PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN
HUKUM INDONESIA
SUATU RENUNGAN DAN SUMBANGAN HUKUM
DARI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RADISMAN SARAGIH PETRUS CKL BELLO WETMEN SINAGA JONNY SINAGA
MANGISI SIMANJUNTAK HENRY DONALD HENDRI JAYADI JASMAN PANJAITAN
MORUS M. SIANIPAR NIKSON GANS LALU PETRUS IRWAN PANJAITAN
ROBERT PANGIHUTAN RADJAGOEKGOEK DIANA RW NAPITUPULU SRI HUTOMO
DAVID HUTAHAEAN HEDDY KANDOU MERRY ROHANA LISBET SIBARANI
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN
HUKUM INDONESIA
SUATU RENUNGAN DAN SUMBANGAN HUKUM
DARI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
Penulis:
Radisman Saragih, Petrus CKL Bello,
Wetmen Sinaga, Jonny Sinaga,
Mangisi Simanjuntak, Henry Donald, Hendri Jayadi, Morus M.
Sianipar, Nikson Gans Lalu,
Diana RW Napitupulu, Merry Rohana Sibarani, Robert
Pangihutan Radjagoekgoek,
Petrus Irwan Panjaitan,
David Hutahaean, Heddy Kandou, Sri Hutomo, Jasman Panjaitan
UKI PRESS
Pusat Penerbitan dan Pencetakan
Buku Perguruan Tinggi
Universitas Kristen Indonesia
Jakarta
2022
PEMIKIRAN DAN PEMBAHARUAN
HUKUM INDONESIA
SUATU RENUNGAN DAN SUMBANGAN HUKUM
DARI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
Penulis:
Radisman Saragih, Petrus CKL Bello, Wetmen Sinaga, Jonny Sinaga,
Mangisi Simanjuntak, Henry Donald, Hendri Jayadi,
Morus M. Sianipar, Nikson Gans Lalu, Diana RW Napitupulu,
Merry Rohana Sibarani, Robert Pangihutan Radjagoekgoek,
Petrus Irwan Panjaitan, David Hutahaean, Heddy Kandou, Sri Hutomo,
Jasman Panjaitan
Editor:
Radisman Saragih, S.H., M.H., Dr. Rr. Ani Wijayati, S.H., M.Hum.
Lonna Yohanes Lengkong, S.H., M.H
ISBN: 978-623-8012-07-7
Penerbit: UKI Press
Anggota APPTI
Anggota IKAPI
Redaksi: Jl. Mayjen Sutoyo No.2 Cawang Jakarta 13630
Telp. (021) 8092425
Cetakan I Jakarta: UKI Press, 2022
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
PRAKATA
Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Indonesia, menjadi penting untuk terus
dikumandangkan oleh para ahli hukum maupun institusi pendidikan tinggi
hukum. Hal ini mengingat, bahwa hukum yang berlaku atau dimasa
mendatang, harus didorong agar mengadaptasi kebutuhan masyarakat.
Berlakunya hukum di masyarakat teratur, membutuhkan kepastia, keadilan,
serta manfaat nyata, dimana hukum itu di buat bukan untuk kekuasaan, apalagi
kepentingan tertentu. Hukum sudah sepatutnya mengedepankan prinsip-
prinsip kesetaraan, keharmonisan, perlindungan, perdamaian. Hukum di buat
bukan untuk memiskinkan, tapi mensejahterakan. Hukum harus di buat
berdasarkan kecerdasan rational, serta melalui proses berfikir yang terus
menerus, dilandasi atas hasil-hasil penelitian. Berkaitan dengan itu, Fakultas
Hukum Universitas Kristen Indonesia di usia ke 64 tahun terus menjalankan
tugas nya dengan menyumbangkan dalam memperbaharui hukum Indonesia.
Jakarta, 01 Agustus 2022
i
DAFTAR ISI
Prakata ................................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................ ii
“Tinjauan Yuridis Atas Ketidaksesuaian Antara Isi Salinan Akta
Terhadap Keabsahan Perjanjian Dan Minuta Notaris” ............................. 1
Radisman Saragih
“Kebenaran Dalam Teori Interpretasi Hukum Dworkin” ......................... 15
Petrus CKL Bello
“Fungsi Dan Peran Notaris Dalam Membuat Perjanjian Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris” ......... 39
Wetmen Sinaga
“Kontribusi Penting Uki Dalam Pembaharuan Hukum Indonesia: Penyiapan
Sdm Yang Mumpuni Dengan Pemberian Lima Kecerdasan” ............................ 55
Jonny Sinaga
“Invasi Militer Rusia Ke Ukrania Ditinjau Dari Hukum Humaniter
Internasional” ............................................................................................ 73
Mangisi Simanjuntak
“Tumpang Tindih Pelaksanaan Harmonisasi Dan Sinkronisasi Peraturan
Perundang-Undangan Dengan Keluarnya Omnibus Law Cipta Kerja” .. 87
Henry Donald Lumban Toruan
“Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Tindak Pidana Korupsi
Dalam Prespektif Hukum Acara Pidana Indonesia” ................................. 109
Hendri Jayadi
“Presidensialisme Dalam Pembentukan Undang Undang Berdasarkan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945” ...................... 125
Morus M. Sianipar
ii
“Syarat Sah Dan Syarat Batal Perjanjian Dalam Perspektif Hukum
Perdata Indonesia” .................................................................................... 145
Radisman Saragih
“Pancasila Sebagai Konsep Prismatik Dalam Membangun Sistem
Hukum Nasional”...................................................................................... 179
Nikson Gans Lalu
“Bombardir Dari Laut Oleh Kapal Perang Rusia Terhadap Tentara Ukraina
Dan Objek-Objek Di Pulau Zmiinyi/ Pulau Ular Ditinjau Dari San Remo
Manual 1994”............................................................................................ 191
Mangisi Simanjuntak
“Perjanjian Kawin dan Pendaftarannya Dalam Perspektif Amandemen
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan” .............................................................................................. 205
Diana RW Napitupulu
“Menggali Pertanggungjawaban Hukum BUMN Bagi Kerugian
Keuangan Negara” .................................................................................... 215
Mery Rohana Lisbeth Sibarani
“Peningkatan Lifting Migas Nasional Dengan Pembaharuan Proses
Kontrak Pengeboran Sumur Pengembangan Di Darat Pada Lingkungan
Satuan Kerja Khusus Migas” .................................................................... 227
Robert Pangihutan Radjagoekgoek
“Pidana Penjara: Tajam Tak Bertepi” ....................................................... 243
Petrus Irwan Panjaitan
“Pemberian Kompensasi Kepada Anak Korban Kekerasan Seksual” ...... 255
David Hutahaean
“Pembaharuan Hukum Acara Perdata Menuju Unifikasi dan
Kodifikasi Hukum” ................................................................................... 265
Heddy Kandou
iii
“Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perjanjian Kerja Tertentu
Menurut UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja” ............................... 279
Sri Hutomo
“Kesetaraan Sumber Daya: Konsep Keadilan Distributif Dworkin” ........ 291
Petrus CKL Bello
“Reformasi Pendidikan Hukum Guna Melahirkan Aparat Penegak
Hukum Yang Profesional, Kompeten dan Berintegritas” ......................... 309
Jasman M Panjaitan
iv
TINJAUAN YURIDIS ATAS KETIDAKSESUAIAN
ANTARA ISI SALINAN AKTA TERHADAP KEABSAHAN
PERJANJIAN DAN MINUTA NOTARIS
Radisman Saragih
Pendahuluan
Perikatan pada dasarnya adalah hubungan hukum yang abstrak.
Pengertian dari perikatan akan lebih panjang penjabarannya dibanding dengan
1
Perjanjian. Perjanjian adalah suatu ikatan yang bersifat jelas dan nyata antara
pihak yang melakukan kesepakatan, yang disebabkan oleh peristiwa hukum.
Namun perikatan dan perjanjian adalah suatu hubungan yang memiliki
keterkaitan erat.
Berbicara mengenai perjanjian, akan selalu membutuhkan profesi
Notaris. Di dalam Pasal 1 (1) UU No. 02/2014 tentang Perubahan atas UU No.
30/2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris didefinisikan sebagai aparatur publik
yang memiliki tugas menerbitkan suatu akta asli juga otoritas lain seperti yang
tertera dalam Pasal 15 UU No.02/2014, yaitu:
“ (1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan, dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan Kutipan Akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
1 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, hlm. 22
1
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang,
(2) Kewenangan yang paling utama seorang notaris adalah membuat
akta yang berbentuk otentik dengan batasan.”
Salinan akta adalah suatu terusan minuta akta, terkait salinan akta
tertuang di dalam Pasal 1 UU No. 02/2014, yang dimaksud dengan salinan
akta yaitu suatu akta yang isinya sama dengan akta aslinya tetapi tertulis
“diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya” dibagian bawah.
Profesi Notaris ketika menjalankan tugasnya berkewajiban untuk
mengikuti ketentuan hukum yang sudah diatur pada UU No.02/2014 tersebut.
2
Notaris wajib memiliki sikap amanah yang berintegritas, saksama,
independensi, netral, serta wajib menjaga kerahasiaan demi kepentingan
hukum pihak yang terlibat seperti tertuang di dalam Pasal 16 (1) huruf b. UU
No.02/2014 dan tugas pokok lainnya yaitu menerbitkan Minuta Akta untuk
disimpan. Apabila ada ketidaksesuaian antara akta asli dengan minuta akta
maka akan menjadi suatu masalah di kemudian hari.
Namun, tugas dari notaris tidak hanya melakukan pengembalian akta
hak milik pada studi kasus putusan Pengadilan. UU No.02/2014 dan Kode
Etik Notaris menjadi sumber hukum sebagai pedoman notaris ketika
menjalankan tugasnya, oleh sebab itu penulis merumuskan masalah
“Bagaimana pertanggungjawaban Notaris atas ketidaksesuaian Akta Salinan
dengan Minuta Akta?”. Penelitian ini bertujuan untuk memberi penjelasan
terkait tugas Notaris terhadap keabsahan perjanjian, akta dan minuta akta.
2 C.E. Fitriyeni, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta Sebagai
Bagian Dari Protokol Notaris. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 14, No. 58, Aceh: Fakultas
Hukum Universitas Syiah Kuala, 2012, hlm. 392.
2
Analisis Kedudukan Perbedaan Salinan Akta terhadap Minuta Akta
a. Akta Batal Demi Hukum
Pengertian Minuta (minit) yaitu akte asli yang disepakati para pihak dan
Notaris kemudian disimpan sebagai arsip Notaris, tidak merupakan salinan
3
atau grosse akta . Kutipan merupakan derivasi yang tidak sempurna karena
dapat juga dikatakan sebagai derivasi dari beberapa kata. Kutipan ini berasal
dari sebagian catatan akta dan kutipan itu dibuat sesuai dengan permintaan
yang bersangkutan. Dalam pengertian itu, perlu untuk mengutip bagian dari
akta dan di akhir akta dari catatan akta. Akta tetap harus dicantumkan dalam
isi Akta dan dikutip di akhir dokumen.
4
Notaris berkewajiban untuk menyetujui dan menerbitkan salinan akta,
grosse serta mengkomunikasikan isi akta pada para pihak yang bersangkutan,
menjunjung tinggi “KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”.
Seorang Notaris hanya bisa menerbitkan 1 (satu) grosse akta pertama
saja pada orang yang berkepentingan dengan akta tersebut, tetapi grosse kedua
akta dan seterusnya hanya dapat dikeluarkan pada orang yang berkepentingan
dengan akta tersebut atas penetapan pengadilan, Sesuai dengan ketentuan
Pasal 55 (4) UU No. 2/2014 .
Salinan akta adalah akta asli (otentik) yang harus diterbitkan oleh notaris
kepada pihak yang bersangkutan, dan pihak yang berkepentingan bisa
menggunakannya untuk alat pembuktian sebagai akta notaris apabila terjadi
perkara hukum. Jika notaris menerbitkan salinan akta yang berbeda dengan
minuta akta, maka notaris telah melampaui batas kewenangannya, hal tersebut
3 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta:
Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, 1993, hlm. 176.
4 Dedy Prasetyo Winarno, Konsekuensi Yuridis Salinan Akta Notaris Yang Tidak Sama
Bunyinya Dengan Minuta Akta Terhadap Keabsahan Perjanjian, Arena Hukum, Vol. 8, No.
3, Malang: Universitas Brawijaya, 2015, hlm. 413.
3
dijelaskan pada Pasal 16 (1) huruf d. UU No. 2/2014, dan Pasal 1(9) UU No.
2/2014, yang berarti salinan akta itu sendiri.
Perbedaan bunyi antara salinan akta yang dilegalisir dengan minuta akta
merupakan salah satu akibat dari hilangnya keaslian akta atau batalnya akta
yang diaktakan. Hal tersebut memiliki beberapa konsekuensi bagi pihak yang
5
berkepentingan, yakni:
1) Keontentikan suatu akta apabila hilang dapat membatalkan perbuatan-
perbuatan hukum yang tersangkut didalamnya juga terhapus. Hal ini
merupakan perbuatan hukum yang harus ditunjukkan dalam akta demi
hukum. Contohnya : akta pendirian PT.
2) Akta didiskreditkan, namun akta notaris tidak dicabut dan perbuatan
hukum yang terkandung didalamnya tidak batal untuk membuktikan
perbuatan hukum.
3) Akta tetap masih otentik (akta notaris batal) atau akta yang
dikandungnya batal, misalnya jual beli yang dilakukan atas dasar bukti
palsu.
Akta notaris yang telah terbukti sebagai surat tulisan tangan atau tidak
sah menurut hukum dapat diperlihatkan dan ditentukan di bawah ini:
1) Pada pasal tertentu menegaskan apabila notaris melakukan perbuatan
melawan hukum, maka akta yang bersangkutan sebagai akta dibawah
tangan seperti dalam Pasal 15 (9) UU No.02/2014 bahwa apabila salah
satu persyaratan tidak terpenuhi maka akta tersebut termasuk dalam akta
dibawah tangan atau dokumen pribadi.
2) Kecuali disebutkan secara khusus dalam pasal tersebut sebagai alat
pembuktian pintu belakang, bahwa tidak sah dan tidak termasuk.
5 Irfan Fachrudin, Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya dalam Sengketa Tata Usaha Negara,
Jakarta: Varia Peradilan No. 122, 1994, hlm. 148.
4
Jika surat keterangan indikasi hukum dinyatakan tidak sah secara
hukum, maka dinyatakan tidak ada.
b. Akta Dapat Dibatalkan
Hukum perjanjian mempunyai akibat hukum tertentu ketika syarat
subjektif dan objektif tidak terpenuhi. Jika persyaratan subjektif tidak
terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan selama diminta oleh pihak-pihak
tertentu yang berkepentingan. Faktor-faktor penyebab suatu dokumen status
hukumnya menjadi tidak sah atau tidak berlaku antara lain:
1) Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan
Dalam kasus ketidakcakapan dan ketidakwenangan di dalam
bertindak, dapat dibedakan antara kecakapan bertindak dan kewenangan
bertindak. Sejak anak di dalam kandungan dan juga pada saat sudah lahir
dan digolongkan sebagai subjek hukum, sehingga mempunyai
kedaulatan hukum (KUHP, Pasal 1 Ayat 2).
Kemampuan badan hukum untuk bertindak dapat dibatasi oleh
hukum, atau oleh undang-undang yang olehnya semua orang dianggap
memiliki kapasitas untuk bertindak, namun kebebasan ini juga dibatasi
oleh kekuatan hukum objektif. Orang yang tidak mampu atau tidak
mampu secara hukum adalah orang yang pada umumnya tidak mampu
membuat akta notaris dan harus berusia minimal 18 tahun (Pasal 39
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jasa Notaris. Seseorang
yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu, tidak atau
tidak berwenang untuk itu. Notaris (termasuk para saksi) yang membuat
wasiat pewaris tidak dapat menikmati apa yang diberikan oleh wasiat
itu (Pasal 907 KUHPerdata). Artinya, notaris dapat memperoleh wasiat
5
dari orang lain sepanjang bukan dari klien yang sebelumnya telah
membuat wasiat.
2) Cacat didalam Kehendak
Pasal 1322–1328 KUHPerdata mengatur secara limitatif jika terdapat
cacat kehendak, yaitu kekhilafan, penipuan dan paksaan.
3) Kekeliruan dan Penipuan
Penipuan terjadi tidak hanya ketika fakta-fakta tertentu sengaja
dihilangkan atau disembunyikan, tetapi juga ketika informasi palsu
secara sengaja diberikan atau disebabkan oleh hal lain.
4) Ancaman
Berlaku apabila seseorang membujuk oranglain untuk dapat
bertindak suatu perbuatan hukum. Dengan melanggar hukum,
mengancam atau menyebabkan kerusakan pada seseorang, properti, atau
pihak ketiga mana pun. Ancaman yang menimbulkan ketakutan bahwa
kemauan seseorang menjadi cacat. Kehendak yang benar telah
diucapkan, tetapi itu akan memanifestasikan dirinya sebagai akibat dari
ancaman yang dihadapinya.
5). Penyalahgunaan Keadaan
Suatu keadaan di mana seseorang dibujuk untuk mengambil tindakan
hukum untuk situasi tertentu dan orang yang memanfaatkannya.
Larangan hukum terhadap perjanjian memiliki keterkaitan hukum,
yaitu:
“a) Pelaksanaan dari tindakan hukum,
b) Substansi dari tindakan hukum,
c) Maksud dan tujuan tindakan hukum tersebut.”
Diatur di dalam Putusan MA No. 1440 K/PDT/1996 tertanggal 30 Juni
1998 dan Putusan MA No. 1462 K/PDT/1989 tertanggal 29 November 1993
bahwa:
6
“Akta Notaris tidak mempunyai Kekuatan Eksekusi dan Batal Demi Hukum
jika memuat lebih dari (1) Perbuatan atau tindakan Hukum.”
“ Terdapat 3 alasan untuk membatalkan perjanjian adalah:
a) Kekhilapan/Kesesatan (Dwaling Jo. Pasal 1322 KUH Perdata).
b) Paksaan (dwang) Jo. Pasal 1323, 3124, 1325, 1326, 1327 KUH
Perdata.
c) Penipuan (bedrog) Jo. Pasal 1328 KUH Perdata."
Salinan akta yang bunyinya tidak sama dengan catatan akta itu
seharusnya dinyatakan tidak sah oleh majelis hakim sesudah adanya gugatan
dari pihak yang dirugikan pada gugatan itu.
Analisis Konsekuensi Yuridis Perjanjian Atas Ketidak Sesuaian Salinan
Akta terhadap Minuta Akta Notaris
a. Konsekuensi terhadap Status Perjanjian dalam Akta
Kata "akta" berasal dari kata acte yang berarti akta dalam bahasa
Perancis, maka akta tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum bukan
surat. dibuat oleh notaris. mengacu pada akta yang memiliki akta dan akta
6
tersebut. fungsinya untuk pihak yang berkepentingan:
“ 1). Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum;
2). Sebagai alat pembuktian;
3). Sebagai alat pembuktian satu-satunya.”
Akta adalah suatu bentuk bukti tertulis yang melibatkan perselisihan
antara pihak-pihak yang harus digunakan sebagai alat pembuktian.
Berdasarkan Pasal 1867 KUHP harus diajukan bukti tertulis berupa surat-surat
yang asli atau palsu.
6 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, terjemahan M. Isa Arief, Jakarta: Intermasa, 1986, hlm.
52.
7
Notaris diberikan kuasa oleh undang-undang dalam menjalankan
tugasnya untuk melakukan pembuatan akta, perjanjian serta kesepahaman
yang diinginkan para pihak. Akta keaslian untuk konversi, memastikan bahwa
dokumen yang dibuat memiliki nilai pembuktian yang lengkap dan memiliki
7
keabsahan.
Perjanjian juga dapat diartikan sebagai peristiwa hukum ketika satu
orang atau lebih menjanjikan untuk saling berbuat sesuatu. Agar perjanjian
yang sah menjadi sah, selain unsur-unsur perjanjian, ada empat syarat yang
ditetapkan dalam Bagian 1320 KUHP juga harus dipenuhi::
“1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2) Kecakapan untuk membuat perjanjian,
3) Hal tertentu, dan
4) Sebab yang halal.”
Suatu perjanjian yang ditulis pada akta notaris dan ditandatangani pihak
yeng berkepentingan dan notaris membentuk suatu hubungan hukum.
Hubungan hukum ini mengikat kedua belah pihak kecuali ada persetujuan
antara para pihak untuk membatalkannya atau perintah pengadilan yang
8
membatalkan Dokumen.
Salinan akta yang berbeda dengan minuta akta bisa dikatakan tidak sah
oleh majelis dikarenakan tidak terpenuhinya persyaratan formal. Oleh karena
itu, salinan instrument dan minuta nya pertama-tama harus diratifikasi secara
eksternal, sepatutnya atau bersifat substantif.
Suatu akta yang dinyatakan tidak sah dan salinan berita acara akta
tersebut dapat dipahami jika akta tersebut tidak mengikat para pihak karena
7 Suhardjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Jakarta: Varia Peradilan, No. 123,
1995, hlm. 133.
8 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 190.
8
dapat dimaklumi jika akta tersebut tidak ada atau belum dibuat. Begitu pula
dengan perjanjian, yang merupakan isi dari dokumen itu sendiri.
Penyebab berbedanya minuta akta dan salinan akta adalah sebagai
berikut:
1) Tidak berlakunya akta notaris akan tetapi perjanjian disebutkan
didalamnya tetap dinyatakan sah, ini dapat terjadi jika para pihak
menyetujui dan terbukti dengan suatu akta asli, agar terdapat alat
bukti yang memiliki kekuatan hukum
2) Apabila persyaratan perjanjian tidak terpenuhi atau apabila terjadi
adanya unsur pemalsuan pada saat pembuatan akta yang
mengakibatkan suatu perbuatan yang merugikan salah satu pihak
maka akta tersebut dinyatakan batal.
b. Pertanggungjawaban bagi Notaris
Peran Notaris dalam membuat ketetapan hukum dan perlindungan
hukum untuk masyarakat bersifat preventif. Badan hukum yang menjadi alat
bukti utama berfungsi sempurna di pengadilan sehubungan dengan hak dan
9
kewajiban yang bersangkutan.
Akta yangi dibuat dihadapan notaris dapat bersifat faktual dengan
adanya upaya perlindungan secara hukum, untuk semua para pihak yang
bersangkutan didalam pembuatan akta tersebut dan mengenai kepastian fakta.
Jabatan Notaris adalah suatu kedudukan yang dapat diandalkan, sehingga
perlu menjaga keluhuran, baik ketika bertugas sesuai fungsinya Notaris
ataupun ketika menjalankan kehidupan sehari-hari.
Notaris dapat diminta untuk memberikan nasihat hukum atas akta yang
dibuatnya, sekalipun di kemudian harii apa yang disampaikannya ditemukan
9 Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta, Bandung:
Mandar maju, 2011, hlm. 7.
9
terdapat kekeliruan, dan sekalipun notaris itu ternyata tidak memberikannya
pada saat akta itu dibuat. Anda dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kebenaran materi tersebut.
Notaris perlu bertanggung jawab apabila suatu keadaan mengharuskan
Notaris harus tersangkut pada kasus perdata maupun pidana sebagai akibat
dari akta yang dihasilkannya. Untuk salinan akta yang berbeda dengan berita
acara adalah suatu kehilafan Notaris didalam pembuatan akta maka dapat
menimbulkan kerugian untuk salah satu pihak dikarenakan kelalaiannya,
Notaris telah melanggar kewajibannya.
Seorang Notaris diharuskan memiliki kejujuran, sikap yang baik,
ketelitian, kemandirian, bersifat netral, serta dapat menghasilkan
perlindungan kepada pihak-pihak secara sah dan penuh dengan
tanggungjawab, menerapkan prinsip pencegahan dalam melakukan perbuatan,
sehingga notaris harus bertanggung jawab, yaitu perdata. Jika kesalahan
notaris terbukti, notaris dapat dipidana berupa ancaman menurut ketentuan
undang-undang.
Penutup
Jika salinan akta berbeda isinya dengan minuta akta maka tidak bisa lagi
menjadi suatu alat pembuktian karena terdapat syarat yang tidak terpenuhi
secara formil dan materil. Maka dari itu salinan akta dapat dinyatakan tidak
sah karena disebabkan tidak terpenuhinya syarat tersebut.
Akibat hukum dari kontrak kerjasama yang berbeda salinan akta dan
minuta aktanya bisa dikatakan tidak sah selama masih adanya persetujuan
pihak-pihak guna membatalkan kontrak tersebut dikarenakan dapat
menimbulkan ketakadilan dengan indikasi adanya pelanggaran dan
penyalahgunaan. Notaris pun memiliki sanksi moril yaitu dapat dikenakan
sanksi administrasi, sanksi pidana maupun perdata dikarenakan
penyalahgunaan wewenang.
10
Oleh karena itu, saat bertugas Notaris memiliki kewajiban untuk
bertindak dengan penuh kehati-hatian dan tidak ceroboh, khususnya ketika
mereka membuat suatu akta. Perbuatan tersebut harus memenuhi persyaratan
substantif dan formal agar tidak dapat disengketakan dan batal. Dalam
menjalankan tugasnya sebagai Notaris, Notaris wajib mematuhi UU
No.2/2014 terkait Jabatan Notaris. Secara etika profesi, untuk mencegah
dilakukannya perbuatan melawan hukum yang merugikan dan harus
mematuhi peraturan lain yang relevan. untuk tujuan dari Kepada pihak yang
dapat menuntut. Notaris harus sepenuhnya bertanggungjawab dengan segala
yang telah dilakukannya. Apabila pengadilan membuktikan bahwa akta
tersebut tidak sah dan dapat menyebabkan kerugian pada salah satu pihak
sehingga Notaris perlu menerbitkan akta pengganti yang tidak merugikan
keduanya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, terjemahan M Isa Arief, Jakarta:
Intermasa, 1986.
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Komariah Andasmita, Notaris Selayang Pandang, Bandung: Alumni, 1983.
L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita,
1981.
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan),
Cetakan Pertama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
Sjaifurrachman, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,
Bandung: Mandar Maju, 2011.
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1980.
_________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001.
Suhardjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Jakarta: Varia Peradilan,
Nomor 123, 1995.
Jurnal
Dedy Prasetyo Winarno, “Konsekuensi Yuridis Salinan Akta Notaris Yang
Tidak Sama Bunyinya Dengan Minuta Akta Terhadap Keabsahan
Perjanjian”, Malang: Arena Hukum, Vol. 8, Nomor 3, 2015.
12
C.E. Fitriyeni, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta
Akta Sebagai Bagian Dari Protokol Notaris. Aceh: Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 4 Nomor 3, 2012.
Irfan Fachrudin, Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya dalam Sengketa Tata
Usaha Negara, Jakarta: Varia Peradilan Nomor 122, 1994.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 No. 23.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan
Notaris
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Peraturan Jabatan Notaris
13
[Halaman Ini Sengaja Dikosongkan]
14
KEBENARAN DALAM TEORI INTERPRETASI HUKUM
DWORKIN
Petrus CKL Bello
Pendahuluan
Pemikiran Ronald Dworkin tentang interpretasi hukum tidak dapat
dilepaskan dari upayanya untuk melampaui positivisme. Dworkin
menganggap positivisme gagal menjelaskan fenomena hukum sebab
mereduksi hukum semata sebagai aturan-aturan yang disepakati, hukum
sebagai konvensi sosial. Menurut Dworkin, praktik hukum adalah
argumentatif. Orang yang hidup dalam sebuah sistem hukum menurutnya
kerap mempertanyakan apakah aturan yang berlaku itu justified, dapat
dipertanggung-jawabkan secara moral atau tidak. Jawaban atas persoalan
tersebut menurut Dworkin tidak dapat dipecahkan melalui standar yang
disepakati, melainkan melalui penafsiran.
Fenomena hukum sebagai praktik penafsiran ini menurut Dworkin
1
paling jelas terlihat dalam perdebatan antarhakim. Ketika menghadapi satu
perkara hukum, para hakim berupaya mencari jalan keluar melalui penafsiran
ini. Tidak ada acuan bersama yang dengannya satu kasus hukum bisa
dipecahkan. Mereka mengajukan argumen masing-masing untuk
mempertahankan pandangan atas perkara yang dihadapi dan tanpa bisa
dibuktikan mana dari pandangan mereka itu yang paling benar.
1 Alasan Dworkin memilih hakim sebagai model perdebatan dalam hukum karena argumen
yang dikemukakan hakim lebih eksplisit dan dapat mempengaruhi bentuk-bentuk lain dari
wacana hukum. Ketika seorang hakim akan menentukan tentang apa yang dituntut hukum
atau apa hukum yang tepat bagi suatu kasus tertentu, maka ia tidak semata-mata mengikuti
apa yang tertera dalam perundangan melainkan juga melakukan penafsiran atas undang-
undang. Lih. Ronald Dworkin, Law’s Empire, 14-15.
15
Pendapat Dworkin bahwa hukum merupakan praktik penafsiran dan
bahwa penafsiran tidak memiliki standar yang disepakati menimbulkan
polemik di antara para filsuf hukum. Terlebih, Dworkin juga memegang teguh
tesis bahwa dalam kebanyakan masalah hukum, terdapat jawaban yang benar.
Banyak yang bertanya, jika penafsiran tidak memiliki acuan bersama sebagai
penentu kebenaran, lalu bagaimana menimbang penafsiran itu? Bukankah jika
tidak ada acuan bersama masing-masing tafsir hukum akan memiliki status
epistemologis yang sama? Dworkin dianggap tidak konsisten.
Secara garis besar, serangan terhadap konsep interpretasi Dworkin
datang dari dua arah. Arah pertama berasal dari para pemikir yang skeptis
terhadap kebenaran interpretasi hukum. Sama seperti pendapat Dworkin,
kelompok pertama berangkat dari asumsi bahwa penafsiran hukum tidak
memilki acuan yang berlaku umum. Karenanya menurut kelompok pertama
ini, penafsiran mana yang dianggap valid, sahih, tidak bisa ditentukan.
Kelompok kedua menyerang Dworkin dari arah yang berlawanan. Mereka
berangkat dengan asumsi hukum memiliki kriteria universal. Penetapan mana
hukum sebenarnya dan yang bukan ditentukan melalui kriteria tersebut.
Dua pandangan yang bertolak belakang di atas menurut Dworkin sama-
sama tidak dapat dipertahankan. Melalui berbagai argumen dan contoh
Dworkin menunjukkan bahwa meski tidak ada acuan bersama, penentuan
penafsiran yang benar tetap bisa ditetapkan. Dworkin mengakui bahwa
penentuan penafsiran yang benar itu tidak mudah. Dworkin juga mengakui
bahwa penafsiran yang dianggap benar tidak akan memuaskan semua orang.
Tapi kedua kenyataan itu menurutnya tidak bisa dijadikan dasar untuk
menggugurkan pandangan bahwa dalam penafsiran hukum akan ada
penafsiran yang masuk akal dan yang tidak, yang memiliki argumen kuat dan
yang lemah; yang benar dan yang salah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana
16
menentukan satu penafsiran hukum benar sementara yang lain salah? Jika
tidak ada kriteria universal, lalu apa ukurannya?
Tulisan ini akan berturut-turut membahas tentang apa itu penafsiran
menurut Dworkin termasuk membahas apa bedanya sains dan penafsiran,
membahas apakah mungkin dalam penafsiran hukum itu bisa ditentukan benar
atau salahnya. Selanjutnya membahas bagaimana menentukan kebenaran
interpretasi hukum, dan terakhir berisi kesimpulan.
Apa itu penafsiran?
Seperti disinggung dalam pengantar di atas, hukum menuru Dworkin
merupakan praktik interpretatif. Tiap orang yang hidup di dalam sebuah
sistem hukum berupaya mencari apa maksud atau tujuan dari aturan yang
menjadi pedoman hidup mereka. Upaya mencari tujuan itu dilakukan bukan
dengan mencocokkan dengan kriteria yang ada melainkan melalui interpretasi.
Penafsiran menurut Dworkin merupakan salah satu cabang berpikir
selain cara berpikir saintifik, cara berpikir yang diakui dalam ilmu-ilmu alam.
Jadi Dworkin menganggap penafsiran sebagai salah satu bentuk pengetahuan
yang sejajar dengan sains. Seperti sains, penafsiran juga berupaya mencari
kebenaran dari apa yang ditafsirkan. Hanya saja, berbeda dari sains, kebenaran
yang dicari dalam penafsiran bukan penjelasan dari sebuah fenomena,
melainkan makna, motif, atau tujuan dari objek yang ditafsir. Penjelasa paling
banyak tentang dua cara berpikir itu paling tegas kita jumpai dalam Justice for
2
Hedgehogs. Lalu bagaimana cara menguji kedua jenis kebenaran tersebut?
Pemikiran Dworkin tentang perbedaan antara sains dan interpretasi
(penafsiran) sebenarnya sama dengan pembedaan yang umum dalam filsafat
ilmu. Dalam kajian filsafat ilmu kita bisa mengenal perbedaan antara
penjelasan (explanations) dan pemahaman (understanding). Dikatakan,
2 Ronald Dworkin, Justice for Hedgehogs, khususnya Bab II khususnya bagian 7 dan 8.
17
penjelasan berupaya mencari hubungan sebab akibat yang terjadi di alam,
sementara pemahaman berupaya mencari makna atau tujuan tindakan manusia,
dari kebudayaan. Dworkin menggunakan istilah berbeda dari yang digunakan
para filsuf ilmu. Penjelasan dan pemahaman diganti Dworkin dengan istilah
interpretasi dan sains. Salah satu aspek yang membedakan interpretasi dari
sains menurut Dworkin terletak pada peran tujuan atau nilai dari dua bidang
pengetahuan tersebut. Dalam sains, tujuan atau nilai dari suatu kajian bukan
faktor yang determinatif; tujuan hanya menjadi pendorong penelitian.
Sedangkan interpretasi merupakan tindakan yang selalu bertujuan, tidak hanya
3
dalam kosa kata dari klaim-klaimnya tapi dalam standar keberhasilannya.
Dalam semua bentuk penelitian menurut Dworkin terdapat dua tujuan:
tujuan intrinsik (intrinsic goal) dan tujuan pembenar (justifying goal). Tujuan
intrinsik adalah tujuan untuk menemukan kebenaran tentang sesuatu. Selain
tujuan intrinsik ilmu-ilmu juga memiliki tujuan pembenar. Ini adalah tujuan
yang kita yakini menjadi pembenaran dari pencarian kita akan kebenaran.
Tujuan pembenar ilmu kedokteran, misalnya, adalah untuk menemukan
pencegah atau obat dari penyakit tertentu. Peran tujuan pembenar dalam ilmu
alam maupun ilmu sosial sangat penting. Dalam ilmu alam tujuan tersebut
tidak hanya menentukan persoalan apa yang mau dijawab atau jenis kajian
yang akan dibiayai pemerintah atau lembaga tertentu, tapi juga kepuasan yang
dirasakan ketika kita menemukan kepastian-kepastian yang dihasilkan. Meski
demikian, peran tujuan pembenar dalam ilmu alam sangat terbatas, tujuan
pembenar tidak menentukan kebenaran klaim dalam ilmu alam. Kepuasan atau
kekecewaan kita terhadap hasil dari penelitian ilmu alam tidak menentukan
4
apakah penelitian itu benar atau salah. Sedangkan dalam interpretasi tujuan
3 Interpretation differs from science because interpretations is purposive, not just in the
vocabulary of its claims but in the standards of its success. Ibid. p.152.
4 Justifying goals play an evidently important role in science. They explain not only which
questions scientists try to answer and which studies government or foundations finance, but
18
pembenar merupakan bagian yang menentukan kebenaran dari interpretasi
yang dibuat. Tujuan mendapatkan keadilan, misalnya. Tujuan tersebut akan
mempengaruhi penilaian kita terhadap sebuah penafsiran hukum. Penafsiran
yang dirasa tidak adil, akan dianggap sebagai penafsiran yang salah. Demikian
sebaliknya, penafsiran yang dirasa adil adalah penafsiran yang benar.
Dalam interpretasi, kita dapat katakan, tujuan pembenar dan tujuan
intrinsik bercampur. Seorang penafsir membuat atau memiliki asumsi-asumsi
tentang tujuan dan nilai yang mendukung mereka, dan asumsi-asumsi ini
meskipun tidak dinyatakan dan tidak diakui, menentukan klaim interpretasi
yang mereka terima dan yang mereka tolak. Interpretasi digunakan dalam
bidang yang berbeda-beda. Sejarawan menafsirkan kejadian masa lampau,
sosiolog menafsirkan gejala yang ada di masyarakat, hakim dan pengacara
menafsirkan undang-undang, pengamat politik menfasirkan perilaku politisi,
karyawan menafsirkan omongan dan gesture bos mereka. Semua kegiatan
tersebut layak disebut sebagai interpretasi. Lalu apa yang menyamakannya?
Menurut Dworkin, karakter penafsiran ada pada tujuan, makna atau maksud,
sebagaimana disampaikannya, “Kita sampai pada satu kesimpulan yang wajar,
dalam masing-masing aliran interpretasi, (ditemukan kesamaan, yaitu—Pen.)
bahasa maksud atau tujuan. Kita membicarakan makna atau signifikansi dari
sebuah puisi atau drama, maksud klausul dalam sebuah statuta, motif-motif
yang menghasilkan sebuah mimpi, ambisi atau pemahaman yang membentuk
5
sebuah peristiwa atau era” (Ibid.: 125). Ringkasnya, interpretasi merupakan
also when we think it right to rest content with some claim of truth that fall short, as many
significant scientific claims do, of certainty. Nevertheless, in spite of these important effects,
we must never conflate the justifying goals with the intrinsic goals of science; in particular
we must not suppose that justifying goals enter into any test of success in finding truth. We
may study cosmology because we are enchanted with the vastness of space, but the truth of
the big bang theory does not turn on whether it enchants us. Ibid. p. 153.
5 “We find it natural to report our conclusions, in each and every genre of interpretation, in
the language of intention or purpose. We speak of the meaning or significance of passage in
a poem or play of the point of a clause in particular statute, of the motives that produces a
19
kegiatan untuk mencari tujuan, motif, makna, dari sesuatu yang
diinterpretasikan.
Dworkin membagi interpretasi ke dalam tiga jenis: Kolaboratif
(collaborative interpretation), eksplanatori (explanatory interpretation), dan
6
konseptual (conceptual interpretation). Interpretasi kolaboratif menurut
Dworkin mengasumsikan bahwa objek interpretasi memiliki pengarang yang
7
memulai sebuah proyek yang coba dikembangkan oleh penafsir. Berikutnya,
interpretasi eksplanatori. Interpretasi eksplanatori berangkat dari pengandaian
yang berbeda dari penafsiran kolaboratif. Dalam penafsiran eksplanatori
penafsir tidak berupaya menjalin kerja sama dengan pengarang, tapi berupaya
8
menjelaskan makna objek yang ditafsirkan kepada audiens. Kemudian yang
terakhir adalah interpretasi konseptual. Dalam interpretasi konseptual,
penafsir menempatkan diri sebagai orang mencari makna dari sebuah konsep
yang dikarang bukan oleh pengarang tunggal tapi oleh komunitas, di mana
penafsir itu sendiri merupakan bagian darinya. Perbedaan antara penafsir dan
pengarang dalam interpretasi konseptual lebur, sebab dalam laku
penafsirannya, penafsir juga menjadi pengarang. Artinya, penafsiran dari
9
penafsir sendiri akan mengubah objek yang ditafsirkan.
Penafsiran hukum, politik, dan moralitas menurut Dworkin masuk ke
dalam jenis penafsiran konseptual. Dalam menghadapi sebuah kasus seorang
hakim akan memosisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, dengan
nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dan penafsiran
hakim atas perkara yang dihadapinya, pada akhirnya akan menjadi pegangan
particular dream, of the ambitions or understandings that shaped an event or age.” Ibid.,
p.125.
6 Ibid., p. 135.
7 “Collaborative interpretation assumes that the object of interpretation has an author or a
creator and that the author has begun a project that the interpreter tries to advance.” Ibid.
8 Ibid., p. 136.
9 Ibid
20
penafsir berikutnya. Uraian tentang penafsiran konseptual, penafsiran atas
hukum, politik, dan moralitas, lebih jauh diuraikan Dworkin melalui
penjelasan tentang jenis-jenis konsep.
Dworkin membagi konsep ke dalam tiga kelompok, yaitu konsep
alamiah (natural kind concept), konsep yang memiliki kriteria (criterial
concept), dan konsep interpretif (interpretive concept). Konsep kriterial adalah
jenis konsep yang memiliki kriteria yang disepakati. Sementara konsep jenis
alamiah, tidak hanya memiliki standar yang bisa diacu, tapi juga memiliki ciri
tetap yang tidak bisa diperdebatkan. Selain dua jenis konsep di atas masih ada
jenis konsep lain, yaitu konsep interpretif (interpretive concept). Perdebatan
dalam bidang hukum, politik, dan moralitas menggunakan konsep-konsep
jenis ini. Perdebatan dalam ketiga bidang tersebut oleh karenanya tidak bisa
diselesaikan dengan cara mengecek standar-standar yang ada. Kita sepakat
misalnya putusan hakim harus adil. Tapi kita terbelah ketika menanggapi
apakah hukuman mati yang dikenakan pada gembong narkoba itu adil atau
tidak.
Dworkin menunjukkan bahwa pemahaman bersama tentang konsep
interpretif tetap berdasar pada kesepakatan. Hanya saja, tidak seperti dalam
konsep kriterial dan konsep alamiah, jenis kesepakatan dalam konsep
interpretif bukan terdapat pada prosedur pasti penerapan contoh-contoh dari
konsep tersebut. Sebaliknya, pemahaman bersama tentang konsep interpretif
konsisten dengan pandangan yang berbeda-beda akan contoh-contoh dari
konsep tersebut. Konsep keadilan misalnya, orang sepakat ada yang adil dan
tidak adil. Tapi mana contoh dari tindakan adil atau tidak adil itu mereka
berbeda pendapat. Menurut Dworkin, “Kita bisa menggunakan konsep-konsep
ini, seperti telah saya katakan, bukan karena kita sepakat dalam penerapan
konsep-konsep ini pada fakta-fakta yang berhubungan, tapi oleh karena
dengan mewujudkan sebuah pemahaman bahwa kebenaran dalam penerapan
21
konsep-konsep ini dijamin oleh interpretasi terbaik praktik-praktik yang
10
digambarkan oleh konsep-konsep ini” .
Lalu bagaimana perdebatan tentang konsep interpretif tidak menjadi
debat kusir? Menurut Dworkin debat terkait konsep interpretif tetap bermakna
sebab mereka yang berdebat itu sama-sama menghidupi nilai-nilai yang
diperdebatkan itu. Dan pemahaman atas konsep-konsep interpretif hanya bisa
dilakukan melalui interpretasi. Sebab itu, tidak seperti di dalam sains, yang
menggunakan konsep-konsep jenis kriterial dan jenis alamiah, kebenaran
11
pernyataan yang menggunakan konsep interpretif tidak bisa terlihat jelas.
Kebenaran pernyataan interpretatif bergantung pada justifikasi yang ditarik
dari nilai-nilai yang kompleks, dan kebenaran nilai-nilai tersebut juga tidak
bisa diterima semua orang.
Interpretasi Hukum
Sudah dijelaskan tentang jenis-jenis konsep dan sifat dari penafsiran
konsep-konsep tersebut. Sekarang kita akan melihat bagaimana penafsiran
terhadap hukum. Sebelumnya juga disebutkan bahwa dalam penafsiran hukum
terdapat penafsiran yang benar dan yang salah. Pandangan bahwa dalam
setiap penafsiran hukum terdapat penafsiran yang benar dan yang salah atau
tentang adanya kebenaran objektif, adalah pandangan yang lebih masuk akal
daripada pandangan sebaliknya, yaitu terdapat penafsiran yang berbeda
tentang topik yang sama, di mana penafsiran-penafsiran tersebut sama-sama
benar atau tidak dapat didudukan benar-salahnya. Pertanyaannya, apa yang
10 We share these concepts, as I said, not because we agree in their application once all other
pertinent facts are agreed upon, but rather by manifesting an understanding that their correct
application is fixed by the best interpretation of the practices in which they figure. Ibid., p.
160.
11 Interpretive judgments, like moral judgments, can’t be barely true. It can’t be just a brute
fact with no further explanation that Shylock’s Jessica betrays her father because she is
ashamed of being a Jew. There must be some further explanation of why that is true, if it is
true. What in the world could make it true? Ibid.
22
perlu dilakukan penafsiran agar bisa mendapatkan penafsiran yang benar?
12
Dworkin mengajukan prinsip integritas.
Prinsip integritas atau hukum sebagai integritas merupakan faktor ke
empat yang penting di samping, justice, fairness dan procedural due
13
process. Menurut Dworkin, kita mempunyai dua prinsip integritas, yaitu;
prinsip integritas legislatif yang menuntut pembuat hukum untuk membuat
keseluruhan hukum itu secara moral koheren, dan prinsip integritas adjudikatif
yang memerintahkan agar hukum harus dilihat sekoheren mungkin oleh hakim.
Inilah cita-cita masyarakat politik. Prinsip integritas legislatif membatasi
gerak para legislator untuk tidak semau-maunya mengubah standar hukum
publik. Dan prinsip integritas adjudikatif, menuntut hakim untuk sejauh
mungkin memperlakukan sistem standar hukum publik sebagai perwujudan
dari prinsip yang koheren. Para hakim menginterpretasikan standar-standar ini,
menemukan sesuatu yang tersirat dari yang tersurat dalam standar-standar
14
tersebut. Hukum sebagai integritas menuntut hakim untuk melihat sampai
sejauh mungkin bahwa hukum disusun dari seperangkat prinsip-prinsip yang
koheren tentang justice dan fairness dan procedure due process, dan
menegakkannya dalam kasus-kasus, sehingga setiap warga merasa
diperlakukan dengan standar justice dan fairness yang sama. 15 Untuk
memahami apa itu hukum sebagai integritas, Dworkin menawarkan kisah
tentang cerita bersambung, di situ interpretasi kreatif mengambil peran. Dalam
kisah bersambung hakim memutuskan apa itu hukum dalam kombinasi antara
courtesy yang dituntut oleh tradisi dan dimensi nilai yang terkandung di dalam
12 …that integrity is the key to the best constructive interpretation of our distinct legal practice
and particulary of the way our judges decide hard cases at law. I shall argue that law as
integrity provide a better interpretation of legal practice. Ronald Dworkin, Law’s Empire,
216.
13 Ibid., p.217
14 …to interpret these standard to find impisit standards between and beneath the the explicit
one. Ibid.
15 Ibid., p. 243
23
sebuah drama yang kompleks. Dworkin menyebut itu kontruksi artifisial novel
16
bersambung.
Dalam kisah ini, setiap hakim menulis bab bagiannya sehingga novel itu
“being constructive the best it can be”. Dan model ini berguna bagi hakim
dalam memutuskan kasus sulit di bawah hukum yang harus punya integritas.
Usaha ini merupakan kerja besar tapi bukan berarti tidak mungkin. Beberapa
novel dan opera sabun pernah ditulis dengan cara demikian beberapa dekade
oleh tim pengarang yang berbeda. Tujuannya menciptakan sebuah novel
unggul yang padu yang sedapat mungkin terbaik (a single unified novel that
is the best it can be). Setiap novelis bertujuan membuat “satu ceritera” dari
materi yang diberikan. Apa yang ia tambahkan, dan apa yang penerusnya
mampu tambahkan. Hakim sebagai sorang novelis harus membuat novel itu
kontinyu, seolah-olah novel itu karyanya, bukan karya banyak tangan
meskipun kenyataannya karya dari banyak tangan. Hal ini menuntut penilaian
menyeluruh atas bagian-bagiannya ketika hakim menuliskan kembali. Hakim
harus dapat melihat langkah-langkah kemajuan novel itu, entah itu tentang
karakter, plot, genre, untuk memutukan apa yang bisa diteruskan dan apa yang
harus ditulis ulang (beginning new). Jika hakim seorang kritikus,
pandangannya akan multifacet dan complicated, karena novel itu tidak akan
dapat ditangkap hanya dengan satu perspektif tunggal melainkan lapisan-
lapisan makna.
Dalam pendekatan baru ini, Dworkin memberi struktur pada interpretasi,
dengan dua dimensi: yaitu pertama, dimension of fit (dimensi kecocokan),
sebab ia tidak bisa menerima interpretasi apa saja, karena tak seorang pun
penulis tunggal menulis novel dengan berbagai karakter, berbagai tema, dan
berbagai plot, namun interpretasi yang dapat dituliskannya hanya berdasarkan
teks yang disodorkan kepadanya. Meski interpretasinya tidak harus cocok
16 Ibid., p. 229
24
dengan teks. Kemudian dimensi kedua, interpretasi menuntutnya untuk
menjustifikasi dan menilai bagian-bagian mana yang memenuhi syarat untuk
dikembangkan membuat kerjanya bergerak ke arah yang terbaik. Di sini
penilaiannya akan lebih substantif, yang bermuara pada koherensi dan
integritas teks.
Kebenaran Dalam Interpretsi Hukum
Sejak awal pemikirannya, Dworkin secara konsisten mengajukan tesis
jawaban yang benar dan argumen pendukungnya mengalami perubahan
seturut perkembangan pemikirannya. Dalam Taking Rights Seriously, tesis
jawaban yang benar merupakan tanggapan langsung atas pemikiran Hart
mengenai open texture dan diskresi yudisial. Jawaban Dworkin mengenai apa
dasar kebenaran dari proposisi-proposisi hukum dapat diatasi dengan asumsi-
asumsi mengenai prinsip-prinsip moral. Dengan kata lain, prinsip-prinsip
moral memiliki peran dalam menentukan kebenaran sebuah hukum. Dworkin
tidak melihat bahwa keterbatasan dan kompleksitas bahasa merupakan
hambatan serius bagi tesis jawaban yang benar pada kasus yang tidak sulit.
Namun tesis Dworkin tentang jawaban yang benar mengalami problem pada
kasus-kasus sulit (difficult cases) atau kasus-kasus tapal batas. Sebab itu,
dalam A Matter of Principle dan Law’s Empire, ia kemudian mengembangkan
konsep hukum sebagai tindak penafsiran kontruktif. Melalui penafsiran
konstruktif, hakim dapat menemukan jawaban benar bagi masalah hukum
yang dihadapi, termasuk dalam kasus-kasus sulit, tanpa harus membuat
hukum baru. Gagasan Dworkin adalah saat aturan dan preseden yang ada tidak
memadai untuk memecahkan kasus hukum yang ada, hakim dapat mengggali
lebih dalam prinsip-prinsip yang secara implisit terkandung di dalamnya, dan
ia gunakan prinsip-prinsip tersebut sebagai dasar bagi keputusan hukum.
25
Untuk mendapatkan keputusan yang objektif benar, Dworkin membuat
beberapa kriteria yang harus diperhatikan oleh hakim saat melakukan
penafsiran hukum. Kriteria pertama bahwa keputusan hakim harus memenuhi
nilai integritas. Sikap integritas di dalam hukum menekankan bahwa
keputusan hukum harus koheren baik dengan aturan dan preseden yang ada
maupun dengan moralitas politik secara keseluruhan. Menurut Dworkin, hak
dan kewajiban hukum yang dimiliki masyarakat tidak terbatas pada apa yang
ada secara eksplisit dalam aturan ataupun preseden, tapi juga ada dalam
moraitas politik yang menjustifikasi aturan tersebut. Dalam hal ini, integritas
dalam pengadilan menuntut hakim untuk memperlakukan hukum sebagai
ekspresi dari kesatuan prinsip-prinsip yang koheren. Ada tiga nilai yang sangat
berkaitan dengan hukum sebagai integritas, yaitu, justice, fairness, dan
procedural due process. Sebuah proposisi hukum dinyatakan benar jika
proposisi tersebut memuat atau mengikuti ketiga nilai tersebut dan sekaligus
merupakan penafsiran konstruktif terbaik dalam praktik hukum dari
komunitas yang bersangkutan.
Nilai fairness adalah bagaimana setiap warga negara seharusnya
memiliki kesempatan yang setara untuk ikut mempengaruhi keputusan politik
dalam komunitasnya. Jadi, nilai fairness menekankan pada prosedur
pengambilan keputusan bersama daripada hasil akhir dari keputusan tersebut.
Nilai fairness dalam ranah hukum meminta hakim untuk menghormati dan
mematuhi apa yang telah diputuskan oleh mayoritas warga negara melalui
badan legislatif. Sebaliknya, nilai justice lebih menekankan pada kualitas hasil
akhir keputusan. Jika komunitas menerima nilai keadilan sebagai prinsip yang
dianut maka setiap keputusan yang dibuat harus melindungi hak-hak dan
kebebasan individual warganya dalam cara-cara yang paling dapat diterima
secara moral. Nilai procedural due process menuntut untuk menghormati
prosedur yang ada baik dengan menetapkan aturan-aturan baru maupun saat
26
hukum diterapkan pada kasus-kasus partikular. Nilai ini merupakan
17
perwujudan dari prinsip legalitas dan kepastian hukum.
Kriteria kedua, selain harus memenuhi 4 prinsip di atas yakni integritas,
justice, fairness dan procedural due process, ada tiga dimensi yang
menentukan proses penafsiran sehingga mendapatkan keputusan yang objektif
benar/jawaban yang benar, yaitu identitas (identity), kesesuaian (fit), dan
kemasukakalan (soundness). 18 Dimensi identitas ada pada tahap pra-
penafsiran ketika penafsir akan melakukan penafsiran, ia harus
mengidentifikasi atau menentukan teks apa yang akan ditafsirkan. Jika yang
akan ditafsirkan adalah masalah hukum maka penafsir melakukan pemilahan
mana yang masuk dalam fakta-fakta hukum dan mana yang tidak. Dimensi
kesesuaian berada pada tahap penafsiran, di mana para penafsir harus
memiliki keyakinan bersama bahwa penilaian yang mereka buat harus sesuai
dengan praktik hukum yang ada sehingga mereka lakukan adalah penafsiran
dan bukan pembuatan hukum baru. 19 Dimensi kemasukakalan menuntut
penafsir untuk membuat penafsiran hukum yang mampu menjawab persoalan
hukum yang dihadapi sebaik mungkin. Keempat nilai dan ketiga dimensi ini
merupakan kaidah yang harus dipenuhi dalam penafsiran hukum sehingga
hakim dapat mendapatkan keputusan yang objektif benar.
Dworkin sendiri mengakui, kadang sulit untuk menunjukkan atau
memberi dasar yang kuat bagi “jawaban benar” seperti yang dituntut oleh para
positivisme hukum. Di sini kita bisa bertanya bagaimana ia menolak
pandangan “tidak ada jawaban yang benar” bagi persoalan moral dan hukum?
Adakah sesuatu yang bisa dijadikan pegangan untuk mengetahui mana
jawaban yang benar dan mana yang salah untuk setiap kasus?
17 Ibid., p. 165.
18 Ibid., p. 65-67.
19 Ibid., p. 65
27
Objektivitas Internal
Sebab yang paling umum yang menjadi dasar penolakan pada
objektivitas nilai-nilai moralitas adalah tidak adanya kriteria “ekternal” yang
bisa dijadikan patokan tetap untuk menilai benar salahnya nilai-nilai tersebut.
Penolakan ini mendasarkan diri pada model empiris sains. Tentu menjadi
pertanyaan bagaimana penilaian atau penafsiran itu bisa dikatakan objektif
jika tidak ada fakta atau ukuran “eksternal” yang bisa dijadikan kriteria bagi
penilaian atau penafsiran itu.
Marilah kita bahas dulu mengenai objektivitas. Objektivitas adalah
mekanisme untuk mengevaluasi penilaian atau penafsiran secara ketat.
Dengan demikian, menunjukkan objektivitas sebuah penilaian atau penafsiran
berarti nilai kebenarannya tidak diragukan lagi secara rasional. Ada dua jenis
objektivitas berdasarkan bagaimana kita dapat memberi jaminan kebenaran
pada suatu penilaian dan penafsiran. Yang pertama adalah objektivitas
eksternal, yang dipahami bahwa objek penafsiran membatasi kemungkinan
penafsiran atas dirinya. Asumsinya adalah objek penafsiran memiliki elemen
yang bersifat independen dari penafsiran, yang bertindak sebagai kriteria
kebenaran bagi penilaian subjek atasnya. Objektivitas eksternal berlawanan
dengan sibjektivitas sejauh subjektivitas diartikan sebagai tergantung pada
subjek. Kedua, objektivitas internal. Berlawanan dengan objektivitas eksternal,
objektivitas internal menggunakan penilaian subjek sebagai kriteria untuk
mengevaluasi penilaian yang lebiih jauh dari subjek yang sama. Objektivitas
internal mengartikan objektivitas sebagai hal yang bertentangan dengan sikap
manasuka. Objektivitas ini tidak bertentangan dengan subjektivitas sejauh
sikap subjektif diartikan berkaitan keyakinan subjek, dan bukan hasrat,
20
keinginan, ataupun kepentingan pribadi.
20 Marisa Iglesias Vila, Facing Judicial Discretion, 2001, p. 120.
28
Apa yang disebut sebagai objektivitas internal adalah usaha untuk
mendamaikan pembedaan klasik antara objektivitas dan subjektivitas.
Argumen Dworkin ini menarik karena ia menolak dualisme antara kerangka
konseptual dan realitas. Argumen Dworkin mengarahkan kita pada
pemahaman yang lebih dapat diterima dan intelijibel mengenai objektivitas.
Orang-orang yang mengusung paham objektivitas eksternal mengasumsikan
bahwa ada jembatan/media antara keyakinan kita dan dunia. Hal ini absurd
21
karena kita tidak pernah meninggalkan kerangka konseptual kita. (Ibid.:
122). Objektivitas internal dapat menjadi pembatas yang original bagi
penafsiran yang merupakan aktivitas yang berbeda dari penemuan. Dengan
adanya objektivitas internal, kita dapat mengetahui bahwa berbagai penafsiran
hukum memiliki kualitas yang berbeda. Ada satu penafsiran hukum lebih baik
daripada yang lainnya.
Koheren dan Holistik
Dalam pembahasannya mengenai kebenaran di dalam moral, Dworkin
membuat pembedaan penting dalam filsafat moral. Pertama, pernyataan level
pertama yang bersifat substantif mengenai penilaian moral mengenai apa yang
baik dan buruk, apa yang benar dan salah. Pernyataan level kedua merupakan
22
sifat metafisis dari penilaian tersebut, yaitu kajian filsafat mengenai moral.
Misal, mengungkapkan bahwa menyiksa bayi adalah perbuatan yang tidak
dibenarkan adalah penilaian moral. Sementara, mengungkapkan bahwa
23
penilaian moral itu bersifat universal adalah bentuk pernyataan metafisik.
Dengan demikian, pembahasan mengenai dasar epistemik bagi sebuah
keputusan moral ataupun hukum berada pada level kedua.
21 Ibid., p. 122.
22 Ronald Dworkin, Justice for Hedgehogs, p. 24
23 Ibid., p. 31
29
Mencari dasar kebenaran epistemik bagi konsep hukum sebagai tindak
penafsiran tidak bisa dilepaskan dari dasar kebenaran dari penilaian moral.
Dan kebenaran moral yang dimaksud Dworkin adalah kebenaran pada level
substansi, kebenaran yang didasarkan atas nilai moral lainnya atau nilai moral
yang lebih abstrak. Dworkin sendiri tidak menyebutkan secara spesifik, dasar
epistemik apa yang ia gunakan dalam teori hukumnya. Meski demikian, teori
pembenaran koherentisme memainkan peran penting dalam teori hukum
Dworkin. Dalam konsepnya mengenai hukum sebagai integritas, kita tahu
Dworkin menekankan bahwa keputusan hakim harus koheren atau konsisten
di dalam prinsip. Prinsip koheren ini menegaskan bahwa keputusan hakim
tidak hanya harus koheren dengan apa saja yang sudah diputuskan oleh
lembaga berwenang, namun juga harus koheren terhadap prinsip moralitas
politik dari komunitas yang bersangkutan. Dengan demikian diharapkan
hukum memiliki satu suara.
Dalam teori hukum Dworkin, konsep koherensi berada pada dua level
yang berbeda yang saling terkait. (1) Pada level isi, koherensi merupakan nilai
dasar dalam moralitas politik; (2) Dalam level metode, prinsip koherensi
digunakan dalam tindak penafsiran hukum. 24 Koherensi pada level isi
melibatkan penilaian moral atas keputusan hukum yang konkret dan partikular
harus koheren dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang lebih abstrak. Nilai-
nilai konkret dijustifikasi oleh nilai-nilai yang abstrak, dan tidak sebaliknya.
Sedangkan dalam level metode, hukum sebagai tindak penafsiran melibatkan
berbagai nilai dalam kedudukan setara, nilai moralitas satu dijustifikasi
dengan nilai moralitas yang lain dan membentuk relasi nilai yang koheren.
Ciri yang penting dalam teori pembenaran koherensi adalah sifat holistik.
Sebuah nilai dipahami dalam jaringan nilai-nilai lain secara keseluruhan. Ciri
24 Andrei Marmor, Interpretation and Legal Theory, 2005, p. 47.
30
holistik ini juga muncul dalam teori penafsiran hukum terutama Dworkin
dalam konsep hukum sebagai integritas. Menurut Dworkin, penafsiran bersifat
holistik, yakni seperti saat seorang filsuf moral memegang secara bersamaan
opini-opini moral yang bersifat konkret dan prinsip-prinsip yang
mendasarinya yang bersifat abstrak di mana diperlukan penafsiran ulang agar
kedua hal tersebut terintegrasi. Begitu juga tujuan penafsiran, meskipun tidak
disadari, adalah mengintegrasikan nilai-nilai dasar dengan nilai yang lebih
25
konkret. Sebuah penafsiran merangkai nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang
berbeda-beda, yang diambil dari berbagai jenis penilaian dan pengalaman.
Dalam penafsiran ini, setiap elemen saling terkait dan berkedudukan sama,
tidak ada hirarki atas-bawah (dalam arti tidak ada satu keyakinan sebagai
fondasi dan yang lain sebagai simpulan). Jaringan ini berhadapan dengan
keyakinan secara keseluruhan. Ketika ada satu elemen yang berubah maka
penafsiran secara keseluruhan berubah pula. Itu sebabnya, orang yang sama,
di waktu yang berbeda, bisa melakukan penafsiran yang berlainan atas objek
26
yang sama. Sifat holistik dalam penafsiran disebut Dworkin sebagai holisme
aktif. Disebut aktif, karena tidak ada dasar yang tetap bagi sebuah penafsiran.
Bahkan saat hasil penafsiran kita tampaknya merupakan hasil yang tak
terhindarkan, saat kita pikir tidak ada jawaban lain, keyakinan bahwa tidak ada
27
dasar yang tetap dan jelas tetap mengejar kita. Meskipun tidak ada dasar
yang tetap bagi kebenaran penafsiran, yang kita alami adalah ketidakpastian
dan bukan nihilisme. Koherensi dan holisme merupakan metode mengarahkan
pada penafsiran yang benar sehingga mendapatkan hasil yang terbaik.
Menurut Dworkin, "Not because your thinking makes it right, but because, in
28
thinking it right, you think it right".
25 Ronald Dworkin, Justice for Hedgehogs, p. 134 -135.
26 Ibid., p. 154.
27 Ibid., p. 155
28 Ibid., p. 156.
31
Kebenaran sebagai Konsep Interpretif
Ketika Dworkin mengatakan bahwa tidak ada dasar tetap bagi kebenaran
penafsiran, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ia tidak memegang teori
pembenaran fondasionalisme. Koherensi, meskipun menduduki posisi sentral
dalam metode penafsiran atau merupakan salah satu nilai dasar dalam
membuat penafsiran hukum yang benar, namun Dworkin berpendapat
29
koherensi semata tidak memadai sebagai syarat bagi kebenaran. Artinya,
koherensi, meski penting, hanyalah salah satu indikasi bagi kebenaran
penafsiran.
Dworkin mengandaikan dalam tindak penafsiran hukum, para hakim
seperti para penulis yang berpartisipasi dalam penulisan novel bersambung.
Para penulis (atau para hakim) membuat cerita sambungan yang koheren
dengan cerita yang ada sebelumnya, koheren dengan kerangka teori atau
penilaian yang dimilikinya, sambil mempertimbangkan kelanjutan cerita di
masa mendatang. Dengan kata lain, para hakim mengonstruksi sebuah struktur
di mana elemen-elemen, yakni hukum yang sudah ada, prediksi penafsiran
hukum di masa datang, dan penilaian moral, saling mendukung. Di sini, tugas
penulis cerita bersambung maupun hakim adalah membuat sebuah konstruksi
yang terbaik dalam genrenya. Dengan kata Iain, tugas hakim adalah membuat
penafsiran yang koheren dengan aturan dan prinsip-prinsip moralitas politik
untuk menghasilkan sebuah penafsiran terbaik yang membuat praktik hukum
yang bersangkutan menjadi praktik hukum yang terbaik.
Persoalannya adalah bagaimanakah menjustifikasi sebuah penafsiran
sebagai penafsiran yang terbaik? Bagi Dworkin, hukum adalah praktik sosial
yang spesifik dengan ciri khas karakter argumentatif. Ciri ini membedakannya
29 I agree … that coherence is a necessary but no a sufficient condition of truth. We can say
nothing more helpful than what I just said: a moral juggment is made true by an adequate
case for its truth. Ibid., p. 37.
32
dengan praktik sosial lainnya. Dworkin lalu menjelaskan bahwa setiap orang
dalam praktik hukum menyadari bahwa apa yang diperbolehkan atau diminta
oleh hukum tergantung dari kebenaran proposisi-proposisi tertentu yang
30
bermakna hanya di dalam praktik Dengan kata lain, kebenaran sebuah
penafsiran ataupun penilaian moral meski tidak didasarkan atas fakta empiris,
berangkat dari fakta tertentu. Menurut Dworkin penafsiran hukum bersifat
evaluatif karena melibatkan nilai-nilai moralitas. Sifat evaluatif membuat
penggunaan penafsiran hukum bersifat unik, hanya sesuai dengan kasus
bersangkutan. Meski demikian, sebuah penafsiran hukum berangkat dari
fakta-fakta umum (praktik hukum) yang mengkonstitusi makna dari nilai-nilai
tertentu. Misal, keadilan adalah nilai evaluatif, tapi kita akan sulit mengerti
bahwa kita harus berbuat adil jika kita tidak tahu seperti apakah tindakan-
tindakan yang adil itu. Contoh-contoh tindakan adil hanya dapat kita mengerti
melalui praktik-praktik (fakta-fakta) menyangkut keadilan. Dengan demikian,
karena penafsiran bersifat evaluatif dan penggunaannya bersifat unik, maka
yang menentukan mana penafsiran yang terbaik atau penafsiran yang benar
sangat bergantung dari praktik hukum yang bersangkutan.
Dalam tulisan-tulisannya, Dworkin konsisten dengan pendekatan yang
berpijak pada praktik yang ada. la menyebut pandangannya sebagai pemikiran
"from the inside out", yang berarti dalam membangun sebuah teori, ia mulai
31
dengan membuat penilaian terhadap praktik-praktik yang ada. Dengan kata
lain, kebenaran sebuah penafsiran hukum hanya bisa diketahui melalui
keterlibatan kita pada kasus nyata. Teori hukum Dworkin dimulai dengan
terlibat dalam argumen-argumen pada kasus-kasus tertentu, kemudian
30 Legal practice, unlike many other social phenomena, is argumentative. Every actor in the
practice understands that what it permits or requires depend on the truth of certain
propositions that are given sense only by and within the practice. Ronald Dworkin, Law’s
Empire, p. 13.
31 Stephen Guest, “Dworkin’s ‘One-Right-Answer’ Thesis”, diunduh dari
http://biblio.juridicas.unam.mx.
33
bergerak keluar membuat penilaian-penilaian abstrak. Dalam hukum menurut
Dworkin tidak ada "meta-ranah" (meta field) di mana argumen hukum tertentu
yang bersifat independen dapat dibuat. la juga mengkritik pandangan bahwa
keputusan moral harus didasarkan pada konsensus. Konsensus adalah fakta,
sementara moralitas bukan. Meskipun konsensus bisa memberikan solusi yang
bersifat stabil dalam persoalan moralitas, konsensus merupakan langkah
32
kompromi dan tidak berdiri di atas fondasi moral.
Dasar dari keputusan moral adalah keyakinan dan juga rasionalitas.
Keduanya juga saling terkait. Keyakinan yang kita pegang menentukan siapa
diri kita. Karena manusia adalah makhluk yang rasional maka keyakinan yang
dimilikinya harus berpijak pada rasionalitas. Sementara itu, argumen moralitas
hanya bisa dikembangkan dari ranah moralitas juga. Karena tidak ada yang
dinamakan realitas moral yang bersifat eksternal seperti objek pada sains maka
keyakinan moral kita tidak seperti pernyataan-pernyataan sains yang merujuk
pada fakta empiris. Keyakinan lebih dipahami sebagai bagian yang
33
mengkonstitusi pengalaman moral kita.
Dworkin menyebutkan bahwa argumen moral dan hukum bersifat
konstruktif. Dworkin memilih model konstruktif ini karena memberikan ruang
pada pertanggungjawaban moral yang lebih besar dibandingkan model-model
lainnya. Model hukum kodrat misalnya masih memungkinkan manusia untuk
menghindari pertanggungjawaban moral tertentu. Seorang ilmuwan yang
telah menyelesaikan penelitiannya bisa saja menghindari tanggung jawab
terhadap dampak penelitiannya dengan alasan kurangnya fakta. Tapi, seorang
yang mengkonstruksi sebuah argumen moral tidak bisa demikian. Hal ini
tampak dalam persidangan. Seorang hakim bisa saja mengungkapkan
kurangnya fakta dalam persidangan dan membebaskan tersangka dari segala
32 Ibid.
33 Ibid.
34
tuduhan, tetapi ia tidak bisa mengatakan bahwa argumen hukumnya tidak
memadai dan tidak memutuskan apa pun. Dengan kata lain, berdasarkan fakta
yang ada, ia harus memutuskan dan bertanggung jawab atas keputusan yang
34
dibuatnya.
Model konstruktif dalam penilaian moral maupun penafsiran hukum
menuntut kita untuk membangun keyakinan moral sebagai satu kesatuan yang
paling koheren, dan bersedia untuk meninggalkan atau memodifikasi
keyakinan tersebut apabila bertentangan dengan rasionalitas. Kita bisa saja
membuat kesalahan, tapi ini tidak menghilangkan tanggung jawab kita.
Kesalahan tidak muncul dari realitas moral eksternal, tapi karena penalaran
kita memiliki kemungkinan untuk salah. Keyakinan, seperti juga koherensi,
sangat penting dalam membangun sebuah argumen penilaian moral, tapi
bukan satu-satunya argumen. Dworkin memahami adanya kompleksitas
dalam persoalan nilai.
Apakah Dwokin memiliki sebuah teori kebenaran sebagai pengetesan
kebenaran sebuah penafsiran hukum? Memahami Dworkin dari ranah filsafat
mengenai kebenaran bukan perkara mudah, meşki Dworkin sendiri secara
konsisten menentang skeptisisme, terutama pada persoalan kebenaran moral.
Sebagian beranggapan bahwa Dworkin menyajikan teori kebenaran
koherensi dikarenakan ia menekankan sifat koherensi dalam metode
penafsiran hukum. Metode penafsiran hukum menuntut adanya kesesuaian,
konsistensi, koherensi antara satu putusan hukum dengan putusan hukum
sebelumnya dan juga dengan moralitas politik secara keseluruhan. Di sini bisa
disimpulkan bahwa secara epistemik Dworkin memegang teori pembenaran
keherentisme. Namun, Dworkin mengungkapkan bahwa konsep kebenaran
memiliki beragam makna. Dworkin kemudian menawarkan konsep kebenaran
34 Ronald Dworkin, Justice for Hedgehogs, p. 113-117.
35
35
sebagai konsep interpretif. Kebenaran sebagai konsep interpretif berkaitan
dengan nilai-nilai lainnya, seperti ketulusan, autentisitas, pertanggungjawaban
intelektual, dan lain-lain. Nilai-nilai ini penting dalam ranah penafsiran
moralitas, hukum, dan lainnya. 36 Dengan demikian, persoalan kebenaran
melibatkan semua nilai-nilai yang berkaitan dengannya.
Dworkin membedakan dua makna kebenaran dalam bidang penafsiran:
(l) sebagai aktivitas untuk menemukan kebenaran ketika “kebenaran sebagai
tujuan penyelidikan”; dan (2) dalam kerangka nilai moral, yaitu “kebenaran
sebagai tanggung jawab”. Dalam penafsiran hukum, kedua makna di atas
memainkan peran penting. Di satu sisi, penafsiran merupakan usaha untuk
mencapai sebuah keputusan yang benar baik secara legal maupun secara moral.
Di sisi lain, setiap keputusan yang dibuat harus bisa dipetanggungjawabkan.
Dan, mempertanggungjawabkan sebuah keputusan bukan semata memberikan
sebuah argumen yang kuat tapi juga menjelaskan koherensi nilai-nilai yang
berkaitan dengannya. Kebenaran sebuah nilai bisa jadi tidak bisa dijelaskan
secara gamblang karena sebuah keputusan moral maupun hukum berkaitan
dengan berbagai nilai yang kompleks.
Kesimpulan
Hukum merupakan praktik interpretasi. Seorang hakim tidak begitu saja
mengikuti aturan atau preseden yang tersedia melainkan berupaya
mendapatkan intepretasi terbaik atas kasus yang dihadapinya. Interpretasi
hukum menurut Dworkin tidak hanya dilakukan para penegak hukum tapi juga
masyarakat umum dalam kehidupan mereka sehari-hari. Gagasan ini
merupakan sumbangan unik dari Dworkin dalam kajian filsafat hukum,
sumbangan yang membedakan Dworkin dari para filsuf hukum lainnya.
35 Ibid., p. 173.
36 Ibid., p. 176.
36
Interpretasi hukum bertujuan untuk mendapatkan jawaban yang benar
atas kasus hukum. Dworkin menawarkan cara bagaimana mendapatkan
kebenaran ini, yakni dengan mengajukan konsep integritas. Hukum dalam
konsep integritas dianggap sebagai sebuah sistem yang padu, yang berisi
prinsip-prinsip dan praktik yang diterima masyarakat. Tugas seorang hakim
menurut Dworkin adalah membuat keputusan yang sebisa mungkin mendekati
ideal tersebut, yang adil sekaligus sesuai dengan praktik yang berlangsung
pada masa sebelumnya. Di sini Dworkin menganalogikan hakim sebagai
seorang pengarang cerita bersambung. Dalam kerja menafsir kasus hukum
yang dihadapi, hakim harus melihat apa yang telah dilakukan koleganya pada
masa lalu, dalam kasus yang sama. Hakim harus mencocokan dengan
keputusan hakim sebelumnya, tapi sekaligus berupaya mencari keputusan
terbaik atas perkara yang dihadapi, berdasarkan berbagai pertimbangan yang
masuk akal.
Keputusan yang diambil hakim tersebut pada akhirnya dapat dinilai
benar atau salah. Kebenaran keputusan tidak dapat didemonstrasikan dan
kontroversial. Kebenaran keputusan bergantung pada argumentasi yang
diajukan oleh hakim bersangkutan. Semakin mendekati prinsip-prinsip yang
mendasari praktik hukum, semakin keputusan tersebut mendekati kebenaran.
Sebaliknya, keputusan yang jauh dari prinsip-prinsip hukum, keputusan
tersebut dianggap salah.
37
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dworkin, Ronald. Taking Rights Seriously. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press, 1977.
Dworkin, Ronald, A Matter of Principle. Oxford: Oxford University Press,
1985.
Dworkin, Ronald. Law’s Empire. Cambridge: The Belknap Press of the
Harvard University Press, 1986.
Dworkin, Ronald. Justice for Hedgehogs. Cambridge and London: The
Belknap Press of the Harvard University Press, 2011.
Guest, Stephen. Ronald Dworkin: Third Edition, Stanford, California:
Stanford University Press, 2012.
Marmor, Andrei, Interpretation and Legal Theory: 2nd Edition, Oxford and
Portland; Oregon, 2005.
Vila, Marisa Iglesias. Facing Judicial Discretion: Legal Knowledge and Right
Answers Revisited. Dordrecht/Boston/London: Kluwer Academic
Publishers, 2001.
38
FUNGSI DAN PERAN NOTARIS DALAM MEMBUAT
PERJANJIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
Wetmen Sinaga
Pendahuluan
Kedudukan merupakan selengkap tingkatan yang diharapkan dipunyai
1
oleh orang yang berada dimasyarakat . Kedudukan merupakan suatu yang jadi
bagian ataupun yang menggenggam arahan paling utama dalam terbentuknya
perihal ataupun insiden, dalam perihal ini andil seseorang notaris merupakan
buat membuat sesuatu akta spesialnya pesan amanat ataupun testament, bagus
2
dengan cara metode ataupun teknis pembuatan. Oleh sebab itu, Notaris
menggenggam andil berarti dalam pembuatan pesan amanat ataupun
testament, sebab cuma Notaris yang berkuasa serta berhak buat membuat
pesan amanat ataupun testament. Notaris ialah administratur lazim yang salah
satunya berkuasa untuk membuat akta asli perihal semua kelakuan, akad dan
determinasi yang diharuskan oleh suatu peraturan lazim atau oleh yang
berhubungan dikehendaki untuk diklaim dalam suatu akta asli, menjamin
kejelasan tanggalnya, meletakkan aktanya dan meletakkan grosse, kopian dan
kutipan, segenap sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan lazim
1 Mireille Titisari dan Miarti Prastuti, Peran dan Tanggung Jawab Notaris Atas Akta Wasiat
(testament), Semarang: Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2006, hlm.10.
2 Tyas Prihatanika Herjendrang Budi Wijaya, Kedudukan Notaris dalam Pembuatan dan
Pencabutan Testament (Surat Wasiat), Surakarta: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2008, hlm. 24.
39
3
tidak pula ditugaskan atau dikecualikan pada administratur atau orang lain.
Notaris ialah administratur lazim yang berkuasa untuk membuat akta asli
selama pembuatan akta asli khusus tidak dikhususkan untuk administratur
4
biasa yang lainnya .
Dipaparkan pula kalau tutur notaris berawal dari percakapan notarius
yang ialah julukan yang diserahkan pada banyak orang yang melaksanakan
profesi menulis pada era Romawi. Pada era kelima serta keenam gelar notarius
diserahkan pada pengarang( sekretaris) individu dari raja( kaisar), sebaliknya
pada akhir era kelima gelar itu diserahkan pada pegawaipegawai kastel yang
melakukan profesi administarasi. Peraturan Notaris 1822 pasal 171
KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Seorang Notaris itu adalah Pegawai Negeri Resmi (umum),
dipanggil dan diangkat guna membuatkan akta-akta dan kontrak-kontrak
dan memberikan akta-akta itu suatu hal yang nyata, setelah itu menetapkan
tanggal yang sebenarnya dan menjamin/menyimpan surat-surat aslinya
dan karena itu mengeluarkan salinan (grossen), terutama salinan yang
betul dan sebenarnya.”
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jasa Kenotariatan
menyatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai kuasa
untuk membuat akta-akta asli dan mempunyai kuasa lain yang dimaksud
dalam undang-undang ini atau undang-undang lainnya.”
Oleh sebab itu, notaris bisa dimengerti selaku administratur khalayak
yang dengan cara jelas diberi wewenang oleh hukum buat menciptakan fakta
yang asli( dengan angka pembuktian sempurna)
3 Tobing, G.H.S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1996, hlm. 20
40
Fungsi Notaris
Notaris ialah sesuatu pekerjaan dalam jasa hukum pada warga.
Pelayanan notaris terus menjadi diperlukan, memandang cara pembangunan
di Indonesia yang terus menjadi bertambah. Dari dini lahirnya pekerjaan
notaris di Indonesia semenjak era kolonialisme Hindia Belanda, nyata nampak
kalau aplikasi pekerjaan notaris lalu hadapi kemajuan, yang mana pelayanan
notaris tidak cuma dipakai oleh banyak orang dari kalangan khusus saja
5
semacam perihalnya yang terjalin pada era Hindia Belanda tersebut
Kemajuan keinginan warga Indonesia yang terus menjadi bertambah,
paling utama kenaikan derajat ekonomi warga dibanding era Hindia Belanda,
ikut pengaruhi aplikasi pekerjaan notaris. kalau metode yang legal di
Indonesia wajib diiringi dalam cara hukum, yang terus menjadi tingkatkan
keinginan warga hendak pekerjaan notaris.
1) Notaris memiliki guna yang ikut menolong penguasa buat
memperlancar metode hukum dalam bagan penuhi peranan dalam
aturan teratur hukum serta keabsahan sesuatu aksi hukum, yang mana
fungsifungsi itu ialah sesuatu wujud keyakinan penguasa pada notaris
selaku administratur biasa. Bagi A. W. Voors, guna seseorang notaris
nampak pada sebagian kehidupan area serta suasana dalam kehidupan
6
seseorang badan warga, antara lain dalam dalam ikatan keluarga. Di
mari notaris berperan sebagai penasehat serta arbiter dalam hal
keluarga. Perihal ini pastinya pula pengaruhi profesi notaris, semacam
akad berjodoh, industri keluarga serta permasalahan yang lain. Dalam
5 Sri Gupitasari, Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian Koperasi [Implementasi
Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Nomor:
98/Kep/M.Kukm/Ix/2004], Depok: Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2012, hlm.
47.
6 Ibid, hlm 47
41
perihal ini Notaris wajib berlagak adil serta adil dan sanggup
melindungi seluruh suatu yang dikatakan kepadanya.
2) Pertanyaan Peninggalan. Dalam perihal ini guna notaris amat
dibutuhkan paling utama untuk mereka yang angkat tangan pada
hukum Barat. Penjelasan notaris hal peninggalan inimdituangkan ke
dalam akta waris (Certificaat van Erfrecht), misalnya dalam
pembuatan pesan amanat. Oleh sebab itu, seseorang notaris dituntut
buat bisa lebih cermat serta giat dalam mengecek dan menekuni hukum
waris, sebab permasalahan yang berkaitan dengan kewarisan ialah
salah satu yang amat mempengaruhi kepada kebutuhan individu-
individu yang terpaut, yang bila terdapat ketidaktelitian notaris, hingga
hendak terdapat ketidakpuasan dari banyak orang khusus yang
membolehkan bisa memunculkan akibat yang kurang baik untuk
notaris itu sendiri.
3) Aspek Upaya. Bagi A. W. Voors terdapat 2 (dua) perkara mengenai
guna notaris di aspek upaya, ialah:
(a) Pembuatan kontrak antara para pihak, dalam perihal itu sesuatu
aksi diawali dan diakhiri dalam akta, ilustrasinya sesuatu akad
jual- beli. Dalam perihal ini para notaris sudah ahli dengan
terdapatnya model- model di sisi mengenali serta menguasai
undang-undang;
(b) Pembuatan kontrak yang malah mengawali suatu serta ialah
bawah sesuatu ikatan yang legal buat waktu durasi kira- kira lama.
Dalam perihal ini diperlukan dari seseorang notaris sesuatu
pandangan runcing kepada materinya dan keahlian memandang
jauh ke depan, apakah terdapat bahayanya serta apa yang bisa jadi
42