The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Jejak Kebajikan Cerita Aksi Layanan Lazismu (Edisi Revisi)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Divisi Litbang Lazismu, 2023-03-28 03:48:23

Jejak Kebajikan Cerita Aksi Layanan Lazismu (Edisi Revisi)_clone

Jejak Kebajikan Cerita Aksi Layanan Lazismu (Edisi Revisi)

Keywords: Program Lazismu

265 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat Saya melihat situasi ini dengan hati penuh luka yang bercampur keinginan membantu suku Kokoda. Bagaimana rasanya tidak punya tanah di atas tanah sendiri? Tidak ada lagi yang saya pikirkan kecuali, sekuat tenaga membantu mereka,” ungkap Bachtiar. Ketiga, tanpa status sebagai “warga” dan hak agraria, problem yang dihadapi suku Kokoda jelas sangat sukar dan rumit untuk diatasi. Dalam situasi ini, satu-satunya atribut yang dimiliki oleh suku Kokoda yang memungkinkannya punya jembatan modern adalah statusnya sebagai komunitas muslim Papua. Atribut ini adalah jejak kuasa politik Kesultanan Ternate dan Tidore beberapa abad silam, dan sekarang menjadi kontekstual secara sosiologis dalam Indonesia kontemporer. Sebagai sebuah atribut, status sebagai “muslim asli Papua” ini merupakan sebuah ikatan teologissosiologis yang menjadikannya asnaf dalam struktur filantropi muslim. Meski dalam hal tolong-menolong landasan pemikiran keagamaan Muhammadiyah sangat universal dan humanis, tapi keberadaan atribut ini membuat status kemendesakan bagi suku Kokoda. Dengan demikian, program pemberdayaan adalah instrumen yang mengiringi pemulihan hak-hak dasar bagi suku Kokoda. Program pemberdayaan menjadi sangat penting justru bukan karena mengaktivasi pembangunan, melainkan untuk mengentaskan problem tertangguhkannya hak-hak dasar suku Kokoda. Tiga konteks yang diulas di bagian ini menjadi landasan bagi perjalanan panjang Program Pemberdayaan Suku Kokoda. Cangkul, Sapi, dan Melawan Stereotip Program Pemberdayaan Suku Kokoda berjalan tahap demi tahap dan berkembang terus-menerus. Pada tahap paling awal, MPM masuk melalui pendampingan untuk pertanian dan peternakan. Ini memang model pemberdayaan yang sudah dilakukan MPM di banyak tempat. “Yang kita


266 PILAR SOSIAL-DAKWAH lakukan adalah pendampingan. Kita ajak mereka cocok tanam. Mereka belum pernah pegang cangkul. Tidak tahu bertani. Kita ajak teman-teman di sini untuk olah lahan. Kita beli cangkul, kita ajari cara mencangkul. Kita ajari membuat pupuk kompos. Kita bantu peternakan, sapi, untuk kotorannya membuat pupuk. Dia nanam lombok, kita ajarin bikin bedeng, sawi, dan kangkung. Itu pertama kali,” ungkap Bachtiar. Di tahap awal ini pula, yang jalan beberapa bulan, Bachtiar segera mendapatkan evaluasi berharga. “Mereka (suku Kokoda) ada 54 KK. Mereka mengolah awalnya mengelola sawah milik transmigran yang ada di dusun sebelah. Dan transmigran tidak ingin ada masalah, jadi mereka mempersilakan. Pakai aja asal nggak ribut. Kami, MPM, dapat dukungan dari Lazismu untuk beli sapi, kita buatkan rumah buat sapi. Tidak ada satu bulan mereka bilang sapinya mati. Ternyata sapinya mati karena tidak dikasih minum. Mereka tidak punya budaya itu. Alam menyediakan makanan secara melimpah,” jelas Bactiar. Program pemberdayaan berbasis kegiatan pertanian di tahap awal memang belum membawa hasil sesuai harapan. Namun begitu, Bachtiar sadar bahwa jika mereka ingin suku Kokoda berhasil mengembangkan sistem ketahanan pangan berbasis pertanian dan peternakan, mereka perlu mendapat pendampingan jangka panjang. Tidak mungkin hanya dalam durasi pendek. Menurut Bachtiar, hasil yang kurang memuaskan di tahap pertama ini terjadi karena faktor-faktor sosial dan budaya. Suku Kokoda sebagai komunitas sangat mengandalkan hasil alam berupa unggas hutan dan pohon sagu. Sementara itu, bertani atau beternak adalah mode produksi pangan yang membutuhkan intervensi yang rumit, mulai dari persiapan pembenihan, perawatan hingga panen. Suku Kokoda, menurut Bachtiar, pada dasarnya telah hidup dengan mengandalkan kekayaan alam yang melimpah. Mereka menerapkan cara hidup berburu dan meramu. Tapi, situasi sudah berubah. Dampak


267 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat buruk pembangunan di sektor perkebunan dan pertambangan telah menyebabkan hutan tidak lagi berfungsi seperti dulu dalam menyediakan cadangan makanan. Situasi ini mendorong ancaman tersendiri bagi suku Kokoda dan banyak masyarakat suku lain di Papua, seluruh tempat di Indonesia. Mereka, mau tidak mau, dipaksa untuk beralih ke mode produksi pangan berbasis pertanian dan peternakan. Faktor-faktor sosial dan budaya lain yang mempengaruhi tingkat keberhasilan program pemberdayaan berbasis pertanian dan peternakan adalah stigma dan stereotip pada suku Kokoda. Bachtiar bercerita, bahwa pada awalnya dia ingin melibatkan warga transmigran untuk mengajari dan mendampingi kegiatan pemberdayaan pertanian dan peternakan pada suku Kokoda. Tapi, Bachtiar mendapat tanggapan yang jauh dari harapan. “Supaya tidak banyak mengeluarkan anggaran, saya ajak warga transmigran bekerjasama menyukseskan program pemberdayaan di suku Kokoda. Mendengar permintaan saya, mereka acuh saja. Mereka, (warga transmigran) merasa tidak akan sanggup mendampingi suku Kokoda.


268 PILAR SOSIAL-DAKWAH Kayak ada dinding pemisah psikologis. Mereka bilang saya akan mendapat tantangan sulit, karena suku Kokoda tidak mungkin bisa diatur,” terang Bachtiar. Jadi, hambatan berikutnya dalam memaksimalkan program pemberdayaan berbasis pertanian dan peternakan adalah jurang pemisah antara suku Kokoda dan warga transmigran sebagai “masyarakat setempat”. Keengganan warga transmigran pada taraf tertentu terbentuk akibat perbedaan sosial dan budaya. Bachtiar, berulang-ulang melalui forum pengajian yang kebetulan juga dia adakan di dusun warga transmigran, berupaya memusnahkan stigma dan stereotip yang menimpa suku Kokoda. “Saya akhirnya mendatangkan fasilitator dan penyuluh dari Jawa. Biaya yang sungguh besar. Lazismu membantu banyak sekali di tahap awal ini dengan mau membiayai kedatangan fasilitator dan penyuluh yang kami butuhkan. Termasuk juga biaya penyelenggaraan pelatihan,” ungkap Bachtiar. Keadilan Agraria untuk Kokoda Program pemberdayaan berbasis pertanian dan peternakan perlahan menunjukkan perkembangan yang memuaskan. Tapi masih ada persoalan pokok yang mesti diselesaikan yaitu hak agraria masyarakat suku Kokoda. Mereka memang merupakan penduduk asli Papua yang dari generasi ke generasi telah menjadikan hutan sebagai tempat mencari makan. Mereka telah mendiami setiap inci Papua sejak dulu kala, sebelum misionaris dan “orang-luar” datang membawa misi pembangunan ke sana. Bachtiar sudah mengerti problem besar ini sejak pertama kali berjumpa orang-orang suku Kokoda. Misi pemberdayaan yang dia tawarkan hanya akan jadi masalah jika ia tidak mampu menjamin keadilan agraria bagi suku Kokoda. Dalam masa transisi dari praktik hidup nomaden menjadi sedenter, suku Kokoda memanfaatkan lahan yang telah diserahkan pemerintah


269 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat untuk warga transmigran. Lahan itu digunakan untuk membangun gubuk dan juga untuk bercocok tanam seadanya. Warga transmigran tidak punya pilihan lain kecuali memboleh suku Kokoda memanfaatkan lahan mereka. Menurut Bachtiar, warga transmigran tidak ingin ada ketegangan dalam persoalan lahan yang tentu sangat sensitif karena menyangkut harkat hidup seorang manusia. Jadi warga transmigran membolehkan atas dasar pertimbangan keharmonisan sosial dan kemanusiaan. Kendati begitu, Bachtiar melihat persoalan ini hanya berfungsi jangka pendek. “Enggak, terbayang kalau kondisi ini dibiarkan terus-menerus. Sudah pasti rentan konflik,” kata Bachtiar. Keadilan agraria bagi suku Kokoda sangatlah mutlak. Keadilan agraria merupakan upaya pemenuhan hak dasar atas tanah dan segala fungsinya bagi suku Kokoda. Bachtiar mengatakan bahwa suku Kokoda membutuhkan tanah atau lahan untuk menjamin kejelasan tempat tinggal dan untuk pertanian atau pengembangan sarana dan prasarana komunal. Tanpa ada kejelasan terkait hak-hak atas lahan, sangat sulit


270 PILAR SOSIAL-DAKWAH untuk membantu suku Kokoda mendapatkan kembali kedaulatan dan martabat mereka sebagai orang Papua. Sejak MPM menggerakkan Program Pemberdayaan Suku Kokoda di Papua Barat, pelan-pelan bermunculan dukungan terhadap upaya ini. Tapi, sebagaimana disebut Bachtiar, semua dukungan ini hanya akan menjadi maksimal jika pertama-tama suku Kokoda telah mendapatkan kebutuhan esensialnya sebagai masyarakat. Dan itu adalah hak atas kepemilikan tanah yang diakui oleh negara. Menindaklanjuti kebutuhan mendesak itu, Bachtiar bersama rekanrekan di MPM membuka obrolan kepada warga transmigran. “Pak, boleh, gak, tanah yang ditempati suku Kokoda itu kami beli?” tanya Bachtiar ke perwakilan warga transmigran. Mereka menjawab, berdasarkan penuturan Bachtiar, “Boleh, Pak. Per hektarnya 80 juta rupiah.” Pada waktu itu belum terpikirkan harus mencari uang sebesar itu dari mana dan bagaimana caranya. Sebab, total ada dua hektar yang perlu dibeli oleh Muhammadiyah untuk diserahkan ke suku Kokoda. Bachtiar kemudian kembali lagi ke Yogyakarta dan bergerak mencari dana untuk membelikan suku Kokoda tanah seluas total dua hektar. Cahaya mulai terang benderang. Dua perguruan tinggi Muhammadiyah siap urunan untuk membelikan suku Kokoda tanah yaitu Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Total dana berhasil terkumpul sebesar 160 juta untuk membeli dua hektar tanah. Bachtiar kemudian terbang lagi ke Papua Barat menemui warga transmigran. Begitu tiba, kesepakatan harga awal sudah berubah. Warga transmigran awalnya mengira Bachtiar dan rekan-rekannya tidak serius untuk membelikan tanah dua hektar bagi suku Kokoda. “Mereka enggak menyangka kita seserius itu. Jadi mereka pikir, dengan harga semahal itu gak mungkin akan dibeli (Muhammadiyah). Siapa yang mau belikan tanah untuk masyarakat suku di hutan seperti itu.


271 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat Karena kita sudah bawa uang, mereka bilang kalau harga naik, tapi saya lupa jadi berapa harganya,” kata Bachtiar. Bachtiar kemudian bergerilya lagi untuk menambah dana pembelian tanah dua hektar bagi suku Kokoda. Tidak lama, besaran nominal yang diminta warga transmigran sudah terpenuhi. “Akhirnya terbeli. Kita berikan ke suku Kokoda untuk ditempati. Serah terima sertifikat di STKIP Muhammadiyah (sekarang Unimuda Sorong). Tanah dua hektar itu kami serahkan untuk suku Kokoda,” jelas Bachtiar. “Sekarang, setelah suku Kokoda punya tanah sendiri, situasi untuk mengembangkan program pemberdayaan lebih kondusif. Setelah itu, saya punya program dengan lembaga donor untuk membaurkan masyarakat pendatang dengan masyarakat asli, namanya program inklusi sosial. Hanya membangun jembatan koordinasi dan komunikasi antara pendatang dan asli supaya inklusi,” tambahnya.


272 PILAR SOSIAL-DAKWAH Membuat Desa untuk Kokoda Tiga tahun mendampingi suku Kokoda, Bachtiar merasa Muhammadiyah sudah nyaris sampai titik batas. “Muhammadiyah enggak bisa sendirian terus-menerus. Suku Kokoda harus bisa berdaya dengan kekuatan aksesnya sendiri,” jelas Bachtiar. Selama hampir dua tahun, antara 2015 hingga 2016, Bachtiar dan rekan-rekan di MPM melobi Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong untuk memperjuangkan pendirian desa bagi suku Kokoda. Bachtiar mengungkap sejumlah alasan mengapa perlu mendirikan desa bagi suku Kokoda. “Dalam setahun saya mungkin bisa berkunjung 8 hingga 10 kali ke Kokoda. Selain menguras banyak sumber daya, juga sangat meletihkan. Sementara kami para fasilitator juga memiliki banyak tanggung jawab. Pada akhirnya semua akan ada batasnya. Kalau sampai sekarang Muhammadiyah masih menemani suku Kokoda itu murni karena atas rasa dan panggilan kemanusiaan,” jelas Bachtiar. Di sini, Bachtiar menegaskan bahwa tanpa ada institusi dan perangkat modern


273 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat yang menata dan mengelola proses sosial, politik, ekonomi, dan bahkan infrastruktur, suku Kokoda akan menghadapi masalah yang sama terusmenerus. Berikutnya, menurut Bachtiar, dengan memiliki desa, suku Kokoda dapat mengakses sumber daya negara yang memang menjadi hak mereka sebagai warga negara. Apalagi, suku Kokoda juga sudah memiliki hal legal atas tanah pemukiman mereka sendiri yang berhasil diperjuangkan Muhammadiyah. Pada saat itu, bagi Bachtiar dan rekan-rekan di MPM, dengan memiliki desa, suku Kokoda akan memiliki peluang besar dalam mengakses sarana kesejahteraan yang disediakan negara. “Kan waktu itu sudah ada UU Desa. Nah, ini bisa menjadi peluang bagus untuk memastikan suku Kokoda mendapatkan hak-hak sipil mereka. Desa itu akan punya dana. Sehingga program pemberdayaan dan pembangunan untuk suku Kokoda akan mengalami akselerasi. Karena jadi desa, otomatis ada kepala desa yang digaji oleh pemerintah dan ada dana desa. Dengan dana desa itulah akselerasi proses pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur akan terfasilitasi. Setelah itu kami adakan pelatihan aparatur desa, pelatihan perencanaan pembangunan desa, panjang,” terang Bachtiar. Pada tahun 2016, setelah melewati proses panjang, pendirian desa bagi suku Kokoda berhasil. Keberadaan desa ini menjadi simbol penting bagi suku Kokoda untuk mendapatkan perlindungan, pelayanan dan pengakuan sebagai warga negara. Salah satu manfaat praktis keberadaan desa adalah akses pada bantuan perumahan pemerintah. Bachtiar mengatakan akan sulit bagi Muhammadiyah jika harus membangunkan rumah yang layak dan relevan bagi kebutuhan suku Kokoda. Di sinilah pentingnya status desa itu untuk mengakses bantuan pemerintah. “Suku Kokoda punya desa sejak tahun 2016. Sekarang sudah ada 80- an KK. Kami lobi melalui kementerian PUPR untuk warga yang sudah kita


274 PILAR SOSIAL-DAKWAH belikan tanah itu diberi bantuan rumah. Syaratnya kan harus punya lahan. Lahan mereka sudah punya, masing-masing 150 meter per segi tiap KK. Melalui Pemda Sorong diajukan. Akhirnya goal. Senang sekali. Walaupun, saya ingin konsep perumahannya mempertahankan identitas Papua. Tapi, karena namanya proyek pemerintah, kita hanya bisa ikut konsep mereka, yaitu model perumahan modern,” ungkap Bachtiar. Keberhasilan mendirikan desa, menjadi titik perenungan bagi Bachtiar dan rekan-rekan di MPM. Ia mengatakan bahwa mereka tidak mengira jika Program Pemberdayaan Suku Kokoda akan sampai sejauh ini. Sebab, rasa-rasanya sangat berat di awal. Banyak orang mengingatkan Bachtiar dan rekan-rekan di MPM bahwa program mereka akan mendapatkan banyak kendala dan hambatan serius. Tapi, menurut Bachtiar, melihat apa yang telah terjadi dalam satu dekade mendampingi suku Kokoda, ia merasa semua perjuangan tidaklah sia-sia.


275 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat “Banyak anak-anak suku Kokoda mendapatkan hak pendidikannya. Mereka punya akses jika ingin sekolah, bahkan sampai perguruan tinggi. Ada yang kami kuliahkan ke Unimuda. Bahkan ada yang saya bawa ke UNISA (Universitas Aisyiyah Yogyakarta) dan UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Di UNISA dua anak suku Kokoda belajar di jurusan keperawatan. Dulu, sewaktu saya ke Kokoda, mereka masih kecil. Sekarang sudah kuliah. Kalau dipikir-pikir kenapa banyak yang hopeless ya karena berat,” tutup Bachtiar. SDGs dan Pemberdayaan Suku Kokoda Program Pemberdayaan Suku Kokoda telah berkontribusi dalam menyukseskan agenda pembangunan berkelanjutan yang termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Program ini telah berhasil menyasar isu dan topik krusial dalam SDGs, terutama pada: Indikator 1.1.1 tentang pengentasan kemiskinan ekstrem;2 Indikator 1.4.1. (e) tentang persentase rumah tangga yang memiliki akses atas layanan sanitasi yang layak dan berkelanjutan;3 Indikator 5.a.1 tentang pemenuhan kepemilikan tanah pertanian;4 dan Indikator 1.4.2 tentang hak kepemilikan tanah secara legal.5 Pada Indikator 1.1.1, Program Pemberdayaan Suku Kokoda telah membantu komunitas ini untuk: (1) meningkatkan kapasitas dalam mode produksi pangan secara mandiri dan berkelanjutan; (2) meningkatkan kapasitas dalam pertanian dan peternakan; (3) menyediakan akses terhadap tanah, sumberdaya, dan dukungan bagi pembangunan sarana 2 Indikator 1.1.1: Tingkat kemiskinan ekstrem. 3 Indikator 1.4.1.(e): Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi yang layak dan berkelanjutan. 4 Indikator 5.a.1: (1) Proporsi penduduk yang memiliki hak tanah pertanian; (2) proporsi perempuan pemilik atau yang memiliki tanah pertanian, menurut jenis kepemilikan. 5 Indikator 1.4.2: Proporsi dari penduduk dewasa yang mendapatkan hak atas tanah yang didasari oleh dokumen hukum dan yang memiliki hak atas tanah berdasarkan jenis kelamin dan tipe kepemilikan.


276 PILAR SOSIAL-DAKWAH atau prasana pokok bagi komunitas; (4) membuka akses terhadap dukungan pengembangan pendidikan dan infrastruktur esensial. Empat hal ini merupakan landasan penting dalam mencegah kemiskinan ekstrem terus berlanjut pada suku Kokoda. Pada Indikator 1.4.1.(e), program ini telah mengupayakan pemenuhan hak atas layanan sanitasi yang layak dan berkelanjutan dengan mendirikan fasilitas sanitasi yang memungkinkan setiap orang mendapatkan akses terhadap air bersih untuk kebutuhan konsumsi, pertanian, peternakan, pembudidayaan, dan juga aktivitas pokok sehari-hari lainnya. Hal ini telah mendukung terpenuhinya hak hidup sehat bagi masyarakat suku Kokoda. Pada Indikator 5.a.1, Program Pemberdayaan Suku Kokoda telah memainkan peran penting dalam mendukung kepemilikan tanah bagi suku Kokoda dengan mengandalkan sumber daya Muhammadiyah dan dukungan jaringan politik ke pemerintah daerah. Program ini dengan demikian telah menyukseskan target pemenuhan keadilan agraria bagi masyarakat marjinal dan rentan. Ini juga seturut dan selaras dengan pemenuhan misi dalam Indikator 1.4.2 yang memungkinkan warga suku Kokoda mendapatkan hak legal atas tempat tinggal dan mengembangkan kehidupan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Dukungan negara terhadap program ini pula telah memungkinkan berdirinya 55 rumah huni permanen bagi warga suku Kokoda. Selain telah berhasil menyasar target yang tertera pada empat indikator tersebut, Program Pemberdayaan Suku Kokoda sebetulnya telah menyasar banyak isu, seperti peningkatan taraf hidup sehat, resolusi konflik berbasis persoalan agraria, mendorong negara memberi pengakuan hak-hak sipil pada masyarakat suku asli Papua, dan pendampingan berjangka panjang. Program ini dengan demikian telah menyediakan sebuah contoh praktik pemberdayaan yang inklusif, apresiatif, dan humanis, tanpa kehilangan atau abai terhadap misi pemulihan hak-hak sipil pada komunitas yang termarjinalkan di tanah Papua.


277 Indonesia Terang: Elektrifikasi Melembutkan Hati INDONESIA TERANG Elektrifikasi Melembutkan Hati Abdul Qodir Lenamah, seorang pendakwah yang bertahun-tahun menerangi batin spiritual kaum muslim di desa-desa di Timor Tengah Selatan (TTS), kini seakan betul-betul membawa terang bagi banyak orang di desanya. Sejak ada program Indonesia Terang, dan ia menjadi salah satu penggerak lapangannya, pria sepuh ini memang seolah menyulap kampung-kampung menjadi terang benderang. “Kami semua sejak dulu mengandalkan lampu pelita. PLN belum masuk. Alhamdulillah, berkat program Indonesia Terang dari Lazismu, kami mendapat lampu listrik tenaga surya. Ini sangat kami syukuri,” kata Abdul Qodir Lenamah. Menurut catatan TNP2K, angka kemiskinan di TTS mencapai 29,4% dan 40% rumah tangga atau sekitar 60 ribu kepala keluarga belum punya akses ke energi listrik, termasuk untuk penerangan. Program Indonesia Terang adalah hasil sinergi Lazismu Pusat dan TNP2K yang didukung Yayasan Besi Pae, Kopernik dan Bappeda. Lazismu berperan sebagai penyalur dana dan TNP2K berperan memfasilitasi kemitraan. Misi program ini adalah elektrifikasi desa sehingga semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan energi listrik. Melalui program ini, Lazismu berikhtiar menembus batas dan sekat, membawa keadilan


278 PILAR SOSIAL-DAKWAH akses bagi masyarakat di kawasan timur untuk menuju Indonesia yang inklusif. Setidaknya ada tiga tujuan dan misi Indonesia Terang. Pertama, sebagai program elektrifikasi berupa pemberian akses penerangan berbasis tenaga surya, Indonesia Terang adalah misi sosial dan sekaligus promosi energi ramah lingkungan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Indonesia Terang merupakan wujud partisipasi lembaga filantropi Islam, seperti Lazismu dalam upaya pengentasan kemiskinan atau ‘kemiskinan akses’. Dan ketiga, Indonesia Terang juga ditujukan untuk mendukung kohesivitas sosial dalam konteks masyarakat yang majemuk. Pada tahap awal, Lazismu melalui program Indonesia Terang membagikan 1.060 panel solar beserta lampu tenaga surya ke sejumlah desa dan rumah tangga sasaran di TTS. Proyek ini mulai dirintis pada 2016 dan dikembangkan setelah evaluasi pada 2017, dan meski berakhir pada 2019, program ini masih terus memberi manfaat bagi masyarakat di TTS hingga sekarang. Indonesia Terang adalah sebuah upaya untuk mendorong demokratisasi di sektor energi dan demikian memberi kesempatan pada masyarakat untuk memanfaatkannya. Revitalisasi Filantropi Islam Indonesia Terang adalah program di Pilar Sosial-Dakwah Lazismu Pusat. Program ini lahir dari tata kelola, pendekatan, dan model baru filantropi yang diperjuangkan Lazismu pasca-Muktamar Muhammadiyah tahun 2015. “Kita harus membuat program yang mengadaptasi tantangan kontemporer. Untuk pilar sosial-dakwah, kita harus beranjak dari sekadar yang bersifat teologis-karitatif, dan menghubungkannya dengan problem struktural yang nyata-nyata terjadi, seperti akses masyarakat terhadap listrik,” jelas Andar Nubowo, yang pada tahun 2016 ketika Indonesia Terang dirilis merupakan Direktur Utama Lazismu.


279 Indonesia Terang: Elektrifikasi Melembutkan Hati Andar menambahkan bahwa program-program di Lazismu, termasuk yang ada di Pilar Sosial-Dakwah, sudah seharusnya berdampak luas, merata, dan adil tersebar pada berbagai kelompok masyarakat yang sangat majemuk di Indonesia. Mulai dari Sabang hingga Merauke. Dan ini hanya mungkin dilakukan jika ada ikhtiar untuk merevitalisasi paradigma filantropi Islam. “Sebagai contoh adalah mulai mendefinisikan ulang siapa asnaf yang sesungguhnya ada di sekitar kita saat ini. Apa itu fakir, miskin, atau muallaf, misalnya,” ungkapnya. Di titik ini, menurut Andar, Lazismu bergulat dengan tafsir lama yang beroperasi dalam filantropi Islam. Dia menyebut khusus terkait dengan siapa yang disebut asnaf atau “golongan orang yang berhak menerima zakat”. Andar misalnya menyasar diksi mu’allafati qulubuhum dalam Surah at-Taubah Ayat 60 yang ditafsirkan menjadi “mualaf” atau “orang yang dilembutkan hatinya”. “Tafsir atau terjemah pada diksi mu’allafati qulubuhum selama ini hanya untuk orang-orang yang baru saja masuk Islam. Mu’allaf ditujukan


280 PILAR SOSIAL-DAKWAH khusus untuk mereka yang sudah memeluk Islam. Tapi, kan makna dasarnya adalah ‘orang-orang yang dilembutkan hatinya’ atau mereka yang tidak memusuhi Islam. Nah, pengaruh cara baru mendefinisikan asnaf ini adalah transformasi penting bagi Lazismu dan juga institusi filantropi muslim secara keseluruhan,” ungkap Andar. Penjelasan Andar ini sangat krusial untuk memahami landasan paradigma baru yang dibawa Lazismu. Khususnya ketika Lazismu memutuskan untuk menyelenggarakan program Indonesia Terang di Timor Tengah Selatan (TTS) yang berpenduduk minoritas muslim. Ada 7 desa yang menjadi titik sasaran program Indonesia Terang, yaitu: Desa Tliu, Desa Kusi Utara, Desa Naileu, Desa Oni, Desa Haunobenak, Desa Oeleu, dan Desa Ayofanu. Tiga dari tujuh desa tersebut dihuni sepenuhnya oleh penduduk beragama Kristen dan ada pula penganut agama lokal. Rinciannya berdasarkan informasi Abdul Qodir Lenamah adalah sebagai berikut: di Desa Tliu ada 99 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 59 KK beragama Kristen dan 40 KK beragama Islam; di Desa Kusi Utara ada 90 KK yang terdiri dari 60 KK adalah Kristen, dan 30 KK adalah Katolik; di Desa Naileu terdapat 92 KK dengan 45 KK beragama Kristen, 20 KK beragama Katolik, dan 27 KK beragama Islam; di Desa Oni ada 100 KK dengan 65 KK beragama Kristen dan 35 KK beragama Katolik; di Desa Haunobena ada 127 KK dengan 77 KK beragama Kristen, 23 KK beragama Katolik, dan 27 KK beragama Islam; di Desa Oeleu total ada 85 KK dengan 52 KK beragama Kristen dan lainnya menganut agama kepercayaan adat; dan di Desa Ayofanu terdapat 121 KK dengan penduduk beragama Kristen adalah 100 KK dan Katolik sebanyak 21 KK. Tafsir baru dan keberanian untuk merevitalisasi paradigma filantropi Islam sangat mutlak diperlukan. Hal itu ditegaskan berulang kali oleh Andar. Mendefinisikan ulang mu’allafati qulubuhum adalah satu contoh krusial untuk mewujudkan filantropi Islam yang berwibawa secara global


281 Indonesia Terang: Elektrifikasi Melembutkan Hati dan mengakar pada pemulihan harkat kemanusiaan modern. Hanya dengan cara ini, konsep Islam rahmatan lil ‘alamin akan terwujud sebagai cita-cita kaum muslim, dan bukan sebagai jargon semata. Membantu Negara Mengentaskan Kemiskinan Perubahan pada level paradigma filantropi Islam di Lazismu tidak hanya memengaruhi interpretasi tentang asnaf atau konsep-konsep yang ada di level diskursus. Tapi juga, dan sudah jelas, berpengaruh pada level tata kelola dan inovasi gerakan. Hal ini sangat terasa dalam program Indonesia Terang. Salah satu dampak praktisnya adalah Lazismu sudah semestinya memperlebar sayap kolaborasinya, karena ini adalah skema penting dalam pembaruan tata kelola dan inovasi gerakan. Jadi, kolaborasi tidak terbatas dengan kalangan internal, baik Muhammadiyah dan kaum muslim. Tapi, juga dengan lembaga atau organisasi pemerintah. Sasaran penerima manfaatnya pun tidak harus merupakan masyarakat muslim, tapi menyentuh seluruh kategori mustadh’afin.


282 PILAR SOSIAL-DAKWAH Kolaborasi antara Lazismu dan TNP2K dalam Indonesia Terang jelas pada awalnya seperti tidak mungkin. Lazismu adalah lembaga filantropi. TNP2K adalah lembaga negara. Dua lembaga ini ada di posisi yang meski sama-sama berperan untuk membantu masyarakat, tapi punya garapan arena yang berbeda. Lazismu mengemban amanah publik untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan TNP2K adalah satuan tugas yang diberi tanggung jawab untuk menyelaraskan irama kerja programprogram pemerintah terkait pengentasan kemiskinan. Sebagaimana kata Andar, TNP2K juga sebelumnya tidak pernah menduga akan mampu bersinergi dengan lembaga zakat seperti Lazismu. “TNP2K punya banyak program. Lalu ketemu Lazismu. Mereka sebelumnya tidak terbayang bahwa lembaga zakat bisa berkolaborasi dalam program ini. Lazismu memilih TNP2K untuk memperluas jejaring dan melibatkan banyak aktor. Lazismu ini kan punya tim kreatif, ya. Jadi kami berdiskusi dan kalau tidak salah nama Indonesia Terang itu dari Lazismu dan disodorkan ke TNP2K dan mereka sepakat,” ungkap Andar. TNP2K merupakan lembaga koordinasi lintas sektor dan pemangku kepentingan yang diketuai oleh Wakil Presiden. Peran lembaga ini adalah perencanaan dan penganggaran untuk pengentasan kemiskinan. TNP2K merupakan akronim Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Sesuai Kepres Nomor 10/2011, ada empat metode atau klaster pengentasan kemiskinan yang dianut oleh TNP2K: (1) bantuan sosial terpadu berbasis keluarga; (2) peningkatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat; (3) pemberdayaan UMKM; dan (4) pengentasan kemiskinan berbasis program-program. Andar menjelaskan bahwa sinergi antara Lazismu Pusat dan TNP2K terjadi karena Lazismu harus membangun reputasi sebagai lembaga filantropi muslim yang maju, modern dan terdepan. Lazismu harus turut terlibat dalam mengentaskan problem nasional seperti kemiskinan. “Secara


283 Indonesia Terang: Elektrifikasi Melembutkan Hati teknis, Lazismu mengeluarkan anggaran guna memfasilitasi pembelian panel surya dan terdapat mitra pelaksana di lokal untuk mengerjakan instalasi proyek tersebut. Sedangkan pemerintah lokal mengisi peran administratif guna kelancaran teknis,” jelas Andar. Keterlibatan Lazismu juga dapat dimaknai sebagai cara untuk mempertajam metode pengentasan kemiskinan yang dianut negara. Lazismu percaya bahwa problem kemiskinan tidak dapat diselesaikan sekadar dengan pendekatan karitatif dan konsumtif. “Pemberantasan kemiskinan itu tidak dapat ditempuh dengan cara-cara lama. Tapi dengan cara memberikan akses produktif kepada orang-orang fakir miskin untuk berdaya. Listrik adalah kebutuhan mendasar yang dibutuhkan warga untuk mengembangkan komunitasnya,” tambah Andar. Elektrifikasi Melembutkan Hati Indonesia Terang adalah program dakwah-sosial. Jadi, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek teologis. Hanya saja, pengertian


284 PILAR SOSIAL-DAKWAH dakwah di sini sangat berbeda. Bagi Muhammadiyah, setiap program sosial pastilah merupakan wujud dakwah, baik terkait langsung atau pun tidak. Bahkan, sekalipun program Indonesia Terang mengusung isu elektrifikasi, bukan berarti ini tidak ada sangkut paut dengan misi dakwah. Andar menjelaskannya dengan baik sebagaimana kutipan di bawah ini: “Orang mungkin bertanya kenapa program Indonesia Terang dilaksanakan pada masyarakat yang mayoritas tidak beragama Islam. Lebih jauh, agenda program ini ialah untuk ta’liful qulub atau melembutkan hati. Kami memahami bahwa muallaf itu bukan hanya orang yang baru masuk Islam. Akan tetapi juga mencakup orang yang mendukung Islam [walau bukan muslim] atau orang-orang yang hidup harmonis para pemeluk Islam. Ringkasnya, membangun harmoni dan kerukunan beragama juga menjadi basis reinterpretasi filantropi Lazismu.” Hubungan harmonis antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda adalah landasan kehidupan sosial yang ideal dalam masyarakat majemuk. Upaya untuk menciptakan relasi semacam itu supaya berkesinambungan akan berdampak pada pengalaman positif bagi semua orang di kampung. Mereka misalnya menganggap bahwa warga muslim di kampung mampu mengintegrasikan diri dengan warga beragama lain di desanya. Memang integrasi tersebut sebetulnya sudah terjalin lewat hubungan keluarga, kekerabatan, dan adat istiadat. Tapi, tidak bisa dipungkiri kehadiran Indonesia Terang menjadi jembatan lain untuk menghubungkan setiap warga pada kepentingan komunitas yang lebih besar. Keeratan sosial menjadi kian penting seiring meningkatnya politisasi identitas keagamaan yang tersebar di ruang publik. Layanan energi yang murah, ramah lingkungan, dan dapat dikelola berbasis komunitas adalah kunci penting mewujudkan kohesivitas sosial. Abdul Qodir Lenamah mengatakan bahwa berkat ada program Indonesia Terang, hubungan antara warga beragama Islam yang minoritas dan warga mayoritas yang beragama Kristen atau agama leluhur di desa-desa


285 Indonesia Terang: Elektrifikasi Melembutkan Hati di TTS menjadi semakin erat. “Kadang, saudara kita yang berbeda agama sering bertanya kapan mereka dapat giliran memanfaatkan lampu tenaga surya. Juga pernah pak Kepala Desa sampai menangis haru melihat ada penerangan di kampung,” jelas Abdul. SDGs dan Indonesia Terang Indonesia Terang merupakan program di Pilar Sosial-Dakwah Lazismu yang mengadaptasi Sustainable Development Goals (SDGs) di level konsep, model, dan implementasi. Di tataran konsep, Indonesia Terang menargetkan pengentasan kemiskinan di segala lini sebagaimana termaktub dalam Target 1 dan pada derivasinya di Indikator 1.1.1 SDGs.1 Keterbatasan masyarakat di perkampungan dan pedesaan di TTS untuk mengakses sumber daya energi seperti listrik adalah bentuk kemiskinan struktural. Hal ini hanya dapat diselesaikan dengan mengerahkan infrastruktur yang relevan, terjangkau, dan ramah lingkungan sehingga masyarakat dapat mendayagunakannya secara berkelanjutan. 1 Target 1: Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di mana pun. Indikator: 1.1.1: Tingkat kemiskinan ekstrem.


286 PILAR SOSIAL-DAKWAH Sejalan dengan itu, Indonesia Terang membawa misi untuk mendorong keterjaminan masyarakat miskin dan rentan untuk mengakses teknologi baru yang ramah lingkungan, seperti listrik berbasis energi surya. Misi ini diadaptasi dari Target 1.4 dalam SDGs yang menyerukan kesetaraan aksesibilitas untuk sumber daya energi dan teknologi bagi semua masyarakat.2 Langkah Lazismu mendesain program Indonesia Terang punya dampak ganda dalam hal ini. Pada satu sisi merupakan upaya untuk mewujudkan demokratisasi energi. Dan sisi lainnya adalah membuka akses pada masyarakat miskin dan rentan untuk turut menikmati teknologi baru yang ramah lingkungan. Indonesia Terang juga memasukkan Indikator 1.4.1(k) sebagai tujuan program, yakni betapa krusialnya peran infrastruktur penerangan sebagai sarana pengembangan masyarakat. 3 Panel solar dan lampu tenaga surya memberikan manfaat pada masyarakat miskin dan rentan. Mereka 2 Target 1.4: Pada tahun 2030, menjamin bahwa semua laki-laki dan perempuan, khususnya masyarakat miskin dan rentan, memiliki hak yang sama terhadap sumberdaya ekonomi, serta akses terhadap pelayanan dasar, kepemilikan dan kontrol atas tanah dan bentuk kepemilikan lain, warisan, sumberdaya alam, teknologi baru, dan jasa keuangan yang tepat, termasuk keuangan mikro. 3 Indikator 1.4.1(k): Persentase rumah tangga miskin dan rentan yang sumber penerangan utamanya listrik baik PLN dan bukan PLN,


287 Indonesia Terang: Elektrifikasi Melembutkan Hati dapat memanfaatkan fasilitas penerangan ini sebagai sumber daya untuk menopang kehidupan dalam lingkup keluarga, sosial, dan komunitas untuk berbagai kepentingan pengembangan masyarakat. Program ini dengan demikian turut memeratakan kesempatan pada masyarakat miskin dan rentan untuk mengakses pelayanan dasar. Indonesia Terang mengemban misi untuk mengakselerasi ketersediaan layanan energi yang murah, andal dan terbaru, sebagaimana Target 7.1, Indikator 7.1.1*, dan Indikator 7.1.1 (a) dalam SDGs.4 Indonesia Terang mengoperasikan target dan indikator-indikator ini dengan mendanai pembelian panel solar dan lampu tenaga surya untuk keluarga miskin dan rentan yang berhak menerimanya. Ini adalah langkah konkret untuk menjamin “akses universal” terhadap layanan energi, meningkatkan rasio elektrifikasi, dan konsumsi listrik per kapita. Program Indonesia Terang merupakan langkah penting Lazismu dalam konteks filantropi Islam, baik di tingkat nasional maupun global. Dengan mengadaptasi SDGs sebagai salah satu pijakan program, Lazismu menunjukkan ikhtiar untuk merevitalisasi daya jangkau dan daya ubah dana publik Islam untuk kebutuhan universal dan esensial. Termasuk memfasilitas masyarakat mengambil manfaat dari teknologi elektrifikasi baru yang ramah lingkungan. Ini menegaskan bahwa Lazismu sebagai lembaga filantropi Islam dapat turut serta mewujudkan dunia yang lebih adil dan inklusif. 4 Target 7.1: Pada tahun 2030, menjamin akses universal layanan energi yang terjangkau, andal, dan modern. Indikator 7.1.1*: Rasio eletrifikasi, dan Indikator. Indikator 7.1.1 (a): Konsumsi listrik per kapita.


288 PILAR SOSIAL-DAKWAH


289 Lansia Tangguh: Sesepuh Menolak Rapuh LANSIA TANGGUH Sesepuh Menolak Rapuh Di depan buah-buahan dagangannya, pria lansia berpeci putih itu menerima bantuan modal usaha dari Lazismu Lhokseumawe. Pria itu adalah satu dari tiga puluh orang penerima manfaat program Lansia Tangguh pada Juni 2021, hasil kerjasama Lazismu Lhokseumawe dan Bank CIMB Niaga Syariah Lhokseumawe. Bantuan yang diberikan jelas memberinya napas panjang untuk berjualan. Tapi, yang paling menggetarkan hati pria sepuh itu adalah kepeduliaan orang pada ikhtiarnya untuk mandiri. Melihat banyak orang sepuh masih harus banting tulang memang bukan kenyataan yang akan menyenangkan bagi semua orang. Orangorang sepuh seharusnya sudah tidak lagi bekerja untuk mencukupi kebutuhan konsumsinya sendiri. Jika pun bekerja, para sepuh ini harusnya hanya untuk sekadar mengisi masa tua mereka, supaya tetap berinteraksi dengan banyak orang. Negara haruslah memproteksi hak-hak mereka sebagai warga yang telah purna berbakti pada masyarakatnya. Dan kaum yang lebih muda yang seharusnya menopang keberlanjutan kehidupan para sepuh ini. Tapi, di tengah makin sulitnya ekonomi dan diperkirakan jumlah lansia di Indonesia akan meningkat, sudah tidak dapat mengelak lagi. Harus ada desain kepedulian untuk memperhatikan warga sepuh.


290 PILAR SOSIAL-DAKWAH Muhammadiyah sejak Muktamar ke-47 di Makassar mengukuhkan diri untuk memperhatikan secara khusus kebutuhan lansia di bawah tajuk Muhammadiyah Senior Care (MSC). Sebagai lembaga filantropi Persyarikatan, Lazismu sudah tentu harus turut menyukseskan misi ini. Dan Lansia Tangguh yang digerakkan Lazismu Lhokseumawe adalah salah satu wujud desain program yang fokus pada pembinaan keagamaan dan pemberdayaan ekonomi lansia. Hadir di tengah pandemi tahun 2021, program Lansia Tangguh telah mewujudkan solidaritas lintas generasi yang kian penting dan bermakna di dunia yang kian rengsa. Program Lansia Tangguh “Setiap malam, kalau kebetulan pulang kerja lembur, saya selalu melihat lansia-lansia berusia 70 hingga 80 tahun yang masih berjualan di pinggir jalan. Hati saya terusik. Betapa beratnya kehidupan yang harus mereka jalani,” ungkap T. Saiful Bahri, pengurus Lazismu Lhokseumawe. Pemandangan yang dilihat Saiful memang semakin mengaduk emosi sebab itu terjadi ketika pandemi sedang pada puncaknya. “Jadi kami harus buat program yang tidak biasa supaya bisa membantu lansia-lansia ini,” tambahnya. Program Lansia Tangguh lahir karena tiga konteks mendasar. Pertama, ada banyak kelompok rentan di masyarakat yang semakin jelas tingkat kerentanannya akibat krisis ekonomi selama masa pandemi. Tanpa dukungan sosial yang memadai dan terfokus, bukan tidak mungkin kelompok ini akan semakin tercebur ke dalam masalah ekonomi. Mereka tentu akan sulit atau lebih lama memulihkan diri. Apalagi kalau mereka berada di penghujung usia produktif. Kedua, sementara ada banyak program pemberdayaan ekonomi yang hadir untuk kelompok usia produktif, warga sepuh atau lansia justru jarang mendapatkan hal yang sama. Bantuan yang bersifat karitatif seperti


291 Lansia Tangguh: Sesepuh Menolak Rapuh pembagian sembako atau sedekah memang memberi mereka hiburan. Tapi, sebagai seorang manusia yang punya harkat, jelas yang mereka butuhkan adalah dukungan yang berorientasi pada kemandirian dan otonomi. Program Lansia Tangguh adalah langkah tepat untuk menerapkan prinsip memanusiakan manusia pada para lansia. Mereka, sama seperti banyak orang lain dari kalangan yang lebih muda. Mereka memerlukan dukungan sosial, tidak sebatas bantuan konsumtif. Sebab, mereka ingin merasa masih dapat memberikan manfaat bagi orang lain, tanpa kehilangan daya untuk menopang kebutuhan diri sendiri. Isu pemberdayaan ekonomi bukan satu-satunya yang diangkat dalam Lansia Tangguh. Tapi juga dipadukan dengan pembinaan atau pendampingan kehidupan keagamaan dan spiritual. Bagi para lansia, bekerja adalah salah satu aspek untuk mengisi masa hidup secara bermartabat. Jadi, konteks ketiga program Lansia Tangguh adalah bahwa layanan-layanan sosial khususnya untuk pengembangan kehidupan


292 PILAR SOSIAL-DAKWAH keagamaan dan spiritual bagi lansia juga harus sama inklusifnya dengan kegiatan pemberdayaan ekonomi, harus menjangkau kelompok sepuh. Tiga konteks inilah yang mendorong lahirnya program Lansia Tangguh. Yang pertama terkait dengan proteksi terhadap lansia sebagai kelompok rentan. Kedua adalah pembentukan sistem pendukung bagi lansia. Dan yang ketiga terkait dengan akses atas pelayanan sosial mencakup aspek kehidupan beragama dan spiritual. Tiga konteks ini akan saling jalin-menjalin dalam mewujudkan ketangguhan kelompok senior di masyarakat. Muhammadiyah Peduli Lansia Bagi Muhammadiyah, melayani kelompok lansia adalah sama dengan ajaran Islam untuk birrul walidain atau berbuat baik kepada orang tua. Babak baru pelayanan sosial yang berfokus pada lansia ini lahir seturut dengan diperkenalkannya sistem pelayanan sosial berbasis komunitas


293 Lansia Tangguh: Sesepuh Menolak Rapuh dan keluarga yang diputuskan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015. Oleh karena itu, pasca-Tanwir Muhammadiyah di Ambon tahun 2017 dan mulai dikerjakan pada 2018, melalui Majelis Pelayanan Sosial (MPS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah semakin kuat pula program Muhammadiyah Senior Care sebagai salah satu program unggulan di Persyarikatan. Ada sembilan program yang berada di bawah tajuk Muhammadiyah Senior Care (MSC); (1) home care yaitu berupa penyediaan layanan kesehatan dan pemeriksaan pada aspek fisik, psikis, psiko-sosial, dan keagamaan; (2) day care adalah layanan pendampingan berkegiatan bagi lansia; (3) pusat pelayanan terpadu adalah berupa sarana dan prasarana untuk berbagai kegiatan bagi para lansia; (4) pusat situasi darurat adalah penyediaan sarana dan prasarana untuk mitigasi situasi bencana atau musibah yang menimpa lansia; (5) usaha ekonomi produktif adalah program pemberdayaan lansia melalui pemberian modal usaha, pelatihan, dan pendampingan; (6) bedah rumah berupa dukungan perbaikan rumah tinggal lansia menjadi layak; (7) kawasan ramah lansia berupa pengembangan kebijakan untuk mendukung lansia memperoleh hak-haknya sebagai warga negara; (8) diklat care giver adalah kegiatan pembekalan dan pelatihan bagi seorang pendamping lansia supaya mampu memberikan pelayanan yang prima; (9) layanan bimbingan keagamaan. Dan ada satu tambahan pada kegiatan untuk mendorong terbentuknya regulasi seperti peraturan daerah. Ada tiga sasaran program Muhammadiyah Senior Care: (1) lansia kategori miskin dan terlantar; (2) lansia dengan kebutuhan pada layanan; (3) keluarga atau masyarakat yang memiliki komunitas lansia. Sebetulnya, jauh sebelum Muhammadiyah Senior Care mendapatkan momentum gerakannya beberapa tahun belakangan, Persyarikatan ini sudah berkecimpung di isu pelayanan sosial bagi lansia sejak lama. Hanya saja, pendekatan, model, cakupan isu, dan basis persoalan yang


294 PILAR SOSIAL-DAKWAH dihadapi sudah perlu diperbarui. Sehingga pendekatan pelayanan seperti fasilitas panti jompo atau pembinan keagamaan perlu direvitalisasi dan terintegrasi dengan berbagai pendekatan pelayanan yang lain. Hal ini salah satunya diakibatkan oleh problem sosial dan ekonomi yang turut muncul seiring meningkatnya jumlah lansia di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, dalam Muhammadiyah Senior Care manajemen dan alur diperkukuh ulang. Pertama, sebelum menjalankan program, tahap paling awal adalah melakukan pengumpulan data (assessment) terkait kelompok sasaran program. Kedua, menelaah (review) hasil pengumpulan data. Ketiga, memilih jenis intervensi atau kegiatan program yang paling relevan, misalnya apakah day care atau home care yang lebih dibutuhkan. Keempat, mengecek hasil kegiatan berdasarkan usulan, masukan, saran, dan kritik dari penerima manfaat atau kelompok sasaran. Terakhir, kelima, adalah meninjau secara keseluruhan terkait program yang


295 Lansia Tangguh: Sesepuh Menolak Rapuh telah dilaksanakan. Lima alur ini adalah sistem yang bertujuan untuk memastikan bahwa layanan Muhammadiyah Senior Care dapat menyasar misi dan tujuan serta memperbaikinya demi kepentingan pengembangan di masa mendatang. Lansia Tangguh dalam Kerangka SDGs Apa yang dilakukan Lazismu Lhokseumawe dengan program Lansia Tangguh sudah barang tentu adalah cara mendukung para lansia hidup secara berdaya. Bentuk dukungan untuk para lansia dalam program ini mencakup bantuan pemodalan usaha dan pendampingan terkait pengembangan kehidupan sosial-keagamaan. Hal ini selaras dengan Target 1.3 dan Indikator 1.3.1 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pada Target 1.3 dinyatakan bahwa arah pembangunan nasional berhasil jika terwujud perlindungan sosial bagi seluruh kelompok miskin dan ringkih dalam masyarakat.1 Sedangkan pada Indikator 1.3.1 disebutkan perlunya perluasan pada proporsi penduduk yang menerima perlindungan sosial, termasuk warga lansia sebagai bagian dari kategori kelompok rentan.2 Program Lansia Tangguh dimulai sejak tahun 2021 telah mendampingi. Ada 35 orang lansia dan akan terus meningkat jumlahnya seiring dengan perkembangan program. Mereka berusia antara 60 hingga 1 Target 1.3: Menerapkan secara nasional sistem dan upaya perlindungan sosial yang tepat bagi semua, termasuk kelompok yang paling miskin, dan pada tahun 2030 mencapai cakupan substansial bagi kelompok miskin dan rentan. 2 Indikator 1.3.1: Proporsi penduduk yang menerima program perlindungan sosial, menurut jenis kelamin, untuk kategori kelompok anak berkebutuhan khusus, pengangguran, lansia, penyandang difabilitas, ibu hamil/melahirkan, korban kecelakaan kerja, kelompok miskin dan rentan.


296 PILAR SOSIAL-DAKWAH 72 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) punya tiga kriteria lansia berdasarkan usia: lansia muda adalah mereka yang berusia antara 60 hingga 69 tahun; lansia madya berusia antara 70 hingga 79 tahun; dan lansia tua adalah yang berusia 80 tahun ke atas. Maka, lansia yang tergabung dalam program Lansia Tangguh termasuk kategori lansia muda dan lansia madya. Berdasarkan statisik BPS tahun 2021, sebesar 14.01% lansia muda dan 10,33% lansia madya masih bekerja antara 41 hingga 48 jam setiap minggu. Persentase ini memang tidak besar. Sebab, seiring dengan makin bertambahnya usia, seseorang juga tidak akan mungkin memiliki jam kerja yang lebih banyak. Masih menurut BPS, rata-rata penghasilan lansia yang bekerja ada di angka 1,3 juta rupiah per bulan, dan paling rendah sebesar 1 juta rupiah terutama pada mereka yang bekerja di sektor pertanian. Program Lansia Tangguh dengan demikian, dalam kerangka SDGs, adalah bentuk pengembangan misi perlindungan sosial yang inklusif terhadap kelompok lansia. Perlindungan sosial itu dapat diterjemahkan secara meluas pada dukungan pemodalan usaha yang akan menunjang keberlangsungan kegiatan ekonomi lansia. Bantuan pemodalan menjadi


297 Lansia Tangguh: Sesepuh Menolak Rapuh kunci penting bagi kesinambungan kemandirian ekonomi lansia, terutama mereka yang tinggal di perkotaan dan tidak lagi ditopang oleh sanak keluarga. Begitu pula dengan perlindungan sosial dalam pengertian pendampingan terhadap para lansia untuk pengembangan kehidupan beragama. Perlindungan sosial di sini sama artinya dengan membuka akses pada para lansia untuk membina hubungan berkomunitas yang sehat, produktif, dan mengisi kebutuhan spiritualnya. Dan ini akan menunjang kesehatan psikososial yang sangat dibutuhkan oleh lansia. “Lansia Tangguh adalah program yang tidak biasa. Ketika sebagian besar lembaga filantropi fokus pada usia produktif, kita mencoba mendukung mereka yang telah berusia senja. Walau secara fisik dan tenaga tidak mampu lagi bekerja keras serta melampaui keadaan. Tapi semangat lansia patut menjadi perhatian. Alam fikir sebagian mereka masih sehat serta masih mampu beradaptasi dengan keadaan. Inilah mengapa Lazismu Lhokseumawe mempunyai alasan kuat untuk menguatkan Lansia melalui Program Lansia Tangguh,” tambah Ramzi, Direktur Eksekutif Lazismu Lhokseumawe.


298 PILAR SOSIAL-DAKWAH


299 Pemberdayaan Mantan Preman: Sosial Dakwah untuk Para Kelas Kakap PEMBERDAYAAN MANTAN PREMAN Sosial Dakwah untuk Para Kelas Kakap Keluar dari lapas Nusakambangan setelah puluhan tahun mendekam, Suroso belum tahu pasti apa yang akan dia lakukan. Sebagai mantan narapidana, tentu tak mudah mendapat pekerjaan. Butuh kerja keras untuk mematahkan prasangka miring yang kadung melekat. Hal yang sama juga dialami Andri. Ada tantangan tersendiri untuk meyakinkan masyarakat bahwa seorang mantan narapidana pun bisa membangun ulang komitmen pada kehidupan yang lebih baik. Kini, keduanya bersama dengan belasan rekannya sesama “mantan preman”—begitu label sosial yang melekat—berjuang menyusun masa depan dalam program Pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) Lazismu Cilacap. Demi keluarga, dan orang-orang yang mereka cintai. Program Pemberdayaan UMKM Mantan Preman ini merupakan hasil sinergi dan kolaborasi Lazismu Cilacap dan dukungan dana CSR PT. Mandiri Duta Samudera. Tujuan program ini adalah mendukung misi kemanusiaan dalam Pilar Sosial-Dakwah melalui pemberdayaan yang inklusif.


300 PILAR SOSIAL-DAKWAH Pemberdayaan Mantan Preman Suatu siang di bekas garasi bus, orang-orang tampak sedang sibuksibuknya. Ada yang tampak mengurus bibit-bibit pohon buah. Ada yang sedang mengurus ternak. Di tempat terpisah, ada yang sedang membuat produk berupa sabun cuci dan sampo. Ya, mereka adalah komunitas UMKM binaan Lazismu Cilacap dalam program Pemberdayaan Mantan Preman. “Kawan-kawan di sini dulu adalah mantan preman. Sekarang, mereka ingin mengubah takdir hidup lebih baik dan bermakna,” jelas Budi Santoso Direktur Lazismu Cilacap. Tersirat satu hal penting dari perkataan Budi Santoso. Tiap orang, perlu mendapat kesempatan yang sama di masyarakat. Apa pun kisah dan masa lalu mereka. Toh, ada ungkapan, “yang lalu biarlah berlalu”. Siapa pun bisa merasakan betul semangat hidup baru yang ditampilkan orang-orang di bekas garasi itu. Mereka membuktikan bahwa mantan preman pun punya daya hidup untuk menebus kesalahan melalui kerja keras. Di sana, ada yang sedang sibuk mengurus benih buah blacksapote, ayam ternak, dan burung merpati. Tiap orang memegang urusan berbedabeda, sesuai minatnya masing-masing. Selain aktivitas berkebun dan beternak, juga ada yang memproduksi sabun cuci piring dan sampo mandi. Meski, memang masih untuk kalangan terbatas. Terutama untuk para donatur di Lazismu Cilacap, sebagai cendera mata. Aktivitas pemberdayaan mantan preman sebetulnya sudah berjalan sebelum Lazismu turut terlibat dalam pengembangannya. Sebelum Lazismu mulai program pemberdayaan, para preman ini sebagian memang sudah berhenti dari premanisme. Mereka rata-rata berasal dari Kelurahan


301 Pemberdayaan Mantan Preman: Sosial Dakwah untuk Para Kelas Kakap Lomanis yang ada di Cilacap Tengah. Di sana, mereka sudah punya komunitas. Namun, arah pengembangan pemberdayaan yang diharapkan belum matang sempurna. Melihat masalah ini, Abbas seorang aktivis Pemuda Muhammadiyah Cilacap menganggap perlu ada sinergi supaya arah pengembangan program lebih baik. Ia kemudian menjajaki kemungkinan kolaborasi dengan Lazismu Cilacap. Setelah melalui beberapa penilaian awal, Lazismu Cilacap memutuskan siap bersinergi. Program ini juga semakin kuat dengan dukungan dana CSR yang diberikan PT. Mandiri Duta Samudera untuk dikelola Lazismu. Hingga saat ini, ada sekitar 15 mantan preman yang bergabung dengan UMKM binaan Lazismu Cilacap yang dimulai sejak tahun 2021. Program Pemberdayaan UMKM untuk mantan preman yang dilakukan Lazismu Cilacap ini adalah wujud dakwah sosial. Jadi, dakwah tidak harus selalu melalui ceramah dan khotbah. Dakwah bisa dilakukan sembari mendampingi aktivitas ekonomi.


302 PILAR SOSIAL-DAKWAH UMKM sebagai Sosial Dakwah Para mantan preman yang ada dalam komunitas UMKM binaan Lazismu Cilacap ini menghadapi dua tantangan. Pertama, adalah lapangan kerja bagi mereka untuk mengangkat perekonomian keluarga. Kedua, pengakuan atau penerimaan sosial yang berdampak pada kesempatan mereka mendapatkan peran sosial yang relevan di masyarakat. Di dua persoalan inilah Lazismu Cilacap bekerja. Untuk menghadapi problem pertama, Lazismu Cilacap mendampingi preman dan mantan narapidana ini untuk berdaya secara ekonomi. Jika mereka berdaya, mereka tidak akan dan perlu kembali ke kehidupan sebelumnya. Mereka pun tidak akan menemui tembok pembatas yang menyulitkan mereka berbaur dengan masyarakat lagi. Dan dengan begitu, mereka juga mampu meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Dalam upaya membantu anggota UMKM berdaya secara ekonomi, mereka dibekali keterampilan dan pendampingan usaha. Pada tahap awal, keterampilan yang dilatihkan adalah pembuatan sabun dan sampo. Untuk mengapresiasi anggota binaan, hasil produk diserap oleh Lazismu. Pelatihan kemudian merambah bidang lain, seperti keterampilan dalam beternak dan berkebun. Seiring dengan proses penambahan keterampilan, setiap anggota binaan memperoleh manfaat sosial yang tidak terduga. Mereka tidak terbebani lagi dengan label preman yang sangat peyoratif, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang tidak mampu bekerja dan hidup produktif. Melalui aktivitas di komunitas, mereka menemukan kontribusi sosialnya yang setara dengan warga masyarakat lainnya di kampung. Ini memang merupakan suatu dampak sosial yang secara tidak langsung menyelesaikan problem sosial yang dihadapi para mantan preman ini. Selama proses pemberdayaan dan pendampingan, para anggota binaan memang telah menunjukkan komitmen sosial yang nyata. Sebagai


303 Pemberdayaan Mantan Preman: Sosial Dakwah untuk Para Kelas Kakap contoh, ketika terjadi erupsi Gunung Semeru pada Mei 2022, para mantan preman ini sepakat menyumbangkan 1000 botol sampo dan sabun kepada korban erupsi. Ini adalah suatu bentuk solidaritas kemanusiaan. Karena program pemberdayaan mantan preman ini adalah sosialdakwah, maka Lazismu Cilacap juga menyediakan pendampingan rohani kepada anggota di komunitas UMKM. Lazismu Cilacap memfasilitasi kebutuhan pengembangan kehidupan spiritual dan keagamaan. Aspek ini tampaknya tidak bisa dilepaskan sebagai suatu cara untuk memperkuat dimensi psikologis mantan preman. Kebutuhan spiritual dan keagamaan ini menjadi salah satu cara para anggota binaan program untuk memberi makna pada kehidupan mereka yang baru. Budi mengatakan bahwa anggota binaan program banyak yang kemudian menjalankan aktivitas keagamaan, seperti salat dengan lebih giat. Giatnya anggota untuk melaksanakan ibadah memang adalah salah satu bonus penting. Mengingat sebagian besar anggota adalah preman


304 PILAR SOSIAL-DAKWAH “kelas kakap”. Mereka rata-rata pernah terlibat dalam kasus pembunuhan, pencurian, narkoba, perjudian, dan lain-lain yang mungkin sudah bisa ditebak sendiri. Tampaknya, dengan beribadah mereka hendak menghayati tujuan-tujuan hidup secara mendalam. SDGs dan Pemberdayaan UMKM Mantan Preman Program Pemberdayaan UMKM Mantan Preman terhubung secara tidak langsung dengan agenda menyukseskan Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu pada Target 8.6 tentang upaya mengurangi proporsi usia muda yang tidak bekerja atau mendapatkan pelatihan;1 Indikator 8.3.1* tentang ketersediaan lapangan kerja informal di sektor nonpertanian;2 Indikator 8.3.1 (b) tentang persentase tenaga kerja informal di sektor pertanian;3 dan Indikator 8.5.2* tentang upaya mengurangi tingkat pengangguran terbuka.4 1 Target 8.6: Pada tahun 2020, secara substansial mengurangi proporsi usia muda yang tidak bekerja, tidak menempuh pendidikan atau pelatihan. 2 Indikator 8.3.1*: Proporsi lapangan kerja informal sektor non-pertanian, berdasarkan jenis kelamin. 3 Indikator 8.3.1(b): Persentase tenaga kerja informal sektor pertanian. 4 Indikator 8.5.2*: Tingkat pengangguran terbuka berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur.


305 Pemberdayaan Mantan Preman: Sosial Dakwah untuk Para Kelas Kakap Dalam upaya menyasar Target 8.6, Pemberdayaan UMKM Mantan Preman membantu anggota binaan berusia muda untuk mendapatkan pelatihan keterampilan yang mereka butuhkan untuk bekerja. Para anggota muda ini mendapatkan pelatihan keterampilan sesuai dengan minat dan ketertarikannya masing-masing. Di bidang pengolahan produk, seperti pembuatan sabun dan sampo, mereka diajarkan cara untuk menggunakan dan meracik bahan baku serta tahapan yang harus mereka lakukan hingga berhasil menjadi produk. Di bidang peternakan dan berkebun, mereka mendapat pelatihan untuk pembudidayaan dan perawatan. Keterampilanketerampilan ini sangat penting dalam menunjang pembentukan kapasitas untuk memasuki dunia kerja atau menciptakan bidang usaha secara mandiri. Sedangkan dalam upaya menyasar Indikator 8.3.1*, Indikator 8.3.1 (b) dan Indikator 8.5.2*, program Pemberdayaan UMKM Mantan Preman telah menstimulasi terbentuknya bidang usaha berbasis komunitas. Bidang usaha tersebut mencakup peternakan, berkebun, dan pengolahan produk. Meski berskala kecil, upaya ini telah membantu terwujudnya kesempatan kerja, kendati bersifat informal. Dengan membekali para anggota keterampilan beternak, berkebun atau berwirausaha, kapasitas setiap anggota akan meningkat dan mencegah mereka menjadi pengangguran permanen. Program Pemberdayaan UMKM Mantan Preman memperlihatkan potensi menjanjikan di bidang pemberdayaan sosial. Program ini telah memberi kesempatan bagi kelompok marjinal di perkotaan untuk terintegrasi kembali dalam aspek sosial dan ekonomi tanpa harus memaksa mereka masuk ke dalam sektor usaha padat karya atau padat modal. Berbekal sistem pemberdayaan komunitas, program ini mampu menyediakan sarana pengembangan hidup yang relevan, produktif, dan berkelanjutan.


306 PILAR SOSIAL-DAKWAH


307 Griya Qur’an Difabel: Cahaya untuk Mereka yang Tak Melihat GRIYA QUR’AN DIFABEL Cahaya untuk Mereka yang Tak Melihat Pemenuhan hak pendidikan dan pendampingan keagamaan harus menyasar semua orang tanpa terkecuali. Apalagi, agama memainkan peran besar dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Berangkat dari konteks tersebut, Lazismu Lamongan menginisiasi Griya Qur’an Difabel, sebagai ikhtiar pemerataan akses terhadap ruang pembelajaran dan pendampingan keagamaan. Dan apalagi, program ini lahir di tengah situasi pandemi Corona Virus Disease 2019 yang semakin menyulitkan difabel netra muslim mendapatkan sarana pengembangan keterampilan literasi keagamaan yang aman, ramah dan nyaman. Program ini mengambil bagian dalam upaya pengarusutamaan gagasan dan praktik pemenuhan hak-hak beragama difabel netra muslim. Program ini merupakan wujud keberpihakan terhadap kelompok rentan untuk mendapatkan hak belajar yang setara dan terjamin. Keberpihakan ini menegaskan komitmen Lazismu Lamongan untuk memastikan setiap orang termasuk difabel netra untuk mendapatkan ruang dan kesempatan belajar sepanjang hayat.


308 PILAR SOSIAL-DAKWAH Misi Inklusi Sosial di Griya Griya Qur’an Difabel merupakan program Lazismu Lamongan di Pilar Sosial-Dakwah yang secara resmi dirilis pada 4 April 2021. Program ini bermaksud memfasilitasi aktivitas pembelajaran Al-Qur’an dan materi keislaman bagi difabel netra muslim, mulai dari kategori usia kanak-kanak, remaja, dewasa, bahkan lansia. Novita, pengurus Lazismu Lamongan, mengatakan bahwa program Griya Qur’an Difabel adalah hasil kolaborasi dengan seorang dokter di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan bernama dr. Era Catur Prasetya. Lazismu Lamongan berperan mendesain program dan penggalangan dana, sedangkan dr. Era meminjamkan salah satu bangunan rumah pribadinya sebagai tempat pelaksanaan Griya Qur’an Difabel. Griya Qur’an Difabel didesain sebagai komunitas belajar yang mandiri dan inklusif. Fokus utama program ini adalah pendampingan pembelajaran Al-Qur’an bagi difabel netra muslim. Segala kebutuhan


309 Griya Qur’an Difabel: Cahaya untuk Mereka yang Tak Melihat mulai dari Al-Qur’an braille, reglet atau papan cetak huruf braille, dan berbagai perlengkapan lainnya tersedia untuk menunjang pembelajaran yang maksimal. Ustaz Khoirun Nidhom, pengajar di program ini, merupakan seorang difabel netra muslim yang berkomitmen membantu para santrinya berhasil membaca Al-Qur’an secara benar dan baik. Sejak diresmikan, total sudah ada 10 santri difabel netra, 2 orang pendamping, dan 3 orang pengajar di Griya Qur’an Difabel. Sebagaimana sudah lumrah diketahui, diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk mengoperasikan program sosial seperti Griya Qur’an Difabel. Terutama untuk memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai untuk difabel netra muslim. Oleh karena itu, selain membuka program donasi Al-Qur’an braille yang jelas mutlak diperlukan, Lazismu Lamongan juga melakukan penggalangan dana melalui platform sosial daring. Penggalangan dana ini bertujuan untuk memastikan program berjalan maksimal dan berkesinambungan. Tanpa ada dukungan dana untuk membiayai aspek operasional, ketersediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta pengembangan program, Griya Qur’an Difabel ini tidak akan bertahan lama. Dukungan dana sangat diperlukan sebagai komitmen konkret mewujudkan ruang keagamaan yang inklusif. Selain aktivitas pembelajaran, pada momen tertentu, seperti bulan Ramadan atau perayaan hari besar Islam, Griya Qur’an Difabel mengadakan berbagai kegiatan lain. Misalnya selama bulan Ramadan menyelenggarakan Pesantren Difabel yang terbuka bagi para peserta dari seluruh kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Sedangkan pada Iduladha menyelenggarakan kegiatan kurban untuk difabel muslim serta penyerahan beasiswa untuk santri difabel. Berbagai aktivitas dan kegiatan ini merupakan upaya persuasi dan edukasi tentang betapa pentingnya pemenuhan hak-hak keagamaan bagi difabel muslim. Dengan demikian,


310 PILAR SOSIAL-DAKWAH diharapkan dapat menstimulasi terciptanya ruang publik keislaman yang ramah, aman, dan nyaman bagi difabel muslim. Memulihkan Martabat Lazismu Lamongan melalui program Griya Qur’an Difabel, menunjukkan keberpihakan di level konseptual dan praktis yang sangat jelas. Pada tataran konseptual, hal ini terlihat gamblang dalam penggunaan istilah “difabel” daripada “tunanetra” atau “disabilitas”. Istilah “difabel” yang digunakan dalam program ini merupakan akronim different ability people atau berarti “orang-orang dengan kemampuan berbeda”. Istilah “difabel” sudah lazim digunakan di Indonesia sejak dekade 1990an untuk menggantikan sejumlah padanan kata lain yang peyoratif dan melecehkan seperti “penyandang cacat” atau “tidak normal”. Hal ini menunjukkan bahwa program Griya Qur’an Difabel berupaya mendorong pengakuan yang relevan dan adil yang dibutuhkan oleh difabel netra muslim. Pada tingkat praktis, Griya Qur’an Difabel hendak menegaskan bahwa program bertajuk sosial-dakwah harus turut menyentuh isu pemenuhan hak belajar difabel netra muslim. Dan, komitmen ini tidak boleh berhenti sekadar melibatkan difabel netra muslim sebagai subjek yang pasif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Tapi harus lebih jauh lagi, yaitu memberi mereka akses untuk mengembangkan kehidupan beragama secara mandiri. Di sini, secara praktis, kehadiran Griya Qur’an Difabel merupakan wujud dukungan sistem yang sangat krusial bagi difabel netra muslim dalam mengembangkan praktik dan wawasan keagamaan. Kombinasi keberpihakan di level konseptual dan praktis merupakan ikhtiar untuk memulihkan hak-hak difabel netra muslim yang kerap terabaikan secara struktural dan kultural. Padahal, sama seperti warga masyarakat lain, difabel netra muslim juga berhak mendapatkan dukungan dalam mengembangkan kehidupan beragama mereka. Tidak


311 Griya Qur’an Difabel: Cahaya untuk Mereka yang Tak Melihat dapat ditawar lagi, penyediaan ruang publik keagamaan yang inklusif sangat penting bagi fondasi masyarakat yang majemuk. Dan, yang tidak boleh terlupakan, ini adalah misi demokratisasi ruang publik keagamaan yang belakangan semakin ekslusif dan alienatif. Al-Qur’an Braille dan Difabel Netra Muslim Griya Qur’an Difabel memang program baru. Tapi bukan berarti program ini tidak punya konteks dan landasan historis. Yang paling jelas terkait adalah perkembangan transliterasi Al-Qur’an ke huruf braille, sebuah sistem penulisan berupa kombinasi kode enam titik. Upaya penyusunan Al-Qur’an berhuruf braille di tahap paling serius baru dilakukan pada tahun 1951. Ketika itu, UNESCO menyelenggarakan konferensi di Beirut untuk penyatuan kode braille bahasa Arab. Hasil dari konferensi itu adalah penyusunan mushaf Al-Qur’an berhuruf braille yang kemudian disebarkan ke negara-negara berpenduduk muslim, termasuk


312 PILAR SOSIAL-DAKWAH Indonesia. Kehadiran Al-Qur’an braille diharapkan dapat membantu difabel netra muslim untuk mengakses ajaran Islam secara mandiri. Diduga kuat, jilid-jilid Al-Qur’an braille tiba di Indonesia pada 1954. Pada waktu itu, belum dimungkinkan ada akses yang merata pada AlQur’an braille. Selain karena jumlahnya yang jelas terbatas, diperlukan suatu pembinaan dan pendampingan tersendiri untuk menguasai cara baca Al-Qur’an braille. Sebagai sebuah cara baru, hanya kalangan terbatas yang memiliki akses terhadap Al-Qur’an braille yang mendapat kesempatan untuk menggunakannya. Itu pun harus pertama-tama memahami sistem penggunaan huruf braille. Diperlukan waktu yang tidak singkat untuk sampai pada tahap tersebarnya Al-Qur’an braille di sejumlah lembaga dan komunitas sebagaimana yang sekarang berlangsung. Proses pemanfaatan huruf braille untuk membantu difabel netra muslim membaca dan menulis Al-Qur’an, telah mendorong perubahan positif yang tidak terduga. Salah satunya adalah munculnya komitmen untuk ikut mempromosikan hak-hak beragama difabel netra muslim, termasuk dalam hal pembelajaran Al-Qur’an. Sebagai program dan


313 Griya Qur’an Difabel: Cahaya untuk Mereka yang Tak Melihat sekaligus wadah, Griya Qur’an Difabel ikut ambil bagian memperkuat komitmen ini. Hak-hak beragama difabel netra muslim harus mendapat perhatian khusus. Mereka punya hak yang sama untuk mengkhidmati teks-teks kitab suci sebagaimana banyak muslim lainnya. Di sini, Griya Qur’an Difabel lebih dari sekadar fasilitas pembelajaran keagamaan, tapi menjadi program yang mengusung misi inklusi sosial. SDGs dan Griya Qur’an Difabel Griya Qur’an Difabel tidak saja sekadar program pembinaan keagamaan yang memang relevan dalam konteks masyarakat Indonesia. Program ini juga beririsan secara langsung dengan isu dan topik krusial lain, seperti: perlindungan sosial, hak literasi difabel, dan demokratisasi ruang publik keagamaan. Tiga isu tersebut selaras dengan agenda dan misi yang tertera dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Terdapat dua indikator dalam SDGs yang terkait langsung dengan Griya Qur’an Difabel, yakni: Indikator 1.3.1 tentang perlindungan sosial bagi difabel;1 dan Indikator 1.3.1 (c) tentang pemenuhan hak dasar bagi difabel.2 Terkait Indikator 1.3.1, Griya Qur’an Difabel merupakan bentuk program perlindungan sosial berbasis pendayagunaan dana filantropi. Griya Qur’an Difabel menyediakan tiga bentuk perlindungan sosial. Pertama, adalah pengayoman kehidupan beragama bagi para difabel netra muslim melalui beragam kegiatan dan aktivitas. Kedua, pelayanan aktivitas dan kegiatan pembelajaran dengan menyediakan sarana dan prasarana yang secara esensial sangat dibutuhkan difabel netra muslim. 1 Indikator 1.3.1: Proporsi penduduk yang program perlindungan sosial, menurut jenis kelamin, untuk kategori kelompok anak berkebutuhan khusus, pengangguran, lansia, penyandang difabilitas, ibu hamil/melahirkan, korban kecelakaan kerja, kelompok miskin dan rentan. 2 Indikator 1.3.1.(c): Persentase penyandang disabilitas yang miskin dan rentan yang terpenuhi hak dasarnya dan inklusivitas.


314 Ketiga, penguatan posisi difabel netra muslim dalam mendapatkan akses yang relevan untuk pengembangan kehidupan beragama. Sedangkan pada Indikator 1.3.1 (c), Griya Qur’an Difabel mengambil tiga peran penting untuk menjamin pemenuhan hak dasar difabel netra muslim. Pertama adalah mendesain sistem layanan sosial yang bertujuan mendukung difabel netra muslim menjadi subjek aktif dalam dinamika kehidupan keagamaan, bukan pasif seperti yang Lazim berlaku. Kedua, adalah mengembangkan sistem layanan sosial yang terintegrasi dengan pendayagunaan dana filantropi sehingga mampu mengatasi hambatan bagi difabel netra muslim dalam mengakses sumber daya publik yang relevan bagi kebutuhan mereka. Berdasarkan pada dua indikator SDGs tersebut, Griya Qur’an Difabel telah menunjukkan kapasitasnya, baik secara aktual dan potensial, dalam menjangkau isu-isu krusial terkait upaya pemenuhan akses difabel netra muslim. Selain itu, Griya Qur’an Difabel juga telah memperlihatkan upaya yang serius dalam merevitalisasi arah program-program bertajuk sosial-dakwah. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri lagi, Griya Qur’an Difabel telah urun kontribusi menciptakan ruang sosial yang inklusif untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dalam konteks masyarakat muslim di Indonesia. PILAR SOSIAL-DAKWAH


Click to View FlipBook Version