The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ukipress, 2022-10-11 22:34:42

Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Suatu Renungan dan Suatu Sumbangan Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

memberikan pedoman tentang permusuhan di laut. Selain itu, penulis juga akan
menjawab permasalahan ini berdasarkan kaidah HHI lainnya yang bersifat

mengikat kaidah pendukung artikel ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian
sebagaimana dipaparkan di muka, maka akan diuraikan rumusan masalah dari

artikel ini sebagai berikut.


Permasalahan

a. Bagaimana keabsahan pelaksanaan bombardir Rusia terhadap tentara
Ukraina dan objek atau instalasi di Pulau Zmiinyi apabila ditinjau dari

San Remo Manual 1994 dan kaidah HHI mengikat lainnya?

b. Bagaimana perlakuan Rusia terhadap tentara Ukraina dan objek yang
telah Rusia bombardir berdasarkan kaidah HHI yang mengatur tentang

perlindungan para pihak dalam konflik bersenjata internasional?


Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui dan menganalisa legalitas pelaksanaan bombardir
Rusia terhadap tentara Ukraina dan objek atau instalasi di Pulau

Zmiinyi apabila ditinjau dari San Remo Manual 1994 dan kaidah HHI
mengikat lainnya;

b. Untuk mengetahui dan menganalisa perlakuan Rusia terhadap tentara
Ukraina dan objek instalasi di Pulau Zmiinyi berdasarkan kaidah HHI

yang mengatur tentang perlindungan para pihak dalam konflik

bersenjata internasional.


Serangan Kapal Perang Rusia ke Tentara Ukraina
Penyerangan Rusia terhadap tentara Ukraina di Pulau Zmiinyi ini sempat

menjadi topik yang heboh, mengingat bahwa respon tentara Ukraina terhadap

Kapal Perang Rusia yang memberikan peringatan kepada mereka adalah


193

7
“Russian Warship, go f*** yourself”. Setelah diabaikan oleh tentara Ukraina
yang memutuskan untuk tidak menyerah tersebut, 13 dari 137 Tentara Ukraina

8
diduga terbunuh akibat penyerangan oleh kapal perang Rusia tersebut. Selain
itu, kapal perang Rusia tersebut juga telah menghancurkan infrastruktur Pulau

Zmiinyi, yang terdiri dari mercusuar, menara, antena dan alat komunikasi ke

9
dataran Ukraina. Setelah diklarifikasi oleh Menteri Pertahanan Ukraina, 13
10
tentara Ukraina tersebut ternyata selamat.
Untuk menyediakan analisa hukum tentang permusuhan di laut secara
konkret, akan dijelaskan penerapan soft law ini dan mengaitkannya dengan dpp

principles (distinction, proportionality and precautionary). Article 16 San

Remo Manual antara lain menyatakan bahwa penyerangan sebagaimana kapal
perang Rusia lakukan di perairan pesisir Pulau Zmiinyi merupakan salah satu

bentuk dari tindakan permusuhan (hostile act). Secara lebih lanjut, prinsip
pembedaan objektif militer dan objektif sipil dalam permusuhan (principle of

distinction) diatur di dalam Article 38 jo. 39 San Remo Manual. Kemudian,

mengingat bahwa objek yang telah dihancurkan oleh Rusia dapat ditafsirkan
baik sebagai objektif militer maupun objektif sipil (dual function), maka

Ukraina hanya dapat memperoleh perbaikan (reparation) apabila berhasil
membuktikan bahwa objektif yang telah ditargetkan oleh Rusia, merupakan

objektif sipil (Article 40 San Remo Manual).
Secara lebih lanjut, San Remo Manual pada Article 46 juga mengatur

tentang penerapan prinsip proporsionalitas dan kehati-hatian yang antara lain


7 Aila Slisco, One of 13 Killed on Ukrainian Island Live-Streamed Attack terdapat dalam
https://www.newsweek.com/one-13-killed-ukrainian-island-live-streamed-attack-1682540
diakses pada 21 Juli 2022.
8 loc.cit.
9 BBC News, Snake Island: Ukraine says troops who swore at Russian warship are alive
terdapat dalam https://www.bbc.com/news/world-europe-60554959 diakses pada 21 Juli
2021
10 ITV, Ukraine’s 13 Snake Island soldiers alive after telling Russian warship ‘go f*** yourselft
terdapat dalam https://www.itv.com/news/2022-02-28/snake-island-troops-alive-and-well-
after-telling-warship-go-f-yourself diakses pada 21 Juli 2022
194

menyatakan bahwa para pihak yang terlibat di dalam konflik bersenjata harus
mengambil tindakan yang layak, mengumpulkan informasi dan menggunakan

informasi tersebut untuk memastikan bahwa target yang akan diserang
merupakan objektif militer serta memilih sarana dan metode yang mampu

mencegah kerusakan yang berlebihan berdasarkan informasi yang diperoleh.

Melalui uraian dalam paragraf ini, dapat dipahami bahwa San Remo Manual
merupakan soft law yang memuat dpp principles yang pada umumnya diatur di

dalam Hague Rules 1907 dan Additional Protocol I (AP I), yaitu prinsip HHI
yang telah memperoleh status sebagai hukum kebiasaan internasional

11
(principles which has acquired its customary status).
Dalam menjawab permasalahan ini berdasarkan the law of armed
conflicts yang mengikat, penulis akan mengutip pendapat hukum dari

International Court of Justice Advisory Opinion regarding on the Legality of
the Threat or Use of Nuclear Weapons under Jus Ad Bellum, Jus In Bello and

International Human Rights Law, yang antara lain menyatakan bahwa prinsip

pembedaan (principle of distinction) dalam Hague Rules 1907 merupakan salah
12
satu prinsip cardinal dari HHI. Adapun makna dari prinsip pembedaan selain
yang telah jelaskan di muka, yaitu para pihak yang terlibat dalam konflik
13
(belligerent states), juga harus membedakan penduduk sipil dan kombatan.
Apabila para pihak dengan sengaja menargetkan penduduk sipil, maka pihak
yang melakukan penyerangan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelaku

14
kejahatan perang (Article 48 dan Article 51 AP I).




11 Raphael Van Steenberghe., op.cit., hlm. 3-4.
12 William H. Boothby and Wolff Heintschel von Heinegg, J – The ICJ Advisory Opinion,
Cambridge: Cambridge University Press, terdapat dalam
https://www.cambridge.org/core/books/nuclear-weapons-law/icj-advisory-
opinion/88AE0EBB3F1125D4B0AD1D9D9B2289E0 diakses pada 22 Juli 2022.
13 Umar Suryadi Bakry, Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar, Jakarta:
KENCANA, 2019, hlm. 13.
14 loc.cit.
195

Dalam HHI yang mengikat, prinsip pembedaan diatur di dalam Article 1
paragraph 1 Hague Rules 1907 yang mengatur tentang Bombardir oleh

Kekuatan Angkatan Laut di Waktu Perang, menyatakan bahwa penyerangan
terhadap pelabuhan dan bangunan non-militer merupakan tindakan yang

dilarang. Selain di atur di dalam ketentuan di muka, Adapun ketentuan di dalam

AP I yang antara lain menyatakan bahwa objektif militer yang sah merupakan
objek yang berdasarkan sifat, lokasi tujuan dan penggunaannya memberikan

kontribusi efektif terhadap tindakan militer dan kehancurannya, baik secara
total ataupun parsial, memberikan keuntungan militer yang terbatas. Adapun

penafsiran penulis berdasarkan Article 52 AP I yang mengatur tentang objektif

militer terhadap penyerangan kapal perang Rusia terhadap Pulau Zmiinyi dapat
diuraikan sebagai berikut.

Ditinjau dari sifat objek yang telah ditargetkan oleh Rusia, maka dapat
dinyatakan bahwa objek sebagaimana diuraikan di muka tidak dapat dinyatakan

sebagai objektif militer, mengingat bahwa objek ini tidak hanya memiliki

tujuan militer. Kemudian, berdasarkan lokasi dari objek tersebut, objek berupa
ketiga objek ini ini dapat memberikan keuntungan militer, sehingga dapat

ditargetkan oleh Rusia. Sedangkan berdasarkan tujuannya, objek tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai objektif militer, apabila tentara Ukraina terbukti

memiliki niat untuk menggunakan objek tersebut untuk tujuan militer.
Terakhir, apabila ditinjau berdasarkan penggunaan dari objek tersebut, maka

instalasi atau objek tersebut dapat dinyatakan sebagai objektif militer karena

digunakan untuk tujuan militer oleh tentara Ukraina.
Berdasarkan penerapan prinsip pembedaan di muka, tindakan

penyerangan yang dilakukan oleh Rusia ini dapat dibenarkan. Adapun landasan
hukum yang dapat Rusia terapkan dalam menjustifikasi tindakannya, yaitu

Article 2 paragraph 1. Hague Rules 1907 yang antara lain menyatakan bahwa

objek di daratan yang dapat memberikan manfaat terhadap pelaksanaan


196

permusuhan dapat dikualifikasikan sebagai objektif militer. Secara lebih lanjut,
paragraph 3, ketentuan ini menyatakan bahwa perwira yang memimpin operasi

bombardir tersebut harus memberikan peringatan terlebih dahulu terhadap para
penduduk sipil yang berpotensi untuk terkena serangan tersebut. Article 3

kemudian menyatakan bahwa objek yang akan dibombardir tersebut,

diperbolehkan untuk diserang apabila para pihak yang ditargetkan menolak
untuk menurut terhadap peringatan tersebut. Penyerangan tersebut tentunya

harus dilakukan berdasarkan prinsip proporsionalitas (principle of
proportionality) yang merupakan salah satu dari dpp principles.

Steenberghe menyatakan bahwa prinsip proporsionalitas merupakan

prinsip yang mewajibkan para pihak yang terlibat di dalam konflik bersenjata
untuk menilai proporsionalitas dari suatu serangan, ketika pihak tersebut dalam

keadaan berupa memiliki niat untuk menyerang atau untuk menargetkan
objektif militer, namun penyerangan tersebut berpotensi mengakibatkan

15
kematian penduduk dan kerusakan terhadap objektif non militer. Prinsip ini
tidak melarang terjadinya akibat berupa kerusakan yang berlebihan. Namun,
prinsip ini hanya melarang penyerangan yang diharapkan menyebabkan

kerusakan yang berlebihan apabila dikaitkan dengan keuntungan militer yang
16
telah ditetapkan oleh para pihak. Hakikat dari prinsip inilah yang kemudian
menyebabkan prinsip ini bersifat kontoversial.
Pertangungjawaban internasional terhadap tindakan Rusia ini mutatis

mutandis dapat dialihkan kepada perwira yang memimpin operasi bombardir

tersebut, maka dijelaskan juga ketentuan di dalam Article 2 dan Article 3 Hague
Rules 1907 di muka berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary

principles) dalam penyerangan. Prinsip ini mewajibkan para pihak yang
berkonflik untuk memberikan peringatan yang diperlukan, memilih sarana dan


15 Raphael Van Steenberghe, International Humanitarian Law Textbook V: The Hague Law,
Louvain: Louv16x Team, 2021, hlm. 6.
16 loc.cit.
197

17
metode serangan yang memungkinkan kerugian sipil yang paling sedikit.
Secara lebih lanjut, prinsip ini merupakan obligations of means atau suatu

tindakan yang diwajibkan untuk dilakukan berdasarkan tindakan aktif oleh para
pihak yang bertikai. 18 Melalui informasi yang diuraikan di muka, maka

peringatan yang telah dilakukan oleh Rusia tersebut tentunya dapat

digolongkan sebagai wujud dari prinsip kehati-hatian.
San Remo Manual merupakan kaidah yang berfungsi hanya sebagai

pedoman permusuhan yang tidak mengikat, pelanggaran terhadap kaidah ini
tidak akan menimbulkan sanksi bagi Rusia. Namun, perlu dijelaskan bahwa

baik Rusia maupun Ukraina merupakan para pihak yang telah menandatangani

dan meratifikasi Hague Rules 1907 dan AP I di muka. Oleh karena itu, para
pihak harus menunjukan itikad baik mereka sebagai negara anggota dari kaidah

ini, apabila nantinya Rusia dan Ukraina akan menyengketakan perihal klaim
kerusakan yang terjadi di Pulau Zmiinyi ini. Sejalan dengan asas pacta sunt

servanda dalam Article 26 VCLT 1969 dan Common Article 1 dari Keempat

Geneva Conventions yang menyatakan bahwa para pihak harus menghormati
ketentuan perang yang telah diratifikasi oleh para pihak yang bersengketa.


Perlakuan Rusia terhadap tentara Ukraina dan objek instalasi

Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, 13 tentara Ukraina
tersebut ditemukan hidup setelah Rusia melakukan operasi bombardir di Pulau

19
Zmiinyi. Secara lebih lanjut, Parlemen Ukraina melalui informasi yang
disediakan oleh tentara Rusia memberikan informasi yang menyatakan bahwa
terdapat 19 tentara yang sempat berada di dalam kekuasaan tentara Rusia,





17 Umar Suryadi Bakry, op.cit., hlm. 83.
18 Raphael Van Steenberghe, op.cit. hlm. 41.
19 Pjotr Sauer, Ukraine gives medal to solider who told Russian officer to ‘go fuck yourself’
terdapat pada https://www.theguardian.com/world/2022/mar/29/ukrainian-soldier-russian-
warship-medal-snake-island diakses pada 22 Juli 2022
198

20
bukan 13 tentara sebagaimana Ukraina menyatakannya melalui media. Selain
klarifikasi tersebut, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, juga menyatakan

bahwa beberapa tentara yang melakukan penjagaan di pulau tersebut meninggal
dunia akibat bombardir yang Rusia lakukan, dan yang lainnya telah ditahan dan

telah dikembalikan oleh Rusia kepada Ukraina sebagai pelaksanaan pertukaran

21
tahanan perang (prisoner exchange). Selain itu, Presiden Zelenskyy juga
menyatakan bahwa tentara yang meninggal dunia akan dinyatakan sebagai

22
pahlawan nasional Ukraina.
Dalam menjelaskan tentang pertukaran tahanan perang, Sefriani

mengutip pendapat Juwana menyatakan bahwa pertukaran tahanan perang

merupakan kebiasaan internasional yang diterapkan pada saat dan setelah
berlangsungnya konflik bersenjata. 23 Kemudian, pelaksanaan rezim ini

merupakan wujud dari pelaksanaan asas timbal balik dalam praktik hukum
24
internasional pada umumnya, dan dalam praktik HHI. Penulis tentunya
memahami bahwa penerapan prinsip timbal balik dalam HHI bersifat terbatas.

Hal ini tentunya disebabkan oleh kerasnya pengaruh doktrin “categorial
imperative” oleh Kant yang menyatakan bahwa suatu kewajiban harus tetap

25
dilaksanakan, walaupun pihak lawan tidak mentaati kewajiban tersebut.
Dalam Geneva Convention III tentang perlakuan terhadap tawanan

perang, pertukaran tahanan perang, yang juga disebut sebagai transfer tahanan
perang diatur di dalam Article 46. Ketentuan ini antara lain menyatakan bahwa

penransferan tahanan perang harus dilaksanakan berdasarkan kepentingan dari

tahanan tersebut, dilakukan secara non-diskriminatif dan berdasarkan prinsip


20 loc.cit.
21 loc.cit.
22 loc.cit.
23 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar,Edisi Kedua, Depok: Raja Grafindo
Persada, 2018, hlm. 247.
24 ibid., hlm. 248.
25 Raphael Van Steenberghe, International Humanitarian Law Textbook II: Sources and
Subjects, Louvain: Louv16x Team, 2021, hlm. 5 s.d 6.
199

kemanusiaan serta memperhatikan kondisi iklim dan kesehatan dari tahanan
tersebut. Selain itu, ketentuan ini juga menyatakan bahwa tahanan perang harus

dilengkapi dengan kebutuhan primer mereka seperti makanan, air dan suplai
lainnya, serta diantarkan dengan selamat hingga tujuan yang hendak dituju oleh

tahanan. Penjelasan terhadap kaidah ini dapat penulis utarakan, mengingat

bahwa Rusia dan Ukraina telah melaksanakan ketentuan ini berdasarkan itikad
baik, dan tindakan Rusia dan Ukraina ini dapat dilihat dengan adanya

persetujuan para pihak untuk melakukan pertukaran tahanan perang.
Dengan memahami bahwa Rusia telah menghancurkan objek atau

instalasi di Pulau Zmiinyi, walaupun telah mengindahkan kewajiban dalam

Geneva Convention III, maka penulis akan menutup artikel ini dengan
membahas bagaimana klaim Ukraina terhadap objek-objek yang telah Rusia

hancurkan, dapat pemerintah Ukraina tempuh berdasarkan mekanisme
penyelesaian sengketa internasional. Oleh karena itu, penulis berpendapat

bahwa penerapan HHI dapat dilakukan baik melalui mekanisme yudisial

maupun mekanisme non-yudisial. Mekanisme yudisial ini dapat diselesaikan
dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan internasional seperti

International Court of Justice. Selain itu, penulis juga berpandangan bahwa
walaupun tidak bersifat mengikat, San Remo Manual dapat tetap menjadi

landasan hukum yang relevan bagi Rusia dan Ukraina dalam menafsirkan ruang
lingkup dan hal-hal (subject matter) yang berkaitan dengan isu hukum ini.



Penutup
Dilandasi oleh San Remo Manual dan kaidah HHI lainnya, Rusia sebagai

negara penyerang, dapat dituntut sebagai pelaku kejahatan perang atau sebagai
negara yang bertanggungjawab. Keadaan ini tentunya dapat diwujudkan

apabila Ukraina berhasil membuktikan bahwa Rusia telah melakukan

penyerangan tanpa mempertimbangkan dpp principles. Pendapat ini penulis


200

utarakan karena objek atau instalasi tersebut dapat dikualifikasikan baik
sebagai objektif militer ataupun sebagai objektif sipil. Dalam hal ini, Rusia

telah melakukan transfer tahanan perang kepada Ukraina berdasarkan Geneva
Convention III. Pendapat ini penulis ini didasari dengan adanya fakta bahwa

ke-19 tentara Ukraina tersebut telah selamat dari bombardir yang Rusia

lakukan, dan telah ditransfer ke Ukraina. Sedangkan, perihal pertanggung-
jawaban terhadap objek yang Rusia telah hancurkan, penulis berpendapat

bahwa Rusia dan Ukraina dapat menggunakan San Remo Manual sebagai
pedoman penafsiran terhadap isu ini.

Berkaitan itu, maka diharapkan Para pihak dapat menyelesaikan

permasalahan ini setelah konflik bersenjata antara Rusia dengan Ukraina
berakhir. Saran ini penulis utarakan mengingat bahwa penutupan umum operasi

militer (general close of military operation) merupakan konsep yang selalu
diterapkan bersamaan dengan upaya ganti rugi dan penuntutan pelaku

kejahatan perang yang akan dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam

konflik bersenjata internasional. Selain itu, saran ini juga penulis utarakan
mengingat bahwa klaim ini hanya dapat efektif apabila tidak ada lagi aksi

permusuhan (bellicose act) yang dilaksanakan.
Rusia dan Ukraina perlu menerapkan San Remo Manual sebagai kaidah

pelengkap dalam menyelesaikan permasalahan ini. Adapun ruang lingkup dari
penyelesaian sengketa ini yaitu perihal penerapan dan penafsiran objek atau

instalasi di Pulau Zmiinyi berdasarkan Hague Rules 1907 dan AP I. Hal ini

dapat penulis kemukakan mengingat bahwa Rusia dan Ukraina merupakan
negara anggota dari kedua perjanjian internasional.









201

DAFTAR PUSTAKA


Buku
Raphael Van Steenberghe, International Humanitarian Law Textbook I:

Introduction to International Humanitarian Law, Louvain: Louv16x

Team, 2021.
______________________, International Humanitarian Law Textbook II:

Sources and Subjects, Louvain: Louv16x Team, 2021.
______________________, International Humanitarian Law Textbook V: The

Hague Law, Louvain: Louv16x Team, 2021.

Raphael Van Steenberghe dan Jerome de Hemptinne, International
Humanitarian Law Textbook III: Scope of Application, Louvain:

Louv16x Team, 2021, Louvain: Louv16x Team, 2021.
Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Edisi Kedua, Depok: Raja

Grafindo Persada, 2018.

Umar Suryadi Bakry, Hukum Humaniter Internasional: Sebuah Pengantar,
Jakarta: KENCANA, 2019.

Internet
Aila Slisco, One of 13 Killed on Ukrainian Island Live-Streamed Attack,

Newsweek.com, terdapat dalam https://www.newsweek.com/one-13-
killed-ukrainian-island-live-streamed-attack-1682540 diakses pada 21

Juli 2022.

BBC News, Snake Island: Ukraine says troops who swore at Russian warship
are alive terdapat dalam https://www.bbc.com/news/world-europe-

60554959 diakses pada 22 Juli 2022.
International Committee on The Red Cross, Treaties, State Parties, and

Commentaries, terdapat dalam https://ihl-





202

databases.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/vwTreaties1949.xsp diakses pada
21 Juli 2022 .

ITV, Ukraine’s 13 Snake Island soldiers alive after telling Russian warship ‘go
f*** yourself”, ITV, 2022, terdapat dalam

https://www.itv.com/news/2022-02-28/snake-island-troops-alive-and-

well-after-telling-warship-go-f-yourself diakses pada 21 Juli 2022.
Pjotr Sauer, Ukraine gives medal to solider who told Russian officer to ‘go

fuck yourself’, The Guardian, 2022, terdapat dalam
https://www.theguardian.com/world/2022/mar/29/ukrainian-soldier-

russian-warship-medal-snake-island diakses pada 22 Juli 2022.

Wahyu Setyo Widodo, Kutukan Pulau Ular di Ukraina Akhirnya Menelan
Korban, terdapat dalam https://travel.detik.com/travel-news/d-

5986911/kutukan-pulau-ular-di-ukraina-akhirnya-menelan-korban
diakses pada 22 Juli 2022.

William H. Boothby and Wolff Heintschel von Heinegg, J – The ICJ Advisory

Opinion, Cambridge: Cambridge University Press, 2021, terdapat
dalam https://www.cambridge.org/core/books/nuclear-weapons-

law/icj-advisory-
opinion/88AE0EBB3F1125D4B0AD1D9D9B2289E0 diakses pada 22

Juli 2022.















203

[Halaman Ini Sengaja Di Kosongkan]


204

PERJANJIAN KAWIN DAN PENDAFTARANNYA

DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN

UNDANG - UNDANG.REPUBLIK.INDONESIA.

NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN



Diana RW Napitupulu




Pendahuluan

Hak asasi manusia sangat beragam, salah satunya ialah hak untuk
melaksanakann perkawinan dan membentuk keluarga. Dan salah satu hal yang

dilakukan pasca berlangsungnya suatu perkawinan tersebut ialah untuk

memperoleh atau melanjutkan keturunan. Hal ini sebagaimana termaktub
didalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menerangkan:
“Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah.”
Terdapat beberapa diferensiasi atau pembedaan-pembedaan terhadap

pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Hal ini karena keragaman budaya atau

budaya agama yang dianut. Setiap individu atau pasangan, jika mereka sudah
menikah, ada kewajiban komitmen dan hak di antara mereka juga hak anak

yang dibawa ke dunia dari pernikahan tersebut. Dijelaskan pada Pasal 1 UU
Perkawinan, yaitu :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.”




205

Setiap manusia memiliki hak untuk membentuk dan memiliki keluarga

serta demi meneruskan keturunan melalui perkawinan yang sah berdasarkan
norma-norma kehidupan dan mengharapkan ridho Tuhan Yang Maha Esa.


Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang mengandung
kebebasan dan komitmen bagi orang yang mewujudkannya. Laki-laki dan

wanita setelah mengadakan hubungan suami-istri, akan mempunyai akibat-

akibat yang sah bagi mereka, termasuk mengenai hubungan yang sah di antara
pasangan suami istri, hubungan dengan harta benda suami istri, serta apa yang

mereka peroleh yang dianggap sebagai penghasilan mereka, maka perkawinan
itu juga penting bagi suatu kegiatan yang halal. Namun, UU Perkawinan telah

memberikan celah atau ruang bagi pengaturannya secara tersendiri.


Rumusan Masalah
Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan sebelum dan/atau

sesudah dibuat diantara pasangan suami istri tidak didaftarkan/dicatatkan?


Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif, yakni

melakukan pengkajian dari berbagai literatur dan peraturan perundang-

undangan dengan pendekatan statue approach (pendekatan perundang-
undangan).


Hasil Penelitian dan Pembahasan

Persyaratan Perjanjian Kawin

Suatu perjanjian kawin dapat disampaikankan atau masuk dalam

kategori suatu perjanjian yang sah, apabila perjanjian yang telah dibuat

tersebut telah atau sudah memenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat
dikatakannya sah suatu perjanjian, yakni :


206

“(i) adanya kata sepakat antara kedua belah pihak;


(ii) pihak- pihak yang mengadakan perjanjian cakap;

(iii) hal-hal tertentu dan suatu sebab yang halal”


Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka dapat dikatakan
perjanjian tersebut tidak sah dan tidak mengikat secara hukum. Didalam KUH

Perdata tidak memberikan penjelasan terhadap apa itu perjanjian perkawinan
1
atau definisi serupa , namun terdapat beberapa pakar hukum atau ahli yang
memberikan penjelasan tentang definisi perjanjian kawin tersebut. Sejatinya,

perkawinan adalah kesepakatan atau bentuk komitmen yang dilakukan atau
dibuat oleh pasangan suami istri, baik sebelum maupun setelah

dilangsungkannya suatu perkawinan. Biasanya, perjanjian kawin ini dilakukan
dengan tujuan menjadi aturan atau sebuah pedoman yang dapat mengatur harta

2
kekayaan pada suatu perkawinan ini.

Pasal 29 Undang-Undang tentang Perkawinan menyatakan bahwa
apabila akad nikah dibuat antara kedua belah pihak, mereka harus atau dapat

menandatangani kontrak tertulis dengan persetujuan bersama, yang disetujui
oleh otoritas pencatatan nikah, dan mengikat bagi mereka berdua yang

mengadakan perjanjian perkawinan tersebut. Terlebih lagi, setelah perjanjian

tersebut diterapkan, juga berlaku untuk pihak ketiga yang terkait dengannya.

Perjanjian kawin (pre/post-nuptial agreement) ini tidak dapat disahkan

atau diberikan pengesahan, jika isinya melanggar ketentuan atau batas-batas
3
hukum, agama maupun kesusilaan , namun mulai dari tanggal 21 Maret 2016,


1 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 1.
2 R. Soetojo P, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia, Surabaya:
Airlangga University Press, 2012, hlm. 57.
3 Lihat Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019)

207

pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUH-XIII/2015. Pasal 29 (1)

Undang-Undang Perkawinan telah mengatur pembatasan-pembatasan
terhadap berakhirnya suatu akad nikah atau pembagian harta benda setelah

perkawinan, karena memandang bahwa suatu akad perkawinan harus dibuat
sebelum perkawinan. Pasal 29(1) UU Perkawinan menyatakan bahwa :


“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak

atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan dan/atau dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah

mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.”


Pasca hadirnya Putusan MK tersebut, maka ketentuan Pasal 29 ayat UU

Perkawinan telah berubah menjadi Pasal 29(1) UU Perkawinan jo. Putusan
Mahkamah Konstistusi No. 69/PUU-XIII/2015 :


“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan
perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat

mengadakan perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan notaris yang

disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut.”

Putusan MK tersebut telah memberikan perluasan terhadap arti

perjanjian perkawinan, sehingga diartikan sebagai perjanjian yang tidak hanya
dilakukan sebelum nikah tetapi juga sebagai persetujuan setelah atau pasca

nikah. Dijelaskan pada Pasal 2 PP No 9 Tahun 1975 tentang Ketentuan
Pelaksanaan UU Perkawinan, yaitu:

“ayat (1): pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh
Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU



208

Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk;
ayat (2): pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinnya menurut agamaya dan kepercayaannya itu
selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang- undangan mengenai
pencatatan perkawinan.”


Akibat Hukum Tidak Didaftarkannya Suatu Perjanjian Kawin

Umumnya, melalui dibuatnya suatu perjanjian kawin, maka akan
menimbulkan akibat atau dampak hukum bagi mereka yang membuat

perjanjian kawin tersebut, maupun terhadap pihak ketiga (third party) yang
memiliki kepentingan. Sebagaimana telah dijabarkan dalam Pasal 29(1) UU

Perkawinan, Oleh karena itu, agar persetujuan dikatakan sah sehingga harus

dilakukan pendaftaran atau dicatatkan ke pegawai pencatatan .perkawinan.
Sebagaimana jelas dari pasal ini, mengenai sahnya suatu akad nikah,

akad tersebut harus didaftarkan kepada pegawai pencatatan perkawinan, dan
isi perjanjiannya pun berlaku untuk pihak ketiga selama mereka termasuk

didalamnya. Apabila akad atau perjanjian kawin tersebut tidak didaftarkan
maka status dari perjanjiannya tidak sah dan tidak mengikat satu sama lain.



Manfaat Perjanjian Kawin Bagi Pasangan Suami Istri
Pasal 29(1) UU Perkawinan menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan

menurut UU Perkawinan harus dibuat secara tertulis. Aturan tersebut

mensyaratkan adanya kesepakatan tertulis, menjadikan akta pernikahan
sebagai alat bukti yang kuat. Sedangkan asas penegakan diterapkan

berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang isinya sebagai berikut:
“semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang,

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.




209

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan

antara kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan
oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad

baik.”
Berdasarkan kedua pasal tersebut, untuk akad nikah, jika akad nikah

tidak dicatatkan, maka sah bagi kedua belah pihak yang mengadakan akad
nikah, yaitu suami dan/atau istri, karena dalam Undang-Undang Perkawinan

tidak ada satu pasal pun yang memuat pernyataan tentang sahnya suatu akad

nikah apabila perjabjian tersebut dicatatkan.

Adapun manfaat perjanjian kawin yang sudah dicatat dan/atau

didaftarkan untuk:


1. Pemisahan harta kedua pasangan untuk memudahkan pembagian harta
jika terjadi perceraian;

2. Jika suami atau istri berhutang, hal tersebut menjadi tanggung jawab
masing-masing individu dan tidak perlu persetujuan tertulis dari

pasangan kawinnya;
3. Jika meminjam uang kepada pihak ketiga (kreditor), tidak perlu

persetujuan tertulis dari pasangan kawinnya;

4. Jika pasangan kawin mau membebankan harta tetap untuk menjadi
agunan suatu utang, maka hal tersebut tidak perlu mendapat

persetujuan pasangan kawinnya.


Berdasarkan asas konsensualisme, karena ada kesepakatan antara para
pihak, terlepas dari apakah akad nikah itu terdaftar atau tidak, jika akad nikah

itu sendiri dibuat, jika disepakati, maka akad nikah itu sendiri mengikat atau

mengikat para pihak yang telah menandatanganinya. Terlepas dari apakah






210

akad nikah terdaftar atau tidak, akad nikah yang dibuat adalah mengikat

secara hukum dan mengikat pasangan.


Implikasi Hukum
Bagi pihak ketiga kesepakatan perkawinan ini tidak memiliki ketentuan

yang bersifat mengikat walaupun tidak dicatatkan pendaftarannya. Hal ini
berbeda dengan pasangan kawin yang membuat perjanjian kawin itu sendiri.

Ini secara tegas mencakup pernyataan berikut sesuai dengan pasal 29(1)

Undang-Undang Perkawinan:
“pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah

pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis

yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut”


Sehingga setelah melalui keadaan yang ada, maka akibat hukum bagi
pihak ketiga selama perjanjian kawin belum dilakukan pendaftaran atau

pencatatan, dalam hal ini, dapat diasumsikan bahwa perkawinan itu terjadi

dalam suatu persatuan harta perkawinan secara bersama. Oleh karena itu,
apabila terjadi sengketa utang dengan suami dan/atau istri, dibuatlah

perjanjian dengan memperhatikan kekayaan bersama.

Namun pandangan atau pemikiran terhadap ketidaktahuan pihak ketiga

untuk suatu perjawinan kawin tersebut disampaikan bagi yang pihak ketiga

yang belum tercatatkan, tidak diketahui bahwa pasangan tersebut telah
mengadakan melakukan akad nikah, dan hanya kepada pihak ketiga yang

mengetahui bahwa pasangan itu menikah. Namun, jika akad nikah tidak
dicatatkan, maka suami dan istri tersebut masih saling mengikat. Sebaliknya





211

jika akad nikah tidak didaftarkan, maka akibat hukum akad nikah tidak

mengikat pihak ketiga.

Penutup

Syarat yang harus dipenuhi agar akad nikah dapat mengikat secara
hukum pihak ketiga adalah pendaftaran sebagai penanggung menurut Pasal

29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. dan

Akibat Hukum atau Implikasi Kegagalan Mencatat Perjanjian Perkawinan
dalam Daftar Nikah, maka pasangan tersebut tetap memiliki akibat hukum

perjanjian perkawinan, hal tersebut dikarenakan perjanjian mengikat kedua
belah pihak, sedangkan untuk pihak ketiga mereka tidak mempunyai akibat

hukum karena bersifat tidak mengikat. pihak ketiga jika (third party).
Perjanjian Kawin telah mengalami 3 (tiga) kali judicial review di Mahkamah

Konstitusi, yaitu:


1. Putusan MK No. 69/ 2015 tentang Perjanjian Kawin Dalam Suatu
Hubungan Perkawinan;

2. Putusan MK No. 46/2010 tentang Anak Luar Kawin;
3. Putusan MK No. 22 /2017 tentang Batasan Usia Perkawinan Bagi

Perempuan.


Sehubungan dengan hal itu, bahwa pembentukan dan perubahan undang-
undang merupakan kewenangan DPR, Putusan MK tidak otomatis merubah

undang-undang, sebagaimana dari tiga Putusan MK tersebut baru berupa umur
calon mempelai perempuan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, oleh karenanya perlu juga
dilakukan amandemen terhadap peraturan perundang-undangan dengan

substansi persetujuan perkawinan dilangsungkan sebelum dan selama akad
nikah.



212

DAFTAR PUSTAKA


Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.


Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.




Buku


Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana,
2009.


R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, 2012.
















213

[Halaman Ini Sengaja Di Kosongkan]



214

MENGGALI PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BUMN

BAGI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA



Mery Rohana Lisbeth Sibarani





Pendahuluan

Dalam perumusan pembukaan UUD NRI 1945 ditetapkan bahwa cita-

cita bangsa adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berkeadilan
sosial. Kemudian semangat itulah yang menjadi dasar dirumuskannya pasal-

pasal di dalam UUD NRI 1945, termasuk pada perumusan berkaitan
Perekonomian Nasional pada Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945 yang

menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha dalam berdasar
atas asas kekeluargaan” Ayat (2) dari ketentuan ini menyatakan bahwa

“cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara” Ayat yang (3) “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”.

Berdasarkan amanat dari pasal serta ayat itulah negara mengeluarkan

suatu kebijakan guna membentuk Badan Usaha Milik Negara dengan akronim

BUMN. Inisiasi mengenai BUMN sebetulnya sudah dimulai dari zaman
kolonial, pada masa itu BUMN disebut dengan istilah perusahaan negara. Pada

masa awalnya, belum terdapat kaidah yang jelas untuk mengatur perusahaan
negara, namun disisi lain pendirian perusahaan negara tersebut sudah semakin

menjamur dan tidak mempunyai karakteristik pasti. Oleh karenanya,
dirumuskanlah Undang-Undang Nomor 16/Prp/1960 mengenai Perusahaan

Negara supaya memudahkan pendirian perusahaan negara dengan pondasi dan





215

tujuan yang sama. Kemudian, setelah reformasi undang-undang tersebut diubah
menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (selanjutnya

disebut UU BUMN) dengan tujuan menjadi salah satu dari beberapa pilar
ekonomi negara dalam memberikan pelayan di bidang barang dan jasa untuk

memudahkan kehidupan masyarakat sekaligus juga mencari keuntungan untuk

menjadi sumber pemasukan bagi kas negara. Dalam proses perkembangannya
menganalisis mengenai BUMN kerap kali menemukan kebimbangan karena

adanya ketidakjelasan dikotomi antara kepemilikan saham dan kekayaan
negara lewat BUMN. Permasalahan ini disebabkan karena pada UU BUMN

menyatakan bahwa “Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar (51%)

modalnya dimiliki oleh negara melalui pernyataan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Namun ketentuan tersebut

agaknya berbeda dengan rumusan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara (yang selanjutnya disebut UU KN) yang

menggolongkan kekayaan yang terpisah dan/atau tidak terpisahkan pada

perusahaan negara atau daerah termasuk dalam ruang lingkup dari keuangan
negara. Peraturan yang bersifat kontra-produktif tersebut, memberikan

kebimbangan tersendiri kepada para pengurus BUMN maupun badan-badan
yang memiliki kewenangan mengawasi dan mengaudit, termasuk juga Badan

1
Pemeriksa Keuangan (BPK).

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di muka, maka pokok
permasalahan dari uraian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


1. Bagaimana korelasi antara keuangan BUMN dan keuangan Negara?
2. Bagaimana dampak hukum dan pertanggungjawaban dari terjadinya

kerugian keuangan BUMN bagi kerugian negara?




1 Refly Harun, BUMN Dalam Sudut Pandang Tata Negara; Privatisasi, Holdingsasi, Kontrol,
dan Pengawasan, Jakarta: Balai Pustaka. 2019, hlm 4-5.



216

Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode hukum yuridis-normatif. Kemudian,

guna memperoleh data yang diperlukan oleh penelitian ini, penulis menerapkan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang mengkaji sejumlah

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi pokok penelitian.

Adapun peraturan perundang-undangan yang penulis maksud yaitu sebagai
berikut: 1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

Negara (UU BUMN); 2.) Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara (UU KN); 3.) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (UU Tipikor); 4.) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (UU PN); dan 5.) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK).

Analisis Mengenai Keuangan Negara

Menurut Pasal 1 angka 1 UU KN, “Keuangan Negara adalah semua hak
dan kewajiban negara yang dapat dinilai uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Kemudian, dalam Penjelasan Umum dari UU Tipikor terdapat penjelasan

yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan keuangan negara merupakan

“seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan ataupun
yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala hal yang timbul akibat

berada di dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, perusahaan yang menyertakan modal















217

negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
2
perjanjian antara pihak tersebut dengan negara.”
Adapun definisi lain dari keuangan negara juga dapat dilihat dari Pasal 1
angka 7 UU BPK yang berbunyi “Keuangan Negara adalah semua hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksaan hak dan kewajiban tersebut.”


Selanjutnya Van der Kemp menjelaskan bahwa “keuangan negara
adalah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala sesuatu

(baik berupa uang dan barang) yang dapat dijadikan milik negara

berhubungan dengan hak-hak tersebut.”.
Adapun ruang lingkup dari pengaturan tentang keuangan negara yang

3
terdiri dari:
“a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara;

d. Pengeluaran negara;

e. Penerimaan daerah;
f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-
hak laun yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;




2 Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas: Perluasan Ruang Lingkup Keuangan
Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan Pmerintah, Jakarta: UI Press. 2011,
hlm. 9.
3 Lihat Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003.




218

h. Kekayaan pihak laun yang dikuasai oleh pemerintahan dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan oleh pemerintah.”

Pasal 2 huruf g dan i dari UU KN juga diuji melalui mekanisme
constitutional review di Mahkamah Konstitusi, berdasarkan Putusan MK

Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 62/PUUXI/2013. Kedua
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut “menolak secara seluruhnya

permohonan Pemohon terhadap permohonan constitutional review dari Pasal
2 huruf g dan i UU KN terhadap Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 dan pasal-

pasal lainnya yang dimohonkan oleh pemohon.” Secara lebih lanjut, telah

ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan ini, bahwa “pada
dasarnya BUMN yang seluruhnya atau sebagian besar sahamnya merupakan

milik daripada negara adalah merupakan perpanjangan tangan negara dalam

menjalankan sebagian fungsi negara untuk mencapai tujuan negara itu
sendiri.”. Memang benar bahwa adanya, kekayaan negara tersebut, yang telah

menjelma menjadi modal BUMN sebagai modal usaha awal yang
pengelolaannya tunduk pada paradigma dalam berbisnis dan berusaha, namun

tidak menjadikan kekayaan BUMN tersebut terlepas dari kekayaan negara
dengan adanya konsep pemisahan kekayaan negara dengan kekayaan badan

usaha. Oleh karena itu, tidak bisa diterjemahkan juga bahwa adanya

transformasi pengelolaan keuangan dari uang publik kepada uang privat oleh
badan usaha. Selanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga

menyanggah adanya pendapat dari Arifin P. Soeria Atmadja, yang menyatakan
bahwa “telah terjadi suatu transformasi status hukum uang negara dalam

BUMN menjadi berstatus hukum uang perdata atau privat dan sebaliknya.”
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat tersebut, telah

memberikan adanya ketetapan hukum terhadap pengertian keuangan negara

sebagaimana dimuat pada BUMN.




219

Analisis Mengenai Kerugian Negara Dalam Kaitannya Dengan BUMN
Terminologi kerugian negara sangat berkaitan erat dengan ketentuan di

dalam UU Tipikor, dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 peraturan tersebut dan
UU PN pada Pasal 1 angka 22 dari kaidah tersebut. Kedua ketentuan tersebut

mengemukakan terminologi “merugikan negara” dan “kerugian negara”.

“Merugikan” yang memiliki arti “menjadi rugi” atau “berkurang” atau “surut”
atau “merosot”. Menyambung dengan konteks pasal tersebut, merugikan

negara berarti menjadi rugi, menjadi berkurang, menjadi surut atau keuangan
negara menjadi merosot. Merugikan negara dikaitkan dengan sesuatu yang

seharusnya menjadi milik negara terutama dalam hal kekayaan yang dapat

dinilai dengan uang. Konsep ini dapat diterjemahkan dengan pernyataan bahwa
kerugian negara merupakan suatu situasi dan kondisi yang dialami oleh negara

karena terjadinya suatu kekurangan, penyusutan, kemerosotan atau hilangnya
sejumlah uang negara, yang diakibatkan oleh tindakan tertentu. UU PN, sebagai

amanat daripada Pasal 29 UU KN in concreto pada Pasal 1 angka 22 mengatur

adanya definisi operasional mengenai kerugian negara sebagai kekurangan
uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai

daripada akibat perbuatan melawan hukum, baik secara sengaja maupun secara
lalai. Terhadap pendefinisian dari kerugian negara, Sumaryanto berpendapat

bahwa “kerugian negara secara umumnya terjadi di dalam 2 (dua) tahap yaitu
dalam tahap dana masuk ke dan tahap ke luar dari kas Negara.” Hernold

Makawimbang menyatakan bahwa “kerugian Keuangan Negara umumnya

dapat terjadi dalam 2 tahap yang berbeda, yaitu dalam tahap dana akan masuk
ke dalam kas negara dan dalam tahap dana akan keluar dari kas negara.

Dalam tahap dana yang akan masuk ke kas negara, kerugian dapat terjadi
ketika adanya konspirasi pengembalian kerugian negara, penyelundupan,

konspirasi pajak, dan konspirasi denda. Sedangkan pada tahap dana akan

keluar dari kas negara, kerugian terjadi akibat adanya korupsi, pelaksanaan





220

4
kegiatan yang tidak sesuai dengan program dan lainnya.” Perbuatan yang
dapat merugikan perekonomian negara merupakan tindak pidana berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam
bidang kewenangannya. Dalam kaitannya dengan kerugian negara, Mahkamah

Agung (MA) pernah mengeluarkan fatwa tentang penafsiran keuangan negara.

Fatwa MA yang dimaksud oleh penulis ialah Fatwa MA Nomor
WKMA/Yud/20/VIII/2006 tertanggal 16 September 2006 yang menyatakan

bahwa: “Pasal 1 angka 1 UU BUMN mengartikan bahwa“ BUMN, adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara

melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan” jo. Pasal 4 ayat (1) UU BUMN mengatur bahwa “Modal BUMN
merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Penafsiran

terhadap fatwa ini telah mengakibatkan seakan-akan terdapat dikotomi yang
sangat ketat antara kekayaan negara dengan kekayaan negara yang terpisah,

sehingga modal BUMN yang dikategorikan sebagai kekayaan negara yang

dipisahkan pada perdebatan selanjutnya perihal dampak kerugiannya yang
tidak secara serta merta dapat dinyatakan sebagai kerugian negara. Namun

Fatwa MA tersebut mendapat kritik dari Anwar Nasution yang berpendapat
bahwa “kekayaan negara yang dipisahkan tetap merupakan suatu kekayaan

negara. Setiap penggunaan anggaran negara tetap harus diperiksa untuk
dipertanggungjawabkan kepada pemegang hak budget.” Mantan Jaksa Agung

Hendarman Supandji juga menyatakan bahwa “selain kekayaan BUMN, uang

negara yang dipakai oleh badan usaha swasta sekalipun dapat menjadi uang
negara dalam konteks rezim pemberantasan korupsi. Walaupun instrumen

seperti BPK tidak bisa melakukan audit, kejaksaan sebagai perpanjangan






4 Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara, Yogyakarta: Thafa Media.
2014, hlm 38.



221

tangan negara tetap memiliki kewenangan audit terhadap setiap penggunaan
uang negara.”


Dalam rezim hukum administrasi negara, rumusan merugikan keuangan
5
negara memiliki penafsiran yang sama dengan kerugian negara. Hal tersebut
dapat dilihat pada ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (4) UU KN; Pasal 1

angka 22, dan Pasal 59 sampai dengan Pasal 67 UU PN; Pasal 20 ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan (UU AP). Pengaturan tersebut mengatur tentang Tuntutan
Perbendaharaan (TP) dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) keuangan negara/daerah

non bendahara. Pasal 67 ayat (2) UU PN menyatakan bahwa; “ketentuan

penyelesaian kerugian negara/daerah dalam undang-undang ini berlaku pula
untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur
dalam undang-undang tersendiri.” Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (6)

UU AP, Pejabat pemerintahan yang melakukan kesalahan administratif
sehingga menimbulkan adanya kerugian Keuangan Negara harus

mengembalikan jumlah dari kerugian negara tersebut.


Penutup
Keuangan BUMN pada hakikatnya berasal dari Keuangan Negara.

Sehingga ada korelasi signifikan antara Keuangan BUMN dengan Keuangan
Negara. Sebagai sebuah entitas privat yang memiliki modal awal yang

bersumber dari kekayaan negara, maka BUMN memiliki tanggung jawab

sebagai pilar ekonomi bangsa. Fungsinya sebagai penggerak sosial bagi
masyarakat maupun penggerak bisnis di dalam sektor usaha. Tentu BUMN

memiliki beban tanggung jawab yang cukup berat, mengacu dari UU KN, UU



5 Henny Juliani, Pertanggungjawaban Direksi BUMN Terhadap Perbuatan yang
Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jilid 45 Nomor 4: 2016, hlm 303.



222

TPKP, maupun UU BPK. Realitas tersebut dapat dilihat dari sumber hukum
yang tersedia sebagai ius constitutum dimana BUMN memiliki tanggung jawab

keuangan terhadap negara sebagai bagian dari konsep dasar yang menerangkan
tentang keuangan BUMN yang adalah sama dengan keuangan negara. Namun

pada prosesnya pertanggungjawaban keuangan negara tidak dapat serta merta

diadopsi oleh BUMN sebagai badan privat yang berpegang pada prinsip-prinsip
bisnis. Sehingga terdapat implikasi khusus yang terjadi jika didapati kerugian

negara di dalam tubuh BUMN, diantaranya yang paling pasti dapat ditindak
adalah mengenai tindak pidana korupsi. Namun untuk kerugian keuangan

BUMN atas sebab pengelolaan yang salah tidak dapat secara serta merta

diklasifikasikan sebagai kerugian keuangan negara.

Sebagai ius constituendum, kiranya perlu dipikirkan dan dilakukan

rekonstruksi yuridis terhadap formulasi keuangan negara.
































223

DAFTAR PUSTAKA


Perundang-undangan


Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.


Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.



Buku


Dian Puji N. Simatupang, Paradoks Rasionalitas: Perluasan Ruang Lingkup
Keuangan Negara dan Implikasinya Terhadap Kinerja Keuangan

Pmerintah, Jakarta: UI Press. 2011.


Hernold Ferry Makawimbang, Kerugian Keuangan Negara, Yogyakarta: Thafa
Media. 2014.


Refly Harun, BUMN Dalam Sudut Pandang Tata Negara; Privatisasi,

Holdingsasi, Kontrol, dan Pengawasan, Jakarta: Balai Pustaka. 2019.

Jurnal









224

Henny Juliani, Pertanggungjawaban Direksi BUMN Terhadap Perbuatan yang
Mengakibatkan Kerugian Keuangan Negara, Jurnal Masalah-Masalah

Hukum, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jilid 45
Nomor 4 :2016.



















































225

[Halaman Ini Sengaja Dikosongkan]




226

PENINGKATAN LIFTING MIGAS NASONAL DENGAN

PEMBARUAN PROSES KONTRAK PENGEBORAN

SUMUR PENGEMBANGAN DI DARAT PADA

LINGKUNGAN SATUAN KERJA KHUSUS MIGAS


Robert Pangihutan Radjagoekgoek



Pendahuluan
Ericson Sitohang menyatakan bahwa “Minyak dan gas bumi (Migas)

adalah salah Sumber Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui (non-

renewable resources), dan secara faktual menguasai hajat hidup orang
banyak, dan tidak ada satu pun rakyat yang tidak memanfaatkan migas,

sekaligus merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting,
sehingga Migas merupakan sumber daya alam yang merupakan bagian dari

1
nilai vital dan nilai strategis.”
Menurut penjelasan yang dipaparkan oleh Satuan Kerja Khusus

Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), satuan

ini merupakan “institusi yang dibentuk oleh pemerintah Republik Indonesia
berdasarkan telah diundangkanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9

Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu
Migas. SKK Migas yang bertujuan untuk melaksanakan pengelolaan kegiatan

2
usaha hulu migas berdasarkan perjanjian kerja sama.”
Pembentukan lembaga bertujuan agar pemanfaatan sumber daya alam

berupa minyak dan gas bumi (migas) milik negara dapat memberikan manfaat

serta pendapatan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar


1 Ericson Sihotang, Politik Hukum Pengelolaan Migas, Jakarta: P3DI, 2014, hlm.37.
2 SKK MIGAS, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas
Bumi, terdapat dalam https://www.skkmigas.go.id/2020/02/Satuan-Kerja-Khusus-
Pelaksana-Kegiatan-Usaha-Hulu-Minyak-Dan-Gas-Bumi; diakses pada 6 Juli 2022.

227

kemakmuran rakyat. SKK Migas melaksanakan penandatanganan kontrak

kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS), seperti: Chevron, Pertamina, Conoco, Medco dan lain-lain,

selanjutnya memberikan konsesi rencana kerja dan anggaran KKKS dalam
pemanfaatan sumber daya alam migas milik negara yaitu pengeboran sumur

pengembangan, sehingga dapat bermanfaat dan dan menghasilkan pendapatan
yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Verda Setiawan menjelaskan bahwa “Guna memenuhi

target lifting migas nasional (target produksi) satu juta barel minyak per hari
(bph) pada tahun 2030, SKK Migas mengungkapkan bahwa target produksi

tersebut semakin berat. Hal itu berkaitan erat dengan capaian produksi pada

awal tahun 2022, masih terbilang rendah dan jauh dari yang ditargetkan pada
3
tahun ini.” Oleh karena itu, SKK Migas terus mendorong KKKS agar segera
mampu untuk mewujudkan komitmen kerja serta melakukan upaya untuk
meningkatan produksi melalui pengeboran sumur development (drilling well

development).
Terlebih peraturan presiden yang ditetapkan oleh Presiden besama SKK

Migas harus menunjukkan komitmennya untuk membuat pembaruan

ketentuan-ketentuan peraturan investasi industri hulu migas yang lebih atraktif
dengan melakukan pembaruan mengenai pengadaan barang/jasa, sistem

kontrak drilling dan Harga Perkiraan Sendiri/HPS (Owner
Estimate)/Operation Daily Rate (ODR), dan mengawasi permasalahan

pengadaan barang/jasa tersebut. Dengan adanya SKK Migas melakukan
pembaruan proses kontrak pengeboran sumur pengembangan di darat pada

lingkungan SKK Migas, akan berdampak terhadap kelancaran pengadaan




3 Verda Nano Setiawan, BOS SKK Migas Ungkap Target 1 Juta Barel Makin Berat, Kenapa?,
terdapat dalam https://www.cnbcindonesia.com/news/20220323102415-4-325183/bos-
skk-migas-ungkap-target-1-juta-barel; diakses pada 6 Juli 2022.

228

barang/jasa, sistem drilling kontrak yang efisien dan efektif dan Nilai HPS

yang kompetitif (the best ODR), serta akhirnya akan meningkatkan target
lifting migas nasional dari tahun ke tahun berikutnya untuk kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat Indonesia.


Permasalahan
1. Apakah peraturan saat ini sudah mendukung pengadaan barang/jasa,

sistem drilling kontrak yang efisien dan efektif dan Nilai HPS yang

kompetitif (terbaik) untuk kontrak pengeboran sumur pengembangan
di darat?

2. Apakah perlu pembaruan peraturan dari SKK Migas saat ini dalam

meningkatkan target lifting migas nasional dari tahun ke tahun
berikutnya untuk kontrak pengeboran sumur pengembangan di darat?


Metode Pendekatan

Untuk menjawab isu dalam penelitian dan mencapai tujuan penelitian
bagi Pemerintah Indonesia (Kementerian ESDM), SKK Migas, KKKS,

Penyedia barang/jasa maka ketentuan-ketentuan peraturan yang ada saat ini

sebagai pedoman untuk melakukan pengadaan barang/jasa, kontrak drilling
sistem dan HPS yang kompetitif dalam meningkatkan target lifting migas

nasional. Elisabeth Butar-butar menyatakan bahwa “penelitian ini
menggunakan penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif bersifat

yuridis-normatif, disebut juga penelitian yuridis-dogmatis. Penelitian ini
ingin menemukan kebenaran hukum yang bersifat dogmatis, membutuhkan

data sekunder yang bersumber dari hukum positif (das sollen) dan berkaitan











229

dengan ajaran Hans Kelsen yang disebut sebagai ajaran hukum murni (des

4
Reine Rechtslehre).”
Berkiblat kepada pandangan Made Diantha, “Kerangka teori dalam

penelitian hukum ini memiliki cakupan yang meliputi teori-teori hukum,
ajaran hukum, asas-asas hukum, dan konsep hukum kendati harus diakui

bahwa kedudukan teori hukum sebagai landasan teoritis adalah sangat
5
strategis dalam membangun argumentasi hukum.”
Diantha juga berpendapat bahwa “Kerangka teori dalam penelitian

hukum normatif berguna untuk mendukung argumentasi hukum dalam
pembahasan masalah, untuk mempertinggi derajat konsensus dalam upaya

kebenaran dalam ilmu hukum, sebagai penanda suatu karya ilmiah bentuk

skripsi, tesis atau disertasi dan sebagai arahan (guidance) dalam
6
mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder ataupun tersier.”
Untuk meneliti permasalahan proses-proses dalam pengadaan barang/jasa,
kontrak drilling sistem dan HPS yang kompetitif dalam meningkatkan target

lifting migas nasional, dipakai teori perjanjian, teori kepastian hukum dan
Peraturan Pedoman Tata Kerja 007 (PTK 007) sebagai guidance (pedoman)

untuk KKKS dalam melakukan pengadaan barang/jasa, kontrak drilling sistem

dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang kompetitif.
Penelitian ini mengambil permasalahan jenis kontrak pengeboran sumur

pengembangan di darat (on shore), tidak di lepas pantai (off shore).
Pertimbangannya antara lain: terlalu luas cakupan penelitian di “lepas pantai”,

permasalahan kontrak pengadaan pengadaan barang/jasa dan operasional yang
terjadi sangat berbeda sekali (lebih kompleks), jumlah sumur yang di bor lebih





4 Elisabeth Nuraini Butar-butar, Metode Penelitian Hukum (Langkah-Langkah Untuk
Menemukan Kebenaran Dalam Ilmu Hukum), Bandung: Refika Aditama, 2018, hlm. 25.
5 Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, dalam Justifikasi Teori
Hukum, Jakarta: Renada Media Grup, 2017, hlm.129.
6 Ibid, hlm. 131.

230

banyak di darat dan risiko pengeboran sumur pengembangan di darat lebih

sederhana bila dibandingkan pengeboran di lepas pantai (laut), baik secara
kontrak pengadaan barang/jasa maupun operasional.


Proses Pengadaan Barang dan Jasa

Salah satu ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang
7
Minyak dan Gas (UU Migas) menyatakan SKK Migas membuat dan
melaksanakan perjanjian kerja sama dengan KKKS memakai model

Production Contract Sharing (PSC) Cost Recovery. PSC Cost Recovery
8
mengacu kepada peraturan di PTK 007 Tahun 2017 Revisi 04, tentang
pengadaan barang/jasa tentang drilling Rigs. Sedangkan KKKS yang

memakai model PSC Gross Split tidak harus mengacu (bebas) kepada
peraturan di PTK 007 Tahun 2017 Revisi 04. Sejalan dengan Peraturan

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 12
9
tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 10 tentang perubahan Pasal 2, diberi
kebebasan kepada KKKS untuk memilih mekanisme PSC Cost Recovery atau

PSC Gross Split.

Dengan keluarnya Peraturan Menteri No.12 Tahun 2020, dimana diberi
kekebasan bagi KKKS untuk memilih model kontrak kerja sama dengan

Pemerintah yaitu model PSC Cost Recovery atau PSC Gross Split. SKK Migas
menyatakan bahwa, “the basic difference between both PSC contract types is


7 Indonesia Legal Center Publishing, Peraturan Perundang-undangan Pertambangan,
Minyak dan Gas Bumi & Mineral dan Batubara, Jakarta: Karya Gemilang, 2014, hlm. 1.
8 SKK Migas, Pedoman Tata Kerja, Nomor: Pedoman Tata Kerja-007/SKKMA0000/2017/S0
(Revisi 04), Buku Kedua, Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa, Jakarta: SKK Migas, 2017,
hlm.1 dari 120.
9 Surat peraturan Menteri ESDM No12 Tahun 2020 Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No.8 Tahun 2017 Tentang Kontrak bagi Hasil
Gross Split, diundangkan di Jakarta, tanggal 16 Juli 2020.
10 Surat peraturan Menteri ESDM No.8 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split,
diundangkan di Jakarta, tanggal 16 januari 2017.

231

how the government and the oil and gas company take their share. In PSC cost

recovery, they divide their share from the net revenue. While in the PSC gross
11
split scheme, they directly split the gross revenue.”
Menurut Laporan Tahunan SKK Migas 2021 bahwa pengelompokan
jenis wilayah kerja eksploitasi, berdasarkan tahapan dan jenis kontrak, ada 22

(dua puluh dua) KKKS yang PSC Cost Recovery dan 72 (tujuh puluh dua)
12
KKKS yang PSC Gross Split. Sehingga dalam pelaksaanan di lapangan
bahwa setiap KKKS dapat melakukan pengadaan barang/jasa yang di inginkan

tanpa persetujuan SKK Migas dan/atau persetujuan SKK Migas. Hal ini akan
memberikan ketidakpastian hukum dalam kualitas dari barang/jasa yang

didapatkan dan juga kualitas dari sumur pengembangan produksi, karena

tanpa ada pengawasan dari SKK Migas. Pada akhirnya sumur pengembangan
produksi tersebut akan berproduksi minyak dan/atau gas per hari (barrel oil

or/gas per day) dan nantinya akan dikelola oleh SKK Migas /Pemerintah
Indonesia sebagai peningkatan lifting migas nasonal. Walaupun KKKS dalam

mengadakan pengadaan barang/jasa telah mengikuti salah satu prinsip hukum
dalam teori perjanjian yaitu asas Pacta Sunt Servanda atau kepastian hukum

yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Tetapi tidak adanya pengawasan

pengadaan barang/jasa dari SKK Migas untuk PSC Gross Split, sehingga ada
potensi/dugaan terjadi persekongkolan antara KKKS dan penyedia di

lingkungan KKKS tersebut.









11 Meisia Chandra, Comparison between PSC Gross Split and Cost Recover terdapat dalam
https://convex.ipa.or.id/comparison-between-psc-gross-split-and-cost-recovery/, diakses
pada 10 Juli 2022.
12 SKK Migas, Laporan Tahunan 2021, terdapat dalam https://www.skkmigas.go.id/assets/ar-
skk-migas-2021_full-final-smallres3.pdf, diakses pada 10 Juli 2022.

232

Jenis Kontrak Pengeboran Sumur

Paket pengadaan dapat menerapkan satu jenis atau kombinasi berupa
lebih dari satu jenis kontrak. Saat ini, KKKS banyak memakai jenis kontrak

bersifat satuan atau Operation Daily Rate (ODR) terhadap penyedia drilling
Rig. Jenis kontrak ini akan memberikan peluang kepada penyedia drilling Rig

dalam menyelesaikan pengeboran sumur dengan cycle time yang tidak
disepakati oleh KKKS dan penyedia drilling Rig dalam suatu kontrak

kesepakatan dan/atau perjanjian. Namun KKKS hanya memberitahukan

drilling cycle time drilling diberitahu dalam drilling program.
Kemudian, Ridwan Khairandy menyatakan bahwa “Hukum telah

kontrak memberikan kebebasan kepada subjek kontrak untuk melakukan

kontrak dengan beberapa pembatasan tertentu.” Oleh karena itu, Pasal 1338
13
KUH Perdata menyatakan:
“1.) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
2.) Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup
untuk itu; dan
3.) Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Atas dasar analisa sesuai hukum kontrak di atas bahwa perjanjian dapat
dilakukan antara SKK Migas, KKKS dan Penyedia Rig dimana SKK Migas

dapat berperan sebagai pengawas dari KKKS dan Penyedia Rig, walaupun
PSC Cost Recovery dan/atau PSC Gross Split. Pihak SKK Migas dan KKKS

dapat melakukan kesepakatan dengan Penyedia Rig berupa cycle time dari

pengeboran sumur tersebut, sehingga kedua belah pihak mendapatkan risiko
yang berimbang bila risiko bila tidak tercapai dan/atau tercapai cycle time

tersebut, yang termuat dalam isi klausal kontrak.




13 Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia, Dalam Perspektif Perbandingan,
Yogyakarta: FH UII, 2013, hlm. 84.

233

Pemerintah tetap dibutuhkan melalui SKK Migas sebagai pengawas

pengadaan dan pelaksanaan dari kesepakatan tersebut. Oleh karena produksi
migas yang dihasilkan akan dipergunakan oleh rakyat Indonesia. Hal ini sesuai

dengan pendapat Ericson Sihotang yang menyatakan bahwa “peran Migas
yang sangat penting bagi negara Indonesia dimana menjadikan sektor ini

bagian dari sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan hasilnya
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana

dirumuskan di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar

14
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).”
Sehingga, SKK Migas dan KKKS harus melakukan kesepakatan dalam

memilih jenis kontrak yang ada peraturan di PTK 007 Revisi 04 terhadap

Penyedia Rig. Sehingga pembaruan jenis kontrak tersebut adalah “Kontrak
15
Terima Jadi” (Turn Key) yaitu merupakan kontrak penyediaan barang/jasa
dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga yang pasti dan tetap sampai
seluruh konstruksi/peralatan/pabrik dan jaringan utama maupun

penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.

“Kontrak Terima Jadi” di KKKS adalah mulai proses penyediaan well

pad location (fasilitas lokasi sumur dan jalan), pengeboran sumur,
penyelesaian komplesi (completion), proses melakukan “put on production”

(melakukan sumur itu berproduksi), sampai penyediaan pipa penyaluran
/penunjang migas yang diproduksi kemudian mengalirkan migas ke Oil

storage tank or Gas Station (tangki penyimpanan minyak atau penampungan
gas). Pembaruan ketentuan-ketentuan peraturan kontrak di SKK Migas,

berupa jenis Turn key contract adalah sesuai Pasal 1338 ayat (1) KUH






14 Ericson Sihotang, op.cit, hlm. 37.
15 PTK007 Revis 04, hlm. 29 dari 120

234

16
Perdata, yang menyatakan bahwa“semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Berdasakan 2 (dua)
pasal dalam KUH Perdata tersebut, dapat dinyatakan bahwa berlakunya asas

konsensualisme dalam rezim hukum perjanjian telah memantapkan adanya
asas kebebasan berkontrak. Dengan mengikuti pasal tersebut, perjanjian SKK

Migas dengan KKKS dapat dilakukan agar memenuhi kepastian hukum. Hal
ini memberikan dampak terhadap pembaruan proses kontrak di lingkungan

SKK Migas dilakukan, maka peningkatan lifting migas Nasonal dapat

tercapai.


Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri

Permasalahan tentang penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam
kontrak jasa drilling Rig di lingkungan kegiatan dalam sektor industri migas

di Indonesia, akan berdampak pada pengadaan barang/jasa Rig. Drilling Rig
(Menara/Alat Sistem Pengeboran) diperlukan untuk mengebor sumur dan

memperbaiki sumur dengan tujuan memproduksi migas. Dengan terkendala
produksi migas akan berdampak terhadap rakyat Indonesia. Migas merupakan

salah satu sumber pendapatan bagi negara Republik Indonesia dan hasil

produksi migas digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Indonesia berdasarkan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.

Penyusunan HPS merupakan hal yang sangat penting bagi penyedia
barang/jasa dan KKKS karena HPS dimanfaatkan sebagai instrumen atau

saran dalam menilai kewajaran penawaran, termasuk rincian dari penawaran
tersebut, serta menjadi salah satu pedoman penilaian dalam menetapkan calon

pemenang dari kompetisi pengadaan barang/jasa Rig.






16 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata, Buku Ketiga,
Yurisprodensi, Doktrin, serta Penjelasan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015, hlm. 123

235

Beberapa aturan dari KKKS saat ini melakukan pengadaan barang/jasa

Rig yaitu pelaksanaan penawaran HPS yang bersifat tertutup dan/atau terbuka
dan tidak rahasia dan/atau rahasia tergantung jenis kontrak dengan

pemerintah/SKK Migas yang PSC Cost Recovery dan/atau PSC Gross Split.
Berdasarkan analisa penyusunan HPS, KKKS masih ada melakukan

pengadaan barang/jasa secara tertutup dan rahasia , sehingga hal ini akan
memberi ketidakpastian hukum dan tidak ada transparansi bagi Penyedia Rig.

Walaupun KKKS memakai PSC Cost Recovery dan/atau PSC Gross Split,

pengadaan barang atau jasa Rig dilakukan baik secara tertutup ataupun secara
terbuka dan rahasia atau tidak rahasia. Sehingga memungkin terjadi

dugaan/indikasi persekongkolan dalam penyusunan HPS antara panitia

pengadaan KKKS dengan penyedia barang jasa Rig.
Mudjisantosa menyatakan bahwa “indikasi persekongkolan dalam

penyusunan HPS dapat diketahui dengan eksistensi dari kesamaan dokumen
teknis yang terdiri dari: metode kerja, beban, alat, analisis pendekatan teknis,

harga satuan, dan/atau spesifikasi barang yang ditawarkan, dan/atau
dukungan teknis, penawaran nilai total HPS dari penyedia barang/jasa

mendekati nilai total HPS dari KKKS, serta adanya keikutsertaan beberapa

penyedia barang/jasa yang berada dalam 1 (satu) kendali dari penyedia
17
barang/jasa.”
Perlu ditegaskan bahwa Ratio Legis dari permasalahan penyusunan
HPS membutuhkan peraturan yang menjamin tidak menimbulkan

dugaan/indikasi persekongkolan atau ketidakpastian hukum diantara para
Penyedia Rig dalam pengadaan barang dan jasa dalam lingkungan SKK

Migas.






17 Mudjisantosa, Catatan Aspek Hukum Pengadaan Dan Kerugian Negara, Jakarta:
Primaprint, 2014, hlm. 49.

236

Ruang lingkup ini membuat proses pengadaan barang/jasa Rig di

18
lingkungan kegiatan migas tidak sesuai dengan UU Migas yang memiliki
tujuan: pengadaan barang/jasa yang efisien, terbuka atau transparan, efektif

dan menjalankan kepastian hukum, mengikuti asas-asas perjanjian, tidak ada
monopoli dan persaingan tidak sehat. Permasalahan penyusunan HPS diatas

adalah domain hukum perdata.
Pembaruan pelaksanaan peraturan di KKKS, dengan adanya

keterbukaan atas nilai total HPS sebelum proses pengadaan barang/jasa

dilakukan, akan memberikan, keadilan, terbuka/transparan dan kepastian
hukum bagi calon peserta dari penyediaan barang/jasa dalam melaksanaan

kegiatan pengadaan barang/jasa, kemudian memberikan gambaran kepada

calon-calon peserta penyedia barang/jasa untuk mengetahui nilai total HPS.
Organisasi internasional telah memberikan perhatian yang serius

terhadap pengembangan asas dan kaidah hukum dalam hal pengadaan oleh
pemerintah Indonesia sebagai negara anggota dari organisasi internasional

tersebut. Selain the Government Procurement Agreement (GPA) sebagai
plurilateral agreement yang merupakan bagian dari World Trade

Organization (WTO) dan United Nations Commission On International Trade

Law (UNCITRAL). Y Simamora juga berpendapat bahwa “Bank Dunia juga
menerbitkan pedoman (guidelines) terkait pengadaan barang/jasa. Begitu

juga Direction Uni Eropa yang merupakan State of the Art dalam bidang
19
pengadaan barang.”
Simamora kemudian menyatakan bahwa “Prinsip dasar yang terdapat
di dalam GPA adalah prinsip transparansi dan non-diskriminasi. Persetujuan

ini mewajibkan para negara anggotanya untuk mewujudkan transparansi




18 Indonesia Legal Center Publishing, op.cit, hlm. 3-4.
19 Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya: LaksBang PRESSindo, 2017, hlm. 84.

237

dalam prosedur pengadaan guna menjamin tercapainya persaingan terbuka

dan sehat antara penyedia barang/jasa. Panitia pengadaan (procuring entity)
dengan demikian diwajibkan untuk menyebarluaskan informasi secara

20
terbuka dalam proses pengadaan secara keseluruhan.”
Pembaruan tersebut adalah nilai total HPS yang tercantum dalam

dokumen pengadaan yang berarti bahwa nilai total HPS yang bersifat terbuka
dan tidak ada rahasia dengan sistem dua sampul dan/atau dua tahap dengan

jenis kontrak harga satuan dan/atau jenis kontrak lainnya.


Penutup

Proses pengadaan untuk model PSC Cost Recovery merujuk PTK 007,

sedangkan PSC Gross Split tidak merujuk ke PTK tersebut. Kedua PSC
tersebut diduga kemungkinan terjadi persekongkolan antara KKKS dan

Penyedia Rig. Saat ini jenis kontrak adalah bersifat satuan atau ODR, dimana
tidak ada kesepakatan cycle time pengeboran. Jenis kontrak Turn Key

membuat kesepakatan cycle time dari awal. Penyusunan HPS, KKKS masih
ada pengadaan secara tertutup dan rahasia, sehingga memberi ketidakpastian

hukum dan tidak ada transparansi, berkaitan dengan itu pembaruan peraturan

dari SKK Migas dengan pengadaan barang/jasa yang mengacu PTK 007
Revisi 04 yaitu model PSC Cost Recovery memberikan kepastian hukum dan

mendapat pengawasan finansial, operasional terhadap KKKS dan penyedia
Rig, kontrak drilling sistem dengan Turn Key memberikan penyelesaian sumur

sampai tahap berproduksi dan HPS yang kompetitif adalah penyusunan HPS

secara terbuka dan tidak rahasia untuk PSC Cost Recovery dan Gross Split.

Memahami hal tersebut, maka perlu pembaruan sebagai berikut: model

Kerjasama dengan model PSC Cost Recovery; jenis kontrak pengeboran



20 Ibid, hlm. 84.

238

sumur pengembangan di darat adalah sistem Turn Key yang memberikan

penyelesaian sumur sampai tahap berproduksi dan juga kesepakatan perjanjian
cycle time dari awal; penyusunan HPS yang transparansi dan tidak rahasia.

Ketiga hal pembaruan tersebut akan memberi kepastian hukum, pengawasan
melekat dari SKK Migas, meminimalkan persekongkolan, yang akhirnya akan

meningkatkan peningkatan lifting migas Nasonal.






































239

DAFTAR PUSTAKA


Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945


Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2020 Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No.8 Tahun 2017

Tentang Kontrak bagi Hasil Gross Split, diundangkan di Jakarta, tanggal

16 Juli 2020.
Peraturan Menteri ESDM No.8 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil

Gross Split,
diundangkan di Jakarta, tanggal 16 januari 2017.

SKK Migas, Pedoman Tata Kerja, Nomor: Pedoman Tata Kerja-
007/SKKMA0000/2017/S0 (Revisi 04).

Buku Kedua, Pedoman Pelaksanaan Barang/Jasa, Jakarta: SKK Migas, 2017,

hal. 1 dari 120.


Buku
Elisabeth Nuraini Butar-butar, Metode Penelitian Hukum (Langkah-Langkah

Untuk Menemukan Kebenaran Dalam Ilmu Hukum), Bandung: Refika

Aditama, 2018.
Ericson Sihotang, Politik Hukum Pengelolaan Migas, Jakarta: P3DI, 2014.

Indonesia Legal Center Publishing, Peraturan Perundang-Undangan
Pertambangan, Minyak dan Gas Bumi & Mineral dan Batubara,

Jakarta: Karya Gemilang, 2014.




240

Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, dalam

Justifikasi Teori Hukum, Prenada Media Grup: Jakarta, 2017.
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata, Buku

Ketiga, Yurisprodensi, Doktrin, serta Penjelasan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2015.

Mudjisantosa, Catatan Aspek Hukum Pengadaan Dan Kerugian Negara,
Jakarta: Primaprint, 2014.

Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia, Dalam Perspektif

Perbandingan, Yogyakarta: FH UII, 2013.
Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya:

LaksBang PRESSindo, 2017.


Internet
Meisia Chandra, Comparison between PSC Gross Split and Cost Recover

terdapat dalam https://convex.ipa.or.id/comparison-between-psc-gross-
split-and-cost-recovery/, diakses pada 10 Juli 2022

SKK MIGAS, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Minyak Dan Gas Bumi, terdapat dalam

https://www.skkmigas.go.id/2020/02/Satuan-Kerja-Khusus-Pelaksana-

Kegiatan-Usaha-Hulu-Minyak-Dan-Gas-Bumi; diakses pada 6 Juli
2022.

Verda Nano Setiawan, BOS SKK Migas Ungkap Target 1 Juta Barel Makin

Berat, Kenapa?, terdapat dalam
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220323102415-4-

325183/bos-skk-migas-ungkap-target-1-juta-barel; diakses pada 6 Juli
2022.






241

[Halaman Ini Sengaja Dikosongkan]



242


Click to View FlipBook Version