The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka memiliki kemampuan serta sarana untuk menggerakkan
berbagai hal. Reputasi dan uang ayahnya bisa memo­
tong jalur birokrasi yang rumit. Mengetahui hal ini,
Rusty jadi lebih optimistis.

Ia juga heran melihat Cooper yang ternyata tidak
terlalu tertutup dan penyendiri seperti tampaknya. Se­
belum naik ke pesawat, lelaki itu lebih suka sendirian.
Ia tidak berbaur dengan para penumpang lainnya, tapi
ia memperhatikan segalanya. Rupanya orang ini sangat
jeli mengamati sifat manusia.

Tapi sekarang lelaki itu terpengaruh oleh naluri
alaminya rupanya. Sambil berbicara, Rusty menyadari
bahwa paha lelaki itu sudah menempel rapat di pinggul­
nya. ”Kau sudah menikah?” tanya Rusty mendadak.

”belum.”
”Sama sekali belum pernah?”
”belum.”
”Punya hubungan istimewa?”
”Dengar, aku juga suka berhubungan seks, oke? Dan
aku tahu kenapa mendadak kau bertanya­tanya seperti
ini. Percayalah, aku juga merasakannya. Tapi mau ba­
gaimana lagi? Sebenarnya bisa saja aku memenuhi ke­
inginanmu, tapi sekarang kukatakan sebelumnya, lang­
kah itu kurang sesuai untuk situasi kita saat ini. Ada
alternatif lain sebenarnya, tapi aku khawatir itu akan
membuat kita sama­sama malu.”
Pipi Rusty memanas dan merah padam. ”Kuminta
kau tidak begitu.”
”begitu bagaimana?”
”bicara seperti itu.”

49

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Seperti itu bagaimana?”
”Kotor.”
”Kau baru pulang dari menginap di pondok berburu.
Mestinya kau sudah bisa menerima beberapa lelucon
jorok, kan? Tentunya kau pernah juga mendengar ko­
mentar­komentar cabul di sana. Kupikir saat ini kau
sudah terbiasa mendengar ucapan kasar.”
”Nyatanya tidak, dan supaya kau tahu tahu, aku ikut
perjalanan berburu itu demi ayahku. Aku sendiri tidak
terlalu suka.”
”Dia memaksamu ikut?”
”Tentu saja tidak.”
”Membujukmu? Dengan imbalan mantel bulu itu
barangkali?”
”Tidak!” bentak Rusty kesal. ”Aku yang mengusulkan
perjalanan itu, dan akulah yang menyarankan agar kami
pergi bersama.”
”Dan kau begitu saja memilih hutan di Northwest
Territory ini? Kenapa bukan ke Hawaii? Atau St.
Moritz? banyak tempat lain yang lebih sesuai untukmu.”
Rusty mendesah. Ucapan lelaki itu sepenuhnya be­
nar. Dalam urusan berburu, ia benar­benar tidak tahu
apa­apa. ”Ayah dan kakak lelakiku selalu berburu ber­
sama. Empat minggu setiap tahun. Itu sudah tradisi
keluarga.” Ia memejamkan mata dengan sedih. ”Sejak
Jef meninggal, ayahku tidak pernah pergi berburu lagi.
Kupikir perjalanan ini bagus untuknya. Aku mendesak­
nya untuk pergi. Karena dia ragu­ragu, aku menawar­
kan diri untuk menemaninya.”
Ia berharap mendengar gumaman simpati dan penuh
pengertian dari lelaki itu. Setidaknya pujian pelan akan

50

www.facebook.com/indonesiapustaka sikapnya yang tidak mementingkan diri sendiri dan
patut dipuji. Tapi yang didengarnya justru suara jengkel
lelaki itu, ”bisa diam, tidak? Aku mau tidur.”

”Hentikan, Rusty!”
Suara kakaknya menggema masuk ke dalam mimpi­

nya. Mereka sedang bergulat, seperti biasa dilakukan
kakak­beradik yang sangat saling menyayangi. Ia dan
Jef hanya berselisih usia satu tahun. Sejak Rusty baru
mulai belajar berjalan, hubungan mereka sudah sangat
dekat, sebagai teman bermain dan sahabat karib. Sering
kali mereka bergulat dengan ribut, tapi selalu meng­
akhirinya dengan tertawa.

Namun tidak ada kegembiraan dalam suara Jef ketika
ia mencengkeram kedua pergelangan Rusty dan mena­
hannya di lantai, di kedua sisi kepalanya. ”Hentikan!” Jef
mengguncangnya perlahan. ”Kau akan melukai dirimu
sendiri kalau tidak berhenti meronta­ronta begini!”

Rusty terbangun dan membuka mata. Ternyata yang
dilihatnya bukan wajah Jef yang sangat diingat dan
disayanginya, melainkan wajah lelaki itu. Si Penyendiri.
Ia senang sekali lelaki itu masih hidup, tapi ia tidak
terlalu suka padanya. Siapa namanya? Oh ya, Cooper.
Cooper... siapa? Atau... siapa Cooper?

”berbaringlah diam,” perintah lelaki itu.
Rusty berhenti meronta­ronta. Udara yang menyen­
tuh kulitnya yang terbuka terasa dingin. Rupanya ia
telah menendang semua selimut bulu yang dihamparkan
Cooper di atas tubuh mereka semalam. Cooper mem­

51

www.facebook.com/indonesiapustaka bungkuk berlutut di atasnya. Pergelangan tangan Rusty
ditahan dalam genggaman tangannya yang kuat.

”Lepaskan aku!”
”Kau sudah tenang sekarang?”
Rusty mengangguk. bayangkan saja perasaan seorang
perempuan kalau terbangun dan mendapati seorang lelaki
seukuran Cooper Landry—itu dia namanya... Landry—
membungkuk di atasnya seperti ini. Rusty mengalihkan
pandangan dari sosok yang menakutkan itu. ”Tolong,”
katanya susah payah. ”Aku tidak apa­apa.”
Cooper bangkit dari atasnya. Rusty menghirup da­
lam­dalam udara dingin yang tajam menusuk. Terasa
nyaman sekali di wajahnya yang panas. Tapi hanya se­
saat. Tak lama kemudian ia menggigil dan giginya
mulai gemeletuk. Cooper mengernyit cemas. Atau kesal.
Entah yang mana. Mungkin ia khawatir atau jengkel.
”Kau demam hebat,” katanya pada Rusty, tanpa
basa­basi. ”Tadi aku bangun sebentar untuk membuat
api. Tahu­tahu kau mengigau dan mulai memanggil­
manggil seseorang bernama Jef.”
”Kakakku.” Gemetarnya semakin hebat. Rusty me­
nyelimuti tubuhnya dengan sehelai selimut bulu.
Sepanjang malam itu tidak turun hujan lagi. Rusty
malah bisa melihat api dan kerlip­kerlip bara di bawah
ranting­ranting yang ditambahkan Cooper ke dalam api.
Lidah api itu begitu panas, membakar bola matanya
hingga terasa pedih.
Tidak, tak mungkin! Yang dirasakannya itu pasti
karena demam.
Cooper mengangkat bagian selimut yang menutupi

52

www.facebook.com/indonesiapustaka kaki Rusty. Sekali lagi ia membuka perban di kaki itu
dengan susah payah, lalu memandangi lukanya. Rusty
memperhatikan ekspresinya.

Akhirnya Cooper menatap Rusty dengan mulut ter­
katup rapat. ”Aku akan berterus terang padamu,” kata­
nya. ”Lukamu parah. Infeksi. Ada sebotol antibiotik di
kotak P3K. Aku menyimpannya untuk keperluan se­
perti ini. Tapi aku tidak yakin obat itu cukup untuk
mengatasi lukamu.”

Rusty menelan ludah dengan susah payah. Meski se­
dang demam hebat, ia bisa mencerna penjelasan Cooper.
Ia bertumpu pada sikunya dan memandang ke arah kaki­
nya. Apa yang dilihatnya membuatnya ingin muntah.
Kulit di kedua sisi daging yang luka tampak terangkat dan
mengerut karena infeksi. Rusty berbaring kembali dan
menarik napas pendek­pendek. Ia membasahi bibirnya,
tapi sia­sia. Demam itu membuat bibirnya lebih kering
dari sebelumnya. ”Aku bisa mati karena gangren, bukan?”

Lelaki itu memaksakan senyum kecut. ”belum. Kita
akan berusaha mencegahnya.”

”Dengan memotong kakiku?”
”Astaga, mengerikan sekali pikiranmu. Aku berniat
mengeluarkan nanah dari lukamu, lalu menjahitnya.”
Wajah Rusty langsung memucat. ”Kedengarannya itu
cukup mengerikan.”
”Lebih baik daripada mengamputasinya. bisa saja
nanti itu terpaksa dilakukan juga.” Wajah Rusty jadi
sepucat kapur. ”Tapi, untuk saat ini, kita jahit saja dulu.
Jangan keburu senang,” kata Cooper sambil merengut
dalam. ”Sakitnya akan luar biasa.”

53

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty menatap ke kedalaman mata lelaki itu. Aneh,
meski awal perkenalan mereka tidak menyenangkan, ia
bisa memercayai orang ini. ”Lakukan saja apa yang mes­
ti kaulakukan.”

Lelaki itu mengangguk singkat, lalu mulai bekerja.
Mula­mula ia mengambil sepasang legging sutra milik
Rusty. ”Untung kau pakai yang dari sutra,” katanya.
Rusty tersenyum lemah, sementara Cooper mulai mem­
buka lipatan legging tersebut.

”benangnya kita gunakan untuk menjahit lukamu.”
Ia mengangguk ke arah botol brendi. ”Sebaiknya kau
mulai minum sekarang. Gunakan itu untuk menelan
salah satu tablet penisilin. Kau tidak alergi penisilin,
bukan?” Rusty menggeleng. ”bagus. Minum brendinya
sedikit demi sedikit, sampai kau mabuk. Tapi jangan
dihabiskan. Aku mesti mensterilkan benang­benang ini
dan membasuh lukamu dengan minuman itu.”

Rusty belum cukup kebal ketika lelaki itu membung­
kuk di dekat kakinya. Dengan pisau berburu yang telah
disterilkannya di api, ia siap beraksi.

”Siap?” Rusty mengangguk. ”Jangan bergerak­gerak.”
Rusty mengangguk. ”Jangan melawan kalau merasa hen­
dak pingsan. Lebih baik bagi kita kalau kau pingsan.”

Tusukan kecil pertama di kulitnya yang merah dan
bengkak membuat Rusty menjerit dan menyentakkan
kakinya.

”Jangan, Rusty! Kau mesti diam!”
Proses itu sungguh menyakitkan, dan terasa sangat
lama. Dengan teliti Cooper membersihkan nanah di
tempat­tempat tertentu. Ketika ia membasuh luka itu

54

www.facebook.com/indonesiapustaka dengan brendi, Rusty menjerit. Sesudahnya ia tidak
terlalu kesakitan ketika lukanya dijahit. Cooper meng­
gunakan jarum jahit dari perlengkapan yang mereka
bawa. Setelah masing­masing benang direndam dalam
brendi, ia mulai menjahit dan menutup rapat luka itu.

Rusty memandangi titik di atas hidung lelaki itu,
tempat alisnya bertaut. Meski udara dingin, dahi
Cooper berkeringat. Ia tidak pernah mengalihkan mata
sedikit pun dari pekerjaannya, kecuali sesekali menatap
wajah Rusty. Ia bisa merasakan kesakitan gadis itu, bah­
kan memperlihatkan simpatinya. Untuk lelaki sebesar
dirinya, yang dari luar tampak seperti tak punya hati,
gerakan tangannya bisa dikatakan sangat lembut.

Lambat laun wajah lelaki itu mulai kabur. Meski ber­
baring diam, Rusty merasa kepalanya berputar, bergejolak
oleh rasa sakit, trauma, dan efek anestesi dari brendi yang
diminumnya. Ia berjuang untuk tetap terjaga, karena ta­
kut tidak akan bisa bangun lagi jika ia tertidur. Namun
akhirnya ia menyerah. Dibiarkannya matanya terpejam.

Pikiran sadarnya yang terakhir adalah sayang sekali
ayahnya tidak akan pernah tahu betapa beraninya ia
hingga akhir hayatnya.

”Nah,” kata Cooper sambil berjongkok pada tumit­
nya dan menyeka keringat di dahi. ”Memang tidak ba­
gus, tapi lumayanlah.”

Ia menatap Rusty dengan senyum puas dan optimis­
tis, tapi Rusty tidak melihatnya, karena sudah tak sa­
darkan diri.

55

www.facebook.com/indonesiapustaka 3

KETIKA siuman, Rusty terkejut mendapati dirinya
masih hidup. Semula ia mengira kegelapan telah turun.
Pelan­pelan ia mengangkat kepala. bulu binatang yang
menutupi kepalanya terlepas. Hari masih siang, tapi
entah jam berapa tepatnya. Langit tampak mendung.

Dengan waswas ia menunggu rasa sakit di kakinya
menembus alam kesadarannya, tapi ternyata itu tidak
terjadi. Masih pening akibat brendi yang diminumnya,
ia bergerak dan mengambil posisi duduk. Dengan me­
ngerahkan seluruh tenaganya, ia berhasil mengangkat
bulu binatang yang menyelimuti kakinya. Sejenak ia
merasa ngeri. Jangan­jangan kakinya tidak sakit lagi
karena sudah diamputasi oleh Cooper.

Tapi, setelah selimutnya tersibak, ia mendapati kaki­
nya masih utuh dan terbalut helai­helai katun putih.
Tidak ada bekas­bekas darah baru. Memang ia belum
bisa berlari, tapi keadaannya sudah jauh lebih baik.

Duduk seperti itu membuatnya lelah, jadi ia memba­
ringkan diri lagi dan menyelimuti tubuhnya hingga ke

56

www.facebook.com/indonesiapustaka dagu. Kulitnya terasa panas dan kering, namun ia
menggigil kedinginan. Demamnya belum berkurang.
Mungkin ia mesti minum aspirin lagi. Tapi di mana
botolnya? Cooper pasti tahu. Cooper—

Di mana Cooper?
Rasa lesunya lenyap dan ia melesat duduk kembali.
Dengan panik matanya mengamati keadaan sekitarnya.
Tidak ada jejak. Lelaki itu sudah pergi. Senapannya pun
tidak ada. Senapan satunya tergeletak di tanah, dalam
jangkauan tangan Rusty. Api masih menyala dan me­
mancarkan panas.
Tapi lelaki itu telah meninggalkannya.
Sambil memaksakan diri meredam rasa paniknya.
Rusty berpikir bahwa ia terlalu cepat berprasangka.
Cooper tidak akan melakukan itu. Tak mungkin lelaki
itu merawat kakinya dengan begitu teliti, lalu mening­
galkannya begitu saja di tengah hutan.
Mungkinkah?
Tidak, kecuali ia bedebah yang tidak berperasaan.
Tapi bukankah menurut Rusty lelaki itu memang
bedebah?
Tidak. Lelaki itu memang keras. Tangguh. Sinis. Itu
jelas. Tapi ia bukannya sama sekali tidak berperasaan.
Kalau ia jahat, tentu ia sudah sejak kemarin meninggal­
kan Rusty.
Jadi, di mana dia?
Ia meninggalkan senapan satunya. Kenapa? Mung­
kinkah hanya sampai di sinilah rasa belas kasihannya.
Ia telah merawat kaki Rusty, melakukan apa yang bisa
dilakukannya. Ia juga telah menyediakan senapan untuk

57

www.facebook.com/indonesiapustaka perlindungan. Sekarang mungkin sudah saatnya masing­
masing bertahan sendirian. Yang kuat itulah yang me­
nang.

Yah, Rusty merasa akan mati. Kalau bukan karena
demam, tentu karena kehausan. Ia tidak punya air atau­
pun makanan. Juga tidak punya tempat untuk berlin­
dung. Sebentar saja persediaan kayu api yang ditumpuk
Cooper di dekat sana akan habis. Rusty akan mati ke­
dinginan, kalau cuaca semakin memburuk.

Tidak bisa!
Sekonyong­konyong ia merasa marah pada Cooper
yang telah meninggalkannya begitu saja. Akan ditunjuk­
kannya pada lelaki itu, juga pada ayahnya bahwa Rusty
Carlson bukanlah gadis cengeng yang mudah menyerah.
Disibakkannya selimutnya dan diambilnya jaket ski­
nya. Untuk saat ini ia tidak akan mengenakan sepatu
botnya yang sebelah kiri, sebab sepatu itu ada di bawah
tumpukan selimut, terlalu jauh untuk diraihnya. Lagi
pula, kalau kau satu kaki sudah telanjang, apa salahnya
kalau kaki satunya juga demikian? Lagi pula tenaganya
sudah terkuras habis untuk mengenakan mantel.
Makanan dan air!
Itu yang paling penting. Itulah yang pertama­tama
mesti diperolehnya. Tapi di mana? Alam sekitarnya
terasa menakutkan. Seluruhnya berupa hutan belantara
yang masih perawan. Di belakang pepohonan di dekat­
nya—yang beberapa di antaranya begitu tinggi, hingga
puncaknya tidak terlihat—berbaris lapis demi lapis
pepohonan lainnya sepanjang berkilo­kilometer.
Sebelum bisa mencari air, ia harus bisa berdiri. Keli­

58

www.facebook.com/indonesiapustaka hatannya ini tak mungkin, namun ia mengertakkan gigi
dengan penuh tekad.

Kalau aku terpaksa harus mati, mereka tidak akan
mendapati mayatku berbaring di bawah tumpukan seli-
mut!

Ia mengulurkan tangannya sejauh mungkin dan me­
raih sebatang kayu api. Ditariknya kayu itu ke arahnya.
Dengan bertumpu pada kayu itu ia mencoba berdiri di
atas kakinya yang sehat, sementara kaki yang luka diju­
lurkan ke depan. Kemudian ia berhenti untuk menarik
napas. Napasnya membentuk uap putih di depan wa­
jahnya.

berkali­kali ia mencoba berdiri tegak, tapi selalu ga­
gal. Ia begitu lemah, seperti anak kucing yang baru la­
hir. Dan kepalanya pening. Cooper Landry sialan!
Pantas saja lelaki itu menyuruhnya minum brendi seba­
nyak­banyaknya. Ia ingin Rusty tak sadarkan diri, su­
paya bisa menyelinap diam­diam seperti pengecut.

Dengan susah payah Rusty bertumpu sepenuhnya
pada kaki kirinya dan berdiri tegak. Tanah serasa ber­
goyang miring. Ia memejamkan mata dan berpegangan
erat­erat pada batang kayu api itu. Setelah merasa
aman, ia membuka mata da terpekik kaget. Cooper
berdiri di seberangnya.

”Apa yang kaulakukan?” tanya lelaki itu dengan ke­
ras.

Ia menjatuhkan semua bawaannya, termasuk sena­
pannya, dan menghampiri Rusty dengan langkah­lang­
kah cepat. Ditahannya tubuh Rusty, lalu ditendangnya
batang kayu yang dipegang Rusty. Dibawanya gadis itu

59

www.facebook.com/indonesiapustaka kembali ke pembaringan dan diselimutinya tubuh Rus­
ty yang gemetar.

”Kau mau apa?”
”M...mencari air,” sahut Rusty di tengah gemeletuk
giginya.
Lelaki itu menyumpah­nyumpah dengan keras. Di­
sentuhnya dahi Rusty untuk merasakan temperaturnya.
”Kau dingin sekali, sampai membiru. Jangan berbuat
bodoh seperti itu lagi, mengerti? Mencari air adalah
tugasku. Tugasmu adalah tetap diam di sini. Mengerti?”
Ia masih terus memuntahkan sumpah serapahnya.
Lalu ia mulai membesarkan api, melemparkan kayu api
dengan marah dan mengipasinya supaya nyalanya sema­
kin besar. Setelah api berkobar, ia mengambil kelinci
yang tadi dijatuhkannya ke tanah. Ia juga membawa
termos yang diambilnya dari bangkai pesawat. Dibuka­
nya termos itu dan ia menuangkan air ke dalam tutup­
nya, lalu berlutut di samping Rusty.
”Ini. Ternggorokanmu pasti kering dan sakit. Tapi
jangan minum cepat­cepat, dan jangan terlalu banyak.”
Rusty menangkupkan kedua tangannya di tangan
lelaki itu dan mendekatkan tutup termos tersebut ke
bibirnya yang pecah­pecah. Air di dalamnya begitu di­
ngin, hingga giginya terasa ngilu, tapi ia tidak peduli. Ia
meneguk tiga kali, banyak­banyak, sebelum Cooper
menarik tutup itu.
”Pelan­pelan, kataku. Airnya masih banyak.”
”Kau menemukan sumber air?” Rusty menjilat tetes­
tetes air dari bibirnya.
Sambil mengamati gerakan lidah gadis itu, Cooper

60

www.facebook.com/indonesiapustaka menjawab. ”Yeah. Ada mata air sekitar tiga ratus meter
ke arah sana.” Ia memberi isyarat ke arah tersebut de­
ngan kepalanya. ”Pasti peninggalan dari Mackenzie.”

Rusty menatap tubuh kelinci yang tergeletak di sam­
ping sepatu bot lelaki itu. ”Kau menembak kelinci itu?”

”Kuhantam dengan batu. Aku tidak mau membuang­
buang amunisi, kecuali terpaksa. Akan kukuliti kelinci
itu, lalu kumasak. Kita bisa... Sial, ada apa lagi?”

Rusty tak dapat menahan air matanya. Tubuhnya
terguncang­guncang oleh isak tangis. Ia menutupi wa­
jahnya dengan dua tangan, tapi air matanya terus meng­
alir melewati jemarinya.

”Dengar, aku terpaksa membunuhnya. Kalau tidak,
kita yang mati,” kata Cooper dengan kesal. ”Kita mesti
makan. Kau tidak bisa terlalu—”

”bukan karena kelinci itu,” kata Rusty terisak.
”Lalu apa? Kakimu sakit?”
”Kupikir kau telah me...meninggalkanku. Karena...
kakiku. Mungkin seharusnya begitu. Kau bisa ber...ber­
jalan lebih cepat kalau bukan karena aku dan kakiku.”
Ia terisak beberapa kali dan berusaha melanjutkan
ucapannya. ”Tapi kalaupun kakiku tidak sakit, tidak
akan banyak bedanya, sebab aku memang payah dalam
situasi seperti ini. Aku benci olahraga di alam terbuka
dan menurutku itu sama sekali tidak menyenangkan.
Aku benci. Ikut perkemahan musim panas pun aku ti­
dak suka. Aku kedinginan. Ketakutan. Dan merasa
bersalah karena masih juga mengeluh, padahal aku
masih hidup, sementara yang lainnya mati.”
Tangisnya kembali pecah, bahunya terguncang­gun­

61

www.facebook.com/indonesiapustaka cang. Cooper mendesah panjang dan melontarkan be­
berapa makian kasar, lalu menghampiri Rusty untuk
memeluknya. Ditariknya bahu gadis itu dengan kedua
tangannya yang besar. Semula Rusty menegangkan tu­
buhnya dan mencoba menarik diri, tapi Cooper tidak
melepaskan pegangannya. Ditariknya Rusty ke arahnya.
Akhirnya Rusty mengalah. Dibiarkannya dirinya ter­
sandar di dada bidang lelaki itu, sambil mencengkeram
mantel berburunya yang tebal.

Pakaian dan rambut lelaki itu menguarkan aroma
pohon pinus yang segar dan bersih, serta aroma deda­
unan dan kabut basah yang terasa enak di hidung. Da­
lam keadaannya yang lemah saat ini, Rusty merasa lela­
ki itu sangat besar dan hebat, seperti pahlawan dalam
buku cerita anak­anak. Ia berkuasa, kuat, garang namun
baik hati. Dan sanggup mengalahkan naga mana pun.

Ketika lelaki itu menaruh satu tangannya di belakang
kepala Rusty, gadis itu membenamkan wajahnya lebih
dalam di mantel empuk lelaki itu dan menikmati rasa
aman yang baru kali ini dirasakannya sejak kecelakaan
pesawat kemarin, bahkan sejak meninggalkan pondok
berburu dan ayahnya yang kecewa.

Akhirnya emosinya mereda dan air matanya tidak
lagi keluar. Tak ada alasan lagi bagi Cooper untuk terus
memeluknya, jadi Rusty mengangkat kepala dari dada
lelaki itu. Merasa malu, ia terus menunduk. Tampaknya
Cooper enggan melepaskannya, namun akhirnya ia
melonggarkan pelukannya juga.

”Sudah tenang?” tanyanya dengan nada kasar.
”Ya, terima kasih.” Rusty menghapus hidungnya yang

62

www.facebook.com/indonesiapustaka berair dengan punggung tangan, seolah itu memang
sudah kebiasaannya.

”Sebaiknya aku mulai memasak kelinci itu. ber­
baringlah.”

”Aku capek berbaring terus.”
”Kalau begitu, palingkan wajahmu. Aku ingin kau
bisa memakan kelinci ini, dan aku khawatir kau tidak
akan sanggup memakannya kalau sudah melihatku me­
ngulitinya.”
Cooper membawa kelinci itu ke tepi hutan, mem­
baringkannya di sebuah batu datar, lalu mulai menguliti­
nya. Rusty mengalihkan pandangan dari pemandangan
itu. ”Itulah yang kami perdebatkan sebelumnya,” katanya
pelan.
Cooper menoleh. ”Kau dan siapa?”
”Ayahku. Dia berhasil menembak seekor kambing
jantan.” Rusty tertawa pahit. ”binatang itu indah sekali.
Aku kasihan padanya, tapi pura­pura senang dengan
keberhasilan ayahku. Ayahku menyuruh salah satu pe­
mandu untuk mengulitinya. Dia ingin mengawasi, un­
tuk memastikan si pemandu tidak merusak kulit dalam­
nya.” Sambil mengerjap­ngerjapkan air matanya, Rusty
melanjutkan, ”Aku tidak tahan melihatnya. Aku benar­
benar jadi mual. Ayahku—” Ia berhenti sejenak untuk
menarik napas dalam­dalam ”—kurasa aku membuat­
nya kesal dan kecewa.”
Cooper sedang membersihkan tangannya di sapu­
tangan yang sudah dibasahi air dari termos. ”Karena
kau tidak tahan melihat binatang dikuliti?”
”bukan hanya itu. Itu cuma puncaknya. Dalam soal

63

www.facebook.com/indonesiapustaka menembak pun aku payah. Aku tidak tega menembak
binatang apa pun kalau dia sudah mendekat dan me­
nempelkan hidungnya di laras senapanku. Pokoknya
aku tidak menyukai segala yang berkaitan dengan per­
buruan.” Perlahan ia menambahkan, seperti pada diri­
nya sendiri, ”Aku tidak hebat di alam terbuka, tidak
seperti kakakku Jef.”

”Itukah yang diharapkan ayahmu?” Cooper sudah
menusukkan kelinci itu di sebuah cabang muda dan
sekarang menggantungnya di atas api.

”Kurasa itulah yang diharapkannya.”
”Kalau begitu, dia bodoh. Secara isik pun kau tidak
cocok menjadi pemburu.”
Mata lelaki itu beralih ke dada Rusty dan bertahan
di sana. Rusty merasa payudaranya memanas dan te­
gang, hingga terasa berat dan sakit.
Reaksi ini membuatnya terkejut. Secara naluriah ia
ingin menutupi dadanya dan memijatnya agar kembali
normal, tapi lelaki itu masih memandanginya, jadi ia tak
mungkin melakukan itu. Ia tidak berani bergerak sedikit
pun. Ia takut bahwa kalau ia bergerak, batas tipis di
antara mereka akan luruh dan tak dapat diganti atau
diperbaiki kembali. Satu gerakan ceroboh darinya bisa
mengundang peristiwa yang membahayakan.
baru kali ini Cooper menyiratkan unsur seksual da­
lam ucapannya, di luar makian­makian kasar yang di­
lontarkannya semalam. Sekarang Rusty tahu bahwa
makian semalam itu memang disengaja untuk mem­
buatnya gusar, tapi ucapan kali ini berbeda. Kali ini
Cooper sendiri merupakan korban, sekaligus pelaku.
Cooper kembali beralih ke perapian, dan benang tipis

64

www.facebook.com/indonesiapustaka yang menghubungkan mereka terputus. Lama mereka
tidak saling berbicara. Rusty memejamkan mata dan
pura­pura tertidur, tapi sebenarnya ia mengawasi lelaki
itu menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Cooper
menajamkan kapaknya di atas batu, lalu memeriksa
kelinci panggang itu dan memutarnya beberapa kali di
atas api.

Gerakannya sangat gesit untuk lelaki sebesar dirinya.
Rusty yakin beberapa wanita akan menganggap orang
ini tampan, apalagi sekarang dagu dan rahangnya sudah
ditumbuhi janggut halus berwarna gelap. Kumisnya
yang lebar dan melengkung sangat seksi... bagi wanita
yang menyukai lelaki berkumis. Kumis itu bertengger
tepat di atas bibir bawahnya, menutupi keseluruhan
bibir atasnya. Cukup menantang membayangkan men­
cari­cari bibir atas di tengah kumisnya.

Rusty masih melamun memandangi mulut lelaki itu
ketika Cooper membungkuk dan bicara padanya. ”A... apa
katamu?”

Lelaki itu menatapnya dengan sorot aneh. ”Matamu
tampak berkaca­kaca. Kau tidak sedang mengigau lagi,
kan?” Ia meraba dahi Rusty.

Rusty mengibaskan tangan lelaki itu, dan merasa kesal
pada diri sendiri karena membayangkan yang tidak­tidak.
”Tidak, aku baik­baik saja. Apa katamu tadi?”

”Aku tanya apa kau sudah siap untuk makan.”
”Siap sekali.”
Lelaki itu membantunya mengambil posisi duduk.
”Dagingnya sudah didinginkan sedikit. Sebentar lagi
siap.” Ia melepaskan kelinci itu dari tusukannya dan

65

www.facebook.com/indonesiapustaka mencabik sepotong kakinya, lalu memberikannya pada
Rusty. Dengan enggan Rusty mengambilnya dan mena­
tapnya ragu­ragu.

”Kau mesti memakannya. Kalau perlu akan kupaksa­
kan kau makan.” Ia menggigit sedikit daging itu dengan
giginya yang putih dan kuat. ”Tidak terlalu buruk.
Sungguh.”

Rusty mengambil sedikit daging dengan tangannya
dan memasukkannya ke mulut, lalu mengunyahnya dan
menelannya dengan cepat.

”Jangan cepat­cepat,” Cooper memperingatkan. ”Nan­
ti kau mual.”

Rusty mengangguk dan menggigit sepotong daging
lagi. Dengan sedikit garam, kelinci panggang ini pasti
enak sekali. ”Ada beberapa restoran di Los Angeles
yang menyediakan masakan daging kelinci yang sangat
enak,” katanya. Lalu otomatis ia mengulurkan tangan
untuk mengambil serbet, tapi teringat bahwa tidak ada
serbet di sini. Ia angkat bahu, dan menjilati jari­jarinya.

”Kau tinggal di Los Angeles?”
”beverly Hills, tepatnya.”
Lelaki itu memandanginya dalam cahaya api. ”Apa
kau bintang ilm atau semacamnya?”
Rusty merasa lelaki ini tidak akan terkesan sedikit pun
meski seandainya ia mengatakan sudah tiga kali meme­
nangkan Oscar. Rasanya Cooper Landry bukan orang
yang peduli pada ketenaran. ”Tidak, aku bukan bintang
ilm. Ayahku mempunyai perusahaan real estate dengan
cabang­cabang di seluruh California Selatan. Aku beker­
ja untuknya.”

66

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kau hebat dalam bidangmu?”
”Aku sangat sukses.”
Cooper mengunyah sepotong daging, lalu melempar­
kan tulangnya ke dalam api. ”Tentu saja. Kau anak sang
bos.”
”Aku bekerja keras, Mr. Landry.” Rusty tersinggung
dengan ucapan lelaki itu, yang menyiratkan bahwa ia
bisa sukses karena ayahnya semata­mata. ”Akulah yang
meraih angka penjualan tertinggi tahun lalu.”
”bravo.”
Kesal karena lelaki itu sama sekali tidak terkesan, ia
bertanya, ”Kau sendiri, apa pekerjaanmu?”
Tanpa berbicara Cooper menawarkan sepotong da­
ging lagi. Rusty memakannya dengan lahap, seolah­olah
daging kelinci panggang, tanpa bumbu apa pun dan
dimasak di api terbuka, sudah merupakan makanannya
sehari­hari.
”Aku membuka ranch,” sahut Cooper.
”Sapi?”
”Ada juga. Kebanyakan kuda.”
”Di mana?”
”Rogers Gap.”
”Di mana itu?”
”Sierra Nevada.”
”belum pernah kudengar.”
”Aku tidak heran.”
”Kau bisa hidup hanya dengan beternak?”
”Selama ini bisa.”
”Apa Rogers Gap dekat dengan bishop? Apa di sana
orang­orang suka bermain ski?”

67

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Ada beberapa jalur ski di sana. Sangat menantang
bagi para pemain ski serius. Aku sendiri menganggap
jalur­jalur itu merupakan salah satu yang paling spek­
takuler di daerah itu.”

”Lalu kenapa aku belum pernah mendengar tentang
tempat ini?”

”Kami menjaga kerahasiaan tempat itu, sebab kami
ingin tempat itu terlindung kelestariannya. Kami tidak
mau mengiklankannya.”

”Kenapa?” Minar Rusty terbangkit. Ia selalu berusaha
menemukan daerah baru yang menarik untuk para
kliennya. ”Kalau ditangani oleh pengembang yang tepat,
Rogers Gap bisa terkenal. Kalau tempat itu bagus un­
tuk bermain ski, seperti katamu, kita bisa menjadikan­
nya Aspen yang kedua.”

”Mudah­mudahan tidak,” kata Cooper geram. ”Itulah
masalahnya. Kami tidak mau terkenal. Kami tidak mau
pegunungan kami dipenuhi kondo­kondo, dan kami
tidak ingin kehidupan tenang di sana diramaikan oleh
segerombolan pemain ski kasar dari beverly Hills yang
lebih tertarik dengan dandanan mereka daripada dengan
kelestarian alam kami.”

”Apa semua orang di sana setuju dengan pendapatmu
itu?”

”Untungnya ya. Kalau tidak, mereka tidak akan ting­
gal di sana. Tidak banyak hiburan di sana, kecuali pe­
mandangan dan ketenangannya.”

Rusty melemparkan tulang­tulang sisa makanannya
ke api. ”Kau seperti generasi tahun enam puluhan saja.”

”Memang.”
Rusty menatapnya dengan menggoda. ”Apa kau pe­

68

www.facebook.com/indonesiapustaka juang pencetus keselarasan universal? Kau berdemon­
strasi untuk perdamaian dan protes terhadap perang?”

”Tidak,” sahut lelaki itu kasar. Senyum menggoda
Rusty langsung lenyap. ”Dulu aku tidak sabar ingin ikut
berperang. Aku terlalu tolol untuk menyadari bahwa
dalam perang aku mesti membunuh atau dibunuh. Aku
tidak membayangkan akan tertangkap dan dipenjara.
Tapi itulah yang terjadi. Setelah tujuh bulan dikurung
di lubang jahanam itu, aku berhasil lolos dan pulang
sebagai pahlawan.”

Kalimat terakhir itu diucapkannya dengan sangat
geram. ”Para tawanan perang di kampku dulu bisa saling
bunuh hanya untuk mendapatkan daging seperti yang
kaumakan tadi.” Mata kelabunya berkilat­kilat bagaikan
pisau ke arah Rusty. ”Jadi, aku tidak terkesan dengan
gemerlap dan glamor beverly Hills­mu, Miss Carlson.”

Ia bangkit dengan cepat. ”Aku mau ambil air lagi.
Jangan ke mana­mana.”

Jangan ke mana-mana, Rusty menirukan dalam hati.
baiklah, ia tahu sekarang apa yang menimpa lelaki itu.
Tapi untuk apa mengingat­ingatnya seumur hidup?
banyak lelaki lain yang kembali dari Vietnam dan bisa
menjalani kehidupan produktif yang bahagia. Kalau
Cooper tak bisa menyesuaikan diri, itu salahnya sendiri.
Ia terus mengenang kepahitan yang dialaminya. Itulah
yang membakarnya. Ia menyimpan dendam pada ma­
syarakat, karena ia merasa mereka berutang padanya.

Mungkin benar demikian, tapi Rusty merasa itu bu­
kan kesalahannya. bukan ia yang bertanggung jawab
atas kemalangan yang menimpa lelaki itu. Dengan rasa

69

www.facebook.com/indonesiapustaka dendamnya itu, bukan berarti Cooper lebih berharga
daripada orang lain.

Ketika Cooper kembali, mereka tetap saling berdiam
diri. Rusty meminum air di termos. Tanpa bicara
Cooper membantunya berjalan terpicang­pincang ke
tepi hutan untuk buang air sejenak. Ketika membantu
Rusty berbaring kembali di hamparan bulu binatang
itu, ia berkata, ”Aku mesti memeriksa kakimu. Pegangi
lampu senter ini.”

Rusty memperhatikan lelaki itu membuka balutan di
kakinya. Tampak deretan bekas jahitan yang tidak rata.
Rusty terpaku ngeri, tapi Cooper sendiri tampak puas
dengan hasil kerjanya. Dipegangnya mata kaki Rusty
dan diangkatnya kaki gadis itu ke arahnya, agar ia bisa
melihat lebih dekat. ”Tidak ada gejala infeksi baru.
bengkaknya sudah mengempes.”

”Tapi lihat bekasnya,” bisik Rusty serak.
Lelaki itu menatapnya. ”Itu di luar kemampuanku.”
bibir bawahnya mengetat, membentuk garis tipis, hing­
ga hampir tidak tampak di bawah kumisnya. ”bersyu­
kurlah aku tidak perlu mengamputasi kakimu.”
”Aku memang bersyukur.”
Ia mendengus. ”Kurasa dokter bedah plastik mahal
di beverly Hills bisa membereskan masalah bekas luka­
mu itu.”
”Apa kau selalu menjengkelkan begini?”
”Apa kau selalu dangkal begitu?” Ia menudingkan jari
ke arah bangkai pesawat. ”Aku yakin orang­orang yang
mati itu lebih suka hidup dengan bekas luka di kaki
mereka daripada mati.”

70

www.facebook.com/indonesiapustaka Ia benar, tapi itu tidak membuat kritikannya lebih
mudah diterima. Rusty terdiam kesal. Cooper memba­
suh kaki gadis itu dengan peroksida, lalu membalutnya
kembali. Kemudian ia memberikan sebutir tablet peni­
silin dan dua butir aspirin. Rusty meminumnya dengan
air. Untunglah ia tidak perlu minum brendi lagi.

Ia sudah tahu bahwa kalau mabuk, emosi dan gairah­
nya bangkit. Ia ingin menganggap Cooper Landry hanya
sebagai lelaki yang menjengkelkan. Tak lebih dari itu.
Lelaki itu adalah monster yang cepat marah dan me­
nyimpan dendam pada dunia. Kalau bukan karena
terpaksa bergantung padanya agar bisa bertahan hidup,
Rusty tidak akan mau berurusan dengannya.

Rusty sudah berbaring di bawah tumpukan selimut
bulu ketika Cooper menyelinap ke sampingnya dan
memeluknya dari belakang, seperti malam sebelumnya.

”berapa lama lagi kita mesti tinggal di sini?” tanya
Rusty ketus.

”Aku bukan peramal.”
”Aku tidak memintamu meramalkan kapan kita akan
diselamatkan. Yang kumaksud adalah tempat tidur ini.
Tidak bisakah kau membuat semacam tempat berna­
ung? Yang di dalamnya kita bisa bergerak?”
”Akomodasi ini tidak sesuai dengan selera sang
Ratu?”
Rusty mendesah kesal. ”Ah, sudahlah.”
Setelah beberapa saat, lelaki itu berkata, ”Ada bebe­
rapa batu besar di dekat mata air. Salah satunya yang
paling besar sudah terkena kikisan air. Dengan sedikit
kreativitas dan kerja keras, kurasa aku bisa membuat

71

www.facebook.com/indonesiapustaka semacam tempat berlindung di situ. Memang tidak
bagus, tapi lebih baik daripada ini. Dan lebih dekat ke
air.”

”Aku akan membantumu,” kata Rusty penuh sema­
ngat.

bukannya ia tidak menghargai tempatnya berbaring
ini, tapi sangat tidak nyaman tidur berdekatan begini
dengan lelaki itu. Sejak Cooper membuka mantelnya,
seperti kemarin malam, Rusty bisa merasakan dengan
jelas tekanan dada berotot lelaki itu di punggungnya.
Sebaliknya, ia yakin Cooper juga merasakan kedekatan
tubuhnya, karena ia sendiri tidak mengenakan mantel.

Itulah yang terutama dipikirkannya, ketika tangan
Cooper menemukan tempat yang nyaman di antara
dada dan pinggang Rusty. Lelaki itu bahkan menyelip­
kan lututnya di antara lutut Rusty, hingga kaki Rusty
yang luka terangkat. Rusty ingin bertanya, apakah ini
perlu, tapi karena rasanya memang lebih nyaman, ia
pun tidak berkomentar lagi.

”Rusty?”
”Hmmm?” Napas hangat lelaki itu melayang ke teli­

nganya dan membuat merinding lengannya. Ia lebih
merapatkan diri ke tubuh Cooper.

”bangun! Kita mesti bangun.”
”bangun?” erang Rusty. ”Kenapa? Kembalikan seli­
mutnya. Aku kedinginan.”
”Justru itu. Kita basah kuyup. Demammu menurun
dan kau berkeringat banyak sekali. Kalau kita tidak

72

www.facebook.com/indonesiapustaka bangun dan mengeringkan badan, kita bisa kena radang
dingin.”

Rusty terbangun sepenuhnya dan membalikkan tu­
buh. Cooper sangat serius rupanya. Ia sudah menyibak­
kan semua selimut. ”Apa maksudmu mengeringkan
badan?”

”buka pakaian dan keringkan tubuhmu.” Cooper
mulai membuka kancing­kancing kemeja lanelnya.

”Apa kau sudah sinting? Ini dinginnya luar biasa.”
Dengan keras kepala Rusty menyelimuti tubuhnya
kembali, tapi Cooper menyentakkannya.

”buka semua pakaianmu! Sekarang!”
Lelaki itu melepaskan kemejanya dan menyampir­
kannya di semak­semak terdekat. Dengan sigap pula ia
menarik lepas kaus turtleneck­nya. Rambutnya berdiri
tegak. Lucu sekali. Tapi Rusty tidak bisa tertawa. Ke­
rongkongannya bagai tersumbat. Ia tak sanggup ber­
bicara melihat dada paling bagus seperti yang ada di
hadapannya itu.
Otot­otot dada lelaki itu tampak sekeras batu. Me­
lekuk indah di bawah kulit yang kencang. Ujung dada­
nya berwarna gelap dan tegang karena udara dingin, dan
lingkaran di sekelilingnya mengerut. Dada itu tertutup
bulu lebat yang saling bertaut, memanjang membentuk
pola runcing ke bawah.
Ia begitu ramping, perutnya rata dan kencang. Rusty
tak bisa melihat pusarnya dengan jelas, karena tertutup
helai­helai bulu yang seksi.
”Cepat, Rusty, atau aku yang akan membukakan
pakaianmu.”

73

www.facebook.com/indonesiapustaka Ancaman itu membuat Rusty tersadar. Otomatis ia
membuka sweternya. Di bawahnya ia mengenakan tur-
tleneck dari katun. Ia hanya meraba­raba ujung bawah­
nya sambil mengamati Cooper berdiri melepaskan cela­
na jeans­nya. Celana dalamnya yang panjang tidak enak
dilihat.

Tapi Cooper Landry yang sudah tanpa busana pasti
merupakan pemandangan mengasyikkan. Sesaat kemu­
dian lelaki itu sudah berdiri telanjang, berlatar belakang
nyala api temaram. bentuh tubuhnya sangat indah,
hingga Rusty ternganga kagum. Lelaki itu benar­benar
membuatnya terpesona.

Cooper menyampirkan semua pakaiannya di semak­
semak, lalu membungkus kedua tangannya dengan se­
pasang kaus kaki bersih untuk mengeringkan tubuhnya.
Semuanya. Setelah itu ia melepaskan kembali kaus kaki
itu.

Dengan membungkuk ia mengaduk­aduk salah satu
ransel, mencari pakaian dalam. Tanpa rasa enggan atau
malu ia mengambil sebuah celana dalam.

Ketika melihat Rusty masih belum bergerak, ia me­
rengut kesal. ”Ayo, Rusty, cepatlah. Dingin sekali di
sini.”

Cooper mengulurkan tangan untuk mengambil sweter
Rusty, satu­satunya pakaian yang Rusty lepaskan hingga
saat ini. Rusty mengulurkannya dan Cooper menggan­
tungnya di semak­semak. Lalu ia mengulurkan tangan lagi
dan menjentikkan jemarinya dengan tak sabar, agar Rusty
bergegas. ”Ayo, ayo!” Dengan agak waswas Rusty mele­
paskan turtleneck­nya dan mengulurkannya.

74

www.facebook.com/indonesiapustaka Udara dingin itu sangat mengejutkan. Rusty serta­
merta menggigil dan gemetar hebat, hingga tak bisa
membuka kancing celana panjangnya yang berkaki satu.

”Mari kubantu. Kalau tidak, aku bisa semalaman
berdiri di luar sini.” Cooper berlutut di atas paha Rusty.
Dengan tak sabar ia menyingkirkan lengan Rusty, agar
leluasa melepaskan kancing celana dan ritsleting gadis
itu. Dengan tak acuh diturunkannya celana panjang itu
dan dilemparkannya begitu saja ke semak­semak terde­
kat.

Tapi ia terpana oleh sesuatu yang tidak diduganya.
Celana dalam minim yang sangat feminin di baliknya.
Tapi ia sudah melihat tepinya yang berenda, tapi hanya
itu. Untuk waktu yang terasa sangat lama ia hanya me­
mandang saja, lalu berkata dengan kasar. ”buka.”

Rusty menggeleng. ”Tidak.”
Wajah lelaki itu menjadi garang. ”buka!” Rusty
menggeleng lagi. Tapi, sebelum ia sempat bereaksi,
Cooper sudah meletakkan tangannya di atas helai mi­
nim celana sutra berenda itu. ”basah. buka.”
Mereka beradu pandang, saling mengadu kekuatan.
Akhirnya sorot dingin di mata lelaki itu membuat
Rusty mau tak mau melepaskan juga celana dalamnya.
”Sekarang keringkan tubuhmu.”
Ia mengulurkan sepasang kaus kaki bersih. Rusty
menyapukannya ke bagian bawah tubuh dan kakinya.
Sambil terus menunduk ia mengulurkan tangan untuk
mengambil celana dalam yang diulurkan Cooper pada­
nya. Lelaki itu tidak memberikan legging pada Rusty,
karena takut lukanya akan menggesek, jadi Rusty me­

75

www.facebook.com/indonesiapustaka ngenakan celana dalam yang semodel dengan yang tadi
dilepaskannya.

”Sekarang atasnya.”
branya juga sama minimnya dengan celana dalamnya.
Pada pagi keberangkatannya meninggalkan pondok
perburuan itu, ia sengaja mengenakan pakaian yang
sesuai untuk kembali ke peradaban. Ia sudah muak
berhari­hari mengenakan pakaian dalam tebal penahan
dingin.
Sambil membungkuk ke depan, ia meraba­raba kait­
an bra di belakang, tapi jemarinya kaku kedinginan,
hingga ia tak bisa membuka kaitan itu. Sambil me­
nyumpah­nyumpah Cooper membantunya melepaskan
kaitan tersebut. bra itu terlepas dan Rusty menurunkan
talinya dari lengannya, melemparkan benda itu, lalu
menghadapi Cooper dengan berani.
Di balik kumisnya, mulut lelaki itu membentuk satu
garis tipis yang keras. Tanpa membuang waktu ia mulai
menggosokkan kaus kaki itu dengan kasar di leher, dada,
dan perut Rusty. Lalu dari depan ia menyeka keringat di
punggung Rusty. Mereka begitu dekat, hingga napas
Rusty mengembus bulu dada lelaki itu dan bibirnya nya­
ris menyentuh ujung dada Cooper yang mengeras. Rusty
sendiri merasakan puncak payudaranya yang juga keras
oleh hawa dingin menyapu kulit Cooper.
Cepat­cepat Cooper menarik diri dan dengan marah
menyodorkan pakaian dalam tebal berlengan panjang ke
tubuh Rusty. Sementara Rusty sedang memasukkan
lengannya ke pakaian itu, Cooper menarik selimut ba­
sah bekas tempat mereka berbaring dan menggantinya

76

www.facebook.com/indonesiapustaka dengan yang baru. ”Tidak selembut yang itu, tapi seti­
daknya kering.”

”Tidak apa,” kata Rusty dengan suara serak.
Akhirnya mereka bisa berbaring nyaman lagi. Rusty
tidak menolak ketika Cooper menariknya mendekat. Ia
menggigil tak terkendali dan giginya gemeletuk. Tapi
tak lama kemudian mereka sudah hangat kembali. Tu­
buh mereka terasa tidak keruan karena apa yang telah
mereka alami tadi, dan kepala mereka dipenuhi gam­
baran­gambaran erotis.
berbaring dalam pelukan lelaki itu dengan pakaian
lengkap sudah cukup mendebarkan, apalagi saat ini
mereka hanya mengenakan pakaian dalam. Seluruh
indra Rusty bergemuruh. Demamnya sudah turun, tapi
sekarang tubuhnya panas seperti perapian.
Paha telanjang lelaki itu terasa nikmat menyentuh
kulit pahanya sendiri. Rusty menyukai permukaannya
yang kasar oleh bulu. Karena tidak mengenakan bra, ia
sangat merasakan tekanan tangan Cooper di bawah
payudaranya, hampir menyentuh, namun tidak benar­
benar menyentuhnya.
Lelaki itu sendiri bukannya kebal terhadap keintiman
terpaksa ini. Ia memang kepayahan karena mesti ber­
ganti pakaian begitu cepat dan menukar selimut­selimut
itu dengan yang baru, tapi itu bukan satu­satunya pe­
nyebab napasnya yang mengembus berat saat ini. Da­
danya naik­turun dengan cepat di punggung Rusty.
Dan masih ada tanda lain yang jelas­jelas menunjuk­
kan kegairahan lelaki itu.
Mau tak mau Rusty berbisik, ”Kurasa aku tidak per­
lu... eh... menaikkan kakiku di atas kakimu.”

77

www.facebook.com/indonesiapustaka Lelaki itu mengerang pelan. ”Jangan dibicarakan.
Dan jangan bergerak.” Ia jelas tampak kesal.

”Maaf.”
”Kenapa minta maaf? bukan salahmu kalau kau can­
tik, dan bukan salahku juga kalau aku laki­laki. Kurasa
kita mesti saling menoleransi hal itu.”
Rusty menghormati permintaan lelaki itu. Jadi, ia
tidak bergerak sedikit pun. Ia bahkan tidak membuka
mata lagi setelah memejamkannya. Tapi ia tak bisa
menahan senyum kecil di bibirnya ketika jatuh tertidur.
Entah sengaja atau tidak, Cooper telah mengatakan
bahwa dirinya cantik.

78

www.facebook.com/indonesiapustaka 4

ADA perubahan dalam hubungan mereka.
Keintiman terpaksa yang mereka alami semalam tidak

membuat mereka lebih dekat. Malah menciptakan keti­
daknyamanan di antara keduanya. Percakapan mereka
keesokan paginya menjadi canggung dan mereka saling
menghindari beradu pandang. Keduanya saling membe­
lakangi saat berpakaian dan gerakan mereka menjadi
kaku, tersentak­sentak serta tidak yakin, seperti orang
yang baru belajar bergerak lagi setelah lama sakit.

Dengan sikap murung dan menjaga jarak, Cooper
membuatkan sepasang penyangga untuk Rusty dari dua
cabang pohon yang kuat. bentuknya tidak bagus, tapi
Rusty bersyukur sekali memilikinya. Ia jadi bisa berge­
rak dan tidak perlu terus berbaring.

Ketika ia mengucapkan terima kasih, Cooper hanya
menggeram pelan sebagai jawaban, lalu langsung be­
rangkat untuk mengambil air. Ketika ia kembali, Rusty
sudah bisa menggunakan tongkatnya dan sedang me­
lompat­lompat mengitari tempat terbuka itu.

79

www.facebook.com/indonesiapustaka ”bagaimana kakimu?”
”baik. Sudah kubersihkan dengan peroksida, dan aku
sudah makan obatnya. Kurasa keadaannya akan sema­
kin membaik.” Ia bahkan bisa mengenakan sendiri cela­
na panjangnya yang tersisa, berikut sepatu botnya. Rasa
sakit di kakinya sudah jauh berkurang, sehingga bekas
lukanya tidak terlalu sakit terkena tekanan pakaian.
Mereka bergantian minum air dari termos. Hanya
itulah sarapan mereka. Lalu Cooper berkata, ”Sebaiknya
aku mulai membuat tempat berlindung untuk kita.”
Tadi, ketika terbangun, mereka mendapati selimut
mereka sudah dipenuhi salju yang tidak lagi tipis, melain­
kan sudah berbutir kasar. Keduanya tahu betapa ganas­
nya musim dingin di wilayah ini. Mereka perlu memiliki
tempat berlindung sementara menunggu diselamatkan.
Kalau mereka tidak diselamatkan juga, tempat berlindung
pun tidak akan banyak gunanya. Tapi mereka tak ingin
memikirkan itu sekarang.
”Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?” tanya
Rusty.
”Kau bisa memotong jaket suede itu menjadi helai­
helai panjang.” Cooper memberi isyarat ke arah jaket
milik salah seorang korban, lalu menyodorkan sebilah
pisau lain pada Rusty. ”Aku butuh banyak tali kulit
untuk mengikat tonggak­tonggaknya. Sementara kau
bekerja, sebaiknya aku memeriksa apa kita sudah punya
makanan untuk malam nanti.” Rusty memandang tak
mengerti ke arah Cooper. ”Aku memasang beberapa
perangkap kemarin,” lelaki itu menjelaskan.
Rusty memandang sekitarnya dengan ngeri. ”Kau
tidak akan pergi jauh, kan?”

80

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak terlalu jauh.” Cooper memanggul senapannya
dan memeriksa kotak amunisi di sakunya. ”Aku akan
kembali sebelum api itu perlu ditambahi kayu lagi. Jaga
pisau dan senapanmu baik­baik. Aku tidak melihat jejak
beruang di sekitar sini, tapi siapa tahu?”

Tanpa banyak cakap lagi ia berbalik dan melangkah
ke dalam hutan. Rusty bersandar pada tongkatnya de­
ngan jantung berdebar­debar.

Beruang?
Tapi beberapa saat kemudian dibuangnya jauh­jauh
rasa takutnya. ”Ini konyol,” gerutunya pada diri sendiri.
”Takkan kubiarkan apa pun mencelakaiku.”
Kalau saja ia punya radio, TV, atau apa saja untuk
mengusir kesunyian yang menekan ini. Hanya sesekali
terdengar derik ranting dan gesekan dedaunan saat bina­
tang­binatang hutan yang tidak terlihat melesat lewat.
Rusty berusaha mencari pembuat suara­suara itu, namun
mereka tetap bersembunyi, dan karenanya lebih membu­
atnya waswas. Ia masih teringat ucapan Cooper tentang
beruang tadi.
”Mungkin dia sengaja berkata begitu untuk menakut­
nakutiku,” katanya keras­keras sambil mulai merobek
jaket suede yang liat itu dengan pisau yang ditinggalkan
Cooper. Pisau itu lebih kecil daripada yang selalu diba­
wa Cooper.
Perut Rusty berkeruyuk. Terbayang olehnya croissant
segar yang panas dan bermentega, roti bagel panggang,
keju krim, donat hangat, panekuk dan daging panggang
serta telur. Tapi itu malah membuatnya semakin lapar.
Dan ia hanya bisa mengisi kekosongan perutnya dengan
air.

81

www.facebook.com/indonesiapustaka Tapi terlalu banyak minum air juga menimbulkan
masalah. Ia berusaha menahan rasa ingin buang air
kecil itu selama mungkin, namun akhirnya terpaksa ia
meninggalkan pekerjaannya. Dengan susah payah dan
canggung ia berdiri bertelekan pada tongkat penyangga­
nya. Sengaja ia melangkah ke arah yang berlawanan
dengan arah yang diambil Cooper, dan menemukan
tempat yang cocok untuk keperluannya.

Sambil berjuang dengan tongkat dan pakaiannya,
sekaligus memasang mata terhadap binatang­binatang
melata di tanah ia terheran­heran sendiri akan dirinya.
Rusty Carlson, ratu real estate dari beverly Hills men­
cari tempat di hutan untuk buang air kecil.

Teman­temannya pasti akan terperangah kalau tahu
apa yang dialaminya, dan ayahnya takkan memercayai­
nya. Tapi kalau ia bisa selamat hidup­hidup dari sini
dan menceritakan semuanya, ayahnya akan sangat bang­
ga padanya.

Ia sedang menutup ritsleting celananya ketika terde­
ngar gerakan tidak jauh dari tempatnya. Ia menoleh ke
arah tersebut dan memasang telinga. Tidak ada apa­apa.

”Mungkin suara angin.” Suaranya terdengar tidak
wajar, tapi terlalu keras dan diceria­ceriakan. ”Atau
burung. Atau Cooper yang datang kemari. Kalau dia
sengaja muncul diam­diam untuk menggodaku, aku ti­
dak akan pernah memaafkannya.”

Ia tidak memedulikan suara gemerisik berikutnya,
yang lebih keras dan lebih dekat daripada yang semula
didengarnya. Secepat mungkin ia beranjak kembali ke
tempatnya. Ia bertekad tidak akan bersikap pengecut

82

www.facebook.com/indonesiapustaka dengan menangis atau menjerit. Dikatupkannya rahang­
nya sementara ia tersandung­sandung melangkah di
tanah yang tidak rata.

Namun, semua keberaniannya lenyap begitu sosok
besar itu muncul dari antara dua batang pohon dan
pinus menjulang persis di hadapannya. Kepala Rusty
tersentak dan ia menatap ke arah sepasang mata kecil
dan wajah berbulu yang menyeringai itu, lalu ia pun
menjerit nyaring.

Cooper ingin lekas­lekas kembali, tapi ia memutuskan
untuk menguliti kedua kelinci hasil tangkapannya di
situ saja. Ia sudah meyakinkan diri bahwa kemarin ia
sama sekali tidak bermaksud menguji Rusty ketika ia
menguliti kelinci itu di dekatnya.

Tapi hati kecilnya mengatakan bahwa sebenarnya ia
memang bermaksud menguji gadis itu. Ia ingin gadis itu
mengerut ngeri, muntah, atau histeris, sekadar menun­
jukkan kelemahannya sebagai perempuan.

Tapi itu tidak terjadi. Rusty menahankannya dengan
baik. Jauh lebih baik daripada yang diperkirakan Cooper.

Cooper melemparkan isi perut kelinci­kelinci itu dan
mulai mengerat bagian dalam kulitnya. Ini bisa berguna
kelak. bulunya hangat dan bisa digunakan untuk mem­
buat Rusty—

Lagi­lagi Rusty! Tidak bisakah ia memikirkan hal
lain? Apakah setiap pikirannya pada akhirnya akan se­
lalu kembali pada gadis itu? Sejak kapan mereka jadi
tidak terpisahkan seperti Adam dan Hawa?

83

www.facebook.com/indonesiapustaka Ia ingat apa yang pertama terlintas dalam pikirannya
ketika ia siuman waktu itu. Wajah gadis itu membung­
kuk di atasnya, menatapnya dari antara rambut merah­
nya yang berantakan. Dan Cooper langsung melontar­
kan makian paling kasar yang diketahuinya.

Ia senang masih dibiarkan hidup, tapi rasanya lebih
baik mati saja daripada mesti bertahan bersama gadis
kaya bermantel bulu mahal dan berparfum seksi itu. Di
alam liar, perempuan itu tidak akan bisa bertahan sedi­
kit pun. Cooper merasa bahwa pada akhirnya kemung­
kinan ia mesti menembak gadis itu untuk melepaskan
mereka berdua dari penderitaan.

bukan pikiran yang menyenangkan, tapi ia pernah
mesti melakukan yang lebih kejam agar bisa menyela­
matkan hidupnya sendiri di Vietnam dulu. Kecelakaan
pesawat ini membuatnya otomatis kembali pada hukum
rimba.

Peraturan nomor satu. Membunuh atau dibunuh.
Kau mesti tetap hidup, dengan cara apa pun. Taktik­
taktik bertahan hidup yang dipelajarinya di kesatuannya
tidak mengenal belas kasihan. Lakukan apa yang perlu
agar bisa hidup satu hari lagi, satu jam lagi, satu menit
lagi. Ia sudah terlatih dalam doktrin itu dan telah mem­
praktikkannya lebih sering daripada yang ingin dilihat­
nya. Dan ia tak bisa melupakannya.

Tapi perempuan itu membuatnya heran. Luka di
kakinya itu pasti sangat menyakitkan, tapi ia tidak me­
ngeluh sedikit pun. Ia tidak merengek kelaparan, keha­
usan, kedinginan, dan ketakutan, meski tentunya itulah
yang dirasakannya. Ia cukup tangguh dan sejauh ini

84

www.facebook.com/indonesiapustaka masih bisa bertahan. Kecuali kalau keadaan bertambah
buruk.

Cooper jarang sekali menaruh kekaguman pada orang
lain. Dan ia tidak ingin mengagumi Rusty Carlson. Tapi
itulah yang terjadi.

Ia juga mulai mengakui daya tarik gadis itu, dan
bahwa mereka mungkin akan tetap berdua dan saling
bergantung untuk waktu yang lama.

Setan­setan di bawah sana pasti tertawa terbahak­
bahak melihat nasibnya. Di masa lalu, berkali­kali ia
bisa mengalahkan mereka, tapi kali ini berbeda. Inilah
puncak lelucon konyol yang ditakdirkan menimpanya.

biasanya ia memandang rendah perempuan seperti
Rusty Carlson. Ia tidak menyukai perempuan­perem­
puan kaya yang dangkal dan sejak lahir hanya merasa­
kan kemewahan. Perempuan semacam itu tidak tahu
dan tidak mau tahu apa pun yang berada di luar sang­
kar emas. Tapi kenapa sekarang ia justru kagum pada
perempuan semacam itu?

Lebih menjengkelkan lagi adalah penampilan perem­
puan itu. Kalau saja ia tidak cantik... Tapi perempuan
itu justru cantik sekali. benar­benar menggoda. Dengan
rambut warna merah madu yang tampak lembut untuk
dibelai dan payudara yang tampaknya begitu manis.
Suaranya pun bisa melelehkan mentega. Itulah yang ada
dalam pikiran Cooper setiap kali Rusty berbicara.

Sungguh lelucon yang kejam. Tapi ia tidak akan me­
nyentuh perempuan itu. Tidak akan pernah. Ia sudah
pernah mengalami yang seperti itu. Perempuan seperti
Rusty senang mengikuti mode. bukan hanya mode pakai­

85

www.facebook.com/indonesiapustaka an, tapi segalanya. Ketika ia bertemu Melody dulu, men­
cintai veteran perang sedang menjadi mode. Dan itulah
yang dilakukan Melody, sampai hal itu tidak lagi menjadi
mode.

Di balik rupa Rusty yang indah, Cooper yakin akan
menemukan karakter seorang Melody juga. Sekarang
Rusty berbaik­baik padanya karena perempuan itu
membutuhkannya. Dari luar kelihatannya ia manis, tapi
di dalamnya kemungkinan ia sama busuk dan sama
penipunya dengan Melody.

Setelah menyampirkan kulit kelinci itu di bahu dan
membungkus dagingnya di dalam kain, Cooper beranjak
kembali ke tempat Rusty. Perempuan itu tidak boleh
sampai memengaruhinya. Ia tidak boleh mulai merasa
kasihan padanya. Semalam ia membiarkan gadis itu
menangis untuk pelepasan, tapi setelah itu tidak lagi. Ia
memeluk gadis itu di malam hari hanya karena tindak­
an itu perlu untuk membuat mereka hangat. Tapi ia
akan menjaga jarak, mulai saat ini. begitu ia selesai
membangun tempat berlindung, mereka tidak perlu lagi
tidur berdekatan demikian. Ia tidak tahan mesti mele­
watkan malam­malam dengan berbaring berdekapan
seperti itu, sementara pinggul perempuan itu menyen­
tuh bagian depan tubuhnya.

Hentikan berpikir begitu, perintahnya pada diri sendi­
ri. Lupakan betapa halus kulit perutnya terasa di tangan-
mu. Lupakan bentuk payudara dan pahanya.

Sambil mengerang Cooper menerobos hutan itu,
bertekad untuk memusatkan pikirannya pada hal­hal
yang penting. begitu ia membangun tempat berlindung,

86

www.facebook.com/indonesiapustaka mereka tidak perlu terlalu berdekatan lagi. Ia akan men­
jaga mata dan tangannya agar—

Jeritan melengking itu membuatnya tersentak.
Langkahnya terhenti mendadak, seakan di depannya
ada tembok tak terlihat. Ketika jeritan berikutnya mem­
belah kesunyian, otomatis insting Cooper sebagai peju­
ang rimba kembali terbangkitkan. Tanpa suara ia me­
nyelinap di antara pepohonan dengan pisau terhunus
dan mulut menyeringai, ke arah suara jeritan itu.

”Si...siapa kau?” Rusty memegangi lehernya sendiri, se­
mentara jantungnya berdebar cepat.

Wajah berjanggut lelaki itu menyeringai lebar. Ia
menoleh dan berkata, ”Hei, Pa, dia tanya siapa aku.”

Sambil mendecak, seorang lelaki yang lebih tua me­
langkah keluar dari antara pepohonan. Keduanya ter­
nganga memandang Rusty. Keduanya sama­sama ber­
mata kecil dan cekung.

”Kami juga bisa menanyakan hal yang sama,” kata
lelaki yang lebih tua. ”Siapa kau, gadis kecil?”

”A...ak...aku selamat dari kecelakaan pesawat.” Kedua
orang itu memandangi Rusty dengan bingung. ”Kalian
tidak tahu?”

”Tidak.”
Rusty menunjuk dengan jari gemetar. ”Di sana. Dua
hari yang lalu. Lima orang tewas. Kakiku luka.” Ia me­
nunjuk ke arah tongkatnya.
”Masih ada wanita?”
Sebelum Rusty menjawab, Cooper sudah melangkah

87

www.facebook.com/indonesiapustaka ke belakang lelaki yang lebih tua dan menempelkan
pisaunya yang mengilat di leher lelaki itu. Ditelikungnya
lengan lelaki itu dan dicengkeramnya tengkuknya. Lela­
ki itu menjatuhkan senapannya ke tanah.

”Menjauh darinya, atau kubunuh dia,” katanya pada
lelaki yang lebih muda. Orang itu terkejut melihatnya.

Ia memandangi Cooper seperti melihat setan yang
muncul dari neraka. bahkan Rusty pun terperanjat
melihat sosok kejam di mata Cooper. Tapi ia merasa
lega dengan kemunculan lelaki itu.

”Kubilang menjauh darinya.” Suara Cooper penuh
ancaman, seperti juga pisaunya. Suara itu sama sekali
tanpa nada dan tanpa emosi. Si lelaki muda mundur
terhuyung dua langkah. ”Jatuhkan senapanmu,” perin­
tah Cooper.

Karena akhirnya sadar bahwa si pengancam juga
manusia, si lelaki muda tampak ingin membangkang. Ia
menoleh pada lelaki yang lebih tua. ”Pa, apa aku—”

”Lakukan perintahnya, Reuben.”
Dengan enggan si lelaki muda menjatuhkan senapan
berburunya. Cooper menendang kedua senapan itu ke
luar jangkauan mereka, dan perlahan­lahan melepaskan
cekalannya. Ia mengitari si lelaki tua dan berdiri di
samping Rusty, menghadap ke arah mereka. ”Rusty?”
Rusty terlompat. ”Kau tidak apa­apa?”
”Ya.”
”Apa mereka menyakitimu?”
”Mereka membuatku ketakutan. Itu saja. Kurasa
mereka tidak sengaja.”
Cooper tidak mengalihkan matanya dari kedua orang

88

www.facebook.com/indonesiapustaka itu. Ia memandangi mereka dengan waspada. ”Siapa
kalian?”

bentakannya lebih ampuh daripada pertanyaan yang
diucapkan Rusty dengan lemah tadi. Lelaki yang lebih
tua langsung menjawab, ”Quinn Gawrylow dan itu
anakku Reuben. Kami tinggal di sini.” Cooper tidak
mengerjapkan mata sedikit pun. Lelaki itu melanjutkan.
”Di seberang jurang dalam itu.” Ia memberi isyarat ke
arah yang dimaksud dengan dagunya.

Cooper sudah menemukan jurang itu kemarin. Mata
air tempat ia mengambil air selama ini terletak di bawah
jurang tersebut. Ia tidak menyeberang ke sana untuk
memeriksa, karena ia tidak mau terlalu lama meninggal­
kan Rusty. Sekarang ia bersyukur tidak ke sana. Mung­
kin saja kedua orang ini tidak berbahaya, tapi itu belum
terbukti. Pembawaannya yang penuh curiga sering kali
bermanfaat. Sebelum benar­benar bisa dipercaya, ia
akan menganggap kedua orang ini musuhnya. Sejauh ini
mereka tidak melakukan apa pun yang membahayakan,
tapi ia tak senang melihat cara si lelaki muda menatap
Rusty dengan ternganga, seperti melihat bidadari.

”Kenapa kalian menyeberang kemari?” tanya Cooper.
”Kami mencium bau asap kayumu semalam, dan pagi
ini bermaksud menyelidikinya. biasanya kami jarang
bertemu orang lain di hutan kami.”
”Kami mengalami kecelakaan pesawat.”
”begitulah kata nona muda itu.”
Tadi mereka menyebutku gadis kecil, sekarang nona
muda, pikir Rusty. Ia bersyukur dengan kedatangan
Cooper. Ia juga merasa takut melihat tatapan lelaki

89

www.facebook.com/indonesiapustaka muda itu, dan ia mendekati Cooper, berlindung di be­
lakang lengannya. ”berapa jauh tempat ini dari kota
terdekat?” tanya Rusty.

”Seratus lima puluh kilometer.” Harapan Rusty kan­
das. Lelaki itu jelas memperhatikan reaksi Rusty. ”Tapi
sungai tidak terlalu jauh dari sini.”

”Sungai Mackenzie?”
”benar. Kalau kau bisa mencapainya sebelum mem­
beku, kau bisa menumpang perahu yang menuju
Yellowknife.”
”berapa jauh jarak ke sungai itu?” tanya Cooper.
Lelaki itu menggaruk kepalanya, di bawah topi
wolnya. ”Sekitar lima belas sampai dua puluh kilometer.
benar, Reuben?”
Si lelaki muda mengangguk tanpa mengalihkan pan­
dangan berhasratnya dari Rusty. Cooper menyipitkan
mata ke arahnya dengan tatapan tajam berbahaya. ”bisa
kalian mengantar kami ke sungai itu?”
”bisa,” sahut Quinn. ”besok. Hari ini beristirahatlah
dulu. Kami akan memberikan makanan pada kalian.” Ia
melirik daging segar hasil buruan Cooper. ”Mari ikut ke
pondok kami.”
Rusty menatap Cooper penuh harap. Wajah Cooper
tetap tak bisa ditebak saat ia memandangi kedua lelaki
itu dengan waspada. Akhirnya ia berkata, ”Terima ka­
sih. Rusty bisa makan dan beristirahat sebelum berang­
kat. Kalian jalan duluan.” Dengan senapannya ia me­
nunjuk ke arah yang menuju tempat mereka tinggal
selama ini.
Kedua lelaki itu memungut senapan mereka. Rusty

90

www.facebook.com/indonesiapustaka merasa tubuh Cooper menegang waspada. Tapi kedua
ayah dan anak itu memanggul senapan mereka dan
berjalan ke arah yang ditunjukkan Cooper. Cooper
menatap Rusty dan berbicara berbisik. ”Jangan jauh­
jauh. Di mana pisau yang kuberikan padamu?”

”Kutinggalkan ketika aku pergi—”
”bawa terus bersamamu.”
”Kau kenapa sih?”
”Tidak apa­apa.”
”Kelihatannya kau tidak terlalu senang melihat me­
reka. Aku sendiri senang. Mereka bisa membantu kita
keluar dari sini.”
Jawaban Cooper ketus dan singkat saja. ”Yeah.”
Kedua ayah dan anak itu terkesan dengan keteram­
pilan Cooper. Mereka membantu mengumpulkan bulu­
bulu binatang serta barang­barang yang diambil Cooper
dan Rusty dari bangkai pesawat. Di alam liar tidak ada
yang boleh dibiarkan terbuang percuma. Reuben me­
mastikan api sudah mati dengan menendangkan batu­
batu ke dalamnya.
Rombongan itu berangkat menuju pondok kedua
Gawrylow, dipimpin oleh Quinn, dengan anaknya di
belakang. Cooper berjalan paling belakang, supaya bisa
terus mengawasi kedua lelaki itu, sekaligus Rusty yang
berjalan tersandung­sandung dengan tongkatnya.
Kedua lelaki itu kelihatannya bermaksud baik, tapi
Cooper sudah belajar untuk tidak percaya pada siapa
pun. Ia sudah melihat banyak tentara tercabik­cabik
oleh granat tangan yang disodorkan pada mereka oleh
anak­anak kecil yang tersenyum.
Di tepi sungai, mereka berhenti untuk beristirahat.

91

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty serasa akan pingsan. Jantungnya berdebar ken­
cang sekali dan bagian bawah lengannya terasa sakit
oleh tongkat itu, meski Cooper sudah melapisi ujung
tongkat tersebut dengan kain­kain yang cukup tebal.

”bagaimana keadaanmu?” tanya Cooper sambil mem­
buka termos dan menyodorkannya pada Rusty.

”baik.” Rusty memaksakan senyum.
”Kakimu sakit?”
”Tidak, hanya berat sekali.”
”Rasanya kita tidak jauh lagi. Nanti kau bisa ber­
baring sepanjang sisa hari ini.”
Kedua Gawrylow menunggu dengan sabar sampai
Rusty berhasil mengatur napas dan siap berjalan kem­
bali. ”Kita akan menyeberang di tempat yang paling
mudah,” kata lelaki yang lebih tua.
Mereka menyusuri tepian sungai sepanjang beberapa
ratus meter. Pada saat­saat normal, Rusty pasti akan
terpesona oleh pemandangan di situ. Air sungai itu sa­
ngat jernih, bergeleguk di antara bebatuan yang licin
bagaikan kaca karena sudah dilalui sekian banyak air
yang mengalir di antaranya. Pepohonan di tepinya men­
julang tinggi, membentuk lengkungan di atas kepala.
Daun­daunnya begitu hijau, hingga tampak kebiruan.
Ada pula pepohonan yang berdaun merah terang hing­
ga kuning terang. Musim dingin yang mulai mendekat
membuat banyak daun berguguran, membentuk karpet
empuk gemerisik di bawah kaki mereka.
Dada Rusty bagai terbakar karena kelelahan ketika
akhirnya mereka berhenti lagi. Diletakkannya tongkat­
nya di tanah dan dengan nyaman ia duduk di sebuah

92

www.facebook.com/indonesiapustaka batu, di samping air sungai yang mengalir dangkal di
bagian ini. Sisi jurang yang menjulang di seberang sana,
sungai tampak setinggi Pegunungan Himalaya.

”Ini dia,” kata Quinn. ”Aku akan jalan di depan. Reu­
ben bisa membopong wanita itu. Kau yang mengangkat
barang­barang.”

”biar Reuben yang mengangkat barang­barang. Aku
yang membawa wanita ini,” Cooper mengoreksi dengan
suara dingin.

Quinn angkat bahu, lalu menyuruh anaknya meng­
ambil alih barang­barang dari Cooper. Reuben mema­
tuhi, setelah menatap marah pada Cooper. Cooper balas
menatapnya. Ia tidak peduli Reuben suka atau tidak; ia
tidak akan membiarkan tangan­tangan kotor lelaki itu
menyentuh Rusty.

Setelah kedua lelaki itu berada agak jauh di depan,
Cooper membungkuk dan berbisik di telinga Rusty.
”Jangan takut menggunakan pisau itu.” Rusty menatap
lelaki itu dengan kaget. ”Siapa tahu kedua orang baik
itu mendadak menyerang kita.” Cooper menaruh tong­
kat Rusty di pangkuan gadis itu, lalu membopongnya.

Kedua Gawrylow sudah berada di tepi jurang. Cooper
menyusul mereka, tetap mengawasi dengan waspada,
sekaligus berkonsentrasi pada tanah yang curam. Kalau
ia jatuh, Rusty akan ikut jatuh bersamanya. Gadis itu ber­
usaha tampak berani, tapi Cooper tahu bahwa kakinya
yang sakit pasti terasa sangat tidak nyaman.

”Menurutmu kita akan diselamatkan besok, Cooper?”
”Kemungkinan besar begitu. Kalau kita berhasil sam­
pai ke sungai, dan kalau kebetulan ada perahu yang le­

93

www.facebook.com/indonesiapustaka wat.” Napas Cooper terengah­engah. Dahinya berke­
ringat, namun rahangnya mengatup ketat penuh tekad.

”Kau perlu bercukur.” Tahu­tahu Rusty berkata de­
mikian. Rupanya selama ini tanpa sadar ia mengamati
wajah Cooper dengan saksama. Tanpa menggerakkan
kepala, Cooper menatapnya. Merasa malu, Rusty me­
malingkan wajah dan bergumam, ”Maaf, aku pasti berat
sekali.”

”Sama sekali tidak. Justru pakaianmu yang lebih be­
rat.”

Ucapan itu mengingatkan Rusty bahwa lelaki ini
tahu seberapa berat pakaiannya dan seberapa berat tu­
buhnya sebenarnya. bukankah ia telah melihat Rusty
tanpa pakaian? Kalau setiap percakapan mereka ber­
akhir dengan suasana canggung seperti ini, lebih aman
untuk tidak bercakap­cakap sama sekali.

Saat itu mereka sudah mencapai puncak jurang. Quinn
sedang menggigiti sepotong tembakau. Reuben melepas­
kan topinya dan menggunakannya untuk mengipasi tu­
buhnya. Rambutnya yang gelap dan berminyak menem­
pel di kepalanya.

Cooper menurunkan Rusty. Tanpa bicara Quinn
menawarkan sepotong tembakau padanya. Dalam hati
Rusty senang ketika Cooper menggeleng menolaknya.

”Kami akan menunggu sampai kalian sudah cukup
beristirahat,” kata Quinn.

Cooper menatap Rusty. Wajah gadis itu pucat kele­
lahan. Kakinya mungkin sakit sekali. Angin lembap
membuat udara semakin dingin. Rusty sebenarnya
perlu beristirahat lebih lama, tapi semakin cepat bisa

94

www.facebook.com/indonesiapustaka membawanya ke pondok yang beratap, semakin baik. Ia
bisa makan dan berbaring di sana.

”Tidak perlu menunggu. Ayo berangkat,” kata Cooper
tegas.

Ia menarik Rusty dan menopang tubuh gadis itu di
tongkatnya. Dilihatnya Rusty mengernyit kesakitan,
tapi Cooper mengeraskan hati dan memberi isyarat
bahwa mereka sudah siap berjalan lagi.

Setidaknya sisa perjalanan mereka lebih mudah. Ke­
tika tiba di pondok kedua lelaki itu, Rusty sudah keha­
bisan tenaga. Ia terpuruk di beranda yang reyot, seperti
boneka perca.

”Mari kita bawa masuk wanita ini,” kata Quinn sam­
bil membuka pintu pondok.

Pintu reyot itu disambung pada kerangkanya dengan
engsel dari kulit. bagian dalam pondok itu seperti sa­
rang binatang. Rusty memandangi isinya dengan agak
ngeri. Ternyata ada hal­hal yang lebih tidak menye­
nangkan daripada sekadar terdampar di alam liar.

Cooper tetap tidak menunjukkan ekspresi apa pun
ketika mengangkat Rusty dan membopongnya masuk
ke dalam pondok yang remang­remang. Jendela­jendela
yang kecil sangat hitam oleh kotoran, hingga hanya se­
dikit cahaya yang menembus masuk. Sebuah perapian
berasap yang redup hanya menawarkan sedikit pene­
rangan, tapi apa yang dilihat Rusty dan Cooper me­
mang sebaiknya tetap tersembunyi dalam kegelapan.

Pondok itu sangat kotor dan berbau wol basah, le­
mak asam, dan orang yang tidak mandi. Kelebihannya
hanyalah bahwa di situ hangat. Cooper membopong

95

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty ke arah perapian dari batu dan mendudukkannya
di sebuah kursi berpunggung tegak yang keras. Ia mem­
balik sebuah ember aluminium dan meletakkan kaki
Rusty yang luka di atasnya. Lalu dikoreknya api dengan
tongkat pengorek besi. Api yang temaram itu menyala
lebih terang setelah ditambahi kayu api dari kotak kayu
di dekat perapian.

Kedua Gawrylow masuk. Reuben menutup pintu,
membuat suasana di dalam semakin gelap. Meski ada
kehangatan dari perapian, Rusty tetap menggigil dan
semakin membenamkan diri dalam mantelnya.

”Kalian pasti lapar.” Quinn beranjak ke tungku di
sudut. Ia mengangkat tutup panci di atasnya dan me­
longok isinya. ”Dagingnya sudah matang. Mau?”

Rusty hampir menolak, tapi Cooper langsung men­
jawab. ”Ya. Punya kopi?”

”Tentu. Reuben, buatkan kopi.”
Reuben masih terus memandangi Rusty sejak masuk
dan meletakkan barang­barang Cooper di lantai.
Cooper mengikuti arah tatapan melongo Reuben ke
sosok Rusty. Ia menyumpah dalam hati, karena cahaya
api itu menyinari rambut Rusty dan membuatnya ber­
kilauan. Wajah gadis itu pucat dan tegang, dan matanya
tampak besar, rapuh, dan sangat feminin. bagi lelaki
muda yang selama ini tinggal di hutan hanya dengan
ayahnya itu, seorang perempuan tidak perlu cantik un­
tuk membangkitkan minatnya. Rusty pasti mem­
bangunkan semua khayalannya yang paling liar.
Dengan tangannya Reuben mengambil bubuk kopi
dari dalam sebuah wadah logam dan memasukkannya

96

www.facebook.com/indonesiapustaka segenggam ke sebuah pot enamel. Ia mengisi pot itu
dengan air dari pompa dan menjerangnya di tungku.
beberapa menit kemudian, Rusty dan Cooper sudah
disuguhi sepiring daging yang tidak jelas. Rusty merasa
lebih baik tidak tahu daging apa itu, jadi ia tidak berta­
nya. Ia mengunyah dan menelan dengan cepat. Setidak­
nya makanan itu panas dan bisa mengisi perutnya.
Kopinya pahit sekali, sehingga ia mengernyit ketika
menelannya. Tapi dihabiskannya juga sebagian besar isi
gelasnya.

Kedua Gawrylow memandangi mereka makan. Ta­
tapan lelaki yang lebih tua tidak seliar tatapan anaknya,
tapi mungkin justru lebih cermat. Sepasang matanya
yang cekung sangat awas mengamati semua gerakan
mereka.

Quinn memecah keheningan itu dengan bertanya,
”Kalian suami­istri?”

”Ya,” Cooper berbohong dengan tenang. ”Sudah lima
tahun.”

Rusty menelan potongan daging terakhir, sambil
berharap kedua ayah dan anak itu tidak memperhatikan
betapa sulit ia menelannya. Ia senang Cooper mengam­
bil inisiatif untuk menjawab. Ia sendiri rasanya tidak
bisa mengucapkan sepatah kata pun.

”Punya anak?”
Kali ini Cooper terdiam, sehingga Rusty­lah yang
berkata, ”Tidak.” Ia berharap jawaban itu memuaskan
”suami”­nya. Nanti ia ingin menanyakan, kenapa Cooper
berbohong. Tapi untuk saat ini ia akan membiarkan saja.
Menurut pendapatnya, kewaspadaan Cooper berlebihan.

97

www.facebook.com/indonesiapustaka Tapi ia tetap lebih berpihak pada Cooper daripada pada
kedua ayah dan anak itu.

Selesai makan, Cooper menyingkirkan piring dan
cangkirnya. Ia memandang sekitarnya. ”Kalian tidak
punya pemancar? Radio panggil?”

”Tidak.”
”Kalian tidak mendengar ada pesawat terbang lewat
belakang ini?”
”Tidak. Reuben?” Quinn menyikut lutut anaknya
yang melongo. Lelaki muda itu mengalihkan tatapannya
dari Rusty.
”Pesawat terbang?” tanyanya bodoh.
”Kami kecelakaan dua hari yang lalu,” Cooper men­
jelaskan. ”Mestinya saat ini mereka sudah tahu. Kupikir
mungkin ada pesawat pencari yang memeriksa, kalau­
kalau ada yang masih hidup.”
”Aku tidak mendengar ada pesawat,” kata Reuben
cepat­cepat, lalu kembali memandangi Rusty.
”bagaimana kalian tahan hidup begitu jauh dari ke­
ramaian?” tanya Rusty. Kehidupan terpencil seperti ini
membuatnya tidak tahan. Ia tak bisa membayangkan
hidup tanpa kemudahan­kemudahan yang ditawarkan
kota besar. Mungkin hidup di pedesaan masih bisa di­
terima kalau sesekali kita pergi ke kota. Tapi hidup
seperti ini, sengaja memutuskan semua kontak dengan
peradaban—
”Kami berjalan kaki ke sungai dan menumpang kapal
ke Yellowknife, dua kali setahun,” kata Quinn. ”Sekali
di bulan April dan sekali di bulan Oktober. Kami ting­
gal beberapa hari di kota, menjual beberapa bulu bina­

98


Click to View FlipBook Version