The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka Dengan lembut ditariknya selimut Rusty dan dido­
rongnya kembali gadis itu ke tempat tidur, hingga
Rusty kembali berbaring. Tapi wajah gadis itu masih
menampakkan ketakutan. Sepasang matanya nyalang
memandangi sekeliling pondok yang gelap itu, seolah­
olah pondok itu telah dimasuki setan­setan yang ber­
gentayangan di malam hari.

”Serigala?”
”Mereka mencium bau—”
”Mayat­mayat itu.”
”Ya,” sahut Cooper dengan menyesal.
”Oh, Tuhan.” Rusty menutupi wajahnya dengan dua
tangan.
”Sst. Sst. Mereka tidak akan bisa memakan mayat­
mayat itu. Aku sudah menutupi kuburannya dengan
batu. Mereka akan pergi nanti. Sudah. Tidurlah.”
Tadi Cooper terlalu asyik memikirkan masalahnya
sendiri, sehingga tidak mendengar lolongan kawanan
serigala yang ada di dalam hutan di sekeliling pondok.
Tapi ia melihat bahwa Rusty sungguh­sungguh keta­
kutan. Gadis itu mencengkeram tangan Cooper dan
menariknya ke bawah dagunya, seperti anak kecil me­
meluk boneka beruangnya untuk membantunya meng­
usir rasa takut akibat mimpi buruk yang dialaminya.
”Aku benci tempat ini,” bisik Rusty.
”Aku tahu.”
”Aku sudah berusaha untuk berani.”
”Kau sudah sangat berani.”
Rusty menggeleng dengan keras. ”Tidak. Aku penge­
cut. Ayahku tahu itu. Dialah yang mengusulkan agar
aku pulang lebih awal.”

149

www.facebook.com/indonesiapustaka ”banyak orang tidak tahan melihat binatang dibu­
nuh.”

”Aku tadi menangis di depanmu. Kau sudah tahu
sejak awal bahwa aku tidak berguna. Aku sama sekali
tidak berbakat dalam hal satu ini, dan aku tidak ingin
mahir dalam hal ini.” Suara gadis itu bernada menan­
tang, sangat kontradiktif dengan wajahnya yang basah
oleh air mata. ”Kau menganggap aku orang yang sangat
menyebalkan.”

”Tidak, tidak begitu.”
”bohong.”
”Tidak, sungguh.”
”Lalu kenapa kau menuduh aku menggoda kedua
laki­laki itu?”
”Sebab aku sedang marah waktu itu.”
”Kenapa?”
Karena aku juga terpikat olehmu, padahal aku tidak
ingin terpikat, pikir Cooper. Tapi tentu saja ia tidak
mengatakan hal itu. Ia hanya bergumam, ”Sudahlah.”
”Aku ingin pulang. Di rumah segalanya aman, ha­
ngat, dan bersih.”
Cooper ingin mengatakan bahwa jalanan­jalanan Los
Angeles tidak selalu bisa dianggap aman, tapi ia tahu
bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk bercanda,
meski bercanda secara halus sekalipun.
Cooper jarang memberikan pujian, tapi ia merasa
Rusty layak mendapatkannya. ”Kau sudah berhasil
mengatasi ini dengan sangat baik.”
Rusty mengangkat matanya yang basah dan menatap
Cooper. ”Tidak.”

150

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Jauh lebih baik daripada yang kuperkirakan.”
”Sungguh?” tanya Rusty penuh harap.
Suaranya yang pelan dan ekspresinya yang sangat
feminin membuat Cooper hampir­hampir tidak tahan.
”Sungguh. Sudah, jangan hiraukan lolongan serigala­
serigala itu. Tidurlah lagi.” Cooper menarik tangannya
dari genggaman Rusty dan berbalik. Tapi sebelum ia
beranjak ke tempat tidurnya sendiri, seekor serigala
melolong lagi. Rusty menjerit dan kembali meraih Coo­
per, lalu menjatuhkan diri ke pelukan lelaki itu.
”Aku tidak peduli kauanggap pengecut. Peluk aku,
Cooper. Kumohon, peluklah aku.”
Secara otomatis Cooper memeluk gadis itu. Rasa tak
berdaya menyelimuti dirinya. Sungguh bodoh ia meme­
luk Rusty untuk alasan apa pun, tapi kejam sekali kalau
ia tidak memedulikan ketakutan gadis itu. Maka, de­
ngan perasaan tersiksa, sekaligus bahagia, ia menarik
Rusty lebih dekat dan mengecup rambut gadis itu.
Dengan tulus Cooper mengatakan bahwa ia menyesal
Rusty mesti mengalami semua ini. Ia berharap mereka
cepat mendapat pertolongan. Ia ingin Rusty bisa pulang
dengan selamat, dan ia memahami rasa takut Rusty.
Kalau ada yang bisa ia lakukan untuk mengeluarkan
mereka dari kesulitan ini, ia akan melakukannya.
”Kau sudah berusaha sejauh kemampuanmu. Aku
cuma minta kau memelukku lebih lama,” pinta Rusty.
”baiklah.”
Cooper memeluknya, namun tidak berani mengge­
rakkan tangannya. Ia tidak percaya dirinya cukup puas
hanya mengelus punggung gadis itu, sebab kenyataan­

151

www.facebook.com/indonesiapustaka nya ia ingin menyentuh seluruh tubuh Rusty. Gairah­
nya membuatnya menggigil.

”Kau gemetar.” Rusty menyapukan tangannya di le­
ngan atas Cooper yang merinding.

”Aku tidak apa­apa.”
”Masuklah ke bawah selimut.”
”Tidak.”
”Jangan bodoh. Kau bisa masuk angin. Memang ke­
napa? Kita sudah tidur bersama selama tiga malam
belakangan ini. Ayolah.” Rusty menyibakkan selimut­
nya.
”Aku... eh... aku mau kembali ke tempat tidurku
saja.”
”Katamu kau akan memelukku. Tolonglah. Sampai
aku tertidur saja.”
”Tapi aku—”
”Aku mohon, Cooper.”
Cooper menyumpah­nyumpah, tapi lalu memenuhi
permintaan gadis itu. Rusty merapat ke tubuhnya, men­
dekatkan wajah di dada Cooper. Tubuhnya begitu lentur
menempel di tubuh Cooper. Lelaki itu mengertakkan gigi.
Setelah beberapa saat, Rusty menjauhkan diri. ”Oh!”
serunya pelan. ”Aku lupa bahwa kau—”
”Telanjang. Memang. Tapi sekarang sudah terlam­
bat, Sayang.”

152

www.facebook.com/indonesiapustaka 7

GAIRAH maskulin kini menguasainya. bibirnya ber­
gerak perlahan di atas bibir gadis itu dalam satu ciuman
panjang dan lama, sementara tubuh mereka berdekapan
erat.

Semula Rusty sangat terperanjat. Ketelanjangan lela­
ki itu merupakan kejutan yang luar biasa. Namun sebe­
lum ia pulih dari kekagetannya, lelaki itu telah membu­
ainya dalam ciumannya yang membara.

Reaksi selanjutnya adalah kerinduan yang muncul
dengan mendadak. Perasaan itu muncul dari dadanya,
mengiri relung­relung hati dan pikirannya, hingga ia
seakan buta terhadap segala sesuatu di sekitarnya, ke­
cuali pada lelaki yang sedang menciuminya dengan be­
gitu berpengalaman ini. Lengan Rusty melingkari leher­
nya, menariknya lebih dekat, dan secara releks ia juga
melengkungkan tubuhnya terhadap tubuh lelaki itu.

Lelaki itu mengerang dan membenamkan wajahnya
di leher Rusty.

”Apa yang kauinginkan, Cooper?”

153

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper tertawa serak. ”Sudah jelas apa yang kuingin­
kan, bukan?”

”Aku tahu, tapi kau ingin aku bagaimana?”
”Sentuh aku sepenuhnya, atau jangan sentuh aku
sama sekali.” Napas lelaki itu menerpa wajah Rusty
dalam embusan­embusan panas dan cepat. ”Apa pun
keputusanmu, putuskan sekarang juga.”
Rusty ragu­ragu, tapi hanya sejenak. Diselusupkannya
jemarinya di rambut lelaki itu, sementara tangan satunya
membelai rambut halus di dada Cooper dan memijat­
mijat otot­otot yang membuatnya terpesona itu.
bibir mereka bertemu lagi dalam satu ciuman panas.
Cooper menyusupkan lidahnya di bibir bawah Rusty,
lalu mengecup bibir itu dengan hangat. Rusty mende­
sah. Cooper menganggap ini sebagai undangan, dan
ciumannya berpindah ke leher dan dada gadis itu. Ia
bukan jenis lelaki yang akan meminta izin lebih dulu.
Dengan berani tangannya menyentuh payudara Rusty
dan membelainya.
”Aku nyaris sinting karena menginginkanmu,” kata­
nya serak. ”Rasanya aku bisa gila sebelum sempat me­
nyentuhmu, merasakanmu.”
Dikecupnya lekukan payudara Rusty dengan penuh
gairah dan digelitiknya dengan lidahnya, sementara ta­
ngannya mempermainkan ujung payudara itu.
”Hentikan, Cooper,” kata Rusty terengah. ”Aku tidak
bisa bernapas.”
”Aku tidak ingin kau bernapas.”
Cooper menunduk, dan dari luar tank top yang dike­
nakan Rusty ia menjentikkan lidahnya di puncak payu­

154

www.facebook.com/indonesiapustaka dara Rusty. Rusty menekankan tumitnya ke tempat ti­
dur di bawahnya dan melengkungkan punggungnya.
Tapi respons itu tidak memuaskan Cooper.

”Katakan kau menginginkanku,” katanya dengan
suara pelan dan gemetar.

”Ya, aku menginginkanmu. Ya. Ya.”
Didorong oleh gairah liar yang tidak terkendali, dan
tanpa memedulikan konsekuensinya, Rusty mendorong
lelaki itu, dan kini ia menjadi pihak yang lebih agresif.
bibirnya bergerak menelusuri leher Cooper, terus turun
ke dada dan perutnya. Setiap kali mulutnya menyentuh
bulu dada lelaki itu, ia membisikkan nama Cooper.
”Kau indah, indah,” bisiknya di atas perut lelaki itu.
Lalu kepalanya semakin turun, dan ia mengusapkan
pipinya di kulit Cooper sambil berkata mendesah,
”Cooper.”
Cooper terkejut melihat gairah yang diperlihatkan
Rusty. Ia memiringkan kepala dan melihat ke arah gadis
itu. Rambut Rusty tergerai menyapu perutnya. Napas­
nya mengembus kulit Cooper, dan kata­kata cinta yang
diucapkannya melantunkan irama yang lebih erotis
daripada yang pernah didengar Cooper selama ini. Dan
bibirnya... bibirnya itu... meninggalkan kecupan lembap
di kulit Cooper.
Kepala Rusty bergerak di tubuh Cooper dan menya­
jikan pemandangan paling erotis dan paling indah yang
pernah dilihat Cooper. Hal ini membuatnya ketakutan.
Didorongnya Rusty dari tubuhnya dan ia berguling
turun dari tempat tidur. Ia berdiri di samping ranjang,
gemetar sambil menyumpah­nyumpah pelan.
Ia tidak berkeberatan melakukan hubungan intim,

155

www.facebook.com/indonesiapustaka asalkan tidak melihatkan perasaan. bukan seperti ini. Ia
tidak mengharapkan kerinduan, perasaan, dan emosi.
Tidak. Ia sudah sering terlibat hubungan isik dengan
perempuan, tapi belum pernah ada yang memperlihat­
kan kerinduan sedemikian tulus seperti yang ditunjuk­
kan Rusty.

Dan Cooper tidak membutuhkan itu. Ia tidak meng­
inginkan cinta atau roman. Tidak.

Untuk saat ini ia memang bertanggung jawab atas
kelangsungan hidup gadis ini, tapi ia tidak mau memi­
kul tanggung jawab atas kestabilan emosional gadis itu.
Kalau Rusty ingin berhubungan isik, bolehlah, tapi
jangan sampai gadis itu menginginkan sesuatu yang le­
bih jauh dan lebih dalam. Cooper tidak keberatan gadis
itu memanfaatkan tubuhnya; ia akan mengizinkan,
malah menyambutnya, untuk memuaskan gairah Rusty
yang paling mendasar. Tapi hanya sampai di situ. Tidak
ada yang boleh melewati batas­batas emosionalnya.

Rusty memandang ke arahnya dengan tatapan heran
dan sakit hati. ”Kenapa?” Sekarang gadis itu sudah sa­
dar sepenuhnya dan ia menutupi tubuhnya hingga ke
dagu dengan seprai.

”Tidak apa­apa.”
Cooper melintasi ruangan dan melemparkan sepo­
tong kayu lagi ke api. Kayu itu menimbulkan kilatan
bunga api yang sesaat memancarkan cahaya terang di
ruangan tersebut. Dalam cahaya itu Rusty melihat bah­
wa Cooper sebenarnya masih bergairah.
Cooper melihat sorot bingung dan kecewa di mata
gadis itu. ”Tidurlah,” katanya kasar. ”Serigala­serigala

156

www.facebook.com/indonesiapustaka itu sudah pergi. Dan sudah kukatakan padamu, mereka
tidak bisa menyakitimu. Jangan cengeng dan jangan
ganggu aku lagi.”

Cooper kembali ke tempat tidurnya sendiri dan mena­
rik selimut hingga ke telinganya. Sebentar saja tubuhnya
sudah basah kuyup oleh keringat. Sialan gadis itu! Cooper
merasa tubuhnya masih terbakar oleh api gairah.

Sial, kenapa gadis itu memberikan respons demikian?
begitu jujur, tanpa rasa malu atau kepura­puraan. Mu­
lut gadis itu begitu pasrah dan ciuman­ciumannya begi­
tu berani. Payudaranya juga begitu lembut.

Cooper mengertakkan gigi ketika membayangkan
semua itu. Tololkah ia karena tidak mengambil apa
yang ditawarkan gadis itu tanpa syarat?

Tapi justru itulah masalahnya. Tanpa syarat. Kalau
bukan karena itu, tentunya saat ini ia akan berada di tem­
pat tidur gadis itu, bukan di sini, di tengah keringatnya
sendiri. Ekspresi melayang di wajah gadis itu jelas­jelas
menunjukkan bahwa baginya hubungan mereka lebih dari
sekadar hubungan isik. Ia menginginkan hal­hal yang
takkan mungkin bisa dipenuhi oleh Cooper.

Oh, Cooper yakin bisa memuaskan mereka berdua
secara isik. Tapi ia tak bisa merasa, padahal itulah yang
diinginkan Rusty. Mungkin gadis itu layak mendapat­
kannya, tapi Cooper tak bisa memberikannya. Hatinya
saat ini begitu gersang seperti gurun Sahara.

Tidak, lebih baik gadis itu sakit hati sekarang, sehingga
masalahnya selesai. Lebih baik bersikap kejam daripada
mengambil keuntungan dari situasi ini. Cooper tidak
bersedia terikat dalam hubungan jangka panjang. Hu­

157

www.facebook.com/indonesiapustaka bungan mereka akan mengalami jalan buntu saat mereka
sudah diselamatkan nanti.

Sementara menunggu, ia akan terus menjalani hidup.
Memang tidak menyenangkan, tapi ia akan hidup.

Keesokan paginya mata Rusty bengkak karena menangis
semalam, hingga ia hampir­hampir tak bisa membuka­
nya. Dengan susah payah ia mengangkat kelopak mata­
nya dan melihat bahwa tempat tidur satunya sudah
kosong dan selimutnya sudah dilipat rapi.

bagus. Dengan demikian, Cooper tidak akan melihat
matanya yang bengkak sampai ia sudah mengompresnya
dengan air dingin. Rusty merasa marah pada diri sendi­
ri karena semalam ia telah menunjukkan kelemahannya.
bodoh sekali ia, merasa takut pada lolongan serigala­
serigala itu. Mereka merupakan perwujudan dari segala
ancaman yang mengelilinginya dan membuat situasi
sulit saat ini semakin terasa.

Tapi entah kenapa rasa takutnya keluar dalam ben­
tuk gairah, dan Cooper memberi respons. Tapi untung­
lah lelaki itu kembali menemukan akal sehatnya sebe­
lum sesuatu yang drastis terjadi.

Rusty hanya menyesali mengapa bukan ia yang lebih
dulu menemukan akal sehatnya. Jangan­jangan Cooper
mengira dialah yang menginginkan lelaki itu. Padahal
sebenarnya ia menginginkan seseorang, dan kebetulan
hanya Cooper yang ada di dekatnya. Kalau lelaki itu
beranggapan lain, salahnya sendiri.

Setelah merapikan tempat tidurnya, Rusty mem­

158

www.facebook.com/indonesiapustaka basuh wajahnya dengan air pompa dan menggosok gigi.
Ia mengenakan celana panjang yang sama dengan yang
dipakainya kemarin dan sehelai kemeja lanel baru. Ia
menyikat rambutnya dan mengikatnya dengan tapi se­
patu. Ketika sedang memakai kaus kaki, barulah ia
menyadari bahwa sejauh ini ia bergerak tanpa bantuan
tongkatnya. Rasa sakit di kakinya yang luka tinggal se­
dikit sekali. bekas luka itu memang tidak enak dilihat,
tapi setidaknya jahitan Cooper berhasil menyembuhkan
lukanya.

Karena tak ingin hatinya luluh terhadap lelaki itu,
Rusty beranjak ke tungku dan memasukkan potongan­
potongan kayu pendek ke api. Ia mengisi ketel dengan
air dan memasukkan bubuk kopi ke dalamnya, sambil
teringat pembuat kopi otomatis dengan pengatur waktu
digital yang dimilikinya di rumah.

Sambil berusaha meredam rasa rindunya akan rumah,
ia mulai membuat sarapan yang terdiri atas oatmeal. Di­
bacanya petunjuk memasak yang tercantum di tepi kotak
berbentu silinder yang ditemukannya di antara persedia­
an bahan makanan. Ia senang mendapati bahwa membu­
at oatmeal sangat mudah. Tinggal memasak air dan me­
nuangkan porsi yang tepat.

Sayangnya dugaannya salah.
Cooper masuk ke pondok, dan tanpa basa­basi lang­
sung bertanya, ”Sudah membuat sarapan, belum?”
Dengan sama ketusnya Rusty menjawab, ”Duduklah.”
Ia ingin meghidangkan semangkuk oatmeal harum
yang masih mengepul, seperti yang sering dilihatnya di
iklan TV. Tapi, ketika membuka tutup panci, ia meli­

159

www.facebook.com/indonesiapustaka hat masakannya tampak seperti adukan semen, hanya
saja lebih lembek.

Ia kesal sekali, tapi tidak mau memperlihatkannya.
Dengan nekat ia mengambil dua sendok oatmeal dan
menuangkannya ke mangkuk­mangkuk dari kaleng. Ma­
kanan itu mendarat dengan berat, seperti cairan timah. Ia
membawa mangkuk­mangkuk itu ke meja dan meletak­
kannya dengan kasar, lalu duduk di depan Cooper.

”Mana kopinya?” tanya lelaki itu.
Rusty menggigit bibir, lalu bangkit dan menuangkan
kopi, dan kembali ke meja tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Dibiarkannya rasa tak senangnya muncul
melalui bahasa tubuhnya.
Cooper menyendok sedikit oatmeal dan memandangi­
nya dengan ragu. Rusty menatapnya tanpa bicara, menan­
tang lelaki itu kalau berani memprotes masakannya.
Cooper memasukkan makanan itu ke mulutnya.
Rusty juga menyuapkan bagiannya, dan ia hampir
memuntahkannya lagi. Tapi karena tahu Cooper me­
mandanginya dengan mata elangnya, ia mengunyah
makanan itu. Oatmeal itu rasanya bukan semakin kecil,
tapi justru semakin mengembang. Akhirnya Rusty ter­
paksa menelannya. Perutnya serasa dimasuki bola golf.
Cepat­cepat ia meneguk kopinya.
Cooper meletakkan sendoknya di mangkuk. ”Cuma
begini kepandaianmu memasak?”
Rusty ingin membalas dengan mengatakan, ”Cuma
begitu yang bisa kaulakukan semalam?” Tapi ia merasa
Cooper akan membunuhnya kalau ia berani menghina
kejantanan lelaki itu. Jadi, ia hanya berkata, ”Aku jarang
memasak di rumah.”

160

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Terlalu sibuk berpindah­pindah dari satu restoran
mahal ke restoran mahal lainnya kurasa?”

”Ya.”
Sambil memasang tampang muak, lelaki itu menyuap
lagi sesendok oatmeal. ”Ini bukan oatmeal yang sudah
digarami dan diberi gula serta dikemas dalam kotak­
kotak kecil cantik dengan gambar beruang dan kelinci
di depannya. Ini oatmeal yang masih mentah. Lain kali
tambahkan garam ke airnya. Masukkan sekitar setengah
sendok isi kotak saja, lalu taburkan gula, tapi jangan
terlalu banyak. Kita mesti menghemat persediaan kita.”
”Kalau kau begitu pintar memasak, kenapa bukan kau
saja yang melakukannya?” tanya Rusty dengan manis.
Cooper menyingkirkan mangkuknya dan melipat
lengan di meja. ”Sebab aku mesti berburu, memancing,
dan memotong kayu api. Tapi, setelah kupikir­pikir,
membuat oatmeal jauh lebih mudah. Mau bertukar?
Atau kau ingin aku yang melakukan semua pekerjaan,
sementara kau bersantai­santai sambil menunggu kuku­
mu tumbuh kembali?”
Secepat kilat Rusty sudah bangkit dari kursinya dan
mencondongkan tubuh di meja. ”Aku tidak keberatan
melakukan bagian tugasku. Kau tahu itu. Aku cuma
tidak suka kau mengkritik usahaku.”
”Kalau usahamu hanya sampai sebatas ini, kita bisa
mati kelaparan dalam seminggu.”
”Aku akan berusaha lebih baik,” teriak Rusty.
”bagus. Secepatnya lebih baik.”
”Oh!”
Rusty membalikkan tubuh dengan marah, namun

161

www.facebook.com/indonesiapustaka kemejanya yang tidak dikancingkan terkuak membuka.
Cooper menyambar lengannya dengan mendadak.

”Apa itu?” Ia meraih ke dalam kemeja Rusty dan
menurunkan tali tank top­nya.

Rusty mengikuti tatapan lelaki itu ke lebam berwarna
gelap di lekuk sebelah atas payudaranya. Ia memandangi
lebam bulat itu, lalu menatap Cooper. ”Itu bekas... cium­
an...” Tak sanggup melanjutkan, ia membuat gerakan
dengan tangannya. ”Semalam,” tambahnya serak.

Cooper cepat­cepat menarik kembali tangannya,
merasa bersalah, seperti Adam yang tertangkap basah
memakan buah terlarang. Rusty merasa lehernya mulai
memerah, dan rona malu itu menyebar merata semen­
tara mata Cooper menjelajahi tubuhnya. Cooper me­
mandangi goresan­goresan merah muda bekas janggut­
nya yang menempel di wajah dan tenggorokan Rusty.
Ia menyeringai menyesal dan menggosok­gosok dagu­
nya. Suaranya memecah keheningan itu.

”Maaf.”
”Tidak apa­apa.”
”Apa rasanya... sakit?”
”Tidak juga.”
”Apa... kau tahu... ketika...”
Rusty menggeleng. ”Aku tidak memperhatikan wak­
tu itu.”
Keduanya cepat­cepat memalingkan wajah. Cooper
beranjak ke jendela. Di luar hujan cukup deras. Sesekali
potongan es tipis membentur jendela.
”Kurasa aku mesti memberi penjelasan tentang peris­
tiwa semalam,” katanya dengan suara pelan dan berat.

162

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak, tidak perlu ada penjelasan. Sungguh.”
”Aku tidak ingin kau mengira aku impoten atau se­
macamnya.”
”Aku tahu kau tidak impoten.”
Cooper menoleh cepat dan mata mereka bertemu.
”Kurasa aku tidak bisa menyembunyikan bahwa kema­
rin aku sebenarnya sudah siap.”
Rusty menelan ludah dengan susah payah dan me­
nunduk. ”Ya.”
”Kalau begitu, tinggal masalah kesediaan.” Rusty tetap
menunduk. ”Apa kau tidak ingin tahu, kenapa aku tidak
melanjutkannya?” tanya Cooper setelah diam agak lama.
”Aku bukannya tidak ingin tahu. Aku cuma bilang
bahwa kau tidak perlu menjelaskan. Kita toh orang
asing. Kita tidak berutang penjelasan satu sama lain.”
”Tapi kau bertanya­tanya.” Lelaki itu menuding Rusty
dengan geram. ”Jangan mengingkari bahwa kau sebenar­
nya ingin sekali tahu, kenapa aku tidak melanjutkannya.”
”Kuduga ada seseorang yang kaupikirkan di rumah.
Seorang wanita.”
”Tidak ada wanita,” bentak Cooper. Melihat ekspre­
si kaget Rusty, lelaki itu tersenyum miring. ”Juga tidak
ada laki­laki.”
Rusty tertawa canggung. ”Aku tidak berpikir begitu.”
Canda mereka tidak berlangsung lama. Senyum
Cooper berubah menjadi kernyit di keningnya. ”Aku
tidak suka membuat komitmen secara seksual.”
Dagu Rusty terangkat sedikit. ”Rasanya aku juga ti­
dak minta.”
”Kau tidak perlu minta. Kalau kita... kalau aku... ber­

163

www.facebook.com/indonesiapustaka hubung kita hanya berdua di sini, entah untuk berapa
lama, itulah yang akan terjadi, pada akhirnya. Kita sudah
saling tergantung untuk segala sesuatunya. Kita tidak
perlu membuat situasi ini lebih rumit lagi daripada saat
ini.”

”Aku setuju sekali denganmu,” sahut Rusty dengan
tenang. Sebenarnya ia tidak senang ditolak, tapi ia juga
tidak mau memperlihatkan sakit hatinya. ”Aku kehi­
langan kendali semalam. Aku ketakutan. Lebih lelah
daripada yang kukira. Kau ada di sana, kau bersikap
baik dan menawarkan penghiburan padaku. Akibatnya
segalanya jadi di luar kendali. Hanya itu sebenarnya.”

Garis­garis mulut lelaki itu semakin keras. ”Tepat.
Kalau kita bertemu di tempat lain, kita tidak bakal sa­
ling peduli.”

”Memang.” Rusty tertawa dengan terpaksa. ”Kau
sama sekali tidak sesuai bergaul dengan lingkungan
kosmopolitanku. Kau bakal sangat mencolok.”

”Dan kau dengan pakaian­pakaian mahalmu akan
menjadi bahan tertawaan di wilayah pegununganku.”

”Jadi, selesai,” kata Rusty kesal.
”Selesai.”
”Sudah beres.”
”benar.”
”Tidak ada masalah lagi.”
Tapi anehnya mereka masih saling berhadapan se­
perti dua petarung. Udara di antara mereka panas oleh
permusuhan. Mereka sudah mencapai kesepakatan dan
telah membuat perjanjian damai, tapi kenyataannya
mereka masih tetap bermusuhan.

164

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper­lah yang lebih dulu membalikkan tubuh
dengan marah. Ia memakai mantelnya dan mengambil
senapannya. ”Aku akan melihat, apa sungai di sana itu
banyak ikannya.”

”Kau mau menembak ikan­ikan itu?” Rusty meng­
angguk ke arah senapan Cooper.

Lelaki itu mengerutkan kening mendengar kesinisan­
nya. ”Aku memasang jaring ketika kau masih bersantai­
santai di tempat tidur pagi ini.” Sebelum Rusty sempat
membalas, ia sudah menambahkan, ”Aku juga sudah
membuat api di bawah belanga di luar sana. Cuci semua
pakaian!”

Rusty mengikuti arah tatapan lelaki itu ke tumpukan
besar pakaian kotor, dan ia tak bisa menyembunyikan
keterkejutannya. Ketika ia menoleh kembali ke Cooper,
lelaki itu sudah tidak ada di tempatnya. Rusty cepat­
cepat beranjak ke pintu, secepat kakinya yang pincang
memungkinkan.

”Aku pasti akan mencuci. Tak perlu kauperintah­
kan!” teriaknya ke arah punggung Cooper. Entah lelaki
itu mendengarnya atau tidak.

Sambil memaki, Rusty membanting pintu. Ia mem­
bersihkan meja. Kemudian hampir setengah jam ia
mencuci panci bekas memasak oatmeal tadi. Lain kali ia
akan langsung merendam panci ini dengan air panas
begitu isinya sudah habis.

Kemudian ia mulai mencuci pakaian dengan penuh
semangat. Ia ingin saat Cooper kembali nanti, ia sudah
selesai mengerjakan semua tugasnya. Ia mesti menun­
jukkan pada lelaki itu bahwa kelemahannya semalam
cuma kebetulan saja.

165

www.facebook.com/indonesiapustaka Setelah mengenakan mantel, Rusty membawa tum­
pukan pakaian pertama ke luar dan memasukkannya ke
dalam belanga. Sebelumnya ia mengira belanga­belang­
an besi hitam yang digantung di atas api membara se­
macam itu hanya ada di ilm­ilm. Sekarang ia menggu­
nakan sepotong kayu untuk mengaduk pakaian­pakaian
itu. Setelah kira­kira cukup bersih, dikeluarkannya se­
muanya dari air dengan tongkat itu dan dilemparkannya
ke dalam keranjang yang sudah dicuci Cooper kemarin.

Selesai mencuci pakaian dengan metode kuno itu,
kedua lengannya terasa kaku dan lelah. Dan begitu ia
selesai memeras semua pakaian itu dan menggantung­
nya di kawat yang membentang dari sudut pohon ke
sebatang pohon terdekat, lengannya seperti akan lepas.
bukan hanya itu, tangannya yang basah hampir beku,
begitu pula hidungnya. Kakinya juga mulai terasa nyeri
lagi.

Namun kelelahannya agak terobati dengan rasa puas
akan hasil kerjanya. Setelah kembali berada di dalam
pondok, ia menghangatkan tangan di depan perapian.
Setelah peredaran darahnya kembali lancar, dilepaskan­
nya sepatu botnya dan dengan letih ia naik ke tempat ti­
dur. Rasanya ia pantas tidur siang sejenak sebelum ma­
kan.

Ternyata ia tidur lebih nyenyak daripada yang diingin­
kannya. Ketika Cooper menerobos masuk ke dalam
sambil meneriakkan namanya, ia terbangun begitu
mendadak, hingga kepalanya berputar pening dan titik­
titik kuning menari­nari di depan matanya.

166

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Rusty!” teriak lelaki itu. ”Rusty, apa kau... sialan,
sedang apa kau di tempat tidur?” Mantel lelaki itu ter­
buka dan rambutnya acak­acakan. Kedua pipinya me­
merah dan napasnya terengah­engah, seperti habis
berlari.

”Apa yang kulakukan di tempat tidur?” Rusty balik
bertanya sambil menguap lebar. ”Aku tidur.”

”Tidur? Tidur? Kau tidak dengar suara pesawat itu?”
”Pesawat?”
”Jangan mengulangi setiap ucapanku! Di mana pistol
isyarat itu?”
”Pistol isyarat?”
Lelaki itu tampak sangat marah. ”Di mana pistol
isyarat itu? Ada pesawat terbang di atas sana.”
Rusty turun dari tempat tidur. ”Pesawat itu mencari
kita?”
”Mana aku tahu?” Cooper mengobrak­abrik isi pon­
dok, mencari pistol tersebut. ”Mana pistol... ini dia!”
Disambarnya benda itu, lalu ia berlari ke luar, melom­
pati beranda, dan mengawasi langit. Rusty terpincang­
pincang menyusulnya.
”Kau melihatnya?”
”Diam!” Cooper memiringkan kepala dan mendengar­
kan dengan saksama. Derum mesin pesawat terbang itu
kedengaran oleh mereka. Mereka menengadah bersama­
an dan menghadapi kenyataan yang mengecewakan.
Memang ada pesawat di atas sana. Jelas itu pesawat
pencari, sebab ia terbang rendah. Namun pesawat itu
menuju ke arah berlawanan. Tidak ada gunanya me­
nembakkan pistol isyarat itu sekarang. Kedua orang itu

167

www.facebook.com/indonesiapustaka mengikuti titik kecil yang semakin menjauh tersebut,
hingga pesawat itu tak terlihat lagi dan deru mesinnya
pun tak terdengar lagi. Keheningan yang menyusul se­
sudahnya terasa sangat tajam. Dengan perginya pesawat
itu, lenyap pula kesempatan mereka untuk mendapat­
kan pertolongan.

Perlahan­lahan Cooper membalikkan tubuh. Sepa­
sang matanya tampak dingin tanpa warna dan menyorot
penuh amarah, hingga Rusty mundur selangkah.

”Kenapa kau justru tidur?”
Rusty lebih suka lelaki itu berteriak saja. berteriak
dan marah­marah. Tapi desisan pelan dan murka ini
justru lebih menakutkannya. ”Aku... aku habis mencu­
ci,” kata Rusty cepat­cepat dan takut­takut. ”Aku lelah.
Aku mesti mengangkat—”
Mendadak ia menyadari bahwa sebenarnya ia tak
perlu minta maaf seperti ini. Sejak awal pistol itu selalu
berada di tangan Cooper, sejak mereka meninggalkan
bangkai pesawat.
Dengan marah Rusty bertolak pinggang. ”beraninya
kau menyalahkan aku! Kenapa kau pergi tanpa mem­
bawa pistol itu?”
”Sebab aku sedang marah tadi pagi, ketika aku be­
rangkat. Aku lupa membawanya.”
”Jadi, salahmu sendiri kalau pistol itu tidak ditem­
bakkan, bukan salahku.”
”Tapi gara­gara kau aku jadi berangkat dengan sa­
ngat marah tadi.”
”Kalau kau tidak bisa mengendalikan sifat pemarah­
mu, kenapa aku yang disalahkan?”

168

www.facebook.com/indonesiapustaka Mata lelaki itu berubah gelap. ”Kalaupun pistol itu
kubawa dan kutembakkan, mereka pasti tidak akan
melihat. Tapi mereka akan bisa melihat kalau ada asap
keluar dari cerobong kita. Tapi kau malah enak­enak
tidur dan membiarkan api mati.”

”Kenapa kau tidak membuat api isyarat yang besar,
yang tidak mungkin terlewatkan oleh regu pencari itu?”

”Aku mengira tidak memerlukannya. Sebab kita
punya cerobong. Mana kusangka kau akan tidur siang.”

Rusty tergeragap, lalu berkata membela diri, ”Asap
dari cerobong tidak akan bisa menarik perhatian mere­
ka. Itu sudah biasa.”

”Kalau asap itu berasal dari hutan belantara begini,
pasti akan menarik perhatian. Setidaknya mereka akan
memutar lagi untuk menyelidiki.”

Rusty berusaha mencari pembelaan yang tepat.
”Angin terlalu kencang untuk membuat asap itu terli­
hat. Kalaupun apinya menyala, mereka tidak akan bisa
melihat asap kita.”

”Tapi kemungkinan itu ada.”
”Tidak sebagus kemungkinan melihat isyarat dari
pistol, kalau kau membawanya bersamamu.”
Sebenarnya lebih bijaksana untuk tidak mengemuka­
kan kelengahan lelaki itu dalam situasi seperti ini. bibir
Cooper mengatup ketat di bawah kumisnya dan ia maju
selangkah dengan penuh ancaman. ”Mestinya kau kubu­
nuh karena mengakibatkan pesawat itu melewati kita.”
Rusty menyentakkan kepala. ”Kenapa tidak? Lebih
baik kaubunuh saja aku daripada terus­menerus meng­
kritik kekuranganku.”

169

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kekuranganmu terlalu banyak, sehingga kalau kita
terdampar di sini bertahun­tahun pun aku tidak akan
pernah selesai mengkritikmu.”

Pipi Rusty bersemu merah oleh amarah. ”Kuakui,
aku memang tidak memenuhi syarat untuk tinggal di
pondok jelek di tengah hutan. Aku juga tidak ingin
hidup seperti ini.”

Cooper memajukan dagunya. ”Memasak saja kau ti­
dak bisa.”

”Aku tidak suka dan tidak pernah perlu memasak. Aku
wanita karier,” sahut Rusty dengan penuh harga diri.

”Ya, lihat saja manfaat kariermu itu di sini.”
”Lagi­lagi aku, aku, aku!” teriak Rusty. ”Selama ini
kau cuma memikirkan dirimu saja!”
”Ha! Aku beruntung kalau cuma sendirian di sini.
Tapi aku justru mesti memikirkanmu. Kau cuma men­
jadi beban saja!”
”bukan salahku kalau kakiku luka.”
”Dan kurasa kau akan bilang bukan salahmu juga
kalau kedua lelaki gunung itu tergiur olehmu?”
”Memang!”
”Oh ya?” sindir Cooper dengan sinis. ”Padahal kau
tidak henti­hentinya memberi isyarat bahwa kau ingin
aku naik ke tempat tidurmu.”
Tanpa menyadari apa yang dilakukannya, Rusty su­
dah menyerbu ke arah lelaki itu dengan jemarinya siap
mencakar wajahnya yang tersenyum jahat. Sesudahnya
ia merasa terkejut sendiri dengan sikapnya. Ia tak per­
nah mengira bahwa ia bisa semarah itu. Sejak kecil ia
selalu mengalah pada anak­anak lain, untuk menghin­

170

www.facebook.com/indonesiapustaka dari konfrontasi. Ia tak pernah agresif secara isik. Na­
mun kali ini ucapan Cooper yang menyakitkan membu­
atnya kalap. Tapi ia tak bisa mencapai lelaki itu. Ia
terjatuh karena kakinya yang luka terasa lemas. Sambil
menjerit kesakitan ia terpuruk di tanah yang beku.

Cooper langsung menghampirinya dan mengangkat­
nya. Rusty meronta­ronta dengan marah, hingga lelaki
itu menelikungnya. ”Hentikan, atau kupukul kau sam­
pai pingsan.”

”Oh ya?” kata Rusty, terengah­engah karena mem­
berontak tadi.

”Ya, dan aku akan senang sekali melakukannya.”
Rusty menghentikan perlawanannya, bukan karena
sudah menyerah, tapi karena merasa lemas dan kesakit­
an. Cooper membawanya masuk dan mendudukkannya
di kursi. Sambil menoleh kesal pada Rusty, ia berlutut
di depan perapian yang dingin dan dengan susah payah
berusaha menghidupkan api kembali.
”Kakimu masih sakit?”
Rusty menggeleng. Sebenarnya ia masih sangat kesa­
kitan, tapi ia tidak sudi mengakuinya. Ia tidak mau
berbicara pada lelaki itu, setelah mendengar ucapan­
ucapan kasarnya tadi yang sama sekali tidak benar. Ia
tahu sikapnya menutup mulut sangat kekanak­kanakan,
tapi ia tetap bertahan dan tidak berbicara sedikit pun,
bahkan ketika Cooper menyibakkan bagian kaki celana
panjangnya yang sudah disobek, membuka kaus kaki­
nya, dan memeriksa jahitan lukanya.
”Jangan sampai kakimu terkena beban lagi sehari ini.
Gunakan tongkatmu kalau mau berjalan.” Cooper me­

171

www.facebook.com/indonesiapustaka rapikan kembali celana Rusty, lalu ia berdiri. ”Aku akan
kembali ke sungai, mengambil ikan. Tadi semuanya
kulempar karena terburu­buru kemari. Mudah­mudah­
an ikan­ikan itu tidak dimakan beruang.” Di pintu ia
menoleh lagi. ”Aku yang akan memasak, kalau kau ti­
dak keberatan. Ikan­ikan itu bagus, dan kau mungkin
tidak akan bisa memasaknya.”

Lalu ia keluar dan membanting pintu.

Ikan­ikan itu memang bagus. Dan rasanya enak. Cooper
memasaknya di wajan, hingga dagingnya lembut dan
bisa lepas dengan mudah dari tulangnya. Di luarnya
ikan itu garing dan di dalamnya empuk. Rusty menyesal
tidak makan dua ekor, tapi ia tidak mau kelihatan ma­
kan dengan rakus, seperti ketika makan ikan yang per­
tama. Dan ia sakit hati ketika Cooper akhirnya mema­
kan ikan kedua itu. Ia berharap lelaki itu mati tersedak
tulang, tapi Cooper malah asyik menjilati jemarinya dan
mendecap­decap berisik, sambil menepuk­nepuk perut­
nya.

”Aku sudah kenyang.”
Oh, ingin sekali ia membalas pernyataan itu dengan
ketus, tapi ia mempertahankan tekadnya untuk tutup
mulut.
”bersihkan bekas­bekas makan ini,” kata Cooper te­
gas, lalu meninggalkan meja yang kotor dan urusan
tungku kepadanya.
Rusty menuruti perintah lelaki itu, tapi sengaja de­
ngan menimbulkan suara berisik. Selesai mencuci piring

172

www.facebook.com/indonesiapustaka dan sebagainya, ia mengempaskan tubuh ke tempat ti­
dur dan merenung menatap langit­langit. Ia tidak tahu
apakah ia lebih merasa marah atau sakit hati. Apa pun
perasaannya, yang jelas Cooper Landry telah mengha­
biskan emosinya melebihi lelaki mana pun yang pernah
dikenalnya. Emosi itu bervariasi, mulai dari rasa terima
kasih sampai muak.

Lelaki itu adalah manusia paling jahat dan penuh
dendam yang pernah dikenalnya, dan Rusty memben­
cinya dengan kadar kebencian yang sungguh mence­
ngangkan.

Memang benar, semalam ia meminta lelaki itu tidur
dengannya, tapi untuk menghiburnya, bukan karena ia
menginginkan seks. Ia tidak meminta yang satu itu, dan
tidak menginginkannya. Semua itu terjadi begitu saja.
Mestinya lelaki itu menyadarinya. Tapi ego lelaki itu yang
luar biasa besar membuatnya tidak mau mengakui hal itu.

Satu hal sudah pasti. Rusty memutuskan bahwa
mulai saat ini ia akan sangat menjaga jarak. Lelaki itu
telah melihat kulit wajahnya, lehernya, dan tangannya,
tapi hanya itu. Memang tidak mudah, hidup bersama di
bawah satu atap seperti ini—

Gejolak pemikirannya terputus dengan mendadak
ketika ia melihat sesuatu di langit­langit. Ini bisa men­
jadi pemecahan bagi masalah mereka. Ada kait­kait di
atas tempat tidurnya, persis seperti yang digunakan
Cooper untuk menggantung tirai di depan bak mandi.

Inspirasi yang timbul mendadak ini mendorongnya
untuk segera bangun dari tempat tidur dan mengambil
sehelai selimut ekstra dari rak di tembok. Tanpa meng­

173

www.facebook.com/indonesiapustaka acuhkan Cooper yang ia tahu sedang mengawasinya
dengan tajam, Rusty menyeret sebuah kursi dan me­
nempatkannya di bawah salah satu kait.

Ia berdiri di kursi itu dan meregangkan otot­ototnya
untuk mencapai kait tersebut. Akhirnya berhasil juga.
Ia pindah ke kait berikutnya dan melakukan hal yang
sama. Setelah selesai, tempat tidurnya sudah dikelilingi
tirai. Ia jadi lebih mempunyai privasi.

Dengan tatapan puas ia menoleh pada teman sepon­
doknya, lalu masuk ke balik tirai selimut itu dan menu­
tupnya lagi. Nah, rasakan dia! Coba saja kalau lelaki itu
berani menuduhnya meminta ”itu”.

Ia merinding mengingat kata­kata kasar yang telah
diucapkan lelaki itu padanya. Tidak tahu sopan santun.
Itu cocok untuk ditambahkan pada sekian banyak sisi
negatif lelaki itu. Rusty melepaskan pakaian dan naik ke
tempat tidur. Karena tadi sudah tidur siang, ia tidak lang­
sung merasa mengantuk. Ia bahkan masih terbangun,
mengawasi pola­pola kerlap­kerlip dari api yang terpantul
di langit­langit, sementara Cooper naik ke tempat tidur.
Tak lama kemudian terdengar napas teratur lelaki itu,
yang menandakan ia sudah tidur nyenyak.

Ketika serigala­serigala mulai melolong, ia berbaring
miring dan menutupi kepalanya dengan selimut, men­
coba untuk tidak mendengarkan. Digigitnya satu jarinya
keras­keras untuk menahan tangis, untuk menahan
perasaan sunyi dan sendirian, dan supaya ia tidak me­
minta Cooper memeluknya sementara ia tidur.

174

www.facebook.com/indonesiapustaka 8

COOPER duduk tak bergerak, seperti pemburu sedang
menanti mangsa. Kakinya terbentang lebar, sikunya
bertumpu di kedua lututnya, sementara jemarinya ter­
katup di bawah dagunya. Sepasang matanya menatap
Rusty tanpa berkedip.

Itulah pemandangan yang pertama dilihat Rusty
ketika ia terbangun keesokan paginya. Ia agak terkejut,
tapi tidak sampai terlompat. Dengan segera pula ia
menyadari bahwa tirai selimut yang kemarin dipasang­
nya dengan susah payah di sekitar tempat tidurnya su­
dah diturunkan. Kini selimut itu tergeletak di kaki
tempat tidurnya.

Ia bertelekan pada satu sikunya dan dengan kesal
menyibakkan rambutnya yang menutupi mata. ”Kau
mau apa?”

”Aku perlu bicara denganmu.”
”Tentang apa?”
”Semalam turun salju beberapa senti.”
Rusty mengamati wajah tanpa ekspresi itu beberapa

175

www.facebook.com/indonesiapustaka saat, lalu berkata dengan kejengkelan yang tidak disem­
bunyikannya, ”Sayang sekali kalau kau ingin membuat
manusia salju, sebab aku sedang tidak berminat.”

Sorot mata lelaki itu tidak berubah, meski Rusty bisa
merasa bahwa sebenarnya Cooper sedang berusaha
keras menahan diri untuk tidak mencekiknya.

”Jatuhnya salju itu merupakan peringatan penting,”
kata Cooper dengan tenang. ”begitu musim dingin tiba,
kesempatan kita untuk diselamatkan akan jauh berku­
rang.”

”Aku mengerti,” sahut Rusty dengan nada serius
pula. ”Yang tidak kumengerti, kenapa mendadak kita
jadi mesti membicarakannya saat ini juga.”

”Sebab, sebelum melewatkan satu hari lagi bersama­
sama, kita mesti meluruskan beberapa peraturan dasar.
Kalau kita terpaksa terkurung bersama di sini sepanjang
musim dingin—dan tampaknya kemungkinan itu besar
sekali—maka kita mesti mencapai kesepakatan menge­
nai beberapa hal.”

Rusty duduk tegak, tapi tetap memegangi selimutnya
hingga ke dagu. ”Misalnya?”

”Misalnya, tidak ada aksi tutup mulut lagi.” Sepasang
alis lelaki itu bertaut dalam satu garis lurus yang keras.
”Aku tidak mau menerima kekonyolan semacam itu
darimu.”

”Oh, tidak mau?” tanya Rusty dengan manis.
”Tidak. Kau bukan anak kecil, jadi jangan bertingkah
seperti anak kecil.”
”Kau bisa seenaknya menghinaku, tapi kau mengha­
rapkan aku menerima saja. begitu?”

176

www.facebook.com/indonesiapustaka Untuk pertama kalinya, Cooper memalingkan muka,
tampak merasa bersalah. ”Mungkin aku seharusnya ti­
dak bersikap seperti kemarin itu.”

”Memang seharusnya tidak. Entah apa yang ada da­
lam pikiranmu yang dangkal dan kotor itu, tapi jangan
salahkan aku karenanya.”

Cooper menggigiti ujung kumisnya. ”Aku kemarin
marah sekali padamu.”

”Kenapa?”
”Terutama karena... karena aku tidak terlalu menyu­
kaimu, tapi aku tetap ingin tidur denganmu. Maksudku
tidur bukan sekadar tidur.” Rusty sangat terperanjat
mendengar ini. bibirnya ternganga, namun Cooper ti­
dak memberinya kesempatan untuk mengatakan apa
pun. ”Sekarang bukan saatnya berpura­pura atau ber­
manis­manis, benar?”
”benar,” sahut Rusty dengan suara serak.
”Aku berharap kau bisa menghargai kejujuranku.”
”bisa.”
”baik. Kita akui saja hal yang satu ini. Kita saling
tertarik secara isik. Kasarnya, kita ingin berhubungan
intim. Memang tidak masuk akal, tapi begitulah kenya­
taannya.” Rusty menunduk ke pangkuannya. Cooper
menunggu, sampai kesabarannya habis. ”bagaimana?”
”bagaimana apa?”
”Katakan sesuatu!”
”baik, kuakui.”
Cooper menarik napas panjang. ”baiklah, mengingat
hal itu, dan mengingat bahwa tidak ada gunanya meng­
utak­atik masalah itu, juga mengingat musim dingin ini

177

www.facebook.com/indonesiapustaka akan lama sekali, kita mesti meluruskan beberapa hal.
Setuju?”

”Setuju.”
”Pertama, kita berhenti saling menghina.” Rusty
menatap lelaki itu dengan pandangan dingin. Dengan
enggan Cooper menambahkan, ”Kuakui, aku lebih ber­
salah daripada kau dalam hal ini. Kita berjanji saja un­
tuk tidak saling berbicara kasar mulai saat ini.”
”Aku janji.”
Cooper mengangguk. ”Cuaca ini akan menjadi mu­
suh berat kita. Tenaga dan perhatian kita akan terkuras
karenanya. Kita tidak bisa terus ribut dalam keadaan
demikian. Kemungkinan kita bertahan tergantung pada
kebersamaan kita. Dan kewarasan kita bergantung pada
apakah kita bisa hidup damai bersama­sama.”
”Aku mengerti.”
Cooper diam sejenak untuk berpikir. ”Menurut pen­
dapatku, kita mesti menjalani peran sesuai dengan
kodrat kita.”
”Kau Tarzan, dan aku Jane.”
”Semacam itulah. Aku mencari makanan. Kau me­
masaknya.”
”Seperti sudah kaukatakan padaku, aku tidak begitu
pintar memasak.”
”Kau bisa belajar.”
”Akan kucoba.”
”Jangan cepat marah kalau aku menawarkan saran.”
”Kalau begitu, kau jangan selalu menyindir kekurang­
anku. Aku mahir dalam banyak hal lain.”
Mata lelaki itu beralih ke bibir Rusty. ”Tidak ku­

178

www.facebook.com/indonesiapustaka sangkal.” Setelah diam lama, ia melanjutkan, ”Aku tidak
memintamu melayaniku setiap hari.”

”Aku juga tidak mengharapkan begitu. Aku ingin
mandiri.”

”Kau akan kubantu membereskan pondok dan men­
cuci pakaian.”

”Terima kasih.”
”Dan kau akan kuajari menembak, supaya kau bisa
melindungi diri sendiri kalau aku pergi.”
”Pergi?” tanya Rusty lemah. Ia merasa seperti akan
jatuh pingsan.
Cooper angkat bahu. ”Kalau binatang buruan sudah
tidak ada lagi dan sungai sudah membeku, mungkin aku
mesti pergi jauh untuk mencari makanan.”
Rusty merasa gentar membayangkan saat­saat ia
mesti tinggal sendirian di pondok ini, mungkin selama
berhari­hari. Meski kasar dan suka menghina, ia lebih
suka berada bersama Cooper daripada sendirian.
”Dan ini yang paling penting.” Cooper menunggu
sampai Rusty memperhatikan sepenuhnya. ”Aku yang
menjadi bos di sini,” katanya sambil menunjuk dadanya.
”Kita tidak perlu membodohi diri sendiri. Ini masalah
hidup dan mati. Kau mungkin tahu banyak tentang real
estate, dan kehidupan kelas orang kaya dan terkenal di
California, tapi di sini semua pengetahuanmu tidak ada
gunanya. Di wilayahmu kau bisa berbuat apa pun sesu­
kamu, dan aku tidak akan peduli. Aku akan bilang,
’bagus, Sayang, hebat.’ Tapi di sini, kau mesti patuh
padaku.”
Rusty sakit hati dengan ucapan Cooper bahwa di

179

www.facebook.com/indonesiapustaka luar beverly Hills pengalamannya sama sekali tidak
berguna. ”Seingatku aku belum pernah mencoba meng­
geser posisimu sebagai pihak yang lebih macho.”

”Mudah­mudahan seterusnya begitu. Di hutan belan­
tara, tidak ada yang namanya persamaan derajat antara
laki­laki dan perempuan.”

Cooper berdiri dan kebetulan melihat selimut bekas
tirai yang tergeletak di kaki tempat tidur. ”Satu hal lagi.
Tidak perlu pakai tirai segala. Pondok ini terlalu kecil
dan kita hidup sangat berdekatan, jadi tidak perlu malu­
malu segala. Kita sudah saling melihat tubuh masing­
masing dalam keadaan telanjang, dan kita juga sudah
saling menyentuh. Lagi pula,” katanya sementara mata­
nya melahap tubuh Rusty, ”kalau aku menginginkanmu,
tidak ada tirai yang bisa menghalangiku. Kalau sejak
semula aku berniat memerkosamu, pasti sudah kulaku­
kan lama berselang.”

Mata mereka beradu pandang. Akhirnya Cooper
membalikkan tubuh. ”Sudah waktunya kau bangun.
Aku sudah membuat kopi.”

Pagi itu oatmeal yang dibuat Rusty jauh lebih enak
daripada kemarin. Setidaknya makanan itu tidak me­
nempel di langit­langit mulut seperti sandwinch mentega
kacang yang sudah seharian tidak dimakan. Oatmeal itu
dibumbui dengan sedikit garam dan gula, dan Cooper
menghabiskan seluruh porsinya, namun tidak berko­
mentar apa pun.

Rusty tidak mudah tersinggung lagi seperti biasanya.
Sikap Cooper yang tidak mengkritiknya bisa dikatakan
setara dengan pujian. Mereka cuma berjanji untuk tidak

180

www.facebook.com/indonesiapustaka saling menghina lagi; mereka tidak berjanji untuk saling
menghujani dengan pujian.

Cooper keluar pondok setelah sarapan, dan baru
kembali pada saat makan siang, yang terdiri atas biskuit
dan sup kaleng. Cooper telah membuat sepasang sepatu
salju dari batang­batang kayu muda dan anyaman sulur­
sulur mati. Ia mengikatkan sepatu salju itu ke sepatu
botnya dan berjalan terantuk­antuk di seputar pondok,
memamerkan sepatu itu pada Rusty. ”Dengan sepatu
ini, jauh lebih mudah berjalan menjelajahi jurang di
antara tempat ini dan sungai.”

Sepanjang siang ia keluar. Rusty membereskan pon­
dok, tapi pekerjaan itu cuma makan waktu setengah
jam. Setelah semua tugasnya selesai, ia menganggur
sampai melihat Cooper kembali menjelang senja. Lelaki
itu berjalan canggung ke arah pondok dalam sepatu
salju buatannya.

Rusty bergegas keluar ke beranda untuk menyambut­
nya dengan secangkir kopi panas dan senyum ramah. Ia
merasa agak tolol karena begitu senang melihat lelaki
itu kembali dengan selamat.

Setelah melepaskan sepatu saljunya dan menyandar­
kannya di tembok luar pondok, Cooper menatapnya
dengan pandangan aneh dan menerima kopi yang diso­
dorkannya. ”Terima kasih.” Ia memandangi Rusty me­
lalui kepulan asap kopinya.

Sementara Cooper memegangi cangkir kopi di dekat
bibirnya, Rusty melihat bahwa bibir lelaki itu pecah­
pecah, juga tangannya merah dan kering, meski ia sela­
lu mengenakan sarung tangan kalau keluar rumah.

181

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty ingin menunjukkan simpatinya, tapi kemudian
mengurungkannya. Ucapan Cooper tadi pagi mem­
buatnya tidak berani menunjukkan sikap lebih hangat.

”Dapat hasil dari sungai?” tanyanya.
Cooper mengangguk ke arah bubu milik kedua
Gawrylow almarhum. ”Isinya penuh. Sisihkan beberapa
ekor untuk dibekukan, persediaan kalau aku tidak bisa
menangkap ikan lagi. Dan kita mesti mulai mengisi
wadah­wadah dengan air, berjaga­jaga kalau­kalau
pompanya membeku.”
Sambil mengangguk Rusty membawa keranjang berisi
ikan itu ke dalam. Aroma masakannya tercium harum,
dan ia bangga karenanya. Ia membuat sup daging dengan
bahan yang ditemukannya di antara persediaan makanan
kaleng kedua Gawrylow. Cooper makan dua mangkuk
penuh dan memberi pujian singkat. ”Lumayan.”

Hari­hari berlalu sebagaimana biasa. Cooper dan Rusty
melakukan bagian tugas masing­masing dan saling
membantu. Mereka sangat sopan satu sama lain. Sopan
dan menjaga jarak.

Sepanjang siang­siang yang singkat, mereka bisa me­
nyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, tapi malam­
malam yang mereka lalui rasanya bagai tak pernah
berakhir. Malam datang lebih awal. Matahari terbenam
di balik garis pepohonan dan menudungi sekitar pon­
dok mereka dengan bayang­bayang kelam, hingga be­
kerja di luar jadi berbahaya dan mereka terpaksa masuk
ke dalam pondok.

182

www.facebook.com/indonesiapustaka begitu matahari tenggelam di cakrawala, suasana
menjadi gelap, meski sebenarnya masih sore. Setelah
makan malam dan mencuci piring, tak ada lagi yang
bisa dikerjakan. Terlalu sedikit tugas yang bisa menyi­
bukkan dan memisahkan mereka. Mereka hanya bisa
memandangi api dan menghindari untuk saling pan­
dang—ini sukar sekali dan memerlukan konsentrasi
penuh kedua belah pihak.

Salju pertama itu mencair keesokan harinya, tapi
malam sesudahnya kembali turun salju, terus hingga
pagi harinya. Karena temperatur semakin turun dan
tiupan salju semakin keras, Cooper kembali ke pondok
lebih cepat daripada biasanya, hingga malam hari itu
terasa sangat panjang.

Rusty mengawasi lelaki itu mondar­mandir di dalam
pondok, seperti macan yang terkurung. Keempat din­
ding itu membuatnya senewen dan kegelisahan Cooper
membuatnya semakin jengkel. Ketika melihat lelaki itu
menggaruk dagunya, seperti sering dilakukannya hari
ini, Rusty bertanya kesal, ”Ada apa?”

Cooper berbalik, seperti orang sedang mencari mu­
suh dan senang karena akhirnya ada yang menantang­
nya. ”Ada apa bagaimana?”

”Ada apa denganmu?”
”Apa maksudmu?”
”Kenapa kau terus menggaruk dagumu?”
”Gatal.”
”Gatal?”
”Janggutku sedang tumbuh.”
”Garukan­garukanmu membuatku gila,”

183

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Mada bodoh.”
”Kalau gatal, kenapa tidak bercukur saja?”
”Sebab aku tidak punya pisau cukur.”
”Aku—” Rusty menghentikan kalimatnya, sebab apa
yang hendak diucapkannya merupakan suatu pengaku­
an. Melihat mata lelaki itu menyipit curiga, akhirnya ia
berkata dengan angkuh, ”Aku punya satu. Aku memba­
wanya, dan sekarang kurasa kau senang aku memiliki­
nya.”
Rusty bangkit dari kursinya di dekat perapian dan
pergi ke rak tempat ia menyimpan perlengkapan rias­
nya. Ia sangat menjaga semua barang itu, seperti orang
kikir menjaga simpanan uang emasnya. Dibawanya pi­
sau cukur plastik sekali pakai itu pada Cooper, dan satu
benda lainnya. ”Oleskan ini di bibirmu.” Ia menyodor­
kan lip gloss itu. ”Kulihat bibirmu pecah­pecah.”
Cooper mengambil lip gloss tersebut. Tampaknya ia
ingin berkomentar, tapi kemudian mengurungkannya.
Rusty tertawa melihat betapa canggung lelaki itu meng­
oleskan lip gloss tersebut di bibir. Setelah itu Cooper
mengembalikan tabung tersebut padanya dan Rusty
memberikan pisau cukurnya. ”Silakan.”
”Terima kasih.” Cooper membolak­balik benda itu di
tangannya, mengamatinya dari berbagai sudut. ”Kau
punya losion tangan juga, tidak?”
Rusty mengulurkan kedua tangannya yang juga tam­
pak kasar terkena air, angin, dan hawa dingin, seperti
tangan Cooper. ”Apa tangan ini kelihatannya pernah
diolesi losion tangan belakangan ini?”
Cooper tersenyum. begitu jarang lelaki itu tersenyum

184

www.facebook.com/indonesiapustaka hingga hati Rusty luluh dibuatnya. Kemudian Cooper
meraih salah satu tangan Rusty dan mengecup pung­
gung jemarinya dengan pelan.

Kumis lelaki itu menggelitik jemari Rusty, dan entah
bagaimana, tenggorokan Rusty bagai tergelitik pula.
Perutnya juga seperti bergolak.

Menyadari apa yang dilakukannya, Cooper melepas­
kan tangan gadis itu. ”besok pagi saja aku bercukur.”

Rusty tak ingin lelaki itu melepaskan tangannya. Ia
bahkan ingin menempelkannya di kumis dan bibir
Cooper. Ia ingin kumis itu menyapu telapak tangannya
yang sensitif. Jantungnya berdebar begitu keras, hingga
ia sulit berbicara. ”Kenapa tidak bercukur sekarang
saja?”

”Tidak ada cermin. Mencukur janggut pendek seba­
nyak ini, aku bisa terluka.”

”Aku bisa mencukurmu.”
Sejenak keduanya terdiam. Udara di antara mereka
penuh dengan bunga api seksual yang meletup­letup.
Rusty tidak tahu dari mana dorongan itu berasal. Tahu­
tahu muncul begitu saja dan ia menyuarakannya tanpa
berpikir. Mungkin ini karena mereka sudah berhari­hari
tidak saling menyentuh. Ia merasa diabaikan. Seperti
halnya tubuh menghendaki makanan tertentu yang
mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkannya,
begitu pula halnya Rusty tanpa sadar telah mengekspre­
sikan keinginannya untuk menyentuh lelaki itu.
”baiklah.” Cooper mengizinkan dengan suara serak.
Merasa gugup karena usulnya diterima, Rusty berka­
cak pinggang. ”bagaimana... kalau... kalau kau duduk di

185

www.facebook.com/indonesiapustaka sini, dekat perapian? Aku akan mengambil peralatan
yang diperlukan.”

”baiklah.”
”Selipkan handuk di pakaianmu,” kata Rusty sambil
menoleh, sementara menuangkan air dari ketel tungku
ke sebuah mangkuk yang tidak terlalu dalam. Ia mena­
rik kursi ke dekat Cooper, lalu meletakkan mangkuk
dan pisau cukurnya di situ. Ia juga mengambil sabun
miliknya dari rak, dan sehelai handuk bersih.
”Sebaiknya kubasahi dulu handuk ini.” Cooper men­
celupkan handuk itu ke mangkuk air panas. ”Aduh,
sial!” makinya ketika ia mencoba memeras handuk itu.
”Airnya panas.”
”Memang.”
Dipindah­pindahkannya handuk panas itu dari satu
tangan ke tangan lain, sebelum akhirnya ditempelkan­
nya di bagian bawah wajahnya. Ia memekik ketika
handuk itu menyentuh pipinya, namun dibiarkannya di
sana. Entah bagaimana ia menahankan panasnya.
”Kau terbakar?” Tanpa mengangkat handuk itu,
Cooper mengangguk. ”Kau melakukan itu supaya helai­
helai janggutmu lebih lemas, benar?”
Kembali Cooper mengangguk. ”Aku akan menyabu­
ni wajahmu sebaik mungkin,” kata Rusty.
Dengan cermat ia memasukkan tangannya ke mang­
kuk air panas itu dan mengambil sabunnya. Cooper
mengawasi setiap gerakannya sementara Rusty menggo­
sok­gosok sabun itu di antara kedua tangannya hingga
berbusa. busa itu menyelinap di antara jemarinya dan
memberikan pemandangan yang sangat seksi di mata
Cooper, entah mengapa.

186

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku siap kalau kau sudah siap,” kata Rusty sambil
beranjak ke bekalang Cooper.

Perlahan­lahan Cooper menurunkan handuknya, dan
dengan perlahan­lahan pula Rusty mengangkat tangan­
nya ke wajah lelaki itu. Dari posisinya di belakang ini,
garis­garis wajah Cooper justru tampak lebih keras dan
lebih jelas. Namun ada kesan rapuh di bulu matanya,
yang membuat Rusty berani menyentuhkan telapak
tangannya ke pipi kasar lelaki itu.

Ia merasa Cooper menegang terkena sentuhannya.
Mulanya Rusty tidak menggerakkan tangannya. Dibi­
arkannya tangan itu tetap menempel di pipi Cooper,
sementara ia menunggu lelaki itu menyuruhnya me­
nyingkirkan tangannya.

Tapi percuma saja ia menunggu.
Ia mulai bertanya­tanya, siapa yang akan lebih dulu
menghentikan proses ini. Tapi Cooper tidak mengata­
kan apa­apa dan Rusty juga tidak ingin berhenti. Jadi,
ia mulai memutar­mutar tangannya di kedua pipi lelaki
itu.
Perasaan yang ditimbulkan permukaan kasar itu
pada telapak tangannya sangat menggoda. Ia mengge­
rakkan tangannya untuk meraba tulang rahang lelaki
itu, dan mendapati bahwa tulang itu sama kuat dan
kaku dengan tampak luarnya. Ada sedikit belahan pada
dagu persegi lelaki itu. Rusty menyelipkan ujung kuku­
nya ke dalam belahan tersebut, namun tidak menyeli­
dikinya selama yang diinginkannya.
Disapukannya tangannya bergantian di leher lelaki
itu, untuk meratakan busa sabunnya. Jemarinya me­

187

www.facebook.com/indonesiapustaka nyentuh jakun Cooper dan terus turun hingga ke dasar
leher, di mana ia bisa merasakan denyut nadi Cooper.
Ditariknya jemarinya kembali ke leher, lalu ke dagu, ke
bibir bawahnya, dan akhirnya ke kumisnya.

Rusty terpaku dan menarik napas dengan keras.
”Maaf,” gumamnya. Diangkatnya tangannya dan dice­
lupkannya ke air untuk membilas sabunnya. Lalu ia
membungkuk ke depan dan mengamati hasil penya­
bunannya dari sudut lain. Ada setitik sabun di bibir
bawah Cooper, dan beberapa gelambung busa menem­
pel di helai­helai pirang kumisnya.

Dengan jarinya yang basah Rusty menjentikkan titik
sabun itu dari bibir Cooper, kemudian menggosokkan
jarinya di kumis lelaki itu, sampai gelembung busa tadi
lenyap.

Sebuah suara pelan terlontar dari mulut Cooper.
Rusty terkejut, namun matanya langsung menatap mata
Cooper. ”Cepat kerjakan,” geram Cooper.

Dengan wajah setengah tertutup busa sabun mesti­
nya lelaki itu tidak mengeluarkan ancaman apa pun,
namun matanya berkilat­kilat dalam cahaya api. Rusty
dapat melihat cahayanya menari­nari dalam bola mata
itu, dan ia bisa merasakan kemarahan tertahan Cooper.
Ia pun melangkah ke belakang lelaki itu kembali, supa­
ya lebih aman.

”Jangan sampai aku tersayat,” Cooper memperingat­
kan ketika Rusty mengangkat pisau cukur ke rahang­
nya.

”Tidak akan, asal kau tutup mulut dan tidak berge­
rak­gerak.”

188

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kau pernah melakukan ini?”
”belum.”
”Itu yang kutakutkan.”
Ia berhenti bicara ketika Rusty mulai menyapukan
pisau cukur di pipinya. ”Sejauh ini bagus,” kata Rusty
perlahan sambil mencelupkan pisau itu ke air. Cooper
menggumamkan sesuatu tanpa menggerakkan mulut­
nya, tapi Rusty tidak menangkap ucapannya. Ia sedang
berkonsentrasi untuk mencukur sebersih mungkin
tanpa melukai kulit Cooper. Setelah bagian bawah wa­
jah lelaki itu bersih, Rusty mendesah lega dan puas.
”Sudah mulus seperti pantat bayi.”
Cooper tertawa tertahan. Rusty belum pernah men­
dengarnya tertawa geli seperti ini. biasanya lelaki itu
tertawa sinis. ”Jangan senang dulu. Tugasmu belum
selesai. Jangan lupa leherku. Dan hati­hati dengan pisau
itu.”
”Pisau ini tidak terlalu tajam.”
”Justru paling berbahaya.”
Rusty mencelupkan pisau itu ke air untuk memba­
sahinya, kemudian ia menyentuh dagu Cooper dengan
satu tangannya. ”Angkat kepalamu sedikit.”
Cooper mengangkatnya. Kepala itu sekarang ber­
sandar berat di dada Rusty. Rusty, yang sejenak tak bisa
bergerak, masih memegangi pisau itu di atas leher
Cooper. Jakun lelaki itu bergerak menelan dengan ke­
ras. Untuk mengalihkan pikiran dari posisi mereka saat
ini, Rusty memusatkan perhatian pada tugasnya. Tapi
perkembangannya justru semakin parah. Ia mesti ber­
jinjit dan membungkuk ke depan agar bisa melihat lebih

189

www.facebook.com/indonesiapustaka baik. Ketika ia selesai mencukur bersih leher Cooper,
kepala lelaki itu tersandar di antara payudaranya dan
mereka sama­sama menyadari hal itu.

”Nah.” Rusty mundur dan menjatuhkan pisau cukur
itu, seolah benda tersebut adalah satu­satunya bukti
dalam sidang pembunuhan.

Cooper menyentakkan handuk di kerah kemejanya
dan membenamkan wajah di dalamnya. Lama ia tidak
bergerak, juga tidak menurunkan handuk itu.

”bagaimana rasanya?” tanya Rusty.
”Enak. Rasanya enak.”
Kemudian lelaki itu cepat­cepat bangkit dan melem­
parkan handuknya ke kursi. Disambarnya mantelnya
dari gantungan di dekat pintu dan dikenakannya de­
ngan tergesa­gesa.
”Mau ke mana?” tanya Rusty cemas.
”Keluar.”
”Untuk apa?”
Cooper memandanginya dengan tatapan membakar,
sementara di luar sana salju turun deras. ”Percayalah,
kau tidak ingin tahu.”

Cooper masih terus bersikap menjaga jarak, sampai si­
ang keesokan harinya. Sepanjang pagi cuaca sangat tidak
bersahabat, baik bagi manusia maupun binatang, jadi
mereka terkurung di dalam pondok. Hampir sepanjang
waktu Cooper tidak menghiraukan Rusty, dan Rusty
pun memperlakukannya dengan sikap yang sama. Sete­
lah beberapa kali gagal mengajak lelaki itu bercakap­
cakap, Rusty menyerah dan berdiam diri.

190

www.facebook.com/indonesiapustaka Sangat melegakan ketika angin yang membawa salju
akhirnya menghentikan raungannya. Cooper mengata­
kan ia akan keluar untuk melihat­lihat. Rusty mence­
maskan keselamatannya, tapi tidak berani memintanya
untuk tetap di rumah. Mereka perlu menjauh sedikit
satu sama lain.

Lagi pula Rusty memerlukan privasi. bukan hanya
Cooper yang belakangan ini suka merasa gatal. Rusty
merasakan bekas jahitan di kakinya juga mulai menjeng­
kelkan. Kulitnya yang mulai bertaut menjadi kencang
dan kering, dan semakin terganggu oleh gesekan pakai­
an yang dikenakannya. Rusty memutuskan untuk mem­
buka benang jahitan itu. Ia akan melakukannya sendiri,
tanpa meminta bantuan Cooper, apalagi karena bela­
kangan ini hubungan mereka sangat buruk dan suasana
hati lelaki itu sering berubah­ubah tanpa bisa ditebak.

beberapa menit setelah Cooper pergi, Rusty melepas­
kan semua pakaiannya. Ia ingin menggunakan kesem­
patan ini untuk mandi sebersih mungkin. Selesai mandi,
ia duduk di depan perapian, terbungkus selimut. Diang­
katnya kakinya yang luka di atas lutut kaki satunya dan
diperiksanya. Sulitkah menggunting jahitan itu dan
menarik benangnya?

Sebelumnya pekerjaan ini pasti akan membuatnya
ngeri, tapi sekarang tidak. Mula­mula ia mesti menemu­
kan alat untuk memotong benang sutra ini. Pisau yang
diberikan Cooper padanya terlalu mengerikan. Satu­
satunya benda yang cukup tajam dan bisa digunakan
adalah pisau cukurnya.

Kedengarannya itu merupakan gagasan bagus, na­

191

www.facebook.com/indonesiapustaka mun ketika ia memegangi pisau cukur itu di benang
pertama, siap memotongnya, ia menyadari bahwa ta­
ngannya berkeringat oleh rasa takut. Sambil menarik
napas panjang ia menyentuh benang sutra itu dengan
pisaunya.

Pintu mendadak terbuka dan Cooper melangkah
masuk dalam sepatu saljunya. Kepalanya tertutup kulit
binatang, dan dari kepala sampai ke kaki tubuhnya
tertutup rapat. Napasnya membeku di kumisnya, mem­
buat kumis itu tampak putih. Rusty terpekik kaget dan
sesaat merasa takut.

Tapi Cooper jauh lebih terkejut daripada Rusty. Di
matanya, gadis itu seperti menyajikan sebuah peman­
dangan supernatural. Dalam posisi duduk demikian di
depan perapian, cahaya api bersinar menembus rambut­
nya. Satu kakinya terangkat, menampakkan belahan paha
telanjang yang menggiurkan. Selimut yang disampirkan­
nya di bahu setelah mandi tadi sudah jatuh dari bahunya,
menampakkan hampir keseluruhan salah satu payudara­
nya. Sementara mata Cooper terpaku pada dadanya,
Rusty merasa puncak payudaranya menegang oleh em­
busan udara dingin yang masuk ketika pintu dibuka.

Cooper menutup pintu. ”Sedang apa kau duduk se­
perti itu?”

”Kukira kau akan pergi lebih lama.”
”bagaimana kalau orang lain yang masuk?” raung
Cooper.
”Siapa?”
”Misalnya... misalnya...”
Sial, ia tak bisa memikirkan siapa yang mungkin

192

www.facebook.com/indonesiapustaka akan masuk dengan mendadak seperti dirinya tadi,
tanpa pernah mengira akan menemukan pemandangan
seperti ini di dalam pondok reyot di hutan pedalaman
Kanada ini. Cooper merasa gairahnya bangkit. Entah
perempuan ini tidak menyadari efek yang ditimbulkan­
nya, atau ia tahu namun sengaja menggunakannya un­
tuk membuat Cooper sinting perlahan­lahan. Pokoknya
akibatnya sama saja.

Dengan kesal Cooper menarik bulu binatang yang
menutupi kepalanya dan mengguncang­guncangnya dari
butiran salju. berikutnya sarung tangannya, lalu ikatan
sepatu saljunya. ”Kembali pada pertanyaanku tadi, kau
sedang apa?”

”Membuka jahitanku.”
Cooper melemparkan mantelnya ke paku gantungan.
”Apa?”
Pembawaannya yang angkuh dan maskulin bagaikan
batu penggilingan yang menggilas Rusty. belum lagi
nada superior dalam suaranya. Rusty menatap mata
lelaki itu lekat­lekat. ”Rasanya gatal. Lukanya sudah
menutup. Sudah waktunya jahitan ini dibuka.”
”Dan kau menggunakan pisau cukur?”
”Habis, apa lagi?”
Cooper melintasi ruangan dalam tiga langkah marah
sambil menarik pisau berburunya dari sarungnya. Keti­
ka ia berlutut di hadapan Rusty, gadis itu meringkuk
dan menutupi tubuhnya rapat­rapat dengan selimut.
”Kau tidak bisa menggunakan itu!”
Dengan ekspresi menakutkan Cooper membuka ga­
gang pisaunya dan mengeluarkan beberapa bagian tam­
bahan yang baru saat itu dilihat Rusty. Di antaranya

193

www.facebook.com/indonesiapustaka ada sebuah gunting kecil. Melihat gunting itu, Rusty
sangat marah. ”Kalau kau punya gunting, kenapa kau
memotong kukuku dengan pisau berburumu itu?”

”Aku sedang ingin pakai pisau. Kemarikan kakimu.”
Cooper mengulurkan tangannya.

”biar aku saja.”
”Kemarikan kakimu.” Cooper mengucapkan kalimat
itu dengan jelas sambil melotot marah pada Rusty.
”Kalau kau tidak mau, aku sendiri yang akan menarik­
nya dari balik selimut itu.” Kemudian suaranya meme­
lan dan jadi bernada merayu, ”Siapa tahu apa yang ba­
kal kulihat di dalam sana.”
Dengan marah Rusty menjulurkan kakinya dari ba­
wah selimut. ”Terima kasih,” kata Cooper sinis.
”Kumismu meleleh di kakiku.”
Salju di kumis lelaki itu mencair dan Cooper menye­
kanya dengan lengan pakaian, tanpa melepaskan kaki
Rusty. Kaki itu tampak kecil dan pucat di tangannya
yang besar. Rusty menyukai perasaan itu, namun ia
berusaha untuk tidak menikmatinya. Dengan tidak rela
ia membiarkan Cooper meletakkan kakinya di antara
kedua paha lelaki itu. Rusty terkesiap merasakan apa
yang tersentuh oleh lekuk telapak kakinya.
Cooper menatap sinis. ”Ada apa?”
Lelaki ini memancingnya untuk mengucapkan kata
itu. Ia lebih suka mati saja daripada membiarkan lelaki
itu tahu bahwa ia merasakannya. ”Tidak apa­apa,” kata
Rusty tak peduli. ”Tanganmu dingin. Itu saja.”
Kilatan di mata lelaki itu menunjukkan bahwa
Cooper tahu dia berbohong. Sambil tersenyum lebar
Cooper menunduk dan mulai menggunting benang

194

www.facebook.com/indonesiapustaka bekas jahitan tersebut. Tidak sulit sama sekali. Rusty
merasa ia bisa melakukannya dengan mudah. Tapi
ketika Cooper mengambil sebuah penjepit kecil dan
menjepit benang pertama yang sudah terpotong, Rusty
merasa ngeri.

”Tidak sakit, hanya seperti tersengat sedikit,” kata
Cooper. Ia menarik benang itu dengan cepat. Secara
releks Rusty membuat gerakan menahan dengan kaki­
nya.

”Aduh,” erang Cooper. ”Jangan begitu!”
Tentu saja ia tidak sengaja. Mulai saat ini ia akan
menahan agar kakinya tetap diam, meski seandainya
lelaki ini akan membuka benang­benangnya dengan
giginya.
Setelah semua bekas jahitan dilepas, Rusty menangis
untuk melampiaskan ketegangan dan kecemasannya.
Cooper sudah melakukan tugasnya selembut mungkin
dan Rusty merasa berterima kasih, tapi peristiwa tadi
sama sekali tidak menyenangkan. Diletakkannya satu
tangannya di bahu Cooper. ”Terima kasih, Cooper.”
Cooper cuma angkat bahu tak acuh. ”berpakaianlah.
Dan cepat siapkan makan malam,” perintahnya dengan
kekasaran manusia gua. ”Aku sudah lapar.”
Tak lama sesudahnya, ia mulai bermabuk­mabukan.

195

www.facebook.com/indonesiapustaka 9

bOTOL­bOTOL berisi wiski itu ada di antara bahan­
bahan persediaan kedua Gawrylow. Cooper menemu­
kannya ketika sedang membersihkan pondok. Ia menji­
lat bibirnya dengan senang ketika melihat peti­peti itu.
Kemudian ia menenggak seteguk besar dan menelannya
tanpa merasakan lebih dulu. Cairan itu bagaikan mele­
dak di perutnya, membakar isinya seperti meteor.

Rusty tertawa terbahak­bahak melihat ia terbatuk­
batuk dan terengah­engah, tapi Cooper sendiri tidak
merasa hal itu lucu. Setelah bisa berbicara kembali,
dengan galak ia memberitahu Rusty bahwa apa yang
dialaminya itu sama sekali tidak lucu. Usus­ususnya
seperti terpanggang, katanya.

Setelah itu ia tak pernah menyentuh botol­botol
wiski tersebut. Sampai beberapa waktu kemudian. Dan
kali ini tidak ada yang lucu dalam cara ia meminumnya.

Setelah membesarkan api, Cooper membuka tutup
salah satu botol. Rusty terperanjat, namun tidak menga­
takan apa­apa ketika melihat lelaki itu mulai menenggak

196

www.facebook.com/indonesiapustaka isi botol perlahan­lahan. berhenti sebentar, lalu me­
nenggak lagi. Mulanya Rusty mengira ia minum hanya
untuk membuat tubuhnya hangat. Tadi lelaki itu kelu­
ar pondok sebentar, tapi ketika masuk lagi, kumisnya
sudah membeku. Jelas ia kedinginan hingga ke tulang.

Namun dengan segera alasan kedinginan itu tidak
berlaku lagi. Cooper tidak berhenti minum setelah dua
tegukan itu. Ia membawa botol tersebut ke kursi di
depan perapian dan minum cukup banyak sampai saat
Rusty memanggilnya untuk makan. Dengan kesal ia
melihat lelaki itu membawa botol tersebut ke meja dan
menuangkan isinya ke dalam gelas kopi. Sesekali
Cooper meneguk minumannya sambil makan masakan
daging kelinci yang dibuat Rusty.

Rusty mempertimbangkan untuk menegur lelaki itu
karena terlalu banyak minum. Tapi ia ragu­ragu setelah
melihat Cooper masih terus dan terus minum. Ia men­
jadi gelisah.

bagaimana kalau lelaki itu pingsan? Terpaksa Cooper
mesti tergeletak di tempat ia jatuh, sebab Rusty tak
akan kuat mengangkatnya. Rusty masih ingat, betapa
sulitnya dulu ia menyeret Cooper keluar dari bangkai
pesawat. Ketika itu sebagian besar tenaganya timbul
karena kepanikan. bagaimana kalau nanti Cooper pergi
ke luar dan tersesat di hutan? berbagai kemungkinan
mengerikan terlintas di benaknya.

Akhirnya Rusty berkata, ”Kukira kau tidak sanggup
minum wiski itu.”

Cooper keliru menafsirkan teguran Rusty sebagai
cemoohan. ”Menurutmu aku kurang jantan?”

197

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Apa?” Rusty bertanya bingung. ”Tidak, bukan begi­
tu maksudku. Aku cuma mengira kau tidak suka de­
ngan rasa wiski itu.”

”Aku minum bukan karena aku suka rasanya, tapi
karena sudah tidak ada lagi yang enak di sini. Cuma ini
yang tersisa.”

Dia sudah gatal ingin mencari masalah. Rusty bisa
membaca tantangan itu di matanya, dan dalam nada
suaranya yang ketus, dan Rusty tidak berniat meladeni
lelaki itu. Ia tak mau memancing­mancing kemarahan
Cooper. Itu saja saja dengan mengibarkan bendera me­
rah di depan banteng yang sudah siap menyerang.

Dalam keadaan seperti itu, lebih baik Cooper dibiar­
kan, meski sulit sekali bagi Rusty untuk tetap berdiam
diri. Ia ingin sekali mengatakan betapa bodohnya mi­
num sesuatu yang tidak disukai, hanya karena ingin
mabuk.

Kelihatannya memang itulah yang diinginkan
Cooper. Ia hampir membuat kursinya terbalik ketika ia
memundurkannya dari depan meja. Hanya gerak
releksnya yang sangat cepatlah yang mencegah kursi itu
terbanting ke lantai. Ia beranjak ke perapian. Di situ ia
kembali minum tanpa bicara, sementara Rusty member­
sihkan piring­piring bekas makan mereka.

Setelah selesai dengan piring­piring itu, Rusty me­
nyapu lantai, sekadar untuk menyibukkan diri, bukan
karena lantainya kotor. Entah bagaimana, ia mulai
bangga atas keberhasilannya menjaga kebersihan pon­
dok itu.

Akhirnya ia kehabisan pekerjaan. Ia berdiri di tengah

198


Click to View FlipBook Version