The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-02-08 21:58:01

Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone)

by Sandra Brown

Keywords: by Sandra Brown,Biarkan Aku Mencintaimu (Two Alone) ,novel

www.facebook.com/indonesiapustaka langsung membela Cooper. ”Dia mencoba menyelamat­
kan kakiku,” katanya.

Sekonyong­konyong ia merasa sangat bangga akan
bekas luka itu dan tidak terlalu bersemangat lagi untuk
menghilangkannya. Ia diberitahu bahwa untuk menghi­
langkan bekas itu setidaknya diperlukan tiga kali opera­
si. Tapi sekarang baginya bekas luka itu menjadi tanda
keberaniannya.

Selain itu, Cooper telah mengatakan padanya bahwa
ia sama sekali tidak merasa jijik melihat bekas luka itu.
Ia justru ”bergairah” setiap kali melihatnya. Rusty me­
nimbang­nimbang untuk mengatakan itu pada si dokter
bedah plastik yang sombong.

Tapi itu tidak dilakukannya. Ia malah tidak banyak
berbicara. Ia tak punya tenaga untuk itu. Ia hanya bisa
berharap segera ditinggalkan sendiri, agar bisa tidur.

Tapi, sekarang, setelah mendapat kesempatan untuk
tidur, ia justru tidak merasa mengantuk. berbagai kera­
guan dan rasa takut serta rasa tidak bahagia membuat­
nya tetap terjaga. Di mana Cooper? Kenapa lelaki itu
tidak mengikutinya? Tadi di bandara memang ribut
sekali, tapi Cooper tentunya bisa tetap mendampinginya
kalau ingin.

Ketika perawat datang menawarkan obat penenang,
Rusty dengan senang hati menerimanya. Sebab ia tahu
bahwa tanpa obat penenang, ia tak akan bisa tidur tan­
pa berada dalam pelukan hangat Cooper.

249

www.facebook.com/indonesiapustaka 11

”ASTAGA, sulit dipercaya, Rusty kita mengalami ke­
celakaan pesawat!”

”Pasti sangat mengerikan.”
Dari ranjang rumah sakit itu Rusty memandangi
kedua wanita berpakaian bagus di hadapannya dan
berharap mereka pergi saja, lenyap seperti asap. begitu
nampan sarapannya dibawa pergi oleh seorang perawat
yang sangat gesit dan eisien, kedua wanita temannya
itu langsung masuk ke kamarnya.
Dengan menebarkan aroma parfum eksotis dan seju­
ta rasa ingin tahu, mereka mengatakan ingin menjadi
orang pertama yang menyatakan simpati. Tapi Rusty
menduga yang sebenarnya mereka inginkan adalah
menjadi orang pertama yang mendengar detail­detail
mengasyikkan tentang ”petualangannya” di Kanada.
”Tidak, menurutku tidak terlalu mengasyikkan,” kata
Rusty dengan letih.
Ia sudah bangun lama sebelum sarapan dibawakan.
Sekarang ia terbiasa bangun begitu matahari terbit.

250

www.facebook.com/indonesiapustaka berkat obat penenang yang diminumnya semalam, ia bisa
tidur nyenyak. Kelesuannya timbul bukan karena ia lelah,
melainkan karena depresi. Semangatnya saat ini betul­
betul berada pada titik terendah, dan usaha teman­
temannya untuk menyenangkannya sama sekali tidak
berhasil.

”begitu kau keluar dari sini, kami akan mentraktirmu
mempercantik diri seharian di salon. Perawatan rambut,
kulit, pijat. Coba lihat kuku­kukumu itu.” Salah seorang
wanita tersebut mengangkat tangan Rusty yang lemah
sambil mendecak­decakkan lidah. ”Tanganmu jadi kasar.”

Rusty tersenyum lesu. Ia teringat betapa kesalnya ia
ketika Cooper memotong kuku­kukunya dengan pisau
berburu. ”Habis bagaimana? Aku tidak bisa manikur.”
Ia hanya bermaksud bercanda, tapi kedua temannya
malah mengangguk­angguk penuh simpati. ”Aku terlalu
sibuk berusaha bertahan hidup.”

Salah seorang temannya mengibaskan rambutnya yang
pirang dan pura­pura merinding ngeri, hingga skarf
Hermes di lehernya terlepas. Sejumlah gelang perak di
pergelangan tangannya bergemerincing seperti giring­
giring. ”Kau berani sekali, Rusty. Aku sendiri lebih baik
mati saja daripada mengalami yang seperti itu.”

Rusty ingin memprotes ucapan temannya itu, tapi
kemudian ia teringat bahwa dulu ia pun tentu akan
mengucapkan hal dangkal semacam itu. ”Kupikir juga
begitu. Tapi kau pasti heran kalau tahu bahwa manusia
memiliki insting untuk bertahan yang sangat kuat, se­
perti binatang. Dalam situasi seperti yang kualami, in­
sting itu mengambil alih.”

251

www.facebook.com/indonesiapustaka Tapi kedua temannya tidak tertarik mendengar fal­
safahnya. Mereka ingin mendengar yang lebih seru.
Hal­hal yang menjurus dan sensasional. Salah seorang
wanita itu duduk di kaki tempat tidur Rusty; satunya
mencondongkan tubuh ke depan di kursinya. Mereka
seperti sepasang burung pemangsa yang siap menyam­
bar dagingnya kalau ia tidak waspada sekejap saja.

Cerita tentang kecelakaan pesawat itu, serta berbagai
peristiwa yang menyusul kemudian, ditampilkan pada
halaman pertama surat kabar pagi itu. Penulisnya de­
ngan teliti memaparkan apa saja yang dialami Rusty dan
Cooper. Artikel itu berkesan serius dan akurat secara
jurnalistik, tapi publik cenderung membaca yang tersi­
rat. Mereka ingin mendengar apa­apa yang tidak disam­
paikan. Termasuk kedua teman itu.

”bukankah pengalamanmu sangat mengerikan? Kalau
matahari sudah terbenam, tentunya gelap sekali ya?”

”Di pondok itu ada beberapa lentera.”
”Tidak, maksudku di luar.”
”Sebelum kau sampai di pondok itu. Ketika kalian
masih harus tidur di hutan.”
Rusty mendesah lelah. ”Ya, memang gelap. Tapi
kami membuat api.”
”Apa yang kalian makan?”
”Kebanyakan daging kelinci.”
”Kelinci! Aku bisa mati makan daging kelinci.”
”Aku tidak,” kata Rusty ketus. ”Kalian juga tidak
akan mati makan daging kelinci.”
Aduh, kenapa ia berkata begitu? Kenapa ia tidak
diam saja? Kedua temannya tampak tersinggung dan
bingung, tak mengerti kenapa Rusty bersikap begitu

252

www.facebook.com/indonesiapustaka ketus pada mereka. Rusty menyesal, kenapa tadi tidak
memberikan reaksi yang lebih halus, misalnya dengan
mengatakan bahwa beberapa restoran terkenal juga
menyediakan masakan daging kelinci?

Pikiran itu kembali membuatnya teringat akan
Cooper, dan rasa rindu terhadap lelaki itu kembali
menyelimutinya. ”Aku capek sekali,” katanya. Ia ingin
menangis, tapi tak mau menjelaskan sebabnya.

Namun, kedua wanita itu tidak bisa dihadapi dengan
cara halus. Mereka tidak menangkap keinginan Rusty
agar mereka segera pergi. ”Dan lihat kakimu itu.” Wanita
yang mengenakan gelang menyentuh pipinya sendiri de­
ngan ngeri. ”Apa dokter yakin bisa memperbaikinya?”

Rusty memejamkan mata ketika menjawab, ”Yakin
sekali.”

”Perlu berapa kali operasi untuk menghilangkan be­
kas luka yang jelek itu?” Wanita satunya mengibaskan
tangan untuk memperingatkan sang teman yang berta­
nya. Rusty bisa merasakan embusan angin dari kibasan
tangan itu. ”Oh, bukan begitu maksudku,” kata wanita
yang bertanya. ”Lukanya tidak terlalu mengerikan.
Maksudku-”

”Aku mengerti maksudmu,” kata Rusty sambil mem­
buka mata. ”Memang mengerikan, tapi lebih baik dari­
pada kalau kakiku diamputasi. Dan waktu itu aku
sempat takut bahwa jangan­jangan kakiku memang
mesti dibuang. Kalau Cooper-”

Ia menghentikan kalimatnya saat secara tak sengaja
menyebutkan nama Cooper. Tapi kedua temannya yang
mendengar langsung menyambar kesempatan itu de­
ngan antusias.

253

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Cooper?” tanya salah seorang dengan gaya lucu. ”Itu
laki­laki yang juga selamat dari kecelakaan, kan?”

”Ya.”
Kedua wanita itu bertukar pandang, seolah menim­
bang­nimbang dalam hati, siapa yang akan lebih dulu
mengajukan pertanyaan tentang laki­laki itu.
”Aku melihatnya di televisi semalam. Astaga, Rusty,
dia sangat tampan.”
”Tampan?”
”Yah, bukan tampan dalam arti biasa. bukan tampan
seperti model. Maksudku tampan kasar, maskulin, sek­
si. Semacam itulah.”
”Dia menyelamatkanku,” kata Rusty pelan.
”Aku tahu, Sayang. Dan beruntung sekali kalau si
penyelamat adalah laki­laki seperti Cooper Landry itu.
Kumisnya itu...!” Ia menyeringai nakal sambil menjilat
bibirnya. ”Apa benar ucapan orang tentang kumis laki­
laki? Ingat lelucon itu, tidak?”
Rusty ingat, dan pipinya jadi bersemu merah, namun
bibirnya memucat. Lelucon tentang kumis itu memang
benar.
”Apa benar bahunya selebar ini?” Sang teman me­
nunjukkan dengan kedua tangannya.
”bahunya memang lebar,” Rusty mengakui dengan
tak berdaya. ”Tapi dia-”
”Apa benar pinggulnya seramping ini?” Lagi­lagi si
teman memperagakan dengan kedua tangannya, lalu
kedua wanita itu terkikik­kikik.
Rusty ingin menjerit. ”Dia tahu banyak hal yang ti­
dak pernah kuketahui. Dia membuat tandu dari mantel

254

www.facebook.com/indonesiapustaka buluku dan menarikku menjauhi tempat jatuhnya pesa­
wat... hingga berkilo­kilometer. Aku baru sadar betapa
jauhnya setelah aku melihat jarak yang kami tempuh
dari helikopter.”

”Ada kesan berbahaya pada diri orang itu.” Salah
seorang teman merinding pelan. Ia sama sekali tidak
mendengarkan ucapan Rusty tadi. ”Sorot matanya se­
perti mengancam. Aku selalu menganggap karakter
primitif seperti itu sangat seksi.”

Teman yang duduk di kursi memejamkan mata seper­
ti hampir pingsan. ”Stop! Kau membuatku berhasrat.”

”Menurut koran pagi ini, dia membunuh dua orang
dalam perkelahian memperebutkanmu.”

Rusty hampir terlonjak dari tempat tidurnya. ”Koran
sama sekali tidak mengatakan begitu.”

”Aku bisa mengambil kesimpulan sendiri.”
”Dia melakukan itu untuk membela diri”
”Sayangku, tenanglah.” Sang teman menepuk­nepuk
tangan Rusty. ”Kalau kaubilang itu untuk membela diri,
ya sudah.” Ia mengedipkan mata pada Rusty. ”Dengar,
suamiku kenal dengan bill Friedkin. Menurut pendapat­
nya, ceritamu bagus sekali dijadikan ilm. Dia dan Fried­
kin akan makan siang bersama minggu depan, dan-”
”Film!” Rusty terperangah mendengar hal itu. ”Ti­
dak! Tolong katakan padanya supaya tidak mengatakan
apa­apa. Aku tidak ingin peristiwa ini dimanfaatkan.
Aku ingin melupakan semuanya dan melanjutkan hi­
dupku.”
”Kami tidak bermaksud membuatmu cemas, Rusty.”
Teman yang duduk itu sekarang bangkit berdiri di

255

www.facebook.com/indonesiapustaka samping tempat tidur Rusty. Ia menaruh satu tangan­
nya di bahu Rusty dengan sikap menghibur. ”Tapi kami
ini sahabat­sahabatmu yang paling dekat. Kalau ada
sesuatu yang tidak menyenangkan, yang ingin kaubi­
carakan, sesuatu yang... kau tahu, kan, aspek sangat
pribadi dari kecelakaan itu, yang tidak bisa kauceritakan
pada ayahmu, maka kami bersedia mendengarkan.”

”Aspek apa?” Rusty menepiskan tangan temannya
dan melotot pada mereka. Keduanya bertukar pandang
dengan penuh arti.

”Yah, kau kan hanya berdua dengan lelaki itu selama
hampir dua minggu.”

”Lalu?” tanya Rusty kesal.
”Dan...” Teman itu menarik napas panjang. ”Menu­
rut koran, pondok itu hanya memiliki satu ruangan.”
”Jadi?”
”Ayolah, Rusty.” Kedua teman itu tak sabar lagi.
”Situasi itu bisa menimbulkan berbagai spekulasi. Kau
wanita muda yang sangat menarik, dan lelaki itu jelas
sangat tampan dan maskulin. Kalian berdua sama­sama
lajang. Kau terluka. Dia merawatmu. Kau boleh dika­
takan bergantung sepenuhnya padanya. Kalian malah
mengira akan terkurung di sana selama musim dingin.”
Teman satunya menyambut kalimat itu dengan pe­
nuh semangat, ”Tinggal berdua seperti itu, dan sangat
berdekatan pula, di dalam hutan... yah, bagiku itu sa­
ngat romantis. Kau mengerti maksud kami, kan?”
”Ya, aku mengerti maksud kalian.” Suara Rusty di­
ngin, namun sepasang matanya berkilat­kilat marah.
”Kalian ingin tahu apakah aku tidur dengan Cooper.”

256

www.facebook.com/indonesiapustaka Tepat pada saat itu orang yang menjadi topik pembi­
caraan mereka masuk ke kamar. Rusty merasa jantungnya
nyaris melompat keluar karena kaget. Kedua temannya
membalikkan tubuh saat melihat senyum cerah di bibir
Rusty. Cooper hampir­hampir tidak mengacuhkan kedua
wanita itu. Mata kelabunya tertuju pada Rusty. Tatapan
membara di antara keduanya sudah cukup untuk menjadi
penunjuk tingkat keintiman mereka.

Akhirnya Rusty bisa berbicara. ”Cooper, ini dua te­
man karibku.” Ia memperkenalkan kedua wanita itu.
Cooper hanya mengangguk singkat sebagai balasan.

”Oh, Mr. Landry, saya senang sekali bertemu dengan
Anda,” kata salah seorang wanita itu dengan antusias,
matanya berbinar­binar. ”Kata Times, Anda mantan
tawanan perang. Saya sungguh tak habis pikir. Maksud
saya, saat membayangkan apa­apa yang pernah Anda
alami... Dan sekarang Anda selamat dari kecelakaan
pesawat...”

”Kata Rusty, Anda menyelamatkan hidupnya.”
”Suami saya dan saya ingin sekali mengundang Anda
dan Rusty ke pesta makan malam kecil yang akan saya
selenggarakan kalau Rusty sudah sehat kembali. Saya
harap Anda tidak keberatan.”
”Kapan kau merencanakan itu?” tanya teman satunya
dengan jengkel. ”Aku yang ingin mengadakan pesta
untuk mereka.”
”Tapi aku yang bicara lebih dulu.”
Percakapan konyol ini sangat menjengkelkan dan
memalukan. Celoteh mereka sangat mirip dengan kedua
gadis saudara tiri Cinderella. ”Kurasa Cooper tidak bisa

257

www.facebook.com/indonesiapustaka lama­lama,” sela Rusty yang melihat Cooper sudah se­
makin tak sabar. begitu pula ia sendiri. Karena Cooper
ada di sini, ia ingin kedua temannya segera pulang, agar
ia bisa berduaan saja dengan lelaki itu.

”Kami sudah cukup lama di sini,” salah satu dari mere­
ka berkata sambil membereskan tas dan mantelnya. Ia
membungkuk dan memberikan ciuman basa­basi di pipi
Rusty, sambil berbisik, ”Pintar sekali kau. Kau tidak akan
bisa lolos dari kami. Aku ingin tahu semuanya.”

Teman satunya membungkuk juga dan berkata, ”Ti­
dak rugi mendapat kecelakaan, kalau akhirnya bertemu
dengan lelaki seperti dia. Dia sangat luar biasa. Sangat
maskulin. Sangat... Yah, kurasa aku tidak perlu lagi
mengatakannya padamu.”

Mereka kemudian minta diri pada Cooper. Salah satu­
nya bahkan menyentuh dada lelaki itu sekilas, sambil
mengingatkan tentang pesta makan malam yang akan
diadakannya. Lalu mereka keluar sambil menoleh dan
tersenyum puas pada Rusty, sebelum menutup pintu.

Cooper memandangi kepergian mereka, lalu mende­
kat ke tempat tidur. ”Aku tidak mau datang ke pesta
sialan itu.”

”Aku juga tidak akan memintamu datang. begitu rasa
antusias mereka berkurang, akan kusarankan padanya
untuk melupakan gagasan itu.”

Melihat kedatangan Cooper yang ternyata menim­
bulkan efek yang tidak menyenangkan bagi Rusty.
Matanya pedih menahan tangis. Ia menyapu air mata­
nya dengan tangan.

”Kenapa?”

258

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Tidak kenapa­kenapa. Aku...” Ia ragu mengatakan­
nya, tapi lalu memutuskan untuk mengutarakannya saja.
Sudah tidak pada tempatnya lagi mereka saling menyim­
pan rahasia. ”Aku senang sekali melihatmu lagi.”

Cooper tidak menyentuhnya, namun tatapannya
sudah cukup untuk membuat Rusty merasa bagaikan
dibelai. Sepasang mata itu menyapu sosoknya yang
terbaring di balik selimut, lalu berhenti di payudaranya
yang tercetak jelas di bawah gaun tidur sutranya yang
menempel ketat.

Dengan gugup Rusty mengangkat tangan dan mema­
inkan renda di bagian leher gaunnya. ”Gaun ini... eh...
sudah ada di sini ketika aku masuk.”

”bagus sekali.”
”Apa pun lebih baik daripada legging seperti dulu
itu.”
”Kau tampak cantik dalam legging itu.”
Rusty tersenyum ragu. Cooper sudah ada di sini. Ia
bisa melihat lelaki itu, mencium aroma sabun yang
bersih dari tubuhnya, mendengar suaranya. Cooper
mengenakan pakaian baru—celana panjang, kemeja
santai, dan jaket. Tapi lelaki itu seperti menjaga jarak,
dan Rusty bisa merasakannya dengan jelas.
”Terima kasih mau datang menjengukku,” kata
Rusty, karena tidak tahu mesti berkata apa lagi. ”Aku
meminta ayahku mencarimu dan memberitahumu di
mana aku berada.”
”Ayahmu tidak memberitahukan apa­apa padaku.
Aku menemukanmu dengan usahaku sendiri.”
Rusty terharu. Cooper mencarinya? Mungkin sepan­

259

www.facebook.com/indonesiapustaka jang malam. Sementara ia tidur nyenyak karena penga­
ruh obat, mungkin Cooper sedang menyusuri berbagai
pelosok kota untuk mencarinya.

Tapi harapannya yang sudah memuncak itu runtuh
mendengar kalimat Cooper selanjutnya. ”Aku tahu kau
ada di sini dari koran pagi. Kudengar jahitan yang ku­
buat itu akan dioperasi oleh seorang dokter bedah
plastik.”

”Aku memberi pembelaan terhadap jahitanmu itu.”
Cooper angkat bahu tak acuh. ”Aku melakukannya
untuk menyelamatkan kakimu. Itu saja.”
”Aku juga berpikiran begitu.”
”bagus.”
”Sungguh!” Dengan marah Rusty duduk lebih tegak.
Ia tak suka mendengar nada sinis dalam suara Cooper.
”bukan keinginanku langsung datang kemari dari ban­
dara. Aku lebih suka pulang ke rumahku sendiri, me­
meriksa surat­suratku, menyiram tanamanku, tidur di
ranjangku sendiri.”
”Kau sudah dewasa. Kenapa tidak kaulakukan?”
”Sudah kubilang padamu, ayahku yang mengatur
semuanya. Aku tak mungkin meminta dia membatal­
kannya.”
”Kenapa tidak?”
”Jangan keterlaluan. Lagi pula, kenapa aku tidak
boleh menghilangkan bekas jahitan ini?”
Cooper membuang muka sambil menggigiti ujung
kumisnya. ”Tentu boleh. Sudah semestinya.”
Dengan sedih Rusty berbaring kembali di bantal dan
menghapus kedua matanya dengan sudut selimutnya.

260

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Ada apa dengan kita? Kenapa kita bersikap seperti
ini?”

Cooper menoleh kembali ke arahnya dengan ekspre­
si sedih, seperti mengasihani keluguan gadis itu. ”Tentu
saja kau tidak mesti membawa­bawa bekas luka itu se­
panjang sisa hidupmu. Aku tidak bermaksud menyaran­
kan demikian.”

”Aku bukan bicara tentang bekas lukaku, Cooper.
Maksudku adalah semuanya. Kenapa kau menghilang
di bandara semalam?”

”Aku ada di sana. Kau bisa melihatku dengan jelas.”
”Tapi kau tidak bersamaku. Aku berseru memanggil­
mu. Apa kau tidak mendengar?”
Cooper tidak segera menjawab. ”Tampaknya kau ti­
dak kekurangan perhatian.”
”Aku menginginkan perhatian darimu. Kau membe­
rikannya, sampai saat kita turun dari pesawat.”
”Kita tak mungkin bersikap seperti di pesawat, di
tengah orang demikian banyak.” Mata Cooper menelu­
suri tubuh Rusty dengan tatapan menghina. ”Lagi pula,
kau sedang sibuk.” Mulutnya lagi­lagi membentuk se­
nyuman sinis yang tampak asing di mata Rusty, karena
ekspresi seperti itu tidak dilihatnya lagi sejak mereka
bercinta.
Rusty merasa bingung. Sejak kapan hubungan mere­
ka berubah memburuk seperti ini? ”Apa yang kauharap­
kan saat kita tiba di L.A., Cooper? Kita memang men­
jadi bahan berita. bukan salahku kalau para reporter itu
datang. Juga bukan salah ayahku. Dia sangat cemas
tentang keadaanku. Dialah yang membantu membiayai

261

www.facebook.com/indonesiapustaka ongkos mencari kita. Apa kaupikir dia akan menyambut
kepulanganku dengan biasa­biasa saja?”

”Tidak.” Cooper menyapukan jemarinya di rambut­
nya. ”Tapi apa dia perlu pamer seperti itu? Misalnya
dengan memberikan mantel itu padamu?”

”Menurutku tindakannya itu sangat penuh perhatian.”
Sampai sekarang pun Rusty masih merasa malu
mengingat gaya berlebihan ayahnya, tapi ia bertekad
akan membela ayahnya. Mantel tersebut merupakan
tanda kasih sayang dan kegembiraan ayahnya karena ia
kembali dengan selamat. Ia tak peduli bahwa cara yang
dipilih ayahnya berlebihan. Sungguh menjengkelkan
bahwa Cooper tidak bisa memahami hal itu.
Cooper mondar­mandir dengan gelisah di kamar
tersebut, seolah ingin lepas dari kungkungannya. Gerak­
annya cepat dan canggung, seperti orang yang tidak
percaya diri karena pakaian yang dikenakannya tidak
sesuai untuk dirinya. ”Aku mesti pergi.”
”Pergi? Sekarang? Mau ke mana?”
”Pulang.”
”Ke Rogers Gap?”
”Yeah. Ke tempat asalku. Aku mesti mengurus
ranch­ku. Entah seperti apa keadaannya sekarang.” Lalu
ia memandang kaki kanan Rusty. ”bagaimana dengan
kakimu? Apa akan pulih kembali?”
”Lambat laun akan pulih,” sahut Rusty datar. Dia
akan pergi. Pergi. Jauh dariku. Mungkin untuk selamanya.
”Perlu beberapa kali operasi. Yang pertama besok.”
”Mudah­mudahan aku tidak terlalu merugikanmu
dengan apa yang kulakukan.”
Tenggorokan Rusty tersekat oleh emosi. ”Tidak.”

262

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kalau begitu, kurasa sudah saatnya mengucapkan
selamat tinggal.” Cooper beranjak perlahan­lahan ke
pintu, agar tidak kelihatan seperti hendak cepat­cepat
melarikan diri.

”Mungkin sesekali aku bisa datang ke Rogers Gap
untuk menjengukmu. Siapa tahu?”

”Yeah, bagus.” Tapi senyumnya yang tampak terpak­
sa tidak sesuai dengan ucapannya.

”Seberapa sering kau... datang ke L.A.?”
”Tidak terlalu sering,” sahut Cooper sejujurnya.
”Sampai jumpa, Rusty.” Ia berbalik dan hendak meraih
pegangan pintu.
”Cooper, tunggu!” Lelaki itu membalikkan tubuh.
Rusty sudah duduk di tempat tidurnya, dalam posisi
siap mengejar Cooper, kalau terpaksa. ”Apa semuanya
mesti berakhir seperti ini?”
Cooper mengangguk singkat.
”Tak mungkin. Tidak setelah apa yang kita alami
bersama.”
”Tapi memang harus seperti ini.”
Rusty menggeleng dengan keras, sehingga rambutnya
berkibar ke segala arah. ”Kau tak bisa mengelabuiku
lagi. Kau sengaja bersikap tidak tanggap untuk melin­
dungi dirimu. Kau berusaha melawan perasaanmu. Aku
tahu itu. Kau ingin memelukku, sama seperti aku ingin
memelukmu.”
Rahang lelaki itu mengetat saat ia mengertakkan gigi.
Kedua lengannya mengepal di sisi tubuhnya. Selama be­
berapa saat ia masih berusaha menahan diri, tapi tak
berdaya.

263

www.facebook.com/indonesiapustaka Dengan cepat ia menghampiri Rusty dan menarik
gadis itu dengan kasar ke dalam pelukannya. Keduanya
berpelukan erat dan tubuh mereka bergoyang­goyang.
Cooper membenamkan wajahnya di rambut merah ga­
dis itu.

”Rusty, Rusty.”
Terharu mendengar nada pedih dalam suara lelaki
itu, Rusty berkata, ”Semalam aku tidak bisa tidur kalau
tidak minum obat penenang. Aku ingin sekali mende­
ngar suara napasmu. Ingin sekali berada dalam peluk­
anmu.”
”Aku juga ingin sekali memelukmu lagi.”
Cooper menunduk dan mencium bibir Rusty dengan
penuh gairah. Disapukannya kesepuluh jemarinya di
rambut Rusty dan dipeganginya kepala gadis itu semen­
tara mereka berciuman.
”Aku sangat menginginkanmu semalam,” erang
Cooper setelah mereka melepaskan pelukan.
”Kau tidak ingin berpisah dariku?”
”Tidak seperti itu.”
”Lalu kenapa kau tidak menoleh waktu aku memang­
gilmu di bandara? Kau mendengar, bukan?”
Cooper tampak malu, tapi mengangguk juga. ”Aku ti­
dak mau tampil dalam kehebohan semacam itu, Rusty.
Aku ingin cepat­cepat pergi. Ketika pulang dari Vietnam,
aku disambut seperti pahlawan.” Ia menggosokkan sehe­
lai rambut Rusty di antara jemarinya sambil mengenang
masa lalunya yang pahit. ”Aku sendiri sama sekali tidak
merasa seperti pahlawan. Aku hidup di neraka. Di dasar
neraka. beberapa hal yang terpaksa kulakukan... tidak

264

www.facebook.com/indonesiapustaka terlalu heroik. Tidak layak membuatku menjadi sorotan.
Aku tidak layak menerimanya. Aku ingin dibiarkan sen­
dirian, supaya bisa melupakannya.”

Ia memiringkan kepala dan memandang tajam pada
Rusty. ”Sekarang pun aku tidak layak dan tidak ingin
menjadi sorotan. Aku melakukan apa yang perlu untuk
menyelamatkan hidup kita. Siapa pun akan melakukan
hal yang sama.”

Rusty menyentuh kumis Cooper dengan sayang.
”Tidak setiap orang, Cooper.”

Cooper tidak mengacuhkan pujian itu. ”Aku lebih
berpengalaman dalam cara­cara bertahan hidup dari­
pada kebanyakan orang. Itu saja.”

”Kau tetap menolak pujian yang sebenarnya layak
kauterima?”

”Itukah yang kauinginkan, Rusty? Pujian karena
bertahan hidup?”

Rusty teringat ayahnya. Ia akan senang sekali kalau
ayahnya memberikan pujian atas keberaniannya. Tapi
ayahnya justru bicara tentang pengalaman Jef ketika
menjadi pramuka, tentang betapa baik reaksi Jef terha­
dap situasi berbahaya yang dihadapinya. Sungguh keter­
laluan ayahnya membandingkan dirinya dengan Jef.
Memang ayahnya tidak bermaksud menghina dirinya,
tapi itulah yang dirasakan Rusty. Ia berpikir, apa yang
mesti ia lakukan agar bisa merebut kekaguman ayahnya?

Tapi entah kenapa sekarang ia merasa pujian dari
ayahnya tidak terlalu penting lagi. Atau malah tidak
penting sama sekali. Ia lebih tertarik pada pendapat
Cooper tentang dirinya.

265

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku tidak menginginkan pujian, Cooper. Aku
ingin...” Ia menambahkan, ”kau”, namun ragu. Maka ia
hanya menyandarkan kepalanya di dada Cooper. ”Ke­
napa kau tidak mengejarku? Apa kau tidak mengingin­
kan aku lagi?”

Cooper membelainya. ”Ya, aku menginginkanmu.”
Suaranya sudah cukup untuk menunjukkan seberapa
besar keinginan itu.

Rusty bisa merasakan kebutuhan lelaki itu, karena ia
sendiri merasakannya. Keinginan itu bersumber dari
kekosongan yang menggerogoti hatinya saat Cooper
tidak ada bersamanya. ”Lalu kenapa?”

”Aku tidak mengejarmu semalam karena aku ingin
mempercepat apa yang tak mungkin kita hindari.”

”Yang tidak mungkin kita hindari?”
”Rusty,” bisik Cooper, ”ketergantungan seksual yang
kita alami ini sangat normal. Sudah biasa terjadi di
antara orang­orang yang berhasil mengatasi krisis ber­
sama­sama. bahkan para korban penculikan dan sande­
ra kadang­kadang merasakan cinta yang tidak wajar
pada penyandera mereka.”
”Aku sudah tahu semua itu. Itu sindrom Stockholm.
Tapi ini beda.”
”benarkah?” Cooper menautkan alis tak percaya.
”Seorang anak kecil akan menyayangi siapa pun yang
memberinya makan. bahkan binatang liar kadang­
kadang jadi jinak pada orang yang meninggalkan ma­
kanan untuknya. Aku telah merawatmu. Wajar saja
kalau kau jadi merasa terikat padaku.”
Dengan kemarahan yang muncul tiba­tiba, Rusty

266

www.facebook.com/indonesiapustaka mendorong Cooper, matanya berkilat­kilat. ”Jangan kau
berani­berani menyepelekan apa yang terjadi di antara
kita dengan segala ocehanmu itu. Itu omong kosong.
Apa yang kurasakan ini adalah yang sebenarnya.”

”Aku tidak menyangkalnya.” Kemarahan Rusty
membuat Cooper senang. Ia paling senang jika Rusty
marah. Ditariknya gadis itu ke dadanya. ”Sejak awal
kita memang sudah saling tertarik.” Lalu kembali dibe­
lainya payudara Rusty.

Dengan lemah Rusty bergumam. ”Jangan.” Namun
Cooper tidak memedulikannya. Ia terus membelai
Rusty, hingga Rusty memejamkan mata.

”Setiap kali berdekatan, kita selalu jadi bergairah.
bahkan saat pertama saling pandang di pesawat itu,
benar tidak?”

”Ya,” Rusty mengakui.
”Saat itu pun aku sudah menginginkanmu, sebelum
pesawat mengudara.”
”Tapi kau sama sekali tidak tersenyum atau menya­
paku. Kau juga membuatku tidak berani menyapamu.”
”benar.”
”Kenapa?” Rusty tidak tahan lagi merasakan belaian
lelaki itu. Disingkirkannya tangan Cooper. ”Katakan
sebabnya.”
”Sebab pada saat itu pun aku sudah punya dugaan,
yang sekarang terbukti kebenarannya. Dunia kita jauh
berbeda. Maksudku bukan sekadar perbedaan geograis.”
”Aku mengerti maksudmu. Di matamu, aku hanya
perempuan tolol dan dangkal, seperti kedua temanku
yang kaulihat tadi. Padahal sebenarnya tidak.”

267

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty meletakkan tangannya di lengan Cooper de­
ngan sikap memohon. ”Aku juga kesal pada mereka.
Tahu sebabnya? Sebab mereka merupakan cerminan
diriku dulu. Penilaianku terhadap mereka sekarang
sama dengan penilaianmu saat pertama melihatku dulu.

”Tapi kuharap kau bisa memaklumi mereka. Memak­
lumi aku. Ini beverly Hills. Tidak ada yang nyata di
sini. Di luar tempat ini, banyak yang tidak kumengerti.
Pondok di hutan itu berada di luar jangkauan pema­
hamanku. Tapi aku sudah berubah. Sungguh. Aku ti­
dak lagi seperti mereka.”

”Kau tidak pernah seperti mereka, Rusty. Dulu aku
menganggapmu begitu. Tapi sekarang aku sadar aku sa­
lah.” Cooper menangkup wajah Rusty dengan kedua ta­
ngan. ”Memang hidup semacam itulah yang kaukenal.
Dan dengan orang­orang seperti itulah kau bergaul. Aku
sendiri tidak akan bisa, dan tidak akan pernah mau men­
coba. Dan kau tidak sesuai dengan gaya hidupku.”

Merasa pedih mendengar kebenaran menyakitkan
yang diucapkan lelaki itu, Rusty menjadi marah dan
mengibaskan tangan Cooper. ”Hidupmu? Hidup ma­
cam apa? Mengasingkan diri dari dunia luar? Sendirian
dan kesepian? Menggunakan kepahitan sebagai tameng­
mu? Itu yang kaunamakan hidup? Kau benar, Cooper,
aku tidak bisa hidup seperti itu. Terlalu berat untuk
dijalani.”

bibir lelaki itu membentuk garis tipis yang keras di
balik kumisnya. Rusty tahu ucapannya pada Cooper
sangat mengena, namun ia sama sekali tidak merasakan
kesenangan apa pun saat mengatakannya.

268

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Jadi, kau sudah tahu,” kata Cooper. ”Itulah yang
ingin kukatakan padamu. Kita pasangan yang hebat di
tempat tidur, tapi kita takkan pernah bisa menjalani
hidup bersama­sama.”

”Sebab kau terlalu keras kepala dan tidak mau men­
coba. Pernahkah kau mempertimbangkan untuk ber­
kompromi?”

”Tidak. Aku tidak ingin hidup di tengah semua ini.”
Cooper mengembangkan kedua lengannya dan menya­
pukannya ke seantero kamar mewah itu, serta semua
yang ada di luar jendela besar di situ.

Rusty menudingnya dengan marah. ”Kau angkuh.”
”Angkuh?”
”Ya. Kau membenci masyarakat karena kau merasa
lebih superior daripada mereka. Lebih unggul dan be­
nar, karena kau merasa pernah ikut berperang dan
menjadi tawanan. Kau meremehkan semua orang kare­
na kau tahu apa yang salah dengan dunia ini. Terku­
rung di gunungmu yang sunyi, kau berlagak menjadi
penilai dengan memandang rendah kami semua yang
punya keberanian untuk saling menoleransi, meski kami
banyak mempunyai kelemahan.”
”Aku sama sekali tidak seperti itu,” geram Cooper.
”Oh ya? Apa kau tidak merasa sok benar sendiri dan
selalu menilai orang? Kalau kau merasa banyak yang
tidak benar dengan dunia ini, dan kalau kau meman­
dang sinis semuanya, kenapa kau tidak berbuat sesuatu
untuk mengubahnya? Apa yang kauhasilkan dengan
mengasingkan diri? Masyarakat tidak mengasingkanmu.
Kaulah yang mengasingkan mereka.”

269

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Aku tidak meninggalkannya sampai gadis itu—”
”Gadis itu?”
Wajah Cooper tidak lagi menampakkan emosi, me­
lainkan berubah kaku dan tidak terbaca, seperti topeng.
Sinar di matanya lenyap. Sepasang mata itu menjadi
keras dan tak dapat ditebak.
Dengan sangat terkejut Rusty memegangi dadanya.
Jantungnya berdebar keras. Semua kesinisan Cooper di-
sebabkan oleh seorang wanita? Siapa? Kapan? berbagai
pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Ia ingin ber­
tanya, tapi saat ini ia hanya sanggup bertahan di bawah
tatapan dingin dan penuh permusuhan di mata Cooper.
Lelaki itu sedang sangat marah pada diri sendiri, dan
pada Rusty. Rusty telah memancingnya untuk menya­
takan sesuatu yang ingin disimpan dan dilupakannya.
Gelombang rasa cemburu yang amat besar menguasai
Rusty. Seorang perempuan telah menebarkan pengaruh
yang cukup besar pada Cooper, hingga bisa mengubah
jalan hidup lelaki itu. Mungkin dulu Cooper adalah
lelaki periang yang ramah, sebelum serigala betina itu
menancapkan kuku­kukunya padanya. Perempuan itu
pasti sangat istimewa, karena bisa menyebabkan kepa­
hitan sedemikian lama pada diri Cooper. Sampai kini
Cooper masih tetap merasakan pengaruhnya. Sedemiki-
an besarkah cintanya pada perempuan itu? pikir Rusty
kecewa.
Lelaki seperti Cooper Landry tidak akan tahan hidup
tanpa wanita. Tapi semula Rusty membayangkan kisah­
kisah cintanya pasti hanya di permukaan, sekadar hu­
bungan isik belaka. Ia sama sekali tak mengira bahwa
Cooper pernah terlibat serius dengan seseorang. Tapi

270

www.facebook.com/indonesiapustaka itulah kenyataannya, dan kepergian perempuan itu dari
hidupnya menimbulkan kesakitan dan kepedihan yang
amat sangat.

”Siapa dia?”
”Lupakan.”
”Apa kau bertemu dengannya sebelum pergi ke
Vietnam?”
”Lupakan, Rusty.”
”Apakah dia menikah dengan orang lain waktu kau
menjadi tawanan?”
”Kubilang lupakan!”
”Apa kau mencintainya?”
”Dengar, dia hebat di tempat tidur, tapi tidak sehe­
bat kau, oke? Itukah yang sangat ingin kauketahui?
Perbedaan di antara kalian? Kita coba saja. Dia tidak
berambut merah, jadi dia tidak terlalu bersemangat se­
perti kau. Tubuhnya bagus, tapi jauh di bawahmu.”
”Hentikan!”
”Payudaranya lebih besar, tapi tidak lebih responsif.”
Rusty menutup mulutnya untuk menahan isakan
sedih dan marah. Napasnya tersengal­sengal, seperti
halnya Cooper. Mereka saling melotot dengan kemarah­
an yang sama hebatnya seperti gairah yang mereka ra­
sakan ketika bercinta.
Dalam situasi tidak menyenangkan inilah bill
Carlson muncul dengan tiba­tiba. ”Rusty?”
Rusty terlonjak kaget mendengar suara ayahnya.
”Ayah! Selamat pagi. Ini...” Mulutnya terasa kering dan
tangannya gemetar ketika ia menunjuk ke arah Cooper.
”Ini Cooper Landry.”

271

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Ah, Mr. Landry.” Carlson mengulurkan tangan dan
Cooper menjabatnya dengan mantap, tapi tidak terlalu
antusias. Jelas tampak sikap tak sukanya. ”Aku sudah
menyuruh beberapa orang mencari Anda.” Cooper tidak
memberi penjelasan sedikit pun tentang keberadaannya
semalam, tapi Carlson melanjutkan, ”Aku ingin meng­
ucapkan terima kasih atas pertolongan Anda pada
putriku.”

”Tak perlu berterima kasih.”
”Tentu aku harus berterima kasih. Dia sangat ber­
harga bagiku. Dari ceritanya, aku tahu bahwa perto­
longan Anda padanya sangat berarti. bahkan dialah
yang mendesakku untuk mencari Anda semalam.”
Cooper menatap Rusty, lalu beralih kembali ke
Carlson yang sedang mengambil sesuatu dari balik jas­
nya. Sebuah amplop putih. ”Rusty ingin menyampaikan
rasa terima kasihnya dengan cara istimewa.”
Ia menyerahkan amplop itu pada Cooper, yang ke­
mudian membukanya dan melihat isinya. Lama ia me­
mandangi apa yang ada di dalam amplop itu, lalu mata­
nya beralih pada Rusty. Sorot matanya dingin dan
penuh kebencian. Salah satu sudut kumisnya turun
membentuk senyuman sinis. Lalu dengan satu gerakan
tajam dirobeknya amplop itu serta lembaran cek di da­
lamnya, dan dilemparkannya serpih­serpih kertas terse­
but di antara kaki Rusty.
”Terima kasih banyak, Miss Carlson, tapi aku sudah
cukup mendapatkan imbalan dari apa yang kita lakukan
malam terakhir di pondok itu.”

272

www.facebook.com/indonesiapustaka 12

SETELAH memandangi kepergian Cooper yang keluar
dengan sangat marah, bill Carlson menoleh kepada
putrinya dan berkata, ”Orang itu sangat tidak menye­
nangkan.”

”Ayah, kenapa Ayah menawarkan uang padanya?”
teriak Rusty dengan geram.

”Kupikir kau ingin aku melakukannya.”
”Kenapa Ayah berpikiran begitu? Cooper... Mr. Lan­
dry... adalah orang yang angkuh. Apa ayah pikir dia
menyelamatkanku karena ingin mencari untung?”
”Mungkin saja. Dari apa yang kudengar, dia orang
yang tidak menyenangkan.”
”Ayah bertanya­tanya ke mana­mana tentang dia?”
”Tentu saja. begitu dia diidentiikasikan sebagai
orang yang ada bersamamu ketika kau diselamatkan.
Pasti tidak mudah bagimu, terdampar di hutan bersama
orang seperti itu.”
”Kami memang memiliki beberapa perbedaan,” sahut
Rusty dengan senyum kesal. ”Tapi dia bisa saja mening­
galkanku dan menyelamatkan dirinya sendiri.”

273

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Dia tidak akan melakukan itu, apalagi dia tahu pas­
ti ada hadiahnya kalau dia menyelamatkanmu.”

”Dia tidak tahu itu.”
”Dia pintar. Dia bisa menduga bahwa aku tidak akan
keberatan mengeluarkan uang berapa pun untuk me­
nyelamatkanmu kalau kau masih hidup. Mungkin dia
tersinggung karena jumlahnya tidak sesuai.” Carlson
memungut sobekan lembar cek itu dan membacanya.
”Kupikir jumlah ini sudah cukup besar, tapi mungkin
dia lebih serakah daripada yang kukira.”
Rusty memejamkan mata dan menjatuhkan kepala­
nya ke bantal dengan sikap menyerah. ”Ayah, dia tidak
menginginkan uang itu. Dia senang sudah bisa bebas
dariku.”
”Aku juga senang bisa bebas dari dia.” Carlson duduk
di tepi tempat tidur Rusty. ”Tapi aku menyayangkan
juga karena kita jadi tak bisa mendapat untung dari apa
yang kaualami ini.”
Rusty membuka matanya lagi. ”Mendapat untung?
Apa maksud Ayah?”
”Jangan mengambil kesimpulan dulu sebelum men­
dengar seluruh rencanaku.”
Tapi Rusty sudah telanjur curiga, dan apa yang diba­
yangkannya sama sekali tidak disukainya. ”Maksud Ayah
bukan pembuatan ilm itu, kan?” Ia sudah cukup terpera­
ngah ketika temannya menyampaikan ide itu padanya.
Carlson menepuk­nepuk tangan putrinya. ”Tidak,
sayangku. bukan yang seperti itu. Kita lebih bergengsi
daripada itu.”
”Lalu apa?”

274

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kau kurang bisa memandang jauh ke depan, Rusty.
Itulah salah satu kekuranganmu.” Dengan sayang
Carlson memegang dagu putrinya. ”Jef pasti sudah
langsung bisa melihat kemungkinan besar yang terbuka
bagi kita dari situasi ini.”

Seperti biasa, Rusty jadi merasa rendah diri diper­
bandingkan dengan almarhum kakaknya. ”Kemungkin­
an apa?”

Dengan sabar Carlson menjelaskan. ”Kau sudah
mengukir nama dalam dunia real estate. Dan itu kau­
lakukan tanpa bantuanku. Mungkin aku memang bebe­
rapa kali membuka kesempatan bagimu, tapi kau mem­
buatnya berhasil atas usahamu sendiri.”

”Terima kasih, tapi ke mana arah ucapan Ayah sebe­
narnya?”

”Kau boleh dikatakan merupakan selebriti di kota
ini.” Rusty menggeleng tak percaya. ”Aku sungguh­
sungguh. Namamu sudah sangat dikenal di berbagai
kalangan penting. Dan belakangan ini nama dan fotomu
tampil di berbagai surat kabar dan televisi. Kau dijadi­
kan semacam pahlawan. Publisitas gratis semacam itu
sama nilainya dengan simpanan uang di bank. Aku
mengusulkan agar kita mengambil manfaat dari mala­
petaka yang kaualami itu.”

Dengan agak panik Rusty menggigit bibir. ”Maksud
Ayah, mempromosikan keadaanku, bahwa aku selamat
dari kecelakaan pesawat, untuk menarik bisnis?”

”Apa salahnya?”
”Ayah pasti bercanda!” Tapi bill Carlson tidak ber­
canda. Dari ekspresi maupun sikapnya jelas terlihat
bahwa ia sama sekali tidak bercanda. Rusty menunduk

275

www.facebook.com/indonesiapustaka dan menggeleng­gelengkan kepala. ”Tidak, Ayah. Sama
sekali tidak. Aku tidak suka gagasan ini sedikit pun.”

”Jangan langsung berkata tidak,” sang ayah menasi­
hati. ”Akan kuminta biro iklan untuk mengolah bebe­
rapa ide. Aku janji tidak akan langsung menjalankan
sebelum bicara dan mendapatkan izin darimu.”

Mendadak Rusty merasa asing melihat ayahnya. Sua­
ranya, wajahnya, sikapnya yang elegan... semua itu dike­
nalnya. Tapi ia merasa tidak mengenal hati dan jiwa yang
ada di baliknya. Ia tidak mengenal ayahnya sedikit pun.

”Aku tidak akan pernah menyetujuinya. Kecelakaan
pesawat itu menewaskan lima orang. Lima orang, Ayah.
Aku bertemu dengan keluarga mereka, para janda,
anak­anak, dan orangtua mereka. Aku bicara dengan
mereka, menyampaikan rasa dukacitaku yang tulus.
Dan sekarang aku diminta mengambil keuntungan dari
kemalangan yang menimpa mereka...?” Ia merinding
muak. ”Tidak, Ayah. Aku tidak bisa.”

bill Carlson menarik­narik bibir bawah, seperti yang
selalu dilakukannya kalau sedang berpikir keras. ”baik­
lah. Untuk saat ini, kita bekukan gagasan itu. Tapi aku
sudah memikirkan kemungkinan lain.”

Ia meremas kedua tangan Rusty dengan tangannya
sendiri. Rusty merasa sikap ini seolah untuk menahan­
nya, mempersiapkannya mendengar apa yang akan di­
sampaikan ayahnya.

”Seperti sudah kukatakan, aku menyuruh orang me­
nyelidiki segala sesuatu tentang Mr. Landry kemarin.
Dia memiliki ranch yang sangat luas di daerah Sierra
yang indah.”

276

www.facebook.com/indonesiapustaka ”begitulah katanya.”
”belum ada yang berminat mengembangkan tanah di
sekitarnya.”
”Ya, untunglah. Daerah itu boleh dikatakan belum
tersentuh. Tapi apa hubungannya itu dengan kita?”
”Rusty, kau ini bagaimana?” tanya ayahnya dengan
nada menggoda. ”Apa kau sudah menjadi pecinta alam
setelah dua minggu terdampar di hutan? Kau tidak
akan menyebarkan petisi untuk menyalahkan para pem­
bangun yang mendirikan rumah­rumah, bukan?”
”Tentu saja tidak, Ayah.” Gurauan ayahnya agak
bernada sinis. Ada sedikit teguran di balik senyumnya.
Rusty tak ingin mengecewakan ayahnya, tapi ia cepat­
cepat berusaha menghilangkan gagasan apa pun yang
ada dalam pikiran ayahnya, menyangkut Cooper dan
bisnis entah apa. ”Kuharap Ayah tidak merencanakan
untuk mengadakan pembangunan komersial di daerah
Mr. Landry. Percayalah, dia tidak akan senang. Dia
pasti akan menentang Ayah.”
”Kau yakin? Menurutmu bagaimana kalau dia kita
tawari kemitraan?”
Rusty menatap ayahnya dengan ekspresi tak percaya.
”Kemitraan antara Cooper dan aku?”
Carlson mengangguk. ”Dia veteran perang. Itu faktor
yang sangat bagus untuk dipromosikan. Kalian berdua
selamat dari kecelakaan pesawat dan berhasil melewati
berbagai kesulitan di rimba Kanada, sebelum akhirnya
diselamatkan. Itu pun mempunyai nilai drama dan pe­
masaran yang tinggi. Publik yang menjadi konsumen
kita akan menelannya bulat­bulat.”

277

www.facebook.com/indonesiapustaka Tampaknya semua orang, termasuk ayahnya sendiri,
menganggap kecelakaan pesawat itu, serta berbagai
pengalaman berat yang menyusul sesudahnya, seperti
semacam petualangan hebat, sebuah melodrama dengan
Cooper dan Rusty sebagai bintang­bintangnya. he
African Queen dengan waktu dan tempat berbeda.

Carlson terlalu asyik dengan rencana­rencananya,
sehingga tidak memperhatikan reaksi negatif Rusty.
”Aku bisa menelepon beberapa orang, dan menjelang
malam kita sudah bisa memperoleh beberapa kondo­
kondo di daerah itu. Ada lift ski di Rogers Gap, tapi
tidak dikelola dengan baik. Kita akan memperbaikinya
dan membangun di daerah sekitarnya.

”Tentu saja kita akan mengajak Landry dalam bisnis
ini. Itu bisa memperlancar jalan kita untuk mendekati
para penduduk lokal lainnya. Landry memang penyen­
diri, tapi menurut laporan pada penyelidikku, dia punya
pengaruh besar di sana. Namanya cukup disegani. be­
gitu kondo­kondo itu dibangun, kau bisa mulai mema­
sarkannya. Kita akan mendapat jutaan dolar.”

begitu banyak keberatan yang hendak diutarakan
Rusty, sehingga ia mengurungkan untuk mencoba me­
nyampaikannya. Ia mesti mematikan gagasan itu sebe­
lum dimulai. ”Ayah, kuulangi, Mr. Landry tidak akan
tertarik dengan uang itu.” Rusty mengambil sobekan
lembar cek tadi dan melambaikannya di depan wajah
ayahnya, untuk mengingatkan. ”Dia tidak akan mau
memperoleh uang dari membangun real estate di sana.
Dia mencintai daerah itu. Dia ingin daerah itu tidak
diganggu, dibiarkan apa adanya, tidak dirusak oleh para

278

www.facebook.com/indonesiapustaka developer. Dia lebih suka alamlah yang mengembang­
kan daerah itu.”

”boleh saja dia berfalsafah begitu,” kata bill Carlson
tak percaya. ”Tapi setiap orang ada harganya, Rusty.”

”Cooper Landry tidak.”
Carlson menepuk pipi putrinya. ”Kepolosanmu sa­
ngat menggugah.”
binar­binar di mata ayahnya membuat Rusty cemas.
binar­binar itu menunjukkan bahwa bill Carlson sudah
mencium Untung besar. Di kalangan para ikan hiu
kapitalis, bill Carlson terkenal paling mematikan. Rusty
meraih tangan ayahnya dan meremasnya keras­keras.
”berjanjilah, janji bahwa Ayah tidak akan melakukan
ini. Ayah tidak kenal dia.”
”Dan kau mengenalnya?” binar­binar itu memudar dan
kelopak mata bill Carlson menyipit. Perlahan­lahan
Rusty melepaskan tangan ayahnya. Carlson mundur de­
ngan curiga dari putrinya, seperti takut kena penyakit
menular.
”Aku belum menanyakan apa pun yang mungkin akan
membuatmu malu, Rusty. Aku tidak ingin kita sama­
sama malu. Tapi aku tidak buta. Landry merupakan
gambaran lelaki macho, jenis penyendiri yang digan­
drungi perempuan, yang selalu ingin mereka jinakkan.”
Carlson mengangkat dagu putrinya, agar bisa mena­
tap matanya. ”Tapi kurasa kau terlalu cerdas untuk ja­
tuh cinta padanya hanya karena bahunya yang lebar dan
sifatnya yang misterius itu, kan? Kuharap kau tidak
membentuk hubungan emosional apa pun dengan lela­
ki itu. Itu bisa sangat berbahaya.”

279

www.facebook.com/indonesiapustaka Tanpa sadar sang ayah telah menyuarakan teori yang
sama dengan yang dikatakan Cooper; bahwa perasaan
mereka saat ini sebagian besar disebabkan oleh keter­
gantungan mereka satu sama lain. ”Dalam situasi sema­
cam itu, bukankah wajar kalau aku jadi merasa punya
ikatan dengannya?” kata Rusty.

”Ya, tapi sekarang situasinya sudah berubah. Kau
tidak lagi terisolasi bersama Landry di hutan. Kau su­
dah ada di rumah. Kau punya kehidupan di sini, yang
tidak boleh dikacaukan oleh perasaan cinta yang dang­
kal. Apa pun yang terjadi di sana sudah berakhir dan
harus dilupakan,” kata ayahnya.

Cooper juga mengatakan demikian. Tapi apa yang
terjadi di antara mereka belum berakhir. Sama sekali be­
lum. Dan tak bisa dilupakan. Apa yang dirasakan Rusty
terhadap Cooper tidak akan memudar atau mati perla­
han­lahan karena tidak dipelihara. Ketergantungannya
secara mental kepada Cooper tidak akan hilang setelah ia
perlahan­lahan menjalani kehidupan yang normal.

Ia sudah jatuh cinta. Cooper bukan lagi sekadar pe­
lindung dan orang yang mengurusnya, melainkan sudah
jauh melebihi itu. Cooper adalah lelaki yang dicintainya.
Entah mereka bersama­sama atau terpisah, hal itu tak­
kan pernah berubah.

”Tak usah khawatir, Ayah. Aku tahu persis perasa­
anku terhadap Mr. Landry.” Memang demikianlah yang
sebenarnya. biarlah ayahnya menarik kesimpulan sen­
diri.

”Anak baik,” kata Carlson sambil menepuk­nepuk
bahu Rusty. ”Aku tahu kau akan lebih kuat dan lebih

280

www.facebook.com/indonesiapustaka pintar setelah mengalami semua itu. Kau punya tujuan
yang jelas, seperti halnya kakakmu.”

Sudah satu minggu Rusty berada di rumah, setelah
hampir seminggu dirawat di rumah sakit, sesudah pulih
dari operasi pertama di kakinya. bekas lukanya tidak
tampak lebih baik daripada sebelum dioperasi, tapi
dokter telah mengatakan bahwa sesudah menjalani be­
berapa operasi, bekas luka itu tidak akan tampak lagi.

Selain sedikit rasa nyeri di kakinya, Rusty merasa
selebihnya ia baik­baik saja. Perbannya sudah dibuka,
tapi dokter menyarankan agar kakinya tidak terkena
pakaian dulu dan sebaiknya ia berjalan dengan memakai
tongkat penyangga.

berat badannya sudah naik beberapa kilo. Setiap hari,
selama sekitar setengah jam, ia berjemur matahari di tepi
kolam renangnya, agar kulitnya kembali cokelat. Seperti
telah dijanjikan, teman­temannya membawa seorang
penata rambut dan ahli manikur untuk Rusty. Si penata
rambut merapikan dan merawat rambutnya hingga kem­
bali bercahaya seperti semula, dan si ahli manikur mera­
pikan kuku­kukunya serta memijat dan mengoleskan
krim pada tangan Rusty yang kering dan kasar.

Sambil mengamati si ahli manikur menghaluskan
kulit yang merah bersisik, Rusty teringat pakaian­pakai­
an yang mesti dicucinya dengan tangan saat di hutan,
lalu digantung untuk dikeringkan di tali jemuran kasar
di luar pondok. Ia selalu penasaran, apakah pakaian­
pakaian itu sempat kering sebelum menjadi beku. Peng­

281

www.facebook.com/indonesiapustaka alaman itu tidak terlalu parah. Atau mungkin kenangan
selalu membuat segalanya tampak lebih baik daripada
kenyataan sebenarnya?

Teori itu bisa berlaku untuk yang lainnya juga. be­
narkah ciuman Cooper begitu menggetarkannya? benar­
kah pelukan dan bisikan­bisikannya terasa begitu
menghibur dalam saat­saat paling gelap di malam hari?
Kalau tidak, kenapa ia sering kali terbangun dan merin­
dukan kedekatan serta kehangatan lelaki itu?

belum pernah ia merasa begitu kesepian seperti ini.
bukannya ia selalu sendirian—setidaknya ia tak per­
nah sendirian untuk waktu lama. Ada saja teman­teman
yang datang membawakan hadiah­hadiah kecil untuk
menghiburnya, karena ia tampak begitu murung. Seca­
ra isik, keadaannya sudah jauh membaik, namun sema­
ngatnya belum pulih seperti semula.
Teman­teman dan rekan­rekan kerja merasa cemas
melihatnya. Sejak kecelakaan pesawat itu, Rusty tidak
lagi seriang dulu. Mereka membawakannya bermacam­
macam makanan, mulai dari cokelat Godiva, taco pesan­
an, hingga makanan­makanan mewah dari restoran­
restoran terbaik di baverly Hills, yang dibuat khusus
untuknya oleh kepala juru masak yang tahu betul apa
saja makanan kesukaannya.
Rusty punya banyak waktu luang, namun ia tak per­
nah menganggur. Ucapan ayahnya benar. Sekonyong­
konyong ia menjadi agen real estate terkenal. Semua
orang di kota itu yang ingin menjual atau membeli,
meminta nasihatnya tentang kecenderungan pasar yang
berubah­ubah. Setiap hari ia mendapat telepon dari

282

www.facebook.com/indonesiapustaka para calon klien, termasuk dari sejumlah tokoh perilm­
an dan televisi terkenal. Telinganya menjadi sakit kare­
na berjam­jam bicara di telepon. Dulu ia pasti akan
melompat gembira kalau mendapat klien sekaliber itu,
tapi sekarang ia mengalami kejenuhan yang tak dapat
dijelaskan sebabnya, dan tak bisa diatasinya.

Ayahnya tidak menyinggung­nyinggung lagi tentang
mengembangkan daerah di sekitar Rogers Gap. Rusty
berharap gagasan itu tidak akan diwujudkan. Setiap hari
ayahnya mampir ke rumahnya untuk melihat perkem­
bangan kesehatannya. Tapi Rusty curiga ayahnya lebih
tertarik untuk memanen hasil usahanya yang baru itu
secara cepat daripada memikirkan kepulihannya.

Lama­kelamaan tampak garis mulut ayahnya semakin
tipis dan keras karena tak sabar, dan dorongannya yang
semula diberikan untuk memberi semangat, agar Rusty
bisa cepat kembali bekerja, sekarang mulai terdengar
memaksa. Rusty sendiri merasa ia sengaja memperlama
masa penyembuhannya selambat mungkin, dan ia ber­
tekad tidak akan masuk kantor sebelum benar­benar
sembuh dan siap.

Siang hari itu ia mengerang cemas ketika mendengar
bunyi bel pintu. Tadi ayahnya sudah menelepon untuk
memberitahukan bahwa hari itu ia tak bisa datang, ka­
rena ada rapat bisnis. Rusty merasa lega. Ia menyayangi
ayahnya, tapi ia senang bisa terbebas dari kunjungan
harian ayahnya yang selalu membuatnya lelah.

Tapi rupanya ayahnya batal rapat dan sekarang da­
tang mengunjunginya.

Tertatih­tatih, dengan bantuan tongkat penyangga,

283

www.facebook.com/indonesiapustaka Rusty berjalan ke pintu depan, melewati koridor. Ia
sudah tiga tahun tinggal di rumah ini. bangunan rumah
itu kecil dan putih, dengan atap merah, gayanya sangat
khas California Selatan. Rumah itu terletak di sebuah
bukit rendah dan dikelilingi tanaman bugenvil yang
berbunga cerah. Rusty langsung terpikat pada rumah
itu saat pertama kali melihatnya.

Sambil bertumpu di satu tongkat, ia membuka pintu.
Cooper tidak mengucapkan sepatah kata pun pada­
nya. Rusty juga tidak. Mereka hanya saling pandang
untuk waktu lama, kemudian Rusty menepi tanpa bica­
ra. Cooper masuk ke dalam. Rusty menutup pintu, lalu
berbalik ke arah lelaki itu.
”Hai.”
”Hai.”
”Kenapa kau kemari?”
”Aku ingin melihat keadaan kakimu.” Cooper mena­
tap kaki Rusty dan Rusty menjulurkannya agar Cooper
bisa melihat lebih jelas. ”Kelihatannya tidak bertambah
baik,” kata Cooper.
”Nanti akan membaik.” Tatapannya yang skeptis
beralih ke mata Rusty. ”Dokter menjanjikan akan lebih
baik,” kata Rusty dengan defensif.
Cooper masih tampak ragu, tapi tidak mendebat. Ia
memandang ke sekelilingnya, berputar perlahan­lahan.
”Aku suka rumahmu.”
”Terima kasih.”
”Sangat mirip rumahku.”
”Oh ya?”
”Mungkin rumahku kelihatan lebih kokoh dan tidak

284

www.facebook.com/indonesiapustaka didekor sebagus ini. Tapi garis besarnya sama. Ruangan­
ruangan luas. banyak jendela.”

Rusty merasa sudah cukup kuat untuk berjalan.
Tadi, ketika melihat Cooper, lututnya yang sehat, yang
ia gunakan untuk menopang tubuhnya, nyaris tertekuk
lemas. Sekarang ia sudah cukup yakin untuk berjalan.
Ia memberi isyarat agar Cooper mengikutinya. ”Masuk­
lah. Mau minum apa?”

”Minuman ringan saja.”
”Limun?”
”boleh.”
”Akan kubuatkan sebentar.”
”Tidak usah repot­repot.”
”Tidak repot. Aku sendiri ingin minum.”
Rusty beranjak ke dapur di bagian belakang rumah,
melewati ruang makan. Cooper mengikuti. ”Duduklah.”
Rusty memberi isyarat ke arah meja kokoh di tengah
dapur, sementara ia sendiri menghampiri kulkas.
”boleh aku membantu?” tanya Cooper.
”Tidak, terima kasih. Aku sudah bisa sendiri.”
Rusty menoleh, ingin tersenyum, dan menangkap
mata Cooper yang sedang menatap belakang kakinya.
Rusty mengenakan celana selutut yang sudah lusuh dan
tidak memakai sepatu, karena menganggap toh akan
sendirian di rumah sepanjang hari. Rambutnya pun
hanya diekor kuda asal­asalan.
Tertangkap basah sedang menatap kaki telanjang
Rusty, Cooper bergerak gelisah di kursinya. ”Sakit, ti­
dak?”
”Apa?”

285

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Kakimu.”
”Oh, tidak. Yah, sedikit. Kadang muncul dan hilang
lagi. Tapi aku belum berjalan jauh atau mengemudikan
mobil.”
”Kau sudah kembali bekerja?”
Rusty menggeleng; ekor kudanya bergoyang menya­
pu pipinya. ”Aku menangani usahaku dari sini, lewat
telepon. Atau mengirim pesan. Aku merasa belum ingin
berdandan dan pergi ke kantor.”
Ia mengambil sekaleng sirup jeruk dari kulkas. ”Kau
sibuk terus sejak kembali ke rumah?”
Rusty menuang sirup kental itu ke sebuah wadah
dan menambahkan sebotol club soda dingin. beberapa
tetes minuman itu memercik ke punggung tangannya
dan ia menjilatnya. Lalu ia berbalik, masih dengan ta­
tapan bertanya­tanya.
Cooper sedang mengawasinya dengan tajam, seperti
seekor elang. Lelaki itu memandangi bibirnya. Perlahan­
lahan Rusty menurunkan tangannya yang tadi dijilat­
nya, lalu kembali pada kesibukannya membuat minum­
an. Kedua tangannya gemetar ketika mengambil
gelas­gelas dari lemari dan mengisinya dengan es batu.
”Yeah, aku sibuk.”
”bagaimana keadaan rumahmu saat kau kembali?”
”baik­baik saja. Seorang tetangga memberi makan
hewan­hewan peliharaanku. Kurasa dia akan terus me­
lakukannya kalau aku tidak pulang juga.”
”baik sekali tetanggamu.” Rusty ingin suaranya terde­
ngar biasa saja, namun ia tak bisa menyembunyikan ke­
gugupannya. Percakapan mereka tidak cocok dengan at­

286

www.facebook.com/indonesiapustaka mosfer saat ini, yang terasa berat menekan, seperti musim
panas New Orleans. Udara terasa pengap. Rusty merasa
tidak bebas menghirupnya ke dalam paru­parunya.

”Apa kau tidak punya pembantu untuk mengurus
ranch­mu?” tanyanya.

”Kadang­kadang ada. Hanya pembantu sementara.
Kebanyakan adalah para pecinta ski yang bekerja seka­
dar untuk menunjang hobi mereka. Kalau sedang keha­
bisan uang, mereka bekerja beberapa hari supaya bisa
membeli karcis lift dan makanan. Cara seperti itu sesuai
untuk mereka dan aku.”

”Sebab kau tidak suka dikelilingi banyak orang?”
”benar.”
Gelombang rasa tertekan menyelimuti Rusty. Ia men­
coba meredakannya dengan bertanya, ”Kau suka ski?”
”Sedikit. Kau?”
”Ya. Dulu.” Rusty memandangi kakinya. ”Mungkin
aku tidak bisa main ski tahun ini.”
”Mungkin bisa. Kan tidak ada tulang yang patah.”
”Mungkin.”
Tampaknya hanya itu yang bisa mereka percakapkan.
Tanpa diperintah akhirnya mereka mengakhiri perca­
kapan basa­basi yang canggung itu dan melakukan apa
yang sebenarnya ingin mereka lakukan... saling pandang.
Cooper sudah memotong rambutnya, tapi rambut itu
masih tetap panjang. Rusty senang melihat rambut itu
menyapu kerah kemeja santainya. Rahang dan dagu
lelaki itu dicukur bersih, tapi kumisnya masih tetap
seperti dulu. bibir bawahnya yang tertutup kumis pun
masih tampak keras dan tegas. Garis­garis di kedua sisi

287

www.facebook.com/indonesiapustaka mulutnya bahkan semakin dalam, hingga wajahnya
tampak semakin maskulin. Mau tak mau, Rusty berta­
nya­tanya, kecemasan apa yang membuat garis­garis itu
semakin dalam.

Pakaian lelaki itu tidak bisa dikatakan mahal, tapi
setiap orang di Rodeo Drive pasti akan menoleh kalau
melihatnya. Penampilannya merupakan selingan menye­
garkan dari para pesolek yang biasa tampil di daerah
itu. Blue jeans tetap merupakan pakaian yang paling
bagus untuk laki­laki, dibandingkan pakaian jenis apa
pun, apalagi jika yang mengenakannya Cooper.

Kemeja katun lelaki itu tampak ketat di dadanya
yang masih sering diimpikan Rusty. Lengan kemejanya
digulung, hingga menampilkan lengan bawahnya yang
kuat. Cooper membawa jaket kulit cokelat, dan seka­
rang jaket itu disampirkan di punggung kursi, ter­
lupakan. Tampaknya ia sudah melupakan segalanya,
kecuali wanita yang berdiri hanya beberapa meter
darinya, namun terasa begitu jauh tak tergapai.

Mata Cooper menelusuri tubuh Rusty, seolah de­
ngan tatapan itu ia bisa melepaskan helai demi helai
pakaian yang dikenakan Rusty. Merasakan ini, Rusty
merasa kulitnya mulai menghangat.

Tatapan Cooper kembali tertuju pada wajah Rusty,
dan gairah yang dilihatnya terpancar di sana merupakan
cerminan dari gairah yang dirasakannya. Sepasang mata
lelaki itu bagaikan magnet yang menarik Rusty ke da­
lam medannya. Dengan bantuan tongkat penyangganya
Rusty menghampiri lelaki itu tanpa melepaskan pan­
dangan. Saat ia semakin dekat, Cooper terpaksa men­

288

www.facebook.com/indonesiapustaka dongak agar bisa tetap menatap mata Rusty. Rasanya
lama sekali, meski kenyataannya hanya berlangsung
beberapa detik, sebelum Rusty akhirnya berdiri tepat di
hadapan lelaki itu, bertumpu pada tongkatnya.

”Aku tak percaya bahwa kau benar­benar ada di
sini,” katanya pada Cooper.

Sambil mengerang Cooper menunduk dan menekan­
kan kepalanya ke dada Rusty. ”Rusty. Ah, sial! Aku tak
bisa jauh­jauh darimu.”

Gejolak emosi yang melandanya membuat Rusty me­
mejamkan mata. Kepalanya tertunduk, menyerah pada
sapuan cinta yang dirasakannya bagi lelaki yang sungguh
sulit dipahami ini. Dibisikkannya nama lelaki itu.

Cooper melingkarkan lengannya di pinggang Rusty
dan membenamkan wajahnya di antara payudara Rusty.
Ditariknya Rusty lebih dekat.

”Aku sangat rindu padamu,” Rusty mengakui dengan
suara serak. Ia tidak mengharapkan Cooper membuat
pengakuan yang sama. Dan Cooper memang tidak me­
nyatakannya dengan kata­kata, namun keeratan peluk­
annya merupakan bukti nyata akan besarnya kerindu­
annya. ”Kadang aku merasa mendengar suaramu, lalu
aku menoleh, berharap melihatmu. Atau aku tanpa
sadar mengatakan sesuatu, lalu baru ingat bahwa kau
tidak ada di sampingku.”

”Oh, kau harum sekali,” kata Cooper, masih meme­
luk Rusty.

”baumu seperti pegunungan,” kata Rusty sambil
menciumi rambut Cooper.

”Aku ingin... merasakannya.” Dengan tak sabar

289

www.facebook.com/indonesiapustaka Cooper melepaskan simpul kemeja di pinggang Rusty,
lalu membuka kancing­kancingnya.

Saat merasakan mulut lelaki itu di kulitnya, Rusty
melengkungkan punggung dan mengerang. buku­buku
jarinya memutih saat ia mencengkeram pegangan tong­
kat penyangganya. Ingin ia melepaskan tongkat itu dan
menyapukan jemarinya di rambut Cooper.

Ia mengeluarkan isakan tertahan. Sungguh menjeng­
kelkan dan membuat penasaran, karena ia tak bisa meng­
gunakan kedua tangannya. Perasaan tak berdaya ini sa­
ngat tajam dirasakannya. ”Cooper,” bisiknya memohon.

Dengan cekatan Cooper melepaskan kancing­kancing
pakaian Rusty, lalu menarik gadis itu ke dalam peluk­
annya. ”Ke mana?” tanyanya. Wajahnya lebih lembut
daripada yang selama ini pernah dilihat Rusty. Sepasang
matanya tidak lagi menyorot dingin, melainkan ber­
binar­binar oleh emosi kuat yang tak berani diartikan
Rusty sebagai cinta.

Rusty menunjuk ke arah kamar tidur. Cooper mene­
mukannya tanpa kesulitan. Ia tersenyum saat membo­
pong Rusty memasuki pintu. Dengan lembut ia menu­
runkan Rusty ke lantai pada kaki kirinya, lalu disibak­
kannya selimut di tempat tidur. ”berbaringlah.”

Rusty mematuhinya, sambil mengamati Cooper yang
menuju kamar mandi. Terdengar suara air dibuka. Tak
lama kemudian Cooper muncul membawa kain yang
sudah dibasahi air. Disapukannya kain itu di seluruh
tubuh Rusty.

”Hmmm,” desah Rusty.
”Mestinya aku yang mendesah.”
”Lakukan saja”

290

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Hmmm.” Cooper menyapu bagian belakang kaki
Rusty dengan kain itu, terus hingga ke telapak kakinya.

”beristirahatlah sebentar,” katanya sambil meninggal­
kan tempat tidur, untuk membuka pakaian.

”Enak saja kau bicara. Kau tidak tahu rasanya dibelai
seperti tadi.”

”Tenang, Sayang. bersiaplah untuk yang lebih dah­
syat.”

Tapi Rusty masih tidak cukup siap saat Cooper
menghampirinya dan berbaring telanjang di samping­
nya.

”Aku tidak bisa melakukan apa pun karena merindu­
kanmu,” bisik Cooper dengan suara serak. ”Tidak bisa
bekerja, tidak bisa tidur dan makan. Tidak ada lagi kese­
nangan tinggal sendirian di rumahku. Kau merusak se­
muanya. Pegunungan itu tidak lagi indah di mataku.
Wajahmu telah membutakanku akan keindahan mereka.”

Cooper memeluknya erat. ”Kupikir lambat laun aku
akan melupakanmu, tapi sejauh ini tidak berhasil. Aku
bahkan pergi ke Vegas dan membayar seorang perem­
puan untuk menemaniku semalam. Ketika kami masuk
ke kamar hotel, aku cuma duduk memandanginya sam­
bil minum, berusaha membangkitkan gairahku. Dia
melakukan beberapa trik untuk memancing hasratku,
tapi aku tidak merasakan apa pun. Aku tak bisa mela­
kukannya. Tidak ingin. Akhirnya kusuruh dia pulang
sebelum dia menjadi kesal padaku, seperti halnya aku
pada diriku sendiri.”

Cooper membenamkan wajahnya di leher Rusty.
”Penyihir berambut merah, apa yang kaulakukan pada­

291

www.facebook.com/indonesiapustaka ku di atas sana? Sebelumnya aku baik­baik saja, sampai
kau datang dengan bibirmu yang lembut dan kulitmu
yang halus. Sekarang hidupku serasa tidak berarti lagi.
Segala yang kupikirkan, kudengar, kulihat, kusentuh,
kucium, kurasakan, adalah kau. Kau.”

Ia menarik tubuh Rusty lebih dekat dan mencium
bibirnya. ”Aku mesti memilikimu. Mesti. Sekarang.”

Direnggangkannya kedua kaki Rusty dan dirapatkan­
nya tubuh mereka. Rusty merasa seluruh hati dan jiwa­
nya ikut bereaksi bersama tubuhnya. Gelombang rasa
cinta memenuhi mereka berdua. Cooper pasti merasa­
kannya. Pasti mengetahuinya.

Rusty yakin Cooper merasakannya, sebab lelaki itu
terus menggumamkan namanya. Suaranya bergetar oleh
emosi, namun sesaat sebelum ia kehilangan kendali di­
rinya, Rusty merasa lelaki itu ingin menyudahi gairah
cinta mereka.

”Jangan! Jangan coba­coba!”
”Mesti, Rusty. Mesti.”
”Aku mencintaimu, Cooper.” Rusty menyilangkan
kakinya di belakang tubuh lelaki itu. ”Aku mengingin­
kanmu. Keseluruhan dirimu.”
”Tidak, tidak,” erang Cooper dengan pedih, sekaligus
bahagia.
”Aku mencintaimu.”
Dan akhirnya lelaki itu menyerah. Dengan satu seru­
an panjang yang berasal dari dasar jiwanya ia pun me­
nyerahkan keseluruhan dirinya pada wanita yang men­
cintainya ini.

292

www.facebook.com/indonesiapustaka 13

COOPER terbaring dengan mata terpejam di samping
Rusty dan Rusty memandangi wajahnya. Garis­garis
keras di mulut Cooper sudah jauh berkurang sejak ia
baru datang tadi.

Rusty merebahkan kepala di dada lelaki itu sambil
membelai perutnya. ”Kau punya alasan untuk selalu
berhenti sebelum selesai bercinta, bukan?” Entah bagai­
mana ia tahu bahwa baru kali inilah, setelah sekian
lama, Cooper benar­benar menyelesaikan permainan
cinta mereka sepenuhnya.

”Ya.”
”Dan alasannya bukan karena kau takut aku hamil,
bukan?”
”bukan.”
”Kenapa kau melakukan itu, Cooper?” Cooper mem­
buka mata dan Rusty menatapnya. Sepasang mata itu
tampak menjaga jarak. Rusty, yang semula mengira
Cooper tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun, kini
melihat bahwa lelaki itu takut padanya. Ancaman apa

293

www.facebook.com/indonesiapustaka yang dilihatnya dalam diri seorang wanita yang berba­
ring lemah di sampingnya dan seratus persen terpesona
olehnya?

”Kenapa kau menerapkan disiplin semacam itu pada
dirimu?” tanya Rusty lembut. ”Ceritakan padaku.”

Cooper menatap langit­langit. ”Dulu pernah ada se­
orang wanita.”

Ah, wanita itu, pikir Rusty.
”Namanya Melody. Aku bertemu dengannya tak
lama setelah kembali dari Vietnam. Aku sedang kacau
balau waktu itu. Pahit. Marah. Dia... dia membuat se­
galanya kembali pada perspektif semula. Dia memberi­
kan fokus pada hidupku. Aku sedang kuliah atas biaya
ketentaraan. Kami akan menikah begitu kuliahku sele­
sai. Kupikir segalanya berlangsung mulus bagi kami.
Dan memang begitulah.”
Ia memejamkan matanya lagi, dan Rusty tahu bahwa
ia sekarang tiba pada bagian cerita yang sulit. ”Lalu dia
hamil. Tanpa sepengetahuanku, dia melakukan aborsi.”
Cooper mengepalkan kedua tangan, rahangnya menge­
tat oleh amarah. Rusty melonjak kaget ketika lelaki itu
menoleh dengan mendadak ke arahnya.
”Dia membunuh bayiku. Setelah melihat begitu ba­
nyak kematian di medan perang, aku merasa dia...”
Cooper tersengal­sengal, hingga Rusty cemas melihat­
nya. Disentuhnya dada lelaki itu untuk menghiburnya,
dan perlahan ia berkata.
”Aku ikut sedih, Cooper sayang. Sungguh.”
Cooper menarik napas panjang. ”Yeah.”
”Sejak itu kau marah padanya.”

294

www.facebook.com/indonesiapustaka ”Mulanya ya. Tapi lalu kebencianku padanya terlalu
besar, sampai­sampai aku tak bisa marah lagi. Aku telah
begitu banyak berbagi rasa dengannya. Dia tahu betul
apa yang ada dalam pikiranku, perasaanku tentang ber­
bagai hal. Dialah yang mendesakku untuk bicara ten­
tang kamp tawanan itu dan segala sesuatu yang terjadi
di sana.”

”Dan kau merasa dia menyalahi kepercayaanmu?”
”Menyalahi dan mengkhianatinya.” Dengan ujung ibu
jarinya di pipi Rusty. ”Dia pernah memelukku ketika
aku menangis seperti bayi, sambil bercerita tentang te­
man­temanku yang tewas,” kata Cooper dalam bisikan
serak.
”Aku menceritakan padanya tentang segala yang
mesti kulalui untuk melarikan diri, dan apa yang mesti
kulakukan untuk bertahan hidup sampai aku diselamat­
kan. Tapi setelah tahu semua itu, setelah mendengar
gambaranku tentang bagaimana aku berbaring di tum­
pukan mayat yang sudah membusuk agar tidak tertang­
kap lagi-”
”Cooper, jangan.” Rusty meraihnya dan menariknya
mendekat.
”Dia tetap melakukan aborsi. Padahal aku telah me­
lihat bayi­bayi dibunuh, dan mungkin aku sendiri per­
nah membunuh beberapa, tapi dia-”
”Shh. Shh. Sudah.”
Rusty memeluk kepala lelaki itu di dadanya dan
membujuknya sambil mengelus rambutnya. Matanya
kabur oleh air mata. Ia merasakan penderitaan Cooper
dan berharap bisa mengambil alih semuanya. Dikecup­

295

www.facebook.com/indonesiapustaka nya bagian atas kepala Cooper. ”Aku sedih sekali, Sa­
yang. Sedih sekali mendengarnya.”

”Aku meninggalkan Melody. Aku pindah ke pegu­
nungan, membeli ternak­ternak itu, dan membangun
rumahku.”

Dan membentengi hatimu, pikir Rusty sedih. Pantas
saja Cooper mengasingkan diri dari masyarakat. Ia su­
dah dua kali dikhianati—oleh negaranya yang tidak
mau diingatkan akan kesalahannya, dan oleh wanita
yang dicintai dan dipercayainya.

”Kau tidak mau mengambil risiko ada wanita lain
yang hamil olehmu.”

Cooper menarik kepalanya dari pelukan Rusty dan
menatapnya. ”benar. Sampai saat ini.” Dipeganginya
kedua sisi wajah Rusty. ”Sampai kau datang. Dan aku
tak bisa menahan diri lagi.” Diciumnya Rusty dengan
hangat. ”Aku ingin percintaan kita tak pernah ber­
akhir.”

Rusty tersenyum. ”Tadi aku juga sempat mengira
takkan pernah berakhir.”

Cooper ikut tersenyum, tampaknya puas dengan di­
rinya sendiri. ”Oh ya?”

Rusty tertawa. ”Ya.”
Cooper mengangkat kepala dari bantal dan menya­
pukan bibirnya di bibir Rusty.
”Itulah yang kuinginkan. Aku tak akan membiarkan
meninggalkanku kali ini,” kata Rusty.
”Oh ya?” Ada sorot angkuh menggoda di mata
Cooper. ”Apa yang akan kaulakukan?”
”Aku akan mempertahankanmu mati­matian. Sebe­

296

www.facebook.com/indonesiapustaka sar itulah keinginanku untuk mendapatkanmu. Keselu­
ruhan dirimu.”

Cooper mengecup Rusty. ”Salah satu hal yang paling
kusukai dari dirimu…” Mulutnya menelusuri leher
Rusty.

”Ya?”
”Adalah kau selalu terlihat seakan baru saja bercinta
habis­habisan…” Cooper menyelesaikan ucapannya
dengan nada sensual.
”Cooper!” Pura­pura merasa tersinggung, Rusty me­
ngerutkan kening dan berkacak pinggang.
Cooper tertawa. Suara tawanya yang indah dan jarang
terdengar itu begitu menggoda. Rusty masih memasang
ekspresi kesal. Tapi Cooper hanya tertawa lebih keras.
Tawanya benar­benar lepas, tidak disertai kesinisan apa
pun. Rusty rasanya ingin tenggelam dalam tawa Cooper.
Ia ingin diselubungi kehangatan tawa tersebut, seperti
halnya seseorang dibanjiri kehangatan pada hari pertama
musim panas. Ia telah membuat Cooper Landy tertawa.
Ini bukan hal gampang, apalagi beberapa tahun terakhir
ini. Mungkin hanya sedikit orang yang bisa mengatakan
bahwa mereka berhasil membuat lelaki ini tertawa.
Mulut Cooper menyunggingkan senyum lebar di
bawah kumisnya. Cooper meniru gaya bicara Rusty
yang mengerang manja. ”Coo­per!” Jengkel dengan
Cooper yang meniru­niru dirinya, Rusty menepuk paha
telanjang lelaki itu. ”Hei, bukan salahku rambutmu
seksi dan mata cokelatmu terlihat sensual.” Cooper
mengulurkan tangan dan menelusuri bibir bawah Rusty
dengan ibu jari. ”Aku tidak tahan melihat bibirmu yang

297

www.facebook.com/indonesiapustaka senantiasa tampak seakan baru dicium dan memohon
untuk dicium lagi, juga payudaramu yang menggoda.”

”Menggoda?” tanya Rusty dengan terengah­engah
saat Cooper menangkup payudaranya.

”Hmm. Apakah ini salahku juga, kalau puncak payu­
daramu selalu tampak siap?”

”Ya.”
Cooper menyukai pernyataan itu. Sambil tersenyum,
lelaki itu membelai tubuhnya.
”Siap untuk apa, Cooper?”
Lelaki itu membungkuk dan menunjukkannya pada
Rusty.
Rusty merasakan sensasi yang sudah sangat dikenal­
nya mulai berpusar dalam dirinya. Sambil mendesah, ia
memegang kepala Cooper dan mendorongnya menjauh.
Cooper menatap Rusty dengan bingung, tetapi tidak
menunjukkan perlawanan saat gadis itu mendorongnya
berbaring telentang. ”Ada apa ini?” tanyanya.
”Kali ini akulah yang akan bercinta denganmu.”
”bukankah itu yang tadi kita lakukan?”
Rusty menggeleng. Rambutnya berantakan. Ikatan
rambut di belakang kepalanya sudah longgar. ”Tadi kau
yang bercinta denganku.”
”Apa bedanya?”
Dengan senyum sensual dan tatapan menggoda,
Rusty berbaring di samping Cooper dan mulai meng­
hujani leher lelaki itu dengan ciuman. ”Lihat saja.”

Setelah percintaan mereka selesai, mereka berbaring
dengan lengan dan kaki bertautan. ”Tak kusangka, kau

298


Click to View FlipBook Version