The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Jejak Kebajikan Cerita Aksi Layanan Lazismu (Edisi Revisi)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Divisi Litbang Lazismu, 2023-03-28 03:48:23

Jejak Kebajikan Cerita Aksi Layanan Lazismu (Edisi Revisi)_clone

Jejak Kebajikan Cerita Aksi Layanan Lazismu (Edisi Revisi)

Keywords: Program Lazismu

215 Biogas Cianjur: Transisi Energi Bersih untuk Ekologi Desa BIOGAS CIANJUR Transisi Energi Bersih untuk Ekologi Desa Program pembuatan reaktor biogas di Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang didukung oleh Lazismu Pusat mempertemukan dua isu krusial. Pertama, prospek pengembangan energi terbarukan atau alternatif. Kedua, upaya pengelolaan sampah dan limbah di kawasan pedesaan yang ramah lingkungan, terjangkau, dan andal untuk skala bawah. Program yang diinisiasi pada tahun 2021 ini menjadi rangkaian penting dalam keseriusan Lazismu menjadi lembaga filantropi yang terdepan dan mendukung misi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dalam beberapa tahun belakangan, Lazismu Pusat mengembangkan Pilar Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab dan pendayagunaan dana filantropi muslim untuk mendorong tercapainya kesejahteraan ekologis. Lazismu Pusat meyakini bahwa di masa depan dukungan terhadap transisi energi alternatif semakin diperlukan. Bahkan, sebagaimana telah dibuktikan dalam program ini, pembuatan reaktor biogas juga membawa manfaat ganda, yaitu dapat menjadi solusi atas kebuntuan pengelolaan sampah dan limbah organik, serta mendorong peningkatan kualitas hidup yang lebih baik.


216 PILAR LINGKUNGAN Dari Sampah Jadi Energi “Saya tergerak dari masalah pengelolaan sampah sebetulnya. Di sekitar kami, ada banyak sampah dan limbah organik sisa pertanian dan rumah tangga yang tidak terkelola. Bagi saya, salah besar kalau orang bilang ‘Oh, ada masalah sampah!’. Padahal biang masalahnya pada perilaku hidup manusia yang menghasilkan sampah, tapi tidak mau mengelola sampahnya sendiri,” ungkap Herry Trijoko, pendiri Yayasan Cipta Abdi Bangsa, mitra Lazismu Pusat untuk program Biogas di Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sebagai seorang pegiat isu lingkungan hidup, Herry sudah lama malang-melintang dalam pendampingan masyarakat. Apalagi ia juga mendirikan lembaga swadaya khusus untuk isu pengelolaan sampah dengan biogas bernama Ecoton 47. Herry sudah berkeliling ke banyak tempat di Indonesia untuk mengampanyekan pengelolaan sampah yang sehat bagi masyarakat dan lingkungan. “Ya, saya dulu sempat belajar dari orang Tibet tentang teknologi biogas, kemudian lanjut belajar secara otodidak,” jelas Herry. Menurut Herry, sampah sesungguhnya bukanlah masalah. Ia menekankan ini berulang-ulang untuk menjelaskan mengapa ia kemudian menekuni pengembangan teknologi biogas. Sampah organik adalah material yang tidak terpakai maksimal dalam proses konsumsi manusia. Karena tidak terpakai, material organik ini, entah berupa sisa makanan di dapur atau hasil pertanian sayur-mayur yang tidak terjual, kemudian mendapat label sampah. “Yang membuat material organik menjadi sampah adalah karena ketidakmampuan kita untuk mengolahnya. Makanya, material organik itu jadi sampah. Padahal, sampah sesungguhnya mengandung energi,” kata Herry.


217 Biogas Cianjur: Transisi Energi Bersih untuk Ekologi Desa Program pembuatan reaktor biogas menurut penjelasan Herry awalnya adalah untuk mengelola sampah organik yang melimpah di sekitar tempat tinggalnya. Ia menganggap jika tidak dikelola, maka material organik tak terpakai itu akan menjadi sampah. Tapi, sesungguhnya, niat membuat reaktor biogas di kampungnya sendiri berasal dari teguran anaknya. “Pak, Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Kenapa malah tidak berbuat sesuatu untuk kampung sendiri? Yang dipikirin malah kampung orang lain. kampung sendiri gak dipikirin,” tutur Herry menirukan komentar anaknya. Mendengar itu, Herry langsung sadar, bahwa pernyataan itu ada benarnya. “Mulai dari situlah, saya kemudian memutuskan untuk mengurangi atau malah tidak akan pergi jauh-jauh lagi. Saya harus berbuat sesuatu untuk desa saya sendiri juga,” sambung Herry sambil tertawa. Tapi, tantangan segera menghampiri Herry. Bagaimana dia akan memulai proyek di kampungnya sendiri. Ia telah mengajak beberapa orang, termasuk perangkat desa untuk membicarakan beberapa isu yang penting untuk digarap. Salah satunya adalah reaktor biogas untuk mengatasi meningkatnya volume sampah dan limbah organik.


218 PILAR LINGKUNGAN Mengingat biaya membuat reaktor biogas yang tidak murah. Herry harus menemukan cara yang paling memungkinkan untuk membiayai pembuatan reaktor. Ia sendiri tidak mau mencari sponsor yang dapat membebani proyek ini. Ia ingin proyek ini memang dimaksudkan untuk mendukung terciptanya kehidupan yang ekologis di desanya. Lazismu, Biogas, dan Solusi Sampah “Kami di Lazismu Pusat sejak awal sangat tertarik dengan konsep biogas yang ditawarkan Pak Herry melalui proposal. Tidak perlu menunggu lama, kami langsung kontak Pak Herry untuk meninjau lokasi dan menggali informasi tambahan sebelum kami terima program ini,” ungkap Nazhori Author, pengurus Lazismu Pusat yang mendampingi implementasi program Biogas di Cipanas. Bagi Nazhori, sangat penting bagi Lazismu untuk mendukung program biogas di Cianjur. Sebab, Lazismu memiliki Pilar Lingkungan yang membutuhkan banyak rekomendasi program yang inovatif. Bersama


219 Biogas Cianjur: Transisi Energi Bersih untuk Ekologi Desa beberapa rekan, Nazhori atau akrab disapa Auhtor, mengunjungi Herry ke kediamannya. Di sana mereka berdiskusi tentang banyak hal. “Ide dan gagasan Pak Herry di luar yang kami bayangkan. Tidak biasa-biasa saja. Tapi ada muatan pembelaan ekologi yang sangat serius,” jelas Nazhori. Sebagai orang Muhammadiyah, Herry jelas sudah mengenal Lazismu. Tapi ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan berhasil mendapatkan dukungan dari Lazismu. “Sejak awal saya sendiri kurang optimis. Saya kan orangnya enggak begitu telaten mengajukan proposal atau semacamnya,” kata Herry. Namun, ia berubah pikiran ketika seorang teman mendesaknya untuk membuat konsep reaktor biogas untuk diajukan ke Lazismu. Herry akhirnya membuat semacam konsep reaktor biogas dan juga penjelasan tentang apa saja manfaatnya. Konsep itu kemudian dikirimkannya ke Lazismu Pusat. “Waktu itu, saya pikir enggak ada salahnya. Kan berikhtiar saja. Makin banyak cara yang kita coba, makin baik,” ungkap Herry. Proposal pembuatan reaktor biogas yang diajukan oleh Herry diterima oleh Lazismu. Nazhori mengungkapkan tiga alasan mengapa Lazismu mendukung Herry untuk membuat reaktor biogas di Cianjur. Pertama, reaktor biogas sangat terkait dengan upaya menuju sumber energi alternatif berupa gas yang dapat dimanfaatkan warga desa. Kedua, reaktor biogas bukan saja menghasilkan gas untuk kebutuhan rumah tangga, tapi yang lebih penting justru menawarkan solusi pengelolaan dan pengolahan sampah atau limbah organik. Ketiga, reaktor biogas membawa dampak sosial, ekonomi, dan pertanian untuk jangka menengah dan panjang. Biogas dan Pengentasan Masalah Pengelolaan Sampah Reaktor biogas, menurut penjelasan Herry, memang bukan pertamatama terkait manfaatnya menghasilkan gas. Tapi, adalah bentuk tanggung jawab atas peningkatan volume sampah dan limbah organik. “Gas untuk


220 PILAR LINGKUNGAN kompor rumah tangga itu kalau bagi saya cuma bonus. Tujuan utamanya malah sebetulnya adalah setiap orang dalam masyarakat bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan,” ungkap Herry. “Kalau dibilang biogas, orang fokus ke manfaat gas buat api kompor. Padahal bukan di situ. Apinya itu bonus saja. Intinya adalah pembangunan sistem pengelolaan sampah. Produknya bukan cuma gas, tapi juga pupuk cair untuk pertanian. Nanti akan berdampak pada terbentuknya sistem sosial,” jelas Herry. “Dari sebuah reaktor biogas berkapasitas 4 ton saja kita bisa menampung 20 hingga 30 kilogram sampah dari 40 rumah tangga yang masing-masing menghasilkan setengah kilogram sampah setiap hari. Bayangkan dampaknya pada kualitas lingkungan!” Lanjutnya. Kendati Herry berfokus pada kebermanfaatan reaktor biogas sebagai solusi pengelolaan sampah, ia juga tidak menampik ada dampak positif lain. Misalnya untuk pertanian dan kemajuan ekonomi desa. Untuk jangka panjang, reaktor biogas itu diharapkan dapat menopang kebutuhan pupuk pertanian yang murah dan mendorong kemunculan dampak di sektor lain, seperti ekonomi desa.


221 Biogas Cianjur: Transisi Energi Bersih untuk Ekologi Desa Herry mengatakan reaktor biogas berkapasitas paling kecil pun bisa menghasilkan minimal 30 liter pupuk cair setiap hari dengan harga jual 5 ribu rupiah per liter. Kalau sistem ini berjalan, normalnya satu reaktor akan menghasilkan 4 juta per bulan. Jika ini dikelola dengan baik, misalnya melalui Karang Taruna untuk penyaluran dan pendayagunaannya, maka akan menciptakan kebermanfaatan sosial-ekonomi. Tapi, menurut Herry, prospek pengembangan itu masih cukup panjang. “Bisa mengedukasi masyarakat untuk bertanggung jawab atas masalah sampah saja sudah bagus,” tuturnya. SDGs dan Biogas Cianjur Program pembuatan reaktor biogas di Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat beririsan secara langsung dengan misi pembangunan berkelanjutan yang termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pertama, program ini telah ikut mendorong pengarusutamaan bauran energi terbarukan di tingkat desa. Poin ini selaras dengan Indikator 7.2.1* tentang bauran energi terbarukan yang menjadi sangat krusial di negaranegara berkembang.1 Kedua, program pembuatan reaktor biogas di Cipanas sangat terkait dengan Tujuan 7 dan derivasinya pada Target 7.1 yang menyerukan adanya jaminan akses pada energi yang terjangkau, andal, dan berkelanjutan. Apalagi, program ini diselenggarakan di kawasan pedesaan sehingga menampakkan upaya penciptaan jaminan akses energi yang inklusif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.2 1 Indikator 7.2.1*: Bauran energi terbarukan 2 Tujuan 7: Menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern untuk semua. Target 7.1: Pada tahun 2030, menjamin akses universal layanan energi yang terjangkau, andal, dan modern.


222 PILAR LINGKUNGAN Ketiga, terkait dengan derivasi Tujuan 7 yaitu Indikator 7.1.2, maka program pembuatan reaktor biogas di Cipanas telah memungkinkan warga desa mengakses atau menjangkau teknologi dan bahan bakar yang bersih.3 Terutama pada prospek program ini menyediakan akses pada energi bersih berupa gas hasil proses biodigester.4 Keempat, meski berbeda konteks, program pembuatan reaktor biogas ini telah meningkatkan angka persentase sampah yang tertangani. Hal ini selaras dengan Target 11.6, Indikator 11.6.1.(a), dan Indikator 11.6.1.(b) tentang upaya mengatasi dampak peningkatan volume sampah tidak tertangani pada masalah lingkungan.5 Dengan demikian, program pembuatan reaktor biogas di Cianjur telah berkontribusi secara langsung pada masalah pengelolaan sampah dan limbah, ketersediaan teknologi dan energi bersih di pedesaan, serta langkah mitigatif dalam mengerem degradasi ekologi yang kian mendalam di kawasan pedesaan. 3 Indikator 7.1.2: Proporsi penduduk dengan sumber energi utama pada teknologi dan bahan bakar yang bersih. 4 Indikator 7.1.2.(a): Jumlah sambungan jaringan gas untuk rumah tangga. 5 Target 11.6: Pada tahun 2030, mengurangi dampak lingkungan perkotaan per kapita yang merugikan, termasuk dengan memberi perhatian khusus pada kualitas udara, termasuk penanganan sampah kota. Indikator 11.6.1.(a): Persentase sampah perkotaan yang tertangani. Indikator 11.6.1.(b): Jumlah kota hijau yang mengembangkan dan menerapkan green waste di kawasan perkotaan metropolitan.


223 Sumur Resapan Banyu Langit: Memanen Air Langit SUMUR RESAPAN BANYU LANGIT Memanen Air Langit Kalau kemarau tiba di Tangen, terutama di Desa Dukuh dan Katelan, betapa sulit mendapat air. Sumur dan persawahan warga mengering. Konon, meski kekeringan sudah sejak dulu menimpa orang-orang di sana, baru 10 tahun terakhir inilah tingkat keparahan makin tinggi. Solusi bukan tidak ada. Sejak 2013, Lazismu Sragen sudah rutin membawa bertangki-tangki air untuk warga di Tangen. Tidak sampai di situ, Lazismu bahkan sudah membuatkan sumur bor yang masih berfungsi sampai sekarang. Pada 2017, lembaga-lembaga filantropi dan kemanusiaan lain pun turut tergerak melakukan hal yang sama. Persoalannya, memasok air dengan truk tangki dari luar desa atau membuat sumur bor hanyalah solusi jangka pendek. Inti masalah belum terjawab. Bisakah menemukan suatu pemecahan masalah kekeringan dengan berpegang pada apa yang tersedia secara lokal dan berkelanjutan? Qomarudin, aktivis Pemuda Muhammadiyah Sragen dan warga di Tangen, menyadari bahwa problemnya bukan sekadar musim kemarau yang menyebabkan air tanah jadi asat. Ia butuh solusi yang berjangka panjang.


224 PILAR LINGKUNGAN Memanen Air dari Langit Sumur resapan tergolong teknologi madya yang dirancang untuk mengurangi dampak kekeringan di Tangen. Bukan dengan menggali dan mencari sumber air sedalam mungkin ke bawah tanah, melainkan menampung air hujan supaya meresap ke dalam tanah. Teknologi sederhana ini terinspirasi dari sebuah komunitas yang ada di Sleman. Qomarudin beserta kawan-kawan sesama aktivis Muhammadiyah dan juga pengurus Lazismu Sragen pergi ke sana untuk mendalami seberapa mungkin rekayasa teknik itu jika diterapkan di Tangen. “Sumur resapan itu sudah ada banyak. Di Jakarta sudah mulai muncul banyak sumur resapan. Di Sragen ada penampungannya. Kami belajar dari komunitas Banyu Bening yang ada di Sleman. Komunitas ini menekankan pada air hujan. Ternyata, air hujan itu bisa langsung diminum,” jelas Qomarudin sambil menunjukkan tiga dari lima titik sumur resapan yang sudah ada di kampungnya.


225 Sumur Resapan Banyu Langit: Memanen Air Langit Cara kerja sumur resapan ini adalah dengan mengalirkan curahan air hujan menuju tandon penampungan air. Kemudian, dari tandon, air diteruskan melalui pipa menuju bak kontrol sebelum mengalir terus ke sumur resapan. Fungsi tandon adalah supaya air yang tertampung juga dapat langsung dimanfaatkan oleh warga untuk mandi atau mencuci. Memang, ini tidak seperti lazimnya jalur kanalisasi air pada sumur resapan yang hanya perlu tangki kontrol air dan lubang sumur resapan. Tandon penampung sementara air muncul untuk memecahkan satu hambatan yang bisa dibilang kultural. Sebagaimana dijelaskan Qomarudin, warga di Tangen butuh bukti langsung bahwa sumur resapan ini memang berguna praktis. Minimal untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal, sebuah sumur resapan paling tidak butuh lima tahun untuk melihat hasil kerjanya sebagai sistem rekayasa penyerapan air. Tanpa ada bukti kebermanfaatan praktis harian, warga enggan untuk melakukan perawatan sumur resapan. Inilah yang menyebabkan kenapa tandon dipasang sebagai penampung air yang juga dapat memasok air kebutuhan harian. Sumur resapan berfungsi menyimpan cadangan air di bawah tanah. Tugas ini sebetulnya adalah peran dari pepohonan yang mengikat air melalui akar-akar di bawah tanah. Hanya saja, seiring dengan alihfungsi lahan untuk pemukiman, kebun monokultur, atau bangunan, tak banyak lagi pohon-pohon tertentu yang punya peran mengikat air ini. Di Tangen, sumber masalah kekeringan memang bukan karena alihfungsi lahan untuk pemukiman atau bangunan seperti di kawasan urban. Bukan juga semata-mata akibat musim kemarau yang memang sudah terjadi sejak dulu. Qomarudin punya rumusan sebab akibat yang layak untuk dipikirkan. “Desa-desa di Tangen tak punya keanekaragaman tumbuhan yang cukup untuk berperan menjaga cadangan air bawah tanah,” ungkapnya.


226 PILAR LINGKUNGAN Secara teknis, sumur resapan merekayasa cara kerja alamiah tanah memasok cadangan air ke bawah tanah melalui akar-akar pohon dan poripori tanah. Daya serap dan cadangan air tanah dengan demikian sangat ditentukan oleh seberapa baik juga kawasan vegetasi yang ada. Lazismu dan Solusi Berkelanjutan “Jangankan warga di desa-desa di Tangen. Kami sendiri juga perlu pikir panjang apakah sumur resapan ini layak didukung Lazismu atau tidak,” jelas Roni Megas Sukarno, Direktur Eksekutif Lazismu Sragen. Sebagai sebuah program mitigasi kekeringan, Lazismu Sragen memang perlu mempelajari lebih dalam seluk beluk teknik rekayasa ini. Sebab, ada banyak program lain yang membutuhkan perhatian Lazismu Sragen. Selain itu, program-program yang tergolong sebagai pilar lingkungan masih merupakan area baru. Jelas tidak akan mudah bagi Lazismu Sragen sendiri untuk langsung memutuskan apakah tawaran sumur resapan diterima atau ditolak. Biaya untuk sebuah sumur resapan cukuplah besar, sedangkan nilai kebermanfaatannya bersifat investasi. “Satu titik bisa menghabiskan 9 hingga 12 juta. Kurang lebih, untuk lima titik itu perlu kami perlu menyediakan dana sebesar 50 juta. Tentu tidak murah, kan?” kata Roni. Tapi tak ada pilihan lain. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal, Lazismu Sragen sudah menempuh beragam cara untuk membantu warga di Tangen untuk mengurangi dampak kekeringan selama musim kemarau. Mulai dari pengiriman air bersih hingga pembuatan sumur bor. Kendati begitu, tak cukup rasanya kalau hanya berhenti pada program-program yang bersifat kuratif tanpa menimbang alternatif lain. Sumur resapan dalam konteks ini adalah sebuah tawaran yang tidak boleh diabaikan begitu saja.


227 Sumur Resapan Banyu Langit: Memanen Air Langit “Delapan dari dua puluh kecamatan di Sragen mengalami kekeringan setiap tahun. Jadi tugas kami mencari solusi untuk mengurangi dampak kekeringan ini, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang,” jelas Roni. Di sini, terlihat gamblang bahwa Lazismu Sragen tidak ingin sekadar dianggap telah peduli dengan nasib warga di Tangen. Ada tantangan berbeda untuk menunjukkan komitmen pada persoalan lingkungan yang dihadapi warga. Barangkali, berangkat dari sinilah Lazismu Sragen berani menjajal sumur resapan. Apalagi, menurut Roni, solusi-solusi seperti pengiriman air atau membuat sumur bor lebih mudah dan praktis untuk dilaksanakan daripada membuat sumur resapan. Tapi tidak menjawab sumber persoalan kenapa dampak kemarau semakin parah tiap tahunnya. “Droping air tidak bisa menyelesaikan masalah jangka panjang. Sumur resapan menjadi solusi jangka panjang. Lima sampai sepuluh tahun mungkin belum terasa. Karena bahkan di Jakarta saja terasanya juga di atas 10 tahun. Kita sedang ke sana,” papar Roni.


228 PILAR LINGKUNGAN Melihat Sumur Resapan Bekerja Setelah belajar sistem sumur resapan di Sleman, Lazismu Sragen mendukung pembuatan sumur resapan di Dukuh, salah satu desa yang ada di kecamatan Tangen. Desa ini merupakan sasaran program sumur resapan Lazismu Sragen yang dikerjakan bersama-sama dengan Pemuda Muhammadiyah Sragen dan MDMC Sragen. Sehari-hari, warga di Dukuh mengandalkan sepuluh sumur galian. Ketika musim kemarau, delapan sumur mengering. Dua sumur yang tersisa memang masih bisa menjadi sumber air bagi warga. Kendati begitu, dua sumur itu juga tidak dapat menyediakan air yang cukup untuk seluruh kebutuhan warga. Di tengah kondisi seperti ini, warga menjadi sangat bergantung pada kehadiran sumur bor atau tandon-tandon yang menyimpan cadangan air. Hal ini tentu saja mencemaskan Qomarudin. Jika warga terus-menerus bergantung pada suplai air dari luar atau dari sumur bor, maka tidak mustahil di masa depan kondisi kian parah. Tidak menutup kemungkinan


229 Sumur Resapan Banyu Langit: Memanen Air Langit suplai air dari luar akan tersendat atau debit cadangan air di bawah tanah terus-menerus menyusut. Dengan demikian, sumur resapan merupakan langkah penting untuk kondisi-kondisi yang tidak dapat diprediksi akan terjadi di masa mendatang. Ternyata, baru dua tahun dibuat, sumur resapan di Dukuh sudah menunjukkan kebermanfaatan. Qomarudin misalnya menunjukkan satu titik sumur resapan yang telah berhasil memasok cadangan air bawah tanah untuk dua sumur galian yang berada di antaranya. “Ini malah baru mau dua tahun tapi sudah kelihatan manfaatnya. Biasanya, dua sumur ini kering sepanjang kemarau. Sekarang ada airnya, meski tidak banyak. Tapi, lumayan juga,” kata Qomarudin. Bagi Qomarudin sebagai warga Tangen dan juga Roni mewakili Lazismu Sragen, sumur resapan adalah medan pembuktian. Ketika mengawali proyek sumur resapan ini di Tangen, mereka bergelut dengan banyak pertanyaan dan keraguan. Terutama dari warga di Dukuh yang belum percaya bahwa air hujan dapat dipanen. Wajar ketika ternyata salah satu titik sumur telah menampakkan kebermanfaatan, mereka terlihat puas. “Satu hal penting yang hendak kami sampaikan melalui sumur resapan ini memang adalah mendorong pemerintah merumuskan program yang lebih komprehensif. Lazismu sudah membuktikan. Semoga ke depannya pemerintah mau berinvestasi untuk sumur resapan dan penghijauan demi masa depan kualitas air bersih anak cucu kelak,” tutup Roni. SDGs dan Sumur Resapan Program Sumur Resapan Banyu Langit merupakan solusi mitigatif atas masalah kekeringan dan berkurangnya volume air permukaan. Sumur Resapan Banyu Langit sebagai solusi jangka pendek dan


230 PILAR LINGKUNGAN menengah, mengadaptasi Target 6.1 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yang menyerukan aksi untuk menyediakan akses universal dan merata terhadap air.1 Di banyak tempat, termasuk kawasan pedesaan di Indonesia, ancaman kekeringan akibat kemarau berkepanjangan dan juga penurunan jumlah air permukaan menjadi tantangan yang sangat serius. Dampaknya tentu bukan saja kuantitas, tapi juga kualitas air. Padahal, air berperan penting sebagai unsur pokok kebutuhan masyarakat yang berpengaruh pada produktivitas ekonomi dan stabilitas sosial. Tanpa ada langkah mitigatif, kekeringan dan penurunan volume air permukaan jelas akan menjadi masalah besar. Dalam jangka pendek, untuk mengantisipasi dampak musim kemarau ekstrem, Sumur Resapan Banyu Mili menargetkan peningkatan volume air permukaan dengan memaksimalkan penyerapan curah air selama musim hujan. Upaya meningkatkan volume air permukaan bertujuan untuk mencegah terjadinya penurunan kesuburan tanah. Dan juga, mengalirkan air masuk ke dalam tanah sehingga mengurangi dampak sampingan, seperti penipisan lapisan permukaan tanah akibat curah hujan ekstrem. Sedangkan untuk jangka menengah, instalasi Sumur Resapan Banyu Mili diharapkan menjadi instrumen pemulihan kualitas air permukaan. Target ini menyasar ketersediaan pasokan dan cadangan air bersih lokal yang mampu menopang kebutuhan masyarakat, baik untuk konsumsi maupun pertanian. Ini selaras dengan Indikator 1.4.1 (d) yang menargetkan peningkatan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum yang layak dan berkelanjutan.2 Sumur Resapan Banyu Mili merupakan program mitigatif untuk mengantisipasi dampak krisis air akibat musim kemarau ekstrem, 1 Target 6.1: Pada tahun 2030, mencapai akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua. 2 Indikator 1.4.1. (d): Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan.


231 Sumur Resapan Banyu Langit: Memanen Air Langit berkurangnya area resapan air, pengrusakan sumber mata air, dan peralihan fungsi lahan untuk pemukiman. Tanpa cadangan air bersih dan layak pakai yang tersedia secara lokal, kapasitas masyarakat mengakses sumber daya ini akan terganggu dan memicu konflik sosial. Dan jika dihubungkan dengan ketersediaan air minum yang bersih dan aman sebagaimana yang ditegaskan dalam Indikator 6.1.1 dan Indikator 6.1.1 (c), maka ini akan sangat terkait dengan isu kesehatan masyarakat.3 Kehadiran Sumur Resapan Banyu Mili yang dirintis oleh Lazismu Sragen ini diharapkan dapat memberi contoh pada pemerintah lokal dalam menganggarkan pembiayaan untuk pencegahan dampak krisis air sebagaimana termaktub dalam Indikator 6.b.1.4 Penganggaran dana pemerintah itu dapat mencakup urusan konservasi sumber mata air, tata kelola pemukiman, tata kelola area industri, pengelolaan sanitasi 3 Indikator 6.1.1: Proporsi populasi yang menggunakan air minum yang dikelola secara aman. Indikator 6.1.1. (c): Persentase rumah tangga yang memiliki akses layanan sumber air minum aman dan berkelanjutan. 4 Indikator 6.b.1: Proporsi unit pemerintah lokal yang menerbitkan dan melaksanakan kebijakan dan prosedur terkait partisipasi masyarakat dalam pengelolaan air dan sanitasi.


232 PILAR LINGKUNGAN yang berkelanjutan, dan mencegah privatisasi air bersih. Program Sumur Resapan Banyu Mili yang dirintis Lazismu dengan demikian berperan sebagai uji coba penting yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memproyeksikan tindakan konkret demi ketersediaan air bagi masyarakat.


233 Ekowisata Yogyakarta: Merawat Sungai Memulihkan Manusia EKOWISATA Merawat Sungai Memulihkan Manusia Kerja merawat kota juga adalah bagian dari kerja filantropi. Kirakira itulah kenapa Lazismu PDM Kota Yogyakarta punya program ekowisata. Sebab, kalau tak punya keberpihakan pada masalah-masalah sosial, budaya, dan ekologi, apalah artinya sebuah lembaga filantropi. Apalagi, karena berada di jantung salah satu kota pariwisata populer di Indonesia, sudah barang tentu harus menunjukkan gereget atas inovasi perkotaan yang humanis, ekologis, dan berkeadilan. Sejak tahun 2016, beragam kegiatan yang bernapas ekowisata sudah mulai dilakukan Lazismu PDM Kota Yogyakarta. Mulai dari aksi dan kampanye bersih bantaran Kali Code, pertanian urban, apresiasi produk kerajinan lokal, dan pariwisata islami. Kegiatan-kegiatan ini merupakan bagian dari tanggung jawab mengentaskan persoalan sosial, budaya, dan ekonomi yang erat kaitannya dengan masalah lingkungan hidup. Yogyakarta memang sejak masa kolonial sudah dikenal sebagai tujuan wisata di kawasan pedalaman Jawa. Para pelancong atau kalangan ningrat dari berbagai tempat datang ke Yogyakarta untuk melihat kekayaan budaya seni pertunjukan seperti wayang dan tari-tarian; situs-situs kuno seperti candi; dan seni kerajinan seperti batik, perak, dan ukiran kayu. Maka,


234 PILAR LINGKUNGAN sudah sewajarnya, dan memang ada landasan historis yang menguatkan betapa perlu menggarap program ekowisata. Sebuah Misi di Kali Code “Saya lahir dan besar di bantaran kali,” kata Nugroho, pengurus Lazismu PDM Kota Yogyakarta. Sekarang, pengembangan program ekowisata di sepanjang jalur Kali Code sepenuhnya diamanahkan ke pria kelahiran Prawirodirjan ini. Ia memang tidak sekadar seorang yang sudah malang-melintang dalam soal keswadayaan masyarakat dan pengembangan potensi lokal. Tapi, ia sendiri telah jadi saksi dengan mata dan kepala sendiri betapa pentingnya ekosistem sungai yang sehat bagi manusia yang ada di sekitarnya. Dalam melaksanakan misi ekowisata di bantaran Kali Code, jelas Nugroho, misi utamanya adalah mengentaskan persoalan sosial. Tapi bukan dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan karitatif, seperti memberi santunan. Melainkan, menciptakan sebuah ekosistem baru yang dapat menebar kebermanfaatan bagi siapa pun yang ada di sana. Ibaratnya menyediakan “kail” dan “pancing” supaya setiap orang dapat memberdayakan dirinya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, seiring dengan makin padatnya kawasan perkotaan di Yogyakarta, akan kian banyak pula tantangan yang dihadapi. Terlebih di kawasan bantaran kali. “Kali Code itu dikenal banyak orang sebagai salah satu sungai yang membelah Kota Yogyakarta, dari Tegalrejo di sebelah utara dan Umbulharjo di sebelah selatan. Bantaran Kali Code menyimpan banyak persoalan sosial. Padahal, di sana juga ada banyak potensi yang tersimpan. Nah, Muhammadiyah [Kota Yogyakarta] memang punya kewajiban untuk mengentaskan masalah yang ada sesuai dengan pendekatan pemberdayaan,” ungkap Nugroho.


235 Ekowisata Yogyakarta: Merawat Sungai Memulihkan Manusia Ketika bergabung di Lazismu PDM Kota Yogyakarta pada awal 2020, Nugroho langsung bergerak cepat. Ia yang memang sudah sangat dekat dengan kerja-kerja pemberdayaan ekonomi, pelestarian seni dan budaya lokal, serta denyut kehidupan masyarakat di sekitar sungai, terpanggil melanjutkan misi pilar lingkungan yang sudah ada di Lazismu. Baginya, Lazismu perlu urun kerja dalam merawat Kota Yogyakarta. Pada 2021, Nugroho merancang ulang tata konsep ekowisata yang menyasar sejumlah isu yang baginya krusial: restorasi sungai, penghijauan, pertanian, perikanan, sanitasi sehat, dan pariwisata. Restorasi dilakukan dengan reresik kali. Untuk penghijauan, pertanian, dan perikanan dengan metode minatani. Sedangkan pariwisata islami dengan membentuk kampung wisata. Dari sekian ragam kegiatan di bawah konsep ekowisata, satu hal yang tak boleh kelewatan adalah tujuannya yang juga untuk memberdayakan kelompok marjinal. Salah satunya adalah kehidupan anak-anak yatim di pemukiman semi-permanen di bantaran Kali Code. Nugroho sudah sejak dulu memperhatikan kehidupan anak-anak yatim yang ada di sana.


236 PILAR LINGKUNGAN Beragam faktor mengapa anak-anak ini menjadi yatim. Satu di antaranya menurut Nugroho adalah kematian bapak mereka akibat menegak minuman oplosan atau sakit menahun akibat kondisi lingkungan yang tidak sehat. “Orang-orang yang ada di bantaran Kali Code itu kan rata-rata kelompok marjinal. Ada yatim, janda, dan lansia. Mereka orang-orang yang terpinggirkan. Kami melanjutkan program ekowisata supaya punya banyak nilai kebermanfaatan. Misi kami adalah untuk mengentaskan problem yang ada di Kali Code,” kata Nugroho. Ekowisata, sebagaimana dijelaskan Nugroho, diharapkan dapat merehabilitasi area sungai dan bantarannya serta memungkinkan terwujudnya lingkungan yang sehat bagi warga yang ada di sana. Dan ini tidak dapat dilakukan semata-mata dengan memberikan bantuan begitu saja pada warga yang ada di sekitar sungai. Perlu perencanaan, proses, dan evaluasi yang detail supaya target tercapai. Itulah kenapa program ekowisata terus-menerus dikembangkan dan disinergikan dengan berbagai program lain. 9 Titik Sinergi “Lazismu terlibat dalam berbagai bentuk yang berbeda. Ada dukungan untuk pelatihan minatani. Insentif untuk pelaksanaan program. Dan yang tidak kalah penting adalah peran sebagai penghubung antar-lini kolaborasi,” jelas Nugroho. Ekowisata memang bukan program dalam pengertian yang lazim sebagai sistem atau desain terpadu antara konsep dan praktik. Alih-alih, ekowisata lebih tepat dipahami sebagai sinergi lintas pilar dan kolaborasi antar-kelompok yang terkait.


237 Ekowisata Yogyakarta: Merawat Sungai Memulihkan Manusia Sebagai contoh, untuk kegiatan restorasi sungai, sebetulnya tidak saja persoalan membersihkan kali dari limbah dan sampah. Tapi juga menyentuh sampai pada edukasi, penguatan peran warga di sekitar bantaran kali dan menguatkan potensi kultural yang sudah ada di sana. Artinya, dalam satu kegiatan berupa restorasi sungai sudah mencakup sektor lingkungan, sosial-dakwah, dan ekonomi. Ada sembilan titik sinergi yang dikembangkan di bawah konsep ekowisata ala Lazismu PDM Kota Yogyakarta: (1) pertanian keramba di Ledok Danurejan; (2) kampung wisata di Sayidan; (3) bantaran Kali Code Ledok Prawirodirjan Gondomanan; (4) minatani di Keparakan Kidul; (5) apresiasi pengrajin sandal kulit di Keparakan Kidul; (6) pertanian urban di bantaran Code Kampung Karanganyar; (7) minatani di bantaran Kali Code Lowanu; (8) minatani di Panti Asuhan Yatim Putra Muhammadiyah; (9) kampung wisata Dewabroto Lowanu. Setiap titik mencerminkan sinergi dan kolaborasi lintas organisasi atau lembaga. Misalnya, Minatani Majelis Lingkungan Hidup PDM Kota Yogyakarta, PAY Putra Muhammadiyah Kota Yogyakarta, dan


238 PILAR LINGKUNGAN berbagai organisasi keswadayaan yang terkait. Dengan demikian, masingmasing titik sinergi merupakan kerja bersama antara Lazismu PDM Kota Yogyakarta dan berbagai mitra. Kekuatan dari pelaksanaan ekowisata menurut Nugroho adalah terbentuknya jalinan kemitraan dan kelompok. Ia mengapresiasi mitra yang berhasil memberdayakan jejaring lintas komunitas untuk penguatan sektor ekonomi lokal. Dan ternyata, jejaring lintas komunitas itu mampu membentuk daya tahan para mitra untuk menghadapi kelesuan ekonomi selama masa pandemi. Nugroho juga mencontohkan kampung wisata islami di Karangkajen yang ternyata mendapat tanggapan baik dari banyak kalangan. Kemudian berdirinya Ruang Terbuka Hijau Publik (RTHP) di Brontokusuman yang juga menjadi sasaran pendampingan Lazismu. “Ruang publik sangat penting bagi warga yang tinggal di sekitar aliran Kali Code. Sebab, bisa menjadi tempat bermain untuk anak-anak tanpa harus bepergian jauh dan mengeluarkan biaya. Bahkan, jika terus dikembangkan bukan tidak mungkin justru akan menjadi kekuatan ekonomi wisata bagi warga,” ungkap Nugroho. Di sisi lain, Nugroho tidak menampik bahwa upaya yang dilakukan Lazismu PDM Kota Yogyakarta masih perlu dibenahi dan diperkuat. Tapi ia yakin bahwa ini hanyalah persoalan waktu, komitmen, dukungan, dan keuletan. Memang ada banyak tantangan, tapi ia merasa inisiasi ekowisata masihlah sangat potensial untuk dikembangkan terus-menerus. “Kami masih perlu tahapan-tahapan lanjutan untuk mencapai apa yang kami anggap ideal dalam pelaksanaan ekowisata. Tidak boleh berhenti dan berpuas diri di tahap ini saja. Kami juga akan mengembangkan program berbasis pertanian yang langsung berkaitan dan mendukung program ekowisata,” tutup Nugroho.


239 Ekowisata Yogyakarta: Merawat Sungai Memulihkan Manusia SDGs dan Ekowisata Program Ekowisata yang digerakkan Lazismu Kota Yogyakarta mengadaptasi target dan indikator dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Pertama, Target 11.7 yang menyerukan tersedianya ruang publik dan ruang terbuka hijau yang aman, inklusif dan mudah dijangkau terutama untuk perempuan dan anak, manula, dan penyandang difabilitas.1 Ketersediaan ruang publik merupakan tanggung jawab pemerintah terkait dengan tata kelola ruang yang sehat, aman, dan inklusif. Melalui program ekowisata, Lazismu Kota Yogyakarta sebagai lembaga filantropi Muhammadiyah berupaya turut serta mendukung ketersediaan ruang publik dan ruang terbuka hijau dengan mendayagunakan dana filantropi publik yang memang ditujukan untuk program ini. Maka, jika dihubungkan dengan Indikator 11.7.1 (a), program ekowisata Lazismu ini turut mendorong arah pembangunan alternatif di Yogyakarta.2 1 Target 11.7: Pada tahun 2030, menyediakan ruang publik dan ruang terbuka hijau yang aman, inklusif, dan mudah dijangkau terutama untuk perempuan dan anak, manula dan penyandang difabilitas. 2 Indikator 11.7.1 (a): Jumlah kota hijau yang menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan metropolitan dan kota sedang.


240 PILAR LINGKUNGAN Kedua, program ekowisata merupakan salah satu aksi partisipasi Lazismu untuk menyukseskan promosi pariwisata berkelanjutan, budaya, dan produk lokal yang berdampak pada terciptanya lapangan pekerjaan. Lazismu, misalnya, mendukung restorasi sungai, penghijauan, pertanian, perikanan, sanitasi sehat, dan pariwisata. Aksi ini terkait dengan Target 8.9 yang menyerukan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan yang berdampak luas di sektor tenaga kerja, pemasaran budaya, dan produk lokal.3 Melalui program ekowisata, Lazismu secara langsung turut mengakselerasi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan pariwisata di Yogyakarta. Terakhir, melalui program ekowisata, Lazismu Kota Yogyakarta telah menjadi bagian penting dari pengembangan sistem perwujudan pembangunan berkelanjutan. Ini selaras secara langsung dengan Indikator 12.a.1 yang menyatakan perlunya jumlah strategi dan kebijakan pariwisata dan pelaksanaan rencana aksi mencakup pengawasan dan evaluasi.4 Program ekowisata berbasis dukungan lembaga filantropi dengan demikian adalah suatu terobosan penting dalam memperkaya strategi mewujudkan pariwisata berkelanjutan. 3 Target 8.9: Pada tahun 2030, menyusun dan melaksanakan kebijakan untuk mempromosikan pariwisata berkelanjutan yang menciptakan lapangan kerja dan mempromosikan budaya dan produk lokal. 4 Indikator 12.a.1: Jumlah strategi atau kebijakan pariwisata berkelanjutan dan pelaksanaan rencana aksi, dengan perangkat monitoring dan evaluasi yang disepakati.


241 Sumur Bor Lazismu: Melawan Privatisasi Air SUMUR BOR LAZISMU Melawan Privatisasi Air Di titik tengah pesisir selatan pulau Jawa, Gunungkidul menjadi salah satu kabupaten yang rutin berhadapan dengan bencana kekeringan dan kelangkaan air permukaan. Hampir setiap tahun, ketika kemarau tiba, banyak orang tidak mendapatkan pasokan air bersih yang memadai. Selain sebab faktor geologis berupa lanskap karst sebesar 46.8%, serta tantangan perubahan iklim yang mendinamisasi pergantian musim, kondisi ini diperunyam praktik privatisasi sumber daya air. Mulai diinisiasi dan dikerjakan pada tahun 2021, masa ketika pandemi memperlihatkan betapa lemah implementasi sistem mitigasi bencana kekeringan dan bencana sosial akibat skema pengelolaan dan distribusi air yang terprivatisasi, Lazismu Gunungkidul mengambil langkah yang tepat dan relevan dengan membuat sumur bor. Program ini bertujuan menyediakan akses air bersih bagi masyarakat secara terjangkau, berkeadilan, dan berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi pengeboran bawah tanah untuk mendapatkan sumber air baru.


242 PILAR LINGKUNGAN Batu Gamping, Mata Air, dan Para Mafia Tujuan utama pembuatan sumur bor adalah membantu warga memenuhi kebutuhan air bersih yang terjangkau dan berjangka panjang. Setiap tahun, warga menghadapi kekurangan dan kelangkaan air bersih di desanya masing-masing. Sumur air permukaan yang biasanya memadai untuk kebutuhan sehari-hari akan mengering bila musim kemarau tiba. Sedangkan pada musim hujan, banjir dan tanah longsor kerap terjadi. “Solusi paling umum yang biasanya diambil untuk mengatasi masalah kelangkaan air adalah membeli tangki air atau membuat semacam belik berupa galian di pinggir sungai untuk mendapatkan air bersih. Tapi ini kan, jangka pendek saja,” ungkap Salim Hizbullah, pengurus Lazismu Gunungkidul. Salim mengatakan bahwa program sumur bor tergolong program baru bagi Lazismu Gunungkidul. Setidaknya jika diukur dari pengalaman mereka memitigasi bencana kelangkaan air bersih selama ini. Lazismu sebelumnya, menurut Salim, sekadar berfokus pada program pengiriman air bersih menggunakan truk tangki ke berbagai desa yang terdampak kekeringan paling parah selama musim kemarau. Air bersih dibeli dari penyedia swasta dan kemudian diantarkan ke desa-desa sasaran program Lazismu. Meski demikian, sebagaimana dijelaskan Salim, program pengiriman air bersih hanya dapat memberikan kebermanfaatan yang terbatas dan tidak berkesinambungan. Salim mengungkapkan dua alasan mengapa hal itu terjadi. Pertama, program pengiriman air pada dasarnya bersifat karitatif dan jangka pendek, warga tetap tidak mendapatkan jaminan dan kepastian akses terhadap air bersih. Kedua, program pengiriman air tidak mampu menjadi jawaban alternatif atas problem praktik privatisasi dan monopoli sumber atau titik mata air yang memperumit perjuangan penyediaan akses air bersih.


243 Sumur Bor Lazismu: Melawan Privatisasi Air Ketika ide pembuatan sumur bor muncul, program ini diharapkan dapat menyediakan akses air bersih yang berkelanjutan dan sekaligus memproteksi warga miskin dari jerat permainan distribusi bantuan air. “Orang-orang tertentu yang memegang otoritas memanfaatkan kelangkaan air di Gunungkidul. Kalau ada donatur yang mau menyumbang air bersih buat masyarakat, mereka hanya bisa menyewa jasa penyedia air dan truk dari pemilik tertentu yang biasanya berasal dari desa yang punya mata air atau sumber air. Donatur dari Jakarta, Jogja atau Solo seringkali tidak mendapat informasi yang tepat. Mereka kira, sumbangan mereka sampai dalam jumlah yang tepat dan tersalurkan secara bertanggung jawab. Kenyataannya, tidak. Ini praktik mafia air yang sangat merugikan masyarakat,” jelas Salim. Menurut Salim, sudah menjadi tanggung jawab Lazismu Gunungkidul untuk menjawab tantangan kekurangan dan kelangkaan air bersih serta memproteksi warga dari tindakan culas segelintir orang. Selain sebagai ikhtiar membantu warga masyarakat mendapatkan akses atas sumber daya alam pokok tersebut, juga untuk menciptakan keadilan secara merata kepada semua orang tanpa terkecuali.


244 PILAR LINGKUNGAN Mengapa Sumur Bor? Pasca kekeringan terparah pada tahun 2017, tren pembuatan sumur bor tampak semakin menjanjikan bagi masyarakat Gunungkidul. Sumur bor telah menjadi jawaban dalam mengatasi kekeringan dan kelangkaan air bersih selama musim kemarau. Hanya saja, perlu biaya yang sangat besar dalam membuat sumur bor. Belum lagi, teknologi yang dibutuhkan untuk menemukan titik air berupa pemanfaatan citra satelit juga sangat mahal. “Karena tidak murah, banyak warga mengajukan permintaan pembuatan sumur bor ke Lazismu untuk desanya masing-masing. Mereka bilang, kalau kemarau, mereka mengalami kekurangan air bersih yang parah. Kami menimbang juga kebermanfaatan sumur bor yang sangat besar bagi masyarakat. Ya sudah, kami lakukan musyawarah dengan pengurus serta orang-orang yang kami anggap ahli di bidang ini,” jelas Salim. Salim mengatakan, permintaan pembuatan sumur bor akhirnya mendapatkan tanggapan serius dari para pengurus Lazismu Gunungkidul. Mereka akhirnya sepakat membuat tim panitia yang bertugas untuk melakukan peninjauan lapangan, penyusunan anggaran dan kebutuhan, strategi penggalangan dana, dan pengawasan teknis hingga selesai. Tugas paling awal tim ini adalah melakukan peninjauan lokasi dan mengecek titik air untuk pembuatan sumur bor. Tim dibantu oleh seorang ahli pengebor yang secara cuma-cuma ikut membantu Lazismu. “Kebetulan, ada kenalan ahli pengebor yang sedang di kampungnya karena lagi pandemi. Kami minta bantuannya,” kata Salim. Peninjauan lokasi dan pengecekan titik air adalah langkah paling krusial dalam pembuatan sumur bor. Sebab, ketersediaan informasi yang cukup dan akurasi titik air sangat menentukan keberhasilan sumur bor. Oleh karena itu, selain ahli pengebor, Lazismu Gunungkidul juga dibantu


245 Sumur Bor Lazismu: Melawan Privatisasi Air oleh ahli lain yang dapat memanfaatkan teknologi satelit untuk mencari titik air secara presisi. Begitu selesai peninjauan lokasi, tim panitia bertugas menyampaikan hasil temuan lapangan dan seluk beluk kebutuhan pembuatan sumur bor. Tugas tim panitia ini sangat penting karena terkait dengan perencanaan berikutnya, yakni proyeksi anggaran yang dibutuhkan dan strategi penggalangan dana. Sebagaimana dijelaskan Salim, ketika besaran dana yang diperlukan untuk membuat satu titik sumur bor sudah diketahui, mereka langsung membuka donasi. Dana diperlukan untuk membeli pipa, kabel, dan peralatan untuk kontrol panel, serta menyewa mesin bor gantung dan teknologi satelit. “Komponen pembiayaan paling mahal dalam pembuatan sumur bor adalah menyewa mesin bor dan teknologi satelit. Satu titik pengeboran setidaknya membutuhkan seratus juta. Makanya kita perlu membuka donasi. Ketika dana sudah terkumpul sekitar 50%, maka pengeboran sudah bisa mulai dilakukan. Tapi untuk mengamankan program, kami


246 PILAR LINGKUNGAN juga menggandeng beberapa mitra lain dalam mendukung pendanaan,” jelas Salim. Selain persoalan pendanaan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sumur bor, yang tidak kalah penting adalah dukungan warga. Oleh karena itu, Lazismu Gunungkidul menggalang bantuan tenaga dan dukungan moril dari warga kampung. “Mereka sebagai penerima manfaat dari program ini harus dilibatkan supaya ada rasa memiliki dan dengan begitu mereka ikut memikirkan juga perawatan dan kelangsungan program,” ujar Salim. Ada tiga level tata kelola pada program sumur Bor. Pertama adalah tata kelola pada aspek perawatan mesin bor, kelistrikan, kontrol panel, dan pemasangan jalur pipa baru. Kedua adalah tata kelola penggalangan iuran untuk membiayai pengeluaran rutin dalam mengoperasikan sumur bor seperti biaya listrik dan jasa teknisi yang sewaktu-waktu dibutuhkan. Ketiga, tata kelola terkait dampak pemberdayaan sosial dari kehadiran sumur bor. “Iuran yang terkumpul tidak semua habis untuk biaya perawatan dan operasional sumur bor. Sebagiannya disalurkan kembali ke warga dalam bentuk karitatif. Jadi, warga juga ikut mendapat manfaat praktis dari sumur bor,” ungkap Salim. Dalam hal pengelolaan lanjutan, sumur bor diserahkan kepada Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) setempat. “Mereka nanti yang mengatur dan mengelola hal-hal teknis terkait kelanjutan sumur bor,” jelas Salim. Pendayagunaan dan Dampak Bagi Lazismu Gunungkidul, sumur bor tidak hanya sekadar teknologi untuk menjangkau air bawah tanah tapi juga merupakan sarana baru pemberdayaan sosial. Salim menjelaskan, selain membantu warga


247 Sumur Bor Lazismu: Melawan Privatisasi Air mendapatkan air bersih, program sumur bor juga telah meningkatkan produktivitas masyarakat. Warga dapat bekerja lagi di sektor pertanian, peternakan atau pembudidayaan tanpa khawatir kekurangan air. “Dulu, untuk bercocok tanam masalah utama yang dihadapi warga di sini adalah air. Jangankan untuk menyiram tanaman, untuk kebutuhan minum dan mandi saja sudah serba kekurangan. Berkat keberadaan sumur bor, mereka bisa bercocok tanam lagi,” jelas Salim. Pendayagunaan sumur bor memang telah meluas. Kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomi dapat berlangsung secara lebih aman dan nyaman tanpa ada kendala kekurangan air. “Sekarang kalau akan beribadah misalnya, tidak perlu lagi takut tidak bisa wudhu. Sebab sekarang air mengalir terus. Begitu pula untuk berdagang makanan atau minuman, mereka punya bahan baku berupa air bersih dan higienis yang didapatkan secara terjangkau,” ujar Salim.


248 PILAR LINGKUNGAN SDGs dan Sumur Bor Inisiatif membuat sumur bor mengetengahkan dua isu utama. Pertama, terkait pemanfaatan teknologi ramah lingkungan yang dapat diandalkan secara komunal, dan menjadi instrumen proteksi sosialekologis. Kedua, menciptakan skema alternatif dalam pengelolaan sumber air bawah tanah yang berkeadilan, merata, dan berdampak luas pada seluruh aspek penting kehidupan masyarakat. Program Sumur Bor Lazismu Gunungkidul dengan demikian telah mengupayakan pemenuhan sejumlah indikator dalam Sustainable Development Goals (SDGs), yakni: Indikator 1.4.1.(d): Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak dan berkelanjutan; Indikator 6.1.1: Proporsi populasi yang menggunakan layanan air minum yang dikelola secara aman; Indikator 6.1.1.(a): Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak; Indikator 6.1.1.(c): Proporsi populasi yang memiliki akses layanan sumber air minum aman dan berkelanjutan.


249 Air Bersih untuk Santri: Tirta untuk Para Pencari Ilmu AIR BERSIH UNTUK SANTRI Tirta untuk Para Pencari Ilmu Kekeringan ekstrem pada musim kemarau dan diperparah dampak perubahan iklim telah menyebabkan penurunan drastis ketersediaan pasokan air bersih di sejumlah titik di Provinsi Bandar Lampung. Kekurangan air bersih itu selain menjadi ancaman di tingkat rumah tangga, juga menjadi momok bagi lembaga pendidikan seperti pesantren. Program Air Bersih untuk Santri yang digagas Lazismu Lampung adalah ikhtiar mitigatif untuk menjamin ketersediaan pasokan air bersih melalui pembuatan sumur bor. Program ini diharapkan dapat menunjang proses pendidikan di pesantren secara layak, nyaman, dan higienis. Program yang telah dimulai pada tahun 2021 ini telah menyasar 20 titik pesantren. Kemarau dan Santri “Di Lampung banyak pesantren yang kekurangan air bersih saat musim kemarau. Pasokan air bersih tidak sepadan dengan jumlah santri. Pesantren kita rata-rata punya satu sumur tapi tidak terlalu dalam. Sehingga waktu kemarau sumurnya kering. Ada juga yang tidak punya


250 PILAR LINGKUNGAN sumur. Sehingga santri harus sering-sering ke sungai,” jelas Jeni Rahmawati pengurus Lazismu Lampung. Ketersediaan air bersih tidak saja berfungsi untuk menopang produktivitas perekonomian dan sosial masyarakat. Tetapi, sangat vital perannya untuk menunjang terwujudnya lembaga pendidikan yang sehat, aman, dan berkelanjutan. Tanpa ada jaminan pada ketersediaan air bersih, lembaga pendidikan tidak akan mampu berperan sebagai infrastruktur yang mendukung peningkatan taraf hidup sehat dan ekologis masyarakat. Jeni menjelaskan bahwa Lazismu Lampung melihat persoalan ketersediaan air bersih bagi santri ini sebagai dukungan untuk menjamin tersedianya kebutuhan pokok dan esensial. Ia mengatakan, dalam konteks pesantren, nyaris tidak mungkin mengabaikan ketercukupan pasokan air bersih. “Kalau air enggak bersih, bagaimana para santri ini akan makan, minum, dan mandi? Mereka butuh air bersih sepanjang tahun, termasuk ketika musim kemarau,” tanya Jeni. Berbeda dengan siswa di sekolah biasa, nasib santri sangat bergantung pada daya pesantren dalam menyediakan pasokan air bersih terutama sepanjang kemarau. Menurut Jeni, meski tidak bisa dibilang semua, tapi ada banyak pesantren di Lampung yang mengalami masalah kekurangan bahkan ketiadaan air bersih ketika musim kemarau. Masalah ini dalam jangka pendek dan menengah dapat diatasi dengan menawarkan pembuatan sumur bor. Air Bersih untuk Santri Program Air Bersih untuk Santri, antara tahun 2021 hingga 2022 telah tersebar ke 20 pesantren yang ada di Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Timur, Tulang Bawang, Tanggamus, dan Metro. “Jumlah titik sebaran program masih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pesantren yang mengajukan permintaan pembuatan sumur ke Lazismu Lampung,” terang Jeni.


251 Air Bersih untuk Santri: Tirta untuk Para Pencari Ilmu Jeni mengatakan bahwa sejak Lazismu Lampung diketahui mendukung pembuatan sumur bor, banyak pesantren mengajukan permintaan. Tapi, tidak semua permintaan itu dapat dipenuhi. Lazismu Lampung harus meninjau tiap lokasi untuk menentukan mana yang paling mendesak untuk mendapatkan program. Berdasarkan fakta bahwa ada banyak permintaan untuk pembuatan sumur bor selama kemarau, menurut Jeni ini mengindikasikan ada fenomena besar terkait ancaman kekurangan air bersih. Sementara itu, lembaga pendidikan termasuk pesantren sebagian besar tidak didesain untuk mengantipasi bencana kekurangan air. Selain karena kendala pada tingkat pemahaman, juga karena begitu minimnya dukungan untuk mendukung daya pulih tanah menampung air. Apalagi, tidak semua pesantren di Lampung memiliki kapasitas dan daya finansial yang cukup untuk memitigasi dampak musim kemarau pada penurunan volume air bersih permukaan. Ini menjadi masalah lagi,


252 PILAR LINGKUNGAN karena air merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda atau ditangguhkan. Program Air Bersih untuk Santri ini mengemban beberapa fungsi. Pertama, program ini merupakan langkah mitigatif dalam menyelesaikan problem ketersediaan pasokan air bersih di pesantren. Kedua, program ini diharapkan dapat menjadi sarana edukasi tentang betapa pentingnya ketersediaan air bersih untuk mendukung proses pembelajaran di pesantren. Ketiga, program ini diharapkan dapat menstimulasi kesadaran publik tentang pendayagunaan dana filantropi muslim untuk penyediaan kebutuhan esensial dan pokok bagi masyarakat. SDGs dan Air Bersih Santri Program Air Bersih untuk Santri tidak diragukan lagi telah mendukung agenda pembangunan berkelanjutan sebagaimana tertera dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Secara gamblang, program ini telah berkontribusi pada Indikator 3.9.2 tentang penyediaan air


253 Air Bersih untuk Santri: Tirta untuk Para Pencari Ilmu bersih, sanitasi yang aman, dan higienis;1 Indikator 6.1.1 tentang jumlah penduduk yang menggunakan layanan air minum yang dikelola secara aman;2 dan Indikator 6.1.1.(c) tentang akses masyarakat pada layanan air minum yang aman.3 Dukungan terhadap air bersih, sanitasi yang aman, dan higienis merupakan tujuan pokok program Air Bersih untuk Santri. Melalui dukungan pembuatan sumur bor, program ini menargetkan ketersediaan akses yang terjangkau dan dapat diandalkan dalam memperoleh air yang aman dan bersih. Kehadiran program Air Bersih untuk Santri telah memberi manfaat dalam pengunaan sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeni, sumur bor yang dibuat oleh Lazismu Lampung telah mencegah para santri menggunakan sumber air yang tidak aman. Pada musim kemarau, sebagian besar santri tidak dapat mendapat air yang cukup untuk menunjang kebutuhan konsumsi dan sanitasi. Kondisi menyebabkan warga pesantren terpaksa menggunakan sumber air yang tercemar dan kotor. Program Air Bersih untuk Santri dengan demikian telah menunjang kebutuhan masyarakat—dalam hal ini warga pesantren—untuk mengakses layanan air yang bersih, aman, dan higienis. Bagi pesantren yang terbatas kapasitas finansialnya dalam menjamin ketersediaan air bersih, program ini telah membawa dampak besar untuk menopang taraf hidup sehat santri yang terjangkau dan ekonomis. Dan, tentu saja, program ini telah mengambil bagian untuk mendukung tersedianya sumber daya yang sangat vital dan krusial bagi masyarakat. 1 Indikator 3.9.2: Angka kematian akibat air tidak aman, sanitasi tidak aman, dan tidak higienis. 2 Indikator 6.1.1: Proporsi populasi yang menggunakan layanan air minum yang dikelola secara aman. 3 Indikator 6.1.1.(c): Proporsi populasi yang memiliki akses layanan sumber air minum aman dan berkelanjutan.


254 PILAR LINGKUNGAN


255 PILAR SOSIAL-DAKWAH 6 PILAR LAZISMU Pilar Program Penyaluran Lazismu


256 PILAR SOSIAL-DAKWAH


257 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat PEMBERDAYAAN SUKU KOKODA Jejak Muhammadiyah di Papua Barat Pemberdayaan Suku Kokoda merupakan program Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah digerakkan selama satu dekade. Lazismu Pusat telah memberikan dukungan terhadap program ini mencakup tahap penerapan hingga pengembangan. Muhammadiyah melalui program ini berjuang mengadvokasi pemenuhan hak-hak sipil, politik, agraria, ekonomi, dan kebudayaan bagi masyarakat Kokoda. Program Pemberdayaan Suku Kokoda yang digerakkan oleh MPM di Papua Barat mencakup: (1) penyediaan dan dukungan untuk pengembangan pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang berkesinambungan; (2) penyediaan infrastruktur pokok atau sarana dan prasarana umum, seperti pendirian sekolah, masjid, jalan dusun, perumahan, perpustakaan, dan sanitasi; (3) pemulihan hak-hak agraria dengan membeli lahan untuk pemukiman suku Kokoda; (4) pendampingan advokasi dan institusionaliasi komunitas dengan mendirikan desa dan pemberdayaan aparat desa. Sejak dirintis pada 2013, dan masih terus dilakukan hingga sekarang, program Pemberdayaan Suku Kokoda di Kampung Warmon, Aimas,


258 PILAR SOSIAL-DAKWAH Sorong, Papua Barat, merupakan wujud komitmen Muhammadiyah untuk memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat Papua. Kokoda dan Janji MPM “Saya sakit hati. Seolah saya dituduh menjual kemiskinan,” kenang Bachtiar Dwi Kurniawan, Sekretaris MPM PP Muhammadiyah periode 2015-2022. Ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala mengingat kesan pertama berkunjung ke suku Kokoda pada tahun 2013. Ketika itu, Bachtiar tengah bersama almarhum Said Tuhuleley Ketua MPM PP Muhammadiyah dan rombongan. Mereka sedang di Sorong dalam rangka memfasilitasi pelatihan pemberdayaan masyarakat. Kelar acara, seorang dosen STKIP Muhammadiyah Sorong1 menawari mereka berkunjung ke suku Kokoda, salah satu komunitas muslim asli Papua binaan kampus itu. Bachtiar dan Pak Said sepakat. Berangkatlah mereka ke sana. Untuk sampai ke lokasi tidak mudah. Mobil rombongan belum bisa masuk kampung. Mereka harus parkir terlebih dahulu dan melanjutkan dengan berjalan kaki sejauh dua ratus meter. Bachtiar bahkan harus menjinjing sepatu dan menggulung celana panjangnya supaya tak terendam lumpur. Mereka berjalan melalui petak pematang sawah milik warga transmigran yang seolah membelah dua peradaban yang terpisah. Di sebelahnya ada kampung transmigran dengan rumah-rumah permanen, jalan dusun berlapis semen, dan berlistrik, sedangkan di seberangnya ada jejeran gubuk kayu tanpa satu pun fasilitas sanitasi yang memadai. “Kami awalnya menduga masyarakat suku Kokoda itu hidup di perkampungan sebagaimana yang bisa kami bayangkan. Tapi yang kami lihat sama sekali berbeda. Tempat mereka tinggal itu bahkan bukan kampung dalam konsep yang kita kenal. Dalam satu rumah, biasanya menampung tiga hingga empat keluarga,” ungkap Bachtiar. 1 Sejak 5 Juli 2018, menjadi Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (Unimuda).


259 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat Tiba di lokasi, Bachtiar dan rombongan disambut kepala suku, tetua suku, dan beberapa perwakilan masyarakat. Mereka bertukar cerita dan secara khusus mendengar tantangan hidup suku Kokoda. Selesai ramah tamah, Bachtiar tergerak untuk mendokumentasikan suasana kampung. Ini pengalaman penting baginya sebagai pengurus MPM. Ia kemudian mulai memotret dengan kamera telepon genggam. Seorang sesepuh suku yang melihat Bachtiar berkata, “Pak, di sini sudah banyak sekali yang foto-foto. Tapi, kami tidak tahu fotonya ke mana, untuk apa dan (mereka) dapat apa.” Celetukan itu sontak membuat Bachtiar kaget dan terdiam. “Jujur saja, saya awalnya sakit hati. Saya merasa dituduh mau menjual kesengsaraan masyarakat suku Kokoda ke pihak lain. Tapi, saya mengerti mengapa komentar itu muncul. Saya paham. Cuma ya itu, kaget juga,” ujar Bachtiar. Bachtiar bertukar pandang ke Pak Said yang juga terdiam mendengar komentar si sesepuh suku. Di depan kerumunan orang, Bachtiar kemudian memandang ke kepala suku. Ia berkata, “Pak Haji, pegang kata-kata saya.


260 PILAR SOSIAL-DAKWAH Saya akan balik lagi ke Kokoda. Saya akan buktikan saya tidak sekadar foto-foto atau punya niat jahat untuk suku Bapak. Saya akan bantu urusan di sini sampai kelar sebagaimana yang Pak Haji dan suku inginkan.” Lepas berucap demikian, Bachtiar memberi kode ke rombongan untuk urunan uang sekadar pengikat keseriusan. Ia tidak punya cara lain. “Awal ke sana kan untuk silaturahmi, tidak ada maksud lain. Jadi kami tidak bawa apa-apa yang sepantasnya. Tapi gara-gara komentar si sesepuh itu tadi, saya jadi tersadar, ada problem besar yang tidak mungkin kami lupakan begitu saja kalau balik pulang,” ungkap Bachtiar. Inilah titik mula yang tidak pernah diduga Bachtiar yang mengantarkannya berjuang bersama masyarakat suku Kokoda. MPM dan Kokoda: Mencari Makna Pemberdayaan Bagai tumbu ketemu tutup. Itulah pepatah yang barangkali tepat menggambarkan perjumpaan Muhammadiyah dan suku Kokoda. Bachtiar menjelaskan bahwa MPM, antara tahun 2010 hingga 2015, memang sedang mencari formula pemberdayaan masyarakat yang cocok buat Muhammadiyah. Sebab, sejak awal mula berdiri, MPM sudah turun dan mengadvokasi petani, nelayan, buruh, tukang becak, pengrajin, temanteman difabel, pelaku UMKM, dan pemulung. Tapi, Bachtiar mengaku, belum ada satu pun yang betul-betul bisa disebut pemberdayaan yang mengakar dan berkesinambungan. “Semua berhasil dan sukses, tapi kita ingin yang lebih mengakar dan jangka panjang, sehingga bisa kita ukur dampak program pemberdayaan itu terhadap masyarakat atau komunitas yang kita bantu,” jelas Bachtiar. Kegelisahan Bachtiar dapat dimaklumi. Ia sudah lama menemani Pak Said mengurus MPM sebagai majelis yang bertugas menjembatani Muhammadiyah dan masyarakat akar rumput. MPM menjalankan fungsi pendampingan terhadap kelompok rentan dan komunitas marjinal,


261 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat sehingga Muhammadiyah sebagai organisasi keislaman tidak dianggap abai pada persoalan struktural yang dihadapi masyarakat. MPM menjadi penyeimbang sepak terjang Muhammadiyah yang kadung dianggap organisasi “modern”, “urban” dan hanya sukses mengurusi pembangunan infrastruktur, seperti bangunan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan gedung-gedung dengan berlapis-lapis lantai megah. MPM pada tahun awal pengembangan majelis, menerapkan pendekatan pemberdayaan berbasis mata pencaharian atau profesi. Sasaran komunitas atau kelompok pemberdayaan dipetakan berdasarkan kategori sektor ekonomi, entah pertanian, peternakan, perikanan, UMKM, industri, kriya, jasa, dan lain sebagainya. Karena berbasis mata pencaharian maka pendekatan ini fokus pada peningkatan kapasitas pengetahuan, keterampilan, bantuan sarana dan prasarana, serta akses atas pasar. Kendati demikian, Bachtiar merasa sepak terjang program pemberdayaan MPM masih perlu ditingkatkan. Perlu dibuat lebih mengakar dan mendalam.


262 PILAR SOSIAL-DAKWAH Pendekatan pemberdayaan MPM berbasis mata pencaharian ini punya keunggulan dan kekurangan tersendiri. Menurut Bachtiar, kelebihannya adalah ini model pemberdayaan yang akan selalu aktual mengikuti dinamika sosial yang tengah terjadi. Kelemahannya, sulit untuk mendapat variabel dalam hal pengukuran keberhasilan dampak intervensi yang dilakukan. Program-program pemberdayaan seperti ini juga sangat terbatas daya cakup aspek sasaran perubahannya. Tidak akan mampu holistik mencakup semua aspek krusial bagi daya tahan masyarakat sasaran program. Singkat kata, daya tahan mereka akibat program pemberdayaan ini hanya akan punya kekuatan selama programnya berjalan. Setelah itu, pelan-pelan, komunitas sasaran program akan kembali menghadapi tantangan yang sama atau malah lebih rumit. Selain ada konteks kegelisahan untuk memperdalam dampak program pemberdayaan MPM, pada saat yang bersamaan, majelis ini juga ditantang untuk menyasar komunitas di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal atau kerap disebut “daerah 3T”. Tantangan baru ini mendorong MPM untuk mulai memperlebar dan memperluas sayap misi pemberdayaan. Dan dengan demikian, harus turut pula melakukan reformulasi sistem pemberdayaan yang sebelumnya berbasis mata pencaharian menjadi komunitas. Reformulasi ini juga mendorong MPM untuk merumuskan konsep dan model intervensi yang relevan, integratif, dan diversif. Masyarakat suku Kokoda berbeda dengan sasaran program pemberdayaan MPM sebelumnya, seperti para petani, nelayan, buruh, atau pelaku UMKM. Nyaris tidak mungkin mereduksi problem masyarakat suku Kokoda ke dalam kotak-kotak masalah yang seolah tidak saling terkait, seperti masalah politik, agraria, hak asasi manusia, dan ekonomi. Betapa mustahilnya, menentukan bentuk intervensi pemberdayaan bagi masyarakat suku Kokoda dengan sekadar menyasar salah satu saja dari sekian masalah yang mereka hadapi. Adalah sebuah paradigma yang


263 Pemberdayaan Suku Kokoda Papua: Jejak Muhammadiyah di Papua Barat tersesat untuk melihat problem masyarakat suku Kokoda atau sebagian besar masyarakat suku di Papua ke dalam masalah ekonomi saja misalnya. Entah itu terkait kapasitas masyarakat suku di Papua dalam hal numerasi atau literasi. Sementara kondisi itu tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, agraria, dan HAM. Bachtiar menyadari betul problem masyarakat suku Kokoda lebih daripada sekadar taraf pendidikan, ekonomi atau kondisi infrastruktur. Kompleksitas tantangan yang dihadapi masyarakat suku Kokoda telah menstimulasi MPM untuk merefleksikan ulang apa makna pemberdayaan bagi majelis ini. Termasuk bagaimana seharusnya membangun hubungan rekonsiliatif dan dialogis dengan masyarakat suku di Papua, berangkat dari pengalaman bersama suku Kokoda. Fondasi-fondasi perenungan aktivisme inilah, bagi Bachtiar, yang melandasi dan barangkali telah mendorong MPM untuk memperkuat paradigma pemberdayaan yang lebih baru. Suku Kokoda dalam konteks ini telah menjadi medium reflektif bagi MPM untuk merumuskan model pemberdayaan yang kian bertenaga.


264 PILAR SOSIAL-DAKWAH Kokoda, Empu yang Termarjinalkan Jangan bayangkan suku Kokoda sama seperti yang sekarang dikenal. Ketika Muhammadiyah masuk ke kampung yang dihuni suku Kokoda pada 2013, situasinya sama sekali berbeda. “Teman-teman di Kokoda bahkan tidak punya hak sipil, politik, dan agraria. Jadi jangan dulu bicara bagaimana taraf ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Hak-hak dasar saja lenyap,” ungkap Bachtiar serius. Itulah kenapa Muhammadiyah, melalui MPM tidak mungkin menerapkan konsep pemberdayaan sebagaimana biasa dilakukan. Ada tiga konteks yang perlu dipahami lebih dulu tentang posisi suku Kokoda. Sebagian sudah dipaparkan di bagian sebelumnya. Tapi, perlu dipertegas di sini. Pertama, dalam konteks diskursus kewarganegaraan, suku Kokoda ada di posisi selayaknya homo sacer yang mengalami penelantaraan akibat ketiadaan hak dan eksistensi legal. Konsep homo sacer — yang berarti “orang-orang tanpa tameng dan status hukum” dalam hukum Romawi kuno — dapat mendeskripsikan posisi awal suku Kokoda yang kehilangan kapasitas untuk mengintegrasikan diri dan mengakses sumber daya yang mereka butuhkan. Masyarakat suku Kokoda sebagai homo sacer tidak memiliki satu pun atribut yang memungkinkan mereka menjadi warga (citizen) dalam konteks negara-bangsa modern, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK). Suku Kokoda, dan begitu pula banyak masyarakat marjinal lainnya adalah wajah dari penangguhan hak atas perlindungan, pelayanan, dan penyetaraan. Kedua, terkait dengan konteks pertama, akibat tidak memiliki atribut sebagai “warga”, suku Kokoda seperti terlantar di tanah leluhurnya sendiri yang telah tinggal di situ dari generasi ke generasi. “Waktu kami tiba ke pemukiman suku Kokoda, mereka masih ada praktik nomaden. Mereka menumpang hidup di tanah yang hak pengelolaannya diserahkan pemerintah pada transmigran dari luar. Ini menyakitkan hati tentu saja.


Click to View FlipBook Version