The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka ruangan, sambil berpikir apa lagi yang mesti dilakukan.
Cooper duduk membungkuk di kursinya sambil mena­
tap perapian dengan murung dan terus minum. Rusty
merasa yang terbaik adalah ia menjauh dari lelaki itu,
tapi sayangnya pondok tersebut hanya terdiri atas satu
ruangan. berjalan­jalan keluar tidaklah mungkin. Satu­
satunya pilihan adalah tidur, meski sebenarnya ia sama
sekali tidak mengantuk.

”Aku... kurasa aku mau tidur sekarang, Cooper. Se­
lamat malam.”

”Duduk.”
Rusty berhenti melangkah. bukan karena ucapan
lelaki itu, tapi karena cara bicaranya. Ia lebih suka dipe­
rintah dengan keras daripada dengan nada pelan penuh
ancaman seperti itu.
Ia menoleh ke arah Cooper dengan penuh tanda tanya.
”Duduk,” ulang lelaki itu.
”Aku mau—”
”Duduk.”
Kekasaran lelaki itu membuat Rusty ingin memban­
tah, tapi ia menahan diri. Ia tidak mau diinjak­injak,
tapi ia juga tidak bodoh. Hanya orang tolol yang akan
melawan Cooper dalam keadaan seperti ini. Dengan
menahan amarah Rusty duduk di kursi, berhadapan
dengan lelaki itu. ”Kau mabuk.”
”benar sekali.”
”bagus. Silakan bersikap konyol. Silakan memperma­
lukan dirimu sendiri. Aku tidak peduli. Tapi keadaan­
mu memalukan untuk ditonton. Jadi, kalau kau tidak
keberatan, aku mau tidur saja.”

199

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku keberatan. Tetap di tempatmu.”
”Kenapa? Apa bedanya? Apa yang kauinginkan?”
Cooper meneguk isi cangkirnya sambil mengamati
Rusty dari tepi cangkir tersebut. ”Mumpung aku ma­
buk, aku mau duduk di sini, memandangimu, dan
membayangkanmu...” Ia minum lagi, lalu melanjutkan
kalimatnya sambil beserdawa keras, ”...telanjang.”
Rusty melompat bangkit dari kursinya, seperti dido­
rong oleh pegas. Tapi, meski mabuk, releks Cooper
tidak berkurang. Lengannya terulur mencengkeram le­
ngan pakaian Rusty dan menariknya kembali ke kursi.
”Kubilang tetap di tempatmu!”
”Lepaskan aku!” Rusty menarik tangannya. Sekarang
ia bukan hanya marah, tapi juga takut. Ini bukan seka­
dar canda atau kekonyolan orang mabuk. Dicobanya
meyakinkan diri bahwa Cooper tidak akan menyakiti­
nya. Tapi bagaimana mungkin ia bisa memastikan hal
itu? Mungkin minuman keras itu merupakan pencetus
kekerasan yang ada dalam diri Cooper yang selama ini
terkendali. ”Jangan ganggu aku,” kata Rusty membera­
nikan diri.
”Aku tidak berniat menyentuhmu.”
”Lalu kau mau apa?”
”Sebut saja ini semacam... pemuasan diri yang ke­
jam.” Kelopak mata lelaki itu mengarah ke satu titik
dengan penuh arti. ”Aku yakin kau bisa mencarikan
istilah yang tepat untuk itu.”
Wajah Rusty merah padam karena malu. ”Aku tahu
sebutan yang tepat untukmu. Malah aku punya bebe­
rapa.”

200

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper tertawa. ”Simpan saja. Aku sudah mendengar
semuanya.” Ia meneguk isi cangkirnya lagi. ”Daripada
memikirkan sebutan­sebutan kotor untukku, lebih baik
kita bicara tentang dirimu saja. Rambutmu, misalnya.”

Rusty menyilangkan lengan di perutnya dan menatap
langit­langit dengan ekspresi bosan.

”Kau tahu apa yang kupikirkan ketika pertama kali
melihat rambutmu?” Cooper tidak memedulikan keti­
dakacuhan Rusty serta penolakan gadis itu untuk men­
jawab. Ia mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik,
”Aku membayangkan betapa nikmatnya kalau rambut
itu menyapu perutku.”

Rusty berpaling dengan cepat ke arahnya. Mata lela­
ki itu berkaca­kaca. bukan semata­mata karena minum­
an keras. bagian tengah bola mata yang gelap itu berki­
lat­kilat membara. Suaranya pun sekarang jernih,
kalimat­kalimatnya tidak lamban terseret. Tak mungkin
salah mengartikan ucapannya.

”Kau berdiri di tarmak, di bawah cahaya matahari.
Kau bercakap­cakap dengan seorang lelaki... ayahmu.
Tapi waktu itu aku tidak tahu bahwa dia ayahmu. Ku­
lihat kau memeluknya dan mengecup pipinya. Aku
berpikir, ’bedebah tua beruntung itu tahu rasanya me­
main­mainkan rambutnya di tempat tidur.’”

”Jangan diteruskan, Cooper!” Rusty mengepalkan
kedua tangan. Ia duduk tegak dan tegang, seperti roket
yang siap diluncurkan.

”Ketika kau naik ke pesawat, aku ingin mengulurkan
tangan untuk menyentuh rambutmu. Aku ingin men­
cengkeramnya, lalu menggerakkan kepalamu di tubuh­
ku.”

201

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Hentikan!”
Lelaki itu berhenti bicara dan dengan cepat meneng­
gak lagi wiskinya. Matanya semakin gelap dan jahat.
”Kau senang mendengarnya, bukan?”
”Tidak!”
”Kau senang mengetahui efek yang kautimbulkan
terhadap laki­laki.”
”Kau salah! Sangat keliru! Aku merasa sangat tidak
enak menjadi satu­satunya penumpang wanita di pesa­
wat itu.”
Cooper mengeluarkan makian kotor dan minum lagi.
”bagaimana dengan tadi itu?”
”Tadi? Kapan?”
Cooper meletakkan cangkirnya tanpa menumpahkan
isinya setetes pun. Releks dan kendalinya atas gerakan
tubuhnya masih tetap bagus. Ia sangat menyebalkan
dan jahat jika sedang mabuk, tapi ia tidak berantakan.
Ia mencondongkan tubuh ke depan, hingga wajahnya
dekat sekali dengan wajah Rusty.
”Ketika aku masuk dan mendapatimu telanjang di
balik selimut.”
”Itu tidak disengaja. Aku salah duga. Aku tidak tahu
kau akan kembali secepat itu. biasanya kau pergi ber­
jam­jam. Itu sebabnya aku memutuskan untuk mandi
sementara kau pergi.”
”begitu masuk ke dalam pondok, aku langsung tahu
bahwa kau habis mandi,” kata Cooper dengan suara
berat bergetar. ”Aku bisa mencium aroma sabun di
kulitmu.” Matanya menyapu seluruh tubuh Rusty, seo­
lah­olah yang dilihatnya adalah kulit yang telanjang,

202

www.facebook.com/indonesiapustaka meski kenyataannya Rusty mengenakan sweter tebal
yang berat. ”Kau menghadiahiku pemandangan atas
payudaramu, bukan?”

”Tidak!”
”bohong!”
”Tidak! Ketika menyadari bahwa selimutku terlepas,
aku-”
”Sudah terlambat. Aku melihatnya. Puncak payuda­
ramu...”
Rusty menarik napas pendek­pendek beberapa kali.
Percakapan konyol ini menimbulkan pengaruh yang
aneh terhadap dirinya. ”Jangan diteruskan. Kita sudah
janji untuk tidak saling berbicara kasar.”
”Aku tidak berbicara kasar. Pada diriku sendiri,
mungkin, tapi tidak padamu.”
”Kau kasar padaku. Sudahlah, Cooper, hentikanlah.
Kau tidak tahu—”
”Apa katamu? Aku sadar. Aku tahu persis apa yang
kuucapkan.” Ia menatap mata Rusty lekat­lekat. ”Aku
bisa menciumimu selama seminggu tanpa merasa bosan.”
Suaranya hanya berupa bisikan serak, akibat penga­
ruh wiski, namun Rusty mendengar kata­katanya, dan
kata­kata itu memengaruhinya. Ia menjadi limbung.
Sambil mengerang pelan dipejamkannya kedua mata­
nya, dengan harapan bisa mengenyahkan kata­kata
tersebut serta bayangan­bayangan yang ditimbulkannya.
Lidah lelaki itu bergerak menelusuri tubuhnya, lembut,
halus dan penuh gairah, kasar dan menggemaskan.
Cepat­cepat ia membuka mata dan melotot marah.
”Jangan berani­berani bicara seperti itu padaku!”

203

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kenapa tidak?”
”Aku tidak suka mendengarnya.”
Lelaki itu tersenyum puas, tak percaya. ”Kau tidak
suka mendengar aku mengatakan bahwa aku sangat
ingin menyentuhmu? Setiap malam aku berbaring men­
dengar bunyi napasmu, dan aku ingin-”
”Hentikan!” Rusty melompat bangkit dari kursinya
dan berjalan cepat melewati lelaki itu, berusaha untuk
keluar dari pintu. Ia lebih suka menahan udara dingin
mengigit di luar sana daripada berada bersama lelaki ini
di sini.
Tapi Cooper terlalu gesit. Sebelum Rusty sempat
mengayunkan kaki lebih dari dua langkah, lelaki itu
sudah menariknya dan memeluknya erat­erat. Ia mem­
bungkuk di atas Rusty, napasnya mengembus panas di
wajah gadis itu.
”Kalau aku ditakdirkan untuk terdampar di tempat
sialan ini, kenapa justru harus dengan perempuan seper­
ti kau, hah?” Ia mengguncang­guncang tubuh Rusty
sedikit, seolah mengharapkan penjelasan yang masuk
akal. ”Kenapa kau begitu cantik dan seksi, dengan bibir
yang diciptakan untuk menggoda laki­laki?”
Rusty menggeliat­geliat, berusaha melepaskan diri.
”Aku tidak mau dengar! Lepaskan aku!”
”Kenapa aku tidak terdampar bersama perempuan
yang jelek tapi penurut? Perempuan yang bisa mene­
maniku di tempat tidur dan tidak akan pernah kusesali?
Seseorang yang akan berterima kasih atas perhatian
yang kuberikan. bukan perempuan dangkal yang suka
menggoda lelaki. bukan perempuan dari kelas atas.
bukan kau!”

204

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kuperingatkan, Cooper!” Sambil mengertakkan gigi,
Rusty meronta­ronta dalam cengkeraman lelaki itu.

”Seseorang yang tidak terlalu menarik, tapi berguna.
Perempuan yang bisa memasak.” Ia tersenyum jahat.
”Aku berani bertaruh kau juga bisa masak. Di tempat
tidur. Di situlah kau melakukannya. Aku yakin di situ­
lah kau bisa menghidangkan masakan­masakan ter­
baikmu.”

Ia mencengkeram pinggul Rusty dan menyentakkan­
nya rapat ke tubuhnya sendiri.

”Apa kau senang mengetahui pengaruh yang kautim­
bulkan pada diriku?”

Rusty terkesiap saat merasakan bukti gairah lelaki
itu. Ia mencengkeram pundak Cooper untuk berpegang­
an. Matanya berserobok dengan mata lelaki itu dan
sesaat tertahan di sana.

Lalu Rusty mengalihkan pandang dan mendorong
Cooper. Ia benci dengan perlakuan lelaki itu, tapi juga
malu akan reaksinya sendiri terhadap segala ucapan
Cooper. Memang reaksi itu hanya timbul sejenak, tapi
bisa membahayakan.

”Jangan dekat­dekat aku!” kata Rusty dengan suara
gemetar namun tegas. ”Aku tidak main­main. Kalau
kau masih menggangguku, aku akan melawan dengan
pisau yang kauberikan padaku itu. Kau dengar? Jangan
coba­coba menyentuhku lagi!” Ia melewati lelaki itu dan
mengempaskan diri ke tempat tidur, menelungkupkan
wajahnya yang panas di seprai yang kasar.

Cooper masih berdiri di tengah ruangan. Ia menga­
cak­acak rambutnya yang panjang dengan dua tangan,

205

www.facebook.com/indonesiapustaka menyibakkannya dari wajahnya. Lalu ia kembali duduk
di depan perapian dan mengambil botol wiski serta
cangkirnya.

Ketika Rusty memberanikan diri menoleh ke arah­
nya, dilihatnya lelaki itu masih duduk meneguk wiski
dengan muram.

Keesokan harinya Rusty panik ketika melihat tempat
tidur satunya tidak menampakkan bekas­bekas ditiduri.
Apa Cooper keluar dari pondok malam­malam? Apakah
ada sesuatu yang menimpanya? Rusty menyibakkan
selimutnya dan berlari ke pintu, lalu membukanya.

Ia bersandar lemas dan lega setelah melihat Cooper.
Lelaki itu sedang membelah kayu. Langit cerah. Mata­
hari bersinar. batang­batang es yang semalam menggan­
tung di atap pondok sekarang mulai menetes. Suhu ti­
dak terlalu rendah. Cooper bahkan tidak mengenakan
mantelnya. bagian belakang kemejanya tidak dimasuk­
kan, dan ketika ia membalikkan tubuh, Rusty baru
melihat bahwa kemejanya tidak dikancingkan.

Cooper melihatnya, tapi tidak mengatakan apa­apa.
Lelaki itu terus saja melemparkan kayu­kayu yang su­
dah dipotong ke tumpukan di dekat beranda. Wajahnya
tampak kuyu, dan di bawah sepasang matanya ada
lingkaran­lingkaran kelelahan.

Rusty masuk kembali ke pondok. Pintu dibiarkannya
terbuka, supaya udara segar masuk. Hawa masih dingin,
tapi sinar matahari terasa menyegarkan, seolah menge­
nyahkan kemuraman yang menyelubungi bagian dalam
pondok.

206

www.facebook.com/indonesiapustaka Cepat­cepat Rusty mencuci muka dan menyikat
rambutnya. Api di tungku sudah mati sama sekali, tapi
sekarang ia sudah mahir menambahkan kayu bakar dan
menyalakannya. Dalam beberapa menit saja ia sudah
berhasil membuat api yang cukup besar untuk merebus
air dan menyeduh kopi.

Hari ini ia membuka sekaleng daging panggang,
mengirisnya tipis­tipis, dan menggorengnya. Aroma
harum masakan itu membuatnya meneteskan air liur.
Ia berharap masakannya bisa membangkitkan selera
Cooper. Dan sebagai ganti oatmeal, ia memasak nasi.
Sayang sekali tidak ada margarin, jadi sebagai gantinya
ia menggunakan tetesan daging panggang di atas nasi,
dan hasilnya sungguh luar biasa.

Dengan royal ia juga membuka sekaleng peach, me­
nuangnya di mangkuk, dan menghidangkannya di meja
bersama makanan lainnya. Ia tidak mendengar suara
kayu dibelah lagi, jadi ia mengambil kesimpulan bahwa
tak lama lagi Cooper akan masuk.

benar juga. Cooper masuk tak lama kemudian. Lang­
kahnya jelas tampak lebih canggung daripada biasa.
Sementara ia mencuci tangan, Rusty mengambil dua
butir aspirin dari kotak P3K dan meletakkannya di
samping piring lelaki itu.

Cooper memandangi aspirin itu, lalu meminumnya
dengan segelas air. ”Terima kasih.” Dengan agak ragu ia
duduk di kursinya.

”Sama­sama.” Rusty berusaha menahan tawanya
melihat gerakan lelaki itu. Jelas tampak bahwa Cooper
mengalami pening berat akibat mabuk semalam. Rusty

207

www.facebook.com/indonesiapustaka menuangkan secangkir kopi pahit dan mengulurkannya
padanya. Cooper mengambil cangkir itu dengan tangan
gemetar. Kegiatan membelah kayu tadi rupanya ia laku­
kan sebagai cara untuk menghukum diri sendiri karena
mabuk berat semalam. Rusty senang Cooper tidak ce­
laka ketika membelah kayu itu.

”bagaimana perasaanmu?”
Tanpa menggerakkan kepala, Cooper meliriknya.
”bulu mataku sakit.”
Rusty menahan senyumnya lagi. Ia juga berusaha
menahan diri untuk tidak mengulurkan tangan ke sebe­
rang meja dan menyibakkan rambut Cooper yang me­
nutupi dahi. ”Kau bisa makan?”
”Kurasa bisa. Mestinya bisa. Aku muntah­muntah
lama sekali tadi. Rasanya yang tersisa cuma lapisan pe­
rutku.”
Cooper duduk dengan bahu membungkuk, kedua
tangannya bertelekan hati­hati di kedua sisi piringnya,
sementara Rusty memotongkan daging panggang kecil­
kecil untuknya, lalu menaruhnya di piringnya. Sambil
menarik napas panjang Cooper mengambil garpunya
dan makan sedikit. Setelah yakin ia tidak akan memun­
tahkannya, ia makan lagi, dan lagi, dan tak lama kemu­
dian ia sudah bisa makan normal.
”Enak,” katanya setelah diam beberapa saat.
”Terima kasih. Lebih baik daripada oatmeal.”
”Yeah.”
”Kurasa cuaca sudah jauh lebih hangat.”
Rusty mengatakan itu karena melihat bulu di dada
Cooper tampak basah oleh keringat, akibat kegiatannya

208

www.facebook.com/indonesiapustaka di luar tadi. Cooper telah mengancingkan hampir semua
kancing kemejanya sebelum duduk untuk makan, tapi
Rusty masih bisa melihat sedikit ke dada di balik keme­
ja itu.

”Kalau kita beruntung, cuaca akan terus hangat sela­
ma beberapa hari, sebelum badai berikutnya datang.”

”bagus sekali.”
”Hmm. banyak yang bisa kukerjakan di sini.”
belum pernah mereka bercakap­cakap tanpa tujuan
seperti ini. Obrolan tanpa arti seperti ini terasa lebih
canggung daripada perdebatan mereka selama ini, jadi
mereka menghentikannya. Dalam keheningan yang
menyusul kemudian, mereka bisa mendengar bunyi te­
tesan air dari bongkah­bongkah es di luar. Mereka
menghabiskan makanan, lalu minum kopi lagi.
Ketika Rusty berdiri untuk membersihkan meja,
Cooper berkata, ”Kurasa aspirin itu sangat membantu.
Sakit kepalaku hampir lenyap.”
”Aku senang.”
Cooper berdeham keras dan mempermainkan pisau
serta garpu di piringnya yang sudah kosong. ”Ehm...
tentang semalam itu... aku tidak punya alasan apa pun
untuk membenarkan kelakuanku.”
Rusty tersenyum penuh pengertian padanya. ”Kalau
aku tahan dengan rasa wiski itu, aku sendiri mungkin
akan ikut mabuk. Sejak kecelakaan pesawat itu, berkali­
kali aku ingin melepaskan diri dengan cara demikian.
Kau tak perlu minta maaf.”
Rusty hendak mengambil piring Cooper. Lelaki itu
meraih tangannya. Gerakannya tidak yakin, ragu­ragu,

209

www.facebook.com/indonesiapustaka sangat berbeda dari gayanya selama ini. ”Aku ingin
minta maaf padamu atas apa yang kuucapkan semalam.”

Sambil memandangi puncak kepala lelaki itu, Rusty
berkata pelan, ”Apa kau sungguh­sungguh dengan ucap­
anmu itu semalam, Cooper?”

Rusty sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Ia
mengundang lelaki ini untuk bercinta dengannya. Ia
menginginkannya. Tak ada gunanya membodohi diri­
nya lebih lanjut. Lelaki ini sangat menarik minatnya,
dan tampaknya bukan hanya ia yang merasakan ini.

Mereka tidak akan bisa mempertahankan kewarasan
mereka kalau kebutuhan isik ini tidak dipuaskan. bisa
saja mereka melewati musim dingin tanpa menjadi ke­
kasih, tapi saat musim semi nanti mereka akan menjadi
sepasang maniak sinting. Kebutuhan isik ini, meski
kelihatannya tidak masuk akal, takkan bisa ditekan lagi.

Dalam keadaan biasa, mereka tak mungkin menjalin
hubungan. Tapi keadaan mereka saat ini jauh dari bia­
sa. Sangat tidak praktis untuk mempertimbangkan
apakah mereka banyak memiliki persamaan. Semua itu
tidak menjadi masalah. Yang sangat penting saat ini
adalah kebutuhan dasar manusia untuk berdekatan
dengan lawan jenisnya.

Cooper mengangkat kepala perlahan­lahan. ”Apa
katamu?”

”Aku tanya apa kau serius dengan ucapanmu sema­
lam?”

Mata lelaki itu sama sekali tidak mengerjap. ”Ya, aku
sungguh­sungguh.”

Ia jenis orang yang akan bertindak, bukan hanya bi­

210

www.facebook.com/indonesiapustaka cara. Ia mengulurkan tangan dan meraih leher Rusty,
lalu menariknya mendekat untuk dicium. Mulutnya
mengeluarkan suara seperti suara binatang liar ketika ia
membuka bibir gadis itu dengan bibirnya. Rusty me­
nyambutnya.

Cooper bangkit berdiri, tersandung, dan berusaha
mempertahankan keseimbangan. Kali ini kursinya ter­
jungkal ke belakang dan mendarat di lantai dengan
suara keras. Namun keduanya tidak memperhatikan.
Cooper merangkul pinggang Rusty, sementara Rusty
merangkul lehernya. Cooper menarik tubuh gadis itu
rapat ke tubuhnya.

”Oh!” bibirnya berpindah dari bibir Rusty ke leher
gadis itu. Jemarinya menyelinap di antara rambut Rusty,
menyisirinya dan mempermainkannya di antara jemari­
nya. Lalu ditariknya kepala menjauh dan ditatapnya wa­
jahnya dengan penuh gairah. Rusty membalas tatapan
lelaki itu tanpa malu­malu. ”Cium aku lagi, Cooper.”

Lelaki itu kembali menciumnya dengan penuh kerin­
duan, hingga Rusty terengah­engah. Sementara itu, ta­
ngan Cooper sibuk melepaskan kancing dan ritsleting
celana panjang Rusty. Rusty mengira akan ada penda­
huluan, tapi ia tidak menyesal bahwa ternyata tidak ada.
Kelancangan dan ketidaksabaran lelaki itu merupakan
daya pikat yang ampuh, yang melepaskan letupan­letup­
an gairah yang ada jauh di dalam dirinya.

Cooper menggumamkan kata­kata umpatan yang
justru terdengar menggairahkan, karena menggambar­
kan secara eksplisit kadar gairah yang ia rasakan.

Entah siapa yang bergerak lebih dulu. Mungkin ke­

211

www.facebook.com/indonesiapustaka duanya bersama­sama. Rusty mengerang bahagia sambil
menengadahkan kepala. Cooper mengecup lehernya dan
menggerakkan bibir ke payudaranya, meski Rusty masih
mengenakan sweternya.

Namun, sesungguhnya tak perlu permainan berlama­
lama. Tak ada yang dapat membuat gairah mereka
memuncak melebihi saat ini. Dan tak ada pilihan lain
bagi keduanya.

”Kau wanita yang sangat cantik.”
Rusty menengadah menatap kekasihnya. Satu le­

ngannya terlipat di bawah kepala, satunya lagi terulur
menyentuh bahu Cooper. Posenya sangat mengundang.
Memang itulah yang diinginkannya. Ia tak peduli bah­
wa payudaranya terpapar dan mengundang. Ia ingin
memperlihatkannya pada lelaki itu. Ia senang melihat
mata lelaki itu menjadi sayu setiap kali melihatnya.

Mungkin selama ini apa yang dikatakan Cooper be­
nar. Ia tidak begitu memedulikan kesopanan sejak
pertama kali mereka bertemu. Mungkin ia sengaja ber­
sikap mengundang karena sejak awal ia sudah meng­
inginkan lelaki itu. Ia menginginkan ini... keintiman
santai yang memuaskan setelah bercinta.

”Menurutmu aku cantik?” tanya Rusty manja, sambil
menyapukan jemari di rambut lelaki itu dan tersenyum,
seperti kucing yang kenyang oleh makanan enak.

”Ya.”
”Kau tidak perlu mengucapkannya dengan marah.”
Cooper menelusurkan jemari di antara rusuk Rusty,

212

www.facebook.com/indonesiapustaka terus hingga ke pusarnya. ”Tapi aku memang marah.
Aku tidak mau menyerah pada pesonamu. Tapi aku
kalah karena gairahku sendiri.”

”Aku justru senang.” Rusty mengangkat kepala dan
mengecup lembut bibir Cooper.

Cooper mempermainkan ujung­ujung jarinya di pu­
sar Rusty. ”Untuk saat ini, aku juga merasakan hal yang
sama.”

Rusty tidak puas dengan pernyataan itu. ”Kenapa
hanya untuk saat ini?”

Tadi mereka melepaskan pakaian dengan cepat dan
menggelar kasur di depan perapian. Sekarang Rusty
berbaring telanjang di atas tumpukan selimut bulu,
rambutnya yang kemerahan kusut, bibirnya merah
muda dan lembap, sementara matanya sayu kelelahan
setelah bercinta. Ia tampak seperti wanita yang dihadi­
ahkan bagi seorang panglima perang yang menang da­
lam pertempuran. biasanya Cooper tak pernah punya
pikiran romantis demikian, maka bayangan ini membu­
atnya tersenyum tanpa sadar.

Diamatinya tubuh yang menggiurkan itu. ”Tidak
kenapa­kenapa.”

”Katakan.”
”Ini ada kaitannya dengan kau dan aku, tentang siapa
kita. Tapi aku tak ingin membicarakannya sekarang.” Ia
membungkuk dan mengecup Rusty lagi dan mendesah
senang. ”Tahukah kau bahwa kau sangat kecil?” bisik­
nya.
”Aku?”
”Ya.”

213

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Karena aku belum berpengalaman.”
Cooper memandanginya dengan tak percaya, tapi
wajah gadis itu tampak polos. Cepat­cepat ia bertanya,
”Sudah berapa sering?”
”Tidak sopan bertanya begitu.”
”berapa sering?”
Rusty menimbang­nimbang, apakah akan menjawab.
Akhirnya, sambil mengalihkan pandangan ia berkata
pelan, ”Kurang dari lima jari tanganku.”
”Dalam setahun?”
”Seluruhnya.”
Cooper mengamati dengan saksama, mencoba me­
nangkap sorot kebohongan di mata gadis itu. betapa
inginnya ia percaya, tapi tak bisa.
”Kurang dari lima kali?”
”Ya.”
”Kurang dari tiga?” Rusty membuang muka. ”Hanya
satu kali?” Rusty mengangguk. Jantung Cooper berde­
bar aneh dan emosi yang mengalir dalam dirinya serasa
bagai aliran kebahagiaan. Namun, ia belum yakin. ”Dan
kau tidak tinggal bersama laki­laki itu, bukan, Rusty?”
”Tidak.” Rusty memiringkan kepala ke satu sisi dan
mengiggit bibir bawahnya, merasakan belaian Cooper.
Jari Cooper yang kasar memiliki sentuhan ajaib dan
peka yang memberikan kenikmatan pada tubuh wanita.
”Kenapa tidak?”
”Ayah dan kakakku tidak akan setuju.”
”Apa segala sesuatu yang kaulakukan mesti disetujui
oleh ayahmu?”
”Ya... Tidak... Aku... aku... Cooper, hentikan.” Ia

214

www.facebook.com/indonesiapustaka terengah. ”Aku tidak bisa berpikir kalau kau terus
membelaiku begitu.”

”Jangan berpikir.”
”Tapi aku tidak mau... kau tahu, kan... oh...”

Setelah cahaya terakhir yang tadi menyelubunginya
meredup, Rusty membuka mata dan menatap senyum
menggoda di wajah lelaki itu. ”Lumayan, bukan?”

Ia hanya sanggup menjawab senyuman itu dan me­
nyentuh kumis Cooper dengan ujung­ujung jemarinya.
”Aku tidak mau terburu­buru. Aku ingin memandangi­
mu lebih lama.”

”Kalau begitu, pembicaraan kita tentang kau dan
ayahmu sudah selesai.”

Rusty mengerutkan kening. ”Semuanya sangat rumit,
Cooper. Ayahku sangat terpukul ketika Jef tewas. Aku
juga. Jef sangat...” Ia berusaha mencari kata yang tepat.
”Jef sangat luar biasa. Dia bisa melakukan apa saja.”

Cooper menyapukan kumisnya ke bibir Rusty. ”Ti­
dak semuanya,” katanya misterius. ”Dia tidak bisa...” Ia
membungkuk dan membisikkan apa yang tak bisa dila­
kukan Jef padanya, dengan menggunakan istilah jalan­
an yang membuat Rusty sangat tersipu­sipu. Namun ia
merasa senang, tidak tersinggung. ”Lihat, kan? Kau tak
perlu merasa rendah diri pada kakakmu.”

Sebelum Rusty sempat menjawab, Cooper sudah
menutup bibirnya dengan ciuman menggairahkan dan
panas. ”Nah, kenapa tadi kaubilang ingin memandangi­
ku lebih lama?”

215

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty masih kehabisan napas. Ia menarik napas pan­
jang dan lama, lalu berkata, ”Aku belum puas mena­
tapmu.” Matanya yang bersinar­sinar terarah ke dada
Cooper. Diangkatnya tangannya untuk menyentuh
Cooper, sementara matanya memandangi lelaki itu, se­
perti minta izin. Lalu disapukannya jemarinya di dada
Cooper.

”Ayo, teruskan, aku tidak menggigit.” Tatapan Rusty
padanya sangat sensual. Cooper tertawa. ”Payah. Aku
memang menggigit, tapi tidak selalu.” Ia membungkuk
berbisik, ”Hanya kalau aku sedang berada di atasmu.”

Sementara Rusty memandanginya, Cooper menggi­
giti cuping telinga gadis itu, juga lehernya. Ketika jema­
ri Rusty menyentuh ujung dadanya, Cooper tersentak.
Rusty cepat­cepat menarik kembali tangannya, namun
Cooper menangkapnya dan menekannya kembali di
dadanya.

”Tidak sakit,” ia menjelaskan dengan suara serak.
”Rasanya seperti kena setrum. Aku tidak siap. Lakukan
lagi. Sesukamu.”

Rusty melakukannya. Ia bermain­main dengan tubuh
lelaki itu, hingga napas Cooper terengah­engah. ”Ada
yang memerlukan perhatianmu, tapi sebaiknya kita bi­
arkan saja.” Katanya sambil menangkap tangan Rusty
yang bergerak makin ke bawah. ”Itu kalau kita ingin
melakukannya dengan santai dan perlahan.”

”biarkan aku menyentuhmu.”
Cooper tidak berdaya menolak permintaan yang di­
ucapkan dengan suara berbisik itu. Dipejamkannya
matanya dan ditahannya belaian­belaian Rusty, sampai

216

www.facebook.com/indonesiapustaka ia tidak tahan lagi. Diangkatnya tangan gadis itu dan
dihujaninya dengan ciuman.

”Giliranku.” Salah satu lengan Rusty masih tertekuk
di belakang kepala. Payudaranya naik­turun dengan
teratur. Cooper menangkupkan tangannya pada masing­
masing payudara dan meremasnya. ”Terlalu keras?” ta­
nyanya, melihat perubahan ekspresi Rusty.

”Terlalu enak.” Rusty mendesah.
”Malam itu, waktu aku menciummu... di sini...” Ia
menyentuh lekuk halus dada Rusty.
”Ya?”
”Aku sengaja ingin meninggalkan tanda.”
Mata Rusty yang semula mengantuk kini terbuka
lebar. ”Oh ya? Kenapa?”
”Karena aku jahat. Itu sebabnya.”
”Tidak, kau tidak jahat. Kau cuma ingin orang­orang
menganggapmu jahat.”
”Dan berhasil, bukan?”
Rusty tersenyum. ”Kadang­kadang. Kadang­kadang
kupikir kau sangat jahat. Kadang juga aku tahu kau
sangat menderita, dan satu­satunya cara untuk menga­
tasinya adalah dengan bersikap jahat. Kurasa semua itu
bermula dari pengalamanmu sebagai tawanan perang.”
”Mungkin.”
”Cooper?”
”Hmm?”
”buatlah tanda lagi di tubuhku, kalau kau mau.”
Cooper menatap Rusty, lalu ia berpindah ke atas
tubuh gadis itu dan mengecup bibirnya dengan hangat,
sementara tangannya masih terus mengusap payudara

217

www.facebook.com/indonesiapustaka gadis itu. Disapukannya kumisnya ke bibir Rusty, lalu
ke leher gadis itu, terus ke dadanya, hingga mencapai
lekuk atas payudaranya.

”bokongmu biru lebam karena aku. Lalu dadamu.
Kurasa dengan caraku yang primitif aku ingin membe­
rikan cap padamu, menunjukkan bahwa kau milikku.
Tapi sekarang itu tak perlu lagi.” Ia menyapukan bibir­
nya perlahan di kulit Rusty. ”Sekarang kau milikku.
Setidaknya untuk sementara.”

Rusty ingin mempertanyakan ucapan lelaki itu, juga
ingin mengatakan bahwa ia akan mejadi milik Cooper
selama yang diinginkan lelaki itu. Namun ia tak sang­
gup mengucapkan apa pun, karena Cooper masih terus
menciuminya, begitu rakus, seperti anak kecil menjilati
es krim. Ketika Rusty merasa tidak tahan lagi, diceng­
keramnya rambut lelaki itu dan diarahkannya mulutnya
tepat di atas puncak payudaranya.

Cooper memenuhi keinginannya dan Rusty menye­
rukan namanya keras­keras.

”Oh, Sayang, enak sekali.” Mulut Cooper sangat
bergairah, namun tetap lembut.

”Cooper?”
”Hmmm?”
”Cooper?”
”Hmmm?”
”Cooper?” Rusty menarik telinga lelaki itu dan men­
jauhkan kepalanya. ”Kenapa kau melakukan itu?”
”Apa?”
Cooper menghindari tatapan Rusty dan memandang
ke atas puncak kepala gadis itu. ”Kau tahu maksudku.”

218

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty membasahi bibirnya dengan tegang. ”Kenapa
kau... mundur... sebelum...?”

Ia merasa takut dan kecewa, seperti sebelumnya,
ketika pada saat­saat terakhir Cooper menyelesaikan
permainan cinta mereka sebelum waktunya.

Cooper terdiam. Sesaat Rusty takut ia telah mem­
buat Cooper marah. Jangan­jangan Cooper akan me­
ninggalkannya di kasur ini. Setelah beberapa lama,
Cooper kembali menatapnya. ”Kurasa kau patut diberi
penjelasan.” Rusty tidak menjawab. Cooper mendesah­
kan namanya. ”Kita mungkin akan lama di sini. Kurasa
kita tidak mau mendapat beban tambahan satu orang
lagi.”

”bayi?” Rusty terperangah. Ia menimbang­nimbang
kemungkinan itu dan sama sekali tidak merasa takut
karenanya. Malah bibirnya membentuk senyuman ma­
nis. ”Itu tidak terpikir olehku.”

”Aku terpikir. Kita masih sama­sama muda dan se­
hat. Aku tahu kau tidak memakai alat kontrasepsi, se­
bab aku tahu apa­apa saja yang kita bawa ke dalam
pondok ini. benar?”

”Ya,” sahut Rusty malu­malu, seperti anak kecil yang
mengakui kesalahannya.

”Aku tidak membawa apa pun untuk keperluan itu.”
”Tapi mungkin itu tak akan terjadi.”
”Kita tidak bisa memastikan. Aku tidak mau meng­
ambil risiko. Jadi-”
”Tapi, kalaupun terjadi, kita pasti sudah ditemukan
sebelum anak itu lahir,” sela Rusty dengan bersemangat.
”Mungkin, tapi-”

219

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kalaupun kita tidak ditemukan, akulah yang ber­
tanggung jawab untuk menyusui anak itu.”

Pembicaraan tentang bayi ini membuat perut Cooper
bergolak. Mulutnya kembali membentuk garis keras
seperti dulu, dan hanya melembut ketika ia melihat
betapa bersemangatnya Rusty. Dan betapa polosnya.
”Itulah,” kata Cooper dengan kasar, sementara mulut­
nya bergerak ke arah payudara Rusty. ”Aku tidak rela
membagimu dengan siapa pun.”

”Tapi-”
”Maaf, tidak ada pilihan.”
Rusty ingin memprotes dan terus mendebat, tapi
Cooper sudah kembali membelainya, dan mereka pun
kembali bercinta sepanjang hari, hingga menjelang ma­
lam, tanpa merasa lapar, dingin, ataupun lelah. Akhir­
nya mereka membungkus diri dalam selimut bulu itu
sambil berpelukan, dan tertidur.
Hanya bunyi derak baling­baling helikopter yang
kemudian membangunkan mereka dari mimpi.

220

www.facebook.com/indonesiapustaka 10

IA akan ketinggalan pesawat. Ia tahu itu. Ia sudah lama
tahu. Tapi tetap saja ia berlari. Ini juga selalu dilakukan­
nya. Pepohonan hutan menghalangi jalannya. Dengan
susah payah ia berusaha menembusnya, menuju lapang­
an itu. Ia berlari begitu kencang, hingga paru­parunya
bagai terbakar. bunyi napasnya terdengar sangat keras
di telinganya sendiri.

Tapi ia masih tetap bisa mendengar desing baling­
baling helikopter itu. Dekat. begitu dekat. berisik.

Kali ini aku harus bisa mencapainya, ia berseru dalam
hati. Aku mesti bisa mencapainya. Kalau tidak, aku akan
tertangkap lagi.

Tapi ia tahu bahwa ia tidak akan berhasil, meski ia
terus berlari. Terus... terus...

Seperti biasa, setelah mengalami mimpi buruk,
Cooper terduduk tegak dengan napas terengah­engah
dan tubuh basah kuyup oleh keringat. Ya Tuhan, kali
ini suara itu sungguh­sungguh nyata. Suara bising
baling­baling helikopter itu kedengarannya...

221

www.facebook.com/indonesiapustaka Sekonyong­konyong ia menyadari bahwa ia masih
bisa mendengar bunyi helikopter tersebut. Apakah ia
sudah bangun sepenuhnya? Ya, sudah. Itu dia Rusty,
masih tertidur nyenyak di sampingnya. Ini bukan di
Vietnam. Ini di Kanada. Dan ia benar­benar mendengar
suara helikopter.

Cooper cepat­cepat bangkit dan lari melintasi lantai
dingin itu. Sejak mereka kehilangan kesempatan men­
dapatkan pertolongan dari pesawat pencari waktu itu,
ia selalu meletakkan pistol isyarat di rak dekat pintu. Ia
menyambarnya sambil keluar. Saat melintasi beranda
dan melompat ke tanah, ia masih belum berpakaian
sehelai pun, namun pistol isyarat itu tergenggam erat di
tangan kanannya.

Dengan tangan kiri ia menudungi matanya dan me­
nengadah ke langit, mencari­cari. Matahari bersinar
terang, sederet dengan puncak­puncak pepohonan.
Matanya perih oleh sinar terang itu, dan ia sama sekali
tak bisa melihat apa­apa. ia hanya punya enam api isya­
rat di dalam pistolnya, dan ia tak boleh ceroboh meng­
gunakannya. Setiap isyarat harus membawa hasil. Tapi
ia masih bisa mendengar suara helikopter itu. Jadi, ia
bertindak berdasarkan nalurinya. Ditembakkannya dua
api isyarat tegak lurus ke atas.

”Cooper, apakah itu suara-”
”Helikopter.”
Rusty lari ke beranda dan melemparkan sehelai cela­
na jeans pada Cooper. Ketika terbangun tadi, yang
mula­mula dirasakannya adalah bahwa kekasihnya tidak
lagi berada di sampingnya. Kemudian ia mendengar

222

www.facebook.com/indonesiapustaka suara helikopter. Maka cepat­cepat dikenakannya celana
panjangnya yang sudah compang­camping serta sweter­
nya yang berat. Sekarang ia pun mencari­cari di langit,
sambil menudungi mata.

”Mereka pasti melihat api pistol isyarat itu,” seru
Cooper penuh semangat. ”Mereka kembali.”

”Aku tidak melihatnya. bagaimana kau tahu?”
”Aku mengenali suaranya.”
benar saja. Tak lama kemudian helikopter itu berpu­
tar di atas puncak­puncak pepohonan dan melayang di
atas pondok. Cooper dan Rusty mulai melambai­lam­
baikan tangan sambil berteriak­teriak, meski sudah jelas
bahwa mereka sudah terlihat oleh kedua laki­laki yang
duduk di dalam helikopter itu. Mereka bahkan bisa
melihat senyum lebar kedua orang tersebut dari balik
kaca transparan helikopter tersebut.
”Mereka melihat kita! Oh, Cooper, Cooper!”
Rusty melontarkan tubuhnya kepada Cooper. Lelaki
itu menangkapnya dalam satu pelukan erat, mengang­
katnya dari tanah, dan memutar­mutarnya. ”Kita ber­
hasil, Sayang. Kita berhasil!”
Lapangan di sekitar pondok cukup luas untuk tem­
pat mendarat helikopter itu. Sambil bergandengan ta­
ngan, Rusty dan Cooper lari menghampiri pesawat
tersebut. Rusty tidak memedulikan rasa sakit di kaki­
nya. Pilot yang duduk di kursi sebelah kanan membuka
sabuk pengamannya dan melangkah ke luar. Ia lari
membungkuk ke arah mereka, menghindari putaran
keras baling­baling.
”Miz Carlson, Ma’am?” Aksen Selatan­nya sangat

223

www.facebook.com/indonesiapustaka kental. Rusty mengangguk, sekonyong­konyong merasa
malu dan tak sanggup berbicara. Dengan malu­malu ia
berpegangan pada lengan Cooper.

”Cooper Landry,” kata Cooper sambil mengulurkan
tangan dan menjabat tangan pilot itu dengan guncangan
penuh semangat. ”Kami senang sekali melihat kalian.”

”Kami juga senang. Ayah Miz Carlson menyewa
kami untuk mencarinya. beliau tidak puas dengan usa­
ha yang telah dilakukan para pejabat yang berwenang.”

”begitulah ayahku,” teriak Rusty di tengah suara
keras baling­baling.

”Hanya kalian berdua yang selamat?” Mereka meng­
angguk dalam diam. ”Yah, sebaiknya kita tidak berlama­
lama. Ayah Anda pasti senang sekali melihat Anda
lagi.”

Sambil berkata demikian, pilot yang ramah itu me­
mandang Cooper dengan cemas, memperhatikan celana
jeans­nya yang terbuka. Jelas celana itu dikenakan de­
ngan tergesa­gesa, dan di baliknya tidak ada pakaian
dalam lagi. Penampilan Rusty sendiri seperti perempu­
an yang habis bercinta sepanjang malam. Pilot itu bisa
segera menyimpulkan situasi mereka, tanpa perlu dibe­
ritahu.

Mereka kembali ke pondok hanya untuk berpakaian
dengan semestinya. Cooper mengambil senapan berbu­
runya yang mahal. Selain itu, mereka tidak membawa
apa­apa lagi. Saat memasuki pondok untuk terakhir
kali, Rusty memandang sekeliling dengan sedih. Semula
ia sangat membenci tempat itu, tapi sekarang, saat hen­
dak meninggalkannya, ada sedikit rasa sedih di hatinya.

224

www.facebook.com/indonesiapustaka Tapi Cooper tampaknya tidak menyesal meninggal­
kan tempat itu. Ia dan sang pilot sudah tertawa­tawa
dan bercanda, sebab ternyata mereka adalah veteran
dari perang yang sama, dan sempat bertugas pada kesa­
tuan yang sama pula. Rusty mesti berlari untuk menyu­
sul mereka. Cooper merangkul bahunya dan tersenyum
padanya. Rusty jadi merasa lebih baik.

”Aku Mike,” si pilot memperkenalkan diri sambil
membantu mereka duduk. ”Dan itu saudara kembarku
Pat.” Pilot satunya memberi salam pada mereka.

”Pat dan Mike?” seru Cooper. ”Yang benar saja?”
Kedua nama itu kedengarannya sangat lucu dan me­
reka tertawa terbahak­bahak sementara helikopter
mulai terangkat dari tanah dan mengambil ancang­
ancang di atas puncak pepohonan, sebelum mulai naik
lebih tinggi.
”Lokasi jatuhnya pesawat sudah ditemukan oleh pe­
sawat pencari beberapa hari yang lalu,” teriak Mike
sambil menunjuk ke bawah.
Rusty memandang arah yang ditunjukkan. Ia sangat
terkejut bahwa ia dan Cooper telah menempuh jarak
sekian jauh dengan berjalan kaki, apalagi Cooper harus
menyeretnya di tandu buatannya. Ia takkan mungkin
bertahan kalau bukan karena pertolongan lelaki itu.
bagaimana kalau Cooper ikut tewas dalam kecelakaan
pesawat tersebut? Ia merinding membayangkan ke­
mungkinan itu dan menyandarkan kepala di bahu lelaki
itu. Cooper memeluknya dan menariknya merapat.
Tanpa sadar Rusty meremas paha lelaki itu dengan si­
kap penuh kepercayaan.

225

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Lima orang lainnya tewas,” kata Cooper pada kedua
pilot. ”Rusty dan aku duduk di baris paling belakang.
Kurasa itu sebabnya kami selamat.”

”Ketika dilaporkan bahwa pesawat itu tidak terbakar,
Mr. Carlson bersikeras meminta dilakukan pencarian,
kalau­kalau masih ada yang selamat,” kata Mike. ”beliau
menyewa kami dari Atlanta. Kami mengkhususkan diri
dalam misi pencarian.” Ia bertelekan pada bagian bela­
kang kursinya dan menoleh ke arah mereka. ”bagai­
mana kalian menemukan pondok itu?”

Cooper dan Rusty bertukar pandang dengan gelisah.
”Itu nanti saja diceritakan. Kami hanya mau menyam­
paikan satu kali, kalau tidak keberatan,” kata Cooper.

Mike mengangguk. ”Aku akan melapor lewat radio
bahwa kalian sudah diselamatkan. banyak orang
mencari kalian. Cuaca benar­benar buruk. Maaf, Miz
Carlson.”

”Tidak apa­apa.”
”Kami tidak diizinkan terbang sampai kemarin, keti­
ka cuaca membaik. Kami tidak melihat apa­apa. Lalu
tadi pagi kami mulai mencari lagi.”
”Kami akan dibawa ke mana?” tanya Cooper.
”Yellowknife.”
”Ayahku ada di sana?”
Mike menggeleng. ”Dia ada di L.A. Kurasa kalian
berdua akan langsung dibawa ke sana hari ini juga.”
Ini berita bagus untuk Rusty. Entah kenapa, ia takut
kalau harus memaparkan detail­detail peristiwa yang
dialaminya pada ayahnya. Ia lega karena tidak perlu
menghadapi ayahnya saat ini juga—mungkin karena

226

www.facebook.com/indonesiapustaka peristiwa semalam itu. Ia belum sempat menganalisis­
nya. Ia ingin meresapi apa yang dialaminya bersama
Cooper.

Tapi penyelamatan ini menginterupsi segalanya.
Tentu saja ia senang mereka diselamatkan, namun ia
tetap ingin dibiarkan merenungkan segalanya seorang
diri. Satu­satunya orang yang boleh menginterupsinya
hanyalah Cooper. Memikirkan itu, ia kembali diselimuti
rasa malu. Dirapatkannya tubuhnya pada Cooper.

Seperti bisa membaca pikirannya, lelaki itu mengang­
kat wajah Rusty dan memandanginya lekat­lekat. Lalu
ia menunduk dan mengecup bibir Rusty dengan hangat.
Kemudian ditariknya kepala Rusty ke dadanya dan di­
permainkannya rambut gadis itu perlahan. Sikapnya
protektif, sekaligus posesif.

Mereka tetap berpelukan sepanjang sisa perjalanan.
Kedua pilot itu tidak mengajak bercakap­cakap lagi.
Mereka menghormati kebutuhan privasi kedua orang
itu. berbagai pertanyaan bisa ditunda hingga nanti.

”banyak sekali orang yang menunggu.” Mike meno­
leh ke arah mereka dan mengangguk ke bawah sana,
saat mereka sudah mendekati bandara. bandara itu
kecil jika dibandingkan dengan bandara­bandara kota
besar, tapi cukup untuk tempat mendarat pesawat jet.

Rusty dan Cooper melihat banyak orang berkerumun
di bawah sana, dan mereka sama sekali tidak memedu­
likan batas yang dipasang untuk pendaratan. Van-van
berlogo berbagai stasiun TV diparkir dari ujung ke
ujung. Di daerah Northwest Territories yang terpencil
ini belum pernah ada kru media sebanyak itu.

227

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper menyumpah­nyumpah pelan. ”Siapa yang
mengumpulkan orang­orang ini?”

”Kecelakaan pesawat itu menjadi berita besar,” Mike
menjelaskan sambil tersenyum minta maaf. ”Hanya
kalian berdua yang selamat. Kurasa semua orang ingin
mendengar komentar kalian tentang pengalaman itu.”

begitu helikopter mendarat, kerumunan reporter itu
maju menyerbu. Para petugas polisi dengan susah payah
berusaha menahan mereka. beberapa lelaki bertampang
pejabat lari ke depan. Putaran baling­baling pesawat
yang menimbulkan angin kencang membuat setelan
resmi mereka menempel ketat di badan dan menerbang­
kan dasi mereka ke wajah. Namun akhirnya mesin pe­
sawat dimatikan.

Mike melompat ke tanah dan membantu Rusty tu­
run. Rusty meringkuk malu di sisi helikopter, sampai
Cooper melompat ke sampingnya. Setelah mengucap­
kan terima kasih pada kedua pilot kembar dari Georgia
itu, mereka melangkah ke depan sambil bergandengan
tangan dengan erat.

Para pejabat tadi ternyata wakil­wakil dari Dewan
Keamanan Penerbangan Kanada dan Dewan Keamanan
Transportasi Nasional. Pihak Amerika Serikat diun­
dang untuk ikut menyelidiki kecelakaan pesawat itu,
karena para penumpang yang terlibat semuanya orang
Amerika.

Para birokrat itu menyambut Cooper dan Rusty, lalu
mengawal mereka melewati para reporter yang berde­
sakan sambil berteriak­teriak. Orang­orang itu mem­
bombardir keduanya dengan berbagai pertanyaan yang

228

www.facebook.com/indonesiapustaka dilontarkan dengan cepat, seperti muntahan peluru dari
senapan mesin.

Mereka masuk dari salah satu pintu untuk karyawan,
menyusuri lorong, lalu dibawa ke sebuah kantor pribadi
yang khusus disiapkan untuk mereka.

”Ayah Anda sudah diberitahu, Miss Carlson.”
”Terima kasih banyak.”
”beliau senang sekali mendengar Anda baik­baik
saja,” kata pejabat itu sambil tersenyum. ”Mr. Landry,
adakah pihak keluarga yang perlu kami beritahu untuk
Anda?”
”Tidak.”
Rusty menoleh heran mendengar jawaban itu.
Cooper tidak pernah menyebut­nyebut keluarganya,
jadi ia menyimpulkan bahwa lelaki itu tidak punya
keluarga. Sungguh menyedihkan melihat tak ada
seorang pun yang menjemput Cooper. Rusty ingin
mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi lelaki
itu. Tapi mereka dikelilingi orang­orang ini.
Salah seorang pejabat menghampiri mereka. ”Kukira
hanya Anda berdua yang selamat dari kecelakaan itu?”
”Ya, yang lainnya tewas seketika.”
”Kami sudah memberitahu keluarga mereka. bebe­
rapa sudah menunggu di luar. Mereka ingin bicara
dengan Anda.” Wajah Rusty langsung pucat pasi, begitu
pula buku­buku jemarinya yang masih digandeng
Cooper. ”Tapi itu bisa menunggu,” kata pejabat itu
cepat­cepat, karena melihat kecemasan Rusty. ”bisakah
Anda memberi penjelasan sedikit tentang penyebab
kecelakaan itu?”

229

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku bukan pilot,” sahut Cooper singkat. ”Tapi aku
yakin penyebabnya adalah badai. Kedua pilot sudah
berusaha sebaik mungkin.”

”Kalau begitu, kecelakaan tersebut bukan disebabkan
oleh mereka?” pancing si pejabat.

”boleh aku minta air?” kata Rusty pelan.
”Dan sedikit makanan,” kata Cooper, masih dengan
nada ketus. ”Kami belum makan sejak pagi. Minum
kopi pun tidak.”
”Tentu. Sebentar.” Seseorang diperintahkan untuk
memesan sarapan bagi mereka.
”Dan sebaiknya kalian mendatangkan petugas yang
berwenang. Ada dua kematian yang mesti kulaporkan.”
”Dua kematian apa?”
”Kematian orang­orang yang kubunuh.” Semua orang
terdiam. Cooper berhasil merebut perhatian mereka
sepenuhnya. ”Mesti ada yang diberitahu, tapi omong­
omong, bagaimana dengan kopinya?” Suara Cooper
bernada penuh wibawa dan tidak sabar. Sungguh meng­
herankan, semua orang langsung bergerak. Selama satu
jam berikutnya para pejabat itu sibuk mengurus mereka.
Sarapan mereka berupa steik dan telur. Namun yang
paling dinikmati Rusty adalah sari jeruk segar yang dihi­
dangkan untuk mereka. Ia tak puas­puasnya minum mi­
numan itu. Sambil makan, mereka menjawab pertanyaan
yang seperti tak ada habisnya. Pat dan Mike juga dibawa
untuk menjelaskan lokasi pondok dari tempat jatuhnya
pesawat. Sementara cuaca masih bagus, beberapa kru
ditugaskan melihat bangkai pesawat dan memeriksa ma­
yat­mayat yang telah dikuburkan oleh Cooper.

230

www.facebook.com/indonesiapustaka Di tengah segala kesibukan itu, seseorang menyodor­
kan telepon pada Rusty. Suara ayahnya terdengar keras
di telinganya. ”Rusty! Syukurlah. Apa kau baik­baik
saja?”

Mata Rusty penuh air mata. Sesaat ia tak sanggup
menjawab. ”Aku baik­baik saja. Kakiku sudah jauh le­
bih baik.”

”Kakimu? Ada apa dengan kakimu? Tidak ada yang
memberitahukan apa­apa padaku tentang kakimu.”

Rusty berusaha menjelaskan sebisanya, dalam kali­
mat pendek­pendek. ”Tapi sekarang sudah sembuh.
Sungguh.”

”Aku tidak percaya. Kau tak usah memikirkan apa­
apa,” kata ayahnya. ”Aku akan menangani segalanya dari
sini. Kau akan dibawa ke L.A. malam ini dan aku akan
menjemputmu di bandara. Sungguh suatu keajaiban kau
bisa selamat.”

Rusty menoleh kepada Cooper dan berkata pelan,
”Ya, sungguh ajaib.”

Menjelang sore mereka dibawa ke motel di seberang
jalan dan dipesankan tempat untuk mandi dan ganti
pakaian dengan apa­apa yang sudah disediakan oleh
pemerintah Kanada.

Di pintu kamarnya, dengan enggan Rusty melepaskan
lengan Cooper. Ia tak ingin lelaki itu lepas dari pandang­
annya. Ia merasa asing di sini. Tak ada yang nyata. Sega­
lanya berpusar di sekelilingnya, wajah­wajah yang bagai­
kan muncul dari mimpi. Ia merasa sulit mengartikan
kata­kata yang didengarnya. Segalanya asing... kecuali
Cooper. Hanya Cooper yang nyata baginya.

231

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper sendiri tampaknya merasa tidak senang de­
ngan pengaturan ini, tapi tentunya tidak pantas jika
mereka tidur sekamar. Maka ia meremas tangan Rusty
dan berkata, ”Aku ada di kamar sebelah.”

Dipandanginya Rusty masuk ke kamar, dan ditung­
gunya hingga gadis itu sudah mengunci pintu. Lalu
barulah Cooper masuk ke kamarnya sendiri. Di dalam
ia mengempaskan diri ke kursi yang hanya satu­satunya
dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

”Sekarang apa?” tanyanya pada tembok­tembok yang
mengelilinginya.

Kalau saja ia bisa menahan diri satu hari lagi saja.
Kalau saja gadis itu tidak bertanya kepadanya kemarin
pagi, setelah sarapan. Kalau saja gadis itu tidak begitu
memikat. Kalau saja mereka tidak berada di dalam pe­
sawat yang sama. Kalau saja pesawat itu tidak mendapat
kecelakaan. Kalau saja ada penumpang lain yang sela­
mat, dan mereka tidak hanya berdua.

begitu banyak pengandaian itu, tapi kenyataannya
tetap bahwa mereka telah bercinta sepanjang hari kema­
rin, dan semalam, hingga subuh.

Dan ia tidak menyesalinya. Tidak sedikit pun.
Tapi ia tidak tahu bagaimana ia akan bersikap sejak
saat ini. Yang tepat adalah ia mesti pura­pura mengang­
gap semua itu tidak pernah terjadi. Ia tak boleh meng­
hiraukan sinar hangat penuh cinta di mata gadis itu.
Tapi itulah masalahnya. Ia tak bisa mengabaikan sorot
yang meluluhkan itu.
Ia juga tak sampai hati untuk tidak mengacuhkan
ketergantungan gadis itu padanya. Peraturan yang me­

232

www.facebook.com/indonesiapustaka reka buat di pondok itu masih tetap berlaku. Rusty
belum bisa menyesuaikan diri. Ia masih ketakutan. Ia
baru saja lepas dari trauma, dan Cooper tak mau meng­
hadapkannya pada trauma lain dalam waktu begitu ce­
pat. Gadis itu tidak tangguh seperti dirinya. Ia mesti
diperlakukan dengan halus dan bijaksana. Cooper me­
rasa Rusty patut mendapat pengertian itu, setelah ba­
nyak menghadapi sikap kerasnya di pondok.

Tentu saja ia sudah menerima kenyataan bahwa ia
mesti meninggalkan gadis itu. Ia berharap Rusty akan
lebih dulu meninggalkannya. Dengan demikian, ia bisa
merasa lega karena tidak menyakiti gadis itu.

Tapi sialnya Rusty tidak mau meninggalkannya dan
Cooper sendiri tak sanggup pergi begitu saja. Setidak­
nya jangan saat ini. Tunggu sampai tiba saatnya mereka
betul­betul mesti berpisah. Sementara itu, ia akan terus
menjadi ksatria penolong gadis itu.

Ia tahu ini tindakan bodoh, tapi ia menyukai peran­
nya.

Sayangnya peran ini hanya untuk sementara.

Setelah mandi air panas, Rusty merasa nyaman. Ia me­
rasa jauh lebih baik, secara isik dan mental. Dikeramas­
nya rambutnya dengan sampo dua kali dan digosok­
gosoknya hingga bersih. Keluar dari bak mandi ia
merasa hampir­hampir normal kembali.

Tapi sebenarnya tidak. biasanya ia tak pernah pedu­
li betapa halusnya handuk yang disediakan pihak motel.
baginya handuk halus sudah biasa. Dan ada beberapa

233

www.facebook.com/indonesiapustaka hal lain yang berubah dalam dirinya. Ketika ia meng­
angkat kakinya di tepi bak, untuk dikeringkan, ia meli­
hat bekas luka yang memanjang hingga ke mata kaki­
nya. Dan di dalam hatinya juga ada luka­luka lain.
Luka­luka dalam yang terukir jauh di dasar jiwanya.
Rusty Carlson takkan pernah sama seperti dulu lagi.

Pakaian yang diberikan padanya tidak mahal dan
kebesaran, tapi setidaknya ia jadi merasa menjadi ma­
nusia lagi, dan feminin. Sepatunya pas, tapi terasa aneh
dan sangat ringan di kakinya. baru kali ini ia mengena­
kan sepatu biasa lagi. Sebelumnya ia hanya memakai
bot untuk hiking. Hampir seminggu di pondok dan
hampir dua minggu sejak peristiwa kecelakaan itu.

Dua minggu? Hanya selama itukah?
Ketika ia keluar kamar, Cooper sudah menunggunya
di depan pintu. Lelaki itu sudah mandi dan bercukur.
Rambutnya masih basah, tapi sudah disisir rapi. Pakaian
barunya tampak tidak sesuai dengan posturnya yang
besar.
”Kau tampak beda,” bisik Rusty.
Cooper menggeleng. ”Tidak. Dari luar mungkin
berbeda, tapi aku tidak berubah.”
Ia meraih tangan Rusty dan menariknya sambil me­
nyorotkan tatapan mencegah pada orang­orang yang
ingin mengerumuni mereka. Mereka menjauh agar
pembicaraan mereka tidak didengar orang. Cooper
berkata, ”Karena kesibukan belakangan ini, aku belum
sempat menceritakan sesuatu padamu.”
Ia sangat tampan. Tubuhnya menguarkan aroma
sabun dan krim cukur, dan mulutnya beraroma pepper-

234

www.facebook.com/indonesiapustaka mint yang segar. Rusty mengamatinya dengan penuh
kerinduan, tak sanggup percaya melihat Cooper yang
baru ini. ”Apa?”

Cooper membungkuk lebih dekat. ”Aku senang me­
rasakan sapuan lidahmu di perutku.”

Rusty terkesiap. Matanya terarah pada orang­orang
yang berkerumun di kejauhan. Semuanya memandangi
mereka dengan penuh rasa ingin tahu. ”Kau keterlaluan.”

”Aku tidak peduli.” Ia maju lebih dekat. ”Mari kita
buat mereka penasaran.” Ia memegang dagu Rusty dan
mengangkatnya.

Lalu diciumnya gadis itu dengan penuh gairah. Tan­
pa tergesa­gesa. Lidahnya bergerak di dalam mulut
Rusty, perlahan­lahan dan penuh keahlian.

Akhirnya Cooper menjauh sambil menggerutu, ”Aku
ingin menciummu seperti itu lagi, tapi... itu mesti me­
nunggu.” Ia memandang ke arah para penonton yang
terperangah.

Kemudian mereka diantar kembali ke bandara, tapi
Rusty tak pernah ingat saat­saat mereka meninggalkan
motel itu. Ciuman Cooper membuatnya terbang mela­
yang.

Jam­jam siang itu berlalu begitu lamban. Mereka diba­
wakan makanan lagi. Rusty memesan salad porsi besar.
Ia sangat ingin makan sayuran dingin yang segar, tapi
ternyata hanya sanggup menghabiskan sebagian makan­
annya.

Ia tidak begitu bernafsu makan antara lain karena

235

www.facebook.com/indonesiapustaka beberapa jam sebelumnya ia sudah sarapan. Tapi penye­
bab utamanya adalah karena ia merasa cemas dengan
interogasi yang tadi dijalaninya bersama Cooper, me­
ngenai kematian Quinn dan Reuben Gawrylow.

Seorang reporter pengadilan tinggi dipanggil untuk
mencatat pernyataan Cooper. Cooper menceritakan
pengalaman mereka bertemu kedua orang penyendiri itu,
bagaimana mereka diberi tumpangan tempat tinggal, di­
janjikan pertolongan, tapi ternyata diserang. ”Nyawa
kami dalam bahaya,” kata Cooper. ”Aku tidak punya pi­
lihan. Apa yang kulakukan itu demi membela diri.”

Rusty melihat bahwa para polisi tidak percaya. Me­
reka saling berbisik dan terus menunjukkan tatapan
curiga ke arah Cooper. Mereka menanyakan tentang
pengalaman Cooper di Vietnam dan menyinggung fak­
ta bahwa Cooper pernah menjadi tawanan perang.
Mereka meminta Cooper memaparkan peristiwa yang
berakhir pada keberhasilannya melarikan diri dari kamp
tawanan. Cooper menolak, katanya itu tidak ada hu­
bungannya dengan urusan ini.

”Tapi kau terpaksa...”
”Membunuh?” tanya Cooper tanpa basa­basi. ”Ya,
aku banyak membunuh orang untuk bisa keluar dari
kamp itu. Dan akan kulakukan lagi kalau terpaksa.”
Kembali para polisi itu bertukar pandang. Seseorang
terbatuk gugup.
”Dia tidak menceritakan fakta yang paling penting,”
kata Rusty lekas­lekas. Semua mata terarah kepadanya.
”Jangan, Rusty,” kata Cooper. Matanya menatap de­
ngan sorot memohon. ”kau tidak perlu mengungkapkan­
nya.”

236

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty balas menatapnya dengan sayang. ”Aku mera­
sa perlu mengatakannya. Kau berusaha melindungi aku.
Kuhargai sikapmu, tapi aku tidak mau mereka meng­
anggap kau membunuh kedua orang itu tanpa motivasi
kuat.” Rusty menghadapi para pendengarnya. ”Kedua
Gawrylow itu ingin membunuh Cooper dan... mena­
hanku.”

Wajah­wajah di seputar meja itu tampak terperanjat.
”bagaimana Anda tahu, Ms. Carlson?”

”Pokoknya dia tahu, oke? Kalian boleh menganggap
aku berbohong, tapi tak ada alasan bagi kalian untuk
mencurigai dia berbohong.”

Rusty menyentuh lengan Cooper untuk menenang­
kannya. ”Sang ayah, Quinn, menyerangku.” Dengan
gamblang Rusty menceritakan apa yang dilakukan Quinn
padanya pagi itu di pondok. ”Kakiku luka parah. boleh
dikatakan aku sama sekali tak berdaya. Cooper kembali
tepat pada waktunya untuk mencegah aku diperkosa.
Quinn hendak mengambil pistolnya. Kalau Cooper tidak
segera bertindak, dia pasti sudah terbunuh. Dan aku akan
berada di bawah kekuasaan lelaki tua itu.”

Ia dan Cooper saling pandang dengan penuh pengerti­
an. Lama. Ia tak pernah memancing­mancing kedua lelaki
hutan itu dengan sengaja. Cooper sudah tahu itu sejak
semula. Dalam sorot matanya itu ia meminta Rusty
memaafkannya atas segala hinaan yang pernah diucap­
kannya, dan sebaliknya Rusty meminta Cooper memaaf­
kannya karena ia pernah merasa takut pada lelaki itu.

Cooper meraih kepala Rusty dan menempelkannya
ke dadanya. Lengannya memeluk tubuh gadis itu, tanpa

237

www.facebook.com/indonesiapustaka memedulikan orang­orang lain di ruangan tersebut.
Mereka berpelukan erat.

Setengah jam kemudian, Cooper dibebaskan dari per­
tanggungjawaban legal atas kematian kedua Gawrylow.
Sekarang mereka tinggal menghadapi pertemuan dengan
keluarga para korban. Sekumpulan orang yang menangis
dibawa masuk ke ruangan. Selama hampir satu jam Rus­
ty dan Cooper berbicara dengan mereka dan memberikan
keterangan sebisanya. Para keluarga yang berduka mera­
sa agak terhibur mendengar bahwa orang­orang tercinta
itu meninggal segera, tanpa merasa sakit. Dengan penuh
air mata mereka mengucapkan terima kasih kepada Rus­
ty dan Cooper, karena telah berbagi informasi tentang
kecelakaan pesawat tersebut. Pengalaman ini sangat
mengharukan bagi semua pihak yang terlibat.

Pertemuan dengan pihak media sama sekali berbeda.
Ketika Rusty dan Cooper dikawal masuk ke ruangan
besar yang sudah disiapkan untuk konferensi pers, mere­
ka berhadapan dengan kerumunan orang yang sudah tak
sabar. Asap tembakau melayang hingga ke langit­langit.

Keduanya duduk di belakang meja yang dilengkapi
mikrofon dan menjawab rentetan pertanyaan sedapat
mungkin. Ada pertanyaan yang konyol, ada yang cerdas,
dan ada pula yang sangat pribadi sifatnya. Ketika salah
seorang reporter bertanya seperti apa rasanya tinggal
satu pondok dengan orang yang sama sekali asing,
Cooper menoleh pada salah satu petugas dan berkata,
”Cukup. Keluarkan Rusty dari sini.”

Petugas itu tidak segera bertindak, jadi Cooper sen­
diri yang mengeluarkan Rusty dari ruangan itu. Diceng­

238

www.facebook.com/indonesiapustaka keramnya lengan gadis itu dan dibantunya bangkit dari
kursinya. Saat mereka menuju pintu keluar, seorang
lelaki bergegas menghampiri dan menyodorkan sehelai
kartu nama ke depan wajah Cooper. Ia seorang reporter
majalah, dan ia menawarkan sejumlah uang untuk men­
dapatkan hak eksklusif memuat cerita mereka.

Tapi, melihat tatapan dingin Cooper, ia cepat­cepat
menambahkan dengan gugup, ”Tapi kalau itu tidak
cukup, kami akan menaikkan tawaran. Apa kalian juga
memotret­motret selama di sana?”

Sambil menggeram marah, Cooper mendorong
reporter itu dan mengucapkan makian kasar.

begitu mereka naik ke pesawat yang menuju ke L.A.,
Rusty sudah sangat lelah, hingga nyaris tak bisa
berjalan. Kaki kanannya sakit sekali. boleh dikatakan
Cooper membopongnya ke pesawat. Didudukkannya
Rusty di kursi kelas satu, di samping jendela, dan ia
duduk di samping gadis itu. Dimintanya pramugari
membawakan sedikit brendi secepatnya.

”Kau sendiri tidak minum?” tanya Rusty setelah
menghirup sedikit brendinya.

Cooper menggeleng. ”Aku tidak mau minum untuk
sementara ini.” Sudut mulutnya naik sedikit, memben­
tuk senyuman.

”Kau sangat tampan, Mr. Landry,” kata Rusty pelan
sambil memandanginya, seperti baru pertama kali me­
lihatnya.

Cooper mengambil gelas brendi dari tangan Rusty
yang tampak lemas. ”Kau bicara di bawah pengaruh
brendi.”

239

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak, kau memang tampan.” Rusty mengangkat
tangannya dan menyentuh rambut lelaki itu.

”Aku senang kau berpendapat begitu.”
”Makan malam, Ms. Clarson? Mr. Landry?”
Mereka terkejut ketika mengetahui bahwa pesawat
sudah mengudara. Mereka begitu asyik dengan satu
sama lain, sehingga tidak menyadari kapan pesawat
berangkat. Tapi tidak apa. Perjalanan sebelumnya de­
ngan helikopter tidak terlalu berpengaruh pada Rusty
karena ia tidak sempat mengantisipasinya. Tapi mem­
bayangkan terbang ke Los Angeles membuatnya takut.
Ia perlu waktu sebelum bisa terbang dengan nyaman,
seperti biasa.
”Mau makan, Rusty?” tanya Cooper. Rusty mengge­
leng. Pada pramugari, Cooper berkata, ”Tidak, terima
kasih. Kami sudah beberapa kali makan hari ini.”
”Panggil saya kalau Anda memerlukan apa­apa,” kata
sang pramugari dengan ramah, lalu beranjak pergi. Ha­
nya mereka penumpang di kelas satu. Setelah si pramu­
gari pergi, mereka tinggal berdua.
”Kau tahu, lucu juga,” kata Rusty sambil berpikir,
”selama ini kita selalu bersama­sama. Kupikir aku akan
sangat senang kalau akhirnya kita bisa berpisah. Kupi­
kir aku sudah rindu ingin berkumpul dengan orang­
orang lain...” Ia mempermainkan saku kemeja Cooper,
”...tapi hari ini aku kesal melihat orang­orang itu. Saling
sikut dan saling dorong. Dan aku jadi panik setiap kali
tidak melihatmu.”
”Itu wajar,” bisik Cooper sambil merapikan rambut
Rusty dan menyelipkannya ke balik telinga gadis itu.
”Kau sudah begitu lama bergantung padaku, dan itu

240

www.facebook.com/indonesiapustaka sudah menjadi kebiasaan. Nanti ini akan hilang dengan
sendirinya.”

Rusty memiringkan kepala. ”begitukah, Cooper?”
”Sudah jelas, bukan?”
”Rasanya aku tidak menginginkan itu.”
Cooper menyebutkan nama Rusty perlahan, lalu me­
ngecup bibir gadis itu dengan penuh perasaan, seolah­
olah ini merupakan kesempatan terakhirnya. Ada guratan
putus asa dalam ciuman lelaki itu, dan Rusty masih tetap
merasakannya saat ia merangkul leher Cooper dan mem­
benamkan wajahnya di lekuk bahu lelaki itu.
”Kau menyelamatkan hidupku. Sudahkah aku berte­
rima kasih padamu? Pernahkah kukatakan bahwa tanpa
kau aku pasti sudah akan mati?”
Cooper sedang asyik menciumi leher, telinga, dan
rambut Rusty. ”Kau tidak perlu berterima kasih pada­
ku. Aku ingin melindungimu, mengurusmu.”
”Kau telah melakukannya. Dengan sangat baik pula.”
Mereka berciuman lagi, sampai terpaksa menghentikan­
nya kemudian, dengan terengah­engah. ”Sentuh aku.”
Cooper memperhatikan mulut Rusty yang membi­
sikkan kata­kata itu. ”Menyentuhmu? Di sini? bagaima­
na mungkin?”
Rusty mengangguk cepat. ”Ayolah, Cooper. Aku
ketakutan. Aku perlu meyakinkan diriku bahwa kau ada
di sini... benar­benar ada di sini.”
Cooper membuka mantel yang dikenakan Rusty,
pemberian dari pemerintah Kanada, dan menyelipkan
tangannya ke balik mantel itu. Payudara Rusty terasa
hangat di balik sweter yang dikenakannya.

241

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper menempelkan pipinya di pipi Rusty dan
berbisik, ”Kau jadi bergairah?”

”Hmm.”
Jemari Cooper membelai puncak payudaranya dari
luar sweter. ”Kau tidak tampak terkejut.”
”Memang tidak.”
”Apakah kau selalu mudah bergairah? Di mana kau
saat aku remaja?”
Rusty tertawa pelan. ”Tidak, aku tidak selalu mudah
bergairah. Ini karena aku memikirkan kejadian semalam.”
”Semalam banyak yang terjadi. Lebih spesiik.”
”Ingat ketika…” Rusty mengingatkan Cooper dalam
bisikan sensual.
”Astaga, ya,” erang Cooper, ”tapi jangan bicarakan
hal itu sekarang.”
”Kenapa?”
”Kalau kau melakukannya, kau harus duduk di pang­
kuanku sekarang.”
Rusty menyentuh Cooper. ”Untuk menutupi ini?”
”bukan, Rusty,” kata Cooper sambil mengertakkan
gigi. Dan ketika ia memberitahu Rusty apa yang akan
mereka lakukan jika Rusty berada dalam pangkuannya,
gadis itu buru­buru menarik kembali tangannya.
”Kurasa perbuatan itu sama sekali tidak pantas. bah­
kan, apa yang kaulakukan sekarang juga tidak pantas.
Mungkin lebih baik kau berhenti.” Cooper menjauhkan
tangan dari sweter Rusty. Tampak puncak payudara
Rusty menegang di balik sweter. Mereka saling pan­
dang dengan penuh sesal. ”Kalau saja kita tidak sama­
sama keras kepala. Kalau saja kita sudah bercinta sebe­
lum semalam.”

242

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper mendesah panjang. ”Itu juga terpikir olehku.”
Rusty menahan isaknya. ”Peluk aku, Cooper.” Lelaki
itu memeluknya erat dan membenamkan wajah di ram­
but Rusty. ”Jangan lepaskan aku.”
”Tidak akan. Tidak sekarang.”
”Sampai kapan pun tidak. Janji.”
Tapi Rusty sudah mengantuk sebelum Cooper
mengucapkan janjinya. Dan ia tak sempat melihat eks­
presi kosong di wajah lelaki itu.

Sepertinya seluruh penduduk kota sudah menunggu
kedatangan mereka di LAX. Mereka hanya mendarat
sebentar di Seattle dan tidak turun lagi dari pesawat.
Para penumpang yang baru naik tidak ada yang duduk
di kelas satu. Lalu pesawat kembali berangkat.

Untuk mengantisipasi serbuan penyambut, pramu­
gara yang sudah senior menyarankan mereka turun
paling akhir. Rusty menyambut saran ini. Ia sangat
gugup. Telapak tangannya basah oleh keringat. Hal­hal
seperti ini masih asing baginya. biasanya ia selalu te­
nang dalam setiap acara sosial, tapi entah kenapa seka­
rang ia merasa cemas. Ia tak ingin melepaskan lengan
Cooper yang dipeganginya, meski sesekali ia menyung­
gingkan senyum percaya diri pada lelaki itu. Kalau saja
ia bisa kembali ke kehidupannya yang biasa tanpa ba­
nyak ribut­ribut.

Tapi tidak akan semudah itu. begitu melangkah ke
luar pesawat dan menginjak landasan, apa yang ditakut­
kannya menjadi kenyataan. Sesaat matanya silau oleh

243

www.facebook.com/indonesiapustaka lampu­lampu kamera televisi. Mikrofon­mikrofon diso­
dorkan ke depan wajahnya. Seseorang secara tak sengaja
menyenggol mata kakinya yang sakit dengan tas kamera.
Kebisingan di sekitarnya sungguh menulikan telinga.
Tapi di tengah segala keiruhan itu, sebuah suara yang
sudah sangat dikenalnya memanggilnya. Dan ia menoleh.

”Ayah?”
Dalam beberapa saat ia sudah berada dalam pelukan
ayahnya, lepas dari pegangan Cooper. Sambil membalas
pelukan ayahnya, ia mencari­cari tangan Cooper, tapi
tak bisa menemukannya. Ia menjadi panik.
”Coba kulihat keadaanmu,” kata bill Carlson sambil
memegangi lengan putrinya dan menariknya pergi. Para
reporter membuat lingkaran lebar di sekitar mereka. Dan
para fotografer masih terus menjepretkan kamera­kame­
ra untuk mengabadikan pertemuan yang mengharukan
ini. ”Tidak terlalu buruk, mengingat situasinya.” bill
Carlson melepaskan mantel yang dikenakan Rusty. ”Mes­
ki aku sangat berterima kasih pada pemerintah Kanada
yang telah bermurah hati mengurusmu hari ini, kurasa
kau akan merasa jauh lebih baik dalam mantel ini.”
Salah satu asisten Carlson muncul dan menyodorkan
sebuah kotak besar. Dari dalamnya ayah Rusty menge­
luarkan sebuah mantel dari bulu rubah merah yang
persis sama dengan yang dikenakan Rusty ketika meng­
alami kecelakaan pesawat. ”Aku mendengar tentang
nasib mantelmu, Sayang,” kata Carlson sambil dengan
bangga menyelimutkan mantel itu ke bahu Rusty. ”Jadi,
aku ingin menggantikannya.”
Seruan­seruan kagum terdengar dari kerumunan

244

www.facebook.com/indonesiapustaka penonton. Para reporter mendesak maju untuk memo­
tret. Mantel itu sangat mewah, tapi terlalu berat untuk
udara malam California Selatan yang hangat. Tapi
Rusty tidak memedulikan apa pun, sebab matanya si­
buk mencari­cari Cooper di antara kerdipan cahaya
lampu itu. ”Ayah, aku ingin memperkenalkan-”

”Jangan cemas tentang kakimu. Akan kuurus agar
kau mendapat perawatan dokter­dokter paling ahli.
Aku sudah memesan kamar untukmu di rumah sakit.
Kita akan segera ke sana.”

”Tapi Cooper-”
”Ah, ya, Cooper Landry, bukan? Laki­laki yang juga
selamat dari kecelakaan itu. Aku sangat berterima kasih
padanya, tentu. Dia telah menyelamatkanmu. Aku tidak
akan pernah melupakan itu.” Carlson sengaja bicara
dengan suara keras yang pasti didengar oleh para repor­
ter surat kabar dan pasti ditangkap oleh mikrofon.
Dengan diplomatis asisten Carlson mengulurkan
kotak mantel yang panjang itu untuk membuka jalan
bagi mereka di antara kerumunan nyamuk pers. ”Sau­
dara­saudara, Anda sekalian akan diberitahu kalau ada
berita baru tentang kisah ini,” kata Carlson sambil
menarik Rusty ke sebuah kereta golf yang sudah me­
nunggu untuk membawa mereka ke luar terminal.
Rusty melayangkan pandangan ke sekelilingnya, tapi
tidak melihat Cooper. Namun, akhirnya ia melihat
sekilas bahu lebar lelaki itu saat Cooper berjalan men­
jauh. beberapa reporter mengejarnya dengan bernafsu.
”Cooper!” panggilnya lagi. Tapi Cooper tidak bisa
mendengar di tengah keriuhan tersebut.

245

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty ingin melompat dari kereta itu dan mengejar­
nya, tapi kereta itu sudah bergerak dan ayahnya meng­
ajaknya bicara. Dicobanya menyerap ucapan­ucapan
ayahnya, tapi ia seperti mendengar kalimat­kalimat yang
asing dan tidak dapat dipahaminya.

Dicobanya memerangi kepanikannya yang mulai
memuncak sementara kereta itu berjalan sambil mem­
bunyikan klakson kepada para pejalan kaki yang lantas
menepi. Akhirnya Cooper tidak tampak lagi di tengah
kerumunan orang itu, lepas sepenuhnya dari pandangan
Rusty.

begitu berada di dalam limosin yang melaju menuju
rumah sakit swasta yang telah dihubungi ayah Rusty,
Carlson menggenggam tangan putrinya yang berkeri­
ngat. ”Aku sangat cemas akan nasibmu, Rusty. Kupikir
aku sudah kehilangan kau juga.”

Rusty bersandar di bahu ayahnya dan meremas le­
ngannya. ”Aku tahu. Aku juga cemas memikirkan reak­
si Ayah kalau mendapat kabar tentang kecelakaan itu.”

”Tentang perselisihan kita pada hari kepulanganmu
itu-”

”Sudahlah, Ayah, tak perlu dipikirkan lagi.” Rusty
mengangkat kepala dan tersenyum pada ayahnya. ”Aku
memang tidak tahan melihat kambing itu dikuliti, tapi
aku berhasil bertahan menghadapi kecelakaan pesawat.”

Carlson mendecak. ”Aku tidak tahu apakah kau masih
ingat ini. Waktu itu kau masih sangat kecil. Jef menyeli­
nap ke luar pondok saat berkemah bersama kelompok
pramuka pada suatu musim panas. Sepanjang malam dia
berada di hutan. Dia tersesat dan baru ditemukan keesok­

246

www.facebook.com/indonesiapustaka an harinya. Tapi anak bandel itu sama sekali tidak keta­
kutan. Ketika kami menemukannya, dia sudah membuat
kemah dan memancing dengan tenang untuk makan
malamnya.”

Rusty kembali bersandar di bahu ayahnya, senyum­
nya lambat laun memudar. ”Cooper melakukan semua
itu untukku.”

Mendadak ia merasa tubuh ayahnya menegang.
Reaksi seperti ini biasanya timbul kalau ada sesuatu
yang tidak disukainya. ”Orang macam apa si Cooper
Landry ini, Rusty?”

”Macam apa?”
”Dia veteran perang Vietnam, setahuku.”
”Ya. Dia juga pernah menjadi tawanan perang, tapi
berhasil melarikan diri.”
”Apa dia... memperlakukanmu dengan baik?”
Ah, tentu, pikir Rusty. Tapi disumbatnya kenangan­
kenangan menggairahkan yang bergejolak di dalam diri­
nya, seperti botol sampanye yang sudah dibuka. ”Ya,
Ayah, sangat baik. Aku tidak akan bisa bertahan tanpa
dia.”
Ia tidak ingin langsung menceritakan keterlibatannya
secara pribadi dengan Cooper. Masih terlalu dini.
Ayahnya harus diberitahu tentang perasaannya secara
perlahan­lahan. Mungkin saja ia akan menentang, sebab
ayahnya orang yang sangat kukuh pada pendiriannya.
Selain itu bill Carlson juga sangat intuitif. Tidak
mudah mengelabuinya. Dengan suara diusahakan se­
biasa mungkin, Rusty berkata, ”Maukah Ayah mencoba
melacak keberadaannya malam ini?” Ini bukan permin­

247

www.facebook.com/indonesiapustaka taan yang luar biasa. Ayahnya memiliki kontak di sean­
tero kota. ”beritahu dia di mana aku berada. Kami
terpisah di bandara.”

”Kenapa kau merasa perlu bertemu lagi dengan orang
ini?”

Ayahnya tidak memahami apa yang dirasakannya.
”Aku ingin mengucapkan terima kasih dengan sepantas­
nya atas pertolongannya padaku,” sahut Rusty mengelak.

”Akan kucoba,” kata ayahnya saat mobil berhenti di
depan klinik swasta tersebut.

Meski semua urusan sudah ditangani ayahnya, baru
dua jam kemudian Rusty bisa beristirahat tenang di
kamarnya yang mewah. Dihiasi berbagai lukisan karya
asli dan perabot kontemporer, kamar itu lebih mirip
sebuah apartemen indah daripada kamar rumah sakit.
Rusty berbaring di tempat tidur nyaman dengan bantal­
bantal empuk di bawah kepalanya. Ia mengenakan gaun
malam rancangan desainer, satu dari beberapa gaun
yang sudah disiapkan ayahnya sejak saat ia masuk. Se­
mua perlengkapan kosmetik dan berbagai pernak­pernik
kesayangannya telah ditaruh di kamar mandi. Ia juga
bisa menghubungi staf rumah sakit kapan saja. Ia cuma
perlu mengangkat telepon di meja kecil di dekatnya.

Tapi ia merasa sangat tidak bahagia.
Pertama, kakinya sakit akibat pemeriksaan oleh dok­
ter bedah. Setelah di­X­ray, ternyata tidak ada tulang
yang patah. ”Cooper sudah mengatakan tidak ada yang
patah,” ia memberitahu sang dokter yang mengernyit­
kan kening melihat bekas luka jahit yang kasar itu.
Ketika ia berkomentar tentang bekas jahitan itu, Rusty

248


Click to View FlipBook Version