PIDANA PENJARA: TAJAM TAK BERTEPI
Petrus Irwan Panjaitan
Pendahuluan
Sepanjang sejarah umat manusia di belahan dunia manapun, hukuman
sudah dikenal bahkan selalu menjadi kekuatan, serta dikedepankan untuk
memberantas kejahatan. Berbagai alasan sering diungkap bahwa hukuman
memberi rasa sakit bagi pelaku, bahkan membuat orang lain takut melakukan
kejahatan. Pembalasan menjadi tujuan di awal saat Hukum mulai
dikenal,namun seiring perkembangan perhatian kemanusian, serta semakin
sulitnya mengurangi terjadinya kejahatan, pembalasan tidak lagi populer,
berganti menjadi kegunaan apa yang diperoleh bila hukuman dijatuhkan.
Menghukum pelaku kejahatan bagi masyarakat dipandang patut, sebagai
bentuk pengimbalan akibat kerugian yang ditimbulkan, bahkan mengimbangi
adanya “kekuatan jahat” yang merupakan penyimpangan terhadap aturan
hukum. Menjadikan hukuman sebagai satu-satu nya cara menjerakan pelaku,
juga dinilai untuk terlampiaskan amarah kolektif, dalam hal ini gangguan
sekecil apapun terhadap ketentraman serta rasa nyaman kehidupan harus
ditiadakan. Dengan demikian, pilihan atas suatu rasa sakit untuk pelanggar
hukum adalah nilai keadilan yang harus terwujud. Kenikmatan pelaku dari
suatu keuntungan yang diperoleh dari perbuatan menyimpang, harus dibayar
melalui derita melebihi kesenangan. Pemahaman dan pandangan sebagian
besar dari masyarakat akan nilai-nilai keadilan dari suatu hukuman demikian
terjelma di dalam Hukum Pidana klasik maupun modern, namun selalu
digunakan sangat hati-hati dan terbatas bahkan sebagai ultimum remedium.
Penggunaan Hukuman di dalam Hukum Pidana, juga dirasakan sebagai salah
satu cara untuk mengefektifkan norma-norma atau ketentuan-ketentuan yang
terdapat di setiap peraturan perundang-undangan pidana.
243
Dalam perkembangan masyarakat modern, bagitupula di dalam Hukum
Pidana, penilaian bentuk hukuman tidak lagi melihat ke belakang (backward
looking), tetapi sudah memandang jauh ke masa depan (forward looking)
dengan suatu ketetapan perihal makna dan apa sebenarnya hakekat hukuman
dengan mengaitkan kepada untung rugi dari bila hukuman diberikan kepada
pelaku. Persoalan ini cukup mendasar mengingat tidak ada jaminan apapun
dari suatu nilai pengimbalan dan pemuasaan amarah terhadap kejahatan dan
pelaku. Hal ini mengingat bahwa kejahatan dan orang-orang jahat tetap saja
ada di masyarakat.
Dirumuskannya perbuatan berbahaya dan merugikan bagi nyawa,
kehormatan, harta benda dan kesusilaan sebagai kejahatan atau tindak pidana
ke dalam perumusan formal undang-undang Hukum Pidana merupakan
kenyataan. Melalui undang-undang Hukum Pidana, bentuk hukuman yang
selalu menarik perhatian banyak orang yaitu pidana penjara. Jenis pidana ini
telah banyak dikaji bahkan diteliti, baik untuk tetap dipertahankan atau untuk
diganti, namu pidana pejara ini memiliki implikasi yang cukup banyak, namun
harus diakui bahwa pidana ini sangat tajam melebihi pisau, akan tetapi dia
tidak berbatas.
Permasalahan
Sebagai hukuman yang menakutkan atau merampas kemerdekaan setiap
orang, pidana penjara, membutuhkan tidak sedikit biaya serta infrastruktur.
Berkaitan dengan itu, maka permasalahan utama yang dianalisa dalam tulisan
adalah apakah pidana penjara harus ditujukan untuk semua tindak pidana,
serta ukuran kerugian agar hukuman dijatuhkan; dan untung rugi bila pidana
penjara diberikan kepada pelaku.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa dan menjelaskan apakah pidana
penjara itu harus ditujukan kepada semua tindak pidana; serta apa ukuran agar
244
hukuman itu diberikan kepada pelaku; begitupun untung rugi dari pidana
penjara bila dijatuhkan kepada pelaku.
Kejahatan dan Hukuman
Kejahatan sebagai suatu istilah atau sebutan untuk menyatakan bahwa
perbuatan itu dipandang buruk, tidak pantas, menyimpang bahkan berbahaya
dan merugikan, merupakan terminologi yang berkembang dan “diakui” oleh
sebagian besar masyarakat. Bila dilihat dari perspektif Ilmu pengetahuan,
sebut saja kriminologi, sosiologi, maka kedua cabang ilmu ini tentu akan
berbeda mengartikannya.Kejahatan sebagai suatu perbuatan selalu
disandingkan dengan Hukum Positif yang berlaku. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh Sutherland mengenai definisi kejahatan yang lebih muktahir
adalah deskripsi menurut hukum mengenai perbuatan yang merugikan
1
masyarakat dan hukum memberikan ketentuan pidana terhadap perbuatan itu.
Memahami apa yang dikatakan oleh Sutherland tersebut, memberi pengertian
bahwa kejahatan itu adalah konsep hukum. Hal ini juga sesuai sebagaimana
dikatakan oleh Hulsman, undang-undang menetapkan apa yang jahat, undang-
2
undanglah yang menciptakan penjahat.
Membaca pendapat Sutherland dan Hulsman serta mengaitkan dengan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, maka benar adanya serta
tidak terbantahkan, dimana terdapat tiga buku, buku kedua Titel nya adalah
Kejahatan. Pada Titel ini dirumuskan semua perbuatan-perbuatan yang
disebut sebagai kejahatan dengan variasi ancaman pidana penjara yang
berbeda. Lebih jauh lagi bila kita telusuri, bahwa perbuatan yang disebut
sebagai kejahatan itu menyangkut: kehormatan, nyawa, harta benda serta
1 Paul W Tapan, Kejahatan Sebagai Konsep Hukum Dalam Readings In Criminology And
Penologi, David Dressler (editor) diterjemahkan oleh Soemitro, Solo: Sebelas Maret
University Press, 1988, hlm. 29.
2 Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana, Menuju Swa Regulasi, diterjemahkan oleh
Wonosutanto, Solo: Sebelas Maret University Press, 1995, hlm. 48.
245
kesusilaan. Kejahatan sebagaimana perumusan Hukum Pidana, menjadi
alasan atau dasar untuk adanya suatu hukuman, dengan demikian hukuman itu
adalah bentuk pengimbalan dari kerugian. Menjadi pertanyaan adalah ukuran
kesepadanan antara kerugian dan hukuman. Dengan melihat ketentuan hukum
dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang
tindak pidana pencurian yang menimbulkan kerugian berupa benda yang dapat
dinilai secara ekonomis dengan ancaman pidana penjara lima tahun maksimal
beserta denda. Besarnya kerugian sangat variatif, karena ketentuan ini tidak
merumuskan secara pasti.
Perihal kesepadanan kerugian dan hukuman akibat kejahatan, dapat
dibuat suatu ilustrasi seperti: Seandainya seorang pelaku tindak pidana
pencurian dijatuhi hukuman empat tahun, sedang kerugian yang ditimbulkan
sebesar empat juta rupiah, apakah hal itu sepadan? Bila pandangan pembentuk
undang-undang dijadikan acuan, maka itu menjadi seimbang, serta nilai
keadilan dan kepastian hukum terwujud. Lalu bagaimana kerugian yang
diderita korban, apakah pelaku harus mengembalikan? Dalam hal ini Undang-
undang Hukum Pidana sepertinya “menutup mata”. Oleh karena itu, perlu ada
kejelasan, apakah hukuman itu pengimbalan atas kerugian berupa benda
secara ekonomis atau untuk perbuatan yang menyimpang? Berkaitan hukuman
menjadi bentuk penyeimbang atas suatu kerugian korban, maka harus
dipandang sebagai cara agar pelaku tidak berbuat hal sama di kemudian hari.
Sehubungan dengan itu, Cessare Beccaria mengatakan bahwa akhir dari
hukuman, kemudian adalah tidak lain dan tidak bukan untuk mencegah
3
penjahat mencederai orang lain dari perbuatan yang serupa. Dalam pada itu
juga, Emile Durkheim menyatakan hukuman benar-benar dapat berungsi
3 Cessare Beccaria, Perihal Kejahatan dan Hukuman, judul asli: Dei deliti e delle pene.
English An essay on crimes and Punhisments, Penerjemah Wahmuji, Jogjakarta: Genta
Publishsing, 2011, hlm. 36.
246
sebagai pelindung bagi kita di masa depan, maka kita berfikir bahwa hukuman
4
itu seharusnya terlebih-lebih merupakan penebusan masa lampau.
Memahami kedua pendapat ahli hukum di atas, terlihat ada korelasi
kejahatan dan hukuman. Dalam hal ini, norma aturan masyarakat itu berlaku
didasarkan kesepakatan bersama, yang menghendaki ketertiban, kedamaian.
Penyimpangan terhadap aturan dan norma sedapat mungkin dihindari untuk
menjaga norma dan aturan maka pencelaan dengan wujud hukuman, sangat
mungkin menjadi pilihan sulit bagi masyarakat. Dengan demikian, kejahatan
dan hukuman merupakan dua sisi yang saling mengisi, bahkan tidak
“terpisahkan”.
Biaya dan Keuntungan
Menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan tentu bukan sesuatu
yang mudah dan sederhana atau tanpa biaya. Hukuman dari bentuk paling
ringan dan berat sekalipun, pasti butuh biaya. Hukuman Kerja paksa pasti
memerlukan pengawas untuk menjaga dan mengawasi, terhukum pasti diberi
makan karena saat kerja paksa mereka mengerjakan sesuatu, apa itu membuka
hutan, membangun jalan atau jembatan. Terpidana kerja paksa juga harus
diberi tempat penginapan untuk berteduh serta tidur, begitu juga obat-obatan
kalau mereka sakit. Begitupun hukuman mati bila dijatuhkan, pasti dibutuhkan
peluru, senjata api, regu tembak, dokter untuk memastikan kematian
terpidana.
Di negara demokrasi dimana hukum menjadi kekuatan, pengakuan dan
perlindungan hak-hak warga negara di junjung tinggi, maka bentuk-bentuk
hukuman tidak lagi tertuju kepada kekejaman, tetapi lebih manusiawi.
Semakin manusiawi suatu bentuk hukuman, maka biaya semakin besar, Sebut
saja jenis Pidana Penjara. Jenis Pidana ini, mengharuskan penempatan
4 Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum,
Buku I, Editor A.A.G. Peters, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 50.
247
terpidana di Lembaga Pemasyarakatan. Mengasingkan atau menempatkan
seorang terpidana dari lingkungan sosial nya untuk masa tertentu, sangat jelas
menghabiskan biaya besar.
Membangun infrastruktur, seperti Rumah Sakit, sarana pendidikan,
tenaga instruktur untuk latihan kerja, petugas sebagai pengawas atau penjaga,
demikian juga metoda dan sistem pembinaan bahkan peraturan perundang-
undangan sebagai pedoman perlakuan untuk terpidana, bahkan biaya rutin
harus tersedia. Ke semua itu, menjadi syarat agar pelaksanaan pidana penjara
dipandang layak diterapkan. Dalam hal ini, kehilangan kemerdekaan selama
waktu tertentu, tidak menjadikan negara lepas tanggung jawa nya. Di samping
itu juga, negara harus mengontrol proses pembinaan terpidana, agar praktik-
praktik “penindasan”, pengabaian hak-hak warga negara tidak terjadi.
Berkaitan dengan itu, negara sebagai pemegang otoritas hukum dan
pelindung hak-hak pelanggar hukum, sepatutnya berpegang kepada tujuan
yang hendak dicapai dari penegakan hukum. Dalam hal ini, kepastian hukum
harus diberikan kepada terpidana berupa hak-hak untuk diperlakukan secara
adil layaknya warga negara, seperti: makanan layak, perawatan kesehatan,
serta waktu dan kesempatan bertemu dengan masyarakat, khususnya anggota
keluarga.
Perlakuan terhadap pelanggar hukum, menjadi bukti apakah negara itu
beradab dan bermartabat. Dalam hal ini, pertaruhan negara beradab
berkorelasi dengan praktek peenegakan hukum bagi pelaku tindak pidana.
Berkaitan dengan itu, Cessare Beccaria mengatakan: kekejaman pemidanaan
dapat dipakai sebagai ukuran tingkat kemajuan suatu bangsa, maka tidak
5
banyak alasan bagi kita untuk memukul dada dengan bangga. Memahami
pendapat Cessare Beccaria, bahwa penegakan atas aturan hukum pidana
5 J.M.Van Bemmelen, Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier, diterjemahkan oleh Hasnan,
Bandung: Binacipta, 1986, hlm. 3.
248
berimplikasi biaya dan konsisten dengan citra negara beradab. Dalam hal ini,
negara tidak boleh menutup mata serta abai bila sudah menetapkan hukum
pidana sebagai sarana penal dalam penanggulangan kejahatan. Sebagai sarana
penanggulangan kejahatan, konsistensi hukum pidana akan terlihat krusial
saat pelaksanaan hukuman, dimana sering terjadi gap atau jarak. Oleh karena
itu, Hulu dan Hilir dari aturan hukum harus berkaitan dan berkelanjutan,
terlebih perlakuan terhadap pelanggar hukum.
Kenyataan paling mendasar sering terjadi, dimana penegakan hukum
sangat kuat dan tersistematisir pada tahap pre-adjudikasi, namun saat post
adjudikasi di lembaga pemasyarakatan hal itu menjadi terlupakan, bahkan
terkesan morat-marit saat berlangsung nya pembinaan pelanggar hukum.
Mekar di awal layu di akhir, ungkapan demikian mungkin dapat
menggambarkan apa yang terjadi. Dalam hal ini, pada saat diketahui ada
tindak pidana, maka penegak hukum dengan segala potensinya sangat cepat
mengungkap pelaku, serta melakukan proses peradilan pidana sampai diputus
bersalah oleh Hakim, namun setelah pelaku dieksekusi dan menjalani
hukuman, kerap terabaikan pembinaan. Disini, kriminal proses itu selalu
dipahami hanya sampai tahap adjudikasi, namun harus ada keberhasilan dari
dikonversinya kesalahan menjadi perbaikan pada diri pelaku. Dengan
demikian, biaya besar yang sudah dialokasikan harus berbanding sejajar atas
hasil yang dicapai. Biaya dan keuntungan tetap menjadi pedoman bila
hukuman diterapkan. Pelaku menjadi orang baik serta taat hukum saat berada
di masyarakat, menjadi salah satu keuntungan atau hasil akhir dari
penghukuman. Keuntungan lain, diharapkan dapat bekerja di masyarakat,
serta menjadi agen perubahan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang
rentan menjadi pelaku kejahatan.
Berkaitan dengan usaha memperdayakan pelanggar hukum pasaca
menjalani hukuman, sedikit banyak dapat mengurangi beban dan
249
memperbaiki citra Institusi penjara di masyarakat. Dengan demikian,
penegakan hukum pidana, tidak lagi dipandang sebagai bentuk pembalasan
dan pelampiasan amarah kolektif masyarakat, tetapi menjadi peringatan atas
kesalahan akibat melanggar hukum serta menimbulkan kerugian.
Apakah Untuk Semua Tindak Pidana
Biaya dan keuntungan bukan sesuatu hitungan tanpa dasar. Mengapa
dikatakan demikian, karena pada saat kita membeli suatu barang atau benda,
maka selalu dilihat manfaat apa yang akan diperoleh dari benda tersebut,
apalagi harus dibayar dengan mahal. Perdebatan dan diskusi tentang ini, selalu
dan terus terjadi. Dalam hal ini, setiap orang bahkan siapapun menginginkan
agar keuntungan itu jauh melebihi biaya yang dikeluarkan, atau paling tidak
seimbang dan menghindari kerugian. Begitupun hal nya dengan hukuman atau
jenis pidana penjara. Bentuk pidana ini, sepatut nya harus hati-hati diterapkan,
karena biaya pelaksanannya sangat besar. Biaya-biaya yang dimaksud tidak
saja harus berupa uang, tapi implikasi menanggung beban sosial bagi
terpidana maupun keluarga, baik saat menjalani hukuman maupun pasca
hukuman. Hal ini sebagaimana dikatakan D. Schaffmeister: sampai sekarang
belum dan tidak mungkin ditemukan pidana yang sama sekali tidak (turut)
6
mengganggu atau menimbulkan penderitaan bagi pihak ketiga.
Di samping itu, pada pelaksanaannya pemenjaraan justru menyebabkan
kondisi narapidana menjadi semakin buruk dengan semakin meningkatnya
jumlah penghuni melebihi kemampuan kapasitas penjara (over crowded)
sehingga menyulitkan upaya pemenuhan hak dan standar minimum bagi
tahanan dan terpidana di dalam penjara. Pemenjaraan justru membuat
6 D Schaffmeister, Pidana Badan singkat sebagai pidana di waktu luang, judul asli “De korte
vrijheidsstraf als vrijetidsstraf” penerjemah: Tristam Pascal Moeljono, editor Agustinus
Pohan, Budi Prastowo, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 73.
250
penderitaan terpidana semakin parah, serta terjadinya proses pembelajaran
7
yang justru membuat terpeliharanya nilai-nilai kejahatan (prisonisasi).
Memahami hal tersebut, maka pertanyaan nya adalah apakah jenis
hukuman seperti pidana penjara harus ditujukan untuk semua tindak pidana,
bila jawaban nya tidak untuk semua, maka harus dicari sanksi alternatif lain
yang mungkin sepadan dengan perbuatan. Berkaitan dengan ini, Nigel Walker
mengatakan: (1). Janganlah menggunakan pidana secara emosional untuk
melakukan perubahan semata-mata; (2). Hendaknya hukum pidana jangan
digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau
kerugiannya; (3). Hukum Pidana jangan dipakai hanya untuk mencapai suatu
tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama
efektifnya dengan penderitaan atau kerugian yang lebih sedikit; (4). Jangan
menggunakan Hukum Pidana apabila kerugian yang ditimbulkan oleh
pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian yang diakibatkan tindak
pidana yang dirumuskan; (5). Jangan menggunakan Hukum pidana apabila
tidak didukung oleh masyarakat secara kuat; (6). Jangan menggunakan
Hukum pidana apabila penggunaannya diperlirakan tidak efektif
8
(Unforceable).
Kehati-hatian menggunakan hukuman sebagaimana dikatakan Nigel
Walker, selalu berpatokan pada prinsip apakah perbuatan itu sangat
berbahaya dan merugikan menurut pandangan masyarakat, jadi tidak cukup
atas dasar penilaiaan pembuat undang-undang semata. Karena apa yang
menjadi ukuran pembentuk undang-undang terhadap suatu perbuatan dinilai
jahat serta hukuman dipandang sepadan dan adil, ternyata di masyarakat tidak
7 Iqrak Sulhin, Diskontinuitas Penologi Punitif, sebuah analisis geneologis terhadap
pemenjaraan, Jakarta: Prenada Media, 2016, hlm. 267.
8 Muladi, Pencegahan dan Pembinaan Residivis di lihat dari perspektif Sistem Peradilan
Pidana, dalam kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penulisan buku, dibiayai dana
DIP,Undip tahun 1994-1995, ex kerjasama Indonesia-Belanda, hlm. 152.
251
demikian. Maka tidak jarang timbul reaksi atas jenis hukuman melalui
pemenjaraan. Dalam pada itu juga, banyak negara sudah tidak lagi menjadikan
pidana penjara sebagai primadona mengatasi kejahatan. Ada berbagai alasan
mengemuka untuk mengurangi jenis pidana ini dengan jenis pidana lain,
seperti pidana denda, pidana kerja sosial. Semua itu menunjukkan, bahwa
hasil yang dicapai dari pidana hilang kemerdekaan tidak cukup terlihat secara
nyata.
Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan yang dipandang merugikan harta
benda, tidak lagi harus dengan sanksi pidana penjara, namun cukup pidana
denda, begitupun untuk Tindak Pidana berkaitan dengan penghinaan, cukup
dengan pidana permintaan maaf dan pemenuhan kewajiban adat yang memang
di butuhkan masyarakat. Sanksi alternatif demikian sangat korelatif dengan
perbuatan yang lebih bersifat antar pribadi anggota masyarakat. Dengan
demikian, pihak yang bertikai atau berselisih merasakan langsung bentuk
kompensasi, sehingga pemulihan hubungan sosial dapat terwujud. Memahami
hal tersebut, Negara melalui aparat penegak hukum hanya sebagai fasilitator.
Bila ini terwujud, beban negara menjadi berkurang, serta pidana penjara itu
hanya tajam untuk kejahatan serius dan pidana penjara memiliki batas-batas
wilayah penggunaannya, bukan untuk semua tindak pidana.
Penutup
Sebagai jenis pidana paling banyak diperdebatkan akan kegunaannya,
pidana penjara ini di pandang sangat tajam, sehingga tidak saja mengiris
kepada pelaku, tapi juga orang ketiga atau keluarga. Pidana penjara ini sangat
ditakuti, apalagi bila penerapannya tidak manusiawi. Pidana penjara ini walau
dilaksanakan secara manusiawi sekalipun, tetap ditakuti, karena merampas
kemerdekaan serta kebebasan pelaku. Tidak hanya itu, pidana penjara ini juga
memberi cap kepada orang yang terkena hukuman walau sudah selesai
252
dijalani. Karena jenis pidana ini tajam dan ditakuti, maka butuh biaya agar
dapat direalisasikan, walau keuntungan tidak pernah dipersoalkan. Akan
tetapi, pidana jenis ini tidak selamanya menjadi primadona. Bahkan pidana
penjara tidak selalu dapat diterapkan terhadap setiap jenis tindak pidana.
Berpaling ke jenis lain, mulai dikedepankan, karena ternyata pidana ini sudah
tidak sesuai lagi dengan perbuatan-perbuatan tertentu.
253
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Buku
Cessaria Beccaria, Perihal Kejahatan dan Hukuman, judul asli Dei deliti e
delle pene. English An essay on crimes and Punhisments, Jogjakarta:
Genta Publishing, 2011.
J. V. Bemmelen, Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier, Bandung: Binacipta,
1986.
Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana, Menuju Swa Regulasi, Solo:
Sebelas Maret University Press, 1995.
Muladi, Pencegahan dan Pembinaan Residivis di lihat dari perspektif Sistem
Peradilan Pidana, dalam kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: DIP UNDIP, 1994-1995.
D. Schaffmeister, Pidana Badan singkat sebagai pidana di waktu luang, judul
asli “De korte vrijheidsstraf als vrijetidsstraf”, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1991.
K. Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan sosial, Buku Teks Sosiologi
Hukum, Buku I, Jakarta: Pustika Sinar Harapan, 1988.
I. Sulhin, Diskontinuitas Penologi Punitif, Sebuah Analisis Geneologis
Terhadap Pemenjaraan, Jakarta: Prenada Media, 2016.
P. W. Tapan, Kejahatan Sebagai Konsep Hukum Dalam Readings in
Criminology and Penologi, Solo: Sebelas Maret University Press, 1988.
254
PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA ANAK KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL
David Hutahaean
Pendahuluan
Indonesia akan menikmati bonus demografi (Demographic Divident),
suatu pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan oleh adanya alternasi komposisi
usia penduduk, dimana perbandingan usia kerja (individu dengan usia 15-65
tahun) dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan penduduk berusia di
bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun. Keadaan ini haruslah didukung dengan
meningkatkan produktivitas penduduk dengan usia kerja tersebut. Bonus
demografi yang disebut sebagai jendela peluang (window of opportunity)
sudah diawali sejak tahun 1980-an dan puncaknya akan terjadi tahun 2030.
Bonus demografi ini memberikan petunjuk bahwa Indonesia memiliki potensi
1
yang sangat besar jika hak-hak anak dipenuhi.
Politik hukum perlindungan anak telah dilakukan Presiden Ir. Joko
Widodo (Jokowi) dengan membuat legacy bahwa kekerasan seksual adalah
extra-ordinary crime karena adanya kejahatan kemanusiaan. Politik hukum
perlindungan anak dengan direvisinya 2 (dua) kali UU Perlindungan Anak
belum mencerminkan perlindungan anak secara komprehensif, karena belum
ada rumusan norma hukum pemberian kompensasi dalam hukum
perlindungan anak. Klausul pemberian kompensasi dalam UU Perlindungan
Saksi dan Korban juga belum menunjukkan urgensinya pemberian
kompensasi.
1 Sri Moertiningsih Adioetimo, Memetik Bonus Demografi: membangun manusia sejak dini,
Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018, hlm. 2.
255
Penulisan hukum tentang optimalisasi pemberian kompensasi bagi
anak korban kekerasan seksual merupakan kegelisahan Penulis atas darurat
kekerasan seksual anak, viktimisasi yang dialami oleh anak yang merupakan
korban kekerasan seksual, dan belum diaturnya pemberian kompensasi dalam
undang-undang perlindungan anak. Penelitian telah dilakukan Penulis sejak
bulan Juli 2020 sampai dengan Juni 2022. Optimalisasi pemberian kompensasi
harus dilakukan dengan merevisi undang-undang perlindungan anak dan/atau
mengeluarkan Perppu, merevisi klausul pemberian kompensasi yang tertuang
dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, serta urgensinya pemberian
kompensasi setelah dibuktikannya anak mengalami tindak pidana kekerasan
seksual. Optimalisasi pemberian kompensasi kepada anak korban kekerasan
seksual menjadi suatu keniscayaan.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang diuraikan dalam latar belakang permasalahan
pada pendahuluan, sehingga dapat ditetapkan perumusan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah negara menjalankan perintah konstitusi untuk melindungi
anak korban kekerasan seksual melalui perlindungan hukum?
b. Sejauh manakah korelasi antara optimalisasi pemberian kompensasi
dengan penyembuhan (healing) dan pemulihan anak yang merupakan
korban kekerasan seksual?
Berdasarkan permasalahan di muka, maka tujuan penulisan hukum ini
sinkron dengan perumusan masalah yakni mengkaji dua hal. Pertama, untuk
mengetahui tanggung jawab negara dalam menjalankan perintah konstitusi
untuk melindungi anak korban kekerasan seksual, secara khusus dalam
pemberian kompensasi. Kedua, untuk mengetahui korelasi antara optimalisasi
256
pemberian kompensasi dengan penyembuhan (healing) dan pemulihan anak
korban kekerasan seksual.
Perlindungan Anak
Keadaan berupa darurat kekerasan seksual anak sedang dialami
Indonesia, sebagai hasil penelitian Penulis yang dilakukan selama satu tahun
yaitu sejak bulan Juli 2020 sampai dengan Juni 2022. Untuk menanggulangi
darurat kekerasan seksual ini, dibutuhkan political will negara melalui politik
Hukum Perlindungan Anak untuk melindungi seluruh anak Indonesia,
khususnya bagi perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan
seksual secara komprehensif. Sejalan dengan urgensi berupa perlindungan
terhadap korban tersebut, keadaan tersebut merupakan perintah Konstitusi
untuk melindungi anak korban kekerasan seksual melalui perlindungan
hukum.
Sejak dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), maka
definisi anak menjadi tunggal sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal
1 angka (1) UU Perlindungan anak, yang menyatakan “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.” Dengan definisi ini maka ruang lingkup dari kajian ini,
batasan dari ruang tersebut, dan jangkauan perlindungan anak menjadi lebih
terukur. Perlindungan anak menjadi keniscayaan karena anak belum dapat
melindungi dirinya sendiri.
Sejalan dengan ketentuan di muka, Arief Gosita menyatakan bahwa
“Perlindungan hukum terhadap anak dapat dimaknai sebagai perlindungan
hukum terhadap berbagai tindakan kekerasan dan hak anak dan segala upaya
yang berkaitan dengan kesejahteraan anak, sebagai tanggung jawab
melakukan perintah konstitusi. Perlindungan anak merupakan suatu usaha
257
untuk menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan pelaksanaan hak
dan kewajiban anak secara manusiawi. Setiap hak anak harus dijunjung
tinggi guna mencapai generasi muda bangsa yang sehat, sehingga
pengabaian perlindungan anak korban kejahatan adalah sebagai
2
pelanggaran terhadap konstitusi.”
Dalam konteks perlindungan anak korban kekerasan seksual, maka
pemberian kompensasi memiliki urgensi tersendiri untuk meringankan
kesulitan dan mencapai keadilan sosial bagi anak korban kekerasan seksual.
Kompensasi juga merupakan suatu contoh nyata tentang kepedulian negara di
bidang sosial guna memperbaiki kerugian anak sebagai korban kekerasan
seksual. Kompensasi tentunya diutamakan untuk anak sebagai korban,
termasuk biaya yang diperlukan untuk perawatan rumah sakit (healing), dan
pemulihan anak korban kekerasan seksual, sampai anak diserahkan kembali
kepada orang tuanya.
Upaya perlindungan anak korban kekerasan yang mengalami
penderitaan, baik secara fisik, psikis, maupun kerugian secara ekonomi sangat
membutuhkan kewajiban negara untuk melindungi dan memberikan perhatian
lebih kepada anak sebagai korban kejahatan. Perintah konstitusi untuk
perlindungan anak korban kejahatan, khususnya korban kekerasan seksual,
diformulasikan di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD-1945 yang berbunyi “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Berdasarkan perintah
konstitusi ini, bahwa negara bertanggung jawab selain penegakan hukum bagi
anak korban kekerasan seksual, negara juga memiliki kewajiban untuk
2 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademindo Presindo, 1993, hlm. 76;
Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana,
Yogyakarta: ANDI, 2018, hlm. 2-4; Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 2; lih. juga Didiek M. Arief, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, hlm. 11, 24; bnd. Pasal 28B ayat (2)
Amandemen Kedua UUD-1945
258
menjamin kesejahteraan hidup anak korban kekerasan seksual melalui
pemberian kompensasi.
Optimalisasi Pemberian Kompensasi Kepada Anak Korban Kekerasan
Seksual Pada Aspek Hilir Perlindungan Hukum
Menurut Angkasa yang mengutip Oxford Dictionary, bahwa
“Compensation means to provide something good to balance or reduce the
bad effect of damage, loss, injury etc.” Berdasarkan batasan tersebut maka
dapat dimaknai bahwa kompensasi adalah memberikan sesuatu yang baik
untuk menyeimbangkan dalam arti mengurangi efek buruk yang dialami
korban. Kompensasi yang diterima korban tindak pidana berupa dukungan
dari pemerintah berupa uang yang dapat dihargai sebagai antidot dari segala
3
jenis penyakit (pancea).
4
Dalam konteks perlindungan anak korban kekerasan seksual, bahwa
optimalisasi dari kompensasi sangat diperlukan bagi korban guna
memperingan kesulitan dan juga guna mencapai keadilan dari sosial anak
sebagai korban. Selain itu kompensasi berperan sebagai wujud faktual
mengenai kepedulian sosial negara untuk memperbaiki penderitaan korban.
Kompensasi diutamakan untuk diberikan kepada pihak yang secara langsung
menjadi korban, dalam bentuk biaya perawatan rumah sakit (healing), dan
pemulihan sampai anak diserahkan kepada orang tuanya. Landasan ideologis
pemberian kompensasi akan mengidentifikasi tercapainya tujuan keadilan
meliputi pemidanaan dan perbaikan diri korban. Sedangkan landasan filosofi
pemberian kompensasi adalah sebagai perlindungan korban kekerasan agar
tidak mengalami viktimisasi karena sulitnya merealisasikan restitusi bagi
korban.
3 Angkasa, Viktimologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2020, hlm. 203.
4 Angkasa, Ibid., hlm. 207-208.
259
Fenomena Kekerasan Seksual Di Lembaga Pendidikan
Fenomena kekerasan seksual di lembaga pendidikan, khususnya pondok
5
pesantren adalah terungkapnya kekerasan seksual Herry Wirawan sebagai
gunung es kekerasan seksual yang memperkosa 13 (tiga belas) santriwatinya,
sampai ada yang mengandung dan telah melahirkan anak. Terhadap korban
kekerasan seksual ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
mengajukan restitusi sebesar Rp 330 juta untuk 13 korban. Vonis yang
dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Bandung kepada Herry Wirawan
adalah hukuman mati, vonis tersebut ditetapkan dalam sidang terbuka, pada
hari Senin tanggal 04 April 2022, dan putusan tersebut diumumkan secara
langsung pada laman resmi PT Bandung.
Setelah fenomena Herry Wirawan ini berlanjut dengan fenomena Bechi,
yakni tindak pidana percabulan kepada lima santriwati yang dilakukan Moch.
Subchi Azal Tzami, putra dari KH Muhammad Muchtar Mukthi pendiri dan
pengasuh pondok pesantren Shiddiqiyyah, Jombang – Jawa Timur. Tindak
pidana pencabulan kepada korban pelapor dilakukan sebanyak dua kali, yaitu
pada 8 Mei 2017 sekitar pukul 11.00 WIB, dan sekitar sepuluh hari kemudian
yakni tanggal 18 Mei 2017 sekitar pukul 23.00 WIB. Kasus pencabulan yang
telah dilakukan oleh Bechi ini sangat fenomenal karena tindakan pencabulan
dilakukan Bechi pada tanggal 8 Mei dan 18 Mei 2017, dilaporkan korban
pelapor pada tanggal 29 Oktober 2019, ditetapkan tersangka setelah BAP
dinyatakan lengkap oleh JPU atau P21 pada Januari 2022. Untuk perkaranya,
Bechi telah melakukan praperadilan sebanyak tiga kali, dan yang paling
fenomenal adalah drama penangkapannya di pondok pesantren Shiddiqiyyah
kira-kira 12 jam dari pagi sampai malam hari. Atas penanganan perkara ini,
Direktur Eksekutif Women Crisis Centre, Ana Abdilah, mengatakan bahwa
5 Agie Permadi, Kasus Herry Wirawan Masuk Kategori Kejahatan Kekerasan Seksual,
terdapat dalam https://bandung.kompas.com/read/2022/01/11/144256078/kasus-herry-
wirawan-masuk-kategori-kejahatan-kekerasan-seksual, diakses pada 15 Juli 2022
260
Polri khususnya Polda Jatim menunjukkan kegamangan dan melunak dengan
6
melakukan negosiasi terhadap orang tua pelaku.
7
Fenomena terakhir adalah fenomena Fauzan, melakukan tindak pidana
pencabulan terhadap tujuh santriwati dan tiga santri laki-laki. Dari korban
hanya enam yang melaporkan, lima santriwati dan satu santri laki-laki.
Perbuatan bejat Fauzan telah dilakukan sejak tahun 2021, dan dilaporkan Mei
2022, lalu ditangkap tanggal 7 Juli 2022. Pelaku telah melakukan perkosaan,
percabulan dan sodomi.
Dari seluruh korban pada tiga fenomena tindak pidana kekerasan seksual
kepada anak di pondok pesantren tersebut di atas, semuanya mengalami
ketakutan, sehingga membutuhkan waktu cukup panjang untuk melaporkan.
Karena itu, urgen optimalisasi pemberian kompensasi sebagai pemulihan dan
rehabilitasi anak korban kekerasan seksual. Pentingnya pemberian
kompensasi kepada korban karena anak korban kekerasan seksual telah
mengalami viktimisasi pasca menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual
karena sulitnya terwujud pemberian restitusi bagi korban.
Untuk pemenuhan pemberian kompensasi secara optimal, diperlukan
revisi UU Perlindungan Anak dan/atau Presiden mengeluarkan Perppu, juga
melakukan revisi terhadap pelaksanaan pembayaran kompensasi yang telah
terformulasi di dalam Pasal 7 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban,
agar pemberian kompensasi dilaksanakan sejak anak terbukti mengalami
tindak pidana kekerasan seksual dengan dinyatakan lengkapnya BAP oleh JPU
atau telah P21.
6 Erwin Yohanes, Perjalanan Kasus Anak Kiai Jombang, dari Ritual Kemben dan Internal
Interview, terdapat dalam https://www.merdeka.com/peristiwa/perjalanan-kasus-anak-
kiai-jombang-dari-ritual-kemben-dan-internal-interview.html diakses tanggal 15 Juli
2022
7 Agatha Vidya Nariswari, 5 Fakta Pencabulan Santri di Ponpes Banyuwangi, Pelaku Dikenal
sebagai Tokoh Agama, terdapat dalam
https://www.suara.com/news/2022/06/29/142321/5-fakta-pencabulan-santri-di-ponpes-
banyuwangi-pelaku-dikenal-sebagai-tokoh-agama diakses tanggal 15 Juli 2022
261
Penutup
Pemenuhan tanggung jawab negara menjalankan perintah konstitusi
untuk melindungi anak korban kekerasan seksual, adalah menjadi keniscayaan
dilakukan untuk menjawab kegentingan memaksa akibat darurat kekerasan
seksual bagi anak sebagai tonggak dan masa depan bangsa Indonesia.
Optimalisasi pemberian kompensasi sangat erat kaitannya dan memiliki
korelasi dengan perlindungan anak korban kekerasan seksual, khususnya
dalam upaya penyembuhan (healing) dan pemulihan sampai anak
dikembalikan kepada orang tuanya. Berkaitan dengan itu, maka Pemerintah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi UU Perlindungan Saksi
dan Korban, merevisi UU Perlindungan Anak dan/atau Presiden Jokowi
mengeluarkan Perppu pemberian kompensasi. Besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk penyembuhan (healing), dan pemulihan anak korban
kekerasan seksual sampai waktu diserahkan kepada orang tua, maka urgen
diupayakan pemberian kompensasi secara optimal.
262
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Buku
Angkasa, Viktimologi Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2020.
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan Jakarta: Akademindo Presindo, 1993.
A.N. Radjawange, Hukum, Kekuasaan & Keadilan Ambon: Lesmmu, 2009.
Darwan Prints, Hukum Anak Indonesia Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Didiek M. Arief, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Jakarta: PT Rajawali
Grafindo Persada. 2002.
Harrys Pratama Teguh, Teori dan Praktek Perlindungan Anak dalam Hukum Pidana
Yogyakarta: ANDI, 2018.
Sri Moertiningsih Adioetimo, Memetik Bonus Demografi: Membangun Manusia
Sejak Dini, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2018.
Internet
Agie Permadi, Kasus Herry Wirawan Masuk Kategori Kejahatan Kekerasan Seksual,
terdapat dalam
https://bandung.kompas.com/read/2022/01/11/144256078/kasus-herry-
wirawan-masuk-kategori-kejahatan-kekerasan-seksual, diakses pada 15 Juli
2022 .
Erwin Yohanes, Perjalanan Kasus Anak Kiai Jombang, dari Ritual Kemben dan
Internal Interview, terdapat dalam
263
https://www.merdeka.com/peristiwa/perjalanan-kasus-anak-kiai-jombang-
dari-ritual-kemben-dan-internal-interview.html diakses tanggal 15 Juli 2022.
Agatha Vidya Nariswari, 5 Fakta Pencabulan Santri di Ponpes Banyuwangi, Pelaku
Dikenal sebagai Tokoh Agama, terdapat dalam
https://www.suara.com/news/2022/06/29/142321/5-fakta-pencabulan-santri-
di-ponpes-banyuwangi-pelaku-dikenal-sebagai-tokoh-agama diakses tanggal
15 Juli 2022.
264
PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PERDATA
MENUJU UNIFIKASI DAN KODIFIKASI HUKUM
Heddy Kandou
Pendahuluan
Berdasarkan preambule dari konstitusi republik Indonesia, Negara
Indonesia merupakan negara hukum yang bercita-cita untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh populasi yang berkedudukan di Indonesia. Salah
satu sarana untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut adalah melalui
pembangunan hukum. Pembangunan ini merupakan bagian dari pembangunan
nasional, dimana hukum harus mampu untuk memenuhi perkembangan
masyarakat serta memenuhi kebutuhan masyarakat secara holistik. Hukum
pada dasarnya harus sejalan dengan nilai-nilai luhur suatu bangsa yang
menetapkan kaidah tersebut. Oleh karenanya pembaharuan hukum berupa
peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan nilai falsafi bangsa
Indonesia, khususnya produk hukum peninggalan kolonial Belanda yang saat
ini masih banyak diberlakukan menjadi skala prioritas dari legislasi nasional.
Seperti halnya Rancangan Undang Undang Hukum Acara Perdata (RUU)
berdasarkan Keputusan DPR RI No. 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Prolegnas
RUU Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Prolegnas RUU Tahun 2015-2019.
Pembaharuan Hukum Acara Perdata (HAPer) menjadi prioritas
mengingat sampai saat ini Indonesia belum memiliki Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata yang merupakan hasil karya bangsa Indonesia. Aturan
yang masih berlaku di Indonesia pada saat ini adalah Het Herzienne
Indonesisch Reglement (HIR) yang juga disebut sebagai Reglemen Indonesia
yang diperbaharui (Stb.1848 no.16), (Stb. 1941 no. 44), dan Rechtsreglement
Buitengewesten (RBg) atau Reglemen Daerah Seberang (Stb. 1927 no.227).
Fakta ini menunjukan bahwa kaidah HAPer yang berlaku di Indonesia hingga
265
saat ini masih bersifat pluralis dan didasari dengan asas konkordansi yang
mengacu kepada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI Tahun 1945,
yang kemudian diterapkan berdasarkan pengundangan Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil.
Kaidah HAPer peninggalan Hindia Belanda yang sudah berusia kurang
lebih 75 tahun tersebut, dapat dinyatakan tidak sesuai dengan keadaan saat ini.
HAPer telah mengalami dinamika perkembangan baik dari sisi teori dan praktik
yang menuntut adanya lingkungan peradilan yang dapat mengatasi
penyelesaian sengketa perdata dengan cara yang lebih efektif dan efisien,
sehingga untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, maka diperlukan
pembaharuan terhadap substansi HAPer melalui upaya-upaya pembaharuan
HAPer secara sistemik, unifikatif, kodifikatif.
Permasalahan
1. Apakah alasan dan tujuan pembaharuan HAPer di Indonesia?
2. Apakah aturan hukum yang terdapat di dalam RUU HAPer sudah
mampu memenuhi tuntutan perubahan pengaturan di bidang
peradilan Perdata ?
Tulisan ini bertujuan untuk dapat mengetahui dan memberikan gambaran
mengenai alasan dan tujuan pembaharuan HAPer, serta untuk dapat
mengetahui dan memberikan gambaran mengenai apakah aturan hukum yang
termuat dalam RUU HAPer sudah dapat menjawab tuntutan perubahan
pengaturan di bidang peradilan Perdata.
Alasan dan Tujuan Pembaharuan Hukum Acara Perdata
HAPer merupakan kaidah prosedural yang mengatur mekanisme dan
organ yang berwenang dalam menegakkan hukum perdata materiel apabila
266
terjadi pelanggaran terhadap kaidah substansial tersebut. HAPer merupakan
kaidah prosedural yang berkedudukan signifikan dan strategis dalam
mewujudkan penegakan hukum perdata (materiel) melalui lembaga
1
Pengadilan. Sebagai kaidah procedural dalam penyelesaian sengketa perdata,
pengaturan HAPer berkehendak untuk mewujudkan koherensi bagi setiap
orang dan juga guna mempertahankan hak perdatanya apabila dilanggar oleh
pihak lain, sehingga setiap orang yang menyimpang dari kaidah hukum perdata
materiil tersebut yang mengakibatkan kerugian terhadap individu yang haknya
2
dilanggar sehingga tindakan tersebut dapat dituntut melalui pengadilan.
Hingga saat ini pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa
melalui pengadilan masih didasari oleh kaidah hukum yang merupakan produk
pemerintahan Hindia Belanda. HIR merupakan produk hukum rezim kolonial
Belanda, yang hingga saat ini masih tetap berlaku dalam praktik beracara di
Indonesia. Sebagai warisan pemerintah Hindia Belanda, selain HIR, terdapat 2
kaidah sebagaimana telah disebutkan di muka. Peraturan tersebut diterapkan
ke dalam banyak regulasi sehingga menimbulkan kesulitan dalam praktik
hukum, in concreto merupakan persoalan inkonsistensi dalam praktik acara
perdata. 3 Walaupun tidak secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa
sebagian substansi HIR dan RBG merupakan kaidah yang sudah tertatih-tatih
sehingga tidak sejalan lagi dengan rasa keadilan masyarakat.
1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogjakarta: Liberty, 1998, hlm. 5,
Menurut Sudikno Mertokusumo, “Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan
perantara hakim. Hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan
hak, memeriksa serta memutuskan pelaksanaan daripada putusannya. Tuntutan hak ini
adalah tiada lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau tindakan main hakim sendiri.”
2 Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem Hukum Acara Perdata, Jakarta: Jurnal Rechts Vinding,
Media Pembinaan Hukum Nasional, 15 Juni 2017, hlm. 1.
3 Hukum Online, Saat Ide Pembaharuan Hukum Acara Perdata, terdapat dalam
https://www.hukumonline.com/berita/a/saat-ide-pembaharuan-hukum-acara-perdata-,
diakses pada 28 Juli 2022
267
Dibandingkan kaidah prosedural lainya, proses pembentukan HAPer
pada tingkat undang-undang masih terbilang sangat tertatih-tatih. HAPer yang
telah berabad-abad tersebut hingga saat ini masih tetap diterapkan sebagai
hukum positif dan berkedudukan sebagai hukum formil yang belum
diperbaharui menjadi suatu produk hukum nasional pasca kemerdekaan. Oleh
karena itu, uraian penulis ini sejalan dengan pendapat Bambang Sutisyono yang
mengemukakan bahwa “tidak mengherankan apabila kaidah HAPer di
Indonesia hingga saat ini belum dapat diunifikasi, melainkan sebaliknya
peraturannya ini masih bersifat pluralistis, atau tersebar ke dalam berbagai
4
produk hukum Belanda yang berlaku hingga saat ini.”
Sejalan dengan perkembangan yurispruden saat ini, kehadiran kaidah
HAPer yang dapat mengantisipasi dinamika perkembangan hukum masyarakat,
merupakan conditio sine qua non terhadap pendapat penulis a fortriori. Secara
lebih lanjut, pengajuan gugatan perdata dari masyarakat pencari keadilan,
semakin hari semakin merepresentasikan peningkatan secara signifikan.
Tingginya tuntutan hak pemenuhan hak perdata dari masyarakat yang diajukan
ke pengadilan, tentu memerlukan mekanisme dan penerapan yang koheren.
Bambang Sutisyono menyatakan bahwa “urgensi pembaruan hukum acara
perdata perlu didukung dengan seperangkat instrumen hukum yang memadai,
dalam hal ini tersedianya kaidah hukum formil, sebagai pedoman dan aturan
main (rule of game) bagi hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan
5
suatu perkara perdata.”
Oleh karenanya pembaharuan HAPer sangat mendesak untuk dilakukan.
Pembaharuan kaidah ini sangat diperlukan sehingga penerapan kaidah hukum
perdata materiil dapat sejalan dengan pembangunan di Indonesia. Selain itu,
masyarakat juga memerlukan kaidah hukum positif yang sejalan dengan kaidah
4 Bambang Sutiyoso, Ruang Lingkup dan Asprk-Aspek Kebijakan Pembaharuan Hukum Acara
Perdata di Indonesia, Jurnal Hukum. No. 20 Vol. 9. Juni 2002, hlm. 2.
5 Ibid., hlm 3.
268
yang hidup dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam Teori
Hukum Pembangunan oleh Mochtar Kusuma Atmaja yang merupakan
antithesis dari Teori Rekayasa Sosial yang menyatakan bahwa “law a tool as
social engineering (hukum sebagai alat rekayasa sosial)” sebagaimana
6
dikemukakan oleh Roscoe Pound. Teori Pembangunan dari Mochtar Kusuma
Atmaja tersebut sudah mencakup tiga sub-sistem hukum yang Lawrence M.
Friedman kemukakan, yang terdiri dari “legal structure (struktur hukum),
culture (kultur hukum) dan substance (substansi hukum)”. 7 Dalam teori
Pembangunan, Mochtar Kusuma Atmaja secara lengkap mengemukakan
bahwa “Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah
konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang
telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk
masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang
harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang
sedang membangun yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang
berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia
juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan
yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan
6 Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.
Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, hlm.1. terdapat dalam
https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/kajian_deskriptif_
analitis_teori_hukum_pembangunan.pdf., diakses pada 29 Juli 2022.
7 Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law,
and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 1-8. dan
pada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review, New York, hlm. 1002-
1010 menyebutkan pengertian Struktur adalah, “The structure of a system is its skeleton
framework; it is the permanent shape, the institutional body of the system, the though rigid
nones that keep the process flowing within bounds..”, kemudian substansi dirumuskan
sebagai, “The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions
should behave,” dan budaya hukum dirumuskan sebagai, “The legal culture, system their
beliefs, values, ideas, and expectation. Legal culture refers, then, to those ports of general
culture customs, opinions ways of doing and thinking that bend social forces toward from the
law and in particular ways.”
269
ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum,
menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti
8
dalam proses pembaharuan.”
Pembaruan kaidah HAPer sebagai hukum formil diperlukan dalam
rangka penegakan hukum ketika terjadi suatu sengketa antar pihak yang
memerlukan putusan hakim atau pengadilan. Premis ini sejalan dengan
pendapat Prianter Hairi yang menyatakan bahwa “HAPer merupakan salah
satu unsur penting dari sistem peradilan Indonesia yang memerlukan
perubahan dan pembaharuan mengingat perkembangan masyarakat sangat
cepat dan pengaruh globalisasi yang menuntut adanya peradilan yang dapat
mengatasi penyelesaian sengketa di bidang perdata dengan cara yang lebih
9
efektif dan efisien.”
Alasan perubahan dan pembaharuan peraturan HAPer adalah sebagai
10
berikut:
“A. Alasan filosofis. Konsep pengaturan acara peradilan perdata
yang termuat dalam HIR/RBg yang merupakan produk hukum
bangsa penjajah secara filosofis jelas tidak sesuai dengan jiwa dan
pandangan hidup bangsa Indonesia, dimana Hukum Acara Perdata
masih diberlakukan secara berbeda antara penduduk yang berada di
wilayah Jawa dan Madura, dengan penduduk yang berada di luar
wilayah tersebut.
B. Alasan yuridis. Hukum Acara Perdata sampai sekarang belum
merupakan suatu unifikasi dan bersifat pluralistis yang tidak sesuai
lagi dengan tata pemerintahan Indonesia yang tidak mengenal
pembagian wilayah pemberlakuan aturan hukum. Hal ini mengingat
pemberlakuan HIR hanya untuk wilayah Jawa dan Madura,
sementara RBg untuk wilayah di luar Jawa dan Madura.
C. Alasan sosiologis. Sesuai dengan dinamika perkembangan hukum
masyarakat saat ini, maka perlu dibentuk Hukum Acara Perdata yang
8 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya
Tulis), Bandung: Alumni, 2002, hlm. 14.
9 Prianter Jaya Hairi, ”Urgensi Pembentukan Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum
Acara Perdata”, Bidang Hukum Info Singkat, Vol. XII, No.23/I/Puslit/Desember/2020, hlm.
2.
10 Ibid., hlm. 4.
270
responsif, antisipatif, dan futuristik mengingat pengajuan tuntutan hak
keperdataan pada masa mendatang tentunya akan semakin kompleks
seiring denga perubahan regulasi terkait sistem perdagangan, bisnis,
dan investasi.”
Merujuk pada alasan-alasan tersebut, maka tujuan pembaharuan HAPer
adalah sebagai berikut:
“1. Secara filosofis bertujuan untuk memberi dukungan pada
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional untuk
menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
2. Secara yuridis bertujuan untuk menciptakan univikasi terhadap
pluralisme hukum acara perdata yang pengaturannya tidak hanya
termuat dalam HIR/RBg/RV melainkan juga tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
3. Secara sosiologis bertujuan agar Hukum Acara Perdata yang dapat
mengatasi persengketaan di bidang perdata dengan cara yang efektif
dan efisien mengingat perkembangan masyarakat yang sangat cepat
dan pengaruh globalisasi.”
RUU Hukum Acara Perdata Dalam Menjawab Tuntutan Perubahan
Pengaturan Di Bidang Peradilan Perdata
Rancangan Undang-Undang HAPer (RUU HAPer) adalah cita hukum
(lege ferenda) yang penting dan berpotensi untuk berperan sebagai instrumen
penentu yang dapat merubah refleksi hukum perdata dan hukum acara di
Indonesia. Penyusunan RUU HAPER tersebut juga merupakan pembaruan
terhadap substansi hukum peninggalan kolonial dan kodifikasi hukum acara
271
11
12
Indonesia sebagai dijelaskan di muka, serta unifikasi terhadap pengaturan
yang telah tertuang di dalam berbagai kaidah hukum sebagaimana dijelaskan di
muka.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna
Hamonangan Laoly dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR membahas RUU
HAPer di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Rabu tanggal 16 Februari 2022
menyatakan bahwa:
“Pembaharuan terhadap sistem hukum acara perdata menjadi harapan
banyak pihak. Ada sejumlah poin perubahan dalam upaya penyempurnaan
draf RUU Hukum Acara Perdata, yaitu:
Pertama, Pihak-pihak yang menjadi saksi dalam melakukan penyitaan,
jangka waktu permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi,
hingga kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke Pengadilan
Negeri (PN).
Kedua, kepastian waktu pengiriman salinan putusan kasasi ke para
pihak.
Ketiga, syarat kondisi ketika Mahkamah Agung (MA) ingin mendengar
sendiri dari para pihak atau saksi dalam pemeriksaan kasasi. Termasuk
penguatan batas waktu pengiriman berkas perkara Peninjauan Kembali (PK)
ke MA.
11 Menurut Black Law Dictionary 9th Edition, codification atau kodifikasi hukum adalah: the
process of compiling, arranging, and systematizing the laws of a given jurisdiction, or of a
discrete branch of the lawinto an ordered code (kodifikasi hukum adalah proses penyusun,
mengatur, dan mensitemasisasikan hukum-hukum di yurisdiksi negara tertentu, atau dari
cabang hukum yang terpisah ke dalam kode yang teratur). Black Law Dictionary, 9th Edition.
Menurut R. Soeroso, “kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan
undang-undang dalam materi yang sama.” R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011, hlm. 77.
12 Unifikasi hukum adalah penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan
pemberlakuan hukum secara nasional terdapat dalam
www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-kodifikasi-hukum-dan-unifikasi-
lt59492221a0477/, diakses pada 28 Juli 2022.
272
Keempat, reformulasi pemeriksaan perkara dengan acara singkat,
pemeriksaan perkara dengan acara cepat, dan reformulasi jenis putusan.
Kelima, pemanfaatan teknologi informasi saat pemanggilan para pihak
berperkara dapat dilakukan secara elektronik termasuk pengumuman
penetapan. Dia menjelaskan pemanfaatan teknologi dan informasi dapat
mempersingkat waktu; mempermudah akses dan data pemanggilan para pihak
yang berperkara secara otomatis dapat tersimpan dalam sistem data informasi.
“Agar proses pemanggilan menjadi lebih efektif dan efisien.”
Keenam, pemeriksaan perkara dengan cepat. Bagi Yasonna, masyarakat
pencari keadilan banyak mengeluhkan soal proses persidangan perkara
perdata yang membutuhkan waktu panjang. Melalui perubahan dalam RUU
HAP, penting pemeriksaan perkara secara cepat dan berbiaya murah. Sebab,
kemudahan berusaha (ease of doing business) tak hanya dipengaruhi regulasi
dan perizinan, tapi juga waktu tunggu yang dihabiskan dalam menyelesaikan
13
perkara di pengadilan.”
Gagasan pembaruan hukum ini diperlukan guna mengakomodasi
perkembangan teknologi dan kompleksitas transaksi, pada saat pihak yang
bersengketa sedang melaksanakan prosedur beracara berupa proses pembuktian
dan ketika hakim serta organ yang berkaitan sedang mengeksekusi putusan.
Adapun ruang lingkup pembaruan kaidah yang harus diperhatikan yaitu
meliputi tiga hal yang bersifat fundamental, yaitu pembaharuan secara filosofis,
sosiologis, dan yuridis. Oleh karena itu, pandangan penulis sejalan dengan
pendapat Bambang Sutisyono yang menyatakan bahwa “pembaharuan muatan
filosofis diperlukan guna mengkaji ulang relevansi konsep dasar dan prinsip-
prinsip HAPer, sedangkan pembaharuan muatan yuridis (normatif)
dimaksudkan untuk mengevaluasi materi muatan dari norma-norma atau
13 Hukum Online, 6 Poin Pembahasan RUU Hukum Acara Perdata Versi Pemerintah, terdapat
dalam https://www.hukumonline.com/berita/a/6-poin-pembahasan-ruu-hukum-acara-
perdata-versi-pemerintah-lt620de070ef4ac/?page=2, diakses pada 28 Juli 2022.
273
kaidah hukum positif yang berlaku hingga saat ini, sedangkan pembaharuan
muatan sosiologis diperlukan sehingga tercipta suatu peraturan baru yang
tidak ditentang oleh masyarakat, oleh karena itu sedapat mungkin, aspirasi
14
dari masyarakat Indonesia dapat tertampung dengan baik.”
RUU HAPer terdiri dari 14 (empat belas) Bab dan 353 Pasal, yaitu yang
meliputi : “1) Tuntutan hak (Gugatan dan permohonan, Pendaftaran, Penetapan
Hari Sidang, dan Pemanggilan; 2) Pemberian Kuasa Khusus; 3) Kewenangan
Pengadilan (wewenang relatif dan absolut; 4) Pengunduran Diri dan Hak
Ingkar; 5) Upaya Menjamin Hak; 6) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Acara
Biasa , Acara Singkat dan Acara Cepat); 7) Pembuktian (pengakuan, surat,
Kesaksian, Persangkaan , Sumpah, Pemeriksaan setempat dan ahli); 8)
Putusan; 9) Upaya Hukum terhadap putusan (Banding, Kasasi, Peninjauan
Kembali); 10) Pelaksanaan Putusan Pengadilan (pelaksanaan putusan,
pengakuan utang, penyanderaan.”
Beberapa perubahan penting yang diatur dalam RUU HAPer
dibandingkan HAPer positif antara lain terdiri dari beberapa rancangan
ketentuan sebagai berikut:
“1. Pemanggilan kepada para pihak menurut Pasal 17 RUU Hukum
Acara Perdata dapat melalui pengumuman di surat kabar.
2. Pasal 29 RUU Hukum Acara Perdata mengatur kewenangan
Pengadilan Tinggi dalam memeriksa perkara prorograsi.
3. Pasal 54 RUU Hukum Acara Perdata mengatur tentang sita
pesawat udara
4. Pasal 63 RUU Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa hakim
wajib mengupayakan perdamaian terhadap pihak-pihak yang
berperkara, dan upaya perdamaian -tersebut dapat dilakukan setiap
saat sampai sebelum perkara diputuskan, dan apabila kewajiban
14 Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm. 5.
274
tersebuttidak dilaksanakan mengakibatkan putusan batal demi
hukum.
5. Pasal 77-84 RUU Hukum Acara Perdata mengatur pemeriksaan
dengan acara singkat, yaitu sidang pengadilan dengan hakim tunggal
untuk memeriksa dan memutus dengan acara singkat yang menurut
sifat sengketanya memerlukan pemeriksaan dan putusan dengan
segera. Misalnya sengketa tentang penyegelan barang atau
pembukaan penyegelan barang-barang.
6. Pasal 87 RUU Hukum Acara Perdata menyebutkan adanya bukti
memaksa, yaitu yang mewajibkan hakim untuk membenarkan sisi alat
bukti tersebut atau mengakui kekuatan pembuktian yang diberikan
oleh undang-undang terhadap aiat-alat bukti tersebut. Misalnya akta
otentik memberikan pembuktian yang bersifat memaksa terhadap
setiap orang mengenai apa yang disaksikan dan diperbuat oleh
pejabat umum dalam lingkup kewenangannya.
7. Pasal 109 RUU Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa pihak
berperkara dapat juga didengar sebagai saksi.
8. Pasal 110 ayat (2) RUU Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa
tiada seorangpun dapat dipaksa untuk dapat menghadap Pengadilan
Negeri untuk memberi kesaksian jika yang bersangkutan bertempat
di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara.
9. Pasal 151 ayat (4) RUU Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa
jumlah biaya perkara ditetapkan berdasarkan peraturan biaya
perkara yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
10. Pasal 155 RUU Hukum Acara Perdata memberikan batasan nilai
perkara yang dapat diajukan banding adaiah perkara perdata yang
pokok gugatannya bernilai 1 (satu) juta rupiah atau lebih.
275
11. Pasal 159 ayat (3) RUU Hukum Acara Perdata menyebutkan
bahwa pemohon banding diharuskan mengajukan memorl banding
kepada panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam
15
waktu satubulan setelah mendapatkan kesempatan.”
Agar pembaharuan HAPer dapat memenuhi peraturan perundangan serta
menjawab perubahan dibidang peradilan perdata, maka, maka Kebijakan
pembaharuan HAPer harus memperhatikan empat aspek, yang terdiri dari
aspek politik hukum, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan,
dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan
yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penutup
Alasan dan tujuan pembaharuan HAPer meliputi alasan dan tujuan
filosofis, alasan dan tujuan yuridis, alasan dan tujuan sosiologis, disamping
itu juga dari aturan hukum yang termuat dalam RUU Hukum Acara Perdata
sudah dapat menjawab tuntutan perubahan pengaturan di bidang peradilan
Perdata, yaitu yang didalamnya telah memuat aturan-aturan hukum mengenai:
“Tuntutan hak (Gugatan dan permohonan, Pendaftaran, Penetapan Hari
Sidang, dan Pemanggilan; Pemberian Kuasa Khusus; Kewenangan
Pengadilan (wewenang relatif dan absolut); Pengunduran Diri dan Hak
Ingkar; Upaya Menjamin Hak; Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Acara
Biasa, Acara Singkat dan Acara Cepat); Pembuktian (pengakuan, surat,
Kesaksian, Persangkaan, Sumpah, Pemeriksaan setempat dan ahli; Putusan;
Upaya Hukum terhadap putusan (Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali;
Pelaksanaan Putusan Pengadilan (pelaksanaan putusan, pengakuan utang,
penyanderaan).”
15 Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm. 9-10.
276
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Buku
Black Law Dictionary, 9th Edition.
Lawrence W. Friedman. American Law: An invaluable guide to the many faces
of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton &
Company, 1984.
_____. Legal Culture and Social Development. New York: Stanford Law
Review.
Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan
(Kumpulan Karya Tulis), Bandung: Alumni, 2002.
Prianter Jaya Hairi, Urgensi Pembentukan Rancangan Undang-Undang
Tentang Hukum Acara Perdata, Bidang Hukum Info Singkat, Vol. XII,
No.23/I/Puslit/Desember/2020.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogjakarta: Liberty,
1998.
277
Jurnal
Bambang Sutiyoso. Ruang Lingkup dan Asprk-Aspek Kebijakan Pembaharuan
Hukum Acara Perdata di Indonesia, Jurnal Hukum. No. 20 Vol. 9. Juni
2002.
Dwi Agustine. Pembaharuan Sistem Hukum Acara Perdata, Jurnal
Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional. Juni 2017.
Internet
Lilik Mulyadi. Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Sebuah Kajian Deskriftif Analitis, terdapat
dalam
https://badilum.mahkamahagung.go.id/upload.file/img/article/doc/kajia
n_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangunan.pdf, diakses pada 29
Juli 2022.
Hukum Online, Perbedaan Kodifikasi Hukum dan Unifikasi, terdapat dalam
www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-kodifikasi-hukum-dan-
unifikasi-lt59492221a0477/, diakses pada 28 Juli 2022.
Hukum Online , 6 Poin Pembahasan RUU Hukum Acara Perdata Versi
Pemerintah, terdapat dalam https://www.hukumonline.com/berita/a/6-
poin-pembahasan-ruu-hukum-acara-perdata-versi-pemerintah-
lt620de070ef4ac/?page=2, diakses pada 28 Juli 2022.
Hukum Online, Saat ide pembaharuan hukum acara perdata, terdapat dalam
https://www.hukumonline.com/berita/a/saat-ide-pembaharuan-hukum-
acara-perdata-, diakses pada 28 Juli 2022.
278
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA
PERJANJIAN.KERJA .TERTENTU MENURUT UU
KETENAGAKERJAAN DAN UU CIPTA KERJA
Sri Hutomo
Pengantar
Perjanjian merupakan persetujuan yang timbul ketika dua orang atau
lebih sepakat melakukan suatu tindakan. Seperti yang disampaikan oleh
Subekti, perjanjian ialah suatu kondisi dimana para pihak berkomitmen untuk
1
memenuhi kesepakatan bersama-sama.
Istilah Perjanjian disebut juga dengan contract (kontrak) dan
overeenkomst. Kontrak dan perjanjian adalah istilah yang sama yaitu masing-
masing pihak menyetujui apa yang telah diperjanjikan dan mengikatkan diri
untuk ditaati dan dilaksanakannya, untuk membangun hubungan hukum
dalam kontrak yang dikenal sebagai perikatan (verbintenis). Oleh karena itu,
bagi para pihak yang mengadakan perjanjian memiliki hak dan kewajiban
yang harus dipenuhi. Ini karena perjanjian yang ditandatangani dianggap
2
sebagai sumber hukum formal atau resmi.
Untuk melindungi pekerja dari masalah besar, pemerintah
memberlakukan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, upaya
tersebut diperuntukan bagi perempuan, disabilitas, keselamatan dan kesehatan
kerja (K3), waktu dan upah pekerja. Persentase terbesar perlindungan ini
hanya untuk karyawan atau pekerja tetap (PKWTT) maupun pekerja berstatus
kontrak (PKWT). Pemberlakuan pekerjaan yang membutuhkan waktu tertentu
1 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1991, hlm. 1.
2 R Joni Bambang S, Hukum Ketenagakerjaan, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 81.
279
dalam pengerjaannya menjadi dasar dimulainya pembagian pekerja PKWT
dan PKWTT,, berbeda dengan PKWTT yang dijelaskan pada Pasal 1603g(1)
KUHPerdata bahwa:
“Jika hubungan kerja yang waktunya tidak ditentukan, baik dalam
perjanjian atau peraturan perusahaan maupun dalam peraturan
perundang-undangan atau menurut kebiasaan, maka dianggap
hubungan kerja itu dibuat untuk waktu tidak tertentu.”
3
PKWT berdasarkan periode waktu, memiliki efek pada pekerja. Efek
ini disebabkan oleh pengakuan PKWT berdasarkan kerangka waktu ini yang
memunculkan interprestasi bahwa karya yang didasarkan pada jenis, sifat atau
aktivitas yang bersifat tentatif yang dapat disepakati PKWT yang didasari oleh
periode waktu. Atas tafsiran tersebut tidak sesuai dengan Pasal 59(2) Undang-
undang Ketenagakerjaan yang menjelaskan tentang PKWT tidak dapat
diadakan untuk PKWTT.
Perihal penafsiran terkait PKWT yang dilakukan tanpa memandang
jenis, sifat, atau kegiatan sementara yang menciptakan kesepakatan antara
karyawan dan pemilik badan usaha yang bertentangan dengan regulasi, karena
3 (tiga) alasan, yaitu:
1. Ketidaktahuan antar pihak.
2. Kelonggaran hukum.
3. Terdapat perilaku merugikan dari para pihak.
Para pekerja belum sepenuhnya mendapat perlindungan, terlihat dari
indikator berikut ini diantaranya tidak memenuhi syarat untuk berbagai
tunjangan, tunjangan sosial pada saat pemberhentian kontrak secara sepihak
(PHK), salary tidak sesuai, kurangnya keamanan dan kesempatan berkarir
yang terjamin. Dalam beberpa waktu ini terjadi kegiatan PHK dalam jumlah
3 Aloysius Uwiyono, Implikasi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun2003 Terhadap Iklim
Investasi, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol .22 No. 5, 2003, hlm. 10.
280
besar serta pergantian jabatan pegawai oleh manajemen perusahaan yang
sebelumnya pegawai tetap ke pegawai kontrak. Dalam prakteknya ada sesuatu
4
yang menyimpang dari ketentuan UU.
Perubahan dalam Hukum Ketenagakerjaan ditujukan agar
mengoptimalkan kualitas dan kesejahteraan pekerja. Reformasi UU
Ketenagakerjaan dimulai dengan disahkannya UU No. 21/2000 tentang
Serikat Pekerja. Hal ini mengikuti diterbitkannya UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan dan UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Namun tujuan amandemen KUHP, jika dilaksanakan,
adalah untuk menciptakan rasa keadilan juga perlindungan bagi pekerja, serta
untuk memenuhi amanat UUD 1945. Menciptakan kualitas terbaik sumber
daya manusia di Indonesia, mengangkat starus sosial sumber daya manusia,
dan menciptakan masyarakat tanpa kesenjangan sosial dengan adanya hukum
yang berlaku.
Alasannya adalah perkembangan ekonomi yang pesat. Dengan
demikian, perusahaan perlu meningkatkan kinerja mereka sambil menekan
biaya untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Akibat banyaknya
perusahaan yang merubah struktur manajemennya, maka cost yang diperlukan
perusahaan untuk menjalankan kegiatan operasional merupakan pekerjaan
pihak lain yang lebih rendah, antara lain melalui pembelian dan penggunaan
tenaga kerja. Karyawan dapat mengurangi jam kerja tertentu dan biaya
selanjutnya melalui sistem PKWT.
Secara hukum perusahaan dibolehkan menggunakan PKWT, karena
semuanya diatur secara jelas dan tegas dalam UU No.13/2003. Menurut Pasal
4 Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontras Vol. II/EDISI XXIII, 07- 20 Mei
2006, Jakarta, 2006.
281
56(1) UU No.13/2003d, ada dua bentuk kontrak kerja berdasarkan waktu,
5
yaitu PKWT dan PKWTT.
Menurut pemaparan diatas penulis akan membahas terkait:
“Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Yang Melakukan Perjanjian Kerja
Tertentu Dengan Perusahaan Berdasarkan UU No 13/2003 dan UU No
11/2020”.
a. Permasalahan
Bagaimana Perlindungan Hukum untuk Pekerja dengan status
PKWT menurut UU No.13/2003 dan UU CIKA.
b. Tujuan Penulisan
Menginformasikan dan menganalisis perlindungan hukum bagi
Pekerja dengan status PKWT di dalam Perusahaan menurut UU
No.13/2003 dan UU CIKA.
c. Pembahasan
Analisis Perlindungan Hukum bagi Pekerja dengan status
PKWT berdasarkan UU Ketenagakerjaan No.13/2003 dan UU
CIKA No.11/2020 Klaster Ketenagakerjaan, adalah sebagai
berikut :
1. Dalam Pasal 1 (3) UU No.13/2003, pekerja/buruh
merupakan mereka yang melakukan pekerjaan dengan
mendapatkan upah atau kompensasi dalam bentuk lain.
Pemahaman ini agak umum tetapi maknanya lebih luas
karena mencakup semua orang yang bekerja untuk siapapun,
baik individu, asosiasi, badan peradilan dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
5 Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI tentang Ketenagakerjaan,
Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2005, hlm. 38.
282
Afirmasi kompensasi dalam bentuk apapun diperlukan
karena upah telah diidentifikasi dengan uang, meskipun ada
juga pekerja yang menerima kompensasi dalam bentuk
barang.
2. Secara hukum pekerja PKWT tercantum pada Pasal 56
sampai dengan Pasal 59 UU No 13/2003
Perjanjian kerja dibagi menjadi dua jenis : perjanjian kerja
waktu tertentu dan perjanjian kerja tidak tertentu (Pasal 56
ayat (1) UU No 13/2003). Dalam melaksanakannya
pekerjaannya, pekerja kontrak atau pekerja kontrak waktu
tertentu memahami bahwa ada kondisi tertentu sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU No 13/2003. Artinya, jenis
pekerjaan yang digunakan harus bersifat lengkap atau
sementara.
Selain itu, perjanjian kerja waktu tertentu juga dapat
diperpanjang jika perusahaan menginginkannya. Periode
maksimun pembaharuan PKWT adalah maksimun dua
tahun dan hanya dapat dilakukan satu kali. Ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 59 ayat (3), (4) dan (6) UU No 13/2003.
KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Untuk
Melaksanakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. PKWT
adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha
untuk melakukan hubungan kerja untuk waktu tertentu.
Dengan demikian pekerja kontrak dapat diartikan secara
hukum sebagai perja dengan status tidak tetap atau dengan
kata lain pekerja yang bekerja hanya untuk waktu tertentu
283
berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan perusahaan
pemberi kerja. Dalam istilah hukum, pekerja kontrak sering
disebut pekerja PKWT atau pekerja dengan Perjanjian Kerja
Waktu Khusus
3. Hak Karyawan PKWT (Kontrak)
Pada dasarnya hubungan kerja adalah hubungan yang
mengatur hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Pekerja/buruh dengan perusahaan berada dalam
kemitraan di bidang produksi sehingga keduanya dituntut
berbagi tanggung jawab. Pengukuran hak dan kewajiban
masing-masing yang terlibat harus merata. Pada kesempatan
ini penulis hanya menguraikan mengenai hak pekerja
PKWT.
Pekerja memiliki hak dasar yang tercantum dalam UU
No.13/2003, yaitu :
a. Hak atas perlindungan
Seluruh karyawan memiliki hak atas perlindungan K3,
dan kesusilaan juga berhak mendapatkan perlakuan
dengan menjunjung tinggi norma kehidupan dan nilai
keagamaan.
b. Hak untuk mendapatkan peluang dan perawatan
Tidak adanya diskriminasi dalam pekerjaan merupakan
hak seluruh karyawan, selain itu berhak mendapatkan
peluang untuk mengeksplor kemampuan untuk
meningkatkan soft skill dalam bekerja.
c. Hak untuk beristirahat (cuti)
Adanya pengajuan hak untuk beristirahat berdampak
pada produktivitas pekerja/buruh di suatu perusahaan.
284
Sehingga dalam pelaksanaannya tetap perlu
pemantauan dan koordinasi dengan para pekerja
lainnya, jangan sampai dengan adanya cuti tersebut
menurunkan produktivitas perusahaan itu sendiri.
d. Hak yang layak untuk gaji
Berdasarkan Pasal 88 UU No.13/2003 menegaskan:
“setiap pekerja berhak atas penghasilan yang
memberikan penghidupan yang layak bagi umat
manusia.”
Dalam menempatkan nilai besaran gaji atau bayaran
kerja, pengusaha dilarang keras melakukan
diskriminasi berdasarkan gender.
e. Hak Pekerja dasar untuk Jaminan Sosial
Pasal 1 angka 1 UU No.3/1992 tentang Jaminan Sosial
mendefinisikan bahwa jaminan sosial sebagai
kompensasi berupa uang pengganti untuk melindungi
pekerja. Bagian dari pendapatan dan berkurangnya
pendapatan karena keadaan kahar seperti adanya cedera
kerja, dan lain-lain.
f. Hak membentuk Serikat Pekerja
Pasal 104 UU No.13/2003, menjelashkan bahwa :
“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk serikat
pekerja/serikat buruh dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh”
g. Hak untuk mogok kerja
Selain adanya hak pekerja untuk melakukan beritirahat
(cuti), dijelaskan pula menurut Pasal 137 UU
No.13/2003 menjelaskan bahwa:
285
“mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/serikat
buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk
dilakukan secara sah, tertib dan damai akibat
gagalnya perundingan.”
4. Hak-Hak Pekerja Kontrak Berdasarkan UU CIKA
a. Adanya beberapa catatan pemerintah pada aturan yang
tercantum didalam UU CIKA menjelaskan terkait
peraturan PKWT. Dalam amandemen ini, terjadinya
adanya penghapusan ketentuan-ketentuan yang
meruakan unsur PKWT yang semula tercantum dalam
6
Pasal 59 UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. .
b. Ada juga perubahan UU Pengadaan Tenaga Kerja dan
salah satu peraturan yang diubah terkait PKWT adalah
penghapusan durasi maksimum kontrak kerja, yang
semula ditetapkan tiga tahun. Sebelumnya, jika sebuah
perusahaan ingin mempekerjakan seorang karyawan di
luar jangka waktu tiga tahun, perusahaan itu harus
mengubah karyawan tersebut menjadi karyawan penuh
waktu. Sekarang, pemerintah telah membatalkan aturan
itu melalui Undang-Undang Penciptaan Lapangan
Kerja, sehingga tidak ada batasan pekerja PKWT.
c. Pembayaran remunerasi kepada pegawai kontrak
merupakan bagian kelebihan bagi para karyawan yang
diatur dalam UU CIKA, UU No.11/2020. Pekerja
7
PKWT berhak menerima pesangon di akhir masa
6 Insight Talenta.com
7 Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
286
kontrak. Pengupahan ini tidak dijelaskan langsung pada
UU sebelumnya.
d. Berdasarkan Pasal 81 & 15 UU CIKA terdapat
perubahan terkait kategori pekerjaan yang termasuk
dalam PKWT, mengubah ketentuan Pasal 59 UU
Ketenagakerjaan sebagai berikut:
1. Pekerjaan berdasarkan sifatnya;
2. Pekerjaan berdasarkan waktunya.
3. Pekerjaan musiman;
4. Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru,
aktivitas baru, atau produk tambahan yang masih
diuji atau diteliti. atau
5. Pekerjaan dan sifat atau kegiatan yang sifatnya
tidak tetap.
e. Selanjutnya ada perubahan mengenai Pekerjaan dan
sifat atau kegiatannya untuk PKWT.
f. Peraturan terkaitt kompensasi disebutkan pada UU
CIKA yang diatur dalam pasal 15 PP 35/2021, yang
isinya adalah:
“Pengusaha wajib memberikan santunan imbalan
kepada pekerja/buruh” yang hubungan kerjanya
berdasarkan PKWT membayar dan memberikan
santunan, pembayaran di akhir PKWT.
Penutup
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa upaya
perliindungan pekerja/buruh terhadap PKWT belum terlaksana secara
optimal, dibuktikan dengan masih adanya pelanggaran yang terjadi, hal
tersebut terjadi karena kurang jelasnya peraturan tentang implementasi
287
PKWT, terutama untuk kegiatan tertentu menurut jenisnya, sifat dan jenis
kegiatan dengan waktu tertentu.
Tetapi dengan berlakunya UU Cipta Kerja hal tersebut diadakan revisi
terhadap UU No 13/2003 perihal Pemberiian pembayaran gaji atau upah kerja
untuk pekerja PKWT merupakan bagian dari keuntungan yang telah
dijelaskan pada UU No.11/2020 Tentang Cipta Kerja. Setelah berakhirnya
masa kontrak, karyawan kontrak atau dengan PKWT memiliki hak menerima
pembayaran kompensasi. Akan tetapi terkait kompensasi ini tidak diatur
dalam UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
288
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Kluster
Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor
KEP.100/MEN/X/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu.
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksana
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat, Serta Pemutusan Hubungan Kerja
Buku
Abdul Rasyid Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk
Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Kencana, 2007.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1991.
R Joni Bambang S, Hukum Ketenagakerjaan, Bandung: Pustaka Setia, 2013.
Sentosa Sembiring, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI tentang
Ketenagakerjaan, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2005.
Jurnal
Aloysius Uwiyono, Implikasi UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun2003
Terhadap Iklim Investasi, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis Vol 22 No 5,
2003.
289
[Halaman Ini Sengaja Di Kosongkan]
290
KESETARAAN SUMBER DAYA: KONSEP
KEADILAN DISTRIBUTIF DWORKIN
Petrus CKL Bello
Pendahuluan
Dworkin mulai dikenal luas setelah mengkritik positivism hukum Hart
yang dibangun atas asumsi keterpisahan hukum dan moralitas. Dalam Law’s
Empire Dworkin menyebut teori hukumnya sendiri sebagai ‘interpretive’,
yang berupaya memberi penafsiran terbaik atas praktik hukum. Berlawanan
dengan positivism hukum Hart, hukum bagi Dworkin tidak dapat dipisahkan
dari prinsip-prinsip, moralitas. Selain sebagai ahli hukum terkemuka Dworkin
juga dikenal sebagai filsuf politik dan sosial. Gagasannya yang orisinil di
bidang ini adalah tentang “kesetaraan sumber daya”. Ia mengklaim
gagasannya ini sebagai tafsir terbaik terhadap ide abstrak tentang kesetaraan
manusia.
1
Teori kesetaraan Dworkin dibangun oleh beberapa ide dasar berikut.
Pertama, setiap teori normatif tentang tatanan sosial yang merentang sejak
Immanuel Kant sampai masa berikutnya merupakan sebuah upaya
menginterpretasikan prinsip egalitarian yang sama, yaitu setiap warga negara
memiliki hak untuk diperlakukan dan diperhatikan secara setara oleh
2
pemerintah mereka. Kedua, teori kesetaraan kesejahteraan merupakan
rumusan keadilan distributif yang tidak memadai atas hak egalitarian abstrak
di atas, karena rumusan tersebut tidak dapat dipahami tanpa bantuan rumusan
1 Alexander Brown, Ronald Dworkin’s Theory of Equality, New York: Palgrave Macmillan,
2009, hlm. 5-6.
2 ‘Perhatian setara merupakan keutamaan tertinggi (Sovereign virtue) dari komunitas
politik-tanpanya pemerintahan hanyalah sebuah tirani-dan ketika kekayaan negara tidak
didistribusikan secara merata, …, maka perhatian setaranya mencurigakan (belum
terpenuhi-Pen)’. Ronald Dworkin, Sovereign Virtue: the Theory and Practice of Equality,
Cambridge, MA: Harvard University Press, 2000, hlm. 1
291
keadilan distributif lain dan tidak sesuai dengan intuisi kita tentang keadilan.
Ketiga, kesetaraan sumber daya merupakan rumusan yang tepat atas prinsip
egalitarian dalam konteks keadilan distributif. Sumber daya di sini mencakup
sumber daya personal dan impersonal. Dan keempat, kesetaraan sumber daya
harus memenuhi dua syarat, yakni pertama, distribusi penghasilan dan
kekayaan peka terhadap ambisi (sensitive ambition) atau pilihan bebas
masing-masing individu, dan kedua, tidak peka terhadap pemberian (not
endowment-sensitive) alamiah dan nasib sewenang-wenang (brute luck).
Tulisan ini akan memaparkan konsep kesetaran sumberdaya Dworkin
sebagai model yang berbeda dengan kesetaraan kesejahteraan dalam kerangka
keadilan distributif. Untuk mempermudah tulisan akan mengikuti alur sebagai
berikut. Pertama, pendahuluan yang bersisi uraian siangkat apa yang akan
dibahas. Kedua akan dibahas secara berturut-turut teori kesetaraan, kesetaraan
kesejahteraan, kesetaraan sumber daya, dan lelang di pulau asing, Bagian
ketiga menjelaskan beberapa implikasi dalam konteks Indonesia. Tulisan
diakhiri dengan kesimpulan.
Teori kesetaraan
Teori kesetaraan merupakan sebuah upaya untuk memahami atau
menafsirkan gagasan mengenai kesetaraan manusia atau, persisnya, tentang
bagaimana memperlakukan manusia secara setara. Ide tentang kesetaraan
manusia sudah menjadi pandangan moral dan politik umum. Di zaman ini
hampir tidak ada orang yang menentang ajaran bahwa sebuah pemerintah atau
negara harus memperlakukan warganya secara setara. Pemikir seperti Robert
Nozick, yang gagasannya dikenal sebagai anti-kesetaraan sebenarnya bukan
menentang ide kesetaraan itu sendiri, melainkan kesetaraan yang dipahami
dalam teori tertentu, yakni kesetaraan distributif John Rawls. Menurut Nozick
egalitarianism Rawls yang mengharuskan negara mengambil dari yang
292