115 Ambulanmu: Transportasi Kesehatan Unggulan dapat melayani beragam kebutuhan selain yang “darurat”. Ini kerap jadi masalah. Permintaan layanan ambulans sangat tinggi, sementara sistem dan tata kelola pelayanan ambulans belum untuk menjangkau beragam kebutuhan. “Ya, dulu sampai viral ada ambulans puskesmas yang tidak boleh dipakai. Si pasien akhirnya tidak mendapatkan bantuan yang diharapkan. Keluarga pasien kecewa berat. Di sisi lain, pengelola ambulans juga tidak mungkin disalahkan. Ada prosedur dan aturan yang tidak memungkinkan ambulans di puskesmas itu bergerak leluasa. Jadi situasi serba dilematis,” jelas Jaynal. Jaynal mengatakan bahwa konteks kehadiran AmbulanMu juga tidak terlepas dari menggeliatnya layanan sosial di sektor transportasi yang disediakan oleh masyarakat. Banyak orang ingin saling bantu. Di kalangan warga Muhammadiyah, baik di tingkat ranting, cabang, dan daerah menyediakan layanan ambulans masing-masing. Menurut Jaynal, inisiatif warga Muhammadiyah untuk pelayanan sosial sangat kuat. Hal itu dibuktikan dengan kekompakan menyediakan ambulans gratis. Tapi, Jaynal menambahkan, layanan ambulans itu hanya akan meningkat performanya jika dinaungi oleh suatu sistem. Apalagi, karena peran di bidang transportasi kesehatan semakin penting, menurut Jaynal, sudah seharusnya ada sistem bersama yang menaungi tata kelola AmbulanMu. Sehingga AmbulanMu menjadi solusi pengentasan berbagai persoalan layanan transportasi kesehatan. “Inilah yang membuat kami akhirnya berinisiatif memayungi layanan ambulans gratis yang dikelola Muhammadiyah yang tersebar di berbagai tempat di DIY supaya ada di bawah MPS. Supaya ada standar dan kontrol, demi menjaga kualitas layanan dan menjaga nama besar Muhammadiyah. Tanggung jawab yang menantang bagi kami,” jelas Jaynal.
116 PILAR KESEHATAN Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Majelis Pelayanan Sosial PWM DIY di Universitas Ahmad Dahlan tahun 2017 menjadi salah satu jalan pembuka konsolidasi para pegiat layanan ambulans gratis di kalangan warga Muhammadiyah. Pada saat itu, muncul gerakan “Satu Cabang, Satu Ambulans”. Tujuannya, meningkatkan layanan transportasi kesehatan gratis dengan menambah jumlah armada ambulans dan sistem pengelolaan ambulans. Maklum, baru ada 11 mobil ambulans saja waktu itu. Sehingga, untuk mendongkrak skala, intensitas, dan sebaran layanan, butuh unit lebih banyak lagi. Filantropi Menyalakan Solidaritas Lazismu memainkan peran krusial untuk menjaga mesin ambulans terus menyala. Baik secara harfiah dan maknawi. Sebab, para pengguna layanan AmbulanMu tidak dikenakan biaya atau tarif apa pun. Jika pasien memang ingin urun bantuan, mereka cukup berinfak ke Lazismu. Bersifat sukarela, tidak mengikat. “Kalau kami di MPS itu kan bagian operator yang mengelola cara kerja AmbulanMu. Nah, Lazismu jadi pintu bersama supaya program ini terus berjalan. Jadi, setiap ambulans dibiayai Kantor Layanan (KL) Lazismu masing-masing,” jelas Jaynal. Biaya rutin bulanan untuk per mobil ambulans antara 4 hingga 5 juta. Semua ini ditanggung oleh Lazismu. Jumlah AmbulanMu sendiri sekitar 90 mobil lebih, dan jelas masih akan terus bertambah unitnya. Jadi, bisa dibayangkan betapa besarnya biaya untuk menggerakkan pelayanan AmbulanMu. Kalau bukan karena solidaritas sosial antar-sesama jemaah dan warga, tentulah tidak akan mungkin pelayanan AmbulanMu dapat bertahan.
117 Ambulanmu: Transportasi Kesehatan Unggulan Belum lagi insentif yang layak untuk pengemudi yang berjibaku dari pagi hingga malam hari melayani kebutuhan masyarakat. Tidak salah jika menurut Jaynal, koordinasi dan sinergi yang konstruktif sangat dibutuhkan untuk melanjutkan napas panjang perjuangan AmbulanMu. Dan salah satunya adalah mendongkrak partisipasi filantropi publik supaya disalurkan ke Lazismu. Kontribusi Lazismu sendiri terhadap AmbulanMu adalah bagian dari amanah untuk memperluas sektor pelayanan sosial di bidang kesehatan. Terutama di kawasan urban, pelayanan sosial yang dapat langsung bermanfaat bagi masyarakat umum sangat diperlukan. Cara Berdakwah di Bidang Kesehatan Bagi sebagian besar warga di Jogja, nama AmbulanMu sudah tidak begitu asing. Setiap hari, mulai pagi, siang atau malam, lalu-lalang mobil AmbulanMu membawa serta nama Muhammadiyah melintasi jalanan. Sudah jelas ini berdampak baik untuk syiar dakwah Islam yang berkemajuan ala Muhammadiyah. Karena dakwah ternyata selain berupa
118 PILAR KESEHATAN nasihat-nasihat keagamaan, juga dapat berwujud layanan transportasi kesehatan. Menurut Jaynal, mobil AmbulanMu sudah menjadi etalase dakwah Muhammadiyah di ruang publik. Banyak orang mengenal Muhammadiyah justru melalui AmbulanMu. “Ambulans yang ada kembang-kembangnya pasti punya Muhammadiyah,” kata Jaynal menirukan komentar seorang warga nonMuhammadiyah yang menjadi penerima manfaat AmbulanMu. Karena membawa nama Muhammadiyah, Jaynal dan tim pengelola berkomitmen untuk terus-menerus meningkatkan performa pelayanan. “Kalau satu pelayanan bagus, akan berdampak ke reputasi semua pelayanan, dan sebaliknya,” kata Jaynal. Jaynal mengamini bahwa kekuatan utama AmbulanMu adalah tantangan untuk mewujudkan misi dakwah Muhammadiyah. Tidak sekadar transportasi kesehatan, tapi sebuah misi keagamaan untuk membantu sesama warga masyarakat yang membutuhkan. “Jika ada masyarakat yang dilayani dengan baik, yang lain juga akan terkena dampak baiknya. Ini kita jaga bareng agar pelayanannya tetap baik. Ini adalah bagian dari dakwah,” kata Jaynal. Cara Kerja dan Pengembangan AmbulanMu Sebagai layanan transportasi kesehatan, pengelola AmbulanMu terdiri atas pengemudi, admin, dan relawan. Ketiganya, punya peran, tugas, dan fungsi yang berbeda. Pengemudi bertugas mengantar dan menjemput pasien. Admin menavigasi dan menjadi narahubung pasien. Sedangkan relawan menopang pekerjaan pelayanan di lapangan. Khusus untuk pengemudi, karena mereka merupakan garda paling depan dari pelayanan AmbulanMu, ada perhatian lebih. Pertama, adalah
119 Ambulanmu: Transportasi Kesehatan Unggulan peningkatan kapasitas dan keterampilan dalam meningkatkan pelayanan. Kedua, sebagaimana harapan tim pengelola, adalah insentif rutin bulanan. “Meski para pengemudi ini rata-rata relawan, komitmen mereka harus kita apresiasi dengan layak, bermartabat, dan sepantasnya,” kata Jaynal. Ketiga, yang juga tidak boleh terlewatkan adalah dukungan warga Persyarikatan, simpatisan Muhammadiyah, dan warga masyarakat umum kepada para pengemudi ketika sedang menunaikan tugas di jalanan. Kerja seorang pengemudi mobil ambulans sangat berat. Mereka bukan sekadar menjalankan tugas pengantaran atau penjemputan. Mereka membawa pasien dengan kondisi medis yang beragam. Sementara itu, situasi di jalanan tidak dapat diprediksi. Jika sesama pengguna jalan saling mendukung misi pelayanan ambulans, pekerjaan seorang pengemudi akan lebih terbantu. AmbulanMu sendiri sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, merupakan program konsolidatif antara Majelis Pelayanan Sosial PWM DIY sebagai operator, Lazismu baik di tingkat Kantor Layanan hingga Daerah adalah penyandang dana operasional, dan pimpinan Muhammadiyah mulai dari Ranting, Cabang, Daerah hingga Wilayah sebagai pemilik armada ambulans. Berjalan kurang lebih tujuh tahun, peningkatan kualitas pelayanan AmbulanMu sudah semestinya. Berbagai strategi telah ditempuh untuk memperbaiki dan mengembangkan manajemen pelayanan AmbulanMu. Salah satunya adalah dengan pembakuan cara kerja pelayanan. Pertengahan tahun 2022, Jaynal mengatakan bahwa MPS sudah menyelesaikan penulisan buku panduan pelaksanaan program layanan AmbulanMu. “Ini supaya ada pedoman bersama yang dipegang pengelola AmbulanMu di seluruh wilayah DIY,” kata Jaynal. Buku itu, menurut Jaynal, memuat standar kondisi kendaraan, penjenamaan (branding) Muhammadiyah dan Lazismu di badan mobil,
120 PILAR KESEHATAN peralatan dan perlengkapan yang harus disediakan, seperti brankar dan oksigen, formulir pendaftaran pasien, pemetaan rute, hingga ke lampu sirene ambulans yang wajib berwarna merah. Menariknya, berdasarkan penjelasan Jaynal, untuk mengontrol cara kerja pelayanan supaya selalu prima, mereka mengandalkan komitmen para pengemudi. “Di jalanan, sesama pengemudi akan saling mengingatkan bahwa mereka membawa nama Muhammadiyah. Jadi segala tindakan dan perilaku pribadi masing-masing pengemudi betul-betul harus selalu dijaga. Supaya humanis, religius, dan menggembirakan,” kata Jaynal. Catatan Menawan dari Bantul Di seluruh kota dan kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), AmbulanMu Bantul adalah yang terbanyak. Hingga akhir 2022, ada sekitar 36 armada AmbulanMu di Bantul, lengkap dengan 110 pengemudi dan kru yang tersebar di 17 titik kapanewon (kecamatan). Kontribusi AmbulanMu Bantul untuk mendukung misi kesehatan terlihat jelas selama masa pandemi. Sebagai contoh antara Januari hingga
121 Ambulanmu: Transportasi Kesehatan Unggulan September 2021 total ada 6.329 layanan senilai 600 juta rupiah. Mencakup 3.787 layanan pasien on-Covid-19, 992 layanan pasien Covid-19 dan 942 layanan jenazah Covid-19, serta 221 layanan kegiatan sosial. Sebanyak 6.140 layanan dalam kota dan 189 layanan luar kota. Statistik performa AmbulanMu di Bantul memang sangat mengesankan. Dan ini mengindikasikan dengan sangat kuat bahwa kontribusi Muhammadiyah untuk menopang kesehatan masyarakat sangat penting. Apalagi jika menimbang bahwa pada awal pandemi di tahun 2020, Muhammadiyah menjadi gerakan sipil pertama yang bertindak cepat. Lebih dari 70 rumah sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah di seluruh Indonesia dengan sigap menerima pasien rujukan untuk kasus Covid-19. Sekali lagi, besarnya kontribusi AmbulanMu tidak lepas dari dorongan keagamaan dan kemanusiaan yang ada pada pengelola AmbulanMu. Keuletan, ketekunan, dan kesungguhan mereka menunaikan perintah agama supaya berbakti bagi manusia dan memberi pelayanan sosial tidak diragukan lagi. Tantangan dan Cerita Mengelola layanan AmbulanMu Keliling penuh tantangan dan kenangan. Ada kewajiban untuk terus-menerus meningkatkan dan mengembangkan pelayanan. Dan ada pula situasi di lapangan yang penuh cerita. Misalnya, pada suatu waktu, ketika tahap-tahap awal belum begitu matang prosedur pemanfaatan ambulans, masuklah suatu permohonan. “Pak, tolong saya bantu diantarkan oleh AmbulanMu,” begitu sebuah pesan yang masuk ke telepon genggam seorang pengemudi AmbulanMu. Dengan sigap si pengemudi langsung menyalakan mesin armada ambulans, dan kemudian berangkat menjemput si pasien.
122 PILAR KESEHATAN Begitu tiba di lokasi, pengemudi bertemu dengan seorang pria paruh baya yang tampak sehat-sehat saja. Pengemudi bertanya, “Baik pak, kami dari AmbulanMu, siapa yang perlu kami bantu?” Si pria itu menjawab lugas, “Saya sendiri pak yang butuh bantuan”. “Oke, pak. Tapi, maaf, bapak sakit apa ya?” tanya pengemudi sedikit heran. Maklum, memang tidak tampak ada patah tulang, memar, perban bekas operasi pada si pria itu layaknya pasien yang sering diantar AmbulanMu. “Saya sakit ini, Pak,” jawab si pria menunjuk pipinya. “Kenapa pipi bapak?” tanya pengemudi balik. “Saya sakit gigi, pak. Mohon bantuan diantar ke puskesmas atau rumah sakit terdekat,” pintanya. Sontak saja si pengemudi menghela napas. Ternyata pasien kali ini hanya sakit gigi. Bukan main perjuangan si pengemudi menembus kemacetan untuk menjembut seorang pasien sakit gigi. Di cerita lain, selepas mengantar seorang pasien lansia, si pengemudi ditawarkan sejumlah uang. “Ini buat uang lelah, saja mas. Enggak seberapa,” kata si pasien. Pengemudi dengan mantab menolak sambil mengucapkan terima kasih. Tapi si pasien setengah memaksa. Bisa dimaklumi. Si pasien merasa sangat terbantu dengan AmbulanMu. Ia hanya ingin berbagi sedikit rezeki. Si pengemudi kemudian menjawab dengan sopan, “Ngapunten Bu, jika ingin memberi, bisa ibu infakkan lewat Lazismu saja, nggih.” Si pasien kemudian mengiyakan. Tapi, ketika pengemudi AmbulanMu akan pamit pergi, si pasien memintanya untuk menunggu. “Tunggu sebentar, mas,” kata si ibu pasien. Dibantu oleh keluarga si pasien, ia meminta supaya si pengemudi membawa pulang pisang satu tandan.
123 Ambulanmu: Transportasi Kesehatan Unggulan Sudah rezeki, pengemudi AmbulanMu kali ini tidak mungkin menolak. Dengan mengucapkan terima kasih, ia menerima pemberian ini yang barangkali juga bisa dinikmati bersama para pengemudi AmbulanMu lainnya. AmbulanMu dan SDGs AmbulanMu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wujud layanan sosial berupa transportasi kesehatan yang dikelola oleh Muhammadiyah melalui Majelis Pelayanan Sosial PWM DIY dan didukung oleh Lazismu DIY. AmbulanMu berupaya mendukung terwujudnya masyarakat yang sehat sebagaimana ditetapkan dalam Tujuan, Target, dan Indikator Sustainable Development Goals (SDGs) melalui penyediaan sarana transportasi yang gratis bagi kelompok warga kurang mampu sehingga mempermudah mereka mengakses fasilitas kesehatan. 1 AmbulanMu mampu memberikan jasa transportasi gratis berkat dukungan dana filantropi masyarakat yang dikelola Lazismu. Jasa transportasi sebagai layanan sosial menjadi sangat penting perannya untuk meningkatkan rasio ketersediaan mobil ambulans dan jumlah penduduk di tingkat pembagian wilayah administratif tertentu, seperti kelurahan, kecamatan atau kabupaten. Selain itu, kehadiran ambulans non-faskes juga memudahkan masyarakat kurang mampu dalam menjangkau sarana transportasi yang tersedia setiap saat dan untuk situasi darurat. AmbulanMu telah menangani beragam kebutuhan masyarakat untuk jasa transportasi kesehatan yang siaga 24 jam setiap hari secara cuma-cuma. Ini selaras dengan Indikator 3.8.1.(a) terkait misi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan akses yang krusial bagi mereka.2 1 Tujuan 3: Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia. 2 Indikator 3.8.1.(a): Unmet need pelayanan kesehatan.
124 PILAR KESEHATAN Fungsi utama AmbulanMu adalah mengantarkan pasien-pasien dari kalangan kurang mampu untuk menempuh perjalanan menuju fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit atau puskesmas. Rata-rata jarak pengantaran AmbulanMu dari lokasi penjemputan pasien hingga ke fasilitas kesehatan antara 3 hingga 15 kilometer. Sebagian besar pengguna layanan AmbulanMu tidak sanggup secara finansial untuk membayar jasa ambulans berbayar secara berkala. Untuk satu kali pengantaran, seorang pasien rata-rata harus mengeluarkan 500 ribu rupiah. Layanan AmbulanMu dengan demikian, sebagaimana dalam Target 3.8, telah mengupayakan pencapaian cakupan kesehatan universal bagi semua orang.3 Sebagai layanan sosial, AmbulanMu telah menjadi bagian penting bagi masyarakat kurang mampu dan miskin di kawasan urban. Mereka dapat mengandalkan AmbulanMu untuk mengatasi kendala dan hambatan dalam mengakses kebutuhan transportasi kesehatan. Di tengah persoalan ekonomi pasca-pandemi yang masih berdampak terhadap banyak orang, terutama dari lapisan menengah ke bawah, AmbulanMu menawarkan harapan dalam menyediakan layanan yang relevan dan krusial untuk meningkatkan taraf hidup sehat masyarakat. 3 Target 3.8: Mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses terhadap pelayanan kesehatan dasar yang baik, dan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dasar yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua orang.
125 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang TIMBANG (TINGKATKAN KEMAMPUAN GIZI SEIMBANG) Menyelamatkan Generasi Mendatang S tunting atau problem pertumbuhan tinggi badan pada bayi dan anak merupakan ancaman yang sangat nyata. Sekarang, perhatian terhadap persoalan ini mulai meningkat, baik di kalangan pemangku kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan warga. Semua ini tentu saja, salah satunya, berkat kontribusi kelompok masyarakat sipil berbasis muslim modernis dalam bidang kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Lazismu Pusat menggandeng Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PPNA) untuk mengurangi prevalensi kasus stunting. Kerja ini memang sudah seharusnya, mengingat Muhammadiyah perlu memperluas jangkauan misi pelayanan kesehatannya yang berpadu dengan program-program pemberdayaan masyarakat. Timbang adalah akronim “Tingkatkan Gizi Seimbang”, sebuah program di Pilar Kesehatan yang ditujukan untuk pencegahan stunting berbasis keluarga. Sebagai lembaga filantropi Muhammadiyah, Lazismu mendukung program ini dengan menyalurkan dan mendayagunakan dana zakat Bank Mega Syariah. PPNA menjadi konseptor, penyelenggara
126 PILAR KESEHATAN dan pengelola program dengan menyediakan fasilitator dan pendamping lapangan. Sejak diselenggarakan pada tahun 2018, total ada 1.016 orang yang menjadi penerima manfaat dengan nilai bantuan sebesar Rp510.040.000,00. Mengapa Perlu Timbang? Stunting merupakan problem ketidakseimbangan gizi yang menyebabkan pertumbuhan tinggi badan bayi atau anak terganggu. Stunting merupakan salah satu dampak kekurangan gizi kronis. Di dunia kesehatan, stunting adalah gejala bandingan untuk kasus obesitas pada bayi dan anak. Stunting menjadi masalah sebab, bukan hanya karena menghambat pertumbuhan tinggi badan, tapi juga perkembangan kognitif pada bayi dan anak. Penyebab stunting antara lain adalah kualitas dan kuantitas pangan bergizi, pola asuh, kebersihan lingkungan, dan kondisi 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yaitu 270 hari anak di dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Program-program semacam Timbang lahir dari kebutuhan untuk mengurangi angka prevalensi stunting yang masih sangat tinggi di negaranegara berkembang di Asia Tenggara. Pada tahun 2018, ketika Timbang mulai dirancang dan dirintis, angka stunting mencapai 30% di Indonesia. Selain itu, dalam komitmen Lazismu untuk SDGs, pengentasan persoalan gizi buruk menjadi salah satu target di Pilar Kesehatan. Dalam konteks tersebut, Lazismu berkolaborasi bersama TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) untuk pencegahan masalah stunting. “Awalnya, program ini harusnya dilakukan secara kolaboratif antara TNP2K dan Lazismu. Istilah Timbang yang digunakan program ini diusulkan oleh Barry Adhitya dari Lazismu PP Muhammadiyah. Sayang, di tengah jalan, TNP2K mengalihkan perhatiannya pada pencegahan
127 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang penyakit tidak menular. Mereka anggap itu lebih prioritas. Ya sudah, kita yang Muhammadiyah jalan sendiri. Kita, kan biasanya harus cepat bergerak,” jelas Mochammad Sholeh Farabi Divisi Penyaluran Bidang Ekonomi dan Kesehatan Lazismu Pusat. Sejak awal, Lazismu sudah siap bersama NA untuk menggawangi isu stunting. Bagi Lazismu, NA memang perlu terlibat sebab organisasi ini adalah mitra penting untuk misi-misi program kesehatan masyarakat. Apalagi NA memang sudah sangat piawai dalam program dan gerakan pemberdayaan berbasis pendekatan partisipatoris, baik di perkotaan maupun pedesaan. Dan juga, bahwa persoalan stunting hanya bisa didekati dengan pendekatan berbasis keluarga dan menyasar pada peningkatan kapasitas pemudi. Untuk urusan ini, NA adalah mitra program yang tidak perlu diragukan lagi. Nasyiatul Aisyiyah (NA) adalah organisasi otonom untuk aktivis muda perempuan di Muhammadiyah. Organisasi ini bergerak dalam mengadvokasi isu-isu yang terkait langsung dengan kepentingan remaja, perempuan, dan anak.
128 PILAR KESEHATAN Ririn, aktivis NA yang menjadi koordinator lokal program Timbang mengatakan bahwa program Timbang adalah misi untuk pendampingan jangka panjang. Ia bersama rekan-rekan fasilitator Timbang yang juga terdiri atas aktivis-aktivis NA selama beberapa bulan terjun ke dusundusun untuk memberikan pelatihan, menyelenggarakan lokakarya, dan mengadakan berbagai kegiatan pendukung program Timbang. Timbang di Rawabelut, Cianjur, Jawa Barat Program Timbang sebetulnya direncanakan di dua tempat. Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT). Di TTS hanya sampai pada tahap pelatihan untuk tokoh agama dan masyarakat. Dengan demikian, karena sulit mendapatkan izin di TTS, maka hanya di Kabupaten Cianjur saja yang dapat berjalan dan berkembang. Dua tempat ini adalah rekomendasi hasil survei awal kerja sama antara Lazismu Pusat dan TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan). Kabupaten Cianjur sendiri masuk sebagai area sasaran program dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya, dari sudut pandang NA selaku penyelenggara Timbang, adalah keterjangkauan akses. Sebagai program rintisan, sangat penting bagi NA untuk mulai dari lokasi yang sangat dekat dengan kantor PPNA di Jakarta. Ini juga untuk memastikan proses pelaksanaan program berlangsung maksimal, tapi tetap efisien dan efektif. Tentu saja setelah sebelumnya juga sudah berikhtiar untuk merintis program pembanding di NTT sebagai representasi kawasan timur yang ternyata belum berhasil mendapat izin. Berdasarkan data dan hasil pengecekan lapangan oleh tim pelaksana program Timbang di Kabupaten Cianjur, ada 10 desa dengan prevalensi stunting yang tinggi. Dua di antaranya terdapat di Kecamatan Sukaresmi, yaitu Desa Rawabelut dan Desa Ciwalen. “Hampir semua desa-desa ini
129 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang termasuk sulit untuk diakses dari luar. Ada yang jalannya terjal, setapak, atau jalur alternatif lewat pesisir pantai,” kata Ririn. Di tengah medan rute masuk desa yang sungguh tidak mudah, fasilitator NA harus memilih yang paling mungkin. Tidak mungkin semua. Sebab, kunci keberhasilan program Timbang adalah intensitas pendampingan. Mereka harus memilih medan yang relatif tidak begitu sulit tanpa harus kehilangan kesempatan untuk menjangkau masyarakat paling terisolir. Menurut Ririn, pilihan waktu itu jatuh pada dua desa, yaitu Desa Ciwalen dan Desa Rawabelut. Akses untuk masuk ke desa Ciwalen relatif mudah. Jalan dan fasilitas umum sudah memadai. Apalagi karena desa ini bersebelahan dengan Kota Bunga. “Dari beberapa desa itu, bagi kami Desa Rawabelut perlu didahulukan. Prevalensi kasus stunting juga cukup tinggi. Di sana, akses masuk desa masih sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan desa-desa lain yang masuk rekomendasi di Cianjur, Rawabelut yang perlu dapat perhatian pertama,” kata Ririn. Lain halnya dengan Desa Rawabelut. Jalan masuk dan keluar desa lebih terjal. Berbanding jauh dengan Ciwalen. Mobil tidak bisa masuk dan jaringan telekomunikasi belum tersedia. Fasilitas umum dan fasilitas kesehatan sama sekali tidak memadai. Untuk ke Posyandu, warga harus berjalan hingga 2 km. Menimbang antara Desa Ciwalen atau Desa Rawabelut, tim program Timbang akhirnya memilih Rawabelut yang terletak di Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Keunggulan Program Dalam lima belas tahun terakhir, persoalan gizi sebetulnya sudah mulai diperhatikan secara serius lagi. Di tingkat regulasi, mulai dari
130 PILAR KESEHATAN peraturan menteri hingga gerakan nasional terkait gizi sudah terdengar lama. Persoalannya, apa yang menyebabkan stunting di Indonesia masih tergolong tinggi? Sebagaimana diungkap Ririn, di lapangan, tim program Timbang menemukan empat fakta menarik. Pertama, keterampilan komunikasi tenaga kesehatan tingkat desa yang masih sangat terbatas. Hal ini menyulitkan kerja dan tanggung jawab mereka untuk menyebarkan informasi dan mengedukasi masyarakat dengan lebih maksimal. Kedua, akibat keterbatasan keterampilan komunikasi, sebagian besar informasi hanya berhenti di kalangan tenaga kesehatan sendiri. Tidak menyebar di masyarakat desa sehingga memperlambat tindakan mitigatif dan pencegahan. “Kebanyakan tenaga kesehatan ini bahkan sangat sungkan untuk bicara di depan banyak orang. Padahal, kan tugas mereka adalah bicara ke banyak orang,” ungkap Ririn. Ketiga, selain keterampilan komunikasi pada tenaga kesehatan, kader-kader posyandu juga tidak bisa berperan menyebarkan informasi akibat ketiadaan buku panduan dan problem melek huruf. “Jangankan
131 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang untuk menyampaikan informasi tentang layanan posyandu, banyak kader ini justru belum bisa membaca,” tambah Ririn. Keempat, keterlibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat krusial untuk mempercepat sosialisasi pencegahan stunting. Sayangnya, di banyak program dengan misi kesehatan, sangat jarang tokoh agama dan tokoh masyarakat dilibatkan. Berangkat dari catatan ini, tim program Timbang memandang perlu melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam program yang akan dijalankan. Empat problem yang diungkap oleh Ririn di atas memperlihatkan jalan panjang untuk meningkatkan taraf hidup sehat di masyarakat. Dan, empat problem tersebut kerap terlewatkan jika hanya ditangani dengan program-program yang bersifat karitatif atau sosialisasi sebagaimana lazimnya dibuat. Inilah barangkali keunggulan program Timbang. Tidak hanya fokus pada bagaimana target-target program tercapai, tapi juga menyasar titik-titik masalah fundamental dan potensi kekuatan yang dapat didayagunakan. “Kami sendiri tidak mau hanya sekadar bikin lokakarya, bagi-bagi menu makanan bergizi, tapi akar masalah stunting dan gizi kronis sendiri tidak diselesaikan,” jelas Ririn. Family Learning Center: Timbang Berbasis Keluarga Family Learning Center (FLC) merupakan salah satu rangkaian penting dalam penyelenggaraan program Timbang. FLC merupakan forum komunitas warga untuk mendiskusikan isu stunting, gizi, kesehatan lingkungan, hingga pelatihan budidaya tanaman pangan bergizi. FLC dipimpin oleh seorang fasilitator lokal yang berasal dari warga sendiri dan didampingi fasilitator NA. Fasilitator lokal untuk FLC berasal dari anggota PKK, kader Posyandu, dan tokoh agama atau masyarakat yang telah dilatih
132 PILAR KESEHATAN sebelumnya dalam training of trainer (TOT) selama tiga hari. Para peserta TOT dibekali pengetahuan dan informasi seputar stunting, keterampilan komunikasi, keterampilan kefasilitatoran, dan penggunaan media belajar. Tugas fasilitator lokal adalah menyelenggarakan diskusi-diskusi di tingkat kelompok yang terdiri atas beberapa keluarga. FLC mencerminkan pendekatan berbasis keluarga yang digunakan dalam program Timbang. Pendekatan ini pertama-tama bertujuan untuk membangkitkan kesadaran warga dengan cara mengajak mereka berpartisipasi sebagai aktor utama. FLC memberikan warga panggung untuk bersuara dan menginisiasi perubahan. Fasilitator NA sendiri lebih banyak mendukung dari balik layar dan mendampingi setiap proses FLC. Sebagai wujud pendekatan berbasis keluarga, FLC membuka kesempatan pada perempuan dan juga laki-laki untuk sama-sama menentukan apa yang perlu mereka rumuskan dan lakukan. Posisi antara perempuan dan laki-laki setara dalam hal belajar dan merekonstruksi ulang pemaknaan atas visi hidup sehat. Selama FLC berlangsung, para warga yang terdiri atas beberapa keluarga berdiskusi untuk menganalisis dan mencetuskan kegiatan untuk kemajuan kualitas kesehatan masyarakat. Pendekatan berbasis keluarga memang sudah lazim digunakan untuk pemberdayaan, baik di kawasan pedesaan atau urban. Keuntungan pendekatan ini adalah daya perubahan yang dapat dihasilkan. Berkat, tentu saja, semakin besar dan luasnya potensi dukungan dari semua warga berbasis keluarga tanpa terkecuali. Dalam konteks program Timbang, pendekatan berbasis keluarga ini juga telah memungkinkan keterlibatan laki-laki kepala rumah tangga di setiap perkembangan program. Jadi, bukan perempuan saja yang harus punya tanggungjawab memperhatikan tumbuh dan kembang bayi atau anak-anak atau kondisi kesehatan lingkungan sekitar.
133 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang Sebab, untuk mencegah stunting, seluruh orang dalam keluarga harus mengerti hal ikhwal masalah ini. Bukan hanya seorang istri atau perempuan saja yang perlu mendapat informasi tentang hak gizi bagi bayi dan anak atau seputar kualitas lingkungan yang sehat, tapi juga seorang suami atau para laki-laki. “Kita ingin menjadikan isu kesehatan sebagai isu keluarga. Setiap kita undang ibu hamil, kita undang juga pasangannya. Jika isunya tentang ASI kita undang juga suaminya. Walaupun respons suami relatif rendah. Ini menjadi catatan. Agak jarang isu kesehatan menjadi isu bersama suami,” jelas Ririn. Tokoh Agama dan Aparat Desa Keberhasilan Timbang di Rawabelut juga ditentukan oleh partisipasi tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat desa. Mereka telah menjadi bagian penting dari kekuatan program. Dan memang, sebagai tokoh agama dan masyarakat yang didengarkan atau dianggap punya kewenangan mengatur kepentingan umum, mereka mempunyai legitimasi yang cukup besar untuk mengintervensi atau mempercepat misi program. “Ya, karena tingkat kepercayaan warga terutama pada tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat tinggi. Bisa 80% kalau dihitung,” kata Ririn.
134 PILAR KESEHATAN Berangkat dari kesimpulan itu, tim program Timbang tidak mungkin mengecilkan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta dukungan aparat desa. Itulah kenapa sejak di tahap awal, pasca-lokakarya bersama tenaga kesehatan, kader posyandu dan bidan di desa, tim program juga membuat lokakarya khusus bersama tokoh agama dan masyarakat. Di lokakarya bersama tokoh agama dan masyarakat, tim program menemukan banyak catatan penting mengapa program sosialisasi kesehatan mandek di lapisan atas saja, dan tidak bisa turun ke bawah. Ternyata, tokoh agama dan tokoh masyarakat selama ini hanya dijadikan pendengar. Mereka jarang dilibatkan sebagai subjek yang juga mendapat kesempatan untuk urun usulan, saran, rekomendasi, dan masukan. Padahal, intervensi tokoh agama dan tokoh masyarakat masih sangat berpengaruh pada penerimaan warga terhadap program-program dari luar desa. Sebab, selama ini, tokoh agama dan tokoh masyarakat kerap menjadi “penasihat” bagi warga untuk urusan apa pun. Mulai dari urusan pengaturan hubungan antar-warga, tata cara dan norma lokal, hingga menentukan apa yang genting bagi kepentingan masyarakat. Ririn mencontohkan, betapa berpengaruhnya titah tokoh agama dan tokoh masyarakat pada warga, terutama yang berkaitan erat dengan kepengasuhan dan kesehatan. “Kalau seorang tokoh agama bilang tidak perlu sekolah, mereka tidak sekolah. Kalau tokoh agama bilang tidak usah imunisasi, maka tidak ada yang imunisasi,” jelas Ririn. Begitu pula halnya pada peran intervensi seorang tokoh masyarakat, seperti ketua RT. Ketika tim program menyelenggarakan lokakarya, mereka mendapatkan informasi bahwa ada beberapa orang RT yang menolak keberadaan fasilitas kesehatan. “Bahkan, yang mengharamkan TV saja ada,” kata Ririn. Warga masyarakat tentu saja tidak semua patuh pada laranganlarangan tokoh agama dan tokoh masyarakat yang terkait langsung
135 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang dengan kepengasuhan anak dan kesehatan keluarga. Ririn mendapat keterangan bahwa warga desa yang menyekolahkan anak-anaknya terpaksa harus dilakukan secara diam-diam. Begitu pula yang mengimunisasi anakanaknya. Mereka melakukan secara sembunyi-sembunyi. Lokakarya bersama tokoh agama dan masyarakat memberi tim program bekal penting. Dari sinilah kemudian muncul ide untuk memproduksi konten-konten kesehatan dalam bentuk materi khotbah Salat Jum’at dan lembaran keislaman untuk pengajian. Hal ini untuk mendorong kesadaran bagi para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang semuanya diisi oleh laki-laki. “Awalnya tidak berpikir akan sampai sejauh ini. Tapi melihat tantangan di lapangan, kami harus punya beragam media. Apalagi karena penerimaan terhadap perempuan masih cukup sulit. Padahal fasilitator kami sebagian besar adalah perempuan,” kata Ririn. Menyasar Remaja: Samara Course dan Pashmina Kawula muda di pedesaan adalah sasaran penting program seperti Timbang. Hal ini sangat disadari oleh NA. Oleh karena itu, mereka menginisiasi dan membuat sejumlah kegiatan untuk menarik minat kelompok muda di dusun-dusun pada isu-isu kesehatan. Jadi, selain tokoh agama dan tokoh masyarakat atau aparat desa, program Timbang juga menyasar remaja. Kaum muda di pedesaan, apalagi yang tidak mendapat akses pendidikan yang layak, tergolong sebagai kelompok rentan. Mereka sangat mungkin akan menikah di usia muda dan belia begitu sudah melalui tahap kesiapan biologis, meski tanpa punya kecakapan yang diperlukan. Padahal, pernikahan di usia remaja bukan sekadar perkara sosial, kultural atau keagamaan belaka saja. Pernikahan sama artinya seperti siklus atau daur hidup yang perlu dipersiapkan dengan matang.
136 PILAR KESEHATAN Pernikahan tidak persoalan kesiapan organ reproduksi seksual, tapi juga berhubungan dengan kematangan psikologis, spiritual, dan literasi. Para remaja di pedesaan juga perlu mendapat asupan informasi, pengetahuan, dan tentu saja gizi untuk mengikhtiarkan generasi baru di masa depan yang lebih baik. Dan itulah persisnya misi program Timbang untuk para remaja. Ikhtiar mengentaskan stunting sejatinya dan yang paling ideal memang harus mulai dari para remaja. Merekalah yang kelak akan membangun bahtera rumah tangga dan melanjutkan perkembangan di masyarakat. Sebab, stunting bukan penyakit, sehingga tidak ada obat untuk mengatasi stunting. Kecuali, mulai mengupayakan perbaikan gizi dan pengetahuan seputar kesehatan di kalangan muda. Kelak, dengan begitu, andaikata mereka terpaksa menikah di usia belia pun, telah ada prakondisi yang lebih baik. Maka, tidak salah jika kemudian di Timbang, NA juga mengadakan kegiatan bimbingan pranikah untuk kaum muda bernama Samara Course. Kegiatan ini jelas tidak bisa disebut pelengkap Timbang. Tapi,
137 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang justru sebagai upaya paling masuk akal kalau ingin mencegah terjadinya stunting di masa depan. Di Samara Course, para pemuda dan pemudi dengan usia minimal 14 tahun hingga 22 tahun sudah mulai mendapatkan layanan bimbingan pranikah yang komprehensif. Mulai dari edukasi tentang kesehatan dasar, topik tentang pernikahan, motivasi membangun rumah tangga, tujuan pernikahan hingga apa saja yang perlu mereka ketahui dan persiapkan jika hendak memiliki anak kelak. “Samara Course jadi semakin penting karena tingkat pernikahan dini atau muda di dusun-dusun ini mencapai 70%. Kita berharap mereka mendapatkan informasi dan pengetahuan baru dari Samara Course. Topiknya juga, kan, tidak hanya terkait pernikahan dan rumah tangga, tapi juga pengenalan diri dan keterampilan sosial,” kata Ririn. Selain Samara Course, juga ada Pashmina akronim Pelayanan Remaja Sehat Milik Nasyiatul Aisyiyah. Pashmina memang seperti Posyandu untuk ibu-ibu dan balita, tapi ditujukan untuk remaja atau kawula muda. Kegiatan Pashmina antara lain adalah layanan pos edukasi, indeks masa tubuh, layanan pengetahuan reproduksi, konseling psikologi, dan layanan pos makanan bergizi. Di Desa Rawabelu, total ada 100 remaja yang mengikuti kegiatan Pashmina. “Kegiatan Pashmina ini ternyata menginspirasi perangkat desa. Mereka jadi ingin menyelenggarakan juga. Dan akhirnya sekarang menjadi program di Rawabelut,” ungkap Ririn. Samara Course atau Pashmina merupakan wadah pembelajaran akseleratif dan partisipatif bagi kelompok muda untuk meningkatkan kapasitas personal mereka dalam topik pengembangan diri dan kesehatan mental, fisik, dan sosial. Kegiatan ini berupaya menyediakan bekal pengetahuan, informasi, dan keterampilan bagi kelompok muda untuk mengambil bagian dari perubahan di masyarakatnya masing-masing.
138 PILAR KESEHATAN Fasilitator Lokal dan Kekuatan Kegiatan Timbang Seluruh aktivitas dan kegiatan di program Timbang diselenggarakan dalam format Family Learning Center (FLC) sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Di luar itu ada pula lokakarya untuk melatih para fasilitator lokal yang kelak akan membantu penyelenggaraan FLC. Program Timbang dilakukan di empat titik dusun. Di Desa Rawabelut ada tiga dusun. Dan salah satu dusun di Desa Rawabelut itu dibagi lagi menjadi dua titik pelaksanaan Timbang. Di setiap titik pelaksanaan FLC, ada dua orang fasilitator lokal yang bertugas menyelenggarakan diskusi. Fasilitator NA akan turun ke lapangan membantu dan mendampingi setiap kegiatan FLC. Garis besarnya, peran seorang fasilitator di program Timbang adalah menemukan hambatan kultural, sosial, dan ekonomi yang menjadi tantangan misi pengentasan stunting. Selama pelaksanaan Timbang, para fasilitator mengambil data dan mengolahnya menjadi catatancatatan lapangan. Hasil temuan di lapangan akan berdampak besar pada perumusan tindakan dan aksi lanjutan untuk program Timbang. Fasilitator NA dan fasilitator lokal akan berbagi porsi tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Menurut Ririn, dalam proses diskusi, fasilitator kerap menemukan informasi penting yang tidak boleh diabaikan. Misalnya, ketika diskusi, fasilitator mendapati bahwa ada ibu-ibu hamil yang masih sangat percaya dengan mitos, sembari mengabaikan kebutuhan-kebutuhan genting calon bayi dan dirinya sendiri. Di dusun lain, fasilitator mendapati isu pernikahan anak. “Semua isu yang muncul mau tidak mau harus kita garap,” kata Ririn. Beragam isu dan topik yang ditemukan fasilitator harus diolah menjadi rangkaian kegiatan untuk misi pencegahan stunting. Dari sinilah kemudian muncul ide-ide lokakarya lanjutan dan kegiatan-kegiatan
139 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang kreatif yang masuk dalam rangkaian Family Learning Center (FLC), seperti pelatihan pembuatan makanan bergizi dengan bahan lokal, pemberdayaan ekonomi keluarga yang tergabung di FLC, lomba menanam sayuran dan ternak ayam, arisan untuk pengadaan jamban warga, hingga boks motor gizi untuk Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Keberadaan fasilitator lokal menjadi kekuatan di program Timbang. Kehadiran mereka telah memberi warna pada aspek dan variabel tertentu dalam rangkaian aktivitas dan kegiatan di program Timbang. Dan juga, forum-forum FLC yang dipimpin oleh para fasilitator lokal itu sendiri juga telah menambah bobot kreatif dan inovatif pada Timbang. Sebagai contoh, pada kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT), kader-kader posyandu yang juga berperan sebagai fasilitator lokal mendapat modal sebesar 200 ribu rupiah. Mereka mendapat tugas untuk membuat masakan bergizi yang akan dibagikan ke-13 orang anak stunting sebanyak tiga kali dalam seminggu. Sembari itu, mereka juga dapat berjualan makanan PMT untuk pemasukan kas FLC di dusunnya masingmasing. Dengan demikian, mereka memiliki cadangan uang kas untuk membiayai berbagai aktivitas dan kegiatan tambahan. Ini adalah contoh bobot kreativitas dalam konteks kemandirian komunitas. Kemudian, para fasilitator lokal ini pula kerap kali menjadi motor penggerak untuk menguatkan kelompoknya masing-masing. Nanti akan dijelaskan di bagian berikutnya, misalnya, cara mereka mendapatkan pendanaan untuk pembuatan jamban di dusunnya masing-masing. Karena perlu modal yang cukup besar, mereka mencari berbagai strategi terutama dalam pengelolaan anggaran program Timbang. Melalui itu, mereka justru dapat memaksimalkan daya guna anggaran program untuk sesuatu yang begitu krusial bagi ketersediaan fasilitas publik. Timbang, dengan demikian telah mewujudkan domain publik di dusun-dusun di Desa Rawabelut. Ini semua merupakan buah komitmen
140 PILAR KESEHATAN fasilitator NA untuk memberi ruang pada fasilitator lokal dan warga untuk menentukan apa yang paling penting bagi peningkatan taraf hidup sehat masyarakat di Rawabelut. Ini adalah modalitas sosial yang sangat penting untuk mengentaskan problem stunting secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Berbekal pada kekuatan yang ada di masyarakat, semua ini dapat terwujud dengan lebih mendalam dan bermakna. Inisiasi Warga: Arisan Jamban Program Timbang telah menstimulasi warga dalam menganalisis kebutuhan fundamental mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih sehat. Berawal dari forum-forum diskusi warga, muncul inisiasi untuk membuat jamban. “Ide jambanisasi ini sebetulnya di luar program dan skenario kami,” ungkap Ririn. Perlu diketahui, pada waktu program Timbang pertama kali masuk ke Desa Rawabelut, sedikit sekali rumah yang punya jamban. Para warga biasanya memanfaatkan pekarangan khusus di dekat pematang sawah untuk kebutuhan sanitasi dan buang air besar. Seiring dengan semakin intensifnya pasokan informasi dan pengetahuan baru seputar kesehatan lingkungan, para warga punya ide tentang jambanisasi. Sepintas memang tampak tidak ada kaitan antara kasus stunting dan jamban. Tapi, jangan salah, keduanya justru terkait sangat erat. Kasus stunting tidak hanya terkait dengan asupan makanan bergizi, tapi juga air bersih. Jika kandungan air permukaan terkontaminasi langsung dengan limbah atau kotoran manusia, sangat mungkin terjadi penurunan kualitas dan membawa serta bakteri berbahaya bagi tubuh manusia.
141 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang Inilah mengapa perlu isu sanitasi sangat menentukan keberhasilan jangka panjang pengentasan stunting. Ketersediaan jamban, berdasarkan hasil urun rembuk warga, menjadi sangat penting keberadaannya. Akhirnya, dengan dukungan fasilitator NA, para warga sepakat untuk membuat arisan jamban. Mereka mengumpulkan uang setiap pertemuan untuk pembuatan tangki septik. Pada perintisan awal ada sebelas kepala rumah tangga yang patungan per bulan sebesar 100 ribu rupiah. Kesungguhan warga di masing-masing dusun di Desa Rawabelut terbayar dengan berdirinya 10 jamban. Untuk per satu jamban dan pembuatan tangki septik menghabiskan 900 hingga satu juta rupiah. Di balik penyelenggaraan arisan jamban ini sebetulnya adalah kekuatan warga untuk menganalisis dan menyelesaikan problem mereka sendiri. Dengan segala upaya mereka mencari cara untuk membiayai pembuatan jamban. Sekarang, setelah berhasil, inisiatif jambanisasi mendapat tanggapan baik dan bantuan dari pemerintah desa.
142 PILAR KESEHATAN Dampak Timbang dan SDGs Timbang bermula dari penguatan diseminasi informasi kesehatan berbasis partisipasi masyarakat desa. Dalam perkembangannya, program ini ternyata telah mendorong suatu perubahan sosial, lingkungan, dan politik yang bermakna daripada yang dibayangkan awal. Perubahan sosial terkait erat dengan bertumbuhnya komitmen warga desa untuk menjawab tiga problem yang saling berkelindan yakni kesehatan, kemiskinan, dan kesejahteraan. Dengan menginisiasi forum warga melalui FLC, mereka mendapatkan banyak cara untuk mulai merumuskan kebutuhan-kebutuhan komunal dari persektif mereka sendiri dan mendayagunakan informasi atau pengetahuan tambahan. “Peningkatan partisipasi warga desa ke Posyandu dan keterlibatan laki-laki untuk pencegahan stunting adalah sekian wujud perubahan yang kami saksikan. Bisa dibilang ini adalah juga kerja keras 15 fasilitator lokal yang kami latih. Berkat mereka perubahan-perubahan ini dapat terjadi,” ujar Ririn.
143 Timbang: Menyelamatkan Generasi Mendatang Dengan begitu, ada dampak lingkungan yang juga turut berkembang. Semakin banyak warga pedesaan yang bangga dengan hasil kebun dan pangan lokal mereka. Ini mendorong warga untuk menjaga dan melestarikan kualitas lingkungan. Perubahan politik yang sangat penting adalah komitmen dan dukungan pemerintah desa pada beragam aktivitas dan kegiatan yang ada di program Timbang. Aparat desa berupaya mempertahankan dampak positif program Timbang dengan menjaga kesinambungan pelaksanaan aktivitas dan kegiatan yang sudah terbentuk. Sebagai contoh, dalam Rencana Aksi Desa (RAD), pemerintah desa mengadopsi program, skema, dan kegiatan Timbang seperti FLC dan Pashmina. Di level sistem, komitmen dan dukungan pemerintah desa terwujud dalam pembentukan Peraturan Desa terkait Pengelolaan Air Bersih yang dibantu oleh fasilitator NA. Program Timbang dengan demikian telah menyentuh Tujuan 2, Target 2.2 dan Indikator 2.2.1 dalam Tujuan SDGs. Tujuan 2 adalah menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Target 2.2 itu antara lain adalah menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi dan memenuhi kebutuhan gizi remaja, perempuan, ibu hamil, dan menyusui. Sedangkan Indikator 2.2.1 menyasar penurunan angka prevalensi stunting. Ke depan, program Timbang pun akan beranjak ke Indikator 2.2.2 (a) yaitu prevalensi kasus anemia pada ibu hamil. Ada pula Tujuan 3, Tujuan 5, dan Tujuan 17 yang sangat terkait erat dengan program Timbang. Di Tujuan 3 adalah menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia. Di Tujuan 5 adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan. Di Tujuan 17 adalah menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.
144 PILAR KESEHATAN
145 Layanan Kesehatan Keliling: Untuk Mereka di Pedalaman dan Pelosok LAYANAN KESEHATAN KELILING Untuk Mereka di Pedalaman dan Pelosok “Kita masuk ke pedalaman. Kadang kita datang pakai kapal. Masyarakat menyebutnya kapal ketinting. Tempatnya bebas. Bisa di balai desa atau rumah warga, tergantung masyarakat. Masyarakat senang, perjuangan kita jadi, kian bermakna.” dr. Ahmad Hamidi Pagi Ahad itu, sebetulnya, pemeriksaan belum lama berlangsung. Seorang ibu hamil peserta kegiatan Layanan Kesehatan Keliling tibatiba mengalami kontraksi. “Ternyata, setelah kami hitung, pas kegiatan memang sudah masuk hpl atau hari perkiraan lahir,” kenang Erwis menggambarkan kegemparan kecil di area E2 Desa Suka Damai. Erwis adalah pengurus Lazismu Tanah Bumbu, ia melanjutkan, “Kami kan juga waktu itu kebetulan tidak bersama dokter kandungan, hanya ada perawat, jadi tidak mau ambil risiko.” Untung saja, mobil ambulans yang memang kerap dibawa sudah siap dengan tandu dan segala peralatan untuk situasi gawat darurat.
146 PILAR KESEHATAN Berkat kesiapsiagaan tim Layanan Kesehatan Keliling, ibu hamil itu mampu melewati masa kritis dengan layak dan semestinya. Ia bukan saja diantarkan ke fasilitas kesehatan yang paling mungkin dijangkau, tapi juga mendapat banyak bantuan awal sehingga mengurangi risiko terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Semua itu, ia peroleh secara cuma-cuma tanpa perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kejadian ini menegaskan arti penting layanan kesehatan di kawasan pedalaman dan pelosok di Kalimantan Selatan serta di semua tempat di setiap petak tanah air Indonesia. Meski layanan kesehatan yang inklusif, gratis, dan terjangkau masih merupakan pekerjaan rumah yang masih tak kelar, Lazismu Tanah Bumbu menunjukkan bahwa ikhtiar mengentaskan ketimpangan akses kesehatan masyarakat masihlah terbuka lebar. Awal Mula Program Awal mula Layanan Kesehatan Keliling dan Lazismu Tanah Bumbu bagai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Ketika berdiri pada tahun 2017, Lazismu Tanah Bumbu diisi sebagian besarnya oleh orang-orang yang berlatar belakang profesi dokter dan tenaga medis. Bahkan, Ahmad Hamidi yang terpilih menahkodai Lazismu Tanah Bumbu adalah seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit di kabupaten Tanah Bumbu. Dengan begitu, sangat wajar jika Lazismu Tanah Bumbu kemudian menginisiasi program bertajuk kesehatan. Sebab, ada tantangan ganda ketika Lazismu Tanah Bumbu berdiri. Pertama adalah menemukan program yang cocok dengan kebutuhan nyata masyarakat. Kedua, program tersebut harus juga mampu mengangkat nama Lazismu Tanah Bumbu sebagai lembaga filantropi. Program berbasis layanan kesehatan dianggap mampu menjawab dua tantangan berat tersebut. Apalagi, mengingat di Tanah Bumbu sendiri akses terhadap fasilitas kesehatan masih jauh dari ideal. Maka, melalui
147 Layanan Kesehatan Keliling: Untuk Mereka di Pedalaman dan Pelosok program Layanan Kesehatan Keliling, Lazismu Tanah Bumbu diharapkan dapat langsung unjuk kontribusi membantu masyarakat memecahkan problem-problem mendasar. Sehingga, ikhtiar untuk memperkenalkan Lazismu ke semua lapisan masyarakat akan lebih mudah. Kegiatan-kegiatan dalam program Layanan Kesehatan Keliling berkembang secara bertahap menyesuaikan kebutuhan dan tantangan yang ada. Bermula dari menyelenggarakan sunat massal, kemudian pemeriksaan gigi, mata, diabetes, kolesterol, pemeriksaan jantung, hingga pengecekan ultrasonografi (USG) untuk ibu hamil. Jenis-jenis layanan semacam ini sangat penting bagi masyarakat di pelosok Tanah Bumbu. “Bayangkan saja, kami ke sana kemari membawa peralatan yang dibutuhkan untuk program kesehatan keliling. Enggak mudah. Sampai pernah harus naik perahu atau melewati jembatan kayu yang rusak-rusak. Tapi ketika disambut baik masyarakat di desa-desa, kami ikut senang,” kata Erwis. Lazismu Tanah Bumbu kian dikenal masyarakat. Reputasi Lazismu juga perlahan terbangun. Erwis mengatakan banyak orang kemudian
148 PILAR KESEHATAN mengenal Lazismu dan Muhammadiyah justru karena program Layanan Kesehatan Keliling. Situasi ini sangat menguntungkan karena menopang keberlangsungan dan kesinambungan Lazismu sebagai lembaga filantropi di tengah masyarakat minoritas Muhammadiyah. Komitmen untuk Pelayanan Inklusif Sebagai program, Layanan Kesehatan Keliling mencakup banyak aktivitas dan kegiatan yang rutin diadakan minimal dua kali setiap bulan pada hari Ahad atau Sabtu di sembilan titik desa di pelosok Tanah Bumbu. Ada satu kunci utama yang menopang dan menguatkan program ini, ‘komitmen mewujudkan pelayanan kesehatan yang inklusif dan berkeadilan’. Tantangan berat untuk merintis dan merawat kesinambungan program kesehatan keliling di Tanah Bumbu adalah menaklukkan jarak dan medan. Tanpa komitmen untuk mengentaskan ketimpangan akses atas layanan kesehatan, program ini tidak akan bertahan lama. Komitmen itu di antaranya adalah kesiapan untuk ikut mendukung keberlangsungan program dari internal pengurus Lazismu Tanah Bumbu. “Di Tanah Bumbu, jarak antara desa ke kota kabupaten bisa satu sampai dua jam. Keberadaan kita untuk datang ke tempat mereka sangat ditunggu-tunggu. Kita gilir rata-rata satu bulan dua kali. Sampai ke titiktitik yang kita rencanakan,” jelas dr. Ahmad Hamidi Ketua Lazismu Tanah Bumbu. Komitmen berikutnya adalah tekad dan kesukarelaan menghadirkan pelayanan yang paling prima dengan mengandalkan kekuatan yang ada. Sebagai lembaga baru di Tanah Bumbu, pengurus Lazismu tidak perlu menunggu waktu lama untuk mewujudkan Layanan Kesehatan Keliling. Mereka memanfaatkan kekuatan yang sudah ada supaya program krusial ini segera terlaksana.
149 Layanan Kesehatan Keliling: Untuk Mereka di Pedalaman dan Pelosok Hal itu dibuktikan dalam cara mengoperasikan program. Untuk menjalankan Layanan Kesehatan Keliling, Lazismu Tanah Bumbu yang sama sekali tidak menggunakan uang hasil penggalangan dana ZIS. Pengurus Lazismu patungan dalam berbagai bentuk. Ada yang meminjamkan peralatan klinik pribadi untuk dibawa keliling ke pelosokpelosok. Ada pula yang urun biaya untuk akomodasi dan tenaga. Di luar itu, bermunculan donatur lain yang ikut mendukung terlaksananya Layanan Kesehatan Keliling. “Dokter Hamidi misalnya meminjamkan peralatan standar pemeriksaan dan alat USG supaya bisa dipakai untuk program Layanan Kesehatan Keliling. Ada pula pengurus Lazismu yang menyerahkan uang pribadinya untuk Lazismu tapi tanpa mau disebutkan namanya. Pokoknya, mereka cuma bilang tolong dicatat Hamba Allah saja,” terang Erwis. Komitmen terhadap program terkait erat dengan bagaimana Layanan Kesehatan Keliling dapat membantu masyarakat secara maksimal. Itulah kenapa Layanan Kesehatan Keliling berkembang dari yang pada awalnya adalah sunat massal, kemudian menjadi pemeriksaan gigi gratis, pengecekan kesehatan, fasilitas USG untuk ibu hamil, hingga bantuan alat kesehatan dan pendanaan bagi masyarakat yang membutuhkan. “Jadi, bukan hanya pelayanan pengecekan kesehatan, kalau ada yang butuh kacamata, kami beri kacamata. Gratis. Bahkan ada seorang warga di desa yang butuh bantuan dana pengobatan di rumah sakit di Jakarta, kami bantu buka donasi melalui Lazismu, dan seratus persen kami berikan kepada mereka. Bahkan bantuan-bantuan lain yang dibutuhkan di luar biaya berobat juga kami sediakan,” jelas Erwis. Mengeksekusi Program Perencanaan, koordinasi, dan evaluasi adalah tiga hal penting yang tidak mungkin terlewatkan. Layanan Kesehatan Keliling tidak akan
150 PILAR KESEHATAN berjalan tanpa perencanaan. Layanan apa yang akan dilakukan? Di desa mana? Bagaimana tingkat keberhasilan kegiatan? Alat apa saja yang perlu dibawa? Siapa saja yang bisa dilibatkan? Semua pertanyaan ini adalah bagian dari perencanaan. Pada awal pelaksanaan Layanan Kesehatan Keliling dipilih sunat massal. Desa sasaran dipilih berdasarkan rekomendasi internal Lazismu Tanah Bumbu. Jelang kegiatan, Lazismu menyurati pihak Puskesmas di dekat desa untuk koordinasi. Pihak desa juga mendapatkan surat pemberitahuan akan diadakan kegiatan sunat massal di sana. Berkat perencanaan yang baik dan koordinasi yang tepat, kegiatan sunat massal berjalan lancar. Hanya ada satu tantangan saja yang perlu diperbaiki. “Kami perlu buat kegiatan yang bisa mendatangkan lebih banyak orang lagi. Karena misi kami adalah untuk memperkenalkan Lazismu,” ungkap Erwis. Maka, di kegiatan berikutnya, berdasarkan hasil keputusan rapat, selain sunat massal, juga akan diadakan pemeriksaan gigi. Prosedur yang dilakukan jelang pemeriksaan gigi juga sama seperti sebelumnya yaitu menghubungi Puskesmas setempat dan aparat desa. Hanya kali ini peralatan yang harus disediakan juga mencakup perlengkapan untuk melakukan pengecekan dan pemeriksaan gigi. Layanan pemeriksaan gigi cukup berhasil. Apalagi, karena begitu jarangnya ada layanan pemeriksaan gigi di desa, kegiatan ini berhasil membuat warga berdatangan. Tapi tantangan masih ada. Bagaimana caranya menambah lagi partisipasi warga pada kegiatan di program Layanan Kesehatan Keliling? Maka, di kegiatan berikutnya, bertambah lagi layanan: pemeriksaan mata, cek darah, diabetes, kolesterol, jantung, hingga USG untuk ibu hamil. Selain layanan kesehatan, untuk mendorong dan menyemarakkan kegiatan, Lazismu juga mengadakan bakti sosial dan pembagian kacamata gratis bagi duafa yang membutuhkan.
151 Layanan Kesehatan Keliling: Untuk Mereka di Pedalaman dan Pelosok Semua perkembangan kegiatan-kegiatan dalam Layanan Kesehatan Keliling adalah buah dari perencanaan, koordinasi, dan evaluasi. Jika tidak ada perencanaan, maka kegiatan tidak akan punya target jangka pendek dan jangka panjang. Begitu pula jika tidak mengandalkan koordinasi, baik internal atau eksternal, kegiatan tentu tidak akan maksimal. Dan, tanpa evaluasi, program layanan tidak akan berkembang lebih baik, dan akan cepat berpuas diri. Komitmen di Pelosok dan Pedalaman Ide dasar program Layanan Kesehatan Keliling adalah memastikan setiap orang mendapatkan hak, kesempatan, dan bantuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Ini bukanlah gagasan sepele dan sekadar jargon yang tampak sulit dilakukan. Terbukti, sejak pertama kali beroperasi, Layanan Kesehatan Keliling bisa dibilang telah mendobrak tembok yang membatasi masyarakat mengakses layanan kesehatan. Dan ini dilakukan tanpa membebankan biaya pada masyarakat penerima manfaat. Alias gratis. Mereka hanya perlu, jika memang punya, berinfak secara sukarela ke sebuah kotak yang disediakan di meja
152 PILAR KESEHATAN pelayanan. Hasil infak itu pun, di akhir kegiatan akan diserahkan lagi ke peserta kegiatan yang sangat membutuhkan. “Seratus persen kami Lazismu tidak mengambil uang dari hasil infak masyarakat. Semua uang itu kami serahkan lagi untuk orang-orang yang paling membutuhkan di sana,” terang Erwis. Bahkan, lanjut Erwis, layanan kesehatan juga tidak sekadar mengadakan pemeriksaan. Tapi juga mendampingi pasien yang tergolong mustahik yang sangat membutuhkan bantuan pembiayaan pengobatan. Di sini, fungsi krusial lembaga filantropi seperti Lazismu terlihat sangat jelas. “Di Teluk Kepayang, tanggal 3 Maret 2019 kita menemukan seorang pasien yang menderita tumor. Ia seorang mustahik. Jadi, pengobatan kita bantu biayai dengan membuka donasi dari masyarakat. Alhamdulillah terkumpul cepat. Tapi ikhtiar kami tidak bisa melawan takdir. Bulan Juli, pasien itu meninggal dunia. Padahal sudah sampai kita antar ke Rumah Sakit di Banjarmasin. Maka, pemulangan jenazah pun juga kami dampingi terus. Dan keluarga juga kami berikan santunan tambahan,” jelas Erwis. Bukan saja sekali itu, Lazismu Tanah Bumbu menunjukkan komitmennya pada ikhtiar mewujudkan kesehatan yang inklusif. Ada banyak mustahik yang tidak saja mendapat layanan kesehatan standar, tapi juga mendapat kesempatan untuk membangun asa mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan dengan layak. “Kami juga pernah diminta bantuan untuk mendampingi seorang anak yang menderita jantung bocor. Lazismu bantu pengobatan sampai di RSCM Jakarta. Kita bantu akomodasi sampai biaya pengobatan. Ini juga kita tidak bisa melawan takdir Allah. Sudah ikhtiar operasi. Si Anak meninggal dunia. Jenazah anak itu juga kami dampingi sampai pulang ke Tanah Bumbu,” ungkap Erwis.
153 Layanan Kesehatan Keliling: Untuk Mereka di Pedalaman dan Pelosok Layanan Kesehatan Keliling dan SDGs Jika ditilik menggunakan Sustainable Development Goals (SDGs), Layanan Kesehatan Keliling telah menjalankan misi untuk membuka dan memperluas akses atas layanan kesehatan. Misi ini tertera dalam Indikator 1.4.1 yang mendorong peningkatan proporsi penduduk dalam mengakses pelayanan dasar;1 Indikator 3.8.1 tentang cakupan layanan kesehatan esensial yang di antaranya berupa kapasitas layanan dan akses untuk penduduk secara keseluruhan dan dari kalangan kurang beruntung;2 dan Indikator 3.8.1.(a) terkait dengan pemenuhan pelayanan kesehatan.3 Program Layanan Kesehatan Keliling menjawab tantangan mendasar dalam penyediaan layanan kesehatan yang merata dan menjangkau banyak orang, sebagaimana yang telah disebut pada tiga Indikator di atas. Tantangan itu antara lain berupa jarak yang harus ditempuh warga di kawasan pelosok untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan. Problem jarak ini selain dapat diatasi dengan menargetkan berdirinya fasilitas kesehatan di tingkat kecamatan, juga dapat dilakukan dengan melakukan pelayanan langsung ke masyarakat. Layanan Kesehatan Keliling mendorong peningkatan proporsi penduduk dari kalangan kurang mampu untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan mendatangi mereka secara langsung. Selain menyasar misi umum seperti menyediakan akses, Layanan Kesehatan Keliling juga mengemban misi yang lebih spesifik sebagaimana tertera dalam Indikator 3.b.1 tentang akses masyarakat terhadap obat1 Indikator 1.4.1: Proporsi penduduk/rumah tangga dengan akses terhadap pelayanan dasar. 2 Indikator 3.8.1: Cakupan pelayanan kesehatan esensial (didefinisikan sebagai rata-rata cakupan intervensi yang dapat dilacak termasuk reproduksi, ibu, bayi baru lahir, dan kesehatan anak, penyakit menular, kapasitas layanan serta akses untuk penduduk secara umum dan penduduk kurang beruntung). 3 Indikator 3.8.1.(a): Unmet need pelayanan kesehatan.
154 obatan;4 Indikator 3.1.2* tentang proporsi perempuan muda yang proses melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih;5 Indikator 3.1.1* tentang upaya mengurangi angka kematian ibu;6 Indikator 2.2.2. (a) tentang pengurangan prevalensi anemia pada ibu hamil;7 Indikator 3.4.1.(a) tentang pengurangan prevalensi tekanan darah tinggi;8 serta sejumlah Indikator lainnya yang terkait.9 Layanan Kesehatan Keliling dalam perkembangannya telah menambah cakupan layanan yang disediakan. Jika pada tahap awal sekadar melayani masyarakat untuk membantu mereka mendapatkan layanan bedah sirkumsisi atau khitan bagi anak-anaknya. Pada pelaksanaanpelaksanaan berikutnya layanan yang diberikan semakin lengkap, mencakup pemberian obat-obatan, alat bantu penglihatan berupa kacamata, pemberian vitamin untuk ibu hamil, pemberian obat untuk penderita hipertensi, obat penurun kadar kolesterol, dan lain sebagainya. Cakupan kegiatan dan bantuan dalam program ini yang semakin lengkap dan prima telah menjadi salah satu cara dalam membantu masyarakat di kawasan pelosok dan pedalaman mendapatkan haknya mengakses layanan kesehatan. Semua ini dapat diwujudkan berkat komitmen pengurus Lazismu Tanah Bumbu untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. 4 Indikator 3.b.1: Proporsi populasi dengan akses ke obat-obatan dan vaksin yang terjangkau secara berkelanjutan. 5 Indikator 3.1.2*: Proporsi perempuan pernah kawin umur 15–49 tahun yang proses melahirkan terakhirnya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. 6 Indikator 3.1.1*: Angka Kematian Ibu (AKI). 7 Indikator 2.2.2.(a): Prevalensi anemia pada ibu hamil. 8 Indikator 3.4.1. (a): Prevalensi tekanan darah tinggi. 9 Misalnya, Indikator 3.2.1*: Angkat Kematian Balita (AKBa) per 1.000 kelahiran hidup. Indikator 3.2.2*: Angka kematian Neonatal (AKN) per 1.000 kelahiran hidup. Indikator 3.c.1*: Kepadatan dan distribusi tenaga kesehatan. PILAR KESEHATAN
155 6 PILAR LAZISMU Pilar Program Penyaluran Lazismu PILAR PENDIDIKAN
156 PILAR PENDIDIKAN
157 Edutabmu: Bagimu Negeri tanpa Kesenjangan EDUTABMU Bagimu Negeri, tanpa Kesenjangan Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pepatah geruh yang sayangnya benar. Apalagi kalau yang diumpamakan jatuh itu bukan sembarang. Kalau dunia pendidikan yang jatuh, atau bisa juga digeser ke dalam alegori “robohnya surau kami”, apa yang tertimpa jelas bukan hanya akan mencelakakan satu atau dua orang. Dan, rasanya tidak kelar-kelar juga urusan kesenjangan atau ketimpangan dalam dunia pendidikan. Siapa yang harus mulai membuat “tangga”? Siapa yang bisa menggaransi si “pemanjat” tidak akan jatuh? Ya, “tangga” itu adalah ekosistem pendidikan. Tidak lain terdiri atas kurikulum, infrastruktur, dan sistem. Sedangkan si “pemanjat” itu adalah siapa pun yang ada dalam dunia pendidikan. Guru, pelajar, dan tentu saja semua orang tanpa terkecuali. Bagaimana jika, untuk mengatasi kesenjangan itu, teknologi ternyata justru bisa memberi solusi? Contohnya Edutabmu. Sebuah program yang dikembangkan untuk mengakselerasi pembelajaran secara digital. Ratusan buku, gambar, permainan, konten numerasi, literasi dan bahasa dipasang di dalam satu tablet.
158 PILAR PENDIDIKAN Mau tidak mau, suka atau tidak, teknologi memang harus dilibatkan untuk memutakhirkan “tangga”. Karena, si “pemanjat” zaman ini pun sudah berubah cara dan perilaku belajarnya. Jika tak sadar adanya perubahan paling kasat mata ini, maka dunia pendidikan Indonesia akan jalan melingkar bahkan memutar di masalah yang sama terus-menerus. Ya itu tadi, sudah serba kurang masih harus apes. Tablet edukasi beraplikasi canggih ini dirilis tanggal 17 Agustus 2021. Tak salah kemudian disebut “hadiah kebangsaan”. Harapannya kesenjangan dan ketimpangan dalam ekosistem pendidikan yang merembes pada kualitas pengetahuan bisa diatasi pelan-pelan. Ikhtiar Mengatasi Ketimpangan Ide dasar cikal bakal Edutabmu sudah mengendap lama. Di Lazismu Pusat sudah ada ide untuk mendorong implementasi pembelajaran jarak jauh. Itu sebelum era pandemi coronavirus 2019. Alasannya, jelas karena mutu pendidikan sulit didongkrak jika kesenjangan pada kualitas konten dan proses pembelajaran masih terjadi. Maka, suatu teknologi terbaru perlu dimanfaatkan. Para guru harus pula dibekali keterampilan penggunaannya. Hilman Latief, Ketua Badan Pengurus Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015–2020, membayangkan lembaga filantropi muslim ini berperan mengembangkan infrastruktur pendidikan. Tentu bukan berupa bangunan beton. Tapi pemanfaatan teknologi tepat-guna untuk proses pembelajaran. Apalagi, mengingat bahwa sekarang internet dan gawai sudah memasyarakat. Ini sebetulnya adalah peluang jika dapat digunakan demi kepentingan yang lebih bernilai. Ide itu masih belum dapat dilakukan. Butuh lebih banyak masukan supaya matang. Maka, pakar dan ahli di bidang pendidikan yang ada di Muhammadiyah juga diajak berembuk. Belum langsung berhasil.
159 Edutabmu: Bagimu Negeri tanpa Kesenjangan Bersamaan dengan proses ini sebetulnya Lazismu sudah pernah dapat tawaran yang diperantarai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Korea Selatan untuk bekerja sama dengan Enuma Inc. Sebuah perusahaan penyedia aplikasi pembelajaran numerasi dan literasi. Lazismu ditawarkan menjadi penyandang dana untuk alih bahasa aplikasi pembelajaran yang dikembangkan Enuma. Sebagai perusahaan pengembang aplikasi pembelajaran yang sudah berhasil di Afrika, mereka tertarik bekerja di Indonesia. Mereka butuh mitra untuk membiayai penerjemahan dari bahasa Inggris ke Indonesia dan Melayu. Lazismu belum dapat memenuhi tawaran Enuma. Tawaran kerja sama dari Enuma untuk Lazismu belum dapat disepakati. Biaya alihbahasa memang tidak terlalu mahal, tapi juga tidak bisa dibilang murah. Ada aspek kegentingan yang masih mengganjal. Bagaimana mempertanggungjawabkan dana yang akan dikeluarkan? Apalagi, maaf, untuk sekadar alih bahasa aplikasi pembelajaran? Masih sulit meyakinkan banyak orang perihal tersebut. Kendati begitu, banyak hal yang kemudian menghubungkan lagi antara keduanya. Enuma akhirnya jalan sendiri. Mereka kemudian bertemu dengan The HEAD Foundation (THF) sebuah lembaga penyandang dana di Singapura yang siap membiayai penerjemahan aplikasi. Enuma
160 PILAR PENDIDIKAN melanjutkan misi mereka di Indonesia dengan sasaran di Deli Serdang dan Lampung. Lazismu kembali mencari bentuk program yang tepat. Akhir Desember 2019 bersama Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Lazismu membuka pembicaraan lagi. Berembuk merumuskan model program untuk Pilar Pendidikan. Tapi terjeda lagi selama beberapa waktu. Dan, ketika kebijakan pembatasan interaksi fisik akibat penyebaran Covid-19 mulai berpengaruh pada sekolah-sekolah, Lazismu berembuk lagi dengan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah. Sebelum muncul ide Edutabmu, Lazismu dan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah sudah merancang program pembelajaran jarak jauh yang memanfaatkan internet dan laptop. Konsep dasarnya adalah kerja sama penyediaan fasilitas belajar antara Lazismu bersama Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan masyarakat lokal di desa-desa tertinggal. Lazismu membiayai pemasangan internet, pembelian, dan perawatan laptop beserta alat pelengkap lainnya, dan insentif bagi pengelola di lapangan. Tujuan program ini adalah untuk meringankan beban warga masyarakat terkait kebijakan “Belajar dari Rumah” yang ditetapkan secara nasional. Sebab, banyak orang tua tidak punya fasilitas belajar jarak jauh yang memadai. Sudah tahu sendiri bahwa biaya internet di Indonesia terlalu mahal bagi sebagian besar orang. Pun begitu, pemanfaatan gawai yang juga masih alakadarnya baru sebatas perangkat hiburan. Ditambah kondisi sekolah yang serba terbatas, baik perangkat komputer dan kelayakan jaringan internet. Di atas kertas, rancangan program awal itu sudah pasti menelan anggaran yang sangat besar. Meski, niatan dasarnya tetaplah terlalu penting untuk dilewatkan. Di tengah proses tersebut, Lazismu mengubah taktik. Bagaimana jika beban biaya internet dan infrastruktur lainnya bisa ditekan? Bukankah Enuma mengembangkan aplikasi pembelajaran yang
161 Edutabmu: Bagimu Negeri tanpa Kesenjangan nyaris tanpa internet? Dari sinilah Lazismu membuka peluang kolaborasi lagi dengan Enuma. Tentu saja bukan sebagai investor sebagaimana skema tawaran kerja sama awal. Tapi sebagai mitra sekaligus pengguna. Di tahap ini, aplikasi pembelajaran milik Enuma sudah berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan bantuan dana dari The HEAD Foundation. Proses kolaborasi dimulai. Kelahiran Edutabmu Seiring dengan proses rembuk antara Lazismu, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Enuma, strategi implementasi program digeser. Lazismu menyediakan perangkat pembelajaran digital berupa tablet, biaya pelatihan, dan sosialiasasi untuk para guru pendamping, serta insentif bagi penggerak di lapangan. Enuma mendukung aplikasi pembelajaran di antaranya adalah Todo Math dan Todo English. Dan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah
162 PILAR PENDIDIKAN sebagai pelaksana mengawal implementasi program dari awal hingga akhir. Nantinya, Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Aisyiyah akan terlibat untuk tahap pertama program Edutabmu. Dibandingkan dengan program rancangan awal yang berbiaya besar, kolaborasi dengan Enuma lebih efisien, tepat sasaran dan manfaat. Lazismu tidak perlu mengeluarkan biaya infrastruktur dan operasional yang tentu tak murah. Sebab, aplikasi yang dikembangkan Enuma bisa dioperasikan tanpa jaringan internet. Ini memungkinkan setiap sekolah yang jauh dari jangkauan jaringan internet tetap mampu menyelenggarakan pembelajaran. Para guru hanya butuh koneksi internet untuk pembaruan aplikasi atau pengunggahan hasil belajar anak di sistem penyimpanan cloud. Dengan demikian, Lazismu cukup mendukung ketersediaan gawai berupa perangkat tablet untuk setiap sekolah sasaran dan biaya pelatihan serta pendampingan bagi para guru. Lahirlah Edutabmu. Nama program ini berasal dari gabungan tiga kata. “Edu” merupakan pangkasan dari “edukasi”; “tab” berasal dari “tablet”; dan “mu” adalah abreviasi dari “Muhammadiyah”. Awalnya, istilah khusus untuk program ini belum muncul. Masih berupa “program Pembelajaran Jarak Jauh”, tapi kemudian di tengah rapat muncul nama Edutabmu. Setelah sepakat berkolaborasi, antara Lazismu dan Enuma menandatangani nota kesepahaman. Lazismu sebagai penyedia dana untuk pembelian tablet dan biaya implementasi. Enuma sebagai penyedia aplikasi. Kemudian, dibuat juga nota kesepahaman antara Lazismu, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Majelis Dikdasmen PP Aisyiyah. Posisi Lazismu sebagai penyedia dana dan aplikasi (hasil kolaborasi dengan Enuma) sedangkan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan Majelis Dikdasmen PP Aisyiyah sebagai pelaksana Edutabmu.
163 Edutabmu: Bagimu Negeri tanpa Kesenjangan Berikutnya, selama enam bulan, Lazismu, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan PP Aisyiyah intensif berkomunikasi. Memilih sekolah, lokasi, dan sasaran regional. Sudah diproyeksikan ada 5000 tablet yang akan dibagikan untuk tiap tahap selama jangka waktu lima tahun. Memulai Edutabmu 2021–2022 Tahap pertama sebagai proyek percontohan (pilot project) terfokus di Pulau Jawa. Boleh dibilang karena masih tahap uji coba, maka area sasaran belum bisa diperluas ke luar Pulau Jawa. Pertimbangan dasarnya adalah efisiensi dan efektivitas uji coba. Selain itu, yang lebih menentukan adalah karena di tengah kondisi pandemi, mobilitas sangatlah terbatas dan memakan lebih banyak tenaga, waktu, dan sumber daya. Situasi inilah yang membuat ruang gerak uji coba Edutabmu tidak dapat terlaksana secara ideal. Meski begitu, tim pelaksana sudah merancang solusi. Sebagian besar Sekolah Dasar (SD), Taman Kanak-Kanak (TK), atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang dipilih masuk kategori sangat membutuhkan
164 PILAR PENDIDIKAN binaan dan pendampingan. Artinya, tantangan-tantangan yang ada di setiap sekolah itu diharapkan bisa memberi proyeksi tentang apa yang juga dialami oleh banyak sekolah lainnya di Indonesia. Yang krusial misalnya, sekolah-sekolah yang tak bisa mengakses jaringan internet sama sekali dan kekurangan tenaga pendidik. Ini adalah suatu pengalaman yang dialami oleh banyak sekolah di Indonesia. Tahap pertama yang difokuskan di Pulau Jawa mencakup 5 provinsi, 47 sekolah, 192 guru, dan hampir 3000 siswa penerima manfaat. Tahap pertama implementasi program Edutabmu berlangsung dari bulan Agustus 2021 hingga Maret 2022. Untuk tahap ini ada 600 tablet yang dibeli Lazismu untuk kemudian disalurkan ke berbagai Taman KanakKanak Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) dan SD Muhammadiyah. Tablet sepenuhnya menjadi milik sekolah. Merek tablet Advan yang digandeng untuk Edutabmu juga akhirnya ikut mendukung program ini dengan memberikan perangkat audio dan tas gawai gratis. Tantangan pilot project Edutabmu adalah membentuk ekosistem pembelajaran. Enuma, Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan PP Aisyiyah bertugas membantu para guru dan kepala sekolah belajar cara penggunaan aplikasi dan tablet untuk proses belajar-mengajar. Para guru juga diajak berani mengubah persepsi bahwa teknologi asal digunakan secara tepat akan memberi manfaat bagi dunia pendidikan. Sebab, sudah kadung di kalangan pendidik di Indonesia ada anggapan teknologi mengancam interaksi pembelajaran. Edutabmu tahap pertama ini menelan biaya total 1,2 miliar rupiah. Sekitar 700 juta untuk pembelian tablet. Kemudian ada dana operasional untuk sosialisasi, pembekalan, dan pelatihan. Dan, yang sudah pasti krusial adalah insentif bagi para guru. Sudah jamak diketahui bagaimana nasib para guru. Apalagi di tengah pandemi, hantaman keras untuk banyak sekolah langsung terasa. Berimbas pada gaji atau honor guru.