The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by ukipress, 2022-10-11 22:34:42

Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Suatu Renungan dan Suatu Sumbangan Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi. Menguatnya Model Legislasi

Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Naskah

Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Buku III, Lembaga Permusyawaratan dan

Perwakilan, Jilid 2, 2010.


Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, cetakan keenam belas,
2017.





Jurnal


Rogelio Alicor Labalan Panao, Beyond roll call: executive-legislative

relations and lawmaking in the Philippine House of Representatives,
Article in Philippine Political Science Journal, May 2014


Scott Mainwaring and Matthew S. Shugart, Juan Linz, Presidentialism, and
Democracy, A Critical Appraisal, Comparative Politics July 1997


Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-IV/2006 perihal pengujian UU

No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan pengujian UU No. 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Putusan Mahkamah Konstitusi No.62/PUU-XVII/2019 perihal pengujian UU

No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi




143

Website


DPR Sepakat Tunda Pengesahan RKUHP dan 4 RUU Lainnya,

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/30/13224901/dpr-sepakat-
tunda-pengesahan-rkuhp-dan-4-ruu-lainnya?page=all


Jimly Asshiddiqie: Tidak Patut Presiden Tak Tandatangani UU KPK Hasil
Revisi, 06/07/2020,

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/06/18302501/jimly-

asshiddiqie-tidak-patut-presiden-tak-tandatangani-uu-kpk-hasil-revisi







































144

SYARAT SAH DAN SYARAT BATAL PERJANJIAN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA INDONESIA



Radisman Saragih



Pendahuluan
Buku III KUH Perdata menata mengenai Verbintenissenrecht, dimana

tercakup pula sebutan Overeenkomst. Diketahui dari 3( 3) alih bahasa
Verbentenis, ialah habitat, perutangan serta akad, sebaliknya Overeenkomst

1
terdapat 2( 2) alih bahasa, ialah akad serta persetujuan .
Arti perjanjian engan cara formil diatur dalam determinasi Artikel 1313
KUHPerdata yang melaporkan sesuatu akad merupakan sesuatu aksi dengan

mana satu orang ataupun lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang lain
ataupun lebih. Terdapat yang beranggapan kalau akad tidak serupa dengan

2
persetujuan.
Perbandingan pemikiran dari para ahli hal arti akad, mencuat sebab
terdapatnya ujung penglihatan yang berlainan, ialah pihak yang satu

memandang objeknya dari aksi yang dicoba subyek ketetapannya, sebaliknya
pihak yang lain meninjau dari ujung ikatan hukum. Perihal itu menimbulkan

banyak ahli yang membagikan batas sendiri hal sebutan akad itu. Bagi opini
yang banyak dianut( communis opinion cloctortinz) akad merupakan aksi

hukum bersumber pada tutur akur buat memunculkan sesuatu dampak hukum.

Opini ini serupa dengan Sudikno," akad ialah ikatan hukum antara 2 pihak






1 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009, hlm.
41
2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm.
97

145

ataupun lebih beralasan tutur akur buat memunculkan sesuatu dampak

3
hukum.
Bagi Subekti, sesuatu akad ialah sesuatu insiden di mana seorang

berkomitmen pada orang lain, ataupun di mana 2 orang silih berkomitmen buat
melakukan suatu perihal dari pihak yang lain, serta pihak yang lain

4
bertanggung jawab buat penuhi desakan itu. Sebaliknya perjanjian
merupakan sesuatu insiden dimana seseorang berkomitmen pada seseorang

lain ataupun dimana 2 orang itu silih berkomitmen buat melakukan sesuatu

perihal. R. Setiawan, mengatakan kalau akad merupakan sesuatu aksi hukum
di mana satu orang ataupun lebih mengikatkan dirinya ataupun silih

5
mengikatkan dirinya kepada satu orang ataupun lebih Abdul Kadir
Muhammad, membagikan penafsiran habitat merupakan sesuatu ikatan
hukum yang terjalin antara orang yang satu dengan orang yang lain sebab aksi
6
insiden ataupun kondisi.
Dari pendapat- pendapat di atas, hingga pada dasamya akad merupakan

cara interaksi ataupun ikatan hukum serta 2 aksi hukum ialah ijab oleh pihak
yang satu serta pendapatan oleh pihak yang yang lain alhasil berhasil

perjanjian buat memastikan isi akad yang hendak mengikat kedua koyak

pihak.
Kelemahan- kelemahan arti formil hal akad memunculkan kedamaian

pandangan buat mendeskripsikan akad dengan cara komplit. Terdapat yang
mendeskripsikan akad merupakan sesuatu insiden dimana seorang

berkomitmen pada orang lain ataupun dimana 2 orang itu silih berkomitmen
buat melakukan sesuatu perihal . Adapula yang mendeskripsikan akad
7


3 Ibid., hlm. 97-98
4 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2001, hlm. 36
5 R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Bina Cipta, 1987,
hlm. 49
6 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 2004, hlm. 6.
7 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979, hlm. 1.

146

merupakan sesuatu persetujuan dengan mana 2 orang ataupun lebih silih

mengikatkan diri buat melakukan sesuatu perihal dalam alun- alun harta
8
kekayaan
Bersumber pada arti perjanjian diatas, bisa disimpulkan yang jadi unsur-
unsur dalam sesuatu perjanjian merupakan:

a. Pihak- pihak yang silih akur dengan kesadarannya untuk mengikatkan
diri satu dengan yang lain;

b. Konsensus ataupun persetujuan dari tiap- tiap pihak dengan cara

timbal balik;
c. Objek dalam perjanjian tu yang berbentuk barang ataupun

melaksanakan suatu;

d. wujud khusus dari akad, bagus dengan cara perkataan ataupun catatan,
bagus dengan cara notarial ataupun dibawah tangan;

e. Terdapatnya syarat- syarat khusus yang jadi hak serta peranan para
pihak yang timbal balik.


Asas-Asas Perjanjian

Nieuwenhuis menarangkan ikatan fungsional antara asasa- asas hukum

dengan peraturan- peraturan hukum( rechtsregel), kalau asas- asas hukum
berperan pembangun- pembangun sistem. Sebab asas- asas itu bukan cuma

pengaruhi hukum positif namun pula di dalam banyak kondisi menghasilkan
sesuatu sistem. Sesuatu sistem tidak hendak terdapat, tanpa terdapatnya asas-

asas itu. Kalau asas- asas hukum itu membuat satu serupa lain sesuatu sistem“
checks and balans”, asas- asas kerap menunjuk ke arah yang bertentangan, apa

yang rasanya ialah halangan untuk peraturan- peraturan hukum, disini







8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hlm.78.

147

merupakan ialah berkah. Oleh karena menunjuk ke arah yang bertentangan

9
asas- asas itu silih cais mengekang serta dengan begitu balance.
Asas Personalitas


Pada prinsipnya akad cuma legal untuk para pihak yang buatnya. Dasar
identitas ini diatur dalam determinasi Artikel 1315 KUHPerdata yang menata

kalau pada biasanya seorang yang tidak melangsungkan habitat ataupun akad
tidak hanya buat dirinya sendiri. Prinsip yang tercantum dalam determinasi ini

merupakan seorang yang melangsungkan akad cuma buat dirinya sendiri.

Prinsip ini dipertegas dalam determinasi Artikel 1340 KUH Awas
mengatakan:


1) Sesuatu perjanjian cuma legal antara pihak- pihak yang buatnya;
2) Perjanjian cuma legal antara pihak yang buatnya.


Asas Kebebasan Berkontrak


Prinsip dari dasar ini merupakan tiap orang bisa melangsungkan akad
apa saja, meski belum ataupun tidak diatur dalam hukum. Walaupun legal

dasar ini, independensi berkontrak itu dibatasi oleh 3 perihal, ialah: (1) tidak

dilarang ataupun berlawanan dengan undang- undang; (2) tidak berlawanan
10
dengan kesusilaan, serta (3) tidak berlawanan dengan kedisiplinan umum.
Tiap akad yang terbuat dengan legal legal selaku hukum untuk para
pembuatnya. Kesimpulan ini bisa ditemui dalam Artikel 1338 bagian (1) KUH

Awas, yang dipertegas balik dengan determinasi bagian (2) nya yang
melaporkan kalau akad yang sudah disetujui itu tidak bisa ditarik balik tidak







9 H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruk Van Omstandigheden) Sebagai
Alasan Baru Untuk Pembatalam Perjanjian, Yogyakarta: Liberty, 2010, hlm. 9.
10 Abdulkadir Muhammad, op. cit, hlm. 78.

148

hanya dengan perjanjian kedua koyak pihak ataupun sebab alasan- alasan yang

didetetapkan oleh undang-undang.

Asas Konsesualitas

Dasar konsesualitas memiliki prinsip kalau akad itu terjalin semenjak
dikala tercapainya tutur akur (konsensus) antara pihak- pihak hal utama akad.

Semenjak dikala itu akad mengikat serta memiliki dampak hukum. Sesuatu

perjanjian perkataan diantara para pihak sudah mengikat para pihak yang
sudah berikrar dengan cara perkataan itu, serta oleh sebab determinasi ini hal

perjanjian perkataan diatur dalam Artikel 1320 KUH Awas, hingga
kesimpulan itu dikira selaku bawah dasar konsesualitas dalam hukum

perjanjian.


Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Tiap akad yang terbuat oleh parta pihak merupakan mengikat para pihak

yang membuat serta belaku semacam hukum untuk para pihak. Dasar ini
berarti kalau akad cuma legal untuk para pihak yang buatnya. Perihal ini diatur

dalam determinasi Artikel 1338 Bagian (1) KUH Awas yang melaporkan
“Seluruh akad terbuat dengan cara legal legal selaku hukum untuk mereka

yang membuat”.


Asas Itikad Baik (Goede Trouw)

Prinsip dasar ini ada dalam Artikel 1338 Bagian (3) KUH Awas, yang

melaporkan kalau seluruh akad wajib dilaksanakan dengan itikad bagus. Dasar
itikad bagus amat berarti dalam membuat sesuatu akad antara para pihak sebab

kedua koyak pihak hendak terangkai dalam sesuatu ikatan hukum spesial yang

dipahami oleh kejujuran serta maksud bagus perihal mana ikatan spesial itu
bawa dampak lebih lanjut. Kedua koyak pihak wajib berperan dengan

meluhurkan serta menghormati kepentingan- kepentingan yang alami dari



149

pihak lain. Maksud bagus para pihak umumnya dipusatkan pada langkah

praperjanjian, tetapi dengan cara biasa maksud bagus wajib senantiasa
terdapat pada tiap langkah akad alhasil kebutuhan pihak yang satu senantiasa

bisa dicermati oleh pihak yang yang lain.

Hubungan Antara Perikatan dan Perjanjian

Soebekti merumuskan ikatan antara habitat serta akad, dengan lebih

dahulu membagikan arti pada kedua sebutan. Sesuatu akad merupakan sesuatu
insiden dimana seorang berkomitmen pada orang lain ataupun dimana seorang

berkomitmen buat melaksanakan suatu perihal ataupun dimana 2 orang itu
silih berkomitmen buat melaksanakan suatu perihal dari insiden ini timbulah

sesuatu ikatan anatar 2 orang itu, yang dikenal habitat. Kalau habitat
(verbintenissen) merupakan sesuatu perhubungan antara 2 orang ataupun 2

pihak alhasil pihak yang satu berkuasa menuntuk sesuatu perihal dari pihak

11
lain serta pihak lain bertanggung jawab buat penuhi desakan itu.
Ikatan antara habitat serta akad merupakan kalau akad itu memunculkan

habitat, akad merupaka pangkal terutama yang melahirkan habitat, pangkal
lain merupakan hukum. Habitat merupakan sesuatu penafsiran abstrak. Lagi

12
akad merupakan sesuatu perihal yang konkrit ataupun sesuatu insiden.
Penafsiran akad itu diperjelas oleh Sudikno selaku sesuatu ikatan hukum
antara (2) pihak ataupun lebih bersumber pada tutur akur buat memunculkan

13
dampak hukum.
Berhubungan dengan penafsiran akad, Nieuwenhuis membagikan

pengembangan penafsiran itu lewat determinasi Nieuw Burgelijk Wetboek(
14
berikutnya diucap: NBW):




11 H.P. Panggabean, op. cit, hlm. 11.
12 Ibid, hlm. 12.
13 Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm. 97.
14 H.P. Panggabean, op. cit, hlm.12.

150

a. Kalau habitat (verbintenissen) bisa dipaparkan selaku sesuatu ikatan

hukum di aspek hak harta kekayaan (vermogensrechtelijke) antara 2
ataupun lebih orang atas bawah mana pihak yang satu (schuldenaar,

debiteur) harus melaksanakannya sesuatu hasil khusus, sebaliknya
pihak yang satu (schuldeiser, crediteur) berkuasa atas hasil itu. (Pasal

6:213 NBW).
b. Kalau akad obligatoire ataupun verbintenissen scheppende

overeenkomst (akad yang melahirkan habitat) wajib dibedakan

dengan akad keluarga (familierechtelijke overeenkomst) yang dalam
akad itu para pihak memutuskan gimana faktor- faktor khusus antara

mereka wajib dibuktikan (akad pembuktian).

c. Kalau sesuatu akad( obligatoire overeenkomst) merupakan sesuatu
aksi hukum (rechtshandeling) yang tercipta dari 2 faktor kemauan

serta statment (wil en verklaring), (Pasal 3:33 NBW).

Syarat Sahnya Perjanjian

Ketentuan sahnya akad diatur dalam determinasi Artikel 1320 KUH
Perdata, yaitu:

a. Kesepakatan kedua pihak

b. Kecakapan untuk membuat perikatan
c. Suatu pokok persoalan tertentu (satu hal tertentu)

d. Suatu sebab yang tidak dilarang (suatu sebab yang halal)
Subekti dengan cara pas sudah memperjelas keempat ketentuan itu

15
dengan metode menggolongkannya dalam 2 (2) bagian, ialah:

Bagian ke-1: Hal subyek akad, didetetapkan bersumber pada Orang

yang membuat akad wajib cakap ataupun sanggup melaksanakan
aksi hukum itu, dan terdapatnya perjanjian (konsensus) yang jadi


15 Ibid, hlm. 16.

151

bawah akad yang wajib digapai atas bawah independensi

memastikan kehendaknya (tidak terdapat desakan, kehilapan
ataupun pembohongan);

Bagian ke-2: Hal subjek perjanjia, didetetapkan bersumber pada apa
yang diperjanjikan oleh tiap- tiap wajib lumayan nyata buat

memutuskan peranan tiap- tiap pihak, dan apa yang dijanjikan oleh
tiap- tiap tidak berlawanan dengan hukum, kedisiplinan biasa

ataupun kesusilaan.


Subekti meningkatkan kalau tidak dipenuhinya syarat- syarat subyektif
bisa dimintakan pembatalan akad itu pada Juri, hendak namun perihal tidak

dipenuhinya syarat- syarat obyektif diancam dengan kebatalan akad untuk
16
hukum.

Penjelasan di atas hal syarat- syarat sahnya sesuatu akad berhubungan

dengan persoalan mengenai bila dikala terbentuknya sesuatu akad, kepada
17
persoalan itu Mariam Darus mengajukan 4 (4) anutan hukum, ialah:
1) Filosofi kemauan (wilstheorie), mengarahkan kalau perjanjian
terjalin pada dikala kemauan pihak akseptor diklaim misalnya

dengan menorehkan pesan.

2) Filosofi pengiriman (verzendtheorie) mengarahkan kalau perjanjian
terjalin pada dikala kemauan yang diklaim itu dikirim oleh pihak

yang menyambut ajuan.
3) Filosofi wawasan (vernemingsthorie), mengarahkan kalau pihak

yang menawarkan sepatutnya telah mengenali kalau tawarannya
diperoleh.





16 Ibid, hlm. 17.
17 Mariam D. Badrulzaman, KUHPerdata, Buku III, Hukum Perikatan dan Penjelasan,
Bandung: PT. Alumni, 1996, hlm. 98.

152

4) Filosofi keyakinan (vertrouwenstheorie), melakukan kalau

perjanjian itu terjalin pada dikala statment kemauan dikira pantas
diperoleh oleh pihak yang menawarkan.

Berhubungan dengan determinasi hal syarat- syarat sahnya akad ataupun
teori- teori mengenai dikala terbentuknya sesuatu akad, NBW sudah membuat

bermacam kemajuan terkini. Salah satu kemajuan itu, merupakan menyangkut
pengembangan syarat- syarat ke- 4 mengenai“ sesuatu karena yang dilarang”

begitu muka alhasil ketentuan ke- 3 mengenai“ utama perkara khusus” sudah

dimasukan ke dalam syarat ke- 3 mengenai“ akad dilarang” dalam NBW.
Berikutnya, catatan ini hendak mangulas opini sebagian pakar hukum hal

syarat- syarat sahnya akad yang berhubungan dengan determinasi dalam NBW
18
berbentuk:
1) Kesepakatan

2) Keahlian bertindak
3) Perjanjian yang dilarang

(Kombinasi ketentuan:” utama perkara khusus” dengan ketentuan:” sesuatu
karena yang dilarang”)


Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Tutur akur berarti persesuaian kemauan, artinya membagikan

persetujuan ataupun perjanjian. Jadi akur ialah pertemuan 2 (2) kemauan
dimana kemauan pihak yang satu silih memuat dengan apa yang dikehendaki

pihak lain serta kemauan itu silih berjumpa. Bagi Subekti, yang diartikan

dengan tutur akur merupakan persesuaian kemauan antara 2 (2) pihak ialah
apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu pula dikehendaki oleh pihak lain serta

kedua kemauan itu menginginkan suatu yang serupa dengan cara timbal balik.
Serta dipaparkan lebih lanjut kalau dengan cuma disebutkannya" akur" saja



18 H.P. Panggabean, op. cit, hlm. 18.

153

tanpa desakan suatu wujud metode (ritual) apapun kayaknya catatan,

pemberian ciri ataupun panjer serta lain serupanya, bisa disimpulkan kalau
pada saat telah berhasil akur itu, hingga sahlah telah akad itu ataupun

mengikatlah akad itu ataupun berlakulah beliau selaku Hukum untuk mereka
19
yang buatnya.
J. Satrio, melaporkan, tutur akur selaku persesuaian kemauan antara 2
orang di mana 2 kemauan silih berjumpa serta kemauan itu wajib diklaim.

Statment kemauan wajib ialah statment kalau beliau menginginkan tampaknya

ikatan hukum, dengan begitu terdapatnya kemauan saja belum melahirkan
sesuatu akad sebab kemauan itu wajib diutarakan, wajib jelas untuk yang lain

20
serta wajib dipahami oleh pihak lain
Dalam KUHPerdata tidak dipaparkan hal tutur akur ini, namun di dalam
Artikel 1321 KUHPerdata didetetapkan ketentuan kalau tidak terdapat akur

yang legal bila akur itu diserahkan sebab gaflat ataupun diperolehnya sebab
dengan desakan ataupun pembohongan. Dari artikel ini bisa disimpulkan kalau

terbentuknya tutur akur antara tiap- tiap pihak wajib diserahkan dengan cara
leluasa ataupun tidak bisa terdapat desakan, gaflat serta pembohongan.

21
Bagi Subekti, yang diartikan desakan merupakan desakan rohani
ataupun desakan jiwa (psychis) jadi bukan desakan tubuh (raga). Berikutnya
gaflat terjalin bila salah satu pihak khilaf mengenai keadaan yang utama dari

apa yang diperjanjikan ataupun mengenai sifat- sifat yang berarti dari benda
yang jadi subjek akad. Gaflat itu wajib sedemikian muka alhasil seandainya

orang itu tidak khilaf hal keadaan itu beliau tidak hendak membagikan
persetujuan. Setelah itu pembohongan terjalin bila satu pihak dengan

terencana membagikan keterangan- keterangan yang ilegal ataupun tidak betul



19 R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 4.
20 Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1993, hlm. 129.
21 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1996, hlm. 23-24.

154

diiringi dengan kecoh muslihat buat ajak pihak lawannya membagikan

perizinannya. Dengan begitu sesuatu akad yang tutur sepakatnya didasarkan
desakan, gaflat, pembohongan hingga akad itu di setelah itu hari bisa

dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.
Perjanjian dimaksudkan kalau kedua pihak yang melangsungkan akad

itu wajib melaksanakan perjanjian hal keadaan utama yang mereka
perjanjikan. Alangkah berartinya perjanjian itu, Subekti melaporkan kalau

Hukum Akad dari KUHPerdata menganut dasar konsensualisme maksudnya

yakni: hukum akad dari KUHPerdata menganut sesuatu asas kalau buat
melahirkan akad lumayan dengan akur saja serta akad itu (serta dengan begitu“

habitat” yang ditimbulkan karenanya) telah dilahirkan pada dikala ataupun

detik tercapainya konsensus begitu juga di atas pada detik itu akad telah jadi
serta mengikat, bukannya pada detik- detik yang lain yang terkemudian
22
ataupun yang lebih dahulu . Berikutnya subekti mengemukakan kalau dasar
konsensualisme ialah desakan kejelasan hukum, kalau orang yang hidup

dalam warga yang tertib wajib dipegang perkataannya ataupun perkataannya,
buat mengukur ataupun memperhitungkan apakah sudah berhasil sesuatu

konsensus wajib diamati pada pernyataan- pernyataan yang sudah dicoba oleh

kedua koyak pihak, pada dikala satu pihak terdapat yang menwarkan (offerte)
serta dilain pihak yang menyambut ijab itu. Serta bila mencuat bentrokan

mengenai apakah sudah dilahirkan sesuatu akad ataupun tidak hingga Juri
23
ataupun Pengadilanlah yang hendak menetapkannya
Kemajuan terkini hal dasar perjanjian serta lahirnya sesuatu akad bisa
diamati dalam bermacam penjelasan Nieuwenhuis bersumber pada

determinasi terkini NBW, selaku selanjutnya:


1) Tentang penawaran dan penerimaan (aanbod en aanvaarding)


22 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bogor: PT. Internmasa, 1987, hlm. 3.
23 H.P. Panggabean, op. cit, hlm.19.

155

Sesuatu akad lahir sebab sesuatu ijab serta pendapatan itu, demikianlah

diatur dalam Artikel 6: 217 NBW. Penawaram bisa dipaparkan selaku
statment kemauan dalam mana tercantum ide buat melangsungkan sesuatu

akad, ide ini wajib muat kewajiban- kewajiban terutama yang mencuat dari
akad.

Pendapatan pada ide itu melahirkan akad itu, hak serta peranan bonus
tidak butuh diformulasikan dalam ijab. Apabila setelah itu tidak terjalin

perjanjian dalam perihal itu, hingga wajib diamati (ditimbulkan) dari

determinasi hukum, Kerutinan ataupun syarat- syarat kepantasan
(redelijkheid) (Artikel 6: 248 NBW), serta dimana beberapa barang yang

hendak dijual itu hendak diserahkan merupakan sesuatu persoalan dimana

pendapatan (aanvaarding) itu tidak butuh didetetapkan dengan cara
terperinci, melainkan bila terdapat determinasi lain, hingga benda yang dibeli

itu merupakan di tempat mana akad itu ditutup (Pasal 6:41).
Penawaran kehilangan kekuatannya, dalam hal-hal sebagai berikut;

a) Oleh karena penawaran ditolak pada saat penawaran diajukan
b) Oleh karena berlakunya suatu jangka waktu tertentu

24
c) Oleh karena si penawar menarik kembali penawarannya

Dua bentuk penawaran yang berlainan: ijab yang leluasa (terbuka) serta

ijab yang tidak bisa ditarik balik, dipaparkan selaku selanjutnya: Titik dorong
sesuatu ijab bisa ditarik balik sepanjang tidak diperoleh serta sekalipun

pemberitahuan ijab telah dikirim, dipatahkan dari 2 arah:

a) Dalam perihal ijab terbuka, hingga ijab itu bisa ditarik balik

sehabis pendapatan pihak yang lain, dengan ketentuan

pencabutan itu dicoba dengan lekas (Artikel 6:219. Lid 2 NBW)




24 Ibid, hlm, 20.

156

b) Kebalikannya bila pelamar itu tidak bisa ditarik balik dalam

waktu durasi tidak bisa ditarik balik, hingga ijab itu tidak bisa
ditarik balik, meski ijab itu belum diperoleh (Artikel 6:219

NBW)


2) Ajaran Kehendak dan Ajaran Pernyataan (wilsleer en verklaringleer)

Bila faktor ijab serta pendapatan dibutuhkan buat memastikan dikala
lahirnya sesuatu akad, anutan kemauan serta anutan statment terlihat

dibutuhkan buat memastikan kandungan ketertarikan para pihak. Sesuatu akad
obligatoir merupakan sesuatu aksi hukum serta unsur- unsur aksi hukum

terdiri dari: kemauan serta statment, begitu diatur dalam artikel 3:33.
Dua balasan yang amat berlainan: diatu pihak anutan kemauan (wilsleer)

melaporkan kalau sesuatu kontrak mengikat cuma bila serta sepanjang

statment itu beralasan serta berkaitan dengannya, sesuatu tetapan kemauan
yang sempurna, di lain pihak anutan statement (verklaringleer) beranggapan

25
kalau seorang terikat pada apa yang dinyatakan

3) Azas Kepercayaan (het vertroubeginsel)
Berangkaian dengan permasalahan lahirnya sesuatu habitat, anutan

keyakinan sudah pula dibesarkan dalam NBW. Dasar itu dicantumkan dalam

Artikel 3: 35 NBW. Artikel itu dimaksudkan buat mencegah mereka yang
membagikan statment yang tidak cocok dengan kehendaknya (de nolens).

Proteksi itu diserahkan kepada mereka yang satu dikala menyangka
sesuatu statement (verklaring) ataupun aksi laris (gedraging) orang lain selaku

sesuatu statment yang diserahkan oleh orang itu kepadanya cocok dengan apa

yang beliau bagikan pada sesuatu kondisi khusus, yang memiliki sesuatu
energi legal khusus (de fidens). Proteksi itu diserahkan pada mereka yang




25 Ibid, hlm, 24.

157

mebuat sesuatu statment tidak terdapat persesuaian dengan kemauan (de

26
nolens).
Bila keyakinan itu dibenarkan bagi hukum?

Hoge Raad meminta kalau de fidens itu berpadanan dengan aksi yang
layak kalau pihak lain itu mengetahui daya legal dari pernyataannya.

Sepanjang mana jangkauan aksi yang layak, sebetulnya tergantung pada
keadaan- keadaan yang legal. Dengan cara gampang bisa diberlakukan kalau

syarat- syarat hendak meningkat berat tergantung pada besarnya akibat- akibat

27
minus untuk de nolensterhadap sahnya aksi hukumnnya.
Nieuwenhuis membagikan ilustrasi permasalahan selaku selanjutnya:

Arrest HR 15 April 1983, NJ 1983,458, Hajjaout/Ijmah

Hajjaout yang tidak menguasai bahasa Belanda (cuma sebagian ataupun
semacam roti, susu, liburan) sudah menanda tangani pesan statment

bermuatan kemauan tidak hendak memakai haknya mengajukan petisi bila
nanti mencuat pemutusan hubungan kerja (PHK)

HR memikirkan:
Apakah seorang yang menandatangi sesuatu statment yang isinya tidak

dipahami olehnya, terikat pada statment itu, tergantung pada kondisi apakah

pihak- pihak (p. p) dengan cara timbal balik sudah silih paham isinya, buat
permasalahan ini dipertanyakan apakah sang tuan sudah lumayan

membagikan penafsiran untuk sang pegawai alhasil sang pegawai telah
28
mengetahui bahawa ia pula berencana buat terikat pada statment itu
Dengan bermacam penjelasan mengenai asas- asas akad yang ditemui
dalam NBW, butuh dicermati terdapatnya bermacam dasar yang berhubungan







26 Ibid, hlm. 27.
27 Ibid, hlm. 27.
28 Ibid, hlm. 28.

158

dengan ketentuan sahnya akad seabagai diajukan Mariam Darus selaku

29
selanjutnya:
a) Asas independensi melangsungkan perjanjian (partij otonomi)

b) Asas persesuaian kemauan (asas konsensualisme)
c) Asas kepercayaan

d) Asas daya mengikat
e) Asas pertemuan hukum

f) Asas keseimbangan

g) Asas kejelasan hukum
h) Asas moral

i) Asas kepatutan

j) Asas kebiasaan
Bermacam dasar yang diajukan tiap- tiap diatas, dihubungkan dengan

penjelasan penuhi mengenai determinasi NBW bisa disimpulkan bahawa
NBW menganut dasar keyakinan yang didasarkan padaa anutan kemauan,

anutan statment, serta dikategorikan dengan tindakan sikap (gedraging) kedua
pihak.


Kecakapan untuk membuat suatu perikatan/ Tentang Kemampuan

Bertindak (handelingsbekwaamheid)

Dalam Artikel 1329 KUH Awas mengatakan kalau tiap orang
merupakan cakap buat membuat sesuatu akad dengan determinasi oleh hukum

tidak didetetapkan lain ialah didetetapkan selaku orang yang tidak cakap buat

membuat sesuatu akad. Berikutnya Artikel 1330 KUH Awas mengatakan
kalau orang yang tidak cakap membuat perjanjian:







29 Ibid, hlm. 31.

159

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang terletak di dasar pengampuan atau perwalian dan

3) Orang wanita atau isteri dalam perihal sudah diresmikan oleh Undang

undang serta seluruh orang pada siapa hukum sudah mencegah
membuat perjanjian- perjanjian khusus.


Penjelasan Nieuwenhuis mngungkap bentuk kemajuan hukum lewat
penjelasan mengenai faktor kemampuan berperan. Aksi hukum 9 paling utama

pada akad obligatoire) merupakan pula upaya dengan mana kita mengutip

bagian dalam kemudian rute hukum, sebab terdapat kemungkinan buat
mengadakan ikatan hukum buat kebutuhan orang. Hingga bisa dipahami kalau

aksi hukum cuma bisa diserahkan pada mereka yang bisa diharapkan buat

membuat perhitungan pada kepentingan yang berhubungan dengan itu
30
terdapat bisa memandang kemampuannya buat berinisiatif.
Siapa yang tidak sanggup melaksanakan perihal itu hingga beliau tidak
bisa berdiri sendiri dalam kemudian rute hukum serta wajib didampingi

seseorang delegasi. Keahlian berperan bisa dituliskan (didefinisikan) selaku
mungkin buat melaksanakan aksi hukum dimana orang itu terikat dengan cara

31
tidak bisa diusik gugat

Suatu pokok persoalan/ hal tertentu

Yang diartikan dengan suat perihal khusus dalam sesuatu akad adalah
objek akad. Subjek akad merupakan hasil yang jadi utama akad yang

berhubungan. Hasil itu sendiri dapat berbentuk aksi buat membagikan sesuatu,

melaksanakan suatu ataupun tidak melaksanakan suatu Di dalam KUH Awas
Artikel 1333 bagian (1) mengatakan kalau sesuatu akad wajib memiliki




30 Ibid, hlm. 31.
31 Ibid, hlm. 31.


160

sesuatu perihal khusus selaku utama akad ialah benda yang sangat sedikit

didetetapkan rupanya. Hal jumlahnya tidak jadi permasalahan andaikan di
setelah itu hari didetetapkan (Pasal 1333 ayat 2).


Suatu sebab yang tidak terlarang/ Tentang Perjanjian yang Dilarang (de

ongeoorloofde oorzaak)

Yang diartikan dengan karena ataupun kausa di mari tidaklah karena
yang mendesak orang itu melaksanakan akad. Karena ataupun kausa sesuatu
32
akad merupakan tujuan bersama yang akan digapai oleh para pihak.
sebaliknya begitu juga yang sudah dikemukakan Soebekti, terdapatnya

sesuatu karena yang diartikan tidak lain dari isi perjanjian.
Pada Pasal 1337 KUH Perdata emastikan kalau sesuatu karena ataupun

kausa yang halal merupakan bila tidak dilarang oleh hukum, tidak berlawanan

dengan kedisiplinan biasa serta kesusilaan. Akad yang tidak memiliki karena
yang tidak halal hendak berdampak akad itu tertunda untuk hukum.

Pembebanan hal ketentuan subyektif serta ketentuan obyektif itu berarti
maksudnya bertepatan dengan dampak yang terjalin bila persyaratan itu tidak

terkabul. Tidak terpenuhinya ketentuan subyektif menyebabkan akad itu ialah
akad yang bisa dimintakan pembatalannya.

Pihak di mari yang diartikan merupakan pihak yang tidak cakap bagi

hukum serta pihak yang membagikan perizinannya ataupun membenarkan
akad itu dengan cara tidak leluasa. Contoh orang yang belum berusia yang

memintakan pembatalan orang berumur ataupun walinya atau beliau sendiri

bila beliau telah jadi cakap serta orang yang ditaruh di dasar pengampuan yang
bagi hukum tidak bisa melakukan leluasa dengan harta kekayaannya diwakili

oleh pengampu ataupun kuratornya dan bila ketentuan obyektif tidak terkabul,


32 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan
Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm. 39.

161

hingga akad itu tertunda untuk hukum, maksudnya dari awal tidak sempat

dilahirkan sesuatu akad serta tidak sempat terdapat sesuatu habitat.
Tujuan para pihak yang melangsungkan akad itu buat melahirkan

sesuatu habitat hukum merupakan kandas, hingga tidak bawah buat silih
menuntut di depan juri. Akad semacam itu diucap null and void. Sebaliknya

tidak terpenuhinya ketentuan obyektif menyebabkan suat akad tertunda untuk
hukum.

Hukum perdata didasarkan pada independensi berkontrak

(contractvrijheidbeginsel) namun independensi berkontrak itu pada dasarnya
tidak tidak terbatas. Artikel 3: 40 NBW bermaksud buat melindungi supaya

independensi itu senantiasa terletak dalam batas- batas yang bisa diperoleh

oleh warga. Artikel 3: 40 NBW mebedakan 3 perihal;
a. Pantangan buat membauat sesuatu perjanjian

b. Pantangan mengenai isi perjanjian
c. Pantangan buat energi berlakunya satu perjanjian

1) perjanjian dilarang bila berlawanan dengan ketentuan undang-undang
yang bersifat memaksa.

Ilustrasi: Van der Barak menjual pada Flora, piringan hitam besi silicium

dengan harga yang berlawanan dengan determinasi hukum yang
memforsir.

Perjanjian itu adalah batal (nietig)
Pasal 3:40 lid 2 NBW memastikan: berlawanan dengan peraturan hukum

yang memforsir memunculkan sesuatu kebatalan meski begitu bila peraturan
itu sekedar buat mencegah salah satu pihak dalam sebagian aksi hukum yang

mengaitkan banyak orang, cuma bisa dibatalkan selama tidak berlawanan

dengan peraturan yang berhubungan.








162

Pasal 3:40 lid 3 NBW memastikan kalau bagian di atas tidak terdapat

hubungannya dengan peraturan hukum yang tidak adaberkaitan dengan
berlakunya sesuatu aksi hukum yang berlawanan dengan itu.

1) Isi perjanjian itu tidak tidak bisa berlawanan dengan kepantasan
serta dengan kedisiplinan biasa.

Ilustrasi: sang A menyewakan beberapa dari rumahnya pada sebagian
penunggu kamar. Kamar atas disewakan pada sang C buat 5 tahun. Oleh

sebab sang C sedang menginginkan senantiasa tingal di atas, serta tidak

mau buat memberhentikan perjanjiannya, hingga sang A membuat
perjanjiannya, hingga sang A membuat akad dengan sang B dengan arti

buat menganggu sang sang C( supaya ia alih). Sang B memunculkan

sesuatu hasil yang berlawanan dengan sopan santun atau kesusilaan(
goede zeden). Perjanjiannya sang A serta sang B yang sudah ditutup

merupakan tertunda sebab memiliki isi yang tidak dibenarkan.
Oleh sebab perihal ini cocok penafsiran besar, meski sang A serta sang

B tidak melakukan akad itu, akad itu senantiasa tertunda. Bertepatan dengan
isi serta energi legal sesuatu akad diukur dengan geode zeden serta

kedisiplinan biasa bagaiamana bila hukum mencegah isi akad itu.

Perjanjian anatar si A dan si B merupakan tertunda, bukan oleh sebab
determinasi Artikel 3: 40 lid 2 NBW (berlawanan dengan peraturan hukum

yang memforsir) namun bersumber pada pada lid 1, ialah berlawanan dengan
kedisiplinan biasa (open sistem) dalam ini bila sesuatu akad bertetangan

33
dengan kedisiplinan biasa, perihal itu dilarang oleh hukum.
2) Daya berlakunya suatu perjanjian yang tidak dibenarkan

Energi berlakunya sesuatu akad yang sudah diulas dalam asal usul

parlemen, dituliskan bila kedua koyak pihak sudah bisa meramalkan dampak




33 Ibid, hlm. 36.

163

akad itu serta sudah bersama menguasai corak akad itu merupakan berlawanan

dengan kedisiplinan biasa.


Alasan-alasan Hukum untuk Pembatalan Perjanjian
KUHPerdata Artikel 1321 mengatakan 3 (3) alibi buat pembatalan

perjanjian, yaitu:
a) Keihilafan/ kesesatan (dwaling), jo Pasal 1322 KUHPerdata.

b) Paksaan (dwang), jo Pasal 1323, 1324, 1325,1326 dan 1327

KUHPerdata
c) Penipuan (bedrog) jo Pasal 1328 KUHPerdata

Kemajuan dalam NBW bisa diamati dengan akumulasi sesuatu alibi

terkini buat pembatalan sesuatu akad. Determinasi mengenai alasan- alasan
pembatalan akad diatur di dalam didalam 2 artikel novel 3 serta novel 6,

dijabarkan selaku selanjutnya:
Pasal 3:44 lid 1 NBW (dapat dibaca: buku 3 Pasal 4, ayat 1) mengatakan

kalau aksi hukum bisa dibatalkan, bila terjalin terdapatnya:
a) Bahaya (bedreiging)

b) Penipuan (bedrog)

c) enyalahgunaan kondisi (misbruik van omstandighede)
Sesungguhnya, hingga akad itu tidak hendak terbuat, hingga akad itu

bisa dibatalkan.
a) Bila kesesatan itu diakibatkan oleh uraian yang galat dari kedua

koyak pihak, melainkan bila akad itu bisa diperoleh serta ditutup
meski tanpa terdapatnya uraian itu.

b) Bila kedua partij mengenali ataupun pantas mengenali terdapatnya

kesesatan itu, sepatutnya mereka berusaha memperoleh uraian
terlebih dulu.






164

c) Bila kedua pihak yang menutup akad memiliki pemikiran galat yang

memunculkan kesesatan melainkan bila ia tidak butuh mengenali
mengenai pemikiran yang sebenernya itu kalau kesesatan itu dari

prjanjian yang sudah ditutup itu.
Artikel 6: 228 lid 2 NBW: pembatalan itu tidak bisa didasarkan pada

sesuatu kesesatan yang akan tiba, ataupun yang berkaitan dengan bawah dari
akad itu, yang mana kondisi yang galat itu merupakan ialah tanggung jawab

dari yang keliru itu.

Dengan ditempatkan 4 (4) pembatalan akad itu pada Novel 3 (mengenai
hak harta kekayaan pada biasanya) serta pada Novel 6 (mengenai bagian yang

biasa dari habitat), bisa dimaksud kalau anutan penyalahgunaan kondisi itu

hendak bisa diaplikasikan buat bermacam tipe perjanjian.


Tentang kesesatan (dwaling)
Perjajian bisa dibatalkan bila penuhi ketentuan yang diucap dalam

Artikel 6: 228, sesuatu desakan (pembatalan) atas bawah dwaling cuma bisa
34
dipadati bila memebuhi 5 ketentuan selaku berikut
a) Ikatan kausal antara dwaling serta terbentuknya akad, bagi Artikel
6: 228 NBW sesuatu akad tidak hendak terbuat tanpa terdapatnya

pemikiran (voorstelling) yang sebetulnya.

Kesesatan (dwaling) wajib sesuai dengan satu ataupun lebih dari
yang dituturkan dalam penjelasan a, b, c dalam Artikel 6: 228

Penjelasan Artikel 6: 228 NBW diperinci selaku selanjutnya:

1) Uraian dari pihak rival;
2) Pihak lawan tidak berikan uraian (tidak berikan penjelasan yang

pantas dikenal);
3) Kesesatan kedua belah pihak.



34 Ibid, hlm. 40-43.

165

b) Sesuatu perihal yang jelas (telah dikenal/ kenbaarheid)

c) Tidak tercantum kondisi yang hendak tiba (geen uitsluitend
toekomstige omstandigheid).

d) Kesesatan itu tidak jadi bobot yang tersesat (de dwaling komt niet
voor rekening van de dwalende).

Pembatalan tidak bisa diadakan atas bawah kesesatan, dalam perihal
ketentuan dari:

 Sifar dari perjanjian

 Anggapan yang berlaku umum
 Keadaan dari peristiwa itu tetap menjadi beban biaya yang tersesat.

Perjanjian ang terbuat dengan “resiko cedera dijamin sendiri”

menyebabkan resiko kesesatan dijamin sendiri oleh orang yang hadapi
kesesatan itu. Benda siapa membuat akad dengan syarat- syarat ini tidak bisa

jadi menghapuskan akad itu atas bawah kesesatan.


Tentang Ancaman (bedreiging)
Bisa dibatalkan bila terjalin itu dengan bahaya (Artikel 3: 44 lid 1).

Perihal itu bisa terjalin bahaya bertabiat melawan hukum yang menyebabkan
kehilangan untuk seorang ataupun harta bendanya. Terdapat 2 pemikiran buat

35
melaporkan bahaya itu bertabiat melawan hukum:
 Adanya bahaya itu sendiri telah ialah aksi melawan hukum
 Adanya bahaya itu bukan ialah aksi melawan hukum, namun

bahaya itu dimaksudkan buat tercapainya kemauan orang itu.


Tentang Tipuan (bedrog)

Tipuan merupakan sesuatu wujud kesesatan (dwaling), hukum
melainkan bentuk- bentuk dari perihal yang menyesatkan (misleiding) yang




35 Ibid, hlm. 46.

166

disengaja melaporkan perihal yang tidak betul, serta terencana, memantapkan

sesuatu realitas, dimana orang yang berhubungan bertanggung jawab
36
menyatakannya. Metode kecoh muslihat yang lain( Artikel3:44 lid 3 NBW)

Tentang Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omtandigheden)

Sesuatu akad (aksi hukum) bisa dibatalkan bila terjalin peenyalahgunaan

kondisi (Artikel 3: 44 lid 1). Nieuwenhuis mengemukakan 4 (4) syarat- syarat
37
terdapatnya penyalahgunaan kondisi, selaku berikut
 Keadaan- keadaan eksklusif (bijzondere omstandigheden),
semacam: kondisi gawat, ketergantungan, abai, jiwa yang kurang

sehat, serta tidak profesional.

 Suatu perihal yang jelas (kenbaarheid) di isyaratkan kalau salah satu
pihak mengenali ataupun sebaiknya mengenali kalau pihak lain

sebab kondisi eksklusif tergerak (hatinya) buat menutup sesuatu
perjanjian.

 Penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak sudah melakukan akad

itu atau ia mengenali ataupun sepatutnya paham kalau ia sepatutnya
tidak melaksanakannya (kasus vanelbt vs janda feierabend)

 Hubungan kausal (causaal verband) merupakan berarti kalau tanpa

menyalahgunakan kondisi itu hingga akad itu tidak hendak ditutup.


Kesimpulan
Nieuwenhuis menarangkan ikatan fungsional antara asasa- asas hukum

dengan peraturan- peraturan hokum (rechtsregel), kalau asas- asas hukum
berperan pembangun- pembangun sistem. Sebab asas- asas itu bukan cuma

pengaruhi hukum positif namun pula di dalam banyak, serta kalau asas- asas
hukum itu membuat satu serupa lain sesuatu system “checks and balans”,



36 Ibid, hlm. 47.
37 Ibid, hlm. 48.

167

asas- asas kerap menunjuk kearah yang bertentangan, apa yang rasanya ialah

halangan untuk peraturan- peraturan hukum, disini merupakan ialah berkah.
Oleh karena menunjuk kearah yang bertentangan asas- asas itu silih cais

mengekang serta dengan begitu balance.
Ikatan antara habitat serta akad merupakan kalau akad itu memunculkan

habitat, akad merupaka pangkal terutama yang melahirkan habitat, pangkal
lain merupakan undang- undan. Habitat merupakan sesuatu penafsiran abstak.

Lagi akad merupakan sesuatu perihal yang konkrit ataupun sesuatu insiden.

Penafsiran akad itu diperjelas oleh sudikno selaku sesuatu ikatan hukum antara
2 pihak ataupun lebih bersumber pada tutur akur buat memunculkan dampak

hukum.

Anjuran pengarang merupakan bila pihak yang akan melaksanakan akad
wajib betul- betul menguasai alangkah berartinya andil asas- asas hukum akad

dalam pembuatan serta penerapan akad. Serta bila mencuat permasalahan
yang berkaitan dengan akad, diharapkan juri yang bereparan selaku penegak

hukum dalam membagikan putusannya tidak cuma bersumber pada pada apa
yang tercatat dalam akad namun wajib mencermati serta memikirkan

keserasian dari semua asas- asas hukum akad yang tercatat di KUHPerdata.



















168

DAFTAR PUSTAKA


Peraturan perundang-undangan


Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Staatsblad 1847 No. 23.


Buku

Abdul kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1990.


___________________, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 2004.

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka

Yustitia, 2009.

H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruk Van Omstandigheden)

Sebagai Alasan Baru Untuk Pembatalam Perjanjian, Yogyakarta:

Liberty, 2010.

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Bina

Cipta, 1987.


R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1979.

________, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung: PT. Alumni, 1992.


________, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1996.

________, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2001.


Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti,1993.








169

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok

Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:

Liberty, 1985.

__________________, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1988.





























































170

PANCASILA SEBAGAI KONSEP PRISMATIK

DALAM MEMBANGUN SISTEM HUKUM NASIONAL



Nikson Gans Lalu



Pendahuluan
Sejarah lahirnya Pancasila telah melewati serangkaian proses yang

terdiri dari fase pembuahan, perumusan, dan pengesahan. Ketiga tahap ini
dijelaskan oleh Yudi Latif yang menyatakan bahwa “Fase pembuahan,

dimulai pada tahun 1920-an, dalam mana terdapat beberapa gagasan guna

mencari kesimpulan dari berbagai pemikiran dari berbagai pemikiran,
sejalan dengan proses Indonesia sebagai bangsa yang kolektif (civic

nationalism). Kemudian, fase perumusan diawali dengan Sidang I Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dengan pidato Ir.

Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang dinyatakan sebagai asal muasal

munculnya terminologi Panca Sila, yang diproses dalam pertemuan Chuo
Sangi In yang menghasilkan penetapan “Panitia Sembilan” sebagai

penyempurna rumusan Pancasila dari pidato sang proklamator ke dalam
versi Piagam Jakarta. Sedangkan fase ratifikasi atau pengesahan dimulai

sejak tanggal 18 Agustus 1945 dan mengikat secara mendasar di dalam
1
kehidupan bernegara.”
Secara lebih lanjut, setiap fase konseptualisasi Pancasila tersebut telah

mengikut sertakan berbagai elemen dan kelompok, sehingga Pancasila telah
menjadi karya kolektif dari bangsa Indonesia. Walaupun pernyataan ini

relevan, menjadi hal yang inheren, bahwa dalam karya ini, terdapat individu




1 Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 39.

171

2
yang berperan penting atau sangat menonjol yaitu Soekarno. Latif
menjelaskan menonjolnya peran Soekarno ini dengan menyatakan bahwa
“sejak pertama, Soekarno mengawali perintisanya dalam pemikiran

Pancasila sebagai falsafah, yang berperan dalam mensisntesiskan antara
beragam pemikiran yaitu Nasionalisme-Islamisme dan Marxisme serta

pemikiranya perihal “socio-nationalisme”, dan “socio-democratie” sebagai
3
prinsip Marhaenisme.”
Dalam fase yang kedua, Latif juga menyatakan bahwa “Soekarno

merupakan sosok pioneer dalam hal mengkonsepkan landasan negara ke
dalam konteks “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan

dunia” (weltanschauung) secara sistematis dan konsisten atau koheren, dan

Soekarnolah yang merumuskan terminologi Pancasila tersebut. Dalam proses
berupa menyempurnakan perumusan Pancasila, Soekarno telah menjadi

ketua dari “Panitia Sembilan” yang mengadopsi Piagam Jakarta hingga
sampai pada tahap dalam mana Pancasila diterjemankan ke dalam UUD.

selain itu, Soekarno jugalah yang menjadi pemimpin dari Panitia Perancang
Hukum Dasar. Pada akhirnya, dalam fase ratifikasi atau pengesahan,

Soekarno telah menjadi pemimpin dari Panitia Persiapan Kemerdekaan

4
Indonesia (PPKI).”
Latif berpendapat bahwa “Sejak diratifikasi ke dalam konstitusi sejak

satu hari setelah kemerdekaan Indonesia yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945,
eksistensi dari Pancasila ideologi nasional yang memersatukan keberagaman

yang ada di Indonesia. Pancasila juga disebut landasan statis yang bersifat
integratif sekaligus disebut sebagai bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis,

yang mengarahkan bangsa ini guna mencapai tujuannya. Dalam posisi ini,




2 Ibid., hlm, 40.
3 Ibid., hlm, 40.
4 Yudi Latif, Negara Paripurna, Ibid.

172

Pancasila merupakan sumber integritas, kepribadian, moralitas, dan haluan

5
keselamatan dari bangsa Indonesia.”
Soekarno dalam orasinya di forum yang diadakan oleh PBB pada

tanggal 30 September 1962, memperkenalkan landasan negara kita kepada
dunia dengan menyatakan bahwa pemikiran dan ambisi bagi berlangsungnya

bangsa bersifat sangat penting. Dalam penggalan pidatonya, Soekarno
menegaskan bahwa “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa

semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak

memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan using,
maka bangs itu ada dalam bahaya”. Sebagai landasan morali dan garis besar
6
kebangsaan serta kenegaraan, Latif berpendapat bahwa “Pancasila diyakini

memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap
sila memiliki pembenaran atau justifikasi historitas, rasionalitas, dan

aktualitasnya. Secara lebih lanjut, apabila dipahami, dihayati, dipercayai dan
dilaksanakan secara konsisten, Pancasila tentunya mampu dalam menopang

7
pencapaian-pencapaian agung peradaban bangsa.”
Adapun pokok-pokok dari nilai moral dan garis besar kebangsaan dan

kenegaraan menurut alam pikiran Pancasila yang dapat diuraikan sebagai

berikut:

a) Pertama, eksistensi nilai-nilai religiositas atau Ketuhanan selaku asal-

muasal dari kaidah berupa etika dan spiritualitas yang bersifat
transenden dan vertikal, serta yang memiliki peran yang signifikan

sebagai landasan etik dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,

Indonesia bukan merupakan negara yang bersifat sekuler, yang
melakukan pemisahan antara agama dengan negara dan berpretensi



5 Ibid., hlm. 41.
6 Ibid., hlm. 42.
7 Ibid., hlm. 42.

173

untuk menyudutkan peran agama ke dalam ruang privat. Negara

menurut alam pikiran Pancasila, diharapkan mampu untuk
memberikan perlindungan dan mampu dalam mencapai

perkembangan dalam kehidupan beragama. Sementara agama
diharapkan biSA memainkan peran publik yang berkaitan dalam

penguatan etika sosial. Akan tetapi, Indonesia juga bukan negara
agama yang hanya mewakili salah satu agama dan memungkinkan

agama tersebut untuk mendikte negara. Sebagai negara yang dihuni

oleh lebih dari satu umat, negara republik Indonesia diharapkan
mampu mengambil jarak yang sama terhadap semua agama,

melindungi semua agama, dan harus dapat mengembangkan politiknya

sendiri secara independen. Rasionalitas alam pikiran Pancasila
tersebut mendapat pembenaran teoritis dan komparatifnya dalam teori-

teori kontemporer tentang “public religion” yang menolak tesis berupa
“separation” dan “privatization”, dan mendukung tesis berupa

“differentiation”. Dalam teori ini, peran agama dan negara tidak perlu
dipisahkan, melainkan dibedakan, dengan syarat bahwa keduanya

saling memahami batas otoritas masing-masing, yang disebut dengan

8
toleransi kembar (twin tolerantions).
b) Kedua, dalam pemikiran Pancasila, humanisme yang umum atau

universal bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat sosial
manusia atau sifat horizontal dipandang penting sebagai landasan etika

berpolitik dari kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip
kebangsaan yang luas yang mengarah pada persaudaraan dunia ini

dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi.

Komitmen bangsa Indonesia dalam memuliakan nilai-nilai
kemanusiaan tersebut tentunya sangat visioner, dan telah mendahului


8 Ibid., hlm. 43.

174

“Universal Declaration of Human Rights” yang telah dideklarasikan

pada tahun 1948. Secara teoritis-komparatif, jalan eksternalisasi dan
internalisasi dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan

beradab tersebut menempatkan visi Indonesia dalam memadukan
antara perspektif teori “idealisme politik” (political idealism) yang

berorientasi pada kepentingan nasional dalam hubungannya dengan
9
pergaulan antar bangsa dalam dunia internasional.
c) Ketiga, adanya keharusan berupa perwujudan dari nilai etis dengan

unsur humanisme atau kemanusiaan yang mengakar kuat dalam
lingkungan pergaulan kebangsaan, yang dilanjutkan dengan

penerapanya ke dalam pergaulan dunia. Ketika nilai-nilai persaudaraan

dan kemanusiaan tersebut diinternalisasi, Indonesia dapat dinyatakan
sebagai negara kesatuan di tengah keberagaman yang dimilikinya,

yang berkemampuan dalam mengatasi beragam paham yang ada.
Kemudian, persatuan dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia harus

dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang dikenal dengan istilah
“bhineka tunggal ika”. Dalam merespon hal ini, Latif menyatakan

bahwa “Di satu sisi, terdapat pemikiran modernisme yang berupaya

untuk mencari titik temu dari segala keberagaman yang terdapat di
dalam dasar negara (Pancasila), UUD, dan peraturan perundang-

undangan, serta instrumen pemersatu bangsa lainya. Di sisi lain,
terdapat wawasan keberagaman yang menerima dan memberi ruang

hidup bagi berbagai perbedaan, seperti agama, bahasa daerah, dan
lembaga kekuasaan tertentu sebagai warisan bangsa. Dengan

demikian, Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat,

yang tidak sebatas mencari titik temu dari pluralisme dalam
masyarakat dalam membarukan komunitas politik bersama,


9 Ibid., hlm. 44.

175

melainkan juga mampu menyediakan probabilitas bagi beragam

kelompok agar tidak terpisah dari akar tradisi dan kesejarahannya
dari setiap kelompok tersebut. Pemikiran tentang bangsa Indonesia ini

mirip dengan perspektif “etnosimbolis”, yang berhasil dalam
menyatukan perspektif “modernis” (modernist), yang berkonsentrasi

kepada unsur-unsur novelty atau kebaruan dalam bangsa yang
berperspektif “primordialis” dan “perenialis”, yang melihat

10
keberlangsungan dari unsur lama dalam kebangsaan.”
d) Kemudian yang keempat, Latif juga perpandangan bahwa “dalam
ideologi Pancasila, aktualisasi dari nilai ketuhanan, nilai

kemanusiaan, dan cita-cita kebangsaan tersebut harus menjunjung

tinggi kedaulatan rakyat berdasarkan semangat permusyawaratan
yang diarahkan oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi

permusyawaratan, demokrasi memperoleh kesejatiannya dalam
penguatan daulat rakyat, ketika kebebasan berpolitik berkelindan

dengan kesetaraan ekonomi, yang menghidupkan semangat
persaudaraan dalam konteks musyawarah mufakat. Dalam prinsip ini,

keputusan tidak ditetapkan oleh golongan mayoritas atau kekuatan

minoritas elite politik dan pengusaha, melainkan dipimpin oleh
hikmat/kebijaksanaan yang mengedepankan daya rasionalitas

deliberatif dan kearifan setiap warga tanpa memandang latar
11
bekangnya.”
e) Kelima, keempat nilai sebagaimana dijelaskan di muka, memperoleh
kepenuhan yang berarti bahwa nilai ini mampu dalam mencapai

keadilan sosial. Latif mengemukakan bahwa “Di satu sisi, perwujudan

keadilan sosial tersebut harus mampu mencerminkan imperatif etis



10 Yudi Latif, Ibid., hlm. 45.
11 Ibid., hlm. 45.

176

dari keempat sila lainnya. Di sisi lain, keaslian dari pengalaman sila-

sila Pancasila dapat dinilai dari perwujudan keadilan sosial dalam
perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial, yang

dikehendaki adalah keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai

mahluk individu dan peran manusia sebagai mahluk sosial, juga
keseimbangan antara pemenuhan hak asasi manusia berupa hak sipil

12
dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.”

Dengan melihat beberapa aspek dalam kehidupan yaitu sosial dan

ekonomi, Latif berpandangan bahwa “telah terjadi beragam fenomena berupa
kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang

kooperatif berdasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara. Kemudian, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam mewujudkan keadilan sosial, masing-masing

pelaku ekonomi diberi peran untuk mengembangkan semangat
13
kekeluargaan.”
Negara-negara dengan corak kebangsaan (nation state) biasanya

dihadapkan dengan disparitas berupa sulitnya mempersatukan konsep
integrasi dengan konsep demokrasi. Landasan dari premis ini adalah pendapat

Clifford Geertz yang berpandangan bahwa “negara kebangsaan

membutuhkan demokrasi dan integrasi, walaupun watak dari dua hal tersebut
saling bertentangan. Demokrasi berwatak membuka keran kebebasan agar

semua aspirasi tersalur, sedangkan integrasi berwatak ingin membelunggu




12 Ibid., hlm. 46.
13 Ibid.

177

14
agar persatuan dan kesatuan tetap kokoh.” Secara lebih lanjut, Geertz juga
menyatakan bahwa “Demokrasi yang absolut diperlukan dikarenakan negara
kebangsaan pada dasarnya dibentuk dari berbagai kelompok yang bersifat

primordialis dengan aspirasinya yang telah dikonsiliasikan secara
demokratis. Sedangkan integrasi mutlak juga dibutuhkan, karena tanpa

15
integrasi, suatu negara dapat hancur.”
Negara kebangsaan diharapkan mampu dalam mengelola secara hati-

hati agar elemen demokrasi dan integrasi dapat berjalan, tanpa saling

mengenyampingkan. Bagi Indonesia, pemikiran Geertz ini bersifat sangat
penting, dikarenakan “Indonesia terbentuk sebagai negara kebangsaan yang

memiliki tekad untuk bersatu di atas dasar kerakyatan (demokrasi) yang
16
merupakan tuntutan bangsa yang tidak boleh ditiadakan.” Sejalan dengan
doktrin ini, Anthony Giddens kemudian menyatakan bahwa “Nation state

merupakan seperangkat bentuk-bentuk institusional pemerintahan yang
mempertahankan satu monopoli administratif terhadap suatu wilayah dengan

batas-batas tertentu, di mana kekuasaannya dijalankan melalui hukum serta
kontrol langsung atas sarana-sarana kekuasaan internal maupun

17
eksternal.” Secara lebih lanjut, Giddens mengutip David Held menyatakan
bahwa “Nation state memiliki karakter mendasar yang membedakannya dari
negara dalam keadaan yang sebenarnya. Karakter mendasar tersebut

dirumuskan ke dalam empat karakter penting, yaitu teritorialitas, kontrol atas



14 Clifford Geertz, “The Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in
the New States”, 1971, dalam Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi
Isu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 34.
15 Ibid., hlm. 35, “dilema itu muncul, karena jika demokrasi dibuka maka integrasi bisa
terancam kartena ketegangan antarikatan primordial, tetapi jika integrase harus ditegakkan
maka demokrasi relatif harus dikorbankan karena harus ada sentralisasi dan penguatan
negara.”
16 Ibid., hlm. 35.
17 Ibid., hlm. 190, Anthony Giddens, Power, Property and the State, Vol. I Contemporary
Critique of Historical Matrealism, Barkley and Los Angeles: University of California Press,
1981.

178

sarana-sarana kekuasaan, struktur kekuasaan yang bersifat impersonal, dan

18
adanya legitimasi politik.”
Berkiblat kepada pandangan Held terhadap nation state, penulis

berpandangan bahwa Indonesia telah mengintegrasikan beragam kelompok
primordialis ke dalam satu kontrak sosial yaitu bangsa Indonesia dengan

organisasi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam aspek dari kontrak yang berkaitan dengan kehidupan beragama,

Indonesia merupakan sebuah religious nation state, yakni suatu negara yang

mengakui dan melindungi beragam umat di bawah naunganya. Penekanan
tersebut merupakan suatu pengakuan, bahwa Indonesia berbeda dengan

negara lain yang sepenuhnya sekuler seperti Islamic Nation State yang hanya
19
didasari oleh agama tertentu yaitu Islam.
Indonesia telah memiliki komitmen terhadap determinanya sebagai

negara yang bercorak demokrasi, atas dasar keinginan untuk tetap bersatu
secara kokoh sehingga Pancasila ditetapkan sebagai landasan dan pemikiran

negara. Pancasila diyakini mampu mempersatukan serta menghasilkan
kaidah-kaidah penuntun dalam aspek kehidupan yang terdiri dari aspek sosial,

politik dan hukum. Derasnya arus yang menuntut adanya demokrasi dan

integrasi sebagaimana dikemukakan oleh Geertz ini telah diatur di dalam
20
wadah berpolitik berupa Pancasila dan UUD 1945. Sejalan dengan
pandangan ini, Latif mengutip pendapat Geertz menyatakan bahwa
“Pancasila merupakan landasan utama berdirinya bangsa, yang menjadi

bagian dari Preambule UUD 1945 yang tidak dapat diubah, karena nilai ini
merupakan pakta atau modus vivendi dan “akte kelahiran” negara yang

menjamin berlangsungnya bangsa dan negara Indonesia dengan



18 Ibid., hlm. 36, David Held, Democracy and the Global Order, From the Modern State to
Cosmopolitan Governance, Polity Press, 1995.
19 Ibid., hlm. 36.
20 Ibid., hlm. 37.

179

eksistensinya yang selalu kokoh. Oleh karena itu, tugas utama dari

pemerintah adalah untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertuang
21
di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.” Berdasarkan unsur-unsur ini,
terlihat jelas bahwa keberpihakan Indonesia tidak hanya didasari dengan
kepentingan nasional semata, melainkan juga pada kepentingan internasional.


Pancasila sebagai Konsep Prismatik

Adji Sakmeto berpendapat bahwa terhadap “legal positivism dan legal
realism, tentu tidak dapat dipisahkan hubungannya dengan dua tradisi hukum

terkemuka di dunia, yaitu tradisi hukum civil law dan tradisi hukum common
22
law.” Secara lebih lanjut, Sakmento juga berpandangan bahwa “konsep
tentang kepastian hukum dan konsep kebebasan hakim merupakan dua konsep
di dalam tradisi pemikiran ilmu hukum, yang lahir dalam sejarahnya masing-

23
masing.” Sebagaimana ia ekspresikan “konsep kepastian hukum lahir dari
tradisi berpikir civil law yang tumbuh pada budaya hukum Eropa Kontinental.
Sedangkan konsep kebebasan hakim lahir dari tradisi berpikir common law,

24
yang tumbuh pada budaya hukum Anglo Saxon.”
Sakmento juga mengemukakan bahwa “Konsep kepastian hukum juga

mendasari tujuan hukum, yaitu membentuk keadilan. Konsep kepastian hukum

kemudian menjadi suatu landasan terselenggaranya negara hukum
(rechtstaat) dengan sistem yang dikenal sebagai pemisahan kekuasaan

(separation of power) dalam penyelenggaraan negara. Adapun konsep
kebebasan hakim mendasarkan pada tujuan utama hukum, yakni mewujudkan

keadilan. Konsep kebebasan hakim melandasi penyelenggaraan Negara






21 Ibid., hlm. 37.
22 FX Adji Samekto, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Indepth Publishing, Lampung: PDIH
UNDIP, & PKKPHAM, Bandar 2013, hlm. 4.
23 Ibid., hlm. 4.
24 Ibid., hlm. 4.

180

Hukum (Rule of Law). Konsep ini selanjutnya menghasilkan sistem yang

25
dikenal dengan sebutan checks and balances.”
Tidak dapat diklaim, bahwa hanya tradisi hukum civil law atau common

law yang paling baik. Sebagai tradisi hukum, keduanya berakar pada
pengalaman sejarah maupun keyakinan yang berbeda. Masing-masing tradisi

hukum dikonstruksi secara perlahan dari masa ke masa dengan latar belakang
sejarah yang berbeda juga. Tradisi hukum civil law yang telah diadopsi di

Perancis, kemudian diterapkan oleh Belanda, dan Jerman, serta berkembang

dalam berbagai negara di eropa daratan. Ketika Belanda menerapkan
kolonialisme dan imperialism saat menjajah Indonesia, tradisi ini telah

mendominasi penerapan hukum Indonesia dan hingga saat ini menjadi budaya

hukum di Indonesia. Adapun konsekuensi dari pengaruh tradisi hukum ini
yaitu, dalam penerapanya, tujuan berupa kepastian hukum sangat

mengandalkan kaidah tertulis yang menjadi ciri khas dari tradisi ini.
Dalam merespon tradisi hukum kebiasaan atau common law yang

didasari oleh peran hakim dalam memutus suatu perkara, Indonesia juga
mengembangkan tradisi hukum ini. Kemudian, kedudukan dan wewenang

hakim dalam penemuan hukum sangatlah kecil, walaupun ciri khas dari suatu

perkara selalu berkembang secara terus-menerus dan tidak dapat direspon
berdasarkan pendekatan bersifat umum. Sebenarnya, tradisi common law

sangat mampu dalam menciptakan keadilan yang kontekstual. Cara yang
menyatukan kedua tradisi hukum ini secara berimbang tentunya mampu dalam

menyediakan kemanfaatan guna diwujudkanya suatu nilai substansial yang
adil.

Menjadi suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa tradisi hukum

civil law dan common law, ternyata telah memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap sistem hukum di Indonesia. Meskipun demikian,


25 Ibid. hlm. 4.

181

Indonesia sebagai negara yang berdaulat di bidang hukum harus memiliki

sistem hukum tersendiri yang sejalan dengan corak dan karakter Indonesia.
Dalam perspektif tersebut, maka Pancasila harus diposisikan sebagai konsep

26
prismatik (jalan tengah) dan mencari segi-segi terbaik. Fred W. Riggs
kemudian menyatakan bahwa “nilai sosial prismatic yang menempatkan dua

kelompok dengan nilai sosial tersebut sebagai landasan untuk pembangunan
hukum yang penjabarannya dapat disesuaikan dengan tahap perkembangan

27
aspek sosial dan ekonomi dari masyarakat yang bersangkutan.”
Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya merupakan sumber dari
seluruh muatan dari politik hukum nasional Indonesia, yang didasari oleh dua

alasan. Adapun penjelasan Ankie Hoogevelt sebagai yuris yang

mengemukakan alasan ini yaitu “Pertama, pembukaan dan batang tubuh
UUD 1945 memuat tujuan, dasar, cita hukum, dan norma dasar negara

Indonesia yang harus menjadi tujuan dan pijakan dari politik hukum di
Indonesia. Kedua, kaidah tersebut mengandung nilai-nilai khas yang

bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan
oleh nenek moyang sejak berabad-abad lalu. Nilai-nilai khas inilah yang

kemudian membedakan sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lain

sehingga muncul istilah negara hukum Pancasila, yang apabila dikaitkan
dengan literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai sosial,







26 “Konsep prismatik ini diambil dari Riggs, ketika ia mengidentifikasi pilihan kombinatif atau
jalan tengah atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial patembayan seperti yang
dikemukakan oleh Hoogevelt, di mana ada dua nilai sosial yang hidup dan mempengaruhi
warga masyarakat, yakni nilai sosial paguyuban yang menekankan pada kepentingan
bersama dan nilai social patembayan yang menekankan pada kepentingan dan kebebasan
individu”, Fred W. Riggs, Administration in Developing Countries: The Theory of
Prismatic Society, Houghton Miffin Company, Boston, 1964, dalam Moh. Mahfud MD,
Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006, hlm. 23.
27 Ankie M. Hoogevelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Jakarta: Rajawali Press,
1985, hlm. 87-91.

182

disebut sebagai pilihan nilai prismatic. Olah karena itu, dalam konteks hukum

28
dapat juga disebut sebagai hukum prismatik.”
Gabungan dari beragam subsistem hukum di Indonesia, yaitu sistem

hukum Pancasila, dapat dipandang sebagai ciri khas Indonesia yang
bersumber dari kristalisasi nilai-nilai luhur yang hidup di dalam masyarakat

Indonesia. Sejalan dengan pandangsan penulis, Mahfud MD menyatakan
bahwa “Perlu ditelaah lebih jauh, bahwa watak hukum yang akan

mempengaruhi politik hukum suatu negara sangat ditentukan oleh pilihan

nilai kepentingan, yakni apakah mementingkan kemakmuran perseorangan
ataukah memetingkan kemakmuran orang banyak. Pembedaan atas banyak

atau sedikitnya pemenuhan kepentingan tersebut didasari oleh perspektif

ekonomi politik. Sedangkan berdasarkan perspektif teori sosial, bahkan
berdasarkan sudut pandang ideologis, pembedaan kepentingan tersebut

didikotomikan atas paham individualisme-liberal atau kapitalisme dan paham
29
kolektivisme atau komunisme.”
Mahfud MD juga menyatakan bahwa “Indonesia telah menolak
mengikuti 2 (dua) pilihan kepentingan ideologis tersebut, melainkan

mengambil segi-segi yang baik dari keduanya. Dalam konteks ini, Pancasila

dan UUD 1945 mengakui hak-hak (termasuk hak milik) dan kebebasan
individu sebagai hak asasi, tetapi sekaligus meletakkan kepentingan bersama

di atas kepentingan pribadi. Dari sini kemudian muncul politik hukum tentang
hak negara menguasai sumber daya alam. Di dalam politik hukum yang

demikian, hak milik pribadi atas sumber daya alam diakui, tetapi untuk hal-
hal yang menjadi hajat orang banyak, sumber daya alam dikuasai oleh

30
negara.”


28 op.cit.
29 Ibid, hlm. 24, Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Sunaryati Hartono menyebut
adanya sebuah ekstrim paham yang lain, yakni paham fanatik religious.
30 Ibid. hlm 24.

183

Dalam khzanah ilmu hukum, Roscoe Pound juga menyatakan bahwa

“terdapat dua istilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
negara hukum, yaitu Rechtstaat dan the Rule of Law, meskipun terjemahannya

ke dalam bahasa Indonesia sama-sama negara hukum, sebenarnya ada
perbedaan antara Rechtstaat dan the Rule of Law.” Pound selanjutnya

menyatakan bahwa, “Rechtstaat memiliki karakter administratif, sedangkan
31
the Rule of Law berkarakter yudisial.”
Selain itu, Pound juga mengemukakan pendapat hukum kaliber dengan

menyatakan bahwa “Kebenaran hukum dan keadilan di dalam Rechtstaat
terletak pada ketentuan pembuktian tertulis. Hakim yang bagus menurut

paham civil law (legisme) di dalam Rechtstaat adalah yang dapat menerapkan

atau membuat putusan sesuai dengan bunyi undang-undang. Pilihan pada
hukum tertulis dan paham legisme dalam Rechtstaat didasari oleh penekanan

pada kepastian hukum.” 32 Secara lebih lanjut, “Kebenaran hukum dan
keadilan di dalam the Rule of Law bukan semata-mata hukum tertulis, tetapi

hakim dituntut untuk membuat hukum-hukum sendiri melalui yurisprudensi,
tanpa harus terikat secara ketat pada hukum tertulis. Putusan hakimlah yang

33
dianggap hukum yang sesungguhnya daripada hukum tertulis.” Berdasarkan
doktrin ini, dapat dipahami bahwa kaidah hukum tertulis tidak dapat dianggap
sebagai satu-satunya sumber hukum formal di Indonesia.

Pound menjelaskan bahwa “perbedaan konsepsi ini terletak dalam
penerapan dari substansi yang sama yaitu perlindungan hak asasi manusia

(HAM). Secara substansial, kedua konsep negara hukum tersebut sama-sama
bertujuan untuk melindungi HAM. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh






31 Roscoe Pound, The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, London: Yale
University Press, New Haven, 1957, hlm. 7.
32 Op.Cit., hlm. 25.
33 Ibid. hlm. 25.

184

sejarah hubungan antara raja dan hakim dalam memutus suatu perkara yang

34
ditangani oleh pemerintah dari kerajaan tersebut.”
Negara hukum Indonesia yang didasari oleh Pancasila dan UUD 1945

telah mengadopsi konsep prismatik atau integrative, dan kedua konsep ini
membentuk asas kepastian yang digabungkan dengan asas keadilan. Indonesia

bukan merupakan negara yang memilih salah satu dari konsep tersebut,
melainkan menyisipkan elemen positif dari kedua konsep tersebut. Pilihan

yang prismatik seperti ini menjadi niscaya, karena pada saat ini telah terjadi

kesulitan dalam membedakan Rechtstaat dan the Rule of Law. Kepastian
hukum diterapkan guna menjamin bahwa keadilan dalam masyarakat harus

ditegakkan. Dalam realitasnya, penggabungan ini seringkali menimbulkan

kesulitan ketika terjadi suatu keadaan berupa pemilihan dari salah satu konsep
tersebut sebagai alternatif yang lebih menguntungkan dalam mengatasi isu
35
konkret yang kemudian menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Setelah 4 mengalami UUD 1945 empat kali amandemen, ternyata di

dalam UUD 1945 tidak tercantum lagi konsep rechtstaat secara eksplisit. Hal
ini mampu dalam mepermudah kita dalam menguatkan konsep prismatik

tersebut. Istilah rechtstaat yang semulanya tercantum di dalam Bagian Umum

dari Penjelasan UUD 1945, Sub Bagian Pemerintahan Negara, terdapat dua
kali penyebutan istilah rechtstaat yaitu dalam Angka I yang menyatakan

bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat).”, dan
Angka I butir 1 yang dengan kalimat berupa “Negara Indonesia berdasar atas

hukum (rechtstaat).”, namun setelah MPR setuju bahwa amandemen dari
Penjelasan UUD yang ditiadakan di dalam UUD 1945 dan isinya yang bersifat

normatif dimasukkan di dalam pasal-pasal maka terminologi “rechtstaat”

tersebut juga ikut ditiadakan. Dalam perubahan ketiga dari UUD 1945, prinsip



34 Ibid., hlm. 26.
35 Ibid, hlm. 27.

185

negara hukum kemudian dicantumkan di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

dengan istilah yang netral (tidak Rechtstaat ataupun Rule of Law) yang
36
berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa “pembangunan sistem
hukum Indonesia harus mengabungkan hukum dengan masyarakat, yakni

pemaduan antara peran hukum selaku instrumen perubahan masyarakat dan
37
hukum sebagai cermin keadaan masyarakat.” Kemudian, penulis
berpandangan bahwa mazhab sejarah yang dimotori oleh Von Savigny

memiliki pengaruh dalam pembentukan pemikiran tentang pembangunan
dalam aspek hukum di Indonesia, yang pada mulanya didasari dengan aliran

yang berniat akan adanya kodifikasi dan unifikasi, serta aliran yang

menghendaki dipertahankannya hukum adat. Kusumaatmadja mengemukakan
bahwa “mazhab sejarah menghendaki agar hukum adat yang merupakan

cermin dari nilai-nilai kebudayaan asli Indonesia dipertahankan guna
38
mencegah terjadinya pembaratan dalam hukum yang terlalu cepat.”
Secara lebih lanjut, Kusumaatmadja juga menyatakan bahwa
“kontradiksi tersebut tidak perlu diperpanjang, melainkan harus

dipertemukan dalam keseimbangan, yakni antara hukum sebagai alat dan

hukum sebagai cermin budaya masyarakat; juga antara hukum sebagai alat
untuk menegakkan ketertiban yang sifatnya konservatif dan hukum sebagai









36 Ibid. hlm. 24. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum.
37 Ibid, hlm. 28. Mochtar Kusumaatmaja ketika menjabat berpendapat bahwa “sebenarnya
jika hubungan antara dua konsep ini dilihat sebagai pertentangan, maka sebenarnya ia
merupakan pertentangan antara legisme (positivisme) dan aliran mazhab sejarah. Aliran
legisme menghendaki bahwa pembuatan hukum dapat begitu saja dilakukan dengan undang-
undang. Namun, aliran mazhab sejarah menentang penyamaan hukum dengan undang-
undang, sebab hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan harus tumbuh dari kesadaran
masyarakatnya.”
38 Ibid, hlm 28.

186

39
alat pembangunan masyarakat agar lebih maju.” Konsep prismatik ini
sejalan dengan pemikiran yang digagaskan oleh Eugen Ehrlich, tokoh
sociological jurisprudence, yang membahas hukum yang hidup dalam

masyarakat. Ehrlich kemudian menegaskan “hukum positif yang baik dan
efektif merupakan hukum yang sesuai dengan living law yang mencerminkan

40
nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.”
Negara Indonesia dengan sistem hukum Pancasilanya yang prismatik,

tidak bersifat teokrasi atau hanya menjadikan satu agama agama yang

dilegitimasi oleh negara. Selain itu juga bukan merupakan negara sekuler yang
menyampingkan agama yang dianut oleh rakyatnya. Hal ini disebabkan oleh

kepercayaan Indonesia berupa meyakini dan memeluk agama merupakan

bagian dari hak asasi yang mutlak. Selain itu, Indonesia juga merupakan
negara kebangsaan yang religius yang memberikan penghormatan dan

pembinaan terhadap semua agama yang dianut oleh rakyatnya selama agama
tersebut berperikemanusiaan dan beradab. Sehingga, hukum yang

diskriminatif dalam kehidupan beragama di kalangan rakyat sangatlah
dilarang oleh haluan politik Indonesia. Pada akhirnya, Negara diperbolehkan

untuk menetapkan kaidah yang melindungi semua pemeluk agama guna

mencegah timbulnya benturan antara suatu umat dengan umat yang lain,
sehingga beragama dalam masyarakat menjadi lebih teratur, akan tetapi

peraturan tersebut tidak boleh melampaui ketentuan ritual yang tidak terpisah
dengan hak tersebut.









39 Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Pusat
Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan dan PT. Alumni, 2002, dalam Ibid,
hlm, 29.
40 Ibid. hlm. 29.

187

Penutup

Negara hukum Pancasila memiliki rambu-rambu dalam politik hukum
nasional. Tanda yang paling utama adalah larangan munculnya kaidah yang

bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, tidak boleh terdapat kaidah yang
bertentangan dengan agama dan nilai-nilai yang beradab, tidak boleh ada

kaidah yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan atau hak asasi
manusia (HAM), tidak boleh ada hukum yang mengancam atau dapat merusak

keutuhan ideologi dan integritas territorial dari bangsa dan negara Indonesia.

Secara lebih lanjut, tidak boleh ada hukum yang melanggar prinsip kedaulatan
rakyat, dan keadilan.

Tanda-tanda ini kemudian dikuatkan dengan 4 (empat) kaidah penuntun

hukum yang harus dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembangunan
hukum sebagaimana Latif nyatakan. Adapun rangkuman dari uraian di muka

berdasarkan pandangan Latif yaitu:
“Pertama, hukum nasional harus mampu menjaga integrasi (keutuhan)

baik ideologi maupun wilayah territorial sesuai dengan tujuan melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Harus

dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan

bangsa dan negara Indonesia.
Kedua, hukum nasional harus dibangun secara demokratis dan

nomokratis, dalam arti harus mengundang partisipasi dan dan menyerap
aspirasi masyarakat luas melalui prosedur-prosedur dan mekanisme yang

transparan dan akuntabel. Harus dicegah munculnya produk hukum yang
diproses secara licik dan transaksi di tempat gelap, meskipun secara

demokratis pembentukan hukum itu benar, tetapi jika salah secara nomokratis

(prinsip hukum) maka hukum itu harus batal atau dibatalkan oleh lembaga
yudisial.






188

Ketiga, hukum nasional harus ditujukan sebagai sarana untuk

menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu memberi proteksi
terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang

kuat, baik dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Keempat, hukum nasional harus menjamin kebebasan beragama

dengan penuh toleransi antar pemeluk-pemeluknya. Tidak boleh ada
pengistimewaan perlakuan terhadap agama dan pemeluknya hanya karena

didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah umat.

Dengan mengacu pada kaidah-kaidah penuntun terebut dan apabila
timbul suatu permasalahan, maka dalam menyelesaikannya, kita tinggal

mengukur setiap produk hukum berdasarkan kaidah penuntun tersebut,

sehingga dapat dipertanyakan apakah produk hukum atau peraturan
perundang-undangan tersebut bertentangan atau tidak dengan sistem hukum

yang harus dibangun di Indonesia.”





























189

DAFTAR PUSTAKA


Buku

Yudi Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

Jakarta: LP3ES, 2006.

_______________, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada, 2010.


Ankie M. Hoogevelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Jakarta:
Rajawali Press, 1985.


FX Adji Samekto, Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung:

Indepth Publishing, PDIH Undip & PKKPHAM, 2013.




























190

BOMBARDIR DARI LAUT OLEH KAPAL PERANG

RUSIA TERHADAP TENTARA UKRAINA DAN


OBJEK-OBJEK DI PULAU ZMIINYI/PULAU ULAR

DITINJAU DARI SAN REMO MANUAL 1994


Mangisi Simanjuntak


Pendahuluan

Pulau Zmiinyi, yang dapat diterjemahkan sebagai “Pulau Ular”, adalah
sebuah pulau kecil yang berada di Laut Hitam. Pulau ini memiliki luas 16 hektar

1
dan berada 300 km di sebelah barat Krimea Ukraina. Dalam konflik bersenjata
internasional antara Rusia dengan Ukraina, Rusia telah melakukan bombardir

terhadap tentara dan terhadap objek atau instalasi yang berada di pulau tersebut.

Kemudian, penyerangan yang dilakukan oleh kapal perang Rusia telah
mengakibatkan 13 tentara Ukraina diduga tewas dan mengakibatkan rusaknya

infrastruktur Pulau Zmiinyi yang bukan merupakan objektif militer. Tindakan
Rusia ini dapat digolongkan sebagai tindakan yang mengakibatkan

pertangungjawaban internasional (internationally wrongful act), berdasarkan

kaidah Hukum Humaniter Internasional yang telah dilanggar Rusia.
Pada prinsipnya, penyerangan yang dilakukan Rusia terhadap Pulau

Zmiinyi tidak memiliki hubungan sebab akibat (nexus) dengan konflik
bersenjata internasional antara Rusia dengan Ukraina. Akan tetapi, karena

bombardir terhadap Pulau Zmiinyi tersebut, maka Pulau Zmiinyi juga dapat

digolongkan sebagai arena pertempuran. Pendekatan nexus ini sejalan dengan
pendapat Steenberghe dan Hemptinne yang menyatakan bahwa ruang lingkup



1 Wahyu Setyo Widodo, Kutukan Pulau Ular di Ukraina Akhirnya Menelan Korban, terdapat
dalam https://travel.detik.com/travel-news/d-5986911/kutukan-pulau-ular-di-ukraina-
akhirnya-menelan-korban diakses pada 22 Juli 2022
191

geografis dari konflik bersenjata tidak mencangkup seluruh wilayah dari
2
negara-negara yang berselisih. Melainkan, ruang lingkup tersebut hanya
mencakup sebatas teater pertempuran antara dua negara yang sedang berselisih
3
atau area di wilayah suatu negara, dalam mana pertempuran sedang terjadi.
Doktrin ini dilandasi oleh penafsiran evolutif dinamis terhadap pendapat

International Court on the Tribunal for Yugoslavia yang menyatakan bahwa
“international humanitarian law applies in the whole territory of the warring

states or, in the case of internal conflicts, the whole territory under the control
4
of a party”.
Dalam artikel ini, penulis tidak akan menjelaskan tentang pihak yang

benar dan pihak yang salah dalam aksi bombardir yang dilakukan oleh Rusia
terhadap Pulau Zmiinyi. Pernyataan ini dikemukakan, karena penulis akan

menerapkan penerapan simetris yang memandang HHI sebagai kaidah hukum
5
yang tidak mempermasalahkan siapa pihak yang benar dan yang salah.
Penerapan ini hanya mempermasalahkan bagaimana pertempuran harus

dilakukan dan bagaimana prinsip kemanusiaan harus tetap dijunjung dalam
konflik bersenjata berdasarkan HHI yang mengatur tentang pertempuran (jus

6
in bello).
Rusia telah melakukan penyerangan terhadap tentara Ukraina di Pulau

Zmiinyi in concreto terhadap 13 tentara dan terhadap objek non-militer
sebagaimana dijelaskan di muka. Secara lebih lanjut, tindakan Rusia tersebut

akan ditinjau berdasarkan San Remo Manual 1994 dan kaidah HHI mengikat

lainnya, mengingat bahwa San Remo Manual merupakan soft law yang




2 Raphael Van Steenberghe dan Jerome de Hemptinne, International Humanitarian Law
Textbook III: Scope of Application, Louvain: Louv16x Team, 2021, hlm. 29.
3 loc.cit.
4 loc.cit.
5 Raphael Van Steenberghe, International Humanitarian Law Textbook I: Introduction to
International Humanitarian Law, Louvain: Louv16x Team, 2021, hlm. 18.
6 Ibid. hlm. 4 s.d 5.
192


Click to View FlipBook Version