The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka tang, membeli apa­apa yang kami butuhkan, dan pulang
dengan menumpang kapal juga. Hanya itu hubungan
yang kami inginkan dengan dunia luar.”

”Tapi kenapa?” tanya Rusty.
”Aku tidak suka pada kota dan orang kota. Aku dulu
tinggal di Edmonton, bekerja di galangan kapal. Suatu
hari bosku menuduhku mencuri.”
”benarkah kau mencuri?”
Rusty terperanjat dengan pertanyaan Cooper, tapi
Quinn tampaknya tidak tersinggung. Ia cuma mendecak
dan meludahkan air tembakau ke perapian.
”Lebih mudah bagiku untuk menghilang daripada
maju ke pengadilan untuk membuktikan bahwa aku tidak
bersalah,” katanya. ”Ibu Ruben sudah meninggal. Jadi,
aku dan Reuben pergi begitu saja. Hanya membawa uang
sekadarnya dan pakaian yang melekat di badan.”
”Sudah berapa lama itu terjadi?”
”Sepuluh tahun yang lalu. Kami mengembara seben­
tar, lalu akhirnya pindah kemari. Kami suka di sini, jadi
kami tinggal.” Ia angkat bahu. ”Kami tidak pernah pu­
nya keinginan untuk kembali.”
Akhir cerita. Rusty menghabiskan makanannya, tapi
kedua orang itu tampaknya masih senang terus menatap
dirinya dan Cooper.
Untuk memecahkan kesunyian yang tidak mengenak­
an itu, Cooper berkata, ”Permisi, aku ingin memeriksa
luka istriku.”
Tampaknya mudah sekali ia mengucapkan kata ”is­
triku”, tapi Rusty merasa tidak senang mendengarnya.
Ia bertanya­tanya, apakah kedua Gawrylow percaya
bahwa mereka suami­istri.

99

www.facebook.com/indonesiapustaka Quinn membawa piring­piring kotor ke pompa dan
membasahinya dengan air. ”Reuben, lakukan tugasmu.”

Pemuda itu tampaknya ingin membantah, tapi ayah­
nya menatapnya dengan tajam. Akhirnya Reuben ber­
anjak ke pintu, mengambil mantel dan topinya sambil
berjalan. Quinn keluar ke beranda dan mulai menum­
puk kayu api di tembok pondok.

Rusty mencondongkan tubuh pada Cooper ketika
lelaki itu sedang berlutut di hadapannya. ”bagaimana
menurutmu?”

”Tentang apa?”
”Tentang mereka,” sahutnya. Cooper memegangi
ujung celana panjang gadis itu di jemarinya dan mero­
beknya dengan pisaunya hingga sebatas lutut. Rusty
menjadi marah. ”Kenapa kaurobek celanaku? Ini celana
terakhirku. Aku tidak akan punya pakaian lagi kalau
yang ini kaurobek juga.”
Cooper mengangkat kepala, matanya tampak keras.
”Apa kau lebih suka membukanya dan membiarkan
Reuben melihat celana dalammu yang minim itu?”
Rusty hendak menjawab, tapi tidak tahu mesti mem­
balas apa, jadi ia diam saja sementara Cooper membuka
balutan kakinya dan memeriksa luka jahitannya. Tam­
paknya luka itu tidak terkena akibat perjalanan tadi.
Hanya saja Rusty merasa kesakitan lagi. Tak ada gunanya
berbohong tentang hal itu pada Cooper, karena ia me­
ngernyit kesakitan ketika lelaki itu selesai membebatnya
lagi.
”Sakit?”
”Sedikit,” ia mengakui.

100

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Jangan sampai tertindih untuk hari ini. Duduklah di
sini, atau berbaring di kerangka yang akan kubuat.”

”Kerangka? Kenapa dengan ranjang itu?” Rusty me­
noleh ke arah dua tempat tidur di tembok seberang.
”Menurutmu mereka tidak akan menawarkan aku un­
tuk tidur di situ?”

Cooper tertawa. ”Aku yakin Reuben akan senang
sekali mengajakmu tidur bersamanya di tempat tidur­
nya. Tapi kalau tidak mau terkena kutu, kusarankan
kau menjauhi tempat tidur itu.”

Rusty menyentakkan kakinya. Kenapa Cooper tidak
bisa bersikap ramah? Mereka bersama­sama karena
terpaksa, tapi yang jelas mereka bukan sahabat.

101

www.facebook.com/indonesiapustaka 5

RASANYA lama sekali menunggu saat tidur. Menje­
lang malam tadi mereka kembali makan bersama kedua
Gawrylow. Dan lama setelah selesai makan mereka
masih terus membahas tentang perjalanan sulit menuju
Sungai Mackenzie.

”Tidak ada jalan setapak untuk ke sana. Semuanya
medan naik­turun, jadi perlu waktu seharian,” kata
Quinn.

”Kita berangkat begitu hari terang.” Selama itu
Cooper sama sekali tidak membiarkan Rusty lepas dari
pengawasannya. Sepanjang sore ia mengikuti gerakan
Rusty dengan mata elangnya. Sekarang, sementara
Rusty duduk di lantai di bawahnya dan menumpangkan
satu lengannya di paha Rusty. ”Tidak perlu membawa
banyak barang. Aku tidak berniat mengangkut semua­
nya. Hanya yang benar­benar penting saja.”

”bagaimana dengan perempuan itu?” tanya Quinn.
Rusty merasa otot­otot Cooper berdenyut di paha­
nya. ”Memang kenapa?”

102

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Dia akan menghambat perjalanan kita.”
”Aku akan menemaninya di sini, Pa,” Reuben mena­
warkan dengan gagah.
”Tidak.” Jawaban Cooper terdengar tajam. ”Dia ikut.
Aku tidak peduli kita mesti berjalan lambat.”
”bagi kami tidak masalah,” kata Quinn sambil angkat
bahu dengan gayanya yang khas. ”Tapi kukira kau ingin
cepat­cepat mengontak teman­teman dan keluargamu.
Mereka pasti cemas memikirkanmu.”
Rusty menatap ke kepala Cooper di bawahnya.
”Cooper?” Cooper menengadah memandangnya. ”Aku
tidak apa­apa ditinggal sendirian di sini. Kalau kau bisa
berjalan lebih cepat tanpa aku, kenapa tidak? Kau bisa
menghubungi ayahku begitu kau menemukan telepon.
Dia akan mengirim orang untuk menjemputku. Semua­
nya bisa beres besok malam.”
Cooper memperhatikan ekspresi penuh harap di
wajah Rusty. Gadis ini pasti mau ikut dalam perjalanan
berat tersebut kalau Cooper memaksanya ikut. Tapi
tidak akan mudah baginya berjalan dua puluh kilometer
menembus hutan, meski seandainya kakinya tidak luka.
Ia akan sering menghambat mereka, dan kemungkinan
mereka akan terpaksa berkemah di hutan selama sema­
lam.
Tapi Cooper juga tidak senang meninggalkan Rusty.
Tak peduli betapa tabahnya ia, Rusty tidak akan bisa
melindungi dirinya sendiri dengan efektif. Dalam ling­
kungan ini ia benar­benar tak berdaya, seperti seekor
kupu­kupu. Cooper bukannya ingin bersikap sentimen­
tal. Selama ini Rusty sudah berhasil melewati berbagai

103

www.facebook.com/indonesiapustaka musibah, dan ia tak ingin terjadi apa­apa dengan gadis
itu pada saat kemungkinan mendapat pertolongan su­
dah terbuka.

Cooper melingkarkan tangannya di lutut Rusty de­
ngan protektif. ”Kita tunggu saja dulu. Lihat keadaan
besok pagi.”

beberapa jam berikutnya merangkak lamban dalam
kesunyian. Rusty bertanya­tanya, bagaimana cara kedua
Gawrylow itu mempertahankan kewarasan mereka. Tak
ada yang bisa dilakukan di sini. Tak ada yang bisa diba­
ca, didengarkan, atau dilihat—kecuali saling tatap di
antara mereka. Ketika acara saling tatap itu mulai mem­
bosankan, mereka sama­sama memandang ke arah
lampu minyak tanah yang lebih banyak menghasilkan
asap hitam berbau tak sedap daripada cahaya.

Mestinya kedua pertapa ini menghujani mereka de­
ngan pertanyaan tentang keadaan dunia di luar sana,
tapi kedua Gawrylow itu sama sekali tidak menunjuk­
kan minat terhadap apa pun yang ada di luar dunia
mereka.

Karena merasa tubuhnya kotor dan berdebu, dengan
malu­malu Rusty meminta semangkuk air. Reuben
bangkit berdiri dan mengambilkan air untuknya, lalu
menyerahkannya dengan canggung. Celana Rusty ter­
kena tumpahan air sedikit, sebelum pemuda itu berhasil
meletakkan mangkuk tersebut dengan benar.

Rusty menggulung lengan sweternya hingga ke siku,
lalu mencuci wajah dan tangannya dengan sabun ba­
tangan yang diizinkan Cooper untuk dibawanya. Ingin
sekali ia berlama­lama menikmati rasa sejuk air yang

104

www.facebook.com/indonesiapustaka diusapkan di wajahnya, namun batal karena ada tiga
pasang mata mengamatinya. Ketika Cooper menyodor­
kan salah satu kausnya sendiri kepadanya, Rusty mene­
rimanya dengan enggan dan mengeringkan wajahnya.

Kemudian Rusty mengambil sikat rambutnya dan
mulai menyisir. Rambutnya bukan hanya sangat kotor,
tapi juga lengket dan kusut. baru saja ia berhasil mera­
pikan kekusutannya sedikit, tahu­tahu Cooper menyen­
takkan sikat itu dari tangannya dan berkata dengan te­
gas, ”Sudah cukup!”

Rusty berbalik ke arah Cooper, hendak memprotes.
Tapi niatnya urung karena melihat wajah keras lelaki
itu. Sepanjang hari ini sikap Cooper aneh sekali—lebih
aneh daripada biasa. Rusty ingin bertanya, ada apa de­
ngannya, dan kenapa ia begitu cepat marah. Tapi rasa­
nya sekarang bukan waktu yang tepat untuk berdebat.

Namun, Rusty menunjukkan kekesalannya dengan
merampas kembali sikat rambut itu dari tangan Cooper
dan memasukkannya ke atas kosmetiknya. barang­
barang ini merupakan satu­satunya unsur yang mengi­
ngatkannya bahwa di dunia luar sana masih ada yang
namanya air panas, parfum, mandi busa, dan losion
tangan.

Akhirnya semua beranjak untuk tidur. Rusty tidur
bersama Cooper, seperti halnya dua malam sebelumnya.
Ia berbaring miring menghadap perapian, kakinya yang
luka berada di atas. Di bawahnya adalah kerangka yang
dibuat Cooper dengan menggunakan bulu binatang
yang mereka bawa. Quinn menawarkan tempat tidur­
nya, tapi dengan taktis Cooper menolaknya.

105

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper tidak memeluk Rusty dari belakang seperti
biasanya. Lelaki itu berbaring telentang dengan tegang,
tidak pernah betul­betul santai, dan selalu waspada.

”Jangan gelisah terus,” bisik Rusty setelah sekitar
setengah jam. ”Kau kenapa?”

”Diamlah! Tidur saja!”
”Kau sendiri?”
”Tidak bisa tidur.”
”Kenapa?”
”Nanti kujelaskan, kalau kita sudah keluar dari sini.”
”Jelaskan saja sekarang.”
”Tidak bisa. Lihat saja tanda­tandanya.”
”Apa ini ada hubungannya dengan kebohonganmu
mengatakan kita sudah menikah?”
”Justru erat sekali hubungannya.”
Rusty memikirkannya sejenak. ”Kuakui, mereka me­
mang agak aneh. Tapi aku yakin mereka cuma ingin
tahu. Lagi pula, mereka sudah tidur nenyak sekarang.”
Suara dengkuran keras ayah dan anak itu mestinya su­
dah cukup untuk meyakinkan Cooper bahwa mereka
memang sudah tidur pulas.
”benar,” kata Cooper datar. ”Kau juga mesti tidur.
Selamat malam.”
Dengan kesal Rusty membalikkan tubuh. Lambat
laun ia tertidur. Rasanya baru sekejap saja ia tidur,
tahu­tahu sudah mengguncang­guncang tubuhnya agar
ia bangun. Rusty mengerang memprotes, tapi kemudian
ia ingat bahwa hari ini penderitaannya akan berakhir.
Maka ia duduk tegak.
Pondok itu masih diselimuti kegelapan total, namun

106

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty dapat melihat samar­samar sosok Cooper dan
kedua Gawrylow. Quinn sedang menjerang kopi dan
mengaduk panci daging di tungku.

Cooper berlutut di sampingnya. ”bagaimana keada­
anmu?”

”Dingin,” sahut Rusty sambil menggosok­gosok le­
ngannya. Meski tidak tidur berpelukan dengan Cooper,
panas lelaki itu membuatnya hangat sepanjang malam,
dan itu lebih ampuh daripada selimut listrik apa pun
yang pernah dicobanya.

”Maksudku kakimu.”
”Kaku, tapi tidak sesakit kemarin.”
”Kau yakin?”
”Positif.”
”bangunlah dan coba berjalan sedikit. Kita lihat ke­
adaannya.”
Cooper membantunya bangkit. Rusty mengenakan
mantelnya dan mengambil tongkatnya, lalu mereka
keluar karena ia ingin buang air kecil. Pondok itu tidak
memiliki kamar mandi di dalam.
Selesai buang air kecil, Rusty melihat matahari sudah
naik, membuat langit tampak kelabu muda. Cahaya itu
membuat parasnya tampak semakin pucat. Cooper
melihat Rusty sangat kelelahan setelah berjalan bolak­
balik dari pondok ke toilet di luar. Napas Rusty yang
terengah­engah menimbulkan uap air di sekitar kepala­
nya.
Cooper menyumpah pelan. ”Kenapa?” tanya Rusty
cemas.
”Kau tidak akan kuat, Rusty. Meski ditunggu ber­

107

www.facebook.com/indonesiapustaka hari­hari.” Sambil bertolak pinggang, Cooper melampi­
askan kekecewaannya dengan mendengus, lalu berkata,
”Mesti diapakan kau ini?”

Pertanyaan itu tidak diperlunak dengan nada lembut
atau kasihan. Suaranya menyiratkan bahwa ia lebih
suka tidak dipusingkan sama sekali oleh gadis itu.

”Maaf aku banyak menyusahkanmu, Mr. Landry.
Kenapa aku tidak kaujadikan umpan beruang saja?
Dengan begitu, kau bisa berlari­lari bebas ke sungai
sialan itu.”

Cooper melangkah dan mendekatkan wajahnya ke
wajah Rusty. ”Dengar, Non, kelihatannya kau terlalu
lugu untuk mengerti. banyak yang dipertaruhkan di
sini, daripada sekadar urusan mencapai sungai itu.”

”bagiku tidak,” sahut Rusty ketus. ”Kalaupun kau
mendadak punya sayap dan bisa terbang ke sana, itu
belum cukup cepat untukku. Aku ingin keluar dari sini,
lepas darimu, dan kembali ke rumahku.”

bibir lelaki itu mengatup ketat dan menghilang di ba­
wah kumisnya. ”baiklah, kalau begitu.” Ia berbalik dan
melangkah ke arah pondok dengan marah. ”Aku bisa le­
bih cepat sampai ke sana tanpa kau. Kau di sini saja.”

”baik!” Rusty balas berteriak.
Lalu dengan keras kepala itu berjuang untuk mena­
paki jalan menanjak ke arah pondok. Ketika ia tiba di
sana, ketiga lelaki itu sedang terlibat perdebatan. Pintu
dibiarkan terbuka sedikit oleh Cooper, entah karena
tadi terburu­buru atau karena marah. Rusty masuk
dengan berjalan miring dan mendorong pintu sedikit
dengan sikunya.

108

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper sedang berkata, ”Yang benar saja, Gawrylow.
Reuben dua puluh tahun lebih muda daripada kau. Aku
ingin bergerak cepat. Dia yang pergi bersamaku. Kau
tinggal bersama... istriku. Aku tidak mau dia sendirian
di sini.”

”Tapi, Pa—” rengek Reuben.
”Dia benar, Reuben. Kau bisa berjalan lebih cepat
daripada aku. Kalau beruntung, kalian bisa mencapai
sungai itu pada tengah hari.”
Reuben sama sekali tidak senang dengan pengaturan
ini. Ia melontarkan pandangan lapar sekali lagi pada
Rusty, lalu berjalan keluar sambil menggerutu. Cooper
sendiri tampaknya tidak terlalu senang. Ia menarik
Rusty ke sisinya dan memberikan pistol isyarat sambil
menjelaskan cara penggunaannya.
”Kira­kira kau bisa memakainya?”
”Aku bukan orang tolol.”
Cooper tampaknya ingin mendebat, tapi lalu mengu­
rungkannya. ”Kalau mendengar deru pesawat terbang,
keluarlah secepat mungkin dan tembakkan pistol itu ke
atas.”
”Kenapa bukan kau saja yang membawanya?”
Selama ini pistol tersebut tidak pernah jauh dari
jangkauan Cooper, sejak mereka meninggalkan bangkai
pesawat. ”Sebab atap pondok ini lebih mudah terlihat
daripada dua orang yang berjalan kaki. Pegang ini juga.”
Sebelum Rusty mengerti apa yang dimaksudnya,
Cooper sudah menyelipkan pisau berburu berikut sa­
rungnya ke balik celana Rusty. Sarung kulit yang halus
itu terasa dingin di perut Rusty. Ia terkesiap kaget.

109

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper tersenyum melihat reaksinya. ”Dengan begitu,
kau akan selalu ingat di mana pisau itu berada.”

”Kenapa aku mesti ingat?”
Lama lelaki itu memandanginya. ”Mudah­mudahan
kau tidak sampai perlu tahu sebabnya.”
Rusty membalas tatapan Cooper. baru saat ini ia
menyadari bahwa ia tidak senang ditinggalkan sendiri.
Ia sudah berusaha tampil tegar, namun menempuh ja­
rak sekian kilometer di hutan belantara dengan mema­
kai tongkat penyangga rasanya sungguh berat. Di satu
pihak, ia senang Cooper memutuskan pergi tanpa diri­
nya. Tapi, setelah lelaki ini benar­benar akan pergi,
Rusty ingin memeluknya dan menahannya agar tidak
pergi saja.
Tapi tentu saja itu tidak dilakukannya. Sejauh ini
pun Cooper tidak terlalu menaruh respek padanya. Di
mata lelaki itu ia hanyalah seorang gadis kota yang kaya
dan manja. Memang benar juga, sebab saat ini Rusty
sangat takut membayangkan jam­jam mesti dilaluinya
sendirian, sampai Cooper kembali.
Cooper bisa membaca pikirannya. Lelaki itu mem­
buang muka dan menyumpah tak sabar.
”Cooper!”
Ia membalikkan tubuh kembali. ”Apa?”
”Ha...hati­hati.”
Sekonyong­konyong Rusty sudah berada dalam pe­
lukannya dan mulut lelaki itu melumat bibirnya, mem­
berikan ciuman membara yang membakar relung­relung
jiwa Rusty. Rusty sangat terkejut, hingga tersandar le­
mas di dada Cooper. Lelaki itu mempererat pelukannya

110

www.facebook.com/indonesiapustaka dan menariknya begitu dekat, mengangkatnya hingga
kaki Rusty tergantung­gantung beberapa senti di atas
sepatu bot Cooper. Rusty berusaha mengatur kese­
imbangannya dengan mencengkeram bagian depan
mantel Cooper.

bibir lelaki itu masih terus melumat bibirnya. Keras
dan posesif. Namun lidahnya terasa lambat dan hangat,
memenuhi mulut Rusty, membelai dan menjelajahinya.
Gairah yang sudah 48 jam tertahan kini nyaris mendob­
rak kendali diri lelaki itu. Pertahanannya runtuh, tapi
ia masih tetap bisa menguasai gerakan bibirnya. Cium­
an ini sama sekali bukan ciuman manis yang romantis,
melainkan ciuman penuh gairah dan panas. Membakar.
Dan egois.

Dengan limbung Rusty mengalungkan lengannya di
leher lelaki itu dan menengadahkan kepala agar Cooper
bisa lebih leluasa. Kulitnya tergesek oleh janggut pendek
lelaki itu, tapi ia tak peduli. Kumis lelaki itu terasa sa­
ngat lembut menggelitik dan menggodanya.

Namun mendadak Cooper menghentikan ciuman­
nya, meninggalkan Rusty dengan bibir masih membuka,
menginginkan ciuman lebih lanjut. ”Aku akan kembali
secepatnya. Sampai nanti, Sayang.”

Sayang? Sayang?
Cooper melepaskan pelukannya dan berbalik ke arah
pintu. Pada saat itulah Rusty baru melihat Quinn
Gawrylow duduk di depan meja, sedang asyik mengu­
nyah tembakau sambil mengamati mereka dengan
tatapan tajam dan diam seekor macan kumbang.
Seketika Rusty merasa kecewa. Rupanya Cooper

111

www.facebook.com/indonesiapustaka sengaja menciumnya agar lelaki tua itu melihat, bukan
karena benar­benar ingin menciumnya.

Dengan sangat marah Rusty menatap punggung le­
laki itu ketika ia keluar. Pintu menutup di belakangnya.
Pergilah, pikir Rusty. beraninya dia—

Mendadak ia menyadari bahwa mata lelaki tua itu
masih terarah padanya. Maka ia pura­pura tersenyum
kecil, sebagaimana layaknya seorang istri yang suaminya
baru saja pergi. ”Menurut Anda dia akan baik­baik
saja?”

”Reuben tahu apa yang mesti dilakukan. Dia akan
menjaga Mr. Landry.” Quinn menunjuk ke arah kerang­
ka tidur yang masih tergeletak di depan perapian. ”Ma­
sih pagi sekali. Kenapa kau tidak tidur saja lagi?”

”Tidak, aku... eh....” Rusty berdeham dengan suara
keras. ”Aku terlalu tegang untuk tidur. Aku akan duduk
saja di sini sebentar.”

”Mau kopi?”
”Terima kasih.”
Sebenarnya ia tidak ingin minum kopi, tapi itu bisa
membantunya melewatkan waktu. Diletakkannya tong­
katnya, serta pistol isyarat itu, di depan perapian, masih
dalam jangkauan tangannya. Lalu ia duduk. Sarung
pisau di balik pakaiannya menusut perutnya. Kenapa
mata pisau itu tidak menembus tubuhnya ketika
Cooper menariknya mendekat?
Hatinya berdebar­debar teringat peristiwa tersebut.
Tadi bukan hanya kerasnya pisau itu yang ia rasakan di
perut bagian bawahnya. Cooper mungkin senang sekali
bisa menghinanya dengan cara demikian.

112

www.facebook.com/indonesiapustaka Merasa kesal, Rusty dengan sengaja mencabut pisau
itu dari balik celananya dang meletakkannya di depan
perapian. Setelah menerima cangkir berisi kopi yang
panas mengepul dari Quinn, ia duduk menunggu ber­
lalunya hari paling panjang dalam hidupnya ini.

Cooper memperkirakan mereka baru berjalan sekitar
satu kilometer ketika Reuben mulai berceloteh. Sebe­
narnya Cooper sanggup menempuh jarak dua puluh
kilometer yang mesti mereka lalui tanpa berbicara sepa­
tah kata pun. Tapi dengan mengobrol mungkin waktu
jadi terasa lebih cepat berlalu dan ia bisa mengalihkan
pikirannya dari Rusty.

”Kenapa kau tidak punya anak?” tanya Reuben pada­
nya.

Insting Cooper langsung bekerja. Semua indranya
bergerak waspada. Kalau ada yang tidak beres, tengkuk­
nya selalu terasa nyeri, dan ini masih dirasakannya
hingga saat tersebut. Sejak mendengar Rusty menjerit
dan mendapati kedua Gawrylow itu sedanga berdiri di
hadapannya, Cooper sudah merasa curiga pada kedua
orang itu. Mungkin saja kecurigaannya tidak beralasan.
Siapa tahu mereka orang baik­baik. Tapi ia tidak mau
mengambil risiko. Sebelum Rusty bisa diserahkannya
ke tangan yang berwajib dengan selamat, ia akan tetap
waspada terhadap kedua pertapa ini. Kalau mereka bisa
dipercaya, maka selamanya ia akan sangat berterima
kasih pada mereka. Tapi sebelumnya—

”Hei!” desak Reuben. ”Kenapa kau—”

113

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku mendengarmu.” Cooper berjalan di belakang
Reuben. Ia tidak ingin berjalan terlalu jauh atau terlalu
dekat dengan orang itu. ”Rusty mempunyai karier.
Kami berdua orang sibuk. Tapi nanti kami akan punya
anak juga.”

Ia berharap jawaban itu bisa membungkam Reuben.
Cooper selalu menghindari berbicara tentang keluarga
dan anak. Dan saat ini ia tak ingin bicara sedikit pun.
Ia ingin menumpahkan semua energinya untuk mene­
mukan sungai itu secepat mungkin.

”Kalau aku sudah lima tahu kawin dengannya, saat
ini pasti kami sudah punya lima anak,” Reuben mem­
bual seenaknya.

”Tapi kau bukan suaminya.”
”Mungkin kau tidak mahir melakukannya.”
”Apa?”
Reuben menoleh dan mengedipkan mata dengan li­
cik. ”Kau tahu kan? begituan.”
Ucapan itu membuat Cooper merinding jijik. Ia bu­
kannya tersinggung. Ia sendiri sering menggunakan is­
tilah yang lebih kasar setiap harinya. Hanya saja ia tidak
senang ucapan semacam itu dikaitkan dengan Rusty.
Sama sekali tidak teringat olehnya bahwa semalam ia
sendiri mengucapkan kata yang sama. Saat ini ia hanya
berharap tidak perlu sampai menghajar Reuben. Tapi
kalau orang itu mengucapkan hal semacam itu lagi ten­
tang Rusty, apa boleh buat.
”Kalau dia itu istriku—”
”Tapi dia bukan istrimu.” Suara Cooper terdengar
tajam bagai lecutan cambuk.

114

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Lihat saja nanti!”
Sambil berkata demikian, Reuben berbalik dengan
menyeringai seperti orang sinting, dan menodongkan
senapannya pada dada Cooper. Sepanjang pagi ini
Cooper sudah bersiap­siap menghadapi hal semacam
itu. Ia langsung mengangkat senapannya pula, tapi
Reuben lebih dulu menembak.

”Suara apa itu?” Rusty terlompat. Rupanya tadi ia ter­
kantuk­kantuk di kursinya.

Quinn masih tetap duduk di depan meja, seperti
tadi. ”Hmm?”

”Rasanya aku mendengar sesuatu.”
”Aku tidak dengar apa­apa.”
”Sungguh—”
”Suara kayu api berderak di perapian. Itu saja.”
”Oh.” Kesal dengan kegugupannya, Rusty kembali
duduk tenang di kursi. ”Aku pasti tertidur tadi. Sudah
berapa lama mereka pergi?”
”belum lama.”
Quinn bangkit dan berjalan ke arah Rusty, lalu berlu­
tut di depan perapian untuk menambahkan kayu api.
Kehangatan yang menyebar itu meresap ke kulit Rusty
dan matanya mulai terpejam kembali. Meski reyot dan
kotor, setidaknya pondok ini memberikan tempat ber­
teduh dan perlindungan untuknya dari angin barat yang
dingin. Ia merasa bersyukur karenanya. Setelah berhari­
hari—
Mata Rusty langsung terbuka begitu merasakan sen­

115

www.facebook.com/indonesiapustaka tuhan lelaki tua itu. Quinn masih berlutut di hadapan­
nya, tangannya melingkari mata kaki Rusty. ”Kupikir
mungkin kau ingin menyangga kakimu lagi,” katanya.

Suaranya sangat lembut, tapi matanya yang menatap
dari rongga cekung itu seperti mata setan. Rasa takut
merambati diri Rusty, tapi akal sehat menyuruhnya
untuk tidak memperlihatkan rasa takut itu.

”Tidak, terima kasih,” sahutnya pelan. ”Kurasa seba­
iknya aku jalan­jalan sedikit untuk melatih kakiku.”

Ia hendak mengambil tongkat, tapi Quinn lebih dulu
menyambarnya. ”Mari kubantu.”

Sebelum Rusty sempat memprotes, lelaki tua itu
sudah mencengkeram lengannya dan menariknya bang­
kit dari kursi. Rusty kehilangan keseimbangan dan tu­
buhnya terdorong membentur tubuh Quinn. Ia mundur
seketika, tapi tidak bisa bergerak terlalu jauh, karena
pinggangnya dicengkeram oleh Quinn dan didorong ke
depan.

”Tidak!”
”Aku cuma ingin membantu,” kata Quinn dengan
tenang; ia jelas­jelas menikmati ketakutan Rusty.
”Kalau begitu, lepaskan aku, Mr. Gawrylow. Aku
bisa berdiri sendiri.”
”Tak mungkin tanpa bantuanku. Aku akan menggan­
tikan suamimu. Dia menyuruhku menjagamu, bukan?”
Ia menyapukan tangannya di pinggul Rusty. Tubuh
Rusty menjadi dingin oleh rasa ngeri.
”Jangan menyentuhku seperti itu.” Rusty mencoba
meliuk menjauh, tapi tangan lelaki tua itu seperti ada di
mana­mana. ”Jauhkan tanganmu!”

116

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Memangnya kenapa dengan tanganku?” Mendadak
ekspresi Quinn berubah jahat. ”Apa tanganku kurang
bersih di matamu?”

”Ya... maksudku... Cooper akan—”
”Cooper tidak akan berbuat apa­apa,” kata Quinn
dengan senyum jahat. ”Dan mulai saat ini aku akan
menyentuhmu sesukaku.”
Ia menyentakkan Rusty ke arahnya. Kali ini tujuan­
nya sudah jelas. Rusty mengumpulkan seluruh kekuat­
annya untuk melepaskan diri. Ia menekankan bagian
bawah tangannya ke bahu Quinn dan melengkungkan
punggung, berusaha mendorong tubuhnya menjauh,
sekaligus menghindari ciuman lelaki tua itu.
Tongkat penyangganya terlepas dan jatuh ke tanah.
Ia mesti menopang tubuhnya dengan kakinya yang sa­
kit. bekas lukanya terasa sangat nyeri, dan ia menjerit.
”Silakan berteriak. Aku tidak keberatan.” Napas le­
laki itu terasa panas dan busuk di wajahnya. Rusty
membuang muka, tapi Quinn memegangi rahangnya
dengan kuat dan memutarnya kembali. Tepat sebelum
mulut lelaki itu menyentuhnya, terdengar suara lang­
kah­langkah berat di luar.
”Tolong!” jerit Rusty.
”Reuben?” teriak lelaki itua itu. ”Cepat kemari!”
Quinn menoleh ke arah pintu, tapi ternyata yang
menyerbu masuk bukanlah Reuben, melainkan Cooper.
Wajahnya yang berkeringat menampakkan ekspresi
benci dan amarah yang amat sangat. Rambutnya kotor
oleh ranting­ranting dan dedaunan. Di pipi dan tangan­
nya tampak bekas­bekas goresan berdarah. Kemejanya

117

www.facebook.com/indonesiapustaka juga bernoda darah. belum pernah Rusty merasa sese­
nang ini melihat Cooper.

Dengan kaki terpentang Cooper membentak, ”Lepas­
kan dia, binatang busuk!”

Rusty tersungkur ke tanah ketika Quinn melepas­
kannya. Lelaki tua itu memutar tubuh sambil meraih ke
balik punggungnya. Sebelum Rusty menyadari sepenuh­
nya apa yang terjadi, terdengar suara bUK keras. Lalu
ia melihat gagang pisau Cooper menonjol dari tengah
dada Quinn. Mata pisaunya tertancap dalam di antara
tulang rusuk lelaki tua itu.

Wajah Quinn menampakkan ekspresi terkejut. Ia
meraba­raba ke arah gagang pisau itu, lalu jemarinya
mengatup memeganginya, sementara ia jatuh berlutut.
Kemudian ia tertelungkup ke tanah dan tidak bergerak­
gerak lagi.

Rusty duduk meringkuk, memeluk tubuhnya sendiri.
Ditutupinya mulutnya dengan dua tangan, sambil
mengamati sosok yang diam itu dengan mata terbelalak.
Napasnya tersumbat di paru­paru.

Cooper menerjang semua perabot yang menghalangi­
nya dan bergegas menghampiri Rusty. ”Kau baik­baik
saja?” Ia meletakkan tangannya di bahu Rusty. Rusty
mengerut ketakutan.

Cooper membeku, matanya jadi sekeras batu ketika
ia berkata, ”Tak perlu berterima kasih padaku.”

Perlahan­lahan Rusty menurunkan tangannya dan
menarik napas. Ia menengadah memandang Cooper,
bibirnya pucat ketakutan. ”Kau membunuhnya.” Kata­
kata itu keluar tanpa suara.

118

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Karena dia ingin membunuhku, bodoh. Lihat!”
Cooper menunjuk ke arah punggung lelaki yang sudah
mati itu. Ada sepucuk pistol kecil diselipkan di bela­
kang celananya. ”Apa kau belum mengerti juga?” bentak
Cooper. ”Mereka ingin membunuhku dan menjadikan­
mu piala bergilir.”

Rusty merinding jijik. ”Tidak!”
”Oh, yeah,” kata Cooper sambil mengangguk. De­
ngan kesal ia berdiri dan menggulingkan mayat Quinn.
Rusty memalingkan kepala dan memejamkan mata ra­
pat­rapat. Terdengar olehnya suara tubuh diseret di
lantai, ke luar pintu. Sepatu bot Quinn menimbulkan
bunyi berdentum­dentum ketika Cooper menariknya
menuruni undakan.
Rusty tidak tahu berapa lama ia meringkuk dengan
posisi demikian di lantai, tapi ia masih belum bergerak
ketika Cooper kembali. Lelaki itu berdiri menjulang di
hadapannya. ”Apa dia menyakitimu?”
Dengan sedih Rusty menggeleng.
”Jawab, sialan! Apa dia menyakitimu?”
Rusty mengangkat kepala dan memelototinya. ”Ti-
dak!”
”Dia bermaksud memerkosamu. Kau sadar akan hal
itu, bukan? Atau matamu masih tetap tertutup asap?”
Air mata memenuhi mata Rusty. baru sekarang ia
bisa memberikan reaksi. ”Kenapa kau ada di sini? Apa
yang kaulakukan? Di mana Reuben? Apa yang akan
kaukatakan padanya kalau dia kembali nanti?”
”Reuben tidak akan kembali.”
Rusty menggigit bibir bawahnya dan mengatupkan

119

www.facebook.com/indonesiapustaka matanya. Air matanya mengalir ke pipi. ”Kau mem­
bunuhnya juga, bukan? Darah di kemejamu itu adalah
darahnya?”

”Ya, memang!” desis Cooper sambil membungkuk di
atas Rusty. ”Aku terpaksa membunuhnya, untuk mem­
bela diri. Dia membawaku ke hutan sekadar untuk
memisahkan kita, lalu dia menodongkan pistol padaku
dengan maksud membunuhku dan menjadikanmu mi­
liknya.”

Rusty terbelalak tak percaya dan menggeleng­geleng,
hingga Cooper menjadi marah. ”Tidak usah pura­pura
terkejut! Kau sendiri yang sengaja membuat mereka
bergairah dengan ulahmu. Kau tahu itu!”

”Aku? Mana mungkin? Apa yang kulakukan?”
”Dengan menyikat rambutmu!”
”Menyikat—”
”Dengan menjadi dirimu! Dengan penampilanmu
itu!”
”Jangan membentak­bentak aku!” Rusty terisak. ”Aku
tidak melakukan apa­apa.”
”Kecuali membuatku terpaksa membunuh dua
orang!” teriak Cooper. ”Pikirkan itu sementara aku
mengubur mereka!”
Ia keluar dengan marah. Api di perapian mati dan
pondok itu menjadi dingin, tapi Rusty tidak peduli.

Rusty masih duduk menangis di lantai ketika Cooper
kembali. Ia merasa letih. Seluruh tubuhnya sakit karena
tidur di lantai, berjalan memakai tongkat, dan karena

120

www.facebook.com/indonesiapustaka dicengkeram oleh Quinn Gawrylow yang tadi mencoba
meraba­rabanya.

Ia ingin makan. Dengan senang hati ia rela menukar­
kan Maserati­nya dengan segelas susu. Pakaiannya su­
dah koyak­koyak karena tersangkut cabang­cabang pe­
pohonan atau dirobek­robek oleh lelaki barbar di
hadapannya ini. Mantel bulu yang sangat disayanginya
telah digunakan sebagai alas tandu.

Dan ia telah melihat begitu banyak orang tewas.
Mula­mula lima orang dalam kecelakaan pesawat,
lalu dua orang lain yang mati di tangan lelaki yang kini
duduk di sampingnya ini. Dengan kasar Cooper meng­
angkat kepala Rusty dengan menaruh jemarinya yang
kapalan di bawah dagu gadis itu.
”bangun!” perintahnya. ”Keringkan wajahmu. Tidak
ada gunanya menangis seperti anak kecil sepanjang hari.”
”Persetan denganmu!” bentak Rusty sambil menyen­
takkan dagunya dari pegangan lelaki itu.
Cooper sangat marah. bibirnya nyaris tidak bergerak
ketika ia berkata, ”Dengar, kalau kau senang bersama
Reuben dan ayahnya, mestinya kau memberitahu aku.
Maaf kalau aku merusak kesenanganmu.”
”Kau bangsat!”
”Dengan senang hati aku bersedia meninggalkanmu
di surga ini dan pergi mencari sungai itu sendirian. Tapi
kupikir aku perlu memberitahumu bahwa Reuben
membayangkan punya anak banyak darimu. Tentu saja
kau tidak akan tahu pasti yang kaulahirkan itu anaknya
atau anak ayahnya.”
”Diam!” Rusty mengangkat tangan untuk menampar
Cooper.

121

www.facebook.com/indonesiapustaka Lelaki itu menangkap lengannya dan beberapa saat
mereka saling pandang dengan tegang. Akhirnya Cooper
melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan
Rusty. Sambil menggeram marah lelaki itu bangkit ber­
diri dan menendang sebuah kursi sekeras mungkin ke
seberang ruangan.

”Pilihannya hanya satu. Aku atau mereka,” katanya
dengan suara bergetar oleh amarah. ”Reuben lebih dulu
menembakku. Aku beruntung bisa menepiskan sena­
pannya pada waktunya. Aku tidak punya pilihan lain.”

”Kau tidak perlu membunuh mereka.”
”Tidak perlu?”
Rusty tidak bisa menawarkan alternatif lain, tapi ia
yakin kalau ia berpikir cukup lama, ia bisa memberikan
penyelesaiannya. Amarahnya surut sejenak dan ia me­
nunduk. ”Kenapa kau tidak berjalan terus?”
Mata Cooper menyipit menatap gadis itu. ”Jangan
kira kemungkinan itu tidak terpikir olehku.”
”Oh,” kata Rusty ketus. ”Aku tak sabar ingin cepat­
cepat lepas darimu.”
”Aku juga merasakan hal yang sama. Percayalah.
Tapi untuk sementara kita mesti saling toleransi. Per­
tama­tama, kita harus membersihkan tempat ini. Aku
tidak mau bermalam di kandang jorok ini.”
Rusty ternganga tak percaya. Perlahan­lahan mata­
nya menyapu bagian dalam pondok yang kotor itu.
”Membersihkan tempat itu? Itu katamu tadi?”
”Yeah. Sebaiknya kita mulai bekerja. Sudah semakin
siang.”
Cooper menegakkan kursi yang tadi ditendangnya dan

122

www.facebook.com/indonesiapustaka beranjak ke tumpukan selimut kotor tempat Reuben ti­
dur semalam. Rusty mulai tertawa geli bercampur histe­
ris.

”Kau tidak serius, bukan?”
”Lihat saja!”
”Kita bermalam di sini?”
”Ya, sampai ada yang datang menyelamatkan kita.”
Rusty bangkit berdiri dan bersandar pada tongkat­
nya, memperhatikan Cooper mengangkat kedua selimut
itu dan menumpuknya di tengah lantai. ”bagaimana
dengan sungai itu?”
”Mungkin itu cuma tipuan.”
”Tapi Sungai Mackenzie benar­benar ada, Cooper.”
”Tapi ke mana arahnya dari sini?”
”Kau bisa berjalan terus menurut arah yang mereka
katakan, sampai menemukannya.”
”Memang. Tapi bisa saja aku tersesat. Atau terluka
dan terkapar di tengah jalan. Kalau kau ikut denganku,
mungkin kita tidak akan bisa mencapai sungai itu sebe­
lum salju lebat turun. berarti kemungkinan kita akan
mati kedinginan. Kalau kau tetap di sini dan sesuatu
menimpaku, kau akan mati kelaparan sebelum musim
dingin berakhir. Aku bahkan tidak yakin arah yang di­
tunjukkan Reuben padaku adalah arah yang benar. Ada
359 pilihan arah lain dari pondok ini, dan untuk meme­
riksa semuanya bisa makan waktu lebih dari setahun.”
Sambil berkacak pinggang lelaki itu menatap Rusty.
”Dari semua itu, tidak ada alternatif yang bagus menu­
rutku. Sebaliknya, kalau kita membersihkan pondok ini,
kita bisa bertahan. Memang tempat ini bukan Hotel

123

www.facebook.com/indonesiapustaka beverly Hills, tapi setidaknya bisa memberi perlindung­
an, dan di sini selalu ada persediaan air.”

Rusty tidak senang dengan kesinisan lelaki itu, dan
ia tidak menyembunyikannya. Lelaki itu meremehkan­
nya, seolah­olah ia tidak akan bisa memahami semua ini
kalau tidak diberi penjelasan. Dan Rusty merasa tertan­
tang dengan ucapannya. Ia memang cengeng tadi pagi,
tapi itu tidak akan terjadi lagi. Sambil menggulung le­
ngan sweternya ia berkata, ”Aku mesti berbuat apa?”

Cooper memberi isyarat ke belakang dengan kepala­
nya. ”Mulailah dengan tungku itu.”

Tanpa banyak bicara lagi Cooper mengangkat kasur­
kasur kotor tersebut dan membawanya ke luar.

Rusty menggosok tungku besi yang hitam itu dengan
mengerahkan seluruh tenaganya. Pekerjaan itu sangat
berat, apalagi ia mesti bertumpu pada satu tongkatnya.
Selesai dengan tungku itu, ia membersihkan wastafel,
lalu jendela, lalu semua perabot di sana.

Setelah merebus selimut­selimut itu dalam belanga
di luar dan menggantungnya supaya kering—atau mem­
beku, kalau temperatur semakin turun—Cooper masuk
dan menggosok batu­batu perapian. Ia menemukan
sebuah koloni serangga mati di tumpukan kayu. Jelas
mereka mati tua, sebab perapian itu nyata­nyata tak
pernah di sapu. Dibukanya pintu dan jendela­jendela
untuk memasukkan udara segar, lalu ia menumpukkan
kayu api di sebelah selatan pondok, untuk mencegahnya
dari terpaan cuaca.

Rusty tidak bisa menyapu lantai, jadi Cooper yang
melakukannya. Kemudian tanpa segan­segan Rusty

124

www.facebook.com/indonesiapustaka bekerja keras menggosok lantai itu. Kuku­kukunya yang
terawat rapi pecah satu per satu. Kalau biasanya kuku
retak sedikit saja sudah membuatnya panik, kini ia
cuma angkat bahu dan terus menggosok, dan ia merasa
puas melihat hasil kerjanya.

Cooper membawa masuk dua ekor burung yang su­
dah tidak berkepala dan bulunya sudah dicabuti, untuk
makan malam mereka. Rusty sudah memeriksa perse­
diaan makanan kedua Gawrylow dan merasa senang
menemukan cukup banyak makanan kaleng. Rupanya
mereka sudah mengadakan perjalanan rutin mereka ke
Yellowknife untuk membeli persediaan makanan musim
dingin. Rusty tidak pandai memasak, tapi tidak sulit
merebus kedua ekor burung itu dan menambahinya
dengan dua kaleng sayuran serta sedikit garam. begitu
masakan tersebut matang, aromanya membangkitkan
selera. Sesudah hari gelap, barulah Cooper masuk mem­
bawa selimut­selimut tadi.

”Sudah tidak ada kutunya?” tanya Rusty sambil ber­
balik dari tungku.

”Kurasa begitulah. Aku merebusnya. Tampaknya
belum terlalu kering, tapi kalau dibiarkan lebih lama di
luar, pasti akan membeku. Kita periksa sesudah makan
malam. Kalau belum kering, kita gantung di depan
perapian.”

Ia mencuci tangannya di wastafel yang sekarang su­
dah jauh lebih mengilap daripada sebelumnya.

Mereka duduk di depan meja yang sudah dibersih­
kan Rusty. Sambil tersenyum Cooper membuka lipatan
serbet yang dibuat Rusty dari kaus kaki, tapi tidak

125

www.facebook.com/indonesiapustaka berkomentar apa pun tentang kreativitas Rusty itu. Ia
juga tidak mengatakan apa­apa mengenai stoples berisi
daun­daun musim gugur yang diletakkan Rusty untuk
penghias di tengah meja. Ia makan dua porsi masakan
itu, tanpa komentar.

Rusty sangat kecewa. Kenapa lelaki ini tidak mau
mengucapkan sesuatu yang menyenangkan? Sedikit
pujian misalnya. bahkan anak anjing pun perlu ditepuk­
tepuk kepalanya sesekali.

Dengan muram ia membawa piring­piring kaleng
bekas makan itu ke wastafel. Ketika ia sedang memom­
pa air untuk membasahi cucian itu, Cooper melangkah
ke belakangnya. ”Kau bekerja keras hari ini.”

Suaranya lembut dan pelan dan datang tepat dari
atas kepala Rusty. Lelaki itu berdiri sangat dekat de­
ngannya, dan kedekatannya sangat menggetarkan. Ia
merasa tegang. ”Kau juga.”

”Kurasa kita layak mendapat hadiah. bagaimana?”
Perut Rusty turun­naik dengan ringannya, seperti
balon. Kenangan akan ciuman lelaki itu padanya tadi
pagi memenuhi benaknya, sementara urat­urat darah­
nya berteriak menghendaki kejadian itu terulang lagi.
Perlahan­lahan ia membalikkan tubuh dan menengadah
pada lelaki itu. Dengan napas tertahan ia bertanya,
”Apa yang kaumaksud, Cooper?”
”Mandi.”

126

www.facebook.com/indonesiapustaka 6

”MANDI?” Rusty sangat heran mendengarnya, namun
juga penuh harap.

”Ya. benar­benar mandi. Dengan air panas dan sa­
bun.” Cooper pergi ke pintu, membukanya, dan masuk
kembali dengan mendorong sebuah bak cuci yang besar.
”Aku menemukan ini di belakang pondok. Sudah ku­
bersihkan.”

belum pernah Rusty merasa sesenang ini, tidak juga
bila dibandingkan dengan saat ia membuka hadiah dari
ayahnya, yang merupakan mantel panjang dari bulu
rubah merah. Dikatupkannya kedua tangannya di ba­
wah dagu. ”Oh, Cooper, terima kasih.”

”Tidak perlu segembira itu,” sahut Cooper ketus.
”Kita bisa sejorok kedua Gawrylow itu kalau tidak
mandi. Tapi kita tidak bisa setiap hari mandi.”

Rusty tidak ingin kegembiraannya rusak karena sikap
ketus Cooper. Lelaki ini sukar didekati. Mengucapkan
terima kasih padanya pun sulit. biarlah, itu urusannya
sendiri. Tapi Cooper telah melakukan sesuatu yang

127

www.facebook.com/indonesiapustaka sangat berarti, dan Rusty telah mengucapkan terima kasih
padanya. Di luar itu, apa lagi yang bisa ia lakukan? Cooper
pasti tahu betapa berarti hal ini baginya, meski lelaki itu
bersikap ketus dan menjaga jarak.

Rusty mengisi beberapa panci dan ketel dengan air
pompa. Cooper membawa semua itu ke tungku, untuk
dipanaskan, sambil menambahkan kayu ke dalam api,
supaya nyalanya lebih besar. Kemudian ia menarik bak
tadi di lantai kayu dan meletakkannya tepat di depan
perapian. Logamnya dingin sekali, tapi sebentar saja api
sudah menghangatkannya.

Dengan penuh harap Rusty memperhatikan kesibuk­
an Cooper. Tapi kemudian ia teringat, ”bagaimana
dengan... eh...”

Tanpa ekspresi dan tanpa sepatah kata pun, Cooper
membentangkan salah satu seprai dari bahan muslin ka­
sar yang telah direbus dan diangin­anginkannya hari itu.
Langit­langit pondok tersebut dibentuk dari potongan­
potongan balok. Tampaknya kedua Gawrylow menggan­
tungkan persediaan daging mereka di situ, sebab ada be­
berapa kait logam dipasang di balok­balok tersebut.

Cooper berdiri di atas kursi dan mencantelkan salah
satu ujung kain di kait yang tajam itu. Dengan beberapa
kali memindahkan kursi, ia berhasil membuat semacam
tirai pemisah dari seprai tersebut.

”Terima kasih,” kata Rusty. Ia senang ada tirai terse­
but, tapi ia juga melihat bahwa karena perapian terletak
di belakang tirai, cahaya api membuat bak tersebut ber­
bayang jelas. begitu pula orang yang ada di dalamnya.

Cooper pasti memperhatikan hal itu juga, sebab ia

128

www.facebook.com/indonesiapustaka memalingkan mata dari bak itu dan menyapukan ta­
ngannya dengan gugup di kaki celananya. ”Kurasa air­
mu sudah siap.”

Rusty mengumpulkan perlengkapan mandinya yang
berharga—sebatang sabun wangi, sebotol plastik kecil
sampo, dan pisau cukurnya. Ditaruhnya semua itu di
kursi di dekat bak.

Sebelumnya ia sudah memisahkan sedikit pakaian
mereka yang tersisa dan telah melipat serta menyusun
semuanya di rak yang berbeda. Setumpuk milik Cooper,
dan setumpuk lagi miliknya sendiri. Sekarang ia meng­
ambil sepasang legging yang masih baru dan sebuah tank
top dari tumpukan miliknya, lalu menyampirkannya di
punggung kursi.

Setelah semuanya siap, ia berdiri dengan canggung
sementara Cooper dengan hati­hati mengangkat panci­
panci berat berisi air panas ke seberang ruangan dan me­
nuangkannya ke dalam bak. Uap air panas mengepul­
ngepul, tapi Rusty tidak merasakannya. Sudah empat hari
ia tidak mandi. Tubuhnya terasa sangat kotor dan letih.
Apalagi di rumah biasanya ia selalu berendam air panas
selama beberapa menit setiap hari.

”Handuknya bagaimana?” tanyanya.
Cooper melemparkan sebuah handuk lusuh dan kasar
dari tumpukan selimut tadi yang dibawanya masuk. ”Aku
menemukan beberapa handuk ini digantung di luar pon­
dok. Semuanya kurebus juga. Orang­orang itu tidak
pernah memakai bahan yang lebih halus rupanya, tapi
handuk­handuk ini lebih baik, daripada tidak ada sama
sekali.”

129

www.facebook.com/indonesiapustaka Handuk itu lebih mirip amplas daripada kain, tapi
Rusty menerimanya tanpa komentar.

”Nah, sudah siap,” kata Cooper sambil menuangkan
isi ketel terakhir ke dalam bak. ”Pelan­pelan masuknya,
jangan sampai kepanasan.”

”Oke.”
Keduanya berdiri berbarengan, dibatasi oleh bak
tersebut. Mata mereka bertemu di antara uap air yang
mengepul. Udara lembap itu sudah membuat rambut
Rusty mengikal dan kulitnya bersemu merah.
Cooper cepat­cepat membalikkan tubuh dan dengan
gerakan cepat menutup tirai. Rusty mendengar langkah­
langkah berat lelaki itu di lantai yang tidak rata. Cooper
pergi keluar dan membanting pintu.
Rusty mendesah pasrah. Orang itu sulit. Mau diapa­
kan lagi? Ia tidak mau kenikmatannya mandi terganggu
dengan berbagai pikiran tentang kekurangan­kekurangan
lelaki itu. Ia tak akan membiarkan Cooper merusak kese­
nangannya, betapapun menyebalkannya sikap lelaki itu.
Karena ia masih belum mau bertumpu pada kakinya
yang sakit, sungguh sulit baginya membuka pakaian.
Setelah berhasil membuka pakaian, lebih sulit lagi un­
tuk masuk pelan­pelan ke dalam bak. Tapi akhirnya ia
bisa melakukannya dengan bertumpu pada kedua le­
ngannya sambil duduk perlahan­lahan dan menarik
kakinya yang sakit di belakang.
Ternyata rasanya lebih nikmat daripada yang ia ba­
yangkan. benar juga peringatan Cooper. Air itu panas,
tapi nikmat. bagian dasar bak yang kasar itu terasa aneh
di bokongnya. Ia mesti membiasakan diri merasakan­

130

www.facebook.com/indonesiapustaka nya. Tapi tak lama kemudian rasa tidak nyaman itu
sudah terlupakan, digantikan oleh rasa senang beren­
dam dalam air yang menenangkan.

Rusty membenamkan tubuhnya di air sedalam
mungkin dan menyandarkan kepalanya di tepi bak.
Matanya terpejam. Ia begitu nyaman, hingga tidak be­
reaksi ketika mendengar Cooper kembali ke pondok. Ia
hanya mengernyit sedikit ketika tubuhnya terkena em­
busan angin dingin sebelum Cooper menutup pintu.

Rusty mengulurkan tangannya yang basah dan meng­
ambil sabun di kursi. Ia ingin menyabuni tubuhnya
sepuas­puasnya, namun mengurungkannya. Sabun ini
mungkin mesti digunakan untuk waktu lama. Sebaiknya
dihemat. Maka ia hanya memakainya seperlunya.

Kemudian ia mencukur kakinya dengan menumpukan
tiap kaki di pinggir bak, satu per satu. Dengan hati­hati ia
mencukur bagian di dekat luka bekas jahitan Cooper.
Dengan sedih ia menyadari bahwa bekas luka ini akan
tampak sangat jelek. Tapi kemudian ia merasa malu pada
dirinya. Ia beruntung masih bisa hidup. begitu kembali
ke beverly Hills, ia akan segera minta seorang dokter be­
dah plastik menghilangkan bekas luka itu.

baru saat itulah ia menyadari bahwa Cooper terde­
ngar berisik. ”Cooper, kau sedang apa?”

”Membereskan tempat tidur,” sahut Cooper tere­
ngah­engah. ”Ranjang ini terbuat dari kayu ek. beratnya
bukan main.”

”Aku ingin cepat­cepat tidur di atasnya.”
”Jangan harap rasanya lebih nyaman daripada tidur
di tanah. Tidak ada kasurnya, hanya alas kanvas seper­

131

www.facebook.com/indonesiapustaka ti dipan. Tapi kasur pasti ada kutunya, jadi lebih baik
begini.”

Rusty meletakkan pisau cukur dan mengambil botol
samponya. Setelah menguraikan rambutnya ke depan,
ia memencet sedikit sampo. Sampo ini bahkan harus
lebih dihemat daripada sabunnya. Ia menggosokkan
sampo itu di rambutnya yang tebal, lalu menggosok
kulit kepalanya keras­keras, hingga ke ujung rambutnya.
Setelah itu dibilasnya sampo itu dengan air, lalu dipe­
rasnya sebanyak mungkin.

Sesudahnya ia kembali menyandarkan kepala dan
menggeraikan rambutnya agar cepat kering. Airnya
pasti menetes ke lantai, tapi tak apalah.

Kembali ia memejamkan mata sambil menikmati
kehangatan air, harum sabun dan sampo, dan perasaan
nikmat karena tubuhnya telah bersih kembali.

Lambat laun air mandi itu mulai dingin. Sudah waktu­
nya keluar dari bak. Apalagi ia yakin Cooper tak akan
pergi tidur sebelum ia selesai mandi. Lelaki itu pasti sa­
ngat lelah mengerjakan ini­itu sejak subuh. Rusty tidak
tahu pukul berapa sekarang. Arloji mereka sama­sama
mati dalam kecelakaan pesawat. Mereka mengira­ngira
waktu hanya berdasarkan matahari terbit dan terbenam.
Siang hari berlangsung lebih singkat, tapi hari ini terasa
lebih panjang, secara isik maupun mental.

Rusty bertumpu pada tepi­tepi bak dan berusaha
mengangkat tubuhnya. Tapi lengannya mendadak lemas
seperti mi basah. Ia terlalu lama berendam air panas,
hingga otot­ototnya melemas. beberapa kali ia mencoba,
namun sia­sia. Lengannya tidak bisa digunakan untuk

132

www.facebook.com/indonesiapustaka menopang tubuhnya. Ia berusaha mencari cara lain, tapi
tidak ada yang berhasil, apalagi karena kakinya yang
luka tidak bisa digunakan untuk bertumpu.

Karena kedinginan dan tahu bahwa hal ini tak bisa
ditunda lagi, akhirnya dengan malu­malu ia memanggil
Cooper.

”Ada apa?”
Respons yang ketus itu membuatnya takut, tapi tak
ada pilihan lain. ”Aku tidak bisa keluar.”
Setelah hening agak lama, Cooper berkata, ”Apa?”
Rusty memejamkan matanya rapat­rapat dan meng­
ulangi, ”Aku tidak bisa keluar dari bak.”
”Keluar saja dengan cara yang sama seperti saat ma­
suk.”
”Aku lemas karena air panas ini. Lenganku tidak
kuat menopang tubuhku untuk keluar.”
Lelaki itu menyumpah­nyumpah dengan berang. Ke­
tika mendengar langkah kakinya semakin mendekat,
Rusty menyilangkan kedua lengannya di depan dada.
Udara dingin mengembus punggungnya yang basah dan
telanjang ketika Cooper menyibakkan tirai. Rusty me­
mandangi perapian lekat­lekat. Ia bisa merasakan mata
lelaki itu memandanginya sementara ia menghampiri bak.
Lama Cooper hanya berdiri di tempatnya, tanpa
mengatakan apa­apa. Paru­paru Rusty serasa akan me­
ledak karena tegang ketika akhirnya lelaki itu berkata,
”Aku akan memegang bawah lenganmu. Angkat kaki
kirimu dan pijakkan di lantai. Oke?”
Suara lelaki itu berat dan kasar seperti amplas.
”Oke.” Rusty menjauhkan kedua lengannya sedikit dari

133

www.facebook.com/indonesiapustaka tubuhnya. Meski sudah bersiap­siap, sentuhan jemari
lelaki itu di kulitnya yang basah dan licin terasa menge­
jutkan juga. buka karena rasanya tidak menyenangkan,
tapi justru sebaliknya.

Dan selanjutnya bahkan semakin menyenangkan.
Dengan kaki terentang, Cooper mencengkeram bagian
bawah lengan Rusty. Mendadak Rusty memekik kecil.

”Ada apa?”
”Le...lenganku sakit,” sahut Rusty terbata­bata. ”Ka­
rena memakai tongkat itu.” Cooper menyumpah­nyum­
pah lagi dengan ucapan sangat kasar, sampai­sampai
Rusty berharap ia salah dengar.
Cooper melingkarkan lengannya ke dekat tulang
rusuk Rusty. ”Kita coba dengan cara ini. Siap?”
Sesuai dengan instruksi lelaki itu, Rusty menopang
berat tubuhnya dengan kaki kiri, sementara kaki yang
luka dibiarkan tergantung­gantung ketika Cooper me­
nariknya keluar dari air.
”Sampai sini baik­baik saja?” Rusty mengangguk.
”Siap?” Rusty mengangguk lagi. Cooper menariknya
sekuat tenaga, sementara Rusty mengangkat kaki kiri­
nya keluar dari bak dan menjejakkannya di lantai.
”Oh!”
”Ada apa lagi?”
Cooper hampir melepaskannya ketika Rusty berseru
tadi. Tubuh Rusty terdorong ke depan sedikit. Dengan
kecepatan kilat, lengan Cooper sudah memeluknya te­
pat di bawah payudara.
”Lantainya dingin.”
”Ya Tuhan, jangan membuatku kaget begitu.”

134

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Maaf, aku sendiri kaget.”
Keduanya sama­sama berpikir, ”Aku juga begitu.”
Rusty meraba­raba mencari punggung kursi untuk
berpegangan. Lekas­lekas ditutupinya bagian depan tu­
buhnya dengan handuk. Tapi Cooper masih bisa melihat
bagian belakang tubuhnya yang telanjang. Mudah­
mudahan lelaki itu cukup tahu diri untuk tidak meman­
dangi.
”baik­baik saja?”
”Ya.”
Tangan Cooper berpindah dari depan ke samping tu­
buh Rusty, namun tidak segera melepaskannya. ”Yakin?”
”Ya,” sahut Rusty serak. ”Yakin.”
Cooper melepaskan pegangannya. Rusty mendesah
lega. Tapi kelegaannya terlalu dini rupanya.
”bekas apa ini?” Ia terkesiap ketika tangan Cooper
memegangi sisi pinggulnya. Ibu jari lelaki itu menyapu
bagian bokongnya dengan satu telusuran panjang dan
pelan. Lalu bagian pinggulnya pun diperlakukan demi­
kian. ”Apa yang terjadi denganmu? Katamu bedebah
tua itu tidak mengapa­apakanmu.”
”Aku tidak mengerti maksudmu.” Dengan napas
tertahan dan kepala pening Rusty menoleh dan mena­
tap lelaki itu dari balik bahunya. Cooper sedang me­
ngernyit, kumisnya melengkung turun dengan ekspresi
tak senang.
”Kau lebam­lebam.”
Rusty melongok ke bagian pinggulnya. Yang pertama
terlintas dalam pikirannya adalah betapa menggairahkan
melihat tangan Cooper yang berkulit gelap di tubuhnya

135

www.facebook.com/indonesiapustaka sendiri yang pucat. Ketika Cooper menelusuri pinggul­
nya lagi dengan ibu jari, barulah Rusty melihat lebam­
lebam itu.

”Oh, itu? Itu karena aku berbaring di tandu waktu
itu.”

Mata lelaki itu berpindah cepat ke matanya, menem­
bus tajam dengan sorot membara. Ia tidak menarik ta­
ngannya dari tubuh Rusty. Suaranya begitu lembut
ketika ia berkata, ”Mestinya kau memberitahu aku.”

Rusty terpesona oleh gerakan kumis lelaki itu ketika
mulutnya bergerak­gerak saat berbicara. Mungkin itu
sebabnya Rusty menjawab dengan berbisik, ”Apa ada
bedanya kalau aku memberitahumu?”

Sehelai rambutnya tersangkut di janggut pendek lelaki
itu, menyatu seperti seberkas cahaya. Keduanya masih
bertatapan lekat, dan mata mereka baru teralihkan ketika
sepotong kayu di perapian bergerak dengan suara keras.
Keduanya terlonjak dengan perasaan bersalah.

Cooper kembali memasang wajah cemberut dan be­
ringas. ”Tidak, tidak akan ada bedanya.”

Tak lama kemudian giliran lelaki itu mandi di balik
tirai seprai. Rusty gemetar. Karena hawa dingin, pikir­
nya. Ia sudah cukup lama berdiri di situ. Dililitnya tu­
buhnya dengan handuk agar cepat kering. Kain handuk
itu begitu kasar, hingga kulitnya terasa perih, terutama
puncak payudaranya. Ketika ia selesai mengeringkan
tubuh, puncak payudaranya tampak tegang dan merah
muda. Sakit. berdenyut­denyut. Dan panas.

”Itu gara­gara handuk ini,” gumamnya sambil menge­
nakan legging sutranya.

136

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Ada apa lagi sekarang?” Cooper bertanya dengan
galak dari balik tirai.

”Apa?”
”Aku mendengar kau mengatakan sesuatu.”
”Kataku handuk ini cocok untuk dijadikan amplas.”
”Cuma itu yang kutemukan.”
”Aku tidak bermaksud memprotes.”
”baru kali ini kau tidak protes.”
Rusty menggerutu pelan dengan hati­hati, supaya
Cooper tidak mendengarnya. Lelaki itu pasti tersing­
gung kalau tahu apa yang diucapkannya.
Dengan kesal ia mengenakan tank top­nya. Puncak
payudaranya tercetak jelas di balik bahan yang menem­
pel ketat itu. Kelembutan bahan itu mestinya menye­
nangkan setelah tadi memakai handuk kasar, tapi nya­
tanya puncak payudaranya malah jadi terasa lebih perih.
Setelah mengemasi perlengkapan mandinya, ia duduk
di kursi dan menguraikan rambutnya ke depan, lalu
menggosoknya keras­keras dengan handuk, sambil sese­
kali menyikatnya. Lima menit kemudian ia menegakkan
kepalanya kembali dan rambutnya yang sudah setengah
kering tergerai di bahunya dalam gelombang kemerahan.
Rambut itu memang acak­acakan, tapi setidaknya bersih.
Ini saja sudah memberikan perbedaan besar.
Ketika sedang memasukkan sikat rambutnya ke da­
lam tas kosmetik, barulah ia melihat keadaan kuku­
kukunya. Semuanya patah atau retak. Rusty mengeluh
keras.
Dalam sekejap tirai disibakkan dan Cooper berdiri di
hadapannya. ”Ada apa? Kakimu sakit lagi? Apa—”

137

www.facebook.com/indonesiapustaka Kalimatnya terhenti ketika dilihatnya Rusty tidak
apa­apa. Tapi mungkin yang membuatnya terpukau
adalah pemandangan wanita di hadapannya. Rusty du­
duk berlatar belakang api yang keemasan, rambut me­
rahnya yang bergelombang mengelilingi kepalanya ba­
gaikan sinar aura. Gadis itu mengenakan tank top yang
lebih tampak mengundang daripada menutupi tubuh.
Puncak payudaranya yang membayang di balik pakaian
itu bagaikan magnet yang menahan mata Cooper untuk
tetap terarah ke sana. bahkan saat ini pun Cooper ma­
sih bisa merasakan beratnya payudara gadis itu ketika
menempel di lengannya tadi.

Darah Cooper menggelegak, deras dan panas, mem­
bangkitkan gairahnya hingga terasa membakar menya­
kitkan.

Karena tak bisa menyalurkan keinginannya, ia melam­
piaskan gairah itu dalam bentuk lain. Kemarahan. Wa­
jahnya gelap oleh marah. Alisnya yang tebal mengernyit
marah. Dalam cahaya api, alis itu lebih berwarna keemas­
an daripada cokelat. Karena tak dapat mewujudkan has­
ratnya untuk mencium Rusty, ia pun sengaja mengucap­
kan kata­kata kasar pada gadis itu.

”Kau meratapi kuku­kuku sialanmu itu?” teriaknya.
”Semuanya pecah­pecah dan rusak!” Rusty balas
berteriak padanya.
”Lebih baik kuku­kukumu yang rusak daripada le­
hermu yang patah. Dasar tolol!”
”Jangan sebut aku tolol, Cooper! Aku tidak tolol.”
”Kau sama sekali tidak punya bayangan bahwa kedua
orang gunung itu berniat memerkosamu!”

138

www.facebook.com/indonesiapustaka bibir Rusty mengerut marah, tapi Cooper justru sema­
kin berang melihatnya, karena ia ingin sekali mengecup
bibir itu. Hasratnya yang tidak tersalurkan mendorong­
nya untuk mengucapkan kata­kata kasar yang menyakit­
kan. ”Kau sengaja berusaha memikat mereka, bukan? Kau
duduk di dekat perapian, padahal kau tahu efek cahaya
api itu terhadap mata dan kulitmu. Dan kau sengaja me­
nyikat rambutmu sampai rapi. Kau tahu, kan, pengaruh
tindakanmu itu terhadap laki­laki? Kedua orang itu jadi
terbakar oleh gairah.” Menyadari bahwa ucapan kasarnya
sebenarnya merupakan pengakuan atas apa yang dirasa­
kannya sendiri, lelaki itu berkata mengejek, ”Aku heran
semalam kau tidak langsung saja menawarkan dirimu
pada Reuben, si bodoh malang itu.”

Mata Rusty basah oleh air mata. Rupanya pandang­
an lelaki ini terhadap dirinya jauh lebih rendah daripa­
da yang diduganya. Dia bukan hanya menganggap aku
tidak berguna, pikir Rusty. Di matanya aku juga tidak
lebih dari pelacur.

”Aku tidak sengaja melakukan semua itu. Kau tahu
itu, apa pun yang kaukatakan.” Secara naluriah ia me­
nyilangkan lengan di depan dadanya, sebagai perlin­
dungan diri.

Sekonyong­konyong Cooper berlutut di hadapannya
dan menyentakkan kedua lengannya, lalu dengan cepat
mencabut pisau di pinggangnya. Rusty memekik keta­
kutan ketika lelaki itu mencengkeram tangan kirinya
erat­erat dan mengangkat pisau yang berkilat­kilat itu.
Dengan cekatan lelaki itu kemudian merapikan kuku­
kuku Rusty hingga rata dengan ujung­ujung jemarinya.

139

www.facebook.com/indonesiapustaka Setelah selesai, Rusty memandangi hasilnya dengan
terkejut.

”Jelek sekali.”
”Cuma aku yang melihatnya di sini, dan aku tidak
peduli. Kemarikan tangan satunya!”
Rusty menurut. Tak ada pilihan lain. Ia tak mungkin
menang melawan orang ini. Sekarang mata Cooper kem­
bali terarah kesal pada payudaranya. Namun, ketika lela­
ki itu mengangkat wajah di sela­sela kesibukannya mera­
pikan kuku­kuku Rusty, sepasang matanya tidak lagi
memancarkan sorot menyalahkan ataupun dingin oleh
rasa muak. Sepasang mata itu tampak hangat oleh minat
yang maskulin. begitu besar minat itu, hingga perut Rus­
ty terasa mulas dan jantungnya berdebar­debar.
Cooper berlama­lama merapikan kuku­kuku tangan
kanan Rusty, seolah tangan kanan itu lebih memerlukan
perawatan dan perhatian daripada tangan kirinya. Wa­
jahnya sejajar dengan dada Rusty. Meski lelaki itu baru
saja mengucapkan kata­kata kasar padanya, Rusty ingin
sekali menyelusupkan jemarinya di rambut panjang
Cooper.
Sambil mengamati bibir Cooper yang terkatup rapat,
Rusty teringat betapa lembut bibir lelaki itu ketika
menciumnya kemarin, betapa hangat... dan betapa nik­
mat gelitikan kumisnya. Kalau bibir lelaki itu terasa
begitu menyenangkan menyentuh bibir atasnya, bagai­
mana rasanya bila bibir itu menyentuh bagian­bagian
tubuhnya yang lain? Lehernya? Telinganya? Puncak
payudaranya?
Selesai merapikan kuku Rusty, Cooper memasukkan

140

www.facebook.com/indonesiapustaka kembali pisaunya, tapi tidak melepaskan tangan gadis
itu. Ia tetap memeganginya, memandanginya, lalu me­
letakkannya di paha Rusty dan menahannya dengan
tangannya sendiri. Rusty merasa jantungnya seperti
akan meledak karena beban yang menekan dadanya.

Cooper masih tetap menunduk memandangi tangan­
nya yang menutupi tangan Rusty di paha atas gadis itu.
Dari tempat Rusty duduk, mata lelaki itu seperti terpe­
jam. bulu matanya tebal dan lentik. Seperti kumis dan
alisnya, ujung­ujung bulu mata itu juga berwarna ke­
emasan. Pada musim panas rambutnya pasti pirang
putih terkena cahaya matahari.

”Rusty.”
Cooper menyebutkan namanya. Suaranya agak ge­
metar. Ada nada protes yang menyiratkan emosi di
balik pengucapannya itu. Rusty tidak bergerak, namun
jantungnya berdebar begitu keras dan liar, hingga se­
akan menekan pakaiannya yang sebenarnya tidak terlalu
menutupi seluruh tubuhnya.
Cooper mengangkat tangannya dari tangan Rusty
dan meletakkannya di kedua tepi kursi, mengapit ping­
gul Rusty. Ia masih terus memandangi tangan Rusty
yang masih berada di paha gadis itu. Lelaki itu seolah
hendak menundukkan kepalanya dan dengan letih me­
nempelkan pipinya ke tangan tersebut, atau mengambil
tangan itu dan mengecupnya dengan halus, atau mung­
kin mencium jemari yang kukunya baru saja ia rapikan
itu.
Kalau itu yang ingin dilakukannya, Rusty tidak akan
menghentikannya. Ia yakin sekali akan hal itu. Tubuh­

141

www.facebook.com/indonesiapustaka nya hangat, lembap, dan siap. Apa pun yang terjadi, ia
siap menerimanya.

Ternyata harapannya sia­sia.
Sebab Cooper bangkit berdiri dengan cepat. ”Se­
baiknya kau tidur.”
Rusty tertegun melihat ekspresi wajah Cooper. Sua­
sana hati lelaki itu sudah berubah lagi dan keintiman
mereka tadi sudah lenyap. Ia ingin mendebat, namun
mengurungkannya. Apa yang bisa ia katakan? ”Cium
aku lagi, Cooper,” atau, ”Sentuh aku.” begitu? Lelaki itu
akan semakin memandang rendah padanya.
Merasa ditolak, Rusty mengumpulkan barang­barang­
nya, termasuk tumpukan pakaian kotor yang tadi diting­
galkannya di samping bak. Ia berjalan ke balik tirai. Ke­
dua tempat tidur sudah dialasi seprai dan selimut. Di kaki
masing­masing ranjang ada sehelai bulu binatang. Di ru­
mahnya sendiri Rusty biasa menggunakan seprai rancang­
an desainer dan bantal­bantal empuk, tapi semua itu ka­
lah menarik dari ranjang di hadapannya ini.
Disimpannya barang­barangnya, kemudian ia duduk
di tempat tidur. Sementara itu, Cooper sudah beberapa
kali bolak­balik mengangkut ember­ember berisi air
bekas mandi Rusty. Ketika sisa air di bak tinggal sedi­
kit, ia menyeret bak itu ke pintu, terus ke beranda, lalu
memiringkannya untuk membuang sisa air di dalamnya.
Setelah itu ia membawa bak tersebut masuk kembali,
menaruhnya di belakang tirai, dan mulai mengisi panci­
panci dan ketel­ketel dengan air lagi.
”Kau juga mau mandi?”
”Ya. Keberatan?”

142

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak.”
”Aku sudah banyak memotong kayu api dan pung­
gungku sakit. Selain itu, rasanya badanku mulai bau.”
”Aku tidak merasakan.”
Cooper menoleh dengan tajam, tapi ketika melihat
bahwa Rusty bicara jujur, ia tersenyum kecil. ”Kau pasti
akan merasakannya, apalagi sekarang kau sudah bersih.”
Ketel­ketel mulai mendidih. Cooper mengangkat dua
di antaranya dari tungku dan membawanya ke bak.
”Kau mau kupijat?” tanya Rusty dengan polos.
Langkah Cooper terhenti dengan mendadak, air panas
tumpah ke kakinya, dan ia menyumpah­nyumpah. ”Apa?”
”Kupijat.” Cooper memandanginya seperti orang
terpaku sehabis dihantam. ”Punggungmu.”
”Oh....” Mata Cooper menelusuri sosok Rusty. Tank
top yang dikenakan gadis itu tidak menutupi leher dan
bahunya yang hanya terlindung oleh geraian rambut
ikalnya yang merah kecokelatan. ”Tidak,” tolak Cooper
dengan ketus. ”Kau sudah kusuruh tidur. besok kita
semakin banyak pekerjaan.” Lalu dengan kasar ia kem­
bali menyibukkan diri dengan air­air itu.
Orang ini bukan cuma tidak bisa berbasa­basi. Me­
nerima kebaikan orang lain pun ia tak mau! biar saja!
Kenapa mesti dipikirkan?
Dengan marah Rusty memasukkan kakinya ke balik
selimut yang dingin dan berbaring tanpa memejamkan
mata. Diawasinya Cooper duduk di tepi ranjangnya
sendiri sambil membuka tali sepatu botnya, sementara
menunggu lebih banyak air mendidih. Lelaki itu melem­
parkan kaos kakinya ke tumpukan pakaian kotor, lalu

143

www.facebook.com/indonesiapustaka mulai membuka kancing­kancing kemejanya. Hari ini ia
tidak mengenakan pakaian rangkap, karena tadi ia ba­
nyak bekerja keras di luar. Ditariknya bagian belakang
kemeja itu dari jeans­nya, lalu dilepaskannya dari tu­
buhnya.

Rusty melompat duduk di tempat tidurnya. ”Kau
kenapa?”

Cooper melemparkan kemejanya ke tumpukan pa­
kaian kotor. Ia tidak perlu bertanya, apa yang dimaksud
Rusty. Lebam itu tampak jelas dalam cahaya remang­
remang sekalipun.

”bahuku terkena laras senapan Ruben. Aku mesti
menangkisnya dengan cara demikian, supaya tanganku
bebas untuk mengambil senapanku sendiri.”

Rusty merasa ngeri melihat lebam seukuran kepalan
tangan di sisi luar tulang selangka lelaki itu. Warnanya
biru­hitam dan kelihatannya sangat menyakitkan. ”Sa­
kit, tidak, rasanya?”

”Sakit bukan main.”
”Kau sudah minum aspirin?”
”Tidak. Kita perlu menghematnya.”
”Tapi kalau kau merasa sangat kesakitan—”
”Kau sendiri tidak mau minum aspirin itu untuk le­
bam di bokongmu.”
Pernyataan itu membuat Rusty terkesiap dan tak
sanggup menjawab. Tapi tidak lama. beberapa saat
kemudian ia berkata dengan keras kepala, ”Aku tetap
berpendapat kau perlu makan dua butir aspirin.”
”Aku ingin menghematnya. Siapa tahu kau nanti
kena demam lagi.”

144

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Oh, begitu? Jadi, kau tidak mau minum aspirin itu
karena sebelumnya aku yang menghabiskannya untuk
menurunkan demamku.”

”Aku tidak bilang kau yang menghabiskannya. Ku­
bilang... oh!” Lalu ia mengucapkan kata yang sangat
kasar, yang mestinya tidak diucapkan orang yang sopan.
”Tidurlah.”

Dengan hanya mengenakan celana jeans­nya, Cooper
beranjak ke tungku. Rupanya ia merasa air yang direbus­
nya sudah cukup panas, meski belum mendidih sepenuh­
nya. Dituangkannya semua air itu ke bak. Rusty sudah
berbaring di tempat tidurnya, sambil mengamati bayang­
an Cooper yang bergerak di balik tirai ketika lelaki itu
melepaskan celananya dan melangkah telanjang ke dalam
bak. Segala gerakannya tampak jelas, apalagi sosoknya,
sehingga tak ada lagi yang perlu dibayangkan.

Rusty mendengar Cooper menyumpah­nyumpah saat
masuk ke dalam air. bak itu rupanya terlalu kecil untuk
orang seukuran dirinya. Rusty merasa takkan bisa tidur
kalau lelaki itu menimbulkan suara sedemikian berisik
di sebelah sana. Lebih banyak air yang tumpah di lantai
daripada yang tersisa di dalam bak ketika akhirnya
Cooper berdiri untuk membilas sabun di tubuhnya.

Kerongkongan Rusty terasa kering mendadak saat
memperhatikan bayangan lelaki itu membungkuk sam­
bil menciduk air berkali­kali untuk membersihkan sa­
bun di badannya. Setelah itu ia keluar dari bak dan
mengeringkan tubuh dengan tak acuh. Rambutnya ha­
nya satu kali disapu dengan handuk. Selebihnya disisir
dengan jari­jari tangannya. Terakhir ia melilitkan han­
duknya di pinggang.

145

www.facebook.com/indonesiapustaka Kemudian Cooper sibuk mengosongkan bak itu lagi.
bolak­balik ia membuang air bekas mandi itu di luar.
Setelah kosong, bak itu ditinggalkannya di beranda.
Rusty tahu Cooper menggigil kedinginan ketika kembali
ke perapian untuk menambahkan beberapa potong kayu
lagi. Dengan menggunakan kursi untuk tempat berpijak,
ia menurunkan tirai pembatas tadi. Dilipatnya tirai itu,
diletakkannya lentera di meja. Sebelum naik ke tempat
tidur, ia melepaskan handuk yang melilit di pinggangnya.

Selama itu ia tak sekali pun menoleh ke arah Rusty.
Rusty merasa tersinggung karena lelaki itu sama sekali
tidak mengucapkan selamat malam. Tapi kalaupun di­
beri ucapan selamat malam, kemungkinan ia takkan
sanggup menjawab.

Mulutnya masih terasa kering.

Percuma mencoba menghitung domba agar mengantuk.
Membaca sajak juga tidak menolong, apalagi sajak­

sajak yang dihafalnya hanyalah pantun mesum.
Maka Cooper berbaring telentang, berbantalkan ke­

dua tangannya, memandangi langit­langit sambil berta­
nya­tanya kapan gairahnya yang bergolak akan surut,
sehingga ia bisa tidur. Ia sangat lelah. Otot­ototnya
yang terlalu tegang berteriak memprotes, minta diisti­
rahatkan, tapi gairah yang dirasakannya tak bisa dikom­
promikan lagi.

Ia ingin tidur, tapi tubuhnya ingin bereaksi. Waspa­
da, hidup, dan penuh semangat. Terlalu bersemangat.

Karena putus asa, ia memasukkan satu tangan ke
balik selimut. Mungkin... Tapi ditariknya kembali ta­

146

www.facebook.com/indonesiapustaka ngannya. Tidak. Aduh! Jangan lakukan! Percuma men­
coba menenangkan gairahnya. Masalahnya justru sema­
kin parah.

Dengan marah ia berbaring miring sambil mengerang
tanpa sadar, namun cepat­cepat ia menyamarkan erang­
annya menjadi suara batuk­batuk.

Apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Jadi, ia mesti
memutar otak.

Tapi... sial, ia sudah berjam­jam mencoba. Namun
pikirannya selalu kembali kepada Rusty.

bibir lembut itu.
Mulut yang halus dan penuh rasa ingin tahu, mere­
kah lapar kepadanya.
Cooper mengertakkan gigi, membayangkan bibir
Rusty yang menyentuh bibirnya. Aah, sungguh nikmat
rasanya, sampai­sampai ia tak ingin berhenti.
Mestinya ia tidak mencium gadis itu, meski alasan­
nya adalah untuk mengecoh Quinn, lelaki tua itu. Se­
benarnya siapa yang mengecoh siapa? tanyanya kesal
pada diri sendiri. Ia mencium Rusty karena ia memang
ingin melakukannya, meski ia tahu konsekuensinya. Ia
sudah menduga bahwa ia tidak akan puas dengan satu
ciuman itu, dan ternyata dugaannya benar.
Tapi lalu kenapa? Kenapa ia bersikap begitu keras pada
dirinya sendiri? Ia merasa sangat tergiur oleh Rusty kare­
na hanya gadis itulah satu­satunya perempuan yang ada
di dekatnya. Yeah, itulah alasannya.
Mungkin. barangkali.
Tapi kenyataannya Rusty tetap seorang gadis yang
sangat cantik, dengan rambut sangat seksi, tubuh meng­
giurkan, payudara indah, dan pinggul yang bagus.

147

www.facebook.com/indonesiapustaka Stop! Jangan dipikirkan, atau kau tidak akan bisa
menahan diri lagi. Cooper mengingatkan dirinya dengan
keras.

baiklah, sudah cukup! Finis. No mas. Hentikan ber­
pikir seperti anak remaja yang sedang keranjingan seks.
Tidurlah.

Cooper memejamkan mata dan berusaha keras untuk
tetap dalam keadaan demikian, hingga semula ia mengi­
ra suara isakan pelan yang didengarnya dari tempat ti­
dur satunya hanyalah imajinasinya belaka. Tapi kemu­
dian Rusty melompat duduk dari balik selimutnya,
seperti boneka berpegas. Ini bukan sekadar imajinasi.

”Rusty?”
”Suara apa itu?”
Meski ruangan itu hanya diterangi cahaya api yang
mulai padam, Cooper bisa melihat mata gadis itu terbe­
lalak ketakutan. Ia mengira Rusty bermimpi buruk.
”berbaringlah lagi. Tidak ada apa­apa.”
Rusty bernapas terengah­engah sambil mencengke­
ram selimut di dadanya. ”Suara apa itu?”
Apa aku membuat suara? pikir Cooper. Apa aku me-
ngeran-erang keras tanpa sadar? ”Ada—”
baru saja ia hendak bertanya, lolongan panjang itu
terdengar lagi. Rusty menutupi kedua telinganya dan
membungkuk. ”Aku tidak tahan mendengarnya!” te­
riaknya.
Cooper menyibakkan selimut dan dalam sekejap
sudah berada di samping Rusty. ”Itu serigala, Rusty.
Mereka tidak sedekat kedengarannya. Mereka tidak
akan bisa menyakiti kita.”

148


Click to View FlipBook Version