The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka bisa melakukannya.” Suara Cooper masih serak setelah
mengerang berkali­kali, menyebut nama Rusty. Ia nyaris
tidak punya kekuatan lagi untuk membelai punggung
gadis itu.

”Apa aku melakukannya dengan baik?”
Cooper menelengkan kepala, menatap gadis yang
berbaring di dadanya. ”Masa kau tidak tahu?”
Mata Rusty dipenuhi cinta saat ia balas menatap
Cooper dan menggeleng dengan malu­malu.
”Apa itu pertama kalinya kau…?” Rusty mengang­
guk. Cooper mengumpat pelan dan mencium Rusty
dengan sayang. ”Yeah. Kau lumayan,” katanya bercanda.
”Lumayan.”
Setelah agak lama berdiam diri, Rusty bertanya, ”Se­
perti apa keluargamu?”
”Keluargaku?” Sambil berpikir, Cooper menggesek­
kan kakinya di kaki kiri Rusty, hati­hati agar tidak
menyenggol kaki yang sakit. ”Sudah lama sekali, aku
hampir­hampir tak ingat lagi. Yang kuingat hanyalah
bahwa ayahku pergi bekerja setiap hari. Dia seorang
salesman. Pekerjaan itu akhirnya membuat dia terkena
serangan jantung berat, dan dia meninggal seketika.
Aku masih di sekolah dasar waktu itu.
”Ibuku tak pernah bisa memaafkan ayahku karena
meninggal terlalu cepat, meninggalkannya menjadi jan­
da. Dan dia juga tak pernah bisa memaafkanku karena...
karena aku ada, kurasa. Aku menjadi beban baginya.
Dia mesti bekerja untuk menghidupi kami berdua.”
”Dia tidak menikah lagi?”
”Tidak.”

299

www.facebook.com/indonesiapustaka Mungkin untuk hal itu pun sang ibu juga menyalah­
kan anaknya yang sebenarnya tidak bersalah. Rusty
dapat membayangkan masa kecil Cooper. Ia tumbuh
tanpa cinta. Tidak heran kalau ada yang menyodorkan
kebaikan, ia tidak mau menerimanya. Ia tidak percaya
akan kebaikan dan cinta manusia, karena ia tak pernah
mengalaminya. Hubungan­hubungan pribadinya penuh
dengan kepedihan, kekecewaan, dan pengkhianatan.

”Aku masuk Angkatan Laut begitu lulus SMA. Ibu­
ku meninggal pada tahun pertamaku di Vietnam. Kan­
ker payudara. Dia terlalu keras kepala dan menolak
memeriksakan kanker itu sebelum terlambat.

Rusty membelai dagu Cooper dengan kuku ibu jari­
nya, sesekali menyentuh belahan dagu itu. Ia merasa
sedih mengingat masa kecil Cooper yang sunyi dan
tanpa cinta. begitu tidak bahagia. Sementara itu, masa
kecilnya sendiri sangat mudah.

”Ibuku juga sudah meninggal.”
”Lalu kau kehilangan kakakmu.”
”Ya. Jef.”
”Ceritakan tentang dia.”
”Dia hebat,” kata Rusty sambil tersenyum sayang.
”Semua orang menyukai. Dia ramah sekali, jenis orang
yang mudah bersahabat dengan siapa pun. Orang­orang
otomatis tertarik padanya. Dia punya kemampuan me­
mimpin yang sangat menonjol. Dia juga lucu. Dia bisa
melakukan segalanya.”
”Kau sudah sering diingatkan akan hal itu.”
Rusty mengangkat kepala dengan cepat. ”Apa mak­
sudmu?”

300

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper tampaknya sedang menimbang­nimbang,
apakah sebaiknya meneruskan percakapan ini. Tapi lalu
ia melanjutkan, ”bukankah ayahmu selalu menonjolkan
kakakmu sebagai teladan yang patut kautiru?”

”Jef punya masa depan cemerlang dalam bidang real
estate. Ayahku ingin aku juga begitu.”

”Tapi dia menginginkan kau menjalani masa depan­
mu sendiri atau masa depan Jef?”

Rusty melepaskan diri dan menurunkan kaki dari
tempat tidur. ”Aku tidak mengerti maksudmu.”

Cooper menarik sejumput rambut Rusty agar ia ti­
dak meninggalkan tempat tidur. Ia berlutut di belakang
Rusty yang masih duduk di tepi ranjang. ”Masa kau
tidak mengerti! Dari segala yang kauceritakan tentang
ayah dan kakakmu, aku menarik kesimpulan bahwa kau
diharapkan menggantikan Jef.”

”Ayahku hanya ingin aku sukses.”
”Sukses menurut kriterianya. Kau cantik dan cerdas,
dan kau anak yang baik. Kau punya karier yang sukses.
Apa itu tidak cukup baginya?”
”Tidak! Maksudku, tentu saja cukup, hanya saja
ayahku ingin aku menggunakan potensiku sepenuhnya.”
”Atau potensi Jef.” Rusty hendak bangkit, tapi Coo­
per menahan bahunya. ”Misalnya dengan perjalanan
berburu ke Great bear Lake itu.”
”Sudah kubilang itu ideku, bukan ide ayahku.”
”Lalu kenapa kau merasa perlu pergi ke sana? Kenapa
kau merasa kaulah yang bertanggung jawab untuk mene­
ruskan kebiasaan yang dinikmati ayahmu bersama Jef?
Kau pergi hanya karena ingin membuat ayahmu senang.”
”Apakah itu salah?”

301

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak. Kalau itu merupakan tanda pengorbanan
atau kasih sayang. Tapi kurasa kau pergi karena ingin
membuktikan sesuatu padanya. Kurasa kau ingin ayah­
mu melihat bahwa kau juga bisa hebat seperti Jef.”

”Yah, ternyata aku gagal.”
”Itulah yang kumaksud!” teriak Cooper. ”Kau tidak
suka berburu dan memancing. Lalu kenapa? Kenapa
kau jadi menganggap dirimu gagal?”
Rusty berhasil melepaskan diri dari Cooper. begitu
sudah berdiri, ia berbalik menghadapi Cooper. ”Kau
tidak mengerti, Cooper.”
”Memang tidak. Aku tidak mengerti kenapa ayahmu
tidak puas dengan dirimu yang sebenarnya. Kenapa kau
masih terus berusaha membuktikan dirimu padanya?
Dia kehilangan anak lelakinya. Memang malang, tragis.
Tapi dia masih punya anak perempuan, dan dia men­
coba membentukmu menjadi sosok yang bukan dirimu.
Kalian sama terobsesi pada Jef. Apa pun kehebatannya,
aku yakin dia tidak patut dipuja sedemikian rupa.”
Rusty menudingkan jari pada Cooper dengan sikap
menuduh. ”Kau pintar menguliahi orang lain. Kau sen­
diri terobsesi dengan rasa sakit hatimu. Kau mendapat
kesenangan dari rasa putus asamu.”
”Omong kosong.”
”Tepat. Lebih mudah bagimu untuk menyendiri di
gunungmu daripada berbaur dengan manusia lainnya.
Sebab kalau kau berbaur, kau mesti membuka dirimu
sedikit dan membiarkan orang­orang melihat seperti
apa kau sebenarnya. Dan itulah yang kautakutkan, bu­
kan? Sebab kau akan ketahuan. Seseorang akan men­

302

www.facebook.com/indonesiapustaka dapati bahwa kau tidak sekeras, sedingin, dan sekejam
yang tampak dari luar. Seseorang mungkin akan mene­
mukan bahwa kau sanggup memberi dan menerima
cinta.”

”Sayang, aku sudah tidak punya ilusi tentang cinta
lagi sejak lama.”

”Lalu apa arti semua itu bagimu?” Rusty menunjuk
ke arah tempat tidur.

”Seks.” Cooper sengaja membuat kata itu terdengar
kasar.

Napas Rusty tersekat mendengar nada suara Cooper,
tapi dengan angkuh dikibaskannya rambutnya. ”bagiku
tidak. Aku mencintaimu, Cooper.”

”begitulah yang kaukatakan.”
”Aku sungguh­sungguh.”
”Kau sedang dipengaruhi gairahmu ketika mengata­
kan itu.”
”Kau tidak percaya bahwa aku mencintaimu?”
”Tidak. Tak ada yang namanya cinta.”
”Ada.” Rusty mengeluarkan kartu asnya. ”Kau masih
mencintai anakmu yang belum sempat lahir itu.”
”Diam!”
”Kau masih menangisinya karena kau mencintainya.
Kau masih mencintai semua tawanan yang kaulihat te­
was di kamp itu.”
”Rusty...” Cooper turun dari tempat tidur dan berdi­
ri dengan sikap mengancam.
”Kau melihat ibumu menghabiskan hidupnya dalam
keadaan marah dan pahit. Dia menangisi kemalangannya.
Apa kau ingin menyia­nyiakan hidupmu seperti itu?”

303

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Lebih baik begitu, daripada kau yang terus­menerus
berusaha menjadi orang yang bukan dirimu.”

Amarah berkobar di antara mereka. begitu kuat,
hingga mulanya mereka tidak mendengar bunyi bel
pintu. Setelah bill Carlson memanggil­manggil putri­
nya, barulah mereka menyadari bahwa mereka tidak
hanya berdua.

”Rusty!”
”Ya, Ayah.” Rusty kembali duduk di tepi tempat ti­
dur dan merapikan pakaiannya.
”Apa kau baik­baik saja? Mobil butut siapa itu di
luar?”
”Aku akan segera keluar, Ayah.”
Cooper mengenakan pakaiannya dengan jauh lebih
tenang, hingga Rusty bertanya­tanya, apakah ini bukan
pertama kalinya lelaki itu dihadapkan pada situasi cang­
gung seperti ini, mungkin dengan kemunculan tak ter­
duga seorang suami.
Setelah berpakaian, Cooper membantu Rusty berdi­
ri dan memberikan tongkat penyangganya. Mereka ke­
luar bersama­sama. Rusty merah padam, sebab ia me­
nyadari bahwa rambut dan penampilannya berantakan.
bill Carlson sedang mondar­mandir dengan tak sabar
di ruang tamu. Ketika ia menoleh dan melihat Cooper,
wajahnya menjadi tegang oleh rasa tak senang. Ditatap­
nya Cooper dengan dingin, sebelum ia mengalihkan
pandangan dengan tajam pada putrinya.
”Aku tidak tenang kalau tidak menjengukmu setiap
hari.”
”Terima kasih, Ayah, tapi Ayah tidak perlu mampir
setiap hari ke sini.”

304

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kurasa begitu.”
”Ayah masih ingat... Mr. Landry?”
Kedua lelaki itu saling mengangguk dengan dingin,
saling menilai seperti dua orang petarung. Cooper me­
nutup mulutnya dengan keras kepala. Rusty tak bisa
bicara; ia merasa sangat malu. Carlson yang akhirnya
lebih dulu memecahkan keheningan yang tidak menge­
nakkan itu.
”Kebetulan sekali kita bertemu,” katanya. ”Ada yang
ingin kubicarakan dengan kalian berdua. bagaimana
kalau kita duduk dulu?”
”Tentu,” sahut Rusty dengan wajah pucat. ”Maaf.
Cooper?” Ia menunjuk ke sebuah kursi. Cooper ragu­
ragu, tapi akhirnya duduk juga. Tatapan tajamnya
membuat Rusty gugup. Ia menatap lelaki itu dengan
pandangan memohon, tapi Cooper sedang mengamati
ayahnya. Sorot mata lelaki itu waspada dan penuh cu­
riga, seperti dulu, ketika ia memandangi kedua Gawry­
low. Ingatan itu membuat Rusty gelisah. Persamaan apa
yang ditemukan Cooper antara kedua orang hutan itu
dan ayahnya? Rusty duduk di dekat ayahnya.
”Apa yang ingin Ayah bicarakan dengan kami?”
”Perjanjian soal tanah yang kusebutkan beberapa
minggu lalu.”
Rusty merasa seperti akan pingsan. Pipinya memucat
dan telapak tangannya mendadak basah oleh keringat.
Telinganya serasa berdengung oleh bunyi bel peringat­
an. ”Kupikir semua urusan kita sudah beres.”
Carlson terkekeh pelan. ”belum semua. Tapi seka­
rang para investor sudah membuat beberapa gagasan

305

www.facebook.com/indonesiapustaka konkret di atas kertas. Mereka ingin mempresentasikan
gagasan tersebut pada Mr. Landry, untuk dipertimbang­
kan.”

”Ada apa ini sebenarnya?” Cooper menyela dengan
kasar.

”Jangan.”
”Akan kujelaskan.” Carlson cepat­cepat memotong
ucapan Rusty. Dengan gayanya yang khas ia memapar­
kan gagasannya untuk mengembangkan daerah di seki­
tar Rogers Gap menjadi sebuah tempat liburan main ski
yang eksklusif.
Sebagai penutup ia berkata, ”Kita hanya akan beker­
ja sama dengan para arsitek dan pembangun yang paling
inovatif. Tempat itu pasti akan bisa menyaingi Aspen,
Vail, Keystone, apa pun di Pegunungan Rocky atau
sekitar Lake Tahoe. Dalam beberapa tahun kujamin
kita bisa membuat tempat itu menjadi tempat penye­
lenggaraan Olimpiade Musim Dingin.” Sambil bersan­
dar di kursinya dan tersenyum lebar, ia berkata, ”Nah,
Mr. Landry, bagaimana menurut Anda?”
Cooper, yang sejak tadi tidak mengerjapkan mata
sedikit pun, perlahan­lahan bangkit berdiri, mengitari
meja beberapa kali, seolah sedang mempertimbangkan
gagasan tersebut dari segala sudut. Ia bisa mendapat
uang banyak dari rencana itu, sebab sejumlah tanah
yang akan digunakan untuk proyek tersebut adalah
miliknya. Selain itu, ia juga ditawari gaji besar sebagai
koordinator lokal.
Carlson melirik putrinya sambil mengedipkan mata,
yakin akan kemenangannya.

306

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Anda ingin tahu pendapatku?” tanya Cooper.
”begitulah,” sahut Carlson riang.
Cooper menatapnya lekat­lekat. ”Menurutku, kau
penuh dengan omong kosong, dan menurutku gagasan-
mu memuakkan.” Ia melontarkan kata­kata itu dengan
tajam, lalu menambahkan, ”Dan asal tahu saja, putrimu
sama memuakkannya denganmu.”
Ia menghunjamkan satu tatapan dingin pada Rusty.
Ia bahkan tidak perlu membanting pintu lagi setelah
keluar dengan marah dari ruangan itu. Mereka mende­
ngar mesin mobilnya dinyalakan, disusul gemeretak
kerikil mobil itu keluar dari halaman.
Carlson mendengus dan berkata, ”Yah, ternyata pen­
dapatku tentang dia selama ini benar.”
Tahu bahwa ia takkan pernah pulih dari luka yang
ditorehkan Cooper atas dirinya, Rusty berkata dengan
datar, ”Ayah salah besar.”
”Dia kasar.”
”Dia jujur.”
”Dia tidak punya ambisi dan tidak tahu sopan san­
tun.”
”Dia tidak suka berpura­pura.”
”Dan kelihatannya dia tidak bermoral. Dia meman­
faatkan kenyataan bahwa kau sendirian dan terperang­
kap bersamanya.”
Rusty tertawa pelan. ”Aku tidak ingat siapa persisnya
yang lebih dulu mengajak ke tempat tidur, tapi yang
jelas dia tidak memaksaku untuk tidur dengannya.”
”Jadi, kalian berdua adalah kekasih?”
”Tidak lagi,” sahut Rusty sedih.

307

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper pasti merasa dikhianati olehnya, seperti yang
telah dilakukan Melody. Ia mengira Rusty dijadikan
umpan oleh ayahnya. Mencoba mencari keuntungan
dengan menggunakan taktik rayuan di tempat tidur.
Cooper takkan pernah memaafkannya, sebab ia tak
percaya bahwa Rusty mencintainya.

”Selama ini kau menjadi kekasihnya? Tanpa sepenge­
tahuanku?”

Rusty ingin mengatakan pada ayahnya bahwa pada
usia 27 tahun ini ia tak perlu minta izin ayahnya lagi
untuk melakukan apa yang diinginkannya. Tapi apa
gunanya bicara demikian? Ia sudah kehabisan tenaga,
kehabisan energi, dan gairah untuk hidup.

”Ketika masih di Kanada, ya, kami menjadi kekasih.
Setelah meninggalkan kamarku di rumah sakit hari itu,
dia pulang dan sejak itu tidak kembali lagi. baru tadi
siang inilah dia datang lagi.”

”Kalau begitu, dia lebih realistis daripada yang ku­
kira. Dia sadar bahwa kalian sama sekali tidak cocok.
Seperti umumnya wanita, kau melihat situasi ini dari
segi romantisnya. Kaubiarkan emosimu menguasaimu,
bukan akal sehatmu. Kupikir kau sudah tidak terpenga­
ruh oleh kelemahan wanita seperti itu.”

”Aku masih terpengaruh, Ayah. Aku tetap wanita,
dan aku punya semua kelemahan, sekaligus kekuatan,
yang biasa dimiliki wanita.”

bill Carlson bangkit dan melintasi ruangan. Ia me­
meluk Rusty untuk berdamai. Rusty berdiri dengan
tongkat penyangganya, hingga ayahnya tidak memper­
hatikan betapa kaku sikapnya saat menerima pelukan­

308

www.facebook.com/indonesiapustaka nya. ”Kulihat Mr. Landry telah membuatmu kesal lagi.
Dia memang bajingan, berkata begitu tentang dirimu.
Kau akan lebih baik tanpa dia, Rusty, percayalah.”

”Tapi,” Carlson melanjutkan dengan tegas, ”kita tidak
akan membiarkan sikapnya yang tidak bersahabat itu
menghalangi urusan kemitraan kita dengannya. Aku
berniat meneruskan rencana kita, meski dia keberatan.”

”Ayah, kumohon-”
Carlson menutup mulut Rusty dengan satu jarinya.
”Diamlah. Tidak usah dibicarakan lagi malam ini. be­
sok kau akan merasa lebih baik. Kau masih tertekan.
Mungkin bukan gagasan bagus menjalani operasi segera
setelah kecelakaan pesawat itu. bisa dimengerti kalau
kau jadi seperti ini. Tak lama lagi akal sehatmu akan
bekerja lagi dan kau akan menjadi Rusty yang dulu.
Aku yakin sekali kau tidak akan mengecewakanku.”
Carlson mengecup dahi putrinya. ”Selamat malam,
sayangku. bacalah proposal ini,” katanya sambil menge­
luarkan sebuah map dari tas kerjanya dan meletakkan­
nya di meja kopi. ”Aku akan mampir besok pagi, untuk
mendengar pendapatmu.”
Setelah ayahnya pergi, Rusty mengunci pintu rumah
dan kembali ke tempat tidur. Ia mandi air hangat dan
bermalas­malasan di bak. Sejak dokter mengatakan
kakinya sudah boleh kena air, ia selalu mandi beren­
dam. Tapi setelah mengeringkan tubuh, memberi losi­
on, dan membedakinya, ia tetap masih bisa merasakan
sisa­sisa sentuhan Cooper padanya.
Tempat tidurnya terasa lebar dan kosong, seperti
lapangan sepak bola yang tidak digunakan. Seprainya

309

www.facebook.com/indonesiapustaka masih menyimpan aroma tubuh Cooper. Ia mem­
bayangkan kembali setiap detik yang mereka lewati
bersama siang itu—saling memberi kenikmatan, perca­
kapan erotis. bahkan hingga sekarang pun bisikan­bi­
sikan nakal Cooper masih membuat tubuhnya bereaksi
kembali.

Ia merindukan Cooper dan merasa sangat sedih
membayangkan hidupnya akan menjadi serangkaian
hari­hari kosong dan malam­malam tanpa kebahagiaan,
seperti yang dialaminya saat ini.

Ia bisa menyibukkan diri dalam pekerjaannya.
Ada ayahnya.
Dan teman­temannya yang banyak itu.
Serta berbagai kegiatan sosialnya.
Tapi itu takkan cukup.
Ada sebuah kekosongan besar yang mestinya diisi
oleh laki­laki yang dicintainya.
Ia duduk tegak di tempat tidur dan mencengkeram
selimutnya erat­erat di dada, seolah kesadaran yang
baru datang itu akan meninggalkannya kalau ia tidak
mempertahankannya sebelum bisa menentukan tindak­
an yang akan diambilnya.
Pilihan­pilihannya sudah jelas. Ia bisa berdiam diri
saja, atau berjuang untuk mendapatkan Cooper kemba­
li. Lawan utamanya adalah Cooper sendiri. Lelaki itu
keras kepala dan tidak mudah percaya. Tapi Rusty ya­
kin lambat laun dirinya bisa meyakinkan Cooper bahwa
mereka saling mencintai.
Ya, Cooper mencintainya. boleh saja lelaki itu me­
nyangkalnya mati­matinya, tapi Rusty takkan pernah

310

www.facebook.com/indonesiapustaka percaya bahwa Cooper tidak mencintainya. Tepat sete­
lah ayahnya memaparkan gagasannya yang menyakitkan
itu, dan sesaat sebelum wajah Cooper mengeras penuh
amarah, Rusty sempat melihat sebersit kepedihan di
dalamnya. Tak mungkin Cooper bisa merasa begitu
sakit hati kalau tidak mencintainya.

Rusty berbaring kembali. Sekarang ia sudah tahu apa
yang akan dilakukannya besok pagi.

bill Carlson terkejut mendapat serangan mendadak ini.
Ia tak mengiranya sama sekali.

Ketika Rusty muncul tiba­tiba di kantornya keesok­
an pagi, Carlson berseru di balik mejanya yang mengi­
lap, ”Ah, Rusty! Kejutan yang menyenangkan!”

”Selamat pagi, Ayah.”
”Kenapa kau keluar rumah? Tapi sebenarnya tidak
apa­apa. Aku senang kau sudah bisa aktif lagi.”
”Aku ingin bertemu Ayah, dan tak ingin menunggu
disediakan waktu di antara jadwal Ayah yang sibuk.”
Carlson tidak mengacuhkan nada ketus putrinya. Ia
keluar dari balik mejanya dengan lengan terulur untuk
meraih tangan Rusty. ”Kulihat kau sudah jauh lebih
baik. Apa Mrs. Watkins menawarkan kopi padamu?”
”Ya, tapi kutolak.”
Carlson memandangi pakaian santai yang dikenakan
Rusty. ”Kelihatannya kau tidak akan masuk ke kantor­
mu.”
”Tidak.”
Carlson menelengkan kepala, menunggu penjelasan.

311

www.facebook.com/indonesiapustaka Karena tidak ada penjelasan, ia melanjutkan, ”Mana
tongkat penyanggamu?”

”Ada di mobilku.”
”Kau naik mobil kemari? Kukira-”
”Ya, aku menyetir sendiri. Aku ingin berjalan masuk
kemari dengan kekuatanku sendiri dan berdiri di atas
kakiku sendiri.”
Carlson mundur sedikit dan bersandar di tepi meja­
nya. Dengan santai ia menyilangkan kaki dan melipat
lengan. Rusty tahu betul gelagat ini. begitulah sikap
ayahnya kalau merasa terdesak, tapi tak ingin lawannya
mengetahui hal itu. ”Kusimpulkan bahwa kau sudah
membaca proposal itu.” Dengan gerakan kepalanya ia
membuat isyarat ke map yang dikepit Rusty.”
”Ya.”
”Dan?”
Rusty merobek map itu menjadi dua dan melempar­
kan ke meja ayahnya sambil berkata, ”Jangan ganggu
Cooper Landry. Hentikan proyek Rogers Gap itu. Hari
ini juga.”
Carlson tertawa melihat sikap putrinya dan angkat
bahu sambil merentangkan kedua lengan. ”Sudah ter­
lambat, Rusty. bola sudah digelindingkan.”
”Hentikan.”
”Tidak bisa.”
”Kalau begitu, Ayah akan mendapat masalah dengan
para investor yang sudah Ayah kumpulkan itu.” Rusty
mencondongkan tubuh ke depan. ”Sebab aku akan me­
minta setiap kelompok pelestarian alam di negeri ini
menggedor pintu rumah Ayah untuk memprotes. Ku­
rasa Ayah tidak menginginkan hal itu.”

312

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Rusty, cobalah berpikir sehat,” desis Carlson.
”Sudah kulakukan. Antara tengah malam dan jam dua
pagi kemarin aku menyadari bahwa ada yang lebih pen­
ting bagiku daripada bisnis real estate mana pun. bahkan
lebih penting daripada mendapatkan pujian Ayah.”
”Landry?”
”Ya.” Suara Rusty penuh keyakinan. Ia tak ingin
goyah lagi.
Tapi Carlson masih mencoba. ”Kau mau melepaskan
semua yang telah kauperoleh demi dia?”
”Mencintai Cooper tidak perlu membuatku melepas­
kan apa yang telah atau akan kulakukan kelak. Cinta
sebesar ini justru akan menjadi pendorong, bukan peng­
hancur.”
”Apa kau sadar betapa konyol ucapanmu itu?”
Rusty tidak tersinggung. Ia malah tertawa. ”Kurasa
begitulah. Orang yang sedang jauh cinta sering bicara
yang tidak masuk akal, bukan?”
”Ini bukan lelucon, Rusty. Kalau kau melakukan ini,
keputusan itu takkan bisa kautarik lagi. begitu kau
melepaskan posisimu di sini, kau tak bisa kembali lagi.”
”Kurasa tidak, Ayah,” sahut Rusty, menjawab tan­
tangan ayahnya. ”Pikirkan, betapa buruk kesannya bagi
usaha Ayah kalau Ayah memecat karyawan yang paling
berprestasi.” Rusty mengambil kunci dari saku jaket
nilonnya. ”Ini kunci kantorku.” Ditaruhnya kunci itu di
meja ayahnya. ”Aku akan ambil cuti tak terbatas.”
”Tindakanmu bodoh.”
”Aku sudah berbuat bodoh dengan pergi ke Great
bear Lake. Dan itu pun kulakukan demi cinta.” Ia ber­
balik dan beranjak ke pintu.

313

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Mau ke mana kau?” teriak bill Carlson. Ia tidak
biasa ditinggalkan begitu saja.

”Ke Rogers Gap.”
”Mau apa?”
Rusty berbalik kembali menghadap ayahnya. Ia sa­
yang pada ayahnya. Sangat sayang. Tapi ia tak mau lagi
mengorbankan kebahagiaannya untuk ayahnya. Dengan
penuh keyakinan ia berkata, ”Aku akan melakukan se­
suatu yang takkan pernah bisa dilakukan Jef. Aku akan
punya bayi.”

314

www.facebook.com/indonesiapustaka 14

RUSTY berdiri di atas tebing dan menarik napas dalam­
dalam, menghirup udara dingin yang segar. Ia tak pernah
bosan menikmati pemandangan di hadapannya. Apa yang
dilihatnya seakan tak pernah berubah, namun sebenarnya
senantiasa berganti. Hari ini langit tampak biru jernih,
seperti mangkuk porselen yang ditumpangkan di atas
bumi. Salju masih menghiasi puncak­puncak pegunungan
di cakrawala sana. Pepohonan berderet dalam berbagai
nuansa hijau, mulai dari hijau kebiruan hingga hijau muda
daun­daun yang baru bertunas.

”Kau tidak kedinginan?”
Suaminya muncul di belakangnya dan melingkarkan
lengan di tubuhnya. Rusty bersandar padanya. ”Tidak.
bagaimana anak kuda itu?”
”Sedang sarapan... asyik bersama induknya.”
Rusty tersenyum dan memiringkan kepala ke satu
sisi. Cooper menurunkan kerah sweter istrinya sedikit
dan mengecup lehernya, di bawah telinga. ”bagaimana
dengan ibu yang satu ini?”

315

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku belum jadi ibu.” Wajah Rusty berseri­seri ba­
hagia saat Cooper menyapukan lengannya yang besar di
perutnya yang membusung.

”Calon ibu.”
”Menurutmu bentuk badanku sekarang ini lucu, ya?”
Ia merengut, tapi sulit untuk tetap cemberut kalau sua­
minya menatapnya dengan penuh cinta seperti itu.
”Aku suka kok.”
”Aku cinta padamu.”
Mereka berciuman. ”Aku juga mencintaimu,” bisik
Cooper. Kata­kata yang dulu tak mungkin keluar dari
mulutnya itu sekarang meluncur dengan mudah dari
bibirnya. Rusty­lah yang mengajarinya untuk kembali
mencintai.
”Jelas.”
”Yeah, aku ingat malam ketika kau muncul di depan
pintuku dengan penampilan tidak keruan, seperti anak
kucing habis kehujanan.”
”Mengingat apa yang kualami waktu itu, menurutku
penampilanku cukup lumayan.”
”Aku tidak tahu mesti mencium atau memarahimu.”
”Kau melakukan kedua­duanya.”
”Yeah, tapi baru sesudahnya aku memarahimu.”
Mereka tertawa bersama, tapi Cooper serius dengan
ucapannya tadi. ”Sungguh, aku tak percaya bahwa kau
mengemudikan mobilmu sejauh itu, seorang diri, dalam
cuaca seperti itu. Apa kau tidak mendengar berita ra­
dio? Tidak mendengar laporan badai? Kau menembus
badai salju pertama yang paling berat. Setiap kali teri­
ngat itu, aku merinding.” Cooper menariknya lebih
dekat dan membenamkan wajah di rambut istrinya.

316

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku mesti menemuimu saat itu juga, sebelum aku
kehilangan keberanianku. Aku rela menembus badai
seberat apa pun untuk bisa sampai kemari.”

”Memang itulah yang terjadi.”
”Saat itu aku tidak merasakan beratnya. Lagi pula,
aku pernah mengalami kecelakaan pesawat. Apa artinya
badai salju kecil?”
”Sama sekali tidak kecil. Apalagi kau menyetir de­
ngan kaki masih luka.”
Rusty angkat bahu tak acuh. Karena gerakannya itu,
payudaranya naik dan turun kembali. Sambil bergumam
senang Cooper menangkupnya dengan kedua tangannya
dan memijatnya pelan­pelan, sadar sepenuhnya akan
ketidaknyamanan yang dirasakan istrinya akibat keha­
milannya.
”Sakit?” tanyanya.
”Sedikit.”
”Jadi, hentikan saja?”
”Jangan, teruskan.”
Puas dengan jawaban itu, Cooper menaruh dagunya
di puncak kepala Rusty dan terus memijat payudara
istrinya.
”Aku senang operasi di kakiku bisa ditunda sampai
bayi kita lahir,” kata Rusty. ”Itu kalau kau tidak kebe­
ratan melihat bekas luka yang jelek itu.”
”Aku selalu tutup mata kalau kita sedang bercinta.”
”Aku tahu. Aku juga begitu.”
”Lalu bagaimana kau tahu mataku terpejam?” goda
Cooper. Mereka tertawa lagi, sebab sebenarnya mereka
berdua sama sekali tidak menutup mata saat bercinta.

317

www.facebook.com/indonesiapustaka Mereka terlalu asyik saling memandangi, menilai ting­
kat gairah masing­masing.

Saat memandangi seekor rajawali yang terbang ber­
putar­putar dengan malasnya, Cooper bertanya, ”Ingat,
tidak, apa yang kaukatakan padaku ketika aku membu­
kakan pintu malam itu?”

”Aku bilang, ’Kau mesti membiarkan aku mencintai­
mu, Cooper Landry, tak peduli akibatnya.”

Cooper terkekeh teringat peristiwa itu. Hatinya
menjadi hangat, seperti yang dirasakannya malam itu,
ketika ia membayangkan keberanian Rusty datang pa­
danya dan membuat pernyataan itu. ”Apa yang akan
kaulakukan kalau aku membanting pintu di depan wa­
jahmu?”

”Tapi kau tidak membanting pintu.”
”Misalkan saja.”
Rusty berpikir sejenak. ”Aku tetap akan masuk,
membuka semua pakaianku, mengumumkan cinta aba­
diku padamu, dan mengancammu dengan kekerasan
kalau kau tidak membalas cintaku.”
”Memang itulah yang kaulakukan.”
”Yeah.” Rusty terkikik. ”Aku akan terus begitu, sam­
pai kau tidak menolak lagi.”
Cooper menempelkan bibir di telinga istrinya. ”Kau
berlutut memintaku menikahimu, dan ingin aku mem­
berikan seorang anak padamu.”
”Tajam sekali ingatanmu.”
Cooper tertawa terbahak­bahak dengan perasaan geli
yang tidak dibuat­buat. Ia bisa sering tertawa sekarang.
Tapi kadang­kadang ia masih suka terdiam dan menja­

318

www.facebook.com/indonesiapustaka ga jarak seperti dulu. Pikirannya membawanya kemba­
li ke masa­masa hidupnya yang silam, yang tak mungkin
dimasuki Rusty. Namun Rusty selalu bisa menariknya
kembali ke masa kini. Dengan sabar dan penuh cinta ia
mengurangi kenangan­kenangan yang mengganggu itu
dan menggantikannya dengan yang membahagiakan.

Kini dikecupnya leher Cooper yang kekar dan keco­
kelatan, sambil berkata, ”Sebaiknya kita masuk, siap­
siap untuk perjalanan ke L.A.”

Sebulan sekali mereka pergi ke kota itu, tinggal sela­
ma dua atau tiga hari di rumah Rusty. Sementara ber­
ada di sana, mereka makan di restoran­restoran yang
bagus, menonton konser dan ilm, berbelanja, dan
bahkan sesekali menghadiri pesta. Rusty tetap menjalin
hubungan dengan teman­teman lamanya, tapi ia senang
dengan kenalan­kenalan baru yang diperolehnya bersa­
ma Cooper sebagai suami­istri. Kalau mau, Cooper bisa
sangat memikat dan pintar bercakap­cakap mengenai
banyak hal.

Dan sementara berada di L.A., Rusty menangani
urusan bisnis yang memerlukan perhatiannya. Sejak
menikah, ia telah diangkat menjadi wakil presiden di
perusahaan real estate ayahnya.

Cooper bekerja sebagai pembimbing sukarela di ke­
lompok terapi untuk para veteran perang. Ia telah me­
mulai terapi beberapa program perbaikan diri yang se­
karang mulai diterapkan di bagian­bagian lain negara
itu.

Sambil saling merangkul pinggang, kedua suami­istri
itu berjalan ke rumah mereka yang terletak di tengah

319

www.facebook.com/indonesiapustaka pepohonan pinus, menghadap ke sebuah lembah berpe­
mandangan sangat indah. Kuda­kuda dan sapi­sapi
merumput di padang pegunungan, di bawah deretan
pepohonan.

”Kau tahu, tidak,” kata Cooper saat mereka mema­
suki kamar tidur mereka yang berdinding kaca, ”bicara
tentang malam kau datang dulu itu membuatku bergai­
rah.” Ia melepas kemejanya.

”Kau memang selalu bergairah.” Rusty menarik swe­
ter melewati kepala. Ia tidak pernah memakai bra kalau
hanya mereka berdua di rumah.

Sambil memandangi payudara istrinya yang membe­
sar, Cooper melepaskan jeans­nya dan berjalan meng­
hampiri Rusty. ”Dan itu gara­gara kau.”

”Kau masih bergairah melihatku, meski tubuhku
seperti ini?” Rusty menunjuk perutnya yang membuncit.

Sebagai jawaban, Cooper menariknya ke dalam pe­
lukan. ”Ya,” katanya. Sambil berlutut dikecupnya salah
satu payudara istrinya. ”Selama kau adalah kau, aku
tetap mencintaimu, Rusty.”

”bagus,” desah Rusty. ”Sebab kau tidak akan bisa
lepas dariku, seperti saat di hutan itu.”

320

www.facebook.com/indonesiapustaka

BIARKAN AKU MENCINTAIMU

TWO ALONE

Rusty Carlson adalah wanita karier yang sukses
dan terbiasa dengan kehidupan gemerlap Beverly
Hills, namun ketika mengalami kecelakaan pesawat

dan terdampar di hutan belantara Kanada yang
ganas, ia benar-benar tak berdaya.

Satu-satunya penumpang lain yang selamat adalah
Cooper Landry, veteran perang Vietnam yang telah

banyak mengalami pahit-getirnya kehidupan dan
sinis terhadap wanita semacam Rusty.

Keadaan memaksa mereka untuk bekerja sama
agar bisa bertahan hidup, sementara menunggu
bala bantuan. Dalam situasi serbasulit ini, cinta
tumbuh di hati Rusty terhadap Cooper, meskipun
sepertinya lelaki itu tidak akan pernah membalas

perasaannya...

www.facebook.com/indonesiapustakaNOVEL DEWASA 21+
9 789792 222425
9786020386386 DIGITAL
Penerbit Harga P. Jawa: Rp49.000

PT Gramedia Pustaka Utama

Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gpu.id
www.gramedia.com


Click to View FlipBook Version