlu malu, sebab lelaki itu tidak menampak­
kan emosi sedikit pun. Seperti memotong steik saja.

”Kau sudah jelas tidak bisa jalan.”
”bisa!” bantah Rusty dengan panik.
Ia takut lelaki ini meninggalkannya. Cooper berdiri
di depannya dengan kaki terentang, sambil memandang
sekeliling. Dahinya mengernyit, dan dari ekspresinya
tampak bahwa ia sedang berpikir keras.
Apa dia sedang menimbang-nimbang langkah selanjut-

33

www.facebook.com/indonesiapustaka nya? Memutuskan apakah sebaiknya aku ditinggalkan
saja? Atau mungkin dia berniat membunuhku dengan ce-
pat karena kasihan, daripada membiarkan aku mati kare-
na lukaku?

Akhirnya lelaki itu membungkuk dan menarik Rusty
ke posisi duduk. ”Lepaskan mantelmu dan kenakan ja­
ket ski itu.”

Tanpa membantah Rusty melepaskan mantel bulu­
nya. Dengan kapak yang dibawanya, Cooper memotong
tiga cabang muda dan membersihkannya dari ranting­
ranting. Rusty memperhatikan ketika ia membentuk
kerangkah huruf H dari cabang­cabang itu, hanya saja
bagian yang melintang dipasang lebih tinggi daripada
posisi normal. Lalu ia mengikat cabang­cabang tersebut
dengan menggunakan penjepit dari kulit, yang diambil­
nya dari sepatu bot korban yang tewas. Setelah itu ia
mengambil mantel bulu Rusty yang memasukkan ma­
sing­masing lubang lengannya ke kedua cabang yang
tegak. Rusty tersentak ketika lelaki itu memotong man­
tel tersebut dan lapisan satin di dalamnya, lalu membu­
at lubang di bagian bawah mantel indah itu.

Cooper menoleh ke arahnya. ”Ada apa?”
Rusty tercekat. Ia tahu lelaki itu sedang mengujinya.
”Tidak apa­apa. Mantel itu hadiah. Itu saja.”
Cooper mengamatinya beberapa saat, lalu membuat
satu lubang lagi di sisi satunya. Kemudian bagian bawah
cabang­cabang tadi dimasukkannya ke dalam kedua
lubang. Jadilah sebuah tandu darurat. Rusty terkesan
akan kecekatan dan kreativitas lelaki itu. Ia juga sangat
lega karena Cooper rupanya tidak berniat meninggalkan
atau menyingkirkannya.

34

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper meletakkan tandu itu di tanah, lalu meng­
angkat Rusty dan membaringkannya di hamparan bulu
yang lembut tersebut. Kemudian diselimutinya Rusty
dengan beberapa lembar bulu lagi.

”Aku tidak melihat binatang yang bulunya seperti ini
di sekitar sini,” kata Rusty sambil meraba kulit binatang
berbulu pendek dan halus itu.

”Umingmak.”
”Apa?”
”Itu sebutan orang Inuit untuk rubah berjanggut. Itu
bukan hasil buruanku. Aku membelinya. Hangat seka­
li.” Ia membungkus tubuh Rusty dengan bulu itu, lalu
menebarkan sehelai bulu lain lagi di atasnya. ”Kau
mesti tetap berbaring di situ.”
Lalu ia berdiri dan menyeka dahinya yang berkeri­
ngat dengan punggung tangan. Ia berjengit ketika ta­
ngannya mengenai benjolan di pelipisnya. Pasti sakit
sekali, pikir Rusty. Kalau aku, pasti tidak akan bisa ba-
ngun selama seminggu.
”Terima kasih, Cooper,” kata Rusty pelan.
Lelaki itu terdiam, memandang Rusty sejenak, lalu
mengangguk cepat. Ia mulai mengumpulkan barang
bawaan mereka. Kedua ransel dilemparkannya ke pang­
kuan Rusty, berikut kedua senapan. ”Jaga semua itu
baik­baik.”
”Kita akan ke mana?”
”Tenggara,” sahutnya yakin.
”Kenapa?”
”Cepat atau lambat kita akan menemukan permu­
kiman.”

35

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Oh.” Rusty takut untuk bergerak. Perjalanan ini ti­
dak akan menyenangkan. ”boleh aku minta aspirin?”

Cooper mengambil botol plastik itu dari sakunya dan
menuangkan dua butir tablet ke tangan Rusty.

”Aku tidak bisa menelannya tanpa air.”
Lelaki itu mendengus kesal. ”Telan begitu saja, atau
dengan brendi.”
”brendi saja.”
Ia menyerahkan salah satu botol pada Rusty dan
mengamati dengan saksama. Dengan berani Rusty me­
nenggak isi botol itu untuk menelan aspirinnya. Ia ter­
batuk, matanya pedih oleh air mata, tapi dengan tenang
dan penuh harga diri ia mengembalikan botol itu pada
si lelaki. ”Terima kasih.”
bibir lelaki itu bergerak­gerak menahan senyum.
”Kau mungkin tidak punya akal sehat, tapi kau punya
nyali, Nona.”
Hanya pujian semacam itu yang akan kuterima dari
Cooper Landry, pikir Rusty. Cooper mengapit ujung­
ujung tandu itu, lalu menariknya sambil melangkah. baru
beberapa meter ditarik, melewati medan yang sulit, Rusty
menyadari bahwa tidak ada bedanya berbaring di tandu
ini ataupun berjalan sendiri. Ia mesti susah payah ber­
usaha agar tidak tergelincir jatuh dari tandu itu. bokong­
nya pasti sudah biru lebam terantuk­antuk saat ditarik
melewati bebatuan. Lapisan satin mantelnya pun pasti
sudah cabik­cabik tergores tanah yang kasar.
Semakin lama hari semakin gelap dan dingin. Salju
tipis mulai turun. butiran­butiran kecil dan halus seper­
ti garam. Kaki Rusty yang luka mulai terasa sakit, tapi
ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengeluh. Ia bisa

36

www.facebook.com/indonesiapustaka mendengar bunyi napas Cooper yang terengah­engah,
dan ia tahu lelaki itu juga kelelahan. Kalau bukan kare­
na dirinya, Cooper pasti bisa menempuh jarak tiga kali
lebih jauh daripada yang telah mereka lalui saat ini.

Kegelapan turun dan mendadak. berbahaya bagi
mereka untuk terus menapaki medan yang belum dike­
nali ini. Cooper berhenti di sebuah tempat terbuka dan
menurunkan tandu itu. ”bagaimana keadaanmu?”

Rusty tidak memikirkan rasa haus dan laparnya, juga
ketidaknyamanan yang dirasakannya. Ia berkata, ”baik.”

”Yeah, pasti. bagaimana keadaanmu sebenarnya?”
Cooper membungkuk dan menyibakkan lapisan bulu
yang menutupi Rusty. Perban di kaki Rusty sudah ba­
sah oleh darah. Dengan cepat Cooper kembali menu­
tupi tubuh gadis itu dengan bulu. ”Sebaiknya kita ber­
malam di sini. Matahari sudah terbenam. Aku tidak
bisa melihat arah yang kuambil.”

Dia berbohong, pikir Rusty. Dia berkata begitu hanya
untuk menyenangkan aku saja. Rusty tahu bahwa kalau
bukan karena dirinya, Cooper pasti masih akan terus
berjalan. Tak mungkin ia takut pada kegelapan atau per­
ubahan cuaca. Meski sudah berjam­jam menarik tandu,
tampaknya ia masih punya cukup tenaga untuk berjalan
dua jam lagi.

Cooper mulai mengumpulkan daun pinus, lalu me­
nebarkan bulu­bulu di atasnya. Kemudian ia mengham­
piri Rusty.

”Cooper?”
”Hmmm?” sahutnya, sambil berusaha mengangkat
Rusty dari tandu.

37

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku ingin buang air kecil.”
Rusty tidak bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas
dalam kegelapan, tapi ia bisa merasakan tatapan terkejut
Cooper. Dengan sangat malu Rusty menunduk. ”Oke,”
kata Cooper kemudian. ”Apa kakimu kuat menopang­
mu sementara kau...”
”Ya, kurasa kuat,” kata Rusty cepat­cepat.
Cooper membopongnya ke tepi hutan, lalu pelan­
pelan menurunkannya berdiri pada kaki kirinya. ”ber­
sandarlah di pohon,” perintahnya. ”Panggil aku kalau
sudah selesai.”
Ternyata sulit sekali melakukannya. Lebih sulit da­
ripada yang dikira Rusty. begitu selesai mengancingkan
sisa celana panjangnya, tubuhnya gemetar lemas dan
gigi­giginya gemeletuk kedinginan. ”Aku sudah selesai,”
panggilnya.
Cooper muncul dari kegelapan dan membopongnya
kembali. Rusty tak mengira bahwa hamparan daun pi­
nus dan bulu binatang bisa menjadi tempat tidur yang
sangat nyaman. Ia mendesah lega ketika Cooper mem­
baringkannya di sana. Sekarang ia bisa beristirahat.
Cooper merapatkan bulu­bulu itu di sekeliling tubuh
Rusty. ”Aku akan membuat api. Tidak bisa besar, sebab
tidak banyak kayu yang kering. Tapi api kecil cukuplah
untuk mengusir tamu tak diundang.”
Rusty gemetar dan menutupi kepalanya dengan bulu
binatang, untuk membantu mengusir bayangan tentang
binatang liar, dan juga untuk melindungi diri dari bu­
tiran­butiran salju halus yang terus turun. Tapi ia tak bisa
tidur, karena kakinya semakin sakit. Ia jadi gelisah, dan

38

www.facebook.com/indonesiapustaka akhirnya ia mengintip dari bawah selimutnya. Cooper
sudah berhasil membuat api kecil. Lelaki itu juga telah
membatasi lubang dangkal tempat api itu dengan batu­
batu, supaya api tidak menjalar ke tempat tidur Rusty.

Ia menoleh ke arah Rusty, lalu membuka ritsleting
salah satu saku mantelnya untuk mengambil sesuatu. Ia
melontarkan benda itu pada Rusty dan Rusty menang­
kapnya dengan satu tangan. ”Apa ini?”

”Cokelat.”
Mendengar itu, perut Rusty berbunyi dengan suara
keras. Ia membuka bungkus cokelat itu dan siap mema­
sukkan seluruhnya ke mulut. Tapi kemudian ia teringat.
”Kau... kau tidak perlu berbagi denganku,” katanya pelan.
”Cokelat ini punyamu, dan mungkin nanti kau memerlu­
kannya.”
Mata kelabu lelaki itu tampak keras dan dingin keti­
ka ia menoleh. ”Itu bukan punyaku. Aku menemukan­
nya di saku salah seorang korban.”
Tampaknya ia senang sekali bisa berkata begitu.
Seolah menyiratkan bahwa kalau cokelat itu miliknya,
belum tentu ia akan mau berbagi.
Apa pun maksud ucapannya, ia telah merusak selera
Rusty. Cokelat itu jadi terasa hambar di mulut. Rusty
mengunyah dan menelannya tanpa semangat. Tapi rasa
hambar itu sebagian disebabkan karena ia haus. Seolah
bisa membaca pikirannya, Cooper berkata, ”Kalau be­
sok aku tidak menemukan air, gawat.”
”Apa kira­kira kita akan menemukannya?”
”Entahlah.”
Rusty berbaring sambil berpikir. ”Menurutmu kena­
pa pesawat itu jatuh?”

39

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak tahu. Karena berbagai sebab, kurasa.”
”Kau bisa mengira­ngira, di mana kita berada?”
”Tidak. Kalau tidak ada badai, mungkin bisa.”
”Menurutmu kita salah arah?”
”Ya, tapi aku tidak tahu seberapa jauh.”
Rusty membaringkan kepala pada tangan dan mena­
tap api kecil yang tampak seperti akan mati setiap saat.
”Kau pernah datang ke Great bear Lake sebelumnya?”
”baru satu kali.”
”Kapan?”
”beberapa tahun yang lalu.”
”Kau senang berburu?”
”Sesekali.”
Cooper tidak suka banyak bicara rupanya. Rusty
ingin mengajaknya bercakap­cakap untuk mengalihkan
pikiran dari rasa sakit di kakinya. ”Menurutmu apa
mereka akan menemukan kita?”
”Mungkin.”
”Kapan?”
”Kaupikir aku ini apa? Ensiklopedi?” Teriakan lelaki
itu memantul di pepohonan yang mengitari mereka. Ia
bangkit berdiri dengan cepat. ”Jangan bertanya macam­
macam padaku. Aku tidak bisa menjawabnya.”
”Aku cuma ingin tahu,” seru Rusty hampir menangis.
”Aku juga, tapi aku tidak tahu. Kurasa kalau pesawat
itu masih mengikuti rute perjalanan, sebelum jatuh,
besar kemungkinan kita akan ditemukan. Tapi kalau
arahnya melenceng jauh, berarti kemungkinan kita di­
temukan kecil sekali, oke? Sekarang diamlah.”
Rusty terdiam dengan perasaan sakit hati. Cooper

40

www.facebook.com/indonesiapustaka mencari­cari ranting kering di seputar situ. Ia menam­
bahkan beberapa cabang ke dalam api, lalu mengham­
piri Rusty. ”Mari kulihat kakimu.”

Dengan cekatan ia menyibakkan selimut yang menu­
tupi Rusty. Cahaya api memancarkan sinar temaram ke
perban yang penuh darah itu. Dengan pisau berburunya
Cooper memotong simpul yang dibuatnya, lalu mem­
buka perban. ”Sakit?”

”Ya.”
”Tidak heran,” katanya serius, sambil mengamati
luka Rusty. Ekspresinya tampak cemas.
Rusty memegangi lampu senter untuknya, sementara
ia membasuh luka itu kembali dengan peroksida, lalu
membebatnya lagi dengan perban baru. begitu lukanya
selesai dibalut, mata Rusty sudah penuh air mata dan
bibirnya sakit karena digigiti, tapi tidak sekali pun ia
menjerit.
”Di mana kau belajar membalut luka sebagus itu?”
”Vietnam.” Jawabannya singkat, menandakan bahwa
ia tidak ingin membahas topik itu. ”Ini, makan dua as­
pirin lagi.” Ia menyodorkan botol obat itu pada Rusty,
setelah mengambil dua butir tablet untuk dirinya sen­
diri. Lelaki itu tidak mengeluh sedikit pun, padahal
kepalanya pasti sakit sekali. ”Minum juga sedikit brendi.
Setidaknya dua tegukan. Kurasa besok pagi kau akan
perlu minum brendi itu lagi.”
”Kenapa?”
”Kakimu. Mungkin besok sakitnya akan tidak terta­
hankan. Sesudahnya lukanya mungkin akan mulai
membaik.”

41

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kalau tidak membaik bagaimana?”
Lelaki itu tidak menjawab, sebab tidak perlu.
Dengan tangan gemetar Rusty mendekatkan botol
brendi itu ke mulutnya, lalu meneguk isinya sedikit.
Setelah ranting­ranting kering tadi terjilat api, Cooper
menambahkan lebih banyak kayu lagi ke unggun. Tapi
nyala api itu belum cukup hangat. Itu sebabnya Rusty
terkejut ketika lelaki itu melepaskan mantel dan sepatu
botnya. Ia menyuruh Rusty melakukan hal yang sama.
Lalu dikumpulkannya semuanya itu ke bawah selimut.
”Untuk apa?” tanya Rusty; kakinya sudah mulai ke­
dinginan.
”Kalau sepatu kita kena keringat, lalu jadi lebih di­
ngin, kita bisa terkena radang dingin. Minggir sedikit.”
”Apa?” Rusty terbeliak ketakutan.
Sambil mendesah tak sabar, Cooper merangkak ma­
suk ke sampingnya. Rusty terpaksa memberi tempat
padanya di bawah selimut itu. Dengan waswas Rusty
berseru. ”Kau mau apa?”
”Tidur. Itu kalau kau bisa diam.”
”Di sini?”
”Di sini tidak disediakan akomodasi dengan tempat
tidur terpisah.”
”Kau tidak bisa...”
”Tenang, Miss... siapa namamu?”
”Carlson.”
”Yeah, Miss Carlson. Gabungan panas tubuh kita
akan membuat kita tetap hangat.” Ia meringkuk di de­
kat Rusty dan menarik selimut bulu itu sampai menu­
tupi kepala mereka, hingga mereka benar­benar ter­

42

www.facebook.com/indonesiapustaka bungkus rapat di dalamnya. ”berbaringlah menyamping,
membelakangiku.”

”Tidak mau!”
Rusty dapat membayangkan lelaki itu menghitung
sampai sepuluh dalam hati. ”Dengar, aku tidak mau
membeku, dan aku juga tidak mau menggali satu ku­
buran lagi untukmu. Jadi, lakukan saja apa yang kuka­
takan. Sekarang!”
Dia dulu pasti perwira di Vietnam, pikir Rusty kesal,
sambil berbaring menyamping. Lelaki itu melingkarkan
lengannya di pinggang Rusty, lalu menarik gadis itu ke
dekatnya, hingga mereka berbaring seperti sepasang
sendok. Rusty hampir­hampir tak bisa bernapas.
”Apa ini memang perlu?”
”Ya.”
”Aku tidak akan kabur. Di sini tidak ada tempat
untuk kabur. Jadi, kau tak perlu menaruh lenganmu di
situ.”
”Mengherankan. Kupikir kau suka.” Ia menekankan
telapak tangannya ke perut Rusty. ”Wajahmu cantik.
Mestinya kau tahu, kan, bahwa lelaki akan terpikat dan
bergairah kalau berada di dekatmu?”
”Lepaskan aku.”
”Rambut panjangmu itu, warnanya tidak biasa.”
”Diam!”
”Kau bangga akan bokongmu yang kencang dan da­
damu yang membusung, bukan? Aku yakin kebanyakan
lelaki akan tergoda melihatmu. Misalnya si kopilot itu.
Air liurnya sudah menetes melihatmu, seperti Dober­
man di musim kawin.”

43

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku tidak mengerti maksudmu.”
Lelaki itu menyapukan tangannya di perut Rusty.
”Ah, kau pasti mengerti. Kau tentu senang melihat se­
mua lelaki di pesawat langsung terdiam begitu kau
masuk dengan kerah mantel bulumu yang dinaikkan,
menyapu pipimu yang memerah dan mulutmu yang
seksi.”
”Kenapa kau bersikap begini?” Rusty terisak.
Lelaki itu menyumpah­nyumpah, tapi ketika ia bi­
cara lagi, suaranya tidak bernada sinis mengejek, mela­
inkan terdengar letih, ”Tenanglah. Aku tidak akan
mengambil kesempatan atas dirimu sepanjang malam.
Sejak dulu aku tidak suka perempuan berambut merah.
Lagi pula, toh tubuhmu masih hangat bekas berbaring
di ranjang pacarmu yang tua itu. Singkatnya, kehormat­
anmu aman bersamaku.”
Rusty mendengus menelan air mata sakit hatinya.
”Kau kejam dan vulgar.”
Lelaki itu tertawa. ”Sekarang kau kedengarannya
tersinggung karena aku tidak tergiur untuk memanfaat­
kanmu. Ambil keputusan! Kalau kau menginginkan
seks malam ini, aku bisa memenuhinya. Tubuhku tidak
selogis otakku. Toh di sini gelap gulita, dan kau tentu
tahu apa yang biasa dilakukan kucing­kucing dalam
gelap. Tapi, secara pribadi, aku memilih tempat yang
lebih aman dan nyaman untuk berhubungan intim. Jadi,
kusarankan tidur sajalah. Oke?”
Rusty mengertakkan giginya dengan marah. Sengaja
ia membuat tubuhnya kaku, sebagai pembatas di antara
mereka. Kalau bukan secara isik, yah... secara mental.

44

www.facebook.com/indonesiapustaka Dicobanya untuk tidak menghiraukan panas tubuh le­
laki itu, yang merambati pakaiannya, napasnya yang
mengembus leher Rusty, dan tekanan pahanya yang
kuat pada bagian belakang paha Rusty sendiri. Perla­
han­lahan, berkat bantuan brendi yang tadi diminum­
nya, Rusty menjadi lebih santai. Dan akhirnya ia terti­
dur.

Ia terbangun oleh erangannya sendiri. Kakinya berde­
nyut­denyut menyakitkan.

”Ada apa?”
Suara Cooper terdengar kasar, tapi Rusty yakin itu
bukan karena lelaki itu terbangun dari tidur nyenyak­
nya. Secara naluri Rusty tahu Cooper tidak tidur sema­
laman. ”Tidak apa­apa.”
”Katakan, ada apa? Kakimu?”
”Ya.”
”berdarah lagi?”
”Kurasa tidak. Tidak terasa basah. Hanya sakit.”
”Minum brendi lagi.” Ia meraih botol brendi yang
semalam dimasukkannya juga ke balik selimut.
”Aku sudah melayang.”
”bagus, berarti efeknya bekerja.” Ia menempelkan
bibir botol itu ke mulut Rusty dan mendorongnya ke
depan. Mau tak mau Rusty mesti meminumnya.
Minuman keras itu menimbulkan rasa panas di pe­
rutnya. Tapi setidaknya pikirannya jadi teralihkan seje­
nak dari lukanya yang menyakitkan. ”Terima kasih.”
”buka kakimu.”

45

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Apa?”
”buka kakimu.”
”Sudah berapa banyak brendi yang kauminum Mr.
Landry?”
”Lakukan saja.”
”Kenapa?”
”Supaya aku bisa menyelipkan kakiku di antaranya.”
Tanpa memberi kesempatan untuk berdebat lagi.
Cooper mengangkat kaki Rusty yang luka, lalu menye­
lipkan lututnya di antara kedua kaki Rusty. Setelah itu,
perlahan­lahan diturunkannya kembali kaki kanan
Rusty yang luka di atas kakinya sendiri. ”Nah, dengan
posisi terangkat begitu, kakimu tidak akan kena tekan­
an, dan tidak akan tersenggol olehku kalau malam.”
Rusty terlalu kaget, sehingga tak bisa langsung tidur
kembali. Ia juga merasa tidak nyaman dengan kedekat­
an lelaki ini. Selain itu, ada hal yang membuatnya terus
terjaga—perasaan bersalah.
”Cooper, apa kau kenal orang­orang lainnya?”
”Yang ada di pesawat itu? Tidak.”
”Dua laki­laki di kursi depan itu bersaudara. Ketika
sedang menimbang bagasi, kudengar mereka bicara
tentang merayakan hanksgiving bersama­sama kedua
keluarga. Mereka ingin menunjukkan slide-slide yang
mereka ambil minggu ini.”
”Jangan dipikirkan.”
”Aku tak bisa mengenyahkannya.”
”Pasti bisa.”
”Tidak, tidak bisa. Aku terus bertanya­tanya, kenapa
aku masih hidup? Kenapa aku dibiarkan hidup? Sung­
guh tidak masuk akal.”

46

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak harus masuk akal,” kata Cooper dengan pa­
hit. ”Memang sudah ditakdirkan demikian. Mereka
sudah waktunya mati, itu saja. Selesai dan terlupakan.”

”Tidak, tak terlupakan.”
”Paksakan hilang dari pikiranmu.”
”Itukah yang kaulakukan?”
”Ya.”
Rusty merinding. ”Kenapa kau bisa begitu tidak ber­
perasaan tentang nyawa manusia?”
”Latihan.”
Jawaban itu bagaikan tamparan keras di pipi Rusty.
Lelaki itu sengaja menjawab demikian untuk membuat­
nya diam. Ia memang diam, tapi masih terus berpikir.
berapa banyak kematian yang telah dilihat Cooper di
Vietnam? Puluhan? Ratusan? Tetap saja, Rusty tak bisa
membayangkan diri menjadi kebal melihat kematian.
Ia telah mencoba belajar mengatasi kematian, tapi itu
belum sampai membuat dirinya jadi seperti Cooper. Ia
tak bisa mengenyahkan kenyataan tentang kematian
semata­mata dengan tekad kuat untuk tidak memikir­
kannya. Kala teringat kematian orang­orang yang dicin­
tainya, hatinya tetap terasa pedih.
”Ibuku meninggal karena serangan jantung,” katanya
pelan pada Cooper. ”Kematiannya bisa dikatakan mele­
gakan, sebab dia akan sangat tak berdaya kalau bertahan
hidup. Aku punya waktu satu minggu untuk memper­
siapkan diri menghadapi kematiannya. Tapi kematian
kakak lelakiku terjadi begitu tiba­tiba.” Cooper tidak akan
peduli dengan ceritanya, tapi Rusty ingin memaparkan­
nya.
”Kakakmu?”

47

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Jef. Dia tewas karena kecelakaan mobil, dua tahun
yang lalu.”

”Tidak ada anggota keluar lain?”
”Hanya ayahku.” Rusty menarik napas perlahan.
”Dialah laki­laki yang kaulihat bersamaku di pondok
itu. Pada dialah aku berpamitan. Dia bukan kekasihku,
tapi ayahku.”
Rusty menunggu lelaki itu meminta maaf, tapi sia­
sia. Kalau bukan karena merasakan tubuh Cooper be­
gitu tegang, ia pasti mengira Cooper sudah tidur.
Akhirnya lelaki itu memecah kesunyian dengan ber­
tanya. ”Apa reaksi ayahmu kalau diberitahu tentang
kecelakaan pesawat itu?”
”Ya Tuhan!” Secara releks Rusty mencengkeram
tangan Cooper yang masih menempel di perutnya. ”Itu
sama sekali tidak terpikir olehku!”
Ia bisa membayangkan kesedihan mendalam ayahnya
kalau mendengar berita itu. Ayahnya telah kehilangan
seorang istri dan anak lelaki. Dan sekarang putrinya.
Ayahnya takkan bisa pulih dari kepedihannya. Terba­
yang oleh Rusty penderitaan yang akan dirasakan ayah­
nya, ketidakpastian akan nasib putrinya. Demi ayahnya,
dan juga demi dirinya sendiri, Rusty berharap mereka
akan cepat mendapat pertolongan.
”Kelihatannya ayahmu jenis orang yang bisa berbuat
apa saja,” kata Cooper. ”Dia akan mengerahkan semua
pihak berwenang sampai kita ditemukan.”
”Kau benar. Ayahku tidak akan menyerah sampai dia
tahu bagaimana nasibku.” Rusty yakin akan hal itu.
Ayahnya adalah orang yang berkuasa, dinamis, dan

48


Click to View FlipBook Version