berkelebihan untuk memberi kompensasi pada yang berkurangan, melanggar
3
hak-hak individu. Jadi yang ditekankan Nozick adalah kesetaraan warga
negara dalam soal hak. Semua warga negara memiliki hak yang sama untuk
memiliki kekayaan atau pendapatan tertentu dan negara tidak boleh
mengambilnya dengan alasan apa pun. Berdasarkan gambaran di atas maka
persoalannya kemudian adalah bagaimana merumuskan ide abstrak tentang
kesetaraan manusia. Ada banyak rumusan kesetaraan yang diajukan seperti
kesetaraan hak dan kesetaraan dalam distribusi “kebaikan-kebaikan” utama
(Rawls), kesetaraan ekonomi (Thomas Nagel), kesetaraan kapabilitas
(Amartya Sen), kesetaraan kesejahteraan (Utilitarian) dan sebagainya. Di sini
kita tidak akan membahas semua teori kesetaraan tersebut; kita akan
membahas teori kesetaraan yang menjadi sasaran kritik Dworkin dan teori
kesetaraan Dworkin sendiri.
Kesetaraan Kesejahteraan
Dworkin membagi teori kesetaraan ke dalam dua kelompok besar, yakni
teori kesetaraan yang berlandaskan kesejahteraan (kesetaraan kesejahteraan)
dan teori kesejahteraan berlandaskan pada sumber daya (kesetaraan sumber
daya). Sebutan teori kesetaraan ini merujuk pada pilihan mengenai apa yang
perlu disetarakan dalam masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
teori kesetaraan kesejahteraan adalah teori yang menjadikan kesejahteraan
masing-masing individu sebagai ukuran kesetaraan dalam pendistribusian.
Jadi, menurut teori tersebut, sebuah masyarakat disebut setara ketika orang-
orang yang hidup di dalamnya hidup secara sejahtera (mengenai apa itu
kesejahteraan akan dijelaskan nanti). Karena itu, yang diupayakan oleh teori
ini adalah terlaksananya pendistribusian yang fair sehingga masing-masing
3 Amartya Sen, Inequality Reexamined Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992,
hlm. 13.
293
individu dengan ukuran kesejahteraan yang berbeda-beda dapat hidup secara
sejahtera. Sebaliknya, teori kesetaraan sumber daya menjadikan pemerataan
pembagian sumber daya di antara warga negara sebagai parameter. Sebuah
masyarakat dikatakan setara ketika mereka menerima pembagian sumber daya
yang ada di masyarakat tersebut secara setara. Dalam Sovereigne Virtue
Dworkin menguraikan dua teori kesetaraan sebagaimana disebut di atas. Dari
dua teori tersebut Dworkin menganggap teori kesetaraan sumber daya lebih
unggul daripada teori lawannya, teori kesetaraan kesejahteraan. Dengan kata
lain, teori kesetaraan sumber daya yang ia usung, merupakan penafsiran yang
lebih baik atas ide kesetaraan daripada teori kesetaraan kesejahteraan.
Mari kita lihat rumusan Dworkin tentang dua teori kesetaraan yang ia
maksud:
Yang pertama (yang saya sebut kesetaraan kesejahteraan) berpendapat bahwa
skema pembagian memperlakukan manusia secara setara ketika skema itu
membagikan atau mentransfer sumber daya di antara mereka sedemikian
rupa sehingga tidak ada lagi transfer yang akan menjadikan mereka lebih
setara dalam kesejahteraan. Kedua (kesetaraan sumber daya) berpendapat
bahwa skema itu memperlakukan mereka secara setara ketika skema itu
mendistribusikan atau mentransfer sumber daya di antara mereka
sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi transfer yang akan menjadikan
4
bagian mereka atas seluruh sumber daya lebih setara.
Teori kesetaraan kesejahteraan menjadikan distribusi kesejahteraan
pada warga negara sebagai parameter kesetaraan. Menurut teori ini sebuah
masyarakat dikatakan setara jika orang-orang yang hidup di dalamnya
mendapatkan kesejahteraan maksimal, sampai ‘tidak ada lagi transfer yang
akan menjadikan mereka lebih setara dalam kesejahteraan’. Karena itu,
kesetaraan yang dicita-citakan teori ini lebih dari sekadar kesetaraan sumber
daya kekayaan atau daya beli, melainkan kesetaraan yang tingkatnya lebih
tinggi lagi, yakni kesejahteraan.
4 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue: The Theory and Practice of Equality. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press, 2000, hlm. 12.
294
Teori kesetaraan kesejahteraan memiliki beberapa versi ajaran yang
masing-masing mengusung arti sendiri-sendiri mengenai kesejahteraan.
Menurut Dworkin setidaknya ada 3 (tiga) teori kesejahteraan yang menonjol,
yakni (1) teori kesejahteraan yang menekankan pada keberhasilan (success
theory of welfare) atau diringkas menjadi teori keberhasilan. Orang yang
sejahtera, menurut teori ini, adalah orang yang berhasil mencapai apa yang
menjadi ambisi atau cita-citanya; (2) teori kondisi-sadar (conscious-state
theories) yang menekankan pada kenikmatan hidup; dan (3) teori kesetaraan
kesejahteraan obyektif, yang melihat kesejahteraan bukan sebagai putusan
masing-masing individu mengenai kesejahteraan, melainkan sesuatu yang
benar-benar dimiliki oleh individu seperti memiliki kekayaan yang cukup,
5
pendidikan yang baik, serta sehat jasmani dan rohani.
Kita tidak perlu merinci pengartian dari masing-masing teori kesetaraan
kesejahteraan di atas. Yang penting untuk diketahui adalah apa yang
ditekankan oleh semua versi teori tersebut. Ketiga pandangan tentang
kesejahteraan yang berbeda-beda ini menurut Dworkin bertolak dari sebuah
asumsi bahwa yang penting untuk dicapai manusia bukan soal kesetaraan
penghasilan, kesempatan, daya beli, dan seterusnya, melainkan sesuatu yang
non-material, nilai-nilai atau makna hidup masing-masing individu. Para
pendukung kesetaraan kesejahteraan tidak menyangkal bahwa masyarakat
harus memiliki daya beli, kesempatan, dan pendapat yang setara, namun
semua ini menurut mereka hanyalah alat untuk mendapat tujuan yang lebih
luhur, yakni kesejahteraan non-material (tercapainya ambisi, diperolehnya
makna hidup, dan kenikmatan, masing-masing individu).
Dengan demikian kesetaraan kesejahteraan mencita-citakan agar semua
individu yang hidup dalam sebuah komunitas politik berhasil dalam
menggapai keingingan mereka masing-masing. Negara atau pemerintahan
5 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue, op. cit hlm. 16-18.
295
harus menerapkan skema distributif tertentu agar kesejahteraan masing-
masing individu dalam bentuk tercapainya cita-cita individual, makna hidup,
dan kebahagiaan ini terwujud. Apa yang salah dalam rumusan kesetaraan
kesejahteraan?
Dworkin mengajukan 2 (dua) kritik terhadap beberapa versi rumusan
mengenai kesejahteraan. Pertama, teori kesetaraan kesejahteraan merupakan
sebuah teori tidak sempurna. Teori tersebut tidak dapat menjawab pertanyaan
bagaimana menentukan distribusi yang adil tanpa menyandarkan pada teori
kesetaraan distributif yang lain. Kritik ini dimulai dengan sebuah pengamatan
Dworkin bahwa keinginan, cita-cita, dan ambisi seseorang bukan sesuatu yang
terberi. Cita-cita yang ingin diraih setiap orang dibentuk dan dikembangkan
berdasarkan keyakinan terdalam orang bersangkutan dan kondisi kehidupan
mereka, termasuk sumber daya dan kesempatan yang diberikan kepada
mereka. Akibatnya, untuk membangun gambaran yang benar tentang
kesejahteraan seseorang kita harus menyandarkan diri pada teori lain tentang
seperti apa seharusnya pembagian yang adil itu. Tapi untuk melakukan ini
berarti jatuh kembali pada masalah yang mau dipecahkan teori kesetaraan,
yakni bagaimana keadilan distributif tercapai. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa rumusan tentang kesetaraan kesejahteraan pada akhirnya hanya
6
menyediakan prinsip kesetaraan pendistribusian yang cilcular, melingkar.
Kritik Dworkin kedua dikenal sebagai ‘argumen dari selera yang mahal’
(argument from expensive taste). Argumen itu dapat kita dudukan sebagai
berikut. Untuk mencapai kesetaraan kesejahteraan yang sama maka sebisa
mungkin negara atau pemerintahan mendistribusikan sumber daya kepada
seluruh masyarakat yang memiliki latar belakang ekonomi, politik, kelas,
bakat, kesempatan, keadaan fisik, dan sebagainya, sehingga masing-masing
orang dengan cita-cita kehidupan yang berbeda-beda itu diberikan sumber
6 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue op. cit hlm. 48-185.
296
daya untuk mencapai cita-citanya. Pembagian sumber daya itu tentu akan
berbeda antara satu-individu dengan individu lain. Dan negara harus
memastikan bahwa ambisi masing-masing orang harus dihitung, semahal apa
pun ambisi tersebut. Akibatnya, orang yang memiliki ambisi yang
membutuhkan sumber daya yang lebih pun harus dituruti dan ini tentu
bertentangan dengan pandangan kita tentang tindakan yang adil.
Agar argumen di atas lebih tajam mari lihat contoh dari Dworkin
7
sendiri. Misalkan saja ada orang tua dengan kekayaan tertentu memiliki
beberapa anak. Salah satu dari anak tersebut buta, seorang yang lain playboy
dengan selera (atau ambisi) yang mahal (expensive taste), yang lain penyair
dengan kebutuhan seadanya, lainnya pemahat yang harus bekerja dengan
bahan-bahan yang cukup mahal, dan seterusnya. Lalu apa yang harus
dilakukan orang tua itu sehingga ia dapat menerapkan prinsip kesetaraan
kesejahteraan pada anak-anaknya agar anak-anaknya mendapatkan ambisinya
masing-masing?
Pertama-tama tentu orang tua itu harus melihat perbedaan pada anak-
anaknya, sehingga ia tidak akan membagikan hartanya begitu saja secara
merata. Anaknya yang buta tentu harus mendapatkan kekayaan yang lebih
daripada anak yang lain, sebab untuk hidup sejahtera, misalkan anak itu punya
ambisi menjadi politisi, ia memerlukan modal yang lebih daripada saudaranya
yang normal. Sampai di sini ideal kesetaraan kesejahteraan masuk akal.
Namun, contoh domestik ini juga menunjukkan masalah serius bagi teori ini.
Sebab dengan cara yang sama playboy yang berselera mahal, meminati
sampanye, mestinya juga mendapatkan harta yang lebih agar seleranya itu
terpenuhi. Dan ini tentu tidak adil.
Kesetaraan sumber daya
7 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue,op. cit hlm. 12-15.
297
Dworkin mendefinisikan teori kesetaraan sumber daya sebagai teori
yang menganggap kesetaraan manusia tercapai ketika pemerintah
‘mendistribusikan atau mentransfer sumber daya di antara mereka sedemikian
rupa sehingga tidak ada lagi transfer yang akan menjadikan bagian yang
mereka miliki dari seluruh sumber daya itu lebih setara’. la kemudian
menjelaskan bahwa pembagian yang setara sebaiknya diukur dengan dua
prinsip, yakni pertama, distribusi pendapatan dan kekayaan tidak fair ketika
distribusi itu hanya mencerminkan ketidaksetaraan dalam penyebaran
‘pemberian fisik’ (physical endowment) dan faktor-faktor yang berasal dari
nasib yang sewenang-wenang (brute luck). Kedua, sebuah distribusi yang adil
itu bersifat dinamis, dalam arti pendistribusian itu peka terhadap ambisi-
ambisi, seperti pilihan kerja, investasi, dan konsumsi, maka memperlakukan
manusia secara setara berarti memastikan bahwa pendistribusian penghasilan
dan kekayaan itu peka terhadap ambisi (ambition-sensitive) tapi tidak peka
terhadap pemberian (not endowment-sensitive) alamiah dan nasib sewenang-
wenang. Distribusi tidak fair jika orang yang memiliki keterbatasan fisik,
misalnya, mendapatkan pendapatan yang sedikit hanya karena keterbatasan
mereka. Dihadapkan dengan situasi ini maka penyetaraan tidak boleh tidak
harus dilakukan. Di sisi lain, distribusi yang fair bukan kondisi yang tetap.
Artinya, ketika terdapat orang yang lebih kaya dari orang lain dikarenakan ia
bekerja lebih keras dan cerdas daripada orang lain, maka pemerintah tidak
boleh membatasinya, atau memaksanya untuk sama dengan orang lain yang
8
bekerja secara sembrono.
8 Teori keadilan Dworkin memiliki kemiripan dengan teori keadilan Rawls, yang bertumpu
pada dua prinsip, yakni kesetaraan hak dan kebebasan, serta ‘prinsip perbedaan’. Namun
demikian pemikiran mereka tetap tidak dapat disamakan. Pertama, Rawls menekankan bahwa
individu-individu yang ada dalam posisi asali harus melepaskan ‘doktrin komprehensif’,
agama, filsafat, dan moral, masing-masing. Sementara Dworkin menekankan sebaliknya,
individu-Individu itu dibiarkan untuk mengejar rumusan masing-masing tentang yang baik di
bawah payung perlakuan dan penghargaan yang setara. Kedua, Rawls menganggap kebebasan
dan kesetaraan tidak berhubungan sehingga pemenuhannya dapat terjadi benturan. Dworkin,
298
Sumber daya dalam bayangan Dworkin mencakup sumber daya
personal (kesehatan fisik dan mental dan bakat) dan sumber daya impersonal
9
(kekayaan dan kesempatan untuk mengembangkan kekayaan tersebut).
Menurut Alexander Brown sumber daya yang dimaksud Dworkin lebih tepat
diterjemahkan sebagai sumber daya tubuh (bodily resources), yakni sumber
daya yang melekat pada diri seseorang, yang keberadaannya tidak dapat
dialihkan dari satu orang ke orang lain seperti skill, bakat, bagian-bagian tubuh,
daya kerja, serta kualitas fisik dan mental. Dan sumber daya non-tubuh (non-
bodily resources), yakni sumber-sumber daya yang berada di luar manusia,
yang keberadaanya dapat dialihkan dari satu orang ke orang lain seperti tanah,
10
bahan-bahan material, artefak, komoditas.
Bagaimana sumber daya di atas dapat didistribusikan secara setara?
Untuk menjawab pertanyaan ini Dworkin menyuruh kita untuk
membayangkan kasus hipotetis di bawah ini.
Lelang di pulau asing dan asuransi
Bayangkan sekelompok orang yang selamat dari kecelakaan kapal
terdampar di sebuah gurun (tak berpenghuni) yang memiliki sumber daya
yang berlimpah. Para imigran ini menerima ‘prinsip bahwa tak seorang pun
berhak atas sumber daya tersebut, namun mereka sepakat untuk membagi
sumber daya secara setara.’ Mereka juga menerima bentuk pengujian atas
kesetaraan pembagian sumber daya tersebut. Bentuk pengujian itu disebut
Dworkin sebagai ‘ujian kecemburuan’ (envy test), yaitu ‘bukan pembagian
sebaliknya, menganggap kebebasan sebagai aspek kesetaraan. Dworkin berargumen, ‘orang
yang menganggap bahwa kebebasan dan keseteraan dapat berbenturan dalam beberapa
kesempatan berarti berpandangan bahwa dalam melindungi kebebasan pemerintah dapat
melanggar prinsip perlakuan yang sama,’ dan ini menurut Dworkin tidak dapat dibenarkan.
Lih. Alexander Brown, Ronald Dworkin’s Theory of Equality, hlm. 6-7.
9 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue, op. cit hlm. 322-3.
10 Alexander Brown, Ronald Dworkin’s Theory of Equality, op. cit hlm. 52.
299
sumber daya yang adil atau setara jika, ketika pembagian itu sudah selesai,
seorang imigran masih menginginkan bagian sumber daya yang dimiliki orang
11
lain’. Kita kemudian diminta untuk membayangkan salah satu dari imigran
itu ditunjuk untuk membagikan sumber daya berdasarkan bentuk pengujian di
atas. Pada tahap awal pembagi membagikan sumber daya di sana secara
langsung kepada mereka secara setara dan cara ini untuk sementara memenuhi
uji kecemburuan. Namun segera tampak bahwa meskipun awalnya tak seorang
pun menginginkan bagian orang Iain, beberapa orang akan menginginkan
barang-barang yang awalnya tidak mereka pilih. Ini berarti pembagian cara
pertama ini adil. Karena itu, pembagi memerlukan sebuah cara baru agar
masing-masing orang mendapatkan barang yang diinginkan.
Dworkin mengajukan cara pelelangan di mana pembagi (kini pelelang)
membagikan kupon (berupa ‘kulit kerang’) pembelian bagi para imigran
secara sama dan menawarkan sejumlah item dengan harga masing-masing.
Pelelang akan meningkatkan harga masing-masing item sampai hanya ada
satu pembeli untuk item tersebut. Perlu diketahui setiap orang memiliki hak
untuk mengubah pembelian mereka meskipun proses lelang sudah selesai dan
hak untuk meminta item yang berbeda. Tidak seperti tabir ketidaktahuan
Rawls, para imigran tahu apa yang mereka inginkan ketika membeli sumber
daya tersebut. Pelelangan kembali diadakan hingga berkali-kali sampai tak
seorang pun dari para imigran itu menginginkan barang-barang yang telah
dibeli orang Iain dan mereka memahami dan menerima bahwa mereka sudah
mendapatkan barang-barang yang mereka inginkan dan tidak perlu melakukan
pelelangan lagi. Selanjutnya, setelah lelang sudah cukup dan masing-masing
orang sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan maka apa yang terjadi?
Sudah pasti kesenjangan. Beberapa orang mungkin lebih berbakat daripada
orang lain dalam mengembangkan hasil lelang yang mereka dapatkan. Berapa
11 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue, op. cit hlm. 66-67.
300
yang lain mungkin malas-malasan dan menggunakan barang-barang yang
dimilikinya untuk keperluan konsumsi. Beberapa dari mereka juga ada yang
sakit-sakitan sehingga barang-barang yang mereka dapatkan habis untuk biaya
pengobatan. Lalu bagaimana teori kesetaraan sumber daya menghadapi
kesenjangan ini?
Sebagaimana sudah disinggung sebelumya, kesetaraan sumber daya
mensyaratkan 2 (dua) hal. Pertama, distribusi sumber daya yang dilakukan
pada waktu tertentu itu peka terhadap ambisi (sensitive ambition). Ini berarti
bagian yang dimiliki seseorang harus mencerminkan kerugian dan keuntungan
dari cara hidup yang dilakukan seseorang. Misalnya, orang yang memiliki
untuk menanamkan modalnya daripada menghabiskannya untuk konsumsi,
atau menerapkan hidup sederhana daripada boros, harus dibiarkan
mendapatkan hasil dari keputusannya dalam proses lelang yang diikuti oleh
perdagangan bebas itu. Maka ketika ada kesenjangan ekonomi yang
diakibatkan oleh perbedaan ambisi, kesenjangan itu bisa diterima.
Kedua, distribusi kekayaan tidak peka terhadap pemberian (endowment)
alamiah dan nasib sewenang-wenang. Maksudnya, distribusi itu tidak boleh
merefleksikan perbedaan alamiah (seperti bakat, kesehatan, keadaan fisik, dan
kesempatan) dalam mendapatkan penghasilan dalam sebuah ekonomi pasar di
antara orang-orang yang memiliki ambisi yang sama. Jadi, imigran yang tidak
berbakat atau tidak mampu berdagang karena memiliki keterbatasan fisik,
misalnya, tidak boleh mendapatkan hasil yang sedikit. Gagasan ini merupakan
tujuan dari teori politik egalitarian, bahwa selain menghargai orang yang
memiliki ambisi yang berbeda, pasar bebas juga harus memperhatikan orang-
orang yang memiliki bakat alamiah yang berbeda. Artinya, kinerja pasar harus
dikoreksi agar kesenjangan yang diakibatkan perbedaan kesempatan, nasib,
dan kapasitas inheren masing-masing individu, tidak terlalu lebar.
301
Kesulitan yang segera muncul untuk memenuhi kedua prinsip di atas
adalah bagaimana membedakan proporsi penghasilan yang berasal pemberian
alamiah seperti bakat dan yang berasal dari ambisi atau pilihan. Kesulitan itu
muncul dari fakta bahwa terdapat irisan antara keduanya. Bakat tidak
terbentuk begitu saja melainkan melalui proses waktu. Pendidikan keluarga
juga berperan dalam pembentukan bakat seseorang. Keputusan untuk
mengembangkan bakat dalam beberapa hal bergantung pada ambisi. Di sisi
lain, besar atau tidaknya ambisi seseorang seringkali dipengaruhi bakat yang
ia miliki. Bagaimana pembela kesetaraan sumber daya menghadapi kesulitan
ini? untuk memecahkan masalah ini Dworkin menawarkan asuransi hipotetis,
namun sebelum kita menguraikan bagaimana asuransi hipotetis itu kita akan
melihat dulu perbedaan penting yang diajukan Dworkin, yakni nasib pilihan
(option luck) dan nasib yang sewenang-wenang (brute luck).
Nasib pilihan adalah nasib berasal dari pilihan bebas dan keberadaannya
12
dapat diprediksi. Karena sifatnya pilihan kita bisa menghindarinya. Salah
contoh dari nasib pilihan adalah ‘nasib investasi’. Jika saya memutuskan untuk
membeli saham sebuah perusahaan, dan nilai dari saham itu kemudian
menguat, maka nasib investasi saya baik. Namun harga saham selalu naik
turun dan karena itu nasib investasi saya sewaktu-waktu dapat buruk. Nasib
buruk dari pembelian saham tentu dapat kita hindari dengan cara kita tidak
membeli saham sama sekali. Karena itu, ketika kita mendapatkan nasib buruk
dari pilihan bebas tersebut kita harus menanggungnya sendiri. Dengan kata
lain, kita tidak boleh menuntut untuk mendapat kompensasi atas nasib yang
kita terima.
12 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue, op. cit hlm. 73.
302
Adapun nasib sewenang-wenang adalah nasib yang berasal bukan dari
sebuah permainan yang dapat dikalkulasi sebagaimana jual beli saham,
melainkan nasib yang tidak dapat di kalkulasi seperti bencana. Kita tidak dapat
memilih untuk sakit, mengalami kecelakaan, atau kurang berbakat.
Pertanyaannya kemudian, jika kesetaraan sumber daya mengharuskan
masyarakat sebagai keseluruhan memberi kompensasi individu yang
mengalami nasib yang tak diduga-duga, apakah ini berarti masyarakat tersebut
harus memberi kompensasi terhadap banyak hal? Skema asuransi menurut
Dworkin ‘menyediakan saluran antara nasib kejam dan nasib pilihan, sebab
keputusan untuk membeli asuransi bencana atau tidak merupakan permainan
yang dapat dikalkulasi’. 13 Asuransi kecacatan, tidak adanya skill untuk
mendapatkan penghasilan yang banyak, terserang penyakit, merupakan jenis-
jenis asuransi bencana yang Dworkin yakini akan dibeli para imigran.
Transformasi nasib yang sewenang-wenang menjadi nasib pilihan hanya
dapat terjadi dengan beberapa syarat seperti ‘setiap orang memiliki risiko yang
sama terkena bencana, setiap orang sedikit banyak tahu tentang apa yang akan
terjadi’ dan ‘memiliki kesempatan yang luas untuk berasuransi, dalam arti
mereka memiliki sarana untuk membeli asuransi dengan harga dan
perlindungan yang beragam’. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka orang
memilih hanya membeli sedikit asuransi atau sama sekali tidak membeli,
kemudian akibat tindakannya ini mereka memiliki sumber daya yang lebih
sedikit dibandingkan mereka yang membeli banyak, pemerintah tidak wajib
memberi mereka kompensasi.
Gambaran tentang asuransi di atas tentu saja hanya hipotetis. Dalam
kehidupan nyata banyak orang nyatanya tidak memiliki uang cukup untuk
berasuransi. Lalu apa tujuan Dworkin dengan mengajukan asuransi artifisial
itu? Tujuan dari asuransi hipotetis adalah untuk menurunkan teori kesetaraan
13 Ronald Dworkin, Sovereign Virtue, op. cit hlm. 74.
303
ke dalam praktik. Artinya, setelah menimbang tingkat dan jenis asuransi yang
diperlukan orang kebanyakan dalam situasi ideal, kita dapat membangun dasar
14
untuk menilai kebijakan ekonomi dalam dunia nyata. Dengan menggunakan
tes asuransi hipotetis, misalnya, kita dapat menilai bahwa kebijakan
pemerintah kita untuk masalah kesehatan sangat tidak memuaskan sebab
banyak warga kita tidak memiliki asuransi kesehatan. Lalu bagaimana dengan
negara Indonesia, kesetaraan kesejahteraan atau kesetaraan sumber daya yang
harus diupayakan oleh pemerintah dalam kerangka Konstitusi Negara
Kesejahteraan?
Beberapa Implikasi: Konteks Indonesia
Konstitusi Republik Indonesia sangat dekat dengan gagasan Negara
Kesejahteraan dalam demokrasi sosial bahkan Konstitusi Republik Indonesia
bolehlah kita sebut sebagai Konstitusi Negara Kesejahteraan. Dalam rumusan
konstitusi kita itu dapat ditemukan gagasan tentang kebaikan Negara
Kesejahteraan yakni kebaikan yang menjadi cita-cita negara dan masarakat
Indonesia (cf. UUD 1945, pasal 34). Konstitusi Negara Kesejahteraan kita itu
tentu merupakan hasil gradual dari hubungan antara ‘penguasa/pemerintah’
dan ‘rakyat’ dalam evolusi demokrasi di mana pemerintah membutuhkan
loyalitas, sedangkan rakyat/pemilih menuntut tersedianya manfaat
kesejahteraan. Jika negara tidak berminat pada nasib rakyat, untuk apa rakyat
mesti berminat pada negara? Tegangan antara tuntutan rakyat akan manfaat
dari tatanegara dan langkah pemerintah/penguasa untuk memenangkan
loyaltas/legitimasi rakyat akan mendorong kesetaraan kesejahteraan yang
menjadi indikator terpenting untuk mengukur seberapa jauh demokrasi telah
beranjak dari ciri ‘prosedural’ ke ciri ‘substantif’. Artinya Konstitusi Negara
Kesejahteraan kita merupakan hasil evolusi demokrasi substantif, di mana
14 Alexander Brown, op. cit hlm.65.
304
dalam evolusi demokrasi substantif, penderitaan-penderitaan sosial (social ills)
yang konkret, seperti luasnya kemiskinan, masalah kesehatan masyarakat,
luasnya buta huruf, pengangguran, dan sebagainya secara pragmatis dicarikan
solusinya (juga jika hanya secara sporadis), sebab pemeritah/penguasa sendiri
melihat luasnya penderitaan sosial itu sebagai kedegilan hidup berbangsa dan
bernegara.
Akan tetapi menagih kesetaraan kesejahteraan dengan bersenjatakan
Konstitusi Negara Kesejahteraan yang kita miliki tidak akan menggerakkan
pemerintah. Bukan karena tuntutan dan Konstitusi Negara Kesejahteraan itu
salah atau tidak baik. Bukan itu! Jadi mengapa? Karena dalam realpolitik, tak
ada sesuatu yang terjadi karena” kemauan politik” (political will). “Kemauan
politik” adalah nama bagi langkah perubahan yang terpaksa dilakukan karena
sederetan desakan/tekanan (pressure). Begitu pula Negara Kesejahteraan yang
kita kenali saat ini bukanlah proyek sekali bangun, melainkan hasil sederetan
tuntutan, desakan dan tekanan gradual untuk mengatasi berbagai penderitaan
sosial (social ills). Dalam dinamika demokrasi di Indonesia dewasa ini,
banyak terjadi desakan dan penuntutan mengatasi berbagai penderitaan sosial
dan memastikan/menjamin terpenuhinya standar hidup minimum warganya.
Istilah standar hidup minimum biasanya mencakup kesehatan dasar, upah
minimum, pendidikan dasar dan menengah, jaminan hari tua, kecelakaan kerja,
cacat, pensiun. Sedangkan pada tingkat lebih lanjut mencakup standar
minimum itu ditambah jaminan perumahan, pengangguran, persalinan,
perawatan anak, dan lebih lanjut lagi santunan makan, santunan keluarga,
pendidikan perguruan tinggi, akses bebas pada perpustakaan atau museum
publik, taman publik dan sebagainya. Namun bisa dikatakan, tak ada negara
di dunia ini di mana pemerintahnya menyediakan atau menyelenggarakan
totalitas kesejahteraan warganya, artinya untuk mencapai total kesetaraan
kesejahteraan (equality of welfare) warganya adalah tidak mungkin bisa
305
dilaksanakan. Lalu harus bagaimana? Solusinya dengan menerapkan
kesetaraan sumber daya (equlity of resources) Dworkin.
Penutup
Teori kesetaraan sumber daya merupakan teori tentang keadilan
distributif yang menekankan pemerataan sumber daya. Sumber daya tersebut
mencakup sumber daya manusia (personal) dan sumber daya alam
(impersonal). Dalam skema kesetaraan sumber daya, distribusi yang adil
adalah distribusi yang memenuhi dua syarat. Pertama, distribusi itu peka
terhadap ambisi atau pilihan bebas masing-masing individu; dan kedua,
distribusi tidak peka terhadap pemberian alamiah seperti bakat dan nasib
sewenang-wenang. Kedua prinsip ini problematis sebab ambisi dan bakat
berkaitan erat, sehingga penentuan mana kesenjangan yang disebabkan oleh
ambisi dan mana yang disebabkan oleh bakat sukar dipisahkan secara tajam.
Mengatasi masalah ini Dworkin menawarkan model asuransi hipotetis, di
mana setiap orang dapat mengasuransikan kekurangan alamiahnya masing-
masing. Jika skema asuransi itu berjalan dengan baik, tidak ada lagi alasan
untuk memberikan bagian yang lebih terhadap mereka yang mendapatkan
penghasilan yang kurang; orang harus bertanggung jawab atas nasib masing-
masing.
Konstitusi Indonesia adalah Konstitusi Negara Kesejahteraan dengan
pemerintah yang salah satu tugasnya memastikan/menjamin terpenuhinya
standar hidup minimum seluruh warganya. Namun bisa dikatakan, tak ada
negara di dunia ini di mana pemerintahnya mampu menyediakan atau
menyelenggarakan totalitas kesejahteraan warganya secara setara, maka
solusinya pemerintah mencoba menerapkan kesetaraan sumber daya (equality
of resources) Dworkin.
306
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Alexander, Ronald Dworkin’s Theory of Equality. New York:
Palgrave Macmillan, 2009.
Dworkin, Ronald, Taking Rights Seriously. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press, 1977.
______________, A Matter of Principle. Oxford: Oxford University Press,
1985.
______________, Law’s Empire. Cambridge: The Belknap Press of the
Harvard University Press, 1986.
______________, Sovereign Virtue: The Theory and Practice of Equality.
Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2000.
______________, Justice for Hedgehogs. Cambridge and London: The
Belknap Press of the Harvard University Press, 2011.
Rawls, John, Political Liberalism. New York: Columbia University Press,
1993.
Sen, Amartya, Inequality Reexamined. Cambridge, Massachusetts: Harvard
University Press, 2002.
307
[Halaman Ini Sengaja Di Kosongkan]
308
REFORMASI PENDIDIKAN HUKUM GUNA
MELAHIRKAN APARAT PENEGAK HUKUM
YANG PROFESIONAL, KOMPETEN
DAN BERINTEGRITAS
Jasman M Panjaitan
Pendahuluan
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi "Negara Indonesia adalah
negara hukum". Sejarah suram bangsa Indonesia yang dijajah oleh Belanda,
membuat Bangsa Indonesia mau tidak mau harus menerima dan mengikuti
sistem hukum pemerintahan Hindia Belanda yang notabene kurang sesuai
dengan cita hukum Indonesia yaitu cita hukum Pancasila
Sistem Hukum Belanda mengikuti sistem hukum Perancis yaitu
sistem hukum yang dipengaruhi pemikiran aliran positivisme hukum yang
dianut oleh bangsa - bangsa Eropa Kontinental sejak abad pertengahan
yang dikenal sebagai abad Renasains. Sebagai negara bekas jajahan
Perancis, Belanda menganut sistem hukum Civil Law sebagai mana sistem
hukum Perancis yang menjajahnya. Demikianlah sistem hukum Indonesia
berdasarkan Asas Konkordasi mengikuti sistem hukum Belanda.
Konsekuensi pemikiran hukum aliran positivistik, hukum yang
berlaku adalah hukum pada bentuk undang-undang guna menjamin
kepastian hukum sebagai tujuan utama. Hal inilah yang membuat
sebahagian besar para praktisi hukum Indonesia tidak berani melakukan
terobosan hukum (out of the box) dalam menegakkan keadilan karena
309
terkungkung oleh norma yang tersurat dalam undang-undang. Di samping
pemikiran aliran positivistik yang sempit, kualitas penegakan hukum
Indonesia diperparah oleh mentalitas dan integritas aparat penegak hukum
itu sendiri yang tidak berhati nurani dan cenderung hedonistik.
Mengamati keadaan yang demikian, Perguruan Tinggi Hukum
sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mendidik para mahasiswa
sangat diharapkan mampu melahirkan dan mempersiapkan alumni Sarjana
Hukum yang profesional, kompeten, berintegritas dan mampu bersaing
secara global.
Rumusan Masalah
Sesuai konteks penulisan Pemikiran dan Pembaharuan Hukum
Indonesia Suatu Renungan dan Sumbangan Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Kristen Indonesia, penulisan ini mengangkat permasalahan Apa
yang dapat dilakukan Perguruan Tinggi Hukum dalam mempersiapkan dan
melahirkan Sarjana Hukum yang diproyeksikan akan menjadi Hakim, Jaksa
dan advokat di Indonesia?
Metode Penelitian
Dalam penulisan karya tulis ini, dipergunakan pendekatan yuridis
empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakukan maupun
implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap
peristiwa hukum tertentu.
Kerangka Teori
1. Sistem Hukum menurut Lawrence M Friedman
Lawrence M Friedman seorang ahli hukum asal Amerika Serikat
lewat bukunya The Legal System: A Social Science Perspective 1
1 L.M Friedman, The Legal System; A Social Science Perspective, New York, Russel Sage
310
menjelaskan hukum tersusun atas sub-sub sistem berupa sub-
sistem substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Substansi Hukum meliputi aspek-aspek pengaturan hukum atau
peraturan perundang-undangan, struktur hukum menyangkut
aparatur serta sarana dan prasarana hukum, budaya hukum
menyangkut perilaku masyarakat termasuk perilaku aparatur
hukum itu sendiri. Perilaku aparatur hukum sangat menentukan
dalam baik buruknya penegakan hukum suatu negara.
2. Pendapat B.M. Taverne mengenai penegakan hukum
2
Dalam buku karangan Satjipto Rahardjo yang mengutip pendapat
B.M Taverne yang mengatakan :
“geef me geode rechter, goede rechter commissarissen, goede
officieren van justitieen, geode politie ambtenaren, en ik zal met
een slecht wetboek van strafprosesrecht het geode beruken”
(Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya
aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang).
3. Teori Hukum Progesif oleh Satjipto Raharjo dan Teori Integratif
oleh Romli Atmasasmita
3
Satjipto Raharjo Guru Besar Universitas Diponegoro mengkritisi
pemikiran hukum Positivisme Hukum milik John Austin yang
membelenggu pemikiran hukum. Diberbagai kesempatan beliau
mengenalkan hukum progresif yang intinya bahwa hukum adalah
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan
adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Hukum bukan
sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan ditentukan oleh
kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Romli
Foundation, 1975, hlm. 11.
2 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Buku Kompas, 2006, hlm. 6.
3 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sketsa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009, hlm. 9.
311
Atmasasmita 4 merenungkan teori Hukum sebagai sarana
pembangunan Muchtar Kusuma Atmaja dan teori hukum progresif
dari Satjipto Rahardjo, kemudian Romli Atmasasmita
merumuskan hukum integratif yaitu perpaduan sistem norma
dinamis, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada
Pancasila sebagai filsafat kehidupan bangsa Indonesia.
Peran Aparatur Penegak Hukum (APH) Sangat Menentukan Kualitas
Penegakan Hukum.
Sistem Hukum Indonesia yang menganut aliran pemikiran hukum
positivistik yang mengungkung para APH dan diperparah oleh mentalitas
koruptif, kolutif dan nepotis yang masih marak membuat masyarakat
bersikap apatis tidak percaya dengan penegakan hukum Indonesia. Namun
demikian, matahari belum terbenam, keadaan masih bisa diperbaharui
melalui pembaharuan Hukum Indonesia yang diprakarsai oleh Perguruan
Tinggi Hukum Indonesia untuk melahirkan dan mempersiapkan para
alumni sarjana hukum yang profesional, kompeten dan berintegritas serta
berani.
Semangat pembaharuan hukum Indonesia dapat meneladani
pemikiran hukum B. M. Taverne; Sacipto Rahardjo dengan Teori Hukum
Progresifnya dan Romli Atmasasmita dengan Teori Hukum Integratif, serta
meneladani kejujuran Baharudin Lopa Mantan Jaksa Agung dan Artidjo
Alkostar mantan Hakim Agung.
Pemikiran hukum seperti pemikiran ketiga pakar hukum Indonesia
tersebut dapat memotivasi para mahasiswa untuk berpikir kritis
membaharui hukum yang khas Indonesia bersumber dari nilai-nilai yang
4 Romli Atmasasmita, Teori hukum Integratif : Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta Publishing, 2012, hlm. 2-3.
312
terkandung pada Pancasila. Di samping itu penting diingatkan kepada para
mahasiswa ungkapan B.M. Taverne bahwa yang terpenting bukanlah
substansi hukum yang harus baik melainkan adalah hakim, jaksa dan
advokat yang baik. Kesederhanaan dan Kejujuran sebagaimana
dicontohkan dalam kehidupan pendekar hukum Baharudin Lopa dan Artijo
Alkostar.
Penting juga dalam pendidikan hukum untuk menumbuhkan
keberanian bagi mahasiswa agar jika kelak menjadi Hakim, Jaksa dan
Advokat berani melakukan terobosan hukum (out of the box) yang akan
diuraikan dalam penulisan ini.
Perlunya Perbaikan Moral Aparat Penegak Hukum Yang Berawal Dari
Perguruan Tinggi Hukum.
Terdapat stigma negatif secara langsung maupun tak langsung yang
dialamatkan kepada Aparat Penegak Hukum :
a. Penegakan Hukum di Indonesia tajam ke bawah tumpul ke atas.
b. Aparat Penegak Hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan
bukannya berpihak kepada masyarakat pencari keadilan melainkan
berpihak kepada pihak oligarki dan pemegang kekuasaan di bidang
politik.
Banyaknya aparat penegak hukum yang ditangkap oleh KPK (Hakim,
Jaksa dan Advokat) menambah suramnya penegakan hukum di Indonesia.
Adapun contoh-contoh penegak hukum dari masing-masing instansi :
313
Dari kalangan Hakim : Dari kalangan Jaksa : Dari kalangan Advokat
- AM/Hakim Mahkamah – Jaksa DS – Advokat HH
Konstitusi RI – Jaksa CS (Kasus Gayus Tambunan)
- N/Sekretaris Mahkamah – Jaksa ET – Advokat FY
Agung RI – Jaksa U (Kasus Setya Novanto)
- IIH/Hakim PN Surabaya – Advokat OCK
- MP/Hakim PN Medan (Kasus Suap Hakim di
- L/Hakim PN Semarang, Medan)
– Advokat KS
(Kasus Pedangdut Saipul
Jamil)
*Disadur dari berbagai Artikel Berita Online
Itulah beberapa contoh yang menunjukkan betapa Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme telah merasuk jiwa aparat penegak hukum.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Maraknya Korupsi, Kolusi Dan
Nepotisme Di Indonesia
Faktor penyebab maraknya perilaku yang merusak bagi Aparat
5
Penegak Hukum, adalah sebagai berikut :
1. Faktor Internal
a. Adanya dorongan kebutuhan dari pelaku korupsi. Latar
belakang utama dari masih marak terjadinya tindak pidana
korupsi di Indonesia ialah kesenjangan antara gaji
(pendapatan) dan pengeluaran dimana besaran gaji tidak
sebanding dengan kebutuhannya (besar pasak daripada
tiang);
b. Dorongan keserakahan dari dalam diri pelaku. Ini bertujuan
agar pelaku dapat hidup lebih mewah atau hedon.
5 Diakses dari situs https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/pendidikan/infografis/faktor-
internal-dan- faktor-eksternal-penyebab-korupsi
314
2. Faktor Eksternal
a. Faktor Lingkungan
Terpaksa melakukan tindakan terpuji karena tindakan korupsi
dianggap wajar di lingkungan kerjanya
b. Faktor Peluang
Akibat lemahnya pengawasan, setebal-tebal atau sekuat-
kuatnya iman seseorang tidak akan kuat untuk tidak
melakukan korupsi jika adanya kesempatan atau peluang.
3. Aspek pribadi
a. Moral yang kurang kuat;
b. Gaya hidup konsumtif;
c. Sifat malas dimana ingin memperoleh hasil tanpa kerja keras
atau serba ingin instan;
d. Adannya sifat tamak;
e. Penghasilan yang kurang mencukupi;
f. Ajaran agama yang tidak diterapkan.
4. Aspek organisasi
a. Pemimpin tidak memberi teladan, apabila pemimpin berbuat
korupsi maka potensi bawahan
b. untuk melakukan korupsi besar;
c. Kultur organisasi yang tidak benar, jika tidak dikelola dengan
baik maka anggota akan
d. berbuat menyimpang pula;
e. Sistem akuntabilitas yang tidak baik, visi dan misi yang belum
ditentukan dengan jelas
f. Sistem pengendalian lemah, pengendalian manajemen adalah
faktor yang terpenting;
315
5. Aspek budaya
Nilai-nilai yang hidup pada masyarakat juga mempengaruhi
seseorang dalam berbuat korupsi.
6. Aspek peraturan perundang-undangan
a. Kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang
memadai (diberikannya sanksi yang terlalu ringan dan tidak
konsisten pada penyelesaian perkara tindak pidana korupsi).
KEBERANIAN APARAT PENEGAK HUKUM MELAKUKAN
TEROBOSOAN HUKUM
Contoh-contoh terobosan hukum yang pernah dilakukan oleh Penulis :
a) Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Dr. Muchtar
Pakpahan yang diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung
RI. Pada saat itu Jaksa tidak berwenang mengajukan PK
berdasarkan Pasal 263 KUHAP, pertimbangan Penulis
mengajukan PK pada saat itu adalah demi keadilan.
b) Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Joko Tjandra
dalam Kasus Korupsi Bank Bali. Pada saat itu Jaksa tidak
berwenang mengajukan PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP,
pertimbangan Penulis mengajukan PK pada saat itu adalah demi
keadilan.
c) Mengajukan Peninjauan Kembali dalam Perkara Mantan Gubernur
BI Syahril Sabirin dalam Kasus Korupsi BLBI. Pada saat itu Jaksa
tidak berwenang mengajukan PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP,
pertimbangan Penulis mengajukan PK pada saat itu adalah demi
keadilan.
d) Memperluas pengertian Kerugian Negara dan Subyek Hukum
dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Pada kasus Asosiasi
316
Pengusaha Hutan Indonesia, Penulis melakukan terobosan berupa
perluasan pengertian Kerugian Negara yang mana Tersangka AA
menggunakan uang iuran yang dikutip dari para anggota APHI
adalah tergolong uang negara karena APHI mengutip iuran tersebut
atas nama negara yang bertujuan melestarikan hutan dan mencegah
kebakaran hutan.
e) Keberanian Jaksa Agung ST Burhanudin mengeluarkan Peraturan
Jaksa Agung selaku Pemegang Kewanangan Tertinggi di bidang
Penuntutan (Dominus Litis) untuk menyelesaikan suatu kasus
melalui konsep Restorative Justice
Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim :
1. Memperluas pengertian melawan hukum materil dalam fungsi
negatif dan positif
Contoh kasus :
a. PMH Fungsi Negatif pada Kasus Machoes Effendi yang
melahirkan Yurisprudensi, negara tidak dirugikan,
kepentingan umum terlayani dan terdakwa tidak diuntungkan.
b. PMH Fungsi Positif pada Kasus Rd. Sonson Natalegawa yang
melahirkan Yurisprudensi, meskipun tidak melanggar undang-
undang namun karena bertentangan dengan kepatutan dimana
Terdakwa memperoleh keutungan yang tidak wajar.
2. Penerapan konsep Business Judgment Rule sebagai pertimbangan
hakim untuk melepaskan kasus Terdakwa Mantan Direktur
Pertamina KG
3. Memperluas subyek hukum pihak swasta dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi atas Kasus Korupsi Bank Duta
317
PERLUNYA PERUBAHAN SISTEM PEMBELAJARAN
MAHASISWA DENGAN PENDEKETAN PROBLEM BASED
LEARNING
Metode pmbelajaran problem based learning menawarkan kebebasan
pada peserta didik (mahasiwa fakultas hukum) dalam proses pembelajaran,
dimana diharapkan agar mahasiswa terlibat aktif dalam proses penelitian
yang mengharuskan mahasiwa untuk mengidentifikasi, mengumpulkan
data dan mengenakan data tersebut untuk memecahkan masalah. Metode
ini digunakan agar membentuk sebuah proses pemahaman isi dari suatu
kurikulum yang disusun oleh universitas dan disampaikan oleh tenaga
pengajar.
6
Ciri-ciri model pembelajaran problem based learning yaitu :
1. Menggunakan permasalahan dunia nyata
2. Pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian masalah
3. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh peserta didik
4. Guru berperan sebagai fasilitator
Dengan metode ini diharapkan akan melahirkan Sarjana Hukum yang siap
dalam menghadapi permasalahan hukum yang nyata.
Penutup
Sebagaimana diketahui, bahwa pokok permasahan dalam
penegakan hukum disamping sistem hukum yang beraliran positivistik juga
sangat dipengaruhi oleh profesionalisme dan integritas aparat penegak
hukum, disamping itu juga peran perguruan tinggi hukum sangat strategis
dalam melahirkan dan mempersiapkan sarjana hukum yang kelak menjadi
Aparat Penegak Hukum. Berkaitan dengan hal itu, maka para mahasiswa
6 Rusmono, Strategi Pembelajaran dengan Problem Based Learning Itu Perlu, Bogor:
Ghalia Indonesia, hlm. 74.
318
fakultas hukum penting untuk diajarkan berpikir kritis guna menumbuhkan
keberanian dalam membuat terobosan hukum demi keadilan (out of the
box); serta perlu adanya perubahan sistem pembelajaran yang bersifat
doktrinal berpusat pada dosen/ tenaga pengajar (Teacher Centered
Learning) dirubah berpusat pada mahasiswa (Student Based Learning)
dengan pembelajara berbasis masalah (Problem Based Learning).
319
DAFTAR PUSTAKA
Buku
L.M Friedman, The Legal System; A Social Science Perspective, New York:
Russel Sage Foundation, 1975.
Romli Atmasasmita, Teori hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2012.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Buku Kompas,
2006.
______________, Hukum Progresif Sebuah Sketsa Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Internet
https://aclc.kpk.go.id
331
UKI PRESS
Pusat Penerbit dan Percetakan
Universitas Kristen Indonesia
Jl.Mayjen Sutoyo No. 02 Cawang
Jakarta Timur 13630