The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ukipress, 2022-10-11 22:34:42

Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Suatu Renungan dan Suatu Sumbangan Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

selanjutnya disebut harmonisasi adalah proses penyelarasan sifat rancangan

peraturan perundang-undangan dan teknik penyusunan peraturan
perundang-undangan sehingga menjadi peraturan perundang-undangan

yang menjadi satu kesatuan. utuh dalam kerangka sistem Hukum Nasional.”

Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku karya Moh. Hasan

Wargakusuma menyatakan bahwa “pengertian harmonisasi hukum, adalah

kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang
8
mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis.” Sejalan
dengan doktrin ini, Bagir Manan mengatakan bahwa “suatu peraturan
perundang-undangan dapat diakui eksistensinya bila ia mempunyai

keabsahan dari sisi landasan filosofis, juridis, dan sosiologis. Artinya adalah
: (1) keabsahan secara juridis (juridische geltung) adalah apabila ada

kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi

yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang tingkatnya lebih tinggi; (2) keabsahan sosiologis

(soziologische geltung) adalah apabila berlakunya tidak hanya karena
paksaan penguasa tetapi juga karena di terima masyarakat; (3) keabsahan

filosofis (filosofische geltung) adalah apabila kaidah hukum mencerminkan

nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dalam Undang-undang Dasar
1945 Nilai-nilai tersebut tercermin dalam apa yang disebut dengan cita

hukum (rechtsidee). Cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum
dasar negara, baik hukum yang tertulis (UUD) maupun hukum yang tidak

tertulis (Penjelasan UUD Negara Indonesia, angka III romawi).”

Dalam tataran penerapanya, harmonisasi dapat diartikan sebagai kajian

komprehensif terhadap suatu rancangan peraturan perundang-undangan yang


8 Moh Hasan Wargakusumah, Analisis Terhadap Pembuatan Perjanjian Kerjasama
Internasional (Studi Di Provinsi Bali), Jakarta: P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan
Azza Grafika, 2012, hlm. 105.

93

didasari oleh landasan yuridis, sosiologis dan filosofis sampai pada substansi

pengaturan, guna mengetahui apakah rancangan atau lege ferenda tersebut,
dalam berbagai aspek, telah mencerminkan keselarasan atau kesesuaian

dengan peraturan perundang-undangan yang lainya, dengan kebiasaan yang
hidup dalam masyarakat, atau dengan perjanjian internasional, baik bilateral

maupun multilateral, yang telah melewati tahap ratifikasi oleh Pemerintah Rl.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sinkronisasi:

“1). Perihal menyinkronkan; penyerentakan: dalam melaksanakan

tugasnya masing-masing, semua unsur departemen wajib
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan --;

2). Penyesuaian antara bunyi (suara) dengan sikap mulut atau mimik

(tentang film): -- bunyi (suara) dengan sikap mulut harus
9
diperhatikan. Terkait dengan sinkronisasi peraturan perundang-
undangan terdapat asas lex superiori derogat legi inferiori yang
menjelaskan bahwa apabila terjadi pertentangan antara peraturan

perundang-undangan yang secara hirarki lebih rendah dengan
yang lebih tinggi, maka peraturan perundang-undangan yang

10
hirarkinya lebih rendah itu harus disisihkan. ”
Oleh karena itu, sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat
diartikan sebagai proses penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum positif berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan kaidah aspiratif yang sedang disusun

dalam mengatur sektor atau bidang tertentu. Maksud dari kegiatan ini adalah
agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan bersifat tidak

tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling berkaitan atau




9 https://kbbi.web.id/sinkronisasi, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online.
10 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2013, hlm ...

94

interdependen, dan terciptanya keadaan berupa “semakin rendah jenis

pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya”.
Adapun tujuan dari kegiatan ini yaitu mewujudkan landasan kaidah tertentu

yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi
penyelenggaraan sektor atau sub-sektor tertentu sehingga bersifat efisien dan

efektif.
Berdasarkan beberapa elemen di muka, dapat disimpulkan bahwa

keselarasan dapat dimaknai sebagai suatu usaha atau proses yang berusaha

melampaui batas-batas perbedaan, kontradiksi dan ketidakteraturan.
Harmonisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dapat dipahami

sebagai suatu proses penyelarasan atau harmonisasi peraturan perundang-

undangan yang dikembangkan atau sedang dalam proses pengembangan
sehingga produk hukum yang dihasilkan sejalan dengan hukum positif berupa

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Harmonisasi memainkan peran
strategis yang harus diawali dengan tahap perencanaan untuk memfasilitasi

proses selanjutnya, tetapi implementasinya dihambat oleh pluralisme hukum
dan pengembangan masyarakat global yang harmonis. pengaturan, tetapi juga

guna mewujudkan keadaan berupa peraturan perundang-undangan yang

berstatus hukum positif dapat berfungsi dengan baik bagi addresatnya.

Apabila berpedoman pada UUP3 sebagai landasan dari pembentukan

perundang-undangan di Indonesia berdasarkan konsep open legal policy
dalam Batang Tubuh UUD 1945, maka konsep harmonisasi di dalam Pasal 47

ayat (3), Pasal 54 ayat (2), Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (1) dapat

diartikan sebagai “Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,

Rancangan Peraturan Presiden dan Rancangan Peraturan Daerah.”
Kemudian, Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


95

Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 1 angka 1 dari ketentuan ini

menyebutkan bahwa “Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan
Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya

disebut dengan Pengharmonisasian Konsepsi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan adalah proses penyelarasan substansi Rancangan

Peraturan Perundang-Undangan dan teknik penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sehingga menjadi Peraturan Perundang-undangan

yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka sistem hukum

nasional”. Kemudian dalam Pasal 2 disebutkan bahwa “Pengharmonisasian
Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan terhadap:


a. Rancangan Undang-Undang;


b. Rancangan Peraturan Pemerintah; dan

c. Rancangan Peraturan Presiden.”


Selanjutnya dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pengharmonisasian
Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan

tujuan untuk: menyelaraskan dengan:Pancasila, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan

lain; danteknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan

menghasilkan kesepakatan terhadap substansi yang diatur.”

Konsep harmonisasi berdasarkan UUP3 memiliki penekanan pada

keselarasan suatu rancangan peraturan baik berdasarkan kaidah yang lebih
tinggi dan yang lebih rendah maupun berdasarkan kaidah yang kedudukanya

sejajar, yaitu dengan konstitusi serta peraturan perundang-undangan lain yang

sederajat. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 54, 55, 58 UUP3,
dapat disimpulkan bahwa “pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan

rancangan selalu dilakukan pada tahap proyek, termasuk rancangan



96

peraturan pemerintah, rancangan peraturan presiden, dan rancangan

peraturan serta rancangan peraturan Daerah (provinsi dan pemerintah/kota)
tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.”


Pengujian peraturan

Secara teori, ketika pengujian atau toesting, perbedaan dibuat antara

toesting material dan toesting formal. Kedua bentuk pemeriksaan tersebut
dibedakan berdasarkan istilah pembentukan hukum dan bahan hukum.

Apabila dilakukan tinjauan legislatif terhadap suatu materi, maka tinjauan

tersebut disebut tinjauan materil, dan beberapa materi legislatif yang
bersangkutan dapat dicabut. Sedangkan pemeriksaan hukum yang dilakukan

dalam proses pembentukan undang-undang disebut pemeriksaan formil.

Kajian formal ini dilakukan untuk menilai apakah deliverables legislatif telah
dibentuk melalui prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dalam doktrin ilmu hukum kewenangan pengujian materi peraturan

perundang-undangan yaitu Judicial Review dalam ranah konstitusi. Nurul
Qamar mengemukakan premis berupa “Judicial Review bidang Pengadilan,

adalah pengujian kembali oleh suatu lembaga peradilan tertinggi terhadap

putusan peradilan di bawahnya dengan alasan-alasan antara lain adanya
kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim peradilan di bawahnya,

sehingga hakim pada peradilan tertinggi dapat menguji secara materil dari
penerapan hukum. Mahkamah Agung Negara Republik Indonesia memiliki

kewenangan Judicial Review namun terbatas hanya kewenangan pada

pengujian materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
11
undang-undang.” Kewenangan Mahkamah Agung ini ditegaskan dalam


11 Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Jurnal
Konstitusi, Volume 1 Nomor 01, 2012, hlm. 7.

97

UUD 1945 Pasal 24A ayat (1) bahwa “Mahkamah Agung berwenang

mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang

lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”. Kemudian dalam ketentuan
UUP3 dalam Pasal 9 ditegaskan kembali bahwa “Dalam hal suatu Peraturan

Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang, maka pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah

Agung (ayat 2)”. Sehingga, berdasarkan teori dan ketentuan perundang-

undangan, yaitu UUD 1945 dan UUP3, sudah cukup jelas mengatur bahwa
apabila terdapat peraturan kaidah yang berkedudukan di bawah undang-

undang yang bertentangan dengan undang-undang, maka pengujiannya

dilakukan melalui judicial review di Mahkamah Agung.
Apabila dicermati, konsep RPP harmonisasi produk hukum di bawah

undang-undang yang akan menjadi peraturan pelaksanaan dari Pasal 181
UUCK, Hal ini tampaknya muncul dari apa yang dipahami secara umum

dalam hal harmonisasi yang concreto diatur oleh UUP3 dan kaidah
operasioalnya. RPP yang bertajuk “Harmoni dan Sinkronisasi” ini akan

melalui executive review yang melibatkan unsur kementerian terkait,

akademisi/pakar, dan penyusun undang-undang. Meskipun hasil kajian
administratif sebenarnya berupa rekomendasi, dan hasil rekomendasi tersebut

akan diperkuat dengan pedoman yang ditetapkan oleh kementerian dan
lembaga terkait dan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi dan bertentangan dengan keputusan konstitusi. meningkatkan atau
menghapus Pengadilan dan Mahkamah Agung dipertimbangkan disertai

ancaman sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pengharmonisasian berdasarkan rezim UUP3 dan peraturan
pelaksanaannya, dimaksudkan untuk mengatur rancangan peraturan

perundang-undangan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Apabila



98

terdapat perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan

dengan undang-undang yang lebih tinggi, pengujianya dilakukan di
Mahkamah Agung. Sebab, Hak Uji Materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki

oleh Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan suatu peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi. Konsep RPP Harsin yang digagas
pemerintah guna melaksanakan Pasal 181 UUCK justru tidak sesuai dengan

maksud dan tujuan dari harmonisasi dan sinkronisasi yang diatur dalam

ketentuan UUP3 dan peraturan pelaksanaannya, karena dalam RPP Harsin
menekankan kepada pemeriksaan semi yudicial atas permohonan dari pihak

yang merasa dirugikan

Semenara pengujian yang dilakukan pemerintah selama ini dikenal
dengan istilah Executive Review yaitu segala bentuk produk hukum yang

ditetapkan oleh lembaga eksekutif diuji oleh kelembagaan dan kewenangan
yang bersifat hierarkis. Dalam konteks ini diperkenalkan istilah kontrol

internal yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang
berbentuk regeling maupun yang berbentuk beschikking. Sasaran objek

eksekutif review adalah peraturan yang bersifat regeling melalui proses

pencabutan atau pembatalan. Pengujian yang ini dilakukan guna menjaga
peraturan yang diciptakan oleh pemerintah (eksekutif) agar tetap sinkron atau

searah dan juga konsisten serta mampu mewujudkan kepastian hukum demi
menjamin keadilan bagi masyarakat.

Erna Wilis menyatakan bahwa, “Eksekutif review di Indonesia terwujud
ke dalam bentuk pengujian terhadap Peraturan Daerah yang dilakukan oleh

Kementerian Dalam Negeri terhadap Peraturan Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota, serta Pemerintah Provinsi terhadap Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. Pengujian ini merupakan bagian dari sistem pengawasan

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, khususnya pengawasan



99

terhadap produk legislasi daerah. Pengawasan terhadap produk legislasi

daerah (Peraturan Daerah) dilakukan agar materi muatan sebuah Peraturan
Daerah tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Sedangkan
eksekutif review ditingkat pusat dilakukan oleh masing-masing kementerian

tetapi ada juga yang dilakukan di luar kementerian terkait seperti kegiatan
12
analisa dan evaluasi di BPHN, Kemenkumham” .
Peninjauan yang dilakukan oleh kelompok kerja dengan

mempertimbangkan, menganalisis, dan memutuskan isi undang-undang atas
dasar undang-undang dapat disebut peninjauan materi. Namun, ujian Pokja

tidak termasuk sebagai ujian substantif karena substansi hukum yang

dipersyaratkan untuk ujian tersebut tidak dapat dikesampingkan. Berdasarkan
konsep yang tertuang dalam RPP Harsin, tugas pokja hanya sebatas membuat

rekomendasi. Langkah selanjutnya adalah menyampaikan rekomendasi
kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya akan

disampaikan kepada kementerian terkait. Jika kementerian terkait tidak
mengikuti rekomendasi tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

akan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden dan memerintahkannya

untuk mencabut perintah menteri tersebut. Proses ini terbilang lama sehingga
dapat dinyatakan sebagai proses yang kurang efisien.

Kelemahan dari model pemeriksaan dalam konsep RPP Harsin adalah
tidak memperhitungkan periode serta metode peninjauan. Penting untuk

memenuhi tugas Pokja, seperti tenggat waktu dan metode penjurian. Tidak
akan ada penolakan jika pemeriksaan tidak menunjukkan bahwa aturan yang

diterapkan tidak sesuai dengan aturan di atas. RUU tersebut tidak memberikan




12 Erna Wilis (2018), Tinjauan Yuridis Pembatalan Perda Melalui Eksekutif Review pada
Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Diakses
dari: Http://Repository.Uin-Suska.Ac.Id/15980/8/8.%20BAB%20III2018264IH.Pdf.

100

mekanisme bagi pemohon, baik berupa perseorangan atau badan hukum, dan

kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk tidak mendapatkan hasil
rekomendasi. Apa yang direkomendasikan dan tidak sejalan dengan apa yang

diminta. Dengan terbukanya kemungkinan adanya judicial review terhadap
badan hukum dan perorangan, ada potensi akumulasi aplikasi. Apakah semua

permohonan harus diperiksa, seperti aturan pengadilan yang tidak
mengizinkan ditolaknya suatu permohonan oleh suatu pihak. Jika aplikasi

Anda dikirimkan tanpa batas waktu yang jelas, proses peninjauan aplikasi

mungkin memakan waktu lebih lama. Sehingga, penulis berpendapat bahwa
model pemeriksaan dalam konsep RPP Harsin tersebut di dalam menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang kurang dapat

menyelesaikan kaidah hukum yang bertentangan, secara komprehensif. Hal
ini disebabkan oleh adanya pemeriksaan yang hanya didasarkan pada

permohonan bukan didasarkan pada fungsi regulasi yang bisa memberikan
kepastian hukum guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu,

untuk menyelesaikan konflik antara aturan ini, maka konsep RPP Harsin ini
perlu direvisi, tidak lagi menggunakan model semi yudisial, akan tetapi

menggunakan model analisa dan evaluasi (executive review) yang

dilaksanakan oleh masing-masing kementerian/lembaga dan pemerintah
daerah. Kebetulan executive review ini belum mempunyai landasan, sehingga

RPP Harmonisasi ini diharapkan mampu dijadikan sebagai landasan
memperkuat pelaksanaan dari pengujian tersebut.

Hal senada dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa “dengan
menggunakan teknik omnibus, langkah pertama yang dilakukan adalah

meninjau dan evaluasi terhadap semua dokumen hukum perundang-undangan

secara horizontal yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu yang
berhubungan dengan materi yang mengatur hal yang sama yang terdapat

dalam undang-undang yang berbeda; dan dengan peraturan perundang-



101

undangan lain secara vertikal, yaitu antar peraturan dengan tingkat hierarki

yang berbeda-beda, mulai dari yang paling tinggi sampai ke yang paling
rendah sepanjang yang mengatur mengenai hal-hal yang sama atau yang

saling berkaitan. Tugas evaluator dan reviewer semacam inilah yang selama
13
ini saya namakan sebagai auditor hukum (legal auditor).”
Ida Bagus Rahmadi Supancana menyatakan bahwa “Agar hasil kegiatan
analisa dan evaluasi atau eksekutif review dapat menghasilkan regulasi yang

baik, tentu dalam konsep RPP Harsi harus diatur penggunaan pendekatan

metodologi dalam melakukan kajian. Disamping itu, harus ada lembaga yang
khusus memantau dan mengawasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Ada

berbagai macam metodologi dalam melakukan harmonisasi dan sinkronisasi
14
perundang-undangan.” Dari sejumlah model yang dibicarakan menurut
hemat kami ada 3 (tiga) model yang saling terkait satu dengan lain yang bisa

dijadikan acuan, yaitu: “Regulatory Impact Analysis (RIA), Cost Benefit
Analysis (CBA) dan Cost Effective Analysis (CEA)”. Menurut Prof Ida Bagus

Rahmadi Supancana bahwa “RIA merupakan alat untuk melakukan analisis
terhadap regulasi melalui pendekatan analisis dan sistematis terhadap

problem regulasi, mencakup suatu rentang sarana dan teknik yang ditujukan

untuk menilai dampak regulasi. RIA juga merupakan cara yang terstruktur
untuk mengkomunikasikan hasilnya kepada pengambil putusan dan kepada

masyarakat.” Kemudian Rahmadi juga berpendapat bahwa “RIA dapat
dimanfaatkan untuk membantu perumus kebijakan dan regulasi dalam

mengurangi resiko kegagalan regulasi, serta resiko-resiko yang merupakan
konsekuensi yang tidak diharapkan berkaitan dengan penerapan suatu

regulasi baru. Disamping itu, manfaat lain yang dapat ditawarkan adalah



13 Jimly Asshiddiqie, Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Press (Konpress), 2020. hlm. 37
14 Ida Bagus Rahmadi Supancana, Sebuah Gagasan Tentang Grand Design Reformasi
Regulasi, Jakarta: Universitas Katolik Indonesia-Atma Jaya, 2017, hlm. 44-59.

102

untuk memperbaiki kualitas regulasi, sepanjang dilaksanakan sebagai

decision-support tools, tidak dilakukan secara parsial, serta telah melalui
proses analisis atas biaya dan manfaat yang lengkap.”

Sedangkan CBA berdasarkan pandangan Ida Bagus Rahmadi
Supancana dapat dinyatakan sebagai “suatu metode analisis yang mengukur

dan membandingkan seluruh manfaat/keuntungan yang akan diperoleh, serta
biaya/beban/kerugian/konsekuensi yang harus ditanggung oleh semua

penerima dampak dari suatu kebijakan/atau regulasi tertentu beserta

alternatif-alternatif yang ada untuk digunakan dalam membantu proses
pengambilan keputusan. Selanjutnya ia katakan bahwa CBA digunakan untuk

menilai dan memutuskan apakah suatu kebijakan atau regulasi layak dan

memungkinkan untuk dilaksanakan/diimplementasikan, yaitu dengan
memperhitungkan dan mempertimbangkan semua manfaat/keuntungan yang

akan diperoleh, serta biaya/beban yang akan ditanggung (benefit
dibandingkan dengan cost). Sedangkan CEA digunakan untuk menetapkan

pilihan terbaik, yang paling tepat, efektif dan efisien (dapat mencapai suatu
tujuan tertentu dengan biaya yang paling minimum) dari berbagai

opsi/alternatif pemecahan masalah yang ada (cost dibandingkan dengan

objektive/outcome-QALYS). QALYS (quality adjusted life years) adalah
peningkatan kualitas dan kuantitas hidup seseorang dengan adanya intervensi

(dipakai untuk pengukuran/penilaian manfaat di bidang kesehatan).”
CBA dapat dinyatakan memiliki nexus dengan CEA, karena CEA

merupakan bagian dari proses CBA, yaitu dengan membandingkan
alternatif/usulan kebijakan yang ralistis/layak (manfaat melebihi biaya), agar

penetapan alternatif mana yang memiliki rasio manfaat biaya yang tertinggi,

dilihat dari outcome/hasil yang akan diperoleh. Sebaliknya CBA memiliki
keterkaitan dengan RIA karena CBA merupakan bagian dari proses RIA, yaitu

melakukan analisis yang holistik tentang dampak ekonomi, sosial, lingkungan,



103

kesehatan, keamanan, dan lain-lain terhadap stakeholders, seperti dunia

usaha/industri pekerja, konsumen/masyarakat, pemerintah dan pemegang
peran atau stakeholders lainnya. Penilaian terhadap manfaat dan biaya adalah

komponen analisis utama dalam melakukan RIA. Sehingga, dalam melakukan
analisis materi muatan perundang-undangan di bawah undang-undang yang

dimohonkan pengujiannya, mungkin dapat menerapkan model analisis
regulasi RIA dan CBA dan CEA terhadap regulasi yang diuji untuk

menghasilkan regulasi yang baik, karena ketiga model tersebut saling

berkaitan antara satu dengan lainnya.


Kesimpulan

Berdasarkan ketentuan UUP3 Pasal 54, 55 dan 58 dan Peraturan
Presiden Nomor 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan disimpulkan bahwa “pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan,

dan pemantapan konsepsi selalu dilakukan pada tahap Rancangan baik
Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden maupun

Rancangan Peraturan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) bukan

terhadap peraturan yang sudah ada.” Konsep dari pengharmonisasian dalam
UUP3 dan peraturan pelaksanaannya memiliki penekanan kepada

penyelarasan suatu rancangan peraturan baik secara vertikal dan horizontal,
yaitu terhadap Pancasila dan UUD 1945 maupun terhadap peraturan

perundang-undangan lain yang kedudukanya sejajar.
Sementara konsep RPP Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan di

bawah undang-undang, yang direnacanakan akan menjadi peraturan

pelaksanaan dari Pasal 181 UUCK, lebih menekankan pada pengujian atas
permohonan para pihak yang dirugikan atas peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang yang dilakukan secara semi yudicial dengan



104

melibatkan unsur-unsur berupa kementerian terkait, akademisi/pakar,

perancang perundang-undangan dan sebagainya. Hasil dari pemeriksaan
tersebut berupa rekomendasi yang selanjutnya diteruskan kepada Menteri

Hukum dan HAM dan yang kemudian disampaikan pada kementerian,
lembaga dan pemerintah daerah, yang peraturannya di uji. Cara pengujian

berdasarkan konsep RPP Harsin ini jelas bertentangan dengan kewenangan
hak uji materiil Mahkamah Agung yang ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal

24A ayat (1). Apabila terdapat perundang-undangan di bawah undang-undang

yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, maka
pengujiannya dengan judicial review pada Mahkamah Agung. Sebab, Hak Uji

Materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk

menilai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perlu melakukan revisi terhadap substansi RPP Harmonisasi dan
Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang,

dalam mana pengujian peraturan perundang-undangan yang bertentangan
tersebut dilakukan berdasarkan model analisa dan evaluasi dengan metode

RIA dan CBA/CEA. Dengan model analisa dan evaluasi ini tidak perlu

membentuk pokja, cukup membentuk tim dengan keanggotaan terdiri dari
kementerian terkait dan lembaga yang ditunjuk untuk itu, akademisi, peneliti,

perancang dan praktisi. Tim ini akan bertugas menginventarisir dan
memetakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang

dianggap bertentangan UUCK dan undang-undang diatasnya serta putusan
pengadilan sesuai waktu yang ditetapkan. Hasil kerja tim ini memberikan

rekomendasi pada lembaga yang ditunjuk dan kementerian terkait agar

memerintahkan melakukan revisi terhadap peraturan yang telah dianalisis dan
dievaluasi.






105

Agar tidak menambah beban pekerjaan Ditjen PP sebaiknya dalam RPP

Harsin ini menunjuk BPHN selaku yang bertanggung jawab melakukan
sinkronisasi perundang-undangan yang bertentangan tersebut, karena lembaga

ini sudah sangat berpengalaman melakukan tugas analisa dan evaluasi. Agar
pelaksanaan tugas ini bisa berjalan optimal, tentu BPHN perlu membuka

peluang bagi ASN di lingkungan Kemenkumham untuk menjadi fungsional
analis hukum. Mengingat kebutuhan yang mendesak sesuai keinginan

Presiden Jokowi agar peringkat kemudahan berusaha di Indonesia naik

menjadi peringkat 40, berarti dibutuhkan perekrutan tenaga analis hukum yang
memiliki kompetensi dalam substansi hukum. Agar pengawasan hukum

kedepan lebih baik dan fokus sebaiknya tidak hanya menguji peraturan yang

bertentangan saja tetapi juga tumpang-tindih kewenangan dalam pembentukan
hukum antara Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri

serta Kementerian Sekretariat Negara perlu diselesaikan agar intansi tersebut
bekerja sesuai dengan tusi masing-masing. Tentu Presiden harus turun tangan

membenahi tumpang tindih kewenangan antar lembaga ini agar regulasi yang
dikeluarkan mulai tingkat pusat dan daerah akan dapat lebih harmonis dan

sinkron.





















106

DAFTAR PUSTAKA


Buku
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan

(Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.


I Putu Eka Cakra dan Aditya Yuli Sulistyawan, Kompabilitas Penerapan
Konsep Omnibus Law Dalam Sistem Hukum Indonesia, Semarang:

Jurnal Crepido, Vol. 2 No.2 tahun 2020.


M. Dahlan Al Barry , Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Arkola,
1995.


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Edisi ke empat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Sistem Hukum Mewujudkan Pemerintahan

Yang Baik, Malang: Nasa Media, 2010.

Risky Dian Novita Rahayu Rochim, Harmonisasi Norma-Norma Dalam

Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kebebasan Hakim, Malang:
Jurnal Ilmiah, 2014.


Moh Hasan Wargakusumah, Analisis Terhadap Pembuatan Perjanjian

Kerjasama Internasional (Studi Di Provinsi Bali), Jakarta: P3DI Setjen
DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2012.


Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013.


Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal

Konstitusi, Vol. 1. No. 1, 2012.




107

Jimly Asshiddiqie, Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta :

Konstitusi Press, 2020.

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Sebuah Gagasan Tentang Grand Design

Reformasi Regulasi, Jakarta: Universitas Katolik Indonesia-Atma Jaya,
2017.




Internet
Http://Repository.Uin-

Suska.Ac.Id/15980/8/8.%20BAB%20III__2018264IH.Pdf
https://kbbi.web.id/sinkronisasi
















































108

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK

PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PIDANA

INDONESIA



Hendri Jayadi



Pendahuluan
Sistem berawal dari bahasa Yunani ialah systema yang berarti suatu

1
yang sistematis, sesuatu totalitas kompleks. Bila KUHAP yang dipergunakan
selaku hukum kegiatan kejahatan dalam pengecekan masalah melotot
penggelapan selaku sesuatu sistem, hingga pembuktian merupakan bagian dari

sistem itu.
Perbuatan kejahatan penggelapan ialah salah satu wujud kesalahan yang

belum lama ini lumayan gempar di Indonesia, perihal ini bisa diamati dari
banyaknya permasalahan penggelapan yang terbongkar dan masuk di Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Realitas membuktikan kalau perbuatan

kejahatan penggelapan sudah merebak ke seluruh susunan warga tanpa
penglihatan bulu, status sosial bagus berumur belia, administratur penguasa

pusat sampai administratur wilayah seakan berkompetisi melaksanakan
perbuatan kejahatan penggelapan. Kasus sambungan yang tidak takluk

peliknya ialah dikhawatirkan lenyapnya wujud penerus bangsa di setelah itu
hari bila adat- istiadat penggelapan tidak lekas memperoleh atensi sungguh-

sungguh dari penguasa.






1 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU
No. 31 Tahun 1999), Cetakan Pertama, Bandung: CV. Mandar Maju, 2001, hlm. 98.

109

Sistem peradilan kejahatan pada hakikatnya ialah permasalahan sosial

2
(social dilema) dengan alibi :
1. The criminal justice system inflict suffring (menyebabkan kesusahan)

2. The criminal justice system does not work in term of its own declarated
aims.

3. Elementer uncontrollability of criminal justice system.
4. Criminal justice approach is fundamentally flawed (cacat pokok)

Dengan alasan- alasan tersebutlah hingga terbuat sesuatu sistem

peradilan kejahatan terstruktur. Perihal mana dibutuhkan supaya dalam cara
pengecekan masalah kejahatan bisa berjalan dengan cara analitis serta tertib.

Sistem peradilan kejahatan terstruktur dilaksanakan semenjak terdapatnya

asumsi terbentuknya sesuatu perbuatan kejahatan, yang setelah itu dilanjutkan
dengan aksi pelacakan dari petugas kepolisian, setelah itu dilanjutkan dengan

investigasi, penuntutan hingga dengan dijatuhkannya putusan oleh Hakim
kepada pelakon perbuatan kejahatan.

Pemberlakuan sistem pembuktian menjempalit, merupakan amat berarti
mengenang pemberlakuannya dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi ini berlainan dengan sistem pembuktian di dalam hukum

kegiatan kejahatan di Indonesia.


Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dengan cara etimologis berawal dari bahasa latin “coruptio”

ataupun “corruptus“ yang berarti kehancuran ataupun keburukan. Dengan
cara harafiah penggelapan bisa dimaksud aib, aib, borok, ketidakjujuran, bisa

disuap. Dalam bahasa Indonesia tutur “Korupsi” berarti aksi kurang baik.






2 Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Djembatan, 2000, hlm.
143.

110

Bagi L. Bayle penafsiran korupsi yang berhubungan dengan aksi

penyuapan berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang ataupun
kewenangan selaku dampak terdapatnya estimasi dari mereka yang

3
menggenggam kedudukan untuk profit individu.
Dengan cara yuridis penafsiran perbuatan kejahatan korupsi bisa diamati

dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang setelah itu diganti dengan Undang-undang No. 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi

Bersumber pada determinasi Pasal 26, Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang setelah itu dirubah

dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

melaporkan dengan cara jelas:
“Pelacakan, penuntutan serta pengecekan di konferensi majelis hukum
kepada perbuatan kejahatan penggelapan dicoba bersumber pada hukum
kegiatan kejahatan yang legal, melainkan didetetapkan lain dalam
undang-undang ini”

Maksudnya dalam melaksanakan pelacakan, investigasi serta

penuntutan dalam perbuatan kejahatan korupsi pada biasanya sedang merujuk
pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melainkan

terdapat keadaan lain ataupun spesial yang diatur dalam Undang-undang No.
30 Tahun 1999.

Bagi KUHAP yang diartikan dengan pelacakan merupakan serangkaian

aksi interogator buat mencari serta menciptakan sesuatu insiden yang


3 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra Bakti, 2002,
hlm. 2.

111

diprediksi selaku perbuatan kejahatan untuk memastikan bisa ataupun

tidaknya dicoba investigasi bagi metode yang diatur dalam ndang-undang ini.
4
Dari hasil investigasi hingga setelah itu dilanjutkan pada cara penuntutan.

Bagi determinasi Pasal 1 angka 7 KUHAP, enafsiran penuntutan merupakan

aksi penggugat biasa buat melimpahkan masalah kejahatan ke majelis hukum
negara yang berhak dalam perihal serta bagi metode yang diatur dalam hukum

ini dengan permohonan suapaya ditilik serta diputus oleh hakim di konferensi
majelis hukum. Dalam mengerjakan perbuatan kejahatan korupsi, hingga yang

berperan selaku interogator serta penuntut merupakan Kepolisian Republik
Indonesia( POLRI), Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi ( KPK).


Hal-Hal Yang Harus Dibuktikan Dalam Tindak Pidana Korupsi

Buat mengenali keadaan apa yang wajib dibuktikan dalam tindak pidana
korupsi, bisa diamati dari unsur- unsur artikel perbuatan kejahatan

penggelapan yang dituduhkan ataupun didakwakan.

Bersumber pada Artikel 2, Artikel 3 Serta Artikel 12 Hukum Nomor. 30
Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Perbuatan Kejahatan Penggelapan,

yang setelah itu dirubah dengan Hukum Nomor. 20 Tahun 2001 mengenai
Pergantian atas Hukum Nomor. 30 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan

Perbuatan Kejahatan Penggelapan, hingga unsur- unsur perbuatan kejahatan

penggelapan merupakan selaku selanjutnya:
1) Terdapatnya aksi memperkaya diri sendiri ataupun orang lain ataupun
sesuatu korporasi dengan metode melawan hukum;
2) Dampak perbuatannya teruji bisa mudarat finansial negeri ataupun
perekonomian negeri;
3) Tujuan perbuatannya merupakan buat profitabel diri sendiri ataupun
orang lain ataupun sesuatu korporasi;



4 Pasal 1, angka 1, KUHAP.

112

4) Terdapatnya aksi berbentuk menyalahgunakan wewenang, peluang
ataupun alat yang terdapat padanya sebab kedudukan ataupun
perannya.
5) Melaksanakan gratifikasi ataupun aksi berikan hadiah ataupun akad
pada karyawan negara dengan mengenang kewenangan ataupun
wewenangnya yang menempel pada kedudukan ataupun perannya.


Penerapan Sistem Pembuktian Yang Digunakan Dalam Pemeriksaan
Kasus Tindak Pidana Korupsi

Penerapan Sistem Pembuktian Menurut KUHAP;


Dalam cara Hukum Perbuatan Kejahatan Penggelapan, maka bersumber
pada determinasi Artikel 26, Hukum Nomor. 30 Tahun 1999 mengenai

Pemberantasan Perbuatan Kejahatan Penggelapan, yang setelah itu dirubah
dengan Hukum Nomor. 20 Tahun 2001 mengenai Pergantian atas Hukum

Nomor. 30 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Perbuatan Kejahatan

Penggelapan, melaporkan dengan cara jelas :
“Pelacakan, penuntutan serta pengecekan di konferensi majelis hukum
kepada perbuatan kejahatan penggelapan dicoba bersumber pada
hukum kegiatan kejahatan yang legal, melainkan didetetapkan lain
dalam hukum ini”.

Bersumber pada determinasi itu hingga dalam cara pengecekan

perbuatan kejahatan penggelapan, alat- alat fakta begitu juga dalam Artikel

184 bagian (1) KUHAP bisa diaplikasikan, antara lain:
a. Penjelasan Saksi;

b. Penjelasan Pakar;
c. Perlengkapan Fakta Pesan;

d. Perlengkapan Fakta Petunjuk;

e. Penjelasan tersangka.







113

Bagi sistem pembuktian bagi KUHAP, yang mempunyai bobot

pembuktian buat membuktian kebersalahan dari seseorang tersangka
merupakan Penggugat Biasa. Perihal itu diakibatkan sebab Hukum Kegiatan

Kejahatan Indonesia begitu juga yang diatur dalam KUHAP mempunyai dasar
5
inquisitor dimana tersangka ialah obyek pengecekan. Jadi tersangka betul-
betul diposisikan selaku seseorang yang dituduh bersalah, dengan bukti- bukti
yang diajukan oleh Penuntut Umum. Hendak namun buat meredam

kesewenang- wenangan aplikasi dasar ini, dalam KUHAP diatur pula dasar

presumption of inoccent( prasangka tidak bersalah). Maksudnya boleh- boleh
saja dicarikan fakta yang membebankan tersangka serta agak- agak bersumber

pada fakta itu tersangka sudah melaksanakan sesuatu kekeliruan. Hendak

namun tidak bisa diklaim bersalah terlebih dulu saat sebelum terdapat
ketetapan juri yang melaporkan kebersalahannya.

Meski bobot pembuktian terdapat pada penggugat biasa, hendak namun
tidak melenyapkan hak dari tersangka buat memperkenalkan fakta yang

meringankannya bersumber pada ambisinya. Perihal itu diatur dalam
determinasi Artikel 116 bagian( 3) serta bagian( 4), yang berbunyi: (3) dalam

pengecekan terdakwa ditanya apakah beliau menginginkan didengarkan saksi

yang bisa profitabel menurutnya serta apabila mana terdapat hingga perihal
itu dicatat dalam informasi kegiatan;( 4) dalam perihal begitu juga diartikan

dalam bagian( 3) interogator harus memanggil serta mengecek saksi
tersebut”.












5 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Sapta Artha Jaya, 1996, hlm.
258.

114

Penerapan Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang No. 20 Tahun

2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Pada prinsipnya begitu juga dipaparkan di atas kalau sistem pembuktian
yang dianut oleh Hukum Nomor. 20 Tahun 2001 mengenai Pergantian atas

Hukum Nomor. 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Perbuatan
Kejahatan Penggelapan, sedang memakai sistem pembuktian menuru

KUHAP. Hendak namun terdapat modifikasi- modifikasi ataupun

penambahan- penambahan perlengkapan fakta, misalnya dalam determinasi
Artikel 26A, Hukum Nomor. 20 Tahun 2001 mengenai Pergantian atas

Hukum Nomor. 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Perbuatan

Kejahatan Penggelapan, yang melaporkan:
“Perlengkapan fakta yang legal dalam wujud petunjuk begitu juga

dimaksudkan dalam Artikel 188 bagian( 2) Hukum Nomor. 8 Tahun 1981
mengenai Hukum Kegiatan Kejahatan, spesial buat perbuatan kejahatan

penggelapan pula bisa didapat dari perlengkapan fakta lain berbentuk data
yang diucapkan, dikirim, diperoleh ataupun ditaruh dengan cara elektronik

dengan perlengkapan optik ataupun seragam dengan itu; serta akta ialah tiap

rekaman informasi ataupun data yang bisa diamati, dibaca serta ataupun
didengar yang bisa dikeluarkan dengan ataupun tanpa dorongan sesuatu alat,

bagus yang tertuang di atas kertas, barang raga apapun tidak hanya kertas,
ataupun yang berbentuk catatan, suara, lukisan, denah, konsep, gambar, graf,

ciri, nilai ataupun pelubangan yang mempunyai arti”


Bersumber pada penjelasan itu di atas, dalam perbuatan kejahatan
penggelapan mempunyai sistem pembuktian yang kira- kira besar, ataupun

tidak bertabiat limitatif begitu juga diatur dalam KUHAP.







115

Tidak hanya dari pada itu, dalam Pasal 37 Undang-undang No. 20 Tahun

2001 dituturkan:

“(1) memiliki hak buat meyakinkan kalau beliau tidak melaksanakan

perbuatan kejahatan penggelapan.
(2) Dalam perihal terdakwa bisa meyakinkan kalau beliau tidak

melaksanakan perbuatan kejahatan penggelapan, hingga pembuktian itu

dipergunakan oleh majelis hukum selaku bawah buat melaporkan kalau
cema tidak teruji”.


Bersumber pada determinasi itu hingga dalam perbuatan kejahatan
penggelapan dianut sistem pembuktian terkini yang biasanya diucap sistem

pembuktian menjempalit, dimana seseorang tersangka diserahkan hak buat
meyakinkan kalau dirinya tidak bersalah melaksanakan perbuatan kejahatan

yang didakwakan ataupun dituduhkan.

Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum Dalam Hukum Pidana Korupsi
Sistem pertanggungjawaban yang awal diisyarati dengan upaya supaya

watak perbuatan kejahatan yang dicoba korporasi dibatasi pada perorangan,
alhasil bila sesuatu perbuatan kejahatan terjalin dalam area korporasi, hingga

perbuatan kejahatan itu dikira dicoba pengasuh korporasi itu. Pada sistem ini

pula, pembuat Buku Hukum Hukum Kejahatan sedang menyambut dasar
universitas delinguere non posttest yang maksudnya tubuh hukum tidak bisa

melaksanakan perbuatan kejahatan.
















116

Terdapat 3 sistem pertanggungjawaban korporasi selaku poin perbuatan

6
kejahatan, ialah:
1. Pengasuh korporasi selaku kreator, hingga penguruslah yang

bertanggungjawab
2. Korporasi selaku kreator, hingga pengasuh yang bertanggungjawab.

3. Korporasi selaku kreator serta yang bertanggungjawab.
Dalam ingatan uraian Buku Undan- undang Hukum Kejahatan yang

diberlakukan pada bertepatan pada 1 September 1886, bisa dibaca sesuatu aksi

kejahatan cuma bisa dicoba oleh perorangan( naturlijk persoon). Pandangan
fantasi mengenai watak tubuh hukum( recht persoon) tidak legal pada aspek

hukum kejahatan. Pengurus- pengurus yang tidak penuhi peranan yang

sesungguhnya ialah peranan korporasi bisa diklaim bertanggungjawab.
Tidak hanya menata pertanggungjawaban kejahatan untuk korporasi,

hukum perbuatan kejahatan penggelapan pula menata bentuk- bentuk ganjaran
kejahatan yang bisa dijatuhkan pada korporasi. Pasal 20 ayat (7) Undang-

undang No. 20 Tahun 2001 menyatakan pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi hanya pidana denda 1/3 (satu pertiga).

Korporasi pula bisa dijatuhi kejahatan bonus berbentuk penutupan

semua ataupun beberapa industri buat durasi sangat lama 1 (satu) tahun (Pasal
18 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 20 Tahun 2001).


Efektifitas Penerapan Sistem Pembuktian Terbalik Pada Kasus Tindak

Pidana Korupsi.
Dalam sistem peradilan kejahatan, pembuktian mengenai betul tidaknya

tersangka melaksanakan aksi yang didakwakan menggenggam andil yang



6 Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korporasi, makalah disampaikan pada seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Semarang:
FH UNDIP, tanggal 23-24 November 1989, hlm. 9.


117

berarti sebab ialah bagian yang sangat memastikan dalam penjatuhan ganjaran

kejahatan ataupun statment bersalah ataupun tidak kepada seseorang
tersangka. Hendak namun dalam Hukum No 20 Tahun 2001 diberlakukan

determinasi hal terdapatnya retrogresi bobot pembuktian ataupun yang
diketahui dengan sistem pembuktian menjempalit yang ialah sesuatu cara

yang tidak umum bagi sistem hukum kejahatan Indonesia.
Dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf (a) Undang-undang No. 20 Tahun 2001

terlihat bahwa gratifikasi mengandung delik sistem pembuktian terbalik.

Kemudian Pasal 12 C Undang-undang No. 20 Tahun 2001 menyatakan
apabila si penerima melaporkan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi maka ketentuan Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang

No. 20 Tahun 2001 tidak berlaku.
Sistem retrogresi bobot pembuktian ialah sistem yang menaruh bobot

pembuktian pada tersangka serta cara pembuktian ini cuma legal dikala
pengecekan di konferensi majelis hukum dengan dimungkinkannya dicoba

pengecekan bonus ataupun spesial bila dalam pengecekan di sidang
diketemukan harta barang kepunyaan tersangka yang diprediksi berawal dari

perbuatan kejahatan penggelapan tetapi perihal itu belum didakwakan.

Apalagi bila tetapan majelis hukum sudah mendapatkan daya hukum
senantiasa, namun dikenal sedang ada harta barang kepunyaan tahanan yang

diprediksi berawal dari perbuatan kejahatan penggelapan, hingga negeri bisa
melaksanakan petisi awas kepada tahanan ataupun pakar warisnya.

Dalam Artikel 37 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 disebutkan:
“(1) tersangka memiliki hak buat meyakinkan kalau beliau tidak

melaksanakantindak pidana korupsi.

(2) Dalam perihal tersangka bisa meyakinkan kalau beliau tidak
melaksanakan perbuatan kejahatan penggelapan, hingga






118

pembuktian itu dipergunakan oleh majelis hukum selaku bawah

buat melaporkan kalau cema tidak teruji”.

Determinasi dalam Pasal 37 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 di atas

selaku akibat berbanding atas aplikasi pembuktian menjempalit kepada
tersangka. tersangka senantiasa membutuhkan proteksi hukum yang

berbanding atas pelanggaran hak- hak yang pokok yang berhubungan dengan

dasar prasangka tidak bersalah( presumtion of innocence) serta
mempersalahkan diri sendiri( non selfincrimination).

Dalam aplikasi sistem pembuktian menjempalit butuh dicoba ekspansi
kepada perlengkapan fakta ataupun fakta petunjuk alhasil hendak lebih efisien.

Dalam perihal ini sang tersangka bertanggung jawab buat membagikan
penjelasan mengenai semua harta bendanya sendiri serta harta barang istri

ataupun suami, anak, serta harta barang tiap orang ataupun korporasi yang

diprediksi oleh beskal penggugat biasa memiliki ikatan dengan masalah yang
didakwakan. Dalam perihal asumsi diartikan butuh diadakan penerangan

Mengenai fakta permulaan yang lumayan, yang hendak berakibat pada
ekspansi kepada perlengkapan fakta petunjuk.

Aplikasi sistem pembuktian menjempalit wajib dibantu oleh petugas

penegak hukum yang bersih serta berkarisma, dan sistem pengawasan kepada
badan serta badan- badan peradilan yang efisien. Pengawasan yang diartikan

merupakan pengawasan dalam serta eksternal. Metode pengawasan dalam
ataupun eksternal wajib mempunyai energi bawa yang kokoh dan partisipatif

dalam kerangka sosial pengawasan kepada tubuh peradilan. Perihal ini

dimaksudkan supaya juri tidak berwenang- wenang dalam menjatuhkan
tetapan, terlebih lagi tetapan yang melepaskan terdakwa.

Dalam sistem peradilan kejahatan, pembuktian hal betul tidaknya
seseorang tersangka melaksanakan aksi yang didakwakan menggenggam

andil berarti. Ini ialah bagian yang sangat memastikan dalam penjatuhan


119

ganjaran kejahatan ataupun statment bersalah tidaknya seseorang tersangka.

Pembuktian menjempalit amat pas buat kasus- kasus penggelapan menyambut
uang sogok yang penuhi patokan begitu juga itu diatas. Sebetulnya sistem

pembuktian menjempalit perbuatan kejahatan penggelapan yang bertumpu
pada rancangan mempermudah pembuktian untuk perbuatan kejahatan yang

berat pembuktiannya dengan sistem lazim. Rasanya demikianlah arti dari
pembuat hukum memasukkan sistem pembebanan pembuktian menjempalit

dalam undang-undang.

Begitu juga dikenal jangkauan penggelapan uang sogok menyambut
gratifikasi amatlah besar. Cermati saja unsur- unsur perbuatan kejahatan

penggelapan uang sogok adem ayem dalam Artikel 5 bagian( 2), Artikel 6

bagian( 2), Artikel 11, Artikel 12 graf a, b, c, Undang-undang No. 20 Tahun
2001 semuanya hampir pasti dapat masuk pada pengertian korupsi suap

menerima gratifikasi menurut Pasal 12B Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tersebut. alam perihal begitu, hingga Beskal Penggugat Biasa janganlah

mendakwakan tunggal pasal- pasal uang sogok adem ayem itu saja, melainkan
wajib mendakwakan pula perbuatan kejahatan penggelapan uang sogok

menyambut gratifikasi Artikel 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001.


Bersumber pada 2( 2) watak masalah penggelapan uang sogok adem

ayem yang pas buat memakai pembuktian menjempalit itu, hingga ketentuan
penting buat mendakwakan Artikel 12 BUndang-undang No. 20 Tahun 2001

adalah:


1) Awal sudah didapatnya informasi ataupun fakta- fakta kekayaan

tersangka, kekayaan istri ataupun suaminya serta tiap orang ataupun
korporasi yang diprediksi memiliki ikatan dengan perbuatan

kejahatan yang didakwakan. Kekayaan itu bagus yang nampak





120

ataupun yang tidak semacam rekening pada bank haruslah

diperoleh.
2) Kedua sudah ditemuinya sesuatu harta kepunyaan tersangka yang

nilainya amat besar yang bagi ide dari pangkal penghasilannya tidak
bisa jadi buat mendapatkan kekayaan itu.


Jika sepanjang ini belum terdapat usaha pemberantasan penggelapan

dengan mengoptimalkan sistem bobot pembuktian menjempalit, bisa jadi para
penegak hukum, paling utama pada kepolisian serta kejaksaan sedang ada

keragu- raguan mengenai apa yang hendak dicoba dengan sistem pembuktian
menjempalit itu, mengenang sistem menjempalit merupakan ialah suatu yang

terkini, ataupun kawatir hendak dituding melanggar hak asas. Tidak terdapat
yang diucap melanggar hak asas bila suatu dijalani cocok dengan determinasi

hukum, sebab pada dasarnya melaksanakan hukum kejahatan merupakan

melanda hak serta kebutuhan hukum orang lain. Bukankah hukum kejahatan
itu diibaratkan anggar bermata 2, disatu pihak mencegah sesuatu kebutuhan

hukum orang, namun disisi lain pula melanda kebutuhan hukum orang lain.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 183

menegaskan :

“hakim tidak bisa menjatuhkan tetapan kejahatan pada seorang
melainkan dengan sedikitnya 2 perlengkapan fakta yang legal serta

beliau mendapatkan agama kalau sesuatu perbuatan kejahatan betul-
betul terjalin serta kalau terdakwalah yang bersalah

melaksanakannya”.


Bersumber pada alat- alat fakta, beskal penggugat biasa memiliki bobot
buat meyakinkan unsur- unsur perbuatan kejahatan yang didakwakan, atas

bawah alat- alat fakta yang terdapat. Tanpa terdapatnya perlengkapan fakta
tidak bisa jadi terdapat pembuktian. 2 perihal itu hendak berhubungan dengan



121

agama yang ialah situasi individual yang diperoleh lewat cara pembuktian.

Dengan cara biasa bobot pembuktian dalam permasalahan pidana terletak
pada beskal penggugat biasa. Dengan cara biasa hal sistem pembuktian

menjempalit memanglah diaplikasikan pada kasus- kasus uang sogok ataupun
gratifikasi.

Berikutnya supaya pembuktian bisa berhasil efisien dalam bagan
membasmi perbuatan kejahatan penggelapan hingga dibutuhkan terdapatnya

sebagian prinsip biasa peradilan yang wajib dijadikan jiwa serta bawah

7
referensi dalam penerapannya ialah selaku berikut Bebas serta tidak berpihak,
Profesional, Akuntabilitas, Partisipatif, Kejernihan, Durasi yang mencukupi

buat advokasi, Agunan dari usaha yang berlawanan dengan hukum, Gampang

diakses serta kilat.


Kesimpulan
Sistem pembuktian menjempalit bisa dengan cara efisien diaplikasikan

mulai dari tingkatan investigasi hingga dengan pengecekan di sidang majelis
hukum. Pada hakekatnya aktivitas pembuktian itu diawali semenjak cara

investigasi sesuatu masalah kejahatan dicoba oleh interogator bagus oleh

Kepolisian, Kejaksaan ataupun Komisi Pemberantas Korupsi.
Bersumber pada aplikasi hukum pembuktian di sidang majelis hukum

bagus dalam masalah awas ataupun masalah kejahatan, sistem pembuktian
menjempalit ialah kombinasi sistem pembuktian bersumber pada hukum

kegiatan awas dalam sidang kejahatan spesialnya perbuatan kejahatan
penggelapan dengan memajukan dasar penyeimbang pada kegiatan

pembuktiannya bisa menciptakan proteksi hukum untuk pelakon bidang usaha

yang jadi terdakwa ataupun tersangka dalam masalah penggelapan.




7 M. Akil Mochtar, Memberantas Korupsi, Jakarta: Q.Communication, 2006, hlm. 32-33.

122

Hukum Acara Pidana Indonesia sepatutnya mengakomodir kegiatan

spesial pembuktian dari tersangka pada sidang di majelis hukum, semacam
perihalnya dalam Hukum Kegiatan Awas dimana tergugat diberi peluang buat

meyakinkan dalil- dalil tanggapannya.
Butuh terdapatnya akomodir dari penegak hukum dalam perihal ini

Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantas Penggelapan serta Juri di Majelis
hukum buat mengakomodir sistem pembuktian menjempalit itu dari semenjak

investigasi dengan membagikan peluang pada terdakwa buat meyakinkan

ketidakbersalahannya, dengan membagikan peluang buat memperkenalkan
saksi yang memudahkan serta pakar yang ditunjuk oleh terdakwa.
































123

DAFTAR PUSTAKA


Peraturan perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 No. 23.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Staatsblad 1915 No. 732.

Perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 134, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4150.

Buku


Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: CV. Sapta Artha
Jaya, 1996.

M. Akil Mochtar, Memberantas Korupsi, Jakarta: Q.Communication, 2006.

Mardjono Reksodiputro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Tindak Pidana Korporasi. makalah disampaikan pada seminar Nasional
Kejahatan Korporasi, Semarang, FH UNDIP, tanggal 23-24 November
1989.

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), Cetakan Pertama, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2001.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Cetakan IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Citra
Bakti, 2002.

Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: Djembatan,
2000.


124

PRESIDENSIALISME DALAM PEMBENTUKAN

UNDANG UNDANG BERDASARKAN UNDANG UNDANG

DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945

Morus M. Sianipar


Pendahuluan


Pembuat Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) kalau

pergantian UUD 1945 didasarkan atas 5 biji perjanjian bawah ialah:( 1) Tidak
mengganti Awal UUD Negeri Republik Indonesia( NRI) 1945;( 2) Senantiasa

menjaga Negeri Kesatuan Republik Indonesia;( 3) Mempertegas sistem rezim
presidensial;( 4) Uraian UUD NRI Tahun 1945 yang muat keadaan normatif

hendak dimasukkan ke dalam pasal- pasal( batang badan);( 5) Melaksanakan

1
pergantian dengan metode adendum. Perjanjian bawah ataupun underlying
agreement dampingi bagian di Badan Permusyawaratan Orang( MPR) jadi

norma yang ialah dimensi yang wajib( ought to) dalam melaksanakan

pergantian pasal- pasal dalam UUD 1945 tercantum pasal- pasal yang
berhubungan dengan pembuatan hukum dalam kerangka sistem rezim

presidensial.
Rogelio Alicor Labalan Panao beranggapan kalau akar dari sistem rezim

2
presidensial merupakan pembelahan kewenangan( separation of power).
Filosofi pembelahan kewenangan Montesquie yang diucap Immanuel Kant

selaku Trias Politica, terdiri dari kewenangan legislatif, kewenangan

administrator serta kewenangan yudikatif. Timbulnya filosofi separation of



1 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, cetakan keenam belas, Jakarta, 2017, hlm. 18.
2 Rogelio Alicor Labalan Panao, Beyond roll call: executive-legislative relations and
lawmaking in the Philippine House of Representatives, Article in Philippine Political Science
Journal, May 2014, hlm. 5.

125

power pada bawah ialah antitesis dari kewenangan mutlak begitu juga dibilang

oleh Montesquie“ When legislative power is united with executive power in a
single individu or in a single body of the magistracy, there is nomor liberty,

because one can fear that the same monarch or senate that makes tyrannical
3
laws will execute them tyrannically””. Dewan Konstitusi dalam Tetapan No.
005/PUU-IV/2006 perihal pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan pengujian UU No. 4 Tahun 2004 mengenai Kekuasaan

Kehakiman menarangkan prinsip “checks and balances” terpaut akrab dengan

4
prinsip pembelahan kewenangan negeri (separation of powers). Dengan
begitu arti filosofi pembelahan kewenangan merupakan pemisahan

kewenangan serta buat memperoleh penyeimbang.


UUD 1945 sudah hadapi 4 kali pergantian dalam kurun durasi yang

pendek dari tahun 1999– 2002, diucap dengan UUD NRI 1945 begitu juga
5
dituturkan dalam Artikel II Ketentuan Tambahan UUD NRI 1945. Dengan
penerangan sistem rezim presidensial, bisa dimengerti pembelahan
kewenangan dalam UUD NRI 1945, selaku selanjutnya:


“Pasal 4 ayat (1):
Kepala negara Republik Indonesia menggenggam kewenangan rezim
bagi Undang-Undang Dasar.
Pasal 20 ayat (1):
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
Pasal 24 ayat (2):
Kewenangan peradilan dicoba oleh suatu Dewan Agung serta tubuh
peradilan yang terletak di bawahnya dalam area peradilan biasa, area




3 Mostesquieu, The Spirit of the Laws, translated and edited by Anne M. Cohler, Basia Carolyn
Miller, Harold Samuel Stone, Cambridge: Cambdrige University Press, 1989, hlm.157.
4 Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006, hlm. 178.
5 Pasal II Aturan Tambahan UUD NRI 1945: Dengan ditetapkannya perubahan Undang-
Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal. ****

126

peradilan agama, area peradilan tentara, area peradilan aturan
upaya negeri, serta oleh suatu Dewan Konstitusi.”

Kewenangan administrator yang ialah kewenangan melaksanakan rezim
terletak di tangan Kepala negara, kewenangan legislatif yang ialah

kewenangan pembuatan hukum terletak di tangan Badan Perwakilan Orang

(DPR) serta kewenangan yudikatif yang ialah kewenangan peradilan terletak
di tangan Dewan Agung serta Dewan Konstitusi.

Kewenangan legislatif yang terletak di tangan DPR, tidak seluruhnya
ialah kewenangan DPR, Artikel 20 bagian (2) meminta kalau tiap RUU diulas

oleh DPR serta Kepala negara buat menemukan persetujuan bersama. Dengan
persetujuan bersama DPR serta Kepala negara atas RUU sudah lahir hukum

dengan cara materil (hukum in materiele zin). Dengan cara a contrario bisa

dimaknai bila tidak ada persetujuan bersama DPR serta Kepala negara tidak
hendak keluar sesuatu undang-undang. RUU yang telah disetujui bersama

DPR serta Kepala negara setelah itu disahkankan Kepala negara buat jadi
hukum. Bila Kepala negara tidak mengesahkan RUU itu, dalam durasi 3 puluh

hari sehabis RUU disetujui bersama, RUU legal jadi hukum serta harus
diundangkan. Sehabis membenarkan sesuatu RUU kenapa Kepala negara

setelah itu butuh mengesahkan RUU serta setelah itu ada mungkin Kepala

negara yang serupa tidak mengesahkan RUU. Perihal mana terjalin atas 7
RUU yang diundangkan tanpa pengesahan Kepala negara yang senantiasa

legal hingga dikala ini. Metode pembuatan hukum yang tidak linear, dimana

ada antagonisme dalam persetujuan Kepala negara dalam langkah persetujuan
bersama serta pengesahan Kepala negara dalam langkah pengesahan.

Bagir Manan sebagai saksi ahli dalam pengujian UU No. 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (vide Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 79/PUU-XVII/2019) mengatakan hal tersebut merupakan anomali praktik




127

ketatanegaraan. Tidak mungkin suatu RUU sampai di meja Presiden untuk

pengesahan jika tidak disetujui terlebih dahulu. Hakim Konstitusi Wahiduddin
Adams dalam putusan yang sama mengatakan terjadinya absurditas praktik

ketatanegaraan.
Catatan ini hendak mangulas pengesahan Kepala negara atas RUU yang

sudah disetujui bersama DPR serta Kepala negara dalam kondisi sistem rezim
presidensial bersumber pada UUD NRI 1945. Dengan cara etimologi

pengesahan yang berawal dari tutur bawah legal memiliki maksud pengakuan

bersumber pada hukum, pengakuan hendak kebenarannya serta
6
keberlakuannya. Hendak namun pada praktiknya hukum yang diundangkan
tanpa pengesahan senantiasa diakui keabsahannya.


Sistem Pemerintahan Presidensial Bersumber pada Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Presidensialisme merupakan suatu pemerintahan di mana Kepala negara

senantiasa jadi kepala administrator( chief executive) yang diseleksi lewat

pemungutan suara dengan kedudukan Kepala negara serta DPR yang
senantiasa, serta menteri- menteri dinaikan serta bertanggung- jawab pada

7
Kepala negara. Rod Hague serta Martin Harrop meningkatkan karakteristik
sistem rezim presidensial kalau kepala negara serta kepala pemerintahan
9
8



6 Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001, hlm.
1197
7 Scott Mainwaring and Matthew S. Shugart, Juan Linz, Presidentialism, and Democracy, A
Critical Appraisal, Comparative Politics July 1997, hlm. 449
8 Rod Hague, Martin Harrop, John McCormick, Political Science, A Comparative
Introduction, 8th edition, New York: Palgrave Macmillan, 2013, hlm.147: Head of state: The
figurehead leader or a state, who may be elected or appointed, or - in the case of monarch-
may inherit the position. The role is non-political and has many functions but few substantive
powers.
9 Ibid., hlm. 147: Head of government: The elected leader of a government, who comes to
office because of the support of voters who identify with their party and platform.

128

10
digabungkan dalam satu orang (combined in one office). Perihal ini berlainan
dengan sistem rezim parlementer serta sistem rezim semi presidensial, kedua
guna itu terletak pada 2 orang yang berlainan.

Sistem rezim presidensial bersumber pada UUD NRI 1945 penuhi
unsur- unsur dalam arti para pakar itu di atas, selaku selanjutnya:

a) Kepala negara Republik Indonesia menggenggam kewenangan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar, Pasal 4 ayat (1).

b) Kepala negara serta Delegasi Kepala negara diseleksi dalam satu

pendamping dengan cara langsung oleh orang, Pasal 6A ayat (1).
c) Kepala negara serta Delegasi Kepala negara menggenggam kedudukan

sepanjang 5 tahun, serta setelahnya bisa diseleksi balik dalam

kedudukan yang serupa, cuma buat satu kali era kedudukan, Artikel 7.
d) Menteri- menteri dinaikan serta diberhentikan oleh Kepala negara,

Artikel 17 bagian (2).

11
Sebutan penguasa memiliki maksud selaku lembaga ataupun badan.
Disamping penguasa ada sebutan rezim yang ialah perihal metode, menata

12
negeri serta rakyatnya, ataupun diucap pula selaku guna. Bagi Kusnardi serta
Ibrahim, rezim dalam maksud besar merupakan seluruh hal yang dicoba oleh

negeri dalam menyelenggarakan keselamatan rakyatnya serta kebutuhan
negeri sendiri, jadi tidak dimaksud selaku penguasa yang cuma menjalan

kewajiban administrator saja, melainkan pula mencakup tugas- tugas yang lain
13
tercantum legislatif serta yudikatiff. Kewenangan Kepala negara selaku





10 Rod Hague dan Martin Harrop, Comparative Government and Politics, An Introduction,
6th edition, New York: Palgrave Macmillan, 2004, hlm.280
11 Badudu-Zain, op.cit., hlm. 1044
12 Ibid., hlm. 1044
13 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesdia, Jakarta: CV Sinar Bakti, 2010, hlm.
171

129

14
kepala rezim negara (chief executive) begitu juga diatur dalam UUD NRI
1945 bisa dipecah dalam 3 golongan selaku berikut:

i. Dalam Bidang Eksekutif


Pasal 4 (1) Kepala negara Republik Indonesia menggenggam kewenangan rezim

bagi UUD.

Pasal 4 (2) Dalam melaksanakan kewajibannya Kepala negara dibantu oleh satu
orang Delegasi Kepala negara.

Pasal 5 (1) Kepala negara berkuasa mengajukan RUU pada DPR.
Pasal 5 (2) Kepala negara memutuskan peraturan penguasa buat melaksanakan

UU.

Pasal 10 Presiden menggenggam kewenangan yang paling tinggi atas Angkatan
Bumi, Angkatan Laut serta Angkatan Udara.

Pasal 11 (1) Kepala negara dengan persetujuan DPR melaporkan perang, membuat

perdamaian serta akad dengan negeri lain.
Pasal 12 Presiden menyatakan keadaan bahaya.

Pasal 13 (1) Kepala negara mengangkut delegasi serta konsul.

Pasal 13 (3) Kepala negara menyambut penempatan delegasi negeri lain dengan
mencermati estimasi DPR.

Pasal 14 (1) Kepala negara berikan pengampunan serta rehabilitasi dengan
mencermati estimasi Dewan Agung.

Pasal 14 (2) Kepala negara berikan amnesti serta pembatalan dengan mencermati
estimasi DPR

Pasal 15 Presiden berikan titel, ciri pelayanan, serta lain- lain ciri martabat.

Pasal 16 Presiden membuat sesuatu badan estimasi yang bekerja membagikan
ajakan serta estimasi pada Kepala negara.




14 Sebelum perubahan UUD 1945 mempergunakan kalimat “Kekuasaan Pemerintah Negara”

130

Pasal 17 (1) Kepala negara dibantu oleh menteri- menteri negeri.

Pasal 17 (2) Menteri- menteri itu dinaikan serta diberhentikan oleh Kepala negara.
Pasal 23F (1) Badan BPK diseleksi oleh DPR dengan mencermati estimasi DPD

serta ditetapkan oleh Kepala negara.


ii. Dalam Aspek Legislatif


Pasal 20 (2) Tiap RUU diulas oleh DPR serta Kepala negara buat menemukan

persetujuan bersama.
Pasal 20 (4) Kepala negara mengesahkan RUU yang sudah disetujui bersama buat

jadi UU.

Pasal 22 (1) Dalam perihal bab ketegangan yang memforsir, Kepala negara
berkuasa memutuskan peraturan penguasa selaku pengganti UU.

Pasal 23 (2) RUU perhitungan pemasukan serta berbelanja negeri diajukan oleh
Kepala negara buat diulas bersama DPR dengan mencermati estimasi

DPD.


iii. Dalam Bidang Yudikatif


Pasal 24A (3) Calon juri agung diusulkan Komisi Yudisial pada DPR buat

memperoleh persetujuan serta berikutnya diresmikan selaku juri
agung oleh Kepala negara.

Pasal 24B (3) Badan Komisi Yudisial dinaikan serta diberhentikan oleh Kepala
negara dengan persetujuan DPR.

Pasal 24C (3) Dewan Konstitusi memiliki 9 orang badan juri konstitusi yang

diresmikan oleh Kepala negara, yang diajukan tiap- tiap 3 orang oleh
Dewan Agung, 3 orang oleh DPR, serta 3 orang oleh Kepala negara.







131

Dari uraian di atas kalau kewenangan Kepala negara selaku kepala rezim

negeri mencakup seluruh hal yang amat besar. UUD NRI 1945 tidak
melainkan kepala negeri serta kepala rezim, terlebih sehabis pergantian ketiga

UUD 1945, Kepala negara diseleksi langsung oleh orang buat berprofesi
selaku kepala rezim (chief executive).


Pembuatan Undang-Undang

Pergantian UUD 1945 berakibat pada pergantian metode pembuatan

UU. Pasal- pasal yang hadapi pergantian yang berkaitan dengan pembuatan
UU begitu juga bagan di dasar ini.



Tabel 1
Perubahan UUD 1945 Terkait Pembentukan UU


Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan

Pasal 5 ayat (1) Pasal 5 ayat (1)
Kepala negara menggenggam kewenangan Kepala negara berkuasa mengajukan

membuat hukum dengan persetujuan Badan konsep hukum pada Badan Perwakilan
Perwakilan Orang. Orang.*

Pasal 20 Pasal 20

1) Setiap hukum menginginkan 1) Badan Perwakilan Orang
persetujuan Badan Perwakilan Orang. menggenggam kewenangan membuat

hukum.*

- 2) Tiap konsep hukum diulas oleh Badan
Perwakilan Orang serta Kepala negara

buat menemukan persetujuan
bersama.*







132

2) Bila suatu konsep hukum tidak 3) Bila konsep hukum itu tidak

menemukan persetujuan Badan menemukan persetujuan bersama,
Perwakilan Orang, hingga konsep konsep hukum itu tidak bisa diajukan

mulanya tidak bisa dimajukan lagi lagi dalam sidang Badan Perwakilan
dalam sidang Badan Perwakilan Orang Orang era itu.*

era itu.

- 4) Kepala negara mengesahkan konsep
hukum yang sudah disetujui bersama

buat jadi hukum.*
- 5) Dalam perihal konsep hukum yang

sudah disetujui bersama itu tidak

disahkan oleh Kepala negara dalam
durasi 3 puluh hari dari konsep hukum

itu disetujui, konsep hukum itu legal

jadi hukum serta harus
diundangkan.**

- Pasal 20A ayat (1)
Badan Perwakilan Orang mempunyai

guna legislasi, guna perhitungan, serta
guna pengawasan.**

Pasal 21 Pasal 21

1) Anggota- anggota Badan Perwakilan Badan Badan Perwakilan Orang berkuasa
Orang berkuasa memajukan konsep mengajukan ide konsep undang-undang.*

hukum.

2) Badan Perwakilan Wilayah bisa -
mengajukan pada Badan Perwakilan

Orang konsep hukum yang
berhubungan dengan independensi



133

wilayah, ikatan pusat serta wilayah,

pembuatan serta pemekaran dan
pencampuran wilayah, pengurusan

pangkal energi alam serta pangkal
energi ekonomi yang lain, dan yang

berhubungan dengan perimbangan

finansial pusat serta wilayah.
- Pasal 22D ayat 1

Dewan Perwakilan Daerah dapat
mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan

dan pemekaran serta penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.***

- Pasal 22A
Determinasi lebih lanjut mengenai aturan

metode pembuatan hukum diatur

dengan.**


Dari Artikel 20 jo Artikel 5 bagian (1) jo Artikel 22D UUD NRI 1945

metode pembuatan UU berasal dari (1) pengajuan RUU yang berawal dari
DPR, Kepala negara serta Badan Perwakilan Wilayah (DPD) buat keadaan

khusus, (2) ulasan RUU, (3) persetujuan bersama DPR serta Kepala negara
atas RUU, (4) pengesahan RUU ,(5) pengundangan. Oleh UU Nomor. 12



134

Tahun 2011 mengenai Pembuatan Peraturan Perundang- undangan serta

perubahannya, yang ialah deputi dari Artikel 22A yang berkepribadian open
sah policy, metode pembuatan UU bisa ditafsirkan selaku berikut:


Bagan 1

Tahapan Pembentukan UU Berdasarkan UU RI No. 12 Tahun 2011 dan
Perubahannya





















Nampak jenjang pembuatan UU didominasi Kepala negara (executive
heavy). Sementara itu arti filosofi pembelahan kewenangan merupakan

pemisahan kewenangan. Tiap jenjang pembuatan UU Kepala negara

senantiasa turut- serta lewat menteri ataupun kepala badan yang
menyelenggarakan hal penguasa di aspek pembuatan peraturan perundang-

undangan ataupun menteri yang ditugasi dalam pesan Kepala negara (surpres)
buat melaksanakan ulasan RUU dengan DPR. Pada akhir ulasan, RUU bisa

disetujui ataupun tidak disetujui DPR ataupun Kepala negara. Begitu juga

perihalnya terjalin pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP), RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Perkoperasian, serta RUU

Pengawasan Obat serta Santapan, yang ditunda pengesahannya (sepatutnya
baca: “persetujuan”) dalam rapat sempurna DPR, serta di- carry berlebihan

pada era konferensi selanjutnya. Lebih dahulu, Kepala negara Joko Widodo



135

memohon DPR menunda pengesahan RKUHP yang memanen kontroversi di

15
warga.
Persetujuan bersama DPR serta Kepala negara atas sesuatu RUU sudah

melahirkan UU dalam maksud material (wet in materiele zin). Mengambil
opini Jimly Asshiddiqie kalau sehabis RUU dengan cara sah disahkan dalam

rapat sempurna DPR selaku ciri persetujuan bersama, hingga dengan cara
materil RUU itu bisa dibilang telah bertabiat akhir (hukum in materiele zin).

Kategorisasi materinya telah berakhir sebab materinya telah tidak bisa diganti

16
oleh siapapun, tercantum oleh DPR serta Kepala negara.
Cocok Artikel 20 bagian (4) UUD NRI 1945, RUU yang sudah disetujui

bersama buat disahkan Kepala negara jadi UU. Tetapi, Artikel 20 bagian (5)

UUD NRI membagikan mungkin Kepala negara tidak mengesahkan serta
sehabis melalui 3 puluh semenjak RUU disetujui bersama harus diundangkan.

Dengan mempergunakan Artikel 20 bagian (5) UUD NRI 1945, di masa
Pembaruan, ada 7 UU yang diundangkan tanpa pengesahan Kepala negara

ialah (1) UU Nomor. 25 Tahun 2002 Mengenai Pembuatan Provinsi
Kepulauan Riau, (2) UU Nomor. 32 Tahun 2002 Mengenai Pemancaran, (3)

UU Nomor. 18 Tahun 2003 Mengenai Advokat, (4) UU Nomor. 17 Tahun

2003 Mengenai Finansial Negeri, (5) UU Nomor. 22 Tahun 2014 Mengenai
Penentuan Gubernur, Bupati Serta Walikota, (6) UU Nomor. 2 Tahun 2018

Mengenai Pergantian Kedua Atas UU Nomor. 17 Tahun 2014 Mengenai
MPR, DPR, DPD Serta DPRD, (7) UU Nomor. 19 Tahun 2019 Mengenai

Pergantian Kedua Atas UU Nomor. 30 Tahun 2002 Mengenai Komisi
Pemberantasan Perbuatan Kejahatan Penggelapan. Dari 7 UU itu, 4 UU ialah





15 DPR Sepakat Tunda Pengesahan RKUHP dan 4 RUU Lainnya,
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/30/13224901/dpr-sepakat-tunda-pengesahan-
rkuhp-dan-4-ruu-lainnya?page=all, diakses pada tanggal 18 Juli 2022, pukul 12:37
16 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm.
29.

136

RUU inisiatip Kepala negara ialah UU Nomor. 18 Tahun 2003 Mengenai

Advokat, UU Nomor. 17 Tahun 2003 Mengenai Finansial Negeri, UU Nomor.
22 Tahun 2014 Mengenai Penentuan Gubernur, Bupati Serta Walikota.

Persetujuan atas ketujuh UU ini diwarnai antipati warga yang terjalin di masa
kepemimpinan Kepala negara Megawati, Kepala negara Susilo Bambang

Yudhoyono serta Kepala negara Joko Widodo. Ketujuh UU itu pada dasarnya
sedang memiliki modul bagasi yang bermasalah yang mengakibatkan luapan

di warga.

Artikel 20 bagian (5) UUD NRI 1945 tidak meminta Kepala negara
melaporkan keberatannya bila tidak mengesahkan RUU, yang berlainan

dengan Konstitusi Amerika dalam Postingan 1 Section 7 yang menata: Every

Bill which shall have passed the House of Representatives and the Senate,
shall, before it become a Law, be presented to the President of the United

States; If he approve he shall sign it, but if not he shall return it, with his
Objections, ...”. Bila Kepala negara tidak membenarkan sesuatu RUU, Kepala

negara mengembalikannya dengan melaporkan keberatannya. Antipati Kepala
negara mengesahkan RUU yang sudah disetujui bersama bagi Bagir Manan

selaku anomali aplikasi ketatanegaraan. Juri Konstitusi Wahiduddin Adams

menyebutnya terbentuknya absurditas aplikasi ketatanegaraan. Jimly berkata
tidak ditandatanganinya UU KPK hasil perbaikan merupakan perkara yang

sungguh- sungguh. Aksi itu, bagi ia, tidak cocok dengan etika serta kepantasan
17
konstitusional.
Dalam ulasan pergantian awal UUD 1945 ada membela serta anti hal
pengesahan yang diatur dalam Artikel 20 bagian( 4) UUD NRI 1945 serta pula

metode pembuatan UU yang antagonisme antara Artikel 20 bagian( 3) serta



17 Jimly Asshiddiqie: Tidak Patut Presiden Tak Tandatangani UU KPK Hasil Revisi,
06/07/2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/07/06/18302501/jimly-asshiddiqie-
tidak-patut-presiden-tak-tandatangani-uu-kpk-hasil-revisi, diakses pada tanggal 05/07/2022,
pukul 19:49 wib

137

bagian( 4), sebagaimama di informasikan oleh Slamet Efendy Yusuf dari F-

18
PG. Aberson Marle Sihaloho dari F- PDIP menarangkan kalau pengesahan
yang diartikan dari Kepala negara merupakan diundangkan dalam Kepingan

19
Negeri. Harjono dari F- PDIP bercahaya hal persetujuan Kepala negara
dalam ulasan, apakah Kepala negara membenarkan dengan sistem parlementer

20
ataupun dengan sistem presidensial.
Persetujuan bersama DPR serta Kepala negara atas RUU ialah

persetujuan 2 badan selaku bawah terjadinya UU begitu juga diutarakan DPR

dalam Tetapan Mahkamah Konstitusi No. No. 62/PUU-XVII/2019:
“Frasa “persetujuan bersama” dalam determinasi itu ialah akar

berlakunya dasar keabsahan alhasil frasa “persetujuan bersama” ialah

norma yang amat elementer selaku bawah terjadinya hukum.
Bila cara pembuatan hukum sudah penuhi faktor keabsahan, ialah

sudah terdapatnya“ persetujuan bersama”, serta tidak terdapatnya
kekalahan dalam memperoleh“ persetujuan bersama” DPR RI serta

Kepala negara, hingga dengan cara konstitusional hukum itu jadi legal
21
dengan cara formil.”

Persetujuan bersama DPR serta Kepala negara ialah titik ikat lahirnya

UU. Ikatan kedua badan ini wajib diamati bersumber pada underlying
agreement (ought to) saat sebelum melakukan pergantian UUD 1945, ialah

mempertegas sistem rezim presidensial. Dalam diri Kepala negara berpadu


18 Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku III,
Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan, Jilid 2, 2010, hlm. 813-815: …. Di situ makin
kelihatan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah ada di DPR, yaitu pada
Pasal 4, eh Ayat (4) Pasal 20 itu kita hilangkan, sebenarnya menyelesaikan soal dari sudut
problem. Oleh karena itu, tinggal dicari rumusan, agar Ayat (3) dan Ayat (4) itu tidak seperti
saling bertentangan, sebagaimana tadi malam dipahami oleh ibu Aisyah Amini dari PAH II
dan kemudian Pak Amien Rais juga menganggap itu sebagai suatu yang contradiction.
19 Ibid., hlm. 783
20 Ibid., hlm. 762
21 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XVII/2019, hlm. 56-57

138

(combined in one office) kepala negeri serta kepala rezim. Pergantian yang

terjalin dalam Artikel 5 bagian (1) serta Artikel 20 bagian (1) UUD NRI 1945
ialah akibat masuk akal dari penentuan sistem presidensial dalam UUD.

Dengan begitu kerja- sama DPR serta Kepala negara dalam pembuatan UU
sebaiknya cuma hingga persetujuan bersama. Pengesahan yang diatur dalam

Artikel 20 bagian (4) UUD NRI 1945 yang awal mulanya ialah sesuatu
keharusan (must), sehabis timbulnya Artikel 20 bagian (5) UUD NRI 1945

dalam pergantian kedua, jadi facultative right. Bagi Saldi Isra kedatangan

Artikel 20 bagian (5) melemahkan determinasi yang ada dalam Artikel 20
bagian (4). Timbulnya Artikel 20 bagian (5) ialah pemecahan atas RUU yang

sudah disetujui bersama DPR serta Kepala negara supaya tidak percuma

(muspro), begitu juga yang sudah terjalin atas RUU Penyelesaian Kondisi
Ancaman (PKB) serta RUU Pemancaran, tidak bisa diberlakukan sebab tidak

ditandatangani Kepala negara.
Apa arti kewenangan membuat UU dalam Artikel 20 bagian (1) UUD

NRI 1945? UUD NRI 1945 tidak membagikan uraian begitu juga UUD 1945.
Watak UUD merupakan leges fundamentalis, menata keadaan yang pokok.

Lewat pengertian penataan bisa dimengerti kewenangan membuat UU. Pada

pergantian kedua, lahir Artikel 20A bagian (1) UUD NRI 1945 kalau salah
satu guna DPR merupakan guna legislasi. Mengambil opini Hans Kelsen,

legislasi ataupun legis latio dari hukum Bulu halus merupakan pembuatan UU
(leges). Selaku guna legislasi, kewenangan legislatif DPR mempunyai arti

kewenangan yang memiliki kewajiban (office, duty) membuat UU (leges).
Artikel 20 bagian 1 UUD NRI 1945, ialah badan DPR yang diberi daya, ialah

daya buat melakukan guna ataupun kewajiban (tupoksi) membuat UU.

Dengan begitu Artikel 20 bagian (1) wajib dibaca dengan cara berbarengan
dengan Artikel 20A bagian (1) UUD NRI 1945, semacam koin bermuka 2,

antara badan serta guna, buat menemukan arti yang global hal kewenangan



139

membuat UU. Dengan begitu sehabis persetujuan bersama DPR serta Kepala

negara atas sesuatu RUU, hal berikutnya merupakan administrasi yang bisa
berikutnya dilaksanakan DPR. Alhasil pengesahan RUU dilaksanakan oleh

DPR bukan Kepala negara. Bila tanda- tangan Kepala negara sedang
dibutuhkan, penamaannya bukan “pengesahan”, bisa mempergunakan

“dikenal”.


Kesimpulan

Penerangan sistem rezim presidensial selaku underlying agreement
memiliki akibat pergantian UUD NRI 1945 berdasarkan separation of powers

serta checks and balances. Kewenangan negeri terdiri dari kewenangan

administrator terletak pada Kepala negara, kewenangan legislatif terletak pada
DPR serta kewenangan yudikatif terletak pada Dewan Agung serta Dewan

Konstitusi. Dalam pembuatan UU, kewenangan DPR memberi dengan Kepala
negara buat menciptakan persetujuan bersama atas sesuatu RUU. RUU yang

disetujui bersama disahkan Kepala negara buat pengundangan. Kenyataannya
ada 7 UU yang diundangkan tanpa pengesahan Kepala negara serta senantiasa

asi hingga dikala ini. Perihal ini diakibatkan persetujuan bersama merupakan

akar berlakunya dasar keabsahan DPR serta Kepala negara buat menciptakan
UU. Persetujuan Kepala negara atas RUU dimaknai Kepala negara selaku

kepala negeri serta kepala rezim selaku satu kesatuan (combined in one
office). Kewenangan DPR selaku pembuat UU memiliki arti guna serta badan

yang ialah satu kesatuan, dengan tupoksi membuat UU. Dengan begitu sehabis
tercapainya persetujuan bersama DPR serta Kepala negara, hal berikutnya

terletak pada DPR, alhasil pengesahan Kepala negara atas RUU telah tidak

relevant lagi.







140

Badan Permusyawaratan Orang butuh meninjau balik (revisit) tata- cara

pembuatan UU yang selaras dengan underlying agreement pergantian UUD
1945 ialah pemisahan kewenangan serta checks and balances. Kewenangan

membuat UU serta guna legislasi DPR ialah satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, semacam mata duit 2 bagian. Perpindahan kewenangan membuat

UU pada DPR sebaiknya diiringi dengan pergantian tata- cara pembuatan UU
yang linear dengan sistem rezim presidensial. Pengesahan Kepala negara atas

RUU yang ialah aksi administrasi serta tidak membagikan dampak hukum

apapun, tidak butuh masuk dalam tata- cara pembuatan UU.

































141

DAFTAR PUSTAKA


Perundang-undangan


UUD 1945 (sebelum amandemen)
UUD NRI 1945 (setelah amandemen)

UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


Buku


Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2001.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Harvard Univesity: Harvard

Univesity Press, 1945.


Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: PT
RajaGrafindoPersada, 2014.


Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesdia,
Jakarta: CV Sinar Bakti, 2010.


Mostesquieu, The Spirit of the Laws, translated and edited by Anne M. Cohler,

Basia Carolyn Miller, Harold Samuel Stone, Cambridge University:
Cambdrige University Press, 1989.


Rod Hague dan Martin Harrop, Comparative Government and Politics, An

Introduction, 6th edition, New York: Palgrave Macmillan, 2004.


Rod Hague, Martin Harrop, John McCormick, Political Science, A
Comparative Introduction, 8th edition, New York: Palgrave Macmillan,

2013


142


Click to View FlipBook Version